PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN RESERPINJalur biosintesis asam mevalonat (Berg et al., 2002)..... 47...
Transcript of PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN RESERPINJalur biosintesis asam mevalonat (Berg et al., 2002)..... 47...
i
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN RESERPIN
KULTUR KALUS Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon
PADA VARIASI KONSENTRASI SUKROSA
DALAM MEDIA MS
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh :
IrmawatiM0402032
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2007
i
PERSETUJUAN
SKRIPSI
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN RESERPINKULTUR KALUS Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon
PADA VARIASI KONSENTRASI SUKROSA DALAM MEDIA MS
Oleh:
Irmawati
M0402032
telah disetujui untuk diujikan
Surakarta, Januari 2007
Menyetujui
Mengetahui
Ketua Jurusan Biologi
Drs. Wiryanto, M.SiNIP. 131 124 613
Pembimbing I
Solichatun, M.Si.NIP. 132 162 554
Pembimbing II
Dra. Endang Anggarwulan, M.SiNIP. 130 676 864
ii
PENGESAHAN
SKRIPSI
PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN RESERPINKULTUR KALUS Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon
PADA VARIASI KONSENTRASI SUKROSA DALAM MEDIA MS
Oleh:
Irmawati
M0402032
telah dipertahankan di depan tim penguji
pada tanggal 12 Februari 2007
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Surakarta, Februari 2007
Mengesahkan
Penguji III/Pembimbing I
Solichatun, M.SiNIP. 132 162 554
Penguji IV/Pembimbing II
Dra. Endang Anggarwulan, M.SiNIP. 130 676 864
Penguji I
Widya Mudyantini, M.SiNIP. 132 240 172
Ketua Jurusan Biologi
Drs. Wiryanto, M.SiNIP. 131 124 613
Penguji II
Drs. Marsusi, M.SNIP. 130 906 776
Dekan F MIPA
Drs. Marsusi, M.SNIP. 130 906 776
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya unsur penjiplakan, maka
gelar yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Surakarta, Februari 2007
IrmawatiNIM. M0402032
iv
ABSTRAK
Irmawati. 2006. PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN RESERPIN KULTUR KALUS Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon PADA VARIASI KONSENTRASI SUKROSA DALAM MEDIA MS. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh variasi konsentrasi sukrosa terhadap pertumbuhan dan kandungan reserpin pada kultur kalus R. verticillata.
Penelitian ini dilakukan dengan metode kultur kalus yang terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah tahap inisiasi kalus untuk menginduksi kalus dari eksplan daun R.verticillata, dan tahap kedua adalah tahap produksi reserpin pada media perlakuan. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan yaitu variasi konsentrasi sukrosa. Konsentrasi sukrosa yang digunakan adalah 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l dan 40 g/l, masing-masing 5 ulangan. Data yang diambil terdiri dari data kualitatif (morfologi kalus) yang disajikan secara deskriptif serta data kuantitatif (berat basah kalus, berat kering kalus, dan kandungan reserpin) yang dianalisis menggunakan uji ANAVA dilanjutkan uji DMRT taraf 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variasi konsentrasi sukrosa mempengaruhi berat basah kalus, berat kering kalus dan kandungan reserpin. Peningkatan konsentrasi sukrosa dalam media MS cenderung meningkatkan pertumbuhan kalus R. verticillata yang ditunjukkan pada berat basah dan berat kering kalus. Peningkatan berat basah kalus tertinggi diperoleh pada media dengan konsentrasi sukrosa 20 g/l, sedangkan berat kering kalus tertinggi diperoleh pada media dengan konsentrasi sukrosa 40 g/l. Penambahan sukrosa sampai dengan 30 g/l meningkatkan kandungan reserpin, pada konsentrasi sukrosa di atas 30 g/l cenderung menurunkan kandungan reserpin.
Kata Kunci: Pertumbuhan kalus, reserpin, Rauvolfia verticillata, sukrosa.
v
ABSTRACT
Irmawati. 2006. THE GROWTH AND RESERPINE CONTENT OF CALLUS CULTURE OF Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon ON THE VARIATION OF SUCROSE CONCENTRATION IN MS MEDIUM. Department of Biology. Faculty of Mathematics and Natural Science. Sebelas Maret University. Surakarta.
The aim of this research is to study the effect of variation of sucrose concentration on growth and reserpine content on callus culture of R. verticillata.
The research was conducted with callus culture method that consist of two stages. The first stage is callus initiation to induce callus from explant (R. verticillata leaf), and the second stage is reserpine production on treatment medium. This research uses Complately Randomized Desaign (CRD) by one factor, variation of sucrose concentration. The sucrose concentration consists of five levels e. q 0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l and 40 g/l, and each concentration in five replicates. The collected data consist of qualitative and quantitative data. The qualitative data (callus morphology) presented descriptively. The quantitative data (fresh weight callus, dry weight callus, reserpine content) were analysed using ANOVA and followed by DMRT 5% confident level.
The result of research showed that variation of sucrose concentration influence fresh weight callus, dry weight callus and reserpine content. The increasing of sucrose concentration tended to raise callus growth, which could be seen from the fresh and dry weight callus. The highest fresh weight callus was found in medium with sucrose concentration 20 g/l, while the highest dry weight callus was found in medium with sucrose concentration 40 g/l. The increasing of sucrose concentration until 30 g/l raised reserpine content, but sucrose concentration over 30 g/l decreased reserpine content.
Key Word: Callus growth, reserpine, Rauvolfia verticillata, sucrose.
vi
MOTTO
Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan
(Q.S. Al Fatihah (1): 5)
Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk persiapan
saat sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu (H.R. Bukhari)
Keberhasilan butuh perjuangan, perjuangan butuh pengorbanan, pengorbanan butuh keikhlasan, penuhilah dengan ketulusan dan kesabaran itulah
sebaik-baik usaha maka kau akan mendapat yang terbaik.
Tiada kata terlambat untuk berubah menjadi lebih baik (Penulis)
vii
PERSEMBAHAN
Sebuah ikhtiar kecil dan sederhana ini aku persembahkan untuk:
Mama dan Papa atas doa dan kepercayaannya Ini semua tak sebanding dengan apa yang kalian berikan
Mbak dan masku, adik-adikku, keponakanku atas doanya Kalian semangatku, karena kalian aku bertahan
Para pendidik dan Almamaterku Karena kalian aku menjadi lebih berarti
Semua saudaraku di bumi Allah Semoga bermanfaat
viii
KATA PENGANTAR
Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon merupakan salah satu tumbuhan
yang berkhasiat obat. Reserpin yang terkandung di dalamnya sering dimanfaatkan
sebagai obat hipertensi. Pada umumnya pemanfaatan R. verticillata dengan cara
mengambilnya langsung dari alam. Keberadaan tumbuhan R. vertcillata semakin
langka sedangkan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya sangat
dibutuhkan. Kelangkaan tumbuhan ini disebabkan karena laju penggunaan yang
tinggi dibanding kemampuan alam untuk memulihkan populasinya. Sulitnya
pembudidayaan juga menjadi salah satu penyebab kelangkaan tumbuhan ini.
Kultur in vitro selain dimanfaatkan untuk pemuliaan dan perbanyakan
tanaman juga dapat digunakan untuk memproduksi metabolit sekunder.
Manipulasi media merupakan salah satu metode kultur in vitro untuk
mengoptimalisasi produksi metabolit sekunder; salah satunya dengan variasi
konsentrasi sumber karbon berupa sukrosa.
Sukrosa merupakan sumber karbon dan sumber energi yang efektif dalam
kultur in vitro. Keberadaan sukrosa dalam media sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan metabolisme sel. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
pertumbuhan dan kandungan reserpin kalus R. verticillata pada variasi konsentrasi
sukrosa dalam media MS (Murashige Skoog).
Februari , 2007
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
ABSTRACT .................................................................................................. v
HALAMAN MOTTO ................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................. viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................... 4
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 4
1. Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon ......................................... 4
2. Teknik Kultur in Vitro ................................................................ 7
3. Metabolit Sekunder .................................................................... 10
4. Nutrisi dalam Media ................................................................... 16
B. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 18
C. Hipotesis ............................................................................................ 19
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 20
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 20
B. Bahan dan Alat .................................................................................. 20
x
1. Bahan .......................................................................................... 20
2. Alat ............................................................................................. 21
C. Rancangan Percobaan ....................................................................... 22
D. Cara Kerja ......................................................................................... 22
1. Persiapan .................................................................................... 22
2. Induksi Pembentukan Kalus ....................................................... 24
3. Penanaman Kalus pada Media Perlakuan ................................... 25
4. Pemeliharaan Selama Perlakuan ................................................ 26
5. Pengamatan dan Pengujian Hasil ............................................... 26
E. Analisis Data ..................................................................................... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 29
A. Induksi Pembentukan Kalus .............................................................. 29
B. Kalus dalam Media Perlakuan .......................................................... 31
1. Morfologi Kalus ......................................................................... 31
2. Pertumbuhan Kalus .................................................................... 35
C. Analisis Kandungan Reserpin dalam Kalus ...................................... 42
BAB V. PENUTUP ....................................................................................... 52
A. Kesimpulan ....................................................................................... 52
B. Saran .................................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 53
LAMPIRAN .................................................................................................. 58
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ................................................... 68
RIWAYAT HIDUP PENULIS ..................................................................... 70
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Morfologi kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari) ................................................ 32
Tabel 2. Rata-rata peningkatan berat basah kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari)...... 35
Tabel 3. Rata-rata berat kering kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa ........................................................... 39
Tabel 4. Rata-rata kadar reserpin (mg/g) kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa .......................................... 42
xii
DAFTAR GAMBAR
HalamanGambar 1. Morfologi tanaman Rauvolfia verticillata ................................ 5
Gambar 2. Struktur kimia reserpin (Manitto, 1981) .................................. 12
Gambar 3. Jalur biosintesis Alkaloid Indol Monoterpenoid (Shank et al., 1998) ......................................................................................... 13
Gambar 4. Struktur kimia molekul sukrosa (Dwidjoseputro, 1994) .......... 17
Gambar 5. Diagram alir kerangka pemikiran ............................................. 19
Gambar 6. Morfologi kalus R. verticillata umur 30 hari pada media inisiasi ....................................................................................... 30
Gambar 7. Morfologi kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari) ........................................... 34
Gambar 8. Histogram rata-rata peningkatan berat basah kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari) ............................................................. 35
Gambar 9. Histogram rata-rata berat kering kalus R. verticillata pada MS dengan variasi konsentrasi sukrosa .................................... 39
Gambar 10. Histogram rata-rata kadar reserpin (mg/g) kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa ................ 42
Gambar 11. Sinyal transduksi gula pada tumbuhan (Ramawat dan Merillon, 1999) ......................................................................... 44
Gambar 12. Jalur biosintesis asam mevalonat (Berg et al., 2002) ................ 47
Gambar 13. Jalur biosintesis asam shikimat (Odneal, 2000) ........................ 48
Gambar 14. Biosintesis Alkaloid Indol Monoterpenoid dari jalur Shikimat dan jalur Mevalonat (Verpoorte et al., 2002; Shank et al., 1998).......................................................................................... 49
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
HalamanLampiran 1. Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog) (Dodds dan
Roberts 1995) ........................................................................ 58
Lampiran 2. Tanaman Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon .................... 59
Lampiran 3. Data berat kalus R. verticillata pada variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS ...................................................... 60
Lampiran 4. Hasil uji ANAVA dan DMRT 5% pertambahan berat basah kalus R. verticillata ................................................................ 61
Lampiran 5. Hasil uji ANAVA dan DMRT 5% berat kering kalus R. verticillata ............................................................................. 62
Lampiran 6. Kurva standar reserpin murni ............................................... 63
Lampiran 7. Hasil spektrofotometer sampel kalus perlakuan ................... 64
Lampiran 8. Data kadar reserpin kalus R. verticillata pada variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS ................................... 65
Lampiran 9. Hasil uji ANAVA dan DMRT 5% kadar reserpin R. verticillata .............................................................................. 66
Lampiran 10. Contoh perhitungan kadar reserpin ....................................... 67
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
ABSTRACT .................................................................................................. vi
HALAMAN MOTTO ................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiv
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Perumusan Masalah .......................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................... 4
A. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 4
1. Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon ......................................... 4
2. Teknik Kultur in vitro ................................................................. 7
3. Metabolit Sekunder .................................................................... 10
4. Nutrisi dalam Media ................................................................... 16
B. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 18
C. Hipotesis ............................................................................................ 19
BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................... 20
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................... 20
xi
B. Bahan dan Alat .................................................................................. 20
1. Bahan .......................................................................................... 20
2. Alat ............................................................................................. 21
C. Rancangan Percobaan ....................................................................... 22
D. Cara Kerja ......................................................................................... 22
1. Persiapan .................................................................................... 22
2. Induksi Pembentukan Kalus ....................................................... 24
3. Penanaman Kalus pada Media Perlakuan ................................... 25
4. Pemeliharaan Selama Perlakuan ................................................ 26
5. Pengamatan dan Pengujian Hasil ............................................... 26
E. Analisis Data ..................................................................................... 28
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 29
A. Induksi Pembentukan Kalus .............................................................. 29
B. Kalus dalam Media Perlakuan .......................................................... 31
1. Morfologi Kalus ......................................................................... 31
2. Pertumbuhan Kalus .................................................................... 35
C. Analisis Kandungan Reserpin dalam Kalus ...................................... 42
BAB V. PENUTUP ....................................................................................... 52
A. Kesimpulan ....................................................................................... 52
B. Saran .................................................................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 53
LAMPIRAN .................................................................................................. 58
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ................................................... 68
RIWAYAT HIDUP PENULIS ..................................................................... 71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan masalah yang sangat penting dalam kehidupan.
Berbagai jenis penyakit sekarang ini banyak menyerang masyarakat. Sejalan
dengan itu berbagai jenis obat telah diusahakan untuk mengatasinya, baik obat
sintetik maupun obat alami (tradisional). Salah satu bahan baku obat adalah
senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam tumbuhan. Tumbuhan yang
berkhasiat sebagai obat misalnya Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon.
Tumbuhan ini mengandung senyawa kimia reserpin yang bermanfaat sebagai obat
tekanan darah tinggi (anti hipertensi) (LIPI, 1999).
Kebutuhan senyawa kimia dalam tumbuhan obat semakin meningkat, tapi
keberadaan tumbuhan yang bersangkutan semakin langka. Kelangkaan tumbuhan
ini disebabkan penggunaan yang terus menerus serta laju pemanenan dan
pemanfaatan lebih tinggi daripada laju kemampuan alam untuk memulihkan
populasinya (Anonim, 2000). Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan suatu
teknologi agar diperoleh senyawa metabolit sekunder dari tumbuhan secara
optimal dengan tidak menyebabkan kepunahan tumbuhan yang bersangkutan
(Mulabagal dan Tsay, 2004).
