Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

11
Peta Kesehatan Penjara 2008 “They tell us that the prisons are overpopulated. But what if it were the population that were being overprisoned?” - Michel Foucault eningkatan jumlah tahanan dan narapidana kasus narkoba dalam lima tahun belakangan, khususnya yang digunakan dengan cara suntik, turut pula menyumbang tingginya kasus HIV di kalangan penghuni rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Tercatat pada tahun 2006 terdapat 813 kematian napi dan tahanan dimana 70- 75%-nya merupakan napi/tahanan kasus narkotika 1 . Menurut Direktorat Bina Khusus Narkotika, kematian napi/tahanan pada tahun 2004-2006 di wilayah DKI Jakarta banyak disebabkan oleh TBC, radang paru-paru, hepatitis, diare kronik, dan radang otak karena toksoplasma, yang umum menyertai infeksi HIV. Angka-angka kematian tersebut berkaitan erat dengan berbagai permasalahan kesehatan di dalam institusi pemasyarakatan dan tahanan itu sendiri. Penurunan sistem kekebalan tubuh makin memudahkan napi/tahanan untuk terjangkit penyakit- penyakit penyerta HIV (opportunistic infections) yang membutuhkan perawatan serius untuk penyembuhannya. Umumnya, deteksi dini terhadap HIV yang diidap napi/tahanan tidak terjadi, sehingga banyak dari mereka yang sudah berada pada stadium HIV akhir (AIDS) ketika datang ke klinik penjara. Di lain pihak, klinik penjara terbatas dalam hal fasilitas, obat-obatan, maupun SDM- nya. Sehingga pasien-pasien yang membutuhkan perawatan tingkat lanjut membutuhkan rujukan ke rumah sakit di luar penjara. Rujukan ini juga tidak selalu dapat dilakukan karena biaya yang dibebankan rumah sakit harus ditanggung oleh napi/tahanan dan kadang harus dibayar oleh pengelola lapas/rutan dulu. Belum lagi urusan pengawalan pasien penghuni lapas/rutan yang anggarannya sangat terbatas. Tulisan ini berisi tentang peta permasalahan kesehatan di dalam penjara (rutan dan lapas) berikut kebijakan-kebijakan seputar permasalahan tersebut. Sejumlah tatanan untuk penanggulangan masalah kesehatan masih lestari dengan dukungan sistem kesehatan yang ada di luar penjara, namun sebagian lagi membutuhkan berbagai langkah yang harus diambil oleh pihak-pihak terkait. Dan lebih daripada itu, kebijakan tertentu harus diambil oleh departemen-departemen terkait agar tingkat kematian dan angka kesakitan di dalam penjara dapat ditekan. Napi/Tahanan (Penghuni) Kelebihan kapasitas merupakan kondisi umum lapas dan rutan di Indonesia saat ini. Hal tersebut memperburuk kondisi kesehatan terkait dengan sanitasi di sel-sel penjara. Masalah kesehatan yang dialami penghuni berkisar dari gatal-gatal kulit hingga AIDS. 1 Ditjenpas, 2007 P P

description

Tulisan ini berisi tentang permasalahan kesehatan di dalam lapas/rutan berikut kebijakan dan sistem yang menggelayuti permasalahan tersebut. Kebijakan tertentu harus diambil oleh sektor-sektor terkait agar permasalahan ini dapat diselesaikan dari hulu ke hilir.

Transcript of Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

Page 1: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

Peta Kesehatan Penjara 2008

“They tell us that the prisons are over‐populated. But what if it were the population that were being

overprisoned?” - Michel Foucault

eningkatan jumlah tahanan dan narapidana kasus narkoba dalam lima tahun belakangan, khususnya yang digunakan dengan cara suntik, turut pula menyumbang tingginya kasus HIV di kalangan penghuni rumah

tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Tercatat pada tahun 2006 terdapat 813 kematian napi dan tahanan dimana 70-75%-nya merupakan napi/tahanan kasus narkotika1. Menurut Direktorat Bina Khusus Narkotika, kematian napi/tahanan pada tahun 2004-2006 di wilayah DKI Jakarta banyak disebabkan oleh TBC, radang paru-paru, hepatitis, diare kronik, dan radang otak karena toksoplasma, yang umum menyertai infeksi HIV.

