Pikir Itu Pelita Hati - gelora45.com · Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Ini adalah...
Transcript of Pikir Itu Pelita Hati - gelora45.com · Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Ini adalah...
Pikir Itu Pelita Hati
Suar Suroso
Pikir Itu Pelita Hati
Ilmu Berpikir Mengubah Dunia:
dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping
BANDUNG 2015
Pikir Itu Pelita Hati Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping ©Suar Suroso Editor: Bilven, Darwin Iskandar Desain sampul: Herry Sutresna Diterbitkan oleh Ultimus Cetakan 1, Agustus 2015 Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT) SUROSO, Suar
Pikir Itu Pelita Hati Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping Cetakan 1, Bandung: Ultimus, 2015 xlviii + 404 hlm.; 14,5 x 20,5 cm
978-602-8331-58-6
ULTIMUS Tel. (+62) 812 245 6452, (+62) 811 227 1267 [email protected] www.ultimus-online.com
Pengantar Penulis | v
PENGANTAR PENULIS
KARYA Pikir Itu Pelita Hati lahir dari hasrat untuk melawan
pembodohan dan pembiadaban yang melanda bangsa Indonesia akibat
sepertiga abad berkuasanya rezim orba jenderal fasis Soeharto.
Soeharto naik panggung dengan penggulingan Bung Karno lewat
kebohongan demi kebohongan dan pembantaian terhadap pendukung
Bung Karno, para pimpinan dan anggota PKI, serta manusia tak
berdosa.
Manusia tak berdosa korban pembantaian di Indonesia melebihi
jumlah manusia yang dibunuh fasis Jepang sebanyak 300.000 di Nanjing
tahun 1937. Lebih mengerikan dari kekejaman fasis Nazi membunuh
kaum Yahudi dalam Perang Dunia II. Dalam pembantaian di Indonesia,
yang mati lebih banyak daripada korban bom atom yang menimpa
Hiroshima dan Nagasaki. Pembantaian ini adalah teror. Membenarkan
teror untuk mencapai tujuan adalah kebiadaban. Di bawah kekuasaan
orba, teror bersimaharajalela. Berkembang ajaran yang membenarkan
teror untuk mencapai tujuan. Bangsa beradab jadi biadab. Berlangsung
kebiadaban yang tak ada taranya dalam sejarah Indonesia.
Kebiadaban ini disembunyikan rezim orba Soeharto dengan
berbagai cara, antara lain dengan kebohongan‐kebohongan dalam buku
sejarah, pembikinan film Pengkhianatan G30S PKI, pembangunan
Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Ini adalah pemalsuan sejarah,
adalah pembodohan bangsa. Bukan hanya ini, bahkan dibiarkan
penyebaran ajaran kaum fanatik yang membenarkan dan melakukan
teror untuk mencapai tujuan. Salah satu puncaknya adalah pembantaian
yang dilakukan rezim orba terhadap kaum komunis Indonesia dan
manusia tak berdosa pendukung Bung Karno.
vi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pembodohan dan pembiadaban inilah yang menyebabkan meski
berlalu setengah abad tapi pelaku kebiadaban ini masih terlindung.
Jutaan sanak keluarga korban didera siksaan batin. Tiada permintaan
maaf dari pemerintah, apalagi pengadilan atas yang berdosa. Ini berarti
korban dipaksa memaafkan pembunuh, memaafkan yang biadab.
Kebiadaban menyebabkan tak tahu lagi membedakan mana benar dan
salah. Pikiran siapa yang tak tergugah oleh siksa derita kebiadaban yang
melanda bangsa ini?
Pikiran lahir dari kerja otak. Berpikir adalah kerja, adalah tindak‐
tanduk otak yang menghasilkan pikiran. Mampu berpikir inilah yang
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya di alam raya.
Pikiran berperan membimbing setiap perbuatan sadar manusia. Tak bisa
berpikir adalah bodoh. Berpikir tidak manusiawi adalah biadab. Bodoh dan
biadab berakar pada cara berpikir yang salah. Membiasakan hidup tanpa
menggunakan otak, tanpa menggunakan pikiran, hidup serba percaya,
berarti melakukan kebodohan. Menanamkan kebiasaan tidak berpikir
atau membiasakan berpikir salah, memelihara kebiasaan serba percaya
tanpa berpikir, adalah pembodohan. Dari bodoh, manusia bisa jadi
biadab.
Dengan berpikir tepat, manusia bisa membedakan mana benar dan
salah, bisa dapat akal memecahkan masalah yang dihadapi. Oleh karena
itu, pikiran yang tepat akan menentukan tepatnya tindak‐tanduk
manusia. Pikiran yang tepat akan membimbing tindakan tepat manusia.
Sekali pikiran yang tepat dikuasai manusia, akan melahirkan kekuatan
maha perkasa. Pikiran tepat, yang ilmiah, bisa mengubah dunia. Inilah
akar pandangan: Tanpa Teori Revolusioner, Tak Ada Gerakan Revolusioner.
Demikianlah pentingnya arti pikiran dalam kehidupan. Maka
sungguh arif dan bijaksana nenek moyang kita mewariskan ungkapan
Pikir Itu Pelita Hati. Memang, pikiran itu adalah suluh hidup bak
mercusuar memancarkan sinar, memandu pelaut di samudera raya
dalam kegelapan malam. Maka tak ayal lagi, berpikir itu ada ilmunya,
ada hukumnya. Untuk bisa berpikir ilmiah, perlu menguasai hukum
cara berpikir.
Hukum‐hukum cara berpikir dapat dipelajari dari pengalaman
kenyataan perkembangan cara berpikir dalam sejarah. Maka perlu
mempelajari perkembangan cara berpikir di Nusantara. Sejarah
menunjukkan, bahwa di Nusantara terdapat bermacam ragam cara
Pengantar Penulis | vii
berpikir, mulai dari animisme, mistisisme, pengaruh Hinduisme,
Buddhisme, Islam, agama‐agama lain, serta bermacam ragam
kepercayaan, sampai pada masuknya cara berpikir ilmiah, yang paling
maju dalam sejarah, yaitu masuknya Marxisme pada abad ke‐20.
Dengan kalimat‐kalimat “Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu
komunisme”, Manifesto Partai Komunis karya Marx dan Engels pada
pertengahan abad ke‐19 mengumandangkan program Marxisme demi
mengubah dunia, yaitu melenyapkan penghisapan manusia oleh manusia,
membangun masyarakat berkeadilan sosial, masyarakat sosialis, menuju
komunisme. Semenjak itu, sejarah memasuki zaman baru, zaman
perjuangan hidup‐mati antara dua kekuatan dalam masyarakat, antara
kekuatan klas borjuasi yang mempertahankan tata kehidupan lama, yang
mempertahankan pembodohan dan pembiadaban, melawan kekuatan
klas pekerja yang ingin membangun dunia baru, dunia tanpa
pembodohan dan pembiadaban, yaitu dunia tanpa penghisapan
manusia oleh manusia.
Dalam pelaksanaan Marxisme selama dua abad, sejarah mencatat
kegagalan‐kegagalan dan kemenangan‐kemenangan. Dua puluh tiga
tahun setelah Manifesto diumumkan, tahun 1871, kekuasaan borjuasi
Perancis sempat digulingkan oleh Komune Paris. Tapi dalam waktu
pendek Komune Paris dikalahkan oleh borjuasi.
Empat puluh enam tahun kemudian, pada awal abad ke‐20,
revolusi besar sosialis di bawah pimpinan Lenin mencapai kemenangan
dengan berdirinya negara diktatur proletariat Uni Republik‐Republik
Sovyet Sosialis (URSS). Selama tujuh dasawarsa, sosialisme sempat
berjaya di Uni Sovyet.
Bangkitnya fasisme Jerman, Italia, dan Jepang dengan Pakta Anti‐
Komintern‐nya yang mengobarkan Perang Dunia II adalah demi
membasmi komunisme. Kekalahan fasisme dalam Perang Dunia II
disusul oleh Perang Dingin yang digalakkan Amerika Serikat untuk
melanjutkan usaha membasmi komunisme sejagat.
Maksud buku Pikir Itu Pelita Hati adalah untuk memaparkan
perkembangan pikiran ilmiah, terutama di bidang kemasyarakatan
semenjak zaman purba sampai abad ke‐21. Intinya terpusat pada
perkembangan Marxisme, membantah pandangan yang menyatakan
Marxisme sudah punah, menegakkan pandangan bahwa Marxisme
berkembang sampai lahir Teori Deng Xiaoping.
viii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Berpikir ilmiah berarti memandang segala‐galanya berdasarkan
kenyataan. Inilah materialisme. Lebih dulu dari Thales, pemikir materialis
Yunani kuno yang menyatakan bahwa air adalah asal‐usul segala‐
galanya di alam raya, di Tiongkok telah tampil pikiran bahwa di alam
raya ada 5 unsur asal‐muasal. Wu Xing, yaitu air, api, tanah, kayu, dan
logam. Pemikir Lao Zi telah tampil dengan ajarannya Dao De Jing, ajaran
agama Dao. Dao De Jing mengandung unsur materialisme dan dialektika.
Pikir Itu Pelita Hati berusaha memaparkan materialisme sampai
materialisme Marxis, yaitu pandangan materialisme dengan metode
dialektika, dan penerapan dalam masalah kemasyarakatan, yaitu
materialisme historis. Marxisme dipaparkan secara historis, sampai pada
perkembangan menjadi Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, dan
Teori Deng Xiaoping.
Pikir Itu Pelita Hati bukan hanya memaparkan keunggulan serta
kemenangan‐kemenangan Marxisme dalam sejarah, tapi juga
memperkenalkan kekuatan‐kekuatan lawan Marxisme, para
penyeleweng atas Marxisme, musuh‐musuh Marxisme, yaitu revisionisme,
Trotskisme, para penganut Pasca‐Marxisme, Euro‐Komunisme.
Marxisme yang lahir pada pertengahan abad ke‐19 mengalami
ujian berat pada akhir abad ke‐19 dan pada abad ke‐20. Penggulingan
kekuasaan borjuasi Perancis berakhir dengan kalahnya Komune Paris di
tahun 1871.
Kemenangan Revolusi Oktober dan kejayaan Uni Sovyet berujung
pada rontoknya Tembok Berlin dan ambruknya Uni Sovyet. Disusul dengan
ambruknya negara‐negara sosialis Albania, Bulgaria, Rumania,
Cekoslowakia, Polandia, dan Jerman Timur. Borjuasi bergendang paha,
sampai‐sampai Presiden Amerika, George W. Bush, awal tahun 1992
dengan khidmat mendeklarasikan “Perang Dingin sudah usai,
komunisme sudah mampus, dan kita menang!”
Pembasmian komunisme dalam Perang Dingin juga melanda
Indonesia. Muaranya adalah naik panggungnya jenderal fasis Soeharto
dengan menggulingkan Bung Karno setelah membasmi kekuatan utama
pendukung Bung Karno yaitu Partai Komunis Indonesia. Para pendukung
orba, antek Perang Dingin di Indonesia menepuk dada, merasa telah
“berjasa” membasmi PKI, melarang komunisme di Indonesia dan
menggulingkan Bung Karno.
Dengan ambruknya Uni Sovyet, berkumandang suara
Pengantar Penulis | ix
menyorakkan punahnya Marxisme. Pikir Itu Pelita Hati membantah
dengan memaparkan bahwa Marxisme tak salah apalagi punah. Sebab‐
musabab ambruknya sistem sosialis Sovyet bukanlah karena Marxisme
yang dipraktekkan itu yang salah, tapi kesalahan adalah karena
dicampakkannya ajaran pokok Marxisme, yaitu ajaran diktatur proletariat,
dan secara sukarela dilepaskannya kepemimpinan Partai Komunis atas
negara sosialis.
Mengenai pembangunan sosialisme, Pikir Itu Pelita Hati secara
khusus memaparkan ajaran Lenin tentang kapitalisme negara yang
diperlukan selama masa peralihan menuju sosialisme di bawah diktatur
proletariat.
Soal paham pasca‐Marxisme dikemukakan, bahwa penganut
paham ini sesungguhnya tidaklah membela, menyempurnakan
Marxisme, atau mengoreksi pelaksanaan Marxisme, tetapi adalah
mengebiri bahkan menegasi materialisme dialektis dan menentang ajaran
Marx tentang diktatur proletariat.
Belajar dari kegagalan sosialisme Sovyet dan ambruknya negara‐
negara sosialis Eropa Tengah dan Timur, Deng Xiaoping tampil dengan
gagasan Empat Prinsip Dasar, yaitu untuk membangun sosialisme di
Tiongkok haruslah: 1. menempuh jalan sosialisme; 2. menjunjung diktatur
proletariat; 3. di bawah pimpinan Partai Komunis; dan 4. menjunjung
ideologi Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong. Maka walaupun
mengalami Peristiwa Tian An Men berdarah, yaitu “gerakan demokrasi”
demi menggulingkan diktatur proletariat Tiongkok, Negara Republik
Rakyat Tiongkok tidak tergoyahkan.
Tiongkok dengan seperlima penduduk dunia yang miskin dan
terbelakang pada pertengahan abad ke‐20, maju melompat menjadi
negara terbesar kedua di bidang ekonomi mengungguli Jepang. Inilah
demonstrasi kejayaan realisasi pembangunan sosialisme berciri Tiongkok,
yaitu pelaksanaan Marxisme yang di‐Tiongkok‐kan.
Jiang Zemin mengemukakan bahwa Teori Deng Xiaoping adalah
pengembangan Pikiran Mao Zedong, pengembangan Marxisme yang
diterapkan di Tiongkok. Di samping Marxisme–Leninisme dan Pikiran
Mao Zedong, Hu Jingtao menampilkan rumusan pandangan ilmiah tentang
perkembangan sebagai ideologi pembimbing PKT. Maka kemajuan
ekonomi Tiongkok yang mengagumkan dunia menunjukkan bahwa
Marxisme tidaklah punah. PKT yang memimpin Republik Rakyat
x | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Tiongkok menjadikan Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Pikiran
Penting “Tiga Butir Mewakili”, pandangan ilmiah tentang perkembangan, dan
Teori Deng Xiaoping, sebagai ideologi pembimbingnya.
Di bawah pimpinan Sekjen Xi Jinping, dengan pelaksanaan
putusan‐putusan Kongres XVIII PKT, Tiongkok sedang maju bergelora
demi mewujudkan Impian Tiongkok, cita‐cita mulia untuk Kebangunan
Kembali Tiongkok yang jaya, bersenjatakan Teori Deng Xiaoping yang telah
memperkaya Marxisme–Leninisme dengan gagasan‐gagasan baru
sosialisme berciri Tiongkok yang belum ada sebelumnya dalam literatur
Marxis. Ungkapan‐ungkapan “menjadi kaya itu mulia” dan “kucing hitam
atau kucing putih, asal bisa menangkap tikus adalah kucing yang baik” adalah
memvulgarkan Deng Xiaoping. Tanpa mengenal Teori Deng Xiaoping,
yang merupakan pengembangan Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao
Zedong, adalah sulit untuk memahami perkembangan Tiongkok dewasa
ini.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yoseph
Tugio Taher, Ibrahim Isa, Chalik Hamid, atas sambutannya. Serta
teramat berterima kasih kepada Koesalah Soebagyo Toer yang walaupun
saat ini sedang sakit tetapi tetap memberikan sekapur sirih sebagai
pengganti kata pengantar. Juga terima kasih kepada Bilven serta para
pengelola Penerbit ULTIMUS yang berjerih‐payah menyusun dan
mengedit hingga terbitnya Pikir Itu Pelita Hati ini. Terima kasih khusus
disampaikan kepada Darwin Iskandar, editor dan menulis “Catatan
Editor” yang ikut memberi bobot.
Kesan‐kesan dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan dan
untuk itu terlebih dulu penulis mengucapkan banyak terima kasih.
4 Februari 2015
Suar Suroso
Sekapur Sirih | xi
SEKAPUR SIRIH
Koesalah Soebagyo Toer
SEKITAR tengah tahun 2013, Suar Suroso memesan kata pengantar
untuk naskah baru yang akan siap akhir tahun 2014. Waktu itu sudah
dilampirkan daftar isi naskah rinci mulai dari filsafat Yunani kuno
sampai filsafat Jawa. Atas permintaan itu saya jawab: “Sekiranya tidak
ada waktu lagi, pasti permintaan ini saya tolak!” Pengertiannya, karena
masih ada waktu untuk memerhatikan naskah, boleh jugalah
diusahakan sekapur sirih.
Masalahnya, pertengahan tahun 2014, penyakit yang selama itu
mengancam diri saya, diabetes melitus, kembali menyerang diri saya.
Kali itu cukup dengan kesungguhan yang tinggi, dan hingga sekarang
pun belum ada tanda‐tanda mereda. Selama lima bulan ini, gerak tubuh
saya hanya terbatas pada jalan‐jalan sekitar rumah sekitar seperempat
jam sehari. Dan dari Kedutaan Federasi Rusia yang ngotot akan
merayakan hari lahir saya ke‐80 pada 27 Januari 2015 yang lalu, terpaksa
saya minta jaminan dijemput dan diantarkan pulang ke rumah. Dan
pada awal sambutan saya terpaksa dengan terus terang saya mengakui
bahwa hari itu kesehatan saya tidak baik.
Itulah sebabnya Suar Suroso sampai beberapa kali menegur saya,
beberapa kali di antaranya lewat orang lain. Terus terang, kesehatan ini
demikian rupa, hingga untuk menjalankan komputer terpaksa terseok‐
seok dan untuk yang seharusnya satu ketukan jari terpaksa dilakukan
dengan 4–5 ketukan jari. Tapi janji harus ditepati. Itulah maka saya
lakukan semua ini.
xii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Perlu diketahui bahwa ungkapan sekapur sirih dalam bahasa
Indonesia bisa berarti vvedeniyei atau predisloviye dalam bahasa Rusia,
yang kalau dikembalikan ke bahasa Indonesia bisa berarti pengantar atau
kata pengantar. Tetapi kembali kalau ungkapan sekapur sirih dengan
pengantar atau kata pengantar diperbandingkan, jelas ungkapan sekapur
sirih lebih enteng bobotnya. Dan kebetulan sekali Suar Suroso sekarang
mengganti permintaan pada saya untuk hanya sekedar menulis sekapur
sirih, dan tidak lagi pengantar atau kata pengantar. Sekiranya judul tulisan
ini adalah pengantar atau kata pengantar, maka pada tempatnya kalau
kita mengangkat soal yang diangkat oleh Franz Magnis‐Suseno, Mudji
Sutrisno, dan rekan‐rekan, yang pada akhir tahun 2014 memukul
genderang perang dengan mulai bicara tentang filsafat Indonesia.
Jadi, tulisan Suar Suroso ini diam‐diam merupakan sambutan
atas genderang perang Franz Magnis‐Suseno dan rekan‐rekan.
Jakarta, 23 Februari 2015
Sambutan | xiii
SAMBUTAN
Yoseph Tugio Taher
PEMBUBARAN dan pengusiran paksa para jompo korban Peristiwa
1965 yang berkumpul dan bertemu untuk bersilaturahim dan
menceritakan nasib masing‐masing serta untuk mendengarkan
wejangan‐wejangan dari utusan pusat mengenai rencana pemerintah
untuk para jompo korban Peristiwa 1965, dilakukan oleh para preman
dan dibantu aparat pemerintah yaitu kepolisian setempat pada bulan
Februari 2015 di Bukittinggi.
Ini adalah suatu contoh dan bukti yang gamblang bahwa jenderal
fasis Soeharto yang sempat menguasai Indonesia selama 32 tahun bukan
saja telah membawa Indonesia mundur jauh ke belakang, namun juga
telah merusak hati nurani dan pikiran bangsa Indonesia sehingga
menjadi bodoh dan bertindak semaunya laksana zombie tanpa
menggunakan akal dan pikiran. Sangat disayangkan, hal ini justru
terjadi di tanah Minang, di mana adat turun‐temurun menjadi landasan
pokok pola berpikir manusia. Kejadian serupa juga pernah terjadi di
beberapa tempat lain di Indonesia.
Di Minangkabau, semenjak dini, kaum muda telah dibekali
dengan cara dan pola berpikir yang mengutamakan pemikiran,
kenyataan, dan kebersamaan. Orang‐orang tua menurunkan segala
nasihat dan petunjuk untuk kaum muda supaya bisa mengarungi lautan
hidup dengan penuh akal pikiran yang baik, bukannya mengumbar
segala kejahatan dan kebatilan yang akan menghancurkan dan
memporak‐porandakan kehidupan manusia di bumi ini. Banyak contoh
xiv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dan teladan yang telah diberikan oleh para tetua. Seharusnya kaum
muda generasi bangsa bisa belajar darinya.
Namun, semenjak Soeharto yang dengan penuh kelicikan dan
kebusukan dapat merebut kekuasaan di negeri ini pada tahun 1965,
mulailah secara sistematis dilakukan penghancuran nilai‐nilai luhur atas
kehidupan bangsa Indonesia demi melanggengkan kekuasaannya.
Kendatipun kekuatan rakyat telah berhasil mencampakkan fasis
Soeharto dari tampuk kekuasaan, namun sistem yang dilahirkannya
sudah menjadi warisan turun‐temurun dan alat ampuh bagi elite politik
dalam mempertahankan kekuasaan sampai hari ini. Mereka tidak segan‐
segan untuk membiayai preman‐preman bahkan alat negara untuk
mempertahankan kedudukan.
Manusia tidak lagi melihat sesuatu berdasarkan fakta dan
kenyataan, namun mengikuti arahan, ambisi, dan nafsu yang menjurus
pada penghancuran total. Tanpa mengikuti dan mempertimbangkan
pemikiran yang jernih. Rezim orba Soeharto menyembunyikan segala
kebiadabannya dengan segala macam cara, seperti kebohongan‐
kebohongan dalam buku‐buku sejarah, pembuatan film Pengkhianatan
G30S PKI, pembangunan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya,
dan Buku Putih Kopkamtib 1978 yang mengumbar fitnah bahwa PKI tidak
punya andil dalam Revolusi 1945. Padahal kalau kita mau membuka
dan belajar dari kebenaran sejarah, Perdana Menteri Republik
Indonesia, Amir Sjarifoeddin, tahun 1948 telah menunjukkan bahwa
tokoh komunis ini ikut memimpin Republik Indonesia sebagai perdana
menteri. Jelas sekali apa yang dikatakan dan ditulis dalam Buku Putih
Kopkamtib 1978 adalah satu kebohongan besar dan merupakan
pembodohan bangsa.
Setengah abad segala pembohongan dan pembodohan itu
merajalela di bumi kita. Para pembohong serta pelaku pembiadaban itu
masih terlindung sampai sekarang, sedang para korban didera siksa
batin yang tak berkesudahan. Mereka yang tak berdosa sepertinya
dipaksa untuk melupakan segala azab dan derita yang dilakukan
oknum‐oknum biadab dan aparat pemerintah, hingga mereka mati satu
per satu, tanpa adanya niat dan keberanian dari pemerintah untuk
meminta maaf dan mengadili yang berdosa dan melakukan pengadilan
in absentia bagi yang sudah tiada.
Sambutan | xv
Sejarah akan mencatat, bahwa siapa pun yang menjadi penguasa
dan memegang pemerintahan Indonesia, selagi masalah Peristiwa 1965,
yaitu pemusnahan 3 juta manusia Indonesia dari satu golongan politik
yang dikomuniskan, tidak diselesaikan secara tuntas, selama itu pula
pemerintah akan senantiasa dihantui oleh sejarah kelam masa lalu.
Dalam situasi demikian, dalam situasi di mana bangsa dan rakyat
Indonesia sekarang telah meninggalkan dan melupakan cara pemikiran
yang jernih berdasarkan fakta serta kenyataan, telah melupakan asas
kebersamaan dan kegotong‐royongan dan menghancurkan nilai‐nilai
luhur warisan nenek moyang, di saat kebiadaban merajalela tanpa
menggunakan nalar dan pikiran, tak bisa lagi membedakan antara benar
dan salah, pikiran siapakah yang tak akan tergugah oleh siksa derita
kebiadaban yang melanda bangsa ini?
Di saat inilah seorang putra bangsa, Suar Suroso, menggugah dan
mengajak kita semua untuk menggunakan akal pikiran guna melihat
segala sesuatu melalui fakta, kenyataan, dan kebenaran, dengan
mempersembahkan kepada kita tulisan barunya dalam sebuah buku
berjudul Pikir Itu Pelita Hati.
Suar Suroso adalah seorang pemuda Indonesia yang lahir di kota
Padang, Indonesia. Semenjak kecil, menerima didikan dan mengeluti
ajaran‐ajaran Minangkabau dari ninik‐mamak dan para tetua. Ia
dibekali dengan segala ilmu dan petunjuk, pepatah dan petitih yang
diterima dan diolahnya dengan akal pikiran berdasarkan fakta,
kenyataan, dan kebenaran. Pada masa remaja, Suar Suroso ikut
berkiprah dalam Revolusi Bersenjata 1945 di Padang dan mendapat
tanda penghargaan dari Gubernur Militer RI, Mr. Mohamad Nasroen.
Suar Suroso juga aktif dalam gerakan Pemuda Indonesia dan mewakili
bangsa Indonesia dalam forum Internasional.
Sebagai aktivis organisasi pemuda, ia dipercaya mewakili
Indonesia dalam berbagai pertemuan pemuda internasional, seperti
antara lain di Beijing, Wina, Kairo, Santiago‐Chili, dan mewakili Pemuda
Rakyat dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) dalam
kapasitas sebagai wakil presiden yang berkantor pusat di Budapest.
Dalam kapasitas itu ia menghadiri berbagai kegiatan pemuda di Korea,
India, Nepal, Sri Langka, Mesir, Maroko, Guinea, Mali, Senegal, Ghana,
Jerman, Rumania, Denmark, Finlandia, Polandia, Albania, dan lain‐lain.
xvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Mulai Septembar 1961, ia melanjutkan studi di Fakultas Fisika
Universitas Lomonosov, Moskow.
Setelah Peristiwa 30 September 1965, pada bulan Agustus 1966
paspornya dicabut oleh KBRI Moskow. Tahun 1967 dinyatakan persona‐
non‐grata oleh pemerintah Sovyet karena memprotes kerja sama antar
pemerintah Uni Sovyet dan pemerintah Indonesia di bawah rezim
Soeharto. Sejak Februari 1967 meninggalkan Uni Sovyet dan bersama
istri dan dua anaknya bermukim di Tiongkok.
Sejumlah sajaknya dimuat dalam Di Negeri Orang, kumpulan
sajak para penyair eksil di Eropa Barat. Karya‐karya yang sudah
dibukukan: Asal‐Usul Teori Sosialisme; Marxisme sampai Komune Paris;
Bung Karno, Marxisme, dan Pancasila; ‘Peristiwa Madiun’ PKI Korban
Perdana Perang Dingin (Pustaka Pena); PKI Korban Perang Dingin (Era
Publisher); Bung Karno Korban Perang Dingin (Hasta Mitra); Kumpulan
Puisi Jilid I Jelita Senandung Hidup dan Jilid II Pelita Keajaiban Dunia
(Ultimus); Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah;
Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia (Hasta Mitra); dan Akar
dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung
Karno (Ultimus). Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata
Kiprah diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Tionghoa dengan judul
Makesi Zhuyi De Shijian Yu Fazhan oleh Penerbit Contemporary World
Publisher, Beijing.
Buku Pikir Itu Pelita Hati ini merupakan buku kesepuluh Suar
Suroso. Membaca dan mempelajari tulisan ini memberi kita
pengetahuan yang akan membawa pada pemblejetan atas kebohongan‐
kebohongan yang mengarah pada kebiadaban yang diakukan oleh fasis
Soeharto serta semua pengikut dan antek‐anteknya.
Bab pertama Pikir Itu Pelita Hati bertemakan “Dari Pembodohan
ke Pembiadaban Bangsa”. Kita dibawa untuk mengerti akan segala
kebohongan yang telah dilakukan dan dilancarkan demi melakukan
pembodohan bangsa, seperti misalnya fitnah dan pembohongan orba
tentang “Mao menghasut Aidit”, pembodohan yang mengeramatkan
Pancasila menjadi berhala, kebohongan tokoh‐tokoh orba seperti
Nugroho Notosusanto, Arifin C. Noer, bahkan Kopkamtib dan penulis‐
penulis seperti M. Fic, Jung Chang, dan lain‐lain yang semuanya
mengarah pada pembodohan dan budaya main kuasa sebagai akar
Sambutan | xvii
pembiadaban bangsa untuk mempertahankan dan melanggengkan
kekuasaan fasisnya.
Begitu banyak jenis pembodohan yang berlangsung di zaman
orba. Pembodohan merusak seperti jamur di musim hujan karena rakyat
tidak dibekali cara berpikir ilmiah. Rakyat tidak dididik untuk berpikir
secara fakta, kebenaran, dan kenyataan. Rakyat hanya dibekali dengan
keharusan untuk percaya dan harus mengikut apa yang diperintahkan.
Masa itu, bangsa tidak diajarkan untuk menggunakan otak,
menggunakan pikiran, dan itu diwarisi sampai sekarang. Padahal dalam
kehidupan sehari‐hari, sampai perubahan dalam masyarakat, manusia
dibimbing oleh pikirannya. Pikiran ini lahir dari kerja otak. Kalau cara
berpikir ngawur, maka hasilnya juga akan ngawur, tidak ada arti sama
sekali.
Inilah kunci yang diberikan Suar Suroso dalam buku Pikir Itu
Pelita Hati, bahwa: “Betapapun bersimaharajalelanya pembodohan
sampai sekarang, pencerahan akan terus berlangsung. Kebebasan
berpikir dan bersuara akan berkembang. Pembohongan‐pembohongan
dan segala macam fitnah akan kian tertelanjangi. Untuk itu, satu‐
satunya jalan ialah mendorong maju rakyat berpikir ilmiah. Berpikir
ilmiah berarti mencari kebenaran dari kenyataan. Segala‐galanya
bertolak dari kenyataan. Inilah pandangan materialisme.”
Namun sayang, orang‐orang yang pikirannya telah
terkontaminasi pembodohan yang mengarah pada pembiadaban,
memandang setiap yang disebut materialisme adalah komunis.
Yang menarik dalam tulisan ini, pada Bab II, Suar Suroso
membicarakan secara terperinci masalah agama dan kepercayaan: “Cara
Berpikir dan Berbagai Pandangan Hidup di Nusantara, dari Animisme
sampai Kebatinan Jawa”. Tidak ketinggalan tentang Hindu, Buddha,
Islam, Kejawen, bahkan Bhinneka Tunggal Ika, Walisongo, dan lain
sebagainya. Tampak di sini bahwa penulis paham sekali seluk‐beluk
tentang segala bentuk kepercayaan di Nusantara.
Akan tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Geoffrey Parrinder
dalam buku World Relegions‐from Ancient History to the Present, bahwa
“mempelajari agama yang berbeda tidak perlu berarti tidak setia pada
kepercayaan sendiri, tetapi sebaliknya, kepercayaannya dapat diperluas
dengan melihat bagaimana orang‐orang lain mencari kenyataan dan
memperkaya pencarian mereka.”
xviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sesungguhnya, dalam mempelajari agama‐agama yang berbeda
itu Suar Suroso tidak terjebak dengan sumber kepercayaan‐kepercayaan
itu, namun percaya dan berdiri di atas kepercayaan sendiri.
Bahwa “Semenjak lahir dari kandungan ibu, manusia mulai
menyusu, mengenal dan meraba untuk menghisap buah dada ibu,
mulai melihat, mengenal keadaan sekitar menurut apa adanya, menurut
kenyataan. Manusia mulai menggunakan otak, membedakan benda‐
benda yang ditemui, manusia berpikir secara materialis. Hidup dalam alam
terbuka, manusia berkenalan dengan suasana sekelilingnya.
Dari melawan haus dan lapar, melawan kedinginan dan
kepanasan, manusia jadi berbuat, bertindak menggunakan tangan,
melakukan kerja. Kerja syaraf menimbulkan perasaan. Pusat syarat, otak
pun berfungsi, bekerja melahirkan pikiran. Jadi, kerja otot diiringi oleh
kerja syaraf sampai kerja otak. Kerja otak adalah berpikir, maka kerja
badan atau kerja fisik menyebabkan manusia berpikir. Dengan berpikir,
lahirlah pikiran. Berpikir itu adalah kerja, hasilnya adalah pikiran. Pikiran
adalah hasil pencerminan kenyataan. Pikiran yang bersumber atau
bertolak dari kenyataan adalah materialis. Cara memandang hal ihwal
dengan bertolak dari kenyataan adalah materialisme.”
Semenjak manusia mulai berpikir sudah menggunakan
pandangan materialis. Inilah kunci dari tulisan Suar Suroso dalam buku
Pikir Itu Pelita Hati.
Dalam bab‐bab selanjutnya kita akan melihat pembelajaran
terhadap teori‐teori tentang fakta, kenyataan, dan kebenaran yang
dihasilkan dari kerja otak, pikiran, dan disebut materialisme, yang oleh
orang‐orang dengan pikiran cupet dianggap sebagai tabu. Dimulai dari
perkenalan tentang Marxisme dengan Bung Karno dalam karya
Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (1926) sampai hal‐hal yang
merupakan fakta, kenyataan, dan kebenaran dalam ajaran Marxisme.
Semua itu bisa kita hayati dengan menggunakan kerja otak, yaitu
pikiran. Karenanya, Pikir Itu Pelita Hati adalah suatu karya tulisan yang
sangat baik dan berguna sekali untuk bangsa yang masih terbelenggu
dengan pembodohan dan kebiadaban yang diwariskan orba Soeharto.
Buku Pikir Itu Pelita Hati adalah seumpama cambuk buat orang‐
orang yang menjadi korban pembodohan yang menjurus pada
pembiadaban. Generasi muda yang menggunakan nalar dan pikiran,
yang menilai sesuatu dengan fakta, kenyataan, dan kebenaran, pasti
Sambutan | xix
akan menyambut gembira atas hadirnya buku Pikir Itu Pelita Hati ini.
Inilah pedang, inilah senjata, dan inilah dian yang akan membantu
memberi penerangan dalam kegelapan masa kini.
Kepada penulis disampaikan salam dan terima kasih karena telah
berhasil menyusun dan menulis buku yang berharga ini.
Australia, 5 Maret 2015
xx | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sambutan | xxi
SAMBUTAN
Ibrahim Isa
KETIKA menerima berita dari penulisnya mengenai buku yang baru
selesai ditulisnya, Pikir Itu Pelita Hati, sudah bisa diantisipasi buku itu
mengangkat sebuah tema yang teramat serius dan mendesak. Suar
Suroso menulis tentang masalah pemikiran bangsa ini. Diproyeksikan
pada sejarah perkembangan pemikiran para ahli pikir sedunia mengenai
kehidupan dan perkembangan masyarakat manusia dan masyarakat
bangsa. Teristimewa kaitannya dengan perubahan yang terjadi terus‐
menerus dalam kehidupan masyarakat manusia, menuju suatu
kehidupan yang adil dan makmur. Jelas sekali apa yang menjadi tujuan
penulisan Suar Suroso dengan mengangkat masalah Pikir Itu Pelita Hati,
yaitu “untuk melawan pembodohan dan pembiadaban bangsa!”
“Karya Pikir Itu Pelita Hati lahir dari hasrat untuk melawan
pembodohan dan pembiadaban yang melanda bangsa Indonesia akibat
sepertiga abad berkuasanya rezim orba jenderal fasis Soeharto. Soeharto
naik panggung dengan penggulingan Bung Karno lewat kebohongan
demi kebohongan dan pembantaian terhadap pendukung Bung Karno,
para pimpinan dan anggota PKI, serta manusia tak berdosa. Manusia
tak berdosa korban pembantaian di Indonesia melebihi jumlah manusia
yang dibunuh fasis Jepang sebanyak 300.000 di Nanjing tahun 1937.
Lebih mengerikan dari kekejaman fasis Nazi membunuh kaum Yahudi
dalam Perang Dunia II. Dalam pembantaian di Indonesia, yang mati
lebih banyak daripada korban bom atom yang menimpa Hiroshima dan
Nagasaki. Pembantaian ini adalah teror. Membenarkan teror untuk
mencapai tujuan adalah kebiadaban. Di bawah kekuasaan orba, teror
xxii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bersimaharajalela. Berkembang ajaran yang membenarkan teror untuk
mencapai tujuan. Bangsa beradab jadi biadab. Berlangsung kebiadaban
yang tak ada taranya dalam sejarah Indonesia.” [“Pengantar Penulis”]
Suar Suroso dengan sistematis dan analitis mengemukakan
bahwa ia menulis Pikir Itu Pelita Hati dengan maksud untuk
memaparkan perkembangan pikiran ilmiah, terutama di bidang
kemasyarakatan semenjak zaman purba sampai abad ke‐20. Penulisan
terpusat pada perkembangan Marxisme, membantah pandangan yang
menyatakan Marxisme sudah punah, menegakkan pandangan bahwa
Marxisme berkembang sampai lahir Teori Deng Xiaoping.
Dengan uraian seperti di atas mengenai maksud dan tujuan buku
Pikir Itu Pelita Hati, Suar Suroso telah mengangkat satu masalah yang
sungguh teramat penting, yaitu masalah pemikiran tentang masyarakat
dan perkembangannya dari zaman kuno sampai abad ke‐20. Uraian
terfokus pada Marxisme, lahir dan perkembangannya di mancanegara
dan di Indonesia. Penulis mengajak pembaca ikut memikirkan masalah
teramat penting ini.
Di negeri kita, penulisan semacam ini, sepanjang ingatan, belum
pernah ada selama ini. Di sinilah arti penting buku Pikir Itu Pelita Hati.
Tanpa ragu sedikit pun Suar Suroso mengemukakan analisa dan
pandangannya sekitar Marxisme. Penulis membantah pernyataan para
pencetus dan penganut Perang Dingin, termasuk pendukung‐
pendukungnya di Indonesia, bahwa Marxisme sudah “mampus”.
Suar Suroso sebaliknya mengemukakan alasan, argumentasi, dan
fakta‐fakta sejarah, bahwa Marxisme telah berkembang menjadi Teori
Deng Xiaoping. Ini adalah sikap yang melawan arus. Merupakan
pandangan yang berani menantang paduan suara di segala pelosok
dunia, yang dengan cemooh menyatakan bahwa ajaran Marxisme sudah
menemui ajalnya dengan runtuhnya Tembok Berlin, dan bahwa apa
yang dilakukan oleh Deng Xiaoping adalah revisionisme yang
merestorasi kapitalisme di Tiongkok.
Suar Suroso mengemukakan alasan dan argumentasi untuk
menjelaskan uraiannya. Menunjukkan contoh fakta perubahan besar‐
besaran yang terjadi di Tiongkok. Melonjaknya pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi negeri yang membikin para pemerhati dan
pakar ekonomi dunia terkejut dan tercengang. Mereka gagal mencari‐
cari faktor apa yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan
Sambutan | xxiii
ekonomi yang begitu spektakuler dalam 30 tahun belakangan ini di
Tiongkok.
Penyebab mengapa mereka itu gagal melihat kenyataan
perubahan besar yang telah meningkatkan taraf hidup 600 juta rakyat
Tiongkok pada akhir abad ke‐20 ialah karena mereka memandang
perubahan di Tiongkok dengan kaca mata “Perang Dingin”. Di pihak
pandangan lainnya, mereka masih menggunakan teori‐teori ilmu
filsafat, politik, sosial, dan ekonomi, yang diuraikan lebih seratus tahun
yang lalu. Maka mereka itu tidak mampu atau gagal untuk melihat,
apalagi memahami, perubahan besar yang terjadi di Tiongkok. Baik dari
segi perubahan fisik maupun perubahan mental, termasuk penerapan
Marxisme di Tiongkok.
Buku Pikir Itu Pelita Hati berusaha menguraikan antara lain
mengapa dan bagaimana penerapan teori Marxisme pada kondisi
konkret. Tiongkok telah berhasil mengangkat negeri dan taraf hidup
rakyat Tiongkok ke taraf pertumbuhan dan perkembangan yang
termasuk paling tinggi di mancanegara dewasa ini.
Kita merasa terbantu dengan uraian Suar Suroso dalam Pikir Itu
Pelita Hati, yang secara analitis, sistematis, dan teoretis, menguraikan
mengapa Marxisme tidah “punah”, bahkan berkembang pada kondisi
konkret Tiongkok dan telah mencapai hasil‐hasil yang nyata. Mari
sambut hangat karya Pikir Itu Pelita Hati, yang telah memperkaya
khazanah literatur ilmu filsafat, politik, sosial, dan ekonomi Marxis di
Indonesia.
9 Februari 2015
xxiv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sambutan | xxv
SAMBUTAN
Chalik Hamid
BUNG KARNO memiliki cita‐cita luhur dan tinggi untuk membangun
bangsa dan negara Indonesia. Sejak perjuangan pembebasan negeri
hingga tercapainya kemerdekaan RI, Bung Karno senantiasa berjuang
dengan teguh dan tanpa kompromi melawan kaum kapitalis dan
imperialis serta budak‐budaknya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Setelah tercapai kemerdekaan, lagi‐lagi Bung Karno menunjukkan niat
dan tujuan bahwa negeri Indonesia jangan sampai dikuras oleh modal
asing. Bung Karno memiliki sikap bahwa negeri Indonesia yang sudah
dibebaskan dengan darah dan keringat, harus dibangun oleh bangsanya
sendiri dengan menggunakan tenaga para pemuda Indonesia. Ia
berusaha agar pembangunan negeri dilakukan oleh putra‐putri
Indonesia, terbebas dari para ahli dan teknisi asing.
Oleh sebab itu, sejak semula Bung Karno berusaha membangun
kader‐kader muda dengan mengirimkan mereka untuk belajar ke luar
negeri, di samping yang ditempa di berbagai universitas di dalam
negeri. Bung Karno, melalui Kementerian Pendidikan, mengirim para
pemuda/i belajar ke Amerika Serikat dan Kanada, ke negeri‐negeri
Eropa Barat seperti Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Tidak
kurang banyaknya juga dikirim ke Rusia (dulu pusat Uni Republik
Sosialis Sovyet), Bulgaria, Hongaria, Republik Ceko (dulu bergabung
dengan Slowakia menjadi Cekoslowakia), Rumania, Polandia, dan
Albania. Banyak pula dikirim ke Tiongkok, Jepang, Korea, Australia,
hingga Kuba.
Namun, pada akhirnya cita‐cita luhur dan besar Bung Karno itu
xxvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mengalami kegagalan sebagai akibat berhasilnya jenderal fasis Soeharto
merampas kekuasaan dari tangan pemerintahan sah Bung Karno.
Soeharto dengan kejam menjadikan Bung Karno sebagai tahanan rumah
dan akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya tidak mendapatkan
pengobatan yang layak. Soeharto berhasil merekayasa Tap MPRS
No.25/1966 yang melarang keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI)
dan melarang ajaran Marxisme–Leninisme di Indonesia. Soeharto juga
berhasil menelurkan Tap MPRS No.33/1967, di mana Presiden Soekarno
dinyatakan sebagai pengkhianat karena memihak PKI.
Dengan demikian, seluruh kekuasaan negara RI sepenuhnya
jatuh ke tangan Jenderal Soeharto dan dengan leluasa ia melakukan
pembunuhan terhadap rakyat Indonesia. Tidak tanggung‐tanggung ia
telah membunuh 3 juta rakyat Indonesia, mengasingkan ribuan patriot
dan pejuang ke Pulau Buru. Penjara di seluruh Indonesia penuh sesak,
pemerkosaan dan pencabulan terhadap kaum wanita yang dilakukan
oleh ABRI terjadi di mana‐mana.
Demikian pula yang terjadi terhadap warga Indonesia yang
berada di luar negeri. Terhadap para mahasiswa terutama yang belajar
di Eropa Timur dilakukan pemaksaan. Beberapa KBRI orba di berbagai
negara Eropa Timur memaksa para mahasiswa agar mengakui
pemerintahan Soeharto sebagai pemerintahan yang sah. Namun,
sebagian besar mahasiswa tidak mau mengakui kekuasaan Soeharto,
mereka tetap mengakui Bung Karno sebagai Presiden RI dan bahkan
mengutuk pemerintahan Soeharto. Sebagai akibat perlawanan ini,
beberapa KBRI orba Soeharto memanggil dan mencabut paspor para
mahasiswa ikatan dinas (mahid) tersebut. Mereka kehilangan identitas
dan terpaksa menjadi staatenloos (tidak memiliki kewarganegaraan).
Mereka ini banyak terdapat di berbagai negeri, terutama di Eropa
Barat seperti di Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, dan negeri‐negeri
Eropa Timur seperti di Republik Ceko, Rusia, Hongaria, Polandia,
Albania, Bulgaria, dan bahkan juga di Tiongkok, Hongkong, Kuba, dan
Australia. Bersama dengan orang‐orang Indonesia lain yang pernah
mendapat tugas di berbagai ormas internasional dan lembaga negara
seperti KBRI, para mahid itu menjadi orang‐orang gelandangan di
negeri orang. Sia‐sialah pengetahuan yang mereka peroleh dengan
menamatkan studi yang mestinya diabdikan di Indonesia sesuai dengan
keinginan dan harapan Bung Karno.
Sambutan | xxvii
Suar Suroso, pengarang buku Pikir Itu Pelita Hati’ yang sedang
kita hadapi ini merupakan salah seorang korban kebiadaban rezim fasis
Jenderal Soeharto. Paspornya dirampas oleh KBRI di Moskow ketika itu.
Ia termasuk orang yang dilarang pulang ke negeri leluhurnya,
Indonesia. Betapa banyak orang sepertinya menjadi “orang kelayaban”
di luar negeri, istilah yang dilontarkan Gus Dur ketika ia menjadi
Presiden RI.
Saya kemukakan beberapa nama sekedar contoh sebagai orang
yang tergusur dari negerinya. Duta Besar RI untuk RRT, Djawoto,
dilantik Bung Karno bertugas di Beijing. Ia tak diizinkan pulang dan
meninggal dunia di negeri Belanda. Saudara Sukrisno, pernah menjadi
Dubes RI di Rumania dan Vietnam, meninggal dunia di Belanda dan
dikubur di negeri itu. Saudara M. Ali Chanafiah, Dubes RI di Sri
Langka, meminta suaka di Stockholm, Swedia. Kemudian kembali ke
Indonesia dan meninggal dunia di sana. Saudara A.M. Hanafi, Duta
Besar RI untuk Kuba, di zaman reformasi kembali dan meninggal dunia
di Indonesia. Saudara Tahsin, Duta Besar RI di Mali, tidak bisa pulang
ke Indonesia, lalu minta suaka dan meninggal dunia di negeri Belanda.
Beberapa nama lain yang pernah bertugas di berbagai lembaga
internasional dan instansi negara di luar negeri: Yusuf Adjitorop (Josep
Simanjuntak), perwakilan Delegasi PKI di Tiongkok, meninggal dunia
di Beijing; Wijanto Rachman, bertugas di Konakri, Guinea, meminta
suaka dan meninggal dunia di Belanda; Agam Wispi, seorang penyair
terkenal Indonesia, meninggal dunia di Belanda; A. Suhaimi, pemimpin
redaksi harian Gotong Rojong Medan, meninggal dunia di Belanda; A.S.
Munandar, dosen Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, meninggal dunia di
Belanda; Z. Afif, dosen bahasa Indonesia di Universitas Kwangchow,
meninggal dunia di Swedia; Sobron Aidit, dosen bahasa Indonesia di
Universitas Beijing, meninggal dunia di Perancis; Anwar Dharma,
wartawan Harian Rakjat Jakarta di Moskow, meninggal dunia Beijing;
Kamaludin Rangkuti, dosen bahasa Indonesia di Bejing, meninggal
dunia di Belanda; Azis Akbar, sastrawan dari Medan, meninggal dunia
Jerman; Ibrahim Isa, perwakilan tetap Indonesia di Organisasi
Internasional Solidaritas Rakyat‐Rakyat Asia–Afrika (OISRAA) di Kairo,
kini berdomisili di Amsterdam, Belanda; Francisca Pattipilohy, kini
bertempat tinggal di Amsterdam; Suar Suroso, mewakili Pemuda
Indonesia dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) di
xxviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Budapest, kini berdomisili di Tiongkok; Francisca Fanggidaej, berangkat
ke luar negeri mengikuti Konferensi Yurist Internasional dan pernah
mengikuti Konferensi Kalkuta di India, meninggal dunia di Belanda;
Umar Said, pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional Jakarta,
meninggal dunia di Paris, Perancis; Utuy Tatang Sontany, pengarang
drama (dramaturg) terkenal Indonesia, meninggal dunia di Moskow;
Setiati Surasto, wakil buruh Indonesia di Serikat Buruh Internasional
berkedudukan di Praha, Republik Ceko, meninggal dunia di Swedia.
Beberapa nama tokoh lainnya adalah: Nungcik A.R., meninggal
dunia di Tiongkok; G.H. Simamora, meninggal dunia di Tiongkok;
Rolah Sarifah, meninggal dunia di Belanda; Sofyan Waluyo, meninggal
dunia di Swedia; Margono, meninggal dunia di Paris; Budiman
Sudharsono, meninggal dunia di Paris; Willy Hariandja, meninggal
dunia di Tiongkok; Supangat, meninggal dunia di Belanda; Aslam
Hariadi, meninggal dunia di Belanda; Rustomo, meninggal dunia
Tiongkok; Rumambi, meninggal dunia di Tiongkok; Zaelani, meninggal
dunia di Belanda; Surjo Subroto, meninggal dunia di Belanda; Kondar
Sibarani, meninggal dunia di Jerman; Supeno, meninggal dunia di
Belanda; Suryono, meninggal dunia di Belanda; Didi Wiharnadi dan
Suparna Sastradiredja, aktivis buruh, meninggal dunia di Belanda.
Saya sengaja menuliskan nama‐nama tersebut di atas agar orang
bisa mengetahui apakah tokoh‐tokoh tersebut masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Dengan demikian bisa diketahui di mana kuburnya.
Sekaligus orang akan mengetahui betapa kejamnya perlakuan orde baru
yang dikepalai Jenderal Soeharto terhadap warganya. Dalam nama‐
nama tersebut di atas belum termasuk nama para mahid (mahasiswa
ikatan dinas) yang dilarang pulang ke Indonesia dan meninggal di luar
negeri serta dikuburkan di negeri orang.
Sebenarnya Presiden Gus Dur pernah melakukan niat baik untuk
memulangkan orang‐orang Indonesia yang terhalang pulang dan
bergelandangan di luar negeri. Awal tahun 2001 ia mengirimkan
Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, agar memulangkan
mereka ke Indonesia. Yusril pun berusaha mengumpulkan masyarakat
Indonesia di Kedutaan Besar RI di Belanda. Ia menjelaskan bahwa
dalam waktu dekat ia akan mengembalikan “orang‐orang kelayaban”
itu ke tanah tumpah darahnya. Namun, setelah ia kembali ke Indonesia,
ia pun melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Ia mendapat tekanan
Sambutan | xxix
dari partainya, PBB (Partai Bulan Bintang), seolah‐olah Yusril akan
menghidupkan kembali komunisme di Indonesia. Sebuah pandangan
yang tidak sesuai dengan kenyataan konkret di Indonesia, dan akhirnya
menteri terhormat ini bungkam seribu bahasa. Tak lama kemudian Gus
Dur pun terjungkal dari kursi kepresidenan. Usaha pemulangan para
mahid itu pun lenyap bagaikan secangkir air tumpah ke pasir.
Tulisan ini sudah menerawang jauh, hampir meninggalkan
tugasnya sebagai kata sambutan terhadap terbitnya buku Pikir Itu Pelita
Hati. Menurut pendapat saya, buku Suar Suroso yang kesepuluh ini
hampir mirip dengan buku‐buku terdahulu, sejak yang pertama hingga
yang kesembilan, Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan
Penggulingan Bung Karno, kecuali buku ketujuh—Jelita Senandung Hidup
dan kedelapan—Pelita Keajaiban Dunia. Dua buku, ketujuh dan
kedelapan itu, merupakan kumpulan puisi yang menyenandungkan
tanah air Indonesia, keindahan alamnya, kekayaan buminya, kecintaan
rakyat terhadap negerinya. Di luar dua buku ini, buku‐buku lainnya
saling bertautan dan saling mengisi, merupakan sejarah perkembangan
masyarakat pada zamannya.
Oleh sebab itu, buku‐buku ini sangat berguna bagi siapa pun,
terutama bagi generasi muda dan penerus bangsa, agar bisa belajar
dengan baik dalam meneliti perkembangan masyarakat dengan
berbagai ideologi dan ajaran‐ajaran keyakinan yang berkembang sesuai
dengan zamannya. Kita bisa belajar bagaimana berbagai ajaran Hindu,
Buddha, Kejawen, bahkan sampai masuknya Islam ke Indonesia.
Namun juga merupakan satu kenyataan, kita tidak bisa menampik,
merasuk dan berkembangnya ajaran Marxisme–Leninisme lewat karya‐
karya Alimin, Tan Malaka, Njoto, D.N. Aidit, dan bahkan Bung Karno
dengan tulisannya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Sangat menarik dimuatnya dalam buku ini sebuah bantahan
seolah Mao Zedong menghasut Aidit untuk mengadakan sebuah
gerakan di Indonesia ketika Bung Karno menderita sakit. Bantahan
demikian ini sangat diperlukan dalam usaha pelurusan sejarah yang
dipelintir oleh orde baru, terutama untuk pembelajaran bagi generasi
muda. Termasuk pelurusan anggapan bahwa PKI turut sebagai dalang
G30S.
Dalam kumpulan puisi Di Negeri Orang, Nurdiana menulis
sebuah puisi dengan judul “Adat Hidup”. Penulis Nurdiana tak lain
xxx | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
adalah nama pena Suar Suroso dalam penulisan puisi. Dalam puisi itu ia
menuliskan:
Bila dahaga,
sungguh terasa nikmatnya air,
di kala lapar,
terasa benar lezat makanan;
kapan kepanasan,
terasa nyaman embun di pagi hari;
ketika dingin,
amat terasa hangat api membara;
bilamana gelap dicengkam kelam,
betapa terasa terang sang Surya;
semasa terkurung di penjara,
alangkah terasa bahagia kebebasan.
Dan di kala terpaksa berkelana di pengasingan,
terasa nian
indahnya kampung halaman.
Buku Pikir Itu Pelita Hati, karya kesepuluh Suar Suroso ini
mengandung banyak bahan pelajaran yang perlu diketahui oleh siapa
pun, terutama bagi generasi muda penerus bangsa untuk meraih
kemerdekaan penuh, terbebas dari neo‐kolonial dan neo‐liberal.
Presiden Jokowi ketika membagikan buku‐buku kepada anak‐anak
generasi muda selalu berpesan, “Membacalah, dan bangsa ini akan
terhindar dari buta karena ketidaktahuan.”
Pada tanggal 16 Mei 2015, Suar Suroso genap berusia 85 tahun.
Dalam usia tua ia masih terus kreatif melahirkan berbagai macam
tulisan. Tentu saja kita menunggu karya‐karya Bung Suar selanjutnya
yang sangat dibutuhkan anak bangsa.
Amsterdam, 10 Februari 2015
Catatan Editor | xxxi
CATATAN EDITOR
Marxisme Tidak Usang dan Komunisme Tidak Mati
PADA saat bendera merah dengan palu arit sebagai simbol buruh dan
tani diturunkan dari Istana Kremlin, Tembok Berlin dihancurkan dan
negara‐negara sosialis di Eropa Timur tumbang, ketika itu banyak orang
meyakini dan mulai meragukan Marxisme yang dalam sejarah dunia
untuk pertama kalinya diterapkan di bumi Rusia oleh kaum Bolsyewik
dipimpin oleh Lenin lewat Revolusi Oktober 1917. Dengan kata lain,
kegagalan Uni Soviet dalam menerapkan Marxisme tidak hanya
membuktikan bahwa “Revolusi Oktober 1917” adalah “dosa”, bahkan
juga membuktikan bahwa prinsip‐prinsip dasar Marxisme hanya
imajinasi utopis belaka dan pantas dimasukkan dalam “Museum
Sejarah Dunia” sebagai warisan sejarah peradaban manusia.
“Marxisme–Leninisme telah bangkrut dan gagal total,” demikian
para pemandu wisata di sekitar Museum Sejarah Peradaban Manusia
menjelaskan kepada para pengunjung dari seluruh dunia. Wakil
Direktur Think‐tank Departemen Luar Negeri AS, Francis Fukuyama,
menulis sebuah buku berjudul The End of History and The Last Man.
Dalam buku tersebut, Fukuyama ingin menjelaskan bahwa runtuhnya
Uni Sovyet dan negara‐negara sosialis di Eropa Timur telah
membuktikan bahwa “demokrasi liberal dan ekonomi pasar adalah
proses evolusi sejarah yang tidak tertandingi dan membuktikan bahwa
Marxisme sudah punah dan komunisme sudah mati.”
Namun, apa yang terjadi di saat kapitalisme pada awal 2008
mulai mengalami goncangan besar. Pecahnya krisis keuangan 2007/2008
dan menjalar menjadi krisis ekonomi global telah membuktikan bahwa
xxxii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Karl Marx benar dan ajarannya masih sangatlah relevan. Marxisme tidak
usang dan komunisme tidak mati. Dalam sebuah wawancara majalah
Jepang pada 2009, Fukuyama mulai meragukan tesisnya sendiri dengan
mengatakan, “Demokrasi Barat mungkin tidak akan menjadi akhir dari
evolusi sejarah manusia.” Pada 2014, dalam majalah dwibulanan The
American Interest yang diterbitkan pada bulan Januari–Februari, ia
mengatakan “pengaruh dari kelompok dan lobi untuk kepentingan
Amerika Serikat (AS) sedang menguat. Ini bukan hanya mendistorsi
proses demokrasi, tetapi juga mengikis efektivitas kemampuan tindakan
pemerintah.”
Begitu pula dengan Presiden AS Barack Obama, dalam pidatonya
di tahun 2008 dengan mengutip argumen Marxis yang paling klasik,
khususnya dalam istilah metafisika ekonomi politik, mengkritik
jalannya ekonomi virtual yang diterapkan oleh AS dan melepaskan
paradigma pembangunan ekonomi riil. Obama mengatakan,
“Masalahnya bukanlah dalam kebijakan tertentu, melainkan pada akar
filsafat ekonomi itu sendiri.” Dengan nada marah, Obama mengatakan
bahwa, “Krisis ekonomi saat ini adalah akibat langsung dari
keserakahan dan tidak bertanggung jawab. Tren ini telah mendominasi
Washington dan Wall Street selama bertahun‐tahun.”
Telah begitu banyak intelektual borjuasi yang mempertanyakan
lonceng kematian dari kapitalisme. Pandangan dari intelektual borjuasi
untuk pertanyaan tersebut bermacam‐macam. Misalkan saja, Joseph
Schumpeter dalam bukunya Kapitalisme, Sosialisme, dan Demokrasi,
mempertanyakan, “Apakah kapitalisme bisa bertahan?” E.K. Hunt
memprovokasi dengan pertanyaan, “Apakah kapitalisme akan
menyebabkan harmoni atau malah sebaliknya malah menyebabkan
konflik sosial?” dan “Apakah kapitalisme dalam dirinya sendiri, stabil
atau tidak stabil?”
Dengan pecahnya krisis keuangan 2007/2008, memicu diskusi
tentang “kapitalisme baru” dan “kapitalisme kreatif”. Media Barat dan
Forum Davos berkali‐kali mengajukan topik diskusi tentang krisis
kapitalisme Barat dan masa depan kapitalisme, menemukan kembali
kapitalisme, kapitalisme negara, kampanye pendudukan Wall Street,
diagnosis kapitalisme, dan topik diskusi tentang kapitalisme lainnya.
Tentang masa depan kapitalisme itu sendiri, banyak yang memberikan
berbagai macam istilah, “akhir sejarah”, “sistem identitas”, dan “teori
Catatan Editor | xxxiii
keruntuhan”, dan tampilan lainnya. Pada saat yang sama, kapitalisme
juga telah memakai segala macam topi baru: “akhir kapitalisme”,
“imperialisme baru”, “masyarakat pasca‐kapitalis”, “kapitalisme
kesejahteraan”, “kapitalisme yang disesuaikan”, “kapitalisme kasino”,
“kapitalisme keuangan”, dan sebagainya.
Perkembangan baru dan perubahan dalam kapitalisme
kontemporer menunjukkan bahwa kapitalisme memiliki tingkat
pembaruan diri dan kapasitas untuk pengembangan diri. Namun,
kapitalisme itu sendiri tidak mampu mengandalkan kekuatan dirinya
untuk memecahkan kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Media Barat
dan para intelektual borjuasi percaya bahwa kapitalisme saat ini tidak
hanya menghadapi krisis ekonomi, tetapi juga menghadapi krisis sosial
dan krisis kelembagaan yang mendalam. Dengan terus meluasnya
polarisasi antara si kaya dan si miskin, rusaknya alam, memburuknya
pengangguran, pendidikan, perawatan kesehatan, dan pemotongan
pengeluaran kesejahteraan sosial lainnya, banyak dari intelektual
borjuasi akhirnya juga mempertanyakan kembali rasionalitas sistem
kapitalisme.
Ekonom Perancis berusia 42 tahun, Thomas Piketty, dalam buku
best‐seller‐nya Kapital Abad Ke‐21, menunjukkan, “Krisis keuangan global
di awal tahun 2007—2008 dianggap sebagai krisis ekonomi yang paling
serius sejak krisis kapitalisme di tahun 1929.” Selanjutnya, Piketty
mengatakan bahwa, “Saat ini kita sudah memasuki abad ke‐21, orang‐
orang yang percaya bahwa polarisasi antara si kaya dan si miskin akan
hilang ternyata tiba‐tiba telah kembali. Saat ini tingkat polarisasi antara
yang kaya dan miskin telah mendekati atau bahkan lebih tinggi dalam
sepanjang masa.” Buku Piketty tersebut menunjukkan bahwa kebijakan
pemerintah liberal tradisional atas pengeluaran, perpajakan, dan
regulasi akan gagal dalam mengurangi ketimpangan.
Argumen Piketty ini juga dikuatkan oleh data yang dikeluarkan
oleh lembaga analisis keuangan Bloomberg pada 2013 bahwa kekayaan
300 orang terkaya di dunia adalah $524 miliar dan sekarang total
kekayaan mereka telah mencapai $3,7 triliun. Data yang dikeluarkan
oleh Bloomberg dikuatkan oleh keluhan sebelumnya dari sekelompok
peneliti yang dipimpin oleh Prof. Jason Hickel dari London School of
Economics. Pada waktu itu mereka mencatat bahwa kekayaan
akumulasi 300 orang terkaya di dunia melebihi total kekayaan 3,5 miliar
xxxiv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
orang miskin. Tiga ratus orang terkaya tersebut semuanya adalah
sebagai pemilik atau yang berhubungan langsung dengan Korporasi
Multi‐Nasional (MNC).
Setelah krisis keuangan internasional 2007/2008, inisiatif yang
diambil oleh AS adalah dengan menjalankan kebijakan quantitative
easing (pelonggaran kuantitatif), yaitu pemerintah AS mencetak dolar
dan mensubsidi kapital keuangan yang justru merupakan inisiator dari
krisis itu sendiri. Ini menunjukkan begitu parasit dan dekadennya
kapitalisme keuangan. Kebijakan mencetak dolar ini pada akhirnya
hanya akan menyebabkan devaluasi mata uang dan meluasnya krisis
derivatif keuangan yang menular ke negara‐negara lain. Hal ini semakin
memperburuk polarisasi antara si kaya dan si miskin, dan selanjutnya
mengurangi permintaan efektif di seluruh dunia serta memperluas
surplus produksi seluruh dunia.
Tepat seperti yang dianalisis oleh Karl Marx 147 tahun yang lalu.
Marx dalam Das Kapital telah menunjukkan bahwa “alasan terakhir bagi
semua krisis sesungguhnya selalu tetap kepada kemiskinan dan
konsumsi yang terbatas dari massa, berhadapan dengan pacuan
produksi kapitalis untuk mengembangkan tenaga‐tenaga produktif.”
Krisis keuangan dan ekonomi yang lebih besar belum datang dan
kondisi untuk pecahnya krisis sosial yang lebih besar pada skala global
semakin terlihat di depan mata kita saat ini.
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah AS untuk memulihkan
kembali perekonomiannya. Selain dengan menarik kembali kebijakan
pelonggaran kuantitatifnya, juga menampilkan berita‐berita yang positif
terhadap perekonomiannya serta menampilkan banyak berita‐berita
yang menyesatkan akan situasi ekonomi global dan gejolak finansial di
negara‐negara berkembang di dalam tajuk utama media surat kabar,
majalah, maupun elektronik mereka.
Ekonom AS, Dr. Paul Craig Roberts yang pernah menjabat
sebagai Asisten Menteri Keuangan dalam pemerintahan Ronald Reagan,
telah mendalami data statistik yang dikeluarkan oleh Departemen
Tenaga Kerja AS. Roberts telah menemukan adanya kelemahan dan
kontradiksi. Mengakui bahwa data statistik yang dirilis oleh Biro
Statistik Tenaga Kerja AS, mereka berharap dapat dimasukkan dalam
bekerja penuh waktu padahal jam kerja mereka telah dipotong atau
karena mereka tidak dapat menemukan pekerjaan penuh waktu. Untuk
Catatan Editor | xxxv
data September 2012, sebuah gambaran yang lebih benar dari situasi
kerja yang mengerikan disediakan meningkat menjadi 600.000 dari
bulan sebelumnya di mana mereka dimasukkan dalam kategori bekerja
penuh waktu, jauh melebihi 114.000 pekerjaan yang baru.
Dari data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Statistik AS juga
ditemukan kelemahan yang sangat penting. Misalkan saja data statistik
resmi yang dikeluarkan oleh Biro Statistik AS menunjukkan bahwa
pekerjaan berpenghasilan tinggi di AS mengalami penurunan.
Penduduk miskin yang bergantung pada kupon bantuan pemerintah
semakin meningkat, tetapi tampaknya tidak masuk akal, di mana orang‐
orang tampaknya lebih bersedia mengeluarkan uang mereka untuk bisa
makan di luar. Menyebabkan selama beberapa dekade meningkatnya
orang‐orang yang mencari pekerjaan dengan upah yang rendah di
restoran dan bar. Data yang dikeluarkan oleh Biro Statistik AS masih
banyak juga bisa kita lihat kelemahannya. Misalkan saja bahwa
meskipun pemerintah negara bagian AS terus mengalami kesulitan
keuangan dan juga terus menekan pengeluaran di sektor pendidikan,
malah sebaliknya, departemen pendidikan menginformasikan tentang
13.600 pekerjaan baru akan tampak aneh dengan adanya PHK terus‐
menerus terhadap para guru di AS.
Joseph Stiglitz, ekonom terkenal AS dan pernah mendapatkan
hadiah Nobel di bidang ilmu ekonomi, pada tahun 2012 pernah menulis
dalam majalah Financial Times, “Pendapatan rata‐rata rakyat AS selama
15 tahun belakangan ini, pendapatan rata‐rata dari seorang pekerja yang
bekerja seharian penuh bahkan lebih rendah daripada tingkat
pendapatan seorang pekerja 40 tahun yang lalu.” Hampir 5 tahun lebih
dari 2009 sampai 2013, pemerintah dan media AS setiap tahunnya selalu
menciptakan opini publik dengan menggambarkan bahwa
perekonomian AS semakin kuat dan hampir pulih kembali. Jikalau data‐
data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah AS tentang pertumbuhan
ekonomi dan ketenagakerjaan itu benar serta dapat diandalkan, maka
tentunya pendapatan dan harta rakyat AS tidak seperti yang
disampaikan oleh Stiglitz. Ini artinya bahwa opini yang diciptakan oleh
pemerintah dan media AS sangat berbeda jauh dengan tren
perkembangan ekonomi riil AS.
Wu Chengliang, jurnalis dari Tiongkok, menulis sebuah artikel
yang berjudul “Pemulihan Ekonomi AS Tidak Bermanfaat Bagi Orang
xxxvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Miskin” diterbitkan oleh Renmin Ribao (Harian Rakyat) pada 18
September 2014. Dalam artikel tersebut, Wu melaporkan bahwa
kesenjangan orang kaya dan miskin dalam masyarakat AS dalam
beberapa tahun terakhir semakin intensif dan menjadi fenomena sosial
yang sangat mengganggu. Dalam situasi tersebut, satu sisi karena
pemulihan ekonomi selama beberapa tahun terakhir masih dalam
keadaan abnormal. Di sisi lain, pemulihan ekonomi kebanyakan hanya
tampilan semata. Dengan dukungan kebijakan moneter yang ultra‐
longgar, pasar real estate AS dalam keadaan pembalikan yang cepat,
pasar saham mencapai rekor tertinggi, tetapi penerima manfaat semua
itu sebagian besar adalah orang kaya.
Dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa menurut survei
lain yang dilakukan pada bulan Agustus 2014, Wall Street Journal dan
NBC‐AS menunjukkan bahwa 76 persen orang Amerika percaya bahwa
kehidupan anak‐anak mereka tidak lebih baik dari mereka. Dana
Milbank, reporter Washington Post dengan tajam berkomentar,
“Optimisme AS sedang sekarat, inti dari American Dream adalah
keyakinan generasi sebelumnya dari kehidupan orang tua mereka,
tetapi sekarang sudah menghilang.”
Abad 21: Marxisme Bangkit Kembali
Di saat banyak orang meyakini bahwa Marxisme adalah “teori yang
usang” dan “sosialisme telah berakhir” ternyata British Broadcasting
Corporation (BBC) pada bulan Juli 2005 mengumumkan hasil voting
para pendengar Radio BBC 4 bahwa “Karl Marx terpilih sebagai seorang
filsuf yang paling dihormati dan berpengaruh sepanjang masa.”
Pemikiran terbesar yang bersinar terang muncul pada saat masyarakat
manusia melewati satu milenium. Walaupun Karl Marx telah wafat 131
tahun lalu, tetapi pemikiran besarnya telah memberikan dampak yang
sangat besar terhadap umat manusia sampai saat ini.
Sejak kelahirannya sampai sekarang ini, Marxisme semakin hari
semakin populer di hati rakyat banyak dan daya vitalitasnya semakin
besar. Seperti yang dikatakan oleh Deng Xiaoping, “Saya sangat percaya
bahwa para pendukung Marxisme di dunia ini akan semakin bertambah
banyak sebab Marxisme adalah ilmiah.” Marxisme meskipun lahir di
Catatan Editor | xxxvii
abad ke‐19, tetapi tidak mandeg di abad tersebut. Marxisme walaupun
lahir di Eropa tetapi pengaruhnya terus meluas ke seantero jagat.
“Nama dan karyanya akan tetap bertahan selama berabad‐abad ke
depan,” begitulah ramalan Friedrich Engels dalam orasi pidatonya di
saat Karl Marx disemayamkan di pemakaman Highgate, Inggris.
Kedengaran mungkin sedikit membual, tetapi Friedrich Engels benar.
Sejak tumbangnya Uni Republik‐Republik Sovyet Sosialis (URSS)
pada akhir abad ke‐20, negara‐negara demokrasi rakyat/sosialis yang
masih berdiri adalah: satu negara besar yaitu Republik Rakyat Tiongkok
(RRT), dan empat negara kecil yaitu Kuba, Vietnam, Korea Utara, dan
Laos, sedang melakukan reformasi dan inovasi, konsolidasi dan
pengembangan sosialisme. Namun pada abad ke‐21, menurut Pusat
Penelitian Sosialisme Dunia—Akademi Ilmu Sosial Tiongkok, pada
tahun 2013—2014 ada lebih dari 130 partai yang berideologikan
Marxisme–Leninisme dan kurang lebih 100 juta anggota Partai Komunis
di mana RRT mempunyai anggota sekitar 85 juta orang, Korea Utara
sekitar 4 juta orang, Vietnam sekitar 3 juta orang, Kuba sekitar 1 juta
orang. Sedangkan di negara‐negara kapitalis memiliki lebih dari 120
partai yang berideologikan Marxisme–Leninisme dengan jumlah
anggota 8 juta orang.
Banyak orang mengira bahwa negara yang mengklaim sebagai
negara sosialis atau demokrasi rakyat adalah negara miskin dan melarat.
Kesan ini kita dapatkan melalui propaganda media borjuasi Barat.
Mereka ingin menunjukkan bahwa negara yang menganut dan
menerapkan Marxisme–Leninisme akan hidup dalam keadaan miskin
dan menderita. Misalkan, Kuba dan Korea Utara. Kuba yang selama 60
tahun lebih diblokade oleh AS dan sering mendapatkan bantuan dari
Tiongkok, namun standar hidup rakyat Kuba masih jauh lebih tinggi
dari Tiongkok dan negara‐negara lainnya. Apalagi jikalau dibandingkan
dengan Indonesia.
Sampai saat ini belum ada yang menandingi Kuba dalam bidang
pendidikan, kesehatan, perumahan, pensiun, dan aspek lain yang bisa
didapatkan secara cuma‐cuma oleh warga negara dengan kualitas yang
sangat baik. Seperti dalam pendidikan, Kuba memiliki sistem
pendidikan kelas dunia. Semua biaya pendidikan ditanggung oleh
negara. Buku dan seragam sekolah didistribusikan secara gratis oleh
negara, bahkan warga negara tidak dikenakan biaya untuk melanjutkan
xxxviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ke perguruan tinggi, mulai dari S1 sampai S3. Oleh karena itu, tingkat
pendidikan di Kuba cukup tinggi, karena semua warga negara bisa
mendapatkan pendidikan gratis dan berkualitas, angka partisipasi
sekolah untuk tingkat SLTA mencapai 99%, dan proporsi mahasiswa
hingga 7% dari populasi. Untuk bidang olah raga, Kuba cukup bersaing
dalam kompetisi internasional, termasuk Olimpiade. Walaupun tidak
sebagus AS, Tiongkok, Rusia, Jerman, dan negara‐negara yang paling
kuat dalam bidang olah raga, tetapi Kuba masih lebih baik daripada
India dan banyak negara lainnya.
Sistem perawatan kesehatan Kuba juga kelas dunia. Menurut
data yang diberikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, di Kuba setiap
170 orang terdapat 1 orang dokter dan masuk peringkat kedua dunia
setelah Italia. Selain itu, warga negara mendapatkan perawatan
kesehatan gratis dan dapat berobat di berbagai klinik masyarakat (buka
selama 24 jam), penyakit serius ke rumah sakit pusat, pembebasan biaya
medis apabila dirawat di rumah sakit, dan bahkan sampai biaya
makanan.
Pemerintah Kuba juga menyediakan perumahan untuk rakyat.
Setiap 4 keluarga dapat berbagi bersama dengan luas rumah sekitar 100
meter persegi. Bangunan Kuba fokus pada kualitas, meskipun beberapa
rumah tua tampak sedikit usang, tetapi tidak mempengaruhi kehidupan
sehari‐hari. Tingkat melek huruf di Kuba sebesar 99,7%, peringkat
ketiga di dunia. Harapan rata‐rata hidup di Kuba sebesar 78,3 tahun.
Menurut data yang disediakan Wikipedia, tingkat pengangguran di Kuba
pada tahun 2009 adalah 1,6%, Indeks Pembangunan Manusia di Kuba
pada 2013 adalah 0,78 dan masuk peringkat 59 dunia.
Akademi Ilmu Sosial Tiongkok pada 2013 merilis “Indeks
Peradilan Nasional Global”. Peringkat pertama di dunia adalah Kuba di
mana dalam hal angka kejahatan sangatlah rendah, fenomena
perdagangan narkoba hampir menghilang, prostitusi dan AIDS juga
jarang terdengar. Selain itu, di Kuba tidak ada lingkungan yang terkena
polusi serius, pencemaran air, pencemaran tanah, tidak ada keracunan
makanan yang dimodifikasi secara genetik, penipisan sumber daya dan
fenomena lainnya. Menurut UNDP, Kuba adalah satu‐satunya negara di
dunia yang telah mencapai pembangunan sosial, lingkungan, dan
ekonomi yang berkelanjutan.
Kuba yang memproklamirkan diri sebagai negara sosialis
Catatan Editor | xxxix
dibuktikan dengan pejabat negaranya yang hampir tidak ada perlakuan
yang istimewa dan korup. Hubungan antara pejabat negara dan rakyat
juga cukup harmonis. Misalkan, tidak adanya perbedaan gaji yang
diterima oleh para pejabat tinggi negara dengan profesor di universitas,
bahkan dengan profesor senior sekalipun. Peraturan yang sangat jelas
oleh pemerintah Kuba diberlakukan di mana apabila para pejabat
menggunakan mobil dinas dan ada bangku yang kosong, wajib untuk
diisi oleh rakyat biasa. Para pejabat tinggi negara di Kuba—misalkan
menteri—tidak seperti di negara‐negara lain yang dijaga dengan super
ketat. Bahkan untuk menjadi pejabat tinggi negara di Kuba, siapa pun
boleh mendaftar seperti halnya kita masuk ke perpustakaan.
Persis apa yang dikatakan oleh Lenin. Kaum buruh, setelah
merebut kekuasaan politik, akan menghancurkan aparat birokrasi yang
lama, meremukkannya sampai ke dasarnya dan memusnahkannya sama
sekali, menggantinya dengan yang baru yang terdiri dari kaum buruh
dan pegawai‐pegawai yang itu juga, dan untuk mencegah mereka
berubah menjadi birokrat‐birokrat akan segera diambil tindakan‐
tindakan yang telah diuraikan dengan terperinci oleh Marx dan Engels:
1. tidak hanya dipilih tetapi juga dapat diganti sewaktu‐waktu; 2. upah
tidak lebih tinggi dari pada upah buruh; 3. segera beralih ke keadaan di
mana semua melaksanakan fungsi mengawasi dan menilik, sehingga
semua untuk sementara waktu menjadi “birokrat” dan sehingga karena
itu tidak seorang pun dapat menjadi “birokrat”.
Bagaimana dengan Korea Utara? Apabila kita berjalan‐jalan di
kota Pyongyang, akan terlihat bahwa semua rumah di sana dalam
keadaan baik dan bagus. Begitu juga dengan keadaan rumah sakit atau
sekolah. Kualitas bangunan perumahan, instansi pemerintah, bank,
sekolah, dan gedung‐gedung lainnya setaraf dengan yang ada di
Tiongkok. Hanya saja untuk masalah energi, Korea Utara masih dalam
keadaan kekurangan. Kalau malam hari tiba, lampu penerangan dan
lampu merah di jalan dalam keadaan gelap. Meskipun lampu
penerangan di jalan pada waktu malam hari sangatlah redup, tetapi
lampu penerangan di semua rumah dalam keadaan terang benderang.
Inilah yang membuat wisatawan dari Singapura terkejut di saat mereka
melakukan anjangsana di negeri yang paling dibenci oleh AS dan
sekutu‐sekutunya.
Sekarang mari kita lihat data statistik yang diberikan oleh Biro
xl | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Statistik Nasional eks negara‐negara sosialis dan Bank Dunia. Dari
tahun 1989—2006, eks negara‐negara sosialis mengalami pertumbuhan
ekonomi yang rendah, yaitu berkisar 3—5%, sedangkan yang paling
tinggi berkisar 7—8%. Rusia sendiri adalah 3% dengan rata‐rata tingkat
pertumbuhan ekonominya kurang lebih 3,3%. Padahal dalam periode
tersebut, negara‐negara berpenghasilan rendah lainnya memiliki rata‐
rata tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 6,8%, negara‐negara
berpenghasilan menengah memiliki rata‐rata tingkat pertumbuhan
sebesar 8,1%, dan untuk negara‐negara berpenghasilan tinggi, tingkat
pertumbuhan tahunannya sebesar 4,8%. Asia Timur dan Pasifik, tingkat
pertumbuhan tahunan rata‐rata sebesar 6%, Sub‐Sahara Afrika sebesar
5,5%, sedangkan negara‐negara berkembang sebesar 6,4%. Dari data
statistik tersebut bisa terlihat bahwa eks negara‐negara sosialis, tingkat
pertumbuhan ekonominya masih lebih rendah dibandingkan dengan
negara‐negara Afrika.
Dilihat dari Indeks Koefisien Gini, sebelum eks negara‐negara
sosialis bubar, Indeks Koefisien Gini mereka sekitar 0,2, tetapi setelah
sosialisme dicampakkan, dalam kurun waktu 20 tahun, Indeks Koefisien
Gini mereka meningkat secara signifikan dari 70% menjadi 100%.
Sementara pada saat yang sama, Koefisien Gini di negara‐negara lain
sedikit menyempit dan tidak berubah. Dilihat dari data‐data tersebut,
ini menandakan bahwa eks negara‐negara sosialis dilihat dari tingkat
pertumbuhan ekonominya berada di peringkat paling bawah dengan
polarisasi antara si kaya dan si miskin jurangnya semakin mendalam.
Maka tidak mengherankan apabila pasca‐bubarnya negara‐
negara sosialis di Eropa Timur, Uni Sovyet, dan Jerman Timur, banyak
dari warga negara mereka yang dulu pernah menikmati sistem negara
sosialis, merasa bahwa kehidupan mereka dulu masih lebih baik
ketimbang saat ini. Institut Amerika Gallup mempublikasikan hasil
survei yang dilakukan di antara warga negara eks Uni Republik‐
Republik Sovyet Sosialis berkaitan dengan disintegrasi Uni Sovyet. Hasil
survei tersebut sangatlah mengejutkan sosiolog Amerika. Ternyata
hanya 24% dari eks warga negara URSS yang melihat bahwa disintegrasi
Uni Sovyet sebagai hal yang positif. Sementara 51% koresponden
berpikir bahwa runtuhnya Uni Sovyet menyebabkan kerugian baik
secara pribadi maupun republik—sekarang adalah negara‐negara yang
independen—di mana mereka tinggal. Tidak mengherankan apabila
Catatan Editor | xli
Rakyat Rusia dan eks‐URSS banyak yang merindukan sosok pemimpin
seperti Lenin dan Stalin.
Kebanyakan para ahli di Institut Amerika Gallup mendapatkan
pendapat yang sangat menakjubkan tersebut dari Ukraina dan Moldova.
Survei yang dilakukan di Lapangan Kemerdekaan Maidan (Maidan
Nezalezhnosti), 56% responden memiliki sikap yang negatif terhadap
hilangnya satu negara besar, dan hanya 23% melihat hal tersebut bisa
bermanfaat. Di Moldova, ditandatanganinya Perjanjian Asosiasi dengan
Uni Eropa, di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahasa Rumania
sebagai bahasa negara, 42% dari warga negara terus melihat runtuhnya
Uni Sovyet lebih berbahaya dan 26% responden melihatnya sebagai hal
yang bermanfaat. Rakyat Rusia juga tidak senang atas “balasan ulang”
yang dilakukan oleh beberapa politisi demokrat bagaimana mereka
menggambarkan disintegrasinya Uni Sovyet: 55% responden melihat hal
tersebut sebagai sebuah kerusakan dan hanya 19% koresponden yang
menyatakan bahwa hal tersebut sangat bermanfaat.
Pada Desember 2012, lembaga penelitian AS “Pew Research
Center” merilis hasil pekerjaan mereka, dikhususkan untuk mempelajari
bagaimana warga negara Lithuania, Rusia, dan Ukraina mengevaluasi
perubahan pada tahun 1991, 2009, dan 2011. Kami melihatnya bahwa
reformasi di negara‐negara tersebut dilakukan oleh orang yang berbeda
dan di bawah skenario yang berbeda. Jadi, munculnya ekonomi pasar
pada tahun 1991, didukung oleh 76%, pada tahun 2009—50%, dan pada
tahun 2011—hanya didukung oleh 45% dari warga negara Lithuania,
salah satu negara yang pertama untuk keluar dari dari sistem ekonomi
dan politik Uni Sovyet. Menurut para responden, perubahan selama dua
puluh tahun terakhir yang menguntungkan bagi para politisi (91%) dan
pengusaha (78%), sedangkan untuk orang biasa (20%). 56% responden
di negara‐negara tersebut mengatakan bahwa dua puluh tahun terakhir
membawa dampak yang negatif pada kualitas hidup mereka.
Demikianlah bahwa 61% dari rakyat Rusia dan 82% dari penduduk
Ukraina telah meresponnya.
Menurut “Levada Center” Rusia, pada tahun 2012, di Rusia, 29%
adalah pendukung sistem politik Uni Sovyet, dan pada tahun 2013
sudah meningkat menjadi 36%. Pada saat yang sama terjadi penurunan
persentase pendukung demokrasi Barat (22% vs 29%). Jajak pendapat
juga bertanya tentang sistem ekonomi apakah yang tampaknya lebih
xlii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tepat untuk Rusia. 51% menyatakan bahwa model yang didasarkan
pada perencanaan negara dan distribusi (pada tahun 2012 angka itu
49%). Sistem yang didasarkan pada hak kepemilikan pribadi dan pasar
pada tahun 2012 hanya didukung oleh 36%, dan begitu juga tahun
berikutnya dan bahkan lebih sedikit yaitu hanya 29%.
Hasil yang paling mencolok adalah dari survei yang dilakukan
oleh Institut Studi Opini Publik Emnid di Jerman pada tahun 2010. 80%
orang yang pernah hidup sebagai warga negara Republik Demokratik
Jerman dan 72% dari responden di Jerman sekarang menyatakan bahwa
hidup mereka cukup baik ketika mereka menjadi warga negara sosialis.
Setelah dua puluhan tahun tumbangnya Tembok Berlin dan reunifikasi
Jerman, hanya 28% saja dari responden di sebelah timur negara tersebut
yang mengatakan bahwa mereka baru bisa menemukan “kebebasan”
dari nilai‐nilai politik utama saat ini. Pemimpin Jerman yang juga
mantan aktivis Pemuda Jerman Bebas—Freie Deutsche Jugend—Jerman
Timur, Angela Merkel, terkejut dengan hasil survei tersebut. Sejak itu
penelitian serupa di Jerman tidak terdengar lagi. Namun di negara‐
negara lain juga hasilnya tidak kurang mengesankan.
Berdasarkan peringkat Gallup World yang dibuat dalam tiga
kategori, yaitu orang‐orang yang “makmur”, “perlu perjuangan hidup”,
dan “menderita”, sampai dengan tahun 2012, orang‐orang yang paling
menderita adalah menjadi rakyat Bulgaria. 39% penduduknya
mengidentifikasikan diri mereka sebagai orang yang bahagia. Dalam 5
peringkat warga negara dunia yang paling menderita dan tidak pernah
hidup makmur, Hongaria termasuk juga di dalamnya. 32% dari warga
negara tersebut, yang pernah dendam ketika hidup di zaman Uni
Sovyet, juga menganggap dirinya tidak bahagia hidup di saat ini. Rakyat
Rumania bernostalgia ketika hidup di saat zaman Nicolae Ceauşescu.
Penelitian serupa menyatakan hal yang sama terdapat di sebagian besar
negara‐negara eks Republik Rakyat Federal Yugoslavia—Slovenia,
Kroasia, Makedonia, Bosnia‐Herzegovina, dan Republik Federal
Yugoslavia—yang dipublikasikan oleh Serbia edisi “Kebijakan Online”.
Bagaimana dengan Indonesia? Menurut UNDP, Indonesia adalah
salah satu negara yang memiliki tingkat ketimpangan tertinggi di
kawasan Asia Timur, yaitu dengan naiknya Koefisen Gini dari 0,32 pada
1999 menjadi 0,41 pada 2012. Hal ini senada dengan laporan dari Bank
Dunia yang menyebutkan bahwa angka kesenjangan antara kaum kaya
Catatan Editor | xliii
dan miskin di Indonesia mengalami peningkatan. Badan Pusat Statistik
(BPS) menyatakan pada awal 2014 bahwa tingkat kemiskinan yang ada
di Indonesia semakin parah. Belum lagi dengan parahnya tingkat
korupsi di Indonesia di mana dibandingkan dengan negara‐negara di
Asia Tenggara misalkan Filipina, Thailand, Malaysia, dan Singapura,
kita masih berada di urutan atas. Begitu juga dengan ketimpangan antar
daerah bisa kita lihat sangat mencolok di mana sekitar 40 persen rakyat
Indonesia tidak memiliki akses pada air bersih, sekitar 30 persen
wilayah Republik Indonesia tidak memiliki akses listrik, dan masih
banyak dari penduduk Indonesia yang belum bisa mendapatkan
fasilitas dasar penyelenggaraan pendidikan yang baik. Tingkat
pengangguran terselubung juga sangat tinggi, yaitu sekitar 37 juta
orang.
Rakyat Indonesia masih belum berdaulat dalam bidang politik,
berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam bidang
kebudayaan. Rakyat Indonesia masih belum bisa menjadi “tuan” di
negerinya sendiri. Dalam cengkeram neokolonial‐imperialisme,
Indonesia hanya dijadikan empat sumber, yaitu: 1. Secara geopolitik,
posisi Indonesia sangat strategis di kawasan Asia Pasifik dan Selat
Malaka, serta secara ekonomi, Indonesia adalah negara yang sangat
kaya dengan sumber daya alam dan mineral, baik di darat maupun di
laut. Kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa ini jelas sangat
menggoda negara‐negara imperialis untuk menguasainya, sehingga
Indonesia menjadi pemasok sumber bahan baku bagi industri di negeri‐
negeri imperialis; 2. Penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa
merupakan sumber buruh murah; dan 3. Pasar potensial bagi produk‐
produk negara‐negara industri; 4. Serta yang paling penting adalah
kapital‐finansial mereka yang menggurita dan merajalela di bumi
Indonesia dengan laba atau keuntungan yang berlipat‐lipat ganda.
Marxisme adalah senjata perjuangan untuk membongkar dan
mengubah itu semua. Bukankah para founding fathers kita di saat mereka
berjuang untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkeraman
kolonialisme‐imperialisme sangat dipengaruhi oleh Marxisme. Bung
Karno dengan berani menyatakan bahwa, “Nasionalisme di dunia
Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan Marxisme itu, menjadi satu
nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu itikad baru, satu senjata
perjuangan yang baru, satu sikap hidup yang baru.”
xliv | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Haji Misbach tanpa malu‐malu menyatakan dirinya adalah murid
dari Karl Marx dan mencela kapitalisme sebagai biang kehancuran nilai‐
nilai kemanusiaan. Baginya, melawan kapitalisme dan pengikutnya
sama dengan berjuang melawan setan. Begitu juga dengan Ki Hajar
Dewantara yang memiliki keterkaitan erat dengan perjuangan kaum
buruh sedunia. Ia menerjemahkan syair Internasionale dari bahasa
Belanda ke bahasa Indonesia dan dikenal luas di seluruh Indonesia.
Sadurannya tersebut kemudian dipopulerkan oleh para pemimpin
Partai Komunis Indonesia selama tahun 1951—1965.
Untuk memahami Marxisme lebih dalam lagi, buku yang ditulis
oleh Suar Suroso sangat layak untuk dijadikan referensi. Pengalaman
yang didapatkan penulis sangat kaya yang didapatkan langsung dari
dalam maupun luar negeri, khususnya dari URSS dan RRT. Dengan
diterbitkannya buku Pikir Itu Pelita Hati oleh Penerbit ULTIMUS maka
akan memperkaya khazanah kita akan perkembangan teori dan praktek
Marxisme khususnya di bidang filsafat. Buku ini bisa menjadi pintu
gerbang bagi para pembaca pemula Marxisme. Melalui buku ini, kita
bisa menimba ilmu mengenai ajaran‐ajaran Karl Marx dan para
muridnya, apakah itu Vladimir Ilyich Lenin, Joseph Stalin, Mao Zedong,
hingga Deng Xiaoping. Belajar dari para founding fathers kita,
menunjukkan bahwa mempelajari dan menerapkan ajaran guru‐guru
besar klas pekerja sedunia bukanlah dosa, malahan sebuah tugas suci
dan mulia.
Jakarta, Januari 2015
Darwin Iskandar
Daftar Isi | xlv
DAFTAR ISI
Pengantar Penulis —— v
Sekapur Sirih—Koesalah Soebagyo Toer —— xi Sambutan—Yoseph Tugio Taher —— xiii
Sambutan—Ibrahim Isa —— xxi Sambutan—Chalik Hamid —— xxv
Catatan Editor—Marxisme Tidak Usang dan Komunisme Tidak Mati —— xxxi
Pikir Itu Pelita Hati Ilmu Berpikir Mengubah Dunia: dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping
I
Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa —— 3
1. Mao Zedong Difitnah Menghasut Aidit —— 3 2. PKI Dituduh sebagai Dalang G30S —— 8
3. Mengeramatkan Pancasila Jadi Berhala “Pancasila Sakti” —— 9 4. Budaya Main Kuasa Akar Pembiadaban Bangsa —— 10
II
Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara: dari Animisme sampai Kebatinan Jawa —— 19
1. Permulaan Manusia Berpikir adalah Secara Materialis —— 19
2. Munculnya Mistisisme —— 21 3. Hinduisme —— 24 4. Buddhisme —— 31
5. Bhinneka Tunggal Ika —— 36 6. Mistisisme Islam —— 38
7. Sufisme —— 45 8. Manunggaling Kawula-Gusti —— 47
9. Kebatinan Jawa, Kejawen —— 50 10. Dari Islam Mistik Sufisme sampai Islam Modernis Anti-Komunisme —— 52
11. Pengaruh Tiongkok atas Perkembangan Pikiran di Indonesia —— 64
xlvi | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
III Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika —— 83
1. Bung Karno dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1926)
dan Pancasila (1945) —— 83 2. Analysis (1947) —— 88
3. Tan Malaka: Madilog (1951) —— 98 4. Njoto: Marxisme Ilmu dan Amalnya (1962) —— 107
5. D.N. Aidit, Tentang Marxisme (1964) —— 118
IV Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok: dari Lao Zi sampai Wang Zhong —— 145
1. Materialisme Tiongkok Kuno —— 145
2. Daoisme, Lao Zi (604—531 SM) —— 147 3. Kong Hucu —— 155 4. Yang Zhu —— 158 5. Zhuang Zi —— 159
6. Mo Zi —— 163 7. Meng Zi —— 165 8. Xun Zi —— 166 9. Han Fei —— 167
10. Wang Zhong —— 168
V Materialisme India Kuno —— 171
1. Dimulai dengan Materialisme —— 171
2. Hinduisme —— 173 3. Filsafat Aliran Samkhya —— 174
4. Dualisme Prakriti dan Purusha —— 176 5. Purusha —— 177 6. Prakriti —— 177
7. Upanisyad —— 178 8. Vaisyesika —— 178 9. Teori Atom —— 181 10. Jainisme —— 182
11. Buddhisme —— 184 12. Aliran Materialis Charvaka —— 185
VI
Filsafat Yunani Kuno: dari Thales sampai Lukretius —— 187
1. Thales —— 187 2. Anaximander —— 187 3. Anaximenes —— 188 4. Herakleitos —— 189 5. Anaxagoras —— 190 6. Demokritos —— 190
Daftar Isi | xlvii
7. Socrates —— 191 8. Aristoteles —— 193 9. Epikurus —— 198
10. Titus Lukretius Carus —— 201
VII Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah —— 205
1. Pikiran Bertolak dari Kenyataan —— 205
2. Dari Antroposentris sampai Heliosentris ——209 3. Hakikat Teori Relativitas Einstein Materialistis —— 210
4. Pemenang Hadiah Nobel Fisika 2012 —— 214 5. Kemajuan Ilmu, Demonstrasi Kemenangan Materialisme —— 215
VIII
Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek —— 221
1. Agnostisisme —— 221 2. Materialisme —— 223
IX
Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia —— 231
1. Sebelas Tesis tentang Feuerbach —— 231 2. Empiriokritisisme Anti Materialisme Dialektis —— 240
X
Dialektika: dari Herakleitos, Lewat Hegel, Marx–Engels dan Lenin, sampai Mao Zedong —— 245
XI
Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu —— 253
XII Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok —— 259
XIII
Hukum Negasi dari Negasi —— 265
XIV Hukum Peralihan: Perubahan-Perubahan
Kuantitatif Menjadi Perubahan Kualitatif —— 271
XV Materialisme Historis:
Penerapan Materialisme Dialektis dalam Ilmu Kemasyarakatan —— 279
1. Kehidupan Sosial Menentukan Pikiran Manusia —— 279 2. Cara Produksi —— 280
xlviii | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
3. Formasi Ekonomi Masyarakat —— 283 4. Alienasi dan Penghisapan —— 285
5. Negara dan Diktatur Proletariat —— 285 6. Revolusi Sosial —— 288
XVI
Marxisme–Leninisme —— 291
1. Tentang Kapitalisme Negara di Bawah Diktatur Proletariat —— 298 2. Kejayaan Marxisme–Leninisme —— 302
XVII
Pikiran Mao Zedong —— 303
XVIII Polemik Anti-Revisionisme Modern
dalam Gerakan Komunis Internasional —— 315
XIX Trotskisme sampai Internasionale IV —— 323
XX
Kritik-Kritik atas Marxisme —— 333
1. Marxisme dalam Ujian —— 333 2. Revisionisme Yugoslavia —— 334
3. Kritik atas Kultus Individu Stalin —— 336 4. Euro-Komunisme Mencampakkan Marxisme–Leninisme —— 338
XXI
Pasca-Marxisme —— 343
1. Mazhab Frankfurt —— 343 2. Louis Pierre Althusser —— 347
3. Jacques Derrida —— 353 4. Alain Badiou —— 355
5. Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno —— 359 6. Jurgen Habermas —— 361
XXII
Marxisme Bukannya Punah: Berkembang Maju dengan Teori Deng Xiaoping —— 367
Daftar Pustaka —— 395 Biodata Penulis —— 403
Pikir Itu Pelita Hati
Ilmu Berpikir Mengubah Dunia:
dari Marxisme sampai Teori Deng Xiaoping
2 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 3
I
Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa
1. Mao Zedong Difitnah Menghasut Aidit
PADA tahun 1965, dengan meletusnya Peristiwa 30 September/Gestapu
1965, Indonesia berubah wajah. Dari negara mercusuar anti‐
imperialisme menjadi antek imperialis mengekor Amerika Serikat.
Indonesia dilanda musibah berdarah pembantaian manusia tak berdosa,
pembasmian kaum komunis, pelarangan Partai Komunis Indonesia, dan
berdirinya rezim diktator orde baru yang digembongi oleh Soeharto.
Menurut Victor Miroslav Fic, asal‐usul Gestapu 1965 justru terjadi
di Zhongnanhai Peking, Cina, antara Aidit—Mao pada tanggal 5
Agustus, menyusul kabar kesehatan Presiden yang memburuk: jatuh
pingsan sebanyak 4 kali pada tanggal 4 Agustus dan muntah‐muntah
sebanyak 11 kali akibat gangguan ginjal. Para dokter Cina yang
merawatnya yakin bahwa satu serangan lagi, dapat saja membuat
Presiden meninggal atau lumpuh. Alhasil, suksesi menjadi persoalan
mendesak yang tak terelakkan, karena pasti terjadi perebutan kekuasaan
yang berdarah‐darah antara PKI dan Angkatan Darat yang selama ini
berseteru.
Nasihat Mao adalah: “Habisi para jenderal dan perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat lalu akan menjadi seekor naga yang tak berkepala dan akan mengikutimu....” Dari Cina, Aidit begitu tiba di bandara, langsung menghadap Presiden tanggal 7 dan 8 Agustus 1965.... Isi perjanjian rahasia antara Soekarno—Aidit—Mao, yang salah satunya Presiden akan
4 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
beristirahat panjang dengan alasan kesehatan di sebuah tempat yang nyaman di Danau Angsa Cina.1
Dalam buku berjudul Mao: Kisah‐Kisah yang Tak Diketahui, Jung
Chang dan Jon Halliday menulis:
Setelah Konferensi Asia–Afrika di Aljazair dibatalkan, dengan hati panas Mao menggerakkan PKI untuk merebut kekuasaan. Rencananya adalah membunuh para jenderal angkatan darat yang anti-komunis, yang boleh dikatakan tidak dapat dipengaruhi oleh Presiden Soekarno yang pro-Peking. Peking selalu menekan Soekarno untuk melakukan perombakan radikal di kalangan angkatan darat, dan dengan dukungan Soekarno, PKI cukup sukses menyusup masuk ke tubuh angkatan darat. PKI yakin, bahkan terlalu optimis, bahwa secara rahasia ia dapat mengontrol lebih dari setengah angkatan darat, dua pertiga angkatan udara, dan sepertiga angkatan laut. Menurut rencana itu, begitu para jenderal dibantai, komunis akan mampu menguasai angkatan darat, mungkin dengan Soekarno yang untuk sementara memainkan peran sebagai pemimpin boneka. Di awal bulan Agustus, Aidit datang ke China dan bertemu dengan Mao. Kemudian Aidit kembali ke Indonesia bersama tim dokter China, yang beberapa hari kemudian melaporkan bahwa Presiden Soekarno (yang pro-Peking), menderita sakit ginjal parah, dan diperkirakan hidupnya takkan lama lagi; karena itu, jika PKI ingin bertindak, sekaranglah saatnya. Pada tanggal 30 September sekelompok perwira menangkap dan membunuh Panglima Angkatan Darat Indonesia dan lima jenderal lain. Berbicara kepada Ketua Partai Komunis Jepang, Miyamoto, tak lama setelah peristiwa itu, Mao menyebut kudeta itu sebagai kebangkitan ... Partai Komunis Indonesia.2
1 Victor M. Fic, Kudeta 1 Oktober 1965, Yayasan Obor Indonesia, September 2005, sampul buku. 2 Jung Chang, Jon Halliday, 2007, Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.651. Prof. Andrew Nathan dari Columbia University mencatat bahwa “banyak penemuan mereka berasal dari sumber yang tidak jelas, sedangkan yang lainnya bersifat spekulatif atau didasarkan pada bukti-bukti tak langsung, dan beberapa hal tidaklah benar.” Demikian pula, Prof. Jonathan Spence dari Universitas Yale berpendapat di New York Review of Books bahwa “penulis berfokus untuk merusak Mao di mana banyak kekuatan cerita mereka
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 5
Tulisan M. Fic dan Jung Chang adalah fitnah terhadap Mao
Zedong menghasut Aidit untuk membunuh para jenderal Angkatan
Darat Indonesia. Tulisannya tidak berdasarkan kenyataan yang bisa
dibuktikan. M. Fic mendasarkan pendapatnya atas surat Aidit yang
bertanggal 10 November 1965. Surat itu jelas adalah palsu. Pada surat
tersebut terdapat kejanggalan‐kejanggalan:
1. Kepala surat berjudul Central Comite Partai Komunis Indonesia. PKI tidak memakai istilah Central Comite, tapi Comite Central.
2. Kalimat pertama surat berbunyi: Kawan seperjuangan kaum
Marxis/Leninis. Dalam berkorespondensi, CC PKI tidak biasa
menggunakan kalimat ini. PKI tidak biasa menuliskan istilah
Marxis/Leninis, tetapi Marxis‐Leninis.
3. Kalimat yang berbunyi “telah kami perhitungkan, namun jelas
semua tindakan kaum reaksioner khususnya Dewan Jenderal dapat
mengecilkan anggota Partai yang masih belum berpengalaman.”
Kalimat ini tidak bisa dipahami isinya. Sesuatu yang tak
mungkin ditulis D.N. Aidit yang rapi bahasa Indonesianya.
4. Surat ini adalah surat pribadi D.N.Aidit, tetapi menggunakan
kalimat: “3. Karena itu sekali lagi CC Partai menandaskan,
semua....” Ini adalah janggal.
5. Kalimat “bahwa 30 September ‘En Rimpel in’t grote Ocean’”
adalah bahasa Belanda yang salah ejaannya, memberi
pengertian lain, satu kecerobohan tak mungkin atau sulit
dilakukan oleh D.N. Aidit.
mungkin tidak ada.” Pada bulan Desember 2005, surat kabar The Observer menyatakan bahwa banyak kalangan akademisi secara luas mempertanyakan akurasi faktual beberapa klaim dari Chang dan Halliday. David S.G. Goodman, profesor di bidang ilmu politik Tiongkok dari University of Sydney menulis dalam The Pacific Review bahwa Mao: The Unknown Story, seperti contoh lain dari sejarah revisionis, tersirat bahwa ada “konspirasi akademisi dan sarjana yang telah memilih untuk tidak mengungkapkan kebenaran.” Goodman juga mempertanyakan metodologi dan penggunaan sumber serta kesimpulan tertentu yang diambil oleh Chang dan Halliday. Begitu pula profesor sosiologi di University of Southern California, Robert Weil, menerbitkan buku To be Attacked by the Enemy is a Good Thing yang mencoba mengekspos motif berbahaya dari Chang dan Halliday menulis buku tersebut dan masih banyak para sarjana Barat yang mengkritik habis-habisan buku tersebut.
6 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
6. Kalimat: “Bila ketua berhijrah ke tetangga maka....” Untuk
kata pengganti dirinya, adalah janggal jika D.N. Aidit
menggunakan istilah ketua.
7. Dalam suratnya ini, D.N. Aidit menggunakan ejaan DJ
sebagai singkatan Dewan Jenderal, mestinya adalah DD.
Karena itu, dengan sekian banyak kejanggalan dan kesalahan,
surat D.N.Aidit tanggal 10 November 1965 ini adalah palsu. Maka
isinya tak mungkin bisa dipercaya kebenarannya. Padahal isi surat itu
adalah sangat penting: menyangkut keterlibatan Bung Karno,
Subandrio, dan negara tetangga.
Memperkuat pandangannya, Fic menggunakan Dokumen No.3
dengan kepala surat “KOMITE‐CENTRAL PARTAI KOMUNIS
INDONESIA, KRAMAT RAYA 81 JAKARTA IV/4, Tel. 448227”. Pada
dokumen ini juga ada kejanggalan‐kejanggalan. Nomor telepon adalah
salah. Istilah KOMITE‐CENTRAL, bukanlah ejaan yang biasa dipakai
oleh PKI. Yang dipergunakan bagi kepala surat dari amplop resmi CC
PKI adalah:
COMITE CENTRAL PARTAI KOMUNIS INDONESIA Kramat Raja 81 – Djakarta IV/4 Telp: 4927 Gambir.
Victor M. Fic menggunakan surat bertanggal 28 September ’65,
jadi sebelum terjadinya Peristiwa 30 September, tetapi sudah memberi
petunjuk untuk pembubaran partai, persembunyian senjata, cara‐cara
upacara pembubaran partai di hadapan instansi pemerintah. Ini semua
sungguh tidak masuk akal. Bahkan surat ini sudah menggunakan Ejaan
Baru Yang Disempurnakan. Karena itu, surat ini adalah palsu.
Victor M. Fic secara licik menggunakan metodologi eklektika dalam
melakukan pemalsuan sejarah. Dipergunakannya sederetan fakta yang
memang terjadi dalam kenyataan. Seperti pada 5 Agustus 1965, Aidit
bertemu dengan Mao Zedong di Zhong Nanhai. Namun isi
pembicaraannya dikarang sendiri oleh Fic, oleh karena itu kebenarannya
tidak bisa dibuktikan. Lebih‐lebih lagi adalah tidak masuk akal di mana
dalam pembicaraan tersebut, Mao Zedong memerintahkan Aidit segera
membunuh para jenderal pucuk pimpinan Angkatan Darat Indonesia.
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 7
Adalah benar bahwa Aidit pulang ke Jakarta dan segera menemui Bung
Karno melapor. Namun isi laporannya dikarang sendiri oleh Fic, oleh
karena itu kebenarannya tidak dapat dibuktikan.
Jung Chang memfitnah Mao Zedong memulai gerakan Peristiwa
1965 di Indonesia, menyatakan bahwa Mao lah yang harus disalahkan.
Jung Chang mendasarkan tulisannya pada keterangan dari Kenji
Miyamoto, Ketua Partai Komunis Jepang (PKJ), yang menyatakan
bahwa Mao Zedong sering mendesak Partai Komunis Jepang dan
Indonesia untuk melakukan pemberontakan.
Jung Chang menggunakan Kenji Miyamoto untuk mendukung
pandangan‐pandangannya, yaitu dengan menyalahkan Mao Zedong
dan D.N. Aidit. Kenji Miyamoto adalah Ketua Partai Komunis Jepang
semenjak kongres nasionalnya tahun 1958. Di bawah kepemimpinannya,
PKJ meninggalkan garis Snazo Nosaka yang berpegang teguh pada jalan
revolusioner untuk memenangkan sosialisme di Jepang. Sanzo Nosaka
telah berjasa membangun persahabatan antara PKJ dan PKT. Di bawah
kepemimpinan Kenji Miyamoto, garis Sanzo Nosaka dicampakkan,
hubungan PKJ dan PKT menjadi rusak. Demikian buruknya hubungan
kedua partai hingga di mata pimpinan PKT, Kenji Miyamoto adalah
pengkhianat Marxisme–Leninisme yang memalukan.
Oleh karena itu, adalah sulit mempercayai kebenaran dari ucapan
Kenji Miyamoto mengenai tindak‐tanduk Mao Zedong, terutama
mengenai pandangan Mao Zedong tentang PKJ dan PKI. Tak bisa
dibuktikan kebenaran bahwa Mao Zedong sering mendesak PKJ dan
PKI untuk melakukan pemberontakan. Dengan sikap‐sikap PKJ di
bawah kepemimpinan Kenji Miyamoto yang tegas menegasi dan
menentang ajaran diktatur proletariat dari Marx, mencampakkan
Marxisme–Leninisme, maka jelas‐jemelas Kenji Miyamoto mengambil
sikap berlawanan dengan pandangan‐pandangan Mao Zedong. Oleh
karena itu, mudah dimengerti bahwa Kenji Miyamoto menggunakan
kesempatan wawancara dengan Jung Chang untuk mendiskreditkan
Mao Zedong dan D.N. Aidit yang tangguh membela pandangan‐
pandangan PKT dan Mao Zedong.
Terdapat perbedaan mencolok antara tulisan Fic dan Jung Chang
mengenai soal kedatangan dan laporan dokter Tiongkok yang merawat
Bung Karno mengenai keadaan sakitnya Bung Karno. Maka tulisan‐
tulisan Fic dan Jung Chang adalah fitnah semata‐mata terhadap Mao
8 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Zedong dan Aidit dalam hubungannya dengan Peristiwa G30 September.
2. PKI Dituduh sebagai Dalang G30S
PROF. Nugroho Notosusanto adalah pendukung tangguh rezim orde
baru Soeharto. Dengan lantang ia membela pendirian bahwa PKI adalah
dalang G30S. Pandangannya dipaparkan bersama Ismail Saleh dalam
buku The Coup Attempt of the “September 30 Movement” in Indonesia.
Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa “karena alasan‐alasan
ideologi, jelaslah kalangan agama dengan sendirinya dianggap musuh
oleh PKI. Namun PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang
utama, bukan saja karena tentara merupakan ancaman fisik terhadap
partai, tetapi juga atas dasar ideologi. Komunisme adalah asing bagi
ideologi negara, Pancasila. Komunisme berdiri atas dasar perjuangan
klas dan bertujuan menggulingkan setiap pemerintah non‐komunis.
Pancasila berpendirian untuk kerja sama yang saling menguntungkan
dan toleransi. Dan satu dari lima prinsip Pancasila adalah percaya pada
satu Tuhan sedangkan komunisme berpendirian ateisme.”
Pandangan Nugroho Notosusanto ini adalah pemalsuan sejarah.
Tidaklah benar PKI menganggap tentara sebagai musuhnya yang
utama. Bukannya musuh, tetapi PKI menilai tinggi ABRI. D.N. Aidit
dalam kuliah di Seskoad menyatakan bahwa “Angkatan Bersenjata RI
adalah anti‐fasis, demokratis, anti‐imperialis, dan bercita‐cita Sosialisme
Indonesia. Ia adalah alat untuk mengabdi Revolusi Indonesia, untuk
mengubah masyarakat Indonesia dewasa ini menjadi masyarakat
Indonesia yang merdeka penuh dan demokratis sebagai landasan untuk
menuju ke sosialisme.”3
Nugroho mempertentangkan komunisme dengan ideologi
negara, Pancasila, padahal dalam Preambul Konstitusi PKI dinyatakan
“PKI menerima dan mempertahankan UUD 1945 yang dalam Pembukaannya
memuat Pancasila sebagai dasar‐dasar negara dan bertujuan membangun suatu
masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa Indonesia.”4
3 D.N. Aidit, Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas2 Revolusi, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1964, h.7. 4 Comite Central Partai Komunis Indonesia, AD–ART (Konstitusi) PKI, Jakarta, 1962, h.17.
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 9
Adalah benar bahwa PKI berjuang atas dasar perjuangan klas,
tetapi tujuannya bukanlah untuk menggulingkan setiap pemerintah
non‐komunis. Tujuan PKI dalam tingkat sekarang ialah mencapai sistem
demokrasi rakyat di Indonesia, sedangkan tujuan lebih lanjut ialah
mewujudkan sosialisme dan kemudian komunisme di Indonesia.
Pendirian Nugroho yang mempertentangkan Pancasila dengan
komunisme adalah salah, karena UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar
negara justru menjamin semua golongan dan aliran serta kepercayaan di
bawah naungan negara Republik Indonesia.
Tidak ada alasan yang membenarkan pernyataan Nugroho
bahwa komunisme adalah asing bagi ideologi negara, Pancasila.
Pancasila justru adalah alat pemersatu yang menghimpun segenap
aliran yang dianut bangsa Indonesia. Jelas‐jemelas, Pancasila bukanlah
asing bagi PKI, PKI bukan musuh Pancasila. Sejarah menunjukkan,
dalam sidang‐sidang Konstituante tahun 1955 sampai 1957, dalam
merumuskan dasar negara, PKI bersama PNI adalah partai yang
membela Pancasila sebagai dasar negara.
Dengan demikian tidak ada dasar pikiran Nugroho yang
membenarkan kesimpulannya, bahwa PKI adalah dalang G30S.
3. Mengeramatkan Pancasila Jadi Berhala “Pancasila Sakti”
PENGUASA orba melancarkan pembodohan dengan pembohongan lewat
pemaksaan, dengan menggunakan kekuasaan negara. Mengeramatkan
Pancasila, menyatakan Pancasila adalah sakti, mendirikan Museum dan
Monumen Pancasila Sakti, mengadakan peringatan tahunan Hari Kesaktian
Pancasila, adalah pembodohan bangsa dengan menggunakan kekuasaan.
Membangun tugu peringatan Pancasila Sakti di Lubang Buaya,
mewajibkan murid‐murid sekolah menonton film Pengkhianatan
G30S/PKI yang disutradarai Arifin C. Noer yang mempropagandakan
kebohongan, semuanya adalah pemalsuan sejarah yang membodohi
bangsa.
Menjadikan Pancasila sebagai sesuatu yang sakti dengan cara
mengeramatkan dasar negara adalah takhayul yang tidak ilmiah dan
tidak masuk akal. Memperingati Kesaktian Pancasila setiap tahun berarti
menjadikan Pancasila satu berhala, membohongi rakyat, memalsu
10 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sejarah bangsa.
Museum dan Monumen Pancasila Sakti tidak saja menjungkir‐
balikkan kenyataan sekitar Peristiwa 30 September, tetapi juga memalsu
peristiwa sejarah semenjak tahun 1945, bertujuan untuk menyalahkan
PKI. Ini ditunjukkan oleh pameran mengenai Peristiwa Tiga Daerah
Oktober 1945, Peristiwa Tjirebon Februari 1946, Peristiwa Pemogokan Buruh
Perkebunan Delanggu Juni 1948, Peristiwa Madiun 1948—pembasmian
kekuatan kiri oleh Pemerintah Hatta, Peristiwa Serangan atas Asrama
Polisi Tanjung Priok Agustus 1951, Peristiwa Tanjung Morawa 1953,
Peristiwa Banda Betsi Mei 1965, Peristiwa Rapat Raksasa Ulang Tahun PKI
ke‐45. Semua peristiwa sejarah ini dilukiskan tidak sesuai dengan
kenyataan, tetapi disalahgunakan untuk menyalahkan PKI sebagai
partai pemberontak yang merongrong kekuasaan Republik Indonesia.
Pemalsuan sejarah sungguh berkembang biak di bawah
kekuasaan orba Soeharto. Ini semua mengakibatkan pembodohan
bangsa.
4. Budaya Main Kuasa Akar Pembiadaban Bangsa
SEPERTIGA abad kediktatoran orba berkuasa, bersimaharajalelalah
budaya main kuasa. Berkat pengorbanan dan perlawanan rakyat, diktator
Soeharto terguling bangkrut. Namun budaya main kuasa masih berlanjut.
Main kuasa dibimbing cara berpikir yang carut‐marut. Sampai‐sampai
wanita dilarang kentut. Pembodohan melanda Indonesia. Dari
pembodohan meningkat ke pembiadaban.
Tanggal 14 April 2013, situs wadiyan.com memberitakan bahwa
“Perempuan Dilarang Kentut di Aceh”. Sebuah kota di Aceh akan
melarang warga perempuan buang angin (kentut). Kentut dianggap
tidak sesuai dengan nilai‐nilai kesopanan dalam syariah Islam.
“Perempuan muslim tidak diperbolehkan kentut bersuara, itu
bertentangan dengan ajaran Islam,” kata Sayyid Yahia, sang walikota.
Sanksi bagi perempuan yang kentut bersuara tidak main‐main.
Disebutkan bahwa bagi perempuan mana saja yang kentut bersuara
kecil akan menerima cambukan sebanyak 20 kali. Sementara jika suara
kentutnya keras akan dipenjara selama tiga bulan.
“Para pelacur adalah pahlawan,” demikian diucapkan oleh
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 11
Widya Kanti Susanti, Bupati Kendal, Jawa Tengah, kepada Kompas, 23
Januari 2014. Dipaparkannya bahwa mereka adalah pahlawan bagi
keluarganya, karena mereka bisa menghidupi dan memberi makan
keluarganya. Oleh karena itu, adalah tidak berperikemanusiaan apabila
rumah‐rumah bordil tersebut ditutup. Tindakan ini juga menimbulkan
masalah dalam pengentasan kemiskinan dan juga pengawasan atas
penyebaran penyakit kelamin yang tak terkontrol.
Ketua MUI Jawa Timur dalam kuliah subuhnya, Selasa 11
Februari 2014 di Masjid Al‐Akbar Surabaya, mengingatkan bahwa MUI
telah memfatwakan haram merayakan Hari Valentine.
Awal tahun 2013 di Lhokseumawe diberlakukan larangan bagi
para perempuan yang duduk mengangkang ketika naik sepeda motor.
Pada bulan April telah ditangkap dan ditahan 35 perempuan yang
duduk mengangkang ketika naik sepeda motor.
Larangan menari di depan publik bagi para perempuan dewasa
akan diterapkan di Kabupaten Aceh Utara menurut Bupati Aceh Utara,
Muhammad Thaib, karena perempuan dewasa menari di depan publik
bertentangan dengan syariat Islam. “Perempuan menari tarian apa pun
di depan laki‐laki itu bertentangan dengan hukum syariah,” ungkap
Muhammad Thaib, Sabtu 25 Mei 2013.
Pernah pula diberitakan bahwa di Bogor ada pimpinan sekolah
yang melakukan pemeriksaan atas keperawanan 3500 orang murid
perempuan. Perempuan ditempatkan pada kedudukan yang tak
nyaman dan tak setara dengan pria, sesuatu yang tidak adil. Semua ini
menunjukkan hal‐hal yang menggelikan, tak masuk akal pikiran waras
dan ilmiah. Paksaan lewat ketentuan‐ketentuan pemerintah, atau lewat
fatwa untuk mempercayai, membenarkan, dan mengikuti pikiran
demikian adalah pembodohan.
Di Aceh dilarang melakukan kegiatan menyambut Tahun Baru.
Di Banda Aceh, 31 Desember 2013, Polisi Syariah wilayah Aceh
merampas beribu‐ribu mercon dan terompet kadbod dalam satu serbuan
menyusul pelarangan menyambut malam Tahun Baru. Serbuan ke
tempat‐tempat yang menjual barang‐barang itu dilakukan pada malam
hari menyusul fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh yang
dikeluarkan pada 24 Desember 2013, yaitu melarang sambutan itu
diadakan dalam wilayah tersebut.
Di kompleks parlemen, Jakarta, Sabtu 25 Mei 2013, mantan
12 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Panglima TNI Jenderal (Purn.) Wiranto mengatakan, konflik masa lalu
tidak akan dapat membawa perubahan jika dibawa ke dalam konteks
kehidupan masa kini. Ia pun meminta kepada para anak korban konflik
politik masa lalu untuk melupakan apa yang telah terjadi. Yang telah terjadi
adalah pembantaian manusia tak berdosa oleh rezim militeris orba
Soeharto yang menyebabkan Indonesia sebagai mercusuar perjuangan
melawan imperialisme berubah warna menjadi pengekor negara
adikuasa Amerika. Melupakan hal ini berarti melupakan peristiwa
bersejarah yang maha‐kelam. Ini menyebabkan generasi muda tak kenal
bagian yang sangat penting dari sejarah bangsanya. Alangkah bodoh
generasi yang tak tahu bagian penting sejarah bangsanya sendiri.
Menganjurkan untuk melupakannya tak bisa lain adalah satu
pembodohan yang serius.
Pembodohan telah berlangsung di banyak bidang. Demikian
serius pembodohan ini sampai‐sampai lembaga tertinggi negara
menyatakan bahwa Bung Karno melakukan “pengkhianatan”. Akhir
Maret 2013, Rachmawati, putri Bung Karno, menampilkan gugatan atas
putusan MPR No.1 tahun 2003 yang menyatakan adanya pengkhianatan
Bung Karno. Merdeka.com pada Senin 25 Maret 2013 mempertanyakan
cap ʹpengkhianatʹ yang disematkan negara pada Bung Karno seperti
tertuang dalam Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(TAP‐MPR) Nomor 1/MPR/2003.
Jauh sebelum itu, ada yang menyatakan bahwa Bung Karno
menyelewengkan Pancasila karena menampilkan semboyan persatuan
nasional berporoskan nasakom. Dan rezim orba telah mengeramatkan
Pancasila dengan mendirikan tugu peringatan “Pancasila Sakti” di
Lubang Buaya. Pancasila adalah dasar negara, mana mungkin dasar
negara adalah sakti. Menyatakan Pancasila sakti, dasar negara adalah
sakti, sungguh satu pembodohan.
TAP MPRS No.25/1966 yang menyatakan dilarangnya PKI dan
penyebaran Marxisme–Leninisme di Indonesia, dimulai dengan
pertimbangan: “Bahwa faham atau ajaran Komunisme/Marxisme–
Leninisme pada inti hakikatnya bertentangan dengan Pancasila” dan
“Bahwa orang‐orang dan golongan‐golongan di Indonesia yang
mengenal paham atau ajaran Komunisme/Marxisme–Leninisme,
khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik
Indonesia telah nyata‐nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 13
kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan cara kekerasan.”5
Kenyataan menunjukkan bahwa di kala Konstituante macet
dalam merumuskan dasar negara, karena wakil‐wakil partai‐partai
Islam seperti Masyumi dan NU, serta PSI, menentang Pancasila menjadi
dasar negara, justru penganut Marxisme–Leninisme, yaitu PKI, yang teguh
membela Pancasila sebagai dasar negara dalam sidang‐sidang
Konstituante. Walaupun PKI bersama PNI tangguh membela Pancasila
sebagai dasar negara adalah mayoritas, tetapi jumlah suara mereka
tidak sampai dua pertiga. Maka Konstituante tidak berhasil
merumuskan Pancasila sebagai dasar negara.
Kongres Nasional VII PKI tahun 1962 memutuskan rumusan
dalam Konstitusinya, bahwa “PKI menerima dan mempertahankan
Undang‐Undang Dasar 1945 yang dalam Pembukaannya memuat
Pancasila sebagai dasar‐dasar negara dan bertujuan membangun satu
masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian bangsa
Indonesia.”6
Sejarah perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia
menunjukkan bahwa penganut Marxisme–Leninisme, kaum komunis
Indonesia, adalah kekuatan penting dalam merebut dan membela
kemerdekaan Indonesia, bahkan adalah pelopor dalam pemberontakan
melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa kaum komunis dengan kekerasan mau merobohkan
kekuasaan Republik Indonesia. Tuduhan dalam TAP MPRS Nomor
XXV/1966 itu adalah fitnah, pemalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah
membikin bangsa tak kenal sejarah yang sesungguhnya, adalah
pembodohan bangsa.
Buku Putih yang dikeluarkan Kopkamtib 1978 menyatakan bahwa
PKI tidak mempunyai peranan dalam Revolusi Agustus 1945. Padahal
keberadaan Perdana Menteri Amir Sjarifoeddin sampai tahun 1948
menunjukkan bahwa berkat peranan penting kaum komunis sebelum
dan dalam revolusilah yang menyebabkan tokoh komunis ini ikut
memimpin Republik Indonesia. Maka isi Buku Putih Kopkamtib adalah
salah satu bentuk pemalsuan sejarah.
Begitu terjadi Peristiwa 30 September 1965, semua surat kabar
dilarang terbit kecuali surat kabar Angkatan Darat, Berita Yudha dan
5 MPRS, 1966, Ketetapan Nomor XXV. 6 AD–ART (Konstitusi) PKI, CC PKI, Jakarta, 1962, h.17.
14 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Harian Angkatan Bersenjata. Kedua koran ini secara besar‐besaran
mempropagandakan bahwa para perempuan anggota Gerwani
bertelanjang melakukan tarian Harum Bunga, menyilet kemaluan dan
mencongkel mata para jenderal yang terbunuh di Lubang Buaya.
Ketika laporan penyelidikan Komnas HAM tentang pelanggaran
HAM dalam pembunuhan massal di tahun‐tahun 1965 dan 1966
diumumkan, Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan, mengatakan bahwa pembunuhan itu dibenarkan
untuk menyelamatkan negara dari komunisme. Dan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sekarang menyuarakan mitos rezim orde baru,
bahwa pembunuhan itu dibenarkan demi menyelamatkan negeri dari
komunisme.7
Justru yang terjadi adalah: bukan hanya pembasmian atas kaum
komunis Indonesia, tetapi adalah pembantaian atas manusia tak
berdosa. Pembunuhan atas manusia tak berdosa di bawah kekuasaan
rezim orba Soeharto adalah tindakan biadab. Membenarkan tindakan
demikian, bukanlah lagi pembodohan tapi adalah pembiadaban bangsa.
Profesor Nugroho Notosusanto mengajarkan bahwa Pancasila
bukanlah hasil galian Bung Karno. Alasannya adalah: Pancasila yang
dipersoalkan ialah Pancasila dasar negara, sebelum Bung Karno sudah
ada beberapa pembicara, antara lain Mr. Muhammad Yamin dan Prof.
Soepomo yang mengajukan pandangan mengenai dasar negara. Karena
itu, bukanlah Bung Karno yang mengajukan gagasan tentang dasar
negara. Di sini Prof. Nugroho membuang kenyataan bahwa hanya Bung
Karno yang mengajukan rumusan Pancasila sebagai dasar negara,
walaupun Yamin dan Soepomo memaparkan masalah dasar negara
lebih dulu dari Bung Karno. Menyatakan Pancasila bukan hasil galian
Bung Karno adalah pemalsuan sejarah, adalah satu pembodohan.
Rasialisme anti‐Tiongkok bersimaharajalela di bawah kekuasaan
rezim orba Soeharto. Rakyat dilarang merayakan Hari Raya Imlek, hari
raya tradisional Rakyat Tiongkok yang juga dijunjung oleh warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa secara turun‐temurun. Di
samping itu dilarang menggunakan huruf Tionghoa dan penerbitan
dengan menggunakan huruf Tionghoa, dilarang adanya sekolah‐sekolah
Tionghoa yang sudah turun‐temurun di Indonesia. Bahkan nama
7 James Balowski, Direct Action For Socialism in the 21st Century, majalah Revolutionary Socialist Party (RSP), Australia, 22 Oktober 2012.
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 15
pribadi yang menggunakan nama Tionghoa diminta diganti dengan
nama Indonesia.
Dalam rangka kampanye rasialis anti‐Tiongkok, rezim orba
secara resmi menyatakan bahwa “Dilihat dari sudut nilai‐nilai etnologis‐
politis dan etimologis‐historis, maka istilah ‘Tionghoa/Tiongkok’
mengandung nilai‐nilai yang memberi asosiasi‐psikopolitis yang negatif
bagi rakyat Indonesia, sedang istilah ‘Cina’ tidak lain hanya
mengandung arti nama dari suatu dinasti dari mana ras Cina tersebut
datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itu pun tidak lepas dari
aspek‐aspek psikologis dan emosionil.”8
Dalam kenyataan, tidaklah benar bahwa istilah
“Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai‐nilai yang memberi asosiasi‐
psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia. Justru istilah Tiongkok
dan Tionghoa sudah berurat berakar dalam sastra Indonesia dan dalam
kehidupan politik Indonesia. Bahkan dalam Pasal 58 Undang‐Undang
Dasar Sementara Negara RI 1950 mencantumkan, “golongan‐golongan
kecil Tionghoa, Eropa, dan Arab, akan mempunyai wakil dalam Dewan
Perwakilan Rakyat.”9
Warga negara keturunan Tionghoa telah memainkan peranan
aktif dalam kehidupan politik Indonesia. Sejarah Indonesia mencatat
bahwa Partai Tionghoa Indonesia adalah sebuah partai politik di Indonesia
yang didirikan pada tanggal 25 September 1932, dengan Ketua Liem
Koen Hian. Pada periode 1935—1939, partai ini berhasil meraih satu
kursi terpilih dalam Volksraad (Dewan Rakyat Pemerintahan Belanda).
Justru dalam kehidupan bermasyarakat, istilah Cina jelas berkonotasi
penghinaan dan juga ejekan terhadap warga keturunan Tionghoa..
Di bawah kekuasaan orba, ada penguasa melakukan pembakaran
buku sejarah. Ada pimpinan sekolah yang mau memeriksa
keperawanan 3500 gadis muridnya. Ada fatwa bahwa “dangdutan” itu
haram. Para tenaga kerja perempuan yang bekerja di luar negeri, banyak
diperlakukan sebagai budak belian. Bahkan ada yang berangkat sehat,
pulangnya mayat. Sesudah jadi mayat, ada yang tak bisa segera diantar
pulang kampung. Ada yang terjun dari jendela lantai 15, tergelantung di
8 Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina No.SE-06/ Pres.Kab/6/1967. 9 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, cetakan ke-6, Jakarta, 1982, h.187.
16 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
angkasa untuk melarikan diri karena tak tahan siksaan majikan. Ada
yang pulang dalam keadaan sakit syaraf. Ada yang dihukum pancung
karena telah melawan disebabkan tak tahan atas siksaan dari majikan.
Marsinah gugur mati dibunuh secara kejam karena gigih membela hak‐
hak buruh perempuan.
Pada 1 Mei 2013, GATRAnews Jakarta memberitakan bahwa
hingga pada peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) tahun
2013, sebanyak 420 buruh migran asal Indonesia atau Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) terancam hukuman mati di Arab Saudi. “Migrant Care
mencatat, pada tahun 2013 sedikitnya 420 orang buruh migran (TKI)
masih terancam hukuman mati di Arab Saudi,” kata Direktur Eksekutif
Migrant Care, Anis Hidayah. Dari jumlah 420 orang tersebut, 99 orang di
antaranya sudah divonis hukuman mati. Bahkan, 2 dari 99 orang TKI
tersebut sudah dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi.
Sungguh satu pembodohan, para buruh migran yang diperlakukan
sebagai budak belian yang bekerja penuh penderitaan ini dipuja oleh
sementara kalangan sebagai pahlawan devisa.
Poligami dinyatakan dibenarkan, demi kepentingan kaum hawa.
Selama orba kuasa, sering dikoar‐koarkan bahwa Indonesia akan lepas
landas tahun 2000. Dengan menampilkan gagasan persatuan nasional
berporos nasakom, Bung Karno dituduh menyelewengkan Pancasila;
Bung Karno dituduh terlibat G30S; PKI dikutuk sebagai dalang G30S.
Sebentar‐sebentar dikobarkan histeria bahaya laten komunis. Peristiwa
Madiun dinyatakan sebagai pemberontakan PKI. Padahal dalam pidato
di depan sidang BP KNIP tanggal 20 September 1948, Perdana Menteri
Moh. Hatta menyatakan bahwa “PKI – Musso telah mengadakan coup,
perampasan kekuasaan di Madiun.... entah benar entah tidak, bahwa
Musso akan menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr. Amir
Sjarifoeddin perdana menterinya.”10
Walaupun pada masa kepresidenannya, Gus Dur dan Megawati
sudah berjasa dalam usaha melenyapkan diskriminasi, warga negara
etnis Tionghoa yang hidup turun‐temurun berbagai generasi di mana
tokoh‐tokohnya banyak berjasa dalam perjuangan merebut dan
membela kemerdekaan Indonesia, masih hidup dalam sasaran
penindasan diskriminasi dan tak aman dari ancaman penindasan
10 Mohammad Hatta: Mendayung Antara Dua Karang, Pidato di Muka Sidang BP KNIP 20 September 1948, Kementerian Penerangan RI, Jakarta, 1951, h.87.
I — Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa | 17
rasialis. Ini artinya tidak terjamin sebagai warga negara Indonesia
seutuhnya. Adalah bentuk kebohongan dengan menyatakan bahwa
warga negara etnis Tionghoa sudah tidak didiskriminasikan lagi. Dalam
praktek di lapangan, sampai sekarang ini masih dianak‐tirikan, seperti
dalam pelayanan birokrasi, termasuk untuk masuk dalam birokrasi.
Satu saat, ada pula yang mengoar‐koarkan: Pram membakar
buku. Sejarawan terkemuka Asvi Warman Adam menemukan bahwa
terjemahan Indonesia buku biografi Bung Karno karya Cindy Adams
yang diterbitkan dengan kata pengantar dari Soeharto, telah dikebiri
dengan menambah alinea yang berisikan kebohongan tentang Bung
Karno yang tidak suka kepada Bung Hatta.
Ada pembodohan lewat pembohongan kasar di siang bolong
seperti kampanye tuduhan Gerwani melakukan tari Harum Bunga,
menyanyikan Genjer‐Genjer di Lubang Buaya, orang‐orang Gerwani
menyilet kemaluan dan mencungkil mata para jenderal yang dibunuh
oleh Gerakan 30 September.
