PERTUNJUKAN TARI MAKAN SIRIH DALAM KEBUDAYAAN … · pada acara pelantikan Komite Nasional Pemuda...
Transcript of PERTUNJUKAN TARI MAKAN SIRIH DALAM KEBUDAYAAN … · pada acara pelantikan Komite Nasional Pemuda...
PERTUNJUKAN TARI MAKAN SIRIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ACEH TAMIANG:
ANALISIS STRUKTUR TARI, MUSIK DAN TEKS
T E S I S
Oleh
RIMA KARTINA NIM. 127037008
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
i
PERTUNJUKAN TARI MAKAN SIRIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ACEH TAMIANG:
ANALISIS STRUKTUR TARI, MUSIK DAN TEKS
T E S I S
Oleh
RIMA KARTINA NIM. 127037008
PROGRAM STUDI MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N 2 0 1 4
ii
PERTUNJUKAN TARI MAKAN SIRIH DALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ACEH TAMIANG:
ANALISIS STRUKTUR TARI, MUSIK DAN TEKS
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.)
dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh
RIMA KARTINA NIM. 127037008
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 4
iii
Judul Tesis PERTUNJUKAN TARI MAKAN SIRIHDALAM KEBUDAYAAN MASYARAKAT ACEHTAMIANG: ANALISIS STRUKTUR TARI, MUSIK DAN TEKS
Nama : Rima Kartina Nomor Pokok : 127037008 Program Studi : Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D NIP. 196512211991031001 _____________________________ Ketua
Drs. Kumalo Tarigan, M.A. NIP. 195812131986011002 _____________________________ Anggota
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua, Drs. Irwansyah, M.A. NIP 196212211997031001
Fakultas Ilmu Budaya Dekan, Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP 195110131976031001
Tanggal lulus:
iv
Telah diuji pada
Tanggal :
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A (_________________________) Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum (_________________________) Anggota I : Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. (_________________________) Anggota II : Drs. Kumalo Tarigan, M.A. (_________________________) Anggota III : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nst., M.Si. (_________________________)
v
ABSTRACT
Betel Dance Eating is one of the dance show is still in existence in the region of Aceh Tamiang New Coraland surrounding areas. Dance Eat Betel, also called Dance offerings. In Aceh Taming particularly in the District of New Coral, still in a dance showb etel nut. Dance the dance of chewing betel nut is a welcome guest, guest glory, with as lap contains betel nut, gambier, betel nut, lime, all of which have been prepared as a sense of joyin presenting containing betel symbol Million messages. (setepak betel, a million messages). The problems that will be studied in this thesis is to analyze the structure and the structure of dancemusic betel nutchewing betel nut and dance accompanis texaminet he implicit meaning and betel nut and song fragments Foreword Foreword dance. Through these problems the authoruses the theory of structural, functional theory and the theory of meaning. The results obtained showed that the structure of the dance chewing betel nut, betel nut dance consists of a main motionis nomotion worship, sitting cross-legged, picking flowers, white was hing and folding, movement greeting of fered betel cover andmovement. From themusicalstructureresults obtained can bean alyzed and transcribed the song and the song betel nut Foreword. From theauthor oft he text structure to understand the meaning of the symbolisimplied in the text of the song eat chewing betel nut and song and song Foreword fractions. Key words: Eat Betel Dance, Dance Foreword, Structure Music, Dance, andText.
vi
ABSTRAK
Tari Makan Sirihadalah salah satu tari pertunjukan yang sampai saat ini masih
ada keberadaannya di daerah Karang Baru Aceh Tamiang dan sekitarnya. Tari Makan Sirih, juga disebut Tari Persembahan. Di Aceh Taming khususnya di Kecamatan Karang Baru, masih sering di tampilkan tari makan sirih. Tari makan sirih bersifat tarian yang menyambut tamu, memuliakan tamu, dengan membawa tepak berisi sirih, gambir, pinang, kapur yang kesemuanya sudah di persiapkan sebagai rasa suka cita dalam menyuguhkan setepak sirih yang berisikan simbol Sejuta pesan. (setepak sirih, sejuta pesan). Permasalahan yang akan menjadi kajian didalam tesis ini adalah menganalisa struktur tari makan sirih dan struktur musik pengiring tari makan sirih serta mengkaji makna yang tersirat dalam makan sirih dan sekapur sirih serta lagu pecahan tari sekapur sirih.Melalui permasalahan-permasalahan tersebut penulis menggunakan teori struktural, teori fungsional dan teori makna. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara struktur tari makan sirih, tari makan sirih terdiri dari gerakan utama ada gerakan sembah, duduk bersimpuh, memetik bunga, mengapur dan melipat, gerakan memberi salam penutup serta gerakan mempersembahkan sirih. Dari struktur musik hasil yang diperoleh dapat menganalisa dan mentranskripsikan lagu makan sirih dan lagu sekapur sirih. Dari struktur teks penulis dapat memahami makna dari simbol yang tersirat di teks lagu makan sirih dan lagu sekapur sirih serta lagu pecahannya.
Kata kunci : Tari Makan Sirih, Tari Sekapur Sirih, Struktur Musik, Tari, dan Teks.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT., serta hanturan
shalawat kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Tesis ini berjudul
Pertunjukkan Tari Makan SirihDalam Kebudayaan Masyarakat Aceh Tamiang:
Analisis Struktur Musik, Tari, dan Teks. Tesis ini merupakan salah satu syarat
untuk menyelesaikan jenjang S-2 dan memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn)
pada Program Magister (S2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
Tesis ini berisikan hasil penelitian mengenai tinjauan umum masyarakat
Aceh Tamiang, seputar Tari Makan Sirih, Tari Sekapur Sirih yang di deskripsikan
pada acara pelantikan Komite Nasional Pemuda Indonesia di Kantor Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Karang Aceh Tamiang, Peringatan Hari Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga Karang Baru Aceh Tamiang serta Perpisahan Siswa/siswi
Sekolah Menengah Pertama Negeri I Karang Baru Aceh Tamiang. Pokok
permasalahan yang di bahas adalah Bagaimana Struktur Tari Makan Sirih pada
masyarakat Karang Baru Aceh Tamiang, Bagaimana Struktur Tari Sekapur Sirih
pada masyarakat Aceh Tamiang Bagaimana Struktur musik iringan tari Makan
Sirih pada Masyarakat Aceh Tamiang, Bagaimana struktur musik iringan Tari
Sekapur Sirih serta Bagaimana Struktur dan makna teks lagu makan sirih pada
masyarakat AcehTamiang, makna struktur dan makna teks lagu Sekapur Sirih
serta Makna teks lagu pecahan Sekapur sirih.
viii
Selama proses penyusunan tesis, penulis mendapatkan bimbingan dan
arahan dari para pembimbing yakni Bapak Drs. M. Takari, M.Hum, Ph.D.,
sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Kumalo Tarigan M.A., sebagai
pembimbing II dan para penguji yakni Bapak Drs. Irwansyah, M.A., Bapak Drs.
Torang Naiborhu, M.Hum., dan Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin, M.Si., lanjut
kepada semua dosen yang telah mengajar, Tim pembimbing dan penguji yang
sungguh banyak membantu penulis terutama kesabaran dan ketelatenan dalam
penulisan tesis ini. Arahan-arahan mereka tersebut membuat penulis semakin
termotivasi dan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.
Secara akademik penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. dr. Syahril Pasaribu., DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara. Kepada, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku
Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua Program Magister (S2) Bapak Drs.
Irwansyah, H, M.A, dan Sekretaris Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum., atas
bimbingan akademis dan arahan yang diberikan.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs
Ponisan selaku pegawai di lingkungan Program studi Magister (S2) Penciptaan
dan Pengkajian Seni, yang telah memberikan banyak bantuan dan kemudahan
kepada penulis sejak awal duduk di bangku perkuliahan hingga menyelesaikan
tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua,
papa tercinta Drs. Sallim (Alm), yang menginginkan anaknya menamatkan
sekolah SMP, agar dapat masuk Sekolah Musik, walaupun sebelum penulis tamat
ix
SMP beliau sudah tiada, (Peluk cium melalui doa untukmu papa), Mamaku
Sayang Dra. Sriaty Fatimah Kuning Tarigan M.S (Almh.) yang telah
membesarkan dan menyekolahkan kami berempat hingga sarjana dengan seorang
diri (Janda), semoga amalan mama dan papa diterima di sisi Allah dan diampuni
semua dosanya. Walaupun tidak mendampingi penulis saat menyiapkan tesis tapi
semangat papa dan mama selalu yang membuat kuat.
Terima kasih kepada suami dari kelima anak-anakku, Muhammad Syafii
yang telah sabar mengantar berkali-kali ke lokasi penelitian, anak-anak yang
terbagi kasih sayangnya karena konsentrasi ke kuliah, Fikri Zaka Akbar, Aulia
Rifka Putri, Rifi Naufal Aslam, Asyilafika Nabillah, dan yang terakhir Syafri
Azhar. Tak lupa terima kasih atas doa dari kakakku Ir. Rahmah Irma
Variany/suami, Adikku Rina Puspita SPd/suami, Adikku Rika Sri Masdawaty
S.Psi./suami dan terima kasih juga kepada keluarga besar penulis yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, kepada Bapak Walikota Pematangsiantar melalui Bapak
Sekda Pematangsiantar yang telah memberi izin belajar. Kepada Bapak Kasek.
SMAN I Pematangsiantar, kepada Keluarga Besar SMAN I, kepada teman-teman
kuliah, Chatrina Sumiaty, Kartini Manalu, Agustina Samosir, Sapna Sitopu, Achy
Arwana, Erizon, Yusuf, Disperantoni, Tommy Ketaren, Angga Alqarina,
Jamuddin, Debby, dan Bang Anton selaku ketua kami, terima kasih untuk semua.
Untuk kakak kelas, Dindin N serta Antonius Harita, juga adek kelas Rico.Cs,
terimakasih untuk kebaikannya.
Kepada keluarga besar di lokasi penelitian, Kecamatan Karang Baru
Aceh Tamiang, anak –anak sanggar Meulige Lindung Bulan, Arki, Haris
x
koreografer tari Meulige Lindung Bulan, Elisa M.Pd., selaku penata musik
plus pemain musik,dan juga sebagai ibu pelatih sanggar Meulige Lindung Bulan,
ibu Syafina Arham selaku kasi Kebudayaan Karang Baru Aceh Tamiang
Penulis mengucapkan beribu-ribu maaf bila ada kata yang kurang
berkenan, mohon jangan disimpan di dalam hati. Akhir kata, penulis berterima
kasih kepada seluruh pihak yang sudah membantu penyusunan tesis ini. Semoga
hasil penelitian dari tesis ini dapat berguna bagi dunia penelitian seni pada
umumnya dan bagi kebudayaan musikal masyarakat Aceh Tamiang pada
khususnya.
Wassalam, Medan, Agustus 2014 Penulis, RIMA KARTINA NIM. 127037008
xi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS DIRI
Nama : RIMA KARTINA
NIM : 127037008
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 08 Oktober 1971
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Mawar no 34 Sarirejo Medan Polonia 20157
B. PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar Negeri 064027 Medan Polonia, lulus tahun 1984
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Medan, lulus tahun 1987
3. Sekolah Menengah Musik Negeri Medan, lulus tahun 1991
4. Diploma 3 (D3) FBS IKIP Medan Jurusan Seni Musik, lulus tahun 1996
5. S1 Transfer FBS UNIMED Jurusan Seni Musik, lulus tahun 2000
6. Mahasiswa Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, tahun 2012.
C. PEKERJAAN
1. Guru SMA Swasta Al-Azhar Medan, tahun 2000 s/d 2011
2. Guru SMA Negeri I Pematangsiantar, tahun 2000 sampai sekarang.
xii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. ii ABSTRACK ............................................................................................................ iv ABSTRAK ............................................................................................................... v KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi DAFTAR RIWAT HIDUP ..................................................................................... xi DAFTAR ISI ........................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................... xvi DAFTAR PETA ...................................................................................................... xvii DAFTAR BAGAN................................................................................................... xviii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xix HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. xx BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
1.1 LatarBelakang........................................................................... 1 1.2 PokokMasalah .......................................................................... 10 1.3 TujuandanManfaatPenelitian..................................................... 12
1.3.1Tujuanpenelitian ............................................................... 12 1.3.2Manfaatpenelitian ............................................................. 12
1.4 TinjauanPustaka........................................................................ 13 1.5 KonsepdanLandasanTeori ......................................................... 18
1.5.1Konsep .............................................................................. 18 1.5.2Landasanteori .................................................................... 19
1.5.2.1 Teorifungsional.................................................. 19 1.5.2.2 Teoristruktural ................................................... 21 1.5.2.3 Teorisemiotik..................................................... 22 1.5.2.4 Teoriweighted scale ........................................... 25
1.6 MetodePenelitian ...................................................................... 26 1.7 TeknikMengumpulkandanMenganalisis Data ............................ 28 1.7.1Metodepenelitiankualitatif ................................................. 28 1.7.2Metodepenelitianlapangan ................................................. 28 1.7.3Metodewawancara ............................................................ 30 1.7.4Metodeperekaman ............................................................. 33 1.7.5Metodepengamatanterlibat ................................................ 33 1.7.6Metodeanalisis data ........................................................... 34 1.7.7Pemilihaninforman ............................................................ 35 1.7.8Informanpangkal ............................................................... 35 1.7.9Informankunci ................................................................... 36 1.8 LokasiPenelitian ....................................................................... 36 1.9 SistematikaPenulisan ................................................................ 37 1.9.1Pengalamanpenelitian........................................................ 37 BAB II ETNOGRAFI ACEH TAMIANG……………………………….. 39
2.1 PandanganUmumTentang Aceh ................................................ 39 2.2 Demografi Aceh Tamiang ......................................................... 45 2.3 SistemReligi ............................................................................. 54
xiii
2.4Bahasa ...................................................................................... 55 2.5OrganisasiSosialdanBudaya ....................................................... 56 2.6Pendidikan ................................................................................. 60 2.7Teknologi .................................................................................. 61 2.8Ekonomi .................................................................................... 63 2.9Kesenian .................................................................................... 66
2.9.1Didong .............................................................................. 73 2.9.2Ratebmeuseukat ................................................................ 74 2.9.3 Panton ............................................................................. 74 2.9.4Syair ................................................................................. 76 2.9.5Hikayat ............................................................................. 77 2.9.6Musik ................................................................................ 77 2.9.7Tari-tarian ......................................................................... 83 BAB III WACANA STRUKTUR MUSIK, TARI, DAN TEKS TARI
MAKAN SIRIH …………………………….…………………… 85 3.1 TariMakanSirih ....................................................................... 85 3.2 TariSekapurSirih ..................................................................... 86 3.3 AsalUsulTariMakanSirihdanTariSekapurSirih ........................ 87
3.3.1AsalusulTariMakanSirih.................................................. 87 3.3.2AsalusulTariSekapurSirih ................................................ 87
3.4 DeskripsiTariMakanSirih ........................................................ 88 3.5 DeskripsiTariSekapurSirih ...................................................... 93 3.6 AnalisisSemiotikPertunjukan .................................................. 93 3.7 Gerak
97 3.8 Motif gerak ............................................................................. 98 3.9 Frasegerak .............................................................................. 100 3.10 Siklus ...................................................................................... 101 3.11 Pola-polaLantai ....................................................................... 102 3.12 Kostum ................................................................................... 102
3.12.1KostumTariMakanSirih Aceh Tamiang ......................... 103 3.12.2KostumTariSekapurSirih Aceh Tamiang ....................... 105
3.13 Make up (Tata rias) ................................................................ 105 3.14 Pemusik .................................................................................. 106 3.15 Penonton ................................................................................. 107 3.16 Transkripsi Nada .................................................................... 107 3.17 Nada Dasar ............................................................................. 108 3.18 Wilayah Nada ........................................................................ 109 3.19 JumlahNada ........................................................................... 110 3.20 Interval .................................................................................. 110 3.21 Formula Melodi ...................................................................... 111 3.22 PolaKadensa ........................................................................... 111 3.23 Kontur .................................................................................... 111 3.24 StrukturTeks ........................................................................... 112
xiv
3.25 Diksi 113
3.26 Interyeksi ................................................................................ 114 3.27 Partikel ................................................................................... 114 3.28 MaknaDenotatif ...................................................................... 114 3.29 MaknaKonotatif ...................................................................... 114 3.30 SpontanitasGarapanTeks ......................................................... 115 3.31 Gaya Bahasa ........................................................................... 116
BAB IV STRUKTUR TARI MAKAN SIRIH ….…………………… 117
4.1 StrukturTariMakanSirih .......................................................... 142 4.2 StrukturLaguSekapurSirih ....................................................... 142 4.3 DeskripsiTariMakanSirih ........................................................ 145 4.4 DeskripsiTariSekapurSirih ...................................................... 149 4.5 AnalisisMaknaPertunjukan ..................................................... 151 4.6 Gerak
155 4.7 Motif Gerak ............................................................................ 156 4.8 FraseGerak.............................................................................. 160 4.8.1FrasegerakTariMakanSirih .............................................. 161 4.8.2FrasegerakTariSekapurSirih ............................................ 161 4.9 Siklus ...................................................................................... 162 4.10 Pola-polaLantai ....................................................................... 163 4.10.1PolaLantaiPenariMakanSirih ......................................... 163 4.10.2PolaLantaiPenariSekapurMakanSirih ............................ 164 4.11 Kostum ................................................................................... 165 4.10.1KostumTariMakanSirih Aceh Tamiang ......................... 166 4.10.2KostumTariSekapurSirih Aceh Tamiang ....................... 167 4.11 Make-up (Tata rias) ............................................................... 167
BAB V STRUKTUR MUSIK IRINGAN TARI MAKAN SIRIH ….… 169
5.1 TranskripsiLagu ...................................................................... 171 5.2 Proses Transkripsi ................................................................... 172 5.3 EnsambelMusik ...................................................................... 173 5.4 InstrumenPengiringLagudanTari ............................................. 176 5.5 InstrumenPembawaRitme ....................................................... 177 5.6 InstrumenPembawaMelodi ...................................................... 185 5.7 PertunjukanTariMakanSirih di Kantor DewanPerwakilan
Rakyat Kabupaten (DPR-K) Aceh Tamiang ............................ 191 5.8 PertunjukanTariMakanSirih di Kantor
PembinaanKesejahteraanKeluarga Aceh Tamiang................... 193 5.9 PertunjukanTariMakanSirih di
SekolahMenengahPertamaNegeri I Aceh Tamiang .................. 193 5.10PertunjukanTariSekapurSirih ................................................... 194
xv
5.11 StrukturMelodiTariMakanSirih ............................................... 198 5.11.1 Tangga nada ................................................................ 202 5.11.2 Analisis modus ............................................................ 203 5.11.3 Nada dasar ................................................................... 204 5.11.4 Wilayah nada ............................................................... 206 5.11.5 Jumlah nada ................................................................. 206 5.11.6 Interval ........................................................................ 207 5.11.7 KonturlaguMakanSirih ................................................ 208 5.11.8 Formula MelodiLaguMakanSirih ................................. 211 5.11.9 KadensaLaguMakanSirih ............................................. 212 5.12 StrukturTariSekapurSirih ........................................................ 213 5.12.1Tangga nada .................................................................. 215 5.12.2Analisis modus .............................................................. 215 5.12.3Analisis nada dasar ........................................................ 217 5.12.4Analisiswilayah nada .................................................... 218 5.12.5Jumlahnadalagusekapursirih .......................................... 219 5.12.6Intervallagusekapursirih ................................................ 219 5.12.7Konturlagusekapursirih ................................................. 220 5.12.8Formula lagusekapursirih .............................................. 222 5.12.9Kadensasekapursirih ...................................................... 223
BAB VI STRUKTUR TEKS LAGU MAKAN SIRIH ….………………. 226
6.1 StrukturTeks ........................................................................... 226 6.1.1 LaguMakanSirih ............................................................ 229 6.1.2 LaguSekapurSirih .......................................................... 236 6.1.3 LaguZapinSekapurSirih ................................................. 242 6.1.4 Sirihsebagaipemuliatamu ............................................... 252
BAB VII PENUTUP………………………………………………..… 259
7.1 Kesimpulan ............................................................................. 259 7.2 Saran .................................................................................... 261
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 262 DAFTAR INFORMAN ................................................................................. 264 LAMPIRAN-LAMPIRAN ........................................................................... 265
xvi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 PolaIrama ............................................................................... 81
xvii
DAFTAR PETA
Halaman
2.1 Peta Aceh ................................................................................. 41 2.2 Peta Aceh Tamiang ................................................................... 47
xviii
DAFTAR BAGAN
Halaman
5.1 KonturMakanSirih ............................................................................. 200 5.2 KonturSekapurSirih ........................................................................... 211
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman 4.1 KostumTariSekapurSirih Aceh Tamiang ................................ 167 5.1 EnsambelTariMakanSirih ....................................................... 175 5.2 EnsambelTariSekapurSirih ..................................................... 176 5.3 Gendang ................................................................................ 177 5.4 Sarune .................................................................................... 185 5.5 Accordeon ............................................................................. 186 5.6 Biola ...................................................................................... 187 5.7 Marwas .................................................................................. 190 6.1 SusunanSirih .......................................................................... 252 6.2 PerangkatSirih ....................................................................... 254 6.3 MeracikSirih .......................................................................... 255 6.4 SetepakSirih ........................................................................... 257
xx
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang
pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang
pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan di dalam daftar pustaka.
Medan, 2014
Rima Kartina NIM. 127037008
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Umar Kayam kebudayaan adalah hasil upaya yang terus-menerus dari
manusia dalam ikatan masyarakat. Tujuan dari kebudayaan adalah menciptakan
prasarana dan sarana yang diperlukan untuk menjawab tantangan sewaktu-waktu bagi
masyarakat (Kayam, 1985:225). Dengan demikian, kebudayaan adalah merupakan
keseluruhan hasil karya manusia, dan mengisi dimensi ruang dalam kehidupannya.
Kebudayaan berfungsi dalam kehidupan manusia.Kebudayaan setiap kelompok
manusia apakah yang disebut etnik, masyarakat, bangsa, dan lainnya, umumnya
memiliki ciri-ciri yang khas, yang dapat dijadikan sebagai pembentuk identitas dari
kelompok manusia tersebut, yang membedakannya dengan kelompok manusia lainnya.
Demikian pula yang terjadi dalam masyarakat Aceh.
Kebudayaan Aceh dewasa ini adalah hasil alkulturasi kebudayaan setempat
dengan kebudayaan lain. Namun demikian yang menjadi dasar utama dalam
kebudayaan adalah konsep kebudayaan Islam. Dalam sejarah, Aceh telah menerima
kebudayaan dan agama Islam sejak abad ke 13. Sungguh pun demikian tidaklah berarti
bahwa pengaruh agama dan peradaban lainnya tidak ada. Pengaruh Hindu masih
nampak misalnya dalam cara berpakaian, memakai sanggul, tepung tawar (peusejuk),
dan lain-lainnya. Kemudian van Langen memperinci lagi pengaruh India di Aceh,
terutama dalam sorotannya mengenai pemakaian bahasa Sansekerta. Bahasa Sansekerta
telah dipergunakan dalam istilah-istilah kekeluargaan, sastra, nama-nama binatang,
1
2
pertanian, logam dan permata, pangkat dan gelar, perkakas rumah, kesenian, musik dan
seni suara (Suny, 1980:117).
Provinsi Aceh sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, merupakan satu
daerah yang kaya akan kebudayaan. Masing-masing etnik memiliki ciri budaya yang
khas. Kekhasan ini membuat Aceh mempunyai satu mosaik budaya, dan yang menjadi
perekatnya adalah Islam. Kebudayaan di Aceh dipengaruhi oleh berbagai kebudayaan
dunia, terutama peradaban Islam. Di dalam kebudayaan Aceh ini, khususnya dalam
seni pertunjukannya terdapat musik tradisional, tari tradisional, instrument tradisional,
dan lain-lain. Islam memungsikan budaya daerah dalam usaha penyebarluasan ajaran-
ajarannya.
Aceh memiliki banyak warisan kesenian tradisional yang tersebar di dalam
kebudayaan berbagai etnik yang ada di Aceh. Etnik-etnik yang ada di Aceh, dapat
diuraikan sebagai berikut: (1) Aceh Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5)
Kluet, (6) Aneuk Jamee, dan (7) Semeulue. Keenam kelompok etnik ini masing-
masing mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah
kebudayaan mereka ini adalah: (1) Aceh rayeuk memiliki wilayah budaya di
Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2) etnik Alas
berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami
Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten
Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh
Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara
dan Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami
Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya. Etnik Tamiang secara budaya
3
mempergunakan beberapa unsur kebudayaan etnik Melayu Sumatera Utara, dan
bahasa mereka adalah bahasa Melayu (Takari et al., 2008:87). Termasuk seni
pertunjukan Tari Makan sirih yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini adalah
menjadi bahagian dari kebudayaan etnik Tamiang.
Kekayaan kesenian tradisi Aceh dapat dilihat dari banyaknya jenis
kesenian yang diwarisi dari generasi ke generasi hingga saat ini. Di antara sekian
banyaknya jenis kesenian Aceh yang sangat dikenal oleh masyarakat Aceh
khususnya, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, adalah: Tari Saman, Tari
Seudati, Rapa-i Geleng, Likok Pulo. Rapa-i Daboh, dan Tari Ranup Lampuan.
Banyaknya ragam kesenian tradisional Aceh, seni tari, merupakan deposit
atau aset budaya yang dapat dijadikan salah satu daya tarik wisata, sehingga,
jenis-jenis seni tari yang ada di Aceh, sering dijadikan sebagai hiburan menarik
untuk sebuah paket wisata di Aceh. Keunikan seni tradisi Aceh, biasanya mampu
menampilkan gerakan-gerakan yang enerjik, variatif, serta memiliki daya
improvisasi yang tinggi. Di antaranya adalah seperti berikut ini.
(a) Tari Ranub Lampuan sangat terkenal di Aceh. Tari ini biasanya
dimainkan untuk menyambut tamu terhormat dan pejabat-pejabat yang
berkunjung ke Aceh. Tari ini juga di tampilkan pada acara-acara khusus, seperti
pada acara preh linto (menunggu pengantin pria), tueng dara baro (menjemput
pengantin wanita). Tarian ini dimainkan oleh tujuh orang penari wanita dan
diiringi dengan instrumen musik tradisional didalamnya berisi ranub (sirih) yang
akan diberikan kepada tamu-tamu sebagai tanda kemuliaan bagi para tamu.
4
(b) Tari Seudati, banyak terdapat dibagian pesisir utara dan timur Provinsi
Aceh. Tari ini dimainkan dengan formasi personil sebanyak 12 penari, yang
dipimpin oleh seorang syekh, dan didukung oleh dua orang penyair (aneuk syahi).
Bait-bait syair-syair yang lantunkannya aneuk syahi, diikuti tempo dengan
suara ketipan jari yang serentak, hentakkan,dan gerakan yang harmonis, dibarengi
bunyi pukulan telapak tangan ke bagian perut pemain dengan suara keras,
menjadikan tari Seudati menjadi sebuah sajian seni tari yang enerjik, atraktif, dan
kaya improvisasi. Pada era tahun 1990-an, kesenian ini telah mampu melakukan
ekspansi kebeberapa negara di benua Eropa, Amerika, dan beberapa negara Asia.
(c) Tari Rapa-i Geleng. Rapa-i adalah jenis alat musik perkusi yang
biasanya dipakai untuk mengiringi bait-bait lagu atau tarian. Permainan Rapa-i
telah dikembangkan dan diiringi dengan lagu-lagu dan berbagai macam jenis tari.
Dinamakan tari Rapa-i, karena para pemain yang menampilkan kesenian
ini, menggunakan alat Rapa-i sebagai tempo dalam menampilkan atraksi
gelenggerakan kepala pemain yang mengarah ke berbagai arah. Aksi geleng
kepala para pemain disajikan dalam gerakan yang serentak,mengikuti gerak tempo
Rapa-i yang dimainkan sambil menari. Formasi pemain biasanya sebanyak 11
sampai 12. Kesenian ini,banyak terdapat di wilayah pesisir barat dan selatan
Provinsi Aceh.
Pada masa sekarang ini, Aceh Tamiang adalah salah satu dari 23 kabupaten
yang ada di Provinsi Nangro Aceh Darussalam. Kabupaten ini terletek di ujung
perbatasan Provinsi Aceh yang lebih kurang 250 km dari kota Medan. Meskipun Aceh
Tamiang termasuk dalam bagian Kabupaten Nangro Aceh Darusalam, tetapi Aceh
5
Tamiang memiliki budaya yang berbeda dengan budaya Aceh Rayeuk (Aceh Raya).
Wilayah ini secara budaya termasuk ke dalam kelompok budaya Melayu Sumatera
Timur, yang sebenarnya akar budayanya sama dengan budaya Melayu yang terdapat di
Langkat. Demikian pula yang terjadi di dalam Tari Makan sirih yang dibahas di dalam
tesis ini. Dasarnya adalah tari Melayu yang digunakan untuk menyambut tetamu.
Secara umum, budaya Aceh Tamiang ini belum terlalu dikenal oleh masyarakat
Aceh dan di luar Aceh, hal ini disebabkan karena posisinya sebagai transit antara dua
daerah Aceh dan Medan sehingga timbul banyak suku di Aceh Tamiang.Yang dimana
suku lokal terdiri dari Tamiang, Jawa, Batak, Gayo, Minangkabau, Arab, Tionghoa,
dan lain-lainnya. Sementara itu, pengaruh dari aspek industri yang ada di wilayah Aceh
Tamiang sangatlah kuat, untuk mengundang masyarakat luas untuk tinggal dan hidup
di wilayah Aceh Tamiang ini.
Akibat dari banyak suku tersebut maka terjadilah pengaruh budaya secara
umum. Salah satunya adalah penggunaan bahasa, di mana bahasa Indonesia menjadi
alat komunikasi utama di antara semua suku yang ada.Di sisi lain, kondisi ini
menyebabkan budaya Aceh Tamiang justru semakin memudar di daerah sendiri.
Budaya di Aceh Tamiang tidak jauh berbeda dengan budaya Melayu, begitu
juga dengan bahasa, kesenian, ragam hias dan upacara-upacara adat di Aceh Tamiang.
Salah satu upacara penyambutan tamu sebagai salah satu upacara adat yang berkaitan
dengan penghormatan, khusus dalam rangka menyambut kedatangan tamu. Dalam
proses penyambutan tamu ini, di sekitar Aceh Tamiang masih menggunakan musik dan
tarian Makan sirih, yang sejauh pengamatan penulis memiliki sejumlah besar
persamaan dengan tarian Makan sirih (persembahan) pada kebudayaan masyarakat
6
Melayu Langkat, Melayu Deli, Melayu Riau, dan Kalimantan bahkan sampai ke
Melayu Malaysia. Dalam upacara penyambutan tamu di Aceh Tamiang,
masyarakatnya lazim menggunakan musik dan tari Makan sirih, bukan musik dan tari
Ranup Lampuan, seperti yang terdapat dalam kebudayaan etnik Aceh Rayeuk.
Pada musik dan tari Makan sirihberdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa tari persembahan terdapat beberapa
gerak dan bagian dari busana yang menjadi simbol dan mengandung makna
tertentu. Tari Makan sirih merupakan tari yang disajikan di hadapan para tamu
yang datang berkunjung ke Aceh Tamiang dan merupakan ucapan terima kasih
serta memberi kehormatan yang ikhlas dengan menyuguhkan tepak sirih lengkap
dengan sirih adatnya. Tari Makan sirih merupakan tarian yang memiliki simbol
dan makna, yang berkembang di masyarakat, dengan menyuguhkan Sekapur Sirih
yang bermakna rasa hormat, terima kasih dan membawa tepak sirih yang
menyimbolkan ketulusan hati menerima tamu yang hadir pada acara tertentu,
seperti pengukuhan, pertemuan adat, upacara adat, dan sebagainya.
Dalam pertunjukannya tarian Makan sirih ini menggunakan gerak-gerak
dasar tari senandung, yaitu bertempo lambat (sekitar 60 ketukan dasar per
menitnya), dengan pola lantai berbentuk saf, bertukar ke bentuk pola lantai
berpencar, dan seterusnya. Geraknya disebut gerak senandung, dengan gerakan
langkah di tempat, lenggangan tangan, mengepal, campak bunga. Dalam satu
siklus terdiri dari delapan gerakan dasar. Yang penting dalam tarian ini digunakan
properti tepak sirih dan isinya berupa: sirih, pinang, gambir, kapur, dan lain-lain.
7
Sementara para penari biasanya adalah perempuan, yang jumlahnya tidak
ditentukan, tetapi umumnya dari empat sampai sepuluh penari. Kesemuanya
memakai pakaian adat MelayuAceh Tamiang, yaitu: (a) baju kurung atau kebaya,
(b) kain songket, (c) sepatu, (d) sanggul, (e) gelang, (f) rantai emas, (g) kerabu,
(h) make-up, (i) bunga goyang, dan lain-lain.
Dalam pengkajian pertunjukan tari Makan sirih ini ada beberapa bagian
dari gerak, busana dan aksesoris yang memiliki makna dan simbol tersendiri pula.
Menurut penjelasan para informan di lapangan makna-makna gerak ituadalah
seperti berikut :
a. Gerak sembah merupakan simbol dari keagungan dan bermakna saling
menghormati antar sesama yang dilandasi oleh kepercayaan masyarakat
Aceh Tamiang dan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
b. Duduk bersimpuh merupakan simbol kerendahan hati yang bermakna
saling menghargai antara sesama.
c. Memetik bunga memiliki nilai estetis bagi masyarakat Aceh Tamiang yang
merupakan simbol keindahan.
d. Mengapur dan melipat serta menyirih merupakan ciri khas dari tarian ini
yaitu Makan sirih.
e. Baju kebaya yang memiliki makna menutup aurat sesuai dengan ajaran
agama Islam.
f. Sanggul yang ditutup selendang bermakna sopan dan santun.
g. Bunga goyang yang menyimbulkan keseimbangan dan bermakna
harmonisasi
8
Pada busana pada tari persembahan, warna memiliki peranan penting bagi
masyarakat. Warna emas yang mendominasi busana dan aksesoris yang
dilaksanakan adalah simbol kemegahan yang pada zaman dahulu hanya boleh
dikenakan oleh kalangan bangsawan kerajaan.
Simbol dan makna dalam tari persembahan khususnya gerak dan
busana,sangat erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Aceh Tamiang
terhadap agama Islam yang tertuang dalam kebudayaan masyarakat Aceh
Tamiang yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma agama Islam.
Musik iringannya adalah ensambel musik Melayu yang terdiri dari: (a)
satu atau dua gendang ronggeng, yang satu gendang induk dan satunya lagi
gendang anak; (b) akordion yang membawa melodi, (c) biola yang juga membawa
melodi, (d) penyanyi yang menyanyikan lagu Makan sirih; (e) kadang disertai
dengan sebuah tetawak (suspendedgong). Yang menarik dalam pertunjukan tari
Makan sirih di Tamiang Aceh ini, untuk mengiringi penyanyi selain akordion dan
biola, kadang-kadang digunakan juga alat musik Seurune Kalee (shawnaerofon).
Seurune Kalee ini lazim digunakan dalam ensambel musik yang terdapat dalam
kebudayaan Aceh Rayeuk, terutama di Kutaraja (Banda Aceh) dan sekitarnya. Ini
menjadi ketertarikan sendiri dari sudut musikal terhadap musik iringan tari Makan
sirih di Tamiang. Secara umum tekstur musiknya adalah heterofonis, yaitu
penyajian melodi yang saling mengisi antara instrumen pembawa melodi dan
vokalnya, tentu dengan disertai variasi-variasi yang bersifat estetis.
Melodi yang disajikan oleh vokal dan iringan musiknya berakar dari musik
Melayu yang disebut dengan: cengkok, gerenek, dan patah lagu. Cengkok adalah
9
hiasan melodi dengan teknik meliukkan nada seperti halnya legato pada musik
Barat. Sementara itu gerenek adalah hiasan-hiasan terhadap melodi dengan nada-
nada yang berdensitas relatif padat, dan berinterval relatif kecil. Patah lagu adalah
gaya penyajian melodi dengan cara sedikit menyentak-nyentakkan nada, seperti
halnya teknik stachatto, pada budaya musik Barat.
Di dalam penyajiannya musik iringan tarian Makan sirih ini juga disertai
dengan teks. Studi terhadap teks ini juga menjadi bahagian dalam tesis ini
nantinya. Adapun teks lagu Makan sirih itu adalah sebagai berikut :
Makan sirih
Makan sirih berpinang tidak
Adatlah resam pusaka Melayu ...
Makanlah sirih berpinanglah tidak, (Berpinanglah tidak)
Sirih di makan zaman dahulu
Makanlah sirih berpinanglah tidak, (Berpinanglah tidak)
Sirih dimakan zaman dahulu
Walaupun sirih mengenyanglah tidak, (Mengenyanglah tidak)
Adatlah resam pusaka Melayu
Walaupun sirih mengenyanglah tidak, (Mengenyanglah tidak)
Adatlah resam pusaka Melayu
Makan sirih berpinang tidak Tuan
Adatlah resam pusaka Melayu
Teks lagu Makan sirih yang digunakan dalam pertunjukan tari Makan sirih
seperti tersebut sebenarnya adalah berakar pada pantun Melayu. Biasanya dapat
10
juga dikembangkan sesuai dengan konteksnya. Dalam tesis nantinya teks ini akan
dikaji makna-maknanya.
Alan P.Marriam menerbitkan sebuah buku yang disebut The Anthropology
of Music yang di dalamnya mengkaji musik dalam masyarakat. Ia lebih tertarik
untuk meneliti simbolisme musik serta fungsinya di dalam masyarakat. Ia lebih
tertarik untuk meneliti simbolisme musik serta fungsinya di dalam masyarakat.
Marriam mengusulkan studi tentang musik itu seyogyanya meliputi
instrumentation, word of songs, native typology and classification of music, role
and status of musicians, function of music in relation to other aspect of culture
and music as creative activity (Bandem, 1981:43).
Dalam kaitannya dengan tesis ini, penulis akan tetap merujuk kepada
bagaimana kedudukan seni pertunjukan tari Makan sirih dan musik iringannya
eksis di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Sajian seni dalam kebudayaan
ini tentu sekali penting didekati dengan sudut pandang guna dan fungsi seni.
Dengan melihat latar belakang yang seperti itu, penulis tertarik untuk
mengkaji pertunjukan Tari Makan sirih ini, dalam sebuah judul tesis, yaitu:
Pertunjukan Tari Makan sirih dalam Kebudayaan Masyarakat Aceh
Tamiang: Analisis Struktur Musik, Tari, dan Teks.
1.2 Pokok Permasalahan
Dari uraian diatas dapatlah dirumuskan permasalahan yang akan di jadikan
kajian dalam penelitian ini adalah bagaimana keberadaan pertunjukan musik dan
tari Makan sirih pada kebudayaan masyarakat Aceh Tamiang.
11
Untuk mengarahkan kajian lebih fokus, maka ditentukan pokok
masalahnya sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur tari Makan sirih?
Pokok masalah ini akan dijawab dengan menganalisis aspek-aspek
pendukung struktur tari seperti: jenis gerak, tempo tari, pola lantai, makna
gerak, motif gerak, frase gerak, siklus, tata busana dan maknanya, properti
tari, dan hal-hal sejenis.
2. Bagaimana struktur musik iringan tari Makan sirih?
Pokok masalah ini akan dijawab dengan menganalisis aspek-aspek
pendukung struktur musik, seperti: a. Dimensi waktu yang terdiri dari:
meter (metrum), tanda birama, aksentuasi, siklus, densitas ritme, motif
ritme, pola ritme, bentuk ritme, dan sejenisnya; b. Dimensi ruang, seperti:
wilayah nada, tangga nada, nada dasar, formula melodi, kontur, distribusi
interval, pola-pola kadensa, nada-nada yang digunakan, motif melodi,
frase melodi, bentuk melodi, cengkok, gerenek, patah lagu, tekstur
heterofonis, dan lain-lainnya.
3. Bagaimana struktur dan makna teks lagu Makan sirih?
Pokok masalah ini akan dijawab dengan cara menganalisis teks, yang
mencakup: pantun, sampiran, isi, diksi, gaya bahasa, jumlah suku kata,
baris, rima (persajakan), interyeksi, penggunaan partikel, dan hal-hal
sejenis.
12
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1TujuanPenelitian
Tujuan penelitian ini adalah sesuai dengan pokok masalah yang telah
ditentukan, yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana struktur tari Makan sirih.
2. Untuk mengetahui struktur musik iringan tari Makan sirih, yang mencakup
dimensi ritme dan melodi.
3. Untuk mengetahui dan memahami bagaiman struktur dan makna teks yang
digunakan dalam lagu Makan sirih.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Ada beberapa manfaat yang di harapkan dari hasil kajian ini. Selain
sebagai penambah wacana dalam studi etnografi khususnya yang ada pada
masyarakat tertentu atau secara spesifik, kajian ini juga diharapkan dapat memberi
sumbangan bagi upaya-upaya pelestarian adat budaya Aceh yang memanfaatkan
pertunjukan tari Makan sirih sebagai media dalam hal ini tari sebagai budaya
materi selain itu juga harapan sebagai aset wisata religi. Kajian ini akan sangat
bermanfaat sebagai bahan sebagai bahan masukkan bagi pemerintah, lembaga
pendidikan formal, dan masyarakat luas. Hasil kajian ini akan berguna
membangkitkan gairah masyarakat dan para insan seni, untuk tetap menjaga
kesatuan dan pelestarian tari tradisi serta menanamkan kreativitas pada
13
masyarakat. Di samping itu sebagai bahan dapat membantu para seniman dan
pengamat tari dalam mengolah tari tradisi khususnya Aceh Utara.
1.4 Tinjauan Pustaka
Kajian pertunjukan tari Makan sirih belum ramai dilakukan oleh pengkaji-
pengkaji seni, akan tetapi buku tentang seni tari telah banyak ditulis oleh pakar-
pakar seni tari baik di Barat maupun di Indonesia yang terkadang digunakan
sebagai bahan panduan dan bahan-bahan informasi terhadap kajian ini. Ditinjau
dari kebudayaan, serta telaah tentang keberadaan pertunjukan tari Makan sirih
sehubungan dengan keputusan pemerintah setempat untuk menerapkan sebenar-
benarnya menjunjung budaya setempat, maka dari itu sebelum melangkah kepada
kajian yang di jalankan, tahap yang penulis lakukan adalah studi keperpustakaan,
untuk mempelajari literatur yang berkaitan dengan objek kajian. Topik kajian
sudah pernah ditulis sebelumnya, walaupun kajian ini mengupas masalah yang
sama, namun topik permasalahan dalam kajian ini jelas berbeda. Kajian ini akan
mengupas dari sisi lain yang belum pernah dilakukan oleh pengkaji-pengkaji
sebelumnya.
Tinjauan pustaka ini, penulis kelompokkan dalam dua kategori. Yang
pertama adalah buku-buku dan karya lainnya yang menjadi dasar ilmiah dalam
mengkaji tari Makan sirih, baik dari sudut konteks maupun teksnya. Yang kedua
adalah kajian-kajian para ilmuwan yang terdahulu yang terkait dengan tulisan
tesis ini. Tulisan-tulisan terdahulu itu bisa berupa buku, skripsi sarjana, tesis
magister, dan sejenisnya.
14
Dari hasil studi literatur tulisan ini akan menggunakan buku-buku yang
berkaitan dengan penulisan ini antara lain sebagai berikut :
Pertama, Ismail Suny, menulis buku yang bertajuk Bunga Rampai
Tentang Aceh. Buku ini secara umum mendeskripsikan masyarakat Aceh dan
kebudayaannya, dan yang utama pemberi ciri khas kebudayaan Aceh itu adalah
agama Islam. Buku ini menjadi rujukan penulis dalam melihat keberadaan
kesenian-kesenian Aceh, terutama tari Makan sirih yang terdapat di dalam
kebudayaan masyarakat Melayu Tamiang.
Kedua, Koentjaraningrat, seorang antropolog ternama Indonesia menulis buku
yang berjudul Masjarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Di dalam buku ini diuraikan
bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi perubahan-perubahan zaman yang
begitu deras mengalir, dari perkotaan sampai pedesaan. Termasuk juga perubahan-
perubahan kebudayaan yang terdapat di dalam kebudayaan masyarakat Aceh.
Ketiga, Soerjono Soekanto, yang dikenal sebagai sosiolog menulis buku yang
berjudulSosiologi Suatu Pengantar. Buku ini menguraikan secara fundamental
bagaimana ilmu sosiologi itu, terbentuk, sejarahnya, bidang-bidang telaah serta
berbagai jenis organisasi sosial manusia. Buku ini menjadi sumber rujukan penulis
dalam melihat kelompok kesenian Makan sirih yang terdapat di Tamiang Aceh.
Keempat, Soerjono Soekanto, menulis buku yang bertajuk Teori Sosiologi.
Buku ini berisikan materi ilmu yang mencakup teori-teori yang lazim dipakai di dalam
ilmu sosiologi. Buku ini juga menjadi rujukan penulis dalam melihat sisi sosiologi
kelompok-kelompok seni, terutama yang menyajikan tari Makan sirih di Aceh
Tamiang. Buku ini menjadi dasar utama dalam menganalisis hubungan antara seniman,
15
pengelola seni, dan masyarakat pendukungnya dalam konteks fungsi seni yang lebih
luas.
Kelima, James Dananjaja, menulis sebuah buku yang berjudul
FoklorIndonesia. Di dalam buku ini dijelaskan mengenai cerita-cerita rakyat di
Indonesia. Namun sebelumnya James Dananjaya menguraikan pula teori-teori dan
metode yang lazim digunakan di dalam ilmu folklor. Buku ini penulis rujuk sebagai
salah satu materi keilmuan dalam tesis ini, terutama yang menyangkut cerita rakyat
Aceh, mengenai tumbuh dan berkembangnya pertunjukan tari Makan sirih. Begitu juga
pertunjukan-pertunjukan budaya di Tamiang yang sebenarnya menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari tradisi lisan masyarakat Aceh. Di dalam pertunjukan budaya ini
juga terkandung nilai-nilai kearifan lokal.
Keenam, Joginder Sing Jessy, menulis sebuah buku yang bertajuk
SejarahTanahMelayu 1400-1959. Buku ini menggunakan pendekatan ilmu sejarah
dalam memberikan keberadaan masyarakat dan kebudayaan Melayu, khususnya di
Semenanjung Malaya. Buku ini dapat dijadikan rujukan sebagai perbandingan
bagaimana budaya Melayu di Semenanjung dan di pulau Sumatera khususnya
Sumatera Timur dan Tamiang Aceh.
Ketujuh, Anya Peterson Royce menulis sebuah buku yang berjudul
AntropologiTari, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh F.X
.Widaryanto dari Institut Seni Indonesia, Bandung. Buku ini berisikan metode dan teori
untuk mengkaji budaya tari yang terdapat dalam peradaban manusia di dunia secara
holistik. Buku ini penulis gunakan untuk mengkaji kedudukan pertunjukan Tari Makan
sirih dalam kebudayaan masyarakat Tamiang Aceh.
16
Seterusnya terdapat beberapa tulisan ilmiah yang khusus mengkaji seni
pertunjukan di Aceh yang memiliki kedekatan kajian dengan yang penulis lakukan ini.
Di antaranya adalah sebagai berikut.