Angka-angka kematian tersebut berkaitan erat dengan berbagai permasalahan kesehatan di dalam institusi pemasyarakatan dan tahanan itu sendiri. Penurunan sistem kekebalan tubuh makin memudahkan napi/tahanan untuk terjangkit penyakit-penyakit penyerta HIV (opportunistic infections) yang membutuhkan perawatan serius untuk penyembuhannya. Umumnya, deteksi dini terhadap HIV yang diidap napi/tahanan tidak terjadi, sehingga banyak dari mereka yang sudah berada pada stadium HIV akhir (AIDS) ketika datang ke klinik penjara.

Di lain pihak, klinik penjara terbatas dalam hal fasilitas, obat-obatan, maupun SDM-nya. Sehingga pasien-pasien yang membutuhkan perawatan tingkat lanjut membutuhkan rujukan ke rumah sakit di luar penjara. Rujukan ini juga tidak selalu dapat dilakukan karena biaya yang dibebankan rumah sakit harus ditanggung oleh napi/tahanan dan kadang harus dibayar oleh pengelola lapas/rutan dulu. Belum lagi urusan pengawalan pasien penghuni lapas/rutan yang anggarannya sangat terbatas.

Tulisan ini berisi tentang peta permasalahan kesehatan di dalam penjara (rutan dan lapas) berikut kebijakan-kebijakan seputar permasalahan tersebut. Sejumlah tatanan untuk penanggulangan masalah kesehatan masih lestari dengan dukungan sistem kesehatan yang ada di luar penjara, namun sebagian lagi membutuhkan berbagai langkah yang harus diambil oleh pihak-pihak terkait. Dan lebih daripada itu, kebijakan tertentu harus diambil oleh departemen-departemen terkait agar tingkat kematian dan angka kesakitan di dalam penjara dapat ditekan.

Napi/Tahanan (Penghuni)

Kelebihan kapasitas merupakan kondisi umum lapas dan rutan di Indonesia saat ini. Hal tersebut memperburuk kondisi kesehatan terkait dengan sanitasi di sel-sel penjara. Masalah kesehatan yang dialami penghuni berkisar dari gatal-gatal kulit hingga AIDS.

1 Ditjenpas, 2007

PP

Page 2: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

Ketika yang diderita adalah gatal kulit (skabies), penghuni bisa mendapatkan perawatan di klinik penjara. Selain karena penyakit ini merupakan yang terbanyak dialami penghuni sehingga dokter klinik penjara sangat akrab dan tidak perlu pemeriksaan laboratorium, obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit inipun tersedia di klinik.

Penyakit-penyakit yang tidak dapat ditangani perlu mendapatkan perawatan di luar penjara. Artinya, klinik penjara harus merujuk penghuni yang sakit ke instansi kesehatan di luar penjara – dalam hal ini kebanyakan adalah rumah sakit. Rujukan perawatan ini sangat dimungkinkan dengan sejumlah persyaratan, tidak ada kebijakan tertulis yang melarang penghuni keluar dari lapas/rutan untuk mendapatkan pengobatan. Namun untuk urusan perawatan di luar, lapas/rutan memiliki keterbatasan anggaran untuk pengawalan yang sesuai prosedur.

Selain itu, ongkos perawatan di luar penjara harus ditanggung oleh penghuni sendiri karena, lagi-lagi, anggaran kesehatan penjara yang terbatas. Dalam beberapa kasus, pengelola penjara menalangi dulu biaya pengobatan itu sebelum digantikan oleh keluarga penghuni. Di beberapa kasus lainnya, penghuni terpaksa terabaikan kondisi kesehatannya bahkan tak jarang hingga ajal menjemput di penjara karena alasan finansial ini. Bagi penghuni yang memiliki kondisi finansial yang baik, tentunya masalah kesehatan ini dapat diatasi.

Masalah asuransi kesehatan yang ditanggung oleh negara bagi masyarakat yang tergolong miskin sulit untuk diaplikasikan pada para penghuni. Desentralisasi sektor kesehatan menjadi salah satu faktornya terkait dengan administrasi kependudukan selain juga persyaratan lain asuransi yang sukar dipenuhi.

