Perubahan Kultur Bantengan

42
Matakuliah Antropologi Seni CULTURAL CHANGE : PERUBAHAN DAN PERKEMBANGAN KESENIAN BANTENGAN DENGAN KONSEP PARIWISATA KOTA BATU Dosen Pengampu : Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi PUNGKY FEBI ARIFIANTO 142 0862 412 PROGRAM PASCASARJANA

description

antropologi seni

Transcript of Perubahan Kultur Bantengan

Page 1: Perubahan Kultur Bantengan

Matakuliah Antropologi Seni

CULTURAL CHANGE : PERUBAHAN DAN PERKEMBANGAN KESENIAN BANTENGAN DENGAN KONSEP PARIWISATA

KOTA BATU

Dosen Pengampu :Prof. Dr. Y. Sumandiyo Hadi

PUNGKY FEBI ARIFIANTO

142 0862 412

PROGRAM PASCASARJANA

PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI

INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA

2014

Page 2: Perubahan Kultur Bantengan

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................2

B. Rumusan Masalah..........................................................................................6

C. Tujuan Penelitian............................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kota Pembentuk Kesenian....................................................7

B. Konsep Totemisme Sebagai Simbol Tarian Mimetik....................................10

C. Knsep Akulturasi dan Inkulturasi...................................................................12

D. Konsep Bantengan sebagai Sistem Akulturasi & Perubahan Kebudayaan....14

E. Konsep Perubahan Kebudayaan Bantengan dan Pariwisata..........................20

BAB III KESIMPULAN.............................................................................................................................23

1

Page 3: Perubahan Kultur Bantengan

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memang makhluk yang mempunyai

paham mimetik, dimana ia akan menagkap sesuatu yang hadir dalam

kehidupannya melalui panca indera yang ada disekitarnya. Alam menjadi bagian

penting dalam proses dinamika mimetik tersebut. Alam memberikan kontribusi

keindahan dan estetika yang mendasar bagi manusia. Bentuk dari alam yang

menimbulkan sifat yang menenangkan hati dan merubah pandangan manusia

dengan berkesenian. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia mengambil esensi

dari tiap elemen alam untuk dijadikan sebuah sumber referensi. Dalam bukunya

yang berjudul Manusia dan Seni, Dick Hartoko menyatakan bahwa elemen alam

mempengaruhi semua panca indera bersama, sehingga menimbulkan perasaan

estetik (Hartoko, 1984:19) . Elemen tersebut akan dijadikan sebuah bahan

penghasil tanda yang nantinya akan menjadi sebuah kesepakatan antar kelompok

sebagai sebuah bahasa yang sifatnya universal. Tanda-tanda tersebut tanpa kita

sadari ada disekitar kita yang disebut dengan “Kebudayaan”.

Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan,

tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009 : 144). Seni merupakan

salah satu wujud kebudayaan yang bersifat artifact, yakni bendabenda hasil karya

manusia disamping dua wujud kebudayaan yang lain yaitu ideas, dan activities.

Dr. Van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan juga menyinggung konsep

Kebudayaan bukan hanya sebagai sebuah manivestasi dari kehidupan manusia

yang berbudi luhur dan yang bersifat rohani saja. Akan tetapi kebudayaan sudah

mendarah-daging masuk kedalam seluruh aspek kehidupan manusia . Manusia

tidak dapat hidup begitu saja di tengah alam. Oleh karena itu, untuk dapat hidup,

manusia harus mengubah segala sesuatu yang telah disediakan oleh alam.al

tersebut yang membedakan kelompok manusia dengan kelompok makhluk hidup

yang ada dibumi. Manusia mengubah cara hidupnya melalui kebudayaan.

Bagaimana memahami segala sesuatu yang ada di alam untuk bermanfaat bagi

2

Page 4: Perubahan Kultur Bantengan

kehidupan kelompoknnya. Misalnya, bagaimana cara mereka menghayati

kematian, atau kelahiran dengan ritual-ritual yang sering dianggap sebagai sesuatu

yang berbau magis/mistis. Terwujudnya suatu kebudayaan dipengaruhi oleh

sejumlah faktor, yaitu hal-hal yang menggerakkan manusia untuk menghasilkan

kebudayaan sehingga dalam hal ini kebudayaan merupakan produk kekuatan jiwa

manusia sebagai makhluk Tuhan yang tertinggi.

Kebudayaan menjadi sebuah ketegangan antara imanensi dan trancendensi yang

dipandang sebabgai ciri khas dari kehidupan manusia yang sesuangguhnya. Hidup

manusia sesungguhnya berlangsung di tengah-tengah arus proses-proses

kehidupan (imanensi), tetapi juga muncul dari arus alam raya untuk menilai

alamnya sendiri dan mengubahnya(transcendensi)

Manusia juga tidak bertopang dagu dengan atau membiarkan dirinya hanyut

dengan proses-proses alam, bisa jadi manusia melawan arus dalam artian tidak

hanya mengikuti arus alam, tetapi juga mengikuti kata hati. Salah satu tindakan 

mengikuti kata hati adalah dengan menilai serta mengevaluasi alam sekitarnya

serta alam manusia sendiri. Dalam mengevaluasi alam bukan hanya terbatas pada

sesuatu yang sifatnya rohani, misalnya ilmu pengetahuan, kesadaran moril,

keyakinan, religius, kesadaran sosial dan ilmu kemasyarakatan. Lebih dari pada

itu manusia juga mengevaluasi norma-norma serta perubahan baik jasmaniah

maupun alamiah.

Kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau

kelompok orang-orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan

semacam sekolah di mana manusia dapat belajar, manusia tidak hanya bertanya

tetapi juga bagaimana harus menyikapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di

alam. Sebuah batu menjadi tantangan bagi pemahat, banjir menjadikan manusia

harus berpikir bagaimana mengantisipasi, udara dingin mendorong manusia

membuat baju dari bahan-bahan yang dapat melindungi tubuh dari kedinginan.

Studi kebudayaan selalu menjadi topik yang menarik, karena keberadaan

kebudayaan menjadi wujud kecerdasan manusia dibandingkan dengan makhluk

hidup lainnya. Kebudayaan di bidang seni layak dikaji dengan perspektif

3

Page 5: Perubahan Kultur Bantengan

kebudayaan atau antropologi menjadi sebuah sesuatu hal yang layak untuk di

teliti, dimana kebudayaan selalu berkembang, selalu bergeser, sesuai dengan

sifatnya yang super-organik. Perubahan-perubahan tersebut, yang telah lalu dan

yang sekarang,tahap yang telah lalu dan tahap yang sekarang, semuanya terekam

dalam sebuah wujud karya seni. Rekam jejak pergeseran-pergeseran atau

perubahan nilai budaya dalam kurun waktu tertentu tersebut dapat dilihat dari

perwujudan karya seni dalam kurun waktu itu sendiri, bahkan untuk melihat

sejauh mana tingkat peradaban sebuah bangsa, maka karya seni menjadi indikator

peradaban tersebut.