Ada pula pembohongan dengan menggunakan eklektisisme,
metode ilmiah‐gadungan, seperti yang dipraktekkan Prof. Nugroho
Notosusanto. Ia menerangkan bahwa Pancasila bukanlah hasil galian Bung
Karno. Eklektisisme bisa memesona, karena metode ini dalam
menjelaskan satu hal‐ihwal menggunakan sederetan data yang seakan‐
akan masuk akal, tapi dengan kesimpulan yang bertolak belakang
dengan kenyataan. Dengan cara beginilah, Prof. Nugroho Notosusanto
meyakinkan orang bahwa Pancasila bukan hasil galian Bung Karno.
Demikian pula halnya dengan tuduhan PKI adalah dalang G30S. Inilah
pembodohan tingkat tinggi, kerja intelektual “terpelajar” pengagum orba.
Para intelektual pendukung orba ini, secara internasional
mendapat dukungan dari para sejarawan gadungan seperti Antonie
C.A. Dake dengan karya‐karyanya In the Spirit of the Red Banteng dan
Soekarno Files; John Hughes dengan buku The End of Sukarno; Arnold C.
Brackman dengan The Communist Collaps in Indonesia dan Indonesia
Communism: A History; Victor M. Fic dengan karya Kudeta 1 Oktober 1965:
Sebuah Studi Tentang Konspirasi; karya Jung Chang dan Jon Halliday,
Mao: Kisah‐Kisah yang Tak Diketahui; serta sejarawan asing lain yang
mengebiri sejarah Indonesia dengan fitnah terutama dalam
menghitamkan Bung Karno.
Dari pembodohan lewat menetapkan hal‐hal sehari‐hari yang tak
18 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
masuk akal, berkembang menjadi fitnah pemalsuan sejarah bangsa. Maka
pembodohan akan melahirkan kehidupan jahiliah, akan bermuara pada
pembiadaban bangsa. Pembohongan dan pembodohan berlangsung demi
penggulingan Presiden Soekarno dan menegakkan serta memelihara
kediktatoran orba Soeharto yang biadab.
Sungguh banyak tersiar kebohongan lainnya. Inilah hasil
pembodohan di zaman orba. Pembodohan terjadi dan bersimaharajalela
karena rakyat tidak dipersenjatai dengan cara berpikir yang ilmiah,
tetapi dicekoki dengan pembudakan yang serba‐harus‐percaya. Rakyat tidak
dididik untuk terbiasa berpikir berdasarkan mencari kebenaran dari
kenyataan.
Mulai dari tindak‐tanduk dalam hidup sehari‐hari, sampai pada
tindakan besar yang mengubah alam dan masyarakat serta menciptakan
sesuatu yang baru. Manusia bertindak dibimbing oleh pikirannya.
Pikiran lahir sebagai hasil kerja otak yang berpikir. Cara berpikir yang
ngawur, melahirkan pikiran yang carut‐marut. Diperlukan cara berpikir
yang tepat dan ilmiah untuk mendapatkan pikiran yang tepat.
Betapapun bersimaharajalelanya pembodohan sampai sekarang,
pencerahan akan terus berlangsung. Kebebasan berpikir dan bersuara
akan berkembang. Pembohongan‐pembohongan dan segala macam
fitnah akan kian tertelanjangi. Untuk itu, satu‐satunya jalan ialah
mendorong maju rakyat berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah berarti mencari
kebenaran dari kenyataan. Segala‐galanya bertolak dari kenyataan. Inilah
pandangan materialisme.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 19
II
Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara:
dari Animisme sampai Kebatinan Jawa
1. Permulaan Manusia Berpikir adalah Secara Materialis
PEMBODOHAN di Indonesia masih terjadi meskipun sudah memasuki
akhir abad ke‐20 dan awal abad ke‐21 di mana globalisasi mengalami
perkembangan yang sangat pesat dibandingkan abad‐abad sebelumnya.
Dunia telah maju meninggalkan zaman jahiliah. Dunia telah mencatat
kemenangan‐kemenangan akal, kemenangan‐kemenangan pikiran
waras, ilmu pengetahuan, kemenangan besar materialisme. Manusia kian
mengenal dan menguasai hukum‐hukum alam semesta. Ilmu
pengetahuan berkembang pesat di semua bidang. Mulai dari
matematika, fisika, kimia, biologi, genetika, astronomi, ilmu kedokteran,
pertanian, penerbangan antariksa, dan teknik informasi. Ilmu
pengetahuan maju berkembang berkat hasil‐hasil penelitian
berdasarkan kenyataan. Mencari kebenaran dari kenyataan kian
mempersenjatai manusia untuk mengenal dan menguasai hukum alam
semesta. Pandangan mencari kebenaran dari kenyataan adalah materialisme.
Semenjak lahir dari kandungan ibu, manusia mulai menyusu,
mengenal dan meraba untuk menghisap buah dada ibu, mulai melihat,
mengenal keadaan sekitar menurut apa adanya, menurut kenyataan.
Manusia mulai menggunakan otak, membedakan benda‐benda yang
ditemui, manusia berpikir secara materialis.
Hidup dalam alam terbuka, manusia berkenalan dengan suasana
sekelilingnya. Dari melawan haus dan lapar, melawan kedinginan dan
20 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kepanasan, manusia jadi berbuat, bertindak menggunakan tangan,
melakukan kerja. Dengan kerja berusaha mendapatkan atau menciptakan
sesuatu yang dibutuhkan: mulai dari mencari air untuk minum,
memetik buah untuk makan, bercocok tanam, menangkap ikan,
berburu, merajut pakaian, membangun perumahan; sampai
membangun irigasi untuk pertanian, memelihara ternak, dan
sebagainya. Dimulai dari mengenal, diikuti dengan berusaha mengubah
dan akhirnya adalah menguasai alam.
Dengan menggunakan tangan, manusia mulai melakukan kerja
badan. Syaraf‐syaraf pun berfungsi sebagai alat perasa. Kerja syaraf
menimbulkan perasaan. Pusat syarat, otak pun berfungsi, bekerja
melahirkan pikiran. Jadi, kerja otot diiringi oleh kerja syaraf sampai kerja
otak. Kerja otak adalah berpikir; maka kerja badan atau kerja fisik
menyebabkan manusia berpikir. Dengan berpikir lahirlah pikiran. Berpikir
itu adalah kerja, hasilnya adalah pikiran. Pikiran adalah hasil
pencerminan kenyataan. Pikiran yang bersumber atau bertolak dari
kenyataan adalah materialis. Cara memandang hal ihwal dengan
bertolak dari kenyataan adalah materialisme. Semenjak manusia mulai
berpikir sudah menggunakan pandangan materialis
Hujan lebat menyebabkan sungai membludak hingga terjadi
banjir yang menyengsarakan manusia. Tak kuasa mengatasi musibah
banjir, manusia akhirnya mengeramatkan dan menyembah sungai. Petir
halilintar menimbulkan kebakaran hutan. Tak berdaya mengatasi
musibah karena api, manusia akhirnya menyembah api sebagai benda
keramat. Di samping menimbulkan musibah, api juga berguna bagi
kehidupan. Ketidakmampuan manusia mengatasi musibah alam
menyebabkan lahirnya pikiran yang percaya akan kekuatan gaib.
Karena tidak bisa mengatasi keperkasaan api, akhirnya manusia
menyembah api. Percaya akan kesaktian gunung berapi, manusia
akhirnya menyembah gunung berapi.
Dari hal‐hal sederhana dalam kehidupan sehari‐hari, pikiran
manusia berkembang maju. Ungkapan‐ungkapan dari nenek moyang
kita sudah menunjukkan kearifan dalam berpikir. Seperti “patah tumbuh
hilang berganti”, menunjukkan kearifan akan pemahaman terjadinya
perubahan mengikuti hukum dialektika negasi dari negasi. “Main air basah,
main api letup”, menunjukkan pemahaman akan adanya saling
hubungan dan berlakunya hukum sebab‐akibat. “Berat sama dipikul, ringan
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 21
sama dijinjing” menunjukkan kearifan hidup bersama, koletivisme. “Duduk
seorang bersempit‐sempit, duduk banyak berlapang‐lapang” artinya jika
duduk seorang diri kurang dapat pikiran yang benar, tetapi kalau
bersama‐sama dapat bermusyawarah. Begitu pula dalam pekerjaan,
kalau dikerjakan seorang berasa berat, tetapi kalau bersama menjadi
ringan. “Gabak di hulu tanda kan hujan, cewang di langit tanda kan panas”,
sesuatu tanda menunjukkan hal yang akan datang, sebab itu hendaklah
ingat‐ingat lebih dahulu; berarti sudah bisa meramalkan yang akan
datang. “Terkilat ikan dalam air, sudah tahu jantan betinanya” menunjukkan
kearifan dalam mengenal yang hakiki dari gejala yang tampak. “Lambat
laga asalkan menang” menunjukkan kearifan yang penuh kesabaran
dalam berusaha mencapai tujuan. Biar lambat, asal maksud tercapai.
Sejumlah ungkapan dan petuah nenek moyang kita ini
menunjukkan adanya pikiran berdasarkan kenyataan, adanya unsur‐unsur
materialisme dan dialektika dalam berpikir.
2. Munculnya Mistisisme
NAMUN dalam perkembangan, perasaan memainkan peranan dalam
mengatur pikiran. Perasaan sedih, takut, khawatir, ketidakmampuan
dalam mengatasi kesulitan, melahirkan sesuatu dalam pikiran,
melahirkan khayalan yang tak berdasarkan kenyataan. Khayalan telah
menjadi menguasai pikiran, akhirnya menjadi kepercayaan. Manusia
akhirnya mempercayai sesuatu tanpa dasar kenyataan. Kepercayaan yang
lahir dari perasaan belaka: percaya pada adanya kekuatan gaib, setan
siluman, sesuatu yang dibayangkan, sesuatu yang ada dalam bayangan.
Maka manusia yang demikian menjadi manusia yang menganut
kepercayaan Animisme.11 Inilah asas kepercayaan agama yang mula‐
mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme
mempercayai bahwa setiap benda di bumi ini, seperti kawasan tertentu,
gua, pohon atau batu besar, mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar
semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu
mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan sehari‐
11 Kepercayaan animisme, dari bahasa latin yaitu anima atau “roh”, adalah kepercayaan akan adanya makhluk halus dan roh.
22 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
hari mereka. Diperkirakan bahwa pada awal abad ke‐21 di Provinsi
Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong
pemeluk animisme.
Selain jiwa dan roh yang mendiami tempat‐tempat yang
dinyatakan di atas, animisme juga mempercayai bahwa roh orang yang
telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan. Misalnya suku Nias
mempercayai bahwa seekor tikus yang keluar‐masuk dari rumah
merupakan roh dari perempuan yang telah mati beranak. Roh‐roh orang
yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan
dipercayai akan membalas dendam terhadap orang yang menjadi
musuh bebuyutan pada masa hidupnya.
Sampai akhir abad ke‐20, di Indonesia terdapat aliran‐aliran
kepercayaan dan kebatinan yang beraneka ragam. M. As’ad El Hafidy
mencatat sebanyak 27 aliran kepercayaan dan kebatinan yang
berpredikat agama dan 151 perguruan kebatinan.12 Antara lain tercatat
apa yang disebut agama Pran‐Suh; agama Patuntung, agama Adam
Makrifat, agama Sapta Darma; agama Baha’i; agama Toani Tolotang; agama
paguyuban Sumarah; agama Kejambulan; agama Bairawa (Syekh Siti Jenar)
(lahir tahun 1426 M); agama Kuring; minanga Benteng; dll. Masing‐masing
memiliki kitab suci, seperti agama Pran‐Suh memiliki kitab suci bernama
Pandom Suci; agama Patuntung memiliki Kitab Panuntung; agama Adam
Makrifat dengan Pandung Sukma; agama Sapta Darma dengan buku
Wewarah Agama Sapta Darma.
Karena bertentangan dengan hukum yang berlaku, sejumlah
aliran kepercayaan itu secara resmi telah dilarang pemerintah Indonesia,
seperti agama Baha’i yang dilarang tahun 1959 dan agama Suci Akhir
Zaman.13
Di samping itu, sembilan ajaran agama yang ada di Sumatra
12 M. As’ad El Hafidy, Aliran-Aliran Kepercayaan dan Kebatinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, Medan, Surabaya, Yogya, Bandung, Palembang, 1977; h.99—104. 13 Tanggal 15 Agustus 1962, Bung Karno mengeluarkan Keppres No.264/Tahun 1962 tentang pelarangan terhadap tujuh organisasi, termasuk Baha’i, Liga Demokrasi dan Rotary Club. Soeharto juga melarang Baha’i. Namun, ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, larangan terhadap Baha’i dicabut. Hingga pada tanggal 24 Juli 2014, lewat kicauan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Twitter menyatakan bahwa Baha’i merupakan salah satu agama yang dilindungi konstitusi.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 23
Barat dinyatakan dilarang dan berada dalam pengawasan dari Badan
Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem).
Kesembilan aliran kepercayaan tersebut adalah: Jamiʹatul Islamiyah, Islam
Murni, Islam Jamʹah, Inkarsunnah, Ajaran Darul Arqam, Jemaʹat Ahmadiyah
Indonesia, Thariqat Naqsyabandiyah Yayasan Kiblatul Amin II, Ajaran Al
Qiyadah Islamiyah, Pengajian Abdul Karim Jama.
Berdasarkan data dari Kejaksaan Tinggi tahun 2011, saat ini
terdapat 31 aliran kepercayaan di Sumatra Barat yang berada dalam
pengawasan Kejaksaan Tinggi Sumatra Barat. Selain dari sembilan
aliran kepercayaan yang dilarang, ada tujuh aliran kepercayaan dalam
pengawasan Bakorpakem, yakni: Naksabandiyah, Sattariyah, Zamaniyah,
Muffarradiyah, Bahaʹi, Ajaran Perkumpulan Siswa Al‐kitab Saksi Yahova,
Lembaga Dakwah Islam Indonesia, dan Ajaran Thariqat Suluk Buya Khalidi.
Untuk mencegah terjadinya gesekan antar penganut kepercayaan,
Kemenag Sumbar melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
melakukan pencerdasan kepada masyarakat agar dapat membina
toleransi antar penganut kepercayaan. Sedangkan untuk aliran
kepercayaan yang dilarang, FKUB akan melakukan pendekatan secara
persuasif guna meluruskan pemahaman mereka terhadap ajaran agama
yang diakui di Indonesia.14
Menurut Jawatan Urusan Agama Provinsi Jawa Barat, di
wilayahnya terdapat tidak kurang dari 26 Aliran yang merupakan
Gerakan Kebatinan.15 Di samping itu, di seluruh Indonesia tercatat sekian
banyak aliran kepercayaan. Yang cukup berakar adalah aliran agama
Bairawa (Bairawa berarti berahi) yang bermula semenjak zaman Kerajaan
Singosari (1222—1291 M),16 dengan tokoh terkemukanya Syekh Siti Jenar.
Pandangan aliran ini bersumber pada aliran Tantrayana. Tantrayana
adalah ajaran yang bercampur baur antara unsur‐unsur agama Hindu–
Buddha mazhab Bairawa dengan unsur‐unsur asli Indonesia. Ajaran ini
mempunyai pengaruh besar di kalangan penduduk Indonesia, terutama
di tempat‐tempat bekas Kerajaan Singosari.
14 Kepala Kementerian Agama Sumatra Barat mengatakan hal itu melalui Kepala Bidang Humas, M. Rifki, Sabtu, 9 April 2011. 15 M. As’ad El Hafidy, op.cit., h.80. 16 Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
24 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
3. Hinduisme
ANIMISME yang berakar dan tersebar luas di kalangan penduduk
Nusantara memberi syarat baik untuk masuk dan berkembangnya
Hinduisme, agama yang memuja banyak Dewa di Nusantara. Cara
berpikir dan pandangan‐pandangan Hindu tersebar di Nusantara
semenjak abad pertama Masehi. Dari abad ke‐1 Masehi, di Nusantara
terbentuklah kerajaan‐kerajaan Hindu. Dengan demikian, Hinduisme
menjalar masuk.
Kerajaan Hindu tertua yang tercatat adalah Salakanagara yang
dibangun oleh raja Dewawarman. Menurut catatan sejarah Dinasti Sung,
dalam tahun 132 sebuah utusan Raja Dewawarman dari kerajaan di
Jawadwipa berkunjung mengantarkan upeti kepada kaisar Tiongkok.
Kepada utusan ini diberikan meterai emas dan selendang sutera ungu.17
Dewawarman pendiri Salakanagara, adalah duta keliling, pedagang
sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap
di Nusantara karena menikah dengan Dewi Pwahaci Larasati, putri
penghulu, penguasa setempat bernama Aki Tirem Luhur Mulya. Ketika
Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun
130 Masehi, ia mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara
(Negeri Perak)18 dengan ibu kota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama
dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara.
Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah
kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api) yang berada
di Pulau Krakatau. Semenjak itu, berkembanglah kerajaan‐kerajaan
Hindu di Jawa. Di Kutai, Kalimantan, terdapat kerajaan Hindu yang
17 W. Fruin-Mees, Geschiedenis van Java, deel I Hindoetijdper, Commissie voor de Volkslectuur, Weltevreden, 1922, h.14. 18 Lokasi Kerajaan Salakanagara dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya. Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang. Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibu kota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang—merak dalam bahasa Sunda artinya “membuat perak”. Sebagian lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata “Salaka” dan kata “Salak” yang hampir sama.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 25
dipimpin oleh raja Purnawarman. Di Jawa Barat ada kerajaan
Tarumanagara dengan raja bernama Rajadirajaguru Jayasingawarman.
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang
pernah berkuasa di wilayah barat Pulau Jawa pada abad ke‐4 hingga
abad ke‐7 M. Tarumanagara merupakan salah satu kerajaan tertua di
Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah
dan peninggalan di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu
Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanagara diketahui melalui
sumber‐sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber
dari dalam negeri berupa 7 (tujuh) buah prasasti batu yang ditemukan
di Bogor, Jakarta, dan Lebak, Banten. Dari prasasti‐prasasti ini diketahui
bahwa Kerajaan Tarumanagara dibangun oleh Rajadirajaguru
Jayasingawarman pada tahun 358M dan memerintah sampai tahun 382M.
Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar Sungai Gomatri,
wilayah Bekasi. Kerajaan Tarumanagara ialah kelanjutan dari Kerajaan
Salakanagara.
Maharaja Purnawarman adalah Raja Tarumanagara yang ketiga
(395—434M). Ia membangun ibu kota kerajaan baru pada tahun 397
yang terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura—
pertama kalinya nama “Sunda” digunakan.
Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian
pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536M. Dalam tahun
tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman
(535—561M), Raja Tarumanagara ke‐7. Dalam masa pemerintahan
Candrawarman (515—535M), ayah Suryawarman, banyak penguasa
daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas
daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Tarumanagara.
Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama
sebagai lanjutan politik ayahnya.
Munculnya kerajaan Hindu–Buddha adalah berkat hubungan
dagang Nusantara dengan negara‐negara tetangga maupun yang lebih
jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu
masuk ke Indonesia diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh
para musafir dari India, antara lain Maha Resi Agastya yang di Jawa
terkenal dengan sebutan Batara Guru atau Dwipayana, dan juga para
musafir dari Tiongkok yakni musafir Buddha Fa Hien.
26 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dalam ajaran agama Hindu, Wisynu (Dewanagari, disebut juga
Sri Wisynu atau Narayana) adalah Dewa yang bergelar sebagai shtiti
(pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan
Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam filsafat Hindu, Waisnawa, ia
dipandang sebagai roh suci sekaligus dewa yang tertinggi. Dalam
filsafat Adwaita Wedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu
dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk
dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan
Brahman.
Agastya adalah seorang resi dari India Selatan. Di dalam sejarah
penyebaran agama Hindu, Resi Agastya sangat terkenal jasa‐jasanya.
Menurut pustaka Purana dan Mahabharata, lahir di Kasi (Benares)
sebagai penganut Syiwa yang taat. Oleh karena kebesaran dan kesucian,
Maha Resi Agastya juga disebut Batara Guru19 sebagai perwujudan Syiwa
di dunia mengajarkan dharma. Di dalam sejarah agama Hindu di
Indonesia, Maha Resi Agastya disucikan namanya dalam prasasti‐prasasti
dan kesusastraaan‐kesusastraan kuno. Yang paling awal ialah prasasti
Dinaya di Jawa Timur tahun Saka 682 di mana seorang raja bernama
Gajayana membuat pura suci yang sangat indah untuk Maha Resi Agastya
dengan maksud untuk memohon kekuatan suci untuk mengatasi
kekuatan yang gelap.
19 Dalam mitologi Jawa, Batara Guru adalah perwujudan dari Dewa Syiwa yang merajai kahyangan sehingga dikenal sebagai Mahadewa. Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan mempunyai beberapa anak, yaitu Batara Sambu, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, Batara Wisnu, Batara Ganesha, Batara Kala, dan Hanoman. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata. Dalam mitologi Batak, Batara Guru adalah salah satu dari Debata na Tolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai Banua Ginjang (dunia atas, kediaman para dewa). Sedangkan dalam mitologi Bugis, berdasarkan Sureq Galigo, Batara Guru adalah seorang dewa, putra Sang Patotoqe dan Datu Palingeq, yang dikirim ke bumi untuk dibesarkan sebagai umat manusia. Nama kedewaannya adalah La Togeq Langiq. Menurut Anand Khrisna dalam bukunya yang berjudul Shalala Merayakan Hidup, Resi Agastya di Jawa dikenal dengan nama Semar. Begitu pula menurut novelis Damar Shashangka yang menyatakan bahwa setelah Kerajaan Majapahit runtuh, Sabdo Palon yang merupakan reinkarnasi Resi Agatsya mulai menghilang dan dikenal sebagai Semar. Hal ini akan sangat membingungkan di mana dalam serat-serat kuno seperti Kanda, Paramayoga, Purwakanda, dan Purwacarita, dikisahkan bahwa Batara Guru adalah adik dari Batara Semar.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 27
Prasasti Dinaya ditulis pada tahun Saka 682 bertepatan dengan
tahun 760 M.20 Disebutkan ada seorang raja bernama Dewa Singha,
memerintah keraton yang amat besar yang disucikan oleh api Sang
Syiwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah
memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana.
Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan
berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi, maupun seni
budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyat
Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna
memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga memerintahkan membuat arca
sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti
arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.
Di bawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan
terlindung. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat
Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir Laut Jawa. Keamanan negeri
terjamin dan tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan
perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum
yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan
terhindar dari malapetaka.
Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri yang diberi nama
Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan.
Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh
bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama
Permaisuri Uttejana memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang
Raja Gajayana mangkat. Seperti leluhur‐leluhurnya, mereka berdua
memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin
mencintai rajanya. Demikianlah secara turun‐temurun Kerajaan
Kanjuruhan diperintah oleh raja‐raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua
raja itu terkenal akan kebijaksanaan, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Di bawah kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan tersebar Hinduisme
Di bawah kekuasaan agama Hindu, masyarakat terbagi dalam
berbagai kasta. Kasta berasal dari bahasa Portugis yang berarti
pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan
perkumpulan tukang‐tukang, atau orang‐orang ahli dalam bidang
tertentu. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu bangsa‐
20 Tahun (kalender) menurut perhitungan tahun Jawa kalau dipindahkan ke tahun Masehi ditambah 78 tahun.
28 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bangsa kerajaan Nusantara adalah:
1. Kasta Brahmana, orang yang mengabdikan diri dalam urusan
bidang spiritual; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
Disandang oleh para pribumi.
2. Kasta Ksatria, para kepala dan anggota lembaga
pemerintahan. Seseorang yang menyandang gelar ini tidak
memiliki harta pribadi, semua harta milik negara.
3. Kasta Waisya, orang yang telah memiliki pekerjaan dan harta
benda sendiri, petani dan nelayan.
4. Kasta Sudra, pelayan bagi ketiga kasta di atasnya.
Sedangkan di luar sistem kasta tersebut, ada pula istilah:
1. Kaum Paria, golongan orang rendahan yang tugasnya
melayani para Brahmana dan Ksatria.
2. Kaum Candala, golongan orang yang berasal dari perkawinan
antar warna atau bangsa asing.
Sistem ini menjadi doktrin para pribumi sehingga membuat
bangsa‐bangsa zaman kerajaan di Nusantara tidak mudah ditindas oleh
bangsa asing. Bangsa‐bangsa pribumi merasa “kasta” mereka lebih
tinggi dari bangsa asing di luar Nusantara, sehingga tidak ada alasan
bagi mereka untuk tunduk kepada bangsa asing .
Pokok‐Pokok Ajaran Hinduisme
Hinduisme adalah salah satu agama yang paling tua yang diketahui, juga
salah satu yang paling beraneka ragam dan rumit dengan berjuta‐juta
dewa. Orang‐orang Hindu memiliki beraneka ragam inti kepercayaan
dan terwujud dalam berbagai sekte. Meskipun Hindu adalah agama
ketiga terbesar di dunia, Hinduisme pada umumnya ada di India dan
Nepal. Dalam seluruh sejarah Hinduisme terdapat tradisi kuat dari
filsafat spekulasi dan skeptisisme, yaitu sikap kesangsian, sikap keragu‐
raguan, ketidakpercayaan, serba ketidakpastian. Ini tercermin dalam karya
filsafat Rig Veda dalam memandang masalah fundamental tentang
terciptanya alam semesta dan mengenai Tuhan‐tuhan kepercayaan umat
Hindu. Rig Veda adalah kumpulan lebih dari 1000 nyanyian Veda dalam
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 29
bahasa Sanskrit yang menyenandungkan pujaan pada Tuhan‐tuhan
Hindu yang ditulis sekitar tahun‐tahun 1700 SM dan 1100 SM. Isinya
penuh dengan kesangsian, keragu‐raguan, ketidakpercayaan, serba ketidak‐
pastian tentang segala sesuatu, tentang penciptaan alam semesta, tentang
ada atau tidaknya segala sesuatu. Dalam Rig Veda dipaparkan pujaan
atas Agni dan Wisynu.
Agni, bahasa Sanskrit, adalah dewa agama Hindu, salah satu dari
Tuhan‐tuhan agama Veda. Ia adalah Dewa Api, adalah penerima
pengorbanan‐pengorbanan. Pengorbanan‐pengorbanan yang diberikan
kepada Agni diteruskan kepada dewa‐dewa lainnya, sebab Agni adalah
pembawa pesan dari dan kepada dewa‐dewa lainnya. Agni adalah muda
abadi, sebab api selalu menyinarinya, dan ia adalah abadi. Agni
mempunyai dua kepala; satu melambangkan keabadian, yang lainnya
melambangkan hidup. Bersama Varuna dan Indra, Agni adalah salah satu
dewa tertinggi dalam Hinduisme.
Dalam Rig Veda dinyatakan bahwa ada sesuatu yang tak
bernapas, kemudian dinapasi oleh alamnya sendiri. Di samping itu, apa
pun, betapapun, tak ada lagi, hanyalah gelap, kegelapan. Pertama‐tama
yang tersembunyi dalam kegelapan ini adalah kekacau‐balauan yang tak
berketentuan. Semua yang ada itu hanyalah kehampaan yang tak
berbentuk. Berkat kekuatan yang perkasa dari panas maka lahirlah ia.
Kemudian muncul keinginan. Keinginan adalah bibit dasar dari
kecambah semangat.
Rig Veda mempertanyakan, ”Siapakah yang sesungguhnya tahu dan
yang bisa menyatakan kapan ia lahir dan kapan munculnya ciptaan ini? Tuhan‐
tuhan muncul kemudian dari hasil bumi ini. Siapa pula yang tahu untuk
pertama kali tentang munculnya ia? Ia yang merupakan asal‐usul pertama dari
ciptaan, apakah ia yang membentuk semuanya itu ataukah bukan? Mata siapa
pula yang mengendalikan dunia ini termasuk cakrawala mahatinggi di atas
langit. Tahukah ia tentang ini atau sesungguhnya ia barangkali tidak tahu?”
Filsafat kuno Hindu yang dipaparkan dalam Rig Veda menunjukkan
keragu‐raguan, kesangsian, ketidakpercayaan, ketidaktahuan.
Di samping Rig Veda terdapat Brahmanya (900—650 SM) yang
memaparkan pandangan penuh spekulasi, dongeng yang juga mulai
dengan cara berpikir yang berdasarkan saling hubungan sebab‐akibat.
Disusul oleh Upanishad (kira‐kira 650—530 SM) kemudian Uddalaka (600
SM), karya yang mengedepankan materialisme hilozoitis. Hilozoisme
30 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
adalah pandangan filsafat yang menganggap segala‐galanya, termasuk
alam semesta secara keseluruhan, adalah hidup. Benda tak bernyawa
pun dianggap punya sifat hidup. Pandangan ini dimiliki oleh para filsuf
pra‐Socrates dari ajaran Milesia, Yunani kuno. Uddalaka adalah karya
filsafat materialis India yang pertama mengungkapkan sejarah
kemanusiaan.
Upanishad adalah kumpulan pandangan filsafat yang menjadi
dasar teori bagi agama Hinduisme. Ia dikenal juga sebagai Vedanta (akhir
dari Veda). Penganut agama Hindu kuno memandang Upanishad
berisikan kebenaran yang mutlak (Sruti) mengenai ciri‐ciri kenyataan yang
sesungguhnya (Brahman) dan memaparkan sifat‐sifat dan bentuk usaha
penyelamatan manusia (moksha). Dikenal ada lebih dari 200 Upanishad.
Bersamaan dengan Bhagawad Gita dan Brahmanasutra yang
penggabungannya dikenal sebagai Prasthanatrayi, mukhrya Upanishad
menjadi dasar bagi sejumlah mazhab Vedanta, di antaranya dua mazhab
monistik yang berpengaruh dalam Hinduisme. Upanishad
dikembangkan terus penulisannya sampai pada masa modern abad ke‐
19.
Sebagai guru, Uddalaka Aruni sudah mensistematiskan ajaran‐
ajaran Veda dan pikiran‐pikiran Upanishad. Antara lain diperkenalkan
dan ditancapkan ajaran Tut Tvam Asi, Engkau adalah Dirimu yang dikenal
sebagai Chandogya Upanishad, yang juga merupakan bagian dari Sama
Veda. Dalam Upanishad, Tut Tvam Asi dipahami sebagai kebenaran yang
terakhir, yang paling pokok. Chandogya Upanishad adalah sumber utama
dari dasar‐dasar pokok filsafat Vedanta.
Tut Tvam Asi dalam filsafat Hinduisme adalah ungkapan mengenai
hubungan antara pribadi dengan yang mutlak, yang mahakuasa. Ungkapan
ini dikemukakan dalam Bab VI Chandogya Upanishad (kira‐kira 600 SM).
Mengenai ini terdapat berbagai interpretasi dari berbagai mazhab
filsafat kuno Vedanta. Di abad ke‐7 sampai ke‐9 terdapat interpretasi dari
filsuf Shankara dari mazhab Asvaita yang menjadikan ungkapan ini
sebagai ajaran pokoknya. Pandangan‐pandangan Shankara yang
mencerminkan idealisme objektif berpengaruh besar pada masa
feodalisme India. Pandangan dasar ajaran Shankara adalah pengakuan
akan adanya satu‐satunya kenyataan absolut (Tuhan); dunia nyata yang
empiris berupa benda‐benda itu hanyalah maya, bayangan belaka dari
kekuatan gaib dari Tuhan. Sumber dari pandangan Shankara adalah
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 31
pengakuan terbuka akan ketuhanan yang terdapat dalam Veda dan
Upanishad.21
Dalam Upanishad tercermin ajaran materialisme mengenai asal‐usul
alam semesta, yaitu pandangan yang berdasarkan dari kenyataan
alamiah, tentang terdapatnya lima unsur yang merupakan asal‐usul alam
semesta, yaitu adanya air, api, udara, sinar, dan ruang atau waktu.22
4. Buddhisme
PARA cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau
kerajaan Hindu Jawa Dwipa di Pulau Jawa dan di Sumatra atau Swarna
Dwipa sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan mengenai
adanya dua kerajaan bercorak Hinduisme pada abad ke‐5 yaitu Kerajaan
Tarumanagara yang menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir
Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425, agama Buddha telah
mencapai wilayah tersebut
Awal abad pertama Masehi, agama Buddha masuk ke Indonesia.
Sesudah Hinduisme, Buddhisme adalah agama kedua tertua di
Indonesia masuk sekitar abad kedua Masehi. Sejarah Buddhisme di
Indonesia berjalin erat dengan Hinduisme. Pada masa yang sama, di
Nusantara terdapat kerajaan‐kerajaan berdasarkan budaya Dharma.
Buddhisme tampil di Indonesia mengikuti kemajuan perdagangan yang
mulai berkembang dari awal abad pertama Masehi dengan
berlangsungnya hubungan dagang antara India dan Indonesia.
Hinduisme menjadi pelindung bagi klas penguasa feodal sebagai
kelanjutan dari perbudakan dengan mendukung sistem kasta. Pemujaan
berlangsung terhadap sekian banyak dewa yang dijunjung tinggi.
Perbedaan kasta‐kasta menunjukkan dalamnya penghisapan yang
berlangsung. Klas Brahmana, kaum pemimpin agama menempati
kedudukan berkuasa yang dapat pujaan. Di samping itu terdapat klas
Ksatria, para pemegang senjata; klas Sudra, kaum pekerja rakyat biasa;
21 Kratkii Ocyerk Istorii Filosofii (Risalah Ringkas Sejarah Filsafat), Izdatel'stvo Sotsial'no-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa, 1960, h.92. 22 Filosofskii Slovar (Kamus Filsafat), Izdatel'stvo Politikal Literature (Penerbit Literatur Politik), Moskwa, 1963, h.466.
32 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dan Waisya, klas terendah yang tak punya hak apa pun. Penghisapan
yang dilindungi agama Hindu melahirkan perlawanan untuk
kebebasan. Buddhisme lahir dalam proses berlangsungnya perlawanan
untuk pembebasan.
Tujuan terakhir dari Hinduisme adalah mencapai atman
(Brahman). Brahman adalah “kenyataan yang tak berubah di dalam dan di
luar dunia” yang tak bisa diungkapkan. Dalam bahasa Sanskrit
diucapkan sebagai Sat‐cit‐ananda (kebahagiaan yang sadar), adalah
kenyataan yang paling tinggi. Brahman dipahami sebagai Atman,23 sebagai
kesadaran yang murni—yaitu perwujudan dari kebenaran itu sendiri. Dalam
Upanishad diajarkan bahwa Brahman adalah hakikat sejati dari fenomena
material, termasuk ciri asli dari manusia itu sendiri yang tak dapat dilihat
dan didengar, tetapi sifatnya dapat diketahui lewat perkembangan
(kemajuan) swa‐ilmu pengetahuan.
Sedangkan Buddhisme mengajarkan gagasan anatman, tak ada
atman, pribadi. Bagi mereka, yang ada itu adalah Brahman, jiwa
universal, dan memahami Brahman mendatangkan pencerahan. Mereka
yang berhasil mencapai pencerahan, mengatasi peredaran kelahiran
kembali, sehingga mencapai tujuan terakhir.
Tujuan terakhir dari Buddhisme adalah nirvana (Kebenaran yang
mutlak). Berbeda dengan agama Hindu yang melakukan banyak
pemujaan, memuja ribuan dewa, agama Buddha tidak melakukan
pemujaan tetapi mengutamakan pencerahan.24 Lewat pencerahan men‐
23 Lihat Brhadarayanka Upanishad, II, IV. 5; Filsafat India adalah Atman-sentris, artinya dimulai dari Atman dan berakhir di Atman. Sebagaimana tertulis dalam Srutti, “Atma va’re drastavyah” [oh, Atman, lihat (realisasikan)]. 24 Ajaran dari berbagai agama tentang hakikat Tuhan berbeda-beda, Buddha menjelaskan sebagai berikut: “Para bhikku, ada Sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak. Para bhikku, apabila Tiada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab terdahulu. Tetapi para bhikku, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari hal-hal berikut ini, yaitu kelahiran, penjelmaan, penciptaan, pembentukan dari sebab yang lalu.” (Udana 80—81) Buddha sendiri mengajarkan kepada para umatnya untuk tidak dibenarkan menyembah atau memohon diselamatkan kepada para dewa. Dalam Dhammapada 165, Buddha mengatakan, “Kemurnian dan ketidakmurnian tergantung pada diri sendiri, tidak ada kekuatan luar apa pun yang dapat
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 33
capai nirvana, kehidupan yang lepas dari semua keterikatan, termasuk
bebas dari karma, inkarnasi dan reinkarnasi, bebas dari peredaran
hidup yang mengikuti hukum karma.
Buddhisme mengajarkan Empat Kebenaran Mulia:
1. Hidup adalah penderitaan. Suatu manifestasi bahwa
eksistensi manusia adalah berpenderitaan sejak lahir sampai
mati. Kematian pun tidak akan membawakan kebaikan, sebab
Buddha mengambil juga pola pemikiran Hindu tentang
masalah kelahiran kembali.
2. Semua penderitaan adalah disebabkan dari mengingkari
hakikat kenyataan serta dari melampiaskan hawa nafsu, dari
terpikat dan tamak sebagai akibat dari pengingkaran tadi.
3. Penderitaan bisa dihentikan dengan mengatasi pengingkaran
dan keterpikatan.
4. Jalan dalam memerangi penderitaan adalah Jalan Mulia Ganda
Delapan, yang terdiri dari pandangan yang benar, kehendak
yang benar, pewicaraan yang benar, tindakan yang benar,
kehidupan yang benar, usaha yang benar, ingatan yang benar,
dan kontemplasi atau keheningan yang benar. Kedelapan
jalan ini biasanya dibagi dalam tiga kategori yang merupakan
inti pokok kepercayaan Buddhisme, yaitu: bermoral, arif, dan
bersemadi.
Tujuan terakhir dari Buddhisme adalah kebebasan dari eksistensi
fenomenal, dan dari putaran hidup berulang dengan penderitaan.
Untuk mencapai tujuan ini adalah meraih nirvana, suatu tingkat di
dalam pencerahan, di mana api ketamakan, kebencian, dan
pengingkaran telah padam. Tidak berarti penyirnaan total, nirvana
adalah suatu keberadaan dalam kesadaran tanpa mengenal batas.
Setelah meraih nirvana, seseorang yang sudah menguasai pencerahan,
bisa meneruskan hidupnya, memusnahkan karma yang masih menyisa,
sampai tercapai nirvana terakhir, yaitu parinirvana pada saat meninggal
dunia
memurnikan orang lain.”
34 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dharmakitri
Menurut sumber‐sumber Tiongkok, seorang penganut Buddha I‐Tsing,
dalam pengembaraannya ke India menyaksikan kekuasaan Sriwijaya
yang perkasa berpangkalan di Sumatra pada abad ke‐7 M. Kerajaan ini
bertindak sebagai pusat pendidikan Buddha di daerah tersebut. Seorang
sarjana Buddha terkenal yaitu Dharmakitri, seorang pangeran dari
dinasti Syailendra, lahir di abad ke‐7 M di Sumatra. Ia menjadi seorang
pendeta terkenal dari Sriwijaya yang pindah ke India menjadi guru
besar di universitas terkemuka Nalanda serta terkenal sebagai seorang
penyair. Ia menerjemahkan karya Dignaga,25 seorang pelopor filsafat
pemikiran Buddha, dan berpengaruh pula di antara para pemikir
Brahman. Teori‐teorinya dipergunakan di Tibet dan dipelajari sampai
dewasa ini sebagai bagian dari mata pelajaran dasar monastik. Pendeta
Buddha lainnya yang sudah mengunjungi Indonesia adalah pendeta
Buddha Vajrabodhi dari India Selatan. Sriwijaya ketika itu adalah
kerajaan Buddha yang terluas dalam sejarah Indonesia.
Dharmakitri berpendapat bahwa kegiatan bangunan gagasan
adalah satu proses pikiran yang menjadi pencerminan yang mampu
diucapkan dalam kata‐kata. Cita rasa mengenai hal ini tidak punya arti
praktis karena ia tidak mempunyai perbedaan. Penilaian yang
menggunakan gagasan menjurus pada suksesnya satu kegiatan. Adalah
satu kesalahan alamiah yang mengganggap gagasan adalah bayangan
dari kenyataan.
Dharmakitri menyatakan bahwa pengenalan yang sesungguhnya
adalah hasil kegiatan manusia. Terdapat perasaan (cita rasa) yang
adalah bebas dari penggagasan dan ini adalah dapat diandalkan. Ia
menentang pendapat bahwa pikiran dan bahasa adalah bergandeng
tangan satu sama lain dan menganggap bahwa pikiran adalah lebih
dahulu dari pada bahasa.
Cita rasa terbagi atas empat jenis:
1. kesan alat‐alat syaraf;
25 Pandangan-pandangan Dignaga menyatakan bahwa kenyataan objektif adalah satu perubahan kekhususan yang tak dapat dijelaskan dan dirasakan. Masing-masing mempunyai kepastian fundamentalnya.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 35
2. satu bayangan mental (jiwa, rohani) yang dihasilkan dari
kesan‐kesan tadi;
3. kesadaran sendiri atas setiap pikiran dan perasaan; dan 4. akhirnya kesadaran yang bersifat yoga yang dihasilkan oleh
pemikiran yang menjadikannya kebenaran.
Cita rasa adalah satu‐satunya titik saat yang khusus. Ia adalah
sesungguhnya objektif, karena kenyataan berarti kemampuan untuk
berbuat yang berhasil. Kesadaran menurut perasaan akan menghasilkan
pengetahuan bila ia sungguh‐sungguh dihubungkan dengan objek nyata.
Bayangan cerminan atau rekaman dari kesan cita rasa dan lainnya yang
dihasilkan pikiran konstruktif. Gagasan‐gagasan yang rumit, pada
akhirnya diserap dari kesan‐kesan cita rasa dan lain‐lain dihasilkan oleh
pembayangan (imajinasi) yang kreatif.
Yogacara, bahasa Sanskrit yang berarti mempraktekkan yoga, adalah
ajaran Buddha yang berpengaruh besar. Ajaran ini berasal dari mazhab
filsafat Buddha yang menekankan fenomenologi atau ontologi melalui
semadi dan praktek yoga. Ini dilakukan oleh kaum Buddha Mahayana
India di sekitar abad keempat masehi, tetapi juga termasuk oleh mazhab
non‐Mahayana dari ajaran Darstantika. Yogacara mengajarkan
bagaimana pengalaman manusia dibentuk oleh pikiran. Yogacara adalah satu
tradisi utama Buddhisme Mahayana, yang berpendapat bahwa pikiran
adalah nyata, tetapi benda‐benda adalah hanya bayangan dari kesadaran.
Sautrantika—Yogacara dari Dignaga–Dharmakitri mengajarkan
bahwa sensasi berisi unsur pengetahuan yang nyata. Para pemikir ajaran ini
adalah ekstrem nominalis dan empirisis, yang menekankan teori bahwa
segala‐galanya yang ada ini bersifat sesaat, dan menganggap isi dari cita
rasa sekarang ini adalah hanya satu‐satunya yang nyata.
Dharmakitri berpendapat bahwa arus pikiran adalah tidak‐berawal,
juga dilukiskan bahwa arus pikiran adalah rentetan waktu; dan bahwa
karena tak ada permulaan yang sesungguhnya, maka waktu yang tak‐
berawal, yang tak ada permulaannya, sering dipergunakan sebagai gagasan
arus pikiran.
Para filsuf Buddha sering menyuarakan ketidakberawalan.
Dinyatakan bahwa pikiran dari benda‐benda hidup, tidak mempunyai
awal, demikian pula dengan alam raya kita ini, tidak berpermulaan,
tidak berawal, berkembang dalam satu putaran perkembangan dan
36 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kehancuran. Sejumlah pemikir Buddha menganggap bahwa bahkan
tugas yang paling sederhana pun tidak memiliki awal. Karena itu, jika
terdapat awal, maka akan ada satu saat, akan ada “sekarang” di mana ia
terjadi. Karena terdapat sekarang, oleh karena itu, maka haruslah ada
masa lampau dan masa depan, karena kalau ada “sekarang” tentu juga
ada waktu selain dari sekarang. Maka tentu saja jika ada masa lampau,
maka bagaimana bisa sekarang adalah satu permulaan. Apa artinya
“sekarang” jika tidak ada waktu yang lain dari sekarang.
Pandangan‐pandangan Dharmakitri adalah inti dari filsafat Buddha.
Dharmakitri menulis mengenai sifat‐sifat dari arus pikiran dalam
karyanya Memperkuat Aliran‐Aliran Pikiran Lainnya. Ia memaparkan
aliran pikiran sebagai deretan waktu, dan bahwa tak ada awal yang
sesungguhnya atau akhir yang sesungguhnya. Teorinya adalah melebihi
dari fase membendung diri sendiri dalam evolusi pemikiran Buddha
(logika Buddha). Dharmakitri menjadi seorang pemikir dari mazhab
ajaran Yogachara.
Gagasan mengenai nirvana berasal dari paparan Buddha (566—
486 SM). Kepemimpinannya mencapai pencerahan pada usia 35 tahun,
terbangun karena kenyataan alamiah sejati, yaitu nirvana (kebenaran
mutlak). Ungkapan nirvana berasal dari akar kata “meniup
memadamkan” yang bermaksud untuk melenyapkan api kejahatan,
kebencian, dan khayalan angan‐angan. Di kala kerusakan‐kerusakan
emosional dan psikologis ini dihabiskan oleh kearifan, maka pikiran
menjadi bebas, bersinar terang dan gembira ria, maka di waktu
meninggal tak perlu lagi mengalami kelahiran kembali, tak perlu lagi
mengalami reinkarnasi. Nirvana adalah kebahagiaan yang paling akhir,
yang termewah. Buddha melukiskan, bahwa pencapaian nirvana berarti
mencapai keadaan “yang tak mati‐mati” adalah pencapaian spiritual yang
paling tinggi, adalah penghargaan bagi seseorang yang hidup dengan
berbudi luhur.
5. Bhinneka Tunggal Ika
PADA masa kejayaan Majapahit, pujangga Mpu Tantular sekitar tahun
1365 dan 1389 berkarya Kakawin Sutasoma menyenandungkan kisah Raja
Sutasoma. Kakawin Sutasoma adalah karya sastra Jawa yang berciri
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 37
khusus, yaitu bersifat menganut paham Buddha. Mpu Tantular juga
menghasilkan karya Kakawin Arjunawiwaha.
Dalam karya Kakawin Sutasoma yang berbentuk puisi ini
ditampilkan rumusan yang bersifat filosofis disenandungkan kesamaan
yang terdapat dalam agama Hindu dan Buddha sebagai berikut:
Rwâneka dhâtu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
(Kutipan dari sajak ke‐139, bait ke‐5), yang artinya adalah:
Dikatakan bahwa Buddha dan Syiwa adalah dua yang berbeda, Benar mereka berbeda, tapi bagaimana sekilas bisa mengetahui perbedaannya, Karena kebenaran Jina (Buddha) dan kebenaran Syiwa adalah satu, Mereka memang berbeda, tapi mereka adalah sama, sebagaimana Tiada duanya dalam Kebenaran. (Kebenaran adalah Satu)
Ditampilkan pemahaman yang dialektis tentang adanya kesamaan
dalam perbedaan, terdapatnya Bhinneka Tunggal Ika, yaitu Berbeda tapi
Satu jua; Satu dalam adanya perbedaan. Toleransi antara penganut dua
agama Hinduisme dan Buddhisme, kesatuan kebenaran yang terdapat
pada Jina dan Syiwa, yaitu kebenaran dalam agama Hindu dan agama
Buddha.
Dalam Kakawin Sutasoma yang mengungkapkan Bhinneka Tunggal
Ika dijabarkan tentang sebuah cerita epos yang bagaikan amanat kitab
ini mengajarkan toleransi antar‐agama, terutama antar‐agama Hindu‐
Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Mpu Tantular pada abad
ke‐14, pada masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan Prabu
Rajasanagara atau Raja Hayam Wuruk.
Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam khazanah sejarah
sastra Jawa atau bisa dikatakan sastra agama. Karena merupakan satu‐
satunya kakawin bersifat epos yang bernapaskan agama Buddha. Ini
menunjukkan bahwa Mpu Tantular memiliki toleransi keagamaan yang
besar.
Mpu Tantular seorang penganut agama Buddha, namun terbuka
terhadap agama lain, terutama agama Hindu‐Siwa. Hal ini bisa terlihat
38 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu Kakawin
Arjunawijaya dan terutama Kakawin Sutasoma. Mpu Tantular memiliki
pandangan tentang esensi nilai‐nilai keagamaan yang universal.
Bahwa agama‐agama yang ada harus dihormati. Karena jalan
yang harus dilalui untuk menyembah Yang Maha Agung adalah seperti
jalan menuju ke gunung. Orang dapat mencapai puncak gunung itu dari
segenap penjuru, dari timur, barat, utara, dan selatan.
Kejayaan Majapahit berakhir setelah melewati masa gemilang di
bawah pimpinan Patih Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk. Di bawah
pimpinan Raden Patah, tahun 1500 masehi lahirlah Kesultanan Demak,
pecahan dari Majapahit. Kesultanan Demak mulai menebarkan agama
Islam.
6. Mistisisme Islam
MENURUT sumber‐sumber Tiongkok, menjelang akhir abad ke‐7,
seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di
pesisir pantai Sumatra. Islam pun memberikan pengaruh kepada
institusi politik yang ada. Hal ini tampak pada tahun 100 H (718 M) Raja
Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarwan mengirim surat kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz26 dari Kekhalifahan Bani Umayyah
meminta dikirimkan daʹi yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat
itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang
istrinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya
terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang
mengairi pohon gaharu, bumbu‐bumbu wewangian, pala, dan kapur
barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada
Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan‐tuhan lain dengan Allah.
Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya
merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda
persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang
yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada
saya tentang hukum‐hukumnya.”
26 Cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 39
Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman,
yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan
nama “Sribuza Islam”. Sayang, pada tahun 730 M, Sriwijaya Jambi
ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Buddha.
Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban
Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan
Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M.
Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di
Kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama
Bayanullah.
Kesultanan Islam kemudian semakin menyebarkan ajaran‐
ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu
sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke‐16 di Jawa dan Sumatra.
Islam masuk dan berkembang pesat di Jawa berkat peranan pen‐
ting Kesultanan Demak. Ketika Raden Patah27 mendirikan Kesultanan
Demak, melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri bertindak sebagai
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat
dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan
Giri. Sebagai salah seorang dari Walisongo, ia diakui juga sebagai mufti,
pemimpin tertinggi keagamaan, se‐Tanah Jawa. Kerajaan Demak
merupakan kerajaan berbasis Islam pertama di Pulau Jawa. Masuknya
Islam di zaman Kesultanan Demak (1475—1548) membawa paham
sufisme.
Walisongo
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa
pada abad ke‐14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara
Pulau Jawa, yaitu Surabaya—Gresik—Lamongan di Jawa Timur,
Demak—Kudus—Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
27 Adipati Raden Patah alias Jin Bun bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun, lahir di Palembang, 1455; wafat di Demak, 1518, adalah pendiri Kerajaan Demak dan sultan Demak pertama, yang memerintah tahun 1500—1518. Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong, Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tiongkok. Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama Arab “Fatah” (Patah) yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya, Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.
40 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Nama para Walisongo adalah:
1. Sunan Gresik (Maulana Ibrahim)
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
3. Sunan Bonang (Makhudum Ibrahim)
4. Sunan Drajat 5. Sunan Kudus 6. Sunan Giri 7. Sunan Kalijaga 8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Dalam perkembangan agama Islam, sufisme berkembang di
Timur Tengah pada abad ke‐7. Semenjak Kesultanan Demak,
selanjutnya di bawah kekuasaan Sultan Agung, Kerajaan Mataram,
dengan peranan penting Walisongo, Islam tersebar luas di Jawa.
Pengaruh sufisme pun berkembang di masa Walisongo menyebarkan
Islam. Ketika Kesultanan Demak hendak didirikan, Sunan Ampel, salah
seorang dari Walisongo, turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama
di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari
Prabu Brawijaya V Raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M. Sunan Ampel menganut Feqah mazhab Hanafi.28
Namun, pada para santrinya, Sunan Ampel hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan
ibadah. Dialah yang memperkenalkan istilah mo limo (moh main, moh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk tidak
berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan
narkotik, dan tidak berzina
Walisongo yang berasal dari tanah Pasundan adalah Syarif
Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Banyak kisah tidak masuk
akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Di antaranya adalah
28 Mazhab Hanafi ialah salah satu mazhab fiqh dalam Islam Sunni. Mazhab ini didirikan oleh Imam Abu Hanifah yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu'man bin Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai mazhab yang paling terbuka kepada ide modern. Mazhab ini diamalkan terutama sekali di kalangan orang Islam Sunni Mesir, Turki, anak-benua India, Tiongkok, dan sebagian Afrika Barat. Pelajar Islam seluruh dunia belajar pendapatnya mengenai amalan Islam.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 41
bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu
bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat
Nabi Sulaiman.29 Kisah demikian adalah sama dengan kisah tokoh
terkemuka penganut sufisme Timur Tengah. Semua itu hanya
mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung
Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir
sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari Raja
Pajajaran, Raden Manah Rarasa atau yang dikenal sebagai Sri Baduga
Maharaja Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang. Sedangkan
ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14
tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara.
Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga
dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati. Dengan demikian, Sunan
Gunung Jati adalah satu‐satunya Walisongo yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai
cucu Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke
pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang mudah. Namun ia juga mendekati
rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan‐jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100
tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit
(berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran
Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut
pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid
Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah
satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan guru sekaligus sahabat
dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik
berbasis salaf”—bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih
kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah. Ia sangat
29 Lihat Babad Cirebon Naskah Klayan, h.xxii.
42 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
toleran pada budaya setempat. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam
sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama berangsur‐angsur
akan hilang.
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen,
Simo, hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru
pendekatan Sunan Kalijaga, sangat toleran pada budaya setempat. Cara
penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali yang
kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya
pemeluk teguh menunjuknya. Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol‐simbol Hindu
dan Buddha. Hal itu terlihat dari arsitektur Masjid Kudus. Bentuk
menara, gerbang dan pancuran air, padasan wudhu yang
melambangkan delapan jalan Buddha. Sebuah wujud kompromi yang
dilakukan Sunan Kudus. Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk
pergi ke masjid mendengarkan tabligh‐nya. Untuk itu, ia sengaja
menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman
masjid. Orang‐orang penganut agama Hindu yang mengagungkan sapi,
menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan
Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti ʺsapi betinaʺ.
Sunan Kudus juga menggubah cerita‐cerita ketauhidan. Kisah
tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk
mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya
mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.
Dengan begitu Sunan Kudus mengikat masyarakatnya. Bukan hanya
berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana
ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia
ikut bertempur saat Dema di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.30
Anggota Walisongo lain: Maulana Malik Ibrahim atau Makdum
Ibrahim As‐Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah,
30 Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam, kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus mempunyai tiga orang murid, yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Sedangkan murid yang paling disayangi oleh Sunan Kudus adalah Arya Penangsang.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 43
pada paro awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As‐
Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi. Maulana Malik Ibrahim
kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah
menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama
terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden
Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia
bernama Maulana Jumadil Kubro yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke‐10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad SAW.
Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa,31 selama
tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia menikahi putri raja yang
memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat yang dikenal
dengan Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri.
Tahun 1392 M, Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa
meninggalkan keluarganya. Beberapa versi menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang dituju pertama
kali yakni Desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah
kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang adalah daerah Leran,
Kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Aktivitas pertama
yang dilakukan ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka
warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga
murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri
untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia
pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa.
Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek
Bantal juga mengajarkan cara‐cara baru bercocok tanam. Ia merangkul
masyarakat bawah, kasta yang disisihkan dalam tradisi Hindu. Maka
sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat
sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang
saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar
agama di Leran, tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya
kini terdapat di Kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Muria adalah putra Dewi Saroh, adik kandung Sunan Giri
sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama
31 Sekarang termasuk wilayah tengah dan selatan Vietnam dan sebagian Kamboja.
44 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota
Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan
Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk
menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil
mengajarkan keterampilan‐keterampilan bercocok tanam, berdagang
dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali menjadi penengah dalam konflik internal
di Kesultanan Demak (1518—1530). Ia dikenal sebagai pribadi yang
mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah
itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak
yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana,
hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni
adalah lagu Sinom dan Kinanti.
Sunan, dalam budaya suku‐suku di Pulau Jawa, adalah sebutan
bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena
kedudukan dan jasanya dalam masyarakat. Kata ini merupakan
penyingkatan dari susuhunan. Kata ini berarti tempat penerima
ʺsusunanʺ jari yang sepuluh, atau dengan kata lain ʺsesembahanʺ.
Walisongo ternyata adalah para sufi. Ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks.
Ia menguasai ilmu feqah, usuludin. Ajaran Sunan Bonang berintikan
pada falsafah ʹcintaʹ (‘isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi.32 Menurut Sunan Bonang, cinta sama dengan iman,
pengetahuan gerak hati (makrifat) dan kepatuhan kepada sawuf, seni,
sastra dan arsitek, Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut
disampaikannya secara popular melalui media kesenian yang disukai
masyarakat.
Pada zaman Kerajaan Demak, majelis ulama Walisongo memiliki
peran penting, bahkan ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini
bersidang secara rutin selama periode tertentu dan ikut menentukan
kebijakan politik Demak. Sepeninggal Trenggana, peran Walisongo ikut
32 Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri atau sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 M.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 45
memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat pembunuhan terhadap Sunan
Prawoto, raja baru pengganti Trenggana. Meskipun tidak lagi bersidang
secara aktif, para wali masih berperan dalam pengambilan kebijakan
politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak sebagai pelantik
Hadiwijaya sebagai raja. Ia juga menjadi mediator pertemuan
Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu,
Sunan Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta
haknya pada Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah karena
berhasil menumpas Arya Penangsang.33
7. Sufisme
PADA awal abad ke‐9, dalam perkembangan Islam di Timur Tengah,
muncul kaum sufi, penganut sufisme. Tasawuf (tasawwuf) atau sufisme
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihkan akhlaq, membangun zahir dan bathin, untuk memperoleh
kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya
melahirkan tradisi mistisisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam sufi)
sering dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau
kombinasi.
Akar kata dari sufi adalah safa yang berarti kemurnian. Hal ini
menaruh penekanan pada sufisme tentang kemurnian hati dan jiwa. Teori
lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari bahasa Yunani theosofie
artinya ilmu ketuhanan. Sufi adalah istilah untuk mereka yang
mendalami ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang mendalami ketakwaan
kepada Allah SWT. Istilah sufi (orang suci) akhirnya dipakai oleh dunia
secara luas, bukan saja untuk tokoh agama dari agama tertentu, tetapi
bagi seseorang yang secara spiritual dan rohaniah telah matang dan
yang kehidupannya tidak lagi membutuhkan dan melekat kepada dunia
dan segala isinya, kecuali untuk kebutuhan dasarnya saja. Sufi dalam
konteks ini diamalkan sebagai cara sejati untuk memurnikan jiwa dan
hati, mendekatkan diri kepada Tuhan dan mendekatkan diri kepada
33 Lihat Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam sampai Tahun 1647 (terj.), Yogyakarta: Narasi, 2007.
46 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
surga‐Nya, menjauhi dunia. Dalam agama Buddha, dikenal sebagai
tahap arupadatu, dalam agama Nasrani dikenal sebagai biarawan atau
biarawati sebagai cara menjalani kehendak Tuhan secara penuh dan
memerdekakan diri dari budak kesenangan dunia, dan sebagainya.
Di Timur Tengah terdapat Bayazid al‐Busthami yang juga
terkenal sebagai Abu Yazid Bistami atau Tayfur Abu Yazid al‐Bustami
(804—874 M), seorang Persi penganut sufi. Keterus‐terangannya
menyebabkan banyak orang menilainya sebagai bida’ah, pembohong
karena ucapan‐ucapannya yang aneh, ganjil lagi ajaib. Ia mengaku telah
naik ke langit ketujuh dalam mimpinya. Perjalanan ini dianggapnya
sama dengan mi’raj Nabi Muhammad. Antara lain ucapan‐ucapannya
yang terkenal adalah: “Mulialah aku! Alangkah jayanya Keagunganku!
Ketaatanmu kepadaku adalah lebih besar dari ketaatanku kepada‐Nya!
Aku adalah mahkota dan penunjang kaki! Di alam kehidupanku,
genggamanku lebih kuat dari genggaman Tuhan. Aku lihat Ka’bah
bergerak di kelilingku. Musa ingin melihat Tuhan, aku tak berkeinginan
melihat Tuhan, Tuhan yang ingin melihat aku. Percayalah, aku sendiri
sudah jadi Tuhan! Tak ada Tuhan yang lain selain aku! Jayalah aku!
Alangkah jayanya Keagunganku!”34
Di samping itu, terdapat Syekh Manshur al‐Hallaj.35 Ucapannya
yang terkenal adalah: “Ana al‐Haqq”, artinya “Kebenaran adalah Aku”,
yang artinya “Aku adalah Tuhan”, karena “Kebenaran” adalah salah satu
dari 99 nama Tuhan. Di samping itu ia menyatakan “Ma fi jubbati illa l‐
Lah” artinya “Tak ada apa pun dalam surbanku kecuali Allah”. Karena
ucapan‐ucapannya yang tak masuk akal, atas perintah Khalif Abbasid Al
Muqtadir, ia dibawa ke pengadilan, dituduh melakukan bida’ah,
pembohongan. Hasilnya, ia dipenjarakan dalam penjara Baghdad dan
dihukum mati di depan umum pada 29 Maret tahun 922. Sufisme
berpengaruh besar di kalangan Islam. Dari Timur Tengah tersebar ke
berbagai negeri, termasuk Nusantara.
Sufisme menjalar ke Kerajaan Demak. Raden Patah adalah pendiri
Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama. Raden Patah memerintah
34 Robert Payne, The History of Islam, Barne & Nooble Books New York, awalnya terbit dengan judul The Holy Sword, 1992, di USA, h.195. 35 Seorang Persia dengan nama lengkap Abū al-Muġīṭ Husayn Manṣūr al-Ḥallāğ (kira-kira 858—922 M), seorang mistik, penyair, guru sufisme, dan sastrawan terkenal dengan puisi-puisinya.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 47
antara tahun 1500—1518. Raden Patah adalah penganut Islam yang
mendukung aliran sufi. Berlanjut masuk Kerajaan Mataram di bawah
kekuasaan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma. Sultan Agung
lahir di Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593; wafat di Karta (Plered,
Bantul), Kesultanan Mataram, 1645; sultan ketiga Kesultanan Mataram
yang memerintah pada tahun 1613—1645. Di bawah kepemimpinannya,
Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara
yang mengembangkan Islam pada saat itu.
8. Manunggaling Kawula‐Gusti
DALAM proses pengembangan pengaruh Islam di bawah usaha
Walisongo tampil tokoh pembela Islam yang tangguh, Syekh Siti Jenar.
Dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, atau
Lemah Abang. Adalah seorang tokoh sufi dan salah seorang penyebar
agama Islam di Pulau Jawa. Dalam masyarakat, terdapat banyak variasi
cerita mengenai asal‐usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggap sesat karena ajaran yang
terkenal yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian yang
lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual
yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran‐ajarannya
tertuang dalam karya sastra yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat
mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan
konsep tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat
berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa
kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya,
apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal
dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak
dapat dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum
negara, tetapi tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana
yang ditentukan oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang
memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus
memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, salat, puasa, zakat,
dan naik haji. Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia
48 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menjalani kehidupan pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat
bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman
inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu. Mirip
dengan konsep Al‐Hallaj, tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal
sejarah perkembangan Islam pada abad kesembilan masehi, tentang
hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Menurut Syekh Siti Jenar, seharusnya pemahaman ketauhidan
melewati empat tahap, yaitu:
1. Syariat, dengan menjalankan hukum‐hukum agama seperti
salat, zakat, dan lain‐lain,
2. Tarekat, dengan melakukan amalan‐amalan seperti wirid, zikir
dalam waktu dan hitungan tertentu,
3. Hakikat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup
akan ditemukan, dan
4. Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas‐
luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan‐tahapan tersebut
maka tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang
bisa dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu itu baru bisa dipahami
ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama
mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di
mana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya
masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah
jauh memasuki tahap hakikat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh
karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar dikatakan
sesat.
Dalam pupuh‐nya, Syekh Siti Jenar tidak memperdebatkan
masalah agama. Alasannya, dalam agama apa pun, setiap pemeluk
sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing‐
masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan
menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena
itu, masing‐masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 49
mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling
benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk‐Nya, melainkan
bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan
dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan
Tuhannya.
Dalam ajarannya, Manunggaling Kawula‐Gusti bermakna bahwa di
dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai
dengan ayat Al Qurʹan yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
roh manusia akan menyatu dengan roh Tuhan di kala penyembahan
terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al‐Qur’an dari para
murid Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam roh Tuhan, yaitu polemik paham
Manunggaling Kawula Gusti.36
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang
dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktek sufi
Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek
formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Saat terjadi perang antara Majapahit dan Demak, Prabu
Andayaningrat membela Majapahit, gugur di tangan Sunan Ngudung.
Kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raden Kebo
Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak saat itu Pengging menjadi
36 Dalam kepustakaan Islam Kejawen, konsep Manunggaling kawula Gusti atau kesatuan dengan Tuhan (wahdatul wujud) yang dipergunakan untuk mengambarkan adalah curiga manjing warangka, warangka manjing curiga. Yakni manusia masuk dalam diri Tuhan, laksana Arya Sena masuk dalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, warangka manjing curiga. Yakni Tuhan masuk (nitis) dalam diri manusia, seperti halnya Dewa Wisnu nitis pada diri Kresna. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan Islam Kejawen yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia digambarkan sama dengan Tuhan. Paham semacam ini dalam falsafah dinamakan Antropomorfisme. Lihat Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, 1998, Jakarta: UI Press, h.297—299. Lihat Purwadi, Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar, 2012, Jakarta: Oryza, h.167—166.
50 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
daerah bawahan Kerajaan Demak. Ki Ageng Pengging adalah penganut
Islam sufi, yang jadi murid setia dari Syekh Siti Djenar.
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal ihwal Syekh
Siti Jenar. Ajaran yang amat kontroversial telah membuat gelisah para
pejabat Kesultanan Demak. Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan
berujung pada pemberontakan, mengingat salah satu murid Syekh Siti
Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga, adalah keturunan elite
Majapahit, sama seperti Raden Patah dan mengakibatkan konflik di
antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan
Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga
menyebarkan kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat
mereka merencanakan suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk
segera datang menghadap ke Kesultanan Demak.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu–Budha
dalam budaya Nusantara, digantikan oleh kebudayaan Islam. Walisongo
adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu
banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka sangat
besar dalam mendirikan kerajaan Islam di Jawa. Pengaruh terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung,
membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain
Pada periode sejarah Jawa pra‐Islam, gelar sunan ini jarang
dipakai atau tidak banyak didokumentasi. Pada awal‐awal masuknya
Islam di Jawa, gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar
agama Islam, khususnya di tanah Jawa pada abad ke‐15 hingga abad ke‐
16. Selain sunan, ada pula mubaligh lainnya yang disebut syekh, kyai,
ustadz, penghulu, atau tuan guru. Gelar ʺsunanʺ atau ʺsusuhunanʺ juga
diberikan kepada penguasa Kraton Surakarta Hadiningrat (Kasunanan
Surakarta).
9. Kebatinan Jawa, Kejawen
MENURUT Kejawen, sebelum manusia lahir di dunia, ia adalah
semangat. Asal‐usulnya adalah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
Tuhan. Dewa atau Dewi adalah juga makhluk Tuhan. Mereka juga
adalah semangat, tapi tidak memiliki jasad. Hakikat mereka adalah sinar,
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 51
sebagaimana juga sama dengan semangat manusia. Karena itu, nenek
moyang orang Jawa menamakan manusia itu adalah wahong yang
artinya adalah turunan dari Tuhan. Dalam perkembangannya, wahong
berubah jadi wong. Dalam bahasa Jawa yang dihaluskan kromo inggil,
wong menjadi tiyang yang berasal dari Ti Hyang yang berarti Turunan
Tuhan.
Kepercayaan kepada Tuhan, menempatkan Tuhan di atas segala‐
galanya, adalah kunci ajaran spiritual universal dari Kejawen. Tuhan
bukanlah berwujud jasmaniah. Tuhan adalah Semangat yang Agung dan
Maha Pencipta. Semangat yang agung adalah semangat dalam jasad
manusia. Adalah bijaksana, jika manusia mengenal kenyataan diri sendiri,
mengenal Semangat Agung itu. Orang‐orang tua penganut Kejawen tak
jemu‐jemunya mengingatkan kata Eling. Eling berarti ingat, waspada.
Haruslah ingat siapa sesungguhnya dirimu, dan apa tugasmu
sebenarnya di dunia. Dalam ungkapan Jawa dikenal Cakra Manggilingan.
Ini berarti hidup bagaikan roda berputar. Penganut spiritualis Timur
mempercayainya sebagai inkarnasi dan reinkarnasi.
Dipercayai bahwa Semangat itu bepergian dari asal‐usulnya,
kemudian ia diperintah Gusti untuk hidup di dunia. Lalu kemudian
kembali lagi ke tempat aslinya. Semangat yang tidak kembali ke asalnya
dengan lancar adalah karena ia berbuat salah yang besar ketika hidup di
dunia. Ia telah berbuat dosa, maka tak lancar kembali ke aslinya.
Kejawen bukanlah agama, ia mengajarkan etika dan nilai‐nilai
spiritual yang mendapat ilham dari tradisi Jawa. Intinya adalah gagasan
ketenangan pikiran. Perbedaan penafsiran ayat Al Qurʹan dari para murid
Syekh Siti Jenar inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam
tubuh manusia bersemayam roh Tuhan, yaitu polemik paham
Manunggaling Kawula Gusti. Banyak versi di dalam memahami ajaran
Syekh Siti Jenar dengan manunggaling kawula gustinya. Ada pro dan
kontra dalam masyarakat dalam menanggapinya. Salah satunya adalah
tidak setujunya para Walisongo terhadap konsep ajaran Manunggaling
Kawula Gusti. Hingga pada akhirnya, menurut sejarah, Syekh Siti Jenar
mendapat hukuman mati dari para Walisongo karena ajaran yang
menurut para wali dianggap sesat dan menyesatkan.
Penganjur panteisme, Syekh Siti Jenar mengatakan Ingsun Gusti
Sejati, sayalah Tuhan yang sebenarnya. Yang dikatakan Syekh Siti Jenar
itu pernah diungkapkan oleh seorang ahli mistik Islam termasyhur
52 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bernama Al‐Hallaj dari Baghdad, Iraq (858—992 M). Tokoh ini juga
mengatakan Ana Al‐Haqq, sayalah kebenaran sejati itu, sayalah Tuhan
itu. Baik Al‐Hallaj maupun Syekh Siti Jenar, keduanya menyebarkan
ajaran yang bertentangan dengan ajaran tauhid Islam. Keduanya, pada
akhirnya mengalami nasib yang sama secara tragis: tewas dalam
eksekusi hukuman mati.37
10. Dari Islam Mistik Sufisme
sampai Islam Modernis Anti‐Komunisme
DEMIKIAN besar pengaruh Islam di Indonesia hingga pada awal abad
ke‐21 Indonesia adalah negara berpenduduk penganut Islam terbesar di
dunia. Dalam sejarah Republik Indonesia, terdapat beberapa tokoh
Islam yang menjabat perdana menteri, yaitu Sukiman, Moh. Natsir, serta
Burhanuddin Harahap. Presiden Pemerintah Darurat RI pada tahun
1948 dijabat tokoh Islam, Sjafroeddin Prawiranegara.
Masuknya Islam ke Indonesia adalah hasil meluasnya pengaruh
sufisme dari Timur Tengah. Dari Kerajaan Demak, pecahan Kerajaan
Buddha Majapahit, di bawah pimpinan Raden Patah, serta berkat
kegiatan Walisongo, Islam berkembang meliputi daerah yang luas.
Mula‐mula yang masuk dan tersebar adalah Islam aliran sufi. Sufi,
kesufian,38 ialah istilah yang diberikan pada sebuah aliran atau tradisi
pemahaman Islam yang merangkumi berbagai kepercayaan dan amalan.
Di antaranya aspek esoterik (hanya diketahui oleh orang‐orang tertentu)
atau mistisisme mengenai hubungan dan dialog langsung antara
penganut Islam dengan Allah. Perkataan tariqa atau tarekat digunakan
oleh pengikut aliran sufi untuk kaidah atau tradisi tertentu yang diikuti
oleh seorang individu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan.
Unsur‐unsur atau tradisi kesufian tidak terbatas pada satu mazhab
tertentu di dalam agama Islam, yaitu mazhab Syiah ataupun Sunni,
walaupun kebanyakan tokoh‐tokoh sufi dalam sejarah terdiri dari
pengikut mazhab Sunni. Bahkan boleh dikatakan contoh pengaruh
kesufian juga ada dalam tradisi agama yang lain.
37 Mulyana, Universitas Negeri Yogyakarta, Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Pergulatan Religiusitas Orang Jawa, h.7. 38 Bahasa Arab: تصوف, taṣawwuf ; bahasa Inggris: sufism.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 53
Pemikiran sufi muncul dari Timur Tengah pada abad VIII, tetapi
penganut‐penganutnya kini terdapat di seluruh dunia. Terdapat
pengaruh unsur‐unsur kesufian di dalam budaya, pemikiran, dan
pengamalan masyarakat Islam kini. Namun pengaruh modernisasi dan
kritikan segolongan ulama aliran salafi telah menyebabkan kemerosotan
pengaruh aliran‐aliran sufi dan pengurangan jumlah penganutnya jika
dibandingkan ketika zaman pramodern. Sejak permulaan abad ke‐20,
kedatangan beberapa pengamal sufi ke negara‐negara Barat telah
menyebabkan penyebaran ajaran pemahaman Sufi dalam beberapa
bentuk. Walaupun banyak pengikut kesufian di Barat telah memeluk
agama Islam, banyak juga yang mengikut ajaran kesufian secara bebas.
Ajaran sufi telah memainkan peranan besar dalam pembentukan
sastra di alam Islam. Penulis golongan Sufi telah menghasilkan sejumlah
besar puisi dalam bahasa Arab, Turki, Parsi, Kurdi, Urdu, Punjabi, dan
Sindhi yang merangkumi karya‐karya Jalal al‐Din Muhammad Rumi,
Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai,
Sachal Sarmasts, dan Sultan Bahu. Banyak tradisi tarian kesalihan
(umpamanya pemusingan sufi) dan musik seperti Qawwali.
Istilah tasawuf mulai muncul pada pertengahan abad ke‐3 H oleh
Abu Hasyimal‐Kufi (250 H) dengan meletakkan ʺal‐Sufiʺ di belakang
namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf,
terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir
abad pertama dan permulaan abad ke‐2 H.
Pandangan yang lazim adalah bahwa perkataan ʺsufiʺ berasal
daripada suf sepatah perkataan bahasa Arab untuk sakhlat yang ,(صوف)
merujuk kepada mantel sederhana yang dipakai oleh zahid‐zahid Islam
pada zaman awal. Bagaimanapun, bukan semua ahli sufi memakai
mantel atau pakaian yang diperbuat dari sakhlat.
Satu lagi teori etimologi menyatakan bahwa kata dasar untuk
ʺsufiʺ ialah perkataan bahasa Arab, safa ,yang bermaksud kesucian (صفا)
dan merujuk kepada penegasan sufisme terhadap kesucian hati dan
jiwa. Sementara orang mengatakan bahwa asal perkataan ʺsufiʺ adalah
dari perkataan ʺAshab al‐Suffaʺ (teman‐teman serambi) atau ʺAhl al‐
Suffaʺ (orang‐orang serambi) yang merupakan sekumpulan penganut
Islam pada zaman Nabi Muhammad yang menghabiskan banyak masa
di serambi masjid Nabi untuk bersembahyang.
Abu Yazid, tokoh sufi Timur Tengah, orang pertama kesurupan
54 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Tuhan mengemukakan: “Percayalah, Saya sendiri menjadi Tuhan. Tidak ada
Tuhan, kecuali Aku! Alangkah jayanya Pujaan Ku!” Yang disusul demikian
pula oleh ucapan Al Mansur al‐Hallaj39 yang menyatakan: “Ana‘l Haqq!
– Saya adalah Kebenaran! – Saya adalah Tuhan!”40
Ungkapan tokoh‐tokoh sufis ini menjalar ke Indonesia dengan
ungkapan ”Manunggaling Kawula Gusti”, ajaran Syekh Siti Jenar.
Demikianlah, Islam yang berkembang di Indonesia pada awalnya
adalah dari mazhab sufisme yang mistik.
Pendidikan dan pengajaran Islam yang pada umumnya diberikan
kepada anak‐anak adalah bersifat elementer. Dengan menekankan hafalan
daripada pengertian. Dua cabang ilmu yang diajarkan, fiqih dan tasawuf.
Yang pertama terutama dalam mazhab Syafii, yang kedua dalam bentuk
tarekat, terutama Tarekat Naqsyabandiyah. Para pengikut ajaran ini
menerima taklid yang memang merupakan paham yang berlaku dalam
dunia Islam dari semenjak abad ke‐9, dan menolak ijtihad.
Fikih (Fiqih) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam
yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur
berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi,
bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih
sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya
sebagai hamba Allah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah
adalah diikutinya syariʹat secara ketat, keseriusan dalam beribadah
menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih
mengutamakan berzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin
kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Kalangan tradisional ini juga sengaja mengisolasi diri. Hal itu
dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara kemurnian ajaran
mereka. Namun juga berakibat bahwa mereka menolak apa saja yang
datang dari Barat. Termasuk sistem dan teknik pendidikan. Pusat‐pusat
pendidikan tradisional Islam itu sejak tahun 1930‐an masih sangat
lemah dalam soal organisasi.
Pada zaman penjajahan Belanda, pada awal pertumbuhan
gerakan nasional, Islam memainkan peranan mempersatukan, hingga
39 Abū al-Muġīṭ Husayn Manṣūr al-Ḥallāğ; Mansūr-e Ḥallāj (858—922) tokoh mistik dari Persia. 40 Robert Payne, op.cit., h.195, 197.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 55
lahirnya Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911, yang kemudian menjadi
Sarekat Islam tahun 1912.
Dalam teologi, golongan tradisional di Indonesia mengikuti
pikiran al‐Asy’ari dari abad ke‐10. Tercermin dalam pandangan fatalistis
terhadap kehidupan; kecenderungaan untuk melihat keadaan atau nasib
sebagai sesuatu yang sudah ditakdirkan amat kuat. Banyak pula yang
percaya bahwa dunia akan kiamat.
Sebaliknya, ada pula dari kalangan Islam yang ingin berusaha
mengendalikan nasib mereka, menolak takdir begitu saja. Mereka
berkeyakinan bahwa Islam memang dan seharusnya sesuai dengan
zaman dan tempat mana pun, mereka melihat Islam itu modern, malah
senantiasa modern. Oleh sebab itu mereka dapat disebut golongan
modern atau modernis untuk membedakan mereka dari golongan
tradisional Islam.
Tokoh‐tokoh golongan Islam modernis datang dari Minangkabau,
dengan Haji Abdullah Ahmad (1878—1933), Haji Abdul Karim
Amrullah (1879—1945), dan Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860—
1947); dari Jakarta dari kalangan orang‐orang turunan Arab dengan
mendirikan organisasi Djamijat Chair dan kemudian juga Al‐Irsjad;
Kesultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta, masing‐masing
tempat berdirinya Muhammadiyah (1912) oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan
(1869—1923). Dan Sarekat Dagang Islam (1911), kemudian Sarekat Islam
(1912) oleh Ki Haji Samanhudi (1868—1956); dan daerah Priangan
dengan Ahmad Hassan (1887—1957).
Para kaum modernis ini tidak lagi menyerah pada takdir. Mereka
melakukan kegiatan di bidang kemasyarakatan terutama pendidikan.
Dengan mendirikan organisasi‐organisasi keagamaan dan
kemasyarakatan, sekolah‐sekolah, kepanduan, dan lain‐lain. Akhirnya
mendirikan partai politik dan aktif bergerak di bidang politik. Berdirilah
Sarekat Islam pada tahun 1912, dan tahun itu juga lahir Muhammadiyah
yang melakukan kegiatan tanpa mengandung perlawanan keras
terhadap pemerintah kolonial Belanda, bahkan bersedia menerima
subsidi dari pemerintah.
Beberapa kalangan modernis ada yang mendapat pendidikan
Barat, seperti Haji Agus Salim yang mendapatkan pendidikan di Jazirah
Arab dan bekerja pada konsulat Belanda di Jeddah. Perkenalannya
dengan Sarekat Islam pada tahun 1915 adalah ketika ia dikirim oleh
56 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pihak kepolisian Belanda untuk mengamati kongres dan kegiatan SI di
Surabaya; dengan kata lain, ketika ia menjadi intel Belanda.41
Dalam Kongres V Sarekat Islam hadir Tan Malaka,
H.O.S.Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Darsono, dan Semaun. Kongres
memperdebatkan keanggotaan rangkap. Agus Salim dan Abdul Muis
menentang keanggotaan rangkap. Sedangkan Semaun dan Darsono,
anggota pimpinan SI adalah anggota PKI. Kongres memutuskan
melarang keanggotaan rangkap. Sarekat Islam menjadi pecah. Terbentuk
SI Putih di bawah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto dan SI Merah di
bawah pimpinan Semaun. Selanjutnya SI Merah menjadi Sarekat Rakyat
di bawah pimpinan PKI.
Tahun 1923 di Priangan berdiri Persatuan Islam dengan tokohnya
Ahmad Hassan yang banyak menulis tentang ke‐Islaman. Tulisannya
berpengaruh pada Bung Karno dan Mohammad Natsir. Berlainan dari
Muhammadiyah, Persatuan Islam bersikap keras terhadap kebiasaan‐
kebiasaan umat yang mereka anggap berlawanan dengan ajaran pokok
Islam. Mereka kuat sekali merujuk segala sesuatu pada Qur’an dan
Hadits, sedangkan Muhammadiyah tidak mengesampingkan begitu saja
pendapat para ulama zaman dahulu. Kalangan nasionalis yang netral
agama, mereka tuduh mempunyai keinginan untuk menegakkan
kepercayaan Hindu dan animisme.
Tahun 1926 berdirilah Nahdhatul Ulama (NU). Di Sumatra,
golongan tradisionalis Islam pada tahun 1930 mendirikan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti) dengan berpusat di Bukittinggi, serta Al‐
Jamiyatul Wasliyah di Medan.
Pada tahun 1935 berdiri Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), tempat
berkumpul organisasi‐organisasi Islam yang banyak itu. Mula‐mula
anggotanya 7 organisasi, lalu pada tahun 1941 meningkat menjadi 21
organisasi.
Pada tahun 1938 berdiri Partai Islam Indonesia dengan mendapat
dukungan para tokoh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Thawalib di
Sumatra. Dalam bidang sosial, partai‐partai Islam itu dapat bekerja sama
dalam federasi MIAI. Namun dalam bidang politik masing‐masing
bergerak sendiri‐sendiri. Ketika Gabungan Politik Indonesia (GAPI)
didirikan pada tahun 1939, PSII hanya bersedia masuk di dalamnya
41 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h.13.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 57
setelah mendapat jaminan bahwa Penyadar (Salim) tidak akan diajak.
Hubungan antara organisasi‐organisasi Islam dan kalangan
nasionalis yang netral agama, yang bermusuhan di paro kedua tahun
1920‐an dan paro pertama tahun 1930‐an, membaik dengan adanya
GAPI serta Majelis Rakyat Indonesia (MRI) pada tahun 1941. MRI adalah
forum pertemuan antara GAPI, MIAI, dan federasi pekerja pegawai
negeri Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri.
Mengutamakan, memperjuangkan, serta membela Islam, menjadi
benang merah pendirian para pemeluk Islam. Suara keras
mengutamakan Islam dikemukakan jurubicara MIAI, Wondoamiseno
(1895—1952) yang menyokong tuntutan Indonesia Berparlemen dengan
catatan bahwa parlemen itu harus berdasar Islam. Pada tahun 1941, ketika
GAPI menyusun suatu memorandum mengenai Konstitusi Indonesia
masa depan, MIAI mengatakan bahwa kepala negara Indonesia
haruslah beragama Islam dan dua pertiga anggota kabinet terdiri dari
orang‐orang Islam. Haruslah mendirikan satu departemen agama.
MIAI yang didirikan kembali di Jakarta tahun 1942, diubah
menjadi Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia (Masjoemi) pada akhir tahun
1943. Di zaman pendudukan Jepang, tahun 1944 didirikan Hizbullah
yang memberikan latihan kemiliteran bagi para pemuda. Hizbullah
mendapat dukungan pemerintah Jepang. Ketika itu, Pemerintah Jepang
mendirikan kantor administrasi agama yang berusaha mengatur semua
kegiatan tentang Islam.
Usaha menegakkan Islam sampai mendirikan negara Islam di
Indonesia berlanjut. Termasuk dalam sidang‐sidang Badan Penyelidik
Usaha‐Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang
pertama badan ini, pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato
mengenai dasar negara, yang kemudian terkenal dengan Lahirnya
Pancasila. Berlangsung perdebatan mengenai dasar negara. Kalangan
Islam yang ingin menegakkan ideologi Islam, menuntut agar Islam
dijadikan dasar negara. Dan diajukan pendapat agar kepala negara
hendaknya seorang muslim dan rumusan ini perlu dicantumkan dalam
ayat bersangkutan. Pendapat ini ditolak oleh kalangan nasionalis dan
mereka yang beragama Kristen. Dibentuk komisi kecil yang terdiri dari
Haji Agus Salim, Kiai Wahid Hasjim, Abikusno, Abdul Kahar Muzakir,
Bung Karno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, dan
Muhammad Yamin. 22 Juni 1945 tercapai persetujuan yang
58 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ditandatangani semua anggota komisi 9 orang ini, bahwa negara
berdasar pada “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk‐pemeluknya.”
Akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945, kata‐kata tentang
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya dihapus kembali dari
mukadimah konstitusi yang terkenal dengan nama Undang‐Undang
Dasar 1945. Malah kata Allah, nama khas dalam Islam bagi kata Tuhan,
diganti dengan kata Tuhan, berdasar usul dari I Gusti Ktut Pudja, wakil
dari Bali.
Wakil‐wakil Islam tetap tidak puas dengan hasil rumusan ini.
Mereka berharap bahwa enam bulan setelah proklamasi, benar‐benar
tegak satu pemerintahan yang sah dalam arti mewakili rakyat. Dan
direncanakan ketika itu untuk mengadakan pemilihan umum setelah
enam bulan. Optimisme semua kalangan sangat tinggi. Mereka
membayangkan ketenangan dan ketertiban hingga berlangsung
pemilihan umum untuk penyusun konstitusi baru, pengganti Undang‐
Undang Dasar 1945. Sampai tahun 1955, kaum Islam yakin bahwa
mereka akan keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Dan
akan berhasil menyusun Undang‐Undang Dasar Negara berdasarkan
Islam.
Pengumuman Pemerintah 3 Oktober 1945 menyerukan agar
rakyat mendirikan partai‐partai politik. Pada 7 dan 8 November 1945 di
Yogyakarta diadakan Muktamar Islam Indonesia yang dihadiri oleh
hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum
perang. Muktamar memutuskan untuk mendirikan majelis syuro pusat
bagi umat Islam Indonesia, Masyumi, yang dianggap sebagai satu‐
satunya partai politik bagi umat Islam. Masyumi mempunyai dua
macam anggota: 1. Perseorangan dan 2. Organisasi. Anggota
perseorangan minimum berumur 18 tahun atau sudah kawin. Tidak
dibenarkan merangkap keanggotaan partai lain. Mulanya hanya empat
organisasi yang masuk Masyumi, yakni Muhammadiyah, Nahdatul Ulama,
Perikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Persatuan Ulama Seluruh
Atjeh (PUSA) dengan Ketua Teungku Daud Beureueh bergabung pada
tahun 1949.
Tanggal 17 Desember 1945, Masyumi mengeluarkan suatu
program aksi, bahwa Islam “menghendaki kesejahteraan masyarakat
serta penghidupan yang damai antara bangsa‐bangsa di muka bumi ini
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 59
dan menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalisme dan
imperialisme.” Partai bermaksud “melaksanakan cita‐cita Islam dalam
urusan kenegaraan hingga dapat mewujudkan susunan negara yang
berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat yang berdasarkan
keadilan menurut ajaran‐ajaran Islam.”
Dalam masalah keadilan dan kemakmuran menurut ajaran‐ajaran
Islam ini, tersembunyi sikap anti‐komunisme dari tokoh‐tokoh Masyumi.
Natsir menyatakan, “komunisme dalam mencapai kemakmuran,
menekan dan memperkosa tabiat dan hak‐hak asasi manusia.
Sedangkan kapitalisme, dalam membiarkan kebebasan kepada tiap‐tiap
orang, tidak mengindahkan perikemanusiaan dan hidup dari
pemerasan keringat orang lain dan membukakan jalan untuk
kehancuran kekayaan alam.”42
Ditambahkannya, “Islam itu berlainan daripada komunisme. Islam
mengakui hak kepribadian dan memberikan kebebasan, bahkan
mewajibkan kepada tiap‐tiap orang supaya mencari rezeki sekuat
tenaga. Dan—berlainan pula dari kapitalisme—kekayaan yang didapat
itu tidaklah boleh digunakan untuk kepentingan diri sendiri saja, tetapi
harus pula dikeluarkan untuk menolong sesama manusia, guna
menciptakan kemakmuran bersama.” 43 Dalam hubungan dengan
komunisme, memang Majelis Syuro Masyumi mengutuk komunisme itu
sebagai kufur dan mereka yang secara sadar dan dengan yakin
menyokong ideologi ini sebagai kafir.
Dasar pengutukan terhadap komunisme itu ialah karena
komunisme merupakan ideologi yang: 1) Bersandar pada historis
materialisme yang tidak sesuai dengan Islam yang mengajarkan bahwa
segala sesuatu berasal dari Tuhan; 2) Bermusuhan dengan agama dan
menolak adanya Tuhan; 3) Mengabaikan hubungan keluarga dan
menganggap wanita sebagai milik bersama; 4) Tidak mengakui hak
milik pribadi; 5) Berusaha mencapai tujuannya dengan sistem diktatur
dan ini berlawanan dengan prinsip musyawarah dalam Islam.44
Masyumi menyamakan komunisme dengan kapitalisme. Dalam
Tafsir Asas Masyumi dinyatakan: ”Kapitalisme dan materialisme yang
42 Harian Abadi. “Kita Punya Taruhan Sendiri untuk Pecahkan Soal-Soal Hidup”, 15 Januari 1952. 43 Deliar Noer, op.cit., h.13. 44 Ibid., h.136—137.
60 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menghasilkan falsafah perebutan hidup (struggle for life) dan kejayaan si
kuat yang mengalahkan si lemah (survival of the fittest) mengakibatkan
permusuhan antara majikan dan buruh. Dengan demikian, damai tidak
akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang
bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Komunisme pun tak jauh beda dengan ini. Dalam komunisme,
kesewenangan diperbarui, hak‐hak rakyat ditindas, dan dunia juga
ingin direbut.”45
Natsir adalah tokoh Masyumi yang keras anti‐komunis dengan
menulis, membandingkan demokrasi dengan komunisme: “Tujuan
utamanya ialah kekuasaan. Inilah anti‐komunisme–Marxisme–
Leninisme. Kekuasaan itu dilancarkan dalam sifat kediktatoran. Mana
yang menghalangi harus disingkirkan, kalau perlu dengan jalan
membunuh. Komunisme adalah satu paham yang bertentangan
seluruhnya dengan paham demokrasi.”46
Dalam menggalakkan kampanye anti‐komunisme, sementara
tokoh Masyumi mendirikan organisasi‐organisasi anti‐komunis. Antara
lain terkenal dengan Front Anti‐Komunis dengan tokohnya Isa Ansjari.
Kegiatan demikian berlanjut dan berkembang di bawah kekuasaan
kediktatoran orba Soeharto. Selanjutnya, bertopengkan agama Islam,
terbentuk organisasi Front Pembela Islam dan Front Anti Komunis
Indonesia (FAKI) yang giat berkampanye anti‐komunis. FPI berkampanye
menuntut MPR/DPR untuk mengembalikan Pancasila sesuai dengan
Piagam Jakarta, serta untuk pemberlakuan syariat Islam di Indonesia
Di samping Masyumi, kalangan Islam membangun berbagai
partai politik demi memperjuangkan cita‐citanya. Antara lain partai
politik Perti berasal dari organisasi tradisional Islam, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra Tengah. Organisasi ini
didirikan di suatu pesantren terkenal di Candung, dekat Bukittinggi,
pada tanggal 20 Mei 1930. Dalam Kongres bulan Desember 1945 di
Bukititinggi dinyatakan sebagai partai politik. Berbeda dari kalangan
tradisionalis di Jawa yang pada umumnya teguh dalam berhadapan
dengan pihak kiri, terutama komunis, Perti seakan‐akan sangat bersedia
bekerja sama dengan kegiatan‐kegiatan yang diprakarsai PKI. Perti
memperlihatkan kegigihan dalam hubungan dengan mazhab Syafii.
45 Ibid., h.138. 46 Ibid., h.360.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 61
Dalam Anggaran Dasar dinyatakan, Perti “harus hidup dari abad ke
abad sebagai benteng pertahanan Kaum Ahluss Sunnah wal Jamaah
yang bermazhab Syafii.”
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) adalah partai Islam tertua di
Indonesia, berasal dari Sarekat Dagang Islam (1911) dan Sarekat Islam
(1912). Segera sesudah PSII didirikan kembali pada tahun 1947,
pimpinan PSII mengumumkan menyatakan bahwa PSII tidak
mempunyai pertikaian dengan Masyumi.
Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya 31 Januari 1926,
sebagai usaha menahan perkembangan paham pembaharu dalam Islam
di Tanah Air, serta usaha mempertahankan ajaran tradisional dan
mazhab di Tanah Suci yang baru dikuasai golongan Wahabi di bawah
Raja Abdul Aziz bin Sa’ud. Perhatian NU dalam bidang politik lebih
kentara di masa revolusi. Pada tahun 1945 mengeluarkan fatwa, bahwa
mempertahankan tanah air dari serangan musuh merupakan hal yang
wajib bagi tiap muslim; NU juga memanggil jihad terhadap Belanda.
Oktober 1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi.
Pada 30 Agustus 1952, berdiri Liga Muslimin Indonesia, yang
meliputi tiga partai Islam: Perti, NU, dan PSII. Tujuannya adalah
mencapai masyarakat Islam sesuai dengan hukum Allah dan Sunah
Nabi. Kemudian sebuah organisasi Islam lainnya Persyarikatan Tionghoa
Islam Indonesia yang berpusat di Ujungpandang bergabung ke Liga
Muslimin Indonesia.
Usaha mendirikan negara Islam tak padam‐padamnya. Tafsir Asas
Masyumi menyatakan bahwa, “semua hukum dan peraturan negara
harus sesuai dengan hukum dan peraturan Islam,” dan dinyatakan
bahwa “Masyumi memperjuangkan kalimah Allah, terlaksananya ajaran‐
ajaran Islam dalam kehidupan orang perseorangan, masyarakat, dan
negara dengan tujuan negara yang berkebajikan diliputi oleh kerelaan
Ilahi.” Dalam Piagam Perjuangan Masyumi dinyatakan bahwa Masyumi
memperjuangkan terbentuknya negara hukum menurut Islam dengan bentuk
Republik.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo (1905—1962) yang semula
adalah seorang murid H.O.S. Tjokroaminoto dan menjadi pimpinan
Partai Sarekat Islam, memimpin pasukan bersenjata Hizbullah di zaman
Jepang, menentang Persetujuan Renville yang ditandatangani pemerintah
Amir Sjarifoeddin. Pada tanggal 7 Agustus 1949 memproklamasikan
62 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berdirinya Darul Islam di Jawa Barat. Ini mendapat dukungan dari
Abdul Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan tahun 1951 dan disusul
dengan deklarasi Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia oleh
Daud Beureueh pada tanggal pada 20 September 1953.
Pemilihan Umum tahun 1955 menampilkan empat besar, yaitu
PNI, Masyumi, NU, dan PKI, dan melahirkan parlemen baru dan
Konstituante yang bertugas merumuskan Undang‐Undang Dasar baru
Republik Indonesia. Dari anti‐komunisme, Masyumi berkembang
menjadi anti‐Pancasila untuk dasar negara. Dan berlanjut dengan usaha‐
usaha pemberontakan bersenjata menggulingkan RI demi mendirikan
negara Islam.
Sesudah Pemilihan Umum, Bung Karno mengumumkan Konsepsi
Presiden untuk membentuk Kabinet Gotong‐Royong, yang terdiri dari
wakil‐wakil partai nasionalis, agama, dan komunis. Keinginan Bung
Karno membentuk pemerintah koalisi ini ditentang oleh Masyumi dan
Partai Katolik. Sementara itu dalam Konstituante timbul perbedaan
pendapat mengenai dasar negara. Pemerintah mengambil inisiatif
mengusulkan untuk kembali ke Undang‐Undang Dasar 1945. Para wakil
Islam memperjuangkan masuknya ungkapan tujuh kata: “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” ke dalam Mukadimah
Undang‐Undang Dasar. Berlangsung tiga kali pemungutan suara. Tidak
tercapai hasil dua pertiga jumlah suara untuk mengambil keputusan.
Konstituante menghadapi jalan buntu dalam merumuskan dasar
negara. Pada permulaan tahun 1959, Konstituante telah dapat
menyelesaikan 90% dari kerjanya. Namun macet dalam hal dasar
negara, karena wakil‐wakil partai Islam terus teguh berpegang pada
pendirian tentang Islam sebagai dasar negara.
Konstituante tidak berhasil merumuskan Undang‐Undang Dasar
baru, karena perbedaan pendapat tak terdamaikan mengenai dasar
negara. Masyumi bersama partai‐partai Islam menghendaki Islam
sebagai dasar negara. PSI tak menghendaki Pancasila sebagai dasar
negara. Hanya PNI dan PKI serta beberapa partai kecil yang
menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Jalan buntu diatasi
dengan mengambil usulan dari pemerintah yakni kembali ke Undang‐
Undang Dasar 1945. Ini pun ditentang oleh Masyumi. Nasution dan
Suwirjo, Ketua Umum PNI, mengusulkan agar Bung Karno membubarkan
Konstituante dan mendekritkan “Kembali ke Undang‐Undang Dasar 1945”.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 63
Hingga pada 29 Juni 1959, Bung Karno mengumumkan dekrit di Istana
Bogor.
Tidak berhasil menempuh jalan legal mendirikan negara Islam,
Masyumi menempuh jalan pemberontakan. Pada permulaan tahun
1958, tiga tokoh Masyumi yang pernah mengepalai pemerintah
Indonesia sebagai perdana menteri di masa lalu, berkumpul di Sumatra
Tengah. Turut hadir dalam pembicaraan‐pembicaraan yang diadakan
oleh wakil‐wakil dewan dan komandan militer berbagai daerah serta
tokoh‐tokoh politik lain dari ibu kota (seperti Sumitro Djojohadikusumo
dari PSI) yang semuanya telah menolak kebijaksanaan pemerintah
pusat. Wakil‐wakil dewan dan panglima daerah itu datang dari Sumatra
Utara, Tengah, dan Selatan, serta dari Sulawesi (Utara dan Selatan). Di
antara mereka, para panglima militer ini serta kalangan PSI, telah
memperlihatkan sikap radikal terhadap pemerintahan pusat. Pendapat
mereka berkisar dari pemberontakan sampai pelepasan ikatan dari
Jakarta (dan mendirikan negara sendiri). Kemungkinan lain ialah
bergabung ke Malaya dengan membentuk negara baru.47
Tanggal 10 Februari 1958, atas nama Dewan Perjuangan yang
didukung panglima‐panglima militer berbagai daerah itu mengajukan
ultimatum ke pusat agar dalam waktu 5 x 24 jam membentuk kabinet
baru dengan pimpinan Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku
Buwono. Ultimatum tidak mendapat respon dari pemerintah Juanda;
terbentuklah PRRI dengan Sjafroeddin Prawiranegara sebagai perdana
menteri dengan kedudukan di Bukittinggi, Natsir menjadi jurubicara,
Burhanuddin Harahap menjadi Menteri Pertahanan dan Kehakiman.
Dengan terlibatnya tokoh‐tokoh pimpinan Masyumi dalam
pemberontakan PRRI, pada tanggal 17 Agustus 1960 dengan keputusan
Presiden No.200/1960, diperintahkan agar pimpinan Masyumi
menyatakan partainya bubar. Kalau tidak, Masyumi akan diumumkan
sebagai “partai terlarang”.
Partai Masyumi dinyatakan terlarang. Kekuatan penganut Islam
tetap melanjutkan kehidupan dan perjuangan untuk menegakkan Islam
di Indonesia. Kekuatan Islam digunakan dalam teror berdarah
pembantaian komunis demi menegakkan kekuasaan orba. Kalangan
pengemban politik anti‐komunis berjaya di bawah kekuasaan orba
47 Ibid., h.375.
64 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Soeharto, menjadi tenaga penegak dan pembela rezim orba. Demi
menegakkan Islam, kekerasan demi kekerasan melanda kehidupan
masyarakat. Bermuara sampai pada teror berdarah yang mengobankan
jiwa manusia.
11. Pengaruh Tiongkok atas Perkembangan Pikiran di Indonesia
TIONGKOK bukan hanya negara tetangga yang besar, tetapi juga salah
satu tempat asal penduduk Nusantara. Masuknya para pendatang dari
daratan Tiongkok berlangsung berkali‐kali selama berabad‐abad.
Berdasarkan sensus tahun 1930, dari 1,25 juta orang Tionghoa, 750.000
berasal dari golongan yang dikategorikan sebagai peranakan, 420.000
dari peranakan ini tinggal di Pulau Jawa dan Madura.48
Pada akhir abad ke‐20, di Indonesia terdapat sekitar 2%
penduduk turunan Tionghoa. Ini berarti, dari 230 juta penduduk
Indonesia, terdapat hampir 5 juta orang turunan Tionghoa. Warga
turunan Tionghoa yang sekian besar jumlahnya itu membawa kebiasaan
hidup dan cara berpikir yang dianut turun‐temurun. Karena itu,
berpengaruh pada masyarakat yang dibaurinya. Mempengaruhi
kehidupan masyarakat di bidang ekonomi, budaya, agama, dan politik.
Agama Buddha masuk Nusantara dibawa oleh pendeta Buddha.
Agama Islam berkembang semenjak tampilnya Kesultanan Demak di
bawah pimpinan Raden Patah (1475–1518), turunan darah Tionghoa.
Walisongo juga memainkan peranan penting dalam menyebarkan Islam.
Di antara Walisongo terdapat tiga orang yang berasal dari turunan
Tionghoa. Maka pengaruh Tiongkok dan Tionghoa besar sekali bagi
perkembangan pikiran penduduk, perkembangan peradaban; bagi
pembangunan dan konsolidasi nasion Indonesia.
Jauh sebelum Raden Patah membangun Kesultanan Demak dan
mengembangkan agama Islam di Jawa, telah berlangsung hubungan
antara Nusantara dan kerajaan di daratan Tiongkok. Raden Patah
adalah seorang turunan darah Tionghoa. Ada keterangan bahwa nenek
moyangnya adalah orang Tionghoa bernama Cek Ko‐po. Patah berasal
dari bahasa Arab “Fatah”, menurut catatan Portugis dipanggil “Patre
48 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan, Hasta Mitra, Jakarta, 1999, h.14.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 65
Rodin” dan dalam catatan sejarah Tiongkok bernama “Jin Bun”. Ibunya
adalah seorang wanita Tionghoa, seorang selir dari Kertabhumi yang
memerintah sebagai Raja Brawijaya V dari Majapahit (1468—1478).
Sejarah mencatat, pada abad ke‐2 M, Kerajaan Salakanagara
dengan Raja Dewawarman telah mengirim utusan ke Tiongkok. Di
samping itu sudah berlangsung perpindahan penduduk dari Tiongkok
masuk Nusantara. Para peneliti sejarah menyimpulkan bahwa bagian
utama dari penduduk yang menjadi bangsa Indonesia berasal dari
selatan Asia, dari daerah sekitar Yunnan, Tiongkok Barat Daya.49
Candi Batujaya, stupa bata di Kabupaten Karawang, Jawa Barat,
yang diduga mulai dibangun pada abad ke‐4 M adalah salah satu
bangunan Buddha tertua di Nusantara. Sepuluh abad sebelum
Christopher Colombus menemukan Amerika tahun 1492, pada awal
abad V pengelana dari Tiongkok bernama Fa Xian (337—422) yang
49 Terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah tentang asal-muasal bangsa Indonesia. Dilihat dari akar bahasa yang sama yakni bahasa Austronesia, bahasa-bahasa yang digunakan di kepulauan Nusantara, Polinesia, dan Melanesia, Prof. Kern menyatakan bahwa nasion Indonesia berasal dari Asia. Sedangkan Willem Smith yang juga melihatnya dari aspek bahasa di mana Smith membagi bangsa-bangsa di Asia atas dasar bahasa yang digunakan, yakni bangsa yang berbahasa Togon, bangsa yang berbahasa Jerman, dan bangsa yang berbahasa Austria. Lalu bahasa Austria dibagi dua, yaitu bangsa yang berbahasa Austro Asia dan bangsa yang berbahasa Austronesia. Menurut Smith, bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia ini mendiami wilayah Indonesia, Melanesia, dan Polinesia. Sedangkan Brandes dengan melakukan perbandingan bahasa, ada kesamaan nasion-nasion yang bermukim di wilayah yang membentang dari sebelah utara Pulau Formosa di Taiwan; sebelah barat Pulau Madagaskar; sebelah selatan yaitu Jawa, Bali; sebelah timur hingga ke tepi pantai batas Amerika. Berbeda dengan Mayundar yang berpendapat bahwa bangsa-bangsa yang berbahasa Austronesia berasal dari India, lalu menyebar ke wilayah Indocina terus ke daerah Indonesia dan Pasifik. Dilihat dari penemuan artefak, Van Heine Geldern berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Asia Tengah, sedangkan Moh. Ahli berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari Yunnan. Para ahli lainnya seperti Hogen berpendapat bahwa orang-orang Melayu yang hidup di pesisir Melayu berasal dari Sumatra, lalu mereka bercampur baur dengan bangsa Mongol dan kemudian disebut dengan Proto Melayu dan Deutro Melayu (Melayu Muda) yang akhirnya menyebar ke seluruh pulau-pulau di Indonesia. Berbagai pendapat dari para ahli tersebut ditentang oleh Yamin yang berani menyatakan bahwa bangsa Indonesia bukanlah berasal dari luar kepulauan Indonesia tetapi asli berasal dari Indonesia sendiri. Ini dibuktikan dari penemuan fosil dan artefak yang ditemukan di Indonesia bahkan lebih lengkap dibandingkan dengan daerah-daerah lain di luar kepulauan Indonesia.
66 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dalam literatur Inggris biasa ditulis Fa Hien atau Fa Hsien, mengunjungi
Nusantara dalam pengembaraannya mencari buku‐buku ajaran Buddha.
Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah
Kerajaan Sriwijaya yang berjaya pada abad ke‐7 sampai tahun 1377.
Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan
agama Buddha di Asia Tenggara. Ini disaksikan oleh pendeta Buddha
yang pertama dari Tiongkok berkunjung ke Nusantara Fa Xian, mampir
di Jawa selama lima bulan dalam perjalanannya menuju India. Ia juga
menemukan Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat.
Pendeta Buddha kedua mengunjungi Nusantara adalah Yi Jing
(635‐712),50 yang dalam literatur Inggris biasa ditulis I Tsing, atau I Ching
dari dinasti Tang yang aslinya bernama Zhang Wenming.
Pada bulan November tahun 671, Yi Jing berlayar dari
Guangzhou menuju India, mampir di Pulau Sumatra (kala itu disebut
Swarnabhumi) yang merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ia
menemukan bahwa Buddhisme diterima secara luas oleh rakyat, dan
ibu kota Sriwijaya (sekarang Palembang) merupakan pusat penting
untuk pembelajaran Buddhisme (kala itu Buddha Vajrayana). Yi Jing
belajar di Sriwijaya selama beberapa waktu sebelum melanjutkan
perjalanan ke India. Yi Jing menjadi pendeta pada usia 14 tahun. Ia
adalah pengagum pendeta‐pendeta Fa Xian dan Xuan Zang. Karena
bermaksud belajar di Universitas Nalanda di Bihar, India, dengan naik
kapal Persia, Yi Jing berlayar dari Guangzhou selama 22 hari, sampai di
Palembang, Sriwijaya. Tinggal di sana selama enam bulan, belajar
bahasa Sanskrit dan bahasa Melayu. Bepergian ke Kedah, sampai di
sebuah kerajaan di Barat Shu. Menurut catatannya, “Orang Kunlun”,
maksudnya Melayu, tak bersepatu dan pakai sarung. Ia terus ke
Nalanda, India, tinggal di sana 11 tahun. Yi Jing, yang berkunjung ke
50 Yi Jing (635—713 M) adalah salah satu di antara tiga peziarah utama dari Tiongkok, selain dua pendahulunya, Fa Xian dan Xuan Zang. Sejak berusia 18 tahun mempunyai impian untuk pergi ke India yang merupakan pusat pembelajaran pada masa itu. Keinginannya terwujud ketika berusia 37 tahun. Selama lebih kurang 25 tahun, Yi Jing berada di luar negeri. Di antara tempat utama kunjungan adalah Foshi/Shili Foshi dan Moluoyou (Melayu) di mana ia menetap sekitar 10 tahun, begitu juga di Nalanda (India) sekitar 10 tahun. Lihat karya Yi Jing berjudul A Record of the Buddhist Religion as Practiced in India and the Malay Archipelago (A.D.671—695), dapat diakses di https://archive.org/stream/recordofbuddhist00ichi/ recordofbuddhist00ichi_djvu.txt
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 67
Nusantara antara tahun 688—695 menulis bahwa ada sebuah kerajaan
yang dikenal dengan Mo‐Lo‐Yu (Melayu), yang berjarak 15 hari
pelayaran dari Sriwijaya. Dari Ka‐Cha (Kedah), jaraknya 15 hari
pelayaran. Menurut catatan Yi Jing, kerajaan tersebut merupakan negara
yang merdeka dan akhirnya ditaklukkan oleh Sriwijaya.
Yi Jing memaparkan berbagai mazhab Buddha di India. Di Barat
India ada mazhab Mahasamghika Nikoya, Sthavira Nikoya,
Mulasarvastivadca Nikoya, dan Sammitiya Nikoya. Keempat mazhab ini
tergabung dalam dua mazhab Mahayana atau mazhab Hinayana. Yi Jing
memuji tingginya taraf pengetahuan Buddhisme di Sriwijaya. Ia
menasihatkan agar pendeta Tiongkok yang akan belajar ke Nalanda di
India supaya terlebih dahulu belajar di Sriwijaya. Kesempatan Yi Jing
mengunjungi Sriwijaya memberi syarat untuk berkenalan dengan
mereka yang berdatangan dari negeri‐negeri tetangga. Ia menulis bahwa
di timur kota tempatnya belajar, Bhoga, terdapat Kerajaan Jawa, Holing.
Dicatatnya bahwa Buddhisme berkembang di seluruh pulau‐pulau Asia
Tenggara dan banyak raja atau penguasa pulau di Laut Selatan adalah
penganut agama Buddha. Menurut Yi Jing, di India Utara kaum
Buddhis adalah penganut mazhab Mahayana
Dari Nalanda, di tahun 687 Yi Jing kembali ke Tiongkok, mampir
lagi di Sriwijaya, tinggal di Palembang selama dua tahun,
menerjemahkan karya‐karya asli agama Buddha dari bahasa Sanskrit.
Tahun 695, ia menyelesaikan terjemahan lengkap sebanyak 400 tulisan
tentang Buddhisme, dibawa pulang ke Luo Yang. Ia mendapat
sambutan kehormatan dari Ratu Wu Zetian. Dua catatan perjalanan
karya besar Yi Jing berjudul: 1. Catatan Tentang Buddhisme di Samudera
Selatan, dan 2. Catatan Perjalanan Pendeta Buddha dari Dinasti Tang,
memaparkan perjalanannya ke Sriwijaya dan India. Perjalanannya
berlangsung selama dua puluh lima tahun. Ia sudah menerjemahkan 60
buku agama Buddha ke dalam bahasa Tionghoa, termasuk:
Saravanabhava Vinaya; Avadana, yaitu Kisah‐Kisah Perbuatan Besar dalam
tahun 710 dan Suvarnaprabhascottamaraja—Sutra, Kitab tentang Raja yang
Paling Terhormat dalam tahun 703.
Kunjungan pendeta‐pendeta Fa Xian dan Yi Jing ke Sriwijaya
membuahkan persahabatan dan penyebaran agama Buddha. Inilah
kenyataan sejarah manifestasi hubungan baik dan bersahabat kedua
negeri dan rakyat. Tidak sejengkal pun tanah yang direbut dan
68 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dikuasainya. Fa Xian dan Yi Jing telah berjasa besar menjalin hubungan
Nusantara dan Tiongkok. Catatan perjalanan Fa Xian dan Yi Jing telah
membakukan Sriwijaya dalam sejarah, memperkenalkan Nusantara ke dunia
luar.
Tahun 1293 Kubilai Khan, Kaisar Mongol, cucu dari Jengis Khan,
pendiri dinasti Yuan, menyerang untuk menguasai Jawa. Pasukannya
dipimpin oleh Ike Mese. Mereka dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk
mengalahkan Jayakatwang di Kerajaan Kediri. Setelah Kediri runtuh,
Raden Wijaya dengan siasat cerdik bisa mengusir tentara Mongol keluar
dari Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit
sebagai kelanjutan Singhasari dan menyatakan dirinya sebagai anggota
Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.
Berbagai invasi ke negeri‐negeri Asia Timur dan Asia Tenggara
dilancarkan oleh Kubilai Khan untuk memperluas kekuasaan,
melancarkan perdagangan, dan menuntut upeti dari negara‐negara lain
Asia. Kekaisaran Dinasti Yuan mencapai batas terluasnya saat di bawah
kekuasaan Kubilai Khan, dengan penaklukan tuntasnya atas dinasti
Sung pada tahun 1279.
Usaha Kubilai Khan menguasai Kerajaan Singhasari mendapat
perlawanan. Duta besar yang ditugaskan menuntut upeti dipermalukan.
Mukanya dilukai dan disuruh pulang. Pada akhir tahun 1292, angkatan
perang Mongol mulai dikirim ke Jawa karena duta besarnya
dipermalukan oleh Kerajaan Singhasari di bawah Raja Kertanegara.
Pada tahun 1293, angkatan perang tersebut mendarat di Rembang dan
mulai melaju ke arah timur. Pada saat mereka tiba, Jawa sedang
mengalami kehancuran yang diakibatkan oleh perang. Kerajaan
Singhasari sendiri sudah jauh hari dihancurkan oleh Kerajaan Kediri.
Pasukan Mongol itu disiasati oleh Raden Wijaya agar membantunya
memberontak melawan Jayakatwang, Kerajaan Kediri. Jayakatwang
akhirnya tertangkap dan Raden Wijaya mendirikan kerajaan yang diberi
nama Majapahit. Pasukan Mongol kemudian diserang oleh Raden
Wijaya dan diusir dari Jawa. Panglima Mongol, Ike Mese, yang sudah
kehilangan sedikitnya 3000 tentara dan tidak tahan menghadapi iklim
tropis yang lembab dan panas itu memutuskan untuk berlayar kembali
ke Mongolia dengan berbekal emas, budak, dan hasil rampasan perang
lainnya dari Jawa. Kekuasaan Kubilai Khan adalah bersifat angkara
murka. Masuknya ke Nusantara tidaklah bersifat bersahabat, maka
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 69
mendapat perlawanan yang menyebabkannya terusir.
Sekitar satu abad sebelum pelaut‐pelaut terkemuka dari Italia
Christopher Columbus (1451—1506), dari Portugis tahun 1488
Bartholomeuz Diaz dan Vasco da Gama (1460—1524) berlayar
meninggalkan Eropa, melewati ujung Afrika Selatan, sampai
menemukan benua Amerika; Laksamana Zheng He (1371–1433),51 yang
dalam literatur Inggris biasa ditulis Cheng Ho untuk pertama kalinya
sudah mengarungi Samudera Hindia sampai ke Afrika Timur atas
perintah Kaisar Yong Le, dinasti Ming. Bahwa mendahului pelaut Eropa,
Tiongkok pada abad ke‐15 telah memiliki pengetahuan pelayaran yang
maju. Menguasai teknologi perkapalan hingga mampu membangun
armada yang kuat dan perkasa.
Kunjungan Laksamana Zheng He semenjak tahun 1405
merupakan peristiwa bersejarah dalam hubungan Tiongkok dan
Nusantara, serta pengembangan pengaruh Islam. Tujuh kali kunjungan
selama tahun 1405—1435 merupakan peristiwa yang menjalin hubungan
dan kerja sama kalangan Islam Tiongkok dan Indonesia. Laksamana
Zheng He berkunjung tahun 1405 membawa Islam dan laki‐laki
Tionghoa yang membaur dengan penduduk setempat. Berasal dari
keluarga Islam bangsa Hui, Zheng He adalah seorang pelaut, diplomat,
laksamana angkatan laut pada awal dinasti Ming. Zheng He memimpin
pelayaran ekspedisi ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan
Afrika Timur dari tahun 1405 sampai 1433.
Sebagai peringatan atas kunjungan Zheng He, di Semarang
terdapat gedung yang terkenal dengan nama Sam Po Kong, yang berarti
Istana San Po, Kuil San Po. Tahun 1404 Kaisar Yong Le
menganugerahinya nama marga “Zheng” atas jasanya membela
Bendungan Zhenglunba dalam pertempuran tahun 1399 di Beijing dan
mengangkatnya jadi Kepala Pejabat‐Pejabat Istana. Tahun 1430, kaisar
baru Xuan De mengangkat Zheng He memimpin ekspedisi laut ketujuh
ke Samudera Barat (Samudera India). Tahun 1431 Zheng He dianugerahi
pangkat “San Bao Taijian”. Dalam setiap ekspedisi mulai dari pertama
sampai ketujuh, Zheng He mengunjungi Jawa dan Sumatra. Ini
berlangsung pada tahun‐tahun 1405 sampai 1433. Pada kesempatan ini,
51 Nama asli Zheng He adalah Ma San Bao atau 三寶 artinya “Tiga Anugerah”, 三宝, artinya "Tiga Permata", “Tri Ratna” dalam ungkapan Buddha atau 三保, artinya "Tiga Perlindungan", diucapkan sān bǎo.
70 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Zheng He telah mengunjungi negeri dan kota‐kota Champa, Jawa,
Palembang, Malaka, Aru, Samudera, Lambri, Ceylon, Qiulon, Kollam,
Cochin, Calicut, Siam, Kayal, Coimbatore, Puttanpur, Kelantan, Pahang,
Hormuz, Maldive, Mogadishu, Barawa, Malindi, Aden, Muscat, Dhofar,
Bengal, Sharwayn, Djofar.
Pada tahun 1416, Laksamana Zheng He dari dinasti Ming
melakukan ekspedisi ke‐5 menuju Nusantara. Dalam rombongannya
terdapat Syekh Hasanuddin atau yang dikenal dengan nama sebagai
Syekh Qura yang berasal dari Champa. Saat armada Zheng He singgah
di Karawang, Syekh Hasanuddin beserta pengikutnya turun dan
bermukim di Tanjungpura. Atas izin Prabu Niskala Wastu Kancana,
Syekh Hasanuddin mendirikan pesantren bernama Pondok Qura di
Tanjungpura yang merupakan pesantren tertua di Jawa Barat. Ia
kemudian menjadi guru dari Nyi Mas Subang Larang, salah satu istri
dari Prabu Sri Baduga Maharaja52 yang menganut Islam.
Salah seorang nenek moyang Zheng He adalah Zaidinsyah
Shamsuddin, seorang putra raja Xian Yang dari Provinsi Yunnan di
masa dinasti Yuan. Kakek Zheng He adalah Haji Charamedin, bapaknya
adalah Haji Myrikyn. Maka Zheng He mempunyai latar belakang Islam
yang kuat.
Ekspedisi pelayaran Zheng He adalah untuk penyebaran Islam,
perdamaian, dan persahabatan. Zheng He mengomandoi armada yang
besar, perkasa, mampu mengalahkan bajak laut, menangkap
pimpinannya dan membawa kembali ke Tiongkok. Walaupun Zeng He
mengomandoi armada besar lagi perkasa, mengarungi samudera luas
dan mengunjungi berbagai negeri Asia Selatan sampai Afrika Timur,
tidak sejengkal pun daerah negeri lain yang didudukinya, tidak satu
pun benteng didirikannya di negeri asing. Penghargaan persahabatan
dari negeri‐negeri yang dikunjungi Zheng He ditunjukkan oleh berbagai
peninggalan sejarah. Salah satu di antaranya adalah di Semarang,
dibangun Kuil Sam Po Kong, peringatan bersejarah atas kunjungan
52 Masyarakat Sunda lebih mengenalnya dengan nama Prabu Siliwangi (nama lainnya adalah Pangeran Pamanah Rasa) yang memerintah Kerajaan Sunda dan Galuh selama 39 tahun (1482—1521 M). Dalam kitab Suwasit yang ditulis dalam bahasa Sunda kuno diceritakan bahwa Prabu Siliwangi berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di tanah Sunda. Pada masa kepemimpinannyalah Pakuan mengalami kejayaan. Dari hasil perkawinanan dengan Nyi Mas Subang Larang, lahirlah Kian Santang dan Rara Santang, ibunda dari Sunan Gunung Jati.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 71
Zheng He.
Selama 28 tahun, dari tahun 1405 sampai 1433, Zheng He sudah
melangsungkan tujuh kali pelayaran. Tiap pelayaran ia memimpin
armada meliputi sekitar 200 kapal. Yang terbesar kapal yang mampu
membawa 1000 awak kapal, ditambah 1.000 ton muatan, panjangnya 150
meter dan lebar 60 meter. Kapal yang digerakkan dengan kekuatan
angin atas 12 layar dengan sembilan tiang. Zheng He telah mampir di
banyak negeri Asia dan Afrika, termasuk Brunei, Malaka, Jawa
(Semarang dan Surabaya), Palembang, Aceh, Pontianak, Sri Langka,
serta Jeddah dan Mekah.
Dalam perjalanan ini, Zheng He didampingi sejumlah pejabat
beragama Islam. Ketika singgah di Semarang dan Surabaya, Zheng He
sudah menemui penduduk beragama Islam, orang Tionghoa penganut
Islam yang sudah membangun masjid‐masjid. Mereka menyebarkan
Islam mazhab Hanafi dalam bahasa Tionghoa.
Hubungan Nusantara dan Tiongkok telah berlangsung selama
berabad‐abad. Tercatat para pendeta Buddha yaitu Fa Xian dan Yi Jing
berjasa menyebarkan agama Buddha. Di samping itu, Laksamana Zheng
He mengembangkan agama Islam. Sejarah menunjukkan bahwa
hubungan ini adalah hubungan persahabatan yang memainkan peranan
penting bagi peradaban.
Salah satu pernyataan hormat dan penghargaan pada Zheng He
ditunjukkan oleh Klenteng Sam Po Kong yang terletak di dalam sebuah
gua di peluaran kota Semarang dengan nama ‘rumah batu’ atau ‘Gua Sam
Po Kong’, dikelilingi gunung dan di sekitarnya penuh dengan pohon‐
pohon besar yang rimbun dan rindang. Setelah memasuki gua dan
mendekati Klenteng Sam Po Kong, yang tampak pertama adalah sebuah
gapura lengkung yang besar dan megah, di kiri‐kanan atap gapura
terdapat dua ekor naga melingkar pada cucuran atap, dengan mulut
ternganga memperebutkan sebuah bola mutiara mengilau,
menunjukkan gaya “dua naga bermain mutiara”. Di depan pintu
mendekam sepasang singa batu, dan di belakangnya masing‐masing
berdiri gagah patung batu seorang jenderal penjaga pintu. Seluruh pintu
kelenteng dilengkapi dengan atap cucuran melengkung ke atas, tiang
dan kasau dirias dengan ukiran dan lukisan sepenuhnya bercorak
bangunan tradisional Tionghoa. Pada kedua sisi pintu gerbang tertulis
sepasang sajak kuplet antitesis yang berbunyi “Tokoh Yunnan dinasti
72 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Ming meninggalkan nama dalam sejarah dunia, air sumur dan gua gunung
mengenang kepergiannya.” Kalimat melintang berbunyi: “Kebajikan
menenteramkan dan kewibawaan meyakinkan.”53
Klenteng Sam Po Kong berhubungan erat dengan sejarah mulia
orang Tionghoa yang telah bekerja sama bahu‐membahu dengan
penduduk pribumi Indonesia, dengan susah‐payah membangun kota
Semarang selama Zheng He mengunjungi Jawa. Ia juga merupakan
sebuah contoh dan bukti hidup tentang sumbangan positif orang
Tionghoa untuk pembangunan Indonesia.54
Pendatang Tionghoa masuk Nusantara menjadi penduduk tetap,
membaur dan bersatu padu dengan penduduk asli tanpa membuang
budaya asli mereka, tetapi tidak menduduki kekuasaan politik yang
menguasai hidup kenegaraan. Lewat pembauran dengan penduduk asli,
lahirlah peranakan Tionghoa.
Pada tahun 1596, empat kapal ekspedisi Belanda dipimpin oleh
Cornelis de Houtman berlayar menuju Indonesia. Ini adalah kontak
pertama Nusantara dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten,
pelabuhan lada utama di Jawa Barat. Di sini mereka terlibat dalam
perseteruan dengan orang Portugis dan penduduk lokal. Houtman
berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa, sempat diserang
oleh penduduk lokal di Sedayu, yang berakibat kehilangan 12 orang
awak dan terlibat perseteruan dengan penduduk lokal di Madura yang
menyebabkan terbunuhnya seorang pimpinan lokal. Setelah kehilangan
separuh awak maka pada tahun berikutnya mereka memutuskan untuk
kembali ke Belanda, namun rempah‐rempah yang dibawa cukup untuk
menghasilkan keuntungan.
Pada tanggal 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan
Verenigde Oost‐Indische Compagnie—VOC (Perkumpulan Dagang India
Timur). Pada masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara‐negara
Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis, dan
Belanda, untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur.
Untuk menghadapi masalah ini, oleh Staaten Generaal (pemerintah) di
Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka
biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas nama
53 Prof. Kong Yuanzhi, Silang Budaya Tiongkok Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2005, h.92. 54 Ibid., h.112.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 73
Pemerintah Belanda—yang waktu itu masih berbentuk republik—untuk
membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu
negara. Wewenang ini mengakibatkan bahwa suatu perkumpulan
dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Dari berdagang, VOC berubah menjadi penguasa kolonial
Belanda di Indonesia. Berakar pada rasialisme dan diskriminasi sosial,
pihak kolonial Belanda menjalankan kebijakan memecah‐belah, dengan
membagi‐bagi penduduk menjadi tiga golongan: golongan pertama
adalah orang Eropa, golongan kedua adalah orang asing Timur
termasuk orang Tionghoa, dan golongan terendah adalah orang
pribumi. Dari zaman Jan Pieterszoon Coen (1587—1629), VOC
membentuk satu minoritas yang terdiri dari orang‐orang Tionghoa dan
Peranakan Tionghoa. Sejumlah orang Tionghoa yang membantu
kolonialisme Belanda mendapat kedudukan khusus. Mereka diberi
kedudukan dengan menyandang pangkat letnan, kapten, dan mayor.
Mereka mendapat berbagai fasilitas dalam berdagang seperti mendapat
pinjaman tanpa bunga, kebebasan pajak, dan sebagainya. Kekuasaan
kolonial Belanda berusaha menggunakan peranakan Tionghoa sebagai alat
untuk memperkuat kekuasaan kolonialnya. Belanda menempuh cara
memberi kedudukan istimewa bagi unsur‐unsur peranakan Tionghoa
sebagai orang asing Timur yang disebut “Oostersche vreemdelingen”.
Belanda membatasi kebebasan bergerak para pendatang dari Tiongkok,
mereka ditempatkan di daerah‐daerah khusus bernama Chinesche Kamp,
Kampung Tionghoa, Pecinan.
Walaupun diasingkan oleh kekuasaan kolonial Belanda, jumlah
terbesar para pendatang dari Tiongkok itu membaur dalam masyarakat
Indonesia. Pada pokoknya, mereka adalah kaum pekerja. Mulai dari
buruh tambang, kaum tani yang mampu bercocok‐tanam, para ahli
kerajinan tangan, pedagang, tukang kayu, pengrajin kerajinan tangan
mengolah perak, tukang gunting rambut, pewarung makanan, dan lain‐
lain keahlian. Penduduk asli Nusantara dapat pelajaran dari pendatang
ini dalam banyak hal, terutama dalam menghasilkan kebutuhan hidup
sehari‐hari. Menghasilkan gula dari tebu atau aren, bercocok‐tanam
berbagai macam sayur, memelihara ternak, menghasilkan barang
porselen, berdagang, dan lain‐lain. Pengaruh penduduk Tionghoa
menjadi saingan bagi kekuasaan kolonial Belanda. Maka dilakukan
pembatasan‐pembatasan. Karena itu lahirlah kalangan minoritas berupa
74 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
keturunan Tionghoa. Dari sini muncul pandangan tentang penduduk asli
dan tidak asli. Ini berkembang jadi rasialisme yang dianut sementara
politikus Indonesia. Maka dalam Undang‐Undang Dasar RI 1945,
terdapat rumusan: “Presiden ialah orang Indonesia asli.”55
Dari sini muncul politik diskriminasi rasial, rasialisme. Kekuasaan
kolonial yang rasialis secara sadar berusaha membatasi dan melenyapkan
pengaruh Tiongkok dari Indonesia. Ini dilanjutkan dan dipraktekkan rezim
orde baru Soeharto. Rezim fasis ini menggunakan istilah Cina untuk
menggantikan Tiongkok dan Tionghoa. Perbuatan ini dituangkan dalam
keputusan Seminar ke‐2 Angkatan Darat di Bandung 25—31 Agustus
1966 yang memutuskan sebutan “Republik Rakyat Tjina” untuk
menggantikan sebutan “Republik Rakjat Tiongkok”, dan “warga Tjina”
menggantikan “warga Tionghoa”. Istilah “Tjina” adalah untuk menghina
rakyat Tiongkok. Bahkan semua berbau budaya Tiongkok dilarang di
bawah kekuasaan rezim orba Soeharto. Mulai dari melarang
penggunaan huruf Hanzi, melarang peringatan Hari Raya Imlek, sampai
melarang penerbitan berbahasa Tionghoa dan sekolah‐sekolah
Tionghoa. Digalakkan usaha mengganti nama‐nama pribadi menjadi
nama‐nama Indonesia.
Ini semua hakikatnya adalah eliminasi, pelenyapan pengaruh
Tiongkok di Indonesia. Dari pengertian adanya golongan minoritas
Tionghoa, timbullah masalah asli dan tidak asli. Sesungguhnya ini adalah
suatu bentuk diskriminasi terhadap segolongan warga negara yang
mengabdi pada kepentingan ekonomi kalangan tertentu. Kementerian
Ekonomi dari tahun 1950 sampai 1953 dipimpin oleh Hatta, Djuanda,
Sjafroeddin Prawiranegara, dan Sumitro Djojohadikusumo. Walaupun
mereka tidak menghapus program politik “asli”, mereka tetap
membantah adanya diskriminasi sosial. Untuk melenyapkan segala
yang bersifat Tionghoa, kalangan penguasa Indonesia di zaman rezim
orba menampilkan gagasan asimilasi bagi warga turunan Tionghoa.
Melenyapkan segala sesuatu yang bersifat Tionghoa dalam masyarakat
Indonesia adalah tidak mungkin. Ini berarti mengebiri sejarah.
Kenyataan dalam sejarah Indonesia tidak mungkin dipalsukan.
Tiongkok berpengaruh, mempunyai peranan penting dalam kelahiran,
perkembangan bangsa dan budaya Indonesia.
55 Muhammad Yamin, op.cit., h.190.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 75
Menurut Babad Tanah Jawi, Majapahit dikalahkan oleh Kesultanan
Demak pada tahun 1527. Pendiri Kesultanan Demak, Raden Patah,
adalah putra Raja Majapahit terakhir, Brawijaya V, dengan selir turunan
Tionghoa. Di antara Walisongo yang berjasa dalam menyebarkan Islam di
Jawa ada yang berasal dari turunan Tionghoa. Kunjungan pertama
Laksamana Zheng He yang Islam (1405—1407) membawa Islam ke
Indonesia. Ada Walisongo yang lahir dari ibu Tionghoa, seperti Sunan
Ampel (1401—1481) yang bernama asli Bong Swi Ho, adalah guru dari
Raden Patah; Sunan Bonang, putra Sunan Ampel bernama Bong An; dan
Sunan Kalijaga bernama Gam Si Cang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki
darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah
keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara
kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak. Tan
A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri
Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han
sendiri kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis,
Louis‐Charles Damais, diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al‐
Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.
Perdagangan yang dilakukan oleh orang Tionghoa sudah
berlangsung di Indonesia sejak abad ke‐7. Kedatangan orang Tionghoa
dalam gelombang besar dimulai sejak abad ke‐15. Pada waktu orang
Belanda mendarat di Indonesia pada awal abad ke‐17, pedagang
Tionghoa dalam jumlah yang cukup besar telah beroperasi di kota‐kota
Pulau Jawa. Pada umumnya mereka berasal dari golongan Hokkian.
Pada abad ke‐17, VOC juga mendatangkan pekerja dari Tiongkok
untuk keperluan pertambangan. Ketidakadilan terhadap kaum buruh
menimbulkan perlawanan terhadap penguasa kolonial Belanda.
Pemberontakan terhadap VOC menyebabkan VOC membunuh 7.500
orang Tionghoa tahun 1740. Peristiwa ini terkenal dengan Angke Merah,
Sungai Angke di Jakarta berlumuran darah.
