PERUBAHAN RESPON MESIR TERHADAP PEMBANGUNAN...
Transcript of PERUBAHAN RESPON MESIR TERHADAP PEMBANGUNAN...
PERUBAHAN RESPON MESIR TERHADAP
PEMBANGUNAN GRAND ETHIOPIAN
RENAISSANCE DAM DI SUNGAI NIL BIRU TAHUN
2011-2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun Oleh:
Muhammad Faruki
109083100015
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang Berjudul :
“PERUBAHAN RESPON MESIR TERHADAP PEMBANGUNAN GRAND
ETHIOPIAN RENAISSANCE DAM DI SUNGAI NIL BIRU TAHUN 2011-
2015”
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2016
Muhammad Faruki
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi Menyatakan bahwa mahasiswa
Nama : Muhammad Faruki
NIM : 109083100015
Program Studi : Hubungan Internasional Kelas Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
“Perubahan Respon Mesir terhadap Pembangunan Grand Ethiopian
Renaissance DAM di Sungai Nil Biru Tahun 2011-2015.”
Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 15 Juni 2016
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi, Dosen Pembimbing,
Dr. Badrus Sholeh, M.A Dr. Badrus Sholeh, M.A
NIP. 197102111999021002 NIP.197102111999021002
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
Perubahan Respon Mesir terhadap Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance
Dam di Sungai Nil Biru tahun 2011-2015
Oleh
Muhammad Faruki
109083100015
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Juni
2016 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua Sidang, Sekretaris Sidang,
Dr.Badrus Sholeh, MA. Eva Mushoffa, M.HSPS.
NIP. 197102111999021002 NIP.
Penguji I, Penguji II,
M.Adian Firnas, M.Si Robi Sugara,M.Sc
NIP. NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 24 Juni 2016
Ketua Program Studi,
Dr. Badrus Sholeh, MA
NIP. 197102111999021002
iv
ABSTRAK
Skripsi ini akan membahas mengenai Perubahan Respon Mesir terhadap
Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil Biru tahun 2011-
2015. Adapun penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan pemerintah Mesir
dalam merubah kebijakan luar negerinya menerima Grand Ethiopian
Renaissance Dam. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian ini melalui studi
pustaka.
Pembahasan dalam penelitian ini menitikberatkan pada perubahan kebijakan luar
negeri Mesir terhadap pembangunan bendungan oleh Ethiopia di Sungai Nil Biru.
Mengingat kebutuhan air sangat penting untuk kebutuhan pertanian dan
perkebunan bagi Mesir. Proses perubahan kebijakan tersebut dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal. Selain itu memberikan penegasan bahwa seiring
adanya pergantian Presiden Mesir dari Muhammad Mursi hingga ke Abdul Fatah
Al-Sisi, tentunya kebijakan antara dua presiden tersebut berbeda. Mursi yang
terbilang cukup singkat memimpin Mesir menolak pembangunan bendungan
tersebut. Namun, berbeda dengan Abdul Fatah Al-Sisi yang menerima
pembangunan bendungan karena bagi Al-Sisi ada keuntungan jika bekerjasama
untuk mengelola bendungan. Kemudian penelitian ini akan diakhiri dengan
faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri Mesir terhadap
pembangunan GERD di sungai Nil Biru.
Kerangka teori dalam skripsi ini menggunakan konsep kepentingan nasional,
kebijakan luar negeri, dan kerjasama yang dianalisis dengan pendekatan faktor
internal (idiosyncretic) dan faktor eksternal (ancaman keamanan). Berdasarkan
hasil penelitian skripsi ini bahwa perubahan kebijakan luar negeri Mesir
dipengaruhi idiosyncretic dan ancaman keamanan disamping kepentingan
nasionalnya terhadap Ethiopia.
Kata Kunci: Mesir, Ethiopia, GERD, Kebijakan Luar Negeri, Kepentingan
Nasional, Idiosyncretic, Ancaman Keamanan.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr,Wb
Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah SWT berkat segala
rahmat dan kehendak-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan
berjudul: “Perubahan Respon Mesir terhadap Pembangunan Grand
Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil Biru tahun 2011-2015”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan program S1 pada Program Studi Hubungan Internasional di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari
bahwa skripsi ini berhasil diselesaikan juga atas bimbingan, saran, dan motivasi
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta kesehatan sehingga
saya bisa menyelesaikan skripsi ini.
2. Keluarga penulis, H.Nano Sukatno selaku Ayahanda dan Hj.Een
Suherna selaku Ibunda yang selalu memanjatkan doanya, memberikan
semangat, serta berbagai masukan positif dalam proses penyelesaian
skripsi ini. Tidak lupa juga dengan kakak beserta adik penulis, yakni
Farhan Muhammad, Lc (kakak pertama), Auliya Urahman, A.Md
(kakak kedua), Faris Kifahi, S.H (kakak ketiga), dan Nurul Afifah
(adik) yang selalu mengingatkan serta motivasi untuk menyelesaikan
skripsi.
3. Lisa Septiani Martin, sebagai pasangan penulis (the one and only),
yang tidak pernah lelah memberikan dorongan semangat serta doa
kepada penulis untuk bisa menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibunda Dr. Fadillah Suralaga, M.Si selaku Wakil Rektor 1 bidang
akademik yang memberikan dukungan moril maupun materil kepada
penulis.
5. Bapak Dr. Badrus Sholeh, MA selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional FISIP UIN Jakarta yang juga sebagai dosen Pembimbing
vi
Penulis yang telah banyak memberikan motivasi, arahan, saran dan
ilmunya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Sahabat/sahabati IKA PMII UIN, PB. PMII, PC. PMII Ciputat, PK.
PMII Komfisip, Dema UIN Jakarta, Sema UIN Jakarta, Dema Fisip
UIN Jakarta, Sema Fisip UIN Jakarta, HIMAHI, HMJ Sosiologi, HMJ
Politik, dan Bengkel Abstrak.
7. Teman-teman HI kelas Internasional angkatan 2009, Ala, Ani, Ami,
Dinda, Fargas, Nargis, Sabran, Syifa, Putri, Mike, Riana, Eris, Edi,
Eki, Fahmi, Fayadh, Alul, Rifki, Ismet, Tera, Pai, Manshur, Jamal, Mas
Al dan Shobah.
8. Sahabat/sahabati Gangstaa Kepomsky, Nyimas, Odhon, Ardhy, Dimas,
Andi, Risky, Eka, Miftah, Ayu, Borlay, Ojal, Ditha, Imam dan Abe.
9. Sahabat/i Israel Institut, Rikal, Abun, Kentung, Nje, Masayu, Buton,
Adi Budiman, Bang Carman, Bang Iqbal, Bang Hanz, Mas Dino, Bang
Matin, Bang Iqbal Fikry, Bang Ebbes, Mas Zayin, Rafsan, Hakim,
Adam, Khalid, Iceng, Faisal, Khairi, Fikry, Hilman, Adit dan juga
Kohat
10. Temen sekosan (Ubud Village) sahabat Cena penulis buku, diplomat
muda berbakat, pemuda terbaik se-ASEAN, sekaligus editor skripsi
dan juga sahabat Entis (larva) tim antar jemput.
Penulis sangat menyadari bahwa masih terdapatnya kekurangan dalam
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat positif
dan membangun sebagai bentuk perbaikan di masa mendatang. Skripsi ini
diharapkan dapat memberikan manfaat dan menambah khazanah ilmu
pengetahuan bagi setiap pembacanya serta secara khusus berkontribusi dalam
perkembangan studi Hubungan Internasional
Jakarta, 21 Juni 2016
Muhammad Faruki
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
I.B Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 7
I.C Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 7
I.D Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 8
I.E Kerangka Teori ........................................................................................ 10
I.E.1 Kepentingan Nasional ............................................................. 11
I.E.2 Kebijakan Luar Negeri ............................................................. 12
I.E.2.1 Faktor Internal(Idiosyncratic)…………………………15
I.E.2.2 Faktor Eksternal (Ancaman Keamanan)……………....17
I.E.3 Konsep Kerjasama .................................................................... 19
I.F Metode Penelitian .................................................................................... 21
I.G Sistematika Penulisan ............................................................................. 22
BAB II LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN GERD
II.A Kerangka Kerjasama Pengelolaan Sungai Nil ....................................... 23
II.B Motif Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam...................... 34
II.C Dampak Pembangunan GERD terhadap Mesir ..................................... 38
BAB III RESPON MESIR TERHADAP PEMBANGUNAN GERD DI
SUNGAI NIL BIRU
III. A Respon Mesir terhadap GERD Pada Masa Pemerintahan Mursi ........ 42
III. B Respon Mesir terhadap GERD Pada Masa Pemerintahan Al-Sisi ...... 47
BAB IV PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI MESIR DALAM
MENERIMA PEMBANGUNAN GERD DI SUNGAI NIL BIRU
IV.A Kepentingan Nasional Mesir terhadap Ethiopia .................................. 50
IV.B Perubahan Kebijakan Luar Negeri Mesir terhadap GERD .................. 56
IV.C Faktor Internal (Idiosyncratic)………………………………………...60
IV.D Faktor Eksternal (Ancaman Keamanan)……………………………....63
BAB V PENUTUP
V.A Kesimpulan ............................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ xi
Lampiran
viii
DAFTAR TABEL
TABEL II.A.1 .................................................................................................... 26
TABEL II.A.2…………………………………………………………………..30
TABEL II.B.1…………………...……………………………………………...36
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.A.1 Peta Sungai Nil ........................................................................... 25
Gambar IV.A.1 Peta Terusan Suez, Laut Merah dan Bab Al-Mandab………....55
x
DAFTAR SINGKATAN
CFA Cooperative Framework Agreement
EGP Egyptian Pound
GDP Growth Domestic Product
GERD Grand Ethiopian Renaissance Dam
GMCR Graph Model for Conflict Resolution Decision Support System
HAM Hak Asasi Manusia
KLN Kebijakan Luar Negeri
NBI Nile Basin Initiative
UA Uni Afrika
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.A Pernyataan Masalah
Kebutuhan akan air Timur Tengah semakin lama semakin meningkat
akibat meningkatnya jumlah penduduk dan semakin meningkatnya produksi
pertanian. Secara geografis kawasan Timur Tengah sebagian besar dikelilingi oleh
gurun. Sehingga berdampak pada sedikitnya sumber air, khususnya air bersih
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari negara-negara di kawasan tersebut.
Kelangkaan air bersih inilah yang kerapkali menjadi salah satu sumber masalah di
Timur Tengah. Ketidakadilan dalam pendistribusian air khususnya sungai,
seringkali tidak bisa dimanfaatkan secara adil oleh setiap negara-negara.
Hal ini terlihat dari konflik yang terjadi antara Mesir dan Ethiopia di
Sungai Nil Biru. Konflik ini mulai memanas ketika pada tahun 2011 Ethiopia
membangun bendungan raksasa di wilayah Sungai Nil tersebut. Dimana dari
pembangunan bendungan tersebut memunculkan respon dari negara tetangga
yaitu Mesir.
Sungai Nil yang menjadi kebanggaan warga Mesir yang alirannya
mengalir ke Sudan, Uganda, Ethiopia dan beberapa daerah lainnya di Afrika
memang tidak dirasakan keuntungannya oleh negara-negara sekitaran Sungai Nil
selain Mesir. Karena, sejak dari tahun 1929 hingga sekarang hanya Mesir saja
yang berhak menggunakan air Sungai Nil sehubungan dengan adanya perjanjian
2
pada 1929 dan 1959, terlebih pada 1960 Mesir membangun bendungan Aswan
sehingga debit air ke negara-negara lain sangat minim.1
Ketidakadilan akan pembagian inilah yang akhirnya menginisiasi negara-
negara seperti Uganda, Kenya, Rwanda, Tanzania, Burundi dan Ethiopia untuk
meratifikasi Nile Basin Cooperative Framework Agreement pada tanggal 13 Juni
2013. Nile Basin Cooperative Framework Agreement adalah hasil negosiasi
multilateral pertama yang melibatkan negara hulu dan hilir yang teraliri oleh
sungai Nil. Adanya perjanjian ini diharapkan adanya distribusi yang adil terhadap
pemanfaatan Sungai Nil.2
Adanya ratifikasi Nile Basin Cooperative Framework Agreement,
diharapkan negara-negara yang menandatangani perjanjian ini dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ethiopia sendiri sebagai negara pertama
yang menginisiasi perjanjian ini akan mendapatkan dua keuntungan, Benefits from
River dan juga Benefit Beyond the River.3
Melalui Benefits from River, Ethiopia mendapatkan keuntungan ekonomi,
sedangkan dari Benefit Beyond the River Ethiopia akan berintegrasi dengan
negara-negara yang mempengaruhi sungai Nil tanpa mengurangi biaya untuk
mendukung pemanfaatan sungai, dan yang lebih besar lagi yakni keuntungan dari
1 Hamilton, “Former National Leaders: Water a Global Security Issue”, diakses pada 2
Januari 2015 melalui http://unu.edu/media-relations/releases/water-called-a-global-security-
issue.html. 2 Sartika Tandirerung, “Faktor Domestik Ethiopia Meratifikasi Nile Basin Cooperative
Framework Agreement Tentang Manajemen Redistribusi Aliran Sungai Nil Tahun 2013,” Jurnal
analisis hubungan internasional, Vol.3. no.1, (Maret 2014): hal.640, diakses pada Januari 2015
melalui http://journal.unair.ac.id/faktor-domestik-ethiopia-meratifikasi-nile-basin-cooperative-
framework-agreement-(cfa)-tentang-manajemen-redistribusi-aliran-sungai-nil-tahun-2013-article-
7218-media-131-category-8.html. 3 Ibid., hal. 648.
3
proyek bendungan Grand Ethiopian Renaissance Dam yang berkontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi Ethiopia. 4
Sebagaimana kita ketahui bahwa Ethiopia merupakan salah satu negara
termiskin di dunia dengan GDP (Growth Domestic Product) per kapita hanya
sebesar 471 dollar Amerika.5 Sekitar 38 persen dari 80 juta penduduk Ethiopia
masih hidup dalam kemiskinan dengan hanya mendapatkan pendapatan di bawah
1,25 dollar Amerika perhari.6 Melihat dari data di atas, kemiskinan yang bertahun-
tahun menyelimuti Ethiopia mesti dientaskan, salah satunya dengan mengeluarkan
kebijakan pengembangan sumber daya air.
Pemerintahan Ethiopia yang menekankan pada peningkatan
pengembangan kebijakan sumber daya air mendapatkan respon yang kurang baik
dari negara hilir seperti Mesir. Pada 11 April 2011 Ethiopia membangun Grand
Ethiopian Renaissance Dam suatu proyek besar bendungan terbesar di Afrika
dengan kapasitas 6000 Megawatt dengan reservoir sebesar 63 milyar per kubik
yang diperkirakan selesai pada tahun 2017. Mesir, sebagai negara yang sangat
4 Sartika Tandirerung, “Faktor Domestik Ethiopia Meratifikasi Nile Basin Cooperative
Framework Agreement Tentang Manajemen Redistribusi Aliran Sungai Nil Tahun 2013,” Jurnal
analisis hubungan internasional, Vol.3. no.1, (Maret 2014): hal.648, diakses pada Januari 2015
melalui http://journal.unair.ac.id/faktor-domestik-ethiopia-meratifikasi-nile-basin-cooperative-
framework-agreement-(cfa)-tentang-manajemen-redistribusi-aliran-sungai-nil-tahun-2013-article-
7218-media-131-category-8.html 5 Feed for future, “Feed the Future Country Fact Sheet 2014, Ethiopia,” diakses pada 4
January 2015 melalui https://www.feedthefuture.gov/country/ethiopia. 6 Ibid.,
4
bergantung pada sungai Nil, menuntut bahwa dengan adanya proyek bendungan
ini maka kapasitas volume air terhadap Mesir akan berkurang. 7
Sungai Nil memiliki potensi yang besar bagi perekonomian Mesir.
Sekitar 94 persen kebutuhan air Mesir bersumber dari sungai Nil, sebab negara ini
tidak memiliki alternatif lain dalam penyedian sumber air baik dari hujan maupun
sumber perairan lain untuk dijadikan irigasi bagi masyarakatnya melakukan
pertanian. Diperkirakan kebutuhan ini akan meningkat 20 persen pada 2015.
Selain itu, lumpur yang dibawa oleh sungai Nil pada masa kuno membuat
tanah yang terkena banjir menjadi subur. Kesuburan lahan-lahan sepanjang sungai
memiliki peranan penting bagi pertumbuhan pertanian. Masyarakat mulai
melakukan pertanian seperti menanam gandum, jelai dan kurma yang hingga saat
ini terus berlangsung dan berkembang. Potensi sungai Nil ditambah juga dengan
banyaknya kapal-kapal kecil yang melaluinya dalam melakukan aktivitas
perdagangan antar negara.8
Melihat potensi ini, maka Mesir khawatir terjadi pengurangan sementara
ketersediaan air karena pengisian bendungan dan penurunan permanen karena
penguapan dari reservoir. Kerugian ini akan berdampak ke negara hilir dalam
beberapa tahun. Kabarnya selama pengisian reservoir 11 sampai 19 milyar meter
7 Mohamed Abd El-Ghany, “ Ethiopia studies on Nile dam fall short, Egypt says,”
diakses pada 4 Januari 2015 melalui http://www.reuters.com/article/us-egypt-ethiopia-Nile-
idUSBRE9510C720130602. 8 Lauren Power, “Death On the Nile: Egypt‟s Burgeoning Food and Water Security
Crisis”, diakses pada 3 Januari 2015 melalui http://www.futuredirections.org.au/publication/death-
on-the-Nile-egypt-s-burgeoning-food-and-water-security-crisis-2/.
