PERSEPSI PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP ...repository.utu.ac.id/766/1/BAB I_V.pdfPERSEPSI PASIEN...
Transcript of PERSEPSI PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP ...repository.utu.ac.id/766/1/BAB I_V.pdfPERSEPSI PASIEN...
PERSEPSI PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP
PELAYANAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
UMUM Dr. H. YULIDDIN AWAY TAPAKTUAN
KABUPATEN ACEH SELATAN
TAHUN 2013
SKRIPSI
OLEH:
SYAIRUL BASNI
NIM: 10C10104198
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
2013
PERSEPSI PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP
PELAYANAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT
UMUM Dr. H. YULIDDIN AWAY TAPAKTUAN
KABUPATEN ACEH SELATAN
TAHUN 2013
SKRIPSI
OLEH:
SYAIRUL BASNI
NIM: 10C10104198
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Kesehatan Masyarakat Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Teuku Umar Meulaboh
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
World Health Organization (WHO) telah mulai menilai status dan
perkembangan epidemiologi penyakit Tuberculosis paru setiap tahunnya sejak
tahun 1997. Penilaian ini termasuk aspek insidensi, prevalensi dan mortalitas.
Pada tahun 1997, kasus baru Tuberculosis paru diperkirakan 7.96 juta, angka ini
termasuk 3.52 juta kasus infeksi Tuberculosis paru , dan angka kematian pada
tahun 1997 lebih kurang 1.87 juta orang. Sedangkan menurut laporan
Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh Worl Health Organization
(WHO) tahun 2010, angka insidensi Tuberculosis paru pada tahun 2010
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk) dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru (Depkes.RI 2010).
Diperkirakan 95% kasus Tuberculosis paru dan 98% kematian akibat
Tuberculosis paru di dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Sekitar 75%
pasien Tuberculosis paru adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien Tuberculosis paru dewasa,
akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat
pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia
meninggal akibat Tuberculosis paru, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar
15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, Tuberculosis paru juga memberikan
dampak buruk lainnya secara sosial stima bahkan dikucilkan oleh masyarakat
(Depkes RI, 2008).
2
Menurut Paul Herling jumlah penderita Tuberculosis paru di Indonesia
masih berada pada urutan tertinggi ketiga di dunia, yang pada umumnya
disebabkan kurang diperhatikannya faktor kebersihan. "Indonesia urutan ketiga
setelah India dan China yang terbanyak angka penderita Tuberculosis Penyebab
utama tingginya penderita Tuberculosis di Indonesia karena kebersihan kurang
terjaga". Dari hasil penelitian yang dilakukannya Indonesia diketahui, faktor
kebersihan menjadi penyebab utama seseorang terinfeksi bakteri penyebab
Tuberculosis paru, rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, sempit, kotor
dan kurang pencahayaan akan menjadi pemicu bakteri Tuberculosis berkembang
dan menjangkiti orang yang lemah kekebalan tubuhnya. Selain faktor kebersihan
yang dapat menyebabkan seseorang menderita Tuberculosis paru , gaya hidup
juga dapat menjadi pemicu penyakit menular ini. Menurut penelitian Muhammad
Aris (2001) faktor penularan Tuberculosis paru yang utama adalah gizi yang
kurang, kebiasaan merokok, dan faktor ekonomi (Depkes RI, 2010).
Di Indonesia, Tuberculosis paru merupakan masalah utama kesehatan
masyarakat. dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien
Tuberculosis paru didunia. Diperkirakan pada tahun 2012 setiap tahun ada
539.000 kasus baru dan kematian 101 orang. Insiden kasus Tuberculosis paru
Basil Tahan Asam positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2010, menunjukan
bahwa Tuberculosis paru menduduki rangking ketiga sebagai penyebab kematian
(9,4% dari total kematian) setelah sistem sirkulasi dan sistem pernapasan. Pada
survei yang sama angka kesakitan Tuberculosis paru di Indonesia ketika itu
sebesar 800 per 100.000 penduduk. Namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan,
3
yakni hanya berdasarkan gejala tanpa pemeriksaan. Estimasi Incidence Rate
Tuberculosis parudi Indonesia berdasarkan hasil pemeriksaan sputum Basil Tahan
Asam positif adalah 128 per 100.000 untuk tahun 2003, sedangkan untuk semua
kasus adalah 675 per 100.000 penduduk (Achmadi, 2011).
Data Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2009 dan 2010 angka
kejadian Tuberculosis paru dua tahun terakhir menunjukkan penambahan
penderita Tuberculosis paru Positif dari tahun 2010 sebanyak 3.251 kasus,
menjadi 3.636 kasus pada tahun 2011 atau meningkat sebanyak 11,84 persen.
Dari hasil penelitian pendahulu yang pernah dilakukan oleh Nuraiza
(2011) tentang persepsi pasien Tuberculosis paru terhadap pelayanan rawat inap
di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, menunjukkan hasil dari 23
responden yang diteliti, 14 orang responden menyatakan persepsi yang baik
terhadap pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, dan
9 orang responden mempunyai persepsi yang kurang baik. Kesimpulannya
sebagian besar pasien tuberkulosis yang dirawat inap menganggap pelayanan yang
diberikan terhadap mereka sudah baik dari segi diagnosis, pemenuhan gizi, follow
up, dan proteksi terhadap penularan dari penyakitnya.(Nuraiza, 2011).
Di Kabupaten Aceh Selatan penyakit Tuberculosis paru merupakan
salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan yang utama. Angka
kejadian Tuberculosis paru di Kabupaten Aceh Selatan dua tahun terakhir
menunjukkan angka peningkatan dari jumlah kasus 189 kasus Tuberculosis paru
positif pada tahun 2009, dan 208 kasus Tuberculosis paru positif pada tahun 2011
(Profil Dinas Kesehatan Aceh Selatan, Tahun 2012).
Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari bagian Rekam Medik
4
Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan, Jumlah pasien dengan
kasus Tuberculosis paru yang dirawat inap pada tahun 2011 lalu mencapai 119
orang dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 128 orang. Dengan demikian pada
tahun 2012 penderita Tuberculosis paru yang di rawat terjadi peningkatan sebesar
4,6 persen dari tahun 2011 lalu. Pasien Tuberculosis paru yang dirawat inap
sebahagian besar berasal dari Kabupaten Aceh Selatan dan yang lainnya berasal
dari Kabupaten Aceh Barat Daya (Rekam Medik RSUD Dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan, tahun 2012).
Dari hasil studi awal yaitu wawancara peneliti dengan 10 orang pasien
Tuberculosis yang dirawat di Rumah Sakit Umum Dr. H.Yuliddin Away
Tapaktuan pada awal bulan Maret tahun 2012, sebahagian besar pasien tersebut
menyatakan kurang puas terhadap pelayanan yang mereka terima selama dirawat
di rumah sakit dalam hal follow up atau pemeriksaan ulang untuk mengetahui
apakah penyakit mereka sudah berkurang atau belum. Kemudian ada juga
sebahagian pasien yang mengeluh merasa di diskriminasikan oleh perawat karena
mereka dirawat terpisah di ruang isolasi.
Permasalahan tersebut diatas, merupakan salah satu alasan bagi peneliti
untuk melakukan penelitian mengenai persepsi dari pasien Tuberculosis terhadap
pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
tahun 2013.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah Persepsi Pasien Tuberkulosis paru Terhadap Pelayanan
Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Tahun
2013?
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui persepsi pasien Tuberculosis paru terhadap pelayanan
rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
tahun 2013.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengetahui persepsi pasien terhadap pelayanan dari aspek
pemenuhan gizi di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan.
b. Mengetahui persepsi pasien terhadap pelayanan dari aspek proteksi
terhadap penularan penyakitnya di ruang rawat inap Rumah Sakit
Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan.
c. Mengetahui persepsi pasien terhadap pelayanan dari aspek follow up
atau pemeriksaan ulang di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Dr.
H. Yuliddin Away Tapaktuan.
1.4 Manfaat Penelitian
14.1. Manfaat Teoritis:
Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya yang ingin
mengadakan penelitian terhadap pasien dengan kasus Tuberculosis.
14.2. Manfaat Praktis:
Penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak terkait
khususnya Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan agar
kedepannya dapat memberikan peningkatan pelayanan kesehatan yang
lebih baik khusunya kepada pasien dengan Tuberculosis.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi
Hamka (2007) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi
untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (dalam
Arindita, 2007) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti
atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi mecakup penafsiran
obyek, penerimaan stimulus (Input), pengorganisasian stimulus, dan penafsiran
terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku
dan pembentukan sikap.
2.1.1 Proses dan Sifat Persepsi
Proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh
pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar
akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera,
sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang
ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam
menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu
terhadap objek yang ada (Hamka, 2007).
Proses terjadinya persepsi merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap
berikut:
a. Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman
atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat
indera manusia.
7
b. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis,
merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat
indera) melalui saraf-saraf sensoris.
c. Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik,
merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang
diterima reseptor.
d. Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu
berupa tanggapan dan perilaku. (Hamka, 2007).
2.2 Penyakit Tuberculosis paru
2.2.1 Pengertian
Penyakit Tuberculosis paru paru adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman
Tuberculosis menyerang paru-paru, akan tetapi dapat menyerang organ lain di
dalam tubuh. Secara khas kuman membentuk granuloma dalam paru
menimbulkan nekrosis atau kerusakan jaringan (Achmadi, 2008).
2.2.2 Kuman Tuberculosis paru
Kuman ini berbentuk batang, berukuran panjang 1-4 mikron,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena
itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman Tuberculosis paru
cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa
jam di tempat yang gelap dan lembab. Sebagian besar kuman terdiri dari asam
lemak dan lipid, yang membuat lebih tahan asam, sifat lain adalah bersifat aerob,
lebih menyukai jaringan kaya oksigen, terutama bagian apical posterior. Dalam
8
jaringan tubuh kuman ini dapat tidur (dormant), tertidur lama selama beberapa
tahun (Depkes RI, 2009).
2.2.3 Cara Penularan
Sumber penularan adalah penderita Tuberculosis paru Basil Tahan Asam
(BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin penderita menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi
kalau droplet tersebut terhirup dan masuk ke dalam saluran pernafasan. Setelah
kuman Tuberculosis paru masuk ke dalam tubuh manusia dapat menyebar dari
paru-paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran
limfe, saluran napas, atau menyebar langsung ke bagian-bagian tubuh lainnnya. di
Indonesia resiko penularan Tuberculosis setiap tahunnya cukup tinggi dan
bervariasi antara 1-3 persen. Hal ini berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk,
10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan
menjadi penderita Tuberculosis paru, hanya sekitar 10 persen dari yang terinfeksi
yang akan menderita penyakit Tuberculosis paru (Depkes RI, 2007).
2.2.4 Epidemiologi Tuberculosis paru
Jumlah kematian akibat penyakit Tuberculosis paru masih tinggi.
Laporan Badan Kesehatan Dunia tahun 2008 menyebutkan jumlah kematian
akibat penyakit ini mencapai 88.113 orang. Sementara jumlah kasus Tuberculosis
itu sendiri mencapai 534.439 orang. Sejak penerapan strategi Directly Observed
Treatment Shortcourse (DOTS) pada tahun 1995, Indonesia telah mencapai
kemajuan yang cepat. Angka penemuan kasus 71 persen dan angka keberhasilan
9
pengobatan sebesar 88,44 persen. Angka tersebut telah memenuhi target global
yaitu angka penemuan kasus 70 persen dan keberhasilan pengobatan 85 persen
(Depkes RI 2007).
Resiko kematian penderita Tuberculosis jauh lebih besar dari kematian
yang diakibatkan penyebaran virus Flu Burung atau Avian Influenza. Direktur
Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2ML) Kementerian Kesehatan RI,
Tjandra Yoga mengatakan jika dilihat dari angka kematian yang terjadi, setiap
tahun terjadi 88 ribu kematian akibat Tuberculosis di Indonesia. "Jika jumlah
tersebut dibagi 365 hari dalam setahun, rata-rata terjadi 200 kematian akibat TBC
dalam sehari," katanya seperti dikutip Antara.
