Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI)...

100
Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 277 keras. Penanaman karakter bekerja keras merupakan wujud sungguh-sungguh gigih untuk menjawab pertanyaan dari dosen. d. Sebelum dosen memutarkan audio berita, diberikan intruksi menyimak berita yaitu mahasiswa diarahkan untuk berkosentrasi kemudian menyiapkan beberapa hal yang harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal yang kaitnya dengan berita yang menyangkut tentang 5W+1H. Untuk menemukan informasi dalam berita secara teliti. Pengarahan demikian untuk membantu kosentrasi siswa dalam persiapan menyimak. Tahap ini mengajak mahasiswa untuk berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki (penanaman karakter kreatif). e. Tahap mendengarkan atau memutarkan audio tentang berita. Siswa diharapkan sudah dalam posisi kosentrasi mendengarkan pembacaan berita (audio) berupa rekaman. f. Mereka kemudian akan melaporkan semua hasil simakannya kepada dosen untuk menentukan apakah pernyataan yang baru disimaknya merupakan fakta atau opini serta semua hal yang dapat ditangkap informasinya (hal-hal yang berkaitan dengan 5W+1H). Para siswa kelas tertinggi yang paling pintar dan cakap dapat mengecek dari pembicaraan mereka beberapa contoh opini atau fakta dalam berita. Pada tahap ini mengarahkan pada siswa untuk terbentuk karakter mandiri yang artinya sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Tahapan ini dalam menyimak termasuk ke dalam bagian tahapan mengulang dari apa yang telah disimak. g. Kesempatan yang diberikan kepada mahasiswa dalam menyampaikan pendapat dari hasil simakannya merupakan penanaman karakter demokratis. Sebagai seorang pendidik, wajib memberikan kesempatan kepada anak didiknya menyampaikan pendapatnya. h. Setelah bebepara mahasiswa diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil simakannya, maka langkah selanjutnya, siswa lain diperbolehkan memberikan pendapat. Pendapat yang disampaikan mahasiswa lain bisa berupa pro ataupun kontra pendapat dengan pembicara. Namun pada tahap ini dosen tetap sebagai kontrol pembelajaran, artinya dosen tetap mengarahkan kepada mahasiswa untuk menyampaikan pendapatnya sesuai dengan norma-norma. Menyampaikan sanggahan dengan perkataan yang menyenangkan dan sopan. Tahap ini menanamkan kepada mahasiswa untuk karakter damai yang artinya Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya. i. Dosen memberikan reward atau penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dalam menyampaikan pendapat dari hasil simakannya. Hal ini memberikan beberapa manfaat antara lain; 1) memberikan semangat kepada mahasiswa untuk berani mengungkapkan pendapatnya, 2). Memberikan rasa senang kepada mahasiswa karena apa yang disampaikannya mendapat penghargaan, 3) menanamkan karakter menghargai prestasi. j. Penutup. Dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk menyimak audio dengan materi yang lain, bisa berupa pembacaan pidato, ceramah, atau iklan. Kemudian dosen menutup perkuliahan dengan pembacaan doa. PENUTUP Aspek bahasa terdiri dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu aspek bahasa yang memiliki tingkat kesulitan yaitu aspek menyimak karena aspek kebahasaan yang memiliki tingkat kesulitan karena pada aspek menyimak ini seseorang diajak untuk penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.

Transcript of Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI)...

Page 1: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 277

keras. Penanaman karakter bekerja keras merupakan wujud sungguh-sungguh gigih untuk menjawab pertanyaan dari dosen.

d. Sebelum dosen memutarkan audio berita, diberikan intruksi menyimak berita yaitu mahasiswa diarahkan untuk berkosentrasi kemudian menyiapkan beberapa hal yang harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal yang kaitnya dengan berita yang menyangkut tentang 5W+1H. Untuk menemukan informasi dalam berita secara teliti. Pengarahan demikian untuk membantu kosentrasi siswa dalam persiapan menyimak. Tahap ini mengajak mahasiswa untuk berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki (penanaman karakter kreatif).

e. Tahap mendengarkan atau memutarkan audio tentang berita. Siswa diharapkan sudah dalam posisi kosentrasi mendengarkan pembacaan berita (audio) berupa rekaman.

f. Mereka kemudian akan melaporkan semua hasil simakannya kepada dosen untuk menentukan apakah pernyataan yang baru disimaknya merupakan fakta atau opini serta semua hal yang dapat ditangkap informasinya (hal-hal yang berkaitan dengan 5W+1H). Para siswa kelas tertinggi yang paling pintar dan cakap dapat mengecek dari pembicaraan mereka beberapa contoh opini atau fakta dalam berita. Pada tahap ini mengarahkan pada siswa untuk terbentuk karakter mandiri yang artinya sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Tahapan ini dalam menyimak termasuk ke dalam bagian tahapan mengulang dari apa yang telah disimak.

g. Kesempatan yang diberikan kepada mahasiswa dalam menyampaikan pendapat dari hasil simakannya merupakan penanaman karakter demokratis. Sebagai seorang pendidik, wajib memberikan kesempatan kepada anak didiknya menyampaikan pendapatnya.

h. Setelah bebepara mahasiswa diberi kesempatan untuk menyampaikan hasil simakannya, maka langkah selanjutnya, siswa lain diperbolehkan memberikan pendapat. Pendapat yang disampaikan mahasiswa lain bisa berupa pro ataupun kontra pendapat dengan pembicara. Namun pada tahap ini dosen tetap sebagai kontrol pembelajaran, artinya dosen tetap mengarahkan kepada mahasiswa untuk menyampaikan pendapatnya sesuai dengan norma-norma. Menyampaikan sanggahan dengan perkataan yang menyenangkan dan sopan. Tahap ini menanamkan kepada mahasiswa untuk karakter damai yang artinya Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirannya.

i. Dosen memberikan reward atau penghargaan kepada mahasiswa yang aktif dalam menyampaikan pendapat dari hasil simakannya. Hal ini memberikan beberapa manfaat antara lain; 1) memberikan semangat kepada mahasiswa untuk berani mengungkapkan pendapatnya, 2). Memberikan rasa senang kepada mahasiswa karena apa yang disampaikannya mendapat penghargaan, 3) menanamkan karakter menghargai prestasi.

j. Penutup. Dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk menyimak audio dengan materi yang lain, bisa berupa pembacaan pidato, ceramah, atau iklan. Kemudian dosen menutup perkuliahan dengan pembacaan doa.

PENUTUP Aspek bahasa terdiri dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Salah satu aspek bahasa

yang memiliki tingkat kesulitan yaitu aspek menyimak karena aspek kebahasaan yang memiliki tingkat kesulitan karena pada aspek menyimak ini seseorang diajak untuk penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan.

Page 2: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

278 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Menyimak konsentratif (concentrative listening) sering juga disebut a study-type listening atau menyimak sejenis telaah. Penerapan dalam perkuliahan, menyimak kosentratif ini terdiri dari beberapa tahapan dimulai dari pembukaan, inti sampai dengan penutup. Dalam setiap tahapan mengandung muatan pendidikan karakter antara lain religius, kedisiplinan, mandiri, kreatif, demokratis, tanggungjawab, dan penghargaan. DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, Sabarti, dkk. 1993. Bahasa Indonesia I. Jakarta: Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan Nasional. Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma

Pustaka. Kementrian Pendidikan Nasioanal. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.

Pedoman Sekolah. Jakarta: Puskur Balitbang Kemendiknas. Kusuma, Dharma, dkk. 2011. Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT

Rosdakarya. Samami, Muchlas. 2013. Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja rosdakarya. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Waluyo, Herman.J. 1999. Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Solo: Universitas Sebelas Maret.

Page 3: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 279

PERAN SASTRA ANAK UNTUK MEWUJUDKAN GENERASI MUDA YANG BERKARAKTER

Desy Rufaidah

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa [email protected]

Abstract

Cultivating the character education in the childhood will be used as stock for children till they are adults. The character education of children in the family will continue in school environment where of which uses children literature as media. Educators (teachers) should firstly select which children literature which will be used as the learning material because the inappropriate literature will negatively affect the learning itself. Good children literature contains the values of character education. Character education values in children literature are tripantangan, trisentra pendidikan, trihayu, trisakti jiwa, tringa, triko, trikon, trijuang, trilogi kepemimpinan, and triN. Through children literature, they learn the values of character education early without being forced and expected to apply the values in their daily life. Keywords: children literature, character education

PENDAHULUAN

Kondisi lingkungan dan pembelajaran anak yang diperoleh sejak kecil akan memengaruhi karakter anak. Anak yang berada di lingkungan kental dengan keagamaaan, anak akan memiliki pengetahuan dan beribadah tanpa diperintah sedangkan orang tua yang selalu memberikan semua keingin dan menyediakan semua keperluan anak, anak tersebut akan kesulitan “berdiri sendiri” disaat jauh dari orang tuanya. Anak yang diberi kebebasan untuk berekspresi, anak akan lebih kreatif, anak yang terbiasa mendengar kata-kata kasar di lingkungan keluarga, tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan berkata kasar ketika berinteraksi dengan orang lain jika ada suatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Masa anak-anak cenderung meniru apa yang dilihat dan didengar sehingga pada masa itu hendaknya orang tua sebagai guru pertama anak hendaknya memberikan bekal budi pekerti yang baik.

Ketika anak masuk usia sekolah, orang tua akan memasukkan anak ke sekolah. Pembelajaran yang diperoleh anak di sekolah pun ikut memengaruhi karakter anak. Lingkungan pembelajaran anak di keluarga, sekolah, dan masyarakat saling memengaruhi sehingga ketiga lingkungan tersebut harusnya saling bersinergi. Ki Hadjar Dewantara I (2013: 70) mengatakan bahwa di dalam hidupnya anak-anak adalah tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting baginya yaitu alam keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda.

Lingkungan keluarga memberikan bekal pendidikan karakter, di sekolah anak mengembangkan bekal tersebut dengan bantuan guru. Guru sebagai pelaksana pendidikan di sekolah memiliki kewajiban membentuk karakter peserta didik, hal tersebut termaktup dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Peserta didik sebagai generasi muda hendaknya memiliki karakter yang baik karena kelak kemajuan bangsa berada di tangan mereka. Guru memiliki tanggung jawab mewujudkan generasi muda yang berkarakter.

Salah satu media yang dapat digunakan guru untuk mengembangkan pendidikan karakter yang telah diperoleh anak di keluarga melalui sastra anak. Melalui sastra anak, peserta didik akan

Page 4: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

280 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

mendapat kesadaran nilai-nilai pendidikan karakter tanpa merasa dipaksa dan digurui. Nilai-nilai yang diperoleh anak dari sastra anak yang telah dibaca diharapkan mampu mejadikan anak berkarakter. Hal tersebut tidaklah mengada-ada karena di dalam sastra terkandung unsur intelektualitas, emosional, sosial, dan moralitas.

HAKIKAT KARAKTER

Di Indonesia pendidikan karakter sedang diterapkan dalam pembelajaran di sekolah. Hal tersebut dilakukan karena banyak ditemui generasi muda (peserta didik) yang kehilangan karakter. Adanya peristiwa tawuran remaja, remaja hamil di luar nikah, waktu sekolah ditemui peserta didik di pusat perbelanjaan atau di tempat game online, kurangnya rasa gotong royong, kekerasan, korupsi, memudarnya sopan santun menunjukkan memudarnya karakter dalam diri generasi muda padahal masa depan bangsa ini kelak ada di tangan mereka.

Nilai-nilai dan tradisi bangsa mulai memudar dalam diri generasi muda sehingga pendidikan karakter memang dibutuhkan untuk mengembalikan karakter yang telah memudar. Suyanto (2010: 1) mengatakan karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertangungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Hal itu sejalan dengan pendapat Samani dan Hariyanto (2012: 41) menyatakan bahwa karakter dapat diartikan sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. lebih lanjut dijelaskan jika nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa karakter adalah nilai-nilai unik yang terdapat dalam diri seseorang dan terwujud dalam perilaku sehari-hari. Pendidikan karakter dapat dikatakan berhasil apabila peserta didik tidak sekadar memahami nilai-nilai karakter tetapi dapat menghayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik tidak sekadar menjalankan aturan yang telah dibuat tetapi mereka sudah memahami, menghayati, dan ditunjukan dengan perbuatan. Mereka sudah memiliki kesadaran untuk melakukannya.

Orang berkarakter yaitu orang yang memiliki watak, tabiat, dan perilaku tertentu. Hal tersebut yang membedakan seseorang dengan orang lain dan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Seseorang yang berkarakter akan berani mengambil keputusan dan mempertanggungjawabkan keputusan tersebut. Pendidikan karakter hendaknya sudah diajarkan sejak dini. Jika seseorang sejak kecil sudah memiliki karakter baik maka idealnya karakter tersebut akan dibawa hingga dewasa dan sulit diubah.

HAKIKAT SASTRA ANAK

Kata anak yang di maksud disini bukan anak balita dan bukan pula anak remaja melainkan anak berusia 2 tahun sampai 13 tahun, pada usia tersebut anak sudah masuk sekolah di tingkat SD sampai SMP awal. Piaget (dalam Kurniawan, 2009:40) menjelaskan keterkaitan perkembangan manusia dengan kemampuan kognitif. Secara umum, periode perkembangan kognitif manusia sebagai berikut. Periode I : Kepandaian Sensorik-Motorik (dari lahir sampai 2 tahun)

Pada periode ini bayi mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti mengisap, menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul dihadapannya. Anak mulai meniru, mengingat, dan berpikir; mulai mengenal objek yang tampak; berkembang dari gerak refleks ke gerak yang bertujuan.

Page 5: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 281

Periode II : Pikiran Pra-Operasional, berpikir sederhana (2 sampai 7 tahun) Pada periode ini anak-anak belajar berpikir, menggunakan simbol-simbol dan

pencitraan batiniah, namun pikiran mereka masih tidak sistematis dan tidak logis. Bahasanya mulai berkembang.

Periode III : Operasi-Operasi Berpikir Konkret (7 sampai 11 tahun) Anak-anak mengembangkan kemampuan berpikir sistematis, hanya ketika mereka

dapat mengacu kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret. Anak mampu memecahkan masalahnya dengan penalaran sederhana; memahami hukum persamaan, penggolongan, dan bertautan sederhana; memahami suatu kebalikan.

Periode IV : Operasi-Operasi Berpikir Formal (11 sampai dewasa) Orang muda mengembangkan kemampuan untuk berpikir sistematis menurut rancangan yang murni dan hipotesis. Anak mampu memecahkan masalah yang abstrak secara logis, mampu berpikir secara lebih ilmiah; perhatian ke masalah sosial dan identitas mulai berkembang.

Sebelum anak masuk usia sekolah, disinilah dibutuhkan peran orang tua untuk memberikan bekal pendidikan karakter. Hal itu dapat dilakukan orang tua dengan membacakan berbagai sastra anak. Nurgiyantoro (2004: 109) mengatakan sebuah buku dapat dipandang sebagai sastra anak citraan dan metafora kehidupan yang dikisahkan baik secara isi (emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, dan pengalaman moral) maupun bentuk (kebahasaan maupun cara-cara pengekspresian) dapat dijangkau dan dipahami oleh anak sesuai dengan tingkat perkembangan jiwanya. Lebih lanjut dijelaskan jika sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir, dan berperasaan layaknya manusia. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mascita (dalam Harras&Ma’mur, 2011: 68) menyatakan bahwa cerita anak tidak hanya bercerita tentang kehidupan anak-anak tetapi bisa saja bercerita tentang dunia remaja dan dunia orang dewasa dengan syarat bahwa cerita remaja atau dewasa itu diceritakan berdasarkan kacamata anak-anak.

Sastra anak dapat diciptakan orang dewasa atau anak-anak. Sastra anak yang diciptakan orang dewasa tetap bercerita dunia anak-anak tetapi sudah memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca (anak-anak). Sastra anak yang dihasilkan anak-anak bercerita tentang hal-hal yang dirasa dan dialaminya, mereka hanya sekadar berbagi kepada pembaca sehingga belum memiliki tujuan. PERAN SASTRA ANAK DALAM MENCETAK GENERASI MUDA YANG BERKARAKTER

Melalui sastra anak, secara tidak langsung orang tua telah memberikan penanaman budi pekerti karena pada usia belum sekolah anak masih pada taraf meniru. Anak meniru tokoh dalam cerita sehingga orang tua hendaknya selalu mendampingi atau mengetahui setiap sastra yang dibaca. Selain itu, orang tua hendaknya membantu anak untuk membedakan hal-hal baik yang perlu dicontoh dan hal-hal buruk yang tidak perlu dicontoh. Hal itu dilakukan supaya anak mampu membedakan baik-buruk dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Selain itu, sastra anak dapat menambah kosa kata, memberikan hiburan, merangsang kemampuan imajinasi, menumbuhkan empati dalam diri anak, dan langkah awal untuk membiasakan anak membaca sastra.

Pendidikan di lingkungan keluarga akan dilanjutkan di sekolah saat usia anak sudah memasuki usia sekolah. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan jenjang pendidikan terendah. Pada tingkat ini anak medapatkan bekal untuk mengembangkan kemampuan sesuai dengan potensi diri dan lingkungan. Pembelajaran tidak boleh jauh dari lingkungan kehidupan anak supaya anak mengenal masyarakat di sekitarnya. Hal itu dibutuhkan agar anak mulai kecil bersatu hati, bersatu fikiran dan bersatu hidup dengan masyarakatnya, seperti yang dimaksudkan dalam pendidikan sosial (Ki Hadjar Dewantara I, 2013: 288).

Page 6: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

282 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Anak dapat mengenal masyarakat melalui sastra. Sastra anak dapat dijadikan media pembelajaran di sekolah. Sastra menjadi media pengarang untuk menyampaikan pesan dan mengandung nilai kehidupan dan pendidikan yang dapat dipelajari dan diterapkan pembaca (peserta didik) dalam kehidupan sehari-hari. Sebelum pendidik (guru) menggunakan sastra anak sebagai media pembelajaran, sastra tersebut sebaiknya sudah diseleksi terlebih dahulu.

Pendidik harus mencari sastra anak yang sesuai dengan kehidupan anak-anak. Endraswara (2005: 179) menjelaskan kesesuaian sastra yang perlu diperhatiakan yaitu (a) bahasanya tak terlalu sulit diikuti subjek didik, (b) sejalan dengan lingkungan sosial budaya subjek didik, (c) sesuai dengan umur, minat, perkembangan kejiwaan, (d) mempuk rasa keingintahuan. Kesalahan isi cerita dalam sastra akan berdampak pada hasil negatif pembelajaran di sekolah.

Sastra anak yang baik mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Ki Hadjar Dewantara merumuskan sepuluh nilai-nilai karakter yang dapat diteladani, (Boentarsono, Dwiarso, Suharto, Iswanto, Masidi, dan Widodo, 2012: 19-20) yaitu; (1) tripantangan, (2) trisentra pendidikan, (3) trihayu, (4) trisakti jiwa, (5) tringa, (6) trikon, (7) trijuang, (8) trilogi kepemimpinan, dan (9) triN.

Nilai pertama yaitu tripantangan. Tripantangan mencakup pantangan menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang, keuangan, dan melanggar kesusilaan. Nilai kedua yaitu trisentra pendidikan. Pusat pendidikan anak ada tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Nilai ketiga yaitu trihayu. Trihayu yaitu memayu hayuning sarira, Bangsa, Bawana/manungsa. Setiap tindakan yang dilakukan hendaknya dapat bermanfaat untuk diri sendiri, bangsa, dan sesama manusia. Hal itu dikarenakan alam hidup manusia terdiri atas alam diri, alam bangsa, dan alam manusia. Ketiganya saling keterikatan dan merupakan suatu perbulatan (Sutikno, 2003: 56).

Nilai keempat yaitu trisakti jiwa. Trisakti jiwa mencakup cipta, rasa, dan karsa. Cipta adalah daya berpikir yang bertugas mencari kebenaran sesuatu, dengan jalan membanding-bandingkan barang atau keadaan yang satu dengan yang lain sehingga mendapatkan perbedaan dan persamaan. Rasa adalah segala gerak-gerik hati yang menyebabkan merasakan senang atau susah, sedih atau gembira, malu atau bangga, puas atau kecewa, berani atau takut, marah atau berkasih-kasihan, benci atau cinta, begitu seterusnya. Karsa merupakan lanjutan daripada hawa-nafsu kodrati yang ada di dalam jiwa manusia tetapi sudah dipertimbangkan oleh pikiran serta diperhalus oleh perasaan sehingga tidak lagi bersifat instincten yang mentah atau dorongan-dorongan yang kasar dan rendah. Ketiga kesaktian tadi adalah syarat mutlak untuk mewujudkan manusia susila atau makhluk yang berbudi dan beradab (Ki Hadjar Dewantara I, 2013: 451-452).

Nilai kelima yaitu tringa. Tringa mencakup ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Ngerti berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara formal atau nonformal, ngrasa berkaitan dengan perasaan dalam diri seseorang, dan nglakoni berkaitan dengan kegiatan untuk menerapkan teori yang telah dipelajari. Nilai keenam yaitu trikon. Trikon mencakup kontinu, konsentris, dan konvergen. Ki Hadjar Dewantara II (2013: 75) menyatakan kebudayaan memiliki hukum hidup yaitu selalu adanya sambungan langsung dengan apa yang telah silam (kontinyu) menuju ke arah persatuan universal (konvergen), lalu danya persatuan yang berbulat-bulat alam-alam bagiannya (bersatu di dalam persatuan besar tetapi tidak hilang lenyap sifatnya masing-masing berdasar keadaan sebenarnya); garis bulat itu merupakan concentrischecirkles (konsentris).

Nilai ketujuh yaitu triko. Triko mencakup kooperatif, konsultatif, dan korektif. Triko merupakan hubungan Tamansiswa dengan pemerintah. Tamansiswa akan mendukung program-program pemerintah apabila program tersebut bertujuan menyejahterakan dan memajukan bangsa Indonesia. Tamansiswa pun akan mengomunikasikan ide-ide yang bermanfaat untuk bangsa dan negara. Program pemerintah akan selalu dipantau Tamansiswa khususnya pada bidang pendidikan dan kebudayaan. Jika program tersebut merugikan masyarakat, Tamansiswa akan mengoreksi program tersebut.

Page 7: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 283

Nilai kedelapan yaitu trijuang. Trijuang mencakup berjuang memberantas kebodohan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Nilai kesembilan yaitu trilogi kepemimpinan. Trilogi kepemimpinan mencakup ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ing ngarsa sung tuladha berarti di depan memberi atau menjadi contoh. Ing madya mangun karsa berarti di tengah memberi dorongan, motivasi. Tut wuri handayani berarti mengikuti dari belakang. Nilai kesepuluh yaitu triN. TriN mencakup niteni, nirokke, dan nambahi. Niteni berarti memerhatikan lingkungan sekitar atau ilmu yang sedang dipelajari. Nirokke berarti menirukan ilmu yang telah diperoleh. Nambahi berarti menambahkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh, tidak sekadar menirukan.

Disisi lain Kemendiknas merumuskan delapan belas nilai pendidikan karakter yang perlu diterapkan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, nasionalisme, cinta tanah air, prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.

Salah satu cerita dari daerah Jawa Tengah berjudul Timun Eman. Cerita itu berkisah perjuangan seorang ibu dan anak perempuannya terbebas dari seorang raksasa. Setelah membaca cerita tersebut, peserta didik secara tidak langsung mendapatkan nilai-nilai pendidikan karakter yaitu trisentra pendidikan, trijuang, triN. Trisentra pendidikan mencakup keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam cerita, anak mendapatkan nilai-nilai pendidikan karakter di lingkungan keluarga. Seorang ibu yang mengajarkan selalu berdoa kepada Tuhan, kasih sayang, dan saling melindungi. Ibu pun mengajari anak untuk berusaha berjuang melawan kemiskinan dengan mencari kayu bakar di hutan dan berjuang melawan masalah yang sedang dihadapi. Melalui Timun Emas, anak-anak belajar TriN yaitu Timun Emas memerhatikan petunjuk yang diberi tahu ibu ketika dikejar raksasa petunjuk tersebut dilakukan. Di sini, Timun Emas tidak menambahkan petunjuk atau pengetahuan yang diberitahu ibu. Melalui cerita tersebut, diharapkan anak-anak dapat menangkap nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa memudarnya pendidikan karakter di kalangan anak-anak dan remaja dapat ditanggulangi dengan penanaman pendidikan karakter sejak di lingkungan keluarga. Penanaman pendidikan karakter sejak kecil akan dibawa atau dijadikan bekal anak sampai dewasa. Pendidikan karakter anak di keluarga akan diteruskan di lingkungan sekolah, salah satunya menggunakan media sastra anak.

Pendidik (guru) hendaknya menyeleksi terlebih dahulu sastra anak yang akan digunakan sebagai bahan ajar karena kesalahan isi cerita akan berdampak negatif pembelajaran. Hal-hal yang perlu diperhatikan pendidik ketika memilih sastra anak yaitu bahasanya tak terlalu sulit diikuti subjek didik, sejalan dengan lingkungan sosial budaya subjek didik, sesuai dengan umur, minat, perkembangan kejiwaan, dan mempuk rasa keingintahuan.

Sastra anak yang baik mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam sastra anak yaitu tripantangan, trisentra pendidikan, trihayu, trisakti jiwa, tringa, triko, trikon, trijuang, trilogi kepemimpinan, dan triN. Melalui sastra anak, anak belajar nilai-nilai pendidikan karakter sejak dini tanpa merasa terpaksa dan diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA Boentarsono, Dwiarso, Suharto, Iswanto, Masidi, dan Widodo. 2012. Tamansiswa Badan Perjuangan

Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Perguruan Tamansiswa Yogyakarta. Endraswara, Suwardi. 2005. Metode dan Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Buana Pustaka. Harras, Kholid A.&Ma’mur Saadie. 2011. Pendidikan Sastra & Karakter Bangsa. Bandung:

Jurdiksastrasia FBBS UPI.

Page 8: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

284 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Ki Hadjar Dewantara I. 2013. Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Ki Hadjar Dewantara II. 2013. Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak (dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, Hingga penulisan Kreatif). Yogyakarta: Graha Ilmu

Nurgiyantoro, Burhan. 2004. Sastra Anak: Persoalan Genre. Humaniora. Vol. 16. (2). Pp. 107-122. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Sutikno. 2003. Ketamansiswaan 1. Yogyakarta: Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Page 9: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 285

ALTERNATIF MODEL INKUIRI SOSIAL MELALUI KARYAWISATA DALAM KETERAMPILAN MENULIS PUISI

Desyarini Puspita Dewi

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Pekalongan

Abstract

This research is motivated by the need for the development of models of learning as perceived by teachers and learners will be a model of learning that is relevant, interesting, and through field trips in learning to write poetry. Social inquiry learning model is the right model to write poetry because it can influence students to think critically and creatively. There are three popular learning approach writing this now, the product approach, process approach and the genre approach. Understanding of the reasons and the third criticism of this approach is very important for teachers Indonesian subjects who want to be teachers write effective. Each approach has strengths and weaknesses of each, but essentially three complementary. This paper seeks to propose a third approach that combines these approaches, namely the process genre approach is a synthesis of all three. Through the use of a process approach to this genre, subject teachers can develop the Indonesian culture of writing for their students. Keywords: model of social inquiry, writing poetry, field trip.

PENDAHULUAN

Hasil pengamatan di lapangan terhadap pelaksanaan pembelajaran menulis puisi dapat terungkap beberapa hal yang menjadi kendala dan harus dicari alternatif pemecahannya. Kendala yang menyebabkan belum optimalnya pencapaian kemampuan menulis puisi di SMP dapat bersumber pada peserta didik, guru, maupun proses pembelajarannya. Peserta didik masih sulit dalam mengungkapkan ide/gagasan kreatifnya meski guru sudah berusaha mengkondisikan dan mengarahkannya. Guru masih mengalami beberapa kendala dalam memusatkan konsentrasi belajar peserta didik dan mengembangkan daya imajinatifnya ketika mengekspresikan ide/gagasannya ke dalam bentuk puisi. Demikian pula halnya, capaian hasil belajar menulis puisi yang belum optimal itu dapat terjadi karena pelaksanaan proses pembelajaran yang dikembangkan guru belum didukung oleh ketersediaan sarana dan media pembelajaran yang diperlukan.

Adanya kesulitan memusatkan konsentrasi belajar peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran menulis puisi tidak saja dialami oleh guru, hal yang sama juga dialami peserta didik. Sebagian peserta didik menganggap bahwa menulis puisi merupakan hal yang sulit, padahal kesulitan dalam pelajaran akan membuat peserta didik menahan diri atau kebuntuan dalam belajar. Oleh karena itu, upaya memusatkan konsentrasi belajar pada peserta didik sangat diperlukan dan merupakan tantangan yang senantiasa dihadapi guru untuk meningkatkan keberhasilan pembelajaran sastra, khususnya dalam pembelajaran menulis puisi.

Dari sederetan metode pembelajaran bahasa yang ada dan digunakan oleh para guru di sekolah, metode inkuiri sosial merupakan metode pembelajaran yang menerapkan konsep sistem kerja otak kanan dalam pelaksanaannya. Dalam pembelajaran menulis puisi dengan menerapkan metode inkuiri sosial, imajinasi yang terbangun membantu peserta didik dalam menggali pengalaman hidup, mengorganisasikannya, dan memberikan respons dalam bentuk simbol-simbol verbal yang baik. Bentuk-bentuk pembelajaan yang diberikan, baik berupa video ataupun karyawisata digunakan untuk merangsang perkembangan imajinasi peserta didik sehingga dapat menemukan dan memecahkan masalah.

Page 10: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

286 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Diharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis. Secara teoretis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan pengembangan model pembelajaran dalam menulis puisi kelas VII SMP, secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi beberapa pihak yakni, peserta didik, guru, pihak sekolah, dan dinas pendidikan. HAKIKAT MENULIS

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa kata menulis berasal dari kata tulis. Tulis adalah ada huruf (angka dan sebagainya) yang dibuat (digurat dan sebagainya) dengan pena (pensil, cat, dan sebagainya). Menulis adalah membuat huruf, angka, dan sebagainya dengan pena, pensil, cat, dan sebagainya melahirkan pikiran atau perasaan seperti mengarang, membuat surat, dan sebagainya dengan tulisan. Selanjutnya menulis adalah menuangkan gagasan, pendapat, perasaan, keinginan, dan kemauan, serta informasi ke dalam tulisan dan kemudian “mengirimkannya” kepada orang lain (Syafi’ie, 1998:45).

Menurut Akhadiah, dkk. (1998:13) menulis adalah suatu aktivitas bahasa yang menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Tulisan itu sendiri atas rangkaian huruf yang bermakna dengan segala kelengkapan lambang tulisan seperti ejaan dan pungtuasi. Sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal (bahasa), menulis juga dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan dengan menggunakan tulisan sebagai mediumnya. Pesan adalah isi atau muatan yang terkandung dalam suatu tulisan. Adapun tulisan merupakan sebuah sistem komunikasi antarmanusia yang menggunakan simbol atau lambang bahasa yang dapat dilihat dan disepakati pemakainya. Di dalam komunikasi tertulis terdapat empat unsur yang terlibat. Keempat unsur itu adalah penulis sebagai penyampai pesan, pesan atu isi tulisan, saluran atau medium tulisan, dan pembaca sebagai penerima pesan.

Kemampuan menulis adalah kemampuan seseorang untuk menuangkan buah pikiran, ide, gagasan, dengan mempergunakan rangkaian bahasa tulis yang baik dan benar. Kemampuan menulis seseorang akan menjadi baik apabila dia juga memiliki kemampuan untuk menemukan masalah yang akan ditulis, kepekaan terhadap kondisi pembaca, kemampuan menyusun perencanaan penelitian, kemampuan menggunakan bahasa Indonesia, kemampuan memuali menulis, dan kemampuan memeriksa karangan sendiri. Kemampuan tersebut akan berkembang apabila ditunjang dengan kegaiatan membaca dan kekayaan kosakata yang dimilikinya. HAKIKAT PUISI

Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Dalam hal definisi, sampai sekarang orang tidak dapat memberikan definisi setepatnya apakah puisi itu, namun untuk memahaminya perlu diketahui ancar-ancar sekitar pengertian puisi. Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poesis yang artinya berati penciptaan. Dalam kamus Istilah Sastra puisi diartikan sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, mantra, rima serta penyusunan larik, dan baris. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan –poet dan -poem. Mengenai kata poet, Coulter (dalam Tarigan 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.

Sayuti (2000:3) mengungkapkan bahwa sebagai hasil kebudayaan puisi akan berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu. Menanggapi hal tersebut maka tidak dipungkiri munculnya bentuk-bentuk puisi yang berbeda dan mempunyai batasan-batasan tersendiri.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan hasil pengungkapan kembali pengalaman batin manusia, yang diwujudkan melalui bahasa yang estetis

Page 11: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 287

dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya serta dipadatkan kata-katanya dalam bentuk teks.

PEMBELAJARAN MENULIS PUISI

Menulis puisi adalah suatu keterampilan berbahasa dalam menuangkan ide, gagasan, dan pikirannya dalam bentuk bahasa tulis untuk mengekspresikan perasaan dan pikirannya sehingga dapat membangkitkan imajinasi pembacanya.

Endraswara (2003: 174) mengatakan bahwa dalam menulis puisi dapat diawali dengan tiga proses. Pertama adalah proses penginderaan. Pada proses ini dilakukan kegiatan pengamatan terhadap objek. Objek harus dapat sebuah peristiwa, benda, atau diri sendiri. Kedua adalah proses perenungan dan pengendapan. Dalam proses ini dilakukan kegiatan pemerkayaan dengan melakukan asosiasi dan imajinasi. Proses yang ketiga adalah memainkan kata. Proses ini merupakan kegiatan memilih kata-kata yang digunakan sebagai bahan puisi. MODEL INKUIRI SOSIAL

Inkuiri sosial merupakan strategi pembelajaran dari kelompok sosial subkelompok konsep masyarakat. Subkelompok ini didasarkan pada asumsi bahwa metode pendidikan bertujuan untuk mengembangkan anggota masyarakat ideal yang dapat hidup dan dapat mempertinggi kualitas kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, peserta didik harus diberi pengalaman yang memadai bagaimana caranya memecahkan persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat. Melalui pengalaman itulah setiap individu akan dapat membangun pengetahuan yang berguna bagi diri dan masyarakatnya.

Ada tiga karakteristik pengembangan strategi inkuiri sosial, yaitu (1) adanya aspek (masalah) sosial dalam kelas yang dianggap penting dan dapat mendorong terciptanya diskusi kelas; (2) adanya rumusan hipotesis sebagai fokus untuk inkuiri; dan (3) penggunaan fakta sebagai pengujian hipotesis.

Tahapan proses pembelajaran inkuiri sosial dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.

1) Pengenalan Topik 2) Membagi Bahan Ajar 3) Situasi Problematik 4) Pembagian Kelompok 5) Pembagian Tugas 6) Memformulasikan Penjelasan 7) Presentasi 8) Penghargaan dan Motivasi

KOMPETENSI MENULIS PUISI

Waluyo (2005:1) menyatakan bahwa puisi adalah karya sastra yang dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kiasan (imajinatif). Kata-kata dipilih secara benar agar memiliki kekuatan pengucapan. Hal yang dapat diperoleh dari menulis puisi dapat berupa pengalaman, pengetahuan, keasadaran, dan hiburan.

Sayuti (2000:3) mengungkapkan bahwa sebagai hasil kebudayaan puisi akan berubah dan berkembang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat yang menghasilkan kebudayaan itu. Menanggapi hal tersebut maka tidak dipungkiri munculnya bentuk-bentuk puisi yang berbeda dan mempunyai batasan-batasan tersendiri. Menurut Richards (dalam Tarigan, 1986: 78) unsur puisi terdiri dari hakikat puisi yang meliputi tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.

Dalam pembelajaran menulis puisi, peserta didik secara kritis dibimbing untuk memahami, mengenali berbagai unsurnya yang khas, menunjukkan kaitan antara berbagai unsur, menunjukkan

Page 12: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

288 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

keindahan, berbagai pengalaman, dan pengetahuan yang didapat dari karyawisata. Dengan bekal kompetensi itu, diharapkan peserta didik mampu menimba berbagai pengalaman kehidupan melalui berbagai teks kesastraan, sendiri, dan langsung dengan cara-cara yang menyenangkan, selalu tertantang rasa ingin tahunya, tidak terbatas pada lingkup dan waktu di sekolah. METODE KARYAWISATA

Bagi guru, asumsi peserta didik mengenai karyawisata dapat dijadikan peluang yang baik karena karyawisata bisa saja diaplikasikan sebagai metode mengajar. Jika hal ini dilakukan, berarti guru telah memodifikasi salah satu unsur dari lima unsur kegiatan mengajar yaitu modifikasi lingkungan. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli yang mengatakan bahwa guru bisa melakukan modifikasi terhadap lima unsur kegiatan mengajar, yaitu materi pelajaran, proses, produk, lingkungan, dan evaluasi.

Dengan pembelajaran ini pula diharapkan kepekaan sosial peserta didik menjadi terasah. Beberapa mata pelajaran harus diarahtujukan bagi keperluan memperkaya ruang dalam peserta didik. Mata pelajaran seperti sastra mempunyai potensi untuk itu. Dengan demikian, sekolah tidak berubah menjadi peternakan yang menghasilkan orang-orang serakah dan penuh dendam.

Metode karyawisata merupakan cara yang dilakukan guru dengan mengajak peserta didik ke objek tertentu untuk mempelajari sesuatu yang berkaitan dengan pelajaran di sekolah. Objek karyawisata adalah tempat atau objek tertentu yang memiliki nilai akademis, sehingga dapat difungsikan sebagai laboratorium, sebagai tempat untuk memperkaya pengetahuan dan wawasan tentang hal-hal yang memang benar-benar terjadi. Objek karyawisata tersebut antara lain: museum, bank, perusahaan, pasar, pengadilan, candi, pusat kerajinan, pelabuhan, pusat peninggalan, stadion, dan lain-lain.

Mengenai metode karyawisata (field-trip), Sujana (1991:87-88) menyatakan bahwa karyawisata dalam arti metode mengajar mempunyai arti tersendiri yang berbeda dengan karyawisata dalam arti umum. Karyawisata berarti kunjungan ke luar kelas dalam rangka belajar Karyawisata ini dilakukan dengan tidak mengabil tempat yang jauh dari sekolah dan tidak memerlukan waktu yang lama. ALTERNATIF MODEL INKUISI SOSIAL DALAM KETERAMPILAN MENULIS PUISI MELALUI KARYAWISATA

Agar peserta didik dapat menciptakan teks sastra dengan baik, dalam hal ini penciptaan puisi, perlu suasana dan lingkungan yang mendukung serta dapat memberi inspirasi kepada mereka. Untuk keperluan tersebut, guru memodifikasi lingkungan belajar dengan cara mengajak peserta didik belajar di luar kelas atau berkaryawisata ke suatu tempat yang ada di lingkungan sekolah yang memungkinkan peserta didik terinspirasi untuk menulis kreatif puisi. Hal ini didasarkan pada teori yang mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran, guru bisa melakukan modifikasi terhadap lima unsur kegiatan mengajar, yaitu materi pelajaran, proses, produk, lingkungan, dan evaluasi.

Pengembangan model inkuiri sosial dalam penelitian ini merupakan pengembangan dari model inkuiri yang dimodifikasi dengan model pembelajaran sosial untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam menulis puisi tentang keindahan alam. Kompetensi dasar itu termasuk proses berpikir produktif. Prosedur pembelajaran model inkuiri sosial, meliputi (1) prosedur model (sintakmatik), (2) sistem sosial, (3) sistem reaksi, (4) sistem pendukung, dan (5) dampak instruksional dan pengiring. PENUTUP

Model inkuiri sosial dalam keterampilan menulis puisi melalui karyawisata dapat digunakan bagi guru maupun peserta didik. Pembelajaran menulis puisi melalui model inkuiri sosial sebagai alternatif pembelajaran yang hasil akhirnya dapat dijadikan refleksi bagi guru untuk menentukan langkah tindak lanjut.

Page 13: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 289

SARAN Pengembangan model inkuiri sosial ini masih mungkin untuk dikembangkan lebih lanjut seiring

dengan berkembangnya kebutuhan guru, kebutuhan zaman, dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi bidang pendidikan. Pengetahuan guru tentang adanya hubungan erat antara tujuan, materi, dan alat evaluasi kompetensi membaca sastra khususnya puisi hendaknya membuka kemungkinan yang luas untuk dikembangkannya model pembelajaran. Oleh karena itu, masih terbuka pengembangan lebih lanjut model pembelajaran ini untuk pembelajaran membaca jenis dan materi yang lain dengan tetap memperhatikan karakteristik kebutuhan dalam pembelajaran membaca jenis-jenis yang lain tersebut.

DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, S., Maidar, G.A., dan Sakura, H.R. 1989. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa

Indonesia. Jakarta: Erlangga. Borg, W.R., & Gall, M.D. (2002). Educational research: An introduction. (4th ed). New York & London:

Longman. Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, dan Mengerjakan Sastra. Yogyakarta: Kota

Kembang. Joyce, Bruce and Marsha, Weil. 2009. Models of Teaching. Model-Model Pengajaran. Edisi

Kedelapan. Terjemahan Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nur, M., dan Wikandari, P. R. 2000. Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis

dalam Pengajaran. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Universitas Negeri Surabaya. Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media. Sunjana, Nana. 1996. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya. Syafi’ie, I. 1988. Retorika dalam Menulis. Jakarta: Depdikbud. Trimatari. 2005. “Model Teknik Jigsaw dalam Pembelajaran Menulis Puisi”. Jurnal Pendidikan

No.05/Th.IV/ Desember 2005 Hal. 16-32. Tarigan, Henry G. 1986. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Waluyo, Herman. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Waluyo, Herman. 2005. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga. Winataputra, Soekamto, Toety, dan Udin Saripudin. 1997. Teori Belajar dan Model-Model

Pembelajaran. Jakarta: Depdikbud.

Page 14: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

290 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Page 15: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 291

GAYA BAHASA SASTRA ANAK: CARA ANAK MENUNJUKKAN EKSPRESI

Dina Nurmalisa FKIP Universitas Pekalongan

Abstract

The children literature is defined as literature aimed at children, telling stories about children’s world which can be written by adults or children. Children literature written by the children themselves has peculiarities in its style of telling. They tend to express their imagination through language. The language used to express children’s imagination has special characteristics which often emerge in literature written by children. This style becomes the special characteristics in children literature as well as children’s attempt to demonstrate their self-capacity and the expression of their imagination

Sastra merupakan fenomena sosial budaya. Fenomena tersebut diungkap oleh manusia, baik

dewasa maupun anak-anak diantaranya dalam bentuk karya sastra. Karya sastra diartikan sebagai pelukisan kehidupan dan pikiran imajinatif ke dalam bentuk-bentuk dan struktur bahasa. Oleh karena itu, karya sastra menjadi produk manusia yang paling efektif. Bahasa merupakan alat utama untuk menjangkau karya sastra. Hal ini diartikan bahwa bahasa menjadi filter pertama untuk memahami karya sastra. Bahasa dalam karya sastra memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahasa nonsastra. Dengan demikian, bahasa sastra adalah bahasa yang terdapat dalam karya sastra dengan karakteristik sastra.

Merujuk pada batasan tersebut, seharusnya setiap karya sastra harus memiliki karakteristik sastra, baik yang ditulis oleh orang dewasa, remaja maupun anak-anak. Pada kenyataannya, bahasa dalam karya sastra yang ditulis oleh anak tidak demikian. Bahasa karya sastra yang ditulis oleh anak menunjukkan adanya perbedaan dengan bahasa karya sastra yang ditulis oleh orang dewasa. Hal ini ditemukan dalam karya sastra anak yang ditulis oleh anak yang berupa kumpulan cerita pendek seri Kecil-Kecil Punya Karya.

Karya sastra yang mencerminkan perasaan dan pengalaman anak-anak yang dapat dilihat dan dipahami oleh anak-anak disebut sebagai sastra anak. Beberapa batasan tentang sastra anak pada akhirnya mengacu pada sastra yang ditujukan untuk anak-anak, baik yang ditulis oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sastra anak mengacu pada dunia anak, baik itu kehidupannya, alur ceritanya, maupun bahasa yang digunakan (Nurgiyantoro, 2005)

Eksistensi karya sastra anak di tengah menjamurnya karya sastra dewasa dan remaja menunjukkan bahwa anak-anak pun kini mulai andil dalam proses kreatif. Mereka tidak hanya sebagai objek atau penikmat karya sastra tetapi juga menjadi subjek atau pengarang. Akan tetapi, keterbatasan keterampilan anak dalam memilih kata, menunjukkan ekspresi, dan memakai gaya bahasa tentu berbeda dengan keterampilan orang yang lebih dewasa. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Nurgiyantoro (2005:9) bahwa sastra anak memiliki sejumlah keterbatasan baik yang menyangkut pengalaman kehidupan yang dikisahkan, cara mengisahkan, maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengekspresikan. Anak belum dapat menjangkau dan memahami kosakata dan kalimat yang kompleks. Dengan kata lain, bahasa sastra anak berkarakteristik sederhana, sederhana dalam kosakata, struktur, dan ungkapan.

Sastra sebagai fenomena sosial menampilkan kisah kehidupan dalam bentuk cerita. Cerita disajikan dalam bentuk rekaan atau fiksi. Cerita fiksi ini memiliki kecenderungan untuk ditiru dan dipahami oleh pembacanya, termasuk juga dalam cerita fiksi anak. Cerita fiksi anak harus dapat memberikan pengalaman imajinasi. Hal itu mencakup berbagai segi, misalnya pelibatan aspek emosi, pikiran, perasaan, saraf sensori, dan pengalaman moral, serta diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dipahami oleh anak.

Page 16: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

292 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Salah satu jenis cerita fiksi anak diantaranya dalam bentuk kumpulan cerpen Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK). KKPK adalah cerita anak yang ditulis oleh anak dan diterbitkan oleh DAR! Mizan. KKPK menjadi wadah bagi anak untuk menunjukkan dirinya. Setiap anak mempunyai cara masing-masing untuk mengekspresikan imajinasinya. Ekspresi imajinasi tersebut disajikan melalui media bahasa yang menunjukkan karakteristik anak.

KARAKTERISTIK BAHASA SASTRA ANAK

Bahasa menjadi alat utama untuk menjangkau karya sastra. Bahasa karya sastra yang ditulis oleh anak memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan bahasa karya sastra pada umumnya. Ciri kesederhanaan dan kelugasan dalam penyampaian maksud cerita tetap melekat pada karya sastra anak yang diterbitkan oleh KKPK. Beberapa karakteristik bahasa sastra yang ditemukan dalam kumpulan cerpen karya anak KKPK sebagai berikut. 1. Kecenderungan Menirukan Bunyi-bunyian

Anak-anak cenderung untuk meniru hal-hal yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Kecenderungan ini tampak pula dalam karya sastra yang dibuat oleh anak. Pada fase perkembangan psikologis anak kecenderungan ini memang selalu muncul terutama pada saat mereka bercerita. Hal ini juga disebabkan oleh pola ajar orang tua yang selalu melisankan segala sesuatu untuk member gambaran tentang hal yang diceritakan sehingga membantu anak dalam berimajinasi.

2. Pengulangan Kata Ciri kesederhanaan anak tampak pada pemakaian kata. Keterbatasan perbendaharaan kata

yang dimiliki oleh anak-anak menimbulkan pengulangan kata dalam kalimat-kalimat yang disusun. Dalam karya sastra yang ditulis orang dewasa pengulangan kata mengandung nilai estetis, tetapi dalam karya sastra anak tidak demikian. Pemilihan letak kata yang diulang sering berada di tempat yang sama. Demikian pula dengan pemakaian konjungsi. Konjungsi yang dipakai oleh anak-anak juga terbatas. Biasanya berkisar pada pemakaian kata lalu dan tetapi.

3. Pemakaian Istilah Berbahasa Asing Pengaruh budaya asing sangat tampak pada pemakaian bahasa. Banyak istilah asing yang

diserap ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi kata bahasa Indonesia. Akan tetapi, penyerapan ini lebih sering dipakai dalam penulisan karya ilmiah. Dalam karya sastra anak, pengaruh bahasa asing ini juga sangat tampak. Hal ini disebabkan pembelajaran terhadap kata bahasa asing sudah mulai dikenalkan sejak dini. Tidak jarang anak usia delapan sampai sepuluh tahun sudah lancar berbahasa Inggris. Apalagi jika mereka terbiasa berkomunikasi dengan bahasa tersebut dan sering mengakses referensi yang menggunakan bahasa asing. Selain itu, pemakaian istilah berbahasa asing juga mampu memberikan prestise bagi penulisnya.

4. Kecenderungan Budaya Kebarat-baratan Dalam menciptakan karya sastra, anak-anak pasti membutuhkan imajinasi dan khayalan yang

kemudian direka-reka sehingga terbentuk sebuah cerita. Selain itu, anak-anak juga membutuhkan referensi pengalaman atau peristiwa yang berkesan untuk mereka. Pengalaman anak melihat, membaca, mendengar, bahkan mungkin mengalami sendiri suatu peristiwa dapat memunculkan ide kreatif ketika menulis karya sastra.

Budaya kebarat-baratan tampaknya mulai mempengaruhi pengetahuan anak. Hal ini bisa dilihat pada kecenderungan mereka meniru budaya barat yang disajikan dalam karya sastra anak. Pengaruh ini disebabkan oleh maraknya karya sastra terjemahan yang diminati anak-anak bahkan seringkali menjadi trendsetter bagi mereka. Tidak hanya pada pemakaian istilah asing saja, tetapi juga pada pemilihan setting, nama tokoh, tema, dan gaya bercerita. Dijumpai dalam kumpulan cerpen yang dijadikan objek penelitian ini bahwa muncul latar tempat yang tidak bisa ditemukan di Indonesia. Latar yang bersifat imajinasi pun muncul dan menyerupai tempat-tempat yang ada di karya sastra terjemahan.

Page 17: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 293

5. Pemakaian Huruf dan Tanda Baca yang Berlebihan Emosi anak pada usia pertumbuhan seringkali diidentikkan dengan ungkapan yang meledak-

ledak. Ekspresi tersebut tampak pula pada KKPK. Sebagai karya sastra yang ditulis oleh anak, tampilan KKPK inipun menyerupai emosi mereka. a. Pemakaian huruf

Pengaruh emosi anak salah satunya tampak pada pemakaian huruf yang berlebihan, baik pada huruf vokal maupun huruf konsonan. Pemakaian huruf yang berlebihan pada dasarnya bukan sebuah masalah dalam penulisan karya sastra karena bahasa sastra bersifat arbitrer. Akan tetapi, penulisan kata dengan huruf yang berlebihan tersebut tentunya mempunyai maksud dan alasan tertentu.

Dalam karya sastra yang ditulis oleh anak, pemakaian huruf yang berlebihan tersebut disebabkan oleh pengaruh emosional anak ketika menulis. Ekspresi mereka dalam mengungkapkan sesuatu sering dilakukan secara berlebihan. Misalnya ketika menuliskan ekspresi marah dengan berteriak. Maka penulisannya sering ditampilkan dengan memakai huruf vokal lebih banyak dari seharusnya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca seolah ikut berteriak dan melakukan lakuan tokoh dalam cerita tersebut.

Pemakaian huruf konsonan yang berlebihan juga terdapat dalam karya sastra anak. Misalnya untuk menirukan bunyi seperti mendengung, melengking, dan menggumam. Pemakaian huruf konsonan tersebut memberikan efek seolah pembaca benar-benar mendengar atau merasakan hal yang digambarkan tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan penggunaan huruf yang berlebihan merupakan bagian dari cara anak berekspresi untuk menunjukkan diri.

b. Pemakaian tanda baca Tanda baca dalam penulisan berfungsi sebagai penanda bacaan. Dalam penulisan karya

sastra, tanda baca bisa memiliki fungsi lebih dari sekedar penanda bacaan saja. Tanda baca bisa digunakan sebagai sarana ekspresi penulis. Contohnya pada tanda baca seru (!). Tanda seru memberi efek keras, misalnya dalam sebuah percakapan. Tanda baca seru (!) sering muncul dalam percakapan yang membutuhkan penegasan. Akan tetapi, dengan munculnya tanda seru lebih dari satu, maka efek keras atau penegasan yang sangat itu tampak pada kata tersebut.

Contoh lain pada pemakaian tanda baca titik satu (.). Tanda baca titik (.) biasanya digunakan untuk mengakhiri sebuah kalimat. Tanda titik hanya dibubuhkan satu saja, tetapi dalam penulisan karya sastra tanda titik bisa dibubuhkan lebih dari satu. Biasanya ada tiga tanda titik yang diletakkan di belakang kata yang paling akhir. Menurut (Kurniawan, 2009) tanda titik tersebut bisa diartikan sebagai sesuatu yang tidak tersampaikan. Selain itu, pemakaian tanda baca titik yang lebih dari satu tersebut digunakan untuk membuat jeda pelafalan dalam kalimat yang disusun.

Untuk mengakhiri kalimat tanya digunakan tanda baca tanya (?). Dalam penulisan tanda tersebut hanya digunakan satu kali, tetapi pada penulisan karya sastra anak untuk menegaskan pertanyaan tersebut sering memakai tanda tanya yang jamak. Hal itu disebabkan adanya usaha untuk memberikan efek tertentu bagi pembacanya. Penegasan rasa ingin tahu anak tampak pada pemakaian tanda baca tanya (?) yang dibubuhkan lebih dari satu tersebut.

Pengaruh perkembangan emosional anak dapat dilihat dalam penulisan, baik dalam

pemakaian huruf maupun tanda baca yang berlebihan pada karya sastra anak. Anak mempunyai kecenderungan ingin menunjukkan dirinya. Mereka berusaha membahasakan ekspresinya dalam bentuk tulis ketika menciptakan karya sastra dengan gaya khas mereka. Gaya bahasa sastra anak yang dibuat oleh anak ini juga dipengaruhi oleh beberapa hal, (1) perkembangan

Page 18: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

294 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

emosi, (2) konsumsi bacaan, dan (3) lingkungan. Dengan demikian, karya sastra yang dihasilkan oleh anak dapat membantu orang tua mengamati perkembangan anak dan sekaligus mengubah pendapat bahwa sebenarnya anak mampu berpikir lebih dari apa yang dibayangkan oleh orang tua.

DAFTAR PUSTAKA Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga

Penulisan Kreatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press. Musfiroh. 2008. Bahasa dan Sastra dalam berbagai Perspektif. Efendi (Ed).Yogyakarta : Tiara

Wacana. Wiyatmi. 2011. “Fenomena Kecil-Kecil Punya Karya dalam Perkembangan Sastra Anak Indonesia dan

Sumbangannya bagi Pembentukan Karakter”. Makalah Seminar Sastra Anak Universitas Negeri Yogyakarta.

Page 19: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 295

IMPLIKATUR DALAM RETORIKA POLITIK GERAKAN NASIONAL SALAM GIGIT JARI

Dwi Budiyanto

FBS Universitas Negeri Yogyakarta Email: [email protected]

Abstract

The study aims to describe the form of implicature in political rhetoric. This research belongs to qualitative research through discourse analysis of the political rhetoric of Gerakan Nasional Salam Gigit Jari (GNSGJ). Data are collected through a careful record keeping. The validity of the data is done by data triangulation in terms of reliability and validity. The validity of the data is obtained through semantic validity, while the reliability is gained by reading, reviewing (intra-rater), and discussion with colleagues (inter-rater). Analyzing the data is done by using comparative-inductive technique, categorization, data presentation, and making inferences. The implicature in GNSGJ political rhetoric can be categorized into two ways, namely (1) implicature of speech act in the political rhetoric objecting Jokowi-JK and (2) implicature of speech act in political rhetoric supporting Jokowi-JK. Both forms are directed to one purpose, namely the implicature of the inconsistency against Jokowi-JK’s political promises. The further motive is the appeal not to trust any forms of political promises and commitment from Jokowi-JK. The overall form of political rhetoric promoted by GNSGJ is negative campaign against Jokowi-JK.

Keywords: implicature, political rhetoric, negative campaign

PENDAHULUAN

Sebuah lembaga riset dunia digital yang terdaftar di bursa saham New York (Nasdaq), pada 11 Agustus 2010, melaporkan Indonesia telah menjadi negara yang paling aktif dalam berjejaring sosial. Penetrasi pengguna jejaring sosial Twitter tumbuh terbesar di Indonesia (20,8% dari interner users), diikuti Brazil, Venezuela, Belanda, dan Jepang. Selain itu, Facebook dan Blog juga menjadi komunitas jejaring sosial yang sangat penting. Pada akhir 2009, Indonesia menempati urutan kelima di dunia yang penduduknya menggunakan Facebook. Pada bulan Agustus 2010 posisinya telah menjadi nomor tiga, menggeser Perancis dan Italia (Kasali, 2011: 37). Fenomena ini telah menjadikan Indonesia berubah drastis dari beberapa dekade sebelumnya.

Keberadaan jejaring sosial (social network) telah menjadikan masyarakat Indonesia lebih interaktif dan saling terhubung satu dengan lainnya. Komunitas ini saling membentuk opini, mengabarkan peristiwa-peristiwa teraktual dengan lebih cepat, merekomendasikan produk atau jasa yang mereka pakai, memberikan pembelaan dan kritik sosial, belajar tentang hal-hal baru, sekaligus saling memengaruhi preferensi politik orang lain. Kecenderungan ini telah mengubah pola kehidupan masyarakat, tidak saja di bidang bisnis dan usaha, tetapi juga politik. Jejaring sosial telah menjadikan pola komunikasi politik menjadi sangat terbuka. Pesan-pesan politik, baik yang positif maupun negatif, dapat tersebar lebih luas dan cepat. Proses produksi pesan dalam pemilihan umum pun tidak lagi satu arah dari tim sukses, tetapi sekaligus dapat berasal dari relawan pendukung, bahkan juga dapat berasal dari lawan politik dan pendukungnya.

Akhirnya, pemilihan umum seringkali tidak hanya menandai adanya peristiwa politik. Pada kenyataannya, ia juga disertai adanya peristiwa kebahasaan. Hal ini terlihat jelas pada pelaksanaan Pilpres 2014 yang mengusung dua pasang kandidat, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Pertarungan politik ternyata tidak hanya terjadi di arena debat terbuka calon presiden. Pertarungan politik jauh lebih sengit terjadi di jejaring sosial. Twitter dan Facebook telah menjadi sarana untuk mengonstruksi pesan-pesan politik berdasarkan kepentingan masing-masing kandidat. Para pendukung kandidat tertentu dapat mengonstruksi pencitraan positif bagi kandidatnya, sekaligus menciptakan citra negatif pada lawan politiknya. Dalam hubungannya dengan pemilu presiden dan wakil presiden,

Page 20: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

296 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

hampir semua calon diterpa isu kampanye negatif (Cangara, 2009: 366). Prabowo dikait-kaitkan kembali dengan isu pelanggaran HAM pada peristiwa Mei 2008. Sementara itu, Jokowi disudutkan sebagai kurang religius dan hanya menjadi ‘boneka’ Megawati. Pada setiap pesan politik yang disebar melalui jejaring sosial, konstruksi pesan tersebut selalu dilakukan melalui media bahasa.

Ketika proses Pilpres 2014 telah berakhir dengan ditandai oleh kemenangan pasangan Jokowi-JK, aktivitas politik media di jejaring sosial rupa-rupanya tidak berakhir. Sebagaimana proses pencitraan politik kandidat terpilih terus dilakukan, proses kampanye negatif dari koalisi oposisi pun tidak berhenti. Proses ini sebenarnya berlangsung bergantian. Salah satu kampanye negatif yang muncul pasca pemilihan presiden adalah tersebarnya pesan-pesan politik yang dilakukan oleh Gerakan Nasional Salam Gigit Jari. Pada Senin (1/9/2014) akun Salam Gigit Jari mengunggah video berdurasi 1 menit 55 detik yang berisi plesetan lagu Slank, Salam Dua Jari. Lagu berjudul Salam Gigit Jari itu tampaknya sengaja ditujukan untuk menyerang Jokowi beserta pendukungnya. Video tersebut telah ditonton lebih dari 29.315 viewers, di-likes oleh 909 pengguna dan memeroleh 227 dislikes (Bisnis.com, 6/9/2014). Unggahan video tersebut langsung menuai pro-kontra di jejaring sosial.

Setelah ungahan video tersebut, akun @SalamGigitJari kembali mengunggah sejumlah gambar berisi pesan-pesan retorika politik di Twitter. Seluruh pesan retorika politik tersebut dikonstruk dan diarahkan untuk menyerang Jokowi dan pendukungnya. Hampir sebagian besar pesan-pesan tersebut merupakan potongan berita yang berisi pernyataan beberapa tokoh yang mulai mengritik kebijakan Jokowi, terutama berkaitan dengan proses pelibatan dan penyusunan kabinet. Selain berisi potongan pernyataan, gambar-gambar tersebut juga menampilkan potongan berita selama kampanye politik menjelang pilpres dan setelah pilpres berlangsung, terutama ketika Jokowi-JK dinyatakan menang dalam pemilu.

Dilihat dari sudut pandang pragmatik, pesan-pesan politik yang diunggah akun @SalamGigitJari, yang terlihat menempatkan diri sebagai oposisi presiden terpilih itu, memiliki banyak implikatur. Meskipun diunggah pascapilpres, pesan-pesan retorika politik tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kampanye, terutama kampanye negatif (negative campaign). Hanya saja tujuannya tidak lagi untuk memengaruhi preferensi politik. Ada tujuan dan maksud tertentu di balik pesan-pesan retorika politik tersebut yang perlu dianalisis. Dengan demikian, kajian implikatur terhadap pesan-pesan retorika politik yang diunggah akun @SalamGigitJari di jejaring sosial dianggap penting karena terikat konteks untuk menjelaskan maksud implisit dari tindak tutur penuturnya. Oleh karena itu, artikel ini berusaha menganalisis bentuk implikatur retorika politik dari pesan-pesan gambar dari akun @SalamGigitJari tersebut. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif melalui analisis wacana. Analisis wacana digunakan untuk mengungkap bentuk implikatur retorika politik Gerakan Nasional Salam Gigit Jari (GNSGJ) yang muncul pascapilpres 2014. Sumber data dalam penelitian ini berupa pesan-pesan politik yang diunggah oleh akun jejaring sosial Twitter, @SalamGigitJari. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini berupa pesan-pesan politik yang berupa gambar. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik pencatatan secara cermat.

Keabsahan data dilakukan dengan triangulasi data dari segi reliabilitas dan validitas. Validitas data diperoleh melalui validitas semantis, sedangkan reliabilitas data diperoleh dengan cara baca, kaji ulang (intra-rater), dan diskusi dengan sejawat (inter-rater). Teknik analisis data dilakukan dengan teknik komparatif-induktif, kategorisasi, penyajian data, dan pembutan inferensi.

Page 21: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 297

PEMBAHASAN Implikatur dalam Retorika Politik

Komunikasi politik pada dasarnya merupakan upaya untuk menyampaikan ide, pesan, serta motif-motif politik tertentu. Dalam hal ini, bahasa menjadi sarana paling efektif. Pada kenyataannya, bahasa dalam komunikasi politik tidak hanya dimanfaatkan sebagai media komunikasi, tetapi juga digunakan untuk menciptakan realitas yang diinginkan penutur. Hanya saja, realitas yang dikonstruk dalam komunikasi politik lebih sering sebagai realitas yang telah termanipulasi.

Dalam komunikasi politik, sebuah fakta yang disajikan tidak dapat dipahami sekedar sebagai realitas belaka. Ia harus dipahami dalam konteks motif politik yang menyertainya. Dengan demikian, retorika politik sebagai bagian dari komunikasi politik selalu memiliki makna yang dibentuk oleh motif –motif politik. Itulah sebabnya, dalam konteks kajian tindak tutur (speech act), retorika didefinisikan sebagai kajian terhadap perlokusi dari suatu ujaran (Partington, 2003: 212). Artinya, yang menjadi fokus kajian adalah menjelaskan makna implisit dari tindak tutur penuturnya. Bentuk-bentuk tuturan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan itulah yang disebut sebagai implikatur. Dengan kata lain, implikatur merupakan maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan yang tersembunyi (Mulyana, 2005: 11).

Dalam praktiknya, terutama dalam retorika politik, ada kalanya penciptaan strategi-strategi dalam memroduksi tuturan, penutur harus mengucapkan sesuatu yang berbeda dengan yang dimaksudkannya karena tujuan tertentu, sehingga ujaran yang disampaikannya bermakna implisit (Wijana dan Rohmadi, 2009: 296). Dalam konteks komunikasi politik di Indonesia, pascapilpres 2014, sebuah akun di jejaring sosial twitter, yaitu @SalamGigitJari mengunggah pesan-pesan politik, yang sebagian besarnya merupakan potongan pernyataan beberapa tokoh atau isi pemberitaan tertentu, terutama yang dianggap menyudutkan presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK. Salah satu pesan tersebut adalah kutipan pernyataan Suciwati Munir, istri aktivis HAM, Munir. “Ulah Jokowi menunjuk Hendro (sebagai penasihat Tim Transisi) adalah hal yang memalukan. Kalau mau berpolitik bersih, seharusnya Jokowi menunjuk orang lain. Seorang presiden tak selayaknya mengatakan ‘rapopo (tak apa-apa)’ terhadap dugaan pelanggaran hak asasi yang dilakukan Hendro.”

Kutipan pernyataan yang ditampilkan kembali sebagai pesan politik tidak dapat hanya dipahami sebagai sebuah kutipan pernyataan seorang tokoh saja. Sekali lagi, dalam kajian tindak tutur, pesan politik tersebut jelas memiliki motif politik tertentu atau maksud-maksud tertentu yang implisit, bahkan tidak terungkapkan. Tidak adanya keterkaitan semantis antara suatu tuturan dengan yang diimplikasikan, maka dapat diperkirakan bahwa sebuah tuturan akan memungkinkan menimbulkan implikatur yang tidak terbatas jumlahnya (Wijana, 1996: 38-39). Tindak Tutur sebagai Pengungkap Implikatur Retorika Politik

Wijana dan Rohmadi (2009: 298) menjelaskan bahwa tindak tutur yang digunakan penutur dan lawan tutur dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tujuan tuturan. Dalam konteks komunikasi politik, pengunggahan pesan-pesan politik yang dilakukan Gerakan Nasional Salam Gigit Jari, yang bermuatan negatif terhadap lawan politik mereka dapat dikategorikan sebagai kampanye negatif (negative campaign). Sebenarnya, dalam pandangan Lau & Rovner (2009: 285), kampanye negatif dinilai buruk bagi proses demokrasi. Namun demikian, menurut Cangara (2009: 367), model kampanye hitam justru perlu dilakukan agar pemilih tidak kehilangan akal untuk merekam jejak calon pemimpinnya.

Faktor tujuan tuturan dalam kampanye politik biasanya digunakan untuk meningkatkan daya persuasif politik, yaitu memengaruhi preferensi politik pemilih agar publik memilih atau tidak memilih kandidat tertentu. Namun, karena ungahan pesan retorika politik yang dilakukan Gerakan Nasional Salam Gigit Jari dilakukan pascapilpres, ketika kandidat terpilih telah ditetapkan, maka tujuan tuturan tidak lagi diarahkan untuk memengaruhi preferensi politik pemilih dalam pemilu. Tujuan utamanya adalah untuk mengonstruksi citra negatif. Dalam konteks ini, sebagaimana

Page 22: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

298 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

dinyatakan Gupta (2000: 251), kampanye negatif dinilai lebih efektif mendiskriminasikan citra kandidat.

Dalam konteks fenomena komunikasi politik pascapilpres, kampanye negatif yang dilakukan Gerakan Nasional Salam Gigit Jari (GNSGJ) dimanfaatkan untuk membentuk citra negatif calon presiden dan wakil presiden terpilih, Jokowi-JK serta para pendukungnya. Oleh karena itu, berdasarkan objek kampanye negatif yang diunggah, implikatur retorika politik GNSGJ dapat diarahkan pada dua hal, yaitu (1) implikatur dari tindak tutur retorika politik yang menyasar Jokowi-JK dan (2) implikatur dari tindak tutur retorika politik yang menyasar pendukung Jokowi-JK. Sebenarnya, serangan kampanye negatif yang ditujukan kepada pendukung Jokowi-JK pada akhirnya juga diarahkan pada Jokowi-JK dan tidak semata-mata ditujukan pada para pendukungnya.

1. Implikatur dari Tindak Tutur Retorika Politik yang Menyasar Jokowi-JK

Beberapa pesan politik yang diunggah melalui jejaring sosial berisi kampanye negatif yang ditujukan kepada Jokowi JK. Pesan-pesan tersebut disajikan secara sederhana, berupa potongan pernyataan atau berita tertentu. Dalam konteks ini, terdapat dua bentuk penyajian tindak tutur retorika politik yang diunggah GNSGJ, yaitu pertama, kutipan berita yang dipertentangkan. Biasanya berupa berita yang memuat pernyataan Jokowi atau Jusuf Kalla selama masa kampanye, yang berupa janji-janji politik, dan pernyataan terbaru yang dianggap bertentangan. Kedua, menampilkan testimoni tokoh yang kecewa dengan kebijakan Jokowi-JK beserta Tim Transisi. Kutipan pernyataan tersebut, biasanya, disertai foto tokoh yang menyatakan dan dilengkapi dengan identitas GNSGJ.

Salah satu pesan yang dikonstruksi GNSGJ adalah pesan retorika politik yang berusaha mempertentangkan pernyataan wakil presiden terpilih, Jusuf Kalla. Dua pernyataan yang dianggap saling bertolak belakang tersebut disajikan sebagaimana dalam gambar berikut ini.

Gambar 1. Pernyataan Jusuf Kalla yang Saling Dipertentangkan dalam Pesan Politik GNSGJ

Berdasarkan gambar 1 di atas, terdapat dua pernyataan Jusuf Kalla yang dikutip GNSGJ. (1) Di

koalisi kami tidak ada janji-janji beri delapan kursi menteri pada partai peserta koalisi. Hanya keikhlasan yang mendasari kami semua. Pernyataan tersebut disampaikan JK pada 9 Juni 2014 dan

Page 23: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 299

dimuat di www.republika.co.id dengan judul berita “Soal Pembagian Jatah Menteri, JK Cibir Prabowo.” Dilihat dari tindak tutur ilokusinya JK menyatakan bahwa koalisi pasangan Jokowi-JK dibangun atas dasar keikhlasan bergerak, tanpa syarat, dan bukan berdasarkan bagi-bagi kekuasaan sebagaimana yang terjadi pada koalisi pasangan Prabowo-Hatta. (2) 16 kursi menteri untuk parpol ini syarat koalisi. Tidak bisa semua murni profesional. Ini realitas politik kita. Pernyataan tersebut disampaikan JK pada 17 September 2014 dan dimuat di http://nasional.kompas.com dengan judul “Soal 16 Kementerian Diisi Parpol, JK Sebut Itu Syarat Koalisi.” Dilihat dari tindak tutur ilokusinya, pernyataan JK yang kedua terlihat bertolak belakang dengan pernyataan pertama. Pada pernyataan pertama JK menyatakan bahwa koalisi dibangun tanpa syarat bagi-bagi kursi kementerian, tetapi pada pernyataan kedua JK menegaskan bahwa terdapat 16 kementerian yang disediakan bagi partai koalisi sebagai syarat koalisi dan merupakan realitas politik yang tidak dapat dihindari.

Pertentangan tindak tutur ilokusi (1) dan (2) yang disajikan dalam pesan retorika politik di atas memiliki implikatur bahwa JK (termasuk Jokowi dan Tim Transisi tentunya) dianggap inkonsisten terhadap janji-janji politiknya. Implikatur inkonsisten terhadap janji politik tersebut ditandai dengan mempertentangkan kata keikhlasan dengan syarat koalisi. Kata keikhlasan pada data (1) merupakan janji komitmen bahwa koalisi Jokowi-JK karena dasar kepentingan rakyat, bukan bagi-bagi kekuasaan. Sementara itu, pada frasa syarat koalisi menunjukkan bahwa bagi-bagi kekuasaan (kementerian) merupakan realitas politik yang dipersyaratkan dalam koalisi. Ini sekaligus membentuk implikatur bahwa inkonsistensi pasangan Jokowi-JK terhadap janji-janji politiknya terjadi karena mereka dinilai memberikan janji berlebihan dan tidak mempertimbangkan realitas politik. Oleh karena itu, tindak perlokusi yang muncul adalah himbauan tidak langsung untuk tidak percaya pada Jokowi-JK.

Implikatur tentang inkonsistensi janji-janji politik tersebut ternyata tidak hanya berkaitan dengan jatah menteri bagi partai politik pendukung koalisi, tetapi juga pada tindakan yang dianggap kontradiktif dengan janji-janji politik. Pada gambar 1 terlihat proses mempertentangkan tindak tutur tersebut terjadi antara satu pernyataan dengan pernyataan lain di media. Hal yang berbeda terdapat pada data berikut ini. Dua judul berita di media online saling dipertentangkan untuk menunjukkan implikatur tertentu.

Gambar 2. Berita tentang Jokowi yang Saling Dipertentangkan

dalam Pesan Politik GNSGJ

Gambar 2 memperlihatkan pesan politik disusun dengan cara mempertentangkan antara satu berita dengan berita yang lain. Dalam konteks pesan politik di atas, keseluruhan berita tidak dicantumkan, yang disajikan hanyalah judul berita. Hal ini mungkin dianggap telah cukup untuk

Page 24: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

300 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

mewakili keseluruhan pesan yang ingin disampaikan. Tindak tutur (1) pada gambar 2, yaitu BI Akui Rupiah Menguat karena Jokowi. Pernyataan tersebut diungkapkan Tirta Segara, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI dan dimuat di www.merdeka.com pada 10 Juli 2014 dengan judul asli “BI Akui Penguatan Rupiah Imbas Jokowi Menang Versi Quick Count.” Judul tersebut disajikan ulang dengan perubahan. Dilihat dari tindak tutur ilokusinya, berita tersebut menjelaskan bahwa kemenangan Jokowi meningkatkan ekspektasi investor yang ditandai oleh penguatan rupiah.

Tindak tutur (1) tersebut dipertentangkan dengan tindak tutur (2) pada gambar 2, yaitu Kecewa dengan Komposisi Kabinet Jokowi, IHSG Ditutup Melemah 14,39 Poin. Konteks berita tersebut dimuat di http://bisniskeuangan.kompas.com pada 16 September 2014. Berbeda dengan tindak tutur (1), pada tindak tutur ilokusi data (2) dari gambar 2 terlihat bahwa respon pasar berubah menjadi negatif karena komposisi kabinet Jokowi yang memberikan jatah besar pada partai politik. Kedua tindak tutur tersebut disandingkan untuk dipertentangkan satu dengan yang lain. Implikatur yang muncul dari pesan politik pada gambar 2 di atas adalah bahwa respon pasar terhadap pemerintahan yang akan dibentuk Jokowi berubah semakin melemah, setelah sebelumnya menguat. Hal ini disebabkan sikap inkonsisten pasangan Jokowi-JK dalam penyusunan kabinet. Itu artinya, pasar cenderung merespon sinis terhadap sikap inkonsisten Jokowi-JK.

Implikatur inkonsistensi janji politik Jokowi-JK muncul pada pesan politik yang menyajikan kritik Suciwati Munir, istri aktivis HAM, Munir terhadap pengangkatan AM Hendropriyono, mantan kepala BIN, sebagai penasihat Tim Transisi. Pesan politik di bawah ini memperlihatkan hal tersebut.

Gambar 3. Pernyataan Suciwati Munir dalam Pesan Politik GNSGJ

Tindak tutur pada gambar 3, berupa pernyataan Suciwati Munir, istri aktivis HAM Munir. Kutipan

tersebut sebenarnya dimuat sebagai berita di www.tempo.com pada 17 Agustus 2014 dengan judul “Istri Munir: Jokowi Lakukan Kesalahan Pertama.” Pesan politik tersebut jelas tidak hanya bermaksud menampilkan pernyataan Suciwati. Ada maksud implisit yang ingin disampaikan dengan cara menyajikan kembali kritikan Suciwati kepada Jokowi. Tindak tutur ilokusi dari pernyataan Suciwati yang dikutip di atas adalah bahwa (1) Letnan Jenderal (Purn) AM Hendropriyono diduga terlibat dalam pelanggaran HAM, terutama peristiwa Talangsari Lampung dan pembunuhan aktivis HAM, Munir, (2) penunjukan AM Hendropriyono dianggap salah, (3) Jokowi dianggap dinilai terlalu abai dan meremehkan persoalan pelanggaran HAM. Kata memalukan dimunculkan untuk menilai bahwa penunjukan AM Hendropriyono, sebagai penasihat Tim Transisi, menunjukkan makna ketidakpantasan. Ketidakpantasan tersebut terjadi karena dugaan pelanggaran hak asasi yang dilakukan Hendro. Sasaran utama pesan ini sebenarnya untuk melakukan kampanye negatif terhadap Jokowi. Implikatur yang muncul adalah bahwa Jokowi, yang pernah berjanji akan menegakkan HAM,

Page 25: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 301

dinilai mengingkari janjinya tersebut dengan cara mengangkat AM Hendropiyono sebagai penasihat Tim Transisi yang akan menentukan komposisi menteri. Perlokusi lebih lanjut adalah ajakan agar masyarakat tidak lagi percaya pada janji-janji politik Jokowi-JK.

2. Implikatur dari Tindak Tutur Retorika Politik yang Menyasar Pendukung Jokowi-JK

Selain menyerang Jokowi-JK secara langsung, pesan-pesan politik GNSGJ juga berusaha menampilkan karakter pendukungnya yang berambisi terhadap kekuasaan. Pernyataan-pernyataan pendukung Jokowi-JK yang dianggap dapat dikonstruksi untuk menciptakan kesan negatif diambil dan disebarkan. Salah satu pernyataan yang dikutip dan dikonstruksi untuk maksud politik tertentu adalah pernyataan Muhaimin Iskandar. Data berikut ini akan memperjelas gambaran di atas.

Gambar 4. Pernyataan Muhaimin Iskandar dalam Pesan Politik GNSGJ

Tindak tutur pada pada gambar 4 di atas, yaitu Pemenang Pilpres kemarin ditentukan oleh

pemilih Jawa Timur. Oleh PKB. Tapi sekarang PKB tidak dilibatkan di Tim Transisi. Pak Jokowi sudah lupa akan jasa saya dan PKB…Kalau sudah begini bukan salam dua jari, tapi siap-siap PKB salam gigit jari. Dilihat dari tindak tutur ilokusinya Muhaimin Iskandar menyampaikan kekecewaannya karena tidak dilibatkan dalam Tim Transisi. Padahal, ia merasa berjasa atas kemenangan Jokowi di Jawa Timur. Kalimat Pak Jokowi sudah lupa dengan jasa saya dan PKB tidak diarahkan pada maksud bahwa Jokowi melupakan pendukungnya. Secara implikatur makna yang ingin dibangun adalah bahwa ternyata koalisi yang katanya dibangun tanpa syarat itu hanya kebohongan belaka.

Hal tersebut diperjelas dengan kalimat siap-siap PKB salam gigit jari. Artinya, Muhaimin dan PKB sebenarnya berharap mendapat jatah kekuasaan. Jadi, implikatur inkonsistensi terhadap janji tersebut tidak hanya diarahkan pada Jokowi-JK, tetapi juga pada para pendukungnya. Implikatur umum yang diinginkan adalah jangan percaya pada janji-janji serta komitmen Jokowi-JK beserta para pendukungnya. Hanya saja, pesan politik terakhir ini memungkinkan terjadinya citra sebaliknya. Seperti diungkapkan Gupta (2000: 254) bahwa serangan politik seringkali dapat menyebabkan terjadinya efek bumerang (boomerang effect). Citra pendukung Jokowi-JK, seperti halnya Muhaimin Iskandar dan PBB, mungkin akan negatif, tetapi sebaliknya citra Jokowi-JK memungkinkan akan semakin positif. Tidak dilibatkannya Muhaimin dan PKB di Tim Transisi akan dinilai publik sebagai konsistensi Jokowi-JK terhadap janji bahwa koalisi mereka dibangun tanpa syarat.

Page 26: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

302 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

KESIMPULAN Dalam konteks komunikasi politik dan kajian tindak tutur, sebuah pesan politik yang

mengungkap realitas tertentu, tidak dapat dipahami hanya sebagai proses penyampaian informasi. Seringkali terdapat makna-makna implikatur dalam pesan-pesan politik tertentu. Pesan-pesan tersebut tidak hanya menyajikan realitas, tetapi sekaligus membangun realitas tertentu yang disesuaikan dengan motif politiknya. Dalam konteks komunikasi politik pascapilpres 2014, munculnya Gerakan Nasional Salam Gigit Jari tidak hanya dipahami sebagai upaya untuk menyajikan ulang potongan pernyataan tokoh dan atau kutipan berita di media. Senantiasa ada motif-motif politik tertentu yang menyertai produksi dan penyebaran pesan-pesan politik di masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami maksud atau implikatur wacana retorika politik, terutama pesan-pesan dari kampanye negatif maka keberadaan teks, konteks, latar belakang, dan motif politik perlu diperhatikan. Dengan cara demikian, implikatur retorika politik akan lebih mudah untuk diketahui dan dipahami.

DAFTAR PUSTAKA Cangara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Gupta, M.P. 2000. Negative Political Advertising: Some Effects from the 13th Indian General Election

1999. Global Bisnis Review. Diunduh pada 30 September 2014, dari http://gbr.sagepub.com/content/1/2/249.

Kasali, Rhenald. 2011. Cracking Zone. Jakarta: Gramedia Lau, R.R. & Rovner, I.B. 2009. Negative Campaigning. The Annual Review of Political Science. Diunduh

pada 6 Oktober 2013, 285-307, dari www.annualreviewa.org. Mulyana. 2005. Kajian Wacana: teori, metode, dan aplikasi prinsip-prinsip analisis wacana.

