Perubahan Produktivitas - · PDF fileAnalisis Panel Data 2000-2007 Laporan Akhir ......
Transcript of Perubahan Produktivitas - · PDF fileAnalisis Panel Data 2000-2007 Laporan Akhir ......
i
ii
Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya:
Analisis Panel Data 2000-2007
Laporan Akhir November 2010
Tim Penyusun:
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian PPN/Bappenas
Tahun Anggaran 2010
iii
Kata Pengantar
Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Boedino
dalam kebijakan pembangunan nasionalnya yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode tahun 2010-2014 (RPJMN
2010-2014) menekankan kebijakan pembangunan manufaktur yang
ditikberatkan pada revitalisasi industri. Dalam RPJPN 2005—2025
menyebutkan bahwa struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan
sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan
pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan
produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasa-jasa
pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan
yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh.
Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya
saing dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan, yaitu sebagai
berikut: (1) dalam hal penguasaan usaha, struktur industri disehatkan dengan
meniadakan praktek-praktek monopoli dan berbagai distorsi pasar; (2) dalam
hal skala usaha, struktur industri akan dikuatkan dengan menjadikan IKM
sebagai basis industri nasional, yaitu terintegrasi dalam mata rantai
pertambahan nilai dengan industri berskala besar; dan (3) dalam hal hulu-
hilir, struktur industri akan diperdalam dengan mendorong diversifikasi ke
hulu dan ke hilir membentuk rumpun industri yang sehat dan kuat.
Tahun 2010 adalah tahun pertama implementasi kebijakan revitalisasi
industri sebagaimana digariskan dalam RPJMN 2010-2014. Sebagai tahun
iv
awal pelaksanaan kebijakan, maka Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan
Sektoral perlu menelaah perkiraan kinerja kebijakannya ditinjau dari
pencapaian makronya. Berdasarkan hal inilah maka kajian bertajuk
“Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhinya: Analisis Panel Data 2004-2009” perlu dilakukan.
Kajian menunjukkan, bahwa berdasarkan hasil estimasi tingkat pertumbuhan
tingkat produktifitas ditunjukkan bahwa terdapat pertumbuhan produktifitas
yang positif sebesar rata 0.22% per tahun selama tahun 2000 sampai dengan
2007 pada Sektor Manufaktur di Indonesia. Peningkatan Tingkat Efisiensi
(TE) merupakan kontributor utama dari pertumbuhan tingkat produktifitas di
Indonesia, sementara pertumbuhan Pertumbuhan Teknologi (TP) dan Skala
Ekonomi (SE) memberikan kontribusi negatif, sebesar masing-masing -0.17%
dan 0.45% per tahun selama 2000-2007.
Estimasi terhadap persamaan empiris yang digunakan pada penelitian ini
juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan
dengan tingkat produktifitas, yang terkuat terdapat pada Industri Makanan
dan Minuman, diikuti oleh Industri Kertas. Sementara hubungan positif
terlemah terdapat pada Manufaktur Lain dan Industri Tekstil. Sebaliknya,
penelitian ini menemukan adanya hubungan yang negatif antara usia
perusahaan dengan tingkat produktifitas pada industri Makanan dan
Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja, serta Manufaktur Lain adalah lebih
memiliki produktifitas yang lebih rendah.
Implikasi dari temuan ini adalah usia dan pengalaman justru berdampak
negatif pada produktifitas pada Industri Manufaktur Indonesia. Hal ini
agaknya disebabkan bahwa banyak perusahaan dengan usia lanjut masih
menggunakan mesin dan peralatan yang tua.Sementara, koefisien usia
perusahaan yang negatif pada industri Kerta, Kimia, Mineral Nonmetal
mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara usia dan tingkat
produktifitas. Sehingga secara umum dapat dikatakan sulit untuk mengambil
kesimpulan umum tentang hubungan antara usia dan produktifitas, karena
tergantung pada jenis industri.
v
Dalam pada itu, dari hasil estimasi yang didapatkan juga dapat disimpulkan
bahwa perusahaan dengan orientasi produksi ekspor akan lebih produktif
ketimbang perusahaan yang tidak. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
partisipasi pada aktifitas ekspor akan meningkatkan produktifitas dari
perusahaan. Penyebab dari hubungan yang positif ini adalah partisipasi
ekspor merupakan indikator dari kemampuan perusahaan untuk
mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif. Dengan demikian dapat
diharapkan bahwa perusahaan yang berpartisipasi dalam kegiatan ekspor
memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak
melakukannya.
Estimasi dari koefisien kepemilikkan asing menunjukkan hasil negatif pada
seluruh industri secara seragam. Terlebih, koefisien ini pun sifnikan pada
level 1% untuk seluruh industri kecuali Manufaktur Lain. Hasil ini
mengindikasikan secara kuat adanya hubungan yang positif antara
kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas pada industri manufaktur di
Indonesia. Temuan ini agaknya tidak terlalu mengherankan, mengingat
perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik
dalam hal teknologi produksi dan proses produksi.
Bertolak belakang dengan hasil di atas, estimasi dari koefisien kepemilikkan
pemerintah menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapatkan
untuk untuk Sub-Sektor Industri Kayu, Kertas, Kimia, Mineral Nonmetal,
serta Besi dan Baja. Koefisien tersebut adalah signifikan pada level 1%.
Sebaliknya, koefisien yang positif didapatkan pada Industri Makanan dan
Minuman, Tekstil, dan Manufaktur Lain. Koefisien ini pun adalah signifikan
pada level 1%. Sehingga, tidak seperti halnya hubungan antara kepemilikkan
asing dan tingkat produktifitas, sulit untuk mendapatkan kesimpulan dalam
hal hubungan antara kepemilikkan pemerintah dan tingkat produktifitas.
Terakhir, estimasi dari koefisien Penelitian dan Pengembangan menunjukkan
hasil yang negatif untuk hampir semua Sub-sektor kecuali Manufaktur Lain.
Koefisien-koefisien ini pun adalah signikan untuk semua industri kecuali pada
vi
Industri Kayu. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang
positif antara pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dengan
tingkat produktifitas perusahaan manufaktur di Indonesia.
Tim Penyusun Laporan ini terdiri dari Mohamad Ikhsan Modjo dan Randy R.
Wrihatnolo, yang didukung oleh Anna dan Chaerul Rijal. Untuk informasi dan
pertanyaan lebih lanjut, silahkan menghubungi [email protected].
Hormat kami,
Jakarta, 15 November 2010
Tim Kajian
Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral
vii
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1 Sektor Manufaktur Indonesia 1
1.1. Ekonomi Indonesia Pasca Krisis 1998 dan Sektor
Manufaktur 1
1.2. Kinerja Industri Manufaktur Pasca Krisis:
Deindustrialisasi? 4
1.3. Transformasi Struktural Sektor Manufaktur 8
1.4. Ekspor Sektor Manufaktur 15
1.5. Beberapa Fitur Industri Manufaktur Indonesia 21
1.5.1. Tingkat Kompetisi diukur dari Konsentrasi 21
1.5.2. Isu Kepemilikkan 22
1.5.3. Distribusi Output Berdasarkan Ukuran 25
1.6. Penutup 27
Bab 2. Data, Metodologi dan Hipotesis 28
2.1. Desain Penelitian 28
2.2. Pendekatan dan Metode 28
2.2.1. Model Perubahan Produktivitas 28
2.2.2. Model Faktor yang Mempengaruhi Perubahan
Produktivitas 30
2.3. Data 31
2.4. Pengukuran Penelitian 33
2.4.1. Output 33
2.4.2. Modal 34
2.4.3. Tenaga Kerja 35
2.4.4. Bahan Baku 35
2.4.5. Skala Perusahaan 36
viii
2.4.6. Usia Perusahaan 38
2.4.7. Orientasi Penjualan - Ekspor Output 39
2.4.8. Kepemilikan Perusahaan 39
2.4.9. Penelitian dan Pengembangan (R&D) 41
2.5. Hipotesis 43
Bab 3. Temuan dan Pembahasan 44
3.1. Pengantar 44
3.2. Parameter Fungsi Produksi dan Elastisitas 44
3.3. Pertumbuhan Tingkat Produktifitas 51
3.4. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas 56
Bab 4. Kesimpulan 62
4.1. Temuan Penelitian 62
4.1.1. Pertumbuhan Tingkat produktifitas 62
4.2. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas 65
Referensi 68
ix
Daftar Tabel Tabel 1.1 Struktur dan Pertumbuhan PDB 1975-2009 (%) 5
Tabel 1.2 Perubahan Struktur Industri Manufaktur Besar & Sedang (%, Harga
Pasar) 10
Tabel 1.3 Perubahan Struktur Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC) 12
Tabel 1.4 Pertumbuhan Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC) 13
Tabel 1.5 Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%) 16
Tabel 1.6 Pertumbuhan Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%) 17
Tabel 1.7 Komoditi Penyumbang Ekspor Manufaktur Terbesar (%) 18
Tabel 1.8 Ekspor Manufaktur ke Tiga Negara (%) 19
Tabel 1.9 Konsentrasi Industri Manufaktur Indonesia 1985-2007 (CR4,
Nominal) 21
Tabel 1.10 Ekspor Berdasarkan Kepemilikkan (%) 24
Tabel 3.1 Uji Hipotesis Persamaan Fungsi Produksi 47
Tabel 3.2 Estimasi Persamaan Fungsi Produksi 48
Tabel 3.2 Estimasi Persamaan Fungsi Produksi (Lanjutan) 49
Tabel 3.3 Elastisitas dan RTS 50
Tabel 3.4 Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP) 53
Tabel 3.4 Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP) (Lanjutan) 53
Tabel 3.5 Perbandingan Tingkat Pertumbuhan (TFP) 55
Tabel 3.6 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Produktifitas 57
x
Daftar Gambar Gambar 1.1 Pertumbuhan Nilai Tambah Manufaktur 1962-2009 1
Gambar 1.2 Komposisi Ekspor, 1975-2009 (%Total Ekspor) 15
Gambar 1.3 Ekspor, Impor dan NetEkspor Manufaktur 1985-2009 (Juta US$ ,
Nominal) 20
Gambar 1.4 Status Kepemilikkan Manufaktur 1985-2007 23
Gambar 1.5 Distribusi Ukuran Perusahaan 1985-2007 26
1
Bab 1
Sektor Manufaktur Indonesia
1.1. Ekonomi Indonesia Pasca Krisis 1998 dan Sektor Manufaktur Kinerja sektor Industri Manufaktur (Sektor Manufaktur) secara umum tidak
terlepas dari kinerja perekonomian secara keseluruhan. Membaiknya situasi
ekonomi akan diikuti perbaikkan sektor Manufaktur, serta sebaliknya.
Manufaktur juga merupakan sektor yang sangat rentan terhadap fluktuasi dan
gejolak perekonomian global. Satu hal yang disebabkan proporsi produk
manufaktur yang dominan dalam pembentukkan nilai total perdagangan
antar bangsa.
Keterkaitan antara fluktuasi perekenomian secara keseluruhan dan kinerja
Sektor Manufaktur jelas terlihat di Indonesia. Akselerasi pertumbuhan di
masa Pemerintahan Orde Baru pada periode dekade 1970an hingga
pertengahan 1980an, yang mencapai rata-rata lebih dari 7% per tahun, diikuti
oleh percepatan pertumbuhan di Sektor Manufaktur. Saat itu, Sektor
Manufaktur tumbuh hingga mencapai lebih dari 14% per tahun secara rata-
rata. Sebaliknya, perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional yang terjadi
pada pertengahan 1980an, akibat kejatuhan harga minyak internasional,
membuat perlambatan juga terjadi di Sektor manufaktur. Beruntung,
perlambatan ini tidak berlangsung lama. Berbagai kebijakan reformasi dan
liberalisasi ekonomi yang dicanangkan oleh Pemerintah saat itu mampu
menggenjot Sektor Manufaktur untuk tetap tumbuh dengan perkasa sampai
2
pertengahan 1990an, dengan mengandalkan ekspor dan investasi asing
(Gambar 1.1).
Pertumbuhan tersebut berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi pada Juli
1997. Krisis ini menandai dimulainya suatu periode yang menyakitkan bagi
perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tercatat ambruk hingga
lebih dari 14% selama 1997-1998. Instabilitas makro pun terjadi seiring
naiknya suku bunga dan tingkat inflasi hingga hampir 80% rata-rata selama
satu tahun. Kehidupan sosial dan politik pun memburuk, dengan bergantinya
Pemerintahan serta merebaknya tingkat kriminalitas, pengangguran serta
kemiskinan. Kondisi ini berdampak pada kinerja Sektor Manufaktur, yang
mengalami kejatuhan hingga lebih dari 11,4%. Satu hal yang disebabkan oleh
melemahnya permintaan domestik dan global, akibat menurunnya tingkat
pendapatan masyarakat. Hal ini juga ditambah oleh terganggunya situasi
sosial politik serta lumpuhnya infrastruktur fisik dan perbankan yang
membuat semakin tidak kondusifnya dunia usaha1
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
Tahun
1962
1964
1966
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
Pertu
mbu
han
(%)
.
Gambar 1.1: Pertumbuhan Nilai Tambah Manufaktur 1962-2009
Sumber: kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010.
1 Diskusi mengenai pertumbuhan Sektor Manufaktur pada Era Orde baru dan dampak dari
krisis ekonomi Asia lebih mendalam bisa disimak, misalnya, pada (Ikhsan Modjo, 2008).
3
Demikian pula, krisis membuat pergeseran sektoral, di mana berbagai sumber
daya yang ada bergeser dari sektor-sektor yang bersifat moderen, nontraded,
dan import-dependent ke arah sektor-sektor yang bersifat tradisional, traded,
dan berorientasi ekspor. Dalam hal ini, Sektor Manufaktur walau merupakan
sektor yang berorientasi ekspor turut terpengaruh oleh pergeseran ini, karena
ketergantungannya yang tinggi pada impor. Hal ini diperburuk oleh
munculnya negara-negara berkembang lain seperti Vietnam, Kamboja dan
India, sebagai kompetitor produk-produk Industri Manufaktur Indonesia
pada kancah global. Semua ini hal menyebabkan berlarut-larutnya pemulihan
Sektor Manufaktur.
Selain faktor krisis, lambatnya pemulihan Sektor Manufaktur juga disebabkan
beberapa hal lain yang tidak secara langsung terkait dengan perekonomian.
Hal ini, misalnya, konsolidasi sosial politik di dalam negeri serta peralihan ke
sistem pemerintahan yang demokratis. Pada awal dekade 2000, Indonesia
juga menerapkan sistem otonomi daerah yang memiliki dampak pada
perencanaan dan koordinasi kebijakan di hampir semua sektor
perekonomian, termasuk Industri Manufaktur. Berbagai peraturan dan
perundang-undangan baru yang dilegislasikan pasca Krisis, yang memerlukan
waktu untuk sosialisasi dan adaptasi, juga menyebabkan penurunan daya
saing perekonomian nasional, yang turut berdampak pada kinerja Sektor
Manufaktur.
Tren penurunan daya saing Industri Manufaktur nasional terekam dalam
banyak laporan dan kajian perbandingan daya kompetitif internasional.
International Institute for Management Development (IMD) dalam World
Competitiveness Report 2004, misalnya, menempatkan Indonesia pada posisi
ke-58 dari 60 negara yang diteliti. Peringkat ini turun dari posisi ke-43 pada
2000, serta posisi ke-46 pada 2001. Penurunan dan rendahnya daya saing
perekonomian nasional serta Sektor Manufaktur menurut catatan IMD
disebabkan setidaknya oleh 5 faktor: Pertama, kinerja perdagangan
internasional, investasi, ketenagakerjaan dan stabilitas harga yang buruk.
Kedua, inefisiensi kelembagaan pemerintahan dan pengelolaan keuangan
4
negara/ fiskal. Ketiga, banyaknya peraturan dan perundang-undangan yang
kurang kondusif bagi dunia usaha. Keempat, rendahnya produktivitas dunia
usaha akibat pasar tenaga kerja yang tidak optimal, akses ke sumber
keuangan, serta praktik dan nilai manajerial yang relatif masih kurang
menunjang. Kelima, masih terbatasnya infrastruktur, baik infrastruktur fisik,
teknologi maupun infrastruktur dasar lain yang terkait dengan kebutuhan
masyarakat dan industri.
1.2. Kinerja Industri Manufaktur Pasca Krisis: Deindustrialisasi?
Pertumbuhan sektor manufaktur yang melemah pasca krisis 1997/1998
membuat banyak kalangan mengindikasikan terjadinya gejala
“deindustrialisasi” di Indonesia. Pengindikasian ini biasanya ditopang oleh
data pertumbuhan dan proporsi Sektor Manufaktur pada pembentukkan PDB
Nasional yang terus mengalami penurunan semenjak tahun 2000.
Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1, pertumbuhan Sektor Manufaktur
sepanjang 1995 hingga 2009 hanya berkisar antara 4,1% sampai dengan 5,1%.
Angka ini menurun drastis dibandingkan tingkat pertumbuhannya yang
berkisar 10,9% sampai dengan 15,3% pada periode 1970-1995.
5
Tabel 1.1: Struktur dan Pertumbuhan PDB 1975-2009 (%) 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 200
9 Perubahan Struktur
Sektor
Pertanian 30.2 24 23.2 19.4 17.1 15.6 13.1 14.1
Manufaktur 9.8 13 16 20.7 24.1 27.7 27.4 27.2
Industri termasuk Manufaktur
33.5 41.7 35.8 39.1 41.8 45.9 46.5 47.0
Jasa-Jasa 36.3 34.3 40.9 41.5 41.1 38.5 40.3 39.2
PDB 100 100 100 100 100 100 100 100
1970-75 1975-
80 1980-
85 1985-
90 1990-
95 1995-2000
2000-
2005
2005-
2009 Pertumbuhan
Sektor
Pertanian 4.3 4.1 3.9 4.1 2.7 1.9 3 3.5
Manufaktur+ 11.9 15.3 14.9 11.5 10.9 4.4 5.1 4.1
Industri termasuk Manufaktur
12.1 8.3 6.5 8.1 9.7 3.4 4.2 4.1
Jasa-Jasa 8.2 10.2 7.6 6.5 9.4 1.3 6.1 7.9
PDB 7.9 7.6 6.2 6.5 8.1 2.2 4.8 5.6
Sumber: kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010. Catatan: Pertumbuhan dihitung dengan metoda pertumbuhan rata-rata per tahun. Akibat dari melemahnya tingkat pertumbuhan, kontribusi Sektor Manufaktur
pada PDB pun cenderung untuk menurun. Seperti dapat disimak pada Tabel
1.1, kontribusi Manufaktur yang meningkat dari hanya 9,8% pada 1975
menjadi 27,7% pada 2000, mengalami penurunan menjadi 27,4% pada 2005
dan 27,2% pada 2009. Akan tetapi pengamatan akan adanya gejala
deindustrialisasi ini tidak sepenuhnya tepat. Sebab pada saat yang sama,
antara 2000 sampai dengan 2009, juga terjadi penurunan kontribusi Sektor
Pertanian terhadap PDB dari 15,6% menjadi 14,1%. Penurunan ini terjadi
meski pada saat yang sama terdapat sedikit akselerasi pertumbuhan Sektor
Pertanian dari 1,9% pada 1995-2000 menjadi 3,0% pada 2000-2005 dan 3,5%
pada 2005-2009. Sementara, Sektor Jasa mengalami peningkatan kontribusi
pada PDB yang moderat dari 38,5% ke 39,2% selama 2000-2009. Namun,
bila dibandingkan dengan kontribusinya pada 1995 sebesar 41,1%, Sektor ini
6
pun bisa dikatakan mengalami penurunan. Pertumbuhan sektor ini sendiri
tergolong relatif stabil di kisaran 6%-8% sepanjang 2000-2009, setelah
sempat tertekan di angka 1,3% pada 1995-2000.
Di sisi lain, Sektor Industri secara umum yang termasuk Sektor Manufaktur
di dalamnya cenderung mengalami peningkatan sepanjang 2000-2009. Dari
Tabel 1.1 terlihat Sektor ini meningkat kontribusinya dari 45,9% pada 2000
menjadi 47,0% pada 2009. Hal ini terlepas dari tingkat pertumbuhannya
yang secara keseluruhan mengalami sedikit penuruan ke kisaran 3%-5%
sepanjang 1995-2009, dari sebelumnya yang tumbuh secara rata-rata
sebesar 6,5%-12,1% pada 1970-1995. Peningkatan proporsi ini agaknya
banyak ditopang oleh peningkatan kontribusi subsektor Minyak dan Gas
serta Subsektor industri yang tergolong sebagai industri berbasiskan
perkebunan. Peningkatan kontribusi dari kedua subsektor ini sendiri dipicu
oleh peningkatan yang terjadi pada harga internasional minyak dan gas serta
komoditi-komoditi perkebunan.
Dalam konteks wacana deindustrilisasi, satu negara dapat dikatakan
mengalami deindustrialisasi bila sektor manufaktur mengalami penurunan
sedemikian rupa dalam jangka waktu panjang, sehingga tidak lagi menjadi
penyumbang utama pada pembentukkan pendapatan nasional (PDB).
Deindustrialisasi sendiri adalah suatu konsep yang sebenarnya netral. Ia bisa
baik atau buruk tergantung pada sejarah transformasi struktural dan dampak
yang diakibatkan pada perekonomian (Rowthorn and Well, 1987).
Deindustrialisasi bisa merupakan hal yang baik bila ia terjadi secara alamiah.
Dalam arti, pembesaran sektor lain di luar manufaktur terjadi semata akibat
peningkatan permintaan domestik, seiring adanya pertumbuhan yang
meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan kata lain, deindustrialisasi
adalah proses transformasi struktural natural antar sektor yang terjadi di
suatu perekonomian. Proses ini, pergeseran dari manufaktur ke jasa,
merupakan kelanjutan dari proses transformasi sebelumnya dari Sektor
Pertanian ke Sektor Manufaktur. Sehingga tidak ada yang perlu
dikhawatirkan dengan gejala ini.
7
Akan tetapi, fakta bahwa deindustrialisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan
dari proses transformasi struktural jangka panjang, tidak kemudian berarti
suatu perekonomian bisa bergantung semata pada Sektor Jasa. Manufaktur
yang kuat tetap dibutuhkan bila tingkat pendapatan ingin dipertahankan oleh
suatu negara, tanpa mengalami defisit neraca pembayaran. Sebab, mayoritas
Sektor Jasa bersifat tidak diperdagangkan (nontradeable) dan berorientasi ke
dalam. Sehingga keberadaan Sektor Manufaktur yang kuat tetap dibutuhkan
untuk perolehan devisa.
