Isi Pertusis

35
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat penularannya.Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain dilakukan dengan pemberian imunisasi. World Health Organitation (WHO) menyarankan sebaiknya anak pada usia satu tahun telah mendapatkan imunisasi dasar Difteri Pertusis Tetanus (DPT) sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 minggu dan booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk mempertahankan nilai proteksinya. Di Nederland, pemberian imunisasi dasar pada umur 3 - 6 bulan dan booster pada umur satu tahun dengan cakupan imunisasi sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak lagi. Walaupun demikian banyak terjadi hambatan, antara lain anak tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak tiga kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. 1

description

penjelasan tentang pertusis

Transcript of Isi Pertusis

Page 1: Isi Pertusis

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak

menyerang anak balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah

satu tahun yang disebabkan infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit

infeksi saluran pernapasan akut lainnya, pertusis sangat mudah dan cepat

penularannya.Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain dilakukan dengan

pemberian imunisasi. World Health Organitation (WHO) menyarankan sebaiknya

anak pada usia satu tahun telah mendapatkan imunisasi dasar Difteri Pertusis

Tetanus (DPT) sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4 minggu

dan booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk

mempertahankan nilai proteksinya. Di Nederland, pemberian imunisasi dasar pada

umur 3 - 6 bulan dan booster pada umur satu tahun dengan cakupan imunisasi

sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak lagi. Walaupun demikian banyak

terjadi hambatan, antara lain anak tidak dapat menerima vaksinasi sebanyak tiga

kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. Hal ini terutama banyak.

didapat di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut perkiraan WHO

(1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang menerima

vaksinasi DPT sebanyak 3 dosis.

Di Indonsia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian

pada anak balita. Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan

pemberian imunisasi dasar pada bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara

dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster diberikan pada anak usia 3 dan 5

tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti Program Pengembangan

Imunisasi (PPI) dengan pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-

14 bulan dengan interval 1-3 bulan. Pada pelaksanaannya masih banyak

hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim tropis dan terdiri dari

1

Page 2: Isi Pertusis

beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang syarat

mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang

harus dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen

dapat diputuskan.

I .2. Tujuan

Tujuan penulisan refrat ini antara lain untuk mengetahui definisi, etiologi,

transmisi dan epidemiologi, distribusi dan insidens, patologi, patogenesis,

manifestasi klinik, diagnosis, diagnosis banding, komplikasi, pengobatan,

pencegahan dan kontrol, prognosis dari pertusis.

2

Page 3: Isi Pertusis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Definisi

Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada

tahun 1500. Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena

imunisasi aktif. Syndenham yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada

tahun 1670. Penyakit ini di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang

sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi , karena penderita

berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk sering di sertai

bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough

(Nelson et al, 2000; Hassan dkk, 1985).

Karena tidak semua penderita dengan penyakit ini mengeluarkan bunyi

whoop, maka oleh beberapa ahli, penyakit ini disebut Pertusis yang berarti batuk

yang sangat berat atau batuk yang sangat intensif. Selain penyakit ini juga sering

disebut Tussis Quinta, batuk rejan (Irawan dkk, 2008).

Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai

dewasa. Dengan kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi

maka mortalitas dan morbilitas penyakit ini menurun, namun demikian penyakit

ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan bila mengenai bayi – bayi

(Ranuh dkk, 2008).

II.2.Etiologi

3

Page 4: Isi Pertusis

Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan

Gengou, kemudian pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan

dalam media buatan. Genus Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis,

B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium. Penyebab pertusis adalah

Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang disebabkan

oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella

pertusis termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 –

1 um dan diameter 0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan

pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula bipolar metakromatik dan

mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan suatu media

pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang

ditambah penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organism lain.

Dengan sifat – sifat pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak

membentuk gas pada media yang mengandung glukosa dan laktosa, sering

menimbulkan hemolisis (Sarah, 2000).

Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase

dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau

4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang

efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 500C selama

setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).

4

Page 5: Isi Pertusis

Gambar 2.1Kokobasilus, Gram negatif, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 – 1 um dan diameter

0,2 – 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora (Sarah, 2000)

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :

Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis

promoting factor, Islet activating protein (IAP).

Adenilat siklase luarsel.

Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-

HA).

Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).

Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella Pertusis

seperti Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk

membedakan jenis – jenis kuman ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi

yang khas atau tes tertentu (Nelson et al, 2000).