Yogyakarta: Tiara Wacana Partington, Alan. 2003. The Linguistics of Political Argument: The spin-doctor and the wolf-pack at the

White House. New York: Routledge Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset Wijana, IDP dan Rohmadi, M. 2009. Analisis Wacana Pragmatik. Surakarta: Yuma Pustaka

Page 27: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 303

PERKAWINAN ANTAR RAS DALAM PANDANGAN PENGARANG PERANAKAN TIONGHOA DI ERA KOLONIAL

Dwi Susanto

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret [email protected]

Abstract

Indonesia Chinese authors writers considered cross racial marriage as negative effecs such as, losing identity and destroying thiers tradition. Literary works by Indonesia Chinese are reaction towards social condition, especially giving ideas about cross racial marriage. The article used sociological literature perspective, mainly writers as representation social group. The aims of this article is to explore the reaction of the Indonesia Chinese towards cross racial marriage. The result of this article are (1) Indonesia Chinese writers refuse cross racial marriage because it will be destroying identity, disintegrating race, and losing tradition, (2) they accepted cross racial marriage with requirement that the Others race must losing his/her tradition and identity, and (3) cross racial marriage represented as symbol of mixed tradition dan identity so that they used conservatism strategy. Keywords: cross racial marriage, social condition, and Indonesia Chinese writers

PENDAHULUAN

Perkawinan campuran [antar ras] di era kolonial merupakan persoalan yang sering menimbulkan perdebatan. Perdebatan itu diantaranya adalah masalah adat dan tradisi. Perkawinan campuran sering kali dipandang bermasalah dari segi hukum sehingga pilihan yang diambil adalah pernyaian. Salah satu penyebab pernyaian adalah dampak dari liberalisme bidang ekonomi. Pergundikan tersebut sering dikaitkan juga dengan alasan kesehatan untuk menghindari penyakit akibat hubungan pelacuran [Hessenlink dalam Faruk, 2002:99]. Selain itu, perkawinan campuran juga sering dihubungkan dengan masalah bangsa atau tradisi, ras, agama, identitas, dan budaya. Persoalan yang sering dibicarakan adalah “kemurnian ras”, ketidaksejajaran ras, keunggulan salah satu ras, dan berbagai efek yang negatif dari perkawinan antar ras tersebut.

Sebaliknya, meskipun terjadi berbagai perbincangan mengenai topik tersebut, realitas yang berkembang, perkawinan antar ras terus dilakukan yang salah satu hasilnya adalah orang Indo-Eropa dan keturunan peranakan Tionghoa (bdk. Salmon, 1981). Mereka juga terlahir dari perkawinan campuran yang “tidak dilegalkan status hukumnya”, misalnya pergundikan atau pernyaian *meski pergundikan dipandang sebagai sesuatu yang biasa dan tidak bermasalah ataupun cenderung disetujui dan disahkan secara sosial] [Chistanty,1994:25]. Awalnya, percampuran antar ras berjalan alamiah dan cenderung sebagai satu kondisi yang ideal. Sebagai contohnya adalah masa budaya Indies atau sering disebut sebagai tempo doeloe [Kroef, 1978:14-18].

Meskipun demikian, perkawinan antar ras juga dapat dijadikan sebagai bentuk komunikasi kebudayaan antar tradisi. Realitas yang demikian ini sering diabaikan oleh para pengarang peranakan Tionghoa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Locher-Scholten [1992:226-267] bahwa posisi perempuan yang menikah ataupun menjadi nyai sering dianggap sebagai jembatan atau mediator budaya, sosial, dan politik. Fakta yang demikian ini menunjukkan bahwa perkawinan antar ras tidak selalu membawa persoalan yang negatif dari segi ras, identitas, dan persoalan percampuran tradisi. Namun demikian, pengarang peranakan Tionghoa memiliki kecenderungan untuk menganggap bahwa perkawinan antar ras tersebut membawa persoalan. Hal ini menjadi satu diskusi tersendiri yakni alasan dan asumsi yang diberikan para pengarang peranakan Tionghoa untuk memilih kecenderungan menolak perkawinan antar ras tersebut.

Page 28: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

304 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Realitas perkawinan antar ras tersebut mendapat tanggapan atau reaksi dari para pengarang peranakan Tionghoa. Para pengarang ini menuliskan karya sastra sebagai hasil tindakan sosial atas situasi sosial yang berkembang dalam masyarakatnya. Barnett (1970:621-632) mengatakan bahwa sastra merupakan satu fenomena budaya yang terikat oleh lingkungan sosial atau situasi sosial sehingga karya sastra itu merupakan wujud dari ekspresi sosial masyarakat. Senada dengan hal itu, karya sastra yang bertopik perkawinan campuran dari pengarang peranakan Tionghoa dapat diartikan sebagai wujud pandangan kelompok masyarakat peranakan Tionghoa terhadap situasi ataupun struktur sosialnya (bdk. Escarprit, 2005:10).

Perkawinan campuran yang ditulis oleh para pengarang peranakan Tionghoa cukup beragam. Keragaman itu dapat dilihat salah satunya dari sisi ras yang melakukan perkawinan campuran. Topik itu diantaranya adalah orang [peranakan] Tionghoa melakukan perkawinan dengan orang Jawa, baik laki-laki ataupun perempuan. Selain itu, orang Jawa juga melakukan perkawinan dengan orang Eropa, terutama perempuan. Topik yang lain adalah orang [peranakan] Tionghoa melakukan perkawinan dengan orang Eropa, baik laki-laki dan perempuan. Dari berbagai topik ataupun ragam perkawinan antar ras, nada yang muncul adalah bahwa perkawinan antar ras dalam pandangan pengarang peranakan Tionghoa sering menimbulkan persoalan dan perdebatan di dalamnya.

Persoalan yang sering muncul adalah masalah perbedaan ras, agama, tradisi, dan budaya. Persoalan ini dieksplorasi dan diinterpretasikan oleh para pengarang dengan cara dan hasil yang beragam. Keragaman ini dapat diasumsikan sebagai wujud tanggapan para pengarang peranakan Tionghoa terhadap situasi sosial yang melingkupinya. Mereka menjadi bagian dari sistem sosial sehingga memberikan reaksi terhadap lingkungan tempat mereka berada. Tentu saja, para pengarang peranakan Tionghoa ini mewakili golongan ataupun kelas mereka sehingga suara yang muncul dalam karya sastranya adalah suara kelompok mereka, yakni peranakan Tionghoa sebagai bangsa perantauan. Dalam menanggapi situasi sosial tersebut, terutama masalah perkawinan antar ras, mereka melakukan berbagai cara, misalnya akomodasi, menolak, kompromi, dan asimilasi [bdk. Faruk, 1999:14].

Sebagai konsekuensi dari persoalan tersebut, persoalan utama yang muncul adalah wujud respon pengarang peranakan Tionghoa sebagai wakil kelas sosialnya dalam memberikan reaksi atas perkawinan antar ras tersebut. Respon dari para pengarang peranakan Tionghoa ini adalah karya sastra yang menjadi tanggapan atas situasi yang berkembang dalam masyarakat peranakan Tionghoa. PERKAWINAN ANTAR RAS DALAM MASYARAKAT PERANAKAN TIONGHOA 1. Penurunan Ras dan Kekacauan Identitas

Penolakan terhadap perkawinan campuran muncul karena menurunkan ras, mengacaukan identitas, persoalan agama, dan persoalan adat yang berbeda. Persoalan ras dan identitas menjadi persoalan yang sering muncul selain masalah perbedaan adat dan bangsa. Perkawinan campuran di kalangan peranakan dipandang menurunkan kualitas ras dan mengacaukan dan bahkan menghilangkan identitas. Penolakan itu umumnya berasal dari ras asing, bukan lokal ataupun pribumi. Hal ini sebagai contohnya muncul dalam teks Tjerita Oey See (1903) karya Thio Tjin Boen. Thio Tjin Boen memberikan kasus pada tokoh Oey Kim Nio, anak gadis dari Oey See, menikah dengan bupati Jawa dan berpindah agama Islam dan menjadi orang Jawa dengan gelar Raden Ayu Kanoman Siti Fatimah. Keluarga Oey See malu dan pindah ke Batavia. Kim Nio dianggap mati karena kehilangan adat dan bangsa sehingga dia bukan lagi bangsa Tionghoa. Oey See membuatkan kuburan atas nama Oey Kim Nio sebagai simbol kematiannya. Citra yang serupa dimunculkan oleh teks Peniti Dasi Barlian (1922) karya Tan Tjin Kang. Ras pribumi, terutama perempuan, dipandang “menurunkan” kemurnian ras dan identitas Tionghoa. Hal ini dicitrakan melalui tokoh Soemarti yang harus menyingkirkan diri dari “suaminya”, Liang Djin. Soemarti harus menikahkan Liang Djin dengan gadis Tionghoa.

Page 29: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 305

Penurunan ras dan kekacauan identitas tersebut diwujudkan melalui oposisi yang berlawanan antara kedua tradisi dan ras. Thio Tjin Boen tidak berusaha untuk mendamaikan kedua tradisi yang memang berbeda. Perbedaan itu diinterpretasikan dengan menggunakan sikap dan pandangan mengenai keunggulan ras dan tradisinya. Pandangan ini terus menerus mengikuti penilaian terhadap ras dan bangsa lain. Konsep seperti ini salah satunya diturunkan dari pandangan mengenai istilah Negeri Tengah atau zhongguo. Zhong yang berarti pusat atau tengah dan guo adalah negara ataupun wilayah. Wilayah yang ada di tengah sama halnya sebagai wilayah pusat, yang memiliki tradisi dan budaya yang unggul. Semakin jauh dari pusat, semakin dipandang tidak berbudaya [Dhana, 2007:35]. Zhonghua atau Tionghoa adalah orang yang memiliki budaya dan tradisi yang unggul sebab mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang tengah atau orang pusat. Pandangan seperti ini menunjukkan keunggulan ras dan tradisi kebudayaannya.

Thio Tjin Boen dipandang sebagai wakil dari kelas peranakan Tionghoa yang memiliki pemikiran konservatif. Dia tergabung dalam gerakan “pemurnian” identitas peranakan Tionghoa, melalui gerakan recinanisasi. Salah satunya adalah melalui organisasi Tiong Hua Hui Kwuan [THHK]. Organisasi ini memiliki tujuan untuk menghidupkan dan memurnikan kembali ajaran leluhur, Khonghucu, bagi kalangan masyarakat peranakan Tionghoa melalui pendidikan [Frost, 2003:23, Chee-Beng Tan, 1983:224-225]. Penolakan terhadap perkawinan campuran dipandang sebagai salah satu upaya untuk memurnikan “tradisi dan adat”. Pemurnian ini hakikatnya menolak ataupun mengingkari realitas bahwa peranakan Tionghoa merupakan satu golongan yang hibrid, baik dari segi ras dan tradisi kebudayaan. Mereka terlahir dari ras dan tradisi budaya masyarakat lokal [bdk. Salmon, 1981]. Pengingkaran terhadap lapis identitas tersebut sebaliknya justru menentang realitas yang ada dalam diri mereka. Namun, gerakan penolakan kawin campuran di sisi lain dapat dipandang sebagai satu “perjuangan” atau “perlawanan” atas standarisasi nilai dan tradisi ataupun kolonialisasi budaya melalui standarisasi nilai dan tradisi Eropa. 2. Menerima Kawin Antar Ras

Meskipun penolakan terhadap perkawinan campuran antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan pribumi ataupun perempuan Tionghoa dengan laki-laki pribumi muncul, penerimaan perkawinan campuran antara laki-laki Tionghoa dengan perempuan asing [lokal dan Barat] menjadi lebih diterima bila dibandingkan perempuan yang dinikahi berasal dari etnik atau ras [peranakan] Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan [peranakan] Tionghoa dianggap sebagai simbol penjaga dan pelestari dari tradisi dan identitas Tionghoa. Hal serupa dicontohkan dengan penolakan yang terdapat dalam teks Tjerita Oey See (1903) karya Thio Thjin Boen. Kawin campuran dianggap bermasalah bila sang perempuan berasal dari ras [peranakan] Tionghoa.

Perkawinan campuran antara laki-laki peranakan Tionghoa dengan perempuan lokal dan asing diterima dengan beberapa alasan, seperti alasan moralitas. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Gouw Peng Liang dalam Loe Fen Koei (1903). Perkawinan campuran lebih baik dari pada melakukan perzinahan, prostitusi, dan pernyaian [pergudikan sebagai kejahatan moral]. Gouw Peng Liang merupakan golongan yang memiliki pemikiran konservatif. Meski berpikiran konservatif dan tergabung dalam gerakan recinanisasi, gerakan recinanisasi yang dilakukannya adalah gerakan makro Khonghucu, yakni moralitas Khonghucu sehingga pergudikan dipandang tidak sejalan dengan moralitas yang diperjuangkannya. Hal ini juga didukung oleh karya-karyanya yang lain, yang menolak prostitusi dan cara mengatasinya, seperti Perniagaan prempoean dan anak-anak prempoean, Satoe nasehat aken tjega perkara djina (1919).

Perkawinan campuran dapat diterima bila perkawinan campuran itu tidak menghilangkan adat dan tradisi Tionghoa. Kwee Tek Hoay memiliki pandangan yang moderat dengan memberikan satu solusi mengenai persoalan itu, yakni mendidik perempuan lokal dengan pendidikan, ketrampilan, dan kesopanan Tionghoa. Melalui hal itu, perempuan tersebut diharapkan mampu menjadi pelestari adat dan tradisi Tionghoa. Hal ini diungkapkan dalam teks Boenga Roos dari Tjikembang (1927). Hal serupa juga diungkapkan oleh teks Perkawinannja Marie (1928) oleh Tjia Swan Djin. Seorang

Page 30: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

306 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Tionghoa totok, mula-mula, menyesuaikan diri dengan tradisi setempat hingga menikahi perempuan lokal. Perempuan lokal tersebut selanjutnya dididik dengan adat Tionghoa. Setelah berhasil, sang perempuan itu dibawa ke negeri Tiongkok. Sang laki-laki menikah lagi dengan gadis Tionghoa untuk menjaga tradisi dan ras mereka untuk anak-anaknya. Tjia Swan Djin tampaknya masih memiliki keraguan terhadap keberhasilan pernikahan campuran sehingga dia tetap memilih perempuan Tionghoa agar ras dan kesopanan Tionghoa bisa tetap terjaga.

Meski muncul berbagai alasan terhadap penerimaan perkawinan campuran, perkawinan campuran juga dapat terjadi karena sifat alamiah, yakni alasan percintaan. Meskipun demikian, untuk dapat mencapai perkawinan, berbagai halangan sering muncul, terutama ketidaksetujuan orang tua kedua belah pihak karena masalah perbedaan adat, bangsa [ras], dan agama. Para pengarang umumnya juga tidak yakin bila perkawinan campuran tersebut membawa keberhasilan ataupun kebahagian kedua belah pihak. Namun, munculnya beberapa teks yang optimis terhadap keberhasilan perkawinan campuran itu menunjukkan bahwa penerimaan perkawinan cmpuran itu tidak ada tendensi apapupun, kecuali murni percintaan. Hal ini menunjukkan bahwa para pengarang juga memiliki pandangan yang terbuka dan akomodatif terhadap realitas yang ada. Alasan perkawinan yang seperti itu dapat ditemukan dalam teks Njai Isah (1931) karya Sie Lip Lap. Njai Isah menikah dengan Bian Kie karena atas dasar percintaan. Bian Kie bersedia menikahi Njai Isah karena Njai Isah mirip dengan istri Bian Kie yang telah meninggal dunia. Keduanya juga saling mencintai. Teks yang lain adalah Sinar Boelan di Priangan (1923) karya Saint-Diano. Teks ini memceritakan tentang Louw Keng Hong yang banyak mendapatkan rintangan hingga mereka berhasil dalam mewujudkan cinta mereka. 3. Ras dan Tradisi Pribumi dan Barat Sebagai “Yang Tertundukkan”

Meski muncul penerimaan dan penolakan atas perkawinan campuran, penerimaan dan penolakan tersebut tidak terlepas begitu saja dengan persoalan “subjek” manakah yang tertundukan dan “subjek” manakah yang menguasai perbincangan ataupun topik perkawinan campuran di kalangan pengarang peranakan Tionghoa. Pengarang peranakan Tionghoa memposisikan golongan ataupun kelas peranakan Tionghoa yang mendominasi, menguasai pembicaraan, dan mengontrol semua wacana ataupun mengarahkan “hitam dan putih” dalam topik ini dalam teks yang ditulisnya. Dengan mengunggulkan dan menganggap lebih ras dan tradisinya [adat dan kesopanan Tionghoa], pengarang peranakan Tionghoa memandang perempuan lokal dan Barat sebagai “subjek yang tertundukkan” di hadapan laki-laki ataupun perempuan peranakan Tionghoa. Keduanya tidak dapat membela dan berbicara atas nama ras dan golongannya, sebab mereka yang menjadi “bahan pembicaran”. Teks-teks yang ditulis oleh pengarang peranakan Tionghoa memberikan pembelaan dan menguatkan posisi tradisi dan adatnya. Mereka menguatkan otoritasnya sebagai pengatur dan penilai tradisi dan ras pribumi dan Barat.

Perempuan [peranakan] Tionghoa memiliki posisi yang “sama” dengan laki-laki Tionghoa dalam masalah perkawinan campuran. Perempuan peranakan Tionghoa menolak bila menikahi laki-laki asing, baik laki-laki lokal dan Barat. Perempuan Tionghoa menjadi tidak tersentuh dan tetap dijaga kemurniannya dari ras dan tradisi asing. Hal ini dicontohkan dalam teks Gwi Hian Nio alias Helena (1925) karya Njoo Cheong Seng. Meskipun seorang pemuda bangsa Belanda, J.W. Williams, melamar gadis Tionghoa, Gwi Hian Nio, dia gagal mempersuntingnya sebab orang tua pihak perempuan menolak. Alasan penolakan itu adalah perbedaan bangsa, adat, dan agama. Hal ini serupa dengan teks Tjerita Oey See (1903) karya Thio Tjin Boen. Ketertundukkan tradisi dan ras perempuan lokal dihadapan budaya ras dan tradisi Tionghoa juga dicontohkan ulang oleh Thio Tjin Boen dalam Tjerita Njai Soemirah (1917) karya Thio Tjin Boen. Perempuan pribumi harus dikalahkan dengan cara meluruhkan identitasnya dihadapan tradisi dan kesopanan Tionghoa. Njai Soemirah harus menentang keluarga dan ibunya untuk menikah dengan Tan Bi Liang. Nyai Soemirah menukarkan agama dan tradisi Jawa-nya untuk menjadi istri seorang Tionghoa.

Page 31: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 307

Selain itu, tuduhan atas ketidakberhasilan perkawinan campuran itu dicontohkan dengan yang berbeda ras, yakni bangsa priyayi Jawa dengan pemuda Belanda, seperti yang ditulis oleh Njoo Cheong Seng dalam Raden Adjeng Moeria (1934). R.A. Moeria mengalami kegagalan dalam perkawiannanya dengan Willy van Galen. Alasan klasik yang diungkapkan adalah “ketidaksejajaran” antara bangsa Timur dan bangsa Barat. Persatuan antara Barat dan Timur tidak mungkin bisa terwujud. Meskipun demikian, teks Raden Adjeng Moeria (1934) ini mengungkapkan penolakannya terhadap tradisi dan budaya Barat yang dipandang “lebih rendah” dari pada tradisi dan budaya bangsa Jawa. Penolakan itu merupakan satu upaya atau strategi untuk membagun identitas kultural masyarakat Timur. Identitas yang diperjuangkan tersebut hakikatnya merupakan resistensi atas “standarisasi” nilai terutama melalui isu liberalisme dan modernisasi untuk masyarakat terjajah atau dunia Timur.

Melihat beberapa kasus dari para pengarang peranakan Tionghoa tersebut, tampaknya untuk dapat menyatukan diri dalam perkawinan dengan orang Tionghoa, pihak yang bukan orang atau ras [peranakan] Tionghoa harus menjadikan dirinya sebagai “orang Tionghoa” yang sebenarnya, yakni meluruhkan tradisi dan identitasnya. Fakta ini menunjukkan bahwa identitas sebagai orang atau ras [peranakan] Tionghoa dipandang sebagai sesuatu yang penting, berhubungan dengan keyakinan, dan dijadikan sebagai satu kekuatan atau senjata untuk bertahan hidup. Dengan menjadikan hal tersebut, “kemurnian” identitas akan tetap terjaga dan sebagai bangsa diaspora tentu saja mereka memerlukan satu “kekuatan untuk mengikatkan dirinya” sebagai satu komunitas. Kekuatan yang mengikat tersebut adalah identitas, yang berupa kesopanan dan ajaran tradisi Tionghoa, yakni ajaran leluhur, Khonghucu, seperti yang diperjuangkan oleh gerakan recinanisasi [bk. Safran, 1991:83-84]. 4. Luruhnya Identitas Barat

Selain itu, pandangan terhadap perkawinan antar ras juga dihubungkan dengan identitas. Para pengarang peranakan Tionghoa umumnya meluruhkan identitas ras yang lain bila dihadapkan pada tradisi dan ras [peranakan] Tionghoa. Hal ini dicontohkan dengan karya dari Njoo Cheong Seng yang berjudul Nona Olanda Sbagi Istri Tionghoa (1925) karya Njoo Cheong Seng. Sang tokoh, Diana, harus meluruhkan identitas dan tradisi Barat sepenuhnya agar bisa menjadi istri seorang Tionghoa. Diana melakukan tindakan mimikri agar bisa diterima sebagai anggota keluarga Tionghoa. Anak-anaknya dididik sedemikian rupa sesuai dengan adat dan kesopanan Tionghoa.

Luruhnya identitas Barat ini menunjukkan bahwa Njoo Cheong Seng memiliki pandangan yang anti terhadap tradisi dan “kesopanan” Barat (Susanto, 2012:289). Njoo Cheong Seng tidak melihat pemikiran dan kemajuan teknologi Barat sebagai satu hal yang positif. Dia memiliki kecenderungan untuk memandang Barat secara negatif. Nilai seperti keunggulan dalam berprestasi, individual yang positif, dan kemajuan ilmu dan teknologi tidak dilihat sebagai satu nilai yang positif. Baginya, Barat tetap Barat dan Timur tetap Timur. Keduanya tidak mungkin bisa disatukan. Penilaian ini tidak hanya pada masyarakat peranakan Tionghoa saja, tetapi Timur pada umumnya, seperti bangsa Jawa. Dalam teks yang berjudul, Raden Adjeng Moeriah (1934), Njoo Cheong Seng menegaskan bahwa Barat tetap kontra dengan Timur. Njoo Cheong Seng tidak menyatukan ataupun mendamaikan hal itu.

Luruhnya identitas Barat dihadapan tradisi Timur sering kali dihubungkan dengan persoalan liberalisme dan modernisasi. Isu liberalisme dan modernisasi ini menjadi oposisi dengan tradisi Timur. Namun, yang menjadi kekhawatiran terhadap persoalan liberalisme dan modernisasi adalah mengambil liberalisme dan modernisasi yang cenderung kebarat-baratan tanpa dasar ataupun landasan yang jelas. Hal ini diungkapkan oleh pengarang yang lain seperti Kwee Tek Hoay yang menolak pandangan Njoo Cheong Seng dengan menjadikan Barat sebagai sesuatu yang negatif. Kwee Tek Hoay menyetujui perkawinan antar ras sebab itu adalah satu realitas yang positif, tetapi bila perkawinan antar ras itu terjadi pada ras [peranakan] Tionghoa, Kwee Tek Hoay masih memiliki kecenderungan tidak optimis terhadap keberhasilannya, kecuali pihak yang berasal bukan ras Tionghoa didik dan “diadabkan” terlebih dahulu. Hal ini dicontohkan dalam teks Boenga Roos Dari Tjikembang. Artinya, Kwee Tek Hoay juga berusaha meluruhkan tradisi yang bukan Tionghoa, tetapi

Page 32: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

308 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

dia tetap memandang tradisi dan identitas “Yang Lain” terutama lokal dan Barat sebagai sesuatu yang positif. 5. Pengarang dan Perjumpaan Antar Tradisi

Perkawinan antar ras tidak hanya berhubungan dengan persoalan menerima dan menolak. Namun, perkawinan antar ras tersebut dihubungkan dengan perjumpaan antar dua kebudayaan dan tradisi. Para pengarang peranakan Tionghoa rupanya memiliki “ketakutan” dalam hubungan antar tradisi. Hal ini dibuktikan dengan gerakan puritanisme ras dan tradisi. Persoalan ini menjadi sesuatu yang konservatif bila tidak dihubungkan dengan konteks sosial pada masa itu. Standarisasi nilai yang merujuk pada nilai Eropa menjadi salah satu penyebabnya. Standarisasi itu dipandang sebagai suatu pemaksaan ataupun dominasi atas nilai dan tradisi yang dimiliki oleh para pengarang peranakan Tionghoa. Isu yang dikembangkan oleh standarisasi nilai Eropa itu salah satunya adalah liberalisme dan modernisasi. Dengan menolak persatuan antara budaya dan tradisi yang ada, gerakan puritanisme identitas dan tradisi itu menyelamatkan identitas dan nilai ketionghoaan. Dengan demikian, hakikatnya, penolakan atas perkawinan antar ras dan penerimaan perkawinan antar ras yang meluruhkan identitas dan tradisi bukan Tionghoa merupakan satu wujud resistensi kultural terhadap penjajahan kultural.

Para pengarang peranakan Tionghoa memandang perjumpaan antar dua tradisi dan budaya sebagai sesuatu yang “berakibat negatif” terhadap identitas mereka. Dengan asumsi tersebut, para pengarang peranakan Tionghoa, seperti Njoo Cheong Seng, Gouw Peng Liang, Kwee Tek Hoay, Thio Tjin Boen, dan lain-lain mengembangkan satu strategi dalam perjumpaan tradisi dan budaya yang disimbolkan melalui perkawinan antar ras tersebut. Strategi itu antara lain adalah menolak perkawinan antar ras yang dicurigai dapat membawa perubahan pada nilai dan identitas dirinya dan menerima dengan syarat meluruhkan identitas dan tradisi yang bukan Tionghoa. Meskipun mereka meluruhkan identitas dan tradisi yang bukan Tionghoa dalam perkawinan tersebut, para pengarang terutama seperti Njoo Cheong Seng menerima lokalitas [dunia Timur] sebagai bagian dari tradisi dan identitas Tionghoa, tetapi menolak dunia Barat, seperti yang terlihat dalam Raden Adjeng Moeria (1934). Sebaliknya, Kwee Tek Hoay menerima lokalitas [dunia Timur], tetapi menjadikan Barat sebagai alat atau instrumen untuk mencapai tujuan Timur.

Para pengarang seperti Thio Tjin Boen mengembangkan satu sikap yang konservatif. Masyarakat peranakan Tionghoa merupakan masyarakat yang hibrid. Namun, Thio Tjin Boen justru berusaha menentang realitas tersebut dengan menghadirkan strategi identitas yang esensialis dan konservatif. Hal ini menunjukkan bahwa dirinya lari dari realitas ataupun menentang realitas yang ada dalam diri dan masyarakatnya, sebagaimana yang dihadirkan dalam teks Tjerita Oey See (1903) dan Tjerita Njai Soemirah (1917). Strategi dalam mempertahankan identitas secara esensialis ini sebenarnya dihubungkan dengan persoalan mempertahankan ajaran leluhur dan sekaligus pandangan keunggulan ras dan budayanya. Ajaran leluhur seperti yang diperjuangkan oleh THHK adalah ajaran spiritual [agama] dan moralitas [sistem pemikiran]. Ajaran ini dikenal dengan mana Khonghucu sebagai satu sistem filsafat dan Khonghucu sebagai satu agama. Para pengarang seperti Thio Tjin Boen melihat identitas dan tradisi yang melekat pada masyarakatnya adalah identitas yang didasarkan atas agama Khonghucu sehingga penolakan itu pada hakikatnya adalah penolakan atas tercampurnya ajaran agama. Sebaliknya, Gouw Peng Liang, Loe Fen Koei (1903), justru tidak mempergunakan strategi esensialis karena identitas dan tradisi yang dibangunnya didasarkan atas moralitas Khonghucu, bukan ajaran agama Khonghucu. Perbedaan ini menunjukkan bahwa para pengarang memiliki cara yang berbeda dala membangun, menginterpretasikan, dan mempertahankan identitas ketionghoaan. Namun, satu persamaan yang ada dalam diri mereka adalah Khonghucu [Taoisme] atau ajaran leluhur sebagai elemen yang tidak bisa dihilangkan.

Para pengarang seperti Saint-Diano dan Sie Lip Lap memiliki respon yang berbeda. Penerimaannya terhadap perkawinan antar ras ini tidak didasar atas pembentukan bangunan identitas dan masalah tradisi atau agama. Baginya, perkawinan antar ras adalah sesuatu yang

Page 33: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 309

sifatnya alamiah. Dengan mendasarkan pada percintaan dan tidak ada perdebatan mengenai identitas, tradisi, dan ras, mereka bersifat netral dan tidak terlibat dalam perebatan dan usaha “menyatukan” ataupun “membangun” identitas masyarakat peranakan Tionghoa. KESIMPULAN

Respon para pengarang peranakan Tionghoa terhadap perkawinan antar ras diwujudkan dengan dua cara, menolak dan menerima. Penerimaan perkawinan antar ras tersebut diwujudkan dengan cara meluruhkan identitas dan tradisi yang bukan berasal dari Tionghoa. Peluruhan identitas dan tradisi ini berhubungan dengan strategi esensialis dalam mempertahankan identitas ketionghoan. Para pengarang peranakan Tionghoa menggunakan perempuan Tionghoa sebagai simnol tradisi dan ras sehingga perkawinan antar perempuan peranakan Tionghoa tidak diterima atau tidak diizinkan. Hal tersebut berhubungan dengan “pembangunan identitas dan tradisi ketionghoaan”, yang diwujudkan dalam dua hal yakni spritualitas [mikro Khonghucu] dan moralitas [makro Khonghucu]. Penolakan perkawinan antar ras merupakan simbol dari usaha “menghadapi” persoalan liberalisme dan modernisasi yang cenderung dipandang sebagai sesuatu yang negatif. DAFTAR PUSTAKA Barnett, James H. 1970. “The Sociology of Art” dalam Milton C. Albertch et.al. (ed.). 1970. The

Sociology of Art and Literature: A Reader. New York dan Washington: Praeger Publishers Chee-Beng Tan. 1983. “Chinese Religion in Malaysia: A General View” dalam Asian Foklore Studies

Vol. 42, 1983 Christanty, Linda. 1994. “Nyai n Masyarakat Kolonial Hindia Belanda” dalam Prisma No. 10 Oktober

1994 Dhana, A. 2007. “Tujuh Pelayaran Cheon Ho sebagai Diplomasi Kebudayaan 1403-1433” dalam Leo

Suryadinata (ed.). 2007. Laksamana Cheong Ho dan Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES Escarprit, Robert. 2005.Sosiologi Sastra [penerjemah: Ida Sundari Husien]. Jakarta: yayasan Obor

Indonesia Faruk, 1999. Pengantar Sosiologi Sastra: Dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Faruk, 2002. Novel-Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka. Yogyakarta: Gama Media Forst, Mark Raviner. 2003. “Transcultural Diaspora: The Straits Chinese in Singapore 1819-1918”

dalam ARI Working Paper Series No. 10 Agustus 2003 Gouw Peng Liang. 1903. Tjerita jang betoel soedah kadjadian di Poelo Djawa dari halnja satoe toean

tana dan pachter opium di Res Benawan bernama Lo Fen Koei (terpetik dari soerat kabar Bintang Betawi). Batavia: Goan Hong

Kroef, J. van der. 1978. “The City: Its Culture and Evolution” dalam PJM Nas dan Sukanti Suryochondro (ed). 1978. Classic Essays on the City in Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Indonesia

Kwee Tek Hoay. 1927. Boenga Roos dari Tjikembang. Panorama, Maret-September 1927 Locher-Scholten, Elizabeth. 1992. “The Nyai in Colonial Deli” dalam Sita van Bammelen (ed.) Women

in Medition in Indonesia. Leiden: KITLV Press Tan Tjin Kang. 1922. Peniti Dasi Barlian. Batavia: Sin Po Thio Tjien Boen. 1903. Tjerita Oey See, jaitoe satoe tjerita jang amat endah dan loetjoe jang betoel

soedah kedjadian di Djawa Tengah. Solo: Sie Dhian Ho Thio Tjien Boen. 1917. Tjerita Njai Soemirah atawa pertjintaan jang kekal, Satoe tjerita dari

Preanger Jilid I dan II. Batavia: Kho Tjen Bie Njoo Cheong Seng. 1925. Nona Olanda Sbagi Istri Tionghoa, Penghidoepan Januari 1925 Njoo Cheong Seng. 1925. Gwi Hian Nio alias Helena. Batavia: Lie Tok Long

Page 34: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

310 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Njoo Cheong Seng. 1934. Raden Adjeng Moeria, peringetan Medan 1929-1933. Tjerita Roman, Juni 1934

Safran, Williams. 1991. “Diaspora in Modern Societies; Myth of Homeland and Return” dalam Diaspora I Number 1, 1991

Salmon, Cludine. 1981. Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: a provisional annotated bibliography. Paris: Editions de la Mansions des Sciences de l’Homme

Saint Diano. 1923. Sinar Boelan di Priangan. Batavia: Sin Po Sie Lip Lap.[The Eursian]. 1931. Njai Isah, satoe prempoean jang berhati bersih. Goedang Tjerita,

September 1931 Susanto, Dwi. 2012. “Njoo Cheong Seng dan pemikirannya tentang nasionalisme dan bangsa” dalam

Nurhadi dkk. (ed.). Prosiding Konferensi Internasional Kesustraan XXII UNY-HISKI, The Role of Literature in Enhancing Humanity and National Identity. Yogyakarta: FBS UNY

Page 35: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 311

KEEFEKTIFAN MODEL PENDIDIKAN BUDI PEKERTI BERBASIS CERITA ANAK MELALUI PENANAMAN NILAI ETIS-SPIRITUAL PADA SISWA SD

Edy Suryanto, Raheni Suhita, dan Yant Mujiyanto

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret E-mail: [email protected]

Abstract

This study aims to: (1) find a model character education for elementary school students and (2) test the effectiveness of the model character education for elementary students. This research uses descriptive qualitative method. Data collection techniques in a way of observation, interviews, document analysis, and test. Data analysis tech-niques to use interactive model, while testing the product with experimental techniques. Conclusion of the study: (1) The initial development of this model is packed to the ex-tent students find value through the questions and internalization process through role play. This is significant when followed by habituation on other relevant subjects, mo-deling and role model, and (2) can be used to model the character development of stu-dents effectively in 9 SD Surakarta.

Keywords: `character, children's stories, spiritual-ethical values, appreciation of literature, teaching

materials

Bukan hal asing lagi media massa (cetak dan elektronika) menyuguhkan berita-berita aktual

tentang kenakalan/penyimpangan perilaku pelajar, seperti: perkelahian, mi-ras dan narkoba, seks bebas, pencurian, pembunuhan, bunuh diri, penyontekan massal. Berbagai contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa salah satu penyebab rendahnya ka-rakter anak didik itu bersumber pada daya internalisasi nilai-nilai etis-spiritual. Oleh ka-rena itu, karakter mereka perlu dibangun kembali melalui penanaman nilai etis-spiritual.

Mengapa bidang pendidikan didahulukan dalam pembangunan karakter? Se-bab, pendidikan diyakini sebagai kunci masa depan bangsa. Hal ini dijelaskan oleh Sapriya (2007:4) bahwa pendidikan merupakan wahana transformasi budaya, nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek), bahkan seni telah menjadi pusat untuk pembangunan karakter bangsa, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Wajar bila pemba-ngunan karakter di sekolah ditanamkan sejak dini.

Pendidikan yang berupaya menghasilkan warga negara yang baik digambarkan sebagai pendidikan yang menekankan pada nation and character building dengan cara menanamkan semangat nasionalisme agar terbentuk manusia Indonesia seutuhnya. Ini berarti melalui pendidikan diharapkan dapat membentuk warga negara (termasuk pel-ajar) yang memiliki karakter bangsa terwujud dalam nilai-nilai moral warga negaranya. Nilai-nilai tersebut dijelaskan oleh Linda (1995) itu sebagai nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai nurani, contohnya: jujur, berani, cinta damai, disiplin, tahu batas; nilai memberi, seperti: setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, dan murah hati.

Pada hakikatnya nilai-nilai tersebut telah diajarkan sejak pendidikan dasar sam-pai perguruan tinggi melalui mata pelajaran PPKn. dan Agama. Namun, kenyataannya di lingkup pendidikan masih banyak kita temukan siswa yang melakukan tindakan-tin-dakan yang menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Apakah fenomena penyimpangan atas nilai-nilai itu pertanda upaya pendidikan telah gagal melakukan perannya dalam mena-namkan pendidikan budi pekerti pada siswa?

Dunia pendidikan tidak cukup jika hanya membelajarkan anak didik agar men-jadi manusia pandai dan menguasai teknologi. Pendidikan harus secara sadar bertujuan membantu anak didik menjadi manusia berkarakter kuat dan cerdas. Pendidikan seha-rusnya juga menanamkan kebiasaan tentang hal-hal baik sehingga anak didik dapat me-mahami (kognitif), mampu merasakan dan membuat pilihan (afektif), dan menerapkan-nya dalam tingkah laku hidup keseharian (psikomotorik)

Page 36: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

312 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

(Nurgiyantoro, 2011) dengan kesadaran diri tanpa dipaksa atau diingatkan. Namun, justru kepribadian atau jati diri manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan. Akibatnya, hal yang diajarkan di sekolah kurang seimbang antara aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik.

Untuk mengatasi persoalan di atas perlu cara yang tepat. Sebab, pembelajaran budi pekerti bukan sekedar pembelajaran yang hanya mengedepankan hafalan tentang nilai-nilai semata, tetapi harus diposisikan dalam upaya pembentukan kepribadian yang tangguh. Untuk itu, pembelajaran budi pekerti pada siswa harus dilakukan upaya-upaya instrumental untuk meningkatkan proses pembelajaran disertai pengembangan kultur positif, dengan maksud agar mereka dapat memahami, menginternalisasi, dan mengaktualisasikan dalam proses pembelajaran maupun kehidupan kesehariannya.

Salah satu cara guru membermaknakan pendidikan budi pekerti pada siswa, ya-itu melalui kegiatan apresiasi sastra. Dalam penelitian ini, cara mengapresiasi menggu-nakan cerita anak yang diambilkan dari media massa cetak. Diambil materi cerita anak karena isinya menceritakan tentang kehidupan dunia anak-anak, dikonsumsikan untuk anak-anak, dan biasanya ceritanya pendek. Dipilih media massa cetak karena dalam se-tiap penerbitannya sering memuat cerita-cerita anak yang menarik dan berkualitas isi-nya. Selain itu, sesuai isi yang terdapat di dalam cerita anak, guru dapat mengenalkan berbagai permasalahan tentang kehidupan anak-anak.

Banyak pakar menyatakan bahwa apresiasi sastra cerita anak diyakini memiliki sumbangan yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju ke kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jati diri yang jelas. Kepribadian atau jati diri seorang anak dibentuk dan terbentuk oleh lingkungan, baik diusahakan secara sadar maupun tidak sadar. Lingkungan yang dimaksud di sini mencakupi kebiasaan, tingkah laku, contoh, dan lain-lain yang diberikan oleh orang tua, di sekolah, dan di masyarakat. Cara ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk menanamkan, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai yang diyakini baik dan berharga oleh individu, keluarga, masyarakat, dan bangsa. Karenanya, jati diri individu, masyarakat, dan bangsa kuat ser-ta dapat dipertahankan berkat pewarisan nilai-nilai itu. METODE PENELITIAN

Penelitian deskriptif kualitatif ini menggunakan pendekatan R & D (Gall, Gall & Borg (2003). Penelitian ini meliputi pengujian model dan sosialisasi produk.

Penelitian dilaksanakan di 12 SDN Surakarta, dengan rincian 3 SD uji coba ter-batas, yaitu: (1) SD Mangkubumen Lor 15B, Kec. Laweyan; (2) SD Kalangan, Kec. Je-bres; dan (3) SD Sawahan, Kec. Pasar Kliwon; sedangkan 9 SD uji coba luas, meliputi: (1) SD Manahan, Kec. Banjarsari; (2) SD Nayu Barat 1, Kec. Banjarsari; (3) SD Pra-wit, Kec. Banjarsari; (4) SD Dawung Tengah, Kec. Serengan; (5) SD Bunderan, Kec. Serengan; (6) SD Sriwedari Kec. Serengan; (7) SD Mangkubumen Lor 15A, Kec. La-weyan; (8) SD Bumi 1, Kec. Laweyan; dan (9) SD Mijipinilihan, Kec. Laweyan.