Sebuah ragam kesenian nuswantara yang berada didaerah kelahiran penulis yakni

batu, terdapat suatu kebudayaan yang dilestarikan sampai sekarang yang

dinamakan Kesenian Bantengan,. Kesenian ini kemudian semakin berkembang

dan menjadi sebuah ikon kebudayaan lokal yang berada dijawa timur kususnya

kota batu di kabupaten malang. Untuk menjaga kelestarian tersebut pemerintah

kota batu menggelara acara Pagelaran Kesenian Bantengan Nuswantara yang

diagendakan rutin tahunan di Kota Batu, diharapkan sebagai jembatan

membangun kembali Kesenian tersebut untuk mampu menjadi bargening

possesionkarakteristik masyarakat diantara himpitan kebudayaan

asing.Perkembangan kesenian Bantengan yang terjadi di masyarakat Jawa Timur

kususnya, berkembang dimasyarakat pedesaan dan kelompok Pencak silat, sesuai

dengan kepentingan dan fungsinya masing-masing. Sifat- sifat ini yang disebut

dengan fungsi Eksternal dan Internal kebudayaan Bantengan.

Diposisikan sebagai bentuk seni pertunjukan, Bantengan merupakan sebuah

manifestasi kebudayaan masa depan yang masih memiliki sifat mistis, religi, dan

kearifan lokal mengenai falsafat yang ada dalam dirinya. Kesenian bantengan ini

sebenarnya merupakan kesenian yang sangat lama sejak hadirnya empu sindok di

Batu dengan ditemukannya bangunan candi songgoriti. Hal ini menimbulkan

suatu perubahan yang menjadikan kesenian ini layak untuk di teliti dengan

penjabaran mengenai banteng secara falsafah jawa. Adanya konsep kebudayaan

yang bersifat akulturasi, inkuluturasi, difusi, subtitusi dan konsep yang lain.

4

Page 6: Perubahan Kultur Bantengan

Karena batu merupakan daerah pariwisata yang strategis yang dahulu

menghubungkan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Sehingga bisa dilihat

bagaimana perubahan dan perkembangan kesenian bantengan ini dengan dasar

antropologi sehingga menjadi rangkaian historikal yang menarik untuk dijadikan

bahan penelitian.

5

Page 7: Perubahan Kultur Bantengan

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan dapat dideskripsikan

permasalahan yang ada, yaitu Selanjutnya, yang menjadi pertanyaan, adalah,

pertama Apa saja yang mendasari konsep perubahan kesenian bantengan yang ada

di wilayah kota batu? Kedua Bagaimana sistem dan pola perubahan kesenian

bantengan dengan lingkungan peradaban kota batu sebagai kota dengan konsep

tata kelola pariwisatanya?

C. Tujuan

Tujuan dari dibuatnya kajian ilmiah ini ialah mengetahui sejauh mana tahap

perubahan serta perkembangan kesenian bantengan dengan perubahan alam serta

iklim yang ada di Kota Batu sebagai kota tujuan pariwisata. Hal ini akan

memberikan gambaran perkembangan kebudayaan yang memusat pada sebuah

konsepsi nilai agung sebuah masyarakat pembentuk kebudayaan sebagai sebuah

sistem tanda dan simbol yang menjadi sebuah manivestasi kesenian dengan

perubahan kultur yang ada di masyarakat pembentuk kesenian “Kota Batu”.

6

Page 8: Perubahan Kultur Bantengan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kota Pembentuk Kesenian.

Kota Batu adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota ini terletak

15 km sebelah barat Kota Malang, berada di jalur Malang-Kediri dan Malang-

Jombang. Pada tanggal 6 Maret 1993, kota administrasi Batu dibentuk dan

diresmikan Batu dibentuk dan diresmikan, karena sebelumnya adalah bagian dari

wilayah kabupaten Malang. Tanggal 10 April 1995, dikirim permohonan surat

persetujuan DPRD kabupaten Malang dan Bupati Malang tentang peningkatan

status kotif Batu menjadi Kotamadya Batu. Pada tanggal 11 April 1995,

pengiriman surat persetujuan kepada pembantu Gubernur di Malang tentang

peningkatan status kotif Batu menjadi Kotamadya Batu. Pada tanggal 6 Juni 1996,

dengan persetujuan DPR kota Malang, surat persetujuan Bupati dan Pembantu

Gubernur di Malang, dikirimkan ke Gubernur Jawa Timur. Dan melalui proses

yang sangat panjang tanggal 28 Pebruari 2001 diturunkan surat keputusan

MENDAGRI dan Otonomi Daerah. Tanggal 21 Juni 2001 Batu disahkan menjadi

kota admistratif berdasarkan UU No. 11 tahun 2001. Dan tanggal 17 Oktober

2001 Batu telah diresmikan menjadi daerah otonom yang berpisah dengan

wilayah Kabupaten Malang, yang terdiri dari tiga kecamatan dan 19 desa serta

kelurahan.

Secara astronomi, Kota Batu terlihat berada pada posisi 7° 55̍ 20̎- 7° 57̍ 20̎ Bujur

Timur, 115° 17 ̍ 0̎- 118° 19 ̍ 0 ̎ Lintang Selatan. Sedangkan batas wilayah kota

Batu, meliputi:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten

Pasuruan.

b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Dau, Kabupaten Malang.

c. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang.

d. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Karang Ploso, Kabupaten

Malang.

7

Page 9: Perubahan Kultur Bantengan

Kota Batu terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Batu, Kecamatan Junrejo dan

Kecamatan Bumiaji. Kecamatan Bumiaji merupakan kecamatan yang paling luas

wilayahnya yaitu 12.797,89 ha sedangkan Kecamatan Batu dan Kecamatan

Junrejo masingmasing luas wilayahnya 4.545,81 ha dan 2.565,02 ha. Dilihat dari

keadaan geografinya, Kota Batu dapat dibagi menjadi 4 jenis tanah. Pertama jenis

tanah Andosol, berupa lahan tanah yang paling subur meliputi Kecamatan Batu

seluas 1.831,04 ha, Kecamatan Junrejo seluas 1.526,19 ha dan Kecamatan

Bumiaji seluas 2.873,89 ha. Kedua jenis Kambisol, berupa jenis tanah yang cukup

subur meliputi Kecamatan Batu seluas 889,31 ha, Kecamatan Junrejo 741,25 ha

dan Kecamatan Bumiaji 1395,81 ha. Ketiga tanah alluvial, berupa tanah yang

kurang subur dan mengandung kapur meliputi Kecamatan Batu seluas 239,86 ha,

Kecamatan Junrejo 199,93 ha dan Kecamatan Bumiaji 376,48 ha. Dan yang

terakhir jenis tanah Latosol meliputi Batu seluas 260,34 ha, Kecamatan Junrejo

217,00 ha dan Kecamatan Bumiaji 408,61 ha. Kota Batu terletak di kaki gunung

Paderman yang letaknya 700-1100 m di atas permukaan laut. Daerah dengan suhu

dingin, ketika musim dingin suhunya 15°-19° C, ketika musim panas suhunya 28°

C. Dan ketika pagi dan sore hari kota ini seringkali diselimuti kabut.

Dengan keadaan geografis yang telah dipaparkan seperti itulah dipercaya bahwa

sejak abad ke-10, wilayah Batu dan sekitarnya telah dikenal sebagai tempat

peristirahatan bagi kalangan keluarga kerajaan, karena wilayah adalah daerah

pegunungan dengan kesejukan udara yang nyaman, juga didukung oleh keindahan

pemandangan alam sebagai ciri khas daerah pegunungan.

