PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI PUTERI BUNDA … · found in divine revelation of God’s...

90
i PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI PUTERI BUNDA HATI KUDUS DI PROVINSI INDONESIA TAHUN 2007-2008 TENTANG RELASINYA DENGAN LAWAN JENIS SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling Oleh: Kristiana Sukarsih NIM : 031114011 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

Transcript of PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI PUTERI BUNDA … · found in divine revelation of God’s...

i

PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI PUTERI BUNDA HATI KUDUS DI PROVINSI INDONESIA

TAHUN 2007-2008 TENTANG RELASINYA DENGAN LAWAN JENIS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Oleh:

Kristiana Sukarsih NIM : 031114011

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2008

iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN

“Ametur Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum”.

“ … Tinggallah Di Dalam KasihKu” (Yohanes 15: 9).

“Pengalaman hidup seberat apapun tidak akan pernah membinasakan aku,

tetapi hal itu membentuk aku supaya aku menjadi bijaksana

sebab Tuhan Sang sumber cinta selalu menemani perjuanganku”.

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

Para suster Kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia

vi

ABSTRAK

PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI PUTERI

BUNDA HATI KUDUS DI PROVINSI INDONESIA TAHUN 2007-2008 TENTANG RELASINYA

DENGAN LAWAN JENIS

Kristiana Sukarsih Universitas Sanata Dharma 2008

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi para suster yunior kongregasi Puteri

Bunda Hati Kudus (PBHK) di Provinsi Indonesia tahun 2007-2008 tentang relasinya dengan lawan jenis dan menggali makna yang mereka temukan dalam berelasi itu. Subjek dalam penelitian ini berjumlah empat (4) orang suster yunior PBHK yang bertugas di Jawa.

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam dan observasi tingkah laku non verbal. Instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pedoman wawancara. Informasi yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara mendalam dari setiap subjek penelitian yang direkam menggunakan tape-recorder, kemudian disusun dalam bentuk transkrip verbatim.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat (4) subjek penelitian mempunyai persepsi yang positif tentang relasi dengan lawan jenis bahwa relasi itu merupakan hal yang baik, perlu dan wajar demi panggilan dan perutusan. Persepsi positif itu disebabkan oleh: pengalaman dicintai orang tua, dicintai saudara-saudara laki-lakinya, dipercaya boleh berelasi dengan teman-teman lawan jenis sebelum masuk biara, dikuatkan hidup panggilannya dalam berelasi dengan lawan jenis setelah hidup di biara dan nilai pesaudaraan yang diperjuangkannya. Persepsi mereka yang positif itu sesuai dengan harapan kongregasi PBHK. Relasi itu dijiwai oleh spiritualitas kongregasi yaitu kasih Hati Kudus Yesus yang ditikam dengan tombak menjadi sumber kehidupan baru dan dijiwai kharisma kongregasi yaitu membantu orang lain agar mereka meyakini betapa besar cinta kasih Allah kepada mereka yang diungkapkan dengan amal kasih, kebaikan hati, keramahan kepada siapa saja yang dilayani. Relasi itu demi merealisasikan visi kongregasi yaitu dalam Hati Kudus Yesus ditemukan pewahyuan cinta kasih Allah yang berbelaskasih, rendah hati, lemah lembut, menyelamatkan seluruh umat manusia dan demi merealisasikan misi kongregasi yaitu mewartakan kasih Hati Kudus Yesus supaya Dia dikasihi di mana-mana dan semakin banyak orang mengalami dicintai Tuhan. Relasi mereka sehat karena mereka memperhatikan pedoman yang benar dalam berelasi, yaitu: memiliki kedewasaan afektif dan seksual yang cukup, disiplin dalam hidup doa, waspada akan resiko-resikonya, membangun persekutuan dalam hidup berkomunitas, membangun relasi yang terbuka bagi siapa saja dan demi kesejahteraan orang-orang yang dilayani.

Makna yang ditemukan dalam berelasi dengan lawan jenis adalah relasi itu semakin memperkuat penyerahan diri mereka secara total kepada Hati Kudus Yesus, mempersatukan dengan saudara-saudara sekomunitas dan demi perutusan kongregasi. Persepsi positif itu tetap bisa berubah, maka sangat penting bagi mereka untuk terus-menerus mengolah pengalamannya dalam berelasi dengan lawan jenis dan sungguh-sungguh menghayati nilai-nilai hidup panggilan.

vii

ABSTRACT

THE PERCEPTION OF JUNIOR SISTERS OF THE DAUGHTERS OF OUR LADY OF THE SACRED HEART CONGREGATION OF INDONESIAN

PROVINCE IN THE YEAR OF 2007-2008 CONCERNING WITH THEIR RELATIONSHIP WITH THE OPPOSITE-SEX

Kristiana Sukarsih

Sanata Dharma University 2008

The aim of this research was to find out the perception of junior sisters of the Daughters of Our Lady of the Sacred Heart Congregation of Indonesian Province in the year of 2007-2008 concerning with their relationship with the opposite-sex and to discover the significance which they uncover in such relationship. The number of the subject in this research was four junior sisters of the Daughters of Our Lady of the Sacred Heart, who are now assigned in Java.

The type of the research used in this study was a qualitative research. Method applied to collecting data was a deep interview and non verbal behavior observation. The research instrument was in the form of guidance interview questionnaires. The information collected was the outcome of deep interview with each sample of the research recorded using tape-recorder, and then put them together in the form of verbatim transcription.

The result of the research indicated that four samples of the research had a positive perception concern with the relationship with the opposite-sex because they thought that the relationship was a good thing, necessary and natural, and it was very useful for the future of vocation and mission journey. The positive perceptions were intrinsically influenced by these following main factors such as the experience of being loved by their own parents and brothers in the family. They were truly trusted and permitted to have relationship with opposite-sex prior to entering into the monastery. Based on their personal experiences, they then felt that having a relationship with the opposite-sex did not only lead them into negative aspects, but also encouraged and reminded them on every single of sisterhood values, which should be struggled. All their positive perceptions were in accordance with the sisters’ expectation of PBHK congregation. This experience became more powerful because such relationship was truly inspired by the congregation spirituality, the Sacred Heart of Jesus, which had been stabbed by the spear and then became a new source of life. It was also inspired by its charism to succor other people so that they would be able to manifest how great the love of God was for them. All these have been expressing through good deed, kindness and friendliness to whomever they serve for the past few years. The relationship was intended to manifest the vision of congregation of the Sacred Heart of Jesus might be found in divine revelation of God’s love: mercy, modesty, kind-hearted, rescue of mankind, and for the sake of realizing the mission of congregation to proclaim the love of the Sacred Heart of Jesus. By doing so, the Christ might be loved everywhere and more people experienced how to be loved by God. Their relationship was healty since it was rooted on the right policy of the relationship, for instance, having an affective mature and adequate sexual controlled, discipline of prayer life, be aware of its risks, building a unity within the community life and growing a closed relationship with those they served.

Thus the significant sense found in the relationship with the opposite-sex that was such relationship reinforced their totally surrender to the Sacred Heart of Jesus. They were all united with the sisters in the community to carry out the mission of congregation. That positive perception in a time still can change, so it is important for them continuosly elaborate deeply experiences related with the opposite-sex and pay more attention to the vocation values.

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Kasih yang telah menyertai dan

membimbing penulis selama menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kasih Tuhan yang

melimpah sungguh-sungguh penulis rasakan dan alami selama menulis skripsi ini.

Kasih itu secara nyata penulis alami melalui kasih Hati Kudus Yesus dan Bunda Hati

Kudus yang selalu setia menemani dan memberi kekuatan. Penulis menyadari bahwa

penyusunan skripsi ini bisa selesai berkat bantuan dari berbagai pihak: berupa materi,

masukan, dukungan, perhatian, saran, kritik dan doa. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terimakasih kepada:

1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan

Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan dalam

penyusunan skripsi ini.

3. Dra. Ign. Esti Sumarah, M.Hum., selaku pembimbing pertama yang telah

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kasih,

kesabaran, perhatian dan memberikan ide-idenya yang bagus.

4. Drs. T. A. Prapancha Hary, M.Si., selaku pembimbing kedua yang telah

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kasih,

kesabaran, perhatian dan memberi semangat.