Penelitian dilaksanakan April – Oktober 2013. Penelitian ini berbentuk eksperi-men. Subjek penelitian siswa kelas V SD Surakarta tahun 2012/2013. Penentuan SD uji coba terbatas dan uji coba luas dilakukan secara stratified random sampling.

Teknik pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, analisis dokumen, dan tes. Validasi data menggunakan triangulasi metode, sumber, pengecekan anggota, dan ketekunan pengamatan. Analisis data menggunakan teknik analisis interaktif.

Pengujian produk dilakukan dengan teknik eksperimen. Bila skor rata-rata eks-perimen lebih tinggi dan perbedaannya signifikan, berarti penerapan model berpenga-ruh terhadap pembangunan karakter siswa. Sebaliknya, bila skor rata-rata eksperimen lebih rendah, berarti model tidak berpengaruh terhadap pembangunan karakter siswa.

Page 37: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 313

HASIL DAN PEMBAHASAN Penemuan Model Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Cerita Anak Melalui Pena-naman Nilai Etis-Spiritual pada Siswa SD

Hasil FGD dapat dikemukakan: (1) Penggunaan bahasa pada materi ajar diseder-hanakan agar mudah dipahami siswa; (2) Materi cerita dilengkapi dengan ilustrasi gam-bar agar menarik dan dapat membantu siswa ke arah pemahaman inti cerita; (3) Perlu dibuat RPP berbasis cerita anak untuk menanaman nilai-nilai etis-spiritual; (4) Model konvensional disajikan secara verbal, sedangkan model eksperimen disajikan secara verbal dengan dilengkapi peraga/media pendukung sesuai isi cerita; (6) Materi cerita da-pat dipilih sesuai kemampuan dan konteks yang dihadapi guru di sekolah masing-ma-sing; (7) Pada tahap internalisasi, agar siswa dapat menghayati dan mempraktikkan se-suai karakter tokoh dalam cerita, mereka diberi kelonggaran satu minggu mempelajari naskah drama. Berbagai hal ini menjadi perbaikan prototipe model materi ajar yang se-suai dengan kondisi guru dan siswa sebelum diujicobakan secara luas di SD-SD Sura-karta untuk dilihat seberapa besar keefektifannya.

Hasil uji coba terbatas dapat dikemukakan bahwa guru dalam pembelajaran di-butuhkan daya kreasi dan inovasi. Namun, mereka mengakui belum pernah berani ber-kreasi dan berinovasi. Alasannya adalah mereka tidak mampu bercerita dengan gaya menarik; jam pelajaran terbatas sehingga banyak waktu tersita untuk persiapan; punya media pendukung bercerita, tetapi belum terampil menggunakan; dan andaikata mampu dan berani, mereka belum terbangun kesadaran percaya dirinya dengan baik.

Model ini mampu menjadi media pembelajaran yang interaktif dan mandiri. Ka-rena itu, guru merasakan: (a) materi mudah diterapkan dalam pembelajaran dan (b) nilai etis-spiritual yang akan ditanamkan melalui cerita anak untuk pembangunan budi peker-ti siswa sangat selaras dengan tujuan pendidikan karakter di dalam kurikulum.

Dampak pengembangan meteri ini dapat membuat siswa cepat memahami, menghayati, dan mempraktikkan nilai-nilai etis-spiritual. Walaupun model ini bersifat manipulatif, tetapi semua merupakan upaya penggambaran tiruan kehidupan manusia. Harapan setelah tumbuhnya kepekaan pikir, jiwa, dan karsa siswa melalui cerita bisa menjadi katarsis untuk diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Materi ini juga mampu menghidupkan suasana pembelajaran yang menyenang-kan. Hal ini menjadi motivasi bagi siswa untuk menjadikan dirinya berlatih berani dan percaya diri. Di lain pihak, pembelajaran seperti ini menumbuhkan alam demokrasi.

Hasil pretes dan postes pada 3 SD uji coba terbatas bahwa model ini dapat me-ningkatkan kompetensi siswa. Nilai postes model konvensional di 3 SD uji coba terba-tas meningkat diiringi dengan perolehan nilai rata-rata.Dilihat dari pengkategorian SD juga menunjukkan perolehan prestasi berbeda. Hal ini tampak dari hasil perolehan nilai postesnya. Data perolehan nilai dapat dilihat pada Gambar 1.

0

20

40

60

80

100

Konv. Eksp. Konv. Eksp. Konv. Eksp.

Pretes

Postes

Page 38: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

314 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

SDN Mangkubumen SDN Kalangan SDN Sawahan

Pretes 74,65 73,65 70,00 76,69 70,00 74,13

Postes 88,70 92,90 83,31 89,15 75,53 84,07

Rata-rata 81,67 83,27 76,65 82,92 72,76 79,10

Gambar 1. Peningkatan Nilai Uji Coba Terbatas

Keefektivan Model Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Cerita Anak Melalui Pena-naman Nilai Etis-Spiritual pada Siswa SD

Dasar deskripsi hasil penelitian ini adalah peningkatan skor pretes dan postes. Skor pretes, postes, dan rata-rata hasil uji coba luas dapat dilihat pada Gambar 2.

SD Kec. Banjarsari SD Kec. Serengan SD Kec. Laweyan

Pretes 69,78 75,86 56,50 62,57 66,43 56,43 84,57 65,28 67,28

Postes 85,93 84,93 79,28 80,86 78,28 70,21 94,07 82,28 75,50

Rata-rata 77,85 80,39 67,89 71,71 72,35 63,32 89,32 73,78 71,39

Gambar 2. Peningkatan Nilai Ujicoba Luas

Analisis deskriptif meliputi nilai rata-rata, simpangan baku, distribusi frekuensi, modus, median,

dan histogram. Data hasil penelitian ini meliputi berbagai kelompok SD yang akan dibandingkan maka hasil yang dideskripsikan juga meliputi data kelompok SD yang dibandingkan itu. Nilai rata-rata dan simpangan baku untuk data setiap sel dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata dan Simpangan Baku untuk Data Setiap Sel

Statistik Knvensional SD Baik

Eksperimen SD Baik

Knvensional SD Sedang

Eksperimen SD Sedang

Knvensional SD Kurang

Eksperimen SD Kurang

N 42 42 42 42 42 42

Ẋ 82,33 86,95 78,64 81,83 74,58 75,95

Sx 4,82 6,55 10,13 7,08 10,04 8,77

Uji normalitas sampel dilakukan pada nilai pretes dengan uji Llliefors. Perban-dingan hasil uji

normalitas sampel dan hasil uji normalitas masing-masing kelompok data dengan taraf signifikansi α = 0,05 tampak bahwa nilai kritis Lo untuk sampel maupun semua kelompok ternyata lebih kecil dari nilai kritis Lt . Uji persyaratan nor-malitas sampel dapat disimpulkan bahwa data nilai pretes tiap kelompok tersebut ber-asal dari populasi berdistribusi normal.

Uji homogenitas variansi populasi dilakukan pada nilai postes dengan Barlett. Hasil pengujian homogenitas variansi sampel tampak bahwa harga χ o

2 lebih kecil dari harga χ t2. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa sampel-sampel tersebut berasal dari distribusi populasi yang homogen.

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Pretes

Postes

Page 39: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 315

Pengujian hipotesis menggunakan Anova dan dilanjutkan Scheffe. Hasil penghi-tungan uji Anova dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 tampak bahwa harga Fo untuk keefektifan model jauh lebih besar dari harga Ft (Fo = 3,89 > Ft = 78,853).

Tabel 4. Hasil Anova Respons Kemampuan Menanamkan Nilai-nilai Etis-Spiritual Karena Faktor Model dan Kualifikasi Sekolah

Sumber Variasi dk. JK KT Fo Ft

Rata-rata Pengaruh A B ABC1 ABC2 ABC3 Kekeliruan

5 1 2 2 2 2 242

535522,012 268139,18 1236,881 74,674 67,174 6,906 822921,173

107104,402 268139,18 618,440 37,337 33,587 3,453 3400,501

31,497 78,853 0,182 0,011 0,01 0,001 -

3,89 3,04 3,04 3,04 3,04 -

Jumlah 251 1627968 - - -

Dari daftar Anova pada Tabel 4 dapat dideskripsikan: (1) Harga Fo untuk ke-efektifan model

ternyata jauh lebih besar daripada harga Ft (Fo = 78,853 > Ft = 3,89), maka Ho ditolak. Dengan demikian, hipotesis alternatif diterima dan teruji kebenaran-nya pada taraf signifikansi α = 0,05; (2) Harga Fo untuk keefektifan kualifikasi sekolah ternyata lebih kecil daripada harga Ft (Fo = 0,182 < Ft = 3,04), maka Ho diterima. Dengan demikian, hipotesis alternatifnya ditolak dan tidak teruji kebenarannya pada ta-raf signifikansi α = 0,05; (3) Harga Fo lebih kecil dari-pada Ft (Fo = 0,011 < Ft = 3,04), maka Ho tidak ditolak. Oleh sebab itu, hipotesis alternatif tidak diterima dan tidak teruji kebenarannya pada taraf signifikansi α = 0,05; (4) Harga Fo lebih kecil daripada Ft (Fo = 0,01 < Ft = 3,04), maka Ho tidak ditolak. Oleh sebab itu, hipotesis alternatifnya tidak diterima dan tidak teruji kebenarannya pada taraf signifikansi α = 0,05; dan (5) Harga Fo lebih kecil daripada Ft (Fo = 0,001 < Ft

= 3,04), maka Ho tidak ditolak. Oleh sebab itu, hipotesis alternatifnya tidak diterima dan tidak teruji kebenarannya pada taraf sig-nifikansi α = 0,05.

Setelah dilakukan pengujian hipotesis nol dengan Anova ternyata hanya satu hipotesisnya diterima, yaitu hipotesis pertama dan keempat hipotesis lainnya (hipotesis kedua sampai dengan hipotesis kelima) ditolak. Dengan demikian, untuk hipotesis per-tama dilanjutkan dengan uji Scheffe. Hitungan uji Scheffe dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Ringkasan Hasil Penghitungan Uji Scheffe pada Data Keefektifan Model dengan Taraf

Signifikansi α = 0,05

Efektivitas Cp A s (Cp) A x s (Cp) Kesimpulan

A1 – A2 244 1,97 925,703 1823,635 Sangat tidak signifikan

Pada Tabel 5 tampak bahwa harga │Cp│ ternyata jauh lebih kecil daripada harga A x s (Cp) pada

efektivitas faktor A (242 < 1823,635). Ini berarti, keefektifan model eksperimen dengan model konvensional menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan. Dengan taraf signifikansi α = 0,05 terhadap hipotesis nol diterima. Oleh karena itu, hi-potesis alternatif ditolak dan tidak teruji kebenarannya.

Pengujian hipotesis secara inferensial menghasilkan kesimpulan pengujian yang memenuhi taraf signifikansi α = 0,05. Analisis statistik dengan uji Anova telah menguji hipotesis-hipotesis yang meliputi tiga hal, yaitu: (1) Keefektifan model pendidikan budi pekerti berbasis cerita anak; (2) Keefektifan kualifikasi sekolah; dan (3) Interaksi antara model dan kualifikasi sekolah terhadap kemampuan siswa SD memahami nilai etis-spi-ritual. Efektivitas pendidikan budi pekerti model baru

Page 40: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

316 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

diuji dengan membandingkan pendidikan budi pekerti model konvensional. Efektivitas kualifikasi sekolah diuji de-ngan menguji perbedaan hasil dalam menanamkan nilai-nilai etis-spiritual siswa dari SD baik, sedang, dan kurang. Adapun interaksi antara model dan kualifikasi sekolah diuji dengan menguji perbedaan interaksi antara model dengan kualifikasi sekolah baik, interaksi antara model dengan kualifikasi sekolah sedang, dan interaksi antara model de-ngan kualifikasi sekolah kurang.

Berdasarkan hipotesis-hipotesis yang telah dirumuskan itu, hipotesis pertama memenuhi pengujian Anova. Hasilnya menunjukkan bahwa model sangat efektif terha-dap upaya penanaman nilai-nilai etis-spiritual cerita anak untuk pembangunan karakter siswa SD. Melalui uji Anova, model tersebut telah teruji dan terbukti kebenarannya. Hal ini dibuktikan dari hasil penghitungan yang menunjukkan harga Fo = 78,853 > Ft = 3,89 dengan taraf signifikansi α = 0,05. Namun, setelah dilanjutkan dengan uji Scheffe tidak menunjukkan perbedaan hasil yang signifikan. Hal ini dibuktikan dari hasil peng-hitungan yang menunjukkan harga │Cp│= 244 lebih kecil daripada harga A x s (Cp) = 1823,635.

Kondisi ini terjadi karena tidak ada batasan yang tegas pada kedua guru dalam menerapkan model yang akan dibandingkan keefektifannya, utamanya pada tahap peng-organisasian dan tahap pengondisian. Pada tahap pengorganisasian, sebelum mengajar – kedua guru model sama-sama menyiapkan dan mengorganisasikan berbagai unsur nilai etika-spiritual cerita anak ke dalam RPP. Berbagai hal yang diorganisasikan itu berwu-jud kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran sebagai fon-dasi pembentukan karakter. Pada tahap pengondisian, siswa menyimak cerita yang dice-ritakan/diperagakan oleh guru untuk menemukan nilai-nilai etis-spiritual melalui penje-lasan dan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Kedua guru model mengekspresikan kemampuan bercerita sesuai gayanya masing-masing. Karena itu, sa-ngat beralasan bila setiap pengajar memang harus dapat mencari cara untuk melaksana-kan kegiatan instruksional sebaik-baiknya (Suparman, 1991). Lebih lanjut ditegaskan oleh Sinurat, dkk. (1989) bahwa cara itu harus memberikan kemungkinan untuk memi-lih dan menilai tepat-tidaknya pilihan itu sehingga akhirnya dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas hasil pengajarannya.

Materi apresiasi cerita anak sebagai sarana penanaman nilai-nilai etis-spiritual digunakan pula oleh guru model konvensional. Materi yang disusun secara sistematis makin memudahkan bagi guru dalam menyajikan pelajaran sehingga siswa makin mu-dah pula dalam mencerna dan memahami nilai-nilai cerita secara utuh. Demikian pula masukan hasil FGD makin memantapkan cerita-cerita itu sebagai media yang interaktif dan mudah dipahami serta menyenangkan bagi siswa dalam belajar. Berkenaan penge-masan cerita-cerita anak sebagai media pendidikan budi pekerti ini – tidak jauh berbeda dengan saran dari Barclay, Campbell & Weeks, 2007) bahwa media pembelajaran yang interaktif dan sesuai dengan pembelajaran hendaknya memenuhi aspek materi, penyaji-an, bahasa dan keterbacaan, dan aspek ilustrasi. Pemenuhan aspek ini makin memperje-las penyampaian materi pembelajaran yang akan disajikan kepada siswa. Ini berarti, pe-nyusunan materi ajar cerita anak untuk penanaman nilai etis-spiritual untuk pembina-an karakter memenuhi kriteria tersebut.

Unsur pendukung seperti ilustrasi gambar dalam materi ajar sesuai dengan teks materi cerita. Selain itu, nilai-nilai karakter yang disajikan dalam materi ajar juga sesuai dengan nilai-nilai karakter yang terdapat di dalam kurikulum SD kelas tinggi. Penge-masan materi ajar yang selaras dengan kondisi siswa SD menjadikan makin mudahnya bagi guru dalam mengelola pembelajarannya. Hal tersebut berdampak pada makin ting-ginya tingkat kemampuan siswa dengan menggunakan materi ajar ini.

Tingginya tingkat kemampuan siswa memahami materi ajar itu dapat dicapai ka-rena seiring pula pemberian kesempatan pada siswa berinternalisasi. Internalisasi ini merupakan upaya untuk menerapkan nilai-nilai etis-spiritual ke dalam perilaku nyata dalam bentuk bermain peran. Menurut pandangan guru, metode bermain peran makin memudahkan dalam menanamkan nilai-nilai etis-spiritual pada siswa. Sebab, melalui bermain peran siswa dikenalkan nilai-nilai etis-spiritual dengan suasana yang menye-nang, menarik, dan tidak membosankan. Selanjutnya, melalui bermain peran

Page 41: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 317

mereka diharapkan dapat merasakan sendiri dengan cara menirukan. Tujuannya adalah siswa di-harapkan mampu melakukannya dalam bentuk perbuatan dan perilaku sehari-hari yang mencerminkan tindakan yang bernilai etis-spiritual. Bagi siswa, peniruan dalam bentuk bermain peran dapat membangun daya khayalnya. Menurut Jeffree & Hewson (2006), kemampuan siswa berfantasi dari kegiatan bermain peran dapat memberikan efek pada peningkatann sikap dan perilaku yang baik.

Berdasarkan hasil uji coba di 9 SD Surakarta telah ditemukan bahwa model pen-didikan budi pekerti berbasis cerita anak dapat meningkatkan pemahaman siswa ten-tang nilai-nilai etis-spiritual secara efektif dan signifikan. Hal ini disebabkan para guru yang menjadi kolaborator dalam uji coba keefektifan model memberikan respons po-sitif. Respons ini mengindikasikan keberterimaan model pendidikan budi pekerti berba-sis cerita anak cocok diterapkan di SD. Keberterimaan model ini diharapkan dapat memberi peran guru dalam pembinaan budi pekerti siswa makin baik melalui pembel-ajaran apresiasi sastra cerita anak. Hal ini tentu saja sangat dipengaruhi keterampilan guru dalam mengelola pembelajarannya. Pengelolaan pembelajaran yang dimaksud ada-lah pembelajaran yang dapat membuat siswa tidak bosan dan tidak jenuh serta mampu menghidupkan suasana kelas yang dinamis dan demokratis. SIMPULAN DAN SARAN

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan: (1) Model ini belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sarana pendidikan budi pekerti siswa SD dalam menanamkan nilai-ni-lai etis-spiritual. Karena itu, materi pengembangan model ini dikemas sedemikian rupa sampai pada tahap pengembangan nilai. Sebagai upaya untuk menerapkan nilai-nilai etis-spiritual yang terdapat dalam sebuah cerita, maka siswa perlu melakukan internali-sasi dalam bentuk bermain peran atau sosiodrama. Agar pembelajarannya bermakna perlu ditindaklanjuti dengan pembiasaan pada mata pelajaran lain yang relevan dengan menyesuaikan perkembangan kejiwaan siswa, karakteristik materi pelajaran, dan ling-kungan. Pembiasaan ini perlu disertai model dan keteladanan dari berbagai pihak yang berkait dengan kehidupan siswa, baik di sekolah, rumah, dan masyarakat; (2) Hasil uji keefektifan model menunjukkan bahwa model tersebut dapat digunakan untuk me-ningkatkan kemampuan penanaman nilai etis-spiritual di 9 SD se-Surakarta. Keefektifan model ini telah direspons positif oleh guru, kepala SD maupun pengambil kebijakan dari UPT Dinas Pendidikan Kecamatan dan Dikpora Surakarta dan diharapkan dijaga keberlangsungan penerapannya serta dikembangkan di SD-SD lainnya

Berpijak pada simpulan di atas dapat disarankan: (1) Perlunya pelatihan atau workshop untuk meningkatkan kompetensi guru dalam penerapan model-model pembel-ajaran yang aktif, interaktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan terkait dengan pembel-ajaran bercerita; (2) Sebagian besar guru SD masih sebagai guru kelas maka pengem-bangan nilai-nilai budi pekerti yang ditanamkan melalui pelajaran Bahasa Indonesia (Apresiasi Sastra) dapat dilakukan pembiasaan pada mata pelajaran lain yang relevan dengan disertai model dan keteladanan yang baik; (3) Sastra anak merupakan sarana yang efektif sebagai materi ajar pembinaan budi pekerti siswa SD. Karena itu, guru per-lu diberi kegiatan workshop penyusunan materi ajar dalam upaya penanaman nilai-nilai etis-spiritual melalui pelajaran apresiasi sastra cerita anak; (4) Agar ditemukan model karakter yang baik perlu diadakan pemilihan prestasi pada guru, siswa, dan pegawai sekolah lainnya dalam kaitannya penanaman nilai-nilai etis-spiritual yang bisa ditela-dani oleh seluruh warga sekolah; (5) Sifat kejiwaan dan usia siswa SD yang belum ma-tang, perlu pengawasan dan pendampingan dari berbagai pihak dalam kaitannya peng-gunaan media informasi; dan (6) Perlunya penegakan sanksi atau hukuman bagi para pelanggar peraturan/tata tertib sekolah dengan penuh keadilan, bijaksana, dan men-didik; (7) Pengambil kebijakan di pendidikan dasar diharapkan dapat berperanserta da-lam mengatasi permasalahan yang dihadapi guru dengan cara memfasilitasi dan meng-adakan kerja sama dengan berbagai pihak dalam bentuk pembimbingan, diklat, atau workshop yang terkait dengan pendidikan

Page 42: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

318 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

budi pekerti siswa SD; (8) Hasil yang dite-mukan dalam penelitian ini diharapkan dapat dikaji ulang atau dikembangkan oleh pe-neliti lain dengan mempertimbangkan berbagai faktor secara cermat dan teliti. DAFTAR PUSTAKA Barclay, Lisa;Campbell, Ann & Weeks, Heidi. 2007. “How to Attractive Teaching and strategies Affect

Learners”, dalam American Journal of Education, Volume 113, Nomor 12, halaman 67-69. Gall, MD; Gall, JP; and Borg, WR. 2003. Educational Research. Boston: Pearson Education, Inc. Jeffree, Dorothy & Hewson, Simon. 2006. Let Me Play. Tokyo: McGraw Hills Kogakusha Ltd. Linda, N. Eyre. 1995. Teaching Your Children Values. New York: Simon and Chuster. Nurgiyantoro, Burhan. 2011. “Implementasi Pendidikan Karakter dalam Bahan Ajar”, Makalah

disajikan dalam Stadium Generale di Jurusan PBS FKIP Universitas Sebelas, Surakarata, 27 November 2011.

Sapriya. 2007. ”Perspektif Pemikiran Pakar tentang Pendidikan Kewarganegaraan dalam Pembangunan Bangsa (Sebuah Kajian Konseptual Filosofis Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Pendidikan IPS”. Disertasi tidak dipublika-sikan, PPs. UPI Bandung.

Sinurat, RH, dkk. 1989. Bagaimana Mengajar Secara Sistematis. Yogyakarta: Kanisius. Suparman, Atwi.1991.Desain Instruksional.Jakarta:PAU-P2AI Ditjen Dikti Depdikbud.

Page 43: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 319

MEMBACA KONSTRUKSI KECANTIKAN17 DALAM NOVEL ANAK MILLIE SANG IDOLA KARYA ALLINE

Else Liliani18

Fakultas Bahasa dan Seni UNY

Abstract

This paper examines how beauty constructed in children novel, Millie Sang Idola, written by Alline. The beauty construction in this novel refers to the west beauty construction. Millie Sang Idola shows how beauty constructed by fashion and beauty product by the character of Millie, a teenage model. Beauty products and fashions as a part of future self promoted by the model and related to three aspect: feminine pleasure, power, and social hierarchy. Keywords: construction, beauty, children novel

Membaca Konstruksi Kecantikan dalam Novel Anak Millie Sang Idola Karya Alline

"Ayo, ganti baju yang modis!" kata perempuan itu. Millie ditarik menuju sebuah ruangan. Millie didandani dan diubah penampilannya. Setelah selesai, Millie menatap kaca. Millie yang dulu adalah Millie yang mempunyai rambut cokelat dan cukup cantik. Tapi, sekarang, dia primadona! Millie: gadis yang paling beruntung. Berambut biru muda, alis lentik, jenjang, modis, dan kaya! Millie minum Footy Sweat, minuman para artis. Dia mengambil handphone. Millie menelepon Mr. Jone. (Alline, dalam Millie Sang Idola)

PENGANTAR

Paragraf di atas merupakan kutipan dari sebuah novel anak berjudul Millie Sang Idola, yang ditulis oleh Alline, seorang penulis anak berusia 10 tahun, ketika karya itu diterbitkan oleh Penerbit Dar! Mizan di bawah label Kecil-Kecil Punya Karya. Tokoh Millie dalam novel itu adalah seorang remaja yang berprofesi sebagai model. Meskipun tokoh Millie baru kelas delapan, namun profesinya sebagai seorang model, telah membawanya masuk dalam dunia industri hiburan dan menempatkannya sebagai seorang artis papan atas.

Dunia modeling yang terdapat dalam novel anak Millie Sang Idola ini akan mengingatkan kita kepada dunia modeling dan kontes kecantikan yang ada di masyarakat. Di Indonesia, misalnya, ada pemilihan Gadis Sampul dan pemilihan Puteri Indonesia. Putri Indonesia diselenggarakan sejak 1992 oleh Yayasan Puteri Indonesia yang diketuai Mooryati Soedibyo. Mereka yang mengikuti kontes Puteri Indonesia biasanya lebih dulu terjun di jagat modeling. Beberapa di antara mereka yang terpilih sebagai Puteri Indonesia sebelumnya telah terpilih dalam gadis sampul, seperti Agni Pratistha, Puteri Indonesia tahun 2006.

Dunia modeling selalu menarik untuk dibicarakan sebab dunia modeling selalu melibatkan tubuh perempuan. Tubuh perempuan dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menampilkan nilai-nilai

17 Makalah disampaikan dalam Seminar Internasional "Membangun Citra Indonesia di Mata Internasional melalui Bahasa

dan Sastra Indonesia" dalam rangka Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia PIBSI XXXVI 11-12 Oktober di Yogyakarta.

18 Penulis adalah staf pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas

Negeri Yogyakarta. Email: [email protected],

Page 44: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

320 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

femininitas yang dianggap sebagai sebuah keunggulan. Modeling pada umumnya (dan mulanya) diawali dengan penilaian akan tubuh. Sebab, prasyarat utama untuk menjadi model (di manapun) adalah 'berpenampilan menarik dan proporsional." Sejalan dengan persoalan tubuh dalam jagat modeling, tulisan ini akan membahas bagaimana kontruksi kecantikan dibangun dalam dunia modeling melalui novel anak Millie Sang Idola karya Alline. PADA MULANYA ADALAH TUBUH

Millie, tokoh dalam novel Millie Sang Idola, adalah seorang remaja yang berprofesi sebagai model. Karirnya sebagai model yang cukup cemerlang membuatnya menjadi primadona. Tokoh Millie digambarkan sebagai model yang terkenal, bergelimang harta, tak pernah sepi dari job pemotretan, hingga menjadi presenter acara reality show. Seperti umumnya seorang model, tokoh Millie ini digambarkan sebagai remaja yang cantik, tinggi, bertubuh jenjang, berkulit cerah.

Pemusatan perhatian akan tubuh sudah tampak pada bagian pertama novel ini. Yakni, ketika Millie hendak melakukan pemotretan di kebun binatang Sulishie Zoo. Millie tampak sangat khawatir bila kulitnya menjadi hitam karena melakukan pemotretan di tempat terbuka. Pemujaan akan kulit putih tampak dalam kutipan berikut.

"Millie, Sayang! Kamu harus pemotretan hari ini! Jangan terlambat!" teriak Mrs. Haron,

ibunda Millie. "I...i...ya..., Mom! Kenapa, sih, Mr. Jone memilih tempat pemotretan di Sulishie Zoo?"

kata Millie dengan malas. "Karena temanya adalah 'Cinta Binatang.' Ada masalah, Millie?" tanya

Mom seraya menyiapkan alat make up di meja rias. "Mom! Bagaimana kalau kulitku jadi hitam? Ugh....!" kata Millie kesal. "Kan, bisa pakai sun-block!" kata Janie tiba-tiba. (Alline, 2007:11)

Selain digambarkan sebagai seorang remaja yang memuja kecantikan kulit putih, Millie juga

digambarkan sebagai seorang remaja putri yang sangat memperhatikan riasan wajah dan penampilannya.

Pagi itu, Millie akan berangkat ke sekolah. Millie memakai baju tanpa

lengan, celana jins, rambut dikuncir kuda, sedikit eye shadow, sedikit blush on, dan hand & body lotion. Ia juga memakai sepatu hitam dan hand band. (Alline, 2007:45)

Agak sedikit berlebihan memang, untuk memberikan gambaran seorang remaja yang akan

berangkat sekolah mengenakan eye shadow dan blush on. Namun, yang ingin ditekankan dalam kutipan novel di atas adalah pentingnya menjaga kecantikan di segala kondisi dan tempat dengan memperhatikan riasan dan fesyen (pemilihan baju tanpa lengan, celana jeans, sepatu hitam, dan hand band) bagi seorang perempuan. Khususnya, bagi mereka yang ingin selalu terlihat tampil cantik.

Keinginan untuk selalu terlihat tampil cantik kadang menyisakan masalah bagi perempuan yang memuja kecantikan itu sendiri. Permasalahan ini juga dialami oleh tokoh Millie. Deskripsi sebagai remaja putri yang cantik tampaknya tak cukup membuat Millie puas dengan menerima diri dan tubuhnya. Untuk hal ini, bahkan dia tak segan bertanya kepada cermin.

Millie segera menaiki mobil sport-nya ke rumah 'asli' yang dia rindukan.

Millie segea masuk dan menuju kamarnya. Millie membuka pintu dan segera menghempaskan diri di tempat tidurnya. Millie menyalakan aroma therapy. Ia segera menelepon Miss Diana untuk datang ke rumah. Ia ingin mengecat

Page 45: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 321

rambut menjadi cokelat. Millie menatap cermin. "Oh, cermin! Katakan padaku yang sejujurnya. Benarkah aku ini cantik?"

kata Millie. Millie segera berbalik dan membelakangi cermin. (Alline, 2007:36)

Apa yang dilakukan Millie --dengan mempertanyakan kecantikannya pada sebuah cermin-- mengingatkan kita pada kisah Snow White karya Grimm Bersaudara. Alkisah dalam cerita Grimms tersebut, ada seorang ratu cantik yang selalu membutuhkan konfirmasi dan afirmasi mengenai kecantikannya kepada sebuah cermin. Ratu itu selalu bertanya, "mirror, mirror on the wall, who is the fairest of us all?19"

Tokoh Millie dan Ratu dalam cerita karya Grimms Bersaudara itu memiliki satu masalah yang sama akibat pemujaan terhadap kecantikan. Mereka berdua kehilangan rasa percaya diri. Sikap yang ditempuh keduanya relatif sama pula, yakni dengan berusaha menonjolkan kualitas kecantikannya. Bedanya, tokoh Millie melakukannya dengan mengecat rambut atau menguatkan penampilannya. Sedangkan tokoh Ratu, menghilangkan pesaingnya, si Puteri Salju. Namun muara akhir keduanya cenderung sama: ingin terlihat cantik di antara perempuan lainnya.

Begitu besarnya perhatian Millie akan bentuk tubuhnya, sehingga untuk meyakinkan dirinya cantik, tak segan dia bertanya --memastikan kecantikannya tetap terjaga-- kepada ayahnya.

Millie segera masuk ke mobil dan duduk di sebelah Dad. Akhirnya, mobil keluar rumah.

"Dad, apakah aku punya puppyfat?" tanya Millie. "Apa itu, Sayang?" Dad balik bertanya. "Apa mukaku gendut?" tanya Millie. "Tidak, Sayang!" jawab Dad. "Bagus....." gumam Millie. (Alline, 2007:39-40)

Kulit yang cerah dan tidak gelap, tubuh yang tidak gemuk namun jenjang, rambut berwarna

cokelat atau pirang jelas merujuk kecantikan a la Barat. Konstruksi kecantikan seperti ini mengingatkan kita pada boneka Barbie yang hingga sekarang masih menghegemoni sebagai salah satu ikon kecantikan dunia. Barbie pertama kali muncul dalam bentuk seorang perempuan dengan rambut seperti ekor kuda, berambut pirang atau coklat, dan bertubuh jenjang atau 'proporsional'.

Barbie menggambarkan pencitraan tubuh yang cenderung sempurna. Pengaruh boneka Barbie memang cukup dahsyat dalam sejarahnya. Selain terjual semilyar lebih di 150 negara, Barbie juga mengundang pro dan kontra. Di Chicago, misalnya, seorang ibu merasa Barbie telah membuat anak-anak perempuan rendah diri. Lalu sebagai responnya, dia membuat dan memasarkan boneka Happy To Be Me ('Senang Menjadi Saya') dengan ukuran tubuh yang realistis (Wolf, 1997:240). Bagaimana dengan di Indonesia?

Alih-alih mempercayai bahwa kecantikan itu sifatnya sangat khas sesuai dengan konteks kulturalnya, media-media justru menunjukkan hal yang berbeda. Tengoklah iklan, majalah, televisi yang lebih sering menampilkan perempuan-perempuan dengan tubuh langsing, kulit kuning atau putih mulus, berhidung mancung, rambut lurus dan cenderung berwarna yang bukan hitam. Pencitraan kecantikan dan tubuh ideal yang ada di masyarakat tampaknya masih belum terlepas dari sejarah kolonialisme di Indonesia. Hal ini dapat dipahami, sebab tubuh itu sendiri pada hakikatnya adalah sarana kontestasi. Tubuh menunjukkan siapa Sang Diri dan siapa Liyan. Tubuh sekaligus dapat menunjukan superioritas dan inferioritas.

Pencitraan akan tubuh ideal ini pula lah yang sering memunculkan masalah bagi remaja-remaja

19

Dalam beberapa versi cerita Snow White atau Puteri Salju, pertanyaannya ada yang diganti menjadi "who is the prettiest of us all" atau "siapa yang tercantik di antara kami (perempuan yang ada)"

Page 46: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

322 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

putri (dan mereka yang terjun ke dunia modeling). Watkins (2007:138) mengatakan bahwa perempuan muda sering mengalami tekanan untuk menyesuaikan dirinya dengan kompetisi kecantikan yang berlangsung secara kontinyu sebab mereka harus menilai dan mengkritisi tubuh sendiri dari luar selayaknya laki-laki yang melihat tubuh mereka. Marshment (2010:54) mengatakan, perempuan kadang menempuh bahaya untuk meleburkan diri dalam kriteria laki-laki demi keberterimaannya sebagai perempuan.

Masalah dengan tubuh ini juga muncul dalam novel Millie Sang Idola saat Millie dirawat di rumah sakit karena demam berdarah. Seorang anak perempuan, Sarah Burton, menderita anoreksia, penyakit yang biasa dialami oleh remaja putri karena ingin terlihat langsing.

"Halo, adik manis! Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya perempuan itu. "Aku demam berdarah, kalau kamu?" tanya Millie. "Aku penderita anoreksia. Akbat aku selalu ingin diet dan tentu saja kurus.

Aku merasa kalau aku punya puppyfat!" katanya sambil menghela napas panjang. "Aku menyesal," ujarnya lagi. Millie menjadi simpatik.

"Anoreksia? Mengerikan sekali!" kata Millie. "Tapi, aku jauh lebih baik daripada anak yang diinfus," ujarnya. "By the way, namamu siapa?" tanya perempuan itu. "Aku Millie, kamu?" tanya Millie. "Sarah, Sarah Burton," jawabnya. (Alline, 2007:64).

Mitos kecantikan ideal yang muncul dalam tubuh langsing memang kerap muncul di antara

remaja puteri, khususnya mereka yang terlibat modeling. Tekanan untuk mendapatkan berat badan ringan dalam model-model fesyen telah melahirkan eating disorder yang tinggi di antara mereka. Pertentangan ekstrem terhadap kegemukan menurut Susie Orbach (dalam Carson, 2010:150) merupakan sebuah tindakan atas ketakutan atau penolakan untuk memenuhi objektivikasi seksual. Bulimia tampaknya adalah penyakit eating disorder yang dialami oleh rekan sesama model dari Sarah Burton, sebab dia sampai harus diinfus untuk pemulihan kesehatannya ('tapi, aku jau lebih baik daripada anak yang diinfus'). BRAIN DAN BEHAVIOUR UNTUK MENUNJANG KECANTIKAN?

Dunia model sering menekankan 3B dalam penilaian. 3B itu adalah brain, beauty, dan behaviour atau kecerdasan, kecantikan, dan perilaku. 3B ini pula yang diusung melalui tokoh Millie dalam novel Alline. Selain digambarkan sebagai model remaja yang cantik, Millie juga digambarkan sebagai seorang remaja yang memiliki kecerdasan di bidang drama dan musik, serta berperilaku yang baik dengan kemurah-hatiannya.

Dalam kegiatan Art Day di sekolahnya, tokoh Millie terpilih sebagai siswa yang akan menyanyi dalam acara drama, sementara teman-teman perempuan lainnya berkonsentrasi pada latihan baletnya. Drama dan balet sejatinya adalah penanda kecantikan lain, selain tubuh, dalam novel ini. Mari kita lihat dalam kutipan berikut.

Esoknya, setelah absen beberapa hari, Millie berlatih menyanyi untuk Art

Day. Untuk menjaga kualitas suaranya, Millie pantang pada minuman dingin yang bisa membuat suaranya serak. Magdalena begitu gembira. Dia memakai Toe Shoes-nya dan menari balet. Carol dan Otude juga berlatih memainkan alat musik. Hanata juga menjadi narator pada drama Perang Dunia ke- 2.

"Magdalena!" panggil Carol. "Kamu lentur! Belajar balet di mana?" tanya Carol.

"Di Tokyo Institute," jawab Magdalena. (Alline, 2007:307)

Page 47: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 323

Jamak ditemui dalam dunia modeling dan kontes-kontes kecantikan bahwa setiap model dipastikan memiliki talenta atau kecerdasan, selain kecantikan. Mereka umumnya digambarkan (atau dipaksakan?) memiliki kepandaian di bidang seni suara, seni tari, seni musik, atau seni peran. Kecerdasan seolah-olah menjadi penyokong dari kecantikan. Balet klasik, misalnya, kadang kala digunakan untuk menunjukkan pemujaan terhadap keanggunan (Carson, 2004:149). Seni balet sebagai penanda akan hegemoni kecantikan Barat bagi negara lainnya terlihat melalui tokoh Magdalena yang belajar balet di Tokyo Institute.

Penunjang kecantikan dalam dunia model juga ditemukan dalam perilaku (behaviour) yang baik dari tokoh Millie. Dalam novel Millie Sang Idola, diceritakan tokoh Millie menerima hadiah sebuah apartemen dari pemuja rahasianya, Pangeran Richard dan Puteri Luna. Untuk membalas kebaikan hati mereka, Millie menolak dibayar dalam pekerjaan sebagai presenter acara reality show yang ditawarkan mereka. Penyebaran ideologi brain, beauty, dan behaviour dalam jagat modeling tampak sekali terlihat dalam novel Millie Sang Idola karya Alline. Brain dan behaviour menyatu, mendukung beauty atau kecantikan. Tanpa brain dan behaviour, beauty tidak akan mencapai maknanya. Begitulah yang selalu didengungkan dalam dunia modeling. KOSMETIK DAN FESYEN UNTUK MEMELIHARA MITOS KECANTIKAN

Kecantikan a la Barat yang ditemui dalam novel Millie Sang Idola terpelihara dengan rapi melalui berbagai penanda. Kosmetika dan fesyen adalah produk-produk budaya yang dimanfaatkan untuk melestarikan mitos kecantikan yang ada. Lihatlah bagaimana Millie berusaha untuk selalu tampil cantik dengan berbagai riasan wajahnya. Atau, dengan fesyen pilihannya. Millie adalah gambaran perempuan dengan budaya konsumtif yang tak segan mengeluarkan banyak uang untuk memenuhi hasrat konsumtifnya.

"Sebentar lagi musim panas! Hei, hei! Ada koleksi baju Summer Edition!"

kata Katie. "Bagus, mana? Aku mau lihat!" seru Millie. Pintu di depan Millie terbuka. "Ini dia!" Kattie menunjuk pintu di depan Millie. JREEENGNGNG! Sinar oranye bersinar sangat terang. Millie memakai

kacamata hitamnya. Ia melihat baju yang keren. Baju tanpa lengan, celana tiga per empat, topi, tas jaring, dan semuanya oranye cerah dan pastel.

"Aku mau yang itu, Kattie!" kata Millie menunjuk baju pilihannya. "Oh, selera yang bagus, Millie." kata Kattie sambil menuju ruangan kecil

tempat menyimpan stok bajunya. Kattie memberikan sebuah kotak yang berisi satu set pakaian yang ia pilih, sun-block, kaca mata hitam, dan lain-lain.

"Berapa?" tanya Millie. "Lima ratus Corel," kata Kattie. "Ini!" Millie menyerahkan lima lembar uang seratusan Corel. (Alline,

2007:53)

Cerita Millie jelas merujuk pada budaya barat dengan adanya fesyen yang menyesuaikan musim. Untuk musim panas, misalnya, pakaian yang dipilih cenderung berwarna cerah dan sedikit terbuka. Meski 'corel' bukanlah mata uang yang sesungguhnya, namun secara semiotik dapat menunjukkan bahwa pemilik yang tersebut berasal dari kelas sosial tinggi sebab dia dengan enteng membayar harga yang diajukan oleh pemilik butik tempat dia membeli baju dan perlengkapan musim panas.