II.3.Transmisi dan Epidemiologi

Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi,

dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya

5

Page 6: Isi Pertusis

dengan tingkat penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui

udara secara :

Droplet

Bahan droplet

Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.

Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa (Rampengan dkk,

1997) .

Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika

serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang

tahun 1947 terdapat 152.600 pendeirta dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun

1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100 orang.

Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat 193, jumlah pertusis tahun

1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (Case Fatality Rate) 0,20%, menurun

menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi

menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999,

diperkirakan sekitar 48,5 juta kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di

seluruh dunia. World Health Organitation memperkirakan sekitar 600.000

kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak

diimunisasi (Rampengan dkk, 1997).

Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:

29% berusia kurang dari 1 tahun.

12% berusia 1-4 tahun.

10% berusia 5-9 tahun.

29% berusia 10-19 tahun.

20% berusia lebih dari 20 tahun (James, 2005).

II.4.Distribusi dan Insidens6

Page 7: Isi Pertusis

Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang

semua umur mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di

bawah 1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya. Banyak peneliti

melaporkan bahwa pertusis bervariasi sepanjang tahun mengikuti musim

beberapa Negara. Di amerika serikat dapat di jumpai sepanjang tahun dengan

puncaknya di akhir musim panas (Nelson et al, 2000).

Pertusis lebih sering menyerang anak wanita dari pada anak pria. Banyak

peneliti mengemukakan bahwa bayi kulit lebih hitam pada usia muda mempunyai

insinden lebih tinggi daripada bayi kulit putih, diduga perbedaan rasial ini

dihubungkan dengan tingkat kekebalan (Nelson et al, 2000).

Grafik 2.1Grafik yang menggambarkan tingkat kejadian pertussis terhadap usia

(Nelson et al,2000)

7

Page 8: Isi Pertusis

Grafik 2.2Grafik yang menunjukan kejadian pertussis dari tahun 1922 hingga 2000

(Nelson et al, 2000)

II.5.Patologi

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella

Pertusis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini

akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan

inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan

infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi

dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada

lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada

pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan

pneumonia interstitial (Hasan dkk, 1985).

Di samping itu dapat dijumpai perubahan - perubahan patologis di organ

lain seperti hati dan otak. Pada otak dapat dijumpai adanya perdarahan otak atrofi

kortikal. Perdarahan pada otak dapat masif dan mengenai parenkim atau ruang

subaraknoid terutama pada pertusis enselopati (Rampengan, 1997).

8

Page 9: Isi Pertusis

II.6.Patogenesis

Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan,

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan

akhirnya timbul penyakit sistemik (James, 2005).

Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/

pertusis toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella

pertusis pada silia. Setelah terjadi perlekatan Bordetella pertusis, kemudian

bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan epitel saluran pernafasan.

Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakteremia.

Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang

akan menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin

terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis

toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B

selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian menghasilkan sel unit

A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF menghambat

migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi (Nelson et al, 2000).

Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur

sintesis protein di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),

meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta

adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan

konsentrasi gula darah (James, 2000).

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia,

maka fungsi silia sebagai pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi

infeksi sekunder (tersering oleh Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan

Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan menimbulkan plug yang dapat

9

Page 10: Isi Pertusis

menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan

oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue

saat terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan

saraf pusat, apakah akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat

anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak bila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek

antibiotik terhadap proses penyakit (James, 2000).

Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan

kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan

iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,

menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertusis

lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis

penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertusis hanya menyebakan infeksi

yang ringan, karena tidak menghasilkan tosin pertussis (James, 2000).

II.7.Manifestasi Klinik

Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana

perlangsungan penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini

dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal),

stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.

Manisfestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi.

Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%),

whoops (60 – 70%), emesis (66 – 80%), dispnue (70 – 80%) dan kejang (20 –

25%). Pada anak yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan

lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak >2tahun. Suhu jarang >38,40C

pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabakan Bordetella parapertusis

atau Bordetella bronkiseptika pada semua golongan umur lebih ringan daipada

Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis

diuraikan dibawah ini (Hasan dkk, 1985).

II.7.1.Stadium Katalaris (1 – 2 minggu)

10

Page 11: Isi Pertusis

Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya

rinore (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,

lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya

diagnosis pertusis belum dapat ditegakan karena sukar dibedakan dengan common

cold. (James, 2005)

Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet

dan penderita sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman

paling mudah di isolasi. Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan

dengan coomon cold. (James, 2005)

Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan

menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket.

Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi

jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel (James, 2005).

II.7.2.Stadium Paroksimal (2 – 4 minggu)

Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk

yang berbunyi nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada

akhir serangan batuk. Batuk dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tidak

dapat bernapas dan pada akhir serangan batuk anak menarik napas dengan cepat

dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking (whoop) dan diakhiri dengan

muntah. (Irawan dkk, 2008)

Pada anak –anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar.

Juga pada bayi yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi whoop,

tetapi penderita sering dalam keadaan lemas, lelah, apneu, sianosis, muntah.

(Irawan dkk, 2008)

Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan

tanpa adanya infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan , muka

penderita menjadi merah atau sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur

keluar dan gelisah. Pada akhir serangan, penderita sering sekali memuntahkan

11

Page 12: Isi Pertusis

lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stres emosional

(menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik (Irawan dkk, 2008).

Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di

kepala dan leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva dan

sklera bahkan ulserasi frenulum lidah (Irawan dkk, 2008).

Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan

seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan

frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan

berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang (Irawan dkk,

2008).

II.7.3.Stadium Konvalesen (1 – 2 minggu)

Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah – muntah di mana puncak

serangan paroksimal berangsur – angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap

untuk beberapa waktu dan akan menghilang sekitar 2 – 3 minggu. Pada beberapa

penderita akan timbul serangan batuk paroksimal kembali dengan gejala whoop

dan muntah – muntah. Episode ini terjadi berulang – ulang untuk beberapa bulan

malahan bisa sampai 1 – 2 tahun (James, 2005).

II.8.Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat

kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi

whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala

klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien

diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –

12

Page 13: Isi Pertusis

50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan

selama stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk

diagnosis, oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi

Bordetella pertusis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis

pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95 – 100%, stadium parosismal 94%

pada minggu ketiga dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya. Serologi

untuk antobiodi toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut

penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara

ELISA dapat dipakai untuk menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA

dan PT menggambarkan respon imun primer baik disebabakan oleh penyakit atau

vaksinasi (Rampengan, 1997).

IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk

mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis.

Pemeriksaan lain yaitu toraks dapat memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis

atau empisema (Irawan dkk, 2008).

II.9.Diagnosis Banding

Bordetella Parapertusis

Penyakitnya lebih ringan, kira- kira 5% dari penderita pertusis. Dapat

diidentifikasi secara khusus dengan tes aglutinasi (Nelson et al, 2000).

Bordetella Bronchoseptica

Gejala penyakitnya sama dengan parapertusis, namun lebih sering

didapatkan pada binatang, dan mungkin ditemukan dalam saluran

pernapasan pada orang yang kontak dengan binatang tersebut (Nelson et

al, 2000).

Infeksi oleh Klamidia

13

Page 14: Isi Pertusis

Penyebabnya biasanya klamidia trakomatis. Pada bayi menyebabkan

pneumonia, oleh karena terkena infeksi dari ibu. Infeksi saluran

pernapasan terjadi 2 – 12 minggu setelah lahir dengan gejala – gejala

pernapasan cepat, batuk paroksimal, tanpa demam ,eosinofilia. Pada

thorak foto terlihat konsolidasi paru dan hiperinflasi. Diagnosis dengan

isolasi yaitu ditemukannya klamidia dari cairan saluran pernapasan.

Penyakit ini disebut juga Eosinophilic Pertusoid Pneumonitis (Nelson et

al, 2000).

Infeksi oleh Adeno virus tipe 1,2,3,5

Gejala –gejala hampir sama dengan pertusis, seperti penyebab penyakit

sebelumnya. Hanya dapat dibedakan dengan biakan dan kenaikan titer

antibody (Nelson et al, 2000).

II.10.Komplikasi

II.10.1.Pada saluran pernapasan

Bronkopneumonia

Merupakan komplikasi berat yang paling sering terjadi dan menyebabkan

kematian pada anak di bawah 3 tahun terutama bayi yang lebih kecil dari 1

tahun. Gejala ditandai dengan batuk,sesak napas, panas. Pada foto thoraks

terlihat bercak – bercak infiltrate tersebar.

Otitis media

Karena batuk – batuk hebat, kuman masuk ke tuba eustachii kemudian masuk

ke telinga tengah sehingga menyebabkan otitis media.