Satu, yaitu skripsi sarjana yang bertajuk “Seurune Kalee dalam kebudayaan
Masyarakat Aceh di Desa Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar:
Kajian terhadap Difusi, Organologis, dan Akustika.” Skripsi ini ditulis oleh Cut
Rosmiaty Muly seorang etnomusikolog dari Fakultas Sastra USU, tahun 1998. Skripsi
ini mengkaji secara rinci mengenai persebaran Seurune Kalee dalam kebudayaan Aceh,
yang menurutnya memiliki hubungan dengan kebudayaan di wilayah Dunia Islam.
Seurune Kalee ini memiliki kesamaan fisik yang dekat dengan serunai yang berasal
dari Turki, Nigeria, dan India. Secara akustik, Seurune Kalee ini masuk ke dalam
klasifikasi aerofon shawm. Secara akustika teknik memainkannya adalah: meniup
lubang hembusan, tiupan oleh mulut, pengaturan nada-nada melalui lubang nada, dan
menghasilkan suara yang akustik. Skripsi ini menjadi dasar dalam mengkaji Seurune
Kalee yang juga digunakan dalam pertunjukan tari Makan sirih di Tamiang. Walaupun
lagu Makan sirih seperti diketahui adalah berasal dari kebudayaan Melayu yang
biasanya disajikan oleh biola dan akordion sebagai pembawa melodi utama, namun
yang menarik di kawasan ini, lagu tersebut dibawakan pula oleh Seurune Kalee, yang
masih tetap menghasilkan tekstur heterofonis. Ini menjadi identitas tersendiri pula bagi
kebudayaan MelayuAceh Tamiang.
Dua, adalah skripsi sarjana dari Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara yang ditulis oleh Rita Dewi (NIM 890707006), yang
bertajuk “Rapa-i Pasee pada Kebudayaan masyarakat Aceh di Desa Awe, Kecamatan
17
Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara: “Analisis Musik dalam Konteks
Kebudayaan.” Skripsi sarjana ini ditulis oleh Rita Dewi tahun 1995. Tema utama dalam
skripsi tersebut adalah menganalisis fungsi dan struktur ritme yang disajikan dalam
permainan Rapa-i Pasee dengan pendekatan-pendekatan etnomusikologis. Skripsi
sarjana ini menjadi salah satu referensi penulis dalam mengkaji pertunjukan tari Makan
sirih di Aceh Tamiang. Pendekatan Dewi dalam mengkaji konteks sosiobudaya Rapa-i
Pasee dapat digunakan pula dalam penelitian yang penulis lakukan.
Tiga, skripsi sarjana yang ditulis oleh Sansri Nuari Silitonga, juga ilmuwan
etnomusikologi FIB USU, yang menulis skripsi bertajuk “Nur ‘Ainun sebagai
Penyanyi Melayu Sumatera Utara: Biografi dan Analisis Struktur Lagu-lagu Rentak
Senandung, Mak Inang, dan Lagu Dua yang Dinyanyikannya.” Skripsi sarjana ini
ditulis pada tahun 2011. Skripsi ini membahas secara detil riwayat hidup penyanyi
Melayu Sumatera Utara ternama yaitu Nur ‘Ainun dan juga beberapa lagu yang
dinyanyikannya dianalisis. Skripsi sarjana ini menjadi rujukan penulis dalam
menganalisis struktur melodi lagu Makan sirih dalam mengiringi tarian Makan sirih di
Aceh Tamiang. Analisis melodi ini akan memandang dari segi garapan estetika
menurut pandangan seniman Melayu, yaitu: cengkok, gerenek, dan patah lagu.
Empat, skripsi sarjana Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya USU, yang
ditulis oleh Heidy E. Simorangkir, yang berjudul “Analisis Gaya Permainan Akordion
untuk Lagu-lagu Melayu oleh Zulfan Efendi Lubis, tahun 2011. Skripsi sarjana ini
memfokuskan perhatian kepada gaya permainan seorang pemain akordion Melayu
ternama yaitu Zulfan Efendi Lubis, dengan pendekatan etnomusikologi, khususnya
melalui teori weighted scale. Skripsi sarjana ini menjadi dasar penulis untuk mengkaji
18
bagaimana pula permainan akordion oleh seniman musik akordion dalam ensambel
musik Melayu untuk mengiringi tarian Makan sirih di Aceh Tamiang.
1.5 Konsep dan Landasan Teori
1.5.1 Konsep
Konsep yang terpenting digunakan dalam penelitian ini adalah mengetahui
struktur musik, tari Makan sirih agar dapat mengetahui fungsi dan makna pertunjukkan
Tari Makan sirih bagi masyarakaat suku Aceh Tamiang. Kajian ini akan mengupas
bagaimana bentuk-bentuk teknik gerakan tari Makan sirih, dari mana asal usul tari dari
bagai mana peranannya bagi daerah setempat. Selain itu, yang dimaksud dengan
struktur tari adalah meliputi aspek-aspek: motif gerak, frase gerak, pola-pola lantai,
hubungan pasangan penari, makna pakaian, properti, warna, dan lainnya.
Struktur musik dalam tesis ini adalah yang mencakup bidang-bidang: ensambel
atau instrumentasi, baik itu organologi, akustik, jalinan dalam ensambel, fungsi dan
peran alat-alat musik (pembawa ritme, siklus, fungtuasi, melodi, peran heterofonis, dan
hal-hal sejenis).
Struktur Teks akan mengkaji isi dari lagu tari Makan sirih, lagu tari Sekapur
Sirih dan lagu tari pecahan Sekapur Sirih, Aceh Tamiang. Tari Makan sirih motifnya
menyerupai tari Bello Mesusun dari Aceh Tenggara (Suku Alas) Kutacane, juga
menyerupai tari Ranup Lampuan Aceh, yang memiliki fungsi dan makna hampir sama.
Yang dimaksud dengan struktur musik dalam tesis ini adalah mencakup
bidang-bidang: ensambel atau instrumentasi, baik itu organologi, akustik, jalinan dalam
ensambel, fungsi dan peran alat-alat musik (pembawa ritme, siklus, fungtuasi, melodi,
19
peran heterofonis, dan hal-hal sejenis). Selain itu juga struktur musik ini mencakup
dimensi ruang, yang mencakup: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula
melodi, distribusi nada, interval, kontur, dan hal-hal sejenis.
Struktur musik dalam konteks kajian ini juga mencakup teks atau lirik yang
disajikan dalam musik. Seperti diketahui bahwa musik Melayu yang bersifat verbal
selalu menggunakan aspek-aspek puisi seperti pantun, gurindam, seloka, nazam, syair,
dan lainnya. Teks lagu Makan sirih ini terdiri dari unsur pantun (sampiran dan isi).
Untuk menganalisis makna teks lagu (musik) maka aspek ayang akan dikaji meliputi
diksi, gaya bahasa, rima (persajakan), jumlah baris, bait, kata-kata seru, struktur baris,
makna konotatif, makna denotatif, nilai-nilai budaya, dan hal-hal sejenis.
Selain itu, yang dimaksud dengan struktur tari adalah meliputi aspek-aspek:
motif gerak, frase gerak, makna gerak, pola-pola lantai, hubungan pasangan penari,
makna pakaian, properti, warna, dan lainnya. Begitu juga lambang-lambang yang
terdapat dalam tari ini mengungkapkan apa saja. Struktur tari dilihat dari perspektif
struktur dalam (inner part) dan juga hubungannya dengan konteks kebudayaan. Tari
bukan sebuah aktivitas yang berdiri sendiri yang terpisah dari kebudayaan. Bahkan tari
merupakan ekspresi dari kebudayaan.
1.5.2 Landasan teori
1.5.2.1Teori Fungsional
Teori-teori yang penulis gunakan untuk mengkaji struktur tari, struktur musik
iringan, dan makna teks adalah sebagai berikut. Teori Fungsional yang akan penulis
gunakan sebagai penuntun untuk menganalisa penelitian tesis Pertunjukkan Tari Makan
sirih Dalam Kebudayaan Masyarakat Aceh Tamiang: Analisa Struktur Musik, Tari
20
Dan Teks. Muhammad Takari, (2009.19), mengatakan bahwa fungsionalisme adalah
salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu social yang menekankan pada saling
kebergantungan antara intstitusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaaan-kebiasaan
pada masyarakat tertentu. Muhammad Takari, (2009), Etnomusikologi, ilmu-ilmu seni
dan pengembangan teori, (Medan: Studi Kultural, Nomor 16, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara), hlm. 19
Lahirnya Fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya kelemahan-
kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya, (evolusi, divusi, dan sejarah
kebudayaan) meskipun mereka selalu memperbaiki metode analisis dalaam
penelitiannya dengan baik namun kesan yang muncul dari hipotesis dari penelitian
mereka seakan spekulatif. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang
dipergunakan pada ilmu sosial, yang menekankan pada saling kebergantungan antara
institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu.
Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi
institusi-institusi seperti: Negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai
contoh, pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga
mendukung nilai-nilai yang difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi
dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal,
partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas sosial di
antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun
teori ini menjadi dasar bagi para penulis Eropa abad ke-19, khususnya Emile
Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai sebuah teori yang
mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun
21
1950-an. Teori ini sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika
dalam dekade 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A.R. Radcliffe-Brown.
Mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada
masyarakat bukan Barat. Sejak decade 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan
pula untuk mengkaji dinamika konflik social. (Lorimer et al. 1991 et al.1991-112-113).
1.5.2.2 Teori Struktural
Teori struktural, untuk mengkaji struktural tekstual tari Makan sirihAceh
Tamiang, penulis mengacu kepada pendapat (Hockett, 1958) yang mengatakan bahwa
bahasa adalah suatu system kebiasaan yang rumit, memiliki lima subsistem, yaitu:
gramatik, system fonologi, morfefonemik, semantik, dan fonetik. Bagi kelompok
strukturalis meskipun kelima system ini di akui keberadaannya, hanya tiga system yang
pertama yang dianggap sebagai system sentral di dalam bahasa, kedua yang terakhir
hanya system memilih sasaran bagian-bagian yang tersusun membentuk wujud.
Susunan unsur-unsur itu di pandang sebagai struktur yang terorganisasi secara rumit
dan saling bergantung antara satu dengan yang lain. Sewaktu di lapangan penulis
seringkali mengungkapkan keinginan untuk mengawinkan struktur dan fungsi, untuk
melihat tari dari kedua pandangan tersebut agar bisa disebut lengkap. Bahwa ini jarang
terjadi bukanlah karena akibat-akibat kontradiksi dan pandangan yang terlalu dangkal.
Yang terjadi adalah lebih merupakan gabungan dari kebutuhan praktis dan pada
jangkauan penelitiannya. Struktur dan fungsi tekanannya tergantung pada masalah
tertentu yang bisa di jangkau.
Struktur dan fungsi menggambarkan pandangan yang menghasilkan informasi
yang sangat berbeda dengan kegunaan-kegunaan hasil bagi kajian dalam himpunan
22
tertentu. Kajian struktural tari Makan sirihAceh Tamiang biasanya berkenaan dengan
sesuatu yang menghasilkan “tata bahasa” dari gaya-gaya tari tersebut. Dalam analisis
struktural tari Makan sirihAceh Tamiang mempunyai gerak-gerik tari, elemen-elemen
tari, motif-motif gerak dan unsur-unsur tari, tatanan dalam gerak tari.
Dalam tarian Makan sirihAceh Tamiang ini juga utamakan pola-pola dalam
pergerakannya, karena pola ini salah satu membentuk tarian menjadi indah dan meriah,
dengan adanya pola lantai membuat tarian semakin hidup dan tidak terlihat monoton
atau menjenuhkan, pola lantai adalah perpindahan penari dari satu garis ke garis
selanjutnya, pertukaran tempat sesuai yang sudah ditentukan. Pola lantai ini juga
sangatmenarik untuk di kaji dalam sebuah penelitian, dan bisa juga disebut perpindahan
penari satu ke penari yang lainnya. Untuk itu penulis mengarahkan tulisan ini ke unsur-
unsur desain tari.
1.5.2.3 Teori Semiotik
Adapun untuk mengetahui dan memaknai teks dalam lagu Makan sirih, lagu
Sekapur Sirih, dan lagu pecahan Sekapur Sirih penulis menggunakan teori semiotika.
Teori Semiotika berasal dari bahasa Yunani: Semeon yang berarti tanda. Semiotika
adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili
sesuatu objek representativ. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah
semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua
merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean
yang diikuti oleh Charles Sanders Peirce dan Umberto Eco, sedangkan istilah
Semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes. Baik semiotik ataupun semiologi
23
merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang
mempelajari hubungan antara tanda-tanda. (Marcell Bonnef, op.cit.,hlm.4-5)
Alex Sobur mendefenisikan semiotika sebagai suatu ilmu atau metode analisis
untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya
berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama
manusia. Semiotika jika dalam istilah Barthes adalah semiologi pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memakai
(tosignify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,
tetapi juga mengkonstitusi system terstruktur dari tanda. (Alex Sobur, Semiotika
Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya) hlm.15.
Van Zoest yang dikutip oleh Rahayu S. Hidayat menjelaskan bahwa semiotika
mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda.
Berbicara tentang kegunaan semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragmatik, yaitu
untuk mengetahui apa yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika
berhadapan dengan tanda. Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi
dan konsumsi arti. Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang seperti, semiotika
musik, semiotika bahasa, semiotika komunikasi, visual separti kartun, semiotikakode
budaya dan sebagainya. (Tommy Christomy, Semiotika Budaya, Depok:PPKB
Universitas Indonesia, 2004, hlm 79-81).
Untuk memahami makna pertunjukan dan teks lagu untuk pertunjukan Tari
Makan sirih ini, penulis menggunkan teori semiotika. Teori semiotika, menurut
penulis adalah salah satu teori yang menjadi penghubung erat antara ilmu
24
linguistik dan sastra dengan ilmu-ilmu seni. Dalam sejarah perkembangan ilmu,
belum pernah ada teori yang dipakai begitu meluas di bidang bahasa, sastra, dan
seni seperti semiotika ini. Bahkan kini semiotika pun dipakai untuk bidang
disiplin arsitektur.
Pendekatan seni salah satunya mengambil teori semiotika dalam usaha
untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui
sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis
semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan
Charles Sanders Pierce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat
bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji
bunyi (sound image) atau signifieryang berhubungan dengan konsep (signified).
Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi
terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,
indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti
foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu
seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak
menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara
Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
25
1.5.2.4. Teori Weighted Scale
Teori Weighted scale(bobot tangga nada) untuk mendeskripsikan struktur
musik yang terdapat didalam seni pertunjukkan tari Makan sirih, dan tari Sekapur
Sirih dan Zapin Sekapur Sirih. Teori ini dikutip dari Malm1. Malm menawarkan 8
unsur melodi yang akan dianalisis dengan pendekatan etnomusikologi, yaitu:
1) Tangga nada (scale),
2) Nada dasar (pitch center),
3) Wilayah nada (range),
4) Jumlah nada-nada (frequency of note),
5) Pola-pola kadensa (cadence patterns),
6) Formula melodic (melodic formulas), dan
7) Kontur (contour).
Untuk mengkaji struktur musik Tari Makan sirih terutama melodinya, penulis
menggunakan teori weighted scale yang ditawarkan oleh Malm (1977). Pada
prinsipnya teori weighted scale adalah teori yang lazim dipergunakan di dalam
disiplin etnomusikologi untuk menganalisis melodi baik itu berupa musik vokal
atau instrumental. Ada delapan parameter atau kriteria yang perlu diperhatikan
dalam menganalisis melodi, yaitu: (1) tangga nada (scale), (2) nada dasar (pitch
center), (3) wilayah nada (range), (4) jumlah nada (frequency of note), (5)
jumlah interval, (6) pola-pola kadensa (cadence patterns), (7) formula melodi
1William P. Malm, 1977. Music Cultures of the Pasific, Near East, and Asia. New Jersey:
Prentice Hall, Englewood Cliffs; serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia, William P. Malm, Kebudayaan Musik Pasifik, Timur Tengah, dan Asia, dialihbahasakan oleh Muhammad Takari, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 1993).
26
(melody formula), dan (8) kontur (contour) (Malm dalam terjemahan Takari
1993:13).
Dalam rangka penelitian ini, sebelum menganalisis melodi lagu Makan sirih
yang disajikan oleh penyanyi dalam konteks situasi, maka terlebih dahulu data
audio ditranskripsi ke dalam notasi balok dengan pendekatan etnomusikologis.
Setelah dapat ditransmisikan ke dalam bentuk notasi yang bentuknya visual,
barulah notasi tersebut dianalisis.
1.6 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi tentang kebudayaan yang kualitatif dan karena
merupakan studi tentang kebudayaan maka digunakan pendekatan yang
mengkombinasikan tehnik-tehnik etnografi maka mengungkapkan sudut pandangan,
pelaku kebudayaan merupakan tujuan utama. Untuk itu digunakan metode observasi
terbatas serta in-deept interview atau wawancara mendalam dengan para informan yang
merupakan para pelaku kebudayaan tersebut.
Subyek penelitian adalah masyarakat Aceh pada umumnya, masyarakat Aceh
Tamiang pada khususnya yang masih menggunakan pertunjukan Tari Makan sirih
sebagai pelengkap hajatan atau upacara mereka di setiap upacara adat istiadat.
Masyarakat Aceh Tamiang yang masih mempraktikkan tradisi tari dalam adat-istiadat
setempat, sebagai representasi, akan diambil beberapa orang sebagai informan utama
yang mengerti dengan budaya suku Aceh Tamiang tersebut yang berhubungan dengan
pertunjukan Tari Makan sirih.
27
Selama di lapangan, peneliti akan melakukan kegiatan wawancara dengan
informan dengan mewawancarai lebih berfokus dan tidak berkembang pada data yang
kurang relevan. Digunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah disusun
sebelum proses wawancara sifatnya tidak mengikuti, karena dapat juga terjadi
penelitian memperoleh data yang tidak diperkirakan sebelumnya.Untuka keperluan
analisa, hasil wawancara perlu di dokumentasikan baik dengan pencatatan (transkripsi)
maupun dengan bantuan alat rekam (tape recorder).
Selama pengumpulan data, peneliti juga melakukan pengamatan terhadap apa
yang terjadi di lapangan, kegiatan pengamatan selain untuk mengungkap apa yang
belum diperoleh dari wawancara juga penguat (konfirmasi langsung) terhadap data
yang diperoleh dari proses wawancara, untuk itu diperlukan catatan lapangan (fied
note) yaitu catatan yang tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan
difikirkan dalam rangka pengumpulan data dan repleksi terhadap data dalam penelitian
kualitatif, catatan kualitatif.
Selain data primer, juga dilakukan pencarian data-data sekunder, yang dapat
beberapa informasi dari pendukung maupun data dokumen lain yang mendukung,
semua data yang diperoleh akan dianalisis interpretasi deskriptif untuk lebih
memperkuat data dijamin akurasi data lapangan. Semua data baik dari pengamatan,
wawancara dengan subyek maupun data dari sekunder diperifikasi.
28
1.7 Teknik Mengumpulkan dan Menganalisis Data
Pada tahap awal dilakukan perumusan pokok permasalahan untuk
menghasilkan beberapa data yang dipakai sebagai acuan dalam pelaksanaan langkah-
langkah berikutnya di lapangan. Fokus yang akan dikaji melalui penelitian adalah
keberadaan Musik Tari Makan sirih di Daerah Aceh Tamiang sekitarnya, khususnya
Sanggar Tari Meuligee Lindung Bulan, di bawah binaan Ibu Bupati Aceh Tamiang.
Dalam hal mengumpulkan data, penulis melakukan kerja penelitian berfokus
kepada keberadaan struktur musik, tari, dan teks, tari Makan sirih di Aceh Tamiang.
1.7.1 Metode Penelitian Kualitatif
Menurut Bungin (2007:139) pengumpulan data pada penelitian kualitatif
membutuhkan teknuk-teknik kualitatif pula. Pada umumnya dalam penelitian kualitatif,
penelitian langsung dapat memilih beberapa tehnik pengumpulan data antara lain: (1)
Observasi Partisipasi; (2) Wawancara Mendalam; (3) LifeHistory; (4) Analisis
Dokumen; (5) Catatan Harian Peneliti; dan (6) Analisis Isi Media. Dalam hal ini,
penulis menggunakan teknik pengumpulan data lewat penelitian langsung ke lapangan,
wawancara dan analisis dokumen. (2007: 1391.7.2)
1.7.2 Metode Penelitian Lapangan
Penelitian Lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang dilakukan
penyelidik, yang berkaitan dengan pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari
pengamatan, wawancara (temu bual) dan perekaman. Bungin (2007: 139) Pengamatan
yang dilakukan adalah secara langsung, yaitu melihat langsung pertunjukkan lagu dan
tari Makan sirih dan lagu dan tari Sekapur Sirih di Aceh Tamiang. Tujuan observasi ini
adalah untuk memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi
29
dalam kenyataan. Dengan pengamat dapat kita peroleh gambaran yang lebih jelas
tentang kehidupan sosial.
Berdasarkan jenisnya maka observasi yang selalu digunakan dalam penelitian
seni adalah partisipasi pengamat sebagai partisipan (insider) yaitu sebagai keuntungan,
cara ini adalah penyelidik merupakan bagian yang menyatu dari keadaan yang
dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak mempengaruhi keadaan itu dalam
kewajarannya. Penelitian lapangan (field work) adalah menjadi fokus utama kegiatan
penulis dalam rangka penelitian tari Makan sirih di Aceh Tamiang. Hal ini dilakukan
mengacu kepada disiplin etnomusikologi dan antropologi yang sangat mementingkan
penelitian lapangan. Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Bandem dalam konteks
kegiatan ilmuan etnomusikologi di dunia ini. Menurut I Made Bandem, etnomusikologi
merupakan sebuah bidang keilmuan yang topiknya menantang dan menyenangkan
untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik, etnomusikologi merupakan
ilmu yang relative muda pada umurnya. Kendati umurnya baru sekitar satu abad,
namun dalam uraian tentang musik eksotik sudah dijumpai jauh sebelumnya. Uraian-
uraiantersebut ditulis oleh para penjelejah dunia, utusan–utusan agama, orang-orang
yang suka berziarah dan para ahli filologi. Pengenalan musik Asia di Dunia Barat, pada
awalnya dilakukan oleh Marco Polo, pengenalan musik China oleh Jean Babtise Halde
tahun 1735 dan Josep Amiot tahun 1779. Kemudian musik Arab oleh Guillaumume-
Andre Villoeauhun 1809. Priode ini dipandang sebagai awal perkembangan
etnomusikologi. Masa ini pula diterbitkan Ensiklopedia Musik oleh Jean-Jaques
Rousseau, tepatnya tahun 1768, yang memberi semangat tumbuhnya etnomusikologi
(Bandem, 2001: 1-2)
30
Kerja lapangan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah observasi
dan wawancara. Observasi adalah pengamatan dengan cara sebagai pengamat yang
terlibat dalam kegiatan seni secara langsung. Kemudian wawancara dilakukan kepada
informan kunci untuk mengetahui makna-makna tari Makan sirih dalam konteks
kebudayaan Aceh Tamiang.
Observasi di gunakan untuk mengetahui secara langsung bentuk penyajian tari
Makan sirihdan tari Sekapur Sirih. Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih merupakan
suatu kegiatan yang dilihat langsung dalam aspek penyajian yaitu gerak, pola lantai,
bentuk syair, busana dan tata rias penari Makan sirih dan penari Sekapur Sirih. Dalam
observasi ini penulis mempersaksikan pertunjukkan tari Makan sirih dan tari Sekapur
Sirih di beberapa peristiwa Budaya, terutama tari Makan sirih yang disebut juga tari
Persembahan. Penting melakukan observasi ini adalah untuk melihat langsung
pertunjukkan dan kemudian melakukan wawancara. Selepas itu penulis akan
menganalisisnya dan melakukan penafsiran-penafsiran cultural berdasarkan ilmu dan
pengalaman yang penulis peroleh selama ini.
1.7.3 Metode Wawancara
Wawancara merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data atau memperoleh
informasi secara langsung bertatap muka dengan informan, sehingga mendapat
gambaran lengkap tentang objek yang diteliti. Wawancara dilakukan dengan penari,
pelatih tari, pemain musik, pelaku seni dan tokoh tari di Aceh Tamiang, maupun di
Medan. Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah penulis siapkan dengan
tujuan data-data yang di inginkan akan diuraikan, sehingga mendukung hasil penelitian.
Hal-hal yang akan diwawancarai berkaitan dengan empat pokok masalah, yaitu (1)
31
makna tari Makan Sirih pada suatu pertunjukkan, yang mancakup makna gerak, pola
lantai, bentuk syair, busana, dan tata rias tari Makan sirih di Nangroe Aceh Darussalam
(Aceh Tamiang); (2) makna teks atau lirik lagu tari Makan sirih dan lirik lagu tari
Sekapur Sirih yang dinyanyikan oleh penyayi atau suara vocal; (3) fungsi social dan
budaya tari Makan sirih dalam kebudayaan masyarakatnya: dan (4) struktur musik tari
Makan sirih.
Setelah pengumpulan data di laksanakan, data ini diolah dengan menggunakan
pendekatan kualitatif yaitu, dengan mendeskripsikan makna gerak, pola lantai, bentuk
syair, busana, dan tat arias tari Makan Sirirh. Selanjutnya menganalisis makna syair,
atau teks yang disajikan oleh menyanyi atau suara vocal tari Makan sirih. Analisis teks
ini mencakup makna denotative, makna konotatif, diksi, gaya bahasa, dan sejenisnya.
Seterusnya berdasarkan fakta sosial, penulis akan menganalisis guna dan fungsi seni
tari Makan sirih dalam kebudayaan masyarakat Aceh Tamiang di Aceh Tamiang,
Nanggroe aceh Darussalam. Seterusnya, sesuai dengan bidang keilmuan penulis yaitu
pengkajian seni, maka tidak lupa penulis akan mengkaji struktur musik yang digunakan
untuk mengiringi tari Makan sirih ini. Kemudian tentu saja penulis harus melakukan
deskripsi atau uraian hubungan antar tari dan musik pengiring tari Makan sirih ini.
Kemudian tentu saja penulis harus melakukan deskripsi atau uraian hubungan antara
tari dan musik pengiring tari Makan sirih. Sebelum mengnalisis tari Makan sirih
terlebih dahulu penulis mendeskripsikannya, dengan menggunakan gambar dalam foto
dan dijelaskan dengan kalimat demi kalimat. Ini dilakukan untuk mempermudah para
pembaca mengerti gambaran visual yang terjadi.
32
Demikian pula untuk mengkaji struktur musik, penulis terlebih dahulu
mentanskripsikannya dalaam bentuk visual, yang merupakan pemindahan dimensi
dengar ke dimensi penglihatan. Adapun transkripsi dilakukan dengan pendekatan
transkripsi deskriptif, yaitu menuliskan nada-nada utama, tidak serinci mungkin. Hal ini
dilakukan berdasarkan penelitian bahwa kebudayaan musik Aceh umumnya
menguatkan sajian syair teks atau syair, dengan demikian termasuk budaya musik yang
logogenik.
Wawancara, untuk memperoleh data-data yangcara tidak dapat dilakukan
melalui pengamatan tersebut (seperti konsep-konsep ernosainsnya tentang estetika),
penyelidik seni biasanya melakukan wawancara. Dalam kaitan ini yang dilakukan
adalah wawancarayang sifatnya terfokus, terdiri dari pertanyaan yang tidak mempunyai
struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu
(Koentjaraningrat 1980:139).
Berdasarkan fungsinya; (a) diagnostic, (b) terapeutik dan (c) penelitian.
Berdasarkan jumlah respondennya; (a) individual dan (b) kelompok. Berdasarkan
lamanya wawancara; (a) singkat dan (b) panjang. Berdasarkan penanya dan responden;
(a) terbuka, tak berstruktur, bebas, non-direksi atau client centered dan (b) tertutup,
berstruktur.S.Nasution.1989:135
Metode wawancara dibagi kedalam dua jenis; wawancara mendalam dan
wawancara bertahap. Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh
keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara Tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa
menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan
33
terlibat dalam kehidupan social yang relative lama. Dengan demikian, kekhasan
wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Sedangkan
bentuk wwancara yang kedua sedikit formal dan terstruktur. Dibandingkan dengan
bentuk wawancara mendalam. Wawancara terarah dilaksanakan secara bebas dan juga
(in-depth), tetapi kebebasan ini tetap tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan
ditanyakan kepada responden dan telah dipersiapkan sebelumnya oleh pewawancara.
(Bungin.2007)
1.7.4 Metode Perekaman
Dalam proses perekaman, peneliti menyiapkan peralatan penelitian berupa
seperangkat alat tulis (pinsil, pulpen, buku), recorder HP/Tablet Lenovo A3000, Laptop
type B450, Notebook ideapad S210, Sony Cyibershoot DSC-S930, Keyboard Yamaha
serta perangkat lain yang mendukung, tetapi tidak disebutkan.
1.7.5 Metode PengamatanTerlibat
Peneliti meneliti langsung ke daerah lokasi Karang Baru Aceh Tamiang, untuk
meliput beberapa kali pertunjukkan tari Makan sirih, di beberapa kegiatan. Peneliti
memanfaatkan kesempatan dalam waktu meliput juga mewawancarai beberapa
informan. Peneliti menggali data untuk dideskripsikan kedalam bentuk teks
(textualdescription) kemudian mencari keseluruhan makna yang memungkinkan dan
melalui perspektif yang divergen (divergenperspectives) mempertimbangkan kerangka
rujukan atas gejala (phenomenon) dan mengkonstruksikan bagaimana gejala tersebut
dialami, peneliti kemudian mengkonstruksikan seluruh penjelasan tentang makna dan
esensi (essence) berdasarkan pengalaman yang diperoleh saat meneliti dilapangan, saat
proses selanjutnya merupakan langkah awal peneliti mengungkapkan pengalaman dan
34
diikuti seluruh pengalaman partisipan, setelah semua itu dilakukan, kemudian menulis
deskripsi gabungan (compositedescription). 2009:137
1.7.6. Metode Analisis Data
Menurut Malinowski (dalam Endraswara, 2003: 103), ada beberapa syarat
seorang peneliti yang ingin mengkaji mengenai etnografi budya tertentu secara
fungsional. Syarat tersebut antara lain; (1) harus menguasai bahasa lokal setempat, agar
diperoleh pengertian tajam dan mendalam tentang budaya unik di wilayahtersebut, (2)
mengumpulkan data mencatat unsur-unsur budaya yang terkait, seperti keagamaan,
kesenian, sosial, ekonomi, dan sebagainya, (3) melakukan observasi mendalam secara
real tentang fenomena budaya.
Dalam penelitian yang bersifat kualitatif, metode pengumpulan data dan
metode analisis data adalah sebuah garis linier yang saling berelasi. Bungin (2007)
mengatakan terkadang relasi antara metode pengumpulan data dan metode analisis data
tidak dapat terelakkan, karena suatu metode pengumpulan data juga sekaligus adalah
metode dan teknik analisis data. Berdasarkan manfaat empiris, bahwa metode
pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode
pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam ,
observasi partisipasi, bahan documenter, serta metode baru seperti metode bahan visual
dan metode penelusuran bahan internet (Bungin, 2007: 107).
Dalam proses penelitian lapangan, digunakan beberapa instrument pembantu
seperti pulpen, buku notes, Cybershoot Sony, Laptop Lenovo, Notebook Lenovo, serta
perangkat yang mendukung lainnya. Pada tahap awal dilakukan perumusan pokok
permasalahan untuk menghasilkan beberapaa data yang dipakai sebagai acuan dalam
35
pelaksanaan langkah-langkah berikutnya di lapangan. Fokus yang akan dikaji melalui
penelitian adalah keberadaan Musik Tari Makan sirih di daerah Aceh Tamiang
sekitarnya, khususnya Sanggar Meuligee Lindung Bulan di bawah Binaan Ibu Bupati
Aceh Tamiang.
1.7.7 Pemilihan Informan
Sesuai dengan penelitian, langkah pertama penulis menentukan informan dan
tokoh adat (centralperson) terlebih dahulu. Selanjutnya dalam proses penelitian
lapangan penulis melakukan proses wawancara kepada masing-masing informan, baik
informan pangkal maupun informan kunci, serta informan pendukung guna
mendpatkan data-data pendukung. Setelah data-data didapatkan maka penulis
melanjutkannya dengan melakukan kerja laboratorium (laboratoryresearch) guna
mengumpulkan seluruh data yang didapat baik primer maupuan sekunder dan
melakukan pelaporan dalm bentuk tesis.
1.7.8 Informan Pangkal
Informan pangkal yaitu tokoh masyarakat yang memberikan informasi
sebagian besar interaksi social dan kepercayaan masyarakat serta memberitahukan
informan kunci yang akan membantu peneliti dalam mendapatkan informasi yang lebih
mendalam dengan melaksanakan wawancara lanjutan dengan salah satu pegawai dinas
kebudayaan Aceh Tamiang.
Adapun informan pangkal adalah seorang ibu muda lulusan Sendratasik/ Seni
Musik di Universitas Negeri Medan (Unimed) Tahun 2007 yang bernama Elisa S.Pd,
kemudian melanjutkan S2 (Pasca) di Universitas Negeri Medan (Unimed), dan saat ini
sudah menyandang gelar M.Pd (Elisa M.Pd). Saat ini beliau disamping bertugas di
36
Dinas Kebudayaan Karang Baru, juga sebagai pelatih sekaligus pemain musik Sanggar
Meuligee Lindung Bulan, Aceh Tamiang.
1.7.9 Informan Kunci
Informan kunci yaitu seseorang yang secara lengkap dan mendalam
mengetahui informasi yang menjadi permasalahan dalam penelitian. Berdasarkan teori
di atas maka criteria informan dalam penelitian ini tokoh masyarakat, tokoh seni, dan
tokoh adat adalah sebagai berikut;
1. Penduduk asli Aceh Tamiang
2. Usia 20 Tahun ke atas
3. Tokoh adat, tokoh agama, dan tokoh masyarakat setempat
4. Tenaga pengajar sanggar atau pelatih
5. Bersedia di wawancarai
Berdasarkan kriteria di atas, informan kunci saya adalah ibu Syafina Arham
selaku Kasi Kebudyaan di Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga Aceh Tamiang.
Ibu Syafina Arham juga sebagai pencipta lagu selain sebagai penyanyi yang
membawakan lagu Sekapur Sirih dalam peresmian pemekaran Aceh Tamiang pada
Tahun 2001. Guna menunjukkan identitas Kebudayaan Aceh Tamiang, di ciptakanlah
tari dan lagu Sekapur Sirih yang di tampilkan saat peresmian tersebut, serta diabadikan
di stasiun TVRI Banda Aceh.
1.8 Lokasi Penelitian
Untuk penelitian, penulis sudah melakukan tinjauan lokasi kebeberapa wilayah,
sebelum menjatuhkan pilihan serta sebelum mengajukan judul kepada bapak dosen.
37
Wilayah Aceh Tamiang adalah pilihan penulis dari beberapa lokasi yang di tinjau.
Jarak tempuh menuju lokasi penelitian adalah sekira tiga jam dari kota Medan.
Dikarenakan kurangnya jumlah informan yang didapat dilokasi penelitian, maka
penulis juga mencoba mewawancarai beberapa orang pemain gendang serta pemain
musik baik yang berdomsili di Aceh Tamiang maupun di Medan.
1.9 Sistematika Penulisan
Pada saat penelitan ini, penulis membagi hasil laporan penelitian ke dalam 7
bab. Ketujuh bab terdiri dari bab pertama yang membahas mengenai pendahuluan, bab
kedua membahas mengenai tinjauan umum wilayah Aceh Tamiang, bab ketiga
membahas mengenai wacana struktur tari, struktur musik dan teks lagu Makan sirih,
lagu Sekapur Sirih dan lagu pecahan Sekapur Sirih, pada bab keempat membahas
tentang struktur tari Makan sirih dan tari Sekapur Sirih, pada bab ke lima membahas
mengenai struktur musik tari Makan sirih, kemudian pada bab enam membahas
struktur teks lagu Makan sirih, lagu Sekapur Sirih serta Teks Pechan Sekapur Sirih, dan
pada bab ke tujuh membahas mengenai Simpulan dan Saran.
1.9.1 Pengalaman Penelitian
Perjalanan menuju lokasi penelitian sekira empat jam perjalanan mengendarai
mobil Suzuki Katana Hitam. Bertolak dari Kota Medan Sekira jam empat subuh, kami
sampai sekira jam delapan pagi, sesampai di Aceh Tamiang, penulis berganti pakaian
resmi kemudiansarapan, setelah selesai penulismenuju lokasi keramaian di kantor
DPRK, (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten), adapun acara ini diadakan oleh KNPI
(Komite Nasional Pemuda Indonesia) cabang Kabupaten Aceh Tamiang. pemerintah
38
kota Aceh Tamiang adalah pelantikan pengurus baru. Saat acara pelantikan digelar,
sebelum acara di mulai pemerintah kota setempat bekerja sama mengadakan lomba
cerdas cermat antar pelajar se-Aceh Tamiang. Acara Pelantikan KNPI (Komite
Nasional Pemuda Indonesia) ini dibuka dengan tari persembahan Makan sirih yang
dibawakan oleh tujuh orang penari wanita yang masih muda dan cantik. Penari
mengenakan pakaian Kebaya berwarna Merah dipadukan dengan rok hijau yang
berlapiskan kain tile warna keemasan, Menggunakan sanggul tinggi dan kemudian
dibalut dengan kain penutup jilbab serta beberapa hiasan di kepala. Saat menari ketujuh
penari membawa setepak sirih yang disajikan seusai menari, yang menjadi perhatian
penulis adalah sangat menarik saat para tetamu disuguhi tepak sirih, mereka mengambil
masing-masing sebuah sirih yang kemudian digantikan dengan uang yang besarnya
bervariasi, dari mulai pecahan seratus ribu, lima puluh ribu, dua puluh ribu dan ada pula
yang memberi pecahan sepuluh ribu serta lima ribu.
39
BAB II
ETNOGRAFI ACEH TAMIANG
Asia sebagai Benua terbesar dan terpadat yang didiami oleh lebih dari
separuh manusia yang mendiami bumi ini memiliki keragaman budaya yang
sangat banyak. Mulai dari adat istiadat, pakaian khas tiap etnis, jenis tarian tiap
bangsa, dan musik khas pada suatu bangsa. Seni dan budaya yang terdapat di
Aceh salah satunya. Indonesia adalah negara yang memiliki 33 provinsi dan
didalam tiap provinsi memiliki kebudayaan yang bercorak ragam serta memiliki
ciri khas masing-masing, sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat
pemilik kebudayaan Seni tradisional Aceh, Enerjik, indah dan kaya improvisasi.
Banyaknya ragam kesenian tradisional Aceh, seni tari merupakan kesenian
unggulan yang dapat dijadikan salah satu daya tarik wisata, sehingga, jenis-jenis
seni yang ada di Aceh, sering dijadikan sebagai hiburan menarik untuk sebuah
paket wisata di Aceh.
2.1 Pandangan Umum Tentang Aceh
Sejarah Banda Aceh,asal kata Bandar Aceh,merupakan sebuah kota yang
sangat banyak menyimpan sejarahnya.Kota yang dahulu kala disebut dengan
Bandar Aceh ini merupakan sebuah kota, dimana para peniaga dari seluruh
nusantara bahkan mancanegara, singgah di Aceh dengan berlabuh di beberapa
pelabuhan yang ada di sepanjang pantai Bandar Aceh. Ketika Aceh pada masa
puncak kejayaannya, sekitar abad ke-16 Masehi, Bandar Aceh menjadi kota
penting untuk para pedagang yang berlayar melewati Selat Malaka dan Samudera
39
40
Hindia karena letaknya yang sangat strategis, pelabuhan-pelabuhan di sepanjang
pantai Bandar Aceh terutama Ulee lheue, menjadi singgahan para pedagang yang
datang dari para pedagang dari belahan dunia.
Kuta Raja, sebagai sebuah pusat kerajaan besar di Aceh.Kota ini juga
mendapat julukan Kuta Raja yang bermakna,kotanya para raja-raja yang pernah
berkuasa di Aceh.Hal ini dapat dilihat, dari peninggalan situs-situs sejarah yang
tersebar di berbagai sudut Kota Banda Aceh.Diantara bukti peninggalan
tersebut,diantaranya,terdapat makam raja-raja Aceh yang pernah berkuasa, yaitu
situs Kandang XII, yang terdapat di kawasan Peuniti, atau masyarakat Banda
Aceh sering menyebutnya Kraton.
Selanjutnya makam-makam yang terdapat di komplek Museum
Aceh.Museum Aceh ini letaknya di samping pendopo Gubernur Aceh.Dimana
komplek makam tersebut,merupakan makam raja-raja Aceh dari keturunan Bugis
yang pernah berkuasa di Aceh.Tak jauh dari komplek museum juga terdapat
makam Sultan Iskandar Muda.Kemudian adalagi “Taman Putroe phang”,yaitu
taman putri pahang,di komplek taman ini juga terdapat sebuah bangunan
bersejarah yang bernama Pinto Khop komplek taman ini dibangun pada abad ke
16 masehi oleh Sultan Iskandar Muda,sebagai taman cinta sang sultan untuk
permaisurinya yang bernama Kamaliah yang berasal dari negeri Pahang
Semenanjung Melayu.Kerkhof bukti perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda,di
Banda Aceh yang sudah ada sejak 1880.
Aceh adalah nama sebuah daerah di Indonesia yang mempunyai sebutan
propinsi Daerah Istimewa Aceh dan sekarang di namakan provinsi Nanggroe
41
Aceh Darussalam. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak dibagian Utara
pulau Sumatera dan merupakan kawasan paling barat dari wilayah nusantara.
Secara geografis membentang dari arah Barat laut ke Tenggara pada posisi 2o-6o
Lintang Utara dan 95o-96o Bujur Timur.
Gambar 2.1. Peta Aceh
(Sumber : google)
Luas wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah 57.365,57 km
atau 2,8 % dari luas wilayah Negara Republik Indonesia. Secara administratif
pemerintahan ini di bagi dalam 20 daerah tingkat II yaitu 16 kabupaten dan 4
kota. Ke 16 kabupaten itu adalah kabupaten Aceh Besar, kabupaten Aceh Timur,
kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh bireun, kabupaten Aceh Tamiang,
kabupaten Aceh Tenggara, kabupaten Aceh Tengah, kabupaten Aceh Barat,
kabupaten Aceh Jaya, kabupaten Nagan Raya, kabupaten Aceh Barat daya,
kabupaten Aceh Singkil, kabupaten Simeulu, kabupaten Gayo Lues, dan
42
Kabupaten Aceh Selatan. 4 kota adalah Banda Aceh, Sabang, kota
Lhokseumawe, dan kota Langsa.
Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi yang mendapat
status otonomi istimewa. Daerah ini terletak di bagian paling utara Pulau
Sumatera. Di daerah ini pada abad kesebelas terdapat dua kerajaan Islam tertua di
Nusantara yaitu Samudera Pasai dan Perlak. Indonesia terdiri dari beribu pulau
yang di huni oleh berbagai etnis dan sub etnis. Setiap etnis memiliki ciri khas baik
dari segi adat, kebudayaan dan latar belakang sejarah yang berbeda. Sebagai
sebuah entitas sosial budaya Indonesia, etnis Aceh memiliki wilayah dan
kehidupan sosial budaya yang berbeda dengan etnis lain.
Dari daerah ini berlangsung penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah
Nusantara. Pada saat Sultan Ali Mughayatsyah memerintah Aceh, tahun 1514-
1530, Kerajaan Aceh mencakup wilayah: Pasee, Perlak Aru, Pidie, dan Lamno.
Kerajaan Aceh memiliki tentera yang kuat, maka tak heran daerah Melayu
Pesisir Timur Sumatera Utara sampai Melaka pernah menjadi daerah taklukannya
pada abad keenam belas. Diperkirakan sebagian orang Aceh sudah migrasi ke
Sumatera Timur sejak adanya kontak antara kedua daerah ini, baik melalui
penaklukan, perdagangan, dan penyebaran agama Islam. Ulama dari Sumatera
Utara yang terkenal menjadi bagian dari ulama Kerajaan Aceh adalah Hamzah
Fansuri yang berasal dari Pantai Barus Sumatera Utara.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di diami oleh 8 kelompok etnis yaitu :
1. Aceh, merupakan etnis terbesar yang mendiami hampir seluruh wilayah
Nanggroe Aceh Darussalam. Etnis ini menggunakan bahasa Aceh.
43
merupakan etnis atau kelompok yang berdiam di kabupaten Aceh tengah
dan sebagian kabupaten Aceh Tenggara. Kelompok ini menggunakan
bahasa Gayo.
2. Alas, merupakan kelompok masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh
Tenggara dan dalam kehidupan sehari – hari mempergunakan bahasa Alas.
3. Tamiang, merupakan kelompok masyarakat yang mendiami kabupaten
Aceh Tamiang, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Tamiang yang
mirip dengan bahasa Melayu Deli.
4. Aneuk Jame, merupakan kelompok yang mendiami daerah pesisir pantai
Aceh Selatan dan Aceh Barat dengan menggunakan bahasa Aneuk Jame.
5. Kluet, merupakan kelompok yang mendiami kabupaten Aceh Selatan,
bahasa yang di gunakan adalah bahasa Aneuk Jame.
6. Simeulu, merupakan kelompok yang mendiami wilayah kabupaten
Simeulu, bahasa yang di pergunakan dalam kehidupan sehari – hari adalah
bahasa Simeulu.
7. Singkil, merupakan kelompok yang mendiami wilayah kabupaten
Singkil,Bahasa yang di pergunakan dalam kehidupan sehari – hari adalah
bahasa Singkil. Selain sebagai nama daerah, Aceh juga merupakan nama
salah satu etnis suku bangsa atau etnis sebagai penduduk asli yang
mendiami provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Suku bangsa ini dalam kitab sejarah Melayu di sebut Lam Muri,
Marcopolo yang singgah pada tahun 1292 Menyebutnya Lambri. Para Penjelajah
portugis menyebutnya Akhar. Para penulis asing lain ada yang menyebutnya:
44
Achinese, Achehnese, Atchinese, Atchinese, Achin, Asji, Atse, Atjeher. Orang
Aceh sendiri menyebut dirinya Ureung Aceh (Diman, 2003:4).
Mengenai kapan Aceh dan kapan istilah ini mulai di gunakan belum ada
suatu kepastian konkrit asal muasalnya (Hidayah, 1999:3). Data yang dapat
memberi kasimpulan tentang asal muasal etnis Aceh tidak di ketemukan.
Informasi atau sumber yang berasal dari orang Aceh sendiri tentang hal ini masih
berupa kisah-kisah popular yang di sampaikan secara turun menurun (berupa
tradisi lisan) yang sulit untuk di pertanggung jawabkan kebenarannya.
Sementara itu menurut Sufi ( 2004: 14) : Para pendatang luar (orang-orang asing) yang pernah mengunjungi ke Aceh sewaktu masih sebagai sebuah kerajaan menyebutnya dengan nama Beragam. Orang Portugis misalnya menyebutkanya dengan nama Achen Dan Achem, orang Inggris menyebut Achin, orang Prancis menamakan Achen dan Acheh, orang Arab menyebut Asyi, sementara orang Belanda menamakan Atchin dan Acheh. Orang Aceh sendiri menyebut dirinya dengan nama Ureung Aceh ( orang Aceh ).