Kulit putih dan fesyen tak hanya sekedar menjadi pemenuhan secara fungsional, melainkan berkaitan dengan nilai sosial. Tubuh yang putih dan fesyen yang modis dapat menunjukkan hirarki sosial pemakainya. Frakenberg (dalam Prabasmoro, 2006:237) menyatakan bahwa supremasi ras kulit putih merupakan efek dari kolonialisme Barat. "Ras kulit putih" adalah nothing but everything atau

Page 48: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

324 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

'bukan apa-apa tetapi segalanya'. Ke-putih-an merupakan simbol konvensional dari kebersihan, kemurnian, dan peradaban.

Meski saat ini di Indonesia kiblat kecantikan sedikit bergeser ke konteks Asia Timur, namun kulit putih tetaplah dianggap sebagai sebuah keunggulan. Tidaklah mengherankan apabila saat ini produk kosmetik yang menjanjikan ke-putih-an masih banyak dijumpai, mulai dari sabun, pemutih wajah, deodorant, hingga hand body. Dalam produk-produk pemutihan itulah, perempuan khususnya, diajak untuk melihat dirinya yang akan datang (future self) (Prabasmoro, 2006:328).

Fesyen yang dipilih Millie mengganti penanda perempuan bagi perempuan (yang sesungguhnya) melalui sosoknya sebagai seorang model. Bahkan tubuh Millie pun bukan merupakan tubuh siapapun, namun menjadi pengganti dari tubuh model itu sendiri.

Beberapa minggu kemudian, majalah Candy Cup sudah terbit. Dan laris! Di

rumah, Millie kebanjiran surat. Sampai Violet capek. Banyak juga yang minta tanda tangan. Akirnya, Millie capek juga walaupun tetap senang. Di e-mail Millie, tapatnya di inbox, juga kebanjiran, sampai penuh. Nggak nyangka, ya? Fansku sebanyak ini! pikir Millie. (Alline, 2007:45).

Candy Cup adalah majalah yang memuat foto-foto pemotretan Milly, tentu saja dengan fesyen

yang beragam. Fesyen sekaligus merupakan gambaran akan sesuatu yang diimpikan atau diinginkan oleh pembaca majalah fesyen dan pemakainya. Fesyen menampilkan 'kesenangan yang diimpikan' dan memiliki fungsi ideologis sebagai pembentuk identitas perempuan, yang dibentuk untuk melayani laki-laki (Barthes dalam Thornham, 2000:175).

Produk kecantikan dan fesyen memiliki tiga aspek. Pertama, sebagai praktik kenikmatan feminin. Kedua, menunjukkan kekuasaan. Ketiga, hirarkis sosial. Millie mengenakan produk-produk kecantikan serta pilihan fesyennya sebagai bagian dari kenikmatan feminin yang layak untuk dia terima. Untuk kenikmatan ini, Millie tak segan mengeluarkan uangnya.

Produk kecantikan dan fesyen merupakan cara Millie untuk memperlihatkan kekuasaannya sebagai seorang model. Seperti yang dikatakan oleh Joanne Enstwistle (dalam Hollows, 2000:204), berpakaian demi kesuksesan memerlukan perilaku baru terhadap cara konsumsi pakaian. Millie, misalnya, selalu memilih baju-baju dengan desain terbaru untuk mempertegas dirinya yang berprofesi sebagai seorang model.

Cara merias diri dan berpakaian juga dapat menunjukkan hirarki sosial seseorang. Prabasmoro (2006:326) menyatakan ada permainan yang menarik antara tanda "alamiah" sebagai sesuatu "yang berbudaya" dan "tidak alamiah" sebagai sesuatu yang "tidak berbudaya". Dalam soal make up atau riasan, misalnya. Mereka yang berperhiasan dan make up minimal akan dinilai lebih 'alamiah' dan berbudaya daripada yang bermake up menor dan berperhiasan yang berlebihan. Mereka yang tampil lebih alamiah akan dinilai sebagai kelas atas.

Pendapat Prabasmoro di atas senada dengan apa yang terdapat dalam novel Millie Sang Idola. Seperti inilah cara Millie merias diri.

Hari ini Millie sangat senang. Hari ini, Art Day! Coba bayangkan! Betapa

senangnya Millie! Ia memakai gaun merah muda. Millie memakai make up sekadarnya. Tidak menor dan tidak menyolok. Cukup natural. Ia segera memakai sweater pink muda. Dia berputar. (Alline, 2007:71)

Dunia fesyen dan kosmetik saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Masyarakat dapat menemukan berbagai macam label produk garmen dan kosmetik, baik merk lokal maupun internasional. Apabila banyak perempuan mengidentifikasikan diri dengan produk-produk itu, melihat diri mereka sebagai future self, maka dapat dilihat dan dibayangkan, siapa yang akan

Page 49: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 325

meraup keuntungan di balik maraknya bisnis fesyen dan kosmetik itu: kaum kapitalis. Selain kuasa kapitalis, pemujaan terhadap kecantikan tak dapat dipisahkan dari kuasa patriarki

yang ada di belakangnya. Kekuatan kuasa patriarki ini tampak dalam adegan pementasan drama di acara Art Day, di sekolahnya Millie.

Tirai terbuka. Magdalena cs jinjit melompat. Anak kelas lima

mengantarkan tali. Mereka berputar dan memutar-mutarkan tali itu. Kecuali Magdalena. Ia duduk bersila di tengah. Ia berperan sebagai Princess Harmony. Magdalena bangkit dan menyentuh dadanya, seperti berharap.

Ceritanya, Magdalena hanya berakting. Yang menyanyi Millie. Millie keluar menuju panggung. Ia berdiri di pojok menggunakan mikrofon.

"I feel alone in the green forest. This forest, really frightening! I really confuse. I am a lonely girl, in the middle of the forest!"

Millie segera kembali ke belakang panggung. Ia meminum jahe hangat yang disediakan Mrs. Haron di termos kecil.

Waktu begitu cepat. Hingga saatnya Magdalena memainkan babak ke-2. Dan Millie juga harus menyanyi lagi.

"Oh, my Prince! Come to me! I am alone here. I can not crying, either sleep. I miss you, my moon, I wish, I could jump to Mars!" (Alline, 2007:73).

Ada beberapa hal yang menarik dari kutipan novel di atas. Pertama, pemilihan nama panggung

Magdalena sebagai Princess Harmony. Kedua, adegan kesendirian dan hopeless Magdalena. Harmony dalam bahasa Inggris memiliki makna 'keselarasan atau kesesuaian.' Ada penguatan nilai femininitas yang ditunjukkan melalui tokoh Magdalena, yang memuja dan merindukan kehadiran sang pangeran (my Princess, my moon) sehingga membuatnya ingin pergi ke Mars (I wish, I could jump to Mars!). Mars adalah bentuk simbolisisasi dari lelaki. Magdalena dengan demikian menyimbolkan dirinya sebagai Venus. Ketika Venus dibersamai oleh Mars, maka keharmonisan akan terjadi. Perempuan membutuhkan laki-laki. Laki-laki berkuasa untuk membebaskan perempuan dari misery atau kesengsaraan dalam dunia yang tak ubahnya seperti hutan belantara yang menakutkan (This forrest, really frightening!). Laki-laki adalah sang penolong bagi perempuan yang membutuhkan perlindungan darinya. Dalam hal inilah, pemujaan terhadap maskulinitas dalam jagat patriarki ditemukan dalam novel ini. PENUTUP

Novel Millie Sang Idola banyak berbicara tentang konstruksi kecantikan perempuan usia muda (remaja). Konstruksi kecantikan dalam novel itu mengacu pada konstruk kecantikan menurut Barat. Yang putih dan alami, dinilai memiliki keunggulan dan hirarkis sosial yang lebih tinggi. Yang senantiasa mengikuti perkembangan fesyen, dinilai sebagai mereka yang siap menjemput kesuksesan. Namun kadang kala, konstruksi kecantikan itu memberikan dampak negatif bagi para pemujanya. Novel ini juga bicara tentang dampak negatif pemujaan terhadap (mitos) kecantikan, mulai hilangnya kepercayaan diri hingga menderita anoreksia dan bulimia.

Meski secara keseluruhan novel ini mendukung dan menguatkan konstruksi mitos kecantikan Barat, ada satu bentuk resistensi terhadap mitos kecantikan itu sendiri. Resistensi terhadap mitos kecantikan ini disuarakan melalui Dr. Crismen, dari sudut pandang kesehatan fisik dan psikis. Saran dari Dr. Crismen kepada tokoh Millie ini agaknya penting bagi remaja-remaja putri (atau perempuan pada umumnya) yang terlalu memuja mitos kecantikan.

"Kamu sudah bertemu Sarah Burton?" Dr Crismen balik bertanya. "Ya dan tolong jawab, Dok!" "Anoreksia itu penyakit yang menakutkan," dokter itu mulai bercerita.

Page 50: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

326 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

"Dulu, kakaknya, Melanie juga dirawat di sini. Penyakit yang sama. Anoreksia! Anoreksia itu penyakit yang terjadi akibat kekurangan gizi, berat badan turun drastis, dan kekurangan cairan tubuh. Sebagian besar penderitanya adalah remaja. Biasanya. Pasiennya itu... Meraka yang merasa gendut, tidak cantik, dan ingin seperti model-model di majalah," jelas Dr. Crismen. Millie tertegun.

"Jadi, ini salah orang yang kurus?" tanya Millie. "Bukan. Justru mereka kurang percaya diri. Mereka harus terima apa

adanya fisik dan kemampuan. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan," tutur Dr. Crismen.

"Setuju!" seru Millie. (Alline, 2007:65) Yogyakarta, 30 September 2014

DAFTAR PUSTAKA Alline. 2007. Millie Sang Idola. Bandung: Dar! Mizan. Carson, Fiona. 2004. "Feminisme dan Tubuh" dalam Pengantar Memahami Feminisme dan

Postfeminisme diedit oleh Sarah Gamble (diterjemahkan dari The Routledge Companion to Feminisme and Postfeminism oleh Tim Penerjemah Jalasutra). Yogyakarta: Jalasutra.

Marshment, Margaret. 2010. "Perempuan Terpandang" dalam Tatapan Perempuan: Perempuan sebagai Penonton Budaya Populer (diterjemahkan dari The Female Gaze: Women as Viewers of Popular Culture oleh Ani Kurniasih). Yogyakarta: Jalasutra.

Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.

Thornham, Sue. 2000. Teori Feminis dan Cultural Studies: Tentang Relasi yang Belum Terselesaikan (diterjemahkan dari Feminist Theory and Cultural Studies: Stories of Unsetted Relations oleh Asma Bey Mahyuddin). Yogyakarta: Jalasutra.

Watkins, Susan Alice (et al). 2007. Feminisme untuk Pemula. Yogyakarta: Resist Book. Wolf, Naomi. 1997. Gegar Gender: Kekuasaan Perempuan Menjelang Abad 21 (diterjemahkan dari

Fire With Fire, The New Female Power and How it Will Change the 21st Century oleh Omi Intan Naomi). Yogyakarta: Pustaka Semesta Press.

Page 51: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 327

IPADAGOGI20 DALAM PRAKTIK: SEBUAH MODEL M-LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

Eric Kunto Aribowo

[email protected]

Abstract While mobile technologies such as mobile phones, personal digital assistants (PDAs), digital music players (mp3 players), and tablets have permeated popular culture, they have not found widespread acceptance as pedagogical tools in higher education. The purpose of this paper is to explore the use of iPad as mobile devices in learning in higher education and to provide examples of good pedagogy. We are sure that the examples of mobile learning found in this paper will provide the reader with the inspiration to teach their own subjects and courses in ways that employ mobile device in authentic and creative ways. The uses of iPad as mobile technologies are indicated relate mainly to administration functions such as calendaring and timetabling; presentation functions such as showing powerpoint, slideshow photos, and play the videos; reference functions such as e-books and dictionaries; annotation functions such as in response and feedback activities; and evaluation functions such as make score for assignments and submit the grade. So that, the benefits of m-learning can be gained, through collaborative, contextual, constructionist, and constructivist learning environments. Keywords: learning technology, m-learning, iPad

PENDAHULUAN

Inovasi pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam konteks aplikasi ilmu teknologi pembelajaran, khususnya yang berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan yang berdampak pada hasil pembelajaran yang lebih baik. Transformasi dalam hal teknologi pendidikan sebenarnya dapat kita rasakan secara nyata dalam satu dekade terakhir ini. Misalnya saja dalam rangka memantulkan atau memproyeksikan bahan atau materi –dalam usaha mempermudah penyampaian materi– pada transparansi digunakan OHP, yang kemudian digantikan oleh proyektor LCD yang dikombinasikan dengan komputer desktop atau laptop. Pemandangan semacam ini sudah lazim kita amati dalam proses pembelajaran di Indonesia, mulai dari tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi. Sayangnya, produk-produk inovatif lain seolah-olah kurang begitu diminati oleh para pengajar maupun pendidik yang sebenarnya dapat dijadikan alternatif sebuah integrasi teknologi dalam edukasi.

Hal ini menunjukkan bahwa revolusi teknologi pendidikan di Indonesia tidak semasif negara-negara Barat21. Sebagai buktinya, laptop masih mewarnai sebagian besar kelas. Produk elektronik lain seperti: radio, televisi, kamera, perekam video, pemutar musik, smartphone masih jarang dimanfaatkan dalam pembelajaran. Bahkan, pembelajaran berbasis e-learning pun masih dalam hitungan jari jika kita mengamati pada perguruan-perguruan tinggi di Indonesia22.

20 Merupakan istilah dari kombinasi “iPad” dan “pedagogi”. Sebagai catatan, semua merk dagang yang disebutkan dalam

tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempromosikan sebuah produk tertentu, melainkan untuk menunjukkan fungsi spesifik kegunaan yang dimiliki oleh masing-masing produk tersebut.

21 Bandingkan dengan Smaldino, dkk. (2011) yang telah menemui integrasi produk seperti: CD, DVD, PC, laptop, interactive whiteboard, multi-touch desk, palm, ponsel, video conference dengan menggunakan Skype dalam dunia pendidikan.

22 Model pembelajaran di Indonesia pada beberapa dasawarna terakhir ini masih berorientasi pada media seperti televisi dan radio (Miarso, 2004). Meskipun demikian, sumbangsi Bapak Teknologi Pendidikan ini dapat kita amati pada film serial ACI (Aku Cinta Indonesia), Program Bina Watak, dan Siaran Pendidikan Luar Sekolah yang merupakan hasil karya beliau. Penerapan teknologi berbasiskan komputer yang kemudian muncul beberapa tahun kemudian, misalnya pembelajaran interaktif melalui program Hot Pottatoes oleh Baso (2011); membuat soal dengan Articulate Quizemaker dan membuat multimedia dengan Adobe Flash CS5 sebagaimana dijelaskan Darmawan (2012).

Page 52: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

328 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Pentingnya adopsi teknologi dalam pembelajaran sebenarnya merupakan syarat mutlak bagi seorang pengajar sebagaimana ditegaskan oleh Koehler dan Mishra (2006; 2009; 2014). Mereka mengemukakan bahwa seorang pengajar dituntut untuk memiliki pengetahuan dalam tiga hal: pedagogis (pedagogic knowledge), konten atau materi (content knowledge), dan teknologi (technology knowledge). Ketiga pengetahuan ini menurutnya dapat bersinergi satu sama lain yang menghasilkan empat komponen. Pertama, Technological Content Knowledge (TCK) yang merujuk pada hubungan timbal balik antara teknologi dan konten. Hal ini mewujud dalam kapabilitas memunculkan materi melalui pemanfaatan teknologi. Kedua, Pedagogical Content Knowledge (PCK) yang merupakan pemahaman bagaimana topik, masalah, atau isu tertentu yang diorganisasi, dipresentasikan, dan diadaptasi sesuai dengan kemampuan dan ketertarikan pebelajar yang berbeda. Ketiga, Technological Pedagogical Knowledge (TCK) yang mengacu pada pengetahuan teknologi yang mampu menghasilkan praktik pedagogis yang spesifik. Keempat, Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) yang mengarah pada pengetahuan yang kompleks mengenai teknologi, pedagogi, dan konten yang memungkinkan pengajar untuk mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dan context-specific.

Dengan demikian, kerangka TPACK mengusulkan bahwa para pengajar harus memiliki pengetahuan yang dalam atas komponen-komponen pengetahuan yang tersebut di atas dalam rangka menyusun dan menyelaraskan teknologi, pedagogi, dan konten dalam pembelajaran.

Melalui tulisan sederhana ini, penulis mencoba untuk memberikan nuansa baru bagi para desainer dan pengembang pembelajaran inovatif yang berbasis TIK, terutama dalam menciptakan pembelajaran yang bersifat mobile learning (selanjutnya disebut m-learning). IPAD DALAM SUB-KELOMPOK MOBILE DEVICE: BEBERAPA KEUNTUNGAN

Perangkat mobile yang penulis tekankan pada tulisan ini adalah iPad yang tergolong dalam kategori tablet. Hal ini disebabkan karena perangkat ini merupakan produk baru dan belum diaplikasikan dalam dunia edukasi23. Selain itu, perangkat ini memiliki beberapa kelebihan dalam hal spesifikasi bentuk apabila dibandingkan dengan dua perangkat terdekatnya: smartphone dan laptop. (1) Limensi layar iPad lebih besar dari smartphone dan tidak lebih besar dari laptop. Ini menjadikan (2) beratnya lebih ringan dari laptop. (3) Jumlah aplikasi legal yang melimpah, baik gratis maupun berbayar dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan progam yang ada pada laptop.

Di samping itu, setidaknya penulis temukan sepuluh kelebihan iPad apabila dibandingkan dengan perangkat yang mayoritas digunakan pengajar di Indonesia saat ini, laptop. Pertama, dengan beratnya yang tidak lebih dari satu kilogram24 menjadikan iPad sebagai perangkat yang memiliki portabilitas tinggi. Meja bukan lagi objek yang dibutuhkan karena Anda dapat melakukan pengetikan di atas pangkuan Anda. Kedua, iPad tidak seperti laptop yang perlu dinyalakan (turn on) dan dimatikan (shut down) dengan perintah tertentu. Akan tetapi, iPad lebih mirip dengan smartphone yang selalu menyala (dalam posisi stand-by) tanpa perlu dimatikan. Ketiga, mengenai daya tahan baterai yang mampu bertahan selama lebih kurang 10 jam. Anda dapat menggunakannya selama mengajar tanpa merasa kuatir baterai Anda habis. Keempat, terintegrasinya jaringan WIFI dan seluler25, sehingga Anda tidak lagi membutuhkan modem apabila ingin terhubung secara daring. Kelima, iPad merupakan perangkat e-reader. Artinya, Anda dapat membaca buku-buku digital, artikel, maupun jurnal koleksi Anda tanpa harus mencetaknya ke dalam kertas. Dengan demikian, lebih bersifat ramah lingkungan. Keenam, perangkat ini merupakan perangkat tanpa kabel layaknya

23 Di Indonesia, teknologi masih jarang dikaitkan dengan dunia pendidikan, misalnya saja ketika penulis melakukan

penelusuran di toko buku yang terdekat, buku-buku yang berkaitan dengan iPad masih berada pada katalog “Komputer”, misalnya buku dari Jubilee Enterprise (2013) Aplikasi-Aplikasi Paling TOP untuk iPad & iPhone.

24 Versi iPad yang terberat adalah iPad 1st generation Wi-Fi + 3G seberat 1,6 lb (730 g), sedangkan versi paling ringan adalah iPad Mini 1st generation Wi-Fi dengan bobot 0,68 lb (310 g).

25 Berlaku bagi iPad dengan versi WIFI + 3G atau 4G.

Page 53: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 329

laptop (tetikus, pendingin laptop, harddisk eksternal, dan perangkat tambahan lainnya). Ini membuat Anda lebih menghemat waktu sebagai ganti waktu yang terbuang saat menyiapkan dan membenahi kabel-kabel Anda. Ketujuh, fail yang ada dalam iPad akan langsung terintegrasi di dalam aplikasi. Anda tidak perlu bingung saat mencari fail yang Anda butuhkan karena fail akan terorganisir berdasarkan aplikasi yang digunakan. Kedelapan, dukungan terhadap multimedia. Dalam konteks ini, iPad mampu memutar fail, baik gambar, suara, maupun video layaknya laptop. Letak perbedaannya terdapat pada buku-buku digital yang lebih interaktif karena dapat disisipi konten multimedia seperti foto, suara, bahkan video26. Kesembilan, iPad dilengkapi dengan dua mikrofon, dua speaker, dan dua kamera yang dapat digunakan untuk merekam suara, mengambil gambar, bahkan merekam video yang cukup bagus27. Kesepuluh, yang tak kalah penting adalah jumlahnya ribuan aplikasi28 yang beredar di iTunes, toko digital di mana kita dapat menambahkan aplikasi, membeli lagu dan video, mengunduh podcast (rekaman perkuliahan atau ceramah) secara gratis. Dengan jumlahnya aplikasi yang makin pesat, memberikan alternatif pilihan untuk tujuan mempermudah segala aktivitas keseharian kita, salah satunya dalam hal mengajar. IPAD DALAM M-LEARNING: SEBUAH MODEL PEMBELAJARAN ABAD KE-21

Kukulska-Hulme and Traxler (2005) yang merupakan pionir dalam m-learning, telah mempublikasikan buku informatif untuk para pendidik dan pelatih yang mengubah cara pandang terhadap m-learning29. Istilah m-learning merupakan bentuk baru dalam pembelajaran. Kukulska-Hulme and Traxler (2005: 1) membatasi m-learning berdasarkan perangkat yang memiliki “the possibilities opened up by portable, lightweight devices that are sometimes small enough to fit in a pocket or in the palm of one’s hand”. Contoh-contoh khusus yang tergolong dalam perangkat ini termasuk telepon genggam (ponsel maupun handphone), smartphone, palmtop, Personal Digital Assistant (PDA), PC tablet, komputer laptop, dan pemutar media personal. Perangkat-perangkat tersebut dapat digunakan untuk mempermudah dalam berkomunikasi dan berkolaborasi, serta mampu menciptakan aktivitas pembelajaran yang berbeda dari apa yang dapat dilakukan melalui media lain. Artinya, perangkat mobile seperti laptop, ponsel genggam dan smartphone dapat membuat pembelajaran menjadi portabel, spontan, personal, dan menarik.

Pemanfaatan iPad dalam edukasi sebenarnya bukan hal yang baru30. Salah satu fungsinya adalah mampu memproyeksikan (mirroring) apa yang ada dalam tampilan iPad melalui proyektor LCD sebagaimana disebut Murphy dan Williams (2011). Valstad (2010) dalam penelitiannya mengenai penggunaan TIK pada pendidikan dasar dan menengah di Norwegia menyarankan bahwa iPad tidak hanya sebatas test project, tetapi lebih dari itu. Penggunaan iPad dapat secara luas diterapkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah. Ini berarti bahwa iPad memang mampu memberikan kontribusi yang khusus dalam bidang edukasi, tidak hanya sebagai komiditi bisnis. Bahkan, iPad sudah mulai diaplikasikan dalam dunia pendidikan secara lebih inovatif seperti yang diungkap Beshorner dan Hutchison (2013). iPad digunakan dalam rangka membantu meningkatkan kemampuan literasi (membaca, menulis, mendengar, dan berbicara) di kalangan siswa sekolah dasar. Lebih lagi, menurut Department of Education and Early Childhood Development negara bagian Victoria, Australia

26 Bahkan Anda dapat menciptakan buku digital secara mandiri dengan menggunakan aplikasi Book Creator. 27 iPad generasi terbaru hadir dengan kamera berkekuatan 5 megapiksel dan kamera depan berkualitas HD. 28

Menurut data yang dilansir dari http://appshopper.com/ pada 25 September 2014 terdapat 636.145 aplikasi iPad. Jika dihitung menurut iPad generasi pertama dirilis pada 3 April 2010, maka rerata terdapat 388 aplikasi baru setiap harinya.

29 Diungkap oleh Fesher (2014) bahwa mobile learning dahulu lebih dipandang sebagai distance learning atau

pembelajaran jarak jauh yang dapat dilakukan tanpa adanya lokasi tertentu. 30 Harsha dan Kataria (2012) dalam bukunya Teaching with iPad How-To: Use Your iPad Creatively for Everyday Teaching

Tasks in Schools and Universities menyebutkan beberapa aplikasi yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran. Sayangnya, pembahasan yang dilakukan baru menjelaskan fungsi-fungsi mendasar seperti bagaimana membuat presentasi dan grafik, mengunduh buku teks, mempublikasi materi, memanfaatkan Google Search, dan bagaimana cara menghubungkan iPad dengan Apple TV.

Page 54: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

330 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

diberlakukan kebijakan pengadopsian iPad dalam rangka meningkatkan partisipasi siswa dalam ICT-learning31. Sebagaimana dikemukakan Cavanaugh, dkk. (2012) Uni Emirat Arab, pada April 2012 melalui Kepala Pendidikan Tinggi memutuskan kebijakan dalam pengadopsian iPad sebagai platform komputasi edukasional. Hal ini diberlakukan dalam rangka mengimplementasikan TPACK di dunia pendidikan. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Berikut penulis sampaikan fungsi-fungsi iPad yang dapat membantu pengajar dalam mengawal pembelajaran, mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga tahap penilaian. Ini merupakan best practice selama tiga tahun terakhir pengalaman penulis memanfaatkan iPad dalam pembelajaran bahasa. Adapun urutan tidaklah begitu penting karena fungsi-fungsi ini dapat dikreasikan semenarik mungkin.

(1) Persiapan dalam hal administrasi, khususnya mengenai penyusunan RPP atau SAP dan penjadwalan dalam dilakukan dengan menggunakan aplikasi PlanbookHD (Rp69ribu)32 . Pokok bahasan, kegiatan pembelajaran, tugas yang akan diberikan pun dapat dicatat pada aplikasi ini. Bahkan, dapat disesuaikan (dimundurkan atau diganti dengan jadwal lain) manakala Anda mendapatkan tugas ataupun memiliki kepentingan tertentu. Ini dapat berguna dalam menjaga dan mengatur kesesuaian SAP dan realisasi KBM. Aplikasi ini dapat pula terhubung dengan Dropbox, sehingga Anda akan memiliki data backup yang aman.

(2) Fungsi presensi dapat pula dilakukan melalui iPad dengan menggunakan aplikasi iTeacherBook33 (Rp59ribu). Aplikasi ini menawarkan beberapa opsi seperti: absent, late, excused, dan unknown. Bahkan rekapitulasi kehadiran dapat kita pantau setiap maha/siswa. Hal ini dapat mempermudah kita dalam mengetahui dan memantau tingkat (persentase) kehadiran di kelas. Hal ini dilakukan untuk menjaga kedisiplinan para maha/siswa.

(3) Fungsi inspirasi dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi TED yang menyuguhkan video berupa inspirasi dan temuan-temuan baru di seluruh dunia. TED merupakan portal digital yang menyediakan konten, baik animasi maupun ceramah tokoh-tokoh ahli di bidangnya. Misalnya ceramah Ramsey Musallam yang bertajuk 3 Rules to Spark Learning. Seorang guru kimia yang telah 30 tahun mengajar ini selama sepuluh tahun terakhir menerapkan “pseudo-teaching” yang berkeyaninan bahwa peran pendidik adalah “to cultivate curiosity”. Dengan penyampaian yang personal dan menarik, Musallam memberikan tiga aturan untuk menstimulasi pembelajaran: (1) curiosity comes first, (2) embrace the mess, (3) practice reflection. Dengan demikian, kita dapat menyalakan imajinasi mereka. Semua konten yang ada di aplikasi ini dapat diakses (diputar dan diunduh) secara gratis. Bahkan beberapa di antaranya dilengkapi subtitle (teks terjemahan) dalam bahasa Indonesia. Sebagai tambahan, karakter positif juga dapat dikembangkan dari kata-kata inspiratif yang dikutip dari Alquran melalui aplikasi iQuranHD (Rp23ribu) maupun Alkitab (melalui apikasi Lembaga Alkitab Indonesia, termasuk di dalamnya terjemahan dalam beberapa bahasa daerah). Aplikasi Kata Mutiara juga dapat digunakan sebagai alternatif pilihan lain. Aplikasi-aplikasi ini dapat menimbulkan imajinasi, kreativitas, dan motivasi di awal kegiatan pembelajaran.

(4) Fungsi presentasi tidak ubahnya fungsi pada laptop. Program yang sering Anda gunakan di laptop, Microsoft PowerPoint juga dapat Anda temui dalam bentuk aplikasinya (Microsoft PowerPoint for iPad). Apple, Inc. pun memiliki aplikasi Keynote (Rp119ribu) untuk menunjang fungsi presentasi. Bahkan, dengan kamera yang ada Anda dapat langsung mengambil gambar atau video dari kejadian yang baru saja Anda lewati yang dapat Anda jadikan topik bahasan dalam pembelajaran. Dapat pula dengan merekam demonstrasi atau peragaan yang dilakukan oleh maha/siswa yang kemudian dapat

31 Lebih lanjut baca Classroom Ideas for Learning with the iPad: Resouce Booklet for Schools. 32

Alternatif aplikasi lain adalah Lesson Planning (Rp45ribu). 33 Alternatif aplikasi lain seperti: Attendance! dan TeacherKit yang dapat diunduh secara gratis.

Page 55: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 331

ditayangkan ulang melalui aplikasi Photos. Hadirnya aplikasi Explain Everything (Rp35ribu) dan Final Argument (Rp59ribu) memungkinkan untuk memasukkan berbagai tipe fail yang berbeda seperti pdf, ppt, doc, dan lain sebagainya. Yang paling menarik adalah presentasi tersebut dapat direkam (screencast) yang kemudian dapat Anda export dalam format iBooks. Selain itu, dapat pula diunggah dan bagikan melalui portal You Tube.

(5) Fungsi diskusi dapat diterapkan dengan memanfaatkan aplikasi VLC Streaming video Media Player (Rp23ribu) untuk memutar video yang telah dimiliki atau diunduh sebelumnya. Koleksi rekaman pribadi Anda pun dapat ditayangkan melalui aplikasi ini karena aplikasi ini mendukung fail dengan format *.mp4, *.3gp, *.movie, *.mpeg, *.avi, dan lain sebagainya. Jikalau video belum didapatkan, dapat diakses secara daring melalui aplikasi YouTube dengan mengunduh beberapa video yang berisi percakapan atau dialog yang terjadi secara natural di masyarakat, misalnya percakapan di dalam bus, transaksi jual-beli di pasar, pidato tokoh-tokoh penting, yang berhubungan dengan kajian Sosiolinguistik maupun Pragmatik. Dengan ini, Anda dapat memberikan contoh yang sesuai pada pembahasan yang terkait campur kode dan alih kode; kesantunan berbahasa; atau register tertentu yang digunakan dalam profesi tertentu. Pemutaran video ini dapat pula dimanfaatkan sebagai studi kasus atas fenomena mutakhir kebahasaan yang sedang dibahas, misalnya ragam bahasa yang dilafalkan Vicky Prasetyo beberapa saat lalu yang menjadi perbincangan ramai di khalayak luas. Dengan demikian, muncul sikap kritis di kalangan maha/siswa dalam menanggapi kasus kebahasaan yang faktual dan aktual sedang terjadi. Sebagai bantuan dalam mengelola diskusi grup, dapat dilakukan penghitungan waktu mundur (layaknya kuis yang ada di acara televisi) dengan menggunakan aplikasi TimeKeeper for Presentation yang dimaksudkan agar pembelajaran semakin menarik.

(6) Fungsi referensi meliputi kegunaan iPad sebagai ebook reader (baik majalah, surat kabar, maupun buku), kamus digital, dan ilustrator organ tubuh yang terkait kebahasaan (otak dan oral). Koleksi dokumen Anda dalam format *.pdf dan *.epub dapat Anda baca dan tampilkan melalui iPad dengan menggunakan aplikasi iBooks. Bahkan, dengan aplikasi lokal Wayang Force Anda dapat membeli media massa digital seperti surat kabar (mulai dari Kompas, Bernas, Harian Jogja, Tribun News, dan lain sebagainya), majalah (Tempo, Gatra, Intisari, Times, Posmo, dan lain sebagainya), buku (buku karya sastra seperti Sukreni Gadis Bali, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Salah Asuhan, Ketika Cinta Bertasbih, Ayat-Ayat Cinta, Cinta dalam Kardus). Buku-buku digital ini dapat digunakan dalam memberikan contoh menganalisis kalimat yang terdapat dalam teks tersebut, menunjukkan perbedaan ragam atau gaya bahasanya, bahkan memperagakan bagaimana menganalisis sastra atau kritik sastra atas karya sastra yang dipilih. Jadi, materi pembelajaran akan semakin luas cakupannya dan up to date, tanpa perlu mengharuskan maha/siswa memiliki atau meminnjam satu per satu sumber belajar yang dibutuhkan. Kamus bahasa Indonesia juga dapat diakses secara gratis melalui aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Aplikasi ini dapat menolong Anda dalam menemukan kata-kata atau istilah tertentu yang belum Anda ketahui maknanya. Anda tidak perlu lagi membawa KBBI yang tebal dengan bobot yang lumayan berat. Selain itu, dengan aplikasi 3D Brain otak dan bagian-bagiannya (seperti cerebelum, lobus temporal, pangkal otak) dapat diproyeksikan secara virtual dan dapat dilihat secara 360 derajat. Info tambahan seperti gangguan yang terjadi pada bagian otak tertentu dilengkapi dengan hasil penelitian mutakhir menjadikan aplikasi ini lebih lengkap34. Dalam bidang Fonetik, dengan adanya aplikasi IPA Phonetics juga sangat membantu dalam menjelaskan proses produksi bunyi. Tanpa adanya laboratorium bahasa misalnya, aplikasi ini dirasa cukup banyak membantu karena dilengkapi pula dengan rekaman video bagaimana proses bunyi dihasilkan (tampak jelas perubahan organ produksi bunyi seperti: gigi, lidah, pita suara). Bunyi yang dihasilkan

34

Misalnya kerusakan pada area Wernicke akan mengakibatkan gangguan dalam fungsi pemahaman bahasa (language comprehension) yang menurut penelitian Stephane (2011) menyebabkan timbulkan halusinasi verbal pada pasien.

Page 56: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

332 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

dari aplikasi ini adalah bunyi yang sama, sehingga maha/siswa dapat menirukan bunyi tersebut dengan tepat. Dengan demikian, pembelajaran menjadi lebih autentik bagi maha/siswa.

(7) Fungsi kreasi dapat dihadirkan khususnya dalam hal musik dengan memanfaatkan aplikasi GarageBand (Rp59ribu) atau Virtual Javanese Gamelan dalam kaitannya dengan apresiasi sastra. Musikalisasi puisi dapat berlangsung di kelas tanpa harus membawa alat musik karena aplikasi GarageBand dapat memproduksi bunyi-bunyi alat musik seperti gitar, keyboard, bas, biola, dan drum. Adapun aplikasi Virtual Javanese Gamelan juga mampu menirukan suara gamelan seperti: kendhang, gong, kenong, kethuk dan kempyang, bonang barung, bonang penerus, peking, saron, demung, slenthem, bahkan gender. Dengan demikian, diharapkan menumbuhkan sikap peduli terhadap kultur atau budaya masyarakat sekitar.

(8) Fungsi notulensi dapat dilakukan dengan menggunakan aplikasi Evernote35. Aplikasi ini dapat memfasilitasi Anda dalam membuat catatan, misalnya untuk merekan aktivitas dan hasil karya mahasiswa. Catatan yang dibuat dapat pula ditambahkan foto dan rekaman suara. Ini dilakukan agar Anda dapat memantau dan mencatat setiap aktivitas maha/siswa supaya tidak terlewatkan. Anda pun dapat membagikannya kepada yang lain melalui surat elektronik maupun media sosial seperti Facebook.

(9) Fungsi konklusi bisa dipermudah dengan hadirnya aplikasi MindMeister. Aplikasi ini dapat membantu Anda dalam memproduksi mindmap atas materi yang diajarkan, sehingga dapat digunakan untuk mereviu materi. Kegiatan ini biasanya penulis lakukan bersama-sama maha/siswa di akhir pembelajaran dengan tujuan untuk mengulang materi yang telah dibahas. Metode lain yang bisa diterapkan adalah dengan menampilkan kartu flash (flashcard) yang berisi pertanyaan singkat yang telah Anda siapkan sebelumnya berkaitan tentang pokok bahasan yang diberikan. Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian dapat Anda lemparkan ke maha/siswa layaknya sebuah cerdas cermat. Aplikasi Flash Study (Rp12ribu) dapat membantu Anda dalam memenuhi aktivitas ini.

(10) Fungsi anotasi36 dapat dikerjakan dengan aplikasi Adobe Reader. Fail dengan format pdf dapat Anda bubuhkan warna tertentu untuk menandai, memberi garis bawah, komentar, bahkan Anda dapat menulis secara bebas dengan usapan tangan Anda (untuk membubuhkan tanda tangan misalnya). Ini dapat dimanfaatkan dalam memberikan feedback atas pekerjaan maha/siswa yang telah dikumpulkan melalui surat elektronik dengan fail berformat pdf. Nantinya, fail yang telah diberi anotasi ini dapat dipergunakan untuk menjelaskan kepada maha/siswa sebagai koreksi atas kesalahan yang terjadi pada pertemuan berikutnya.

(11) Fungsi produksi dalam hal ini dikaitkan dalam pembuatan soal untuk evaluasi pembelajaran. Test Producer (Rp119ribu) dapat memberikan pilihan jenis soal mulai dari: pilihan ganda, benar atau salah, esai, mengisi kolom kosong, atau menjodohkan. Pilihan tersebut juga dapat dikombinasikan satu sama lain dalam tes yang sama. Dengan adanya tambahan fitur shuffle, membuat Anda tidak perlu repot apabila ingin mengacak soal yang telah dibuat apabila ingin mendapatkan variasi soal (membuat berbagai macam kode soal berbeda). Selain itu, aplikasi ini juga mendukung sisipan gambar, fungsi bold dan italic dalam penulisan naskah. Artinya, aplikasi ini dapat menghemat waktu Anda dalam membuat soal. Dengan demikian, pembuatan soal yang biasanya menguras waktu dapat dilakukan dengan lebih efisien, sehingga kuis ataupun tes dapat Anda berikan sesering mungkin sebagai latihan.

(12) Fungsi informasi merupakan kombinasi antara aplikasi media sosial dengan layanan awan. Komputasi awan dapat dimanfaatkan dalam menyimpan data seperti materi perkuliahan, jurnal, atau artikel yang relevan dengan topik pembahasan tertentu yang akan dibagikan melalui media sosial hanya dengan memberikan tautan fail tersebut. Semua tipe fail dapat Anda bagikan tanpa melalui

35 Alternatif aplikasi lain yang sejenis antara lain: Notability (Rp35ribu), Day One (Rp59ribu), atau Noteshelf (Rp69ribu). 36

Catatan yang dibuat oleh pengarang atau orang lain untuk menerangkan, mengomentari, atau mengkritik teks karya sastra atau bahan tertulis lain.

Page 57: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 333

cara konvensional (flashdisk) karena Anda hanya tinggal membagikan tautannya melalui Facebook, sehingga masing-masing maha/siswa memiliki akses yang lebih mudah (kapan pun dan dari perangkat apapun –laptop ataupun smartphone mereka) dalam mengunduh materi. Dengan demikian, pembelajaran dapat dilakukan dengan lebih efektif tanpa menunggu cetakan atau kopi materi. Layanan Dropbox dan Google Drive dapat diunduh secara gratis dan diberikan kapasitas penyimpanan sebesar 5gb37. Adapun untuk menyebarluaskan informasi dapat digunakan media sosial seperti: Facebook dan Twitter. Selain itu, Facebook dapat pula dimanfaatkan sebagai sarana atau loker pengumpulan tugas yang Anda berikan dengan bentuk yang lebih kreatif (catatan, rekaman suara, foto, dan video berdurasi pendek) dalam menghasilkan karyanya. Lebih lagi, Anda dapat menjadikan Facebook sebagai “Wall of Fame” dari karya-karya terbaik maha/siswa sebagai penghargaan atas kerja keras mereka.