5
kubik air per tahun bisa hilang, yang akan menyebabkan dua juta petani
kehilangan pendapatan mereka selama periode pengisian reservoir.9
Meskipun perseteruan pembangunan Grand Ethiophian Renaissannce
Dam terus berlangsung, namun dari sisi hubungan bilateral di kawasan Mesir
merupakan salah satu negara panutan dalam Uni Afrika (AU). Kebijakan Mesir
untuk merespon pembangunan Grand Ethiophian Renaissance Dam harus
mempertimbangkan stabilitas politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Selain itu,
respon yang dilakukan Mesir harus mempertimbangkan hubungan multilateral
dengan negara-negara lainnya yang tergabung dalam Nile Basin Cooperative
Framework Agreement.
Adanya berbagai dampak positif dan negatif dalam pembangunan
bendungan tersebut membuat pemerintahan Mesir mengambil sikap terhadap
permasalahan itu. Pada masa pemerintahan Mursi kebijakan luar negeri Mesir
lebih melakukan penolakan terhadap bendungan tersebut. Terbukti dengan
ancaman pengerahan kekuatan militer serta pengusiran suku Oromo (Ethiopia) di
Mesir.
Ketika terjadinya pergantian pemimpin di Mesir yakni Mursi digantikan
dengan Abdul Fatah Al-Sisi. Perubahan pemimpin tersebut berbanding lurus
dengan pergeseran kebijakan luar negeri Mesir. Presiden Al-Sisi melihat
9 Jeremy Josephs, “ Grand Designs North Africa: Impact of Ethiopia‟s Renaissance
Dam.” diakses pada 3 Januari 2015 melalui
http://www.waterworld.com/articles/wwi/print/volume-29/issue-1/regional-spotlight/ethiopia-
impact-of-renaissance-dam/grand-designs-north-africa-impact-of-ethiopia-s-renaissance-dam.html.
6
penggunaan kerjasama sangat menguntungkan dalam merespon pembangunan
bendungan raksasa tersebut.
Pertimbangan kebutuhan air untuk kebutuhan pertanian serta adanya
ancaman dari pasukan teroris dari Somalia yakni Al-Shahaab membuat Al-Sisi
cenderung melunak. Jika melihat ancaman militer yang pernah dilakukan oleh
Muhammad Mursi terhadap Ethiopia justru tidak mampu menghentikan
pembangunan tersebut. Bahkan Ethiopia tetap melanjutkan pembangunan
bendungan di negaranya.
Berbeda dengan Al-Sisi dengan pendekatan kerjasama dalam
permasalahan bendungan membuat tercapainya suatu perjanjian yang ditanda
tangani oleh Mesir, Ethiopia, dan Sudan. Perjanjian itu dikenal dengan
Declaration of Principles yang terdiri dari 10 prinsip mengenai teknis serta
peraturan dalam pembangunan bendungan di Ethiopia.
Sebelumnya pernah ada suatu perjanjian mengenai bendungan raksasai ini
dikenal dengan Cooperative Framework Agreement. Namun perjanjian itu tidak
ditandatangani oleh Mesir dan Sudan karena ada beberapa peraturan yang
merugikan Mesir serta tidak membahas secara lengkap mengenai teknis dan
peraturan dalam pembangunan tersebut.
Posisi dilematis Mesir sebagai salah satu pemimpin di Uni Afrika dan
kebutuhan akan Sungai Nil sangat mempengaruhi keputusan Mesir dalam
menentukan respon yang tepat. Untuk itu, pada tahun 2015 respon mesir terhadap
pembangunan bendungan yang dilakukan oleh Ethiopia berubah. Mesir menerima
7
pembangunan tersebut padahal ditahun-tahun sebelumnya kebijakan Mesir adalah
menolak pembangunan bendungan tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas maka penelitian ini akan memfokuskan
pada mengapa Mesir merubah kebijakan luar negerinya dalam merespon
pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam di sungai Nil Biru pada tahun
2011-2015?
I.B Pertanyaan Penelitian
Mengapa Mesir merubah kebijakan luar negerinya dalam merespon
pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam di sungai Nil Biru pada tahun
2011-2015?
I.C Tujuan dan Manfaat Penelitian
Terdapat beberapa tujuan dalam penulisan penelitian ini. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah:
- Untuk menganalisa apa perubahan respon Mesir terhadap
pembangunan bendungan Renaissance Ethiopia di Sungai Nil Biru
tahun 2011-2015.
- Untuk menjelaskan kondisi sosial masyarakat Mesir dalam proses
pembangunan bendungan Renaissance Ethiopia di Sungai Nil Biru.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa manfaat. Manfaat dalam penelitian ini pun
dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
8
- Manfaat teoritis adalah penelitian ini menjadi bahan bacaan dalam
menganalisa bagaimana perubahan respon Mesir terhadap
pembangunan bendungan Renaissance Ethiopia di sungai Nil biru
tahun 2011-2015.
- Manfaat praktis adalah penelitian dapat berkontribusi sebagai bahan
bacaan untuk menambah wawasan.
I.D Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ini akan memaparkan berbagai penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya untuk memberikan deskripsi tentang signifikansi topik
penelitian yang akan diambil. Salah satu karya ilmiah yang membahas tentang
pembangunan regional dan kaitannya dengan sungai Nil adalah kepentingan Mesir
menolak meratifikasi kesepakatan Cooperative Framework Agreement mengenai
aturan pengelolaan sungai Nil yang ditulis oleh Ariski Aznor.10
Pada penelitian ini penulis menggunakan teori realisme, dimana dalam
perspektif ini aktor utamanya adalah negara karena sistem internasional yang
bersifat anarkis dimana tidak ada otoritas tertinggi selain negara, maka tiap-tiap
negara berlomba-lomba dan berkompetisi untuk mempertahankan kepentingan
nasionalnya. Dalam jurnal ini penulis menjelaskan setidaknya ada 4 kepentingan
Mesir menolak untuk meratifikasi Cooperative Framework Agreement yakni
10
Arisky Aznor, “Kepentingan Mesir Menolak Meratifikasi Kesepakatan Cooperation
Framework Agreement Mengenai Aturan Pengelolaan Sungai Nil”, JOM FISIP, Universitas Riau,
Vol 2 No 2 (Oktober 2015): hal.4, diakses pada 2 Desember 2015 melalui
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/7071/6756.
9
kepentingan geografis, kepentingan politik, kepentingan ekonomi dan juga
kepentingan keamanan.
Yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Yaekob Mekuria
Abawari pada tahun 2011 dalam sebuah tesis yang berjudul “Conflict and
Cooperation among the Nile Basin Countries with Special Emphasis on the Nile
Basin Initiative.”11
Penelitian ini menggunakan kerangka teori Realist dan juga
Liberalist sebagai alat analisis. Penelitian ini menemukan bahwa selama beberapa
abad Sungai Nil lebih didominasi oleh konflik daripada kerjasama oleh karena itu
dengan terbentuknya Nile Basin Initiative (NBI) maka konflik diantara negara-
negara yang dialiri Sungai Nil akan dapat netralisir dan akan tercipta kerjasama
yang saling menguntungkan.
Penelitian selanjutnya adalah jurnal ilmiah yang ditulis oleh Kaveh
Madani dkk dengan judul “A game theory approach on understanding the Nile
basin conflict.”12
Penelitian ini menggunakan game teori untuk melakukan
analisis dalam pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para pemimpin negara
(decision maker/player). Penelitian ini menemukan bahwa The Graph Model for
Conflict Resolution Decision Support System (GMCR) sesuai untuk digunakan
sebagai metode penyelesaian konflik yang terjadi di sepanjang sungai Nil dengan
melibatkan sejumlah negara seperti Mesir, Ethiopia dan Sudan.
11
Yaekob Mekuria Abawari, “Conflict and Cooperation among the Nile Basin Countries
with Special Emphasis on the Nile Basin Initiative”, International Institute of Social Studies
(Desember 2011): hal.201, diakses pada 8 Juni 2015 melalui https://thesis.eur.nl/pub/10809/. 12
Kaveh Madani, “A Game Theory approach on understanding the Nile basin conflict,”
Department of Civil, Environmental and Construction Engineering (2011): hal.98, diakses pada 3
Juni 2015 melalui http://www.academia.edu/5502832/Game_theory_and_water_resources.
10
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka dapat disimpulkan bahwa topik
mengenai “Perubahan Respon Mesir terhadap pembangunan Bendungan
Renaissance Ethiopia di Sungai Nil Biru” Cukup signifikan untuk diangkat
menjadi skripsi karena penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-
penelitian yang dilakukan sebelumnya dengan pendektan yang berbeda.
Perbedaannya, skripsi ini memfokuskan pada perubahan kebijakan luar negeri
Mesir dalam merespon pembangunan bendungan pada era kepemimpinan
presiden Mursi hingga pemerintahan Al-Sisi (2011-2015) dengan menggunakan
konsep kebijakan luar negeri, kepentingan nasional, kerjasama, faktor internal,
dan eksternal.
I. E Kerangka Teori
Analisis terhadap suatu masalah tentang perubahan respon Mesir terhadap
pembangunan Grand Ethiopian Rennaisance Dam di Sungai Nil, peneliti
menggunakan teori dan konsep. Teori yang digunakan adalah teori liberalisme
dengan konsep turunannya yaitu kerjasama. Selain itu peneliti menggunakan
konsep national interest serta kebijakan luar negeri yang terbagi dalam faktor
internal (idiosyncretic) dan eksternal (ancaman keamanan).
Konsep dan teori digunakan untuk memberikan penjelasan, analisis, serta
gambaran terhadap masalah yang sedang diteliti. Nantinya akan mengetahui
mengapa terjadi perubahan kebijakan pemerintah Mesir terhadap bendungan
raksasa di Ethiopia.
11
I.E.1 Kepentingan Nasional
Kepentingan Nasional (National Interest) merupakan sebuah konsep yang
penting dalam penelitian ini dikarenakan kepentingan nasional dijadikan dasar
bagi pemerintahan Mesir dalam menganalisis perubahan kebijakan luar negeri
Mesir dalam merespon Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance DAM di
Sungai Nil Biru pada tahun 2011-2015. National Interest sangat sulit untuk
digeneralisasi karena adanya perbedaan kepentingan nasional tiap-tiap negara.
Kepentingan nasional dapat kita pakai untuk menganalisis tujuan suatu bangsa.
Kepentingan Nasional juga merupakan pondasi utama dalam membentuk
kebijakan luar negeri. John Baylis menjelaskan bahwa, “Segala sesuatu yang
dibutuhkan negara terangkum dalam sebuah kebijakan yang didalamnya terdapat
kepentingan nasional.”13
Martinus Siswanto Prajogo mengutip kepada W. Kegley dan Eugene R.
Wittkopf menjelaskan bahwa:
“Tujuan suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional-nya adalah negara
harus bisa mempromosikan kesejahteraan untuk kewarganegaranya, menyediakan
sistem pertahanan untuk menghadapi agresi eksternal, melestarikan nilai-nilai
kenegaraan dan cara pandang hidup...tidak ada satu pun negara yang mampu
mencapai kesejahteraannya dengan mengurangi keamanan dan kesejahteraan
pesaingnya.” 14
Oleh karena itu, pencapaian kepentingan nasional suatu negara dapat
dilakukan melalui serangkaian kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri ini
13
John Baylis.dkk, The Globalization of World Politics : An Introduction of International
Relation 5th
Edition, (New York: Oxford University Press, 2008), hal.210. 14
Martinus Siswanto Prajogo, “Kepentingan Nasional: Sebuah Teori Universal dan
Penerapannya Oleh Amerika Serikat di Indonesia,” artikel ini diakses pada 4 Januari 2015 dari
http://strahan.kemhan.go.id/media/files/kepentingan-nasional.pdf.
12
termanifestasikan melalui kerjasama bilateral, maupun multilateral dalam rangka
pemenuhan kebutuhan nasional dan pencapaian kesejahteraan secara global.
Konsep kepentingan nasional yang merupakan dasar dari terbentuknya
kebijakan luar negeri dalam masalah ini digunakan untuk menjelaskan tujuan dari
tindakan Mesir terhadap pembangunan bendungan tersebut. Selain itu melalui
konsep ini membantu untuk menganalisis kebutuhan prioritas dalam bendungan
raksasa yang dibangun oleh Ethiopia, apakah kebutuhan ekonomi, sosial, atau
politik.
I.E.2 Kebijakan Luar Negeri
Definisi mengenai kebijakan luar negeri mengacu kepada apa yang
dijelaskan oleh Holsti dan Marijke Breuning. K.J Holsti pada tahun 1992 dalam
International Politics: A Framework for Analysis menjelaskan bahwa kebijakan
luar negeri adalah kata lain dari aksi atau tindakan suatu negara dalam reaksinya
dengan negara lain atau lingkungannya dalam sistem internasional. Segala aspek
dalam kebijakan luar negeri secara komprehensif diterangkan Holsti bahwa
kebijakan luar negeri merupakan:
“Ideas or action designed by policy makers to solve a problem or promote some
changes in the policies, attitudes, or actions of another state or states, in nonstate
actors, in the international economy, or in the physical environtment of the
world.”15
“Segala ide atau tindakan yang dibuat oleh pengambil keputusan untuk
menyelesaikan sebuah masalah atau mempromosikan perubahan dalam
kebijakan, sikap, atau tindakan negara-negara, dalam aktor non-negara, dalam
perekonomian internasional, atau dalam lingkungan fisik dunia.”
15
K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, (Bandung: Bina Cipta,
1992), hal.82.
13
Dengan kata lain, kebijakan luar negeri adalah suatu usaha negara untuk
mempengaruhi aktor internasional lain agar melakukan kebijakan atau tindakan
spesifik yang diinginkan. Dikarenakan ketidakmampuannya untuk mengatur
negara-negara secara hukum dalam sistem internasional, suatu negara dengan
hati-hati mengidentifikasi tujuan-tujuan mereka dan kemudian mencari cara untuk
mendapatkannya melalui kebijakan luar negeri.16
Marijke Breuning juga menjelaskan maksud yang sama terhadap definisi
kebijakan luar negeri. Menurutnya kebijakan luar negeri adalah “Seluruh
kebijakan suatu negara terhadap interaksinya dengan lingkungan melampaui
lingkup atau batas wilayahnya.”17
Breuning kemudian menjelaskan bahwa definisi ini mencakup “wilayah
isu yang luas.”18
Pasca perang dingin, negara-negara tidak bisa hanya
memperhatikan isu tradisional seperti power dan keamanan, tapi juga isu
kontemporer seperti ekonomi, lingkungan, HAM, keamanan makanan, migrasi
dan sebagainya. Singkatnya, perhatian negara terhadap isu yang baru juga
mengubah tujuannya.
Kebijakan luar negeri juga merupakan cara politik untuk mencapai tujuan
nasional suatu negara/bangsa dengan menggunakan segala kekuasaaan yang
dimiliki oleh suatu negara tersebut.
16
K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, (Bandung: Bina Cipta,
1992), hal.83. 17
Marijke Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, (New York:
Palgrave Macmilan, 2007), hal.5. 18
Ibid., hal.5.
14
Ada dua komponen utama kebijakan luar negeri, pertama faktor
domestik/internal dan faktor internasional/eksternal. Faktor domestik terdiri dari
taktik pengalihan, kepentingan ekonomi dan keputusan kebijakan luar negeri,
peran opini publik dan siklus pemilu. Sementara faktor internasional terdiri dari
deterence dan arm race, strategic surprise, alliances dan juga rezim. Dan
kemudian ada beberapa faktor lagi yang mempengaruhi kebijakan luar negeri
seperti aspek psikologis pembuat kebijakan, Gender dan budaya. Oleh karena itu,
kebijakan luar negeri dilembagakan oleh satu atau lebih faktor.19
Studi tentang analisis kebijakan luar negeri mencakup tiga level analisis.
Yang pertama the lowest level or the smallest unit adalah individu, yaitu orang
yang membuat kebijakan luar negeri contohnya presiden. Kemudian, state level
yang meneliti bagaimana struktur politik negara, aktor pembuatan kebijakan dan
interaksi antar aktor kebijakan mempengaruhi kebijakan luar negeri, dan
pembatasan domestik mempengaruhi negara dan tindakan internasional. Dan yang
terakhir international level berasumsi bahwa kebijakan luar negeri suatu negara
sangat dipengaruhi oleh sistem internasional.20
Konsep kebijakan luar negeri yang merupakan penerapan kepentingan
nasional dari suatu negara berguna untuk menjelaskan tindakan apa yang akan
diambil terhadap pembangunan bendungan raksasa di Ethiopia. Jadi, konsep ini
secara langsung akan memberikan sikap atau respon pemerintah Mesir terhadap
19
Alex Mintz and Karl DeRouen Jr, Understanding Foreign Policy Decision Making,
(New York: Cambridge University Press ,2010), hal.97-145. 20
John T. Rourke, International Politics on the World Stage, (New York: McGraw-Hill
Companies, 2008), hal.64-99.
15
pembangunan bendungan yang dibangun oleh Ethiopia mungkin dengan
pengerahan angkatan militer atau sebaliknya yakni kerjasama.
I.E.2.1 Faktor Internal (Idiosyncratic)
Dalam pendekatan tingkatan analisis dikenal dengan
indvidual-level analysis dipengaruhi kuat oleh Idoisyncratic.
Konsep ini berfokus pada karakteristik pribadi dan sifat masing-
masing pemimpin yang berpengaruh terhadap proses pengambilan
kebijakan luar negeri.21
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam konsep
ini, seperti:
1. Personality, pada faktor ini berorientasi pada diri sendiri serta
orang lain berupa perilaku dan sikap. Unsur terpenting dalam
personality adalah menempatkan pribadi politik dalam skala
aktif-pasif atau positif-negatif. Pemimpin yang aktif adalah
inovator, sementara para pemimpin pasif bersifat reaktor.
Kepribadian positif menikmati lingkungan politik kontroversial
sementara kepribadian negatif cenderung merasa terbebani,
bahkan disalahgunakan oleh politik kritik. Kombinasi terburuk
dikatakan kombinasi aktif-negatif (pemimpin aktif menerima
lebih banyak kritik, namun kepribadian negatif rentan untuk
menganggap bahwa lawan adalah musuh).
