Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei...

33
JURNAL ISU KESETARAAN SOSIAL ETNIK TIONGHOA DALAM TUR STANDUP COMEDY ILLUCINATI ERNEST PRAKASA Disusun Oleh: BRYAN BARCELONA D0210021 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017

Transcript of Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei...

Page 1: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

JURNAL

ISU KESETARAAN SOSIAL ETNIK TIONGHOA

DALAM TUR STANDUP COMEDY ILLUCINATI ERNEST PRAKASA

Disusun Oleh:

BRYAN BARCELONA

D0210021

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2017

Page 2: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Isu Kesetaraan Sosial Etnik Tionghoa Dalam Tur Standup ComedyIllucinati Ernest Prakasa

Bryan Barcelona

Andrik Purwasito

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

Social equality reflects the motto “Unity in Diversity” which describes the unity and integrity of The Unitary State of the Republic of Indonesia which consists of diverse culture, local languages, races, ethnicity, religions and beliefs. There are no exceptions to equal rights in society, regardless of background identity. However, in the course of democratic life in Indonesia, there are some phenomena that imply discrimination against certain groups, one of which is Tionghoa ethnic. Some cases of racial discrimination on Tionghoa ethnic in the era before and after the national independence lead to a new sentiment in society, that they have no sense of belonging as Indonesian citizens and some stereotypes that aimed for Tionghoa ethnic in Indonesia. Based on those concerns, Ernest Prakasa as a standup comedian with Tionghoa ethnic persona, thought that he should convey the message of equality to his audience.

The message was summed up in his special show, Illucinati, which that became his third standup comedy tour and was being held in 17 cities in Indonesia from November 2013 to January 2014. In Illucinati, Ernest blended above the society perception about Tionghoa ethnic with standup comedy material based on social reality in Indonesia. In this study, the analysis method uses messages studies with data collection through documents, observation, interviews, and literature.

The results show that Ernest not yet represent the social equity problem that occurred among the Tionghoa ethnic as a whole. Ernest had the tendency to focus on certain stereotypes, thus giving the impression that the rights that Ernest was fighting for just popular only among the upper middle class of the Tionghoa ethnic. Illucinati materials represent only the second part from the reality of social life group of Tionghoa ethnic in Indonesia.

Keywords: social equality, Tionghoa ethnic, standup comedy, Illucinati, Ernest Prakasa

1

Page 3: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Pendahuluan

Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas banyak keragaman; mulai dari suku, bangsa, dan juga ras. Karena itu, bukan tanpa alasan para pendiri bangsa ini menjadikan adagium Bhineka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu jua,” sebagai acuan fundamental dalam berkehidupan sosial. Sebuah gagasan apik yang menjadikan perbedaan sebagai pematik persatuan, alih-alih sebagai pemrakarsa perpecahan —sebagaimana sering ditemui di pelbagai penjuru dunia. Namun jelang tujuh dekade sejak merdeka —sejak kali pertama gagasan itu disampaikan ke muka publik, dalam perkembangannya gagasan mulia ini justru lebih sering berakhir hanya sebagai ‘gagasan’ semata, karena nilai-nilai toleransi keragaman yang ada ada di dalamnya diciderai oleh bangsanya sendiri. Ada banyak fenomena dan aneka peristiwa sejarah di Indonesia, yang bertolak belakang dengan prinsip kebinekaan yang diusung oleh para pendahulunya. Dan ironisnya, hal ini seringkali menyita perhatian internasional.

Salah satu peristiwa sejarah Indonesia yang mencederai prinsip kebhinekaan dan menjadi sorotan dunia, adalah tragedi Mei ’98. Meski lebih tenar sebagai peristiwa yang merepresentasikan perlawanan rakyat terhadap tirani penguasa, tragedi Mei ’98 juga menyimpan sebuah kisah kelam tentang bagaimana gagasan Bhineka Tunggal Ika, bisa menjadi retorika dan omong kosong belaka bagi sebagian orang. Adat ketimuran yang sering diagung-agungkan sebagai karakter bangsa, seakan sirna tatkala menyaksikan amarah massa yang sedemikian beringas di tragedi Mei ’98. Ester Indahyani Jusuf (2005: 185) menyebutkan, bahwa ada korban bias dalam tragedi Mei ’98, yaitu etnik Tionghoa. Pada saat berlangsungnya tragedi Mei ’98, etnik Tionghoa sebetulnya memposisikan diri sebagai pihak netral; tidak memihak rakyat sipil—dalam hal ini diwakili oleh mahasiswa, juga tidak memihak aparatur negara. Mereka tidak ingin dipusingkan dengan siapa mengkudeta siapa, bagi mereka, hidup tentram dan nyaman di negeri ini saja sudah lebih dari cukup.

Peristiwa Mei ’98, sejatinya hanya contoh dari rentetan kasus rasialisme terhadap etnik Tionghoa yang pernah terjadi di negeri ini. Berdasarkan lini masa sejak zaman kemerdekaan, etnik Tionghoa seringkali mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Baik yang sifatnya datang dari perseorangan, maupun dari sistem yang diatur oleh aparatur negara; di zaman pemerintahan Presiden Soekarno, misalnya. Pada era kepemimpinan Presiden pertama yang akrab disapa Bung Karno ini,

2

Page 4: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

muncul Peraturan Pemerintah (PP) No. 10/1959 yang memunculkan polemik di kemudian hari. Pergantian era, tak serta merta membuat nasib etnik Tionghoa semakin membaik. Pasca menggantikan Bung Karno, Soeharto tidak kunjung membuat gebrakan yang mengindikasikan bentuk dukungan terhadap kesetaraan hak etnik Tionghoa. Sikap ini, dipengaruhi oleh pandangan Soeharto yang menganggap kunci kesuksesan dalam bernegara harus didasari oleh kultur bangsa yang homogen.