(13) Fungsi evaluasi berhubungan dalam hal penilaian. Aplikasi yang direkomendasikan penulis adalah Addatio-Teacher gradebook. Aplikasi ini mampu membantu Anda dalam merekam penilaian, baik nilai keaktifan, tugas, ujian, maupun dalam bentuk penilaian lain. Format penilaiannya pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengajar, misalnya dengan sebutan: Amat Baik, Baik, Cukup, atau Kurang. Anda bahkan dapat memberikan ikon-ikon tertentu (membedakan tugas yang sudah dikumpulkan, belum dikumpulkan, atau terlambat dikumpulkan) untuk menandai hasil dari kerjaan maha/siswa. Nilai akhir pun dapat diketahui kapan pun dan dengan sangat mudah dengan cara memasukkan formula (layaknya program Microsoft Excel) dalam isian kolom yang telah disediakan. Lebih dari itu, hasil evaluasi pembelajaran (rapor atau hasil studi) langsung dapat dikirimkan ke individu masing-masing (atau kepada orang yang berhak –orang tua atau wali misalnya) melalui surat elektronik, lengkap dengan keseluruhan nilai maha/siswa yang didapatkan. Rekapitulasi nilai yang biasanya dilakukan di akhir semester, kini dapat Anda lakukan ketika maha/siswa mengumpulkan tugasnya. Tugas yang belum dituntaskan dapat diketahui dan diinformasikan lebih awal kepada mahasiswa tanpa menunggu hingga akhir semester. Informasi ini juga dapat memberikan gambaran secara langsung kepada Anda dalam mengamati kemajuan yang diraih oleh maha/siswa.

Itulah fungsi-fungsi iPad yang dapat dimanfaatkan dalam meningkatkan pembelajaran dalam pendidikan (tinggi). Sebagaimana ditunjukkan bahwa terdapat beberapa fungsi laptop yang dapat dilakukan dengan menggunakan iPad. Bahkan ada beberapa hal yang dapat dilakukan dengan lebih mudah dengan menggunakan iPad. Tentunya, untuk mengetahui lebih jauh mengenai keefektifan dan tingkat efisiensi penggunaan iPad dalam pembelajaran perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Sebagai catatan akhir, penulis sampaikan beberapa hal yang tentunya dapat dianggap sebagai kendala dalam penerapan perangkat ini dalam dunia pendidikan. Pertama, iPad dibanderol dengan harga yang cukup mahal (antara Rp3.750.000,00—Rp9.950.000,00) apabila dibandingkan dengan tablet merk lain. Akan tetapi, keberagaman aplikasi yang ada merupakan keuntungan khusus yang tidak Anda dapatkan di OS lain (Android atau BlackBerryOS misalnya). Kedua, hadirnya ribuan aplikasi yang ada menuntut pengguna untuk lebih hati-hati dan bijaksana dalam mengunduh atau membeli aplikasi karena ditemui banyak aplikasi dengan yang dapat menjalankan fungsi yang sama. Selain itu, butuh beberapa waktu dalam mengenal aplikasi karena setiap aplikasi memiliki ciri khas tertentu dalam opsi atau perintah yang digunakan. Ketiga, dirasa masih perlu penambahan pengeras suara guna mendukung layanan multimedia (audio visual) di dalam kelas. Keempat, mayoritas bahasa yang digunakan (baik dalam iPad maupun aplikasi pihak ketiga) adalah bahasa Inggris. Untuk beberapa pengajar, hal ini mungkin menjadi kendala saat mengoperasikannya.

37

Jikalau instansi Anda bekerja sama dengan perusahaan multinasional Google Inc. Anda akan mendapatkan kapasitas ekstra hingga 30gb.

Page 58: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

334 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

PENUTUP Dalam pandangan saya, iPad bukanlah lagi digolongkan ke dalam media pembelajaran seperti

yang didefinisikan oleh Anitah (2009: 5) sebagai “segala sesuatu yang digunakan untuk membawakan pesan untuk suatu tujuan pembelajaran”. Fungsi iPad dapat diibaratkan sebagai “asisten” yang mengawal pengajar dari pra-pembelajaran hingga paska-pembelajaran.

Beberapa ilustrasi di atas merupakan gambaran kecil dari adopsi produk mobile device, khususnya iPad dalam proses KBM di dunia pendidikan tinggi –yang tentu saja dapat diadopsikan pula di pendidikan menengah maupun dasar. Poin pentingnya adalah segala produk teknologi yang ada dalam cakupan TIK sudah selayaknya diaplikasikan sebagai produk yang memiliki nilai guna yang tinggi, bukan hanya sekedar produk dalam tujuan bisnis. Dengan demikian, akan semakin banyak bermunculan inovasi-inovasi kreatif di berbagai sisi kehidupan, khususnya dunia pendidikan.

Meskipun semakin pesat laju teknologi belakangan ini, secanggih apapun produk teknologi yang dihasilkan oleh para teknolog tidak akan mampu menggantikan posisi pengajar dan pendidik sebagai sumber belajar yang paling baik dan ampuh, terutama dalam hal-hal yang irasional, manusia lebih unggul dalam menyelesaikan masalah. Akan tetapi, yang perlu disadari adalah “pengajar yang tidak memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran, cepat atau lambat akan tergantikan oleh para pengajar yang secara inovatif dan kreatif mau mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran”.

DAFTAR PUSTAKA Anitah, Sri. 2009. Media Pembelajaran. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 FKIP UNS

Surakarta. Baso, Yusring Sanusi. 2011. Cara Mudah Membuat Latihan Interaktif Pembelajaran Bahasa. Malang:

Misykat. Beshorner, B. dan A. Hutchitson. 2013. “iPads as A Literacy Teaching Tool in Early Childhood”. Dalam

International Journal of Education in Mathematics, Science, and Technology, 1 (1). hal. 16—14. Cavanaugh, Cathy, Jane Hargis, Stephen Munns, dan Tayeb Kamali. 2012. “iCelebrate Teaching and

Learning: Sharing the iPad Experience”. Dalam Journal of Teaching and Learning with Technology, Vol. 1, No. 2, December 2012. hal. 1—12.

Darmawan, Deni. 2012. Inovasi Pendidikan: Pendekatan Praktik Teknologi Multimedia dan Pembelajaran Online. Bandung: Rosda.

Department of Education and Early Childhood Development. 2011. Classroom Ideas for Learning with the iPad: Resouce Booklet for Schools. Melbourne: State of Victoria (Department of Education and Early Childhood Development).

Feser, John. 2014. “mLearning Is Not e-Learning on a Mobile Device”. Dalam Chad Udel dan Gary Woodill (Eds.) Mastering Mobile Learning: Tips and Techniques for Success. New Jersey: John & Wiley.

Harsha, Shubhangi dan Sumit Kataria. 2012. Teaching with iPad How-To: Use Your iPad Creatively for Everyday Teaching Tasks in Schools and Universities. Birmingham dan Mumbai: Packt Publishing.

Jubilee Enterprise. 2013. Aplikasi-Aplikasi Paling TOP untuk iPad & iPhone. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Koehler, M.J. dan Punya Mishra. 2009. “What Is Technological Pedagogical Content Knowledge?”. Dalam Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 9(1). hal. 60—70.

Koehler, Mattew J., Punya Mishra, Kristen Kereluik, Tae Seob Shin, dan Charles R. Graham. 2014. “The Technological Pedagogical Content Knowledge Framework”. Dalam J.M. Spector et, al. (Eds.) Handbook of Research on Educational Communication Technology. New York: Springer.

Kukulska-Hulma, Agnes dan John Taxler (Eds.). 2005. Mobile Learning: A Handbook for Educators and Trainers. London dan New York: Routledge.

Miarso, Yusufhadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Kencana.

Page 59: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 335

Mishra, Punya dan Mattew J. Koehler. 2006. “Technological Pedagogical Content Knowledge: A Framework for Teacher Knowledge”. Dalam Teacher College Record, Volume 108, Number 6, June 2006. Columbia: Teacher College, Columbia University. hal. 1017—1054.

Murphy, Thomas dan Christopher Williams. 2011. “The iPad as a Class Presentation Platform”. Makalah pada ASEE Southeast Section Conference, 26—29 Juni 2011 di Vancouver, BC, Canada.

Smaldino, Sharon E., Deborah L. Lowther, dan James D. Russel. 2011. Instructional Technology and Media for Learning. Tenth Edition. Boston: Pearson.

Valstad, Henrik. 2010. “iPad as A Pedagogical Device”. Laporan Penelitian. Norwegia: Norwegian University of Science and Technology.

Woodill, Gary. 2011. The Mobile Learning Edge: Tools and Techniques for Developing your Teams. New York: McGraw-Hill.

Page 60: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

336 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

LAMPIRAN 1: BEBERAPA CONTOH INTEGRASI IPAD DALAM M-LEARNING

1. Fungsi Administrasi

2. Fungsi Presensi

3. Fungsi Inspirasi

4. Fungsi Presentasi

5. Fungsi Diskusi

6. Fungsi Referensi

Page 61: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 337

7. Fungsi Kreasi

8. Fungsi Notulensi

9. Fungsi Konklusi

10. Fungsi Anotasi

11. Fungsi Produksi

12. Fungsi Informasi

Page 62: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

338 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

13. Fungsi Evaluasi

Page 63: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 339

NOVEL-NOVEL KARYA KORRIE LAYUN RAMPAN SEBAGAI PEMBANGUN IDENTITAS PEREMPUAN INDONESIA

Erna Wahyuni

(Dosen PBSID Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara) [email protected]

Abstract

Korrie Layun Rampan, in his three novels, Api Awan Asap, Bunga, and Upacara has already successful recorded issues or phenomenon about women at society. With the representation of that issues, the novels can represented image of women. Image of women at that three Korrie Layun Rampan novels analized by feminist literary criticism. The result of this research indicated that image of women at that three novels consist of self image of women and social image of women that influence of patriarchal ideology and gender awareness appearance that believe of women and men refer to women. Women as the second class that occupy position as complement or men object balanced with representation of women as subject in life, that is be able to have a role and bring benefit for the sake of society. With his three novels, Korrie layun Rampan forwarded Indonesian women identity with more positive image. Keywords: image of women, feminist literary criticism, Indonesian women identity

PENGANTAR

Karya sastra merupakan produk sosial budaya yang mencerminkan kehidupan serta perkembangan masyarakat. Isu-isu sosial kemanusiaan terdapat di dalamnya, termasuk isu tentang perempuan38. Isu tentang perempuan dapat dihadirkan melalui citra39 perempuan. Citra perempuan di dalam karya sastra Indonesia sudah mulai ditampilkan sejak terbitnya sebuah novel pada tahun 1920, yaitu Azab dan Sengsara karangan Merari Siregar. Mariamin, tokoh perempuan di dalam novel tersebut, bersedia menikah dengan Kasibun, seorang lelaki yang berhasil mempengaruhi dan memperalat ibu Mariamin agar Mariamin bersedia menikah dengannya. Atas bujukan ibunya, Mariamin akhirnya bersedia menikah dengan Kasibun meskipun Kasibun berwajah buruk, ditambah perilaku yang juga buruk, yaitu suka mabuk-mabukan, melacur, dan sering menyiksa.

Selanjutnya, Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli yang terbit tahun 1922 juga menggambarkan kesediaan tokoh perempuan, Sitti Nurbaya, menikah dengan Datuk Maringgih. Apabila ia menolak lamaran yang diajukan kepadanya, berarti ia menjebloskan ayahnya ke penjara. Faruk (2006:38-39) menyebut sikap Mariamin dan Sitti Nurbaya tersebut sebagai ketaklukan kepada patriarki 40 disebabkan kepintaran tokoh lelaki menaklukkan hati tokoh perempuannya.

Citra perempuan dalam karya sastra Indonesia kemudian mulai mengalami perubahan dengan terbitnya Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana melalui hadirnya seorang tokoh perempuan, Tuti, yang aktif dalam kegiatan organisasi dan memiliki cita-cita untuk memajukan kaum perempuan. Keberadaan Tuti merupakan perwujudan kesadaran perempuan mengambil bentuk kegiatan yang pada zamannya tidak lazim dikaitkan dengan keperempuanan, yaitu berorganisasi, mengingat posisi tradisional perempuan pada saat itu adalah di dalam lingkup keluarga sehingga

38

Kata perempuan yang digunakan dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menunjuk suatu entitas yang berbeda dengan laki-laki atau sama dengan kata wanita.

39 Citra adalah gambaran angan-angan, gambar-gambar dalam pikiran yang dihasilkan terhadap sebuah objek yang dapat

dihubungkan dengan pengalaman inderaan atas objek-objek tersebut (Pradopo, 2005:78-80). Chaplin (1968:239) juga menyebutkan bahwa citra merupakan gambaran, kesan, atau bayang-bayang; satu pengalaman sentral atau yang disadari, yang mirip dengan pengalaman sensoris, akan tetapi sifatnya kurang hidup dan dianggap muncul dari ingatan. Citra secara singkat dapat diartikan sebagai respons visual terhadap karya sastra (Fowler, 1987:119).

40 Ruthven (1990:1) mengartikan patriarki sebagai suatu sistem yang memungkinkan laki-laki untuk mendominasi

perempuan dalam berbagai relasi sosial.

Page 64: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

340 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

membatasi langkah perempuan untuk mengembangkan dirinya. Akan tetapi, perubahan citra perempuan domestik ke ruang publik tersebut masih disertai dengan keberadaan tokoh perempuan lain, yaitu Maria, yang hadir dengan membawa stereotipe41 umum perempuan yang suka bersolek dan bersifat melankolik. Pelekatan sifat pada tokoh Maria itu ternyata membuat tokoh laki-laki yang bernama Yusuf, sebagai representasi laki-laki di Indonesia tertarik, bukan kepada Tuti yang merupakan aktivis perempuan.

Pada perkembangannya, citra perempuan yang direpresentasikan atau dihadirkan kembali pada tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia memperlihatkan bahwa perempuan masih sangat lekat dengan keindahan, kelembutan, serta penderitaan (Hwia, 2008:322-323). Dengan kata lain, perempuan lebih banyak dikonstruksi sebagai manusia yang masih didominasi oleh norma-norma patriarki sehingga citra perempuan adalah sebagai pelengkap laki-laki (Hellwig, 1994)42. Hal ini sesuai dengan pernyataan Newton (1988:266) bahwa kebanyakan karya sastra pada kenyataannya memberikan gambaran tertentu atau stereotipe umum mengenai perempuan yang selalu diulang-ulang, yaitu perempuan sebagai pelayan yang menimbulkan ketertarikan laki-laki.

Fenomena mengenai perempuan dalam karya sastra yang telah dikemukakan di atas merupakan refleksi dari masyarakat yang cenderung menempatkan perempuan secara sosial dan kultural berbeda dengan laki-laki atau yang biasa disebut dengan istilah gender. Gender merupakan sebuah konsep yang berasal dari ekspresi atau persepsi masyarakat dalam merepresentasikan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi melalui ajaran agama, adat, maupun negara, yang melalui proses panjang telah membudaya di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Endang dalam Parawansa, 2006:xxvii-xxx). Sementara, perbincangan masalah gender seringkali menimbulkan suasana yang kurang nyaman, bahkan terkesan konfrontatif karena gender dianggap identik dengan perempuan sehingga dapat merugikan kaum perempuan.

Sebenarnya, gender adalah masalah bersama perempuan dan laki-laki karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik di dalam ranah publik maupun di dalam ranah domestik (Sumbulah dalam Febriasih:ix). Dengan demikian, diperlukan kepekaan dalam menyikapi fenomena-fenomena mengenai perempuan dalam karya sastra, mengingat konsep gender yang ditujukan kepada perempuan dan laki-laki itu masih terus berlangsung dalam tradisi sastra Indonesia.

Beberapa novel KLR yang dieksplorasi dalam penelitian ini terdiri atas tiga judul, yaitu Api Awan Asap, Bunga, dan Upacara. Ketiga novel tersebut, dua diantaranya, yaitu Api Awan Asap dan Upacara yang telah meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1976 dan 1998.

Novel Api Awan Asap bercerita tentang seorang perempuan bernama Nori yang kehilangan suaminya, Jue, selama duapuluh tahun. Jue hilang sebulan setelah pesta pernikahannya dilangsungkan dengan Nori. Selama duapuluh tahun itu, Nori sebagai seorang istri merelakan sebagian masa hidupnya menanti kedatangan suaminya kembali, walaupun ia sendiri merasa tidak yakin apakah suaminya masih dalam keadaan hidup atau telah tiada. Penantiannya itu didedikasikan sebagai wujud kesetiaan seorang perempuan sebagai istri kepada suaminya. Sebenarnya, telah banyak laki-laki yang datang melamar untuk menjadikannya istri, tetapi Nori tetap pada pendiriannya karena ia merasa masih terikat perkawinan dengan suaminya.

Di antara banyaknya lelaki yang ingin memperistri Nori, salah satunya bernama Sakatn. Sakatn adalah teman Nori dan Jue semenjak kecil. Sejak lama Sakatn menaruh hati kepada Nori, akan tetapi

41 Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam hubungannya dengan

perempuan, stereotipe dipandang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, stereotipe perempuan sebagai pelayan suami akhirnya berakibat pada penomorduaan pendidikan perempuan (Fakih, 2007:16-17).

42 Tineke Hellwig pada tahun 1994 meneliti 25 novel ditambah 3 cerpen Indonesia yang terbit sejak tahun 1937 sampai 1986. Dari hasil penelitiannya, terungkap bahwa kebanyakan pengarang laki-laki masih menganggap feminitas sebagai sesuatu yang ideal bagi perempuan.

Page 65: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 341

karena Jue, sahabatnya, lebih dahulu melamar Nori dan Nori menerima lamaran tersebut maka Sakatn mengalah demi persahabatan mereka bertiga. Akhirnya, setelah Jue hilang di dalam sebuah gua ketika sedang mencari sarang burung walet dan menyebabkan Nori menjadi janda, barulah Sakatn dengan gigih berusaha meminang Nori.

“Ya, dengan ketulusan. Jika mula-mulanya tak ada cinta, semoga ada sayang. Jikapun tak ada sayang, kemungkinan ada kasih. Jikapun semuanya tak ada, kuharap mudah-mudahan ada belas kasihan.” “Jika semuanya tak ada?” “Di dalam hati wanita43 selalu ada. Dik Nori ‘kan wanita?” “Memangnya kenapa kalau aku wanita?” “Biasanya wanita berhati lembut. Hati wanita penuh penerimaan yang didasari belas kasihan. Nori dapat belajar bagaimana mencintai seseorang yang mungkin tidak dicintai, nanti setelah aku jadi suamimu.” “Suami? Aku merasa aku masih mempunyai suami.” “Merasa? Padahal kenyataannya tidak?” Tidak…?” (Api Awan Asap, hlm.21).

Sementara itu, novel Bunga juga mengisahkan penantian seorang perempuan bernama Bunga

akan kedatangan calon suaminya, Prasetya, pada upacara pernikahannya. Pada detik-detik menjelang waktu yang ditentukan untuk melangsungkan prosesi pernikahan, Prasetya sebagai mempelai laki-laki belum juga datang. Meskipun orang tuanya telah menawarkan beberapa calon suami pengganti, Bunga menolaknya karena terikat oleh kesetiaan yang dijanjikan oleh Prasetya juga kesetiaan yang ada dalam dirinya. Selain itu, Bunga juga masih menampilkan pemikiran patriarki yang biasa ditemukan pada karya-karya sastra Indonesia sebelumnya, seperti yang tampak pada kutipan berikut.

“Sebagai anak wanita, seharusnya aku berkata, ‘Kamu di dapur saja Nga’.” “…..Bunga dapat menggunakan biaya yang ada. Semuanya tinggal mengolah. Akan tetapi sekiranya bisa, Ayah ingin Bunga disini saja, di dekat ayah dan ibumu. Meskipun misalnya kau tidak sampai sarjana, sebagaimana ketiga kakakmu.” (Bunga, hlm.66). Novel karya KLR yang lain, yaitu Upacara, juga menggambarkan penantian seorang gadis yang

bernama Ifing terhadap sosok seorang pemuda yang akan dipilihnya menjadi suami. Iapun rela menantikan cinta pemuda yang bernama Aku meskipun si Aku telah beberapa kali menjalin cinta dengan beberapa gadis lain dan selalu gagal menuju pernikahan. Meski telah berulang kali dipinang oleh lelaki lain, Ifing menolak dengan alasan tidak adanya perasaan cinta kepada orang-orang yang meminangnya. Pada novel Upacara, terlihat pula adanya isu tentang perempuan-perempuan yang dijadikan istri tetapi pada akhirnya ditelantarkan oleh suami-suami mereka.

“Yang menyakitkan, anakku ditinggal begitu saja tanpa bekal. Suaminya pergi menghilir dengan rakit. Hilang tak pernah kembali.” “Kawinkan saja kalau ada pemuda yang memintanya,”…. “Siapa yang mau melamar? Gadis-gadis saja banyak. Sedangkan anak saya sudah dirusak,….(Upacara, hlm.80-81).

43

Istilah wanita dianggap merupakan padanan istilah perempuan dalam penelitian ini. KLR menggunakan diksi wanita pada ketiga novelnya.

Page 66: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

342 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Kutipan-kutipan di atas menunjukkan pencitraan terhadap perempuan, salah satunya perempuan haruslah setia kepada laki-laki dalam kondisi dan situasi apapun. Di samping itu, terdapat pula isu-isu penting mengenai perempuan yang disampaikan KLR pada ketiga novelnya.

Berangkat dari uraian yang telah dikemukakan di atas, masalah penelitian ini adalah citra perempuan pada tiga novel karya KLR, yaitu novel Api Awan Asap, novel Bunga, dan novel Upacara. Seperti yang telah dikemukakan di awal tulisan, citra didefinisikan sebagai respons visual terhadap karya sastra (Fowler, 1987:119). Sementara itu, dalam perspektif feminisme, citra adalah konsep kekuatan dan identitas perempuan (Humm, 2007:217).

KRITIK SASTRA FEMINIS

Ketiga novel KLR dieksplorasi dengan tinjauan kritik sastra feminis (feminist literary criticism). Ketiga novel tersebut dipandang bermuatan atau memenuhi prinsip-prinsip karya yang berperspektif feminisme seperti yang dikemukakan Priyatna (http://www.Sekitarkita.com).

Pertama, karya sastra tersebut mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Karya sastra dapat saja tidak terlihat memihak perempuan atau laki-laki, tetapi dengan membacanya lebih teliti akan ditemukan adanya resistensi terhadap dominasi wacana laki-laki. Kedua, meskipun KLR adalah pengarang laki-laki, harus diperhatikan bahwa feminisme bukanlah monopoli perempuan seperti halnya patriarki bukan monopoli laki-laki. Hal ini berarti bahwa meneliti penulis laki-laki dengan mencoba menganalisis relasi gender dan mempertanyakan tatanan sosial yang direfleksikan atau dimisrefleksikan di dalamnya adalah analisis yang bersifat feminis, sepanjang analisis itu diarahkan kepada tatanan relasi kekuatan antara perempuan dan laki-laki yang lebih seimbang. Ketiga, sampel karya yang diambil lebih berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginan, kebutuhan, dan haknya sehingga perempuan mampu menjadi subjek dalam kehidupan. CITRA DIRI PEREMPUAN

Gambaran atau citra diri perempuan pada ketiga novel karya KLR ini diteliti melalui dua kategori, yaitu karakteristik biologis tokoh-tokoh perempuan yang dilihat dari aspek fisik, dan karakter yang dilihat dari aspek psikologis tokoh-tokoh perempuan. Karakteristik fisik atau biologis merupakan gambaran fisik tokoh perempuan, sementara karakter psikologis tampak pada bentuk-bentuk kepribadian tokoh perempuan berupa sifat dan sikap hidupnya. Perempuan-perempuan yang dihadirkan pada ketiga novel KLR dilihat dari aspek fisik, atau juga dapat disebut sebagai karakteristik biologisnya, memiliki deskripsi atau ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan laki-laki.

Secara fisik, tokoh-tokoh perempuan yang hadir pada ketiga novel karya KLR merupakan gadis remaja yang diibaratkan bunga yang sedang mekar dan relatif masih muda. Tokoh perempuan pada novel Api Awan Asap adalah Nori yang berusia 17 tahun, baru lulus SMEA (hlm.62), Bunga pada novel Bunga berusia 27 tahun (hlm.182), sementara pada novel Upacara, gadis-gadis yang dihadirkan di dalamnya digambarkan masih berusia belasan tahun (hlm.50).

Tabel 1. Deskripsi Fisik Perempuan

No. Deskripsi Fisik Api Awan Asap Bunga Upacara

1. Wajah cantik, jelita cantik, jelita cantik, jelita

2. Senyum seperti dewi berseri seperti bidadari

3. Suara Ringan merdu dan bagus sendu manja

4. Tubuh Molek molek, semampai bagus dan berisi

5. Mata Indah bening, indah bening, kemilau

6. Gerak Anggun gemulai lembut

Page 67: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 343

Tabel di atas memperlihatkan bahwa gambaran perempuan dilihat dari aspek fisiknya mencerminkan keindahan dan kelembutan, baik itu dari bagian wajah, senyum, suara, tubuh, mata, maupun gerakannya. Wajah perempuan digambarkan cantik jelita; senyumannya berseri seperti senyum dewi atau bidadari; suaranya ringan, merdu, bagus, dan sendu manja; tubuhnya molek, semampai, bagus dan berisi; matanya indah, bening, kemilau; sementara gerakannya anggun, gemulai, dan lembut. Selain itu, perempuan dari segi fisik digambarkan dengan kelemahan dan ketidakberdayaan.

“Wanita dan gadis-gadis selatan banyak juga yang dibuahi anak. Sementara anak-anak lahir, suami-suami itu pergi. Tak ada kabar berita. Apalagi nafkah,” Jintok menyambung seperti mengadu saja. Ia baru pulang dari sana. Kabarnya pacarnya sendiri tergaet orang asing. Jintok kalap. Hampir orang asing itu tertembus tombak. Untung silatnya baik juga, orang-orang kampung melerai dan si orang asing itu lepas. Tapi pacar Jintok telah diisi orang itu (Upacara, hlm.81).

Perempuan-perempuan desa yang digambarkan di atas, lemah dan tidak berdaya secara fisik.

Mereka tidak dapat menyelamatkan dirinya dari perbuatan orang-orang asing yang menghamili mereka. Perempuan tidak mampu mempertahankan harga dirinya di hadapan laki-laki. Sementara kebalikannya, laki-laki bisa menunjukkan harga dirinya lewat kekuatan yang digambarkan dari perkelahian antara Jintok dengan si Orang asing. Melalui pengambaran fisik yang telah diuraikan, perempuan yang lemah dan tidak berdaya dicitrakan sebagai objek seks bagi laki-laki.

Perempuan-perempuan yang dihadirkan pada ketiga novel karya KLR, selain memiliki karakteristik biologis atau fisik yang khusus, juga memiliki gambaran yang kuat melalui karakter psikologisnya. Berikut ini dipaparkan beberapa karakter psikologis yang dilekatkan pada tokoh-tokoh perempuan.

Secara psikologis, karakter perempuan yang dihadirkan pada novel Api Awan Asap, Bunga, dan Upacara adalah manusia yang penurut, perasa, setia, ingin diayomi dan dilindungi, serta pasrah terhadap kenyataan yang telah terjadi dalam kehidupannya. Karakter psikologis perempuan pada ketiga novel KLR tersebut dapat dirumuskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Karekter Psikologis Perempuan

No. Karakter Psikologis Api Awan Asap Bunga Upacara

1. Penurut

2. Perasa

3. Setia

4. Ingin diayomi, dilindungi

5. Pasrah

Karakter psikologis tersebut mengalami dinamisasi ketika tokoh perempuan mengalami

konflik atau masalah, yaitu ketika Nori pada novel Api Awan Asap kehilangan suaminya, Bunga pada novel Bunga belum juga dikaruniai anak, dan Ifing pada novel Upacara yang kerap kali diabaikan lelaki yang dicintainya. Tokoh-tokoh perempuan yang sebelumnya digambarkan sebagai makhluk yang penurut, perasa, setia, ingin diayomi, dilindungi, dan pasrah menjelma menjadi makhluk yang sabar, pekerja keras, dan mampu menentukan sikap dalam hidupnya.

Paparan di atas memberikan penerangan bahwa karakteristik biologis/fisik perempuan pada umumnya cenderung sama, tetap, tidak mengalami perubahan. Perempuan dicitrakan sebagai (1) makhluk yang lekat dengan keindahan dan kelembutan (kecantikan) sehingga dapat menyenangkan laki-laki, serta (2) identik dengan kelemahan dan ketidakberdayaan sehingga dapat menjadi objek seks bagi laki-laki. Sementara itu, karakter psikologis perempuan mengalami perubahan karena konteks permasalahannya, dari karakter (1) penurut, (2) perasa, (3) setia, (4) ingin diayomi,

Page 68: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

344 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

dilindungi, dan (5) pasrah menerima keadaan menjadi karakter (1) sabar, (2) pekerja keras, dan (3) mampu menentukan sikap dalam kehidupannya sendiri. Gambar di bawah ini dapat memperlihatkan citra diri perempuan seperti yang telah dikemukakan di atas.

Gambar 1 Citra Diri Perempuan

CITRA SOSIAL PEREMPUAN

Selain citra diri, perempuan juga memiliki citra sosial yang dapat dilihat dari kedudukan, peran, atau posisi perempuan dalam keluarga dan dalam lingkungan sosialnya. Citra sosial perempuan ini juga dapat dihubungkan dengan tokoh-tokoh lain, baik itu perempuan maupun laki-laki.

Perempuan di dalam keluarga masih dicitrakan sebagai makhluk kelas dua (second class) karena posisinya masih dalam struktur patriarki, struktur tradisional yang pada kenyataannya juga melekat pada ketiga novel karya KLR. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

KONFLIK

Ifing: Upacara

Bunga: Bunga

Nori: Api Awan Asap

Page 69: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 345

Tabel 3 Perempuan dalam Keluarga

Perempuan sebagai Anak Perempuan sebagai Istri Perempuan sebagai Ibu

akses memperoleh pendidikan dibatasi

istri pengikut suami

hamil, melahirkan, dan menyusui

ayah menguasai anak perempuan

istri penghibur suami merawat, memelihara, dan membesarkan

anak perempuan mem- butuhkan restu orang tua

istri penunai kodrat Mencurahkan kasih sayang

istri pekerja di ruang privat-domestik

memberikan pendidikan yang layak

istri korban fenomena kawin kontrak

Perempuan di dalam keluarga pada ketiga novel karya KLR diklasifikasikan 1) sebagai seorang

anak, 2) sebagai seorang istri, dan 3) sebagai seorang ibu. Pencitraan perempuan di dalam keluarga seperti yang telah dikemukakan di atas dipicu oleh tradisi yang sangat menonjolkan perempuan sebagai ibu rumah tangga dan dihargai setinggi-tingginya oleh semua pihak atas prestasi itu sehingga perempuan sulit menemukan identitas atau citra pribadinya karena supremasi laki-laki menempatkan perannya sebagai bawahan dalam masyarakat patriarki (Barnhouse, 1988:49-53).

PEREMPUAN DALAM LINGKUNGAN SOSIAL

Perempuan memiliki peran lain selain di dalam keluarga, yaitu peran di dalam lingkungan sosial di sekitarnya. Berbeda dengan perannya di dalam keluarga yang masih cenderung didominasi laki-laki, baik oleh ayah atau suami, perempuan mampu berperan lebih besar di dalam lingkungan sosialnya.

Di luar lingkup keluarga, tokoh-tokoh perempuan pada ketiga novel karya KLR digambarkan memiliki pemikiran maju dan mampu mengaktualisasikan dirinya secara lebih optimal. Faktor-faktor di dalam keluarga memiliki pengaruh terhadap terbentuknya citra perempuan yang kreatif dan dinamis di dalam lingkungan sosialnya, meskipun beberapa peran tersebut masih dapat dikaitkan dengan stereotipe perempuan pada umumnya.

Berdasarkan uraian di atas, perempuan di dalam lingkungan sosial pada ketiga novel karya KLR dicitrakan sebagai makhluk yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan, khususnya di daerah pedesaan. Tokoh-tokoh perempuan, Nori, Bunga, dan Rie, mampu memberikan segenap kemampuannya bagi desa mereka. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4

Perempuan dalam Lingkungan Sosial

Peran, Posisi, Kedudukan Api Awan Asap Bunga Upacara

Perempuan sebagai Penari Tradisional

Perempuan sebagai Guru

Perempuan sebagai Pengusaha

Perempuan sebagai Pembangun Desa

Page 70: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

346 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Tabel tersebut memperlihatkan beberapa peran perempuan yang terdapat pada ketiga novel karya KLR, yaitu 1) sebagai penari tradisional, 2) sebagai guru, 3) sebagai pengusaha, dan 4) sebagai pembangun desa. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa perempuan merupakan salah satu komponen penting di dalam lingkungan sosial karena turut serta melakukan perubahan ke arah yang lebih baik bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan demikian, perempuan juga berperan dalam kehidupan. Akan tetapi, perannya bukan hanya sebagai pelengkap; seperti peran yang ada di dalam keluarga, melainkan lebih cenderung sebagai penggerak bagi kemajuan bersama. SIMPULAN

Ketiga novel karya KLR, yaitu novel Api Awan Asap, novel Bunga, dan novel Upacara merekam fenomena-fenomena atau isu-isu yang sering terjadi di dalam kehidupan perempuan. Dengan menggunakan pisau analisis berupa kritik sastra feminis, ditemukan bentuk-bentuk citra pada perempuan, yaitu citra diri perempuan dan citra sosial perempuan.

Citra diri perempuan terbagi menjadi karakteristik biologis dan karakter psikologis. Karakteristik biologis merupakan penggambaran perempuan dari segi fisiknya, sementara karakter psikologis adalah penggambaran perempuan yang dilihat dari kepribadian dan tingkah lakunya. Pada karakteristik biologisnya, perempuan masih dicitrakan sebagai makhluk yang lekat dengan keindahan dan kelembutan serta kelemahan dan ketidakberdayaan. Kedua karakteristik biologis ini menempatkan perempuan sebagai makhluk yang menyenangkan dan sebagai objek seks bagi laki-laki. Sementara itu, karakter psikologis perempuan yang tergambar pada ketiga novel karya KLR menunjukkan adanya dinamisasi, yaitu terjadinya perubahan psikologis pada perempuan, dari karakter yang penurut, perasa, setia, ingin diayomi dan dilindungi, serta pasrah menjadi karakter yang lebih kuat, yaitu sabar, pekerja keras, dan mampu menentukan sikap. Perubahan karakter psikologis ini merupakan bentuk usaha perempuan dalam rangka menyelesaikan permasalahan atau konflik dalam kehidupannya.

Sementara itu, citra sosial adalah penggambaran peran, posisi, atau kedudukan perempuan yang terlihat di dalam keluarga dan di dalam lingkungan sosialnya. Di dalam keluarga, perempuan diposisikan sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. Citra perempuan di dalam keluarga ini masih cenderung memperlihatkan peran perempuan sebagai objek atau pelengkap dalam keluarganya. Pada bagian lain, yaitu perempuan di dalam lingkungan sosialnya menggambarkan peran perempuan yang mampu menjadi subjek dalam kehidupannya. Perempuan berperan sebagai penari tradisional, guru, pedagang, dan pembangun desanya. Perempuan mampu menjadi penggerak di dalam lingkungan sosial sehingga ia membawa manfaat bagi masyarakat di sekitarnya.

Penggambaran citra perempuan yang telah dikemukakan tersebut memperlihatkan adanya keseimbangan, antara citra yang cenderung ditampilkan negatif dengan citra yang lebih positif. Hal ini sesuai dengan pandangan dalam kritik sastra feminis, bahwa pada dasarnya kritik ini mempunyai tujuan memperoleh perlakuan yang lebih baik bagi perempuan, meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan untuk membentuk masyarakat yang lebih adil dan sejahtera (Nugroho, 2008:48).

Tabel 6 Citra Perempuan pada Tiga Novel Karya KLR

Citra Diri Perempuan Citra Sosial Perempuan

Karakteristik Fisik Perempuan

Karakter Psikologis Perempuan

Perempuan dalam Keluarga

Perempuan dalam Lingkungan Sosial

1) keindahan 1) sabar 1) sebagai anak 1) penari tradisional

2) kelembutan 2) pekerja keras 2) sebagai istri 2) guru

3) kelemahan 3) mampu bersikap 3) sebagai ibu 3) pedagang

4) ketidakberdayaan 4) pembangun desa

(─) (+) (─) (+)

Page 71: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 347

Tabel di atas adalah penggambaran citra perempuan yang terdapat pada novel Api Awan Asap, Bunga, dan Upacara karya Korrie Layun Rampan. Tabel tersebut menunjukkan adanya suatu keseimbangan pada dua kategori yang melahirkan citra perempuan. Pada kategori pertama, citra diri perempuan dari aspek fisik yang cenderung bernilai negatif diimbangi dengan aspek psikologis yang lebih cenderung bernilai positif.

Sementara itu, pada kategori kedua, citra sosial perempuan di dalam keluarganya yang digambarkan hanya sebagai object atau pelengkap saja; sebagai objek bagi laki-laki dan wujud pelengkap bagi pencapaian kesempurnaan laki-laki, maka di dalam lingkungan sosial, perempuan dicitrakan menjadi makhluk yang lebih memiliki arti. Perempuan mampu menjadi subject di dalam kehidupannya dengan mengambil peran-peran penting bagi kemajuan masyarakat yang ada di sekitarnya.

Hadirnya citra perempuan pada ketiga novel karya KLR ini memberikan angin segar terhadap relasi antara perempuan dengan laki-laki. Meskipun pada kenyataannya, ketiga novel tersebut masih menyertakan stereotipe yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan itu hanya ditonjolkan dari segi fisiknya yang indah, lembut, lemah, dan tidak berdaya sehingga mendapat prioritas untuk mengerjakan pekerjaan di dalam rumah tangganya, akan tetapi ketiga novel tersebut memperlihatkan juga bahwa perempuan bisa maju jika diberi kesempatan yang sama. Hal ini dibuktikan perempuan melalui keberhasilannya membawa peran di dalam lingkungan sosial yang dimilikinya untuk kemajuan masyarakat. Perempuan yang berperan di dalam lingkungan sosial tidak memonopoli kesuksesannya untuk dirinya sendiri atau kaumnya sendiri, tetapi lebih berorientasi pada kemajuan bersama, kemajuan perempuan dan laki-laki.

Ideologi patriarki, ideologi gender, familialisme, ataupun ibuisme yang membentuk pencitraan perempuan pada ketiga novel karya KLR, yang cenderung memojokkan perempuan di dalam domain atau ranah privat-domestik telah diimbangi dengan kemampuan perempuan di dalam lingkungan sosialnya dengan mengambil peran-peran yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup masyarakat yang lebih luas.

Gambar 2

Relasi antara Perempuan dengan Laki-laki (yang diharapkan dengan adanya kesadaran gender)

Ketiga novel KLR dengan citra perempuan yang lebih seimbang ini merupakan sebuah usaha untuk mendefinisi dan mendekonstruksi nilai-nilai ideologi patriarki, gender, familialisasi, atau ibuisme yang menimbulkan ketidakadilan hubungan gender laki-laki dan perempuan. Citra diri dan citra sosial perempuan yang mengalami perkembangan ke arah yang lebih positif itu diharapkan

laki-laki (♂)

perempuan (♀)

komplementer (hubungan

saling)

Page 72: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

348 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

dapat mewujudkan relasi yang baik antara perempuan dan laki-laki, yaitu hubungan yang komplementer, hubungan saling; saling memberi, saling menerima, saling membantu, saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Seperti yang dikemukakan Ruthven (1990:70-71), penelitian dengan kritik sastra feminis dapat memberikan peluang berpikir tentang perempuan. Karya sastra seharusnya memberikan contoh, menanamkan perasaan positif bagi tumbuhnya identitas keperempuanan dengan memperlihatkan gambaran perempuan yang dapat mengaktualisasikan dirinya, yang identitasnya tidak tergantung kepada laki-laki. Dengan demikian, citra perempuan yang dihadirkan dalam penelitian ini adalah gambaran-gambaran mengenai perempuan secara lebih seimbang, baik citra negatif sebagai the second sex, maupun citra positif yang memperlihatkan kualitas perempuan pada ketiga novel KLR. DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, Sutan Takdir. 2008. Layar Terkembang. Jakarta: Gramedia. Cetakan ke-39. Barnhouse, Ruth Tiffany. 1988. Identitas Wanita Bagaimana Mengenal dan Membentuk Citra Diri

(terjemahan A.G. Lunandi). Yogyakarta: Kanisius. Chaplin, J.P. 1968. Dictionary of Psychology. New York: Dell Publishing. Fakih, Mansour. 2007. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan

ke-11. Faruk. 2006. “Pendekar Wanita di Goa Hantu” dalam Sangkan Paran Gender (Editor: Irwan Abdullah).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cetakan ke-3. Febriasih, Happy Budi dkk. 2008. Gender dan Demokrasi. Malang: Averroes Press. Fowler, Roger. 1987. A Dictionary of Modern Critical Terms. New York: Routledge and Kegan Paul. Goodman, Lizbeth. 1996. Literature and Gender. London: Routledge Taylor and Francis Group. Hellwig, Tineke. 1994. In the Shadow of Change: Woman in Indonesian Literature. California:

University of California at Barkeley. Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme (terjemahan Mundi Rahayu). Yogyakarta: Fajar

Pustaka. Cetakan ke-2. Hwia, Ganjar. 2008. ‘Diksi Laki-laki dan Perempuan dalam Puisi Mutakhir Indonesia’ dalam Susastra

Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya Vol.4 No.2. Jakarta: HISKI. Kusujiarti, Siti. 2006. “Antara ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam

Masyarakat Jawa” dalam Sangkan Paran Gender (Editor: Irwan Abdullah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. ke-3.