Kultur in vitro merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
memproduksi metabolit sekunder hanya dengan menggunakan bagian tertentu dari
suatu tumbuhan. Dengan kultur in vitro produksi metabolit sekunder dapat
2
diperoleh setiap saat karena tidak tergantung kondisi lingkungan seperti iklim dan
kondisi tanah (Fisher et al., 1999). Menurut Ramachandra Rao (2000), produksi
metabolit sekunder yang bernilai ekonomi tinggi melalui kultur in vitro dapat
diperoleh melalui beberapa metode khusus antara lain pemilihan klon sel,
pemberian prekursor, elisitasi dan manipulasi faktor lingkungan dan media.
Optimalisasi produksi metabolit sekunder dengan manipulasi media dapat
dilakukan dengan cara manipulasi faktor fisik dan optimalisasi elemen nutrisinya
(Choi et al., 1994 dalam Mulabagal dan Tsay, 2004). Penambahan sumber karbon
pada media kultur dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Menurut
Manuhara (1995) kandungan alkaloid vinkristin Catharanthus roseus meningkat
setelah penambahan sumber karbon berupa sukrosa pada media kultur.
Penambahan kombinasi sukrosa dan glukosa juga dapat meningkatkan kandungan
saponin kultur kalus Talinum paniculatum (Suskendriyati, 2003).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji
pengaruh pemberian variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS pada
pertumbuhan dan kandungan reserpin kalus R. verticillata.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS
terhadap pertumbuhan kalus R. verticillata?
3
2. Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS
terhadap kandungan reserpin kalus R. verticillata?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS terhadap
pertumbuhan kalus R. verticillata.
2. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS terhadap
kandungan reserpin kalus R. verticillata.
D. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi tentang pengaruh variasi konsentrasi sukrosa dalam
media MS terhadap pertumbuhan dan kandungan reserpin kalus R. verticillata.
2. Memberikan informasi mengenai konsentrasi sukrosa yang optimum untuk
menghasilkan pertumbuhan dan kandungan reserpin tertinggi kalus R.
verticillata.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon.
a. Klasifikasi
Tanaman Rauvolfia verticillata mempunyai klasifikasi sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Apocynales
Famili : Apocynaceae
Genus : Rauvolfia
Spesies : Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon. (Tjitrosoepomo, 2000).
b. Morfologi
Rauvolfia verticillata merupakan semak tegak, dengan tinggi 0,5-3
meter. Batangnya berwarna abu-abu. Daunnya berkarang 3 atau 4 pada
bagian terminal, dan di bagian bawahnya umumnya berhadapan (opposite);
panjang tangkai daun 0,5-1,5 cm; helaian daun melebar atau hampir
berbentuk bujur dengan daging daun seperti kertas. Bunganya berwarna putih
kemerahan, dengan tabung corolla panjangnya 9-18 mm, menggembung dari
tengah sampai bagian leher tabung corolla. R. verticillata mempunyai buah
5
berwarna ungu keputihan, bentuk membulat sampai lonjong, berpasangan,
dan bagian basal berlepasan (Lampiran 2) (LIPI, 1999).
Gambar 1. Morfologi tanaman Rauvolfia verticillata
c. Ekologi dan Distribusi
Rauvolfia verticillata dapat ditemukan di beberapa tempat di Indonesia.
Tanaman ini mempunyai nama daerah yang berbeda-beda; di Sumatra disebut
salung-salung, di Melayu disebut sepuleh, di Jawa sering disebut pule pandak
atau pule, di Thailand disebut kayawan atau rayon, dan di Inggris disebut rice
weed (LIPI, 1999). R. verticillata mempunyai beberapa sinonim, yaitu
Dissolena verticillata Lour., Ophioxylon maius Hassk., Hunteria sundana
Miq., Rauvolfia chinensis (Spreng) Hemsl, serta Rauvolfia perakensis King
dan Gamble (de Padua et al., 1999).
Tumbuhan pule umumnya tumbuh di tempat terbuka, baik di dataran
rendah maupun pegunungan (Anonim, 2000). Pule banyak ditemukan di
hutan Dipterocarpaceae, hutan bambu dan hutan hujan tropis. Di alam,
6
tanaman ini umumnya tumbuh di tanah lempung atau berbatu kapur dengan
ketinggian 30-2000 m dpl (de Padua et al., 1999).
Rauvolfia verticillata tersebar di beberapa negara di dunia seperti India,
Sri Lanka, Laos, Burma, Thailand, Cina, Taiwan, Kamboja, Vietnam, Filipina
dan Semenanjung Malaya. Di Indonesia tanaman ini banyak ditemukan di
Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi (LIPI, 1999).
R. verticillata merupakan tumbuhan yang mudah atau rentan terserang
penyakit. Sampai saat ini tumbuhan ini merupakan salah satu tumbuhan yang
sulit ditemukan keberadaannya dan sulit dibudidayakan (Anonim, 2000).
d. Kandungan Kimia dan Manfaat
Rauvolfia verticillata mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Thien An
dan Ziegler, 2001). Kandungan kimia tanaman R. verticillata antara lain
reserpin, perakin, ajmalin, isoreserpin dan sarpagin. Tanaman ini bermanfaat
sebagai obat, terutama bagian akar, batang dan daunnya yang berkhasiat
untuk mengobati tekanan darah tinggi, malaria dan tipus. Senyawa reserpin
sendiri bermanfaat sebagai anti hipertensi dan obat penenang (Lajis, 1996).
Dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan, teknik isolasi serta
identifikasi, zat aktif tersebut sekarang telah distandardisasi, diformulasikan,
dan disajikan dalam bentuk pil, tablet, kapsul dan sediaan lain yang kita kenal
saat ini sebagai obat (Anonim, 2003).
7
2. Teknik Kultur in Vitro
a. Definisi dan Manfaat
Kultur in vitro atau disebut juga kultur jaringan tanaman adalah suatu
teknik menumbuh kembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan
atau organ dalam media kultur dengan kandungan nutrisi lengkap, serta
kondisi ruang kultur yang aseptik dan terkontrol (Yusnita, 2004). Pelaksanaan
kultur in vitro tanaman didasarkan pada sifat totipotensi sel yaitu sifat setiap
sel tanaman hidup yang pada dasarnya dilengkapi dengan informasi genetik
dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang
menjadi tanaman utuh, jika berada di lingkungan yang sesuai (Ignacimuthu,
1997; Yusnita, 2004).
Teknik kultur in vitro dilaksanakan pada kondisi yang steril, yaitu bebas
dari kontaminan seperti mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam media
kultur. Sterilisasi dilakukan untuk menghilangkan mikroorganisme yang ada
pada permukaan eksplan. Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai sterilan
misalnya NaOCl, CaOCl2, etanol dan HgCl2 (Yusnita, 2004). Eksplan yang
telah steril ditanam pada media kultur. Media MS (Murashige Skoog)
merupakan media yang sering digunakan untuk induksi kalus. Komposisi
utama media ini adalah garam mineral, sumber karbon, zat pengatur tumbuh
(ZPT) dan bahan pemadat (agar) (Ramawat, 1999; Scragg, 1997;
Ignacimuthu, 1997).
Perkembangan teknik kultur in vitro telah banyak memberikan manfaat
dalam bidang penelitian, terutama untuk analisis fisiologi tumbuhan dan
8
aspek-aspek biokimia tumbuhan (Wetherell, 1982). Teknik kultur in vitro
digunakan untuk menghasilkan produk-produk tanaman melalui proses yang
sama, dengan faktor lingkungan berupa suhu, cahaya, komposisi media, dan
pH yang terkontrol baik dari setiap tahapan kultur (Auge, 1995). Kultur in
vitro dimanfaatkan sebagai alternatif untuk memperoleh tanaman bebas virus,
memperbanyak tanaman, melestarikan plasma nutfah, manipulasi genotip,
dan produksi senyawa tanaman yang diinginkan (Mulabagal dan Tsay, 2004).
b. Inisiasi dan Pertumbuhan Kalus
Proses produksi metabolit sekunder secara in vitro diawali dengan
menumbuhkan eksplan dalam media padat untuk menghasilkan kalus. Kalus
adalah massa amorf dari sel-sel parenkim berdinding tipis yang tersusun tidak
rapat dan tidak teratur, yang berasal dari proliferasi sel eksplan dalam kultur
(Dodds dan Roberts, 1995). Sel-sel kalus bersifat meristematis dan
merupakan wujud dediferensiasi, yaitu jaringan dewasa yang masih hidup dan
telah mempunyai sifat tertentu menjadi meristematis kembali (Margara, 1982
dalam Suryowinoto, 1996). Menurut Suryowinoto (1996), menginduksi kalus
merupakan salah satu langkah penting dalam kultur in vitro.
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, misalnya
akar, batang, daun, biji atau buah. Dengan kata lain semua bagian tanaman
multiseluler merupakan sumber eksplan yang potensial untuk inisiasi kalus.
Organ yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan yang berbeda
9
(Dodds dan Roberts, 1995). Pada umumnya kalus muncul pada bagian yang
terluka (Sinnot, 1960 dalam Dodds dan Roberts, 1995).
Menurut Gamborg (1991), zat pengatur tumbuh dibutuhkan untuk
menginduksi pertumbuhan dan pembelahan sel. Pembentukan kalus dapat
dirangsang dengan hormon auksin dan sitokinin. Senyawa auksin misalnya
2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D), asam naftalen asetat (NAA), asam indol
asetat (IAA) dan asam indol butirat (IBA). IAA sangat tidak stabil dan mudah
diuraikan oleh enzim yang dibebaskan oleh sel, sedangkan 2,4-D maupun
NAA sangat lambat diuraikan oleh tumbuhan dan stabil pada pemanasan
dengan autoklaf (Wetherell, 1982). Senyawa auksin terutama IAA cepat
meningkatkan pertumbuhan, mendorong terbentuknya sejumlah sel yang
cukup banyak, tapi sel tersebut tidak membelah sehingga banyak diantaranya
yang poliploid dengan beberapa inti (Salisbury dan Ross, 1995)
Pembelahan sel dapat diinduksi dengan senyawa sitokinin, misalnya
zeatin, zeatin ribosida, dihidrozeatin dan isopentenil adenin (IPA). Beberapa
sitokinin sintetik yang dapat mendorong pembelahan sel yaitu kinetin dan
benziladenin. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa sitokinin memacu
sitokinesis jaringan yang ditumbuhkan secara in vitro. Sitokinin bersama
dengan auksin akan menginduksi pembelahan sel yang ditumbuhkan pada
media dengan komposisi nutrien yang optimum (Salisbury dan Ross, 1995).
Perbandingan sitokinin dan auksin yang seimbang akan merangsang
pertumbuhan kalus (Yusnita, 2004).
10
Pertumbuhan kalus pada media kultur biasanya ditentukan dengan
mengukur berat kalus (Yokota et al., 1999). Pertumbuhan kalus sangat
penting untuk mengetahui hubungan antara pertumbuhan dan sintesis produk
sekunder serta akumulasinya di dalam kalus (Ramawat, 1999). Sanchez et al.
(2000) menjelaskan bahwa kalus mempunyai tiga tahap pertumbuhan.
Pertama tahap lag (adaptasi), merupakan masa adaptasi kalus terhadap media
baru. Pada tahap lag belum terjadi pertumbuhan kalus. Tahap kedua adalah
tahap eksponensial, terjadi pertumbuhan secara maksimum. Tahap ketiga
adalah stasioner, yaitu pertumbuhan kalus menurun bahkan menjadi linier.
3. Metabolit Sekunder
a. Alkaloid Indol Monoterpenoid
Metabolit sekunder merupakan produk metabolisme yang khas pada
suatu tanaman (Kurz dan Constabel, 1991), yang dihasilkan oleh suatu organ
tapi tidak dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi bagi tanaman
tersebut (Taiz dan Zeiger, 1998). Metabolit sekunder tanaman dihasilkan
melalui reaksi metabolisme sekunder dari bahan organik primer (karbohidrat,
protein dan lemak) (Anggarwulan dan Solichatun, 2001). Menurut Croteau et
al. (2000), berdasarkan asal biosintesisnya terdapat tiga kelompok utama
metabolit sekunder, yaitu terpenoid, alkaloid dan fenilpropanoid atau
kelompok senyawa fenol. Beberapa produk sekunder ini merupakan bahan
obat yang berguna (Kurz dan Constabel, 1991).
11
Alkaloid adalah suatu senyawa kimia heterosiklik yang mengandung
paling sedikit 1 atom nitrogen. Sifat-sifat senyawa ini antara lain larut dalam
air, pH biasanya lebih dari 7, umumnya tidak berwarna, pada suhu kamar
berbentuk kristal dan memiliki rasa yang pahit. Biasanya alkaloid bersifat
racun pada konsentrasi tertentu (Taiz dan Zeiger, 1998). Menurut Croteau et
al. (2000), alkaloid mempunyai struktur molekuler yang kompleks dan
mempunyai aktivitas farmakologi dan fisiologi yang tinggi dalam tubuh
organisme. Efek fisiologis alkaloid tersebut banyak dimanfaatkan sebagai
obat (Chairul, 2003).
Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tanaman seperti daun,
biji, ranting dan kulit kayu. Pada umumnya kadar alkaloid dalam tanaman
kurang dari 1%. Pengelompokan alkaloid sangat bervariasi. Salah satu
kelompok alkaloid yang banyak terdapat dalam tanaman adalah alkaloid indol
monoterpenoid (AIM). Kelompok alkaloid ini pada dasarnya merupakan
turunan dari satu unit triptamin dan satu unit C9 atau C10 dari terpenoid
(secologanin) (Ramawat dan Merillon, 1999). Sebagian besar anggota
alkaloid indol monoterpenoid mempunyai aktivitas sebagai bahan obat serta
memiliki nilai ekonomi yang tinggi, misalnya reserpin dan vinkristin
(Robinson, 1995). Reserpin adalah salah satu senyawa kimia yang terkandung
dalam tumbuhan. Senyawa ini dapat menurunkan tekanan darah tinggi atau
sebagai anti hipertensi (Lajis, 1996). Struktur kimia reserpin disajikan pada
Gambar 2.
12
Gambar 2. Struktur kimia reserpin (Manitto, 1981).