Pada waktu pemerintahan Raja Sindok, seorang petinggi Kerajaan bernama Mpu

Supo diperintah Raja Sendok untuk membangun tempat peristirahatan keluarga

kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Dengan upaya yang

keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih

dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti.

Atas persetujuan Raja, Mpu Supo yang konon kabarnya juga sakti mandraguna

itu mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga

kerajaan serta dibangunnya sebuah candi yang diberi nama Candi Supo.

8

Page 10: Perubahan Kultur Bantengan

Ditempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin

dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut

sering digunakan mencuci keris-keris yang bertuah sebagai benda pusaka dari

kerajaan Sendok. Oleh karena sumber mata air yang sering digunakan untuk

mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan

supranatural yang maha dasyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa

dingin dan sejuk akhirnya berubah menjadi sumber air panas. Dan sumberair

panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.

Wilayah Kota Batu yang terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Panderman

dengan ketinggian 700 sampai 1100 meter di atas permukaan laut, berdasarkan

kisah-kisah orang tua maupun dokumen yang ada maupun yang dilacak

keberadaannya, sampai saat ini belum diketahui kepastiannya tentang kapan nama

"Batu" mulai disebut untuk menamai kawasan peristirahatan tersebut.

Dari beberapa pemuka masyarakat setempat memang pernah mengisahkan bahwa

sebutan Batu berasal dari nama seorang ulama pengikut Pangeran Diponegoro

yang bernama Abu Ghonaim atau disebut sebagai Kyai Gubug Angin yang

selanjutnya masyarakat setempat akrab menyebutnya dengan panggilan Mbah

Wastu. Dari kebiasaan kultur Jawa yang sering memperpendek dan

mempersingkat mengenai sebutan nama seseorang yang dirasa terlalu panjang,

juga agar lebih singkat penyebutannya serta lebih cepat bila memanggil seseorang,

akhirnya lambat laun sebutan Mbah Wastu dipanggil Mbah Tu menjadi Mbatu

atau batu sebagai sebutan yang digunakan untuk Kota Dingin di Jawa Timur.

Sedikit menengok ke belakang tentang sejarah keberadaan Abu Ghonaim sebagai

cikal bakal serta orang yang dikenal sebagai pemuka masyarakat yang memulai

babat alas dan dipakai sebagai inspirasi dari sebutan wilayah Batu, sebenarnya

Abu Ghonaim sendiri adalah berasal dari JawaTengah. Abu Ghonaim sebagai

pengikut Pangeran Diponegoro yang setia, dengan sengaja meninggalkan daerah

asalnya Jawa Tengah dan hijrah dikaki Gunung Panderman untuk menghindari

pengejaran dan penangkapan dari serdadu Belanda (Kompeni)

9

Page 11: Perubahan Kultur Bantengan

Abu Ghonaim atau Mbah Wastu yang memulai kehidupan barunya bersama

dengan masyarakat yang ada sebelumnya serta ikut berbagi rasa, pengetahuan dan

ajaran yang diperolehnya semasa menjadi pengikut Pangeran Diponegoro.

Akhirnya banyak penduduk dan sekitarnya dan masyarakat yang lain berdatangan

dan menetap untuk berguru, menuntut ilmu serta belajar agama kepada Mbah

Wastu.

Bermula mereka hidup dalam kelompok (komunitas) di daerah Bumiaji, Sisir dan

Temas akhirnya lambat laun komunitasnya semakin besar dan banyak serta

menjadi suatu masyarakat yang ramai.

B. Konsep Totemisme Sebagai Simbol Tarian Mimetik

Pelembagaan kesenian di pedesaan (tradisional) sering disebut seni kerakyatan

atau kesenian rakyat atau folk arts. Dalam literatur sejarah seni tari, munculnya

pelembagaan itu (tari rakyat) sering merefleksikan dikotomi dengan jenis tarian

yang esensinya lebih pada aktivitas estetis. Kesenian (tari) yang semata-mata

sebagai aktivitas estetis sama sekali tidak terbebani berbagai macam fungsi dan

dikenal sebagai art dance. Sementara itu, kesenian (tari) rakyat folk dance

cenderung melayani berbagai macam fungsi (Hadi, 2005:54). Namun, perbedaan

tersebut akan hilang dengan sendirinya ketika manusia menganggap seni sebagai

aspek tindakan manusia.Kesenian pedesaan sebagian besar hidup dalam pola

pelembagaan ritual. Pola pelembagaan kesenian ritual itu sesungguhnya masih

mewarisi budaya primitif yang bersifat mistis maupun magis. Seperti tari yang

menirukan binatang atau animal mime atau animal dance pada masyarakat

primitif sampai sekarang masih dapat ditelusuri peninggalannya. Kesenian

Bantengan bisa digolongkan sebagai salah satu contoh animal dance sisa

kepercayaan totemisme berdasarkan ciri-ciri fisik yang ada pada gerakan tari-

tariannya. Animal dance menekankan pada kemampuan para penarinya dalam

menirukan binatang totemnya. Hal ini juga berlaku pada gerakan solah dalam

kesenian Bantengan yang menekankan para pemainnya untuk menirukan gerak-

gerik binatang banteng, macan, dan monyet sesuai aslinya. Solah adalah istilah

untuk menyebut gerakan tari-tarian dalam kesenian Bantengan. Gerakan solah ini

banyak bersumber dari pola langkah (jangkah) pencak silat (Herwanto, 2012:16)

10

Page 12: Perubahan Kultur Bantengan

yang dikombinasikan dengan peniruan gerakan binatang. Atraksi solah semakin

terlihat atraktif ketika dikombinasikan dengan lecutan pecut yang secara simbolis

berfungsi untuk membuka jalan, mengundang roh-roh leluhur, serta

membersihkan kotoran-kotoran dan hawa-hawa jahat di tempat pementasan.