Newton, K.M. 1988. Twentieth-Century Literary Theory A Reader. London: Macmillan Education. Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Strategi Pengarusutamaannya di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. Parawansa, Khofifah Indar. 2006. Mengukir Paradigma menembus Tradisi: Pemikiran Tentang

Keserasian Jender. Jakarta: LP3ES. Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cetakan

ke-9. Priyatna, Aquarini. 2002. “Perempuan dalam Sastra” dalam http://www. Sekitarkita.com. Diakses

tanggal 15 Desember 2009. Rampan, Korrie Layun. 1999. Api Awan Asap. Jakarta: Grasindo. __________________. 2002. Bunga. Jakarta: Grasindo. __________________. 2007. Upacara. Jakarta: Grasindo. Rusli, Marah. 2006. Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai). Jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ke-40. Ruthven, K.K. 1990. Feminist Literary Studies: an Introduction. New York: Cambridge University Press. Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Tong, Rosemarie Putnam. 2008. Feminist Though. (terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro).

Yogyakarta: Jalasutra. Cetakan ke-4.

Page 73: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 349

LEKSIKON “JATUH” DALAM MASYARAKAT TUTUR BANYUMAS KAJIAN ETNOSEMANTIK

Erwita Nurdiyanto dan Subandi

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jenderal Soedirman

Abstract Etnosemantik study focused on the description of the classification system exists in a particular culture and analyzing the meaning of the lexicon in the realm of semantics through the analysis of components of meaning . This study aims to describe the lexicon meanings representing the form of " falling " in a speech community Banyumas . The results of the study showed that the use of the word arrived " fall " to interpret the events of the fall narrowed meaning . Also found interjection that can also represent the meaning of fall . Keywords : Lexicon , Banyumas , ethnolinguistic

PENDAHULUAN

Bahasa dalam masyarakat digunakan untuk berbagai konteks dengan berbagai macam makna, dan fungsi utamanya sebagai alat komunikasi. Terutama di kalangan orang yang membahas mengenai masalah kebahasaan. Tidak dapat disangkal bahwa bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Di dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat menggunakan bahasa dalam segala aktivitasnya. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarkat untuk bekerjasama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri (Harimurti, 1983:17). Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat, pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia, selain itu bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan sesuai dengan kemajuan jaman (Nababan, 1984:38).

Bahasa dan budaya memiliki hubungan yang sangat erat, hal ini dikarenakan bahasa merupakan hasil dari budaya manusia. Bahasa bersifat dinamis, artinya bahasa berkembang menyesuaikan jaman, begitu pula dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Berkaitan dengan penciptaan bahasa, hal ini tidak terlepas dari penciptaan sebuah kata atau leksikon. Leksikon adalah kekayaan kata yang dimiliki sebuah bahasa. Leksikon itu sendiri juga dapat dikatakan sebagai bagian dari sistem kebudayaan. Di dalam menciptakan sebuah leksikon yang merujuk pada satu makna, masyarakat penutur dalam hal ini masyarakat tutur bahasa Jawa dialek Banyumas sering menciptakan suatu kata-kata atau leksikon ke dalam beberapa variasi kata. Misalnya kata atau leksikon ‘jatuh’ dalam bahasa Jawa dialek Banyumas mempunyai beberapa bentuk variasi kata yang lebih spesifik untuk menggambarkan peristiwa ‘jatuh’ tersebut seperti ditemukan kata rogol, gigal, ambrol, ragrag dll. Penamaan-penamaan tersebut dalam bahasa Jawa dialek Banyumas dapat berbeda sesuai dengan pemaknaannya masing-masing. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti berbagai macam variasi kata atau leksikon ‘jatuh’ dalam bahasa Jawa dialek Banyumas.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode ini digunakan mengingat tujuan penelitian ini yaitu ingin mendeskripsikan temuan yang diperoleh dalam penelitian berupa leksikon yang mempunyai makna “jatuh” dalam masyarakat tutur Banyumas dengan melakukan pendekatan semantis berdasarkan komponen makna secara leksikal.

Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data tulis berupa leksikon yang dapat dimaknai sebagai makna “jatuh” dalam bahasa Jawa dialek Banyumas. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka menggunakan kamus dialek Banyumas karangan Ahmad Tohari.

Page 74: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

350 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

KERANGKA TEORI Linguistik antropologis adalah cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks sosial

dan budaya yang lebih luas. Foley (2001:3-5) mengungkapkan bahwa linguistik antropologis merupakan disiplin interpretif (interpretive discipline) yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya. Data dalam studi linguistik antropologi adalah bahasa yang dapat dispesifikasikan lagi berupa kosakata, frasa, struktur kalimat, bentuk-bentuk kalimat, register, perilaku bahasa, dan sejenisnya. Dengan menggunakan metode tertentu kajian ini dapat menghasilkan penafsiran aspek antropologis atau budaya yang ada dibaliknya.

Penelitian ini merupakan kajian bidang etnosemantik. Etnolisemantik atau sering pula disebut dengan etnosains (ethnoscience) adalah studi mengenai cara-cara yang dipakai oleh suatu masyarakat dalam kebudayaan yang berbeda dalam mengorganisasikan dan mengkategorisasikan ranah-ranah pengetahuan tertentu (Palmer, 1999:19). Studi etnosemantik dipusatkan pada pendeskripsian sistem klasifikasi yang ada dalam kebudayaan tertentu dan penganalisisan makna leksikon dalam ranah semantik melalui analisis komponen makna. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Gejala perubahan makna sebagai akibat dari perkembangan makna oleh pemakai bahasa. Bahasa akan berkembang sesuai dengan perkembangan pikiran manusia. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Djajasudarma (2008:62) bahwa karena manusia menggunakan bahasa, maka bahasa akan berkembang dan makna pun ikut berubah.

Berkaitan dengan perubahan makna, Chaer (2002:140) menyatakan bahwa jenis perubahan makna dapat dikategorikan menjadi lima, yaitu meluas, menyempit, perubahan total, penghalusan (eufemia), dan pengasaran (disfemia). Dalam penelitian ini penulis melihat adanya fenomena kebahasaan berkaitan dengan perubahan makna dalam leksikon “jatuh” yang dipakai oleh masyarakat tutur Banyumas. Perubahan tersebut berkaitan dengan cara pandang masyarakat Banyumas pada suatu peristiwa jatuh di sekitar lingkungannya. Jatuh disini tidk hanya dimaknai sebagai jatuh semata tetapi diwujudkan dengan penggunaan leksikon-leksikon yang lebih spesifik dalam memaknai bentuk atau keadaan jatuh yang berbeda pula sehingga dapat dikatakan bahwa kata jatuh dalam masyarakat tutur Banyumas mengalami penyempitan makna.

Penyempitan makna tersebut dapat dijelaskan bahwa konsep jatuh dalam masyarakat tutur Banyumas selalu diartikan dengan kata ‘tiba’ (jatuh), jadi kata tiba di sini dapat diartikan sebagai kata yang memiliki makna jatuh dengan cakupan yang luas (kata umum). Karena dalam masyarakat Banyumas sendiri banyak sekali kata yang dapat mengungkapkan jatuh itu dalam konteks yang lebih spesifiks lagi. Hal tersebut dapat dilihat dalam data berikut ini.

a. Jatuh dari posisi berdiri atau tegak “Amarga ketabrak tronton, banone dadi pada ambruk” Karena tertabrak tronton, temboknya roboh semua. Leksikon ambruk ini mempunyai padanan dengan leksikon ambreg. Ambruk atau ambrek dapat memaknai sebagai kata jatuh dari posisi berdiri atau tegak. Leksikon ini dapat berdiri sendiri sebagai kata yang mempunyai makna jatuh tanpa adanya konteks kalimat.

b. Jatuh dalam keadaan hancur berantakan “kacane ambyar merga dibandem adiku’ Kacana jatuh berantakan karena dilempar batu oleh adik saya. Leksikon ambyar dapat diartikan sebagai bentuk jatuh dalam keadaan hancur berantakan.

c. Jatuh secara berceceran “gole mangan segane aja pada amprat-empret’ Kalau makan nasinya jangan berceceran Kata amprat-empret dapat dimaknai sebagai kata jatuh yang berceceran. Kata tersebut juga mempunyai padanan yaitu coprat-capret.

Page 75: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 351

d. Jatuh secara berhamburan “glepunge pada mawur-mawur’ Tepungnya berhamburan Kata mawur memaknai sebagai kata hambur.

e. Rontok “ kembange rogol” Bunganya rontok Kata rogol mempunyai padanan rorog (buah), dan ragas untuk memaknai jatuh secara rontok atau luruh. “angger mangsa ketelu, godhong-godhong angsana pada rag-rag. Ketika musim kemarau, daun angsana berjatuhan Kata rag-rag hampir sama dengan rogol atau rorog tetapi lebih dispesifikan jenis bendanya yang jatuh yaitu daun.

f. Jatu satu-persatu, lolos dari wadah. “luhe pada mrebel” Air matanya berjatuhan Kata mrebel dapat dimaknai dengan jatuh satu-persatu. “berase pada mbrobol sekang plastik” Berasnya berjatuhan dari pelastik Kata mbrobol mempunyai padanan yaitu mbrejel yang memaknai sebagai kata lolos dari wadah dan berjatuhan. “duwite disak sing bener, mbok pada mrebel” Hati-hati meletakan uang disaku, takut banyak yang tercecer Leksikon ini biasanya digunakan untuk memaknai jatuh pada benda yang kecil.

g. Jatuh meluncur “gendhenge pada mbrosot sekang payon” Gentingya berjatuhan dari atap rumah Kata mbrosot mempunyai padanan dengan mbrusut yang memaknai jatuh dengan cara meluncur dengan cepat ke bawah.

h. Jatuh menuju air “Kepleset terus kecebur kali” Terpeleset dan jatuh keair Kata kecebur mempunyai makna jatuh ke dalam air. Dalam masyarakat tutur Banyumas juga ditemukan bentuk lain yang dapat memaknai jatuh ke air yaitu kecemplung.

i. Jatuh ke arah belakang dan berakhir dengan posisi telentang “kuwe adhine dicekeli mbok kedeglag” Itu adiknya dipegangi ditakutkan tersentak kebelakang Kata kedeglag mempunyai padanan yaitu nggeblag, nggludag yang memaknai jatuh secaratersentak kebelakang hingga terlentang.

j. Gugur “aja pada dolanan nang ngisor tebing mbok lemahe pada gempur” Jangan bermain-main dibawah tebing takut tanahnya gugur Kata gempur memaknai konsep jatuh dengan cara gugur atau runtuh.

k. Suatu proses yang berakhir dengan jatuh “ aja kelalen pada cekelan mbok nggentawil” Jangan lupa pegangan takut nanti jatuh Nggentawil dapat memaknai sebagai lepas dari pegangan dan terjatuh “peserta upacara akeh sing pada nggentayang merga urung pada sarapan” Banyak peserta upacara yang limbung dan jatuh karena belum sarapan.

Page 76: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

352 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Nggentayang dapat memaknai kata limbung dan terjatuh. “sing ati-ati gole ngawa mangkok mbok ngglewang” Hati-hati membawa manggkok takut nanti tumpah Kata ngglewang mempunyai padanan dengan ngglewar yang dapat memaknai terbalik dan jatuh. “bocahe tiba ngglosor” Anaknya jatuh terkulai. Kata ngglosor dapat memaknai longsor, merosot, jatuh terkulai di tanah.

Selain data yang sudah dipaparkan di atas, ditemukan juga dalam masyarakat tutur Banyumas

bentuk interjeksi atau seruan yang berfungsi untuk memaknai kata jatuh, diantaranya: a. Bentuk blung, plung, bleng bentuk ini biasa digunakan sebagai seruan untuk menyatakan

jatuh ke dalam air. Biasanya bentuk ini didahului dengan bentuk mak sehingga menjadi mak blung, mak plung, dan mak bleng. Kata mak blung dapat dimaknai benda yang jatuh tersebut berukuran sedang, dan untuk bentuk mak plung menandakan benda yang jatuh berukuran kecil, sedangkan bentuk mak bleng menandakan benda yang jatuh merupakan benda berukuran besar.

b. Bentuk blug, breg, deblug, debug, gedebug, gablug, geblug, gedhabrug, glubrag, dan grubyag. bentuk ini biasa digunakan sebagai seruan untuk menyatakan jatuh dengan bidang pendaratannya datar dan keras. Biasanya bentuk ini didahului dengan bentuk mak sedangkan bentuk pating hanya bisa melekat pada bentuk gedebug, gablug, geblug, gedhabrug, glubrag, grubyag, dan kabluk.

c. Glumbrang, Gedhumbrang, glundhang bentuk ini biasa digunakan sebagai seruan bunyi untuk menyatakan benda yang jatuh berbahan logam. Biasanya bentuk ini didahului dengan bentuk mak dan pating. Bentuk pating dalam hal ini dapat dimaknai bahwa benda logam yang jatuh ini lebih dari satu.

KESIMPULAN

Bentuk leksikon untuk memaknai ‘jatuh’ dalam masyarakat tutur Banyumas dalam penelitian ini ditemukan sekurang-kuranya ada sebelas macam, bentuk tersebut dibedakan atas jatuh dari posisi berdiri atau tegak, Jatuh dalam keadaan hancur berantakan, Jatuh secara berceceran, Rontok, Jatu satu-persatu, lolos dari wadah., Jatuh meluncur, Jatuh ke arah belakang dan berakhir dengan posisi telentang, gugur, dan suatu proses yang berakhir dengan jatuh.

Selain itu ditemukan pula bentuk interjeksi yang digunakan untuk mewakili makna “jatuh”. Bentuk interjeksi ini biasanya akan didahului dengan bentuk mak dan pating.

DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul.2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta Duranti, Alessandro.1997. Linguitics Anthropology. Cambridge. Cambridge University. Fatimah Djajasudarma T.1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung: PT Eresco Folay, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Oxford Blackwell Published. J.W.M Verhaar. 1983. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kridalaksana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nababan. P.W.J.1993. Sosiolinguistik : Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Palmer, Gery B.1999. Towards a Theory of Cultural Linguistics. Austin: University of Texas Press. Parera.J.D.1990. Teori Semantik. Jakarta Erlangga. Tohari, Ahmad.2007. Kamus Dialek Banyumas-Indonesia Edisi Baru.Banyumas:Swarahati.

Page 77: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 353

ANALISIS NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PERMAINAN TRADISIONAL ANAK SOYANG-SOYANG DI BANYUMAS SALAH SATU UPAYA MEMBANGUN CITRA

INDONESIA DI MATA INTERNASIONAL

Etin Pujihastuti Universitas Jenderal Soedirman

Abstract

Traditional game of children is one of the culture assets that has high value. In traditional game, there are wisdom values which is taught to the children by their parents. There are local wisdom values in traditional game that has advantages to get solution of children’ problem. Local wisdom values in traditional game of children Soyang-soyang are (1) togetherness and harmony; (2) honesty and simplicity; (3) fair; (4) sincere; (5) compassion; (6) patience; and (7) protection and responsibilty value.

Keywords: Local wisdom values, traditional games

PENDAHULUAN

Di era globalisasi sekarang ini banyak muncul game-game centre tidak hanya di kota saja bahkan sampai ke desa-desa terpencil. Dunia maya memang menyuguhkan hiburan-hiburan yang bisa membuat anak-anak kecanduan bahkan mereka rela duduk berjam-jam di depan komputer untuk menikmati permainan-permainan yang bisa mereka akses. Bukan hanya waktu belajar saja yang terkuras habis karena terlalu lama mengakses games on line, tetapi kepekaan sosial mereka juga merosot karena permainan ini cenderung membuat anak menjadi individualistis karena tidak memerlukan teman untuk bermain. Hadirnya games centre jelas sangat menarik perhatian anak-anak dan remaja usia sekolah. Bahkan banyak siswa lebih memilih berada di game centre daripada mengikuti pelajaran sekolah.

Dengan hadirnya beragam bentuk mainan (toys) dan permainan (game) modern, permainan tradisional mulai ditinggalkan. Permainan tradisional dianggap sudah kurang relevan dengan kemajuan teknologi. Orang tua cenderung membelikan anak-anak mereka permainan yang modern karena tertarik dengan manfaat yang didapat dalam permainan tersebut. Permainan modern banyak menyuguhkan manfaat peningkatan kecerdasan anak. Namun, ada efek negatif yang muncul pada anak dari beberapa permainan modern. Efek negatif ini terlihat pada nilai-nilai kemasyarakatan, kebersamaan, dan gotong royong. Anak menjadi sosok yang individual dan susah bersosialisasi. Ada perubahan yang dibentuk dari permainan modern, yakni menipisnya orientasi anak yang komunalistik menjadi individualistik.

Di tengah kecemasan terhadap dampak negatif permainan dunia maya inilah sebaiknya kita menggali dan mengembangkan lagi permaninan tradisional bagi anak- anak. Sebenarnya banyak sekali jenis permainan anak- anak yang sesuai dengan etika, tata krama dan budaya bangsa. Namun, permainan-permainan itu sudah punah sehingga anak- anak sekarang yang lahir di era 80-an tidak lagi mengenalnya. Permainan tradisional memang sudah saatnya digali kembali. Dikenalkan kepada anak-anak sehingga mereka mempunyai pilihan lain selain tergila-gila dengan playstation, on-line games, atau komik Jepang, serta televisi yang menyerap perhatian mereka selama 24 jam. Oleh karena itu, makalah ini akan mencoba menggali kembali salah satu permainan tradisional anak di Banyumas yaitu permainan “soyang-soyang”. Banyak nilai-nilai positif yang bisa ditemukan dalam permainan ini. FOKLOR DAN PERMAINAN TRADISIOANAL ANAK

Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk sama artinya dengan kolektif. Folk dapat berarti rakyat dan lore artinya tradisi. Jadi folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat. Menurut Dundes

Page 78: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

354 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

(Danandjaja, 2002:1) folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang lainnya. Ciri fisik, antara lain berwujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah mereka memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun. Tradisi inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi semacam ini yang dikenal dengan budaya lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga menjadi sebuah adat yang memiliki legitimasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor adalah milik kolektif kebudayaan.

Folklore (dalam arti luas, budaya rakyat tradisional dan populer) adalah ciptaan kelompok yang berorientasi dan berdasar pada tradisi kelompok atau individu yang mencerminkan harapan masyarakat sebagai ekspresi yang memadai untuk menunjukkan identitas budaya dan sosial, standar dan nilai-nilai yang ditransmisikan secara lisan, dengan peniruan atau dengan cara lain. Bentuknya meliputi, bahasa, sastra, musik, tari, permainan, mitologi, ritual, adat istiadat, kerajinan, arsitektur, dan seni lainnya (Ryan, 2013: 129-130). Berdasarkan definisi di atas, dapat digarisbawahi bahwa folklor merupakan salah satu sarana untuk membentuk identitas budaya dan sosial. Oleh karena itu, berdasarkan wujud folklor dalam suatu kolektif, dapat teridentifikasi konstruksi sosial budaya masyarakat pemangkunya.

Permainan tradisional adalah permainan yang telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan permainan tersebut mengandung nilai “baik”, “positif”, “bernilai”, dan “diinginkan”. (Bishop & Curtis dalam Iswinarti, 2010: 4). Permainan tradisional anak merupakan salah satu kekayaan budaya yang mempunyai nilai sangat tinggi. Dalam permainan anak tradisional terdapat nilai-nilai kearifan yang diajarkan orang tua kepada anak. Melalui permainan tradisional, anak diajarkan untuk mengenal konsep bermasyarakat. Menurut Koentjaraningrat (1993) nilai pendidikan (edukatif) meliputi nilai etika dan moral, nilai budi pekerti, nilai keteladanan dan kepahlawanan, nilai toleransi, serta nilai religius. Namun, tentu saja masih banyak ajaran dan nilai-nilai lain yang terkandung dalam permainan tradisional anak.

Permainan tradisional Jawa merupakan salah satu wujud folklor yang populer dan banyak memperoleh perhatian para peneliti folklor di Indonesia. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa permainan tradisional Jawa sebagai indigenous knowledge mempunyai nilai-nilai positif yang cukup signifikan. Misalnya saja permainan engklek berdasarkan penelitian Iswinarti (2009), mempunyai fungsi terapiutik untuk deteksi dini masalah anak, perkembangan fisik, kesehatan mental, problem solving, dan nilai sosial. Demikian juga menurut Supriyadi (2011: 15-24) yang meneliti bahwa nyanyian dalam permainan tradisional mengandung nilai sosial dan didaktik seperti internalisasi mengenai kejujuran, keadilan, keberanian, dan lain-lain. FUNGSI DAN MANFAAT PERMAINAN TRADISIONAL

Permainan tradisional anak mempunyai fungsi dan manfaat bagi perkembangan jiwa anak. Adapun fungsi dan manfaat tersebut adalah:

a. Anak menjadi lebih kreatif Permainan tradisional biasanya dibuat langsung oleh para pemainnya. Mereka menggunakan barang-barang, benda-benda, atau tumbuhan yang ada di sekitar para pemain. Hal itu mendorong mereka untuk lebih kreatif menciptakan alat-alat permainan. Selain itu, permainan tradisioanal tidak memiliki aturan secara tertulis. Biasanya, aturan yang berlaku, selain aturan yang sudah umum digunakan, ditambah dengan aturan yang disesuaikan dengan kesepakatan para pemain. Di sini juga terlihat bahwa para pemain dituntut untuk kreatif menciptakan aturan-aturan yang sesuai dengan keadaan mereka.

b. Bisa digunakan sebagai terapi terhadap anak Saat bermain, anak-anak akan melepaskan emosinya. Mereka berteriak, tertawa, dan bergerak. Kegiatan semacam ini bisa digunakan sebagai terapi untuk anak-anak yang memerlukannya kondisi tersebut.

Page 79: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 355

c. Mengembangkan kecerdasan majemuk anak 1) Mengembangkan kecerdasan intelektual anak. Permainan tradisional seperti permainan

Gagarudaan, Oray-Orayan, dan Pa Cici-Cici Putri mampu membantu anak untuk mengembangkan kecerdasan intelektualnya. Sebab, permainan tersebut akan menggali wawasan anak terhadap beragam pengetahuan.

2) Mengembangkan kecerdasan emosi dan antar personal anak Hampir semua permainan tradisional dilakukan secara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan mengasah emosinya sehingga timbul toleransi dan empati terhadap orang lain dan nyaman dan terbiasa dalam kelompok.

3) Mengembangkan kecerdasan logika anak. Beberapa permainan tradisional melatih anak untuk berhitung dan menentukan langkah-langkah yang harus dilewatinya.

4) Mengembangkan kecerdasan kinestetik anak. Pada umumnya, permainan tradisional mendorong para pemainnya untuk bergerak, seperti melompat, berlari, menari, berputar, dan gerakan-gerakan lainnya.

5) Mengembangkan kecerdasan natural anak. Banyak alat-alat permainan yang dibuat/digunakan dari tumbuhan, tanah, genting, batu, atau pasir. Aktivitas tersebut mendekatkan anak terhadap alam sekitarnya sehingga anak lebih menyatu terhadap alam.

6) Mengembangkan kecerdasan spasial anak. Bermain peran dapat ditemukan dalam permainan tradisional Anjang-Anjangan. Permainan itu mendorong anak untuk mengenal konsep ruang dan berganti peran (teatrikal).

7) Mengembangkan kecerdasan musikal anak. Nyanyian atau bunyi-bunyian sangat akrab pada permainan tradisional. Permainan-permainan yang dilakukan sambil bernyanyi.

8) Mengembangkan kecerdasan spiritual anak Dalam permainan tradisional mengenal konsep menang dan kalah. Namun, menang dan kalah ini tidak menjadikan para pemainnya bertengkar atau minder. Bahkan ada kecenderungan, orang yang sudah bisa melakukan permainan mengajarkan tidak secara langsung kepada teman-temannya yang belum bisa.

PERMAINAN ANAK TRADISIONAL SOYANG-SOYANG

Soyang-soyang adalah satu dari puluhan ragam dolanan anak di Banyumas yang pernah ada. Biasanya, dolanan ini dilakukan saat bulan purnama tiba. Saat mana anak-anak dapat berkumpul di halaman luas untuk gojekan (bercanda ria) dan bermain. Saat yang selalu ditunggu masyarakat pedesaan yang agraris karena nini wulan, nenek penunggu rembulan, datang serta memberikan harapan baru bagi kehidupan esok hari.

Namun demikian, kini keberadaan dolanan ini dalam kehidupan praksis telah hilang. Nyaris tak ada lagi anak-anak di wilayah Banyumas dan sekitarnya yang memainkan jenis permainan tradisional ini.

Seperti halnya budaya tradisional lainnya, dolanan anak seperti soyang-soyang ini sudah diterjang oleh riuh rendahnya budaya pop yang hadir hingga ke relung desa. Jangankan memainkannya, mungkin mendengar nama dolanan ini saja anak-anak di Banyumas zaman sekarang tak pernah lagi.

Permainan ini biasanya dimainkan minimal oleh sembilan anak. Satu orang berdiri terpisah, satu orang lagi menghadap ke tujuh anak lainnya, yang membentuk formasi rangkaian berjejer kesamping dengan memegang tangan kawan di sampingnya.

Satu anak yang menghadapi ke tujuh rekannya berperan sebagai Nini (ibu), sedangkan satu anak yang terpisah berperan sebagai burung gagak, si pencuri yang jahat, satu anak lagi di antara tujuh temannya yang berjejer berperan sebagai Kaki (ayah), dan enam anak lainnya berperan sebagai pitik (anak).

Page 80: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

356 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Permainan ini dimulai oleh barisan pemain yang berjumlah tujuh orang anak yang salah satunya berperan sebagai kaki (ayah) melakukan gerakan maju mundur menghadap ke arah satu pemain yang berperan sebagai nini (ibu). Sambil bergerak maju mundur anak-anak tersebut menyanyikan tembang berbahasa Jawa, yang merupakan tembang khas dolanan ini. Tembang itu mengalun riuh bersamaan tawa di antara mereka. Salah satu lirik tembang tersebut antara lain: Soyang-soyang kaki-kaki jog semarang hewa hewu hewa jengger, kulo niki ngenger bae sandang pangan nggoleti dewek nini-nini titip bocah. Setelah lirik tersebut selesai gerakan maju mundur pun berhenti. Tak berapa lama, dialog pun terjadi di antara mereka dalam bahasa Banyumas.

Nini: sampeyan mriki sore-sore ajeng napa? Kaki: Nini- nini inyong arep titip bocah Nini: Arane sapa? Kaki: si Bejo (terserah pemeran kaki mau menamai anaknya siapa) Nini: Ya ngeneh angger gelem madang karo sega sekepel, sambel sedulit, kluban se ler, trima apa ora? Kaki: iya, inyong trima Nini: Ya ngeneh bocaeh Niat si kaki hanya satu, yakni menitipkan anak-anaknya kepada Nini. Tembang dan dialog

tersebut terus berlanjut sampai keenam anaknya dititipkan semua kepada Nini. Kemudian, si Kaki pergi untuk merantau. Setelah si Kaki pergi, diam-diam ada maling yang beniat meminta pitik (anak-anak yang dititipkan) kepada Nini . Dalam formasi ular-ularan itu, si pitik berada di ujung belakang. Permintaan maling ternyata ditolak Nini. Mendengar penolakan itu, maling pun mengejar pitik. Sekuat tenaga, Nini melindungi enam orang yang berada di belakangnya.

Sambil berkejar-kejaran, anak-anak tersebut berteriak-teriak “piyak-piyak”, teriakan pitik (anak ayam) yang merupakan ciri khas dolanan ini. Teriakan ini mengalun riuh bersamaan tawa di antara mereka.

NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM PERMAINAN TRADISIONAL ANAK SOYANG-SOYANG Berikut ini beberapa nilai nilai kearifan lokal dalam permainan tradisional anak Soyang-soyang 1. Nilai Kebersamaan dan Kerukunan

Kerjasama menurut Scarnati dalam Tarricone dan Luca (2002: 642) adalah proses kooperatif yang memungkinkan orang-orang biasa mencapai hasil yang luar biasa. Lebih lanjut teamwork diartikan sebagai individu-individu yang bekerja sama dalam lingkungan yang kooperatif untuk mencapai tujuan bersama, dengan menggunakan ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing anggota tim (Tarricone dan Luca, 2002: 642). Kerja sama merupakan nilai kearifan lokal yang paling banyak terdapat dalam permainan tradisional. Hal ini dikarenakan dalam permainan tradisional hanya bisa dimainkan secara tim, tidak bisa dimainkan oleh satu orang anak. Permainan bisa dimainkan minimal oleh dua orang anak. Oleh karena itu, kerja sama tim mutlak diperlukan. Sesuai dengan definisi mengenai kerja sama di atas, maka setiap anggota tim dalam permainan bekerja sama untuk memenangkan permainan. Hal yang terpenting bagi anggota tim adalah fokus untuk mencapai tujuan bersama yang jelas. Nilai kerjasama ditunjukkan dalam permainan Soyang-soyang. Permainan ini memerlukan aspek kerja sama antara anak (pitik) dengan ibu (nini) supaya tidak jatuh dan tidak terambil oleh si pencuri (burung gagak). Jika tidak bekerja sama, maka ibu (nini) akan kalah dan anak-anak akan dicuri oleh burung gagak .

2. Nilai Kejujuran dan Kesederhanaan Kejujuran merupakan salah satu nilai kearifan lokal yang penting. Menurut Marzuki (2012: 2-3), bentuk-bentuk kejujuran ada lima, yaitu: (1) benar dalam perkataan, (2) benar dalam pergaulan, (3) benar dalam kemauan, (4) benar dalam berjanji, dan (5) benar dalam kenyataan.

Page 81: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 357

Permainan tradisional Soyang-soyang juga memuat nilai kearifan lokal kejujuran. Kejujuran dalam permainan ini terlihat ketika pemain yang berperan sebagai ibu (nini) mengatakan kemauannya untuk dititipi anak-anak oleh pemeran ayah (kaki) asalkan syarat-syaratyang diajukan oleh ibu dituruti oleh ayah. Hal ini bisa dilihat dari penggalan dialog berikut:

Kaki: Nini- nini inyong arep titip bocah Nini: Arane sapa? Kaki: si Bejo (terserah pemeran kaki mau menamai anaknya siapa) Nini: Ya ngeneh angger gelem madang karo sega sekepel, sambel sedulit, kluban se ler, trima apa ora?

Jadi, pemeran ibu dengan mengatakan Ya ngeneh angger gelem madang karo sega sekepel, sambel sedulit, kluban se ler, trima apa ora? merupakan bentuk ke jujuran dan apa adanya mengatakan kondisi yang sebenarnya bahwa dia mau menerima anak-anak asalkan mereka juga mau menerima keadaan yang seadanya

3. Nilai Adil Adil pada hakikatnya berarti memberikan hak kepada siapa saja tanpa terkecuali. Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dengan alasan yang dapat dibenarkan. Suatu perlakuan tidak selalu perlu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus (Suseno, 1987: 131-132). Prinsip keadilan menurut Rows dalam (Dien, 2011: 14-15) terdiri atas: (1) prinsip kebebasan (equal liberty of principle), (2) Prinsip perbedaan (differences principle), dan (3) Prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Berdasarkan prinsip tersebut dapat ditarik suatu pernyataan bahwa prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua fihak yang bersangkutan.

4. Nilai Ikhlas Ikhlas seringkali dikaitkan dengan perilaku menolong yang menandakan adanya ketulusan dalam melakukan hal tersebut. Ikhlas muncul apabila pertama pelaku ingin melakukannya, kedua, pelaku berpikir bahwa hal ini baik untuk dilakukan, dan ketiga, perbuatan dilakukan tidak untuk alasan yang lain (Goddard dalam Chizanah, 2011: 145). Sikap ikhlas juga muncul dalam permainan tradisional Soyang-soyang.

5. Nilai Kasih Sayang Sukardi dalam Nandiya dkk (2013: 159) mengatakan bahwa kasih sayang merupakan kebutuhan psikis yang paling mendasar dalam hidup dan kehidupan manusia. Menurut Prayitno dalam Nandiya dinyatakan bahwa kasih sayang dapat terwujud melalui ketulusan, penghargaan, dan pemahaman empati terhadap seseorang sebagai pribadi. Permainan tradisional Soyang-soyang juga mengajarkan nilai kasih sayang kepada para pemainnya, kasih sayang antara ayah dengan anak, ibu dengan anak dan kasih sayang sesama saudara. Jadi, pada permainan Soyang-soyang ini menggambarkan kasih sayang antar anggota keluarga.

6. Nilai Sabar Arraiyyah dalam Safitri dan Kumolohadi (2008: 9) menyebutkan bahwa sabar berarti mampu mengendalikan diri, tidak putus asa, sikap yang tetap tenang dalam menghadapi dan menyelesaikan segala macam permasalahan yang menimpa. Penanaman nilai sabar juga terdapat dalam permainan tradisional Soyang-soyang. Secara umum, sikap sabar dalam permainan ini adalah: sabar menunggu giliran untuk bermain, jika teman lain sedang bermain. Misalnya dalam permainan Soyang-soyang yang mengharuskan pemainnya menunggu giliran bermain secara tertib. Selain itu, ajaran untuk sabar jika menghadapi anak yang lebih kecil juga ditanamkan dalam permainan Soyang-soyang ini.

7. Nilai Perlindungan dan Tanggung jawab

Page 82: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

358 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Nilai tanggung jawab dan perlindungan ditunjukkan dalam permainan Soyang-soyang ini ketika si ibu berusahan melindungi anak-anaknya dari serangan burung gagak sebagai bentuk rasa tanggung jawab terhadap anak-anaknya.

PENUTUP

Permainan tradisional anak Soyang-soyang ini memadukan unsur kognitif, psikomotor, dan afektif secara terpadu. Unsur kognitif pada penerapan strategi serta penalaran dalam permainan. Aspek psikomotor dalam gerak dan lagu yang dilakukan selama permainan,dan aspek afektif pada karakter dan sifat-sifat yang terbangun selama melakukan permainan tradisional. Dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam permainan tradisional Soyang-soyang ini sebagai salah satu upaya membangun citra Indonesia di mata Internasional. Kita bisa menunjukkan kepada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta kerukunan, senang bekerja sama, penuh kasih sayang, adil, ikhlas, cerdas tapi tetap dengan kejujuran dan kesederhanaannya, serta memiliki jiwa sebagai pelindung dengan penuh rasa tanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA Ashford, J.B. , Lecroy, C.W. , and Lortie, K.L. 2001. Human behavior: In the social environment.

Australia: Brooks/Cole. Bishop, J.C. & Curtis, M. 2005. Permainan anak-anak zaman sekarang. Editor: Yovita Hadiwati.

Jakarta: PT. Grasindo. Burnett, C. & Hollander, W.J.2004. The South African Indigenous Games Research Project of

2001/2002. Journal for researchin sport, physical education and recreation, 2004. 26(1): 9-23. http://www.srsa.gov.za/ClientFiles/BURNETT%20462.doc Diakses 11 Januari 2008 Danandjaja, J. 1986. Foklor Indonesia: Ilmu gossip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT.Grafitipers. DeBord, K. & Amann, N. 2005. Benefits of play in children: Age Specific Interventions.

http://www.ces.ncsu.edu/depts./fcs/human/disas4.html Diakses 28 Desember 2007 Endaswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka

Widyatama. Fitriani, Yanti. 2009. “Efektivitas Permainan Tradisional dalam Peningkatan Kreativitas Anak”, Skripsi.

Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta. Haditono, SR. 2000. Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press. Iswinarti. 2005. Identifikasi permainan tradisional Indonesia. Laporan hasil survey. Malang: Fakultas

Psikologi UMM. _______. 2005. Permainan Tradisional Indonesia (Dalam Tinjauan Perkembangan Intelektual, Sosial,

Emosi, dan Kepribadian). Simposium Nasional: Memahami Psikologi Indonesia. Malang: Fakultas Psikologi UMM.

_______. 2007. Permainan Anak Tradisional sebagai Model Peningkatan Kompetensi Sosial Anak Usia Sekolah Dasar. Laporan penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UMM.

Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia. Krisdyatmiko, 1999. Dolanan anak: Refleksi budaya dan wahana tumbuhkembang anak. Yogyakarta:

Plan International Indonesia-Yogyakarta dan LPM Sosiatri Fisipol UGM. Moleong, Lexy J., 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Sedyawati, E. 1999. Permainan Anak-anak sebagai Aspek Budaya. Editor: Krisdyatmiko. Dolanan

anak: Refleksi budaya dan wahana tumbuhkembang anak. Yogyakarta: Plan International Indonesia-Yogyakarta dan LPM Sosiatri Fisipol UGM.

Strauss, Anselm L. & Yuliet Corbin, 1990. Basics of Qualitative Research. London: Sage Publications

Spradley, James P. 1987. Metode Etnografi. Yogyakarta : PT Tiara Wacana.

Page 83: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 359

Sudikan, Setyo Yuwono. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana. Tedjasaputra, M.S. 2001. Bermain, mainan, dan permainan. Jakarta: PT. Grasindo. Usman, Sunyoto, 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wulandari, Eka Diah. 2008. “Identifikasi dan analisis Manfaat Permainan Anak Tradisional Suku Biak

di Papua”, Skripsi. Malang: Universitas Muhamadiyah Malang. Yin, Robert K., 1987. Case Study Research Design and Method. London: Sage Publications. Yuliana. 2011.”Upaya Peningkatan Kecerdasan Kinestetik Melalui Permainan Tradisional Gobak Sodor

di Play Group Maisithoh Kedunglengkong, Simo, Boyolali Tahun Ajaran 2010/2011”, Skripsi. Surakarta: Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Page 84: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

360 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Page 85: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 361

ANALISIS PUISI JENAZAH KARYA MANSUR SAMIN: SEBUAH KAJIAN SEMIOTIK

Evi Chamalah dan Meilan Arsanti FKIP-Unissula

[email protected]; [email protected]

Abstract

The use of sign language in poetry holds a more important role for meaning requires. In order to understand the meaning of the signs in the poem it is necessary to semiotic analysis. With semiotic analysis, the reader will more easily understand the meaning contained in the poem Jenazah created by Mansur Samin. Keywords: sign, semiotic analysis, poetry Jenazah

PENDAHULUAN

Semiotik berkaitan dengan semua yang dapat dianggap sebagai tanda (Eco 1979). Tanda dalam karya sastra disesuaikan dengan konvensi masing-masing jenis dan ragam. Jenis sastra prosa mempunyai ragam cerpen, novel, dan roman, sedangkan jenis sastra puisi ragam puisi lirik, syair, pantun, soneta, balada dan sebagainya. Genre puisi merupakan sistem tanda yang mempunyai satuan tanda seperti kosakata dan bahasa kiasan, di antaranya personifikasi, simile, metafora, dan metonimia. Tanda-tanda itu mempunyai makna berdasarkan konvensi dalam sastra. Di antara konvensi-konvensi puisi adalah konvensi kebahasaan yang meliputi bahasa kiasan, sarana retorika, dan gaya bahasa pada umumnya. Di samping itu, ada konvensi ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. Ada pula konvensi visual berhubung karya sastra (puisi) juga ditulis, konvensi visual tersebut di antaranya yaitu bait, baris sajak, enjambemen, rima, tipografi, dan homologue. Konvensi kepuitisan visual sajak tersebut dalam linguistik tidak mempunyai arti, tetapi dalam sastra mencipta makna (Pradopo 2013:122-123). Dalam hal ini penulis tertarik dengan puisi Jenazah karya Mansur Samin karena puisi tersebut merupakan puisi tahun 1950 dan pertengahan 1950-an yang berisikan tentang perjuangan mahasiswa untuk melawan pemerintah dengan berdemonstrasi yang berujung pada kematian salah satu demonstran. Adapun konvensi yang ingin penulis munculkan dari puisi tersebut, yaitu analisis dari aspek bentuk dan bunyi, analisis aspek sintaksis, analisis aspek semantik, dan analisis aspek semantik.

PEMBAHASAN

Analisis puisi ini terdiri atas analisis bentuk, analisis sintaksis, analisis semantik, dan analisis pragmatik. Analisis pertama berkaitan dengan bentuk atau analisis bentuk sebagai berikut.