14

Page 15: Isi Pertusis

Bronchitis

Batuk mula – mula kering, setelah beberapa hari timbul lendir jernih kemudian

menjadi purulen. Pada auskultasi terdengar suara pernapasan kasar atau ronki

kasar atau ronki kering.

Atelektasis

Timbul karena lendir kental yang dapat menyumbat bronkioli.

Emfisema pulmonum

Terjadi oleah karena batuk – batuk yang hebat sehingga alveoli pecah.

Bronkiektasis

Terjadi karena pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lendir yang kental dan

dapat disertai dengan infeksi sekunder.

Kolaps alveoli paru

Akibat batuk paroksimal yang lama pada anak – anak sehingga dapat

menyebabkan hipoksia berat pada bayi dapat menyebabkan kematian yang tiba

– tiba (Nelson et al, 2000).

II.10.2.Pada Sistem Saraf Pusat

Terjadi kejang karena :

Hipoksi dan anoksia akibat apnue yang lama.

Perdarahan subarachnoid yang massif.

Enselopati akibat atrofi kortikal yang difus.

Gangguan elektrolit karena muntah.

15

Page 16: Isi Pertusis

II.10.3.Komplikasi – komplikasi yang lain

Hemoptisis, akibat batuk yang hebat sehingga menyebabkan tekanan

venous meningkat dan kapiler pecah.

Epitaksis.

Hernia.

Prolaps rekti.

Malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder.

II.11.Pengobatan

II.11.1.Antimikroba

Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun

tidak ada antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama

diberikan pada stadium paroksimal. Oleh karena itu obat – obat ini lebih

dianjurkan pemakaiannya pada stadium kataralis yang dini (Nelson et al, 2000).

Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding

kloramfenikol maupun tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis

50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari (Nelson et al, 2000)

II.11.2.Kortikosteroid

Beberapa peneliti menggunakan :

Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam

Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis

30mg/kg.bb/24jam, kemudian diturunkan secara perlahan – lahan dan

diberhentikan pada hari ke 8.

Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.

16

Page 17: Isi Pertusis

Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam

pengobatan pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.

II.11.3.Salbutamol

Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan

pertusis dengan cara kerja sebagai berikut :

Beta 2 adrenergik stimulant

Mengurangi parokosismal

Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop

Mengurangi frekunensi apnue

Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.

II.11.4.Terapi suportif

a. Lingkungan perawatan yang tenang

b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya

diberikan makanan yang berbentuk cair.

c. Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan

elektrolit secara parenteral.

d. Pembersihan jalna napas.

e. Oksigen, terutama pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai

sianosis.

II.12.Pencegahan Dan Kontrol

Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini ialah dengan imunisasi.

Banyak laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan kejadian pertusis

dengan adanya pelaksanaan program imunisasi (Nelson et al, 2000).

17

Page 18: Isi Pertusis

II.12.1.Imunisasi pasif

Dapat diberikan Human Hiperimmune Globulin, ternyata beberapa

penelitian diklinik tidak efektif sehingga akhir – akhir ini tidak lagi diberikan

sebagai pencegahan atau pengobatan pertussis (Rampengan, 1997).

II.12.2.Imunisasi aktif

Diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis yang

telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan

bersama – sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar

dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8

minggu. Beberapa peneliti menyatakan bawa vaksin pertusis sudah dapat

diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemik

dapat diberikan lebih awal lagi yaitu pada umur 2 minggu dengan jarak 4 minggu.

Anak berumur lebih dari tujuh tahun tidak lagi memerlukan imunisasi rutin. Hasil

imunisasi pertusis tidak permanen oleh karena proteksi menurun selama

adolesens, walaupun demikian infeksi pada pasien yang lebih besar biasanya

ringan hanya merupakan sumber infeksi Bordetella pertusis pada bayi non imun.

Vaksin pertusis monovalen (90,25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengkontrol

epidemi diantara orang dewasa yang terpapar. Salah satu efek samping setelah

imunisasi pertusis adalah demam (Irawan dkk, 2008).

Untuk mengurangi terjadinya kejang demam dapat diberikan

antikonvulsan setiap 4 – 6 jam untuk selama 48 – 72 jam. Anak dengan kelainan

neurologi yang mempunyai riwayat kejang, 7 kali lebih mudah terjadi kejang

setelah imunisasi DPT dan mempunyai kesempatan 4 kali lebih tinggi bila hanya

mempunyai riwayat kejang dalam keluarga. Maka pada anak dalam keadaan

demikian hendaknya tidak diberikan imunisasi pertusis, jadi hanya berikan

imunisasi DT (Ranuh dkk, 2008).