Menurut Meijer et al. (1993), AIM dapat dibentuk melalui dua jalur
biosintesis yaitu jalur shikimat dan jalur mevalonat dari metabolisme primer
(Gambar 3). Pada jalur shikimat, triptofan adalah prekursor untuk sebagian
besar AIM. Triptofan akan membentuk triptamin dengan katalisator triptofan
dekarboksilase (TDC) (St-Pierre et al., 1999). Secologanin terbentuk melalui
jalur mevalonat dengan katalisator utama adalah enzim geraniol 10-
hidroksilase (G10H). Enzim geraniol 10-hidroksilase mengkatalisis
pembentukan 10-hidroksigeraniol dari senyawa geraniol. Geraniol berasal
dari senyawa geranil difosfat, yang selanjutnya akan terbentuk loganin,
kemudian secologanin (Shank et al., 1998).
Jalur biosintesis indol terpenoid berpusat pada striktosidin yang
merupakan prekursor sentral untuk semua alkaloid indol terpenoid.
Striktosidin terbentuk dari kondensasi triptamin dan secologanin yang
dikatalisis oleh striktosidin sintase (SSS). Enzim ini mengkatalisis kondensasi
kelompok amino primer pada triptamin dan gugus aldehid dari secologanin
13
untuk membentuk AIM yang pertama yaitu 3(s)-striktosidin, yang
digunakan sebagai prekursor pembentukan AIM (Shank et al., 1998).
Gambar 3. Jalur Biosintesis Alkaloid Indol Monoterpenoid (Shank et al., 1998)
b. Produksi Metabolit Sekunder Melalui Kultur in Vitro
Metabolit sekunder tanaman merupakan sumber utama untuk
farmakeutikal, zat aditif makanan, parfum dan pestisida (Ramachandra Rao
dan Ravishankar, 2002). Sampai saat ini sumber daya alam yang berpotensi
menghasilkan senyawa-senyawa tersebut semakin berkurang, sedangkan
pengguna produk alam tersebut semakin meningkat (Heble, 1996).
Menurut Mulabagal dan Tsay (2004), kultur in vitro merupakan teknik
alternatif yang potensial untuk mendapatkan metabolit sekunder yang cukup
Jalur Shikimat Jalur Mevalonat
Triptofan
Triptamin
Triptofan dekarboksilase
Geranyl difosfat
Geraniol
10 - hidroksigeraniol
Enzim G10H
Loganin
Secologanin
Striktosidin
4,21-dehidrogeissosizin
Alkaloid Indol Monoterpenoid
Striktosidin sintase
14
banyak tanpa harus menyebabkan kelangkaan pada tanaman induk. Penerapan
kultur in vitro untuk menghasilkan metabolit sekunder lebih menguntungkan
daripada metode konvensional, karena metode ini mempunyai beberapa
keuntungan antara lain: (1) dapat menghasilkan senyawa berkhasiat dalam
kondisi terkontrol, (2) pembentukan metabolit sekunder dapat ditingkatkan
melalui manipulasi media, (3) produk yang dihasilkan relatif konsisten baik
kualitas maupun kuantitasnya, (4) produksinya tidak tergantung pada kondisi
lingkungan seperti keadaan geografis, iklim dan musim.
Produksi metabolit sekunder melalui kultur in vitro dapat dilakukan
dengan kultur kalus maupun kultur suspensi sel. Untuk menghasilkan
metabolit sekunder dalam jumlah yang besar melalui kultur in vitro
dibutuhkan berbagai metode untuk merangsang aktivitas biosintesis senyawa
aktif tanaman tersebut (Ramachandra Rao, 2000). Beberapa strategi untuk
meningkatkan produksi metabolit sekunder melalui kultur in vitro telah
dikembangkan. Dalam kultur in vitro, jenis metabolit sekunder tertentu akan
terakumulasi dalam jumlah yang besar apabila berada di bawah kondisi
tertentu pula. Beberapa cara mengoptimalkan produksi metabolit sekunder
melalui kultur in vitro antara lain: (1) manipulasi faktor lingkungan dan
media, (2) pemilihan klon sel yang bernilai tinggi, (3) pemberian prekursor,
dan (4) elisitasi (Mulabagal dan Tsay, 2004).
Optimalisasi produk metabolit sekunder dengan memanipulasi kondisi
media dan faktor lingkungan dapat dilakukan dengan manipulasi komponen
media, fitohormon, pH, suhu, aerasi, elisitasi dan pencahayaan. Manipulasi
15
faktor fisik dan elemen nutrisi kemungkinan menjadi pendekatan yang paling
mendasar untuk optimalisasi produksi metabolit sekunder melalui kultur in
vitro (Mulabagal dan Tsay, 2004). Beberapa produk senyawa ditemukan
terakumulasi dalam jumlah yang cukup tinggi dalam kultur, misalnya
ginsenosides pada Panax ginseng (Choi et al., 1994 dalam Mulabagal dan
Tsay, 2004), saponin pada kultur kalus Talinum paniculatum (Suskendriyati,
2003).
Modifikasi media mengubah komposisi dasar biokimia dari suatu
biomassa yaitu protein, lipid, karbohidrat dan pigmen. Komposisi media
berpengaruh pada pertumbuhan dan produksi biomassa (Sanchez et al., 2000)
Modifikasi media dapat meningkatkan kandungan metabolit sekunder,
misalnya antosianin pada kultur kalus strawberry (Miyanaga et al., 2000). Sel
tanaman dengan nutrisi media yang sesuai akan mengalami pertumbuhan
dengan baik. Tanaman memperoleh sumber energi untuk metabolisme dari
gula yang ditambahkan dalam media. Kandungan antosianin pada kultur sel
strawberry meningkat sampai tiga kali lipat dari kontrol setelah penambahan
sukrosa pada media kultur (Miyanaga et al., 2000), begitu juga kandungan
betasianin kultur suspensi Chenopodium rubrum diperoleh kadar maksimal
pada media dengan penambahan sukrosa 2% (Berlin et al., 1986 dalam
Leathers et al., 1992). Menurut Lee et al. (1998), pada kultur suspensi wortel
yang ditumbuhkan pada media yang kekurangan glukosa menyebabkan
terhambatnya katabolisme fosfolipid. Suskendriyati (2003) melaporkan
bahwa pada kombinasi sukrosa 20 g/l dan glukosa 30 g/l diperoleh kadar
16
saponin tertinggi pada kultur kalus Talinum paniculatum Gaertn. Pada
penelitian tersebut pemberian sukrosa pada media MS dengan konsentrasi
yang berbeda juga memberikan beda nyata terhadap berat basah maupun
berat kering kalus Talinum paniculatum.
4. Nutrisi dalam Media
Keberhasilan teknik kultur in vitro terutama disebabkan oleh
pengetahuan yang baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang
dikulturkan (Gamborg, 1991). Nutrisi dalam media mempengaruhi kesehatan,
daya hidup, pertumbuhan sel jaringan, organ dan differensiasi planlet.
Menurut Dodds dan Roberts (1995), komponen media dalam kultur jaringan
tanaman meliputi makro dan mikronutrien, vitamin, sumber karbon dan zat
pengatur tumbuh (ZPT). Komponen makronutrien dalam media terdiri dari
nitrogen (N), fosfor (P), potasium (K), kalsium (Ca), sulfur (S) dan
magnesium (Mg). Mikronutrien meliputi besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn),
boror (Br), tembaga (Cu), molibnum (Mo) dan klor (Cl). Komponen media
tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme sel dalam media
kultur (Ramawat, 1999).
Menurut Wetherell (1982), sumber karbon dan sumber energi harus ada
dalam media kultur. Karbohidrat adalah salah satu senyawa organik sebagai
sumber karbon yang ada dalam media kultur jaringan. Karbohidrat sangat
dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan sel dan berperan dalam metabolisme
sel. Sumber karbon dalam media kultur adalah glukosa, fruktosa, galaktosa
17
dan sukrosa. Sukrosa dan glukosa dengan konsentrasi 2-4% merupakan
sumber karbon yang paling cocok diberikan dalam media kultur (Wetter dan
Constabel, 1991). Menurut Dodds dan Roberts (1995), jumlah sukrosa dan D-
glukosa yang sering ditambahkan dalam media adalah 20.000-30.000 mg/l.
Pemberian variasi konsentrasi sukrosa yang lebih ataupun kurang dari kadar
normal (20-30 g/l) dalam media dapat menimbulkan stres pada biosintesis
metabolit sekunder dan juga menyebabkan perubahan tekanan osmotik
(Manuhara, 1995).
Karbohidrat dalam tubuh tumbuhan kira-kira berjumlah 75%, baik yang
berupa monosakarida atau disakarida. Monosakarida yang banyak terdapat
dalam tubuh tumbuhan adalah glukosa dan fruktosa. Sumber karbon lain yang
banyak terdapat dalam tumbuhan adalah sukrosa (Gambar 4). Sukrosa adalah
disakarida yang merupakan produk fotosintesis tidak langsung. Disakarida ini
terdiri dari dua monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa. Sukrosa mudah
larut dalam air, dan terhidrolisis menjadi satu molekul glukosa dan satu
molekul fruktosa (Dwidjoseputro, 1994).
Gambar 4. Struktur kimia molekul sukrosa (Dwidjoseputro, 1994)
18
Sukrosa berfungsi sebagai pembentuk komponen sel, sumber energi dan
sumber karbon. Transport sukrosa ke dalam sel dapat dalam bentuk
disakaridanya (sukrosa) maupun komponen penyusunnya yaitu heksosa
(Strum, 1999 dalam Suskendriyati, 2003). Menurut Iraqi dan Tremblay
(2001), hidrolisis sukrosa adalah langkah awal dari penggunaannya dalam sel.
Sukrosa dalam media dihidrolisis menjadi monosakarida selama masa kultur.
Krook et al. (1998) menyatakan bahwa sukrosa terhidrolisis secara
cepat menjadi heksosa (glukosa dan fruktosa) oleh enzim invertase dinding
sel. Glukosa dan fruktosa hasil hidrolisis sukrosa masuk ke dalam sel secara
terpisah. Kedua monosakarida tersebut digunakan sel untuk metabolisme,
selanjutnya digunakan sebagai sumber energi dan sumber karbon. Selain
sebagai sumber karbon dan sumber energi, sukrosa yang terserap
mempengaruhi tekanan osmotik sehingga menyebabkan pemanjangan sel
(Strum, 1999 dalam Suskendriyati, 2003).
B. Kerangka Pemikiran
Peningkatan pertumbuhan dan kandungan reserpin Rauvolfia verticillata
dapat dilakukan secara in vitro dengan cara memanipulasi media tumbuh yaitu
dengan penambahan sumber karbon berupa sukrosa dengan konsentrasi yang
berbeda. Penambahan sukrosa dengan konsentrasi yang berbeda akan
mempengaruhi metabolisme karbon dalam sel. Hasil metabolisme karbon dalam
sel yang berupa energi dan rangka karbon selanjutnya akan digunakan untuk
19
pertumbuhan sel dan produksi metabolit sekunder. Secara skematis kerangka
pemikiran penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut :
Gambar 5. Diagram alir kerangka pemikiran
C. Hipotesis
1. Peningkatan konsentrasi sukrosa sampai batas optimum dalam media MS
akan meningkatkan pertumbuhan kalus Rauvolfia verticillata.
2. Peningkatan konsentrasi sukrosa sampai batas optimum dalam media MS
akan meningkatkan kandungan reserpin kalus Rauvolfia verticillata.
Eksplan daun R. verticillata
Media MS
Metabolisme karbon dalam sel
Energi, sumber karbon
Produksi reserpin
Variasi konsentrasi sukrosa
Pertumbuhan kalus
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu bulan Mei-November
2006, bertempat di Sub Lab. Biologi Lab. Pusat MIPA UNS Surakarta.
B. Bahan dan Alat
1. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Tanaman Sumber Eksplan
Tanaman yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah Rauvolfia
verticillata yang diperoleh dari Tawangmangu, Karanganyar. Daun R.
verticillata yang digunakan adalah daun ke tiga dari pucuk.
b. Bahan Kimia
1) Untuk Sterilisasi Eksplan
Bahan yang digunakan untuk sterilisasi eksplan adalah air mengalir,
akuades steril, dithane 3%, agrape 2%, dan alkohol 70%.
2) Untuk Pembuatan Media
a) Media Inisiasi Kalus
Bahan-bahan untuk pembuatan media inisiasi kalus terdiri dari
bahan-bahan kimia pada komposisi dasar media Murashige Skoog
21
(MS) (Lampiran 1), bahan pemadat berupa agar 7.000 mg/l, KOH 1N,
HCl 1N, NAA 2 mg, kinetin 2 mg dan akuades.
b) Media Perlakuan
Media perlakuan menggunakan bahan-bahan kimia seperti pada
media inisiasi kalus yang ditambah sukrosa dengan variasi konsentrasi
0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l dan 40 g/l (modifikasi dari Manuhara, 1995;
Suskendriyati, 2003).
3) Bahan untuk Analisis Reserpin
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis kandungan reserpin
adalah etanol p.a., akuabides, asam sulfamat 5%, sodium nitrit 0,3%, dan
senyawa reserpin murni.
2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Alat untuk Sterilisasi
Untuk sterilisasi alat dan media digunakan autoklaf yang telah diatur
pada suhu 121C dan tekanan 1,5 atm.
b. Alat untuk Pembuatan Media
Peralatan yang digunakan meliputi timbangan analitik, gelas beker,
gelas ukur, pipet volume, pipet tetes, spatula, pH meter, botol kultur,
alumunium foil, hot plate dengan magnetic stirrer, kertas label dan karet
gelang.
22
c. Alat untuk Penanaman Eksplan
Alat-alat yang digunakan adalah laminar air flow cabinet, bunsen
burner, cawan petri, gunting, pinset, scalpel, tissue dan hand sprayer.
d. Alat untuk Analisis Reserpin
Alat yang digunakan meliputi mortar dan pesle, tabung reaksi, pipet
volum, kertas saring, vortek, water batch dan spektrofotometer UV-Visible
(Shimadzu UV-160 IPC).
C. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor perlakuan, yaitu
penambahan sukrosa dengan lima taraf konsentrasi (0 g/l, 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l,
dan 40g/l) dengan lima ulangan. Penentuan taraf perlakuan ini berdasarkan pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Manuhara (1995) dan Suskendriyati ( 2003).
D. Cara Kerja
1. Persiapan
a. Sterilisasi Alat
Alat-alat dan botol kultur dicuci dengan detergen, dibilas dengan air
kemudian dikeringkan. Setelah kering botol kultur dan alat yang berbentuk
botol atau tabung ditutup dengan alumunium foil, sedangkan alat-alat lainnya
(skalpel, pinset, spatula dan pipet) dibungkus dengan kertas. Semua alat dan
23
botol kultur tersebut disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121C dan
tekanan 1,5 atm selama satu jam.
b. Pembuatan Larutan Stok
Bahan-bahan kimia untuk stok media MS ditimbang, kemudian
dilarutkan dalam 50 ml akuades dalam gelas beker dan diaduk dengan
magnetic stirrer. Setelah bahan larut, volume ditetapkan hingga 100 ml,
kemudian larutan dimasukkan dalam botol stok dan diberi label. Untuk
larutan FeEDTA setelah larutan Na2EDTA dilarutkan baru ditambahkan
Fe2SO4 yang telah digerus. Setelah bahan kimia larut, volume ditetapkan
hingga 100 ml, kemudian dimasukkan dalam botol stok dan diberi label.