Lecutan pecut ini dilakukan secara bersahut-sahutan oleh para pendekar

pengendali permainan yang berada di arena pementasan. Adanya simbol macan

dan monyet juga sebagai simbol yang selalu membuat masalah sehingga banteng

berusaha mengusirnya.

Atraksi solah ini mencapat adegan kilmaks ketika para pemain bantengan

memasuki tahap trans. Trans bisa diartikan sebagai perubahan kesadaran yang

ditandai dengan pergantian identitas pribadi menjadi identitas baru akibat

pengaruh suatu roh, dewa, atau kekuatan lain (Zulkhair, 2008:22). Trans yang

diakibatkan oleh intervensi roh, dewa, atau kekuatan lain ini sesuai dengan

penjelasan bahwa timbulnya keadaan trans merupakan pertanda bahwa makhluk

halus atau dewa yang ditunggu-tunggu itu benar-benar sudah datang.

Istilah populer dalam kesenian Bantengan untuk penyebutan kata “trans” adalah

ndadi. Trans ini tidak hanya dialami oleh para pemain yang sedang beratraksi di

tempat pementasan saja, akan tetapi juga dialami oleh para pemain yang tidak

mendapatkan peran apa-apa dan hanya berada di sekitar tempat pementasan

terkadang macan serta monyet juga memngalami ndandi secara berurutan, dengan

hal ini dinamakan kesetrum . layaknya orang ketika memegang listri maka ketika

orang lain memegangnya maka yang lain juga terkena imbasnya.

Menurut penjelasan para pemain kesenian Bantengan, kondisi yang dialami pada

saat mengalami trans dibagi menjadi tiga macam. Kondisi pertama adalah sadar.

Pada kondisi ini, para pemain berada dalam kondisi sadar, tetapi tidak bisa

mengendalikan tubuhnya dan merasa ada kekuatan lain yang menyetir dirinya.

Kondisi kedua adalah gelap total. Pada kondisi ini, para pemain tidak dapat

mengingat apa-apa seperti halnya orang yang sedang tertidur dan bermimpi.

Kondisi ketiga adalah setengah sadar. Pada kondisi ini, para pemain merasakan

11

Page 13: Perubahan Kultur Bantengan

keadaan di antara sadar dan tidak sadar. Para pemain terkadang bisa mengingat

apa yang terjadi, dan terkadang juga tidak bisa mengingat apa-apa

Tingkah laku para pemain yang mengalami trans sangat aneh. Para pemain

tersebut biasanya mencari sesepuh atau pendekar untuk menjalin komunikasi.

Komunikasi yang dijalin antara pihak ketiga dengan sesepuh atau pendekar

biasanya berupa permintaan sesaji dan pemberian petuah. Sesaji yang menjadi

favorit pihak ketiga adalah dupa, kemenyan, dan minyak wangi. Ketiga jenis

sesaji ini sangat disukai oleh pihak ketiga karena baunya yang harum. Dupa

biasanya dimakan langsung oleh pihak ketiga melalui perantara pemain,

kemenyan dihirup asapnya, sedangkan minyak wangi dioleskan ke tanduk di

kostum banteng.

Hal ini menjadikan bantengan merupakan suatu kebudayaan yang berbau mimesis

(menirukan), kehidupan hewan sebagai bentuk pertunjukan. aristoteles

berpendapat bahwa seni itu merupakan sebuah imitasi atau tiruan

(sunaryadi,2013:97). Bagi manusia kegiatan meniru merupakan sebuah

kegembiraan dan keindahan. Kendati demikian aristoteles berpendapat bahwa

imitasi bukan saja sebagai sebuah reproduksi realitas, tetapi seorang seniman

memang meniru realitas tetapi ia menyimpang dari dunia pengalaman .

masyarakat lebi memilih sejumblah realitas yang mempunyai makna dan arti

dalam bentuk karya yang mereka buat. Sehingga dapat di jabarkan bahwa

kesenian itu bersifat meniru yang memiliki arti dan sesuatu yang bermakna dan

arti , sehingga manusia melihat gejala tersebut sebagai sebuah tanda yang akan

menjadi stem kebudayaan yang berkembang dalam kelompok masyarakat.

C. Konsep Akulturasi dan Inkulturasi

Dalam antropologi kebudayaan terdapat dua istilah tehnis yang berakar kata sama,

yaitu ‘akulturasi’ dan ‘enkulturasi’. ‘Akulturasi’ sinonim dengan ‘kontak-budaya’,

yaitu pertemuan antara dua budaya berbeda dan perubahan yang ditimbulkannya.

Sedangkan ‘enkulturasi’ menunjuk pada proses inisiasi seorang individu ke dalam

budayanya.

12

Page 14: Perubahan Kultur Bantengan

Dilihat dari pengertian diatas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa

inkulturasi sendiri merupakan proses terjadinya pertemuan (kontak budaya) antara

dua budaya atau lebih (kebudayaan asli/lokal dengan kebudayaan asing), dimana

kedua kebudayaan tersebut menyatu dan melebur menjadi, dan membentuk

budaya baru.Oleh Ary Roest Crollius (1984), inkulturasi diterjemahkan

sebagai proses panjang yang terdiri atas tiga tahapan. Tahap pertama adalah

akulturasi, suatu pertemuan budaya di mana budaya dari luar diperkenalkan oleh

agen inkulturasi asing. Koentjaraningrat (1990) menggaris bawahi hal penting

berkaitan dengan akulturasi, yaitu bertahannya kedua unsur kebudayaan yang

bertemu tanpa salah satu mendominasi yang lainnya sehingga

menenggelamkan, bahkan menghilangkan, kebudayaan yang lebih

lemah. Tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi, di mana

dua kebudayaan yang bertemu mulai berpadu. Tahapan terakhir

adalah transformasi, di mana kedua kebudayaan direinterpretasikan terus-menerus

ke arah bentuk kebudayaan baru dengan tidak kehilangan identitas dari masing-

masing kebudayaan asal.  Tiga unsur yang merupakan tiang penyangga dari

kebudayaan suatu komunitas adalah ide, aktivitas, dan artefak. Arsitektur

mengambil peranan cukup penting di dalamnya, khususnya dalam peran

sebagai artefak yang mewadahi aktivitas sekaligus menyuarakan ide-ide tertentu. 

Inkulturasi adalah sesuatu yang alamiah sejauh tidak bertentangan dengan prinsip

keagamaan, atau mengganggu umat lain. Islam yang mulai masuk Indonesia pada

abad XII, tumbuh menjadi kerajaan besar Samudra Pasai pada abad XIII yang

berpusat di wilayah Aceh Utara. Ketika itu di Jawa, kerajaan Singosari masih di

dominasi agama Syiwa Buddha. Baru pada jaman Majapahit agama Hindu,

Buddha serta agama Syiwa Buddha dapat hidup berdampingan dengan damai.