Klinik Penjara

Penyakit-penyakit yang tidak membutuhkan rujukan ke luar dapat diobati atau dirawat di klinik penjara. Terdapat sediaan obat untuk penyakit-penyakit ringan yang berasal sebagian dari dinas/suku dinas kesehatan kabupaten/kota di wilayah kerjanya. Sebagian obat-obatan lagi dibeli dengan anggaran dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) – APBN melalui lapas/rutan.

Dalam kaitannya dengan dinas kesehatan sebuah wilayah kerja, penyediaan obat masih membutuhkan sebuah proses administrasi yang baku sehingga terjadi kesinambungan atas hal ini. Terdokumentasi bahwa di dalam Surat Keputusan Bersama antara Menteri Kehakiman dan Menteri Kesehatan tahun 1987 tentang Pembinaan Upaya Kesehatan Masyarakat di Rumah Tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan, menteri kesehatan bertanggung jawab dalam pembinaan teknis medis dan membantu penyediaan fasilitas dan tenaga bagi penyelenggaraan upaya kesehatan. Tidak ditemukan kebijakan tertulis mengenai administrasi pembinaan teknis dan penyediaan fasilitas, turunan dari kesepakatan dua departemen ini, sehingga alur distribusi obat dan penyediaannya terkesan tidak baku – tergantung kebijakan masing-masing UPT.

Adanya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah turut memudarkan kesepakatan dua departemen tersebut. Tujuan agar tidak terjadi tumpang tindih anggaran (APBD dan APBN) tertuang dalam Penjelasan Dirjen BAKD mengenai Belanja Bantuan kepada Instansi Vertikal yang Bersumber dari APBD tahun 2006. Dalam hal ini berarti penanggulangan masalah kesehatan di lapas/rutan tidak dibenarkan untuk didanai lagi oleh pemerintah daerah, dimana dinas kesehatan bernaung. Tidak adanya

Page 3: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

alokasi anggaran kesehatan untuk lapas/rutan oleh pemda menjadikan kecenderungan bahwa pemda tidak bertanggung jawab atas masalah kesehatan di lapas/rutan. Sehingga penyediaan obat dari dinkes ke penjara semakin tidak jelas alurnya, sebagaimana dengan upaya-upaya penanggulangan masalah kesehatan lainnya bagi napi/tahanan.

Selain obat-obatan, pemeriksaan laboratorium juga dibutuhkan oleh napi/tahanan yang mengalami gangguan kesehatan. Sebagian penjara memiliki laboratorium kesehatan, namun sebagian besar tidak. Seperti perawatan di luar penjara, pemeriksaan laboratorium ini membutuhkan ongkos yang harus dibayar oleh napi/tahanan jika penjara tidak memiliki anggaran. Laboratorium milik dinas kesehatan pun, yang di puskesmas maupun laboratorium keliling, tidak dianggarkan untuk pemeriksaan para napi/tahanan. Lapas/rutanlah yang harus membayar ongkos pemeriksaannya.

Klinik penjara umumnya memiliki tenaga kesehatan yang jumlahnya sangat tidak sebanding dengan jumlah penghuni. Tenaga-tenaga ini berdinas di bawah Departemen Hukum dan HAM RI melalui perekrutan terbuka calon pegawai negeri sipil (CPNS) untuk petugas kesehatan penjara dalam periode tertentu. Dokter umum, dokter gigi, dan tenaga perawat adalah komposisi umum tenaga kesehatan di dalam penjara. Sehingga memang bagi yang memerlukan perawatan spesialis maupun pemeriksaan laboratorium harus dirujuk keluar.

Fasilitas untuk perawatan dan pemeriksaan kesehatan di klinik penjara memang menyerupai puskesmas dengan tempat perawatan (DTP). Hanya saja kebanyakan penjara tidak memiliki laboratorium dan apotek sebagaimana yang ada di puskesmas. Tenaga kesehatanpun, walaupun memiliki ruang rawat inap, tidak berjaga selama 24 jam. Untuk keperluan jaga ini, pihak klinik puskesmas dan jajaran Bina Pemasyarakatan mempercayakan kepada tamping dari tiap-tiap blok.