Semua botol yang berisi larutan stok ditutup dengan alumunium foil, lalu
disimpan dalam lemari es.
c. Pembuatan Media
1) Media Inisiasi Kalus
Larutan-larutan stok diambil dari lemari es. Gelas beker volume 1
liter diletakkan di atas hot plate dan diisi sepertiganya dengan akuades,
kemudian masing-masing larutan stok dimasukkan sesuai dengan
komposisi media MS yang tercantum dalam Lampiran 1. Sukrosa 30 g
ditambahkan dalam gelas piala dan diaduk hingga larut sempurna.
Campuran diaduk setiap kali penambahan larutan hingga larut sempurna.
Kemudian akuades dimasukkan sampai ¾ bagian dari kapasitas gelas
24
beker. Keasaman (pH) larutan media diukur dengan pH meter pada kisaran
5,6-5,8. Apabila pH larutan terlalu tinggi ditambah HCl 1N tetes demi
tetes untuk menurunkan pH dan bila pH larutan terlalu rendah ditambah
KOH 1N untuk menaikkan pH. Larutan diaduk dengan magnetic stirrer
sampai diperoleh pH yang diharapkan. Zat pengatur tumbuh (NAA 2 mg
dan kinetin 2 mg) ditambahkan dalam larutan. Setelah itu agar sebanyak 8
g dimasukkan, lalu ditambah akuades sampai volume 1 liter. Media
dimasak sampai mendidih, setelah itu dituangkan ke dalam botol kultur
steril sebanyak 25 ml. Botol kultur ditutup rapat dengan alumunium foil
dan diberi label. Media disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
121C, tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Media yang telah disterilkan
didinginkan dan disimpan pada rak media.
2) Media Perlakuan
Pembuatan media perlakuan sama seperti pada media inisiasi kalus,
tetapi dengan penambahan sukrosa sesuai dengan konsentrasi yang telah
ditentukan.
2. Induksi Pembentukan Kalus
a. Sterilisasi Eksplan
Daun R. verticillata dicuci dengan air mengalir serta dibuang bagian
daun yang kotor dan mati. Setelah itu daun direndam dalam larutan dithane
3% selama 2 menit, lalu akuades steril selama 5 menit. Kemudian daun
direndam dalam larutan agrape 2% selama 3 menit, lalu akuades steril selama
25
5 menit. Setelah itu daun direndam dalam alkohol 70% selama ½ menit, lalu
akuades steril tiga kali masing-masing selama 5 menit.
b. Penanaman Eksplan
Eksplan yang telah disterilkan ditanam dalam media inisiasi kalus.
Penanaman eksplan dilakukan secara aseptik dalam laminar air flow cabinet
yang telah disinari sinar UV minimal 1 jam sebelumnya. Botol kultur yang
telah berisi eksplan ditutup rapat dengan alumunium foil, kemudian
diinkubasi selama 30 hari.
c. Pemeliharaan Eksplan
Eksplan diinkubasi dalam ruang kultur steril selama 30 hari untuk
menghasilkan kalus. Untuk mencegah terjadinya kontaminasi botol-botol
kultur disemprot dengan alkohol 70% minimal tiga hari sekali.
3. Penanaman Kalus Pada Media Perlakuan
Kalus yang diperoleh dari media inisiasi kalus dipindah ke media perlakuan.
Pemindahan kalus dilakukan pada hari ke 30. Pemindahan dilakukan secara
aseptik dalam laminar air flow cabinet dengan menggunakan pinset steril. Setelah
kalus dimasukkan, botol kultur ditutup rapat dengan alumunium foil, kemudian
diinkubasi dalam ruang kultur selama 15 hari.
26
4. Pemeliharaan selama Perlakuan
Inkubasi kalus dalam media perlakuan dilakukan selama 15 hari. Untuk
mencegah terjadinya kontaminasi botol-botol kultur disemprot dengan alkohol
70% minimal tiga hari sekali.
5. Pengamatan dan Pengujian Hasil
a. Pengamatan Pertumbuhan Kalus
Pertumbuhan kalus sangat penting diketahui, untuk mengetahui
hubungan antara pertumbuhan dan sintesis metabolit sekunder serta
akumulasinya dalam kalus. Pertumbuhan kalus ditentukan dengan mengukur
berat basah dan berat kering. Pengukuran berat basah kalus dilakukan dengan
menimbang berat basah kalus awal dan berat basah kalus akhir. Berat basah
kalus awal diperoleh dengan menimbang kalus beserta botol kultur, media
dan alumunium foil pada hari ke-0, hasilnya dikurangi dengan berat botol,
media serta alumunium foil sebelum ditanami kalus. Berat basah akhir
diperoleh dengan menimbang kalus secara langsung pada akhir pengamatan
(hari ke-15 dari awal penanaman pada media perlakuan). Berat kering kalus
diperoleh dengan mengukur berat kalus yang telah dikeringkan dalam oven
pada suhu 50C (pengukuran dilakukan setiap 24 jam sampai diperoleh berat
yang konstan). Pengamatan morfologi kalus dilakukan setiap hari selama 15
hari. Parameter yang diamati meliputi warna dan tekstur kalus.
27
b. Analisis Kadar Reserpin
Kalus yang telah dikeringkan digerus dengan menggunakan mortar
sampai berbentuk serbuk halus. Serbuk kalus dimasukkan dalam tabung
reaksi sebanyak 100 mg, ditambahkan pelarut etanol p.a sebanyak 10 ml lalu
divortek, kemudian ditambah akuabides sampai volume 100 ml. Larutan
disaring dan ditambahkan sodium nitrit 0,3% sebanyak 1 ml, kemudian
diendapkan dalam water batch yang bersuhu 55C selama 30 menit. Larutan
didinginkan dan ditambahkan asam sulfamat 5% sebanyak 0,5 ml. Ekstrak
yang diperoleh diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-
Visible (Shimadzu UV-160 IPC) pada panjang gelombang 399 nm dengan
larutan pembanding reserpin murni (Singh et al., 2004).
Kadar reserpin (mg/l pelarut) hasil spektrofotometer kemudian
dikonversi dalam bentuk mg/g kalus kering (Lampiran 10), dengan rumus:
B
VSR
Dimana:R : Kadar reserpin (mg/g) berat kering kalusS : Kadar reserpin sampel hasil spektrofotometer (mg/l) pelarutV : Volume pelarut (l)B : Berat serbuk kalus yang dispektrofotometer (g)
(Hary, 1998 yang dimodifikasi)
28
E. Analisis Data
Data yang diperoleh adalah data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif
berupa morfologi kalus (warna dan tekstur kalus) yang disajikan secara deskriptif.
Data kuantitatif meliputi berat basah kalus, berat kering kalus dan kadar reserpin
dalam kalus. Data kuantitatif dianalisis secara statistik dengan uji ANAVA dan
dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5%.
29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Induksi Pembentukan Kalus
Induksi pembentukan kalus merupakan tahapan penting dalam kultur
jaringan tumbuhaan. Melalui tahap inilah tahapan selanjutnya (produksi metabolit
sekunder) dapat dilakukan. Kalus diinduksi dalam media MS (Murashige Skoog)
dengan penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT). Menurut Santoso dan Nursandi
(2004), ZPT dapat merangsang terbentuknya kalus. Pada penelitian ini eksplan
ditanam pada media MS yang diberi NAA 2 mg/l dan kinetin 2 mg/l.
NAA (Asam Naftalen Asetat) adalah jenis auksin yang dalam kultur
jaringan tumbuhan dikenal sebagai hormon yang memiliki kemampuan
menginduksi kalus. Auksin menyebabkan pembesaran dan pemanjangan sel.
Kinetin adalah jenis sitokinin yang dapat merangsang pembelahan sel eksplan,
proliferasi sel-sel kalus dan mendorong pembentukan klorofil pada kalus (Santoso
dan Nursandi, 2004).
Eksplan pada media inisiasi terlihat mengalami pembengkakan pada hari
ke-1 sampai hari ke-7. Hal ini terjadi karena eksplan menyerap air dari media
(proses imbibisi) sebagai tahap awal proses pertumbuhan, akibatnya sel-sel
membesar. Pada tahap tersebut belum terlihat adanya kalus, karena eksplan berada
pada fase lag yaitu fase adaptasi dengan media. Kalus mulai terbentuk pada hari
ke-7 setelah penanaman, yang ditandai dengan adanya tonjolan-tonjolan berwarna
keputihan pada bagian bekas luka (irisan). Hal ini sesuai dengan pernyataan
30
Suryowinoto (1996) bahwa timbulnya kalus merupakan aktivitas sel-sel di bagian
eksplan yang terluka dengan cara sel-selnya menjadi meristematik lagi. Luka yang
dialami jaringan atau sel tumbuhan akan mengaktifasi mekanisme pertahanan diri
tumbuhan baik secara lokal maupun sistemik (pada jaringan yang tidak luka)
dalam bentuk perubahan arah jalur metabolisme dan menginduksi ekspresi gen-
gen tertentu. Hanya pada jaringan yang rusak yang akan terbentuk struktur sel
tidak beraturan, mengalami dediferensiasi, mengeluarkan senyawa simpanan, dan
kehilangan banyak air. Pembelahan sel yang terus menerus mengakibatkan
terbentuknya jaringan penutup luka. Jaringan inilah yang disebut kalus. Kalus
merupakan massa sel yang tidak terdiferensiasi (Leon et al., 2001).
Morfologi kalus yang terbentuk pada media inisiasi selama 30 hari
mempunyai tekstur yang kompak (Gambar 6). Menurut Street (1973) kalus yang
kompak disebabkan kalus memiliki susunan sel yang rapat sehingga sulit
dipisahkan.
Gambar 6. Morfologi kalus R. verticillata umur 30 hari pada media inisiasi.
Kalus yang terbentuk memiliki warna putih kekuningan dan sedikit
kecokelatan. Warna kalus yang kurang hijau diduga erat kaitannya dengan
1
2
Keterangan :
1. Eksplan
2. Kalus
31
mekanisme pertahanan diri terhadap perlakuan pada jaringan atau sel eksplan,
yaitu berupa sayatan atau pengaruh dari sterilan, sehingga metabolisme terfokus
untuk pertahanan diri. Menurut Leon et al. (2001) pada saat terjadi pelukaan,
tumbuhan akan segera memproduksi sejenis oksigen reaktif (reactive oxygen
species) yaitu anion superoksida pada jaringan yang rusak dan hidrogen peroksida
pada skala lokal maupun sistemik. Adanya oksigen reaktif berpotensi
menimbulkan proses oksidasi; akibatnya terjadi pencokelatan secara cepat pada
kalus maupun sel pada awal pertumbuhannya. Peristiwa pencokelatan merupakan
proses adaptif bagian tanaman akibat adanya pengaruh fisik atau biokimia
(memar, pengupasan, pemotongan, serangan penyakit, atau kondisi lain yang
tidak normal) (Santoso dan Nursandi, 2004). Warna kehijauan pada kalus diduga
disebabkan adanya sitokinin dalam media inisiasi yang dapat memacu
terbentuknya klorofil.
B. Kalus Dalam Media Perlakuan
Kalus umur 30 hari yang diperoleh dari media inisiasi disubkulturkan pada
media perlakuan dengan variasi konsentrasi sukrosa yang telah ditentukan. Kalus
diinkubasi selama 15 hari dalam ruang kultur.
1. Morfologi Kalus
Kalus yang disubkulturkan pada media perlakuan memiliki tekstur yang
cenderung kompak (non freeable) sampai akhir perlakuan. Warna kalus
mengalami perubahan menjadi cokelat muda dan cokelat tua. Morfologi kalus
pada media perlakuan umur 15 hari disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 7.
32
Tabel 1. Morfologi kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari).
Morfologi KalusKonsentrasiSukrosa (g/L)
UlanganTekstur Warna
1 Kompak Cokelat tua2 Kompak Cokelat tua3 Kompak Cokelat tua4 Kompak Cokelat tua
0
5 Kompak Cokelat tua1 Kompak Cokelat agak tua2 Kompak Coklat tua3 Kompak Coklat tua4 Kompak Cokelat muda
10
5 Kompak Cokelat tua1 Agak remah Cokelat muda2 Kompak Cokelat muda3 Kompak Cokelat tua4 Kompak Cokelat tua
20
5 Kompak Cokelat tua1 Agak remah Cokelat muda2 Agak remah Cokelat muda3 Kompak Cokelat muda4 Kompak Cokelat muda
30
5 Kompak Cokelat muda1 Kompak Cokelat muda2 Agak remah Cokelat muda3 Kompak Cokelat tua4 Kompak Cokelat tua
40
5 Kompak Cokelat agak tua
Tekstur kalus yang kompak memiliki susunan sel yang rapat dan padat
sehingga sulit dipisah-pisahkan. Kalus non freeable juga disebabkan sebagian sel-
selnya memiliki proporsi vakuola yang lebih besar serta mempunyai dinding
polisakarida yang besar pula (Street, 1973). Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa
kalus tidak berwarna hijau. Hal ini diduga karena adanya dekomposisi klorofil.
Menurut Guilano et al. (1993) dalam Santoso dan Nursandi (2004), dekomposisi
klorofil secara biokimia dapat terjadi melalui:
33
1. Hilangnya rantai phyton karena enzim klorofilase sehingga terbentuk
klorofilin / klorofilid yang menghasilkan warna hijau cerah.
2. Dekomposisi klorofilid lebih lanjut menjadi phaeophorbides (berwarna
cokelat) dan klorins (tidak berwarna).
3. Fotooksidasi sehingga Mg2+ hilang dan terbentuk phaeophytin yang berwarna
cokelat dan hijau olive (keputihan).
Menurut George dan Sherrington (1984), gula (sukrosa) dalam media
kultur jaringan dapat menghambat sintesis klorofil dengan tingkat penghambatan
yang berbeda-beda tergantung jaringan dan spesies tumbuhan. Penimbunan gula
dalam sel dapat menghambat proses fotosintesis dan menyebabkan pertumbuhan
tidak normal serta daun nekrotik (Jana dan Sheen (1992) dalam Fitriyani dkk,
1999). Penimbunan sukrosa disebabkan oleh absorbsi sukrosa dari media melalui
bagian eksplan yang teriris. Penimbunan sukrosa dalam sel menyebabkan
kebutuhan gula dalam sel sudah terpenuhi sehingga sel-sel tidak melakukan
fotosintesis; akibatnya pembentukan klorofil terhambat. Pencokelatan juga
merupakan gejala proses penuaan. Pencokelatan kalus juga dapat disebabkan oleh
akumulasi senyawa fenol dalam sel kalus. Menurut Santoso dan Nursandi (2004)
enzim yang berperan dalam proses pencokelatan ini adalah enzim komplek
polifenol oksidase yaitu fenol hidroksilase, kresolase dan katekolase.
