pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

22
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN A. LATAR BELAKANG Syarat berdirinya suatu negara salah satunya adalah memiliki wilayah kekuasaan teritorial yang berdaulat. Wilayah teritorial suatu negara sebagai suatu ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan wilayah udara. Secara rinci bagian-bagian dari wilayah suatu negara meliputi wilayah daratan termasuk tanah dibawahnya, wilayah perairan, dan wilayah ruang udara dan ruang angkasa. Kedaulatan terhadap teritorial suatu negara adalah mutlak, namun untuk dapat mengadakan hubungan antar negara, Wilayah perairan dan wilayah udara memiliki keistimewaan sehingga dikenal adanya Hukum Laut dan Hukum Udara. Berbeda dengan wilayah Laut yang memiliki hak lintas damai, wilayah udara suatu negara merupakan kedaulatan dari negara yang berada di bawahnya. Untuk dapat melintas berlaku juga lintas damai namun tidak secara mutlak karena harus memperoleh izin dari negara yang kedaulatannya dilalui oleh pesawat atau yang dikenal dengan azas Cabotage yakni suatu kebijakan pengangkutan barang dalam perairan Indonesia, antar pelabuhan 1

description

penumpuan kesalahan terhadak kasus kecelakaan penerbangan

Transcript of pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

Page 1: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN

A. LATAR BELAKANG

Syarat berdirinya suatu negara salah satunya adalah memiliki wilayah

kekuasaan teritorial yang berdaulat. Wilayah teritorial suatu negara sebagai suatu

ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan wilayah

udara. Secara rinci bagian-bagian dari wilayah suatu negara meliputi wilayah

daratan termasuk tanah dibawahnya, wilayah perairan, dan wilayah ruang udara dan

ruang angkasa.

Kedaulatan terhadap teritorial suatu  negara adalah mutlak, namun untuk

dapat mengadakan hubungan antar negara, Wilayah perairan dan wilayah udara

memiliki keistimewaan sehingga dikenal adanya Hukum Laut dan Hukum Udara.

Berbeda dengan wilayah Laut yang memiliki hak lintas damai, wilayah udara suatu

negara merupakan  kedaulatan dari negara yang berada di bawahnya.  Untuk dapat

melintas berlaku juga lintas damai namun tidak secara mutlak karena harus

memperoleh  izin dari negara yang kedaulatannya dilalui oleh pesawat atau yang

dikenal dengan azas Cabotage  yakni suatu kebijakan pengangkutan barang dalam

perairan Indonesia, antar pelabuhan di Indonesia yang harus diangkut oleh kapal

berbendera suatu Negara dan awak kapalnya juga warga Negara tersebut.

Rujukan dasar dari lalu lintas udara adalah Hukum Udara, yakni hukum yang

mengatur obyek udara yang telah dikenal sejak jaman Romawi1, dengan

Prinsip ”Cuius est solum, eius est usque ad coelum” (yang memiliki tanah, memiliki

juga udara diatasnya sampai ke langit), persoalan yang sering diperdebatkan adalah

masalah kedaulatan di ruang udara, terutama antara mereka yang berpendapat

1 Mieke Komar Kontaatmadja.1989.Hukum Udara Dan Angkasa. Remaja Karya.Bandung.hal; 91

Page 2: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

bahwa ” ruang udara adalah bebas” dan antara mereka yang berpendapat bahwa

”negara masing-masing berdaulat diruang udara diatasnya”.

Dalam suatu Negara yang berdaulat berlaku Hukum Nasional, yakni Hukum

yang berlaku secara Nasional dalam wilayah Yurisdiksi suatu Negara. Hukum

Nasional ini berlaku berdasarkan asas Teritorial yang menyatakan bahwa sebuah

negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda, dan terhadap

Peristiwa – peristiwa di dalam wilayah teritorialnya sehingga dapat menjalankan

yurisdiksi terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum, termasuk Hukum

Pidana.