Sejarah mencatat, pemerintah Indonesia baru terkesan ‘serius’ menghadapi isu kesetaraan etnik Tionghoa saat dipimpin oleh Presiden keempat, Abdurrahman Wahid. Gus Dur menaruh banyak perhatian terhadap isu kesetaraan etnik yang selama ini kurang mendapat perhatian—atau bahkan terkesan sengaja diabaikan oleh para pendahulunya. Bukan tanpa alasan, Gus Dur memperoleh gelar “Bapak Tionghoa Indonesia” dari banyak komunitas Tionghoa di nusantara. Selama menjabat menjadi Presiden, ia memang membuat beberapa gagasan yang dinilai ‘memuliakan’ status etnik Tionghoa. Nasib etnik Tionghoa pasca Gus Dur, tentu saja banyak mengalami perubahan. Yang paling kentara, tentu saja kemunculan unsur Tionghoa yang menjamur di berbagai aspek sosio kultural. Namun perubahan yang paling penting, sejatinya tak kasat mata. Perubahan simbolik macam tadi sebetulnya hanya bonus, sedangkan toleransi dan kebanggaan etnik Tionghoa—yang kembali muncul—dengan identitas keindonesiaannya adalah tujuan utamanya. Mereka merasa menjadi bagian negeri ini, sama seperti warga pribumi yang lain.

Namun begitu, upaya baik pemerintah untuk menghapuskan undang-undang yang secara sistematis mendiskriminasi etnik Tionghoa, nyatanya tidak selalu selaras dengan apa yang terjadi di masyarakat. Lingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus diskriminasi di Indonesia, dengan 20 persen di antaranya menggunakan isu etnik sebagai latar belakang diskriminasi. Menurut Benny Setiono, sinofobia segelintir orang yang konsisten memojokkan etnik Tionghoa dengan dalih kebanggaan semu sebagai pribumi ini sejatinya mirip dengan apa yang terjadi pada masyarakat Jawa pada era pemerintahan Hindia-Belanda. (2002: 195). Dengan latar belakang hubungan pribumi dengan warga keturunan etnik Tionghoa yang cukup kompleks di Indonesia, maka perbincangan mengenai isu apapun yang berkaitan dengan etnik Tionghoa cenderung jarang muncul ke permukaan. Apalagi pemerintah Orde Baru sempat getol mengingatkan masyarakat bahwa isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) adalah bahasan yang tabu, karena ditakutkan akan mengarah pada

3

Page 5: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

ketidakstabilan dan separatisme (Nordholt, 2007:471). Jika ada bahasan mengenai kesetaraan sosial dan diskriminasi terhadap etnik Tionghoa, sifatnya terbatas pada diskusi intelektual dalam bentuk seminar, kajian, dan dialog yang diselenggarakan oleh akademisi maupun non-akademisi.

Namun hal itu tidak berlaku bagi Ernest Prakasa, salah seorang pionir yang getol mengangkat isu kesetaraan sosial, khususnya etnik Tionghoa, lewat pendekatan yang jauh dari kesan ‘berat’ dan serius. Ernest adalah pelaku standup comedy di Indonesia—biasa disebut komika, yang konsen kepada isu kesetaraan sosial dengan persona etnik Tionghoa sebagai materi utamanya. Menurut Ernest, semangat ini didasari oleh pengalaman pribadinya sebagai etnik Tionghoa—tatkala ia menyaksikan sendiri bagaimana diskriminasi terhadap golongannya terjadi selama bertahun-tahun di Indonesia (Samiadi, 28: 2012). Maka dari itu ketika tren standup comedy menyeruak ke permukaan, Ernest merasa tergerak untuk memberikan edukasi tentang nilai-nilai toleransi ke masyarakat, sekaligus memberikan testimoni tentang bagaimana perjalanan hidupnya tinggal di Indonesia sebagai warga keturunan etnik Tionghoa.

Karir Ernest di dunia standup comedy Indonesia, bermula saat ia ikut ajang pencarian bakat Standup Comedy Indonesia (SUCI) musim pertama yang diadakan oleh Kompas TV pada 2011. Untuk kali pertama, Ernest memperkenalkan karakter komedi—biasa disebut persona, sebagai komika keturunan Tionghoa dan berhasil menyabet posisi juara tiga pada gelaran ini. Selang setahun, ia menggelar tur standup comedy perdananya bertajuk Merem Melek Tour yang menyambangi 11 kota di Indonesia. Merem Melek Tour juga tercatat sebagai tur standup comedy pertama yang pernah dihelat di Indonesia. Mengingat kesuksesan turnya yang pertama, Ernest memutuskan untuk kembali menggelar tur keliling nusantara. Pada penghujung 2013, Ernest membuat tur keduanya yang bertajuk Illucinati. Meski masih memuat konten tentang isu kesetaraan sosial, berbeda dengan tur sebelumnya, Ernest kali ini menambah jangkauan kota yang ia singgahi. Illucinati menyambangi 17 kota, dengan menggandeng sub-komunitas Standup Indo di kota tersebut untuk bekerjasama. Ke-17 kota tersebut adalah: Makassar, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Banda Aceh, Semarang, Solo, Jogjakarta, Padang, Depok, Bandung, Bogor, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Denpasar, dan ditutup di Gedung Kesenian Jakarta pada awal 2014. Pada pertunjukan penutup—biasa disebut show finale—di Jakarta, Ernest menghadirkan salah satu figur keturunan Tionghoa yang aktif dalam gerakan politik dan popularitasnya tengah naik

4

Page 6: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

daun, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahya Purnama atau akrab disapa Ahok.