Pembentukan senyawa fenol juga dapat didorong oleh adanya bahan-bahan kimia
dalam media, misalnya auksin. Auksin menurut Santoso dan Nursandi (2004)
dapat mendorong terjadinya pencokelatan pada eksplan daun muda kelapa sawit.
29
Ulangan
Konsentrasi
Sukrosa (g/l)
1 2 3 4 5
0
10
20
30
40
Gambar 7. Morfologi kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari).
1 2
Keterangan :
1. Kalus
2. Ekspla
n
29
2. Pertumbuhan Kalus
Pertumbuhan adalah suatu proses dalam kehidupan tumbuhan yang
mengakibatkan perubahan ukuran, bentuk dan jumlah sel pada kondisi-kondisi
tertentu (Sitompul dan Guritno, 1995). Menurut Yokota et al. (1999) pertumbuhan
kalus pada media kultur biasanya ditentukan dengan mengukur berat kalus.
a. Berat Basah
Parameter pertumbuhan dapat diamati dari peningkatan berat basah
(Lampiran 3). Peningkatan berat basah kalus dihitung dengan cara berat basah
akhir dikurangi berat basah awal. Menurut Sitompul dan Guritno (1995) berat
merupakan integrasi dari hampir semua peristiwa yang dialami tumbuhan.
Rata-rata peningkatan berat basah kalus disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 8.
Tabel 2. Rata-rata peningkatan berat basah kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari).
Konsentrasi Sukrosa (g/l) 0 10 20 30 40
Rata-rata Peningkatan Berat Basah (g)
a
0,40
b
0,80
b
0,92
b
0,90
b
0,76
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Gambar 8. Histogram rata-rata peningkatan berat basah kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa (umur 15 hari).
0,4
0,90,76
0,920,8
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
0 10 20 30 40
Konsentrasi Sukrosa (g/l)
Pe
rta
mb
ah
an
Be
rat
Ba
sa
h (
g)
30
Hasil uji statistik (Lampiran 4) menunjukkan bahwa variasi
konsentrasi sukrosa pada media perlakuan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan berat basah kalus. Pada Tabel 2 terlihat
bahwa konsentrasi sukrosa 10 g/l, 20 g/l, 30 g/l dan 40 g/l memberikan
pengaruh yang tidak signifikan terhadap peningkatan berat basah kalus, tapi
signifikan dengan media tanpa pemberian sukrosa.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa secara keseluruhan media perlakuan
mampu meningkatkan berat basah kalus. Media dengan konsentrasi sukrosa
20 g/l menghasilkan pertumbuhan kalus terbesar. Rata-rata peningkatan berat
basah kalus pada media ini sebesar 0,92 g atau sebesar 108,85% dari berat
basah awal. Hal ini bisa dikatakan bahwa konsentrasi sukrosa 20 g/l
merupakan konsentrasi yang optimum untuk pertumbuhan kalus R. verticillata
karena pada konsentrasi sukrosa 30 g/l terjadi penurunan berat basah.
Peningkatan berat basah kalus terendah terjadi pada media tanpa pemberian
sukrosa, dengan rata-rata peningkatan berat basah sebesar 0,4 g atau sebesar
64,85% dari berat basah awal. Hal ini disebabkan jumlah sukrosa yang
dibutuhkan sebagai sumber energi dan sumber karbon untuk memacu
pertumbuhannya tidak mencukupi. Karbohidrat sangat dibutuhkan untuk
memacu pertumbuhan sel dan berperan dalam metabolisme (Wetter dan
Constabel, 1991). Sukrosa merupakan salah satu disakarida yang berperan
penting dalam tumbuhan sebagai sumber energi, sumber karbon dan
pembentuk komponen sel (Dwidjoseputro, 1994). Menurut George (1993)
dalam Iraqi dan Tremblay (2001), sukrosa merupakan sumber karbon dan
31
sumber energi yang paling sesuai untuk pertumbuhan jaringan pada kultur sel
tanaman dibandingkan dengan jenis karbohidrat yang lainnya.
Sukrosa dalam media masuk ke dalam sel melalui proses difusi bebas,
osmosis maupun arus massa. Sukrosa dalam sel akan terhidrolisis menjadi
glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase. Proses hidrolisis sukrosa oleh
invertase berlangsung di sitosol, vakuola maupun dinding sel (Salisbury dan
Ross, 1995). Pemecahan sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan
fruktosa) merupakan langkah awal penggunaan sukrosa oleh sel kalus (Iraqi
dan Tremblay, 2001). Glukosa dan fruktosa yang terbentuk akan digunakan
sebagai sumber energi maupun sumber karbon untuk pertumbuhannya.
Glukosa dan fruktosa dalam metabolisme sel akan masuk dalam glikolisis dan
siklus Krebs untuk membentuk energi berupa ATP yang akan digunakan
untuk pertumbuhan kalus.
Pada tumbuhan yang sedang mengalami pertumbuhan, laju respirasi
meningkat sebagai akibat dari proses pertumbuhan yang membutuhkan
banyak energi. Menurut Salisbury dan Ross (1995), sukrosa merupakan gula
yang paling banyak ditranslokasikan dalam tumbuhan dan merupakan
pemasok glukosa dan fruktosa yang paling banyak untuk substrat respirasi.
Konsentrasi sukrosa yang opimum dalam media akan memberikan energi
yang optimum pula untuk pertumbuhan. Pada umumnya, sumber karbon
utama bagi tumbuhan adalah CO2 yang difiksasi dari udara yang akan diubah
menjadi gula heksosa melalui proses fotosintesis. Tumbuhan yang
ditumbuhkan secara in vitro, fotosintesisnya berlangsung kurang optimal
32
sehingga pemberian sumber karbon dalam media sangat dibutuhkan (Marezki
(1974) dalam Suskendriyati, 2003).
Sukrosa yang terangkut ke dalam sel sebagian akan diubah menjadi
energi dan sebagian lagi diubah menjadi bahan-bahan yang diperlukan untuk
memacu pertumbuhan kalus (Salisbury dan Ross, 1995). Sukrosa juga
berperan terhadap pemanjangan dan pembesaran sel. Sukrosa yang
terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa oleh enzim invertase menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan turgor. Tekanan turgor menyebabkan
pemanjangan dan pembesaran sel. Hal inilah yang diduga menyebabkan
perbedaan peningkatan berat basah kalus, sebab respon setiap sel (berupa
tekanan turgor) terhadap kondisi cairan di sekitar sel berbeda-beda. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Maretzki (1974) dalam Suskendriyati (2003), bahwa
respon pertumbuhan sel terhadap penambahan karbohidrat berbeda-beda
untuk setiap spesies.
b. Berat Kering Kalus
Indikator pertumbuhan kalus selain ditentukan dengan peningkatan
berat basah juga dapat dilihat pada berat kering kalus (Lampiran 3). Berat
kering kalus merupakan indikator pertumbuhan yang lebih representatif
dibandingkan dengan berat basah kalus. Menurut Sitompul dan Guritno
(1995), berat basah atau berat segar sulit digunakan sebagai indikator
petumbuhan karena berat basah masih dipengaruhi oleh kandungan air dalam
sel. Kandungan air sel dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak selalu
33
konstan sehingga kandungan air dalam sel, jaringan atau keseluruhan tubuh
tanaman berubah sesuai dengan kondisi lingkungan dan umur sel itu sendiri.
Rata-rata berat kering kalus setiap perlakuan disajikan pada Tabel 3
dan Gambar 9. Berat kering kalus yang digunakan adalah berat kering
konstan. Untuk mendapatkan berat kering yang konstan, kalus dikeringkan
dalam oven dengan suhu 50 C dan ditimbang setiap hari sampai diperoleh
berat yang konstan. Pengeringan kalus bertujuan untuk menghentikan
aktivitas metabolisme sel dengan segera (Sitompul dan Guritno, 1995).
Tabel 3. Rata-rata berat kering kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa.
Konsentrasi Sukrosa (g/l) 0 10 20 30 40
Rata-rata Berat Kering (g)
a
0,044
b
0,074
c
0,102
d
0,124
e
0,152
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang tidak sama pada satu baris berarti menunjukkan beda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Gambar 9. Histogram rata-rata berat kering kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa.
Hasil uji statistik (Lampiran 5) terhadap berat kering kalus
menunjukkan bahwa pemberian sukrosa dengan berbagai konsentrasi
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap berat kering kalus untuk
0,1520,124
0,1020,074
0,044
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0 10 20 30 40Konsentrasi Sukrosa (g/l)
Be
rat
Ke
rin
g (
g)
34
setiap perlakuan. Dari Tabel 3 terlihat bahwa rata-rata berat kering kalus
tertinggi diperoleh dari media dengan konsentrasi sukrosa 40 g/l yaitu sebesar
0,152 g. Hasil ini belum menunjukkan hasil yang optimum sebab belum
terlihat adanya penurunan berat kering kalus pada penelitian ini. Sukrosa
merupakan sumber energi dan karbon untuk pertumbuhan kalus, serta
komponen penyusun sel. Ketersediaan sukrosa yang besar memungkinkan
tersedianya cukup energi serta bahan-bahan penting untuk pertumbuhan dan
pembentukan biomassa.
Menurut Sitompul dan Guritno (1995), sukrosa yang terangkut ke
dalam sel sebagian akan masuk metabolisme untuk menghasilkan energi dan
sebagian lagi diubah menjadi bahan esensial seperti bahan dinding sel, protein
dan bahan lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhan. Berat kering kalus
terendah diperoleh pada media tanpa pemberian sukrosa yaitu sebesar 0,044 g.
Pada media ini kalus tidak memperoleh cukup bahan untuk membentuk
biomassa sebab jumlah karbohidrat (sukrosa) yang berfungsi sebagai sumber
energi dan sumber karbon sangat kurang bahkan mungkin tidak ada.
Pada Gambar 9 terlihat bahwa peningkatan berat kering kalus seiring
dengan peningkatan konsentrasi sukrosa. Diduga peningkatan konsentrasi
sukrosa menyebabkan pembentukan metabolit untuk mendorong pembelahan
dan pertumbuhan kalus. Sukrosa dalam media menyebabkan sel-sel kalus aktif
membelah sehingga kalus lebih banyak membentuk biomassa selama
pertumbuhan (Suskendriyati, 2003). Sukrosa akan terhidrolisis menjadi
glukosa dan fruktosa. Selain menghasilkan energi, metabolisme sukrosa juga
35
menyediakan kerangka karbon antara yang dapat digunakan untuk
menghasilkan produk esensial lainnya dalam tumbuhan misalnya metabolit
sekunder (Salisbury dan Ross, 1995).
Pada penelitian ini terdapat perbedaan pola antara berat basah dan
berat kering kalus. Pada peningkatan berat basah terlihat adanya penurunan
peningkatan berat basah pada konsentrasi sukrosa 30 g/l dan 40 g/l, sedangkan
pada berat kering kalus belum terlihat adanya penurunan berat kering sampai
pada konsentrasi sukrosa 40 g/l (konsentrasi tertinggi). Hal ini diduga
disebabkan oleh kemampuan kalus dalam menyerap dan menyimpan air. Berat
basah dipengaruhi kandungan air dalam kalus, sedangkan berat kering
merupakan berat konstan yang sudah tidak dipengaruhi kandungan air. Kalus
yang memiliki berat basah tinggi tapi berat kering rendah disebabkan kalus
mampu menyerap dan menyimpan air dalam jumlah banyak, sehingga ketika
dikeringkan banyak air yang hilang dan menyebabkan berat kering kalus
rendah. Pada berat basah kalus yang rendah tapi berat keringnya tinggi
disebabkan kalus hanya mampu menyerap dan menyimpan air sedikit,
sehingga ketika dikeringkan air yang hilang hanya sedikit dan diperoleh berat
kering yang tinggi.
Kemampuan kalus dalam menyerap dan menyimpan air dipengaruhi
oleh tekstur kalus. Menurut Abidin (1990) sel yang berada pada lapisan luar
dan kontak dengan media lebih mudah menyerap air daripada sel yang berada
di lapisan dalam. Tekstur kalus yang tidak rata menyebabkan tidak semua sel
kalus mampu menyentuh media terutama sel kalus bagian dalam, akibatnya
36
kemampuan kalus untuk menyerap dan menyimpan air tidak sama. Sel kalus
yang memiliki vakuola lebih besar akan menyimpan air lebih banyak
dibanding sel dengan vakuola kecil. Hal inilah yang diduga menyebabkan
perbedaan pola antara berat basah dan berat kering kalus.
C. Analisis Kandungan Reserpin dalam Kalus
Kadar reserpin dalam kalus R. verticillata yang ditanam pada media MS
dengan variasi konsentrasi sukrosa dianalisis dengan spektrofotometer UV-Visible
pada panjang gelombang 399 nm. Rata-rata kadar reserpin (mg/g) dalam kalus
disajikan pada Tabel 4 dan Gambar 10.
Tabel 4. Rata-rata kadar reserpin (mg/g) kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa.
Konsentrasi sukrosa (g/l) 0 10 20 30 40
Rata-rata kadar reserpin (mg/g)
a93,204
a140,444
b302,56
c548,9
b373,24
Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada satu baris berarti menunjukkan tidak beda nyata pada uji DMRT taraf 5%.
Gambar 10. Histogram rata-rata kadar reserpin (mg/g) kalus R. verticillata pada media MS dengan variasi konsentrasi sukrosa.
373,24
548,18
302,56
140,44493,204
0
100
200
300
400
500
600
0 10 20 30 40Konsentrasi Sukrosa (g/l)
Kad
ar R
eser
pin
(m
g/g
)
37
Uji statistik menunjukkan variasi konsentrasi sukrosa memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kadar reserpin kalus R. verticillata. Dari Tabel
4 diketahui bahwa kadar reserpin terendah diperoleh pada media perlakuan tanpa
sukrosa yaitu 93,204 mg/g kalus kering dan kadar reserpin tertinggi diperoleh
pada media dengan konsentrasi sukrosa 30 g/l yaitu sebesar 548,9 mg/g kalus
kering. Kadar reserpin yang rendah pada media tanpa sukrosa diduga disebabkan
oleh sumber karbon yang tersedia hanya cukup untuk pertumbuhan sehingga
untuk membentuk metabolit sekunder tidak mencukupi. Pada konsentrasi sukrosa
yang rendah sel akan kekurangan sumber karbon untuk asimilasinya. Pada media
dengan penambahan sukrosa yang cukup tinggi, sumber karbon dan energi yang
tersedia selain mencukupi untuk pertumbuhan kalus juga cukup untuk
pembentukan metabolit sekunder sehingga reserpin yang terbentuk tinggi.