Lapas/Rutan

Untuk urusan kesehatan, dan pengelolaan penjara secara umum, pihak lapas/rutan bertugas untuk menyusun anggaran berdasarkan jumlah penghuni yang ada. Sayangnya peningkatan jumlah penghuni tidak dapat diperkirakan hingga menyebabkan kurangnya dana operasional yang sudah dianggarkan berdasarkan kalkulasi jumlah penghuni pada saat anggaran disusun dengan perkiraan peningkatan jumlah penghuni selama setahun ke depan.

Terkadang pengelola penjara harus menunggak tagihan untuk keperluan pangan penghuni karena pada satu waktu jumlahnya melonjak sebelum anggaran dinaikkan. Untuk urusan kesehatan, anggaran klinik harus bersaing dengan pengajuan anggaran dari sektor lain. Di sisi lain, masalah kesehatanpun tidak dapat diperkirakan. Klinik hanya mengajukan anggaran berdasarkan upaya penanggulangan masalah kesehatan yang sedang berlangsung ketika anggaran disusun, atau berdasarkan penyakit-penyakit yang umum dialami penghuni.

Anggaran kesehatan penjara diserap untuk keperluan-keperluan sebagai berikut: pembelian obat-obatan klinik dan peralatan habis pakai; pembayaran tagihan laboratorium; tagihan ongkos perawatan penghuni yang dirujuk; termasuk biaya pengawalan penghuni yang melakukan perawatan dan pemeriksaan kesehatan di luar penjara. Dari sini terlihat bahwa sebagian besar anggaran kesehatan penjara, yang

Page 4: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

dialokasikan dari APBN, diserap oleh instansi-instansi kesehatan yang ada di luar penjara serta kegiatan pendukungnya.

Puskesmas Kabupaten/Kota

Jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama antara Menteri Kehakiman dan Menteri Kesehatan tahun 1987, puskesmas memiliki kewajiban untuk membina upaya kesehatan masyarakat di dalam penjara. Di beberapa tempat tatanan sistem kesehatan ini masih berlangsung, walaupun jika mengacu pada sistem penganggaran daerah, kegiatan ini sudah tidak dapat dilakukan oleh puskesmas yang dananya berasal dari APBD.

Dalam peta kesehatan penjara, setelah diberlakukannya UU No 32 tahun 2004, puskesmas tak ubahnya instansi lain yang menjadi rujukan klinik penjara ketika tidak memiliki fasilitas maupun kapasitas untuk menangani pasiennya. Kebanyakan layanan yang dirujuk ke puskesmas adalah pemeriksaan dahak untuk TBC. Untuk perawatan penyakit yang tidak dapat ditangani, klinik penjara, dan pasiennya bila mampu, lebih memilih untuk dirujuk ke rumah sakit yang lebih canggih daripada puskesmas.

Tidak ada kebijakan yang jelas mengenai apakah kondisi kesehatan di penjara merupakan tanggung jawab puskesmas karena terletak di wilayah kerjanya. Atau, karena penjara merupakan instansi vertikal sehingga masalah kesehatan di sana bukan merupakan tanggung jawab puskesmas sebagai instansi jajaran otonomi daerah walaupun terletak di wilayah kerjanya. Di beberapa tempat masih ada yang menganggap klinik penjara sebagai puskesmas pembantu, namun upaya kesehatan yang dilakukan sebatas ada tidaknya permintaan dari pihak penjara, khususnya penjara-penjara yang tidak memiliki dokter.

Mengingat tenaga di puskesmas juga sangat terbatas, maka yang menjadi masalah bukanlah ada tidaknya petugas puskesmas yang memberikan bimbingan teknis dan pemantauan kepada klinik penjara. Masalahnya lebih kepada ada tidaknya alur layanan dan administrasi antara puskesmas sebagai otoritas kesehatan di suatu wilayah dengan klinik penjara sebagai lini terdepan layanan kesehatan bagi penghuninya yang di beberapa tempat jumlahnya mencapai ribuan orang.