5. Sr. M. Madeleine Y. PBHK, selaku Provinsial PBHK Provinsi Indonesia dan para

dewannya yang telah merestui, mendukung dan mendoakan penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

ix

6. Sr. HJK, Sr. FMN, Sr. WGP dan Sr. BLQ (nama samaran) yang telah berkenan

membagikan dan mempercayakan sebagian pengalaman hidupnya kepada penulis

demi kelancaran penyusunan skripsi ini.

7. Sr. M. Christien S. PBHK, selaku Superior PBHK daerah Jawa dan para

dewannya yang telah mendukung dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

8. Sr. M. Gaudentia E. PBHK dan para suster PBHK komunitas Deresan Yogyakarta

yang telah mendukung, memperhatikan, memberi semangat dan mendoakan

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sr. M. Caecilia W. PBHK dan para suster PBHK komunitas Tegal serta para

suster PBHK Provinsi Indonesia lainnya yang telah mendukung penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman seperjuangan dalam panggilan yang telah mendukung, memberi

semangat dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini: Sr. Yosse

Marry, Sr. M. Avilla, Sr. M. Eugenia, Sr. M. Kanisia dan Sr. M. Goretti.

11. Sahabat yang telah memotivasi, mencintai, mendukung, memperhatikan dan

mendoakan dengan tulus sehingga penulis tetap bersemangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

12. P. A. Handoko MSC yang telah meminjami beberapa buku, P. A. Lamere MSC

yang telah membantu menterjemahkan beberapa buku, Fr. Jay MSC dan Br. Pius

SVD yang telah membantu menterjemahkan bagian abstrak skripsi ini.

x

13. P. Paul Suparno SJ yang berkenan memotivasi, membimbing, memberi semangat

dan membantu penulis dengan penuh kesabaran dan kebapaan pada saat penulis

mengalami kesulitan dalam menyusun skripsi ini.

14. Para pastor, bruder dan frater MSC komunitas Palagan Yogyakarta, komunitas

wisma Hati Kudus dan komunitas biara Purworejo yang telah mendukung,

memperhatikan dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

15. Bapak, mamak, mas dan adik-adik yang telah mencintai, memperhatikan,

mendukung, memberi semangat dan mendoakan penulis dengan tulus dalam

menyelesaikan skripsi ini.

16. Teman-teman sekelompok saat KKN yang telah memberi semangat dan

memperhatikan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini: Sonya, Henny,

Sr. Gaudent SFD, Ferdi, Mandus dan Gugun.

17. Teman-teman angkatan 2003 yang telah mendukung dan memberi semangat

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

18. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut terlibat membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan

keterbatasannya, namun penulis mengharapkan semoga skripsi ini bisa bermanfaat

bagi peningkatan pembinaan para suster muda berkaitan tentang relasi dengan lawan

jenis. Dengan demikian, mereka semakin mampu meningkatkan persepsinya yang

positif dan mampu memaknakannya demi perkembangan kepribadian, panggilan dan

perutusannya.

Penulis

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………………….. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………. iii

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAN ……………………… iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………….. v

ABSTRAK …………………………………………………………... vi

ABSTRACT …………………………………………………………... vii

KATA PENGANTAR ………………………………………………. viii

DAFTAR ISI ……………………………………………………….... xi

DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………… xiv

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah …………………………………….. 1

B. Rumusan Masalah …………………………………………… 6

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………. 6

D. Manfaat Penelitian …………………………………………... 6

E. Definisi Operasional ………………………………………… 7

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

A. Kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus (PBHK) ……………... 9

1. Sejarah Singkat Kongregasi PBHK ……………………... 9

2. Visi dan Misi Kongregasi PBHK ……………………….. 12

3. Ciri Khas Cara Hidup Kongregasi PBHK ………………. 13

B. Relasi yang Sehat dengan Lawan Jenis yang Diharapkan

Kongregasi PBHK …………………………………………... 14

C. Bidang-bidang Karya Kerasulan Kongregasi PBHK ……….. 16

1. Bidang Pendidikan ………………………………………. 17

2. Bidang Kesehatan ……………………………………….. 18

xii

3. Bidang Sosial ……………………………………………. 19

4. Bidang Pastoral ………………………………………….. 19

D. Relasi yang Sehat dan Tidak Sehat dengan Lawan Jenis …… 20

1. Relasi yang Sehat ……………………………………….. 21

a. Pribadi ………………………………………………. 25

b. Hidup Komunitas …………………………………… 27

c. Hidup Karya Kerasulan …………………………….. 28

2. Relasi yang Tidak Sehat ……………………………….... 30

E. Masa Yuniorat Kongregasi PBHK ………………………….. 34

1. Para Suster Yunior dan Masa Yuniorat PBHK …………. 34

2. Pembinaan Masa Yuniorat PBHK ………………………. 37

F. Persepsi tentang Relasi dengan Lawan Jenis ………………... 39

1. Pengertian Persepsi ……………………………………… 39

2. Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi …………… 40

3. Proses Pembentukan Persepsi …………………………... 42

4. Macam-macam Persepsi tentang Relasi dengan

Lawan Jenis ……………………………………………… 45

a. Persepsi Positif ………………………………………. 45

b. Persepsi Negatif ……………………………………... 47

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ………………………………………………. 50

B. Subjek Penelitian …………………………………………….. 52

C. Metode Pengumpulan Data ………………………………….. 53

D. Tahap-tahap Penelitian ………………………………………. 54

E. Koding dan Analisis Data …………………………………… 55

F. Pemeriksaan Keabsahan Data ……………………………….. 56

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ………………………………………………. 59

xiii

1. Subjek 1 ………………………………………………….. 59

2. Subjek 2 ………………………………………………….. 61

3. Subjek 3 ………………………………………………….. 62

4. Subjek 4 ………………………………………………….. 64

B. Pembahasan ………………………………………………….. 65

1. Persepsi tentang Relasi dengan Lawan Jenis ……………. 65

2. Makna dalam Berelasi dengan Lawan Jenis ..…………… 67

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………………... 69

B. Saran …………………………………………………………. 70

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 71

LAMPIRAN ………………………………………………………….. 74

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap orang pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Orang selalu

terdorong untuk menjalin relasi dengan orang lain (Gerungan, 1988: 24). Orang

hanya dapat hidup apabila mereka berelasi dan bekerjasama dengan orang lain

(Hardjana, 2003: 9). Orang mempunyai kebebasan untuk menjalin relasi

dengan siapa saja tanpa memandang latar belakang suku, agama, status sosial,

pendidikan, jenis kelamin dan warna kulit. Relasi itu dapat menjadi kesempatan

bagi orang untuk mengembangkan dirinya (Supratiknya, 1995: 9-10).

Perkembangan kepribadian orang akan terhambat apabila mereka tidak mampu

berinteraksi dengan orang lain (Baron, 2003: 277 dan Kwakman, 2007: 2).

Oleh karena itu, relasi dengan orang lain merupakan salah satu hal penting yang

perlu diperhatikan dalam kehidupan setiap orang, begitu halnya bagi para suster

kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus.

Kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus yang disingkat PBHK adalah serikat

para suster yang didirikan oleh Pater Jules Chevalier MSC pada tanggal 30

Agustus tahun 1874 di Issoudun Perancis. Ibu rohani dan superior jenderal

pertamanya adalah Sr. Marie Louise Hartzer PBHK. Kongregasi PBHK

tersebar di berbagai negara, salah satunya adalah di Indonesia. Kongregasi

PBHK di Provinsi Indonesia terdiri dari para suster senior, medior dan yunior.

Spiritualitas kongregasi PBHK termuat di konstitusi Bab I nomor 2: “… Hati-

Nya yang ditikam dengan tombak dan menjadi sumber kehidupan baru yang

2

dianugerahkan Allah kepada manusia” (1983: 7). Kharisma kongregasi PBHK

adalah membantu orang lain agar mereka meyakini bahwa Allah mencintai

mereka, yang diungkapkan dengan amal kasih, kebaikan hati dan keramahan

kepada orang-orang yang dilayaninya (Konstitusi Bab I nomor 1 dan Cuskelly,

1975: 80-81). Melalui pengalaman imannya, Pater Jules Chevalier MSC

menemukan bahwa dalam Hati Kudus Yesus ditemukan pewahyuan

kelembutan cinta kasih Allah yang berbelaskasih, rendah hati, lemah lembut

dan menyelamatkan seluruh umat manusia, sehingga itu menjadi visi hidupnya.