Ketika itulah sebenarnya Islam mulai masuk ke Jawa, terutama melalui hubungan

kerajaan-kerajaan Jawa dengan Samudra Pasai. Lalu tersebutlah, pasukan

Majapahit yang menyerang Samudra Pasai. Setelah Samudra Pasai takluk

pulanglah Majapahit dengan membawa “upeti” sebagai tanda taklukan, termasuk

beberapa puteri-puteri Pasai, yang sudah pasti memeluk Islam. Puteri jarahan,

pada jaman itu diperlakukan dengan sangat terhormat. Mereka boleh membawa

13

Page 15: Perubahan Kultur Bantengan

juru masak mereka sendiri, penerjemah, juru rias, dan lain-lain, berikut para

keluarganya yang semuanya juga muslim.

Di Majapahit, mereka diberi kebebasan menjalankan ibadah, sesuai dengan

Syariat Islam. Untuk itu mereka diberi hak untuk membangun pemukiman di

sekitar Gresik dan Tuban. Ketika perdagangan makin maju, banyak etnis Cina

muslim, Gujarat, Parsi dan juga Arab berdatangan ke Jawa, lalu menginap di

pemukiman Komunitas muslim Pasai. Sejak itulah Islam mulai tumbuh di Jepara,

Rembang, Lasem, Tuban, dan Gresik.

Karena yang membawa masuk Islam ke tanah Jawa begitu beragam, Sunan

Kalijaga, yang paling muda dari sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa,

yang juga ber-etnis Cina, merasa kesulitan dalam “meng-Islamkan” orang-orang

Jawa. Maka ia meminta beberapa muridnya untuk menaruh gamelan di halaman

Masjid dan menabuhnya. Orang-orang pun mulai berdatangan demi

mendengarkan alunan gamelan yang dimainkan itu. Lewat gamelan dan Wayang

(Hindu) itulah Sunan Kalijaga menyapa dan mengajak mereka memeluk Islam.

Wayang kulit, seperti yang dapat kita nikmati sekarang ini, juga merupakan buah

inkulturasi, sebuah karya berupa kompromi. Dalam Islam, manusia tidak boleh

dipatungkan atau disimbolkan seperti berupa gambar. Sedang tradisi Hindu dan

Buddha adalah mematungkan dewa dan Sang Buddha. Kisah Mahabharata dan

Ramayana juga dilukiskan di atas kulit atau kain. Wayang kulit yang ditonton

dibalik layar tentu bukan patung, dan juga bukanlah lukisan. 

Begitu juga inkulturasi juga merambah kesenian bantengan. Dimana kesenian

bantengan merupakan ritual yang biasanya ditayangkan pada hari tertentu dalam

penanggalan saka umat hindu, sampai sekarang pementasan tersebut masih

menggunakan penanggalan umat hindu, walaupun terkadang dalam acara karnaval

biasanya dilakukan pada saat upacara kenegaraan seperti Upacara HUT Indonesia.

14

Page 16: Perubahan Kultur Bantengan

D. Konsep Bantengan sebagai Sistem Akulturasi dan Perubahan

Kebudayaan.

Perubahan dan perkembangan kesenian bantengan sesuangguhnya sudah terjadi

lama sekali jika dilihat dari manuskrip Jaman Jenggala, Kahuripan, Gajahyana,

bahkan abad-abad sebelumnya. Jika kita menimbang beberapa tulisan skrip para

pujangga baik itu yang tertulis di prasasti maupun skrip layang- lontar, maka kita

dapat berpedoman sebagaimana acuan kita berkesenian bantengan ini khususnya.

Yang diantaranya :

Layang

I. DANUR WEDA ( TATA KENEGARAAN )

“Ngangekso Sigunggung Amekso Dwi Jati Tranata Tracecep Puridho Ngekso

Rono Ageng Sigunggung Hamung Agungeng Sriwanandara Sarang Karang

Anggana Sinara Arana Wegya Joro Angulih Rekso Hangaksaneng Mudya Warek

Anom Ngareh Runo Ing Hambekso”

Yang mempunyai arti :“Jika kita mau memperhatikan (mempelajari) sifat

sejatinya banteng Jangan hanya engkau mengagumi sifat yang dimiliki binatang

tersebut Banteng sebenarnya punya watak keagungan yang berwibawa bagi

kehidupan Keagungan banteng difungsikan sebagai simbolis manusia dengan

alam sekitar Oleh karenanya sumber kemakmuran tidak luput dari siapa yang

memimpin Jika sang pemimpin mampu memiliki sifat ini, bisa dibayangkan

negeri ini”

Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada Jaman Kahuripan – Kurawan –

Kediri Abad II – III M

II.BABAT PURWA KERTI ( TATA KEHIDUPAN )

“Loh Pamudyaneng Sigunggung Anggondo Turisha Sigunggung Ngelang Puritha

Sari Ing Yanadwipa Lamon Anyariro Ngareh Tembe Anyalarira Rekmo Hameng-

Hameng Si Gula-Geli Jaya Mahenthaka Sura-Suraneng Martakha Wono Jali Ing

Payam Bana Suntakane Awak Nggaya Suridha Mahenthaka”

Yang Mempunyai Arti : “Pada jaman Purwa Jawi (turisha) kejayaan banteng

sebagai tunggangan punggawa Banteng merupakan simbolik kejayaan suatu

Negara/ Kerajaan Pada waktu tertentu banteng ini digunakan untuk arak-arakan

raja kepada rakyatnya Raja hanya mau mengendarai banteng yang paling kuat

15

Page 17: Perubahan Kultur Bantengan

yang mempunyai sebutan(Mahenthaka) Perayaan ini diteruskan dengan acara

kesuburan atau titah kesuburan raja Setelah banteng diarak keliling negri

kemudian disembelih sebagai sesaji upacara” Layang atau tulisan ini tertulis di

lontar pada jaman Singosari – Majapahit abad V – IX M

III.LUNGKONANTA ( SERAT PERTANIAN )

“Jayeng Rana Hameng Guna Sayeng Taka Ruweng Taka Mayang Angmaya

Tantuka Angmaya Siamang Runa Umang Angruna Sigunggung Tala Jayeng Rana

Ewang Ewung Sang Maya Maya Dwipa”

Yang Mempunyai Arti :“Dalam tata kehidupan semesta alam yang harus

dimengerti adalah tata sarana Tidak ada satupun permintaan yang tanpa

menggunakan sarana untuk mencapainya Sarana itu harus kita resapi baik dari

yang hidup maupun yang khususnya tidak hidup Jika kita mampu mengertinya,

maka tidak hanya permintaan dan keinginan tercapai Banteng pun akan menari

untuk kita demi keagungan alam semesta Untuk itu patutlah kita mengembalikan

semua itu pada keagungan sang penari (Banteng menari)”

Layang atau tulisan ini tertulis di prasasti Candi Mangku Bumi pada jaman

Samadwipa – Gajahyana Abad I M

IV.SULUK PLENCONG ( SERAT PERDAYANGAN )