21
Matthew Hanzel, “Summary and Commentaries on Levels of Analysis and Foreign
Policy,”Departemen of International Relations (2009): hal. 8-9 diakses pada 26 Juni 2016 melalui
https://www.scribd.com/doc/123712904/The-Three-Levels-of-Analysis-in-International-Relations.
16
2. Physical and mental health, kesehatan fisik dan mental
merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan.
3. Ego and Ambition, ego dan pribadi ambisi seorang pemimpin
juga dapat mempengaruhi kebijakan.
4. Political history and personal experiences. pembuat keputusan
juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadi mereka.
5. Perceptions and operational reality, realitas merupakan unsur
yang mempengaruhi kebijakan luar negeri. Persepsi
membentuk realitas operasional, yaitu, pembuat kebijakan
cenderung bertindak berdasarkan persepsi, apakah mereka
akurat atau tidak. Keputusan manusia adalah campuran dari
masukan yang rasional dan irasional. ini menggarisbawahi
bagaimana kebijakan sebenarnya campuran dari faktor rasional
dan irasional.22
Secara definisi Idiosyncratice merupakan suatu
pengaruh individu terhadap proses pengambilan kebijakan luar
negeri. Idiosyncratic mempelajari hal-hal yang mempengaruhi
seorang individu dalam pembuatan kebijakan yang
berpengaruh pada hubungan luar negeri.23
Beberapa faktor
yang berkaitan konsep ini seperti yang disebutkan oleh
Margaret G. Hermann mengenai kepribadian politik, seperti:
22
Matthew Hanzel, “Summary and Commentaries on Levels of Analysis and Foreign
Policy,”Departemen of International Relations (2009): hal. 8-9 diakses pada 26 Juni 2016 melalui
https://www.scribd.com/doc/123712904/The-Three-Levels-of-Analysis-in-International-Relations. 23
James. N. Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (London: Francis Printer
,1980), Hal. 50.
17
1. Expansionist, individu ingin memiliki kontrol besar, memiliki
tingkat kesadaran rendah dalam memilih alternatif, serta tidak
percaya kepada pihak lain. Pada jenis ini mengedepankan
agresifitas dalam mencapai tujuannya.
2. Active independent, individu yang ingin berpartisipasi langsung
dengan komunitas internasional dengan tetap mempertahankan
hubungannya dengan negara-negara lain.
3. Influental, individu yang berkeinginan menjadi pusat interaksi
serta ada hasrat untuk mempengaruhi kebijakan dari negara lain.
Selain itu pemimpin dengan karakter ini menganggap tujuannya
lebih penting dari negara lain.
4. Mediator, individu yang ingin mengintegrasikan perbedaan di
antara negara serta adanya keinginan untuk menciptakan
perdamaian dunia diantara negara-negara.
5. Opputunist, pemimpin yang selalu tampil bijaksana bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan dari apa yang sedang dihadapi.
6. Participative, pemimpin yang selalu melibatkan diri atau sebagai
fasilitator dalam sistem internasional. Tujuannya adalah untuk
mencari solusi dari suatu masalah.24
I.E.2.2 Faktor Eksternal (Ancaman Keamanan)
Dalam konteks keamanan internasional berdasarkan
pernyataan Victor D. Cha bahwa:
24
James. N. Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (London: Francis Printer
,1980), hal. 50.
18
“The new security environment in the 21st century will operate
increasingly in the space defined by the interpenetration between
two spheres: globalization and national identity”.25
Esensi dari definisi tersebut menegaskan kata “globalisasi”
menjadi indikator yang menunjukkan berbagai kemungkinan dalam
hubungan internasional. Peningkatan interaksi sebagai bentuk
derasnya arus globalisasi menyebabkan terjadinya timpang tindih
dan saling berhubungan diantara bidang kehidupan.26
Salah satu contoh ancaman keamanan di masa sekarang
serta berkaitan dengan derasnya globalisasi yaitu terorisme.
Sebelum Perang Dingin ancaman keamanan bersifat high politics
yang mulai menjalar ke low politics, seperti penyakit, perdagangan
manusia, terorisme, dan kejahatan lainnya.27
Seperti dalam kajian terorisme, Alex Schmid dan Jongmann
mengatakan bahwa:
“Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent
action, employed by (semi-) clandestine individual, groups or
state actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons…”.28
25
Victor David Cha, “Globalization and the Study of International Security”, Journal of
Peace Research, vol. 32, no. 3 (Mei, 2000): Hal. 33. 26
Moisés Naim, “Think Again: Globalization,” diakses pada 26 Juni 2016 melalui
http://foreignpolicy.com/2009/09/30/think-again-globalization/. 27
Ibid., James N. Rosenau . Hal. 50. 28
Alex Schmidt dan Jongman, Political Terrorism: A new guide to actors, authors,
concepts, data bases, theories, and literature, (Amsterdam: North-Holland Publishing
Company,1988), hal.3.
19
Perbedaan lainnya antara ancaman sebelum atau sesudah
Perang Dingin nampak pada intensitasnya. Ancaman sebelum
Perang Dingin merupakan ancaman bersifat langsung sedangkan
sesudah Perang Dingin berbentuk tidak langsung. Dapat dikatakan
terdapat perluasan baik secara definisi maupun realitas mengenai
keamanan internasional.
Secara definisi keamanan mengalami pergeseran dari
keamanan tradisional menuju keamanan kontemporer atau disebut
sebagai keamanan manusia. Ruang lingkup keamanan manusia
meliputi 7 unsur penting, meliputi economic security, health
security, food security, environmental security, personal security,
community security, and political security. Beberapa unsur ini
menunjukkan bahwa dengan mengamankan individu, maka negara
akan aman dalam jangka panjang.29
I.E.3 Konsep Kerjasama
Konsep cooperation atau kerjasama merupakan konsep turunan dari teori
liberalisme dalam memahami fenomena hubungan internasional. Menurut
Hoffman bahwa kerjasama antar aktor internasional adalah salah satu esensi dari
liberalisme selain moderasi, pengendalian diri, dan perdamaian. Konsep
kerjasama dalam hubungan internasional merupakan cara lain yang bisa
29
UN, “UN Human Development Report 1994: New Dimensions of Human Security,”
diakses pada 26 Juni 2016 melalui http://hdr.undp.org/en/media/hdr_1994_en_chap2.pdf.
20
digunakan untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas internasional atau
nasional selain dengan peperangan.30
Teori liberalisme berfokus pada permasalahan perdamaian internasional
dan HAM. Sedangkan konsep turunan liberalisme, yakni konsep cooperation atau
kerjasama merupakan suatu cara untuk menciptakan perdamaian internasional dan
penegakan HAM. Sehingga kerjasama baik antara aktor negara maupun aktor
non-negara biasa digunakan untuk menyelesaikan masalah penegakan HAM di
suatu negara.
Dalam pandangan Neoliberal Institusionalis negara bertindak untuk
kepentingan nasional sendiri, namun juga negara memandang bahwa Kepentingan
nasional hanya dapat tercapai jika dilakukan kerjasama.
Keohane mengakui bahwa kerjasama bukan tindakan yang mudah dicapai
dan berpotensi menyebabkan ketegangan, namun melalui kerjasama, absolute
gain dapat tercapai.31
Melalui konsep kerjasama dalam perubahan respon Mesir terhadap
pembangunan bendungan raksasa di Ethiopia akan membantu memberikan
penjelasan serta analisis dalam pengambilan salah satu keputusannya, yakni
kerjasama. Dimana konsep ini akan memberikan penjelasan bagaimana proses
pencapaian kepentingan nasional melalui kerjasama.
30 R. Jakcson dan G. Sorensen, Introduction to International Relations, (Oxford
University Press, 1999), hal. 72. 31
Robert Keohane, After Hagemony: Cooperation and Discord in the World Political
Economy, (New Jersey: Princeton University Press ,1984), hal.7.
21
I. F Metode Penelitian
Dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode
kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan “Penelitian kualitatif dapat didefinisikan
sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan
maupun tulisan dan juga tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang
diteliti.”32
Dari hasil penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa metode ini adalah
sebuah cara yang digunakan untuk mengkaji sebuah fenomena dengan melalui
tulisan atau pendapat yang dikemukakan orang.
Dalam metode kualitatif pengumpulan data dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari objek yang diteliti atau objek yang menyaksikan dan
mengamati secara langsung fenomena yang sedang akan dikaji seperti pembagian
kuisioner dan wawancara. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui
studi pustaka dengan mencari data dalam buku, jurnal atau berita dari internet.
Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder dengan mencari data
yang menjelaskan tentang perubahan respon Mesir terhadap pembangunan
bendungan Ethiopia di Sungai Nil Biru pada tahun 2011-2015 .
Teknik analisa data dalam metode penelitian kualitatif adalah dengan
membaca data-data yang dikumpulkan lalu mengklarifikasikan apakah di data
tersebut terdapat kepentingan suatu pihak lalu setelah itu kita analisa bahwa data-
32
Steven J. Taylor.dkk, Introduction to Qualitative Research Methods, 3rd
Edition, (New
York: John Willey and Son ,1998), hal.5.
22
data yang ada apakah banyak dipengaruhi kepentingan suatu pihak atau bersifat
objektif.
I.G Sistematika Penelitian
Bab I merupakan bab pendahuluan meliputi pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II membahas tentang latar belakang Grand Ethiopian Rennaisance DAM
yang meliputi kerangka kerjasama pengelolaan sungai Nil, Motif Pembangunan
Grand Ethiopian Renaissance DAM, dan dampak pembangunan Grand Ethiopian
Renaissance DAM terhadap Mesir
Bab III membahas respon Mesir terhadap pembangunan Grand Ethiopian
Renaissance Dam di sungai Nil Biru yang terdiri dari respon Mesir terhadap
Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam pada masa pemerintahan
Muhammad Mursi, dan pemerintahan Abdul Fatah Al-Sisi.
Bab IV membahas perubahan kebijakan luar negeri Mesir dalam menerima
pembangunan Grand Ethiopian Renaissance DAM di sungai Nil Biru meliputi,
National Interest Mesir terhadap pembangunan GERD di Ethiopia, kebijakan luar
negeri dan kerjasama. Kemudian pada bagian ini juga akan dikaitkan antara faktor
internal dan eksternal terhadap pergeseran kebijakan luar negeri Mesir.
Bab V membahas penutupan dari bab ini berupa kesimpulan.
23
BAB II
LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN GRAND ETHIOPIAN
RENAISSANCE DAM
Pada bab ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan tentang kerangka
kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara yang berada pada sekitaran Sungai
Nil terhadap pengelolaan sungai. Dimana dari kerangka tersebut akan dijelaskan
tentang sejarah dan perjanjian-perjanjian apa saja yang telah disepakati oleh
negara-negara yang dialiri sungai Nil.
Kemudian pada bab ini pula penulis menjelaskan tentang motif dibalik
pembangunan bendungan raksasa oleh pemerintah Ethiopia. Proyek ini
merupakan proyek bendungan terbesar sepanjang sejarah Benua Afrika. Pada
bagian selanjutnya penulis menjelaskan apa dampak dari pembangunan
bendungan tersebut terhadap negara Mesir. Dimana dari pembangunan tersebut
banyak kerugian yang didapat oleh Mesir yang kemudian oleh karena
pembangunan tersebut tensi antara kedua negara menjadi tinggi.
II.A Kerangka Kerjasama Pengelolaan Sungai Nil
Sungai Nil merupakan sungai terpanjang di dunia, dimana panjangnya
mencapai 6.695 kilometer.33
Sungai yang berasal dari mata air di dataran tinggi
33
Unesco, “The Nile River Basin,” diakses pada 27 Juli 2015 melalui
http://www.unesco.org/water/news/newsletter/160.shtml.
24
Kilimanjaro di Afrika Timur ini mengalir dari arah selatan ke utara dan bermuara
di Laut Tengah. Sungai ini melintasi sembilan negara di Afrika yaitu Uganda,
Ethiopia, Rwanda, Burundi, Tanzania, Kenya, Kongo, Sudan dan Mesir. Uganda
dan Ethiopia merupakan negara yang terletak di hulu sungai Nil. Sedangkan Mesir
secara geografis terletak di bagian hilir Sungai Nil.34
Sungai Nil mempunyai peran penting bagi keberlangsungan hidup negara-
negara yang dilewatinya karena tentunya digunakan untuk sumber air bersih.
Kurang lebih 160 juta penduduk tinggal disekitaran sungai Nil dan 300 juta
penduduk negara-negara yang dialiri menggantungkan hidupnya dari Sungai Nil.35
Di setiap tahunnya sungai Nil selalu mengalami banjir. Dari hasil banjir tersebut
banyak manfaat yang bisa diambil oleh negara-negara yang dialiri Sungai Nil
tersebut yakni menjadi sangat subur.
Bagi Mesir sendiri Sungai Nil merupakan sumber peradaban kehidupan
sejarah bangsanya sejak ribuan tahun yang lalu, bisa dilihat dari banyaknya
penduduk yang tinggal disekitar Nil yaitu 95% dari penduduk Mesir. Total dari
wilayah yang ada di sekitar sungai Nil mencapai 3.346.000 km.36
34
Unesco, “The Nile River Basin,” diakses pada 27 Juli 2015 melalui
http://www.unesco.org/water/news/newsletter/160.shtml 35
Ashok Swain, “Mission Not Yet Accomplished: Managing Water Resources In The
Nile Basin”, Journal of International Affairs, vol 62 no 1 (Fall/Winter 2008): hal.2, diakses pada 8
Juni 2015 melalui https://www.ciaonet.org/catalog/16207. 36
Wondwosen Teshome B, “Transboundary Water Cooperation in Africa,” Tourkish
Journal of International Relation, vol 7 no. 4, (Winter 2008): hal.34, diakses pada 8 Juni 2015
melalui http://alternativesjournal.net/article/view/5000159640.
25
Gambar II.A.1. Peta Sungai Nil37
Wilayah Timur Tengah dan Afrika yang hampir seluruh wilayahnya
merupakan padang pasir dan gurun sangat bergantung terhadap pengelolaan
sungai. Apalagi sungai di kawasan Timur Tengah hanya ada dua yakni Sungai
Eufrat dan Sungai Nil namun Sungai Nil merupakan sungai terpanjang. Minimnya
sungai yang berada di kawasan Timur Tengah kerap kali pemanfaatan
pengelolaan sungai sering memicu konflik karena ketidakadilan dalam
pembagiannya.38
37
World Bank, “Nile River Basin Map,” diakses pada 27 Juli 2015 melalui
http://siteresources.worldbank.org/INTAFRNILEBASINI/About%20Us/21082459/Nile_River_Ba
sin.htm. 38
Mohamed Nasr Allam and Gamal Ibrahim Allam, “Water Resources in Egypt: Future
Challenges and Opportunities,” Water International, vol 32 no 2 (Juni 2007): hal.206, diakses
26
Bagi Mesir, sungai Nil merupakan jantung dari sumber pendapatan Mesir
karena banyak manfaat yang didapat atas pengelolaan sungai selain untuk irigasi
dan pertanian, Sungai Nil dimanfaatkan untuk jalur kapal perdagangan
antarnegara. Sungai Nil merupakan rute jalur transportasi air yang menghubungi
antara Laut Mediterania dan Laut Merah ini merupakan perpanjangan Samudera
Hindia. Terletak diantara Arab dan Afrika yang menghubungkan ke Mediterania
melalui terusan Suez yang dibuat abad ke-5 SM, ini memberikan kemudahan
untuk jalur transportasi.39
Begitu pentingnya peran Sungai Nil, perjanjian mengenai pengelolaan
sungai Nil harus dilakukan beberapa kali seperti tabel dibawah ini.
Tabel II.A.1 Perjanjian Kerjasama Pengelolaan Sungai Nil40
No Tahun Perjanjian
1 7 Mei 1929 Perjanjian Mesir-Sudan
2 1959 Perjanjian Mesir-Sudan
3 Februari 1999 Terbentuk NBI (diikuti oleh sembilan
negara Nile Basin)
4 1999-2007 Comprehensive Framework Agreement
5 26 Desember 2012 Grant Agreement NBI-World Bank
pada 9 Juni 2015 melalui
https://www.researchgate.net/publication/233101072_Water_Resources_In_Egypt_Future_Challe
ges_and_Opportunities. 39
Terje Tvedt, The River Nile in the Post Colonial Era, (London: LB Tauris, 2010),
hal.217. 40
Ibid, hal. 217.
27
Untuk pemanfaatan Sungai Nil itu sendiri memang Mesir mempunyai hak
veto yang bermula dari perjanjian pada tahun 1929 dan 1959 dimana Mesir
mempunyai hak untuk mengolah sungai sebesar 87 persen. Padahal secara
geografis Mesir hanya dilalui sungai Nil sebesar 22 persen.41
Adapun isi perjanjian pada tahun 1929 antara pemerintah Mesir, Sudan
dan Inggris berisi tentang:
1. Aliran air selama tanggal 20 Januari-5 Juli (musim kemarau)
disediakan untuk Mesir.
2. Mesir juga berhak untuk memantau aliran sungai Nil di negara-negara
hulu.
3. Mesir dapat melakukan proyek tanpa ada persetujuan negara-negara
Nile Basins.
4. Mesir diberikan hak untuk menindak setiap proyek yang
kepentingannya akan berdampak negatif bagi Sungai Nil.42
Kemudian pada tahun 1959 merupakan perjanjian paling penting tentang
sejarah pembagian air dan pemanfaatan sungai Nil antara Mesir dan Sudan. Isi
perjanjian tersebut adalah:
1. Mesir berhak atas 55,5 m3
dan Sudan 18,5 m3
atas air sungai Nil.
41
Wondwosen Teshome B, “Transboundary Water Cooperation in Africa,” Tourkish
Journal of International Relation, vol 7 no. 4, (Winter 2008): hal.34, diakses pada 8 Juni 2015
melalui http://alternativesjournal.net/article/view/5000159640. 42
Kefyalew Mekonnen, “The Defects and Effects of Past Treaties and Agreements on the
Nile River Waters: Whose faults were day,” diakses pada 28 Juli 2015 melalui
http://www.ethiopians.com/abay/engin.html.
