Perubahan 6

12
Transformasi Sosial Masyarakat Depok Depok secara geografis merupakan daerah sub urban. Fungsinya secara makro memang menyokong metropolitan Jakarta. Namun secara ideal ia bukan hanya sebagai daerah tinggal para karyawan dan pelaku bisnis di Jakarta (dormitory city). Juga bukan hanya sebagai daerah eksploitasi ekonomi dimana para pelaku bisnis seperti properti dan mega mall (carefour, giant dsb) mempermainkan para target marketnya. Depok tetaplah depok, kota yang mengayomi seluruh elemen masyarakat yang ada di dalamnya dalam keseluruhan aspek kehidupan: ekonomi, politik, sosial, budaya termasuk kehidupan beragama. Dalam usianya yang relatif muda yakni delapan tahun (Kota Depok berdiri pada 27 April 1999) secara kasat mata boleh jadi Depok dikatakan makmur dengan tingkat penghasilan per kapita sekian bagusnya, ukuran kesehatan sekian mantapnya, dsbnya. Pada kenyataannya ukuran kesejahteraan masyarakat yang digunakan ternyata belum mampu mencerminkan kondisi sebenarnya masyarakat depok. Kriminalitas dan premanisme terjadi di mana-mana dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Depok. Konflik perdata tentang hak milik tanah— yang notabene pihak masyarakat asli selalu jadi korban—masih merupakan masalah klasik selalu terjadi. Sebagaimana pun kehidupan ekonomi. Margonda sama sekali bukanlah ukuran yang tepat yang dapat merepresentasikan kondisi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Depok, justru keberadaan pemusatan ekonomi dan kapitalisasi dengan pendirian mall-mall di margonda menjadi boomerang dengan semakin sulitnya masyarakat asli bersaing. Belum lagi permasalahan sosial seperti kesenjangan masyarakat (kaya miskin, pendatang dan asli, masalah pola dan habbits pendidikan, pola pembentukan norma, pendidikan politik maupun permasalahan tata budaya

description

Perubahan Sosial

Transcript of Perubahan 6

Page 1: Perubahan 6

Transformasi Sosial Masyarakat Depok

Depok secara geografis merupakan daerah sub urban. Fungsinya secara makro memang menyokong metropolitan Jakarta. Namun secara ideal ia bukan hanya sebagai daerah tinggal para karyawan dan pelaku bisnis di Jakarta (dormitory city). Juga bukan hanya sebagai daerah eksploitasi ekonomi dimana para pelaku bisnis seperti properti dan mega mall (carefour, giant dsb) mempermainkan para target marketnya. Depok tetaplah depok, kota yang mengayomi seluruh elemen masyarakat yang ada di dalamnya dalam keseluruhan aspek kehidupan: ekonomi, politik, sosial, budaya termasuk kehidupan beragama.

Dalam usianya yang relatif muda yakni delapan tahun (Kota Depok berdiri pada 27 April 1999) secara kasat mata boleh jadi Depok dikatakan makmur dengan tingkat penghasilan per kapita sekian bagusnya, ukuran kesehatan sekian mantapnya, dsbnya. Pada kenyataannya ukuran kesejahteraan masyarakat yang digunakan ternyata belum mampu mencerminkan kondisi sebenarnya masyarakat depok. Kriminalitas dan premanisme terjadi di mana-mana dan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Depok. Konflik perdata tentang hak milik tanah—yang notabene pihak masyarakat asli selalu jadi korban—masih merupakan masalah klasik selalu terjadi. Sebagaimana pun kehidupan ekonomi. Margonda sama sekali bukanlah ukuran yang tepat yang dapat merepresentasikan kondisi dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Depok, justru keberadaan pemusatan ekonomi dan kapitalisasi dengan pendirian mall-mall di margonda menjadi boomerang dengan semakin sulitnya masyarakat asli bersaing. Belum lagi permasalahan sosial seperti kesenjangan masyarakat (kaya miskin, pendatang dan asli, masalah pola dan habbits pendidikan, pola pembentukan norma, pendidikan politik maupun permasalahan tata budaya yang semakin terkikis oleh arus kebudayaan baru.