Bagaimana Ernest membuat isu kesetaraan bagi etnik Tionghoa naik ke permukaan lewat pendekatan komedi, adalah sebuah usaha yang menarik. Masalahnya, seringkali usaha yang sangat menarik sekalipun belum tentu menuai hasil yang diinginkan. Dalam hal ini, terasa kurang afdol apabila Ernest hanya mendapatkan keuntungan hasil dari segi komersial atau segi relasi dan koneksi. Sebab, sejak awal Ernest sudah menjadikan ‘isu kesetaraan bagi etnik Tionghoa’ sebagai bahasan utama yang akan dia angkat. Berdasarkan hal tersebut, sudah seharusnya jika segi edukasi menjadi buah hasil paling penting dari semua upaya yang sudah dilakukan Ernest. Apabila penikmat standup comedy yang konsisten menikmati hasil karya Ernest dari waktu ke waktu tidak mendapatkan nilai edukasi sedikitpun, maka tujuan awal Ernest terjun ke dunia standup comedy pun menjadi melenceng.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Ernest Prakasa menggambarkan stereotip etnik Tionghoa dalam materi pertunjukan Illucinati?

2. Bagaimana Ernest Prakasa menyisipkan pesan kesetaraan sosial etnik Tionghoa dalam materi pertunjukan Illucinati?

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui Ernest Prakasa menggambarkan stereotip etnik Tionghoa dalam materi pertunjukan Illucinati.

2. Mengetahui Ernest Prakasa menyisipkan pesan kesetaraan sosial etnik Tionghoa dalam materi pertunjukan Illucinati.

Tinjauan Pustaka1. Komunikasi

Dari perspektif etimologis, kata “komunikasi” berasal dari Bahasa Inggris, communication, yang merupakan serapan dari bahasa latin communicatio atau communis yang berarti sama, atau dalam hal ini yang dimaksud adalah kesamaan makna. (Dance, 1970: 79). Namun ketika berbicara soal definisi, tidak ada satu definisi yang memiliki kebenaran atau kesalahan absolut, bisa jadi satu definisi dirasa terlalu luas—sementara bagi kelompok lain dirasa terlalu sempit. Maka dari itu, penulis memilih untuk menggunakan pemahaman komunikasi yang paling populer dan cocok untuk

5

Page 7: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

penelitian kali ini, di mana komunikasi dimaknai sebagai proses penyampaian pesan searah dari seseorang (sekelompok orang) baik secara langsung (tatap-muka) ataupun melalui media, seperti surat kabar, surat selebaran, majalah, radio, atau televisi.

Menurut Mulyana (2000:117) pemahaman proses komunikasi yang searah ini kurang sesuai apabila menilik kasus pada komunikasi tatap-muka, tapi karena penulis menggunakan pertunjukan standup comedy yang bisa dikategorikan sebagai komunikasi publik (orasi/pidato), maka definisi ini dirasa cukup relevan. Konten materi Ernest Prakasa sangat lekat dengan isu-isu sosial yang didasari atas persepsi-persepsi yang tumbuh di dalamnya. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, Ernest memahami bahwa ada persepsi sosial yang keliru di dalam tatanan kehidupan sosial di Indonesia. Persepsi ini berkembang dengan sendirinya, karena masyarakat menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian yang pernah mereka alami di dalam lingkungannya. Secara sadar, Ernest melakukan proses komunikasi publik kepada khalayak guna mengubah persepsi mereka terhadap etnik Tionghoa. Ia berusaha untuk memberikan perspektif baru kepada penonton terkait pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh kepada etnik Tionghoa, dan mengajak mereka untuk menyimpulkan informasi sekaligus menafsirkan pesan yang ingin ia sampaikan. Dalam hal ini, pesan memiliki peran penting dalam mementukan persepsi sosial seseorang—karena berguna sebagai pemberi makna pada stimuli indrawi atau sensory stimuli. (Desiderato, 1976: 129).

2. Semiologi Komunikasi

Semiologi berasal dari kata semeiotics (Yunani: σηµειωτικός, semeio-tikos), yang artinya an interpreter of signs. Jadi, semiologi adalah ilmu tentang tafsir tanda, termasuk sistem tanda. Definisi ini membuat aplikasi semiologi sangat luas, bisa digunakan berbagai bidang keilmuan, karena semiologi adalah metode tafsir untuk seluruh tanda yang diproduksi oleh manusia. Semiologi dapat dipakai untuk membahas fokus persoalan komunikasi dengan dititikberatkan pada tafsir tanda pada pertukaran pesan yang diproduksi oleh partisipan komunikasi dalam suatu proses komunikasi. Model semiologi ini membantu untuk menjelaskan bagaimana komunikasi bekerja sebagai proses interaksi. Dengan kata lain, semiologi komunikasi sebagai metode tafsir ditujukan untuk menginterpretasikan pesan dalam tindak

6

Page 8: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

komunikasi. Artinya, ketika terjadi proses interaksi, maka di sana terjadi pertukaran tanda-tanda (pesan) antar partisipan komunikasi. Namun, perlu dipahami bahwa pesan komunikasi juga tidak mudah dimengerti, unik dan mengandung maksud tersembunyi karena termasuk dalam komunikasi yang melakukan pertukaran simbol (sharing of symbol). Jadi, setiap problematik komunikasi juga mengandung problematik simbol. Semiologi komunikasi dibutuhkan karena memang dijadikan metode untuk memecahkan problem komunikasi dimaksud.

Salah satu problem komunikasi yang terdapat pada pertunjukan standup comedy adalah materi pesan yang disampaikan komunikator dalam proses komunikasinya kepada khalayak sangat rawan menimbulkan multi-interpretasi. Apalagi dalam proses komunikasi publik seperti standup comedy, interaksi antara sumber dan penerima sangat terbatas sehingga kesalahpahaman yang berpotensi menimbulkan masalah sangat mungkin terjadi (Middleton, 621: 2000). Secara umum, problem komunikasi yang terjadi pada proses pertunjukan standup comedy juga sesuai dengan penjelasan Donald Carbaugh, antara lain:

1. Persoalan menyangkut shared identity (identitas bersama) 2. Persoalan menyangkut shared meanings, (pemaknaan yang

sama) 3. Persoalan menyangkut kontradiksi atau paradoks dalam

kelompok itu yang memengaruhi pola dan bentuk-bentuk komunikasi.