Dia sangat meyakini bahwa Allah mencintainya tanpa batas. Pengalaman itu

menjiwai dan mengobarkan hati Pater Jules Chevalier MSC dalam mengemban

misinya yang terungkap dalam semboyan “Semoga Hati Kudus Yesus Dikasihi

Di Mana-mana” (Ametur Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum). Para

suster PBHK dipanggil dalam Gereja untuk mengambil bagian dalam visi dan

misinya tersebut.

Pada awal sejarah kongregasi, Pater Jules Chevalier MSC bersama

dengan Sr. Marie Louise Hartzer PBHK saling bekerjasama dalam merintis

kongregasi demi terwujudnya misi utama kongregasi PBHK yaitu mewartakan

cinta Hati Kudus Yesus kepada semua orang, supaya mereka percaya bahwa

Allah mengasihi mereka (Venard, 1983: 165-166). Mereka menyadari bahwa

visi dan misi kongregasi PBHK tidak dapat terwujud tanpa saling bekerjasama

dan saling melengkapi. Relasi yang mereka bangun dilandasi oleh visi dan misi

yang sama (Venard, 1983: 176). Hidup mereka dipersembahkan hanya demi

kemuliaan Allah. Mereka membangun relasi yang sehat demi perutusan itu

3

sehingga kongregasi PBHK dari tahun ke tahun terus berkembang sampai saat

ini.

Para suster PBHK sebagai generasi penerusnya mewarisi semangat itu

dalam mengemban tugas di bidang-bidang karya kerasulan kongregasi baik di

bidang pendidikan, kesehatan, sosial maupun pastoral (Konstitusi Bab VII

nomor 84). Para suster PBHK membangun semangat persaudaraan dan

kekeluargaan sejati, seperti termuat dalam konstitusi Bab VI nomor 60:

“Kehidupan kita dalam komunitas haruslah dijiwai oleh semangat kekeluargaan

yang sejati”. Dalam melaksanakan karya kerasulan, para suster PBHK

bekerjasama dengan berbagai pihak, seperti yang termuat di konstitusi Bab VII

nomor 87 bagian perutusan: “Kita bekerjasama dengan para imam, kaum

religius lain dan kaum awam untuk membangun komunitas umat dan

memajukan tugas perutusan Gereja setempat” (1983: 33). Itu sebabnya, para

suster PBHK diharapkan memiliki kemampuan untuk menjalin relasi yang

sehat dengan orang lain sebab dalam mengemban karya kerasulan kongregasi

mereka terbuka untuk berelasi dengan siapapun juga.

Tulisan ini lebih menyoroti para suster yunior PBHK Provinsi Indonesia

yang berjumlah dua puluh enam (26) orang. Para suster yunior adalah para

suster yang berkaul sementara dalam kongregasi PBHK. Mereka sedang dalam

tahap pembinaan dasar untuk persiapan mengikrarkan kaul kekal dalam

kongregasi (Hardawiryana, 1995: 1). Mereka belajar bertanggungjawab melalui

melaksanakan tugas di bidang karya kerasulan yang dipercayakan kepada

mereka masing-masing. Oleh karena itu, mereka terbuka untuk menjalin relasi

dengan siapapun juga, termasuk dengan lawan jenis.

4

Relasi para suster yunior dengan lawan jenis dipengaruhi oleh persepsi

mereka tentang relasinya itu. Rakhmat menjelaskan bahwa persepsi adalah

pengalaman tentang peristiwa tertentu yang diperoleh dengan menyimpulkan

informasi dan menafsirkan pesan (1985: 64). Persepsi suster yunior PBHK

tentang relasinya dengan lawan jenis merupakan pendapat/keyakinan mereka

tentang pengalaman mereka dalam berelasi dengan lawan jenis. Persepsi itu

bisa positif dan negatif (Sobur, 2003: 464). Apabila persepsi mereka positif

maka relasinya dengan lawan jenis menjadi sehat. Relasi itu dapat

mendewasakan kepribadian mereka dan bisa saling melengkapi dalam

mewartakan cinta kasih Hati Kudus Yesus. Sebaliknya, apabila persepsi mereka

negatif maka relasinya dengan lawan jenis menjadi tidak sehat. Relasi itu dapat

menghambat perkembangan kepribadian dan hidup panggilan mereka.

Para suster yunior PBHK diharapkan memiliki persepsi yang positif

tentang relasinya dengan orang lain sebab sejak awal sejarah kongregasi PBHK

relasi dengan orang lain merupakan hal yang positif, termasuk relasi dengan

lawan jenis. Pater Jules Chevalier MSC dan Sr. Marie Louise Hartzer PBHK

telah memberikan teladan tentang hal itu. Relasi yang mereka bangun sungguh-

sungguh dijiwai oleh kharisma dan spiritualitas yang sama. Mereka

membangun relasi demi satu tujuan dan satu cita-cita. Mereka mempunyai

persepsi yang benar tentang relasi dengan lawan jenis sehingga relasi mereka

menjadi sehat. Relasi dengan lawan jenis bukan merupakan hal yang tabu dan

perlu dihindari (Suparno, 2007: 83-85). Relasi itu merupakan salah satu bagian

hidup yang dapat mendewasakan kepribadian dan hidup panggilan para suster

yunior PBHK (Podimattam, 1997: 110). Mereka diharapkan mampu

5

menemukan makna terdalam tentang relasinya itu (Podimattam, 1985: 70-74).

Dengan demikian, para suster yunior PBHK dapat semakin mantap dan setia

dalam menjalani hidup panggilan mereka.

Sementara menurut pengamatan penulis, ada sebagian para suster yunior

PBHK tampak takut, malu dan ragu-ragu dalam berelasi dengan lawan jenis

sedangkan dalam setiap bidang karya kerasulan kongregasi mereka dituntut

bisa bekerjasama dengan lawan jenis, baik awam maupun biarawan. Perasaan-

perasaan itu bisa menghambat perkembangan kepribadian dan panggilan

mereka apabila hal itu tidak diolah. Penulis merasa prihatin dengan kenyataan

itu. Makna apa yang kiranya bisa ditemukan dalam berelasi dengan lawan

jenis?

Berdasarkan kenyataan yang sudah diuraikan itu, maka penulis tertarik

meneliti “Persepsi para suster yunior PBHK tentang relasinya dengan lawan

jenis”. Penulis ingin mengetahui persepsi mereka dan menggali makna yang

bisa ditemukan dalam berelasi dengan lawan jenis. Semoga setelah penulis

mengetahui persepsi mereka dan makna itu, penulis semakin berempati dan

dapat membantu mereka untuk semakin meningkatkan persepsinya yang positif

sehingga dapat menjalin relasi yang sehat dengan lawan jenis. Dengan

demikian, para suster yunior kongregasi PBHK Provinsi Indonesia semakin

mantap dan setia dalam menjalani hidup panggilan mereka masing-masing

sebagai seorang religius PBHK.

A. Rumusan Masalah

6

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah persepsi para suster yunior kongregasi PBHK di Provinsi

Indonesia tahun 2007-2008 tentang relasinya dengan lawan jenis?

2. Makna apa yang ditemukan para suster yunior kongregasi PBHK di

Provinsi Indonesia tahun 2007-2008 dalam berelasi dengan lawan jenis?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui persepsi para suster yunior kongregasi PBHK di Provinsi

Indonesia tahun 2007-2008 tentang relasinya dengan lawan jenis.

2. Untuk menggali makna yang ditemukan para suster yunior kongregasi

PBHK di Provinsi Indonesia tahun 2007-2008 dalam berelasi dengan lawan

jenis.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain:

1. Bagi kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia

Penelitian ini sebagai sumbangan untuk mengembangkan program

pembinaan demi peningkatan persepsi yang positif tentang relasi suster

yunior dengan lawan jenis.

2. Bagi suster pendamping para suster yunior PBHK

7

Penelitian ini sebagai sumbangan untuk mendampingi para suster yunior

supaya para suster yunior PBHK semakin mampu mengembangkan

persepsi yang positif tentang relasinya dengan lawan jenis.

3. Bagi para suster yunior PBHK

Penelitian ini dapat semakin menyadarkan mereka betapa pentingnya

persepsi yang positif tentang relasinya dengan lawan jenis. Mereka

diharapkan semakin mampu menjalin relasi yang wajar dengan lawan jenis

dan semakin mantap dalam menjalani hidup panggilan mereka.

4. Bagi peneliti

Penelitian ini sebagai masukan untuk mengembangkan empatisitas peneliti

terhadap para suster yunior PBHK sehingga dalam kehidupan sehari-hari

sebagai sesama anggota sekongregasi peneliti bisa menjadi teman bagi

mereka.