Di samping itu, deindustrialisasi juga dapat disebut netral bila terjadi sebagai
akibat perubahan tingkat produktifitas relatif antar sektor di dalam negeri
secara berkelanjutan. Satu hal yang biasanya diakibatkan oleh perbedaan
tingkat biaya atau laju inflasi antar sektor di dalam negeri. Dalam proses
deindustrialisasi model ini, daya saing produk-produk manufaktur negara
yang mengalaminya, baik yang diorientasikan untuk kebutuhan domestik atau
ekspor, tidak mesti mengalami penurunan terhadap produk impor. Jepang,
Jerman Barat dan Amerika Serikat pada dekade 1980-1990 adalah contoh
kasus di mana satu perekonomian mengalami deindustrialisasi, tanpa diiringi
berkurangnya daya saing.
Dalam hal ini, hal yang patut lebih dikhawatirkan pada perekonomian
bukanlah deindustrialisasi, akan tetapi degradasi industri (industrial decline).
Degradasi industri adalah proses penurunan kontribusi sektor manufaktur
terhadap PDB dan lapangan kerja yang disebabkan oleh penurunan daya
saing. Perbedaan mendasar keduanya adalah penurunan daya saing. Satu hal
yang intrisik ada pada degradasi industri, namun belum tentu terjadi pada
deindustrialisasi. Sebaliknya, deindustrialisasi menisbahkan penurunan posisi
Sektor Manufaktur sebagai kontributor utama pembentukkan PDB, satu hal
yang tidak mesti terjadi pada proses degradasi industri. Dari uraian ini jelas
bahwa deindustrialisasi dan degradasi sektor industri adalah dua hal yang
tidak sama. Meski, degradasi industri bisa mempengaruhi skala dan timing
terjadinya industrialisasi di suatu negara.
8
Lebih jauh, kedua pembedaan itu penting mengingat terdapat perbedaan
implikasi dalam terapi kebijakan. Lain halnya dengan deindustrialisasi yang
bersifat alamiah, sehingga tidak memerlukan intervensi khusus, degradasi
industri menisbahkan adanya satu strategi kebijakan industri (industrial
policy). Strategi kebijakan ini diterapkan pada industri tertentu, yang
dianggap efisien bagi perekonomian secara keseluruhan berdasarkan
kemufakatan pengelola negara2
1.3. Transformasi Struktural Sektor Manufaktur
.
Dari uraian ini, apa yang tengah terjadi dan dikhawatirkan di Indonesia
bukanlah deindustrialisasi, akan tetapi degradasi industri. Sektor Manufaktur
tidak pernah menjadi penyumbang terbesar pembentukkan PDB di tanah air.
Angka tertinggi kontribusi yang pernah diberikan pada pembentukkan PDB
Nasional tidak lebih dari 30%, begitu juga pada lapangan kerja angka tertinggi
adalah sekitar 20%.
Apa yang dikatakan sebagai industrialisasi pada dekade 1980an dan 1990an
sesungguhnya tidak lebih dari pengalihan industri – footloose industries –
dari negara-negara lain karena adanya ongkos produksi relatif yang lebih
murah. Industrialiasi saat itu bukanlah proses yang direncanakan. Ia lebih
merupakan implikasi dari dibukanya pasar serta mobilisasi dana domestik
dan asing. Keunggulan daya saing yang tercipta dari proses ini bersifat
temporer dan cepat tergerus seiring meningkatnya biaya produksi, terutama
tenaga kerja. Terbukti, proses industrialisasi yang terjadi kemudian mati suri,
seriring dengan munculnya negara lain dengan ongkos produksi yang lebih
murah, seperti China, India dan Vietnam, serta hilangnya fasilitas ekspor yang
diberikan oleh beberapa negara importir utama.
Pada Sektor Manufaktur sendiri terdapat beberapa hal menarik terkait
dengan perubahan komposisi subsektoral yang ada. Sebagaimana terlihat
pada Tabel 1.2, peranan Industri Minyak dan Gas (Migas) pada Sektor
2 Diskusi mengenai deindustrialisasi dan kebijakan industri yang cukup komprehensif bisa
disimaknya, misalnya, dalam (Chang, 2009).
9
Manufaktur semakin terlihat mengecil dari tahun ke tahun, sementara porsi
Industri Selain Migas terus mengalami peningkatan. Pada 2007, Industri
Migas hanya berkontribusi sebesar 9% dari total nilai tambah sektor Industri
Manufaktur nasional, sementara Selain Migas memberi 91%. Akan tetapi,
kontribusi Industri Migas sempat sedikit melonjak antara 1997-2000 dan
relatif konstan sepanjang 2000-2004, di angka 11%. Hal ini agaknya
menandakan sedikit tersendatnya transformasi industri manufaktur nasional
dari yang berbasiskan sumber daya alam ke industri yang berbasiskan modal
ketrampilan atau padat karya.
Bila dicermati lebih jauh pada Tabel 2.1, pelonjakan kontribusi Industri
Migas pada 1997-2004 disebabkan oleh melmbatnya pertumbuhan Industri
Selain Migas sepanjang 1997-2004. Angka pertumbuhan Industri Selain
Migas yang tercatat rata-rata 11,3% pada 1991-1994 dan 9,8% pada 1994-
1997, tercatat turun menjadi negatif 1,2% pada 1997-2000 dan 3,7% pada
2000-2004. Sepanjang 2004-2007, Industri Selain Migas mengalami sedikit
akselerasi pertumbuhan menjadi 4,1%, yang masih jauh di bawah dari angka
pertumbuhan pada masa sebelum krisis 1997/98. Pada saat yang sama,
sepanjang 1997-2007, pertumbuhan Industri Migas relatif stabil di kisaran
3%-4%.
10
Tabel 1.2: Perubahan Struktur Industri Manufaktur Besar & Sedang (%, Harga Pasar)
ISIC 1985 1994 1997 2000 2004 2007 Industri Minyak Gas (Migas) 27.4 12.4 9.9 11 11 9 Industri Selain Migas* 72.6 87.6 90.1 89 89 91
Industri Selain Migas 31 Makanan & Minuman 28.6 20.1 20.9 18.9 24.8 25.7
32 Tekstil 11.1 23.9 23.1 19.7 12.7 12.0 33 Kayu 7.5 8.1 8.3 5.9 5.9 4.3 34 Kertas dan Percetakan 3 4.4 6.2 5.5 8.1 6.7 35 Kimia, Plastik dan Karet 20.9 12.5 13.2 14.7 15.8 19.4 36 Mineral Bukan Metal 5.8 3.9 3.7 3.2 4.6 4.0 37 Besi dan Baja 8.3 5.6 2.1 2.4 2.7 3.6 38 Produk Besi dan Baja 13.2 20.4 21.2 28.1 24.3 23.3 39 Manufaktur Lain 1.6 1.1 1.2 1.7 1.0 1.0 Total 100 100 100 100 100.0 100.0
Pertumbuhan 1991-94 1994-97 1997-2000
2000-2004
2004-2007
Industri Migas
3.7 1.2 2.8 3.1 4.1 Industri Selain Migas*
11.3 9.8 -1.2 3.7 4.1
Non-Oil/Gas Manufacturing 31 Makanan & Minuman
11.2 -0.1 10 7.6 7.2
32 Tekstil
30.2 3.3 2.3 2.5 7.2 33 Kayu
-2.6 6.4 -4.6 3.9 -12.7
34 Kertas dan Percetakan
6.1 17.9 1.5 12.4 0.2 35 Kimia, Plastik dan Karet
7 10.9 6.4 7.6 11.9
36 Mineral Bukan Metal
15.7 9.6 -4.8 14.8 1.1 37 Besi dan Baja
20.3 -17.3 0.3 -5.9 21.8
38 Produk Besi dan Baja
30.8 7.7 15 1.6 5.7 39 Manufaktur Lain
27.7 3.1 24.7 8.8 4.3
Total 16.7 5.1 6.9 4.7 5.9 Sumber: Kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010, serta Statistik Industri Besar dan Sedang 2000-2007. Data sebelum 2000 diambil dari Ikhsan Modjo (2008). Pertumbuhan dihitung sebagai rata-rata pertumbuhan tahunan menggunakan angka riil. * Penghitungan Persentase dan pertumbuhan Industri Total termasuk data untuk Industri Kecil dan Rumah Tangga.
Beberapa perubahan juga terjadi pada Industri Besar dan Menengah Selain
Migas bila diklasifikasi berdasar dua digit standar klasifikasi industri (ISIC).
Beberapa Sektor Manufaktur tradisional seperti Industri Tekstil (ISIC 32)
dan Industri Kayu (ISIC 33) cenderung mengalami penurunan kontribusi
sepanjang 2000-2007. Kontribusi Industri Tekstil yang pernah mencapai
hinga hampir 34% dari total nilai tambah pada 1994 berangsur menurun
hanya menjadi 12% pada 2007. Sama halnya dengan Industri Kayu yang
menyusut menjadi 8,1% pada 1994 menjadi 4,3% pada 2007.
11
Sebaliknya, beberapa sektor industri mengalami peningkatan selama 2000-
2007. Sektor-sektor industri ini adalah Industri Makanan dan Minuman
(ISIC 31), Industri Kertas dan Percetakan (ISIC 34) serta Industri Kimia,
Plastik dan Karet (ISIC 35). Peran Industri Makanan dan Minuman,
misalnya, meningkat dari 18,9% pada 2000 menjadi 25,7% pada 2007.
Begitu juga Industri Kertas dan Percetakkan naik dari rata-rata 5,5% menjadi
rata-rata 6,7% per tahun pada saat yang sama. Sementara, Industri Kimia,
Plastik dan Karet tercatat meningkat dari rata-rata 14,7% di tahun 2000
menjadi rata-rata 19,4% pada 2007. Industri lain di luar yang telah
disebutkan di atas relatif tidak mengalami perubahan tingkat kontribusi
terhadap nilai tambha Sektor Manufaktur domestik.
Dalam hal ini, penurunan kontribusi oleh Sektor Tekstil sudah diprediksi
sejak lama oleh beberapa pengamat dan akademisi. Bird (1999) dan Ikhsan
Modjo (2008), umpamanya, menuliskan bahwa penurunan pertumbuhan
dan kontribusi Tekstil akan semakin menurun seiring dihapuskannya
fasilitas ekspor MFN (Most Favoured Nation) pada 2002 dan meningkatnya
kompetisi dari negara-negara pesaing baru yang memiliki tenaga kerja lebih
murah. Gejala ini sesungguhnya sudah nyata terlihat bahkan pada periode
sebelum krisis selama 1994-1997. Industri Tekstil yang bisa tumbuh sebesar
rata-rata lebih dari 30% pada 1991-1994, kemudian hanya bisa tumbuh rata-
rata di bawah 4% sepanjang 1994-2004. Pertumbuhan Industri Tekstil
sedikit meningkat di atas rata-rata 7% sepanjang 2004-2007. Akan tetapi
peningkatan ini tidak mampu secara signifikan meningkatkan kontibusinya
terhadap pembentukkan nilai tambah industri nasional.
Sebaliknya, sektor-sektor industri yang mengalami peningkatan kontribusi
selama 2000-2007 terlihat memiliki pertumbuhan yang stabil atau
mengalami percepatan tingkat pertumbuhan. Industri Makanan dan
Minuman, misalnya, naik di atas 7% per tahun sepanjang 2000-2007,
sementara Kertas sempat melonjak sebesar rata-rata 12,4% per tahun pada
2000-2004, meski kemudian mengalami penurunan menjadi hanya rata-
rata 0,2% per tahun. Keenam sub sektor in isecara bersama berkontribusi
12
secara rata-rata lebih dari 50% dari total nilai tambah Industri Manufaktur
dalam negeri.
Tabel 1.3: Perubahan Struktur Industri Manufaktur (%, 3 Digit
ISIC)
ISIC 3 Digit 1985 1991 1997 2000 2004 2007 % Proporsi dari Nilai Tambah
311 Makanan Dasar 10.52 9.51 9.35 6.26 11.00 11.78 312 Makanan Lainnya 3.26 3.07 4.45 3.83 2.49 3.13 313 Minuman 1.56 1.13 1.04 0.74 0.60 0.93 314 Tembakau Rokok 13.24 9.96 2.46 8.12 10.69 9.85 321 Tekstil 8.88 10.29 14.17 12.05 7.38 6.85 322 Garmen 1.73 3.35 4.66 4.81 3.39 3.54 323 Kulit 0.22 0.51 0.59 0.49 0.33 0.15 324 Alas Kaki 0.23 1.84 3.41 2.46 1.62 1.42 331 Kayu 6.96 13.24 7.13 4.72 4.85 3.01 332 Furnitur 0.53 1.2 1.32 1.25 1.05 1.25 341 Kertas 1.47 4.06 3.18 2.59 6.69 5.44 342 Percetakan 1.58 1.98 3.32 2.92 1.42 1.26 351 Kimia Industri 5.78 4.89 4.65 3.24 5.51 6.63 352 Kimia Lainnya 6.55 5.56 4.18 2.97 4.14 7.03 355 Karet 7.52 4.13 2.95 2.52 2.84 3.13 356 Plastik 1.07 2.02 2.48 5.54 3.36 2.63 361 Porselen 0.55 0.69 0.71 0.55 0.36 0.31 362 Gelas 1.35 0.63 0.48 0.47 0.78 0.33 363 Semen 2.46 1.69 2.09 1.18 3.15 2.85 364 Tanah Liat 0.69 0.45 0.72 0.54 0.11 0.25 369 Bukan Mineral Lain 0.77 0.61 0.55 0.45 0.24 0.28 371 Besi dan Baja 8.33 5.07 2.9 2.37 2.74 3.64 381 Produk Besi dan Baja 3.49 3 4.38 5.41 3.41 3.18 382 Mesin 0.96 1.55 2.83 1.02 0.88 1.02 383 Alat Listrik 3.47 3.09 9.36 9.17 7.93 5.63 384 Kendaraan 5.21 5.63 5.1 11.83 11.95 13.16 385 Alat Ukur 0.05 0.08 0.51 0.79 0.15 0.31
390 Manufaktur Lain 1.58 0.77 1.02 1.73 0.95 1.01 Total Manufaktur 100 100 100 100 100.00 100.00
Sumber: Kalkulasi Penulis dari data Statistik Industri Besar dan Sedang 2000-2007. Data sebelum 2000 diambil dari Ikhsan Modjo (2008).
Pada tingkat disagregasi yang lebih dalam, pada level tiga digit ISIC, Industri
Manufaktur nasional didominasi oleh enam Sektor Utama: Makanan Dasar
(ISIC 311), Tembakau Rokok (ISIC 314), Tekstil (ISIC 321), Kertas (ISIC 341)
, Alat Listrik (ISIC 383) serta Kendaraan (ISIC 384), lihat Tabel 1.3. Dari
keenam sektor ini, Sektor Kendaraan merupakan sektor yang mengalami
peningkatan signifikan dalam tingkat kontribusi, dari sekitar rata-rata 5%
pada tahun 1990an menjadi 13,1^% pada 2007. Sektor Makanan Dasar juga
terlihat meningkat 6,26% pada 2000 menjadi 11,78% pada 2007.
13
Tabel 1.4: Pertumbuhan Industri Manufaktur (%, 3 Digit ISIC)
ISIC 3 Digit 1991-94 1994-97 1997-00 2000-04 2004-07 311 Makanan Dasar 1.3 19.7 -6.4 14.6 7.9 312 Makanan Lainnya 21.5 12.5 2 5.7 10.1 313 Minuman 15.6 3.2 -4.2 1.6 24.7 314 Tembakau Rokok 15 -40 46.8 3.2 4.5 321 Tekstil 29.7 2.5 1.6 3.9 6.8 322 Garmen 25.7 6.8 8.1 4.1 11.9 323 Kulit 6.6 20.2 0.5 31.8 -15.2 324 Alas Kaki 42.3 -0.1 -3.9 -3.1 5.1 331 Kayu -4.3 5.3 -6.8 3.3 -17.7 332 Furnitur 12.1 12.5 5.2 12.8 10.1 341 Kertas 4.5 9 0.2 24.9 -0.3 324 Percetakan 9.4 29.5 2.7 35.7 2.6 351 Kimia Industri 6.1 13.8 -5 3.5 12.3 352 Kimia Lainnya 6.1 6 -4.4 12.1 24.4 355 Karet 4.3 6.1 1.8 13.1 7.2 356 Plastik 15.1 13.2 33.9 19.6 -3.6 361 Porselen 23.5 -0.8 -1.2 -18.2 1.8 362 Gelas 4.9 7.6 6.6 11.3 -13.2 363 Semen 13.9 14.9 -12.1 61.0 5.1 364 Tanah Liat 29.8 7.2 -2.7 -1.4 41.7 369 Bukan Mineral Lain 6.4 11.7 0.1 12.2 12.5 371 Besi dan Baja 20.3 -17.3 0.3 -14.2 24.8 381 Produk Besi dan Baja 31.8 2.5 14 -2.0 1.8 382 Mesin 21.9 19.8 -26.9 49.8 19.4 383 Alat Listrik 24.3 34.1 6.3 -4.7 -8.3 384 Kendaraan 35 -16.7 35 8.7 12.6 385 Alat Ukur 48.5 33.2 21.4 81.0 51.6 390 Manufaktur Lain 27.7 3.1 24.7 8.8 4.3
Total Manufaktur 16.7 5.1 6.9 4.7 5.9 Sumber: kalkulasi Penulis dari data Statistik Industri Besar dan Sedang 2000-2007. Kalkulasi untuk data sebelum 2000 diambil dari Ikhsan Modjo (2008). Pertumbuhan dihitung sebagai rata-rata pertumbuhan tahunan menggunakan angka riil.
Dilihat dari tiga digit ISIC, sektor yang kontribusinya menurun adalah
Tekstil dan Alat Listrik. Sebagaimana bisa disimak pada Tabel 1.3, kontribusi
Tekstil menurun dari rata-rata 12,05% pada 2000 menjadi hanya rata-rata
6,85% pada 2007. Begitu juga, Alat Listrik menciut dari rata-rata 9,17%
menjadi rata-rata 5,63% pada waktu yang sama. Dua sektor lain, Tembakau
dan Kertas, adalah dapat dikatakan relatif stabil dalam tingkat kontribusinya
pada pembentukkan nilai tambah.
Peningkatan kontribusi yang signifikan dari Sektor Kendaraan pada
gilirannya disebabkan oleh tingkat pertumbuhannya yang tinggi, sebesar
rata-rata 8,7% pada 2000-2004 dan rata-rata 12,6% pada 2004-2007. Begitu
14
juga Sektor Makanan Dasar tercatat meningkat masing-masing sebesar rata-
rata 14,6% dan 7,9% per tahun pada 2000-2004 dan 2004-2007. Sebaliknya
Industri Listrik terlihat mengalami pertumbuhan negatif, sebesar rata-rata -
4,7% dan -8,3% selama periode yang sama. Industri Kertas meski sempat
meningkat rata-rata sebesar 24,9% pada 2000-2004, namun kemudian
menurun rata-rata -0,3% pada 2004-2007. Industri Tekstil juga tercatat
masih mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 3,9% dan 6,8% pada 2000-
2004 dan 2004-2007. Namun bila dibandingkan dengan tingkat
pertumbuhan rata-rata pada 1991-1994, sebesar 29,7%, angka pertumbuhan
ini adalah jauh menurun.
1.4. Ekspor Sektor Manufaktur
Transformasi sektoral yang terjadi pada Sektor Manufaktur di atas diikuti
pula oleh transformasi pada komposisi ekspor Indonesia secara keseluruhan.
Sebelum dekade 1980an, ekspor Indonesia didominasi oleh komoditi Migas
dan Pertanian, yang masing-masing berkontribusi sebesar 70% dan 20% dari
total ekspor. Pada saat yang sama, ekspor Manufaktur hanya tercatat sebesar
5% dari total ekspor. Akan tetapi, pada awal 1990an sebagai konsekuensi
dari liberalisasi perdagangan dan investasi yang dilakukan, ekspor
Manufaktur menyalip Migas sebagai kontributor terbesar pada ekspor
Indonesia, dengan tingkat kontribusinya yang mencapai 42% dari total
ekspor (Gambar 1.2).
15
Gambar 1.2: Komposisi Ekspor, 1975-2009 (%Total Ekspor)
Pertanian
Minyak/ Gas Manufaktur
Lainnya
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
Year
Source: kalkulasi penulis dari data United Nations, Commodity Trade Statistics Database Online. Akses terakhir 26/10/2010. Catatan: definisi berikut dari Standard Industrial Classifications (SITC) digunakan: Pertanian: SITC items 0, 1, 2 (kecuali 27 dan 28), dan 4. Minyak/ Gas: SITC item 3. Manufaktur: SITC item 5, 6, 7, and 8. Lainnya: SITC 9, 27 dan 28. Catatan lain, persentase ini dihitung dari nilai ekspor kotor (gross export figures). Jumlah devisa yang didapatkan dari ekspor manufaktur mungkin lebih sedikit dari nilai kotor ekspor komoditi pertanian, begitu juga bahan intermediate ekspor mungkin saja digunakan dalam proses produksi. Akan tetapi, kontribusi Manufaktur pada ekspor Indonesia menurun
semenjak tahun 2000. Sumbangan Manufaktur yang tercatat sebesar 59%
dari total ekspor pada tahun 2000 terlihat terus menurun hingga hanya
sebesar 31% pada 34% pada 2007. Sementara kontribusi ekspor Migas justru
meningkat tipi dari dari 25% pada 2000 menjadi 27% pada 2007. Demikian
pula ekspor Pertanian naik tipis dari 10% menjadi 12% pada periode yang
sama. Yang tercatat meningkat tajam adalah ekspor di luar dari ketiga
pengelompokkan komiditi tersebut, Eskpor Lainnya, yang tercatat
meningkat dari di bawah 10% sebelum krisis 1997/98 menjadi hampir 30%
pada tahun 2007.
Di samping perubahan secara umum ini, transformasi juga terjadi pada
ekspor Manufaktur pada 2000-2007 meski tidak sedramastis perubahan
16
yang terjadi pada dekade 1970an hingga 1990an. Sebagaimana terlihat ada
Tabel 1.5 di bawah, beberapa komoditi seperti Kimia Organis (SITC 51),
Kertas (64), Perabotan (82) terlihat mengalami peningkatan kontribusi pada
ekspor Manufaktur selama 2000-2007. Sementara, sektor yang tercatat
menurun signifikan adalah Barang-Barang Kayu (63), dari 9% ke 5,1%,
Mesin Pembangkit Tenaga (71),dari 10,6% ke 2,1%, Mesin Industri Khusus
(72) dari 13,8% ke 2,1%.