2.2.5 Gejala Tuberculosis paru
Gejala utama penyakit Tuberculosis paru adalah batuk yang terus
menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala Tambahan yang sering
dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada,
badan lemah, napsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari
sebulan. Gejala-gejala tersebut di jumpai juga pada penyakit paru selain
Tuberculosis paru. Oleh karena itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan
Kesehatan (UPK) dengan gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang
”suspek Tuberculosis paru” atau tersangka penderita Tuberculosis paru dan perlu
dilakukan pemeriksaan secara mikroskopis langsung (Syafrizal, 2007).
10
2.2.6 Phatofisiologis Tuberculosis paru
2.2.6.1 Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
Tuberculosis paru. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga
sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberculosis
paru berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman
Tuberculosis paru ke kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah 4 – 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya
perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah
infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman Tuberculosis paru. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-
kadang daya tahan tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman,
akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita
Tuberculosis paru. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi
sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Anthony 2008).
2.2.6.2 Tuberculosis paru pasca primer (Post Primary Tuberculosis)
Tuberculosis paru pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
11
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari Tuberculosis paru
pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura (Anthony 2008).
2.2.7 Diagnosis Tuberculosis paru
Diagnosis Tuberculosis paru pada orang dewasa dapat ditegakan dengan
ditemukannya Basil Tahan Asam pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen
Basil Tahan Asam hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu
diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan
dahak diulang. Kalau hasil rontgen tidak mendukung Tuberculosis paru,
pemeriksaan dahak diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan, maka dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif,
diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya kotrimoksasol atau amoksisilin)
selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis tetap
mencurigakan Tuberculosis paru, ulangi pemeriksaan dahak. Kalau hasil positif,
didiagnosis sebagai penderita Tuberculosis paru postif. Kalau hasil tetap negatif,
lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosisnya
(Mayoclinic, 2009).
Diagnosis Tuberculosis pada anak-anak yang paling tepat adalah dengan
ditemukannya kuman Tuberculosis paru dari penderita, misalnya dahak, bilasan
lambung, biopsi dan lainnya. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat,
sehingga sebagian besar diagnosis Tuberculosis paru anak didasarkan atas
gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu
penting memikirkan adanya Tuberculosis paru pada anak kalau terdapat tanda-
12
tanda yang mecurigakan atau gejala-gejala seperti: mempunyai sejarah kontak
(serumah) dengan penderita Tuberculosis paru Basil Tahan Asam (BTA) positif,
terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (Bacillus Calmette et
Guerin) dalam 3-7 hari, terdapat gejala umum Tuberculosis paru (Anthony, 2008).
2.2.8 Tes Tuberkulin kulit (Mantoux)
Tes tuberkulin kulit akan menunjukkan hasil positif jika seorang anak
terinfeksi Mycobakterium Tuberculosis. Namun hasil positif tidak
mengindikasikan adanya penyakit. Untuk mendiagnosis Tuberculosis, tes ini
digunakan bersama dengan pemeriksaan klinis dan foto thorax. Tes tuberkulin
kulit yang negatif tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
Tuberculosis. Tes ini dikategorikan sebagai positif jika ditemukan : Indurasi
(tonjolan keras) ≥ 5 mm pada anak berisiko tinggi. Definisi risiko tinggi beberapa
di antaranya adalah infeksi HIV dan kurang gizi yang berat. Kadang pada anak
dengan HIV, kurang gizi yang berat, atau masalah lain yang menurunkan
kekebalan tubuh, tes ini akan menunjukkan hasil negatif palsu karena kekebalan
tubuh yang cukup dibutuhkan untuk memberikan reaksi terhadap tes. Kemudian
Indurasi ≥ 10 mm pada anak lainnya, baik yang pernah menerima BCG atau tidak.
Selanjutnya pada sebagian besar kasus, foto thorax dada akan menunjukkan
perubahan yang tipikal untuk Tuberculosis. Gambaran foto thorax paling umum
adalah memutihnya suatu area di paru-paru dalam jangka waktu yang lama
(persistent opacification) dengan pembesaran kelenjar getah bening di pangkal
paru-paru (hilar) atau di sekitar pangkal saluran udara. Gambaran perubahan di
bagian atas atau tengah paru-paru lebih umum ditemukan dibanding di bagian
bawah. Anak dengan gambaran seperti ini yang tidak membaik setelah pemberian
13
antibiotik harus menjalani pemeriksaan Tuberculosis lebih lanjut. Gambaran foto
thorax dengan titik-titik putih yang tersebar di seluruh paru-paru (miliary) sangat
sugestif untuk Tubeculosis (Anthony, 2008).
2.2.9 Tes Lainnya
Pengambilan contoh jaringan (aspirasi) dengan jarum halus atau fine
needle aspiration dapat digunakan untuk membantu diagnosis Tuberculosis luar
paru-paru, terutama Tuberculosis kelenjar getah bening. Tes lainnya adalah PCR,
suatu teknik untuk mendeteksi adanya materi genetik Mycobakterium
tuberculosis. Tes ini tidak direkomendasikan untuk anak karena belum cukupnya
penelitian yang dilakukan terhadap tes ini. Selain itu dalam beberapa penelitian
yang telah dilakukan, metode ini menunjukkan hasil yang tidak memuaskan.
Pemeriksaan rumit lain seperti CT scan dan evaluasi saluran udara dengan selang
khusus yang dilengkapi kamera (bronchoscopy) juga tidak direkomendasikan
untuk mendiagnosis Tuberculosis anak. Mencoba pemberian obat Tuberculosis
sebagai metode untuk mendiagnosis Tuberculosis pada anak juga tidak
direkomendasikan. Keputusan untuk memulai pengobatan Tuberculosis pada anak
harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, dan jika diputuskan untuk
dilakukan, maka anak harus menjalani pengobatan dengan jangka waktu penuh
(Bahar, 2007).