Dalam kemajemukan adat dan budaya daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, Etnis Tamiang merupakan bagian yang tak terpisahkan. Etnis
Tamiang merupakan rumpun dari suku Melayu. Adat dan budaya dari etnis
Tamiang bukanlah sesuatu yang utuh dari hasil nenek moyang dahulu, melainkan
telah mengalami modifikasi dan metamorfosa dari adat dan budaya tersebut. Hal
ini terjadi akibat adanya interaksi sosial antara masyarakat.
45
2.2 Demografi Aceh Tamiang
Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik
(suku bangsa), yaitu: (1) Aceh Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5)
Kluet, (6) Aneuk jamee, dan (7) Semelue. Keenam kelompok etnik ini masing-
masing mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah
kebudayaan mereka ini adalah:
(1) Aceh Rayeuk memiliki wilayah budaya di Utara Aceh, dengan
pusatnya di banda Aceh atau Kutaraja,
(2) Etnik Alas berdiam di Kabupaten Aceh Tetangga dan sekitarnya,
(3) Etnik Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah dan sekitarnya,
(4) Etnik Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya,
(5) Etnik Aneuk Jamee mendiami Kabupaten Aceh barat dan sekitarnya,
(6) Etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan Kepulauan
Semeulue dan sekitarnya, serta
(7) Etnik Tamiang mendiami Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya.
Etnik Tamiang secara budaya mempergunakan beberapa unsur
kebudayaan yang sama dengan etnik Melayu Sumatera Utara, dan
bahasa mereka adalah bahasa Melayu.
Ditinjau daripada sudut geografisnya, etnik Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee,
dan Semelue tinggal di daerah pesisir pantai, sedangkan suku Gayo dan Alas
mendiami daerah pedalaman Aceh. Letak geografis ini mempengaruhi juga
tingkat interaksi dengan berbagai budaya. Mereka yang tinggal dipesisir pantai
cenderung lebih banyak menerima unsur-unsur budaya lainnya, dibanding mereka
46
yang tinggal di daerah pedalaman Aceh. Masing-masing etnik ini mempunyai ciri
khas budayanya.
Asal-usul orang Aceh menurut Dada Meuraxa yang termasuk rumpun
bangsa Melayu, terdiri dari suku-suku Mante, Lanun, Sakai, Jakun, Senoi,
Semang, dan lainnya, yang berasal dari Tanah Semenanjung Malaysia. Ditinjau
secara etnologis mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang pernah hidup
di Babilonia yang disebut Phunisia, dan daerah antara sungai Indus dan Gangga
yang disebut Dravida (Dada Meuraxa, 1974: 12).
Hubungan antara Aceh dengan Dunia Melayu juga terjalin dengan akrab.
Sultan pertama Negeri Deli, yaitu Gocah Pahlawan, adalah kepercayaan Sultan
Aceh, untuk memerintah Deli. Menurut sumber-sumber Deli Gocah Pahlawan
berasal dari India (Pelzer, 1978:3). Penguasaan wilayah jalur pantai yang terletak
antara Kuala belawan dan Kuala Percut sebagai jalur yang potensial bagi sumber
ekonomi Deli oleh Gocah Pahlawan, menyebabkan posisi Deli semakin menonjol.
Selain itu, kekuasaan Gocah Pahlawan selaku wakil resmi Aceh didukung oleh
kekuatan tentara Aceh (Ratna, 1990:49).
Wilayah budaya Aceh Tamiang adalah salah satu wilayah budaya yang
masuk ke dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Wilayah budaya ini dihuni
oleh masyarakat atau suku Aceh Tamiang dengan kebudayaannya yang khas.
Selain itu, wilayah ini juga menjadi bahagian dari provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang kuat dengan nilai-nilai dan syariat Islam, termasuk ekspresinya
dalam kesenian Islam, seperti pada tari Makan sirih.
47
Wilayah Tamiang merupakan salah satu bagian dari kabupaten Aceh
Timur yang terletak diujung paling timur dari Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, dalam perjalanan sejarahnya telah menduduki status sebagai
“kewedanan Tamiang”, dan setelah berlakunya UU.No. 5 tahun 1974 menjadi
“pembantu bupati wilayah III” yang pusat pemerintahannya berturut-turut di
Kualasimpang, sejak berlakunya UU. No. 22 tahun 1999 status pembantu
pemerintahan dihapuskan.
Gambar 2.2. Peta Aceh Tamiang
(Sumber : google)
Pada tanggal 11 Maret 2002 Wilayah Tamiang telah disahkan oleh DPR
RI menjadi “Kabupaten Aceh Tamiang” melalui UUNo. 4 tahun 2002 tentang
pemekaran Kabupaten Aceh wilayah Tamiang juga merupakan perbatasan antara
48
Tamiang. Wilayah Tamiang juga merupakan perbatasan antara Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dengan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas
1672,61km. Atau 20% dari luas Kabupaten Aceh Timur (8242,73km), dan jumlah
penduduk pada tahun 2002, berjumlah 205.971 jiwa. Dari segi geografisnya
wilayah tamiang terletak pada posisi 03o53’ 18,81” – 04o14’ 51,89” LU dan
97o43’41,51” -98o14’45,41” BT dengan batas – batas wilayahnya sebagai berikut :
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Besitang Kabupaten
Langkat Sumatera Utara.
- Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka/Selat Sumatera
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Serba Jadi.
Wilayah Tamiang terbagi atas 7 Kecamatan yaitu :
(1) Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulo Tiga
(2) Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di S. Liput
(3) Kecamatan kota Kualasimpang pusat pemerintahan Kualasimpang
(4) Kecamatan Seruwai dengan pusat pemerintahan dikota Seruai
(5) Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu
(6) Kecamatan Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru
(7) Kecamatan Rantau dengan pusat pemerintahan di Rantau
Nama Tamiang berdasarkan sumber informasi legenda data sejarah
berasal daari kata “Te-Miyang” yang berarti tidak kenal gatal atau kebal gatal dari
Miyang bambu, hal ini berdasarkan cerita sejarah ( legenda ) tentang raja Tamiang
yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu
49
(dalam bahasa Tamiang bamboo = buloh) betong dan oleh raja ketika itu
bernama Tan Penok mengambil bayi tersebut dan dewasa dinobatkan menjadi raja
Tamiang dengan gelar “Pucook Sulooh Raja Te- Miyang” yang berarti raja yang
berada dalam rumpun rebong tetapi tidak kenal gatal atau kebal gatal, hal ini
hanya merupakan legenda yang turun–temurun, namun tidaklah dapat diyakini
sebagai suatu kebenaran yang dapat merendahkan martabat etnis Tamiang.
Sementara itu menurut Hidayah ( 1999:255 ) Tidak ada penjelasan yang pasti
tentang asal usul suku bangsa ini. Tapi ada yang beranggapan bahwa orang
Tamiang berasal dari penduduk kerajaan Melayu Raya yang mengungsi karena di
serang Sriwijaya. Di tempat yang baru ini mendirikan beberapa kerajaan, seperti
Bendahara, Sungai Iyu, Sultan Muda Seruway, Karang Baru, dan Keujeren Muda.
Nama Tamiang berasal dari bahasa Aceh : Hitam Mieng, artinya “Pipi Hitam”.
Nama itu di berikan oleh Sultan Muhammad Thahir Bahiansyah ( 1326-1350)
kepada Raja Muda Setia (1330-1352), yaitu raja Tamiang pertama yang takluk
kepada Aceh. Menurut cerita, raja Tamiang ini mempunyai tahi lalat besar di
pipinya. Dalam Kitab Negara Kertagama nama kerajaan itu ditulis Tumihang.
Bahasa Tamiang termasuk ke dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia atau
Austronesia. Dialeknya di tandai oleh pengucapan huruf r menjadi gh, misalnya
kata “orang” di baca menjadi “oghang”. Sementara itu huruf t sering di baca c,
misalnya kata “tiada” menjadi “ciade”.
Sampai sekarang nama Te-Miyang lebih di percayai oleh masyarakat
Tamiang sebagai asal usul mulanya kata Tamiang. Namun masih di perlukan
penelitian sejarah kembali terhadap asal mula nama Tamiang, karena masih
50
banyak daerah-daerah lain yang tersebar diwilayah Indonesia seperti di
Kalimantan, Sumatera Utara, Kepulauan Riau dan lain-lain juga ada yang
memakai nama Tamiang, apakah hanya sekedar nama yang sama, karena ketika
pada saat kerajaan Melayu hancur rakyatnya berpencar kemana-mana. Etnis
Tamiang merupakan salah satu suku yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, yang hidup dan berdampingan dengan suku suku yang ada di
Nanggroe Aceh Darussalam seperti : Gayo, Aceh, Aneuk Jame, dimana masing-
masing suku mempunyai Adat dan budaya yang berbeda. Suku perkauman
Tamiang yang terdiri dari 3 wilayah tempat tinggal yaitu, hulu, tengah dan hiler
sudah tentu memiliki banyak perbedaan dari segi bahasa maupun sikap dan
perlakuan hidup keseharian, akan tetapi perbedaan ini tidaklah membawa suatu
perbedaan uniform ataupun bantuk dari pada suku perkauman Tamiang tersebut,
karena bila terjadi pembauran antar sesamanya, tetap mampu beradaptasi dalam
segala hal sehingga tidak menimbulkan perbedaan yang mencolok. Perbedaan ini
memang sulit di telusuri penyebabnya karena antara ketiga wilayah tempat tinggal
suku perkauman Tamiang ini belum ditemui sejarah asal usul yang jelas dari
puak dan daerah mana nenek moyang mereka dahulu datang, karena sebagian ada
yang dari suku Melayu Riau, Perlis Malaysia dan kemudian dalam kehidupannya
berasimilasi dengan suku Gayo, Aceh, dan Melayu Deli. Tamiang pada awalnya
merupakan satu kerajaan yang pernah mencapai puncak kejayaan dibawah
pimpinan seorang raja Muda Sedia yang memerintah selama tahun 1330-1366
M.Pada masa kerajaan tersebut wilayah Tamiang dibatasi oleh daerah-daerah :
Sungai Raya / Selat Malaka di bagian Utara
51
Besitang di Bagian Selatan ( by Bapedda)
Selat Malaka di bagian Timur
Gunung Segama (gunung Bedahara / Wilhelmina Gebergte) Di bagian
Barat.
Pada masa kesultanan Aceh, Kerajaan Tamiang telah mendapat cap
sukureung dan hak Tumpang Gantung (Zainuddin, 1961, 136-137) dari Sultan
Aceh Darussalam, Sementara negeri Sulthan Muda Seruway, negeri Sungai Iyu,
negeri Kaloy dan negeri Telaga Meuku merupakan wilayah - wilayah yang belum
mendapat cap sikureung dan dijadikan sebagai wilayah protector bagi wilayah
yang telah mendapat cap sikureung.
Pada tahun 1908 terjadi perubahan staatblad no.112 Tahun 1878, yakni
Wilayah Aceh Tamiang di masukkan ke dalam Geuverment Aceh en
Onderhoorigheden yang artinya wilayah tersebut berada dibawah status hukum
Onderafdelling. Dalam AfdelingOostkustVan Atjeh (Aceh Timur) terdapat
beberapa wilayah Landschaps dimana berdasarkan Korte Verklaring diakui
sebagai Zelfbestuurder dengan status hukum Ondrafdelling Tamiang termasuk
wilayah-wilayah :
Landschap Karang
Landschap Seruway / Sultan Muda
Landschap Kejuruan Muda
Landschap Bendahara
Landschap Sungai Iyu, dan
Gouvermentagebied Vierkantepaal Kualasimpang.
52
“TAMIANG” adalah sebuah nama yang berdasarkan legenda dan data
sejarah berasal dari : “Te-Miyang” yang berarti tidak kenal gatal atau kebal dari
miang bamboo. Hal tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang raja
Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun
bamboo Betong (istilah Tamiang “bulooh”) dan Raja ketika itu bernama
Tamiang Pehok lalu mengambil bayi tersebut. Setelah dewasa dinobatkan menjadi
Raja Tamiang dengan gelar “Pucook Sulooh Raja Te-Miyang” yang artinya
“seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong, tetapi tidak kenal gatal”.
Pada tanggal 2 Juli 2002, Tamiang resmi menjadi Kabupaten berdasarkan
UU No. 4 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Barat Daya,
Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh jaya, Kabupaten Nagan Raya dan
Kabupaten Aceh Tamiang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Manusia merupakan makhluk budaya yang hidup berkelompok dalam
suatu golongan manusia (suku bangsa) yang terikat oleh kesadaran dan identitas
akan kesatuan kebudayaan. Kesatuan kebudayaan itu di tentukan oleh warga
kebudayaan yang bersangkutan itu sendiri, bukan di paksakan oleh pihak tertentu,
melainkan kesatuan kesadaran tersebutlah yang telah dapat melahirkan suatu
kebudayaan. Begitu pula kebudayaan etnis Tamiang merupakan suatu kesatuan,
bukan karena ada orang lain atau peneliti-peneliti yang menentukan atau
memaksakan sesuatu kebudayaan kepada orang-orang Tamiang, tetapi karena
orang-orang Tamiang sendiri sadar bahwa diantara mereka ada keseragaman
mengenai kebudayaan mereka yaitu kebudayaan Tamiang.
53
Menurut Tylor seorang antropolog dalam Soekanto (1982), menjelaskan
bahwa “kebudayaan adalah hasil karya, cipta, dan rasa yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain
kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebisaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat”.
Kebudayan Tamiang bukanlah merupakan suatu hasil ciptaan yang utuh
dari suku perkauman Tamiang, terutama yang menyangkut hasil ekspresi jiwa
yaitu seni budaya, akan tetapi banyak terjadi pembauran dengan suku-suku yang
ada di sekitar suku perkauman Tamiang tersebut, sehingga terjadi asimilasi
terutama dengan suku bangsa Gayo, Aceh, dan Melayu Deli yang memiliki
banyak kemiripan dari berbagai segi budaya. Hal ini sulit di hindarkan secara
mutlak disebabkan kebudayaan ini bersifat dinamis karena :
- seni budaya dapat disesuaikan.
- seni budaya merupakan integrasi.
- seni budaya selalu berubah dan berkembang.
Namun demikian pengaruh ketiga proses diatas tidaklah dapat
mengaburkan dan menghilangkan ciri-ciri yang khas terhadap seni budaya suku
perkauman Tamiang (metamorfosa budaya). Masyarakat Tamiang tidak mengakui
dirinya sebagai etnis Aceh, melainkan mereka mengakui dirinya etnis Melayu.
Seni budaya yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu suku bangsa yang
selalu mempunyai pola dan corak yang khusus, pola dan corak yang khusus ini
pula yang dapat membedakan antara seni budaya suatu suku bangsa dengan suku
bangsa lainnya. Suatu kelompok masyarakat dari suatu kebudayaan yang telah
54
hidup dari hari ke hari dalam lingkungan kebudayaannya, mereka tidak akan
pernah lagi melihat corak khas kebudayaannya, sebaliknya terhadap kebudayaan
suku bangsa lain mereka akan merasakan corak khas tersebut apalagi corak khas
itu sangat berbeda dengan corak kebudayaan yang mereka miliki.
Koentjaraningrat dalam buku antropologi menyatakan bahwa “Corak khas
dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan suatu
unsur yang kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang
khusus, atau diantara pranata-pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus, atau
dapat juga menganut suatu tema budaya yang khusus. Sebaliknya corak khas tadi
juga dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar.
Berdasarkan atas corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat di bedakan
dengan kebudayaan yang lain”.
Seni budaya yang di miliki oleh Etnis Tamiang adalah salah satu dari
sekian banyak seni budaya dari suku bangsa lainnya, memiliki pola dan corak
yang spesifik. Seni budaya ini lahir dari suatu kebiasaan yang beradaptasi dari
kelompok masyarakat yang kemudian menimbulkan rasa memiliki yang
mengikat. Masyarakat Melayu sangat menerima pengaruh dari luar yang bersifat
positif, namun adat, budaya dan nilai-nilai moral tetap di pertahankan.
2.3 Sistem Religi
Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam.
Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan “Serambi Mekah”, maksudnya
“pintu gerbang” yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana
agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang
55
begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh
dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil
alkulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di
dalam kebudayaan tersebut masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan
dinamisme.
Masyarakat Tamiang lebih memilih agama Islam sebagai
kepercayaannya.Tapi sebagian dari mereka juga ada yang melakukan tradisi lama
berdasarkan sistem kepercayaan lama mereka. Agama Islam sudah ada sejak
masyarakatnya mendiami wilayah tersebut sekitar abad ke 11 Masehi. Bahkan
pada masa Raja Muda Sedia (1330 – 1352 M ) pernah didirikan Negara Islam.
Aceh letaknya di Provinsi paling ujung di wilayah barat Indonesia.Pada
tahun 2004 silam tepatnya tanggal 26 Desember sebagian wilayahnya terkena
tsunami dahsyat, yang merenggut banyak korban meninggal dan hilang. Akan
tetapi Aceh terlihat tegar dan kuat didalam membangun dan membangkitkan
kembali roda pemerintahan dan kehidupan semula, dengan tidak berlarut-larut
didalam duka, karena Aceh dengan ciri khas kehidupan relijinya, sadar betul
bahwa bencana yang terjadi adalah bagian dari siklus bumi yang harus terjadi dan
sebagai cobaan dan ujian dalam hidup.
2.4 Bahasa
Bahasa Tamiang atau disebut juga bahasa Teumieng merupakan variant
atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh
Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak
56
Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah
bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang).
Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa sangat kental dalam bahasa Tamiang.
2.5 Organisasi Sosial dan Budaya
Suku Tamiang adalah masyarakat Melayu yang tinggal di wilayah Aceh
Tamiang, Nanggroe aceh Darussalam (NAD) suku ini memiliki sistem
kekerabatan yang unik dan hingga kini masih dipertahankan. Dalam acara adat
dan Agama, keluarga dari kerabat tertentu masih menjadi tokoh yang dituakan
karena berasal dari leluhur (endatu) yang baik. Hal ini membuktikan bahwa jalur
kekerabatan masih dianggap penting (Dada Meuraxa, 1956).
Sistem kekerabatan orang Tamiang secara umum terbagi menjadi dua,
yaitu keluarga kecil (batih) dan keluarga luas (kaum biak). Keluarga luas sendiri
dibagi menjadi dua, yaitu belah ibu dan belah bapak. Kedua jalur kekerabatan ini
memiliki fungsi dan peran masing-masing. Keduanya berjalan beriringan sesuai
aturan adat dan agama (Islam) yang dianut oleh orang Tamiang (T. Syamsudin
dkk.,1979/1980)
Secara umum, system kekerabatan orang Tamiang memperlihatkan sebuah
konsep kehidupan keluarga dan social yang diikat oleh ajaran leluhur. Dari sini
juga tampak bahwa kaum laki-laki dan perempuan Tamiang mendapat porsi yang
berbeda, baik posisi mereka sebagai anak, istri, maupun berpengaruh dalam
kehidupan orang Tamiang (Rusdi Sufi, et.al., 2004)
Masyarakat Aceh mempunyai sifat lembut dan penuh kasih
sayang.Kalaupun terdapat pendapat yang berbeda diluar, akan tetapi orang Aceh
57
memiliki sifat keras kepala dan suka memberontak.Ini bukan kemutlakan sifat
orang Aceh secara keseluruhan. Disebut bukan suatu kemutlakan karena biasanya
sifat ini timbul pada suatu ketika dikarenakan sebab,kemungkinan karena disakiti,
dikhianati, ditipu, dimaki, dicerca serta mungkin sedang terancam kenyamanan
hidup.Seperti yang terungkap dalam rangkuman hadih maja, ”Surot Lhee
Langkah meureundah diri, mangat jituri nyang bijaksana”. (Mundur tiga langkah
merendah diri,agar mereka bisa mengenali arti bijaksana).
Dua karakter yang paling menonjol dari masyarakat Aceh yaitu sikap
militansi dan loyal. Hal ini bisa dibaca melalui syair do da idi. Senandung
menidurkan anak yang mengajarkan dan mengajak sang bayi agar setelah besar
nanti tidak takut ke medan perang,untuk berjuang membela bangsa.Selain sikap
militansi, loyalitas bagi orang Aceh adalah sebuah nilai dengan harga mahal. Hal
ini agar membuat orang Aceh menjadi loyal. Seseorang haruslah mampu
menunjukkan diri jujur dan dapat dipercaya. Tidak berkhianat ketika diberikan
kepercayaan padanya. Untuk ini sebuah hadih maja mengungkapkan,”Ureueng
Aceh nyoe hate hana teupeh, boh kreh jeuet ta raba. Meunyoe hate ka teupeh, bu
leubeh han dipeutaba”. (Orang Aceh kalau hatinya tersinggung, kehormatannya
pun bisa disentuh.Kalau hatinya sempat tersinggung nasi berlebihan pun tidak
akan ditawarkan). Berikut lima watak orang Aceh yang menonjol:
Militan
Artinya memiliki semangat juang yang tinggi. Bukan hanya dalam
memperjuangkan makna hidup tetapi juga dalam mempertahankan harga
58
diri atau eksistensinya. Militansi Aceh adalah militansi dalam makna
mempertahankan kebenaran yang diyakini masyarakatnya.
Reaktif
Artinya sebagai sebuah sikap waspada atas harga diri yang
keberadaannya dipertaruhkan dalam konstelasi sosial budaya. Orang
Aceh sangat peka terhadap situasi sosial di sekitarnya. Orang Aceh tidak
suka diusik, sebab jika tersinggung dan menanggung malu reaksi yang
timbul adalah akan dibenci dan bahkan menimbulkan dendam. Hingga
orang Belanda pada masa perang kolonial melebeli orangAceh sebagai
‘Aceh Pungo’.
Konsistensi
Hal ini tampak dalam sikap dan pendirian yang tidak plin plan, tegas,
taat. Apalagi jika berkaitan dengan harga diri dan kebenaran.Sebagai
representasi dari sifat ini terungkap dalam idiom masyarakat
aceh”meunyoe ka bak u, han munken bak pineung”. (jika sudah pohon
kelapa, tidak mungkin pohon pinang). Konsistensi orang Aceh terlihat
dalam patriotisme melawan penjajah, sejak zaman kerajaan, perang
kolonialis, sampai pada zaman kemerdekaan.
Optimis
Tampak dalam melakukan suatu pekerjaan tertentu. Orang Aceh
beranggapan bahwa setiap pekerjaan yang kelihatan sulit dan berat harus
dicoba dan dilalui. Perang terlama melawan penjajah Belanda dijalani
hingga Belanda benar-benar harus angkat kaki dari Aceh. Walaupun
59
berhadapan dengan kecanggihan mesin perang,masyarakat Aceh tetap
optimis dengan modal militansi.
Loyal
Ini amat berkaitan dengan kepercayaan. Jika seseorang, lebih-lebih
peminpin, menghargai, mempercayai, tidak menipu, tidak mencurigai
orang Aceh, mereka akan membaktikan diri sepenuhnya kepada sang
peminpin. Kendati hadih maja dapat berlaku secara harfiah di segala
zaman, nilai filosofis, di dalamnya tetap menggambarkan tipologi
masyarakat Aceh secara keseluruhan. Filosofis yang diemban hadih maja
tersebut masih terlihat dalam masyarakat Aceh hingga saat ini.
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dinamakan
proses sosial), oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya
aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentuk-
bentuk khusus interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan
antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara
orang-perorangan dengan kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia (Gillin, 1954:489).
Di dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan sosial karena setiap
masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu terhadap bidang-bidang
kehidupan yang tertentu pula. Dengan demikian kita mengenal lapisan sosial
yang tinggi, rendah dan menengah. Himpunan orang-orang yang merasa dirinya
tergolong pada lapisan sosial tertentu, hal mana diakui masyarakat, itu dinamakan
kelas sosial. Masing-masing kelas sosial punya kebudayanya masing-masing,
60
menghasilkan kepribadian yang tersendiri pula pada setiap diri anggota-
anggotanya. Apabila diambil contoh kehidupan di Jakarta ini, maka akan dapat
diambil bukti-bukti nyata.Cara berpakaian, etiket dalam pergaulan, cara mengisi
waktu senggang, bahasa yang dipergunakan dan lain sebagainya.
Dari kenyataan-kenyataan tadi dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai
kepribadian masing-masing yang berbeda satu dengan lainnya. Begitu juga
organisasi sosial dan budaya masyarakat Aceh Tamiang khususnya yang
berlandaskan Agama, mempunyai pengaruh besar di dalam membentuk
kepribadian seorang individu. Bahkan adanya berbagai mazhab di dalam satu
agamapun melahirkan pula kepribadian yang berbeda-beda di kalangan umatnya.
Dari beberapa kenyataan di atas, dapatlah di ambil kesimpulan, betapa
besarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan kepribadian. Akan tetapi
dalam perkembangan pembentukan kepribadian tersebut tidak hanya kebudayaan
yang memainkan peranan pokok. Organisme biologis seseorang, lingkungan alam
dan sosialnya juga memberi arah. Inti kebudayaan setiap masyarakat adalah
sistem nilai yang dianut oleh masyarakat pendukung kebudayaan bersangkutan.
Sistem nilai tersebut mencakup konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang
dianggap buruk (sehingga harus dihindari) dan apa yang dianggap baik (sehingga
harus selalu dianuti). Dengan demikian, dikenal pembedaan antara nilai-nilai yang
positif dengan nilai-nilai yang negatif (Soerjono, 1990:208).
2.6Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status
Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak
61
menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya.
Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya
adalah konflik berkepanjangan dan penganak tirian dari RI, dengan sekian ribu
sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada Ujian Akhir
Nasional 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian
ulang. Tetapi pada saat ini Aceh mulai pulih kembali dan berniat bangkit dari
konflik berkepanjangan dengan upaya –upaya pemerintah dan peminpin Aceh
yang bekerjasama untuk kemajuan Aceh.
“Di Provinsi Aceh, bukan hanya Pendidikan yang di majukan, tetapi
hiburan, budaya dan keindahan alamnya juga bisa dinikmati. Berbagai ilmu
pengetahuan juga bisa didapatkan. Seperti antaranya, situs sejarah yang belum
banyak terungkap kepermukaan, dan sejarah Islam,” sebut Zaini Abdullah. Pada
masa lalu, sehubungan dengan dinamika politik yang melanda Aceh, kata Zaini
Abdullah sebagian dari kawasan wisata di Aceh luput dari perhatian, sehingga
orang luar kurang memahami potensi yang ada di Aceh. Tapi sekarang menurut
Gubernur Aceh, situasi telah berubah. Sejak perdamaian, pasca rehabilitasi dan
rekonstruksi, kondusi Aceh sangat kondusif untuk segala aktivitas bisnis dan
wisata (Majalah Aceh Tourism, 2013).
2.7 Teknologi
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, hukum, adat-istiadat. Yang dimaksud dengan pengetahuan
adalah kesan didalam fikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya,
62
yang berbeda sekali dengan kepercayaan (beliefs) takhyul (superstitions) dan
penerangan-penerangan yang keliru (misinformations) (William, 1977).
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis
dengan penggunaan kekuatan pemikiran yang tersusun secara sistematis dengan
penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan
ditelaah dengan kritis. Tujuan ilmu pengetahuan adalah mengetahui dan
mendalami segala segi kehidupan.Sepertijuga halnya Aceh, sebagai Pusat ibu kota
Aceh (Banda Aceh) dan sekitar Aceh khususnya Aceh Tamiang, telah memajukan
ilmu teknologi selain ilmu umum dan ilmu agamanya.
Globalisasi secara intensif terjadi di awal abad kedua puluh dengan
berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak budaya tidak perlu melalui kontak
fisik, karena kontak melalui media telah dimungkinkan. Karena kontak ini tidak
bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massif, yang melibatkan sejumlah
besar orang. Berjuta-juta warga masyarakat terlibat dalam proses komunikasi
global tersebut pada satu ketika dan dalam waktu yang bersamaan, yang berarti
berjuta-juta pula menerima informasi, dan terkena dampak komunikasi tersebut.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila globalisasi berjalan dengan cepat
dan, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, melalui radio,
mesin cetak, televisi, satelit televisi, dan kemudian Internet. Kemajuan teknologi
komunikasi telah membuat batas-bats dan jarak menjadi hipang dan tak berguna.
John aisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox
memperlihatkan hal yang justru bersifat paradox dari fenomena globalisasi.
Naisbitt lebih lanjut mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran lain yang
63
paradox, yaitu semakinkita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan,
dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus
mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnik, yang hanya dimiliki oleh
kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai pengembangan ke dunia
Internasional. Dengan demikian berpikir lokal, bertindak global, dapat diletakkan
pada masalah-masalah kesenian di Nanggroe Aceh Darussalam. Di Aceh berbagai
teknologi ilmu pengetahuan juga bisa didapatkan. Seperti pengetahuan di bidang
migitasi bencana, dan prasarana teknologi lainnya seperti agen pulsa dimana-
mana, bank elektronik yang juga sudah menjamur di wilayah Aceh sekitarnya.
2.8 Ekonomi
Kabupaten ini lahir antara lain juga karena didukung oleh berbagai potensi
daerah yang dimilikinya. Di wilayah ini terdapat Perusahaan Minyak Nasional
(Pertamina) yang memberikan kontribusi besar bagi perkembangan Kabupaten
Aceh Tamiang. Selain itu di daerah ini juga terdapat potensi kelautan, berupa
tambak udang dan tambak ikan. Potensi ini tergambar dalam lambang kabupaten
berupa dua riak air laut dan tujuh anak tangga menara minyak. Angka dua dan
tujuh melambangkan hari lahir kabupaten tersebut, 2 Juli.
Aceh Tamiang memang kaya akan bahan-bahan mineral, antara lain
minyak dan gas bumi, batu gamping, dolomite, dan andesit. Bahan-bahan
tambang ini tersebar di kecamatan-kecamatan Aceh Tamiang. Bahan tambang
yang sudah diolah hanya minyak bumi dan dolomit.
Minyak bumi dikelola sepenuhnya oleh Pertamina DOH-NAD Rantau.
Minyak dan gas bumi yang telah dieksploitasi ini tersebar di wilayah Kecamatan
64
Karang Baru, Rantau, dan Kejuruan Muda. Adapun penyebaran minyak bumi dan
gas bumi yang potensial terdapat di lepas pantai wilayah Kecamatan Bendahara
dan Seruway. Rata-rata setiap tahun konstribusi minyak bumi bagi produk
domestik regional bruto (PDRB) mencapai sekitar 17 persen.
Sementara itu, bahan tambang golongan C yang berupa dolomite, batu
kapur/batu gamping, batu pasir, kerikil, dan batu apung tersebar di Kecamatan
Kejuruan Muda dan Tamiang Hulu. Potensi bahan mineral yang paling dominan
adalah batu gamping dan dolomit.
Sesuai dengan Rencana strategis 2012-2014 Kementrian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif 18 juli 2012.12.02, Kementrian pariwisata dan Ekonomi Kreatif
secara resmi telah terbentuk pada tanggal 21 Desember 2011 berdasarkan Perpres
No 92/2011. Tugas pertama yang harus segera diselesaikan setelah terbentuknya
Kemenparekraf ini adalah menyusun rencana strategis (Renstra) pembangunan
kepariwisataan dan ekonomi kreatif untuk priode 2012-2014 yang merupakan
referensi utama bagi seluruh unit kerja di dalam Kemenparekraf dalam
melaksanakan program dan kegiatan tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.
Dengan mempertimbangkan lingkungan strategis global dan berbagai arah
kebijakan pembangunan Nasional bidang pariwisata dan ekonomi kreatif, maka
Kemenparekraf memiliki Visi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kualitas
hidup masyarakat Indonesia dengan menggerakkan kepariwisataan dan ekonomi
kreatif.
Indonesia, melalui pembentukan kementrian pariwisata dan Ekonomi
kreatif dengan Rencana Strategis (Renstra) masa 2012-2014-nya akan menggali
65
potensi keanekaragaman etnis untuk menunjukkan dan mempertahankan budaya-
budaya kearifan lokalnya, serta menumbuhkembangkan sumber daya manusianya
agar budaya dan sumber daya manusianya semakin baik dan citra Indonesia
kembali pulih di mata dunia, sehingga mata dunia tertuju ke Indonesia dan mau
berkunjung ke Indonesia sebagai wisata asing yang pasti menjadi sumber Devisa
bagi Indonesia yang kaya ini.
Provinsi Aceh termasuk salah satu wilayah yang memiliki kawasan wisata
sangat lengkap.Berbagai lokasi wisata bisa dinikmati di Provinsi terujung di Pulau
Sumatera ini. Bagi Provinsi Aceh, tahun kunjungan wisata ini merupakan yang
pertama, sebab sebelumnya wilayah Aceh cukup lama larut dalam konflik dan
bencana yang hebat. Gubernur Aceh,dr Zaini Abdullah mengatakan, untuk
mendukung Visit Aceh Year 2013. Aceh telah berbenah, menata wilayah,
membangkitkan semangat budaya, berkesenian, dan berkreasi kepada
masyarakatnya.
Letak strategis Aceh dengan alamnya yang dikelilingi objek wisata yang
tak kalah indah dan infrastruktur yang mendukung menuju Aceh pasca tsunami
serta juga perekonomian yang sudah pulih, dan yang pasti daerah Aceh semakin
kondusif dari berita miring, yang menyatakan Aceh tidak aman. Saat ini Aceh
adalah kota yang memenuhi syarat untuk dijadikan salah satu tujuan wisata Satu
lagi yang tak kalah menarik yakni, kita dapat mengenal karakter masyarakat Aceh
yang khas, yang lembut dan penuh kasih sayang, tetapi orang Aceh kalau hatinya
tidak tersinggung, kehormatannya pun bisa disentuh. Kalau hatinya sempat
tersinggung, nasi berlebihan pun tidak akan ditawarkan. Ini menggambarkan
66
bahwa masyarakat Aceh sebenarnya bersikap welcome untuk siapa saja tetapi
akan bersikap tegas jika disakiti.
Adapun upaya pemerintah Aceh untuk melestarikan budaya Aceh karena
selain seni budaya Aceh adalah aset negara, juga seni budaya Aceh merupakan
ciri khas masyarakat itu sendiri, dan inilah modal besar Aceh untuk memikat
touris baik lokal maupun luar bahkan sampai ke mancanegara, dengan Welcome
to Aceh, Gubernur Aceh, Bapak Zaini Abdullah, mempromosikan Aceh sebagai
tempat wisata yang menjanjikan baik dari segi alamnya, kebudayaannya, seninya,
kulinernya, dan seni kerajinannya, belum lagi berbagai bahasa dan
masyarakatnya.
2.9 Kesenian
Di Indonesia, industri pariwisata merupakan salah satu yang menjadi pusat
perhatian pemerintah dan diharapkan dapat dijadikan salah satu aspek di dalam
usaha meningkatkan devisa negara. Keragaman dari budaya nusantara merupakan
potensi yang utama dalam mengembangkan bakat seni dan keragaman seni
budaya yang sangat beragam.
Provinsi Aceh termasuk salah satu wilayah yang memiliki banyak warisan
kesenian tradisional yang tersebar diberbagai etnis yang ada. Kekayaan kesenian
tradisi Aceh dapat dilihat dari banyaknya jenis kesenian yang diwarisi dari
generasi ke generasi hingga sekarang ini. Diantara sekian banyak jenis kesenian
Aceh yang sangat di kenal oleh masyarakat Aceh khususnya, dan masyarakat
Indonesia umumnya, adalah Tari Saman, Tari Seudati, Rapa-i Geleng, Likok
Pulo, Rapa-i Daboh serta Tari Ranup Lampuan.
67
Tetapi pasca Tsunami Aceh, menyisakan pertanyaan, masih adakah
keberadaan Seni budayanya? Bukti masih adanya Seni budaya Aceh pasca
Tsunami adalah kembalinya berdiri organisasi-organisasi seni, pertunjukkan-
pertunjukkan seni di setiap daerah Kecamatan di seluruh wilayah Aceh, dan
puncaknya adalah Pekan Kebudayaan Aceh (PKA)-VI yang diadakan pada
September 2013, di Banda Aceh, sebanyak 23 Kabupaten Kota ikut serta dalam
Pekan Kebudayaan Aceh ini.
Kekayaan khasanah seni budaya yang dimiliki, merupakan aset daerah
yang perlu dipertunjukkan kepada publik, baik Nasional maupun Internasional.
Kekayaan seni budaya ini tentu saja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan, peneliti praktisi budaya, serta masyarakat umum lainnya. Maka
sebagai usaha mempersembahkan keanekaragaman seni budaya masyarakat Aceh
yang tersebar diseluruh kabupaten/kota, di Pekan Kebudayaan Aceh inilah
tempatnya. Kita dapat mengetahui bahawa pasca tsunami, seni budaya di aceh
tidaklah punah, bahkan semakin dilestarikan oleh pemerintah Aceh beserta
segenap masyarakatnya. Karena Seni Budaya Aceh dapat diibaratkan sudah
mendarah daging di setiap kehidupan masyarakat Aceh, separti kata pepatah, Tak
lapuk di hujan tak lekang di panas.
Adapun upaya pemerintah Aceh untuk melestarikan budaya Aceh karena
selain seni budaya Aceh adalah aset negara, juga seni budaya Aceh merupakan
ciri khas masyarakat itu sendiri, dan inilah modal besar Aceh untuk memikat
touris baik lokal maupun luar bahkan sampai ke mancanegara, dengan Welcome
to Aceh, Gubernur Aceh, Bapak Zaini Abdullah, mempromosikan aceh sebagai
68
tempat wisata yang menjanjikan baik dari segi alamnya, kebudayaannya, seninya,
kulinernya, dan seni kerajinannya, belum lagi berbagai bahasa dan masyarakatnya
Aceh memiliki banyak warisan kesenian tradisional yang tersebar
diberbagai etnis yang ada di Aceh. Kekayaan kesenian tradisi Aceh dapat dilihat
dari banyaknyajenis kesenian yang diwarisi dari generasi ke generasi hingga saat
ini. Diantara sekian banyaknya jenis kesenian Aceh yang sangat dikenal oleh
masyarakat Aceh khususnya, dan masyarakat Indonesia padaa umumnya, adalah
Tari Saman, Tari Seudati, Rapa-i Geleng, Likok Pulo. Rapa-i Daboh, dan Tari
Ranup Lampuan.
Banyaknya ragam kesenian tradisional Aceh, seni tari, merupakan
kesenian unggulan yang dapat dijadikan salah satu daya tarik wisata, sehingga,
jenis-jenis seni tari yang ada di Aceh, sering dijadikan sebagai hiburan menarik
untuk sebuah paket wisata di Aceh. Karena kesenian tradisi Aceh, mampu
menampilkan gerakan-gerakan yang enerjik, variatif, serta memiliki daya
improvisasi yang tinggi.
Dalam seni budaya etnis Tamiang yang tradisional sukar untuk
menentukan apakah suatu tari yang mengikuti nyanyian atau nyanyian sebagai
pengiring tari. Karena setiap tari di daerah Tamiang selalu di sertai dengan
nyanyian berbentuk syair ataupun berbalas pantun. Pola dasar dari gerak tari pada
seni budaya etnis Tamiang adalah gerak melingkar, atau saling memotong silih
berganti dengan hentakan kaki sebagai irama dasar dan di tingkahi oleh suara
gelang kaki. Setelah berkembang barulah di ikuti atau di iringi dengan instrumen.
69
Kesenian di wilayah Aceh sangat beragam dan memiliki ciri khas tersendiri,
hingga beberapa karya seni budaya Aceh diakui Unesco.
Dalam seni budaya etnis Tamiang yang tradisional sukar untuk
menentukan apakah suatu tari yang mengikuti nyanyian atau nyanyian sebagai
pengiring tari. Karena setiap tari di daerah Tamiang selalu disertai dengan
nyanyian berbentuk syair ataupun berbalas pantun. Pola dasar dari gerak tari pada
seni budaya etnis Tamiang adalah gerak melingkar, atau saling memotong silih
berganti dengan hentakan kaki sebagai irama dasar dan ditingkahi oleh suara
gelang kaki. Setelah berkembang barulah di ikuti atau diiringi dengan instrumen
yang sederhana seperti gendang, seruling dan biola. Namun di beberapa tempat
yang terpencil tarian ini hanya diiringi oleh irama lesung atau ketukan pada kayu
yang disusun pada unjuran kaki (terdiri dari tiga atau lima potong kayu). Tari
adalah segala gerak yang berirama atau segala gerak yang dimaksudkan untuk
menyatakan keindahan ataupun kedua-duanya. Medium tari adalah gerak, dan alat
yang digerakkan adalah tubuh, yakni gerak tubuh yang diberi bentuk ekspresif dan
estetis. (Sinar, 1986:5).
Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari
maupun dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaian dengan
ruang, sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu
pengorganisasian seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dimana
koreografi ini memiliki ciri-ciri khas tertentu dari bentuk tarian yang dapat dilihat
dan dinikmati oleh pelakunya dan penontonnya.
70
Hal ini berarti gerakan-gerakan yang terbentuk dalam tari adalah
terstruktur ataupun terpola di dalam aturan-aturan adat dan nilai keindahan
setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna tersendiri.
Dimana kata struktur disini adalah bagian-bagian yang melengkapi tari Makan
sirih dalam pertunjukkannya saling berhubungan satu dengan yang lain, ataupun
tahapan-tahapannya.
Teori struktur tari yaitu yang bertujuan mendeskripsikan struktur tari
berdasar : motif, tenaga, dan struktur. Struktur disusun pula oleh gerakan: badan,
waktu, dan dinamika (Hutchinson, 1977:112-113).
Dalam struktur penyajiannya seperti yang telah dijelaskan di bab
sebelmnya, tari Makan sirih ini dipertunjukkan pada awal, memakai Penari
dengan jumlah tujuh penari. Gerakan diambil dari gerakan member salami kepada
penonton. Dalam bab ketiga ini, akan dijelaskan mengenai pelaksanaan
dipertunjukkan Tari Makan sirih didalam masyarakat Karang baru Aceh Tamiang
dimulai dari proses persiapan pemetikan sirih, guna dan fungsi sirih dan Tari
Makan sirih, kemudian deskripsi Tari Makan sirih, selanjutnya analisis semiotic
pertunjukkan yang akan dijabarkan dalam pembahasan berikutnya, dilanjutkan
dengan gerak, motif gerak kemudian frase gerak. Setelah membahas tentang gerak
pada tari Makan sirih, penulis mencoba menjabarkan tentang siklus tari Makan
sirih, pola-pola lantai dan mengenalkan kostum yang dipakai, make-up yang
dipergunakan serta property yang menghiasi para penari Tari Makan sirih.
Untuk pasangan penari Tari Makan sirih pada umumnya penari di
pasangkan wanita dengan wanita, dan berjumlah ganjil. Selanjutnya akan di
71
uraikan kreativitas yang terlihat didalam Tari Makan sirih serta urutan terakhir,
Mengungkap Tari Makan sirih dan perkembangan Zaman. Dalam bab ini juga
akan dibahas bahwa perangkat alat musik yang di pergunakan untuk mengiringi
pertunjukkan Tari Makan sirih, serta makna-makna yang terkandung didalamnya
menurut masyarakat Aceh Tamiang.
Sifat hakikat kebudayaan adalah merupakan ciri setiap kebudayaan, akan
tetapi bila seseorang hendak memahami sifat hakikatnya yang esensial, terlebih
dahulu harus memecahkan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya,
yaitu:
(1) Di dalam pengenalan manusia, kebudayaan bersifat universal. Akan tetapi
perwujudan kebudayaan mempunyai ciri-ciri khusus yang sesuai dengan situasi
maupun lokasinya. Sebagaimana diuraikan pada permulaan bab ini, masyarakat
dan kebudayaan adalah suatu dwitunggal yang dapat dipisahkan. Hal itu
mengakibatkan bahwa setiap masyarakat manusia mempunyai kebudayaan atau
dengan lain perkataan, kebudayaan bersifat universal: atribut dari setiap
masyarakat didunia ini. Akan tetapi apabila seseorang dari masyarakat tertentu
berhubungan dengan seseorang yang menjadi anggota masyarakat yang berlainan,
maka dia akan sadar bahwa adat-istiadat kedua masyarakat tersebut tidak sama.
Hal itu disebabkan pendukung kebudayaan tersebut yaitu kedua masyarakat tadi,
mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Artinya, perbedaan kedua kebudayaan tersebut terletak pada perbedaan latar-
belakangnya. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa sifat universal
kebudayaan memungkinkan berwujudnya kebudayaan yang berbeda, hal mana
72
tergantung pada pengalaman pendukungnya yaitu masyarakat. Contoh: bangsa
Indonesia, bangsa Malaysia, bangsa Amerika, bangsa Eropa mempunyai
kebudayaan (jadi bersifat universal). Akan tetapi, masing-masing kebudayaan
mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan yang lain, karena masing-
masing bangsa mempunyai latar-belakang sendiri-sendiri. Bahkan di Indonesia
ada bermacam-macam suku bangsa, dan setiap suku bangsa mempunyai ciri-ciri
kebudayaannya tersendiri yang sesuai dengan latar-belakang masing-masing.
(2) Kebudayaan bersifat stabil di samping juga dinamis, dan setiap
kebudayaan mengalami perubahan-perubahan yang kontinu. Setiap kebudayaan
pasti mengalami perubahan atau perkembangan-perkembangan, hanya
kebudayaan yang mati saja bersifat statis. Sering kali suatu perubahan dalam
kebudayaan tidak terasa oleh anggota-anggota masyarakat. Cobalah perhatikan
potret diri sendiri dari beberapa tahun yang lalu; pasti anda akan tertawa melihat
corak pakaian yang dipakai waktu itu. Tanpa melihat potret tersebut mungkin
tidak akan disadari bahwa salah-satu unsure kecil dalam kebudayaan telah
mengalami perubahan. Contoh-contoh lain yang tampaknya kecil dapat
diperhatikan, misalnya bentuk pulpen, model sepatu, menu makanan, bentuk buku
tulis serta segala macam benda yang dijumpai sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat. Walaupun yang ditinjau adalah masyarakat yang seolah-olah
tampaknya statis seperti misalnya kehidupan pada masyarakat-masyarakat asli
pedalaman Indonesia, namun pasti ada perubahan. Mungkin perubahan itu dapat
dijumpai pada kebiasaan memberikan mas kawin yang mula berwujud benda-
benda magis, kemudian diganti dengan uang. Dengan demikian mempelajari
73
kebudayaan, selalu harus diperhatikan hubungan antara unsure yang stabil dengan
unsur-unsur yang mengalami perubahan. Sudah tentu bahwa terdapat perbedaan
derajat pada unsur-unsur yang berubah tersebut, halmana harus di teknologi, lebih
bersifat terbuka untuk suatu proses perubahan, ketimbang unsur rohaniah seperti
struktur keluarga, kode moral, sistem kepercayaan dan lain sebagainya.
(3)Kebudayaan mengisi serta menentukan jalannya kehidupan manusia, walaupun
hal itu jarang disadari oleh manusia sendiri. Gejala tersebut secara singkat dapat
diterangkan dengan penjelasan bahwa walaupun kebudayaan merupakan atribut
manusia. Namun tak mungkin seeorang mengetahui dan meyakini seluruh unsur
kebudayaannya. Betapa sulitnya bagi seorang individu untuk menguasai seluruh
unsur-unsur kebudayaan yang didukung oleh masyarakat. Sehingga, seolah-olah
kebudayaan dapat dipelajari secara terpisah dari manusia yang menjadi
pendukungnya. Jarang bagi seorang asal Indonesia untuk mengetahui kebudayaan
Indonesia sampai pada unsur-unsur yang sekecil-kecilnya, padahal kebudayaan
tersebut menentukan arah serta perjalanan hidupnya (Soekanto, 1990:200).
