PERTUSIS

19
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG DIFTERI, PERTUSIS, TETANUS Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang Diajukan Kepada : Prof. Dr. dr. Harsoyo, Sp.A(K) Disusun Oleh : Alaa ‘Ulil Haqiyah H2A009001 Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FAKULTAS KEDOKTERAN – Muhammadiyah Semarang Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang

description

pertusis

Transcript of PERTUSIS

Page 1: PERTUSIS

UNIVERSITAS MUHAMADIYAH SEMARANG

DIFTERI, PERTUSIS, TETANUS

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang

Diajukan Kepada :

Prof. Dr. dr. Harsoyo, Sp.A(K)

Disusun Oleh :

Alaa ‘Ulil Haqiyah H2A009001

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FAKULTAS KEDOKTERAN – Muhammadiyah Semarang

Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang

PERIODE 21 April – 12 Juli 2014

Page 2: PERTUSIS

BAB IPENDAHULUAN

Pertusis disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi akut yang menyerang

saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif

berbentuk kokobasilus. Organisme ini menghasilkan toksin yang merusak epitel saluran

pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang

spasmodik dan paroksismal karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga

pada akhir batuk disertai bunyi yang khas.

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang

dari 5 tahun, meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi

oleh B. pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.

Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan

hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju. Namun

setelah digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian dapat ditekan, dengan

semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pertusis diharapkan dapat dicegah

maupun ditangani dengan baik.

Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari anamnesis, pemeriksaan fisik,

manifestasi klinis, foto rontgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi

mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis

tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut.

Page 3: PERTUSIS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

PERTUSIS

1. DEFINISI

Pertusis disebut juga whooping cough adalah penyakit infeksi akut yang menyerang

saluran pernapasan yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, bakteri Gram-negatif

berbentuk kokobasilus.

2. EPIDEMIOLOGI

Pada masa pravaksin, pertusis menyerang anak prasekolah. Kurang dari 10% kasus

terjadi pada bayi usia <1 tahun. Setelah mulai dilakukan imunisasi (tahun 1940), kejadian

pertusis menurun drastis, dari 200.000 kasus/tahun menjadi 1.010 kasus pada tahun 1976.

Sejak itu, imunisasi pertusis dianggap memiliki kemampuan perlindungan seumur hidup,

sehingga tidak perlu diproduksi vaksin pertusis untuk usia >7 tahun.

Mulai tahun 1980 ditemukan peningkatan kejadian pertusis pada bayi, usia 11-18

tahun, dan dewasa, dengan cakupan imunisasi pertusis rutin yang luas. Centers of Disease

Control and Prevention (CDC) (tahun 2004) melaporkan 25.827 kasus pertusis di AS, suatu

angka yang tinggi sejak tahun 1950-an dengan proporsi 35% kejadian pada usia 11-18 tahun (30

per 100.000). Angka yang jauh lebih tinggi diperlihatkan oleh sebuah penelitian prospektif

terhadap individu dengan gejala batuk paroksismal atau batuk yang menetap >7 hari, ternyata

didapatkan perkiraan insidens pertusis pada remaja sekitar 997 per 100.000.1

Kejadian luar biasa pertusis dialami Massachusett (1996) dengan 67% kasus berusia

10-19 tahun, kemudian Wisconsin (2002-2003) sebesar 313 kasus dengan 70% berusia 10-19

tahun. Remaja merupakan reservoir B. Pertussis dan menjadi sumber penularan pertusis bagi

bayi kecil, golongan risiko tinggi untuk mengalami komplikasi pertusis, menjalani perawatan

di Rumah Sakit, dan mengalami kematian.1,2

3. ETIOLOGI

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Hemophillus pertussis, adenovirus

tipa 1, 2,3 dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinal dan

Page 4: PERTUSIS

traktus genitourinarius penderita pertusis bersama sama Bordetella pertusis atau tanpa adanya

Bordetella pertussis.2

B. pertussis adalah suatu kuman yang kecil tidak bergerak, gram negatif dan

didapatkan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita pertussis dan kemudian

ditanam pada agar media Bordet-Gengou. B. pertusis yang didapatkan secara langsung adalah

tipe antigenetik fase 1, sedangkan yang diperoleh melalui pembiakan terdapat dalam bentuk

lain, yaitu fase II, III, dan IV. “Strain” fase I diperlukan untuk menularkan penyakit atau

mendapatkan vaksin yang efektif.

B. Pertussis dan B. bronchiseptica secara morfologis menyerupai B. pertussis dan

dibedaka dengan reaksi aglutinasi yang khas.2

4. PATOGENESIS

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian

melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella

pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme

pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya timbul penyakit sistemik.