28
2. Sudan akan mengkontruksi program yang akan meningkatan
pencegahan evaporasi di rawa Sudan yang bertempatan di Sudan
Selatan.
3. Kesepakatan ini memberikan Mesir hak untuk merekonstruksi proyek
pembangunan.43
Melihat hasil dari 2 perjanjian di atas ini semakin menguatkan Mesir
dalam mendominasi pengelolaan Sungai Nil. Terlihat pada tahun 1954 Mesir
berencana untuk membuat bendungan tinggi aswan untuk menambah simpanan
air. Dan pembangunan tersebut akhirnya terlaksana pada tahun 1960, proyek itu
dilakukan tanpa persetujuan dari negara-negara Nile Basins.44
Besarnya dominasi Mesir terhadap pengelolaan Sungai Nil membuat
negara-negara yang berada di hulu Sungai Nil merasa adanya ketidakadilan dalam
hal pengelolaan Sungai Nil. Oleh sebab itu, perlu adanya perjanjian antara negara-
negara yang berada di hulu sungai dan hilir sungai sehingga pengelolaan Sungai
Nil dapat dirasakan pula manfaatnya oleh negara-negara Nile Basin.
Pada tahun 1999 sebenarnya lahir sebuah perjanjian yaitu Nile Basin
Initiative yang ditandatangani oleh 9 negara yaitu Mesir, Sudan, Ethiopia,
43
Kefyalew Mekonnen, “The Defects and Effects of Past Treaties and Agreements on the
Nile River Waters: Whose faults were day,” diakses pada 28 Juli 2015 melalui
http://www.ethiopians.com/abay/engin.html. 44
Ashok Swain, “Mission Not Yet Accomplished: Managing Water Resources In The
Nile Basin”, Journal of International Affairs, vol 62 no 1 (Fall/Winter 2008): hal.2, diakses pada 8
Juni 2015 melalui https://www.ciaonet.org/catalog/16207.
29
Tanzania, Urganda, Rwanda, Burundi, Kongo dan Eritrea pada 2 Februari di kota
Dar es Salam, Tanzania.45
Perjanjian ini adalah sebuah perjanjian yang berisikan tentang pengkajian
ulang pengelolaan air Sungai Nil diharapkan dengan adanya perjanjian ini negara-
negara yang dilewati Sungai Nil dapat mendapat jatah berlebih terhadap Sungai
Nil.46
Nile Basin Initiative ini memiliki tujuan utama untuk jangka panjang
dalam pelaksanannya yaitu “To achieve sustainable socio-economic development
through equitable utilization of, and benefit from, the common Nile Basin Water
resources. 47
Tujuan dari dibuatnya Nile Basin Initiative adalah :
1. Untuk mengembangkan sumber daya Nil secara berkelanjutan dan adil.
2. Untuk menciptakan kemakmuran, keamanan dan kedamaian bagi
semua rakyatnya.
3. Untuk memastikan pengelolaan air yang efisien dan penggunaan
optimal dari Sungai Nil.
4. Untuk menjalankan kerjasama dan tindakan secara bersama sama
antara negara-negara Nile Basin dan mencari win-win solution.
5. Untuk menargetkan pengentasan kemiskinan mempromosikan
integrasi ekonomi.
45
Nile Information System, “Background,” diakses pada 2 Agustus 2015 melalui
http://Nileis.Nilebasin.org/content/background. 46
Ibid., 47
Ibid.,
30
6. Untuk memastikan hasil dari program-program yang sudah
direncanakan.48
Agar pelaksanannya menjadi lebih efektif NBI ini dibagi menjadi beberapa
bagian berdasarkan tugasnya masing-masing yaitu Nile-COM (The Nile Council
of Minister) yang merupakan badan dan kebijakan tertinggi dalam pengambilan
keputusan di NBI, kemudian Nile-SEC (Secretariat) dan Nile-TAC (Technical
Advisory Committee). Mereka juga sepakat untuk membuat program yaitu
Strategic Action Program yang terdiri dari dua program yaitu Subsidiary Action
Program dan Shared Vision Program. 49
Tabel II.A.2 Nile Basin Initiative: Program Visi Bersama50
No Proyek Tujuan
1 Tindakan pelestarian
lingkungan di Nile Basin
Untuk mempromosikan kerjasama dalam
menjaga dan mengatur ekosistem Sungai Nil.
2 Kekuatan perdagangan di
kawasan Nile Basin
Untuk mengadakan kekuatan pasar regional
diantara negara Nile Basin.
3 Produksi air untuk
pertanian
Untuk mengembangkan efisiensi kegunaan
air untuk pertanian
4 Sumber daya air dan
perencanaan pengelolaan
Untuk membangun keahlian tiap negara
untuk menganalisa hidrologi dan keadaan
alam Sungai Nil.
48
Nile Information System, “Background,” diakses pada 2 Agustus 2015 melalui
http://Nileis.Nilebasin.org/content/background. 49
Ibid., 50
Ibid.,
31
5 Pembangunan sosial-
ekonomi dan proyek bagi
hasil
Untuk membangun jaringan ahli dari
perencanaan ekonomi dan lembaga penelitian
untuk mengeksplor alternatif pengembangan
Sungai Nil.
6 Proyek membangun dan
meyakinkan pemegang
saham
-
7 Proyek penerapan pelatihan Untuk mengembangkan perencanaan dan
pengelolaan Sungai Nil dengan membantu
mengembangkan sumber daya manusia dan
sumber daya alamnya.
8 Proyek eksekusi dan
koordinasi SVP
Untuk menguatkan kapasitas NBI dalam
melaksankan program NBI yang lebih luas
dan efektif.
Dari hasil tabel di atas bisa kita simpulkan bahwa hasil dari pertemuan ini
tujuan utamanya adalah membangun kepercayaan, keyakinan dan kapasitas antar
negara-negara Nile Basin serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
investasi antar negara.
Kemudian setelah Nile Basin Initiative berlangsung dibuatlah Cooperative
Framework Agreement dibentuknya kerjasama ini bertujuan untuk menyediakan
kerangka kerja yang permanen dan legal bagi negara-negara Nile Basin.
32
Nile Basin Cooperative Framework adalah hasil kerjasama multilateral
pertama yang melibatkan negara hulu dan hilir lembah Sungai Nil. Kerjasama ini
sebenarnya merupakan perwujudan dari Shared Vision Program yang ada dalam
perjanjian Nile Basin Initiative yang diadakan pada tahun 1999. Terbentuknya
kerjasama ini bertujuan untuk menyediakan kerangka kerja dan legal bagi negara-
negara Nile Basin. Perjanjian ini dibuat sejak 2007 akan tetapi pelaksanaanya
ditunda atas permintaan pemerintah Mesir.51
Pada tanggal 14 Mei 2010, Ethiopia dengan empat negara hulu sungai Nil
yakni Uganda, Kenya, Rwanda dan Tanzania menandatangani Cooperative
Framework Agreement untuk mendapatkan jatah air lebih dari Sungai Nil. Namun
setelah tiga tahun proses ratifikasi dibuka tidak ada wacana untuk ratifikasi
pengelolaan sungai, barulah pada tanggal 13 Juni 2013 Ethiopia menjadi negara
pertama yang meratifikasi pengelolaan Sungai Nil.
Hal ini dinyatakan pemerintah Ethiopia kepada Media Agence France
Presse, “The Cooperative Framework Agreement is a response to the unjust colonial
imposition on the part of the riparian states, preventing them from exploiting equitably
the Nile resources.” 52
Ethiopia merupakan negara hulu yang merupakan penyumbang terbanyak
dari aliran Sungai Nil, sekitar 85 persen sumbernya berasal dari Ethiopia. Sangat
wajar bagi Ethiopia untuk menekan negara-negara hilir untuk melakukan
perjanjian ulang dalam pengelolaan dan pembagian jatah air Sungai Nil. Sebagai
51
Edwin Musoni, “Africa: Rift Widens as Egypt, Sudan Delay Signing Nile Basin Pact,”
diakses pada 2 Agustus 2015 melalui http://allafrica.com/stories/200902230029.html. 52
Naharnet,”Ethiopia Ratifies Nile Share Deal amid Row with Egypt,” diakses pada 2
agustus 2015 melalui http://www.naharnet.com/stories/en/86799.
33
negara hulu seharusnya Ethiopia memiliki banyak keuntungan dari situ, akan
tetapi keadaan ekonomi dan kekuatan politiknya lemah dibandingkan dengan
Mesir dan Sudan, sehingga penekanan yang dilakukan Ethiopia seringkali tidak
berhasil. Namun akhirnya tekanan yang dilakukan Ethiopia selama bertahun-tahun
dapat terealisasi dengan adanya perjanjian kerangka kerjasama negara-negara Nile
basin.
Nile Basin Cooperative Framework Agreement menjelaskan tentang
prinsip, hak, dan kewajiban untuk mengatur pengembangan sumber daya air.
Perjanjian tersebut membangun kerangka kerja untuk mempromosikan
manajemen terpadu, pembangunan berkelanjutan, dan pemanfaatan sumber daya
air, serta konservasi dan pelestarian yang digunakan untuk generasi sekarang dan
yang akan datang. Dalam mencapai tujuan itu, perjanjian tersebut membangun
suatu mekanisme kelembagaan yang permanen yaitu Komisi Lembah Sungai
Nil.53
Diratifikasinya Cooperative Framework Agreement merupakan tahapan
penting menuju realisasi distribusi yang berkeadilan terhadap pemanfaatan aliran
Sungai Nil. Sebenarnya penyusunan kerangka Cooperative Framework
Agreement sudah dimulai sejak tahun 1997 melalui Cooperative Framework
Project. Namun selama hampir seabad proses penyusuan kerangka tersebut hanya
sekedar wacana belaka barulah konsep Cooperative Framework Agreement
pertama kali diperkenalkan pada pertemuan Nile-COM di Entebbe, Uganda pada
bulan Juni 2007.
53
Nile Information System, “Background”, diakses pada 2 Agustus 2015 melalui
http://Nileis.Nilebasin.org/content/background.
34
Akan tetapi berbeda dengan Mesir sebagai negara yang terletak di hilir
sungai Nil justru melakukan penolakan terhadap ratifikasi perjanjian Nile Basin
dengan beberapa faktor. Yang kemudian dalam bentuk protesnya Mesir
membekukan semua kegiatannya dalam Nile Basin Initiative.54
Juru bicara Menteri Mesir, Houssam Zaki mengatakan bahwa, “Mesir
tidak akan bergabung atau menandatangani perjanjian apapun yang akan
mempengaruhi jatah airnya.”55
Hasil pertemuan atas ratifikasi Nile Basin Cooperative Framework
Agreement membuat negara-negara kecil nile basin mulai untuk membangun
proyek-proyek bendungan dan lain-lain. Termasuk negara Ethiopia yang akhirnya
memperkuat posisinya dalam membangun sebuah bendungan hydroelectric
terbesar di Afrika yang nantinya akan mereka gunakan untuk sumber listrik
negara Ethiopia.
II.B Motif Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam
Sungai Nil memainkan peran yang sangat penting dalam permasalahan air
yang terjadi antara negara-negara yang tergabung dalam Uni-Afrika. Mesir dan
Sudan menjadi dua negara yang memanfaatkan penuh atas sungai Nil. Melihat
dari besarnya pengaruh kedua negara tersebut negara-negara Nile basin lainnya
membuat sebuah pengkajian ulang atas hak-hak pemanfaatan sungai Nil.
54
BBC News, “East Africa seeks more Nile water from Egypt,” diakses pada 4 Agustus
2015 melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/8682387.stm. 55
Ibid.,
35
Ratifikasi perjanjian Nile Basin Cooperative Framework Agreement pada
tahun 2013 memberikan pencerahan bagi negara-negara Nile basin lainnya untuk
turut membangun sarana dan prasarana serta pembangunan bendungan-bendungan
yang dapat kemudian bisa dimanfaatkan bagi negara-negara tersebut untuk
meningkatkan perekonomian negaranya masing-masing.
Bagi Ethiopia, ratifikasi dalam Nile Basin Cooperative Framework
Agreement memuluskan langkahnya dalam memperkuat posisinya membangun
sebuah bendungan besar yang dinamai Grand Ethiopian Renaissance Dam.
Proyek ini digunakan sebagai alat pembangkit tenaga listrik yang alirannya akan
dibagikan ke beberapa daerah-daerah di Ethiopia, selain itu bendungan ini juga
sebagai salah satu sumber pemasukan negara untuk Ethiopia.
Sebenarnya pada tanggal 2 April 2011 di Guba, Beneshangul Gumuz,
Ethiopia, Perdana Mentri Meles Zenawi secara resmi mengadakan proyek besar di
negaranya yang disebut sebagai Grand Ethiopian Renaissance Dam.56
Proyek
tersebut memiliki daya tarik tersendiri untuk Ethiopia dan merupakan suatu seni
populer dari mitos berabad-abad. Namun proyek tersebut mendapat kecaman dari
negara-negara yang berada pada hilir sungai khususnya Mesir. Dengan adanya
ratifikasi Nile Basin Cooperative Framework Agreement, Ethiopia mendapat
dukungan dari negara-negara sekitar untuk tetap melanjutkan proyek bendungan
tersebut.
56
Daniel Berhane, “Grand Ethiopian Renaissance DAM,” diakses pada 10 February
2016 melalui http://hornaffairs.com/en/2011/09/20/facts-grand-ethiopian-renaissance-dam/.
36
II.B.1 Kondisi Ekonomi Negara-Negara Nile Basin57
Negara Pendapatan Nasional
Bruto (PNB)
Penduduk hidup dalam
kemiskinan
Angka
pertumbuhan
Manusia
Perkapita ($)2011 pendapatan kurang dari
1,25$ perhari (%)200-2009
2011
Burundi 368 81,3% 0,316
Kongo 280 52,2% 0,286
Mesir 5269 <2,0 0,644
Ethiopia 971 39,0% 0,363
Kenya 1492 19,7% 0,509
Rwanda 1369 76,8% 0,429
Sudan 1894 - 0,408
Tanzania 328 67,9% 0,466
Uganda 1124 28,7% 0,446
Cukup tingginya tingkat kemiskinan Ethiopia diatas, membuat pemerintah
Ethiopia menjadikan pembangunan bendungan ini sebagai kebanggaan
masyarakat Ethiopia dan menjadi simbol nasional Ehiopia.58
Menurut Central
Intelligence Agency’s world fact book populasi Ethiopia sekitar 97 juta jiwa,
peringkat 14 negara populasi tertinggi di dunia. Pada tahun 2025, populasi
57
Human Development Report,” Human Development Index and its Component,”
diakses pada 8 Agustus 2015 melalui http://hdr.undp.org/en/composite/HDI. 58
Jacey Fortin, “Dam Rising in Ethiopia Stirs Hope and Tension,” diakses pada 8
Agustus 2015 melalui http://www.nytimes.com/2014/10/12/world/dam-rising-in-ethiopia-stirs-
hope-and-tension.html?_r=0.
37
penduduk Ethiopia diperkirakan mencapai 127 juta jiwa dengan kelangkaan air
sebesar 840m3 per tahun dan kapita.59
The Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) atau Bendungan Besar
Renaissance Etiopia adalah bendungan terbesar di kawasan Afrika. Selain itu,
proyek ini juga merupakan pembangkit listrik tenaga air ke-10 yang terbesar di
dunia dengan luas 1.780 meter dan tinggi 145 meter. Pembangunan bendungan ini
dilansir akan merubah wajah Afrika Timur. Sebab, kemampuan bendungan ini
yang dapat menghasilkan 6.000 MW artinya, itu sama dengan kekuatan 4 reaktor
nuklir. Pada tahun 2016, dua turbin dari bendungan tersebut akan mulai untuk
membendung 750 MW listrik. Pembangunan bendungan ini juga bertujuan untuk
meminimalisir budaya untuk permintaan listrik Ethiopia yang meningkat 20
persen pertahun.60
Proyek ini merupakan sebuah strategi politik dari pemerintah Etiopia,
karena pembangunan bendungan ini dapat dikatakan sebagai proyek infrastruktur
terbesar yang dapat menjadi daya tarik untuk negara-negara tetangga agar bisa
bekerja sama dalam hal energy dengan Ethiopia. Lokasi bendungan yang strategis
pintu gerbang ke Afrika. Selanjutnya, proyek bendungan ini juga dapat menjadi
cikal bakal ekspor energi Ethiopia ke negara-negara sekitarnya dengan harga
59
Dalia Abdelhady. dkk, “The Nile and the Grand Ethiopian Renaissance Dam: Is There
a Meeting Point Between Nationalism and Hydrosolidarity”, Journal of Contemporary Water
Research and Education (Juli 2015):73, diakses pada 10 February 2016 melalui
https://www.researchgate.net/publication/281489479_The_Nile_and_the_Grand_Ethiopian_Renai
ssance_Dam_Is_There_a_Meeting_Point_between_Nationalism_and_Hydrosolidarity. 60
The Brussels Time, “The Grand Ethiopian Renaissance DAM: A New Chapter in
Ethiopia‟s History”, diakses pada 10 February 2016 melalui
http://www.brusselstimes.com/news/eu-africa-affairs/4394/the-grand-ethiopian-renaissance-dam-
a-new-chapter-in-ethiopias-history.
38
murah. Artinya, proyek ini akan memberikan dampak yang positif untuk negara-
negara di kawasan tersebut.61
Selain kemampuannya dalam menghasikan aliran listrik yang besar,
keuntungan lain dari dibangunnya bendungan ini adalah dapat mencegah
terjadinya banjir besar-besaran yang dapat melanda negara-negara tepi pantai
yang rendah. Bendungan ini juga sangat mampu untuk mengatasi aliran air
sebesar 19.370 meter kubik per detik. Artinya, proyek ini juga dapat membantu
meningkatkan sektor perikanan dan pariwisata negara-negara kawasan.62
Dengan demikian, pemerintah Ethiopia menjadikan proyek ini sebagai
sebuah langkah besar untuk kemajuan Ethiopia, terutama dalam bidang ekonomi.
