Pesisir Selatan Papua

14
Kal Muller !"#$#$% #"'()(* !(+,(

description

Pesisir Selatan Papua, Kal Muller, Bab 3

Transcript of Pesisir Selatan Papua

Page 1: Pesisir Selatan Papua

Kal Muller

!"#$#$%&#"'()(*

!(+,(

!"#$#$%&#"

'()(*&!(

+,(

Kal M

uller

Buku ini adalah seri ketiga dari rangkaian tulisan tentang Papua. Kedua buku sebelumnya adalah Mengenal Papua dan Dataran Tinggi Papua. Masih ada dua buku lagi yang direncanakan: Pesisir Utara Papua dan Kepala Burung. Tujuan utama dari buku-buku ini adalah untuk menyediakan suatu ringkasan yang sarat tentang sejarah dan budaya bagi masyarakat Papua, terutama para pelajar tentang kampung halamannya. Pada akhirnya, seluruh buku dalam serial ini tersedia di Indonesia. Buku-buku dalam versi bahasa Inggris diperuntukkan bagi siapa saja yang memiliki minat tentang Papua.Apabila di bagian barat daya pesisir selatan telah berabad-abad mengalami kontak dagang dengan wilayah lain di Indonesia, kebanyakan sisa bagian lain di pesisir ini tidak dikenal oleh masyarakat luar hingga abad ke-20. Pos pionir pemerintah Belanda yang pertama didirikan di Merauke pada awal tahun 1900, sedangkan karya-karya Asmat menjadi kelompok etnis besar terakhir yang ada di bawah kontrol pemerintah pada tahun 1950-an. Di samping pemerintah kolonial, bersama dengan pelayanannya, Gereja Katolik Roma juga membawa pendidikan modern dan pelayanan kesehatan di pesisir selatan.Buku Pesisir Selatan Papua memberi suatu ringkasan singkat tentang sejarah wilayah, dan kemudian mencakup sebagian besar dari kelompok-kelompok etnik yang utama. Kebanyakan informasi bersumber dari berbagai publikasi dalam bahasa Inggris tentang beragam kelompok pengguna bahasa. Buku ini pasti bukanlah sebuah tulisan yang menceritakan tentang seluruh kelompok etnik yang berbeda yang ditemukan di wilayah ini. Penelitian lebih lengkap diperlukan untuk memberikan suatu gambaran yang lebih lengkap, terutama karena banyaknya tradisi leluhur yang secara perlahan telah hilang dari ingatan. Kami berharap bahwa beberapa penulis Papua akan melakukannya dan meningkatkan cakupan dan kualitas dari bahasan ini.Publikasi dari buku ini dapat terjadi berkat kontribusi yang berlimpah dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme Kamoro dan PT Freeport Indonesia.

!"

Page 2: Pesisir Selatan Papua

PESISIR SELATAN PAPUA

Page 3: Pesisir Selatan Papua

47GEREJA KATOLIK ROMA DAN PESISIR SELATAN PAPUA (ANTROPOLOGI DAN PROSELISASI)

B!" T#$!

!"#"$%&'%()*+,&-).%&/%0&1"2+2+#&3"*%(%0&1%45%&670(#)4)*)8+&/%0&4#)2"*+2%2+9

Gereja Katolik Roma memulai pekerjaan perutusannya di pesisir se-latan Papua sebelum pos-pos pemerintahan didirikan. Tahun 1888, Imam Jesuit pertama tiba di daerah Fakfak dan tahun 1895 pastor le Coq d’Armandville meninggal dunia, entah karena tenggelam (ke-mungkinan) atau dihabisi oleh suku Kamoro (tidak mungkin, na-mun bukan mustahil). Pendeta-pendeta menemani para penjelajah awal untuk masuk ke pedalaman, perjalanan melalui wilayah Asmat. Tetapi kontak awal ini bersifat sporadis dan misi permanen pertama belum berdiri hingga pembukaan pos pemerintah di Merauke pada tahun 1905. Kepulauan Kei merupakan kedudukan terdekat misi Katolik dan melalui daerah inilah para imam tiba di Papua. Saat itu, ordo Jesuit sebagai penginjil di New Guinea yang berkedudukan di Kei telah digantikan oleh pihak lain, yakni para pastor Hati Ku-dus (MSC). Imam-imam dari kelompok ini telah mewartakan ajaran agama Katolik di pesisir selatan Papua selama setengah abad.