Page 5: PERTUSIS

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF) / Pertusis

Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis pada silia.

Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi dan menyebar ke

seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh karena pada pertusis

tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan

toksin yang akan menyebabkan penyakit yang dikenal dengan whooping cough.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena pertusis

toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya

berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A yang aktif pada

daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi limfosit dan makrofag

ke daerah infeksi.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur sintesis

protein dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel

target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamine dan

serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan

menurunkan konsentrasi gula darah.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid

peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai

pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus

pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus). Penumpukan lendir akan

menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi pada saat

ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai

kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung toksin ataukah sekunder

sebagai akibat anoksia.

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan infeksi

yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis.

5. MANIFESTASI KLINIS1,2

Masa inkubasi pertusis 6-10 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini

berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung

Page 6: PERTUSIS

dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis (prodromal, pra paroksismal), stadium akut

paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens. Manifestasi klinis tergantung dari

etiologi spesifik, usia, dan status imunisasi.

1. Stadium kataralis (1-2 minggu)

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya rinorea

dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan, dan

panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat

ditegakkan karena sukar dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar organisme tersebar

dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman mudah diisolasi.

2. Stadium paroksismal/stadium spasmodik

Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat

selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan menimbulkan

bunyi melengking (whoop), udara yang dihisap melalui glotis yang menyempit. Pada remaja,

bunyi whoop sering tidak terdengar. Selama serangan wajah merah dan sianosis, mata

menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi, dan distensi vena leher bahkan sampai terjadi

petekia di wajah (terutama di konjungtiva bulbi). Episode batuk paroksismal dapat terjadi lagi

sampai mucous plug pada saluran napas menghilang. Muntah sesudah batuk paroksismal

cukup khas, sehingga seringkali menjadi kecurigaan apakah anak menderita pertusis

walaupun tidak disertai bunyi whoop.

3. Stadium konvalesens

Stadium penyembuhan ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah dengan puncak

serangan paroksismal yang berangsur-angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk

beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2-3 minggu. Pada beberapa pasien akan timbul

serangan batuk paroksismal kembali. Episode ini terjadi berulang-ulang untuk beberapa bulan

dan sering dihubungkan dengan infeksi saluran napas bagian atas yang berulang.

Page 7: PERTUSIS

6. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan

pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak

dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.

Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada

pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien diperiksa.

Laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000-50.000/μL

dengan limfosistosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium

paroksismal. Pada bayi jumlah lekositosis tidak menolong untuk diagnosis, oleh

karena respons limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.

Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis

pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral 95-

100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai 20% untuk

waktu berikutnya.2,4

Page 8: PERTUSIS

Dengan metode PCR yang lebih sensitif dibanding pemeriksaan kultur untuk

mendeteksi B. pertussis, terutama setelah 3-4 minggu setelah batuk dan sudah

diberikan pengobatan antibiotik. PCR saat ini merupakan pilihan yang paling tepat

karena nilai sensitivitas yang tinggi. Tes serologi berguna pada stadium lanjut

penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara

ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap FHA dan

PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan respons imun primer baik

disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang

paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah

imunisasi pertusis.

Pemeriksaan foto toraks

Pemeriksaan lainnya yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,

atelektasis, atau empisema.

7. DIAGNOSIS BANDING

Batuk spasmodik hendaknya dibedakan dengan batuk-batuk yang diakibatkan

trakeobronkitis, bronkiolitis, dan pnemonia intertitialis. Infeksi dengan B. parapertussis, B.

bronchiseptica dan adenovirus memperlihatkan gejala klinis seperti pertussis. Perbedaannya

hanya dapat diketahui dengan biakan dan kenaikan titer antibodi pada adenovirus.2

8. PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati keparahan

batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan penyembuhan

tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk menilai kemajuan penyakit

dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada puncak penyakit, mencegah atau

mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada

perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi,

keadaan ini disempurnakan dalam 48-72 jam.1

Page 9: PERTUSIS

Denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan pulse oxymetri dimonitor terus, pada

keadaan yang membahayakan. Pengawasan batuk yang rinci dan pencatatan pemberian

makan, muntah, dan perubahan berat badan memberikan data untuk penilaian keparahan.

Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut lamanya

kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi, atau desaturasi

oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk

menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri,

kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons.1

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor- faktor yang

menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat diberikan pada

distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada bayi dengan

pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau medikamentonsa yang

digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut :

1. Antibiotik

Antibiotik selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau diperkuat karena

kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran infeksi. Eritromisin, 40-50

mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi empat selama 14 hari merupakan

pengobatan baku. Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan

stearat juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan dosis

50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24 jam dibagi menjadi

tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis 40 mg/kg/24 jam dibagi

menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan organisme pada 98% anak. Azitromisin,

Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi

sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih

unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan agen dengan

kemanjuran yang terbukti.1

2. Salbutamol

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup pengurangan gejala-

gejala dari stimulan β2-adrenergik salbutamol (albuterol). Tidak ada trial tepat yang

menunjukkan manfaat. pengobatan dengan aerosol memicu paroksismal.1

3. Kortikosteroid

Belum ada penelitian cukup besar yang dilakukan untuk meneliti penggunaan

kortikosteroid dalam manajemen pertusis.1

Page 10: PERTUSIS

4. Globulin Imun Pertusis

Belum ada persesuaian faham mengenai pemberian imunoglobulin pada stadium

kataralis. ada penelitia yang mengatakan pemberian imunoglobulin menghasilkan

pengurangan frekuensi episode batuk paroksismal, tetapi ada pula yang berpendapat

bahwa imunoglobulin tidak bermanfaat. pemberian imunoglobulin pada stadium

paroksismal sama sekali tidak bermanfaat.2

9. PENCEGAHAN

1. Imunisasi :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang seimbang dengan

jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteri dan

tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat

dimulai pada waktu berumur 2 minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun

tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama

adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai sumber infeksi

B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai

untuk mengontrol epidemi diantara orang dewasa yang terpapar.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum seperti

eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering terjadi panas, mengantuk,

dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko

terjadinya kejang demam dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per

oral) pada saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit panas, kelainan

neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang. Riwayat keluarga

adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi

pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian

vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang

demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3 jam, “high

picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak

dapat diterangkan 40,50 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.1,2

Page 11: PERTUSIS

2. Profilaksis

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru lahir dan ibu-ibu

dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari.

Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin

profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi B.

pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala penyakit.2

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi

sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah kontak diputuskan. Jika ada kontak

tidak dapat diputuskan, eritromisin diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat

eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu

terjadi epidemi.2

10. KOMPLIKASI2

1. Alat Pernafasan

Dapat terjadi Otitis media (sering pada bayi), bronkitis, bronkopnemonia, atelektasis yang

disebabkan sumbatan mukus, emfisema, (dapat terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit

pada kasus berat), bronkiektasis, sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat

bertambah berat.

2. Alat Pencernaan

Muntah-muntah yang berat dapat menimbulakn emasiasi, prolapsus rektum, atau hernia

yang mungkin timbul karena tinggiya tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah

karena lidah tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.

3. Susunan Saraf

Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan elektrolit akibat muntah-muntah.

Kadang-kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak.

4. Lain- lain

dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarahan

subkonjungtiva.2

11. PROGNOSIS

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus. Rasio kasus

kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA. Persentase rawat

Page 12: PERTUSIS

inap pada dewasa sebesar 3% (12% dewasa tua). Tingkat berkembangnya menjadi

pneumonia hingga 5% dan mengalami patah tulang rusuk sampai 4%. Kebanyakan kematian

disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.1

bergantung pada ada tidaknya komplikasi, terutama komplikasi paru dana sususnan

saraf yang sangat berbahaya khususnya pada bayi dan anak kecil.2

BAB III

KESIMPULAN

Pertusis disebut juga whooping cough adalah batuk yang berat atau batuk yang

intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang

yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang

menurun.1,2

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis yang

ditularkan melalui sekresi udara pernapasan kemudian melekat pada silia epitel saluran

pernapasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat

tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan

local dan akhirnya timbul penyakit sistemik.1,2

Masa inkubasi pertusis 6-10 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan penyakit ini

berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Perkembangan penyakit melalui 3 tahapan yaitu

kataral, paroksismal, dan konvalesen.

Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik maupun penunjang.

Isolasi dan pembiakan B. pertussis dari sekret nasofaring dapat dipakai untuk membuat

diagnosis. PCR merupakan pemeriksaan penunjang yang memilki sensitifitas dan spesifitas

Page 13: PERTUSIS

yang akurat. Selain itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi

dari pasien yang terinfeksi.

Penatalaksaan medikamentosa pasien pertusis yaitu dapat diberikan antibiotik seperti

Eritromicin atau yang lain seperti Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,

Trimethoprim-Sulfametoksasol. Untuk pencegahan yaitu melalui imunisasi dengan vaksin

pertusis , serta penggunaan obat profilaksis untuk kontak dengan penderita pertusis.1,2

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman. 2002. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed. 15. EGC : Jakarta.

2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 2007. Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.

Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI : jakarta.