2.9.1 Didong
Sebuah kesenian rakyat Aceh yang dikenal dengan nama Didong, yaitu
suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vocal, dan sastra. Didong dimulai
sejak zaman Reje Linge XIII.Kesenian ini diperkenalkan pertama kali Tarian
tradisional yang telah di gali dari masyarakat etnis Tamiang yang di anggap seni
budaya tua disebut ”piasan”. Seni budaya ini dapat di pergelarkan tanpa musik,
baik dalam bentuk penyajian atau penampilan tarian maupun nyanyian.Beberapa
tarian dan nyanyian yang telah tergali ataupun sedang di gali :
74
2.9.2 Rateb Meuseukat
Tari Rateb Meuseukat merupakan salah satu tarian Aceh yang berasal dari
Aceh. Nama Rateb Meuseukat berasal dari bahasa Arab yaitu rateb asal kata ratib
artinya ibadat dan meuseukat asal kata sakat yang berarti diam.Diberitakan
bahwa tari Rateb Meuseukat ini diciptakan gerak dan gayanya oleh anak Teungku
Abdurrahim alias Habib Seunagan (Nagan Raya), sedangkan syair atau rateb-nya
diciptakan oleh Teungku Chik di Kala, seorang ulama di Seunagan, yang hidup
pada abad ke XIX. Isi dan kandungan syairnya terdiri dari sanjungan dan puji-
pujian kepada Allah dan sanjungan kepada Nabi, dimainkan oleh sejumlah
perempuan dengan pakaian adat Aceh. Tari ini banyak berkembang di Meudang
Ara Rumoh Baro di Kabupaten Aceh Barat Daya.
2.9.3 Panton
Seni yang digolongkan ke dalam sastra ini tentunya memaklumkan kepada
semua tentang kepiawaian menyusun tatabahasa yang baik dan indah didengar.
Perkembangan sastra yang digolongkan sebagai syair ini merambah hingga ke
millennium ketiga sekarang dan mampu menyusup ke dalam pola piker generasi
sekarang dan mampu menyusup ke dalam pola pikir generasi sekarang, khususnya
dalam karya seni pantun. Sebagai warisan tradisi Melayu, dalam menyambut tamu
masyarakat Tamiang biasa melakukannya dengan berbalas pantun. Ketangkasan
para pemantun ini cukup diminati untuk disaksikan, bahkan kerap menjadi event
yang ditunggu. Biasanya pula, dalam seni tutur ini terungkap tingkat kecerdasan
para pemantun karena pemantun dari pihak tamu dan pihak tuan rumah saling
mengadu kecepatan mengolah kata untuk menjawab dialog yang terjadi seketika.
75
Tradisi pantun Tamiang. Seorang pekerja seni yang merasa tertarik dengan
gaya bahasa masyarakat Aceh Tamiang. Beliau menyaksikan masyarakat setempat
masih mempertahankan tradisi Melayu dalam eventtertentu. Pekerja seni yang
telah tinggal beberapa bulan di wilayah Aceh Tamiangini mengatakan budaya
Tamiang relatif sama dengan budaya Melayu pada umumnya, khususnya budaya
Melayu Deli, Serdang, dan Kepulauan Riau. Menurut sejarah, Tamiang
merupakan sebuah Kerajaan Melayuyang berada dalam wilayah Aceh
Darussalam. Banyak tradisi seni di daerah ini yang mirip dengan kesenian yang
ada di Deli serta kawasan budaya Melayu lainnya. Salah satunya tarian zapin yang
ada di Riau , Deli, dan di Semenanjung Malaka. Dengan demikian , Zapin Melayu
yang ada di Tamiang sudah menjadi bahagian dari kekayaan Khasanah budaya
Aceh yang lazim ditampilkan dalam setiap pertunjukkan.
Persamaan antara seni budaya Aceh pesisir timur, barat dan utara dengan
seni budaya Tamiang, yakni beresensi sarat dengan nilai-nilai religious
bernafaskan Islam. Hal ini sejalan dengan penjelasan di banyak literatur, bahwa
kebudayaan Melayu merupakan interpretasi kultur Islami di Asia Tenggara. Oleh
karena itu, pakaian untuk tampilan seni budaya Tamiang lebih bernuansa Melayu
yang Islami, didominasi warna kuning seperti pakaian Melayupada umumnya.
Indikasi lain terhadap berkembangnya kultur Islam dalam budaya Tamiang
dapat disaksikan pada seni bertutur. Seni yang digolongkan ke dalam sastra ini
tentunya memaklumkan kepada semua tentang kepiawaian menyusun tatabahasa
yang baik dan indah didengar. Perkembangan sastra yang digolongkan sebagai
syair ini merambah hingga ke millennium ke-tiga sekarang dan mampu
76
menyusup ke dalam pola piker generasi sekarang, khususnya dalam karya seni
pantun. Sebagai warisan tradisi Melayu, dalam menyambut tamu masyarakat
Tamiang biasa melakukannya dengan berbalas pantun. Ketangkasan ppara
pemantun ini cukup diminati untuk disaksikan, bahkan kerap menjadi event yang
ditunggu. Biasanya pula, dalam seni tutur ini terungkap tingkat kecerdasan para
pemantun karena pemantun dari pihak tamu dan pihak tuan rumah saling
mengadu kecepatan mengolah kata untuk menjawab dialog yang terjadi seketika.
Mencermati animo generasi sekarang yang lazim mengungkapkan sesuatu
dengan pantun, meskipun melalui peralatan canggih, pralatan teknologi mutakhir,
tentunya pemikiran dapat diarahkan untuk mengemas upaya mempertahankan
tradisi leluhur yang sudah teruji ini. Kehandalan pantun dari pemupusan
perjalanan akibat kecanggihan budaya moderen dapat dijadikan tolok ukur
terhadap kekuatan nilai seni dalam mengarungi zaman.(Karang Baru, 06.04.2014)
2.9.4 Syair
Syair berasal daripada bahasa Arab yang membawa arti puisi atau
karangan indah berangkap. Syair Melayu yang asal atau semula, mengandungi
empat baris serangkap dengan sajak atau irama a-a-a-a. Harun Mat Piah
(1989:242) berpendapat bahwa isi dan tema syair Melayu terdiri daripada syair
berupa cerita-cerita romantis, cerita sejarah, keamanan dan kiasan. Terdapat juga
syair yang bukan cerita tetapi nasihat, umpamanya nasihat mbaw. Setiap baris
syair membawa maksud atau mempunyai pesan biasanya disampaikan secara
lisan dan gerak anggota badan dan mimik muka merupakan komunikasi tanpa
lisan yang sangat mempengaruhi penghayatan syair yang didendangkan.
77
2.9.5 Hikayat
Hikayat Aceh adalah sebuah karya sastra Aceh berbentuk puisi atau syair.
Istilah ‘hikayat’ berasal dari bahasa Arab ‘hikayah’ yang bermakna ‘cerita’. Di
sini perlu kita garis bawahi bahwa ada perbedaan pengertian antara istilah hikayat
dalam bahasa Melayu dengan hikayat dalam Bahasa Aceh.
2.9.6 Musik
Jika para etnomusikologi harus mengembangkan disiplin mereka sampai
kepada tahap di mana fusi (peleburan) dari musikologi dan etnologi menjadi
sebuah kenyataan, akan menjadi jelas bahwa mereka harus membangkitkan
kerangka teori dan metode mereka sendiri. Ini bukan merupakan prestasi yang
sederhana, karena hal ini berarti bahwa mahasiswa yang memasuki
etnomusikologi dari musik juga harus dididik dengan baik dalam antropologi, dan
mereka yang masuk dari antropologi harus dipersiapkan untuk mengatasi
masalah-masalah bunyi musik dan strukturnya. Tetapi hal ini jelas hanya melalui
peleburan aspek-aspek pengetahuan tersebut, mungkin hanya dalam individu-
individu perseorangan, bahwa masalah tersebut akan dapat diatasi.
Jika masalahnya begitu, dan jika peleburan adalah tujuannya, bukankah
masalah-masalahnya tidak dapat diatasi? Adakah harapan untuk menggabungkan
humaniora dan ilmu-ilmu social, dua bidang studi yang dianggap membongkar
kaidah-kaidah itu? Adakah cara-cara untuk memperlakukan ilmu-ilmu sosial
secara humanistic, atau ilmu-ilmu humaniora diperlakukan secara imu-ilmu
sosial? Dalam rangka mendekati sebuah teori untuk etnomusikologi, hambatan-
hambatan tersebut harus diatasi.
78
Pada masa lalu ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, serta metode,
hasil, aktivitas, dan isi dari kedua bidang studi tersebut. Jika wilayah-wilayahnya
yang harus dibedakan dan, terlebih penting lagi, jika persamaan-persamaan
diantara keduanya dinilai, masing-masing pokok permasalahan tersebut harus
dipecahkan.
Harold Gomes Cassidy (1962) berpendapat bahwa perbedaan antara
seniman dan ahli ilmu sosial terletak pada apa yang dikomunikasikan oleh
masing-masing, dan dia menyikapi perbedaan tersebut dalam bentuk sebuah
pertanyaan.
Secara lebih umum,apakah komunikasi ilmu pengetahuan merupakan
fungsi utama dari seorang seniman dan seorang ilmuan? Jawaban yang cenderung
saya berikan adalah, “ya” untuk ilmuan, “tidak ” untuk seniman; adalah fungsi
utama seorang ilmuan untuk mengkontribusikan ilmu pengetahuannya yang
merupakan bukan fungsi utama dari seniman, meskipun, kadang-kadang seniman
juga melakukannya (Alan, 1964:28).
Musik Tradisi Melayu Tamiang adalah salah satu kekayaan budaya etnis
Tamiang, yang didalamnya terdapat berbagai ragam pola ritme. Pola ritme itu
sendiri terbentuk oleh rangkaian gerak yang menjadi unsur dasar musik yang
terbentuk dari sekelompok bunyi/nada yang berbeda. Setiap musik tradisi
(daerah atau etnis tertentu) yang hidup diseluruh wilayah nusantara mempunyai
fungsi dan peranan yang penting bagi kehidupan masyarakat pemiliknya.
Konsep tentang ritme, pada masa sebelum Hindu dan Islam , secara umum
disebut rentak, yang mengandung pengertian pola-pola ritme, durasi,
79
onomatopeik/tiruan bunyi oleh suara manusia pada berbagai tipe gendang,
ostinato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan dengan konsep-konsep hitungan,
atau gerak tari yang diiringi rentak ini. Umumnya struktur tari mempunyai
kesingkronan dengan konsep-konsep rentak musik. Di pesisir Timur Sumatera
Utara, pada umumnya hitungan pertama ritme bukan pada jatuhnya pukulan
gong/tetawak, tetapi gong/tetawak dianggap sebagai dari rangkaian siklus musik
dan tarinya (Makalah Batam Takari, pdf).
Pola ritme musik tradisi Melayu di kabupaten Aceh Tamiang memiliki
kesamaan dengan pola ritme musik tradisi Melayu lain pada umumnya. Hal
tersebut di karenakan Aceh Tamiang termasuk rumpun Melayu. Ritme musik
tradisi Melayu kabupaten Aceh Tamiang terbagi menjadi 4 macam yaitu,
Persembahan, ula-ula lembing, zapin Tamiang serta pelintau.
Musik tradisi Melayu di kabupaten Aceh Tamiang masih dapat dengan
mudah di jumpai di beberapa acara seperti penyambutan pejabat daerah dan
upacara adat seperti upacara perkawinan dan upacara turun tanah.
Adapun ritme musik tradisi Melayu di kabupaten Aceh Tamiang, di
antaranya
1. Persembahan
Irama persembahan ini biasanya di gunakan untuk mengiringi tari
persembahan dan tarian inai. Ragam irama ini adalah senandung dan lagu
dua
2. Ula-ula Lembing
80
Dalam bahasa Tamiang diartikan Ular-ular yang memanjang seperti
Lembing. Irama ini di gunakan untuk mengiringi tarian Ula-ula Lembing
pada upacara penyambutan tamu agung dan pengantin pada upacara
perkawinan. Ragam irama ini adalah patam-patam dan Mak Inang.
3. Zapin Tamiang
Irama ini di gunakan untuk mengiringi tarian Zapin.
4. Pelintau
Dalam bahasa Tamiang,Pelintau di artikan yang Paling tahu, irama ini di
gunakan untuk mengiringi silat dalam menerima rombongan pengantin.
Keempat ritme musik tradisi Melayu ini berasal dari bahasa Tamiang.
Adapun ritme musik tradisi Melayu di kabupaten Aceh Tamiang
diantaranya Tari Persembahan. Irama tari persembahan ini biasanya digunakan
untuk mengiringi tari persembahan dan tari Inai. Ragam ini adalah
senandung dan lagu dua. Kemudian ritme yang kedua ritme untuk mengiringi
tarian Zapin. Adapun irama ini di gunakan untuk mengiringi tarian Zapin yang
menjadi tari pecahan setelah tari Makan sirih.
Secara ritmis dasar-dasar keragaman ritme musik tradisi Melayu Tamiang
dapat di uraikan sebagai berikut:
81
Tabel 2.1 Pola Irama
Pola Ritme Persamaan dengan
Melayu Deli
Notasi Tempo Keterangan
Pola 1: Lagu Persembahan Ragam Irama: Senandung dan Lagu Dua
Senandung dan Lagu Dua
Senandung
Tempo lagu Senandung 4/4 (lambat) Tempo lagu Dua 6/8 Cepat
= dibunyikan Dung = dibunyikan Tak
Pola II : Lagu Zapin Tamiang Ragam irama: Zapin
Zapin Tempo Zapin 6/8 Cepat
Sumber: Skripsi Elisa “ Keragaman Pola Ritme Musik Tradisi Melayu di Aceh Tamiang Kabupaten Aceh Tamiang”
Adapun sampai saat ini alat musik yang sudah diketahui yang berlaku
dalam masyarakat Aceh dari zaman endatu sampai sekarang ada 10 macam:
Arbab
Musik Arbab pernah berkembang di daerah Pidie, Aceh Besar dan Aceh
Barat. Instrument ini terdiri dari 2 bagian yaitu Arbabnya sendiri
(instrument induknya) dan penggeseknya (stryk stock) dalam bahasa
daerah disebut : Go Arab. Instrumen ini memakai bahan : tempurung
kelapa, kulit kambing, kayu dan dawai.
Bangsi Alas
Bangsi Alas adalah sejenis instrument tiup dari bamboo yang dijumpai
didaerah Alas, kabupaten Aceh Tenggara.
82
Serune Kalee (serunei)
Serune kalee merupakan instrument tradisional Aceh yang telah lama
berkembang dan dihayati oleh masyarakat Aceh. Musik ini popular di daerah idie,
Aceh Utara, Aceh Besar dan Aceh Barat. Bahan dasar Serune kalee ini berupa
kayu, kuningan dan tembaga. Bentuk menyerupai seruling bamboo.
Rapai
Rapai terbuat dari bahan dasar berupa kayu dan kulit binatang. Bentuknya
seperti rebana dengan warna dasar hitam dan kuning muda. Sejenis
instrumen musik pukul (percussi) yang berfungsi pengiring kesenian
tradisional.
Rapai ini banyak jenisnya : rapai pasee (rapai gantung), rapai pulot dan
rapai anak.
Geundrang (gendang)
Geundrang merupakan unit instrument dari perangkatan musik serune
kalee. Geundrang termasuk jenis alat musik pukul dan memainkannya
dengan memukul dengan tangan atau memakai kayu pemukul. Geundrang
dijumpai di daerah aceh besar dan juga dijumpai di daerah pesisir aceh
seperti Pidie dan Aceh Utara. Fungsi Geundrang merupakan alat
pelengkap tempo dari musik tradisional etnik aceh.
Tambo
Sejenis tambur yang termasuk alat pukul. Tambo ini dibuat dari bahan
bakiboh (batang iboh), kulit sapidan rotan sebagai alat pemegang kulit.
Tambo ini dimana lalu berfungsi sebagai alat komunikasi untuk
83
menentukan waktu shalat/sembahyang dan untuk mengumpulkan
masyarakat ke Meunasah guna membicarakan masalah-masalah kampong.
Calempong
Adalah alat kesenian tradisional yang terdapat di daerah Kabupaten
tamiang. Alat ini terdiri dari beberapa potongan kayu dan cara
memainkannya disusun diantara kedua kaki pemainnya.
Bereguh
Sejenis alat tiup terbuat dari tanduk kerbau. Bereguh mempunyai nada
yang terbatas, banyaknya nada yang dapat dihasilkan bereguh tergantung
dari teknik meniupnya.
Alat musik untuk mengiringi tari Makan sirih terdiri dari, Biola,
accordion, gendang Melayu serta marwas.
2.9.7 Tari-Tarian
Beberapa tarian Aceh yang terkenal:
(a) Tari Ranub Lampuan
Tari Ranub Lampuan sangat terkenal di Aceh. Tari ini biasanya dimainkan
untuk menyambut tamu terhormat dan pejabat-pejabat yang berkunjung ke Aceh.
Tari ini juga di tampilkan pada acara-acara khusus, seperti pada acara prehlinto
(menunggu pengantin pria), tueng dara baro (menjemput pengantin wanita).
Tarian ini dimainkan oleh tujuh orang penari wanita dan diiringi dengan
instrumen musik tradisional didalamnya berisi ranub (sirih) yang akan diberikan
kepada tamu-tamu sebagai tanda kemuliaan bagi para tamu.
84
(b) Tari Seudati
Tari Seudati, banyak terdapat dibagian pesisir Utara dan Timur provinsi
Aceh. tari ini dimainkan dengan formasi personil sebanyak 12 penari, yang
dipimpin oleh seorang syeh, dan didukung oleh dua orang penyair (aneuk syahi).
Tarian tradisional yang telah di gali dari masyarakat etnis Tamiang yang di
anggap seni budaya tua disebut ”piasan”. Seni budaya ini dapat di pergelarkan
tanpa musik, baik dalam bentuk penyajian atau penampilan tarian maupun
nyanyian. Beberapa tarian dan nyanyian yang telah tergali ataupun sedang digali.
(c) Tari Binih/Bines
Tarian ini khusus di tarikan oleh anak-anak perempuan (didaerah
Tamiang anak dare) yang didampingi oleh seorang” Tetuhe Binih", Tari ini di
laksanakan di dalam ruangan rumah yang dilapisi dengn tikar kerawang dan di
bawah tikar iyu khusus di susunkan papan, agar di waktu penari menghentakkan
kaki. Dan masih ada lagi yang belum disebut.
85
BAB III
WACANA STRUKTUR MUSIK, TARI, DAN TEKS TARI MAKAN SIRIH
Dalam bab ketiga ini, akan dijelaskan mengenai salah satu pelaksanaan acara
pertemuan besar pada masyarakat setempat yang memakai tarian Makan sirih
sebagai pembuka acaranya. Tentunya melibatkan semua kalangan masyarakat dari
berbagai tingkatan sekolah maupun berbagai golongan lapisan masyarakat yang
berdomisili di sekitarnya. Adapun saat ini penulis mendeskripsikan salah satu
acara yang penulis liput dilokasi Kantor Bupati Karang Baru aceh Tamiang.
Yaitu, peringatan hari KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) dengan
menggelar berbagai perlombaan dan pemberian bantuan kepada masyarakat yang
berprestasi, seperti perlombaan cerdas cermat antar sekolah.
Perlu diketahui bahwa mayoritas masyarakat Aceh Tamiang penganut
agama Islam, dan mayoritas bersuku Melayu. Pola tingkah kehidupan sehari-hari
masyarakat Aceh Tamiang sama seperti Masyarakat di daerah suku Melayu
lainnya. Selalu mengawali semua kegiatan dengan membaca ayat suci Al-Quran
dan do’a. Saat pembukaan digelar oleh protokol, masuklah acara berikutnya
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dipimpin oleh seorang
dirigen (pemimpin lagu) semua hadirin wajib berdiri, selanjutnya tari
persembahan digelar untuk menghormati tamu yang datang, yakni tari Makan
Sirih
Dalam bab ini juga akan dideskripsikan mengenai tari Makan Sirih yang
digelar di acara tersebut, dengan membahas jumlah penari, kostum yang
dikenakan, tepak yang dibawa, musik pengiring, dan isi tepak yang
dipersembahkan kepada para tetamu.
3.1 Tari Makan sirih
Tari Makan sirih adalah salah satu tari pertunjukkan yang sampai saat ini
masih digunakan di wilayah Aceh Tamiang sekitarnya. Tari Makan sirih ini di
sebut juga tari persembahan. Tari Makan sirih adalah salah satu tari tradisional
85
86
atau tari klasik Melayu yang umumnya dipentaskan untuk menyambut tamu dan
di persembahkan untuk memuliakan tamu agung yang datang.
Adanya tari penyambutan untuk tamu menunjukkan bahwa, orang Melayu
sangat menghargai hubungan persahabatan dan kekerabatan (M.Lah Husny,
2001). Seperti juga pada Masyarakat Aceh Tamiang, dulunya Pertunjukkan tari
Makan sirih ini dibuat dalam proses penyambutan tamu kehormatan saja, tetapi
sesuai dengan perkembangan zaman saat ini Aceh Tamiang, memakai
pertunjukkan Tari Makan sirih sebagaai proses Daur hidup, pada acara
menyambut tamu, atau memuliakan tamu di resepsi pernikahan, resepsi khitanan,
resepsi perpisahan di sekolah, resepsi hari-hari besar, serta untuk menunjukkan
ucapan selamat datang di acara resmi lainnya.
3.2 Tari Sekapur Sirih
Tari Sekapur Sirih adalah bentuk tari “Persembahan”, yang diciptakan
dalam rangka pemekaran wilayah Aceh, yang semula Aceh Tamiang bersatu
dengan Aceh Timur (Langsa), kemudian menjadi Kabupaten Aceh Tamiang yang
saat ini ibukotanya Karang Baru. Tahun 2001 peresmian Aceh Tamiang,
pemerintah setempat dengan dinas Kebudayaan berinisiatif melakukan penciptaan
tari Kreasi Persembahan yang berjudul Sekapur Sirih, sebagai upaya
menunjukkan identitas Aceh Tamiang. Tari Sekapur Sirih ini diciptakan oleh ibu
Syafina Arham yang bekerja di dinas Kebudayaan Aceh Tamiang, beliau juga
sebagai penyanyi yang melantunkan lagu Sekapur Sirih tersebut.
85
87
3.3 Asal-Usul Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih
3.3.1 Asal-Usul Tari Makan sirih
Tari Makan sirih hingga kini sering di pertunjukkan dalam perhelatan-
perhelatan besar menyambut tamu. Oleh karena itu, tari ini desebut juga dengan
tari persembahan tamu. Adanaya tari penyambutan tamu menunjukkan bahwa,
orang Melayu sangat menghargai hubungan persahabatan dan kekerabatan.
Gerakan tari Makan sirih umumnya menggunakan gerakan pada tari
lenggang patah Sembilan. Meskipun demikian, ada perbedaan nama gerakannya
di mana untuk tari Makan sirih hanya terdapat dua gerakan saja, yaitu gerakan
lenggang patah sembilan tunggal dan ganda. Sedangkan pada tari lenggang patah
Sembilan terdapat 3 bagian gerakkan,yaitu lenggang ditempat, lenggang memutar
satu lingkaran, dan lenggang maju atau berubah arah (Mira Sinar, 2009).
Penari Tari Makan sirih ini harus memahami istilah-istilah khusus dalam
tarian Melayu, sepeti igal (menekankan pada gerakan tangan dan badan, liuk
(gerakan menundukkan atau mengayunkan badan), lenggang (berjalan sambil
menggerakkan tangan), titibatang (berjalan dalam satu garis bagai meniti batang),
gentam (menari sambil menghentakkan tumit kaki), cicing (menari sambil berlari
kecil), legar (menari sambil berkeliling 180 derajat), dan lainnya (Sinar, 2009).
3.3.2 Asal-Usul Tari Sekapur Sirih
Tari Sekapur Sirih diciptakan karena pemekaran di wilayah Aceh Timur
yang dahulunya Aceh Tamiang dibawah pemerintahan Aceh Timur menjadi
berdiri sendiri pada Tahun 2001. Adapun pemekaran wilayah menjadi Kabupaten
Aceh Tamiang dengan ibukota Pemerintahan di Karang Baru. Selanjutnya
88
pemerintah Aceh Tamiang berupaya menunjukkan jati diri melalui seni dengan
menciptakan tari Sekapur Sirih. Adapun pencipta syair lagu dan koreografer
tarinya dari Dinas Kebudayaan Aceh Tamiang.
3.4 Deskripsi Tari Makan Sirih
Ada Tiga acara di Karang Baru Aceh Tamiangyang penulis liput dalam
suasana yang berbeda yakni:
(1) Pada tanggal 22 Februari 2014 penulis meliput acara pelantikan
kepengurusan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) periode 2013 s/d
2016. Acara ini melibatkan tamu dari Jakarta Para pelajar, tokoh masyarakat
dan masyarakat setempat yang terlibat dalam acara ini. Adapun acara
pelantikan ini diwarnai banyak kegiatan sosial yang dilakukan Keluarga
besar Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Tamiang periode
sebelumnya yang dilakukan saat akan dilantiknya kepengurusan yang baru.
(2) Salah satu kegiatan sosial yang dilakukan adalah mengadakan cerdas cermat
antarpelajardiKarangBaru.UrutanAcarapembukaan. Perlombaan dan
Pelantikan dimulai dengan Tari Makan sirih yang dibawakan oleh sanggar
Meulige lindung Bulan.
(3) Pada tanggal 21 April 2014 di gedung PKK Karang Baru Aceh Tamiang
diadakan peringatan Dengan Hari Kesatuan Gerak ke 42, ibu-ibu PKK yang
di ketuai oleh Istri Bapak Bupati mengadakan lomba Masak-memasak dan
kegiatan sosial lainnya. Adapun acara ini dibuka dengan pertunjukkan tari
89
Makan sirih yang dibawakan oleh Sanggar Meulige Lindung Bulan asuhan
Ibu Bupati Aceh Tamiang.
(4) Pertunjukkan Tari Makan sirih pada acara Perpisahan siswa SMPN I
Karang Baru Tahun 2013/2014, yang dibuka dengan Tari Makan sirih oleh
Sanggar Meulige Lindung Bulan dengan beberapa Siswa SMP tersebut.
Adapun Tarian Makan sirih Pada acara yang pertama, kedua dan ketiga
sama-sama memakai iringan musik lagu Makan sirihyang vokalnya adalah
Darmansyah. Akan tetapi sudah menggunakan musik pengiring tari
berbentuk rekaman di CD, atau yang sudah direkam ke Laptop.
Adapun yang akan penulisdeskripsikan adalah acara HUT KNPI di Karang
Baru. Pada tanggal 22 Februari 2014 penulis meliput acara pelantikan
kepengurusan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) periode 2013 s/d
2016. Acara ini melibatkan tamu dari Jakarta Para pelajar, tokoh masyarakat dan
masyarakat setempat yang terlibat dalam acara ini. Adapun acara pelantikan ini
diwarnai banyak kegiatan sosial yang dilakukan Keluarga besar Komite Nasional
Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Tamiang periode sebelumnya yang dilakukan
saat akan dilantiknya kepengurusan yang baru.
Tari persembahan, Makan Sirih digelar dengan hikmat, susunan penari
menyusun posisinya sembari lari-lari kecil seirama dengan musik yang
berkumandang. Jumlah penari sebanyak tujuh orang. Tidak ada perbedaan dalam
membawa tepak, masing masing penari membawa tepak. Yang membedakan para
penari di kostumnya, karena salah satupenari memakai pakaian khas ciri
kebesaran Melayu yang berwarna kuning keemasan.
90
Penari menarikan tarian dengan lemah gemulai, sesuai dengan alunan lagu
pengiring tari yang terdengar. Gerakan penari dimulai dari posisi bersiap,
menaruh tepak dilantai, membuka tepak kemudian memberi gerak penghormatan
kepada semua hadirin yang dimuliakan, setelah itu penari berdiri melakukan
gerakan-gerakan yang berisikan simbol-simbol atau gerakan tari yang bermakna
sipenari sedang memetik daun sirih, menyiapkan seperangkat untuk diletakkan di
dalam tepak yang diletakkan di lantai terdahulu.
Setelah selesai melakukan gerakan- gerakan mencari bahan- bahan untuk
diisi di dalam tepak, semua penari kembali keposisi tepaknya masing-masing.
Mereka menutup kembali tepak-tepak yang tadi mereka buka dan selanjutnya
mereka beri penghormatan yang kedua dengan merapatkan kedua telapak tangan
didada sama seperti posisi tangan pada penghormatan yang pertama sebelum
membuka tepak. Setelah selesai memberi penghormatan, seluruh penari berdiri
sembari mengangkat tepak yang sudah berisi. Seluruh penari melakukan lagi
gerakan-gerakan sesuai dengan makna dan persembahan yang akan diberikan
kepada tetamu yang hadir.
Seusai musik lagu Makan Sirih usai pula tarian Makan Sirihnya, akan
tetapi lagu pecahan berkumandang, serta merta ketujuh penari menuju para tetamu
yang hadir, menyuguhkan tepak yang sudah dibuka mereka. Adapun isi tepak
mereka selain perangkat untuk makan sirih, saat ini ditambahkan dengan permen
atau gula2, yang sitetamu akan mengambilnya satu untuk digantikan dengan
sejumlah uang, tanda mereka yang hadir restu dengan acara tersebut.
91
Berikut foto- foto yang dapat penulis abadikan saat berlangsungnya tari
Makan Sirih.
92
93
3.5 Deskripsi Tari Sekapur Sirih
Tari Sekapur Sirih baik syair dan geraknya di Karang Baru bercirikan
Aceh Tamiang, tetapi ini baru saja diciptakan karena ada kepentingan Daerah
setempat di saat pemekaran wilayah Aceh Tamiang yang dahulu masih bersatu
dengan Aceh Timur (Langsa) saat ini sudah berdiri menjadi Kabupaten Aceh
Tamiang. Adapun tariannya memiliki makna dan tujuan yang sama dengan tari
persembahan sirih dimanapun daerahnya, tetapi tarian Sekapur Sirih memiliki ciri
khas yang berbeda dengan yang lain.
3.6 Analisis Semiotik Pertunjukan
Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih berlatar belakang adat dan Syariat
Islam yang hidup dan tetap terpelihara di suku Aceh Tamiang. Khususnya adat
menerima tamu dan menghormati tamu. Hal ini dilihat simbolik dari gerka tari
penari, maupun dari perlengkapan tari, daun sirih, yang diberikan kepada tamu.
Melalui gerak tari terlihat gerak yang tertib dan lembut sebagai ungkapan
keikhlasan menyambut dan menerima tamu yang datang. Seperti gerak salam
sembah, gerak lembut kesamping kanan, dan kiri, dengan tangan mengayun
memegang properti tepak, adalah ungkapan kehikmatan yang menjadi lambang
persaudaraan, sebagai pembuka setiap niat baik dalam pergaulan hidup
bermasyarakat.
Adapun perangkat yang dipergunakan pada pertunjukkan tari Makan sirih
dan Sekapur Sirih, salah satu diantaranya adalah Sirih. Daun Sirih di Aceh
dinamakan Ranub. Sirih memainkan peranan penting dalam kehidupan orang
94
Aceh. Sirih yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan gambir kemudian
dikunyah sebagai makanan pelengkap.
Prosesi penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya
divisualisasikan menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik.
Gerakan inilah yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh Tamiang yang
dinamakan Tari Makan sirih dan Sekapur Sirih. Menyajikan sirih kepada tamu
dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat.
Namun kita tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di
balik semua aktifitas yang berkaitan dengan sirih. Sirih bagi masyarakat Aceh
tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun
di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena didalam
memahaminya sirih menjadi simbol yang multi rupa.Pemaknaannya secara sosial
dan kultural digunakan dalam banyak cara dan berbagai aktivitas. Sirih dengan
segala perlengkapannya sejak zaman dahulu memainkan peranan penting sewaktu
pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara kebesaran sultan.
Selain itu dalam perkembangannya, Sirih juga menempati peranan yang
cukup penting dalam system daur ulang hidup (life cycle) Aceh. Jika ada acara-
acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan di acara penguburan mayat
sekalipun, sirih seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan, adat dan
sirih menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.
Dari masa sebelum melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai
tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk
menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua dan Ibunya sendiri biasanya
95
mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bidan pada saat
mengantar nasi sebagai tanda persetujuan.
Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang ini
diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan
untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai
sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti,
sirih setepak (bahan-bahan sirih), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang
ala kadarnya.
Pada saat bayi lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah
sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit,
dan air ludah sirih. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang
didalamnya menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara
antar mengaji.
Upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunakan sirih
dalam rangkaian upacaranya. Setelah telangke mendapat kabar dari Ayah si
gadis, lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan
waktu atau hari apa menghantar Setepak artinya sirih penguat kata atau perjanjian
kawin (bertunangan). Kemudian keluarga si pemuda mengumpulkan orang-orang
patut dalam kampung kemudian memberi tahu maksud bahwa dimintakan kepada
orang-orang yang patut tersebut untuk pergi ke rumah ayah si gadis untuk
meminang si gadis dan bila dikabulkan terus diserahkan Setepak sirih atau tanda
pertunangan menentukan sekaligus berapa mas kawinnya (jiname/jeulamee).
96
Dalam hubungan sosial masyarakat Aceh, sirih juga memiliki fungsi dan
peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada tamu. Sekaligus untuk
menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok, maupun sebagai media
untuk meredam / menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni sosial.Berkaitan
dengan alat menyuguhkan sirih tersebut, sirih dapat diartikan sebagai simbol
kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia
sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah. Sebentuk daun sirih (sebagai
aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek indeksikalnya adalah sifat
rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung di dalamnya adalah sifat
rendah hati dan pemberani. Sirih juga dianggap memiliki makna sebagai sumber
perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung
musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara
peusijuek, meuroh, dan upacara lainnya sirih hadir ditengah-tengahnya.
Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan
sirihsebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Aceh, tamu
(jamee) harus selalu di layani dan dihormati secara istimewa. Hal ini terjadi
karena seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran
Islam yang dibakukan dalam adat dan istiadat. Sementara tempat sirih (tepak)
yang menjadi wadahnya melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang
luhur. Wadah tersebut sebagai satu kesatuan yang melambangkan sifat keadatan.
Maka kedepannya modifikasi kemasan sirih ini perlu diperhatikan, agar
anak-anak Aceh tidak asing dengan budayanya. Dan yang perlu di ingat bahwa
kegunaan sirih di masyarakat suku Aceh Tamiang bukan hanya untuk
97
penghormatan kepada tamu, tetapi sirih dipergunakan di dalam daur hidup, baik
untuk pengobatan, kelahiran, persembahan, meminang sampai kematian.
3.7 Gerak
Tari adalah gerak, tanpa gerak tidak ada tari. Gerak merupakan substansi
dasar dan alat ekspresi dari tari. Dengan gerak tari berbicara dan berkomunikasi
kepada penikmatnya. Namun demikian, tidak semua gerak adalah tari. Gerak
dalam tari adalah gerak yang sudah mengalami penghalusan dan perombakan.
Penghalusan gerak disebut “stilisasi”, sedang perombakan gerak disebut
“distorsi”. Proses pembentukan gerak: (1) Gerak Wantah adalah gerak sehari-
hari, misalnya : gerak berjalan, menggelengkan kepala, memanggil, berlari dan
sebagainya. (2) Stilisasi gerak adalah gerak yang mengalami perubahan
(mengalami penghalusan) dari gerak wantah menjadi gerak tari. (3) Distorsi gerak
adalah gerak yang mengalami perombakan dari gerak sehari-hari menjadi gerak
tari. (4) Gerak murni (pure movement) adalah gerak yang tidak mengandung arti
tetapi dalam penggarapannya lebih mengutamakan keindahan dan nilai artistik.
(5) Gerak maknawi (gesture) adalah gerak tari yang sudah diolah dan
mengandung maksud tertentu, tetapi tidak meninggalkan aspek keindahannya.
Ditinjau dari pengungkapannya ada dua bentuk tari, yaitu: (1) tarian yang bersifat
representatif, yaitu gerakan tarinya menggambarkan suatu pengertian atau
maksud yang tertentu dengan gerakan tarian yang jelas. (2) tarian yang bersifat
non-representatif, yaitu gerakan tarinyatidak menggambarkan sesuatu pengertian
tertentu.
98
Dalam keseluruhan penggarapan sebuah tari, pasti tidak meninggalkan
salah satu dari sifat tersebut diatas. Keduanya saling bertautan dan isi mengisi,
tergantung pada penekanannya. Pada garapan-garapan tari yang non representatif
banyak digunakan gerakan murni atau pure movement. Sedangkan garapan yang
bersifat representatif banyak disusun dari gerakan-gerakan maknawi atau gesture.
Gerak adalah suatu proses tenaga yang membutuhkan ruang dan waktu.
Berarti gerak ditentukan oleh tiga unsur, yaitu: tenaga, ruang dan waktu.
3.8Motif Gerak
Ragam gerak tari Makan sirih berjumlah 8 gerakan , yang terdiri dari 14 x
8 ketukan. Gerak lenggang secara umum dibagi atas tiga, yaitu lenggang di
tempat, lenggang maju mengubah arah, dan lenggang memutar satu lingkaran.
Sementara itu gerak patah Sembilan adalah gerakan setelah gerakan lenggang.
Pada bagian patah Sembilan, terdapat hitungan bantu yang biasanya dilafalkan
dengan kata hop yang berarti jeda sejenak (Sinar, 2009).
Ragam gerak antara penari di sebelah kanan dan kiri secara umun sama,
hanya berbeda dalam gerakan pertamanya saja. Gerak kaki sama dengan gerak
Patah Sembilan tunggal.
Gerak Tangan:
Hitungan 1-4 sama dengan gerak tangan lenggang patah Sembilan tunggal,
hitungan 5- tangan kanan diangkat setinggi bahu, telapak tangan ditelungkupkan
lalu dikepalkan, kepalan ditelentangkan dan dilepaskan/ditelungkupkan ujung jari
menghadap ke atas dan diturunkan. Diantara bilangan 5 dan 6 tangan kiri diangkat
99
setinggi bahu, telapak tagan telungkupkan ujung jari menghadap kearah atas, lalu
diturunkan. Bilangan 7 dan 8 gerakannya sama dengan kiri dan kaki kiri.
Gerak Tangan A:
Pada bilangan 5 tangan kanan diangkat serong kanan, tangan
ditelungkupkan (telapak tangan menghadap bawah), di antara bilangan 5 dan 6
putar telapak tangan hingga menghadap atas dan dikepalkan/diputar arah bawah,
bilangan 6 kepalan dilepaskan (ujung jari menghadap ke atas) dan diturunkan,
pada bilangan 7 dan 8 gerakannya sama, dimulai dengan tangan kiri dan arah
serong kiri.
Gerak Tangan B :
Pada bilangan 5 tangan kanan diangkat arah depan (tangan ditelungkupkan,
telapak tangan menghadap bawah), di antara bialngan 5 dan 6 putar telapak tangan
hingga menghadap ke atas dan dikepalkan/putar arah bawah, bilangan 6 kepalan
dilepaskan ujung jari mengghadap ke atas dan diturunkan. Pada bilangan 7 dan 8
gerakannya sama hanya dimulai dengan tangan kiri.
Gerak Tangan C:
Gerakan ini sama dengan gerakan A, bedanya pada gerakan C ini dilakukan
dengan satu hitungan. 5, tangan kanan – 6 tangan kiri – 7, tangan kanan. Diantara
7 dan 8 tangan kiri, 8 tangan kanan.
Gerak Tangan D:
Pada bilangan 5 tangan kanan diangkat serong kanan, tangan
ditelungkupkan. Telapak tangan menghadap ke bawah. Di antara bilangan 5 dan 6
putar telapak tangan hingga menghadap atas dan kepalkan/ putar arah bawah.
100
Bilangan 6 kepalan dilepaskan ujung jari menghadap atas tangan kiri arah depan
(ujung jari tangan kanan menghadap bawah dan telapak tangan menghadap atas,
sedangkan ujung jari tangan kiri mengahadap atas dan telapak tangan kiri
digenggam sambil berputar. Hitungan 8 tangan kanan dan kiri melakukan gerakan
Patah Sembilan arah lurus ke depan.
Gerak kaki AA:
Pada bilangan 5, kaki kanan serong arah kanan, di antara bilangan 5 dan 6
kaki kiri disilangkan di belakang kaki kanan. Badan miring arah kanan
(berhadapan dengan pasangan), hitungan 6,7,8, kaki tidak bergerak. Pada hitungan
5 sampai 8, tangan melakukan gerakan Patah Sembilan.
Gerak kaki BB:
Disebut juga gerak zik-zak, hitungan 1 kaki kanan serong kanan, hitungan
2 kaki kiri silang di belakang kaki kanan, hitungan 3 sama dengan hitungan 1.
Hitungan 4 sama dengan hitungan 2. Tangan melenggang sesuai dengan langkah
kaki, hitungan 5 sampai 8 melakukan gerakan lenggang Patah Sembilan ( gerakan
tukar tempat).
3.9 Frase Gerak
Frase gerak dalam sebuah pertunjukkan Tari. Dalam seni tari menguraikan
bagian terkecil merupakan bagian dari yang lebih besar dan menggunakan istilah
motif, frase, kalimat, gugus, dan bagian. Motif adalah bagian terkecil dari tari,
motif merupakan unsur sikap dan gerak pada tari namun belum bisa dimaknai,
Jika Frase, adalah rangkaian beberapa motif, kalimat adalah rangkaian beberapa
101
frase yang telah mempunyai makna dan berkaitan dengan rasa dalam melakukan
gerak terkait dengan iringan tari (Ben Suharto, 2000). Frase gerak dapat terdiri
dari satu motif atau beberapa motif. Dalam frase, penekanan sebuah rangkaian
gerak dengan memperjelas awal dan akhirnya. Pada karya Tari Makan sirih dan
Sekapur Sirih, akhir sebuah frase gerak berkaitan dengan berakhirnya sebuah unit
lagu yang ditandai dengan bergantinya tempo dan irama musik juga lintasan
desain kelompok.
3.10Siklus
Gerak, ruang, dan waktu merupakan faktor pundamental dalam tari.
Pengertian waktu dapat dikatakan sebagai unsur perubahan. Ketiga elemen gerak,
ruang, dan waktu saling ketergantungan dalam kehadiran suatu bentuk tari. Tari
menggunakan gerak untuk mengisi ruang dan membutuhkan waktu. Dalam waktu
ada dua elemen yang harus diperhatikan yaitu tempo dan ritme. Tempo adalah
cepat atau lambat. Cepat atau lambatnya sebuah tarian ditentukan oleh waktu
dalam melakukan gerakan. Dengan demikian akan kelihatan dalam sebuah tarian,
kapan akan dilakukan gerakakan dilakuakan cepat dan kapan harus lambat
sehingga gerak tari tersebut betul-betul variasi tidak kelihatan datar. Ritme dalam
gerak merupakan pengaturan pola-pola gerak yang terdiri dari serangkaian
permulaan, perkembangan, dan akhir atau awal-klimaks-akhir dalam gerak tari
melalui otot. Dalam gerak tari akan mengalami moment ketegangan, rileks, dan
pengendoran. Hubungan timbal balik ini merupakan siklus kerja dan mengaso.
102
Pengulangan siklus ini akan menimbulkan ritme, dalam pengaturan bentuk ritme
adalah salah satu efeknya.
Pengulangan sederhana atau interval-interval berjarak waktu yang sama
perubahan atau pengulangannya menimbulkan pengalirab energi yang sama dan
ajeg, ritme ini sering disebut ritme ajeg. Pengulangan yang menimbulkan energi
yang bervariasi, berganti-ganti, dan tidak akan menghasilkan ritme tidak ajeg.
3.11Pola-Pola Lantai
Pola lantai yang dibentuk oleh penari adalah pola lantai yang simetris.
Yaitu gerakan maju dan mundur serta memutar membentuk garis lurus kesamping
kanan maupun kiri. Pola ini di bentuk dengan cara menari berkelompok. Adapun
penari yang satu memulainya dengan kaki kanan maka pasangan akan melakukan
gerakan sebaliknya, pola gerakan tari ini menggunakan variasi gerakan dari mulai
berdiri melangkahkan kaki kekiri, kekanan, memutar, jinjit, dan melenggang di
tempat serta duduk bersimpuh, begitu juga dengan gerakan tangan melambangkan
gerakan memetik daun sirih, membuat ramuan sirih, semua ini menggambarkan
keutuhan masyarakat setempat.
3.12Kostum
Sejak dari masa dahulu busana merupakan bagian yang tidak terpisahkan
pula daripada tarian, sama halnya dengan musik. Pada konsep-konsep tari
tradisional busana ini bahkan menjadi hal yang dominan. Akan tetapi kita tentu
sependapat bahwa terutama pada tari modern busana ini haruslah menunjang
103
suatu tema tarian. Pengertian penunjang disini dimaksudkan adalah mampu
membantu ungkapan tari itu, tanpa mengurangi atau menghambat geraka tari.
Untuk itu konsep tari sekarang diperlukan penata busana tari yang benar-
benar memiliki ketajaman dalam melakukan pemilihan terhadap disain, bahan,
warna dan cara pemakaiannya. Sehingga busana yang dikenakan penari akan enak
dipakai dan ditonton. Tetapi tidak mengurangi tema tari bahkan sedapat mungkin
menunjangnya.
Pada penataan tari tradisi yang masih memerlukan penataan busana harus
selalu diingat pula disain dan warna yang hidup pada masalah tradisi yang
bersangkutan sebagai simbolis. Disamping busana umumnya dipergunakan pula
aksesoris pada bagian-bagian tertentu dari tubuh si penari. Misalnya: tusuk konde,
bros, kalung gelang dan gelang kaki, sortali (ikat kepala), elow (untuk penutup
bahu sampai dada) tali pinggang, mahkota hiasan topi dan lain-lain.
Hendaknya perhiasan-perhiasan ini perlu dipertimbangkan baik bentuk,
bahan dan warnanya terhadap busana yang telah kita pilih maupun yang telah
didisain, agar jangan sampai pemakaian-pemakaian perhiasan ini mengekang
gerak ataupun menimbulkan kekacauan disain pada pakaian.
3.12.1 Kostum Tari Makan SirihAceh Tamiang
Kostum yang di kenakan oleh pembawa tari Makan sirih adalah berbentuk
baju kurung, sudah menggunakan bagian bawah baju dengan rok yang dijahit,
bukan lagi kain songket seperti lazimnya, tetapi sesekali memakai baju kurung
panjang lengkap dengan kain songket. Bahan yang di pakai untuk kelompok
penari Tari Makan sirih bukan lagi selalu berwarna kuning, tetapi sudah mulai
104
memakai warna warni dalam pertunjukkan tarian persembahan tersebut. Dari
kostum yang di kenakan oleh pembawa tari persembahan ini, selain baju dan rok
yang semuanya menutup aurat, terkadang ditambahkan lagi aksesoris di pinggang,
dengan tali pinggang serta jilbab yang menutupi sanggul tinggi, mencirikan
bahwa penari adalah masyarakat Aceh Tamiang.