5. Bagi peneliti lain

Penelitian ini sebagai salah satu sumber inspirasi apabila mereka ingin

mengembangkan penelitian di sekitar topik yang sama.

E. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman tentang penelitian ini, berikut ini

dijelaskan arti beberapa istilah yang digunakan:

1. Persepsi adalah proses diterimanya rangsang yang berupa objek, kualitas,

hubungan antar gejala dan peristiwa sampai rangsang itu disadari dan

dimengerti. Persepsi merupakan pendapat/keyakinan orang tentang suatu

objek tertentu, berupa manusia dan bukan manusia.

8

2. Kongregasi PBHK adalah persekutuan suster-suster Puteri Bunda Hati

Kudus yang didirikan oleh Pater Jules Chevalier MSC pada tanggal 30

Agustus tahun 1874 di Issoudun Perancis. Misi utama Kongregasi PBHK

adalah untuk mewartakan cinta Hati Kudus Yesus bagi semua orang supaya

mereka percaya bahwa Allah mengasihi mereka. Misi itu terungkap dalam

semboyan “Semoga Hati Kudus Yesus Dikasihi Di Mana-mana (Ametur

Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum)”.

3. Para suster yunior PBHK Provinsi Indonesia adalah para suster yang telah

mengikrarkan kaul sementara dalam kongregasi PBHK dan tinggal di

komunitas yang berada di Indonesia.

4. Relasi adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih.

5. Relasi dengan lawan jenis adalah relasi para suster yunior PBHK dengan

lawan jenis, baik laki-laki awam maupun biarawan.

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kongregasi Puteri Bunda Hati Kudus (PBHK)

1. Sejarah Singkat Kongregasi PBHK

Kongregasi PBHK didirikan oleh Pater Jules Chevalier MSC. Dia

lahir pada tanggal 15 Maret 1824 di Richelieu Perancis dari pasangan Jean

Charles dan Louise Oury. Mereka hidup pada jaman setelah revolusi

Perancis, pecahnya pada bulan September 1793 sampai dengan Juli 1794.

Pada saat itu, terjadi berbagai penganiayaan dan pembunuhan, termasuk

ratusan imam dibunuh dalam pembantaian massal. Pada umumnya,

masyarakat Perancis dilanda penyakit jaman, seperti: bersikap bermusuhan,

acuh tak acuh (indifference) dan egois (Tostain, 1997: 10-30). Peristiwa

jaman itu sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian Jules

Chevalier. Dia berkembang menjadi pribadi yang dewasa,

bertanggungjawab dan mempunyai cita-cita hidup membiara (Keulers,

1980: 6). Situasi Perancis itu mendorong Jules Chevalier untuk

mempersembahkan diri dan hidupnya demi kemuliaan Allah sehingga

setelah berusia 17 tahun, dia mulai masuk seminari menengah dan seminari

tinggi di Perancis (Tostain, 1997: 42 dan Venard, 1983: 69). Berbagai

pengalaman hidup yang dia alami semakin mengembangkan pribadinya:

ramah kepada siapa saja, semangat doa dan optimis dalam menghadapi

kesulitan hidupnya (Keulers, 1980: 8 dan Venard, 1983: 72-78). Semangat

doanya semakin memperdalam relasinya dengan Hati Kudus Yesus dan

10

Bunda Hati Kudus sehingga dia mengalami bahwa Allah mencintainya

tanpa batas (Cuscelly, 1975: 46). Itu sebabnya, dia tergerak hati mendirikan

serekat misionaris yang memberi perhatian khusus pada pewartaan Hati

Kudus Yesus di seluruh dunia (Keulers, 1980: 8).

Setelah ditahbiskan menjadi seorang imam deosesan, Pater Jules

Chevalier mulai mewujudkan cita-citanya mendirikan serekat misionaris.

Dia novena mohon bantuan kepada Bunda Maria supaya cita-citanya dapat

terwujud (Venard, 1983: 76). Pada tanggal 8 Desember 1854, Pater Jules

Chevalier meresmikan kongregasi yang diberi nama kongregasi Missionarii

Sacratissimi Cordis Jesu (MSC)/ Misionaris Hati Kudus Yesus di Issoudun

Perancis (Keulers, 1980: 14). Setelah itu, Pater Jules Chevalier MSC

membentuk kelompok misionaris para suster PBHK (Puteri Bunda Hati

Kudus) dan diresmikan pada tanggal 30 Agustus 1874 di Issoudun Perancis

(Cuskelly, 1975: 102). Tujuan didirikan kongregasi PBHK adalah

mewartakan kasih Hati Kudus Yesus di seluruh dunia (Venard, 1983: 89).

Mulai tanggal 8 Desember 1882, Pater Jules Chevalier MSC

mempercayakan kepemimpinan kongregasi PBHK kepada Sr. Marie Louise

Hartzer PBHK yang kemudian menjadi ibu rohani dan superior jenderal

pertama (Wijingaarden,1997: 4). Sejak saat itu, Pater Jules Chevalier MSC

dan Sr. Marie Louise Hartzer PBHK saling bekerjasama merintis dan

mengembangkan kongregasi PBHK (Venard, 1983: 166). Kerjasama itu

dijiwai oleh spiritualitas dan kharisma yang sama, yaitu kasih Hati Kudus

Yesus yang ditikam dengan tombak menjadi sumber kehidupan baru dan

membantu orang lain agar mereka menginsafi betapa besar cinta kasih

11

Allah kepada mereka (Konstitusi Bab I nomor 1 dan 2). Pater Jules

Chevalier MSC terlibat secara langsung membimbing para suster PBHK

melalui konferensi-konferensi, bimbingan rohani dan pengakuan dosa.

Ketika kongregasi mengalami saat-saat sulit, mereka tetap setia bersama-

sama mengatasi berbagai kesulitan itu (Venard, 1983: 168). Mereka

menerima keberadaan diri mereka apa adanya, bersikap saling terbuka dan

saling percaya (Venard, 1983: 165). Mereka saling menghormati sebagai

pribadi yang sama-sama dipanggil dan diutus untuk menjadi rasul cinta

kasih Hati Kudus Yesus (Cuskelly, 1975: 106-108).

Relasi yang dibangun Pater Jules Chevalier MSC dan Sr. Marie

Louise Hartzer PBHK semakin menguatkan mereka dalam mewartakan

cinta kasih Hati Kudus di seluruh dunia (Venard, 1983: 109). Relasi itu

hanya demi kemuliaan Allah dan kebahagiaan hidup sesama yang

dilayaninya. Relasi mereka terbuka bagi siapa saja sehingga mereka mampu

mempererat persatuan dan kesatuan dalam komunitas kongregasi PBHK

(Venard, 1983: 176). Mereka berdua berjuang bersama membangun

komunitas yang saling meneguhkan, menguatkan dan menghidupkan

sehingga setiap suster semakin mengalami kasih Allah (Venard, 1983: 178-

179).

Hal ini menunjukkan bahwa relasi mereka sehat. Mereka mempunyai

pandangan yang benar tentang relasi dengan orang lain, begitu halnya relasi

dengan lawan jenis. Mereka menjalin relasi demi mewujudkan visi dan misi

kongregasi PBHK sehingga sampai saat ini kongregasi PBHK semakin

berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia (Venard, 1978: 1-2

12

dan Wijingaarden, 1997: 22, 40). Semangat itu diwariskan kepada para

suster PBHK sebagai generasi penerusnya supaya bekerjasama dengan

siapa saja dalam merealisasikan karya kerasulan kongregasi, antara lain:

dengan para imam, para religius lain dan para awam (Konstitusi Bab VII

nomor 87). Dengan demikian, kongregasi PBHK di Indonesia terus

berkembang subur sampai sekarang ini baik jumlah anggota maupun bidang

karya kerasulan.