Selama masa penjajahan Belanda, para pendeta Katolik Roma bekerjasama dengan pejabat-pejabat pemerintah dalam upaya un-tuk ‘memperadabkan’ orang-orang Papua. Upaya-upaya tersebut menimbulkan pertanyaan terhadap tugas utama yang bersifat me-maksakan diri. Dengan cara apakah budaya kemajuan teknologi di-paksakan terhadap masyarakat Papua? Alasannya jelas dan sangat

Page 4: Pesisir Selatan Papua

48 PESISIR SELATAN PAPUA

menarik: senjata api. Tak peduli seberapa berani dan tangguhnya orang-orang Papua ketika itu, mereka segera belajar bahwa meru-pakan hal gila atau tindakan bunuh diri jika mencoba membebaskan diri dari orang-orang asing yang mencolok dan tak disukai. Tugas utama pemerintah Belanda selesai, setidaknya pada awalnya, ada-lah untuk menghentikan berbagai serangan pengayauan lintas per-batasan yang dilakukan suku Marind-anim terhadap wilayah yang ada di bawah kontrol Inggris – pencapaian ini tidak cepat selesai, pihak Inggris mungkin telah mengambil tindakan sendiri dan pihak Belanda bisa saja kehilangan sebagian wilayah yang telah mereka klaim di pesisir selatan New Guinea.

Setelah pengayauan lintas batas dapat dihentikan, perhatian pihak Belanda terfokus pada kegiatan-kegiatan lain yang dianggap ‘tak da-pat diterima’. Berbagai kegiatan yang ingin dihentikan oleh pihak Belanda adalah perang suku, keseluruhan pengayauan, kanibalisme dan kegiatan ritual seks. Gereja Katolik sepenuhnya mendukung pemerintah untuk mengakhiri hal-hal tersebut. Dan sebagai tam-bahan adalah upaya untuk membawa orang-orang Papua masuk gereja, mendidik mereka dalam ajaran iman Kristiani dan membap-tis orang-orang ‘berhala’ secepat mungkin untuk menyelamatkan mereka dari kutukan abadi.

Sampai di sini kita harus berhenti sejenak untuk mengajukan beberapa pertanyaan dasar. Tampaknya orang-orang kulit putih melakukan peperangan tanpa seorangpun dapat menghentikannya. Meski tidak ada lagi perang suku terjadi diantara orang-orang kulit putih, peperangan yang mereka lakukan jauh lebih merusak daripada yang terjadi dengan orang-orang Papua. Tak seorangpun bersikeras atau memaksakan orang-orang kulit putih untuk datang ke gereja setiap hari Minggu. Dan sejauh mana keprihatinan terhadap moral seksual, kaum kulit putih memiliki gundik-gundik dan prostitusi. Mengapa para misionaris tidak berusaha melepaskan orang-orang kulit putih dari hal-hal di atas? Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan ini hanya bersifat teori. Tetapi jika kita melihat dari sudut pandang

Page 5: Pesisir Selatan Papua

49GEREJA KATOLIK ROMA DAN PESISIR SELATAN PAPUA (ANTROPOLOGI DAN PROSELISASI)

orang-orang Papua tentang pengayauan, peperangan dan kaniba-lisme, di mana kepentingan untuk melakukan hal-hal tersebut menurut keyakinan tradisional maka mereka tidaklah menjijikkan, karena praktek-praktek seperti ini mungkin berasal dari prespektif orang-orang non-Papua.

Praktek-praktek seksual di pesisir juga termasuk dalam kategori kepercayaan tradisional dengan satu peringatan penting. Diantara suku Marind, praktek ini mengakibatkan ketidaksuburan kaum wa-nita dan secara serius merupakan tingkat kematian yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh penularan penyakit kelamin, mungkin dibawa masuk oleh pendatang awal yang datang untuk berburu bulu burung cenderawasih untuk dijual di dunia barat. Pemerintah dan gereja memberikan sanksi-sanksi dan melarang praktek-praktek ritual sek-sual, serta membantu suku Marind untuk bertahan hidup.