Tabel 1.5: Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%)
SITC Komoditi 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2009 51 Kimia Organis 1.2 1.3 1.9 1.2 2.4 3.7 5.4 5.1 52 Kimia Inorganis 0.0 0.2 13.1 na 0.0 0.1 1.4 1.1 53 Bahan Celup dan Pewarna Lainnya 0.1 0.2 0.2 0.4 0.2 0.3 0.6 0.6 54 Bahan Obat-Obatan dan Hasil-Hasilnya .7.7 1.3 0.5 0.2 0.2 0.2 0.4 0.7 55 Minyak dan Bahan Wangi-Wangian 5.9 2.3 1.7 1.6 0.8 0.9 1.8 2.4 56 Pupuk Kimia Buatan Pabrik 0.1 3.8 2.8 2.0 1.2 0.6 0.5 0.6 57 Bahan Plastik na na na 0.0 0.0 0.0 2.5 2.3 58 Olahan Bahan Plastik 0.0 0.0 0.0 0.7 1.3 2.5 1.4 1.4 59 Bahan Kimia Lainnya 0.0 0.0 0.1 0.4 0.4 0.6 1.0 2.1 61 Kulit Disamak dan Barang Kulit 0.4 0.7 0.3 0.8 0.4 0.5 0.4 0.3 62 Barang-Barang Karet 0.1 0.0 0.3 0.8 1.0 1.0 2.7 4.0 63 Barang-Barang Kayu dan Gabus 0.7 8.0 32.8 32.5 19.9 9.0 9.0 5.1 64 Kertas, Kertas Karton, dan Olahannya 0.2 0.5 0.7 1.7 4.0 6.4 7.6 9.4
65 Benang Tenun, Kain Tekstil, dan Hasil-Hasilnya 1.2 5.0 8.2 13.3 11.5 9.7 11.5 9.0
66 Barang-Barang dari Mineral Bukan Logam 0.2 3.5 1.2 2.6 1.5 2.2 2.9 2.5 67 Besi dan Baja 0.2 2.0 1.2 2.5 1.6 1.4 3.1 3.7 68 Logam Tidak Mengandung Besi 51.9 46.2 17.4 4.8 3.0 2.7 8.6 11.1 69 Barang-Barang Logam Lainnya 2.0 0.6 0.0 1.2 1.8 1.6 2.1 2.7 71 Mesin Pembangkit Tenaga 9.1 0.4 0.5 0.6 3.6 10.6 2.2 2.1 72 Mesin Industri Tertentu/Khusus 8.0 10.5 2.6 2.1 7.5 13.8 1.5 1.8 73 Mesin untuk Mengerjakan Logam 2.7 0.8 0.1 1.2 2.0 1.6 0.1 0.1 81 Barang-Barang Saniter, Pemanas, dll 0.1 0.0 0.0 0.1 0.1 0.2 0.3 0.2 82 Perabotan 0.1 0.3 0.2 3.0 3.7 4.3 6.2 4.6 83 Peralatan Bepergian, Tas Tangan, dll 0.0 0.1 0.0 0.2 0.4 0.5 0.2 0.3 84 Pakaian 1.5 10.6 11.7 17.7 14.8 13.5 17.0 16.6 85 Sepatu dan Peralatan Kaki Lainnya 0.1 0.2 0.3 5.9 8.5 4.5 4.7 4.9 89 Hasil Industri Lainnya 6.4 1.4 2.1 2.5 8.1 7.9 4.9 5.4 Total 100 100 100 100 100 100 100 100 Sumber: seperti Gambar 3.2. Catatan: SITC yang digunakan adalah the Standard International Trade Classification, Revisi 3. Dari pengamatan ini, ekspor Manufaktur Indonesia agaknya masih
didominasi oleh barang-barang yang bersifat padat karya seperti Benang
Tenun dan Kain Tekstil (SITC 65), Perabotan (82), Pakaian (84), dan Sepatu
(85).
17
Tabel 1.6: Pertumbuhan Ekspor Manufaktur 1975-2009 (%)
SITC Komoditi 1975-80 1980-85 1985-90 1990-95 1995-00 2000-05 2005-09
51 Kimia Organis 18.8 29.4 15.5 31.8 16.9 4.2 2.3 52 Kimia Inorganis 60.3 108.4 na na 99.0 60.9 -1.7 53 Bahan Celup dan Pewarna 24.4 26.3 36.7 4.2 17.0 9.9 4.9 54 Bahan Obatan dan Hasil-Hasilnya -0.6 5.6 3.6 16.1 12.7 7.3 14.9 55 Minyak dan Bahan Wangian 8.1 17.1 21.7 4.5 10.5 10.5 9.8 56 Pupuk Kimia Buatan Pabrik 52.8 16.6 17.6 7.2 -5.5 -4.8 5.7 57 Bahan Plastik na na na 57.0 21.4 117.8 1.7 58 Olahan Bahan Plastik 17.2 69.4 85.6 30.9 20.8 -14.3 2.9 59 Bahan Kimia Lainnya 9.3 70.6 47.6 15.7 17.4 7.2 18.7 61 Kulit Disamak dan Barang Kulit 24.7 2.7 44.2 7.0 9.4 -7.7 2.3 62 Barang-Barang Karet 8.4 57.1 45.3 23.6 9.2 15.7 11.3 63 Barang-Barang Kayu dan Gabus 42.2 51.2 23.4 8.4 -7.4 -3.5 -7.9 64 Kertas, dan Olahannya 26.3 30.0 40.4 35.2 18.0 -0.2 7.7 65 Hasil Benang Tenun, Kain Tekstil, 31.5 33.1 33.1 15.4 5.0 -0.2 -1.4 66 Barang dari Mineral Bukan Logam 45.4 2.1 38.6 6.8 16.5 2.2 0.3 67 Besi dan Baja 39.5 11.7 38.6 9.1 5.6 13.2 6.7 68 Logam Tidak Mengandung Besi 16.3 3.4 -2.1 9.0 6.4 19.5 8.6 69 Barang-Barang Logam Lainnya 5.4 -38.1 98.5 26.4 6.3 1.8 8.2 71 Mesin Pembangkit Tenaga -12.8 24.6 26.9 54.9 30.1 -34.7 2.7 72 Mesin Industri Tertentu/Khusus 20.2 -4.9 19.6 43.3 20.7 -47.7 6.5 73 Mesin untuk Mengerjakan Logam 5.7 -18.8 72.0 29.4 3.6 -58.2 4.4 81 Barang-Barang Saniter, Pemanas, 6.2 18.9 60.7 17.1 20.7 -0.6 -3.2 82 Perabotan 26.6 16.6 73.9 22.1 11.4 3.9 -2.3 83 Peralatan Bepergian, Tas Tangan, 51.4 -3.6 76.0 29.8 11.7 -15.8 6.0 84 Pakaian 37.0 24.8 31.9 14.6 6.6 1.1 2.9 85 Sepatu dan Peralatan Kaki Lainnya 18.9 34.0 85.2 25.4 -4.4 -2.3 3.9 89 hasil Industri Lainnya 2.1 30.7 27.9 41.3 8.2 -13.0 5.1 Total 17.4 11.4 11.8 9.1 8.5 -3.5 3.4
Sumber: Seperti Gambar 1.2.
Dalam hal ini, Peningkatan dari produk-produk yang padat karya sebelum
tahun 2000 terjadi karena tingkat pertumbuhannya yang tinggi pada periode
liberalisasi ekonomi di 1980an dan 1990an. Dari Tabel 1.6 bisa disimak,
Pakaian (SITC 84) dan Sepatu (SITC 85) meningkat dengan cepat dari 1985
ke 1995. Pada paruh pertama liberaliasi (1985-90), ekspor Pakaian tumbuh
sebesar 31.9% per tahun, sementara pada saaat yang sama ekspor Sepatu
naik fantastis 85.2% per tahun. Dari 1990 ke 1995, pertumbuhan ekspor
Pakaian dan Sepatu melambat, ke masing 14.6% dan 25.4% respectively.
Mereka kemudian mengalami kemerosotan secara tajam masing-masing -
21.8% (Pakaian) dan -36.8% (Sepatu) pada tahun krisis 1997 to 1998.
Akan tetapi, tren pada 2000-2007 sedikit mengindikasikan adanya semacam
pembalikkan dengan meningkatnya ekspor komoditi Manufaktur yang
18
berbasiskan sumber daya alam, seperti yang terjadi pada peningkatan Kertas
(64) dan Barang Karet (62). Pembalikkan ini bisa saja merupakan indikasi
awal adanya penurunan daya saing sektor Manufaktur di Indonesia, pada
sebaghai akibat dari krisis yang banyak mematikan infrastruktur keuangan
yang ada di Indonesia, maupun adanya ekonomi biaya tinggi yang marak
terjadi semenjak 2000 ke atas seiring dengan adanya berbagai perubahan
sosial, politik dan tata pemerintahan yang terjadi di dalam negeri.
Tabel 1.7: Komoditi Penyumbang Ekspor Manufaktur Terbesar (%)
Tahun Barang Listrik
Alas Kaki Kertas Tekstil dan Garmen
Kayu Total 5 Komoditi
Lain
1975 15.2 0.3 0.4 5.1 1.3 22.2 77.8 1980 19.7 0.3 1.0 29.3 14.9 65.2 34.8 1985 3.7 0.4 1.0 28.0 46.1 79.3 20.7 1990 2.2 6.2 1.8 32.5 34.2 76.9 23.1 1995 7.6 8.7 4.0 26.8 20.2 67.4 32.6 2000 14.0 4.5 6.5 23.5 9.1 57.7 42.3 2005 1,5 4,7 7.6 28.4 9.0 51.3 48.7 2009 1,8 4.9 9.4 25.5 5.1 46.7 53.5 Sumber: seperti Gambar 3.2. Catatan: SITC berikut digunakan: Barang Listrik (SITC 72), Alas Kaki (SITC 85), Kertas (SITC 64), Tekstill dan Garmen (SITC 65 dan 84), Kayu (SITC 63).
Lebih jauh, terdapat kekhawatiran adanya tingkat konsentrasi yang tinggi
baik terhadap daerah tujuan ataupun konssentrasi produt dari ekspor
manufaktur Indonesia. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.7, ekspor
Manufaktur Indonesia sangat didominasi oleh lima komoditi berupa: Listrik
(SITC 72), Sepatu (SITC 85), Kertas (SITC 64), Tekstil dan Pakaian Jadi
(SITC 65 and 84) dan Kayu (SITC 63). Kelima sektor ini berkontribusi lebih
dari 50% ekspor manufaktur Indonesia selama 1980 and 2000. Kontribusi
mereka bahka mencapai hampir 80% dari total ekspor manufaktur pada
1985 ke 1990. Akan tetapi selama 2000-2007, yang terjadi adalah penurunan
tingkat konsentrasi komoditi ekspor manufaktur Indonesia seiring dengan
menurunnya kontribusi kelima sektor tersebut dari 57% ke 46,7%.
Sebaliknya komoditi-komoditi manufaktur lain mengalami peningkatan
kontribusi ke lebih 50%.
19
Tabel 1.8: Ekspor Manufaktur ke Tiga Negara (%)
Tahun Jepang Singapura Amerika Total 3 Negara Negara Lain
1975 20.4 14.0 16.2 50.6 49.4 1980 13.3 33.0 3.5 49.9 50.1 1985 14.1 19.2 21.0 54.2 45.8 1990 18.5 10.7 16.8 46.1 53.9 1995 15.7 10.3 17.7 43.7 56.3 2000 13.6 13.6 18.7 45.9 54.1 2005 12.5 14.3 17.3 44.1 55.9 2009 11.1 12.5 15.7 39.2 60.8
Sumber: seperti Gambar 3.2.
Kekhawatiran lain akan adanya konsentrasi berlebihan pada negara tujuan
ekspor juga pernah terjadi akibat fokus yang berlebihan pada tiga negara:
Jepang, Singapura dan Amerika. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1.8, ekspor
ketiga negara ini pernah mencapai 54% dati total ekspor Manufaktur pada
1985. Dengan konsentrasi yang berlebihan pada negara tertentu, Indonesia
menjadi rentan terhadap guncangan eksternal yang terjadi pada negara-
negara tersebut.
Namun, kekhawatiran ini juga agaknya tidak terlalu mendasar karena
konsentrasi yang ada terus menurun pada 1985 ke 1995, dan terus berlanjut
pada 2000-2007. Pada 2007, tercatat ekspor ketiga negara ini sudah jauh
berkurang hanya berkisar 39,2% dari total ekspor manufaktur Indonesia.
20
Gambar 1.3: Ekspor, Impor dan NetEkspor Manufaktur 1985-2009 (Juta US$ , Nominal)
Sumber: Kalkulasi Penulis dari data World Bank, World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010
Kekhawatiran lain terhadap ekspor manufaktur Indonesia adalah
ketergantungannya yang tinggi terhadap impor produk-produk antara
(intermediate inputs). Sebagaimana terlihat pada Gambar 1.3, Indonesia
mengalami defisit yang akut dari perdagangan manufaktur hingga mencapai
US$3 milyar hingga US$10 milyar selama 1975 dan 1996. Defisit ini
diakibatkan oleh importasi dari barang kapital dari produk manufaktur yang
berteknologi tinggi seperti Kimia, Komponen Mesin, dan Kendaraan yang
dibiayai dari hutang atau investasi asing yang masuk. Akan tetapi,
perlambatan yang terjadi pada importasi kapital dan mesin-mesin setelah
2000, mengakibatkan hal sebaliknya terjadi: surplus pada perdagangan
manufaktur Indonesia, antara US$1 milayr sampai di 2000 hingga US$8
milyar di 2006. Seiring dengan perluasan kapasitas produksi yang terjadi
mulai 2006, defisit perdagangan manufaktur kembali terjadi.
21
1.5. Beberapa Fitur Industri Manufaktur Indonesia
1.5.1. Tingkat Kompetisi diukur dari Konsentrasi
Tingkat kompetisi di satu sektor kerap diukur dengan menggunakan tingkat
konsentrasi pasar yang ada. Dalam penelitian ini konsentrasi pasar diukur
menggunakan ukuran standar CR4: proporsi output yang dikuasai oleh 4
produser terbesar pada 4 digit ISIC (%)3
. Sebagaimana tertera pada Tabel 1.9.
Secara umum, Sektor Manufaktur Indonesia masih sangat terkonsentrasi,
atau kurang terdapat persaingan, walau konsentrasi ini mengalami
penurunan selama kurun waktu 1985-1997.
Tabel 1.9: Konsentrasi Industri Manufaktur Indonesia 1985-2007 (CR4, Nominal)
1985 1990 1995 2000 2004 2007 Total Sektor Manufaktur CR4
Rata-Rata 58.2 57.2 55.3 56.0 57.6 56.2 Rata-Rata Tertimbang 54.9 48.7 49.2 48.7 49.3 48.13 CR4 by Sub-Sector 31 Makanan & Minuman 63 70.1 68.0 63.5 69.1 65.2 32 Tekstil 34.6 31.9 30.0 29.2 29.6 29.3 33 Kayu 30.9 17.6 24.4 33.8 35.6 34.2 34 Kertas dan Percetakan 48.7 60 63.7 75.9 77.5 74.2 35Kimia, Plastik dan Karet 59.4 43 44.2 33.5 32.3 32.3 36 Mineral Bukan Metal 64.5 58.3 46.9 55.5 60.1 50.4 37 Besi dan Baja 93.4 82.6 82.9 55.3 57.5 56.1 38 Produk Besi dan Baja 55.1 59 63.5 59.3 60.1 58.2 39 Manufaktur Lain 72.1 66.1 59.9 62.4 63.4 61.2
Sumber: seperti Gambar 3.2, data untuk sebelum tahun 2004 disadur dari Ikhsan Modjo (2008).
Sepanjang waktu itu, Industri yang paling terkonsentrasi adalah Besi dan Baja
(ISIC 37). Tingginya tingkat konsentrasi ini disebabkan adalah akibat
tingginya kepemilikkan pemerintah dan skala ekonomi yang dibutuhkan
untuk beroperasi di sektor ini. Sementara, Tekstil (ISIC 32) dan Kayu (ISIC
33) merupakan sektor yang paling tinggi tingkat kompetisinya selama 1985-
3 Angka-angka ini tidak disesuaikan dengan ekspor dan impor pada tiap industri, yang akan
mempengaruhi tingkat konsentrasi. Bird (1999) menggangap dengan memasukkan angka expor dan impor akan mengurangi tingkat konsentrasi di Sektor Manufaktur Indonesia. Dus, tingkat kompetisi di pasar domestik Indonesia mungkin lebih tinggi dari yang tampak pada Table 3.10.
22
1997. Rendahnya tingkat kompetisi pada Industri Tekstil disebabkan oleh
sifatnya yang padat karya dan hanya membutuhkan sedikit modal. Dus,
Industri Tekstil memiliki skala ekonomi yang rendah dan konsentrasi yang
juga rendah.
Peningkatan konsentrasi terjadi mulai 1995 ke 2004. Angka CR4 rata-rata
yang sempat turun dari 58,2 pada 1985 ke angka 55,3 pada 1995, kembali
meningkat menjadi 57,6 pada 2004. Hal ini agaknya disebabkan banyak
pembelian oleh Pemerintah setelah terjadinya krisis yang mengakibatkan
banyaknya perusahaan swasta bertumbangan. Akan tetapi seiring dengan
dilakukannya konsolidasi dan privatisasi atas kepemilikkan ini, angka CR4
mulai berangsur turun dari 57,6 pada 2004 menjadi 56,2 pada 2007. Selama
2004-2007, beberapa perubahan juga terjadi pada skala 2 digit ISIC. Satu
yang terlihat cukup signifikan adalah di Industri Besi dan Baja (ISIC 37), yang
konsentrasinya berangsur. Sementara sektor lain secara relatif
berkarakteristik sama meski terdapat beberapa perubahan umum berupa
penurunan.
1.5.2. Isu Kepemilikkan
Sepanjang 1985-2007, terjadi beberapa pola perpindahan status kepemilikkan
yang menarik disimak pada Sektor Manufaktur Indonesia. Gambar 1.4
menunjukkan pola perubahan status kepemilikkan ini sepanjang 1985-2007
dengan menggunakan metode kalkulasi yang digunakan Aswicahyono dan
Hill (1995). Dalam klasifikasi ini, perusahaan joint-venture dengan
kepemilikkan lebih dari nol oleh asing akan diklasifikasi sebagai perusahaan
asing, mesiki terdapat sahama pemerintah atau swasta di dalamnya.
Klasifikasi ini berdasar pada studi-studi sebelumnya yang menunjukkan
dominasi partner asing terutama dalam aspek keuangan dan teknologi, meski
mereka meruapaka pemilik minoritas (lihat, misalnya, , Aswicahyono and Hill
1995; Ramstetter 1999; Narjoko and Hill 2006). Dengan mengikuti argumen
yang sama, satu perusahaan dikatakan sebagai miliki pemerintah bila saham
pemerintah lebih dari nol, meski di saat yang sama swasta juga memiliki
kepemilikkan di perusahaan tersebut.
23
Gambar 1.4: Status Kepemilikkan Manufaktur 1985-2007
Sumber: seperti Tabel 1.4.
Dengan klasifikasi ini, Gambar 1.4 menunjukkan adanya kenaikan
kepemilikkan asing pada sektor manufaktur Indonesia. Sepanjang 1985-2007,
kepemilikkan asing meningkat hampir dua kali lipat dari 20,2% pada 1985
menjadi 36,7% pada 2007. Sementara, kepemilikkan swasta domestik relatif
stabil di kisaran 55%, dan kepemilikkan Pemerintah jauh berkurang dari
22,3% menjadi hanya 8,5% selama 1985-2007. Tren ini sempat sedikit
terganggu sepanjang 2000 hingga 2004, di mana terjadi peningkatan
kepemilikkan Pemerintah dari hanya 5,5% pada 1999 menjadi 11,8% pada
2003, sementara kepemilikkan swasta domestik justru menurun ke angka
24,3% pada 2000. Perubahan mendadak ini agaknya disebabkan oleh
restrukturisasi hutang oleh sektor swasta setelah terjadinya krisis pada
1997/1998. Krisis menyebabkan banyak pemiliki perusahaan swasta
menyerahkan kepemilikkannya pada pemerintah karena tidak mampu
membayar berbagai hutang yang dimiliki kepada badan pemerintah yang
bertanggung jawab mengelola berbagai hutang ini, yang pada gilirannya
mengakibatkan peningkatan kepemilikkan Pemerintah. Namun seiring
dengan pembayaran kembali hutang oleh pihak swasta domestik dan
kebijakan privatisasi pemerintah, kepemilikkan pemerintah berangsur turun
24
sepanjang 2000-2007, hingga mencapai angka yang kurang lebih sama
dengan angka kepemilikkan sebelum krisis, 8,5%.
Kepemilikkan asing juga meningkat terus secara stabil pada 1985-2007, tidak
terganggu oleh krisis yang ada pada 1997/98. Bahkan setelah krisis,
kepemilikkan asing meningkat dari 35.1% di 1999 menjadi 38.6% di 2000,
meski kemudian sedikit menurun ke angka 36,7% pada 2007. Dari pola
kepemilikkan yang terjadi ini, penurunan Pemerintah, stabilnya kepemilikkan
swasta nasional, agaknya dapat dikatakan bahwa penyerahan kepemilikkan
oleh pemerintah lebih banyak kemudian diserap oleh pihak asing.
Tabel 1.10: Ekspor Berdasarkan Kepemilikkan (%)
Tahun Asing Pemerintah Swasta % dari Total Ekspor
1990 22.8 10.1 7 1991 33.7 13.3 9.4 1992 37.5 11.7 10.9 1993 38.7 14.1 11 1994 40.4 16.8 10.9 1995 41.5 14.6 9.8 1996 44.4 18.2 10.9 1997 33.2 15.4 8.3 1998 9 4.7 1.9 1999 30.7 18.3 8.6 2000 36.7 12.2 4.9 2001 27.2 11.1 5.1 2002 35.3 8.2 7.6 2003 34.2 8.5 9.5 2004 33.1 6.5 6.6 2005 35.1 9.4 8.5 2006 35.3 10.8 7.7 2007 38.3 12.2 9.6
Sumber: seperti Tabel 1.4.
Demikian pula, Tabel 1.10 menunjukkan bahwa perusahaan asing secara rata-
rata lebih bersifat ekspor intensif ketimbang perusahaan lokal. Perusahaan
asing secara umum mengeskpor 30%-40% produknya ke pasar internasional,
rasio ini juga terlihat mengalami meningkat selama 200-2007, kecuali pada
2001 seiring terjadinya perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor
utama seperti Amerika dan Jepang. Bertolakbelakang dengan kondisi ini,
perusahaan milik pemerintah atau swasta domestik hanya mengekspor
25
kurang lebih 8% sampai 15% dari total produksi. Beberapa faktor penyebab
tingginya konten ekspor dari perusahaan asing adalah jejaring internasional
yang mereka miliki serta insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia
untuk perusahaan yang berorientasi ekspor (Ramstetter 1999).