2. Visi dan Misi Kongregasi PBHK

Visi kongregasi PBHK termuat di konstitusi Bab I nomor 1, 2 dan 3,

dikatakan bahwa dalam Hati Kudus Yesus ditemukan pewahyuan

kelembutan cinta kasih Allah yang berbelaskasih, rendah hati, lemah lembut

dan menyelamatkan seluruh umat manusia (1983: 7-9). Kasih Allah yang

tanpa batas itulah yang menjadi arah hidup kongregasi PBHK. Kongregasi

PBHK sungguh-sunggguh percaya bahwa Allah mencintai setiap anggota

melalui pengalaman hidup, baik pengalaman suka maupun duka. Kapitel I

Provinsi PBHK Indonesia merumuskan visi kongregasi PBHK sebagai

berikut:

“Komunitas hidup bakti PBHK yang anggota-anggotanya mengagumi dan mengalami kasih Allah yang nyata dalam Hati Kudus Yesus, bersama Maria Bunda Hati Kudus, menyerahkan diri secara total, ambil bagian dalam gerak keprihatinan Hati Kudus Yesus, sebagaimana diwariskan Pater Chevalier, membagikan kasih-Nya, terutama kepada mereka yang tak berdaya, lemah dan tersingkir” (1998: 2). Misi kongregasi PBHK termuat di konstitusi Bab I nomor 3:

“Semboyan kita: Semoga Hati Kudus Yesus Dikasihi Di Mana-mana

13

(Ametur Ubique Terrarum Cor Jesu Sacratissimum)” (1983: 8). Kongregasi

PBHK mewartakan kasih Hati Kudus Yesus di seluruh dunia. Para suster

PBHK dipanggil dalam Gereja untuk mengambil bagian dalam

mewujudkan visi dan misi tersebut. Mereka diutus untuk menjadi rasul-

rasul cinta-Nya dan membaktikan seluruh hidupnya demi terwujudnya misi

itu. Kapitel I Provinsi PBHK Indonesia merumuskan misinya bahwa

kongregasi PBHK bertekad mewujudkan intimitas Hati Kudus Yesus dan

Maria, menghayati keutamaan-keutamaan Hati Kudus Yesus dan Maria,

mewartakan cinta Allah yang berbelas kasih melalui kesaksian hidup dalam

perutusan (1998: 2). Dalam mewujudkan visi dan misi kongregasi tersebut

para suster PBHK terbuka untuk berelasi dengan siapa saja, termasuk

dengan lawan jenis.

3. Ciri Khas Cara Hidup Kongregasi PBHK

Ciri khas cara hidup kongregasi PBHK termuat di konstitusi Bab I

nomor 5 (1983: 8). Dalam Program Pembinaan Yuniorat Puteri Bunda Hati

Kudus (1996: 3-4), hal itu diuraikan sebagai berikut:

a. Personal

Para suster PBHK menyerahkan diri secara personal dan total kepada

Hati Kudus Yesus dan Bunda Hati Kudus, dengan hati tidak terbagi,

melalui hidup berkaul, hidup doa, adorasi dan pemulihan.

b. Komuniter

Para suster PBHK hidup dalam komunitas mewujudkan kualitas-

kualitas hidup bersama, antara lain: membangun semangat kekeluargaan

14

sejati, persaudaraan, saling menerima adanya berbagai perbedaan,

mencintai dengan tulus, hidup sederhana, saling percaya, perhatian,

mendengarkan, membantu, meneguhkan, berbelarasa, mengampuni,

terbuka, setia, menghormati, gembira, bersikap ramah dan hangat.

c. Rasuli

Para suster PBHK bersama dengan Bunda Hati Kudus, dipanggil dan

diutus untuk mengambil bagian dalam karya penebusan Allah menjadi

rasul cinta Hati Kudus Yesus, khususnya bagi orang-orang yang miskin,

menderita dan tertindas. Oleh karena itu, betapa pentingnya berelasi

yang sehat dengan orang lain dalam melaksanakan setiap karya

kerasulan kongregasi agar Hati Kudus Yesus dikasihi di mana-mana.

B. Relasi yang Sehat dengan Lawan Jenis yang Diharapkan Kongregasi

PBHK

Bagi kongregasi PBHK, relasi dengan orang lain merupakan hal yang

positif demi terwujudnya visi dan misi kongregasi. Kongregasi PBHK tidak

bisa berjalan sendiri tetapi membutuhkan kerjasama dengan orang lain dalam

mewartakan kasih Hati Kudus Yesus. Harapan itu secara jelas diuraikan dalam

anggaran dasar kongregasi sebagai pedoman hidup para suster PBHK yang

termuat di konstitusi, direktorium dan statuta kongregasi PBHK.

Orang lain yang bekerjasama dengan kongregasi PBHK dipandang

sebagai mitra dalam mengemban misi kongregasi, yaitu “Semoga Hati Kudus

Yesus Dikasihi Di Mana-mana” (Konstitusi Bab I nomor 3 dan Statuta Bab VII

bagian perutusan nomor 4). Para suster PBHK bekerjasama dengan para imam,

15

kaum religius lain dan kaum awam dalam melaksanakan karya kerasulan

kongregasi (Konstitusi Bab I nomor 11 dan Bab VII nomor 87). Mereka

terbuka untuk berelasi dengan siapa saja. Relasi itu dijiwai oleh spiritualitas

dan kharisma kongregasi. Kasih Hati Kudus Yesus yang lemah lembut,

berbelaskasih, menyelamatkan dan rendah hati yang menyemangati mereka.

Relasi itu dibangun dalam rangka mewartakan cinta kasih Hati Kudus Yesus

dan membantu orang lain supaya mereka meyakini bahwa Allah mengasihi

mereka masing-masing (Konstitusi Bab I nomor 1, 2, 3 dan 5).

Para suster PBHK menjalin relasi dengan orang lain berdasarkan cinta

universal dan tidak mementingkan diri sendiri sehingga mereka menjadi bebas

untuk mencintai orang lain seperti Allah mencintai mereka dan untuk hadir

dalam situasi kehidupan mereka dengan pengertian dan keprihatinan. Melalui

kaul kemurnian, mereka mengikatkan diri dengan bebas untuk menjalani selibat

dan hidup murni supaya mereka dapat mengabdi Kristus sepenuhnya demi

kerajaan Allah. Relasi itu sebagai salah satu sarana yang dapat memperkuat

penyerahan diri mereka secara total hanya kepada Tuhan (Konstitusi Bab III

nomor 24, 27 dan 28). Mereka diharapkan mengembangkan pandangan yang

positif dan dinamis terhadap cinta, mengenal diri yang sesungguhnya,

menerima seksualitasnya dan seksualitas orang lain apa adanya serta mampu

memaknai kesepian. Mereka membangun semangat persaudaraan dan

kekeluargaan yang sejati baik dalam hidup bersama di komunitasnya maupun

dalam berelasi dengan orang lain di luar komunitasnya, seperti: ramah, tulus,

hormat, bijaksana, sopan, gembira, saling menerima adanya keragaman,

bekerjasama, mencintai dalam persahabatan yang tulus, membantu, percaya,

16

meneguhkan dalam panggilan, mendengarkan, menghargai, menghormati,

melengkapi, mendukung dan memperhatikan. Hal itu akan memampukan

mereka untuk mengembangkan relasi pribadi yang sehat baik dengan sesama

suster di komunitasnya maupun dengan orang lain di luar komunitasnya

(Konstitusi Bab V nomor 48, Bab VI nomor 60, 66, 68, Bab VII nomor 82;

Direktorium Bab III nomor 3.3, Bab IV nomor 4.7, Bab V nomor 5.2, Bab VI

nomor 6.1, 6.2, 6.3; Statuta Bab III, Bab V nomor 2, Bab VII bagian perutusan

nomor 5).

Dari uraian di atas semakin jelas bahwa dalam kongregasi PBHK relasi

dengan orang lain merupakan hal yang positif. Dalam merealisasikan visi dan

misi kongregasi, para suster PBHK terbuka untuk berelasi dengan orang lain.

Relasi itu dapat mendukung perkembangan karya kerasulan kongregasi. Oleh

karena itu, betapa pentingnya para suster PBHK berelasi yang sehat dengan

orang lain dalam merealisasikan misi kongregasi sebab dalam setiap bidang

karya kerasulan kongregasi mereka terbuka untuk berelasi dengan siapa saja,

termasuk dengan lawan jenis.

C. Bidang-bidang Karya Kerasulan Kongregasi PBHK

Dalam konstitusi PBHK Bab VII nomor 84 dikatakan bahwa karya

kerasulan kongregasi PBHK meliputi: bidang pendidikan, kesehatan, sosial dan

pastoral (1983: 32-33). Keempat bidang itu berada di tiga (3) daerah yang

menjadi bagian dari PBHK Provinsi Indonesia yaitu: daerah Jawa, Maluku dan

Papua. Setiap suster PBHK diberi kepercayaan untuk mengemban misi dalam

bidang-bidang kerasulan tersebut. Mereka diutus untuk mewartakan kasih Hati

17

Kudus Yesus kepada orang-orang yang mereka layani, khususnya bagi mereka

yang miskin, menderita, kehilangan makna hidup dan yang belum mengenal

Kristus (Konstitusi kongregasi PBHK Bab VII nomor 80 dan 81). Dalam

kapitel provinsi PBHK Indonesia II dirumuskan bahwa kharisma dan

spiritualitas kongregasi menjiwai para suster dalam melaksanakan karya

kerasulan yang dipercayakan kepada mereka masing-masing (2004: 12-13).