105
3.12.2 Kostum Tari Sekapur SirihAceh Tamiang
Kostum yang di pergunakan oleh pembawa Tari Sekapur Sirih adalah baju
kebaya Panjang, yang berwarna coklat susu dengan memakai sanggul yang tidak
tinggi dan dihiasi bunga setelah ditutupi dengan jilbab. Tidak kalah manisnya
dengan memakai tali pinggang lebar.
3.13Make-up (Tata Rias)
Rias (make-up) berarti mempersiapkan seorang pelaku aktor atau aktris
dengan perhiasan, seperti pakaian, rambut serta memoles cat atau bedak pada
wajahnya.Dengan rias akan ikut membantu mewujudkan ekspresi wajah penari,
yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Rias bukan sekedar menjadikan
penari supaya lebih cantik dan tampan, akan tetapi juga untuk merubah wajah
penari sesuai dengan peranan yang dibawakan oleh si penari tersebut.
Rias yang tidak sempurna, akan menimbulkan kesan yang jelek dan tidak
membantu, bahkan dapat pula menjadikan bahan ejekan. Rias dalam pementasan
tari sangat berbeda sekali dengan rias sehari-hari.
Jika memakai lighting, maka rias pentas hendaklah diperhatikan secara
teliti, karena lampu bisa pula merubah rias si penari. Umpamanya, rias yang kuat
dan lighting yang tidak mampu membantu akan menimbulkan kesan yang jelek
dan bahkan mengakibatkan bentuk wajah yang kusut masai.
Rias pentas dibedakan pula atas rias jenis, rias tokoh/watak dan rias temporer.
106
(a) Rias jenis
Dilakukan apabila seorang penari laki-laki harus diubah menjadi penari
wanita atau sebaliknya, misalnya wanita berperan sebagai kesatria dalam
seni teater/pewayangan. Arjuna sering diperankan oleh wanita. Pria
berperan sebagai wanita dalam seni teater/randai.
(b) Rias Tokoh/Watak
Rias yang membedakan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya.
Masing-masing tokoh menunjukkan watak atau bentuk yang berbeda-beda,
misalnya rias untuk seorang Raja atau Permaisuri akan berbeda dengan
rias seorang Panglima dan dayang-dayang.
(c) Rias Temporer
Rias yang ditata menurut perbedaan-perbedaan waktu, umpamanya
seorang raja yang pergi berburu akan berbeda setelah duduk di singgasana.
3.14 Pemusik
Sanggar Meulige Lindung Bulan biasanya menggunakan 5 sampai 8 orang
pemain musik untuk mengiringi satu tarian, akan tetapi saat penulis terjun
kelapangan setiap acara penampilan yang dipakai untuk mengiringi adalah CD,
karena alasan biar praktis. Dan didalam syair lagunya ada bahsa yang
menyatakan “Adatlah resam budaya Melayu” dengan suara penyanyi
Darmansyah. Pada saat pertunjukkan, pemusik akan saling berinteraksi juga antar
sesama pemusik di lapangan dalam melakukan pergantian strukturnya, ada tanda-
107
tandanya dalam musiknya. Karena musik dalam tari Makan sirih ini sangat
penting , sebab alur tari ini mengikuti alur musik (Reny Yulyati, 2000).
3.15Penonton
Penonton dalam setiap pertunjukkan tari Makan sirih di setiap acara
penyambutan tamu, atau membuka sebuah acara, merupakan para tamu yang
menghadiri acara tersebut digelar. Akan tetapi acara yang dilaksanakan diluar
rumah atau gedung menjadi tontonan dan hiburan juga bagi masyarakat yang
lewat atau yang mau menyaksikan tarian tersebut.
3.16 Transkripsi Nada
Untuk mendapatkan transkripsi lagu Makan sirih di Aceh Tamiang
Nanggroe Aceh Darussalam, ada beberapa langkah yang penulis lakukan, sebagai
berikut :
1. Untuk mendapatkan rekaman lagu Makan sirih, penulis merekam
langsung lagu dan tarian Makan sirih dalam konteks pertunjukkan Tari
Makan sirih di beberapa kegiatan di Aceh Tamiang.
2. Rekaman tersebut didengarkan secara berulang–ulang agar
mendapatkan hasil yang maksimal, dan kemudian ditranskripsikan ke
dalam bentuk notasi.
3. Pendekatan transkripsi yang dilakukan adalah pendekatan perspektif,
yaitu meniliskan perjalanan melodi secara makro dan garis besar saja.
108
Tujuannya adalah untuk memperlihatkan begaimana strukural umum
lagu Makan sirih dalam konteks mengiringi tarian Makan sirih di Aceh
Tamiang.
4. Melodi lagu-lagu Saman ditulis dengan notasi Barat agar dapat lebih
mudah dimengerti, karena dalam notasi Barat, tinggi dan rendahnya
nada, pola ritme, dan simbol-simbol, terlihat jelas ditansmisikan
kepada para pembaca, melalui tanda-tanda.
3.17Nada Dasar
Sejauh pengamatan dan penelitian penulis, lagu tari Makan sirih belum
ada partitur lagunya. Sehingga penulis coba membuat notasi lagu Makan sirih
kedalam notasi balok. Namun demikian tari Makan sirih masih dipakai jika acara
diselenggarakan di kecamatan Karang baru khusus. Namun penulis tetap berupaya
agar pencipta lagu Makan sirih dan notasi baloknya dapat ditemukan.
Setelah mentranskripsikan lagu tari Makan sirih kedalam bentuk notasi,
maka langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah menganalisis struktur
musiknya. Untuk menetukan tangganada, penulis melakukan pendekatan weighted
scale, seperti yang dikemukakan oleh William P. Malm (1977). Dari hasil
transkripsi, maka ditemukan tangga nada pada lagu tari Makan sirih tersebut.
1. Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering
muncul dan nada mana yang paling jarang dipakai dalam suatu komposisi
musik.
109
2. Terkadang nada yang memiliki nilai ritmisnya besar dianggap nada dasar,
meskipun jarang dipakai.
3. Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bagian
tengah komposisi dianggap mempunyai fungsi penting dalam tonalitas
tersebut.
4. Nada yang menduduki posisi paling rendah dalam tangga nada ataupun
posisi tepat berada ditengah-tengah dapat dianggap penting.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada terkadang dipakai sebagai
patokan. Contohnya sebuah posisi yang digunakan bersama oktafnya,
sedangkan nada lain tidak memakai. Maka nada pertama tersebut boleh
dianggap penting.
6. Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga bisa dipakai sebagai patokan
tonalitas.
7. Harus diingat kemungkinan ada gaya-gaya musik yang mempunyai sistem
tonalitas yang tidak bisa dideskripsikan dengan patokan-patokan di atas.
Untuk mendeskripsikan system tonalitas seperti itu, cara terbaik
tampaknya adalah pengalaman lama dan pengenalan akrab dengan musik
tersebut.
3.18Wilayah Nada
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) dari nada yang frekwensinya paling
rendah, sampai pada frekwensi nada yang paling tinggi. Dari hasil transkripsi di
atas, maka diperoleh ambitus suara dari Lagu Tari Makan sirih sebagai berikut :
110
Metode untuk menentukan wilayah nada berdasarkan ambitus suara yang
terdengar secara alami yang ditentukan oleh media penghasil bunyi itu sendiri,
ialah dengan memperhatikan nada yang paling rendah hingga nada yang paling
tinggi. Wilayah nada melodi Makan sirih yang diurutkan dari nada terendah
sampai nada tertinggi adalah:
3.19Jumlah Nada Untuk menentukan jumlah nada-nada Lagu Makan sirih terdapat dua cara
yang perlu dilakukan. Pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada
tanpa melihat durasinya secara kumulatif. Kedua, melihat kemunculannya dan
menghitung durasi kumulatif. Dalam analisis ini, penulis menggunakan cara yang
pertama, yaitu menghitung kemunculan nada tanpa melihat durasinya.
3.20Interval
Interval yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara nada yang
satu dengan nada lainnya dalam satu komposisi musik. Sistem pengukuran pada
interval disebut ”laras” dengan alat ukur “cent”. Interval pada lagu Makan sirih
terdapat dua jenis, yaitu melangkah (conjunct) dan melompat (disjunt) Analisis
interval penulis lakukan dengan menghitung setiap interval baik yang naik,
maupun turun. Dengan melihat ketentuan-ketentuan interval di atas, maka interval
pada lagu adalah sebagai berikut:
111
3.21 Formula Melodi Untuk memperjelas bagaimana bentuk dari melodi Lagu, Formula melodis
yang akan dibahas tulisan ini meliputi bentuk, frasa, dan motif. Bentuk adalah
gabungan dari beberapa frasa yang terjalin menjadi satu pola melodi sebagai dasar
pembentukan melodi.Secara garis besar, bentuk,frasa, dan motif yang terdapat
dalam melodi tari Makan sirih adalah sebagai berikut:
3.22 Pola Kadensa
Kadensa adalah nada akhir dari suatu bagian melodi lagu. Pola kadensa
dapat dibagi atas 2 bagian, yaitu : semi kadens (half cadence) dan kadens penuh
(fuul cadence). Semi kadens adalah bentuk isirahat yang tidak lengkap atau
tidakselesai (complete) danmemberi kesan adanya gerakan ritem yang lebih
lanjut.Kadens penuh adalah suatu bentuk istirahat di akhir frasa yang terasa
selesai (complete) sehingga pola kadens seperti ini tidak memberi kesan untuk
menambah gerakan ritem.
3.23 Kontur
Menurut Malm (1977: 8) kantur adalah garis suatu lintasan melodi dalam
sebuah lagu, yang dibedakan kedalam beberapa jenis, yaitu:
1. Ascending (menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending (menurun) adalah garis melodi yang bergerak turun dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah.
112
3. Pendulous adalah garis melodi yang bergerak dengan membentuk
lengkungan (melengkung setengah lingkaran)
4. Terraced (berjenjang) adalah garis melodi yang membentuk gerakan
berjenjang seperti anak tangga.
5. Statis (level) adalah melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas
atau garis melodi yang bergerak datar atau statis
3.24 Struktur Teks
Didalam syair atau teks lagu Makan sirih yang dipertunjukkan di Karang
Baru Aceh Tamiang, terjadi komunikasi di antara seniman dan para penonton,
dengan berbagai interpretasi (penafsiran) terhadap pertunjukkan yang terjadi.
Kesemua aktivitas komunikasi dalam peristiwa seni pertunjukkan ini berdasarkan
kepada pola-pola budaya Aceh Tamiang (Melayu Aceh), yang hidup selama
beratus tahun.
Termasuk kedalam komunikasi seni pertunjukkan ini mencakup: (a). lirik
atau teks lagu Tari Makan sirih, yang memiliki ciri-ciri khas tari persembahan di
bandingkan komunikasi verbal dengan bahas seharian, (b) interaksi atau kata-kata
seru memperkuat suasana pertunjukkan, (c) kata-kata pengantar dalam setiap
pertunjukkan. Komunikasi lisan dalam seni pertunjukkan Makan sirih biasanya
menggunakan berbagai gaya bahasa (metafora,aliterasi,
perulangan,hiperbola,repetisi, dan sebagainya). Komunikasi lisan ini juga
menjadi bahagian yang terintegritas dengan aspek-aspek bukan lisan seperti nada,
irama, rentak, melodi, gerak-gerik, dinamika, mememis, dan sebagainya.
113
Komunikasi lisan selalu distilisasi untuk menarik perhatian penonton, dan
menambah unsure estetika pertunjukkan.Komunikasi ini menggunakan puisi
tradisional MelayuAceh Tamiang.
Teks dalam lagu tari Makan sirih, selalu mengekspresikan tema ucapan
selamat datang yang akan dikomunikasikan oleh pencipta, seniman, kepada para
penonton begitu juga dengan makna gerak yang dipertunjukkan oleh penari
persembahan Makan sirih.
Teks yang bersifat eksplisit, yaitu mudah dicerna dan ditafsir, karena
pencipanya sengaja membuat teks yang bersifat rahasia, diberi gaya bahasa,dan
sifatnya lebih tertutup (implicit). Oleh karena itu, teks dalam lagu Makan sirih
ini perlu di resapi, dipahami, dan ditafsir oleh penonton berdasarkan nilai-nilai
budaya yang hidup di dalam kebudayaan tari Makan sirih.
3.25 Diksi
Diksi adalah pilihan kata yang tepat dalam penyusunan kalimat sehingga
diperoleh makna yang tepat dan sesuai yang mendukung maksud. Diksi memiliki
beberapa bagian; pendaftarankata formal atau informaldalam konteks social-
adalahyang utama. Analis diksi secara literal menemukan bagaimana satu kalimat
menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang
berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara
penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter
yang introspektif. Diksi juga memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan
sintaks.
114
3.26 Interjeksi
Interjeksi atau kata seru adalah partikel yang mengungkapkan rasa hati
pembicara. Interjeksi biasanya dipakai di awal kalimat dan pada penulisannya
diikuti oleh tanda koma (,) Secara structural interjeksi tidak bertalian dengan
unsure kalimat lain. Interjeksi umunya berupa bentuk dasar, meskipun ada juga
yang berbentuk turunan (Umpan Atom, 2001).
3.27 Partikel
Partikel atau kata tugas adalah kelas kata yang hanya memiliki arti
gramatikal dan tidak mempunyai arti leksikal. Arti suatu kata tugas
ditentukanoleh kaitannya dengan kata lain dalam suatu frasa atau kalimat dan
tidak bisa digunakan secara lepas atau berdiri sendiri.
3.28 Makna Denotatif
Makna Denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna
wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu
pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna
denotatife disebut maka konseptual, makna denotasional atau makna kognitif
karena dilihat dari sudut yang lain.
3.29 Makna Konotatif
Zgusta (1971:38) berpendapat makna konotatif adalah makna semua
komponen pada kata tambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi
115
menandai. Menurut Harimurti (1982:91) “aspek makna sebuah atau pikiran yang
timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)”.
Makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat yang
satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup dan
norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut. Makna konotatif dapat
juga berubah dari waktu ke waktu . Misal kata ceramah dulu kata ini berkonotasi
negatif karena berarti “cerewet” tetapi sekarang konotasinya positif. Sebaliknya
kata perempuan dulu sebelum zaman Jepang berkonotasi netral, tetapi kini
berkonotasi negatif.
3.30 Spontanitas Garapan Teks Melismatis adalah suatu penyajian musik vocal, di mana satu suku kata
dinyanyikan untuk beberapa nada. Sedangkan Sillabis adalah suatu penyajian
musik vocal di mana satu suku kata dinyanyikan untuk setiap nada. Hubungan
antara musik dengan bahasa atau bunyi musical dengan fenomena linguistik,
bunyi musik kadang disesuaikan dengan struktur tekstual atau sebaliknya. Kadang
Panjang pendeknya suku kata dalam nyanyian berpengaruh terhadap durasi not,
atau juga sebaliknya.
Mengenai hubungan teks dan melodi, Makan sirih, berkembang dari segi
teks, sedang melodinya dapat dikatakan hanyalah perulangan-perulangan. Bila
ditinjau dari sifatnya, lagu Makan sirih yang merupakan penyampaian suatu
maksud, tujuan, kisah, atau cerita, maka sudah pasti teksnya berkembang, tetapi
tidak diikuti oleh melodi, sehingga nyanyian ini dikategorikan bersifat logogenik.
116
Istilah komunikasi dipergunakan untuk menunjukkan tiga bidang studi
yang berbeda: Proses komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan studi
mengenai proses komunikasi. Selanjutnya komponen komunikasi, terdiri dari
beberapa hal, yaitu komunikator, pesan, media, komunikan, dan effek. Istilah
komunikasi sendiri berasal dari bahasa Inggris communication berasal dari
bahasa latin communication, dan bersumber dari kata communis yang berarti
sama. Sama yang berarti makna yang sama.repository.usu.ac.id.
3.31 Gaya Bahasa
Gaya bahasa ialah cara penyair menggunakan bahasa untuk menimbulkan
kesan-kesan.Gayadigunakan untuk melahirkan keindahan (http://esastra.com).
Dalam hal ini gaya bahasa yang dipergunakan oleh penyair atau yang
menciptakan teks bergaya Melayu dan terjadi pengulangan setiap satu kalimat
dinyanyikan.
117
BAB IV
STRUKTUR TARIMAKAN SIRIH
Kesenian salah satu dari unsur kebudayan, terjadi karena mula-mula
manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu
pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun
banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa
macam human need itu. Dengan pandangan ini seorang peneliti bisa menganalisis
dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan
Manusia (Koentjaraningrat, 1987:171).
Sejalan dengan pendapat Malinowski, Tari Makan sirih di Aceh Tamiang
timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian
keinginan naluri masyarakat Suku Tamiang pada umumnya. Seni tari Makan sirih
timbul, karena masyarakat ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap
keindahan. Namun lebih jauh daripada itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi
lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya dan lainnya.
Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan
struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan
individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown
yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat,
mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada
keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya.
Pada umumnya fungsi suatu penampilan tari adalah untuk memeriahkan
(menyemarakkan) suatu upacara yang diadakan oleh kelompok atau individu
117
118
golongan masyarakat yang membutuhkan jasa sosial kesenian, ada juga
beranggapan bahwa penampilan sebuah tarian merupakan penambah kebanggaan
pada diri secara individu, karena mungkin mengandung penjelasan dan maksud
tertentu.
Pada hakikatnya fungsi tari untuk menyemarakkan sebuah / suatu upacara-
upacara yang terjadi (berlaku) dikalangan masyarakat Aceh Tamiang, fungsi tari
Makan sirih ini dapat diartikan sebagai berikut :
- Tarian dipertunjukan pada acara-acara upacara penyambutan tamu agung seperti menerima tamu, dalam kota, luar kota dan juga tamu negara yang sifatnya resmi dan juga sekalian untuk menghormati sesama masyarakat serta untuk menghibur.
- Dalam upacara-upacara seperti perkawinan, khitanan, perayaan proses daur hidup dan kegiatan yang serupa lainnya, tarian ini berfungsi secara umum untuk menyemarakkan upacara-upacara adat.
- Pada pertunjukkan resmi yang bersifat adat-istiadat, pergelaran khusus (lomba festival), fungsinya akan bersifat penonjolan identitas diri serta kebanggaan rasa memiliki harkat-martabat sebagai suku bangsa berbudaya.
Antara yang tersirat dan tersurat fungsi tarian ini sebenarnya manifestasi
dari kelahiran sebuah karya seni untuk dipersembahkan kepada masyarakat guna
memberi kesenangan, serta kecintaan terhadap budaya sendiri, tanah kelahiran,
kebanggaan akan rumpun suku bangsa yang ada, serta harga diri secara utuh.
Setiap musik yang terbentuk oleh rangkaian gerak yang menjadi unsur dasar
musik yang terbentuk dari sekelompok bunyi/nada yang berbeda. Setiap musik
tradisi (daerah atau etnis tertentu) yang hidup di seluruh wilayah nusantara
mempunyai fungsi dan peranan yang penting bagi kehidupan masyarakat
pemiliknya. Adapun fungsi dari musik tradisi antara lain:
119
a. Fungsi Individual
Melalui musik, seseorang dapat mengekspresikan atau mengungkapkan
gejolak jiwa,, atau kegalauan yang terpendam di dalam hatinya. Melalui syair lagu
yang digubahnya, seniman musik dapat mengkritik atau memprotes kondisi yang
ada di lingkungannya, serta dapat pula mengungkapkan rasa cinta atau
kekaguman terhadap sesame manusia, alam, dan Sang Pencipta. Jadi seni apapun,
termasuk seni musik dapat di pakai sebagaai media ekspresi yang dapat
memberikan kepuasan batin bagi penciptanya.
b. Fungsi Sosial
Musik memiliki peran yang besar dalam kehidupan manusia. Hal itu dapat
kita saksikan dimana musik sering di pergunakan dalam segala bentuk kegiatan
manusia di masyarakat, antara lain.
c. Di gunakan untuk upacara adat, upacara kenegaraan, penyambutan tamu,
dan pesta pada suku atau daerah tertentu.
d. Untuk Upacara keagamaan atau sarana ibadah
e. Sebagai sarana hiburan yang di gunakan untuk mengiringi gerak seni tari
klasik atau tradisi, dan pertunjukkan makes to the.
Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi
internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.
By the definition here offered “function” is the contribution which a partial. Activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a particular social usage is the contribution of it. Makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that asocial system. Such a view imlplies that a social system..has a certain kind of unity,which we may speak of as a functional unity.We may define it as a condi-tion in which all part of
120
the social system work together with a sufficient. Degree of harmony or internal consistency, i.e.,without producing persis-tent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).
Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, Tari Makan sirih boleh
dianggap sebagai bahagian dari struktur social masyarakat Aceh Tamiang (suku
Tamiang). Seni pertunjukkan Tari Makan sirih adalah salah satu bahagian
aktivitas yang dapat menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yanag pada
masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat
pengamalnya, yaitu masyarakat Aceh Tamiang. Fungsinya lebih jauh adalah
untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu,
dilator belakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Aceh
Tamiang, misalnya lingkungan yang heterogen budaya Aceh Tamiang, jati diri
dan kumpulan etnik Suku Tamiang, dan masalah-masalah lainnya.
Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan
integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukkan, yaitu: (1) untuk
kepentingan sosial atau sarana upacara; (2) sebagai ungkapan perasaan pribadi
yang dapat menghibur diri, dan (3) sebagai penyajian estetika (1995). Selaras
dengan pendapat soedarsono tari Makan sirih dalam kebudayaan Aceh Tamiang
mempunyai fungsi social, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri,
dan penyajian estetika. Kemudian dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang
kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut,
pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurut
Merriam bagi para pengkaji fungsi seni dalam masyarakat, adalah penting untuk
membedakan pengertian penggnaan dan fungsi. Para pakar etnomusikologi pada
121
masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang
penggunaan musik, maka kita menunjukkan kepada kebiasaan (the ways) musik
dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktek yang biasa dilakukan, atau
sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu
sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210). Lebih jauh
Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi
sebagai berikut:
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it May or may not also have a deeper function. If the lover uses song to Who his love, the function of such music may be alalyzed as the
conti. Nuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant. Uses music to the approach his god, he is employing a particular. Mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, Prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music,On the other hand, is enseparable here from the function of religion Which may perhaps be interpreted as the establishmen of a sense of Security vis-a vis the universe. “Use” them, refers to the situation inWhichmusic is employed in human action; “function” concern the Reason for its employment and particularly the broader purpose Which it serves. (1964:210)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian
penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi
bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Dia
memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk
kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu dianalisis sebagai perwujudan dari
kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia (yaitu untuk memenuhi
kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya
122
menjaga kesinambungan keturunan manusia). Jika seseorang menggunakan musik
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut berhubungan
dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual dan
kegiatan-kegiatan upacara. “penggunaan” menunjukkan situasi musik yang
dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan
mengapa pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari
sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan demikian, sejalan dengan Merriam,
menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan
fungsi lebih berkait dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya.
Kebudayaan adalah warisan sesuai yang hanya dapat dimiliki oleh warga
masyarakat pendukungnya dengan jalan mempelajarinya. Ada cara-cara atau
mekanisme tertentu dalam tiap masyarakat untuk memaksa tiap warganya
mempelajari kebudayaan, yang didalamnya terkandung norma-norma serta nilai-
nilai kehidupan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat yang
bersangkutan.Mematuhi norma-norma serta menjunjung tinggi nilai-nilai itu
penting bagi para warga masyarakat demi kelestarian hidup bermasyarakat itu
sendiri. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa tari persembahan terdapat beberapa gerak dan bagian dari
busana yang menjadi simbol dan mengandung makna tertentu. Tari persembahan
merupakan tari yang disajikan dihadapan tamu agung yang datang berkunjung ke
Aceh Tamiang dan merupakan ucapan terima kasih serta memberi kehormatan
yang ikhlas dengan menyuguhkan tepak sirih lengkap dengan sirih adatnya. Tari
persembahan merupakan tarian yang memiliki simbol dan makna,yang
123
berkembang di masyarakat, dengan menyuguhkan Sekapur Sirih yang bermakna
rasa hormat, terima kasih dan membawa tepak sirih yang menyimbolkan
ketulusan hati menerima tamu yang hadir pada acara tertentu, seperti pengukuhan,
pertemuan adat, upacara adat, dan sebagainya. Dalam pengkajian tari
persembahan ada beberapa bagian dari gerak,busana dan aksesoris yang memiliki
makna dan simbol tersendiri seperti;
a. Gerak sembah merupakan simbol dari keaguangan dan bermakna saling
menghormati antar sesama yang dilandasi oleh kepercayaan masyarakat
Melayu Riau dan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
b. Duduk bersimpuh merupakan simbol kerendahan hati yang bermakna saling
menghargai antara sesama.
c. Memetik bunga memiliki nilai estetis bagi masyarakat Melayu Riau yang
merupakan simbol keindahan.
d. Mengapur dan melipat serta menyirih merupakan ciri khas dari tarian ini yaitu
Makan sirih.
e. Selembayung merupakan simbol dan balam dua sekawan yang bermakna
kesetiaan kebersamaan.Selembayung mencerminkan pola pemukiman
masyarakat Riau ,yang dilihat dari bentuk hiasan yang menyilang pada atap
rumah masyarakat Melayu Riau.
f. Baju kebaya labuh cekak musang dan tenun siak yang memiliki makna
menutup aurat sesuai dengan ajaran agama Islam.
g. Sanggul yang ditutup selendang bermakna sopan dan santun
124
h. Bunga goyang yang menyimbulkan keseimbangan dan bermakna
harmonisasi.
i. Ramen dan dokoh merupakan simbol dari aturan agama yang bermakna
penjaga kepribadian yang beradap.
j. Pending dan sebai bermakna penjaga kepribadian yang beradap sama seperti
Melayu Riau
Pada busana pada tari persembahan,warna memiliki peranan penting bagi
masyarakat.Warna emas yang mendominasi busana dan aksesoris yang
dilaksanakan adalah simbol kemegahan yang pada zaman dahulu hanya boleh
dikenakan oleh kalangan bangsawan kerajaan. Simbol dan makna dalam tari
persembahan khususnya gerak dan busana, sangat erat kaitannya dengan
kepercayaan masyarakat Melayu terhadap agama Islam yang tertuang dalam
kebudayaan masyarakat Aceh Tamiang yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan
norma-norma agama Islam. Dalam masyarakat yang sudah maju, norma-norma
dan nilai–nilai kehidupan itu dipelajari melewati jalur pendidikan, baik secara
formal, guna mempersiapkan diri sebagai warga masyarakat yang menguasai
keterampilan hidup sehari-hari serta memiliki sikap dewasa. Diluar lembaga
pendidikan yang formal, sifatnya para warga masyarakat juga mengalami proses
sosialisasi dengan jalan pergaulan serta menghayati pengalaman bersama warga
masyarakat lainnya, sehingga akhirnya mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan kehidupan sosial kebudayaan. Proses sosialisasi itu ditempuh secara
non formal, dan yang paling dirasakan akrab ialah pergaulan antar sesama anggota
125
keluarga sendiri. Demikiansecara teoritis fungsi seni menurut para pakar seni
tersebut.
Dalam konteks Aceh Tamiang yang masih dalam rumpun Melayu, maka
seni akan terus lestari, berkembang, dan bertahan dengan syarat harus fungsional
dalam masyarakat pendukungnya. Terjadi secara Alamiah, tidak dipaksakan,
wajar dan semua orang memerlukan dan merasa memilikinya. Untuk itu perlu
dipikirkan bagaimana semestinya kesenian di Aceh Tamiang ini dapat
berkembang fungsinya. Menurut penulis, pengembangan fungsional seni di
Sumatera Utara, juga Aceh Tamiang ini adalah sebagai berikut :
(a) Seni di Aceh Tamiang sebaiknya yang berfungsi ritual terus dilestarikan
untuk kepentingan ritual sesuai dengan system religi yang
melatarbelakanginya. Seni yang seperti ini biasanya sarat dengan nilai-nilai
religious, sangat sacral, tidak profane, tidak sembarangan mementaskan,
mempertunjukkan, atau memamerkannya. Seni-seni sacral ini perlu dijaga
fungsi dan kelestariannya sesuai dengan konsep-konsep adat atau religi yang
melatarbelakanginya.
(b) Seni berfungsi hiburan, dapat dikembangkan fungsi dan pertunjukkannya
dalam konteks kepentingan kebudayaan, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
Kesenian yang seperti ini, menyambut tetamu, festival, perlombaan,
kepariwisataan, dan lain-lainnya. Seni yang berfungsi hiburan ini tentu saja
harus memperhatikan karakter dan kearifan local yang terkandung di
dalamnya.
126
(c) Seni yang berfungsi estetik perlu terus dikembangkan. Bahwa sebagai
seniman dan juga pencipta seni, para pelaku seni ini sangat erat dengan hal-
hal kreatif dan estetik. Untuk memperbanyak dan memberikan sentuhan
kualitas seni diperlukan eksplorasi-eksplorasi seni, baik terhadap muatan
maupun konsep-konsepnya. Seni yang berfungsi utama estetik inidapat
diciptakan dandifungsikan dalam berbagai konteks sosial. Mungkin perlu
juga dilakukan lomba dan festival untuk tujuan estetik tersebut.
(d) Selain itu guna seni untuk dikembangkan menurut keadaan sosial dan budaya
daerahnya. Misalnya untuk kepentingan Kepariwisataan (Takari Muhammad,
2002).
Berbicara tentang fungsi dan kegunaan seni budaya Melayu, peran seni
juga sangat penting terhadap pembangunan, karena pembangunan bangsa ini pada
dasarnya berintikan dari Kebudayaan. Dalam Konteks daerah maupun nasional,
kebudayaanMelayu sangatlah berperan. Di antaranya sebagai berikut :
Budaya Melayu menyumbangkan nilai-nilai integrasi sosiokultural.
Masyarakat Melayu adalah masyarakat yang merupakan integrasi dari berbagai
kelompok etnik yang menyatukan diri dalam satu peradaban atau tamadun
Melayu. Misalnya masyarakat Melayu Betawi adalah gabungan dari orang-orang
yang hidup bersama di Batavia atau Jakarta sekarang. Mereka ini datang dari
seluruh nusantara seperti dari Banten, Sunda, Jawa, Cina, Arab, dan lain-lain.
Demikian juga orang Melayu di Tamiang, sumatera Utara, Riau Jambi, Bengkulu,
Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan, dan lainnya. Nilai-nilai integrasi
127
ini sesuai dengan filsafat kebangsaan kita yaitu Bhineka Tunggal Ika (Biar
berbeda-beda tetap Satu Jua), (Takari Muhammad, 2002)
4.1 Strutur Tari Makan Sirih
Seni tari dalam kebudayaan Melayu mencakup ide, aktivitas, maupun
estetikanya. Seni tari mengekspresikan kebudayaan secara umum. Seni tari juga
mengikuti norma-norma yang digariskan oleh adat Melayu. Berbagai gerak
mencerminkan halusnya budi orang-orang Melayu, yang menjadi bagian integral
daripada diri sendiri maupun alam sekitar, seperti yang tercermin dalam ungkapan
Melayu: “Kembali kealam semula jadi.” Hal ini dapat ditelusuri melalui konsep-
konsep tari dalam budaya Melayu.
Konsep tari dalam budaya Melayu biasanya diungkapkan melalui beberapa
istilah yang mengandung makna denotasi ataau konotasi tertentu (Takari
Muhammad, 2002). Pada bab ini penulis akan membahas tentang struktur Tari
Makan sirih, deskripsi pertunjukkan Tari Makan sirih, Analisis Semiotik Tari
Makan sirih, jenis Tari Persembahan di Aceh Tamiang, fungsi Tari Makan sirih,
Gerak, Pola Lantai, Kostum, Make-up, properti, Pasangan penari, Kreativitas
dalam tari Makan sirih, dan Tari Makan sirih terhadap perkembangan Zaman.
Struktur adalah suatu bangunan atau susunan yang terdiri dari bahagian-
bahagian yang lebih kecil, yang membentuk satu kesenian. Struktur seni
diwujudkan dalam dimensi ruang dan waktu. Struktur memiliki tiga ide dasar,
yaitu ide kesatuan, ide transformasi, dan ide pengaturan diri sendiri di luar
struktur itu. Struktur adalah gaya transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak
128
statis. Struktur itu mengatur diri sendiri dan setiap unsur mempunyai fungsi
berdasarkan letaknya.
Analisis struktural dalam Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih adalah
pertunjukkan yang tidak dapat terlepas dari segala unsur-unsur tari, kemudian
aturan-aturan dalam gerak, danskrip tari Makan sirih dan tari Sekapur Sirih, pola
lantai maupun busana dalam tari Makan sirih dan Sekapur Sirih.
Tari Makan sirih adalah salah satu tari pertunjukkan yang sampai saat ini
masih digunakan di wilayah Aceh Tamiang sekitarnya. Tari Makan sirih ini di
sebut juga tari persembahan. Tari Makan sirih adalah salah satu tari tradisional
atau tari klasik Melayu yang umumnya dipentaskan untuk menyambut tamu dan
di persembahkan untuk memuliakan tamu agung yang datang.
Tari Makan sirih hingga kini sering di pertunjukkan dalam perhelatan-
perhelatan besar menyambut tamu. Oleh karena itu, tari ini desebut juga dengan
tari persembahan tamu. Adanaya tari penyambutan tamu menunjukkan bahwa,
orang Melayu sangat menghargai hubungan persahabatan dan kekerabatan.
Gerakan tari Makan sirih umumnya menggunakan gerakan pada tari
lenggang patah Sembilan. Meskipun demikian, ada perbedaan nama gerakannya
di mana untuk tari Makan sirih hanya terdapat dua gerakan saja. Yaitu gerakan
lenggang patah Sembilan tunggal dan ganda. Sedangkan pada tari lenggang patah
Sembilan terdapat 3 bagian gerakan,yaitu lenggang ditempat, lenggang memutar
satu lingkaran, dan lenggang maju atau berubah arah (Mira Sinar, 2009).
Penari Tari Makan sirih ini harus memahami istilah-istilah khusus dalam
tarian Melayu, sepeti igal (menekankan pada gerakan tangan dan badan, liuk
129
(gerakan menundukkan atau mengayunkan badan), lenggang (berjalan sambil
menggerakkan tangan), titi batang (berjalan dalam satu garis bagai meniti batang),
gentam (menari sambil menghentakkan tumit kaki), cicing (menari sambil berlari
kecil), legar (menari sambil berkeliling 180 derajat), dan lainnya (Sinar, 2009).
Gerakan tari Makan sirih umumnya menggunakan gerakan pada tari
lenggang patah Sembilan. Meskipun demikian, ada perbedaan nama gerakannya
di mana untuk tari Makan sirih hanya terdapat dua gerakan saja. Yaitu gerakan
lenggang patah Sembilan tunggal dan ganda. Sedangkan pada tari lenggang patah
Sembilan terdapat 3 bagian gerakan,yaitu lenggang ditempat, lenggang memutar
satu lingkaran, dan lenggang maju atau berubah arah (Mira Sinar, 2009).
Penari Tari Makan sirih ini harus memahami istilah-istilah khusus dalam
tarian Melayu, sepeti igal (menekankan pada gerakan tangan dan badan, liuk
(gerakan menundukkan atau mengayunkan badan), lenggang (berjalan sambil
menggerakkan tangan), titi batang (berjalan dalam satu garis bagai meniti batang),
gentam (menari sambil menghentakkan tumit kaki), cicing (menari sambil berlari
kecil), legar (menari sambil berkeliling 180 derajat), dan lainnya (Sinar, 2009).
130
Vokal Lagu Makan sirih
Transkripsi : M.Syafii/Rima
131
Vokal, I-I-I-I, (pada awal lagu 4 bar kosong). 1. Intro “Makan sirih berpinang tidak lambanglah adat pusaka Melayu”
Posisi penari formasi berbaris, sudah berada diatas panggung dengan membawa
tepak dan masih menghadap kesamping kanan dan kiri penonton. Pada saat intro
musik, penari membentuk formasi baru membentuk huruf “V” sambil
mengayunkan tepak sembari berjalan jinjit, disaat intro musik akan berakhir,
penari memutar badan satu lingkaran kemudian diam dalam posisi membungkuk,
memberi hormat.
2. “Makanlah sirih berpinanglah tidak berpinanglah tidak”
Posisi penari kembali berdiri, mulai menggerakkan tepak kekanan dan kekiri
kemudian meletakkan tepak di tangan kiri sembari tangan kanan melakukan
gerakan mengepal telapak tangan, memutar kemudian membuka lebar di posisi
tangan sejajar dengan bahu, setelah itu gerakan penari memutar kebelakang
(membelakangi penonton) dan kemudian melakukan gerakan yang sama yakni
mengayunkan tepak ke kanan dan ke kiri kemudian tepak di letakkan di tangan
kiri sembari tangan kanan melakukan gerakan mengepal telapak tangan, memutar
kemudian diakhir putaran telapak tangan dibuka dengan lebar.
3. “Pemerah bibir dulu zaman dahulu”
Posisi penari sudah kembali kedepan melakukan gerakan yang sama yakni
menggerakkan tepak kekanan dan kekiri kemudian meletakkan tepak di tangan
kiri sembari tangan kanan melakukan gerakan mengepal telapak tangan, memutar
kemudian membuka lebar di posisi tangan sejajar dengan bahu, kemudian penari
serempak melakukan gerak duduk bersimpuh secara perlahan, untuk meletakkan
tepak di lantai
132
4. “Makanlah sirih tuan berpinanglah tidak”
Posisi penari melakukan gerakan menyembah dengan merapatkan kedua belah
telapak tangan di posisi dada.
5. “berpinanglah tidak”
Posisi penari masih melakukan gerakan menyembah, kemudian diawal syair lagu
pemerah bibir, tepak serempak dibuka kemudian penari meletakkan tutup
tepaknya di lantai.
6. “Pemerah bibir zaman dahulu”
Semua penari melakukan gerakan sembah kembali.
7. “Sirih dimakan, mengenyanglah tidak, mengenyanglah tidak” du kali
Gerakan mengayunkan tangan kebawah dengan hitungan empat kali, kemudian ke
atas kanan dua kali dan keatas kiri dua kali, kemudian gerakan ini di ulang dua
setelah itu gerakan menari diatas pangkuan dua kali dan sejajar dada dua kali di
ulang masing-masing dua kali
8. “adatlah resam puak Melayu”
Posisi penari masih duduk dan melakukan gerakan menutup tepak sembari
perlahan-lahan berdiri kembali
9. “Sirih di makan”
Setelah berdiri penari serempak melakukan gerakan mengayunkan tepak serta
bersiap-siap membentuk formasi baru
10. “mengenyanglah tidak, mengenyanglah tidak”
Masih di posisi berdiri dan mengayunkan tepak kekanan dan kekiri dari formasi
huruf “V” ke formasi 3.1.3
133
11. “Adatlah resam puak Melayu”
Posisi formasi masih tetap dan masih mengayunkan tepak kekanan dan kekiri.
12. “Makan sirih berpinang tidak adatlah resam pusaka Melayu”
Posisi penari mengayunkan tepak kekanan dan kekiri dengan melakukan gerakan
berputar berlawanan arah dengan rincian 3 penari berputar kea rah bahu kanan
penari di mulai dengan kaki kanan dan ke 4 penari berputar kearah bahu kiri
penari dimulai dengan kaki kiri penari . Setelah itu gerakan seluruh penari
serempak mengayunkan tepak kekanan dan kekiri, selanjutnya seluruh penari
melakukan gerakan berputar satu lingkaran hingga kata “layu” selesai dan
kembali ke posisi tegak berdiri.
134
Kronologi Gerak Tari Makan Sirih
135
136
137
138
139
140
141
Ada Tiga acara di Karang Baru Aceh Tamiang Yang penulis Liput dalam
suasana yang berbeda yakni:
(1) Pada tanggal 22 Februari 2014 penulis meliput acara pelantikan
kepengurusan KNPI priode 2013 s/d 2016. Acara ini melibatkan tamu
dari Jakarta Para pelajar, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat yang
terlibat dalam acara ini. Adapun acara pelantikan ini diwarnai banyak
kegiatan sosial yang dilakukan Keluarga besar KNPI Aceh Tamiang
periode sebelumnya yang dilakukan saat akan dilantiknya kepengurusan
yang baru. Salah satu kegiatan sosial yang dilakukan adalah mengadakan
Cerdascermat antar pelajar di Karang Baru. Urutan Acara pembukaan
Perlombaan dan Pelantikan dimulai dengan Tari Makan sirih yang
dibawakan oleh sanggar Meulige lindung Bulan.
(2) Pada tanggal 21 April 2014 di gedung PKK Karang Baru Aceh Tamiang
diadakan peringatan Dengan Hari Kesatuan Gerak ke 42, ibu-ibu PKK
yang di ketuai oleh Istri Bapak Bupati mengadakan lomba Masak-
memasak dan kegiatan sosial lainnya. Adapun acara ini dibuka dengan
pertunjukkan tari Makan sirih yang dibawakan oleh Sanggar Meulige
Lindung Bulan asuhan Ibu Bupati Aceh Tamiang.
Pertunjukkan Tari Makan sirih pada acara Perpisahan siswa SMPN I Karang
BaruTahun 2013/2014, yang dibuka dengan Tari Makan sirih oleh sanggar
Meulige Lindung Bulan Dengan beberapa Siswa SMP tersebut. Adapun Tarian
Makan sirih Pada acara yang pertama, kedua dan ketiga sama-sama memakai
iringan musik lagu Makan sirih Yang Vokalnya adalah Darmansyah. Akan tetapi
142
sudah menggunakan musik pengiring tari berbentuk rekaman di CD, atau yang
sudah direkam ke Laptop.
4.2 Struktur Lagu Sekapur Sirih
Adanya tari penyambutan untuk tamu menunjukkan bahwa, orang Melayu
sangat menghargai hubungan persahabatan dan kekerabatan (M.Lah Husny, 2001)
seperti juga pada masyarakat Aceh Tamiang, dulunya Pertunjukkan tari Makan
sirih ini dibuat dalam proses penyambutan tamu kehormatan saja, tetapi sesuai
dengan perkembangan zaman saat ini Aceh Tamiang, memakai pertunjukkan Tari
Makan sirih sebagaai proses Daur hidup, pada acara menyambut tamu, atau
memuliakan tamu di resepsi pernikahan, resepsi khitanan, resepsi perpisahan di
sekolah, resepsi hari-hari besar, serta untuk menunjukkan ucapan selamat datang
di acara resmi lainnya. Tari Sekapur Sirih adalah bentuk tari “Persembahan”,
yang di ciptakan dalam rangka pemekaran wilayah Aceh, yang semula Aceh
Tamiang bersatu dengan Aceh Timur (Langsa), kemudian menjadi Kabupaten
Aceh Tamiang yang saat ini ibukotanya Karang Baru.
Tahun 2001 peresmian Aceh Tamiang, pemerintah setempat dengan dinas
Kebudayaan berinisiatif melakukan penciptaan tari Kreasi Persembahan yang
berjudul Sekapur Sirih, sebagai upaya menunjukkan identitas Aceh Tamiang. Tari
Sekapur Sirih ini diciptakan oleh ibu Syafina Arham yang bekerja di dinas
Kebudayaan Aceh Tamiang, beliau juga sebagai penyanyi yang melantunkan lagu
Sekapur Sirih tersebut.
143
Tari Sekapur Sirih adalah tari yang diciptakan pada saat pemekaran wilayah
Aceh Tamiang berdiri sendiri, tidak lagi dibawah pemerintahan Aceh Timur,
tepatnya pada tahun 2001 oleh Dinas Kebudayaan Aceh Tamiang beserta
Pemerintah setempat. Penari Sekapur Sirih berjumlah enam puteri remaja yang
semua penari membawa tepak yang sudah terbuka (tepak tanpa tutup), kostum
yang dipakai adalah baju kebaya kurung berwarna krem mengarah ke warna teh
susu, memakai penutup kepala yang tutup kepalanya dibentuk seperti sanggul dan
diberi hiasan bunga, dan di sekitar dada di berikan penutup seperti kain satu
lingkaran dan menutup dada sampai kepunggung bagian belakang, tali pinggang
dipakai menambah keserasian warna pakaian yang dikenakan penari, cirri khas
Melayu sangat kelihatan dari kostum yang dikenakan sampai ke rok pasangan
kebaya kurung dipakai rok lipat sarung, berikut ini adalah deskripsi tari Sekapur
Sirih.
Vokal Tari Sekapur Sirih
1. Gerakan salam.Tari Sekapur Sirih penarinya berjumlah enam orang
puteri remaja, dengan posisi formasi membentuk satu baris dengan posisi
3,3 yakni 3 penari menghadap 3 penari lainnya, menghadap kesisi kanan
dan kiri penonton. Pada saat suara intro musik berbunyi, penari merapat
ketengah dan kemudian menghadap penonton seraya berjalan jinjit,
kemudian saat suara vocal melantunkan syair “Sekapur Sirih kami Sajike”
semua penari posisi diam bersikap sempurna, dan kemudian saat kata
terakhir “sajike” penari mempersembahkan tepak sejajar wajah saat
keenam penari melakukan gerakan salam dengan membukuk setengah
144
badan. Kemudian pada saat intro musik menjelang masuk lagu posisi
penari kembali ke sikap diam posisi sama seperti yang digerakan posisi
sebelumnya.
2. Formasi masih berdiri satu baris, kemudian melakukan gerakan
mengayunkan tepak kekanan dan kekiri dua kali kemudian ke kanan atas
sekali dan ke kiri atas sekali, gerakan ini di ulang sampai lima kali, tetapi
pada saat gerakan akhir di kali yang kelima penari membentuk formasi
penari 4 di baris belakang dan 2 di baris depan. Gerakan ini saat suara
vocal melantunkan syair “Sekapur Sirih kami sajike-kami sajike, sirih
dipetik waktu gelap petang” dinyanyikan dua kali, dan pada saat gerakan
penari melakukan gerakan yang ke enam sama separti gerakan yang
pertama sampai kelima, tetapi posisi penari sudah menghadap kesisi kanan
penonton, kemudian gerakan ketujuh posisi penari menghadap keposisi
membelakangi penonton, gerakan ke delapan posisi penari menghadap
kesisi kiri penonton, dan kemudian gerakan kesembilan penari
menghadap kedepan dan gerakan masih tetap sama saat menghadap
kedepan menggerakan tepak sama seperti dari awal, kemudian gerakan
kesepuluh gerakan penari masih menggerakkan tepak tetapi saat memasuki
gerakan sepuluh berakhir, penari langsung perlahan –lahan duduk
bersimpuh meletakkan tepak. Gerakan ini saat suara vocal melantunkan
syair “tamu pe datang sirih di sajike-sirih di sajike seni budaye Aceh
Tamiang” syair lagu ini di ulang dua kali.
145
3. Saat penari di posisi duduk, intro musik berjalan dan setelah penari duduk
dan diam sejenak, kemudian penari duduk menggeser miring ke posisi kiri
serta tangan kanan memutar telapak tangan yang kanan diayunkan
kebawah dua kali berikutnya digenggam dan melakukan gerakan campak
bunga dua kali di atas, sementara itu tangan kiri diletakkan di lantai sisi
kiri tubuh kemudian setelah tangan kanan penari siap menggerakkan
telapak tangan diatas sebanyak 2 kali dan saat suara vocal melantunka
syair lagu “Sekapur Sirih dari Aceh Tamiang”, dengan selesainya syair
lagu tersebut maka selesai pula
tarian Sekapur Sirih.