Di pertengahan abad ke‐19, perpindahan orang Tionghoa ke
Hindia‐Belanda meningkat dengan hebat. Mereka pada umumnya
berasal dari Tiongkok Selatan dan meninggalkan daerahnya karena
keadaan ekonomi yang parah dan kekacauan yang disebabkan oleh
pemberontakan Tai Ping. Mereka juga tertarik untuk ke Hindia‐Belanda
karena perkembangan ekonomi di sana, apalagi setelah tahun 1870 di
76 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mana investasi Belanda dalam bidang perkebunan dan pertambangan di
Sumatra dan Kalimantan melonjak dengan cepat. Pendatang baru pada
akhir abad ke‐19 ini umumnya berasal dari kelompok Hakka dan Teo
Chiu.56
Berkembangnya nasionalisme Tionghoa akibat pengaruh revolusi
di Tiongkok di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen mendorong
terbentuknya organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), Persatuan
Tionghoa pada tahun 1900. THHK telah membuka kemungkinan bagi
para penduduk Tionghoa dari berbagai macam aliran, Hokkian, Hakka,
dan Teo Chiu, untuk saling berkomunikasi. THHK didirikan untuk
membangkitkan rasa ke‐Tionghoa‐an melalui norma‐norma ajaran Kong
Hucu. Para pemimpinnya yang sebagian besar adalah para peranakan
yang berpendidikan juga membuka sekolah‐sekolah Tionghoa yang
menggunakan bahasa Kuo Yu (Mandarin). Nasionalisme Tionghoa juga
terwujud melalui terbentuknya Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang
Tionghoa) pada tahun 1906, dan Soe Poe Sia (Klub Pembaca Tionghoa) pada
tahun 1909. Soe Poe Sia sangat aktif dalam menerbitkan dan
menyebarkan bahan‐bahan bacaan tentang nasionalisme Tionghoa.
Organisasi kemasyarakatan ini disusul dengan munculnya
beberapa penerbitan surat kabar baru dalam bahasa Tionghoa‐Melayu
yang ditujukan untuk penduduk Tionghoa pada tahun 1909 dan 1910.
Di Batavia terbit Hoak Tok Po dan Sin Po. Di Semarang terbit Djawa Kong
Po. Di Deli‐Sumatra terbit Han Boen Sin Po. Pewarta Soerabaja terbit tahun
1902 di bawah pimpinan The Ping Oen.
Adalah para pendatang dari Tiongkok yang memulai
membangun organisasi kemasyarakatan modern pada awal abad ke‐20.
Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor), Sarekat Dagang Islamiyah didirikan
oleh R.A. Tirto Adisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang
orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906 di Batavia. Bahkan
pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak terlepas dari pengaruh
asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga Tionghoa. Pendiri SI, Haji
Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi
paguyuban tolong‐menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi
juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing‐nya orang
Jawa.
56 Siauw Tiong Djin, op.cit., h.11—12.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 77
Pada awal abad ke‐20, sekitar tahun dua puluhan, masyarakat
peranakan Tionghoa terbagi atas tiga aliran. Pertama, para pendukung
Harian Sin Po menganut pandangan mendukung nasionalisme Tionghoa.
Kedua, tahun 1927 berdiri Chung Hua Hui yang berfungsi sebagai partai
politik yang berkiblat ke Belanda dan tokoh‐tokohnya segera menjadi
anggota Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk pemerintah kolonial
Belanda sebagai wakil‐wakil Tionghoa. Tokoh‐tokohnya adalah: Kan
Hok Hoei, ketua partai Chung Hua Hui (Persatuan Tionghoa). Politiknya
adalah mendukung pemerintah kolonial Belanda. Ketiga, muncul aliran
baru. Tahun 1932, tokohnya Liem Koen Hian mendirikan partai politik
bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dan memimpin surat kabar Sin
Tit Po. PTI bertujuan mendirikan negara Indonesia. Partai ini
menumbuhkan patriotisme, mendorong orang Tionghoa terutama
peranakannya untuk menganggap Indonesia sebagai tanah airnya. Tokoh‐
tokoh pimpinan partai ini adalah Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa
Sik Ien, Siauw Giok Tjhan, dan The Boen Liang. Semenjak tahun 30‐an
sejumlah tokoh Huakiao telah memainkan peranan penting dalam
pergerakan nasional Indonesia.
Juga dalam usaha penerbitan yang mengembangkan bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia. Sejumlah tokoh Hua Kiao memainkan
peranan aktif dalam mengembangkan bahasa dan sastra Melayu yang
memajukan bahasa Indonesia. Dalam perbendaharaan kata‐kata
Indonesia terdapat tidak kurang dari seribu empat ratus kata yang
berasal dari bahasa Tionghoa. Yang paling menonjol menjadi kata‐kata
sehari‐hari adalah tahu, tauco, tauge, teko teh, suun, swikee, sekoteng, kucai.
Istilah yang berasal dari bahasa Tionghoa ini menunjukkan bahwa jenis
makanan dan alat ini menjadi populer di Indonesia berkat ajaran
pendatang peranakan Tionghoa.
Selama akhir abad ke‐19 dan awal abad ke‐20 koran‐koran orang
Tionghoa dalam bahasa Melayu berrmunculan sebagai jamur di musim
hujan. Antara lain terdapat Tamboer Melajoe (1885, Semarang), Bintang
Semarang (1885, Semarang), Warna Warta (1902, Semarang), Pewarta
Soerabaja (1902, Surabaya), Chabar Perniagaan (1903, Batavia), Ik Po (1904,
Solo), Djawa Tengah (1909, Semarang), Sin Po (1910, Batavia), Tjahaja
Timoer (1914 Surabaya), Tjhoen Tjhioe (Semi Rontok, 1914 Surabaya),
Tjahaja Soematera (1918, Padang), Kong Po (1921, Batavia), Asia (1921,
Semarang), Bin Seng (1922, Batavia), Hoa Po (1922, Semarang), Nan Yang
78 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
(1922, Medan), Pelita (1923, Surabaya), Keng Po (1923, Batavia), Sin Jit Po
(1924, Surabaya), Sin Bin (1925, Bandung), Soeara Oemoem (1925,
Surabaya) yang diubah menjadi Sin Tik Po (1929), dan sebagainya.57
Pada 1920‐an itu harian Sin Po memelopori penggunaan kata
Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander di semua
penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian lain.
Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata ʺTjinaʺ
dengan kata Tionghoa. Pada 1931, Liem Koen Hian mendirikan Partai
Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia). Lagu Indonesia Raya
yang diciptakan oleh W.R. Supratman pun pertama kali dipublikasikan
oleh koran Sin Po.
Sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928 menyatakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa persatuan, telah tersebar banyak karya‐karya sastra
dalam Tionghoa‐Melayu. Bahasa ini lahir dari bahasa pergaulan
peranakan turunan Tionghoa, hingga jadi bahasa peranakan Tionghoa dan
berkembang menjadi bahasa Tionghoa‐Melayu. Sastra Tionghoa‐Melayu
adalah sumbangan bersejarah dari peranakan Tionghoa bagi
perkembangan bahasa Indonesia. Surat‐surat kabar Sin Po, Sin Tit Po,
Pewarta Soerabaja, yang terbit mulai tahun 1910 sudah menggunakan
bahasa Tionghoa‐Melayu ini.
Sebelum tahun 1930‐an, harian edisi Melayu yang
diselenggarakan oleh peranakan Tionghoa sekurang‐kurangnya
berjumlah 24 buah. Badan penerbit peranakan Tionghoa yang berbobot
antara lain Tjoe Siauw Hoei (mertua Tio Ie Soei) dan Wong Kam Po.58
Di samping mendorong perkembangan bahasa Indonesia, para
pendatang ini juga menyebarkan agama Tao, Buddha, Ajaran Kong Hucu,
San Jiao, dan juga Islam; memperkenalkan berbagai jenis makanan dan
keahlian.
Dari para pendatang, penduduk asli mendapat pengetahuan
kedokteran dan obat‐obat tradisional Tiongkok, penambangan dan
penggunaan alat‐alat dari logam, pengolahan tanah, cara bercocok
tanam, perikanan, pembuatan teh, kertas, penenunan sutera, pembuatan
gula, arak, minyak, pembuatan kapal, pembuatan mesiu, sampai senjata
api. Dan yang lebih penting lagi, juga mempelopori pembentukan
organisasi modern kemasyarakatan sampai kepada pembentukan partai
57 Prof. Kong Yuanzhi, op.cit., h.273. 58 Ibid., h.121.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 79
politik.
Di bidang pendidikan, peranakan Tionghoa memberikan urun
yang sangat besar. Salah satu di antaranya adalah Universitas Trisakti
yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia dan juga
merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada
tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang
kebanyakan keturunan Tionghoa, salah satu yaitu Siauw Giok Tjhan.
Pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini diganti
menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak orde baru,
universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga
sekarang.
Kemajuan gerakan revolusioner Tiongkok berpengaruh besar
pada gerakan nasional Indonesia. Bung Karno sebagai tokoh utama
gerakan nasionalisme Indonesia mengakui bahwa ia belajar dari San Min
Zhu Yi ajaran Sun Yat Sen dan menggali Pancasila. Pada tahun 1907,
mendahului terbentuknya Budi Utomo, di Jakarta sudah berdiri cabang
Tong Men Hui, organisasi revolusioner yang didirikan oleh Dr. Sun Yat
Sen.
Sejarah mencatat, kontribusi pemuda turunan Tionghoa dalam
proses Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Ada
beberapa nama dari kelompok Tionghoa yang duduk dalam kepanitiaan
kongres, di antaranya Kwee Tiong Hong dan tiga pemuda Tionghoa
yang lain. Kongres menggunakan pondokan pelajar sebagai
pangkalannya. Salah satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung
Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah
pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung itu, selain
menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat latihan
kesenian Langen Siswo, juga sering dipakai untuk tempat diskusi tentang
politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain
dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang
diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan
gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada tahun 1928 Gedung
Kramat 106 jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II
tanggal 27—28 Oktober 1928.
Dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD 1945 terdapat 4 orang
80 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, dan
Oey Tjong Hauw. Dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) terdapat 1 (satu) orang Tionghoa yaitu Drs. Yap Tjwan Bing.
Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warga negara
asing sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya
yang diciptakan oleh W.R. Supratman pun pertama kali dipublikasikan
oleh Koran Sin Po.
Demikian pula dalam Peristiwa Rengasdengklok yang punya arti
bersejarah mendahului proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam
rangka pemuda mendesak agar segera mengumumkan kemerdekaan,
Bung Karno dan Bung Hatta dilarikan pemuda ke Rengasdengklok,
daerah yang dikuasai oleh Umar Bachsan, perwira PETA. Teks
proklamasi disusun di Rengasdengklok, di rumah seorang Tionghoa,
Djiaw Kie Siong. Bendera Merah‐Putih sudah dikibarkan para pejuang
di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus 1945, sebagai
persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Dalam pergerakan nasional Indonesia tampil sejumlah tokoh
turunan Tionghoa sebagai organisator. Ada yang memangku jabatan
menteri dalam berbagai kabinet, seperti Mr. Tan Po Goan, Siauw Giok
Tjhan, Dr. Ong Eng Die, Dr. Lie Kiat Teng, Oey Tjoe Tat, Kwik Kian Gie.
Umumnya tokoh‐tokoh ini diilhami oleh perkembangan gerakan
revolusioner Tiongkok di bawah pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Bukan
hanya San Min Zhu Yi karya Dr. Sun Yat Sen yang populer di Indonesia.
Dengan kemenangan revolusi Tiongkok di bawah pimpinan Partai
Komunis Tiongkok, karya‐karya Mao Zedong pun diterjemahkan dan
banyak beredar dalam bahasa Indonesia.
Yayasan Pembaruan,59 badan penerbitan PKI yang aktif menyebar‐
kan literatur revolusioner, banyak menerbitkan dan mengedarkan
karya‐karya Mao Zedong. Di tahun lima puluhan sudah tersebar dalam
bahasa Indonesia dan Inggris karya‐karya Mao Zedong: Masalah‐Masalah
Strategi Perang Revolusioner Tiongkok, Membetulkan Pikiran yang Keliru,
Tentang Praktek, Tentang Kontradiksi, Mengubah Pelajaran Kita. Di samping
karya Mao Zedong, juga beredar karya‐karya Liu Shaoqi seperti:
Bagaimana Menjadi Komunis yang Baik, Tentang Partai, Tentang Perjuangan
Intern Partai, Nasionalisme dan Internasionalisme.
59 Ejaan lama Jajasan Pembaroean.
II — Cara Berpikir dan Pandangan Hidup di Nusantara | 81
Dalam mempelajari teori revolusioner, di samping mempelajari
karya‐karya Marx, Engels, Lenin, dan Stalin, PKI melakukan pendidikan
kader dengan karya‐karya Mao Zedong dan tulisan‐tulisan pengalaman
revolusi Tiongkok. Sesudah mengalami pukulan hebat Provokasi Madiun
1948, PKI bangkit kembali di bawah pimpinan D.N. Aidit, M.H.
Lukman, dan Njoto. Dalam awal kebangkitan ini, terinspirasi oleh
kemenangan revolusi Tiongkok, di kalangan kader PKI berlangsung
gerakan belajar menggunakan buku tulisan Kian Ling.
Mengenai ini D.N. Aidit menulis: “Belakangan ini kader‐kader
dan anggota‐anggota partai banyak membicarakan brosur kecil tulisan
Kian Ling tentang: cara berpikir, cara bekerja, kritik dan selfkritik. Tersiarnya
brosur kecil ini tepat pada waktunya, yaitu di waktu kelemahan‐
kelemahan dalam partai sedang menonjol kelihatan, dan untuk
mengatasinya hanya jika kader‐kader atau anggota‐anggota partai
mempunyai cara berpikir yang tepat, cara bekerja yang tepat pula, dan
dengan rajin dan sungguh‐sungguh mengadakan kritik dan selfkritik.”60
Tulisan dalam brosur Kian Ling secara sederhana dan mudah dimengerti
dalam memaparkan masalah pikiran, cara berpikir yang bertolak dari
kenyataan, yaitu penerapan materialisme dialektis dalam kehidupan.
Demikian besarnya pengaruh kemenangan revolusi Tiongkok,
hingga pada tahun 1954, D.N. Aidit menulis artikel berjudul “Jalan Mao
Tjetung adalah Satu‐satunya Jalan Revolusi Indonesia”. Dalam hal belajar
dari revolusi Tiongkok, tulisan D.N. Aidit ini meninggalkan masalah
perjuangan bersenjata sebagai bentuk perjuangan yang utama, tidak
mengingatkan ajaran Mao Zedong bahwa “kekuasaan politik lahir dari
laras senapan”, tetapi menitikberatkan pada politik front persatuan
nasional.
Dengan melewati liku‐liku rumit sejarah, Tiongkok berkembang
terus di bawah pimpinan PKT membangun sosialisme berciri Tiongkok.
Dari negeri miskin dan terbelakang pada pertengahan abad XX,
Tiongkok berubah menjadi negara terbesar kedua di dunia dalam
bidang ekonomi, mengungguli Jepang pada awal abad XXI. Ideologi
pembimbing PKT pun berkembang menjadi: Marxisme–Leninisme,
Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, Tiga Butir Mewakili, dan
Pandangan Ilmiah Tentang Perkembangan.
60 D.N. Aidit, Mengatasi Kelemahan Kita, dalam Pilihan Tulisan, Djilid I, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1959, h.37—38.
82 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Kenyataan sejarah menunjukkan, bahwa rakyat Indonesia
menimba hikmah dari peradaban dan kemajuan Tiongkok. Sebagaimana
di masa silam, dalam perkembangan sejarah selanjutnya, tak bisa lain,
Tiongkok akan tetap berpengaruh bagi perkembangan pikiran di
Indonesia.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 83
III
Perkenalan tentang Marxisme,
Materialisme dan Dialektika
1. Bung Karno dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (1926)
dan Pancasila (1945)
ISDV 61 mendahului pembentukan PKI. Lahir organisasi yang per‐
juangannya didasarkan pada Marxisme. Marxisme mulai tersebar di
Indonesia.
Pada tahun 1926, Bung Karno tampil dengan tulisannya berjudul
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.62 PKI yang terbentuk tahun 1920,
mendasarkan pekerjaannya pada Marxisme–Leninisme. Baru tumbuh
telah mulai menerapkan Marxisme, yaitu memadukan diri dengan
gerakan revolusioner Indonesia. Lewat berbagai penerbitan partai, Het
Vrije Woord, Si Tetap, Nyala, Djago‐Djago, Api, Proletar, Soeara Ra’jat, Titir,
mulai berlangsung pekerjaan mempropagandakan program partai dan
Marxisme. Pemerintah kolonial Belanda segera memberikan pukulan‐
61 Berdirinya Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV) atau Perhimpunan Sosial Demokrasi Hindia (PSDH) tidak terlepas dari peranan sayap internasionalis yang diwakili oleh Sociaal-Democratische Party (SDP), kelak pada tahun 1919 telah mengubah SDP menjadi Communistische Partij Nederland (CPN). ISDV didirikan pada 9 Mei 1914, atas inisiatif dari Henk Sneevliet, anggota Sociaal-Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial-Demokrat, Belanda). Pada Kongres tahunan VII, ISDV berubah nama menjadi Perserikatan Komunist di India (PKI) atau Partij der Komunisten in Indie. 62 Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi, Djilid Pertama, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1959, h.1—23.
84 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pukulan dahsyat dengan melarang pers revolusioner dan penangkapan‐
penangkapan atas kader‐kader pimpinan gerakan buruh yang
mengadakan berbagai aksi. Dalam suasana demikianlah tersiar tulisan
Bung Karno, Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Merupakan angin
segar, siraman sejuk bagi kecambah gerakan revolusioner yang sedang
tumbuh dan menuju puncaknya dengan Pemberontakan Nasional
Bersenjata di bawah pimpinan PKI.
Dalam tulisan tersebut Bung Karno mengumandangkan seruan
Karl Marx: “Kaum buruh dari semua negeri, kumpullah jadi satu!
Dikemukakan bahwa berlainan dengan sosialis‐sosialis lain, yang
mengira bahwa cita‐cita mereka itu dapat tercapai dengan jalan
persahabatan antara buruh dan majikan, berlainan dengan umpamanya:
Ferdinand Lassalle, yang teriaknya itu ada suatu teriak‐pendamaian,
maka Karl Marx, yang dalam tulisan‐tulisannya tidak satu kali
mempersoalkan kata asih atau kata cinta, membeberkan pula paham
pertentangan golongan, paham klassenstrijd, dan mengajarkan pula,
bahwa lepasnya kaum buruh dari nasibnya itu, ialah oleh perlawanan‐
zonder‐damai terhadap pada kaum ‘bursuasi’, satu perlawanan yang
tidak boleh tidak, musti terjadi oleh karena peraturan yang kapitalistis
itu adanya.”
Bung Karno menulis, bahwa berguna pulalah agaknya, jikalau
kita di sini mengingatkan, bahwa jasanya ahli pikir ini (Karl Marx) ialah:
“ia mengadakan suatu pelajaran gerakan fikiran yang bersandar pada
perbendaan (Materialistische Dialectiek);—ia membentangkan teori,
bahwa harganya barang‐barang itu ditentukan oleh banyaknya ‘kerja’
untuk membikin barang‐barang itu, sehingga ‘kerja’ ini yalah
‘wertbildende Substanz’ dari barang‐barang (arbeids‐waarde‐leer);—ia
membeberkan teori, bahwa hasil pekerjaan kaum buruh dalam
pembikinan barang itu adalah lebih besar harganya daripada yang ia
terima sebagai upah (meerwaarde);—ia mengadakan suatu pelajaran
riwayat yang berdasar perikebendaaan, yang mengajarkan bahwa ‘bukan
budi‐akal manusialah yang menentukan keadaannya, tetapi sebaliknya
keadaannya berhubung dengan pergaulan hiduplah yang menentukan budi‐
akalnya’ (materialistische geschiedenis—opvatting); ia mengadakan teori,
bahwa oleh karena ‘meerwaarde’ itu dijadikan kapital pula, maka kapital
itu makin lama makin menjadi besar (kapitaalsaccumulatie), sedang
kapital‐kapital yang kecil sama mempersatukan diri jadi modal yang
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 85
besar (kapitaalscentralisatie), dan bahwa, oleh karena persaingan,
perusahaan‐perusahaan yang kecil sama mati terdesak oleh perusahaan‐
perusahaan yang besar, sehingga oleh desak‐desakan ini akhirnya cuma
tinggal beberapa perusahaan sahaja yang amat besarnya
(kapitaalsconcentratie); –dan ia mendirikan teori, yang dalam aturan
kemodalan ini nasibnya kaum buruh makin lama makin tak
menyenangkan dan menimbulkan dendam‐hati yang makin lama makin
sangat (Verellendungstheorie).”
“Sebagai tebaran benih yang ditiup angin kemana‐mana tempat,
dan tumbuh pula dimana‐mana ia jatuh, maka benih Marxisme ini
berakar dan bersulur; dimana‐mana pula, maka kaum ‘bursuasi’ sama
menyiapkan diri dan berusaha membasmi tumbuh‐tumbuhan ‘bahaya
proletariat’ yang makin lama makin subur itu. Benih yang ditebar‐
tebarkankan di Eropa itu, sebagian telah diterbangkan oleh tofan‐zaman
ke arah khatulistiwa. Terus ke Timur, hingga jatuh dan tumbuh di
antara bukit‐bukit dan gunung‐gunung yang tersebar di segenap
kepulauan ‘sabuk‐zamrud’, yang bernama Indonesia. Dengungnya
nyanyian ‘Internasionale’, yang dari sehari kesehari menggetarkan udara
Barat, sampai‐kuatlah haibatnya bergaung dan berkumandang di udara
Timur...”
Bung Karno menulis: “taktik Marxisme yang baru, tidaklah
menolak pekerjaan‐bersama‐sama dengan Nasionalis dan Islamis di
Asia. Taktik Marxisme yang baru, malahan menyokong pergerakan‐
pergerakan Nasionalis dan Islamis yang sungguh‐sungguh. Marxis yang
masih sahaja bermusuhan dengan pergerakan‐pergerakan Nasionalis
dan Islamis yang keras di Asia, Marxis yang demikian itu tak mengikuti
aliran zaman, dan tak mengerti akan taktik Marxisme yang sudah
berobah.”
“Ada pun teori Marxisme sudah berobah pula. Memang
seharusnya begitu! Marx dan Engels bukanlah nabi‐nabi, yang bisa
mengadakan aturan‐aturan yang bisa terpakai segala zaman. Teori‐
teorinya haruslah diobah, kalau zaman itu berobah; teori‐teorinya
haruslah diikutkan pada perobahannya dunia kalau tidak mau menjadi
bangkrut.”
“Kaum Marxis haruslah ingat, bahwa pergerakannya itu, tak
boleh tidak pastilah menumbuhkan rasa Nasionalisme di hati sanubari
kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia itu
86 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kebanyakannya ialah modal asing, dan oleh karena budi perlawanan itu
menumbuhkan suatu rasa tak senang dalam sanubari kaum‐buruhnya
Rakyat di‐‘bawah’ terhadap pada Rakyat yang d’atas’‐nya, dan
menumbuhkan suatu keinginan pada nationale machtspolitiek dari Rakyat
sendiri. Mereka harus ingat, bahwa rasa‐internasionalisme itu di
Indonesia niscaya tidak begitu tebal sebagai di Eropah, oleh karena
kaum buruh di Indonesia ini menerima paham internasionalisme itu
pertama‐tama ialah sebagai taktik, dan oleh karena bangsa Indonesia itu
oleh ‘gehechtheid’ pada negerinya, dan pula oleh kekurangan bekal,
belum banyak yang nekat meninggalkan Indonesia, untuk mencari kerja
di lain‐lain negeri, dengan iktikad: ‘ibi bene, ibi patria: di mana aturan
kerja bagus, di situlah tanahair saya’,—sebagai kaum buruh Eropah
yang menjadi tidak tetap‐rumah dan tidak tetap tanah‐air oleh
karenanya.”
“Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan
berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh‐sungguh. Tak
pantas mereka memerangi pergerakan, yang, sebagaimana sudah kita
uraikan di atas, dengan seterang‐terangnya bersikap anti‐kapitalisme;
tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan yang dengan sikapnya
anti‐riba dan anti‐bunga dengan seterang‐terangnya yalah anti‐
meerwaarde pula; dan tak pantas mereka memerangi suatu pergerakan
yang dengan seterang‐terangnya mengejar nationale autonomie. Tak
pantas mereka bersikap demikian itu, oleh karena taktik Marxisme‐baru
terhadap agama adalah berlainan dengan taktik Marxisme‐dulu.
Marxisme‐baru adalah berlainan dengan Marxisme dari tahun 1847,
yang dalam ‘Manifes Komunis’ mengatakan, bahwa agama itu harus di‐
‘abschaffen’ atau dilepaskan adanya.”
“Kita harus membedakan Historis‐Materialisme itu dari pada
wijsgerig‐Materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya
Historis‐Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig‐
Materialisme tahadi. Wijsgerig‐Materialisme memberi jawaban atas
pertanyaan: bagaimanakah hubungannya antara fikiran (denken) dengan
benda (materie), bagaimanakah fikiran itu terjadi, sedang: sebab apakah
fikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau begini; wijsgerig‐
materialisme menanyakan adanya (wezen) fikiran itu; historis‐materialisme
menanyakan sebab‐sebabnya fikiran itu berobah;wijsgerig‐materialisme
mencari asalnya fikiran, wijsgerig‐materialisme adalah wijsgerig, historis‐
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 87
materialisme adalah historis.”
Di sini Bung Karno memaparkan, bahwa sumber permusuhan
kaum agama dengan kaum Marxis itu adalah kesalahan pemahaman
tentang perbedaan pengertian Wijsgerig‐Materialisme (materialisme
filsafat) dengan Historis‐Materialisme (materialisme historis). “Musuh‐
musuh Marxisme di Eropah, terutama kaum gereja, dalam propaganda
anti‐Marxisme tak berhenti‐henti mengusahakan kekeliruan faham itu,
tak berhenti‐henti mereka menuduh‐nuduh, bahwa kaum Marxisme itu
yalah kaum yang mempelajarkan, bahwa fikiran itu hanyalah suatu
pengeluaran sahaja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai
empedu dari limpa; tak berhenti‐henti mereka menamakan kaum
Marxis suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang
bertuhankan materi.”63
Pandangan dan gagasan Bung Karno menggalang persatuan
bangsa yang tertuang dalam Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme tahun
1926 berkembang menjadi Pancasila di tahun 1945 dan bermuara pada
gagasan persatuan nasional berporoskan nasakom pada tahun enam
puluhan abad XX di puncak kejayaan Bung Karno memegang tampuk
negara Republik Indonesia.
Dengan berkobar‐kobar gandrung akan Marxisme, pada
kesempatan memperingati 50 tahun wafatnya Karl Marx, Bung Karno
menulis: “Nasionalisme di dunia Timur itu lantas ‘berkawinlah’ dengan
Marxisme itu, menjadi satu nasionalisme baru, satu ilmu baru, satu iktikad
baru, satu senjata‐perjoangan yang baru, satu sikap‐hidup yang baru.
Nasionalisme‐baru inilah yang hidup di kalangan Rakyat Marhaen
Indonesia.” 64 Dalam banyak kesempatan, Bung Karno terus terang
mengaku sebagai seorang Marxis, dan dalam perkembangannya
menyatakan bahwa ajarannya yaitu Marhaenisme adalah penerapan
Marxisme di Indonesia.65
63 Ibid., h.1—23. 64 Ibid., h.220—221. 65 Bung Karno menyatakan bahwa “Marhenisme adalah Marxisme yang diseleng-garakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.” Selanjutnya Bung Karno menjelaskan bahwa, “Kalau dus ingin memahami betul Marhaenisme—ini saya menyimpang sebentar—harus memahami dua hal. Lebih dulu memahami Marxisme, apakah Marxisme itu, satu. Dan kedua, memahami keadaan-keadaan di Indonesia.” Lihat Pancasila Bung Karno, Demokrasi Indonesia Membawa Corak Kepribadian Bangsa, Kursus ke-5 Tentang Pancasila, 3 September 1958 di Istana Negara,
88 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
2. Analysis (1947)
BULAN April 1947, Agitprop CC PKI, Djokjakarta, menerbitkan
Analysis, karya Alimin.
Alimin sebagai seorang pejuang revolusioner yang baru datang
dari luar negeri mengemukakan bahwa karya ini ditulis atas permintaan
kawan‐kawan, untuk menjawab soal‐soal yang langsung bersangkutan
dengan partai. Yang dipaparkan adalah mengenai: 20 tahun partai
terlantar, dirusak oleh reaksi dan kawan‐kawan sendiri yang masih
terjangkit penyakit ‘kiri’—penyakit kanak‐kanak, dan kawan‐kawan
yang tidak lurus hati (yang dimaksud adalah penganut paham
Trotskisme). Namun, “sekarang Partai banyak mendapat tenaga yang
baik, Partai mulai menuju ke arah teori, teori Marxisme dan Leninisme.
Partai mewajibkan pada seluruh anggotanya supaya banyak belajar
tentang ilmu revolusi dan perjoangan kaum sekerja, inilah tanda‐tanda
yang sehat.”66
Dikemukakan bahwa “Partai Komunis ialah partai kasta buruh
dan kasta tani, ialah avangard kasta proletar. Supaya partai sungguh‐
sungguh menjadi Partai‐Avangard, perlulah partai diberi senjata teori
revolusioner—teori dan wet‐wet revolusi. Apabila tidak begitu, Partai
akan tinggal impoten. Partai tidak bisa memberi pimpinan pada
perjuangan proletar.”
Mengenai riwayat Revolusi Indonesia, harus diketahui yang
penting dan bagian historis, agar supaya orang bisa mengetahui
kekuatan dan kelemahannya revolusi dan dengan jalan begitu orang
mendapat paham yang jelas tentang revolusi itu. Revolusi Indonesia
mempunyai watak sendiri, watak yang berlainan daripada watak yang
menurut hukum‐hukum (wet‐wet) revolusi pada umumnya. Kekuatan
revolusi nasional mulai dari 8 Maret 1942 yang didahului oleh intervensi
militer Jepang di Indonesia itu adalah datang dari luar. Ada beberapa
hal dan keadaan internasional yang menetapkan kemenangannya
h.193—196. Lihat Amanat Gemblengan Pertama dan Kedua Paduka Yang Mulia Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Bapak Marhaenisme Bung Karno, 24—25 Maret 1965, Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. 66 Alimin, Analysis, Agit-prop CC PKI, Yogyakarta, 1947.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 89
revolusi di Indonesia. Kemenangan revolusi itu telah mematahkan salah
satu mata‐rantai imperialisme di Lautan Pasifik. Dengan kekuatan dari
luar dan kekuatan dari dalam, maka dapatlah revolusi Indonesia
menggugurkan kekuasaan borjuis nasional (raja, regen, dan lain‐lain
perkakas negara) dan selanjutnya dengan mudah membasmi pula
restan‐restan dan kekuatan borjuis asing (Belanda dan kaki tangannya).
Sebab‐musabab kemenangan revolusi Indonesia adalah:
1. Kemenangan Sekutu (Uni Sovyet, Amerika, Inggris, Perancis dan
Tiongkok) dalam Perang Dunia II; 2. Kekalahan Jepang di Asia‐Pasifik;
3. Ambruknya kekuatan imperialisme Belanda seusai Perang Dunia
kedua; 4. Cita‐cita kemerdekaan bangsa‐bangsa mendapat dukungan
klas pekerja di seluruh dunia; 5. Yang terpenting, di Indonesia sudah
terdapat berbagai partai yang berpengalaman dan militan melawan
imperialisme.
Analysis ini mengkritik buku Thesis karya Tan Malaka yang terbit
tahun 1946. Dikemukakan bahwa “Tan Malaka menulis beberapa soal
rempah‐rempah yang tidak aktueel lagi.” Dan bahwa “kewajiban kaum
kerja pada masa yang akan datang ialah mempelajari politik empat
negeri besar, terutama politik dan ekonomi Amerika dan Sovyet Uni.
Harus mempelajari dua aliran besar sedalam‐dalamnya. Dalam abad
yang ke‐20 ini, adalah hanya dua sistem sosial saja, sistem sosialisme
dan sistem kapitalisme.”
Analysis mengkritik Thesis yang mengatakan sosialisme itu
dibentuk oleh Marx dan Engels kira‐kira 100 tahun yang lampau. Ini
tidak tepat, Robert Owen adalah orang yang mencoba mempraktekkan
sosialisme di Irlandia dan kemudian di Amerika. Sosialisme Owen
adalah sosialisme utopi.67
67 Nama utopis diambil dari buku Thomas More, Kanselir Inggris di masa pemerintahan Raja Henry VIII yang diterbitkan pada tahun 1816 yang berjudul Tentang Keadaan Negara yang Terbaik dan Tentang Pulau yang Baru Utopia. Di Pulau Utopia tidak akan ada lagi milik perorangan, hari kerja ditetapkan sampai jam 6 dan baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan bekerja. Kewajiban belajar yang umum bagi anak laki-laki maupun perempuan serta kebebasan agama yang mutlak. Kata “sosialisme” berasal dari bahasa Latin kuno “socialis” yang berarti pendamping, pandai bergaul/supel/ramah tamah, dan seterusnya. Istilah ini muncul di Jerman, Italia, dan negara-negara lainnya pada abad XVIII yang mengacu pada sifat sosial manusia. Pada 1820-an, Saint-Simon dan Robert Owen mulai menggunakan kata “sosialisme” sebagai pemikiran sosial baru, nama sistem sosial
90 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Marx dan Engels tidak membentuk sosialisme, akan tetapi
mereka mempelajari dan meninggikan teori masyarakat sosialis. Jadi
ada dua corak sosialisme. Satu sosialisme utopi dan yang lain “scientific
socialism” atau sosialisme yang berdasarkan ilmu pengetahuan.68
Dalam Thesis, Tan Malaka menerangkan bahwa sistem sosialisme
dan sistem kapitalisme bertentangan, dan buntut kapitalisme ialah
imperialisme. Analysis menulis bahwa “sistem sosialisme dan sistem
kapitalisme itu terus‐menerus tentang‐menentang dan tidak saja
pertentangan yang terus‐menerus, akan tetapi sebaliknya pada
puncaknya krisis kapitalisme, kapitalisme itu sendiri akan memperkosa
diri sendiri untuk melahirkan sosialisme atau lebih terang lagi,
sosialisme itu lahir dari kandungan kapitalisme sendiri. Ia lahir dipaksa
oleh tenaga pendorong atau akal revolusioner dari kaum kerja....
Sosialisme itu ialah suatu sistem sosial yang dilahirkan oleh aksi
revolusioner dari kaum kerja dan kawan‐kawan seperjuangannya. Jadi,
sosialisme itu lahir dari kandungan masyarakat kapitalis dengan syarat
tenaga pendorong—aksi yang aktif dan aksi revolusioner. Menurut
historis‐materialisme, peralihan dari satu masyarakat ke lain
masyarakat—peralihan ke tingkat yang lebih tinggi—umpamanya
masyarakat perbudakan menjadi masyarakat feodal, dan dari
kandungan masyarakat feodal itu lahirlah masyarakat kapitalis.
Perpindahan atau peralihan dari satu masyarakat ke masyarakat lain itu
tidak terjadi dengan jalan damai atau aman, tetapi dengan jalan
baru. Pemikir utama sosialis utopis tidak pernah benar-benar menggunakan ini untuk menyebut diri mereka; istilah “sosialisme utopis” awalnya diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh pemikir-pemikir sosialis setelahnya. Pemikir utama sosialisme utopis: Robert Owen, Étienne Cabet, Saint-Simon, dan Charles Fourier. 68 Pada 1872, Friedrich Engels untuk pertama kalinya menggunakan konsep “sosialisme ilmiah” yang ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul Tentang Masalah Perumahan. Dua tahun kemudian, Karl Marx dalam Ikhtisar Statis dan Anarkis Bakunin menjelaskan bahwa: mereka menggunakan konsep sosialisme ilmiah sebagai lawan dari sosialisme utopis. Pada 1875, Marx dalam Kritik terhadap Program Gotha mengusulkan teori dua tahap perkembangan komunisme, namun tidak mengungkapkan bahwa tahap awal komunisme adalah sosialisme. Pada 1916, Lenin, dalam sebuah artikel “Diskusi Kesimpulan Perdebatan Tentang Isu Penentuan Nasib Sendiri” menunjukkan bahwa sosialisme adalah tahap pertama dalam perkembangan komunisme. Pada 1917, Lenin dalam bukunya Negara dan Revolusi menjelaskan bahwa sosialisme adalah tahap pertama dari komunisme.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 91
pertentangan dan perjuangan—dengan jalan perlawanan mati‐matian.”
Tan Malaka menerangkan bahwa “masyarakat sosialis itu ialah
masyarakat yang tidak berkasta‐kasta. Itu tidak hanya begitu saja.
Sosialisme ialah sistem sosial dari suatu masyarakat di mana orang
bebas dari tindasan orang lain. Jadi, sosialisme ialah suatu masyarakat
di mana penduduknya terhindar dari segala macam penindasan. Dalam
masyarakat sosialis, alat‐alat pembikinan barang dikuasai oleh segenap
kaum kerja, dan sebaliknya dalam masyarakat kapitalis alat‐alat itu
dimiliki hanya oleh segenggam orang saja. Sistem kapitalisme tumbuh
menjadi tinggi dan puncaknya ialah imperialisme. Jadi imperialisme
bukan buntut, tetapi sebaliknya imperialisme ialah yang tertinggi atau
ujung daripada kapitalisme. Dan bersama‐sama dengan timbulnya
imperialisme, timbullah revolusi proletar. Jadi imperialisme ialah
tingkat kapitalisme yang tertinggi—tingkat yang penghabisan, tingkat
yang melahirkan corak revolusi yang tertinggi, yaitu revolusi proletar.”69
Analysis mengkritik Thesis yang menganjurkan semangat
‘adventure’, mencoba‐coba sesuatu yang mengandung bahaya maupun
mesti dilakukan. Ia menghargai semangat ‘adventure’ sebagai syarat
untuk mencoba‐coba sesuatu perbuatan yang berbahaya. Jadi, dengan
semangat ‘adventure’, ia ingin merebut kekuasaan. Jadi, untuk
melakukan ‘putsch’ yang berbahaya—dengan tidak pakai perhitungan—
‘by chance’ orang harus bertindak dengan berani disertai dengan
semangat ‘adventure’.
Dalam Thesis, Tan Malaka menyangkal keras tuduhan Trotskisme.70
69 Baca buku Imperialisme Tingkat Tertinggi dari Kapitalisme karya V.I. Lenin. Buku tersebut mengungkapkan esensi dan karakteristik dasar dari kapitalisme monopoli. Penulis buku tersebut berdasarkan hasil penyelidikan terdahulu tentang imperialisme dari J.A. Hobson, Imperialism (1902) dan Rudolf Hilferding, Finance Capital (1909), menunjukkan bahwa “imperialisme ditandai oleh rezim kapital monopoli” dan juga telah menyimpulkan bahwa “imperialisme adalah fase resesi atau menurunnya dari kapitalisme.” 70 Tan Malaka ada yang mengategorikannya sebagai Trotskis, terutama karena telah meninggalkan PKI dan dilihat dari ulah kekiri-kiriannya. Namun Komite Internasional dari Internasionale Keempat (ICFI) menolak penyamaan politiknya dengan politik Tan Malaka. Di Srilangka, Partai Langka Samasamaja (LSSP) yang pernah terkenal sebagai partai Trotskis, oleh ICFI dikategorikan sebagai partai borjuis. Di sini tidak berarti membenarkan garis politik ICFI. Penolakan ICFI terhadap politik Tan Malaka dan politik Partai Langka Samasamaja adalah untuk menutupi belangnya sebagai organisasi pseudo-revolusioner. Sebab, bekas pengikut-
92 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Analysis menyatakan, “kami tidak menuduh, kami tidak mendakwa,
kami tidak pernah memfitnah orang, kami tidak suka menusuk‐nusuk
dan membusuk‐busukkan kawan atau lawan, kami hanya bekerja untuk
keperluan Partai, meninggikan kwaliteit Partai dan menjunjung tinggi
prestise Partai. Dalam Partai Komunis (Bolsyewik) tidak ada perbedaan
besar kecil, tidak ada perbedaan pemimpin dan anggota, pemimpin
yang berjasa atau anggota biasa yang jujur dan bekerja baik buat Partai,
mereka di muka Partai berdiri tegak bersama‐sama, bertanggungjawab
bersama bagi keperluan Partai. Partai Komunis bukan Partai borjuis,
bukan Partai adpokat atau juris yang mendakwa atau yang menentang
atau memungkiri dakwaan dengan cerdik dan licin bicara untuk
menghindari tuduhan atau dakwaan. Partai Komunis melakukan
pemeriksaan atau suatu soal—meminta pada anggota‐anggotanya siapa
pun juga, pemimpin atau anggota biasa, menerangkan terus‐terang,
menunjukkan kebenarannya dan mengakui kesalahannya sebagai orang
Komunis—sebagai Bolsyewik di hadapan Partai. Kami orang Komunis
bukan seorang dua orang yang tercerai‐berai, akan tetapi kami adalah
Partai yang bulat sebagai satu badan Partai yang mengikat seluruh
anggota dan pemimpinnya dalam satu ikatan. Partai adalah kekuasaan
atau autoriteit yang tertinggi dan yang berkuasa.
Di negeri sejuk, di negeri Jerman, di Amerika, di Inggris, di
Perancis dan juga di Tiongkok kawan‐kawan Komunis yang mengakui
kesalahannya dan menolak tuduhan‐tuduhan yang memberatkan pada
dirinya dengan perbuatan yang nyata dan yang jujur terhadap
Partainya, dapatlah kehormatan dan junjungan yang tinggi.”
Mengenai ‘royeeran’ (pemecatan dari partai), Analysis
memaparkan bahwa Tan Malaka merasa tidak senang hati, bahwa ada
kabar ia telah diroyeer.... “Dari fihak Partai, waktu Partai dipimpin oleh
kawan‐kawan lain, dan juga setelah kembali di tangan kami, kami tidak
memperhatikan soal‐soal partai lain atau soal‐soal seseorang yang tidak
berhubungan dengan Partai. Kami hanya berdaya‐upaya
membangunkan dan mendidik kader baru, mengumpulkan kawan‐
kawan yang tidak curang dan kawan‐kawan yang lurus hati dan
pengikutnya banyak yang memanifestasikan diri di dalam politik yang tidak ada ubahnya seperti politik borjuasi. Lihat Soegiri D.S., Spektrum Kemerdekaan Indonesia: Sebuah Tinjauan Elektif, diakses dari http://www.geocities.org/edicahy/ sej-ind/spektrum.html.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 93
bersama‐sama kami berikhtiar mendirikan sekolahan dan kursus‐kursus
bagi pemuda yang kami didik dalam ilmu Marxisme – Leninisme, yang
kemudian hari akan jadi dasarnya Partai kami. Partainya Lenin dan
Stalin. Kami tidak suka meminta dan mengundang kawan‐kawan atau
anggota Partai yang lama kembali ke dalam Partai dengan tidak
kehendaknya sendiri. Menurut hukum Partai, anggota Partai yang telah
lama tidak bekerja bagi Partai atau telah lama dengan sengaja
menjauhkan diri dari Partai atau masuk anggota Partai lain, maka orang
atau anggota itu dengan sendirinya dikeluarkan dari Partai—jadi orang
itu bukan anggota Partai lagi. Partai Komunis mempunyai disiplin dan
hukum sendiri. Partai Komunis bukan Partai borjuis dan juga bukan
Partai nasional di mana anggota‐anggotanya bertindak atau berbuat
semau‐maunya sendiri.
Pada kaca yang penghabisan penulis Thesis minta dibuktikan
siapa yang meroyeernya dan di mana ia berada pada waktu ia diroyeer.
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa di sini ada dua Tan Malaka. Tan
Malaka palsu dan Tan Malaka sebenarnya.
PKI tidak bisa meroyeer orang yang bukan anggota partai, dan
Tan Malaka bukan anggota partai lagi. Seperti Nath Roy di India—ex‐
Komunis, yang mendirikan partai lain di India telah diroyeer oleh
partai—akan tetapi Roy nekat, dikatakannya ‘Saya tidak mau diroyeer,
saya orang Komunis’. Partai tidak mau mengakuinya sebagai anggota
lagi. Baik Tan Malaka palsu atau Tan Malaka sebenarnya. Partai menolak
kedua‐duanya, baik yang sebenarnya, apalagi yang palsu.
Dalam ‘Thesis’ di sana‐sini orang mengutip dua tiga kalimat dari
buku Riwayat Partai Komunis Negeri Persatuan Komunis (History of the
CPSU). Kutipan‐kutipan itu untuk menunjukkan kesalahan seseorang
dan membenarkan orang lain. Dalam tulisan itu disebut nama‐nama
Zinoviev, Kamenyev, dan lain‐lain. Orang‐orang ini termasuk dalam
golongan atau blok Trotskisten seperti Bukharin dan lain‐lain,
Limonadze dan Shatskin, orang dua inilah yang senantiasa berteriak‐
teriak—‘real shouters’—pada satu masa mereka memuji Partai dan
mencela NEP71 dan pada lain masa mereka memuji NEP dan mencela
71 Pada 15 Maret dalam Kongres X PKUS (B) atas usulan Lenin, Kongres mengesahkan resolusi, memutuskan untuk mengganti pemungutan pajak surplus makanan gandum, menggantikan Komunisme Perang dengan Politik Ekonomi Baru (New Economic Policy, Novaya Ekonomicheskaya Politika). Gagasan penting dari
94 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Partai serta mencela ini dan itu. Sepak terjang dua orang ini diamat‐
amati. Setelah ketahuan bahwa ternyata mereka menjadi sel Trotskisten,
mereka kemudian mengambil keputusan sendiri ... mereka bunuh diri.
Kejadian semacam ini banyak sekali terjadi pada waktu diadakan
pembersihan dalam Partai.”
Mengenai Trotskisme,72 Analysis memaparkan bahwa itu adalah
oposisi menentang partai. Mula‐mula oposisi dijalankan dengan alasan
politik. Tetapi kemudian dalam prosesnya menjadi satu gerakan
sabotase, menggunakan teror, membunuh pegawai negeri dan orang‐
orang Sovyet yang ternama. Pergerakan Trotskisten dan Trotskisme
menjadi pergerakan teroris. Moralnya kaum Trotskisten merosot begitu
rendah sehingga melakukan beberapa pembunuhan seperti pada Gorky
di Moskow, Kirov di Leningrad, meracun beberapa pegawai negeri yang
baik‐baik, menggulingkan kereta api, memberi racun dalam makanan
yang disediakan untuk rakyat Sovyet.
“Trotski atau Trotskisme adalah satu golongan yang berbahaya.
Trotski pernah menjadi salah satu anggota pergerakan kaum kerja di
Rusia. Ia dan kawan‐kawannya telah terbuka rahasianya dan bersama‐
sama dengan lain kaum kontra‐revolusioner. Trotskisten dan Trotskisme
telah dibasmi di negeri Sovyet. Di Eropa, Trotskisme itu masih berlaku di
antara kasta borjuis kecil dan golongan anti‐revolusioner. Trotskisten
dan Trotskisme itu berbahaya, karena bekerja diam‐diam dan dengan
Lenin tersebut adalah secara objektif memperkirakan kompleksitas dan pengembangan tahap transisi menuju sosialisme. Sosialisme harus memiliki bahan pondasi yang kuat, mengambil keuntungan dari hubungan antara uang dan komoditi yang didistribusikan, mengadakan koperasi untuk kaum tani yang akan membimbing mereka ke jalan sosialisme, benar-benar harus melihat dan memanfaatkan kapitalisme. 72 Trotski dan penerusnya selalu membantah adanya “Trotskisme”. Mereka mengaku menjadi murid yang setia dari Lenin. Menurut mereka istilah tersebut diciptakan oleh “Stalinis” untuk siapa pun yang telah menyerang Uni Soviet di bawah kepemimpinan Stalin. Namun untuk adilnya, Trotski yang mengaku murid Lenin harus dibiarkan berbicara bagi dirinya sendiri, “Para petengkar yang malang secara sistematis diprovokasi oleh Lenin, bahwa tangan lama dalam permainan, secara profesional mengeksploitasi semua yang terbelakang dalam gerakan buruh Rusia, tampaknya seperti obsesi yang tidak masuk akal.... Seluruh bangunan Leninisme dibangun di atas kebohongan dan pemalsuan dan para beruang di dalam dirinya terdapat unsur-unsur beracun dari pembusukannya sendiri.” (“Surat kepada Chkeidze”, 1913)
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 95
sembunyi memakai nama ‘komunis’, ‘revolusioner’, ‘Marxis’. Dulu
banyak kaum Trotskisten menjadi anggota Partai. Mereka tahu cara‐cara
kami bekerja.”
Sesuai dengan pengalaman orang komunis keluar dari partai dan
membangun partai lain yang dipaparkan dalam Analysis, di Indonesia,
partai Pari73 yang dibangun Tan Malaka di luar negeri tahun 1927,
berlanjut dengan Partai Murba memainkan peranan dalam membantu
Pemerintah Hatta melancarkan provokasi Madiun 1948 yang membasmi
tokoh‐tokoh utama PKI, termasuk Musso. Tokoh‐tokoh terkemuka Partai
Murba, terutama Adam Malik—anak emas Tan Malaka dan seorang
pengagum Trotski, sampai anaknya pun diberi nama Trotski—
mengambil sikap anti‐PKI, anti politik‐politik besar Bung Karno, jadi
tiang penyangga rezim orba menggulingkan Bung Karno, jadi sekutu
setia dari Soeharto, bahkan jadi wakil presiden.
Mengenai dialektika, Analysis memaparkan bahwa “dialectics
adalah hukum pergoyangan (beweging), hukum gerak, hukum
tegenstelling atau pertentangan, ialah hukum kemajuannya masyarakat
yang terdiri dari beberapa golongan. Dialectics adalah hukum segala
gerak, gerak baik di luar (lahir), maupun di dalam jalan pikiran manusia
(bathin), semua itu terikat oleh hukum dialectics, bahwa hukum dialectics
itu menentukan proses lahir‐melahirkan, proses terus‐menerus atau
ungkir‐mengungkiri (negasinya negasi—negation of negation).
Dialectics dalam proses ganti‐mengganti, robah‐merobah dari
encer menjadi kental (beku) dan dari beku menjadi encer, jadi dari
kwantiteit menjadi kwaliteit dan vice versa atau sebaliknya. Inilah
dialectikanya kwantiteit.
Di lain soal, dialectics itu memeriksa hal‐hal seperti dialectics
biologi, dialectics botani (ilmu tumbuh‐tumbuhan) dan dialectics zoologi
73 Menurut Tan Malaka, Pari didirikan bukan sebagai penerus PKI, tetapi sebagai partai baru, Partai Proletaris-Revolusioner yang berdikari lepas dari Komintern. Jadi di sini Tan Malaka dalam keadaan PKI sedang terpukul karena kekalahan pemberontakan, bukannya berusaha memperbaiki PKI agar bisa bangun kembali, malahan mendirikan partai baru sama sekali. Karena Komintern memang tidak mengetahui usaha perseorangan Tan Malaka ini, Komintern masih terus memberikan tugas-tugas kepadanya. Tetapi demikian Komintern mengetahui tindakan Tan Malaka dengan adanya dan tujuan Pari, maka hubungan antara Tan Malaka dengan Komintern putus dan tidak dipulihkan kembali. Lihat: Imam Soedjono, Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, Resist Book, 2006.
96 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
yang telah berjuta‐juta abad terus‐menerus lahir‐melahirkan, ada
mengadakan, menjadi dan rusak. Begitu juga dialectics dalam alam, yaitu
Naturas atau Alam mengalamkan, turun‐temurun.
Dialectics Marx itu khususnya digunakan untuk memandang
jalannya gerakan revolusioner. Pemandangan yang jauh dari fantasi,
jauh dari cita‐cita, jauh dari taksiran dan jauh lagi dialectics yang
berdasarkan atas semangat ‘adventure’, ‘avontorisme’, etc., etc. Maka
apabila orang mengerti kebenarannya dialectics dengan didasarkan atas
semangat ‘adventure’ maka orang itu menyasarkan faham dialectics.
Dalam Marxisme sangat terlarang adanya aliran ‘oportunisme’,
‘putchisme’.... Orang yang menuju ke sesuatu tujuan yang ‘tinggi’ dan
mendasarkan kehendaknya itu atas perasaan yang ‘ambitious’,
‘adventurous’, maka orang itu akan mengandaskan dirinya atas karang
oportunisme, atas karang kontra‐dialectics.’”
Analysis membantah pandangan mengenai Peristiwa Tahun 1926
yang dipaparkan Thesis. Dikemukakan bahwa Tan Malaka
mengumumkan dirinya sebagai seorang yang memegang mandat dari
Internasionale III, sebagai seorang yang “berkuasa”, yang “dibenoemd”.
Mengumumkan hal yang demikian adalah melanggar hukum kerja
rahasia, yang merupakan pengakuan akan terlibatnya Internasionale
dalam masalah revolusi negeri‐negeri tertentu.74
Dinyatakan bahwa Thesis mengaduk‐aduk Keputusan Prambanan
dan putusan lainnya yang diambil oleh partai. Revolusi 1926 adalah
suatu kejadian yang penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Revolusi yang pertama yang pecah pada tahun 1926 adalah
pelopornya revolusi‐revolusi jajahan di Lautan Pasifik. Di Indonesia
pada tahun 1927, yang kedua. Kejadian‐kejadian di Burma pada tahun
1926—1927 ialah yang ketiga.
Di Indonesia telah terjadi beberapa pemogokan besar dan kecil
74 Tan Malaka beranggapan bahwa Pemberontakan 1926 itu tindakan “advonturis” dan berakibat hancurnya satu generasi PKI. Menurutnya, sebelum PKI memutuskan pemberontakan, seharusnya dukungan rakyat sudah dipastikan. Berbeda dengan Aliarcham yang berpendapat bahwa, “suatu pemberontakan yang mengalami kekalahan adalah tetap sah dan benar. Kita terima kekalahan ini karena musuh lebih kuat. Kita terima pembuangan ini sebagai satu risiko perjuangan yang kalah. Tidak ada di antara kita yang salah, karena kita berjuang melawan penjajahan. Pemerintah kolonial yang bersalah. Kita harus melawannya, juga di tanah pembuangan ini. Dan persatuan harus terus kita pelihara.”
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 97
(kereta api tahun 1923 dan pemogokan umum lain). Jadi revolusi di
Indonesia ialah revolusi pertama di negeri‐negeri Pasifik, revolusi yang
menentang lanjutnya tindasan imperialisme Belanda atas penghidupan
kaum pekerja dan revolusi yang telah menjadi permulaan dan
pengajaran bagi tani dan buruh, bagi kaum revolusioner.
“Bagaimanapun juga, Revolusi 1926 di Indonesia akan lebih hebat
menghantam imperialisme; lebih hebat mengacaukan kekuatan
imperialisme Belanda, jika revolusi itu tidak dipotong‐potong, tidak
disabotir oleh pihak indisiplinairen. Betapa tidak akan lebih hebat,
betapa tidak akan lebih besar effect dan pengaruhnya jika diingat,
bahwa Revolusi 1926 yang tidak sepenuhnya dijalankan itu saja sudah
mendapat sambutan begitu hangat di negeri‐negeri tetangga.
Tahun 1926 ialah sinar, dan dengan sinar ini sejarah Tanah Air
kita mulai bercahaya!”75
Mengenai Partai Komunis, Analysis memaparkan, bahwa Partai
Komunis ialah “partai baru, partainya Lenin dan Stalin. Partai Komunis
ialah partai proletar yang revolusioner yang menjadi petunjuk
perjuangan kasta proletar dan lain‐lain kaum kerja. Partai Komunis
menuju ke pembentukan masyarakat sosialis. Sesuai dengan masanya,
lebih dahulu mementingkan penyelesaian revolusi nasional. Partai
Komunis menerima anggota‐anggota baru yang jujur dan berani, yang
militan, menerima kaum kerja yang sadar akan kastanya dan juga
75 Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak, berpendapat bahwa, “Sekalipun pemberontakan itu berakhir dengan kematian yang memilukan, tetapi sejak itu ide dan bentuk-bentuk pergerakan telah menjadi pengetahuan umum dalam bahasa melayu dan Indonesia.” Hal ini diakui oleh Bung Karno dalam Sarinah, “Imperialisme Belanda pada waktu itu baru saja mengamuk tabula rasa di kalangan kaum komunis. Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Rakyat dipukulnya dengan hebatnya, ribuan pemimpinnya dilemparkannya dalam penjara dan dalam pembuangan di Boven Digul. Untuk meneruskan perjuangan revolusioner, maka saya mendirikan Partai Nasional Indonesia.” Pemberontakan 1926 adalah pemberontakan nasional bersenjata yang pertama melawan imperialisme di bawah pimpinan proletariat. Walaupun Pemberontakan 1926 gagal di mana PKI masih lemah di lapangan ideologi, politik, dan organisasi, namun mereka adalah pahlawan-pahlawan terhormat yang melawan imperialisme. Walaupun gagal, tetapi mereka dapat diberi sebutan seperti yang diberikan oleh Karl Marx kepada pemberontak-pemberontak Komune Paris 1871: “Mereka adalah malaikat-malaikat yang menyerbu langit.” Lihat: Busjarie Latif–Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920–1965), cetakan 1, Bandung: Ultimus, 2014.
98 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menerima golongan‐golongan lain dari lapisan masyarakat. Partai
Komunis menjalankan pimpinan yang revolusioner dan yang taktis
teoretis. Anggota Partai Komunis harus tunduk pada disiplin dan harus
mempertahankan demokrasi revolusioner, yaitu demokrasi‐sentralisme.
Tiap‐tiap anggota sangat diwajibkan belajar Marxisme dan Leninisme
dan ilmu‐pengetahuan lain yang berhubungan dengan perjuangan
revolusioner. Tiap‐tiap anggota harus tunduk dan menjalankan hukum‐
hukum yang termuat dalam program dan undang‐undang partai. Tiap‐
tiap anggota harus bekerja dan berbuat banyak bagi partai,
mengunjungi rapat‐rapat partai dan tiap‐tiap anggota diwajibkan
mengambil bagian dalam pekerjaan partai sebanyak‐banyaknya.”
Kewajiban Partai Komunis yang terpenting dalam revolusi
nasional adalah: “Menolak dan menentang akan adanya bahaya perang
dunia ketiga; membantu pemerintah nasional dan memperkuat
persatuan nasional dan bersama‐sama dengan itu mendidik dan
memperkuat pergerakan kaum buruh dan kaum tani; menentang
sekalian aliran reaksioner, aliran oportunisme dan aliran‐aliran lain
dalam perjuangan kaum kerja; menjalankan agitasi dan propaganda di
kalangan rakyat banyak untuk memperkuat persenjataan dan kekuatan
militer pemerintah nasional; menggiatkan pemuda revolusioner, buruh
tani dan intelektual sebagai dasar jaminan tegak berdirinya republik;
menjalankan massa agitasi di seluruh lapisan rakyat guna persatuan
nasional, guna menjalankan pekerjaan revolusioner.”
3. Tan Malaka: Madilog (1951)
TAHUN 1951, terbit karya filsafat Tan Malaka berjudul: Madilog
(Materialisme, Dialektika dan Logika). Dalam buku itu, Tan Malaka
bermaksud menerangkan “hukum kaum proletar berpikir”,
memaparkan “arti dan daerahnya materialisme, arti dan daerahnya
dialektika, serta arti dan daerahnya logika.”76
Dikemukakan bahwa “Madilog ialah cara berpikir berdasarkan
materialisme, dialektika, dan logika buat mencari akibat, yang berdiri atas
76 Tan Malaka, Madilog, Teplok Press, Jakarta, 2000, h.14, 15.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 99
bukti yang cukup banyaknya dan cukup eksperimen dan diamati.”77
Tan Malaka memulai uraiannya dengan masalah logika mistik.
Dikemukakan bahwa para pemikir Mesir 6000—8000 tahun yang lalu
sudah memikirkan asal bumi dan bintang, memikirkan asal dunia yang
terkembang. Dinyatakan bahwa Rah ialah Dewa Matahari, ialah rohani,
yang lebih dahulu ada dari dunia, bumi, bintang, dan langit. Maha
Dewa Rah tentulah sempurna, yakni Mahakuasa, terkuasa, asal dari
pada semua benda yang ada di dunia ini. Dengan firman yang berbunyi
sabda saja, bumi, langit, bintang beribu juta, Sungai Nil dan gurun pasir
bisa timbul. Timbulnya itu adalah pada satu saat saja, sesudah sabda
tadi difirmankan. Jadi rohanilah yang pertama, zatlah yang kedua. Zat ini
berasal dari rohani. Bukan sebaliknya, yakni rohani yang berasal dari
zat.78
Dalam bab “Filsafat”, Tan Malaka menulis: “Engels memisahkan
para ahli filsafat dari zaman Yunani sampai pada zaman hidupnya
Marx–Engels dalam dua barisan. Pada satu barisan didapat kaum idealis
yang bertentangan dengan barisan kedua, kaum materialis. Kaum
idealis ‘umumnya’ memihak kepada kaum yang berpunya dan
berkuasa, sedangkan kaum materialis berpihak pada proletar dan kaum
tertindas. Kadang‐kadang perlawanan tinggal tersembunyi, tetapi
kadang‐kadang terbuka terus‐terang, cocok dengan riwayatnya
perjuangan proletar dan kapitalis dalam politik.79 Menurut pemisahan
yang diadakan oleh Engels, maka pada barisan idealisten, kita dapati
penganjur terkemuka sekali seperti Plato, Hume, Berkeley yang
berpuncak pada Hegel. Pada barisan materialis, kita dapati Heraklit,
Demokrit, dan Epikur, di masa Yunani, Diderot, Lamartine di masa
Revolusi Perancis yang berpuncak pada Marx–Engels. Di antaranya itu
didapati banyak ahli filsafat campur aduk scientists, setengah idealis
setengah materialis.”80
“Idealis dan materialis yang dijadikan Engels sebagai ukuran
buat memisahkan para ahli filsafat dalam dua barisan, semata‐mata
berdasarkan atas sikap yang diambil si pemikir, ahli filsafat dalam
77 Ibid, h.271. 78 Ibid., h.26—27. 79 Ibid., h.38—39. Lihat Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Bab II – Materialisme dan Idealisme (1886). 80 Ibid., h.39.
100 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
persoalan yang sudah kita tuliskan lebih dahulu, yakni: mana yang
pertama, primus, mana yang kedua. Benda atau fikiran, matter atau
idea. Yang mengatakan pikiran lebih dahulu, itulah pengikut idealisme,
itulah yang idealis. Yang mengatakan matter, benda, lebih dahulu,
barulah datang pikiran, itulah yang mengikuti materialisme.”81
Dalam hal memisahkan ide dan materi, tokoh filsuf idealis David
Hume sampai pada kesimpulan mengenai sebuah jeruk: “yang ia insafi
cuma rasanya yang manis itu, kulitnya yang licin itu, beratnya yang q/3
atau 1/4 kilo itu, warnanya yang hijau atau kuning itu, bunyinya yang
nyaring itu atau lembek itu. Bunyi itu ada di telinga, dalam badan
Hume, bukan pada jeruk, beratnya di tangan Hume, bukan pada jeruk,
rupanya pada mata, rasanya pada lidah atau di ujung jari Hume, bukan
pada jeruk. Semua bunyi, rupa, dan rasa itu dengan perantaraan saraf,
nerve, berjalan ke pusat, ke centre, ke otak. Otak mencatat bunyi, rupa
dan rasa tadi menjadi pengertian, conception, seperti pengertian merdu,
kuning, berat, lezat dan licin. Semua pengertian itu ini di ‘dalam’ saya,
kata Hume, bukan di luar saya. Jeruk itu sebagai benda, tak ada bagi
saya. Yang ada cuma ‘ide’, pikiran, pengertian, ‘bundles of conceptions’,
kata Hume. Jeruk sebagai benda, lembu sebagai benda, tak ada buat
saya. Yang ada cuma ide, pikiran, pengertian, gambaran dari jeruk,
lembu, bumi, bintang dan engkau. ‘Engkau’ kata Hume cuma ’ide’ buat
saya.”82
“Buat Hegel, ‘Absolute Idea’ ialah yang membikin benda ‘Realitat’.
‘Die Absolute Ide macht die Geschichte’. Absolute Idea yang membikin
sejarah, histori, dan membayang pada filsafat. Bukan filsafat yang
membikin sejarah, katanya, melainkan Absolute Idea deren
nachdrucklichen Ausdruck, die Philosophie ist’, yang tergambar nyata
pada filsafat. Jadi menurut Hegel, sejarah ialah sejarah dunia dan
masyarakat dibikin Absolute Idea, dan hal ini tergambar pada filsafat. Pada
81 Ibid., h.39—40. “Mereka yang menegaskan bahwa jiwa ada yang primer jika dibandingkan dengan alam, dan karenanya, akhirnya, menganggap adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk—dan di kalangan para ahli filsafat, Hegel, misalnya, penciptaan ini sering menjadi lebih rumit dan mustahil daripada dalam agama Nasrani—merupakan kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer, tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.” Lihat: Friedrich Engels, Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman, Bab II – Materialisme dan Idealisme (1886). 82 Ibid., h.40—41.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 101
lain tempat, Hegel mengatakan, bahwa Negara dan Staat ialah
‘verwicklichung’, penjelmaan Absolute Idea itu. Absolute Idea itu sama
dengan metaphysik, Idea sendirinya, Ide yang tak dibikin, yang tunggal,
tak jatuh pada hukum sebab dan akibat, hidup dan mati, tak melahirkan
atau dilahirkan, tak takluk pada waktu dan tempat, melainkan tunggal,
terkuasa dan sempurna. Absolute Idea itu membuat sejarah dunia,
masyarakat dan negara, Absolute Idea itu tergambar jelas dan pasti pada
filsafat. Absolute Idea akhirnya sama dengan metaphysik, yakni gaib, di
luar ilmu alam, rohani, Ammon kata Mesir purbakala, Dewa Rah.”83
“Sebagaimana bumi dan bintang berjalan, bersejarah, menurut
hukum tarik‐menarik yang didapat oleh Newton, sebagaimana tumbuh‐
tumbuhan dan manusia bersejarah menurut hukum‐hukum Darwin,
beginilah sejarahnya masyarakat manusia menurut hukum Historisch‐
Materialisme, yang juga dinamai Dialektisch‐Materialisme.
Dengan lahirnya Marxisme, maka Hegelisme berbelah dua:
Dialektika Idealis dan Dialektika Materialistis. Yang pertama dipegang oleh
kaum yang bermodal dan berkuasa dengan pengikutnya, yang kedua,
oleh kaum proletar yang revolusioner.”84
“Apakah artinya alam dan apakah artinya fikiran itu?
Demikianlah kalau kita amati kemajuan ilmu filsafat tadi, maka kita
lihat zaman tengah tahun 478—1492 pencari hakikat dilekati oleh ke‐
Tuhanan. Kaum Scholastic, namanya di Eropa Barat tak bisa mencari
hakikat itu, kalau persoalan itu tidak digarami, dilimaui (dijeruki) dan
dimasak dengan God dan agama ialah agama Nasrani. Sesudah itu,
pada zaman borjuis filsafat tadi sudah susut pada persoalan ‘Jasmani
dan Rohani’, badan dan pikiran.”85
“Engels sudah mendapat kesimpulan, bahwa sisanya filsafat
ialah Dialektika dan Logika. Semua cabangnya yang lain jatuh pada
bermacam‐macam ilmu alam dan sejarah, ialah sejarah masyarakat
manusia. Marx memandang dari sudut pertarungan klas, berkata dalam
11 thesis: Die Pylosophen haben die Welt nur verschieden interpretiert. Es
komt aber daraufen die Welt zu verandern. Para ahli filsafat sudah memberi
bermacam‐macam pemandangan tentang dunia itu. Yang perlu lagi
83 Ibid., h.43. 84 Ibid., h.45. 85 Ibid., h.58—59.
102 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ialah menukar dunia itu!”86
Dalam bab “Dialektika”, Tan Malaka memaparkan masalah
munculnya persoalan dialektika, tentang dialektika dan logika, dialektika
idealistis dan dialektika materialistis, tentang matter dan ide, tentang
perlantunan (masyarakat dan paham), tentang benda (masyarakat)
mengenai pikiran, tentang bayangan masyarakat, tentang masyarakat dan
seni, tentang dampak hubungan antara benda dan masyarakat.
Dalam logika sebagai ilmu berpikir, semua pertanyaan yang diajukan boleh dijawab dengan ya atau tidak. Menurut logika, ya itu semata-mata ya, bukan berarti tidak. Dan tidak itu sama sekali tidak, bukan berarti ya. Sekarang sampai waktunya buat memeriksa pertanyaan yang tidak bisa lagi dijawab dengan ya atau tidak. Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita berjumpa dengan bermacam-macam pertanyaan yang tidak bisa diputuskan dengan ya atau tidak saja, kalau sang waktu campur. Mudah mengatakan orang itu tua, kalau memang sudah atau lebih seratus tahun umurnya, bermata kabur, berambut putih, dan bertelinga pekak dsb. Atau masih bayi, kalau berumur tiga atau empat bulan. Tetapi jawablah dengan ya atau tidak kalau seseorang tetap kuat berupa muda, walaupun umpamanya sudah kira-kira 50 tahun. Adalah saatnya di mana kita semua makhluk bernyawa ini, seorang dokter yang pintar pun, tidak bisa menjawab dengan pasti bahwa kita sudah mati atau masih hidup. Jadi jikalau pertanyaan itu dicampuri oleh waktu di mana campur perkara timbul dan hilang, hidup dan mati, di sinilah Logika semata-mata menjadi gagal.
Mengenai masalah yang saling berhubungan dan bersenyawa,
Tan Malaka menulis bahwa terdapat perbedaan besar antara dua ahli
biologi yang besar Lenxeus dan Darwin. “Lenxeus menganggap tiap
jenis (spesies) baik tumbuhan ataupun hewan, sebagai berdiri
sendirinya, tunggal. Tak berkenaan dan tak ada seluk‐beluknya dengan
jenis lain. Sedangkan Darwin menganggap sebaliknya, satu sama lain
tak bisa dipisah‐pisahkan. Lenxues menganggap masing‐masing jenis,
86 Ibid., h.50—51.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 103
sebagai barang yang tetap yang pada satu saat dibuat Yang Mahakuasa.
Sedangkan Darwin menganggap masing‐masing jenis itu berubah
sesudah beberapa lama disebabkan oleh seleksi alam (natural selection).
Lenxues berpendapat bahwa masing‐masing jenis mesti diperiksa satu
per satu, pemisahan dari jenis yang lain. Sebaliknya Darwin memeriksa
dan menguji masing‐masing jenis dengan seketika pun tak melupakan
hubungan dan seluk‐beluk jenis itu dengan jenis lain.
Lenxues setia pada logika: hewan ini masuk jenis ini, bukan jenis
itu. Kodok ini tak ada seluk‐beluk dan hubungannya dengan burung,
dan seterusnya.
Darwin setia pada logika: di mana logika bisa berlaku. Tetapi
meninggalkan logika, kalau logika tidak berdaya lagi: ini jenis berkenaan
dengan itu, berseluk‐beluk dengan itu, bukan ini atau itu saja. Kodok
hubungan betul dengan burung. Perbandingkanlah tengkorak, tulang‐
belulang, hati, jantung, dan sebagainya di antara kedua jenis itu.
Perhatikanlah tulang‐belulang dan sekalian anggota hewan dari cacing
sampai ke manusia. Tidakkah tuan menjumpai seluk‐beluk, hubungan
satu sama lainnya?
Hasil pekerjaan Lenxues, ialah membagi satu sistem (tata)
tumbuhan dan hewan yang mati, yang dipelajari oleh pengikut logika
saja terutama pengikut logika mistik. Sedangkan teori Darwin menjadi
pedoman bekerja buat ahli kebun dan ahli hewan yang tak putus
mencangkokkan tanaman dan memilih yang baik, membuang yang
buruk, baik tumbuhan maupun tampang hewan, sehingga makin lama,
kita mendapat bunga yang lebih harum, buah yang lebih lezat dan
hewan yang lebih tegap, kuat, gemuk, berfaedah, dan berkembang
biak.”87
Dalam mengungkap masalah kontradiksi, Tan Malaka mengambil
contoh tentang keadilan putusan suatu pengadilan yang dikendalikan
oleh kekuatan uang atau kekuasaan.
Adil atau tidaknya satu keputusan pengadilan yang demikian tidak dapat menggunakan jawaban ya atau tidak. Sebelum kita mengambil pendirian, mengambil penjuru dari mana kita mesti memandang, point of view. Apa yang dipandang adil dari satu pihak, berarti tak adil di pandangan dari pihak yang lain, dan
87 Ibid., h.127—128.
104 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sebaliknya. Sebab itu kita mesti lebih dahulu berpihak pada yang lain, atau sebaliknya. Inilah artinya menentukan point of view. Dari salah satu sudut barulah kita bisa memandang dan memutuskan ya atau tidak.88 Sering sekali dialektika dinamai ilmu berpikir kontradiksi. Dan juga pernah dinamai ilmu berpikir dalam gerakan. Kata Engels juga kita mesti mempelajari suatu benda dengan memperlihatkan ‘kontradiksinya’, kena-mengenainya serta seluk-beluknya, pergerakannya, tumbuh dan hilangnya.89
Mengenai Dialektika dan Logika Tan Malaka menulis:
Bentuk yang lazim dipakai menggambarkan logika, yakni: A = A; A bukan non A (tidak A). Jadi hukum berpikir yang berbentuk A = A ini sebetulnya tidak lain dari ya itu ya. Dan hukum berpikir yang berbentuk A bukan non A itu, sama maknanya dengan ya itu bukan tidak ya. Dalam buku logika juga sering dikatakan ‘sesuatu barang bukanlah lawannya barang itu’, ‘a thing is not its opposite’. Pada matematika dan ilmu alam dasar dan tengah, besar sekali kekuasaan logika itu. Sedangkan pada matematika dan ilmu alam tertinggi, kita terutama mesti lari pada dialektika.
Mengenai dialektika idealistis dan dialektika materialistis, Tan Malaka
menulis, “Perbedaan terutama di antara dialektika Marx–Engels & co
dan gurunya Hegel, ialah: Hegel menganggap gerakan pikiran itu
sebagai gerakan ide semata‐mata (janganlah dilupakan absolute idea,
maha rohani dari Hegel), sedangkan Marx dan Engels menganggap otak
itu seolah‐olah cermin yang membayangkan gerakan benda sebenarnya
yang ada di luar otak kita. Dalam perbedaan di antara kedua jenis
dialektika, adalah pula persamaan, kedua pihak berdiri atas gerakan,
bukan pada ketetapan.”90
Dalam menjelaskan masalah materi dan ide (matter dan ide), Tan
Malaka mengungkap bagian penting dari tulisan Marx, 11 Tesis tentang
Feuerbach. Begitu pentingnya tulisan ini dinyatakan bahwa
“materialisme kolot termasuk materialisme Feuerbach, yakni
88 Ibid., h.131. 89 Ibid., h.132. 90 Ibid., h.139.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 105
materialisme yang tak mengakui perbuatan manusia itu sebagai yang
nyata, berpuncak pada pandangan seorang individu, pada masyarakat
borjuis.”
Selanjutnya, Marx mengambil kesimpulan bahwa materialisme
kolot itu ialah pandangan borjuis yang individualistis, terpisah dari
masyarakatnya. Sedangkan pandangan materialisme baru berdasarkan
masyarakat, berdasarkan seseorang dalam masyarakatnya bersama,
kolektif. Dan dalam tesis ke‐11, tesis terakhir Marx menutup tulisannya
dengan ungkapan: “Ahli filsafat sudah menerjemahkan dunia ini
berlainan satu dengan lainnya. Yang terpenting ialah mengubah dunia
ini.”91
“Buat Hegel, absolute ide, rohani itulah yang ‘membikin’ sejarah
masyarakat manusia. Sedangkan buat Marx, pertarungan klas dalam
masyarakat itulah yang memajukan masyarakat itu dari tingkat ke
tingkat yang lebih tinggi.... Zaman feodalisme itu berubah, bertukar
pula menjadi zaman kapitalisme, kemodalan yang masih umum
sekarang. Sedangkan akhirnya zaman setengah feodal dan setengah
kapitalisme itu di Rusia pada tahun 1917 berubah, bertukar menjadi
zaman sosialisme, berdasarkan kolektivisme, tolong‐menolong sampai
ke zaman komunisme.”92
Mengenai kuantitas dan kualitas dikemukakan bahwa “Menurut
dialektika, kenaikan quantity (banyaknya graad, derajat) bisa mengubah
sifat, sifat mengadakan sifat quality baru. Sesudah quantity, banyak dari
80 derajat sampai 100 derajat, maka sifat tadi berubah: air jadi uap,
quantity menjadi quality. Perubahan bilangan (banyak) menjadi
perubahan sifat dari air ke uap. Jadi ‘banyak’ dan ‘sifat’ quantity dan
quality itu ada hubungan, berkaitan. (2) Menurut logika seperti sudah
lebih cukup dibicarakan lebih dahulu ‘ya’ tinggal ‘ya’ dan’tidak tinggal
tidak.”
“Dialektika menyimpulkan pergerakan ‘ya’ dan ‘tidak’ itu dengan
suatu ‘Negation der Negation’. Yang ‘ya’ itu mulanya dibatalkan.
Kebatalan ini dibatalkan pula. Umpamanya ambil sebiji padi, kita tanam
Sesudah berapa lama biji padi bukan biji lagi, melainkan sudah jadi
91 Ibid., h.149. Lihat: Karl Marx, Tesis tentang Feuerbach (1845): “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; akan tetapi soalnya ialah bagaimana mengubahnya.” 92 Ibid., h.157.
106 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pohon. Inilah satu kebatalan: pohon tadi mengeluarkan biji padi lagi
lebih banyak dari bermula. Di sini terjadi pembatalan dari pohon tadi:
Biji membatalkan pohon. Pada seluruhnya proses lakon pada padi, kita
peroleh biji padi, pohon padi (kebatalan), dan banyak biji padi
(pembatalan). Inilah yang dinamakan Negation der Negation itu,
pembatalan kebatalan.”93
Dalam Madilog setebal 554 halaman itu sesungguhnya Tan
Malaka bergumul dengan penjelasan mengenai logika dan penjelasan
mengenai perkembangan matematika, fisika, kimia, dan alam semesta,
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan (science). Yang banyak, berkali‐
kali dipaparkan adalah mengenai perubahan kuantitas menjadi kualitas,
mengenai negasi dari negasi yang diterjemahkan jadi pembatalan kebatalan.
Walaupun disebut‐sebut karya Lenin Materialisme dan Empiriokritisisme,
tetapi dalam mengungkap masalah materialisme tidak dipaparkan
masalah kebenaran mutlak dan kebenaran relatif, tentang praktek dan
kenyataan adalah ukuran kebenaran. Mengenai dialektika, tidak dipaparkan
hukum pokoknya, yaitu persatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang
bertentangan. Juga tidak didalami hukum kontradiksi.
Madilog tidak sampai menguraikan materialisme historis,
penerapan materialisme dialektis dalam ilmu masyarakat. Karena itu,
Madilog tidak memasuki masalah perkembangan perjuangan klas sampai
pada pembangunan diktatur proletariat untuk membangun sosialisme.
Masalah diktatur proletariat adalah sangat penting. Menurut Lenin,
pengakuan akan ajaran tentang diktatur proletariat, adalah ukuran bagi
Marxis tidaknya seseorang.94
93 Ibid., h.282. 94 Dalam surat kepada kawannya Joseph Weydemeyer di New York tertangal 5 Maret 1852, Marx mengatakan, “...Dan sekarang mengenai diri saya, bukanlah jasa saya ditemukannya adanya klas-klas dalam masyarakat modern dan juga ditemukannya adanya perjuangan di antara mereka itu. Jauh sebelum saya para ahli sejarah borjuis telah menguraikan perkembangan historis perjuangan klas-klas ini dan para ahli ekonomi borjuis menguraikan anatomi ekonomi dari klas-klas. Hal baru yang telah saya lakukan adalah membuktikan: 1) bahwa adanya klas-klas itu hanyalah bertalian dengan fase-fase kesejarahan khusus dalam perkembangan produksi [historische Entwicklungesphasen der Produktion]; 2) bahwa perjuangan klas pasti menuju pada diktatur proletariat; 3) bahwa diktatur ini sendiri hanyalah merupakan peralihan ke arah penghapusan semua klas dan ke arah masyarakat tanpa klas...” Lihat juga Negara dan Revolusi, Bab II “Pengalaman dari Tahun 1848–1851”, karya V.I. Lenin. Dalam tulisan tersebut, Lenin mengkritik Karl
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 107
4. Njoto: Marxisme Ilmu dan Amalnya (1962)
DESEMBER tahun 1962 diterbitkan brosur Marxisme Ilmu dan Amalnya,
karya Njoto, Wakil Ketua II PKI. Njoto menyatakan bahwa paparannya
ini hanyalah sebagai introduksi, sebagai pengantar. Uraiannya dimulai
dengan kutipan majalah Katolik berbahasa Perancis: “Suatu pandangan
yang sempit akan memberikan suatu tinjauan yang palsu dan sesat.
Marxisme bukanlah suatu cara dan rancangan pemerintahan saja, juga
bukan suatu pemecahan teknis untuk masalah‐masalah perekonomian,
bukan pula suatu pendirian yang bolak‐balik atau suatu semboyan
dalam suatu pidato yang mengharukan. Ia menyebutkan dirinya suatu
tafsiran yang luas tentang manusia dan sejarah, tentang makhluk dan
masyarakat, tentang alam dan Tuhan; suatu sintese umum, menurut teori
dan praktek, pendek kata, suatu sistem yang menyeluruh.”95
Mengapa Lenin mengatakan bahwa Marxisme itu ‘komplit dan
harmonis’?96 Karena Marxisme memberi jawaban pada masalah‐masalah
yang sudah diajukan oleh ahli‐ahli pikir umat manusia yang terkemuka.
“Ahli‐ahli pikir umat manusia yang terkemuka itu sudah sejak beribu‐
ribu tahun yang lalu mengajukan pertanyaan‐pertanyaan yang bersifat
fundamentil, bersifat pokok sekali. Misalnya, salah satu di antara
pertanyaan itu ialah ‘Apakah keadilan itu?’ Marxisme menjawab
pertanyaan itu dengan merumuskan bahwa keadilan ialah suatu
keadaan di mana penghisapan atas manusia oleh manusia tiada lagi.
Dan jawaban Marxisme tidak berhenti pada perumusan teori ini.
Kautsky dan kaum oportunis lainnya yang mendistorsi Marxisme yang seakan-akan “Inti dalam ajaran Marx adalah perjuangan klas”. Menurut Lenin, “Hanya dialah seorang Marxis, yaitu yang meluaskan pengakuan atas perjuangan klas sampai pada pengakuan atas diktatur proletariat. Inilah yang merupakan perbedaan paling mendalam antara orang Marxis dan borjuis kecil (maupun yang besar juga).” 95 Njoto, Marxisme Ilmu & Amalnya, Penerbit HR, Djakarta 1962, h.7—8. 96 V.I. Lenin, Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme, Pilihan Karya Lenin, Volume 19, Progress Publishers, 1977, Moscow, h.21—28. “Doktrin-doktrin Marxis bersifat serba guna karena tingkat kebenarannya yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam takhayul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis.”
108 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Marxisme juga menunjukkan jalan bagaimana mencapai keadilan itu.
Yaitu melalui revolusi sosialis mendirikan masyarakat yang tidak
berklas.”97
“Di dalam kehidupan ilmiah, teori itu selalu menempati
kedudukan yang sangat penting. Tetapi jika sesuatu teori tidak teruji
oleh praktek, apalah harga teori semacam itu.”
“Untuk memberikan pelukisan yang lebih jelas tentang sifat
ilmiah Marxisme, saya ingin mengemukakan cara kerja pencipta
Marxisme, yaitu Karl Marx, yang tahun ini kebetulan kita peringati
ulang tahun yang ke‐140 dari hari lahirnya dan ulang tahun yang ke‐75
hari wafatnya. Tidak mungkin Marx sampai pada kesimpulan‐
kesimpulan ilmiah sekiranya cara kerjanya tidak ilmiah. Friedrich
Engels, sahabat Marx yang paling akrab dan pencipta‐serta ajaran
Marxisme, pernah mengatakan begini: ‘Sebagaimana Darwin
menemukan hukum perkembangan alam organik, demikian pula Marx
menemukan hukum perkembangan sejarah manusia’.”
“Bagaimana Marx dan Darwin sampai pada kesimpulan‐
kesimpulan yang begitu penting dan begitu tinggi mutu kebenarannya?
Mereka sama‐sama menempuh cara kerja yang ilmiah, yang seperti
dikatakan Marx selalu mempunyai 5 tingkatan: 1. Penyelidikan;
2. Percobaan atau eksperimen; 3. Pencatatan; 4. Perenungan; dan
5. penyimpulan atau penggeneralisasian.
Marx adalah benar‐benar seorang sarjana. Seperti juga Darwin,
Marx adalah seorang bibliotik, seorang orang laboratorium. Tetapi
sedangkan Darwin boleh dikatakan hanya seorang orang bibliotik dan
hanya seorang orang laboratorium, dari mana ia menyusun teorinya
yang besar tentang evolusi, Marx adalah sekaligus seorang orang dari
bibliotik dan laboratorium yang lebih luas lagi, dari bibliotik
masyarakat, dari laboratorium masyarakat. Marx bukan hanya seorang
sarjana, ia seorang pemimpin revolusioner, yang seperti dikatakannya
sendiri, tidak puas dengan hanya menafsirkan dunia, tetapi menafsirkan
dunia dan merombaknya.”98
97 Njoto, op.cit., h.8. 98 Ibid., h.13—14. Beberapa bulan setelah buku The Origin of Species karya Charles Darwin terbit, Friedrich Engels menulis kepada Karl Marx, “Darwin, yang [bukunya] kini sedang saya baca, sungguh bagus.” Marx lalu membalas surat Engels pada tanggal 19 Desember 1860, “Ini adalah buku yang berisi dasar berpijak pada
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 109
Untuk kepentingan pekerjaan ilmiahnya, “Marx mempelajari
sejumlah cukup banyak bahasa, lebih daripada cukup barangkali untuk
seseorang pada umurnya ketika itu. Ia bisa mengarang dalam bahasa
Jerman, Inggris, dan Perancis dengan sama bagusnya dan sama
bersihnya dalam tata bahasa. Tentang bahasa‐bahasa yang ia pahami, ia
membaca Dante dalam bahasa Itali dan membaca Demokritos dalam
bahasa Yunani, ia mengerti bahasa Belanda dan bahasa Hongaria,
bahasa Denmark dan bahasa Spanyol. Dan ketika ia berusia 50 tahun, ia
merasa masih cukup muda untuk mulai mempelajari bahasa Rusia, dan
6 bulan kemudian ia sudah pandai menikmati syair‐syair Pusykin dan
novel‐novel Gogol dalam bahasa aslinya. ‘Bahasa asing’ kata Marx,
‘adalah senjata dalam perjuangan hidup’.”99
Barangsiapa membaca kumpulan karangan Marx, “tahulah ia
bahwa Marx bukan hanya besar perhatian pada soal‐soal masyarakat,
tetapi juga besar perhatiannya pada ilmu alam pada umumnya, pada
matematika, pada biologi. Tetapi sebagian sangat terbesar dari
waktunya digunakannya untuk penyelidikannya di lapangan ekonomi.
Karya utamanya yang monumental, Kapital, adalah hasil pekerjaan
selama 40 tahun. Ada baiknya kalau saya mencatat di sini sumbangan
Indonesia pada kelahiran Kapital. Kalau karya utama Darwin Origin of
Species mendapatkan di antara bahan‐bahannya yang penting laporan
mengenai fauna dan flora Maluku, Kapital Marx mendapatkan bahan‐
bahannya pula dari penghisapan VOC di Maluku dan dari susunan
pedesaan di Jawa dan Bali.”100
“Marxisme mempunyai 3 bagiannya yang tidak terpisah‐
pisahkan satu sama lain. Yaitu ajaran‐ajaran tentang ekonomi politik,
filsafat, dan sejarah.”101
sejarah alam bagi pandangan kita.” Dalam sebuah surat yang ditulis Marx kepada Lassalle, seorang rekan sosialisnya pada tanggal 16 Januari 1861, Marx mengatakan, “Buku Darwin sangatlah penting dan membantu saya [meletakkan] landasan berpijak dalam ilmu alam bagi perjuangan klas dalam sejarah.” Marx juga menunjukkan simpatinya kepada Darwin dengan mempersembahkan buku Das Kapital, yang dianggap sebagai karya terbesarnya, kepada Darwin. Dalam bukunya yang berbahasa Jerman, ia menulis: “Dari seorang pengagum setia kepada Charles Darwin.” 99 Ibid., h.14—15. 100 Njoto, op.cit., h.16. 101 V.I. Lenin, loc.cit., “Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa
110 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Ekonomi politik Marxis, seperti umum tahu, bersumber pada
ajaran‐ajaran ekonomi politik klasik Inggris, terutama dasar‐dasar teori
nilai kerja yang diletakkan oleh Adam Smith dan David Ricardo.
Berpegangan pada dan melanjutkan secara konsekuen teori ini, sambil
menyelidiki ‘hukum gerak ekonomi masyarakat modern’, Marx sampai
pada kesimpulannya yang menjadi ‘batu pertama teori ekonomi Marx,
yaitu teori nilai lebih. Dari batu pertama inilah Marx membangun
teorinya bahwa krisis umum kapitalisme itu tak terhindarkan, bahwa
kapitalisme itu di dalam dirinya sendiri ‘mengandung dan menyimpan
satu hukuman mati, dan bahwa mau tak mau dalam sistem kapitalisme
harus menyingkir dari panggung sejarah untuk memberikan tempat
pada sistem yang baru yaitu sosialisme’.102
“Ada sekarang orang mengatakan, bahwa ekonomi‐politik Marxis
itu memang sesuai untuk ‘kapitalisme klasik’ tetapi tidak cocok lagi
untuk ‘kapitalisme zaman sekarang’. Tentu kapitalisme itu tidak
mandek saja. Sekarang ada ‘kapitalisme kerakyatan’, ‘kapitalisme
terorganisasi’, ‘kapitalisme berencana’, dan entah kapitalisme apa lagi.
Tetapi satu hal sebetulnya tidak berubah, yaitu: ia tetap kapitalisme. Kita
cukup membaca suratkabar‐suratkabar harian, maka kita bacalah
hampir setiap hari: Amerika terkena resesi pengangguran meningkat,
harga‐harga naik, upah riil merosot—tidakkah semua ini membuktikan
bahwa Marxisme tetap benar? Sejarah bukan meralat, tetapi
memperkuat Marxisme. Lawan‐lawan Marxisme mencoba meng‐
gambarkan bahwa Marxisme ‘dulu ilmiah, sekarang tidak lagi ilmiah’.
Tetapi jalannya sejarah membuktikan bahwa bukan Marxisme yang
sudah tidak ilmiah lagi, melainkan bantahan‐bantahan mereka. Ada lagi
yang mengatakan bahwa Marxisme itu ‘hanya cocok buat Eropa, tidak
cocok buat negeri‐negeri lain’. Baiklah singkat saja, apakah Vietnam,
Korea, Mongolia, dan Tiongkok itu Eropa?”
“Apa yang selalu disebut oleh penceramah‐penceramah bukan‐
Marxis, mereka itu selalu mengatakan bahwa salah satu bagian yang
penting dari ‘teori Marxisme’ ialah apa yang mereka sebut ‘teori
verelendung’, teori pemelaratan. Dengan ini mereka mencoba meng‐
gambarkan bahwa kaum Marxis itu ‘gandrung kemelaratan’, karena
pemikiran besar umat manusia dalam abad ke-19 yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris, dan sosialisme Perancis.” 102 Njoto, op.cit., h.17—18.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 111
dari ‘kemelaratan akan lahir kemenangannya’. Bahwa hari depan itu
miliknya ‘kaum melarat’ dan bukan miliknya ‘kaum kaya’, ‘kaum
kapitalis’, ini tak perlu dipersengketakan. Tetapi kaum Marxis
‘gandrung kemelaratan’? Kita cukup mengingat bahwa yang membela
kenaikan‐kenaikan upah, yang membela perbaikan nasib pada
umumnya, baik bagi kaum buruh, kaum tani maupun kaum pekerja
lainnya, adalah tidak lain daripada kaum Marxis, dan bahwa lawan‐
lawan Marxisme biasanya menentang perbaikan nasib itu, sehingga apa
yang disebut ‘teori verelendung’ itu lebih mengenai mereka daripada
mengenai kaum Marxis.”
“Mengenai filsafat Marxisme, seperti diketahui, bersumber pada
filsafat klasik Jerman yang mencapai puncaknya pada dua nama: Hegel
dan Feuerbach. Sumbangan Hegel terpenting adalah sistem
dialektikanya, yang karena berdiri di atas landasan yang idealis, telah
dirombak oleh Marx dan ditegakkan di atas landasan yang sebaliknya,
yaitu materialisme. 103 Sedang sumbangan Feuerbach yang terpenting
adalah kritiknya terhadap idealisme Hegel. Tetapi Feuerbach sendiri,
yang materialis dalam pendekatannya pada gejala‐gejala alam, masih
seorang idealis dalam konsepsinya mengenai gejala‐gejala sosial, gejala‐
gejala masyarakat. Sesudah hal ini pun dirombak oleh Marx, maka
seperti dikatakan oleh Friedrich Engels, ‘idealisme diusir dari tempat
pengungsiannya yang terakhir, yaitu filsafat sejarah’.”
“Filsafat Marxis adalah universil, karena ia berlaku bagi
pendekatan pada gejala‐gejala alam, pada masyarakat, dan pada alam
pikiran.”104
Maka, “Marxisme–Leninisme adalah ‘ilmu tentang hukum
perkembangan alam dan masyarakat, tentang revolusi massa tertindas, tentang
kemenangan sosialisme, tentang pembangunan masyarakat komunis’.”105
103 Karl Marx, Kapital, Jilid I, Hasta Mitra, 2004. Dalam kata pengantar Kapital, Marx mengatakan bahwa, “Metode dialektika saya sendiri bukan saja berbeda dari metode dialektika Hegel, tetapi lawan langsung darinya. Bagi Hegel, proses berpikir itu adalah pencipta dari dunia nyata, dan dunia nyata hanya manifestasi lahir dari ‘ide’. Bagi saya sebaliknya dari itu, yang berupa dalam cita tidak lain dari dunia nyata yang direfleksikan oleh pikiran manusia dan dipindahkan menjadi buah pikiran.” 104 Njoto, op.cit., h.19—20. 105 Ibid., h.22—23. Kata “komunisme” berasal dari bahasa Latin kuno yaitu “communis” yang berarti masyarakat atau publik/umum. Friedrich Engels pada
112 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Mengenai filsafat, Njoto menulis: “Filsafat hidup proletariat
dibandingkan dengan filsafat hidup borjuasi memang sangat
bertentangan. Proletariat tahu, bahwa tanpa kebebasan buat semua
tidak adalah kebebasan buat diri orang seorang. Sebaliknya, borjuasi
beranggapan bahwa jika dirinya tidak bebas maka kebebasan itu sendiri
tidak ada. Filsafat hidup ini dinyatakan dalam sikap mereka dalam
perjuangan. Perjuangan proletariat adalah untuk mencapai kebebasan
buat semua, dan jika buat cita‐cita ini dirinya sendiri harus berkorban
sampai pun berkorban nyawa, kaum proletar menempuhnya dengan
ikhlas. Sebaliknya, borjuasi ‘berjuang’ buat kebebasan diri sendiri, tetapi
untuk kebebasan diri sendiri ini jangankan korban jiwa, korban harta
benda pun mereka liat, alot.”106
“Cita‐cita proletariat adalah suatu masyarakat yang bebas, bukan
saja bebas dari imperialisme dan feodalisme, tetapi pun bebas dari
setiap penghisapan oleh manusia atas manusia, sehingga individu
seorang‐seorang akan bebas pula, dan pada gilirannya ‘perkembangan
bebas dari setiap orang menjadi syarat bagi perkembangan bebas dari
semuanya.”107
“Materialisme adalah konsepsi filsafat Marxis, sedang dialektika
adalah metodenya....108 Materialisme itu mengandung di dalam dirinya
sikap berpihak.... Filsafat dewasa ini sama berpihaknya seperti filsafat 2.000
tahun yang lalu...: Adakah di zaman perbudakan filsafat yang tidak
memihak pawang budak dan tidak memihak kaum budak, adakah di
zaman feodalisme filsafat yang tidak memihak tuan‐tuan feodal dan
tidak memihak kaum tani, adakah di zaman kapitalisme filsafat yang
tahun 1847 dalam dua draf program untuk Liga Komunis dalam bentuk sebuah katekismus yang berjudul “Prinsip-Prinsip Komunisme” mengatakan bahwa “komunisme adalah ajaran tentang syarat-syarat pembebasan kaum proletariat.” Lalu pada tahun 1885 Engels mengatakan bahwa komunisme “berarti pemahaman yang mendalam tentang hakikat perjuangan, kondisi dan tujuan umum yang ingin dicapai oleh kaum proletariat.” 106 Ibid., h.30—31. 107 Ibid., h.31—32. 108 J.V. Stalin, Materialisme Dialektis dan Historia, Jajasan Pembaruan, 1964. “Materialisme dialektis adalah pandangan dunia partai Marxis–Leninis. Ia dinamakan materialisme dialektis sebab tjaranja mendekati gedjala² alam, tjaranja mempeladjari dan memahami gedjala² ini adalah dialektis, sedangkan keterangannja (interpretasinja) mengenai gedjala² alam, pengertiannja mengenai gedjala² ini, teorinja, adalah materialis.”
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 113
tidak memihak borjuasi dan tidak memihak proletariat, adakah di
Indonesia sekarang misalnya filsafat yang tidak memihak imperialisme,
tidak memihak demokrasi, tidak memihak kapitalisme, tidak memihak
sosialisme?”109
Mengenai dialektika, Njoto menyatakan, “Filsuf demokrat
revolusioner Alexander Herzen pernah mengatakannya dengan baik
sekali: ‘dialektika adalah aljabarnya revolusi’.110 Sesungguhnya, seseorang
akan kebingungan dan tersesat di dalam revolusi, jika ia tak kenal
dialektika. Dialektika ‘bukan hanya suatu teori ilmiah, tetapi juga suatu
metode pengenalan dan pedoman untuk aksi. Pengetahuan tentang hukum
umum perkembangan memungkinkan untuk menganalisa masa silam,
untuk memahami secara tepat apa yang sedang berlaku di masa kini
dan untuk melihat masa depan. Maka itu, dialektika adalah suatu metode
pendekatan untuk penyelidikan dan untuk aksi‐aksi praktis berdasarkan
hasil‐hasil penyelidikan itu.”111
“Buat dialektika adalah sangat penting untuk bertanya pada
setiap hal ‘untuk siapa’. Misalnya, pada suatu hari kita diberi tahu,
bahwa ‘situasi politik baik’. Kita harus segera bertanya, baik buat
siapa—buat rakyat atau buat musuh‐musuh rakyat? Begitu pun kalau
misalnya ada orang berkata ‘production share itu menguntungkan’.
Baiknya kita buru‐buru bertanya: menguntungkan buat siapa—buat
Indonesia atau buat si kapitalis asing? Untuk menerangkannya secara
lain: segala sesuatu punya dua segi. Hal yang baik tentu ada tidak baiknya,
hal yang tidak baik tentu ada baiknya.”112
“Satu metode lagi dari dialektika adalah ‘perubahan kuantitas ke
kualitas’.
Buat filsafat non‐dialektik hukum ini terasa aneh dan asing
barangkali, toh hukum ini sederhana seperti kebenaran itu sendiri.
Prof. Bernal menerangkannya dengan bersahaja: ‘Jika sebuah atom
hanya bisa berpaut dengan satu atom lainnya, hasilnya adalah gas. Jika
ia berpaut dengan dua atau tiga, hasilnya adalah zat padat yang
109 Njoto, op.cit., h.32—33. 110 Alexander Herzen, Selected Philisophical Works, diterjemahkan dari bahasa Rusia oleh L. Navrozov, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1956. 111 Ibid., h.33. Dikutip dari Fundamentals of Marxism–Leninism, Moscow, Foreign Languages Pub. House, 1961, h.69. 112 Ibid., h.39—40.
114 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berserat.... Jika dengan empat, zat padat kristal yang keras seperti
berlian. Jika dengan lebih dari empat, logam.’”113
Mao Zedong dalam Pilihan Tulisan Jilid IV menulis: “Setiap
kualitas menyatakan dirinya dalam kuantitas tertentu, dan tanpa
kuantitas tak mungkin ada kualitas. Hingga sekarang banyak di antara
kawan kita belum juga mengerti bahwa mereka harus memperhatikan
segi kuantitas dari hal ihwal—statistik‐statistik pokok, presentase‐
presantase pokok serta limit‐limit (batas‐batas) kuantitas yang
menentukan kualitas hal‐ihwal.... Dalam semua gerakan massa kita
harus melakukan penyelidikan dan analisa pokok tentang jumlah
penyokong aktif, lawan dan kaum netral dan tidak boleh memutuskan
soal‐soal secara subjektif dan tanpa dasar.”114
“Adalah pula pemahaman tentang hukum ‘perubahan kuantitas ke
kualitas’ yang menyebabkan Marx dan Engels menulis bahwa proletariat
‘tidak saja bertambah jumlahnya... kekuatannya bertambah besar dan ia
semakin merasakan kekuatan itu’ dan Lenin menyatakan: ‘Kemenangan
akan datang pada kaum yang tertindas karena dengan merekalah
kehidupan, kekuatan jumlah, kekuatan massa.’”115
Mengenai hukum ‘negasi daripada negasi’, Njoto menulis: “Istilah
negasi ini, yang mula‐mula dipakai Hegel untuk melukiskan
digantikannya sesuatu bentuk keadaan oleh yang lain, oleh lawannya,
kemudian dipakai oleh Marx dan Engels dengan diberi arti materialis.
Kata Marx, dalam lapangan apa pun, ‘tak ada perkembangan yang tidak
menegasi bentuk keadaan yang mendahuluinya.’116 Kalau kita ambil
sejarah umat manusia sebagai misal, nyatalah bahwa pemilikan bersama
di masyarakat primitif telah ditiadakan, dinegasi oleh lawannya, yaitu
pemilikan perseorangan, dan bahwa kemudian, dalam masyarakat
113 J.D. Bernal, The Freedom of Necessity, London: Routledge & Kegan Paul, 1949, h.353—354. 114 Njoto, op.cit., h.42—43. Dikutip dari karya Mao Zedong berjudul Tentang Kontradiksi. Karya filsafat ini ditulis oleh Mao Zedong pada bulan Agustus 1937 dengan tujuan untuk mengatasi pikiran dogmatis yang serius yang pada waktu itu terdapat di dalam PKT. Tulisan ini pertama kali disampaikan oleh Mao Zedong di Universitas Militer dan Politik Anti-Jepang di Yénan. 115 Ibid., h.43—44. Dikutip dari Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels, h.61. 116 Dikutip dari Die Moralisierende Kritik und die Kritisierende Moral karya Karl Marx, h.303—304.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 115
sosialis, sebagai ‘negasi daripada negasi’ itu muncul kembali pemilikan
bersama, tetapi dalam bentuk dan tingkat serta mutu yang lebih tinggi.
Begitulah kalau kita ambil sejarah Indonesia sebagai misal. Tadinya
Indonesia ini merdeka, kemudian kemerdekaan itu ditiadakan, di‐negasi
oleh lawannya, yaitu penjajahan, dan sebagai ’negasi daripada negasi’ itu
muncul kembali kemerdekaan tetapi dalam bentuk, tingkat dan mutu
yang lebih tinggi. Perlu diingat, bahwa tidak ada negasi yang
penghabisan!”117
“Lenin pernah memperingatkan, jangan kita ‘berdiri di ambang
pintu materialisme, dan berhenti—sebelum materialisme historis’. 118
Materialisme historis adalah penerapan atau pengenaan materialisme
dialektik ke dalam sejarah manusia. Sebelum Marx—materialis yang
integral, harmonis dan konsekuen itu—kaum materialis dari abad yang
lalu umumnya menjadi naif dalam hal yang mengenai sejarah manusia.
Seperti halnya Hegel, Marx memandang sejarah manusia sebagai suatu
proses yang menuruti hukum‐hukum perkembangan dan tidak
bergantung dari kemauan manusia; seperti halnya Hegel, Marx
memandang segala gejala dalam timbul dan tenggelamnya, dalam
kelahiran dan kelenyapannya; seperti halnya Hegel, Marx pun
mengusahakan dan menemukan sumber tunggal dari segala aksi dan
interaksi kekuatan‐kekuatan sosial. Tetapi sedang Hegel menganggap
sumber tunggal itu suatu ’jiwa universil’, Marx tahu bahwa ia itu tak lain
daripada rakyat, rakyat pekerja. Marx menunjukkan bahwa bukan
kemauan manusia, melainkan perkembangan tenaga‐tenaga produktif
materiillah yang menentukan jalannya sejarah dan bahwa rakyatlah satu‐
satunya pencipta sejarah. Itulah kesimpulan terpenting dari materialisme
historis.”119
“Mengapa Herzen menamakan dialektika itu ‘aljabarnya revolusi?’
Karena hanya dengan dialektikalah, dialektika materialis sudah tentu,
seseorang, sesuatu golongan atau sesuatu klas dapat memegang kemudi
di tengah‐tengah gelombang revolusi yang menggebu‐gebu memecah‐
mecah memukul‐mukul dan dengan pandangan yang jernih serta
tangan yang teguh memegang kemudi itu ke arah yang benar.”120
117 Ibid., h.44. 118 Dikutip dari Lenin, Polnoe Sobranic Setjinenii, Jilid 26, h.364. 119 Ibid., h.45. 120 Ibid., h.45—46.
116 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Buat revolusi Indonesia sekarang, hal ini berarti jawaban atas
pertanyaan: klas manakah yang mampu memecahkan krisis ekonomi
yang berlangsung, dan lebih dari itu—klas manakah yang mampu
memimpin revolusi sampai terselesaikannya tugas‐tugasnya dan
tercapainya tujuannya sampai ke akar‐akarnya. Permasalahan revolusi
sama sekali tidak mudah dan tidak sederhana. Hanya dengan senjata
filsafat yang benar‐benar revolusionerlah permasalahan revolusi itu bisa
dijawab dengan tepat.121
Mengenai teori ekonomi Marxis, Njoto memaparkan bahwa
“ekonomi Marxisme,—batu dasarnya ialah ajaran tentang nilai lebih.
Tentang teori nilai lebih yang dasarnya adalah teori nilai kerja ini, tidak
sedikit ekonom‐ekonom yang dengan salah menggambarkan seolah‐
olah Marx‐lah penemunya yang pertama‐tama. Cukup jika kita ingat,
bahwa Adam Smith maupun David Ricardo sudah mengemukakan teori
nilai kerja, bahkan juga teori nilai lebih. Marx melanjutkan ajaran‐ajaran
mereka, melanjutkannya secara dialektis dan konsekuen.
Di mana letak perbedaan antara ajaran ekonomi Marxisme
dengan kebanyakan ajaran‐ajaran ekonomi lainnya? Perbedaannya
terutama terletak dalam kenyataan, bahwa sedang kebanyakan ekonomi
lainnya melihat hubungan antara barang dan barang, Marx melihat
hubungan antara manusia dan manusia.122
Kita semua tahu, bahwa ajaran‐ajaran Marx tentang ekonomi
politik dijelaskannya di dalam buku standarnya, Kapital. Marx sendiri
menerangkan, bahwa ‘tujuan akhir karangan ini ialah menyingkapkan
hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern’, artinya, masyarakat
kapitalis. Jadi, Marx memahami dan mengungkapkan adanya hukum
yang menguasai gerak ekonomi masyarakat. Kesimpulan ini berhasil
ditarik olehnya karena pandangannya materialis—yaitu menganggap
segala sesuatu menurut adanya—dan karena metodenya dalam
menyelidiki segala sesuatu itu metode dialektik. Peluasan materialisme
dialektik pada masyarakat dan sejarahnya itu, yang di dalam literatur
modern galib disebut materialisme historis, dijelaskan oleh Marx di dalam
bukunya Kritik atas Ekonomi Politik.”123
121 Ibid., h.46—47. 122 Lenin, loc.cit., “Jika para ahli ekonomi borjuis melihat hubungan antar-benda (pertukaran antar-komoditi), Marx memperhatikan hubungan antar-manusia.” 123 Tahun 1843, Karl Marx mulai mensistematiskan dalam hal pengumpulan data,
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 117
Kapitalisme, yang dasarnya adalah milik perseorangan atas alat
produksi, berarti akumulasi kapital, dan akumulasi kapital berarti:
akumulasi kekayaan bagi kaum kapitalis dan akumulasi kemelaratan
bagi kaum pekerja. Sebab, akumulasi kapital timbul dari nilai lebih,
yaitu tenaga kerja yang tidak dibayar.
Oleh sebab itu, sebagaimana diterangkan oleh Marx, tidak ada
persamaan kepentingan antara kaum kapitalis dan pekerja, kepentingan
mereka diam, netral bertentangan. Dan maka itu, sebagaimana
kemudian ditegaskannya pula, melalui perjuangan klas kaum pekerja
harus menghapuskan sistem kerja upahan, yaitu sistem kapitalisme.
Kapitalisme berarti bahwa produksi bersifat sosial, sedangkan
konsumsi individuil; sosialisme berarti bahwa produksi bersifat sosial,
tetapi juga konsumsi bersifat sosial. Satu‐satunya jalan yang
memungkinkan hal ini ialah menjadikan alat‐alat produksi dari milik
perseorangan menjadi milik masyarakat. Inilah langkah yang nyata ke
arah sosialisme. Tetapi bagaimana kita dapat merumuskan sosialisme
dengan singkat dan tepat? Saya meminta perhatian bahwa terlalu sering
orang bukan menjelaskan, melainkan mensimplifikasikannya.
Perumusan‐perumusan seperti ‘segala sesuatu milik bersama’, atau ’sama
rata sama rasa’, tidak menggambarkan persoalannya yang
sesuangguhnya. Marx dan Engels memberikan perumusan yang
sederhana tetapi tepat tentang sosialisme, yaitu: Setiap orang bekerja
menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut hasil kerjanya.
Dengan perumusan ini jelaslah perbedaan antara sosialisme
menyiapkan penulisan tentang kritik terhadap sistem kapitalis dan ekonomi politik borjuis, dan diberi judul Kritik Ekonomi Politik. Enam salinan: kapital, real estate, tenaga kerja, nasional, perdagangan luar negeri, pasar dunia. Dalam Kapital, Marx melakukan penyelidikan tentang komoditi dan uang (Kapital Jilid I, Bab 1) dan dipublikasikan pada Juni 1859. Manuskrip ekonomi 1861—1863, mendorong Marx mengubah rencana awal di mana menamakan Kapital sebagai judul bukunya dan Kritik Ekonomi Politik sebagai subjudul. Dipublikasikan dalam 4 jilid dari semua karya Marx tentang ekonomi. Pada 1885 dan 1894, Friedrich Engels menyelesaikan Jilid II dan III. Naskah Jilid IV disusun menurut pemahaman Karl Kautsky sendiri dan diberi judul Sejarah Teori Nilai Lebih. Jilid IV ini merupakan karya yang berdiri sendiri dan pararel dengan karya Kapital. Kapital IV ini dibagi menjadi tiga jilid dan diterbitkan tahun 1904, 1905, 1910. Pada 1954—1961, Uni Soviet mempublikasikan kembali naskah Kapital IV dan diberi judul Teori Nilai Lebih, dan dijadikan sebagai Kapital Jilid IV. Tahun 1962—1964 dipublikasikan dalam Pilihan Marx–Engels Jilid 26.
118 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dengan kapitalisme, tetapi juga antara sosialisme dengan komunisme,
sebab komunisme berarti: Setiap orang bekerja menurut kemampuannya,
setiap orang menerima menurut kebutuhannya.124
5. D.N. Aidit, Tentang Marxisme (1964)
TAHUN 1964 Akademi Ilmu Sosial Aliarcham menerbitkan karya D.N.
Aidit, Tentang Marxisme. Dalam buku ini D.N. Aidit memaparkan bahwa
“Marxisme terdiri dari tiga sumber dan tiga bagian, yaitu filsafat, ekonomi
politik, dan sosialisme.”125
1. Filsafat
Untuk dapat mengenal dan memahami apalagi menguasai Marxisme,
pertama‐tama dan terutama kita harus mengenal dan memahami filsafat
materialisme dialektis dan historis. Untuk dapat mengenal dan memahami
materialisme dialektis dan historis (MDH) 126 secara tepat, perlu kita
terlebih dahulu mendapat gambaran, walaupun secara singkat dan garis
besar, tentang sejarah perkembangan filsafat.
a. Dua kubu dalam dunia filsafat
Filsafat adalah pandangan dunia, adalah pandangan manusia yang
paling umum mengenai dunia keseluruhannya, mengenai gejala‐gejala
124 Ibid., h.53—54. 125 D.N. Aidit, Tentang Marxisme, cetakan ketiga, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Djakarta, 1964, h.8. 126 Pada 1887, Joseph Dietzgen yang pernah berkorespondensi dengan Karl Marx selama dan setelah gagalnya Revolusi Jerman 1848, menciptakan istilah materialisme dialektis. Namun teori materialisme dialektis yang dibangun oleh Dietzgen berbeda dengan teori materialisme dialektis Marx dan Engels. Karl Kautsky pun dalam karyanya yang berjudul Frederick Engels (1887/1899) menggunakan istilah materialisme dialektis. Marx sendiri telah berbicara tentang “konsepsi materialis tentang sejarah”, yang kemudian oleh Engels menyebutnya sebagai “materialisme historis”. Engels sendiri dalam Dialektika Alam (1883) tidak menggunakan istilah materialisme dialektis tetapi menggunakan istilah dialektika materialisme. Kemudian Georgi Plekhanov memperkenalkan istilah tersebut dalam literatur Marxis. Hingga akhirnya J.W. Stalin menggambarkan dan mendefinisikan Materialisme Dialektis dan Historis sebagai pandangan dunia Marxisme–Leninisme, dan sebagai metode untuk mempelajari masyarakat dan sejarahnya.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 119
alam, masyarakat dan pikiran atau pengetahuan manusia itu sendiri.
Oleh karenanya, masalah pokok di dalam filsafat adalah masalah
hubungan antara pikiran dengan keadaan, antara dunia‐subjektif dengan
dunia‐objektif
Dalam karya Ludwig Feuerbach dan Akhir Filsafat Klasik Jerman,
Engels menerangkan: “Masalah fundamentil yang besar dari semua
filsafat, ... ialah masalah mengenai hubungan antara pikiran dengan
keadaan, hubungan antara jiwa dengan alam ... masalah: mana yang
primer, jiwa atau alam.... Jawaban‐jawaban yang diberikan oleh para ahli
filsafat kepada masalah ini membagi mereka ke dalam dua kubu besar.
Mereka yang menegaskan bahwa jiwa adalah yang primer jika
dibandingkan dengan alam, dan oleh karenanya, akhirnya menganggap
adanya penciptaan dunia dalam satu atau lain bentuk ... merupakan
kubu idealisme. Yang lain, yang menganggap alam sebagai yang primer,
tergolong ke dalam berbagai mazhab materialisme.” Jelasnya, pandangan
dunia materialisme bertolak dari kenyataan objektif, sedang pandangan dunia
idealisme berpangkal pada pikiran, atau ide. Demikianlah arti sebenarnya
daripada istilah‐istilah materialisme dan idealisme dalam filsafat.
b. Idealisme
Filsafat idealisme yang pada dasarnya berpendapat bahwa ide atau jiwa
ada lebih dahulu, sedang alam atau kenyataan objektif diciptakan atau
diwujudkan oleh ide itu bersumber pada dua hal: 1. Kepicikan
pengetahuan atau takhayul; dan 2. Watak klasnya.
“Sejak zaman purbakala”, tulis Engels, “ketika manusia, yang
masih sama sekali tidak tahu tentang susunan tubuh mereka sendiri, di
bawah rangsang khayal‐khayal impian mulai percaya, bahwa pikiran
dan perasaan mereka bukanlah aktivitas‐aktivitas tubuh mereka, tetapi
aktivitas‐aktivitas suatu nyawa yang tersendiri yang mendiami
tubuhnya dan meninggalkan tubuh itu ketika mati—sejak waktu itu
manusia didorong untuk memikirkan tentang hubungan antara nyawa
dengan dunia luar. Jika pada waktu seseorang meninggal dunia nyawa
itu meninggalkan tubuh dan hidup terus, maka tidak ada alasan untuk
mereka‐reka suatu kematian lain yang tersendiri baginya.” Dengan
demikian timbul ide tentang kekekalan, timbul kebingungan karena
ketidaktahuan. Dari sinilah kemudian timbul dan berkembang berbagai
macam bentuk‐bentuk kepercayaan, ketakhayulan dan filsafat
120 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
idealisme.
Akan tetapi, ketidaktahuan atau kepicikan pengetahuan manusia,
yang disebabkan karena pembatasan syarat‐syarat sejarah yang ada
padanya, atau oleh keterbatasan pengalaman praktek sosialnya,
bukanlah akar yang kuat bagi pertumbuhan filsafat idealisme. Sebab,
seiring dengan perkembangan masyarakat, dengan kemajuan praktek
sosial manusia, makin besar pulalah kemampuan manusia untuk
mengenal sekitarnya. Pengetahuan manusia makin luas, dalam dan
tepat mengenai keadaan di sekelilingnya maupun mengenai dirinya
sendiri, sehingga pandangan idealis yang bersumber pada pengetahuan
yang salah itu dengan sendirinya gugur. Tetapi kenyataan sejarah
menunjukkan bahwa filsafat idealisme dapat mempertahankan dirinya,
bahkan dapat berpengaruh kuat, walaupun di dalam keadaan di mana
ilmu atau pengetahuan manusia telah berkembang sangat tinggi seperti
sekarang ini. Ini bisa terjadi justru karena pandangan idealisme itu
dapat memberikan kegunaan kepada kekuatan‐kekuatan sosial tertentu,
dan karenanya mendapat dukungan mereka. Dengan perkataan lain,
sebagaimana dikatakan oleh Lenin, filsafat idealisme “dikonsolidasi oleh
kepentingan klas‐klas yang berkuasa”—pemilik budak, kaum feodal atau
borjuasi. Di sinilah letak akar klas dari idealisme.
c. Idealisme objektif
Pokok pangkal dari segala macam idealisme adalah sama, yaitu ide. Akan
tetapi, ide itu dapat diartikan pikiran manusia, baik sebagai umat
manusia keseluruhannya maupun sebagai orang‐seorang, dan juga
dapat diartikan ide yang berada di luar manusia, misalnya, ide dewa‐
dewa, atau ide absolut ajaran Hegel, dan entah berapa banyak lagi
sebutan lainnya.
Idealisme objektif adalah pandangan dunia yang berpokok‐pangkal
pada ide yang berada di luar manusia, yang ‘objektif’. Pandangan dunia
semacam ini pada dasarnya mengakui adanya sesuatu yang bukan‐
materiil, yang ada secara abadi di luar dunia dan manusia. Sesuatu yang
bukan materiil itu ada sebelum dunia alam semesta ini ada, malah
sebagai pencipta dunia alam semesta ini, termasuk manusia dengan
segala pikiran dan perasaannya. Semua yang materiil, menurut idealisme
objektif, adalah hasil ciptaan atau sebagai perwujudan konkret daripada
ide. Dalam bentuknya yang amat primitif, pandangan ini menyatakan
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 121
dirinya dalam penyembahan kepada pohon, batu, dan sebagainya.
Akan tetapi, sebagai suatu sistem filsafat, pandangan dunia ini
dalam sejarah dunia kita kenal pertama‐tama adalah sistem filsafat Plato
(427—347 SM) atau Platonisme. Menurut Plato,127 dunia luar yang dapat
ditanggap oleh pancaindera atau cita rasa kita itu bukanlah dunia yang
riil, melainkan bayangan daripada dunia ‘idea’ yang abadi dan riil. Oleh
karenanya, ia selanjutnya berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu
adalah penemuan kembali atau pengingatan kembali (Anamnesia) pada
‘ide’ itu dan tujuan dari pengetahuan manusia adalah untuk
menemukan kembali seluruh dunia ‘idea’ itu. Pandangan dunia Plato ini
mewakili kepentingan klas yang berkuasa pada waktu itu, yakni kaum
bangsawan pemilik‐budak, dan ini tampak dengan jelasnya dalam
ajarannya tentang ‘masyarakat ideal’ atau sosialisme kaum bangsawan.
Pada zaman tengah (feodal), filsafat idealisme objektif mengambil
bentuk yang dikenal dengan sebutan: skolastisisme.128 Sistem filsafat ini
adalah suatu pandangan dunia yang memadukan unsur‐unsur idealisme
dari filsafat Aristoteles (384—322 SM) dengan teologi. Pokok pandangan
filsafat skolastisisme ini ialah bahwa dunia kita ini merupakan satu
tingkatan hierarki dari seluruh sistem hierarki dunia semesta yang
diciptakan oleh Tuhan, begitu pun hierarki yang ada dalam masyarakat
feodal merupakan kelanjutan dari hierarki dunia ke‐Tuhanan. Segala
sesuatu yang ada dan yang terjadi di atas dunia kita maupun di seluruh
alam semesta ini tidak lain adalah pelaksanaan titah Tuhan atau sebagai
perwujudan konkret daripada ide Tuhan. Filsafat ini membela
kepentingan kaum bangsawan feodal dan kekuasaan Gereja yang pada
waktu itu merupakan tuan‐tanah besar di Eropa. Tokoh‐tokoh yang
terkenal dari aliran filsafat ini dapat dikemukakan di sini, misalnya
127 Plato lahir sekitar tahun 427 SM dalam sebuah keluarga bangsawan Athena yang kaya raya. Hidup ketika Yunani menjadi pusat kebudayaan besar selama empat abad. Jasa besar Plato adalah mendirikan perguruan tinggi tempat para sarjana, guru, dan mahasiswa bekerja sama, mengabdikan diri untuk mempelajari filsafat dan ilmu yang dinamakan Akademi. Hasil karyanya diteruskan oleh murid-muridnya di antaranya adalah Socrates. Lihat Jejak Langkah Pemikiran Plato karya David Melling, Bentang Budaya, 2002. 128 Gerakan intelektual dari para Skolastik Eropa abad pertengahan. Metode yang digunakan oleh kaum Skolastik adalah metode debat di mana setiap permasalahan akan dibagi ke dalam beberapa bagian. Setiap sanggahan akan diajukan dan dijawab secara sistematis.
122 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Johannes Eriugena (833—880), Thomas Aquinas (1225—1274), Duns
Scotus (1270—1308), dan sebagainya.
Dalam zaman modern, pada akhir abad ke‐18 dan awal abad
ke‐19, filsafat idealisme objektif mengambil bentuknya yang terkenal
dengan sistem filsafat Hegel (1770—1831). Menurut Hegel, hakikat dari
dunia ini adalah ‘ide absolut’,129 yang berada secara absolut dan ‘objektif’
di dalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan waktu. ‘Ide
absolut’ ini, dalam proses perkembangannya menampakkan dirinya
dalam wujud gejala alam, gejala masyarakat dan gejala pikiran. Dengan
demikian, ‘ide absolut’ itu tak lain adalah pencipta segala sesuatu di
dunia ini. Filsafat Hegel mewakili klas borjuis Jerman yang pada ketika
itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan klasnya menghendaki
suatu perubahan sosial, menghendaki hapusnya hak‐hak istimewa
kaum bangsawan Junker. Hal ini tercermin dalam pandangan
dialektisnya yang beranggapan bahwa segala sesuatu itu senantiasa
berikembang dan berubah, tidak ada yang abadi dan mutlak, termasuk
juga kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi, kekuatan dan kedudukannya
yang masih serba lemah itu membikin mereka tak berani secara terang‐
terangan melawan filsafat skolastisisme dan ajaran agama yang berkuasa
pada ketika itu. Perlawanan mereka terbatas pada usaha menggantikan
Tuhan dengan ‘ide absolut’.
Pikiran filsafat idealisme objektif itu juga dapat kita jumpai di
dalam kehidupan sehari‐hari dengan berbagai macam bentuk.
Perwujudannya yang paling umum antara lain adalah formalisme dan
doktrinisme. Kaum formalis dan doktrinis secara buta‐tuli mempercayai
dalil‐dalil atau formula‐formula sebagai kekuatan yang mahakuasa,
129 George Wilhelm Friedrich Hegel lahir di Stuttgart, Jerman, pada tahun 1770. Hegel memperoleh pendidikan filsafat dan teologinya dari Universitas Tubingen pada usia 18 tahun. Pada 1799, Hegel bekerja dengan Schelling di Jena pada waktu Gerakan Romantik mengalami perkembangan pesatnya. Kemudian pada 1818 menjadi profesor di Heidelberg, dan terakhir di Berlin. Meninggal dunia karena penyakit kolera pada 1831 setelah Hegelianisme berhasil mendapatkan pengikut yang besar di hamper semua universitas d Jerman. Hegel membangun filsafatnya dari suatu keyakinan dasar tentang kesatuan (unity). Universe sebagai simbol kesatuan adalah manifestasi dari “yang Mutlak” (The Absolute). Yang mutlak bukan sebagai the thing in itself (ada dalam dirinya sendiri), bukan sesuatu kekuatan yang transenden dan bukan pula ego subjektif, yang mutlak adalah proses dunia dalam dirinya sendiri (a process world itself) yang aktif, dan Hegel menyebutnya ide absolut.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 123
sebagai obat yang manjur untuk segala macam penyakit, sehingga
dalam melakukan tugas‐tugas atau menyelesaikan persoalan‐persoalan
tidak bisa berpikir dan bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan
syarat‐syarat yang konkret.
d. Idealisme subjektif
Berbeda dengan idealisme objektif, maka idealisme subjektif adalah
pandangan dunia yang berpangkal pada ide manusia, baik ide manusia
secara keseluruhannya maupun secara perseorangan. Jelasnya, aliran
filsafat ini berpendapat bahwa dunia di sekeliling kita ini merupakan
kumpulan daripada sensasi‐sensasi manusia, dengan perkataan lain,
dunia luar yang ada di sekitar ini dipandangnya sebagai khayalan
belaka, sedang perasaan dan pikiran kita dipandangnya sebagai satu‐
satunya zat (substansi) yang riil.
Salah satu tokoh yang terkenal dari aliran idealisme subjektif ini
adalah seorang uskup Inggris yang bernama George Berkeley (1684—
1753),130 segala sesuatu yang tertanggap oleh sensasi atau perasaan kita
bukanlah dunia materiil yang riil dan ada secara objektif, melainkan
khayalan daripada ide kita belaka. Sesuatu yang materiil, misalnya,
bunga mawar merah, dianggapnya sebagai suatu kumpulan dari
berbagai macam perasaan tertentu, yaitu perasaan mengenal warna,
bau, bentuk, dan sebagainya; dan yang dimaksud dengan sensasi atau
perasaan itu adalah ide yang telah kita sadari, atau sebagai bentuk
eksistensi daripada ide kita. Dengan demikian, Berkeley menyangkal
adanya dunia materiil yang objektif, dan hanya mengakui adanya dunia
yang riil di dalam sensasi atau ide manusia. Kesimpulan yang logis yang
dapat ditarik dari pandangan idealisme subjektif ini adalah akuisme
atau solipsisme, suatu pikiran filsafat yang menyatakan bahwa yang ada
secara riil di dunia ini hanyalah ‘aku’, segala sesuatu lainnya, termasuk
juga orang tuaku, tidak lain hanya sebagai perwujudan konkret
daripada sensasi aku. Untuk ‘menghindarkan diri dari solipsisme’,
maka Berkeley menyatakan bahwa hanya Tuhan yang berada tanpa
tergantung pada sensasi, bahkan sebagai penggerak daripada sensasi
kita. Filsafat Berkeley ini adalah filsafat kaum borjuis besar Inggris pada
130 George Barkeley menyangkal keberadaan dunia material di luar pikiran manusia. Menurutnya, persepsi-persepsi indera kita berasal dari Tuhan. Karya utamanya adalah A Treatise Concerning the Principles of Human Knowledge (1710).
124 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
abad ke‐18, yang sudah merupakan kekuatan reaksioner, dalam
menentang materialisme, sebagai manifestasi kekhawatiran terhadap
revolusi. Berkeley sendiri secara terus terang menyatakan bahwa filsafat
idealisnya ditujukan untuk menyangkal materialisme dan untuk
memperkuat Tuhan.
Idealisme subjektif dalam abad ke‐19 mengambil bentuk
positivisme dari filsuf August Comte (1798—1857). Diajarkannya bahwa
hanya ‘pengalaman’ yang merupakan kenyataan yang sesungguhnya.
Selain dari pengalaman manusia tidak ada lagi dunia kenyataan, dunia
adalah hasil ciptaan dari pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk
menguraikan pengalaman praktis itu. Kaum positivis mengaku dirinya
berdiri di atas materialisme dan idealisme, hendak menyamakan begitu
saja ilmu dengan filsafat, tetapi sesungguhnya mereka bersama‐sama
dengan idealisme menyerang materialisme. Menurut Comte,
kapitalisme merupakan sistem paling rasionil sebagai hasil daripada
kemenangan pikiran ilmiah pada tingkatan empiris.
Kelanjutan dari filsafat positivisme pada awal abad ke‐20 adalah
pragmatisme. Tokoh‐tokohnya yang terkenal antara lain, ialah William
James (1842—1910) dan John Dewey (1859—1952). Pragmatisme
sebenarnya hanya mengakui adanya kebenaran subjektif, tidak
mengakui adanya kebenaran objektif. Filsafat ini adalah filsafatnya ‘big
businessmen’ atau kaum borjuis besar, mewakili kepentingan kaum
imperialis.
Bentuk lain dari idealisme subjektif yang juga sangat populer di
dunia Barat adalah eksistensialisme.131 Pemukanya adalah filsuf Jerman
Martin Heidegger.132
131 Eksistensialisme adalah istilah kolektif untuk beberapa aliran filsafat yang mengambil situasi eksistensial manusia sebagai titik tolak. Eksistensialis muncul sebagai kecenderungan yang irasional dalam filsafat khususnya pasca Perang Dunia II di Jerman dan kemudian di Perancis dan negara-negara lain. Asal-usulnya terletak pada fenomenologi Husserl dan ajaran mistik-agama Kierkegard. Tokoh-tokoh filsuf Eksistensialisme di antaranya adalah Søren Kierkegaard, Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Friedrich Nietzsche, dan Martin Heidegger. 132 Di bawah bimbingan Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, Martin Heideger belajar filsafat di Universitas Freiburg. Pemikirannya sangat mempengaruhi banyak filsuf lainnya, di antaranya Hans-Georg Gadamer, Hans Jonas, Emmanuel Levinas, Hannah Arendt, Leo Strauss, Xavier Zubiri, Karl Löwith, Maurice Merleau-Ponty, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, Jean-Luc Nancy, dan Philippe Lacoue-Labarthe. Pada saat Perang Dunia II di mana Hitler
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 125
Pokok pandangan eksistensialisme adalah pengakuan bahwa
manusia tak mampu mengenal dunia luar yang serba misterius dan
rumit itu. Eksistensialisme mendemonstrasikan kekosongan spirituil dan
degradasi moral yang berasal dari individualisme borjuis. Filsafat ini
sebagai pencerminan ketakutan borjuasi akan kehancurannya yang tak
dapat dielakkan dan sebagai bentuk manifestasinya ada kalanya
berwujud tindakan yang kalap. Eksistensialisme bersama‐sama dengan
aliran‐aliran idealisme subjektif lainnya merupakan tanah ideologi yang
subur bagi pertumbuhan fasisme dan militerisme.
2. Materialisme
Berlawanan dengan filsafat idealisme, filsafat materialisme pada
umumnya bersandar pada ilmu dan mempunyai watak klas yang
revolusioner. Materialisme berkembang dalam sejarahnya: dari
materialisme primitif, materialisme mekanis, sampai materialisme Marxis.
a. Materialisme primitif
Bentuk pertama filsafat materialisme adalah materialisme primitif atau
materialisme spontan yang dikemukakan oleh filsuf‐filsuf Yunani kuno
pada 600 tahun sebelum masehi. Materialisme pada ketika itu adalah
sederhana, kesederhanaannya sesuai dengan tingkat perkembangan
masyarakat pada zaman itu. Sekali pun demikian, arti sejarahnya serta
sumbangannya kepada pikiran manusia pada zaman‐zaman
selanjutnya, terutama kepada kelahiran materialisme dialektis adalah
besar sekali.
Wakil‐wakil tersohor filsuf‐filsuf materialisme Yunani antara lain
adalah Thales (640—546 SM), Anaximander (611—546 SM), Anaximenes,
Herakleitos (kira‐kira 500 tahun SM), Demokritos (kira‐kira 460—360
SM), dan sebagainya. Sekalipun ajaran‐ajaran mereka berbeda‐beda satu
sama lain, di antara mereka ada satu persamaan pendapat: bahwa dunia
ini terdiri dari materi; bahwa segala sesuatu di dunia pada hakikatnya
adalah materi yang senantiasa berubah dan berkembang. Misalnya
Thales mengatakan segala sesuatu itu bersumber pada air, air
merupakan unsur pokok dari dunia ini. Anaximenes berpendapat,
dengan politik rasialismenya menggenosida jutaan orang Yahudi, Heidegger merupakan anggota akademik yang penting dari Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman atau Partai Nazi).
126 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bahwa hakikat dari dunia ini adalah hawa. Herakleitos menganggap
dunia ini diciptakan oleh api. Pada antara abad ke‐5 dan ke‐4 sebelum
masehi, Demokritos mengemukakan teori atomnya yang mempunyai
nilai ilmu yang sangat besar sekali.
Menurut Demokritos, dunia ini terdiri dari atom, atom adalah
bagian‐bagian terkecil yang tak dapat dipecah lagi dari segala benda.
Perbedaan jumlah dan susunan atom membentuk benda‐benda yang
berlainan. Kecuali atom, Demokritos juga berpendapat masih ada satu
hal lagi yang ada di dunia ini, yaitu ruang. Ruang merupakan tempat di
mana atom‐atom itu bergerak, saling mendorong dan bentrok, sehingga
terjadi berbagai macam gejala dan gerak. Mengenai ide dan
pengetahuan, Demokritos menerangkannya sebagai pencerminan
keadaan dunia luar di dalam hati dengan melalui perasaan, karenanya
perasaan dipandangnya sebagai satu‐satunya sumber pengetahuan.