1.5.3. Distribusi Output Berdasarkan Ukuran
Fitur lain yang menarik dari Sektor Manufaktur Indonesia adalah distribusi
ukuran yang ada. Dalam penelitian ini, definisi ukuran yang digunakan adalah
sebagai berikut: perusahaan dengan 20 sampai 99 pekerja dikalsifikasikan
sebagai perusahaan Kecil, perusahaan dengan 100 sampai 499 pekerja
diklasifikasikan sebagai Sedang, sementara perusahaan dengan 500 atau lebih
pekerja dianggap sebagai perusahaan Besar. Perusahaan juga diklasifikasikan
berdasarkan pada tahun dasar di mana ia mulai beroperasi, dus perusahaan
akan tetap diklasifikasikan dalam satu ukuran (Kecil, Sedang atau Menengah)
meski dalam tahun-tahun berikut terjadi perubahan ukuran. Dengan
menggunakan definisi ini, dinamika distribusi output berdasarkan ukuran
akan menjadi lebih jelas.
Hasil kalkulasi dari definisi di atas ditunjukkan pada Gambar 1.5.
Sebagaimana terlihat pada gambar tersebut, beberapa dinamika menarik
terlihat pada distribusi produksi output berdasarkan skala perusahaan.
Sebelum krisis, penguasaan dari perusahaan kecil meningkat dari 21,6% di
1986 ke 25,5% di 1997. Pada saat yang sama, penguasaan perusahaan Sedang
juga meningkat 28,0% ke 35,3%, sementara penguasaan perusahaan Besar
menurun dari 50,4% menjadi 35,3%. Dengan demikian data ini menunjukkan
adanya kenaikkan penguasaaan output perusahaan Kecil. Dua alasan yang
umumnya diungkapkan diliteratur adalah liberalisasi keuangan pada 1980-
1990an berhasil memudahkan akses kredit perusahaan Kecil begitu juga
banyak fasilitasi dan kemudahan ekspor yang diberikan pada mereka
(Goeltom 1995; Hill 1997).
26
Gambar 1.5: Distribusi Ukuran Perusahaan 1985-2007
Sumber: Seperti Tabel 1.4.
Akan tetapi, setelah krisis tahun 1997 pola ini mengalami perubahan. Krisis
dan setalahnya berpengaruh secara negatif terhadap utamanya perusahaan
Sedang. Proporsi dari output yang dimiliki perusahaan Sedang terlihat
menurun dari 36,2% pada 1997 menjadi 31,2% pada 2001. Penurunan ini
terus berlanjut dengan sedikit fluktuasi ke angka 28,3% pada 2007.
Sebaliknya, penguasaan dari perusahaan berskala Besar terlihat meningkat
dari 39,7% pada 1997 menjadi 43,5% pada 2005, meski kemudian menurun
sedikit menjadi 41,3% pada 2007. Demikian pula, penguasaan perusahaan
Kecil terlihat naik dari 25,0% pada 1997 menjadi 27,3% pada 2003 dan 30,4%
pada 2007. Dengan kata lain, Industri Manufaktur Indonesia semakin
mengalami apa yang dinamakan sebagai missing middle phenomenon yang
biasanya jamak terjadi pada awal industrialisasi. Sebuah fenomena yang
kerap ditandai dengan informalisasi skala perusahaan, di mana perusahaan
kecil mengalami penciutan skala. Akan tetapi, pada saat yang sama,
perusahaan Besar cenderung semakin menguasai pangsa ouput. Beberapa
alasan yerjadinya fenomena ini antara lain iklim usaha yang semakin tidak
kondusif bagi perusahaan skala Sedang, serta sulitnya akses kredit dan pasar
ekspor karena konsolidasi yang terjadi di lembaga keuangan dan perbankan
domestik, serta tingkat kompetisi yang meningkat di pasar ekspor seiring
munculnya banyak pemain baru.
27
1.6. Penutup
Bagian ini menguaraikan kinerja dari Sektor Manufaktur Indonesia terutama
setelah terjadi Krisis di 1997, yakni antara tahun 2000-2007. Data yang ada
menunjukkan adanya sedikit penurunan tingkat pertumbuhan, yang selama
periode 1997-2007 hanya tercata rata-rata di bawah 6 persen per tahun.
Angka ini jauh lebih rendah ketimbang angka rata-rata pertumbuhan sebelum
tahun 1997, yang berkisar rata-rata antara 10% sampai 15%. Kinerja. Bagian
awal ini juga menunjukkan adanya penuruna daya kompetitif ekspor Sektor
Manufaktur, yang terlihat dari tingkat pertumbuhan ekspor manufaktur serta
proporsinya secara umum dibandingkan sektor-sektor lain yang menurun
pada total ekspor Indonesia.
Di samping itu, beberapa hal lain yang tercatat pada bagian ini adalah
penurunan tingkat kompetisi pada Sektor Manufaktur setelah tahun 2000,
yang ditandai dengan semakin tingginya penguasaan Perusahaan Besar pada
distribusi output yang ada. Berkurangnya tingkat kompetisi juga terlihat dari
kecenderungan angka konsentrasi yang semakin meningkat. Akhirnya, data
juga mengindikasikan adanya beberapa dinamika menarik dalam hal skala
perusahaan, di mana terjadi informalisasi skala perusahaan di sektor
Manufaktur dengan meningkatnya penguasaan jumlah perusahaan-
perusahaan kecil yang beroperasi dan berkurangnya porsi perusahaan
menengah.
Bagian ini akan menjadi landasan untuk pembahasan pada dua bab
selanjutnya. Bab Dua akan membahas masalah metodologi dalam kalkulasi
tingkat produktifitas. Sementara Bab Tiga merupakan pembahasan hasil
temuan dari pengolahan data mentah yang ada.
---oooOOOooo---
28
Bab 2
Data, Metodologi dan Hipotesis
2.1. Desain Penelitian
Dalam rangka mencapai tujuan penelitian. model Stochastic Frontier yang
berubah terhadap waktu untuk data panel yang diusulkan oleh Battese dan
Coeli (1995) akan dijadikan kerangka analisis empiris pertumbuhan
produktivitas (TFP) 2000-2007. Model ini menggunakan pola fleksibel
parameterisation temporal waktu, yang memungkinkan studi ini untuk
menangkap perubahan tiba-tiba atau peningkatan kemajuan teknologi dan
efisiensi teknis selama periode observasi. Estimasi untuk kemajuan teknologi
dan efisiensi teknis dilakukan pad level 2 digit kelompok industri (ISIC).
Estimasi kemajuan teknologi dan perubahan TE kemudian digunakan untuk
membangun pertumbuhan TFP menggunakan metode dekomposisi yang
diusulkan oleh Kumbhakar dan Lovell (2000).
2.2. Pendekatan dan Metode
2.2.1. Model Perubahan Produktivitas
Penelitian ini menggunakan model Stochastic Frontier untuk panel data yang
dikembangkan Battese dan Coeli (1995). Fungsi produksi dalam model ini
diasumsikan transendental logaritmik untuk setiap ISIC dua digit di
29
manufaktur Indonesia (Christensen, Jorgenson dan Lau 1973). Tingkat
agregasi ini dipilih untuk mengurangi jumlah estimasi meskipun dengan
konsekuensi bahwa mungkin kurang tepat menghasilkan estimasi
produktivitas dan inefisiensi. Namun demikian, analisis di tingkat subsektor
dan provinsi mungkin untuk dilakukan bila diputuskan nantinya untuk
dilakukan.
Fungsi produksi ini dapat ditulis sebagai:
ititn
nitnttt
n kkitnitnkt
nnitnit
uvtxt
xxtxy
−+++
+++=
∑
∑∑∑
ln21
lnln21lnln
2
0
ββ
ββββ
(1)
Dimana:
ity merupakan output bruto;
( )',,, ititititnit EMLKx = merupakan modal, tenaga kerja, dan bahan baku;
ii ,..,1= mewakili perusahaan;
2007,...,2000=t mewakili tahun;
itv adalah random statistical noises yang memiliki dua sisi; dan
itu adalah error komponen satu sisi yang mewakili efisiensi teknis.
Perubahan dalam tingkat efisiensi teknis dapat ditemukan dengan mengambil
log dan mendifferensiasi persamaan (1) terhadap tahun:
−=
∂∂
−=∆∧∧
∧
itiit uu
tuTE exp.
^
(2)
30
Begitu juga dari persamaan (1) bisa diestimasi perubahan tingkat teknologi,
elastisitas input dan koefisien return to scale sebagai:
,ln)ln( ^^^^
nitn
nttttit xt
ty
T ∑++=∂
∂=∆ βββ
(3)
,lnln
)ln( ^^^^tx
xy
ntkitk
nknn
itn βββε ++=
∂∂
= ∑ (4)
.lnln
)ln( ^^^^
∑ ∑∑
++=
∂∂
=n
ntkitk
nknn n
it txxy βββε
(5)
Selanjutnya, dari berbagai persamaan ini akan dikalkukasi pertumbuhan TFP
sesuai dengan metode Kumbhakar dan Lovell (2000),
( ) ∆+
−+∆=
••
∑ TExTTFP nn
n
εε
ε 1, (6)
Dimana,
( ) n
n
n x•
∑
−εε
ε 1 adalah skala ekonomi.
2.2.2. Model Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Produktivitas Ada pun model yang digunakan untuk meneliti dampak faktor-faktor tertentu
terhadap produktivitas adalah model Kim and Lee (2002) model. TFP yang
didapatkan dari hasil estimasi pada model pertama akan menjadi input dalam
model kedua. Dsalam estimasi kedua, hubungan antara tingkat produktivitas
dan karakteristik dari perusahaan akan diuji dengan persamaan tambahan
berikut:
ititDRitGov
itForeignitExportitAgeitSizeti
eDRGovForeignExportAgeSizeu
++
++++=
&&
0
λλ
λλλλλ
. (7) Dimana:
'λ s adalah parameter persamaan.
Size adalah logaritma dari skala perusahaan,
31
Age adalah logaritma dari usia perusahaan,
Export adalah logaritma dari dummy variabel untuk orientasi ekspor,
Foreign adalah dummy variabel untuk kepemilikkan asing,
Gov adalah dummy variabel untuk kepemilikkan pemerintah,. irm;
R&D adalah dummy variable untuk aktifitas R&N;
ite adalah the random statistical noises.
32
2.3. Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah Statistik Industri Besar dan
Sedang (atau SI Statistik Industri selanjutnya) 2000-2007, disediakan oleh
Badan Pusat Statistik Indonesia (Badan Pusat Statistik atau BPS selanjutnya)
dalam format elektronik. Survei menangkap seluruh perusahaan manufaktur
di Indonesia dengan 20 dan lebih banyak karyawan dengan berbagai
informasi untuk membangun variabel yang relevan untuk model kita. Ini
termasuk beberapa informasi dasar (ISIC Klasifikasi, tahun mulai produksi,
lokasi), kepemilikan (saham pemerintah, dalam dan luar negeri), produksi
(output kotor, saham, saham output diekspor), biaya bahan baku, berbagai
biaya, nilai penggantian modal tetap dan investasi. Sebuah panel yang
seimbang dibangun 2000-2007 dalam rangka untuk menangkap perubahan
tingkat produktivitas yang terjadi. Panel dibentuk oleh yang cocok dengan
perusahaan sesuai dengan variabel pembentukan identitas kode (KIPN).
Walaupun survei-mulai menyediakan data cakupan luas, pasti itu memang
memiliki beberapa keterbatasan. Misalnya, tidak termasuk beberapa variabel
penting untuk produktivitas dan analisis efisiensi seperti jumlah jam kerja
serta harga rinci dan informasi keuangan. Selain itu, SI tidak menyediakan
informasi yang diperlukan untuk mengidentifikasi apakah pendirian adalah
suatu bentuk usaha yang berdiri sendiri atau bagian dari perusahaan multi-
tanaman di setiap tahun survei. Oleh karena itu jumlah perusahaan mungkin
akan berakhir karena beberapa dihitung sebagai perusahaan, meski mereka
sebenarnya tidak. Hal ini bisa menyebabkan bias estimasi produktivitas dan
efisiensi perusahaan.
Penelitian ini juga memakai sumber data lain berkenaan dengan ekonomi
Indonesia. Publikasi ini meliputi Pendapatan Nasional Indonesia tahunan
(Pendapatan Nasional Indonesia), Statistik Indonesia tahunan (Statistik
Indonesia), dan / bulanan triwulan Statistik Indonesia Buletin (Buletin
Ringkas) yang diterbitkan oleh BPS. Sumber data lainnya termasuk Key
Indicator diterbitkan oleh Asian Development Bank, ADB, Statistik Ekonomi
33
Keuangan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, (Bank Sentral
Indonesia, BI), PBB Komoditi Statistik Perdagangan dan berbagai terbitan
dan online data dari World Bank.
Dalam hal ini, sebagaimana diulas pada bagian sebelumnya, penelitian ini
akan menggunakan dua persamaan empiris. Persamaan empiris untuk fungsi
produksi dan persamaan empiris untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan tingkat produktivitas atau TFP.
Variabel untuk variabel-variabel fungsi produksi dalam penelitian ini adalah
output bruto, modal, tenaga kerja, bahan dan energi. Definisi dari variabel ini
dibahas di bawah.
2.4. Pengukuran Penelitian
2.4.1. Output
Dua ukuran dasar bagi output dalam fungsi produksi alah output bruto dan
nilai tambah. Ukuran nilai tambah biasanya tidak mengikutkan input antara
(bahan, energi dan jasa yang digunakan dalam produksi), sedangkan ukuran
output termasuk berbagai input ini. Kedua ukuran dasar ini dapat digunakan
untuk mengestimasi produktivitas dan efisiensi teknis. Nilai tambah terkait
dengan modal dan tenaga kerja sebagai masukan untuk pengukuran
produktivitas, sedangkan output adalah terkait dengan modal, tenaga kerja,
dan input antara. Dalam literatur mutakhir, para sarjana telah menggunakan
kedua ukuran tersebut untuk memperkirakan efisiensi teknis dan
pertumbuhan faktor produktivitas total. Untuk contoh, Dilling-Hansen,
Madsen dan Smith (2003), Kim (2003), Kneller dan Stevens (2006)
menggunakan nilai tambah, sedangkan Lundvall dan Battese (2000),
Aswicahyono dan Hill (2002), Battese, Rao dan O'Donnell (2004), Bottasso
dan Sembenelli (2004) menggunakan output bruto untuk mengukur output.
Pilihan untuk menggunakan salah satu dari ukuran tersebut masih
diperdebatkan. Di satu sisi, nilai tambah pendekatan telah menganjurkan
34
karena memiliki keuntungan dari kesederhanaan. Nilai tambah mengukur
mengabaikan kesulitan berurusan dengan industri antar dan intra industri
arus barang dan jasa sebagai input antara hanya dikecualikan dalam
pendekatan. Selain itu, nilai tambah pendekatan dikatakan lebih tepat
daripada konsep output dalam kondisi maksimisasi keuntungan oleh
perusahaan (van der Wiel 1999). Di sisi lain, nilai tambah pendekatan telah
dikritik sebagai konseptual cacat karena tak ada di perusahaan riil nilai
tambah nyata ditambahkan sebagai perusahaan tidak memproduksi komoditi
dalam satuan nilai tambah (Oulton dan O'Mahony 1994; Hulten 2000). Nilai
tambah juga memerlukan pendekatan jenis indeks harga yang untuk
melakukan penyesuaian ke nilai konstan. Di sisi lain, harga output dan input
antara kerap bergerak dalam proporsi yang tidak tetap (Aswicahyono 1998).
Karena pertimbangan di atas, penelitian ini mengadopsi output kotor (gross
output) ketimbang nilai tambah sebagai ukuran output. Untuk menurunkan
harga ke nilai konstan tahun konstan 2000, digunakan Indeks Harga
Perdagangan Besar (IPHB) yang diterbitkan oleh BPS pada empat digit kode
industri.
2.4.2. Modal
Pengukuran modal dari suatu perusahaan memerlukan banyak informasi
termasuk angka penyusutan yang berbeda-bea antara banyak perusahaan. Hal
ini pada akhirnya tergantung pada struktur pembiayaan dan biaya
kesempatan serta laba ditahan. Data-data ini tidak tersedia dalam survei. Oleh
karena itu, untuk memudahkan estimasi modal, modal perusahaan dalam
penelitian didekati dengan proksi berupa biaya aktiva tetap dari perusahaan.
Biaya aktiva ini disesuaikan dengan nilai 2000 dengan memanfaatkan
deflator PDB implisit dan IHPB dari mesin (tidak termasuk produk listrik),
konstruksi peralatan transportasi, bangunan tempat tinggal dan non-
perumahan. Informasi dari SI digunakan untuk menghitung saham masing-
masing jenis aktiva tetap (tanah, bangunan, mesin, kendaraan dan aktiva
tetap lainnya) pada empat digit ISIC. Nilai tersebut kemudian digunakan
35
untuk bobot masing-masing individu agregat deflator untuk mendapatkan
modal pada tingkat sektor empat digit.
2.4.3. Tenaga Kerja
Dalam situasi yang ideal pengukuran input tenaga kerja mencakup baik
kuantitas maupun kualitas tenaga kerja. Untuk itu diperlukan data jumlah
input tenaga kerja baik seperti hubungan kerja dan jam kerja serta kualitas
faktor seperti usia, pendidikan, jenis kelamin dan keterampilan. Sayang,
survei BPS tidak mengikutkan jam kerja dan rincian lain mengenai kualitas
tenaga kerja. Mengingat keterbatasan ini, input tenaga kerja didekati dengan
prokso berupa total jumlah tenaga kerja pada setiap perusahaan. Angka ini
diperoleh dari rata-rata jumlah pekerja per hari kerja pada tahun survei, yang
mencakup produksi dan pekerja non-produksi.
2.4.4. Bahan Baku
Nilai riil bahan baku dalam negeri dan impor digunakan sebagai ukuran dari
variabel bahan baku. Nilai nominal dikonversikan ke angka 2000 dengan
menggunakan deflator spesifik industri. Deflator ini diturunkan dengan
pembobotan harga grosir akhir yang baik pada industri kode tiga digit. Biaya
ini didasarkan pada kontirbusi masing-masing komoditas di barang final,
sebagaimana dilaporkan dalam Tabel Input-Output (IO) Indonesia 2005 pada
4 digit. Misalnya, berdasarkan Tabel IO, Indonesia 2005 harga grosir akhir
yang baik untuk Media Cetak dan Penerbitan (ISIC 3420) terdiri dari biaya
kertas (62%), kimia dasar (8%), minyak dan gas bumi (7%), dan produk
lainnya (23%). Oleh karena itu deflator untuk Media Cetak dan Penerbitan
dihitung sebagai (0,62 x IHPB untuk kertas + 0,08 x IHPB Dasar Kimia +
0,07 x IHPB Alam Minyak dan Gas Bumi + 0,23 x IHPB produk lainnya).
Beberapa indeks IHPB digunakan untuk beberapa komoditas Tabel IO sebagai
indeks hanya tersedia di tiga-digit ISIC, sedangkan komoditas diklasifikasikan
pada empat digit ISIC dalam Tabel IO. Untuk bahan baku impor, deflator
yang digunakan adalah indeks bahan baku impor yang diterbitkan oleh BPS.
36
Selain dari variable tersebut, model produktivitas yang dikembangkan dalam
penelitian ini juga memerlukan beberapa variabel lain untuk mengeksplorasi
lebih lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat produktivitas pada
sektor manufaktur di Indonesia. Variabel-variable ini adalah: skala
perusahaan, orientasi ekspor, kepemilikkan perusahaan dan adanya
penelitian dan pengembangan (R&D) kegiatan. Pembangunan dari variabel-
variabel ini, signifikansi mereka dan hubungan diharapkan dengan efisiensi
teknis dibahas di bawah ini.
2.4.5. Skala Perusahaan
Jumlah pekerja dapat digunakan sebagai proksi skala perusahaan.
Penggunaan ini umum digunakan dalam literatur. Sebagai contoh, studi oleh
Pitt dan Lee (1981), Page (1984), Chirwa (2000) dan Chapelle dan Plane
(2005) menggunakan jumlah pekerja sebagai proxy ukuran. Atau, ukuran juga
dapat diproksi oleh output atau input antara. Studi oleh Lundvall dan Battese
(2000) , misalnya, menggunakan nilai input antara untuk ukuran perusahaan.
Sementara Sun, Hone dan Doucouliagos (1999) menggunakan rata-rata nilai
output untuk ukuran. Dalam studi ini, jumlah pekerja dipilih sebagai proksi
untuk ukuran bukan input antara atau output karena tiga pertimbangan.
Pertama, output atau nilai tambah sensitif terhadap fluktuasi harga terutama
selama krisis di mana tiba-tiba drop harga dan nilai tukar diamati. Hal ini
dapat mengakibatkan bias ke bawah untuk perkiraan ukuran perusahaan.
Kedua, output kotor tidak mengendalikan untuk kemungkinan outsourcing,
sehingga bias ke atas untuk ukuran estimasi.
Ketiga, penggunaan tenaga kerja tidak memerlukan indeks untuk disesuaikan
ke angka konstan. Dengan demikian, pendekatan ini menghindari masalah-
masalah yang terkait dengan penyesuaian output.
Hubungan antara ukuran dan efisiensi sendiri masih ambigu, terdapat
beragam teori yang mendiskusikan hubungan ini. Teori-teori ini dapat
37
dikategorikan menjadi tiga cabang berbeda tetapi saling berkaitan. Pertama
adalah teknologi produksi teori mana ukuran perusahaan ditentukan oleh
pertimbangan teknologi produksi. Pada garis ini teori, ukuran maksimal
adalah ukuran yang paling efisien bagi perusahaan untuk beroperasi, yang
akan bervariasi menurut industri (Anda 1995). Kedua adalah teori biaya
transaksi yang memprediksi bahwa ukuran perusahaan bergantung pada
perbandingan antara biaya transaksi dalam intra-perusahaan dan mekanisme
pasar (Coase 1937; Williamson 1967). Apabila terdapat biaya yang tinggi
dalam menggunakan mekanisme pasar, perusahaan akan memilih ukuran
yang lebih besar. Sementara , biaya transaksi yang rendah di pasar membuat
ukuran perusahaan kecil. Ketiga adalah teori kelembagaan yang
mengasumsikan bahwa ukuran perusahaan merupakan akibat langsung dari
pengaruh lingkungan (Untuk contoh Yang dan Ng 1995; Liu dan Yang 2000;
Rajan dan Zingales 2000; Almeida dan Wolfenzon 2004). Menurut teori ini,
lingkungan bisnis seperti rezim peraturan dan lembaga-lembaga hukum,
efektivitas birokrasi pemerintah dan pengembangan pasar keuangan
merupakan faktor yang paling penting yang mempengaruhi ukuran
perusahaan.