Tansformasi atau perubahan sosial

Transformasi sosial didefinisikan oleh para ahli sosiologi sebagai perubahan yang terjadi dalam tata kemasyarakatan (society) menyangkut struktur masyarakat. Di dalam perkembangannya, perubahan sosial tak pernah terlepas dari perubahan budaya, karena hakikatnya kedua hal ini saling beririsan. Oleh karena itu, perubahan sosial juga menyangkut perubahan pola budaya. Perubahan sosial merupakan sebuah gejala umum yang terjadi dalam masyarakat yang timbul karena hasrat manusia untuk melakukan perubahan.

Page 2: Perubahan 6

Perubahan sosial juga merupakan konsekuensi atas globalisasi dari semua sudut pandang dan faktor. Namun, perubahan sosial tidak selalu terjadi dengan hubungan sebab akibat, karena ada kalanya terjadi kelambatan dala perubahan sosial tersebut. Kelambatan ini disebabkan oleh dampak kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain (masyarakat pendatang). Terlebih lagi jika terdapat perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan.

Tansformasi atau Perubahan Sosial Depok

Realitas sosial yang ada tersebut menunjukkan adanya keterlambatan masyarakat untuk melakukan perubahan sosial. Hal ini dimungkinkan terjadi atas kontribusi faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang dimaksud adalah pola asli yang dimiliki oleh masyarakat Depok. Sedangkan faktor ekstern adalah terjadinya dinamika sosial akibat perkembangan yang terjadi secara kekinian. Tariklah contoh ringan: masuknya UI tahun 1991 yang secara langsung diikuti kepindahan mahasiswa. Mahasiswa ini tentunya memerlukan tempat tinggal sementara (indekost) karena sebagian besar dari mereka memiliki batasan dalam jangkauan geografis antara rumah asli orang tua mereka dan kampus. Akibatnya mereka akan membaur dengan masyarakat Depok dan terjadilah interaksi sosial baik secara mikro (individu) ataupun secara makro (kelompok mahasiswa dengan aturan-aturan dalam masyarakat). Interaksi yang terjadi akan membentuk suatu kompromi sosial atau berbentuk asimilasi, bisa jadi hasil ini akan lebih condong kepada aturan lama atau terbentuk aturan baru. Bahkan sangat dimungkinkan terjadi social hazard karena para pendatang ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan aturan yang ada.

Namun, inti dari berbagai realitas yang ada adalah ketidakmampuan masyarakat Depok untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang ada sebagai dampak dari globalisasi. Arus budaya baru sebagai faktor eksternal sepertinya tidak mampu dibendung oleh Depok. Sebagaimana kita dapat melihat perilaku pemuda saat ini yang tidak jauh beda dengan kehidupan pada “lakon film luar negeri”. Semisal, adegan ciuman kini bukan lagi menjadi sebuah hal yang tabu untuk dilakukan di ruang publik. Mari kita bandingkan dengan kondisi dahulu, masyarakat depok yang notabene betawi sebenarnya lebih santun dengan budaya yang islami dan norma-norma yang khas ketimuran.

Lebih dari itu, ketidaksiapan ini juga ditunjukkan dengan semakin meluasnya budaya konsumerisme yang ditunjang dengan pembangunan mall-mall di area margonda raya

<p>SEKILAS INFO MENGENAI PERKEMBANGAN KOTA DEPOK</p> Rencana pembangunan dua jalan tol yang melintas di Kota Depok akan dimulai