Kemudian, Epikurus (341—270 SM) sebagai penerus dari
Demokritos menerangkan bahwa gejala pikiran, perasaan, dan
sebagainya, termasuk juga roh manusia, semuanya adalah perwujudan
dari gerak atom‐atom. Dengan demikian, filsafat Epikurus berpendirian
materi menentukan ide, bukan ide menentukan materi.
Selain daripada itu, materialisme Yunani kuno juga mengandung
metodologi dialektis. Misalnya, Thales beranggapan bahwa segala sesuatu
itu senantiasa berada dalam keadaan gerak,... segala sesuatu itu berubah
terus menerus. Anaximander juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu
bergerak dan berubah, bahkan ia menerangkan gerak dan perubahan itu
adalah suatu proses perjuangan dari dua hal yang berlawanan. Akan tetapi,
pandangan Herakleitos dalam hal ini lebih maju lagi. Menurut
Herakleitos, segala sesuatu itu mengalir, pantarhei. Herakleitos tidak
hanya menerangkan segala sesuatu itu mengalir, berkembang, tetapi juga
menjelaskan bahwa perkembangan itu sendiri adalah proses perjuangan
dari kontradiksi.
b. Materialisme mekanis
Pada akhir abad ke‐17, di mana kaum borjuis sebagai klas baru yang
mewakili cara produksi baru sudah mulai tumbuh dengan kuatnya,
materialisme mulai muncul kembali dalam bentuk yang umumnya kita
sebut materialisme modern. Materialisme modern ini sudah tentu jauh lebih
maju daripada materialisme primitif, sesuai dengan tingkat
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 127
perkembangan masyarakat dan tingkat ilmu pada waktu itu.
Materialisme modern ini lahir sebagai senjata ideologi klas borjuis dalam
perjuangannya melawan klas feodal yang berkuasa pada waktu itu.
Oleh karenanya, materialisme modern ini justru tumbuh dan berkembang
luas terutama di negeri‐negeri di mana gelombang revolusi borjuis
sedang pasang, yaitu di negeri Belanda, Inggris, dan Perancis.
Sebagai wakil yang tersohor dalam abad ke‐17 antara lain adalah
seorang ahli pikir Belanda bernama Spinoza133 (Benedictus, 1632—1677).
Menurut Spinoza, dunia ini terdiri hanya dari satu substansi, kecuali itu
tidak ada zat lainnya. Substansi ini olehnya disebut ‘Tuhan’. Akan tetapi
‘Tuhan’ yang dimaksudkan itu, menurut penjelasannya, bukanlah Tuhan
dalam dunia agama atau Tuhan yang menciptakan dunia dan manusia,
melainkan alam dan hukum‐hukumnya. Spinoza berbeda dengan
Descartes (1596—1650). Descartes menganggap yang ada di dunia ini
dua unsur: Tuhan dan benda. Sedang Spinoza hanya mengakui satu zat
saja: alam. Walaupun ia sudah mengatasi dualismenya Descartes, tetapi
ia belum konsekuen meninggalkan pandangannya yang memisahkan
dan mempertentangkan dunia materi dengan ide. Menurut
pendapatnya, substansi itu mempunyai dua sifat: pikiran dan ekstensi
(artinya memiliki ruang), hakikat dari substansi itu dinyatakan
sepenuhnya oleh tiap sifat itu. Dua sifat itu merupakan dua segi dari
satu hal yang sama, yaitu alam, mereka masing‐masing berdiri sendiri‐
sendiri, satu sama lain tidak saling tidak bergantungan. Ini
menunjukkan masih adanya sisa pengaruh dualisme Descartes di dalam
alam pikiran Spinoza. Selanjutnya Spinoza juga memandang dunia
sebagai suatu mesin, segala sesuatu yang ada di dalam dunia ini
dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu tali. Ia juga menggunakan
metode mekanisnya pada etika dan politik. Dalam karya utama Ethica
133 Spinoza adalah orang pertama yang menerapkan penafsiran historis-kritis atas Bibel. Cara membaca yang kritis ini mengungkapkan sejumlah ketidakkonsekuenan dalam teks-teks tersebut. Salah satu pilar filsafat Spinoza sesungguhnya adalah melihat segala sesuatu dari perspektif keabadian. Spinoza tidak hanya mengatakan bahwa segala sesuatu adalah alam. Ia menyamakan alam dengan Tuhan. Bagi Spinoza, Tuhan tidak menciptakan dunia agar dapat berdiri di luarnya. Tuhan adalah dunia itu sendiri. Kadang kala Spinoza mengungkapkannya dengan cara yang berbeda. Ia menyatakan bahwa dunia itu ada dalam diri Tuhan. Spinoza adalah seorang panties.
128 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Ordine Geometrico Demonstrata 134 antara lain ia berkata: “Janganlah
menangis, janganlah ketawa, tapi pahamilah—inilah justru tugas
manusia yang sesungguhnya.” Ia juga mengatakan bahwa individu tak
dapat memisahkan dirinya dari masyarakat, kehidupan kemasyarakatan
merupakan keharusan; di dalam kehidupan semacam ini, tiap individu
harus memadukan antara ‘mempertahankan dirinya’ dengan ‘mencintai
sesamanya’. Mengenai negara, ia berpendapat bahwa negara seharusnya
tidak mengekang kepribadian manusia, sebaliknya harus memberikan
syarat‐syarat untuk mengembangkan kegiatan‐kegiatan materiil dan
spiritual manusia.
Sistem pemikiran Spinoza adalah rasionalisme dan mekanisme,
suatu sistem ideologi borjuis pada abad ke‐17 yang menyatakan
perlawanan terhadap hak‐hak istimewa kaum feodal serta perlawanan
terhadap penindasan atas demokrasi borjuis, sementara itu juga
merupakan suatu ajaran ateisme yang menentang teologi dan takhayul.
Filsuf‐filsuf kenamaan dari materialisme modern yang sezaman dengan
Spinoza antara lain adalah Bacon (Francis, 1561—1626), Hobbes
(Thomas, 1588—1679), Locke (John, 1632—1704) di Inggris, dan
Cassendi (Pierre, 1592—1655) di Perancis. Zaman mereka merupakan
periode pertama dari pertumbuhan materialisme mekanis. Aliran filsafat
ini kemudian mencapai puncak perkembangannya di Perancis pada
abad ke‐18 yang umumnya kita sebut materialisme Perancis. Sebagai
wakil‐wakil terkemuka antara lain ialah Holbach (Paul d’, 1723—1789)
dan Lamettrie (Julien Offray de, 1709—1751).
Dalam menjawab masalah terpokok dalam filsafat, materialisme
Perancis secara tegas menyatakan bahwa materi adalah primer, ide
sekunder; ide dilahirkan dan ditentukan oleh materi. Holbach
mengatakan: “Materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara‐cara
tertentu menyentuh pancaindera kita, sedang sifat‐sifat yang kita kenal
dari berbagai macam perubahan yang terjadi di dalam alam pikiran kita
terhadap hal ihwal itu.” Dengan demikian materialisme Perancis telah
134 Etika Dibuktikan secara Geometris. Ketika Spinoza menggunakan kata etika, yang dimaksudkannya adalah seni kehidupan dan kelakuan moral yang dibuktikan secara geometris. Ia ingin etikanya dapat membuktikan bahwa kehidupan manusia itu tergantung pada hukum alam yang universal. Oleh karena itu, menurutnya kita harus membebaskan diri dari perasaan dan nafsu kita. Setelah itu, barulah kita dapat menemukan kepuasan hati dan kebahagiaan.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 129
menyangkal dan menggulingkan pandangan mistisisme religius, teori
tentang pencipta dunia (Demiurge), yang sebelum itu telah lama
menguasai alam pikiran manusia. Bahkan secara terang‐terangan
Holbach menyatakan: “tampaknya agama itu diada‐adakan hanya
untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk di bawah
kekuasaan raja lalim. Asal manusia merasa dirinya di dalam dunia ini
sangat celaka, maka ada orang datang mengancam dengan kemarahan
Tuhan, memaksa mereka diam dan mengarahkan pandangannya ke atas
langit, dengan demikian membikin mereka tak dapat melihat sebab
sesungguhnya daripada kemalangannya itu, juga berpikir
menggunakan cara‐cara yang diberikan kepadanya oleh dunia alam
untuk melakukan perjuangan terhadap bencana‐bencana itu.”
Materialisme Perancis adalah materialisme mekanis, yang
menerangkan bahwa tiap gejala adalah bagaikan mesin, dikuasai oleh
hukum‐hukum mekanika. Segala macam gerak dipandangnya hanya
bagaikan sebagai gerak mekanis, yaitu pergeseran tempat dan
perubahan jumlah saja. Bahkan manusia serta aktivitasnya disamakan
dengan mesin. Ini tampak dengan mencolok sekali dari karya Lamettrie
yang berjudul Manusia adalah Mesin. Menurut pendapatnya, tubuh
manusia itu adalah mesin yang paling sempurna: perasaan, pikiran, roh
dan sifat‐sifat manusia lainnya sama halnya dengan sifat mesin. Tanpa
tubuh, tiada perasaan, tiada pikiran. Mereka tidak melihat adanya
peranan aktif daripada pikiran atau ide terhadap materi. Pandangan
yang mekanis ini adalah salah satu ciri, malahan ciri kelemahan
daripada materialisme Perancis.
Selanjutnya kaum materialis Perancis abad ke‐18 dalam masalah
epistemologi (teori tentang pengetahuan) secara tegas menentang
pandangan idealisme yang menyatakan bahwa sebagian akal manusia
didapatnya tidak dari pengalaman sensasionilnya, melainkan sudah ada
semenjak ia dilahirkan. Kaum materialis Perancis (juga di Inggris dan
Belanda) berpendapat bahwa pengalaman itu adalah satu‐satunya sumber
pengetahuan, pengalaman itu didapat dari hubungan langsung materi
objektif dengan pancaindera. Mereka mengutamakan pengetahuan
sensasionil, dan mengabaikan peranan pengetahuan rasional. Oleh
karenanya materialisme mekanis sekaligus juga sensualisme atau empirisme.
Ini juga merupakan kelemahannya.
Akan tetapi kelemahannya yang paling besar ialah pandangan
130 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sejarahnya. Karena mengenai gejala masyarakat, mereka berpijak pada
idealisme. Menurut pandangan mereka, kekuatan penggerak perkembangan
masyarakat adalah pikiran atau ide. Oleh karenanya mereka berpendirian
jalan satu‐satunya untuk mengubah sistem masyarakat ialah
pembangunan mental, pendidikan, pembasmian kebodohan dan
sebagainya.
Walaupun materialisme mekanis mengandung banyak kelemahan,
ketika itu ia merupakan pandangan dunia yang revolusioner, suatu
kemajuan dalam dunia pikiran. Kemajuan itu ditentukan oleh
kemajuan‐kemajuan yang terdapat dalam hubungan sosial ekonomi dan
ilmu, tetapi syarat‐syarat sejarah itu juga menentukan kelemahan‐
kelemahannya.
c. Lahirnya materialisme Marxis
Pada masa peralihan dari abad ke‐18 ke abad ke‐19, di Jerman, di mana
kapitalisme berkembang agak terbelakang, ideologi borjuis berwujud
dalam bentuk yang umumnya kita sebut filsafat klasik Jerman. Sebagai
puncak perkembangan aliran filsafat ini adalah Hegelianisme. Filsafat
Hegel adalah idealisme objektif.
Sumbangan ajaran Hegel dalam sejarah perkembangan pikiran
manusia besar sekali nilainya, bukan pandangan idealismenya,
melainkan ajaran dialektikanya, ‘jiwa’ filsafatnya. Hegel sendiri pernah
mengatakan: ‘Yang penting di dalam filsafat ialah metode, bukan
kesimpulan‐kesimpulan khusus mengenai ini dan itu’. Hegel telah
berhasil mengkristalisasi segala unsur dialektis yang terdapat di dalam
sistem pemikiran dari filsuf‐filsuf besar yang ada sebelumnya, sehingga
tercipta metodologi dialektis yang komplit. Dengan demikian ia telah
menggulingkan metafisika, metodologi kuno yang sudah lama
menguasai alam pikiran manusia dan ilmu.
Hegel mengemukakan bahwa kaum materialis Inggris dan
Perancis pada abad ke‐17 dan ke‐18 dan juga kaum idealis yang menjadi
lawannya, semuanya adalah ahli pikir metafisis. Ia menunjukkan
kesalahan‐kesalahan atau kelemahan‐kelemahan metafisika. Pertama,
kaum metafisis, memandang segala sesuatu tidak dari keseluruhannya,
tidak dari saling hubungannya, tetapi ditinjaunya sebagai sesuatu yang
berdiri sendiri‐sendiri; sedang Hegel memandang dunia sebagai satu
badan kesatuan, segala sesuatu di dalamnya terdapat saling‐hubungan
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 131
yang organik. Kedua, kaum metafisis melihat sesuatu tidak dari
geraknya, melainkan sebagai yang diam, mati, tidak berubah‐ubah,
sedang Hegel melihat dari perkembangannya, dan perkembangan ini
disebabkan adanya kontradiksi internal. Kaum metafisis berpendirian
bahwa ‘segala yang bertentangan adalah irasionil’. Mereka tak
mengetahui bahwa akal (reason, raison) itu sendiri adalah pertentangan
(kontradiksi). Ketiga, sumbangan Hegel yang penting ialah kritik
mengenai pandangan evolusi vulgar, yang pada ketika itu sangat
merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang ‘lompatan’ (sprong)
dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel, sudah banyak filsuf yang
mengakui bahwa dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari
proses perkembangannya, tetapi pandangannya tentang perkembangan
hanya terbatas pada perubahan‐perubahan berangsur‐angsur,
perubahan evolusioner saja. Sedang Hegel berpendapat, dalam proses
perkembangan itu pertentangan intern makin mendalam dan
meruncing, dan pada suatu tingkat tertentu perubahan berangsur‐
angsur berhenti, terputus, terjadilah ‘lompatan’. Setelah ‘lompatan’ itu
terjadi, maka kualitas sesuatu itu mengalami perubahan.
Dengan tersusunnya dialektika Hegel, maka dalam dunia pikiran
manusia terjadi revolusi menghancurkan metodologi metafisis yang
berkuasa lebih dari 2000 tahun lamanya. Logika dialektis Hegel telah
memberi dorongan yang kuat bagi kemajuan pikiran ilmiah dan
meletakkan dasar yang kuat pula bagi materialisme Marxis.
Akan tetapi dialektika Hegel itu diselubungi dengan kulit mistik,
reaksioner, yaitu pandangan idealismenya, sehingga ia memutarbalikkan
keadaan yang sebenarnya. Hukum dialektika, yaitu hukum tentang
saling‐hubungan dan perkembangan gejala‐gejala yang berlaku di dunia
ini dipandangnya bukan sebagai suatu hal yang objektif, yang primer,
melainkan sebagai perwujudan dari ‘jiwa absolut’, yang sekunder.
‘Kulit’ yang reaksioner inilah yang kemudian dibuang oleh Marx, dan
isinya yang ‘rasionil’ diambil serta ditempatkan pada kedudukannya yang
benar.
Kontradiksi yang ada di dalam filsafat Hegel itu justru
mencerminkan keadaan masyarakat Jerman dalam zaman revolusi
borjuis demokratis. Hegel sendiri juga pernah mengatakan bahwa filsafat
itu ‘adalah pernyataan zaman di dalam pikiran’. Pada ketika itu kapitalisme
di Jerman mulai berkembang, tetapi kekuatan borjuasi masih lemah,
132 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sedang kekuasaan feodal masih kokoh dan kuat. Dialektika Hegel yang
revolusioner itu menyatakan tuntutan klas borjuis, sedang idealismenya
yang reaksioner itu di samping sesuai dengan keinginan klas feodal
yang berkuasa, mencerminkan kelemahan watak kompromisnya
borjuasi Jerman pada ketika itu. Kelemahan dan watak kompromis
mereka itu tidak hanya karena ketidakmampuannya melawan
feodalisme yang masih kuat itu, tetapi juga karena ketakutannya kepada
klas proletar yang sudah mulai ‘bergelora’.
Pada pertengahan abad ke‐19, kapitalisme di Jerman sudah
berkembang dengan pesat, kekuasaan feodal mulai goncang tetapi
masih mampu mempertahankan diri dengan gigih dan nekat. Dalam
keadaan itu, muncullah materialisme Feuerbach (Ludwig, 1804—1872)
yang tidak hanya mewakili kepentingan kaum borjuis, tetapi juga
borjuis kecil yang sangat menderita pada waktu itu.
“Materialisme Feuerbach pertama‐tama menentang idealisme
Hegel, menyangkal adanya ‘jiwa absolut’, dan secara tegas menyatakan
bahwa hakikat dunia ini adalah alam yang materiil. Ia dengan tajam
mengemukakan bahwa segala idealisme tidak berbeda dengan teologi
yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan zaman dan harus diganti
dengan filsafat baru. Filsafat baru ini, menurut Feuerbach, harus
bertolak dari materi yang benar‐benar ada di ruang dan waktu dan
dapat dirasakan oleh kita, pendeknya harus materialis dan ateis.
Selanjutnya Feuerbach mengkritik filsafat Hegel, dikatakannya bahwa
Hegel berdiri di atas teologi berusaha menegasi teologi. Menurut
Feuerbach, hanya dengan berdasarkan ateisme dan materialisme baru
bisa mengalahkan teologi. Dalam filsafat Feuerbach, kedudukan Tuhan
diganti dengan manusia, ke‐Tuhanan diganti dengan kemanusiaan,
secara tegas ia mengatakan, manusia itu sendiri adalah Tuhan. Tidak
hanya sampai di situ, ia bahkan mengatakan bahwa bukan Tuhan yang
menciptakan manusia, sebaliknya ‘Tuhan adalah bayangan manusia di
dalam cermin’. Ia berpendapat, sebagaimana Holbach, bahwa agama itu
pada permulaannya adalah untuk memenuhi sesuatu kebutuhan
manusia, akan tetapi, setelah ia dilahirkan, pastor dan yang berkuasa
(kaum bangsawan dan padri) menggunakannya untuk memperbudak
rakyat banyak atas nama Tuhan. Demikianlah Ludwig Feuerbach.”135
135 D.N. Aidit, op.cit., h.27.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 133
Marx dan Engels telah merombak dialektika Hegel secara
materialis dan merombak materialisme Feuerbach secara dialektis.
3. Pokok‐pokok pandangan materialisme dialektis
a. Dunia adalah materiil
1.) Apakah materi itu?
Pengertian materi dalam filsafat adalah luas dan bersifat umum, ia tidak
terbatas pada benda‐benda atau proses‐proses alam saja, tetapi
melingkupi juga gejala‐gejala sosial, sedang pengertian materi dalam
ilmu alam hanya khusus mengenai benda‐benda alam saja. Selanjutnya,
pengertian materi dalam filsafat bersifat mutlak dan abadi, karena
bagaimanapun majunya pengetahuan manusia, ini tak akan mengubah
kebenaran bahwa materi itu berada secara objektif dan tak tergantung
pada kesadaran manusia. Sebaliknya, pengertian materi dalam ilmu
alam bersifat relatif dan sementara, karena ia tergantung pada
perkembangan pengetahuan manusia. Misalnya, perkembangan teori
atom adalah perkembangan pengetahuan manusia tentang materi di
dunia alam.
Di samping berbeda dua pengertian itu, pengertian materi dalam
filsafat merupakan perluasan atau generalisasi dari pengertian materi
dalam ilmu alam. Jelasnya, hubungan antara dua macam pengertian
materi itu adalah hubungan antara yang umum dengan yang khusus,
antara yang abstrak dengan yang konkret, antara yang absolut dengan
yang relatif.
2.) Apakah ide itu?
Pengertian ide menurut materialisme dialektis tidak hanya berlawanan
dengan pandangan idealisme, yang beranggapan bahwa ide itu
merupakan sesuatu yang berdiri sendiri tak tergantung pada materi,
bahkan sudah ada lebih dahulu daripada materi. Oleh Lenin, filsafat
idealisme dengan tajamnya dinamakan ‘filsafat tidak berotak’.
Pengertian ide menurut materialisme dialektis juga bertentangan dengan
pandangan‐pandangan materialisme vulgar dan materialisme metafisis
yang menyatakan, misalnya, bahwa segala materi atau benda
mempunyai ide, sebagaimana dikemukakan juga oleh Plekhanov bahwa
batu pun mempunyai ide; atau yang beranggapan bahwa ide atau
134 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pikiran itu merupakan suatu zat yang ditimbulkan oleh proses fisiologis
seperti halnya berliur, atau sebagaimana sering dikemukakan oleh orang
bahwa pikiran itu adalah fosfor.
3.) Peranan aktif ide
Materialisme dialektis menentang pendapat agnostisisme dari Kant
(Immanuel, 1724—1804). Menurut Kant, manusia tak akan dapat
mengenal atau mencerminkan keadaan objektif sebagaimana adanya.
Kemajuan ilmu, misalnya penguasaan dan penggunaan tenaga atom,
telah membuktikan bahwa pengetahuan manusia tentang atom adalah
benar, adalah sesuai dengan kenyataan (atom) sebagaimana adanya.
Dengan demikian terbuktilah juga ketidakbenaran pandangan
agnostisisme itu, dan memperkuat pandangan materialisme dialektis.
Pandangan materialisme dialektis juga bertentangan dengan
pandangan mekanis yang mengabaikan peranan aktif dari ide terhadap
materi.
Dengan dikemukakannya keprimerannya materi dan peranan
aktif ide terhadap materi, materialisme dialektis mengajarkan kepada
kita supaya dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah
harus bertolak dari kenyataan yang konkret, harus berdasarkan data‐
data keadaan secara objektif jangan sekali‐kali bersandar pada dugaan
subjektif dan dalil atau buku‐buku yang mati dan juga harus ditujukan
untuk kebutuhan praktek yang konkret. Di pihak lain ia
memperingatkan kita betapa pentingnya peranan teori, berhubung
dengan adanya peranan aktif dari ide, untuk mengenal dan mengubah
keadaan sebagaimana dikatakan Lenin: “tanpa teori revolusioner tak
akan ada gerakan revolusioner.”136
b. Dunia materiil adalah satu kesatuan organik.
Ciri terpenting yang membedakan materialisme filsafat Marx dengan
aliran‐aliran materialisme lainnya sebelum Marx ialah bahwa caranya
(metodenya) mendekati gejala‐gejala alam, caranya mempelajari dan
memahami gejala‐gejala ini adalah dialektis, sedangkan keterangannya
(interpretasinya) mengenai gejala‐gejala alam, pengertiannya
(konsepsinya) mengenai gejala‐gejala ini, teorinya, adalah materialis.
136 Ibid., h.32.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 135
Metode dialektis adalah suatu cara mengenal, mempelajari dan
menganalisa segala sesuatu dengan berdasarkan hukum dialektika, yaitu
hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala‐gejala yang
berlaku secara objektif di alam semesta ini.
1.) Saling hubungan gejala‐gejala adalah objektif
Kaum materialis dialektis berpendapat, bahwa saling hubungan antara
gejala‐gejala itu berlaku secara objektif, tidak tergantung pada
kesadaran manusia. Maka itu, untuk mengenal secara tepat saling
hubungan itu kita harus meneliti dan mempelajarinya secara ilmiah,
sedikit pun tak boleh ditambahkan dengan dugaan‐dugaan subjektif.
Pahamilah kenyataan itu sebagaimana adanya dan temukanlah
interkoneksi (saling hubungan) yang ada padanya.
2.) Segala sesuatu ditentukan oleh keadaan, tempat, dan waktu
Materialisme dialektis bertentangan dengan pandangan metafisis yang
beku, yang berusaha mengabadikan atau memutlakkan arti sesuatu,
atau memandang dan menganalisa sesuatu dipisahkan dari keadaan
sekitarnya, dari hubungannya dengan hal‐hal lain.
Dengan pandangan saling‐hubungan ini kita diajarkan supaya
dalam memandang dan memecahkan sesuatu masalah jangan
dipisahkan dari hubungan keseluruhannya, karena tiada satu hal yang
tidak ada sebab atau akibatnya, segala sesuatu ditentukan oleh keadaan,
tempat dan waktu.
3.) Saling hubungan yang pokok dan yang bukan pokok
Setiap hal mempunyai saling hubungan dengan banyak hal lainnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, di antara sekian
banyak saling hubungan itu tidaklah semuanya sama artinya,
peranannya atau kedudukannya. Di antaranya ada saling hubungan
yang memainkan peranan menentukan, ada yang hanya memainkan
peranan mempengaruhi saja, ada yang bersifat keharusan, ada juga
yang bersifat kebetulan, ada yang merupakan sebab, ada pula yang
merupakan akibat; ada yang pokok, ada yang bukan pokok.
Pandangan demikian ini berlawanan dengan pandangan
metafisis yang cenderung menyamaratakan saling hubungan yang
bersegi banyak itu, sehingga mengaburkan pokok persoalan, yang
136 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berakibat berlarut‐larutnya persoalan sehingga tak terselesaikan.
c. Dunia materiil senantiasa bergerak dan berkembang
—patah tumbuh hilang berganti
“Seluruh alam”, kata Engels dalam karyanya yang terkenal Dialektika
Alam, “dari sesuatu yang sekecil‐kecilnya sampai pada yang sebesar‐
besarnya, dari sebutir pasir sampai matahari, dari protista sampai ke
manusia, adalah dalam keadaan senantiasa timbul dan lenyap, dalam
keadaan senantiasa mengalir, dalam keadaan gerak dan berubah yang
tak henti‐hentinya.”
Dalam Anti‐Dühring, Engels menerangkan lebih lanjut: “Gerak
adalah bentuk eksistensi materi. Di mana pun tak pernah ada, dan juga
tak mungkin ada materi tanpa gerak.... Materi tanpa gerak sama tidak
mungkinnya seperti gerak tanpa materi. Oleh karena itu, gerak
sebagaimana materi itu sendiri, tak dapat diciptakan dan dilenyapkan;
sebagaimana dinyatakan oleh filsafat yang lebih tua (Descartes),
kuantitas daripada gerak yang ada di dunia selamanya sama. Oleh
karena itu gerak tak dapat diciptakan, ia hanya dapat ditransfer.”
Pandangan materialisme dialektis demikian ini berdasarkan
kenyataan objektif—alam, masyarakat maupun pikiran manusia—yang
memang dalam keadaan senantiasa bergerak dan berkembang,
sebagaimana dikatakan oleh Herakleitos, ‘Pantarhei’, atau sebagaimana
peribahasa kita mengatakan ‘patah tumbuh hilang berganti’ atau ‘zaman
beralih musim bertukar’.
1.) Gerak materi adalah gerak sendiri
Dengan dikatakan gerak adalah bentuk eksistensi materi berarti bahwa
gerak materi itu bukan disebabkan karena dorongan dari kekuatan di
luar materi, melainkan oleh kekuatan yang ada di dalam materi itu
sendiri. Kemajuan‐kemajuan yang telah dicapai dalam ilmu alam,
misalnya tentang atom, transmutasi unsur‐unsur dan sebagainya, telah
membenarkan hal ini. Pengalaman sejarah juga telah membuktikan
bahwa perkembangan masyarakat bukan disebabkan oleh kekuatan
yang berada di luar masyarakat itu, melainkan ditentukan oleh
kekuatan‐kekuatan yang berada di dalam masyarakat itu sendiri.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 137
2.) Diam adalah salah satu bentuk gerak
Dengan pandangan bahwa dunia materiil itu selalu bergerak dan
berkembang, tidaklah berarti bahwa materialisme dialektis menyangkal
adanya keadaan diam atau statis. Materialisme dialektis berpendapat
bahwa gejala demikian adalah suatu bentuk daripada gerak materi,
suatu bentuk gerak di dalam keadaan tertentu di mana imbangan
kekuatan‐kekuatan dalam dengan kekuatan‐kekuatan luar dari materi
itu mencapai keseimbangan yang sifatnya sementara dan relatif.
Keadaan demikian ini disebut juga sebagai kestabilan relatif dari
kualitas.
Dengan demikian, materialisme dialektis berpendapat bahwa
bentuk gerak materi atau kenyataan objektif itu beraneka corak dan
ragamnya, makin berkembang praktek sosial manusia, makin maju
ilmu, makin banyaklah kita kenal akan bentuk‐bentuk gerak materi.
Engels mengatakan: “gerak materi, tak dapat digolongkan begitu saja ke
dalam semacam gerak mekanis yang sederhana dan mati, semacam
gerak sederhana yang berupa pergeseran tempat saja; panas dan sinar,
listrik dan magnet, persenyawaan (kombinasi) dan peruraian (disosiasi)
dalam kimia, kehidupan, dan akhirnya ide, semuanya adalah gerak
materi.”137
d. Dunia materiil berkembang menurut hukumnya sendiri
Hukum dialektika atau hukum tentang perkembangan dirumuskan
Engels dalam tiga hukum dasar:
1. Hukum tentang kesatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang
berlawanan atau tentang kontradiksi.
2. Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan
kualitatif.
3. Hukum tentang negasi dari negasi.
1.) Hukum tentang kontradiksi
Hukum kontradiksi ini merupakan ‘inti’ atau ‘jiwa’ dari dialektika,
karena ia menerangkan sumber dan hakikat perkembangan. Lenin
mengatakan: “Terbaginya kesatuan dan pengenalan atas bagian‐
137 Ibid., h.38.
138 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat dari dialektika.” Oleh
karenanya ia adalah salah satu ciri terpenting yang membedakan
dialektika dengan metafisika. Dan merupakan kunci bagi kita untuk
memahami dengan baik dialektika keseluruhannya.
Hukum kontradiksi adalah umum dan universal. Segala hal
ihwal pada waktu dan tempat mana pun juga, selalu mengandung
kontradiksi di dalamnya. Sudah tentu, tiap‐tiap hal mempunyai
kontradiksinya sendiri‐sendiri yang khas yang membedakan hal yang
satu dari lainnya. Satu hal yang sama, pada tingkat‐tingkat yang
berbeda dari proses perkembangannya, juga mempunyai kekhususan‐
kekhususan dalam kontradiksi‐kontradiksinya, yang membedakan
tingkat perkembangan yang satu dari yang lainnya. Kesadaran bahwa
kontradiksi berlaku secara umum dan universal, berarti bahwa kita
harus mengenal kekhususan‐kekhususan kontradiksi yang ada pada
sesuatu hal yang konkret. Dan dalam mempelajari kekhususan
kontradiksi itu yang terpenting ialah untuk mengenal kontradiksi pokok
dan segi pokok dari kontradiksi.
Di dalam proses perkembangan sesuatu hal yang rumit, terdapat
banyak kontradiksi. Kontradiksi‐kontradiksi yang dikandungnya
mempunyai arti atau peranan dan kedudukan yang berbeda‐beda di
sepanjang proses perkembangannya. Seperti dikatakan Mao Zedong,
pada setiap tingkat perkembangannya, hanya satu di antaranya yang
merupakan kontradiksi pokok yang memegang peranan memimpin dan
menentukan, sedangkan yang lain menempati kedudukan yang sekunder
atau yang dibawahkan. Dengan perkataan lain, kontradiksi pokok
adalah kontradiksi yang memegang peranan memimpin pada suatu tingkat di
dalam proses perkembangan sesuatu.
Oleh karena kontradiksi pokok memainkan peranan yang
memimpin kontradiksi‐kontradiksi lainnya pada suatu tingkat
perkembangan tertentu, maka ia merupakan mata rantai persoalan yang
harus dipecahkan lebih dulu, dan hanya dengan demikian kontradiksi‐
kontradiksi lainnya baru bisa dan lebih mudah diselesaikan.138
Setiap kontradiksi terdiri dari dua segi. Dua segi dalam
kontradiksi itu mempunyai arti, peranan, dan kedudukan yang tidak
sama. Di antaranya ada satu segi yang mewakili kekuatan‐kekuatan
138 Ibid., h.43.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 139
lama atau ‘the old established forces’, dan segi lainnya yang mewakili
kekuatan‐kekuatan baru atau ‘the new emerging forces’ atau dengan
perkataan lain, segi negatif dan segi positif. Selain itu, kedudukan dua
segi itu dalam proses perkembangan kontradiksi memainkan peranan
yang tidak sama, ada yang menguasai dan ada yang dikuasai, ada yang
memimpin dan ada yang dipimpin. Dalam keadaan tertentu dua segi itu
bisa berada dalam kedudukan yang seimbang, tetapi ini bersifat
sementara dan relatif. Segi yang berperan menguasai atau berdominasi
dalam seluruh proses perkembangan mempunyai arti yang menentukan
kualitas kontradiksi itu. Segi yang berperan memimpin pada tingkat‐
tingkat perkembangan tertentu mempunyai arti menentukan terhadap
arah yang dituju oleh perkembangan kontradiksi pada tingkat tertentu.
Segi yang baru pada permulaan proses perkembangan
kontradiksi masih kecil dan lemah, dan karenanya merupakan segi yang
dipimpin dan dikuasai. Tetapi dalam proses perkembangan selanjutnya,
ia tumbuh makin besar dan kuat, sehingga kedudukannya berubah
menjadi yang memimpin, dan kemudian berdominasi. Apabila ini
terjadi, berarti kualitas kontradiksi itu berubah.
Memahami keadaan dua segi dalam kontradiksi adalah penting
sekali artinya bagi usaha‐usaha menyelesaikan kontradiksi itu. Hanya
dengan mengenal secara tepat keadaan musuh dan keadaan kita sendiri,
kita dapat menyelesaikan kontradiksi antara kita dengan musuh secara
lebih tepat. Dan dalam mengenal keadaan dua segi yang berkontradiksi
itu pertama‐tama kita perlu mengetahui mana yang merupakan segi
baru, segi yang mempunyai hari depan, dengan maksud agar kita
berorientasi pada segi baru ini serta menyiapkan syarat‐syarat yang
diperlukan untuk pertumbuhannya. Selanjutnya perlu diketahui syarat‐
syarat yang diperlukan untuk menempati kedudukan yang memimpin
dan lebih lanjut dikembangkan untuk menjadi segi yang menguasai.
2.) Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif
Hukum tentang perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif
menerangkan jalannya proses perkembangan segala sesuatu. Hukum ini
mengungkapkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu terdiri dari
dua tingkatan, yaitu tingkatan perubahan kuantitatif dan tingkatan
perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif berlangsung secara
berangsur‐angsur, secara evolusioner; tetapi sampai pada batas tertentu,
140 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
apabila bingkai lama diterjang, ia menimbulkan perubahan kualitatif
yang berlangsung secara tiba‐tiba, secara revolusioner, dan merupakan
suatu lompatan. Perubahan kuantitatif menyiapkan perubahan kualitatif, dan
perubahan kualitatif menyelesaikan perubahan kuantitatif yang lama dan
melahirkan serta mengembangkan perubahan kuantitatif yang baru.
Demikianlah proses perkembangan segala sesuatu itu merupakan
rentetan perubahan kuantitatif dan perubahan kualitatif yang silih
berganti secara terus‐menerus tak kunjung hentinya.
Berdasarkan hukum ini maka dalam memandang dan mengubah
segala sesuatu kita harus mengetahui dengan jelas kuantitas dan
kualitasnya, mengetahui dengan jelas perubahan‐perubahan kuantitatif
apa yang diperlukan untuk memungkinkan lahirnya perubahan
kualitatif yang dituju. Hanya mengenal perubahan kualitatif saja, tetapi
mengabaikan perubahan kuantitatif yang diperlukan, berarti kita
membuat kesalahan avonturisme. Sebaliknya hanya puas dengan
perubahan‐perubahan kuantitatif saja, tidak menghendaki perubahan
kualitatif, berarti kita membuat kesalahan reformisme.
Pendeknya, jika secara sadar kita menggunakan hukum ini dalam
praktek perjuangan, maka kita dapat menentukan secara tepat garis
strategi dan taktik perjuangan.
3.) Hukum tentang negasi dari negasi
Hukum negasi dari negasi mengungkapkan arah atau kecenderungan umum
dari gerak atau perkembangan segala sesuatu. Ia mengungkapkan
penggantian kualitas lama dengan kualitas baru dalam proses
perkembangan dan peningkatan dari bentuk‐bentuk yang rendah dan
sederhana ke bentuk‐bentuk yang lebih tinggi, yang lebih kompleks.
Oleh sebab itu, hukum negasi daripada negasi ini menyatakan watak
progresif dari perkembangan mengikuti garis maju. Hukum ini juga
menunjukkan bahwa perkembangan segala sesuatu itu tidak merupakan
garis lingkaran yang tak mengenal ujung‐pangkalnya, juga bukan garis
lurus yang menaik, melainkan garis spiral.
Dalam tulisannya yang berjudul Karl Marx, mengenai pengertian
dialektika tentang perkembangan, Lenin antara lain mengatakan
“Perkembangan yang kelihatannya mengulangi taraf‐taraf yang telah
dilalui, tetapi mengulangi taraf‐taraf itu secara lain atas dasar yang lebih
tinggi (‘negasi dari negasi’), suatu perkembangan bisa dikatakan dalam
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 141
bentuk spiral, bukan menurut garis lurus.” Sebagai ilustrasi mengenai
hukum ini, Engels pernah memberikan suatu contoh seperti berikut:
“Mari kita ambil sebagai contoh sebutir jelai.... jika butir jelai itu berada dalam keadaan yang baginya normal, jika jelai itu ditabur di atas tanah yang cocok, dan kemudian di bawah pengaruh hawa panas dan lembab ia mengalami perubahan yang khas, ia berkecambah; butir jelai seperti yang semula tidak ada lagi, ia dinegasi, dan dari jelai itu muncul sebatang pohon, negasi terhadap jelai itu.... Ia tumbuh, berbunga, menjadi subur dan akhirnya sekali lagi menghasilkan butir-butir jelai, dan segera butir-butir jelai itu masak batangnya mati, pada gilirannya ia dinegasi. Sebagai akibat daripada negasi ini kita sekali lagi mempunyai butir jelai semula, tetapi bukan satu, melainkan lipat sepuluh, dua puluh dan tiga puluh kali.”
Sejarah perkembangan masyarakat juga menunjukkan proses
perkembangan negasi dari negasi. Misalnya, masyarakat komunisme
primitif (tidak berklas) dinegasi oleh masyarakat‐masyarakat berklas
(pemilikan budak, feodal, dan kapitalis) dan kemudian dinegasi lagi
oleh masyarakat sosialis dan komunis (tidak berklas). Masyarakat
sosialis dan komunis menunjukkan ciri‐ciri yang ada semula di dalam
masyarakat komunis‐primitif, yaitu antara lain hak milik bersama atas
alat‐alat produksi, meskipun dasarnya berlainan sama sekali. Hak milik
bersama atas alat‐alat produksi dalam masyarakat sosialis dan komunis
adalah atas dasar yang jauh lebih tinggi karena tenaga produktif
masyarakatnya sudah jauh lebih maju.
4. Materialisme historis
Materialisme historis adalah penerapan materialisme dialektis di dalam
sejarah dan kehidupan masyarakat. Dengan lahirnya materialisme
historis ini terjadilah suatu revolusi di dalam pandangan sejarah. Ia
telah mendobrak pandangan sejarah idealis yang hampir 2000 tahun
lamanya menguasai alam pikiran manusia, dan menegakkan pandangan
sejarah yang ilmiah. Dan ini merupakan suatu ciri yang penting yang
membedakan materialisme Marx dengan materialisme‐materialisme
sebelumnya, karena materialisme sebelum Marx tak dapat memegang
teguh dan konsekuen pandangan materialisme dalam menghadapi
masalah‐masalah sosial dan sejarah.
142 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Lenin berkata: “Penemuan konsepsi materialis tentang sejarah,139
atau lebih tepat, pelanjutan dan peluasan yang konsekuen dari
materialisme ke bidang gejala sosial, telah meniadakan dua kelemahan
pokok teori‐teori sejarah sebelumnya. Pertama, teori‐teori sejarah
sebelum itu paling banter hanyalah memeriksa teori‐teori ideologi dari
kegiatan sejarah umat manusia, tanpa menyelidiki apa yang melahirkan
motif‐motif itu tanpa menguasai hukum‐hukum objektif yang mengatur
perkembangan sistem hubungan‐hubungan sosial, dan tanpa
memperhatikan akar‐akar hubungan‐hubungan itu menurut derajat
perkembangan produksi materiil; kedua, teori itu tidak mencakup
aktivitas massa dari penduduk, sedangkan materialisme sejarah untuk
pertama kalinya memberikan kemungkinan untuk mempelajari dengan
ketepatan ilmu‐ilmu alam syarat‐syarat sosial kehidupan massa dan
perubahan‐perubahan di dalam syarat‐syarat itu.”
Dengan materialisme historis, Marx menunjukkan hukum‐
hukum objektif perkembangan masyarakat, menjelaskan secara ilmiah
sebab‐sebab kelahiran, perkembangan dan kehancuran suatu sistem
masyarakat. Ia menyatakan bahwa pencipta sejarah adalah massa rakyat
pekerja, bukan individu‐indiividu istimewa, misalnya raja, pahlawan,
dan lain sebagainya. Filsafat materialisme dialektis adalah hasil tertinggi
dari perkembangan sejarah filsafat, karena mendasarkan dirinya pada
hasil‐hasil ilmu yang termaju sepanjang sejarah umat manusia. Di
samping itu, ia juga mempunyai ciri yang menonjol, yang
membedakannya dari filsafat‐filsafat lainnya, yaitu bahwa filsafat
materialisme dialektis tidak hanya menjelaskan gejala‐gejala alam,
masyarakat dan pikiran, tetapi yang terpenting memberikan senjata
kepada manusia untuk mengubah keadaan dunia objektif maupun
dunia subjektif. Marx sendiri pernah mengatakan: “Para ahli filsafat
hanya telah menafsirkan dunia dengan berbagai cara; akan tetapi
139 Engels dalam Anti-Dühring mengatakan, “Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam klas-klas atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan.” Marx sendiri menyimpulkan konsepsi materialis tentang sejarah dalam kata pengantar Kritik Ekonomi Politik.
III — Perkenalan tentang Marxisme, Materialisme dan Dialektika | 143
soalnya ialah mengubahnya.” Justru oleh karena itulah, oleh karena harus
mengubah dunia, maka Marx juga pernah mengetengahkan bahwa
filsafat materialisme dialektis dan historis mendapatkan kekuatan materiil
pada proletariat, dan proletariat mendapatkan senjata moril pada
filsafat materialisme dialektis dan historis.
144 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 145
IV
Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok:
dari Lao Zi sampai Wang Zhong
1. Materialisme Tiongkok Kuno
DALAM sejarah, materialisme berkembang dari materialisme kuno,
materialisme antik, sampai pada materialisme dialektis. Sejarah
materialisme adalah sejarah perkembangan pikiran manusia. Pikiran
manusia berkembang maju, sesuai dengan perkembangan kehidupan
manusia dalam masyarakat. Semenjak ratusan ribu tahun yang lalu,
sudah terdapat manusia yang bermasyarakat. Penemuan atas tengkorak
Sinanthropus Pekingensis (manusia Beijing) menunjukkan bahwa 500.000
tahun yang lalu sudah terdapat manusia yang hidup di daerah
Choukoutien, di barat daya Beijing sekarang. Mereka hidup
berkelompok‐kelompok dalam masyarakat yang tak mengenal
pemilikan pribadi, tak mengenal penghisapan, tak mengenal klas‐klas.
Ratusan ribu tahun lamanya berlangsung masyarakat primitif semenjak
masa manusia Beijing sampai terbentuknya masyarakat klan di Tiongkok.
Semenjak abad ke‐21 sampai ke‐18 SM, di Tiongkok berlangsung
pertarungan dan perubahan dalam masyarakat. Kekuasaan negara
perbudakan dinasti Xia,140 melahirkan dinasti Shang141 (1600—1046 SM).
140 夏朝; xià cháo; dalam bahasa Mandarin berarti dinasti Xia (dibaca: Sia). Dinasti pertama dalam sejarah Tiongkok berlangsung hampir 500 tahun antara abad ke-21 dan ke-16 SM. Wilayah sentral kekuasaannya terletak di sekitar bagian selatan Pro-vinsi Shanxi, Tiongkok Utara, dan bagian barat Provinsi Henan, Tiongkok Tengah. 141 商朝; Shāng cháo; dalam bahasa Mandarin berarti dinasti Shang. Dengan masuknya dinasti Shang menandai masuknya Tiongkok ke zaman sejarah. Pada
146 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Sistem perbudakan digantikan oleh feodalisme. Pada zaman itulah
terbentuk kebudayaan Long Shan142 di Tiongkok.
Tata krama masyarakat Tiongkok pada masa dinasti Xia (2100—
1600 SM) berkembang dan disempurnakan dalam zaman Shang, sekitar
1800 SM. Pada masa itu, pertanian sudah cukup maju. Yang dihasilkan
pertanian sebagai bahan makanan utama waktu itu berlanjut sampai
saat sekarang. Untuk kepentingan memajukan pertanian, berlangsung
penelitian atas iklim dan perubahan cuaca. Atas pengamatan yang terus‐
menerus dalam kehidupan, manusia jadi mengenal arti penting hujan,
awan, api, rembulan, matahari, dan benda‐benda alam lainnya.
Rembulan dan matahari, yang dalam bahasa Tionghoa disebut Yin dan
Yang143 jadi patokan utama untuk mengetahui peredaran musim dan da‐
lam menghitung waktu. Dari penelitian atas perubahan iklim dan cuaca,
lahirlah sistem kalender berdasarkan bulan dan matahari. Kalender
berdasarkan peredaran bulan disebut Yin Li. Yin berarti rembulan dan Li
adalah kalender. Di Indonesia, kata Yin Li ini diucapkan menjadi Imlek.
Imlek berarti hari raya berdasarkan peredaran bulan, yaitu hari raya
menyambut munculnya bulan pertama setelah musim salju, yang berarti
hari raya menyambut datangnya musim semi. Di Tiongkok, dalam
bahasa Mandarin, Hari Raya Imlek disebut Chun Jie, yang berarti hari
raya musim semi. Chun berarti musim semi dan Jie adalah hari raya, hari
besar. Selanjutnya, kian berkembang pemahaman akan arti serta
awalnya Shang adalah nama sebuah suku yang mendiami salah satu bagian Sungai Huang He dan merupakan bawahan dari dinasti Xia. Kaisar Tang yang merupakan pendiri dinasti Shang adalah keturunan ke-14 dari Xia. 142 龙山;龍山; Lóngshān. Kebudayaan Longshan di masa Neolitikum Tiongkok tersebar di lembah Sungai Kuning sejak milenium ketiga sebelum masehi. Budaya ini merupakan platform untuk perubahan sosial secara fundamental untuk tiga dinasti awal: Xia , Shang, dan Zhou. 143 Secara terminologi, 阴 Yīn (Yin) dan 阳 Yáng (Yang) diterjemahkan sebagai negatif dan positif. Harfiah Yin berarti feminin; asas negatif dalam alam; berarti rembulan; berarti mendung; naungan; tempat yang teduh; bayang-bayang; sebelah utara bukit atau sebelah selatan sungai; bagian belakang; sisi belakang; sisi balik; lekuk; toreh; alur; tersembunyi; alam samar; alam barzah; dunia orang yang sudah mati; negatif; kemaluan wanita; ion negatif; anion. Aksara Yang berarti maskulin atau positif dalam alam; matahari; sebelah selatan gunung atau sebelah utara sungai; timbul; pada lahirnya; termasuk dunia; bersangkutan dengan makhluk hidup; kemaluan laki-laki; ion positif; kation. Setiap benda bersifat dualisme yang terdiri dari unsur positif dan unsur negatif.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 147
hubungan Yin dan Yang dalam hal cara berpikir, dalam filsafat.
Enam abad sebelum masehi, pada tahun ke‐27 pemerintahan
Pangeran Xiang (590—573 SM) dalam catatan Zuo Zhuan144 dikemuka‐
kan: “Alam raya sudah menciptakan lima unsur yang memenuhi
kebutuhan manusia, dan umat manusia semua menggunakannya. Tak
satu pun boleh kurang dari padanya.” Ini terjadi lebih dahulu sebelum
Thales dari Miletus di Yunani (kira‐kira 624—546 SM) menyatakan air
sebagai sumber segala‐galanya di alam semesta. Lebih dahulu dari
Herakleitos memperkenalkan Panta Rhei, segala‐galanya mengalir.
Dari pengalaman kehidupan, manusia sampailah kepada pikiran
bahwa asal‐usul segala‐galanya dalam alam adalah lima unsur, yaitu: air,
api, logam, kayu, dan tanah. Lima unsur ini disebut Wu Xing.145 Dari
arti kata aksara, Wu Xing bisa diterjemahkan lima kegiatan, lima gaya.
Maka Wu Xing sesungguhnya berarti lima yang bergerak, yang saling
mengatasi, saling mengungguli, saling mengubah: air memadamkan
api, api melebur logam, logam memotong kayu, kayu menusuk tanah,
tanah menelan air. Wu Xing adalah gagasan filsafat Tiongkok kuno yang
materialis mengenai struktur materi jagat raya. Gagasan yang bertolak
dari kenyataan yang dihadapi dalam kehidupan ini berkembang terus.
Dari penggalian makam‐makam kuno ditemukan peninggalan‐
peninggalan yang menunjukkan bahwa pada zaman dinasti Shang yaitu
pada abad ke‐17 SM, sudah terdapat huruf‐huruf ukiran tulang‐
belulang. Huruf‐huruf adalah perkembangan lukisan benda, lukisan
dari kenyataan yang dipantau pandangan manusia. Pikiran yang
dituangkan dalam bentuk lukisan hingga menjadi huruf‐huruf.
2. Daoisme, Lao Zi (604—531 SM)
PADA abad ke‐6 SM, pujangga Laozi146 mengajarkan pandangan: Dao
144 Terkadang diterjemahkan sebagai Kronik Zuo, termasuk karya catatan sejarah paling awal meliputi periode tahun 722—468 SM. 145 五行; wŭ xíng, aksara Tionghoa Wu berarti lima, Xing (transkripsi Ping Yin bahasa Tionghoa ini dibaca: Sing) berarti pergi, berjalan, bepergian, bergerak, bertindak, berbuat, berlaku, beredar, mengedarkan, baiklah, kelakuan, budi pekerti. mampu, dapat. 146 老子; Lǎozǐ. Cendekiawan Tiongkok yang berbakat bertugas sebagai penjaga
148 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
(baca: Tao) adalah asal‐usul dan hukum yang mengatur gerak dan
perkembangan segala‐galanya. Inilah ajaran yang akhirnya menjadi Dao‐
isme, agama Dao. Secara harfiah, Dao berarti jalan; jalan raya; jalan kecil;
aliran; saluran; cara; metode; doktrin; asas; prinsip; sekte/mazhab
takhyul; garis; berbicara; berkata; berucap; mengira.
Karya Laozi, yang juga dikenal sebagai Dao De Jing,147 adalah
karya klasik kaum Taois. Diberitakan bahwa karya ini ditulis oleh Lao
Dan, seorang penduduk negara Chu pada akhir zaman Musim Semi dan
Musim Rontok. Buku ini terdiri dari 81 bab. Lebih dahulu dari
Herakleitos (kira‐kira 535—475 SM) memperkenalkan Panta Rhei, Segala‐
galanya mengalir. Buku Laozi sudah memperkenalkan unsur hukum
dasar dialektika. Buku ini adalah rekaman ucapan‐ucapan Lao Dan
mengenai filsafatnya. Karya ini dengan sistematik memaparkan
pandangan dunia, pandangan politik dan epistemologi Lao Dan. “Dao”
adalah kategori dasar, adalah asal‐usul dan hukum yang mengatur alam
semesta, yang senantiasa berubah, dan bergerak dalam lingkaran‐lingkaran.
Di lain pihak, “De” adalah perluasan “Dao” dan pelaksanaannya,
penggunaannya dalam kehidupan, masyarakat dan politik.148
Ide pokok filsafat Lao Zi adalah melawan takhayul, melawan mistik
dan melawan idealisme. Diajarkannya bahwa “kehidupan alam dan manusia
bukanlah diatur oleh ‘kekuasaan dari langit’, tapi dilahirkan dari dan
mengikuti hukum Dao.” Filsafat Dao juga mengajarkan bahwa segala‐
galanya di dunia ini bergerak dan berubah, dan dalam proses itu, segala‐
galanya pasti berubah menjadi kebalikannya. Dengan demikian Lao Zi
mengajarkan bahwa dalam proses perubahan yang tak ada batasnya, yang
paling lemah di dunia akan berubah menjadi mengungguli yang paling
kuat. Gagasan ajaran Dao, Daoisme menganut unsur materialisme, bertolak
dari kenyataan yang dialami dalam hidup.
arsip kerajaan dinasti Chou. Lao Zi lahir di negara Chu (Provinsi Henan). Nama Lao Zi dapat diterjemahkan sebagai “Putra Tua”, “Sahabat Tua”, ataupun “Sang Guru Tua”. Sebutan ini merupakan suatu gelar kecintaan dan penghormatan. 147 道德经 ; Dao De Jing atau Tao Te Ching. Ajaran Lao Zi selengkapnya dipaparkan dalam buku Dao De Jing, Kitab Suci Tao Te. Dao berarti jalan; jalan raya; aliran; saluran; cara; metode; doktrin; asas; prinsip. Secara harfiah De berarti kebajikan, moral, akhlak, hati, pikiran, kebaikan hati, kemurahan hati. Jing berarti Kitab Suci, Kitab Agama. Dao De Jing berarti Kitab Suci Kebajikan Tao. 148 Zhong Hua Wen Ku, Han Ying Dui Zhao, Lao Zi, Library of Chinese Classics, Chinese-English, Hunan People’s Publishing House, 1999.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 149
Buku Lao Zi adalah buku pertama yang secara luas memaparkan
sistem filsafat Tiongkok dalam sejarah filsafat Tiongkok. Filsafat Lao Zi
pertama‐tama adalah mengenai alam semesta, kehidupan manusia, dan
politik kemasyarakatan. “Dao” dan “De” adalah dasar teori pandangan
filsafat Lao Zi. Dao adalah inti metafisika, yang diserap dari generalisasi
kecerdasan manusia dalam kehidupan, perpolitikan masyarakat. De
adalah pemaparan dan perluasan, pelaksanaan Dao untuk memberi
bimbingan bagi kehidupan sosial, politik, dan kemanusian. Hubungan
antara Dao dan De adalah hubungan antara jasmani dan fungsi‐
fungsinya. Dao bersangkutan dengan pengaturan alam tanpa satu pun
campur tangan manusia. Pengaturan kehidupan masyarakat, politik,
dan kehidupan manusia adalah termasuk dalam kerangka bidang De.
Asal‐usul alam semesta dan semua yang ada di alam raya adalah Dao.
Dalam karya Lao Zi dinyatakan: “Dao itu tidak beralas, tak berdasar,
adalah leluhur dari semua benda di jagat raya. Semangat Dao tak pernah
mati, maka disebut Wanita Ajaib. Dao melahirkan sesuatunya, yang lahir
itu melahirkan berturut‐turut dua, tiga hingga puluhan ribu.”
Inti ajaran Taoisme adalahʺDaoʺ. Dao dipahami sebagai sesuatu
yang tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian
dari semua benda hidup dan segala benda yang ada di alam semesta.
Dao yang berwujud dalam bentuk benda hidup dan kebendaan lainnya
adalah De. Secara harfiah De berarti kebajikan; moral; akhlak; hati;
pikiran; kebaikan hati; kemurahan hati. Gabungan Dao dengan De
dikenal sebagai Taoisme yang merupakan landasan kealamian. Taoisme
bersifat tenang, bersifat lembut seperti air, dan bersifat abadi. Keabadian
manusia terwujud di saat seseorang mencapai kesadaran Dao, dan orang
tersebut akan menjadi dewa. Penganut‐penganut Taoisme mem‐
praktekkan Dao untuk mencapai kesadaran Dao, dan menjadi seorang
dewa.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yin Yang. Dalam Dao De Jing,
Bab 42 ditulis:
道生一,一生二,二生三,三生万物。万物负阴而抱阳,冲
气以为和 Dao Sheng Yi, Yi Sheng Er, Er Sheng San, San Sheng Wan Wu. Wan Wu Fu Yin Er Pao Yang, Chong Qi Yi Wei Ho. Berarti: Dao melahirkan sesuatu, satu melahirkan dua, dua melahirkan tiga, tiga melahirkan puluhan ribu. Puluhan ribu ini
150 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tidak saja memikul Yin bahkan memeluk Yang, mereka saling melengkapi untuk mencapai keseimbangan.149
Walaupun Dao mempunyai arti yang banyak, ada dua hukum
yang paling penting, yaitu persatuan dari yang bertentangan dan kembali ke
akar. Teori persatuan dari yang bertentangan dalam memandang alam
raya dan perubahan‐perubahannya adalah berasal dari pikiran‐pikiran
primitif. Dalam buku itu banyak dipaparkan tidak hanya tentang
pasangan‐pasangan yang bertentangan, misalnya kesulitan dan
kemudahan, tentang nihil (ketidakadaan) dan wujud (eksistensi), tinggi
dan rendah, dan sebagainya, tetapi juga ditekankan gagasan
universalitas. “Ratusan ribu makhluk itu tak bisa mengarahkan
punggungnya ke arah yang gelap tanpa memiliki matahari di perut
mereka. Benda yang banyak jumlahnya itu menyandang Yin di bahu dan
memeluk Yang.” (Pasal 42)
Ia mencengkeram erat mengenai segi‐segi yang bertentangan dari
kontradiksi. Juga saling tergantungnya segi‐segi yang berkontradiksi. Ia
menekankan keseimbangan dan keselarasan dari kontradiksi‐
kontradiksi:
“lewat percampuran napas mereka tergantung keselarasan (Lewat percampuran Yin dan Yang tercapai keadaan keselarasan). Juga ditekankannya saling tergantungnya segi-segi yang bertentangan. Karena segala-galanya di bawah cakrawala mengakui yang cantik adalah cantik, maka terdapat pikiran tentang kejelekan. Demikian pula halnya dengan pengakuan akan kebajikan (kebaikan) adalah baik, ini juga mengakibatkan lahirnya gagasan tentang kejahatan (Pasal 2). Segala macam yang banyak jumlahnya di bawah cakrawala tidak saja saling bertentangan dan saling tergantung sesamanya, tetapi juga saling berubah, dan perubahan pasti berlangsung. Badai topan tak mungkin terjadi, hujan lebat tak mungkin berlangsung sehari suntuk. (Pasal 23, h.46) Selanjutnya, setiap perubahan bergerak ke arah segi kebalikannya. Untuk bisa tetap lurus, haruslah bengkok; untuk bisa tetap penuh, harus kosong sebagian.”
149 Ibid., h.86.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 151
Mengenai hakikat dari Dao antara lain dikemukakan dalam Pasal
14 Dao De Jing:
Dipandang ia tak tampak, maka disebut sukar dibayangkan; didengar ia hening belaka; maka disebut langka; diraba ia tak terasa, ia disebut sangat kecil. Ketiga sifat ini digabung menjadi satu, maka terbitnya tak bersinar, tenggelamnya tak jadi gelap. Semuanya bergerak, yang tak terhingga banyaknya benda tak bernama, kembali ke tempat semula yang kosong melompong. Mereka adalah bentuk yang tak ada rupa, bayangan yang tak kelihatan, disebut bagaikan samar-samar. Kalau didekati menemuinya, wajahnya tak kelihatan. Ikuti dari belakang, punggungnya tak tampak. Maka dermikianlah memahami adanya Dao, inilah hakikat dari Dao itu.150
Kemudian Taoisme memiliki penekanan kuat terhadap keselarasan
manusia dengan Dao dan alam semesta. Dao dipandang mengatasi segala
hal, baik manusia maupun alam, dan sekaligus juga tersebar di dalam
alam ini. Dalam Taoisme dikatakan bahwa manusia harus hidup menurut
tata cara alam, memahami hakikatnya, dan hidup selaras dengannya.
Inti filsafat Lao Zi, Dao menolak kemutlakan dan sifat ketuhanan
kekuasaan langit, dan mengajukan teori pikiran‐pikiran ateistik. Pikiran
maju ini berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Arti Dao dalam
buku Lao Zi terutama adalah metafisis atau abstrak, tapi juga menganut
hukum‐hukum konkret dalam arti tertentu. Misalnya Dao mempunyai
arti yang sama dengan De: “Kebaikan air adalah: ia berguna bagi
puluhan ribu umat, tapi ia sendiri tidak bergolak, tidak mengharapkan
tempat tertentu, berada di tempatnya yang rendah di mana orang
tersiksa. Inilah yang membikin air menjadi begitu dekat pada Dao.”
150 Ibid., h.28.
152 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Lambang Yin Yang
Lambang Yin Yang yang paling populer adalah lambang Xiantian
Taiji (先天太極圖) atau Yin Yang Yu (陰陽魚), Ikan Ying Yang. Lambang ini
diperkenalkan oleh Lai Zhide (來知德 ; tahun 1525—1604). Sejarah
pengkajian dan perkembangan lambang Yin Yang dimulai pada masa
dinasti Song hingga abad ke‐15.
Yin adalah sisi hitam dengan titik putih pada bagian atasnya dan
Yang adalah sisi putih dengan titik hitam pada bagian atasnya.
Hubungan antara Yin dan Yang sering digambarkan dengan bentuk
sinar matahari yang berada di atas gunung dan di lembah. Yin (secara
harfiah yaitu tempat yang teduh) adalah daerah gelap yang merupakan
bayangan dari gunung, sementara Yang (secara harfiah yaitu tempat
yang terang atau cerah) adalah bagian yang tidak terhalang oleh
gunung. Saat matahari bergerak, Yin dan Yang secara bertahap bertukar
tempat satu sama lain, mengungkapkan apa yang tidak jelas dan
menyembunyikan yang sudah terungkap. Yin ditandai dengan sesuatu
yang lambat, lembut, menghasilkan, menyebar, dingin, basah, dan pasif.
Berhubungan dengan air, bumi, bulan, feminitas, dan malam hari. Yang
sebaliknya ditandai dengan cepat, keras, padat, fokus, panas, kering,
dan agresif. Berhubungan dengan api, langit, matahari, maskulinitas,
dan siang hari.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 153
Dalam Daoisme dikembangkan ajaran Wu‐Wei 151 yang dapat
secara harfiah diterjemahkan dengan ‘tidak mempunyai kegiatan’ atau
‘tidak berbuat’, tidak bertindak. Istilah ini sesungguhnya bukanlah berarti
sama sekali tidak ada kegiatan, atau sama sekali tidak berbuat apa pun,
melainkan berarti berbuat tanpa dibuat‐buat dan tidak semau‐maunya.
Dalam Pasal 63 Dao De Jing dikemukakan Wei Wu Wei, Shi Wu
Shi, Wen Wu Wen yang berarti: “Ada tindakan tanpa bertindak, ada
perbuatan tanpa berbuat, ada aroma tanpa berbau.”152
Wu‐Wei adalah sifat dasar kehidupan yang selaras dengan alam
semesta. Bersikap dibuat‐buat dan semau‐maunya adalah berlawanan
dengan sikap kodrati atau sikap yang wajar. Menurut ajaran Wu‐Wei,
seseorang hendaknya membatasi kegiatan‐kegiatannya pada apa yang
diperlukan dan apa yang kodrati atau wajar. Seperti dalam mencapai
tujuan tertentu, jangan sampai berbuat berlebihan atau melakukan
upaya semau‐maunya. Dalam melakukan perbuatan ini, hendaknya
orang mengambil kesederhanaan sebagai prinsip hidup yang
membimbingnya, sebab umat manusia mempunyai terlampau banyak
keinginan dan terlalu banyak pengetahuan. Mereka mencari
kebahagiaan dengan cara memenuhi keinginan mereka. Akan tetapi,
ketika mereka berusaha memenuhi terlampau banyak keinginan,
mereka memperoleh hasil yang sebaliknya.
Wu‐Wei adalah hidup yang dijalani tanpa ketegangan. Wu‐Wei
merupakan perwujudan yang murni dari kelemah‐lembutan,
kesederhanaan, dan kebebasan; suatu kemampuan yang efektif, yang
murni di mana tidak ada gerak yang dihambur‐hambur sekedar untuk
dipamerkan ke luar. Jika Wu‐Wei dilihat dari luar, terlihatlah ia tanpa
daya, karena tidak pernah memaksa dan tidak pernah terlihat tegang.
Rahasianya terletak pada cara mencari ruang kosong dalam hidup dan
alam, dan bergerak melaluinya. Zhuang Zi menjelaskan hal ini dengan
ceritanya tentang seorang penjagal yang pisaunya tidak pernah tumpul
selama dua puluh tahun. Sewaktu didesak untuk menjelaskan
151 无为; Wúwéi. Wu-Wei adalah kepercayaan Taoisme yang secara harfiah berarti tidak melakukan. Dalam Dao De Jing, Laozi menjelaskan bahwa fenomena yang harmonis dengan Dao adalah fenomena yang alami. Misalnya, ketika pohon tumbuh, pohon hanya tumbuh tanpa mencoba tumbuh. Maka tujuan praktek spiritual pada manusia menurut Laozi adalah mempertahankan perilaku yang alami. 152 Ibid., h.128.
154 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
rahasianya, pejagal itu menjawab, “Dari antara tulang‐tulang pada
setiap persendian selalu ada suatu ruang. Jika tidak demikian, tentu
tidak akan ada gerakan. Dengan mencari ruang ini dan meingisinya di
situ, maka pisau saya dapat melalui tulang‐tulang itu tanpa
menyentuhnya.”153 Dengan demikian, Wu Wei sesungguhnya berarti
kewajaran, segala‐galanya berlangsung dengan wajar.
Gejala alam yang paling mirip dengan Dao dalam pandangan
para penganut Daoisme adalah air. Mereka kagum dengan cara air yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya dan mencari
tempat‐tempat yang terletak paling rendah. Air juga mempunyai
kekuatan yang mampu meluluhkan batu karang dan menghanyutkan
bukit‐bukit. Sifat luwes tak berhingga namun kokoh tanpa bandingan.
Itulah kebajikan air dan demikian juga kebajikan dari Wu‐Wei. Ciri yang
terakhir adalah kejernihan di saat ia tenang. Namun, kejernihan hanya
dapat tertangkap oleh mata batin jika kehidupan manusia itu mencapai
ketenangan yang diam dari suatu telaga yang dalam dan hening.
Menurut pandangan Daoisme, hidup manusia sudah digariskan
oleh ‘langit’. Manusia sudah memiliki jalannya masing‐masing. Yang
harus dilakukan manusia hanya meneliti jalan itu dan mengikuti jejak
itu tanpa coba memaksakan pandangannya yang sempit, serta tanpa
kehendak ingin menyelewangkan diri dari yang alamiah demi
keuntungan pribadi. Sikap semacam itulah yang disebut dengan Wu Wei
yang artinya tidak mencampuri. Wu‐Wei dapat juga diartikan ‘tidak
berkeinginan’. Manusia dalam pandangan Daoisme, harus menghilangkan
keinginannya, dan mengikuti jalannya proses alam tanpa mencampuri
proses itu.
Menurut Daoisme, apabila manusia menjadi sombong dan
melakukan hal di luar kemampuannya, maka suatu saat ia akan
mendapat celaan yang dapat membuatnya berduka atau menderita.
Karena itu, seorang bijaksana yang mengenal Dao dan hukum alam akan
memilih mengundurkan diri dan menolak segala penghargaan yang
diberikan padanya. Ia memilih untuk tidak menonjolkan dirinya.
Meskipun demikian, Daoisme tidak mengajarkan bahwa seseorang harus
menyingkirkan seluruh harta benda yang dimiliki untuk mencapai
ketenteraman batin. Hal yang perlu dibuang adalah rasa keterikatan
153 Zhuang Zi, Quan Shu, h.39—40.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 155
terhadap harta tersebut. Apabila harta dibuang namun masih ada
keterikatan terhadap harta tersebut, maka sia‐sia saja. Karena itu
buanglah keterikatan terhadap harta dari diri manusia, dan harta benda
harus digunakan untuk kepentingan sosial. Dengan demikian manusia
tidak akan merasakan penderitaan akibat kehilangan harta.
Manusia yang mengikuti Dao tidak mencampuri hidup orang
lain, dalam arti ia tidak memaksakan orang lain membutuhkan, ia
menolong mereka menjadi bebas dengan mengikuti Dao. Manusia yang
baik adalah yang mampu mengikuti jalannya alam semesta sesuai
dengan Dao.
Jika manusia telah berhasil mengikuti jalan Dao, maka ia tidak
perlu takut akan kematian. Kematian adalah sebuah proses alam dan
manusia tidak dapat melawan alam, oleh karena itu manusia tidak perlu
takut atau cemas terhadap kematian. Kematian hanya mengembalikan
manusia kepada Dao.
Dalam menjalani kehidupan yang ada, manusia mengarah pada
kehidupan yang alamiah tanpa adanya proses ikut campur. Kehidupan
yang alami inilah yang menjadi suatu kebajikan dasar yang memicu
munculnya tiga buah kebajikan lain yang menuntun manusia dalam
kehidupannya, yaitu lemah lembut, rendah hati, dan menyangkal diri.
Kelemah‐lembutan merupakan teman dari kehidupan, sebaliknya,
kekerasan dan kekakuan adalah teman dari kematian. Rendah hati
adalah sikap mampu membatasi diri dengan berbuat seperlunya saja. Di
dalam kitab Dao De Jing dikatakan, “Tidak ada kutuk yang lebih besar
daripada merasa kurang puas. Tidak ada dosa yang lebih besar daripada selalu
ingin memiliki.” Kemudian, menyangkal diri adalah sikap menganggap
diri dan hidup manusia hanyalah sebagai pinjaman dari alam semesta
kepada manusia. Oleh karena itu, manusia yang bijaksana dan
menginginkan hidup tenang dan tenteram akan mempercayakan
seluruh hidupnya kepada Dao atau alam semesta.
3. Kong Hucu
KONG HUCU (551—479 SM), cendekiawan yang berpengaruh besar
dalam filsafat Tiongkok. Ajaran‐ajaran Kong Hucu dipaparkan dalam
156 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Lun Yu,154 yang isinya adalah Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam
Pertukaran Pikiran, Analects, (bahasa Inggris) yang diterbitkan dalam
bentuk buku pada zaman permulaan Masa Negara‐Negara Berperang
(475—221 SM).155 Lun Yu adalah himpunan petuah‐petuah Kong Hucu
dalam pertukaran pikiran dengan murid‐muridnya.
Kong Hucu keturunan keluarga miskin, berasal dari negara Lu
yang kini termasuk daerah Provinsi Shandong. Berkat usaha dan
pendidikan sendiri mencapai ketokohan sebagai pujangga terkemuka.156
Demikian penting peranannya, sampai di Indonesia, Kong Hucu
dianggap agama. Di Tiongkok, tanpa Kong Hucu dan karyanya Lun Yu,
tidak bisa berbicara mengenai “terobosan filsafat”. Sebagaimana sering
didengar, filsafat Tiongkok adalah mengutamakan etika. Memang
sesungguhnya inti dari filsafat Tiongkok adalah ajaran‐ajaran tentang
etika dan kesusilaan. Berbagai bentuk budaya Eropa menekankan
masalah mencari kebenaran, maka bisa dikatakan bahwa berbagai bentuk
budaya Tiongkok menekankan hal mencari kebaikan.157
Kong Hucu adalah filsuf dan ahli pendidikan. Inti dari Bunga
Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran adalah “仁; ren” yang
berarti “cinta manusia” yang perwujudannya adalah “礼; li”. Arti kata ren
adalah kebajikan, kebaikan/kemurahan hati, perikemanusiaan, politik murah
hati, pemerintahan murah hati, berperasaan. Arti kata li adalah upacara, tata
krama, budi bahasa, peri sopan santun.
Salah satu petuah Kong Hucu yang terkenal adalah:
克己复礼为仁; ke ji fu li wei ren, yang berarti haruslah dengan khidmat bersikap menundukkan diri sendiri (menahan diri, mengendalikan nafsu), bersikap sopan santun dan berbuat kebajikan. Menurut petuah Kong Hucu: “yang menaati tata krama
154 论语; Lúnyǔ. Berisi kumpulan tulisan ajaran, diskusi, percakapan, komentar dari Khong Hucu, dengan para murid, antar murid, dan wacana ajaran Kong Hucu. Kitab ini terdiri dari 2 jilid, masing-masing 10 bab (= 20 bab), 15.917 huruf. Kitab ini ada tiga macam, yaitu versi naskah kuno, versi Shi’i, dan versi Lu. Yang kebanyakan dipakai sekarang adalah versi Lu. Antara ketiga versi itu berbeda-beda. 155 战国时代; Zhànguó Shídài. 156 Feng Youlan, Zhong Guo Zhe Xue Jian Shi (Sejarah Singkat Filsafat Tiongkok), Beijing Daxue Chu Ban She (Penerbit Universitas Peking), 1947, h.34. 157 Library of Chinese Classics, Chinese-English, Da Zhonghua Wen Ku, Han Ying Dui Zhao, Lun Yu, The Analects, Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran, Hunan People’s Publishing House, 1999, h.18.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 157
adalah baik; jika penguasa bisa menaati tata krama, semua orang di alam raya akan mengikuti kebaikannya ini.”158
Menurut Kong Hucu, nasib manusia ditentukan oleh penguasa Langit
(Tuhan), manusia terbagi dua menjadi atasan dan bawahan, bawahan harus
tunduk pada atasan, yang muda tunduk pada yang tua.159
Cita‐cita politik Kong Hucu adalah mengajarkan supaya
memerintah dengan kebijaksanaan yang sopan santun, “tanpa
menekankan perbedaaan‐perbedaan klas”. Ia mendidik murid‐muridnya
sesuai dengan bakat dan kecerdasannya serta memiliki kepercayaan
pada adanya kekuatan gaib yang mahakuasa.160
Kong Hucu mengajarkan bahwa kebajikan adalah perikemanusiaan.
Kebajikan adalah cara yang penting untuk tujuan tertinggi mencapai
“seluruh dunia adalah satu kesatuan masyarakat.” Diajarkannya bahwa
“Ketika Dao yang agung berdominasi, maka dunia akan jadi satu
kesatuan masyarakat, manusia akan memilih yang baik dan
mengembangkan yang mampu, orang akan saling mencintai, bukan saja
terhadap anak‐cucu dan turunannya, tapi juga terhadap tugas dan
kewajiban.... Maka boleh dikatakan seluruh dunia betul‐betul menjadi
satu kesatuan masyarakat.”161
Diajarkannya bahwa kebajikan dapat dihimpun sedikit demi
sedikit dalam kehidupan sehari‐hari. Kebajikan berarti mencintai rakyat.
Cara untuk melaksanakan kebajikan adalah menempatkan diri sendiri
pada tempat orang lain. “Mampu melaksanakan lima hal di mana‐mana
di bawah kolong langit adalah merupakan kebajikan yang sempurna,
yaitu: 1. bersikap hormat (takzim); 2. lapang hati; 3. bersikap benar,
betul‐betul; 4. bersikap lincah, cekatan; 5. baik hati.”
“Secara konkret, kebajikan adalah mencintai semua manusia.
Sumber dari kebajikan adalah kasih sayang yang alim dan ketundukan
158 Da Zhong Hua Wen Ku, Lun Yu, Library of Chinese Classics, China-English, The Analects,, Hunan People’s Publishing House, Buku XII, h.124. 159 Filosofskii Slovar, op.cit., h.213. 160 Da Zhong Hua Wen Ku, Han Ying Dui Zhao, Lun Yu; Library of Chinese Classics, Chinese–English, The Analects, Pustaka Klasik Tiongkok, Tionghoa–Inggris, Bunga Rampai Petuah Kong Hucu dalam Pertukaran Pikiran, Hunan People’s Publishing House, First edition, 1999. 161 Ibid., h.40—41.
158 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
persaudaraan.”162 Zhang Zai seorang pengikut Kong Hucu, sarjana
pada dinasti Song mengatakan: “Rakyat adalah saudaraku seketurunan,
saya akan memberikan kepadanya semua hak milikku. Demikianlah
persaudaraan yang mengembangkan kasih sayang pernyataan cinta
penduduk dan menebarkan semangat kemanusiaan sampai pada sikap
‘penyatuan Tuhan dan manusia’– ‘Manunggaling Kawula Gusti’.”163 Saling hubungan antara kebajikan dan tata krama adalah sebagai
akar dan cabang. Tata krama berfungsi sebagai pengatur, membetulkan,
menyempurnakan pelaksanaan kebajikan. Secara ringkas, inti dari Lun
Yu adalah kebajikan. Sedangkan tata krama hanyalah mengabdi pada
kebajikan.164
Sesuai dengan kondisi zaman, pada hakikatnya ajaran Kong
Hucu adalah mengabdi pada kekuasaan yang ada, pada klas penguasa
feodal.
4. Yang Zhu
PENGIKUT dan penerus Lao Zi, Yang Zhu (440—360 SM),
mengembangkan ajaran Lao Zi. Yang Zhu menentang adanya “kekuasaan
dari langit”, kekuasaan Tuhan, dan melawan pemujaan atas pemuka
agama. Ia mengajarkan bahwa segala‐galanya di dunia diatur oleh
hukumnya masing‐masing dan selalu berada dalam keadaan berubah.
Menurut Yang Zhu, roh manusia tak bisa dipisahkan dari jasmaninya, dan
roh akan lenyap bersamaan dengan kematian jasmani.
Menurut Yang Zhu, hidup adalah penuh penderitaan dan tujuan
utama hidup adalah kesenangan. Tidak ada Tuhan dan tak ada
kehidupan sesudah manusia meninggal. Manusia adalah boneka‐
boneka malang buatan kekuatan alam yang buta, yang memberinya
nenek moyang yang tidak mereka pilih sendiri. Manusia bijaksana akan
menerima nasib ini tanpa keluhan, tapi tak akan mau menjadi tolol
akibat omong kosong Kong Hucu dan Mozi mengenai kebajikan yang
diwarisi, mengenai cinta yang universal, dan nama baik: bermoral itu
semua adalah penipuan yang dijalankan terhadap orang‐orang
162 Ibid., h.43. 163 Ibid., h.44. 164 Ibid., h.46—48.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 159
sederhana oleh orang‐orang pintar; cinta universal adalah pengelabuan
terhadap anak‐anak yang tidak mengerti akan permusuhan
internasional yang membentuk hukum kehidupan; dan nama baik
adalah satu kegemilangan anumerta yang menyenangkan bagi si bodoh
yang menganggapnya begitu berharga karena ia tak dapat menikmati.
Dalam kehidupan, penderitaan dialami orang baik sebagai orang jelek,
yang jahat nampaknya menikmati bagi dirinya sendiri lebih dari yang
dialami orang baik.
5. Zhuang Zi
PADA abad ke‐4 sampai ke‐3 SM, terjadi perkembangan penting
Daoisme di bawah Zhuang Zi (kira‐kira 369—286 SM). Sebagaimana Lao
Zi, Zhuang Zi berpendapat bahwa pada benda‐benda di alam raya
berlaku hukum alam Dao yang mengatur gerak dan perubahannya terus‐
menerus. Zhuang Zi berpendapat bahwa dari bagian terkecil benda organik
dalam air yang dinamakannya Qi (baca: Ci) terbentuklah makhluk hidup
yang akhirnya berkembang jadi manusia. Aksara Tionghoa Qi berarti
hawa, udara, cuaca, sikap, lagak, semangat, jiwa, marah, gusar, gencar,
hina, nista, daya batin, energi jiwa, energi vital. Qi adalah satu‐satunya
yang menjadi asal dari segala‐galanya yang ada di bawah kolong langit.
Qi terdapat di seluruh alam raya.
Zhuang Zi adalah penganut filsafat relativisme. 165 Pandangan
Zhuang Zi berisi materialisme naif dan unsur dialektika spontan. Di
samping itu, ajaran Zhuang Zi juga berisi unsur yang idealistis. Baginya
tak ada kebenaran objektif. Hidup dianggapnya adalah ilusi. Zhuang Zi
menghindari perjuangan politik yang nyata, tak ambil bagian dalam
gerakan politik, tapi tidak berani secara terbuka menentang kenyataan.
Meskipun ia mengharapkan tidak mencampuri politik, tetapi sebaliknya
kenyataan politik mengganggu penghidupannya. Ia tidak berani
melakukan kegiatan menentang kenyataan, tetapi berusaha menemukan
semangat yang mabuk berkhayal akan perubahan ajaib. Ia
memperlihatkan idealisme, relativisme.166
165 Da Xue Zhexue Chong Shu, Zhong Guo Zhexue Shi (Sejarah Filsafat Tiongkok), Renmin Chuban She (Penerbit Rakyat), Jilid I, 1997, h.171. 166 Ibid., h.171—172.
160 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pada masa Negara‐Negara Berperang, filsafat Lao Zi terpecah dua
ke arah kiri dan kanan. Tradisi materialismenya dilanjutkan oleh Song Yi,
Xun Zi, Han Fei, dan lain‐lain. Filsafat Zhuang Zi mengembangkan segi‐
segi kekurangan sistem filsafat Lao Zi, hingga berkembang ke arah
idealisme.
Demi menentang kekuasaan langit yang mahakuasa, Lao Zi
menampilkan ciri materiil dari Dao. Diajarkannya bahwa Dao adalah
sumber dari materi, sebab‐musabab adanya materi dan hukum yang
mengatur gerak materi. Oleh karena itu Dao sungguh memiliki sifat
yang sama sekali tidak sama dengan kekhususan sifat materi. Lao Zi
sudah menyatakan bahwa Dao mempunyai sifat khusus, berbeda
dengan materi, tetapi pemaparan Lao Zi tidak cukup jelas. Zhuang Zi
mengembangkan bagian sifat Dao yang tidak materiil itu. Dari Wu Wei
ajaran Dao, Zhuang Zi mengembangkannya jadi fatalisme.
Dalam karya lengkap Zhuang Zi Bab VI, Da Zong Shi, Pujangga
Besar, dinyatakan bahwa: “Dao punya kenyataan, punya tanda‐tanda,
tapi tanpa gerak dan tanpa bentuk. Bisa diwarisi, tapi tak bisa diperoleh,
bisa mendapatnya, tapi tak kelihatan. Ia punya sumbernya, punya
akarnya sendiri. Sebelum alam semesta dan bumi terjadi, ia sudah ada,
jauh semenjak masa purbakala. Ia memberi semangat pada jiwa dan
Tuhan, tapi tak bisa disebut agung. Ia masuk ke dalam batas ujung
paling jauh, tapi tak bisa dikatakan berada di tempat yang dalam. Ia
lahir mendahului alam semesta dan bumi, tapi tak bisa disebut ia sudah
ada semenjak lama; ia ada lebih dahulu dari waktu yang paling dahulu,
tapi tak bisa dikatakan ia sudah tua.” Dengan demikian, ajaran Lao Zi
tentang Dao yang berisi unsur materialisme berubah jadi mistisisme.167
Dalam Qi Wu Lun, Tentang Serba Samanya Benda‐Benda, Bab II,
karya lengkap Zhuang Zi, dipaparkan: “Menggunakan jari untuk
menunjukkan bahwa jari itu bukanlah jari, tidaklah sebaik
menggunakan bukan jari untuk menunjukkan bahwa jari itu bukanlah
jari. Menggunakan kuda putih untuk menunjukkan bahwa kuda
bukanlah kuda, tidaklah sebaik menggunakan yang bukan kuda putih
untuk menunjukkan kuda putih itu bukanlah kuda. Menurut
pandangan Dao, di langit dan bumi, sebuah jari, berbagai benda,
puluhan ribu kuda, tak ada bedanya.” Ini tak cocok dengan kenyataan,
167 Ibid., h.172.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 161
maka ini adalah pandangan Zhuang Zi yang idealis.
“Yang bisa kita terima adalah karena bisa diterima; apa yang tak
bisa diterima adalah karena tak bisa diterima. Jalan dibikin orang untuk
berjalan di atasnya. Berbagai benda adalah begitu, kita sebut ia begitu.
Kenapa seperti itu? Jika seperti itu, disebut seperti itu. Kenapa
demikian? Seperti itu karena ia demikian; kenapa tidak demikian? Tidak
demikian, ya disebut tidak demikian. Materi yang demikian ada sebab‐
musababnya. Puluhan ribu (berbagai) materi ada sebab‐musababnya
yang beralasan (masuk akal). Tidak satu pun benda yang tidak
demikian, tidak ada satu pun benda yang tidak masuk akal. Menurut
pandangan Dao, tangkai rumput atau tiang penyangga gedung, orang
jelek atau si cantik Xi Shi,168 segala‐galanya secara luas, dengan mudah
dapat berubah, bagai gagasan hantu iblis, semuanya adalah sama, dapat
menjadi satu sistem. Berbagai benda ada bagian‐bagiannya, pasti ada
yang baik utuh lengkap; ada yang baik utuh lengkap, pasti ada yang
tidak baik bersifat merusak; semua itu pun masih bisa merupakan satu
sistem.”
Dao membikinnya semua menjadi satu. Terbagi‐baginya benda‐
benda itu adalah satu kesempurnaan. Tak ada benda yang sempurna dan
tanpa cacat, tetapi semua lagi‐lagi dibikin jadi satu. Hanyalah orang
berpandangan jauh yang tahu bagaimana membikinnya jadi satu. Demikian
juga benda yang tak berguna, tetapi memindahkannya semua menjadi
tetap (tak berubah). Yang tetap (tak berubah) itu adalah yang berguna, yang
berguna itu adalah cukup baik; yang cukup baik itu adalah yang berhasil; dan
dengan berhasil semua jadi sudah terlaksana. Ia hanya bergantung atas ini dan
tidak tahu bahwa ia melakukan itu demikian. Inilah yang disebut Dao.169
Relativisme dan materialisme naif tampil dalam karya lengkap
Zhuang Zi, Zhuang Zi Quan Shu, Bab II yang berjudul Qi Wu Lun,
Tentang Serba Samanya Benda‐Benda. Di sini dipaparkan pandangan
mengenai teori pengenalan yang bersifat idealisme objektif. Antara lain
dikemukakan mengenai wujud (eksistensi, being) dan nihil, non‐being.
Dipaparkan bahwa: “Ada satu permulaan. Belum lagi mulai untuk
adanya permulaan. Belum mulai untuk adanya permulaan untuk
memulai satu permulaan. Ada wujud. Ada nihil. Belum lagi mulai untuk
168 Xi Shi adalah salah seorang wanita tercantik terkenal di zaman kuno Tiongkok. 169 Zhuang Zi Quan Shu, Bab II Qi Wu Lun, Tentang Serba Samanya Benda-Benda, h.24.
162 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
permulaan. Belum ada permulaan untuk belum mulai adanya nihil.
Mendadak sontak ada nihil. Tapi saya tidak tahu, kapan munculnya nihil
itu, apa itu sesungguhnya wujud, dan apa itu nihil. Sekarang baru saja
saya katakan sesuatu. Namun saya tidak tahu, kapan munculnya nihil
itu, apa sebenarnya wujud dan mana yang nihil. Sekarang saya sudah
mengatakan sesuatu. Namun saya tidak tahu apakah yang sudah saya
katakan itu betul‐betul sudah saya katakan sesuatu, atau apakah saya
tidak mengatakan apa pun.” Artinya, dunia mengalami masanya belum
mulai, didorong ke hulu, masih ada masanya belum mulai. Ini adalah
pernyataan mistisisme. Dikatakannya lagi “di dunia ada wujud (eksistensi)
dan ada nihil,” selanjutnya dikatakan “tidak ada wujud (eksistensi)” dan
“nihil”. Ini adalah terjerumus ke dalam kekosongan mistisisme. Bahkan
Zhuang Zi menyatakan bahwa: “Tak bisa diketahui bahwa di dunia ada
sesungguhnya wujud dan ada sesungguhnya nihil.” Ini adalah benar‐
benar idealisme.
Dari menganut relativisme, Zhuang Zi jadi penganut nihilisme.
Dalam Bab II karya Qi Wu Lun dipaparkan bahwa hakikat hal ihwal itu
adalah relatif, tak bisa dibedakan, sebab hakikat hal ihwal tak dapat
diketahui. Dinyatakan bahwa “Tak ada benda yang sempurna dan tanpa
cacat, tetapi semua lagi‐lagi dibikin jadi satu. Hanyalah orang
berpandangan jauh yang tahu bagaimana membikin menjadi satu.
Demikian juga ia yang tak berguna (untuk kategori), tetapi
memindahkannya semua menjadi tetap (tak berubah). Yang tetap (tak
berubah) itu adalah yang berguna, yang berguna itu adalah cukup baik;
yang cukup baik itu adalah yang berhasil; dan dengan berhasil semua
jadi sudah terlaksana. Ia hanya bergantung atas ini dan tidak tahu
bahwa ia melakukan itu demikian. Inilah yang disebut Dao.”170 Di sini
Zhuang Zi menggunakan sifat‐sifat gejala khusus materi, tapi keluar
dari kesimpulan yang ilmiah, secara idealis memahami Dao ajaran Lao Zi.
Pandangan Zhuang Zi adalah hasil dari pengembangan filsafat
Lao Zi. Ia mengembangkan mata‐rantai kekurangan, kelemahan dan
kesalahan dari filsafat Lao Zi. Pandangan Zhuang Zi mencerminkan
sikap semangat defaitisme yang kehilangan semangat, yang tak
mempunyai masa depan dari klas budak di akhir masa feodalisme.171
170 Ibid., h.23—24. 171 Da Xue Zhexue Chong Shu, op.cit., h.184.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 163
6. Mo Zi
MO Zi172 menentang ajaran Kong Hucu. Mo Zi termasuk kaum Ming Jia,
mazhab ahli mantik pada masa Chun Qiu dan masa Negara‐Negara
Berperang, 770—221 SM. Aksara Ming berarti nama, sebutan;
kemasyhuran, reputasi, ketenaran; ternama, termasyhur, populer;
menyatakan, melukiskan, menggambarkan. Dalam bahasa Inggris, Ming
Jia juga diterjemahkan jadi kaum sophists, logicians, dan dialecticians.
Dalam mengkritik ajaran Kong Hucu, Mo Zi mengajukan pandangan,
bahwa tak ada nasib yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Inti dari filsafat Mo Zi adalah Jian Ai, 173 yang berarti cinta
menyeluruh. Mo Zi mengajarkan dan menyerukan supaya manusia
saling membantu, tak pandang dari kedudukan sosialnya. Menurut Mo
Zi, nasib seseorang tergantung pada hal bagaimana orang itu dalam
hidup mewujudkan Jian Ai, cinta yang menyeluruh. Tergantung dari sikap
inilah “penguasa langit” menghargai atau menghukumnya. Mo Zi
menentang perang‐perang perampokan, mendorong perdamaian, saling
bantu antar negara‐negara. Dalam bidang teori pengenalan, ajaran Mo
Zi mengandung unsur‐unsur materialisme. Ia menyatakan bahwa
kesadaran, pikiran, lahir dari penelitian‐penelitian yang terus‐menerus secara
langsung atas kenyataan. Para pengikut Mo Zi membebaskan diri dari
lingkaran mistik serta mengembangkan materialisme naif mereka. Pada
pokoknya, Mo Zi mengolah logika dan teori pengenalan. Pandangan
filsafatnya mengakui terdapatnya benda‐benda objektif di luar kesadaran
manusia. Menurut ajarannya, semua pengenalan manusia adalah hasil
dari usaha bersama alat‐alat perasa. Mo Zi mengajarkan kategori Bian174
sebagai dasar metode logika. Aksara Bian berarti memperdebatkan,
mempersoalkan, mempertikaikan, memperselisihkan. Bian Zheng 175
berarti dialektika. Mo Zi memaparkan tujuan, kegunaan, dan cara
penggunaan metode Bian. Dengan bantuan metode ini dapat ditentukan
172 墨子 (baca: Mo Dze, e lemah). Mo Zi hidup antara 479—381 SM. 173 兼愛; Jian'ai. Aksara Jian berarti dua kali lipat, dobel, bersamaan, berbarengan, merangkap. Aksara Ai berarti cinta, asmara, kasih sayang, suka, gemar, tertarik, sangat menyayangi, mencintai, memelihara baik-baik, mudah, gampang. 174 Baca: Pian. 175 Baca: Pian Ceng.
164 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
yang hakiki dan yang palsu, tindakan yang menurut hukum atau
melanggar hukum, hal yang sama atau yang berbeda. Maka materialisme
dan dialektika kian berkembang di kalangan filsuf Tiongkok kuno.
Mo Zi adalah nama karya filsafat yang dihimpun oleh kaum
Mohis dari ajaran‐ajaran Mo Zi. Aslinya, karya ini terdiri dari 71 bab.
Dalam masa dinasti Han, Konfusianisme berdominasi di Tiongkok.
Mohisme adalah anti‐Konfusianisme, maka karya filsafat Mo Zi
diabaikan saja. Semasa dinasi Song, hanya tinggal 61 bab. Dewasa ini
didapati hanya 53 bab. Dari tiga bab “menentang Konfusianisme”, hanya
tinggal satu bab.
Mohisme mengalami penindasan selama dinasti Qin dan lenyap
sepenuhnya dalam dinasti Han yang menjadikan Konfusianisme sebagai
ajaran resmi. Walaupun demikian, banyak pikiran Mo Zi masuk ke
dalam aliran pokok filsafat Tiongkok dan diterima di zaman modern.
Sun Yat Sen menggunakan “cinta universal” Mo Zi sebagai dasar dari
pikiran demokrasi Tiongkok. Ada yang beranggapan Mo Zi sebagai
“filsuf rakyat”, mengangkat tinggi sikap rasional‐empirisnya ke taraf
pikiran dunia bahkan menilainya berlatar belakang “proletariat”.
Ada sementara pendapat yang mengangkat filsafat Mo Zi lebih
maju atau tidak kurang dari Kong Hucu. Gagasan “cinta universal”‐nya
mencakup lebih luas dari ide kemanusiaan Kong Hucu, tetapi ia kurang
toleran dibanding dengan Kong Hucu dalam mengutuk semua yang
“tidak berguna” secara langsung, ia mengabaikan fungsi kemanusiaan
dari seni musik. Zhuang Zi, yang mengkritik ajaran Kong Hucu dan Mo
Zi, mempunyai pikiran yang ia ajukan dalam ungkapan sebagai
“kegunaan yang tak berguna”. Tentu saja yang dimaksud dengan
“kegunaan” datang dari masa‐masa perang dan kelaparan melanda luas
dan yang menyebabkan arak‐arakan kebesaran raja menjadi sesuatu
yang sembrono. Walaupun demikian, ada yang berpendapat bahwa
pendapat di atas tidak sepenuhnya benar, dan bahwa sesungguhnya
“cinta universal” 博愛 (bo ai) sebagaimana halnya 天下為公 (tian xia
wei gong) “di bawah kolong langit mengabdi umum” yang dinilai tinggi
oleh Sun Yat Sen adalah ajaran‐ajaran Kong Hucu.
“Cinta universal” (博愛) dalam ajaran Kong Hucu ada sedikit
perbedaan dengan ʺcinta universalʺ (兼愛, Jianʹai) ajaran Mo Zi. Dalam
ajaran Kong Hucu cinta itu ditekankan pada sifat alamiah hubungan
sesama manusia, sedangkan dalam ajaran Mo Zi ditekankan pada
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 165
orientasi kemasyarakatan, tidak pandang pribadi.
7. Meng Zi
MENG Zi (372—289 SM), filsuf Tiongkok yang memusatkan perhatian
pada masalah sifat alamiah manusia. Meng Zi mengajarkan bahwa sifat
hakiki dari pribadi manusia adalah baik. Namun karena pengaruh
kurangnya mendapat pendidikan yang baik, menyebabkan moralnya
jahat.
Meng Zi mengajarkan, empat permulaan atau empat tunas, yaitu:
1. perasaan penyesalan atau simpati adalah permulaan sifat
manusiawi (kemanusiaan);
2. perasaan malu atau tidak suka adalah permulaan dari
kebenaran;
3. perasaan rasa hormat dan kerelaan adalah permulaan
kesopanan;
4. perasaan benar atau salah adalah permulaan dari kearifan.
Menurut Meng Zi, sifat alamiah manusia adalah
berkecenderungan baik, tetapi kebenaran (tepatnya) moral tidak dapat
diatur sampai jelimet. Oleh karena itu pengawasan dari luar selalu gagal
dalam memperbaiki masyarakat. Perbaikan lingkungan yang tepat
(benar) adalah hasil dari pendidikan yang baik. Lingkungan yang jelek
menyebabkan sifat‐sifat jelek manusia. Pendapat ini menyebabkan Meng
Zi mengambil tempat antara Kong Hucu dan Xun Zi yang menganggap
manusia mempunyai sikap asli jelek. Sedang kaum Taois berpendapat
bahwa manusia tak memerlukan pendidikan karena manusia hanya
cukup memerlukan mengembangkan ciri aslinya. Dengan cara begini,
Meng Zi memadukan Taoisme ke dalam Kong‐Hucuisme. Yaitu,
diperlukan usaha sendiri untuk mendidik diri sendiri, tetapi sifat
alamiah manusia mempunyai kecenderungan baik. Tujuan pendidikan
adalah untuk menanamkan kebajikan yang dikenal sebagai Ren.
Menurut Meng Zi, pendidikan haruslah membangkitkan kemampuan
asli dari pikiran manusia. Ia menentang pendidikan yang bersifat
menghafal dan mendorong pendidikan yang aktif bertanya.
166 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Menurut Meng Zi, “Prinsip Yang adalah sesuatu untuk ia
sendiri—yang tidak mengakui tuntutan akan kekuasaan.” Meng Zi
mengkritik Yang Zhu sebagai seorang “yang tak akan mencabut sehelai
rambut pun.”
8. Xun Zi
PENGANUT Daoisme, Xun Zi (298—238 SM)176 mengembangkan ajaran
tentang substansi material. Ia juga mengajarkan bahwa asal‐usul dari
semua benda di alam raya adalah Qi, yang di dalamnya mengandung
gerak dan perubahan. Qi terbagi dalam dua jenis, yang halus dan yang
kasar. Manusia terjadi sebagai hasil dari penyatuan kedua jenis Qi itu.
Roh berasal dari Qi yang halus, dan jasmani dari Qi yang kasar. Peranan
penting dalam organisme manusia dimainkan oleh syaraf. Dari syaraf
ini tergantung kepandaian dan kemampuan manusia. Kepandaian
manusia bukanlah datang dari pemberian kekuatan Tuhan, tapi berasal
dari Qi yang halus. Materialisme naif Tiongkok berkembang di bawah
ajaran Xun Zi yang juga adalah tokoh penganut ajaran Kong Hucu.
Berbeda dengan para penganut Kong Hucu lainnya, Xun Zi
berpendapat bahwa langit adalah merupakan bagian dari alam. Baginya,
pengertian ‘langit’ adalah gejala alam, sebagaimana juga bintang‐
bintang, matahari dan bulan, waktu tahunan, sinar dan awan, angin dan
hujan. Perubahan gejala di cakrawala berlangsung menurut hukum
tertentu dari alam. Perubahan‐perubahan ini tak ada hubungannya
dengan bijaksana atau tidaknya pengatur kekuasaan negara. Nasib
manusia tidak ditentukan oleh kemauan Tuhan, tetapi tergantung pada
manusia itu sendiri. Menurut Xun Zi, berbeda dengan makhluk hidup
lainnya, manusia bisa menggunakan semua kemampuannya dan hidup
dalam masyarakat. Di samping itu, manusia bisa mengenal gejala‐gejala
di lingkungannya serta menggunakannya demi kepentingannya.
Kesadaran dimulai dari perasaan. Alat perasa yang mengatur pemikiran
manusia dinamakannya Xin.177 Aksara Tionghoa Xin berarti jantung,
hati, perasaan hati, pusat. Xin mengikuti hukum‐hukum alam. Menurut
176 Baca: Sun Dze, e lemah. 177 Baca: Sin.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 167
alamnya, semua manusia adalah sama. Dari semenjak lahirnya, manusia
memiliki sifat jahat, mementingkan diri sendiri, egois. Kewajiban para
cendekiawan adalah mendidik manusia dengan etika Kong Hucu, agar
manusia menjadi baik. Sebagai seorang ideolog klas penguasa, Xun Zi
mengajarkan bahwa dalam masyarakat harus ada rakyat, harus ada
yang memerintah dan yang diperintah. Sebagian mengerjakan kerja
badan, yang lainnya kerja otak. Filsafat Xun Zi memihak, mengabdi
pada penguasa.
9. Han Fei
PERKEMBANGAN masyarakat Tiongkok melahirkan klas‐klas baru
yang menginginkan pemerintah melakukan perubahan‐perubahan.
Pengikut Xun Zi, Han Fei (abad ke‐3 SM) merupakan tokoh dari aliran
Fa Jia. Aksara Fa berarti hukum, perundang‐undangan. Jia berarti
rumah, keluarga, aliran, mazhab, ahli dalam bidang tertentu. Fa Jia
berarti kaum legalis pada masa Chun Qiu,178 Periode Musim Semi
Musim Gugur dan Negara‐Negara Berperang (475—221 SM), yaitu
tahun 770—221 SM. Han Fei mengajarkan bahwa hukum perkembangan
alam Dao terletak atas dasar semua hukum alam Li. Sebagaimana dalam
alam, dalam masyarakat manusia terdapat Fa, perundang‐undangan
yang menetapkan ketentuan‐ketentuan tentang tindak‐tanduk manusia.
Undang‐undanglah yang menetapkan patokan‐patokan tentang baik
atau jahatnya tindak‐tanduk manusia. Undang‐undang itu berubah
sesuai dengan tuntutan waktu. Dan undang‐undang menjadi senjata
perkasa dalam memperkuat negara. Han Fei mengkritik takhayul
keagamaan. Ia menyatakan bahwa eksistensi iblis dan Tuhan itu tak
mungkin bisa dibuktikan, bahwa sering orang bersembunyi di balik
‘kehendak Tuhan’ hanya sekedar untuk tidak menaati undang‐undang
negara. Sebagaimana pengikut lainnya dari aliran Fa Jia, Han Fei
mengambil pendirian memihak klas penghisap. Ia membenarkan
pembagian masyarakat atas orang‐orang kaya dan orang‐orang miskin.
Ia menyebarkan pandangan supaya tidak dibatasinya kekayaan
minoritas dengan menghisap yang mayoritas. Dengan demikian tambah
178 Baca: Cun Ciu.
168 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
memperdalam jurang perbedaan klas dalam masyarakat. Filsafat Han
Fei memihak dan mengabdi pada klas penghisap.
10. Wang Zhong
WANG Zhong (baca: Wang Cung) tahun 27 sampai kira‐kira tahun 97
masehi mengembangkan pandangan‐pandangan materialis para filsuf
terdahulu. Wang Zhong berpendapat bahwa dunia terdiri dari substansi
material Qi yang abadi, di mana berlaku hukum Dao sebagai hukum
perkembangan dirinya sendiri. Satu jenis Qi yang bersifat renggang
terdapat di atas, di angkasa, dalam ruang cakrawala dalam bentuk
kumpulan awan; dan yang lainnya berada di bawah, di bumi dalam
bentuk mengental berupa bermacam ragam benda. Ada dua jenis Qi:
yang merenggang atau menipis disebut Yang Qi, dan yang mengental
disebut Yin Qi.179 Menurut Wang Zhong, Yang Qi dan Yin Qi adalah
abadi; adalah dua unsur yang saling berkontradiksi, dan sebagai hasil
kontradiksi serta tarik‐menarik sesamanya, terbentuklah semua benda
di alam raya.
Gagasan Wu Xing sudah menjawab masalah struktur materi jagat
raya, tapi belum menjawab tentang asal mula dan hukum
perkembangan jagat raya. Gagasan Yin dan Yang lah yang menjawabnya.
Aksara Yang asalnya mempunyai arti sinar matahari; aksara Yin berarti
tak ada sinar matahari. Kemudian, pengertian Yin dan Yang
berkembang. Yang jadi berarti matahari, jenis kelamin pria, maskulin,
aktif, hangat, terang benderang, kering, kuat, dan sebagainya. Aksara
Yin berarti rembulan, jenis kelamin wanita, feminin, pasif, dingin, basah,
lemah, dan sebagainya. Selanjutnya, para filsuf penganut gagasan Yin
dan Yang mengembangkan gagasan ini dengan menghubungkannya
dengan filsafat angka, Shu. Yin berarti angka negatif, Yang adalah angka
positif. Ini berlanjut dengan menghubungkan gagasan Yin dan Yang
dengan bulan dan matahari, ibu dan bapa, wanita dan pria. Bagi
pengamat jagat raya, Yin dan Yang adalah dua hal yang saling bergerak
tanpa henti‐hentinya, saling mempengaruhi, saling susup‐menyusup,
saling berkontradiksi, yang hasil geraknya melahirkan segala‐galanya
179 Baca: In Ci.
IV — Perkembangan Awal Filsafat Tiongkok | 169
dalam jagat raya. Dengan Wu Xing dan gagasan Yin dan Yang, filsafat
Tiongkok kuno menjawab masalah struktur, asal‐usul dan hukum
perkembangan jagat raya.
Dalam ajaran yang materialistik, Wang Zhong memblejeti teori
Kong Hucu mengenai pengetahuan bawaan dari kelahiran, dan
menegaskan bahwa kebenaran hanya mungkin dibuktikan lewat pengalaman.
Akan tetapi tanpa pemikiran yang logis, pengalaman yang dirasakan
dari perasaan, masih belum bisa memberikan bukti yang benar. Kesatuan
pengalaman dengan pemikiran logis—demikianlah dasar teori pengenalan
pada Wang Zhong. Materialisme Wang Zhong mengandung sifat
metafisika. Ia berpendapat bahwa langit dan bumi tidak berubah dan
bahwa tak ada yang kebetulan dalam alam dan dalam masyarakat. Tapi
penggunaan pembagian Qi dalam Yang dan Yin merupakan unsur‐unsur
dialektika dalam ajarannya.
170 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
V — Materialisme India Kuno | 171
V
Materialisme India Kuno
1. Dimulai dengan Materialisme
DI India, filsafat dimulai dengan materialisme. “Sesungguhnya,
materialisme adalah dasar gagasan bagi ateisme. Ia adalah sama tuanya
dengan filsafat India. Tapi malangnya, ajaran para pemikir tua India
yang memberontak terhadap ajaran Veda dan melawan gagasan
mengenai Tuhan pencipta alam semesta sudah hilang lenyap, terutama
dihancurkan karena sikap tidak toleran. Memang masih ada sedikit
bukti‐bukti yang tak terbantah yang menunjukkan adanya
pemberontakan dan pikiran‐pikiran yang memberontak itu. Ajaran‐
ajaran filsafat yang memihak pada para pemikir tua itu dianggap adalah
‘bidah’ dan ‘nihilis’. Mereka yang menentang otoritas Veda dituding
sebagai ‘bidah’.”180
Di India, kaum intelek juga berusaha mengenal dan memahami
alam. Ini melahirkan filsafat. Karena usaha itu adalah untuk mengerti
dan memahami serta menjelaskan fenomena‐fenomena alam, pikiran‐
pikiran yang muncul adalah materialisme. Maka filsafat di India dimulai
dengan materialisme. Ini disebut Swabhava vada (naturalisme, bersifat
alamiah). Maka buku‐buku agama Veda dan Upanishad pada awalnya
merujuk pada Swabhava vada dan gagasan‐gagasannya. Intinya adalah
menolak Tuhan dari agama alamiah dan menolak dominasi para
pendeta. Inilah yang merupakan hasil dari buku‐buku Veda pada
180 Avula Sambasiva Rao, The Materialistic Thought In India, diakses dari http://www.positiveatheism.org/india/s1990a21.htm
172 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
awalnya. Bagi mereka, perasaan, cita rasa adalah satu‐satunya sumber
pengetahuan. Mestinya, bagaimanapun juga dapat dijelaskan bahwa
perujukan pada Swabhada vada dan gagasan‐gagasannya disensor oleh
Veda dan Upanishad awal. Yang dimuat dalam Veda dan Upanishad
hanyalah untuk tujuan membantah Swabhada vada. Adalah ironis sekali
bahwa bantahan itu bisa didapat, tetapi ajaran‐ajaran yang dibantah itu
hilang lenyap. Sebab‐musabab hilangnya karya yang memuat gagasan‐
gagasan yang dibantah itu dapat dengan mudah diusut
Dalam banyak buku Darshana berusaha menjelaskan alam dan
fenomena‐fenomena yang muncul jadi kenyataan. Lokayata Darshana
tampil sebagai salah satu buku paling awal sebagai usaha keras filosofis.
Penulisnya adalah pujangga besar Brihaspati. “Lokayata” ini yang juga
disebut sistem “Charvaka”181 dianggap adalah pikiran filosofis materialis
di India kuno. Krishna Mishra, yang hidup semasa dengan Gautama
Buddha menyatakan mengenai inti dari Lokayata Darshana sebagai
berikut: “Di dalamnya, hanyalah bukti‐bukti yang dapat dirasakan yang
dianggap tepat. Unsur‐unsur asli adalah bumi (tanah), air, api, dan
udara. Materi dapat berpikir. Tak ada dunia yang lain. Mati adalah akhir
segala‐galanya.”182
Karya Pujangga Kanaada Vaisyesika Darsana adalah secara tegas
materialistis dalam gagasan dan pemaparannya, dengan menyatakan
bahwa atom‐atom adalah asal‐usul dunia. Karya pujangga Kapila Saankhya
adalah materialistis dalam pemaparannya. Ia bersandar pada dunia
materialis untuk menerangkan wujud adanya kenyataan.
181 Chārvāka juga dikenal sebagai Lokāyata dikenali sebagai mazhab yang materialistis dan ateistis. Adalah sistem filsafat India yang mengandung sejumlah pemikiran materialisme, skeptisisme filosofis, dan pengabaian nilai religius. Meskipun filsafat India ini kini tidak dianggap sebagai bagian dari mazhab filsafat Hindu ortodoks, sejumlah sarjana mendeskripsikannya sebagai suatu gerakan filsafat ateistis atau materialistis dalam tubuh Hinduis. Lihat Radhakrishnan, Sarvepalli, dan Moore, Charles A., A Source Book in Indian Philosophy, Princeton University Press, 1957, h.227. 182 Dikutip dari buku Indian Materialism karya Dr. D.R. Shastri. Lihat The Philosophy of Sarvepalli Radhakrishnan, The Library of Living Philosophers, dipublikasikan bersama The Library of Living Philosophers and Open Court Publishing Company, Amerika Serikat, 1952, h.562.
V — Materialisme India Kuno | 173
2. Hinduisme
MASYARAKAT perbudakan India pada pertengahan tahun 1000 SM
terbagi atas kasta‐kasta. Klas‐klas pokok dalam masyarakat adalah
pemilik budak dan kaum tertindas: para budak dan kaum tani. Yang
memegang kekuasaan dalam masyarakat itu adalah raja. Raja didukung
oleh kekuasaan kaum aristokrat pemilik budak dan para pemuka
agama, kaum Brahmana. Dalam masyarakat terdapat 1. Kasta aristokrat
tentara, ksyatria; 2. Kasta pemuka agama, brahmana; 3. Kasta pemilik
tanah yang bebas, waisya; 4. Kasta paling bawah, syudra. Kasta syudra
berada di bawah pemilikan ksyatria, brahmana, dan waisya. Mereka tidak
mempunyai hak untuk memiliki apa‐apa, mereka tidak diikutkan
sebagai anggota dalam rukun tetangga, tidak berhak ambil bagian
dalam mengambil keputusan yang menyangkut diri mereka. Sistem
kasta ini diperkuat oleh Undang‐Undang Manu yang menyatakan bahwa
kaum Brahmana dilahirkan untuk mempertahankan khazanah dharma,
yaitu hukum yang kudus, karena itu menduduki tempat tertinggi di
dunia, dan adalah jadi pemilik semua yang ada. Dalam Undang‐Undang
Manu dilukiskan bahwa kasta adalah diciptakan oleh Tuhan sendiri.
Filsafat yang dianut kaum Brahmana memihak dan mengabdi pada kasta
Brahmana.
Pada masa inilah berkembang paham reinkarnasi, perpindahan
jiwa dari jasad yang satu ke jasad yang lain setelah manusia meninggal
sebagai dasar dari agama Hindu, Hinduisme. Paham reinkarnasi yang
berasal dari kepercayaan suku bangsa Dravida dan Munda ini diambil,
dikembangkan dan diajarkan juga oleh penganut agama Brahmana
Bangsa Dravida merujuk pada orang yang menuturkan bahasa
pada rumpun bahasa Dravida. Kebanyakan penutur bahasa tersebut
dapat ditemui di Asia Selatan. Orang Dravida lainnya dapat ditemui di
sebagian India Tengah, Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Afganistan, dan
Iran. Bahasa Dravida yang paling dikenal adalah Tamil, Telugu,
Kannada, dan Malayam. Suku Munda adalah kelompok etnis di daerah
dataran tinggi Chota Nagpur di India. Mereka dapat ditemukan di
Jharkhand, Bihar, Benggala Barat, Chatisgarh, Orissa dan Assam, serta
di sebagian Bangladesh. Mereka menuturkan bahasa Mundari yang
termasuk ke dalam bahasa Austro‐Asia. Diperkirakan jumlah mereka
mencapai dua juta orang. Sebagian besar merupakan penganut “Sarna”,
174 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
agama suku Munda. Pada dasarnya mereka memercayai adanya roh
alam yang disebut Singbonga. Namun sekitar seperempat orang Munda
telah menganut agama Nasrani.
Menurut pemahaman Hinduisme, jiwa bisa berpindah. Jiwa
dianggap tidaklah mati setelah orang meninggal, tetapi berpindah ke
jasmani yang lain. Ke mana berpindahnya jiwa itu adalah tergantung
pada tingkah laku manusia yang meninggal tersebut pada masa
hidupnya. Terutama ia terikat pada kastanya. Jika seorang dari kasta
Syudra berbuat banyak mengabdi kepada kasta yang lain, ia bisa
mengalami reinkarnasi dalam hidup berikutnya sebagai anggota kasta
yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya. Dasar teori reinkarnasi ini
disebut hukum karma. Ide hukum karma ini sangat rumit, ditafsirkan
dalam bermacam cara oleh berbagai filsafat India. Pada pokoknya
tergantung pada dua gagasan: sebab‐musabab dan nasib. Nasib seseorang
dalam hidupnya adalah hasil dari tindak‐tanduknya di masa hidup
yang lalu. Seseorang yang berbuat baik dalam hidup akan mendapat
balasan dengan kebaikan. Balasan ia terima bukan dalam hidup
sekarang, tapi setelah melalui reinkarnasi dalam hidup berikutnya.
Hukum karma menjadi dasar bagi ajaran Brahma tentang reinkarnasi.
Filsafat yang dianut pemeluk agama Hindu memihak dan mengabdi
pada kaum Brahmana.
3. Filsafat Aliran Samkhya
SALAH satu aliran penting dalam filsafat Hindu adalah Samkhya, juga
disebut dengan Sankhya. Para ahli meyakini bahwa ajaran ini berakar
dari nilai‐nilai positif ateis. Kemudian Maharesi Kapila, putra Devaguti,
membangun ajaran Samkhya yang bersifat teistik, seperti yang
disebutkan dalam Bhagavatapurana.
Samkhya adalah ajaran filsafat tertua dalam filsafat India. Karya
sastra mengenai Saṁkhya yang kini dapat diwarisi adalah Saṁkhyakarika yang ditulis oleh Īśvarakṛeṣṇa sekitar 200 SM. Ajaran ini banyak
membawa pengaruh pada ajaran Yoga, Sruti, Smrti, Itihasa, dan Purana.
Saat ini ajaran Samkhya yang murni sudah tak ada.
Kata Saṁkhya berarti: pemantulan, yaitu pemantulan filsafati.
Ajaran Saṁkhya bersifat realistis, karena di dalamnya terdapat
V — Materialisme India Kuno | 175
pengakuan akan realitas dunia yang bebas dari roh. Samkhya juga
disebut dualistis karena dalam ajarannya terdapat dua realitas yang saling
bertentangan tetapi bisa berpadu, yaitu purusha dan prakriti.
Aliran Samkhya menyimpulkan bahwa jalan pemikiran Brahmana
memusatkan segala sesuatu kepada manusia. Jika memang benar bahwa
manusialah yang menjadi pusat segala sesuatu, maka harus
disimpulkan bahwa Tuhan sebenarnya tak ada. Di dalam dunia
sebenarnya hanya ada perkembangan roh dan benda, purusha dan
prakriti.
Jalan pemikiran yang demikian itu kemudian dikembangkan
secara religius di dalam agama Buddha. Pengaruh pemikiran Samkhya
memang besar sekali. Segala sistem agama yang timbul sesudah agama
Buddha dipengaruhi oleh pemikiran Samkhya. Buku‐buku filsafat pada
masa itu seperti Katha Upanishad, Shvetashvatara Upanishad, dan Bhagawad
Gita menggunakan istilah‐istilah dan gagasan‐gagasan Samkhya. Katha
Upanishad memahami purusha sebagai jiwa perseorangan seperti yang
dimiliki oleh Atman. Upanishad juga menganggap purusha adalah lebih
kecil dari empu jari.
Pokok ajaran dalam Bhagawadgita adalah sebagai berikut: baik
benda (prakrti) maupun jiwa (purusha) berasal dari Tuhan. Jiwa dikurung
di dalam tubuh. Oleh karena itu dipengaruhi oleh segala macam
pengaruh serta perbuatan benda‐benda. Tugas manusia ialah berbuat
sedemikian rupa, sehingga jiwanya dapat kembali pada asalnya, yaitu
Tuhan.183
Persekutuan purusha dan prakirti, atau Shiwa dengan saktinya,
perlu sekali bagi penciptaan dunia. Karena persekutuan ini, dunia
mengalir keluar dari Brahman, bagaikan laba‐laba yang melingkupi
dirinya sendiri dengan benang ludahnya. Kelak pada zaman pralaya,184
183 Bandingkan dengan ajaran filsafat Jawa tentang Sangkan Paraning Dumadi yang mengajarkan hakikat tentang kehidupan dari mana asalnya manusia hidup, apa yang akan dilakukan di alam kehidupan, dan ke mana akhir tujuan hidup, agar manusia mengetahui jati dirinya. 184 Hindu menyebut Maha Pralaya sebagai hari kiamat, berkaitan erat dengan evolusi umur bumi yang disebut Yuga. Kosmologi Hindu mengatakan alam semesta dibangun dari lima unsur, yang disebut dengan panca maha bhuta, yakni: pertiwi (zat padat); apah (zat cair); teja (plasmi, api); bayu (zat gas, udara); akasa (ether). Menurut kitab Purana dan Upanisad, panca maha bhuta paramanu atau dikatakan benih yang lebih halus dari atom. Saat kehampaan, di mana masing-masing zat
176 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
artinya kiamat total, alam semesta akan dikembalikan lagi kepada
Brahman. Penciptaan sebenarnya hanya suatu ragam saja dari
penjelmaan ilahi. Dunia yang mengalir dari Brahman itu terdiri dari
Mahabrahmanda atau makrokosmos dan Brhatbrahmanda atau
mikrokosmos.
Pandangan‐pandangan tradisional seperti Samkhya, Lokayata dan
Sramana, dan lain‐lain, yang semua berpangkalan di India Timur menolak
pikiran mengenai Tuhan; menyatakan bahwa alam raya dikendalikan oleh
hukum‐hukum alamiahnya bukan oleh Tuhan; mereka menganggap
alam semesta sebagai satu sistem yang digerakkan oleh sebab‐sebab
tertentu, yaitu hukum sebab dan akibat; mereka menolak ajaran‐ajaran
yang memaksakan; menyerukan agar hanya bersandar pada
pengalaman; dan semuanya mereka bertujuan untuk melenyapkan
penderitaan manusia.
4. Dualisme Prakriti dan Purusha
SAMKHYA mengajukan pandangan hubungan erat dualisme substansial,
hubungan erat dualisme dengan menarik garis metafisik antara kesadaran
dan materi, di mana materi termasuk dalam jasad dan pikiran.
Menurut sistem Samkhya, dualisme antara kesadaran dan materi
dengan mendalilkan dua realitas yang bebas, yang tidak saling
tergantung yaitu Purusha dan Prakriti. Prakriti adalah satu keesaan,
Purusha adalah kemajemukan dalam dunia ini. Sedangkan Prakriti adalah
tunggal sebagai sumber terakhir dari dunia objektif yang mempunyai
kekuatan secara mutlak pada dasarnya. Purusha dianggap sebagai
prinsip yang sadar, sebagai pengikut yang pasif (bhokta) dan Prakriti
adalah yang diikuti (bhogya). Menurut Samkhya, Purusha tidak bisa
dianggap sebagai sumber dunia yang tak berjiwa, sebab prinsip yang
cerdas tidak dapat mengubah dirinya sendiri menjadi dunia yang tak
sadar. Ini adalah spiritualisme yang pluralistik, realisme yang ateistik
dan dualisme yang tanpa kompromis.
mendominasi alam yang tersusun, misalnya unsur teja mendominasi matahari, dan bumi mendominasi pertiwi dan apah. Demikianlah Brahman menciptakan alam semesta.
V — Materialisme India Kuno | 177
5. Purusha
PURUSHA adalah kesadaran yang murni sesuatu yang transenden. Ia
adalah mutlak, bebas, tak tergantung pada mana pun, tak dapat
dirasakan, tak bisa dikenal lewat alat perasa, melebihi pengalaman yang
dapat dirasakan, yang tak dapat dijelaskan dengan kata‐kata. Ia tetap
murni, “kesadaran yang tak dapat dijelaskan”. Purusha tidak dihasilkan
dan tidak menghasilkan. Samkhya percaya akan kemajemukan Purusha.
Purusha tidak seperti Advaita Vedanta dan seperti Purva‐Mimamsa
6. Prakriti
PRAKRITI adalah sebab pertama perwujudan material alam semesta,
sebab‐musabab segala‐galanya, kecuali Purusha. Prakriti mencangkup
segala‐galanya yang bersifat fisik, baik pikiran maupun materi,
termasuk energi dan gaya. Oleh karena ia adalah prinsip pertama
(tattva) dari alam raya, maka ia disebut Pradhana, tetapi karena ia adalah
prinsip yang tak sadar, maka ia juga disebut jada. Ia terdiri dari tiga ciri
utama (triguna), yaitu:
1. Sattva, bersikap tenang, halus, ringan, tak bersinar, dan gembira
2. Rajas, dinamis, giat, aktif, suka terharu, dan pedih.
3. Tamas, inertia, berat, berbobot, bersifat kasar, lamban,
penghalang.
Semua gejala fisis adalah perwujudan dari evolusi Prakriti atau
alam pertama sumber dari segala jasad‐jasad fisis. Semua yang bersifat
perasaan atau jiva adalah gabungan dari Purusha dan Prakriti, yang
jiwa/Purusha adalah tanpa batas dan tak dapat dibatasi oleh jasad fisik.
Samsara atau perbudakan muncul ketika Purusha tidak memiliki
pengetahuan yang lengkap, oleh karena itu tersesat bingung sendiri
dengan Ego/ahamkaara yang sesungguhnya adalah salah satu sifat dari
Prakriti. Semangat itu jadi bebas, jika pengetahuan yang selengkapnya
mengenai perbedaan Purusha yang sadar dan Prakriti yang tidak sadar
178 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
diketahui oleh Purusha.
7. Upanisyad
TAHUN 650—530 SM, pandangan‐pandangan permulaan filsafat kuno
India dipaparkan dalam buku Upanisyad. Upanisyad berisikan paparan
berbagai ajaran teologi. Di dalamnya terdapat sekitar 250 karangan
filsafat‐teologi. Ini melukiskan rumitnya kehidupan keagamaan pada
masa itu. Bermacam kepentingan berbagai klas tercermin dalam
Upanisyad. Akhirnya terpusat pada enam aliran klasik atau ortodoks,
yaitu Vedanta, Mimamsa, Sankhya, Yoga, Nyaya, dan Waisyesika. Sistem
Vedanta dan Mimamsa adalah sepenuhnya berisikan mistik kaum
Brahmana. Vedanta mengajarkan ide panteisme, menganut kepercayaan
bahwa jiwa seseorang lahir dari Atman, yaitu jiwa universal Brahma,
Tuhan agung dari kaum Brahmana.
Kasta Ksyatria yang sekular, yang bersaing dengan kaum
Brahmana, mengembangkan sejenis sistem filsafat yang lain, Sankhya
yang mendekat pada materialisme. Dasar dari sistem yang diajarkan
Sankhya adalah berlawanan dengan panteisme Vedanta, yaitu menganut
pandangan kebebasan materi. Vaisyesika mengajarkan teori atomistik.
Sedangkan Charvaka yang tidak ortodoks adalah lebih ateistik, yang
menganggap dunia adalah kombinasi dari empat unsur material.
Lokayata memaparkan ajaran tentang perlawanan menentang adanya
Tuhan. Ajaran filsafat yang terdapat dalam Upanisyad di satu pihak
berisikan pandangan idealis, di lain pihak ada pandangan materialis.
8. Vaisyesika
VAISYESIKA adalah salah satu dari enam ajaran filsafat Veda Hindu.
Menurut sejarahnya, filsafat ini erat berhubungan dengan ajaran logika
Hindu, Nyaya. Vaisyesika mendukung pandangan atomisme dan postulat
bahwa segala‐galanya yang berwujud fisik di alam raya adalah
himpunan dari jumlah tertentu atom. Asal mula pandangan ini diajarkan
oleh pujangga Kanyada, atau Kanya‐bhuk, yang berarti pemakan atom, di
sekitar abad ke‐2 SM.
V — Materialisme India Kuno | 179
Vaisyesika tampak bergabung dengan mazhab filsafat Nyaya
karena erat dengan teori metafisikanya. Tetapi dalam bentuk klasiknya,
Vaishesika berbeda dengan Nyaya dalam masalah penting: Nyaya
menerima empat sumber pengetahuan, Vaisyesika hanya menerima cita
rasa (persepsi) dan inferensi (kesimpulan) sebagai sumber pengetahuan.
Selanjutnya Vaishesika berbeda dengan penganut teori pengetahuan
modern atomisme dengan menyatakan bahwa fungsi‐fungsi atom atau
ciri‐cirinya dipimpin oleh kemauan Yang Mahakuasa atau mengikuti
Gagasan Yang Mahakuasa.
Pemaparan sistematik paling awal dari Vaisyesika didapat dalam
Vaisyesika Sutra dari Kanyada atau Kanyabhaksha yang terdiri dari sepuluh
buku. Dua buku berupa komentar tentang Vaishesika Sutra, Ravanabhasya
dan Bharadvajavriti. Prasatapada, Padathadharmasaringraha (sekitar abad
ke‐4) adalah teks penting mengenai ajaran ini.
Menurut ajaran Vaisyesika, semua benda yang ada, yang dapat
dikenal, diberi nama padartha, yang berarti arti sebuah istilah, yaitu objek
dari pengalaman. Semua objek pengalaman dapat diklasifikasi dalam
enam kategori:
1. Dravya (substansi), 2. Guna (kualitas), 3. Karma (aktivitas), 4. Samanya (keumuman),
5. Visesa (kekhususan) dan 6. Samavaya (sifat aslinya).
Penganut Vaisyesika selanjutnya (Sindhara dan Udayana serta
Sibvaditya) menambahkan kategori abhava (ketidakadaan, non‐existence).
Tiga kategori pertama disebut artha (yang bisa diraba), yang mempunyai
eksistensi nyata, riil, Tiga lainnya disebut budhya peksam (hasil pemikiran
intelektual), dan ia adalah kategori‐kategori logis.
Dravya (substansi). Substansi berjumlah 9, yaitu: prthvi (bumi,
tanah); ap (air); tejas (api); vayu (udara); akasa (ether); kala (waktu); atman
(diri); manas (Pikiran). Lima yang pertama disebut bhutas (substansi
yang memiliki kualitas khusus hingga mereka dapat diraba, dirasakan
oleh seseorang atau oleh alat perasa eksternal.
Guna (kualitas). Menurut Vaisyesika Sutra ada 17 gunas (kualitas),
180 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
yang menurut Prasastapada ditambah lagi dengan tujuh. Dalam
keadaan suatu benda bisa eksis dengan kemampuannya sendiri secara
bebas, suatu guna (kualitas) tak bisa eksis secara demikian. Ada 17 guna
(kualitas), yaitu rupa (warna); rasa (rasa); gandha (bau); sparsa (rasa
sentuhan); sampkhya (jumlah); panmana (ukuran, dimensi, kuantitas);
prthaktva (individualitas); samyoga (penyambung, penghubung,
pendamping); vibhaga (terputus, tak bersambungan); paratva (prioritas);
aparatva (kelanjutan); budhi (pengetahuan); sukha (menyenangkan,
nikmat); dukha (sakit, pedih); iccha (berhasrat, nafsu, keinginan); dvesa
(menghindari); dan prayatna (usaha). Prasastapada menambahkan lagi
dengan gurutva (bobot); dravatva (kemudahan mengalir, keadaan cair);
sneha (kekentalan, sifat merekat); dharma (jasa, kebaikan); adharma (cela,
kekurangan); sabda (bunyi, suara) dan samkasra (panca‐indera).
Karma (aktivitas, kegiatan). Karma (aktivitas) seperti guna
(kualitas) tidak berwujud eksistensi yang terpisah, mereka termasuk
substansi. Tetapi dalam keadaan kualitas adalah sifat permanen dari
satu substansi, maka kegiatan adalah bersifat sementara. Akasa (ether),
kala (waktu), dik (ruang) dan atman (diri) walaupun adalah substansi,
tapi tanpa karma (aktivitas).
Samanya (keumuman): Oleh karena terdapat banyak substansi,
maka ada saling hubungan sesama mereka. Jika terdapat kesamaan bagi
banyak substansi, maka disebut samanya.
Visesa (kekhususan). Yang dimaksud dengan visesa, kita dapat
merasakan substansi yang berbeda antara satu sama lain. Karena atom
itu jumlahnya tidak terhingga, maka demikian pulalah visesa.
Samavaya (ciri yang menjadi sifatnya): Kanada menamai samavaya
bagi hubungan‐hubungan antara sebab dan akibat. Prasastapada
menyebutnya sebagai hubungan‐hubungan yang ada antara substansi‐
substansi yang tak dapat dipisahkan, yang satu sama lain berhubungan
sebagai yang mengisi dan yang diisi. Hubungan samavaya adalah tak
dapat dirasakan tapi hanya dapat diduga dari saling hubungan
substansi‐substansi yang tak dapat dipisahkan.
Epistemologi awal Vaisyesika hanya menganggap bahwa hanya
pratyaksa (persepsi, cita rasa) dan anumana (kesimpulan) adalah pramana
(cara mendapatkan pengetahuan yang sah). Dua jalan lainnya yang
diterima oleh mazhab Nyaya, upamana (pembandingan) dan sabda (bukti
lisan) adalah dianggap termasuk dalam anumana. Silogisme dari mazhab
V — Materialisme India Kuno | 181
Vaisyesika adalah sama seperti pada Nyaya, tetapi nama yang diberikan
oleh Prasastapada terhadap 5 anggota silogisme adalah berbeda.
9. Teori Atom
KARYA‐KARYA tulis awal Vaisyesika memaparkan silogisme berikut
untuk membuktikan bahwa empat bhuta (unsur asal): prthvi (bumi, tanah),
ap (air), tejas (api), dan vayu (angin, udara) adalah terdiri dari paramanus
(atom‐atom) yang tak dapat dipisah‐pisahkan. Jika materi tidak terdiri
dari atom‐atom yang tak dapat dibagi‐bagi, maka ia adalah sambung‐
bersambung, berkesinambungan. Ambillah contoh batu. Ia dapat dibagi.
Dipecah menjadi banyak kepingan‐kepingan yang tak terhingga karena
materi tadi adalah berkesinambungan. Oleh karena itu, gunung
Himalaya juga adalah kepingan‐kepingan yang tak terhingga jumlahnya
yang menjadi satu. Maka orang memulai dengan satu batu dan berakhir
jadi Himalaya, oleh karena itu adalah jadi paradoks; maka pikiran atau
kesimpulan semula yang pertama yang menganggap materi adalah
berkesinambungan adalah salah; oleh karena itu semua objek haruslah
terdiri dari jumlah atom yang tertentu jumlahnya yaitu paramanus
(atom‐atom).
Menurut ajaran mazhab Vaisyesika, trasarenu (debu partikel‐
partikel yang kelihatan di bawah sinar melalui celah jendela) adalah
mahat (dapat tercatat, teraba), partikel terkecil yang disebut tryanuka
(triad). Ia terdiri dari tiga bagian yang masing‐masing dinamakan
dvyanuka (dyad). Dvyanuka tersusun dari dua bagian, yang masing‐
masingnya disebut paramanu (atom). Paramanu‐paramanu tak dapat
dibagi lagi, adalah abadi, ia tak dapat diciptakan dan tak dapat
dihancurkan. Tiap paramanu (atom) memiliki kekhususan visesanya,
kepribadiannya.
Ukuran tentang tak terbaginya atom‐atom dikenal sebagai
parimandala parimana. Ia bersifat abadi dan ia tak bisa berbuat jadi
ukuran substansi‐substansi lainnya. Ukurannya adalah kemutlakannya
Perkembangan selanjutnya, selama berabad‐abad ajaran Vaisyesika
bergabung dengan mazhab filsafat India Nyaya, maka terbentuklah
nyaya‐vaisyesika. Sesudah abad ke‐15 ajaran ini jadi merosot secara
alamiah.
182 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Vaisyesika mengajarkan bahwa alam semesta yang kelihatan oleh
mata adalah tercipta dari aslinya berupa tumpukan atom‐atom (janim
asatah). Menurut Vaisyesika Sutra karya Kanyada, ni tyam parimandalam
(yang ukurannya terkecil itu, atom, adalah abadi), ia dan para
pengikutnya juga mendalilkan keabadian yang lain, kesatuan yang
bukan atom, termasuk jiwa‐jiwa yang jadi menjasmani, bahkan jadi Jiwa
Yang Maha Agung. Namun kosmologi Vaisyesika jiwa‐jiwa dan Jiwa Yang
Maha Agung hanya memainkan peranan dalam memproduksikan atom‐
atom alam semesta. Brahma Sutra menyatakan bahwa ubhayathani na
kaarmatas tad‐abhavah. Menurut buku ini, orang tak dapat menyatakan
bahwa pada waktu terjadinya penciptaan alam semesta, atom‐atom
pertama bergabung sesamanya disebabkan oleh paksaan atau dorongan
gaya yang bersifat karma yang terdapat dalam atom‐atom itu sendiri,
sebab atom‐atom itu sendiri dalam keadaan aslinya sebelum bergabung
menjadi objek yang kompleks, tidaklah mempunyai tanggung jawab etis
yang bisa membimbingnya menjadi reaksi yang salah. Juga tidaklah
dapat disebut bahwa penggabungan atom‐atom itu adalah hasil dari
sisa‐sisa karma dari benda‐benda hidup yang selama waktu penciptaan
berada dalam keadaan tidur, karena setiap aksi itu adalah berupa reaksi
dari masing‐masing jiva dan tidak dapat dipindahkan dari mereka
bahkan kepada jiva lainnya, yang berarti sifat internal dari atom‐atom.