Pada aspek yang lebih sempit hubungan antara ukuran perusahaan dan
efisiensi, terdapat sebuah hipotesis yang memprediksi adanya hubungan
positif yang kuat antara ukuran perusahaan dan efisiensi (Jovanovic 1982;
Hopenhayn 1992). Hipotesis ini didasarkan adanya evolusi dan seleksi pada
industri, yang menghasilkan perusahaan-perusahaan efisien bertambah besar.
Sementara, perusahaan yang tidak efisien stagnan atau keluar pasar. Ini
berarti bahwa bahwa perusahaan terbesar adalah perusahaan yang paling
efisien dalam suatu industri sedangkan terkecil adalah perusahaan paling
efisien.
Beberapa temuan empiris umumnya mengkonfirmasi hubungan positif antara
ukuran perusahaan dan efisiensi. Namun, terdapat beberapa kualifikasi dan
gradasi pada hubungan ini. Penelitian empiris umumnya menunjukkan pola
hubungan beragam, baik itu positif atau negatif. Selain itu, banyak studi juga
menunjukkan bahwa ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi di
38
samping ukuran perusahaan. Ini berarti, sebuah penelitian empiris di negara
tertentu dan industri adalah penting, baik untuk menentukan hubungan
antara ukuran perusahaan dan efisiensi serta untuk mengungkap faktor-
faktor yang mempengaruhi hubungan ini.
2.4.6. Usia Perusahaan
Usia merupakan faktor penentu produktivitas dan efisiens perusahaan.
Jumlah tahun beroperasi digunakan sebagai proksi usia perusahaan dalam
penelitian ini. Informasi ini tersedia di survei dan umum digunakan dalam
literatur (misalnya, Lundvall dan Battese 2000; Phan 2004). Dalam literatur,
usia diprediksi memiliki efek positif pada efisiensi (Jovanovic 1982;
Hopenhayn 1992). Perusahaan yang relatif tua cenderung memiliki
pengalaman lebih dari yang lebih muda. Dengan ini hipotesis ini, mereka
telah mengumpulkan lebih banyak pengalaman dengan lingkungan bisnis dan
karenanya beroperasi dengan efisiensi yang lebih besar.
Namun, di sisi lain argumen itu, perusahaan muda cenderung memiliki mesin
yang lebih modern, peralatan dan bangunan. Selain itu, di negara berkembang
seperti Indonesia, tidak mungkin ada pengalaman sebelumnya untuk
perusahaan tentang bagaimana menghadapi gangguan ekonomi besar seperti
krisis 1997-1998. Oleh karena itu, pengaruh usia pada efisiensi mungkin lebih
lemah dari yang diperkirakan.
Mengingat hal tersebut di atas, maka tidak mengherankan jika studi empiris
menunjukkan bukti beragam. Di satu sisi, Chen dan Tang (1987) dan Haddad
(1993) menemukan umur untuk secara positif terkait dengan efisiensi. Di sisi
lain, Pitt dan Lee (1981) dan Hill dan Kalirajan (1993) mengamati hubungan
negatif antara usia dan efisiensi, sementara Lundvall dan Battese (2000) dan
Phan (2004) tidak menemukan hubungan yang signifikan antara usia dan
efisiensi. Mengingat ini, arah dan gradasi hubungan tetap menjadi pertanyaan
empiris untuk analisis.
2.4.7. Orientasi Penjualan - Ekspor Output
39
Orientasi penjualan dalam penelitian ini diukur dengan rasio output diekspor
terhadap total output. Pendekatan ini umum dalam literatur (misalnya, Kim
2003; Hossain dan Karunaratne 2004; Phan 2004). Perusahaan dengan
proporsi ekspor yang besar umumnya memiliki tingkat efisiensi yang lebih
besar pula. Hal ini disebabkan perusahaan yang berorientasi ekspor harus
menghadapi kompetisi internasional dan menjaga produk mereka, layanan
dan proses sampai dengan standar tertentu. Selain itu, perusahaan
berorientasi ekspor juga berkesempatan belajar dari mitra asing mereka
tentang teknologi dan proses produksi baru. Banyak studi telah menegaskan
adanya efek positif dari ekspor terhadap efisiensi. Beberapa contoh, misalnya.
studi di empat negara Afrika, Bigsten, Collier, et al Dercon. (2000)
mengungkapkan bahwa eksportir lebih efisien daripada non-eksportir. Selain
itu, mereka menemukan bahwa eksportir meningkatkan efisiensi mereka
lebih cepat daripada non-eksportir dari waktu ke waktu. Demikian pula, Mini
dan Rodriguez (2000) menunjukkan bahwa ekspor positif terkait dengan
efisiensi di Filipina, sementara Kim (2003) menemukan efisiensi yang positif
terkait dengan ekspor di Korea Selatan. Oleh karena itu, penelitian ini
menghipotesiskan proporsi output ekspor akan memiliki hubungan yang
positif dengan efisiensi.
2.4.8. Kepemilikan Perusahaan
Dummy variabel diciptakan untuk mencerminkan kepemilikkan dalam
perusahaan. Variabel dummy akan dijelaskan sebagai berikut.
DPRI i = Dummy variabel untuk kepemilikan negeri-swasta;
= 1 jika kepemilikan saham dalam negeri-swasta adalah 100
sama dengan persen;
= 0 Jika tidak.
DFOR = Dummy variabel untuk kepemilikan asing;
= 1 jika pemilik saham asing lebih besar dari 0 persen;
= 0 Jika tidak.
40
Dari di atas, suatu bentuk usaha patungan akan diklasifikasikan sebagai
dimiliki asing bahkan ketika pemerintah atau mitra swasta-domestik memiliki
saham lebih besar. Klasifikasi ini didasarkan pada studi sebelumnya yang
menunjukkan bahwa mitra asing dominan, terutama pada hal yang berkaitan
dengan keuangan dan teknologi, bahkan ketika mereka minoritas pemegang
saham di perusahaan-perusahaan Indonesia (Lihat misalnya Aswicahyono
dan Hill 1995; Ramstetter 1999; Narjoko dan Hill 2006 ).
Dengan menggunakan argumen yang sama, sebuah perusahaan
diklasifikasikan sebagai milik pemerintah jika bagian dari pemerintah lebih
besar dari nol, bahkan ketika dimiliki bersama pemerintah dan dalam swasta
dalam negeri. Dengan demikian,
DFOR = Dummy variabel untuk kepemilikan pemerintah;
= 1 jika bagian dari pemerintah lebih besar dari 0 persen;
= 0 Jika tidak.
Dalam studi ini, kepemilikan asing dihipotesiskan memiliki hubungan yang
positif dengan tingkat efisiensi. Penegasan ini telah ditunjukkan dalam
sejumlah studi, mengingat biasanya perusahaan asing kurang dibatasi secara
finansial karena mereka memiliki kemampuan untuk mencari dukungan
keuangan dari perusahaan induk mereka. Mereka juga memiliki hubungan
yang lebih besar dengan pasar internasional yang memungkinkan mereka
untuk mengalihkan penjualan dari pasar domestik untuk ekspor jika
diperlukan. Selain itu, mereka umumnya lebih unggul dalam hal teknologi
produksi.
Berbeda dengan perusahaan asing, pengaruh kepemilikan pemerintah
terhadap efisiensi tidak begitu terang. Di satu sisi, menurut teori
mikroekonomi, perusahaan publik pada prinsipnya dapat mencapai tingkat
efisiensi yang sama sebagai perusahaan swasta jika mereka beroperasi di
bawah maksimisasi laba dan kondisi persaingan sempurna. Jadi, a-priori
tidak ada alasan untuk berharap bahwa perusahaan-perusahaan swasta lebih
41
efisien daripada perusahaan publik. Di sisi lain, literatur menyebut beberapa
masalah yang mempengaruhi perusahaan publik, sehingga dapat
menghambat pencapaian tujuan efisiensi. Ini termasuk persoalaan kurangnya
kontrol pemerintah, kurangnya kontrol melalui pasar modal, kendala
anggaran lunak, kurangnya insentif manajemen berdasarkan produktivitas,
kurangnya fleksibilitas manajerial karena harus mengikuti peraturan umum
yang ketat , dan risiko investasi pengambilalihan oleh pemerintah (Gonzalez-
Paramo dan Hernandez De Cos 2005). Beberapa studi empiris memang
menunjukkan bahwa kepemilikkan pemerintah menyebabkan berkurangnya
tingkat efisiensi (Bitros dan Tsionas 2004; Bottasso dan Sembenelli 2004;
Gonzalez-Paramo dan Hernandez De Cos 2005). Dengan semua argumen ini,
hubungan antara kepemilikan pemerintah dan efisiensi teknis yang
dieksplorasi dalam penelitian ini.
2.4.9. Penelitian dan Pengembangan (R&D)
Penelitian dan Pengembangan yang dilakukan perusahaan akan diproksi
dengan pengeluaran perusahaan pada bidang di R&D, yang tersedia dari
survei SI. Pendekatan ini juga biasa dan telah digunakan sebelumnya dalam
konteks manufaktur Indonesia. Sebuah variabel dummy dibuat untuk
mencerminkan apakah perusahaan melakukan pengeluaran R&D. Secara
khusus,
DR&D = Dummy variabel untuk R&D pengeluaran;
= 1 jika perusahaan mengeluarkan R&D pengeluaran pada
tahun pengamatan;
= 0 Jika tidak.
Dalam literatur, R&D pengeluaran berpendapat memiliki dampak positif pada
efisiensi. Investasi di R&D diharapkan untuk memberikan modal aset
material dan meningkatkan kegiatan inovatif, yang pada gilirannya akan
meningkatkan efisiensi perusahaan. Dalam sebuah penelitian untuk Jepang,
Torii (1992) menemukan bahwa R&D meningkatkan efisiensi perusahaan.
Demikian pula, studi yang lebih baru oleh Dilling-Hansen, Madsen dan Smith
42
(2003) menunjukkan bahwa R&D perusahaan secara signifikan membuat
perusahaan lebih efisien di Denmark.
Namun, terdapat jeda antara pengeluaran R&D dan potensi dampak pada
efisiensi. Dengan demikian, efek jangka pendek efek yang berlaku di R&D
seringkali sulit untuk dibuktikan (Dilling-Hansen, Madsen dan Smith 2003).
Jeda waktu ini terutama berlaku untuk R&D perusahaan yang baru mulai
(Badunenko, Fritsch dan Stephan 2005). Selain itu, peningkatan aktivitas
inovatif dari suatu perusahaan juga dapat mengubah interaksi strategis antara
perusahaan dalam suatu industri. Dengan demikian, hubungan negatif antara
R&D kegiatan dan efisiensi teknis perusahaan dapat dilihat. Misalnya, Gua
dan Barton (1990) menemukan dampak negatif dari R&D intensitas pada
efisiensi teknis. Mereka berpendapat bahwa kegiatan R&D di industri tertentu
adalah prediktor buruk dari inovasi industri bahwa karena sebagian besar dari
hasil inovasi yang diterapkan dalam industri lain. Demikian pula, Badunenko,
Fritsch dan Stephan (2005) menunjukkan bahwa perusahaan dengan R&D
intensitas tinggi kurang teknis efisien dalam manufaktur Jerman. Mengingat
bukti-bukti yang bertentangan, sulit untuk memprediksi hubungan antara
R&D pengeluaran dan efisiensi teknis perusahaan', demikian arah hubungan
itu tetap menjadi pertanyaan empiris.
43
2.5. Hipotesis
Sebagai rangkuman dari pembahasan, berikut adalah hipotesis yang diajukan
pada penelitian ini:
Hipotesis Null Hubungan antara Produktivitas dan Variabel
Independence
Variabel Independen Produktivitas Skala Perusahaan ? Usia Perusahaan ? Orientasi Ekspor + Kepemilikan Asing + Kepemilikkan Pemerintah ? R&D ? Catatan: + hubungan positif, - hubungan negatif, ? tidak terdapat hubungan yang jelas.
---oooOOOooo---
44
Bab 3
Temuan dan Pembahasan
3.1. Pengantar
Bagian ini akan memaparkan dan membahas hasil estimasi dari tingkat
produktifitas (Total Factor Productivity, TFP) dan efisiensi teknis dari
Industri Manufaktur Indonesia secara agregat. Model empiris yang digunakan
untuk melakukan estimasi telah dibahas sebelumnya pada Bab 2. Estimasi
untuk setiap Sub Sektor dilakukan secara terpisah berdasarkan 2 digit ISIC.
Klasifikasi ini adalah Makanan dan Minuman (ISIC 31), Tekstil (ISIC 32),
Kayu (ISIC 33), Kertas dan Percetakan (ISIC 34), Kimia, Plastik dan Karet
(ISIC 35), Mineral Bukan Metal (ISIC 36), Besi dan Baja serta Produk Besi
dan Baja (ISIC 37 & 38), dan Manufaktur Lain (ISIC 39).
Bagian ini dibagi ke dalam 4 sub-bab. Sub-bab 3.1 mendiskusikan hasil
estimasi dari parameter persamaan. Sub-bab 3.2 memaparkan hasil estimasi
dari pertumbuhan tingkat produktifitas (TFP) dan efisiensi teknis. Akhirnya,
sub-bab 3.3 memberikan ringkasan temuan.
3.2. Parameter Fungsi Produksi dan Elastisitas
Hasil estimasi berupa parameter persamaan the stochastic production
function akan dibahas pada bagian ini, dimulai dengan melakukan test pada
spesifikasi pada fungsi produksi yang digunakan. Dari model umum yang
45
disampaikan pada Bab 2 (Persamaan 1), beberapa uji hipotesis tentang
spesifikasi persamaan ini akan dilakukan. Hasil uji hipotesis ini disampaikan
pada Tabel 3.1. Hipotesis null pertama yang akan diuji adalah apakah
spesifikasi Cobb-Douglas adalah cukup untuk merepresentasikan data set
yang ada. Dari Tabel 3.1, hipotesis ini tolak pada level signifikansi 1%.Dus bisa
disimpulkan bahwa spesifikasi translog yang digunakan dalam penelitian
adalah tepat ketimbang spesifikasi Cobb-Douglas. Hipotesis null kedua adalah
bahwa tidak terdapat kemajuan teknikal pada Sektor Manufaktur Indonesia.
Hipotesis ini juga ditolak secara signifikan pada level 1% dan 5%. Hipotesis
null ketiga yang diuji adalah apakah kemajuan teknikal yang ada bersifat
netral atau tidak. Hipotesis ini juga ditolak pada level signifikansi 1%, kecuali
untuk Sektor Manufaktur Lain yang menolak hipotesisi ini pada level 10%. Uji
hopotesis terakhir adalah tingkat produktifitas tidak berubah selama periode
pengamatan, atau dengan kata lain apakah tidak terdapat perubahan tingkat
TFP selama periode pengamatan. Uji hipotesis terakhir ini juga ditolak pada
level signifikansi 1%, kecuali pada Industri Kayu yang ditolak pada level
signifikansi 10%.
Dari hasil ini, spesifikasi yang dilakukan berupa spesifikasi persamaan
translog dengan perubahan waktu, seperti yang dispesifikasikan pada
Persamaan (1), adalah tepat merepresentasikan teknologi produksi yang
digunakan pada 8 aggregat sektor industri manufaktur Indonesia.
Tabel 3.2 memberikan hasil estimasi parameter dari stochastic production
frontier dari 8 aggregat Sub Sektor Industri yang ada. Parameter dari fungsi
produksi ini tidak memiliki implikasi ekonomis langsung. Untuk itu,
elastisitas dari output terhadap modal, tenaga kerja, bahan baku dan energy,
dengan koefisien return to scale (RTS) akan dilakukan. Hasil dari kalkulasi
disampaikan pada Tabel 6.3. Selama periode 2000-2004, RTS adalah sebesar
1.01, yang mengindikasikan perusahaan lebih besar memiliki keuntungan
relatif ketimbang perusahaan yang lebih kecil. RTS kemudian menjadi lebih
rendah pada periode 2004-2007, sebesar 0.99 untuk total sampel. Hal ini
mengindikasikan keuntungan dari beroperasi pada skala besar menjadi
berkurang seiring berjalannya waktu.
46
Tabel 3.1: Uji Hipotesis Persamaan Fungsi Produksi
Hipotesis Null 31 Makanan & Minuman
32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas dan Percetakan
35 Kimia, Plastik dan Karet
36 Mineral Bukan Metal
37 & 38 Besi dan Baja
39 Manufaktur Lain
Critical Values (α=0.10)
Critical Values (α=0.05)
Critical Values
(α =0.01)
Cobb-Douglas 1039.85*** 611.26*** 113.63*** 141.54*** 252.22*** 137.23*** 174.94*** 54.43*** 22.31 25 30.58 βjl =0
No TP 159.76*** 69.45*** 18.11*** 41.25*** 13.54*** 10.85** 9.96** 9.86** 7.78 9.49 13.28 βt =βtt= βjt= 0
Neutral TP 247.37*** 78.57*** 22.09*** 114.00*** 14.81* 30.19*** 34.03*** 11.97* 10.64 12.59 16.81 βjt =0
Time Invariant TE 390.01*** 231.95*** 19.87* 170.59*** 142.48*** 42.66*** 70.50*** 56.27*** 18.55 21.03 26.22 θ2000=…=θ2007=1 Catatan: Kalkulasi penulis. Catatan: the likelihood ratio statistics dihitung sebagai (Sum Squares of Error of the restricted model - Sum Squares of Error of the
unrestricted model/σ2 restricted model) (Lee and Schmidt, 1993, p.245). *** signifikan pada level 1%. ** signifikan pada level 5%. * signifikan pada level 10%.
Critical values didasarkan are chi-square distribution. Subscripts i and j merepresentasikan factor inputs (modal, tenaga kerja, bahan antra dan energi).
47
Tabel 3.2: Estimasi Persamaan Fungsi Produksi
Variable Parameter 31 Makanan & Minuman 32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas 35 Kimia 36 Mineral
Nonmetal 37 & 38 Besi 39 Lainnya
Constant β0 4.600*** 4.036*** 2.382*** 5.101*** 3.633*** 0.584 1.807*** 6.562**
-10.32 -3.08 -3.42 -7.29 -2.94 -0.91 -2.79 -2.28
Capital βK -0.003 0.180*** 0.121 -0.032 0.265*** 0.216*** 0.166** 0.216
(-0.10) -4.49 -1.72 (-0.43) -4.71 -2.61 -2.4 -1.45
Labour βL 0.909*** 0.738*** 0.564*** 1.003*** 1.022*** 0.161 0.732*** 1.031***
-14.69 -8.63 -3.65 -5.9 -9.83 -1.01 -4.92 -2.79
Material βM 0.108** 0.175*** 0.427*** -0.089 0.463*** 0.539*** 0.515*** -0.203
-2.45 -3.17 -4.32 (-0.89) -6.68 -6.02 -5.9 (-0.85)
Energy βE 0.202*** 0.196*** 0.079 0.229* -0.178*** 0.335*** -0.105 -0.023
-5.06 -4.4 -0.88 -2.5 (-2.78) -3.84 (-1.20) (-0.10)
Time βt 0.111*** 0.225 0.018 -0.013 0.053 -0.009 0.022 0.209
-6.67 -1.8 -0.77 (-0.57) -1.66 (-0.40) -0.88 -0.7
(Capital)2 βKK 0.004* -0.001 0.008*** 0 -0.005** 0.014*** 0.001 -0.009
-2.31 (-0.43) -3.18 (-0.00) (-2.46) -2.81 -0.45 (-0.80)
(Labour)2 βLL 0.009 0.052*** 0.018 0.022 0.002 0.070*** -0.009 0.052
-1.65 -7.61 -1.21 -1.2 -0.25 -4.48 (-0.73) -1.36
(Material)2 βMM 0.074*** 0.066*** 0.052*** 0.049*** 0.042*** 0.056*** 0.048*** 0.055***
-28.18 -21.2 -8.47 -8.49 -10.06 -9.45 -9.77 -4.41
(Energy)2 βEE 0.038*** 0.018*** 0.021*** 0.024*** 0.034*** 0.024*** 0.032*** -0.001
-15.97 -7 -3.7 -3.92 -7.31 -5.01 -5.73 (-0.11)
Capital*Labour βKL -0.007 0.022*** 0.013 -0.021 0.015** 0.044*** 0.003 0.016
(-1.61) -3.27 -1.07 (-1.33) -2.32 -3.23 -0.25 -0.49
Capital*Material βKM -0.013*** -0.023*** -0.033*** 0.012 -0.024*** -0.038*** -0.030*** -0.009
(-3.81) (-5.17) (-3.95) -1.3 (-4.50) (-4.61) (-3.82) (-0.42)
48
Tabel 3.2: Estimasi Persamaan Fungsi Produksi (Lanjutan)
Variable Parameter 31 Makanan & Minuman 32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas 35 Kimia 36 Mineral
Nonmetal 37 & 38 Besi 39 Lainnya
Capital*Energy βKE 0.014*** 0.006 0.004 -0.001 0.015*** -0.025*** 0.021*** 0.008
-3.77 -1.41 -0.54 (-0.07) -2.82 (-2.80) -2.6 -0.34
Labour*Material βLM -0.069*** -0.102*** -0.062*** -0.060*** -0.057*** -0.110*** -0.036*** -0.106***
(-13.07) (-14.25) (-4.62) (-3.76) (-6.68) (-7.55) (-2.85) (-4.10)
Labour*Energy βLE 0.010* 0.002 0.011 -0.009 -0.029*** 0.012 -0.01 -0.024
-2.03 -0.41 -0.83 (-0.56) (-3.33) -0.97 (-0.83) (-0.74)
Material*Energy βME -0.081*** -0.042*** -0.036*** -0.042*** -0.033*** -0.031*** -0.049*** 0.013
(-19.98) (-9.61) (-3.99) (-4.46) (-5.02) (-3.86) (-6.27) -0.69
Capital*Time βKt -0.002** 0.001 0.002 -0.001 -0.002 -0.001 -0.004** 0
(-2.38) -0.73 -1.02 (-0.48) (-1.23) (-0.42) (-2.23) (-0.09)
Labour*Time βLt -0.002 -0.002 -0.001 0.014*** -0.001 0.008*** 0.004 0.017***
(-1.82) (-1.39) (-0.54) -4.2 (-0.69) -3.63 -1.83 -2.94
Material*Time βMt 0 -0.003*** 0.001 0.005*** 0.002 0 -0.002 -0.005
-0.42 (-3.18) -0.81 -3.04 -1.89 (-0.13) (-1.14) (-1.51)
Energy*Time βEt -0.005*** 0 -0.005*** -0.004** -0.002** -0.004*** 0 -0.005
(-6.69) 0 (-2.83) (-2.29) (-2.21) (-3.21) (-0.26) (-1.46)
R bar square 0.9839 0.9882 0.9813 0.9834 0.9778 0.9848 0.9805 0.9825
Catatan: Kalkulasi penulis.. *** signifikan pada level 1%. ** signifikan pada level 5%. * signifikan pada level 10%. Critical values didasarkan are chi-square
distribution. Subscripts i and j merepresentasikan factor inputs (modal, tenaga kerja, bahan antra dan energi).