4.3 Deskripsi Tari Makan Sirih
Tujuh putri remaja memakai pakaian tari yang disebut kebaya panjang
berwarna merah dengan rok kembang berwarna hijau berlapis kain tile emas dan
membawa tepak sirih lengkap dengan sirih dan rempah-rempahnya yang sudah
diracik membentuk kerucut. Tiap penari menggunakan sanggul yang ditutup
dengan jilbab elastis yang sesuai dengan warna kostum dan diberikan mahkota
kepada tiap putri penari. Pakaian penari menutup aurat berdasarkan syariat Islam,
hanya telapak tangan dan wajah yang terlihat.
Dengan busana yang lengkap serta gerakan lemah lembut putri-putri
penari yang cantik menambah keindahan yang tercipta, saat mempersembahkan
sajian tari Makan sirih. Berikut ini adalah deskripsi gerakan yang dipersembahkan
penari putri pada tari Makan sirih.
146
1. Penari tari Makan sirih berjumlah tujuh orang (7), yang semua berusia
remaja.
2. Gerakan awal, penari berdiri dengan posisi hadap samping kanan penonton
tiga (3) penari, dan hadap samping kiri penonton empat (4) penari, jika
dilihat dari depan panggung. Sikap siap penari, badan tegak, dan masing-
masing membawa tepak. Saat alunan intro musik berbunyi, penari dengan
konsentrasi penuh memulai gerakan, ke tiga (3) dan ke empat (4) penari
berjalan jinjit, keatas dan kebawah sambil mengayunkan tepak keatas dan
kebawah terus sampai posisi para penari menyatu, merapatkan barisan
membentuk formasi sejajar dan semua penari mengahadap penonton.
Gerakan ini dilakukan saat suara vocal melantunkan syair “Makan sirih
berpinang tidak”, kemudian saat syair “lambanglah adat”, posisi penari
sudah membentuk formasi huruf “V”, dengan gerakan tangan masih
mengayunkan tepak keatas dan kebawah seraya posisi kaki masih berjinjit
naik turun ditempat posisi penari masing-masing. Pada saat syair lagu
“pusaka Melayu” penari membungkukkan badan sembari berputar
ditempat satu lingkaran dan menahan badan untuk tetap diposisi
membungkuk memberi hormat, hingga syair selesai posisi penari putri,
melakukan gerakan berdiri tegak kembali.
3. Saat intro musik berikutnya, penari melakukan gerakan mengayunkan
tepak kekanan dan kekiri masing-masing dua kali, kemudian gerakan
selanjutnya tangan kiri penari memegang tepak sembari tangan kanan
melakukan gerakan telapak tangan mengepal dan memutar kedalam saat
147
berakhir putaran tangan, telapak yang digenggam dibuka. Gerak tangan
sejajar dengan tepak yang ada diposisi tangan kiri penari, gerakan ini saat
suara vocal melantunkan syair “Makanlah Sirih berpinanglah tidak”
kemudian penari melakukan gerakan mengayunkan tepak kekanan dan
kekiri sembari kaki mulai memutar setengah lingkaran dan pada saat posisi
penari semua hadap membelakangi penonton penari melakukan gerakan
mengayunkan tepak kekanan dan kekiri masing-masing dua kali,
kemudian gerakan selanjutnya tangan kiri penari memegang tepak sembari
tangan kanan melakukan gerakan telapak tangan mengepal dan memutar
kedalam saat berakhir putaran tangan, telapak yang digenggam dibuka.
Gerak tangan sejajar dengan tepak yang ada diposisi tangan kiri penari,
gerakan ini saat suara vocal melantunkan syair “berpinanglah tidak”,
kemudian penari melakukan gerakan mengayunkan tepak kekanan dan
kekiri dua kali seperti gerakan sebelumnya, sembari melakukan gerakan
kaki mengarah kembali keposisi hadap kedepan, gerakan ini pada saat
suara vocal melantunkan syair “pemerah bibir zaman dahulu”, saat
berakhir kata “dahulu” penari melakukan posisi duduk bersimpuh sembari
tepak diayunkan kekanan dan kekiri dua kali kemudian diangkat ke atas
bagian depan dan perlahan diletakkan di lantai.
4. Gerakan sembah, penari dalam keadaan duduk bersimpuh menghaturkan
sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan kanan dan kiri di dada
selama suara vocal melantunkan syair “makanlah sirih berpinanglah tidak
berpinanglah tidak”, dan pada saat syair terakhir melantunkan kata “tidak”
148
para penari melakukan gerakan membuka tepak dilanjutkan dengan
gerakan memutar tangan kanan dan kiri dua kali, posisi tangan sejajar
dengan pinggang kemudian penari melakukan gerakan sembah kembali,
yaitu merapatkan kedua belah telapak tangan kanan dan kiri di posisi dada,
gerakan ini di lakukan saat suara vocal melantunkan syair “pemerah bibir
dulu zaman dahulu” kemudian setelah gerakan sembah usai, masuk suara
intro musik gerakan penari membuka kedua telapak tangan kanan dan kiri
menghadap keluar sejajar dengan tinggi posisi bahu kemudian gerakan
tangan mengayunkan tangan sembari kedua telapak tangan menggenggam,
memutar dan kemudian membukanya saat putaran berakhir, dan kemudian
penari melakukan dua kali gerakan tangan kanan dan kiri di posisi bawah
digenggam, diputar dan dibuka telapak tangannya, kemudian tangan kanan
dan kiri digenggam dan di putar serta di buka di posisi kanan atas bahu
satu kali dan satu kali berikutnya di sisi kiri atas bahu. Gerakan ini di saat
suara vocal melantunkan syair “sirih dimakan mengenyanglah tidak,
mengenyanglah tidak”, saat berakhir kata “tidak”, gerakan penari
melakukan gerakan tangan kanan dan kiri menggenggam dan memutar
kearah depan kemudian telapak tangan dibuka dipangkuan, gerakan tangan
ini dilakukan dua kali kemudian para penari melakukan gerakan tangan
menggenggam, memutar dan membuka telapak tangan kekiri dua kali,
gerakan ini dilakukan saat suara vocal melantunkan syair “adatlah resam
budaya Melayu”, dan gerakan masing-masing diulang dua kali. Saat suara
intro musik menjelang syair berikutnya, gerakan penari melakukan
149
gerakan menutup tepak dan mengangkat tepak sembari berdiri, saat ini
suara vocal melantunka syair “sirih dimakan mengenyanglah tidak,
mengenyanglah tidak”, dan pada saat syair berakhir posisi penari
membentuk formasi 3,1,3 baris dan semua hadap ke penonton.
5. Gerakan penutup . Saat suara vocal melantunkan syair “adatlah resam
puak Melayu”, gerakan penari tetap dengan posisi formasi 3,1,3
melakukan gerakan mengayunkan tepak kekanan dan kekiri seirama
dengan gerakan kaki, kemudian pada gerakan akhir gerakan memutar
dengan berlawanan arah yakni tiga penari di sisi kiri penonton memutar
kearah kanan penari sedangkan empat penari di sisi kanan penonton
memutar kearah kiri penari, gerakan ini saat suara vocal melantunkan syair
“Makan sirih berpinang tidak ”kemudian setelah berputar penari
melakukan gerakan mengayunkan tepak kekanan dan kekiri sembari
bersiap-siap dan kemudian melakukan gerakan memutar satu lingkaran
semua memutar searah kiri bahu penari sampai kembali keposisi semula,
gerakan ini disaat suara vocal melantunkan syair “lambanglah adat pusaka
Melayu “
4.4 Deskripsi Tari Sekapur Sirih
Gerakan salam.Tari Sekapur Sirih penarinya berjumlah enam orang puteri
remaja, dengan posisi formasi membentuk satu baris dengan posisi 3,3 yakni 3
penari menghadap 3 penari lainnya, menghadap kesisi kanan dan kiri penonton.
Pada saat suara intro musik berbunyi, penari merapat ketengah dan kemudian
150
menghadap penonton seraya berjalan jinjit, kemudian saat suara vocal
melantunkan syair “Sekapur Sirih kami Sajike” semua penari posisi diam bersikap
sempurna, dan kemudian saat kata terakhir “sajike” penari mempersembahkan
tepak sejajar wajah saat keenam penari melakukan gerakan salam dengan
membukuk setengah badan. Kemudian pada saat intro musik menjelang masuk
lagu posisi penari kembali ke sikap diam posisi sama seperti yang digerakan
posisi sebelumnya.
4. Formasi masih berdiri satu baris, kemudian melakukan gerakan
mengayunkan tepak kekanan dan kekiri dua kali kemudian ke kanan atas
sekali dan ke kiri atas sekali, gerakan ini di ulang sampai lima kali, tetapi
pada saat gerakan akhir di kali yang kelima penari membentuk formasi
penari 4 di baris belakang dan 2 di baris depan. Gerakan ini saat suara
vocal melantunkan syair “Sekapur Sirih kami sajike-kami sajike, sirih
dipetik waktu gelap petang” dinyanyikan dua kali, dan pada saat gerakan
penari melakukan gerakan yang ke enam sama separti gerakan yang
pertama sampai kelima, tetapi posisi penari sudah menghadap kesisi kanan
penonton, kemudian gerakan ketujuh posisi penari menghadap keposisi
membelakangi penonton, gerakan ke delapan posisi penari menghadap
kesisi kiri penonton, dan kemudian gerakan kesembilan penari
menghadap kedepan dan gerakan masih tetap sama saat menghadap
kedepan menggerakan tepak sama seperti dari awal, kemudian gerakan
kesepuluh gerakan penari masih menggerakkan tepak tetapi saat memasuki
gerakan sepuluh berakhir, penari langsung perlahan –lahan duduk
151
bersimpuh meletakkan tepak. Gerakan ini saat suara vocal melantunkan
syair “tamu pe datang sirih di sajike-sirih di sajike seni budaye Aceh
Tamiang” syair lagu ini di ulang dua kali.
5. Saat penari di posisi duduk, intro musik berjalan dan setelah penari duduk
dan diam sejenak, kemudian penari duduk menggeser miring ke posisi kiri
serta tangan kanan memutar telapak tangan yang kanan diayunkan
kebawah dua kali berikutnya digenggam dan melakukan gerakan campak
bunga dua kali di atas, sementara itu tangan kiri diletakkan di lantai sisi
kiri tubuh kemudian setelah tangan kanan penari siap menggerakkan
telapak tangan diatas sebanyak 2 kali dan saat suara vocal melantunka
syair lagu “Sekapur Sirih dari Aceh Tamiang”, dengan selesainya syair
lagu tersebut maka selesai pula
tarian Sekapur Sirih.
4.5 Analisis Makna Pertunjukan
Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih berlatar belakang adat dan Syariat
Islam yang hidup dan tetap terpelihara di suku Aceh Tamiang. Khususnya adat
menerima tamu dan menghormati tamu. Hal ini dilihat simbolik dari gerka tari
penari, maupun dari perlengkapan tari, daun sirih, yang diberikan kepada tamu.
Melalui gerak tari terlihat gerak yang tertib dan lembut sebagai ungkapan
keikhlasan menyambut dan menerima tamu yang datang. Seperti gerak salam
sembah, gerak lembut kesamping kanan, dan kiri, dengan tangan mengayun
memegang properti tepak, adalah ungkapan kehikmatan yang menjadi lambang
152
persaudaraan, sebagai pembuka setiap niat baik dalam pergaulan hidup
bermasyarakat.
Adapun perangkat yang dipergunakan pada pertunjukkan tari Makan sirih
dan Sekapur Sirih, salah satu diantaranya adalah Sirih. Daun Sirih di Aceh
dinamakan Ranub. Sirih memainkan peranan penting dalam kehidupan orang
Aceh. Sirih yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan gambir kemudian
dikunyah sebagai makanan pelengkap.
Prosesi penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya
divisualisasikan menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik.
Gerakan inilah yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh Tamiang yang
dinamakan Tari Makan sirih dan Sekapur Sirih. Menyajikan sirih kepada tamu
dalam tradisi Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat.
Namun kita tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di
balik semua aktifitas yang berkaitan dengan sirih. Sirih bagi masyarakat Aceh
tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun
di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena didalam
memahaminya sirih menjadi symbol yang multi rupa.Pemaknaannya secara sosial
dan cultural digunakan dalam banyak cara dan berbagai aktivitas. Sirih dengan
segala perlengkapannya sejak zaman dahulu memainkan peranan penting sewaktu
pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara kebesaran sultan.
Selain itu dalam perkembangannya, Sirih juga menempati peranan yang
cukup penting dalam system daur ulang hidup (life cycle) Aceh. Jika ada acara-
acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan di acara penguburan mayat
153
sekalipun, sirih seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan, adat dan
sirih menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.
Dari masa sebelum melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai
tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk
menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua dan Ibunya sendiri biasanya
mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bidan pada saat
mengantar nasi sebagai tanda persetujuan.
Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang ini
diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan
untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai
sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti,
sirih setepak (bahan-bahan sirih), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang
ala kadarnya.
Pada saat bayi lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah
sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit,
dan air ludah sirih. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang
didalamnya menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara
antar mengaji.
Upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunaka sirih
dalm rangkaian upacaranya. Setelah telangke mendapat kabar dari Ayah si gadis,
lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan waktu
atau hari apa menghantar Setepak artinya sirih penguat kata atau perjanjian kawin
(bertunangan). Kemudian keluarga si pemuda mengumpulkan orang-orang patut
154
dalam kampung kemudian memberi tahu maksud bahwa dimintakan kepada
orang-orang yang patut tersebut untuk pergi ke rumah ayah si gadis untuk
meminang si gadis dan bila dikabulkan terus diserahkan Setepak sirih atau tanda
pertunangan dengan menentukan sekaligus berapa mas kawinnya
(jiname/jeulamee).
Dalam hubungan sosial masyarakat Aceh, sirih juga memiliki fungsi dan
peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada tamu. Sekaligus untuk
menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok, maupun sebagai media
untuk meredam / menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni sosial.Berkaitan
dengan alat menyuguhkan sirih tersebut, sirih dapat diartikan sebagai symbol
kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain walaupun dia
sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah. Sebentuk daun sirih (sebagai
aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek indeksikalnya adalah sifat
rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung di dalamnya adalah sifat
rendah hati dan pemberani. Sirih juga dianggap memiliki makna sebagai sumber
perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini tergambar ketika berlangsung
musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan, upacara perdamaian, upacara
peusijuek, meuroh, dan upacara lainnya sirih hadir ditengah-tengahnya.
Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan
sirihsebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Aceh, tamu
(jamee) harus selalu di layani dan dihormati secara istimewa. Hal ini terjadi
karena seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran
Islam yang dibakukan dalam adat dan istiadat. Sementara tempat sirih (tepak)
155
yang menjadi wadahnya melambangkan keindahan budi pekerti dan akhlak yang
luhur. Wadah tersebut sebagai satu kesatuan yang melambangkan sifat keadatan.
Maka kedepannya modifikasi kemasan sirih ini perlu diperhatikan, agar
anak-anak Aceh tidak asing dengan budayanya. Dan yang perlu di ingat bahwa
kegunaan sirih di masyarakat suku Aceh Tamiang bukan hanya untuk
penghormatan kepada tamu, tetapi sirih dipergunakan di dalam daur hidup, baik
untuk pengobatan, kelahiran, persembahan, meminang sampai kematian.
4.6 Gerak
Tari adalah gerak, tanpa gerak tidak ada tari. Gerak merupakan substansi
dasar dan alat ekspresi dari tari. Dengan gerak tari berbicara dan berkomunikasi
kepada penikmatnya. Namun demikian, tidak semua gerak adalah tari. Gerak
dalam tari adalah gerak yang sudah mengalami penghalusan dan perombakan.
Penghalusan gerak disebut “stilisasi”, sedang perombakan gerak disebut
“distorsi”. Proses pembentukan gerak: (1) Gerak Wantah adalah gerak sehari-hari,
misalnya : gerak berjalan, menggelengkan kepala, memanggil, berlari dan
sebagainya. (2) Stilisasi gerak adalah gerak yang mengalami perubahan
(mengalami penghalusan) dari gerak wantah menjadi gerak tari. (3) Distorsi gerak
adalah gerak yang mengalami perombakan dari gerak sehari-hari menjadi gerak
tari. (4) Gerak murni (pure movement) adalah gerak yang tidak mengandung arti
tetapi dalam penggarapannya lebih mengutamakan keindahan dan nilai artistik.
(5) Gerak maknawi (gesture) adalah gerak tari yang sudah diolah dan
mengandung maksud tertentu, tetapi tidak meninggalkan aspek keindahannya.
156
Ditinjau dari pengungkapannya ada dua bentuk tari, yaitu: (1) tarian yang bersifat
representatif, yaitu gerakan tarinya menggambarkan suatu pengertian atau
maksud yang tertentu dengan gerakan tarian yang jelas. (2) tarian yang bersifat
non-representatif, yaitu gerakan tarinyatidak menggambarkan sesuatu pengertian
tertentu.Dalam keseluruhan penggarapan sebuah tari, pasti tidak meninggalkan
salah satu dari sifat tersebut diatas. Keduanya saling bertautan dan isi mengisi,
tergsantung pada penekanannya. Pada garapan-garapan tari yang non representatif
banyak digunakan gerakan murni atau pure Movement. Sedangkan garapan yang
bersifat representatif banyak disusun dari gerakan-gerakan maknawi atau
gesture.Gerak adalah suatu proses tenaga yang membutuhkan ruang dan waktu.
Berarti gerak ditentukan oleh tiga unsur, yaitu: tenaga, ruang dan waktu.
4.7Motif Gerak
Ragam gerak tari Makan sirih berjumlah 8 gerakan , yang terdiri dari 14 x
8 ketukan. Gerak lenggang secara umum dibagi atas tiga, yaitu lenggang di
tempat, lenggang maju mengubah arah, dan lenggang memutar satu lingkaran.
Sementara itu gerak patah Sembilan adalah gerakan setelah gerakan lenggang.
Pada bagian patah Sembilan, terdapat hitungan bantu yang biasanya dilafalkan
dengan kata hop yang berarti jeda sejenak (Sinar, 2009).
Ragam gerak antara penari di sebelah kanan dan kiri secara umun sama,
hanya berbeda dalam gerakan pertamanya saja. Gerak kaki sama dengan gerak
Patah Sembilan tunggal.
Gerak Tangan:
157
Hitungan 1-4 sama dengan gerak tangan lenggang patah Sembilan tunggal,
hitungan 5- tangan kanan diangkat setinggi bahu, telapak tangan ditelungkupkan
lalu dikepalkan, kepalan ditelentangkan dan dilepaskan/ditelungkupkan ujung jari
menghadap ke atas dan diturunkan. Diantara bilangan 5 dan 6 tangan kiri diangkat
setinggi bahu, telapak tagan telungkupkan ujung jari menghadap kearah atas, lalu
diturunkan. Bilangan 7 dan 8 gerakannya sama dengan kiri dan kaki kiri.
Gerak Tangan A:
Pada bilangan 5 tangan kanan diangkat serong kanan, tangan
ditelungkupkan (telapak tangan menghadap bawah), di antara bilangan 5 dan 6
putar telapak tangan hingga menghadap atas dan dikepalkan/diputar arah bawah,
bilangan 6 kepalan dilepaskan (ujung jari menghadap ke atas) dan diturunkan,
pada bilangan 7 dan 8 gerakannya sama, dimulai dengan tangan kiri dan arah
serong kiri.
Gerak Tangan B:
Pada bilangan 5 tangan kanan diangkat arah depan (tangan ditelungkupkan,
telapak tangan menghadap bawah), di antara bialngan 5 dan 6 putar telapak tangan
hingga menghadap ke atas dan dikepalkan/putar arah bawah, bilangan 6 kepalan
dilepaskan ujung jari mengghadap ke atas dan diturunkan. Pada bilangan 7 dan 8
gerakannya sama hanya dimulai dengan tangan kiri.
Gerak Tangan C:
Gerakan ini sama dengan gerakan A, bedanya pada gerakan C ini dilakukan
dengan satu hitungan. 5, tangan kanan – 6 tangan kiri – 7, tangan kanan. Diantara
7 dan 8 tangan kiri, 8 tangan kanan.
158
Gerak Tangan D:
Pada bilangan 5 tangan kanan diangkat serong kanan, tangan
ditelungkupkan. Telapak tangan menghadap ke bawah. Di antara bilangan 5 dan 6
putar telapak tangan hingga menghadap atas dan kepalkan/ putar arah bawah.
Bilangan 6 kepalan dilepaskan ujung jari menghadap atas tangan kiri arah depan
(ujung jari tangan kanan menghadap bawah dan telapak tangan menghadap atas,
sedangkan ujung jari tangan kiri mengahadap atas dan telapak tangan kiri
digenggam sambil berputar. Hitungan 8 tangan kanan dan kiri melakukan gerakan
Patah Sembilan arah lurus ke depan.
Gerak kaki AA:
Pada bilangan 5, kaki kanan serong arah kanan, di antara bilangan 5 dan 6
kaki kiri disilangkan di belakang kaki kanan. Badan miring arah kanan
(berhadapan dengan pasangan), hitungan 6,7,8, kaki tidak bergerak. Pada hitungan
5 sampai 8, tangan melakukan gerakan Patah Sembilan.
Gerak kaki BB:
Disebut juga gerak zik-zak, hitungan 1 kaki kanan serong kanan, hitungan 2 kaki
kiri silang di belakang kaki kanan, hitungan 3 sama dengan hitungan 1. Hitungan
4 sama dengan hitungan 2. Tangan melenggang sesuai dengan langkah kaki,
hitungan 5 sampai 8 melakukan gerakan lenggang Patah Sembilan ( gerakan tukar
tempat).
159
Frasa A
Frasa B
Frasa C1
Frasa C2
Frasa D
Frasa E
160
Frasa F
4.8Frase Gerak
Frase gerak dalam sebuah pertunjukkan Tari. Dalam seni tari menguraikan
bagian terkecil merupakan bagian dari yang lebih besar dan menggunakan istilah
motif, frase, kalimat, gugus, dan bagian. Motif adalah bagian terkecil dari tari,
motif merupakan unsur sikap dan gerak pada tari namun belum bisa dimaknai,
Jika Frase, adalah rangkaian beberapa motif, kalimat adalah rangkaian beberapa
frase yang telah mempunyai makna dan berkaitan dengan rasa dalam melakukan
gerak terkait dengan iringan tari (Ben Suharto, 2002). Frase gerak dapat terdiri
dari satu motif atau beberapa motif. Dalam frase, penekanan sebuah rangkaian
gerak dengan memperjelas awal dan akhirnya. Pada karya Tari Makan sirih dan
Sekapur Sirih, akhir sebuah frase gerak berkaitan dengan berakhirnya sebuah unit
lagu yang ditandai dengan bergantinya tempo dan irama musik juga lintasan
desain kelompok.
161
4.8.1 Frase Gerak Tari Makan Sirih
4.8.2 Frase Gerak Tari Sekapur Sirih
162
4.9Siklus
Gerak, ruang, dan waktu merupakan faktor pundamental dalam tari.
Pengertian waktu dapat dikatakan sebagai unsur perubahan. Ketiga elemen gerak,
ruang, dan waktu saling ketergantungan dalam kehadiran suatu bentuk tari. Tari
menggunakan gerak untuk mengisi ruang dan membutuhkan waktu. Dalam waktu
ada dua elemen yang harus diperhatikan yaitu tempo dan ritme. Tempo adalah
cepat atau lambat. Cepat atau lambatnya sebuah tarian ditentukan oleh waktu
dalam melakukan gerakan. Dengan demikian akan kelihatan dalam sebuah tarian,
kapan akan dilakukan gerakakan dilakuakan cepat dan kapan harus lambat
sehingga gerak tari tersebut betul-betul variasi tidak kelihatan datar. Ritme dalam
gerak merupakan pengaturan pola-pola gerak yang terdiri dari serangkaian
permulaan, perkembangan, dan akhir atau awal-klimaks-akhir dalam gerak tari
melalui otot. Dalam gerak tari akan mengalami moment ketegangan , rileks, dan
pengendoran. Hubungan timbal balik ini merupakan siklus kerja dan mengaso.
Pengulangan siklus ini akan menimbulkan ritme, dalam pengaturan bentuk ritme
adalah salah satu efeknya.
Pengulangan sederhana atau interval-interval berjarak waktu yang sama
perubahan atau pengulangannya menimbulkan pengalirab energi yang sama dan
ajeg, ritme ini sering disebut ritme ajeg. Pengulangan yang menimbulkan energi
yang bervariasi, berganti-ganti, dan tidak akan menghasilkan ritme tidak ajeg.
163
4.10 Pola – Pola Lantai
4.10 . 1 Pola Lantai Penari Makan Sirih
Pola Lantai Pertama
Pola Lantai Kedua
Pola Lantai Ketiga
X X X X X X X
X X X X X X X
X X X X X X X
164
Pola Lantai Keempat
4.10.2 Pola Lantai Penari Sekapur Sirih
Pola Lantai Pertama
Pola Lantai Kedua
x X X X XX X
X X X X X X
X X X X X X
165
Pola Lantai Ketiga
Pola Lantai Keempat
4.11Kostum
Sejak dari masa dahulu busana merupakan bagian yang tidak terpisahkan
pula daripada tarian, sama halnya dengan musik. Pada konsep-konsep tari trad
sional busana ini bahkan menjadi hal yang dominan. Akan tetapi kita tentu
sependapat bahwa terutama pada tari modern busana ini haruslah menunjang
suatu tema tarian. Pengertian penunjang disini dimaksudkan adalah mampu
membantu ungkapan tari itu, tanpa mengurangi atau menghambat geraka tari.
X x X X X X
X X XX X X
166
Untuk itu konsep tari sekarang diperlukan penata busana tari yang benar-
benar memiliki ketajaman dalam melakukan pemilihan terhadap disain, bahan,
warna dan cara pemakaiannya. Sehingga busana yang dikenakan penari akan enak
dipakai dan ditonton. Tetapi tidak mengurangi tema tari bahkan sedapat mungkin
menunjangnya.
Pada penataan tari tradisi yang masih memerlukan penataan busana harus
selalu diingat pula disain dan warna yang hidup pada masalah tradisi yang
bersangkutan sebagai simbolis. Disamping busana umumnya dipergunakan pula
aksesoris pada bagian-bagian tertentu dari tubuh si penari. Misalnya: tusuk konde,
bros, kalung gelang dan gelang kaaki, sortali (ikat kepala), elow (untuk penutup
bahu sampai dada) tali pinggang, mahkota hiasan topi dan lain-lain.
Hendaknya perhiasan-perhiasan ini perlu dipertimbangkan baik bentuk,
bahan dan warnanya terhadap busana yang telah kita pilih maupun yang telah
didisain, agar jangan sampai pemakaian-pemakaian perhiasan ini mengekang
gerak ataupun menimbulkan kekacauan disain pada pakaian.
4.10.1 Kostum Tari Makan sirihAceh Tamiang
Kostum yang di kenakan oleh pembawa tari Makan sirih adalah berbentuk
baju kurung, sudah menggunakan bagian bawah baju dengan rok yang dij
bukan lagi kain songket seperti lazimnya, tetapi sesekali memakai baju kurung
panjang lengkap dengan kain songket. Bahan yang di pakai untuk kelompok
penari Tari Makan sirih bukan lagi selalu berwarna kuning, tetapi sudah mulai
memakai warna warni dalam pertunjukkan tarian persembahan tersebut. Dari
167
kostum yang di kenakan oleh pembawa tari persembahan ini, selain baju dan rok
yang semuanya menutup aurat, terkadang ditambahkan lagi aksesoris di pinggang,
dengan tali pinggang serta jilbab yang menutupi sanggul tinggi, mencirikan
bahwa penari adalah masyarakat Aceh Tamiang.
4.10.2 Kostum Tari Sekapur SirihAceh Tamiang
Kostum yang di pergunakan oleh pembawa Tari Sekapur Sirih adalah baju
kebaya Panjang, yang berwarna coklat susu dengan memakai sanggul yang tidak
tinggi dan dihiasi bunga setelah ditutupi dengan jilbab. Tidak kalah manisnya
dengan memakai tali pinggang lebar.
Gambar 4.1. Kostum Tari Sekapur SirihAceh Tamiang
4.11Make-up (Tata Rias)
Rias (make-up) berarti mempersiapkan seorang pelaku aktor atau aktris
dengan perhiasan, seperti pakaian, rambut serta memoles cat atau bedak pada
wajahnya.Dengan rias akan ikut membantu mewujudkan ekspresi wajah penari,
yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Rias bukan sekedar menjadikan
168
penari supaya lebih cantik dan tampan, akan tetapi juga untuk merubah wajah
penari sesuai dengan peranan yang dibawakan oleh si penari tersebut.
Rias yang tidak sempurna, akan menimbulkan kesan yang jelek dan tidak
membantu, bahkan dapat pula menjadikan bahan ejekan. Rias dalam pementasan
tari sangat berbeda sekali dengan rias sehari-hari.
Jika memakai lighting, maka rias pentas hendaklah diperhatikan secara
teliti, karena lampu bisa pula merubah rias si penari. Umpamanya, rias yangk kuat
dan lighting yang tidak mampu membantu akan menimbulkan kesan yang jelek
dan bahkan mengakibatkan bentuk wajah yang kusut masai.
Rias pentas dibedakan pula atas rias jenis, rias tokoh/watak dan rias temporer.
a) Rias jenis
Dilakukan apabila seorang penari laki-laki harus diubah menjadi penari
wanita atau sebaliknya, misalnya wanita berperan sebagai kesatria dalam
seni teater/pewayangan. Arjuna sering diperankan oleh wanita. Pria
berperan sebagai wanita dalam seni teater/randai.
b) Rias Tokoh/Watak
Rias yang membedakan antara tokoh yang satu dengan yang lainnya.
Masing-masing tokoh menunjukkan watak atau bentuk yang berbeda-beda,
misalnya rias untuk seorang Raja atau Permaisuri akan berbeda dengan
rias seorang Panglima dan dayang-dayang.
c) Rias Temporer
Rias yang ditata menurut perbedaan-perbedaan waktu, umpamanya
seorang raja yang pergi berburu akan berbeda setelah duduk di singgasana.
169
BAB V
STRUKTUR MUSIK IRINGAN TARI MAKAN SIRIH
Menurut Takari (2010) sebelum datangnya pengaruh seni pertunjukkan
Hindu, Islam, dan Barat, sebenarnya etnik Melayu telah memiliki konsep-konsep
tersendiri tentang tangga nada atau ritme. Berdasarkan penelitian yang penulis
lakukan, etnik Melayu memiliki konsep musik, baik yang diteruskan dari
tradisinya, yang disebut bunyi-bunyian atau yang diambil dari Barat. Identitas
gaya penyajian musik ini dapat dilihat dari kajian system musik Melayu yang
menggunakan suara dengan sebutan seperti pekak, garau alang, garau, dan
mersik. Sebuah ide yang mencakup pengertian nada dengan karakteristik tertentu.
Termasuk unsur pelarasan alat musik, yang dalam hal ini biasanya dihubungkan
dengan biola dan rebab, serta system modus.
Pemusik dan pencipta lagu-lagu Melayu pada masa lalu juga telah
mengenal konsep-konsep improvisasi, baik ritme maupun melodi. Didalam
improvisasi dikenal istilah-istilah: (1) cengkok yang berarti suatu ide improvisasi
dengan teknik mengayunkan nada-nada, yang didalam musik Barat dikenal
dengan teknik sliding pitch. (2) Gerenek, yang berarti satu ide improvisasi dengan
menggunakan nada-nada yang berdensitas rapat, mendekati konsep tremolo di
dalam musik Barat. (3) patah lagu, yang berarti satu ide improvisasi melodi
dengan memberikan tekanan-tekanan (aksentuasi) pada nada-nada tertentu,
terutama pada nada down beat.
169
170
Konsep tentang ritme, menurut pandangan umum disebut rentak, yang
berarti pola-pola ritme, durasi, onomatopeik atau tiruan bunyi oleh suara manusia
dalam berbagai tipe gendang, ostnato, dan lainnya, yang juga dapat dikaitkan
dengan konsep-konsep hitungan, atau gerak tari yang diiringi rentak ini.
Umumnya struktur tari memiliki kesinkronan dengan konsep-konsep rentak
musik. Di Pesisir Timur Sumatera Utara, pada umumnya hitungan pertama ritme
bukan terdapat pada jatuhnya pukulan gong atai tetawak, tetapi gong atau tetawak
dianggap sebagai akhir dari rangkaian siklus musik dan tarinya.
Dalam bab kelima ini, akan dibahas mengenai etnografi proses hasil tiga
liputan acara pertunjukkan Tari Makan sirih dan wawancara langsung kepada ibu
Syafina Arham selaku pencipta syair lagu dan sekaligus koreografer tari Sekapur
Sirih serta struktur musik iringan Tari Makan sirih dan struktur musik Iringan
Tari Sekapur SirihAceh Tamiang, berdasarkan pengamatan langsung kelokasi
pertunjukkan. Etnografi acara dijelaskan berdasarkan pengamatan penulis
terhadap keseluruhan acara dan juga aspek pendukung yang ada. Selanjutnya
akan dijalaskan mengenai penggunaan gendang (musik) dalam acara pertunjukkan
Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih digelar, metode pentranskripsian, sistem
notasi, dan repertoar yang dimainkan dalam bentuk transkripsi notasi lagu Makan
sirih dan Lagu Sekapur Sirih. Pada bagian bab akhir akan dijelaskan mengenai
hasil analisa hubungan Tari, musik dan struktur musiknya. Sejauh pengamatan
dan penelitian penulis, lagu tari Makan sirih belum ada partitur lagunya. Sehingga
penulis coba membuat notasi lagu Makan sirih kedalam notasi balok. Namun
demikian tari Makan sirih masih dipakai jika acara diselenggarakan di kecamatan
171
Karang baru khusus. Namun penulis tetap berupaya agar pencipta lagu Makan
sirih dan notasi baloknya dapat ditemukan.
5.1 Transkripsi Lagu
Transkripsi adalah proses untuk menuliskan bunyi pada notasi musik, dari yang
tidak kelihatan menjadi simbol bunyi yang dapat dilihat.(Nettl; 1964,48). Simbol
bunyi yang dapat dilihat tersebut dinamakan notasi musik, didalam sistem notasi
musik Barat terdapat dua jenis, yaitu notasi angka dan balok.Sehubungan dengan
hal ini, dalam proses menotasikan lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan
ini, maka penulis menggunakan notasi balok yang dibuat di dalam garis lima atau
garis paranada. Alasan penulis memakai notasi balok dalam proses penulisan
lagu-lagu atau mentranskripsikan lagu-lagu tersebut adalah karena, (a) karena
notasi balok dikenal secara umum dalam penulisan Musik. (b) lagu-lagu yang
menjadi sampel dalam tulisan ini, memakai nada-nada yang ada pada tangga nada
musik Barat.
Untuk mentranskripsikan bunyi musik, Nettl (ibid ,99) mencatat dua
masalah penting yang berhubungan dengan teori dan metodologi. Ia menawarkan
metodologi yang dikemukakan oleh Charles Seeger, yang mana Seeger
membedakan dua notasi pendeskripsian musik, yaitu notasi Preskriptif dan notasi
Deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang bertujuan untuk penyaji
(bagaimana ia harus menyajikan sebuah komposisi dari musik). Notasi ini
merupakan suatu alat untuk membantu mengingat. Sedangkan notasi deskriptif
adalah notasi yang bertujuan untuk menyampaikan kepada pembaca ciri-ciri dan
detail-detail dari komposisi musik yang memang belum diketahui oleh pembaca.
172
Dalam hal ini, pendekatan yang penulis pilih dan lakukan untuk
mentranskripsikan lagu-lagu yang menjadi sampel dalam tulisan ini adalah
pendekatan notasi preskriptif.
5.2 Proses Transkripsi
Untuk mentranskripsikan musik secara rinci, maka transkripsi ini
dilakukan dengan berbagai langkah, seperti yang pernah dikemukakan oleh Nettl
(ibid; 119-120), yaitu:
(1) Mendengarkan nada secara seksama, untuk membedakan antara
penyanyi, alat musik, dan lain sebagainya.
(2) Untuk memindahkan nada yang didengar ke dalam bentuk tulisan,
digunakan garis paranada untuk menempatkan notasi balok.
(3) Penulisan bentuk yang pertama ditulis dengan terperinci, untuk
menghindari terjadinya kesulitan dengan bentuk yang pertama
dengan bentuk lainnya.
(4) Selanjutnya menggunakan kecepatan normal, kemudian hasil
transkripsi diperiksa kembali, lalu diteruskan dengan nada yang
lainnya.
Untuk mentranskripsikan lagu Makan sirih, lagu Sekapur Sirih serta lagu
Pecahan Sekapur Sirih ini, penulis akan mengikuti proses yang berpedoman pada
langkah-langkah yang dikemukakan oleh Nettl yakni. Langkah awal, penulis
mendengarkan terlebih dahulu lagu Makan sirih, lagu Sekapur Sirih dan lagu
Pecahan Sekapur Sirih, yang sudah penulis rekam berulang-ulang. Setelah
mengenali lagu-lagunya, dalam proses mendengarkan lagu tersebut berulang-
173
ulang, sambil mencoba mengenali pola-pola nada dan notasi yang dinyanyikan
tersebut. Mulailah proses pentranskripsian not, dengan menggunakan pensil dan
kertas garis lima, atau garis paranada. Penulis melakukan proses pentranskripsian
nada pada ketiga lagu dengan cara bertahap satu demi satu.
Proses pentranskripsian lagu agar tidak terjadi kesalahan, penulis
melakukan pembagian menjadi beberapa frase. Setiap frase tersebut memiliki
bait-bait yang isi dan pola notasinya berbeda, namun akan terulang di frase
berikutnya, sesuai dengan urutan bait tersebut.
5.3 Ensambel Musik
Ensambel musik di Aceh Tamiang yang berfungsi mengiringi tari Makan
sirih adalah Biola, Accordion, Gendang. Ketiga alat musik ini memiliki melodi
dan pola ritem yang berbeda-beda, namun ketiganya salin menjalin. Dalam hal
ini ritem gendanglah yang menjadi instrument pembawa ritem.
Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap secara efektif dalam
pentaranskripsian. Demikian pula tinggi rendahnya nada, simbol-simbol nada
pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain. Alasan dalam hal ini
dikarenakan notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang terdapat dalam
musikiringan tarian Makan sirih ini, dan juga sering digunakan dalam penulisan
suatu musik.
Musik dalam pertunjukkan tari Makan sirih pada sebuah acara di Aceh
Tamiang hanya merupakan sebuah musik pengiring. Keberadaan musik iringan
ini dalam tari Makan sirih merupakan hal yang berkaitan, dimana tari ini
174
mengikuti musik. Iringan musik menjadi pembentuk suasana, dan untuk
memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola
gerakan yang ada.
Dalam mengiringi tari Makan sirih, lagu yang dimainkan berjenis lagu
persembahan dengan pola ritme senandung lagu dua. Ada tiga struktur musik
iringan yang baku digunakan. Pertama musik pembuka yaitu menggunakan biola,
kedua kemudian bersama-sama secara ensambel mengiringi lagu dan ketiga
kemudian penutup juga memainkan musik secara ensambel, kemudian masuk ke
tari pecahan. Tetapi penulis membatasi hanya sampai meneliti musik iringan
tari Makan sirih.
175
Gambar 5.1 Ensambel Musik Melayu (Dok. Rima)
Ensambel musik di Aceh Tamiang yang berfungsi mengiringi tari Makan
sirih adalah Biola, Accordion, Gendang. Ketiga alat musik ini memiliki melodi
dan pola ritem yang berbeda-beda, namun ketiganya saling menjalin. Dalam hal
ini ritem gendanglah yang menjadi instrument pembawa ritem.
Hal ini didukung oleh keberadaannya yang dianggap secara efektif dalam
pentaranskripsian. Demikian pula tinggi rendahnya nada, simbol-simbol nada
pada garis paranada, durasi, ritmis, dan lain-lain. Alasan dalam hal ini
dikarenakan notasi Barat dapat mewakili nada-nada yang terdapat dalam
musikiringan tarian Makan sirih ini, dan juga sering digunakan dalam penulisan
suatu musik.
Musik dalam pertunjukkan tari Makan sirih pada sebuah acara di Aceh
Tamiang hanya merupakan sebuah musik pengiring. Keberadaan musik iringan
ini dalam tari Makan sirih merupakan hal yang berkaitan, dimana tari ini
mengikuti musik. Iringan musik menjadi pembentuk suasana, dan untuk
176
memperjelas tekanan-tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola
gerakan yang ada.
Dalam mengiringi tari Makan sirih, lagu yang dimainkan berjenis lagu
persembahan dengan pola ritme senandung lagu dua. Ada tiga struktur musik
iringan yang baku digunakan. Pertama musik pembuka yaitu menggunakan biola,
kedua kemudian bersama-sama secara ensambel mengiringi lagu dan ketiga
kemudian penutup juga memainkan musik secara ensambel, kemudian masuk ke
tari pecahan. penulis membatasi hanya sampai meneliti musik iringan Tari
Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih.
Gambar 5.2 Ensambel tari Sekapur Sirih (Dok. Rima)
5.4Instrumen Pengiring lagu dan tari
Instrumen musik yang digunakan dalam memainkan musik etnis Melayu
Tamiang adalah Gendang Tingkah, Sarune, Accordion, Biola dan marwas.
Menurut salah satu informan mengatakan awalnya musik tradisi Melayu di
kabupaten Aceh Tamiang, hanya di mainkan dengan beberapa buah gendang
177
sederhana dan sarune. Sekitar tahun 1930-an instrument biola mulai di mainkan
dengan perpaduan antara gendang, sarune, dan Biola. Kemudian sekitar tahun
1959-an instrument accordion mulai masuk ke wilayah Tamiang, dengan mulai
masuknya instrument-instrumen baru diwilayah Tamiang, maka sampai sekarang
musik tradisi Melayu dimainkan dengan gendang,marwas, serune, biola, dan
accordion.
Untuk pengembangan irama gendang di pakai sebanyak 2 buah dan marwas
sebanyak 2 buah.
Gambar 5.3. Gendang (Sumber : Google)
5.5 Instrumen Pembawa Ritme
Gendang yang berasal dari keluarga membranopone adalah musik
pembawa ritme didalam ensambelMelayu mengiringi tari Makan sirih. Adapun
musik pembawa ritme ini ada dua, Gendang Melayu Besar dan gendang
178
Melayukecil, di tambah dengan marwas jika memasuki lagu pecahan yang
bertempo cepat.
1. Gendang Tingkah
Gendang Tingkah adalah keluarga membranophone, yang sumber bunyinya
berasal dari kulit yang dipukul.Gendang ini terbuat dari batang nangka, ditutupi
kulit lembu atau kulit kambing disebelah sisi saja yang berukuran panjang rata-
rata 70 cm. Gendang Tingkah ini disebut gendang Melayu.
Gendang Melayu adalah salah satu jenis instrument dari sekian banyak
alat musik. Bentuk dan namanya sangat banyak sekali, baik yang berada dalam
kumpulan musik modern maupun musik tradisional dan musik daerah. Jika
diamati secara seksama, Indonesia terlihat memiliki banyak jenis dan bentuk
gendang, apalagi secara khusus kita lihat keberadaannya di dalam musik
daerah/tradisional. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki lebih dari satu jenis
kesenian. Sedangkan dalam setiap kesenian daerah di seluruh Nusantara memiliki
gendang yang tampil sebagai salah satu instrument terpenting baik sebagai
pengiiring tari, maupun pengiring seni suara/lagu.
Keberadaan gendang Melayu sangat dominan ditengah-tengah khasanah
musik dan tari Melayu. Hal ini jelas kelihatan bahwa kehilangan ciri-ciri khas
daerah Melayu, bahkan terasa kekurangan / ketimpangan pemunculannya. Jadi
gendang Melayu adalah instrument yang sangat penting serta sangat menentukan
penampilan kesenian Melayu. Tanpa gendang Melayu maka kemunculan atau
penampilan kesenian Melayu tidak berarti , sehingga identitas dan kepribadian
kesenian Melayu ditentukan oleh gendang Melayu. Jika kita berbicara tentang
179
musik dan tari Melayu tentu jelas berbeda. Sebab Musik adalah sekumpulan
instrument, jelasnya musik adalah bunyi-bunyian dari sekumpulan instrument,
sedangkan tari adalah rangkaian dari gerakan indah. Namun demikian antara
musik dan tari Melayu tidak dapat dipisahkan begitu saja, hal ini disebabkan
bahwa tari Melayu diiringi oleh musik Melayu.
Gendang Melayu adalah salah satu alat musik perkusi yang berfungsi
khusus untuk mengiringi tari maupun lagu daerah Melayu. Gendang Melayusudah
dikenal sejak dahulu dimana alat musik tersebut selalu dipergunakan sampai
sekarang, namun penabuh-penabuhnya sudah mulai berkurang satu demi satu.
Untuk menjaga kelestarian dari gendang Melayu ini, perlu dikembangkan
ditengah-tengah masyarakat terutama generasi muda agar terwujud
pelestariannya. Untuk mempelajari menabuh gendang Melayu ini, perlu petunjuk-
petunjuk yang akan di uraikan , walaupun sifatnya sederhana.
1. Bentuk. Gendang Melayu bentuknya sederhana dan dapat
dipangku. Gendang Melayu hanya diberi penutup kulit di satu
sisi saja, dengan menggunakan kulit lembu atau kulit kambing.
Panjang gendang bervariasi dari mulai 15 s/d 35 cm, sedangkan
garis tengah yang ditutupi kulit 30 s/d 70 cm.
2. Bahan. Gendang Melayu biasanya dibuat dari batang kelapa
yang dibuang isi tengahnya. Lebih baik juka batang kelapa
yang cukup tua. Ada juga yang diperbuat dari kayu tetapi ini
jarang sekali dijumpai, karena bahan kayu biasa dipergunakan
untuk membuat gendang rebana, marwas, bordah, dan lain-lain.
180
Ada juga yang dibuat dari pohon nangka tetapi jarang. Bahan-
bahan lain yang digunakan adalah rotan yang sudah diraut
untuk peregang kulit. Rotan bulat untuk tempat bertahan rotan
regangan di belakang gendang, kemudian rotan bulat untuk
sidak pengatur nada gendang. Untuk kulit gendang biasanya
dipergunakan kulit kambing.
3. Cara Membuatnya. Batang kelapa dipotong sebagaimana
ukuran yang akan dibuat, kemudian di tarah atau di raut
sehingga didapati muka yang diberi kulit lebih besar dari
belakang gendang. Kemudian dipasang kulit yang sudah
dibersihkan terlebih dahulu.
4. Pengaruh bentuk (ukuran). Besar kecilnya bentuk gendang
dapat mempengaruhi suara , biasanya gendang yang lebih kecil
nada suaranya lebih tinggi bila dibandingkan dengan suara
gendang yang lebih besar. Begitu juga terhadap sidak dapat
mempengaruhi suara gendang, tergantung kepada besar
kecilnya rotan yang dipergunakan untuk sidak. Disamping itu
pengaruh suhu udara juga dapat mempengaruhi suara gendang
tersebut.