Moeljatno (2000)2 hukum pidana merupakan bagian keseluruhan hukum yang

berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu

bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, , Jakarta:2000, Hal 52

Page 3: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

Hukum Pidana pada dasarnya mempunyai fungsi mengatur hidup masyarakat

atau menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat3. Selain itu mempunyai fungsi

khusus yaitu melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang memaksanya

dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan

sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan hukum yang

dilindungi hukum pidana dapat berupa nyawa, kehormatan, kemerdekaan dan harta

benda.

Pengenaan hukum pidana tidak hanya melihat adanya perbuatan semata, akan

tetapi juga peristiwa. Yakni suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan

sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkannya suatu hukuman. Secara

teoritis, peristiwa pidana memiliki unsur-unsur: pertama Suatu perbuatan melawan

hukum (onrechmatig atau wederrechtelijk);kedua Suatu pebuatan yang dilakukan

karena pelanggar bersalah (aan schuld (van de overtreder) te wijten);ketiga; Suatu

perbuatan yang dapat dihukum (strafbaar). Pengertian peristiwa pidana tersebut

mengacu kepada istilah straffbaarfeit.

Dalam penanganan kasus kecelakaan penerbangan, faktor kesalahan manusia

(human error) menduduki peringkat tertinggi dalam kasus-kasus kecelakaan

penerbangan. Istilah yang lebih lazim digunakan dalam dunia penerbangan adalah

Human Factor yakni tentang aktivitas manusia dalam kehidupan maupun situasi

kerja, tentang hubungan manusia dengan mesin, tentang hubungannya dengan

prosedur dan lingkungannya serta aturan-aturan, dan tentang hubungan manusia

dengan manusia lainnya. Dalam hal ini human factors4 merupakan pengetahuan

3 Ibid, hal; 2

4 Chapanis (1985) dalam Sritomo W soebroto, the development ergonomic method : pendekatan ergonomi menjawab problematika industri, tarumanegara pers jakarta 2006 , hal ; 12

3

Page 4: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

terapan bersifat praktis dari teori-teori psikologi yang menekankan pada optimasi

hubungan antar manusia beserta aktivitasnya, dengan aplikasi sistematikanya, yang

terintegrasi dalam kerangka kerja ”system engineering”. Sasarannya adalah

efektivitas sistem, termasuk keselamatan dan efisiensi, serta kesejahteraan (well

being) individu.  human factor berhubungan dengan informasi mengenai tingkah

laku, kemampuan, dan keterbatasan manusia serta karakteristik mengenai

perancangan peralatan, mesin, sistem, pekerjaan dan lingkungan untuk

menghasilkan keamanan, kenyamanan, dan efektifitas dalam penggunaannya.

Faktor manusia. Dalam hal terjadi kecelakaan akibat faktor manusia, yang

biasanya dituduh adalah kapten penerbang, padahal sebenarnya tidak selalu

demikian karena manusia dalam hubungan ini adalah setiap orang atau tenaga yang

terlibat langsung dalam proses penerbangan. Mereka antara lain adalah teknisi

pesawat terbang, awak pesawat, tenaga ruang penerangan (briefing office), tenaga

pengawas lalu-lintas udara (ATC). Kapten penerbang selama menjalankan tugasnya

dapat terjadi “sudden incapicity”. sudden incapicity ini ditimbulkan olehberbagai

penyakit, seperti penyakit serangan jantung. sudden incapicity inilah yang

menyebabkan kecelakaan. Disamping itu, mereka dapat juga mengalami keletihan

(fatigue).

4

Page 5: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis dapat membuat

perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah suatu peristiwa kecelakaan dalam penerbangan dapat

dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana (straffbarfeit)?

2. Apakah yang di jadikan sebagai dasar hukum dalam menentukan adanya

tindak pidana dalam kecelakaan pesawat terbang sipil?

C. PENDEKATAN MASALAH

Pendekatan masalah yang di gunakan dalam penulisan makalah ini adalah

menggunakan pendekatan Yuridis normatif; yakni pendekatan yang dilakukan

dengan cara memperlajari ketentuan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-

konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang di kaji.