Page 3: Perubahan 6

tahun ini. Dua jalan tol yang akan dibangun itu adalah Jalan Tol Pangeran Antasari-Citayam-Bojonggede sepanjang 22 kilometer dan Jalan Tol Cinere-Jagorawi sepanjang 14,5 kilometer. Pembangunan dua jalan tol di Depok dinilai sebagai pembangunan transformasi ketiga di kota satelit ini. Transformasi pertama adalah pembangunan kawasan perumnas tahun 1976-1980, dan dianggap pembangunan yang berhasil karena merupakan proyek percontohan perumnas. Transformasi kedua adalah pindahnya Kampus Universitas Indonesia ke Depok tahun 1987. Perpindahan Kampus UI ke Depok ini mengubah wajah Kota Depok. Dan transformasi ketigaadalah rencana pembangunan dua jalan tol. Rencana pembangunan jalan tol tersebut membuat Kota Depok kini makin dilirik investor. Sekarang saja sejumlah pusat perbelanjaan dibangun di Jalan Margonda Raya. Lihatlah, misalnya, ITC Depok (103.270 m2 ) yang dikelola |Grup Sinarmas, Depok Town Square (Detos) seluas 160.000 m2 milik PT Lippo Karawaci, dan Margo City Square (49.000 m2) milik Grup Djarum. Para investor besar ini mengantisipasi perkembangan Kota Depok yang sangat pesat, terutama bila dua jalan tol selesai dibangun, tiga-empat tahun ke depan. Kota Depok saat ini luasnya 20.029 hektar (200,2 m2), atau kurang sepertiga luas Kota Jakarta yang 650 km2. Jumlah penduduk Kota Depok tahun 2005 tercatat 1,374 juta jiwa dengan kepadatan rata-rata 6.244,14 jiwa/kilometer persegi. Dari luas kota itu, 50 persen kawasan sudah dibangun, sisanya masih lahan tak terpakai. Jalan Tol Cinere-Jagorawi sepanjang 14 km akan berfungsi secara regional karena menghubungkan wilayah Tangerang, Bogor, Bekasi, danJakarta. Jalan tol dengan enam lajur yang total selebar 30 meter ini rencananya akan melalui Jalan Tol Bumi Serpong Damai (BSD) dan Jalan Tol Merak-Jakarta, dan pada akhirnya menembus masuk Kota Tangerang. Tol Cinere-Jagorawi ini juga menghubungkan wilayah Bogor karena melintas di Jalan Tol Jagorawi serta menghubungkan wilayah Bekasi karena melintas di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, dan akhirnya menembus Kota Cikarang.Kehadiran Jalan Tol Cinere- Jagorawi ini diharapkan dapat mengurangi beban jalan tol dalam kota Jakarta, yang saat ini sudah terlalu padat dan selalu macet. Jalan tol lainnya yang akan dibangun dalam waktu bersamaan adalah Jalan Tol Pangeran Antasari-Citayam-Bojonggede sepanjang 22 km. Jalan tol ini akan menghubungkan Jakarta Selatan (Jalan P Antasari), Kota Depok, dan Kabupaten Bogor sehingga memudahkan akses warga Depok dan Bogor yang akan ke Jakarta dan sebaliknya. Sepanjang 2 km pertama jalan tol ini masuk wilayah Jakarta, setelah itu sepanjang 16 km melewati Kota Depok hingga Citayam, dan sepanjang 4 km masuk wilayah Kabupaten Bogor hingga kawasan Bojonggede.

Page 4: Perubahan 6

Pusat bisnis baruRencana pembangunan dua jalan tol ini membuat Bappeda Kota Depok mengantisipasi pertumbuhan kota. Kami sudah siapkan rencana kawasan bisnis baru di sepanjang koridor Tol Antasari-Citayam dengan membuat lima cluster wilayah pengembangan, ujar Herman. Pertama cluster Limo dengan konsentrasi untuk hunian, pendidikan, dan rekreasi. Kedua cluster Krukut/Grogol untuk hunian dan komersial. Ketiga cluster Rangkapan Jaya untuk hunian, rekreasi, dan komersial. Keempat cluster Cipayung untuk hunian, pendidikan terpadu, dan fasilitas komersial. Dan, kelima cluster Pondok Jaya untuk pusat perdagangan dan kebutuhan pokok. Lima cluster itu diprediksikantumbuh sebagai pusat-pusat bisnis baru. Penyusunan cluster ini untuk mengendalikan pertumbuhan kota di sekitar jalan tol sehingga pembangunan tidak serampangan dan semrawut. Selama ini pertumbuhan kawasan bisnis Kota Depok terpusat di Jalan Margonda Raya. Lihatlah di sepanjang jalan itu ada bengkel otomotif, toko, restoran, mal, plaza, ruko, dan warnet yang menjamur. Tak heran jika jalan utama kota ini selalu padat, terutama pada jam sibuk. Pembangunan jalan tol ini diperkirakan akan menjadi faktor pembangkit bagi pertumbuhan kawasan Depok Tengah dan Depok Barat, yang selama ini cenderung agak terpisah dibandingkan wilayah timur Depok. Yang pasti, dua jalan tol ini akan mempersingkat jarak tempuhDepok dan Jakarta, serta Depok dengan Tangerang, Bekasi, dan Bogor.Menurut Herman, lokasi yang berpotensi dan berpeluang jadi pusat kegiatan usaha adalah Beji dan Pancoran Mas (Jalan Margonda Raya sampai Jatimulya). Tiga pusat pertumbuhan baru yang diperkirakan cepat berkembang setelah jalan tol dibangun adalah Cinere dan Jalan Limo Raya, serta Sawangan dan kawasan Rangkapan Jaya. Saat ini kompleks perumahan skala besar atau real estat dengan segmen pasar menengah dan menengah atas berlokasi di Sawangan, Limo, dan Beji.Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah masyarakat Depok mendukung pembangunan dua jalan tol ini? Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail berharap warganya mendukung pembangunan infrastruktur kota itu karena kehadiran dua jalan tol tersebut akan mempercepat pertumbuhan kota.Jalan Tol Cinere-Jagorawi, misalnya, akan memakan lahan 135 hektar, berlokasi di sebelah utara jalur pipa gas. Sejumlah permukiman warga akan tergusur, termasuk rumah di Kompleks Pelni dan Taman Duta Depok. Kepala Subbag Pemerintahan Umum Pemkot Depok Theo S menegaskan, ganti rugi akan diberikan sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP) dan langsung kepada warga tanpa perantara. Warga dapat mengambil ganti rugi di bank sehingga terbebas dari pungli oknum aparat. Bagi Syahruddin (50), Ketua RT 01 RW 07, Kelurahan Bhaktijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, yang rumahnya dekat jalur pipa gas, yang penting warga tidak dizalimi. Sosialisasi ganti rugi harus transparan dan