Reserpin merupakan senyawa metabolit sekunder yang masuk dalam
kelompok Alkaloid Indol Monoterpenoid (AIM). Kelompok alkaloid ini pada
dasarnya merupakan turunan dari satu unit asam amino triptamin dan satu unit C9
dan C10 dari terpenoid (secologanin) (Ramawat dan Merillon, 1999). Kandungan
reserpin dipengaruhi oleh konsentrasi dan metabolisme nitrogen dalam sel.
Metabolisme nitrogen sendiri membutuhkan energi yang diperoleh dari
metabolisme karbohidrat. Nitrogen merupakan unsur penyusun asam amino yang
merupakan prekursor metabolit sekunder. Menurut Bloom dalam Palaniswamy et
al. (2002) penyerapan nitrogen oleh tumbuhan bisa dalam bentuk NH4+ dan NO3
-.
Keberadaan karbohidrat yang tinggi akan meningkatkan penyerapan NH4+.
Sumber nitrogen dalam bentuk NH4+ bisa langsung dipakai untuk membentuk
38
asam amino tanpa harus direduksi sehingga tidak membutuhkan banyak energi.
Hal ini berarti karbohidrat yang ada dapat dipakai sebagai sumber energi dan
sumber karbon untuk membentuk metabolit sekunder. Konsentrasi karbohidrat
yang rendah menyebabkan penyerapan NH4+ menjadi terhambat sehingga sumber
nitrogen yang banyak digunakan adalah NO3-. Penggunaan NO3
- harus melalui
proses reduksi yang membutuhkan sekitar 25% energi dari hasil fotosintesis,
akibatnya energi yang dibutuhkan untuk pembentukan metabolit sekunder tidak
optimal.
Sukrosa selain sebagai sumber karbon dan energi dalam pembentukan
metabolit sekunder juga berfungsi mengatur sinyal yang mempengaruhi ekspresi
gen dalam proses pembentukan metabolit sekunder (Jang dan Sheen, 1997 dalam
Ramawat dan Merillon, 1999). Menurut Ramawat dan Merillon (1999),
heksokinase dalam sel tumbuhan berfungsi sebagai sensor gula. Sukrosa yang
tinggi akan mengaktifkan heksokinase. Heksokinase akan mengaktifkan protein
fosfatase dan protein kinase yang mengatur proses transkripsi protein sehingga
terbentuk gen pengekspresi pembentukan metabolit sekunder (Gambar 11).
Gambar 11. Sinyal transduksi gula pada tumbuhan (Ramawat dan Merillon, 1999)
Gula
Heksokinase
Protein fosfataseProtein kinase
Aktivasi
Penghambatan
Transkripsi
Gen penyandi pembentukan metabolit
sekunder
Metabolit sekunder
39
Sukrosa dalam sel kalus akan terhidrolisis membentuk glukosa dan
fruktosa. Sukrosa mempengaruhi pembentukan metabolit sekunder melalui jalur
glikolisis dan siklus Krebs. Dengan adanya enzim heksokinase, monosakarida
hasil hidrolisis sukrosa membentuk gula terfosforilasi yang akan masuk jalur
glikolisis membentuk asam piruvat. Melalui proses oksidasi asam piruvat
terbentuk asetil Ko-A yang akan masuk siklus Krebs untuk menghasilkan energi
berupa ATP dan NADH, yang digunakan untuk pembentukan metabolit sekunder.
Asetil Ko-A dari glikolisis mengalami kondensasi membentuk hidroksimetil
glutaril Ko-A (HMG-CoA), yang kemudian tereduksi membentuk asam
mevalonat (MVA). Dengan energi ATP dari siklus Krebs, asam mevalonat diubah
menjadi asam mevalonat 5 pirofosfat (MVA PP) dengan penambahan fosfat
inorganik (Pi). Asam mevalonat 5 pirofosfat diubah menjadi isopentenil pirofosfat
(IPP) oleh enzim anhidrokarboksilase dengan energi ATP dan melepaskan CO2,
Pi dan ADP. Melalui proses isomerase, isopentenil pirofosfat diubah menjadi
dimetil alil pirofosfat yang kemudian berkondensasi dengan isopentenil pirofosfat
membentuk geranil pirofosfat yang dikatalisis oleh enzim prefenil transferase.
Geranil pirofosfat diubah menjadi geranil difosfat. Geranil difosfat diubah
menjadi geraniol dengan melepaskan fosfat inorganik. Geraniol diubah menjadi
10-hidroksigeraniol dengan katalisator enzim geraniol 10-hidroksilase (G10H),
selanjutnya terbentuk loganin dan secologanin. Secologanin merupakan kelompok
terpenoid yang dalam pembentukan AIM akan berkondensasi dengan triptamin
membentuk 3(s)-striktosidin (Shank et al., 1998; Manitto, 1981).
40
Pembentukan metabolit sekunder melalui jalur shikimat dimulai dari
fosfoenol piruvat (PEP) yang mengalami kondensasi tipe aldo stereospesifik
dengan D-eritrose-4-fosfat membentuk 3-deoksi-D-arabinoheptulosonat-7-fosfat
(DAHP). Adanya penutupan cincin DAHP menyebabkan terbentuknya asam
dehidroquinat (DHQ). Asam dehidroquinat mengalami dehidrasi reversibel
membentuk asam dehidrosikimat, kemudian dengan adanya NADPH membentuk
asam shikimat. Penambahan fosfat pada asam shikimat dan eliminasi air
membentuk enamin yang akan berkondensasi dengan PEP membentuk asam
isokhorismat. Eliminasi 1,4-konjugat asam fosfor dari asam isokhorismat
menghasilkan asam khorismat. Dengan adanya proses aminasi terbentuk asam
anthranilat yang kemudian membentuk triptofan. Triptofan diubah menjadi
triptamin dengan katalisator enzim triptofan dekarboksilase (Herbert, 1995;
Manitto, 1981). Triptamin merupakan substrat enzim striktosidin sintase (SSS)
pada pembentukan AIM. Triptamin dari jalur shikimat akan berkondensasi dengan
secologanin dari jalur mevalonat membentuk 3(s)-striktosidin dengan katalisator
enzim striktosidin sintase. 3(s)-striktosidin digunakan sebagai prekursor
pembentukan AIM (Shank et al., 1998) salah satunya reserpin (Gambar 12, 13,
dan 14).
41
Gambar 12. Jalur biosintesis asam mevalonat (Berg et al., 2002)
Asetil-KoA 3-hidroksi-3-metilglutaril-KoA (HMG-KoA)
Asetoasetil-KoA
TiolaseHMG-KoA
sintase
Asam mevalonat
HMG-KoA reduktaseSTATINLER
Mevalonat kinase
Mevalonat-5-pirofosfat
ATP
ATP
Isopentenil-5-pirofosfat (PP)
CO2Mevalonat-5-pirofosfat
dekarboksilase
Dimetilalil-PP
Isopentenil-PP isomerase
Geranil-PP
Geranil-PP-sintaseBIFOSFONATLAR
Farnesil-PP
Farnesil-PP-sintaseBIFOSFONATLAR
Skualen
2,3 oksidoskualen
Lanosterol
Kolesterol
Geranilgeranil-PP
PrenillenmisProteinler
HEMADOLIKOLUBIKUINON
Skualen sintase
Skualen monoksigenase
Skualen epoksidase
19 reaksi
NADPH
Geranilgeranil-PP sintase
Mevalonat-5-fosfat
Fosfomevalonat kinase
Geranil difosfat
Secologanin
42
Gambar 13. Jalur biosintesis asam shikimat (Odneal, 2000).
Jalur pentosa fosfat Glikolisis
Eritrosa 4-fosfat
Fosfoenol piruvat
3-Deoksi 7-fosfoheptulosonat
3-DehidrokuinatAsam kuinat
3-Dehidroshikimat
Shikimat
3-Fosfoshikimat
3-Enol-piruvul shikimat-5-fosfat (EPSP)
Khorismat
Prefenat
L-Arogenat
TirosinL-Fenilalanin
Jalur fanil propanoid
Asam protokatekuat
Vanillin Katekol
Antranilat
Asam 4-amino 4-deoksikhorismat
Asam P-amino
benzoat
Isokhorismat
Antranilat
Asam 2,6 dehidrobenzoat (Asam resorsilat
P-ribosil antranilat
CDRP
Indol gliserol fosfat
L-Triptofan
DAHP sintase
3-Dehidrokuinat sintase
3-Dehidrokuinat dehidrase
Shikimat 3-dehidrogenase
Shikimat kinase
EPSP sintase
Khorismat sintase
Prefenat aminotransferase
Khorismat mutase
Arogenat dehidrogenase
Arogenat dehidrase
O-metil transferase
43
Gambar 14. Biosintesis Alkaloid Indol Monoterpenoid dari jalur Shikimat dan jalur Mevalonat (Verpoorte et al., 2002; Shank et al., 1998).
Jalur Shikimat
Triptofan
Triptamin
Triptofan dekarboksilase
Geranil difosfat
Geraniol
10 - hidroksigeraniol
Loganin
Secologanin
Striktosidin
4,21-dehidrogeissosizin
Alkaloid Indol Monoterpenoid
Striktosidin sintase
Jalur Mevalonat
Enzim G10H
Reserpin
44
Peningkatan kadar reserpin terjadi seiring dengan peningkatan konsentrasi
sukrosa sampai pada konsentrasi sukrosa 30 g/l lalu menurun pada konsentrasi
sukrosa 40 g/l (Gambar 10). Konsentrasi sukrosa yang rendah dalam media
diduga tidak digunakan untuk membentuk metabolit sekunder, tapi dioptimalkan
untuk pertumbuhan dan perkembangan sel. Pada media dengan nutrisi yang
optimal, sel-sel kalus dapat menggunakan nutrisi dalam media untuk pertumbuhan
dan pembentukan biomassa serta untuk pembentukan metabolit sekunder,
sehingga pada kondisi ini bisa diperoleh biomassa yang besar serta kadar reserpin
yang tinggi pula. Konsentrasi sukrosa lebih dari 30 g/l memang memacu
pertumbuhan sel sehingga diperoleh laju pertumbuhan kalus yang tinggi, tetapi
menghambat pembentukan metabolit sekunder dalam sel (Mantell dan Smith,
1986). Penghambatan pembentukan metabolit sekunder bisa juga disebabkan oleh
sukrosa yang tersisa dari proses pertumbuhan terkonversi menjadi hasil samping
berupa senyawa-senyawa lain misalnya asam-asam organik dan CO2. Hal inilah
yang menyebabkan kadar reserpin pada media dengan konsentrasi sukrosa 40 g/l
lebih rendah daripada kadar reserpin pada media dengan konsentrasi sukrosa 30
g/l. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan Manuhara (1995) bahwa
kandungan alkaloid vinkristin kalus daun Catharantus roseus (L.) G. Don
dipengaruhi konsentrasi sukrosa.
Manuhara (1995) telah melakukan penelitian tentang pengaruh manipulasi
media terhadap kandungan alkaloid vinkristin kalus daun Catharanthus roseus
(L.) G. Don. Pada penelitian tersebut salah satu perlakuan yang diberikan adalah
variasi konsentrasi sukrosa (20, 30, 40, 50, dan 60 g/l). Kadar alkaloid vinkristin
45
tertinggi pada media dengan konsentrasi sukrosa 40 g/l. Kalus pada media yang
mengandung sukrosa 50 g/l mengandung alkaloid vinkristin lebih sedikit,
sedangkan penambahan sukrosa 20, 30, dan 60 g/l pada media tidak menunjukkan
adanya alkaloid vinkristin. Hal ini mungkin disebabkan sukrosa sebagai sumber
karbon, hidrogen dan oksigen dalam jumlah 20 dan 30 g/l tidak digunakan untuk
pembentukan vinkristin, tapi hanya dipakai untuk pertumbuhan kalus.
Penambahan sukrosa lebih dari 50 g/l kemungkinan menghambat pembentukan
alkaloid vinkristin (Manuhara, 1995).
Variasi konsentrasi sukrosa pada penelitian ini mempengaruhi
pertumbuhan dan kandungan reserpin kalus daun R. verticillata. Pertumbuhan
kalus cenderung meningkat yang ditunjukkan pada berat basah dan berat kering
kalus. Penambahan sukrosa sampai dengan 20 g/l pada media meningkatkan berat
basah kalus, di atas 20 g/l peningkatan berat basah kalus mengalami penurunan.
Berat kering kalus meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi sukrosa.
Berat kering kalus tertinggi pada media dengan konsentrasi sukrosa 40 g/l. Hal ini
berarti belum diketahui konsentrasi sukrosa yang optimum, sebab belum terlihat
adanya penurunan berat kering kalus. Kandungan reserpin meningkat sampai pada
konsentrasi sukrosa 30 g/l, kemudian mengalami penurunan pada konsentrasi
sukrosa 40 g/l. Konsentrasi sukrosa 30 g/l adalah konsentrasi yang optimum untuk
meningkatkan kandungan reserpin kalus daun R. verticillata.
52
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Peningkatan konsentrasi sukrosa dalam media MS cenderung meningkatkan
pertumbuhan kalus R. verticillata yang ditunjukkan pada berat basah dan berat
kering kalus.
2. Peningkatan konsentrasi sukrosa dalam media MS cenderung meningkatkan
kandungan reserpin kalus R. verticillata. Penambahan sukrosa sampai dengan
30 g/l meningkatkan kandungan reserpin, konsentrasi sukrosa di atas 30 g/l
menurunkan kandungan reserpin.
B. Saran
1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan reserpin kultur
kalus R. verticillata dengan variasi konsentrasi sukrosa di atas 40 g/l karena
sampai konsentrasi 40 g/l belum terlihat penurunan berat kering kalus.
2. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan reserpin kultur
kalus R. verticillata dengan pemberian jenis sumber karbon lain atau dengan
kombinasi sumber karbon.
53
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 1990. Dasar-Dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa. Bandung.
Anggarwulan, E. dan Solichatun. 2001. Fisiologi Tumbuhan. FMIPA, UNS. Surakarta.
Anonim. 2003. Suplemen Obat dan Klaim Kesehatan. http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id. [27 Maret 2006].
Anonim. 2000. “Apocynaceae : Rauvolfia linnaeus, sp. http://www.eflpras.org/florataxon.aspx?flora_id=2&taxon_id=200018456. [27 Maret 2006].