D. KAJIAN TEORI

Kecelakaan pesawat udara sipil (Accident) adalah suatu kejadian yang

berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang

naik pesawat udara sampai semua orang keluar dari pesawat5, dimana:

a. seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat dari:

1) berada di dalam pesawat, atau

5 Bambang Widarto, Aspek-aspek Hukum Pidana Dalam Kecelakaan Pesawat Udara. (Jakarta, 1998) hal;10

5

Page 6: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

2) kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian yang terlepas dari

pesawat, atau

3) terkena dampak langsung jet blast.

Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab alamiah/natural causes,

diri sendiri atau orang lain atau terjadi pada penumpang gelap yang berada di

bagian pesawat yang tidak diperuntukkan bagi penumpang/crew; atau

b. pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:

1) mempengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa terbang

pesawat, dan

2) memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen yang rusak,

Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin, dengan kerusakan mesin,

cowling dan accessories, kerusakan pada propeller, wing tip, antenna, tires,

brakes, fairings,lubang kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat;

3) pesawat tersebut hilang atau sama sekali tidak terjangkau.

Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah

hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim

merupakan terjemahan darirecht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit

adalah berkaitan dengan hukum pidana6

Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja

dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai

akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan

6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002).

hal; 66

Page 7: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai

tindak pidana (strafbaar feit).

Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht

sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law.

Adapun pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai

berikut :

1. SIMONS, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan

keharusan yang pelanggaran terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa

(pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan tentang syarat, cara

menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.

2. MOELJATNO, hukum pidana adalah aturan yang menentukan : a) Perbuatan

yang tidak boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang

melanggarnya, b) Kapan dan dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana,

c) Cara pengenaan pidana kepada pelanggar tesebut dilaksanakan

3. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai

pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang

berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak

dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

4. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai

pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang

berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak

dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.

7

Page 8: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

5. WLG. LEMAIRE, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi

keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah

dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang

bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu

merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang

mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu

keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana

hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat

dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini nampaknya dalam arti

hukum pidana materil).

6. WFC. HATTUM, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-

asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat

hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum

umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar

hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan

suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.

7. WPJ. POMPE, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya dengan

hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya

diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak

bersifat umum yang abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.

8. KANSIL, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-

pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan

mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.

8

Page 9: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

Istilah peristiwa pidana memiliki arti, bahwa “peristiwa” meliputi suatu

perbuatan (handelen ataudoen) atau suatu melalaikan (verzuim, niet doen atau

nalaten) maupun akibatnya (akibat dari perbuatan atau melalaikan sesuatu).

Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu suatu peristiwa

kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum7.

Keseluruhan istilah tersebut di atas mengacu pada pemakaian istilah

strafbaar feit dan delict. Namun, VAN DER HOEVEN menolak penggunaan istilah

strafbaar feit, karena bukan peristiwanya yang dihukum, melainkan pelaku dari

peristiwa tersebut, sehingga Van der Hoeven menggunakan istilah Strafwaardig feit.

E. PEMBAHASAN

e.1. Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana

Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan dengan tiga

faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error), faktor pesawat

terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll8.

Dalam kecelakaan, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar,

disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor

penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan

gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus9.

Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan telah

diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan berkala bagi para personel

7 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009).

8 Ibid, hal;15

9 Ibid, hal;179

Page 10: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

penerbangan, khususnya bagi para personel yang berkaitan langsung dengan

aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara berkala tersebut merupakan suatu

kewajiban bagi setiap personel penerbangan yang telah memiliki sertifikat

kecakapan ataupun lisensi sesuai dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut

lebih dipertegas dalam Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.

Tujuan dari pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah

agar dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja

dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat membahayakan

keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan.

Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap personel

penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa suatu

penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan dibutuhkan suatu

keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang berkaitan, sehingga apabila

dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan secara khusus

tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada

timbulnya kecelakaan yang fatal.