Page 5: Perubahan 6

tidak merugikan warga. Kalau itu yang terjadi, kami dukung proyek jalan tol ini, katanya. Proyek dua jalan tol ini salah satu pekerjaan rumah bagi Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail yang harus diselesaikan. Setidaknya, ketika konsep Megapolitan Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur) berlaku, Depok sudah siap.

Persis gadis nan-jelita, Depok selalu diperebutkan. Pemilukada Depok mulai 2005

sampai 2010 selalu penuh konflik yang berlarut-larut tanpa juntrungan, mirip

lakon klasik Samuel Backet Menunggu Godot.

Sejak tempo doeloe, Depok memang kerap diperebutkan. Pelbagai kekuatan dari

antero tempat datang berlaga, menyulut sengketa. Semua mencari jalan untuk

bisa naik ranjang si jelita yang terletak hanya sekitar 40 km dari Jakarta itu.

Penyebab perebutan pun dari dulu sampai sekarang mirip, bahkan boleh

dikatakan semacam histoire repete (pengulangan sejarah).

Membaca data-data sejarah dan membandingkannya dengan hasil penelitian

kota Depok kontemporer dapatlah dikatakan “si jelita” diperebutkan sepanjang

sejarah sebab sebagai wilayah pinggiran yang jadi penyangga (buffer area)

terhadap kota utama (Batavia-Jakarta), ia mengalami perubahan fungsi sebagai

konsekuensi masuknya kota utama dalam sistem pembagian kerja internasional.

Karena sebab itulah Depok mengalami proses transformasi sosial-ekonomi yang

dramatis. Struktur anatomis kota dan pola pemukimannya pun berubah serta

melahirkan struktur sosial ekonomi kota Depok yang relatif baru.

Seperti apakah jalan sejarah perkembangan struktur sosial ekonomi Depok

terkait dengan posisinya yang penting akibat pergeseran fungsinya sebagai

penyangga? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat dari sanalah dapat dikuak

perubahan fungsi yang memungkinkan kapitalisme global mengubahnya dari

daerah yang dicap sebagai "tempat jin buang anak" menjadi "tempat paling

enak" penuh madu pertumbuhan, sehingga sejarahnya terus diiringi oleh

perebutan kuasa. Akhirnya apakah perebuatan kuasa itu berbuah madu atau

racun bagi Depok? Mari kita pergi sejenak ke masa lalu.