Rumah Sakit Rujukan

Rumah sakit memungut ongkos perawatan yang dibebankan kepada penanggung jawab pasien yang dirujuk dari klinik penjara. Ketika keluarga pasien tidak dapat membayar, maka pengeluaran ini berasal dari dana kesehatan yang dianggarkan oleh tiap penjara melalui APBN. Rumah sakit pada umumnya juga tidak memiliki fasilitas pendukung prosedur perawatan kesehatan napi/tahanan di luar penjara, sehingga penjara harus menugaskan petugasnya untuk pengawalan.

Dinkes/Sudinkes Kabupaten/Kota

SKB Depkes dan Depkeh tahun 1987 menjadikan instansi ini sebagai pembina kesehatan masyarakat di lapas dan rutan yang ada di wilayah kerjanya. Namun saat ini nampak tidak ada keterkaitan secara fungsional untuk bidang kesehatan, baik penjara maupun dinkes tidak memiliki kewajiban apapun terhadap masing-masing dalam urusan

Page 5: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

kesehatan. Hanya saja sebagian obat-obatan yang ada di klinik penjara masih berasal dari dinkes/sudinkes.

Institusi Kesehatan Lainnya

Institusi ini memungut ongkos pelayanan yang dibebankan kepada penanggung jawab pasien yang dirujuk dari klinik penjara. Ketika keluarga pasien tidak dapat membayar, maka pengeluaran ini berasal dari dana kesehatan yang dianggarkan oleh tiap penjara melalui APBN. Laboratorium kesehatan swasta cukup sering menjadi rujukan pasien dari penjara yang membutuhkan tes yang tidak dapat dilakukan oleh puskesmas setempat.

Kanwil Depkumham

Divisi pemasyarakatan di kantor wilayah adalah yang membawahi urusan kesehatan penghuni penjara. Kantor ini tidak melakukan urusan teknis medis terhadap klinik maupun kondisi kesehatan di lapas/rutan.

Direktorat Bina Perawatan

Berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI, direktorat ini membawahi tiga sub direktorat dimana salah satunya adalah Pengawasan Kesehatan dan Makanan. Secara resmi (official), upaya-upaya kesehatan di unit-unit pemasyarakatan berada di bawah sub direktorat yang memiliki Seksi Kesehatan Mental dan Jasmani; Pengembangan Pelayanan Kesehatan; Standarisasi dan Penetapan Gizi; dan Pengendalian Bahan Makanan.

Di masa desentralisasi sektor kesehatan, dimana jajaran Ditjenpas harus membiayai sendiri urusan kesehatan di lapas dan rutan tanpa dukungan otoritas kesehatan di daerah, peran direktorat ini sangat perlu ditingkatkan. Tidak hanya dalam hal peningkatan jumlah anggaran, namun lebih daripada itu untuk melakukan terobosan-terobosan berupa kebijakan nasional yang diaplikasikan ke dalam sistem kesehatan nasional dan daerah.

Direktorat Bina Khusus Narkotik

Direktorat ini merupakan bentuk respon Ditjenpas terhadap permasalahan narkotika dan psikotropika yang menyumbangkan peningkatan jumlah narapidana dan tahanan di seluruh Indonesia enam tahun terakhir. Pembukaan lapas-lapas khusus narkotika menjadi salah satu upaya penyelesaian masalah kelebihan kapasitas penghuni penjara dan tercampurnya tahanan/napi narkotika dengan tahanan/napi kasus lain.

Kasus HIV dan AIDS yang banyak terjadi pada napi/tahanan kasus narkotika, membuat direktorat ini juga menangani upaya-upaya penanggulangan infeksi menular tersebut. Sehingga, selain urusan perawatan napza, direktorat inipun banyak berhubungan dengan layanan-layanan kesehatan secara umum, yang tanggung jawabnya diemban oleh Direktorat Bina Perawatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyaknya bantuan internasional untuk penanganan masalah HIV dan AIDS membuat program-programnya tampak tidak terintegrasi dengan sistem yang sudah ada, eksklusif. Lemahnya deteksi

Page 6: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

dini (di dalam dan luar penjara, sebenarnya) terhadap infeksi ini merupakan salah satu dampak dari sakralisasi penanganan khusus HIV melalui kegiatan-kegiatan programnya.