2.3 Penatalaksanaan
Menurut Buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis di
Indonesia, tujuan utama pengobatan Tuberculosis adalah:
a) Membunuh sebagian besar bakteri dengan cepat untuk mencegah
14
perkembangan penyakit dan penularan
b) Menghasilkan kesembuhan permanen dengan membunuh bakteri yang tidak
aktif sehingga tidak akan menimbulkan kekambuhan
c) Mencapai 2 tujuan di atas dengan efek samping seminimal mungkin
d) Mencegah terbentuknya bakteri yang resisten terhadap obat Tuberculosis
dengan menggunakan kombinasi obat. Adapun obat-obatan yang dipakai
adalah pertama jenis obat utama (lini 1) yaitu Rifampisin, INH, Pirazinamid,
Streptomisin, ethambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2), yaitu ;
Kanamisin, Amikasin, Kuinolon.
2.3.1 Follow-up
Follow-up idealnya dilaksanakan dengan interval sebagai berikut: 2
minggu setelah awal pengobatan, akhir fase intensif (bulan kedua), dan setiap 2
bulan hingga pengobatan selesai. Beberapa poin penting dalam follow-up adalah
pada follow-up, dosis obat disesuaikan dengan peningkatan berat badan,
pemeriksaan dahak mikroskopik pada bulan kedua harus dilakukan untuk anak
yang pada saat diagnosis awal pemeriksaan dahak mikroskopiknya positif,
Rongent foto thorax tidak dibutuhkan dalam follow-up. Setelah pengobatan
dimulai, kadang gejala Tuberculosis atau gambaran foto thorax dada menjadi
lebih parah. Hal ini umumnya terjadi seiring peningkatan kekebalan tubuh karena
perbaikan gizi, pengobatan Tuberculosis itu sendiri, atau terapi antiviral pada anak
dengan HIV. Pengobatan Tuberculosis harus dilanjutkan, walaupun dalam
sebagian kasus kortikosteroid mungkin dibutuhkan (Catanzo, 2008).
15
2.3.2 Efek samping pengobatan
Efek samping pengobatan Tuberculosis paru lebih jarang terjadi pada
anak dibandingkan pada pasien dewasa. Efek samping yang paling penting adalah
keracunan pada hati (hepatotoksisitas) yang dapat disebabkan oleh isoniazid,
rifampicin, dan pyrazinamide. Tidak ada anjuran untuk memeriksa kadar enzim
hati secara rutin karena peningkatan enzim yang ringan. Isoniazid dapat
menyebabkan defisiensi vitamin B6 (pyridoxine) pada kondisi tertentu sehingga
suplemen vitamin B6 direkomendasikan pada anak yang kurang gizi, anak yang
terinfeksi HIV, bayi yang masih menyusu ASI, dan remaja yang hamil (Practical
Guidelines for the Management of Tuberculosis in Children by National TB
Programmes. First Edition, 2007).
2.3.3 Pencegahan Penyakit Tuberculosis paru
World Health Organization (WHO) merekomendasikan vaksinasi Bacille
Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir di negara-negara dengan
prevalensi Tuberculosis paru yang tinggi. Negara dengan prevalensi Tuberculosis
paru tinggi adalah semua negara yang tidak termasuk dalam prevalensi
Tuberculosis paru rendah. Sedangkan kriteria negara dengan prevalensi
Tuberculosis rendah adalah sebagai berikut: Rata-rata tahunan pelaporan
Tuberculosis paru dengan pemeriksaan dahak mikroskopik positif ≤ 5/100.000
selama 3 tahun terakhir; rata-rata tahunan pelaporan meningitis Tuberculosis paru
pada anak di bawah 5 tahun dan rata-rata tahunan risiko infeksi Tuberculosis paru
≤ 0,1 persen.
Walaupun BCG telah diberikan pada anak sejak tahun 1920-an,
efektivitasnya dalam pencegahan Tuberculosis paru masih merupakan
16
kontroversi karena kisaran keberhasilan yang diperoleh begitu lebar (antara 0-80
persen). Namun ada satu hal yang diterima secara umum, yaitu BCG memberi
perlindungan lebih terhadap penyakit Tuberculosis paru yang parah seperti
Tuberculosis milier atau meningitis Tuberculosis paru. Karena itu kebijakan
pemberian BCG disesuaikan dengan prevalensi Tuberculosis di suatu negara.
Di negara dengan prevalensi Tuberculosis yang tinggi, BCG harus
diberikan pada semua anak kecuali anak dengan gejala HIV/AIDS, demikian juga
anak dengan kondisi lain yang menurunkan kekebalan tubuh. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa vaksinasi BCG ulangan memberikan tambahan
perlindungan, dan karena itu hal tersebut tidak dianjurkan. Sebagian kecil anak (1-
2%) dapat mengalami efek samping vaksinasi BCG seperti pembentukan
kumpulan nanah (abses) lokal, infeksi bakteri, atau pembentukan keloid. Sebagian
besar reaksi tersebut akan menghilang dalam beberapa bulan (WHO, 2011).
2.3.4 Penyuluhan Tuberculosis paru
Penyuluhan tentang Tuberculosis paru dapat dilaksanakan dengan
menyampaikan pesan penting secara langsung atau menggunakan media.
Penyuluhan langsung bisa dilakukan secara perorangan atau kelompok,
penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media dalam bentuk media
cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan dengan media massa dapat
berupa koran atau majalah dan media elektronik seperti radio dan televisi
(Achmadi, 2008).