Depok masa awal

Page 6: Perubahan 6

Jejak historis paling awal pembentukan struktur sosial ekonomi Depok memang

berkaitan erat dengan perannya sebagai mata rantai sistem perdagangan

internasional yang sudah berjalan setidaknya sejak abad kelima, ketika kapal dari

Tiongkok dan Champa (Vietnam) serta dari seluruh kepulauan Nusantara

berlabuh di muara Ciliwung. Tetapi struktur sosial ekonomi Depok baru

menampakkan kemapanan pada abad ke-16, ketika hadir Kerajaan Hindu Sunda

yang beribukota Pakuan Pajajaran di Batutulis (Bogor) dan pada masa itu sudah

dapat dicapai dalam dua hari perjalanan dengan menyusuri Ciliwung. Depok

adalah sebuah perkampungan di pinggir Ciliwung dan tumbuh sebagai tempat

transit perdagangan sungai yang menyalurkan komoditi dari daerah pedalaman

ke pelabuhah internasional di muara Ciliwung yang disebut Kalapa. Depok adalah

penyangga Kalapa yang kian penting dalam jaringan perniagaan dunia karena

menurut Abdurahman Surjomihardo dalam Pemekaran Kota Jakarta (1976) saben

tahun mengekspor 10 jung beras, 1000 bahar lada, asam, buah-buahan, sayur-

sayuran, tuak nira, kambing dan sapi dari Kerajaan Sunda di pedalaman.

Tetapi laju perkembangan sosial ekonomi Depok mengalami kemunduran setelah

Jan Pieterzoon Coen pada 1619 merebut Kalapa dari Kerajaan Banten yang

sebelumnya pada 1527 dengan dukungan kekuatan kerajaan Islam Demak

berhasil merebutnya dari Kerajaan Hindu Sunda. Kemunduran ini terjadi karena

setelah perebutan Kalapa oleh Coen hubungan antara Kalapa sebagai pelabuhan

internasional yang diubah namanya menjadi Batavia dengan daerah pedalaman

terus dalam ketengangan dan peperangan selama hampir setangah abad.

Selama itu orang-orang Belanda tidak berani keluar dari intramuros (kota

benteng) Batavia karena disana berkeliaran pasukan dan gerilyawan Banten

yang memusuhi mereka.

Depok zaman kolonial

Struktur sosial ekonomi Depok bangkit kembali setelah VOC berdamai dengan

Banten pada paro kedua abad ke-17. Sejak itu tanah-tanah di luar kota benteng

Batavia yang disebut ommelanden mulai diperdagangkan VOC kepada abdi-

abdinya. Tujuan tindakan VOC ini bukan saja agar mereka membangun tanah-

tanah itu menjadi daerah perkebunan yang memasok kebutuhan pokok

penduduk Batavia, tetapi juga menyediakan komoditi perkebunan untuk pasar

dunia.

Maka muncullah landheer alias penguasa-penguasa tanah. Salahsatunya adalah

Page 7: Perubahan 6

Cornelis Chastelein yang membeli tanah Depok. Ia membeli 1244 hektar tanah

Depok, disamping Mampang dan Karang Anyar, dari seorang landheer bernama

Lucas Meur pada 18 Mei 1696. Untuk mengelola tanah Depok, Chastelein

mengerahkan 120 pembantunya yang sebagian besar adalah orang Bali dan

beberapa dari Sulawesi serta Nusa Tenggara.

Pembelian tanah Depok oleh Chastelein sebenarnya terkait erat apa yang ditulis

dalam bukunya Invallende Gedagten Ende Aanmerkingen Over Colonien –

Beberapa Pikiran dan Catatan yang Muncul dalam Benakku Mengenai Negeri

Jajahan. Ia mengkritik VOC yang kurang peduli dengan pembukaan ommelanden

dan kebijakannya dinilai bersemangat kruideiner(tukang kelontong yang pelit),

sehingga ommelanden berkembang menjadi semacam wild west.

Cita-cita Chastelein untuk mengurus ommelanden dengan sungguh-sungguh

tanpa mental kruidenier tidak sebatas pemikiran saja, tapi dicontohkannya di

Depok. Dengan hak eigendom dan landheerlijke rechten yang menyerupai

"kedaulatan sebuah negara", di bawah Chastelein segera saja Depok berubah

dari sebuah daerah hutan perawan tak terurus menjadi perawan jelita yang

pantas disebut sebagai putri terayu dari Koningin het van Oosten (Sang Ratu di

Timur) – demikian Kota Batavia sohor dijuluki saat itu. Chastelein menyulap

Depok menjadi wilayah perkebunan raksasa penghasil komoditas ekspor yang

terkemuka. Otomatis kehidupan sosial ekonomi Depok pun hidup kembali dan

berkembang pesat sebagai bagian dari jaringan perdagangan global VOC.