5. Fungsi. Dalam seni musik gendang Melayu berfungsi sebagai
ritme dalam mengiringi lagu terutama lagu tradisional Melayu.
Dalam seni tari gendang Melayu sangat besar fungsinya
sebagai ritme yang menjadi pedoman pokok bagi penari.
181
6. Cara memainkannya. Posisi penabuh biasanya duduk bersila
dilantai atau duduk di kursi. Tangan kiri memeluk gendang
sebagai pegangan agar gendang tetap duduk dan tidak mudah
bergeser. Gendang diletakkan di pangkuan sebelah kiri dengan
muka kulit menghadap ke depan.
Cara menabuh. Sasaran tangan selalu ke kulit gendang baik
tangan kiri, maupun tangan kanan tetap berfungsi sesuai
dengan suara yag kita kehendaki. Jika tangan telah tepat pada
sasarannya, maka akan kita dapati sura yang baik. Kemudian
jika selalu mengadakan latihan-latihan akan di dapati
kejernihan nada yang ditimbulkannya. Adapun nada atau suara
yang timbul akibat pukulan tangan dapat kita bagi yaitu suara:
Tak, Tah, Tang, Tung. Inilah suara yang timbul dalam setiap
ritme atau pukulan. Lebih banyak kita latihan, lebih murni
kedengaran.
7. Jenis Ritme. Tempo Senandung disebut juga tempo langgam.
Lagu yang dapat diiringi dengan tempo denandung ini antara
lain lagu Kuala Deli, lagu Mas Merah, lagu Sri Mersing, lagu
Serawak.
Jenis Ritme. Tempo Mak Inang didapati dalam iringan tari dan
lagu. Lagu-lagu yang dapat diiringi dengan tempo Mak Inang
antara lain, lagu Mak Inang Pulau Kampai, lagu Mak Inang Pak
182
Malau, lagu Mak Inang Hang Tuah, Lagu Mak Inang
Kampung, Lagu Pulau Puteri.
Jenis Ritme, Tempo Menari, juga dinamai tempo lagu dua yang
selalu kita dapati dalam iringan lagu dan tari. Lagu-lagu yang
dapat diiringi dengan tempo ini adalah lagu Tanjung
Katung,lagu Sri Taman, lagu Hitam Manis, lagu Bercerai
Kasih, lagu Anak Kuala.
Jenis Ritme. Tempo Gamat tidak saja kita dapati pada iringan
lagu Minang dan Aceh, adapun lagu-lagu yang dapat diiringi
dengan tempo Gamat antara lain adalah lagu-lagu yang
bertempokan Mak Inang yang lambat. Misalnya lagu Anak
Ikan, lagu yang sering kita dapati dalam iringan tari Piring, teri
Mak Inang Lenggang.
Jenis Ritme. Sebenarnya iringan tempo zapin dipergunakan
Gendang Marwas yang selalu ditampilkan dalam musik
gambus, tetapi sekarang sering dipergunakan gendang Melayu
sebagai pengiring tari atau lagu yang bertempo Zapin.
Jenis Ritme. Chalte adalah jenis tempo yang dipergunakan
dalam mengiringitari dan lagu Malayu. Adapun lagu-lagu yang
dapat diiringi dengan tempo ini ada beberapa macam lagu
Melayu, anatara lain, lagu Timang Burung, lagu Mak Inang
Cina.
183
Jenis Ritem. Tempo patam-patam adalah tempo mak inang
yang dipercepat ditambah dengan tingkahan-tingkahan yang
membuat cirri khas dari tempo tersebut. Tempo ini biasanya
diiringi dengan lagu patam-patam untuk mengiringi tari Bunga
Silat dan tari Inai.
Kombinasi ritme. Setiap tempo atau ritme satu sama lain dapat dikombinasikan
baik ritme yang berlainan maupun ritme yan sama. Bagi ritme yang sama,
kombinasi ini dibedakan antara “gendang induk” dan “gendang penganak”.
Gendang penganak ini biasanya nadanya lebih tinggi dari gendang induk.
Kombinasi ritme ini di samping menciptakan harmoni musik, juga sebagai
menambah kocak bagi si penari dalam menampilkan tariannya.M.Salim.AZ.1990
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1. Gendang Melayu sangat dominan dalam musik Melayu, sebab tanpa
gendang Melayu, musik tersebut punya kekurangan
2. Musik Melayu adalah sekumpulan instrument sebagai pengiring tari
Melayu disamping sebagai pengiring Kesenian Melayu lainnya
3. Bahwa tari Melayu tidak akan sempurna jika musik pengiringnya di luar
musik Melayu.
Di sini jelas kita melihat bahwa peranan gendang Melayu sangat penting baik
sebagai pengiring lagu maupun sebagai pengiring tari. Dalam hal ini dapat kita
rasakan bahwa tanpa gendang Melayu, maka musik Melayu yang ditampilkan
akan kehilangan identitas dan kepribadian Melayu. Seperti jika penampilan
ansambel Biola, akkordion dan gong sebagai pengiring tari Melayu, maka kita
184
dapat rasakan dan lihat para penari yang akan kehilanganpedoman dalam gerakan
tariannya. Tetapi sebaliknya mari kita coba menampilkan tarian Melayu yang
hanya diiringi oleh gendang Melayu saja, di sana kita akan dapat melihat dan
merasakan bahwa penari mampu memperlihatkan gerak tariannya dengan
sempurna. Faktor inilah yang menyebabkan gendang Melayu merupakan
instrumen yang menunjukkan ciri khas kesenian Melayu. Untuk itu peranannya
dalam penampilan tari Melayu sangat menentukan sekali, sehingga antara
gendang dan tari Melayu tidak dapat dipisahkan, sebab gendang Melayu langsung
mendominisir kesempurnaan tarian Melayu secara utuh.
Penampilan irama gendang Melayu ini juga harus dilakukan oleh penabuh-
penabuh terampil yang mampu menyuguhkan nilai keindahan dan cara
mengekspresikan bunyi yang khas, serta memiliki/menguasai tehnik
memainkannya, sehingga bunyi yang dihasilkan adalah bunyi khas pula yaitu
Melayu. Jadi jelaslah bahwa ciri khas yang sangat menonjol dalam musik dan tari
Melayu terletak pada irama gendang Melayu.Khusus tari Melayu, gendang
merupakan penentu Ritme dan Langkah para penari. Tingkah pukulan yang
menghasilkan bunyi indah adalah pemandu tingkah gerakan penari, oleh
karenanya rentak ritme gendang Melayu tersebut beraneka ragam jenis dan
gayanya. Peranan gendang Melayu sangat penting disebabkan oleh beberapa
faktor yakni;
1. Dapat meningkatkan upaya pelestarian kesenian daerah, khususnya
kesenian daerah Melayu.
185
2. Dapat mengembalikan identitas musik Melayu didalam mengiringi tarian
Melayu.
3. Dapat menjaga serta mengembangkan keterampilan seni menabuh
gendang Melayu terhadap generasi muda saat ini.
5.6Instrumen Pembawa Melodi
1. Sarune
Sarune adalah alat tiup keluarga aerophone, yang sumber bunyinya dari
udara yang ditiup, memakai lidah (mondstuck) dan mempunyai reed. Bentuk alat
ini adalah memanjang bulat lurus, seperti hobo atau fagot. Mulai dari batas atas
mulut (mondstuck) berukuran kecil, pada tubuhnya terdapat lubang-lubang pijitan
(fingering) dengan ukuran cukup besar.
Gambar 5.4 Sarune (Sumber : Google)
186
4. Accordeon
Accordeon adalah instrument musik yang digolongkan ke dalam keluarga
aerophone?
Gambar 5.5 Accordeon
(Sumber : Google)
187
5. Biola
Biola adalah instrument musik yang digolongkan ke dalam keluarga
chordophone, alat musik yang sumber bunyinya dari dawai. Biola cara
memainkannya di gesek dan biola memiliki 4 snar atau 4 tali disebut juga dawai,
dengan urutan nada sebagai berikut.
-Snar satu tali E
- Snar dua tali
-Snar Tiga tali D
- Snar empat tali G
Gambar 5.6 Biola (Sumber : Google)
188
6. Marwas
Marwas adalah instrument musik yang digolongkan ke dalam keluarga
membranophone.Jika, sekali lagi, kita menganggap bahwa etnomusikologi
berasal dari kajian lapangan, bahwa musik adalah bagian dari kebudayaan, dan
bahwa masyarakat yang dipelajari oleh para etnomusikologi adalah masyarakat
yang secara historis berada di luar aliran Barat, hampir dapat dipastikan kita
dibawa kepada anggapan yang lebih jauh bahwa metode lapangan dan teknik
lapangan harus berasal dari antropologi budaya (Alan P.Merriam, 2000:81).
Malinowski menyebutkan tiga kriteria mengenai penelitian lapangan (field
work): Pertama-tama, secara alamiah, mahasiswa harus memiliki tujuan-tujuan
yang benar-benar ilmiah, serta mengetahui nilai-nilai dan kriteria mengenai
etnografi modern. Kedua, ia harus menempatkan dirinya dalam suatu kondisi
kerja yang bagus, yakni, pada dasarnya, hidup tanpa orang kulit putih lainnya,
langsung berada diantara para penduduk asli(natives). Akhirnya, ia harus
mengaplikasikan sejumlah metode khusus dalam mengumpulkan, memanipulir
dan memastikan bukti-bukti (Alan P Merriam, 1999 : 82).
Alat-alat musik tradisional Aceh, berdasarkan sistem klasifikasi
CurtSachsdanHombostel adalah sebagai berikut. Kelompok chordophone adalah
arbab yaitu sebuah spike fiddle, lute berleher panjang, yang memainkannya
digesek. Terbuat dari tempurung kelapa, kulit kambing, kayu dan senar dari ijuk.
Fungsi utamanya adalah membawakan melodi. Alat musik lainnya dari Aceh
adalah biola Aceh, Yang umum dijumpai di daerah pidie. Alat musik ini berasal
dari Eropa. Alat musik ini tergolong dalam klasifikasi bowed short neck lut,
189
luteberleher pendek yang memainkannya digesek. Dalam ensembelnya biasanya
disertai sebuah gendang.
Kelompok aerophone adalah bangsi Alas, yaitu jenis alat musik
aerophone recorder, yang terbuat dari bahan bamboo, dengan panjang sekitar 40
cm. Berasal dari daerah pengunungan Alas. Lagu-lagu yang biasa disajikan pada
bangsi ini adalah: Lagu Canang Ngaro, Canang Ngarak, Canang Patam-Patam,
Canang Jingjingtor, dan lagu Tangis Dillo. Alat musik lainnya adalah Bensi. Alat
musik ini terbuat dari bamboo, termasuk kelas recorder, dengan enam lobang
nada. Kemudian alat musik aerophone tradisional Aceh lainnya disebut dengan
bereguh. Alat musik ini terbuat dari tanduk kerbau, yang dijumpai di daerah Aceh
Besar, Pidie, Aceh Utara dan lainnya. Termasuk ke dalam aerophonetrumpet.
Fungsi utamanya ada adalah untuk komunikasi antar warga masyarakat di hutan.
Alat musik lainnya adalah buloh meurindu, yaitu alat musik aerophone lidah
tunggal, yang terbuat dari bamboo. Alat musik lainnya adalah lole yaitu
aerophone lidah ganda yang terbuat dari batang padi. Alat musik lainnya adalah
Serune kale, sebuah serunai (shawm) yang sangat terkenal di daerah Aceh.
Keluarga Idiophone adalah instrument canang kayu, yaitu termasuk
kedalam klasifikasi alat musik xylophone dari Aceh. Bentuk lainnya adalah
Canang Trieng yaitu Canang yang terbuat dari bamboo. Kemudian alat musik
lainnya celempong, yaitu alat musik Xilophone yang terbuat dari tujuh bilahan
kayu tampu dan kayu senguyung.
190
Gambar 5.7 Marwas(Sumber : Google)
Dalam pertunjukan Tari Makan sirih di Aceh Tamiang, Kelompok
instrument pembawa melodi terdiri dari 3 jenis yang terdiri dari beberapa
instrument musik yang berbeda tetapi membentuk satu ensambel yang harmonis,
yang menjadi sebuah pertunjukkan kebudayaan yang mencirikan khas budaya
Aceh Tamiang. Berikut urutan instrument musik yang menjadi ciri khas Aceh
Tamiang : Instrumen pembawa Melodi adalah Biola, Acordeon dan sarune kale.
Kita ketahui bahwa biola, accordion dan Sarune kalee adalah instrument musik
yang menjadi melodi, walaupun biola dan accordeon juga bisa berfungsi menjadi
pengiring lagu. Di Aceh Tamiang musik pengiring Tari Makan sirih
dipergunakan Biola, Accordeon dan sesekali di tingkahi oleh suara serune kalee.
Cara memainkan instrument ini dengan di gesek memakai bow yang terdiri dari
kayu panjang dan bilah benang. Adapun yang digesekkan pada snar yang
191
berjumlah empat. Snar biola terdiri dari tali satu bernada E, snar dua bernada A,
snar tiga bernada D serta sinar empat bernada G.
Accordion juga dapat dijadikan intrument pembawa melodi, Accordion
sumber suara dari udara, yang sudah mempunyai ketetapan nada tetapi
memainkannya dibuka rongga udara baru kemudian ditutupkan perlahan sambil
dibunyikan nada yang diinginkan. Bentuk nadanya seperti bilahan tuts piano.
Fungsi akkordion bisa memainkan melodi, dapat pula menjadi pengiring dengan
membunyikan akord. Lazimnya biola dan akordion menunjukkan suaranya secara
bersahut sahutan. Sementara alat tiup serune kale, adalah melodi yang di
bunyikan untuk meningkahi ensambel musik pengiring tari Makan sirih.
5.7 Pertunjukkan Tari Makan sirih di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang
Pertama-tama, acara yang digelar di halaman gedung Dewan Perwakilan
Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang tepatnya di Kecamatan Karang baru,
di gelar acara pelantikan pengurus harian baru Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI)Aceh Tamiang periode 2013 s/d 2016. Lokasi yang dipilih untuk
acara pelantikan pengurus harian Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
Kabupaten Aceh Tamiang adalah dua tempat, saat siang digelar di halaman kantor
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tamiang dan saat malam
Resepsi Pelantikan digelar di dalam gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
(DPRK) Aceh Tamiang. Adapun saat siang acara dimulai pukul 09.00.Wib
dengan pertunjukkan Tari Makan sirih sebagai Pembuka Acara, selanjutnya
192
pembacaan Ayat Suci Al-quran dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagu wajib
Nasional Indonesia Indonesia Raya, dan berikutnya acara yang digelar seperti
Cepat Tepat antar sekolah dan beberapa kegiatan sosial lainnya yang melibatkan
masyarakat sekitar. Kebetulan objek lokasi penelitian yang penulis teliti berlokasi
di Kecamatan Karang Baru Aceh Tamiang yang berjarak kurang lebih tiga sampai
empat jam dengan kecepatan 60 kolimeter/jam jarak tempuh, dari Kota Medan
yang dapat dicapai dengan menggunakan transportasi darat.
Berdasarkan pengamatan penulis sesampainya di halaman Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Karang Baru Aceh Tamiyang, suasana
halaman sudah ramai dengan panggung yang sangat besar, sesuai dengan ekspresi
panitia dan tema yang dimunculkan pada acara tersebut.
Sebelum melakukan penelitian, penulis terlebih dahulu bertanya kepada
penduduk natif kecamatan Karang Baru Aceh Tamiang dan di anjurkan untuk
datang meliput pertunjukkan Tari Makan sirih dalam acara pelantikan pengurus
harian Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Aceh Tamiang ini. Penulis
memutuskan untuk datang meliput tepatnya pada tanggal 22 februari 2014. Saat
hadir di lokasi halaman Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK), suasana
sudah di tata dengan baik, papan bunga berjajar di sekitar lokasi acara, satu dua
masyarakat memasuki lokasi dengan berjalan kaki, mengendarai sepeda motor,
becak dan mobil. Sebuah becak dengan lima penari melewati penulis saat tiba di
lokasi. Para penari dengan pakaian yang indah berwarna hijau di padukan dengan
merah ditambah sanggul khas Aceh serta hiasan dan make-up penari membuat
begitu mempesonanya penari sanggar Meuligee Lindung Bulan.
193
5.8Pertunjukkan Tari Makan SirihDi Kantor Pembinaan Kesejahteraan
KeluargaAceh Tamiang
Pada tanggal 21 April 2014 di kantor Pembinaan Kesejahteraan Keluarga
(PKK) tepatnya jalan Kesehatan, di peringati hari lahir Ibu Kartini, seorang
pahlawan wanita. Adapun acara yang digelar meliputi kegiatan sosial
kemasyarakatan dengan mengadakan perlombaan memasak dan kegiatan positif
lainnya. Saat acara dibuka diawali dengan pertunjukkan Tari Makan sirih dari
sanggar Tari Meulige Lindung Bulan. Para penari dengan pakaian yang indah
berwarna hijau di padukan dengan merah ditambah sanggul khas Aceh serta
hiasan dan Make-up penari membuat begitu mempesonanya penari sanggar
Meuligee Lindung Bulan.
5.9 Pertunjukkan Tari Makan Sirihdi Sekolah Menengah Pertama Negeri
I Aceh Tamiang
Pada acara pelepasan sekaligus perpisahan antara siswa kelas tiga dengan
kelas satu dan dua periode tahun ajaran 2013/2014. Acara di gelar di halaman
sekolah dengan di hadiri semua siswa serta guru-guru dan para undangan.
Pembukaan acara di mulai dengan pertunjukkan Tari Makan sirih yang dibawakan
oleh sanggar tari Meuligee Lindung Bulan. Para penari dengan pakaian yang
indahberwarna hijaudi padukan dengan merah di tambah dengan sanggul khas
Aceh serta hiasan dan Make-up penari membuat begitu mempesonanya penari
sanggar Meuligee Lindung Bulan.
194
5.10 Pertunjukkan Tari Sekapur Sirih
Pada kesempatan pemekaran wilayah di Aceh Timur, Aceh Tamiang
berdiri sendiri menjadi Kabupaten Aceh Tamiang. Pada masa pemekaran wilayah
ini. Pemerintah Aceh Tamiang menunjukkan Jati diri dengan menciptakan karya
baru sebentuk Tari Sekapur Sirih yang syairnya diciptakan oleh Ibu Syafina
Arham. Koregrafer tari juga di ciptakan oleh ibu Syafina Arham selaku Kasi
Kebudayaan di Karang Baru Aceh Tamiang. Tarian Sekapur Sirih yang diciptakan
memiliki lagu pecahan yang mencirikan Islam yaitu tari Zapin. Syair lagu
diciptakan menunjukkan Jati diri Aceh Tamiang.
195
Partitur Lagu Makan sirih
Transkripsi : M.Syafii/Rima
196
Partitur Lagu Sekapur Sirih
Tanskripsi : M.Syafii/Rima
197
Vokal adalah suara yang dikeluarkan oleh manusia. Vokalis disebut juga
penyanyi. Dalam penyajian vokal lagu Tari Makan sirih yang ditampilkan ada
yang memakai penyanyi langsung dengan musik iringan yang terdiri dari biola,
akordion dan gendang, tetapi ada juga suara penyanyi atau vokal yang sudah
berbentuk rekaman yang mengiringi tarian.
Pada transkripsi vokal yang diatas adalah nada yang harus dinyanyikan
oleh vokal yang disebut part lagu atau partitur lagu. Walaupun pada
kenyataannya transkrip itu dinyanyikan dengan menambah ornament atau variasi
pada grenek Melayu pada lagu.
198
5.11Struktur Melodi Tari Makan Sirih
MAKAN SIRIH
Transkripsi : M.Syafii/Rima
199
200
201
202
Berdasarkan transkripsi lagu diatas maka penulis membagi setiap bagian
melodi menjadi beberapa frasa. Frasa tersebut di gambarkan sebagai berikut:
5.11.1 Tangga Nada
Tangga Nada Lagu Makan sirih
Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu.
Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa
klasifikasi, menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada),
Tritonic (tiga nada), tetratonic (empat nada), pentatonic (lima nada), hexatonic
(enam nada), heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya
dianggap satu nada saja (Nettl, 1999 : 145).
203
Jumlah Nada yang dipakai untuk membangun komposisi lagu Makan sirih adalah
7 (tujuh) nada disebut Heptatonic.
(C) (D) (E) (F) (G) (A) (B) (C’) (D’) (E’) (F’)
Jarak Laras 1 1 ½ 1 1 1 ½
Lagu tari Makan sirih bernada tujuh yang disebut Heptatonic.
5.11.2 Analisis Modus
Sampai saat ini istilah modus belum mempunyai satu pengertian yang
baku. Dalam tulisan ini istilah modus dipakai untuk menunjukkan cara
penggunaan nada-nada dalam suatu komposisi, misalnya, kalau kita membuat
daftar nada-nada yang dipakai dalam sebuah lagu, maka daftar itu adalah tangga
nada lagu tersebut. Kalau kita ingin mendeskripsikan modus lagu itu, paling tidak
kita akan menyebut nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center);
nada-nada yang hanya terpenting; nada-nada yang hanya dipakai sebagai nada
awal atau pendampingnada lain, dan lain sebagainya, baik tangga nada maupun
modus disampaikan lewat notasi.
Tangga nada ditulis pada paranada dengan harga-harga yang menandai
fungsi-fungsi nada dan membedakan nada yang sering dipakai dalam
komposisinya daripada nada yang jarang dipakai. Nada dasar ditulis sebagai not
utuh; nada yang penting lainnya sebagai not setengah; nada biasa sebagai not
204
seperempat; nada hiasan atau nada yang jarang muncul sebagai not seperdelapan
atau seperenambelas, dan seterusnya semakin kecil menurut jumlah pemakaiannya
(Ibid, 2000:146)
Modus Komposisi Lagu Makan sirih
C (37) – D (31) – E (23) – F (20) – G (19) – A (22) – B (20)
Keterangan: - Nada C (37) = Di beri tanda not Penuh - Nada D (31) = Di beri tanda not Setengah - Nada E (23) = Di beri tanda not Seperempat - Nada A (22) = Diberi tanda not Seperdelapan - Nada F (20) = Diberi tanda not Seperenambelas - Nada B (20) = Diberi tanda not Sepertigapuluhdua -Nada G (19)= Diberi tanda not Seperenampuluh empat
5.11.3 Nada Dasar
Nada Dasar Tari Makan sirih
1. Nada yang sering dipakai dan nada yang jarang dipakai dalam satu
komposisi ini Berdasarkan analisa penulis bahwa nada yang sering dipakai
adalah nada C’ dan D’ serta nada yang jarang dipakai adalah nada C
205
2. Terkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada dasar,
biarpun jarang dipakai. Nada yang harga ritmisnya besar adalah nada C.
3. Nada yang dipakai pada awal komposisi, atau pada akhir bagian-bagian
komposisi, dianggap memiliki fungsi penting dalam tonalitas tersebut.
Dari hasil transkripsi terlihat nada A muncul pada awal komposisi, nada C
muncul pada akhir kompoisi.
4. Nada yang menduduki posisi yang paling rendah dalam tangga nada
ataupun posisi pas ditengah-tengah dapat dianggap penting. Nada tersebut
adalah nada C, dimana nada tersebut berada pada posisi yang paling
rendah dan bila dilihat dari keseluruhan nada bahwa nada A juga berada
pada posisi ditengah dari keseluruhan urutan nada.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada, kadang-kadang dipakai sebagai
patokan. Misalnya, bila ada satu nada dalam tangga nada seluruh
komposisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak
memakai oktaf.
Metode 1 2 3 4 5 6 7
Nada Dasar C D C A C C A
Berikut ini adalah deskripsi nada pada lagu Makan sirih:
1. Nada awal adalah A
2. Nada akhir adalah C
3. Nada terendah dalam komposisi adalah C
206
4. Nada tertinggi dalam komposisi adalah F’
5. Nada terbesar adalah C dengan nilai 2 ketuk
6. Nada terkecil adalah C, D, E yaitu ¼ ketuk
5.11.4 Wilayah Nada
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) dari nada yang frekuensinya paling
rendah sampai pada frekuensi nada yang paling tinggi. Metode untuk menentukan
wilayah nada berdasarkan ambitus suara yang terdengar secara alami yang
ditentukan oleh media penghasil bunyi itu sendiri, ialah dengan memperhatikan
nada yang paling rendah hingga nada yang paling tinggi. Wilayah nada melodi
lagu Makan sirih yang diurutkan dari nada terendah sampai nada tertinggi adalah:
C-F’ Seperti gambar not balok di bawah. Dari hasil transkripsi di atas, maka
diperoleh ambitus suara dari lagu Makan sirih adalah C – F’, digambarkan
sebagai berikut:
C - F’
5.11.5 Jumlah Nada
Untuk menentukan jumlah nada pada lagu Makan sirih, penulis
menghitung jumlah terbanyak kemunculan setiap nada dan menghitung jumlah
durasi komulatif. Jumlah nada yang terdapat pada teks lagu Makan sirih,
207
sebagaimana terlihat di bawah ini:
Nada C D E F G A B C’ D’ E’ F’
Jumlah 4 4 7 9 19 22 20 33 27 16 11
5.11.6 Interval
Interval yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara nada
yang satu dengan nada yang lainnya dalam satu komposisi musik. Sistem
pengukuran pada interval disebut“laras” dengan alat ukur cent.
Ada dua jenis interval pada teks lagu Makan sirih, yaitu melangkah
(conjunct) dan melompat (disjunt). Analisis interval penulis lakukan dengan
menghitung setiap interval dari bawah ke atas atau yang naik maupun yang turun.
Seperti di bawah ini:
Interval Jumlah
Prime 49
Sekunda Mayor 52
Sekunda Minor 24
Ters Mayor 7
Ters Minor 23
Kuart Prime 6
208
Frase Prime Sekunda Ters Kwart Total %
A 49 52 7 6 114 70,80
B 0 24 23 0 47 29,19
Jlh 49 76 30 6 161 100
5.11.7 Kontur Lagu Makan Sirih
Menurut William P.Malm yang diterjemahkan oleh Muhammad Takari,
(1993:8-10), bahwa kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu
yang dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut :
1. Ascending(menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending(menurun), yaitu garis melodi yang bergerak turun dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah.
3. Pendulous, yaitu garis melodi yang bergerak dengan membentuk
lengkungan.
4. Terraced, yaitu garis melodiyang membentuk gerakan berjenjang seperti
anak tangga.
5. Statis, melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas atau garis melodi
yang bergerak datar atau statis.
209
Kontur Frasa A
210
X
F’
E
’
D
’
C
’
B
A
G
F
E
D
C
Keterangan: - Garis x menujukkan nama nada - Garis y menunjukkan nilai nada
- Tiap kotak mewakili nilai not ½ ketuk - Perbedaan warna kotak menunjukkan perbedaan nada
Bagan5.1 Kontur Makan Sirih
211
5.11.8 Formula Melodi Lagu Makan sirih
Bentuk (form) adalah bentuk komposisi musik yang hanya dikaitkan
dengan jalur utama melodi atau bunyi. Menurut Malm (1977), bentuk (form)
dapat dibagi dalam beberapa jenis yaitu:
Repetitive, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang diulang-ulang
1. Literative, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang memakai formula melodi
yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam
keseluruhan nyanyian.
2. Reverting, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang terjadi pengulangan pada
frase pertama setelah terjadi penyimpangan melodis
3. Progressive, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang terus berubah-ubah
dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru
4. Strophic, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang diulang dengan formalitas
yang sama tetapi teks nyanyian yang selalu baru.
Jika dilihat dari perjalanan melodi yang terdapat pada lagu diatas, maka
jenis formula melodi yang terdapat adalah jenis melodi Repetitive karena setelah
didengar dan dianalisis lagu yang dimainkan, terdapat bentuk formula melodi y
kecil yang di ulang kemudian dilanjutkan dengan formula kecil lain yang di ulang
juga. Bentuk dari formula melodi dapat dilihat sebagai berikut:
Frase A – B – A – B – C – D – C – D – E
212
5.11.9 Kadensa Lagu Makan sirih
Menurut Malm (1977:8) Kadensa adalah penggarapan nada-nada akhir
setiap bentuk melodi. Penulis menggunakan 3 atau 4 nada terakhir dari tiap frase
untuk menunjukkan pola-pola kadensa. Adapun pola kadensa yang terdapat dalam
lagu Makan sirih adalah sebagai berikut:
Frasa A
Frasa B
Frasa C
Frasa D
Frasa E
213
5.12 Struktur tari Sekapur Sirih
SEKAPUR SIRIH
Transkripsi : M.Syafii/Rima
214
215
5.12.1 Tangga Nada Tangga Nada Lagu Sekapur Sirih
Sebagaimana dikemukakan oleh Nettl bahwa cara-cara untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu.
Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi,
menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonic (dua nada), tritonic (tiga
nada), tetratonic (empat nada), pentatonic (lima nada), hexatonic (enam nada),
heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu
nada saja.(Nettl, 1999 :145).Jumlah Nada yang dipakai untuk membangun
komposisi lagu Makan sirih adalah7 (tujuh) nada disebut heptatonic
Tangga Nada lagu Sekapur Sirih
(g) (a) (b) (C) (D) (E) (F) (G) (A) (B) (C’) (D’) (E’)(F’) (G’)(A’) 5.12.2 Analisis Modus
Analisis Modus Lagu Sekapur Sirih
Sampai saat ini istilah modus belum mempunyai satu pengertian yang
baku. Dalam tulisan ini istilah modus dipakai untuk menunjukkan cara
penggunaan nada-nada dalam suatu komposisi, misalnya, kalau kita membuat
daftar nada-nada yang dipakai dalam sebuah lagu, maka daftar itu adalah tangga
nada lagu tersebut. Kalu kita ingin mendeskripsikan modus lagu itu, paling tidak
216
kita akan menyebut nada mana yang berfungsi sebagai nada dasar (tonal center);
nada-nada yang hanya terpenting; nada-nada yang hanya dipakai sebagai nada
awal atau pendampingnada lain, dan lain sebagainya, baik tangga nada maupun
modus disampaikan lewat notasi.
Tangga nada ditulis pada paranada dengan harga-harga yang menandai
fungsi-fungsi nada dan membedakan nada yang sering dipakai dalam
komposisinya daripada nada yang jarang dipakai. Nada dasar ditulis sebagai not
utuh; nada yang penting lainnya sebagai not setengah; nada biasa sebagai not
seperempat; nada hiasan atau nada yang jarang muncul sebagai not seperdelapan
atau seperenambelas, dan seterusnya semakin kecil menurut jumlah
pemakaiannya. (Ibid, 1999 : 146)
Modus Komposisi Lagu Sekapur Sirih
G (20) – A (16) – B (6 ) – C (11) – D (18) – E(14) – F (8)
Keterangan: - Nada G (20) = Di beri tanda not Penuh(simbol C) - Nada A (16) = Di beri tanda not Setengah (simbol E) - Nada B (6) = Di beri tanda not Seperempat (simbol B) - Nada C (11) = Diberi tanda not Seperdelapan (simbol F) - Nada D (18) = Diberi tanda not Seperenambelas (simbol D) - Nada E(14) = Diberi tanda not Sepertigapuluhdua (simbol A) -Nada F(8)= Diberi tanda not Seperenampuluh empat(simbol B)
217
5.12.3 Analisa Nada Dasar
Nada Dasar Lagu Sekapur Sirih
1. Nada yang sering dipakai dan nada yang jarang dipakai dalam satu
komposisi. Berdasarkan analisa penulis bahwa nada yang sering dipakai
adalah nada E, G dan D’ serta nada yang jarang dipakai adalah nada g, a,
b, F’
2. Terkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada dasar,
biarpun jarang dipakai. Nada yang harga ritmisnya besar adalah nada g.
3. Nada yang dipakai pada awal komposisi, atau pada akhir bagian-bagian
komposisi, dianggap memiliki fungsi penting dalam tonalitas tersebut.
Dari hasil transkripsi terlihat nada G muncul pada awal komposisi, nada G
muncul pada akhir komposisi.
4. Nada yang menduduki posisi yang paling rendah dalam tangga nada
ataupun posisi pas ditengah-tengah dapat dianggap penting. Nada tersebut
adalah nada g, dimana nada tersebut berada pada posisi yang paling rendah
dan bila dilihat dari keseluruhan nada bahwa nada G juga berada pada
posisi ditengah dari keseluruhan urutan nada.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada, kadang-kadang dipakai sebagai
patokan. Misalnya, bila ada satu nada dalam tangga nada seluruh
komposisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak
memakai oktaf.
Metode 1 2 3 4 5 6 7
Nada Dasar E G D G G G G
218
Berikut ini adalah deskripsi nada pada lagu Sekapur Sirih:
1. Nada awal adalah G
2. Nada akhir adalah G
3. Nada terendah dalam komposisi adalah g
4. Nada tertinggi dalam komposisi adalah A’
5. Nada terbesar adalah g dengan nilai 3 ketuk
6. Nada terkecil adalah C, D, E yaitu ¼ ketuk
5.12.4 Analisa Wilayah Nada Lagu Sekapur Sirih
Wilayah nada Sekapur Sirih adalah daerah (ambitus) dari nada yang
frekuensinya paling rendah sampai pada frekuensi nada yang paling tinggi.Dari
hasil transkripsi di atas, maka diperoleh ambitus suara dari Sekapur Sirih adalah g
– A’, digambarkan sebagai berikut:
(g) (A’)
219
5.12.5 Jumlah Nada Lagu Sekapur Sirih
Untuk menentukan jumlah nada pada teks lagu Sekapur Sirih, penulis
menghitung jumlah terbanyak kemunculan setiap nada dan menghitung jumlah
durasi komulatif. Jumlah nada yang terdapat pada teks lagu Sekapur Sirih,
sebagaimana terlihat di bawah ini:
Nada G a b C D E F Fis G A B C’ D’ E’ F’ Fis’ G’ A’
Jumlah 1 1 1 2 7 10 3 4 16 11 5 9 11 4 1 2 3 4
5.12.6 Interval Lagu Sekapur Sirih
Interval yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara nada
yang satu dengan nada yang lainnya dalam satu komposisi musik. Sistem
pengukuran pada interval disebut“laras” dengan alat ukur cent.
Ada dua jenis interval pada teks lagu Sekapur Sirih, yaitu melangkah
(conjunct) dan melompat (disjunt). Analisis interval penulis lakukan dengan
menghitung setiap interval dari bawah ke atas atau yang naik maupun yang turun.
220
Seperti di bawah ini:
Interval Jumlah
Prime 40
Sekunda Mayor 26
Sekunda Minor 5
Ters Mayor 6
Ters Minor 8
Kuart Prime 1
Prime Aug 1
5.12.7 Kontur Lagu Sekapur Sirih
Menurut William P.Malm yang diterjemahkan oleh Muhammad Takari,
(1993:8-10), bahwa kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu
yang dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut :
1. Ascending (menaik), yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending(menurun), yaitu garis melodi yang bergerak turun dari nada yang
tinggi ke nada yang rendah.
3. Pendulous, yaitu garis melodi yang bergerak dengan membentuk
lengkungan.
4. Terraced, yaitu garis melodiyang membentuk gerakan berjenjang seperti anak
tangga.
221
5. Statis, melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas atau garis melodi
yang bergerak datar atau statis.
Kontur Frasa A
X
F’
E’
D’
C’
B
A
G
F
E
D
C y
Bagan 5.2. Kontur Sekapur Sirih
222
Keterangan: - Garis x menujukkan nama nada
- Garis y menunjukkan nilai nada
- Tiap kotak mewakili nilai not ½ ketuk
- Perbedaan warna kotak menunjukkan perbedaan nada
Lagu Sekapur Sirih di sebut ascending Ascending (menaik), yaitu
garis melodi yang bergerak naik dari nada yang rendah ke nada yang tinggi. Lagu
Sekapur Sirih di sebut Pendoulus Pendulous, yaitu garis melodi yang
bergerak dengan membentuk lengkungan.
5.12.8 Formula Lagu Sekapur Sirih
Bentuk (form) adalah bentuk komposisi musik yang hanya dikaitkan
dengan jalur utama melodi atau bunyi. Menurut Malm (1977), bentuk (form)
dapat dibagi dalam beberapa jenis yaitu:
5. Repetitive, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang diulang-ulang
6. Literative, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang memakai formula melodi
yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam
keseluruhan nyanyian.
7. Reverting, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang terjadi pengulangan pada
frase pertama setelah terjadi penyimpangan melodis
8. Progressive, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang terus berubah-ubah
dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru
9. Strophic, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang diulang dengan formalitas
yang sama tetapi teks nyanyian yang selalu baru.
223
Jika dilihat dari perjalanan melodi yang terdapat pada lagu diatas, maka
jenis formula melodi yang terdapat adalah jenis melodi Progressive karena setelah
didengar dan dianalisis lagu yang dimainkan, terdapat bentuk formula melodi
yang berjalan terus berubah degan menggunakan bentuk melodi yang baru.
Bentuk dari formula melodi dapat dilihat sebagai berikut:
Frase A – B – C1 – C2 – D – E – F 5.12.9 Kadensa Sekapur Sirih
Menurut Malm (1977:8) Kadensa adalah penggarapan nada-nada akhir
setiap bentuk melodi. Penulis menggunakan 3 atau 4 nada terakhir dari tiap frase
untuk menunjukkan pola-pola kadensa. Adapun pola kadensa yang terdapat dalam
lagu Sekapur Sirih adalah sebagai berikut:
Frasa A
Frasa B
Frasa C1
224
Frasa C2 Frasa D Frasa E
Frasa F
Berdasarkan transkripsi lagu diatas maka penulis membagi setiap bagian
melodi menjadi beberapa frasa. Frasa tersebut di gambarkan sebagai berikut:
Frasa A
225
Frasa B
Frasa C1
Frasa C2
Frasa D
Frasa E
Frasa F
226
BAB VI
STRUKTUR TEKS LAGU MAKAN SIRIH
6.1 Struktur Teks
Lagu Melayu dan Lagu Zapin di kawasan Aceh Tamiang yang
dipraktekkan para seniman umumnya menggunakan teks-teks bahasa Melayu.
Ada juga yang menggunakan bahasa Arab, atau campuran bahasa Melayu dan
Arab. Lagu-lagu ini memiliki berbagai tema, tetapi umumnya adalah filsafat-
filsafat Melayu dan Islam, seperti bagaimana menjalani hidup, pujian kepada
Allah dan Nabi, hubungan antara sesama manusia, cinta yang universal yang perlu
dibina, danlain-lainnya. Intinya adalah mencerminkan pandangan hidup manusia
Melayu dibawah bimbngan ajaran Ilahi. Dalam menampilkan lagu Melayu dan
Zapin biasanya menggunakan lirik atau teks. Tapi dalam sesuatu hal bisa saja
hanya untuk mengiringi tarian, dan lirik/teksnya tidak dinyanyikan, atau disebut
juga dengan musik instrumental (hanya suara musik yang terdengar). Sejauh
pengamatan penulis, lirik/teks lagu yang digunakandalam lagu Melayu dan Zapin
mengacu kepada Pantun atau ada unsur-unsur pantun di dalamnya.
Pantun banyak digunakan dan menjadi peran utama dalam lagu-lagu
Melayu dan Zapin. Oleh karena itu, pantun menjadi ciri khas dari sebuah
pertunjukkan musik Melayu. Lagu-lagu yang digarap berdasarkan pantun, teksnya
selalu diubah terus-menerus. Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas
musik Melayu. Untuk lagu yang berjudul sama, oleh seorang vokalis atau
penyanyi yang sama, dalam selang waktu beberapa menit, jika diulang bisa terjadi
226
227
perubahan pada teks yang berikutnya. Dengan mengganti teks sesuai tujuan yang
akan disampaikan vokalis/penyanyi tersebut.
Lagu-lagu Melayu adalah lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan
garapan melodi atau instrumentalnya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang
terus menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama (William P
Malm,1977:1-10). Dengan demikian musik Melayu ini dapat dikategorikan
sebagai musik logogenik seperti pertunjukkan ronggeng dan joget Melayu yang
mengutamakan teks dan dinyanyikan dengan Musik Iringan. Teksnya berdasar
kepada pantun empat baris, kuatrin, yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua
baris isi. Kecenderungan mempergunakan ulangan-ulangan apakah itu sampiran
atau isinya.
Menurut Harun Mat Piah (1989:91,123,124), pantun ialah sejenis puisi
pada umumnya, yang terdiri dari : empat baris dalam satu rangkap, empat
perkataan sebaris, mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi dan
pengecualian. Tiap-tiap rangkap terbagi ke dalam dua unit: pembayang (sampiran)
dan maksud (isi). Setiap rangkap melengkapi satu ide. Ciri-ciri pantun Melayu
dapat dibicarakan dari dua aspek penting, yaitu eksternal dan internal. Aspek
eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat
dan didengar, yang termasuk hal-hal berikut ini:
1. Terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan.
2. Setiap baris mengandung empat kata dasar.
3. Adanya klimaks
4. Setiap stanza terbagi kepada dua unit yaitu pembayang dan maksud
228
5. Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan variasi a-
a-a-a.
6. Setiap stanza pantun apakah, 2,4,6, dan seterusnya, mengandung satu
pikiran yang bulat
7. Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan
dunia pandangan (world view) masyarakat.
8. Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan
maksud, baik itu hubungan konkret atu abstrak atau melalui lambang-
lambang (Ibid, 1999).
Dalam lagu Melayu/zapin, ciri-ciri pantun seperti yang dikemukakan
Harun Mat Piah tersebut juga berlaku. Namun, karena pantun ini disajikan secara
musikal, ada beberapa lagi ciri pantun lagu-lagu Melayu, yaitu:
1. Pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan
melodi.
2. Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun,
namun pantun ini tidak sembarangan dimasukkan.
3. Pantun dalam lagu-lagu Melayu juga selalu dapat diulur atau
dipadatkan sesuai dengan kebutuhan melodi musik yang dimasuki.
4. Pantun-pantun Melayu juga dapat disisipi oleh kata-kata seperti: ala
sayang, hai, ala abang, abang, bang, Tuan, Puan, Pak ucok, Bang
Ucok, akak, abah, juga judul-judul lagu seperti Gunung sayang,
Dondang Sayang, serampang Laut.
229
5. Selain itu dalam satu baris tidak mutlak terdiri dari empat kata atau
sepuluh suku kata, tetapi bisa melebar dari ketentuan pantun secara
umum.
6.1.1 Lagu Makan Sirih
Berikut adalah kerja Analisa terhadap lagu Makan sirih:
MAKAN SIRIH
Makanlah sirih berpinanglah tidak (Berpinanglah tidak) Sirih dimakan zaman dahulu. Makanlah sirih berpinanglah tidak (Berpinanglah tidak) Sirih dimakan zaman dahulu
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (Mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu. Walaupun sirih mengenyanglah tidak (Mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu
Makan sirih berpinang tidak Tuan.....Adatlah resam pusaka Melayu..........
Teks lagu Makan sirih yang digunakan dalam pertunjukan tari Makan sirih
seperti tersebut sebenarnya adalah berakar pada pantun Melayu. Biasanya dapat
juga dikembangkan sesuai dengan konteksnya. Dalam tesis nantinya teks ini akan
dikaji makna-maknanya. Teks lagu Makan sirih bermakna menunjukkan bahwa
didalam setiap kalimat yang disusun banyak peringatan dan pelajaran serta pesan
yang bernilai tinggi.
Berikut Teks Lagu Makan sirih: (bait 1)
Makanlah sirih berpinanglah tidak (Berpinanglah tidak) Sirih dimakan zaman dahulu Makanlah sirih berpinanglah tidak (Berpinanglah tidak) Pemerah Bibir zaman dahulu
230
Teks lagu Makan sirih memiliki makna yang berarti ajakan atau himbauan
makanlah sirih walaupun tiada disertai dengan pinang, sejak zaman dulu sudah
menjadi budaya dalam meMakan sirih, selain manfaat baik untuk kesehatan, juga
untuk menciptaka rasa kedamaian,rasa kekeluargaan, dan tradisi Makan sirih
sudah turun temurun, menjadi tradisi yang positif, baik dikeluarga maupun di
masyarakat Aceh Tamiang. Pemerah bibir zaman dahulu berguna bagi obat, kalau
sirih kita makan bibir kita jadi merah, tetapi merah bukan sembarang merah ,
merah banyak membawa berkah. Air sirih baik untuk kesehatan luar dan dalam
tubuh.
Berikut teks pada: (bait 2)
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (Mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu Walaupun sirih mengenyanglah tidak (Mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu
Sirih benar bukan untuk dapat mengenyangkan, tetapi khasiat dan simbol
persembahan sirih yang harus di hargai dalam proses penyajian dan proses
penerimaan Sirih.
Walaupun sirih tidak mengenyangkan bila dimakan, tetapi ini adalah bentuk
pembelajaran yang bermanfaat bagi masyarakat Aceh Tamiang, bahwa khasiat
dan ungkapan yang tersirat dari sirih menjadi simbol kebesaran perdamaian,
kebaikan dalam khasiat sirih menjadi bagian dari adat budaya Melayu.
231
1. Lagu Makan Sirih
Makanlah sirih berpinanglah tidak (berpinanglah tidak)
Sirih dimakan zaman dahulu. Makanlah sirih berpinanglah tidak (berpinanglah tidak)
Sirih dimakan zaman dahulu Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak)
Adatlah resam pusaka Melayu. Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak)
Adatlah resam pusaka Melayu
a. Diksi
Dalam pemilihan kata banyak sekali yang harus disesuaikan antara kata tiap
baris dan baitnya. Pada syair tari Makan sirih tersebut, pemilihan kata (diksi) pada
bait pertama mengalami perulangan antara baris 1 dengan 3 dan 2 dengan 4.
Kesesuaian antar baris tersebut berada pada akhir baris tiap kata. Seperti baris 1
dengan 3 memiliki kesamaan pada akhiran kata masing-masing yaitu ‘k” pada
kata ‘tidak’. Sedangkan baris 2 dengan 4 memiliki kesamaan pada akhiran ‘u’
pada kata ‘dahulu’ dan ‘Melayu’. Untuk pemilihan kata pada syair masih
menggunakan kata yang sesuai. Seperti kata ‘zaman’ bersinonim dengan kata’
masa’ dan ‘waktu’. Pemilihan kata ‘zaman’ sudah cocok dengan konteks kalimat
tersebut. Kalimat tersebut mengartikan sesuatu yang terlahir pada peradaban
secara turun temurun. Namun untuk kata ‘masa’ dan ‘waktu’ lebih mengarah ke
periode tertentu seperti masa jabatan maupun keterangan waktu terjadi.
232
b. Interjeksi
Interjeksi pada penggalan syair tari Makan sirih ditemukan pada kalimat
“Walaupun sirih mengenyanglah tidak”. Syair tersebut menggambarkan tentang
suasana hati yang dirasakan seseorang dalam keadaan yang tidak diharapkan.
Perasaan tidak mampu memuaskan hasrat akan menimbulkan perasaan yang tidak
mengenakan sehingga memengaruhi suasana hati.
c. Partikel
Pada penggalan syair tari Makan sirih dapat ditemukan beberapa partikel yang
muncul dalam tiap baris dan bait syair. Partikel “Pun” terdapat pada kata
“walaupun”. Sedangkan partikel “lah” terdapat pada kata “berpinanglah” yang
mengandung arti tidak memakan sebuah benda dan buah yaitu buah pinang.