Dalam materi standup comedy, terkandung sebuah pesan yang ingin disampaikan komika kepada pendengarnya. Berdasarkan konteks tersebut, dapat diasumsikan bahwa Ernest Prakasa memiliki motif dan tujuan tertentu dalam pertunjukan Illucinati, dan proes komunikasi di dalamnya terjadi karena ada motif yang terletak dalam kesadaran dirinya. Studi pesan (message studies) digunakan oleh peneliti untuk mempelajari tindak komunikasi yang dilakukan Ernest dalam derajat intensional tertentu. Dalam hal ini, Ernest menggunakan materi standup comedy dalam Illucinati untuk memengaruhi orang lain untuk tujuan tertentu, dengan latar belakang yang akan dikaji lebih dalam menggunakan teknik studi pesan. Namun perlu diketahui dalam standup comedy, rawan sekali muncul sumber gangguan dalam interpretasi pesan ketika melakukan proses komunikasi. Sumber gangguan tersebut dapat diatasi dengan cara mengemas materi yang menjadi kemasan pesan (message packaging)

7

Page 9: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

melalui proses rancangbangun pesan (message engineering). Melalui proses studi pesan, peneliti juga menemukan paparan bahwa standup comedy sebagai medium penyampai pesan memiliki aspek-aspek lain seperti sosial-budaya, ruang dan waktu, serta konteks pesan yang berguna untuk proses pemaknaan pesan dan kaitannya dengan realitas sosial masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai metode tafsir dalam proses dan tindak komunikasi, berikut dijabarkan empat pilar utama yang erat kaitannya dengan studi pesan. Yaitu: studi kekuasaan, studi masyarakat, studi kebudayaan, dan studi mentalitas. (Purwasito, 2003)

Jika digambarkan dalam gambar, keterkaitan studi pesan dengan keempat pilar tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut:

Empat Pilar Message Studies

Sumber: Purwasito, Andrik (2003), Message Studies, Studi Tanda dalam Wacana

Berdasarkan uraian di atas, temuan teoritisnya dapat dijabarkan bahwa efektivitas komunikasi bisa mencapai hasil yang optimal apabila menggunakan prinsip message engineering.. Proses rekayasa pesan ini dimulai dari:

1. Hadirnya simbol sebagai representasi gagasan komunikator

8

Studi Pesan

Studi Kekuasan

Studi Kebudayaan

Studi Mentalitas

Studi Masyarakat

Page 10: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

2. Rekayasa simbol sebagai manifestasi pesan3. Kemasan pesan (message packaging) sebagai hasil message

engineering untuk disampaikan kepada khalayak.

Jika digambarkan, maka proses rekayasa pesan nampak sebagai berikut:

Diagram Proses Message Engineering

Sumber: Purwasito, Andrik (2003), Message Studies, Studi Tanda dalam Wacana

Bahwa untuk melakukan kajian pesan, message packaging yang dilakukan komunikator melalui message engineering mengacu pada 5 unit analisis, yaitu analisis terhadap komunikator, analisa saluran yang dipilih oleh komunikator, menyelidiki pemilihan manifestasi (wujud kemasan), pertimbangan ruang dan waktu oleh komunikator, menganalisis makna pesan (message meaning) untuk mengetahui maksud, juga motif tersembunyi komunikator. Lima komponen rancang bangun kemasan pesan dapat dilihat berikut ini:

9

Gagasan Komunikator

Rekayasa Simbolik

Kemasan Pesan

Efektivitas Komunikasi

Message Packaging

Komunikator

Khalayak

SaluranRuang dan Waktu

Manifestasi Pesan

Page 11: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Komponen Dasar Message Packaging

Sumber: Purwasito, Andrik (2003), Message Studies, Studi Tanda dalam Wacana

message packaging tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa ada proses intelektual yang disusun dengan melibatkan banyak faktor seperti faktor psikologis, gender, sosial budaya, ekonomis, dan politis dalam Illucinati.

3. Kesetaraan Sosial

Dalam kajian ekonomi CESifo yang dirilis Oxford Journals, Wollstein B. Jarret mempaparkan definisi kesetaraan dan keterkaitannya dengan beberapa aspek dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut Wollstein, kesetaraan adalah salah satu konsep klasik yang paling sering dibahas dalam sejarah umat manusia. Secara umum, kesetaraan sosial menyatakan bahwa semua orang dari golongan atau kelompok tertentu, berhak mendapatkan status dan perlakuan yang sama. Dalam hal itu termasuk hak sipil, kebebasan berpendapat, hak kepemilikan, dan akses yang sama untuk mendapatkan pelayanan sosial. Secara lebih luas, kesetaraan sosial juga mencakup tentang kesetaraan kesehatan, finansial, dan jaminan keamanan sosial. Ini juga membahas tentang peluang dan kewajiban yang setara, untuk semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Dalam pelaksanaannya, kesetaraan sosial ini akan menghindarkan masyarakat dari diskriminasi personal/kelompok karena adanya perbedaan kelas sosial atau jenjang kasta. Selain itu, kelamin, gender, umur, orientasi seksual, asal daerah, kasta, kelas, pendapatan, bahasa, agama, opini, suku, kondisi kesehatan dan difabilitas tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan perlakuan berbeda kepada seseorang di hadapan hukum dan perlakuan sosial.