17
2.4 Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis disini dikembangkan berdasarkan teori tentang
pencegahan dan penatalaksanaan tuberculosis paru yang dikemukankan oleh
WHO (2011) dan Depkes. RI (2010). Kerangka teoritis tersebut digambarkan
sebagai berikut :
Gambar 2.1 Kerangka Teoritis
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan tentang persepsi pasien
Tuberculosis paru terhadap pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum Dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan. Kerangka konsep penelitian digambarkan sebagai
berikut :
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian
Proses
Gizi
Proteksi
Follow Up
Output
Persepsi Pasien
Terhadap Pelayanan
Rawat Inap
Pasien
Tuberculosis paru
Input
- Gizi
- Proteksi
- Follow-up
Persepsi Pasien Tuberculosis
yang dirawat inap
Variabel Independen Variabel Dependen
18
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan Cross sectional yang
bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi pasien Tuberkulosis Paru yang
dirawat inap di di Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan tahun
2012 mengenai pelayanan yang mereka peroleh.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.21 Lokasi Penelitian
Penelitian ini rencana dilakukan di di Rumah Sakit Umum Dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan karena lokasi ini merupakan rumah sakit rujukan
wilayah pantai Selatan di provinsi Aceh yang berstatus tipe-C. Rumah sakit
ini dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan dari tanggal 15 November sampai
dengan tanggal 08 Desember Tahun 2012.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti.
populasi dalam penelitian ini yaitu semua pasien yang dirawat inap di di
Rumah Sakit Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan dan telah didiagnosa
dengan penyakit Tuberculosis paru dengan jumlah rata-rata perbulan
sebanyak 82 orang.
19
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang diteliti yang hasilnya
dapat digeneralisasikan kepada populasi. Penarikan sampel dilakukan secara
Accidental sampling yaitu penarikan sampel dengan berdasarkan secara
kebetulan bertemu pada saat responden di rawat inap di di Rumah Sakit
Umum Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan selama berlangsungnya penelitian.
3.3.2.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Pasien yang dirawat inap.
b. Pasien dengan kasus Tuberculosis paru
c. Bersedia menjadi responden.
3.3.2.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Pasien yang mengalami gangguan kesadaran.
b. Responden yang tidak bersedia menjawab kuesioner
3.4 Metode Pengumpulan Data
3.4.2 Data Primer
Yaitu pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian
dengan datang langsung ke lokasi penelitian untuk mencari fakta yang
bekaitan dengan masalah yang diteliti melalui observasi, yaitu pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti untuk mendapatkan gambaran yang
tepat mengenai objek penelitian; dan kuesioner, yaitu tehnik pengumpulan
data yang dilaksanakan dengan menyebar angket kepada responden.
20
3.4.3 Data Sekunder
Tehnik pengumpulan data atau informasi yang menyangkut masalah
yang diteliti dengan mempelajari dan menelaah buku, majalah, dan literatur
lain yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
3.5 Definisi Operasional Variabel
Definisi Operasional Variabel adalah penarikan batasan yang lebih
menjelaskan ciri-ciri spesifik yang lebih substantive dari suatu konsep. Tujuannya
agar peneliti dapat mencapai suatu alat ukur yang yang sesuai dengan hakikat
variabel yang sudah di definisikan konsepnya. Dengan demikian, maka peneliti
harus memasukkan proses atau operasionalnya alat ukur yang akan digunakan
untuk kuantifikasi gejala atau variabel yang ditelitinya (Arikunto, 2010).
Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel
No Variabel Independen
1 Nama Variabel : Gizi
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Zat makanan pokok yg diperlukan bagi pertumbuhan
dan kesehatan badan.
Mengedarkan kuesioner.
Kuesioner.
1. Baik.
2. Kurang.
Ordinal.
2 Nama Variabel : Proteksi
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Tindakan perawat untuk mencegah terjadinya
penularan penyakit Tuberculosis paru.
Mengedarkan kuesioner.
Kuesioner.
1. Baik.
2. Kurang.
Ordinal.
21
3 Nama Variabel : Follow-up
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Pemeriksaan kelanjutan untuk menilai perkembangan
penyakit Tuberculosis pasien.
Mengedarkan kuesioner.
Kuesioner.
1. Baik.
2. Kurang.
Ordinal.
Variabel Dependen
4 Nama Variabel : Persepsi
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
:
:
:
:
:
Penilaian pasien terhadap pelayanan dari hasil
masukan-masukan informasi dan tindakan yang
dialaminya.
Mengedarkan kuesioner.
Kuesioner.
1. Baik.
2. Kurang.
Ordinal.
3.6 Instrumen penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kuesioner yang terdiri dari 2
(dua) bagian, yaitu :
1. Alat pengumpul data bagian A, merupakan data yang terdiri: Jenis kelamin,
umur, pekerjaan dan tingkat pendidikan.
2. Alat pengumpul data bagian B, merupakan kuesioner yang digunakan untuk
mengukur pengetahuan persepsi pasien Tuberculosis paru terhadap pelayanan
yang diterima, yang terdiri dari 4 sub variabel dan masing-masing sub variabel
tersebut berisi 5 pernyataan yang berkaitan dengan gizi, 7 pernyataan yang
berkaitan dengan proteksi dan 5 pernyataan yang berkaitan dengan follow up.
Sistem penilaian menggunakan Skala Guttman dengan cara menentukan skor
dengan jenjang 0 sampai 1, dimana bila pasien memilih pernyataan (Ya) diberi
nilai 1 dan bila pasien memilih pernyataan (Tidak) diberi nilai 0.