“Angreksa Rekasahane Hamudya Tuwuh Jawi Rumeksa Ing Satigil Ruwana

Dwipa Mangertinya Samya Aji Sigunggung Jaya Rana Wos Kang Dadi Sarto

Wedhi Werah Huwono Si Mahestaka Tantaka Handoka Hyang Jaya Giring Wesi

Hamengku Ana Ing Tanah Jawi Jawa Pamudya Utama Utamane Ameng Guna

Kalawan Sekti Murih Hayu Karahoyonane Prahurusa”

Yang Mempunyai Arti :“Pada setiap tempat keagungan pasti ada Sang Kuasa

Agung yang menjadi tuntunan Yang bernaung di tanah utama

Jawi ( Nuswantara ) itu berasal dari asal mula keagungan Keagungan itu menjadi

dasar tutunan utama bagi semua sang hidup atau hidup itu sendiri Semua itu sudah

menjadi tatanan kehidupan yang harus dipatuhi oleh semua mahluk hidup yang

bernaung didaerah itu Sang Maha Banteng yang mengendalikan semua itu mulai

dari banteng ( Handoko) Sejak jaman Hyang Jaya Giring Wesi ( Raja yang masih

menggunakan ilmu Manunggaling Semesta Alam) Raja itu mengatur tanah Jawi

dengan kekuasaan semesta alam ( Sabdha Panditha Ratu ) Titah raja adalah titah

16

Page 18: Perubahan Kultur Bantengan

semesta alam ( bisa dikatakan raja adalah tangan Tuhan di dunia) Semua itu hanya

untuk menjaga keseimbangan alam dalam tata kehidupan dari awal sampai akhir”

Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Babat Purwajawi –

Jawadwipa

V. ASNA WEDA ( MANUSIA DAN BINATANG )

“Mangkara Singkarak Anampyak Jala Sanbambang Iwa Guna Manuswitha

Ngurah Reh Ing Hamyana Jati Hang Wasya Ima Guna Yekti Amya Hayu Sarana

Terpa Mirata Hayekti Samara Lana Siwang Siwang Gumululena Anyela

Hamudyane Hamestaka Guna Sayekti”

Yang mempunyai arti : “Dalam jalur tata kehidupan untuk mencapai tata

kehidupan didunia Pola kehidupan itu tidak luput dari pola kehidupan yang saling

menyatu Dalam tata kehidupan yang sejati sebenarnya sama tak ada beda

Perbedaan itu hanya tergantung pada Sang Pemimpin ( Banteng Simbolik pada

Sang Pemimpin ) Semua itu hanya alat dan kelengkapan tata kehidupan yang ada,

antara manusia dengan alam semesta Segala macam dan bentuk itu semua

hanyalah kesempurnaan alam semesta Maka seyogyanya harus saling

memperhatikan untuk mencapai kesempurnaan”

Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Singhasari Abad VI – VII M

VI. JATI PANULUH ( CAKRA MANGGILINGAN HIDUP DAN KEHIDUPAN

)

“Kakawitane Tata Dwipa Lupa Sunyo Ruri Wadya Mengku Semo Kumo Leksa

Santaka Hanyura Sarpa Krecha Kancana Handagha Murak Ngeksa

Amemedyaneng Anala Lastha Liwang Lawang Luwung Suwung Buwono Hadya

Siwah Sawanggana Angganda Sari Srihuthama Mudya Hamemithui

Siwangkalane Anyari Mudya Medareng Wahana Suwug Jagad Dumadi”

“Cikal bakal tata kehidupan yang diawali dari sebelum adanya kehidupan di alam

semesta

17

Page 19: Perubahan Kultur Bantengan

Gambar 1 : Kesenian bantengan dan seni bela diri jawa timursumber : http://blog.djarumbeasiswaplus.org/aswinyoga

Diawali dengan tetes air kehidupan yang penuh cahaya kehidupan abadi Air itu

ditempatkan di cupu Sarpa Kreca Kencana Handagha Kemudian tetesan air itu

diambil sepercihan sinar untuk kehidupan Percihan itu sebenarnya tata hidup

kosong dan keabadian Dintara persilangan itu ada inti sari kehidupan yang terus

berkembang Percihan itu menjadi sari yang kemudian menjadi penjaga air tetes

kehidupan yang berwujud seekor sapi keling ( Banteng ) Dari air susu sapi keling

itu menjadi wujud kehidupan yang beraneka ragam”

Layang atau tulisan ini tertulis di lontar pada jaman Jawa dwipa- Aswadwipa

Dari beberapa manuskrip diatas bisa diberikan kronologi kkejadian pengubah

kesenian bantengan dan perkembangan nya tidak muncul pada Jaman sekarang

ini, melainkan sudah muncul sejak jaman dulu, bahkan sebelum adanya sistem

kepemerintahan di Bumi Jawa (Nuswantara). Hai ini bisa diurutkan sebagaimana

data berikut :

Jika pada jaman Purwa Jawi, arak-arakan banteng dilakukan sebagai simbolik

kekuatan seorang pemuda yang memuncak pada pemilihan Kepala Suku.

Dimana pemuda itu akan lari masuk hutan untuk menangkap seekor banteng.

Setelah berhasil pemuda itu akan diarak keliling desa sebagai simbol

kejantanan dan kekuasaan pemuda itu terhadap desa. ( SM )

Pada jaman Mayadwipa, Babat Jawi (Kerajaan Jenggala, Kahuripan,

Gajahyana). Simbolik arak-arakan Banteng dilakukan oleh Punggawa Raja

untuk meninjau daerah kekuasaannya, juga sebagai simbolik kepedulian Raja

kepada kawulanya. Karena setelah arak-arakan akan dipilih salah satu banteng

yang paling gemuk untuk selamatan. Bahkan banteng ini juga simbolik

kekuatan dan kesuburan negeri, sampai pada prasasti prasasti biasanya sang

18

Page 20: Perubahan Kultur Bantengan

raja menunggangi banteng. Hal ini bisa kita temukan pada relief Candi Jago,

Tumpang, Malang. (SM sampai Abad ke 7 M )

Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya simbolik menyatunya tatanan

penguasa/ raja dengan rakyatnya. Pada Jaman Majapahit sampai Singasari.

Gelaran bantengan, sebenarnya tidak dilakukan seperti sekarang ini. Yaitu

dengan menggunakan bantuan modifikasi kerajinan benda seni budaya. Akan

tetapi dengan menggunakan Banteng asli yang ditangkap dari hutan.