Kontraindikasi pemberian vaksin pertusis yaitu anak yang mengalami

enselopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa

18

Page 19: Isi Pertusis

demam dalm 3 hari sebelum imunisasi, menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry

dalam 2 hari, kolaps atau hipotrensi hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak

dapat diterangkan >40,50C dalam 2 hari. eritromisin efektif untuk pencegahan

pertusis pada bayi baru lahir dari ibu dengan pertussis (Irawan dkk, 2008).

Kontak erat pada usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya telah

diberikan imunisasi hendaknya diberi booster. Booster tidak perlu diberikan bila

telah diberikan imunisasi dalam waktu 6 bulan terakhir, juga diberikan eritromisin

50mg/kgBB/24jam dalam 2 – 4 dosis selama 14 hari. kontak erat pada usia lebih

dari 7 tahun juga perlu diberikan erirtromisin sebagai priofilaksis (Irawan dkk,

2008).

Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran

infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien

pertusis tetapi belum pernah imunisasi petusis hendaknya diberikan imunisasi

pertusis selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat

diputuskan hemdaknya eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau

setelah pasien mendapat eritromisin selama 7 hari. vaksin pertusis monovalen dan

eritromisin diberikan pada waktu terjadi (Irawan dkk, 2008).

II.13.Prognosis

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang

lebih baik. Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada

observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan

intelektual dikemudian hari (Irawan dkk, 2008).

19

Page 20: Isi Pertusis

BAB III

PENUTUP

III.1.Kesimpulan

Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat

spasmodik dan paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat

ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah

Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat

penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat

yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat

20

Page 21: Isi Pertusis

ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang

terkontaminasi dengan sekret nasofaring.

Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang

semua umur mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di

bawah 1 tahun, di mana makin muda usia makin berbahaya.

Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis

akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan

mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan

inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mekanisme patogenesis infeksi oleh

Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan

terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul

penyakit sistemik.

Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana

perlangsungan penyakit ini 6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini

dapat berlangsung 3 stadium yaitu stadium kataralis (prodromal, preparoksimal),

stadium akut paroksismal (paroksismal, spasmodik), dan stadium konvalesens.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat

kontak dengan pasien pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi

whoop yang jelas dan perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi. Gejala

klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat pasien

diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –

50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan

selama stadium paroksismal.

Diagnosis banding pertusis adalah bordetella parapertusis, bordetella

bronchoseptica, infeksi oleh klamidia, infeksi oleh adeno virus tipe 1,2,3,5

Komplikasi – komplikasi dari pertusis. Pada saluran pernapasan :

bronkopneumoinia, otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema pulmonum,

21

Page 22: Isi Pertusis

bronkiektasis, kolaps alveoli paru. Pada sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi –

komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis, hernia, prolaps rekti, malnutirsi

karena anoreksia dan infeksi sekunder

Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin

merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun

tetrasiklin dengan dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari.

Kortikosteroid : betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam,

hidrokortison suksinat (Solukortef) dosis 30mg/kg.bb/24jam Prednisolon oral 2,5

– 5 mg/hari. Salbutamol, dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi

dalam 3 dosis. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang,

pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan

makanan yang berbentuk cair., bila penderita muntah – muntah sebaiknya

diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral, pembersihan jalan napas,

oksigen, terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai sianosis.

Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human

Hiperimmune Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari

kuman Bordetella Pertusis yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi

aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama – sama dengan vaksin difteri dan

tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan diberikan tiga kali sejak

umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.

Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang

lebih baik. Pada bayi resiko kematian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada

observasi jangka panjang, apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan

intelektual dikemudian hari.

22

Page 23: Isi Pertusis

Daftar pustaka

Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States, 1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7, volume 2, Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal : 564 – 568.

23

Page 24: Isi Pertusis

Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-infective therapy 8 (2): 163–73.

Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari, http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 – 337.

James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427. http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422

Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus, diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep. 55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-1023.

Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965

Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.

Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto, Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.

S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC. 181: 960-965.

Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine. Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.

24

Page 25: Isi Pertusis

http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

25