II.C Dampak Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance Dam terhadap
Mesir
Bagi Mesir apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Ethiopia terkait
pembangunan Grand Renaissance DAM di Sungai Nil telah memberikan kerugian
dalam proses pengisian bendungan. Aliran sungai Nil Biru yang dialirkan semua
ke bendungan membuat Mesir akan mengalami kekeringan. Sebagaimana yang
kita ketahui bahwa Mesir sangat bergantung pada Sungai Nil sekitar 94 persen
persedian air di Mesir berasal dari aliran Sungai Nil.63
61
The Brussels Time, “The Grand Ethiopian Renaissance DAM: A New Chapter in
Ethiopia‟s History”, diakses pada 10 February 2016 melalui
http://www.brusselstimes.com/news/eu-africa-affairs/4394/the-grand-ethiopian-renaissance-dam-
a-new-chapter-in-ethiopias-history. 62
Ibid., 63
Hamdy A. Hassan dan Ahmad Al-Rasshedy “The Nile River and Egyptian Foreign
Policy Interest,” African Sociological Review, Volume 11 no 1 (2007): hal.26.
39
Apalagi melihat dari kondisi geografis Mesir yang sebagian besar
wilayahnya merupakan gurun yang tandus dan wilayah yang memiliki curah hujan
yang sangat paling sedikit dibanding negara yang berada di daerah aliran Sungai
Nil lainnnya sangat wajar bagi Mesir untuk menjadikan Sungai Nil sebagai
prioritas kebijakan luar negerinya untuk bisa menjamin agar Sungai Nil tetap
mengalir hingga Mesir.
Sebagaimana dikatakan oleh duta besar Mesir untuk Ethiopia, Mohammed
Idriss, “Sungai Nil bagi Mesir bukan hanya sebuah sungai, tetapi merupakan salah
satunya sumber kehidupan Mesir, jadi dampak apapun pada air yang berada di Nil akan
mempengaruhi keamanan air Mesir dan tentunya ini merupakan perhatian besar.”64
Kekeringan pada Sungai Nil bukan hanya berdampak pada hilangnya
persediaan air untuk Mesir tetapi berdampak pula pada penurunan kekuatan
bendungan Aswan dalam memenuhi kebutuhan Mesir. Penurunan kekuatan
tersebut jelas dipengaruhi kuat dengan adanya pembangunan Grand Ethiopia
Remaissance. Beberapa analis mengklaim bahwa akan terjadi pengurangan aliran
Sungai Nil ke Mesir sekitar 12 sampai 25 persen.65
Pengurangan tersebut secara berkelanjutan akan menciptakan krisis listrik,
penurunan produksi domestik, kerugian dalam pemasokan pertanian yang dapat
mengurangi pasokan gandum ke Mesir. Padahal dulunya Mesir adalah negara
64
Emnet Assefa, “Ethiopia Diverts The Nile River for Controversial Dam Construction,”
diakses pada 2 Maret 2016 melalui http://addisstandard.com/ethiopia-diverts-the-Nile-river-for-
controversial-dam-construction/. 65
Brooke Kantor, “Dam-ed if you don‟t: Egypt and The Grand Ethiopian Renaissance
Dam,” diakses pada 2 Maret 2016 melalui http://harvardpolitics.com/hprgument-posts/dam-ed-
dont-egypt-grand-ethiopian-renaissance-dam-project/.
40
pengekspor gandum tapi sekarang menjadi negara pengimport gandum untuk
memenuhi kebutuhan dalam negerinya.66
Sungai Nil merupakan jantung perekonomian bagi Mesir karena sebagian
besar penghasilan penduduk Mesir berasal dari sektor pertanian. Terlihat 17
persen dari total GDP Mesir berasal dari komoditas ekspor dari sektor pertanian.67
Mesir yang memiliki daerah curah hujan sedikit memaksa penduduk Mesir
harus mengairi lahan pertanian menggunakan air yang berasal dari Sungai Nil.
Karena diantara negara tepian sekitar Sungai Nil, Mesir merupakan wilayah yang
paling luas lahan pertaniannya dibandingkan negara lainnya.68
Bukan hanya untuk irigasi, Sungai Nil dimanfaatkan oleh pemerintah
Mesir untuk menjadikan sumber energi pembangkit listrik tenaga air. Sumber
energi tersebut berasal dari bendungan Aswan yang menghasilkan 2845 Megawatt
yang bisa menghasilkan total 11 persen dari total energi listrik Negara Mesir.69
Air juga dibutuhkan Mesir dalam sektor industri menurut data kementrian
Air dan Irigasi Mesir kebutuhan air untuk sektor industri mencapai 2,50
BCM/tahun dan 0,7 diantaranya air tersebut digunakan melalui penguapan dalam
proses industri. Dari sektor industri tersebut menyumbang sekitar 37,4 persen dari
66
Brooke Kantor, “Dam-ed if you don‟t: Egypt and The Grand Ethiopian Renaissance
Dam,” diakses pada 2 Maret 2016 melalui http://harvardpolitics.com/hprgument-posts/dam-ed-
dont-egypt-grand-ethiopian-renaissance-dam-project/. 67
Lowell N.Lewis, “The Role of Agriculture in the Economy of Egpyt,” diakses pada 2
Maret 2016 melalui http://www.egyptianagriculture.com/role_economics.html. 68
Simon A.Mason, “From Conflict to Cooperation in the Nile Basin,”Zurich: Swiss
Federal Institut of Technology (2004): hal.106. 69
Laura Parkes, “The Politics of Water Scarcity in the Nile Basin: the Case of Egypt,”
Journal of Politics & International Studies, Vol 9 no 1 (Summer 2013): hal.456.
41
total GDP Mesir namun besarnya sumbangan dari industri berdampak buruk pada
tercemarnya air sungai Nil yang disebabkan oleh limbah industri.70
Selain untuk irigasi pertanian, pembangkit listrik, dan industri keindahan
Sungai Nil menjadi daya tarik wisatawan untuk datang ke Mesir tak heran jika
pemerintah Mesir menyediakan ribuan kapal yang menyediakan fasilitas seperti
restoran dan hotel guna untuk memfasilitasi wisatawan. Kapal-kapal tersebut
berlayar dari bendungan Aswan hingga ke kota Kairo. Tak kurang kapal tersebut
melayani 40 ribu wisatawan perminggu.71
Pembahasan mengenai kerangka kerjasama pengelolaan Sungai Nil, motif
dari pembangunan bendungan raksasa tersebut, serta dampak yang
ditimbulkannya akan mempengaruhi tindakan atau respon Mesir terhadap
Ethiopia. Nantinya berpengaruh juga terhadap perubahan kebijakan dalam
pemerintah Mesir, yakni Muhammad Mursi dan Al-Sisi. Dimana pembangunan
tersebut pastinya memiliki dampak positif dan negatif bagi pemerintahan.
70
Ministry of Water Resourches and Irrigation,” Water Scarcity”, diakses pada 2 Januari
2016 melalui
www.mfa.gov.eg/sitecollectiondocument/egypt%20water%20resourches%20paper_2014.pdf. 71
Yasser Raslan.,dkk, “Economic and Development Aspects of Navigation Development
in the Nile,” Research Gate (2011): hal.320.
42
BAB III
RESPON MESIR TERHADAP PEMBANGUNAN GRAND
ETHIOPIAN RENNAISANCE DAM DI SUNGAI NIL BIRU
Pada bab ini penulis akan mencoba untuk menjelaskan tentang respon
Mesir terhadap pembangunan bendungan raksasa yang dilakukan oleh Ethiopia.
Respon yang dilakukan Mesir penulis membaginya menjadi dua respon yakni
respon Mesir ketika pemerintahan presiden Muhammad Mursi kemudian pada
pemerintahan Presiden Abdul Fatah Al-Sisi. Tentunya dalam kedua masa
pemerintahan tersebut ada perbedaan dalam merespon bendungan tersebut.
Dalam pemerintahan Mursi, Mesir menolak bendungan tersebut
dikarenakan beberapa faktor diantaranya yaitu dikarenakan efek dari bendungan
tersebut adanya pengurangan volume air yang mengalir ke Mesir. Kemudian pada
masa pemerintahan presiden Al-Sissy, Mesir akhirnya menerima proyek
pembangunan bendungan tersebut dikarenakan adanya suatu perjanjian dan visi
bersama dalam mengelola bendungan ketika nanti bendungan tersebut rampung.
III.A Respon Mesir terhadap Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance
Dam Pada Masa Pemerintahan Muhammad Mursi
Melihat dari ketergantungan Mesir terhadap Sungai Nil yang begitu besar
menyebabkan Mesir sangat keras dalam memproteksi keamanan airnya termasuk
sikap mesir yang melakukan penolakan terhadap Cooperative Framework
43
Agreement yang dilakukan oleh negara-negara Nile basin. Menurut Mesir
kesepakatan pada Cooperative Framework Agreement akan merugikan posisi
negara-negara yang berada pada hilir Sungai Nil yakni Mesir.
Itu tertuang dalam pasal 14b dalam Cooperative Framework Agreement
yaitu setiap pemanfaatan sungai Nil tidak boleh berdampak signifikan terhadap
negara lain. Mesir mengkhawatirkan adanya kesepakatan ini menjadikan
legitimasi negara-negara lembah Sungai Nil untuk membangun proyek-proyek
Sungai Nil seperti bendungan dan lain-lain yang tentunya nanti akan berdampak
pada aliran ke hilir Sungai Nil.
Respon Mesir bukan hanya pada penolakan terhadap Cooperative
Framework Agreement yang akhirnya membekukan kegiatannya dalam Nile Basin
Initiative. Pada masa pemerintahan presiden Mohamed Mursi, beliau menyatakan
dengan tegas dalam pidato di sebuah konferensi Popular Conference on Egypt’s
Right to Nile Water bahwa, “If our share of Nile water decreases, our blood will
be the alternative.“72
Dengan kata lain Mesir tidak akan membiarkan air sungai
Nil sedikitpun diambil oleh negara-negara lain walaupun hanya setetes.
Mursi masih lebih lunak dibandingkan para pendahulunya. Sebelumnya, di
bawah kepemimpinan Hosni Mubarak, Mesir mengancam perang jika Ethiopia
mengalihkan aliran sungai Nil ke wilayah mereka.73
72
Nouran El-Behairy,” Morsi: If our share oh Nile water decreases, our blodd will be the
alternative diakses pada 4 Agustus 2015 melalui
http://www.dailynewsegypt.com/2013/06/11/morsi-if-our-share-of-nile-water-decreases-our-
blood-will-be-the-alternative/. 73
Denny Armandhanu, “Mesir dan Ethiopia Berebut Sungai Nil”, diakses pada 4 Agustus
2015 melalui http://m.news.viva.co.id/news/read/418167-mesir-dan-ethiopia-berebut-air-sungai-
Nil.
44
Ketidaksetujuan Mesir terhadap terhadap pembangunan tersebut
berdampak pada hubungan Mesir dengan negara-negara Afrika lainnya,
khususnya Ethiopia. Mengingat bendungan raksasa tersebut merupakan sumber
kehidupan bagi masyarakat Mesir pada saat itu. Presiden Mesir, Muhammad
Mursi menganggap bendungan tersebut akan mengurangi jumlah air yang ada di
Mesir.
Tindak langsung yang dilakukan oleh Mursi sebagai bentuk penolakannya
dilakukan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal Kairo telah
memulai kampanye diplomatiknya melalui dua cara baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan negara-negara Eropa dan pihak donor. Hal ini terjadi
setelah pemerintah Mesir melakukan tingkat kampanye perlawanannya terhadap
Ethiopia Renaissance Dam yang secara khusus bertujuan untuk melindungi
kepentingan bersejarah Mesir dalam pengelolaan Sungai Nil.74
Kampanye yang diprakarsai oleh Mesir tersebut dilakukan melalui dua
cara yang pertama secara langsung dengan mengadakan pertemuan yang
melibatkan salah satu menteri Mesir dan hubungan luar negeri dengan beberapa
menteri lainnya di negara-negara yang berpengaruh di Lembah Sungai Nil. Cara
yang kedua bertujuan untuk mengajak komunitas internasional untuk menolak
pembangunan GERD karena berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakstabilan
74
Ayah Aman, “Egypt seeks to halt Ethiopian DAM”, diakses pada 2 Maret 2016 melalui
http://www.al-monitor.com/pulse/ru/contents/articles/originals/2014/02/egypt-lobby-renaissance-
dam-ethiopia.html.
45
dalam regional Nile Basin, sumber ini berasal dari pemerintah Mesir kepada
media Al-Monitor. 75
Dalam media yang sama pemerintah Mesir mengatakan bahwa,
“melakukan negosisasi dengan Ethiopia hanya buang-buang waktu dan hanya
menghambat keamanan air Mesir”. Tercatat pada masa pemerintah Mursi antara
Mesir dengan Ethiopia sama sekali tidak menemukan solusi dalam permasalahan
tersebut. Berbeda nanti dengan masa Al-Sisi yang menemukan solusi dalam
masalah tersebut.76
Bukan hanya itu, pada 6 Februari 2014 Menteri Perairan dan Irigasi Mesir
mengunjungi Italia untuk bertemu dengan salah satu perusahaan kontruksi asal
Italia yang menandatangi kontrak dengan Ethiopia yang membantu dalam
pembangunan bendungan. Pemerintah Mesir menjelaskan tentang situasi air Mesir
yang kritis yang menjadi masalah selama hampir setiap tahun dan juga Mesir
takut pembangunan dam akan berpengaruh pada kemanan air Mesir. Kemudian
dari hasil pertemuan tersebut Menteri perairan Mesir menyatakan,” Kunjungan
telah mencapai tujuan dan Italia mengerti akan kekahawatiran Mesir.77
Kunjungan bukan hanya selesai di Italia, Mesir terus melakukan
kunjungan internasional untuk mencari dukungan untuk memproteksi keamanan
air Mesir. Kunjungan selanjutnya direncanakan ke Norwegia, Swedia, Belanda,
dan Perancis dan juga Mesir telah menghubungi semua donor International seperti
75
Ayah Aman, “Egypt seeks to halt Ethiopian DAM”, diakses pada 2 Maret 2016 melalui
http://www.al-monitor.com/pulse/ru/contents/articles/originals/2014/02/egypt-lobby-renaissance-
dam-ethiopia.html. 76
Ibid.
77
Ibid.
46
World Bank dan African Development Bank untuk tidak memberikan dana dan
dukungan teknis dalam konstruksi bendungan.78
Mesir telah mengambil sikap untuk mengancam Ethiopia dengan kekuatan
militernya. Dalam tingkatan pemerintah Mesir dan media swasta mampu
membangun sentimen anti-Ethiopia. Hal tersebut berdampak pada masyarakat
Oromo (Ethiopia) di Mesir yang menanggung beban serta kecurigaan dari
penduduk mesir. Banyak pengungsi Oromo (Ethiopia) telah menjadi korban dari
serangan fisik, begitu penjelasan dari PBB. Sementara itu sejumlah orang Ethiopia
di Mesir diusir, tidak mendapatkan kesehatan, serta diskriminasi lainnya dari
penduduk Mesir. Tindakan pengusiran yang dilakukan oleh pemerintahan Mesir
merupakan bentuk langsung penolakannya terhadap pembangunan tersebut.79
Bukan hanya itu saja bahkan seorang pejabat senior dari Partai Nour Mesir
mengatakan bahwa “Membangun bendungan adalah sama saja dengan deklarasi
perang.” Oleh karena itu, ia mengusulkan agar Mesir mendukung berbagai
gerakan separatis di Ethiopia jika pembangunan bendungan dilanjutkan.80
78 Ayah Aman, “Egypt seeks to halt Ethiopian DAM”, diakses pada 2 Maret 2016 melalui
http://www.al-monitor.com/pulse/ru/contents/articles/originals/2014/02/egypt-lobby-renaissance-
dam-ethiopia.html. 79
Peter Schwartzstein, “Egyptian Condemn Ethiopia‟s Nile Dam Project.”, diakses pada
2 Maret 2016 melalui http://hornaffairs.com/en/2013/09/30/water-wars-egypt-condemn-ethiopia-
Nile-dam/. 80
Peter Schwartzstein, “Egyptian Condemn Ethiopia‟s Nile Dam Project.”, diakses pada
2 Maret 2016 melalui http://hornaffairs.com/en/2013/09/30/water-wars-egypt-condemn-ethiopia-
Nile-dam/.
47
III.B Respon Mesir terhadap Pembangunan Grand Ethiopian Renaissance
Dam Pada Masa Pemerintahan Abdul Fatah Al-Sisi.
Respon Mesir pada masa pemerintahan sebelumnya yakni Muhammad
Mursi lebih cenderung kepada penolakan yang disertai dengan aksi militer.
Berbeda dengan Presiden Al-sisi yang memilih cara lunak dalam merespon
pembangunan Grand Ethiopia Renaissance Dam (GERD). Hal tersebut terbukti
pada 27 Maret 2015 untuk pertama kalinya selama tiga dekade Presiden Al-Sisi
bertemu Presiden Ethiopia, Mulatu Teshome yang didampingi oleh Perdana
Menterinya, yakni Hailemariam Desalegn.
Presiden Dr Mulatu Teshome secara langsung menyambut Presiden Abdel
Fattah Al-Sisi di Istana Nasional Ethiopia. Dalam perbincangan tersebut Presiden
Dr. Mulatu menyatakan:
“His appreciation of the effort Egypt is making to deepen desire to transform
relations into a state of trust and confidence. President Dr. Mulatu stressed that
Ethiopia was constructing the GERD purely for power generation, that the
country was committed to a green development which would be beneficial the
relationship between the two sisterly countries of Ethiopia and Egypt, both in
general and over the issue of ensuring equitable water utilization.”81
Terbukanya hubungan kembali antara Mesir dan Ethiopia bukan hanya
karena adanya ikatan bersejarah atau hubungan budaya yang erat dengan orang-
orang Ethiopia melainkan adanya keinginan untuk mengubah hubungan yang
saling percaya. Presiden Dr. Mulatu menegaskan bahwa, “Pembangunan GERD
81
NN, “Newsletter Ethiopia Embassy in Brussels,” Weekly Issue, no. 29,(2015): hal. 5-6.