Pesisir selatan Papua diberkati dengan hasil kerja dari banyak imam Katolik Roma yang sa ngat cerdas. Hal ini diaplikasikan pada ajaran agama dan moral mereka, yang akan kita pertim-bangkan kemudian, bagi tujuan penting kita yakni dedikasi me-reka dalam mempelajari berbagai bahasa dan budaya tradisional.

Para imam Hati Kudus yang ahli bahasa dan memiliki orien-tasi terhadap budaya ini, memu-lai karya yang luar biasa dengan suku Marind-anim, pemburu

Uskup Al Sowada membantu melestarikan banyak aspek dalam budaya Asmat. Beliau mendorong tradisi mengukir meski bertentangan dengan pemerintah.

Page 6: Pesisir Selatan Papua

50 PESISIR SELATAN PAPUA

kepala yang ganas dan terorganisir dengan baik dari wilayah Me-rauke. Pekerjaan ini menjadi dasar bagi publikasi selanjutnya oleh dua antropolog kelas dunia: Paul Wirz dari Swiss dan van Baal dari Belanda. Keduanya berkolaborasi, dan selalu memberi penghar-gaan kepada para pastor pioner. Dan berkat kedua orang inilah, kini masyarakat Marind dapat belajar tentang kehidupan leluhur mereka yang sempat terlupakan.

Selama tahun 1920 hingga 1930-an, para imam Katolik Roma melanjutkan karya mereka diantara kelompok pengguna bahasa lainnya di sisi utara dan barat areal suku Marind. Suku Muyu (yang telah kami bahas dalam buku Dataran Tinggi Papua) pertama kali dihubungi oleh pastor Verhoven pada tahun 1927, kira-kira pada waktu yang hampir sama dengan pastor Boelaars memulai tugas-nya diantara suku Yaqay dan suku Awyu. Terlepas dari tugas utama mereka untuk mengenalkan agamanya kepada orang-orang Papua, beberapa pendeta mempelajari berbagai bahasa dan menulis bebe-rapa etnogra% singkat. Sayangnya, kebanyakan hasil karya ini hanya

Jendela katedral Katolik Roma di Agats menggunakan corak ukiran Asmat dengan menonjolkan ciri khas wajah.

Page 7: Pesisir Selatan Papua

51GEREJA KATOLIK ROMA DAN PESISIR SELATAN PAPUA (ANTROPOLOGI DAN PROSELISASI)

dikerjakan dalam bahasa Belanda dan tidak ditindaklanjuti dengan publikasi profesional. Juga tidak semua kelompok mendapat perha-tian antropologi dari imam-imam tersebut. Sejauh yang dapat kita tentukan, mereka tidak mempelajari budaya masyarakat Pulau Kolo-pom, suku Kamoro, suku Mandobo atau kelompok-kelompok lain, khususnya mereka yang tinggal jauh di pedalaman.

Kita sangat beruntung perihal etnogra% suku Asmat, berkat mi-nat dan tulisan-tulisan dari sejumlah imam Katolik Roma pertama yang berada diantara mereka. Para imam ini relatif terlambat dalam memulai karyanya, karena suku Asmat merupakan kelompok pesisir terakhir yang masuk dalam kontrol pemerintah dan pengaruh gereja. Ketika sejumlah ekspedisi penjelajahan telah dilakukan di wilayah ini, pastor Zegwaard memulai pekerjaan antropologinya pada tahun 1947. Setahun sebelumnya, sekitar 6.000 orang pengungsi Asmat datang ke wilayah suku Kamoro karena adanya perkelahian antar suku secara besar-besaran. Beberapa ribu lagi datang pada tahun berikutnya. Pastor Zegwaard membuka sebuah sekolah bagi me-reka dan mulai mempelajari bahasa dan adat istiadat suku Asmat. Di tahun 1953, beliau membuka pos misi permanen yang pertama di tengah masyarakat Asmat, di Syuru (tahun berikutnya beliau di-pindah-tugaskan di sekitar Agats) dan tetap melanjutkan pekerjaan etnogra%snya, menghasilkan karya tulis yang tak ternilai.