22
Rentang
Banyak Kelas
3.7 Aspek Pengukuran
Aspek pengukuran masing-masing variabel dengan menentukan panjang
kelas (interval), dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hidayat, 2007) :
P : Panjang kelas
Rentang : Selisih nilai tertinggi dan terendah
Banyak kelas : Jumlah kelas dari hasil ukur masing-masing variabel
Dengan demikian aspek pengukuran untuk setiap variabel adalah :
1. Aspek Gizi :
- Baik, apabila skor diperoleh : 3 - 5
- Kurang, apabila skor diperoleh : 0 - 2,5
2. Aspek Proteksi :
- Baik, apabila skor diperoleh : 4 - 5
- Kurang, apabila skor diperoleh : 0 - 3,5
3. Aspek Follow up :
- Baik, apabila skor diperoleh : 3 - 5
- Kurang, apabila skor diperoleh : 0 - 2,5
4. Aspek Persepsi :
- Baik, apabila total skor diperoleh : 9 - 17
- Kurang, apabila total skor diperoleh : 0 - 8,5
P =
23
3.8 Tehnik Analisis Data
Analisis data dilakukan secara univariat untuk mendeskripsikan variabel
yang diteliti ke bentuk distribusi frekuensi dari setiap variabel. Data yang
terkumpul diolah dan dianalisis lalu diinterpretasikan sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan dengan menggunakan metode deskriptif yang dihitung secara
persentase, dengan menggunakan rumus :
Keterangan :
P : Persentase yang diinginkan
F : Jumlah responden dalam setiap kategori masing-masing variabel
n : Jumlah sampel penelitian
F
P = x 100 %
n
24
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Tapaktuan dibangun pada tahun 1957, terletak di
Pesisir Laut Selatan, merupakan satu satunya Rumah Sakit yang ada di Kabupaten
Aceh Selatan. Sebelum Rumah Sakit ini dibangun kota Tapaktuan telah memiliki
Rumah Sakit peninggalan Belanda yang sekarang tidak berfungsi lagi dan
bangunannya dimanfaatkan sebagai tempat sekolah Akademi Perawat Kesehatan
(AKPER) Pemda.
Akibat terus meningkatnya tuntutan masyarakat yang semakin
membutuhkan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan bermutu maka Proyek
Kesehatan Pedesaan dan Kependudukan (Proyek ADB III Loan No. 1299-INO)
merekomendasikan Pembangunan Rumah Sakit Baru di Tapaktuan.
Pada tanggal 26 Januari 1997 oleh Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud telah melakukan peletakan batu
pertama Pembangunan Rumah Sakit Tapaktuan di desa Gunung Kerambil dan
pada tanggal 13 Mei 1999 telah di resmikan oleh Gubernur Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud untuk digunakan sebagai
tempat pelayanan kesehatan di Kabupaten Aceh Selatan.
Sebelum diresmikan oleh Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
RSU Tapaktuan terhitung 10 Mei 1999 dengan Keputusan Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Aceh Selatan Nomor 3 Tahun 1999, dirubah menjadi RSUD Dr. H.
25
Yuliddin Away. Pemberian nama ini untuk mengenang nama seorang putra Aceh
Selatan yang sangat berjasa dalam memajukan serta mensosialisasikan
pengobatan tradisional ke pengobatan medis. Pada tanggal 20 Mei 1997
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
470/MENKES/SK/V/1997 Rumah Sakit Tapaktuan ditingkatkan kelasnya
menjadi Kelas/Tipe C.
RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan yang merupakan salah satu
Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) dibawah Pemerintahan Kabupaten Aceh
Selatan sesuai dengan Qanun No. 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Yuliddin Away
Tapaktuan yang mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kesehatan
dan rujukan, serta mempunyai fungsi – fungsi :
a. Penyelenggaraan Pelayanan Medis
b. Penyelenggaraan Pelayanan Penunjang Medis dan Non Medis
c. Penyelenggaraan Pelayanan dan Asuhan Keperawatan
d. Penyelenggaraan Pelayanan Upaya Rujukan
e. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
f. Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan
g. Penyelenggaraan Administrasi Umum dan Keuangan
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan tersebut RSUD Dr. H. Yuliddin
Away Tapaktuan masih banyak memiliki kelemahan dan kekurangan yang
memerlukan pembenahan agar menghasilkan kinerja yang optimal. Berbagai
faktor dan kendala baik dari segi internal maupun eksternal seringkali menjadi
26
penghambat pelaksanaan pelayanan yang prima sehingga masih banyak mendapat
keluhan - keluhan dan protes dari masyarakat Kabupaten Aceh Selatan.
Untuk menyelaraskan arah dan tujuan RSUD Tapaktuan dengan kebijakan
Pemda Aceh Selatan maka ditetapkan visi sebagai berikut : “Menjadi Rumah
Sakit yang Prima dan Mandiri.”. Sedangkan misi RSUD Tapaktuan adalah :
1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu dengan dilandasi
pelayanan kesehatan bernuansa islami.
2. Menyelenggarakan Pelayanan rujukan bagi masyarakat di wilayah pantai Barat
Selatan.
3. Berperan srta aktif membantu pemerintah Kabupaten Aceh Selatan dalam
bidang kesehatan sesuai visi dan misi RSUD Dr. H.Yuliddin Away.
4.1.2 Analisa Univariat
Analisa univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan
distribusi frekuensi masing-masing karakteristik responden dan distribusi
frekuensi masing-masing variabel. Analisa data diolah secara komputerisasi
dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Selanjutnya hasil olah data
disajikan dalam bentuk tabular dan tekstual.
27
4.1.2.1 Distribusi Karakteristik Responden
Tabel. 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Jenis Kelamin
Penderita Tubercuosis Paru yang dirawat inap di RSUD Dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2012.
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)
Laki-Laki 36 60
Perempuan 24 40
Total 60 100
Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar bahwa mayoritas responden berjenis kelamin
laki-laki (60%) berdasarkan jawaban dari 60 responden.
Tabel. 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Kelompok Umur
Penderita Tubercuosis Paru yang dirawat inap di RSUD Dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2012.
Kelompok Umur Frekuensi (n) Persentase (%)
20 - 30 th 18 30
> 35 th 42 70
Total 60 100
Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar bahwa kelompok umur responden mayoritas
>35 tahun (70%) berdasarkan jawaban dari 60 responden.
28
Tabel. 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
Penderita Tubercuosis Paru yang dirawat inap di RSUD Dr. H.
Yuliddin Away Tapaktuan Tahun 2012.
Tingkat Pendidikan Frekuensi (n) Persentase (%)
SD 6 10
SLTP 12 20
SMU 40 67
D-III 2 3
PT 0 0
Total 60 100
Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar bahwa mayoritas responden dengan latar
pendidikan SMU (67%) berdasarkan jawaban dari 60 responden.
Tabel. 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Menurut Pekerjaan Penderita
Tuberculosis Paru yang dirawat inap di RSUD Dr. H. Yuliddin
Away Tapaktuan Tahun 2012.
Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)
PNS 18 30
Swasta 42 70
Total 60 100
Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar mayoritas responden memiliki pekerjaan
swasta (70%) berdasarkan jawaban dari 60 responden.
4.1.2.2 Distribusi Frekuensi Variabel Gizi
Tabel 4.5. Distribusi Variabel Gizi Pada Penderita Tuberculosis Paru yang
dirawat inap di RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan Tahun
2012.
Kategori Gizi Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik
Kurang
36
24
60
40
Total 60 100 Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
29
Dari tabel diatas tergambar bahwa frekuensi yang terbanyak pada
variabel gizi adalah pada kategori baik (60%) berdasarkan jawaban dari 60
responden.
4.1.2.3 Distribusi Frekuensi Variabel Proteksi
Tabel 4.6 Distribusi Variabel Proteksi Pada Penderita Tuberculosis Paru
yang dirawat inap di RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
Tahun 2012.
Kategori Proteksi Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik
Kurang
41
19
68
32
Total 60 100 Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar bahwa frekuensi yang terbanyak pada
variabel proteksi adalah pada kategori baik (68%) berdasarkan jawaban dari 60
responden.
4.1.2.4 Distribusi Frekuensi Variabel Follow-up
Tabel 4.7 Distribusi Variabel Follow-up Pada Penderita Tuberculosis Paru
yang dirawat inap di RSUD Dr. H. Yuliddin Away Tapaktuan
Tahun 2012.
Kategori Follow-up Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik
Kurang
22
38
37
63
Total 60 100 Sumber : data primer ( diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar bahwa frekuensi yang terbanyak pada
variabel follow-up adalah kategori kurang (63%) berdasarkan jawaban dari 60
responden.
30
4.1.2.5 Distribusi Frekuensi Persepsi Pasien Tuberculosis Paru Terhadap
Pelayanan Rawat Inap
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Persepsi Pasien Tuberculosis Terhadap
Pelayanan Rawat Inap di RSUD Dr. Yuliddin Away Tapaktuan
Tahun 2012.
Kategori Persepsi Frekuensi (n) Persentase (%)
Baik
Kurang
48
12
80
20
Total 60 100 Sumber : data primer (diolah, tahun 2012)
Dari tabel diatas tergambar bahwa persepsi pasien Tuberculosis terhadap
pelayanan rawat inap mayoritas pada kategori Baik (80 %).
4.1.3. Analisa Bivariat
4.1.3.1. Tabel Silang Gizi dengan Persepsi
Gizi Persepsi Total %
Baik % Kurang %
Baik 34 94,4 2 5,6 100
Kurang 14 58,3 10 41,7 100
Total 48 80 12 20 60 100
4.1.3.2. Tabel Silang Proteksi dengan Persepsi
Proteksi Persepsi Total %
Baik % Kurang %
Baik 38 92,7 3 7,3 41 100
Kurang 10 52,6 9 47,4 19 100
Total 48 80 12 20 60 100
4.1.3.3. Tabel Silang Follow up dengan Persepsi
Follow Up Persepsi Total %
Baik % Kurang %
Baik 19 86,4 3 13,6 22 100
Kurang 29 76,3 9 23,7 38 100
Total 48 80 12 20 60 100
31
2.2. Pembahasan
2.2.1 Variabel Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada variabel gizi persepsi responden
mayoritas pada kategori baik. Menurut analisa peneliti kondisi diatas sangat
berhubungan dengan tingkat pengetahuan responden tentang kebutuhan gizi bagi
pasien yang menderita Tuberculosis paru. Semakin banyak informasi yang
diperoleh oleh responden tentang kecukupan gizi bagi penderita Tuberculosis
paru, maka semakin tinggi pula tingkat penilaian mereka terhadap status gizi.
2.2.2 Variabel Proteksi
Dari hasil analisis diatas persepsi responden yang terbanyak pada variabel
ini adalah pada kategori baik. Responden yang mempunyai persepsi baik terhadap
proteksi sudah pasti memahami mengapa perawat melakukan proteksi terhadap
Tuberculosis. Pemahaman tersebut didapatkan melalui penyuluhan kesehatan
masyarakat.
Penyuluhan tentang tuberkulosis dapat dilaksanakan dengan
menyampaikan pesan penting secara langsung atau menggunakan media.
Penyuluhan langsung bisa dilakukan secara perorangan atau kelompok,
penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media dalam bentuk media
cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan dengan media massa dapat
berupa koran atau majalah dan media elektronik serperti radio dan televisi
(Achmadi, 2008).
Sedangkan responden yang mempunyai persepsi kurang, bisa disebabkan
karena kurangnya pemahaman tentang proteksi terhadap Tuberculosis.
Sebahagian penderita Tuberculosis masih ada yang merasa rendah diri karena
32
beranggapan bahwa orang lain (seperti perawat) merasa takut tertular dengan
penyakitnya.
2.2.3 Variabel Follow-up
Hasil analisis menunjukkan bahwa pada variabel ini mayoritas persepsi
responden pada kategori kurang baik. Secara teoritis follow-up idealnya
dilaksanakan dengan interval 2 minggu setelah awal pengobatan, akhir fase
intensif (bulan kedua), dan setiap 2 bulan hingga pengobatan selesai (Catanzo,
2008).
Menurut hasil observasi dan wawancara dengan perawat yang bertugas di
ruang rawat inap Penyakit Dalam, pelaksanaan follow up terhadap pasien
Tuberculosis di Rumah Sakit Umum Dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan hanya
dilakukan pada pasien-pasien Tuberculosis yang keadaan umumnya kurang baik.
Sedangkan bagi pasien Tuberculosis yang keadaan umumnya baik langsung
diperbolehkan pulang oleh dokter yang menanganinya.
Bentuk Follow-up yang seharusnya dilakukan yaitu pemeriksaan rontgen
ulang satu hari sebelum rencana pemulangan pasien, pemeriksaan fisik ulang dan
obat-obatan dalam bentuk injeksi dilanjutkan dengan obat-obatan dalam bentuk
oral sebelum pasien pulang.