Kemudian Banteng itu diarak keliling kampung sampai pada lahan pertanian

masyarakat. Setelah Banteng itu diarak, binatang itu disembeleh untuk

dijadikan korban kesuburan tanah. Upacara ini biasanya diteruskan dengan

acara larungan ke laut, atau tolak balak saat desa mengalami Pagebluk

(Penyakit Massal), dengan kepalanya tidak dilarung ke tengah laut, melainkan

ditanam ditengah-tengah pusat kepemerintahan. Proses ini bisa kita lihat

kesamaannya dengan Kyai Slamet di keraton Jogjakarta.( Abad ke 6 – 14 M )

Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya untuk membentuk Kanuragan

dan Kesaktian pemuda-pemuda Jawa. Ini bisa kita temukan bagi masyarakat

Jawa yang mencampur kesenian Bantengan dengan Pencak silat

( Abad ke 13 – 15 M )

Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya menyampaikan falsafah

petuah-petuah sesepuh pada generasi muda, baik yang sifatnya spiritual

maupun intelektual. Ini bisa kita temukan pada acara hari-hari tertentu ( U

manis / jumat legi )

( Abad ke 15 – 17 M )

Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya propaganda pemersatu

masyarakat, yang biasanya dilakukan dengan arak-arakan keliling desa.

Sebagaimana beberapa seni pertunjukkan yang dimiliki masyarakat dari

berbagai daerah di nusantara, bantengan juga dirancang untuk

mempropagandakan semangat perjuangan rakyat yang ketika itu sedang

ditindas oleh pihak kolonial. Bantengan dipertunjukkan dengan maksud agar

masyarakat paham bahwa kesengsaraan yang mereka alami merupakan

dampak dari bercokolnya penjajah di tanah air mereka. Propaganda

perlawanan tampak pada cerita yang  ditampilkan. Dalam seni Bantengan

19

Page 21: Perubahan Kultur Bantengan

terdapat satu tarian yang berkisah tentang  pertarungan antara banteng

melawan harimau. Harimau merupakan simbolisasi dari kaum penjajah yang

menebar ketakutan dan keangkara murkaan. Sementara Banteng adalah

perlambang masyarakat pribumi. Ada pula satu hewan  lain yang menjadi

lakon cerita dari seni Bantengan, yakni kera. Kera menjadi gambaran dari

kalangan masyarakat  pribumi yang memilih untuk menjadi antek penjajah

atau komprador.

Pertunjukkan berusaha menggambarkan bagaimana pertarungan antara

banteng dengan harimau yang didukung kera itu berakhir dengan kemenangan

banteng. Itulah simbolisasi dari kemenangan rakyat atas penjajah Belanda.

Begitulah simbolisasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme dalam seni

Bantengan.

( Abad ke 17 – 19 M )

Kesenian Bantengan sebagai fungsi seni budaya spiritual hiorostik Mistik

Kejawen, yang fungsinya sebagai perayaan di tempat-tempat tertentu ( tempat

sakral dan pertanian )

( Abad ke 17 – 19 M )

Kesenian Bantengan yang terjadi sekarang, sebagai fungsi hiburan dan

tontonan masyarakat secara umum dan khusus pada acara tertentu. Baik itu

pada acara hari besar, perayaan, panghargaan, pencak silat, dsb. Hal ini tidak

lepas dari konsep pariwisata yang dijadikan pemerintah sebagai usulan untuk

ekonomi kreatif. Konsep pariwisata ini mendorong spemerintah untuk

melestarikan tarian bantengan menjadi salah satu yang bisa dijadikan sebuah

acuan dalam mengapresiasi seniman yang banyak memberikan kontribusi

pada kebudayaan lokal Kota Batu.

( Abad ke 19 – ….)

E. Konsep Perubahan Kebudayaan Bantengan dan Pariwisata

20

Page 22: Perubahan Kultur Bantengan

Peranan pariwisata dalam hal perubahan nilai-nilai pribadi maupun kelompok

tidak dapat dipisahkan dari pokok pikiran tentang nilai “komoditasi”, yang

menunjukkan bahwa apa yang dulunya merupakan pertunjukkan atau atraksi

kebudayaan dalam hal ini kesenian bantengan menjadi sebuah sistem dari sebuah

“produk/hasil kebudayaan” unntuk memenuhi kebutuhan komersil pariwisata

dengan kata lain kebudayaan telah menjadi sebuah komoditas (Hall,1999).

Kejadian semacam ini menjadikan sebuah keuntungan bagi devisa atau

pendapatan suatu daerah yang diperoleh, akan tetapi nilai-nilai budayanya

menjadi menurun karena yang ditonjolkan bentuk atraktifnya saja, sedangkan

“jiwa” dan apresiasinya tidak ada lagi terutama yang dirasakan oleh pelaku.

Konsep keuntungan untuk semuah nilai komoditas yang bukan berasal dari

kekayaan alam menjadi sebuah penting dewasa ini. Bukan saja sebagai

penyumbang ekonomi secara komoditas melainkan secara sumber daya manusia

juga menjadi komponen pendukung dalam gejala seperti ini. Bisa dibayangkan

Gambar 2: Pagelaran Kesenian Bantengan Nuswantara di stadion brantas Kota BatuSumber : kompasiana.com

bagaimana kebudayaan sekarang ini yang sudah menguap karena moderinatas dan

kapitalis yang merajai komoditas dengan tender-tender pembangunan yang

semakin menjamur. Kesenian sebagai sebuah tombak pemersatu dan hasil

kebudayaan kelompok masyarakat menjadi sebuah pengikat diantara individu-

individu masyarakat perkotaan. Konsep pemersatu tersebut juga bisa dikatakan

21

Page 23: Perubahan Kultur Bantengan

sebagai sebuah simbiosis mutualisme dimana kaitan antara pariwisata ddengan

pemersatu yang menjadi satu. Dimana pariwisata menumbuhkan profit kepada

masyarakat dan meningkatkan penghasilan juga berusaha memelihara kebudayaan

tersebut menjadi sebuah komoditas yang bisa dilestariukan. Namun sesuatu yang

hilang juga muncul dalam keadaan seperti ini. Konsep kapitalis banyak

menghilangkan nilai religi dan ritual pendukungnya, seperti ritual bersih desa dan

ritual pamit ke pundhen yang mewupakan wujud kepercayaan terhadap eksistensi

roh yang dimuliakan. Hal ini sebenarnya merupakan sebuah perjalanan akulturasi

yang membaur dengan perjalanan kesenian.