Adalah pekerjaan tersendiri yang harus dilaksanakan oleh direktorat ini untuk mengintegrasikan program-program yang berkaitan dengan kesehatan ke sistem yang ada di jajaran pemasyarakatan. Dengan integrasi ke dalam sistem tersebut, diharapkan upaya-upaya penanggulangan masalah kesehatan dapat berkesinambungan dan dilaksanakan di seluruh unit pelayanan teknis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Bagan 1: Sistem Kesehatan Masyarakat dengan SKB Menkes dan Menkeh 1987

Dalam peta di atas tergambar bahwa Departemen Kesehatan memiliki anggaran untuk masalah kesehatan di penjara. Dalam bagan memang tidak terpetakan bagaimana mekanisme pembayaran biaya perawatan dan pengobatan pasien yang dirujuk ke layanan umum. Namun paling tidak, jelas terpetakan alur penyediaan fasilitas dan pembinaan teknis medis di penjara.

DIRJEN BINKESMAS

DEPKES

DIRJEN PEMASYARAKATAN

DEPKEH

Pelayanan kesehatan sebagai bagian dari

pembinaan napi/tahanan

SURAT KEPUTUSAN BERSAMA DEP KESEHATAN

& DEP KEHAKIMAN

Sarana dan pengamanan

penyelenggaraan upaya kesehatan

MASALAH KESEHATAN PENGHUNI

Anggaran

DEPKEH

Anggaran

DEPKES

Pelayanan kesehatan publik

Page 7: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

Rujukan Layanan

Layanan

Bagan 2: Peta Kesehatan Penjara era Desentralisasi Kesehatan Dengan diberlakukannya desentralisasi kesehatan, maka Departemen Hukum dan HAM harus menyediakan anggaran untuk memenuhi fasilitas dan pelaksanaan teknis medis bagi penanggulangan masalah kesehatan di penjara, termasuk biaya perawatan rujukan. Intansi teknis Departemen Kesehatan di daerah-daerah tidak memiliki anggaran untuk pembinaan upaya kesehatan di penjara.

Peta Permasalahan

1. Layanan dan Sumber Daya

Ketiadaan layanan dan sumber daya di klinik penjara berimplikasi pada tidak tertanganinya sebuah penyakit mulai dari pencegahan hingga pengobatannya. Ketiadaan peralatan laboratorium yang dibutuhkan akan menyulitkan upaya deteksi dini terhadap TBC atau HIV misalnya. Sehingga kasus-kasus yang ditemukan kebanyakan sudah berada pada stadium lanjut dan perlu mendapatkan perawatan yang tidak dapat dilakukan di klinik penjara.

Fasilitas yang tidak tersedia seperti obat-obatan juga turut memperburuk situasi kesehatan di penjara. Sulitnya merencanakan pembelian obat sehingga diserap sebelum masa kadaluwarsanya, menjadi pertimbangan tersendiri bagi pengelola

DINAS KESEHATAN

DIRJEN PEMASYARAKATAN

DEPKUMHAM

Pelayanan kesehatan publik

Sarana kesehatan dan pengamanan

penyelenggaraannya

MASALAH KESEHATAN PENGHUNI

Anggaran

DEPKUMHAM

SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT (OTDA)

Page 8: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

penjara untuk tidak melengkapi persediaan obat sehingga tidak perlu lagi membeli obat di luar ketika penghuni membutuhkannya.

Jika anggaran kesehatan penjara ditujukan untuk dapat menanggulangi seluruh masalah kesehatan penghuni, jumlahnya akan sangat besar. Karena itu berarti harus melengkapi seluruh klinik penjara dengan sediaan obat yang lengkap, laboratorium dan perlengkapannya, tenaga kesehatan, serta peralatan medis yang menunjang seperti layaknya rumah sakit.