48
bertujuan untuk pembangkit listrik yang nantinya akan membuat pembangunan
hijau di Ethiopia.”82
Sebelum kedatangan Presiden Al-Sisi di Ethiopia, pada 23 Maret 2015
berhasil disepakati suatu deklarasi, yakni dikenal dengan Declaration of Principle
dengan 10 prinsip yang ditandatangani oleh Mesir, Ethiopia, dan Sudan. Dimana
deklarasi yang disertai penandatanganan prinsip tersebut mengenai pengaturan
pembangunan negara-negara Nil Basin.83
Sepuluh prinsip tersebut yang tertuang dalam Declaration of Principle
meliputi Principles of Cooperation, yang menghasilkan keuntungan bersama atau
win-win solution. Principle of Development, Regional Integration, and
Sustainabilty maksudnya meningkatkan pembangunan ekonomi serta promosi
kerjasama lintas negara.84
Beberapa prinsip lainnya seperti Principle Equitable and Reasonable
Utilization, Principle to cooperate on the First Filling and Operation of the Dam.
Principle of Confidence Building, Principle of Exchange of Information and Data,
Principle of Dam Safety, Principle of Sovereignty and Territorial Integrity,
Principle of Peaceful Settlement of Disputes.85
Kita bisa lihat mengenai sepuluh prinsip tersebut sebagian besar
membahas tentang kerjasama ekonomi dalam pembangunan bendungan raksasa
oleh Ethiopia. Kemudian prinsip lainnya menjelaskan pentingnya mengantisipasi
82 NN, “Newsletter Ethiopia Embassy in Brussels,” Weekly Issue, no. 29,(2015): hal.2.
83
Ibid., hal.5-6.
84
Ibid., hal.5-6.
85
Ibid., hal.5-6.
49
dampak lingkungan yang terjadi, kedaulatan, penyelesaian konflik, teknis
pengaturan bendungan, dan yang tepenting pembangunan kepercayaan diantara
negara-negara yang terlibat.
Dalam pernyataan Al-Sisi pada saat menandatangani Declaration of
Principles bahwa:
“Meskipun faktanya pembangunan tersebut merupakan representasi dari
usaha Ethiopia untuk membangun energi yang bersih serta pembangunan.
Namun sebenarnya pembangunan tersebut secara tidak langsung
memperihatikan masyarakat Mesir secara khusus karena sungai Nil adalah
sumber kehidupan bersama.”86
Dalam proses pencapaian deklarasi bisa dikatakan Presiden Al-Sisi yang
menginginkan membuka hubungan baik kembali terhadap Ethiopia. Selain itu
Presiden Mesir tersebut ingin memperkuat hubungan yang bersifat menampung
aspirasi diantara dua negara tersebut. Pemerintah Mesir tidak memungkiri bahwa
proyek tersebut akan berdampak pada pengurangan debit air sungai Nil tetapi
tidak akan mengancam keamanan air di Mesir.87
86 Mada Masr, “Egypt, Sudan and Ethiopia sign „declaration of principles‟ on
Renaissance Dam”, diakses pada 20 April 2016 melalui http://www.madamasr.com/news/egypt-
sudan-and-ethiopia-sign-%E2%80%98declaration-principles%E2%80%99-renaissance-dam.
87
Federico Manfredi, “Shoukry in Addis Ababa for talks over Grand Ethiopian
Renaissance Dam”, diakses pada 20 April 2016 melalui
http://www.dailynewsegypt.com/2014/11/02/shoukry-addis-ababa-talks-grand-ethiopian-
renaissance-dam/
50
BAB IV
PERUBAHAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI MESIR DALAM
MENERIMA PEMBANGUNAN GRAND ETHIOPIAN
RENAISSANCE DAM DI SUNGAI NIL BIRU
Pada bab ini penulis mencoba untuk menjelaskan respon apa saja yang
dilakukan oleh Pemerintah Mesir terhadap pembangunan bendungan yang
dilakukan oleh Pemerintah Ethiopia serta analisis mengenai kebijakan luar negeri
apa yang akan muncul dari pemerintahan Mesir terhadap pembangunan teresebut.
Ditambah adanya pergeseran kepemimpinan di pemerintahan Mesir itu sendiri
cukup memberikan pengaruh mengenai perubahan arah kebijakan luar negeri
Mesir terhadap pembangunan GERD.
IV.A Kepentingan Nasional Mesir terhadap Ethiopia
Pada 2011 Ethiopia mulai membangun GERD di Sungai Nil yang terdapat
suatu tempat dikatakan dengan Guba. Permasalahan bendungan tersebut telah
menjadi isu menarik di kawasan Afrika yang tentunya berdampak baik secara
regional maupun internasional. Pembangunan tersebut melibatkan Mesir dan
Sudan juga sehingga membuat masalah ini semakin kompleks.88
88 Belachew Tesfa, “Benefit of Grand Ethiopian Rennaissance DAM Project for Sudan
and Egypt”, EIPSA Communicating Article, Vol 1 no 1, University of Huddersfield (Desember
2013): hal.2.
51
Pembangunan bendungan raksasa, Grand Ethiopia Renaissance oleh
Ethiopia di Sungai Nil secara langsung akan mempengaruhi Mesir sebagai negara
yang memiliki kekuasaan penuh terhadap Sungai tersebut. Sejak 2011-2014 Mesir
sedang mengalami musim kekeringan yang berdampak pada penurunan kekuatan
bendungan Aswan dalam memenuhi kebutuhan Mesir.
Penurunan kekuatan bendungan Aswan dipengaruhi kuat dengan adanya
pembangunan Grand Ethiopia Remaissance. Beberapa analis mengklaim bahwa
akan terjadi pengurangan aliran Sungai Nil ke Mesir sekitar 12 sampai 25
persen.89
Pengurangan tersebut secara berkelanjutan akan menciptakan krisis
listrik, penurunan produksi domestik, kerugian dalam pemasokan pertanian yang
dapat mengurangi pasokan gandum ke Mesir. Padahal dulunya Mesir adalah
negara pengekspor gandum tapi sekarang menjadi negara pengimport gandum
untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.90
Sungai Nil juga merupakan jantung perekonomian bagi mesir karena
sebagian besar penghasilan penduduk Mesir berasal dari sektor pertanian. Terlihat
17 persen dari total GDP Mesir berasal dari komoditas ekspor dari sektor
pertanian.91
Disamping itu pembangunan GERD memiliki dampak positif. Hal tersebut
nampak pada tujuan pembangunan bendungan tersebut yakni menghasilkan
tenaga listrik sebesar 6000 megawatt dengan produksi pertahunnya adalah 15.130
89
Brooke Kantor, “Dam-ed if you don‟t: Egypt and The Grand Ethiopian Renaissance
Dam,” diakses pada 2 Maret 2016 melalui http://harvardpolitics.com/hprgument-posts/dam-ed-
dont-egypt-grand-ethiopian-renaissance-dam-project/ 90
Ibid., 91
Lowell N.Lewis, “The Role of Agriculture in the Economy of Egpyt” diakses pada 2
Maret 2016 melalui http://www.egyptianagriculture.com/role_economics.html.
52
megawatt. Manfaat lainnya dalam pembangunan bendungan tersebut terhadap
negara-negara hilir yakni dapat mengurangi lumpur dan sedimentasi, seperti
Sudan dan Mesir dengan pengaturan air melalui konservasi di daratan Ethiopia.92
Kemudian bendungan raksasa tersebut sebagai bentuk pencegahan
terhadap banjir serta mitigasi kekeringan. Hitungan teknis rencana pembangunan
bendungan tersebut GERD dengan asumsi Ethiopia menggunakannya untuk
kebutuhan listrik berdampak pada aliran air di negara-negara hilir. Pengaturan
aliran di bagian hilir akan berdampak pada peningkatan produksi pertanian di
kawasan hilir, yakni salah satunya Mesir.
Pengaturan aliran air itu digunakan untuk mengurangi kerugian panen
yang disebabkan kekurangan air saat periode musim kemarau. Dapat dikatakan
juga bendungan GERD memberi keuntungan untuk Mesir dan Sudan melalui
pemberian aliran air secara stabil.93
Dampak negatif dari pembangunan bendungan raksasa yang dilihat Mursi
pada masa jabatannya justru terlihat menguntungkan atau memiliki sisi positif
oleh Al-Sisi. Perubahan pandangan tersebut dari dampak negatif ke positif
dijadikan sebagai dasar kepentingan nasional oleh Presiden Al-Sisi.
Kepentingan nasional merupakan pondasi utama dalam membentuk
kebijakan luar negeri. John Baylis menjelaskan bahwa, “segala sesuatu yang
92 Belachew Tesfa, “Benefit of Grand Ethiopian Rennaissance DAM Project for Sudan
and Egypt”, EIPSA Communicating Article, Vol 1 no 1, University of Huddersfield (Desember
2013): hal.2.
93
Lowell N.Lewis, “The Role of Agriculture in the Economy of Egpyt” diakses pada 2
Maret 2016 melalui http://www.egyptianagriculture.com/role_economics.html.
53
dibutuhkan negara terangkum dalam sebuah kebijakan yang didalamnya terdapat
kepentingan nasional.”94
Dalam pandangan Neoliberal Institusionalis negara bertindak untuk
kepentingan nasional sendiri, namun juga negara memandang bahwa kepentingan
nasional hanya dapat tercapai jika dilakukan kerjasama.
Keohane mengakui bahwa kerjasama bukan tindakan yang mudah dicapai
dan berpotensi menyebabkan ketegangan, namun melalui kerjasama, absolute
gain dapat tercapai. 95
Oleh karena itu, pencapaian kepentingan nasional suatu negara dapat
dilakukan melalui serangkaian kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri ini
termanifestasikan melalui kerjasama bilateral, maupun multilateral dalam rangka
pemenuhan kebutuhan nasional dan pencapaian kesejahteraan secara global.
Mesir dengan Ethiopia telah membahas hubungan perdagangan antara
kedua negara serta hambatan yang mungkin muncul. Hubungan tersebut mengenai
zona industri Mesir-Ethiopia di atas lahan seluas 2 juta meter dengan biaya 150
juta dollar dikelola oleh pengusaha Ahmed El-Sewedy. Selain itu Ethiopia juga
menjanjikan komisi yang besar kepada Mesir dalam hubungan perdagangan itu.96
Kemudian selama 2015 ekspor Mesir ke Ethiopia mencapai 85 milyar
dollar dengan peningkatan 33 persen dibandingkan dengan tahun sebelum-
94
John Baylis.dkk, The Globalization of World Politics : An Introduction of International
Relation 5th
Edition, (New York: Oxford University Press, 2008), hal.210.
95
Robert Keohane, After Hagemony: Cooperation and Discord in the World Political
Economy, (New Jersey: Princeton University Press ,1984), hal.7.
96
Omar Halawa, “Ethiopia Renaissance Dam: What options are left for egypt”, diakses
pada 18 Mei 2016 melalui
http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/151/189974/Egypt/Features/Ethiopias-Renaissance-
Dam-What-options-are-left-fo.aspx.
54
sebelumnya. Produk yang diekspor Mesir ke Ethiopia berupa bahan bangunan,
meliputi bahan keramik serta bahan makanan, seperti jus dan buah. Begitupun
sebaliknya ekspor Ethiopia terhadap Mesir memperoleh surplus mencapai EGP 25
milyar selama akhir 2015 dengan presentasi peningkatan 11 persen dibandingkan
tahun sebelumnya.97
Dalam jangka panjangnya secara ekonomi pembangunan bendungan
tersebut akan membuka kerjasama antara Mesir itu sendiri terhadap bukan hanya
dengan Ethiopia melainkan negara lainnya di benua Afrika. Melalui itu Mesir bisa
melakukan pertukaran ekonomi yang bisa dimulai dengan Ethiopia yang nantinya
menyambung ke negara Afrika lainnya. Potensi yang menarik dalam kerjasama
tersebut berfokus pada pertumbuhan ekonomi dan investasi.98
Bukan hanya kepentingan ekonomi saja, Kepentingan Mesir dengan
Ethiopia terletak kepada kepentingan politiknya juga. Ini berkaitan dengan potensi
ancaman pasukan pemberontak, seperti pasukan Islamis AL-Shaabab yang ada di
Somalia. Dimana Ethiopia dengan keras berkampanye melawan pasukan tersebut
sehingga Al-Sisi ikut mendukung kampanye tersebut. Presiden Mesir, Al-Sisi
melihat Ethiopia memiliki komitmen kuat dalam pemberantasan pasukan
pemberontak Islam tersebut.99
97 Nehal Mounir, “Now is right time for Egyptian companies to invest in Ethiopian
market while it is still blossoming: Al-Zumar,” diakses pada 18 Mei 2016 melalui
http://www.dailynewsegypt.com/2015/11/01/now-is-right-time-for-egyptian-companies-to-invest-
in-ethiopian-market-while-it-is-still-blossoming-al-zumar/.
98
NN, “Egypt and the Ethiopian Renaissance Dam,” diakses pada 18 Mei 2016 melalui
www.aucegypt.edu/news/stories/egypt-and-ethiopian-renaissance-dam. 99
Tobias Von Lossow dan Stephan Roll, “Egypt Nile Water Policy Under Al-Sisi.”
German Institute for International and Security Water, (Februari 2015): hal.3.
55
56
Jika kita kaitkan dengan kenyataan yang ada dengan konsep national
interest bahwa Mesir sangat membutuhan Ethiopia dalam bidang ekonomi dan
juga politik. Keuntungan dari kegiatan perdagangan internasional merupakan
national interest dari Mesir sehingga harus melakukan berbagai upaya untuk
mencapai tersebut. Upaya tersebut bisa dengan kekuatan militer atau non-militer.
Dalam konteks politik yakni Mesir secara tidak langsung mendukung
Ethiopia untuk memberantas pasukan Al-Shaabab sebagai bentuk kepentingannya.
Dukungan Mesir terhadap Ethiopia bertujuan untuk menciptakan keamanan di
kawasan air, seperti Laut Merah dan Terusan Suez. Dimana kawasan air tersebut
berbanding lurus dengan pendapatan Mesir.
IV.B Perubahan Kebijakan Luar Negeri Mesir terhadap GERD
Permasalahan pembangunan Grand Ethiopian Renaissance DAM di
sungai Nil dari pemerintahan Mesir mengalami perbedaan kebijakan luar
negerinya terhadap masalah itu. Pemerintahan pada masa lalu yakni Muhammad
Mursi yang kemudian digantikan oleh Al-Sisi. Sungai Nil sangat penting untuk
menjamin berlangsungnya hidup masyarakat di sekitar kawasan tersebut,
khususnya Mesir. Selain itu tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar
masyarakat Mesir menggantungkan hidupnya terhadap air tersebut.103
103
Ashok Swain, “Mission Not Yet Accomplished: Managing Water Resources In The
Nile Basin”, Journal of International Affairs, vol 62 no 1 (Fall/Winter 2008): hal.2, diakses pada 8
Juni 2015 melalui https://www.ciaonet.org/catalog/16207.
57
Adanya permasalahan sungai tersebut secara langsung mengharuskan
Mesir mengambil suatu sikap untuk meresponnya. Sikap Mesir terhadap
permasalahan tersebut diimplementasikan dalam bentuk kebijakan luar negeri.
Kemudian adanya masa jabatan Presiden Mesir, Muhammad Mursi yang terbilang
tidak cukup lama. Dimana pasca Presiden Mursi turun digantikan oleh Al-Sisi
sebagai pemimpin Mesir hingga saat ini.
Tentunya dalam kebijakan luar negeri Mesir sebagai bentuk respon
terhadap permasalahan pembangunan tersebut mengalami perubahan dari
Muhammad Mursi ke Al-Sisi. Kebijakan luar negeri yang akan diambil oleh
kedua pemimpin tersebut, yakni Muhammad Mursi pada 2013 serta Al-Sisi yang
memimpin Mesir sampai sekarang sebagai bentuk untuk mencapai kepentingan
nasional negara tersebut.
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh K.J Holsti bahwa, ” kebijakan
luar negeri merupakan segala aktifitas negara terhadap lingkungan eksternalnya
sebagai bentuk untuk mencapai keuntungan dari lingkungan tersebut.”104
Dapat
dikatakan juga bahwa kebijakan luar negeri sebagai cara politik untuk mencapai
kepentingan nasional dari suatu negara melalui kekuasaanya.
Holsti juga menjelaskan bahwa:
“Lingkungan eksternal dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri,
seperti struktur sistem internasional, karakter/struktur ekonomi dunia, masalah-
masalah global yang ditimbulkan oleh aktifitas perorangan atau kelompok,
berbagai kebijakan dan tindakan negara-negara lain, hukum internasional dan
opini dunia.”105
104
K.J Holsti, Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis, (Bandung: Bina Cipta,
1992), hal.82. 105
Ibid, hal.82.
58
Ada dua komponen utama kebijakan luar negeri, pertama faktor
domestik/internal dan faktor internasional/eksternal. Faktor domestik terdiri dari
taktik pengalihan, kepentingan ekonomi dan keputusan kebijakan luar negeri,
peran opini publik dan siklus pemilu.
Berdasarkan pengertian dan unsur-unsur yang mempengaruhi kebijakan
luar negeri di atas dapat ditarik beberapa pernyataan. Pada 2013 Mesir yang
dipimpin oleh Muhammad Mursi mengambil kebijakan luar negeri yang
cenderung hard power, yakni ancaman pengerahan pasukan militer terhadap
Ethiopia jika bendungan raksasa itu dibangun.
Berbeda dengan masa pemerintahan Al-Sisi pada 2014 sampai sekarang
yang mengedepankan soft power dalam menerapkan kebijakan luar negerinya
terhadap Ethiopia mengenai pembangunan bendungan tersebut. Perubahan
kebijakan luar negeri pada masa Al-sisi yang lebih melunak berkaitan dengan
kepentingan ekonomi Mesir itu sendiri di Ethiopia.
