pidana tambahan

26

Click here to load reader

description

pelaksanaan pidana

Transcript of pidana tambahan

KATA PENGANTARSegala syukur kita limpahkan kepada Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW. karena atas limpahan rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu dan benar.

Tak lupa kami juga ucapkan terima kasih kepada teman sekelompok karena atas kerja kami masalah ini selesai atas dukungan, kesempatan, dan bantuan dari mereka semua kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tak lupa juga saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman karena atas bantuan dan kesempatan dari mereka semua bahan yang kami perlukan untuk menyusun makalah ini, kami dapatkan.

Dan semoga makalah ini kelak nantinya dapat berguna bagi generasi penerus. Harapan kami agar makalah ini tetap dijaga kelayakannya agar bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan ataupun pembaca. Semoga pembaca, teman-teman, dan dosen kewarganegaraan berkenan akan isi makalah kami ini.

Surakarta , Maret 2014

penulisBAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH.

Kelompok kami diberi tugas untuk membuat makalah dengan tema hukum pidana tambahan untuk melengkapi mata kuliah hukum pelaksanaan pidana kelas H yang di ampuh oleh bapak Riska Andy SH., MH. Pertama tama kami membahas hukum pidana itu sendiri adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian. hukum pidana dibagi menjadi dua macam yaitu hukum pidana pokok dan hukum pidana tambahan. Hukum pidana pokok terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan, hukuman denda dan hukuman tutupan. Sedangkan hukum pidana tambahan terdiri dari hukum pidana tambahan yang ada di KUHP yaitu Pencabutan hak-hak tertentu,Penyitaan barang-barang tertentu, Pengumuman keputusan hakim. Dan juga ada hukum pidana tambahan di luar KUHP yaitu pembayaran gati rugi ,Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun, Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana, Pencabutan izin usaha , Pembayaran ganti rugi , Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi , Larangan menduduki jabatan direksi, Perintah penghentian kegiatan tertentu

BAB II

EKSEKUSI PUTUSAN DAN EKSEKUSI PIDANA

A. Batasan dan Ruang Lingkup

Pelaksanaan putusan pengadilan harus dibedakan dengan pelaksanaan penetapan pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi ini di dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP) diatur dalam Bab XIX dari Pasal 270 sampai dengan Pasal 276. Pelaksanaan putusan pengadilan (vonnis)yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menurut Pasal 270 KUHAP diserahkan kepada Jaksa, sedangkan pelaksanaan penetapan hakim (beschikking) menurut Pasal 14 KUHAP diserahkan kepada Jaksa yang bertugas sebagai Penuntut Umum dalam sidang perkara pidana yang bersangkutan.1

Disamping itu pelaksanaan putusan pengadilan harus dibedakan pula dengan pelaksanaan pidana meskipun keduanya merupakan materi dari Hukum Eksekusi Pidana atau Hukum Pidana Pelaksanaan Pidana atau Hukum Penitensier atau Penitentiere Recht.

Putusan Pengadilan dapat dilaksanakan apabila putusan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde). Suatu putusan pengadilan dikatakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (telah berkekuatan hukum tetap/telah BHT) apabila :

1. Terdakwa maupun penuntut umum telah menerima putusan yang bersangkutan di tingkat pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri atau di pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi atau di tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

2. Tenggang waktu untuk mengajukan Verzet (terhadap Verstek), Banding atau Kasasi telah lewat tanpa dipergunakan oleh yang berhak.

3. Permohonan Verzet (terhadap Verstek) telah diajukan kemudian pemohon tidak hadir kembali pada saat hari sidang yang telah ditetapkan.

4. Permohonan Banding atau Kasasi telah diajukan kemudian pemohon mencabut kembali permohonannya.

5. Terdapat permohonan Grasi yang diajukan tanpa disertai permohonan penangguhan eksekusi.2

Lembaga yang berwenang melakukan pelaksanaan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap adalah Jaksa, sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 270 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut :

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.3

Adapun mengenai ganti kerugian, diatur selanjutnya dalam Pasal 274 KUHAP yang menyatakan, bahwa :

Dalam hal pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata.4

Dengan demikian ganti kerugian dibebankan kepada Terdakwa atau Para Terdakwa secara berimbang dan pelaksanaannya mengikuti ketentuan acara perkara perdata, sebagaimana diatur di dalam Pasal 275 KUHAP, yang menyatakan sebagai berikut :

Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang.5

Dengan demikian biaya perkara dibebankan kepada Terdakwa atau Para Terdakwa secara berimbang. Menurut Pasal 10 Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang menurut UU No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana jo UU No.73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang PeraturanHukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana dianggap sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP),6 macam-macam pidana adalah sebagai berikut :

Pasal 10

Pidana terdiri atas :

a. Pidana pokok :

1. pidana mati,

2. pidana penjara,

3. kurungan,

4. denda.

b. Pidana tambahan :

1. pencabutan hak-hak tertentu,

2. perampasan barang-barang tertentu,

3. pengumuman putusan hakim.7Adapun lembaga yang melaksanakan pidana dapat disebutkan, sebagai berikut :

1. Pidana Pokok :

a. Pidana Mati : Regu Tembak;

b. Pidana Penjara : Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS);

c. Pidana Kurungan : Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS);

d. Pidana Tutupan : Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS);

e. Pidana Kurungan : Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS);

f. Pidana Denda : Jaksa;

2. Pidana Tambahan :

a. Pencabutan hak-hak tertentu : lembaganya bergantung pada jenis dari hak yang dicabut tersebut;

b. Perampasan barang-barang tetentu : Jaksa;

c. Pengumuman Putusan Hakim (Pengadilan) : Panitera Pengadilan Negeri.8

Pelaksanaan pidana memunculkan bidang hukum tersendiri, yaitu Hukum Pidana Pelaksanaan Pidana, Hukum Eksekusi Pidana, Hukum Penitensia atau Hukum Penitensier. Penitensier berasal dari kata penitensia dari Bahasa Latin yang mempunyai arti : penyesalan, kembali lagi pada keputusannya, bertobat atau jera.9

Menurut J.M. van Bemmelen, Penitentiere Recht adalah hukum yang berkenaan dengan tujuan, daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan.Menurut P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier adalah keseluruhan dari norma-norma yang mengatur lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan, lembaga-lembaga penindakan dan lembaga-lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh Pembentuk Undang-Undangdi dalam hukum pidana materiil.10

Menurut S.R. Sianturi, Hukum Penitensia adalah bagian dari hukum positif yang berisikan ketentuan atau norma mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari (suatu) lembaga untuk membuat seseorang bertobat, yang dapat berupa:

1. Pemutusan hakim (pemidanaan, pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan hukum), atau

2. Penindakan, atau

3. Pemberian kebijaksanaan, terhadap suatu perkara pidana.11

Macam-macam lembaga penitensier berikut pengaturannya, sebagai berikut :

1. Lembaga Pemidanaan

a. lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda serta pidana tambahan (Pasal 10 KUHP);

b. lembaga pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan);

c. lembaga pidana bersyarat (Pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP, Ordonansi Pidana Bersyarat Stb.1926 No.251 jo 486, Ordonansi Pelaksanaan Pidana Bersyarat Stb.1926 No.487 jo Stb. 1934 No.337);

d. lembaga pemberatan dan pengurangan pidana;

e. lembaga tempat menjalani pidana (Gestichten Reglement Stb.1917 No.708 atau Reglement Lembaga Pemasyarakatan).

2. Lembaga Penindakan

a. lembaga pendidikan paksa (Dwang op voedings Reglement Stb.1917 No.741).

b. lembaga penutupan secara terpisah (Afzonderlijke Opsluiting Stb.1917 No.708 dalam Pasal 35).

c. lembaga kerja paksa negara (Landswerkinrichting Verordening Stb.1936 No.160).

d. Reglement Orang Gila (Reglement op het krankzinningenwezen in Indonesisch Stb.1897 No.54).

3. Lembaga Kebijaksanaan

a. pengembalian kepada orang tua/wali/orang tua asuh;

b. pembebasan bersyarat (Ordonnantie op de Voorwaardelijke In vrijheidstelling Stb.1917 No.749).

c. ijin bagi terpidana untuk di luar tembok setelah jam kerja (Pasal 20 ayat ( ) KUHP).

d. hak pistole (Pasal 23 KUHP dan Stb.1917 No.708).

e. Grasi (UU No.22 Tahun 2002), Amnesti dan Abolisi (UU No.11/Drt/1954, Perpres No.13 Tahun 1961, Keppres No.449 Tahun 1961), Remisi (Keppres No.5 Tahun 1987).12

B. Sumber Hukum

Adapun sumber hukum dalam Hukum Eksekusi Pidana, antara lain :

1. Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie jo UU No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana jo UU No.73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya UU No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

2. KUHP Tentara.

3. UU No.7/Drt/1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

4. Uitvoerings Ordonnantie Voorwaardelijke Veroordeling atau Ordonansi Pelaksanaan Pidana Bersyarat (Stb.1926 No.486 jo Stb.1926 No.487).