Keberhasilan ini mengundang para pedagang Cina berdatangan ke Depok untuk

mencoba merebut manis madu pertumbuhannya yang menakjubkan itu dari

pembantu-pembantu Chastelein. Tetapi Chastelein menghalau para pedagang

Cina ini dari Depok yang mengakibatkan banyak pedagang Cina mondok di

daerah yang kini dikenal sebagai Pondok Cina.

Setelah itu sampai Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714, segala upaya

perebutan Depok dari tangan para pembantunya tidak tampak. Padahal

sepeninggal Chastelein, para pembantunya yang atas wasiatnya dimerdekakan

dan mendapat bagian tanah pertanian serta perkebunan di Depok berhasil

mengembangkan struktur sosial ekonomi Depok ke tingkat yang lebih tinggi.

Bahkan berkat mereka Depok dapat memetik banyak keuntungan ketika

Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan dua kebijakan (liberalisasi ekonomi

pada 1870 dan Politik Etis pada awal abad ke-20) demi memantapkan posisinya

Page 8: Perubahan 6

sebagai penghasil utama komoditi perkebunan untuk pasar dunia. Apalagi

sebelum dikeluarkan kebijakan ekonomi yang penting itu di Depok pada 1862

terbentuk Badan Pengurus Tanah Partikulir Depok yang membolehkan orang

"Belanda Depok" untuk membentuk pemerintahan sendiri dan memilih seorang

pemimpin Depok dengan gelar mentereng “Presiden” lengkap dengan istananya.

Pembukaan jalur kereta api Batavia – Buitenzorg pada tahun 1880-an bukan saja

membuat semakin hebat perubahan stuktur sosial ekonomi Depok sebagai

penyangga terhadap kota utama (Batavia) dalam menjalankan perannya sebagai

pemasok komoditi perdagangan dunia, tetapi juga memungkinkan para "Belanda

Depok" jebolan Depokschool (setingkat Algemene Europeesche School atau

Sekolah Umum Eropa) untuk semakin leluasa melakukan mobilitas vertikal di

Batavia sebagai pegawai pemerintah dan pegawai swasta, tanpa harus mukim di

ibukota Hindia Belanda itu, tetapi cukup menjadi penglaju harian.

Tetapi oleh karena pesona pertumbuhannya sebagai sumber komoditi

perkebunan itu pula yang membuat Depok langsung dikuasai begitu kuasa

militeristik Jepang datang. Bahkan setelah Indonesia merdeka, Depok kembali

menjadi sasaran utama perebutan gerombolan-gerombolan yang

menggabungkan aksi patriotisme dengan penjarahan dan teror.

Setelah itu Depok kembali jatuh. Segala keajaiban pembangunan sosial

ekonominya lenyap. Depok tidak mampu lagi merumuskan peran sebagaimana di

masa lalunya sebagai penyangga (buffer area) terhadap kota utama. Depok

muram selama 30 tahun. Tenggelam.

Lalu apa yang terjadi setelah itu? Depok kemudian bangkit kembali di awal tahun

1970-an. Penulis akan ulas kisahnya pada tulisan berikutnya.

Melanjutkan tulisan sebelumnya, era baru Depok dimulai pada dekade 1970-an.

Depok mulai bangkit kembali dan mengayunkan langkah awalnya menuju Depok

era kontemporer. Transformasi sosial-ekonomi dimulai.

Asep Suryana, melalui penelitiannya, mengungkapkan ada dua momen yang

mejadi titik tolak tranformasi sosial ekonomi Depok.

Page 9: Perubahan 6

Pertama adalah mulai dihuninya 20.867 unit rumah di kompleks perumahan

Perumnas Depok dalam rentang waktu tahun 1976-1980. Hanya dalam waktu

dua tahun (1976-1978), penduduk Depok yang 94.144 orang meningkat 20,74

persen menjadi 113.671 orang.

Salah satu dampak dari dihuninya kompleks Perumnas ini adalah bergesernya

pusat kehidupan sosial ekonomi politik dari lokasi pemukiman utama sebelumnya

di kawasan "Belanda Depok" di Depok Lama ke daerah Perumnas yang baru

dibangun ini. Efeknya, sektor ekonomi informal pun tumbuh subur untuk

menyediakan kebutuhan sehari-hari penduduk kota Depok yang semakin

bertambah kuantitasnya.