2.2.4 Persepsi Responden Terhadap Pelayanan Rawat Inap
Hasil analisis menunjukkan bahwa mayoritas responden mempunyai
persepsi pada kategori baik terhadap pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Umum
Dr. H.Yuliddin Away Tapaktuan.
33
Proses persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh
pengalaman, cakrawala, dan pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar
akan memberikan bentuk dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera,
sedangkan pengetahuan dan cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang
ditangkap individu, dan akhirnya komponen individu akan berperan dalam
menentukan tersedianya jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu
terhadap objek yang ada (Hamka, 2007).
Sesuai dengan teori diatas, responden yang mempunyai persepsi baik
disebabkan karena mayoritas responden merasa puas dengan pelayanan yang
mereka terima selama dirawat mulai dari hari pertama rawatan sampai dengan
kepulangannya dari rumah sakit.
34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dari 15 November sampai
dengan tanggal 08 Desember Tahun 2012 di Rumah Sakit Umum Dr. Yuliddin Away
Tapaktuan Kabupaten Aceh Selatan dan dengan tetap mempertimbangkan
keterbatasan-keterbatasan dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan dan
sekaligus pemberian saran-saran sebagai berikut:
1. Pada variabel gizi distribusi yang terbanyak adalah kategori baik (60%).
2. Pada variabel proteksi distribusi yang terbanyak adalah kategori baik (68%).
3. Pada variabel follow-up distribusi yang terbanyak adalah kategori kurang (63%).
4. Dari hasil akumulasi skor responden dari semua variabel persepsi pasien
Tuberculosis terhadap pelayanan rawat inap distribusi yang terbanyak adalah
pada kategori baik (80%).
35
5.2. Saran-saran
1. Kepada seluruh perawat yang bertugas di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum
Dr. Yuliddin Away Tapaktuan diharapkan agar lebih meningkatkan kualitas
pelayanan kepada semua pasien yang dirawat untuk lebih meningkatkan persepsi
dan kepercayaan masyarakat serta menjadikan rumah sakit sebagai tempat
pelayanan yang memuaskan pasien sebagai pengguna layanan.
2. Kepada pengambil kebijakan di Rumah Sakit Umum Dr. Yuliddin Away
Tapaktuan, agar senantiasa berupaya menjaga mutu pelayanan melalui
peningkatan kualitas sumber daya manusia, fasilitas, media, alat dan sarana
pendukung lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony. 2008. Harrison’s Internal Medicine, 17th Edition, USA, McGraw Hill,
page 1586 – 1593.
Achmadi, U F. 2011. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Kompas, Jakarta.
Arindita, S. 2007. Hubungan antara Persepsi Kualitas Pelayanan dan Citra
Bank dengan Loyalitas Nasabah. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta:
Fakultas Psikologi UMS
Arikunto.S. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta
Bahar A. Tuberkulosis Paru. 2007. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Catanzano, T. M., 2008. Overview of Tuberculosis. Yale University School of
Medicine. (Terjemahan) Dikutip dari http://emedicine.medscape.com
overview . Diakses tanggal 6 April 2013.
Centers for Disease Control and Prevention, 2005. Guidelines for Preventing the
Transmission of Mycobacterium Tuberculosis in Health-care Settings.
(Terjemahan) Dikutip dari http://emedicine.medscape.com overview .
Diakses tanggal 6 April 2013
Chandra, B. 2007. Pengantar Statistik Kesehatan, Cetakan II. EGC. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. AFP Rate, % TB Paru
Sembuh,dan Pneumonia Balita Ditangani. Profil Dinas Kesehatan
Kabupaten / Kota Tahun 2007.
. 2008. Buku Pedoman Nasional:
Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta : Departemen Kesehatan
RI.
. 2009. Laporan Supervisi Penelitian
Malaria dan Tuberkulosis di Timika. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Biomedis dan Farmasi.
. 2010. Selamatkan Keluarga dari
Tuberkulosis. Jakarta: Depkes. RI
Dinas Kesehatan Provinsi Nanggro Aceh Darussalam. Profil Kesehatan Aceh
Tahun, 2010.
Hamka, 2007. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pengawasan, Jakarta :
Gramedia.
Hidayat, A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data.
Jakarta, Salemba Medika.
Mayoclinic, 2009. Tuberculosis (terjemahan). Dikutip dari :
www.mayoclinic.com. health.tuberculosis. diakses tanggal 5 April 2010.
Mousa, 2007. Bones and Joints Tuberculosis. Bahrain Medical Bulletin 2007.
Dalam: R. K. Srivastava, 2010. Manifestation of Mycobacterium Other
Than Tuberculosis. Indian Journal of Tuberculosis.
Nuraiza Meuti,. 2011. Gambaran Persepsi Pasien Tuberkulosis terhadap
Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik, Medan-SUMUT.
Pratomo, H. 2007. Pedoman Usulan Penelitian Bidang Kesehatan Masyarakat.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Rasmin, M., et al, 2005. Profil Penderita Tuberkulosis Paru di Poli Paru RS
Persahabatan Januari – Juli 2005. Department of Pulmonology.
R. K. Srivastava, 2010. Manifestation of Mycobacterium Other Than Survei
Kesehatan Nasional 2004, .Survei Prevalensi Tuberkulosis 2004.
Syafrizal, 2007. Pengelolaan Penanganan Pengobatan Tuberkulosis.
Universitas Gajah Mada, Magister Kebijakan dan Manajemen
Pelayanan Kesehatan.
Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006. International Standards
for Tuberculosis Care (ISTC). The Hague: Tuberculosis Coalition for
Technical Assistance, 2006.
World Health Organization, 2005. Global tuberculosis control. Surveillance,
planning, financing. Dalam: R. K. Srivastava, 2010. Manifestation of
Mycobacterium Other Than Tuberculosis. Indian Journal of
Tuberculosis.
World Health Organization, 2011. The Global Task Force on XDR-TB. Dalam:
http://www.ppti.info/tbc-di-indonesia-peringkat-5-dunia