22

Page 24: Perubahan Kultur Bantengan

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan tujuan penulisan ilmiah dan rumusam masalah yang telah diperoleh

dalam mengamati perkembangan seni bantengan sebagai sebuah nilai budaya

yang berestetika lewat mimetik dan akulturasi panjang sehingga menjadi kesenian

banteng yang populer saat ini dikota batu sebagai kota pariwisata seperti sudah

dijelaskan diatas, maka penulis memiliki beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Menjawab pertanyaan pertama bahwa konsep apa yang mendasari perubahan

kesenian bantengan kita bisa melihat konsep teori tiga tahap kebudayaan yang

diajukan oleh van Peursen, yakni tahap mitis, tahap ontologis, dan tahap

fungsional. Dimana pada jaman Jika pada jaman Purwa Jawi, arak-arakan

banteng dilakukan sebagai simbolik kekuatan seorang pemuda yang

memuncak pada pemilihan Kepala Suku. Dimana pemuda itu akan lari masuk

hutan untuk menangkap seekor banteng. Setelah berhasil pemuda itu akan

diarak keliling desa sebagai simbol kejantanan dan kekuasaan pemuda itu

terhadap desa. Dalam tahap tersebut kesenian bantengan masih memberikan

tahap mistis dimana masyarakat percaya bahwa bantek merupakan simbol

kekuatan. Sedangkan dalam tahapan ontologis kesenian bantengan sebagai

fungsi seni budaya menyampaikan falsafah petuah-petuah sesepuh pada

generasi muda, baik yang sifatnya spiritual maupun intelektual. Ini bisa kita

temukan pada acara hari-hari tertentu. Dan pada tahap fungsionil Kesenian

Bantenganmempunyai fungsi sebagai seni budaya propaganda pemersatu

masyarakat, yang biasanya dilakukan dengan arak-arakan keliling desa.

Sebagaimana beberapa seni pertunjukkan yang dimiliki masyarakat dari

berbagai daerah di nusantara, bantengan juga dirancang untuk

mempropagandakan semangat perjuangan rakyat yang ketika itu sedang

ditindas oleh pihak kolonial. Bantengan dipertunjukkan dengan maksud agar

masyarakat paham bahwa kesengsaraan yang mereka alami merupakan

dampak dari bercokolnya penjajah di tanah air mereka. Propaganda

23

Page 25: Perubahan Kultur Bantengan

perlawanan tampak pada cerita yang  ditampilkan. Dalam seni Bantengan

terdapat satu tarian yang berkisah tentang  pertarungan antara banteng

melawan harimau. Harimau merupakan simbolisasi dari kaum penjajah yang

menebar ketakutan dan keangkara murkaan. Sementara Banteng adalah

perlambang masyarakat pribumi. Ada pula satu hewan  lain yang menjadi

lakon cerita dari seni Bantengan, yakni kera. Kera menjadi gambaran dari

kalangan masyarakat  pribumi yang memilih untuk menjadi antek penjajah

atau komprador.

Hal tersebut sampai juga pada tahap akulturasi yang belum bisa penulis

jabarkan, karena kurangnya data dalam penelitian ini. Akan tetapi bisa penulis

jabarkan bahwa kesenian ini sudah lama muncul di Kota Batu sebelum batu

kemasukan hindu dan budha, dalam artian animisme yang masih mempunyai

paham terhadap mistis. Totemisme yang dipakai untuk menggambarkan

hewan yang menjadi filosofis kebudayaan jawa. Kemudian berbaur dengan

keagamaan hindu dan buda menjadi sebuah ritual keagaamaan dan sampai

pada masukknya islam menjadi sebuah kesenian yang mencoba membujuk

masyarakat dengan arak-arakan sebagai bahan untuk menyiarkan agama islam

dengan berbaurnya pencak silat di dalam kesenian bantengan ini. Tahap

akulturasi budaya tersebut masih terlihat dengan adanya nilai kesatuan

bantengan yang masih mempertahankan tradisi bersih desa pada malam

tertentu, dan pamit pundhen yang notabene merupakan ritual agama hindu.

Konsepsi islam dan hindu yang membaur menjadikan kebudayaan kesenian

bantengan ini menjadi nilai adi luhur yang patut untuk dilestarikan dengan

kacamata baru yakni kacamata pariwisata

Perkembangan modernitas dengan segala sesuatu yang bersifat profit

memberikan sentuhan perubaan juga teradap nilai dan kandungan kesenian

bantengan. Bagaimana kesenian ini bukan lagi sebagai acara ritual yang dipuja

untuk melakukan sesembahan melainkan seni “kitch” yang mencoba

menyenangkan para shareholder dalam hal ini masyarakat penonton sebagai

bagian dari unsur pariwisata di kota batu. Namun segi positif dalam

perkembangan dengan konsep wisata tersebut memunculkan perkembangan

24

Page 26: Perubahan Kultur Bantengan

kesenian bantengan yang tidak lagi monoton tetapi lebih dengan unsur estetis

dengan penggunakan costum dan body painting. Kelembagaan dengan konten

Gambar 3: Makeup dan body painting yang berkembang dalam Seni Bantengan

Sumber:kompasiana.com/ 1.698 Seniman Bantengan Padati Kota Batu

pariwisata tersebut juga turut bisa menjadi andil besar dalam melestarikan

kebudayaan tersebut. Para seniman dan shareolder dituntut untuk

mengembangkan dan menjaga warisan budaya dengan ditampilkannya

kesenian ini dalam pesta rakyat maupun karnaval yang diselenggarakan oleh

pemerintah kota batu sebagai salah sstu destinasi pariwisata tersohor dijawa

timur.

25

Page 27: Perubahan Kultur Bantengan

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Buku

Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Hadi, Y.S. 2005. Sosiologi Tari: Sebuah Pengenalan Awal. Yogyakarta: Pustaka.

Hadi, Y. Sumandiyo. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta : Penerbit Buku Pustaka

Hartoko,Dick.1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta:Penerbit Kanisius

Herwanto, A.P. 2012. Bantengan: Kedigdayaan Seni Tradisi. Malang: APH Malang.

Koentjananingrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan IX. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta

Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Peursen, van. 1988. Strategi Kebudayaan. Edisi Kedua. Yogyakarta : PenerbitKanisius

Literatur Digital/PDF

Wido, Soerjo Minarto.2007. Jaran kepang dalam tinjauan interaksi sosial padaUpacara ritual bersih desa. Jurusan Seni dan Desain Fak. Sastra Universitas Negeri Malang

Suwito. 2007. Slametan dalam Kosmologi Jawa: Proses Akulturasi Islam dengan

Budaya Jawa. Jurnal Studi Islam dan Budaya IBDA, (Online), 5 (1): 1-11,

Siswanto. 2007. Pariwisata dan Pelestarian Warisan Budaya. Balai Arkeolog

Yogyakarta

http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batu diakses 17 oktober 2014

http//www.batukota.bps.go.id diakses pada 18 oktober 2014

26

Page 28: Perubahan Kultur Bantengan

http://sosbud.kompasiana.com/2014/10/24/megahnya-budaya-di-balik-pegunungan-kesenian-bantengan-697886.html diakses pada tanggal 18 oktober 2014

http://bantengannuswantara.wordpress.com diakses pada 18 september 2014

 http://djerugangsiji.blogspot.sg/ diakses pada 18 september 2014

 http://bantengannuswantara.wordpress.com/ diakses pada 20 september 2014

27