Dalam upaya-upaya penanggulangan masalah kesehatan di penjara saat ini, berangkat dari tingginya angka kematian dan kesakitan, sejumlah pihak mengimplementasikan dukungannya dengan mengisi kekosongan di kotak nomor 1 (Layanan Kesehatan Tidak Ada). Dukungan tersebut, biasanya dalam bentuk bantuan dana dari organisasi internasional, berupa SDM dan fasilitas yang tidak berkesinambungan, sehingga ketika proyek bantuan tersebut selesai maka selesai pula layanan kesehatan di penjara. Ketidaksinambungan ini diakibatkan karena dukungan yang diberikan tidak menyentuh sistem terkait kesehatan baik secara vertikal (internal Departemen Hukum dan HAM) maupun horizontal (dengan sistem kesehatan di wilayah kerja – pemerintah lokal, dinkes, dan rumah sakit).

Untuk mengatasi masalah ketersediaan layanan dan sumber daya kesehatan di penjara dengan kondisi saat ini, maka diperlukan upaya-upaya untuk mendorong pemerintah pusat (dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM) agar meningkatkan kapasitas petugas kesehatan dan melengkapi sumber daya di UPT sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan. Selain itu, diperlukan pula penguatan jaringan, khususnya rujukan kesehatan, di wilayah sehingga upaya-upaya kesehatan yang dilakukan di sebuah penjara terintegrasi dengan sistem kesehatan masyarakat setempat.

2) Layanan

Kesehatan

Proporsional

Fasilitas dan

SDM yang dapat

dibebankan

kepada APBN

3) Layanan

Kesehatan

Lengkap

Fasilitas

Selengkap RS

di Penjara

1) Layanan

Kesehatan

Tidak Ada

Mendorong

ketersediaan layanan

kesehatan yang

proporsional di penjara

Memperkuat jejaring

kesehatan di wilayah kerja

penjara (sistem rujukan)

Sulit diakomodasi

dalam APBN dan

membutuhkan

waktu lama untuk

penyediaannya

Page 9: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

2. Kebijakan Kesehatan

Sejumlah penyakit memiliki ‘sakralisasi’ penanggulangan yang menghambat upaya deteksi dini dan pengobatannya. Intervensi sebenaranya dapat dilakukan dengan peralatan dan tenaga yang telah tersedia di setiap penjara, atau dengan dukungan sederhana dari otoritas kesehatan di wilayah penjara. Pada akhirnya ketiadaan tenaga dan mahalnya biaya perawatan beserta sarana penunjangnyalah, yang keduanya berpangkal pada minimnya anggaran kesehatan, yang menjadi alasan untuk setiap kematian yang terjadi.

Rujukan pemeriksaan dan pengobatan yang biayanya harus ditanggung oleh penghuni akibat ketiadaan asuransi kesehatan adalah masalah tersendiri dalam kebijakan kesehatan baik daerah maupun pusat. Permasalahan di dalam penjara merupakan refleksi dari keadaan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat mengenai mahalnya biaya perawatan vis a vis jaminan kesehatan yang tidak dimiliki sebagian besar warga negara Indonesia.

Paska diberlakukannya UU Desentralisasi, tidak ada peraturan atau kesepakatan antara otoritas kesehatan dan pemasyarakatan di tingkat pusat untuk layanan kesehatan di penjara. Walaupun tumpang tindih anggaran tidak lagi terjadi di tingkat daerah, namun di tingkat pusat tidak pernah dibuat mekanisme penanggulangan masalah kesehatan di penjara.

Keadaan-keadaan di atas dapat terjadi dikarenakan paling tidak oleh dua hal:

a. Komersialisasi kesehatan yang selalu tertuju pada upaya-upaya kesehatan perorangan, tata laksana penanganan kesehatan dibuat serumit dan seberbelit-belit mungkin sehingga berbiaya tinggi;

b. Lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak yang dimiliki warganya ditandai dengan tidak adanya tata kebijakan (kalaupun ada, tidak tegas penerapannya) yang mengatur tentang jaminan kesehatan.