Bidang-bidang karya kerasulan kongregasi PBHK tersebut diuraikan sebagai

berikut:

1. Bidang Pendidikan

Bidang pendidikan sebagai salah satu ungkapan keprihatinan terhadap

masa depan Gereja dan karya penyelamatan yang diperjuangkan oleh

Kristus. Karya kerasulan di bidang ini terdiri dari sekolah-sekolah formal

yang meliputi: Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah

Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK).

a. Daerah Jawa

Karya bidang pendidikan daerah Jawa berada di sembilan (9) tempat

yaitu: di Purworejo, Wonosobo, Parakan, Cilacap, Pemalang, Tegal,

Mejasem, Grogol dan Bogor (Kota Wisata).

b. Daerah Maluku

Karya bidang pendidikan daerah Maluku berada di enam (6) tempat

yaitu: di Ambon, Langgur, Saumlaki, Arui Bab, Elat dan Palu.

c. Daerah Papua

18

Karya bidang pendidikan daerah Papua berada di dua (2) tempat yaitu:

di Merauke dan Kepi.

Para suster PBHK terbuka untuk berelasi dengan lawan jenis dalam

melaksanakan karya kerasulan di bidang ini, antara lain: dengan para

guru, imam, bruder, frater, karyawan, orang tua murid dan para pejabat

instansi lainnya.

2. Bidang Kesehatan

Bidang kesehatan sebagai salah satu perwujudan perhatian dan

pelayanan terhadap mereka yang sakit dan menderita. Karya kerasulan di

bidang ini terdiri dari rumah sakit dan klinik.

a. Daerah Jawa

Karya bidang kesehatan daerah Jawa berada di tiga (3) tempat yaitu: di

Cilacap, Sidareja dan Pemalang.

b. Daerah Maluku

Karya bidang kesehatan daerah Maluku berada di empat (4) tempat

yaitu: di Langgur, Katlarat, Saumlaki dan Arui Bab.

c. Daerah Papua

Karya bidang kesehatan daerah Papua bertempat di Merauke.

Para suster PBHK terbuka untuk berelasi dengan lawan jenis dalam

melaksanakan karya kerasulan di bidang ini, antara lain: dengan para

dokter, perawat, karyawan dan pasien.

3. Bidang Sosial

Bidang sosial sebagai salah satu perwujudan perhatian terhadap orang

yang miskin, yatim-piatu, terlantar dan membutuhkan bantuan. Karya

19

kerasulan di bidang ini terdiri dari panti asuhan, asrama dan pemberdayaan

orang kecil.

a. Daerah Jawa

Karya bidang sosial daerah Jawa bertempat di Purworejo.

b. Daerah Maluku

Karya bidang sosial daerah Maluku berada di dua (2) tempat yaitu: di

Langgur dan Ambon.

c. Daerah Papua

Karya bidang sosial daerah Papua bertempat di Merauke.

Para suster PBHK terbuka untuk berelasi dengan lawan jenis dalam

melaksanakan karya kerasulan di bidang ini, antara lain: dengan para

imam, bruder, frater, donatur dan pejabat dinas sosial.

4. Bidang Pastoral

Bidang pastoral sebagai salah satu perhatian terhadap kehidupan

spiritual bagi orang-orang yang dilayaninya dan keterlibatan dalam

pengembangan iman umat. Karya kerasulan di bidang ini meliputi berbagai

kegiatan pastoral di paroki, antara lain: pendampingan iman anak (PIA),

pendampingan putra-putri altar, pendampingan mudika, rekoleksi, retret,

Legio Maria, persiapan komuni pertama dan kunjungan keluarga. Setiap

komunitas kongregasi PBHK di Provinsi Indonesia terlibat langsung dalam

berbagai kegiatan pastoral di paroki setempat. Para suster PBHK terbuka

untuk berelasi dengan lawan jenis dalam melaksanakan karya kerasulan di

bidang ini, antara lain: dengan para imam, bruder, frater, pengurus paroki

dan umat awam lainnya.

20

Kongregasi PBHK mengharapkan agar para suster mampu bekerjasama

dengan banyak orang baik dengan sesama religius maupun awam dalam

mewartakan kasih Hati Kudus Yesus di setiap bidang karya kerasulan

kongregasi tersebut (Cuskelly, 1975: 21-25). Dalam melaksanakan tugas di

setiap bidang karya kerasulan kongregasi tersebut, para suster PBHK terbuka

untuk berelasi dengan siapa saja, salah satunya dengan lawan jenis. Relasi itu

dapat mendukung perkembangan karya kerasulan kongregasi. Oleh karena itu,

betapa pentingnya para suster PBHK membangun relasi yang sehat dengan

siapa saja, termasuk dengan lawan jenis dalam melaksanakan tugas di setiap

bidang karya kerasulan itu agar realisasi karya kerasulannya semakin efektif.

D. Relasi yang Sehat dan Tidak Sehat dengan Lawan Jenis

Sebagai makhluk sosial, para religius selalu membutuhkan untuk berelasi

dengan orang lain (Gerungan, 1988: 24). Mereka mempunyai kebebasan untuk

menjalin relasi dengan siapa saja (Supratiknya, 1995: 9-10). Mereka tidak dapat

hidup dan berkembang optimal tanpa berelasi dan bekerjasama dengan

sesamanya, termasuk dengan lawan jenis (Hardjana, 2003: 9). Podimattam

menegaskan: “Regardless of the state of life, everyone needs healthy

interaction with the complementary sex for his personal development” (Dalam

status hidup apapun, setiap orang membutuhkan interaksi yang sehat dengan

lawan jenis demi perkembangan kepribadiannya) (1997: 110). Dalam

perjalanan hidupnya, relasi mereka dengan lawan jenis itu bisa sehat dan tidak

sehat. Berikut ini diuraikan tentang relasi yang sehat dengan lawan jenis yang

21

perlu diperjuangkan dan relasi yang tidak sehat yang perlu diperhatikan oleh

para religius.

1. Relasi yang Sehat

Relasi para religius yang sehat dengan lawan jenis merupakan salah

satu hal yang dapat mendukung karya kerasulan kongregasi. Mereka bisa

saling belajar dan melengkapi dalam melaksanakan karya kerasulan

kongregasi yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Relasi

timbal balik di antara mereka dengan lawan jenis dapat membantu mereka

untuk mengembangkan kepribadian dan panggilan mereka (Supratiknya,

1995: 9). Oleh karena itu, betapa pentingnya para religius membangun

relasi yang sehat dengan lawan jenis karena mereka terbuka untuk

bekerjasama dengan lawan jenis.

Mereka akan mampu menjalin relasi yang sehat dengan lawan jenis

apabila mereka telah menerima diri apa adanya, merasa nyaman dengan

dirinya dan bahagia dalam menjalani hidup panggilannya (Purwawidyana,

2002: 8). Mereka mempunyai motivasi yang murni dan komitmen yang

kuat terhadap pilihan hidup panggilan mereka sebagai seorang religius

(Prasetya, 1992: 247 dan Hurlock, 1996: 250). Relasi yang sehat dengan

lawan jenis dapat mendewasakan segi afeksi dan seksual mereka

(Podimattam, 1985: 59). Kedewasaan seseorang juga mempengaruhi

relasinya itu. Mereka yang telah dewasa afeksinya mampu mengutamakan

Allah dalam relasi mereka itu (Ridick, 1987: 99). Mereka

bertanggungjawab dan mampu mengembangkan hidup panggilan mereka

terutama dalam menjalankan karya kerasulan kongregasi yang dipercayakan

22

kepada mereka masing-masing (Podimattam, 1985: 46). Mereka akan

menyadari bahwa seluruh hidupnya hanya untuk Allah dan pelayanan bagi

sesama.