49
Tabel 3.3: Elastisitas dan RTS
Waktu Kapital Tenaga Kerja
Bahan Antra Energi RTS
2000-2004 31 Makanan & Minuman 0.02 0.16 0.69 0.13 1.00 32 Tekstil 0.02 0.22 0.69 0.08 1.01 33 Kayu 0.03 0.20 0.67 0.12 1.02 34 Kertas dan Percetakan 0.02 0.15 0.63 0.11 0.91 35 Kimia, Plastik dan Karet 0.04 0.24 0.62 0.14 1.04 36 Mineral Bukan Metal 0.06 0.16 0.63 0.15 1.00 37 Besi dan Baja 0.04 0.17 0.67 0.13 1.01 38 Produk Besi dan Baja 0.02 0.25 0.65 0.09 1.01 39 Manufaktur Lain 0.03 0.19 0.67 0.12 1.01 2004-2007 31 Makanan & Minuman 0.02 0.15 0.69 0.11 0.96 32 Tekstil 0.03 0.21 0.67 0.09 1.00 33 Kayu 0.03 0.20 0.67 0.11 1.01 34 Kertas dan Percetakan 0.01 0.20 0.66 0.09 0.97 35 Kimia, Plastik dan Karet 0.04 0.22 0.63 0.13 1.01 36 Mineral Bukan Metal 0.06 0.19 0.62 0.13 1.00 37 Besi dan Baja 0.01 0.17 0.68 0.12 0.98 38 Produk Besi dan Baja 0.01 0.30 0.66 0.07 1.04 39 Manufaktur Lain 0.03 0.19 0.67 0.11 0.99
Sumber: Kalkulasi Penulis.
Rata-rata elastisitas output untuk seluruh Sektor Manufaktur pada seluruh
periode pengamatan terhadap modal adalah 0.03. Sementara, untuk
individual industri estimasi bervariasi antara 0.01 ke 0.06. Estimasi ini dapat
dikatakan relatif rendah, yang mengindikasikan produktivitas yang rendah
dari modal di Indonesia. Akan tetapi, figur ini tentu saja harus
diinteprestasikan secara berhati-hati, mengingat modal adalah faktor yang
penting dalam mendorong tingkat pertumbuhan. Terutama dalam kasus
Indonesia, dimana terdapat tenaga kerja yang berlimpah, menambah
kapasitas pabrik akan menyebabkan bertambahnya tingkat output dalam
proporsi yang seimbang, karena perusahaan akan dengan mudah menyerap
tenaga kerja yang ada.
Begitu juga, estimasi ini adalah konsisten dengan hasil estimasi lain dari
telaah empiris Sektor Manufaktur di Indonesia (Lihat, misalnya, Amiti and
Konings 2005). Temuan ini juga tidak terlalu mengherankan mengingat
produktivitas modal biasanya memang rendah pada iklim perekonomian yang
50
memiliki tenaga kerja berlimpah. Misalnya, Wacker, Yang and Sheu (2006)
berargumen bahwa tingginya elastisitas modal biasanya hanya diobservasi
pada negara-negara yang dimana sektor manufakturnya sudah maju dan
fokus pada produk-produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Pada negara-
negara ini, ada kebutuhan terhadap modal untuk berproduksi pada sektor
manufaktur dan meningkatkan produktivitas. Sebaliknya, Sektor Manufaktur
Indonesia mayoritas adalah produk yang berbasiskan sumber daya alam atau
produk sederhana. (Aswicahyono 1998a). Dus, kebutuhan modal pada Sektor
Manufaktur Indonesia tidaklah sebesar pada kebutuhan modal pada negara-
negara yang sektor manufaktur telah cukup maju. Demikan pula, investasi
modal biasanya memiliki jeda yang cukup panjang sebelum berdampak pada
tingkat produksi dan produktivias dari perusahaan. Semua ini menyebabkan
rendahnya elastisitas modal, meski modal sendiri memiliki signifikansi yang
tinggi.
Dari Tabel 3.3, rata-rata elastisitas tenaga kerja adalah 0.19. Temuan ini juga
konsisten dengan studi lain menggunakan data statistik industri.(Misal:
Aswicahyono 1998a; Timmer 1999; Vial 2006). Namun, estimasi ini mungkin
hanya memberikan batas bawah dari elastisitas yang sesungguhnya karena
jumlah tenaga kerja umumnya dilaporkan lebih kecil. (Aswicahyono 1998a;
Timmer 1999). Elastisitas tenaga kerja juga konstan sepanjang masa
pengamatan. Sementara, elastisitas bahan baku adalah elastisitas yang paling
tinggi sebesar 0.61 sampai 0.69. Angka ini tidak terlalu mengherankan
mengingat ketergantungan yang tinggi terhadap bahan baku sifat industri
manufaktur Indonesia yang memiliki nilai tambah kecil.
3.3. Pertumbuhan Tingkat Produktifitas
Dalam studi ini, pertumbuhan tingkat produktifitas (TFP) dikalkulasi sebagai
perambahan dari Pertumbuhan Teknologi (TP), perubahan Tingkat Efisiensi
(TE) dan Skala Ekonomi (SE). Hasil dari kalkulasi direportasekan pada Tabel
3.4. Dari total sampel yang ada, TFP tumbuh secara rat-rata sebesar 0.22%
per tahun. Peningkatan Tingkat Efisiensi (TE) merupakan kontributor utama
dari pertumbuhan tingkat produktifitas di Indonesia, sementara
51
pertumbuhan Pertumbuhan Teknologi (TP) dan Skala Ekonomi (SE)
memberikan kontribusi negatif. TP yang tumbuh secara negatif sebesar -
0.17% per tahun berdampak pada hilangnya separuh potensi pertumbuhan
tingkat produktifitas pada Sektor Manufaktur selama 2000-2007. Sementara,
dampak dari pertumbuhan negatif SE, sebesar -0.45%, mengurangi potensi
pertumbuhan produktifitas sebesar 10%.
Pada level disagregasi 2 digit ISIC, TFP tumbuh tercepat pada Sektor Kimia,
dengan pertumbuhan tingkat produktifitas rata-rata sebesar 0.21% per tahun,
diikuti oleh Mineral Nonmetal, dengan tingkat pertumbuhan produktifitas
sebesar 0.14%, dan Sektor Makanan dan Minuman dengan tingkat
pertumbuhan sebesar 0.09%. Sementara pertumbuhan produktifitas terendah
terjadi pada Industri Kayu, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar -
1.18%, diikuti oleh Sektor Manufaktur Lain dengan pertumbuhan sebesar -
0.31 per tahun, terakhir adalah Sektor Tekstil yang mengalami pertumbuhan
sebesar -0.08%. Seperti halnya dengan keseluruhan sampling, pertumbuhan
tingkat produktifitas pada hampir seluruh Sub-Sektor Industri lebih banyak
disebabkan oleh pertumbuhan Tingkat Efisiensi, kecuali Sektor Manufaktur
Lain dan Mineral Nonmetal yang digerakkan oleh Pertumbuhan Teknologi.
Aspek lain yang menarik dari pergerakkan produktifitas industri manufaktur
Indonesia adalah polanya yang ada antar waktu. Sebagaimana terlihat pada
Tabel 3.4, TFP terlihat mengalami penurunan bahkan pertumbuhan negatif
selama kurun waktu 2000-2004. TFP untuk Industri Manufaktur secara
keseluruhan, misalnya, mencatat pertumbuhan negatif sebesar -3,41% pada
2001, -1,50% pada 2002, -1,04% pada 2003 dan -0,06% pada 2004. Akan
tetapi, TFP tercatat kembali meningkat dan mengalami pertumbuhan positif
semenjak 2004 hingga 2007, dengan tingkat pertumbuhannya yang terus
naik.
52
Tabel 3.4: Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP)
Tahun Makanan dan Minuman Tekstil Kayu
TP TE SE TFP TP TE SE TFP TP TE SE TFP
2000-01 3.2 -3.19 -0.05 -0.04 5.55 -5.29 -0.27 -0.01 0.58 -4 -0.17 -3.59 2001-02 1.2 -2.91 -0.29 -2 3.21 -4.74 -0.26 -1.79 0.48 -9.87 -0.12 -9.51 2002-03 0.5 -2.9 -0.3 -2.7 1.22 -3.67 -0.3 -2.75 0.38 -0.81 -0.17 -0.6 2003-04 3.4 -1.13 -0.32 1.95 2.55 -2.9 -0.17 -0.52 0.3 4.55 -0.16 4.69 2004-05 4.4 -3.09 -0.4 0.91 3.54 -2.78 -0.27 0.49 0.21 -1.9 -0.07 -1.76 2005-06 4.8 -3.33 -0.2 1.27 3.78 -1.96 -0.23 1.59 0.12 0.49 -0.27 0.34 2006-07 4.7 -3.26 -0.21 1.23 4.25 -1.56 -0.23 2.46 1.11 1.22 -0.14 2.19
2000-07 3.17 -2.83 -0.25 0.09 3.44 -3.27 -0.25 -0.08 0.45 -1.47 -0.16 -1.18
Tahun
Kertas Kimia Mineral Nonmetal
TP TE SE TFP TP TE SE TFP TP TE SE TFP
2000-01 -1.11 -3.21 -0.59 -3.33 -1.15 -0.97 0.97 -1.15 0.58 -4 -0.17 -3.59 2001-02 -0.53 -1.94 -0.36 -2.83 -1.19 0.33 0.33 -0.53 0.48 -5.46 -0.12 -5.1 2002-03 0.1 0.9 -0.25 0.75 0.75 -0.19 0.69 1.25 0.38 -0.81 -0.17 -0.6 2003-04 0.69 -1.78 -0.45 -1.54 -2.99 -1.11 0.87 -3.23 0.3 4.55 -0.16 4.69 2004-05 2.3 2.11 -0.34 4.07 3.06 2.32 -0.42 4.96 0.21 2.9 -0.07 3.04 2005-06 2.9 -1.11 -0.37 1.42 -2 3.65 -0.45 1.2 0.12 0.49 -0.27 0.34 2006-07 2.98 -1.16 -0.29 1.53 -2.72 3.54 -1.83 -1.01 1.11 1.22 -0.14 2.19
2000-07 1.05 -0.88 -0.38 0.01 -0.89 1.08 0.02 0.21 0.45 -0.16 -0.16 0.14
Tabel 3.4: Pertumbuhan Tingkat Produktifitas (TFP) (Lanjutan)
Tahun
Besi dan Baja Manufaktur Lain Total
TP TE SE TFP TP TE SE TFP TP TE SE TFP
2000-01 -2.22 -1.15 -0.42 -3.79 1.14 0.7 -0.25 1.59 -2.87 0.01 -0.55 -3.41 2001-02 -4.04 3.31 -2.2 -2.93 0.77 0.21 0.02 1 -0.98 0.05 -0.57 -1.5 2002-03 -3.74 2.67 -0.48 -1.55 0.4 -0.54 -0.15 -0.29 -1.01 0.08 -0.11 -1.04 2003-04 -2.33 4.65 -0.49 1.83 0.03 -0.9 -0.48 -1.35 -1.11 1.27 -0.22 -0.06 2004-05 1.09 1.12 -0.08 2.13 -0.33 3.14 -0.4 2.41 0.07 2.09 -0.69 1.47 2005-06 0.78 0.09 1.09 1.96 -0.73 -4.73 -0.33 -5.79 1.98 1.19 -0.38 2.79 2006-07 1.17 1.67 -0.35 2.49 -1.08 2.25 -0.9 0.27 2.76 1.16 -0.6 3.32
2000-07 -1.33 1.77 -0.42 0.02 0.03 0.02 -0.36 -0.31 -0.17 0.84 -0.45 0.22 Sumber: Kalkulasi Penulis.
53
Pertumbuhan tingkat TFP yang positif semenjak 2004 terlihat baik pada
Industri Manufaktur secara keseluruhan maupun pada masing-masing
industri pada disagregasi 2 digit ISIC. Pada Subsektor Mineral Nonmetal
misalnya pertumbuhan tingkat TFP naik dari -0,6% pada 2002-2003 menjadi
4,69% pada 2003-2004., meski kemudian kenaikkan ini termoderasi hingga
0,34% pada 2006. Akan tetapi, pada 2007, Subsektor ini kembali mengalami
kenaikkan tingkat TFP yang signifikan sebesar 2,19%. Demikian juga, pada
Industri Tekstil terdapat tren kenaikkan tingkat produktifitas yang stabil
mulai dari 0,49% pada 2004-2005 menjadi 2,46% pada 2006-2007, meski
secara rata-rata keseluruhan industri ini mengalami pertumbuhan
produktifitas yang negatif selama 2000-2007. Pola yang sama, penurunan
selama kurun waktu 2000-2004, dan kemudian naik selama 2004-2007 pula
terlihat pada Subsektor lain pada 2 digit ISIC.
Penurunan tingkat produktifitas Sektor Manufaktur selama kurun waktu
2000-2004 agaknya disebabkan oleh masih dilakukannya konsolidasi
kebijakan perekonomian serta munculnya beragam landasan dan pengaturan
baru yang perlu dilakukan penyesuaian oleh pelaku usaha industri saat itu.
Dengan dimulainya era reformasi, lanskap perekonomian berubah total
dengan kehidupan politik serta sosial yang lebih terbuka. Begitu juga
diterapkannya otonomi daerah, di mana terdapat peningkatan dan peran
daerah dalam perekonomian. Pada tahun 2000 ke atas, juga terdapat banyak
peraturan dan perundang-undangan baru yang ditetapkan, baik di tingkat
nasional maupun lokal, yang memerlukan waktu bagi bisnis terutama di
Sektor Manufaktur untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, pasca krisis
1997/1998, Sektor Manufaktur nasional masih dihadapkan pada kelebihan
kapasitas akibat ekspansi yang banyak dilakukan sebelum krisis. Pada saat
yang sama, permintaan dalam negeri masih belum cukup kuat akibat jatuhnya
pendapatan di saat krisis. Akibatnya, bisnis tidak melakukan banyak ekspansi
berupa penambahan kapital dan aset lainnya yang menyebabkan minimnya
daya dorong bagi peningkatan produktifitas. Dari dua alasan ini agaknya
dapat dipahami bila tingkat TFP terpantau menurun, bahkan tercatat negatif
selama kurun waktu 2000-2004.
54
Namun, seiring dengan konsolidasi dan berbagai penyesuaian dalam perilaku
dan cara berbisnis oleh pelaku Sektor Manufaktur, peningkatan tingkat
produktifitas berlahan mengalami kenaikan. Kenaikan ini juga agaknya dipicu
oleh penambahan kapasitas terpasang berupa perluasan tingkat produksi baik
melalui penambahan pabrik baru atau renovasi dan adapatasi mesin atau
teknologi baru.
Tabel 3.5: Perbandingan Tingkat Pertumbuhan (TFP) Penulis Periode Pertumbuhan
Nilai
Tambah Modal Tenaga
Kerja TFP
% % % % Aswicahyono, Bird and Hill
1976-81 na na na 0.7
Aswicahyono, Bird and Hill
1982-85 na na na 1.1
Aswicahyono, Bird and Hill
1986-91 na na na 2.1
Aswicahyono 1976-80 13 7.8 8.9 1.1 Aswicahyono 1981-83 4 13.4 7.7 -4.9 Aswicahyono 1984-88 13 8.7 6 5.5 Aswicahyono 1989-93 19 14.7 8.3 6 Aswicahyono 1976-93 13 10.9 7.7 2.7 Timmer 1975-81 8.9 na na 1 Timmer 1982-85 8.5 na na 0.1 Timmer 1986-90 15.2 na na 7.9 Timmer 1991-95 13.2 na na 2.1 Timmer 1975-95 11.5 na na 2.8 Osada 1985-90 na na na 3.6 Vial 1976-80 na na na 1.4 Vial 1981-83 na na na -0.1 Vial 1984-88 na na na 5.1 Vial 1989-95 na na na 5.6 Vial 1976-95 na na na 3.5 Ikhsan Modjo 1988-92 na na na 2.59 Ikhsan Modjo 1993-96 na na na 3.12 Ikhsan Modjo 1997-00 na na na 2.9 Ikhsan Modjo 2000-04 na na na -1.50 Ikhsan Modjo 2004-07 na na na 1.88 Ikhsan Modjo 2000-07 na na na 0.22
Sumber: Aswicahyono, Bird and Hill (1996), Aswicahyono (1998b), Timmer (1999) and Vial (2006), Osada (1994) is from Aswicahyono (1998b).
Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pertumbuhan tingkat produktifitas
sebelum terjadinya krisis, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.5, pertumbuhan
produktifitas yang terjadi selama kurun waktu 2000-2007 adalah lebih
rendah ketimbang pertumbuhan yang terjadi sebelum krisis ekonomi di tahun
55
1997. Bahkan, bila dilakukan pentahapan selama dua periode berbeda 2000-
2004 dan 2004-2007, terlihat pada tabel yang sama bahwa sesungguhnya
terjadi pertumbuhan negatif dari tingakt produktivitas Sektor Manufaktur
Indonesia sebesar -1,50% selama 2000-2004. Pertumbuhan tingkat
produktifitas baru kembali mencatat tingkat positif di angka rata-rata 1,88%
selama 2004-2007.
3.4. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas
Dalam penelitian ini, selain fluktuasi dari tingkat produktifitas juga ditelaah
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat produktifitas. Untuk itu,
sebagaimana telah ditetapkan pada Bab 2, beberapa variabel yang diharapkan
mampu menjelaskan perubahan tingkat produktifitas pada industri
manufaktur Indonesia akan ditelaah dan dieksplorasi lebih jauh hubungannya
dengan tingak produktifitas sektor manufaktur Indonesia. Variabel-variabel
ini adalah variabel Skala Perusahaan, Usia Perusahaan, Orientasi Penjualan,
Kepemilikkan Perusahaan dan Keberadaan Penelitian dan Pengembangan
pada perusahaan tersebut.
Untuk menelaah hubungan ini, persamaan empiris sebagaimana yang
dideskripsikan pada Bab 2, Persamaan 7, akan diestimasi dan dilaporkan
hasilnya sebagaimana terlihat pada Tabel 3.6. Hasil dari estimasi tersebut
akan digunakan untuk menguji hipotesis sebagaimana yang tercantum pada
Bab 2, Bagian 2.5.
56
Tabel 3.6: Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Produktifitas 31 Makanan & Minuman 32 Tekstil 33 Kayu 34 Kertas dan Percetakan 35 Kimia, Plastik dan Karet 36 Mineral Bukan Metal 37 & 38 Besi dan Baja 39 Manufaktur Lain Total Sampling
Skala -0.1453*** -0.0275*** -0.0510*** -0.1285*** -0.0603*** -0.0859*** -0.0679*** -0.0132 -0.0634***
0 0 (-13.40) (-16.26) (-17.81) (-15.64) (-16.22) (-1.24) 0
Usia 0.0576*** 0.0762*** 0.0370*** -0.0685*** -0.0383*** -0.0046 0.0634*** 0.0947*** 0.0232***
0 0 -7.34 (-8.63) (-9.46) (-0.75) -12.6 -6.74 0
Ekspor -0.0673*** -0.0883*** -0.0035 0.0217 -0.0723*** 0.0721*** 0.0087 -0.0560** -0.0172***
-0.01 -0.01 (-0.37) -0.65 (-6.17) -3.31 -0.6 (-2.04) 0
Asing -0.0876*** -0.1350*** -0.1071*** -0.2104*** -0.2779*** -0.2696*** -0.1620*** -0.0989 -0.2001***
-0.02 -0.02 (-3.71) (-3.79) (-13.87) (-8.50) (-8.44) (-1.61) 0
Pemerintah 0.2140*** 0.0522*** -0.0706*** -0.4253*** -0.1273*** -0.2050*** -0.1130*** 0.1403*** 0.0168***
-0.01 -0.01 (-0.09) (-3.64) (-10.40) (-9.54) (-7.06) -0.29 0
Penelitian -0.0274** -0.0467*** -0.0014 -0.1018*** -0.1134*** -0.1813*** -0.0928*** 0.0139 -0.0610***
-0.01 -0.01 -56.07 -35.59 -97.49 -43.65 -41.92 -4.47 0
Sigma 0.2492 0.1947 0.2153 0.2982 0.2316 0.2186 0.2341 0.198 0.2941
Catatan: Kalkulasi penulis.. *** signifikan pada level 1%. ** signifikan pada level 5%. * signifikan pada level 10%. Critical values didasarkan are chi-square
distribution.
57
Sebelum melangkah lebih jauh dengan menjelaskan hasil pada Tabel 3.6,
pembaca perlu diinformasikan bahwa komputasi dari hubungan ini dilakukan
dalam konteks inefisiensi teknis. Hal ini berarti tanda negatif pada koefisien
menujukkan hubungan yang positif antara produktifitas dan variabel tersebut.
Sementara, koefisien yang positif menandakan sebaliknya: terdapat hubungan
negatif antara variabel dimaksud dengan tingkat produktifitas pada
perusahaan.
Dari tabel 3.6, semua koefisien Skala Perusahaan menunjukkan tanda negatif
pada semua industri, yang mengindikasikan adanya hubungan yang positif
antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas. Semua koefisien ini
juga signifikan pada level 1%, kecuali untuk Sub-Sektor Manufaktur Lain.
Dus, hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas tidak
sekuat pada Sub-Sektor lain. Hubunga antara ukuran perusahaan dan
produktifitas terkuat ada pada industri Makanan dan Minuman, diikuti oleh
Industri Kertas. Sementara hubungan positif terlemah terdapat pada
Manufaktur Lain dan Industri Tekstil.
Hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas
yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan temuan-temuan lain dari
berbagai negara (Caves and Barton 1990; Caves 1992; Lundvall and Battese
2000). Demikian pula, pada Sektor Manufaktur Indonesia, perusahaan
berskala besar umumnya adalah perusahaan multinasional dan berorientasi
ekspor, yang memiliki kekuatan pasar dan akses pada tenaga kerja trampil.
Sehingga tidak mengherankan bila dideteksi adanya hubungan positif antara
ukuran perusahaan dan tingkat produktifitas.
Dari Tabel 3.6, hasil estimasi menunjukkan adanya hubungan negatif antara
usia perusahaan dengan tingkat produktifitas pada mayoritas industri.