Auge, R. 1995. “The Physiological Phenomena Related to the Realisation of Culture in Vitro”. In Auge, R., Beauchesne, G., Boccon_Gigod, J., Decourtye, L., Digat, B., Jalouzot, R., Minier,R., Morand, J. Cl., Reynoird, J. P., Strullu, D. G. and Vidalie, H. (Eds.) In Vitro Culture and it’s Application in Holticulture. Science Publisher, Inc. New Hampshire. p: 7-8.
Berg, J. M., Tymoczko, J. L., and Stryer, L. 2002. Biochemistry. 5th Edition. New York. http://upload.wikimedia.org/wikimedia/tr/thumb/e/e0/mevalonat. [21 Januari 2007].
Chairul. 2003. “Identifikasi secara Cepat Bahan Bioaktif pada Tumbuhan Di Lapangan”. Berita Biologi. Vol. 6. p: 424-431. Laboratorium Fitokimia Bidang Botani Puslit Biologi LIPI-Bogor.
Croteau , R., Kutchan, T. M. and Lewis, H. G. 2000. “Natural Products (Secondary Metabolites)”. In Buchanan, B., Gruissem, W. and Jones, R (Eds). Biochemistry and Molecular Biology of Plants. American Society of Plants Physiologists. New York.
De Padua, L. S., Bunyapraphatsara, N., and Lemmens, R. H. M. J. 1999. Plant Resources of South East Asia (Medicinal and Poisonous Plant 1). 12 (1). PROSEA. Bogor.
Dodds, J. H. and Roberts, L W. 1995. Experiments in Tissue Culture. Third Edition. Cambridge University Press. Cambridge.
Dwidjoseputro, D. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia. Jakarta.
54
Fischer, R., Liao, Y. C., Hoffmann, K., Schillberg, S. and Emans, N. 1999. “Molecular Farming of Recombinant Antibodies in Plants”. Biological Chemistry. 380: 825-839.
Fitriyani, I., Margono, B., dan Dahlia. 1999. “Pengaruh Asam 2,4-D Diklorofenoksi Asetat terhadap Klorofil dan Glukosa Kalus Morinda citrifolia L”. Chimera. 4 (1): 37-46.
George, E. P. and Sherington, P. D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Eversley: Hand Book and Directory of Commersial Laboratories. Exigetic Limited.
Gamborg, O. L. 1991. “Kalus dan Kultur Sel”. Dalam Wetter, L. R. dan Constabel, F. (Editor) Metode Kultur Jaringan Tanaman. ITB. Bandung.
Hary, 1998. Pengaruh Glukosa terhadap Kandungan Vitamin C pada Kalus Kubis Merah (Brassica oleracea L. var capitata). Skripsi. Fakultas Biologi. UGM. Yogyakarta.
Heble, M. R. 1996. “Production of Secondary Metabolites Through Tissue Culture and Its Prospects for Commersial Use”. In Islami, A. S. (Eds.) Plant Tissue Culture. Science Publisher, Inc. USA. p: 161-168.
Herbert, R. B. 1995. Biosintesis Metabolit Sekunder. Jilid 2. (diterjemahkan oleh Bambang Srigandono). Champman and Hall. London And New York.
Ignacimuthu, S. 1997. Plant Biotechnology. Science Publisher, Inc. New Hampshire.
Iraqi, D. and Tremblay, F. M. 2001. “Analysis of Carbohydrat Metabolism Enzymes and Cellular Contents of Sugar and Protein During Spruce Somatic Embryogenesis Sugest A Regulatory Role of Exogenous Sucrose in Embrio Development”. J. Experimental Botany. 52: 2301-2311.
Krook, J., Vreughdenhil, D., Dijkema, C., and van der Plas, L. H. W. 1998. “Sucrose and Starch Metabolism in Carrot (Daucus carota L.) Cell Suspension Analysed by 13C Labelling : Indication for A Cytosol and A Plastid-Localized Oxidative Pentosa Pathway”. J. Experimental Botany. 49: 1917-1924.
Kurz, W. G. W. dan Constabel, F. 1991. “Produksi dan Isolasi Metabolit Sekunder”. Dalam Wetter, L. R. dan Constabel, F. ( Editor) Metode Kultur Jaringan Tanaman. ITB. Bandung.
55
Lajis, R. Hj. 1996. Perubatan Nasional. Pusat Racun Negara. USM. http://www.prn2.usm.my/mainsite/bulletin/kosmik/1996/kosmika/html. [9 April 2006].
Leathers, R. R., Davin, C., and Zryd, J. P. 1992. “Betalian Producing Cell Culture of Beta vulgaris L. Var. Bikores Monogerm (Red Beet)”. In Vitro Cell. Dev. Biol. 28: 39-45.
Lee, S. H.,Chae, H. S., Lee, T. K., Kim, S. H., Shin, S. H., Cho, B. H., Cho, S. H., Kang, B. G., and Lee, W. S. 1998. “Ethylene-Mediated Phospholipid Catabolic Pathway in Glucose-Starved Carrot Suspension Cell”. Plant Physiol. 116: 233-229.
Leon, J., Pojo, E. and Sanchez-Serano, J. J. 2001. “Wound Signalling in Plants”. J. Exp. Botany. 52 (34): 1-3.
LIPI. 1999. Koleksi Tumbuhan Obat Kebun Raya Bogor. UPT Balai Pengembangan Kebun Raya Bogor (LIPI). Bogor.
Manitto, P. 1981. Biosintesis Produk Alami (diterjemahkan oleh Koensoemardiyah). IKIP Semarang Press. Semarang.
Mantell, S. H. and Smith, H. 1986. Plant Biotechnology. Cambridge University Press. Great Britain.
Manuhara, Y. S. W. 1995. “Pengaruh Manipulasi Media terhadap Kandungan Alkaloid Vinkristin Kalus Daun Catharanthus roseus(L.) G. Don”. Berkala Penelitian Hayati. 1: 1-7.
Meijer, A. H., Verpoorte, R., and Hoge, J. H. C. 1993. “Regulation of Enzymes and Gene Involved in Terpenoid Indol Alkaloid Biosynthesis in Catharanthus roseus”. J. Plant Res. Special Issue. 3: 145-164.
Miyanaga, K., Seki, M., and Furusaki, S. 2000. “Quantitative Determination of Culture Strawberry-Cell Heterogeneity by Image Analysis : Effects of Media Modification on Anthocyanin Accumulation”. Biochemical Engineering. 5: 201-207.
Mulabagal, V. and Tsay, H. S. 2004. “Plant Cell Culture – an Alternative and efficient Source for the Production of Biologically Important Secondary Metabolites”. Int. J. Appl. Sci. Eng. 2(1): 29-48.
Odneal, M. 2006. http://www.missouristate.edu. [21 Januari 2007].
Palaniswamy, U. R., Bernard, B. B., and Richard, J. M. 2002. “Effect of Nitrate: Ammonium Nitrogen Ratio on Oxalate Levels of Purslane”. In Janick, J.
56
and Whipkey, A. (Eds). Trends in New Crops and New Uses. ASHS Press. Alexandria, VA. p: 453-455.
Ramachandra Rao, S. 2000. “Biotechnological Production of Phyto-pharmaceuticals”. Journal of Biochemistry Molecular Biology Biophysics. 4: 73-102.
Ramachandra Rao, S. and Ravishankar, G. A. 2002. “Plant Cell Cultures : Chemical Factories of Secondary Metabolites”. Biosynthesis Advances. 2: 101-153.
Ramawat, K. G. 1999. “Production in Culture Optimization”. In Ramawat, K. G. and Merillon, J. M. (Eds). Biotechnology Secondary Metabolites. Science Publisher, Inc. New Hampshire. p: 193-218.
Ramawat, K. G. and Merillon, J. M. 1999. Biotechnology Secondary Metabolites. Science Publisher, Inc. New Hampshire.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata). Penertbit ITB. Bandung.
Salisbury, F. B. dan Ross, C. W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3 (diterjemahkan oleh Diah R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung.
Sanchez, S., Martinez, M. E., and Espinola, F. 2000. “Biomass Production and Biochemical Variability of The Marine Microalga Isochrysis galbana in Relation to Culture Medium”. Biochemical Engineering Journal. 6: 13-18.
Santoso, U. dan Nursandi, F. 2004. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.
Scragg, A. H. 1997. “The Production of Aromas by Plant Cell Culture”. Adv. In. Biochem. Eng. 55: 259-263.
Shank, J. B., Bhadra, J., Morgan, J., Rijhwani, S., and Vani, S. 1998. “Quantification of Metabolites in the Indole Alkaloid Pathways of Catharanthus roseus : Implication of Metabolites Engineering”. Biotechnology and Bioengineering. Vol. 58 No 2 dan 3: 333-338.
Singh, D. K., Srivastava, B., and Sahu, A. 2004. “Spectrophotometric Determination of Rauwolfia Alkaloid: Estimation of Reserpin in Pharmaceuticals”. Analytical Sciences. The Japan Society for Analytical Chemistry. 20: 571-573.
57
Sitompul, S. M. dan Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. UGM Press. Yogyakarta.
St-Pierre, B., Vasquez-Flota, F. A., and De Luda, V. 1999. “Multicellular Compartmentation of Catharanthus roseus. Alkaloid Biosynthesis Predicts Intercellular Translocation of Pathway Intermediate”. Plant Cell. 11: 887-900.
Street, H. E. 1973. Plant Tissue and Cell Culture. University of California Press. Berkeley and Los Angeles.
Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman secara in Vitro. Kanisius. Yogyakarta.
Suskendriyati, H. 2003. “Pertumbuhan dan Produksi Saponin Kultur Kalus Talinum paniculatum Gaertn. dengan Variasi Pemberian Sumber Karbon”. Skripsi. Jurusan Biologi F MIPA UNS. Surakarta.
Taiz, L. and Zeiger, E. 1998. Plant Physiology. Sinaver Asosiates, Inc Publisher.
Massachusett.
Thien An, T. and Ziegler, S. 2001. “Utilization of Medicinal Plants in Bach Ma National Park, Vietnam”. Medicinal Plant Conservation. Vol 7.
Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. UGM Press. Yogyakarta.
Verpoorte, R., Contin, A., and Memelink, J. 2002. “Biotechnology for The Production of Plant Secondary Metabolites”. Phytochemistry Reviews. 1: 13-25.
Wetter, L. R. and Constabel, F. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman(diterjemahkan oleh Mathilda B Widianto). Edisi Kedua. ITB. Bandung.
Wetherell, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara in Vitro(diterjemahkan oleh Koensoemardiyah). IKIP Semarang Press. Semarang.
Yokota, T., Tutumi, N., and Takahasi, K. 1999. “Growth Rate Estimation of in Vitro Primarily Induced Carrot Callus by a Fractal Based Model”. Biochemical Engineering Journal. 3: 231-234.
Yusnita. 2004. Kultur Jaringan. Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta.
58
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Media MS (Murashige dan Skoog) (Dodds dan Roberts 1995)
NO KOMPOSISI KONSENTRASI (mg/l)
Makronutrien
1 NH4NO3 1.650
2 KNO3 1.900
3 CaCl2. 2 H2O 440
4 MgSO4.7 H2O 370
5 KH2PO4 170
Mikronutrien
6 FeSO4 . 7H2O 27,8
7 Na2EDTA.2H2O 37,2
8 MnSO4.4 H2O 22,3
9 ZnSO4.7 H2O 8,6
10 H3BO3 6,2
11 Kl 0,83
12 Na2M0O4.2 H2O 0,25
13 CuSO4. 5 H2O 0,025
14 C0Cl2. 6 H2O 0,025
Vitamin
15 Myo-inositol 100
16 Nicotinic acid 0,5
17 Pyridoxine. HCl 0,5
18 Thiamine . HCl 0,1
Sumber karbon
Sucrosa 30.000
Asam Amino
20 Glycine 3
59
Lampiran 2. Tanaman Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon
Keterangan :
A. Morfologi R. verticillata
B. Bunga R. verticillata
C dan D. Buah R. verticillata
1. Habitus (bentuk semak tegak)
2. Daun (bentuk melebar hampir membujur, susunan daun berkarang 3)
3. Batang (bentuk bulat, berkayu)
4. Corolla (bewarna putih)
5. Tabung corolla (berwarna kemerahan)
6. Buah masih muda (berwarna hijau, bentuk lonjong, letak berpasangan)
7. Buah sudah tua (berwarna putih keabu-abuan, bentuk bulat, berpasangan)
A B
C D
1
2
3
54
67
60
Lampiran 3. Data berat kalus R. verticillata pada variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS.
Tabel 1. Data berat basah awal kalus R. verticillata
Berat Basah Awal (g)Konsentrasi Suktosa (g/l) 1 2 3 4 5 Jumlah Rerata
0 0,8 0,6 0,4 1,0 1,0 3,8 0,7610 1,1 0,8 1,0 0,9 0,4 4,2 0,8420 0,9 0,7 1,4 0,8 0,6 4,4 0,8830 0,9 1,1 0,6 0,9 0,7 4,2 0,8440 0,6 1,9 1,1 1,5 1,0 6,1 1,22
Tabel 2. Data berat basah akhir kalus R. verticillata
Berat Basah Akhir (g)Konsentrasi Suktosa (g/l) 1 2 3 4 5 Jumlah Rerata
0 1,3 1,1 0,9 1,3 1,2 5,8 1,1610 1,8 1,9 1,5 2,0 1,0 8,2 1,6420 2,0 1,5 2,5 1,7 1,3 9,0 1,830 2,1 2,2 1,4 1,7 1,3 8,7 1,7440 1,6 2,8 1,8 2,0 1,7 9,9 1,98
Tabel 3. Data peningkatan berat basah kalus R. verticillata
Berat Basah Akhir (g)Konsentrasi Suktosa (g/l) 1 2 3 4 5 Jumlah Rerata
0 0,5 0,5 0,5 0,3 0,2 2,0 0,410 0,7 1,1 0,5 1,1 0,6 4,0 0,820 1,1 0,8 1,1 0,9 0,7 4,6 0,9230 1,2 1,1 0,8 0,8 0,6 4,5 0,940 1,0 0,9 0,7 0,5 0,7 3,8 0,76
Tabel 4. Data berat kering kalus R. verticillata
Berat Kering (g)Konsentrasi Suktosa (g/l) 1 2 3 4 5 Jumlah Rerata
0 0,05 0,04 0,04 0,05 0,04 0,22 0,04410 0,09 0,06 0,08 0,08 0,06 0,37 0,07420 0,11 0,09 0,11 0,10 0,10 0,51 0,10230 0,13 0,13 0,12 0,12 0,12 0,62 0,12440 0,14 0,15 0,15 0,17 0,15 0,76 0,152
61
Lampiran 4. Hasil uji ANAVA dan DMRT 5% peningkatan berat basah kalus R. verticillata.