Berbagai pengalaman yang mereka alami dalam berelasi dengan

lawan jenis itu merupakan pengalaman berarti apabila mereka mampu

mengolahnya terus-menerus (Podimattam, 1997: 16). Menurut Robert

Kegan, setiap orang selain mempunyai dorongan untuk berelasi dengan

orang lain juga mempunyai dorongan untuk independen/otonom

(Kwakman, 2007: 1). Kepribadian orang akan berkembang sehat apabila

mereka mampu mengintegrasikan kedua dorongan itu. Kemampuan

menyeimbangkan antara dorongan untuk membangun relasi dengan orang

lain dengan dorongan untuk independen/otonom sangat penting bagi para

religius sehingga relasi itu tidak melemahkan otonomi dirinya tetapi

semakin menguatkannya. Begitu halnya kemampuan mereka

menyeimbangkan antara dorongan untuk membangun relasi dengan lawan

jenis dengan dorongan untuk independen/otonom demi komitmen hidup

panggilannya sehingga relasi mereka menjadi sehat. Relasi yang sehat

dengan lawan jenis dapat menguatkan hidup panggilan mereka masing-

masing sebagai seorang religius (Podimattam, 1985: 38-48).

Relasi yang sehat itu semakin memampukan mereka mencintai

panggilan dan karya kerasulan yang dipercayakan kepada mereka masing-

masing (Suparno, 2007: 27-29). Mereka semakin mampu mengalami kasih

Allah dan membagikan pengalaman kasih itu kepada orang lain dalam

karya kerasulan kongregasi supaya orang lainpun mengalami kasih Allah.

23

Mereka semakin lepas bebas dalam memberikan cinta kepada Allah dan

kepada sesama, dengan teman-teman sekomunitas/sekongregasinya maupun

dengan orang-orang di luar komunitasnya (Podimattam, 1997: 95). Sebagai

orang yang berkaul kemurnian, relasi yang sehat dengan lawan jenis dapat

membantu para religius untuk memperkuat penghayatan kaul kemurnian

mereka (Suparno, 2003: 361). Purwawidyana menegaskan bahwa salah satu

medan untuk terus-menerus mengembangkan kemampuan mengasihi

dengan jujur dan benar sesuai dengan kaul kemurnian adalah berelasi yang

sehat dengan lawan jenis (2002: 1).

Apabila dalam relasi itu para religius mengalami jatuh cinta, hal itu

merupakan hal yang wajar dan sebagai rahmat, seperti dikatakan

Podimattam: “In fact, falling in love is an occasion of grace for everyone

whether married or celibate (Dalam kenyataannya, jatuh cinta adalah

sebuah kesempatan berahmat bagi setiap orang baik yang menikah atau

selibat)” (1999: 90). Suparno juga menjelaskan bahwa pengalaman jatuh

cinta merupakan saat yang tepat untuk merefleksikan lebih mendalam

tentang hidup panggilan (2007: 76). Cinta manusiawi menjadi sarana untuk

mengungkapkan hubungan cinta dengan Allah (Prasetya, 1992: 197). Cinta

merupakan bagian dari keseluruhan kebutuhan eksistensial manusia. Tanpa

cinta pertumbuhan dan perkembangan kemampuan orang akan terhambat

(Goble, 1987: 74-76). Orang akan mengalami kebahagiaan apabila mereka

mampu mencintai dan mengalami dicintai (Podimattam, 1985: 14). Ridick

menjelaskan bahwa cinta yang perlu dikembangkan oleh para religius

adalah cinta yang radikal artinya orang menjadi bebas memberikan diri

24

secara total kepada Allah. Mereka mencintai orang lain dengan hati seperti

Hati Yesus yang mencintai dan mencintai Yesus dalam sesama (1987: 83-

88).

Pengalaman cinta itu dapat membantu para religius untuk menghayati

seksualitasnya secara tepat. Seksualitas sebagai anugerah yang diberikan

oleh Allah kepada setiap orang (Agudo, 1988: 95). Rolheiser menjelaskan:

“Seksualitas adalah energi dalam diri kita, yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan, gembira, mempunyai afeksi, compassion, membangun intimacy dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan” (Suparno, 2007: 19).

Suparno menegaskan bahwa seksualitas merupakan energi yang membuat

orang menjadi manusia secara utuh (2006: 36). Seksualitas memotivasi

orang untuk saling melengkapi dalam berelasi dengan orang lain (Prasetya,

1993: 234). Para religius tidak bisa meninggalkan seksualitasnya sebagai

seorang perempuan atau laki-laki. Relasi yang sehat dengan lawan jenis

dapat membantu para religius mempersembahkan hidupnya hanya kepada

Allah dan setia dalam menjalani hidup panggilan mereka masing-masing

(Podimattam, 1997: 100). Prioritasnya semata-mata demi kerajaan Allah

(Hadiwardoyo, 2003: 375). Para religius bisa mengalami jatuh cinta, tetapi

mereka tetap perlu menyadari akan komitmen panggilannya sebagai

seorang religius. Kematangan seksual sangat penting bagi para religius

dalam berelasi itu (Sunarka, 2003: 353 dan Prasetya, 1996: 67). Relasi

mereka dengan lawan jenis tidak eksklusif. Relasi mereka akan berhenti

pada tataran cinta persahabatan. Dalam relasi mereka tidak diperkenankan

25

ada perwujudan ungkapan afeksi yang erotis supaya relasinya menjadi

sehat.

Podimattam menjelaskan beberapa pedoman yang perlu diperhatikan

supaya orang dapat membangun relasi yang sehat dengan lawan jenis

(1985: 29-84). Hal itu diuraikan sebagai berikut:

a. Pribadi

Secara pribadi, pedoman yang perlu diperhatikan supaya orang

dapat membangun relasi yang sehat dengan lawan jenis adalah:

1) Memiliki Kedewasaan Afektif dan Seksual yang Cukup

Relasi para religius yang sehat dengan lawan jenis ditentukan

oleh kedewasaan afektif dan seksualnya. Relasi itu dibangun

berdasarkan cinta yang murni dan nilai-nilai panggilan yang

dihayatinya. Relasi itu sebagai anugerah Tuhan dalam usaha

menghayati hidup panggilan mereka. Mereka menyadari bahwa

seluruh hidupnya hanya dipersembahkan kepada Allah melalui kaul-

kaul yang telah diikrarkan. Sebagai orang yang berkaul kemurnian,

mereka bersikap dewasa dan bijaksana mengolah berbagai gejolak

seksual yang dialaminya. Sangat penting bagi mereka menyadari

bahwa dirinya sebagai makhluk seksual supaya mereka mampu

menghayati seksualitasnya secara benar. Apabila mengalami jatuh

cinta dan atau dijatuhi cinta, mereka menyadari dan menerima akan

berbagai gejolak emosi dan seksual yang dialaminya itu dengan

jujur dan tetap menyadari akan komitmen hidup pangilannya. Relasi

cinta mereka akan berhenti pada tataran persahabatan sehingga tidak

26

akan pernah ada ungkapan afeksi yang erotis. Penting bagi mereka

untuk mampu menjaga jarak dalam menjalin relasi itu. Pengalaman-

pengalaman dalam berelasi dengan lawan jenis direfleksikan dengan

tekun sehingga pengalaman itu dapat mendewasakan afeksi dan

seksualnya sebab kedewasaan itu membutuhkan waktu dan usaha

terus-menerus.

2) Disiplin dalam Hidup Doa

Relasi para religius dengan lawan jenis ditopang oleh

semangat doanya yang mendalam dan membiarkan diri dituntun

oleh Roh Kudus. Relasi intim dengan Allah menjadi pusat dalam

hidupnya dan menjadi sumber dalam berelasi dengan lawan jenis.

Relasi mereka dengan lawan jenis menjadi perluasan dari relasinya

yang intim dengan Yesus Kristus yang telah memanggilnya. Sangat

penting bagi mereka terus-menerus berjuang menjadi pribadi pendoa

yang mendalam dengan tekun menjalankan latihan-latihan rohani,

antara lain: doa pribadi, doa komunitas, meditasi, kontemplasi,

rekoleksi, retret dan mengolah diri secara terus-menerus. Hal itu

perlu dilakukan supaya mereka mantap dalam menghayati hidup

panggilannya. Relasinya dengan lawan jenis semakin memperkuat

penghayatan kaul kemurniannya sehingga mereka mampu

memberikan diri secara total kepada Allah.