10. Jainisme
PADA abad ke‐5 SM, Varadhamana Mahavira menjadi seorang guru
yang paling berpengaruh dari Jainisme. Diperkirakan, Mahavira
bukanlah pendiri Jainisme walaupun ia dianggap nabi mereka. Ia tampil
secara tradisional sebagai seorang yang dari permulaan mengikuti
agama ini sudah sejak lama.
Parsva, seorang pendahulu tradisional dari Mahavira adalah
tokoh pertama dari Jainisme. Ia hidup pada masa abad ke‐9 sampai ke‐7
SM. Para pengikut Parsva disebut‐sebut dalam buku keagamaan dan
dongeng‐dongeng Uttaradhayana Sutra berkenaan dengan pertemuan
para pengikut Mahavira yang mempertemukan dan menyatukan
cabang‐cabang tua Jainisme dan yang baru.
Jainisme yang bergerak bersamaan waktunya dengan Buddhisme,
V — Materialisme India Kuno | 183
menolak ajaran Brahman sebagai Tuhan. Jainisme secara kritis meneliti
gagasan‐gagasan kemutlakan, kesatuan dan keabadian, dan
menyimpulkan bahwa ajaran Brahman (Tuhan) tak dapat diterima.
Tetapi, ia percaya pada jiwa, dan berlawanan dengan kepercayaan yang
ortodoks, ia menerima itu sebagai suatu kesatuan perubahan yang terus‐
menerus. Menurut pandangan Jainisme, dunia fenomenal adalah
permanen dan nyata dengan perubahan yang terus‐menerus.
Sebagai hasil dari perkembangan Brahmanisme yang mengajarkan
ajaran nabi yang turun‐temurun, lahirlah filsafat Jainisme. Brahmana yang
merupakan urutan nabi terakhir pada abad ke‐6 SM mendapat julukan
Jin. Para pengikutnya disebut kaum Jainis. Isi pokok dari Jainisme adalah
ajaran tentang etika, yang menunjukkan jalan untuk “membebaskan” jiwa
dari tindasan nafsu.
Tujuan dari filsafat Jainisme adalah “kesucian”. Menurut Jainisme,
sumber dari kearifan bukanlah Tuhan, tetapi kesucian yang khusus,
yang dicapai atas dasar penyempurnaan kesadaran dan dengan jalan
tingkah laku yang dihasilkan oleh kesadaran itu. Sebagai ajaran tentang
etika, Jainisme terutama menelaah masalah tentang penghidupan, tidak
menerima sistem kasta, menerima berlakunya hukum karma.
Jainisme mengajarkan bahwa terdapat sejumlah besar benda yang
terbagi atas yang nyata dan yang tidak nyata; di satu pihak ada yang
tetap atau bersifat substansial, di lain pihak ada yang secara kebetulan
atau bersifat dalam peralihan. Dalam benda‐benda yang tak hidup
terdapat terutama pudgala, yaitu materi. Materi berwujud sebagai unsur‐
unsur yang tak dapat dipecah lagi, atom‐atom, atau sebagai gabungan
atom‐atom. Di samping materi, termasuk ke dalam substansi yang tidak
hidup adalah ruang, waktu, dan syarat‐syarat gerak dan diam.
Menurut Jainisme, ciri utama dari jiwa adalah kesadaran. Jiwa‐jiwa
yang berbeda, memiliki taraf kesadaran yang berbeda pula. Menurut
alamnya, jiwa itu adalah sempurna, kemungkinan untuk itu tak
berhingga, ada kemungkinan jiwa mencapai kesadaran yang tak
berhingga, mencapai kemampuan yang tak berhingga, mencapai
kebahagiaan yang tak berhingga. Jiwa cenderung mengimbangi jasmani.
Bagian material dari jasmani memasok jiwa dengan perangai atau
watak. Pada setiap saat, jiwa adalah hasil dari seluruh hidup masa
lampau: hasil dari semua tindak‐tanduk seseorang, perasaan dan
pemikiran seseorang di masa lampau. Tujuan dari ajaran Jainisme
184 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
adalah “pembebasan” jiwa dari jasmani. Ini bisa dicapai dengan asketisme,
dengan menahan nafsu, menahan diri.
11. Buddhisme
PADA abad ke‐6 dan ke‐5 SM lahirlah agama Buddha, Buddhisme yang
melawan agama Brahmanisme. Buddhisme tersebar di kalangan bawah
dari para pemilik budak di kota‐kota, di mana terdapat pertentangan
klas yang tajam. Klas penguasa mengakui dan mendukung Buddhisme
sesuai dengan kepentingan klasnya. Pada masa itu, di India terdapat
negara pemilik budak yang kuat. Brahmanisme melindungi hak istimewa
kasta pendeta. Dalam Buddhisme terdapat kecenderungan keras anti
kaum pendeta.
Ideologi Buddhisme menuntut ketaatan, ketundukan, dan
kedamaian. Karena itu tidaklah membahayakan bagi klas penguasa.
Buddhisme adalah agama damai. Ajaran Buddhisme didasarkan pada
dongeng tentang pendiri agama—Pangeran Sidharta atau Gautama
Buddha yang hidup pada abad ke‐6 SM.
Dalam perkembangannya Buddhisme terbagi dalam mazhab
Mahayana dan Hinayana. Mahayana menunjukkan sifat berkompromi
terhadap Brahmanisme, sedangkan Hinayana mempertahankan ajaran asli
Buddhisme.
Selanjutnya, Buddhisme pecah menjadi beberapa mazhab. Mazhab
Majhamika mengajarkan bahwa tak ada realitas materi atau jiwa. Semua
yang ada itu hanyalah penglihatan yang berisikan Syunya, yaitu
kekosongan. Mazhab Yogacari mengakui hanya adanya kehidupan jiwa.
Mazhab ketiga mengakui kenyataan yang ada sebagai bersifat material.
Mazhab Waibhasyik mengajarkan bahwa benda‐benda material dunia
tidak sederhana untuk dapat diketahui. Mazhab Sautrantik mengajarkan
bahwa benda‐benda dapat dipahami lewat penyimpulan penelitian.
Buddhisme mengandung filsafat memihak kaum yang ditindas agama Hindu,
melakukan perlawanan terhadap Hinduisme. Tapi Buddhisme juga memihak
dan mengabdi pada klas penguasa, para pemilik budak. Karena itu Buddhisme
diakui dan dilindungi oleh kaum penguasa pada waktu lahirnya.
V — Materialisme India Kuno | 185
12. Aliran Materialis Charvaka
PADA abad ke‐6 SM, muncul aliran filsafat materialis kuno di India
berupa ajaran Lokayata atau Charvaka Lokayata. Aliran ini menentang
adanya dunia yang lain kecuali dunia material. Filsafat Lokayata muncul
pada saat struktur masyarakat kuno India berubah dengan lahirnya
negara klas, dan ketika klas Ksyatria dan klas Brahmana diungguli oleh
klas pedagang; dan kaum pemilik tanah mulai terbagi menjadi kaum
tani merdeka dan para pekerja kerajinan tangan.
Menurut ajaran Lokayata, semua dunia objektif terbentuk dari
unsur pertama yang bersifat material. Kepercayaan pada adanya Tuhan,
jiwa, dan akhirat adalah palsu belaka. Kepercayaan ini tak tercapai oleh
tanggapan persepsi. Benda‐benda alam yang ada, terjadi dari empat
unsur: hawa atau angin, api atau sinar, air, dan tanah. Organisme yang
mati akan kembali menjadi unsur asal semula.
Aliran Charvaka atau Lokayata telah tampil mendahului masa
Buddha dan Mahavira, bersejarah sekitar tiga ribu tahun. Jadi, berbagai
aliran materialisme atau rasionalisme yang menolak adanya jiwa dan
menolak memercayai adanya berbagai jenis jiwa dan roh, terdapat di
India lebih dahulu dari masa Buddha.
Pandangan materialisme Charvaka terdapat dalam buku Charvaka
Darshana. Charvaka menerima pratyaksa‐pramana (cita rasa langsung
lewat syaraf perasa sebagai satu‐satunya pengenalan yang tepat, dan
hanya melalui pengenalan yang demikian seseorang dapat diperiksa
oleh orang lain. Diajarkan: praktyaksha‐mevaikam pramanam, indriya‐
jnanam, jnanam pratyaksham yang berarti “Pandanglah hanya yang adalah
objek langsung dari pengamatan cita rasa, dan letakkan di belakang apa saja
yang tak dapat dirasakan oleh syaraf perasa.”
Sikap Charvaka sangat keras terhadap Veda terutama mengenai
Mimamsa, yaitu menolak sepenuhnya ungkapan‐ungkapan tradisional,
dan menyebut itu hanyalah desas‐desus, yang harus diabaikan saja dan
menganggapnya omong kosong. “Veda adalah dipupur dengan tiga
kesalahan: ketidakbenaran, saling berkontradiksi, dan tautologi (permainan
kata‐kata).” Maka mereka yang menamakan dirinya pengkhotbah Veda
adalah saling‐merusak belaka, kewenangan jmina‐kanda dicampakkan
oleh mereka yang mempertahankan karma‐kanda, dan akhirnya,
186 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pengkhotbah Veda itu adalah hanya bangsat‐bangsat yang tak ada
gunanya.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 187
VI
Filsafat Yunani Kuno:
dari Thales sampai Lukretius
1. Thales
Pada abad ke‐7 sampai ke‐6 SM, filsuf materialis Yunani kuno, Thales185
dari Miletus 186 (kira‐kira 624—546 SM) berpendapat bahwa segala‐
galanya yang ada ini berasal dari air. Bumi ini sendiri berada terapung
di atas air, dikelilingi dari semua arah oleh lautan. Bumi adalah
berbentuk piring yang terapung di atas air. Air dan semua yang terjadi
dari air tidaklah mati, adalah hidup. Thales yang menemukan sifat besi
berani menarik batu yang mengandung zat besi, menganggap benda‐
benda itu memiliki jiwa. Thales berusaha mencoba melukiskan struktur
alam raya, menggambarkan letak dan saling hubungan benda‐benda
langit dalam hubungan terhadap bumi seperti bulan, matahari, dan
bintang‐bintang. Yang dianggap paling jauh dari bumi adalah matahari.
2. Anaximander
BERSAMAAN waktu dengan Thales, materialis Anaximander dari
185 Thales sering berkelana ke banyak negeri termasuk Mesir. Di sana ia pernah menghitung tinggi sebuah piramida dengan mengukur bayangannya pada saat yang tepat ketika panjang bayangannya sendiri sama dengan tinggi badannya. Thales di-kisahkan pernah meramalkan secara tepat terjadinya gerhana matahari pada 585 SM. 186 Sebuah koloni Yunani di Asia Kecil.
188 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Miletus, kira‐kira tahun 610—546 SM, berpendapat bahwa yang menjadi
sumber segala‐galanya ini bukanlah air tapi apeiron. Apeiron tak
mempunyai bentuk, tak mempunyai batas. Apeiron mengeluarkan
sesuatu yang saling bertentangan yang menghasilkan panas dan dingin
yang merupakan asal‐usul semua benda. Anaximander menganggap
bumi bagaikan berbentuk irisan tabung, terletak di tengah‐tengah alam
dan tidak bergerak. Makhluk hidup dan manusia terjadi dari zat dasar
laut yang selalu berubah bentuknya dalam proses peralihan menjadi
daratan. Semua yang berasal dari zat yang tak berbatas haruslah
kembali menjadi zat asalnya. Karena itu dunia terbentuk dan akan
hancur sendiri.
3. Anaximenes
ANAXIMENES dari Miletus, kira‐kira tahun 588—525 SM, mempunyai
pandangan baru mengenai alam. Ia berpendapat bahwa udara, hawa,
adalah zat pertama, zat asal segala‐galanya. Anaximenes mengajukan
gagasan tentang gerak saling bertentangan berupa proses merenggang
dan menciut, hingga dari hawa terbentuk segala‐galanya: air, tanah,
batu, dan api. Hawa baginya adalah napas yang memeluk seluruh alam.
Anaximenes menampilkan pikiran tentang proses‐proses kontradiksi
berupa merenggang, mengembang, menipis dan menciut, menciut dan
mengentalnya udaralah yang melahirkan semua benda: air, bumi, batu,
api.
Anaximenes mengajarkan tentang berlangsungnya perubahan
gejala alam yang terus‐menerus, berupa merenggang dan menciutnya
hawa. Dengan merenggang, udara menjadi api; dengan menciut,
mengental berubah jadi angin, kemudian jadi awan, lebih lanjut lagi
menjadi air, tanah dan akhirnya menjadi batu. Menurut alamnya, udara
yang melahirkan uap atau awan gelap adalah lahir dari ruang hampa.
Bumi adalah berbentuk piring datar yang didukung oleh udara,
bagaikan bidang rata berbentuk piring api bersinar. Anaximenes
menyempurnakan ajaran Anaximander tentang tata letak ruang alam:
bulan, matahari, dan bintang‐bintang.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 189
4. Herakleitos
PENGANUT materialisme dan dialektika Yunani kuno terkemuka
adalah Herakleitos187 dari Ephesos, kira‐kira 530—470 SM. Menurut
Herakleitos, dasar material asal‐usul segala‐gala gejala alam adalah api.
Gejala‐gejala alam berubah menurut garis melingkar. “Segala‐galanya
berubah jadi api, dan api jadi segala‐galanya, sebagaimana emas jadi
barang dagangan dan barang dagangan jadi emas.“
Api itu hidup dan tanah mati. Perubahan alam berlangsung
menurut arah: tanah—air—udara—api. Herakleitos menyebut arah ini
adalah “jalan ke atas”. Dan arah sebaliknya adalah “jalan ke bawah”.
Herakleitos mengajarkan, “Segala‐galanya mengalir, segala‐galanya berubah,
tak ada yang tanpa gerak.” Dialektika spontan Herakleitos mengajarkan
pentingnya peranan segi‐segi yang bertentangan dalam semua
perubahan alam, tentang perpindahan segi‐segi yang bertentangan dari
yang satu menjadi yang lain, dan tentang perjuangan sesama mereka.
Herakleitos terutama menekankan pentingnya peralihan gejala‐gejala
alam menjadi segi‐seginya yang berlawanan. “Bagi kita, hidup dan mati
adalah sama; demikian pula bangun atau tidur, muda atau tua.
Bukankah itu saling berganti jadi sebaliknya; yang berubah itu, ya itu
juga. Dingin menjadi panas, panas jadi dingin, lembab jadi kering,
kering menjadi lembab. Saling hubungan antara keseluruhan dan satu
bagian, antara memusat dan memencar, antara sepakat dan berbeda
pendapat; dari jumlah yang banyak menjadi satu, dari satu menjadi
berjumlah banyak. Dari bermusuhan jadi bersahabat, dari cerai‐berai
jadi bersatu selaras yang baik; .... dan semuanya berlangsung lewat
perjuangan.”
Dari pandangan‐pandangan Herakleitos ini sudah tercermin inti
dialektika terbaginya satu kesatuan menjadi dua dalam proses saling
menyisihkan, yaitu hubungan yang tak terpisahkan dari segi‐segi yang
saling bertentangan, tentang perjuangan dan persatuan sesama mereka.
187 Berasal dari Ephesus di Asia Kecil. Rekan sezaman Parmenides yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada pasti telah selalu ada, tidak ada sesuatu yang dapat muncul dari ketiadaan dan tidak ada sesuatu pun yang ada dapat menjadi tiada. Terdapat perbedaan antara Parmenides dengan Heraklitos di mana akal Permenides menegaskan bahwa tidak ada sesuatu yang dapat berubah, sedangkan persepsi Herakleitos menegaskan bahwa alam selalu berubah.
190 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Herakleitos berjuang melawan pikiran‐pikiran kuno yang tak mengakui
adanya segi‐segi yang bertentangan dalam alam raya.
5. Anaxagoras
ANAXAGORAS dari Klazomenai, kira‐kira tahun 500—428 SM adalah
filsuf alam yang berkecenderungan materialis. Di bidang penelitian
alam dan matematika, Anaxagoras menampilkan pengertian “bilangan
kecil tak berhingga” dan “bilangan besar tak berhingga”. Anaxagoras
mengajarkan, bahwa “homoemerai” adalah sesuatu yang ada tak
berhingga, yang menjadi unsur asal segala‐galanya. Anaxagoras
berpendapat bahwa matahari adalah benda material. Sinar bulan
bukanlah berasal dari bulan itu sendiri, tapi adalah pantulan sinar dari
matahari. Gerhana bulan sudah diterangkan oleh Anaxagoras sebagai
terjadinya bayangan bumi pada bulan yang berasal dari sinar matahari.
Pandangan‐pandangan materialistis Anaxagoras ini bertentangan
dengan kepercayaan para penganut agama dan kaum pemilik budak
yang berkuasa waktu itu. Karena pandangannya ini, Anaxagoras
dihukum dan dibuang ke luar negeri.188
6. Demokritos
KIRA‐KIRA tahun 460—370 SM, Demokritos berasal dari kota kecil
Abdera di pantai utara Aegea mengembangkan ajaran Leukippos
mengenai atom,189 zat terkecil yang tak dapat dibagi lagi. Demokritos
188 Anaxagoras dituduh ateis dan akhirnya dipaksa meninggalkan kota disebabkan ia mengatakan bahwa matahari bukanlah dewa, melainkan sebuah batu merah panas, yang lebih besar daripada jazirah Peloponesia. 189 Kata A-tom berarti “tak dapat dipotong”. Kini, kita dapat menyatakan bahwa teori atom Demokritos kurang lebih benar. Alam memang tersusun dari “atom-atom” yang berbeda yang menyatu dan terpisah lagi. Namun pada zaman sekarang ini, para ilmuwan telah menemukan bahwa atom dapat dipecah menjadi “partikel elementer” yang lebih kecil lagi yaitu proton, neutron, dan elektron. Demokritos tidak percaya dengan yang dinamakan “jiwa” atau “kekuatan” yang dapat ikut campur dalam proses alam. Satu-satunya yang ada adalah atom dan ruang hampa. Sehingga pantas apabila ia disebut sebagai seorang materialis.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 191
juga berpendapat bahwa semua yang ada dalam alam terdiri dari atom‐
atom yang tak bisa dibagi lagi. Atom‐atom terdapat dalam ruang hampa.
Ruang hampa adalah riil, sebagaimana atom‐atom. Atom‐atom dan
ruang hampa mempunyai sifat saling mengucilkan yang mutlak. Atom
dan ruang hampa adalah asal segala‐galanya dalam alam. Atom adalah
zat terkecil yang tak dapat dibagi lagi, yang abadi, tak berubah, selalu
dalam keadaan bergerak, satu sama lain berbeda dalam bentuk, jumlah,
posisi dan urutan susunan. Adanya suara, warna, rasa, dan lain‐lain,
adalah bersyarat, tidaklah merupakan benda alam sendiri. Dalam
pandangan ini lahirlah ajaran tentang kualitas pertama dan kualitas
kedua benda‐benda. Dari gabungan atom‐atom terbentuklah benda‐
benda, perpecahan atau penguraian atom‐atom menyebabkan
lenyapnya benda‐benda. Atom‐atom yang tak berhingga jumlahnya
bergerak dalam ruang hampa yang tak berhingga, yang berpindah ke
arah yang bermacam‐macam, kadang‐kadang saling bertabrakan sesama
mereka, menimbulkan pusaran atom‐atom. Dengan demikianlah terjadi
lahir dan lenyapnya benda‐benda alam yang tak berhingga banyaknya,
yang tak ada hubungannya dengan ciptaan Tuhan, yang lahir dan
lenyap secara alamiah menurut keharusan. Demokritos menentang soal
kebetulan, menganggapnya sebagai suatu ketidaktahuan. Demokritos
menghasilkan karya‐karya tulis mengenai filosofi, logika, psikologi,
etika, politik, pedagogi, teori kesenian, ilmu bahasa, matematika, fisika
dan kosmologi.
7. Socrates
FILSUF dan ahli pikir terkemuka dari Athena, 469—399 SM, adalah
Socrates dengan profesi pemahat patung. Socrates adalah penganut
idealisme objektif. Socrates menjadi terkenal bukan lewat karya‐karya
tulisnya, akan tetapi lewat karya murid‐muridnya, Xenofon dan Plato,
dan kemudian Aristoteles. Socrates menentang pemujaan atas Tuhan
yang dianut para penguasa ketika itu. Karena itu ia dibawa ke
pengadilan pada Mei 399 SM, didakwa menghasut generasi muda
dengan ajaran yang menyesatkan, hingga dijatuhi hukuman mati
192 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dengan minum racun.190
Socrates menentang filsafat alam yang waktu itu sudah
berkembang. Menurut Socrates, yang dipelajari dalam filsafat adalah
jiwa manusia “saya”. Baginya, Tuhan adalah pengatur dunia yang
tertinggi. Socrates menentang pandangan dunia materialis. Ia
menganggap pengenalan atas alam secara ilmiah adalah tak berguna.
Baginya, dunia material tak berguna bagi filsafat. Ia menegasi hukum
alamiah gejala‐gejala alam. Etika menempati kedudukan sentral dalam
filsafat Socrates. Etikanya mengandung ciri idealisme‐religius. Menurut
Socrates, hakikat moral haruslah datang dari pengakuan atas jiwa
manusia yang merupakan asal‐usul manusia dalam alam. Etikanya yang
idealistis berkembang menjadi teologi—ajaran tentang Tuhan, tentang
jiwa dunia. Menurut Socrates, kesusilaan hanyalah dimiliki sejumlah
kecil manusia tertentu. Socrates menolak demokrasi yang dianggapnya
sebagai “kekuasaan hitam”. Baginya, kekuasaan dalam negara haruslah
ada di tangan kaum aristokrat yang dianggapnya sebagai pemilik
kesusilaan. Pandangan‐pandangan politik dan filsafat Socrates tidak
diajukan secara tertulis, tetapi diajarkan secara lisan atau dikemukakan
dalam pertukaran pendapat.
Metodologi Socrates adalah dialektika idealis. Ia menggunakan
seni menemukan kontradiksi‐kontradiksi dalam pandangan‐pandangan
para penentangnya dengan cara mempertentangkan pandangan‐
pandangan itu. Metodenya terdiri dari empat bagian: 1. Ironi;
2. Mayeuftika, 3. Induksi; dan 4. Definisi.
Mayeuftika, bahasa Yunani yang arti harfiahnya adalah cara
dukun beranak, seni melahirkan, cara membuka pengetahuan yang
tertutup pada seseorang dengan bantuan menggunakan pertanyaan‐
pertanyaan cerdik. Berkat mayeuftika, kesadaran menjadi meningkat
190 Socrates selalu mengatakan bahwa ia menyimpan “suara ilahi” dalam dirinya. Socrates mengajukan protes, misalnya, terhadap tindakan menghukum mati orang. Ia juga menolak untuk memberi informasi kepada musuh-musuh politiknya. Akhirnya ia dihukum mati dengan dakwaan “memperkenalkan dewa-dewa baru dan merusak kaum muda” serta tidak memercayai dewa-dewa yang telah diterima. Mayoritas tipis yang terdiri dari 500 orang, akhirnya memutuskan Socrates bersalah. Bisa saja waktu itu ia mengajukan kelonggaran sehingga hanya dihukum untuk meninggalkan Athena, tetapi ia lebih menghargai hati nurani dan kebenarannya. Ia meyakinkan juri bahwa tindakannya dilakukan untuk menyelamatkan negara, namun ia tetap dihukum untuk minum racun cemara.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 193
atau beralih dari kesadaran filsafat (“Saya tahu, bahwa tak ada yang
saya ketahui”) menjadi lahirnya kebenaran sebagai akibat
perkembangan kesadaran sendiri. Boleh dikatakan: “Usahakanlah
sendiri mengenal hal itu.”
Metode Socrates pertama‐tama adalah dengan cara bertanya,
yaitu bertujuan membawa lawannya menjadi berkontradiksi terhadap
dirinya sendiri; dan seterusnya bermuara pada pengakuan atas hakikat
ketidaktahuannya. Inilah metode ironi dari Socrates.
8. Aristoteles
FILSUF dan ahli pikir terkemuka Aristoteles191 dari Stageira, tahun
384—322 SM, dalam kumpulan karyanya mengakui objektivitas
eksistensi dunia material. Menurut Aristoteles, alam adalah himpunan
benda‐benda yang mempunyai sifat material, yang berada dalam gerak
serta dalam perubahan yang tak henti‐hentinya. Dunia material ada dan
akan selalu ada untuk selama‐lamanya. Untuk menerangkan hal ini, tak
perlu menggunakan gagasan “ide” menurut khayalan Plato. Pengenalan
atas kebenaran, pertama‐tama adalah pengenalan atas gejala‐gejala
alam; hasil perasaan berupa gambaran dan pencerminan dari benda‐
benda riil yang nyata. Dengan demikian, Aristoteles mengkritik Plato,
yaitu mengkritik gagasan “ide” dari Plato. Ini berarti kritik atas
idealisme secara menyeluruh.
Aristoteles mengajarkan teori universalitas, teori keumuman.
Dalam ilmu bahasa terdapat kata benda dan kata sifat. Kata benda
dipakai untuk menyebut suatu benda atau seseorang. “matahari”,
“bulan”, “Perancis”, “Napoleon”, adalah kata yang menunjukkan
sesuatu yang khusus. Kata‐kata ini hanya berlaku buat mereka saja, tak
bisa dipergunakan terhadap yang lain. Lain halnya dengan kata
“kucing”, “anjing”, “orang”. Kata‐kata ini bisa dipakai tidak hanya
tertentu terhadap seekor kucing, seekor anjing, satu orang, dan lain‐lain,
tapi bisa dipakai terhadap umumnya kucing, anjing, orang lainnya. Ini
191 Aristoteles menimba ilmu di Akademi Plato. Pada saat itu, Plato berusia 61 tahun. Ayah Aristoteles adalah seorang dokter yang dihormati. Aristoteles bukan hanya filsuf Yunani besar yang terakhir tetapi juga sebagai ahli biologi besar Eropa yang pertama.
194 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mempunyai sifat keumuman. Demikian pula halnya dengan kata sifat
“putih”, “keras”, “bundar”, dan lain‐lain. Aristoteles menyatakan,
bahwa yang dimaksud dengan “keumuman” adalah satu sifat yang
dimiliki oleh banyak objek. Maksud ”kekhususan” adalah sifat yang
dimiliki satu objek tertentu. Kata benda seperti ”orang”, “manusia”,
menunjukkan satu hakikat, sedangkan kata sifat “kemanusiaan” adalah
menunjukkan sesuatu yang umum. Aristoteles menyatakan bahwa
adalah tidak mungkin nama suatu substansi memiliki sifat keumuman.
Sebab, substansi setiap barang adalah khusus bagi barang itu, yang tak
dimiliki oleh yang lainnya, sedangkan yang bersifat keumuman adalah
sifat yang dimiliki juga oleh yang lain. Inti pemikiran ini adalah: Yang
bersifat keumuman tak bisa terdapat dengan sendirinya, tapi hanya
terdapat di dalam benda‐benda khusus. Keumuman terdapat dalam
kekhususan.
Aristoteles menyusun teori sebab‐musabab mengenai eksistensi
dan perkembangan materi. Dan menyatakan bahwa hakikat (substansi)
materi terdapat pada benda itu sendiri. Segala sesuatu yang terjadi tentu
mempunyai sebab‐musabab. Aristoteles mengemukakan empat sebab‐
musabab mengenai perkembangan materi. 1. sebab‐musabab material,
yaitu materi; 2. sebab‐musabab formal, yaitu bentuk; 3. sebab‐musabab
yang menghasilkan; 4. sebab‐musabab akhir atau tujuan.
Aristoteles menjelaskan teorinya dengan bantuan contoh sebagai
berikut: Pertama, seorang arsitek yang membangun gedung dan seni
arsitektur adalah sebab asal‐usul pembangunan gedung; kedua, rencana
bangunan adalah sebab asal‐usul bentuk bangunan; ketiga, bahan
bangunan adalah sebab asal‐usul materi gedung; keempat, gedung yang
telah selesai dibangun adalah sebab akhir, yaitu tujuan.
Sebab‐musabab yang terjadi adalah menentukan bagaimana dan
apa yang dihasilkan. Sebab‐musabab yang berikutnya adalah sumber, dari
mana datang perubahan pertama, perubahan asal. Misalnya, manusia
yang memberi nasihat adalah sebab‐musabab asal pikiran untuk
bertindak; bapak adalah sebab‐musabab lahirnya anak. Secara umum, apa
yang dilakukan adalah sebab‐musabab dari yang dihasilkan; dan apa yang
diubah adalah sebab‐musabab sesuatu yang berubah. Sebab‐musabab
“terakhir” berupa tujuan, adalah “demi apa”, “untuk apa”. Orang
berjalan‐jalan adalah untuk kesehatan. Kesehatan adalah tujuan, adalah
sebab‐musabab dari berjalan‐jalan.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 195
Dalam penjelasan Aristoteles ini terdapat kecenderungan
dialektis dari hubungan materi dan bentuk yang ditinjau dalam satu
kesatuan. Aristoteles mengembangkan gagasan tentang saling
hubungan materi dan bentuk, gagasan tentang perkembangan gejala alam
sebagai proses pembentukan materi.
Aristoteles memandang alam dalam geraknya, dalam
perkembangannya. Perkembangan dipahaminya sebagai peralihan
kemungkinan menjadi kenyataan. Aristoteles menyamakan perkembangan
alam dengan aktivitas manusia, memandang alam secara antropomorfis.
Materi dan bentuk dipandang Aristoteles sebagai sesuatu yang
menerangkan dari mana terjadinya benda‐benda. Materi adalah
“perasan terakhir” dari setiap benda. Menurut Aristoteles, untuk bisa
berkembang, materi hanya memerlukan bentuk. Justru oleh karena
pengaruh bentuk‐bentuk ia jadi berubah menjadi kenyataan. Aristoteles
mengajarkan, bahwa bentuk adalah inti. Jiwa adalah bentuk dari badan.
Bentuk bukanlah berarti sekadar penampilan rupa, atau potongan
badan. Bentuk merupakan bagian teleologis dari materi. Bentuk
mempunyai arti substansial. Jika seorang membikin bola tembaga, maka
materi dan bentuk sudah ada. Yang dikerjakan orang itu hanyalah
menggabungkannya. Orang itu tidak membikin bentuk, juga tidak
membikin tembaga. Penggabungan yang dilakukannya menghasilkan
bola tembaga.
Aristoteles berpendapat, tidak semua benda mempunyai materi.
Dan tidak ada benda‐benda yang abadi. Benda‐benda ini tak
mempunyai materi, kecuali benda‐benda yang bergerak di cakrawala
angkasa raya. Benda‐benda bertambah banyak dengan memperoleh
bentuk. Materi tanpa bentuk berarti hanyalah kemampuan, potensialitas.
Menurut pandangan Aristoteles, bentuk adalah substansi (hakikat,
inti) yang beradanya terlepas dari materi. Bentuk adalah berbeda dengan
keumuman, tapi mempunyai ciri yang sama. Bentuk adalah lebih nyata
dari materi. Bentuk menurut gagasan Aristoteles adalah seperti Ide
gagasan Plato, yaitu adalah syarat bagi eksistensi materi. Ajaran
Aristoteles tentang materi dan bentuk adalah berhubungan erat dengan
pembedaan antara kemampuan dan keadaan sesungguhnya, antara
potensialitas dan aktualitas. Materi yang paling sederhana, dipahami
sebagai satu bentuk dari kemampuan, dari potensialitas. Semua
perubahan kita sebut “evolusi” dalam arti bahwa sesudah perubahan
196 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
benda yang dipersoalkan memiliki bentuk lebih banyak dari semula.
Yang memiliki bentuk lebih banyak berarti adalah aktualitas yang lebih
aktif. Tuhan adalah bentuk yang murni dan aktualitas yang murni,
karena itu pada‐Nya tak terdapat perubahan.
Menurut Aristoteles, ada tiga macam substansi: 1. yang dapat
diamati, diraba, dan dapat dihancurkan seperti tumbuh‐tumbuhan dan
binatang; 2. yang dapat diamati tapi tak dapat dimusnahkan, seperti
benda‐benda langit; 3. yang tak dapat diamati dan tak dapat
dihancurkan, seperti jiwa manusia dan juga Tuhan. Bagi Aristoteles,
Tuhan adalah sebab‐musabab pertama substansi dan aktualitas, yang tak
bisa digerakkan, adalah yang abadi.
Mengenai jiwa, Aristoteles berpendapat bahwa jiwa adalah terikat
pada jasad, dan perpindahan jiwa, reinkarnasi, adalah tak masuk akal.
Jiwa dan jasad adalah berhubungan erat sebagaimana halnya bentuk dan
materi. Jiwa adalah substansi dalam arti bentuk dari benda yang material
yang memiliki kemampuan di dalam dirinya. Jiwa adalah sebab‐
musabab terakhir dari benda.
Aristoteles menganggap materi adalah pasif dan tak berbentuk.
Bentuk adalah aktif, adalah asal‐muasal yang aktif. Filsafat Aristoteles
yang khas ini, yang mempertentangkan bentuk dengan materi, dan
mengubah bentuk menjadi hakikat semua benda, adalah salah satu contoh
yang jelas‐jemelas membawa mundur pemikiran Yunani kuno dari
materialisme ke idealisme. Aristoteles mengajarkan pentingnya tentang
hakikat. Yang dimaksud itu tak bisa disamakan dengan keumuman.
Menurut Aristoteles, “hakikatmu adalah bagaimana sifatmu
sesungguhnya.”
Menurut teori pengenalan Aristoteles, perasaan adalah bentuk
persepsi tanpa materi. Aristoteles mengakui perasaan sebagai
pencerminan bentuk dari materi. Di samping itu, ia juga mencatat
perasaan sebagai sumber pemikiran teoretis. Di sini Aristoteles
menganut sensualisme yang materialistis. Marx dan Lenin menilai
tinggi Aristoteles sebagai ahli pikir besar yang ensiklopedis. Filsafat
Aristoteles adalah goyang‐gemoyang antara materialisme dan idealisme.
Salah satu dari bagian filsafat Aristoteles yang sangat berharga
adalah ajarannya mengenai bermacam jenis, bentuk gerak dan
perkembangan. Aristoteles mengungkap enam jenis gerak. Secara
umum, gerak dipahami sebagai perubahan.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 197
Gerak terjadi dalam: 1. peristiwa kelahiran, munculnya sesuatu
yang baru; 2. peristiwa kehancuran, rusak atau lenyapnya sesuatu;
3. perubahan dari keadaan yang satu ke keadaan yang lain; 4. peristiwa
pertambahan; 5. peristiwa pengurangan; 6. peristiwa perpindahan,
perubahan kedudukan.
Teori tentang gerak ajaran Aristoteles adalah hasil yang bernilai
tinggi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan Yunani kuno. Herakleitos
dan Demokritos belum lagi membedakan macam‐macam jenis gerak.
Dari para filsuf Yunani kuno, Aristoteles adalah yang pertama
menguraikan hal ini.
Aristoteles secara mendalam menggarap masalah dialektika dan
logika. Aristoteles membela prinsip‐prinsip pengetahuan ilmiah dalam
menggarap masalah logika. Logika Aristoteles didasarkan pada
membedakan secara tajam antara kebenaran dan kepalsuan. Ia
menyatakan: Kebenaran adalah satunya pikiran dengan kenyataan. Di sini
Aristoteles adalah penganut materialisme sejati. Dasar utama dari
pikiran logika menurut Aristoteles adalah tak diperkenankannya
kontradiksi. Katanya: “Adalah tidak mungkin yang satu dengan
lawannya itu juga terdapat dalam satu pikiran.” Dengan prinsip
mengeluarkan yang ketiga, “Jika sekarang terdapat kepalsuan, sebagai
penegasian kebenaran, maka tak mungkin semuanya palsu, atau salah
satu dari dua yang berkontradiksi haruslah benar.” Aristoteles
memahami logika sebagai teori pembuktian, di mana dibedakan dua
pihak; hasilnya ialah: yang umum adalah khusus (induksi) dan hasil
yang khusus dari keumuman.
Aristoteles berjasa dalam mengungkap dan menganalisa masalah
kategori. Aristoteles mengajukan sepuluh macam klasifikasi kategori:
1. hakikat—dasar yang terdapat pada semua benda lainnya (misalnya
manusia, kuda); 2. kuantitas (panjang, dua atau tiga meter); 3. kualitas
(putih, hitam); 4. perbandingan (besar, kecil); 5. tempat (di pasar);
6. waktu (bilamana, tahun yang lalu); 7. kedudukan (tegak, tidur);
8. pemilikan (sepatu, senjata): 9. tindakan; 10. ketakutan. Aristoteles
berusaha menetapkan kategori supaya tiap‐tiapnya berhubungan
dengan yang lainnya dan untuk memberi kesempatan mengenal
sepenuhnya kehidupan.
Aristoteles menjadikan masalah hukum‐hukum berpikir manusia
sebagai objek studi khusus dan terperinci. Menurut Engels, “para filsuf
198 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Yunani kuno semua lahir sebagai dialektikus alamiah, dan Aristoteles,
intelektual yang paling ensiklopedis di antara mereka, sudah
menganalisa bentuk‐bentuk yang paling pokok dari pikiran dialektis.”192
Menurut Aristoteles, matematika diserap dari semua gejala alam
yang banyak segi dengan terpusat pada masalah kuantitas. Lenin
mencatat bahwa pandangan Aristoteles ini mengandung dialektika. Para
ahli matematika menghitung ukuran panas, berat, dan lain‐lain
“kontradiksi‐kontradiksi perasaan” dan hanya mengenai “yang bersifat
kuantitas” ... tepat seperti juga halnya dalam hubungan dengan segala
yang ada. Lenin menulis: “Di sini, terdapat pandangan materialisme
dialektis, tapi secara kebetulan, tidak konsekuen, tidak dikembangkan,
hanya sepintas lalu saja.”193
Ciri ensiklopedis Aristoteles dapat dilihat dari kumpulan
karyanya yang kaya raya, antara lain: Fisika, Tentang Kelahiran dan
Kehancuran, Tentang Cakrawala, Meteorologi, Sejarah Makhluk Hidup,
Tentang Kekhususan Makhluk Hidup, Tentang Lahirnya Makhluk Hidup.
Dalam pandangan‐pandangan filsafat alam, Aristoteles tampil dengan
menggunakan dialektika. Pandangannya tidak konsekuen, berpindah‐
pindah, goyang‐gemoyang, kadang‐kadang materialisme dan kadang‐
kadang idealisme.
9. Epikurus
EPIKURUS (341—270 SM) dari Pulau Samos adalah filsuf yang
melakukan pendidikan ateisme dan berusaha mengembangkan dasar‐
dasar materialisme. Menurut Epikurus, dasar dari semua yang ada
dalam alam adalah bagian‐bagian materi yang tak dapat dibagi lagi,
yaitu atom‐atom yang bergerak dalam ruang hampa. Semua gejala alam
adalah terjadi dari perpaduan, kombinasi atom‐atom yang bergerak
dalam ruang hampa. Epikurus mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu
pun yang berasal dari yang tidak ada, tidak ada sesuatu pun yang
192 Friedrich Engels, Anti-Dühring, edisi bahasa Inggris, h.32, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1954. 193 V.I. Lenin: Fiilosofski Tyedradhi—Kumpulan Karya, edisi Rusia, cetakan V, Jilid XXIX, h.328, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Penerbit Negara Literatur Politik), Moskwa, 1963.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 199
terbentuk dari yang tidak ada.
Dalam alam raya, tidak satu pun bisa masuk ke dalam alam dan
melangsungkan perubahan terhadapnya. Dengan pandangan ini,
ditegakkanlah gagasan tentang keabadian dan tentang tak
terhancurkannya materi. Epikurus mengajarkan bahwa atom tak bisa
dipecah dan tak dapat diubah. Atom‐atom memiliki bermacam‐ragam
bentuk. Dengan demikian terjadilah gejala‐gejala alam yang tak
terhingga jumlahnya.
Epikurus sudah mengajarkan tentang berat atom dan volume
atom. Menurut Epikurus, benda‐benda alam yang terdiri dari atom‐
atom, memiliki warna, bau, rasa, dan sifat‐sifat lain yang dapat diamati
manusia. Ajaran Epikurus mengenai atom menunjukkan tingkat
kemajuan materialisme yang sudah tercapai oleh masyarakat Yunani
kuno masa itu. Ini memperkuat kedudukan ilmu pengetahuan atas
pandangan‐pandangan pemuja kekuasaan Tuhan yang menggerakkan
alam.
Ajarannya tentang gerak atom yang spontan merupakan dasar
penggunaan dialektika spontan tentang sumber‐dalam dari gerak
materi. Atom‐atom yang tak terhingga jumlahnya dalam alam raya
bergerak secara spontan. Gerak atom yang sembarangan menimbulkan
perubahan sudut pada arah gerak yang semula mengikuti garis lurus,
menjadi garis melengkung dan berlangsungnya pemisahan‐pemisahan
atom.
Dari ajaran Epikurus tentang pemisahan atom‐atom secara
spontan, lahirlah pandangan tentang sifat dialektis gerak materi.
Bersamaan dengan itu, dicampakkanlah pemahaman yang fatal tentang
hukum‐hukum alam. Menurut Epikurus, keharusan hukum alam
tidaklah berarti bahwa manusia adalah mainan nasib. Epikurus berkata,
“Janganlah memaksa alam, tunduklah padanya; kita harus tunduk
kepadanya dan menggunakan kemauannya, demikianlah yang wajar,
alamiah...”
Menurut Epikurus, tugas filsuf adalah memberikan teori umum
tentang alam, terutama tentang gejala‐gejala astronomi, yang berlaku
dalam fisika atom. Epikurus menganggap pandangan‐pandangan
astronomi Plato tidak ilmiah.
Kaum materialis Yunani kuno memperkuat ajaran kosmologi
yang menyatakan bahwa alam raya adalah abadi dan tak berhingga.
200 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Bertolak dari prinsip‐prinsip teori pengenalan Epikurus, maka diakuilah
pengaruh sentuhan bayangan benda‐benda alam atas alat‐alat perasa
manusia. Dari pandangan mata, penglihatan adalah hasil bayangan dari
permukaan benda yang menyentuh mata manusia. Demikian pula
halnya mengenai pendengaran, penciuman, perasaan lainnya. Pemikiran
yang bersifat teori adalah hasil pengolahan lebih lanjut dari perasaan.
Mengenai kebenaran dari pengenalan, Epikurus menolak semua
keragu‐raguan dalam kemungkinan mengenal kebenaran objektif.
Epikurus menolak semua campur‐tangan Tuhan terhadap
perkembangan alam, terhadap nasib dunia dan nasib manusia. Menurut
pengertiannya, Tuhan tak mempunyai hubungan apa pun terhadap
alam dan manusia. Etika Epikurus mengandung ciri ateisme, secara
sadar diarahkan menentang takhayul keagamaan.
Menurut Epikurus, tujuan hidup adalah kesenangan,
kebahagiaan. Yang dimaksud dengan kebahagiaan adalah tak adanya
penderitaan. Supaya bisa bebas menikmati kebahagiaan hidup duniawi,
manusia haruslah berjuang melawan ketakutan, yaitu melawan
ketakutan akan mati dan ketakutan menghadapi Tuhan. Epikurus
menyatakan, “Demikianlah, jika kita berbicara bahwa kebahagiaan
adalah tujuan terakhir, maka tentu yang kita maksudkan bukanlah
kebahagiaan cabul buaya darat dan bukanlah kenikmatan syaraf perasa
manusia sebagaimana yang dipikirkan oleh sementara orang yang tak
tahu, atau oleh mereka yang tak memahami secara tepat, tetapi yang
kita inginkan adalah kebebasan dari penderitaan jasmaniah dan
kebebasan dari kecemasan rohaniah.”194
Menurut Epikurus, jalan bagi manusia mencapai kebahagiaan
adalah harus melenyapkan semua ketakutan pada campur tangan
Tuhan atas penghidupan manusia, ketakutan menghadapi kematian,
dan ketakutan menghadapi dunia akhirat. Epikurus membuktikan
bahwa semua ketakutan itu tak ada dasarnya, karena Tuhan tak bisa
campur tangan atas kehidupan manusia. Tuhan tidak hidup di alam
kita, tapi hidup dalam sekejap waktu pada pikiran manusia.
194 Epikurus: “Surat kepada Menoikeus”, dalam buku Matyerialisthi Dryevnyei Gryetskii – Kaum Materialis Yunani Kuno, h.211—212; dan Philosophen Lesebuch, Band 1, h.230, Dietz Verlag Berlin, 1988.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 201
10. Titus Lukretius Carus
TITUS Lukretius Carus (kira‐kira 99—55 SM) adalah filsuf materialis
yang mengembangkan pandangan‐pandangan materialisme Leukippos,
Demokritos, dan Epikurus. Lukretius adalah seorang ateis yang militan.
Ia ingin membebaskan manusia dari kegelapan tradisi keagamaan Roma
yang penuh kekerasan. Lukretius berusaha dengan sistematis
mengajarkan pemahaman tentang alam secara materialistis. Dalam
ajarannya mengenai alam, Lukretius berbuat menuruti pandangan
Epikurus. Lukretius mengajarkan bahwa tidak satu pun bisa lahir dari
sesuatu yang tak ada. Jika benda‐benda bisa lahir dari sesuatu yang tak
ada, maka tak perlu adanya keluarga untuk melahirkan turunan, maka
orang bisa muncul berasal dari lautan, ikan dari tanah, ternak besar dan
kecil muncul dari langit, maka dari setiap pohon akan muncul buah‐
buahan apa saja.
Lukretius mengajarkan tentang keabadian materi. Lukretius
menyatakan bahwa di dunia tak ada kehancuran sepenuhnya, tetapi
hanyalah berlangsung penguraian benda‐benda yang rumit atas bagian‐
bagiannya, unsur‐unsur terkecil, zat asli yang tak bisa dilihat dengan
mata karena kecilnya. Kita tak bisa melihat arus udara yang terjadi di
kala badai, tetapi bisa melihat akibat kerusakan yang ditimbulkannya.
Di pinggir laut, pakaian menjadi lembab, di bawah sinar matahari ia
menjadi kering, tapi kita tidak melihat muncul dan lenyapnya zat cairan
yang membikin lembab itu.
Lukretius mengajarkan bahwa yang ada di alam raya hanyalah
benda dan ruang hampa. Pori‐pori pada benda dan berat jenis benda
yang berbeda‐beda menunjukkan adanya ruang hampa. Semua yang
lain yang kita kenal adalah sifat‐sifat, ciri‐ciri benda atau gejala‐
gejalanya. Sifat‐sifat benda ada secara objektif, tapi bukanlah ada
dengan berdiri sendiri. Sifat‐sifat itu tak bisa terlepas dari bendanya.
Misalnya berat pada batu, panas pada api, kelembaban pada air.
Menurut Lukretius, waktu adalah juga sifat materi. Tidak ada
waktu yang berdiri sendiri, terlepas dari gerak benda. Adanya waktu
tergantung pada adanya materi yang bergerak.
Lukretius memahami tiga macam gerak zat asli: 1. Gerak karena
dorongan; 2. Gerak ke bawah menurut garis lurus sebagai akibat gaya
berat; 3. Gerak sendiri yang sembarangan, yang membawa zat asli
202 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
keluar dari gerak garis lurus.
Pikiran tentang perubahan arah gerak zat asli yang bersumber
dari gerak‐sendiri, swa‐gerak yang sembarangan dari zat‐zat asli adalah
ciri dialektika spontan dari pandangan‐pandangan Lukretius. Gerak tak
bisa dipisahkan dari materi, dan gerak‐sendiri, swa‐gerak sembarangan
terjadi tanpa segala campur tangan Tuhan.
Lukretius bertanya, “Jika Tuhan mengatur dunia, maka dari
mana datangnya ketidakadilan, malapetaka, penderitaan dan
kemiskinan? Tidak, bagi kita sama sekali tidak ada perilaku Tuhan
terhadap gejala‐gejala alam itu.”195
Mengikuti Epikurus, Lukretius mengkritik pandangan Plato yang
menyatakan eksistensi roh atau jiwa yang berdiri sendiri, di luar
jasmani. Lukretius membantah pandangan para penganut ajaran atomis
yang percaya bahwa tabrakan zat‐zat asli bisa menjelaskan kecepatan
lebih tinggi gerak zat‐zat asli yang lebih berat dalam ruang hampa.
Terbentuknya dunia menurut pandangannya dapat dijelaskan hanya
dengan syarat‐syarat internal gerak spontan yang menyebabkan
penyelewengan alur gerak zat‐zat asli. Dengan demikian, dalam ajaran
Lukretius muncul gagasan dialektis tentang gerak kontinu yang
berhubungan dengan materi, yaitu swa‐gerak yang berlangsung tanpa
campur‐tangan Tuhan.
Dengan melanjutkan tradisi materialisme antik, Lukretius
membuktikan secara menyeluruh tentang perubahan‐perubahan alam
yang terus‐menerus, memaparkan bahwa berlangsung pembentukan
dan kehancuran benda‐benda alam yang terus‐menerus, berlangsung
pembaruan alam yang tak henti‐hentinya. Ini terjadi lewat: lahir yang
satu, lenyap yang lain. Karena gerak zat‐zat asli yang tak henti‐hentinya
selama waktu tak berhingga, sesama mereka terjadi saling bergabung
yang tak terhitung jumlahnya. Dari sinilah datangnya semua gejala
alam. Lukretius berusaha menjelaskan sebab‐musabab alamiah
terbentuknya bumi, laut, langit, benda‐benda bersinar di alam raya,
kehidupan di bumi, tumbuh‐tumbuhan, hujan dan akhirnya manusia.
Juga dijelaskan dari segi pandangan atomisme kuno tentang terjadinya
berbagai gejala alam seperti guruh dan petir, hujan, embun, topan,
195 Lukretius, De Rerum Natura—O Prirodye Vesyei—Tentang Sifat Zat-Zat, I Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), 1945, h.295.
VI — Filsafat Yunani Kuno | 203
angin, hujan es, salju, embun beku, gempa bumi, ledakan gunung
berapi, sifat‐sifat besi berani dan lain‐lain. Juga terdapat keterangan
yang orisinal, walaupun masih belum ilmiah, seperti mengenai gerhana‐
gerhana matahari dan bulan, dan gejala‐gejala astronomi lainnya.
Lukretius menyebut ajaran tentang reinkarnasi sebagai omong
kosong. Tak terpisahkannya roh dari jasmani, jiwa dari badan, adalah
bukti bahwa hidup di akhirat atau “pembalasan di akhirat” adalah
omong kosong belaka. Lukretius mengajarkan bahwa makhluk hidup
lahir dari alam anorganik dengan cara lahir sendiri. Bumi yang muda
melahirkan organisme menurut urutan: mula‐mula muncul tumbuh‐
tumbuhan, kemudian binatang, dan akhirnya manusia. Sekarang ini, di
kala bumi sudah menua, melalui kelahiran sendiri, di bumi hanya
muncul binatang‐binatang kecil. Dengan demikian, Lukretius
menjelaskan tentang lenyap dan punahnya sementara hewan dan
tumbuh‐tumbuhan di permukaan bumi.
Lukretius mengkritik ajaran Empedokles mengenai terjadinya
keajaiban, yaitu mukjizat tentang munculnya makhluk hidup setengah
hewan, setengah manusia. Lukretius dengan keras menentang
ketakutan akan mati. Mati itu tidak apa‐apa. Mati adalah bukan
penderitaan, tetapi adalah penyelamatan dari penderitaan. Sesudah
mati, kita sudah tak ada, maka tak ada lagi perasaan kepekaan syaraf.
Perasaan takut akan mati terdapat pada manusia, karena tak tahu akan
hukum alam.
Teori pengenalan Lukretius mengandung ciri materialisme. Ia
bertolak dari pengakuan bahwa persepsi dari tanggapan syaraf‐syaraf
perasa memberi pengenalan objektif tentang kenyataan, dan bahwa
kualitas barang (benda) ada secara objektif, bukan hanya dalam persepsi
kita. Saling pengaruh antara zat‐zat asli yang berlangsung di luar benda‐
benda yang ditangkap syaraf‐syaraf perasa menimbulkaan perasaan,
sinyal‐sinyal mana diolah oleh otak, dan menghasilkan pengenalan
pertama.
Lukretius mengembangkan ajaran Epikurus tentang banyaknya
sebab‐sebab gejala alam dan dibuangnya hal‐hal gaib, dibuangnya
mukjizat dalam menjelaskan gejala‐gejala alam serta masyarakat. Ini
merupakan sumbangan sangat bernilai bagi ajaran Epikurus tentang
teori sebab‐musabab yang materialistis.
Lukretius mengembangkan filsafat materialisme dengan berjuang
204 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
sangat sengit melawan bermacam‐ragam idealisme: melawan ajaran
Plato tentang jiwa yang tak mati‐mati; melawan ajaran Aritoteles
tentang “sebab‐sebab yang ada tujuan”, melawan ajaran Pythagoras
mengenai berpindah‐pindahnya jiwa dan seterusnya. Dengan sangat
kuat Lukretius menentang ajaran idealisme religius kaum Stoikus
mengenai Tuhan. Lukretius mempertentangkan kesewenang‐wenangan
ajaran ketuhanan dengan hukum alam yang tak dapat dilawan,
membuktikan bahwa alam terbentuk sendiri tanpa segala bantuan dari
yang mahakuasa.
Lukretius adalah seorang pendidik ateis yang berusaha sampai
akhir mencabut akar kepercayaan pada Tuhan. Menurut Lukretius,
munculnya agama datang dari ketakutan orang‐orang yang tak
berpengetahuan, manusia purba yang takut akan kekuatan alam yang
mengerikan, dan juga dari khayalan manusia yang tidak benar, dan dari
ketidaktahuan sebab‐sebab alamiah semua yang terjadi.
Dengan menerangkan bahwa Tuhan lahir dari fantasi manusia,
Lukretius melebihi Epikurus, maju lebih jauh dengan ateismenya dan
mengkritik ajaran mengenai adanya Tuhan yang menghuni celah‐celah
ruang alam. Lukretius memaparkan tentang sifat‐sifat Tuhan yang
sepenuhnya tak dapat dipahami oleh perasaan, oleh akal manusia dan
yang tak ada hubungannya dengan semua yang ada.
Menurut ajaran Lukretius, perkembangan masyarakat juga
tunduk pada hukum yang tak dapat dilawan, kalau tidak demikian,
berhentilah perkembangan turunan manusia. Dengan memaparkan
pandangan materialismenya, Lukretius menyerukan agar manusia
berpandangan sendiri, melakukan penelitian atas alam dan melakukan
pencarian lebih lanjut. Lukretius berpendapat bahwa untuk
perkembangan masyarakat diperlukan tenaga penggeraknya. Kemajuan
kemanusiaan adalah hasil dari perkembangan rasio.
Filsafat Lukretius memihak dan mengabdi pada kaum yang
mengalami penindasan agama, melawan kekuasaan kaum agama dan
feodal yang memerintah. Lukretius dimusuhi kaum penguasa, ditindak,
dihukum. Penyebaran ajaran‐ajarannya dilarang. Barulah tahun 1473
karya‐karya Lukretius bebas diterbitkan.
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 205
VII
Kemenangan‐Kemenangan Materialisme dalam Sejarah
1. Pikiran Bertolak dari Kenyataan
DARI galian makam‐makam kuno semenjak zaman periode paleoletik
tua, zaman batu tua (kira‐kira 40.000—18.000 tahun yang lalu), semenjak
terdapatnya Homo Sapiens, sudah terbukti adanya kepercayaan manusia
atau kepercayaan agama. Manusia percaya akan adanya kehidupan
sesudah meninggal. Ini dibuktikan dengan peninggalan‐peninggalan
berbagai jenis makanan mendampingi mayat‐mayat yang dikuburkan.
Ini berarti bahwa terdapat gagasan tentang adanya kelanjutan hidup
sesudah meninggal.
Zaman neolitik juga dikenal sebagai zaman batu baru,
diperkirakan berlangsung di seluruh dunia antara tahun 5000 hingga
3000 SM. Sejarah awal manusia bermula pada akhir zaman neolitik ini.
Zaman neolitik telah menunjukkan perubahan kehidupan manusia yang
amat besar. Daerah kediaman orang neolitik ialah lembah Sungai Indus
di India, lembah Sungai Kuning (Huang He) di Tiongkok, lembah
Sungai Euphrates dan Tigris di Timur Tengah, di sejumlah negeri Timur
Tengah, di Kepulauan Aegea, di daerah Balkan, semenanjung Iberia,
Perancis, Inggris, dan Skandinavia, melukiskan jasad wanita. Ini
melambangkan pujaan pada wanita di zaman itu. Wanita jadi pujaan,
dipuja sebagai juru selamat, sebagai dewi yang dihormati.
Pada permulaan zaman tembaga terdapat bukti‐bukti kebiasaan
memuja matahari. Matahari dipuja sebagai sumber kemakmuran.
Matahari dilukiskan dalam bentuk piring bundar, lingkaran yang
memancarkan sinar dan tanpa sinar. Pujaan pada matahari
206 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
menunjukkan kenyataan adanya hubungan manusia yang melakukan
pertanian, yang menginginkan kesuburan yang bersumber dari sinar
matahari. Hasil‐hasil penggalian makam‐makam kuno menunjukkan
terjadinya pemujaan oleh manusia terhadap benda‐benda konkret yang
berpengaruh besar bagi kehidupan.
Berpikir dengan bertolak dari kenyataan, lahirnya pikiran yang
mencerminkan kenyataan adalah wujud nyata dari kecambah
materialisme. Semenjak dari sejarah Tiongkok, India, dan Yunani Kuno
telah lahir materialisme primitif, materialisme spontan, yaitu pikiran yang
bertolak dari kenyataan.
Thales dari Miletus (624—546 SM), bapak filsuf Yunani kuno,
dijuluki Bapak Ilmu Pengetahuan oleh Bertrand Russel yang
menyatakan bahwa “filsafat Barat dimulai dengan Thales”. Thales telah
memaparkan masalah fenomena alam, menyatakan bahwa air adalah
asal‐usul dari segala‐galanya di alam raya.
Bertolak dari kenyataan alam, dengan menyimpulkan
pengalaman dari kehidupan nyata, ilmu fisika berkembang pesat. Dari
teori atom Leukippus (paro pertama abad ke‐5 SM) dan Demokritos
(kira‐kira 460—370 SM) yang menyatakan segala‐galanya di alam raya
terdiri dari unsur terkecil yang tak dapat dibagi lagi yang disebut atom.
Tahun 1808 berkembang menjadi teori atom John Dalton (1766—
1844) yang dikembangkan lagi oleh Joseph John Thomson (1856—1940)
yang menyatakan bahwa dalam atom ada elektron, partikel bermuatan
listrik negatif. Kemudian dikembangkan lagi oleh teori atom Rutherford
yang menyatakan: atom memiliki inti atom bermuatan listrik positif yang
merupakan pusat massa atom, elektron bergerak mengelilingi inti
dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagian besar partikel alfa (α)
lewat tanpa mengalami pembelokkan/hambatan, sebagian kecil
dibelokkan, dan sedikit sekali yang dipantulkan; partikel alfa
dipancarkan oleh inti atom yang radioaktif seperti uranium atau radium
dalam proses yang disebut dengan peluruhan alfa. Kadang‐kadang
proses ini membuat inti atom berada dalam keadaan gairah (excited state)
dan akan memancarkan sinar gamma untuk membuang energi yang
lebih.
Pada tahun 1913, teori atom Ernest Rutherford (1871—1937)
disempurnakan oleh Niels Henrik David Bohr (1885—1962). Kelemahan
teori atom Rutherford diperbaiki oleh Neils Bohr dengan postulat Bohr:
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 207
menurut model atom Bohr, atom terdiri dari beberapa kulit untuk
tempat berpindahnya elektron. Elektron‐elektron yang mengelilingi inti
mempunyai lintasan dan energi tertentu; dalam orbital tertentu, energi
elektron adalah tetap; elektron akan menyerap energi jika berpindah ke
orbit yang lebih luar dan akan membebaskan energi jika berpindah ke
orbit yang lebih dalam.
Dalam fisika nuklir, berlangsungnya fusi nuklir yaitu reaksi nuklir
di mana terjadi tabrakan dua atau lebih inti atom dalam kecepatan yang
sangat tinggi yang membentuk jenis inti atom baru. Peristiwa ini
mengeluarkan energi yang besar. Demikianlah energi yang dipancarkan
matahari ke alam raya, yaitu adalah hasil reaksi nuklir yang terjadi dari
tabrakan inti hidrogen dan terbentuknya inti helium. Peristiwa fusi
nuklir adalah proses yang menjadi sumber energi bintang‐bintang yang
aktif. Fisika nuklir telah memberi urun bagi ditemukannya sumber
energi yang besar untuk pembangkit tenaga listrik. Pengenalan,
pemahaman dan penguasaan akan hukum alam telah bermanfaat bagi
kehidupan umat manusia. Inilah salah satu hasil pandangan ilmiah
bertolak dari kenyataan, hasil pandangan materialisme.
Di kala mekanika Newton (1643—1727) tidak memadai lagi untuk
menerangkan hal ihwal gerak materi yang rumit dan supra halus, maka
tampillah mekanika kuantum dengan teori kuantum Niels Bohr yang bisa
menerangkan dan menghitung gaya dan gerak yang terjadi dalam
proses perubahan inti nuklir. Teori relativitas Einstein (1879—1955) telah
membawa maju fisika hingga dapat menghitung saling hubungan massa
dan energi dengan rumusnya yang terkenal: Energi sama dengan massa
dikalikan dengan kuadrat kecepatan sinar. Penemuan tenaga nuklir
merupakan langkah besar maju untuk memanfaatkan alam. Sampai
awal abad ke‐20 manusia hanya mengenal dua macam gaya dalam alam
semesta, yaitu gaya tarik bumi (gravitasi) dan gaya elektromagnet. Kini
dikenal gaya (tenaga) nuklir yang besar sekali. Hasil besar dari
mekanika kuantum adalah dapat membuktikan bahwa sifat‐sifat benda
alam, struktur atom dan molekul, dapat sepenuhnya diterangkan
sebagai gaya listrik antara elektron dan nuklir. Dengan mempelajari inti
atom, manusia menemukan tenaga baru alam yaitu tenaga inti, tenaga
nuklir yang luar biasa besarnya. Perkembangan fisika plasma, dengan
fusi‐nuklir telah membawa manusia sampai pada taraf menjelang
208 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mampu menciptakan energi yang tak habis‐habisnya seperti matahari,
menciptakan matahari buatan manusia.
Asal mula ajaran‐ajaran filsafat Yunani kuno adalah dari Milesia
abad ke‐ke‐6 SM, dipimpin oleh Thales yang mengajarkan bahwa
kesatuan materi adalah dasar universal dari alam raya (segala‐galanya).
Diajarkan, bahwa segala‐galanya berasal dari satu materi yang dasar.
Ciri pokok dari alam semesta adalah:—penjadian yang terus‐menerus—
yang terdapat pada unsur asal‐muasal, yang menurut Thales adalah air.
Air adalah asal dari segala‐galanya.
Menurut pengikutnya, Anaximander, dasar dari segala‐galanya
bukan air, tapi adalah apeiron, sesuatu yang tak terhingga, yang kacau‐
balau, yang secara abadi bertindak terhadap semua hal ihwal dan yang
di dalamnya berisikan prinsip‐prinsip yang kontradiktif, prinsip‐prinsip
yang saling bertentangan. Anaximenes dari Miletus menganggap unsur
yang tak terhingga ini adalah sumber dari segala‐galanya. Segala‐
galanya adalah terbentuk dari unsur ini, yaitu udara yang bisa memadat
dan mengembang dan dengan napasnya melahirkan segala‐gala
sebagaimana jiwa. Sejumlah ahli pikir abad kelima sebelum masehi
menganut paham ini seperti Hippon (abad ke‐5 SM), Idaeus (abad ke‐5
SM), dan Diogenes (412 atau 404—323 SM) dari Apollonia.
Materialisme berkembang maju melewati perjuangan melawan
musuh‐musuh kebenaran. Di Yunani purba, kaum aristokrat reaksioner
memusnahkan karya‐karya ahli filsafat materialis Demokritos, filsuf
yang merumuskan teori atom, yaitu materi yang terkecil adalah atom
yang tak dapat dibagi lagi, yang menolak campur tangan kekuatan gaib
di dalam alam dan urusan‐urusan manusia. Anaxagoras menganut
pandangan bahwa Nous (Pikiran) adalah yang mengatur alam semesta,
dibuang dari Athena sebagai seorang ateis.
Epikurus pengikut Demokritos yang telah membebaskan
manusia dari rasa takut terhadap kekuatan gaib dan membela
kebenaran ilmu, dengan ajarannya yang terkenal “Jangan takut pada
Tuhan, jangan khawatir akan mati; yang baik itu gampang diperdapat; yang
mengerikan itu gampang diatasi.” Maka selama dua ribu tahun Epikurus
dikutuk oleh pemimpin gereja, yang secara palsu melukiskannya
sebagai musuh kesusilaan dan penyebar kejahatan.
Perpustakaan Iskandariah yang terkenal itu mempunyai 700.000
karya penulis‐penulis dari sarjana‐sarjana purba, telah dibakar oleh
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 209
pendeta‐pendeta Kristen pada tahun 391 masehi. Paus Gregory I (590—
604), seorang musuh bebuyutan dari ilmu dan pengetahuan sekuler,
memusnahkan banyak karya‐karya berharga dari penulis‐penulis purba,
terutama karya‐karya ahli filsafat materialis.
Inkuisisi, alat ciptaan Paus untuk menindas semua perlawanan
terhadap Gereja Katolik, dengan biadab mengejar‐ngejar semua ahli
pikir progresif. Pada tahun 1600, atas perintah inkuisisi, Giordano Bruno
(1548—1600), ahli filsafat dan sarjana besar yang mempertahankan
ajaran Copernicus (1473—1543), dibakar hidup‐hidup. Pada tahun 1619,
seorang ahli pikir besar lainnya, Lucilio Vanini (1585—1619) telah
dibunuh di Toulouse, Perancis—atas perintah inkuisisi, lidahnya dicabut
dan kemudian ia dibakar hidup‐hidup.
Inkuisisi berusaha memaksa Galileo Galilei (1564—1642), ahli
ilmu falak Italia yang terkenal yang membela teori Copernicus, untuk
melepaskan pandangan‐pandangannya. Voltaire (1694—1778), ahli
filsafat Perancis yang besar dari mazhab penerangan, telah dipenjarakan
di dalam penjara Bastille. Ahli filsafat materialis Perancis lain dari abad
ke‐18, Diderot (1713—1784), juga dijebloskan ke dalam penjara.196
2. Dari Antroposentris sampai Heliosentris
SAMPAI abad ke‐17, pemahaman manusia akan alam semesta sudah
melewati berbagai tingkat perkembangan. Mulai dari manusia purba
yang menganggap dirinya adalah pusat alam semesta, dirinya manusia
adalah pusat alam semesta—antroposentris; berkembang menjadi bumi
sebagai pusat alam raya—geosentris; kemudian menjadi matahari
sebagai pusat peredaran alam raya—heliosentris. Aristarchus (310—230
SM) telah mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, tetapi
teorinya ditolak karena tidak sesuai dengan kepercayaan agama dan
filsafat masa itu.
Dari praktek dalam penghidupan, pengetahuan manusia jadi
berkembang maju. Praktek yang mengharuskan serba menghitung,
menyebabkan lahirnya ilmu hitung: aritmetika, matematika, aljabar,
196 Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy, Osnovhii Marksizma Leninizma, Ucyebnoye Posobiye, Izdaniye vtoroye, Moskwa, 1962, h.11—12.
210 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ilmu ukur sudut, ilmu ukur bidang, ilmu ukur ruang, sampai aljabar
tinggi: hitungan diferensial dan integral. Maka tersusunlah matematika
Euklides. Untuk penghitungan gerak dalam fisika modern yang rumit,
tak memadai lagi ilmu hitung Euklides, lahirlah matematika
Lobachevsky, Nikolai Ivanovich Lobachevsky. Demikian pula di bidang
ilmu fisika. Mekanika Newton yang berdominasi dalam bidang fisika
semenjak abad ke‐17 sudah tak memadai lagi untuk penghitungan gerak
dalam fisika nuklir, maka muncullah mekanika kuantum. Fisika klasik
bisa menjelaskan gerak‐gerik materi dan energi dalam skala
makroskopis, yaitu yang dalam skala dapat dipantau pancaindera
manusia, termasuk gerak‐gerik benda‐benda alam angkasa raya. Ia tetap
menjadi kunci untuk pengukuran berbagai bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan modern. Di samping itu, pada akhir abad ke‐19 para
sarjana menemukan fenomena dalam dunia mikro, yaitu masalah
mengukur gerak dalam inti nuklir yang tak dapat dijelaskan dengan
fisika klasik. Dengan demikian, seiring dengan munculnjya teori atom
Ernest Rutherford tampillah mekanika kuantum yang dipelopori oleh
Niels Bohr. Ini adalah suatu revolusi besar dalam fisika.
Mekanika kuantum adalah cabang dasar fisika yang menggantikan
mekanika klasik pada tataran atom dan sub‐atom. Ilmu ini memberikan
kerangka matematika untuk berbagai cabang fisika dan kimia, termasuk
fisika atom, fisika molekular, kimia komputasi, kimia kuantum, fisika
partikel, dan fisika nuklir. Mekanika kuantum adalah bagian dari teori
medan kuantum dan fisika kuantum umum, yang bersama relativitas
umum merupakan salah satu pilar fisika modern.
Dasar dari mekanika kuantum adalah bahwa energi itu tidak
kontinu, tapi diskrit—berupa ‘paket’ atau ‘kuanta. Konsep ini cukup
revolusioner, karena bertentangan dengan fisika klasik yang berasumsi
bahwa energi itu berkesinambungan.197
3. Hakikat Teori Relativitas Einstein Materialistis
SEPTEMBER 1905 disiarkan tulisan Albert Einstein berjudul Tentang
Elektrodinamika Benda‐Benda yang Bergerak. Tulisan ini merupakan titik
197 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 211
balik dari sejarah fisika, bahkan lebih dari itu adalah titik balik dari
sejarah seluruh pemikiran hidup manusia.198 Teori Relativitas Einstein
adalah bukan saja teori fisika, tapi juga teori filsafat.199
Teori relativitas Einstein adalah teori yang revolusioner. Ia
menyisihkan pandangan lama yang metafisis mengenai alam dan
bersamaan dengan itu ia menampilkan pandangan baru yang lebih
dalam yang isinya adalah objektif materialistis dan dialektis.200
Penemuan prinsip relativitas dari gerak adalah satu penemuan
terbesar manusia dalam fisika. Fisika tak akan bisa berkembang tanpa
teori ini. Kita pantas menyamakannya dengan kejenialan Galileo Galilei
yang dengan tegas menentang ajaran Aristoteles yang berdominasi dan
didukung kuat Gereja Katolik waktu itu. Menurut Aristoteles, suatu
gerak hanya mungkin jika ada gaya yang menggerakkan, dan tanpa
gaya, gerak itu pasti berhenti. Galilei membuktikan sebaliknya, dalam
berbagai percobaan yang brilian, ia menunjukkan bahwa adalah gesekan
yang menyebabkan benda bergerak jadi berhenti dan suatu benda yang
begitu digerakkan akan terus bergerak selama‐lamanya jika tidak ada
gesekan.201
Pandangan fisika klasik dalam mekanika menjadi berubah setelah
dipelajari dan ditemukannya medan elektromagnet sebagai objek khusus
materi. Ternyata materi tidak hanya berwujud benda, tapi juga dalam
bentuk medan elektromagnet. Dengan teorinya, Einstein mendapatkan alat
yang kuat untuk meneliti masalah hubungan materi dengan gerak. Maka
jelas‐jemelas arti filosofis dari keuniversalan dari relativitas gerak.202
Pada 1905, Einstein mengembangkan teori relativitas khusus
sampai menghasilkan rumus ekuivalen (kesamaan) massa dan energi.
Dikemukakan bahwa inertia dari suatu objek adalah tergantung pada isi
198 B.G. Kuznetsov, Besedni O Teorii Otnositel'nosti, Vtoroye Izdaniye (Percakapan Tentang Teori Relativitas Edisi Kedua), Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Penerbit Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa, 1963, h.3. 199 B.G. Kuznetsof, Etyudy Ob Eynshteyne (Studi Tentang Einstein), Izdatyelstvo “Nauka” (Penerbit Nauka), Moskwa, 1965, h.8. 200 M.V. Mostyepanyenko, Materialisticheskaya Sushchnost' Teorii Otnositel'nosti Eynshteyna (Inti dari Teori Relativitas Materialis), Izdatel'stvo Sotsial'nno-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa, 1962. 201 L. Landau, Y. Rumier, What is the Theory of Relativity, Foreign Languages Publishing House, Moscow, tt, h.21. 202 M.V. Mostyepanyenko, op.cit., h.53—54.
212 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
energinya. Secara matematis dirumuskannya dengan persamaan yang
terkenal: E=mc2, energi sama dengan massa dikalikan dengan kecepatan
sinar kuadrat (E=energi; m=massa; c=kecepatan sinar). Inertia adalah
kecenderungan suatu objek bertahan terhadap percepatan (tambahan
kecepatan), kecenderungan suatu objek untuk tetap tinggal diam atau
untuk tetap bergerak dalam garis lurus, jika tidak dipengaruhi oleh gaya
luar.
Einstein bukanlah orang pertama yang memaparkan hubungan
antara massa dan energi. Namun Einstein adalah sarjana pertama yang
mengusulkan rumus E=mc2 dan yang pertama memaparkan ekuivalen
massa dan energi sebagai prinsip fundamental yang lahir dari simetri
relativistis dari ruang dan waktu. Ruang dan waktu adalah perwujudan
materi yang terdapat ada di luar kemauan dan pikiran manusia.
Rumus E=mc2 adalah berguna untuk memahami jumlah energi
yang dikeluarkan dalam reaksi fissi. Hubungan antara rumus E=mc2
dengan energi nuklir sudah demikian melekatnya, maka rumus ini telah
menjadi persamaan terkenal secara sedunia. Bagaimanapun juga, teori
relativitas Einstein terutama rumus yang terkenal E=mc2 memainkan
peranan penting dalam teori fissi yang diperlukan untuk pembuatan
bom nuklir.203
Fissi nuklir adalah proses dalam fisika nuklir atau kimia nuklir, di
mana berlangsung reaksi nuklir atau proses penghancuran radioaktif, di
mana inti sebuah atom terpecah menjadi bagian‐bagian lebih kecil.
Proses fissi menghasilkan neutron dan foton yang bebas dalam bentuk
sinar gamma, dan melepaskan energi dalam jumlah sangat besar.
Dari rumus persamaan Einstein E=mc2 terungkap saling
hubungan yang materialistis antara energi, massa materi, kecepatan sinar
merambat. Ini semua terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Semuanya
memanifestasikan saling hubungan materiil.
Semua proses kejadian di alam semesta berlangsung dalam waktu
tertentu. Waktu itu ada, tak tergantung pada kemauan atau pikiran
manusia. Karena itu, waktu adalah salah satu bentuk eksistensi materi.
Pengertian waktu memainkan peranan sangat penting dalam fisika.
Fisika klasik bertolak dari pandangan bahwa waktu mengalir secara sama
dalam semua sistem material. Pandangan ini ternyata tidak benar.
203 David Bodanis, E=mc2: A Biography of the World's Most Famous Equation, New York: Walker, 2000.
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 213
Sesudah ditemukannya teori relativitas Einstein, dengan pengakuan atas
bumi adalah bundar, dan terbuktinya kecepatan sinar merambat adalah
konstan, maka dipahamilah bahwa sebagaimana halnya ruang, waktu itu
juga relatif.
Teori relativitas Einstein bukanlah mencampakkan pandangan
dan gagasan‐gagasan fisika yang terdahulu, tapi memperluasnya dan
menetapkan batas‐batas dalam rangka mana gagasan‐gagasan lama
dapat dipakai tanpa adanya bahaya akan kesalahan. Hukum‐hukum
alam yang ditemukan oleh para ahli fisika pada masa sebelum lahir teori
relativitas sama sekali tidak dicampakkan, hanya penggunaannya
sekarang lebih ditetapkan dengan jelas.
Saling hubungan antara fisika yang berdasarkan teori relativitas
dan fisika ajaran lama yang dikenal dengan fisika klasik adalah kira‐kira
sama dengan saling hubungan antara geodesi tinggi yang
memperhitungkan bahwa bumi adalah bundar, dengan geodesi dasar
yang mengabaikan bundarnya bumi itu. Geodesi tinggi bertolak dari
pandangan relatifnya vertikalitas sesuatu, dan fisika relatif
memperhitungkan ke‐relatif‐an dimensi benda‐benda dan masalah jarak
waktu antara dua kejadian; sedangkan fisika klasik sama sekali tidak
memperhitungkan gagasan relativitas.204
Jika bumi ini datar, semua yang tegak lurus di atas bumi itu adalah
sejajar. Namun, karena kenyataan bumi adalah bundar, maka yang tegak
lurus di Jakarta, tidaklah sejajar dengan yang tegak lurus di Moskow atau
di Sidney. Orang berdiri di Jakarta dengan kepalanya ke atas; orang
berdiri di Moskow atau Sidney juga dengan kepalanya ke atas. Jika
ditarik garis tegak lurus dari kepala ke kaki, dari atas ke bawah, garis itu
akan menuju ke pusat bumi. Tegak lurus di Jakarta, Moskow dan
Sidney, di tiga tempat ini tidaklah sejajar, tidaklah sama. Maka tegak lurus
itu adalah relatif, tergantung dengan tempat di mana berdiri, tergantung
pada tempat di bumi.
Atas dan bawah itu relatif. Di mana‐mana di permukaan bumi,
orang berdiri dengan kepala ke atas dan kaki ke bawah. Kalau bumi
dipantau dari jarak jauh, hingga merupakan satu bola, maka atas bagi
yang berdiri di kutub utara, adalah kebalikan dari atas bagi yang berdiri
di kutub selatan. Jadi, atas dan bawah itu adalah relatif.
204 L. Landau, Y. Rumier, op.cit., h.63.
214 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
4. Pemenang Hadiah Nobel Fisika 2012
SAMPAI awal abad ke‐21 fisika kuantum menjadi pusat penelitian para
ahli fisika. Maka tahun 2012 hadiah Nobel untuk fisika jatuh pada dua
ahli fisika Perancis dan Amerika: Serge Haroche dari the College de
France dan Ecole Normale Supérieure di Paris, dan David Wineland dari
US dari the National Institute of Standards and Technology dan the
University of Colorado at Boulder National Institute for Standards and
Technology.
Penelitian mereka terpusat pada segi fundamental masalah sinar
dan materi. Karya mereka mengenai “optika kuantum” menggunakan
foton‐foton tunggal dan atom‐atom yang bermuatan sudah membuka
suatu bidang baru yang menyeluruh dalam fisika. Ini akan membimbing
ke arah cara terbaru dalam masalah komunikasi dan komputerisasi.
Kedua fisikawan secara terpisah telah berhasil menemukan dan
mengembangkan cara pengukuran dan menggerakkan partikel‐partikel
sambil memelihara sifat kuantum mekanisnya, dengan cara yang
sebelum ini belum terpikirkan atau dianggap tak bisa dicapai. Jadi,
kedua pemenang hadiah Nobel ini telah membuka pintu era baru fisika
kuantum dengan menunjukkan pengamatan langsung terhadap partikel
kuantum tertentu tanpa merusaknya.
Di samping keberhasilan yang dicapai para sarjana fisika, juga
terdapat penemuan‐penemuan baru di bidang kimia, biologi, ilmu
kedokteran, teknik informasi, sampai pada pengharungan ruang
angkasa raya dengan pesawat‐pesawat berawak. Ini semua
mendemonstrasikan kemenangan materialisme. Manusia kian maju dalam
mengenal alam, jadi mengendalikan alam, memanfaatkannya demi
kepentingan perbaikan kehidupan umat manusia.
Dalam fisika, yaitu mekanika kuantum, bereaksinya sinar dan
materi dalam ukuran sangat kecil yaitu pada satu partikel, terjadi hal
yang mengherankan. Dalam ukuran demikian kecilnya, bekerja dengan
sinar dan materi adalah bagaikan tak masuk akal sebelum terdapatnya
pemecahan untuk mendapatkan, memanipulasi, dan mengukur foton‐
foton dan ion‐ion secara terpisah‐pisah, berarti memasuki dunia
mikroskopis yang justru adalah termasuk bidang teori ilmiah.
Walaupun penemuan‐penemuan besar dan bersejarah dalam
ilmu pasti alam banyak dihasilkan oleh para sarjana berdasarkan
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 215
pandangan materialisme, tetapi sejumlah sarjana itu tidak mengakui
dirinya sebagai materialis. Misalnya Thomas Henry Huxley (1825—
1895) ahli ilmu‐ilmu alam Inggris abad ke‐19, dalam studinya mengenai
ilmu hewan, anatomi banding, antropologi, ia mempertahankan
pendirian materialis, menyatakan bahwa idealisme filsafat hanya
menimbulkan kekacauan dan kebodohan, tapi tidak menyatakan dirinya
adalah seorang materialis. Engels melukiskan sarjana‐sarjana tipe ini
sebagai “kaum materialis yang kemalu‐maluan”. Lenin menyatakan bahwa
“pernyataan yang membatasi diri yang bersifat anti‐materialis dari
Huxley itu hanyalah secabik kain untuk menutupi materialisme ilmu‐
alamiahnya yang spontan.”205
Ada pula sarjana ilmu‐ilmu alam modern yang berusaha
memberikan tafsiran filsafat terhadap penemuan‐penemuan ilmiah
sampai pada kesimpulan‐kesimpulan idealis. Tetapi selama mereka
berpegang pada lapangan ilmu, pada pekerjaan praktis di dalam
laboratorium, pabrik, atau kebun percobaan—selama mereka tidak
mengumbar diri dalam menyusun teori filsafat, tetapi mencurahkan
perhatiannya pada gejala‐gejala alam yang sedang mereka selidiki, sikap
hidup mereka adalah sebagai materialis‐materialis spontan.
Demikian pula halnya dengan Albert Einstein yang menjadi
sarjana terkenal karena teori relativitasnya yang isi sesungguhnya adalah
materialis, tetapi beberapa gagasan filsafatnya telah dipengaruhi oleh
idealisme. Juga Max Planck (1858—1947) salah seorang pendiri ilmu fisi‐
ka kuantum modern, meskipun ia juga tidak menyatakan dirinya adalah
materialis, dalam karya‐karyanya tentang ilmu fisika dan filsafat, ia
membela ide tentang “pandangan dunia sehat” yang mengakui eksistensi
alam tak tergantung pada pikiran manusia. Max Planck memerangi
idealisme filsafat dan dalam kenyataan ia adalah seorang materialis.
5. Kemajuan Ilmu, Demonstrasi Kemenangan Materialisme
LAO ZI, ahli pikir Tiongkok abad ke‐7 SM yang menciptakan ajaran
Daoisme dengan karyanya Dao De Jing. Begitu juga dengan Thales telah
205 Lenin, Materialism and Empiriokriticism, Fifth Printing, Progress Publishers, Moscow, 1970, h.78.
216 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
memaparkan masalah fenomena alam, menyatakan bahwa air adalah asal
usul dari segala‐galanya di alam raya diikuti oleh Anaximander murid
Thales.
Bertolak dari kenyataan alam, dengan menyimpulkan
pengalaman dari kehidupan nyata, ilmu fisika berkembang pesat.
Leukippus dan Demokritos menyatakan segala‐galanya di alam raya
terdiri dari unsur terkecil yang tak dapat dibagi lagi yang disebut atom.
A berarti tidak, tom berarti unsur yang terkecil. Inilah teori atom
Leukippus dan Demokritos.
Tahun 1808 teori ini berkembang menjadi teori atom John Dalton
yang dikembangkan lagi oleh Joseph John Thomson yang menyatakan
bahwa dalam atom ada elektron, partikel bermuatan listrik negatif.
Kemudian dikembangkan lagi oleh teori atom Rutherford yang
menyatakan: atom memiliki inti atom bermuatan listrik positif yang
merupakan pusat massa atom, elektron bergerak mengelilingi inti
dengan kecepatan yang sangat tinggi, sebagian besar partikel alfa (α)
lewat tanpa mengalami pembelokkan/hambatan, sebagian kecil
dibelokkan, dan sedikit sekali yang dipantulkan. Partikel Alfa
dipancarkan oleh inti atom yang radioaktif seperti uranium atau radium
dalam proses yang disebut dengan peluruhan alpha. Kadang‐kadang
proses ini membuat inti atom berada dalam keadaan gairah (excited state)
dan akan memancarkan sinar gamma untuk membuang energi yang
lebih.
Pada tahun 1913, teori atom Ernest Rutherford disempurnakan
oleh Niels Henrik David Bohr. Kelemahan teori atom Rutherford
diperbaiki oleh Niels Bohr dengan postulat Bohr. Menurut model atom
Bohr, atom terdiri dari beberapa kulit untuk tempat berpindahnya
elektron. Elektron‐elektron yang mengelilingi inti mempunyai lintasan
dan energi tertentu; dalam orbital tertentu, energi elektron adalah tetap;
elektron akan menyerap energi jika berpindah ke orbit yang lebih luar
dan akan membebaskan energi jika berpindah ke orbit yang lebih dalam.
Dalam fisika nuklir, diajarkan tentang berlangsungnya fusi
nuklir, yaitu reaksi nuklir di mana terjadi tabrakan dua atau lebih inti
atom dalam kecepatan yang sangat tinggi, maka terbentuk jenis inti
atom baru. Peristiwa ini mengeluarkan energi yang besar. Demikianlah
energi yang dipancarkan matahari ke alam raya, yaitu adalah hasil
reaksi nuklir yang terjadi dari tabrakan inti hidrogen dan terbentuknya
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 217
inti helium. Peristiwa fusi nuklir adalah proses yang menjadi sumber
energi bintang‐bintang yang aktif. Fisika nuklir telah memberi urun bagi
ditemukannya sumber energi yang besar untuk pembangkit tenaga
listrik. Pengenalan, pemahaman dan penguasaan akan hukum alam
telah bermanfaat bagi kehidupan umat manusia. Inilah salah satu hasil
pandangan ilmiah bertolak dari kenyataan, hasil pandangan materialisme.
Di kala mekanika Newton tidak memadai lagi untuk menerangkan
hal ihwal gerak materi yang rumit dan supra halus, maka tampillah
mekanika kuantum dengan teori kuantum Niels Bohr yang bisa
menerangkan dan menghitung gaya dan gerak yang terjadi dalam
proses perubahan inti nuklir.
Teori relativitas Einsten telah membawa maju fisika hingga dapat
menghitung saling hubungan massa dan energi dengan rumusnya yang
terkenal: Energi sama dengan massa dikalikan dengan kuadrat kecepatan sinar.
Penemuan tenaga nuklir merupakan langkah besar maju untuk
memanfaatkan alam. Sampai awal abad ke ke‐20 manusia hanya
mengenal dua macam gaya dalam alam semesta, yaitu gaya tarik bumi
(gravitasi) dan gaya elektromagnet. Kini dikenal gaya (tenaga) nuklir
yang besar sekali.
Hasil besar dari mekanika kuantum adalah dapat membuktikan
bahwa sifat‐sifat benda alam, struktur atom dan molekul dapat
sepenuhnya diterangkan sebagai gaya listrik antara elektron dan nuklir.
Dengan mempelajari inti atom, manusia menemukan tenaga baru alam,
yaitu tenaga inti, tenaga nuklir yang luar biasa besarnya. Perkembangan
fisika plasma, dengan fusi‐nuklir telah membawa manusia sampai pada
taraf menjelang mampu menciptakan energi yang tak habis‐habisnya
seperti matahari, menciptakan matahari buatan manusia.
Berdasarkan mencari kebenaran dari kenyataan, penelitian dengan
menggunakan kapal ruang angkasa, menyebabkan para ahli fisika
pemenang hadiah Nobel 2006, John C. Mather dan George F. Smoot
menemukan sifat radiasi benda hitam, radiasi yang berasal dari ledakan
maha raksasa—Big Bang, yaitu ledakan lahirnya alam semesta. Dengan
penemuan ini, pemahaman tentang asal‐usul alam semesta yang selama
ini bersifat teoretis, kini berubah menjadi praktis, yaitu dapat dipantau
dan diukur. Galileo Galilei yang dulunya dikutuk oleh kekuasaan
agama, terpaksa diakui kebenaran pandangannya tentang ilmu tata
surya.
218 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Biologi berkembang sampai manusia berhasil menggunakan
kloning, yang berarti tanpa lewat pembuahan telur di indung telur bisa
menghasilkan turunan hewan sejenis. Teori evolusi Charles Darwin
(1809—1882) disusul oleh teori keturunan Johann Gregor Mendel (1822—
1884) awal abad ke‐20, kini berkembang pesat dengan penemuan‐
penemuan baru dalam ilmu genetika.
Ilmu genetika sudah sampai pada taraf mengenal hukum
perubahan mikrosom dalam sel benda hidup, hingga akan berguna
dalam pengobatan untuk mengatasi penyakit Alzheimer, Parkinson, dan
Huntington yang menyerang otak. Juga akan berguna bagi menghadapi
penyakit kanker, AIDS. Demikian pesatnya penemuan‐penemuan baru
dalam ilmu genetika, hingga ada kalangan yang menamakan abad ini
adalah abad genetika. Ilmu kedokteran dengan menggunakan alat‐alat
modern, kini dapat mengetahui jenis kelamin bayi, jauh sebelum bayi
dilahirkan.
Penelitian astronomi lewat penerbangan antariksa telah sampai
pada taraf menemukan planet lain yang mempunyai syarat untuk
kehidupan. Perkembangan astronomi mendemonstrasikan kemenangan
materialisme dalam sejarah. Dari pengamatan atas kenyataan cakrawala
yang dapat dipantau, manusia kian memahami hukum gerak benda‐
benda langit. Manusia primitif menganggap manusialah yang menjadi
pusat alam raya (homosentris). Pandangan ini berkembang dari
pengalaman menatap matahari yang tiap hari: pagi terbit di timur dan
sore tenggelam di barat, maka matahari dianggap mengedari bumi,
menjadi menganggap bumi tempat berdiri sang pengamat yang tidak
bergerak sebagai pusat alam raya (geosentris). Namun, akhirnya manusia
sampai pada hasil pengamatan dan pemikiran bahwa bukan matahari yang
mengedari bumi, tapi bumi yang mengedari matahari. Maka
disimpulkan mataharilah sebagai pusat alam raya (heliosentris).
Pada abad ke‐3 SM, Aristarchus dari Samos sudah menampilkan
gagasan bumi mengedari matahari, heliosentrisme. Gagasan ini tak dapat
sambutan, bahkan ditolak karena bertentangan dengan kepercayaan dan
filsafat masa itu, maka pandangan ini tidak berkembang. Pada tahun
1543, Nicolaus Copernicus menerbitkan buku yang mengubah persepsi
tentang alam semesta. Dalam De Revolutionibus Orbitum Coelestium
(mengenai revolusi orbit langit), Copernicus mengatakan bahwa
mataharilah yang berada di pusat alam semesta, bukan bumi; bumi
VII — Kemenangan-Kemenangan Materialisme dalam Sejarah | 219
tidak berada pada pusat alam semesta. Temuan ini berarti bertentangan
dengan ajaran agama Protestan dan Katolik. Pada 1616 semua buku
yang ditulis Copernicus dan para ahli lainnya yang menyatakan bahwa
matahari adalah pusat alam semesta dilarang oleh Gereja Katolik.206
Hampir dua puluh abad kemudian, baru pada abad ke‐16
pandangan ini dipaparkan lagi dan dikembangkan oleh Nicolaus
Copernicus. Copernicus, seorang ahli matematika Polandia,
memaparkan gagasan heliosentrisnya dengan perhitungan‐perhitungan
matematis. Di abad berikutnya, Johannes Keppler membuktikan
kebenaran gagasan Copernicus dengan menggunakan alat teropong
hasil penemuan Galileo Galilei.
Pandangan heliosentris berbeda dengan kepercayaan agama
Katolik zaman itu yang mempercayai geosentris. 500 tahun kemudian,
tahun 2012, sesudah lima abad terpendam dalam makamnya, jenazah
Copernicus digali dan dimakamkan kembali dengan upacara
keagamaan. Di batu nisannya yang baru dilukiskan matahari dengan
enam planet yang mengitarnya, yaitu: Mercurius, Venus, Saturnus, Bumi
dengan bulannya, Mars, dan Yupiter. Inilah pengakuan agama Katolik
akan kebenaran pandangan materialis Copernicus. Inilah salah satu
demonstrasi penting akan kemenangan materialisme di awal abad ke‐21.
Tahun 1920, Edwin Powell Hubble (1889—1953), ahli ilmu falak
Amerika terkemuka menunjukkan bahwa sistem matahari dengan
planet‐planetnya adalah bagian dari bimasakti. Sistem matahari adalah
salah satu di antara bermiliar‐miliar sistem perbintangan dalam
bimasakti di cakrawala.
Materialisme tidak hanya mencapai kemenangan dalam bidang
ilmu pasti‐alam, tapi juga di bidang kemasyarakatan. Sejarah umat
manusia telah menunjukkan berubah dan berkembangnya sistem
masyarakat. Dari masyarakat komune primitif, berubah menjadi
masyarakat perbudakan, kemudian masyarakat feodal, berlanjut dengan
masyarakat kapitalis, maka muncullah cita‐cita masyarakat sosialis dan
masyarakat komunis. Masyarakat manusia berkembang maju seiring
dengan perkembangan ekonomi bangsa‐bangsa. Proses dan hukum
berlangsungnya perubahan sistem masyarakat dalam sejarah, mulai dari
masyarakat komune primitif, ke masyarakat perbudakan, dan
206 Jendela Iptek, Astronomi, 2013, PT Balai Pustaka, Jakarta, Dorling Kindersley, London, h.18.
220 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
masyarakat feodal, terus ke masyarakat kapitalis, hanyalah dapat
diterangkan dengan pandangan Marxis, yaitu materialisme historis.
VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 221
VIII
Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek
1. Agnostisisme
DALAM sejarah pemikiran manusia, muncul kaum yang menganut
paham agnostisis, yaitu paham yang tak percaya akan kemampuan
manusia untuk mengenal sesungguhnya kenyataan alam raya. Kaum ini
berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui sesungguhnya
alam raya. Karena itu paham ini disebut agnostisis, penganutnya disebut
agnostikus yang berarti tidak bisa mengetahui akan kenyataan
sesungguhnya dari alam raya. Paham ini sudah muncul semenjak
zaman Yunani kuno. Agnostisisme adalah pandangan bahwa nilai‐nilai
kebenaran dari sementara tuntutan—terutama tuntutan‐tuntutan
mengenai ada atau tak adanya suatu tuhan, sebagaimana halnya
tuntutan‐tuntutan agama dan tuntutan metafisik lain—adalah tak
dikenal dan tak mungkin dikenal. Agnostik berasal dari bahasa Yunani
kuno a + gnosis yang berarti: a adalah “tanpa”, gnosis adalah
“pengetahuan”.
Paham yang penuh kesangsian terdapat dalam Hinduisme.
Dalam seluruh sejarah Hinduisme terdapat tradisi kuat dari filsafat
spekulasi dan skeptisisme, yaitu sikap kesangsian, sikap keragu‐raguan,
ketidakpercayaan, serba ketidakpastian. Ini tercermin dalam karya filsafat
Rig Veda dalam memandang masalah fundamental tentang terciptanya
alam semesta dan Tuhan‐Tuhan kepercayaan Hindu. Rig Veda adalah
kumpulan lebih dari 1000 nyanyian Veda bahasa Sanskrit
menyenandungkan pujaan pada Tuhan‐Tuhan Hindu yang ditulis
sekitar 1700 SM dan 1100 SM. Isinya penuh dengan kesangsian, keragu‐
222 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
raguan, ketidakpercayaan, serba ketidakpastian tentang sesuatu, tentang
penciptaan alam semesta, tentang ada atau tidaknya segala sesuatu.
Dalam filsafat Yunani kuno, keragu‐raguan, kesangsian,
ketidakpastian, skeptisisme muncul sebagai filsafat resmi yang dianut oleh
Protagoras (490—420 SM), Pyrrho (kira‐kira 360—270 SM), Carneades
(214—129/8 SM), Sextus Empiricus (kira‐kira 160—210 SM), dan dalam
taraf tertentu dianut oleh Socrates. Para pemikir ini menolak pikiran
bahwa adalah mungkin tentang adanya kepastian. Jadi, bagi mereka tak ada
yang pasti.
Menyusul Aristoteles (384—322 SM), para filsuf Saint Anselm of
Canterbury (1033—1109), Thomas Aquinas (1225—1274), dan René
Descartes (1596—1650), mengedepankan argumen‐argumen yang
berusaha membuktikan secara rasional mengenai adanya Tuhan. David
Hume (1711—1776), Immanuel Kant (1724—1804), Soren Kiekegaard
(1813—1855), meyakinkan para filsuf lain untuk mencampakkan usaha
ini, mengenai adalah tidak mungkin untuk membuktikan tentang ada
atau tidaknya Tuhan.
Dalam batas tertentu, agnostisisme boleh dikatakan mengambil
pendirian mengenai perbedaan antara yang berkepercayaan dengan
pengetahuan. Secara populer, seorang agnostik adalah mereka yang
tidak percaya tentang adanya Tuhan atau ke‐Tuhanan, sedangkan
seorang teis adalah berkepercayaan. Seorang ateis adalah tidak
berkepercayaan. Lebih tegas lagi, agnostisisme adalah pandangan bahwa
umat manusia tidak mempunyai syarat pengetahuan atau memiliki
cukup syarat dasar rasional untuk membenarkan kepercayaan atas ada
atau tak adanya Tuhan.
Kehidupan memaksa manusia mengenal kenyataan. Kenyataan
dikenal mulai dari yang paling sederhana sampai yang rumit. Mulai
dari membedakan benda‐benda yang bermacam ragam sampai
mengenal ciri‐ciri khusus masing‐masing benda. Dari keharusan
menjumlahkan banyaknya buah yang dipanen, manusia mulai
berhitung. Untuk mencatatnya, manusia mulai mengenal angka. Untuk
menjumlahkan, manusia mulai mengenal ilmu hitung, aritmetika.
Demikian pula untuk menakar banyaknya air yang ditimba, manusia
mulai mengenal volume air; untuk mengukur panjangnya bambu dan
kayu buat membangun rumah, maka mulai mengenal ukuran panjang;
untuk membedakan jarak jauh dan dekat, manusia mulai mengenal
VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 223
ukuran jarak.
Pengetahuan jadi berkembang sampai pada ukuran berat, ukuran
kecepatan, ukuran panas, ukuran sudut, ukuran harga barang, ukuran
nilai, dan seterusnya. Maka berkembanglah ilmu hitung aritmetika
menjadi matematika, aljabar, ilmu ukur sudut, ilmu ukur ruang. Fisika
mengenal matematika Euklides. Matematika Euklides tak memadai lagi
untuk pengukuran dalam fisika nuklir, maka lahirlah matematika
Lobacyovski.
Mekanika Newton yang selama sekian abad mendominasi fisika,
sudah tak memadai lagi bagi pengukuran gerak dalam fisika nuklir,
maka lahirlah mekanika kuantum.
Pengenalan manusia akan alam raya jadi melahirkan ilmu fisika
dan ilmu kimia, ilmu bumi, ilmu falak. Ilmu Pasti memperkenalkan
pada manusia ukuran tentang kenyataan. Kenyataan jadi bisa diukur
dengan pasti. Manusia bisa mengenal kenyataan sampai pada dengan
ukuran yang pasti.
2. Materialisme
BERLAWANAN dengan agnostisisme dan skeptisisme yang penuh
keragu‐raguan, penuh kesangsian, ketidakpercayaan, penuh
ketidaktahuan, Marxisme dengan tegas menyatakan bahwa manusia
mempunyai kemampuan untuk mengetahui alam semesta, mengetahui
hukum alam semesta, sampai pada mengenal hukum itu untuk
mengubah alam semesta. Inilah materialisme Marxis, materialisme dialektis.
Materialisme Marxis menempatkan kenyataan dan praktek pada
kedudukan menentukan. Kenyataan dan prakteklah yang menjadi
sumber serta jadi ukuran kebenaran. Maka Marxisme mengajarkan:
mencari kebenaran dari kenyataan.
Dengan memahami arti penting praktek dan kenyataan bagi
materialisme, Mao Zedong menulis karya filsafat berjudul Tentang
Praktek untuk melawan subjektivisme, empirisisme, dan dogmatisme
dalam Partai Komunis Tiongkok pada tahun‐tahun 1931—1934. Mao
Zedong menulis bahwa “manusia mendapat pengetahuan dalam tingkat
berbeda‐beda mengenai berbagai hubungan antara manusia dengan
manusia bukan saja melalui kehidupan materiil, tetapi juga melalui
224 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kehidupan politik dan kehidupan kebudayaan (kedua‐duanya
berhubungan erat dengan kehidupan materiil). Di antaranya
teristimewa perjuangan klas dengan segala macam bentuknya itulah
yang memberi pengaruh yang mendalam pada perkembangan
pengetahuan manusia. Di dalam masyarakat yang berklas, setiap orang
hidup dengan kedudukan klas yang tertentu, dan setiap macam pikiran,
tanpa kecuali, dicap dengan tanda selar sesuatu klas.”207
“Kaum Marxis berpendapat bahwa hanya praktek sosial manusia
sajalah yang menjadi ukuran bagi kebenaran pengetahuan manusia
tentang dunia luar. Jika seseorang hendak memperoleh sukses dalam
pekerjaannya, yaitu mencapai hasil yang diharapkan, ia mesti
menyesuaikan pikirannya dengan hukum dunia luar objektif, jika tidak
sesuai, ia akan gagal dalam praktek. Setelah ia gagal, ia akan menarik
pelajaran dari kegagalannya, membetulkan pikirannya supaya sesuai
dengan hukum dunia luar, dan dengan demikian dapat mengubah
kegagalan menjadi sukses, inilah yang dimaksudkan dengan ‘kegagalan
adalah ibu sukses’ dan ‘sekali kandas, bertambah cerdas’. Teori materialisme
dialektis tentang pengetahuan menempatkan praktek pada kedudukan
primer.”208
Filsafat Marxis yaitu materialisme dialektis mempunyai dua ciri
yang paling menonjol. Yang satu ialah watak klasnya—ia secara terang‐
terangan menyatakan bahwa materialisme dialektis mengabdi kepada
proletariat. Yang lainnya ialah kepraktekannya—ia menekankan
ketergantungan teori pada praktek, menekankan bahwa praktek adalah
dasar teori dan teori pada gilirannya mengabdi kepada praktek.
Kebenaran sesuatu pengetahuan atau teori tidaklah ditentukan oleh
perasaan subjektif, melainkan oleh hasil‐hasil objektif dari praktek.
Dalam teori materialisme dialektis tentang pengetahuan, pendirian
praktek adalah yang primer dan fundamental.209
Pengenalan manusia atas hal ihwal berkembang dari sensasi,
inferensi, ke persepsi, ke konklusi, ke konsepsi (dari kesan perasaan,
dapat bayangan, pakai pertimbangan akal, ambil kesimpulan, lahirlah gagasan).
207 Mao Tje-Tung, Tentang Praktek, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1966, h.2. 208 Ibid., h.4—5. 209 W.I. Lenin, Ikhtisar Buku Hegel Ilmu Logika, Collected Works, Philosophical Notebooks, Kumpulan Karya, Buku Catatan Filsafat, cetakan IV, Jilid XXXVIII, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1961, h.171.
VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 225
Kenyataan ialah bahwa dalam proses praktek, manusia mula‐
mula hanya melihat segi‐segi gejala dari hal ihwal. Artinya, gejala‐gejala
dari hal ihwal, segi‐segi yang berdiri sendiri‐sendiri dan hubungan‐
hubungan eksternalnya. Ini namanya tingkat persepsi (bayangan, cita rasa)
dari pengetahuan, yaitu tingkat tanggapan‐tanggapan sensasi (perasaan)
dan kesan‐kesan. Pada tingkat ini, manusia masih belum bisa
membentuk konsepsi (gagasan) yang dalam dan menarik kesimpulan
yang logis. Dengan terus berlangsungnya praktek sosial, hal ihwal yang
selama praktek menimbulkan tanggapan‐tanggapan perasaan (sensasi)
dan kesan‐kesan manusia itu pun terulang berkali‐kali, kemudian
terjadi dalam pikiran manusia suatu perubahan mendadak (lompatan)
dalam proses pengetahuan, dan terbentuklah konsepsi (gagasan). Konsepsi
berarti bukan lagi mengenai gejala‐gejala hal ihwal, bukan lagi
mengenai segi‐segi yang berdiri sendiri‐sendiri, dan bukan lagi
mengenai hubungan eksternalnya, melainkan mencakup hakikat hal
ihwal, keseluruhan hal ihwal, dan hubungan internalnya. Antara
konsepsi dengan sensasi tidak hanya terdapat perbedaan kuantitatif,
tetapi juga perbedaan kualitatif.
Maju lebih jauh sepanjang arah ini, maka dengan jalan perbedaan
kualitatif dengan menggunakan pertimbangan akal dan inferensi, orang
dapat mencapai kesimpulan logis. Dalam ungkapan Tiongkok “sekali
berkerut kening, timbullah muslihat dalam hati” atau senapas dengan
ungkapan orang‐orang tua, “pikir itu pelita hati”. Jadi, dari bayangan cita
rasa yang dihasilkan perasaan, manusia menggunakan pikiran dengan
pertimbangan‐pertimbangan untuk membuat kesimpulan dan
melahirkan konsepsi (gagasan‐gagasan). Tingkat konsepsi sesudah
melewati pertimbangan‐pertimbangan adalah tingkat yang lebih
penting dalam seluruh proses pengetahuan tentang sesuatu hal, yaitu
tingkat pengetahuan rasional.
Mao Zedong menulis, “Tugas pengetahuan yang sesungguhnya
ialah mencapai alam pemikiran melalui persepsi mencapai selangkah
demi selangkah pengertian tentang kontradiksi intern dari hal ihwal
objektif, tentang hukumnya, tentang hubungan internal antara proses
yang satu dengan proses lainnya, yaitu mencapai pengetahuan logis.”210
Teori materialis‐dialektis tentang proses perkembangan
210 Mao Tje-tung, op.cit., h.8.
226 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pengetahuan yang berdasarkan praktek dan bertolak dari yang dangkal
sampai yang dalam itu, tidak pernah diajukan oleh siapa pun sebelum
lahirnya Marxisme. Untuk pertama kali materialisme Marxis
memecahkan masalah ini secara tepat, dengan menunjukkan secara
materialis dan dialektis gerak pengetahuan yang semakin mendalam,
gerak pengetahuan manusia sosial yang beralih dari pengetahuan persepsi
(cita rasa) ke pengetahuan logis (imliah) dalam praktek produksi dan
perjuangan klas mereka yang rumit dan selalu berulang‐ulang itu.
Lenin berkata, “Abstraksi (perasan mendapatkan saripati) tentang
materi, tentang hukum alam, abstraksi tentang nilai, dan sebagainya,
pendek kata, semua abstraksi yang ilmiah (tepat, serius, bukan secara tak
masuk akal) mencerminkan alam secara lebih dalam, lebih benar dan
lebih lengkap. Dari persepsi yang hidup, menjadi pikiran yang abstrak,
dan dari sini ke praktek—demikianlah jalan dialektis mendapatkan
kebenaran, mendapatkan kenyataan yang objektif.”211
Marxisme–Leninisme berpendapat bahwa kedua tingkat dalam
proses pengetahuan itu masing‐masing mempunyai ciri‐ciri sendiri,
yaitu pada tingkat rendah pengetahuan berwujud sebagai pengetahuan
persepsi (cita‐rasa, bayangan perasaan), sedangkan pada tingkat tinggi
pengetahuan berwujud sebagai pengetahuan logis (pengetahuan rasional,
ilmiah), tetapi kedua‐duanya merupakan tingkat‐tingkat dalam suatu
proses pengetahuan yang tunggal. Persepsi (bayangan cita rasa) dan
tanggapan akal itu berbeda secara kualitatif, tetapi tidak terpisah satu
sama lainnya, mereka dipersatukan atas dasar praktek. Praktek
membuktikan bahwa apa yang tertangkap oleh pancaindera berupa
sensasi (perasaan) kita itu tidak segera dapat kita pahami, dan bahwa
hanya apa yang telah kita pahami dapat kita tanggap dengan lebih
mendalam. Persepsi (bayangan cita rasa) semata‐mata memecahkan
masalah gejala. Sesudah mencapai taraf gagasan (konsepsi), kemudian
dirumuskan menjadi teori. Hanya teori sajalah yang dapat memecahkan
masalah hakikat. Benar atau tidaknya teori itu, haruslah diuji dalam
praktek.
“Jika kita hendak memiliki pengetahuan, kita harus ambil bagian
dalam praktek mengubah realitas. Jika kita hendak mengetahui teori dan
metode revolusi, kita harus ambil bagian dalam revolusi. Semua
211 V.I. Lenin, op.cit., h.171.
VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 227
pengetahuan yang sejati berasal dari pengalaman langsung.”212
“Jadi jelaslah bahwa langkah pertama dalam proses pengetahuan
ialah permulaan kontak dengan hal ihwal dunia luar, ini termasuk
dalam tingkat persepsi. Langkah kedua ialah sintesis bahan‐bahan
tanggapan sensasi itu dengan mengatur dan menyusunnya kembali, ini
termasuk dalam tingkat konsepsi, pertimbangan, dan inferensi. Hanya bila
bahan–bahan tanggapan sensasi itu sangat kaya (bukan sepotong‐
sepotong dan tak lengkap) dan sesuai dengan realitas (bukan khayali),
maka bahan‐bahan demikian dapatlah diambil sebagai dasar untuk
membentuk konsepsi dan logika yang tepat.”213
Pengetahuan mulai dengan pengalaman—demikianlah
materialisme teori pengetahuan. Kemudian pengalaman itu harus
diperdalam, harus dikembangkan dari tingkat persepsi ke tingkat
rasional—demikianlah dialektika teori pengetahuan. “Untuk sepenuhnya
mencerminkan sesuatu dalam keseluruhan, untuk mencerminkan
hakikat, mencerminkan hukum‐hukum internal, adalah perlu melalui
pemikiran, menyusun kembali dan mengolah bahan‐bahan tanggapan
sensasi yang kaya itu dengan membuang ampasnya dan mengambil
saripatinya, menyingkirkan yang palsu dan mempertahankan yang
benar, bertolak dari segi yang satu ke segi yang lain, dari luar ke dalam,
guna membentuk suatu sistem konsepsi dan teori—adalah perlu membuat
suatu lompatan dari pengetahuan persepsi ke pengetahuan rasional.”214
“Gerak pengetahuan secara materialis‐dialektis dari persepsi ke
rasional berlaku bagi suatu proses pengetahuan yang kecil (misalnya
mengenai suatu benda atau suatu pekerjaan), dan juga berlaku bagi
suatu proses pengetahuan yang besar (misalnya mengenai suatu
masyarakat atau suatu revolusi). Filsafat Marxis berpendapat bahwa
masalah yang terpenting tidak terletak pada keinsafan akan hukum‐
hukum dunia objektif dan karena itu sanggup menerangkan dunia,
melainkan terletak pada penerapan pengetahuan tentang hukum‐
hukum objektif itu untuk secara aktif mengubah dunia. Menurut
Marxisme, teori adalah penting, dan pentingnya teori itu dinyatakan
dengan sepenuhnya dalam perkataan Lenin: ‘Tanpa teori revolusioner, tak
212 Mao Tjetung, op.cit., h.13. 213 Ibid., h.13—14. 214 Ibid., h.21.
228 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mungkin ada gerakan revolusioner.’”215
“Marxisme menganggap penting teori justru dan semata‐mata
karena ia dapat menuntun aksi. Pengetahuan mulai dengan praktek,
dan pengetahuan teoretis diperoleh melalui praktek, kemudian harus
kembali lagi ke dalam praktek. Peranan aktif dari pengetahuan tidak
saja berwujud dalam lompatan aktif dari pengetahuan persepsi ke
pengetahuan rasional, tapi juga—dan ini yang lebih penting—harus
berwujud dalam lompatan dari pengetahuan rasional ke praktek
revolusioner.”216
Sejarah pengetahuan manusia mengatakan kepada kita bahwa
banyak teori yang kebenarannya tidak lengkap, dan ketidaklengkapan
itu diperbaiki melalui ujian praktek. Banyak teori adalah salah, dan
kesalahannya itu dibetulkan melalui ujian praktek. Di sinilah sebabnya
mengapa praktek merupakan ukuran kebenaran dan mengapa
“pendirian kehidupan, pendirian praktek, harus menjadi pendirian yang
pertama dan yang fundamental dalam teori pengetahuan.”217
Kaum Marxis mengakui bahwa di dalam proses perkembangan
alam semesta yang umum dan mutlak, perkembangan tiap‐tiap proses
yang khusus adalah relatif, karena itu dalam aliran sungai kebenaran
mutlak yang tak berujung itu, pengetahuan manusia tentang tiap‐tiap
proses yang khusus pada tingkat‐tingkat perkembangan tertentu hanya
merupakan kebenaran relatif. Total jenderal kebenaran‐kebenaran relatif
yang tak terhitung itu merupakan kebenaran mutlak.218
Perkembangan proses objektif adalah penuh dengan kontradiksi
dan perjuangan, demikian juga perkembangan gerak pengetahuan
manusia penuh dengan kontradiksi dan perjuangan. Semua gerak
dialektis dalam dunia objektif cepat atau lambat bisa bisa mendapat
cerminan dalam pengetahuan manusia. Dalam praktek sosial, proses
timbul, berkembang dan lenyap itu tidak berhingga, demikian juga
proses, timbul, berkembang dan lenyap dalam pengetahuan manusia
tidak berhingga. Praktek untuk mengubah realitas objektif yang
215 W.I. Lenin, Apa Yang Harus Dikerjakan?, Bab I, Bagian 4, Penerbit Indonesia Progresif, 1981, h.48. 216 Mao Tjetung, op.cit., h.24. 217 W.I. Lenin, Materialisme dan Empiriokritisisme, Bab II, Bagian 6, Matyerializm I Empiriokrititsizm, Polnoye Sobraniye Socinyenii, izdanye pyatoye, Gosudarstvenoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi, Moskwa, 1961, h.145. 218 Lihat: W.I. Lenin, Materialisme dan Empiriokritisme, Bab II, Bagian 5.
VIII — Kebenaran Lahir dari Kenyataan dan Praktek | 229
dilakukan sesuai dengan ide, teori, rencana atau konsep tertentu itu
selalu maju lebih jauh dan lebih jauh lagi, demikian juga pengetahuan
manusia tentang realitas objektif selalu mendalam dan lebih mendalam
lagi. Gerak perubahan dalam dunia realitas objektif selamanya tak akan
berakhir, demikian juga pengetahuan manusia akan kebenaran melalui
praktek selamanya tak akan berakhir. Marxisme–Leninisme sekali‐kali
tidak menyudahi kebenaran, melainkan terus‐menerus merintis jalan
untuk mengenal kebenaran di dalam proses praktek. Kesimpulan kita
ialah: kesatuan yang konkret dan historis antara yang subjektif dengan
yang objektif, antara teori dengan praktek, antara mengetahui dengan
berbuat, dan menentang segala macam ideologi yang salah, baik ‘kiri’
ataupun kanan, yang menyimpang dari sejarah yang konkret.219
“Menemukan kebenaran melalui praktek, dan melalui praktek
pula membuktikan serta mengembangkan kebenaran. Bertolak dari
pengetahuan persepsi dan secara aktif mengembangkan menjadi
pengetahuan rasional, kemudian bertolak dari pengetahuan rasional
dan secara aktif memimpin praktek revolusioner, untuk mengubah
dunia subjektif dan dunia objektif. Praktek, pengetahuan, praktek lagi,
pengetahuan lagi—bentuk demikian ini berulang‐ulang sebagai
lingkaran yang tak habis‐habisnya, dan untuk setiap lingkaran itu isi
praktek dan pengetahuan naik ke tingkat yang lebih tinggi. Demikianlah
seluruh teori materialisme dialektis tentang pengetahuan dan demikianlah
pandangan materialisme dialektis tentang kesatuan antara mengetahui
dengan berbuat.”220
219 Mao Tje-tung, op.cit., h.32. 220 Ibid., h.34.
230 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 231
IX
Materialisme Marxis:
Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia
1. Sebelas Tesis tentang Feuerbach
TAHUN 1845, tiga tahun sebelum diumumkan Manifesto Partai Komunis,
Marx menulis Sebelas Tesis tentang Feuerbach. Tulisan ini mempunyai arti
historis dalam perkembangan filsafat materialisme. Dengan tesis‐tesis
ini, Marx mengkritik dan mengembangkan materialisme Feuerbach.
Justru dewasa ini, menguasai dan menggunakan materialisme, yaitu
cara berpikir yang ilmiah, adalah cara untuk mengenal dan memahami
kenyataan, membedakan yang benar dan yang salah, melawan
kepalsuan, melawan pembodohan, melawan jahiliah, melawan
keedanan.
Dengan mengkritik Feuerbach, Marx mengubah materialisme
yang pasif, yang kontemplatif, yang bersifat renungan, yang hanya
untuk tafakur, menjadi materialisme militan, menjadi alat berpikir yang
aktif. Menjadikannya senjata ampuh perjuangan klas, yaitu materialisme
dialektis. Ini tak hanya punya arti teoretis, tetapi bahkan punya arti
praktis, yaitu membimbing pikiran manusia untuk bertindak maju.
Dalam tesis‐tesis ini, Marx mengkritik Feuerbach dengan menyatakan
bahwa “kekurangan utama materialisme yang ada sampai sekarang—
termasuk materialisme Feuerbach—adalah bahwa benda, kenyataan,
kesan pancaindera, dipahami hanya dalam bentuk objek atau
pandangan, hasil renungan, tetapi tidak sebagai aktivitas alat perasa
pancaindera manusia, yaitu praktek....”
232 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Dengan mengangkat tinggi arti praktek, dalam tesis ini Marx
menyatakan bahwa Feuerbach “tidak mencengkam arti penting aktivitas
yang ‘revolusioner’, aktivitas yang ‘praktis‐kritis’.” Dalam tesis‐tesis ini
Marx juga menulis bahwa “masalah apakah kebenaran objektif terdapat
pada pikiran manusia adalah bukan satu masalah teori, tetapi satu
masalah praktek. Dalam prakteklah orang harus membuktikan
kebenaran pikiran, yaitu bahwa pikiran adalah kenyataan dan kekuatan,
adalah bersifat duniawi.”
Di samping itu Marx menulis bahwa “terjadinya secara
bersamaan perubahan lingkungan dan perubahan aktivitas manusia
hanyalah dapat dipahami secara rasional sebagai praktek revolusioner.”
Seterusnya Marx menulis bahwa “Feuerbach bertolak dari kenyataan
swa‐alienasi keagamaan, yaitu dari terbagi‐duanya dunia menjadi dunia
keagamaan, dunia khayal dan dunia nyata. Ia berkarya tentang
meleburnya dunia keagamaan ke dalam dasarnya yang sekular. Ia tidak
mencatat kenyataan, bahwa sesudah karyanya selesai, masalah yang
utama masih harus dikerjakan. Yaitu kenyataan bahwa dasar sekular
memisahkan dirinya dari dirinya sendiri dan membawa dirinya ke
dalam awan sebagai kerajaan yang bebas, hanya dapat dijelaskan
dengan swa‐alienasi dan swa‐berkontradiksi dari dasar sekular ini. Yang
terakhir ini harus dipahami dalam kontradiksinya dan kemudian
direvolusionerkan dalam praktek dengan pelenyapan kontradiksi. Jadi
misalnya, begitu keluarga duniawi ditemukan sebagai rahasia dari
seluruh keluarga suci, maka keluarga duniawi itu harus dikritik dalam
teori dan direvolusionerkan dalam praktek.”
Lagi‐lagi dengan mengangkat arti penting praktek, selanjutnya
Marx menulis bahwa, “Tidak puas dengan pemikiran abstrak,
Feuerbach berpaling pada renungan yang dapat dirasakan; tetapi ia
tidak menganggap sesuatu yang dapat dirasakan itu sebagai hal praktis,
sebagai aktivitas perasaan manusia.”
Lebih lanjut Marx menulis bahwa, “Pada akhirnya, Feuerbach
tidak melihat bahwa ‘perasaan keagamaan’ itu sendiri adalah produk
kemasyarakatan dan bahwa perseorangan yang abstrak yang ia analisa
terdapat pada kenyataan bentuk masyarakat yang khusus.”
Lagi‐lagi dengan mengangkat arti penting praktek, Marx menulis
bahwa, “Penghidupan kemasyarakatan pada pokoknya adalah praktis.
Semua keajaiban yang menyesatkan teori menjadi mistisisme
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 233
mendapatkan pemecahan yang rasional dalam praktek kemanusiaan
dan dalam praktek yang dapat dipahami.”
Seterusnya Marx menulis bahwa, “Puncak yang tercapai oleh
materialisme kontemplatif (materialisme renungan, materialisme
tafakur), yaitu materialisme yang tidak memahami bahwa perasaan
adalah aktivitas praktek, adalah renungan seorang individu dalam
‘masyarakat madani’.”
Selanjutnya ditulis Marx bahwa, “Titik tolak materialisme kuno
adalah masyarakat ‘madani’, titik tolak materialisme baru adalah
masyarakat manusia yang baru, atau kemanusiaan yang
dimasyarakatkan.” Paling akhir, dalam tesis kesebelas, Marx menulis
bahwa, “Para filsuf hanyalah menginterpretasi dunia dengan berbagai
caranya, akan tetapi masalahnya adalah mengubah dunia itu.” Tesis terakhir
ini mempunyai arti menjungkirbalikkan tugas filsafat. Menjungkirbalik‐
kan materialisme kontemplatif, materialisme renungan, materialisme
tafakur, menjadi materialisme militan untuk mengubah dunia.
Mengubah dunia! Tiga tahun kemudian, tahun 1848, Marx dan
Engels memaparkan gagasan mengubah dunia itu dalam Manifesto Partai
Komunis. Dunia ketika itu sedang dikuasai oleh feodalisme dan borjuasi
pemilik kapital yang baru berkembang. Dunia dengan penghisapan
feodal yang sudah mencapai puncaknya, dan penghisapan kapital yang
sedang berkembang pesat, akan diubah menjadi dunia tanpa
penghisapan oleh manusia atas manusia. Sungguh satu gagasan raksasa.
Ini berarti dilenyapkannya penghisapan feodal dan penghisapan kapital.
Di sinilah arti historis Tesis‐Tesis tentang Feuerbach yang ditulis Marx 160
tahun yang lalu. Maka selanjutnya materialisme pun berkembang
menjadi materialisme historis, yaitu penerapan materialisme dialektis dalam
ilmu kemasyarakatan. Inilah alat berpikir, senjata perjuangan bagi
manusia untuk mengubah dunia.
Tentang Feuerbach
Ludwig Feuerbach (1804—1872) berjasa mengembangkan tradisi
revolusioner materialisme abad ke‐17 dan ke‐18. Yang dimaksud dengan
filsafat antropologis oleh Feuerbach adalah filsafat yang mengutamakan
manusia. Prinsip antropologis dinyatakan oleh Feuerbach dengan
mengutamakan kesatuan alam kemanusiaan. Menurut Feuerbach,
manusia adalah produk alam dan bagian dari alam. Alam, materi,
234 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
adalah satu‐satunya substansi, dan adalah substansi sejati yang berada
di luar manusia dan yang menciptakan manusia.
Feuerbach berpendapat bahwa filsafat baru harus mengubah
manusia serta alam sebagai basis manusia, menjadi sasaran satu‐satunya
yang universal dan paling tinggi dalam filsafat. Karena itu, antropologi
termasuk fisiologi baginya menjadi ilmu yang universal. Feuerbach
memandang masalah ruang dan waktu secara materialis. Ruang dan
waktu adalah syarat‐syarat dasar, adalah bentuk‐bentuk dan
perwujudan substansi. Materi bukan hanya ada, tetapi juga bergerak
dan berkembang. Tanpa ruang dan waktu, maka gerak dan
perkembangan adalah tidak mungkin. Tanpa ruang dan waktu tak
mungkin ada materi.
Di samping itu, dinyatakannya bahwa alam itu konkret, bersifat
material, dapat diraba dan dirasa. Materi tak dapat dibasmi, selalu ada,
akan tetap ada, yaitu adalah abadi, tanpa awal dan tanpa akhir, adalah
tak berhingga. Dengan mengikuti Spinoza, Feuerbach menyatakan,
bahwa alam adalah sebab‐musabab itu sendiri. Materi adalah primer, ide
adalah sekunder. Pandangan ini adalah bertolak belakang dengan
pandangan Hegel yang menjadikan ide absolut sebagai yang utama,
sebagai sumber segala‐galanya. Dengan demikian, mengenai masalah
terpokok dalam filsafat, yaitu masalah hubungan antara ide dan materi,
dipecahkan oleh Feuerbach secara materialis dengan mengutamakan
materi.
Menurut Feuerbach, alam adalah banyak segi. Manusia
mengenalnya lewat syaraf perasa, hingga mengenal air, api, listrik, sinar,
magnetisme, tumbuh‐tumbuhan, dunia, dan seterusnya. Itulah sebagian
dari substansi dengan berbagai kualitas. Substansi tanpa kualitas adalah
omong kosong. Kualitas tak terpisahkan dari substansi sesuatu. Alam,
materi, adalah satu‐satunya substansi dan adalah hakikat substansi yang
terdapat di luar manusia dan yang melahirkan manusia. Satu‐satunya
dasar manusia adalah jasmani. Ambillah dari manusia jasmaninya, akan
terambil jiwanya, terambil semangatnya. Jasmani adalah bagian dari
dunia objektif dan adanya jiwa adalah tergantung pada jasmani. Ini
adalah pandangan monisme antropologis yang berlawanan dengan
pandangan dualisme. Pandangan dualisme menyetarakan jasmani dan
jiwa—jasmani adalah dari alam material, dan jiwa adalah dari alam
spiritual. Pandangan monisme antropologis dari Feuerbach ini adalah
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 235
pandangan materialis.
Berakarnya pandangan Feuerbach pada manusia ditunjukkan
oleh tulisannya: “Pandang dan renungkanlah alam, pandang dan
renungkanlah manusia! Di sini, di depan matamu terdapat keajaiban
filsafat!”
Lebih lanjut dinyatakannya bahwa dasar materialismenya adalah
manusia. Kebenaran bukanlah materialisme atau idealisme, tetapi adalah
antropologi. Karena itu, materialisme Feuerbach disebut materialisme
antropologis, materialisme manusiawi.
Feuerbach membawa maju ajaran materialis dalam teori
pengenalan, dalam epistemologi. Feuerbach menyatakan bahwa
“perasaan saya adalah subjektif, tetapi dasarnya, sebab‐musababnya,
adalah objektif.” Sejarah pengenalan menunjukkan pada kaum
materialis Jerman, bahwa batas‐batas pengenalan manusia selalu
bertambah luas; bahwa dalam perkembangannya, akal manusia
memungkinkan kita untuk menemukan rahasia‐rahasia alam.
Kaum agnostis berpendapat, bahwa alam terbentuk sedemikian
rupa hingga tak mungkin manusia mengenal sesungguhnya alam itu.
Berlawanan dengan kaum agnostis, Feuerbach menyatakan bahwa “apa
yang belum kita ketahui sekarang, akan diketahui oleh anak‐cucu kita di
kemudian hari.” Dengan demikian, Feuerbach secara tajam menentang
agnostisisme Kant.
Feuerbach menjadikan perasaan sebagai titik tolak pengenalan.
Menurutnya, “adalah sepenuhnya tepat, bahwa empirisisme
memandang sumber‐sumber ide‐ide kita pada perasaan. Saya berpikir
dengan bantuan perasaan, terutama dengan bantuan pandangan—saya
mendasarkan dalil, kesimpulan saya, pada sesuatu yang material, yang
kita tangkap (serap) lewat alat perasa bagian luar. Bukannya benda berasal
dari pikiran, tetapi pikiran berasal dari benda. Benda pun adalah tak lain dan
tak bukan apa yang terdapat di luar kepala saya.”
Maka, materi, alam, bukan saja adalah dasar dari jiwa, tetapi
bahkan dasar prinsip dari semua pengetahuan dari filsafat. Benda,
materi adalah tak lain dan tak bukan sesuatu yang secara nyata ada di
luar kita, sedangkan pikiran mengenai benda itu adalah pencerminan
(bayangannya) dalam kepala manusia.
Feuerbach membuktikan bahwa jika tidak ada materi yang
terdapat secara objektif di luar kita, maka syaraf perasa kita tidak akan
236 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tersentuh. Oleh karena itu, materi, alam—bukan hanya adalah basis dari
jiwa, tapi juga dasar permulaan dari semua pengenalan dan filsafat.
Menurut Feuerbach, perasaan bukanlah memisahkan manusia dari
dunia luar, tetapi menghubungkannya, karena perasaan adalah hasil
pengaruh benda‐benda luar terhadap alat perasa manusia. Pengenalan
ilmiah dimulai dengan pengamatan dan cita rasa.
Ia menyatakan bahwa “tak ada perasaan tanpa kepala, tanpa akal
dan pemikiran.” Manusia harus bertolak dari “perasaan sebagai sesuatu
yang paling sederhana, yang jelas‐jemelas dan tak disangsikan lagi,”
kemudian memasuki masalah “objek‐objek yang rumit dan jauh dari
mata.”
Menurut Feuerbach, peranan akal adalah menghubungkan
pengenalan cita rasa dari pengalaman yang sepotong‐sepotong dengan
bagian lain dari kenyataan di luar pengalaman. Sebagaimana halnya
hubungan antara kata‐kata menjadi pikiran, demikian pula data‐data
yang ditangkap perasaan hanya dapat dipahami jika ia dihubungkan,
disusun, dengan bantuan akal. “Dengan perasaan, kita membaca
bukunya alam, tetapi memahaminya bukanlah dengan perasaan.”
Dengan bantuan akal, kita menghubungkan sebab dan akibat,
sebab‐sebab dan tindak‐tanduk antara gejala‐gejala, hanyalah karena
mereka “menurut kenyataan, secara materiil, secara kenyataan terdapat
tepat dalam hubungan sedemikian antara sesamanya.” Feuerbach juga
menyatakan bahwa “hanya pikiran yang riil, yang objektif yang
memastikan dan membikin tepat renungan perasaan, hanyalah dalam
keadaan yang demikian, pemikiran adalah pemikiran objektif dan
kebenaran.”
Feuerbach membuang dualisme antara renungan cita rasa dan
pertimbangan akal yang merupakan ciri dari epistemologi Kant.
Menurut Feuerbach, pertimbangan akal bukanlah sumber yang berdiri
sendiri dari pengenalan. Semua prinsip dan kategori‐kategorinya
bukanlah ditimbanya dari dirinya sendiri, tetapi dari perasaan
berdasarkan pengalaman. Kant mencari ukuran kebenaran pada
pemikiran yang murni. Sebaliknya, Feuerbach menemukan kebenaran
dalam kehidupan, dalam kenyataan, dalam praktek. “Sesuatu yang
disangsikan yang tak dapat selesai dan dikerjakan oleh teori, akan
diselesaikan oleh praktek.”
Tetapi Feuerbach tidak sampai memahami praktek menurut
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 237
pemahaman materialis tentang praktek kemasyarakatan manusia.
Hubungan antara sesama manusia hanya dipahami Feuerbach sebagai
hubungan dalam “gens”, yaitu hubungan kemasyarakatan yang
bersumber pada hubungan keluarga, hubungan fisiologis. Gens, puak,
suku, adalah organisasi kemasyarakatan dasar dalam susunan
masyarakat komune‐primitif, organisasi yang merupakan kesatuan dari
pada keluarga‐keluarga seketurunan. Asal‐mula diorganisasi secara
keibuan—secara matriarki, kemudian berubah menjadi patriarki dalam
proses berkembangnya masyarakat komune‐primitif. Gens memiliki
seorang kepala, mendiami suatu daerah tertentu dan mempunyai nama
tertentu.
Feuerbach memahami praktek manusia sebagai “makan dan
minum”, bukanlah praktek berproduksi, bukanlah tindakan‐tindakan
revolusioner. Dalam pemahaman Feuerbach tentang praktek,
terkandung antropologisme dan naturalisme. Ukuran kebenaran ia lihat
dalam “gens”. Ia menyatakan bahwa, “jika saya berpikir sesuai dengan
patokan‐patokan gens, berarti saya adalah berpikir sebagaimana
manusia umumnya. Kebenaran adalah apa yang sesuai dengan hakikat
gens, palsu adalah apa yang bertentangan dengan itu. Hukum lain dari
kebenaran tidak ada.” Demikianlah, Feuerbach tidak bisa melangkah
lebih jauh dari pemahamannya yang abstrak dan pasif tentang praktek
kemasyarakatan manusia.
Dalam seluruh karyanya, pada pokoknya Feuerbach
menempatkan masalah agama dalam pusat perhatiannya. Ia menulis
bahwa dalam semua karyanya, ia tidak pernah “melepaskan masalah
agama dan teologi dari pandangan” bahkan menjadikan “agama dan
teologi sebagai tema pokok pikiran serta kehidupannya”. Feuerbach
berusaha mengangkat obor akal, supaya manusia akhirnya dapat
mengubah permainan kekuatan‐kekuatan yang fantastis, yang
dipergunakan penguasa agama untuk menindas manusia. Pikirannya
selalu terlibat dalam hal supaya mengubah manusia dari serba percaya
menjadi manusia yang berpikir, dari serba hidup sembahyang menjadi
kaum pekerja.