Koefisien dari variabel usia adalah positif pada Industri Makanan dan
Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja dan Manufaktur Lain. Sementara
koefisien usia bertanda negatif pada industri selain itu. Koefisien negatif ini
juga signifikan pada level 1% kecuali pada Mineral Nonmetal. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan dengan usia lebih tua pada industri
58
Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja, serta Manufaktur Lain
adalah lebih memiliki produktifitas yang lebih rendah. Temuan ini juga
konsisten dengan penelitian sejenis sebelumnya, yang mendapatkan
hubungan yang positif antara tingkat produktifitas dan usia perusahaan pada
industri manufaktur Indonesia (Hill and Kalirajan 1993; Viverita 2005).
Implikasi dari temuan ini adalah usia dan pengalaman justru berdampak
negatif pada produktifitas pada Industri Manufaktur Indonesia. Hal ini
agaknya disebabkan bahwa banyak perusahaan dengan usia lanjut masih
menggunakan mesin dan peralatan yang tua.Sementara, koefisien usia
perusahaan yang negatif pada industri Kerta, Kimia, Mineral Nonmetal
mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara usia dan tingkat
produktifitas. Sehingga secara umum dapat dikatakan sulit untuk mengambil
kesimpulan umum tentang hubungan antara usia dan produktifitas, karena
tergantung pada jenis industri.
Ada pun estimasi dari koefisien variabel dummy untuk ekspor menunjukkan
hasil negatif pada Industri Makanan dan Minuman, Tekstil, Kayu, Kimia, dan
Manufaktur Lain. Koefisien ini juga signifikan pada level 1% untuk seluruh
industri kecuali pada Industri Kayu dan Manufaktur Lain. Pada Industri
Kayu, koefisien yang ada signifikan pada level 5%, sementara pada Industri
Manufaktur Lain, koefisien ini tidak signifikan sama sekali. Sebaliknya,
koefisien ekspor dummy didapati positif untuk industri Kertas, Mineral
Nonmetal serta Besi dan Baja. Akan tetapi, koefisien ini hanya signifikan pada
level 1% di Industri Mineral Nonmetal, sementara untuk kedua industri lain
didapati tidak signifikan sama sekali.
Dari hasil di atas, dapat disimpulkan bahawa perusahaan dengan orientasi
produksi ekspor akan lebih produktif ketimbang perusahaan yang tidak. Dus,
dapat dikatakan bahwa partisipasi pada aktifitas ekspor akan meningkatkan
produktifitas dari perusahaan. Hasil ini juga paralel dengan hasil yang
didapatkan pada studi-studi sebelumnya tentang hubungan antara orientasi
ekspor dan tingkat efisiensi (Hill and Kalirajan 1993; Sjoholm 1999;
Aswicahyono and Hill 2002). Penyebab dari hubungan yang positif ini adalah
59
partisipasi ekspor merupakan indikator dari kemampuan perusahaan untuk
mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif. Dus dapat diaharapkan bahwa
perusahaan yang berpartisipasi dalam kegiatan ekspor memiliki tingkat
produktifitas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak melakukannya.
Estimasi dari koefisien kepemilikkan asing menunjukkan hasil negatif pada
seluruh industri secara seragam. Terlebih, koefisien ini pun sifnikan pada
level 1% untuk seluruh industri kecuali Manufaktur Lain. Hasil ini
mengindikasikan secara kuat adanya hubungan yang positif antara
kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas pada industri manufaktur di
Indonesia. Temuan ini agaknya tidak terlalu mengherankan, mengingat
perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik
dalam hal teknologi produksi dan proses produksi. Mereka juga lebih mampu
untuk memperkerjakan tenaga ahli, baik lokal maupun dari luar negeri. Hasil
ini juga konsisten dengan temuan-temuan lain pada industri manufaktur di
Indonesia (Batra and Tan 2003; Viverita 2005; Margono and Sharma 2006;
van Dijk and Szirmai 2006). Dus, dapat disimpulakn terdapat hubungan
positif antara kepemilikkan asing dan produktifitas pada Sektor Manufaktur
di Indonesia.
Bertolak belakang dengan hasil di atas, estimasi dari koefisien kepemilikkan
pemerintah menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapatkan
untuk untuk Sub-Sektor Industri Kayu, Kertas, Kimia, Mineral Nonmetal,
serta Besi dan Baja. Koefisien tersebut adalah signifikan pada level 1%.
Sebaliknya, koefisien yang positif didapatkan pada Industri Makanan dan
Minuman, Tekstil, dan Manufaktur Lain. Koefisien in ipun adalah signifikan
pada level 1%. Sehingga, tidak seperti halnya hubungan antara kepemilikkan
asing dan tingkat produktifitas, sulit untuk mendapatkan kesimpulan dalam
hal hubungan antara kepemilikkan pemerintah dan tingkat produktifitas.
Terakhir, estimasi dari koefisien Penelitian dan Pengembangan menunjukkan
hasil yang negatif untuk hampir semua Sub-sektor kecuali Manufaktur Lain.
Koefisien-koefisien ini pun adalah signikan untuk semua industri kecuali pada
Industri Kayu. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang
60
positif antara pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dengan
tingkat produktifitas perusahaan manufaktur di Indonesia. Temuan ini adalah
konsisten dengan temuan lai sebagaimana didiskusikan pada Bab 2. Salah
satu alasan dari adanya hubungan yang positif antara tingkat produktifitas
dan pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan adalah, dengan riset,
perusahaan bisa menemukan dan beradaptasi dengan cara dan produksi baru
yang memungkinkan mereka mendapat tambahan produktifitas.
---oooOOOooo---
61
Bab 4
Kesimpulan
Bab ini akan memberikan beberapa kesimpulan dan rekomendasi dari hasil-
hasil yang didapatkan pada penelitian ini. Terdapat beberapa hasil menarik
yang didapatkan dari penelitian ini. Beberapa hasil ditemukan konsisten
dengan yang didiktumkan dalam teori-teori ekonomi maupun hasil temuan
yang didapatkan penelitian-penelitian sejenis. Sementara, beberapa hasil lain
adalah baru dalam arti bertolak belakang dengan teori atau tidak didapati
pada penelitian sebelumnya. Ringkasan dari temuan ini adalah sebagai
berikut.
4.1. Temuan Penelitian
4.1.1. Pertumbuhan Tingkat produktifitas
Dari hasil estimasi tingkat pertumbuhan tingkat produktifitas ditunjukkan
bahwa terdapat pertumbuhan produktifitas yang positif sebesar rata 0.22%
per tahun selama tahun 2000 sampai dengan 2007 pada Sektor Manufaktur
di Indonesia. Peningkatan Tingkat Efisiensi (TE) merupakan kontributor
utama dari pertumbuhan tingkat produktifitas di Indonesia, sementara
pertumbuhan Pertumbuhan Teknologi (TP) dan Skala Ekonomi (SE)
memberikan kontribusi negatif, sebesar masing-masing -0.17% dan 0.45% per
tahun selama 2000-2007.
Dari hasil estimasi juga didapatkan bahwa pada 2 digit ISIC level, TFP
tumbuh tercepat pada Sektor Kimia, dengan pertumbuhan tingkat
62
produktifitas rata-rata sebesar 0.21% per tahun, diikuti oleh Mineral
Nonmetal, dengan tingkat pertumbuhan produktifitas sebesar 0.14%, dan
Sektor Makanan dan Minuman dengan tingkat pertumbuhan sebesar 0.09%.
Sementara pertumbuhan produktifitas terendah terjadi pada Industri Kayu,
dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar -1.18%, diikuti oleh Sektor
Manufaktur Lain dengan pertumbuhan sebesar -0.31 per tahun, terakhir
adalah Sektor Tekstil yang mengalami pertumbuhan sebesar -0.08%.
Dalam hal ini, seperti halnya dengan keseluruhan sampling, pertumbuhan
tingkat produktifitas pada hampir seluruh Sub-Sektor Industri lebih banyak
disebabkan oleh pertumbuhan Tingkat Efisiensi, kecuali Sektor Manufaktur
Lain dan Mineral Nonmetal yang digerakkan oleh Pertumbuhan Teknologi.
Ada pun dari pengamatan hasil yang ada selama periodik didapatkan bahwa
produktifitas mengalami pertumbuhan negatif selama kurun waktu 2000-
2004. TFP untuk Industri Manufaktur secara keseluruhan, misalnya,
mencatat pertumbuhan negatif sebesar -3,41% pada 2001, -1,50% pada 2002,
-1,04% pada 2003 dan -0,06% pada 2004. Akan tetapi, TFP tercatat kembali
meningkat dan mengalami pertumbuhan positif semenjak 2004 hingga 2007,
dengan tingkat pertumbuhannya yang terus naik. Namun, pertumbuhan
tingkat TFP yang positif semenjak 2004 terlihat baik pada Industri
Manufaktur secara keseluruhan maupun pada masing-masing industri pada
disagregasi 2 digit ISIC. Pada Subsektor Mineral Nonmetal misalnya
pertumbuhan tingkat TFP naik dari -0,6% pada 2002-2003 menjadi 4,69%
pada 2003-2004., meski kemudian kenaikkan ini termoderasi hingga 0,34%
pada 2006. Akan tetapi, pada 2007, Subsektor ini kembali mengalami
kenaikkan tingkat TFP yang signifikan sebesar 2,19%. Demikian juga, pada
Industri Tekstil terdapat tren kenaikkan tingkat produktifitas yang stabil
mulai dari 0,49% pada 2004-2005 menjadi 2,46% pada 2006-2007, meski
secara rata-rata keseluruhan industri ini mengalami pertumbuhan
produktifitas yang negatif selama 2000-2007. Pola yang sama, penurunan
selama kurun waktu 2000-2004, dan kemudian naik selama 2004-2007 pula
terlihat pada Subsektor lain pada 2 digit ISIC.
63
Penurunan tingkat produktifitas Sektor Manufaktur selama kurun waktu
2000-2004 agaknya disebabkan oleh masih dilakukannya konsolidasi
kebijakan perekonomian serta munculnya beragam landasan dan pengaturan
baru yang perlu dilakukan penyesuaian oleh pelaku usaha industri saat itu.
Dengan dimulainya era reformasi, lanskap perekonomian berubah total
dengan kehidupan politik serta sosial yang lebih terbuka. Begitu juga
diterapkannya otonomi daerah, di mana terdapat peningkatan dan peran
daerah dalam perekonomian. Pada tahun 2000 ke atas, juga terdapat banyak
peraturan dan perundang-undangan baru yang ditetapkan, baik di tingkat
nasional maupun lokal, yang memerlukan waktu bagi bisnis terutama di
Sektor Manufaktur untuk melakukan penyesuaian. Selain itu, pasca krisis
1997/1998, Sektor Manufaktur nasional masih dihadapkan pada kelebihan
kapasitas akibat ekspansi yang banyak dilakukan sebelum krisis. Pada saat
yang sama, permintaan dalam negeri masih belum cukup kuat akibat jatuhnya
pendapatan di saat krisis. Akibatnya, bisnis tidak melakukan banyak ekspansi
berupa penambahan kapital dan aset lainnya yang menyebabkan minimnya
daya dorong bagi peningkatan produktifitas. Dari dua alasan ini agaknya
dapat dipahami bila tingkat TFP terpantau menurun, bahkan tercatat negatif
selama kurun waktu 2000-2004.
Namun, seiring dengan konsolidasi dan berbagai penyesuaian dalam perilaku
dan cara berbisnis oleh pelaku Sektor Manufaktur, peningkatan tingkat
produktifitas berlahan mengalami kenaikan. Kenaikan ini juga agaknya dipicu
oleh penambahan kapasitas terpasang berupa perluasan tingkat produksi baik
melalui penambahan pabrik baru atau renovasi dan adapatasi mesin atau
teknologi baru.
Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pertumbuhan tingkat produktifitas
sebelum terjadinya krisis, sebagaimana terlihat pada Tabel 3.5, pertumbuhan
produktifitas yang terjadi selama kurun waktu 2000-2007 adalah lebih
rendah ketimbang pertumbuhan yang terjadi sebelum krisis ekonomi di tahun
1997. Bahkan, bila dilakukan pentahapan selama dua periode berbeda 2000-
2004 dan 2004-2007, terlihat pada tabel yang sama bahwa sesungguhnya
terjadi pertumbuhan negatif dari tingakt produktivitas Sektor Manufaktur
64
Indonesia sebesar -1,50% selama 2000-2004. Pertumbuhan tingkat
produktifitas baru kembali mencatat tingkat positif di angka rata-rata 1,88%
selama 2004-2007.
4.2. Faktor-Faktor Yang Berdampak Terhadap Produktifitas
Estimasi terhadap persamaan empiris yang digunakan pada penelitian ini
juga menunjukkan adanya hubungan yang positif antara ukuran perusahaan
dengan tingkat produktifitas, yang terkuat terdapat pada Industri Makanan
dan Minuman, diikuti oleh Industri Kertas. Sementara hubungan positif
terlemah terdapat pada Manufaktur Lain dan Industri Tekstil. Hubungan
positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktifitas yang
didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan temuan-temuan lain dari
berbagai negara (Caves and Barton 1990; Caves 1992; Lundvall and Battese
2000). Pada Sektor Manufaktur Indonesia, perusahaan berskala besar
umumnya adalah perusahaan multinasional dan berorientasi ekspor, yang
memiliki kekuatan pasar dan akses pada tenaga kerja trampil. Sehingga tidak
mengherankan bila dideteksi adanya hubungan positif antara ukuran
perusahaan dan tingkat produktifitas.
Sebaliknya, penelitian ini menemukan adanya hubungan yang negatif antara
usia perusahaan dengan tingkat produktifitas pada industri Makanan dan
Minuman, Tekstil, Kayu, Besi dan Baja, serta Manufaktur Lain adalah lebih
memiliki produktifitas yang lebih rendah. Temuan ini juga konsisten dengan
penelitian sejenis sebelumnya, yang mendapatkan hubungan yang positif
antara tingkat produktifitas dan usia perusahaan pada industri manufaktur
Indonesia (Hill and Kalirajan 1993; Viverita 2005).
Implikasi dari temuan ini adalah usia dan pengalaman justru berdampak
negatif pada produktifitas pada Industri Manufaktur Indonesia. Hal ini
agaknya disebabkan bahwa banyak perusahaan dengan usia lanjut masih
menggunakan mesin dan peralatan yang tua.Sementara, koefisien usia
perusahaan yang negatif pada industri Kerta, Kimia, Mineral Nonmetal
mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara usia dan tingkat
65
produktifitas. Sehingga secara umum dapat dikatakan sulit untuk mengambil
kesimpulan umum tentang hubungan antara usia dan produktifitas, karena
tergantung pada jenis industri.
Dalam pada itu, dari hasil estimasi yang didapatkan juga dapat disimpulkan
bahwa perusahaan dengan orientasi produksi ekspor akan lebih produktif
ketimbang perusahaan yang tidak. Dus, dapat dikatakan bahwa partisipasi
pada aktifitas ekspor akan meningkatkan produktifitas dari perusahaan. Hasil
ini juga paralel dengan hasil yang didapatkan pada studi-studi sebelumnya
tentang hubungan antara orientasi ekspor dan tingkat efisiensi (Hill and
Kalirajan 1993; Sjoholm 1999; Aswicahyono and Hill 2002). Penyebab dari
hubungan yang positif ini adalah partisipasi ekspor merupakan indikator dari
kemampuan perusahaan untuk mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif.
Dus dapat diaharapkan bahwa perusahaan yang berpartisipasi dalam kegiatan
ekspor memiliki tingkat produktifitas yang lebih tinggi ketimbang yang tidak
melakukannya.
Estimasi dari koefisien kepemilikkan asing menunjukkan hasil negatif pada
seluruh industri secara seragam. Terlebih, koefisien ini pun sifnikan pada
level 1% untuk seluruh industri kecuali Manufaktur Lain. Hasil ini
mengindikasikan secara kuat adanya hubungan yang positif antara
kepemilikkan asing dan tingkat produktifitas pada industri manufaktur di
Indonesia. Temuan ini agaknya tidak terlalu mengherankan, mengingat
perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik
dalam hal teknologi produksi dan proses produksi.
Bertolak belakang dengan hasil di atas, estimasi dari koefisien kepemilikkan
pemerintah menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapatkan
untuk untuk Sub-Sektor Industri Kayu, Kertas, Kimia, Mineral Nonmetal,
serta Besi dan Baja. Koefisien tersebut adalah signifikan pada level 1%.
Sebaliknya, koefisien yang positif didapatkan pada Industri Makanan dan
Minuman, Tekstil, dan Manufaktur Lain. Koefisien ini pun adalah signifikan
pada level 1%. Sehingga, tidak seperti halnya hubungan antara kepemilikkan
66
asing dan tingkat produktifitas, sulit untuk mendapatkan kesimpulan dalam
hal hubungan antara kepemilikkan pemerintah dan tingkat produktifitas.
Terakhir, estimasi dari koefisien Penelitian dan Pengembangan menunjukkan
hasil yang negatif untuk hampir semua Sub-sektor kecuali Manufaktur Lain.
Koefisien-koefisien ini pun adalah signikan untuk semua industri kecuali pada
Industri Kayu. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang
positif antara pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan dengan
tingkat produktifitas perusahaan manufaktur di Indonesia.
---oooOOOooo---
67
Referensi
Abramovitz, M., 1956. Resource and Output Trends in the United States since
1870. American Economic Review, 46, 5-23.
Aigner, D., Lovell, C. A. K. & Schmidt, P., 1977. Formulation and Estimation of
Stochastic Frontier Production Function Models. Journal of Econometrics, 6,
21-37.
Amiti, M. & Konings, J., 2005. Trade Liberalization, Intermediate Inputs, and
Productivity: Evidence from Indonesia. IMF Working Papers, 05/146, 34
pages.
Ananta, A., (ed.) 2003. The Indonesia Crisis: A Human Development
Perspective, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Arndt, H. W. & Hill, H., (eds.) 1999. Southeast Asia's Economic Crisis:
Origins, Lessons, and The Way Forward, Singapore: Institute of Southeast
Asian Studies.
Aswicahyono, H., 1998a. Total Factor Productivity in Indonesian
Manufacturing, 1975-1993. Unpublished PhD Thesis. Australian National
University.
Aswicahyono, H. & Hill, H., 2002. 'Perspiration' versus 'Inspiration' in Asian
Industrialisation: Indonesia Before the Crisis. Journal of Development
Studies, 38, 138.
Aswicahyono, H. & Hill, H., 2004. Survey of Recent Developments. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 40, 277-305.
68
Aswicahyono, H. & Maidir, I., 2003. Indonesia's Textile and Apparels
Industry: Taking a Stand in the New International Competition. CSIS
Economics Working Paper Series, 1-84.
Aswicahyono, H. & Pangestu, M., 2000. Indonesia's Recovery: Exports and
regaining Competitiveness. Developing Economies, 38, 454-89.
Aswicahyono, H. H., 1998b. Total Factor Productivity in Indonesian
Manufacturing, 1975-1993. Australian National University.
Aswicahyono, H. H., Bird, K. & Hill, H., 1996. What Happens to Industrial
Structure When Countries Liberalise? Indonesia since the Mid-1980s. Journal
of Development Studies, 32, 340-63.
Aswicahyono, H. H. & Hill, H., 1995. Determinants of Foreign Ownership in
LDC Manufacturing: An Indonesian Case Study. Journal of International
Business Studies, 26, 139-158.
Athukorala, P.-C., 2002. Survey of Recent Developments. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 38, 141-162.
Badunenko, O., Fritsch, M. & Stephan, A., 2005. What Determines Technical
Efficiency of Firms? Evidence from a Representative Panel of German
Manufacturing Firms. European University Viadrina.
Baltagi, B. H., 2005. Econometric Analysis of Panel Data West Sussex: John
Wiley and Sons.
Barro, R. J., 1999. Notes on Growth Accounting. Journal of Economic Growth,
4, 119-137.
Basri, M. C., 2001. The Political Economy of Manufacturing Protection in
Indonesia 1975-1995 Unpublished PhD Thesis. Australian National
University.
69
Batra, G. & Tan, H., 2003. SME Technical Efficiency and Its Correlates: Cross
National Evidence and Policy Implications. World Bank Institute Working
Paper, 1-27.
Battese, G. E. & Coelli, T., 1988. Prediction of Firm-Level Technical
Efficiencies with a Generalized Frontier Production Function and Panel Data.
Journal of Econometrics, 38, 387-99.
Battese, G. E. & Coelli, T., 1992. Frontier Production Functions, Technical
Efficiency and Panel Data: With Application to Paddy Farmers in India.
Journal of Productivity Analysis, 3, 153-69.
Battese, G. E. & Coelli, T., 1995. A Model for Technical Inefficiency Effects in a
Stochastic Frontier Production Function for Panel Data. Empirical Economics,
20, 325-32.
Battese, G. E. & Rao, D. S. P., 2002. Technology Gap, Efficiency, and a
Stochastic Metafrontier Function. International Journal of Business and
Economics, 1, 87-93.
Battese, G. E., Rao, D. S. P. & O'donnell, C. J., 2004. A Metafrontier
Production Function for Estimation of Technical Efficiencies and Technology
Gaps for Firms Operating Under Different Technologies. Journal of
Productivity Analysis, 21, 91-103.
Bauer, P. W., 1990. Recent Developments in the Econometric Estimation of
Frontiers. Journal of Econometrics, 46, 39-56.
Bigsten, A., Collier, P., Dercon, S., Fafchamps, M., Gauthier, B., Gunning, J.
W., Habarurema, J., Oduro, A., Oostendorp, R., Pattilo, C., Soderbom, M.,
Teal, F. & Zeufack, A., 2000. Exports and Firm Level Efficiency in the African
Manufacturing Sector. World Bank Working Paper.
70
Bird, K., 1999. Industrial Concentration and Competition in Indonesian
Manufacturing. Unpublished PhD Thesis. Australian National University.
Bird, K., 2004. Recent Trends in Foreign Direct Investment. In M. C. Basri &
P. Van Der Eng (eds.) Business in Indonesia New Challenges, Old Problems.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 93-107.
Bitros, G. C. & Tsionas, E. G., 2004. A Consistent Approach to Cost Efficiency
Measurement. Oxford Bulletin of Economics & Statistics, 66, 49-69.
Blalock, G. & Gertler, P. J., 2006. Welfare Gains from Foreign Direct
Investment through Technology Transfer to Local Suppliers. Journal of
International Economics, Forthcoming.
Blalock, G. & Roy, S., 2007. A Firm-level Examination of the Export Puzzle:
Why East Asian Exports Didn't Increase After the 1997-1998 Financial Crisis.
The World Economy, 30, 39-59.
Booth, A., 1999. Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 35, 3-38.
Bottasso, A. & Sembenelli, A., 2004. Does Ownership Affect Firms' Efficiency?
Panel Data Evidence on Italy. Empirical Economics, 29, 769-86.