1. Analisis Bentuk dan Bunyi Puisi Puisi ini terdiri atas lima bait yang tidak sama besarnya yaitu pada bait pertama terdiri atas

enam larik, bait ke kedua terdiri atas tujuh larik, bait ketiga terdiri atas tujuh larik, bait keempat keempat terdiri atas tujuh larik, dan bait kelima terdiri atas sembilan larik. Adapun rima pada puisi tersebut dapat dikatakan kurang teratur. Hal tersebut karena dari bait pertama sampai bait kelima termasuk rima berpeluk meskipun tidak lengkap. Rima akhir vokal [u] dan [a] memberi kesan keterbukaan. Apabila dilihat maknanya memang larik ini mengemukakan hal tersebut. “Mataku terkapar ke tengah pintu, mataku hinggap ke jenazah.” Pemilihan kata mata di sini rupanya mata dianggap mewakili kehidupan. Meskipun metrum tidak begitu penting dalam puisi Indonesia, tetapi dapat dikatakan bahwa jumlah suku kata dalam puisi ini bervariasi antara 8-19 suku kata. Bait pertama terdiri atas 11, 8, 10, 9, 8, 9 suku kata, bait kedua terdiri atas 8, 19, 10, 12, 10, 14, 13, bait ketiga terdiri atas 13, 14, 6, 15, 12, 16, 11, bait keempat terdiri atas 11, 15, 12, 10, 13, 8, 10, bait

Page 86: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

362 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

kelima terdiri atas 8, 9, 11, 13, 18, 12, 8, 9, 11. Hal ini agak menarik perhatian karena bait pertama hanya mempunyai enam larik, bait terakhir mempunyai sembilan larik, dan larik terakhir mempunyai jumlah suku kata ganjil pula. Jadi, perhatian dapat terfokus pada larik “menanti kupahat dalam puisi”.

2. Analisis Aspek Sintaktika Setelah analisis bentuk puisi dan bunyi kemudian dapat dianalisis dalam rangkaian sintaksisnya.

Di sini analisis aspek sintaktika merupakan analisis rangkaian kalimat. Puisi ini mempunyai tanda baca sehingga dapat dikatakan bahwa kelima bait ini mempunyai enam kalimat. Misalkan pada bait pertama terdiri atas satu kalimat majemuk campuran. Hal tersebut dapat dilihat pada penggalan puisi Jenazah berikut.

Kalimat pertama terdapat pada bait pertama. Mataku terkapar ke tengah pintu dekat mimbar, sorot lampu samping pilar dan aula yang tenang di tengah berbaring jenazah berpagar keranda bunga dan panji-panji Maharaja. Kalimat pertama terdapat pada bait kedua. Malam makin tenang saja di benakku suara-suara: hingar sekretariat negara brondong tembakan, sorak demonstran sejenak tenang, langkah riuh berderap silang siur dengan kapal terbang gardu dan pagar-pagar besi gempar sekali kegaduhan dan sepatu duri berlari. Kalimat pertama terdapat pada bait ketiga. Kemudian mataku hinggap ke jenazah dekat kesamaran gerombolan mahasiswa terpacak bendera di ujung bangku tegak pekur para mahasiswa di lengannya pita hitam dan selampai dari celah-celah mereka kulirik kertas putih tertulis nama: Arief Rahman Hakim. Kalimat pertama terdapat pada bait keempat. Malam tambah jauh dan makin tua tiba-tiba di belakangku muncul mahasiswa dengan ragu bertanya: “Bapak siapa? Wartawan atau alat negara? Dengan siapa kujawab: “Saya penyair yang turut ambil bagian dalam demonstrasi tadi pagi.”

Page 87: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 363

Pada bait kelima terdapat dua kalimat, yaitu Di jalan pulang ke timur desah gerimis mulai turun aku tunduk melangkah dan melangkah lama baru sadar kemeja telah basah. dan Ku tatap belakang jauhan tampak gedung-gedung salemba nun aula Universitas Indonesia tempat upacara duka terbaring putra tanah air menanti kupahat dalam puisi.

3. Analisis Aspek Semantika Apabila dihubungkan dengan isi setiap bait tampak bahwa bait pertama menampilkan suasana

kematian. Hal ini terlihat dari lirik mata terkapar melihat jenazah. Bait kedua menampilkan kegaduhan suara tembakan dan sorak demonstran. Bait ketiga menampilkan suasana duka ketika mata melihat jenazah dari gerombolan mahasiswa dan tertulis nama Arief Rahman Hakim. Bait keempat menampilkan keraguan mahasiswa ketika bertanya pada penyair. Bait kelima menampilkan kesedihan dan kekhitmatan dalam upacara duka.

Selanjutnya penulis tertarik pada judul “Jenazah” yang mencakup komponen makna kematian yang mengesankan kesedihan. Biasanya paling tidak kata “jenazah” mengikuti kata “keranda” yang lebih bersifat umum. Memang pada larik pertama digunakan kata “keranda”. Oposisi ini tetap terpelihara dalam empat bait. Bait kedua mengemukakan sejenak tenang, langkah riuh berderap. Suasana sedih dikuatkan lagi pada bait ketiga dengan frasa terpacak bendera. Pada bait keempat suasana semakin mencekam dengan klausa malam tambah jauh dan makin tua. Pada bait terakhir diperjelas dengan klausa tempat upacara duka terbaring putra tanah air. Begitu besar kesedihan mahasiswa sehingga seluruh alam pun turut berduka. Jadi, yang muram sebenarnya para demonstran/mahasiswa yang mengikuti upacara duka.

Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa keseluruhan puisi menyatakan tentang kematian. Pada puisi tersebut paling menonjol terdapat pada bait kesatu, ketiga, dan kelima.

4. Analisis Aspek Pragmatika Pada analisis aspek pragmatika meliputi analisis deiksis, majas, dan analisis isotopi. Ketiga

analisis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Analisis Deiksis Analisis deiksis pada puisi tersebut berkaitan dengan penuturan/pengujaran. Komunikasi

dalam puisi ini terjalin antara aku penyair dengan mahasiswa. Dengan penggunaan pronomina ini, penyair tidak ingin melibatkan pembaca karena pengalaman atau cara pandang setiap orang dalam melihat kematian berbeda. Dalam setiap bait muncul pronomina “aku”.

2) Analisis Majas

Bila dibaca sepintas puisi tersebut tidak mengandung banyak majas, tetapi yang tampak adalah gambaran demonstran dan jenazah. Namun, bila diperhatikan dengan lebih seksama keseluruhan puisi ini merupakan gambaran akibat demonstrasi. Bait pertama menampilkan frasa berbaring jenazah dan keranda bunga. Frasa ini mengantarkan pembaca pada suasana sedih.

Page 88: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

364 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Sikap tunduk melangkah memperkuat kesan sedih. Lebih-lebih pada larik terbaring putra tanah air. Adapun majas yang terdapat dalam puisi tersebut yaitu majas personifkasi yang terdapat pada aula yang tenang, malam makin tenang, pagar-pagar besi gempar, sepatu duri berlari, malam makin tua, dan pada lirik desah gerimis.

3) Analisis Isotopi

Isotopi terbentuk dari pengulangan komponen makna dan membentuk kohesi leksikal. Beberapa isotopi membentuk motif dan motif dapat membentuk tema. Dalam puisi ini ditemukan beberapa isotopi, yaitu isotopi kesedihan, isotopi kehidupan, isotopi gerakan, dan isotopi tempat. Uraian masing-masing isotopi tersebut sebagai berikut. Isotopi kesedihan terdapat pada frasa mataku terkapar, berbaring jenazah, brondong

tembakan, tunduk melangkah, tempat upacara duka, dan terbaring putra tanah air. Isotopi gerakan terdapat pada kata-kata berondong, sorak, berlari, hinggap, kulirik,

melangkah, dan kupahat. Isotopi kehidupan terdapat pada kata sorot lampu dan kegaduhan. Isotopi tempat terdapat pada tengah pintu, dekat mimbar, samping pilar, aula, keranda

bunga, kapal terbang, ujung bangku, gedung salemba, dan Universitas Indonesia. Isotopi gerakan dan gairah kehidupan dapat disatukan di bawah motif kehidupan, sedangkan

isotopi kesedihan dapat disatukan dengan isotopi tempat di bawah motif kematian. PENUTUP

Berdasarkan analisis puisi Jenazah tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan tanda-tanda dalam puisi mempunyai peran yang sangat penting. Hal tersebut sangat jelas terlihat pada setiap bait dan larik pada puisi. Dari segi analisis bentuk bunyi dan puisi terdiri atas lima bait dan 36 baris. Dari segi analisis sintaktika puisi tersebut terdiri atas enam kalimat. Dari segi analisis aspek pragmatika terdiri atas tiga aspek, yaitu deiksis, majas, dan isotopi. Pada aspek deiksis ditandai dengan penggunaan kata “aku”. Pada aspek majas ditandai dengan penggunaan majas personifikasi yang terdapat pada kalimat aula yang tenang, malam makin tenang, pagar-pagar besi gempar, sepatu duri berlari, malam makin tua, dan desah gerimis. Adapun pada aspek isotopi terdapat Dalam puisi ini ditemukan beberapa isotopi, yaitu isotopi kesedihan, isotopi kehidupan, isotopi gerakan, dan isotopi tempat. DAFTAR PUSTAKA Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Pradopo, Rachmat Djoko. 2013. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widyasari. Zaimar, Okke Kususma Sumantri. 2014. Semiotika dalam Analisis Karya Sastra. Jakarta: Komodo

Books.

Page 89: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 365

MEDAN MAKNA VERBA GERAK TANGAN DAN KAKI DALAM BAHASA JAWA

Farida Nuryantiningsih

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto44

Abstract

This paper aims to describe the semantic field of verbs movement of hands and feet in Javanese language. This research is important to study because the Javanese language should be developed and preserved. Keywords: semantic field, verbs movement of hands and feet, the Javanese language

PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer (Chaer, 1:2009). Bahasa di Indonesia terdiri dari beberapa bahasa daerah salah satunya bahasa Jawa. Menurut Hermadi (2010), bahasa Jawa merupakan bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Hal ini tidak mengherankan karena kejayaan kehidupan keraton di masa lampau banyak terdapat di daerah Jawa Tengah dibanding di daerah Jawa yang lain. Dengan demikian, bahasa Jawa merupakan bahasa asli masyarakat Jawa di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan daerah di sekitarnya. Bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang menjadi bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat Jawa. Bahasa Jawa juga merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan dan dijaga karena jika tidak bahasa Jawa dapat terkikis dan semakin hilang dari Pulau Jawa. Di dalam bahasa Jawa terdapat bermacam-macam verba, salah satunya verba gerak tangan dan gerak kaki. Verba gerak tangan dan kaki yang ada dalam bahasa Jawa ditujukan dalam melakukan aktivitas dan kebiasan yang ada dalam masyarakat Jawa. Dalam bahasa Jawa banyak terdapat verba gerak tangan dan kaki yang menarik untuk dibahas.

Tulisan ini akan membahas mengenai medan makna verba gerak tangan dan kaki dalam bahasa Jawa. Medan makna merupakan kajian dari semantik. Menurut Harimurti (1982) dalam (Chaer, 110:2009) medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Verba gerak tangan dan kaki termasuk bagian dari medan makna karena keduanya memiliki keterkaitan antara aktivitas dalam kebudayaan masyarakat Jawa khususnya penggunaan unsur leksikal dalam verba gerak. 1.2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif dengan teknik analisis isi. Penelitian ini dimaksud untuk mendeskripsikan medan makna verba gerak tangan dan kaki dalam bahasa Jawa. Fakta yang muncul dianalisis secara objektif berdasarkan analisis medan makna. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument). Peneliti menjadi instrumen karena peneliti turun secara langsung dalam mencari data, meneliti, dan menganalisis sumber data.

44

Dosen pengajar di Sastra Indonesia Jurusan Ilmu Budaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Page 90: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

366 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

1.3 Landasan Teori 1.3.1 Semantik

Kata semantik dalam Bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan” (Chaer 2009:2). Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa (Chaer 2009:2). Oleh karena itu semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik. 1.3.2 Medan makna

Medan makna ialah seperangkat makna yang mengandung komponen makna umum yang sama. Pengertian tersebut sejalan dengan pendapat Kridalaksana (2009:105) yang menyatakan bahwa medan makna adalah bagian dari kehidupan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan.

Chaer (2009:112) menyatakan bahwa kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu yang termasuk golongan kolokasi dan goolongan set. Menurutnya, kolokasi (berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ada di tempat yang sama dengan) menunjuk kepada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau berada dalam satu tempat atau satu lingkungan. Misalnya, pada kalimat penyerang tengah bernomor punggung tujuh itu memasukkan bola ke gawang dengan melewati pemain belakang dari pihak lawan yang ramai, kiper dari pihak lawan kewalahan menangkap bola tersebut sehingga wasit menyatakan gol. Kita dapat melihat kata-kata penyerang tengah, penyerang belakang, gol, bola, wasit, gawang, dan kiper berkolokasi dalam pembicaraan tentang olah raga sepakbola.

PEMBAHASAN

Medan makna aktivitas tangan dan kaki yang dibahas dalam makalah ini mengungkap verba gerak tangan dan kaki dalam bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa ditemukan 61 verba gerak tangan dan 16 verba gerak kaki di antaranya: 2.1 Leksikon Verba gerak tangan

No Glos Bahasa Jawa Fonetis

1 memukul ngantem *ŋantəm]

2 memukul nyampluk [ñampluk]

3 melamun sanggauwang *saηgauwaη+

4 menunjuk ngacung *ηacuη+

5 mencubit njiwit [njiwit]

6 menjewer njewer *njεwεr+

7 menampar ngampleng *ηamplәη+

8 menggaruk kukur [kukur]

9 menuntun nuntun [nuntun]

10 menggandeng nggandeng *ηgandεη+

11 menyuapi ndulang *ndulaη+

12 melipat tangan sedeku [sədəku]

13 menulis nulis [nulis]

14 menyisir jungkatan [jungkatan]

Page 91: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 367

15 Mencari kutu rambut/mencari uban metani *mεtani+

16 mencuci beras mususi [mususi]

17 mengipasi ngepeti *ηepәti+

18 mengikat naleni *nalεni+

19 memotong ngrajang *ηrajaη+

20 menengadahkan tangan nyadhong *ήadoη+

21 mencuil nyuwil *ήuwil+

22 mengetuk ndodok [ndodok]

23 memukul nabok [nabok]

24 mengelus ngelus-elus *ηəlus-əlus]

25 mengusap ngusap-usap *ηusap- usap]

26 mencuci pakaian ngumbahi *ηumbahi+

27 membasuh raup [raup]

28 menimba nimbo [nimbo]

29 mencangkul macul [macul]

30 mengeroki kerokan [kərokan]

31 mengupas ngonceki *ηonceki+

32 menunjuk nuding *nudiη+

33 menyuntik nyontik [ñonti?]

34 melilitkan naleni *nalεni+

35 membawa nyangking *ñaηkiη+

36 Membungkus nasi ngetumi *ηətumi]

37 memanah mlinteng [mlintəη+

38 memegang ndemek [ndəmεk+

39 memeras meres [mərəs]

40 mencubit njiwet [njiwet]

41 menyabet nyabet [ñabət]

42 melempar nguncalke *ηuncalke+

43 meremas ngremed *ηrəməd]

44 memukul nempiling [nəmpiliη+

45 cuci tangan wisuh [wisuh]

46 cebok cewok [cewok]

47 Meremas-remas sayuran nguleni *ηulεni+

48 mengulek nggerus *ηgərus]

49 mengambil air ngangsu *ηaηsu+

50 mengelap nyrebeti [ñrəbεti+

51 Mengobok-obok Ngobok-obok *ηobok-obok]

52 memetik pakai galah nyenggek *ñεηgεk+

53 mengepal nggenggem *ηgəηgəm]

54 mengikat mbundeli [mbundəli]

Page 92: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

368 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

55 memarut marut [marut]

56 Memberi makan memakai tangan ndulang *ndulaη+

57 mencabut mbubut [mbubut]

58 Memotong-motong nyacah [ñacah]

59 mematahkan nugel [nugəl]

60 membelah nyigar [ñigar]

61 memegang nyekel [ñəkəl]

2.2. Leksikon verba gerak kaki

No Glos Bahasa Jawa Fonetis

1 jegang njegang [njɛgaη+

2 ongkang-ongkang ongkang-ongkang *oηkaη-oηkaη+

3 jinjit jinjit [njinjit]

4 sila silo [silo]

5 melompat mlumpat [mlumpat]

6 jongkok ndodok [ndodok]

7 menendang nendang [nəndaη+

8 mengangkang ngangkang *ηaηkaη+

9 memanjat menek *mεnε?+

10 melangkah mlayu [mlayu]

11 melangkah mlaku [mlaku]

12 memijat dengan kaki ngidek-idek *ηidek-idek]

13 menendang -ndupak -nendang

[ndupak] *nendaη+

14 meluruskan kaki slonjor [slonjor]

15 menekuk kaki dongkrok *doηkrok+

16 melangkah mlangkah *mlaηkah

2.3 Medan makna verba gerak tangan dapat dikelompokkan menjadi 19 aktivitas yaitu: verba gerak

tangan memegang, menyentuh, mengambil, membawa, meletakkan, melempar, memberi, menerima, membuka, menutup, menarik, menekan, menyakiti, menghancurkan, menggulung, memanggil, menyalam, menunjuk, dan menghadang, :

2.3.1 Medan makna leksikon verba gerak tangan

No. Medan makna Leksikon

1. Memegang - Komponen gerak tangan untuk memegang sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran terpegang

[Genggem] [Kepel] *nangkәp+ *ηraηkul+ *njunjuη+ *mbopoη+ *ηgendoη+ *ηruηkәt+ *ήәkәl+

Page 93: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 369

2. Menyentuh - Komponen gerak tangan untuk menyentuh sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran tersentuh

*ndәmεk+ *ηusap+ *ηәlus+ [njawil]

3. Mengambil - Komponen gerak tangan untuk mengambil sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran terambil

[jikuk] *ήabut+ [methik]

4. Membawa - Komponen gerak tangan untuk membawa sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran terbawa

[gowo] *njunjuη+ *ηәmpit+

5. Meletakkan - Komponen gerak tangan untuk meletakkan sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran diletakan secara

langsung dan disebar

*ndεlεhke+

6. Melempar - Komponen gerak tangan untuk melempar sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran dilempar atau dibuang

*ηuncalke+ *ηguwaη+

7. Memberi - Komponen gerak tangan untuk memberi sesuatu - Komponen makna tujuan: sasaran diberikan

*ηәnehi+

8. Menerima - Komponen gerak tangan untuk menerima sesuatu - Komponen makna tujuan: motivasi menerima atau

menangkap sasaran

[nompo] *naηkәp+

9. Membuka - komponen gerak tangan untuk membuka sesuatu - komponen makna tujuan: motivasi untuk

mengetahui sasaran

[mbuka?]

10. Menutup - komponen gerak tangan untuk menutup sesuatu - komponen makna tujuan: motivasi untuk mengetahui

sasaran

[nutup]

11. Menarik - komponen gerak tangan untuk menarik sesuatu - komponen makna tujuan: menarik sasaran

[nari?] *ηrampas+ *ήεrεt+

12. Menekan - komponen gerak tangan untuk menekan sesuatu - komponen makna tujuan: menekan sasaran menggunakan

jari

*mәncεt+ *mijәt+ *ηurut+ *mәrәs+

13. Menyakiti - komponen gerak tangan untuk melakukan kekerasan

terhadap sesuatu - komponen makna tujuan: untuk menyakiti kepala beserta

bagian-bagiannya, - untuk menyakiti leher

[napu?] *ηamplәη+ *ηәthak+ [njamba?] *ήolo?+ *ήәki?+

Page 94: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

370 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

- untuk menyakiti badan - untuk menyakiti tangan

*nәmpεlεη+ [nuthu?] [mlinter]

14. Menghancurkan/membersihkan - komponen gerak tangan untuk menghancurkan sesuatu - komponen makna tujuan: sasaran hancur

*ηrәmәs+ *ηucә?+ *mbantiη+

15. Menggulung - komponen gerak tangan untuk menggulung sesuatu - komponen makna tujuan: sasaran digulung

*ηguluη+ *ηlithiη+

16. Memanggil - komponen gerak tangan untuk memanggil seseorang - komponen makna tujuan: sasaran dippanggil dengan

menggerakkan telapak tangan (naik turun)

*ηawe-awe]

17. Menyalam - komponen gerak tangan untuk menyalami seseorang - komponen makna tujuan: sasaran spesifik tangan kanan

dijabat oleh tangan kanan lagi

*ήalami+

18. Menunjuk - komponen gerak tangan untuk menunjuk sesuatu - komponen makna tujuan: sasaran ditunjuk dengan

menggunakan jari telunjuk

*nudhiη+

19. Menghambat - komponen gerak tangan untuk menghadang sesuatu - komponen makna tujuan: motivasi menghentikan gerak

sasaran

*naήkis+

2.4 Medan makna verba gerak kaki dapat dikelompokkan menjadi 6 aktivitas yaitu: verba gerak

kaki melangkah, melompat, menendang, mengangkang, duduk, dan menekan. 2.4.1 Medan makna verba gerak kaki

No. Medan makna Kosakata

1. Melangkah - Komponen gerak kaki untuk melangkah - Komponen makna tujuan: menggerakan kaki ke

depan sehingga berpindah tempat

[mlaku] *mbraηkaη+ [jinjit] *ηobel+ [mlayu]

2 Melompat - komponen makna gerak kaki untuk melompat - komponen makna tujuan: mengangkat kedua kaki

setinggi-tingginya ke udara ketika berdiri

[mlompat]

3 Menendang - komponen gerak kaki untuk menendang sesuatu - komponen makna tujuan: sasaran ditendang

sehingga menjauh atau merasa tersakiti

*ήεpa?+ *nәndhaη+

4 Mengangkang - komponen gerak kaki untuk mengangkang - komponen makna tujuan: membuka kaki lebar-

lebar

*mәkaηkaη+

Page 95: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 371

5 Duduk - komponen gerak kaki ketika duduk

[silo] [slonjor]

6 Menekan - komponen gerak kaki untuk menekan

*ηidha?+

PENUTUP

Dari hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam bahasa Jawa terdapat 61 verba gerak tangan dan 16 verba gerak kaki. Medan makna verba gerak tangan dapat dikelompokkan menjadi 19 aktivitas yaitu: verba gerak tangan memegang, menyentuh, mengambil, membawa, meletakkan, melempar, memberi, menerima, membuka, menutup, menarik, menekan, menyakiti, menghancurkan, menggulung, memanggil, menyalam, menunjuk, dan menghadang, 4 Medan makna verba gerak kaki dapat dikelompokkan menjadi 6 aktivitas yaitu: verba gerak kaki melangkah, melompat, menendang, mengangkang, duduk, dan menekan.

DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hermadi. 2010. Perlunya Pengenalan Budaya Jawa pada Pembelajaran Tingkat SMP, (Online),

(http:// http://edukasi.kompasiana.com/2010/03/13/perlunya-pengenalan-budaya-jawa-pada-proses-pembelajaran-tingkat-smp/), diakses tanggal 29September 2014.

Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Page 96: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

372 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

Page 97: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 373

PEREMPUAN BALI DALAM NOVEL: RESISTENSI TERHADAP HEGEMONI PATRIARKI

Gde Artawa

Undiksha

Abstract

Novels written by literaturer of Bali since the colonial era to the present provide a central position on women figures in the struggle to free themselves from the shackles of patriarchy and despite having to face the challenges of the subordinated position, marginalized, also cooptation, violence, suffering, and humiliation. This paper tries to explore how portraits and cultural struggle of Balinese women who represented the author resistant to patriarchy hegemony. The cultural struggle conducted Balinese women in the novel concerns the uprising of cultural associated with monolithic opinion to put pressure on the social system that patrilinear, systems and religious traditions of the people in Bali are framed by the Hindu religion. Resistance "silent" in the novel Sukreni Gadis Bali by AA Pandji Tisna is the embodiment of accepting something as the destiny of God. Suffering Sukreni become a symbol of woman helplessness Bali in patrilinear system that puts women in a subordinated position and men in the superior position. Telaga figures in novel Tarian Bumi by Oka Rusmini resistance in the form of ideas towards the reinterpretation of tradition and attitude concretely in her life. Concrete attitude is carried by Telaga that is brave out of her geriya communities and enter into the sudra communities in marriage with men outside of her communities. This is an attitude of resistance to the hegemony of patriarchy. Through the Kenanga characters in the Kenanga novel, Oka Rusmini reveals the dark side of geriya life and reveal phenomena that opposed the tendency of the older generation of sudra community to get a degree rise through the bond of marriage with the noble men. The woman figures in the novel Putri by Putu Wijaya do struggle of culture with reinterpretation and attitude towards tradition. Putri resisted the tradition that is based on no substance but rather at a ceremony that is not practical and Putri radically showed risisten attitude as a form of resistance against patriarchy hegemony. Putri also rolled ideas toward reform how to act in everyday life amid the cultural interaction based on Hinduism. Relationship intertextuality of novel on third author: Pandji Tisna, Putu Wijaya, and Oka Rusmini, can put forward some things. The women figure in the third author in the text indicate a strong interrelation of doing reinterpretation of tradition and struggle towards an ideal that does’n curb the development of community supporters. Woman figures in the text are equally doing reinterpretation the role of the community is considered as a symbol of stability, the top of manners, morality, such as puri and geriya. The struggle for gender equality is an effort of the woman figure in a holistic, balinese women in the novels by AA Pandji Tisna, Oka Rusmini, and Putu Wijaya do struggle of culture to give a response and resistance to patriarchal hegemony known as puruse in the social system of Bali.

PENDAHULUAN

Keadaan perempuan Bali dalam novel sejak A.A.Pandji Tisna hingga Oka Rusmini. digambarkan nasibnya tidak jauh berbeda dengan realitas nasibnya di luar ruang teks dengan kondisi real: termarginalisasi, tersubordinasi, terjadi kekerasan (violence), penjinakan (cooptation) dan keteraniayaan yang lain.Atas fakta ini,peempuan yang direpresentasilkan pengarang Bali berusaha dalam teks melakukan perlawanan kultural yasng diimplemantisan secara naratif sebagai suatu bentuk resistensi terhadap sebuah hegemoni patriarki yang begitu kuat muncul dari ruang tatanan tradisi masyarakat Bali.

Pembahasan sebelumnya tentang karya-karya Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rusmini secara sendiri-sendiri telah memperkaya pemahaman kita terhadap bentuk dan tema karya mereka. Namun pembicaraan ketiga novelis Bali terfokus pada perempuan Bali belum dilakukan.Usaha untuk membahas karya ketiga novelis Bali secara bersama dengan fokus representasi mereka tentang wanita dan perjuangan kultural mereka dalam bayang-bayang kompleksitas pertemuan dan konflik

Page 98: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

374 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

antara nilai-nilai tradisi dan modernisasi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran secara komprehensif perjuangan kultural yang dilakukan pengarrang melaui totok-tokoh perempuan.. Perlu juga ditegaskan bahwa pembicaraan ini berusaha melihat perjuangan kultural wanita Bali seperti digambarkan dalam novel sebagai sebuah kesatuan, atau kelanjutan dari satu karya ke karya lain. Konsekuensinya, dalam analisis seperti ini, yang ditonjolkan bukan lagi tokoh satu demi satu, tetapi kelanjutan ide perjuangan kesetaraan gender mereka. Dari tatanan intertekstualitas selanjutnya dapat dirunut hubungan ketiga pengarang melalui teks/novel yang dihasilkan, khususnya dalam mengangkat wanita sebagai potret dan perjuangannya menghadapi nilai-nilai budaya Bali.

PERJUANGAN KULTURAL DAN RESISTENSI

Perjuangan ke arah kesetaraan gender padahal telah dilakukan perempuan Bali sejak tahun tiga puluhan dengan adanya gerakan Poetri Sadar. Salah seorang aktivis perempuan, Nyonya Metra tahun 1939, sebagaimana dikemukakan Darma Putra, telah menulis di Djatajoe yang inti tulisannya mengarah pada upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan berbentuk retorik renungan yang manis sebagai upaya perjuangan di tengah hegemoni laki-laki yang selalu memberi stereotif lemah dan tak berdaya pada perempuan. Jauh sebelumnya, dalam sastra Bali Modern, perjuangan kultural terhadap kesetaraan jender dilakukan Made Pasek melalui karyanya. Dalam cerpen Ajam Pemaloe melalui tokoh perempuan Loeh Soemarasih, Made Pasek (1013) merekonstruksi sosok perempuan muda yang visioner terhadap pentingnya membebaskan diri dari kungkungan kebodohan dengan mempercayakan institusi sekolah sebagai pusat pendidikan. Perjuangan kultural ini ditunjukkan sosok Loeh Soemarsih saat ia mendebat ibunya yang melarang dirinya bersekolah karena perempuan.

Pandji Tisna,, Putu Wjaya, dan Oka Rusmini dalam bentangan tahun 1930-an-2000-an mencatat dan merepresentasikan tidak bergesernya nasib perempuan secara real dalam kehidupan soaial sebagaimana terefleksi dalam beberapa karyanya, dan tidak tertutup kemungkinan pengarang Bali yang lain menulis hal yang sama.

Ketegangan antara tradisi dan modernisasi menjadi warna tersendiri yang sering direspons pengarang karena mereka berinterelasi di dalamnya. Tradisi yang dipandang sebagai warisan masa lalu terjadi melalui proses sejarah dan dapat dipandang sebagai warisan sosial. Jika dipandang di tingkat makro, semua yang diwariskan masyarakat dari fase-fase proses historis terdahulu merupakan ‘warisan historis’ dan apa saja yang diwariskan komunitas dari fase terdahulu merupakan ‘warisan kelompok’ dan yang dialirkan individu merupakan ‘warisan individu’. Dalam hal ini tradisi dapat dilihat dari format ‘warisan historis’, ‘warisan kelompok’, dan ‘warisan individu’. Dalam bentangan tradisi dan modernitas, terdapat garis linear antara masa lalu dan masa kini dalam lingkar material, gagasan, idealisme, Pembacaan dan realisasi penyikapan dua kutub itu terekam

Dalam novel tampak bagaimana pengarang menyembulkan sosok-sosok perempuan yang berinteraksi di dalamnya. Terhadap tradisi yang ada, Pandji Tisna bersikap reseptif, permisif, sedangkan tokoh perempuan yang merupakan representasi dari pengarang Putu Wijaya dan Oka Rusmini bersifat reaksioner. Tokoh perempuan Putri pada novel Putu Wijaya adalah gambaran sosok intelektual yang berpikiran progresif dan futuristik ke arah bagaimana sebaiknya tradisi dibaca dan disikapi. Banyak hal yang dikritisi, mulai kegiatan religius yang disebut upacara yang tidak memusat pada substansi, reposisi eksistensi gerya yang masih menajamkan posisi panjak dan ratu, masalah kasta, sampai pada persoalan kerak budaya yang memfosil menghambat pemikiran rasional dan pragmatis. Reaksi tokoh wanita dalam novel karya ketiga pengarang di tengah wacana sosial, politik, dan kesetaraan gender dapat dikemukakan sebagai berikut. Tokoh wanita dalam novel Panji Tisna dalam ketiga wacana itu bersikap tidak represif dan toleran. Dalam arti, perjuangan kultural yang dilakukan tidak secara langsung dan reaksioner. Sikap pasrah tokoh Sukreni yang menderita akibat tindak pemerkosaan tokoh I Gusti Made Tusan ditunjukkan bukan sebagai pelecehan terhadap nasib wanita tetapi lebih pada substansi sebuah kesaksian tentang wanita yang teraniaya yang selanjutnya

Page 99: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI 375

menimbulkan simpati dari orang lain (pembaca). Juga kepercayaan Panji Tisna pada ajaran karma phala memperkuat sikapnya untuk tidak secara prontal menunjukkan perlawanan tokoh wanitanya. Reinterpretasi terhadap tradisi tidak banyak dilakukan menyangkut wacana yang berkembang di tengah para intelektual wanita yang bergerak melalui gerakan Putri Sadar. Di tataran wacana politis, tercermin pemerintahan kerajaan dalam pemerintahan kolonial

Tokoh Putri dalam novel Putu Wijaya sangat reaksioner dalam menyikapi wacana sosial dan secara gamblang serta terkesan ekstrem bersikap menentang tradisi yang dirasakan tidak berpijak pada substansinya. Tentang keberadaan eksistensi Bali secara holistik, Putri berpandangan:

“Putri sudah sering berpikir, barangkali Bali sudah waktunya berhenti menjadi tontonan dunia. Setidak-tidaknya Bali tidak harus menyiksa diri menjadi primadona 24 jam dalam sehari setiap hari sebab itu akan menjadi kekejian pada anggota masyarakat, khususnya yang miskin. Bali telah dijadikan semacam hutan lindung, cagar alam bagi bentuk kehidupan spiritual di masa lalu yang menitikberatkan pada upacara fisik, bukan perjalanan rohani. Tontonan itu memang sudah terjual laris dan menjadi bagian dari tumpangan yang membuat Bali melejit di seluruh peta pariwisata dunia. Tetapi rakyat miskin dan terutama para perempuan telah menjadi korban sepanjang hidup mereka demi memelihara kesenangan para pelancong itu, meskipun, setelah kurun waktu yang panjang, sembilu derita itu menjadi terbiasa. Seakan tanpa siksaan hidup tidak komplet dan kebahagiaan tidak penuh. Pengorbananpun menjadi tujuan, bukan lagi jalan penebusan.” (Putri : 351)

Dalam perjalanan selanjutnya berbagai kendala dihadapi tokoh wanita, Putri, dalam

mengembangkan konsep rasional dengan lingkungannya. Bumbu percintaan yang diselipkan sebagai bagian cerita menjadi pemanis untuk tetap mempertahannya kekuatan cerita di tengah-tengah desain untuk melakukan perjuangan kultural. Penolakan Putri terhadap keinginan menikah dari Ratu Agung Aji dari Puri Puncak merupakan salah satu perlawanan Putri terhadap kekuasaan karena puri dikonotasikan dengan kekuasaan dan simbol bagi kemapanan tradisi.

Secara sosiopolitik puri disimbolkan sebagai himpunan kekuatan yang dapat menentukan iklim dan arah pencapaian tujuan sosiopolitik. Secara sosioekonomi pun puri dianggap sebagai simbol kemapanan dan inilah dengan segenap keberaniannya Putri melakukan penolakan. Walaupun demikian konsistensi Putri untuk menolak ruang puri dalam kehidupan pribadi menyangkut penentuan pilihan arah desakan cinta kasihnya agak tergoyahkan ketika dia mau menerima kehadiran Agung Ngurah Wikan - yang juga dari komunitas puri - dalam ruang kehidupan cintanya. Putri berusaha melepaskan diri dari simbol kemapanan, tetapi pada akhirnya dia masuk ke dalam kemapanan itu sendiri karena menerima Agung Wikan yang merupakan putra dari Ratu Agung Aji. Penerimaan ini apakah karena Putri melakukan perlawanan terhadap realitas poligami yang dilakukan Ratu Agung Aji? Tentu ini adalah sebuah pilihan Putri di tengah arus romantisme seorang yang rasional.

Putu Wijaya dalam suatu kesempatan menyebutkan bahwa reaksi tokoh wanitanya tidak reaksioner tetapi merupakan pembacaan yang berbeda dengan tokoh lain di Bali. Putri melakukan perlawanan terhadap tradisi dan memunculkan pemikirannya tentang sebuah tradisi baru. Perlawanannya terhadap hegemoni yang tercipta akibat sistem stratifikasi sosial. Juga landasan ajaran karma phala direfleksikan Putu Wijaya dalam menata perjalanan kehidupan tokoh ceritanya. Pada tataran politis muncul pemikiran ke arah Bali Mandiri dan dalam kesetaraan gender ada perjuangan maksimal yang dilakukan Putri

Dalam novel novel Tarian Bumi Oka Rusmini, tokoh wanita terkadang menunjukkan kegamangan membaca tradisi. Terhadap perilaku nyerod ada kemenduaan sikap tokoh wanita. Pertama ada keraguan dan kepercayaan bahwa nyerod memiliki konsekuensi yang sangat tragis berupa resiko-resiko negatif yang akan diterima tokoh yang nyerod, seperti dianggap tidak menghormati leluhur kartena melakukan tindakan tidak terpuji sehingga akan berakibat timbulnya

Page 100: Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) …pbsi.uad.ac.id/wp-content/uploads/Prosiding-PIBSI-XXXVI.compressed... · harus diingat. Antara lain opini dan fakta, hal-hal

376 Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVI

petaka dan kesialan-kesialan lainnya. Kedua, tampak ketegasan sikap Oka Rusmini menentang tradisi (sebagaimana dilakukan pengarangnya dalam kehidupan real, kawin dengan laki-laki sudra). Di samping nyerod, Oka Rusmini juga alihagama karena ikatan perkawinan. Dalam novel tampak ketegasan tokoh Ida Ayu Telaga Pidada yang berani meninggalkan gelar kebangsawanan dan komunitas geriya karena kawin dengan laki-laki sudra. Oka Rusmini dalam novelnya juga menentang perbedaan status yang menomorduakan komunitas dari golongan sudra. Dalam novel ini secara tematis Oka Rusmini mempertunjukkan sosok sudra yang lain, sosok yang berpendidikan, berwibawa, visioner, dinamis, rasional, dan bukan sebagai abdi. Dalam wacana kesetaraan gender, terdapat perjuangan maksimal pada tokoh-tokoh wanita dalam novel-novel Oka Rusmini, seperti tokoh Kenanga, Telaga, dan Intan.

Resistensi macam apakah yang ditampilkan pengarang melalui representasi tokoh-tokoh perempuannya? Tindak pemerkosaan terhadap Sukreni oleh Tokoh Gusti Made Tusan merupakan sebagian bentuk hegemoni patriatri dan selanjutnya hasil dari tindak pemerkosaan melahirkan sosok Gustam. Sosok Gustam adalah simbol dari ketakterikatan persetubuhan dengan institusi perkawinan yang patriarki sehingga Gustam yang lahir dari rahim perempuan bernama Sukreni adalah bentuk resistensi terhadap konstruksi patriarki. Juga dalam novel Oka Rusmini, digambarkan bahwa tokoh Luh Intan Prameswari, Luh Kerta dan Luh Kerti merupakan produk hubungan seksual di luar lembaga/ insitusi perkawinan. Kedua nama perempuan terakhir merupakan produk hasil pemerkosaan yang dilakukan tiga laki-laki terhadap ibunya Luh Dalem. Demikian pula, tokoh Sentral, Putri, digambarkan sebagai produk dari persetubuhan di luar kerangka institusi perkawinan. Dan ini menunjukkan resistensi lagi terhadap patriarki.

Tokoh-tokoh yang lahir di luar konstruksi patriarki dapat dibaca sebagai sebuah representasi sikap kritis terhadap dominasi patriarki yang jelas-jelas mensubordinatkan peran perempuan. Dari spirit gender justru kontraproduktif untuk mencapai kesetaraan. Dapat ditarik garis linear mengapa pembacaan ketiga pengarang berada dalam lintas intertekstualitas walaupun dalam bentuknya yang tidak hipogram, baik hipogram potensial maupun hipogram aktual. Wujudnya lebih mengarah pada interdiscursivity terdapat konfigurasi elemen tekstual yang memokuskan pada penggrapan tematik yang bersinggungan.

Ada semacam perjuangan kultural yang dilakukan untuk mematahkan pendapat monolitik tentang implementasi dengan segala eksesnya konstruksi patriarki yang menghegemoni dan menempatkan laki-laki Bali di tataran superior. Keteraniayaan tokoh-tokoh perempuan yang dimunculkan pada karya-karya Panji Tisna adalah sebuah ekspose perlawanan lain terhadap hegemoni yang memosisikan peran perempuan dalam kungkungan domestik yang dibingkai dengan filosofis keyakinan akan adanya karma phala. Putu Wijaya melalui tokoh perempuannya dalam novel Putri melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang lepas dari landasan substantif dan berkutat pada tataran seremoni dengan menawarkan konsep tradisi baru sebagai sebuah pembebasan dan cara pembacaan yang lain yang lebih rasional dan komprehensif terhadap tradisi.

Sebagai sebuah perlawanan terhadap hegemoni patriarki, dalam novel ditampilkan sudra yang lain. Men Negara ( Sukreni Gadis Bali) , Ni Rawit (Ni Rawit Ceti Penjual Orang ) yang antagonis adalah sosok yang menyangkal konsep dan ikon sudra yang bodoh, bersikap nerima. Kedua tokoh ini dengan permainan yang cantik mampu melintasi dan mengobrak-abrik komunitas bangsawan dan memainkan peran strategis untuk sebuah kepentingan pragmatis. Kedua perempuan ini dapat dengan mudahnya mematahkan dominasi hegemoni patriarki yang diwakili oleh tokoh semacam Gusti Made Tusan dan Ida Wayan Ompog yang larut dalam jeratan permainan kedua perempuan beda profesi ini. Dari konsep feminitas dan maskulinitas nonbiologis, kedua perempuan ini memainkan peran maskulinitas. Penyikapan melawan tradisi dengan melakukan nyerod pada tokoh perempuan novel Oka Rusmini adalah impementasi perjuangan kultural sebagai perwujudan sikap kritis pengarang terhadap tradisi namun selanjutnya terkesan Oka Rusmini bersikap ambivalen ketika ia terjerumus dalam ritual patiwangi yang dilakukan oleh tokoh yang nyerod. Sikap Putri selalu