Para imam lainnya dengan cakap melanjutkan studi awal yang dilakukan pastor Zegwaard tentang suku Asmat, terutama pastor (kelak menjadi Uskup) Al Sowada dengan gelar master dalam ilmu antropologi, tiba di daerah Asmat pada tahun 1961. Lalu di tahun 1972, pihak gereja memulai publikasi berseri, bernama An Asmat Sketchbook. Delapan buku dari serial publikasi ini akhirnya selesai dibawah arahan pastor Trenkenschuh. Buku-buku ini tetap men-jadi dasar dan merupakan sumber yang penting bagi semua studi etnogra% tentang suku Asmat.

Selain peperangan dan perburuan kepala, juga dituliskan seba nyak mungkin bahwa perutusan Katolik Roma cukup toleran terhadap

Page 8: Pesisir Selatan Papua

52 PESISIR SELATAN PAPUA

sebagian besar manifestasi budaya Asmat: rumah panjang bagi kaum lelaki atau bujang, termasuk sebagian besar ritualnya. Para imam ini, terutama sekali mendorong tradisi mengukir, dan berkat hal ini produksi atas karya asli dan artistik bertahan hingga hari ini. Gereja sangat membantu Program Seni Suku Asmat bersama de-ngan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang dimulai pada tahun 1968. Dua tahun kemudian, Uskup Sowada mulai pembangunan Museum Seni, Budaya dan Perkembangan suku Asmat di Agats. Kemudian beliau memulai kontes tahunan untuk ukiran dan lelang karya ter-baik. Kegiatan budaya yang hebat ini terus diselenggarakan hingga hari ini, dimana tanggal pelaksanaan selalu jatuh pada hari Selasa kedua setiap bulan Oktober. Sejumlah besar uang diterima oleh para pengukir berkat kegiatan pelelangan yang menyemangati mereka dan pengukir lainnya untuk tetap memproduksi ukiran-ukiran kelas dunia.

Sayangnya, para misionaris Protestan yang bertugas di wilayah As-mat setelah berdirinya Gereja Katolik Roma memiliki %loso% yang sangat berbeda tentang budaya suku Asmat. Mereka menentang se-bagian besar manifestasi tersebut, termasuk rumah bujang laki-laki, semua ritual termasuk juga tradisi mengukir. Sejauh yang kita tahu, tak ada misionaris Protestan yang menulis tentang budaya Asmat setelah &e Evangelical Alliance Mission (TEAM) membuka pos per-tamanya di Ayam pada tahun 1956.

Kami hanya menemukan satu buku di wilayah tersebut, berjudul “Peace Child”, ditulis oleh Don Richardson yang bekerja diantara suku Sawi, sebuah kelompok yang tetangga dengan suku Asmat. Meskipun terdapat beberapa informasi etnogra% berharga dalam buku tersebut, tetapi kebanyakan berhubungan dengan kehidupan pribadi Richardson dan karya misionarisnya. Juga didapati suatu tulisan berisi penjelasan singkat tentang suku Sempan, tetangga suku Asmat yang lain, dalam sebuah buku yang berjudul “Incessant Drumbeat”, tentang pekerjaan seorang misionaris Protestan yang bernama Larry Rascher.

Page 9: Pesisir Selatan Papua

53GEREJA KATOLIK ROMA DAN PESISIR SELATAN PAPUA (ANTROPOLOGI DAN PROSELISASI)

Kurangnya informasi etnogra%s (kecuali dalam hal ilmu bahasa) dari misionaris Protestan yang bertugas di pesisir selatan amat kon-tras dengan sejumlah buku yang luar biasa, catatan-catatan dan ber-bagai desertasi tentang kelompok-kelompok penghuni dataran ting-gi di Papua. Para misionaris Protestan yang bertugas di sana telah menyediakan bagi kita informasi lengkap tentang suku Lani, suku Yali dan suku Mek; berkat menetapnya mereka selama beberapa da-sawarsa dan kefasihan yang sempurna dalam berbagai bahasa.