Dalam masyarakat yang beragam secara kultural, individu-individu yang terlibat di dalamnya cenderung tidak sependapat dengan masalah-masalah relevan dalam suatu konteks, tanggapan yang tepat, dan apa yang dipertimbangkan sebagai perlakuan setara atas diri mereka. Jika kita menggunakan perbedaan kultural sebagai pertimbangan, perlakuan setara bukan berarti pikiran tidak identik namun berbeda; hal ini akan memunculkan pertanyaan seperti, “bagaimana kita dapat meyakinkan bahwa perlakuan ini benar-benar setara lintas budaya, dan tidak berfungsi sebagai sebuah selubung untuk diskriminasi atau hak istimewa kepada golongan tertentu,” (Parekh. 2008: 321). Di Indonesia, penerapan prinsip kesetaraan sosial masih jauh dari ketegori sempurna karena masih ada tindak diskriminasi yang mencedrai prinsip Bhineka Tunggal Ika.

10

Page 12: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Penyelewengan prinsip kesetaraan sosial bagi etnik Tionghoa di Indonesia terjadi baik secara sistematis atau sporadis. Etnik Tionghoa sering tidak mendapatkan kesetaraan sosial, karena masih banyak stigma yang menyatakan bahwa mereka berbeda dengan golongan penduduk asli atau pribumi. Susan Giblin, ilmuwan sosial dari University of Queensland mengemukakan bahwa dalam wacana identitas nasional Indonesia, etnik Tionghoa masih diposisikan sebagai orang luar. Akibatnya, hal ini memicu adanya diskriminasi kelompok atau individu karena adanya perbedaan status sosial.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang didukung data kualitatif. Dengan subyek dalam penelitian ini Ernest Prakasa, empunya tur standup comedy Illucinati yang digelar keliling Indonesia. Penelitian ini menggunakan dua jenis data, yaitu:data primer adalah data yang berasal dari sumber asli atau pertama. Adapun data primer ini melalui DVD Illucinati Show Finale Ernest Prakasa, kemudian data sekunder melalui referensi data yang dikumpulkan melalui media massa, serta wawancara dengan komunitas standup comedy yang ada di kota terkait. Pengumpulan data menggunakan teknik dokumen, observasi, wawancara, dan studi pustaka. Untuk analisis data, penelitian ini menggunakan metode analisis studi pesan yang mengkaji dan membedah konten pertunjukan standup comedy Ernest Prakasa untuk mengetahui bagaimana sebuah materi standup comedy dapat merepresentasikan keresahan seorang warga keturunan Tionghoa

Sajian dan Analisis Data

a. Hak Keamanan

Salah satu isu utama yang sering didengungkan oleh konsep kesetaraan sosial, adalah hak untuk mendapatkan jaminan keamanan yang sama dalam suatu masyarakat atau kelompok. Dalam KUHP, negara bahkan terang-terangan menjamin perlindungan hukum terhadap jiwa (pasal 338) dan tubuh (pasal 351) manusia bagi warga negara Indonesia, baik yang berada di dalam negeri atau di luar negeri. Susan Giblin, ilmuwan sosial dari University of Queensland mengemukakan bahwa dalam wacana identitas nasional Indonesia, etnik Tionghoa masih sering diposisikan sebagai orang luar. Akibatnya, hal ini memicu adanya diskriminasi kelompok atau individu karena adanya perbedaan

11

Page 13: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

status sosial. Karena hal inilah, etnik Tionghoa akhirnya memiliki kecenderungan untuk merasa apatis atas gejolak sosial yang ada di sekitarnya.

Namun jika menilik rekam jejak sejarah, etnik Tionghoa sejatinya juga memiliki banyak tokoh peduli akan nasib bangsa, dan tergabung dalam pergerakan yang berpengaruh besar dalam stabilitas nusantara, Mulai dari tokoh perjuangan, pemikir, aktivis, sampai politik, hampir semuanya pernah dimiliki kelompok etnik Tionghoa dari waktu ke waktu. Sayangnya, karena kurang mendapat sorotan dan keterbatasan khazanah tentang tokoh-tokoh etnik Tionghoa dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, maka tokoh-tokoh tersebut cenderung tenggelam dibandingkan tokoh berpengaruh lainnya.

Dengan narasi kesetaraan sosial yang begitu menggugah dan cukup berbobot untuk dibahas, Ernest nyatanya hanya merangkum topik hak keamanan ke dalam 1 set materi saja. Penulis merangkum materi ini ke dalam Korpus 1, di mana Ernest menjadikan set ini sebagai pembuka. Pada materi ini, Ernest menggunakan teknik story telling, dengan memilih set-up panjang sebagai pengantar—seperti sedang bercerita atau mendongeng—tentang bahasan tokoh pergerakan dari etnik Tionghoa, kemudian diakhiri dengan punchline yang kuat di akhir materi.

b. Hak Berbudaya

Perjalanan budaya etnik Tionghoa di Indonesia sempat mengalami pasang-surut dari waktu ke waktu, dikarenakan adanya konflik kepentingan dari kelompok berpengaruh yang ada di nusantara. Pada era sebelum kemerdekaan misalnya, cukup mudah menemukan perilaku budaya etnik Tionghoa di dalam masyarakat nusantara, dan tidak hanya terbatas menyoal adat istiadat saja, melainkan juga pikiran dan akal budi yang menjadi kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang paling kentara dari perilaku budaya etnik Tionghoa kala itu, adalah penggunaan bahasa Tiongkok yang menjadi bahasa pendamping setelah bahasa Melayu. Pada awal abad 19, warga etnik Tionghoa yang berada di Indonesia memang lebih sering menggunakan bahasa melayu sebagai perantara komunikasi paling lazim. Namun jelang akhir abad 19, imigran anyar dari Tiongkok banyak berdatangan ke nusantara dan membuat warga etnik Tionghoa yang sudah lebih

12

Page 14: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

dahulu berada di sini mulai menyadari tradisi dan nilai-nilai budaya Tiongkok yang otentik.