Cameron, L. A., 2001. The Impact of the Indonesian Financial Crisis on
Children: An Analysis Using the 100 Villages Data. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 37, 43-64.
Cameron, L. A. & Alatas, V., 2003. The Impact of Minimum Wages on
Employment in a Low Income Country: An Evaluation Using the Difference-
in-Differences Approach.
Caudill, S. B. & Ford, J. M., 1993. Biases in Frontier Estimation Due to
Heteroscedasticity. Economics Letters, 41, 17-20.
71
Caudill, S. B., Ford, J. M. & Gropper, D. M., 1995. Frontier Estimation and
Firm-Specific Inefficiency Measures in the Presence of Heteroscedasticity.
Journal of Business and Economic Statistics, 13, 105-11.
Caves, R., Ward, I., Williams, P. & Wright, C., 1987. Australian Industry :
Structure, Conduct, Performance, 2 ed. New York, Sydney: Prentice-Hall of
Australia.
Caves, R. E., 1992. Industrial Efficiency in Six Nations Cambridge and
London: MIT Press.
Caves, R. E. & Barton, D. R., 1990. Efficiency in U.S. Manufacturing Industries
Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
Chapelle, K. & Plane, P., 2005. Technical Efficiency Measurement within the
Manufacturing Sector in Coˆte d’Ivoire: A Stochastic Frontier Approach.
Journal of Development Studies, 41, 1303-1324.
Chen, E. K. Y., 1997. The Total Factor Productivity Debate: Determinants of
Economic Growth in East Asia. Asian-Pacific Economic Literature, 11, 18-38.
Chen, T.-J. & Tang, D.-P., 1987. Comparing Technical Efficiency between
Import-Substitution-Oriented and Export-Oriented Foreign Firms in a
Developing Economy. Journal of Development Economics, 26, 277-89.
Chirwa, E. W., 2000. Structural Adjustment Programmes and Technical
Efficiency in the Malawian Manufacturing Sector. African Development
Review, 12, 89-113.
Christensen, L. R., Jorgenson, D. W. & Lau, L. J., 1973. Transcendental
Logarithmic Production Frontiers. Review of Economics and Statistics, 55, 28-
45.
Coase, R. H., 1937. The Nature of the Firm. In O. E. Williamson & S. G. Winter
(eds.) The Nature of the Firm: Origins, Evolution, and Development. New
York: Oxford University Press, 18-33.
72
Coelli, T., 1996. A Guide to FRONTIER Version 4.1: A Computer Program for
Stochastic Frontier Production and Cost Function Estimation. CEPA
University of New England.
Coelli, T., Rao, D. S. P. & Battese, G. E., 1998. An Introduction to Efficiency
and Productivity Analysis Boston: Kluwer Academic Publishers.
Cole, D. C. & Slade, B. F., 1998. Why Has Indonesia's Financial Crisis Been So
Bad. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 34, 61-66.
Corden, M., 1999. The Asian Crisis: Is there a way out? Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies.
Cornwell, C., Schmidt, P. & Sickles, R. C., 1990. Production Frontiers with
Cross-Sectional and Time-Series Variation in Efficiency Levels. Journal of
Econometrics, 46, 185-200.
Cuesta, R. A., 2000. A Production Model with Firm-Specific Temporal
Variation in Technical Inefficiency: With Application to Spanish Dairy Farms.
Journal of Productivity Analysis, 13, 139-58.
Desai, M. A., Foley, C. F. & Forbes, K. J., 2004. Financial Constraints and
Growth: Multinational and Local Firm Responses to Currency Crises.
Dhanani, S., 2000. Indonesia: Strategy for Manufacturing Competitiveness.
UNIDO.
Dhanani, S. & Hasnain, S. A., 2002. The Impact of Foreign Direct Investment
on Indonesia's Manufacturing Sector. Journal of the Asia Pacific Economy, 7,
61-94.
Diewert, E., Rao, S. & Sharpe, A., 2002. Productivity Trends and
Determinants in Canada. Productivity issues in Canada. Industry Canada
Research Series, vol. 10. Calgary, Alberta, 31-57.
73
Dilling-Hansen, M., Madsen, E. S. & Smith, V., 2003. Efficiency, R&D and
Ownership--Some Empirical Evidence. International Journal of Production
Economics, 83, 85-94.
Driffield, N. & Munday, M., 2001. Foreign Manufacturing, Regional
Agglomeration and Technical Efficiency in UK Industries: A Stochastic
Production Frontier Approach. Regional Studies, 35, 391-99.
Fane, G., 2000. Survey of Recent Developments. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 36, 13-45.
Fane, G. & Condon, T., 1996. Trade Reform in Indonesia, 1987-1995. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 32, 33-54.
Fare, R., Grosskopf, S. & Lovell, C. A. K., 1994. Production frontiers
Cambridge; New York and Melbourne: Cambridge University Press.
Farrell, M. J., 1957. The Measurement of Productive Efficiency. Journal of
Royal Statistical Society, 120, 253-290.
Felipe, J., 1999. Total Factor Productivity Growth in East Asia: A Critical
Survey. Journal of Development Studies, 35, 1-41.
Felipe, J. & Mccombie, J. S. L., 2003. Some Methodological Problems with the
Neoclassical Analysis of the East Asian Miracle. Cambridge Journal of
Economics, 27, 695-721.
Firdausy, C. M., 2005. Productivity Performance in Developing Countries:
Indonesia.
Forsund, F. R., Lovell, C. A. K. & Schmidt, P., 1980. A Survey of Frontier
Production Functions and of Their Relationship to Efficiency Measurement.
Journal of Econometrics, 13, 5-25.
74
Goeltom, M. S., 1995. Indonesia’s Financial Liberalization : an Empirical
Analysis of 1981-88 Panel Data Singapore: ASEAN Economic Research Unit,
Institute of Southeast Asian Studies.
Gonzalez-Paramo, J. M. & Hernandez De Cos, P., 2005. The Impact of Public
Ownership and Competition on Productivity. Kyklos, 58 4, 495-517.
Haddad, M., 1993. How Trade Liberalization Affected Productivity in
Morocco. World Bank Policy Research Working Paper Series, 1096.
Hadri, K., 1999. Estimation of a Doubly Heteroscedastic Stochastic Frontier
Cost Function. Journal of Business and Economic Statistics, 17, 359-63.
Hadri, K., Guermat, C. & Whittaker, J., 2003. Estimating Farm Efficiency in
the Presence of Double Heteroscedasticity using Panel Data. Journal of
Applied Economics, VI, 255-68.
Hall, B. H. & Mairesse, J., 2006. Empirical Studies of Innovation in the
Knowledge-Driven Economy. Economics of Innovation and New Technology,
15, 289-99.
Heshmati, A. & Kumbhakar, S. C., 1994. Farm Heterogeneity and Technical
Efficiency: Some Results from Swedish Dairy Farms. Journal of Productivity
Analysis, 5 1, 45-61.
Hill, H., 1990. Indonesia's Industrial Transformation Part II. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 26, 75-109.
Hill, H., 1991. The Emperor's Clothes Can Now be Made in Indonesia. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 27, 89-127.
Hill, H., 1992. Manufacturing Industry. In A. Booth (ed.) The Oil Boom and
After : Indonesian Economic Policy and Performance in the Soeharto Era.
Singapore: Oxford University Press, 448.
75
Hill, H., 1997. Indonesia’s Industrial Transformation Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies,.
Hill, H., 1999. The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences and
Lessons Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Hill, H., 2000. The Indonesian Economy since 1966, 2 ed. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hill, H. & Kalirajan, K. P., 1993. Small Enterprise and Firm-Level Technical
Efficiency in the Indonesian Garment Industry. Applied Economics, 25, 1137-
44.
Hopenhayn, H. A., 1992. Entry, Exit, and Firm Dynamics in Long Run
Equilibrium. Econometrica, 60, 1127-1150.
Huang, C. J. & Liu, J.-T., 1994. Estimation of a Non-neutral Stochastic
Frontier Production Function. Journal of Productivity Analysis, 5, 171-80.
Hulten, C. R., 2000. Total Factor Productivity: A Short Biography.
Jacob, J. & Szirmai, A., 2007. International Knowledge Spillovers to
Developing Countries: The Case of Indonesia. Revie of Development
Economics, 11, 550-565.
Jorgenson, D. W., Gollop, F. M. & Fraumeni, B. M., 1987. Productivity and
U.S. economic growth Cambridge, Mass.: Harvard Economic Studies, vol. 159
Harvard University Press.
Jorgenson, D. W. & Griliches, Z., 1967. The Explanation of Productivity
Change. Review of Economic Studies, 34, 249-83.
Jorgenson, D. W. & Nishimizu, M., 1978. U.S. and Japanese Economic
Growth, 1952-1974: An International Comparison. Economic Journal, 88,
707-26.
76
Jovanovic, B., 1982. Selection and the Evolution of Industry. Econometrica,
50, 649-670.
Kalirajan, K., 1981. An Econometric Analysis of Yield Variability in Paddy
Production. Canadian Journal of Agricultural Economics, 29, 283-94.
Kalirajan, K. P. & Shand, R. T., 1999. Frontier Production Functions and
Technical Efficiency Measures. Journal of Economic Surveys, 13, 149-72.
Kim, S., 2003. Identifying and Estimating Sources of Technical Inefficiency in
Korean Manufacturing Industries. Contemporary Economic Policy, 21, 132-
44.
Kim, S. & Lee, Y. H., 2002. Public Sector Capital and the Production Efficiency
of U.S. Regional Manufacturing Industries. Japanese Economic Review, 53,
466-77.
Kim, S. & Lee, Y. H., 2006. The Productivity Debate of East Asia Revisited: A
Stochastic Frontier Approach. Applied Economics, 38, 1697-1706.
Kim, Y. & Schmidt, P., 2000. A Review and Empirical Comparison of Bayesian
and Classical Approaches to Inference on Efficiency Levels in Stochastic
Frontier Models with Panel Data. Journal of Productivity Analysis, 14, 91-118.
Kneller, R. & Stevens, P. A., 2006. Frontier Technology and Absorptive
Capacity: Evidence from OECD Manufacturing Industries. Oxford Bulletin of
Economics and Statistics, 68, 1-21.
Koh, S.-W., Rahman, S. & Tan, G. K. R., 2004. Stochastic Frontier Analysis of
Singapore Manufacturing Industries. Singapore Economic Review, 49, 85-
103.
Krugman, P., 1998. What happened to Asia? mimeo.
77
Kumar, V., Kumar, U. & Persaud, A., 1999. Building Technological Capability
through Importing Technology: the Case of Indonesian Manufacturing
Industry. Journal of Technology Transfer, 24, 81-96.
Kumbhakar, S. C., 1987. The Specification of Technical and Allocative
Inefficiency in Stochastic Production and Profit Frontiers. Journal of
Econometrics, 34 3, 335-48.
Kumbhakar, S. C., 1990. Production Frontiers, Panel Data, and Time-Varying
Technical Inefficiency. Journal of Econometrics, 46, 201-11.
Kumbhakar, S. C., 2000. Estimation and Decomposition of Productivity
Change When Production Is Not Efficient: A Panel Data Approach.
Econometric Reviews, 19 4, 425-60.
Kumbhakar, S. C., Ghosh, S. & Mcguckin, J. T., 1991. A Generalized
Production Frontier Approach for Estimating Determinants of Inefficiency in
U.S. Dairy Farms. Journal of Business and Economic Statistics, 9, 279-86.
Kumbhakar, S. C. & Lovell, C. A. K., 2000. Stochastic Frontier Analysis
Cambridge: Cambridge University Press.
Kumbhakar, S. C. & Wang, H.-J., forthcoming. A Guide to Stochastic Frontier
Models: Specification and Estimation: Stata Press.
Lall, S., 1998. Technology Policies in Indonesia. In K. W. Thee & H. Hill (eds.)
Indonesia's Technological Challenge. Canberra: Institute of Southeast Asian
Studies, 136-168.
Lee, Y. H., 2006. A Stochastic Production Frontier Model with Group-specific
Temporal Variation in Technical Efficiency. European Journal of Operational
Research, 174, 1616-1630.
Lee, Y. H. & Schmidt, P., 1993. A Production Frontier Model with Flexible
Temporal Variation in Technical Efficiency. In H. O. Fried, C. A. K. Lovell & S.
78
S. Schmidt (eds.) The measurement of productive efficiency: Techniques and
applications. New York; Oxford; Toronto and Melbourne: Oxford University
Press, 237-55.
Lewis, B. D., 2003. Tax and Charge Creation by Regional Governments under
Fiscal Decentralisations: Estimates and Explanations. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 39, 177-92.
Little, I. M. D., Mazumdar, D. & Page, J. M., Jr., 1987. Small manufacturing
enterprises: A comparative study of India and other economies New York;
Oxford; Toronto and Melbourne: Oxford University Press for the World Bank.
Liu, P.-W. & Yang, X., 2000. The Theory of Irrelevance of the Size of the Firm.
Journal of Economic Behavior and Organization, 42, 145-65.
Lundvall, K. & Battese, G. E., 2000. Firm Size, Age and Efficiency: Evidence
from Kenyan Manufacturing Firms. Journal of Development Studies, 36, 146-
163.
Magiera, S. L., 1999. Indonesia's Trade Performance During the Economic
Crisis. Report PEG 04, 1-73.
Mahadevan, R., 2000. How Technically Efficient Are Singapore's
Manufacturing Industries? Applied Economics, 32, 2007-14.
Mahadevan, R., 2001. Assessing the Output and Productivity Growth of
Malaysia's Manufacturing Sector. Journal of Asian Economics, 12, 587-97.
Mahadevan, R., 2003. To Measure or Not to Measure Total Factor
Productivity Growth? Oxford Development Studies, 31, 365-78.
Mahadevan, R., 2007. Perspiration versus Inspiration: Lessons from a Rapidly
Developing Economy. Journal of Asian Economics, 18, 331-47.
79
Mahadevan, R. & Kalirajan, K., 2000. Singapore's Manufacturing Sector's TFP
Growth: A Decomposition Analysis. Journal of Comparative Economics, 28,
828-39.
Manning, C., 2000. Labour Market Adjustment to Indonesia's Economic
Crisis: Context, Trends and Implications. Bulletin of Indonesian Economic
Studies, 36, 105-136.
Margono, H. & Sharma, S. C., 2006. Efficiency and Productivity Analyses of
Indonesian Manufacturing Industries. Journal of Asian Economics, 17, 979-
95.
Mcleod, R. H., 1997. Postscript to the Survey of Recent Development: On
Causes and Cures for the Rupiah Crisis. Bulletin of Indonesian Economic
Studies, 33, 35-52.
Mcleod, R. H., 2004. Dealing with Bank System Failure: Indonesia, 1997-
2003. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40, 95-116.
Meeusen, W. & Van Den Broeck, J., 1977. Efficiency Estimation from Cobb-
Douglas Production Functions with Composed Error. International Economic
Review, 18, 435-444.
Mini, F. & Rodriguez, E., 2000. Technical Efficiency Indicators in a Philippine
Manufacturing Sector. International Review of Applied Economics, 14, 461-73.
Narjoko, D. & Hill, H., 2006. Winners and Losers during a Deep Economic
Crisis: Firm-level Evidence from Indonesian Manufacturing. RSPAS
Economics Working Papers, 39 pages.
Nishimizu, M. & Page, J. M., Jr., 1982. Total Factor Productivity Growth,
Technological Progress and Technical Efficiency Change: Dimensions of
Productivity Change in Yugoslavia, 1965-78. Economic Journal, 92, 920-36.
80
Okamoto, Y. & Sjoholm, F., 2000. Productivity in the Indonesian Automotive
Industry. ASEAN Economic Bulletin, 17, 60-73.
Page, J. M., 1984. Firm Size and Technical Efficiency: Applications of
Production Frontiers to Indian Survey Data. Journal of Development
Economics, 16, 129-152.
Pangestu, M. & Boediono, 1986. Indonesia: The structure and Causes of
Manufacturing Sector Protection. In C. Findlay & R. Garnaut (eds.) The
Political Economy of Manufacturing Protection: Experiences of ASEAN and
Australia. Sydney: Allen and Unwin.
Pitt, M. M. & Lee, L.-F., 1981. The Measurement and Sources of Technical
Inefficiency in the Indonesian Weaving Industry. Journal of Development
Economics, 9, 43-64.
Radelet, S. & Sachs, J. D., 1998. The East Asia Financial Crisis: Diagnostic,
Remedies, Prospect. Brookings Papers on Economic Activity, 1-90.
Rajan, R. G. & Zingales, L., 2000. The Firm as a Dedicated Hierarchy: A
Theory of the Origins and Growth of Firms. NBER Working Paper, 1-63.
Ramstetter, E. D., 1999. Trade Propensities and Foreign Ownership Shares in
Indonesian Manufacturing. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 43-
66.
Ramstetter, E. D. & Takii, S., 2005. Exporting and Foreign Ownership in
Indonesian Manufacturing, 1990-2000. ICSEAD Working Paper.
Reifschneider, D. & Stevenson, R., 1991. Systematic Departures from the
Frontier: A Framework for the Analysis of Firm Inefficiency. International
Economic Review, 32, 715-23.
81
Rice, R. C., Herustiati & Junaidi, A., 2002. Factors Affecting the
Competitiveness of, and Impact of the 1997-99 Monetary Crisis on, Selected
Small and Medium Manufacturing Industries in Central and West Java.
Report PEG 72, 1-73.
Ritter, C. & Simar, L., 1997. Pitfalls of Normal-Gamma Stochastic Frontier
Models. Journal of Productivity Analysis, 8, 167-82.
Roberts, M. J. & Tybout, J. R., 1997. Producer Turnover and Productivity
Growth in Developing Countries. World Bank Research Observer, 12, 1-18.
Rosko, M. D. & Chilingerian, J. A., 1999. Estimating Hospital Inefficiency:
Does Case Mix Matter? Journal of Medical Systems, 23, 57-71.
Rosner, L. P., 2000. Indonesia's Non-Oil Export Performance During The
Economic Crisis: Distinguishing Price Trends From Quantity Trends. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 36, 61-95.
Sadli, M., 1999. The Indonesian Crisis. In H. W. Arndt & H. Hill (eds.)
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 16-27.
Sato, Y., 2001. How Did The Crisis Affect Small and Medium-Sized
Enterprises? From a Field Study of the Metal Working Industry in Java.
Developing Economies, 38, 572-595.
Schmidt, P., 1985. Frontier Production Functions. Econometric Reviews, 4
289-328.
Schmidt, P. & Sickles, R. C., 1984. Production Frontiers and Panel Data.
Journal of Business and Economic Statistics, 2, 367-74.
Sjoholm, F., 1999a. Exports, Imports and Productivity: Results from
Indonesian Establishment Data. World Development, 27, 705-15.
82
Sjoholm, F., 1999b. Productivity Growth in Indonesia: The Role of Regional
Characteristics and Direct Foreign Investment. Economic Development and
Cultural Change, 47, 559-84.
Skoufias, E., Suryahadi, A. & Sumarto, S., 2000. Changes in Household
Welfare, Poverty and Inequality During the Crisis. Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 36, 97-114.
Söderbom, M. & Teal, F., 2004. Size and efficiency in African manufacturing
firms: evidence from firm-level panel data. Journal of Development
Economics, 73, 369.
Soesastro, H. & Basri, M. C., 1998. Survey of Recent Development. Bulletin of
Indonesian Economic Studies, 34, 3-54.
Solow, R. M., 1957. Technical Change and the Aggregate Production Function.
Review of Economics and Statistics, 39, 312-20.
Stevenson, R. E., 1980. Likelihood Functions for Generalized Stochastic
Frontier Estimation. Journal of Econometrics, 13, 57-66.
Suh, D., 1992. Trade Liberalization and Productive Efficiency in Korean
Manufacturing: Evidence from Firm-Level Panel Data. Unpublished PhD
Thesis. Georgetown University.
Sun, C.-H., 2004. The Growth Process in East Asian Manufacturing Industries
Cheltenham: Edward Elgar.
Sun, H., Hone, P. & Doucouliagos, H., 1999. Economic Openness and
Technical Efficiency: A Case Study of Chinese Manufacturing Industries.
Economics of Transition, 7 3, 615-36.
Sundrum, R. M., 1988. Indonesia's Slow Economic Growth: 1981-86. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 24, 37-72.
83
Swan, T. W., 1956. Economic Growth and Capital Accumulation. Economic
Record, 32, 334-61.
Thee, K. W., 1990. Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing
Industry. In H. Soesastro & M. Pangestu (eds.) Technological Challenge in the
Pacific. Sydney: Allen and Unwin, 200-232.
Thee, K. W., 1991. The Surge of Asian NIC Investment into Indonesia. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 27, 55-88.
Thee, K. W., 2000. The Impact of the Economic Crisis on Indonesia's
Manufacturing Sector. Developing Economies, 38, 420-53.
Thee, K. W. & Pangestu, M., 1994. Technological Capabilities and Indonesia's
Manufactured Exports. Final draft report to UNCTAD's Technology Program.
Timmer, M. P., 1999. Indonesia's Ascent on the Technology Ladder: Capital
Stock and Total Factor Productivity in Indonesian Manufacturing, 1975-1995.
Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 75-97.
Todo, Y. & Miyamoto, K., 2006. Knowledge Spillovers from Foreign Direct
Investment and the Role of Local R&D Activities: Evidence from Indonesia.
Economic Development and Cultural Change, 55, 173-200.
Torii, A., 1992. Technical Efficiency in Japanese Industries. In R. E. Caves
(ed.) Industrial Efficiency in Six Nations. Cambridge and London: MIT Press,
31-119.
United Nations Industrial Development Organisation, 1993. Indonesia:
Industrial Growth and Diversification. London.
Van Der Eng, P., 2004. Business in Indonesia New Challenges, Old Problems.
In M. C. Basri & P. Van Der Eng (eds.) Business in Indonesia New Challenges,
Old Problems. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1-20.
84
Vial, V., 2004. Total Factor Productivity Growth In Indonesian
Manufacturing, 1975-1995: Issues in Measurement. The London School of
Economics and Political Science.
Vial, V., 2006. New Estimates of Total Factor Productivity Growth In
Indonesian Manufacturing. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 42, 357-
69.
Viverita, R., 2005. Corporate Performance of Indonesia’s Public and Private
Sector Firms: Financial and Production efficiency. Monash University.
Wacker, J. G., Yang, C.-L. & Sheu, C., 2006. Productivity of Production Labor,
Non-production Labor, and Capital: An International Study. International
Journal of Production Economics, 103, 863-72.
Wetterberg, A., Sumarto, S. & Pritchett, L., 1999. Insolvency Reform and the
Indonesian Financial Crisis. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 35, 145-
152.
Williamson, O. E., 1967. Hierarchical Control and Optimum Firm Size.
Journal of Political Economy, 75, 123-138.
---oooOOOooo---