EVOLUSI DALAM FILOSOFI KATOLIK ROMAAjaran dari Gereja Katolik Roma selama setengah abad setelah awal berdirinya di Merauke hanya terdiri dari ajaran yang paling dasar tentang katekisasi, belajar di luar kepala, dan suatu pembaptisan cepat. Hal ini ber-dasarkan kepercayaan mereka bahwa jiwa orang-orang Papua hanya dapat diselamatkan mela-lui pembaptisan oleh para imam yang telah ditahbiskan. Pemaha-man ini didasarkan pada pendi-rian bahwa hanya Gereja Katolik Roma saja yang telah melaksa-nakan kehendak Tuhan. Pema-haman iman yang lebih dalam bisa datang kemudian, bahkan mungkin pada generasi berikut-nya. Hal inilah yang menyebab-

Ukiran-ukiran Asmat berukuranbesar dan berkualitas tinggi menghiasi bagian dalam pintu masuk katedral di Agats. Gereja Katolik Roma menerima dan memadukan banyak tradisi Asmat.

Page 10: Pesisir Selatan Papua

54 PESISIR SELATAN PAPUA

kan beberapa pendeta Protestan menyebut beberapa orang Papua pemeluk agama Katolik Roma sebagai ‘penyembah berhala yang dibaptis’. Karena sulit untuk bekerja dengan orang dewasa, pihak Katolik berkonsentrasi pada upaya mereka terhadap anak-anak, ber-harap kelak ketika dewasa mereka akan mengubah masyarakatnya menjadi pengikut Gereja Roma yang setia. Penekanan ajaran Kato-lik juga diarahkan pada mengakhiri cara hidup tidak menetap dari kelompok-kelompok yang hidup di pesisir agar mereka mengha-biskan sebanyak mungkin waktu di kampung-kampung permanen mereka, dimana moralitas seksual dapat dipaksakan dan kewajiban mengenakan pakaian serta menghadiri kebaktian di gereja setiap hari Minggu dapat dilaksanakan.

Pemahaman baru yang ada sekarang sepenuhnya didukung oleh para pegawai sipil Belanda dengan senjata api, jika diperlukan. Tetapi pihak Gereja juga mengontrol akses terhadap barang-barang dari dunia barat yang sangat diinginkan, termasuk alat-alat logam dan terutama tembakau. Di banyak daerah, kehadiran dalam gere-ja ‘dihargai’ dengan pembagian tembakau gratis setelah kebaktian Minggu: ‘tembakau Kekristenan’. Hal ini berlangsung lama hingga seorang penulis mengamati pekerjaan Gereja terhadap suku Mee di dataran tinggi, memberi judul bukunya “Tak Ada Tembakau, Tak Ada Haleluya”. Di sebagian besar wilayah, kecuali dimana peme-rintah mengelola pos penjagaan, Gereja adalah satu-satunya akses untuk memperoleh barang-barang dari dunia barat. Hal ini menjadi alasan kuat untuk setidaknya berpura-pura menjadi anggota gereja. Di daerah Asmat, orang-orang yang agresif seringkali secara teratur membobol gereja untuk mencuri berbagai barang, tetapi terutama tembakau.

Filoso% Katolik Roma mengalami transformasi drastis sejak tahun 1962, berkat perubahan-perubahan menggemparkan yang dihasilkan oleh pertemuan skala luas dari para pemimpin yang disebut Vatikan II. Diputuskan bahwa kehendak Allah tidak hanya dapat disampai-kan melalui Gereja Katolik Roma, tetapi juga diluar Gereja mereka

Page 11: Pesisir Selatan Papua

55GEREJA KATOLIK ROMA DAN PESISIR SELATAN PAPUA (ANTROPOLOGI DAN PROSELISASI)

dan kehidupan sakramentalnya. Terdapat suatu cara pemikiran yang amat baru tentang kehidupan menurut keyakinan mereka sendiri bahwa orang-orang non-Katolik juga dapat diselamatkan. Hal ini menyebabkan adanya rasa penghargaan yang lebih besar terhadap kebudayaan tradisional Papua dan kepercayaan tradisional mereka, meski perburuan kepala dan kanibalisme masih tidak dapat dite-rima.