Berdasarkan bangkitnya kesadaran diri etnik Tionghoa terhadap identitas dan budaya nenek moyang, pada 1900 berdirilah organisasi Tiong Hoa Hwee Koan yang bertujuan untuk memajukan reformasi sosial dan kultural segenap etnik Tionghoa di Hindia-Belanda. Dengan tujuan tersebut, maka bahasa yang dipilih mereka dalam kegiatan organisasi tersebut adalah bahasa Mandarin. Setelah itu, banyak bermunculan sekolah Tionghoa di Pulau Jawa dan meningkat pula intensitas penggunaan bahasa Mandarin di penjuru nusantara.

Sadar bahwa gerakan ini berpotensi 'mengancam' eksistensi kolonial Belanda karena munculnya kesadaran diri secara kolektif dari etnik Tionghoa di Indonesia, Belanda akhirnya mengambil alih kurikulum bahasa di pelbagai sekolah Tionghoa dan mengganti bahasa Mandarin dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dalam proses belajar mengajar. Hal ini bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama bahkan sampai setelah Indonesia merdeka, meskipun penggunaan bahasa Indonesia di sekolah Tionghoa ini berangsur jauh meningkat. Namun pada 1950-1960, muncul regulasi yang membatasi persebaran budaya dan bahasa Tionghoa di Indonesia. Bermula dari sekolah Tionghoa yang dipaksa ditutup oleh Pemerintah, kemudian kurikulum pendidikan yang mewajibkan semua sekolah menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa pengantar di kegiatan belajar-mengajar. Pada rezim orde baru sampai awal reformasi, peraturan ini tidak banyak mengalami perubahan dan bahkan cenderung jauh lebih mengekang kebebasan warga etnik Tionghoa dibandingkan rezim sebelumnya. (Vasanty, 2005:359)

Dalam topik hak berbudaya, Ernest lebih banyak menyusun set materi dibandingkan pada hak keamanan. Pada topik ini, penulis mencatat ada 2 korpus yang bisa dikategorikan sebagai materi yang menyinggung tentang hak berbudaya etnik Tionghoa di Indonesia. Pada korpus 02 Ernest membahas mengenai logat Cina yang digunakan Ibunya dalam bersosialisasi di masyarakat, kemudian pada korpus 03 Ernest menjelaskan mengenai tradisi Imlek yang sudah banyak dikenal orang tapi belum tentu diketahui latar belakangnya.

13

Page 15: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

c. Hak Atas Pekerjaan

Salah satu aspek kesetaraan sosial adalah kesamaan hak dalam hal mendapatkan pekerjaan. Saat ini di Indonesia, akan sangat mudah menemukan warga keturunan etnik Tionghoa yang berada di berbagai sebaran profesi. Namun jika menilik ke belakang, sejatinya mereka tidak memiliki banyak pilihan untuk memilih profesi sesuai yang mereka inginkan. Padahal sejak era kemerdekaan, hak warga negara untuk mendapatkan dan memilih pekerjaan yang layak sesuai kemanusiaan dijamin oleh hukum dan Undang-Undang. Bahkan dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang dirilis Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948, hak individu untuk mendapat dan memilih pekerajaan tertulis jelas pada pasal 23 yang berbunyi:

Namun nyatanya, perputaran ekonomi etnik Tionghoa sejak tiba di nusantara sampai era reformasi memang sangat bergantung kepada profesi sebagai pedagang, padahal mereka juga memiliki keahlian lain yang sulit dijajal karena dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah. Sejak saat itulah, kelompok etnik Tionghoa menjadi lebih terfokus pada usaha dagang dan menjauhi panggung politik, sehingga tertanam pada benak masyarakat bahwa mereka berafiliasi dengan karakteristik tertentu yang cenderung menyudutkan posisi mereka di masyarakat.

Pada topik mengenai hak atas pekerjaan, Ernest jauh lebih banyak membahasnya dibandingkan topik sebelumnya, yaitu hak keamanan dan hak berbudaya. Penulis mencatatat, setidaknya ada 4 korpus yang memuat materi mengenai hak atas pekerjaan bagi etnik Tionghoa di Indonesia. Korpus 04 membahas mengenai stereotip yang didapat etnik Tionghoa selama dikaitkan sebagai kaum pedagang, kemudian korpus 05 bercerita tentang karakteristik etnik Tionghoa jika memiliki profesi sebagai petugas birokrasi, korpus 06 tentang kesamaan ‘nasib’ antara etnik Tionghoa dan Minang yang dikenal sebagai kelompok pedagang nomor wahid di Nusantara, dan terakhir korpus 07 menyinggung soal keterbatasan opsi pekerjaan untuk etnik Tionghoa ketika berada pada masa Orde Baru.

d. Hak Partisipasi Politik

Partisipasi merupakan keikutsertaan atau peran serta dalam

14

Page 16: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

kegiatan tertentu. Sedangkan politik diartikan sebagai kemampuan seorang aktor dalam posisinya sebagai pemimpin dan dengan apa yang dia punya, mampu memengaruhi seseorang untuk melaksanakan perintahnya meski disertai berbagai perlawanan. Sedangkan dalam konteks negara, politik diartikan sebagai bentuk kegiatan mempertahankan atau menghilangkan kekuasaan. Sehingga partisipasi politik dapat diartikan secara longgar sebagai aktivitas warga negara pada proses pengambilan keputusan dalam bidang politik. Hal ini termasuk mengenai aktivitas pemungutan suara (voting), pengajuan petisi, bahkan pemblokiran jalan. Partisipasi politik ini merupakan sebuah tolok ukur bagi kualitas demokrasi di sebuah negara.