5. Gestichten Reglement atau Reglement Kepenjaraan (Stb.1917 No.708) dicabut dengan UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

6. Ordonnantie op de Voorwaardelijke In vrijheidstelling atau Ordonansi Pembebasan/Pelepasan Bersyarat (Stb.1917 No.741)

7. Dwang op voeding Reglement atau Reglement Pendidikan Paksa (Stb.1917 No.741).

8. Landswerkinrichting Veroordening atau Lembaga Kerja Paksa Negara (Stb.1936 No.160)

9. Reglement op het krankzinningenwezen in Indonesisch atau Reglement Orang Gila (Stb.1897 No.54).

10. Afzonderlijke Opsluiting atau Lembaga Penutupan Secara Terpisah (Stb.1917 No.708).

11. 11.UU No.20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan.

12. UU No.2/Pnps/1964 tentang Pelaksaan Pidana Mati.

13. UU No.3 Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi jo UU No.22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

SE MenKeh No.J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan Permohonan Grasi.

SE MenKeh No.J.G.3/76/10 tanggal 28 Juli 1950 Tentang Permohonan Ampun.

SE MenKeh No.J.C.2/42/11 tanggal 5 Nopember 1969 Tentang Penyelesaian Permohonan Grasi.

SE MenKeh No.J.C.2/116/17 tanggal 10 Nopember 1961 Tentang Pelaksanaan

Keppres No.568 Tahun 1961.

PERMA No.1 Tahun 1954 Tentang Kasasi dan Grasi.

14. UU No.11/Drt/1954 Tentang Amnesti, Abolisi jo Perpres No.13 Tahun 1961 jo Keppres No.449 Tahun 1961.

15. Keppres No.5 Tahun 1987 Tentang Remisi.

16. UU No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.

BAB II

PEMBAHASANHukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambahan menurut KUHP tersebut antara lain :

1. Pencabutan hak-hak tertentu.

2. Penyitaan barang-barang tertentu.

3. Pengumuman keputusan hakim. Serta pengaturan mengenai hukuman tambahan juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, KUHP sendiri memang tidak membatasi bahwa hukuman tambahan tersebut terbatas pada tiga bentuk di atas saja. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi misalnya, diatur juga mengenai hukuman tambahan lainnya selain dari tiga bentuk tersebut, yakni terdapat dalam Pasal 18 yang isinya sebagai berikut :1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan;2. Pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk paling lama satu tahun;4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.Adapula ketentuan-ketentuan pidana tambahan lain yang tercantum dalam undang-undang lainnya , yaitu:1. Pencabutan izin usaha (Undang-Undang No.5 tahun 1984 tentang Perindustrian)2. Pembayaran ganti rugi (Undnag-Undang No.3 tahun 1997 tentang Peradilan Anak)3. Pembubaran korporasi yang diikuti likuidasi (Undang-Undang No.15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang);4. Larangan menduduki jabatan direksi (Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat);5. Perintah penghentian kegiatan tertentu (Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).Dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan pidana tambahan yang terdapat dalam KUHP ,yaitu :1. Pencabutan Hak-Hak TertentuPidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil (perdata), dan hak-hak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal :1) Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan keputusan hakim;2) Tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.

Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317,318,334,347,348,350,362,363,365,372,374,375.Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup. Hak-hak yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu

Pada pencabutan hak memegang jabatan, dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, dalam aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa lain yang melakukan pemecatan tersebut;

2) Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;4) Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;5) Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.Tentang untuk berapa lama pencabutan-pencabutan hak-hak tertentu itu dapat dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan, bahwa lamanya pencabutan hak adalah :1) Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu berlaku seumur hidup;2) Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu adalah sama dengan lamanya pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama dua tahun dan selama-lamanya lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;3) Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak-hak tertentu adalah paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun.

KUHP Pasal 36 : hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dan hak memasuki angkatan bersenjata kecuali dalam hal yang diterangkan dalam buku ke dua dapat di cabut dalam hal pemidahan karena kejahatan jabatan atau kejahatan yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan atau karena memakai kekuasan, kesempatan atau sarana yang di berikan pada terpidana Karena jabatannya.