Kebijakan pemerintah ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga negara termasuk penghuni penjara. Ini berkaitan dengan penerapan kebijakan desentralisasi yang menyebabkan terbatasnya warga yang tidak terdaftar sebagai warga dimana penjara berada untuk dapat mengakses asuransi maupun jaminan atas layanan kesehatan sebagai rujukan di luar penjara. Kebijakan pemerintah juga ditujukan untuk memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan tersebut dalam rangka menunaikan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dibutuhkan sebuah tata kebijakan penanganan kesehatan yang bertumpu pada upaya kesehatan masyarakat, bukan upaya kesehatan perorangan. Komersialisasi sektor kesehatan harus pula diimbangi dengan perlindungan atau jaminan kepada masyarakat sehingga kesehatan yang merupakan hak warga negara secara umum tidak terabaikan. Tanggung jawab sosial industri kesehatan mutlak dituntut agar tidak semata-mata mengeruk keuntungan baik dari masyarakat langsung maupun dari pembayaran jaminan kesehatan oleh negara.

Page 10: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

3. Kasus Narkoba dan Kelebihan Kapasitas Hunian

Tingginya tingkat hunian lapas dan rutan hingga melebihi kapasitas mau tidak mau turut berpengaruh pada kondisi kesehatan penghuni. Hingga Februari 2007 terdapat 118,443 penghuni seluruh lapas dan rutan di Indonesia yang berkapasitas 76,550 orang, padahal sejak 2002 hingga 2006 pemerintah telah membangun 13 lapas khusus narkotika baru (Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia tahun 2001-2006 – Badan Narkotika Nasional, 2007). Kematian-kematian di dalam lapas/rutan banyak disumbangkan oleh pelanggar kasus narkoba pengidap HIV. Masih menurut BNN, pada tahun 2006, 28.4% dari seluruh jumlah penghuni lapas dan rutan di Indonesia adalah pelanggar kasus narkoba. Walaupun demikian, tidak ada upaya inovatif yang lebih efektif dalam menanggulangi masalah narkoba kecuali gencarnya penangkapan yang kemudian berakhir di lapas dan rutan.

Kematian, penularan HIV, dan masalah kesehatan lain di lapas/rutan merupakan ekses dari sebuah penerapan kebijakan yang mengedepankan kriminalisasi terhadap siapapun yang terlibat napza. Kebijakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dari peredaran dan produksi napza ilegal ternyata malah memenjarakan orang-orang yang seharusnya mendapat perlindungan. Dari seluruh kasus narkoba di lapas/rutan, pemakai merupakan populasi terbanyak yang ada di penjara saat ini dengan perincian sebagai berikut: Pemakai 25,283 (74%); Pengedar 8,200 (24%); dan Produsen 683 (2%) (Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia tahun 2001-2006 – Badan Narkotika Nasional, 2007). Jika tujuan kriminalisasi tersebut adalah untuk melindungi masyarakat dari pemakaian napza, maka seharusnya yang banyak berada di penjara adalah produsennya.

Maka sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengkaji ulang kebijakan napza yang selama ini justru menyebabkan penjara-penjara kelebihan hunian, penurunan kondisi kesehatan di dalamnya hingga pada kematian, dan pada akhirnya terus meningkatkan beban biaya negara untuk upaya-upaya pemberantasan napza, pemenjaraan, dan penanganan kesehatan.

Page 11: Peta Kesehatan Penjara Indonesia 2008

Daftar Kebijakan Pemerintah terkait Kesehatan di Penjara

1. UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika RI

2. UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika RI

3. Keputusan Bersama Menteri Kehakiman RI dan Menteri Kesehatan RI Nomor M.01-UM.01.06 Tahun 1987 dan Nomor 65/MENKES/ SKB/II/1987 Tanggal 6 Pebruari 1987 tentang Pembinaan Upaya Kesehatan Masyarakat Di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan;

4. Surat Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.UM.01.06-08 Tahun 1989 tentang Pelayanan Kesehatan Bagi Tahanan/Narapidana Yang Tidak Mampu;

5. PP Nomor 32 Th.1999 tentang Syarat dan Tata Cara pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;

6. Peraturan Pemerintah RI Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan;

7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan;

8. Pedoman Perawatan Kesehatan Warga Binaan Pemasyarakatan Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara – Direktorat Jenderal Pemasyarakatan 2004;

9. Penjelasan Dirjen BAKD mengenai Belanja Bantuan kepada Instansi Vertikal yang Bersumber dari APBD tahun 2006.

Amala Rahmah & Patri Handoyo Pengamat Masalah Sosial dan Kesehatan Saat ini bekerja untuk penanggulangan AIDS di Indonesia