Partisipasi politik masyarakat etnik Tionghoa telah ada bahkan dari sejak pemerintahan kolonial Belanda melalui organisasi Tionghoa benama Sun Yat Sen, yang bertujuan untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal. Sedangkan pada masa revolusi atau pra-kemerdekaan Indonesia, marjinalisasi warga Tionghoa tampak pada berita politik yang dimuat dalam media massa seperti dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan.Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, dan Siauw Giok Tjhan. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu “tangan kanan” Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora.

Sedangkan pada rezim Orde Baru, Soeharto (1966-1998) mempunyai beberapa kebijakan eksplisit bagi etnik Tionghoa agar kesulitan melangkah di peta perpolitikan Indonesia. Suharto juga melakukan persebaran langkah ini lewat andil media dan kaum intelektual—yang mau tidak mau harus menuruti instruksi tersebut, sehingga muncul kecenderungan masyarakat non-etnik Tionghoa membatasi interaksi politik dengan masyarakat etnik Tionghoa.

Untungnya pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama

15

Page 17: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Kebijakan inilah yang kemudian membuka jalan kepada masyarakat etnik Tionghoa untuk aktif dan terjun langsung ke dalam peta perpolitikan di Indonesia, karena secara administrasi negara sudah diperbolehkan untuk terlibat di dalamnya. Bertahun-tahun setelahnya, andil keturunan etnik Tiongoa dalam dunia politik di Indonesia semakin masif dan sempat menimbulkan paranoia atau kecurigaan tertentu kepada gerakan politik ini.

Berdasarkan keresahan itulah, Ernest merasa perlu mengingatkan kepada penikmat karyanya bahwa etnik Tionghoa juga pantas mendapat kesetaraan sosial dalam bidang partisipasi politik. Dalam bab ini, Ernest menghasilkan 5 korpus data yang bisa dianalisa ke dalam bahasan partisipasi politik etnik Tionghoa, sekaligus menjadi kolektif korpus terbanyak dibandingkan bahasan lain dengan tema kesetaraan sosial dalam tulisan ini. Pada korpus 08, Ernest membahas tentang propaganda politik Illucinati yang mengaitkan pertunjukan komedinya dengan gerakan politik di Jakarta, kemudian pada korpus 09 ia memunculkan wacana etnik Tionghoa sebagai Presiden Indonesia, di korpus 10 ia membahas Pancasila sebagai tonggak kesetaraan sosial—khususnya tentang partisipasi politik bagi etnik Tionghoa, di korpus 11 ia membahas budaya yang menjadi penentu dalam menggunakan hak suara etnik Tionghoa, dan sebagai penutup di korpus 12 ia menyertakan usaha mempertimbangkan kualitas bagi tokoh etnik Tionghoa yang muncul di dunia politik Indonesia. Menurut penulis, hak partisipasi politik menjadi bahasan paling penting dalam cakupan kesetaraan sosial yang diinginkan Ernest Prakarsa dalam Illucinati baik dari kualitas atau kuantitas materi yang ia sampaikan.

Kesimpulan

Setelah dilakukan proses message enginering terhadap isu kesetaraan sosial etnik Tionghoa dalam materi tur standup comedy Ernest Prakarsa, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan terhadap pesan yang berusaha disampaikan oleh Ernest selaku komunikator sebagai berikut.

1. Pemilihan topik kesetaraan sosial bagi etnik Tionghoa yang

16

Page 18: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

menjadi kajian utama dalam penelitian kali ini, menunjukkan kecenderungan bahwa Ernest Prakasa menaruh atensi khusus terhadap adanya kesamaan hak untuk kelompok Tionghoa dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

2. Karena ingin menanggapi isu yang sifatnya populer, Ernest memiliki kecenderungan untuk 'larut' ke dalam paradigma yang berkembang di dalam masyakarat bahwa etnik Tionghoa dicap anti sosial, apatis, memiliki pendidikan tinggi, dan tergolong mapan dari segi finansial.

3. Dari isu kesetaraan sosial yang disajikan oleh komunikator, hak partisipasi politik menjadi bahasan yang paling menonjol.

4. Sementara untuk bahasan di luar hak partisipasi politik, Ernest kurang memberikan kedalaman pesan. Pada tema hak atas keamanan, Ernest memilih topik Itta Martadinata hanya sebagai pengantar tanpa mengajak penontonnya untuk memberikan kesadaran akan jaminan aman seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali. Untuk bahasan terkait hak berbudaya dan hak atas pekerjaan, Ernest memang terlihat melakukan riset lebih mendalam karena mampu mengaitkan isu tersebut dengan hal-hal yang relatif dekat dengan kehidupan masyarakat. Sayangnya pada bahasan hak atas pekerjaan, Ernest mengambil generalisasi terlalu ekstrem dengan menganggap bahwa semua bagian etnik Tionghoa selalu memilih jalan hidup sebagai pedagang dan memiliki asas bisnis lebih tinggi dibanding kelompok lain.

Berdasarkan metode analisis message engineering yang digunakan penulis, maka dapat disimpulkan bahwa contoh kasus yang digunakan Ernest sebagai materi tidak hanya didasarkan pada fenomena ketidaksetaraan sosial yang terjadi pada etnik Tionghoa di Indonesia saja, tapi juga pengalaman pribadi dan referensi komunikator sendiri yang sangat dipengaruhi oleh nilai budaya, politik, ekonomi, dan mentalitas yang ia rasakan. Materi yang ia susun memiliki premis yang sangat terpengaruh oleh pengalaman pribadi dan persepsi yang ia bangun sendiri. Melalui metode ini pula, peneliti mampu memperkuat tafsir dan argumentasinya lewat cara membandingkan materi Ernest dengan fungsi tanda pada teks-teks lain. Selain itu, penulis juga melakukan penafsiran pada tanda yang telah ditemukan dengan didukung oleh penafsir lain melalui tanda-tanda yang dinilai memiliki keterkaitan atau intersubyektivitas. Penulis tidak hanya menafsirkan makna hanya dengan menggunakan realitas tanda yang nampak secara eksplisit saja, namun juga melalui tanda-tanda implisit yang digali secara komprehensif dalam materi standup comedy Illucinati.