Cara berpikir yang baru di dalam Gereja Katolik Roma menguat-kan kembali kecenderungan yang telah ada oleh banyak imam untuk membantu orang-orang Papua beradaptasi dengan gangguan dunia luar di atas bumi ini dengan meningkatkan kehidupan jasmani para umatnya. Sejak hari-hari pertama di Papua, pihak Katolik Roma te-lah membangun sekolah-sekolah di lokasi-lokasi pusat, dan secara bertahap mengenalkan pendidikan duniawi. Pemerintah Belanda mensubsidi sekolah-sekolah tersebut hingga mencapai standar ter-

Museum Seni, Budaya dan Perkembangan Asmat didirikan oleh Gereja Katolik untuk membantu melestarikan rasa bangga terhadap budaya lokal. Para pengukir akan bangga ketika hasil kerja mereka terpilih untuk dipamerkan dalam museum.

Page 12: Pesisir Selatan Papua

56 PESISIR SELATAN PAPUA

tentu, dan kebijakan ini terus dii-kuti setelah peralihan kekuasaan oleh Indonesia. Kesehatan men-jadi perhatian utama yang lain, awalnya adalah pemberantasan penyakit kelamin dan penyakit kulit (framboesia), kemudian gerakan untuk menggalakkan kebersihan guna meningkatkan kebersihan setempat dan air mi-num. Dan Gereja juga berusaha untuk menggalakkan penjualan produk-produk yang dihasilkan orang-orang Papua untuk mem-bantu kemajuan dalam bidang ekonomi keuangan.

Memang, pengembangan so-sial-ekonomi menjadi tujuan utama dari misi Katolik Roma di wilayah suku Asmat. Setelah pas-tor Hesch mengakhiri ‘tembakau Kekristenan’ di tahun 1965,

pengembangan sosial-ekonomi jangka panjang dan memprioritas-kan pemberian pendidikan atas perpindahan keyakinan secepatnya serta pembaptisan. Kwalitas sekolah ditingkatkan dan memulai ker-jasama untuk produksi dan penjualan kayu, ikan, babi dan minyak kelapa. Segala upaya dilakukan untuk menyatukan pendidikan dan kerjasama pihak Gereja se suai dengan tujuan pengembangan dari Pemerintah Indonesia.

PERTANYAAN1. Mengapa sebagian orang Papua mempraktekkan perburuan kepala?2. Apakah Anda berpikir bahwa pemerintah Belanda bertindak tepat dalam

Banyak orang Papua di pesisir selatan menganut iman Katolik Roma. Agama ini sebagian besar disebarkan oleh para misionaris Belanda. Keban-yakan dari imam yang ada saat ini adalah orang Indonesia.

Page 13: Pesisir Selatan Papua

57GEREJA KATOLIK ROMA DAN PESISIR SELATAN PAPUA (ANTROPOLOGI DAN PROSELISASI)

menghentikan pengayauan? Mengapa?3. Dengan hukum apakah satu budaya mengubah budaya yang lain?4. Bagaimana Gereja Katolik Roma membangun dirinya sendiri diantara suku Marind dan suku Yaqay?5. Apakah yang dilakukan oleh imam-imam Katolik Roma disamping menye-barkan ajaran Kristen?6. Apa sajakah pengaruh imam-imam Katolik Roma terhadap budaya Asmat?7. Apa sajakah perbedaan diantara pemikiran Gereja Katolik Roma dan Prot-estan tentang budaya Asmat?8. Evolusi apa yang ada dalam pemikiran Gereja Katolik Roma ketika berurusan dengan orang-orang yang beragama lain?9. Apakah yang dimaksud dengan ‘tembakau Kekristenan’? Apakah Anda ber-pikir bahwa hal ini merupakan suatu ide yang baik? Mengapa?10. Apakah persamaan dan perbedaan versi antara gereja Katolik Roma dan Prot-estan terhadap Kekristenan?

Page 14: Pesisir Selatan Papua

58 PESISIR SELATAN PAPUA