OnewayDescriptives
PeningkatanBeratBasah
5 ,400 ,1414 ,0632 ,224 ,576 ,2 ,5
5 ,800 ,2828 ,1265 ,449 1,151 ,5 1,1
5 ,920 ,1789 ,0800 ,698 1,142 ,7 1,1
5 ,900 ,2449 ,1095 ,596 1,204 ,6 1,2
5 ,760 ,1949 ,0872 ,518 1,002 ,5 1,0
25 ,756 ,2740 ,0548 ,643 ,869 ,2 1,2
0
10
20
30
40
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
PeningkatanBeratBasah
1,650 4 20 ,201
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
PeningkatanBeratBasah
,882 4 ,220 4,791 ,007
,920 20 ,046
1,802 24
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Post Hoc TestsHomogeneous Subsets
PeningkatanBeratBasah
Duncana
5 ,400
5 ,760
5 ,800
5 ,900
5 ,920
1,000 ,293
KonsSukrosa0
40
10
30
20
Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.a.
62
Lampiran 5. Hasil uji ANAVA dan DMRT 5% berat kering kalus R.
verticillata
OnewayDescriptives
BeratKering
5 ,0440 ,00548 ,00245 ,0372 ,0508 ,04 ,05
5 ,0740 ,01342 ,00600 ,0573 ,0907 ,06 ,09
5 ,1020 ,00837 ,00374 ,0916 ,1124 ,09 ,11
5 ,1240 ,00548 ,00245 ,1172 ,1308 ,12 ,13
5 ,1520 ,01095 ,00490 ,1384 ,1656 ,14 ,17
25 ,0992 ,03936 ,00787 ,0830 ,1154 ,04 ,17
0
10
20
30
40
Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
BeratKering
1,735 4 20 ,182
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
BeratKering
,035 4 ,009 103,093 ,000
,002 20 ,000
,037 24
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Post Hoc TestsHomogeneous Subsets
BeratKering
Duncana
5 ,0440
5 ,0740
5 ,1020
5 ,1240
5 ,1520
1,000 1,000 1,000 1,000 1,000
KonsentrasiSukrosa0
10
20
30
40
Sig.
N 1 2 3 4 5
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.a.
63
Lampiran 6. Kurva standar reserpin murni
File Name: SERP!NCreated: 10:59 11/22/06Data: OriginalWavelength: 399.0 Slit Width: 2.0Multi-Point Working CurveConc = k1 A + k0k1 = 16710 k0 = -41.39 Chi-Square: 0.00013Number of Points: 5 Std # Conc. Abs. 1 20.000 0.004 2 40.000 0.005 3 60.000 0.006 4 80.000 0.007 5 100.00 0.009
Hasil Analisis Regresi Kurva Standar Reserpin
0,0040,005
0,0060,007
0,009
y = 0,0012x + 0,0026
R2 = 0,9730
0,002
0,004
0,006
0,008
0,01
20 40 60 80 100
Konsentrasi Reserpin (mg/l)
Ab
sorb
ansi
absorbansi
Linear (absorbansi)
64
File Name: Sukrosa - 0Created: 11:21 12/02/06Data: OriginalWavelength: 399.0 Slit Width: 2.0Multi-Point Working CurveConc = k1 A + k0k1 = 16710 k0 = -41.39 Chi-Square: 0.00013Number of Points: 5 ID Conc. Abs. 1 605.3 0.039 2 599.2 0.038 3 1252. 0.077 4 623.7 0.040 5 1580. 0.097
File Name: Sukrosa-10Created: 13:10 12/05/06Data: OriginalWavelength: 399.0 Slit Width: 2.0Multi-Point Working CurveConc = k1 A + k0k1 = 16710 k0 = -41.39 Chi-Square: 0.00013Number of Points: 5 ID Conc. Abs. 1 2290. 0.140 2 687.3 0.044 3 1392. 0.086 4 327.9 0.022 5 2325. 0.142
File Name: Sukrosa-20Created: 13:20 12/05/06Data: OriginalWavelength: 399.0 Slit Width: 2.0Multi-Point Working CurveConc = k1 A + k0k1 = 16710 k0 = -41.39
Lampiran 7. Hasil spektrofotometer sampel kalus perlakuan
65
Chi-Square: 0.00013Number of Points: 5 ID Conc. Abs. 1 3741. 0.226 2 2445. 0.149 3 1413. 0.087 4 3888. 0.235 5 3641. 0.220
File Name: Sukrosa-30Created: 10:54 12/06/06Data: ModifiedWavelength: 399.0 Slit Width: 2.0Multi-Point Working CurveConc = k1 A + k0k1 = 16710 k0 = -41.39 Chi-Square: 0.00013Number of Points: 5 ID Conc. Abs. 1 5383. 0.325 2 5224. 0.315 3 6250. 0.376 4 5236. 0.316 5 5226. 0.315
File Name: Sukrosa-40Created: 12:59 12/04/06Data: OriginalWavelength: 399.0 Slit Width: 2.0Multi-Point Working CurveConc = k1 A + k0k1 = 16710 k0 = -41.39 Chi-Square: 0.00013Number of Points: 5 ID Conc. Abs. 1 3204. 0.194 2 5095. 0.307 3 2608. 0.159 4 4771. 0.288 5 2984. 0.181
66
Lampiran 8. Data kadar reserpin kalus R. verticillata pada variasi konsentrasi sukrosa dalam media MS
Kadar ReserpinPerlakuan
Ulangan
Absorbansi mg/l pelarut mg/g kalus
Rerata (mg/g)
Sukrosa
0 g/l
1
2
3
4
5
0,039
0,038
0,077
0,040
0,097
605,3
599,2
1252
623,7
1580
60,53
59,92
125,2
62,37
158
93,240
Sukrosa
10 g/l
1
2
3
4
5
0,140
0,044
0,086
0,022
0,142
2290
687,3
1392
327,9
2325
229
68,73
139,2
32,79
232,5
140,444
Sukrosa
20 g/l
1
2
3
4
5
0,226
0,149
0,087
0,235
0,220
3741
2445
1413
3888
3641
374,1
244,5
141,3
388,8
364,1
302,56
Sukrosa
30 g/l
1
2
3
4
5
0,325
0,315
0,376
0,316
0,315
5383
5224
6250
5236
5226
538,3
522,4
625,0
523,6
522,6
548,18
Sukrosa
40 g/l
1
2
3
4
5
0,194
0,307
0,159
0,288
0,181
3204
5095
2608
4771
2984
320,4
509,5
260,8
477,1
298,4
373,24
67
Lampiran 9. Hasil uji ANAVA dan DMRT 5% kadar reserpin R. verticillata
Oneway
Descriptives
KadarReserpin
5 93,2040 45,68483 20,43088 36,4788 149,9292 59,92 158,00
5 140,4440 90,89871 40,65114 27,5783 253,3097 32,79 232,50
5 302,5600 106,90911 47,81121 169,8148 435,3052 141,30 388,80
5 548,1800 43,47588 19,44300 494,1976 602,1624 522,40 625,00
5 373,2400 112,23806 50,19439 233,8780 512,6020 260,80 509,50
25 291,5256 184,75265 36,95053 215,2635 367,7877 32,79 625,00
0
10
20
30
40
Total
N Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound
95% Confidence Interval forMean
Minimum Maximum
Test of Homogeneity of Variances
KadarReserpin
3,836 4 20 ,018
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
KadarReserpin
674137,9 4 168534,486 23,235 ,000
145067,1 20 7253,354
819205,0 24
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Post Hoc TestsHomogeneous Subsets
68
KadarReserpin
Duncana
5 93,2040
5 140,4440
5 302,5600
5 373,2400
5 548,1800
,391 ,204 1,000
KonsentrasiSukrosa0
10
20
40
30
Sig.
N 1 2 3
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.a.
Lampiran 10. Contoh perhitungan kadar reserpin
Kadar reserpin hasil spektrofotometer dalam bentuk mg/l pelarut
dikonversi menjadi mg/g kalus kering.
Misalnya pada perlakuan sukrosa 0 ulangan 1.
Diketahui: absorbansi = 0,039
konsentrasi reserpin 605,3 mg/l = 0,6053 mg/ml
volume pelarut (etanol) = 1 ml
berat serbuk kalus sampel = 0,01 g
Perhitungan:
Rumus : B
VSR
Dimana:R : Kadar reserpin (mg/g) berat kering kalusS : Kadar reserpin sampel hasil spektrofotometer (mg/l) pelarutV : Volume pelarut (l)B : Berat serbuk kalus yang dispektrofotometer (g)
Kadar reserpin = g
mlmlmg
01,0
16053,0
= 60, 53 mg/ g kalus
Catatan: satuan hitungan menyesuaikan
68
UCAPAN TERIMA KASIH
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillaahirrabbil’alamiin. Segala
puji syukur tak hentinya penulis panjatkan hanya kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemudahan sehingga panulis
dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan naskah skripsi ini dengan baik.
Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW,
teladan terbaik sepanjang masa yang telah memberikan petunjuk jalan kebenaran
dan mengentaskan manusia dari kejahiliyahan (kebodohan) menuju kemuliaan.
Penelitian dan penyusunan naskah skripsi dengan judul “Pertumbuhan
dan Kandungan Reserpin Kultur Kalus Rauvolfia verticillata (Lour.) Baillon pada
Variasi Konsentrasi Sukrosa dalam Media MS” ini dapat terselesaikan dengan
baik berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Marsusi, M.S selaku Dekan Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret
Surakarta, atas pemberian ijin dan penggunaan sarana dan prasarana untuk
penelitian skripsi.
2. Drs. Wiryanto, M.Si selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas MIPA Sebelas
maret Surakarta, atas pemberian ijin penelitian untuk skripsi.
3. Solichatun, M.Si selaku Dosen Pembimbing I dan Dra. Endang Anggarwulan,
M.Si selaku Dosen Pembimbing II, atas bimbingan, pengarahan dan
bantuannya selama penelitian dan penyusunan naskah skripsi ini.
4. Widya Mudyantini, M.Si selaku Dosen Penelaah I dan Drs. Marsusi, M.S
selaku Dosen Penelaah II, atas kritik, saran dan masukannya demi perbaikan
penyusunan naskah sripsi ini.
5. Muhammad Indrawan, M.Si selaku Pembimbing Akademik, atas bimbingan,
pengarahan dan nasehat selama masa studi penulis.
6. Seluruh Dosen Jurusan Biologi, atas curahan ilmu yang sangat berharga dan
bermanfaat.
69
7. Kepala Laboratorium Pusat MIPA UNS, Kepala Sub Laboratorium Biologi
beserta seluruh staf atas ijin penelitian dan bantuannya selama penulis
melakukan penelitian.
8. Bapak Agus Purnomo dan Bapak Sri Widodo selaku Pegawai Tata Usaha
Jurusan Biologi FMIPA UNS, atas bantuan dan kelancaran administrasi
selama penulis menempuh masa studi dan melakukan penelitian.
9. Bapak Adenan Suryani dan Bapak Misbakhul Munir selaku Laboran Jurusan
Biologi FMIPA UNS, atas bantuan dan pinjaman alat-alat.
10. Kepala Perpustakaan dan seluruh staf Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
FMIPA, Perpustakaan Jurusan Biologi, atas pelayanan menggunakan fasilitas
buku dan referensi selama penulis menempuh studi dan penyusunan skripsi.
11. Kedua orang tua, kakak, adik dan seluruh keluarga atas dukungan, semangat
dan doa tulusnya yang tak pernah terhenti.
12. Sahabat seperjuangan Ninik dan Patmi atas kebersamaan, bantuan dan suka
dukanya selama penelitian, Prop. Kuncoro atas segala bantuannya.
13. Teman-teman Biologi angkatan 2002 : Ana eF, Kartika, Nuren S.Si, Neni,
Feril, Ana NC, Anik, Ifah, Dwi, Umi, Wiwin, Pungki, Tri, Sari, Sevi S.Si,
Dinda S.Si, Astika, Angel S.Si, Adit, Wika, Niken, Esti, Ester, Sinta, Diana,
Prop. Miko’, Pak Dokter Slamet, H. Alim, Pak Unang, Bos Cahyo, Widhi.
Bersama kalian kutemukan hidup baru. Terima kasih atas kenangan yang
indah ini, dukungan, bantuan dan kebersamaannya.
14. Muryanti, S.Si, Aminah Sarju Pinilih, S.Si, Nunung Nur Cahyani, S.Si,
Nurdiya Ardiyanti, S.Si, Yoanita Wijayani, S.Si, Ari Pitoyo, S.Si, Herwin
Suskendriyati, S.Si, alumnus penelitian kultur jaringan tumbuhan, atas
bantuan, referensi, dan pengalamannya dalam melakukan penelitian.
15. Seluruh pihak yang telah membantu kelancaran penelitian dan penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Segala bantuan yang telah tercurah tidak dapat penulis membalasnya,
semoga Allah Yang Maha Mengetahui mengganti dengan yang lebih baik.
Jazakumullah khoiron kastiron.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
70
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis dilahirkan di Kab. Semarang, Jawa Tengah, 3 Februari 1983.
Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Bringin III, Bringin, Kab. Semarang
pada tahun 1996. Tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan SLTP di SLTP
N2 Bringin, Kab. Semarang, kemudian menamatkan pendidikan SMU tahun 2002
di SMU N3 Salatiga. Tahun 2002 penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan
Biologi FMIPA UNS Surakarta melalui jalur SPMB.
Selama menempuh studi di Jurusan Biologi FMIPA UNS, penulis pernah
menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah:
Biologi Umum dan Fisiologi Tumbuhan (Tahun 2005/2006).
Struktur dan Perkembangan Tumbuhan III dan Kultur Jaringan Tumbuhan
(Tahun 2006/2007).
Penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan:
HIMABIO sebagai staff Bidang Kerohanian (Periode 2003/2004)
Syiar Kegiatan Islam (SKI) FMIPA UNS
Staff Departemen Pelayanan Umat (Periode 2003/2004)
Kepala Biro Administrasi Keuangan (Periode 2005/2006)
Dewan Perwakilan Angkatan (DPA) Jurusan Biologi sebagai Sekretaris
(Periode 2004/2005).
Penulis bersama-sama dengan Isnaini Nur Hidayati dan Slamet
Mardiyanto Rahayu pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa Penelitian
(PKMP) Tingkat Universitas tahun 2005 dengan judul “Analisis Kandungan
Kimia Biji Alpukat (Persea amaricana Mill) Sebagai Zat Antidiabetika (Obat
Kencing Manis) (masuk sepuluh besar).