Jadi salah satu faktor penyebab perubahan kebijakan luar negeri Mesir
pada masa Al-Sisi karena adanya saling ketergantungan diantara dua negara
tersebut. Dimana saling ketergantungan tersebut membuat Mesir dan Ethiopia
saling bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam negerinya ditambah
adanya saling menguntungkan dalam kerjasama tersebut.
Ketergantungan itu nampak pada kelebihan Mesir dalam sektor pertanian
yang kuat. Potensi tersebut bisa ditawarkan kepada Ethiopia mengenai investasi
pertanian dengan catatan Mesir mendapatkan bagian yang besar dalam bendungan
59
tersebut. Disamping itu Ethiopia juga harus memenuhi kebutuhan dasar
masyarakatnya melalui pertanian Mesir tersebut.106
Kepentingan ekonomi Mesir semakin menguat terhadap Ethiopia
dilakukan dalam bidang politiknya. Masa pemerintahan Al-Sisi melakukan
serangkaian aksi dalam pembebeasan beberapa penduduk Ethiopia di Libya.
Apresiasi pun datang dari Ethiopia mengenai tindakan baik dari Mesir. Bahkan
Ethiopia menganggap Mesir sebagai “saudara” di Benua Afrika.
Berbalik dengan Presiden Mursi yang mengusir masyarakat Ethiopia di
negara Mesir yang disebut dengan bangsa Oromo. Terkadang juga terdapat korban
dari serangan fisik, begitu penjelasan dari PBB. Sementara itu sejumlah orang
Ethiopia di Mesir diusir, tidak mendapatkan kesehatan, serta diskriminasi lainnya
dari penduduk Mesir.107
Berkaitan dengan analisis kebijakan luar negeri meliputi tiga level analisis.
Pertama adalah tingkatan individu, yaitu pengambilan pada seorang pemimpin
dari suatu negara contohnya Presiden. Kemudian, state level dimana struktur
politik negara, aktor pembuatan kebijakan dipengaruhi dengan interaksi antar
aktor negara. Terakhir international level berasumsi bahwa kebijakan luar negeri
suatu negara sangat dipengaruhi oleh sistem internasional.108
106 NN, “Egypt and the Ethiopian Renaissance Dam,” diakses pada 18 Mei 2016 melalui
www.aucegypt.edu/news/stories/egypt-and-ethiopian-renaissance-dam 107
Peter Schwartzstein, “Egyptian Condemn Ethiopia‟s Nile Dam Project”, diakses pada
2 Maret 2016 melalui http://hornaffairs.com/en/2013/09/30/water-wars-egypt-condemn-ethiopia-
Nile-dam/. 108
John T. Rourke, International Politics on the World Stage, (New York: McGraw-Hill
Companies, 2008), hal.64-99.
60
Jika kita lihat dalam tingkat analisis bahwa kebijakan luar negeri yang
diambil oleh pemerintah Mesir merupakan representasi individu. Maksudnya
kebijakan Mesir diambil dari seorang pemimpin, yakni Muhammad Mursi pada
masanya dan Al-Sisi pada masanya juga. Perbedaanya pada masa Muhammad
Mursi lebih cenderung hard power sedangkan Al-Sisi mengedepankan soft power.
IV.C Faktor Internal (Idiosyncratic)
Pemerintahan Mesir dalam 5 tahun terakhir pasca turunya Hosni Mubarak
digantikan oleh Muhammad Mursi dengan waktu singkat diturunkan oleh Al Sisi
hingga sekarang. Dalam pembahasan ini berfokus pada kebijakan yang sudah
dilakukan oleh Muhammad Mursi hingga presiden sekarang, yakni Al Sisi. Sesuai
dengan penjelasan sebelumnya bahwa Mursi cenderung agresif, tidak kompromi,
dan menggunakan hard power.
Pasca turunnya Muhammad Mursi yang kemudian digantikan oleh Al Sisi
lebih bersifat soft power dan mengedepankan kerjasama. Pastinya berbagai
pertimbangan atau faktor dapat mempengaruhi perbedaan kebijakan diantara
Mursi dan Al Sisi. Dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri salah satunya
terdapat faktor internal yang terdiri dari beberapa unsur, khususnya faktor
idiosyncratic.
Definisi idiosyncratice bahwa seorang individu mempunyai peranan dalam
proses pengambilan kebijakan luar negeri. Dimana individu tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor, misalnya personality, ego and ambitions, political history
61
and personal experience, atau physical and mental health.109
Beberapa faktor
yang berpengaruh terhadap indvidu bisa membuat kebijakan yang diambil
merupakan representasi dari pemimpin suatu negara.
Pertama, pergeseran kebijakan luar negeri antara Mursi dengan Al Sisi
disebabkan adanya perubahan pemimpin. Fokus dalam konsep idiosyncratice
bukan hanya pada pergantian pemimpin tetapi terletak pada personality,
perceptions, atau faktor lainnya yang melekat pada mereka. Personality
menjelaskan adanya hubungan aktif-pasif dan positif-negatif dalam kepribadian
politik.110
Kemudian pemimpin yang aktif adalah inovator, sementara para pemimpin
pasif bersifat reaktor. Kombinasi terburuk dikatakan kombinasi aktif-negatif
(pemimpin aktif menerima lebih banyak kritik, namun kepribadian negatif rentan
untuk menganggap bahwa lawan adalah musuh). Penjelasan mengenai personality
terhadap terjadinya pergeseran kebijakan bahwa kebijakan ancaman militer dan
pengusiran oleh Mursi tergolong dalam pemimpin pasif.
Pemimpin pasif bersifat reaktor maksudnya sebagai indvidu yang
memunculkan reaksi dari negara lain. Sedangkan Al Sisi termasuk pemimpin aktif
bersifat inovator yang cenderung menggunakan strategi baru dalam merespon
masalah bendungan raksasa, yakni mengadakan kerjasama atau disebut
Declaration of Principles.
109
Matthew Hanzel, “Summary and Commentaries on Levels of Analysis and Foreign
Policy,”Departemen of International Relations (2009): Hal. 8-9 diakses pada 26 Juni 2016 melalui
https://www.scribd.com/doc/123712904/The-Three-Levels-of-Analysis-in-International-Relations. 110
Ibid.,
62
Kombinasi aktif-negatif dalam personality bisa digunakan juga untuk
menjelaskan terjadinya pergeseran kebijakan di Mesir. Keputusan Al Sisi melalui
kebijakan luar negerinya untuk berkerja sama dengan Ethiopia secara langsung
merupakan asumsinya mengenai kegagalan yang dilakukan oleh Mursi.
Kerjasama yang dilakukan Al Sisi merupakan hasil dari kritikan terhadap Mursi.
Pada waktu Mesir dipimpin oleh Mursi berdasarkan kepribadian negatif bahwa
Mursi menganggap Ethiopia sebagai musuh yang harus dimusnahkan.
Menurut Margaret G. Hermann bahwa berkaitan dengan proses kebijakan
luar negeri terdapat beberapa faktor lainnya yang mempengaruhi kepribadian
politik, diantaranya yaitu expansionist dan active independent. Kepribadian
pemimmpin bersifat expansionist memiliki kontrol besar, tidak percaya kepada
negara lain, serta tidak melihat beberapa alternatif dalam menyelesaikan
masalah.111
Berbanding terbalik dengan kepribadian active independent bahwa
pemimpin ingin berpartisipasi dengan komunitas internasional serta tetap
mempertahankan hubungan dengan negara-negara dunia.112
Melalui Margaret G.
Hermann memberikan penjelasan secara langsung Presiden Mursi merupakan
kepribadian politik bersifat expansionist. Presiden Al Sisi termasuk kepribadian
politik yang bersifat active independent.
111
James. N. Rosenau, The Scientific Study of Foreign Policy, (London: Francis Printer
,1980), hal. 50. 112
Ibid., hal. 50.
63
Berdasarkan penjelasan di atas bisa diambil suatu pernyataan mengenai
penyebab pergeseran kebijakan luar negeri dalam konteks idiosyncretic terjadi
adanya kepribadian yang dimiliki kedua pemimpin tersebut. Presiden Mursi lebih
bersifat expansionist serta personality yang bersifat aktif-negatif. Di sisi lain Al
Sisi memiliki kepribadian politik active independent serta bersifat pasif-positif
secara personality.
IV.D Faktor Eksternal (Ancaman Keamanan)
Kepentingan politik masa pemerintahan Al Sisi kaitannya dengan
Declaration of Principles bahwa kerjasama yang dibangun oleh Mesir dengan
Ethiopia ada kaitannya dengan kemungkinan ancaman yang berasal dari Somalia.
Ethiopia sangat gencar dalam memberantas kelompok terorisme yang dikenal
dengan Al-Shaabab.
Bagi Mesir kelompok teroris Al-Shaabab yang sudah menyerang Yaman
berpotensi akan menguasai beberapa wilayah strategis dikawasan Afrika.
Kawasan strategis menurut Mesir yaitu Terusan Suez dan Laut Merah. Kedua laut
itu merupakan salah satu sumber kehidupan Mesir. Sehingga Mesir harus
mempertahankan wilayah strategis tersebut dari kelompok teroris Al-Shaabab.
Kelanjutan dari proses kebijakan luar negeri dimana faktor eksternal
memiliki peranan cukup besar disamping faktor internal dalam suatu kebijakan
yang akan diambil. Berbagai masalah, ancaman, atau tantangan yang terjadi di
luar negara tidak dapat dipungkiri dapat mempengaruhi kebijakan dari suatu
64
negara. Dalam konteks Mesir ancaman tersebut adalah pasukan teroris Al-
Shaabab.
Dalam konteks keamanan internasional berdasarkan pernyataan Victor D.
Cha bahwa: “The new security environment in the 21st century will operate
increasingly in the space defined by the interpenetration between two spheres:
globalization and national identity”.113
Salah satu contoh ancaman keamanan di
masa sekarang serta berkaitan dengan derasnya globalisasi yaitu terorisme.
Dalam kajian terorisme, Alex Schmid mengatakan bahwa:
“Terrorism is an anxiety-inspiring method of repeated violent action,
employed by (semi-) clandestine individual, groups or state actors, for
idiosyncratic, criminal or political reasons…”.114
Jadi, pergeseran kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh faktor
eksternal terletak pada ancaman yang muncul pada saat Presiden Al Sisi. Pada
masa pemerintahan Mursi tidak melihat adanya ancaman kelompok teroris dari
Somalia. Sedangkan Presiden Al Sisi melihat adanya potensi ancaman keamanan
dari Al-Shaabab yang akan menguasai wilayah strategis kelautan Mesir.
113
Victor David Cha, “Globalization and the Study of International Security”, Journal of
Peace Research, vol. 32, no. 3 (Mei, 2000): hal. 33. 114
Alex Schmidt dan Jongman, Political Terrorism: A new guide to actors, authors,
concepts, data bases, theories, and literature, (Amsterdam: North-Holland Publishing
Company,1988), hal.3.
65
BAB V
PENUTUP
Bagian ini merupakan bab terakhir sebagai penutup dari beberapa bab
sebelumnya. Selain itu bagian ini berisikan kesimpulan yang terdiri dari beberapa
bab. Pada bagian terakhir ini membantu memberikan ringkasan singkat dari inti
permasalahan yang dibahas dimulai dari kerangka kerjasama, motif pembangunan
bendungan, dampak pembangunan bagi Mesir, dan respon Mesir terhadap
pembangunan bendungan.
V.A Kesimpulan
Kebutuhan akan air Timur Tengah semakin lama semakin meningkat
akibat meningkatnya jumlah penduduk dan semakin meningkatnya produksi
pertanian. Secara geografis kawasan Timur Tengah sebagian besar dikellilingi
oleh gurun. Sehingga berdampak pada sedikitnya sumber air, khususnya air bersih
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dari negara-negara di kawasan tersebut.
Kelangkaan air bersih inilah yang kerapkali menjadi salah satu sumber masalah di
Timur Tengah. Ketidakadilan dalam pendistribusian air khususnya sungai,
seringkali tidak bisa dimanfaatkan secara adil oleh setiap negara-negara.
Hal ini terlihat dari konflik yang terjadi antara Mesir dan Ethiopia di
Sungai Nil Biru. Konflik ini mulai memanas ketika pada tahun 2011 Ethiopia
membangun bendungan raksasa di wilayah Sungai Nil tersebut. Perselisihan
antara Mesir dengan Ethiopia terkait dengan pembangunan Grand Ethiopian
Renaissance Dam merupakan salah satu representasi fenomena perebutan air di
66
kawasan Afrika. Mulai dari penggunaan hard power oleh Mesir pada masa
Presiden Muhammad Mursi yang dibuktikan dengan ancaman aksi militer.
Kemudian Presiden Al-Sisi sebagai pengganti dari presiden sebelumnya
cenderung menggunakan soft power dalam menanggapai permasalahan sumber air
tersebut.
Tentunya setiap presiden Mesir yang sedang menjabat pada saat itu yakni
Muhammad Mursi kemudian digantikan oleh Al-Sisi memiliki alasan tersendiri
mengenai perbedaan sikap dalam masalah bendungan tersebut. Dampak positif
dan negatif dari bendungan tersebut berperan cukup besar dalam mempengaruhi
pergeseran kebijakan luar negeri Mesir.
Kebijakan luar negeri Mesir masa Al-Sisi yang merupakan penerapan
kepentingan nasional negara tersebut dibuktikan dengan adanya kerjasama.
Presiden Mesir, Al-Sisi melihat adanya ketergantungan Mesir terhadap Ethiopia
terkait pembangunan bendungan tersebut. Dengan kata lain Mesir dan Ethiopia
saling membutuhkan bendungan raksasa itu untuk memenuhi kebutuhan dalam
negerinya.
Kemudian Mesir juga memiliki kepentingan politik terhadap kerjasamanya
dengan Ethiopia terkait penciptaan keamanan di kawasan air Mesir. Laut Merah
dan Terusan Suez memiliki potensi ketidakstabilan yang disebabkan pasukan
ekstrimis dari Somalia. Mesir membutuhkan Ethiopia untuk memberantas
pasukan ekstrimis dari Somalia tersebut.
Pada masa pemerintah Mursi yang menjabat dengan waktu singkat serta
cenderung mengancam Ethiopia terkait pembangunan bendungan raksasa. Secara
67
langsung Mursi melakukan pengusiran suku Oromo keturunan Ethiopia di Mesir.
Berbanding terbalik dengan pemerintahan Al-Sisi yang lebih melindungi orang
Ethiopia di Libya dari pemberontak. Tindakan diantara dua presiden tersebut
merupakan bentuk kebijakan yang diambil dengan penerapan dan kepentingan
nasional yang berbeda.
Proses kebijakan luar negeri Mesir terhadap Ethiopia dipengaruhi juga
faktor internal dan eksternal yang memiliki pengaruh besar. Salah satu faktor
internal yakni idiosyncretic atau kepribadian politik dari Mursi dan Al Sisi yang
menyebabkan terjadinya pergeseran kebijakan luar negeri. Kemudian faktor
eksternal yakni ancaman keamanan memiliki peranan dalam terjadinya pergeseran
kebijakan luar negeri dair Mursi ke Al Sisi.
Oleh karena itu pergeseran kebijakan luar negeri dari Mursi kepada Al-Sisi
cenderung kontrakdiktif disebabkan adanya perbedaan kepentingan nasional
dalam melihat pembangunan Grand Ethiopian Rennaisance DAM. Dimana
perbedaan itu akan berdampak pada pergesaran kebijakan luar negeri yang mereka
ambil dari yang awalnya menggunakan aksi militer menjadi sebuah kerjasama
yang dipandang saling menguntungkan.
xi
Daftar Pustaka
Buku:
Baylis, John. The Globalization of World Politics: An Introduction of
International Relation 5th
Edition. New York: Oxford University Press,
2008.
Breuning, Marijke. Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New
York: Palgrave Macmilan, 2007
Holsti, K.J. Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis. Bandung: Bina Cipta,
1992.
Jackson, R dan G. Sorensen. Introduction to International Relations. London:
Oxford Universrity Press, 1999.
Keohane, Robert. After Hagemony: Cooperation and Discord in the World
Political Economy. New Jersey: Princeton University Press,1984.
Mintz, Alex. Understanding Foreign Policy Decision Making. New York:
Cambridge University Press, 2010.
Rourke, J.T. International Politics on the World Stage. New York: McGraw-Hill
Companies, 2008.
Rosenau, James. N. The Scientific Study of Foreign Policy. London: Francis
Printer, 1980.
Schmidt, Alex dan Jongman, Political Terrorism: A new guide to actors, authors,
concepts, data bases, theories, and literature. Amsterdam: North-Holland
Publishing Company,1988.
Taylor, S.J. Introduction to Qualitative Research Methods 3rd
Edition. New York:
John Willey and Son, 1998.
Tvedt, Terje. The River Nile in the Post Colonial Era. London: LB Tauris, 2010.
Wendt, Alexander. Social Theory of International Politics. Cambridge:
Cambridge University Press, 1998.
Zulkarnaen. Analisis Kebijakan Luar Negeri. Jakarta:UNAS, 2001.
Jurnal:
Abawari, Y. M. “Conflict and Cooperation among the Nile Basin Countries with
Special Emphasis on the Nile Basin Initiative.” International Institute of
xii
Social Studies (Desember 2011): hal.201, diakses pada 8 Juni 2015
melalui https://thesis.eur.nl/pub/10809/.
Abdelhady, D, dkk “The Nile and the Grand Ethiopian Renaissance Dam: Is
There a Meeting Point Between Nationalism and Hydrosolidarity.”
Journal of Contemporary Water Research and Education (Juli 2015):
hal.73, diakses pada 10 February 2016 melalui
https://www.researchgate.net/publication/281489479_The_Nile_and_the_
Grand_Ethiopian_Renaissance_Dam_Is_There_a_Meeting_Point_between
_Nationalism_and_Hydrosolidarity.