Menurut Feuerbach, alam, kenyataan, hanyalah memberikan
materi, kebendaan bagi adanya ide tentang Tuhan; tetapi bentuk yang
diberikan oleh benda itu menjadi hakikat Tuhan, adalah dilahirkan oleh
fantasi, oleh daya pembayangan. Oleh karena itu, fantasi, daya
238 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pembayangan, adalah “sebab‐sebab teoretis atau adalah sumber dari
agama. Manusia adalah permulaan, adalah bagian tengah dan adalah
akhir dari agama.”
Feuerbach mencatat bahwa peranan alam dalam hidup manusia
adalah sangat besar. Alam adalah sebab‐musabab, adalah dasar, sumber
eksistensi manusia. Alam mengharuskan lahir dan hidupnya manusia.
Manusia—bagian dari alam dan hanya bisa terdapat dalam alam, adalah
berkat alam. Alam adalah ibu kandung manusia. Feuerbach menyatakan
bahwa arti alam yang demikian bagi manusia adalah menjadi sebab,
hingga alam menjadi objek pertama dari agama, menjadi Tuhan pertama
dari manusia. Agama tertua dari manusia—adalah agama yang memuja
alam, agama “alamiah”. Bagi manusia‐manusia purba, hanyalah alam
yang menjadi subjek pemujaan keagamaan. Agama zaman purbakala
menunjukkan manusia dan satunya manusia dengan alam,
menunjukkan ketergantungan manusia pada alam. Perasaan
ketergantungan adalah dasar dari agama. Manusia semenjak
kelahirannya dalam sejarah, selalu dalam syarat‐syarat tertentu berada
dalam ketergantungan bukan dari alam secara umum, tetapi dari alam
tertentu, dari alam negerinya, dan tempat kelahirannya. Manusia‐
manusia purba, oleh karena itu menjadikan alam konkret yang
mengitarinya sebagai objek agamanya. Manusia‐manusia purba memuja
dalam agama mereka syarat‐syarat alam dan gejala‐gejala alam dari
mana kehidupan mereka tergantung. Maka oleh karena itu, Feuerbach
menyatakan bahwa menurut kenyataan sejarah, manusia‐manusia purba
memuja sungai, gunung, dan laut tanah airnya. Orang Mesir purbakala
berpendapat bahwa asal‐usul semua kehidupan termasuk manusia
adalah Sungai Nil. Rakyat Yunani purba percaya bahwa semua sumber
sungai, danau, laut, terdapat di samudera raya. Rakyat Persia purba
menganggap bahwa semua gunung berasal dari gunung Alborda.
Manusia Meksiko purba memuja Tuhan dari garam. Demikianlah bagi
manusia‐manusia purba, Tuhan mereka berasal dari alam sekitar atau
iklim yang mengitarinya. Feuerbach menyatakan bahwa manusia yang
masih kurang pengalaman dan kurang pendidikan bahkan menganggap
negerinya itulah dunia, atau pusat bumi.
Feuerbach menyatakan bahwa bagi kaum budak, tanpa tuan
budak, dalam masyarakat tidak ada tata tertib, dan tanpa kaisar tidak
ada ketenteraman dalam negeri. Oleh karena itu mereka tunduk dan
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 239
menyembah tuan‐budak serta kaisar. Feuerbach menarik kesimpulan
bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang
hidup dalam masyarakat menciptakan Tuhannya sendiri.
Pandangan‐pandangan Feuerbach mempunyai arti besar dalam
hal memasukkan pengertian antropologis manusia dalam ajaran tentang
moral. Feuerbach mencatat bahwa semua usaha manusia adalah menuju
kebahagiaan. Bahagia atau sengsara, suka cita atau duka nestapa
diketahui lewat perasaan. Bagi Feuerbach, perasaan adalah syarat
pertama bagi moral. Di mana tidak ada perasaan, di sana tidak ada
perbedaan bahagia dan sengsara, antara kebaikan dan kejelekan, antara
suka dan duka, di sana tidak ada moral. Ajaran tentang moral
merupakan puncak ajaran Feuerbach tentang masyarakat. Dalam hal
inilah terletak keterbatasan filsafat Feuerbach. Prinsip dasar moral dari
Feuerbach adalah kecenderungan hati manusia terhadap sesamanya,
yang dimiliki sebagai sifat alamiah dari manusia, yaitu sifat
menginginkan kebahagiaan. Menurut Feuerbach, supaya manusia jadi
bahagia, mereka harus saling mencintai. Kata ‘cinta’ bagi Feuerbach
adalah azimat sakti, bahan ramuan mujarab mengobati semua penyakit.
Feuerbach mengajarkan cinta yang menyeluruh dalam masyarakat yang
terbagi dalam berbagai klas yang antagonistik. Cinta sesama manusia
adalah puncak ajaran moral Feuerbach.
Di samping itu, dalam berbagai kesempatan secara tepat
Feuerbach menulis bahwa, “orang di dalam istana berpikiran lain
daripada yang di dalam gubuk.” Tetapi ia salah menilai orang yang
melarat dengan menyatakan lebih lanjut bahwa “jika karena kelaparan,
karena kesengsaraan, orang tidak mempunyai isi di dalam tubuhnya,
akan begitu juga ia tidak mempunyai isi untuk moral di dalam
kepalanya, di dalam jiwanya maupun hatinya.”
Moral Feuerbach adalah moral borjuasi, 221 yang mengajarkan
perdamaian klas, yang menutup‐nutupi kontradiksi kepentingan‐
kepentingan klas, yang memadamkan dan menegasi perjuangan klas.
Karena itu, materialisme Feuerbach adalah materialisme yang tidak
berjuang, materialisme yang pasif. Inilah yang disebut materialisme
kontemplatif.
221 Dalam bahasa Jerman, bürgerlich diartikan sebagai “sipil” dan “borjuis”. Hegel memberikan nama “masyarakat sipil” untuk totalitas hubungan ekonomi (hak milik, budaya, hubungannya setiap hari) dalam kontraposisi kepada negara.
240 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Demikianlah materialisme Feuerbach, materialisme antropologis
dan kontemplatif, yang mengabaikan praktek kemasyarakatan manusia,
yang menentang agama dan berpaling pada “cinta” sesama manusia
dan lari dari perjuangan klas, yang mengkritik idealisme Hegel,
menentang agnostisisme Kant, serta yang tidak memahami arti penting
perjuangan politik. Walaupun pandangannya materialis, Feuerbach
tidak menggunakan metodologi dialektika, tidak menggunakan hukum
pokok dialektika—kesatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang berlawanan.
Materialisme Feuerbach adalah materialisme metafisis.
Keterbatasan materialisme Feuerbach tidaklah mengurangi akan arti
historisnya. Materialisme Feuerbach memberikan pengaruh yang
mendalam atas Marx dan Engels pada masa pembentukan pandangan‐
pandangan filsafatnya. Marx dan Engels mengambil dari materialisme
Feuerbach hanya “inti pokoknya”, mengembangkannya lebih lanjut
menjadi filsafat ilmiah materialisme dialektis dan membuang lapisannya
yang bersifat idealis dan metafisis
2. Empiriokritisisme Anti Materialisme Dialektis
PADA akhir abad ke‐18 dan awal abad ke‐19, perkembangan ilmu
pengetahuan dan masyarakat, terutama fisika, menyebabkan
bermunculannya tokoh‐tokoh filsafat mengkritik atau anti‐materialisme.
Di Irlandia, George Berkeley (1685—1753) dengan karya Traktat
Mengenai Asal‐Usul Kesadaran Manusia, mengajarkan idealisme subjektif.
Di Inggris, David Hume (1711—1776) mengajarkan skeptisisme. Di
Jerman, Immanuel Kant (1724—1804) dengan karya Kritik atas Pemikiran
Murni dan Kritik atas Pemikiran Praktis, mengajarkan agnostisisme; Johan
Gotlieb Fichte (1762—1814) mengajarkan idealisme subjektif. Di Austria,
Ernest Mach (1838—1916) mengajarkan empiriokritisisme. Di Swiss,
Richard Avenarius (1843—1896) seorang idealis subjektif dengan karya
Kritik atas Eksperimen Murni, salah seorang penyusun empiriokritisisme.
Idealisme subjektif, skeptisisme, agnostisisme, dan empiriokritisisme
adalah filsafat‐filsafat yang berlawanan dengan materialisme dialektis.
Bukan hanya berlawanan, empiriokritisisme bahkan menegasi materialisme
dialektis Marx.
Profesor Universitas Zurich, Swiss, Richard Avenarius,
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 241
menampilkan ajaran filsafat empiriokritisisme. Inti dari pandangannya
adalah pengertian tentang pengalaman, yang bersifat berlawanannya
kesadaran dengan materi, berlawanannya fisis dan psikis. Avenarius
menampilkan ajaran berupa teori pengenalan materialis yang kritis, yang
disebutnya sebagai introyeksi, yaitu menguraikan dunia luar pada
kesadaran manusia. Dalam karya Kritik atas Pengalaman Murni, ia
menampilkan teori yang disebut koordinat pokok dari subjek dan objek.
Ernst Mach (1838—1916), ahli fisika dan filsuf idealisme subjektif
Austria, adalah salah seorang pendiri aliran filsafat empiriokritisisme.
Bertolak dari pandangan David Hume, pada pokoknya ia menolak
pengertian sebab dan akibat, menolak tentang keharusan, menolak yang hakiki
yang tak terdapat dalam pengalaman. Dengan karya‐karya Analisa tentang
Perasaan dan Hubungan Fisis ke Psikis serta Pemahaman dan Kekesalan,
Mach memahami kerumitan perasaan.
Empiriokritisisme, Paham Kritis atas Pengalaman, yang juga disebut
Machisme, ditampilkan oleh Avenarius dan Mach. Berdasarkan hukum
ekonomi pemikiran, empiriokritisisme ‘membersihkan, menghapus’
pemahaman tentang pengalaman dari pengertian materi (substansi),
keharusan, hukum sebab dan akibat, dan sebagainya, bagaikan
tanggapan apriori. Empiriokritisisme memahami dunia bagaikan ‘tumpukan
unsur‐unsur yang netral’ atau ‘perasaan’. Menurut ajaran ini terdapat
‘koordinasi utama’ terus‐menerus antara subjek dan objek, yaitu
koordinasi yang terus‐menerus antara objek dan subjek. Ini bersumber
dari ajaran‐ajaran Berkeley dan David Hume, yang mengajarkan filsafat
itu netral.
Setelah kekalahan Revolusi Rusia 1905, berkecamuklah tahun‐
tahun reaksi Stolipin. Ketika pemerintah Tsar melakukan represi yang
kejam terhadap klas buruh dan partainya, maka di antara pengikut
revolusi yang tidak konsekuen mulailah timbul kemerosotan dan
kebobrokan. Kerontokan juga melanda kaum intelek sosial demokrat
(Bogdanov, Bazarov, Lunacharski, Yuskevitch, Valentinov, dan lain‐lain).
Mereka menganggap bahwa beberapa prinsip Marxisme telah
ketinggalan zaman, dan menurut pendapat mereka, Marxisme perlu
dilengkapi dengan data‐data baru dari ilmu alam terbaru. Mereka ingin
mengganti Marxisme dengan filsafat idealis—empiriokritisisme.
Tahun 1909 terbit karya Lenin Materialisme dan Empiriokritisisme.
Dengan karya ini, Lenin tampil membela materialisme dialektis secara
242 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mendalam dan ilmiah. Lenin memusatkan pengkritikan atas empirio‐
kritisisme Mach dan Avenarius. Dalam buku ini Lenin memaparkan
masalah‐masalah pengertian materi dalam filsafat, tentang alam sebagai
sasaran penyelidikan ilmiah, tentang peranan praktek dalam proses pemahaman
pengetahuan, tafsiran mengenai perasaan sebagai sumber pengetahuan, masa‐
lah hubungan dialektika dengan teori pengenalan, tentang problem‐problem
hukum tentang ruang dan waktu, pengertian tentang hakikat, tentang kebenar‐
an objektif, tentang filsafat yang berwatak klas, dan masalah filsafat lain.
Lenin menulis: “Selama kurang dari setengah tahun, telah terbit
empat buku yang terutama hampir sepenuhnya ditujukan untuk
menyerang materialisme dialektis. Di antaranya termasuk pertama‐tama
Sketsa tentang Filsafat Marxisme, Petersburg, 1908, kumpulan artikel
Bazarov, Bogdanov, Lunacarski, Berman, Helfond, Yusykewic, Suworov;
kemudian buku Yusykewic, Materialisme dan Realisme Kritis; buku
Berman, Dialektika Dilihat dari Sudut Teori Pengetahuan Modern; dan buku
Walentinov, Susunan Filsafat Marxisme. Semua orang ini, yang
dipersatukan oleh permusuhannya terhadap materialisme dialektis—
sekalipun terdapat perbedaan tajam dalam pandangan politik mereka—
bersamaan itu menganggap dirinya orang‐orang Marxis dalam filsafat!
Dialektika Engels adalah ‘mistik’, kata Berman. Pandangan‐pandangan
Engels telah ‘menjadi usang’, secara sambil lalu terlontar kata Bazarov,
seolah‐olah sesuatu yang sudah sewajarnya. Materialisme dengan
demikian tampaknya telah dibantah oleh prajurit‐prajurit kita yang
pemberani, yang dengan bangga menyebut‐nyebut ‘teori pengetahuan
modern’, ‘filsafat mutakhir’, (atau ‘positifisme mutakhir’), ‘filsafat ilmu
alam modern’, atau bahkan ‘filsafat ilmu alam abad ke‐20’.”222
Dalam menjawab Lunacarski yang dalam membenarkan teman‐
temannya—orang‐orang revisionis dalam filsafat—berkata, “Mungkin
kami tersesat, tetapi kami sedang mencari.” Lenin menulis, “Mengenai
saya, saya juga seorang yang ‘sedang mencari’ dalam filsafat. Yaitu:
dalam catatan‐catatan ini (yaitu buku Materialisme dan Empiriokritisisme)
saya menetapkan sebagai tugas saya menemukan apa yang menye‐
222 V.I. Lenin, Matyerializm I Empiriokrititzism, Kriticheskiye Zametki Ob Odnoy Reaktsionnoy Filosofii, Sochineniya Tom 14, izdanye cyetvyertoye, 1947, Materialisme dan Empiriokritisisme, Catatan Kritis tentang Sebuah Filsafat Reaksioner, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politichestoy Literaturnyy, cetakan keempat, h.7.
IX — Materialisme Marxis: Tugas Filsafat adalah untuk Mengubah Dunia | 243
babkan terpelecoknya orang‐orang ini yang dengan kedok Marxisme
menyajikan sesuatu yang luar biasa kacau, kusut, dan reaksioner.”223
Namun kenyataan buku Lenin itu jauh melampaui bingkai tugas
yang sederhana ini. Sesungguhnya buku Lenin tersebut bukan hanya
kritik terhadap Bogdanov, Yusykewic, Bazarov, Walentinov, dan guru‐
guru filsafat mereka—Avenarius dan Mach, yang berusaha dalam karya‐
karya mereka menyajikan idealisme yang diperhalus dan diperlicin untuk
mengimbangi materialisme Marxis. Bersamaan itu buku Lenin
merupakan pembelaan terhadap dasar‐dasar teori Marxisme—
materialisme dialektis dan historis—dan merupakan penggeneralisasian
secara materialis semua yang penting dan esensial yang diperoleh ilmu
dan terutama ilmu alam, selama satu periode sejarah yang penuh,
selama periode dari meninggalnya Engels sampai pada terbitnya buku
Lenin Materialisme dan Empiriokritisisme.
Mengenai pengertian tentang materi, Lenin membantah
pandangan‐pandangan kaum penganut ajaran Mach, seperti Avenarius,
Pearson, Bogdanov, Carstanjen, Petzoldt, A. Riehl, Wundt, Cauelaert.
Avenarius yang menyatakan, “dalam pengalaman yang lengkap yang
sudah dimurnikan tidak terdapat apa‐apa ‘yang bersifat fisik’—‘materi’
menurut gagasan mutlak metafisika—karena ‘materi’ menurut gagasan
ini adalah hanya satu abstraksi (satu perasan); itu adalah jumlah dari
’istilah’, perasan dari istilah utama, suatu istilah yang tak dapat
dipikirkan tanpa istilah utama, maka ‘materi’ dalam gagasan mutlak
metafisika adalah sepenuhnya satu gagasan yang tak masuk akal.”224
Lenin mengemukakan bahwa materi adalah segala sesuatu yang
terdapat di luar kesadaran kita.
Menurut Mach, “yang kita sebut ‘materi’ adalah kombinasi
sistematik tertentu dari unsur‐unsur (sensasi).” Mach mengira bahwa
dengan ungkapan ini, ia menampilkan satu ‘perubahan radikal’ dalam
pandangan dunia yang biasa. Sesungguhnya, dalam kenyataan, ini
adalah idealisme subjektif lama. Kemudian penganut ajaran Mach,
Pearson—seorang penentang tangguh materialisme—mengatakan,
“Sekarang tak mungkin lagi ada keberatan ilmiah atas ungkapan kita,
bahwa materi adalah perasaan golongan‐golongan yang permanen.”
Selanjutnya ini adalah mendekati definisi John Stuart Mill
223 Ibid., h.8. 224 Ibid., h.131.
244 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mengenai ‘materi’ sebagai kemungkinan permanen dari sensasi; tetapi
definisi mengenai materi ini membawa kita jauh dari materi sebagai
sesuatu yang bergerak. Di sini tidak ada selembar daun pun dari ‘unsur‐
unsur, dan dengan demikian kaum idealis secara tangan terbuka
menyambut kaum agnostisis.
Dalam karya ini, Lenin membantah Machisme dengan
menyatakan: “Seluruh Machisme berjuang dari awal sampai akhir
melawan ilmu‐alam ‘metafisis’ dengan menamakan materialisme alamiah‐
ilmiah, yaitu keyakinan yang secara instingtif, yang tak disadari, yang
tak tersusun, yang secara filosofis tak sadar, keyakinan daripada
mayoritas terbesar ahli ilmu‐alam terhadap realitas objektif dunia luar
yang dicerminkan oleh kesadaran kita.”
Lenin menyatakan bahwa kaum idealis filosofis adalah kawan
seperjuangan dan penerus dari kaum empiriokritisis.225 Sesudah mengkritik
keras, sebagaimana mestinya, kaum empiriokritisis Rusia dan guru‐
guru asing mereka, Lenin dalam bukunya sampai pada kesimpulan
mengenai revisionisme di bidang filsafat dan teori sebagai berikut:
1. Pemalsuan Marxisme yang semakin halus, penyajian yang
semakin halus ajaran-ajaran anti-materialis dengan kedok Marxisme—itulah yang mencirikan revisionisme modern baik dalam ekonomi politik, dalam masalah-masalah taktik maupun dalam filsafat pada umumnya.
2. Seluruh mazhab Mach dan Avenarius menuju idealisme. 3. Kaum Machis kita semuanya telah terjerat dalam idealisme. 4. Di belakang skolastisisme epistemologis dari empiriokritisme
orang tidak boleh tidak melihat perjuangan partai-partai dalam filsafat, perjuangan yang pada akhirnya mencerminkan kecenderungan-kecenderungan dari ideologi klas-klas yang bermusuhan dalam masyarakat modern
5. Peranan klas yang objektif dari empiriokritisisme pokoknya berupa pengabdian sepenuhnya kepada kaum fideis (kaum reaksioner yang mengutamakan kepercayaan daripada ilmu) dalam perjuangan mereka menentang materialisme pada umumnya dan materialisme historis pada khususnya.
6. Idealisme filsafat adalah ... jalan menuju klerikalisme.226 225 Ibid., h.181. 226 Komisi CC PKUS (B), Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki), Bahan Pelajaran Singkat, Disahkan oleh CC PKUS (B) 1938, Penerbit Indonesia Progresif, 1984, h.157.
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 245
X
Dialektika: dari Herakleitos, Lewat Hegel,
Marx–Engels dan Lenin, sampai Mao Zedong
MATERIALISME berkembang maju seiring dengan perkembangan
pemikiran manusia. Dari materialisme primitif filsuf Yunani kuno
Demokritos (kira‐kira 460—370 SM) yang mengajarkan bahwa materi
terkecil adalah atom yang tak dapat dibagi lagi yang berada di ruang
hampa, menjadi materialisme Epikurus (341—270 SM) yang mengajarkan
atom‐atom itu bergerak secara abadi dengan kecepatan yang sama, tidak
mempunyai kualitas kecuali bentuk, ukuran, dan berat; berkembang
menjadi materialisme Feuerbach (1804—1872) yang metafisis; dan sampai
pada materialisme Marx, materialisme dialektis—pandangan materialisme
dengan metode berpikir dialektika.
Cara berpikir manusia berkembang sesuai dengan perkembangan
sejarah kemanusiaan. Pada zaman Tiongkok kuno, menurut ajaran Lao
Zi (kira‐kira 581—500 SM) dalam Daoisme, di alam raya tak ada yang
tetap, yang permanen, yang tak berubah; ada yang lenyap, datang
penggantinya, maka sudah terdapat pikiran mengenai peralihan sesuatu
menjadi lawannya. 227 Dao adalah kategori alam raya yang tidak
tergantung pada benda‐benda lainnya yang mana pun, Dao adalah selalu
berubah dan bergerak, bergerak dalam lingkaran‐lingkaran. De, di lain pihak
adalah perluasan dari Dao, penerapannya dalam kehidupan, masyarakat
dan politik. Pandangan ajaran Daoisme yang menyatakan hal ihwal
selalu berubah, dan ungkapan‐ungkapan yang terdapat dalam Dao De
Jing: “yang tak penuh, berubah menjadi penuh; yang bengkok menjadi
227 Laozi, op.cit., h.45.
246 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
lurus; yang usang menjadi baru” menunjukkan perubahan hal ihwal
menjadi yang sebaliknya, adalah mengandung unsur‐unsur dialektika.
Ahli pikir Yunani kuno Herakleitos (kira‐kira 535—475 SM)
mengajukan ungkapan Panta Rhei, segala‐galanya mengalir, segala‐galanya
berubah. Inilah akar dari dialektika. Di samping Herakleitos terdapat
Plutarchus dengan ungkapannya: ”yang hidup dan yang mati”, “yang
jaga dan yang tidur”, “yang muda dan yang tua”, “bagi kita adalah itu‐
itu juga”. Di sini terdapat unsur‐unsur kesatuan dari hal‐hal yang
bertentangan, salah satu unsur penting dari dialektika.
Menurut George Wilhelm Friedrich Hegel (1770—1831), dialektika
adalah satu‐satunya metode pengenalan yang benar, yang berlawanan
dengan metafisika. Pertama‐tama Hegel mengungkapkan masalah
kesamaan antara dialektika, logika dan teori pengenalan (epistemologi). Hegel
merumuskan bahwa hukum‐hukum pokok dialektika adalah: hukum
kontradiksi, hukum peralihan kuantitas ke kualitas, dan hukum negasi dari
negasi. Hegel memaparkan hukum dialektika tentang perkembangan
sebagai sebab dan akibat, kemungkinan dan keharusan, kesamaan dan
perbedaan, isi dan bentuk, yang abstrak dan yang konkret.
Dialektika berkembang dari masa ke masa, sesuai dengan
perkembangan sejarah manusia berpikir. Hegel adalah filsuf Jerman
yang mengembangkan metode berpikir dialektika dari Herakleitos. Hegel
mengungkap, mendalami, berbagai segi dan unsur dari dialektika.
Masalah pokok dari filsafat dipecahkan oleh Hegel dengan posisi
idealisme positif. Yang menjadi dasar semua gejala alam dan masyarakat
adalah jiwa dunia. Menurut Hegel, jiwa dunia adalah yang utama
(primer) dan abadi, alam adalah kelahiran (turunan) dari jiwa. Baginya,
jiwa dunia adalah “ide mutlak (absolut)” adalah “kesadaran ketuhanan”.228
“Ide mutlak” Hegel yang melahirkan alam dan manusia, pada
hakikatnya tidak berbeda dengan Tuhan menurut kepercayaan gereja.229
Inilah akar idealisme Hegel. Mengenai hal ini Lenin menyatakan:
“Hakikat idealisme adalah mengutamakan kejiwaan sebagai titik tolak; dari
sifat luarnya; dari situ baru kemudian muncul alam, dan hanya kemudian
barulah ada alam kesadaran manusia biasa. Oleh karena itu, yang
bersifat ‘kejiwaan’ yang primer ini selalu menjadi ‘abstraksi yang tak
228 Istoriya Filosofii (Sejarah Filsafat), Jilid II, Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa, 1957, h.74—75. 229 Ibid., h.80.
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 247
bernyawa’ yang menyembunyikan teologi yang cair. Misalnya saja, setiap
orang tahu tentang apa itu pikiran (ide) manusia, tetapi pikiran (ide)
yang bebas dari manusia dan ada lebih dulu dari manusia adalah
omong kosong; satu ide yang abstrak, Ide Absolut, adalah satu penemuan
teologi dari Hegel yang idealis.”230
Marx menjungkirbalikkan dialektika Hegel, mengambil intinya,
membuang seginya yang idealis dan menggantinya dengan yang
materialis. Mengenai dialektika, Engels memaparkan dalam karya Anti‐
Dühring tentang “perubahan‐perubahan kuantitas menjadi kualitas”,
bahwa ”perubahan kuantitatif pada rumus molekul menghasilkan
benda yang kualitatif berbeda.”231
Dalam Dialektika Alam, Engels menulis: “Dialektika sebagai ilmu
dari saling hubungan universal; hukum‐hukum pokoknya adalah:
perubahan kuantitas dan kualitas; saling menyusup antara kutub‐kutub
yang bertentangan dan saling berubah sesamanya; perkembangan
melalui kontradiksi atau negasi dari negasi; perkembangan yang
berlangsung dalam bentuk lingkaran spiral.”232
Dalam Anti‐Dühring, Engels menulis: “Gerak itu sendiri adalah
kontradiksi. Jika perpindahan tempat yang sederhana mengandung
kontradiksi, maka demikian pulalah dalam bentuk‐bentuk gerak lebih
tinggi dari materi, dan lebih istimewa lagi dalam kehidupan organik
dan perkembangannya. Maka oleh karena itu hidup adalah kontradiksi ...
begitu berhenti kontradiksi, maka hidup pun berakhir.”233
Lenin secara luas dan mendalam mempelajari masalah dialektika.
Dari mempelajari karya Hegel, Ilmu Logika, Lenin mencatat 16 unsur
dialektika sebagai berikut:
1. Objektivitas dalam memandang hal ihwal. 2. Pelajari keseluruhan saling-hubungan yang banyak segi dari
hal ihwal. 3. Pelajari perkembangan hal ihwal, geraknya sendiri, hidupnya
sendiri.
230 V.I. Lenin, op.cit., h.214. 231 Frederick Engels, Anti-Dühring, Herr Eugen Dühring’s Revolution in Science, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1954, h.177. 232 Frederick Engels, Dialectics of Nature, Progress Publishers, Moscow, 1964, h.17. 233 Frederick Engels, op.cit., h.167—168.
248 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
4. Pelajari kecenderungan kontradiksi internal hal ihwal tersebut. 5. Hal ihwal (gejala) harus dipandang sebagai jumlah dan
persatuan segi-segi yang bertentangan. 6. Perjuangan dari segi-segi yang bertentangan. 7. Pemaduan analisa dan sintesa—terpecahnya bagian-bagian,
penjumlahan bagian-bagian itu bersama. 8. Saling hubungan setiap hal-ihwal. 9. Bukan hanya persatuan dari segi-segi yang bertentangan, tetapi
juga peralihan tiap-tiap kualitasnya, peralihan penampilannya, segi-seginya menjadi tiap-tiap lainnya (lawannya yang berkontradiksi).
10. Proses penemuan yang tak habis-habisnya atas segi-segi baru, saling hubungan, dan lain-lain.
11. Proses yang tak habis-habisnya dalam pendalaman pemahaman manusia atas hal ihwal, gejala-gejala, berbagai proses, dan lain-lain, dari gejala luar ke hakikat, dan dari hakikat yang kurang mendalam ke yang lebih mendalam.
12. Dari koeksistensi ke sebab dan akibat (kausalitas) dan dari satu bentuk saling hubungan ke bentuk yang lain, yang lebih mendalam, lebih bersifat umum.
13. Pengulangan menjadi tingkat yang lebih tinggi dari penampilan tertentu sifat hal-ihwal.
14. Pengulangan bagaikan kembali balik pada yang lama, negasi dari negasi.
15. Perjuangan isi dan bentuk dan sebaliknya. Pembuangan bentuk, transformasi isi.
16. Peralihan kuantitas dan kualitas, dan sebaliknya.234
Selanjutnya Lenin menulis, “Secara ringkas, dialektika dapat
didefinisikan sebagai ajaran tentang persatuan segi‐segi yang bertentangan.
Ini adalah inti dialektika, tapi ini memerlukan penjelasan dan
pengembangan.”235
Dari 16 unsur dialektika ini, Lenin memusatkan pada tiga hal:
1. Persatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang berkontradiksi. 2. Perubahan sesuatu menjadi segi yang berlawanan, peralihan kuantitas menjadi kualitas, dan sebaliknya.
3. Negasi dari negasi. 234 V.I. Lenin, Kumpulan Karya, bahasa Rusia, edisi V, Jilid XXIX, h.203—204. 235 V.I. Lenin, op.cit., h.204.
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 249
Lenin mengajarkan bahwa, “Dialektika adalah ajaran yang paling
menyeluruh dan mendalam mengenai perkembangan.”236
Lebih lanjut, dalam tulisan Tentang Masalah Dialektika, Lenin
menulis, “Terbaginya suatu kesatuan menjadi dua dan pengenalan atas
bagian‐bagiannya yang berkontradiksi adalah hakikat (salah satu yang
hakiki, salah satu karakteristik atau ciri yang pokok, jika bukan terpokok)
dialektika…. Kesamaan dari segi‐segi yang bertentangan … adanya
tendensi‐tendensi yang berkontradiksi, saling menyisihkan dan berlawanan
di dalam segala gejala dan proses alam (termasuk jiwa dan masyarakat).
Syarat bagi pengetahuan tentang semua proses dunia dalam ‘gerak
sendiri’ mereka, dalam perkembangan spontan mereka, dalam
kehidupan nyata mereka, adalah pengetahuan tentang mereka sebagai
kesatuan dari segi‐segi yang bertentangan. Perkembangan adalah
‘perjuangan’ dari segi‐segi yang bertentangan.
Kesatuan (kesesuaian, kesamaan, keseimbangan‐aksi) segi‐segi
yang berlawanan adalah bersyarat, sementara, tak kekal, relatif.
Perjuangan segi‐segi yang berlawanan yang saling menyisihkan adalah
mutlak, sebagaimana juga perkembangan dan gerak adalah mutlak.”237
Dalam banyak kesempatan Lenin mengemukakan bahwa kontradiksi
adalah inti dari dialektika.
Dari mempelajari karya‐karya Lenin inilah Mao Zedong pada
tahun 1937 menulis karyanya Tentang Kontradiksi. Karya ini dimulai
dengan kalimat: “Hukum kontradiksi di dalam hal ihwal, yaitu hukum
kesatuan dari segi‐segi yang berlawanan, adalah hukum terpokok
dialektika materialis. Lenin sering menamakan hukum ini hakikat
dialektika, juga menamakannya inti dialektika.”238 Mao Zedong sangat
mencengkam isi karya Lenin Tentang Masalah Dialektika. Dalam karya
Tentang Kontradiksi terdapat 13 kutipan karya Lenin. Tujuh di antaranya
236 V.I. Lenin, Karl Marx, Kumpulan Karya Lengkap, Jilid XXVI, h.53. 237 V.I. Lenin, Ibid., h.316—322. 238 Lihat Empat Karya Filsafat, Ketua Mao Tjetung, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1970, h.47. Semenjak pertengahan tahun lima puluhan abad lalu, karya Mao Zedong ini sudah dikenal di Indonesia. Antara tahun 1956 dan 1964, Jajasan Pembaruan sudah mencetak empat kali terjemahan Indonesia karya ini. Di samping itu, Pustaka Bahasa Asing Peking berkali-kali menerbitkan terjemahan Indonesia karya ini. Dan juga dimuat dalam Pilihan Tulisan Mao Tje-tung, Jilid Pertama, serta terdapat berbagai edisi ukuran saku.
250 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
adalah dari karya Lenin Tentang Masalah Dialektika.
Tentang Kontradiksi adalah karya filsafat. Sebagaimana karya
filsafat pada umumnya, adalah tidak mudah untuk dicerna dan
dikuasai. Lebih‐lebih lagi jika membacanya bukan dari bahasa aslinya.
Tetapi karena pemaparannya yang populer, Mao Zedong bisa
menguraikan inti dialektika, yaitu ajaran Tentang Kontradiksi yang mudah
dipahami.
Sayang, kesalahan dalam terjemahan menyebabkan kesalahan
dalam memahaminya. Dalam edisi Indonesia yang diterbitkan Jajasan
Pembaruan tahun 1958 h.22, dan edisi tahun 1959 h.25, istilah Tionghoa
gen ben diterjemahkan pokok; maka gen ben mao dun239 diterjemahkan
menjadi kontradiksi pokok. Dalam edisi tahun 1958 h.30, dan edisi tahun
1959 h.35, istilah Tionghoa zhu yao diterjemahkan juga jadi pokok; dan
zhu yao mao dun240 diterjemahkan menjadi kontradiksi pokok. Dengan
demikian dua istilah Tionghoa yang berbeda artinya, yaitu gen ben mao
dun dan zhu yao mao dun diterjemahkan menjadi kontradiksi pokok. Oleh
karena itu adalah salah, memahami kontradiksi dasar sama dengan
kontradiksi pokok.
Yang rapi adalah terjemahan bahasa Rusia, yang menggunakan
kata osnovnoye protivoreciye 241 untuk gen ben mao dun, dan glavnoye
protivoreciye242 buat zhu yao mao dun. Osnovnoye protivoryeciye adalah
kontradiksi dasar, dan glavnoye protivoryeciye adalah kontradiksi pokok. Dua
kontradiksi ini sangat berbeda. Penyelesaian kontradiksi dasar berarti
terjadinya perubahan kualitatif hal ihwal. Jadi, untuk mengubah kualitas
suatu hal ihwal, haruslah diselesaikan kontradiksi dasarnya. Dalam
keadaan banyaknya kontradiksi dalam satu hal ihwal, terdapat satu
kontradiksi yang pokok, yang memainkan peranan memimpin dalam
hal ihwal tersebut; yang jika diselesaikan, akan mempermudah
penyelesaian kontradiksi dasar. Maka pilihlah dan tetapkan kontradiksi
239 根本矛盾;Gēnběn máodùn, dalam bahasa Mandarin berarti “kontradiksi dasar”. 240 主要矛盾;Zhǔyào máodùn, dalam bahasa Mandarin berarti “kontradiksi pokok”. 241 Oсновной противоречие; osnovnoy protivorechiye, dalam bahasa Rusia berarti “kontradiksi dasar”. 242 Главное противоречие; glavnoye protivorechiye, dalam bahasa Rusia berarti “kontradiksi pokok”.
X — Dialektika: dari Herakleitos sampai Mao Zedong | 251
pokok, salah satu di antara kontradiksi yang banyak itu. Penyelesaian
kontradiksi pokok itu akan memudahkan penyelesaian kontradiksi dasar.
Oleh karena itu, memilih dan menetapkan kontradiksi pokok serta
mencengkam penyelesaian kontradiksi pokok adalah sangat penting untuk
memudahkan penyelesaian kontradiksi dasar.
Dengan karya Tentang Kontradiksi, Mao Zedong telah
memperkaya filsafat Marxis, memperdalam ajaran tentang dialektika.
Memahami dan menguasai karya ini berarti mempersenjatai diri dengan
dialektika Marxis, metode berpikir ilmiah yang diperlukan untuk
melawan pembodohan.
252 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XI — Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu | 253
XI
Hukum Satu Pecah Jadi Dua
dan Dua Bergabung Jadi Satu
DALAM memandang atau mempelajari semua hal ihwal, Lenin
mengajukan metode razdvoyeniye yedyinovo243—terbaginya satu kesatuan
menjadi dua dan yedyinstvo protivopolozhnostyei244—persatuan segi‐segi
yang bertentangan, sebagai hukum dari dialektika. 245 Ungkapan ini
secara populer bisa dipahami sebagai satu pecah menjadi dua dan dua
bergabung menjadi satu.
Segala hal ihwal, baik hal ihwal alam semesta, hal ihwal
masyarakat, atau pun hal ihwal pikiran, haruslah dipandang atau
dipelajari dalam geraknya, dalam proses perubahannya. Pada setiap hal
ihwal pasti terdapat berbagai seginya. Segi‐segi dalam satu hal ihwal itu
saling berbeda, saling bertentangan, saling berkontradiksi. Proses
perubahan hal ihwal itu terjadi dalam bentuk bentrok atau perjuangan
segi‐segi yang bertentangan. Atau dalam bentuk persatuan dari segi‐segi
yang bertentangan. Kedua‐dua kejadian ini adalah pelaksanaan hukum
dialektika.
Hujan adalah peristiwa alam yang sangat biasa. Hujan terjadi
karena mengendapnya uap air dari awan disebabkan oleh penurunan
temperatur. Uap yang ringan karena molekul‐molekul air yang
243 Раздвоение единого; razdvoyeniye yedinogo, dalam bahasa Rusia berarti “terbaginya satu kesatuan menjadi dua”. 244 Единствоп ротивоположностей; yedinstvo protivopolozhnostey, dalam bahasa Rusia berarti “persatuan segi-segi yang bertentangan”. 245 Baca karya Lenin Tentang Masalah Dialektika.
254 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
renggang melayang sebagai awan. Dengan penurunan temperatur di
udara, molekul‐molekul air yang renggang itu jadi memadat, bersatunya
molekul‐molekul air itu menjadi air. Turunlah hujan. Yang terjadi adalah
bersatunya segi‐segi hal ihwal, dalam hal ini bersatunya molekul‐
molekul uap air, hingga menghasilkan hal ihwal yang baru, yaitu air
hujan. Campuran dua warna bisa menghasilkan warna baru, seperti
kuning dicampur dengan biru akan menghasilkan hijau; merah
dicampur dengan biru akan menghasilkan lembayung. Di sini terjadi
bersatunya segi‐segi yang bertentangan, menghasilkan hal yang baru,
dua bergabung menjadi satu.
Mendidihnya air yang dipanaskan adalah peristiwa fisika
perubahan air menjadi uap. Molekul air yang semula bersatu, karena
dipanaskan menjadi saling berpisahan hingga terbentuk uap air. Di sini
terjadi terpecahnya kesatuan molekul air menjadi molekul uap yang
berbeda sifatnya dengan air. Sinar yang tanpa warna bisa diurai menjadi
pelangi warna‐warni dengan melewatkan sinar tersebut pada suatu
prisma. Yang terjadi adalah terbaginya satu kesatuan menjadi segi‐segi
yang berlainan, satu pecah menjadi dua.
Bom hidrogen adalah bahan ledak fusi nuklir yang terjadi karena
berlangsungnya fusi nuklir, yaitu penggabungan dua isotop hidrogen,
deuterium dan tritium. Fusi ini membentuk helium dan neutron, dan
mengeluarkan energi yang dahsyat. Ini adalah peristiwa penggabungan,
bersatunya dua jenis atom yang melahirkan atom baru. Dalam fisika
plasma terjadi proses fusi nuklir, yaitu penggabungan atom‐atom yang
berbeda dan melahirkan unsur baru dan bersamaan dengan itu
timbulnya energi yang luar biasa besarnya. Di sini berlangsung proses
dua bergabung menjadi satu.
Di samping itu, terjadi pemecahan nuklir, fisi‐nuklir, transmutasi
nuklir, yaitu atom yang radioaktif berproses mengeluarkan sinar
(radiasi) alfa, beta, dan gamma, dan menjadi unsur baru. Helium‐4 yang
memiliki dua neutron dan dua proton, karena radiasinya sendiri
menjadi berubah menjadi unsur baru, deuterium. Demikian pula atom‐
atom yang radioaktif uranium U‐235 dan plutonium Pu‐239
mengeluarkan radiasi. Proses ini mengeluarkan energi yang besar. Inilah
dasar pembentukan bom atom dan pembangkit tenaga listrik nuklir
komersial. Di sini terjadi terpecahnya atom melahirkan yang baru. Yang
terjadi adalah satu pecah menjadi dua.
XI — Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu | 255
Penguraian dalam proses kimia adalah terpecahnya segi‐segi
yang bertentangan dari suatu persenyawaan kimia. Molekul air, H2O,
adalah persenyawaan yang terdiri dari atom‐atom H2 dan O2, dapat
pecah menjadi molekul‐molekul H2 dan O2. Kebalikannya,
penggabungan dua atom hidrogen dengan satu atom oksigen
membentuk molekul air. Kualitas molekul air berbeda dengan kualitas
molekul hidrogen dan molekul oksigen. Dalam kedua macam proses
kimia itu, terjadi perubahan kualitas air (H2O) menjadi molekul
hidrogen (H2) dan molekul oksigen (O2). Dan sebaliknya, molekul
hidrogen (H2) bergabung dengan molekul oksigen (O2) membentuk
molekul air (H2O). Banyak sekali peristiwa reaksi kimia berlangsung
dalam bentuk penyatuan atom‐atom yang berbeda, menjadi molekul
dengan kualitas baru sama sekali. Penyatuan dan pemisahan terjadi
dalam proses perubahan kualitas suatu persenyawaan kimia.
Dalam biologi, bergabungnya sperma dengan telur dalam indung
telur melahirkan embrio—kecambah yang akan tumbuh jadi benda
hidup baru. Hidup adalah berlangsungnya proses perubahan kimia
dalam sel‐sel yang merupakan bagian dari benda hidup. Dari benda
hidup yang paling sederhana, mikroba‐mikroba atau binatang satu sel
hidup dengan melangsungkan mengonsumsi oksigen dan membuang
kotoran ampas dari cernaan. Oksigen yang dikonsumsi beroperasi
dalam sel, menyebabkan perubahan‐perubahan kromosom yang
terpecah menjadi berlipat ganda. Penggandaan kromosom, terpecahnya
kromosom menjadi berlipat‐ganda menyebabkan terbentuknya sel‐sel
baru. Terbentuknya sel baru itulah yang merupakan proses hidup. Hal
ini terjadi pada binatang satu sel sampai pada makhluk paling rumit,
manusia. Proses penggabungan‐penggabungan dan pemecahan‐
pemecahan jalin‐berjalin. Demikianlah dialektika hidup.
Dalam masyarakat, banyak terjadi perubahan kekuasaan negara,
perubahan pemerintah, perubahan kekuasaan politik yang berlangsung
lewat perjuangan golongan‐golongan politik yang saling mengalahkan,
lewat perjuangan klas, satu klas mengalahkan klas lawannya, lewat
revolusi hingga terbentuk kekuasaan politik baru yang menjadi ciri baru
dari masyarakat yang berubah itu. Perubahan ini terjadi lewat
kontradiksi yang antagonistik, yaitu salah satu dari segi‐segi yang
berkontradiksi itu menang mengalahkan segi lawannya. Inilah
perjuangan dari segi‐segi yang bertentangan.
256 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Banyak juga terjadi perubahan kekuasaan politik, yang
berlangsung lewat persatuan dari segi‐segi yang bertentangan, yaitu terjadi
dengan terwujudnya koalisi berbagai kekuatan sosial yang semula
saling bertentangan, hingga melahirkan satu pemerintah koalisi dengan
ikut serta atau didukung oleh semua unsur masyarakat yang saling
bertentangan itu.
Jadi, satu pecah menjadi dua dan dua bergabung menjadi satu adalah
hukum dialektika yang tidak semestinya dipertentangkan, karena dua‐
duanya berlaku dalam syarat‐syarat tertentu pada proses perubahan
suatu hal ihwal.
Dalam karya Tentang Mengurus Secara Tepat Kontradiksi di Kalangan
Rakyat, tahun 1957, Mao Zedong secara populer memaparkan perbedaan
antara kontradiksi di kalangan rakyat dan kontradiksi dengan musuh;
dipaparkan pengertian rakyat dan pengertian musuh; serta jalan dan
usaha yang harus ditempuh dalam menyelesaikan berbagai kontradiksi
di kalangan rakyat. Dipergunakan kediktaturan terhadap musuh, dan
demokrasi terhadap rakyat. Inilah pelaksanaan diktatur demokrasi
rakyat. Diktatur demokrasi rakyat hakikatnya adalah diktatur
proletariat. Di Tiongkok, diktatur demokrasi rakyat adalah kekuasaan
politik kerja sama multi‐partai di bawah pimpinan Partai Komunis.
Dalam menyelesaikan kontradiksi di kalangan rakyat
dipergunakan metode meyakinkan, metode kritik menghindari
kontradiksi yang antagonistis. Dipergunakan pedoman mengobat
penyakit untuk menyembuhkan si sakit. Dewasa ini, dalam
pembangunan sosialisme berkepribadian Tiongkok, membangun
masyarakat yang cukup sejahtera dan harmonis, pasti akan menghadapi
banyak kontradiksi dalam masyarakat. Tentulah akan banyak berlaku
metode dialektika persatuan segi‐segi yang bertentangan, dua
bergabung menjadi satu menghindari kontradiksi‐kontradiksi yang
antagonistis dalam memecahkan kontradiksi‐kontradiksi ini.
Dalam masyarakat Indonesia, pengalaman menunjukkan di kala
berlangsungnya Revolusi Agustus 1945, rakyat sedang berjuang
melawan kaum kolonial Belanda yang ingin kembali berkuasa. Berbagai
kontradiksi terdapat dalam masyarakat. Kontradiksi antara kaum tani
dengan kaum tuan tanah feodal, kontradiksi kaum buruh lawan
majikan, kontradiksi antara berbagai partai politik yang tumbuh
bagaikan jamur seusai hujan, kontradiksi antara berbagai kekuatan
XI — Hukum Satu Pecah Jadi Dua dan Dua Bergabung Jadi Satu | 257
bersenjata yang dibentuk rakyat. Kontradiksi‐kontradiksi ini dipecahkan
dengan metode persatuan segi‐segi yang bertentangan. Namun
kontradiksi rakyat melawan kaum kolonial dipecahkan dengan metode
saling mengalahkan, bahkan lewat pertempuran bersenjata. Dua jenis
kontradiksi, dipecahkan dengan dua metode yang berbeda. Kedua
metode itu adalah metode dialektika.
258 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XII — Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok | 259
XII
Tentang Hukum Kontradiksi:
Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok
DALAM karya Tentang Masalah Dialektika, Lenin mengemukakan bahwa
hukum kontradiksi adalah hukum pokok dari dialektika. Lenin
mendalami studi tentang masalah dialektika, sampai menemukan 16
jenis unsur dialektika. Dalam proses perkembangan segala hal ihwal
terdapat banyak kontradiksi. Bertambah rumit hal ihwal, bertambah
banyak kontradiksi di dalamnya. Di antaranya terdapat satu kontradiksi
dasar dan satu kontradiksi pokok. Memahami perbedaan antara kontadiksi
dasar dan kontradiksi pokok ini sangat penting.
Perubahan satu hal ihwal ditentukan oleh penyelesaian kontradiksi
dasar itu. Jika kontradiksi dasarnya terselesaikan, maka terjadilah
perubahan hal ihwal itu. Selama kontradiksi dasar belum terselesaikan,
belumlah berubah hakikat atau kualitas hal ihwal tersebut. Karena itu,
menemukan dan memahami kontradiksi dasar satu hal ihwal adalah
sangat penting.
Untuk mengubah kualitas suatu hal ihwal, harus dengan tepat
menentukan kontradiksi dasarnya. Itu dimulai dengan meneliti hakikat
hal ihwal yang akan diubah. Harus dipelajari secara konkret semua
saling hubungan dan semua kontradiksi yang ada. Dari sekian banyak
kontradiksi, pasti ada satu kontradiksi dasar. Pada hal ihwal yang rumit,
di samping kontradiksi dasar terdapat banyak kontradiksi lainnya.
Seringkali tidak bisa langsung kontradiksi dasar yang diselesaikan. Di
antara kontradiksi yang banyak itu, ada kontradiksi, yang jika
diselesaikan akan memudahkan atau membantu penyelesaian kontradiksi
260 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dasar. Kontradiksi ini adalah kontradiksi pokok. Dalam penyelesaian
semua hal ihwal, mencari kontradiksi pokoknya adalah jalan yang harus
ditempuh untuk sampai menyelesaikan kontradiksi dasar. Menghadapi
hal ihwal yang rumit, yang banyak kontradiksinya, haruslah
mencengkam satu kontradiksi pokok, sedangkan kontradiksi‐kontradiksi
lainnya adalah kontradiksi yang sekunder.
Dalam praktek, misalnya rombongan yang ingin menyeberangi
sungai. Untuk bisa sampai ke seberang, terdapat berbagai kontradiksi.
Melintasi, menyeberang sungai, adalah kontradiksi dasar. Sungai bisa
diseberangi jika ada jembatan, atau jika rombongan bisa berenang, atau
jika ada perahu. Dalam keadaan sungai sangat dalam, lebar, dan dengan
arus yang kuat, sulitlah penyeberangan dilakukan dengan berenang.
Jika tak ada jembatan, menyeberang dengan naik perahu adalah satu‐
satunya jalan. Maka mendapatkan perahu merupakan kontradiksi pokok.
Adanya perahu, tetapi kalau tidak dipakai, kontradiksi dasar belum
terpecahkan. Dengan didapatnya perahu, maka mudahlah dilakukan
penyeberangan sungai, yaitu dapatlah memecahkan kontradiksi dasar.
Maka sebelum menyelesaikan kontradiksi dasar, harus diselesaikan lebih
dulu kontradiksi pokok. Tanpa menyelesaikan kontradiksi pokok ini,
kontradiksi dasar tidak bisa diselesaikan.
Dalam alam semesta, setiap hal ihwal yang berubah selalu terjadi
lewat penyelesaian kontradiksi dasarnya. Air bisa berubah menjadi uap,
jika molekul air mencapai titik didih 100 derajat celsius. Temperatur air
adalah menentukan sifat air sebagai benda padat (es), benda cair (air),
atau uap (yang menguap). Dengan memberi panas, maka temperatur air
bisa mencapai titik didih, yaitu 100 derajat celsius, maka terjadilah
perubahan air menjadi uap. Di sini, perubahan temperatur adalah
kontradiksi dasar dalam proses perubahan sifat air. Mengubah temperatur
air adalah cara memecahkan kontradiksi dasar itu.
Dalam biologi, tumbuh‐tumbuhan hidup mulai dari biji‐bijian
kering yang tumbuh menjadi kecambah. Tumbuhnya biji kacang
menjadi kecambah adalah lewat proses kimia, yaitu berlangsungnya
perubahan sel‐sel organik dalam biji kacang itu. Biji kacang harus
dipandang satu kesatuan dengan sekitarnya. Untuk proses perubahan,
di sekitarnya harus terdapat peranan: air, temperatur tertentu, dan
oksigen. Dalam keadaan biasa, yaitu temperatur ruangan dan udara
sebagaimana biasa, maka adanya air adalah menentukan untuk
XII — Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok | 261
berlangsungnya proses kimia dalam biji kacang tersebut. Adanya air
merupakan kontradiksi pokok untuk bisa berlangsungnya penyelesaian
kontradiksi dasar, yaitu dengan disiramkan air ke biji kacang, atau biji
kacang direndam dalam air berlangsunglah hidup biji kacang menjadi
kecambah. Tanpa air yang disiramkan pada biji kacang, tak akan
tumbuh biji itu, tak akan selesai kontradiksi dasarnya. Mendapatkan air
adalah kontradiksi pokoknya. Adanya air saja, yaitu terpecahkannya
kontradiksi pokok, belumlah berarti terpecahkan kontradiksi dasar. Biji
kacang baru berubah menjadi kecambah, kontradiksi dasar baru
terpecahkan, bila air disiramkan pada kacang atau kacang direndamkan
dalam air. Dengan demikian, sangat jelas beda artinya kontradiksi dasar
dan kontradiksi pokok.
Dalam proses perubahan masyarakat, masyarakat jajahan bisa
berubah menjadi masyarakat merdeka. Menurut pengalaman Indonesia,
dalam masyarakat jajahan terdapat banyak kontradiksi. Ada kontradiksi
antara rakyat melawan kaum kolonial, kontradiksi antara kaum tani
melawan tuan tanah feodal, kontradiksi antara buruh melawan majikan,
kontradiksi antara berbagai golongan pedagang, kontradiksi antara
pedagang melawan kaum tani, kontradiksi antara berbagai golongan
politik atau partai politik. Kontradiksi dasarnya adalah kontradiksi antara
massa rakyat anti‐kolonial melawan kaum kolonial. Kalau kontradiksi
ini terpecahkan, maka berubahlah masyarakat jajahan itu menjadi
masyarakat merdeka. Walaupun kontradiksi antara kaum tani dan tuan
tanah terpecahkan, kontradiksi antara pedagang dengan kaum tani
terpecahkan, tetapi jika kontradiksi rakyat dengan kaum kolonial tidak
terpecahkan, maka masyarakat tetap adalah masyarakat jajahan, tidak
terjadi perubahan sifat masyarakat. Maka kontradiksi antara rakyat
tertindas melawan kaum kolonial adalah kontradiksi dasar masyarakat
jajahan. Oleh karena itu, penyelesaian berbagai kontradiksi yang banyak
itu harus mengabdi pada penyelesaian kontradiksi dasar.
Jadi, kontradiksi‐kontradiksi yang banyak terdapat dalam satu
hal ihwal itu tidak menempati kedudukan yang sama. Satu di antaranya
adalah kontradiksi dasar. Pada umumnya, tidaklah bisa langsung
diselesaikan kontradiksi dasar itu. Ada sejumlah kontradiksi tertentu yang
harus diselesaikan terlebih dulu untuk bisa menyelesaikan kontradiksi
dasar. Di antara sekian banyak kontradiksi itu, ada satu di antaranya
yang jika diselesaikan, memainkan peranan mempercepat atau
262 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mempermudah penyelesaian kontradiksi dasar. Kontradiksi ini adalah
kontradiksi pokok. Selesaikan dulu kontradiksi pokok, maka akan mudah
dan cepat bisa diselesaikan kontradiksi dasar. Penyelesaian kontradiksi
pokok ini mempunyai peranan mempermudah atau mempercepat
penyelesaian kontradiksi dasar. Kontradiksi dasar tidak bisa langsung
diselesaikan sebelum berbagai kontradiksi yang ada diselesaikan lebih
dulu. Oleh karena itu, perlu dengan tepat menentukan kontradiksi pokok
suatu hal ihwal. Jika kontradiksi pokok diselesaikan, akan mudah atau
cepat dapat diselesaikan kontradiksi dasar. Maka kontradiksi pokok bisa
diartikan ambeg parama arta.
Semenjak awal abad ke‐20, sejarah Indonesia mencatat
perubahan‐perubahan masyarakat yang penting. Dari penjajahan
Belanda, tahun 1942 Indonesia berubah menjadi penjajahan Jepang.
Selama penjajahan Belanda, kontradiksi dasar masyarakat Indonesia
adalah kontradiksi antara rakyat jajahan melawan kaum kolonial
Belanda. Di zaman Jepang, kontradiksi dasar masyarakat adalah antara
rakyat melawan penguasa fasis Jepang. Kekalahan fasis Jepang dalam
Perang Dunia II memberi kesempatan bagi rakyat Indonesia merebut
kemerdekaan. Meletuslah Revolusi Agustus 1945 dan dengan
Proklamasi 17 Agustus Indonesia menjadi negeri merdeka. Kontradiksi
rakyat melawan penguasa fasis Jepang sudah terpecahkan dengan
kemenangan rakyat.
Sesudah menjadi negeri merdeka, timbullah kontradiksi baru.
Kemerdekaan Indonesia diancam oleh usaha kembalinya kaum kolonial
Belanda untuk berkuasa. Jika Belanda berhasil menguasai kembali
Indonesia, Indonesia berubah lagi menjadi negeri jajahan. Karena itu
kontradiksi rakyat Indonesia melawan usaha kembalinya kolonial
Belanda adalah kontradiksi dasar. Belanda melancarkan dua kali agresi
bersenjata untuk mengalahkan Republik Indonesia. Indonesia
memenangkan perjuangan membela kemerdekaan ini, hingga Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia. Sesudah kemerdekaan diakui
Belanda, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri di tengah‐tengah
kehidupan bangsa‐bangsa merdeka di dunia.
Selanjutnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia menghadapi
kontradiksi‐kontradiksi baru, yaitu masalah membangun perekonomian
negeri, membangun kebudayaan bangsa, mengembangkan pendidikan
nasional, membangun Angkatan Bersenjata RI, melawan usaha kaum
XII — Tentang Hukum Kontradiksi: Kontradiksi Dasar dan Kontradiksi Pokok | 263
rasialis mengadu‐domba antar berbagai etnis, melawan usaha‐usaha
kaum separatis yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan RI.
Dari sekian banyak kontradiksi yang muncul sesudah kedaulatan
Indonesia diakui Belanda, membela keutuhan NKRI adalah kontradiksi
dasar. Kontradiksi ini berwujud perjuangan melawan kaum separatis,
mulai dari melawan DI/TII yang mau mendirikan Negara Islam
Indonesia, sampai PRRI–Permesta yang mendirikan republik tandingan
di Sumatra.
Selama masa penjajahan Belanda pada awal abad ke‐20, berbagai
perjuangan berlangsung untuk memecahkan kontradiksi dasar, yaitu
untuk mengalahkan Belanda. Mulai dari lahirnya berbagai organisasi
rakyat, sampai berdirinya partai‐partai politik yang memperjuangkan
kemerdekaan nasional. Bahkan terjadi pemberontakan nasional
bersenjata tahun 1926 di bawah pimpinan PKI. Pemberontakan ini
ditindas dan dipadamkan Belanda karena kekuatan rakyat yang
memberontak tidak seimbang dengan kekuatan kekuasaan kolonial.
Partai‐partai politik yang membahayakan kekuasaan Belanda
dinyatakan terlarang oleh pemerintah Belanda seperti PKI dan PNI.
Dari mempelajari proses penyelesaian kontradiksi dasar
masyarakat Indonesia semenjak awal abad ke‐20 itu dapat dicatat,
pentingnya memperhatikan segi‐segi kontradiksi, yaitu kekuatan yang
bertarung dalam proses kontradiksi itu. Di zaman kolonial Belanda ada
dua segi yang berkontradiksi, yaitu kekuatan rakyat melawan kolonialisme
dan kekuatan kekuasaan kolonial. Kekuatan kekuasaan kolonial adalah
mengungguli kekuatan rakyat. Segi kontradiksi ini menduduki
kedudukan berkuasa, kedudukan memimpin. Hakikat hal ihwal
ditentukan oleh segi yang memimpin dalam kontradiksi dasarnya.
Kekuatan rakyat yang berlawan adalah segi kontradiksi yang lemah, tidak
memimpin. Kedua segi yang berkontradiksi ini tidaklah tetap, bisa
berubah. Yang kuat berubah menjadi lemah, sebaliknya yang lemah bisa
berubah menjadi kuat. Kegiatan pejuang kemerdekaan, mengorganisasi,
menggerakkan rakyat berpolitik, meningkatkan kesadaran rakyat,
adalah usaha untuk mengubah kekuatan yang lemah itu menjadi kuat.
Dalam situasi belum mampu mengalahkan kekuasaan kolonial Belanda,
maka membangun dan memperkuat kekuatan rakyat yang berjuang
merupakan kontradiksi pokok. Dengan kegiatan ini, segi rakyat yang
berjuang dapat diperkuat. Jadi segi‐segi yang saling berjuang, segi‐segi
264 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
yang berkontradiksi dalam kontradiksi dasar itu bisa berubah.
Karena pecahnya Perang Asia Timur Raya, kekuasaan kolonial
Belanda menjadi goyah dan ambruk, kedudukannya sebagai segi
kontradiksi yang memimpin digantikan oleh kekuasaan fasis Jepang.
Adanya segi kontradiksi baru, fasis Jepang yang memegang kekuasaan,
segi kontradiksi yang memimpin, maka hakikat masyarakat Indonesia
berubah menjadi masyarakat penjajahan Jepang.
Untuk mengubah satu hal ihwal, perlu diperhatikan segi‐segi
kontradiksi hal ihwal tersebut. Segi‐segi kontradiksi itu tidak tetap, bisa
berubah. Yang lemah menjadi kuat, yang kuat jadi lemah. Dengan
bermacam ragam kegiatan, bisa diusahakan mengubah segi‐segi
kontradiksi itu menurut kebutuhan. Perlu dicengkam segi pokok
kontradiksi, yaitu segi yang berdominasi, yang menentukan hakikat hal
ihwal.
XIII — Hukum Negasi dari Negasi | 265
XIII
Hukum Negasi dari Negasi
DI samping hukum persatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang
bertentangan, yaitu hukum kontradiksi yang adalah inti dialektika,
terdapat hukum‐hukum dialektika lainnya: hukum negasi dari negasi dan
hukum perubahan‐perubahan kuantitatif menjadi perubahan kualitatif.
Sejarah alam semesta adalah sejarah perubahan isi alam. Secara
terus‐menerus terjadi lahirnya yang baru dari yang lama. Penggantian yang
lama oleh yang baru terjadi dalam semua isi alam. Terjadi dalam benda‐
benda langit di tata surya, terjadi dalam kehidupan di bumi, dalam flora
dan fauna, dalam kehidupan makhluk manusia dan makhluk hewani.
Juga dalam masyarakat manusia.
Penggantian yang lama oleh yang baru terjadi juga dalam ilmu
pengetahuan. Hal ini terjadi dalam matematika, biologi, kimia, fisika,
masyarakat manusia, serta alam pikiran manusia. Perubahan silih
berganti ini berlangsung tak habis‐habisnya. Inilah hukum negasi dari
negasi. Karena itu, hukum negasi dari negasi adalah salah satu hukum
umum dialektika. Dengan menguasai hukum ini dapat dipahami proses
perubahan suatu hal ihwal, dapat diramalkan perubahan satu hal ihwal,
bahkan dapat dikendalikan arah perubahan satu hal ihwal.
Lahirnya bayi dari kandungan ibu, menghasilkan keturunan yang
melanjutkan ciri‐ciri pokok orang tuanya, ciri‐ciri pokok sang bapak dan
ibu. Di sini terjadi, yang baru lahir dari yang lama. Yang baru berpisah
dengan yang lama, yang baru adalah negasi yang lama. Yang baru tak
sepenuhnya sama dengan yang lama, tetapi ciri‐ciri pokok yang lama
terdapat padanya. Dalam satu hal ihwal yang berubah, bibit yang baru
sudah terdapat dalam yang lama. Bayi sebagai negasi dari ibu itu
266 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tumbuh menjadi dewasa. Pada waktunya akan dinegasi lagi oleh lahirnya
bayi baru dari kandungannya. Turun‐temurun, silih berganti,
berlangsunglah negasi dari negasi dalam kehidupan manusia. Proses silih
berganti ini berlangsung tak habis‐habisnya. Di sini kata negasi adalah
istilah filsafat. Artinya adalah pengganti dan kelanjutan dari yang lama,
jadi bukanlah berarti bantahan atau pembatalan sebagaimana yang
dipahami dalam istilah pergaulan.
Tumbuh‐tumbuhan, turun‐temurun berlangsung mengikuti
hukum perubahan ini. Dalam proses turun‐temurun, terjadi perubahan,
hingga sifat‐sifat yang lama tak sepenuhnya dipertahankan, tapi
ditambah dengan sifat‐sifat baru. Misalnya, biji rambutan jika ditanam
akan tumbuh pohon. Yang tumbuh bukan pohon mangga, tapi
rambutan. Buahnya tetap rambutan, sama dengan rambutan yang
bijinya ditanam itu. Bisa terjadi perubahan, rasanya bertambah manis
atau menjadi kurang manis. Hakikat pokoknya tetap rambutan. Dalam
perubahan ini berlaku hukum dialektika negasi dari negasi. Yang baru,
lahir dari yang lama. Yang lama, biji rambutan lama hilang, dinegasi,
muncul yang baru. Yang baru tetap memiliki sifat‐sifat yang lama. Yang
baru adalah negasi dari yang lama. Dalam yang lama sudah terkandung
bibit yang baru. Dalam proses perubahan selanjutnya, yang baru ini
akan dinegasi lagi dan muncul lagi yang baru. Ini adalah negasi dari
negasi yang dialektis. Jika biji rambutan itu dipukul dengan palu, atau
diinjak dengan sepatu, bisa hancur, menjadi lenyap, dinegasi, tapi tidak
melahirkan yang baru. Ini adalah negasi yang tidak dialektis, adalah
negasi yang non‐dialektis. Dalam hal ini tidak terjadi perkembangan.
Untuk perkembangan satu hal ihwal, diperlukan negasi yang dialektis,
yaitu ada syarat bagi lahirnya pengganti yang dinegasi.
Dengan menguasai hukum negasi dari negasi, perkembangan
biologi bisa dikendalikan dengan menciptakan syarat‐syarat bagi
munculnya negasi yang diinginkan. Dengan demikianlah ditemukan
bibit unggul, hingga bisa meningkatkan hasil pertanian. Begitu pula
dalam peternakan, turun‐temurunnya ternak yang dipelihara bisa
ditingkatkan kualitasnya dengan menciptakan syarat‐syarat yang
dibutuhkan bagi negasi yang dilahirkan dari ternak induk.
Hukum negasi dari negasi juga berlaku dalam matematika. Jika
bilangan a dinegasi, ia menjadi –a. Bilangan –a adalah negasi dari
bilangan a. Dan jika bilangan –a dinegasi lagi dengan mengalikannya
XIII — Hukum Negasi dari Negasi | 267
dengan –a , kita mendapat +a pangkat dua, yaitu bilangan a positif
semula, tapi dalam tingkat lebih tinggi, a pangkat dua. Terjadi
pengulangan, dengan yang baru itu lebih tinggi dari yang semula.
Demikian pula kita bisa mendapat a pangkat dua dengan mengalikan a
dengan a. A pangkat dua jika dicabut akarnya akan menghasilkan +a
atau –a.
Yang lama dinegasi, muncul yang baru dengan tetap membawa
ciri unsur yang lama. Terjadi proses silih berganti. Operasi‐operasi
matematika adalah proses negasi dari negasi. Mulai dari operasi‐operasi
sederhana, seperti penambahan, pengurangan, pengalian, pembagian,
pencabutan akar, sampai operasi matematika yang rumit seperti
logaritma, persamaan diferensial, dan persamaan integral. Bahkan
matematika modern pemodelan, komputasi dan simulasi adalah proses
negasi dari negasi.246
Dalam sejarah, terjadi perubahan masyarakat dari masyarakat
komune primitif menjadi masyarakat perbudakan, masyarakat
perbudakan digantikan lagi oleh masyarakat feodal, masyarakat feodal
digantikan oleh masyarakat kapitalis. Peralihan masyarakat komune
primitif menjadi masyarakat perbudakan adalah lewat hancurnya
masyarakat komune primitif, dinegasinya masyarakat komune primitif,
dan digantikan oleh negasinya, yaitu masyarakat perbudakan, dan
seterusnya.
Hukum negasi dari negasi juga berlaku dalam proses perubahan
masyarakat dalam sejarah Indonesia. Masyarakat jajahan lenyap, diganti
oleh masyarakat Indonesia merdeka. Penjajahan dinegasi oleh
kemerdekaan. Kekuasaan politik kolonial digantikan oleh kekuasaan
pemerintah nasional. Dari segi hukum dialektika negasi dari negasi,
pemerintah sipil Bung Karno digulingkan oleh rezim Soeharto, dinegasi
dengan mendirikan kediktatoran militer. Pemerintah Bung Karno yang
bekerja sama dengan komunis, yang mengangkat semboyan nasakom,
dinegasi oleh pemerintah Soeharto yang anti‐komunis. Teror anti‐
komunis dengan pembantaian ratusan ribu manusia oleh rezim
Soeharto hanyalah satu adegan dari skenario global pembasmian
komunisme dunia yang digalakkan Amerika Serikat. Bibit‐bibit anti‐
komunis itu sudah terdapat dalam pemerintah Bung Karno, yaitu
246 Baca karya Prof. M. Bunjamin, Pemodelan, Komputasi, dan Simulasi, dalam Sains dan Teknologi.
268 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Golkar dan kekuatan kanan Angkatan Darat yang mengikuti strategi
Perang Dingin, strategi the Policy of Containment—pembasmian
komunisme dunia—yang dikobarkan Amerika Serikat. Hukum negasi
dari negasi berlaku dalam proses penggulingan dan penggantian
pemerintah Bung Karno.
Hukum negasi dari negasi berlaku pula bagi proses
perkembangan semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial.
Mekanika Newton digantikan oleh mekanika kuantum kelanjutan dari
gagasan Niels Bohr tentang kuantum. Filsafat bertarung jalin‐berjalin
antara materialisme dan idealisme. Dialektika Hegel yang idealis
diserap dan dijungkirbalikkan oleh Marx menjadi dialektika materialis.
Materialisme Feuerbach yang metafisik dijungkirbalikkan menjadi
materialisme dialektik. Ajaran‐ajaran ekonomi politik Adam Smith dan
David Ricardo diserap dan dikembangkan oleh Marx dan Engels
dengan karya Das Kapital dan lain‐lain.
Lahirnya Marxisme adalah negasi dari ilmu sosial yang sudah ada
sebelumnya, yaitu semua ilmu sosial yang membenarkan penghisapan
manusia oleh manusia. Marx bukan hanya memakukan ajaran
perjuangan klas dari tokoh‐tokoh ilmu sosial sebelumnya, bahkan
melengkapinya dengan ajaran tentang diktatur proletariat. Dalam
perkembangan masyarakat kapitalis, Marxisme sudah tidak memadai
untuk melawan penghisapan kapital, untuk mewujudkan masyarakat
bebas dari penghisapan kapital, masyarakat tanpa penghisapan manusia
oleh manusia, untuk mewujudkan sosialisme.
Ajaran Marx tentang diktatur proletariat yang ditentang oleh
Bernstein, Kautsky, dan kaum sosial‐demokrat, dibela oleh Lenin.
Dengan tegas Lenin menyatakan, bahwa seseorang barulah Marxis, jika
di samping menerima ajaran klas dan perjuangan klas, juga menerima
ajaran diktatur proletariat. Memang, ajaran tentang klas dan perjuangan
klas bukanlah penemuan Marx. Jauh mendahului Marx, ajaran tentang
klas dan perjuangan klas sudah dipaparkan oleh tokoh sosialisme utopi
Perancis, Claude Henry Saint‐Simon, lebih‐lebih lagi Adam Smith dan
David Ricardo. Jadi yang asli dari Marx bukanlah ajaran perjuangan
klas, tetapi ajaran tentang diktatur proletariat.
Lenin bukan hanya membela ajaran diktatur proletariat Marx,
tetapi dengan konsekuen melaksanakannya dalam praktek hingga
berhasil memimpin Revolusi Oktober Sosialis Rusia tahun 1917 serta
XIII — Hukum Negasi dari Negasi | 269
mendirikan Uni Republik‐republik Sovyet Sosialis (URSS).
Mendirikan negara diktatur proletariat yang pertama di dunia.
Lenin mengembangkan ajaran tentang sosialisme, mulai dari filsafat,
ekonomi politik, pembangunan partai politik proletariat, hingga
Marxisme menjadi Leninisme. Leninisme lahir dari Marxisme.
Dipandang secara filosofis, dari segi metode dialektika, Leninisme
adalah negasi dari Marxisme.
Teori tentang sosialisme tidak berhenti sampai Leninisme. Di
Tiongkok, Leninisme yang dipraktekkan dalam revolusi dan dalam
pembangunan sosialis berkembang menjadi Pikiran Mao Zedong.
Pelaksanaan Pikiran Mao Zedong dalam pembangunan sosialisme
bercirikan Tiongkok di ujung abad ke‐20 melahirkan Teori Deng
Xiaoping.
Di Vietnam, berdasarkan syarat‐syarat sejarahnya sendiri,
Marxisme–Leninisme berkembang dengan Pikiran Ho Chi Minh. Di
Republik Demokrasi Korea, Marxime–Leninisme berlanjut menjadi
ajaran Juche dari Kim Il Sung. Partai Komunis Kuba yang dipimpin
Fidel Castro tetap menjadikan Marxisme–Leninisme sebagai ideologi
pembimbing partai, memimpin pembangunan sosialisme di Kuba.
Demikianlah hukum negasi dari negasi berlaku dalam
perkembangan teori sosialisme. Bahkan di Tiongkok, pada awal abad
ke‐21, sebagai hasil dari penyimpulan pengalaman dalam pembangunan
sosialisme berkepribadian Tiongkok, Teori Deng Xiaoping diperkaya
lagi dengan Pikiran Penting Tiga Butir Mewakili yang diajarkan oleh Jiang
Zemin, selanjutnya diperkaya lagi dengan Pandangan Ilmiah Tentang
Perkembangan yang dicetuskan oleh Hu Jintao. Dengan demikian,
ideologi pembimbing Partai Komunis Tiongkok dewasa ini adalah
Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao Zedong, Teori Deng Xiaoping, Pikiran
Penting Tiga Butir Mewakili, serta Pandangan Ilmiah tentang Perkembangan.
Jadi Marxisme tidaklah mandeg, tetapi berkembang terus. Maka
perkembangan teori sosialisme juga mengikuti hukum dialektika negasi
dari negasi, yaitu berkembang maju terus‐menerus. Berdasarkan
penyimpulan pengalaman praktek, muncul rumusan baru melengkapi
yang lama, yang lama tak ditinggalkan atau dibuang.
Ambruknya Uni Sovyet dan lahirnya berbagai republik yang
berdaulat, juga adalah mengikuti hukum negasi dari negasi. Uni
Republik‐republik Sovyet Sosialis dinegasi oleh berbagai negara
270 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berdaulat. Sebabnya adalah, pimpinan URSS mencampakkan ajaran
diktatur proletariat. Ajaran diktatur proletariat dinegasi oleh gagasan
Khrusycyov tentang negara seluruh rakyat dan partai seluruh rakyat.
Selanjutnya dilengkapi lagi oleh ajaran Gorbacyov dalam bukunya
Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye (Perestroika dan Pemikiran Baru) yang
mencampakkan ajaran Lenin tentang diktatur proletariat. Ini adalah
negasi dari Leninisme. Negasi dari Leninisme menghasilkan negasi dari
URSS, inilah yang menyebabkan ambruknya URSS. Hancurnya Uni
Sovyet bukanlah karena salahnya Marxisme–Leninisme atau
bangkrutnya Marxisme–Leninisme, tapi karena dicampakkannya ajaran
perjuangan klas dan diktatur proletariat yang menjadi batu alas ajaran
Marxisme–Leninisme.
Dengan ambruknya Uni Sovyet, kekuatan anti‐sosialisme dunia
bergendang paha, bersorak‐sorai mempropagandakan bangkrutnya
Marxisme. Tetapi kenyataan, sosialisme dan gerakan untuk sosialisme
tidaklah punah di dunia. Tiongkok dengan sukses membangun
ekonomi yang mengagumkan dunia. Republik Rakyat Tiongkok dengan
seperlima penduduk dunia itu adalah negara diktatur multipartai di
bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok, diktatur proletariat yang
disesuaikan dengan kondisi‐kondisi sejarah Tiongkok. Partai Komunis
Tiongkok menjadikan Marxisme–Leninisme ideologi pembimbingnya.
Dengan demikian, sukses‐sukses pembangunan sosialisme
berkepribadian Tiongkok adalah demonstrasi kemenangan Marxisme
yang tak terbantahkan. Kenyataan ini diperkuat lagi dengan sukses‐
sukses Republik Sosialis Vietnam dalam pembangunan, hingga Vietnam
tampil sebagai kekuatan ekonomi baru Asia Tenggara. Kemenangan
Partai Komunis Nepal (Maois) melawan otokrasi feodal Nepal hingga
wakilnya masuk pemerintah Nepal, dan gelora kebangkitan rakyat‐
rakyat Amerika Latin dengan dipelopori Venezuela mengumandangkan
cita‐cita membangun sosialisme, adalah demonstrasi yang jelas‐jemelas,
terang benderang bagaikan bersuluh matahari menunjukkan
kemenangan‐kemenangan baru Marxisme.
XIV — Hukum Peralihan | 271
XIV
Hukum Peralihan: Perubahan‐Perubahan
Kuantitatif Menjadi Perubahan Kualitatif
MENGENAL dan memahami kualitas hal ihwal adalah sangat penting.
Setiap hari dalam kehidupan, kita menemui dan berhubungan dengan
sesuatu yang kita kenal dari kualitasnya. Benda apa saja yang ditemui,
selalu berada dalam jumlah atau ukuran tertentu. Nasi berada dalam
ukuran sepiring nasi, sesendok nasi, empat gelas kopi, beberapa jilid
buku, sekian ekor burung. Sepiring, sesendok, empat gelas, beberapa jilid,
sekian ekor adalah ungkapan menunjukkan jumlah, menunjukkan
ukuran banyak atau kuantitas dari nasi, kopi, buku, burung. Semua
benda atau hal ihwal yang dihadapi manusia selalu berada dalam
kuantitas tertentu. Secara alamiah, terdapat hubungan kuantitas dengan
kualitas. Tak ada kualitas tanpa kuantitas, demikian pula tak ada kuantitas
tanpa kualitas. Hubungan dialektis antara kuantitas dan kualitas ini
mempunyai arti filosofis.
Diperlukan ketelitian untuk mengenal dan memahami hakikat
atau kualitas hal ihwal. Hal ihwal yang sederhana, mudah dibedakan
dan dikenal kualitasnya. Tapi yang rumit, tidaklah gampang
mengenalnya. Batu dan air gampang dibedakan. Batu benda padat, air
benda cair. Dua sifat benda ini tidak sulit dibedakan. Tetapi bagaimana
membedakan Partai Golkar dengan PDI Perjuangan? Keduanya partai
politik. Jadi sama. Tapi hakikat kualitasnya tidaklah sama. Golkar
semenjak lahir sudah ditentukan untuk melawan SOBSI dan PKI, untuk
mencegah kemenangan kaum kiri dalam pemilihan umum, menentang
politik‐politik Bung Karno. Dalam rezim fasis Soeharto, Golkar adalah
272 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tulang punggung kekuasaan orba bersama Angkatan Darat. Golkar
adalah pembela tangguh Soeharto hingga bisa berkali‐kali
memenangkan mutlak pemilihan Soeharto sebagai presiden. Golkar
adalah tulang‐punggung penting kediktatoran orba. Sampai sekarang
Golkar tetap menduduki tempat berkuasa. Sedangkan PDI Perjuangan
lahir dari PNI dan berbagai partai politik lain yang dulunya mendukung
politik Bung Karno, termasuk mendukung persatuan nasional berporos
nasakom, pernah punya sejarah ditindas Soeharto hingga terjadi Peristiwa
27 Juli demi menyingkirkan Megawati dari kedudukan memimpin PDI
Perjuangan. Sementara kadernya masih ada yang bersuara membela
Marhaenisme Bung Karno. Dengan demikian kualitas dua partai politik
ini tidaklah sama.
Untuk mengenal hakikat kualitas sesuatu diperlukan penelitian
akan sifat‐sifat, sikap‐sikap dalam berhubungan dengan yang ada di
sekitarnya, diperlukan pengetahuan tentang kekhususan hal ihwal
tersebut. Tidak bisa secara gampang‐gampangan dan subjektif
menetapkannya. Kerancuan mengenai sejarah Indonesia terjadi justru
karena tidak ilmiah menetapkan kualitas atau hakikat peristiwa‐
peristiwa bersejarah. Peristiwa Madiun dinyatakan sebagai
pemberontakan PKI. Padahal ini adalah proses pembasmian pimpinan
utama PKI, sebagai realisasi strategi Perang Dingin yang dikobarkan
Amerika Serikat dalam rangka membasmi komunisme dunia. Tanpa
bukti‐bukti yang meyakinkan, G30S pun dinyatakan sebagai
pemberontakan PKI. Kesalahan menentukan kualitas hal ihwal bisa
menimbulkan akibat yang fatal. Berapa banyak warga negara Indonesia
yang sampai kini mengalami persekusi diskriminasi akibat kesalahan
penguasa menilai kualitas Peristiwa G30S.
Pengenalan manusia atas hal ihwal sekelilingnya selalu berubah
maju, sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Di kala ilmu fisika
masih jauh terbelakang, filsuf materialis Demokritos mengatakan,
bahwa hanya pada perasaan manusia ada warna, aroma wangi, bau
busuk; sebenarnya yang ada di alam raya itu hanyalah atom dan ruang
hampa. Pandangan ini masih didukung oleh Galileo Galilei yang
menyatakan bahwa jika kita membuang telinga, lidah, dan hidung,
maka yang tinggal adalah bentuk‐bentuk benda dan gerak, tapi tidak
terdapat bunyi suara, rasa enak, bau wangi, dan busuk; maka di luar
manusia tak ada lagi selain dari ruang hampa. Adanya warna dan
XIV — Hukum Peralihan | 273
aroma dianggap tergantung pada perasaan manusia, bukan secara
objektif ada di alam raya.
Pada abad ke‐17 sampai ke‐18, orang membedakan benda‐benda
dari sifat‐sifat mekaniknya, yaitu dari sifat‐sifat keras dan lembut, cair
dan padat. Ini didukung oleh teori mekanika Newton yang sangat besar
pengaruhnya dalam fisika di zaman itu. Dari mencermati panas dan api,
orang menganggap api itu adalah terdiri dari satu zat yang dinamakan
flogiston. Lahirlah teori flogiston yang mendahului perkembangan ilmu
kimia. Fisika berkembang pesat berkat ditemukannya mikroskop, dan
kemajuan di bidang optika, maka dengan analisa spektrum—
penguraian warna—tambah diketahui sifat‐sifat warna, hingga dengan
perkembangan teori elektromagnet sampai ditemukan bahwa warna sinar
merah itu adalah getaran elektromagnet dengan frekuensi 450 triliun
dalam satu detik, dan warna biru adalah getaran elektromagnet dengan
frekuensi 620 triliun dalam satu detik. Jadi, warna itu ada secara
objektif, bukan tergantung pada perasaan manusia.
Kemudian diketahui bahwa api itu bukanlah bersumber pada zat
flogiston, tapi karena terjadinya reaksi kimia persenyawaan dengan
oksigen. Jadi, sampai abad ke‐18 masih ada benda‐benda alam yang
belum diketahui manusia kualitasnya. Kualitas satu hal ihwal tidaklah
tergantung pada kemauan manusia, tetapi ada secara objektif pada hal
ihwal tersebut. Hakikat atau kualitas satu hal ihwal adalah keseluruhan
ciri‐cirinya, yang membedakan dengan benda atau hal ihwal lain.
Perubahan satu hal ihwal terjadi bila kualitasnya itu berubah.
Manusia lahir, dari bayi menjadi remaja, kemudian menjadi
orang dewasa, selanjutnya jadi tua bangka, akhirnya meninggal, jadi
mayat. Manusia berubah menjadi mayat. Manusia dan mayat adalah
dua kualitas yang berbeda. Dengan meninggal, terjadi perubahan
manusia jadi mayat. Yang berubah adalah kualitas manusia. Perubahan
ini adalah perubahan kualitatif. Dalam alam raya, terus‐menerus terjadi
perubahan kualitas hal ihwal, terjadi perubahan‐perubahan kualitatif. Air
berubah menjadi uap, yaitu benda cair berubah jadi uap. Atom uranium
berubah menjadi helium dalam proses transmutasi nuklir.
Dalam sejarah terjadi perubahan‐perubahan kualitatif masyarakat,
masyarakat komune primitif berubah menjadi masyarakat perbudakan.
Masyarakat perbudakan berubah jadi masyarakat feodal. Dalam sejarah
Indonesia, selama abad ke‐20 terjadi perubahan masyarakat penjajahan
274 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Belanda menjadi masyarakat penjajahan Jepang; masyarakat penjajahan
Jepang berubah menjadi masyarakat merdeka. Masyarakat manusia
mengalami perubahan‐perubahan kualitatif dalam sejarah.
Dalam perkembangan sejarah, ilmu pengetahuan juga mengalami
perubahan‐perubahan kualitatif. Dari materialisme Demokritos yang
mengajarkan unsur materi terkecil adalah atom yang tak bisa dibagi
lagi, berkembang dengan ajaran Leukippos yang mengajarkan adanya
ruang hampa yang tak terhingga, atom‐atom itu bergerak di dalam
ruang hampa itu, dan Epikurus menambahkan lagi bahwa gerak‐gerak
atom itu adalah disebabkan oleh kekuatan dalam atom itu sendiri.
Muncul pula aliran yang menyatakan adanya kekuatan luar yang
menentukan gerak materi. Dunia filsafat jadi terbagi dua kubu.
Materialisme dan idealisme. Pandangan materialisme yang menyatakan
materi yang utama dan ide sekunder, bertarung terus dengan idealisme
yang menyatakan ide yang utama dan materi adalah sekunder. Sampai
kini dipahami, bahwa masalah terpokok dalam filsafat adalah masalah
hubungan antara ide dan materi, antara pikiran dan kenyataan. Sampai pada
materialisme Feuerbach yang metafisis dan dijungkirbalikkan oleh Marx
menjadi materialisme dialektis.
Demikian pula metode berpikir. Metode berpikir dialektika yang
bersumber pada ajaran Herakleitos Panta Rhei, segala‐galanya mengalir,
segala‐galanya berubah berkembang. Metode berpikir ini berkembang
sampai dialektika Hegel yang idealis. Selanjutnya dijungkirbalikkan
Marx menjadi dialektika materialis. Perubahan‐perubahan terjadi terus‐
menerus.
Satu abad yang lalu, tahun 1908, materialisme Marx
dikembangkan oleh Lenin dengan karyanya Materialisme dan
Empiriokritisisme. Dalam karya ini Lenin memaparkan kritik atas kaum
empiriokritisis, penganut paham materialisme yang subjektif‐idealis,
yaitu yang menganut paham Machisme untuk menggantikan Marxisme.
Machisme sesungguhnya adalah penganut idealisme subjektif dan
agnostisisme. Juga dipaparkan pemahaman tentang materi, ruang dan
waktu, pengalaman, sebab dan akibat, kebebasan dan keharusan.
Lenin memaparkan sesuatu yang baru, yaitu sifat filsafat Marxis
yang memihak, membantah pandangan borjuasi yang menyatakan filsafat
itu netral, objektif tanpa memihak. Filsafat Marxis adalah memihak kaum
tertindas, adalah berwatak klas. Karena itu materialisme dialektis dimusuhi
XIV — Hukum Peralihan | 275
oleh borjuasi.
Dengan demikian, Marxisme juga berkembang maju, dari
Marxisme jadi Marxisme–Leninisme. Lenin mendalami masalah metode
berpikir dialektika. Secara brilian mengajukan dalam karya Tentang
Masalah Dialektika bahwa inti dialektika adalah hukum kontradiksi.
Belajar dari Lenin, tujuh puluh tahun yang lalu, tahun 1937, Mao
Zedong tampil dengan karya Tentang Kontradiksi yang memaparkan
secara populer salah satu hukum dialektika materialis, tentang metode
berpikir Marxis. Yang lama digantikan yang baru. Dalam yang baru
masih terdapat unsur‐unsur yang lama. Marxisme adalah ilmu sosial
yang menyerap semua pandangan pendahulunya: filsafat materialisme
dan dialektika Jerman, ekonomi politik Inggris serta teori sosialisme
Perancis. Dengan sumbangan Lenin di bidang filsafat, ekonomi politik,
pembangunan partai klas pekerja dan plan pembangunan sosialisme,
Marxisme berkembang menjadi Marxisme–Leninisme.
Praktek pelaksanaan Marxisme–Leninisme di berbagai negeri
melahirkan pengalaman yang disimpulkan menjadi teori. Di Tiongkok,
Marxisme–Leninisme berkembang menjadi Pikiran Mao Zedong, Teori
Deng Xiaoping, Pikiran Penting Tiga Mewakili dari Jiang Zemin, dan
Pandangan Ilmiah tentang Perkembangan dari Hu Jintao. Di Korea,
Marxisme–Leninisme berlanjut menjadi ajaran Juche dari Kim Il Sung.
Di Vietnam berkembang dengan Pikiran Ho Chi Minh. Di Kuba,
Marxisme–Leninisme tetap menjadi ideologi pembimbing Partai
Komunis Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro. Perubahan‐perubahan
terjadi, yang baru adalah lebih maju, tapi tetap mengandung unsur
pokok yang lama. Adalah tidak benar yang menyatakan bahwa
Marxisme itu sudah ketinggalan zaman. Kenyataan ialah Marxisme
berkembang terus sesuai dengan perkembangan zaman.
Pengalaman hidup mengajarkan, bahwa perubahan kualitatif satu
hal ihwal terjadi lewat satu proses tertentu. Perubahan bayi membesar
menjadi remaja, remaja menjadi orang dewasa, orang dewasa menjadi
tua bangka adalah perubahan yang dialami manusia hidup. Terjadi
perubahan, tapi kualitas manusia tidak berubah. Perubahan ini adalah
perubahan kuantitatif. Ketika manusia meninggal, manusia berubah jadi
mayat, maka terjadilah satu loncatan, yaitu terjadi perubahan kualitas hal
ihwal. Perubahan ini adalah perubahan kualitatif. Perubahan kuantitatif
beralih menjadi perubahan kualitatif. Perubahan kualitatif terjadi sebagai satu
276 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
loncatan dari perubahan‐perubahan kuantitatif. Perubahan kuantitatif
berlangsung dengan berangsur‐angsur. Ini adalah salah satu hukum
pokok dialektika. Hukum ini berlaku dalam semua perubahan hal
ihwal. Mengenal dan menguasai perubahan‐perubahan kuantitatif adalah
sangat penting untuk mengendalikan perubahan hal ihwal. Perubahan‐
perubahan kuantitatif yang berlangsung secara berangsur‐angsur dapat
dan perlu dikendalikan untuk mencapai tujuan perubahan kualitatif.
Naik panggungnya Soeharto dengan menggulingkan Bung Karno
adalah perubahan kualitas kekuasaan negara RI. Dari pemerintah yang
tangguh melawan imperialisme berubah menjadi mengekor Amerika
Serikat. Perubahan ini adalah perubahan kualitatif. Perubahan ini terjadi
lewat perubahan yang berangsur‐angsur, lewat perubahan‐perubahan
kuantitatif. Dimulai dengan Soeharto membangkang pada panglima
tertinggi dengan menentang pengangkatan Jenderal Pranoto sebagai
Panglima Angkatan Darat, menciptakan syarat lahirnya Surat Perintah
Sebelas Maret, menyalahgunakan Surat Perintah Sebelas Maret dengan
membubarkan PKI, menangkapi menteri‐menteri pembantu setia Bung
Karno, memecat para pendukung Bung Karno dari MPRS Gotong
Royong, lewat MPRS yang sudah dikebiri itu mengambil keputusan
menolak pidato Nawaksara Bung Karno, maka dicabutlah mandat MPRS
pada Bung Karno, dan Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden dan
akhirnya menjadi presiden. Terjadilah perubahan kualitatif dalam
kekuasaan negara RI. Perubahan kualitatif terjadi lewat perubahan‐
perubahan kuantitatif.
Tiga puluh dua tahun kekuasaan Soeharto berlangsung lewat
kediktatoran militer yang mahakejam. Dengan tulang punggung
Angkatan Darat dan Golkar, Soeharto menjadikan Indonesia neraka
dunia. Pembantaian atas manusia yang mengorbankan manusia tak
bersalah dalam jumlah yang tak ada taranya dalam sejarah, membikin
halaman paling gelap dalam sejarah Indonesia. Pembodohan yang
melanda Indonesia dewasa ini adalah buah dari kediktatoran orba
selama hampir sepertiga abad. Begitu rendahnya pembodohan itu
sampai Pancasila dinyatakan sakti, hingga ada peringatan Kesaktian
Pancasila.
Hanyalah dengan perubahan kualitas kekuasaan negara RI, yaitu
tuntasnya dilenyapkan kekuasaan orba, barulah pembodohan itu dapat
dihilangkan. Haruslah disadari bahwa hal ini tidaklah gampang. Rezim
XIV — Hukum Peralihan | 277
militer fasis yang menodai sejarah Indonesia ini bisa bertahan hampir
sepertiga abad karena didukung oleh kekuasaan adikuasa dunia,
Amerika Serikat. Tetapi kedudukan Soeharto yang demikian kokoh itu
pun tidak lepas dari hukum dialektika sejarah, yaitu tidaklah abadi, dan
bisa berubah, hingga Soeharto lengser. Lengsernya Soeharto tidaklah
membawa perubahan kualitatif pada kekuasaan negara RI. Yang terjadi
hanyalah perubahan kuantitatif. Perubahan kualitatif kekuasaan negara
mungkin dan bisa terjadi. Rakyat akan bangkit berjuang untuk itu.
Adalah sangat penting memahami adanya perubahan‐perubahan
kuantatif dalam semua perubahan hal ihwal. Memahami,
mengendalikan, menggunakan atau memberi arah pada perubahan‐
perubahan kuantitatf, adalah cara untuk bisa mencapai perubahan kualitatif
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu, pertama‐tama haruslah tepat
menilai kualitas hal ihwal yang sedang berubah dan mengenal
perubahan‐perubahan yang terjadi, betapa pun kecilnya perubahan itu.
Dari himpunan perubahan‐perubahan kecil yang bersifat kuantitatif
itulah akan lahir loncatan terjadinya perubahan kualitatif. Pandangan
yang menginginkan perubahan kualitatif tanpa adanya perubahan
kuantitatif adalah pandangan yang tidak dialektis. Ini berarti mengingkari
dialektika.
Di samping itu, rakyat harus dibebaskan dari belenggu cara
berpikir yang tidak ilmiah. Harus dilenyapkan kebiasaan serba‐percaya
dan serba‐menerima. Harus ditegakkan cara berpikir ilmiah,
menggunakan metode berpikir dialektika materialis, demi mencari
kebenaran dari kenyataan, segala‐galanya bertolak dari kenyataan.
278 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XV — Materialisme Historis | 279
XV
Materialisme Historis:
Penerapan Materialisme Dialektis
dalam Ilmu Kemasyarakatan
1. Kehidupan Sosial Menentukan Pikiran Manusia
MARX dan Engels mengajarkan materialisme dialektis tidak hanya bagi
pemecahan masalah‐masalah alam semesta, tapi juga berlaku bagi
pemecahan masalah‐masalah kemasyarakatan. Penerapan materialisme
dialektis dalam masalah kemasyarakatan berarti memandang sejarah
secara materialistis. Karena itu pandangan ini disebut materialisme
historis.
Adalah Marx yang pertama menggunakan materialisme dialektis
dalam mempelajari masyarakat, mempelajari sejarah manusia.
Kenyataan menunjukkan bahwa pikiran manusia adalah hasil kerja otak.
Sebelum ada pikiran, haruslah ada otak yang berpikir. Sebelum bisa
berpikir, manusia harus makan. Inilah manifestasi pikiran, ide,
tergantung pada otak, pada materi. Materi dulu baru ada pikiran, ada ide.247
Dalam masyarakat terdapat berbagai macam saling hubungan.
247 Apa pun yang dilakukan manusia dalam praktek sehari-hari, pertama sekali harus melalui otaknya. Kesadarannya membedakan secara fundamental dari semua makhluk yang lain. Karl Marx menjelaskan hal ini dalam Das Kapital, “Tetapi yang langsung membedakan arsitek yang paling buruk dari seekor lebah yang paling pandai adalah, bahwa ia telah membangun sel itu di dalam kepalanya sebelum ia (si arsitek) membangunnya dari lilin. Pada akhir setiap proses kerja muncul suatu hasil yang sudah sejak awal dibayangkan oleh pekerja itu, karenanya sudah ada secara ideal/angan-angan.” (Karl Marx, Kapital, Jilid 1, Hasta Mitra, Jakarta, h.178).
280 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Hubungan antara sesama manusia, hubungan dalam kehidupan,
mengenai ekonomi, politik, keagamaan, hukum, moral, kebudayaan,
kekuasaan, dan sebagainya. Materialisme historis mempelajari semua
hubungan yang ada dalam masyarakat, dalam sejarah.
Dalam studi mengenai sejarah, Marx sampai pada satu ide yang
mendasar, yaitu adalah masalah hubungan‐hubungan produksi yang
memainkan peranan menentukan bagi hubungan‐hubungan lainnya.
Marx menulis, “Penelitian yang saya lakukan menghasilkan bahwa
dalam produksi sosial dalam kehidupan, manusia masuk dalam
hubungan‐hubungan yang pasti, yaitu hubungan‐hubungan produksi yang
bersangkutan dengan tingkat tertentu dari perkembangan tenaga‐tenaga
produktif mereka. Hasil semua dari hubungan‐hubungan produksi itu
adalah struktur ekonomi masyarakat tersebut, adalah dasar sejati dari
bangunan atas, hukum dan politik yang menyangkut atau berhubungan
dengan bentuk‐bentuk tertentu dari kesadaran masyarakat. Cara
produksi materiil untuk kebutuhan hidup menentukan proses hidup
politik dan intelektual pada umumnya. Bukanlah kesadaran manusia yang
menentukan kehidupannya, tapi sebaliknya keadaan kehidupan sosialnya yang
menentukan kesadarannya.”248
2. Cara Produksi
MATERIALISME historis adalah penggunaan materialisme dialektis untuk
meninjau masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai materi, sesuatu
yang hidup, berubah, dan berkembang. Masyarakat adalah berbeda
secara kualitatif dari materi umumnya. Tetapi masyarakat dan materi
umumnya mempunyai kesamaan sifat yang hakiki, yaitu sifat yang selalu
berubah, yang selalu berkembang. Dunia materi, alam raya berubah dengan
sendirinya, secara alamiah, tanpa peranan pikiran atau gagasan pikiran
yang mempengaruhi atau merencanakan.
Masyarakat berunsurkan manusia yang menggunakan otak
berpikir. Gerak perubahan masyarakat tidaklah dengan sendirinya,
tetapi karena tindakan manusia, karena pengaruh, keinginan, gagasan dan
248 V.I. Lenin, Socinyeniya, Izdaniye cyetvyertoye, Tom 1, Kumpulan Karya, cetakan keempat, Jilid 1, 1950, h.125.
XV — Materialisme Historis | 281
tindak‐tanduk, bahkan karena rencana manusia. Masyarakat bergerak,
berubah karena peranan manusia yang memainkan peranan penggagas
atau perencanaan. Gerak yang utama manusia dalam masyarakat adalah
berbuat untuk memenuhi kebutuhan hidup, menghasilkan kebutuhan
hidup, berproduksi.
Untuk berproduksi, manusia menggerakkan tangan, menggunakan
tenaga. Inilah tenaga produktif. Tenaga produktif masyarakat adalah yang
utama dalam berproduksi bagi kebutuhan hidup masyarakat. Dengan
perubahan tenaga produktif masyarakat, terjadilah perubahan cara
menghasilkan produksi material untuk kehidupan manusia. Marx
menulis, “Terjadi gerak pertumbuhan yang terus‐menerus dari tenaga
produktif, gerak perubahan hubungan‐hubungan kemasyarakatan, dan
gerak terbentuknya pandangan‐pandangan; satu‐satunya yang tak
berubah adalah abstraksi gerak ‘kematian yang tak mati‐mati’.”249
Sebagaimana lazimnya ilmu pengetahuan, materialisme historis
mempunyai sasaran khusus dalam mempelajari proses perkembangan
sejarah masyarakat. Yang terpokok adalah mempelajari eksistensi
kenyataan masyarakat, mempelajari kesadaran dalam masyarakat,
formasi ekonomi masyarakat, tentang cara berproduksi menghasilkan
kebutuhan material bagi masyarakat, tentang tenaga produktif
masyarakat, tentang dasar ekonomi masyarakat, hubungan‐hubungan
produksi penduduk, bangunan atas masyarakat, tentang klas‐klas,
tentang negara, dan tentang revolusi.
Materialisme Marx mengajarkan bahwa filsafatnya adalah untuk
mengubah dunia. 250Materialisme historis adalah teori untuk mengubah
masyarakat. Mengubah masyarakat lama menjadi masyarakat baru.
Teori tak bisa dipisahkan dari praktek. Prakteknya adalah mengubah
dunia, mengubah masyarakat lama menjadi masyarakat baru. Mengubah
berarti menghendaki yang lebih baik, berarti memihak pada yang baru.
Maka materialisme historis adalah filsafat yang mempunyai sifat memihak.
249 Karl Marx, The Poverty of Philosophy, Foreign Languages Publishing House, Moscow, third impression, h.105. 250 Kesadaran manusia merefleksikan kesatuan yang dialektis dari manusia dan alam, menguatkan kesatuan tersebut dan mengembangkannya ke tingkat yang lebih tinggi. Lenin menyimpulkan hal tersebut dalam Ringkasan dari Buku Hegel tentang Ilmu logika: “Kesadaran manusia tidak hanya merefleksikan dunia objektif, tetapi malah menciptakannya … dunia tidak memuaskan manusia, dan manusia menentukan untuk mengubahnya dengan aktivitasnya.”
282 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Mengenai perjuangan klas proletar melawan borjuasi, materialisme
historis memihak proletariat.
Usaha mengubah masyarakat demi meningkatkan kemakmuran‐
nya berarti harus memusatkan perhatian pada kenyataan dan
perkembangannya. Kemakmuran masyarakat tergantung pada produksi
material yang dihasilkan oleh kerja manusia. Untuk perubahan demi
perkembangannya, materialisme historis menggunakan materialisme
dialektis, memusatkan studi pada masalah produksi kebutuhan hidup
masyarakat. Dengan teliti dipelajari semua unsur yang berperan dalam
proses produksi, mulai dari bahan kerja, perkakas kerja, (alat‐alat produksi),
tenaga kerja, (tenaga produktif), cara berproduksi.
Cara berproduksi adalah kesatuan dua unsur yang saling
berhubungan yang tak terpisahkan—tenaga produksi dan hubungan‐
hubungan produksi. Dalam proses berproduksi yang pertama tampil
adalah hubungan manusia terhadap sasaran kerja dan kekuatan alam.
Setiap hari manusia bekerja, berproduksi menghasilkan kebutuhan
hidup. Bermacam ragam yang dihasilkan, bermacam ragam pula cara
produksinya. Bagaimanapun berbedanya cara produksi, dalam
berproduksi selalu terdapat unsur‐unsur yang sama, unsur‐unsur cara
produksi. Cara produksi adalah kesatuan dua segi yang tak bisa
dipisahkan, yaitu tenaga produksi dan hubungan‐hubungan produksi.
Dalam proses berproduksi pertama‐tama terdapat hubungan manusia
dengan benda, bahan dan tenaga‐tenaga alam, yang berkat usaha dan
perjuangan dengan itu manusia menghasilkan kebutuhan hidup. Kedua,
terdapat hubungan manusia terhadap manusia.
Tenaga‐tenaga produksi adalah alat‐alat produksi yang dipakai
dalam masyarakat, pertama‐tama alat‐alat kerja, alat‐alat produksi, juga
manusia, yang berbuat, bertindak dan menghasilkan barang‐barang
kebutuhan berkat percobaan‐percobaan dan kecakapannya
menghasilkan kekayaan material bagi manusia. Untuk berproduksi,
diperlukan bahan dan alat‐alat kerja, alat‐alat produksi. Bagi semua cara
produksi, yang menentukan untuk berproduksi adalah perkakas kerja. Ia
memberi tanda‐tanda ciri‐ciri tertentu dari zaman produksi
kemasyarakatan. Taraf perkembangan produksi pada tiap zaman sejarah
ditunjukkan oleh taraf perkakas produksi, perkakas kerja.
Untuk memasak nasi goreng diperlukan nasi, minyak goreng,
bumbu‐bumbu sebagai bahan produksi. Kuali sebagai perkakas kerja, alat
XV — Materialisme Historis | 283
produksi. Untuk membuat meja diperlukan papan, kayu, sebagai bahan
produksi, diperlukan gergaji sebagai perkakas/alat kerja, alat produksi.
Pertama‐tama, diperlukan manusia yang menggunakan tenaga kerja
untuk berproduksi. Maka untuk berproduksi menghasilkan kebutuhan
hidup manusia diperlukan tiga unsur: 1. tenaga kerja manusia, 2. bahan
produksi, dan 3. perkakas kerja, alat produksi.
Perkakas kerja, perkakas produksi (mesin‐mesin, pesawat‐pesawat,
instrumen‐instrumen, dan sebagainya) adalah bagian dasar dan pokok
dari alat‐alat produksi yang dipergunakan manusia mengolah bahan‐bahan
kerja dalam proses produksi. Perubahan dan perkembangan alat‐alat
kerja mempengaruhi cara dan proses produksi. Kian maju alat‐alat kerja,
maju pula proses produksi. Tingkat kemajuan proses produksi
menentukan tingkat tertentu perkembangan masyarakat, yang dalam
teori ekonomi disebut formasi ekonomi masyarakat.
3. Formasi Ekonomi Masyarakat
MENURUT materialisme historis, formasi ekonomi masyarakat adalah
tingkat tertentu perkembangan masyarakat yang ditentukan oleh cara
produksi, basis ekonomi, dan bangunan atasnya. Pengertian tentang formasi
ekonomi masyarakat adalah dasar dari Marxisme mengenai
perkembangan masyarakat. Marx dan Engels meneliti sejarah
perkembangan dan jaringan‐jaringan masyarakat yang sangat rumit,
sampai menyimpulkan adanya formasi ekonomi masyarakat. Pemahaman
mengenai ini menunjukkan jalan bagi mempelajari secara objektif
perkembangan masyarakat, kekuatan pendorong perkembangan
masyarakat, bisa menerangkan sebab‐musabab materiil dari pikiran dan
tujuan tindak‐tanduk manusia yang tampak dari pencerminan
kenyataan‐kenyataan masyarakat. Hubungan‐hubungan produksi adalah
dasar, adalah yang utama dari semua saling hubungan kemasyarakatan.
Formasi‐formasi ekonomi masyarakat yang terdapat dalam sejarah
adalah: 1. masyarakat primitif, 2. masyarakat perbudakan, 3. masyarakat
feodalisme, dan 4. masyarakat kapitalisme. Struktur setiap formasi ekonomi
masyarakat itu ditentukan oleh cara produksi bersangkutan. Berbeda
dengan pemahaman kaum idealis borjuasi bahwa masyarakat adalah
ciptaan yang mahakuasa, adalah abadi; materialisme historis mengajarkan
284 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bahwa dalam sejarah terdapat berbagai formasi ekonomi masyarakat.
Formasi ekonomi masyarakat ini berubah menurut hukumnya.
Mempelajari dan menguasai hukum perubahan formasi ekonomi
masyarakat itu adalah tugas materialisme historis.
Perkembangan dan pergantian formasi ekonomi masyarakat
berlangsung menurut hukumnya. Dari formasi ekonomi masyarakat
primitif berubah menjadi formasi ekonomi masyarakat perbudakan,
formasi ekonomi masyarakat feodal, dan formasi ekonomi masyarakat
kapitalis. Dalam perubahan‐perubahan ini, perkembangan tenaga
produktif memainkan peranan menentukan.
Mengenai perkembangan tenaga produktif yang melahirkan formasi
ekonomi masyarakat kapitalis Marx menulis dalam Manifesto Partai
Komunis: “Borjuasi, selama kekuasaan kelasnya yang belum genap
seratus tahun itu, telah menciptakan tenaga‐tenaga produktif yang jauh
lebih banyak dan jauh lebih besar daripada yang telah diciptakan
seluruh generasi terdahulu. Penundukan kekuatan‐kekuatan alam,
mesin‐mesin, penggunaan kimia dalam industri dan pertanian,
pelayaran kapal api, jalan kereta api, telegrafi listrik, pembukaan benua‐
benua utuh untuk tanah garapan, pembukaan sungai‐sungai bagi
pelayaran, seluruh penduduk yang bagaikan dijelmakan dari dalam
tanah—abad‐abad terdahulu yang manakah yang menduga bahwa
tenaga‐tenaga produktif yang sedemikian itu tertidur dalam pangkuan
kerja masyarakat?”251
Menurut pemahaman sejarah secara materialis, perubahan
masyarakat bersumber pada tindak‐tanduk manusia. Yang paling utama
adalah tindakan bekerja manusia, menghasilkan produksi material untuk
kebutuhan hidup. Tanpa produksi tidaklah mungkin terjadi pertukaran
barang‐barang antara manusia, tidaklah mungkin kehidupan manusia
itu sendiri. Saling hubungan antara manusia dan alam, ditinjau secara
umum, adalah diatur dan diawasi oleh manusia, termasuk peredaran
dan pertukaran barang sesamanya. Masyarakat tak mungkin hidup dan
berkembang di luar syarat‐syarat alamiah tanpa menggunakan tenaga
berproduksi untuk kebutuhan hidup alamiah.
Berproduksi berarti manusia menggunakan perkakas kerja, alat
produksi. Terjadi pemilikan pribadi atas perkakas kerja, atas alat‐alat
251 Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, 2015, h.35.
XV — Materialisme Historis | 285
produksi. Perbedaan penguasaan atas alat‐alat produksi menimbulkan
perbedaan penghasilan. Perbedaan yang bersumber pada ketidakadilan
dalam menerima hasil kerja. Terjadi kepincangan dalam tingkat hidup
anggota masyarakat. Muncul para penghisap dan yang terhisap. Ini
merupakan akar lahirnya klas‐klas dalam masyarakat, yaitu klas penghisap
dan klas terhisap.
4. Alienasi dan Penghisapan
SEBELUM menerbitkan Manifesto Partai Komunis, bersumber pada
pemahaman filsafat yang dianut Hegel dan Feuerbach, dalam karyanya
Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Marx sudah memaparkan
alienasi kerja dalam masyarakat kapitalis.
Yang dimaksud Marx dengan alienasi,252 menjadikan asing, adalah
kerja paksa untuk kepentingan kapitalis, perampasan oleh kapitalis atas
produk kerja kaum buruh, dan pemisahan kaum buruh dari alat‐alat
produksi yang menjadi milik kaum kapitalis; kaum kapitalis
menghadapi kaum buruh sebagai sesuatu yang asing; sebagai kekuatan
yang diperbudak. Di sini Marx sudah mendekati pengungkapan sifat‐
sifat ciri penghisapan kapitalis: “Kaum buruh, yang kian lama kian
menghasilkan kekayaan, malah menjadi kian miskin, ... kaum buruh
menjadi barang dagangan yang kian murah.... Yang dihasilkan kerja,
sesuatu yang nyata, menjadi lenyap bagi kaum buruh, jadi rampasan,
adalah suatu alienasi, sesuatu yang diasingkan dari penghasilnya, dari
penciptanya.”253
Selanjutnya dengan teori nilai lebih Marx, penghisapan atas kaum
buruh ini lebih gampang dipahami, sebagai upah buruh yang tak dibayar.
5. Negara dan Diktatur Proletariat
MARX dan Engels untuk pertama kali memaparkan teori ilmiah tentang
252 Dalam bahasa Inggris alienation, sedangkan dalam bahasa Jerman adalah Entfremdung, Ent-ausserung. 253 Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, second impression, Foreign Languages Puibliishing House, Moscow, 1961, h.8, 69.
286 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
klas‐klas dan perjuangan klas. Mereka mengungkapkan tentang sebab‐
musabab lahir dan hakikat pembagian klas dalam masyarakat, memberi
analisa yang mendalam mengenai perkembangan hubungan klas‐klas,
sampai terdapatnya klas‐klas yang berlawanan dan tak terdamaikan
yang melahirkan negara.
Engels mengajarkan, “Negara adalah produk masyarakat pada
tingkat perkembangan tertentu; negara adalah pengakuan bahwa
masyarakat ini terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan
dirinya sendiri, bahwa ia telah terpecah menjadi segi‐segi yang
berlawanan yang tak terdamaikan dan ia tidak berdaya melepaskan diri
dari keadaan demikian itu. Dan supaya segi‐segi yang berlawanan ini,
klas‐klas yang kepentingan‐kepentingan ekonominya berlawanan, tidak
membinasakan satu sama lain dan tidak membinasakan masyarakat
dalam perjuangan yang sia‐sia, maka untuk itu diperlukan kekuasaan
yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, kekuatan yang seharusnya
meredakan bentrokan itu, mempertahankannya di dalam batas‐batas
‘tata tertib’. Dan kekuatan ini yang lahir dari masyarakat, tetapi
menempatkan diri di atas masyarakat dan yang semakin mengasingkan
diri darinya adalah negara.”254
Kemudian Lenin menulis, “Negara adalah organisasi kekuatan
khusus, adalah organisasi kekerasan untuk menindas sesuatu klas. Klas
mana yang harus ditindas oleh proletariat? Tentu saja hanya klas
penghisap, yaitu borjuasi.”255
“Dan Marx dengan konsekuen mengembangkan ajaran tentang
perjuangan klas sampai pada ajaran tentang kekuasaan politik, ajaran
tentang negara.... Ajaran tentang perjuangan klas, yang diterapkan oleh
Marx pada masalah negara dan revolusi sosialis, pasti menjurus kepada
pengakuan atas kekuasaan politik proletariat, atas diktaturnya, yaitu
kekuasaan yang tidak dibagi‐bagi dengan siapa pun dan yang langsung
bersandar pada kekuatan bersenjata massa. Penggulingan borjuasi dapat
dicapai hanya dengan pengubahan proletariat menjadi klas yang
berkuasa, yang sanggup menindas perlawanan yang tak terelakkan dan
254 Friedrich Engels, Asal-Usul Keluarga, Milik Perseorangan dan Negara, The Origin of the Family, Private Property and the State, fifth impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow, 1958, h.279. 255 W.I. Lenin, Negara dan Revolusi, Ajaran Marxisme tentang Negara dan Tugas-Tugas Proletariat dalam Revolusi, Penerbit Indonesia Progresif, 1976, h.49.
XV — Materialisme Historis | 287
kalap dari borjuasi, dan yang sanggup mengorganisasi seluruh massa
pekerja dan terhisap untuk sistem ekonomi baru.”256
Dengan tangguh membela ajaran Marx tentang diktatur proletariat,
Lenin menulis, “Yang pokok dalam ajaran Marx adalah perjuangan klas.
Demikian sering dikatakan dan ditulis orang. Tetapi ini tidak benar. Dan
dari ketidakbenaran ini sering sekali terjadi pemutarbalikan oportunis
atas Marxisme, pemalsuannya menurut semangat yang dapat diterima
oleh borjuasi. Karena ajaran tentang perjuangan klas bukan diciptakan
oleh Marx, melainkan oleh borjuasi sebelum Marx, dan bagi borjuasi,
berbicara secara umum, dapat diterima. Barangsiapa hanya mengakui
perjuangan klas belumlah seorang Marxis, ia mungkin masih belum
keluar dari kerangka pikiran borjuis dan politik borjuis. Membatasi
Marxisme pada ajaran tentang perjuangan klas berarti memenggal
Marxisme, memutarbalikkannya, memerosotkannya menjadi sesuatu
yang dapat diterima oleh borjuasi. Hanya yang meluaskan pengakuan
atas perjuangan klas sampai pada pengakuan atas diktatur proletariat,
barulah ia seorang Marxis. Di sinilah letak perbedaan yang paling
mendalam antara orang Marxis dengan orang borjuis kecil biasa (dan
juga borjuis besar). Di atas batu ujian inilah harus diuji pemahaman dan
pengakuan yang sesungguhnya atas Marxisme.”257
Dari mengungkap asal‐usul dan perkembangan perjuangan klas
dalam kapitalisme, Marx tampil mempersenjatai klas buruh dengan
teori revolusioner bagi klas proletar, yaitu ajaran tentang diktatur
proletariat. Mengenai ini Marx menulis, “Sesuatu yang baru saya lakukan
adalah membuktikan hal‐hal berikut: 1) bahwa adanya klas‐klas itu adalah
berhubungan dengan taraf sejarah tertentu perkembangan produksi; 2) bahwa
perjuangan klas tentulah menjurus ke diktatur proletariat; 3) bahwa
kediktaturan itu sendiri hanyalah merupakan peralihan ke arah
pelenyapan semua klas dan ke masyarakat tanpa klas‐klas.”258
Ungkapan Marx ini menunjukkan arti penting diktatur proletariat,
dan diakuinya, bahwa ini adalah sebagai hasil penemuannya. Karena itu,
Lenin menyatakan bahwa hanyalah dengan menerima ajaran tentang
diktatur proletariat barulah seseorang menjadi Marxis.
256 Ibid., h.50, 51. 257 Ibid., h.64. 258 Karl Marx, Surat kepada J. Weydemeyer, 5-3-1852, dalam Pilihan Surat-Surat Marx dan Engels, edisi Inggris, h.86.
288 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Arti penting diktatur proletariat didemonstrasikan oleh kejayaan
Uni Sovyet berkat penerapannya selama tujuh puluh tahun. Uni Sovyet
hancur begitu dicampakkannya ajaran diktatur proletariat oleh Kongres
ke‐28 PKUS di bawah pimpinan Gorbacyov tahun 1990.
Ajaran tentang diktatur proletariat adalah salah satu puncak ajaran
tentang negara menurut materialisme historis. Borjuasi dan kaum sosial
demokrat semenjak masa Internasionale II sampai sekarang dengan kuat
menentang ajaran ini.
Belajar dari kehancuran URSS yang mencampakkan ajaran
tentang diktatur proletariat, Tiongkok tampil dengan menjunjung tinggi
diktatur proletariat, berjaya membangun sosialisme berciri Tiongkok.
Berkat dipimpin oleh Teori Deng Xiaoping, dari negeri miskin dan
terbelakang di pertengahan abad ke‐20, tampil menjadi negeri terbesar
kedua di dunia di bidang ekonomi pada awal abad ke‐21.
Salah satu unsur dari Teori Deng Xiaoping adalah Empat Prinsip
Dasar, yaitu: 1. Menempuh jalan sosialis; 2. Menjunjung tinggi ajaran
diktatur proletariat; 3. Di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok; dan
4. Dengan ideologi pembimbing Marxisme–Leninisme, Pikiran Mao
Zedong.
Empat Prinsip Dasar ini dicantumkan dalam Konstitusi PKT dan
Konstitusi Republik Rakyat Tiongkok. Jadi, Tiongkok berjaya sampai
menjadi negeri terbesar nomor dua di dunia di bidang ekonomi
mengungguli Jepang adalah berkat dipertahankannya diktatur proletariat
dalam wujud kerja sama multipartai di bawah pimpinan Partai Komunis
Tiongkok.
6. Revolusi Sosial
MENURUT pandangan Marxisme–Leninisme, revolusi sosial akan terjadi
mengikuti hukum tahap‐tahap perkembangan masyarakat di suatu
negeri. Sebab‐musabab revolusi sosial justru bersumber pada produksi
material, pada pertentangan‐pertentangan antagonistik dalam
masyarakat yang akarnya ada pada pemilikan pribadi atas alat‐alat
produksi.
Materialisme historis mengajarkan, revolusi sosial adalah
penjungkirbalikan semua sistem hubungan‐hubungan kemasyarakatan.
XV — Materialisme Historis | 289
Ia meliputi basis ekonomi masyarakat serta bangunan atasnya. Marx
menulis bahwa, “Tiap revolusi menghancurkan masyarakat lama,
menggulingkan kekuasaan lama, dengan demikian ia bersifat politik.”259
Revolusi terjadi karena situasi mencapai puncaknya berupa
situasi revolusioner. Situasi revolusioner terjadi karena krisis yang
menyeluruh seluruh negeri, meliputi ekonomi dan politik, yang
menyangkut klas tertindas melawan klas penindas. Mengenai situasi
revolusioner, Lenin menulis tiga ciri yang menandakan situasi
revolusioner:
1. Klas penguasa tidak mampu lagi mempertahankan
kekuasaannya tanpa perubahan; ketika terjadi suatu krisis dalam berbagai bentuk di “kalangan atas”, suatu krisis dalam kebijaksanaan klas penguasa, yang menjurus pada perpecahan yang menimbulkan meledaknya ketidakpuasan dan kemarahan klas tertindas. Untuk berlangsungnya revolusi, tidaklah cukup hanya “klas bawahan tak mau” lagi hidup dengan cara-cara lama; adalah juga diperlukan bahwa “klas atasan tak mampu lagi” hidup dengan cara-cara lama;
2. Ketika klas-klas yang menderita dan tertindas menjadi besar dan berlawan melebihi kebiasaan;
3. Ketika, sebagai akibat syarat-syarat di atas kegiatan massa meningkat luar biasa, yang sudah tidak rela lagi dirampok seperti di masa damai, tetapi dalam waktu bergolak, membawa kedua belah pihaknya ke dalam krisis dan “klas penguasa sendiri sudah tidak tahan.”260
259 Karl Marx, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid I, edisi kedua, Gosudarstvennoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi (Penerbit Negara Literatur Politik), Moskwa, 1955, h.448. 260 V.I. Lenin, Kehancuran Internasional II, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid XXI, Gosudarstvennoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi (Penerbit Negara Literatur Politik), 1953, h.189—190.
290 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XVI — Marxisme – Leninisme | 291
XVI
Marxisme–Leninisme
MASYARAKAT dan sejarah berkembang maju. Demikian pula
Marxisme, sebagai ilmu berkembang sesuai dengan kemajuan sejarah.
Dalam pengembangan Marxisme, tahun 1924, Stalin memaparkan
Dasar‐Dasar Leninisme. Dikemukakannya bahwa “Leninisme adalah
Marxisme pada zaman imperialisme dan revolusi proletar. Lebih tepatnya,
Leninisme adalah teori dan praktek revolusi proletar pada umumnya,
teori dan taktik diktatur proletariat pada khususnya. Marx dan Engels
melakukan kegiatan mereka dalam periode pra‐revolusi,261 ketika impe‐
rialisme yang telah berkembang masih belum ada, dalam periode
persiapan kaum proletar untuk revolusi, dalam periode di mana
revolusi proletar masih belum merupakan keharusan praktis yang
langsung.
Sedang Lenin, murid Marx dan Engels, melakukan kegiatannya
dalam periode revolusi proletar yang sedang berkembang meluas,
ketika revolusi proletar sudah menang di satu negeri, sudah
menghancurkan demokrasi borjuis dan sudah membuka zaman
demokrasi proletar, zaman sovyet‐sovyet.”262 Secara terperinci Stalin
memaparkan masalah akar sejarah Leninisme, masalah metode, masalah
teori, tentang diktatur proletariat, masalah tani, tentang strategi dan
taktik, tentang partai, dan tentang langgam kerja.
261 revolusi proletar 262 Y.W. Stalin, Tentang Dasar-Dasar Leninisme, Ceramah yang Diberikan di Universitas Sverdlov, Pravda No.96, 97, 103, 105, 107, 108, III; 26 dan 30 April, 9, 11, 14, 15 dan 18 Mei 1924; Penerbit Indonesia Progresif, 1975, h.13—14.
292 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Stalin mengemukakan mengenai metode otokritik sebagai salah
satu metode Leninisme. “Sikap suatu partai politik terhadap kesalahan‐
kesalahannya sendiri adalah salah satu ukuran yang terpenting dan
terpercaya dari kesungguh‐sungguhan partai itu dan bagaimana ia
menunaikan dalam praktek kewajiban‐kewajiban terhadap klasnya dan
massa pekerja. Secara terbuka mengakui kesalahan, menyingkap sebab‐
sebabnya, menganalisa keadaan‐keadaan yang telah menimbulkannya,
dan dengan seksama mendiskusikan cara‐cara untuk
memperbaikinya—inilah tanda suatu partai yang serius, beginilah ia
menunaikan kewajiban‐kewajibannya, beginilah ia mendidik dan
melatih klas, dan kemudian massa.”263
Selanjutnya dikemukakan, “Apa yang terdapat dalam metode
Lenin pada pokoknya sudah ada dalam ajaran Marx, yang menurut
kata‐kata Marx ‘pada hakikatnya kritis dan revolusioner’. Justru jiwa kritis
dan revolusioner itulah yang menjelujuri metode Lenin dari awal sampai
akhir. Tetapi salah jika menganggap bahwa metode Lenin hanya
merupakan pemulihan dari apa yang telah diberikan oleh Marx.
Sebenarnya metode Lenin bukan hanya merupakan pemulihan,
melainkan juga pengkonkretan dan pengembangan lebih lanjut metode
kritis dan revolusioner Marx dan dialektika materialisnya.”264
Mengenai teori, Stalin lebih lanjut mengemukakan bahwa,
“Bukan orang lain kecuali Lenin yang mengatakan dan mengulang
puluhan kali tesis terkenal, bahwa ‘tanpa teori revolusioner tidak mungkin
ada gerakan revolusioner.’ Lenin, dibanding dengan siapa pun lebih
mengerti tentang arti yang sangat penting dari teori, terutama bagi
partai seperti partai kita, mengingat peranan pejuang pelopor proletariat
internasional yang jatuh padanya, dan mengingat kerumitan situasi
dalam negeri dan internasional yang mengelilinginya. Sudah pada
tahun 1902, ketika meramalkan peranan istimewa partai kita ini, Lenin
sudah pada waktu itu menganggap perlu mengingatkan bahwa ‘Peranan
pejuang pelopor dapat dilaksanakan hanya oleh partai yang dibimbing oleh teori
yang paling maju.’”
Mungkin perwujudan yang paling jelas dari arti penting yang
besar yang diberikan oleh Lenin pada teori adalah kenyataan, bahwa
bukan orang lain, tetapi hanya Leninlah, yang telah memikul tugas
263 Ibid., h.36. 264 Ibid., h.37.
XVI — Marxisme – Leninisme | 293
paling serius, yaitu berdasarkan filsafat materialis menggeneralisasi yang
terpenting dari apa yang telah diberikan oleh ilmu selama periode dari
Engels sampai Lenin, dan tugas pengkritikan dari segala segi terhadap
aliran anti‐materialis di kalangan kaum Marxis. Engels mengatakan,
bahwa “materialisme harus mengambil bentuk baru seiring dengan setiap
penemuan baru yang besar.”
Mengenai hukum fundamental dari revolusi, Lenin mengajarkan,
“Hukum fundamental revolusi, yang telah dibuktikan kebenarannya oleh
semua revolusi dan khususnya oleh ketiga Revolusi Rusia dalam abad
ke‐20, adalah sebagai berikut: untuk revolusi tidak cukup kalau hanya
massa yang terhisap dan tertindas menyadari ketidakmungkinan hidup
menurut cara lama dan menuntut perubahan‐perubahan; untuk revolusi
masih diperlukan keadaan di mana kaum penghisap tidak dapat hidup
dan memerintah menurut cara lama. Hanya apabila ‘kaum bawahan’ tidak
menghendaki cara lama dan ‘kaum atasan’ tidak dapat berjalan terus
menurut cara lama, barulah revolusi dapat menang. Kebenaran ini dapat
dinyatakan dengan kata‐kata lain: revolusi tidaklah mungkin tanpa krisis
yang meliputi seluruh negeri (yang menyangkut baik yang dihisap maupun
yang menghisap)’.... Ini berarti bahwa untuk revolusi diperlukan keadaan,
pertama, di mana mayoritas kaum buruh (atau setidak‐tidaknya
mayoritas kaum buruh yang sadar; berpikir dan aktif dalam politik)
mengerti sepenuhnya akan perlunya revolusi dan siap mengorbankan
jiwanya demi revolusi; kedua, di mana klas‐klas yang berkuasa
mengalami krisis pemerintahan yang menyeret bahkan massa yang
paling terbelakang ke dalam politik ... ’memperlemah pemerintah dan
memungkinkan kaum revolusioner menggulingkannya dengan cepat’.”
Lenin dengan tangguh membela ajaran Marx tentang diktatur
proletariat. Sampai‐sampai ia menyatakan bahwa, “Hanyalah mereka
yang menerima ajaran Marx tentang diktatur proletariat adalah seorang
Marxis.”
Dalam Dasar‐Dasar Leninisme, Stalin memaparkan bahwa ‘masalah
diktatur proletariat pertama‐tama adalah masalah isi pokok revolusi
proletar. Revolusi proletar, geraknya, jangkauannya, dan hasil‐hasilnya
mengambil bentuk konkret hanya melalui diktatur proletariat. Diktatur
proletariat adalah alat revolusi proletar, organnya, sandarannya yang
paling penting, yang dilahirkan untuk tujuan, pertama, menindas
perlawanan kaum penghisap yang telah digulingkan dan
294 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mengonsolidasi hasil‐hasil revolusi proletar; kedua, melaksanakan
revolusi proletar sampai selesai, melaksanakan revolusi sampai
tercapainya kemenangan penuh sosialisme.’
Lenin mengajarkan bahwa, “diktatur proletariat adalah
peperangan yang paling tak takut berkorban dan paling tak kenal
ampun dari klas yang baru melawan musuh yang lebih perkasa, melawan
borjuasi yang perlawanannya menjadi berlipat sepuluh kali karena ia
telah digulingkan; bahwa ‘diktatur proletariat adalah perjuangan yang
gigih, berdarah dan tak berdarah, dengan kekerasan dan secara damai,
secara militer dan secara ekonomi, secara pendidikan dan secara
administratif, melawan kekuatan‐kekuatan dan tradisi‐tradisi masya‐
rakat lama. Diktatur proletariat adalah kekuasaan revolusioner yang
berdasarkan kekerasan terhadap bojuasi.”
“Negara adalah mesin di tangan klas yang berkuasa untuk
menindas perlawanan musuh‐musuh klasnya. Dalam hal ini diktatur
proletariat pada hakikatnya tidak berbeda sedikit pun dengan diktatur
klas yang lain mana pun, sebab negara proletariat adalah mesin untuk
menindas borjuasi. Tetapi di sini ada satu perbedaan hakiki. Perbedaan
itu ialah bahwa semua negara berklas yang ada sampai sekarang adalah
diktatur minoritas yang menghisap terhadap mayoritas yang terhisap,
sedang diktatur proletariat adalah diktatur mayoritas yang terhisap
terhadap minoritas yang menghisap.
Pendeknya, diktatur proletariat adalah kekuasaan proletariat
yang tidak dibatasi oleh undang‐undang dan yang berdasarkan
kekerasan terhadap borjuasi, yang mendapat simpati dan sokongan dari
massa pekerja dan terhisap.”
Di samping itu, dipaparkan pentingnya arti Masalah Tani bagi
Leninisme. Masalah tani adalah bagian dari masalah umum tentang
diktatur proletariat, dan sebagai bagian itu, ia merupakan salah satu
masalah yang paling vital dari Leninisme. Demikian pula mengenai
Masalah Nasional. Leninisme telah memperluas pengertian menentukan
nasib sendiri dengan menafsirkannya sebagai hak rakyat tertindas negeri
tergantung dan tanah jajahan untuk pemisahan diri sepenuhnya,
sebagai hak bangsa‐bangsa untuk hidup merdeka sebagai negara.
Leninisme telah membuktikan, dan perang imperialis serta revolusi di
Rusia telah membenarkan, bahwa masalah nasional dapat dipecahkan
hanya dalam hubungannya dengan dan di atas dasar revolusi proletar....
XVI — Marxisme – Leninisme | 295
Masalah nasional adalah bagian dari masalah umum revolusi proletar,
bagian dari masalah diktatur proletariat.
Dalam Dasar‐Dasar Leninisme, Stalin memaparkan masalah
Strategi dan Taktik. Dikemukakannya bahwa Strategi dan Taktik adalah
ilmu memimpin perjuangan klas dari proletariat. Lenin tidak membatasi
diri pada pemulihan sejumlah dalil taktik tertentu dari Marx dan Engels.
Ia mengembangkannya lebih lanjut dan melengkapinya dengan ide‐ide
dan dalil‐dalil baru, dan menggabungkan semua itu menjadi suatu
sistem peraturan‐peraturan dan prinsip‐prinsip pembimbing untuk
memimpin perjuangan klas dari proletariat. Karya‐karya Lenin, seperti
Apa yang Harus Dikerjakan, Dua Taktik, Imperialisme, Negara dan Revolusi,
Revolusi Proletar dan Renegat Kautsky, Penyakit Kekanak‐Kekanakan; tanpa
diragukan lagi merupakan sumbangan paling berharga pada khazanah
umum Marxisme, pada gudang senjata revolusionernya. Strategi dan
taktik Leninisme adalah ilmu memimpin perjuangan revolusioner
proletariat.
Strategi adalah penentuan arah pukulan pokok proletariat dalam
tahap tertentu revolusi, penyusunan rencana yang sesuai untuk
penempatan kekuatan revolusioner (cadangan pokok dan cadangan
sekunder), perjuangan untuk melaksanakan rencana itu selama tahap
tertentu revolusi itu.
Taktik adalah penetapan garis bagi tindakan proletariat dalam
periode yang relatif pendek dari pasang naik atau pasang surut gerakan,
kebangkitan atau kemunduran revolusi, perjuangan untuk pelaksanaan
garis ini dengan jalan penggantian bentuk‐bentuk lama perjuangan dan
bentuk‐bentuk lama organisasi dengan bentuk‐bentuk yang baru,
dengan mengombinasi bentuk‐bentuk itu.... Taktik adalah bagian dari
strategi, tunduk kepada strategi dan mengabdi kepadanya. Taktik
berubah menurut pasang naik dan pasang surut revolusi. Taktik
berurusan dengan bentuk‐bentuk perjuangan dan bentuk‐bentuk
organisasi proletariat, dengan pergantian dan kombinasi bentuk‐bentuk
itu. Dalam tahap tertentu revolusi, taktik dapat berubah beberapa kali,
tergantung pada pasang naik atau pasang surut revolusi, pada
kebangkitan atau kemunduran revolusi.
Lenin menjelaskan mengenai syarat penggunaan strategis
kekuatan‐kekuatan revolusi itu dengan kata‐kata sendiri dari tesis‐tesis
terkenal Marx dan Engels tentang pemberontakan: 1. Sekali‐kali jangan
296 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
bermain‐main dengan pemberontakan, tetapi apabila memulainya, harus
sungguh‐sungguh menyadari, bahwa harus melakukannya sampai
selesai. 2. Harus memusatkan kekuatan‐kekuatan yang besar di tempat
yang menentukan, pada saat yang menentukan, kalau tidak, musuh
yang mempunyai persiapan dan organisasi yang lebih baik akan
membinasakan kaum pemberontak. 3. Sekali pemberontakan dimulai,
harus bertindak dengan ketegasan yang sebesar‐besarnya dan dengan
pasti, tanpa ragu‐ragu berofensif. ‘Defensif’ adalah kematian bagi setiap
pemberontakan bersenjata. 4. Harus berusaha menyergap musuh secara
mendadak, mencari saat ketika tentaranya terpencar‐pencar. 5. Harus
setiap hari memperoleh hasil, meskipun kecil (dapat dikatakan setiap
jam, jika persoalannya mengenai satu kota), dan bagaimanapun juga
harus mempertahankan ‘keunggulan moril’.