17

Page 19: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Saran

Berdasarkan paparan di atas, penulis menulis beberapa saran yang bisa dipertimbangkan kepada komunikator, pelaku standup comedy, atau khalayak pada umumnya. Antara lain sebagai berikut:

1. Observasi dan riset yang dilakukan Ernest selaku komunikator harus dilakukan lebih mendalam apabila ingin membuat sebuah tour special show lagi di kemudian hari

2. Bisa membedakan referensi pribadi dengan realita yang terjadi di kehidupan masyarakat. Ketika Ernest menahbiskan diri sebagai 'corong suara' untuk kelompok etnik Tionghoa di Indonesia, ia seharusnya lebih jeli untuk menempatkan porsi referensi pribadi dengan realita yang terjadi.

3. Dengan perkembangan standup comedy yang kini tumbuh sebagai alternatif jenis komedi baru di Indonesia, Ernest selaku senior dan pendiri induk organisasi standup terbesar di nusantara, diharapkan bisa 'mengembalikan' citarasa komedi ini seperti pada titahnya.

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Dance, Frank E.X. 1970. The Concept of Communication. Wiley Online Library.

Desiderato, Otello. 1976. Investigating Behaviour: Principles of Psychology. Joana Cotler Books.

De Jong, P.E de Josselin. 1960. Minangkabau and Negeri Sembilan: Socio-Political Structure in Indonesia. Jakarta: Bhartara.

Desmond Morris. 1979, Gestures: Their Origins and Distribution, Jonathan Cape, hal. 182

Dice, Mark. 2009. The Illuminati: Facts and Fiction, The Resistance, San Diego, hal. 371

Fiske, John. 2011. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.

Gottlieb, H. 2005. Multidimensional Translation: Semantics Turned Semiotics Proceedings. 1-28.

18

Page 20: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Gurr, Barbara Harff. 1994, Ethnic Conflict in World Politics. Westview Press.

Hikmat Budiman. 2005. Hak Minoritas: Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation, hlm 27

Huntington, Samuel P. 1991. Democracy's Third Wave. The Journal of Democracy, 2.

Justian Suhandinata. 2009. WNI Keturunan Tionghoa Dalam Stabilitas Ekonomi & Politik Indonesia. Jakarta, Penerbit Gramedia. Hal xx

Laing, R.D. 1961. The Self and Others. London: Penguin Books.

Jusuf, Ester I. 2005. Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, dan Analisa. Hal 185

Kriyantono, Rachmat. 2012. PR Writing: Teknik Produksi Media Publik Relations dan Publisitas Korporat. Jakarta: Kencana.

Littlejohn, Stephen W. 1999. Theories of Human Communications. California: Wadsworth.

Marsali, Amir. 2011. Pemetaan Sosial Politik Kelompok Etnik Cina di Indonesia. Jakarta: LIPI.

Milbrath, Lester W. 1965. Political Participation: How and Why Do People Get Involved in Politics? Skokie: Rand McNally College Pub.

Moleong, L J. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2009. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Navis, A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Pers

Nordholt, Schulte Henk. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia.

Papana, Ramon. 2012. Kitab Suci: Kiat Tahap Awal Belajar Stand Up Comedy Indonesia . Jakarta: Media Kita.

Parekh, Bikhu. 2008. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Massachusetts: Harvard University Press.

19

Page 21: Personal Branding Melalui Media Televisi Bryan Barcelona D0210021... · Web viewLingkar Survei Indonesia mencatat, pasca reformasi—tepatnya pada kurun 1998-2012, ada 2.938 kasus

Peter Carey. 1984. Orang Jawa & Masyarakat Cina 1755-1825. Jakarta: Pustaka Azet.

Pragiwaksono, Pandji. 2012. Merdeka Dalam Bercanda. Jakarta: Bentang Pustaka.

Prakasa, Ernest. 2012. Dari Merem ke Melek: Catatan Seorang Komedian. Jakarta. Gramedia.

Purwasito, Andrik (2003), Message Studies, Studi Tanda dalam Wacana, nDalem Poerwahadiningratan Press, Surakarta

————-, (2001) Semiologi Komunikasi, Masyarakat Semiologi Komunikasi, FISIP-UNS, Surakarta

————-, (2017) The Messenger, Volume 9, Nomor 1, Edisi Januari 2017. Hal 107.

Samovar, Larry. 1972. Intercultural Communication: A Reader. California: Wadsworth Publishing Company, hlm 346

Scott, C. James. 1990. Domination and the Arts of Resistance. New Haven: Yale University Press, hlm 370-378.

Sullivan, James. 2014. Seven Dirty Words: The Life and Crimes of George Carlin. New York: Perseus Books Group.

Sutopo, H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Tedford, Thomas. 1985. Freedom of Speech in the United States. Glasgow: Strata Pub. Hal 223

Tim Gabungan Pencari Fakta. 1998. Laporan akhir Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF): Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998, Jakarta, Solo, Palembang, Lampung, Surabaya dan Medan. Jakarta: Jakarta Post.

Vasanty, Puspa. 2004. Prof. Dr. Koentjaraningrat, ed. Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesi: Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. p. hal. 359

Wolff, K. J.; Holmes. 2011. Linguistic relativity, Wiley Interdisciplinary Reviews: Cognitive Science. hal. 253–265

20