Allam, M.N dan Gamal Ibrahim Allam “Water Resources in Egypt: Future
Challenges and Opportunities.” Water International, vol 32 no 2 (Juni
2007): hal.206, diakses pada 9 Juni
2015melaluihttps://www.researchgate.net/publication/233101072_Water_R
esources_In_Egypt_Future_Challeges_and_Opportunities.
Aznor, A. “Kepentingan Mesir Menolak Meratifikasi Kesepakatan Cooperation
Framework Agreement Mengenai Aturan Pengelolaan Sungai Nil.” JOM
FISIP Vol 2 no 2, Universitas Riau (Oktober 2015): hal.4, diakses pada 2
Desember 2015 melalui
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/7071/6756.
Cha, Victor David “Globalization and the Study of International Security”,
Journal of Peace Research, vol. 32, no. 3 (Mei, 2000): hal. 33.
Hanzel, Matthew. “Summary and Commentaries on Levels of Analysis and
Foreign Policy,” Departemen of International Relations, (2009): hal. 8-9
diakses pada 26 Juni 2016 melalui
https://www.scribd.com/doc/123712904/The-Three-Levels-of-Analysis-in-
International-Relations.
Hassan. A.H dan Ahmad Al-Rasshedy “The Nile River and Egyptian Foreign
Policy Interest. African Sociological Review, Vol 11 no 1 (2007): hal.26.
Lossow. T.V dan Stephan Roll, “Egypt Nile Water Policy Under Al-Sisi.”
German Institute for International and Security Water (Februari 2015):
hal.3.
Madani, K. A. “Game Theory approach on understanding the nile basin conflict.”
Department of Civil, Environmental and Construction Engineering (2011):
hal.98, diakses pada 3 Juni 2015 melalui
http://www.academia.edu/5502832/Game_theory_and_water_resources.
Mason, S. “From Conflict to Cooperation in the Nile Basin.” Zurich: Swiss
Federal Institut of Technology (2004): hal.106.
NN. “Newsletter Ethiopia Embassy in Brussels.” Weekly Issues No.29 (Maret
2015): hal.5-6.
xiii
Parkes, L. “The Politics of Water Scarcity in the Nile Basin: the Case of Egypt.”
Journal of Politics & International Studies, Vol 9 no 1 (Summer 2013):
hal.456.
Swain, A. “Mission Not Yet Accomplished: Managing Water Resources In The
Nile Basin.” Journal of International Affairs, vol 62 no 1 (Fall/Winter
2008): hal.2, diakses pada 8 Juni 2015 melalui
https://www.ciaonet.org/catalog/16207.
Tandirerung, S. “Faktor Domestik Ethiopia Meratifikasi Nile Basin Cooperative
Framework Agreement Tentang Manajemen Redistribusi Aliran Sungai
Nil.” Jurnal analisis hubungan internasional, Vol.3. no.1 (Maret 2014):
hal,640, diakses pada Januari 2015 melalui
http://journal.unair.ac.id/faktor-domestik-ethiopia-meratifikasi-nile-basin-
cooperative-framework-agreement-(cfa)-tentang-manajemen-redistribusi-
aliran-sungai-nil-tahun-2013-article-7218-media-131-category-8.html.
Tandirerung, S. “Faktor Domestik Ethiopia Meratifikasi Nile Basin Cooperative
Framework Agreement Tentang Manajemen Redistribusi Aliran Sungai
Nil.” Jurnal analisis hubungan internasional, Vol.3. no.1 (Maret 2014):
hal.648, diakses pada Januari 2015 melalui
http://journal.unair.ac.id/faktor-domestik-ethiopia-meratifikasi-nile-basin-
cooperative-framework-agreement-(cfa)-tentang-manajemen-redistribusi-
aliran-sungai-nil-tahun-2013-article-7218-media-131-category-8.html.
Tesfa, Belachew. “Benefit of Grand Ethiopian Rennaissance DAM Project for
Sudan and Egypt”, EIPSA Communicating Article, Vol 1 no 1, University
of Huddersfield (Desember 2013): hal.2.
Teshome, W.B. “Transboundary Water Cooperation in Africa.” Tourkish Journal
of International Relation, vol 7 no. 4 (Winter 2008): hal.34, diakses pada 8
Juni 2015 melalui http://alternativesjournal.net/article/view/5000159640.
Yasser Raslan, R. A. “Economic and Development Aspects of Navigation
Development in the Nile.” Research Gate (2011): hal.320.
Website:
Armandhanu, D. “Mesir dan Ethiopia Berebut Sungai Nil” diakses pada 4
Agustus 2015 melalui http://m.news.viva.co.id/news/read/418167-mesir-
dan-ethiopia-berebut-air-sungai-nil.
Aman, A. “Egypt Seeks to Halt Ethiopian DAM” diakses pada 2 Maret 2016
melalui http://www.al-
monitor.com/pulse/ru/contents/articles/originals/2014/02/egypt-lobby-
renaissance-dam-ethiopia.html.
xiv
Assefa, Emnet. “Ethiopia Diverts The Nile River for Controversial Dam
Construction” diakses pada 2 Maret 2016 melalui
http://addisstandard.com/ethiopia-diverts-the-nile-river-for-controversial-
dam-construction/
BBC Indonesia.“Mesir peringatkan Ethiopia soal waduk Nil” diakses pada 23
Desember 2014 melalui
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2013/06/130611_mesir_ethiopia_be
ndungan.html
BBC News. “East Africa seeks more Nile water from Egypt” diakses pada 4
Agustus 2015 melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/africa/8682387.stm
Berhane, Daniel. “Grand Ethiopian Renaissance DAM” diakses pada tanggal 10
February 2016 melalui http://hornaffairs.com/en/2011/09/20/facts-grand-
ethiopian-renaissance-dam/.
El-Behairy, Nouran ” Morsi: If our share oh Nile water decreases, our blood will
be the alternative.” diakses pada 4 Agustus 2015 melalui
http://www.dailynewsegypt.com/2013/06/11/morsi-if-our-share-of-nile-
water-decreases-our-blood-will-be-the-alternative/.
Feed for future, “Feed the Future Country Fact Sheet 2014, Ethiopia,” diakses
pada 4 January 2015 melalui
https://www.feedthefuture.gov/country/ethiopia.
Fortin, Jacey. “Dam Rising in Ethiopia Stirs Hope and Tension” diakses pada 8
Agustus 2015 melalui http://www.nytimes.com/2014/10/12/world/dam-
rising-in-ethiopia-stirs-hope-and-tension.html?_r=0
Ghany, M. A. “Ethiophian Studies on Nile Dam fall Short, Egypt Says” diakses
pada 3 Januari 2015 melalui
http://www.reuters.com/article/2013/06/02/us-egypt-ethiopia-nile-
idUSBRE9510C720130602.
Hamilton. “Former National Leaders: Water a Global Security Issue” diakses pada
2 Januari 2015 melalui http://unu.edu/media-relations/releases/water-
called-a-global-security-issue.html.
Halawa, Omar. “Ethiopia Renaissance Dam: What options are left for egypt”
diakses pada 18 Mei 2016 melalui
http://english.ahram.org.eg/NewsContent/1/151/189974/Egypt/Features/Et
hiopias-Renaissance-Dam-What-options-are-left-fo.aspx.
Josephs, Jeremy. “Grand Designs North Africa: Impact of Ethiopia‟s Renaissance
Dam” diakses melalui 3 Januari 2015 dari
http://www.waterworld.com/articles/wwi/print/volume-29/issue-
1/regional-spotlight/ethiopia-impact-of-renaissance-dam/grand-designs-
north-africa-impact-of-ethiopia-s-renaissance-dam.html
xv
Kantor, Brooke “ Dam-ed If You Don‟t: Egypt and The Grand Ethiopian
Renaissance Dam.” Diakses pada 2 Maret 2016 melalui
http://harvardpolitics.com/hprgument-posts/dam-ed-dont-egypt-grand-
ethiopian-renaissance-dam-project/.
Lewis, L. N “The Role of Agriculture in the Economy of Egpyt” diakses pada 28
Januari 2016 melalui
http://www.egyptianagriculture.com/role_economics.html.
Manfredi, Federico. “Shoukry in Addis Ababa for talks over Grand Ethiopian
Renaissance DAM” diakses pada 20 April 2016 melalui
http://www.dailynewsegypt.com/2014/11/02/shoukry-addis-ababa-talks-
grand-ethiopian-renaissance-dam/
Masr, Mada. “Egypt, Sudan and Ethiopia sign „Declaration of Principles‟ on
Renaissance DAM” diakses pada 20 April 2016 melalui
http://www.madamasr.com/news/egypt-sudan-and-ethiopia-sign-
%E2%80%98declaration-principles%E2%80%99-renaissance-dam.
Mekonnen, K. “The Defects and Effects of Past Treaties and Agreements on the
Nile River Waters: Whose faults were day” diakses pada 28 Juli 2015
melalui http://www.ethiopians.com/abay/engin.html.
Ministry of Water Resourches and Irrigation. “Water Scarcity” diakses pada 29
Januari 2016 melalui
www.mfa.gov.eg/sitecollectiondocument/egypt%20water%20resourches%
20paper_2014.pdf.
Mounir, Nehal. “Now is right time for Egyptian companies to invest in Ethiopian
market while it is still blossoming: Al-Zumar” diakses pada 18 Mei 2016
melalui http://www.dailynewsegypt.com/2015/11/01/now-is-right-time-
for-egyptian-companies-to-invest-in-ethiopian-market-while-it-is-still-
blossoming-al-zumar/.
Musoni, Edwin. “Africa: Rift Widens as Egypt, Sudan Delay Signing Nile Basin
Pact” diakses pada 2 Agustus 2015 melalui
http://allafrica.com/stories/200902230029.html.
Naharnet. “Ethiopia Ratifies Nile Share Deal amid Row with Egypt” diakses pada
2 agustus 2015 melalui http://www.naharnet.com/stories/en/86799.
Naim, Moises. “Think Again: Globalization,” diakses pada 26 Juni 2016 melalui
http://foreignpolicy.com/2009/09/30/think-again-globalization/.
Nile Information System. “Background” diakses pada 2 Agustus 2015 melalui
http://nileis.nilebasin.org/content/background.
xvi
NN. “Egypt and the Ethiopian Renaissance Dam” diakses pada 18 Mei 2016
melalui www.aucegypt.edu/news/stories/egypt-and-ethiopian-renaissance-
dam
Power, L. “Death on the nile: Egypt Burgoening on food and Water security
crisis” diakses pada 3 Januari 2015 melalui
http://www.futuredirections.org.au/publications/food-and-water-
crises/1826-death-on-the-nile-egypt-s-burgeoning-food-and-water-
security-crisis.html.
Prajogo, M. S. “Kepentingan Nasional: Sebuah Teori Universal dan
Penerapannya Oleh Amerika Serikat di Indonesia” diakses pada 4 Januari
2015 melalui http://strahan.kemhan.go.id/media/files/kepentingan-
nasional.pdf.
Schwartzstein, Peter. “Egyptian Condemn Ethiopia‟s Nile Dam Project” diakses
pada 2 Maret 2016 melalui http://hornaffairs.com/en/2013/09/30/water-
wars-egypt-condemn-ethiopia-nile-dam/.
The Brussels Time. “The grand Ethiopian Renaissance Dam: A New Chapter in
Ethiopia‟s History” diakses pada 10 February 2016 melalui
http://www.brusselstimes.com/news/eu-africa-affairs/4394/the-grand-
ethiopian-renaissance-dam-a-new-chapter-in-ethiopias-history
UN. “UN Human Development Report 1994: New Dimensions of Human
Security,” diakses pada 26 Juni 2016 melalui
http://hdr.undp.org/en/media/hdr_1994_en_chap2.pdf.
Unesco. “The Nile River Basin” diakses pada 27 Juli 2015 melalui
http://www.unesco.org/water/news/newsletter/160.shtml
World Bank, “Nile River Basin Map,” diakses pada 27 Juli 2015 melalui
http://siteresources.worldbank.org/INTAFRNILEBASINI/About%20Us/2
1082459/Nile_River_Basin.htm.
xvii
LAMPIRAN I: Agreement on The Nile River Basin Cooperative Framework
(Article 14b)
Article 14
Water Security
Having due regard to the provisions of Articles 4 and 5, Nile Basin States
recognize
the vital importance of water security to each of them. The States also recognize
that the cooperation management and development of waters of the Nile River
System will facilitate achievement of water security and other benefi ts. Nile
Basin
States therefore agree, in a spirit of cooperation:
(a) to work together to ensure that all states achieve and sustain water security;
(b)* ...
[Article 14b]:
Attachment
At the end of the negotiations, no consensus was reached on Article 14(b)
which reads as follows: “not to signifi cantly affect the water security of any
other Nile Basin States”.
All countries [Burundi, DR Congo, Ethiopia, Kenya, Rwanda, Tanzania and
Uganda] agreed to this proposal except Egypt and Sudan. To this effect, Egypt
proposed that Article 14(b) should be replaced by the following wording:
“not to adversely affect the water security and current uses and rights of any
other Nile Basin State”.
The Extraordinary Meeting of the Nile Council of Ministers held in Kinshasa,
the Democratic Republic of Congo, on 22 May 2009 resolved that the
issue on the Article 14(b) be annexed and resolved by the Nile River Basin
Commission within six months of its establishment.
xviii
LAMPIRAN 2: Agreement on Declaration of Principles between Egypt,
Ethiopia and Sudan on The Grand Ethiopian Renaissance
Dam Project
FULL TEXT OF THE DECLARATION
Agreement on Declaration of Principles between
The Arab Republic of Egypt,
The Federal Democratic Republic of Ethiopia
And
The Republic of the Sudan on the Grand Ethiopian Renaissance Dam Project
(GERDP)
Preamble
Mindful of the rising demand of the Arab Republic of Egypt, the Federal
Democratic Republic of Ethiopia and the Republic of Sudan on their
transboundary water resource, and cognizant of the significance of the River Nile
as the source of livelihood and the significant resource to the development of the
people of Egypt, Ethiopia and Sudan, the three countries have committed to the
following principles on the GERD:
I - Principles of Cooperation
To cooperate based on common understanding, mutual benefit, good faith, win-
win and principles of international law.
To cooperate in understanding upstream and downstream water needs in its
various aspects.
II - Principle of Development, Regional Integration and Sustainability
The Purpose of GERD is for power generation, to contribute to economic
development, promotion of transboundary cooperation and regional integration
through generation of sustainable and reliable clean energy supply.
III - Principle Not to Cause Significant Harm
The Three Countries shall take all appropriate measures to prevent the causing of
significant harm in utilizing the Blue/Main Nile.
Where significant harm nevertheless is caused to one of the countries, the state
whose use causes such harm shall, in the absence of agreement to such use, take
all appropriate measures in consultations with the affected state to eliminate or
mitigate such harm and, where appropriate, to discuss the question of
compensation.
xix
IV - Principle of Equitable and Reasonable Utilization
The Tree Countries shall utilize their shared water resources in their respective
territories in an equitable and reasonable manner.
In ensuring their equitable and reasonable utilization, the Three Countries will
take into account all the relevant guiding factors listed below, but not limited to
the following outlined:
a. Geographic, hydrograpic, hydrological, climatic, ecological and other factors of
a natural character;
b. The social and economic needs of the Basin States concerned;
c. The population dependent on the water resources in each Basin State;
d. The effects of the use or uses of the water resources in one Basin State on other
Basin States;
e. Existing and potential uses of the water resources;
f. Conservation, protection, development and economy of use of the water
resources and the costs of measures taken to that effect;
g. The availability of alternatives, of comparable value, to a particular planned or
existing use;
h. The contribution of each Basin State to the waters of the Nile River system;
i. The extent and proportion of the drainage area in the territory of each Basin
State.
V - Principle to cooperate on the First Filling and Operation of the Dam
To implement the recommendations of the International Panel of Experts (IPOE),
respect the final outcomes of the Technical National Committee (TNC) Final
Report on the joint studies recommended in the IPOE Final Report throughout the
different phases of the project.
The Three Countries, in the spirit of cooperation, will utilize the final outcomes of
the joint studies, to be conducted as per the recommendations of the IPoE Report
and agreed upon by the TNC, to:
a. Agree on guidelines and rules on the first filling of GERD which shall cover all
different scenarios, in parallel with the construction of GERD.
b. Agree on guidelines and rules for the annual operation of GERD, which the
owner of the dam may adjust from time to time.
c. Inform the downstream countries of any unforeseen or urgent circumstances
requiring adjustments in the operation of GERD.
To sustain cooperation and coordination on the annual operation of GERD with
downstream reservoirs, the three countries, through the line ministries responsible
for water, shall set up an appropriate coordination mechanism among them.
The time line for conducting the above mentioned process shall be 15 months
from the inception of the two studies recommended by the IPoE.
VI - Principle of Confidence Building
Priority will be given to downstream countries to purchase power generated from
GERD.
xx
VII - Principle of Exchange of Information and Data
Egypt, Ethiopia, and Sudan shall provide data and information needed for the
conduct of the TNC joint studies in good faith and in a timely manner.
VIII - Principle of Dam Safety
The Three Countries appreciate the efforts undertaken thus far by Ethiopia in
implementing the IPoE recommendations pertinent to the GERD safety.
Ethiopia shall in good faith continue the full implementation of the Dam safety
recommendations as per the IPoE report.
IX - Principle of Sovereignty and Territorial Integrity
The Three Countries shall cooperate on the basis of sovereign equality, territorial
integrity, mutual benefit and good faith in order to attain optimal utilization and
adequate protection of the River.
X - Principle of Peaceful Settlement of Disputes
The Three Countries will settle disputes, arising out of the interpretation or
implementation of this agreement, amicably through consultation or negotiation in
accordance with the principle of good faith. If the Parties are unable to resolve the
dispute thorough consultation or negotiation, they may jointly request for
conciliation, mediation or refer the matter for the consideration of the Heads of
State/Heads of Government.