Mereka berperan sebagai penyalur barang dan jasa antara pusat perdagangan

dengan penduduk yang tinggal di pelosok. Di tingkat adiministratif, akselerasi

sosial ekonomi itu akhirnya diakomodasi dalam bentuk perubahan Depok menjadi

kota administratif.

Kedua, momen penting adalah kepindahan Kampus UI ke Depok pada 5

September 1987. Kepindahan kampus yang diikuti oleh civitas akademikanya itu

mengakibatkan tumbuhnya sektor informal baru.

Sebagian besar para pendatang baru yang menjadi penghuni Kota Depok karena

berkuliah di Universitas Indonesia adalah kalangan menengah atas yang memiliki

daya beli baik. Keberadaan kampus juga mempercepat perbaikan dan pengadaan

infrastruktur Kota Depok, terutama kereta listrik dan jalan raya. Sebagai contoh,

pada 1989 jalan Margonda (jalan utama yang menghubungkan Depok dengan

Jakarta) diperbesar menjadi dua jalur (masing-masing lebarnya 5 meter) dan

lurus mengikuti jalur rel kereta listrik. Tahun 1992, jalur rel ganda kereta listrik

mulai beroperasi dan semakin memperlancar mobilisasi sumber daya dari dan ke

Jakarta.

Tahun itu juga Depok memiliki terminal bus dalam dan luar kota yang memadai.

Perbaikan infrastruktur Kota Depok pada gilirannya membuat Depok menjadi

wilayah yang semakin menarik bagi para investor.

Sebab itu, berbagai sektor ekonomi swasta – mengiringi sektor ekonomi negara

yang telah ada – semakin tumbuh di "kawasan primer" Kota Depok. Menurut

catatan resmi pemerintah kota, pada 1999 saja Depok memiliki 5 hotel, 96

Page 10: Perubahan 6

restoran, 15 pasar harian, 2847 toko dan 17 toko swalayan.

Dinamika ekonomi Depok ditopang oleh 10 bank pemerintah, 36 bank swasta

dan 17 bank perkreditan rakyat. Dampak sosial ekonomi lain dari kepindahan

kampus adalah terbentuknya “kawasan sekunder” Depok. Terutama di sekitar

kampus, seperti daerah Beji. Kawasan sekunder ini menjadi hidup karena para

pendatang berpindah kesana untuk membangun rumah atau mengontrak/kost.

Sedangkan “kawasan tersier” terbentuk pada pertengahan tahun 1990-an,

setelah bagian selatan Depok menjadi incaran para pengembang untuk

membangun infrastruktur perumahan. Pola pembangunan yang menjadikan

Depok semakin terhubung dengan Jakarta mengukuhkan statusnya sebagai area

penyangga (buffer area) bagi ibukota negara kita itu.

Laju dinamika sosial ekonomi itu pula yang kemudian mendorong terjadinya

perubahan status administratif Depok, karena transformasi di atas telah

melahirkan pelbagai potensi sumber pendanaan yang membuat aparat kota

Depok dapat mengelola wilayahnya sendiri secara mandiri. Sejak 27 April 1999

Depok menjadi daerah otonom yang berstatus kota.

Status dan keajaiban pertumbuhan ekonomi sebagai dampak dari kembalinya

Depok masuk dalam investasi dan sistem pembagian kerja internasional telah

membuatnya mendapatkan kembali keayuannya yang mempesona. Depok

kembali menuai kejelitaannya yang penuh madu manis dan menampakkan seri

sehingga mengundang siapa saja untuk (kembali) memperebutkannya.

Sebab itu, ketika Orde Baru roboh dan disusul dengan perubahan status Depok

menjadi daerah otonom pada 27 April 1999, segera saja partai-partai politik

mengincar Depok si jelita. Politik lokal Depok pun menjadi sangat dinamis.

Bergemuruh. Namun, hanya gemuruh perebutan kekuasaan untuk mengangkangi

Depok si jelita. Tidak ada perencanaan dan pembangunan serta perhatian yang

lebih dengan kebutuhan masyarakat Depok. Meminjam istilah Chastelein, mereka

cuma sekelompok orang bermental kruideiner (tukang kelontong yang pelit).

Alhasil, jangan kaget bila menurut survey KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

akhir 2011, Depok merupakan daerah dengan nilai integritas terendah dan

pelayanan publiknya buruk penuh praktik korupsi. Semoga saja segera ada titik

cerah bagi Kota Depok dan ia tak kembali mati suri.

Page 11: Perubahan 6