Pertempuran yang menentukan, kata Lenin, dapat dianggap
sepenuhnya sudah matang, jika (1) semua kekuatan klas yang
bermusuhan dengan kita cukup kacau‐balau, cukup terlibat dalam
perkelahian‐perkelahian di antara mereka sendiri, cukup memperlemah
diri dengan pergulatan yang di luar kekuatannya; jika (2) semua elemen
tengah yang bimbang, goyang, tidak teguh, yaitu borjuasi kecil, kaum
demokrat borjuis kecil yang berbeda dengan borjuasi telah cukup
menelanjangi diri di hadapan rakyat, telah cukup menodai diri dengan
kebangkrutan prakteknya; jika (3) di kalangan proletariat telah bangkit
dan mulai timbul dan menanjak dengan perkasa semangat massal untuk
menyokong aksi‐aksi revolusioner yang paling tegas, gagah‐berani tak
takut berkorban melawan borjuasi. Pada waktu itulah, kalau kita telah
dengan tepat memperhitungkan semua syarat yang ditunjukkan di atas
dan telah dengan tepat memilih saat, kemenangan kita terjamin.
“Partai‐partai revolusioner”, kata Lenin, “harus menyelesaikan
pelajaran mereka. Mereka telah belajar menyerang. Sekarang mereka
harus menginsafi, bahwa ilmu ini harus dilengkapi dengan ilmu
bagaimana mundur dengan tepat. Mereka harus memahami—dan klas
revolusioner berdasarkan pengalaman pahit mereka sendiri belajar
memahami—bahwa tidaklah mungkin menang, jika mereka belum
belajar menyerang dengan tepat dan mundur dengan tepat.”
Apakah yang dimaksud dengan menggunakan bentuk
perjuangan dan bentuk organisasi proletar dengan tepat? ... Tugas kita
ialah memberikan kemungkinan kepada jutaan massa untuk menginsafi
XVI — Marxisme – Leninisme | 297
tak terelakkannya penggulingan kekuasaan lama berdasarkan
pengalaman mereka sendiri, mengemukakan cara‐cara perjuangan dan
bentuk‐bentuk organisasi yang akan mempermudah massa menginsafi
kebenaran semboyan‐semboyan revolusioner berdasarkan pengalaman.
Dengan jelimet Lenin mengajarkan masalah strategi dan taktik yang
harus dikuasai oleh partai yang memimpin revolusi. Mulai dari soal
menerbitkan koran yang berfungsi sebagai organisator untuk merajut
jaringan organisasi‐organisasi yang masih tercerai‐berai, mengenai
bentuk organisasi dan bentuk‐bentuk perjuangan di berbagai tingkat
perjuangan, masalah mencegah terpisahnya partai dari massa yang
harus dipimpin, menjalankan taktik ‘menjelaskan dengan sabar’ kesalahan‐
kesalahan partai yang harus dikoreksi, memilih dan menetapkan
dengan tepat tugas yang harus ditunaikan pada setiap saat, menetapkan
mata rantai pokok dan tugas pokok dalam mata rantai tugas. Lenin
mengajarkan sikap yang tepat terhadap reformisme dan revolusionerisme.
Dalam syarat‐syarat tertentu reformasi pada umumnya, kompromi dan
persetujuan pada khususnya, adalah perlu dan berguna.
Lenin mengajarkan bahwa, “hubungan antara reformasi dan
revolusi, didefinisikan dengan tepat dan betul hanya oleh Marxisme.
Tetapi Marx dapat melihat hubungan ini hanya dari satu segi, yaitu
dalam keadaan sebelum kemenangan pertama proletariat yang sampai
batas tertentu kokoh dan berlangsung lama, meskipun hanya di satu
negeri. Dalam keadaan semacam itu dasar bagi hubungan yang tepat
ialah: reformasi adalah hasil sampingan perjuangan klas yang revolusioner dari
proletariat....“
Dalam Dasar‐Dasar Leninisme, Stalin memaparkan masalah ajaran
tentang partai tipe baru, partai tipe Lenin. Diajarkan bahwa partai adalah
detasemen pelopor klas buruh, yang harus menyerap semua elemen
terbaik dari klas buruh, pengalaman mereka, kerevolusioneran mereka,
kesetiaan mereka yang tulus ikhlas pada usaha proletariat, harus
dipersenjatai dengan teori revolusioner, dengan pengetahuan tentang
hukum‐hukum gerakan, dengan pengetahuan tentang hukum‐hukum
revolusi. Partai adalah pemimpin politik klas buruh, adalah staf tempur
proletariat. Partai adalah sistem tunggal dari organisasi‐organisasi,
penyatuan mereka secara formal menjadi satu keseluruhan, dengan
badan‐badan pimpinan atasan dan bawahan, dengan ketundukan
minoritas kepada mayoritas, dengan keputusan‐keputusan praktis yang
298 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
mengikat semua anggota partai. Partai adalah bentuk tertinggi
organisasi klas proletariat. Partai sebagai alat diktatur proletariat.
Mengenai langgam kerja partai, Stalin memaparkan bahwa
langgam Leninisme adalah pemaduan dua kekhususan: yaitu semangat
berani bertindak revolusioner Rusia dan efisiensi Amerika. Semangat
berani bertindak revolusioner Rusia merupakan obat penawar bagi
kelambanan, rutinisme, konservatisme, kemandekan pikiran dan sikap
membudak terhadap tradisi kuno. Semangat berani bertindak
revolusioner Rusia adalah kekuatan pemberi hidup yang menggugah
pikiran, mendorong maju, menghancurkan yang lama dan membuka
perspektif. Tanpa semangat ini tidak mungkin ada gerak maju apa pun.
Efisiensi Amerika adalah kekuatan yang tak dapat ditaklukkan
yang tak mengenal dan tak mengakui rintangan, yang dengan
keuletannya yang efisien menyingkirkan semua dan segala rintangan,
yang pasti akan menyelesaikan usaha yang sekali dimulai, walaupun
usaha kecil; dan tanpa ini pekerjaan pembangunan yang serius tidak
dapat dibayangkan.
Perpaduan semangat berani bertindak revolusioner Rusia dengan
efisiensi Amerika—inilah hakikat langgam Leninisme dalam pekerjaan
partai dan pekerjaan negara.
1. Tentang Kapitalisme Negara di Bawah Diktatur Proletariat
PADA saat Tiongkok mulai menggalakkan program reformasi dan politik
terbuka di bawah pimpinan Deng Xiaoping, berlangsung politik
memberi konsesi pada kapitalisme dengan mengundang masuk kapital
asing, maka bermunculan suara yang menyatakan Tiongkok sudah
merevisi Marxisme, PKT sudah menjadi partai revisionis.
Sesungguhnya, pemberian konsesi pada kapitalisme di bawah
syarat diktatur proletariat adalah ajaran Lenin. Sesudah terbentuknya
URSS dan kian terkonsolidasinya diktatur proletariat di Uni Sovyet,
dalam berbagai kesempatan, Lenin telah memaparkan masalah teori
kapitalisme negara. Pada masa peralihan ke sosialisme, walaupun sudah
berdiri diktatur proletariat, kapitalisme belumlah terbasmi, bahkan
diperlukan demi kepentingan pembangunan sosialisme. Diktatur
proletariat melindungi kapitalisme ini berupa kapitalisme negara.
XVI — Marxisme – Leninisme | 299
Lenin yang tangguh membela dan menegakkan diktatur proletariat
mengajarkan bahwa untuk jangka panjang masa peralihan menuju
sosialisme di mana berlangsungnya diktatur proletariat, maka berlaku
kapitalisme negara. Dikemukakan bahwa “sosialisme berarti
penghapusan klas‐klas. Diktatur proletariat berusaha dengan semua
kemampuannya untuk menghapuskan klas‐klas. Tetapi klas‐klas tidak
bisa dihapuskan sekaligus. Dan klas‐klas ada dan serta akan ada selama
masa diktatur proletariat. Bila klas‐klas lenyap, diktatur akan menjadi
tidak perlu. Tanpa diktatur proletariat, klas‐klas tidak akan lenyap. Klas‐
klas tetap ada, tetapi selama masa diktatur proletariat, tiap klas
mengalami perubahan, dan hubungan‐hubungan antara klas‐klas
berubah pula. Perjuangan klas tidak lenyap di bawah diktatur proletariat,
perjuangan klas itu hanya mengambil bermacam‐macam bentuk.”265
Dalam laporan kepada Kongres III Komintern 5 Juli 1921
mengenai Taktik Partai Komunis Rusia, Lenin memaparkan bahwa
“kapitalisme negara dalam masyarakat di mana kekuasaan berada di
tangan kapital, dan kapitalisme negara di bawah negara proletar adalah
dua pengertian yang berbeda. Di bawah negara kapitalis, kapitalisme
negara itu berarti bahwa ia diakui dan diawasi oleh negara demi
kepentingan borjuasi melawan proletariat. Di bawah negara proletar
juga demikian, ia mengabdi pada klas pekerja dengan tujuan melawan
semua sisa‐sisa borjuasi yang masih kuat. Dengan sendirinya, harus
dipahami bahwa kita harus menghadapi dan memberi konsesi pada
borjuasi yang banyak akal, pada kapital asing. Tanpa denasionalisasi,
kita memberikan sedikit bahan baku, hutan, sumber minyak kepada
kapital asing, supaya kita memperoleh hasil produksi industrinya,
mesin‐mesin, dan lain‐lain; dengan demikian kita membangun industri
kita sendiri.”266
“Negara proletar, tanpa mengubah hakikatnya, bisa
memperbolehkan perdagangan bebas, dan membiarkan perkembangan
kapitalisme hanya sampai batas‐batas dan hanya di bawah syarat‐syarat
265 W.I. Lenin, Ekonomi dan Politik Selama Masa Diktatur Proletariat, Pustaka Ketjil Marxis, delapan belas, Jajasan Pembaruan, Jakarta, 1958. 266 V.I. Lenin, O Gosudarstvennom Kapitalizme—Gosudarstvennyy Kapitalizm V Period Perekhoda K Sotsializmu (Tentang Kapitalisme Negara—Kapitalisme Negara dalam Periode Peralihan Menuju Sosialisme), Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik), Moskwa, 1957, h.136.
300 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pengaturan negara (pengawasan, kontrol, bentuk‐bentuk penentuan,
pengaturan‐pengaturan, dan sebagainya), perdagangan swasta dan
kapitalisme usaha swasta. Berhasilnya pengaturan yang demikian,
tergantung tidak hanya pada kekuasaan negara, tetapi lebih besar lagi
tergantung pada tingkat kematangan proletariat dan massa pekerja
pada umumnya, juga pada tingkatan kebudayaan dan sebagainya.
Lebih‐lebih lagi, tentu saja, berhasilnya pengaturan yang demikian
berlawanan dengan kepentingan klas pekerja dan kapital. Oleh karena
itu salah satu tugas utama serikat buruh adalah dari sekarang secara
menyeluruh dan dengan segala jalan membela kepentingan klas proletar
dan berjuang melawan kapital.”267
Dalam laporan politik CC PKR(B) ke Kongres XI, 27 Maret 1922,
Lenin mengemukakan, “Mengenai kapitalisme negara, saya berpikir,
bahwa pada umumnya persuratkabaran kita, juga partai kita, membikin
kesalahan yang demikian, yaitu kita menyerang kaum intelektual, yang
bermuara pada liberalisme, mencari kearifan untuk bagaimana
memahami kapitalisme negara, dengan berpaling pada buku‐buku lama.
Di sana ditulis sepenuhnya bahwa mengenai kapitalisme negara yang
terdapat di bawah kapitalisme, dan tidak satu buku pun yang menulis
mengenai kapitalisme negara yang terdapat di bawah komunisme. Bahkan
Marx pun belum sempat menulis satu kata juga mengenai hal ini dan
beliau sudah berpulang, tanpa meninggalkan satu titik catatan serta
petunjuk yang berupa sangkalan. Oleh karena itu, sekarang kita sendiri
berhadapan dengan hal ini dan merangkak keluar dari masalah ini. Dan
jika ditemukan pada pikiran persuratkabaran kita mengenai masalah
kapitalisme negara, sebagaimana yang saya berusaha mengungkapkannya
dalam laporan ini, jelas tampak pandangan dari segi yang lain.
Kapitalisme negara, dalam semua literatur ekonomi—itu adalah
kapitalisme, yang terdapat dalam masyarakat kapitalis, ketika
kekuasaan negara secara langsung tunduk kepada perusahaan kapitalis
tertentu. Sedangkan pada kita, negara adalah negara proletariat,
memberlakukan hukum proletariat; pada proletariat terdapat semua
keunggulan politik, dan lewat proletariat terdapat kaum tani. Oleh
karena itu, kapitalisme negara pada kita adalah masalah yang sama sekali
lain. Supaya halnya tidak jadi demikian, maka haruslah dipahami yang
267 Ibid., h.167.
XVI — Marxisme – Leninisme | 301
pokok, yaitu kapitalisme negara dalam bentuk demikian, sebagaimana
yang ada pada kita, tidak ada dalam teori mana pun, tidak ada dalam
literatur mana pun, tidak diungkap semata‐mata karena alasan yang
sederhana, bahwa semua biasanya, sehubungan dengan kata‐kata yang
demikian, adalah dihubungkan pada kekuasaan borjuasi dalam
masyarakat kapitalis. Sedangkan pada kita, masyarakat sudah meluncur
turun dari rel kapitalis, tapi rel baru belumlah ada, sedangkan yang
memimpin negara bukanlah borjuasi, tetapi proletariat. Kita tak ingin
mengetahui, bahwa yang kita maksud dengan ‘negara’ itu adalah kita,
adalah proletariat, adalah pelopor klas pekerja. Kapitalisme negara,
adalah kapitalisme, yang dapat kita batasi, yang batas‐batasnya dapat
kita tentukan, kapitalisme negara itu berhubungan dengan negara, dan
negara itu adalah klas pekerja, itu adalah bagian dari pekerja yang maju,
pelopor itu adalah kita.
Kapitalisme negara itu adalah kapitalisme yang kita harus
menetapkannya dalam kerangka yang tertentu yang sampai sekarang
kita belum mampu mendirikannya. Ya, itulah masalahnya. Dan kini
sudah tergantung pada kita, bagaimana jadinya kapitalisme negara itu.
Kekuasaan politik yang ada pada kita adalah cukup, sungguh‐sungguh
cukup.”268
Dengan demikian, Lenin mengajarkan bahwa di bawah
kekuasaan diktatur proletariat, dapat membolehkan berlangsungnya
kapitalisme negara yang dikendalikan oleh negara. Maka di Tiongkok
berlangsunglah kegiatan mengundang kapital asing untuk melakukan
investasi, kerja sama ekonomi dengan negara kapitalis, menjalankan
perdagangan bebas dengan negara kapitalis, sampai‐sampai
menggunakan pasar sebagai pengungkit ekonomi untuk meningkatkan
produksi. Ini jelas‐jemelas bukan merevisi Marxisme, tetapi manerapkan
ajaran Lenin sesuai dengan syarat‐syarat objektif Tiongkok.
Kapitalisme negara di bawah diktatur proletariat telah menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan perekonomian Tiongkok maju
pesat menakjubkan, hingga negeri yang terbelakang dan miskin di
pertengahan abad ke‐20, pada awal abad ke‐21 menjadi negara besar
kedua di bidang ekonomi, mengungguli Jepang dan berada di bawah
Amerika Serikat.
268 Ibid., h.168—169.
302 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
2. Kejayaan Marxisme–Leninisme
DENGAN diperkenalkannya Leninisme sebagai pengembangan
Marxisme, maka partai‐partai komunis dan buruh di dunia mulai
menggunakan rumusan Marxisme–Leninisme sebagai ideologi
pembimbing pekerjaan partai. PKI pun menggunakan istilah Marxisme–
Leninisme sebagai ideologi pembimbing partai. Konstitusi PKI hasil
Kongres Nasional VI 1959 menyatakan bahwa seluruh pekerjaan PKI
didasarkan atas teori Marxisme–Leninisme.269
Sukses‐sukses pembangunan sosialisme di Uni Sovyet di bawah
bimbingan ideologi Marxisme–Leninisme didemonstrasikan dengan
suksesnya pembangunan ekonomi berupa pelaksanaan Plan Lima Tahun
Pertama dan selanjutnya, sampai kemenangan Uni Sovyet dan Sekutu
atas fasisme Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Kekalahan fasisme
Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia II disusul dengan lahirnya
negara‐negara demokrasi rakyat di Eropa Tengah dan Timur,
terbentuknya Republik Rakyat Tiongkok, Republik Rakyat Demokrasi
Korea, dan Republik Demokrasi Rakyat Vietnam. Semua negara ini
dipimpin oleh partai‐partai komunis yang menjadikan Marxisme–
Leninisme sebagai ideologi pembimbing. Seusai Perang Dunia II,
pembangunan sosialisme berlanjut di Uni Sovyet.
269 Konstitusi (AD–ART) PKI, Comite Central Partai Komunis Indonesia, Djakarta 1961, h.3.
XVII — Pikiran Mao Zedong | 303
XVII
Pikiran Mao Zedong
SEMENJAK terbentuknya PKT tahun 1921, 270 sudah menjadikan
Marxisme sebagai ideologi pembimbing partai. Dalam praktek revolusi
Tiongkok, lewat perjuangan mengalahkan pikiran‐pikiran salah Chen
Duxiu271 dan Wang Ming,272 tampil pemimpin PKT yang terkemuka,
Mao Zedong. Dari penyimpulan pengalaman revolusi Tiongkok, PKT
memimpin revolusi dengan menerapkan Marxisme sesuai dengan
kondisi konkret Tiongkok. Dalam Kongres Nasional VII PKT tahun 1945
diputuskan Pikiran Mao Zedong sebagai pengintegrasian teori Marxisme–
Leninisme dengan praktek revolusi Tiongkok menjadi ideologi
pembimbing PKT.
“Pikiran Mao Zedong terbentuk dan berkembang setapak demi
setapak dalam proses perjuangan melawan kecenderungan‐
270 Seiring dengan berlangsungnya Kongres Komintern di Moskow, 22 Juni–12 Juli 1921, dibentuklah Partai Komunis Tiongkok. Pembentukan atau kongres pertama diadakan di Shanghai dan dihadiri oleh 12 orang yaitu Mao Zedong, Chang Kuotao, Tung Pi-wu, Chou Fu-hai, Chen Kung-po, Chen Wang-tao, Chen Tan-chiu, Li Han-chun, Li Ta, Ho Shu Cheng, Lu Jen-ching, dan Pao Hui-Sheng. Sedangkan wakil Komintern yang hadir adalah Henricus Sneevliet. 271 Pemimpin gerakan budaya baru Tiongkok pada awal abad ke-20, pendiri dan juga pemimpin awal Partai Komunis Tiongkok. 272 Nama aslinya adalah Chen Shao-yu. Salah seorang dari “28 Orang Bolsyewik” atau ada yang menyebut “Fraksi Siswa yang Kembali”, sebab mereka mendapatkan pendidikan kader-kader revolusioner dari Timur di Universitas Sun Yat Sen Moskow. Pada Sidang Pleno IV CC PKT, Grup 28 Orang Bolsyewik ini berhasil memegang kontrol yang kuat dalam tubuh PKT. Dalam proses selanjutnya politik mereka ini dikategorikan sebagai garis oportunis kiri ketiga.
304 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kecenderungan salah dan dalam menyimpulkan secara mendalam
pengalaman sejarah. Ia mencapai kesimpulan yang sistematis dan
berkembang meluas meliputi berbagai bidang serta menjadi matang
dalam masa akhir Perang Revolusi Agraria dan pada masa Perang Anti‐
Jepang dan kemudian terus berkembang dalam masa Perang
Pembebasan dan setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Pikiran
Mao Zedong adalah penerapan dan pengembangan Marxisme–Leninisme
di Tiongkok, adalah prinsip teori dan penyimpulan pengalaman yang
tepat mengenai revolusi Tiongkok yang telah dibuktikan oleh praktek,
adalah kristalisasi kebijakan kolektif Partai Komunis Tiongkok.”273
Pikiran Mao Zedong mempunyai isi yang banyak segi. Ia adalah
teori yang orisinal, yang telah memperkaya dan mengembangkan
Marxisme–Leninisme dalam beberapa segi di bawah ini:
A. Mengenai revolusi demokrasi baru.
Mao Zedong bertolak dari keadaan sejarah dan masyarakat Tiongkok,
secara mendalam telah menyelidiki ciri‐ciri revolusi Tiongkok dan
hukum‐hukum revolusi Tiongkok, telah mengembangkan pikiran
Marxisme–Leninisme mengenai kepemimpinan proletariat dalam
revolusi demokratik, menciptakan teori revolusi demokrasi baru—
revolusi anti‐imperialisme, anti‐feodalisme, dan anti‐kapitalisme
birokrat dari massa rakyat yang luas, berbasiskan persekutuan buruh
dan tani di bawah pimpinan proletariat.
Pokok‐pokok teori itu adalah:
Pertama, borjuasi Tiongkok terdiri dari dua bagian: pertama, adalah
borjuasi besar yang bersandar kepada imperialisme (yaitu borjuasi
komprador dan kapitalisme birokrat), yang satu lagi adalah borjuasi
nasional di samping mempunyai keinginan berrevolusi juga mempunyai
watak bimbang. Proletariat harus menarik borjuasi nasional ke dalam
front persatuan yang dipimpin proletariat, yang dalam keadaan khusus
juga mencakup di dalamnya sebagian borjuasi besar, agar dalam batas
yang paling luas mengisolasi musuh pokok. Pada waktu melakukan
front persatuan dengan borjuasi, proletariat harus mempertahankan
273 Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Disahkan oleh Kongres PKT XI Sidang Pleno ke-6 CC Partai Komunis Tiongkok pada tanggal 27 Juni 1981.
XVII — Pikiran Mao Zedong | 305
kebebasannya, melaksanakan politik ‘bersatu dan berjuang’, ‘mencapai
persatuan melalui perjuangan’; pada waktu terpaksa harus pecah dengan
borjuasi, terutama dengan borjuasi besar, harus berani dan pandai
melancarkan perjuangan bersenjata yang teguh dengan borjuasi besar,
bersamaan dengan itu harus terus merebut simpati borjuasi nasional
atau menetralisir mereka.
Kedua, karena di Tiongkok tidak ada demokrasi borjuis, dan klas‐
klas penguasa reaksioner dengan bersandar pada kekuatan
bersenjatanya melaksanakan kediktaturan teror terhadap rakyat,
revolusi hanya dapat mengambil bentuk perjuangan bersenjata yang
berjangka panjang sebagai bentuk pokoknya. Perjuangan bersenjata di
Tiongkok adalah perang revolusioner yang dipimpin oleh proletariat
dengan kaum tani sebagai kekuatan pokoknya. Kaum tani adalah
sekutu paling terpercaya dari proletariat. Melalui detasemen pelopornya
sendiri, dengan menggunakan ideologi yang maju dan kesadaran
berorganisasi dan berdisiplin, proletariat mungkin dan harus
meningkatkan kesadaran massa kaum tani, membangun daerah basis di
pedesaan, dan melancarkan perang revolusioner berjangka panjang,
serta mengembangkan dan memperbesar kekuatan revolusi.
Mao Zedong mengemukakan, ‘front persatuan dan perjuangan
bersenjata, adalah dua senjata utama dalam mengalahkan musuh’.
Ditambah dengan pembangunan partai, maka menjadi ‘tiga senjata
utama’ revolusi. Ini merupakan dasar pokok yang memungkinkan Partai
Komunis Tiongkok menjadi inti pimpinan dari seluruh nasion, dan
meretas jalan dari desa mengepung kota, dan akhirnya mencapai
kemenangan di seluruh negeri.
B. Mengenai revolusi sosialis dan pembangunan sosialis. Dipaparkan bahwa PKT mengambil pedoman pada waktu yang
bersamaan industrialisasi sosialis dan melaksanakan politik‐politik
konkret untuk berangsur‐angsur mengubah hak milik perseorangan atas
alat‐alat produksi, dengan demikian dari segi teori dan praktek telah
memecahkan tugas‐tugas berat membangun sistem sosialisme di negeri
besar seperti Tiongkok yang mempunyai penduduk seperempat
penduduk dunia dan yang terbelakang ekonomi dan kebudayaannya.
Dengan mengemukakan tesis bahwa perpaduan antara
demokrasi bagi rakyat dan diktatur terhadap kaum reaksioner adalah
306 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
diktatur demokrasi rakyat, Mao Zedong telah memperkaya ajaran
Marxisme–Leninisme tentang diktatur proletariat.
Setelah dibangunnya sistem sosialis, Mao Zedong menunjukkan
bahwa di bawah sistem sosialis, kepentingan fundamental rakyat adalah
sama, tetapi di kalangan rakyat masih terdapat berbagai macam
kontradiksi, dan bahwa kontradiksi di kalangan rakyat harus dengan
keras dibedakan dan dengan tepat dipecahkan. Bahwa di kalangan
rakyat, harus melaksanakan politik “persatuan—kritik—persatuan”;
dalam mengatur hubungan antara partai dengan partai‐partai dan
golongan‐golongan demokratik, melaksanakan politik “hidup
berdampingan untuk jangka panjang dan saling mengawasi”; dalam
pekerjaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan melaksanakan politik
“berbagai bunga mekar bersama”, “berbagai aliran bersaing bersuara”; dan di
bidang ekonomi melaksanakan pengaturan menyeluruh terhadap
berbagai lapisan di kota dan di pedesaan seluruh negeri dan bersamaan
dengan itu memperhatikan kepentingan tiga pihak yaitu kepentingan
negara, kolektif, dan perseorangan, dan seperangkat pedoman tepat
lainnya. Berkali‐kali ditekankan agar jangan menjiplak secara mekanis
pengalaman dari luar negeri.
C. Mengenai pembangunan tentara revolusioner dan strategi militer. Mao Zedong secara sistematis memecahkan masalah bagaimana
membangun tentara revolusioner yang unsur utamanya terdiri dari
kaum tani menjadi tentara rakyat tipe baru yang berwatak proletar,
memiliki disiplin keras dan mempertahankan hubungan erat dengan
massa rakyat. Bahwa mengabdi sepenuh hati kepada rakyat adalah asas
tujuan satu‐satunya dari tentara rakyat, dan telah mengajukan prinsip
partai mengomando senapan dan senapan sekali‐kali tidak boleh
mengomando partai.
Di dalam karya‐karya militer seperti: Tentang Membetulkan
Pikiran‐Pikiran Salah di Dalam Partai, Masalah Strategi Perang Revolusioner
Tiongkok, Masalah Strategi Perang Gerilya Anti‐Jepang, Tentang Perang
Tahan Lama, Masalah Perang dan Strategi, dan karya‐karya militer lainnya,
Mao Zedong menyimpulkan pengalaman perang revolusioner Tiongkok
yang berjangka panjang, dengan sistematis mengemukakan pikiran
mengenai membangun tentara rakyat, dan menunjukkan dengan tentara
rakyat sebagai tulang punggung, bersandar pada massa rakyat yang
XVII — Pikiran Mao Zedong | 307
luas, mendirikan daerah basis di pedesaan dan menjalankan ide perang
rakyat.
Dengan mengangkat perang gerilya ke tingkat strategi, bahwa
untuk waktu yang lama bentuk operasi militer yang utama dalam
perang revolusioner Tiongkok adalah perang gerilya dan perang mobil
yang bersifat perang gerilya. Seperangkat strategi dan taktik perang
rakyat bagi tentara revolusioner: dalam keadaan musuh kuat kita lemah,
melaksanakan perang tahan lama dalam strategi, perang cepat selesai
dalam kampanye dan pertempuran, mengubah keasoran dalam strategi
menjadi keunggulan dalam kampanye dan pertempuran, memusatkan
kekuatan unggul, dan menghancurkan musuh satu demi satu.
Semuanya ini merupakan sumbangan yang sangat penting Mao Zedong
kepada teori militer Marxisme–Leninisme.274
D. Mengenai politik dan taktik.
Mao Zedong sangat mendalam menguraikan arti yang menentukan dari
masalah politik dan taktik dalam perjuangan revolusioner, dan
mengemukakan bahwa politik dan taktik adalah jiwa partai, adalah titik
tolak dan hasil terakhir dari segala tindakan praktek sebuah partai
politik revolusioner, dan bahwa partai harus menetapkan politik‐
politiknya berdasarkan situasi politik, hubungan klas dan keadaan
nyata, serta perubahan‐perubahannya, dan dengan memadukan antara
memegang prinsip dengan keluwesan.
E. Mengenai pekerjaan ideologi & politik dan pekerjaan kebudayaan.
Dalam karya Tentang Demokrasi Baru, Mao Zedong mengemukakan,
“Kebudayaan tertentu (kebudayaan sebagai bentuk ideologi) adalah
pencerminan politik dan ekonomi masyarakat tertentu, juga
memberikan pengaruh dan peranan yang besar terhadap politik dan
ekonomi masyarakat tertentu dan ekonomi adalah basis, politik adalah
manifestasi terpusat dari ekonomi.” Berdasarkan pandangan pokok ini,
274 Metode strategi dan taktik perang Mao Zedong adalah karya Mao Zedong yang secara kreatif menggunakan pandangan materialisme dialektika histori—Marxisme–Leninisme. Mao Zedong menganalisis kekhususan dari revolusi Tiongkok sehingga menghasilkan teori militer yang menjadi panduan bagi Tentara Pembebasan Rakyat di dalam menuai kemenangan dalam beberapa kali peperangan: perang dalam negeri, perang pembebasan, perang anti agresi, dan perang defensif anti-hegemoni.
308 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pernah banyak ide penting yang mempunyai arti menjangkau jauh.
Misalnya tesis bahwa pekerjaan ideologi dan politik adalah tali nyawa
pekerjaan ekonomi dan pekerjaan‐pekerjaan lainnya, bahwa harus
melaksanakan pedoman‐pedoman mempersatukan politik dengan
ekonomi, mempersatukan politik dengan keahlian profesional, serta
menjadi merah dan ahli; mengembangkan kebudayaan yang bersifat
nasional, ilmiah, dan massal, melaksanakan pedoman berbagai bunga
mekar bersama, menyisihkan yang lama untuk menumbuhkan yang
baru, mengabdikan yang kuno kepada kekinian, dan yang dari luar
negeri kepada Tiongkok; tesis bahwa kaum intelektual mempunyai
peranan yang sangat penting dalam revolusi dan pembangunan, bahwa
kaum intelektual harus mengintegrasikan diri dengan kaum buruh dan
kaum tani, menegakkan pandangan dunia proletariat melalui belajar
Marxisme–Leninisme, belajar dalam masyarakat dan praktek kerja dan
lain sebagainya. Bahwa “masalah mengabdi kepada siapa adalah satu
masalah fundamental, masalah prinsipil”, dan menekankan bahwa kita
harus sepenuh hati mengabdi rakyat, harus mempunyai tanggung jawab
yang tinggi terhadap pekerjaan revolusioner, harus berjuang dengan
tidak kenal susah‐payah dan tidak takut berkorban.
Banyak karya Mao Zedong yang terkenal mengenai ideologi,
politik dan kebudayaan, seperti Arah Gerakan Pemuda, Menarik Sejumlah
Besar Kaum Intelektual, Pidato dalam Simposium Sastra dan Seni di Yan’an,
Memperingati Norman Bethune, Mengabdi kepada Rakyat, Kakek Pandir
Memindahkan Gunung, dan lain‐lain.
F. Mengenai pembangunan partai.
Adalah suatu tugas yang luar biasa berat untuk membangun satu partai
politik proletar Marxis yang mempunyai karakter massa di negeri, di
mana kaum tani dan klas borjuis‐kecil lainnya merupakan mayoritas
penduduk, sedangkan proletariat jumlahnya sangat kecil tetapi daya
juangnya sangat kuat. Ajaran‐ajaran Mao Zedong tentang pembangunan
partai telah dengan berhasil memecahkan masalah ini. Karya‐karya
pokok dalam masalah ini ialah: Lawan Liberalisme, Kedudukan Partai
Komunis Tiongkok dalam Perang Nasional, Mengubah Studi Kita,
Membetulkan Langgam Partai, Melawan Gaya Delapan dalam Partai, Belajar
dan Situasi, Mengenai Penyempurnaan Sistem Comite Partai, Cara Kerja
Comite Partai, dan lain‐lain.
XVII — Pikiran Mao Zedong | 309
Terutama sangat ditekankan pembangunan partai di bidang
ideologi, dengan mengemukakan bahwa anggota partai tidak hanya
masuk partai secara organisasi, tetapi juga harus masuk partai secara
ideologi, dan selalu berusaha untuk mengubah dan mengatasi berbagai
macam pikiran non‐proletar dengan menegakkan pikiran proletar.
Bahwa langgam pemaduan teori dengan praktek, langgam hubungan
yang erat dengan massa rakyat, serta langgam otokritik, merupakan
tanda yang penting yang membedakan Partai Komunis Tiongkok
dengan semua partai politik lainnya.
Dalam menghadapi kesalahan kecenderungan kiri “perjuangan
yang tak kenal belas kasihan dan pukulan yang tak kenal ampun” yang pernah
ada dalam sejarah perjuangan internal partai, dikemukakan politik
tepat, “bercermin kepada yang lampau supaya lebih hati‐hati, kemudian
mengobati penyakit untuk menyelamatkan si sakit.” Dengan menekankan
bahwa dalam perjuangan internal partai, di samping tujuan kejernihan
dalam ideologi, juga harus mencapai persatuan di kalangan kawan‐
kawan.
Mao Zedong menciptakan bentuk gerakan pembetulan langgam
di seluruh partai yang merupakan pendidikan ideologi Marxisme–
Leninisme di seluruh partai melalui kritik dan otokritik menjelang dan
sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, mengingat bahwa partai
menjadi partai yang berkuasa yang memimpin seluruh negeri, Mao
Zedong berulang kali mengemukakan harus terus mempertahankan
langgam kerja yang rendah hati dan berhati‐hati, tidak sombong dan
tidak terburu nafsu, hidup sederhana dan berjuang dengan tak kenal
susah payah, waspada terhadap penggerowotan ideologi borjuis, dan
menentang birokratisme yang akan memisahkan kita dari massa.
Jiwa hidup dari Pikiran Mao Zedong adalah pendirian, pandangan dan
metode yang menjelujuri berbagai komponen yang telah diuraikan di
atas. Pendirian, pandangan, dan metode itu mempunyai tiga segi pokok,
yaitu mencari kebenaran dari kenyataan, garis massa, dan berdiri sendiri dan
bebas. Mao Zedong telah menggunakan materialisme dialektis dan
materialisme historis dalam seluruh pekerjaan partai politik proletariat
dan telah membentuk pendirian, pandangan, dan metode yang menjadi
ciri‐ciri khas kaum komunis Tiongkok dalam perjuangan yang susah
payah dan berjangka panjang dari revolusi Tiongkok, dengan demikian
telah memperkaya dan mengembangkan Marxisme–Leninisme. Pendirian,
310 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pandangan, dan metode ini tidak hanya termanifestasi dalam karya‐karya
penting seperti Melawan Bukuisme, Tentang Praktek, Tentang Kontradiksi,
Kata Pengantar dan Kata Susulan Penyelidikan di Desa, Tentang Beberapa
Masalah Metode Memimpin, dan Dari Mana Datangnya Pikiran Manusia
yang Tepat, tetapi juga termanifestasi dalam seluruh karya‐karya ilmiah
Mao Zedong, dan dalam aktivitas‐aktivitas revolusioner kaum komunis
Tiongkok.
Mencari kebenaran dari kenyataan berarti harus bertolak dari
kenyataan dan menghubungkan teori dengan praktek, yaitu
memadukan prinsip umum Marxisme–Leninisme dengan praktek
konkret revolusi Tiongkok. Mao Zedong selalu menentang studi
Marxisme yang terpisah dari keadaan masyarakat Tiongkok dan
revolusi Tiongkok.
Jauh pada tahun 1930, Mao Zedong telah menentang bukuisme
yang membuta dengan menekankan bahwa penyelidikan dan studi
adalah langkah pertama dari semua pekerjaan, dan bahwa tanpa
penyelidikan tak ada hak berbicara. Menjelang gerakan pembetulan
langgam Yan’an, ditegaskan bahwa subjektivisme adalah musuh besar
Partai Komunis, semacam manifestasi ketidakmurnian semangat partai.
Tesis brilian ini telah mendobrak belenggu dogmatisme, sehingga
pikiran orang telah mencapai satu pembebasan besar. Ketika
menyimpulkan pengalaman dan pelajaran revolusi Tiongkok, di dalam
karya‐karya filsafat dan karya‐karya lain yang mengandung pikiran
filsafat yang kaya, Mao Zedong dengan mendalam telah menguraikan
dan memperkaya teori pengetahuan dan dialektika Marxis. Mao Zedong
secara tandas menjelaskan bahwa teori pengetahuan materialisme
dialektik adalah teori pencerminan yang dinamis dan revolusioner,
terutama menekankan agar sepenuhnya mengembangkan peranan
dinamis dari kesadaran manusia berdasarkan dan sesuai dengan
kenyataan objektif. Dengan praktek sosial sebagai dasar, Mao Zedong
secara menyeluruh dan sistematis telah menguraikan teori materialisme
dialektik tentang sumber, proses perkembangan dan tujuan pengetahuan,
serta ukuran kebenaran; dikemukakan bahwa terbentuk dan
berkembangnya pengetahuan yang tepat, sering harus melalui
pengulangan proses yang berkali‐kali dari materi ke kesadaran, dari
kesadaran ke materi, yaitu dari praktek ke pengetahuan, dari
pengetahuan ke praktek. Mao Zedong mengemukakan bahwa benar itu
XVII — Pikiran Mao Zedong | 311
ada dalam perbandingan dengan salah, dan berkembang dalam
perjuangan terhadapnya, kebenaran tidak akan habis‐habisnya, benar
tidaknya pengetahuan, yaitu sesuai atau tidak dengan kenyataan
objektif, pada akhirnya hanya dapat dipecahkan melalui praktek sosial.
Mao Zedong telah menjelaskan dan mengembangkan inti
dialektika Marxis—hukum kesatuan dari segi‐segi yang bertentangan.
dikemukakan bahwa tidak hanya studi keumuman kontradiksi hal
ihwal objektif, tetapi yang teristimewa pentingnya adalah studi
kekhususan kontradiksi, dan bahwa harus memecahkan kontradiksi
yang berbeda sifatnya dengan cara yang berbeda pula. Oleh karena itu,
tidak boleh menjadikan dialektika sebagai rumus yang hanya dihafal
dan digunakan secara mekanis, tetapi harus erat dipadukan dengan
praktek dan dengan penyelidikan dan penelitian dan menggunakannya
dengan luwes.
Mao Zedong menjadikan filsafat sungguh‐sungguh senjata tajam
proletariat dan massa rakyat untuk mengenal dunia dan mengubah
dunia. Khususnya uraian dalam karya‐karya utama mengenai perang
revolusioner Tiongkok, telah memberikan contoh yang paling gemilang
dalam menerapkan dan mengembangkan teori pengetahuan dan
dialektika Marxis di dalam praktek. PKT selama‐lamanya
mempertahankan garis ideologi Mao Zedong yang diuraikan di atas.
Garis massa, berarti segala‐galanya demi massa, dalam segala hal
bersandar pada massa, dan dari massa kembali ke massa. Garis massa partai
dalam setiap pekerjaan terbentuk melalui penerapan secara sistematis
prinsip Marxisme–Leninisme tentang massa rakyat adalah pencipta
sejarah, di dalam semua kegiatan partai. Ia adalah penyimpulan
pengalaman sejarah yang tak ternilai harganya dari PKT dalam
melancarkan aktivitas revolusioner dalam waktu panjang dalam situasi
yang sulit di mana kekuatan musuh jauh lebih unggul.
Mao Zedong selalu menekankan, asalkan kita bersandar pada
rakyat, dengan teguh percaya bahwa daya cipta rakyat tak kunjung
habis, dengan demikian percaya pada rakyat, dan mengintegrasikan diri
dengan rakyat, maka musuh mana pun tidak akan dapat menaklukkan
kita, sedang kita dapat menaklukkan musuh, dan kesulitan apa pun
dapat kita atasi. Bahwa ketika memimpin massa melakukan pekerjaan
praktis, pendapat pimpinan yang tepat hanya dapat diperoleh dengan
metode dari massa kembali ke massa, dan dengan melaksanakan
312 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
perpaduan pimpinan dengan massa, memadukan seruan umum dengan
bimbingan konkret. Ini berarti, pendapat massa dipusatkan menjadi
pendapat yang sistematis, lalu dibawa ke tengah‐tengah massa untuk
dipertahankan dan dilaksanakan, kemudian dalam aktivitas massa diuji
benar tidaknya pendapat‐pendapat itu. Begitulah seterusnya, berulang‐
ulang dengan tak henti‐hentinya sehingga pengenalan pimpinan
menjadi lebih tepat, lebih hidup dan lebih kaya.
Demikianlah, Mao Zedong menyatukan teori pengetahuan
Marxisme dengan garis massa partai. Partai adalah detasemen pelopor
dari proletariat. Partai ada dan berjuang demi kepentingan rakyat.
Tetapi partai selama‐lamanya adalah sebagian kecil dari rakyat,
sehingga apabila terpisah dari rakyat maka segala perjuangan dan cita‐
cita partai tidak hanya tidak ada artinya sama sekali, tetapi tak akan
mungkin mencapai hasil apa pun. Agar dapat dengan teguh
mempertahankan revolusi dan mendorong maju usaha sosialisme, maka
menurut Mao Zedong, PKT harus mempertahankan garis massa.
Berdiri sendiri dan bebas, serta berdiri di atas kaki sendiri adalah
kesimpulan wajar dari melakukan revolusi dan pembangunan Tiongkok
dengan bertolak dari keadaan konkret Tiongkok, dan bersandar pada
massa. Revolusi proletar adalah usaha yang bersifat internasional, diper‐
lukan saling menyokong antara proletariat berbagai negeri. Tetapi untuk
menyelesaikan usaha ini, pertama‐tama proletariat berbagai negeri
harus teguh berpijak di negerinya sendiri, bersandar pada kekuatan
revolusioner dan usaha massa rakyat di negerinya, memadukan prinsip
umum Marxisme–Leninisme dengan praktek konkret revolusi negeri itu
sendiri, agar melakukan dengan baik usaha revolusi di negerinya.
Mao Zedong selalu menekankan bahwa pedoman kita harus
diletakkan di atas dasar kekuatan sendiri, mencari sendiri jalan maju
yang sesuai dengan keadaan negeri kita. Di suatu negeri besar seperti
Tiongkok, lebih‐lebih lagi harus terutama bersandar pada kekuatan
sendiri dalam mengembangkan usaha revolusi dan pembangunan.
Harus mempunyai tekad berjuang sendiri hingga akhir, harus percaya
dan bersandar pada kecerdasan dan kekuatan ratusan juta rakyat
Tiongkok. Kalau tidak, revolusi maupun pembangunan tidak akan
dapat memperoleh kemenangan, kalaupun mencapai kemenangan juga
tidak akan dapat dikonsolidasi. Tentu saja, revolusi dan pembangunan
negeri kita bukan dan juga tidak mungkin terisolasi dari dunia luar.
XVII — Pikiran Mao Zedong | 313
Kapan pun kita memerlukan bantuan luar negeri, terutama perlu belajar
segala hal ihwal maju luar negeri yang berfaedah bagi kita. Politik pintu
tertutup dan secara membabi buta menentang sesuatu dari luar negeri
serta segala pikiran dan tindakan sovinisme negara besar semuanya
adalah salah sepenuhnya. Tetapi, meskipun ekonomi dan kebudayaan
negeri Tiongkok masih agak terbelakang, terhadap negeri besar, kuat
dan kaya yang mana pun, kita harus mempertahankan rasa harga diri
nasional dan keyakinan kita sendiri, sama sekali tidak diperkenankan
segala macam manifestasi merendahkan diri dan membungkuk‐
bungkuk di hadapan mereka.
Baik sebelum maupun setelah berdirinya Tiongkok Baru, di
bawah pimpinan partai dan Mao Zedong, tak peduli menjumpai
kesulitan yang bagaimanapun, PKT bertekad untuk tetap bebas, berdiri
sendiri dan berdiri di atas kaki sendiri tidak pernah goyah, tidak pernah
tunduk di hadapan tekanan apa pun dari luar. Ini telah
memanifestasikan kegagah‐perwiraan yang tak kenal gentar PKT dan
rakyat berbagai bangsa di Tiongkok. PKT berpendirian bahwa rakyat
berbagai negeri harus hidup berdampingan secara damai, sama derajat
dan saling membantu. PKT mempertahankan prinsip bebas dan berdiri
sendiri, juga menghormati hak bebas dan berdiri sendiri dari rakyat
negeri lain. Jalan revolusi dan jalan pembangunan yang sesuai dengan
ciri‐ciri masing‐masing, hanya dapat dicari, diciptakan dan ditentukan
oleh rakyat negeri itu sendiri. Siapa saja tidak mempunyai hak untuk
memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Hanya di bawah syarat‐
syarat demikian, barulah mungkin ada internasionalisme yang sungguh‐
sungguh, kalau tidak hanya akan merupakan hegemonisme. Dalam
hubungan internasional, kita selamanya akan mempertahankan
pendirian berprinsip yang demikian.
Pikiran Mao Zedong adalah kekayaan spiritual yang berharga
dari PKT. Ia membimbing tindakan PKT dalam jangka panjang.
Pemimpin‐pemimpin dan sejumlah besar kader‐kader partai yang
diasuh oleh Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong, di masa lalu
adalah tulang punggung pokok dalam mencapai kemenangan yang
sangat besar demi usaha kita; mereka sekarang dan kemudian akan
tetap menjadi teras yang sangat berharga dari usaha pembangunan
modernisasi sosialis.
Banyak karya penting Mao Zedong yang ditulis pada masa
314 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
revolusi demokrasi baru dan pengubahan sosialis, tetap harus kita
pelajari. Ini tidak hanya karena sejarah tidak boleh dipotong‐potong,
lagi pula, jika tidak mengenal masa yang lalu, maka dapat menghalangi
pengenalan terhadap masalah dewasa ini, tetapi juga karena teori‐teori
dasar, prinsip‐prinsip dan metode ilmiah yang terkandung dalam karya‐
karya itu mempunyai arti universal, mempunyai peranan membimbing
yang tak ternilai besarnya, baik sekarang maupun di kemudian hari,
oleh karena itu harus terus mempertahankan Pikiran Mao Zedong,
dengan sungguh‐sungguh mempelajari dan menggunakan pendirian,
pandangan dan metodenya untuk studi keadaan baru yang muncul
dalam praktek, dan memecahkan masalah‐masalah baru.
Pikiran Mao Zedong telah sangat menambah khazanah teori
Marxisme–Leninisme dengan isi baru. Harus memadukan belajar karya‐
karya ilmiah Mao Zedong dengan karya‐karya ilmiah Marx, Engels,
Lenin, dan Stalin. Adalah sepenuhnya salah untuk berusaha menegasi
nilai ilmiah Pikiran Mao Zedong, menegasi peranan membimbing
Pikiran Mao Zedong bagi revolusi dan pembangunan negeri kita, hanya
karena Mao Zedong telah berbuat kesalahan pada masa tuanya. Tetapi
adalah juga sama sekali salah, apabila mengambil sikap dogmatis
terhadap segala ucapan Mao Zedong, menganggap bahwa kata‐kata apa
saja yang pernah diucapkan oleh Mao Zedong adalah kebenaran yang
tak dapat diubah‐ubah, yang harus diterapkan secara mekanis di mana
saja, bahkan tidak mau secara apa adanya mengakui bahwa Mao
Zedong berbuat kesalahan pada masa tuanya, dan lagi masih berusaha
dalam kegiatan‐kegiatan mempertahankan kesalahan‐kesalahan itu.
Kedua sikap yang demikian ini telah gagal membedakan Pikiran Mao
Zedong yang telah terbentuk menjadi teori ilmiah melalui ujian sejarah
berjangka panjang dengan kesalahan‐kesalahan yang dilakukan oleh
Mao Zedong pada masa tuanya. PKT menghargai semua hasil positif
pemaduan prinsip umum Marxisme–Leninisme dengan praktek konkret
Tiongkok selama proses revolusi Tiongkok dan pembangunan dalam
setengah abad lebih ini, menerapkan dan mengembangkan semua hasil
tersebut, dalam praktek yang baru, dan memperkaya dan
mengembangkan teori partai dengan prinsip‐prinsip baru dan
kesimpulan‐kesimpulan baru yang sesuai dengan kenyataan konkret,
untuk menjamin agar usaha untuk terus maju menyusuri jalan ilmiah
Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong.
XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 315
XVIII
Polemik Anti‐Revisionisme Modern
dalam Gerakan Komunis Internasional
DALAM Kongres Nasional XX Partai Komunis Uni Sovyet tanggal 24
Februari 1956, Sekjen CC PKUS, Nikita Sergeyevich Khrusycyov,
menyampaikan laporan rahasia mengkritik Stalin. Inti kritiknya adalah
Stalin sudah menumbuhkan kultus individu terhadap dirinya. Kritik
tentang kultus individu ini merambat ke kesalahan‐kesalahan di bidang
lainnya, hingga dengan kesalahan‐kesalahannya itu peranan positif
Stalin dalam sejarah dinegasi.275
Musuh‐musuh Stalin terutama kaum sosial demokrat seluruh
dunia bergendang paha. Sampai‐sampai empat puluh tahun sesudah
laporan Khrusycyov itu diumumkan, pada puncak gelora Perang Dingin
yang dikendalikan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme
sedunia, Partai Sosial Demokrat Jerman secara besar‐besaran
memperingati peristiwa “Khrusycyov mengutuk Stalin” ini. Gerakan
komunis internasional goncang karena peristiwa ini. Banyak Partai
Komunis mengikuti pandangan PKUS itu. Kecuali Partai Komunis
Tiongkok dan Partai Buruh Albania tetap menjunjung Stalin.
Dengan dua kali artikel yang berjudul “Sejarah Pengalaman
Diktatur Proletariat” dan “Sekali Lagi Pelajaran Sejarah dari Diktatur
Proletariat” disiarkan, Partai Komunis Tiongkok memberikan penilaian
sendiri mengenai peranan Stalin dalam sejarah. Betapapun ada
275 Pidato Khrusycyov Mengutuk Stalin, di depan Kongres XX Partai Komunis Sovjet Uni, 24 Februari 1956, Lampiran Harian Pedoman Djakarta. Akhir Djuli 1956.
316 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kesalahan, Stalin adalah tokoh gerakan komunis internasional yang
berjasa besar, yang karya‐karnyanya tetap dipelajari.276
Mengenai kritik terhadap kultus individu ini, D.N. Aidit
menyatakan, “sudah pada tempatnya jikalau PKUS membikin
keterangan yang jelas tentang kebaikan‐kebaikan yang sudah dibikin
oleh Stalin selama hidup di samping menunjukkan kesalahannya.
Dalam Kongres XX PKUS tentang kebaikan‐kebaikannya tidak banyak
dikemukakan, karena memang kongres itu bukan ditujukan untuk
mengemukakan kebaikan‐kebaikan Stalin, tetapi ditujukan untuk
menunjukkan kesalahan‐kesalahan Stalin supaya kesalahan‐kesalahan
itu tidak diulangi lagi oleh kaum komunis. Saya setuju sepenuhnya
dengan pendirian Partai Komunis Tiongkok yang menganggap bahwa
‘tulisan‐tulisan Stalin akan masih, seperti selama ini, dipelajari secara
serius. Semua yang bermanfaat di dalam tulisan‐tulisannya, teristimewa
banyak dari tulisannya dalam mempertahankan Leninisme dan dalam
menyimpulkan secara tepat pengalaman Sovyet di lapangan
pembangunan, haruslah kita pandang sebagai warisan sejarah yang
penting. Berbuat lain daripada ini akan merupakan suatu kesalahan.’”277
Partai‐partai komunis di banyak negeri tidak satu pendapat
mengenai kritik Khrusycyov terhadap Stalin itu. Perbedaan pendapat
juga menyangkut masalah jalan damai mencapai sosialisme yang diajukan
Khrusycyov. Dalam keadaan berlangsungnya perbedaan‐perbedaan
pendapat itu, pada bulan November 1960 di Moskow berlangsung
pertemuan 81 partai komunis dan partai buruh sedunia. Pertemuan
menghasilkan dokumen berupa Pernyataan yang disetujui dan ditanda‐
tangani bersama oleh para wakil partai‐partai yang hadir. Indonesia
diwakili oleh M.H. Lukman, Wakil Ketua I CC PKI. Dinyatakan bahwa
“semua persoalan didiskusikan dalam suasana persahabatan yang
bersifat sekawan, atas dasar prinsip‐prinsip yang tak terpatahkan dari
276 PKT di bawah kepemimpinan Mao Zedong menentang keras keputusan Kongres PKUS XX. Dalam editorial koran Harian Rakyat (Renmin Ribao) dan Bendera Merah (Hongqi) pada 6 September 1963 dengan jelas dinyatakan bahwa Kongres PKUS XX adalah langkah pertama yang diambil oleh kepemimpinan PKUS dalam jalan revisionisme, kritik atas Stalin adalah keliru baik dalam prinsip maupun metode dan dengan menegasi peranan Stalin berarti telah mengolok-olok kediktaturan proletariat, sistem sosialis, PKUS, Uni Soviet, dan Gerakan Komunis Internasional. 277 D.N. Aidit, Pilihan Tulisan, Jilid II, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1960, h.25–26.
XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 317
Marxisme–Leninisme dan internasionalisme proletar.”278
Perbedaan‐perbedaan di kalangan partai‐partai komunis dan
partai buruh sedunia dapat diredam. Suasana anti revisionisme modern
kian bergelora. Berlangsung dan berkembang terus perbedaan mengenai
Yugoslavia, yang oleh PKUS dinilai sebagai negara sosialis. Partai Buruh
Albania menentang dengan keras pendirian ini.
Pada Juni 1960 berlangsung Kongres Nasional Partai Komunis
Rumania di Bukarest. Sejumlah delegasi partai luar negeri hadir,
termasuk Khrusycyov dari PKUS dan Peng Chen dari PKT. Pada
kesempatan itu terjadi peristiwa usaha Khrusycyov menawarkan teks
pernyataan untuk ditandatangani wakil‐wakil partai luar negeri yang
hadir. Isi teks dan cara‐cara pengajuan ini dikritik oleh delegasi
Tiongkok.
Tak lama kemudian, dalam Kongres XXII Partai Komunis Uni
Sovyet, Oktober 1961, Khrusycyov tampil dengan gagasan‐gagasan
baru, “Dari ekonomi sosialis ke ekonomi komunis, pembentukan dasar materiil
dan teknik komunisme.”279
Dalam rencana program ini dikemukakan antara lain:
1. Membangun Masyarakat Tak Berklas di Uni Sovyet; 2. Dari Diktatur
Proletariat ke suatu Negara Seluruh Rakyat.280 Selanjutnya dikemukakan
bahwa “Partai dalam jangka waktu pembangunan semesta untuk komunisme,
Partai Marxis‐Leninis yang lahir sebagai partai klas buruh telah menjadi partai
segenap Rakyat.”281
Resolusi Kongres tentang laporan umum ditutup dengan
pernyataan, “PKUS akan senantiasa menjunjung tinggi panji jaya
Marxisme–Leninisme, melakukan kewajiban internasionalnya terhadap rakyat
pekerja semua negeri dan mencurahkan segala tenaganya untuk perjuangan
bagi kepentingan rakyat, untuk mencapai tujuan historis yang besar, ialah
pembangunan masyarakat komunis.”
“Partai dengan khidmat menyatakan: generasi rakyat Sovyet sekarang
ini akan hidup di bawah komunisme!”282
278
Pernyataan & Seruan Pertemuan Wakil-Wakil Partai-Partai Komunis dan Partai-Partai Buruh, Jajasan Pembaruan, Djakarta 1960, h.5. 279 N.S. Chrusjtjov, Laporan tentang Program Partai Komunis Uni Sovjet, 18 Oktober 1961, Bagian Penerangan Kedutaan Besar URSS di Indonesia. 280 Ibid., h.71—72. 281 Ibid., h.118. 282 N.S. Chrusjtjov, op.cit., h.66.
318 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Gagasan pembangunan dasar materiil dan teknik komunisme,
mengubah diktatur proletariat menjadi negara seluruh rakyat dan
mengubah partai pelopor klas pekerja menjadi partai seluruh rakyat
menimbulkan perdebatan besar di kalangan partai‐partai komunis dan
partai buruh sedunia. Gagasan ini dinilai tidak sesuai dengan
Marxisme–Leninisme, bahkan dinyatakan merevisi Marxisme–
Leninisme.
Dengan menyatakan tetap berpegang pada rumusan‐rumusan
dalam Pernyataan dan Seruan Pertemuan Wakil‐Wakil Partai‐Partai Komunis
dan Partai‐Partai Buruh 1960, PKT dan PKUS menyatakan berhasrat
untuk mempersiapkan pertemuan baru partai‐partai komunis dan
partai buruh sedunia. Berlangsung proses pertukaran pikiran lewat
surat‐menyurat antara kedua pimpinan partai. Pada tanggal 14 Juni
1963, membalas surat CC PKUS tanggal 30 Maret 1963, CC PKT
mengajukan Usul Mengenai Garis Umum Gerakan Komunis Internasional.
Dalam usul ini dikemukakan, “Garis Umum Gerakan Komunis
Internasional seharusnya memanifestasikan hukum umum
perkembangan sejarah dunia. Perjuangan revolusioner dari proletariat
semua negeri dan rakyat‐rakyat semua negeri akan menempuh tingkat‐
tingkat yang berlainan, menunjukkan ciri‐cirinya sendiri, tetapi
kesemuanya tidak akan melampaui hukum umum perkembangan
sejarah dunia. Garis Umum Gerakan Komunis Internasional seharusnya
menunjukkan arah tujuan pokok bagi perjuangan revolusioner
proletariat semua negeri dan rakyat semua negeri.”283
Langkah‐langkah PKUS membuka hubungan baik dengan Liga
Komunis Yugoslavia mendapat tentangan dari Partai Buruh Albania,
PKT, dan partai‐partai yang berpendapat bahwa Liga Komunis
Yugoslavia adalah revisionis. PKI termasuk partai yang menyatakan
Liga Komunis Yugoslavia adalah revisionis. Berlangsung polemik yang
saling mengkritik antara berbagai partai. Dalam hal ini terlibat partai‐
partai Partai Buruh Albania, Partai Komunis Italia, Partai Komunis
Perancis, Partai Komunis Amerika Serikat, PKUS.
Pada 14 Juli 1963, PKUS mengeluarkan sepucuk Surat Terbuka
kepada organisasi‐organisasi partai dan semua kaum komunis Uni
283 Usul Mengenai Garis Umum Gerakan Komunis Internasional, Surat Balasan CC PKT atas surat CC PKUS tertanggal 30 Maret 1963. Pustaka Bahasa Asing, Peking 1963, h.5.
XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 319
Sovyet. Surat Terbuka itu merupakan penilaian terhadap surat CC PKT
tertanggal 14 Juni 1963. Membantah dan mengkritik Surat Terbuka itu,
PKT mengeluarkan sembilan komentar atas Surat Terbuka PKUS.
tersebut, yaitu:
1. Asal‐Usul dan Perkembangan Perselisihan‐Perselisihan Antara Pimpinan PKUS dengan Kita (6 September 1963)
2. Tentang Masalah Stalin (13 September 1963)
3. Apakah Yugoslavia Negara Sosialis? (26 September 1963)
4. Pembela‐Pembela Neo‐Kolonialisme (22 Oktober 1963) 5. Dua Garis yang Berbeda tentang Masalah Perang dan Damai (19
November 1963)
6. Dua Macam Politik Ko‐Eksistensi Secara Damai yang Bertentangan Sama Sekali (12 Desember 1963)
7. Pemimpin‐Pemimpin PKUS adalah Pemecah‐belah Terbesar pada Zaman Kita (4 Februari 1964)
8. Revolusi Proletar dan Revisionisme Khrusycyov (31 Maret 1964)
9. Tentang Komunisme Palsu Khrusycyov dan Pelajaran‐Pelajaran Sejarahnya bagi Dunia (14 Juni 1964)
Polemik besar di kalangan partai‐partai komunis dan partai
buruh sedunia menjadi kian bergelora. PKI yang semula mengambil
sikap bebas dan berusaha menyatukan pandangan antara PKUS dan
PKT, dalam perkembangannya menjadi memihak PKT, menilai PKUS
telah menjalankan revisionisme modern.
Bulan November 1964 terjadi penggantian pimpinan tertinggi
PKUS. Sekjen CC PKUS, Khrusycyov diganti Leonid Ilyich Brezhnyev.
Turun panggungnya Khrusycyov dinilai PKT karena kesalahan‐
kesalahan sebagai berikut: “Khrusycyov telah menghimpun semua
pandangan anti‐Marxis dari kaum oportunis dan kaum revisionis dalam
sejarah dan menyusunnya menjadi suatu garis revisionis yang lengkap
yang terdiri dari ‘koeksistensi secara damai’, ‘perlombaan secara damai’,
‘peralihan secara damai’, ‘negara seluruh rakyat’, dan ‘partai seluruh rakyat’.
Ia melakukan kapitulasionisme terhadap imperialisme dan
menggunakan teori perdamaian klas untuk melikuidasi dan menentang
perjuangan revolusioner rakyat‐rakyat. Dalam gerakan komunis
internasional, ia menjalankan pecah‐belahisme dan mengganti
320 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
internasionalisme proletar dengan sovinisme negara‐besar. Di dalam
negeri, ia berusaha keras untuk membikin berantakan diktatur
proletariat, mencoba mengganti sistem sosialis dengan ideologi, politik,
ekonomi dan kebudayaan borjuis, dan menempuh jalan restorasi
kapitalisme.”284
Di bawah pimpinan Brezhnyev, PKUS tetap menjalankan
pandangan‐pandangan Khrusycyov untuk pembangunan komunisme
dan menempuh cara‐cara Khrusycyov menghadapi gerakan komunis
internasional. Bulan Maret 1965, pimpinan baru PKUS memprakarsai
pertemuan Moskow dengan mengundang 26 partai komunis dan buruh
di dunia. Tujuh partai menolak hadir, yaitu Partai Buruh Albania, Partai
Pekerja Vietnam, PKI, PKT, Partai Pekerja Korea, Partai Komunis
Rumania, dan Partai Komunis Jepang. Dengan Pertemuan Moskow ini
perpecahan dalam GKI kian berlarut‐larut.
Mengkritik pertemuan ini, PKT menyatakan bahwa, “Kita harus
berterima kasih kepada pimpinan baru PKUS karena bersikeras
menyelenggarakan pertemuan memecah‐belah itu. Hal yang buruk ini
bisa berubah menjadi hal yang baik. Pertemuan memecah‐belah itu
dengan cepat membantu orang menyingkap selubung Marxisme–
Leninisme dari pimpinan baru PKUS dan menelanjangi tampang
revisionis mereka yang sebenarnya.”285
Selanjutnya PKT menuntut pimpinan PKUS supaya “Secara
terbuka dan serius di hadapan kaum komunis dan rakyat sedunia
bahwa revisionisme Khrusycyov, sovinisme negara‐besar dan pecah‐
belahisme adalah salah. Mengakui secara terbuka bahwa garis dan
program revisionis yang diterima oleh Kongres XX dan XXII PKUS yang
dipimpin Khrusycyov adalah salah.”286
Di bawah pimpinan L.I. Brezhnyev, Kongres Nasional XXIII
PKUS, Maret 1966, memutuskan melanjutkan pelaksanaan garis
Kongres XX dan XXII, yaitu melanjutkan pelaksanaan pembangunan
dasar‐dasar material dan teknik komunisme. Dalam resolusi Kongres
284 Mengapa Chrusytjov Turun Panggung, Editorial Majalah Hong Qi, No.21—22, 1964, Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1964, h.3. 285 Komentar tentang Pertemuan Moskow Maret, Dewan Redaksi Renmin Ribao (Harian Rakjat) dan Dewan Redaksi Hongqi (Bendera Merah), Pustaka Bahasa Asing, Peking, 1965, h.23. 286 Ibid., h.25.
XVIII — Polemik Anti-Revisionisme Modern | 321
dinyatakan: “Dalam periode itu telah dilaksanakan garis yang
ditetapkan oleh Kongres XX—XXII yang diarahkan pada pelaksanaan
Program PKUS untuk membangun dasar material dan teknik
komunisme, dan selanjutnya menyempurnakan hubungan‐hubungan
kemasyarakatan sosialis, dan pendidikan komunis bagi kaum
pekerja.”287
Perjuangan melawan revisionisme modern dalam Gerakan
Komunis Internasional menjadi kian bergelora. Perang Dingin yang
dikobarkan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme sejagat jadi
mendapat angin. Dalam kesempatan ini, kekuatan sosial demokrat
Eropa dan kaum Trotskis bergandengan tangan ikut arus Perang Dingin
memusuhi Uni Sovyet.
PKUS yang kian hanyut arus revisionisme, berlanjut dengan naik
panggungnya Mikhail Sergeyevich Gorbacyov mengumandangkan
Pemikiran Baru yang mencapai puncak pada Kongres XXVIII PKUS yang
dengan resmi mencampakkan diktatur proletariat.
Revisionisme PKUS bermuara pada ambruknya Uni Republik‐
republik Sovyet Sosialis (URSS), disusul oleh berantakannya negara‐
negara sosialis Eropa Tengah dan Timur.
Sementara itu, dengan setia membela pendirian anti‐revisionisme
dalam Gerakan Komunis Internasional, di Tiongkok dengan tangguh Deng
Xiaoping tampil dengan Empat Prinsip Dasarnya, yaitu: 1. Menempuh
jalan sosialis; 2. Menjunjung tinggi diktatur proletariat; 3. Di bawah
pimpinan Partai Komunis; 4. Menjunjung ideologi Marxisme–
Leninisme–Pikiran Mao Zedong. Sosialisme berciri Tiongkok
menunjukkan keunggulannya hingga Tiongkok maju menjadi negara
terbesar kedua di bidang ekonomi.
Kemenangan nyata ditunjukkan dalam membangun sosialisme
berciri Tiongkok lewat perlombaan damai dengan kapitalisme.
287 Ryezolyutsiya XXIII Siyezda Kommunisticyeskoi Partiii Sovyetskovo Soyuza Po Otcyetnomu Dokladu TsK KPSS, h.3.
322 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 323
XIX
Trotskisme sampai Internasionale IV
SEJAK sebelum Revolusi Oktober sudah terdapat perbedaan pendapat
antara Lenin dan Trotski. Mula‐mula Trotski adalah anggota Partai
Buruh Sosial Demokrat Rusia faksi Mensyewik. Menjelang Revolusi
Oktober 1917, diterima menjadi anggota faksi Bolsyewik. Pada awal
negara Sovyet, terpilih sebagai Komisaris Rakyat untuk Masalah Luar
Negeri dan salah satu anggota Politbiro Partai.
Tahun 1905 Trotski sudah menampilkan teori “revolusi permanen”
yang bertolak belakang dengan teori dua tingkat revolusi yang diajukan
Lenin. Perbedaan itu mencapai puncaknya mengenai soal bisa atau
tidaknya membangun sosialisme di satu negeri. 288 Lenin percaya akan
kemungkinan itu, sedangkan Trotski menganggap tak mungkin
membangun sosialisme di satu negeri, tapi harus lewat memenangkan
revolusi dunia. Untuk itu ia mempertahankan teori “revolusi permanen”.
Dua tahun sesudah diumumkannya Manifesto Partai Komunis,
ungkapan “revolusi permanen” terdapat dalam Seruan Comite Central
kepada Liga Komunis yang ditulis Marx dan Engels bulan Maret 1850.
Seruan ini mengungkapkan kemungkinan perkembangan gerakan
revolusioner di Jerman dan Perancis. Langkah pertama usaha
revolusioner di Jerman akan bersamaan dengan kemenangan
perjuangan klas pekerja Perancis. Haruslah secepat mungkin
membebaskan diri dari ungkapan‐ungkapan munafik borjuis kecil
288 Walaupun punya perbedaan pendapat, Trotski tetap diikutkan dalam Politbiro CC PKUS, bahkan menjadi tokoh terkemuka dalam Tentara Merah yang dibangun sesudah Revolusi Oktober.
324 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
demokrat yang menjauhkan diri dari organisasi bebas partai proletariat.
“Semboyan perjuangan mereka mestinya adalah: revolusi yang terus‐menerus,
revolusi permanen.”289
Teori “revolusi permanen” Trotski mempertimbangkan bahwa di
banyak negeri yang belum melaksanakan revolusi demokrasi borjuis,
kaum kapitalis menentang untuk menciptakan situasi revolusioner. Di
Rusia pada revolusi tahun 1905, kaum kapitalis merasa perlu bersekutu
dengan anasir‐anasir reaksioner seperti tuan tanah feodal bahkan
dengan kekuasaan negara Tsar Rusia. Oleh karena itu, menurut teori
“revolusi permanen”, kaum kapitalis dari negeri‐negeri yang terbelakang
ekonominya adalah lemah dan tidak mampu melakukan perubahan
revolusioner. Maka mereka mendekat dan bersandar pada kaum tuan
tanah feodal. Oleh karena itu, menurut Trotski, oleh karena mayoritas
cabang industri di Rusia asal‐usulnya berada di bawah kekuasaan
pemerintah, klas kapitalis lagi‐lagi tergantung pada penguasa. Kaum
kapitalis adalah pengekor pada kapital Eropa.
Menurut Trotski, satu negara sosialis baru dengan sistem
ekonomi baru di negeri seperti Rusia tak akan tahan melawan tekanan
jahat dunia kapitalis. Oleh karena itu revolusi harus segera diusahakan
menjalar ke negeri‐negeri kapitalis, menyebarkan revolusi sosialis ke
seluruh dunia. Demikianlah “revolusi permanen” mula‐mula bergerak
dari revolusi borjuis menjadi revolusi klas buruh dan tanpa henti‐henti
menjalar ke Eropa menjadi revolusi‐revolusi seluruh dunia.
Lenin dan Stalin percaya bahwa revolusi bisa dimenangkan di
mata rantai terlemah dari imperialisme, dan sosialisme dapat dibangun
di satu negeri. Menghadapi kesulitan ekonomi, pada tahun 1921, di kala
Uni Sovyet sedang akan menjalankan politik ekonomi baru, maka kian
meningkat pergolakan dalam pimpinan PKUS. Trotski menentang garis
Lenin melaksanakan gagasan politik ekonomi baru. Perbedaan pendapat
jadi berlarut, hingga Trotski membentuk kelompok oposisi bernama
“Oposisi Buruh” dengan ikut sertanya sejumlah tokoh seperti
Syliapnikov.
Dalam Kongres X, atas usul‐usul Lenin diputuskan resolusi
berjudul Tentang Persatuan Partai dan Tentang Penyelesaian Sindikalis dan
289 Karl Marx and Friedrich Engels, Address of the Central Committee to the Communist League, Marx–Engels Selected Works Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow 1950, h.108.
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 325
Anarkis dalam Partai Kita. Resolusi Kongres X ini mengutuk “Oposisi
Buruh”. Kongres menyatakan bahwa propaganda tentang ide‐ide
penyelewengan anarko‐sindikalis itu bertentangan dengan keanggotaan
Partai Komunis, Kongres X mengambil keputusan yang sangat penting
tentang peralihan dari sistem pengumpulan kelebihan bahan makanan
ke sistem pajak berupa hasil bumi, tentang peralihan ke politik ekonomi
baru (PEB).
Kaum Trotskis dan kaum oposisi lainnya menganggap bahwa
PEB tak lain hanyalah langkah mundur. Kedalamnya termasuk Trotski,
Radek, Zinowiyev, Sokolnikov, Kamenyev, Syliapnikov, Bukharin, Rikov,
yang tidak percaya bahwa perkembangan sosialis adalah mungkin
dengan menempuh PEB. Dalam hubungan ini, pada tahun 1921 CC
melakukan pekerjaan besar untuk memperkokoh partai dengan
mengorganisasi pembersihan partai. Sebagai akibat pembersihan,
hampir 170.000 orang atau kira‐kira 25% dari jumlah seluruh anggota
dikeluarkan dari partai. Dengan peristiwa ini partai bertambah kuat dan
bersatu.
Bulan Januari 1924 berlangsung Konferensi XIII Partai Bolsyewik.
Konferensi mengutuk oposisi Trotski dengan menyatakan bahwa oposisi
itu adalah penyelewengan borjuis kecil dari Marxisme. Keputusan‐
keputusan Konferensi kemudian disetujui oleh Kongres XIII Partai dan
Kongres V Komintern. Komintern mendukung Partai Bolsyewik dalam
perjuangannya melawan Trotskisme.
Tetapi kaum Trotskis tidak menghentikan pekerjaan mereka.
Musim rontok 1924, Trotski menyiarkan tulisan Pelajaran‐Pelajaran
Oktober yang memfitnah partai, yaitu memfitnah sejarah Bolsyewikisme.
Stalin memblejeti usaha Trotski yang berusaha mengganti Leninisme
dengan Trotskisme. Stalin menyatakan bahwa “tugas partai ialah mengubur
Trotskisme sebagai suatu aliran ideologi.” Tahun itu diterbitkan karya Stalin
Dasar‐Dasar Leninisme. Dalam bab tentang partai, dipaparkan ciri‐ciri
kepeloporan partai, partai tipe baru, tipe Lenin, dan keharusan
membubarkan semua faksi yang ada dalam partai. Ini adalah penekanan
atas keputusan Kongres XIII partai yang mengutuk kesalahan Trotski,
membangun faksi “oposisi buruh” yang mengembangkan Trotskisme.
Sesudah empat tahun melaksanakan politik ekonomi baru,
perekonomian Sovyet berkembang maju, prestise URSS di dunia
internasional menjadi meningkat. Uni Sovyet diundang ke Konferensi
326 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Internasional Genoa. Dalam konferensi ini wakil‐wakil negara kapitalis
mengajukan tuntutan agar pemerintah URSS mengembalikan atau
mengganti rugi industri perusahaan‐perusahaan kapitalis yang telah
dinasionalisasi. Tuntutan ini ditolak pemerintah URSS. Timbullah
masalah serius menghadapi tekanan internasional negara‐negara
kapitalis terhadap URSS. Maka mencuat masalah dapat atau tidaknya
sosialisme dimenangkan di satu negeri yang dikepung oleh dunia
kapitalisme. URSS di bawah pimpinan Stalin mempertahankan
pandangan Lenin, dengan tegas berpendirian bahwa sosialisme dapat
dibangun di satu negeri. Pandangan ini dilawan oleh Trotski dengan
mempertentangkannya dengan “teori revolusi permanen”. Pengikut aliran
ini membentuk “oposisi baru” diikuti oleh Zinoviev dan Kamenyev.
Dalam Kongres XIV Partai Bolsyewik, Desember 1925, Stalin
menyampaikan laporan umum berisikan: “Tugas utama partai ialah
berjuang untuk industrialisasi sosialis negeri, berjuang untuk
kemenangan sosialisme. Mengubah negeri kita dari negeri agraris
menjadi negeri industri yang mampu memproduksi perlengkapan yang
diperlukan dengan kekuatannya sendiri—itulah hakikat, dasar garis
umum kita.”290 Dalam Kongres XIV diputuskan mengubah nama Partai
menjadi Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewik).
Sesudah kongres XIV, PKUS melancarkan perjuangan untuk
melaksanakan garis umum kekuasaan Sovyet—industrialisasi sosialis
negeri. Usaha industrialisasi melangkah maju. Negeri‐negeri kapitalis
memandang semakin bertambah kuatnya ekonomi sosialis URSS
sebagai ancaman terhadap eksistensi ekonomi kapitalis. Karena itu,
pemerintah‐pemerintah imperialis mengambil segala tindakan yang
mungkin untuk melakukan tekanan baru terhadap URSS, menimbulkan
rasa bimbang, menggagalkan atau setidak‐tidaknya menghambat
industrialisasi URSS. Berlangsung persekutuan antara Chamberlain dan
Trotski untuk menentang kekuasaan Sovyet.
Pada musim panas tahun 1926, kaum Trotskis dan kaum
Zinovievis bergabung membentuk blok anti‐partai. Comite Central
Partai memperingatkan bahwa jika blok anti‐partai tidak dibubarkan,
maka pengikut‐pengikutnya tidak akan berkesudahan baik. Konferensi
290 Penerbit Indonesia Progresif, 1984, Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki), Bahan Pelajaran Singkat, diedit oleh Komisi CC PKUS (B), disahkan oleh CC PKUS (B) 1938, h.401.
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 327
XV Partai, November 1926, dan sidang pleno diperluas Komite Eksekutif
Internasionale Komunis, Desember 1926, mendiskusikan masalah blok
Trotski–Zinovievis, dan dalam resolusi‐resolusinya mengecap pengikut‐
pengikut blok ini sebagai pemecah‐belah yang dengan programnya itu
meluncur ke pendirian Mensyewik. Pada 14 November 1927 sidang
gabungan Comite Central dan Komisi Kontrol Central memecat Trotski
dan Zinoviev dari partai.
Kongres XV PKUS pada 2 Desember 1927 memberi instruksi
kepada badan‐badan yang bersangkutan supaya menyusun Rencana
Lima Tahun Pertama ekonomi nasional. Sesudah selesai dengan masalah‐
masalah pembangunan sosialis, Kongres beralih ke masalah melikuidasi
blok Trotskis–Zinovievis. Kongres mengakui bahwa oposisi telah
memutuskan hubungan secara ideologi dengan Leninisme, telah
merosot menjadi kelompok Mensyewik. Perbedaan pendapat dengan
oposisi telah berkembang menjadi perbedaan mengenai program,
bahwa oposisi Trotski telah menempuh jalan anti‐Sovyet. Karena itu,
Kongres XV menyatakan bahwa masuk oposisi Trotski dan
mempropagandakan pandangan‐pandangannya adalah bertentangan
dengan kehadiran dalam barisan Partai Bolsyewik. Kongres menyetujui
keputusan gabungan Comite Central dan Komisi Kontrol Central untuk
memecat semua tokoh aktif blok Trotskis–Zinovievis seperti Radek,
Preobrazyenski, Rakovski, Pyatakov, Serebryakov, I. Smirnov,
Kamenyev, Sarkis, Safarov, Lifsyits, Mdiwani, Smilga, dan seluruh
kelompok “Sentralisme Demokratik”.
Pada 1927 terbongkar organisasi sabotase yang besar dari ahli‐
ahli borjuis di Distrik Syakhti di Donbas. Pada awal tahun 1929 ternyata
bahwa Bukharin, yang diberi kuasa oleh kelompok kapitulasionis
kanan, berhubungan dengan kaum Trotskis melalui Kamenyev dan
mengadakan persetujuan dengan mereka untuk perjuangan bersama
melawan partai. Comite Central membongkar kegiatan kriminal kaum
kapitulasionis kanan ini dan memperingatkan bahwa kasus ini dapat
berakhir dengan menyedihkan bagi Bukharin, Rikov, Tomski, dan lain‐
lainnya.
Dalam kongres XVII PKUS, Bukharin, Rikov, dan Tomski
mengucapkan pidato‐pidato penuh penyesalan, menyanjung‐nyanjung
PKUS dan memuji hasil‐hasil yang dicapai partai setinggi langit. Orang‐
orang Trotskis–Zinovievis dan Kamenyev juga berpidato, yang dengan
328 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
berlebih‐lebihan mendera diri sendiri karena kesalahan‐kesalahan
mereka dan memuji‐muji PKUS. Tetapi PKUS belum tahu, tidak
menduga bahwa tuan‐tuan ini selagi dalam kongres mengucapkan
pidato yang manis‐manis, bersamaan itu juga mereka mempersiapkan
pembunuhan keji atas diri S.M. Kirov.
Tanggal 1 Desember 1924, S.M. Kirov dibunuh secara keji di
Smolni di Leningrad dengan tembakan pistol. Pembunuhnya tertangkap
basah dan ternyata anggota kelompok kontra‐revolusioner bawah tanah
yang terdiri dari anggota‐anggota kelompok anti‐Sovyet Zinovievis di
Leningrad. Kemudian terbukti, pembunuhan terhadap S.M. Kirov
dilakukan oleh gerombolan gabungan Trotskis–Bukharinis. Setahun
kemudian diketahui bahwa organisator‐organisator yang benar‐benar,
langsung dan sesungguhnya dari pembunuhan terhadap S.M. Kirov,
dan organisator‐organisator langkah persiapan untuk membunuh
anggota‐anggota CC lainnya adalah Trotski, Zinoviev, Kamenyev, dan
kaki‐kaki tangan mereka. Zinoviev, Kamenyev, Bakayev, Yevdokimov,
Piel, I.N. Smirnov, Mrackowski, Ter‐Waganyan, Reingold, diseret ke
muka pengadilan yang berlangsung di Moskow pada tahun 1926.
Penghasut utama dan organisator seluruh gerombolan pembunuh dan
mata‐mata ini ialah Trotski. Mereka mempersiapkan supaya URSS
kalah, jika terjadi serangan kaum imperialis terhadapnya.
Pada 1927 juga tersingkap fakta‐fakta baru mengenai gerombolan
Bukharinis–Trotskis. Proses pengadilan perkara Pyatakov, Radek, dan
lain‐lainnya; proses pengadilan perkara Tukhacyevski, Yakir, dan lain‐
lainnya; dan akhirnya, proses pengadilan perkara Bukharin, Rikov,
Krestinski, Rosengoltz, dan lain‐lainnya, semua proses itu menunjukkan
bahwa kaum Bukharinis dan kaum Trotskis ternyata sudah sejak lama
membentuk satu gerombolan musuh rakyat dengan kedok “blok kanan‐
Trotski”.
Proses pengadilan memperlihatkan bahwa Trotski, Zinoviev, dan
Kamenyev, sudah sejak hari‐hari pertama Revolusi Sosialis Oktober
bersekongkol menentang Lenin, menentang partai dan menentang
negara Sovyet. Percobaan‐percobaan provokatif untuk menggagalkan
perdamaian Brest pada awal tahun 1918; persekongkolan menentang
Lenin dan persekongkolan dengan kaum sosialis‐revolusioner “kiri”
untuk menangkap dan membunuh Lenin, Stalin, dan Swerdlov pada
musim semi tahun 1918, penembakan keji terhadap Lenin dan yang
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 329
melukai Lenin pada musim panas tahun 1918; pemberontakan kaum
sosialis‐revolusioner “kiri” pada musim panas tahun 1918; penajaman
dengan sengaja perbedaan pendapat di dalam Partai Bolsyewik pada
tahun 1921 dengan tujuan menggerowoti dan menggulingkan pimpinan
Lenin dari dalam; percobaan‐percobaan untuk menggulingkan
pimpinan Partai Bolsyewik selama Lenin sakit dan sesudah wafatnya;
pembocoran rahasia‐rahasia negara dan penyampaian keterangan yang
bersifat spionase kepada dinas‐dinas rahasia asing; pembunuhan keji
atas diri S.M. Kirov; sabotase, gerakan tipuan dan peledakan;
pembunuhan keji terhadap Menzyinski, Kuibisyev, dan Gorki—semua
ini dan kejahatan‐kejahatan yang serupa selama masa 20 tahun, ternyata
dilakukan dengan turut sertanya atau di bawah pimpinan Trotski,
Zinoviev, Kamenyev, Bukharin, Rikov, dan begundal‐begundal
mereka—atas perintah dinas rahasia borjuasi asing.
Pengadilan Sovyet menjatuhkan hukuman tembak bagi
Bukharin–Trotski. Tahun 1929 Trotski diusir dari Uni Sovyet. Trotski
melakukan perlawanan terhadap Komintern yang dianggapnya
dikuasai oleh Stalin. Tidak punya syarat berjuang di dalam organisasi
Komintern, Trotski mendirikan organisasi oposisi terhadap Komintern.
Tidak puas dengan ini, tahun 1938 Trotski mendirikan Internasionale IV,
Internasionale Trotskis di Perancis.
Trotski mengasingkan diri ke Meksiko. Akhir tahun 1930‐an
melakukan perlawanan, menentang pakta non‐agresi Molotov–
Ribbentrop yang dilakukan Stalin. Tahun 1940 Trotski terbunuh di
Meksiko.
Trotskisme tetap bergema dalam gerakan sosialisme dunia.
Internasionale IV yang dibangun Trotski mempunyai jaringan di berbagai
negeri Eropa. Memainkan peranan dalam menentang Stalin yang
memegang pimpinan tertinggi di Uni Sovyet. Dalam Perang Dingin yang
digalakkan Amerika Serikat untuk membasmi komunisme dunia,
penganut Trotskisme ambil bagian berkampanye anti‐Sovyet dengan
semboyan anti kediktaturan Stalin. Dengan laporan rahasia Khrusycyov
mengutuk Stalin, tahun 1956, kaum Trotskis mendapat angin segar.
Di Indonesia, pandangan Trotski dianut oleh pengikut Tan
Malaka. Sejak tahun 1926, Tan Malaka menentang keputusan CC PKI
memimpin pemberontakan nasional November 1926. Menempuh politik
anti‐PKI, mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari), bersekutu dengan
330 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
fasisme Jepang yang masuk menduduki Indonesia. Tan Malaka
mempunyai hubungan dengan jaringan Trotskisme internasional.
Tahun 1948 berdirilah Partai Murba yang melanjutkan menganut
pandangan Tan Malaka. Partai Murba mengambil politik anti‐PKI, anti
politik‐politik besar Bung Karno seperti menentang Pancasila dijadikan
dasar negara dalam sidang‐sidang Konstituante tahun 1955—1957, anti
persatuan nasional berporos nasakom gagasan Bung Karno. Tahun 1965
dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Bung Karno. Dalam kekuasaan
fasis orba Soeharto, Partai Murba menjadi salah satu tulang punggung.
Bahkan tokoh terkemukanya, Adam Malik, menjabat kedudukan wakil
presiden.
Bagi PKI, melawan Trotskisme adalah masalah yang sangat
penting. Sidang Pleno IV CC VII PKI, Mei 1965, secara mendalam
mendiskusikan masalah ini. Ketua CC PKI, D.N. Aidit, menyampaikan
laporan yang antara lain mengemukakan, “Pada tahun 1964 kombinasi
imperialis, kapitalis birokrat (kabir), dan Trotskis menandai kegiatan‐
kegiatan kontra‐revolusioner di Indonesia. Tujuan pokok mereka ialah
memindahkan kontradiksi antara rakyat Indonesia dengan imperialisme
menjadi kontradiksi di kalangan rakyat sendiri. Mereka menjalankan
politik anti‐komunis dan anti‐Soekarno dengan kedok ‘Pancasilaisme’
dan ‘Soekarnoisme’ dalam bentuk gerakan yang dinamakan Badan
Pendukung Soekarnoisme (BPS). Semuanya bergerak menurut tongkat
komando CIA, organisasi intelijen Amerika Serikat. Tetapi karena sangat
jelas bagi rakyat bahwa ajaran‐ajaran Bung Karno sama sekali tidak anti‐
komunisme, maka dalam waktu singkat kedok mereka terbuka dan
kemunafikannya menjadi telanjang bulat. Apalagi setelah ada
kristalisasi politik dengan tindakan Presiden Soekarno dan pemerintah
Indonesia terhadap Partai Murba, termasuk tindakan terhadap beberapa
tokoh Trotskis yang menjadi tokoh partai itu. Tindakan ini mengandung
arti politik yang penting sekali. Kaum Trotskis Indonesia sejak mereka
mengkhianati PKI sesudah kegagalan pemberontakan nasional pertama
tahun 1926 dan mendirikan Pari (Partai Republik Indonesia) selalu
memainkan peranan memecah‐belah persatuan nasional.”
“Pada zaman Belanda, di dalam pendudukan fasis Jepang,
sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pekerjaan mereka
terus memecah‐belah persatuan nasional. Trotskisme sudah lama
merupakan bukan lagi penyelewengan dari Marxisme, tetapi
XIX — Trotskisme sampai Internasionale IV | 331
sepenuhnya komplotan bandit‐bandit politik yang pekerjaannya tidak
lain daripada membikin intrik‐intrik dan kriminalitas politik.”
“Kaum Trotskis menggunakan jubah Marxisme untuk menentang
Marxisme, menggunakan semboyan‐semboyan ‘revolusioner’ dan ‘kiri’
untuk menentang gerakan revolusioner, sehingga massa rakyat yang
belum terdidik politik dalam batas‐batas tertentu dapat tertarik olehnya.
Kaum Trotskis terang bukannya kekuatan kiri dan bukannya kekuatan
tengah, tetapi kekuatan ultra‐kanan yang sadar anti‐komunis. Oleh
karena itu, penggalangan persatuan nasional berporoskan nasakom
tidak mungkin tanpa bertindak terhadap kaum Trotskis seperti yang
sudah dilakukan oleh Presiden Soekarno.”291
Selanjutnya Aidit menyatakan, “Politik anti‐demokrasi, anti‐
rakyat, dan anti‐nasakom dari kaum Trotskis dalam prakteknya tidak
berbeda dengan politik partai‐partai terlarang Masyumi dan PSI. Hal ini
antara lain dapat dibuktikan dengan jelas sekali dari intrik‐intrik serta
kampanye‐kampanye mereka tentang pembubaran partai‐partai,
penaikan harga beras resmi sehingga lebih tinggi harga pasar, usaha
penaikan harga bensin, penyetopan pemboikotan film imperialis AS,
melancarkan politik rasialis, dan anti‐kerja sama dengan RRT,
menghebohkan Pancasila, membikin gerakan Soekarnoisme–BPS
bersekongkol dengan agen‐agen Malaysia, dan bernafsu besar untuk
mengganti Presiden Soekarno. Tetapi politik dan intrik mereka dilawan
oleh rakyat dengan gigih, dan dalam perlawanan‐perlawanan itu rakyat
mendapat kemenangan satu demi satu dan maksud‐maksud jahat
mereka menjadi terbongkar pula satu demi satu.”292
“Dalam bulan‐bulan terakhir tahun 1964, puncak‐puncak
ketegangan di dalam negeri telah ditimbulkan oleh kombinasi
imperialis, kapitalis birokrat, dan Trotskis ini. Untuk menarik kekuatan
tengah ke pihaknya, mereka memfitnah bahwa kaum komunis akan
‘merebut kekuasaan’ berdasarkan apa yang mereka namakan ‘dokumen
rahasia PKI’ bikinan mereka sendiri, yang berisi fitnahan‐fitnahan
tentang ‘bahaya komunis’ yang sedang mengancam, berhubung dengan
‘kesehatan Bung Karno’ yang kata mereka ‘makin memburuk’.”
291 D.N. Aidit, Perhebat Ofensif Revolusioner di Segala Bidang!, Laporan Politik kepada Sidang Pleno IV CC VII yang Diperluas, 11 Mei 1965, Jajasan Pembaruan, Djakarta, 1965, h.13—14. 292 Ibid., h.14.
332 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
“Mengenai apa yang dinamakan ‘dokumen rahasia PKI’ sudah kita
kupas kepalsuannya dalam pertemuan antara Presiden Soekarno
dengan semua partai politik di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964.
Tiap orang revolusioner yang berpengalaman sudah mengetahui bahwa
apa yang dinamakan ‘dokumen rahasia PKI’ adalah hasil pekerjaan
ceroboh daripada pelaksanaan cara klasik agen‐agen provokator
Trotskis yang bermaksud membikin edisi kedua dari ‘Peristiwa Madiun’.
Teknik provokasi mereka kali ini jauh lebih jelek daripada untuk
provokasinya pada tahun 1948 (Peristiwa Madiun).”
“Pekerjaan mereka menghubungkan ‘bahaya komunisme’ dengan
‘kesehatan Bung Karno’ kata mereka ‘makin memburuk’ dan oleh karena itu
sudah diperlukan ‘troon‐opvolger’ hanya mendemonstrasikan satunya
mereka dengan kaum imperialis internasional yang juga melancarkan
tema yang sama lewat pers dan radio.”293
Di bawah kekuasaan orba Soeharto, para penganut aliran
Trotskis, yaitu pengikut Partai Murba memainkan peranan memperkuat
rezim diktatorial fasis ini. Mengenai Peristiwa G30S mereka
menyalahkan pimpinan PKI, yang menurut mereka adalah “Stalinis”.
Pimpinan PKI dituduh menjalankan kesalahan karena menempuh jalan
dua tingkat revolusi, tidak menempuh jalan revolusi permanen.
Secara internasional, Internasionale IV, Internasionale Trotskis,
penganut Trotskisme memainkan peranan dalam Perang Dingin sebagai
kekuatan yang menentang Uni Sovyet, menentang “Stalinisme”.
Jaringan internet Internasionale IV, World Socialists Web Service—
WSWS, aktif berpropaganda mengenai “revolusi permanen”, ajaran
Trotski. Banyak tulisan yang disebarkan menentang pimpinan partai
komunis tertentu yang dianggap Stalinis. Termasuk terhadap Partai
Komunis Kuba dan Partai Komunis Tiongkok. Jaringan internet WSWS
menyuarakan pandangan negatif terhadap pembangunan sosialisme
berkepribadian Tiongkok. Tentang Indonesia menyiarkan pandangan
negatif terhadap pimpinan PKI yang dianggap “Stalinis” dan banyak
mempropagandakan Tan Malaka.
293 Ibid., h.14—15.
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 333
XX
Kritik‐Kritik atas Marxisme
1. Marxisme dalam Ujian
SESUDAH meninggalnya Marx dan Engels, Marxisme mendapat
perlawanan dari kaum sosial demokrat yang revisionis. Pandangan
filsafatnya adalah menentang materialisme dialektis.
Tokoh utamanya Eduard Bernstein (1850—1932), menolak
materialisme dialektis secara keseluruhan, menghendaki berpaling pada
ilmu profesor borjuis “sampai taraf tertentu” Kant. Ia menulis bahwa
materialisme yang murni atau yang mutlak sebagaimana spiritualisme
adalah sama dengan idealisme yang murni atau yang mutlak. Ini sama
halnya dengan menyatakan bahwa pikiran dan kenyataan adalah
identik (sama). Pada akhirnya, ia hanya berbeda dalam cara
mengungkapkannya. Sebaliknya, kaum materialis yang paling baru
menyatakan bahwa pada pokoknya sama dengan ungkapan Kant.
Demikianlah, pendirian dasar kaum revisionis menolak
materialisme dialektis, berpaling pada pandangan Kant. Selanjutnya,
Bernstein menyatakan “dialektika itu adalah jebakan”.294 Bernstein me‐
nentang jalan revolusioner mencapai sosialisme, tetapi menginginkan
jalan demokratis, jalan damai, lewat reformasi dewan‐dewan perwakilan
dalam masyarakat demokratis.
294 Akademii Nauk SSSR, Protiv Sovryemyennovo Revizionizma V Filosofii I Sotsiologii (Menentang Revisionisme Modern Dalam Filsafat dan Sosiologi), Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa, 1960, h.24—25.
334 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Kaum revisionisme modern secara kata‐kata mengakui filsafat
Marxisme adalah materialisme dialektis, tetapi dalam tindakan
menggunakan eklektika. Mereka secara hangat mendukung materialisme
dialektis, menjadi pembela tangguh “materialisme dialektis yang murni”,
“membela kemurian materialisme dialektis”, “secara kreatif memperkaya
materialisme dialektis”. Demikianlah, bertahun‐tahun lamanya dilakukan
oleh para filsuf revisionis295 dengan tokohnya György Lukács (1885—
1971).296
Tahun 1922, György Lukács menerbitkan karya Sejarah dan
Kesadaran Klas, di mana dipaparkan usaha pemaduan pandangan
borjuasi dan proletariat, pemaduan Marxisme dengan Neo‐Kantianisme
serta reformisme Kautski. Membantah Engels, Lukács dalam Sejarah dan
Kesadaran Klas mendasarkan pandangannya pada Neo‐Kantianisme.
Lukács tidak hanya menyangsikan kebenaran pandangan ekonomi
Marx, bahkan ia mencampakkan materialisme historis. Dalam karya ini,
mengikuti eksistensialisme Heidegger, Lukacs menyatakan “kenyataan
bukanlah keberadaan sesuatu, tapi sesuatunya yang akan terjadi”.
Karya Lukacs Kerusakan Rasio (Kerusakan Akal Budi)
menunjukkan pandangannya merevisi gagasan Marx mengenai
perkembangan filsafat, menunjukkan peralihannya ke kedudukan
idealis. Lukacs memandang Hegel dan Marx hanya sebagai wakil‐wakil
dari aliran rasionalisme yang bertentangan dengan irasionalisme.
2. Revisionisme Yugoslavia
PERANG Dunia II usai. Di bawah pimpinan Stalin, URSS bersama
dengan negara‐negara Sekutu, Amerika Serikat, Inggris, Perancis,
Tiongkok, tampil sebagai pemenang perang. Di Eropa Tengah dan
Timur lahir negara‐negara berdasarkan sistem demokrasi rakyat, di bawah
pimpinan partai‐partai komunis: Cekoslowakia, Polandia, Rumania,
295 Para tokoh revisionis ini menulis tentang “teori dan praktek” (Jorjkevitch); “teori pencerminan” (H. Lefebvre); “hubungan dialektis materi dan kesadaran” (E.Bloch); “perjuangan dialektika dan metafisika” (G. Lukacs); “saling keter-gantungan filsafat dan moral” (L. Kolakowski), dan sebagainya. 296 Filsuf Hongaria, Menteri Kebudayaan pada pemerintahan Bela Kun, 1919, dan juga Menteri Kebudayaan dalam pemerintahan Imre Nagy tahun 1957.
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 335
Bulgaria, Hongaria, Albania, dan Yugoslavia. Di Timur, Tiongkok
menjelang kemenangan revolusi yang akan melahirkan Republik Rakyat
Tiongkok. Di Perancis, sementara tokoh komunis masuk dalam
pemerintahan De Gaulle. Di Italia, partai komunis tampil unggul
menghadapi pemilihan umum demokratis. Di bawah pimpinan PKUS,
dibentuk Badan Informasi Kominform, dengan anggota‐anggota semua
partai komunis negara‐negara demokrasi rakyat Eropa, bersama Partai
Komunis Perancis dan Italia.
Kominform terkenal dengan publikasi periodiknya berjudul For a
Lasting Peace, and for People’s Democracy. Presiden Truman tersentak,
membayangkan bahaya komunisme akan menguasai dunia. Ia tampil
dengan doktrin “the policy of containment”, politik membendung
komunisme sejagat. Inilah akar Perang Dingin. Segera Amerika
menyiapkan Plan Marshall, dengan ekonomi membendung komunisme di
Eropa. Dan membentuk North Atlantic Treaty Organisation (NATO), pakta
militer untuk membendung komunisme di Barat. Sesudah terbentuknya
Pakta Militer NATO, Uni Sovyet membentuk Pakta Warsawa, badan kerja
sama militer antar negara‐negara sosialis Eropa.
Milovan Djilas (1911—1995) tokoh pimpinan Liga Komunis
Yugoslavia tampil dengan kritik‐kritiknya atas sosialisme yang
dipraktekkan di Uni Sovyet. Dengan bukunya yang diterbitkan tahun
1957, The New Class: An Analysis of the Communist System, ia mengkritik
Leninisme, mengkritik penjabaran Marxisme oleh Lenin. Djilas
berpendapat bahwa hubungan‐hubungan khusus “klas baru” dengan
alat‐alat produksi adalah salah satu kontrol politik kolektif. Maka
menurut Djilas, klas baru tidak hanya mencari reproduksi material yang
diperluas sampai pada pembenaran eksistensinya secara politik sebagai
klas pekerja, bahkan juga mencari perluasan reproduksi kontrol politik
sebagai bentuk dalam pemilikan itu sendiri. Ini dapat dibandingkan
(disamakan) dengan kaum kapitalis yang mencari nilai yang diperluas
melalui peningkatan nilai pemilikan saham, bahkan pasar saham itu
sendiri tidak perlu mencerminkan peningkatan nilai komoditi yang
telah dihasilkan.
Djilas mempergunakan alasan bentuk‐bentuk pemilikan untuk
menunjukkan, kenapa klas baru mencari parade‐parade, pawai‐pawai
dan pameran‐pameran pertunjukan khusus, walaupun kegiatan ini
adalah mengenai bentuk‐bentuk pemilikan, adalah merendahkan
336 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
tingkat produktivitas material.
Djilas memperhitungkan bahwa klas baru hanya lambat‐lambat
menyadari dirinya sebagai satu klas. Ketika sampai pada saat kesadaran
sendiri sepenuhnya, maka usaha pertamanya adalah melakukan
industrialisasi besar‐besaran dengan tujuan memperkuat jaminan
keamanan luar bagi klas baru menghadapi klas penguasa lainnya.
Pola yang diajukan Djilas ini adalah membayangkan Uni Sovyet
di tahun 1930 dan 1940. Karena klas baru mempengaruhi kepentingan‐
kepentingan semua yang lainnya atas keamanannya sendiri dalam
periode ini, ia dengan leluasa menghukum atau menindak anggota‐
anggotanya sendiri demi mencapai tujuan pokoknya, yaitu
keamanannya sebagai satu klas penguasa. Sesudah keamanan bagi
dirinya tercapai, klas baru menjalankan politik lebih longgar terhadap
anggota‐anggotanya, memberikan jaminan materiil dan kebebasan
berpikir serta beraksi di dalam klas baru—sebatas kebebasan ini tidak
membahayakan kekuasaan klas baru.
Djilas memaparkannya sebagaimana yang berlangsung dalam
pemerintahan di bawah Khrusycyov di Uni Sovyet. Karena munculnya
konflik‐konflik politik di kalangan klas baru, maka terjadilah perebutan
kekuasaan, atau mungkin revolusi‐revolusi kerakyatan seperti
pengalaman Polandia dan Hongaria.
Yang dikritik Djilas sesungguhnya adalah sistem yang berlaku di
Uni Sovyet di bawah pimpinan Stalin, yaitu pelaksanaan kekuasaan
negara diktatur proletariat yang melahirkan pimpinan dengan kekuasaan
sangat terpusat.
Pimpinan Yugoslavia, Joseph Broz Tito, tidak menerima
kepemimpinan Uni Sovyet atas negara‐negara sosialis, tidak
membenarkan analisa tentang dua kubu di dunia: kubu sosialis dan
kubu kapitalis. Yugoslavia menerima bantuan Plan Marshall. Yugoslavia
dinilai menempuh jalan revisionisme. Yugoslavia dipecat dari
Kominform.
3. Kritik atas Kultus Individu Stalin
PADA akhir tahun 1950‐an, gelora Perang Dingin yang digalakkan
Amerika untuk membasmi komunisme sejagat kian meningkat.
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 337
Perlombaan persenjataan mengauskan daya ekonomi Uni Sovyet. Tahun
1956, Khrusycyov mengutuk kultus individu Stalin dalam Kongres XX
PKUS. Ini membangkitkan arus anti diktatur proletariat. Diktatur
proletariat dinilai adalah kekuasaan yang tanpa humanisme. Maka
gelombang membela humanisme menjadi naik daun. Kritik Khrusycyov
atas kultus individu Stalin melahirkan perbedaan pendapat di kalangan
partai‐partai komunis sedunia. Ada yang mendukung seperti Partai
Komunis Perancis, Partai Komunis Italia, dan berbagai partai komunis
di Eropa.
Mewakili PKI, D.N. Aidit menyatakan, “Saya berpendapat,
bahwa memang sudah pada tempatnya jikalau Stalin disalahkan oleh
Kongres XX PKUS. Bukanlah sesuatu yang luar biasa jika sesuatu yang
salah disalahkan. Menyalahkan yang salah adalah sangat perlu,
sekalipun orangnya sudah meninggal, agar kesalahan itu tidak diulangi
lagi. Di samping itu saya juga berpendapat adalah benar jika yang benar
dibenarkan. Kelirulah jika yang benar tidak dibenarkan, karena
mungkin yang benar itu orang anggap salah. Oleh karena itu saya
sependapat dengan Kongres PKUS yang tetap mengakui jasa‐jasa Stalin,
mengakui Stalin sebagai Marxis yang besar dan menunjukkan
perbuatan‐perbuatan Stalin yang benar, dan menguntungkan rakyat
Sovyet dan proletariat sedunia.”297
Partai Komunis Tiongkok menentang kutukan atas Stalin ini.
Pendirian PKT dituangkan dalam dua kali artikel dalam Ren Min Ribao
berjudul “Pengalaman dari Sejarah Diktatur Proletariat” dan “Sekali Lagi
Pelajaran Sejarah dari Pengalaman Diktatur Proletariat”.
Laporan rahasia Khrusycyov, berisikan kritik mengenai kultus
individu bermuara pada menegasi peranan Stalin yang telah berjasa
menegakkan Leninisme dalam membela diktatur proletariat, membangun
dan membela URSS. Bersama dengan kaum Trotskis yang anti‐Stalin,
kaum sosial demokrat yang sejak semula menentang ajaran Marx
tentang diktatur proletariat menjadi mendapat angin, ikut arus Perang
Dingin melawan PKUS dan URSS. Bergejolaklah arus
mempertentangkan diktatur proletariat dengan humanisme, menganggap
kultus individu adalah dilahirkan oleh diktatur proletariat.
Program pembangunan komunisme yang digalakkan
297 D.N. Aidit, loc.cit.
338 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Khrusycyov sebagai hasil Kongres Nasional XXII PKUS tahun 1962 tak
terealisasi. Berkat perlawanan di dalam dan luar PKUS mengkritik
Khrusycyov, tahun 1964 Khrusycyov turun panggung, digantikan
Leonid Ilyich Brezhnyev.
Usaha melawan revisionisme modern berkecamuk dalam Gerakan
Komunisme Internasional. Dengan memanipulasi Peristiwa Tiga Puluh
September 1965, di Indonesia berlangsung penggulingan pemerintahan
Bung Karno lewat pembantaian kader‐kader dan anggota Partai
Komunis Indonesia. Partai Komunis terbesar di luar kubu sosialis
diobrak‐abrik, dinyatakan terlarang. Terbentuk rezim anti‐komunis,
kediktatoran militer orde baru Soeharto.
Di Vietnam berkecamuk perang agresi Amerika untuk membasmi
komunisme di Indocina. Di Eropa bermunculan beberapa aliran pikiran
di kalangan pengamat ilmu sosial yang menyangsikan kebenaran
Marxisme. Termasuk sementara kalangan filsuf dalam Partai Komunis
Perancis. Muncullah Euro‐Komunisme.
4. Euro‐Komunisme Mencampakkan Marxisme–Leninisme
TAHUN 1944, Palmiro Togliatti (1893—1964) dalam pidato menyatakan
bahwa, “zaman sudah berubah, klas buruh sudah mengubah cara‐cara
untuk merebut kekuasaan, yaitu masa revolusi sudah lewat, kini datang
zaman evolusi, yaitu kekuasaan tak bisa direbut, kecuali dengan jalan
reform‐reform, jalan parlementer, lewat pemungutan suara.”
Kemudian, dalam sidang CC Partai Komunis Italia, 28 Juni 1956,
segera sesudah Kongres XX PKUS, Togliatti menyatakan, “kita harus
memandang kemajuan sosialis yang berlangsung sebagaimana
ditunjukkan oleh Konstitusi Italia, yaitu medan kemerdekaan
demokratis dan transformasi‐transformasi sosial yang progresif.
Konstitusi ini belumlah Konstitusi Sosialis. Tetapi karena ia
mencerminkan pernyataan gerakan peremajaan persatuan yang luas, ia
berbeda secara mendalam dengan konstitusi borjuis lainnya dan
mewakili satu dasar yang efektif bagi kemajuan masyarakat Italia di atas
jalan menuju sosialisme.” Kongres X Partai Komunis Italia pada tahun
1962 memakukan ide‐ide Togliatti yang secara terbuka meninggalkan
Marxisme–Leninisme, seperti gagasan “polycentrisme”, “pluralisme”
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 339
menuju sosialisme, “kemerdekaan beragama”, “kemerdekaan bersuara”,
“hak‐hak manusia”, dan sebagainya. Inilah jalan Italia menuju
sosialisme.
Dalam Kongres XV Partai Komunis Italia, April 1979, Enrico
Berlinguer (1922—1984), Sekretaris Nasional Comite Central,
menyampaikan laporan berjudul “Untuk Sosialisme dalam Perdamaian dan
Demokrasi di Seluruh Italia dan Eropa”. Dalam laporan ini dipaparkan
“jalan ketiga” menuju sosialisme. Dinyatakan, tugas gerakan buruh di
Eropa Barat sekarang adalah “menemukan jalan‐jalan baru untuk maju
mencapai sosialisme dan membangun sosialisme”, jalan itu sudah diletakkan
dalam Konstitusi Republik Italia, yaitu membimbing Italia ke jalan
transformasi menjadi masyarakat sosialis berdasarkan demokrasi
politik. Pandangan mencapai sosialisme melalui konstitusi borjuasi
sudah lama dimiliki oleh kaum komunis Italia.
Menurut teori “reform‐reform struktural”, peralihan ke sosialisme
akan berlangsung melalui reform‐reform secara setingkat demi setingkat
yang akan dipaksakan dari kapital monopoli secara jalan damai.
Reform‐reform berangsur‐angsur ini akan berlangsung dengan cara
parlementarisme, melalui kekuatan pungutan suara, tak pandang
kenyataan, bahwa kaum kapitalis monopoli memiliki dalam tangan‐
tangannya kekayaan negeri, senjata, dan menjalankan pemerintahan
serta mengelola parlemen. Menurut Partai Komunis Italia, “reform‐reform
struktur ekonomi sosial” yang mungkin dijalankan dalam rangka negara
borjuasi, “akan dapat membasmi penghisapan dan ketidaksamaan klas,
dan akan mungkin secara berangur‐angsur mengatasi kesenjangan
antara penguasa dan yang dikuasai, dan bergerak maju untuk
pembebasan sepenuhnya manusia dan masyarakat.”
Dalam Kongres IX Partai Komunis Spanyol, April 1978, Santiago
José Carrillo Solares (1915—2012), Sekretaris Jenderal CC, menyatakan
bahwa Partai Komunis Spanyol bukan lagi Partai Marxis–Leninis, tetapi
sebuah Partai Marxis Revolusioner Demokratis. Dinyatakan bahwa
memandang “Leninisme adalah Marxisme zaman kita” adalah tak dapat
diterima. Kongres XXIII Partai Komunis Perancis, Mei 1979, menyatakan
bahwa dalam dokumen‐dokumen Partai Komunis Perancis tidak lagi
memakai istilah Marxisme–Leninisme, tetapi diganti dengan istilah
“sosialisme ilmiah”.
Pada April 1979 dalam Kongres XV Partai Komunis Italia,
340 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
diputuskan untuk menghapuskan dari Konstitusi Partai tuntutan bagi
anggota partai untuk menguasai Marxisme–Leninisme dan
melaksanakannya. Dinyatakan bahwa rumusan “Marxisme–Leninisme”
tidak mencerminkan seluruh kekayaan warisan teori dan ideologi kita.
Sekarang, setiap orang dapat ambil bagian dalam Partai Komunis Italia,
tak pandang ideologi mana yang dianutnya.
Dengan cara beginilah kaum revisionis Eropa secara resmi
memisahkan diri dari Marxisme–Leninisme, membangun Euro‐
Komunisme. Peralihan partai‐partai komunis ini menjadi sepenuhnya
menganut sosial‐demokrasi, disambut hangat oleh propaganda borjuasi
hingga tahun 1979 dijuluki sebagai “tahun euro‐komunisme”.
Mengenai euro‐komunisme, Enver Hodja menulis, ”Sebagaimana
Khrusycyov menyerang Stalin, mau menyerang teori dan praktek
pembangunan sosialisme; kaum euro‐komunis menyerang Lenin, mau
menyerang teori dan praktek revolusi proletar. Karya‐karya Lenin
adalah sangat luas, tetapi justru berhubungan erat dengan persiapan
dan pelaksanaan revolusi. Oleh karena itu, sebagaimana halnya
Khrusycyov yang tidak bisa menghancurkan sosialisme tanpa
melenyapkan Stalin, kaum euro‐komunis tidak bisa menghalangi dan
menyabot revolusi tanpa melenyapkan Lenin dari pikiran dan hati
rakyat pekerja.”
Dalam perjuangan menegasi dan mengabaikan Marxisme–
Leninisme, borjuasi selalu mendapat dukungan dari kaum oportunis dan
pengkhianat dari segala macam jenis, sesuai dengan masanya. Mereka
semua menyatakan berakhirnya Marxisme. Mereka melukiskan
Marxisme tak sesuai lagi dengan zaman baru, sementara mereka
mempropagandakan “ide‐ide modern” sebagai ilmu masa depan.
Namun bagaimana nasib Proudhon, Lassalle, Bakunin, Bernstein,
Kautski, Trotski, dan para pendukungnya? Sejarah tidak mencatat apa
pun yang positif bagi mereka. Ocehan mereka hanyalah mengabdi pada
merintangi dan menyabot revolusi, menyabot perjuangan proletariat
dan usaha sosialisme. Mereka dikalahkan oleh Marxisme–Leninisme
dalam perjuangan dan dilemparkan ke keranjang sampah. Dari waktu
ke waktu kaum oportunis baru menyeret mereka keluar dari keranjang
ini, mengutak‐atik rumusan‐rumusan mereka yang bangkrut,
dipergunakan untuk melawan Marxisme–Leninisme. Inilah yang
diperbuat kaum euro‐komunis. Kaum euro‐komunis bukanlah sesuatu
XX — Kritik-Kritik atas Marxisme | 341
yang asli dalam usaha menegasi Marxisme–Leninisme, yang menganggap
Marxisme–Lenisme sudah “ketinggalan zaman”, dan bahwa teori‐teori baru
sudah ditemukan bagi setiap orang, bagi proletariat dan borjuasi,
pendeta dan polisi, untuk bersama‐sama menuju sosialisme, tanpa
perjuangan klas, tanpa revolusi dan tanpa diktatur proletariat.
342 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
XXI — Pasca-Marxisme | 343
XXI
Pasca‐Marxisme
1. Mazhab Frankfurt
AKHIR tahun dua puluhan abad ke‐20, sejumlah ahli psikoanalisa Barat
tampil mempersoalkan kelemahan‐kelemahan Marxisme. Tahun 1929
terbit karya Wilhelm Reich berjudul Dialectical Materialism and
Psychoanalysis. Dalam hubungan ini, ada yang berpendapat bahwa
psikoanalisa adalah inti dari materialisme dialektis masa depan. Dengan
para ahli psikoanalisa sebagai kekuatan pokok dan dengan tokoh‐
tokohnya Erich Fromm, Max Horkheimer, Theodor W. Adorno,
muncullah Mazhab Frankfurt yang mengkritik Marxisme.
Para pengkritik Marxisme berpendapat, bahwa sementara
pengikut Marx hanya memamah‐biak pilihan pikiran‐pikiran Marx, dan
biasanya membela partai‐partai komunis yang “ortodoks”. Para pekerja
teori Mazhab Frankfurt ini percaya bahwa teori tradisional Marxis tidak
lagi memadai untuk memecahkan masalah‐masalah perkembangan
masyarakat kapitalis yang dahsyat dan tak terduga di abad ke‐20. Maka
diperlukan neo‐Marxisme. Mereka mengkritik kapitalisme dan sosialisme
Sovyet. Tulisan‐tulisan mereka menunjukkan kemungkinan jalan
alternatif, pilihan lain bagi perkembangan masyarakat.
Terbentuklah Mazhab Frankfurt, penganut aliran teori
kemasyarakatan interdisiplin Neo‐Marxis dari Institut Penelitian Sosial
Universitas Goethe Frankfurt, Jerman. Menurut Kevin B. MacDonald,
banyak tokoh Mazhab Frankfurt adalah orang Yahudi. Para filsuf Yahudi
yang melarikan diri dari Jerman di tahun 1930‐an, bergabung di
Universitas Columbia di New York, menemukan Marxisme yang “tidak
344 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ortodoks”, memperkenalkannya ke dalam budaya Amerika ketimbang
ke dalam perekonomian.
Untuk mengisi kekurangan yang menurut mereka terdapat pada
Marxisme tradisional, mereka biasa menggunakan pandangan‐
pandangan sosiologi anti‐positivis, psikoanalisa, filsafat eksistensialisme, dan
bidang‐bidang lainnya. Tokoh‐tokoh mazhab ini belajar dari dan
mensintesiskan karya‐karya berbagai pemikir seperti Kant, Hegel, Marx,
Freud, Weber, dan Lukács. Mengikuti Marx, mereka memperhatikan
syarat‐syarat yang memungkinkan perubahan sosial dan masalah
pembentukan lembaga‐lembaga rasional. Dalam usaha keluar dari
keterbatasan positivisme, materialisme dan determinisme, mereka berpaling
pada filsafat kritis Kant dan pengikutnya dalam idealisme Jerman,
terutama filsafat Hegel dengan penekanan pada dialektika dan
kontradiksi.
Sejak tahun enam puluhan, teori‐teori kritis Mazhab Frankfurt
dibimbing oleh karya‐karya Jurgen Habermas mengenai rasio
komunikatif, intersubjektivitas bahasa, dan apa yang disebut Habermas
ajaran filsafat modernitas. Seorang anggota grup Berlin dari para
psikoanalisis Marxis ini adalah Erich Fromm, yang menampilkan ide‐ide
Marxis–Freudo bagi kalangan Mazhab Frankkfurt di bawah pimpinan Max
Horcheimer dan Theodor W. Adorno.
Yang dilakukan oleh Mazhab Frankfurt ini adalah memilih bagian‐
bagian dari karya Marx yang dapat mengabdi pada menjelaskan
kondisi‐kondisi kehidupan masyarakat yang tidak jadi perhatian Marx.
Mereka mengambil pikiran‐pikiran ajaran lainnya untuk mengisi
kekurangan‐kekurangan Marx. Max Weber berpengaruh besar
sebagaimana halnya Sigmund Freud. Ikut ambil bagian dalam hal ini
Erich Fromm mengenai psikologi masyarakat. Di tahun 1950‐an juga
ikut Herbert Marcuse.
Karya‐karya utama dari Mazhab Frankfurt menggunakan kategori
Marxis antara lain adalah Tentang Musik Rakyat karya Adorno yang
ditulis bersama George Simpson, 1941. Adorno khawatir oleh tanda‐
tanda keseragaman masyarakat massal modern dan juga oleh
perubahan pernyataan artisitik pribadi menjadi produk massal barang
dagangan yang distandardisasi. Ia berpendapat bahwa musik rakyat
adalah dengan potongan model dan promosi sepenuhnya
berkontradiksi antagonistik terhadap cita‐cita pribadi dalam masyarakat
XXI — Pasca-Marxisme | 345
liberal yang bebas. Karya Adorno dan Horkheimer, Industri Budaya:
Pencerahan sebagai Penyesatan Massa, asalnya adalah satu bab dari
Dialektika Pencerahan (1947) yang menyatakan kebudayaan memperkuat
“kekuasaan absolut dari kapitalisme” dan pidato radio Adorno tahun
1963 berjudul Mempertimbangkan Kembali Industri Budaya.
Kaum Neo‐Marxis menyatakan bahwa mereka adalah Marxis
tanpa menerima seluruh ajaran teori sejarah dan ekonomi Marx, sambil
menjunjung sosialisme melawan kapitalisme sebagai pendirian moral.
Sesudah itu, kaum sosialis harus membangun gagasan‐gagasan mereka
atas dasar ajaran Marx mengenai “alienasi” yang diserap dari karya‐
karya Marx tahun 1840. Oleh karena itu mereka menghindar dari analisa
materialis yang sempurna dan berpaling pada agama, moralitas, serta
estetika.
Semenjak tahun 1990‐an ditampilkan istilah Marxisme kultural.
Pekerja budaya yang konservatif berargumentasi, bahwa kaum Marxis
Kultural dan pengikut Mazhab Frankfurt mencetuskan gerakan
masyarakat anti‐kultur tahun 1960‐an sebagai kelanjutan rencana
mengubah gerakan Marxis menjadi bentuk Freudo Marxis. Marxisme
kultural semenjak tahun 1990‐an secara luas dipergunakan oleh kaum
kiri Amerika, menggabungkannya dengan filsafat untuk membasmi
peradaban Barat. Mereka berpendapat bahwa Marxisme kultural adalah
ketepatan politik, adalah Marxisme yang diterjemahkan dari ungkapan
ekonomi jadi ungkapan kultural. Ini adalah usaha untuk kembali ke
tahun 1960‐an gerakan hippies dan gerakan perdamaian di Perang Dunia
pertama. Ini dianggap sejajar dengan Marxisme klasik. Karya Adorno
Dialektika yang Negatif dipergunakan untuk menunjukkan Marxismenya
Foucault, Derrida, dan Derleuze yang anti‐dialektis. Kaum post‐
strukturalis menggeser dialektika menjadi “pertentangan” demi
menciptakan jawaban revolusioner terhadap neoliberalisme. Akhirnya
dalam karya Negri dan Hardt berjudul Empire and Multitude, mereka
menyerukan untuk kembali pada dialektika menghadapi tantangan
radikal dunia nyata, mempersenjatai gerakan anti‐kapitalis.
Dalam karya Fredric Jameson, Late Marxism, dipaparkan bahwa
sejumlah pekerja teori termasuk Theodor Adorno, sibuk dengan usaha
mencuci “gagasan‐gagasan dialektis” Marx yang dianggap utopi. Menurut
Horst Muller, Mazhab Frankfurt pada umumnya secara salah melukiskan
Marx.
346 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Martha E. Gimenez dalam karyanya Marxism and Class, Gender
and Race, Rethinking the Trilogy menulis, “Kita mengikuti istilah Marx,
pengakuan akan satu kesatuan dalam hubungan‐hubungan
kemasyarakatan dan kita hidup dalam keadaan saling jalin‐berjalin
hubungan‐hubungan yang tak setara berdasarkan bangunan hierarki
yang saling berhubungan, bersama‐sama menentukan kekhususan
historis dari cara produksi kapitalis dan reproduksi kapitalis serta yang
manifestasinya yang dapat dipantau.”
Menurut Douglas Kellner, profesor teori kritis, “Banyak
teoretikus Marxis abad ke‐20, mulai dari George Lukacs, Antonio
Gramsci, Ernst Bloch, Walter Benjamin, dan T.W. Adorno, sampai pada
Fredric Jameson serta Terry Eagleton mempergunakan teori Marx untuk
menganalisa bentuk‐bentuk kultural dalam hubungan pada produksi
mereka, keterlibatan mereka dalam masyarakat dan sejarah, dan
pengaruhnya atas kehidupan kemasyarakatan. Para ahli telah
mempergunakan berbagai tipe kritik sosial Marxis untuk menganalisa
budaya kultrural. Ke dalam kalangan tokoh Mazhab Frankfurt termasuk
Theodor W. Adorno, Max Horkheimer, Ernst Bloch, Walter Benjamin,
Eric Fromm, Herbert Mercuse, Wolfgang Fritz Haug, dan Jurgen
Habermas.”
Semenjak tahun 1990‐an, istilah Marxisme kultural sering dipakai
di kalangan budayawan konservatif. Mereka beranggapan bahwa kaum
Marxis kultural dan kalangan Mazhab Frankfurt membantu usaha
mengubah Marxisme menjadi Marxisme Freudo. Dalam buku Paul
Gottfried berjudul Kematian yang Aneh dari Marxisme, menyatakan
bahwa Marxisme hidup kembali semenjak kehancuran Uni Sovyet
dalam bentuk Marxisme kultural.
Kaum Neo‐Marxis menyebut dirinya Marxis tanpa menerima
semua ajaran Marx mengenai sejarah dan teori ekonomi, sementara
menjunjung sosialisme melawan kapitalisme sebagai pendirian moral.
Kemudian mengharuskan kaum sosialis membangun gagasan
mengikuti ajaran alienasi yang dipaparkan Marx dalam karya‐karya di
tahun 1840‐an dan menggeser analisa yang tegas materialis ke arah agama,
moralitas, dan estetika. Menerima ajaran Marx tentang alienasi, ajaran
Marx yang dipaparkan dalam Economic and Philosophic Manuscript of
XXI — Pasca-Marxisme | 347
1844, h.67—83,298 tetapi mengabaikan bahkan mencampakkan ajaran
tentang diktatur proletariat.
Demikian pentingnya ajaran tentang diktatur proletariat ini, hingga
Lenin menyatakan, hanyalah dengan menerima ajaran tentang diktatur
proletariat barulah seseorang menjadi Marxis. Praktek menunjukkan
bahwa URSS terbentuk di bawah pimpinan Lenin dan berjaya selama
tujuh dasawarsa adalah karena mempraktekkan ajaran diktatur
proletariat. Begitu ajaran ini dicampakkan oleh Kongres XXVIII PKUS di
bawah pimpinan Gorbacyov, maka URSS pun hancur berantakan,
lenyap dari peta politik dunia.
Bertolak dari ajaran filsafat Hegel, dengan alienasi Marx
menjelaskan masalah penghisapan, yaitu hasil kerja buruh yang
mestinya adalah milik buruh, tetapi menjadi milik kapitalis. Ajaran
Marx berlanjut pada perjuangan klas yang bermuara pada ajaran tentang
diktatur proletariat, demi menegakkan kekuasan negara proletar untuk
pelenyapan penghisapan. Kaum Neo‐Marxis menerima ajaran tentang
alienansi tetapi menolak atau mencampakkan ajaran tentang diktatur
proletariat. Yang dicampakkan adalah inti dari ajaran Marx.
Marxisme di bawah Mazhab Frankfurt sudah berubah, hingga
hanya sedikit saja sisa‐sisa Marxismenya. Daya‐tarik teori kritis tinggal
berupa tata formalitas, teorinya sudah bercampur‐baur dengan teori
non‐Marxis. Pendeknya, mereka bergerak membelakangi Marxisme,
menjadi berpendirian anti‐borjuis yang militan yang terlepas dari
pemahaman ekonomi Marxis.
2. Louis Pierre Althusser
KRITIK Khrusycyov atas “kultus individu” Stalin dalam Kongres XX
PKUS tahun 1956 disambut baik oleh sementara Marxis Perancis,
termasuk Roger Garaudy, teoretikus Partai Komunis Perancis. Tokoh
terkemuka eksistensialis Jean‐Paul Sartre menganggap kritik atas “kultus
individu” ini adalah penemuan kembali akar humanis dari pikiran‐pikiran
Marx, dan membuka pintu untuk berlangsungnya dialog antara kaum
298 Karl Marx, 1961, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, second impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow.
348 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Marxis dengan sosialis moderat, eksistensialis, dan penganut Kristen.
Louis Pierre Althusser (16 Oktober 1918—22 Oktober 1990), filsuf
Marxis Perancis, anggota Partai Komunis Perancis, mempersoalkan
pemahaman yang tepat mengenai Marxisme. Argumen‐argumen dan tesis‐
tesisnya adalah menentang ancaman‐ancaman yang dilihatnya
menyerang dasar‐dasar teori Marxisme. Yang dimaksud adalah
pengaruh empirisisme atas teori Marxisme, serta orientasi sosialis humanis
dan reformis sebagaimana sikap‐sikap yang ditunjukkan oleh partai‐
partai komunis di Eropa mengenai masalah “kultus individu”. Althusser
adalah seorang Marxis yang menganut paham strukturalis.
Dalam karya Marxisme dan Humanisme (1964), Althusser
menyatakan, “Oleh karena Uni Sovyet kini memasuki periode yang
akan membimbingnya dari sosialisme (seseorang memperoleh menurut
hasil kerja) menuju komunisme (seseorang menerima menurut
kebutuhannya), maka di Uni Sovyet sudah dinyatakan semboyan:
‘Segala‐galanya untuk manusia’, dan diperkenalkan tema‐tema kebebasan
pribadi, menghormati hukum, menghormati martabat pribadi.
Dalam partai‐partai buruh, kemajuan humanisme sosialis dapat
sambutan dan dibenarkan sebagaimana dinyatakan oleh tuntutan‐
tuntutan teoretis Marx dalam Kapital, dan lebih‐lebih lagi dalam karya‐
karya pendahuluan Marx.”
Menurut Althusser, “Berakhirnya diktatur proletariat di Uni Sovyet
membuka suatu fase sejarah kedua. Di Uni Sovyet dinyatakan bahwa
klas‐klas yang antagonistik sudah lenyap, diktatur proletariat sudah
memenuhi fungsinya, negara tidak lagi suatu negara klas, tetapi negara
seluruh rakyat. Di URSS, manusia betul‐betul kini dilayani tanpa
perbedaan‐perbedaan klas, yaitu dilayani sebagaimana pribadi
perseorangan. Dengan demikian dalam ideologi terlihat tema‐tema
humanisme klas sudah digantikan oleh tema‐tema humanisme sosialis dari
pribadi perseorangan.”
Althusser menyatakan bahwa dalam sejarahnya, humanisme yang
dianut Marx baru sampai pada tahap teori sejarah yang ilmiah sebagai
hasil kritik radikalnya atas filsafat kemanusiaan yang dianut sebagai
“dasar teori” semasa remaja (1840—1845). Bagi Marx yang remaja,
“manusia” bukanlah hanya ucapan yang meneriakkan kemiskinan dan
perbudakan. Ia adalah dasar teori dalam pandangan dunianya dan
dalam sikap‐sikap praktisnya. “Hakikat manusia” (baik kemerdekaan,
XXI — Pasca-Marxisme | 349
rasio, atau masyarakat) adalah dasar bagi teori sejarahnya yang tepat
dan untuk praktek politik yang teguh.
Althusser membagi dua periode sejarah humanisme yang dianut
Marx. Ia juga mengajukan pandangan teoretis yang humanis. Althusser
akhirnya dijauhi oleh Partai Komunis Perancis, dikritik oleh Sekjen PKP,
Waldeck Rochet. Dalam perkembangannya, Althusser menampilkan
“materialisme aleatoris”, sambil menyatakan bahwa ia memihak
Marxisme. Dalam karya Marxisme dan Humanisme, ia menilai
terdapatnya anti‐humanisme dalam teori Marxis, ia mengutuk ide “potensi
manusia” dan “asal‐usul manusia” yang sering dikedepankan kaum
Marxis sebagai ideologi borjuasi tentang “kemanusiaan”. Pandangannya
mengenai kekuasaan dan negara adalah dekat dengan pandangan
Gramsci, yaitu mengenai hegemoni kultural.
Menurut anggapan Althusser, pikiran Marx secara fundamental
disalahpahami atau disalahmengerti oleh penganutnya. Ia dengan teguh
mengutuk kaum Marxis yang menginterpretasi karya‐karya Marx
historisisme, idealisme, dan ekonomisme, yaitu “ilmu sejarah”—“materialisme
historis”, dengan menganggap Marx sudah membangun suatu
pandangan revolusioner mengenai perubahan masyarakat. Ia percaya,
bahwa kesalahan ini berasal dari pemahaman bahwa seluruh tubuh
ajaran Marx dapat dipahami sebagai satu keseluruhan. Sebaliknya,
Althusser berpendapat bahwa pikiran‐pikiran Marx berisikan
“keterputusan epistemologi” (loncatan epistemologi) yang radikal. Walaupun
karya‐karya Marx masa muda penuh dengan kategori filsafat Jerman
dan ekonomi politik klasik, tetapi Ideologi Jerman yang ditulis tahun 1845
merupakan satu loncatan pemisahan yang tak ada taranya. Maksudnya,
pada awalnya karya Marx berisikan humanisme. Kemudian terjadi
loncatan, pemutusan epistemologis. “Pemutusan”‐nya ini merupakan
satu pergeseran dalam karya‐karya Marx menjadi perbedaan
fundamental secara problematis, yaitu tampilnya satu kerangka
fundamental di bidang teori.
Dalam Ideologi Jerman, Marx memaparkan masalah lahirnya negara
dan proses melenyap negara. Ini terjadi lewat menggunakan diktatur
proletariat yang berfungsi melenyapkan klas dan bermuara pada lenyapnya
negara.
Dalam tahun tujuh puluhan, Althusser meneruskan perevisian
yang dimulainya tahun 1967, memaparkan gagasan‐gagasan Marx yang
350 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dianggapnya kurang dikembangkan selama ini. Ia melakukan
“interpelasi ideologi”. Dalam karya Ideologi dan Alat‐Alat Negara Ideologis
(1970) dipaparkannya bagaimana manusia bisa menjadi pokok yang
berkesadaran sendiri. Ini adalah ringkasan dari tulisan yang
memaparkan masalah sifat negara, dan kenapa Partai Komunis tidak
boleh mencampakkan posisinya, dan bahwa diktatur proletariat adalah
diperlukan dalam masa peralihan menuju komunisme. Kekuasaan
politik, negara mampu mengawasi, melakukan kontrol dengan
melahirkan kekuatan yang percaya bahwa kedudukan mereka dalam
struktur masyarakat adalah sesuatu yang alamiah. Ideologi atau latar
belakang ide‐ide bahwa bagaimana dunia akan berfungsi dalam rangka
itu dipahami sebagai sesuatu yang selalu demikian. Akan tetapi,
struktur sosial‐ekonomi tertentu akan selalu membutuhkan ideologi
tertentu. Ideologi ini ditata oleh lembaga “alat‐alat ideologi negara”,
seperti keluarga, sekolah, gereja, dan sebagainya, yang memberikan
kekuatan yang berkembang dalam kategori yang diakuinya sendiri.
Oleh karena itu, Althusser berpendapat bahwa adalah diperlukan diktatur
proletariat supaya alat‐alat ideologi negara dari borjuasi dapat digantikan
dengan yang dihasilkan oleh kekuatan proletariat atau komunis.
Di bidang filsafat, dalam perkembangannya, Althusser menganut
materialisme aleatoris, materialisme yang berlawan, yang serba menolak atau
serba menentang. Materialisme aleatoris jelas berbeda dengan atau
mengingkari materialisme dialektis. Materialisme aleatoris tidak mampu
menjelaskan gejala‐gejala perkembangan alam semesta, lebih‐lebih lagi
perkembangan masyarakat manusia yang rumit. Materialisme dialektis,
materialisme Marxis, justru mampu menjelaskan bahkan meramalkan dan
membimbing tindakan manusia demi perkembangan alam semesta serta
perkembangan masyarakat manusia.