KUPH Pasal 37 :kekuasaan bapak, kekuasan wali, wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri maupun atas orang lain, dapat di cabut dalam pemidanaan.

KUHP Pasal 38 : jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut :

a. Ke 1: dalam hal pidana mati atau penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup.b. Ke 2: dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tau dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya.c. Ke 3 : dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.2. Perampasan Barang tertentu dan/atau tagihan

Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan telah dikenal sejak lama. Para kaisar Kerajaan Romawi menerapkan pidana perampasan ini sebagai politik hukum yang bermaksud mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya untuk mengisi kasnya. Kemudian pidana perampasan muncul dalam WvS Belanda, dan berdasarkan konkordasi dikenal pula dalam KUHP yang tercantum dalam Pasal 39.Adapun barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1)KUHP , antara lain:1) Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatan, misal uang palsu;2) Benda-benda kepunyaan terpidana yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, misal pisau yang digunakan terpidana untuk membunuh.Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang), Pasal 205 (barang dagangan berbahaya), Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti surat dan sertifikat hutang, surat dagang).Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara, dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan ke kas negara (Pasal 42 KUHP). Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada Pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu di antara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2) yang berbunyi Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan.Di dalam praktik, apa yang disebut pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu seringkali hanya merupakan suatu tindakan pencegahan belaka, yang dilakukan dengan cara merusak atau dengan cara menghancurkan benda-benda yang telah dinyatakan sebagai disita , baik merupakan benda yang telah dihasilkan oleh suatu kejahatan, maupun merupakan benda yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan.Oleh karena itu, tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa, bahwa pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu yang semula telah dimaksud untuk menjadi suatu pidana, seringkali telah berubah fungsinya menjadi politerechtelijke vernietigning, yakni pengrusakan yang dilakukan terhadap barang-barang tertentu yang menurut sifatnya adalah berbahaya, dengan maksud agar benda-benda tersebut jangan sampai dapat digunakan oleh orang lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, benda-benda yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi pada umumnya oleh hakim hanya akan dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara tanpa disertai perintah untuk merusak atau memusnahkannya.KUHP Pasal 411) Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumya, diganti menjadi pidana kurungan, apabila barang-barang itu tidak diserahkan, atau harganya menurut taksiran dalam putusan hakim, tidak di bayar.2) Pidana kurungan pengganti ini paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.3) Lamanya pidana kurungan pengganti ini dalam putusan hakim ditentukan sebagai berikut : tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang di hitung satu hari; jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.4) Pasal 31 diterapkan bagi pidana kurungan pengganti ini.5) Jika barang-barang yang dirampas diserahkan, pidana kurungan pengganti ini juga di hapus.Pasal 42

Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh negara, dan segala pendapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara.

3. Pengumuman Putusan Hakim

Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap perkarayang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang jelas, termasuk didalamnya berat ringannyapenerapan pidana penjara (pidana perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai azas hukum pidana yaitu azas legalitas yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber pada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim antara lain dapat diputuskan oleh hakim bagi para pelaku dari tindak pidana yang telah diatur di dalam Pasal 127, 204, 205, 359, 360, 372, 374, 375, 378, dan seterusnya, serta Pasal 396 dan seterusnya KUHP. Pada umumnya, putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi, dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.Adapun penjatuhan pidana tambahan ini mempunyai daya kerja yang bersifat mencegah secara khusus, mengingat bahwa penjatuhan pidana tambahan ini akan menyulitkan terpidana untuk kembali melakukan tindak pidana yang sejenis. Di sisi lain, juga membuat terpidana menjadi tidak dapat melakukan kembali tindak pidana yang sejenis di kemudian hari, karena hampir semua orang telah diperingatkan tentang kemungkinan terpidana akan melakukan tindak pidana yang sejenis, apabila ia diterima bekerja di jawatan atau perusahaan manapun atau apabila orang ingin berhubungan dengan terpidana setelah selesai menjalankan pidananya.Pidana tambahan ini juga mempunyai suatu daya kerja yang bersifat mencegah secara umum, karena setiap orang menjadi tahu bahwa alat-alat negara akan menindak secara tegas, siapapun yang melakukan tindak pidana yang sama seperti yang telah dilakukan oleh terpidana, dan bukan tidak mungkin bahwa perbuatan mereka pun akan disiarkan secara luas untuk dapat dibaca oleh semua orang.KUHP Pasal 43

Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka ia harus menetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana.Sumber : http://dearymydreams.blogspot.com/2012/06/pidana-tambahan.html