Dalam membahas sebab-sebab terjadinya kecelakaan pesawat udara ada

pula yang berpendapat bahwa ada empat faktor yang punya kemungkinan besar

menjadi penyebeb terjadinya kecelakaan pesawat udara, yaitu :

1) faktor manusia

2) faktor material

3) faktor media

4) faktor terorisme

10

Page 11: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

Dari pendapat tersebut, faktor terorisme dimasukkan sebagai salah satu

faktor dari penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara, sedangkan menurut

pendapat K.Martono terorisme tidak dimasukkan sebagai salah satu faktor penyebab

terjadinya kecelakaan pesawat udara. Adapun faktor manusia yang dikemukakan

adalah faktor penyebab manusia dalam arti luas, yaitu baik manusia dalam arti

setiap orang yang tidak terlibat langsung dalam proses penerbangan, termasuk

pelaku sabotase dan teroris.

Dalam KUHP ataupun penjelasan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976

tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-

Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap

Sarana/Prasarana Penerbangan, tidak pernah diberikan penjelasan atau pengertian

dari istilah celakanya pesawat udara, mencelakakan pesawat udara, pesawat udara

celaka, kecelakaan pesawat udara ataupun hancurnya pesawat udara. Dari

beberapa Pasal yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara sebagaimana

yang terdapat dalam KUHP di atas, maka dapatlah diklasifikasikan manusia sebagai

faktor penyebab kecelakaan pesawat udara adalah sebagai berikut :

1) Dari unsur kesalahan :

a) karena kealpaan seseorang

b) karena kesengajaan seseorang

2) Dari segi pekerjaan/profesi seseorang :

a) setiap orang yang bertugas dalam proses penerbangan

1. Pilot

11

Page 12: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

2. Teknisi

3. Petugas ATC

4. orang yang bertugas mendukung penerbangan,dan lain-lain

b) Orang yang tidak termasuk dalam proses penerbangan

1. Penumpang

2. Pelaku sabotase

3. Teroris

Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat dalam

Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah memberikan

Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan penerbangan.

Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam ketentuan aturan

pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), telah

diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik dengan unsur sengaja, melawan

hukum, ataupun karena kealpaan yang dapat menyebabkan suatu pesawat udara

celaka (incident), hancur serta tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan

sebuah peristiwa pidana.

Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan

yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut. Agar

dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu penyelidikan secara komprehensif

yang dilakukan oleh Kepolisian selaku penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki

12

Page 13: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

indikasi pidana serta menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam

ketentuan pidana, baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP.

e.2. Regulasi ketentuan Pidana dalam Kecelakaan Pesawat Terbang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan perundang-

undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan

penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana.

Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan

dalam undang-undang ini disamping sanksi administratif yang juga berlaku dan

ditentukan dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini

diatur dalam Bab XXII, yang terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum

menekankan bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari

tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur

dalam Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak

mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini.

Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun ketentuan

pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi setiap orang, sesuai

dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat pengecualian dalam

pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang memiliki hubungan kerja

dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur dalam Pasal 411 ayat (1) yang

menentukan dengan tegas bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh

orang yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk

kepentingan dari perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun

hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara

13

Page 14: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh

korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada

perusahaan ataupun pengurusnya.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang

penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang luas, karena

tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak

pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang

tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa kekhususan yang bersifat

menyimpang dari ketentuan umum KUHP. Penyimpangan terhadap ketentuan

umum dalam KUHP dapat terlihat pada subyek delik yang dimana berdasarkan

ketentuan undang-undang ini dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum,

yang dalam KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi,

undang-undang tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus,

karena sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai

daya paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif.

Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan, undang-undang ini

menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas setiap bentuk tindak pidana

penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang instansinya berada

dalam lingkup tugas dan tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang

ditentukan dalam Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut

tetap melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta

meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap

tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut didasarkan karena

penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan memerlukan suatu keahlian khusus

14

Page 15: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya penyidik khusus untuk

melakukan penyidikan disamping penyidik Polri.

F. KESIMPULAN

Kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian

masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar

hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pemandu Lalu Lintas Udara terkait

kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam

masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal

tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pemandu Lalu

Lintas Udara di Indonesia.

Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang

dilakukan oleh Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya

kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). namun aturan ini dimungkinkan dapat

bertentangan dengan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation

Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan

pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah

terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau

bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pemandu Lalu Lintas

Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor

kesengajaan dan/atau kelalaian. dimana penerapan peraturan perundang-undangan

15

Page 16: pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan

nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

16