Dalam karya Philosophy of the Encounter—Filsafat Berlawan—
dikemukakan sebagai tesis dasar filsafatnya bahwa dalam sejarah
filsafat terdapat “tradisi bawah tanah”, tradisi yang tak banyak diketahui
atau kurang diakui. Materialisme aleatoris—materialisme yang berlawan—
pandangan yang serba melawan dipakainya dalam memaparkan seluruh
sejarah filsafat yang untuk menunjukkan di mana dan bagaimana serta
sampai batas mana. Di samping karya‐karya Marx, ia mengutip bagian‐
bagian dari tradisi “bawah tanah” karya‐karya filsafat para filsuf
termasuk Demokritos, Epicurus, Lucretius, Machiavelli, Spinoza,
XXI — Pasca-Marxisme | 351
Hobbes, Rousseau, Montesqieu, Heidegger, dan Wittgenstein. Dari
bacaan yang berasal dari sejarah filsafat ini, Althusser bermaksud
menunjukkan bahwa dalam filsafat terdapat tradisi ini, dan tradisi ini
adalah subur dan hidup terus. Ia juga menekankan bahwa pada akhir
tahun 1960‐an, sungguh‐sungguh terdapat hanya dua kubu filsafat:
materialisme dan idealisme. Kedua kubu ini selalu saling bertempur
berhadap‐hadapan, saling atas‐mengatasi.
Karena fungsinya yang melawan kecenderungan idealis dalam
filsafat, maka materialisme aleatoris mempunyai ciri sedemikian rupa
penolakan yang dianggap positif mengenai dunia dan sejarah. Marx
dimasukkan dalam lingkup menganut tradisi ini, maka banyak
penolakannya dalam karya‐karya awal Althusser. Ini termasuk
penolakannya atas apa yang disebut Althusser: “pemikiran dasar”—
“alasan‐alasan yang pokok” atau pikiran tentang alam semesta dan sejarah
mempunyai asal‐usul dan akhir. Dengan demikian, Althusser menganggap
perlu membuang tradisi ini, tidak saja segi‐segi rasional tradisi yang ada,
tapi juga materialisme mekanik dan dialektis dengan logika‐logikanya.
Menurut Demokritos, segala yang ada itu adalah materi.
Althusser mengajukan tesis bahwa perubahan atau aleator ada pada asal‐
usul segala‐galanya. Bahwa adalah benar, pola yang merupakan dan
menetapkan segala‐galanya itu dapat diketahui, dapat dilukiskan, dan
dapat diramalkan sesuai dengan hukum‐hukum atau sebab‐musabab.
Akan tetapi kenyataan bahwa segala‐galanya itu pernah tampil dan
lenyap.
Ia bertahan menolak mitos, bahwa filsafat dan para filsuf itu
adalah otonom, mereka memandang dunia dari luar dan secara objektif.
Walaupun ada dunia objektif, filsafat tidak mempunyai pengetahuan
tentang dunia ini sebagai objeknya karena tak ada jalan baginya untuk
menggarapnya dan materi yang ia pikirkan secara mendalam itu adalah
lahir secara historis. Oleh karena itu, filsafat bukanlah ilmunya ilmu dan
ia tidak menghasilkan kebenaran universal. Bahkan, kebenaran‐kebenaran
yang dihasilkannya adalah kumpulan yang diberikan untuk menentang
atau melawan kebenaran‐kebenaran lainnya. Jika filsafat tidak
mempunyai objek, adalah kehampaan, atau itu berarti belum terjadi
tetapi adalah yang mestinya ada.
Bahwa filsafat berlawan adalah kekurangan objek tidaklah berarti
bahwa ia kekurangan pendapat‐pendapat positif. Akan tetapi, dengan
352 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
memberikan status epistemologis menurut filsafat yang ditunjukkan
Althusser, pendapat‐pendapat metafisika atau “tesis‐tesis” ini adalah
benar hanya sebatas ia memiliki nilai praktis atau dapat memberi
penjelasan. Antara lain, pertama‐tama menurut Demokritos, tesis bahwa
materi adalah segala‐galanya yang eksis (ada).
Kedua, adalah tesis yang menetapkan bahwa kesempatan atau
aleatori adalah asal dari segala‐galanya. Bahwa pola yang membentuk
dan menentukan segala‐galanya itu akan dapat diketahui, dilukiskan,
dan diramalkan sesuai dengan hukum tertentu atau rasio adalah juga
benar. Akan tetapi, kenyataan bahwa segala‐galanya itu pernah tampil
tersusun oleh pola‐pola itu adalah aleatoris dan pola‐pola itu sendiri
hanya dapat dikenal secara tetap.
Ketiga, segala yang baru itu dan tata krama yang baru itu sendiri
muncul dari kesempatan berlawan antara unsur‐unsur materi yang ada
sebelumnya. Apakah tata krama yang demikian munculnya adalah
berupa kesatuan: ia tidak terjadi demikian. Apabila unsur‐unsur materi
itu bertabrakan, maka mereka akan “mengambil” dan terbentuklah tata
krama baru, atau sebaliknya, maka tata krama (dunia) lama akan
berlanjut.
Bagi Althusser, pikiran‐pikiran yang mempunyai nilai penjelasan
dalam tingkat ontologi dan kosmologi juga mempunyai nilai pada
tingkat filsafat politik. Sesudah mula‐mula mengutip Rousseau dan
Hobbes sebagai umpama para filsuf yang mengakui bahwa asal‐usul
dan kelanjutan dari tata krama politik adalah penggabungan, Althusser
berpaling kepada Machiavelli dan Marx untuk keperluan contoh‐contoh
bagaimana fungsi‐fungsi materialisme aleatoris dalam kenyataan politik.
Pasca‐Marxisme merujuk pada tampilnya para filsuf dan
teoretikus sosial yang mendasarkan dalil‐dalilnya atas tulisan‐tulisan
Karl Marx, yakni Marxisme, sehingga mau mengungguli Marxisme yang
ortodoks. Secara filsafat, Kaum Pasca‐Marxis menentang penyimpulan
dan esensialisme, yaitu menentang “negara alat yang fungsinya mengabdi
pada kepentingan satu klas tertentu”. Hakikatnya adalah menentang ajaran
Marx tentang negara, yang dipakukan oleh Lenin, yaitu diktatur
proletariat.
Althusser berpendapat bahwa Marx tidak sepenuhnya
memahami akan arti penting karyanya sendiri, dan hanya mampu
memaparkan secara ragu‐ragu dan bersifat sementara. Pergeseran
XXI — Pasca-Marxisme | 353
pendirian Marx ini hanya dapat dirasakan dengan membaca karya‐
karya Marx dengan penuh perasaan dan “simptomatik” (memahami
gejala‐gejala). Althusser menyatakan bahwa ia bermaksud berusaha
untuk membantu para pembaca, agar bisa mencengkam orisinalitas
(keaslian) dan kekuatan dari teori Marx yang luar biasa. Althusser
berpendapat bahwa Marx sudah menemukan “benua ilmu pengetahuan”.
Ini adalah setara dengan sumbangan Thales untuk matematika, Galileo
untuk fisika, atau lebih‐lebih lagi psikoanalisa oleh Freud. Struktur teori
Marx tidak ada bandingnya pada para pendahulunya.
Berbeda dengan berbagai tokoh Marxisme Barat, Althusser
membela ajaran “perjuangan klas sebagai penggerak sejarah”.
3. Jacques Derrida
DALAM perkembangan timbulnya gejala‐gejala baru mengkritik
Marxisme, muncul Jacques Elie Derrida (1930—2004), filsuf Perancis
kelahiran Maroko, menampilkan gagasan “deconstruction” yang
dianggapnya sebagai radikalisasi semangat tertentu dari Marxisme. Pada
1990, Derrida berkarya menyangkut bidang‐bidang politik dan agama,
dengan buku tahun 1989, Kekuatan Hukum.
Tahun 1989 ia menulis buku Hantu‐Hantu Marx, di mana
dinyatakannya bahwa pikiran‐pikiran Marx yang sudah didekonstruksi,
dikritik masih berlaku, yaitu menjadi pengusung “demokrasi masa depan”
walaupun berlangsung globalisasi.
Derrida menampilkan ajaran deconstruction, yang merupakan
ajaran pengembangan analisa semiotik. Derrida juga dikenal sebagai
tokoh yang berperanan dalam filsafat post‐modernisme dan post‐
strukturalisme. Hantu‐Hantu Marx adalah satu sindiran terhadap
ungkapan Marx dan Engels dalam pembukaan Manifesto Partai Komunis,
“ada hantu berkeliaran di Eropa, yaitu hantu komunisme”. Bagi Derrida,
semangat Marx lebih relevan dewasa ini semenjak robohnya Tembok
Berlin tahun 1989 dan “matinya komunisme”. Dengan kematiannya itu,
hantu komunisme mulai gentayangan di muka bumi. Derrida berusaha
berkarya mengambil warisan Marx, yaitu bukan mengambil komunisme,
tetapi filsafat yang bertanggung jawab, dan semangat kritik yang radikal dari
Marx.
354 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Pertama‐tama Derrida mencatat, bahwa semenjak “rontoknya
komunisme”, di Barat banyak tampil para “pemenang”, sebagaimana
ditunjukkan oleh terbentuknya kelompok‐kelompok Neo‐konservatif,
dan digantikannya jalan kaum kiri menjadi jalan ketiga dalam formasi‐
formasi politik. Di kalangan kaum intelektual, jelas sekali dengan
Francis Fukuyama memproklamasikan tamatnya sejarah, tamatnya
ideologi.
Derrida mengambil dari Marx “filsafat yang bertangung jawab” dan
“kritik yang radikal”, tetapi bukan komunisme. Ini menunjukkan bahwa
Derrida bukanlah pengikut Marx yang sejati, tetapi mengebiri atau
mereduksi Marx, hingga menjadi hanya seorang kritikus radikal.
Padahal Marx bukan hanya kritikus, tetapi seorang penggagas, yang
mengedepankan gagasan mengganti masyarakat lama yang dikritiknya,
melenyapkan penghisapan manusia atas manusia dengan membangun
satu masyarakat baru, masyarakat tanpa penghisapan, yaitu sosialisme
menuju komunisme. Marx menunjukkan jalan untuk itu dengan
membangun diktatur proletariat, satu negara tipe baru, di mana yang
berkuasa adalah proletariat yang sebelum ini dihisap dan ditindas
borjuasi.
Pada waktu yang tepat, Derrida mengingatkan alasan‐alasan
gentayangannya hantu‐hantu Marx, yaitu atas nama idealnya demokrasi
liberal yang pada akhirnya menunjukkan dirinya sebagai cita‐cita ideal
sejarah manusia: yaitu lenyapnya kekerasan, lenyapnya ketidaksamaan,
saling menyisihkan, kelaparan, yaitu ekonomi penghisapan yang
menimpa sekian banyak umat manusia di muka bumi dalam sejarah.
Sebaliknya, hendaklah kumandangkan nyanyi cita‐cita demokrasi liberal
dan ekonomi pasar kapitalis; sebaliknya dari suara “lenyapnya ideologi”
serta ajaran‐ajaran pembebasan manusia yang perkasa, Derrida
mengajak agar jangan mengabaikan kenyataan yang jelas‐jemelas
tentang penderitaan yang tak terhingga, begitu banyak pria dan wanita
serta anak‐anak menjadi korban, kelaparan atau punah di muka bumi.
Derrida menderetkan sejumlah musibah akibat sistem kapital
atau global. Ia menyerukan agar para kelompok‐kelompok aktivis
berusaha untuk membentuk satu “Internasionale Baru”.
“Internasionale Baru” adalah tanpa status, tanpa koordinasi, tanpa
kewarganegaraan, tanpa negeri, tanpa kedudukan klas tertentu. Nama
Internasionale dipakai adalah demi untuk persahabatan dan persekutuan
XXI — Pasca-Marxisme | 355
tanpa kelembagaan, yang demi meneruskan inspirasi salah satu
semangat Marx, yaitu Marxisme. Diserukan untuk mempersatukan diri
dalam perserikatan cara baru yang konkret, walaupun perserikatan ini
tidak lagi dalam bentuk satu partai atau Internasionale kaum pekerja. Ini
adalah demi mengkritik hukum internasional yang berlaku, mengkritik
gagasan negara dan nasion, kritik‐kritik ini diperbaharui terutama
dengan meradikalisasinya.
Dalam karya Hantu‐Hantu Marx, Derrida memperkenalkan istilah
hauntology dalam sejarah filsafat, yang berarti pandangan pemburuan atau
ilmu pemburuan. Ini berjalin dekat dengan pengertian “hantu yang bersifat
paradoks, yang dianggap ada atau tidak ada.” Pikiran ini menjurus pada
pemahaman bahwa yang ada sekarang hanyalah sesuatu berkat yang
lalu, dan bahwa masyarakat sesudah berakhirnya sejarah akan dimulai
dengan berorientasi pada ide‐ide aestetika yang sudah karatan, ajaib,
“sudah kuno”, yaitu ke arah “hantu” masa lampau. Derrida
berpendapat bahwa disebabkan oleh pemikiran kembali intelektual,
maka berakhirnya sejarah adalah tidak memuaskan dan tak dapat
dipertahankan.
Hantu‐Hantu Marx ditulis Derrida dalam konteks kritik “orde baru
dunia” yang memproklamasikan matinya Marx dan Marxisme. Derrida
menyerap dari bacaan “spectropoetics” Marx—gangguan pikiran karena
hantu‐hantu, setan‐setan, dan roh‐roh. Derrida memperdebatkan bahwa
terdapat lebih dari satu semangat Marx.
Terry Eagleton mengkritik Derrida, menyatakan bahwa dalam
karya Hantu‐Hantu Marx, pada setiap huruf buku ini melekat berurat
akar bagaikan suatu sandiwara membosankan yang penuh masalah
retorik ejekan. Ide mengenai hauntology mendapat kritik dari sejumlah
filsuf termasuk Jurgen Habermas dan Richard Rorty.
4. Alain Badiou
ALAN Badiou, warga Perancis kelahiran Maroko, filsuf pengkritik
Marxis. Badiou sudah menulis tentang gagasan mengenai being—
keberadaan—, kebenaran dan subjek dengan cara sedemikian rupa, hingga
ia menyatakan bahwa ia bukanlah seorang postmodernis, atau sekedar
pengulangan dari modernitas.
356 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Secara politik, Badiou adalah tergolong sangat kiri dan termasuk
menganut tradisi komunis. Semenjak remaja aktif dalam gerakan politik
dan menjadi salah seorang pendiri Partai Sosialis Persatuan (Parti
Socialiste Unifie), aktif mendukung perjuangan kemerdekaan Aljazair.
Tahun 1964 menulis novel Almagestes, ia bahkan menjadi pengikut
Althusser dan Jacques Lacan.
Tahun 1967, bergabung ke dalam kelompok studi yang dipimpin
Louis Althusser, menjadi kian terpengaruh oleh Jacques Lacan dan
menjadi anggota dewan editor Cahiers pour l’Analyse. Dengan
penguasaannya atas matematika dan logika, ia mengembangkan sendiri
pandangan filsafatnya sejalan dengan teori‐teori Lacan. Lacan terkenal
dengan ajaran psikoanalisanya. Pada tahun 80‐an, di Eropa pengaruh
Marxisme Althusser dan psikoanalisa Lacan menjadi menurun. Badiou
menerbitkan sejumlah tulisan filsafat abstrak seperti Theorie du sujet
(1982) dan karya utama Being and Event, Keberadaan dan Peristiwa (1988),
tulisan‐tulisannya tidak membuang pandangan Althusser dan Lacan
serta menunjukkan simpatinya pada Marxisme serta psikoanalisa.
Kebangkitan perlawanan mahasiswa Perancis 1968 membawa
Badiou masuk golongan kiri, ikut dalam barisan militan seperti Union
des Communistes de France marxiste‐leniniste (UCFml, Persatuan Komunis
Marxis–Leninis Perancis). Menurut Badiou, UCFml adalah organisasi
Maois yang didirikan oleh Natacha Michel dan Sylvain Lazarus.
Pandangan yang menyejajarkan Marxisme revolusioner dengan
Kekristenan yang mesianis adalah hal yang lumrah di kalangan
pengkritik liberal seperti Bertrand Russel, yang menolak Marxisme
sebagai ideologi keagamaan sekuler. Sebaliknya, Badiou (mengikuti
garis dari Engels sampai Fredric Jameson), sepenuhnya menerima
homologi ini. Badiou sangat bersemangat membela Paul yang
mengartikulasikan kebenaran‐peristiwa kebangkitan Yesus sebagai “satu‐
satunya yang universal” (satu‐satunya peristiwa yang menginterpelasi
pribadi manusia menjadi subjek universal, tak pandang bangsa,
kelamin, klas sosial, dan sebagainya) sesuai dengan syarat‐syarat yang
mengizinkan. Tentu saja Badiou mengetahui bahwa sekarang ini, di
zaman ilmu pengetahuan modern, kita tidak bisa lagi menerima bentuk
peristiwa‐kebenaran yang didongengkan dalam kebangkitan yang ajaib.
Slavoj Zizek dalam tulisan Psychoanalysis and Post‐Marxism, The
Case of Alain Badiou menulis, “Dalam sejarah Marxisme, psikoanalisa
XXI — Pasca-Marxisme | 357
memainkan peranan strategis. Dewasa ini, dengan ‘mampusnya
Marxisme’, seluruh situasi sudah berubah: telah tampil filsafat politik
kaum post‐Marxis yang ‘radikal’, yang menyatakan bahwa psikoanalisis
tidak dapat memberikan sesuatunya, yang berguna bagi menerangkan
fenomena‐fenomena kemunduran.”
“Pasca‐Marxisme” Alain Badiou tidak ada hubungannya sama
sekali dengan penolakan atas “esensialisme” Marxis, sebaliknya ia adalah
penolakan radikal atas ajaran dekonstruksionis sebagai satu bentuk
pemikiran‐palsu, sebagai satu versi dari sofisme modern.
Menurut Badiou, jurus kebenaran menuju pada
ketidakterbatasan, seperti kesetiaan adalah mengungguli pengetahuan.
Badiou, mengikuti Lacan dan Heidegger, memisahkan kebenaran dari
pengetahuan. Ideologi yang berdominasi sekarang ini menurut Badiou
adalah “materialisme demokratis”, menolak (tak mengakui) adanya
kebenaran dan hanya mengakui “jasmani” dan “bahasa”. Badiou
mengusulkan untuk melakukan pembalikan terhadap “dialektika
materialis”, ia hanya mengakui ada jasmani‐jasmani dan bahasa‐bahasa.
Dengan menampilkan materialisme demokratis, dan menolak untuk
mengakui adanya kebenaran, Badiou meninggalkan materialisme dialektis,
mengesampingkan dasar filsafat Marxisme.
Slavoj Zizek menulis: “Kesamaan kaum Leninis sejati dengan
kaum konservatif politik sejati adalah kenyataan bahwa kedua‐duanya
menolak ‘tak bertanggung jawabnya’ kaum kiri liberal—yang membela
gagasan‐gagasan raksasa solidaritas, kebebasan, dan sebagainya, tetapi
sambil menghindar ketika akibatnya ternyata konkret dan sering berupa
langkah‐langkah politik yang kejam—suatu kekonservatifan sejati,
seperti kaum Leninis sesungguhnya, tidaklah, walaupun demikian,
takut melewati untuk bertindak dan memikul konsekuensinya,
betapapun tidak menyenangkannya pelaksanaan gagasan politik ini.”
Umpamanya Kipling—yang sangat dikagumi Brecht—meng‐
anggap rendah kaum liberal Inggris yang membela kebebasan dan
keadilan sambil secara diam‐diam mengharapkan kaum konservatif
untuk melakukan pekerjaan kotor yang diperlukan untuk mereka, hal
yang sama bisa dikatakan mengenai sikap kaum kiri liberal (atau kaum
“sosial demokrat”) terhadap kaum komunis Leninis: “kaum sosial‐
demokrat” menolak “kompromi” sosial‐demokrat, karena mengingin‐
kan revolusi yang sesungguhnya tetapi menghindari harga yang harus
358 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dibayar untuk itu, maka mereka lebih suka menerima sikap “jiwa yang
indah”, mempertahankan tangannya bersih. Berlawanan dengan ini,
posisi kaum kiri‐liberal—pro‐demokrasi untuk rakyat selama tak ada
polisi rahasia untuk dilawan dan tak ada ancaman terhadap kedudukan
istimewa akademisnya—maka seorang Leninis, sebagaimana halnya
seorang konservatif, yang otentik dalam arti sepenuhnya menerima
akibat dari politiknya, yang sepenuhnya tahu tentang apa sesungguhnya
arti mengambil dan mempergunakan kekuasaan. Di sinilah letaknya
kelemahan yang fatal mereka seperti halnya Badiou, yang bergantung
pada oposisi proto‐Kant antara tata krama positif dari keberadaan dan
keradikalan (atau the service des biens), tuntutan tanpa syarat untuk
egaliberte yang memberi sinyal‐sinyal tentang keberadaan oposisi
kebenaran‐peristiwa, yaitu antara tata kemasyarakatan dunia dan dimensi
universalitas, yang memotong sebuah garis pemisah masuk ke dalam
tata dunia—tuntutannya yang tanpa syarat untuk kebenaran tinggal pada
taraf provokasi histeris yang ditujukan pada penguasa, menguji batas‐
batasnya.
Sebagaimana kebanyakan pemikir Barat sezamannya, Alain
Badiou yakin bahwa filsafat harus bersuara menurut zamannya, menen‐
tang pikiran‐pikiran yang menganggap filsafat adalah abadi. Akhirnya
ia menjadi pengkritik filsafat post‐modernisme atau juga demokrasi
parlementer, yang atas nama demokrasi “menurut aslinya”, adanya
rakyat yang mengemban kekuasaan pada dirinya. Ia membela komunis‐
me walaupun pandangan ini tidak menentang kehancuran komunisme
dogmatis. Di tahun 2008, ia berpendapat bahwa kata “komunisme” sudah
diselewengkan dan diperkosa (diprostitusi). Selanjutnya ia meneruskan
dukungan pada Maoisme dan terorisme revolusioner. Tahun 2009 ia
membenarkan teror sebagai “syarat untuk kebebasan”.
Sehubungan dengan perdebatan filsafat mengenai tema Satu
Pecah Menjadi Dua atau Dua Bergabung Jadi Satu yang berlangsung dalam
Revolusi Besar Kebudayaan Proletar Tiongkok, Badiou menyiarkan tulisan
berjudul Satu Pecah Menjadi Dua, 1999. Badiou menulis, “Dewasa ini,
karya‐karya politik Lenin seluruhnya dipelajari kembali lewat
pengamatan atas pertentangan resmi antara demokrasi dan kediktaturan
totaliter. Sesungguhnya, perdebatan mengenai ini sudah berlangsung
semenjak tahun 1918 dan seterusnya, kaum sosial‐demokrat Barat yang
dipimpin Kautsky berusaha mendiskreditkan bukan saja revolusi
XXI — Pasca-Marxisme | 359
Bolsyewik, tetapi juga pikiran politik Lenin. Yang menarik dalam hal ini
adalah terutama jawaban teoretis Lenin terhadap serangan kaum sosial
demokrat yang diwakili Kautsky, terutama dengan karya berjudul
Revolusi Proletar dan Renegat Kautsky, membantah karya Kautsky Diktatur
Proletariat, yang diterbitkan di Wina tahun 1918. Dalam hal ini, Lenin
dengan tegas membela diktatur proletariat yang dicampakkan oleh
Kautsky dan kaum sosial demokrat.”
Badiou menulis, “Lenin adalah pemikir politik yang membuka
abad. Ia adalah seorang yang membikin kemenangan suatu politik
revolusioner yang nyata efektif menjadi syarat intern bagi teori. Dengan
demikian, Lenin menetapkan apa yang akan menjadi pokok politik yang
utama abad itu, paling kurang sampai kuartal terakhirnya.”
Menurut Badiou, sebagaimana diakui oleh kaum liberal dewasa
ini, antara tahun 1917 dan akhir tahun tujuh puluhan bukanlah abad
ideologi pengelamun atau abad utopi. Badiou menulis, bahwa abad itu
adalah abad bertindak, yang efektif, bukanlah abad isyarat. Sesudah
romantisme abad ke‐19 yang penuh kegagalan, abad ke‐20 mengalami
sendiri sebagai abad kemenangan; abad ke‐20 menunjukkan
kemenangan Revolusi Oktober 1917, kemenangan Revolusi Tiongkok
dan Kuba, Revolusi Vietnam, Revolusi Aljazair.
Badiou mengutip ucapan Mao Zedong, bahwa revolusi bukan
jamuan makan dan memaparkan bahwa dalam Revolusi Besar Kebudayaan
Proletar Tiongkok terjadi pengerahan massa buruh dan pemuda yang
tak ada bandingnya untuk berdemonstrasi, rapat‐rapat politik,
pemblejetan‐pemblejetan, penyiksaan‐penyiksaan atas kaum intelektual,
perdebatan yang keras dan penggunaan kekerasan, sampai kekerasan
bersenjata melawan Deng Xiaoping yang dinilai sebagai orang kedua
penempuh jalan kapitalis. Menurut Badiou, sesudah Mao meninggal, Deng
Xiaoping merebut kekuasaan secara kudeta birokratis, dan dalam tahun
delapan puluhan sampai saat kematiannya, menghidupkan secara
menyeluruh neo‐kapitalisme yang sepenuhnya biadab dan korup, lebih‐
lebih lagi ia mempertahankan despotisme partai.
5. Theodor Ludwig Wiesengrund Adorno
ADORNO adalah seorang pendiri dan pemikir terkemuka dari Mazhab
Frankfurt. Ia bekerja sama dengan Max Horkheimer pada Institut
360 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Penelitian Sosial di New York, kemudian mengajar pada Universitas
Frankfurt sampai tahun 1969.
Menurut Horst Muller, karya Adorno Kritik der Kritischen Theorie
(Kritik atas Teori Kritis) menganut paham keseluruhan sebagai sistem
otomatis. Menurut pikiran Adorno, masyarakat adalah sebagai sistem
yang mengatur sendiri, dari mana manusia harus membebaskan dirinya,
tetapi tak seorang pun bisa membebaskan diri. Baginya, hal ini terjadi
dalam kenyataan, tetapi ini tak berperikemanusiaan. Muller menentang
sistem yang demikian dan menyatakan bahwa Teori Kritis tidak
memberikan penyelesaian praktis bagi perubahan masyarakat.
Adorno adalah anggota terkemuka dari Mazhab Frankfurt dengan
teori kritisnya, yang karya‐karyanya berhubungan erat dengan pikiran‐
pikiran Ernst Bloch, Walter Benjamin, Max Horkheimer, dan Herbert
Marcuse yang pada pokoknya menggunakan ajaran Freud, Marx, dan
Hegel, untuk mengkritik masyarakat modern. Karya‐karya yang
terkenal adalah Dialectic of Enlightment (Dialektika Pencerahan, 1947),
Minima Mralia (1951), dan Dialektika Negatif (1966) yang berpengaruh
kuat pada kaum kiri baru Eropa.
Adorno menampilkan gagasan dialektis tentang sejarah alam yang
mengkritik godaan‐godaan ontologi dan empirisisme lewat mempelajari
Kierkegaard dan Husserl. Adorno memuji egalitarianisme dan
keterbukaan masyarakat Amerika. Menurutnya, ciri khusus dalam
kehidupan di Amerika adalah kedamaian, baik hati.
Tulisan Adorno Ujung Kapitalisme atau Masyarakat Industri?
memaparkan keinginan untuk memikirkan kembali mengenai ujung
kapitalisme dan versi modern dari ajaran Marx tentang hubungan‐
hubungan produksi, dan masyarakat industri.
Adorno menggunakan pandangan yang dipaparkan dalam
Dialektika yang Negatif, yang memetik bagian dari antinomi yuridis dari
filsafat Kant dan antinomi nasionalisme serta identitas nasional dari
Hegel, semua dalam konteks kategori Marx tentang fetisisme barang
dagangan, akumulasi, sejarah alam, dan sejarah masyarakat. Bagian
terakhir dari Dialektika yang Negatif memaparkan secara luas dialektika
multinasional yang berhubungan langsung dengan karya‐karya Pierre
Bourdieu serta Fredric Jameson.
Dialektika yang Negatif berisikan kritik Adorno atas filsafat‐filsafat
Kant, Hegel, dan Heidegger, dan pengembangan pandangan Adorno
XXI — Pasca-Marxisme | 361
mengenai dialektika. Adorno mengungkap masalah dialektika lewat
pembahasan masalah‐masalah: Peephole Metaphysics, Relationship to Left
Hegelianism, Logic of Dissassembly, Objectivity of the Contradiction, Critique
of Positive Negation, Essence and Appearance; On the Subject‐Object
Dialectics, Objectivity and Reification, dan lain‐lain. Tapi ini semua tidak
mengubah bahkan tak ada pengaruhnya terhadap hukum‐hukum pokok
dialektika yang sudah diungkapkan oleh Engels dan Lenin, yaitu:
1. hukum kesatuan dan perjuangan dari segi‐segi yang bertentangan; 2. hukum
kontradiksi; 3. hukum negasi dari negasi; dan 4. hukum perubahan‐perubahan
kuantitatif menjadi perubahan kualitatif.
Adalah Lenin yang secara mendalam mempelajari masalah
dialektika hingga menghimpun enam belas unsur dialektika dan sampai
pada kesimpulan bahwa hukum pokok dialektika adalah hukum
kesatuan dan perjuangan dari segi yang bertentangan.
6. Jurgen Habermas
JURGEN HABERMAS terutama, dan Mazhab Frankfurt pada umumnya,
secara salah melukiskan Marx. Karyanya paradigma Marxisme Analitis
adalah bertujuan “menjernihkan” teori Marx. Pandangan ini diserap dari
filsafat analitis modern. Karya‐karya G.A. Cohen dan Jon Ester
mengenai Marx mudah dipahami dari kaca mata filsafat analitis ini.
Pada akhirnya, keterbatasan fatal dari paradigma analitis secara
keseluruhan, dan interpretasinya mengenai teori Marx tentang sejarah
khususnya, berasal dari satu kontradiksi di taraf filsafat ini. Marxisme
Analitis berusaha untuk membikin ”jernih” pikiran Marx lewat
metodologi yang sudah karatan dalam arti aktif‐praktisnya pikiran itu.
Habermas yang bergabung pada Mazhab Frankfurt, terkenal
sebagai seorang sosiolog dan filsuf dengan teori kritis dan pragmatisme.
Teorinya yang terkenal adalah mengenai rasionalitas komunikatif
lapangan publik. Karya‐karyanya dipusatkan pada masalah‐masalah
dasar‐dasar teori sosial dan epistemologi, menganalisa masyarakat
kapitalis yang maju dan demokrasi, kekuasaan hukum dalam konteks
sosial‐evolusioner. Sistem teori Habermas diabdikan pada kemungkinan
rasio, emansipasi, dan komunikasi kritis rasional dalam lembaga‐
lembaga modern serta dalam kapasitas manusia untuk mencapai tujuan
362 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kepentingannya yang rasional. Habermas terkenal dengan karya tentang
gagasan modernitas. Ia terpengaruh oleh pragmatisme Amerika, teori
aksi dan juga oleh post‐strukturalisme
Ciri karya‐karya Mazhab Frankfurt adalah teori kritis, yang diwakili
oleh karya‐karya Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse,
dan Jurgen Habermas. Teori‐teori kritis mereka dianggap sesuai dengan
kebutuhan usaha untuk menggagas kembali politik radikal, yaitu model
baru politik emansipatoris. Generasi pertama penganut teori kritis tidak
berhasil membebaskan diri mereka dari kerangka subjek‐objek yang
menyebabkan keterbatasan usaha‐usaha mereka. Usaha Habermas
mengubah teori kritis menjadi menggunakan dasar‐dasar baru yang
membebaskan mereka dari filsafat kesadaran kerangka subjek‐objek,
tetapi juga secara fundamental berubah dan akhirnya menerima politik
radikal.
Karya Habermas berjudul Strukturwandel der Öffentlichkeit;
Untersuchungen zu einer Kategorie der Bürgerlichen Gesellschaft, terbit
dalam bahasa Inggris tahun 1989 The Structural Transformation of the
Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Karya ini
memaparkan secara rinci kelahiran borjuasi sejak asal‐usulnya pada
abad ke‐18 sampai dengan perkembangannya dan perubahannya akibat
pengaruh media massa yang dikendalikan kapital. Habermas
membangun kerangka teori sosial dan filsafatnya dengan menyerap
tradisi sejumlah intelektual termasuk tradisi Marx, juga kritik‐kritik
kaum Neo‐Marxis dari Mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer,
Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse.
Karya‐karya Habermas menyuarakan tradisi Kant dan Pencerahan
serta sosialisme‐demokratis yang menekankan pada potensi untuk
mengubah dunia untuk mencapai lebih berperikemanusiaan,
berkeadilan, dan masyarakat yang sama derajat lewat realisasi potensi
manusia demi rasio, sebagian lewat pendidikan etika. Sementara
Habermas mengemukakan bahwa Pencerahan adalah “proyek yang
belum selesai”, dan menegaskan bahwa itu harus dikoreksi dan
dilengkapi, bukannya dicampakkan. Dalam hal ini ia tidak sejalan
dengan Mazhab Frankfurt dan mengkritiknya sebagaimana halnya
dengan pikiran‐pikiran kaum post‐modernis, yang keterlaluan menganut
pesimisme, radikalisme, serta serba berlebih‐lebihan.
XXI — Pasca-Marxisme | 363
Di bidang sosiologi, urunan besar Habermas adalah dalam
mengajukan teori evolusi sosial dan modernisasi. Habermas merasa
rasionalisasi, humanisasi, dan demokratisasi masyarakat dalam wujud
pelembagaan potensi untuk rasionalisasi yang sesuai dengan wewenang
yang komunikatif adalah sesuatu yang khusus bagi manusia. Habermas
berpendapat bahwa wewenang komunikatif sudah berkembang lewat
jalan evolusi, tetapi dalam masyarakat modern itu sering ditindas atau
diperlemah sedemikian rupa oleh kehidupan masyarakat seperti pasar,
negara, dan organisasi‐organisasi.
Habermas memperkenalkan gagasan “ilmu rekonstruktif” dengan
tujuan rangkap: menempatkan “teori umum masyarakat” antara filsafat
dan ilmu sosial dan mendirikan lagi pergeseran antara “teori yang
besar” dan “penelitian empiris”. Model “rekonstruksi rasional” mewakili
jelujur pokok dari penelitian mengenai “struktur” dari kehidupan dunia
(“budaya”, “masyarakat”, dan “kepribadian”) serta “fungsi‐fungsinya”
masing‐masing (reproduksi kultural, integrasi sosial, dan sosialisasi).
Untuk itu, dialektika antara “perwakilan simbolis” dari “struktur yang
membawahi semua kehidupan dunia” (“saling hubungan internal”) dan
“reproduksi material” dari sistem‐sistem sosial yang kompleks harus
dipertimbangkan. Model ini mendapatkan penggunaannya, di atas
segala‐galanya, dalam “teori ekolusi sosial”, mulai dari rekonstruksi
syarat‐syarat yang diperlukan untuk phylogeny bentuk‐bentuk
kehidupan sosio‐kultural (“hominisasi”) sampai satu analisa tentang
perkembangan “formasi‐formasi sosial”, yang terbagi atas primitif,
tradisional, modern, dan formasi‐formasi dewasa ini. Kedua, ini adalah
usaha untuk memberikan penjelasan metodologis mengenai “penjelasan
tentang dinamika” dari “proses sejarah”.
Dalam karya The Structural Transformation of the Public Sphere,
Habermas berpendapat bahwa sebelum abad ke‐18, kebudayaan Eropa
didominasi oleh budaya “perwakilan”, di mana satu partai yang
berusaha berdominasi. Budaya “perwakilan” adalah berhubungan
dengan tingkat feodal dari perkembangan, yang menurut teori Marxis,
tingkat perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya
kapitalisme dengan ciri keterbukaan (lingkungan masyarakat). Dalam
budaya yang bercirikan keterbukaan terdapat rongga di luar bidang yang
diawasi negara, di mana pribadi‐pribadi dapat bertukar pikiran.
Berbeda dengan budaya “perwakilan” di mana hanya satu partai yang
364 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
aktif sedangkan yang lainnya pasif, maka budaya keterbukaan
mempunyai ciri ada kebebasan dialog antar pribadi‐pribadi, baik lewat
percakapan, lewat percakapan atau tukar pikiran dalam media
penerbitan.
Dalam karyanya yang paling terkenal, Theory of Communicative
Action—Teori Aksi Komunikatif, 1981, Habermas mengemukakan kritik
mengenai proses modernisasi, yang dipandangnya sebagai pengarahan
paksaan yang tidak luwes melalui rasionalisasi ekonomi dan administrasi.
Habermas memaparkan tentang kehidupan sehari‐hari yang disusupi
oleh sistem‐sistem formal yang sejajar dengan perkembangan negara
sejahtera, kapitalisme korporasi, dan konsumsi massa. Kecenderungan‐
kecenderungan yang dipaksakan ini merasionalisasi kehidupan umum.
Terjadi pencabutan hak warga negara karena partai‐partai politik dan
grup‐grup yang berkepentingan menjadi dirasionalisasi dan demokrasi
perwakilan menggantikan demokrasi partisipatoris. Akibatnya, batas‐batas
antara perseorangan dan masyarakat, antara sistem dan dunia
kehidupan menjadi rusak. Kehidupan demokratis dari masyarakat tak
bisa berkembang di mana masalah‐masalah umum yang penting tak
bisa didiskusikan oleh warga negara. Situasi yang ideal membutuhkan
para pengikut yang mempunyai hak bicara sama, persamaan sosial, dan
ucapan mereka tidak dikacaukan oleh ideologi atau kesalahan‐
kesalahan lainnya. Dalam hal ini, konsensus tentang teori kebenaran,
Habermas bertahan bahwa kebenaran adalah harus disetujui bersama
dalam syarat situasi pembicaraan yang ideal.
Habermas optimis tentang kemungkinan hidupnya kembali
lingkungan umum (public sphere). Ia percaya bahwa ada harapan untuk
masa depan di mana demokrasi perwakilan bersandar pada negara‐
bangsa akan digantikan oleh demokrasi deliberatif yang bersandar pada
organisme politik berdasarkan hak‐hak sama dan kewajiban‐kewajiban
sama dari warga negara. Dalam sistem demokrasi langsung yang
demikian, lingkungan publik para aktivis diperlukan untuk
memperdebatkan masalah‐masalah penting masyarakat sebagaimana
halnya mekanisme untuk diskusi yang berpengaruh pada proses
pengambilan keputusan.
Teori Habermas, Rekonstruktif dan Offenlichkeit (Keterbukaan)
diumumkan tahun 1984. Semenjak itu, penganut pandangan Pasca‐
XXI — Pasca-Marxisme | 365
Marxisme yang menganggap “Marxisme sudah sekarat” giat menyebarkan
gagasan ini di Barat.
Tahun 1987, Gorbacyov menerbitkan karya berjudul Pyeryestroika
I Novoye Mishlyeniye—Rekonstruksi dan Pemikiran Baru.299 Memaparkan
jalan yang harus ditempuh Uni Sovyet, yaitu mewujudkan gagasan
Pyeryestroika dan Glaznoscy—Rekonstruksi dan Keterbukaan. Rekonstruksi
dan Keterbukaan yang dilancarkan di bawah pimpinan Gorbacyov
merupakan langkah menentukan untuk lahirnya putusan Kongres
XXVIII PKUS 1990 yang mencabut kedudukan memimpin diktatur
proletariat dari Konstitusi Negara URSS. Maka bendera merah berpalu‐arit
dikerek turun dari puncak Istana Kremlin. URSS yang dibangun di
bawah pimpinan Lenin dan sudah berjaya selama tujuh dasawarsa
menjadi berantakan, lenyap dari peta politik dunia.
Para penganut pasca‐Marxisme bukanlah pembela Marxisme.
Mereka menyatakan dan berpendapat mau “menjernihkan Marxisme”,
“mengungguli Marxisme ortodoks”, “melengkapi Marxisme”,
“menampilkan Neo‐Marxisme”, “teori tradisional Marxis tidak lagi
memadai untuk memecahkan masalah‐masalah perkembangan
masyarakat kapitalis yang dahsyat dan tak terduga di abad XX”,
”terdapat anti‐humanisme dalam teori Marxis”, ”mengkritik kapitalisme
dan sosialisme Sovyet”, “menggunakan pandangan‐pandangan
sosiologi anti‐positivis, psikoanalisa, filsafat eksistensialisme”,
“berpaling pada filsafat kritis Kant dan pengikutnya dalam idealisme
Jerman, terutama filsafat Hegel”, ”menggunakan pandangan‐
pandangan sosiologi anti‐positivis, psikoanalisa, filsafat
existensialisme”, ”dibimbing oleh karya‐karya Jurgen Habermas
mengenai rasio komunikatif, intersubjektivitas bahasa”, “adalah Marxis
tanpa menerima seluruh ajaran teori sejarah dan ekonomi Marx”,
”membangun gagasan‐gagasan mereka atas dasar ajaran Marx
mengenai ‘alienasi’”, “menghindar dari analisa materialis yang
sempurna dan berpaling mengubah gerakan Marxis menjadi bentuk
Freudo‐Marxis”, “kaum Marxis‐kultural dan kalangan Mazhab
Frankfurt membantu usaha mengubah Marxisme menjadi Marxisme‐
Freudo”, “Marxismenya Foucault, Derrida, dan Derleuze adalah anti‐
299 Karya M.S. Gorbacyov bisa dibaca di Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye—Rekonstruksi dan Pemikiran Baru, Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi (Penerbit Literatur Politik), Moskwa.
366 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
dialektis”, “menggeser dialektika menjadi ‘pertentangan’“, “gagasan‐
gagasan mereka atas dasar ajaran Marx mengenai ‘alienasi’”,
“menghindar dari analisa materialis yang sempurna dan berpaling pada
agama, moralitas, serta estetika”, “sibuk dengan usaha mencuci
‘gagasan‐gagasan dialektis’ Marx yang dianggap utopi”, “mereka
bergerak membelakangi Marxisme, menjadi berpendirian anti‐borjuis
militan yang terlepas dari pemahaman ekonomi Marxis”,
”menampilkan materialisme aleatoris”, “memisahkan kebenaran dari
pengetahuan”, ”menampilkan materialisme‐demokratis, dan menolak
untuk mengakui adanya kebenaran”.
Semuanya ini menunjukkan bahwa kaum penganut pasca‐
Marxisme pada intinya menegasi materialisme dialektis, dan menegasi
diktatur proletariat ajaran Marx yang ilmiah untuk pembangunan
sosialisme. Dalam praktek, tidak ada gagasan kaum pasca‐Marxisme
yang terwujud menjadi kenyataan.
Sebaliknya, berkat sangat tangguh, Deng Xiaoping memimpin
pembangunan sosialisme berciri Tiongkok, dengan menjunjung tinggi
materialisme dialektis, tak henti‐hentinya mengajarkan harus bertolak dari
kenyataan, segala‐galanya bertolak dari kenyataan, harus menari kebenaran
dari kenyataan. Yang paling penting adalah menjunjung tinggi dan setia
pada Empat Prinsip Dasar, yaitu menempuh jalan sosialis, menjunjung
diktatur proletariat, di bawah pimpinan Partai Komunis, dan menjunjung
ideologi Marxisme–Leninisme–Pikiran Mao Zedong. Maka realisasi
Marxisme dalam pembangunan sosialisme berjaya di Tiongkok,
mengubah negeri miskin dan terbelakang di pertengahan abad ke‐20
telah menjadi negara terbesar kedua dunia di bidang ekonomi pada
awal abad ke‐21.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 367
XXII
Marxisme Bukannya Punah:
Berkembang Maju dengan Teori Deng Xiaoping
MENGUBAH dunia! Itulah tujuan manusia berpikir ilmiah. Dunia yang
dimaksud adalah segala‐galanya: alam raya sampai masyarakat.
Masyarakat menjadi sasaran utama, karena langsung menyangkut
kehidupan manusia.
Demi mengubah dunia, “Ada hantu berkeliaran di Eropa—hantu
komunisme.” Dimulai dengan kalimat ini, Manifesto Partai Komunis
diterbitkan oleh Marx dan Engels pada tahun 1848. Manifesto ditutup
dengan rangkaian kalimat: “Kaum komunis tidak sudi
menyembunyikan pandangan‐pandangan dan maksud‐maksud mereka.
Mereka menyatakan dengan terang‐terangan, bahwa tujuannya akan
dapat tercapai hanya melalui penggulingan dengan kekerasan semua
sistem masyarakat yang ada sampai sekarang ini. Biarlah kelas‐kelas
yang berkuasa gemetar di hadapan revolusi komunis. Kaum proletar
tidak akan kehilangan apa pun kecuali belenggu mereka. Mereka punya
satu dunia untuk dimenangkan. Kaum Proletar Semua Negeri,
Bersatulah!”300 Manifesto itulah yang menjadi program dasar Marxisme.
Semenjak itu, Marxisme menjadi senjata ilmiah bagi klas pekerja
berjuang demi perubahan. Perubahan yang digagas adalah
melenyapkan penghisapan manusia atas manusia. Membangun
masyarakat baru berkeadilan sosial. Ini berarti menggulingkan
kekuasaan borjuasi. Jelas‐jemelas, klas borjuis tak rela digulingkan.
300 Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, 2015, h.27, 72—73.
368 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Karena itu, semenjak pertengahan abad ke‐19, borjuasi
mengerahkan pembasmian atas kaum komunis dengan segala
kekejaman dan kekejian. “Dinding Komunar” di makam Père Lachaise,
Paris, menjadi saksi kebiadaban borjuasi membasmi kaum komunar
Paris di tahun 1871. Dalam usaha membasmi kaum komunis, sejarah
mencatat kekejaman fasis Jerman dan Jepang dalam Perang Dunia II.
Korban‐korban berguguran selama Perang Dingin di paro kedua abad
ke‐20.
Melebihi jumlah korban malapetaka sebelumnya, melebihi
korban bom atom menimpa Hiroshima, tak terhitung jumlah anggota
dan kader Partai Komunis Indonesia serta manusia tak berdosa dibantai
oleh rezim orba Soeharto. Nusantara dipenuhi makam tanpa nisan.
Penjara‐penjara penuh sesak di semua pulau. Pulau Buru pun menjadi
saksi abadi. Inilah bukti sejarah tentang kebiadaban borjuasi dalam
usaha membasmi kaum komunis. Sempat sepertiga abad berkuasa,
rezim orba Soeharto menepuk dada “sudah berjasa” menggulingkan
Bung Karno dan membasmi komunisme di Indonesia.
Dasawarsa demi dasawarsa, perjuangan dan revolusi‐revolusi
terjadi di banyak negeri. Borjuasi tak rela digulingkan. Segala usaha
ditempuh untuk melenyapkan komunisme. Puncaknya adalah Perang
Dingin seusai Perang Dunia II. Inilah realisasi doktrin Truman, the policy
of containment. Bukan hanya negeri‐negeri sosialis yang menjadi sasaran,
semua partai komunis di lima benua disasar.
Akhir 1991 URSS hancur berantakan. “Perang Dingin sudah usai.
Komunisme sudah mampus. Dan kita menang!” demikian dideklarasikan
dalam pidato kenegaraan Presiden Amerika G.H.W. Bush pada awal
tahun 1992. Para sarjana tokoh‐tokoh terkemuka pembela kapitalisme
bergendang paha. Francis Fukuyama tampil dengan karya The End of
History and The Last Man, dan Samuel P. Huntington dengan karya The
Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Keduanya
bersenandung, bersorak‐sorai atas robohnya Tembok Berlin yang
disusul dengan rontoknya Uni Sovyet dan berantakannya negara‐negara
sosialis Eropa Tengah dan Timur. Dinyatakannya, liberalisme sudah
mengungguli Marxisme. Fukuyama menulis, “sosialisme Marxis–Leninis
adalah rintangan yang serius bagi penciptaan kemakmuran dan peradaban
teknologi modern, tampak bagai pengetahuan umum pada dasawarsa terakhir
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 369
abad ke‐21”.301 Huntington menulis, “Ideologi komunis menarik bagi rakyat
seluruh dunia pada tahun 1950 dan 1960‐an ketika ia dikaitkan pada sukses‐
sukses ekonomi dan kejayaan militer Uni Sovyet. Daya tariknya itu telah
menguap ketika ekonomi Sovyet macet dan tak mampu mempertahankan
kekuatan militer Sovyet.”302 Tidak sedikit yang menulis buku menyatakan
Marxisme sudah bangkrut, sudah punah.
Dari awal sampai akhir abad ke‐20, kejayaan Marxisme telah
didemonstrasikan oleh menangnya Revolusi Oktober di bawah
pimpinan Lenin dan jayanya Uni Republik‐republik Sovyet Sosialis (URSS)
sebagai negara diktatur proletariat selama tujuh dasawarsa. Dari
menggulingkan kekuasaan Tsar, membangun ekonomi berdasarkan
Marxisme–Leninisme, mengalahkan serangan militer fasis Jerman dalam
Perang Dunia II, melaksanakan pembangunan ekonomi dengan
rencana‐rencana lima tahun, sampai menjadi negara adidaya hingga
penghujung abad ke‐20.
Kehancuran URSS terjadi karena dicampakkannya ajaran
fundamental Marxisme, yaitu kepemimpinan partai atas negara,
dicampakkannya diktatur proletariat dan prinsip organisasi partai
sentralisme demokratis. Kongres XXVIII PKUS 1990 di bawah pimpinan
M.S. Gorbacyov mencampakkan ajaran diktatur proletariat, melepaskan
kepemimpinan partai atas negara.303
URSS lenyap dari peta politik dunia. Proses pelenyapan ini
dimulai dengan N.S. Khrusycyov mengutuk kultus individu Stalin
dengan laporan rahasianya dalam Kongres XX PKUS tahun 1956. Kaum
Trotskis yang anti‐Stalin dan kaum sosial demokrat yang anti diktatur
proletariat bergandengan tangan satu sama lain mendukung Perang
Dingin yang digalakkan Amerika Serikat, memusuhi URSS.
Perang Dingin digalakkan AS dalam realisasi the policy of
containment, demi membasmi komunisme sejagat. Mulai dari
menggerakkan Plan Marshall, pembentukan pakta‐pakta militer NATO,
301 Francis Fukuyama, The End of History and The Last Man, Avon Book, Inc., New York, Oktober 1998, h.98. 302 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order, Toughstone Books, London, New York, Sydney, Tokyo, Toronto, Singapore, 1998, h.92. 303 KPSS (PKUS), Matyerialhi XXVIII Siyezda Kommunisticyekoi Partii Sovyetskovo Soyuza (Materi Kongres PKUS XXVIII), Politizdat, Moskwa, 1990. h.94—95.
370 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
SEATO, CENTO, ANZUS, dan lain‐lain. Dikobarkan tiga tahun Perang
Korea, tiga belas tahun Perang Vietnam dengan pengerahan seperempat
juta pasukan. Dikerahkan pusat‐pusat radio propaganda anti‐
komunisme: Radio Free Europe, Radio Swoboda, Radio Free Asia.
Digalakkan operasi‐operasi rahasia CIA. Dikobarkan kampanye
perlombaan persenjataan. Digelorakannya gerakan mewujudkan
perubahan damai di semua negara sosialis. Gerakan ini bermuara pada
robohnya Tembok Berlin, hancur berantakannya Uni Sovyet dan negara‐
negara sosialis Eropa Timur.
Gerakan ini menjalar sampai ke Asia dengan berpuncak pada
terjadinya Peristiwa Tian An Men yang bertujuan merobohkan Republik
Rakyat Tiongkok. Namun apa yang dikatakan “gerakan demokratis”304 itu,
yang menjadi berlumuran darah, tak berhasil menggoyahkan Republik
Rakyat Tiongkok. Apalagi melenyapkan Marxisme dari bumi Tiongkok.
Pengalaman praktek revolusioner Rakyat Tiongkok di bawah
pimpinan PKT dengan Ketua Mao Zedong telah mengembangkan
Marxisme dengan Pikiran Mao Zedong. Dalam Kongres VII PKT, tahun
1945, Liu Shaoqi menampilkan Pikiran Mao Zedong sebagai ideologi
pembimbing partai di samping Marxisme–Leninisme. Dinyatakan,
“Program Umum Konstitusi Partai menyatakan bahwa Teori Mao Zedong
(Pikiran Mao Zedong) mengenai Revolusi Tiongkok akan membimbing semua
pekerjaan partai kita. Konstitusi itu sendiri menyatakan bahwa adalah tugas
bagi setiap anggota partai untuk berusaha memahami dasar‐dasar Marxisme–
Leninisme dan Teori Mao Zedong mengenai Revolusi Tiongkok.”305 Berkat
304 Atas nama Gerakan Demokrasi dan Revolusi Warna di mana biasanya operasi-operasi kerja mereka melalui agen-agen intelijen seperti via CIA dan peran LSM skala internasional yakni National Endowment for Democracy (NED), Freedom House, Albert Einstein Institute, International Republic Institute, dan LSM “seribu proyek” lainnya milik Pentagon yang dibiayai Kongres AS hingga jutaan dolar per tahun serta dari Uni Eropa misalkan saja Balkan Trust for Democracy, Yayasan Anak dan Remaja Balkan, dan Friedrich Nauman-Stiftung Jerman, bekerja sama dengan LSM-LSM lokal yang pendanaannya amat tergantung dari yayasan swasta seperti Ford, Rockefeller, McArthur, Tides, dsb. Operasi kerja mereka di Jerman Barat 17 Juni 1953, Hongaria tahun 1953, Musim Semi Praha di Cekoslowakia tahun 1968, Lapangan Tiananmen Tiongkok tahun 1989, Cekoslowakia tahun 1989, Singing Revolution tahun 1987—1992 di Baltik. Operasi ini bukan hanya dilaksanakan di negara-negara sosialis tetapi juga di beberapa yang tidak mau tunduk atau komprador mereka yang sudah tidak dianggap efektif lagi. 305 Liu Shaoqi, On The Party, fifth edition, Foreign Languages Press, Peking, 1954,
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 371
bimbingan ideologi Pikiran Mao Zedong, Revolusi Tiongkok mencapai
kemenangan dengan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.
Perjuangan revolusioner rakyat Tiongkok dalam menerapkan
Marxisme penuh lika‐liku, kemenangan demi kemenangan di sela
kesulitan dan kegagalan. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP)
selama tahun 1966 sampai 1976 adalah salah satu puncak kesalahan
yang bersejarah. Sidang Pleno VI CC PKT XI pada 27 Juni 1981
mengesahkan Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak
Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Resolusi secara analitis merumuskan
penilaian tentang Revolusi Besar Kebudayaan Proletar. Sepuluh tahun
RBKP telah menggelorakan Tiongkok, menggoncangkan dunia.
Demikian pentingnya RBKP ini, hingga ada yang menilai, bahwa RBKP
adalah puncak tertinggi dari pengembangan Marxisme. Sejak semula,
pimpinan PKI pun menyambut dan mendukung serta menilai tinggi arti
RBKP. Dalam Pesan Politbiro CC PKI pada 23 Mei 1967 dirumuskan
“sukses‐sukses besar RBKP Tiongkok adalah peristiwa terbesar
internasional yang mempunyai arti bersejarah yang besar.”306
Mengenai RBKP, Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah
Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok menyatakan bahwa
“Sejarah ‘Revolusi Besar Kebudayaan’ telah membuktikan bahwa tesis
pokok ‘Revolusi Besar Kebudayaan’ yang dibangkitkan oleh Mao Zedong,
tidak sesuai dengan Marxisme–Leninisme dan juga tidak sesuai dengan
keadaan konkret Tiongkok. Tesis ini sama sekali salah menilai situasi
klas di negeri kita pada waktu itu dan keadaan politik partai dan
negara.”
Dalam resolusi tersebut juga dikatakan bahwa, “RBKP dikatakan
perjuangan melawan garis revisionis atau jalan kapitalis. Argumen
demikian itu tidak mempunyai dasar kenyataan sama sekali. Lagi pula
dalam serentetan masalah penting teori dan politik telah
mencampuradukkan yang benar dan yang salah. Banyak hal yang
dikritik sebagai revisionis atau kapitalis dalam RBKP, sebenarnya justru
prinsip‐prinsip Marxis dan sosialis, di antaranya banyak yang
dikemukakan dan disokong sendiri oleh Kawan Mao Zedong. RBKP
telah menegasi sejumlah besar pedoman dan politik‐politik tepat serta
h.30, Report on the revision of the Party Constitution delivered by Liu Shao-chi in May 1945 to the Seventh Congress of the Communist Party of China. 306 Delegasi CC PKI, Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI, h.230—231.
372 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
hasil‐hasil selama 17 tahun sejak berdirinya Republik Rakyat Tiongkok,
dalam kenyataannya pada derajat tertentu juga telah menegasi
pekerjaan Comite Central Partai dan Pemerintah Rakyat termasuk
pekerjaan Kawan Mao Zedong sendiri, dan telah menegasi perjuangan
luar biasa berat dan sulit dari Rakyat berbagai bangsa di seluruh negeri
dalam pembangunan sosialis.”307
Sesudah melewati pahit getir dengan pengorbanan yang besar
sepuluh tahun RBKP, mulai tahun 1978 di bawah pimpinan Deng
Xiaoping dilangsungkan reformasi dan politik pintu terbuka.
Berlangsunglah pembenahan partai dan negara, meninggalkan
semboyan RBKP, perjuangan klas sebagai poros digantikan dengan,
pembangunan ekonomi sebagai tugas utama, melaksanakan pembangunan
empat modernisasi, membangun sosialisme berciri Tiongkok.
Dalam pidato peringatan ulang tahun ke‐80 PKT, Jiang Zemin
mengemukakan, “Di bawah pimpinan kolektif CC Partai generasi
pertama dan kedua, Kawan Mao Zedong dan Deng Xiaoping sebagai
intinya, partai kita dengan teguh memadukan prinsip‐prinsip dasar
Marxisme–Leninisme dengan kenyataan Tiongkok. Hasilnya,
terbentuklah Pikiran Mao Zedong dan Teori Deng Xiaoping. Kedua teori ini
adalah Marxisme Tiongkok yang mencakup prinsip‐prinsip dasar
Marxisme–Leninisme dan filsafat bangsa Tiongkok serta pengalaman
praktek kaum komunis Tiongkok. Teori Deng Xiaoping adalah kelanjutan
terbaik dan perkembangan yang kreatif dari Pikiran Mao Zedong dalam
syarat‐syarat sejarah baru.”308
Ada 16 unsur Teori Deng Xiaoping, yaitu:
1. teori garis ideologi pembangunan sosialisme;
2. teori tentang hakikat dan garis perkembangan sosialisme;
3. tentang tingkat‐tingkat perkembangan sosialisme;
4. tentang Empat Prinsip Dasar; 5. teori strategi perkembangan pembangunan sosialisme;
307 CC PKT, Resolusi tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, keputusan sidang pleno ke-6 CC XI PKT, 27 Juni 1981. 308 Jiang Zemin, Jiang Zemin on the “Three Represents”, Foreign Languages Press, Beijing, second printing, 2003, h.180—181.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 373
6. teori tenaga penggerak perkembangan sosialisme;
7. teori politik terbuka dari negara sosialis terhadap dunia luar; 8. tentang reformasi sistem ekonomi, tentang perencanaan dan
pasar, tak ada kontradiksi dasar antara sosialisme dan
ekonomi pasar;
9. teori reformasi sistem politik sosialisme;
10. teori tentang peradaban sosialis; 11. teori tentang jaminan bagi politik pembangunan sosialisme;
yaitu menekankan pentingnya Empat Prinsip Dasar;
12. teori strategi diplomasi negara melawan hegemonisme;
13. teori tentang penyatuan negara, pedoman Satu Negara Dua
Sistem;
14. teori tentang kekuatan sandaran bagi usaha sosialisme;
15. teori tentang pembangunan tentara negara sosialis; dan
16. teori tentang inti pimpinan usaha sosialisme.309
Dari negeri miskin dan terbelakang pada pertengahan abad ke‐
20, Tiongkok dengan penduduk 1,3 miliar jiwa, seperlima penduduk
dunia, berubah menjadi negara terbesar kedua di bidang ekonomi,
mengungguli Jepang. 600 juta rakyat dibebaskan dari kemiskinan.
Berhasil mengorbitkan pesawat ruang angkasa permanen Istana
Langit, mengorbitkan pesawat angkasa luar berawak satu sampai tiga
orang, termasuk awak pesawat wanita, berhasil mengorbitkan pesawat
Yu Du (Kelinci Giok) penjelajah rembulan, menghasilkan kereta api
tercepat dengan kecepatan lebih dari 300 km per jam, menghasilkan
komputer termodern Bima Sakti dengan kecepatan operasi tertinggi di
dunia, memiliki cadangan valuta asing lebih dari tiga triliun dolar AS,
memainkan peranan lebih penting dalam masalah moneter
internasional, termasuk berinisiatif mendirikan Bank Investasi untuk
Infrastruktur Asia Pasifik, mata uang RMB berkembang ke arah jadi
convertible.
Tiongkok memainkan peranan kian besar di bidang internasional,
termasuk negara pengirim pasukan keamanan PBB yang terbesar
309 Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao, Kua Yue She Ji De Wei Da Qi Zhi—Panji Jaya Yang Melangkaui Zaman, Xuexi Jiang Zemin Tongzhi Zai Zhong Yang Dang Xiao De Jiang Hua, Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She, Beijing, 1997, h.14—17.
374 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
jumlahnya, dengan sukses menggalang organisasi kerja sama Shanghai,
organisasi kerja sama BRICS meliputi Brazil, Rusia, India, Tiongkok, dan
Afrika Selatan, memainkan peranan penting dalam organisasi kerja
sama ekonomi APEC. Dunia kagum akan kemajuan pesat Tiongkok
selama tiga dasawarsa terakhir.
Deng Xiaoping memperhitungkan bahwa pada akhir abad ke‐20,
GNP per kapita Tiongkok akan mencapai $1.000. Dan 50 tahun
kemudian akan mencapai $4.000 dengan penduduk 1,5 miliar, berarti
GNP Tiongkok akan mencapai 6 triliun dolar AS. Informasi yang
bersumber dari IMF menyatakan bahwa akhir tahun 2014, GNP
Tiongkok mencapai 17,6 triliun dolar AS, sedang Amerika mencapai 17,4
triliun dollar AS, yang berarti Tiongkok telah mengungguli Amerika
dalam GNP. Dasawarsa pertama abad ke‐21 menunjukkan bahwa
kenyataan sudah jauh melampaui ramalan ini.
Kemajuan ini mendemonstrasikan sukses‐sukses dari
pelaksanaan politik reformasi dan pintu terbuka, pelaksanaan
pembangunan sosialisme berciri Tiongkok gagasan Deng Xiaoping. Inilah
demonstrasi sukses‐sukses pelaksanaan Pikiran Mao Zedong dan Teori
Deng Xiaoping, pelaksanaan Marxisme–Leninisme sesuai dengan kondisi
konkret Tiongkok.
Sesungguhnya, pembangunan sosialisme berciri Tiongkok dengan
menempuh reformasi dan politik pintu terbuka adalah sehaluan dengan
strategi Lenin memenangkan sosialisme lewat koeksistensi dan perlombaan
damai dengan kapitalisme. Sejak semula, sesudah kemenangan Revolusi
Oktober, Lenin yakin akan keunggulan sosialisme, berkoeksistensi dan
berlomba damai dengan kapitalisme. Lenin dengan berani membuka
pintu, bekerja sama dengan negara kapitalis dan dengan perusahaan‐
perusahaan raksasa kapitalis. Bahkan Lenin membenarkan
dijalankannya kapitalisme negara di bawah syarat diktatur proletariat.310
Tiongkok menempuh politik pintu terbuka, dengan inisiatif sendiri
melepaskan diri dari isolasi, memasuki semua organisasi dan badan
internasional yang ada. Sampai‐sampai Tiongkok berunding selama
lima belas tahun untuk bisa masuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
310 Lihat Lenin, O Gosudarstvyennom Kapitalizme—Gosudarstvyenni Kapitalizm V Period Pyeryekhoda K Sotsializmu, (Tentang Kapitalisme Negara—Kapitalisme Negara dalam Periode Peralihan Menuju Sosialisme), Gosudarsvyennoye Izdatyelstvo Politicyeskoi Lityeraturhi, Moskwa, 1957, h.215.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 375
Deng Xiaoping berkali‐kali mengemukakan bahwa Tiongkok menjadi
terbelakang karena mengisolasi diri, karena tidak terbuka pada dunia
luar. Karena itu dianjurkannya supaya melakukan Kaifang, menempuh
politik pintu terbuka.
Situasi sehabis Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP)
melahirkan banyak hal baru yang rumit. Marxisme–Leninisme–Pikiran
Mao Zedong saja sudah tidak memadai untuk memecahkan soal‐soal
yang dihadapi Tiongkok untuk merealisasi empat modernisasi. Dengan
berpegang pada Marxisme–Leninisme dan Pikiran Mao Zedong, Deng
Xiaoping tampil dengan pikiran dan gagasan‐gagasan baru. Marxisme
bukanlah punah. Namun dijunjung tinggi oleh Deng Xiaoping dengan
mengembangkannya sesuai dengan kondisi Tiongkok. Marxisme di‐
Tiongkokkan. Deng Xiaoping menampilkan gagasan pembangunan
sosialisme berciri Tiongkok.
Bermunculan suara menentang atau menyangsikan kebenaran
pikiran‐pikiran Deng Xiaoping. Pikiran‐pikiran Deng Xiaoping
divulgarkan. Berkumandang ungkapan‐ungkapan sinis seperti: “Teori
Deng Xiaoping adalah teori kucing hitam kucing putih”, “Menjadi kaya itu
adalah mulia.” Bukan hanya ungkapan yang benar dipelesetkan menjadi
salah. Tetapi gagasan besar Deng Xiaoping, Kaige Kaifang, reform dan
politik pintu terbuka ditafsirkan dan dinilai secara menyesatkan oleh Prof.
Bao Yuching, seorang peneliti masalah‐masalah Tiongkok dari Amerika.
Yaitu dikemukakan bahwa politik pintu terbuka akan membikin Tiongkok
tergantung pada luar negeri di bidang moneter dan di bidang ilmu dan
teknologi. Kenyataan membantah pandangan‐pandangan keliru ini. Yang
terjadi justru sebaliknya.
Teori Deng Xiaoping menampilkan serentetan gagasan yang
meliputi ideologi, politik, dan teori yang belum ada selama ini dalam
literatur Marxis. Teori Deng Xiaoping dapat dicatat dari berbagai pidato,
uraian atau pembicaraannya dalam berbagai kesempatan. Yang
diungkap oleh Teori Deng Xiaoping antara lain adalah masalah‐masalah
berikut:
1. Masalah “dua apa saja” tak sesuai dengan Marxisme.
Berakhirnya Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) merupakan titik
balik dalam sejarah modern Tiongkok, sesudah berdirinya Republik
Rakyat Tiongkok. Dalam RBKP, pujaan terhadap Mao Zedong sebagai
376 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
pemimpin mencapai puncaknya. Sampai‐sampai muncul ungkapan
“dua apa saja”. Yaitu “apa saja yang diucapkan Mao Zedong harus
dilaksanakan”. Dengan demikian, ucapan Mao Zedong telah dijadikan
ukuran kebenaran. Ini menimbulkan banyak kesalahan dalam
menyimpulkan sesuatu, termasuk dalam menyimpulkan masalah
sejarah. Deng Xiaoping menyatakan, “’dua apa saja’ tidak sesuai dengan
Marxisme.... Ini adalah satu masalah teori yang penting, satu masalah apakah
kita berpegang pada materialisme historis ... generasi demi generasi, kita harus
menggunakan Pikiran Mao Zedong sebagai keseluruhan dalam membimbing
partai kita, tentara dan rakyat kita maju demi usaha sosialisme di Tiongkok dan
demi usaha gerakan komunis internasional.”311
2. Bebaskan pikiran, cari kebenaran dari kenyataan.
Menjelang Sidang Pleno III CC PKT XI yang bersejarah, yaitu
menghadapi pelaksanaan gagasan baru memindahkan titik berat
pekerjaan partai dari Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) menjadi
empat modernisasi. Desember 1978, Deng Xiaoping berpidato dengan
judul: “Bebaskan pikiran, cari kebenaran dari kenyataan dan bersatu padu
memandang masa depan”.312 Sidang Pleno III CC PKT XI inilah yang
merumuskan program melaksanakan pembangunan ekonomi sebagai tugas
utama untuk empat modernisasi, mengganti semboyan “perjuangan klas
sebagai poros” yang dikobarkan dalam RBKP.
Deng Xiaoping dengan tangguh membela materialisme dialektis,
mengajarkan bahwa “membangun sosialisme haruslah bersenjatakan
materialisme dialektis dan materialisme historis Marxis, harus belajar filsafat
Marxisme dan karya‐karya filsafat Mao Zedong; harus mempelajari
situasi baru dengan menggunakan Pikiran Mao Zedong, harus
mendukung dan mengembangkan Marxisme–Leninisme; harus
membebaskan pikiran, mencari kebenaran dari kenyataan. Mencari kebenaran
dari kenyataan adalah dasar dari pandangan dunia klas proletar, adalah
dasar ideologi Marxisme.”313
311 Deng Xiaoping, Selected Works of Deng Xiaoping (1975—1982), People’s Publishing House, Beijing, 1983, h.51—52. 312 Deng Xiaoping, Deng Xiaoping Wen Xuan (1975—1982), Ren Min Chubanshe (Penerbit Rakyat), 1983, h.130—170. 313 Zhong Gong Zhongyang Dangxiao, Deng Xiaoping Zhexue Sixiang (Pikiran Filsafat Deng Xiaoping), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Zhexue Jiao Yan Bu Pian, Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She, Beijing, 1995, h.29.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 377
Deng Xiaoping mengajarkan, segala‐galanya harus bertolak dari
kenyataan, universalitas Marxisme harus dipadukan dengan kenyataan
konkret, teori harus dipadukan dengan praktek, pembangunan
modernisasi Tiongkok harus menempuh jalan sendiri bertolak dari
kenyataan Tiongkok; tingkat permulaan dari sosialisme adalah titik tolak
politik praktis kita. Ungkapan tingkat permulaan dari sosialisme belum ada
dalam literatur Marxis selama ini.
3. Empat prinsip dasar.
Di akhir tahun tujuh puluhan, di kala Perang Dingin kian bergelora, di
Eropa Tengah dan Timur, terutama di Polandia, bergemuruh gerakan
anti‐sosialisme, anti‐komunisme. Mulai muncul organisasi‐organisasi
intelektual dan buruh yang menampilkan semboyan tuntutan
“demokrasi” dan “kebebasan”. Sangat menonjol lahirnya gerakan buruh
Solidaritas di Polandia dengan dukungan kalangan Katolik dan Amerika,
yang pada puncak gerakannya menjadi menentang sistem sosialis,
menggulingkan diktatur proletariat. Dalam pada itu berkembanglah
gerakan “perubahan secara damai” di banyak negeri sosialis. Akhirnya
menjalar sampai ke Tiongkok, hingga berpuncak dengan Peristiwa Tian
An Men pada tahun 1989.
Menghadapi gagasan raksasa membangun Tiongkok, tahun 1979,
berpidato dalam Forum mengenai Prinsip‐prinsip Pekerjaan Teori
Partai, Deng Xiaoping tampil dengan Empat Prinsip Dasar.
Dikemukakannya, “Dalam membangun empat modernisasi di
Tiongkok, di bidang ideologi dan politik haruslah: mendukung Empat
Prinsip Dasar, yaitu: 1. harus menempuh jalan sosialis; 2. harus
mempertahankan diktatur proletariat; 3. harus mendukung pimpinan
Partai Komunis; dan 4. harus menjunjung Marxisme–Leninisme, Pikiran
Mao Zedong. Semuanya tahu, Empat Prinsip Dasar ini bukanlah hal yang
baru, tapi adalah sudah lama didukung oleh Partai kita.”314
Deng Xiaoping dalam semua pidato penting atau pembicaraan
semenjak tahun 1978, berkali‐kali mengemukakan arti penting
menjunjung Empat Prinsip Dasar. Seperti dalam keterangan mengenai
komentar‐komentar tentang reformasi, mengenai reformasi untuk
pengembangan tenaga produktif, pidatonya dalam Konferensi Nasional
314 Deng Xiaoping, op.cit., h.150—151.
378 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
PKT September 1985, keterangan mengenai kegunaan pasar bagi
sosialisme, dalam pidato di sidang Dewan Harian Politbiro CC PKT
Januari 1986, tentang melawan liberalisasi borjuis, dalam pembicaraan
mengenai perencanaan dan pasar adalah untuk pengembangan tenaga
produktif, mengenai pendidikan sejarah bagi pemuda, tentang hanya
jalan sosialis bagi Tiongkok, tentang pembangunan sosialis di bawah
pimpinan partai, tentang hukum dasar bagi Hongkong, dalam
pembicaraan mengenai tidak boleh menolerir kekacauan, mengenai
pimpinan kolektif pelaksana reformasi, tentang pelaksanaan keadaan
darurat di Beijing menghadapi Peristiwa Tian An Men 9‐6‐1989, pidato di
depan perwira‐perwira para panglima pasukan menghadapi keadaan
darurat Beijing, pidato mengenai tugas utama generasi ketiga pimpinan
CC PKT, dan lain‐lain.315
Dikemukakannya, “Generasi ketiga pimpinan CC Partai harus
memenangkan kepercayaan rakyat, dengan demikian mereka akan
bersatu di sekitar kita. Kita harus tanpa ragu‐ragu melawan liberalisasi
borjuis dan setia pada Empat Prinsip Dasar. Mengenai hal ini, saya tidak
pernah memberikan sedikit pun konsesi. Bisakah Tiongkok
mencampakkan Empat Prinsip Dasar? Bisakah kita tidak menjalankan
diktatur demokrasi rakyat? Ini adalah masalah penting yang prinsipil,
yaitu apakah kita menjunjung diktatur demokrasi rakyat, Marxisme,
sosialisme dan pimpinan Partai Komunis.”316
Deng Xiaoping juga memaparkan dalam pembicaraan‐
pembicaraan dengan berbagai pemimpin dunia, seperti pembicaraan
dengan PM Robert Mugabe dari Zimbabwe; dengan Julius Kambare
Nyerere, mantan Presiden Tanzania; dengan Presiden El Hadi Omar
Bongo dari Republik Gabon; dengan Presiden Ali Hassan Mwinyi
Republik Persatuan Tanzania; dengan Janos Kadar Sekjen Partai Buruh
Sosialis Hongaria; dengan M.S. Gorbacyov, Sekjen PKUS, pada 16 Mei
1989.
Demikian pula dalam pembicaraan 16 September 1989 dengan
Prof. Tsung‐Dao Lee (Li Cheng‐dao), pemenang hadiah Nobel untuk
fisika dari Universitas Columbia. Antara lain Deng Xiaoping
mengemukakan, ”Belum lama berselang, kami mempunyai dua
315 Seluruh hasil karya Deng Xiaoping terdapat dalam Selected Works of Deng Xiaoping, Pilihan Karya Deng Xiaoping Jilid III, 1982—1992. 316 Ibid., h.291.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 379
Sekretaris Jenderal (yang dimaksud adalah Hu Yaobang dan Zhao
Ziyang) yang tidak lama menduduki jabatannya. Itu bukanlah karena ia
tidak memenuhi syarat ketika dipilih. Adalah tepat memilihnya waktu
itu, tetapi kemudian ia berbuat salah yang bersangkutan dengan
masalah fundamental, yaitu masalah sikap terhadap Empat Prinsip Dasar
yang menyebabkannya tersandung dan jatuh. Dari empat prinsip itu, dua
yang paling penting adalah harus menjunjung kepemimpinan partai
dan harus menjunjung sosialisme. Berlawanan dengan empat prinsip itu
adalah liberalisasi borjuis. Dalam beberapa tahun akhir‐akhir ini, saya
dalam banyak kesempatan telah menekankan pentingnya menjunjung
Empat Prinsip Dasar ini dan menentang liberalisasi borjuis. Namun
mereka tidak melakukannya. Pada saat‐saat timbulnya kekacauan baru‐
baru ini, Zhao Ziyang ternyata terang‐terangan berpihak pada mereka
yang menimbulkan kekacauan. Ia sesungguhnya mencoba memecah‐
belah partai.”317
Selanjutnya dikemukakan, “Kenyataan bahwa masalah korupsi
sudah menjadi soal yang begitu serius adalah berhubungan erat dengan
kegagalan mengatasi liberalisasi borjuis secara tegas. Kekacauan sudah
melanda kita semua. Jika kita tidak menjunjung tinggi Empat Prinsip
Dasar, kekacauan itu tidak dapat diakhiri.”318
Pada 24 Desember 1990, dalam pembicaraan dengan anggota‐
anggota pimpinan CC PKT, Deng Xiaoping menyatakan, “Sudah
berkali‐kali saya kemukakan, bahwa stabilitas adalah hal yang sangat
penting, dan bahwa kita tidak bisa membuang diktatur demokrasi
rakyat. Jika sejumlah orang mempraktekkan liberalisasi borjuis, dan
menciptakan kekacauan dengan menuntut hak‐hak asasi manusia dan
demokrasi, kita akan mencegahnya. Marx pernah mengatakan bahwa
teori perjuangan klas bukanlah hasil penemuannya. Inti dari teorinya
adalah diktatur proletariat. Untuk waktu yang sangat lama, proletariat
sebagai satu klas yang baru muncul, adalah lebih lemah dari borjuasi.
Jika ia akan merebut kekuasaan politik dan membangun sosialisme, ia
harus menjalankan kediktaturan untuk berlawan terhadap serangan
borjuasi. Untuk mempertahankan jalan sosialis, kita harus menjunjung
diktatur proletariat, yang kita sebut diktatur demokrasi rakyat. Prinsip
317 Deng Xiaoping, Selected Works of Deng Xiaoping, Volume III (1982—1992), Foreign Languages Press, Beijing, 1994, h.314. 318 Ibid., h.315.
380 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
ini adalah sama pentingnya dengan tiga prinsip lainnya. Jadi, adalah
penting untuk menjelaskan secara teori akan pentingnya menjunjung
diktatur demokrasi rakyat.”319
Empat Prinsip Dasar ini merupakan salah satu unsur penting Teori
Deng Xiaoping. Belum ada buku khusus memaparkan Teori Deng
Xiaoping secara lengkap. Sesudah tiga dasawarsa Teori Deng Xiaoping
dilaksanakan dalam wujud melaksanakan reformasi dan politik pintu
terbuka, Tiongkok menjadi unggul di bidang moneter, memiliki
cadangan valuta asing lebih dari tiga triliun dolar AS, dan mata uang
Tiongkok RMB mengarah jadi convertible, maju tampil akan menjadi
mata uang internasional. Tiongkok maju pesat di bidang ilmu dan
teknologi, sampai mampu mengorbitkan pesawat ruang angkasa
berawak serta pesawat ruang angkasa Istana Langit yang permanen.
4. Hakikat sosialisme, tugas utama sosialisme: mengembangkan
tenaga produktif.
Dengan berakhirnya RBKP, di Tiongkok berlangsung diskusi di
kalangan kader PKT mengenai hakikat dan tugas utama sosialisme.
Pemahaman yang tidak sama mengenai hakikat dan tugas utama sosialisme
sangat jelas dari kenyataan‐kenyataan pemahaman di Uni Sovyet.
Kongres XXII PKUS tahun 1961 di bawah pimpinan Khrusycyov
menyatakan bahwa di Uni Sovyet sudah dibangun sosialisme, dan mulai
membangun dasar‐dasar materiil dan teknik komunisme. Kongres ditutup
dengan pidato Khrusycyov mengumandangkan semboyan: “Partai
dengan khidmat menyatakan: generasi rakyat Sovyet sekarang ini akan hidup di
bawah komunisme!”320
Kongres XXIII dan XXIV PKUS di bawah pimpinan Brezhnyev
melanjutkan pelaksanaan program PKUS yang dirumuskan di bawah
pimpinan Khrusycyov, yaitu membangun dasar‐dasar materiil dan teknik
komunisme.
Di bawah pimpinan Sekjen Chernyenko, di samping melanjutkan
pelaksanaan program Khrusycyov, dinyatakan bahwa Uni Sovyet
sedang membangun sosialisme yang sudah berkembang.
Semua partai negara‐negara sosialis Eropa Tengah dan Timur,
yaitu Partai Buruh Albania, Partai Pekerja Sosialis Hongaria, Partai
319 Ibid., h.351—352. 320 N.S. Chrusjtjov, op.cit., h.66.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 381
Persatuan Sosialis Jerman Timur, Partai Komunis Rumania, Partai
Komunis Bulgaria, Partai Komunis Cekoslowakia, dan Partai Pekerja
Polandia, menyatakan melangsungkan pembangunan sosialisme di negara
mereka masing‐masing. Partai Rakyat Revolusioner Mongolia, juga
menyatakan membangun sosialisme. Demikian pula Vietnam bahkan
menamakan negaranya Republik Sosialis Vietnam. Partai Pekerja Korea
juga menyatakan membangun sosialisme di Korea dengan negara
bernama Republik Rakyat Demokrasi Korea.
Tahun 1987, M.S. Gorbacyov tampil dengan pemikiran barunya
yang dipaparkan dalam karya Pyeryestroika I Novoye Mishlyeniye—
Reformasi dan Pemikiran Baru, yaitu harus membangun sosialisme yang
berkemanusiaan dan demokratis. Kongres XXVIII PKUS tahun 1990, yang
melaksanakan Pemikiran Baru Gorbacyov demi “sosialisme yang
berkemanusiaan dan demokratis” memutuskan mencampakkan ajaran
diktatur proletariat, membuang prinsip organisasi partai sentralisme
demokratis.
Dengan demikian menjungkirbalikkan PKUS, dari partai yang
memimpin negara diktatur proletariat, menjadi tak berdaya karena
dicampakkannya ajaran diktatur proletariat dan dibuangnya prinsip
organisasi partai sentralisme demokratis, hingga kepeloporan dan
kepemimpinan partai menjadi lenyap. URSS berantakan, lenyap dari
peta politik dunia. Negara sosialis pertama di dunia yang sudah berjaya
selama tujuh dasawarsa menjadi lenyap. Sosialisme lenyap di Uni
Sovyet.
Berantakannya negara diktatur proletariat yang dibangun Lenin
dengan kemenangan Revolusi Oktober 1917, mengetuk hati manusia
untuk berpikir, di mana keunggulan dan keperkasaan sistem sosialis
itu?
Pada musim rontok tahun 1965, dalam rangka melawan
revisionisme modern, yaitu mengkritik komunisme Khrusycyov, Mao
Zedong dengan sajaknya “Tanya Jawab Sepasang Burung” secara halus
dan tajam mengkritik “komunisme gulasy” yang dibangun Khrusycyov di
Uni Sovyet.
382 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Tanya Jawab Sepasang Burung321 menurut irama Nian Nu Qiao
Luas merentang sayap burung raksasa, Melayang terbang sembilan puluh ribu li, Mendengung gaung puting beliung. Langit biru dibelakangi, menatapi bumi, Mencermat jagat manusia penuh kota dan desa, Asap mesiu menjilat langit, Dentam meriam menghunjam alam, Pipit mencicit kekar gemetar di belukar, “Betapa celaka kacau balau! Ah, sudahlah, aku mau terbang melayang” “Boleh tanya, mau ke mana?” Pipit menjawab, “Ke istana bertata permata di bukit dewata, Kau tak tahu ada Persetujuan Tiga Negara,322 Ditandatangani di bawah sinar purnama musim rontok dua tahun lalu? Di sana hidangan lezat melimpah ruah, Ada sup gulasy323 panas” “Kau omong kosong! Lihatlah, dunia raya tengah berubah wajah!”324
Sebelum adanya sajak ini, redaksi Renmin Ribao dan majalah
Hongqi mengeluarkan artikel berjudul “Tentang Komunisme Palsu
Khrusycyov dan Pelajaran‐Pelajaran Sejarahnya bagi Dunia”. Artikel ini
secara mendalam mengkritik kesalahan pemahaman tentang komunisme
yang dianut PKUS di bawah pimpinan Khrusycyov. Kenyataan‐
kenyataan di Uni Sovyet menunjukkan bahwa hakikat sosialisme dan
komunisme sungguh tidak dipahami.
321 Diambil dari Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, Cheng Du Chu Ban She, Desember 1995, h.305—306. 322 Persetujuan 5 Agustus 1963 antara Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Sovyet mengenai larangan percobaan senjata nuklir. 323 Makanan tradisional Rusia sup kentang pakai daging sapi, melambangkan komunisme yang dibangun Khrusycyov. 324 Oktober 1964, N.S. Khrusycyov turun panggung digantikan L.I. Brezhnyev, Partai Konservatif dikalahkan Partai Buruh dalam pemilu Inggris, Tiongkok meledakkan bom nuklir yang pertama.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 383
Deng Xiaoping mempertanyakan dan memberi jawaban
mengenai masalah pemahaman tentang sosialisme. “Apakah sosialisme dan
apakah Marxisme itu? Mengenai hal ini tidak begitu jelas bagi kita di
masa lampau. Yang paling penting bagi Marxisme adalah
mengembangkan tenaga produktif. Kita mengatakan bahwa sosialisme
adalah tingkat pertama dari komunisme dan pada tingkat yang sudah
maju akan diberlakukan prinsip bekerja menurut kemampuan, menerima
menurut kebutuhan. Ini menuntut tenaga produktif yang maju sekali dan
kemakmuran materiil yang melimpah‐ruah. Oleh karena itu, tugas utama
pada tingkat sosialisme adalah mengembangkan tenaga‐tenaga produktif. Pada
akhirnya, keunggulan sistem sosialis ditunjukkan oleh lebih cepat dan
lebih besarnya perkembangan tenaga produktif dibanding dengan di
bawah sistem kapitalis. Karena ia berkembang, penghidupan material
dan kultural rakyat akan meningkat terus. Salah satu kekurangan kita di
masa lampau sesudah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok adalah kita
tidak memberikan perhatian yang penuh pada masalah pengembangan
tenaga produktif. Sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan.
Pemiskinan itu bukanlah sosialisme, lebih‐lebih lagi bukanlah
komunisme.”325
Berkali‐kali Deng Xiaoping mengungkapkan hakikat sosialisme dan
tugas utama sosialisme, yaitu membebaskan dan mengembangkan tenaga
produktif. Untuk mencapai tujuan ini dilangsungkan reform dan politik
pintu terbuka, kaige kaifang.
5. Reformasi adalah membebaskan dan mengembangkan tenaga
produktif. Reformasi adalah revolusi kedua Tiongkok.
Deng Xiaoping menyatakan, “Prinsip dasar kita adalah, kita harus
menempuh jalan sosialis, harus menjunjung diktatur demokrasi rakyat,
menjunjung pimpinan Partai Komunis dan menjunjung Marxisme–Leninisme
dan Pikiran Mao Zedong. Prinsip‐prinsip ini sudah dicantumkan dalam
Konstitusi Tiongkok. Masalahnya adalah bagaimana melaksanakannya.
Apakah kita akan menempuh politik yang tidak akan membantu kita
untuk menghapuskan kemiskinan dan keterbelakangan, atau haruskah
kita atas dasar empat prinsip dasar tadi memilih politik yang lebih baik
yang memungkinkan kita dengan cepat mengembangkan tenaga‐tenaga
325 Deng Xiaoping, op.cit., h.73.
384 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
produktif? Putusan Sidang Pleno III CC XI adalah melancarkan
reformasi yang berarti kita memilih politik yang lebih baik.
Sebagaimana revolusi‐revolusi di masa lalu, reformasi adalah
dimaksudkan untuk melenyapkan rintangan bagi perkembangan
tenaga‐tenaga produktif dan mengangkat Tiongkok keluar dari
kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam arti yang demikianlah,
reformasi bisa juga disebut perubahan revolusioner.”326
“Reformasi kami adalah satu eksperimen bukan hanya buat
Tiongkok, tetapi juga bagi bagian lain dari dunia. Kami percaya
eksperimen ini akan berhasil. Jika demikian, pengalaman kami akan
berguna bagi usaha sosialisme dunia dan bagi negeri‐negeri yang
sedang berkembang. Tentu saja, kami tidak bermaksud bahwa negeri‐
negeri lain harus menjiplak contoh kami. Prinsip kami ialah bahwa kami
harus mengintegrasikan Marxisme dengan kenyataan Tiongkok dan
kami menempuh jalan sendiri. Inilah apa yang kami sebut membangun
sosialisme dengan ciri‐ciri Tiongkok.”327
6. Sosialisme berciri Tiongkok.
Dengan Deng Xiaoping sebagai inti pimpinan Comite Central Partai,
secara tepat menilai Kawan Mao Zedong, membela kedudukan historis
Pikiran Mao Zedong. Ini terjadi pada saat yang mempunyai arti sangat
penting menyangkut nasib partai dan negara menentukan jalan
Tiongkok mewujudkan modernisasi sosialis. Semenjak tahun 50‐an, PKT
sudah memulai usaha raksasa, menghadapi kesulitan sejarah,
mengalami sukses‐sukses dan kegagalan‐kegagalan berulang kali sangat
rumit. Dalam tahap sejarah yang sangat penting ini, Deng Xiaoping
menggunakan prinsip‐prinsip dasar Marxisme sesuai dengan kondisi
konkret Tiongkok dan keharusan zaman, mewarisi dan
mengembangkan Pikiran Mao Zedong, mulai dengan berani membuka
politik raksasa jalan baru pembangunan sosialisme dengan berani yang
luar biasa menembus batas‐batas baru Marxisme di bidang teori, yaitu
menampilkan teori pembangunan sosialisme berciri Tiongkok.
Teori ini secara ilmiah telah menjawab masalah apakah sosialisme
itu, dan bagaimana membangunnya, telah menjawab masalah pokok
yang utama, yaitu tugas utama sosialisme adalah membebaskan dan
326 Ibid., h.134—135. 327 Ibid., h.135.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 385
mengembangkan tenaga produksi, melenyapkan penghisapan,
mencegah polarisasi, untuk mencapai tujuan terakhir makmur bersama.
Ini adalah teori pertama untuk membangun dan mengonsolidasi
sosialisme. Dalam teori ini ditunjukkan bahwa pembangunan ekonomi
adalah usaha utama, harus mendukung empat prinsip dasar, harus
menjalankan reformasi dan politik pintu terbuka. Ini adalah garis umum
partai pada tahap awal sosialisme. Inilah jalan yang tepat untuk
mewujudkan modernisasi sosialis Tiongkok.328
7. Pasar dan sosialisme.
Sementara orang yang mengaku telah belajar Marxisme, menganut
pikiran bahwa “pasar adalah tempat lahir borjuasi.” Oleh karena itu, pasar
dianggap asing bagi sosialisme. Karena Tiongkok menggunakan pasar
di samping melakukan perekonomian berencana, maka disimpulkan,
Tiongkok telah menjadi negeri kapitalis.
Dalam karya klasik studi mengenai Perkembangan Kapitalisme di
Rusia, Lenin menulis, “kapitalisme menghasilkan komoditi yang kian
banyak dan berkembang. Tenaga kerja pun menjadi komoditi.
Perkembangan kapitalisme memaksanya melahirkan pasar untuk
peredaran komoditi yang kian melimpah. Bukan hanya pasar dalam
negeri, bahkan sampai membutuhkan pasar luar negeri. Pasar adalah
sesuatu yang objektif diperlukan dalam perkembangan ekonomi di
bawah kapitalisme.”
Di masa akhir hidupnya, Stalin ambil bagian dalam penyusunan
buku pelajaran Ekonomi Politik Marxis. Untuk itu, ia menulis dalam buku
Masalah‐Masalah Ekonomi Sosialisme di Uni Sovyet, bahwa dalam
sosialisme yang dihasilkan adalah barang dagangan. Namun Stalin tidak
mengembangkan tulisannya, bahwa barang dagangan harus
diperedarkan, dan untuk peredaran barang dagangan mau tak mau
dibutuhkan pasar. Adalah tidak mungkin adanya barang dagangan tanpa
adanya pasar. Jadi, menurut Stalin, pasar adalah diperlukan dalam
ekonomi barang dagangan.329
328 Jiang Zemin, Pidato pada Peringatan Seratus Tahun Mao Zedong, Jiang Zemin Wen Xuan, (Pilihan Karya Jiang Zemin), Jilid I, Ren Min Chubanshe (Penerbit Rakyat), Beijing, 2006, h.349. 329 Lihat J.Stalin, Economic Problems of Socialism in the USSR (Masalah-Masalah Ekonomi Sosialisme di Uni Sovyet), Foreign Languages Press, Peking, 1972, h.9–18
386 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Deng Xiaoping mempertanyakan masalah pasar sebagai berikut:
“Kenapa sementara orang selalu mengatakan bahwa pasar adalah
kapitalis dan hanya ekonomi berencana adalah sosialis? Sesungguhnya,
kedua‐duanya adalah alat untuk pengembangan tenaga‐tenaga produk‐
tif. Selama ia mengabdi pada kepentingan ini, kita harus memperguna‐
kannya. Jika ia mengabdi sosialisme, ia adalah sosialis; jika mereka
mengabdi kapitalisme mereka adalah kapitalis. Adalah tidak tepat jika
mengatakan bahwa hanyalah ekonomi berencana adalah sosialis, karena
ada departemen perencanaan di Jepang, dan juga ada departemen
perencanaan di Amerika.... Dalam Kongres Nasional XIII Partai akan
disampaikan laporan memaparkan teori sosialisme dan akan dijelaskan
bahwa reformasi kita adalah bersifat sosialis. Di samping itu akan
dikemukakan dengan jelas dari segi pandangan teori tentang penting‐
nya berpegang pada Empat Prinsip Dasar, untuk melawan liberalisasi
borjuis, untuk melaksanakan reform dan politik pintu terbuka.”330
Kongres XIII secara sistematis memaparkan teori tentang tahap
pertama sosialisme dan garis pokok partai pada tahap ini. Dinyatakan
bahwa pemahaman yang tepat mengenai tingkat sejarah sekarang dari
masyarakat Tiongkok mempunyai arti sangat penting untuk
pembangunan sosialisme berciri Tiongkok, ia adalah dasar yang pokok
atas dasar mana dirumuskan dan dilaksanakannya secara tepat garis
dan politik‐politik partai. Kongres menetapkan “tiga langkah” strategi
perkembangan ekonomi. Pertama, melipatduakan GNP tahun 1980
untuk memecahkan masalah kekurangan makanan dan pakaian; kedua,
melipat‐empatkan GNP tahun 1980 pada akhir abad ini untuk mencapai
tingkat hidup yang cukup baik bagi rakyat; dan ketiga, pada pokoknya
menyelesaikan modernisasi bangsa, meningkatkan GNP per kapita agar
mencapai taraf negeri‐negeri menengah maju dan memperbaiki tingkat
hidup rakyat. Tugas utama yang dipaparkan dalam kongres adalah
mempercepat dan memperdalam reformasi. Restrukturisasi ekonomi dituntut
untuk dipusatkan pada mengubah mekanisme operasi perusahaan‐
perusahaan.
8. Tentang kesalahan Ketua Mao.
Mengenai kesalahan Ketua Mao, Deng Xiaoping berpendapat, “Kawan
330 Deng Xiaoping, op.cit., h.203.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 387
Mao Zedong adalah seorang pemimpin besar, di bawah pimpinannyalah
Revolusi Tiongkok mencapai kemenangan. Akan tetapi, malangnya, ia
membuat kesalahan yang besar sekali, mengabaikan perkembangan
tenaga produktif. Maksud saya, bukannya ia tidak mau mengem‐
bangkannya. Masalahnya ialah, tidak semua metode yang dipergunakan
adalah tepat. Misalnya Maju Melompat Besar dan mendirikan Komune
Rakyat tidak sesuai dengan hukum yang memimpin perkembangan
ekonomi sosial.
Prinsip pokok Marxisme adalah harus mengembangkan tenaga
produktif. Tujuan terakhir kaum Marxis adalah mewujudkan
komunisme, yang harus dibangun atas dasar tenaga produktif yang
sudah berkembang tinggi. Sosialisme merupakan tahap pertama dari
komunisme dan akan berlangsung dalam periode sejarah yang panjang.
Tugas utama dalam periode sosialis adalah mengembangkan tenaga
produktif dan secara berangsur‐angsur memperbaiki kehidupan
material dan kultural rakyat. Pengalaman kami selama 20 tahun dari
1958 sampai 1978 mengajar kami, bahwa kemiskinan itu bukanlah
sosialisme, bahwa sosialisme berarti melenyapkan kemiskinan. Jika
tidak mengembangkan tenaga produktif dan meningkatkan taraf hidup
Rakyat, tidaklah dapat dikatakan membangun sosialisme.”331
9. Ilmu dan teknologi adalah tenaga produktif yang utama.
“Dunia sedang berubah, dan kita harus mengubah pikiran kita dan
tindakan‐tindakan kita sesuai dengan itu. Di masa lampau kita
menempuh politik pintu tertutup dan mengisolasi diri sendiri.
Bagaimana itu bisa berguna bagi sosialisme? Roda sejarah berputar
terus, tapi kita berhenti dan jadi terbelakang dibanding dengan orang
lain. Marx mengatakan bahwa ilmu dan teknologi adalah bagian dari
tenaga‐tenaga produktif. Kenyataan menunjukkan bahwa ia adalah
benar. Menurut pendapat saya, ilmu dan teknologi adalah tenaga
produktif yang utama. Bagi kita, tugas dasar adalah mempertahankan
keyakinan dan prinsip‐prinsip sosialis, mengembangkan tenaga‐tenaga
produktif dan meningkat taraf hidup rakyat. Untuk memenuhi tugas ini,
kita harus membuka negeri kita pada dunia luar. Jika tidak, kita tak
akan mampu mempertahankan sosialisme.”332
331 Ibid., h.122. 332 Ibid., h.269.
388 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
10. Tanpa demokrasi, tak ada sosialisme.
“Untuk melakukan empat modernisasi, kita harus mengembangkan
demokrasi. Kita sudah mempropagandakan besar‐besaran, menjelaskan
bahwa diktatur proletariat berarti demokrasi sosialis bagi rakyat, adalah
demokrasi bagi kaum buruh, kaum tani, dan kaum intelektual serta
pekerja lainnya, adalah demokrasi yang paling luas terdapat dalam
sejarah. Di masa lampau, Tiongkok tidak cukup melaksanakan
demokrasi, dan membuat kesalahan‐kesalahan.
Lin Biao dan ‘Gerombolan Empat Orang’, sambil berkoar‐koar
mengenai ‘kediktaturan yang menyeluruh’, mereka menjalankan
kediktatoran fasis feodal atas rakyat. Kita sudah melenyapkan
kediktatoran ini, kediktatoran yang tak mirip‐miripnya dengan diktatur
proletariat, tapi justru adalah kebalikannya.
Sekarang kita sudah mengoreksi kesalahan di masa lampau dan
mengambil berbagai langkah untuk terus‐menerus mengembangkan
demokrasi dalam partai dan dalam kalangan rakyat. Tanpa demokrasi
tak mungkin ada sosialisme dan tak ada modernisasi sosialis. Tentu saja
demokratisasi sebagaimana juga modernisasi, haruslah maju selangkah
demi selangkah. Lebih maju berkembang sosialisme, lebih maju pula
berkembang demokrasi. Ini tak usah disangsikan lagi.
Akan tetapi perkembangan demokrasi sosialis tidaklah berarti
bahwa kita mencampakkan diktatur proletariat menghadapi kekuatan‐
kekuatan yang memusuhi sosialisme.”333
11. Pedoman satu negara dua sistem, membebaskan Hongkong dan
Makau, serta menyelesaikan masalah Taiwan.
Semenjak tahun 1950, Pemerintah Tiongkok sudah mengajukan usul
untuk penyatuan kembali Taiwan. Bulan Mei 1955, Perdana Menteri
Zhou Enlai menyatakan bahwa “Rakyat Tiongkok ingin membebaskan
Taiwan dengan jalan damai, jika syarat‐syaratnya sudah mengizinkan.”
Pada bulan Mei 1960, mengenai pengembalian Taiwan ke tanah
air, Ketua Mao menyatakan bahwa terkecuali masalah luar negeri yang
masih diurus oleh pemerintah pusat, semua kekuasaan militer dan
politik dan kekuasaan mengangkat para pejabat dapat diserahkan
333 Deng Xiaoping, Deng Xiaoping Wen Xuan, Jilid II, h.168.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 389
kepada penguasa Taiwan. Inilah asal‐usul gagasan “satu negeri dua
sistem”.
Januari 1979, Deng Xiaoping mengedepankan gagasan “satu
negeri dua sistem” dan menyatakan “begitu Taiwan kembali ke pangkuan
tanah air, kita akan menghormati kenyataan‐kenyataan dan sistem yang
ada di sana.”
Pada 30 September 1981, Ye Jianying, Ketua Badan Pekerja
Kongres Rakyat Nasional Tiongkok secara resmi mengajukan sembilan
pasal usul untuk mewujudkan penyatuan tanah air secara damai.
Dikemukakannya bahwa “sesudah Tiongkok disatukan, Taiwan bisa
menjadi daerah administratif khusus, yang memiliki otonomi tingkat
tinggi dan dapat mempertahankan angkatan bersenjatanya. Pemerintah
pusat tak akan mencampuri masalah‐masalah setempat Taiwan. Sistem
sosial dan ekonomi Taiwan sekarang ini akan tetap tidak berubah, cara
hidup mereka tak akan berubah, dan hubungan‐hubungan ekonomi dan
kebudayaannya dengan luar negeri tak akan berubah.” Ke dalam
Konstitusi RRT ditambahkan satu pasal mengenai didirikannya sebuah
daerah administratif khusus. Sidang V KRN tahun 1982 menetapkan
basis legal untuk pelaksanaan “satu negeri dua sistem”.
Pada 30 Januari 1995, Presiden Jiang Zemin menyampaikan
pidato berjudul “Meneruskan Perjuangan Menyelesaikan Usaha Besar
Penyatuan Tiongkok”. Dalam pidato ini dipaparkan gagasan “satu negeri
dua sistem” dan diajukan delapan pasal usul untuk memperbaiki
hubungan‐hubungan antar seberang selat dalam tingkat sekarang dan
mendorong maju proses penyatuan Tiongkok secara damai.
Gagasan ilmiah Deng Xiaoping “satu negeri dua sistem”
ditampilkan sesuai dengan kenyataan Taiwan. Kedua‐duanya
menjunjung kedaulatan negara Tiongkok dan sepenuhnya
mempertimbangkan kondisi khusus Taiwan. Menurut gagasan satu
negeri dua sistem, dua sistem akan dipraktekkan dalam satu negara
berdaulat Republik Rakyat Tiongkok.
Dalam perundingan dengan Perdana Menteri Margaret Thatcher,
24 September 1982, Deng Xiaoping mengemukakan, “Pendirian kami
mengenai Hongkong adalah jelas. Ini meliputi tiga masalah besar. Satu
adalah masalah kedaulatan. Yang lainnya adalah cara bagaimana
Tiongkok akan memerintah Hongkong agar mempertahankan
kemakmuran Hongkong sesudah tahun 1997. Yang lainnya lagi adalah
390 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
kebutuhan bagi pemerintah Tiongkok dan Inggris melakukan
perundingan yang tepat mengenai cara‐cara mencegah kekacauan‐
kekacauan besar di Hongkong dalam 15 tahun selama masa sekarang
sampai tahun 1997.
Mengenai masalah kedaulatan, Tiongkok tidak mempunyai
rongga untuk bermanuver. Terus terang saja, masalah ini tidak terbuka
lagi untuk diskusi. Waktunya sudah tiba untuk menyatakan bahwa
tanpa ditawar‐tawar lagi adalah jelas Tiongkok akan mengambil
kembali Hongkong dalam tahun 1997. Yang dimaksud adalah, Tiongkok
akan mengambil tidak saja New Territories tapi juga Pulau Hongkong
dan Kowloon.”334
Dalam pembicaraan dengan para tokoh industrialis dan
perdagangan Hongkong, Juni 1984, Deng Xiaoping menyatakan,
”Pemerintah Tiongkok adalah teguh dalam pendirian, prinsip‐prinsip
dan politik mengenai Hongkong. Kami sudah menyatakan dalam
berbagai kesempatan, bahwa sesudah mengambil kembali kedaulatan
atas Hongkong di tahun 1997, sistem sosial dan perekonomian
Hongkong yang berlaku sekarang pada dasarnya tidak akan berubah,
cara hidupnya dan statusnya sebagai pelabuhan bebas dan pusat
perdagangan serta moneter internasional tidak akan berubah, dan
hubungannya dengan negeri‐negeri serta daerah lainnya dapat
diteruskan atau mendirikan hubungan ekonomi dengan negeri‐negeri
dan daerah lainnya. Berulang kali sudah kami nyatakan, bahwa selain
dari menempatkan pasukan di sana, Beijing tidak akan mengangkat
pejabat buat pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hongkong.
Politik ini pun tidak akan berubah. Kami akan menempatkan pasukan
di sana untuk membela keamanan nasional, bukan untuk
mengintervensi masalah‐masalah internal Hongkong. Politik kami
untuk Hongkong tidak akan berubah selama 50 tahun, ini kami
tegaskan” 335
12. Tentang pengembangan Marxisme, pusat gerakan komunis
internasional dan hubungan antar partai‐partai.
Dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Jepang Yasuhiro
Nakasone, 9 November 1986, Deng Xiaoping mengemukakan:
334 Deng Xiaoping, op.cit., h.23. 335 Ibid, h.68.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 391
“Marxisme harus dikembangkan. Kami tidak memandang Marxisme
sebagai dogma: melainkan kami merumuskan prinsip‐prinsip kami
sendiri. dengan memadukan Marxisme dengan kenyataan konkret di
Tiongkok. Itulah sebabnya kami telah mencapai sukses‐sukses. Revolusi
kami sudah mencapai kemenangan, karena kami mengepung kota dari
desa. Strategi ini tidak terdapat dalam buku‐buku Marxis–Leninis.
Sekarang kami tetap menjunjung tinggi Marxisme–Leninisme dan
Pikiran Mao Zedong, yang sebagiannya adalah warisan yang kami
terima dan bagian lainnya adalah kami kembangkan sendiri. Kami
sedang membangun sosialisme, atau lebih tepat lagi kami sedang
membangun sosialisme yang sesuai dengan syarat‐syarat di Tiongkok.
Dengan cara beginilah kami sungguh‐sungguh setia pada Marxisme.
Kami selalu percaya, bahwa Partai‐Partai Komunis di mana saja akan
membawa maju dan mengembangkan Marxisme sesuai dengan syarat‐
syarat negeri mereka sendiri. Jika kami mengabaikan kenyataan, adalah
omong kosong berbicara tentang Marxisme. Itulah sebabnya kami
percaya bahwa tidak ada, dan tak bisa ada pusat Gerakan Komunis
Internasional. Demikian juga kami tak bisa menyetujui mendirikan apa
yang disebut masyarakat bangsa‐bangsa, sebab hanya kemerdekaan tiap
negeri adalah sungguh‐sungguh perwujudan ajaran Marxisme.”336
“Harus menghormati cara setiap partai dan rakyat berbagai
negeri memecahkan masalah‐masalah mereka sendiri. Biarkan mereka
menemukan jalan mereka sendiri serta cara‐cara mereka menyelesaikan
masalah‐masalahnya. Tidak boleh ada partai bertindak sebagai partai
bapak dan mengeluarkan perintah‐perintah terhadap partai lain. Kita
menentang diperintah mengenai masalah kita, dan di pihak kita, kita tak
akan mengeluarkan perintah terhadap yang lain. Haruslah ini dianggap
sebagai satu prinsip yang penting.”337
Oleh karena itu, PKT menetapkan Empat Prinsip Hubungan Antar
Partai, yaitu: bebas mandiri, sama derajat, saling menghormati, dan
tidak mencampuri masalah internal masing‐masing.
13. Tahap awal sosialisme.
Dalam pembicaraan dengan Takako Doi, Ketua Komite Eksekutif Partai
Sosialis Jepang, 16 November 1987, Deng Xiaoping mengemukakan,
336 Ibid., h.191. 337 Deng Xiaoping, Selected Works of Deng Xiaoping (1975—1982), h.301.
392 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
“Salah satu ciri dari Kongres Nasional XIII PKT adalah ia telah
memaparkan teori bahwa Tiongkok berada dalam tahap awal sosialisme.
Adalah dalam rangka teori ini, kami akan melaksanakan garis, prinsip‐
prinsip dan politik yang dirumuskan semenjak Sidang Pleno III CC XI.
Ciri lain adalah kongres sudah memilih pimpinan baru yang akan
menjamin melanjutkan dan mempercepat pelaksanaan politik‐politik
kami mengenai reformasi dan politik pintu terbuka ke dunia luar.
Sebelum kongres, ada orang di dalam dan luar negeri khawatir, bahwa
politik‐politik ini tidak akan berlanjut. Tapi kongres sudah menjawab
masalah ini, menjamin rakyat Tiongkok dan sahabat‐sahabat
internasional.”
“Betapapun juga, usaha kami ini adalah sama sekali baru, adalah
sesuatu yang tak pernah dikemukakan oleh Marx, tidak pernah
ditempuh oleh para pendahulu kami dan tak pernah dicoba oleh negeri
sosialis lainnya. Oleh karena itu, tidak ada sesuatunya yang bisa
memberi pelajaran pada kami. Kami hanya bisa belajar dari praktek,
meraba jalan sambil bergerak maju. Kami berusaha mengubah Tiongkok
menjadi satu negeri sosialis yang modern. Secara ekonomi, kami ingin
mencapai taraf negeri‐negeri agak maju. Bagi kami akan diperlukan
waktu 50 sampai 60 tahun, atau kira‐kira 100 tahun dari waktu kami
mendirikan Republik Rakyat Tiongkok.”338
14. Tanpa Peradaban Spiritual, Tak Bisa Membangun Sosialisme.
Pada saat Kongres IV Sastrawan dan Seniman Tiongkok, 30 Oktober
1979, Deng Xiaoping berkata: “Negeri kita sudah memasuki satu masa
baru, masa modernisasi sosialis. Seiring dengan perluasan dan
perkembangan tenaga‐tenaga produktif, kita juga harus melakukan
reformasi dan menyempurnakan struktur ekonomi dan politik,
membangun demokrasi sosialis yang berkembang tinggi dan sistem
perundang‐undangan sosialis yang sempurna. Seiring dengan pekerjaan
pembangunan peradaban sosialis yang sudah maju secara materiil, kita
juga harus membangun peradaban yang maju di bidang kultural dan
ideologi dengan meningkatkan taraf ilmu dan budaya seluruh bangsa
dan mendorong maju tingkat kehidupan kultural yang bermacam
ragam diilhami cita‐cita yang agung.”339
338 Deng Xiaoping, op.cit., h.235—245. 339 Deng Xiaoping, op.cit., h.210.
XXII — Marxisme Bukannya Punah | 393
“Kita harus setia berpegang pada prinsip yang diajarkan Kawan
Mao Zedong, yaitu sastra dan seni harus mengabdi pada massa yang
luas, dan terutama kaum buruh, tani, dan prajurit. Kita harus selalu
menjunjung tinggi prinsip‐prinsip ‘berbagai bunga mekar bersama’,
‘menyiangi yang lama menampilkan yang baru’, dan ‘membuat yang masa
lampau mengabdi yang sekarang dan yang luar negeri mengabdi Tiongkok’.
Kita harus mendorong perkembangan yang tak dirintangi bagi berbagai
bentuk dan gaya sastra dan seni, demikian pula diskusi bebas mengenai
teori‐teori sastra dan seni di antara para tokoh berbagai pandangan dan
aliran pikiran. Lenin pernah mengatakan bahwa dalam literatur, bagi
inisiatif perseorangan harus diberi kebebasan cakrawala yang luas, tentu
saja harus diperbolehkan bagi inisiatif perseorangan, kecenderungan
perseorangan, pikiran dan fantasi, bentuk dan isi.”340
“Dengan Empat Modernisasi sebagai tujuan kita, jalan di hadapan
sastra dan seni haruslah terus‐menerus bertambah lapang. Di bawah
pimpinan prinsip‐prinsip yang tepat untuk karya‐karya kreatif, para
sastrawan dan seniman akan berhadapan dengan tema‐tema yang lebih
luas dan lapang, meningkatkan ragam cara‐cara ekspresi mereka dan
berani untuk menerobos ke jalan baru. Kita harus berhati‐hati terhadap
dan mengatasi kecenderungan‐kecenderungan formalistik dan abstrak,
yang menghasilkan karya‐karya monoton, kaku, mekanis, dan
stereotipis.”341
Demikianlah, dengan menjunjung tinggi Marxisme–Leninisme
dan Pikiran Mao Zedong, Deng Xiaoping telah menampilkan serentetan
gagasan mengenai ideologi, politik, ekonomi, ketatanegaraan, seni, dan
sastra. Realisasi gagasan‐gagasan Deng Xiaoping inilah yang
menghasilkan perkembangan Tiongkok mengagumkan dunia.
Kebenaran teori Deng Xiaoping sudah diuji dalam praktek.
Berkat realisasi teori Deng Xiaoping, dari negeri miskin dan terbelakang
di pertengahan abad ke‐20, Tiongkok telah berubah menjadi negeri
adidaya di bidang ekonomi pada awal abad ke‐21. Kemajuan‐kemajuan
Tiongkok telah meningkatkan martabat sosialisme dan Marxisme. Ia
memberi harapan bagi kemenangan perjuangan rakyat sedunia
mewujudkan sosialisme. Gagasan‐gagasan Deng Xiaoping itu tidak
340 Lihat: V.I. Lenin, Organisasi Partai dan Literatur Partai, Collected Works, Eng. ed. FLPH, Moscow, 1962, Vol.10, h.46. 341 Deng Xiaoping, op.cit., h.210, 203.
394 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
terdapat dalam literatur Marxis sebelum ini. Karena itu ia telah
memperkaya Marxisme. Ia adalah pengembangan Marxisme.
Maka jelas‐jemelas, Marxisme tidaklah punah, tapi berkembang
maju dengan Teori Deng Xiaoping!
29 Desember 2014
Daftar Pustaka | 395
DAFTAR PUSTAKA
Aidit, D.N. (1959), Pilihan Tulisan, Jilid I, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Aidit, D.N. (1960), Pilihan Tulisan, Jilid II, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Aidit, D.N. (1964), Angkatan Bersendjata dan Penjesuaian Kekuasaan Negara dengan Tugas-Tugas Revolusi, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Aidit, D.N. (1964), Tentang Marxisme, cetakan ketiga, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Jakarta.
Aidit, D.N. (1965), Perhebat Ofensif Revolusioner di Segala Bidang! Laporan Politik kepada Sidang Pleno IV CC VII yang Diperluas, 11 Mei 1965, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Alimin (1947), Analysis, Agit-prop CC PKI, Yogyakarta.
Akademii Nauk SSSR (Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1960), Filosofskaya Entsiklopediya (Ensiklopedi Filsafat), Nauchnyy Sovet Izdatel'stva‘Sovyetskaya Entsiklopediya’, Institut Filosofii Akademii Nauk SSSR (Institut Filsafat Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskow.
Akademii Nauk SSSR (Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1960), Protiv Sovryemyennovo Revizionizma VFilosofii I Sotsiologii (Menentang Revisionisme Modern dalam Filsafat dan Sosiologi), Izdatyelstvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskow.
Balai Pustaka, PT (2013), Jendela Iptek Astronomia, Jakarta, Dorling Kindersley, London.
Balowski, Jamess (2012, 22 Oktober), Direct Action for Socialism in the 21st Century, majalah Revolutionary Socialist Party (RSP), Australia.
Chang, Jung dan Jon Halliday (2007), Mao: Kisah-Kisah yang Tak Diketahui, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Chrusjtjov, N.S. (1962), Laporan Tentang Program Partai Komunis Uni Sovjet,
396 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
18 Oktober 1961, Bagian Penerangan Kedutaan Besar URSS di Indonesia.
Chrusjtjov, N.S. (1961), Pidato Penyimpulan, Resolusi Kongres ke-22 PKUS, 27 Oktober 1961, Bagian Penerangan Kedutaan Besar URSS di Indonesia (BAPUS).
Comite Central Partai Komunis Indonesia (1962), AD-ART (Konstitusi) PKI, Jakarta.
Comite Central Partai Komunis Tiongkok (1981), Resolusi Tentang Beberapa Masalah dalam Sejarah Partai Sejak Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Disahkan oleh Sidang Pleno ke-6 CC XI Partai Komunis Tiongkok pada tanggal 27 Juni 1981.
Dasgupta, Surendranath (2004), A History of Indian Philosophy, Vol.1 [EBook #12956].
Da Xue Zhexue Chong Shu (1997), Zhong Guo Zhexue Shi (Sejarah Filsafat Tiongkok), Jilid I, Renmin Chuban She (Penerbit Rakyat).
Da Zhong Hua Wen Ku (1999), Han Ying Dui Zhao, Lao Zi, Library of Chinese Classics, Chinese-English, Hunan People’s Publishing House.
Da Zhong Hua Wen Ku (1999), HanYing Dui Zhao, Lun Yu; Library of Chinese Classics, Chinese English, The Analects; Pustaka Klasik Tiongkok, Tionghoa-Inggris, Bunga Rampai Petuah Kong Hucu, First edition, Hunan People’s Publishing House.
Delegasi CC PKI, Lima Dokumen Penting Politbiro CC PKI.
Dewan Redaksi Renmin Ribao (1965), Komentar Tentang Pertemuan Moskow Maret, Dewan Redaksi Renmin Ribao (Harian Rakyat) dan Dewan Redaksi Hongqi (Bendera Merah), Pustaka Bahasa Asing, Peking.
Editorial Majalah Hong Qi (1964, No.21–22), Mengapa Chrusytjov Turun Panggung, Pustaka Bahasa Asing, Peking.
Engels, Frederick (1958), The Origin of the Family, Private Property and the State, Fifth Impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow.
Engels, Friedrich (1954), Anti-Dühring, Foreign Languages Publishing House, Moscow.
Engels, Friedrich (1964), Dialectics of Nature, Progress Publishers, Moscow.
Fic, Victor Miroslav (2005), Kudeta 1 Oktober 1965, Yayasan Obor Indonesia, kulit buku.
Fukuyama, Francis(1998), The End of History and the Last Man, Avon Book, Inc., New York.
Gorbacyov, Mikhail Sergeyevitch (1987), Perestroyka I Novoye Myshleniye (Rekonstruksi Dan Pemikiran Baru), Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskow.
Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy Osnovhii Marksizma
Daftar Pustaka | 397
Leninizma (Buku Pelajaran Dasar-Dasar Marxisme–Leninisme) (1962), Izdaniye vtoroye (Edisi Kedua), Ucyebnoye Posobiye, (Penerbit Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskwa.
Harian Abadi (1952, 15 Januari), “Kita Punya Taruhan Sendiri untuk Pecahkan Soal-Soal Hidup”.
Harian Pedoman, Djakarta (1956, Akhir Juli), “Pidato Khrusycyov Mengutuk Stalin, di Depan Kongres ke-XX Partai Komunis Sovjet Uni, 24 Februari 1956”.
Hatta, Mohammad (1951), Mendayung Antara Dua Karang, Pidato di Muka Sidang BPKNP, 20 September 1948, Kementerian Penerangan RI, Jakarta.
Huntington, Samuel P. (1998), The Clash of Civilisations and the Remaking of World Order, Toughstone Books, London, New York, Sydney, Tokyo, Toronto, Singapura.
Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1957), Istoriya Filosofii (Sejarah Filsafat), Jilid II, Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskow.
Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS) (1963), Filosofskiy Slovar (Kamus Filsafat), Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskow.
Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (1966), Rezolyutsiya XXIII S'yezda Kommunisticheskoy Partiii Sovetskovo Soyuza Po Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Resolusi PKUS XXIII yang Diterbitkan oleh Balai Penerbitan Literatur Politik), Otcyetnomu Dokladu TsK KPSS, Izdatel'stvo Politicheski Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskow.
Jajasan Pembaruan (1960), Pernyataan & Seruan Pertemuan Wakil-Wakil Partai-Partai Komunis dan Partai-Partai Buruh, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Komisi CC PKUS (B) (1984) Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki) Bahan Pelajaran Singkat, Disahkan oleh CC PKUS (B) 1938, Penerbit Indonesia Progresif.
Kratkii Ocyerk Istorii Filosofii (Risalah Ringkas Sejarah Filsafat) (1960), Izdatel'stvo Sotsial'no-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa.
KPSS (PKUS) (1990), Material'ny XXVIII S'yezda Kommunistichekoy Partii Sovetskovo Soyuza (Materi Kongres PKUS XXVIII), Politizdat, Moskow.
Kuznetsov, B.G. (1963), Besedy O Teorii Otnositel'nosti Vtoroye Izdaniye (Percakapan Tentang Teori Relativitas Edisi Kedua), Izdatel'stvo
398 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Akademii Nauk SSSR (Penerbit Akademi Ilmu Pengetahuan URSS), Moskwa.
Kuznetsov, B.G. (1965), Etyudni Ob Eynsoteyne (Studi Tentang Einstein), Izdatyelstvo “Nauka”, Moskwa.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1947), Materializm I Empiriokrititsism (Materialisme dan Empiriokritisisme), Kumpulan Karya, Jilid XIV, cetakan IV, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik).
Lenin, Vladimir Ilyitch (1947), Matyerializm I Empiriokrititzism, Kriticyeskiye ZamyetkiOb Odnoi Ryeaktsionnoi Filosofii, Socyinyeniya Tom 14, izdanye Cyetvyertoye (Materialisme dan Empiriokritisisme, Catatan Kritis Tentang Sebuah Filsafat Reaksioner, Kumpulan Karya Lengkap Jilid ke-14, cetakan keempat), Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik).
Lenin, Vladimir Ilyitch (1950), Sochineniya, Izdaniye Chetvertoye, Tom 1, (Kumpulan Karya, cetakan IV, Jilid 1).
Lenin, Vladimir Ilyitch (1953), Kehancuran Internasional II, Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid XXI, h.189–190, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik).
Lenin, Vladimir Ilyitch (1957), O Gosudarstvennom Kapitalizme– Gosudarstvennyy Kapitalizm V Period Perekhoda K Sotsializmu (Tentang Kapitalisme Negara – Kapitalisme Negara dalam Periode Peralihan Menuju Sosialisme), Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik), Moskwa.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1958), Ekonomi dan Politik Selama Masa Diktatur Proletariat, Pustaka Ketjil Marxis Delapanbelas, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1958), Kumpulan Karya, bahasa Rusia, Jilid XXIX, edisi V.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1958), Tentang Masalah Dialektika, Kumpulan Karya Lenin, Jilid XXXVIII, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik).
Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Ikhtisar Buku Hegel Ilmu Logika, Buku Catatan Filsafat, Kumpulan Karya, Jilid XXXVIII, cetakan IV, Foreign Languages Publishing House, Moskwa.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Karl Marx, Kumpulan Karya Lengkap, Jilid XXVI, edisi V, Moskwa.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Materializm I Empiriokrititsism (Materialisme dan Empiriokritisisme), Bab II, Bagian 6, Polnoye Sobraniye Sochineniy (Kumpulan Karya Lengkap), Izdaniye Pyatoye (Edisi Kelima),
Daftar Pustaka | 399
Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik), Moskwa.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1961), Polnoye Sobraniye Socinyenii, izdaniye pyatoye, tom 18, Matyerializm I Empiriokriticizm (Kumpulan Lengkap Karya, cetakan kelima, Jilid 18, Materialisme dan Empiriokritisisme), Moskwa.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1962), Organisasi Partai dan Literatur Partai, Collected Works, Eng.ed., FLPH, Moscow, 1962, Vol.10.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1976), Negara dan Revolusi, Ajaran Marxisme Tentang Negara dan Tugas-Tugas Proletariat dalam Revolusi, Penerbit Indonesia Progresif.
Lenin, Vladimir Ilyitch (1981), Apa yang Harus Dikerjakan?, Bab I, Bagian 4, Penerbit Indonesia Progresif.
Lukretius (1945), De Rerum Natura – O Prirodye Vesyei (Tentang Sifat-Sifat Zat-Zat), Izdatel'stvo Akademii Nauk SSSR (Balai Penerbitan Akademi Ilmu Pengetahuan URSS).
Marx, Karl (1954), Surat kepada J. Weydemeyer, 5-3-1852, dalam Pilihan Surat-Surat Marx dan Engels, edisi Inggris.
Marx, Karl (1955), Kumpulan Karya, edisi Rusia, Jilid I, edisi kedua, Gosudarstvennoye Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Negara Literatur Politik).
Marx, Karl (1960), The Poverty of Philosophy, Foreign Languages Publishing House, Moscow, Third Impression.
Marx, Karl (1961), Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, Second Impression, Foreign Languages Publishing House, Moscow.
Marx, Karl dan Frederich Engels (1950), Address of the Central Committee to the Communist League, Marx–Engels Selected Works Volume I, Foreign Languages Publishing House, Moscow.
Marx, Karl dan Frederich Engels (1966), Izbrannhiye Proizvyedyeniya, V Tryokh Tomakh, (Pilihan Karya dalam Tiga Jilid), Izdatel'stvo Politicheskoy Literaturnyy (Balai Penerbitan Literatur Politik), Moskwa.
Marx, Karl dan Friedrich Engels, 2015, Manifesto Partai Komunis, Ultimus, Bandung.
Malaka, Tan (2000), Madilog, Teplok Press, Jakarta.
Mostyepanyenko, M.V. (1962), Materialisticheskaya Sushchnost' Teorii Otnositel'nosti Eynshteyna (Inti dari Teori Relativitas Materialis), Izdatel'stvo Sotsial'nno-Ekonomicheskoy Literaturnyy (Penerbit Literatur Sosial Ekonomi), Moskwa.
MPRS (1967), Ketetapan No.25/1966 Presidium Kabinet Ampera Surat Edaran
400 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Tentang Masalah Cina, No.SE-06/Pres.Kab/6/1967.
Noer, Deliar (1987), Partai Islam di Pentas Nasional, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Njoto (1961), Marxisme Ilmu & Amalnya, Penerbit HR, Jakarta.
Penerbit Indonesia Progresif (1984), Sejarah Partai Komunis Uni Sovyet (Bolsyewiki), Bahan Pelajaran Singkat, Diedit oleh Komisi CC PKUS (B), Disahkan oleh CC PKUS (B) 1938.
Shaoqi, Liu (1954), On The Party, fifth edition, Foreign Languages Press, Peking, 1954, Report on the revision of the Party Constitution delivered by Liu Shao-qi in May 1945 to the Seventh Congress of the Communist Party of China.
Tiong Djin, Siauw (1999), Siauw Giok Tjhan, Riwayat Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika, Hasta Mitra, Jakarta.
Smith, Huston (1999), Agama-Agama Manusia, Yayasan Obor, Jakarta.
Stalin, Josef Vissarionowitch (1924), Tentang Dasar-Dasar Leninisme, Ceramah yang Diberikan di Universitas Sverdlov, Pravda No.96, 97, 103, 105, 107, 108, III; 26 dan 30 April, 9, 11, 14, 15, dan 18 Mei 1924; Penerbit Indonesia Progresif, 1975.
Stalin, Josef Vissarionowitch (1964), Materialisme Dialektis dan Historia, Jajasan Pembaruan.
Stalin, Josef Vissarionowitch (1972), Economic Problems of Socialism in the U.S.S.R, Foreign Languages Press, Peking.
Sukarno (1959), Dibawah Bendera Revolusi, Jilid Pertama, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.
Surat Balasan CC PKT (1963), Usul Mengenai Garis Umum Gerakan Komunis Internasional, Surat Balasan CC PKT atas Surat CC PKUS tertanggal 30 Maret 1963, Pustaka Bahasa Asing.
Xiaoping, Deng (1983), Deng Xiaoping Wen Xuan 1975–1982 (Kumpulan Karya Deng Xiaoping 1975–1982), Renmin Chubanshe (Penerbit Rakyat).
Xiaoping, Deng (1995), Deng Xiaoping Zhexue Sixiang (Pikiran Filsafat Deng Xiaoping), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Zhexue Jiao Yan Bu Pian (Departemen Filsafat Sekolah Komite Sentral PKT), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Chu Ban She (Penerbit Sekolah Komite Sentral PKT), Beijing.
Yamin, Muhammad (1982), Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Ghalia Indonesia, cetakan keenam, Jakarta.
Youlan, Feng (1947), Zhong Guo Zhe Xue Jian Shi (Sejarah Singkat Filsafat Tiongkok), Beijing Daxue Chu Ban She (Penerbit Universitas Peking).
Daftar Pustaka | 401
Yuanzhi, Kong (2005), Silang Budaya Tiongkok Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Kelompok Gramedia, Jakarta.
Tjetung, Mao (1958, 1959 dan 1964), Tentang Kontradiksi, Jajasan Pembaruan, Jakarta.
Tjetung, Mao (1966), Tentang Praktek, Pustaka Bahasa Asing, Peking.
Tjetung, Mao (1968), Tentang Kontradiksi, Pustaka Bahasa Asing, Peking
Tjetung, Mao (1970), Empat Karya Filsafat, Pustaka Bahasa Asing, Peking.
Tse-Tung, Mao (1966), Ausgewählte Werke Band I (Karya Pilihan Jilid I), Verlag für fremdsprachige Literatur (Penerbit Progresif), Peking.
Tzedun, Mao (1968), Cyetirhi Rabothi Po Filosofii (Empat Karya Filsafat), Izdatel'stvo Literatury Na Inostrannykh Yazykakh (Lembaga Penerbitan Literatur dalam Bahasa Asing), Peking.
Zedong, Mao (1995), Mao Zedong Shi Ci Quan Ji, Kumpulan Lengkap Sajak-Sajak Mao Zedong, Cheng Du Chu Ban She (Penerbit Cheng Du).
Zemin, Jiang (2003), Jiang Zemin On The “Three Represents”, Foreign Languages Press, second printing, Beijing.
Zemin, Jiang (2006), Pidato pada Peringatan Seratus Tahun Mao Zedong, Jiang Zemin Wen Xuan (Pilihan Karya Jiang Zemin), Jilid I, Renmin Chubanshe (Penerbit Rakyat), Beijing.
Zhong Gong Zhongyang Dang Xiao (1997), Kua Yue She Ji De Wei Da Qi Zhi (Panji Jaya yang Melangkaui Zaman), Xuexi Jiang Zemin Tongzhi Zai Zhong Yang Dang Xiao De Jiang Hua (Belajar dari Kumpulan Pidato Kawan Jiang di Sekolah Komite Sentral), Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She (Penerbit Sekolah Komite Sentral PKT), Beijing.
Zhong Gong Zhongyang Dangxiao (1995), Deng Xiaoping Zhexue Sixiang (Pikiran Deng Xiaoping), Zhong Gong Zhongyang Dangxiao Zhexue Jiao Yan Bu Pian (Departemen Filsafat Komite Sentral PKT), Zhong Gong Zhong Yang Dang Xiao Chu Ban She (Penerbit Sekolah Komite Sentral PKT), Beijing.
Zi, Lao (1999), Dao de Jin, Library of Chinese Classics, Chinese-English, Laozi, Chapter 22, Hunan Peoples Publishing House.
Zi, Zhuang (2013), Quan Shu (Karya Lengkap), Zhong Guo Hua Qiao Chu Ban She (Penerbit Tionghoa Perantauan Tiongkok), Beijing.
402 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Biodata Penulis | 403
BIODATA PENULIS
SUAR SUROSO lahir di Padang, Sumatra Barat, 16 Mei 1930.
Menyelesaikan SMP dan SMA di Padang dan Bukittinggi, 1950 kuliah di
ITB Bandung jurusan elektro‐teknik. Semasa Revolusi Bersenjata 1945—
1949 menjadi anggota batalyon Teras Lasykar Rakyat Padang Luar Kota
(mendapat Tanda Penghargaan dari Gubernur Militer, Mr. Mohamad
Nasroen). 1949 Wakil Ketua IPPI Padang; 1951 anggota Consentrasi
Mahasiswa Bandung (CMB), kemudian 1954 Sekretaris DPD Pemuda
Rakyat Jawa Barat, Sekretaris Kongres Rakyat Jawa Barat, 1956 sekretaris
DPP Pemuda Rakyat.
Sebagai aktivis organisasi pemuda, dipercaya untuk mewakili
Indonesia dalam berbagai pertemuan pemuda internasional, seperti
antara lain di Beijing, Wina, Kairo, Santiago‐Chili, dan mewakili Pemuda
Rakyat dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) dalam
kapasitas sebagai wakil presiden yang berkantor pusat di Budapest.
Dalam kapasitas itu ia menghadiri berbagai kegiatan pemuda di Korea,
India, Nepal, Sri Langka, Mesir, Maroko, Guinea, Mali, Senegal, Ghana,
Jerman, Rumania, Denmark, Finlandia, Polandia, Albania, dan lain‐lain.
Mulai Septembar 1961 melanjutkan studi di Fakultas Fisika Universitas
Lomonosov, Moskow.
Setelah Peristiwa 30 September 1965, pada bulan Agustus 1966
paspornya dicabut oleh KBRI Moskow; 1967 dinyatakan persona‐non‐
grata oleh Pemerintah Sovyet karena memprotes kerja sama antar
Pemerintah Uni Sovyet dan Pemerintah Indonesia di bawah rezim
Soeharto. Sejak Februari 1967 meninggalkan Uni Sovyet dan bersama
istri dan dua anaknya bermukim di Tiongkok. Sejumlah sajaknya
dimuat dalam Di Negeri Orang, kumpulan sajak para penyair eksil di
404 | Suar Suroso — Pikir Itu Pelita Hati
Eropa Barat. Karya‐karya yang sudah dibukukan: Asal‐Usul Teori
Sosialisme, Marxisme sampai Komune Paris; Bung Karno, Marxisme dan
Pancasila; ‘Peristiwa Madiun’ PKI Korban Perdana Perang Dingin (Pustaka
Pena); PKI Korban Perang Dingin (Era Publisher); Bung Karno Korban
Perang Dingin (Hasta Mitra); Kumpulan Puisi Jilid I, Jelita Senandung
Hidup, dan Jilid II, Pelita Keajaiban Dunia (Ultimus); Marxisme Sebuah
Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah; Peristiwa Madiun, Realisasi
Doktrin Truman di Asia (Hasta Mitra); Akar dan Dalang Pembantaian
Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno (Ultimus). Yang
diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Tionghoa, Marxisme Sebuah
Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah dengan judul Makesi Zhuyi De
Shijian Yu Fazhan oleh Penerbit Contemporary World Publisher, Beijing.