Sedangkan untuk kata “mengenyanglah” mengandung arti tentang keadaan dan
kepuasan. Sedangkan untuk kata “adatlah” mengandung arti penegasan simbol
dari segalanya (identitas) sebgai penjelas.
d. Makna denotatif
Makna konotatif pada penggalan syair tari Makan sirih menggambarkan
makna bahwa tari Makan sirih memang ada sejak zaman dahulu. Hal tersebut
terlihat pada penggalan:
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu.
233
Penggalan syair tari Makan sirih menunjukkan bahwa makna denotatif yang
terdapat pada syair tersebut yaitu bahwa tari Makan sirih sudah ada sejak zaman
dahulu dengan alat seperti pusaka yang bermakna suatu benda yang sudah ada
sejak masih di pimpin seorang raja.
e. Makna Konotatif
Makna denotatif pada penggalan syair tari Makan sirih menyimpulkan bahwa
sejauh mana syair tersebut dipersembahkan oleh masyarakat untuk menciptakan
rasa menghormati, kedamaian kekeluargaan, dan menumbuhkan rasa kebanggaan
(nasionalisme) terhadap adat Melayu berupa tari sirih. Pengarang mengajak dan
memberi pesan yang begitu luas tentang bagaimana seseorang harus menjaga dan
membawa identitas yang sesungguhnya baik dalam pendidikan sekolah, keluarga
maupun lingkungan masyarakat.
Hal tersebut dapat ditunjukkan pada syair “Walaupun sirih mengenyanglah
tidak (mengenyanglah tidak)/Adatlah resam pusaka Melayu”. Penggalan syair
tersebut mengartikan bahwa dalam keadaan susah maupun dalam permasalahan
yang runyam , seorang yang sukses dituntut agar tidak melupakan dimana seorang
dilahirkan, mengabdi kepada negara dan menjaga nilai kearifan lokal. Makna
konotatif pada kata “berpinanglah” dan “Pusaka” telah mengalami perubahan.
Jika dahulu makna dari kata berpinanglah adalah bahwa seorang sedang
melakukan kegiatan seperti mengunyah daun dan beberapa bahan untuk dijadikan
pengganti gosok gigi supaya bersih. Namun dekade belakangan ini makna
tersebut diubah menjadi kegiatan untuk mendapatkan pujaan hati seorang wanita
234
dan mengikatnya dengan cara tunangan dan proses mendapatkan doa restu dari
keluarga mempelai wanita. Sedangkan untuk kata “pusaka” makna terdahulu
adalah suatu benda yang sangat sakral yang dimiliki oleh seorang raja dan ratu.
Akan tetapi, pada zaman sekarang makna tersebut sudah berganti dengan sebuah
benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
f. Spontanitas Garapan Teks
Pada syair diatas yang termasuk dalam spontanitas garapan teks adalah kata
“resam” yang berasal dari bahasa Aceh Tamiang yang berarti “adat budaya”. Hal
ini menandakan bahwa spontanitas teks yang ditulis pengarang disesuaikan
dengan asal daerah lahirnya teks yang disesuaikan dengan adat budaya seorang
pengarang. Dalam arti luas karya seorang pengarang juga disesuaikan dengan latar
belakang bahasa dan budaya pengarang itu sendiri.
g. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang terdapat pada penggalan syair tari Makan sirih dapat
disimpulkan, yaitu:
(1) Tautologi merupakan pengulangan kata dengan menggunakan
sinonimnya. Contoh pada syair diatas yang termasuk majas tautologi yaitu:
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu. Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu
235
(2) Repetisi merupakan perulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam
suatu kalimat. Pada syair tari Makan sirih yang termasuk majas repetisi
yaitu:
Makanlah sirih berpinanglah tidak (berpinanglah tidak) Sirih dimakan zaman dahulu. Makanlah sirih berpinanglah tidak (berpinanglah tidak) Sirih dimakan zaman dahulu
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu. Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu
(3) Elipsis merupakan penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat yang
dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Pada syair tari
Makan sirih yang termasuk majas Elipsis yaitu:
“Sirih dimakan zaman dahulu” seharusnya: “Sirih dimakan sejak zaman
dahulu”
(4) Personifikasi adalah majas perbandingan yang menuliskan benda-benda
mati menjadi seolah-olah hidup, dapat berbuat, atau bergerak. Pada syair
tari Makan sirih dapat ditemukan majas personifikasi yaitu:
Makanlah sirih berpinanglah tidak (berpinanglah tidak) Sirih dimakan zaman dahulu.
Zaman merupakan hitungan masa lalu dan merupakan benda yang tidak dapat
bergerak, jadi tidak mungkin zaman makan sirih.
236
(5) Majas Simbolik adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu dengan
mempergunakan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang. Pada
syair tari Makan sirih yang termasuk majas simbolik yaitu:
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusakaMelayu.
(6) Majas Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu
untuk tujuan merendahkan diri. Kutipan syair tari Makan sirih dapat
ditemukan majas litotes, yaitu:
Walaupun sirih mengenyanglah tidak (mengenyanglah tidak) Adatlah resam pusaka Melayu.
6.1.2 Lagu Sekapur Sirih.
Berikut adalah kerja Analisis terhadap salah satu lagu Melayu yang
berjudul Tari Sekapur Sirih:
SEKAPUR SIRIH
Sekapur Sirih Kami Sajike, (Kami Sajike) Sirih Dipetik Waktu Gelap Petang Sekapur Sirih Kami Sajike, (Kami Sajike) Sirih Dipetik Waktu Gelap Petang
Tamu Pe Datang sirih di Sajike ( Sirih di Sajike) Seni Budaye Aceh Tamiang
Tamu Pe Datang sirih di Sajike (Sirih di Sajike) Seni Budaye Aceh Tamiang
Sekapur Sirih, Sekapur Sirih, dari Aceh Tamiang
(Sumber: Syafina Arham, dalam wawancara 24 Juni 2014 Aceh Tamiang)
237
Teks lagu Sekapur Sirih ini juga mengandung lambang dalam konteks
budaya Melayu. Sekapur Sirih adalah lambang orang Melayu dan Kebudayaannya
dalam mempersembahkan Sekapur Sirih sebagai sebuah persembahan dalam
bentuk penghormatan dan pemuliaan tamu, termasuk dengan teks sebagai berikut:
(bait 1)
Sekapur Sirih Kami Sajike, (Kami Sajike) Sirih Dipetik Waktu Gelap Petang
Sekapur Sirih Kami Sajike, (Kami Sajike) Sirih Dipetik Waktu Gelap Petang Teks lagu Sekapur Sirih yang ada pada lagu ini menggambarkan begitu di
muliakannya tamu di dalam masyarakat Aceh Tamiang, dengan berupaya selalu
memberikan suguhan walupun sekapur sireh seuleh pinang, tetapi makna yang
terdalam di dalam penyajian Sekapur Sirih itu yang terlihat agung. Dalam
mengagungkan tetamu yang datang bukan berarti tidak di waspadai oleh
masyarakat Aceh Tamiang, masyarakat Aceh Tamiang sangat memiliki budi
pekerti besyariatkan ajaran agama, tetapi memuliakan tamu juga harus
membentengi diri dan waspada, harus berhati-hati.
Sirih yang disajikan untuk di persembahkan kepada tamu adalah ungkapan
tuan rumah yang didatangi sangat ingin memberi yang terbaik yang dia miliki,
dengan simbol menyuguhkan Sekapur Sirih. Yang menurut pengamatan
dilapangan, sirih disuhuhkan bukan di ajak memakan, berarti menjadi simbol
untuk umpan balik, atau kedua belah pihak, bahwa tamu yang dimuliakan harus
tahu diri, sopan santu,baik kata maupun perbuatan, dan tuan rumah juga
menunjukkan bahwa hati kami bersih dan ingin memberikan yang terbaik dalam
penyambutan kami.
238
Pada syair berikutnya menunjukkan identitas pada daerah Aceh Tamiang
saat pemekaran wilayah dan berdiri sendiri tepatnya pada tahun 2001. Lazimnya
tari persembahan yang di bawakan adalah tari Makan sirih, tetapi pada saat
pemekaran wilayah Aceh timur , Aceh Tamiang tidak lagi di sebut wilayah Aceh
Timur, tetapi sudah menjadi Aceh Tamiang dengan ibu kota kabupaten Karang
Baru
Teks berikut: (bait 2)
Tamu Pe Datang sirih di Sajike (Sirih di Sajike) Seni BudayeAceh Tamiang
Tamu Pe Datang sirih di Sajike (Sirih di Sajike) Seni BudayeAceh Tamiang
Sekapur Sirih, Sekapur Sirih, dari Aceh Tamiang
Teks pada bait kedua ini menggambarkan Bahwa masyarakat Aceh
Tamiang, Tidak menunjukkan kekayaan atau kemiskinan dalam bermasyarakat,
dapat dilihat dari suguhan sirih yang diberikan, begitu pula tamu yang datang,
diharapkan tidak membedakan bahwa tuan rumah yang didatangi akan di kucilkan
atau di rendahkan dengan memandang keberadaan tuan rumah.
Teks pada bait kedua ini juga menunjukkan bahwa Seni budaya dalam
menyuguhkan Sekapur Sirih sudah dilakukan Dari Zaman Dahulu, seperti yang
sudah banyak diungkapkan bahwa resam Melayu tak lapuk di hujan tak lekang di
Panas.
239
2. Lagu Sekapur Sirih
Sekapur Sirih kami Sajike, (kami sajike) Sirih Dipetik waktu gelap petang Sekapur Sirih kami Sajike, (kami sajike) Sirih Dipetik waktu gelap petang Tamu pe datang sirih di sajike (sirih disajike)
Seni budaye Aceh Tamiang Tamu pe datang sirih di sajike (sirih disajike) Seni budaye Aceh Tamiang
a. Diksi
Pemilihan diksi pada syair tari Sekapur Sirih terlihat jelas kesesuaian antara
tiap baris dan baitnya. Pada baris 1 dengan 3 memiliki kaitan pada akhir huruf tiap
barisnya. Pada kata ‘sajike’ dapat ditemukan pada akhir baris 1 maupun 3.
Sedangkan untuk baris ke 2 dengan 4 memiliki kaitan pada akhir kata baris yaitu
huruf ‘ng’ pada kata ‘petang’ dan ‘tamiang’. Untuk pemilihan kata, terdapat
kesesuaian kata antara frase-frasenya. Pada baris ke 4 bait 1 ‘Sirih Dipetik waktu
gelap petang’ kata ‘waktu’ memiliki sinonim dengan kata saat, pada, sejak,
maupun ketika. Namun kata ‘waktu’ menandakan kapan pekerjaan itu dimulai dan
diakhiri. Sedangkan untuk kata saat, sejak, pada, memiliki arti sendiri pada
konteks hari, pukul maupun kejadian yang bersejarah.
Sedangkan untuk kata ‘gelap petang’ yang mengandung makna ‘malam hari’
sudah cocok dengan kata yang berada pada baris kata tersebut. Penulis mencoba
menyesuaikan bahasa syair dengan bahasa Aceh Tamiang yaitu ‘gelap petang’
yang memiliki hubungan konteks dengan baris 1 yang juga memiliki kata berasal
dari bahasa Aceh Tamiang, seperti kata ‘sajike’. Selain dari sisi konteks
pengarangnya, pemilihan kata ‘gelap petang’ mengarah ke keadaan waktu.
240
Sedangkan untuk kata yang memiliki sinonim ‘malam hari’ lebih mengutamakan
keterangan waktu.
b. Interjeksi
Interjeksi yang terdapat pada penggalan syair tari Sekapur Sirih tidak dapat
ditemukan. Sebab tiruan bunyi maupun kata seru tidak dapat ditemukan pada syair
di atas.
c. Partikel
Partikel yang terdapat pada syair tari Sekapur Sirih yaitu partikel ‘Pe” yang
berasal dari partikel bahasa Aceh Tamiang yang artinya ‘pun’. Pada teks ‘Tamu
pe datang sirih di sajike’ mengandung makna bahwa jika seorang tamu yang
diundang sudah datang ke tempat kita, lalu sesuatu yang telah disiapkan untuk
menyambut tamu tersebut juga disajikan berkenaan dengan kedatangan tamu. Hal
tersebut merupakan sebuah penghormatan. Maka tidak mengherankan ada istilah
bahwa tamu adalah raja.
d. Makna denotatif
Makna denotatif pada syair tari Sekapur Sirih dapat ditemukan pada beberapa
konteks. Pada penggalan syair tersebut mengandung makna bahwa seseorang
tamu yang datang pada suatu acara pasti disambut dengan berbagai macam cara,
seperti tarian, nyanyian, maupun upacara yang disesuaikan dengan adat istiadat
suku masing-masing. Pada syair tersebut mengandung makna denotatif yaitu
bahwa tamu yang hadir pada acara yang diselenggarakan di Aceh
241
Tamiangdisambut dengan tarian Sekapur Sirih sebagai jati diri seni budaya asli
daerah Aceh Tamiang.
e. Makna konotatif
Makna konotasi pada penggalan syair Sekapur Sirih mengandung makna
bahwa tari Sekapur Sirih adalah seni tari yang berasal dari Aceh Tamiang yang
khusus ditampilkan di acara–acara tertentu yang benar-benar sakral. Hal ini juga
berkaitan dengan masyarakat Aceh Tamiang yang dikenal kental dengan nilai
agama, khususnya agama islam. Hal itu juga diperkuat pada teks “ sirih dipetik
waktu gelap petang’ yang mengandung makna bahwa sirih adalah suatu tumbuhan
yang sangat sakral, sehingga harus di petik pada malam hari, sebab malam hari
menandakan suatu keadaan yang benar-benar sakral bagi suatu agama. Maka,
pada syair Sekapur Sirih mengandung pelajaran bagi setiap orang untuk saling
menghormati dan menghargai kedatangan seseorang, tanpa melihat latar belakang
dan derajat tamu dan undangan.
f. Spontanitas garapan teks
Spontantias garapan teks pada penggalan syair Sekapur Sirih dapat ditemukan
pada kata ‘pe’ yang berarti pun, ‘sajike’ yang berarti sajikan, dan ‘budaye’ yang
berarti budaya merupakan logat dari bahasa Aceh Tamiang. Maka, tidak akan
salah jika pengarang menulis beberapa kata menggunakan logat Aceh Tamiang.
242
g. Gaya bahasa
Ada beberapa macam gaya bahasa yang terdapat pada syair Sekapur Sirih,
yaitu:
(1) Pleonasme merupakan gaya bahasa yang menambahkan keterangan pada
pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang
sebenarnya tidak diperlukan. Pada syair tari Sekapur Sirih yang termasuk
dalam gaya bahasa pleonasme yaitu:
“Sirih Dipetik waktu gelap petang”
Kata “gelap” dan “petang” memiliki pernyataan sama sebagai tanda bahwa
waktu memang sudah malam.
(2) Elipsis merupakan gaya bahasa yang berisi penghilangan satu atau
beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut
seharusnya ada. Pada syair tari Sekapur Sirih yang termasuk dalam gaya
bahasa elipsis yaitu:
‘Seni budaye Aceh Tamiang’: seharusnya ‘Seni budaye asliAceh Tamiang”
6.1.3 Lagu Zapin Sekapur Sirih
Berikut adalah kerja Analisis terhadap salah satu lagu Melayu yang
berkategorikan Zapin, yaitu Zapin lagu Sekapur Sirih. Lagu ini penulis analisis
melalui teori semiotik yang llazim digunakan dalam ilmu-ilmu seni. Lagu ini
menjadi pilihan karena sangat luas dikenal masyarakat Melayu atau rumpun
Melayu. Lagu ini memiliki identitas keMelayuan yang kuat, baik ditinjau dari
tangga nada maupun ornamentasi yang digunakan di dalamnya. Selain itu syair
243
lagu Sekapur Sirih ini juga syarat dengan makna-makna budaya yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Melayu. Lagu ini juga bisa dikatakan sebagai
ungkapan simbol yang lazim digunakan oleh orang-orang Melayu dalam konteks
Komunikasi Budaya. Berikut ini adalah analisis lagu zapin pecahan dari lagu
Sekapur SirihAceh Tamiang.
ZAPIN SEKAPUR SIRIH
Sekapur SirihSekapur Sirih Pinang Sebiji Sirih di hias Sirih dihias Bunge Kenange Tamu yang Datang tamu yang Datang kami hormati Sekapur Sirih Seule pinang kami sajike Sekapur SirihSekapur Sirih Kami Sajike Pinang di beleh pinangg dibeleh menjadi due Syariat Islam syariat islam Kite amalke Seni budaye seni budaye Kite Kembangke Sekapur SirihSekapur Sirih Dari Malake Sirih di Tanam Sirih di Tanam di Tepi telage Aceh TamiangAceh Tamiang Kabupatennye Kharang Baru Kharang Baru Ibukotenye (Sumber: Syafina Arham, dalam wawancara 24 Juni 2014 Aceh Tamiang)
Teks lagu Sekapur Sirih ini juga mengandung lambang dalam konteks
budaya Melayu. Sekapur Sirih adalah lambang orang Melayu dan Kebudayaannya
dalam mempersembahkan Sekapur Sirih sebagai sebuah persembahan dalam
bentuk penghormatan dan pemuliaan tamu, termasuk dengan teks sebagai berikut:
(bait 1)
Sekapur SirihSekapur Sirih Pinang Sebiji Sirih di hias Sirih dihias Bunge Kenange Tamu yang Datang tamu yang Datang kami hormati Sekapur Sirih Seule pinang kami sajike
244
Teks ini coba menyampaikan pesan bahwa Selembar Sirih yang menjadi simbol
kehormatan bagi yang memberi dan yang menerima, disajikan lengkap dengan
seoles kapur serta secungkil pinang adalah bermakna “dalam” didalam kehidupan
masyarakat Aceh Tamiang. Masyarakat Aceh Tamiang sangat memuliakan tamu
dalam kehidupan sehari-hari, walau miskin papa, tetapi niat memberi dan
memuliakan tamu sangat besar, merasa malu dengan tangan dibawah, dengan
memberikan Sekapur Sirih, masyarakat Aceh Tamiang sudah merasakan puas
dapat memuliakan tamu dengan tidak melihatkan perbedaan kekayaan dan
kemiskinan.
Dalam arti lain, masyarakat Melayu sudah paham dengan sistem
kehidupan dan kebiasaan yang baik yang tercakup dalam adat Melayu, seperti
yang dikonsepkan dalam adat bersendikan syarak bersendikan Kitabullah (Kitab
Allah) yang di sebut Al-Quran. Dengan ini, insya Allah semua masyarakat
Melayu memuliakan tamu dengan sopan santun, kewajaran sesuai dengan ajaran
syariah Islam.
Dalam kebudayaan MelayuAceh Tamiang, memuliakan Tamu, masih
dilakuakan masyarakat Melayu hingga saat ini. Karena dapat mendatangkan
kebahagiaan bagi yang menerima tamu, juga mendapat kemudahan dengan
diterima sebagai yang dimuliakan.
Selanjutnya: (bait 2)
Sekapur SirihSekapur Sirih Kami Sajike Pinang di beleh pinang dibeleh menjadi due Syariat Islam syariat islam Kite amalke Seni budaye seni budaye Kite Kembangke
245
Teks di bagian ke dua ini adalah tentang kegiatan seni yaitu berdendang
Melayu, dan pengembangan seni budaya, baik lagu, musik, tari, teater, dan lain-
lainnya tetapi tetap belandaskan syariat Islam. Terutama di masa pemerintahan
Sultan Sulaiamn Syaiful Perkasa Alamsyah, negeri ini menjadi pusat kesenian
dalam budaya Melayu Sumatera Timur.
Selanjutnya : (bait 3)
Sekapur SirihSekapur Sirih Dari Malake Sirih di Tanam Sirih di Tanam di Tepi telage Aceh TamiangAceh TamiangKabupatennye Kharang Baru Kharang Baru Ibukotenye Teks di bagian ke tiga ini adalah tentang keberadaan sirih bermakna bagi
semua lapisan masyarakat walaupun dari wilayah yang sangat jauh, sirih tetap
sirih sebagai simbol rajanya daun, sebagai alat berinteraksi, dalam semua bentuk
persahabatan yang baik, tujuan yang baik, yang dipergunakan dalam siklus
kehidupan yang sudah turun-temurun. Daun sirih sebagai simbol untuk
perdamaian atau permohonan maaf, atau untuk meminang seorang putri untuk
dijadikan seorang pendamping hidup (istri). Sirih dengan sifat tumbuhnya suka di
tempat yang lembab atau di tepi telaga menunjukkan sirih dengan warna hijau
pada umumnya dapat bermanfaat sebagai penawar, obat bagi banyak penyakit,
dan mendamaikan hati.
3. Lagu Zapin Sekapur Sirih
Sekapur SirihSekapur Sirih pinang sebiji Sirih di hias sirih dihias bunge kenange
Tamu yang datang tamu yang datang kami hormati Sekapur Sirih seule pinang kami sajike
246
Sekapur SirihSekapur Sirih kami sajike
Pinang dibeleh pinang dibeleh menjadi due Syariat islam syariat islam kite amalke
Seni budaye seni budaye kite kembangke Sekapur SirihSekapur Sirih dari Malake
Sirih ditanam sirih ditanam di Tepi Telage Aceh TamiangAceh Tamiang kabupatennye
Kharang baru kharang baru ibukotenye
a. Diksi
Pemilihan kata pada syair tari zapin Sekapur Sirih memiliki beberapa
ketepatan dan kesesuaian tiap kata dalam kalimat. Seperti bait pertama memiliki
kesamaan sajak aa pada sampiran, dan sajak bb pada isi. Sedangkan pada bait ke 2
dan ke 3 memiliki persamaan sajak aaaa baik pada sampiran maupun isinya.
Sedangkan untuk pemilihan kata, seperti kata ‘tepi’ yang bersinonim dengan kata
pingggir sudah tepat adanya. Kata ‘tepi’ identik dengan kawasan yang menjorok
ke luar seperti tepi sungai, tepi laut, maupun kata pada syair tersebut yaitu ‘tepi
telaga’ yang lebih cocok untuk penunjuk wilayah perairan. Berbeda dengan kata
pinggir, yang identik dan cocok dengan kata pinggir jalan, pinggir taman, dan
lainnya yang lebih kepada penunjuk daratan.
b. Interjeksi
Interjeksi pada syair tari zapin Sekapur Sirih tidak dapat ditemukan.
c. Partikel
Pada syair tari zapin Sekapur Sirih juga tidak dapat ditemukan partikel kata.
247
d. Makna Denotatif
Pada syair tari zapin Sekapur Sirih mengandung makna yaitu bahwa asal usul
Sekapur Sirih yang berasal dari kota Malaka (Aceh) yang disajikan bagi tamu
kehormatan yang disesuaikan dengan syariat agama islam Aceh Tamiang dengan
diakui sebagai perilaku mencerminkan kebaikan terhadap sesama orang. Oleh
karena, dengan sikap dan perilaku saling menghargai dan menghormati orang lain
tidak hanya dalam bentuk tolong-menolong, namun dalam bentuk seni budaya
seperti menyediakan Sekapur Sirih beserta pinang yang dibelah dua sebagai
simbolis kongsi atapun saling berbgai terhadap sesama manusia.
e. Makna Konotatif
Makna konotatif yang terkandung pada tari zapin Sekapur Sirih mengandung
makna bahwa identitas dan rasa menghormati masyarakat Aceh Tamiang masih
kental dan kuat.
Pada bait 1:
Sekapur SirihSekapur Sirih pinang sebiji Sirih di hias sirih dihias bunge kenange Tamu yang datang tamu yang datang kami hormati Sekapur Sirih seule pinang kami sajike
Pada kutipan syair tersebut terkandung makna bahwa masyarakat
MelayuAceh Tamiang memiliki rasa penghormatan dan ramah-tamah terhadap
orang lain sangat tinggi rasanya. Bunga kenanga yang dianggap sebagai penghias
Sekapur Sirih dan pinang sebiji memiliki bau yang harum dan indah disimbolkan
sebagai pembalut kebersihan dan kesucian dan rasa keikhlasan tanpa paksaan
ketika kita kedatangan seorang tamu. Hal ini menandakan bahwa masyarakat
248
Aceh Tamiangmenghormati secara kasih sayang tamu yang berkunjung ke tanah
Melayu tersebut.
Sedangkan pada bait ke 2:
Sekapur SirihSekapur Sirih kami sajike Pinang dibeleh pinang dibeleh menjadi due Syariat islam syariat islam kite amalke Seni budaye seni budaye kite kembangke
Pada bait ke 2 memiliki arti bahwa salah satu syariat islam yang wajib
diamalkan adalah saling membantu dan memberi sebuah sajian baik makanan atau
apapun kepada tamu serta undangan yang telah datang, bahkan tamu yang
memang sengaja kita undang, karena hal tersebut merupakan perbuatan yang
sangat mulia dan menjadi telaudan yang baik. “Pinang dibelah dua” merupakan
simbolis rasa saling berbagi dan menyetarakan kedua pihak antar tamu dan tuan
rumah yang memiliki derajat dan kedudukan yang sama seperti halnya pinang
yang dibelah dua, dan tidak akan berbeda baik bentuk, rupa, warna, maupun
rasanya. Selain bidang agama, masyarakat Aceh Tamiang juga dituntut untuk
mengembangkan seni budaya sebagai identitas dan jati diri bangsa itu sendiri,
sehingga diakui sebagai bangsa yang bermartabat dan berilmu tinggi untuk
memperoleh sikap dan perilaku yang baik.
Sedangkan pada bait ke 3:
Sekapur SirihSekapur Sirih dari Malake Sirih ditanam sirih ditanam di Tepi Telage Aceh TamiangAceh Tamiang kabupatennye Kharang baru kharang baru ibukotenye
249
Pada bait ketiga mengandung makna bahwa Sekapur Sirih merupakan sebuah
tanaman yang hidup di pinggiran telaga sebagai simbol bahwa tanaman tersebut
merupakan tanaman yang memiliki naluri hidup sederhana dan berhati-hati dalam
menjalani hidup, dan merupakan ciri khas Aceh Tamiang dalam bermasyarakat
yang disimbolkan pada kata ‘telage’. Selain itu Aceh Tamiang merupkana sebuah
kabupaten yang juga memiliki sebuah ibukota yang bernama kharang baru sebagai
simbol bahwa kehormatan dan penghargaan masyarakat MelayuAceh Tamiang
sangat tinggi. Yang muda menghargai yang tua yang disimbolkan dengan kata
‘kabupatennye’ dan kaum muda menghormati yang tua yang disimbolkan dengan
‘ibukotenye’. Masyarakat Melayu tamiang juga menanamkan bahwa diatas
kekuasaan pasti ada penguasa yang harus dihormati sesuai derajat seorang
disimbolkan pada kata ‘Malake’, namun tidak saling meninggikan kedudukan diri
(strata jabatan) sebagai orang yang harus dihormati karena manusia berasal dari
kesederhanaan dan kelemahan yang disimbolkan dengan kata ‘tepi’
f. Spontanitas Garapan Teks
Pada spontanitas garapan teks pada tari zapin Sekapur Sirih juga terdapat
beberapa kata yang digunakan pengarang sesuai dengan latar belakang konteks,
seperti kata ‘sajike’ , ‘Malake’, ‘telage’ ‘ibukotenye’, ‘kabupatennye’, ’bunge’,
‘kenange’, ‘seule’ ‘due’, ‘budaye’, ’kite’, ’kembangke’, ’amalke’. Kata-kata
tersebut memang disesuaikan dengan logat dan ciri khas bahasa Aceh Tamiang.
g. Gaya Bahasa
Ada beberapa macam gaya bahasa yang ditemukan pada tari zapin Sekapur
Sirih yaitu, antara lain:
250
(1) Repetisi merupakan perulangan kata, frasa, dan klausa yang sama dalam
suatu kalimat. Pada syair diatas yang termasuk pada kategori gaya bahasa
repetisi adalah:
Sekapur SirihSekapur Sirih pinang sebiji Sirih di hiassirih dihias bunge kenange Tamu yang datangtamu yang datang kami hormati Sekapur Sirih seule pinang kami sajike Sekapur SirihSekapur Sirih kami sajike Pinang dibelehpinang dibeleh menjadi due Syariat islamsyariat islam kite amalke Seni budayeseni budaye kite kembangke Sekapur SirihSekapur Sirih dari Malake Sirih ditanamsirih ditanam di Tepi Telage Aceh TamiangAceh Tamiang kabupatennye Kharang barukharang baru ibukotenye
(2) Elipsis merupakan penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang
dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Pada syair tari zapin
Sekapur Sirih diatas yang termasuk pada kategori gaya bahasa elipsis
adalah:
Sirih di hias sirih dihias bunge kenange, harusnya: Sirih di hias sirih dihias
dengan bunge kenange’
(3) Personifikasi adalah majas perbandingan yang menuliskan benda-benda
mati menjadi seolah-olah hidup, dapat berbuat, atau bergerak. Pada syair
tari zapin Sekapur Sirih diatas yang termasuk pada kategori gaya bahasa
personifikasi adalah:
251
‘Sirih di hias sirih dihias bunge kenange’
Maksud pada penggalan bunga kenanga yang dianggap benda mati tidaklah
mungkin mampu menghias daun sirih.
(4) Majas Litotes adalah gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu
untuk tujuan merendahkan diri. Pada syair tari zapin Sekapur Sirih diatas
yang termasuk pada kategori gaya bahasa litotes adalah:
Sekapur SirihSekapur Sirih dari Malake Sirih ditanam sirih ditanam di Tepi Telage
(5) Majas metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan ciri tubuh,
gelar atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Pada syair tari zapin
Sekapur Sirih diatas yang termasuk pada kategori gaya bahasa metonimia
adalah:
Sekapur SirihSekapur Sirih kami sajike Pinang dibeleh pinang dibeleh menjadi due Syariat islam syariat islam kite amalke Seni budaye seni budaye kite kembangke
Dalam hal ini Sekapur Sirih diganti dengan seni budaya Aceh Tamiang sebagai
simbol lain dari kebudayaan daerah asal Aceh.
252
6.1.4. Sirih sebagai Pemulia Tamu
Gambar 6.1. Susunan Sirih (Sumber : google)
Tradisi Makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari
3000 tahun yang lampau atau di zaman Neolitik, hingga saat ini.Budaya Makan
sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari pelbagai
golongan, meliputi masyarakat bawah, pembesar negara, serta kalangan istana.
Tradisi Makan sirih tidak diketahui secara pasti dari mana berasal. Dari cerita-
cerita sastra, dikatakan tradisi ini berasal dari India.
Tetapi jika ditelusur berdasarkan bukti linguistik, kemungkinan besar
tradisi Makan sirih berasal dari Nusantara. Pelaut terkenal Marco Polo menulis
dalam catatannya di abad ke-13, bahwa orang India suka mengunyah segumpal
253
tembakau. Sementara itu penjelajah terdahulu seperti Ibnu Batutah dan Vasco de
Gama menyatakan bahwa masyarakat Timur memiliki kebiasaan meMakan sirih.
Di masyarakat India, sirih pada mulanya bukan untuk dimakan, tetapi sebagai
persembahan kepada para dewa sewaktu sembahyang di kuil-kuil. Beberapa helai
daun sirih dihidangkan bersama dengan kelapa yang telah dibelah dua dan dua
buah pisang emas.
Pada saat ini sirih sangat dikenal di kalangan masyarakat Melayu. Selain
dimakan oleh rakyat kebanyakan, sirih juga dikenal sebagai simbol budaya dan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam adat istiadat Melayu. Sirih dipakai
dalam upacara menyambut tamu, upacara merisik dan meminang, upacara
pernikahan, pengobatan tradisional, dan berbagai upacara adat yang lain. Dalam
upacara pernikahan, sirih dirangkai dalam bentuk sirih junjung yang cantik, dan
bersama dengan sirih penyeri dipakai sebagai barang hantaran kepada pengantin
perempuan. Di dalam upacara resmi kebesaran istana, sirih junjung dipakai
sebagai hiasan yang menyemarakkan suasana. Sirih junjung juga dibawa sebagai
kepala suatu arak-arakan adat.
Sirih Aceh
Daun sirih di Aceh dinamakan Ranub. Ranub memainkan peranan penting dalam
kehidupan orang Aceh. Ranub yang telah dibubuhi kapur, irisan pinang, dan
gambir kemudian dikunyah sebagai makanan pelengkap.
254
Gambar 6.2. Perangkat Sirih (Sumber : google)
Prosesi penyiapannya dari memetik daun sampai dengan menyajikannya
divisualisasikan menjadi sebuah gerakan tari yang sangat dinamis dan artistik.
Gerakan inilah yang akhirnya menjadi tarian tradisional asal Aceh yang
dinamakan Tari Ranub Lampuan. Menyajikan ranub kepada tamu dalam tradisi
Aceh adalah sebuah ungkapan rasa hormat.
Namun kita tidak pernah memperhatikan dengan seksama apa yang ada di
balik semua aktifitas yang berkaitan dengan ranub. Ranub bagi masyarakat Aceh
tidak hanya sekedar tumbuhan yang memiliki manfaat secara fisik semata. Namun
di balik itu ada berbagai penafsiran poli-interpretasi, karena di dalam
memahaminya ranub menjadi simbol yang multi rupa.
Pemaknaannya secara sosial dan kultural digunakan dalam banyak cara
dan berbagai aktivitas. Ranub dengan segala perlengkapannya memainkan
peranan penting pada masa kesultanan Aceh, dalam upacara-upacara kebesaran
sultan.
255
Selain itu dalam perkembangannya, ranub juga menempati peranan yang
cukup penting dalam sistem daur hidup (life cycle) masyarakat Aceh. Jika ada
acara-acara resmi, seperti pernikahan, hajatan sunat, bahkan di acara penguburan
mayat sekalipun, ranub seolah menjadi makanan wajib. Sehingga ada anggapan,
adat dan ranub menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan di Aceh.
Dari masa sebelum melahirkan yakni ketika usia kehamilan mencapai
tujuh atau delapan bulan, mertua sudah mengusahakan seorang bidan untuk
menyambut kelahiran bayi. Pihak mertua dan ibunya sendiri biasanya
mempersiapkan juga hadiah yang akan diberikan kepada bidan pada saat
mengantar nasi sebagai tanda persetujuan.
Gambar 6.3. Meracik Sirih
(Sumber : google)
Tanda ini disebut dengan peunulang, artinya hidup atau mati orang ini
diserahkan kepada bidan. Setelah menerima peunulang, ada kewajiban bagi bidan
256
untuk menjenguk setiap saat. Bahkan kadang-kadang ada yang menetap sampai
sang bayi lahir. Biasanya hadiah yang diberikan kepada bidan antara lain seperti,
ranub setepak (bahan-bahan ranub), pakaian sesalin (biasanya satu stel), dan uang
ala kadarnya.
Pada saat bayi lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah
sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti dengan arang, kunyit,
dan air ludah ranub. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang
didalamnya menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara
antar mengaji.
Upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh juga mempergunakan ranub
dalam rangkaian upacaranya. Setelah seulangke mendapat kabar dari ayah si
gadis, lalu menyampaikan kabar suka cita kepada keluarga pemuda, ditentukan
waktu atau hari apa mengantar ranub kong haba, artinya ranub penguat kata atau
perjanjian kawin (bertunangan).
Kemudian keluarga si pemuda mengumpulkan orang-orang patut dalam
kampung kemudian memberi tahu maksud bahwa dimintakan kepada orang-orang
yang patut tersebut untuk pergi ke rumah ayah si gadis untuk meminang si gadis
dan bila dikabulkan terus diserahkan ranub kong haba atau tanda pertunangan
dengan menentukan sekaligus berapa mas kawinnya (jiname/jeulamee).
Dalam hubungan sosial masyarakat Aceh, ranub juga memiliki fungsi dan
peranan penting antara lain untuk penghormatan kepada tamu. Sekaligus untuk
menjalin keakraban dan perasaan solidaritas kelompok, maupun sebagai media
untuk meredam/menyelesaikan konflik serta menjaga harmoni sosial.
257
Menjadi Simbol
Gambar 6.4. Setepak Sirih (Sumber : google)
Berkaitan dengan adat menyuguhkan ranub tersebut, ranub dapat diartikan
sebagai simbol kerendahan hati dan sengaja memuliakan tamu atau orang lain
walaupun dia sendiri adalah seorang yang pemberani dan peramah.Sebentuk daun
sirih (sebagai aspek ikonik) dalam kaitan ini dapat dirujuk pada aspek
indeksikalnya adalah sifat rasa yang pedar dan pedas. Simbolik yang terkandung
di dalamnya adalah sifat rendah hati dan pemberani. Ranub juga dianggap
memiliki makna sebagai sumber perdamaian dan kehangatan sosial. Hal ini
tergambar ketika berlangsung musyawarah untuk menyelesaikan persengketaan,
upacara perdamaian, upacara peusijuek, meu-uroh, dan upacara lainnya ranub
hadir ditengah-tengahnya.
Semua bentuk upacara itu selalu diawali dengan menyuguhkan ranub
sebelum upacara tersebut dimulai. Dalam etika sosial masyarakat Aceh, tamu
258
(jamee) harus selalu dilayani dan dihormati secara istimewa.Hal ini terjadi karena
seluruh segi kehidupan masyarakat Aceh telah dipengaruhi oleh ajaran Islam yang
dibakukan dalam adat dan istiadat.
Sementara Bate Ranub (puan) yang menjadi wadahnya melambangkan
keindahan budi pekerti dan akhlak yang luhur. Wadah tersebut sebagai satu
kesatuan yang melambangkan sifat keadatan.Maka ke depan modifikasi kemasan
ranub ini perlu diperhatikan, bagaimana anak-anak Aceh tidak asing dengan
budayanya dari pemakan ranub kini menjadi pengkomsumsi narkoba dan produk-
produk luar untuk pencitraan modern, meskipun di tempat asalnya makanan itu
sudah dianggap sebagai makanan jalanan atau makanan sampah (junk food).(Fuad
Heriansyah on Friday, September 27, 2012, Sumber : google 2014)
259
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1Kesimpulan
Dari keseluruhan uraian-uraian yang telah dijabarkan tentang tari Makan
sirih dalam wilayah budaya Aceh Tamiang, maka penulis merangkumkan
beberapa kesimpulan untuk menjawab suatu pokok permasalahan dalam rangka
penelitian ini yaitu struktur tari, struktur musik, dan struktur teks dalam
pertunjukkan Tari Makan sirih di Aceh Tamiang.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, penulis mendapat kenyataan
bahwa Tari Makan sirih di Aceh Tamiang sama dengan semua sifat Tari Makan
sirih yang ada di daerah Melayu yang ada di sepanjang pesisir Indonesia, dari
Sabang sampai Merauke, bahkan sampai ke Semenanjung Malaka. Bersifat sama-
sama untuk memuliakan dan menhormati tamu dengan persembahan sirih di bawa
oleh penari–penari Makan sirih serta penari Sekapur Sirih.
Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah adanya tari Makan sirih
yang yang lazim dilakukan di Aceh Tamiang, dan ada yang berjenis sama tetapi
berbeda nama yakni tari Sekapur Sirih. Lagu dan tari Sekapur Sirih di nyanyikan
dengan pecahan Zapin. Adapun Tari Sekapur Sirih di ciptakan di Aceh Tamiang,
sebagai upaya pemerintah menunjukkan jati diri Aceh Tamiang pada tahun 2001.
Tari Makan sirih, dan tari Sekapur Sirih adalah sama, bersifat membuka
acara di Aceh Tamiang, dan pada saat sirih di persembahkan kepada para
undangan, undangan mengambil Sirih dari Tepak Penari dan mengganti dengan
259
260
sebentuk penghargaan sebagai ungkapan ucapan terima kasih telah dimuliakan,
dan ungkapan itu berupa uang yang di berikan. Sirih yang di ambil tidak wajib
untuk di makan, tetapi sebentuk penghargaan yang diberikan kepada tamu, dan
menjadi kehormatan bagi undangan yang disuguhkan persembahan sirih tersebut.
Pada saat Acara dimulai dengan penampilan tari Makan sirih, atau tari Sekapur
Sirih, simpulan penulis, bahwa tari Makan sirih dan tari Sekapur Sirih adalah
bersifat membuka acara.
Struktur Tari Makan sirih dan struktur tari Sekapur Sirih menunjukkan
bahwa gerakan dan konsep syariat Islam tercermin dalam penampilan
pertunjukkan Tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih. Aceh Tamiang sebagai
wilayah yang bersyariatkan Islam mau memakai dan melestarikan segala yang
bernuansa Islam, bentuknya tari Makan sirih dan tari Sekapur Sirih
menggambarkan adanya gerak memberi salam dan sembah memuliakan para
hadirin yang ada.
Struktur teks lagu Makan sirih, Lagu Sekapur Sirih dan Lagu pecahan
Sekapur Sirih yang ada menggambarkan ajaran-ajaran kebaikan yang menuntun
melalui teks yang tercipta. Saat teks yang disebut pantun dinnyanyikan oleh Vokal
atau seorang penyanyi Melayu, saat diiringi pula oleh ensambel musik Melayu,
yang terdiri dari gendang, biola dan Akordion, menambah keharmonisan. Penyaji
dan penikmatnya.
261
7.2 Saran
Seni pertunjukkan tari Makan sirih dan Tari Sekapur Sirih di Aceh Tamiang
Tari Makan sirih dan tari Sekapur Sirih di Aceh Tamiang ada perbedaan didalam
pola lantai dan gerak tarinya tetapi terdapat juga banyak kesamaan yang dapat
diterima oleh masyarakat Aceh Tamiang. Tari Makan sirih dan Sekapur Sirih
bertujuan memuliakan dan menghormati tamu. Tari Makan sirih dan Tari Sekapur
Sirih di Aceh Tamiang tidaklah asli tradisional tetapi sudah dikreasikan dalam
gerakan dan pola lantainya, karena koregarefer tarinya adalah orang-orang muda.
Tetapi sama-sama diterima dan di pakai oleh masyarakat Aceh Tamiang, karena
masih didalam kesopanan dan bersendikan syariat Islam.
Harapan penulis terhadap pembaca khususnya masyarakat MelayuAceh
Tamiang pada umumnya dan Pemerintah, untuk lebih mengedepankan tari Makan
sirih dan Tari Sekapur Sirih daripada tari yang bukan tradisional atau yang berasal
dari budaya luar. Terhadap para seniman Melayu, penulis berharap agar setiap
seniman Melayu dapat terus berkreasi dan menungkan ide-ide baru tanpa
meninggalkan budaya tradisi, agar seni budaya Melayu tak hilang di bumi.
262
DAFTAR PUSTAKA
Dananjaja, Djames, 1984. Foklor Indonesia. Jakarta: UI Press. Dewi, Rita, 1995, “Rapa-i Pasee pada Kebudayaan masyarakat Aceh di Desa Awe,
Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara: Analisis Musik dalam Konteks Kebudayaan.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU Medan.
Hoesin, Omar A., 1981. Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan
Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional. Jakarta: Bulan Bintang. Husni, Tengku Lah, 1986, Butir-butir Adat Budaya Melayu Pesisir Sumatera
Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jessy, Joginder Sing, 1864. Sejarah Tanah Melayu 1400-1959. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka. Kayam, Umar, 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Jembatan. Koentjaraningrat, 1964. Masjarakat Desa di Indonesia Masa Ini. Jakarta: Djembatan. Lubis, Akhyar Yusuf. 2009. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Jakarta: Aksara. Malm, William P., 1977. Music Cultures of the Pacific, near East, and Asia.
Englewood Cliffs, New jersey: Prentice Hall. Majalah Aceh Tourism. Edisi 001. Sep-Des 2013. Merriam, Alan P., 1964. The Anthropology of Music. Chichago: Northwestern
University Press. Muly, Cut Rosmiaty, 1998. “Seurune Kalee dalam kebudayaan Masyarakat Aceh di
Desa Gurah, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar: Kajian terhadap Difusi, Organologis, dan Akustika.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi, Fakultas Sastra USU Medan.
Nor, Mohd Anis Md., 1995. "Lenggang dan Liuk dalam Tari Pergaulan Melayu,"
Tirai Panggung, jilid 1, nomor 1. Pelly, Usman, 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
262
263
Pelly, Usman, 1986. Lokasi Lembaga Pendidikan, Sosial, dan Agama dalam Tata Ruang Permukiman Masyarakat Majemuk yang Menopang Integrasi Sosial: Kasus Kotamadya Medan. Tokyo: The Toyota Foundation
Royce, Anya Peterson, 1990. Antropologi Tari (terjemahan F.X Widaryanto).
Bandung: ISI Bandung. Silitonga, Sansri Nuari, 2011. “Nur ‘Ainun sebagai Penyanyi Melayu Sumatera Utara:
Biografi dan Analisis Struktur Lagu-lagu Rentak Senandung, Mak Inang, dan Lagu Dua yang Dinyanyikannya.” Skripsi Sarjana, Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.
Simorangkir, Heidy E., 2011. “Analisis Gaya Permainan Akordion untuk Lagu-lagu
Melayu oleh Zulfan Efendi Lubis.” Skripsi Sarjana, Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara Medan.
Sobur, Alex, 2000. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Balai Pustaka. Soekanto, Soerjono, 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Aksara. Soekanto, Soerjono, 1991. Teori Sosiologi. Jakarta: Aksara. Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi, 1964. Setangkai Bunga Rampai
Sosiologi. Jakarta: FE UI. Suny, Ismail (ed.), 1980. Bunga Rampai tentang Aceh. Banda Aceh: Lembaga
Adat kebudayaan Aceh. Takari, Muhammad dkk., 2008:87. Masyarakat dan Kesenian di Indonesia.
Medan: Studia Kultura. Turner, Victor dan Edward M. Bruner (eds.) 1979. The Anthropology of
Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois. Tumer, Victor. 1980, From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play.
New York: PAJ Publication.
264
DAFTAR INFORMAN
Nama : Drs. Muhammad Takari, M. Hum, Ph.D Umur : 49 Tahun Pekerjaan : Dosen Alamat : Kota Medan Nama : Drs. Kumalo Tarigan, MA. Umur : 56 Tahun Pekerjaan : Dosen Alamat : Kota Medan
Nama : Ellisa MPd Umur : 32 Tahun Alamat : Aceh Tamiang Pekerjaan : PNS/ Pelaku Seni Nama : Haris Nasution Umur : 36 Tahun Alamat : Aceh Tamiang Pekerjaan : PNS/ Pelaku seni Nama : Syafina Arham Umur : 53 Tahun Alamat : Sungai Liput Aceh Tamiang Pekerjaan : PNS/ Kasi Kebudayaan Nama : Effendi Umur : 58 Tahun Alamat : Kampung Baru Medan Pekerjaan : Pelaku Seni Nama : Arki Umur : 26 Tahun Alamat : Aceh Tamiang Pekerjaan : Guru/ Pelaku Seni
265
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lambang TVRI Aceh Tamiang Lambang Kabupaten Aceh Tamiang
Lambang Sanggar Aceh Tamiang
266
Gerak awal tari Sekapur Sirih Gerak sembah tari Sekapur Sirih
Gerak hadap samping kiri Sekapur Sirih Gerak hadap belakang Sekapur Sirih
267
Gerak duduk bersimpuh Gerak persembahan
Gerak duduk campak bunga ke kanan Gerak duduk membuka tepak
268
Tepak sirih Sekapur Sirih
Susunan Sirih
269
Foto bersama Istri Gubernur Aceh 2014
270
Kelompok Musik Aceh Tamiang di Banda Aceh