3) Waspada akan Resiko-resikonya

Para religius yang telah memiliki kedewasaan afektif dan

seksual akan waspada dalam menjalin relasi dengan lawan jenis

27

sebab relasi itu tetap beresiko terutama apabila di antara mereka

telah terjadi saling jatuh cinta. Apabila relasi itu semakin

berkembang, keinginan yang lebih mendalam bisa mengarahkan

mereka pada keinginan akan persatuan akhir dari badan dan jiwa

yaitu perkawinan. Resiko akan kehilangan panggilan selibatnya

adalah salah satu resiko dalam relasi itu. Cinta dapat membawa

seseorang untuk mengingkari hidup selibatnya apabila hal itu tidak

diolahnya secara dewasa. Pengalaman jatuh cinta sesungguhnya

merupakan pengalaman berharga yang perlu disyukuri dan

dimaknai. Kejujuran untuk menyadari, mengakuinya dan bijaksana

dalam mengolahnya menjadi sangat penting. Para religius perlu

mewaspadai akan resiko yang mungkin terjadi itu sehingga relasi

yang dibangun dengan lawan jenis tidak eksklusif. Mereka perlu

tetap menyadari secara terus-menerus komitmen panggilannya

bahwa hidupnya hanya dipersembahkan bagi Allah sehingga

pengalaman relasinya dengan lawan jenis menjadi sarana untuk

semakin memperkuat hidup panggilan mereka sebagai seorang

religius.

b. Hidup Komunitas

Dalam hidup komunitas, pedoman yang perlu diperhatikan supaya

orang dapat membangun relasi yang sehat dengan lawan jenis adalah

relasinya membangun persekutuan. Relasi dengan lawan jenis yang

dibangun para religius semakin mempersatukan mereka dengan teman-

teman sekomunitasnya. Relasi itu membantu mereka untuk semakin

28

mampu membangun persaudaraan dan kekeluargaan yang sejati dengan

teman-teman sekomunitasnya. Relasi mereka dengan komunitasnya

menjadi semakin dekat, hangat dan penuh kegembiraan. Hidup

komunitas menjadi tempat bagi mereka untuk saling berbagi, terutama

berbagi pengalaman hidup yang mereka alami masing-masing.

Perbedaan-perbedaan yang ada dalam komunitas menjadi kekayaan

yang semakin memampukan mereka untuk saling memahami dan

menerima apa adanya antara yang satu dengan yang lain.

c. Hidup Karya Kerasulan

Dalam hidup karya kerasulan, pedoman yang perlu diperhatikan

supaya orang dapat membangun relasi yang sehat dengan lawan jenis

adalah:

1) Relasinya Terbuka bagi Orang Lain

Cinta para religius adalah cinta yang terbuka bagi banyak

orang. Walaupun di antara mereka sudah saling dekat, mereka tetap

terbuka untuk menjalin relasi secara dekat pula dengan orang lain.

Relasi dengan lawan jenis akan tetap sehat apabila mereka tetap

membangun relasi yang dekat pula dengan orang lain. Relasi itu

sebagai perluasan dari relasinya yang intim dengan Tuhan. Semakin

banyak teman yang terlibat dalam kehidupan selibat, semakin

sehatlah relasi mereka. Cinta bagi para religius adalah cinta yang

terbuka yang memungkinkan mereka berelasi dengan banyak orang.

Melalui relasi itu mereka menjadi semakin berkembang dalam

kepribadian dan hidup panggilannya.

29

2) Relasinya Demi Kesejahteraan Orang Lain

Para religius membangun relasi dengan lawan jenis demi

pelayanan bagi sesama yang membutuhkannya. Orientasi relasi itu

adalah kesejahteraan orang-orang yang dilayaninya. Relasi itu

memberi semangat untuk semakin bertanggungjawab dalam

melaksanakan tugas perutusan yang dipercayakan kepada mereka

masing-masing. Mereka semakin terdorong untuk mengembangkan

karya kerasulan kongregasi yang dipercayakan kepada mereka.

Maka, penting bagi mereka untuk saling bekerjasama dan

menghormati sehingga mereka bisa saling melengkapi dalam

mewartakan kasih Allah supaya semakin banyak orang mengalami

dikasihi Allah. Dengan demikian, orang-orang yang dilayani dapat

mengalami kebahagiaan dalam hidupnya.

Dari hal-hal yang telah diuraikan tersebut semakin jelas bahwa relasi

yang sehat dengan lawan jenis seperti itu perlu dikembangkan oleh para

suster PBHK. Relasi yang sehat itu dapat mendukung realisasi karya

kerasulan kongregasi PBHK sebab dalam setiap karya kerasulan kongregasi

mereka terbuka untuk berelasi dengan lawan jenis. Masa pembinaan yang

efektif untuk mengembangkan relasi itu adalah pada masa pembinaan

yuniorat sebab pada masa ini para suster yunior PBHK sedang dalam tahap

belajar bertanggungjawab menjalankan tugas di bidang-bidang karya

kerasulan kongregasi.

2. Relasi yang Tidak Sehat

30

Relasi para religius yang tidak sehat dengan lawan jenis dapat

menghambat karya kerasulan kongregasi yang dipercayakan kepada mereka

masing-masing. Mereka menjadi tidak mampu menghayati hidup panggilan

dan perutusannya. Relasi yang tidak sehat itu terungkap dalam sikap

menghindari relasi dengan lawan jenis (Suparno, 2007: 11-12). Podimattam

mengatakan: “… belief that a celibate needs no dialogue with the

complementary sex is misplaced (… kepercayaan bahwa seorang selibat

tidak membutuhkan hubungan dialogal dengan lawan jenisnya adalah

keliru)” (1997: 17). Suparno menegaskan bahwa apabila seorang biarawan-

biarawati menghindar, membenci, merasa takut, alergi, bersikap dingin,

tidak mau bekerjasama dan menganggap lawan jenis sebagai pengganggu

hidup panggilannya, berarti relasi mereka dengan lawan jenis itu tidak sehat

(2004: 37-38). Relasi itu dapat mengancam penghayatan kaul kemurnian,

karena itu relasi dengan lawan jenis harus dihindari (Podimattam, 1997:

85). Bentuk relasi yang tidak sehat itu menunjukkan penghayatan

seksualitas yang salah. Mereka tidak mampu menghayati seksualitasnya

secara benar dalam hidup panggilannya. Mereka menghayati bahwa

seksualitas merupakan hal yang jelek, tabu dan harus ditinggalkan karena

hal itu hanya sebagai penghambat untuk menjadi seorang religius yang baik

(Suparno, 2007: 18). Oleh karena itu, mereka merasa takut dan menghindari

relasi dengan lawan jenis.

Menurut Suparno, apabila para religius merasa takut dalam berelasi

dengan lawan jenis disebabkan oleh beberapa hal (2007: 81-83), yaitu:

31

a. Orang mempunyai anggapan yang keliru tentang hidup membiara.

Mereka berpandangan bahwa mereka tidak boleh bergaul dan

bekerjasama dengan lawan jenis karena mereka ingin menghayati kaul

kemurnian secara lebih baik. Lawan jenis dianggap sebagai pengganggu

panggilan dan menyulitkan dalam menghayati kaul kemurnian.

b. Orang merasa takut dan minder terhadap lawan jenis. Hal itu

dipengaruhi oleh pengalamannya ketika masih kecil di rumah tidak

dibiasakan bergaul dengan lawan jenis atau dilarang orang tuanya untuk

bergaul dengan lawan jenis, selain orang tuanya sendiri. Akibatnya,

orang itu kurang percaya diri bila berhadapan dengan lawan jenis.

Orang itu merasa tidak nyaman terhadap dirinya sendiri maka menjadi

tidak nyaman dalam berelasi dengan lawan jenis.

c. Orang pernah mengalami trauma, pengalaman tidak enak, pengalaman

dilukai oleh lawan jenis dalam sejarah hidupnya. Orang yang pernah

mengalami pengalaman seperti itu sering menjadi tidak suka bertemu

dan berelasi dengan lawan jenis. Mereka merasa takut jangan-jangan

pengalaman itu akan terulang lagi.

d. Orang pernah mengalami tidak dicintai oleh orang tua lawan jenis di

masa lalunya. Pengalaman itu belum selesai diolah atau bahkan ditekan

di bawah sadarnya sehingga hal itu menghambat relasinya dengan orang

lain, termasuk dengan lawan jenis. Mereka merasa tidak nyaman dalam

berelasi dengan lawan jenis.

e. Orang merasa takut dinilai jelek oleh orang lain, terutama oleh teman

sekongregasinya: takut ditolak, takut dipermalukan dan takut resiko.

32

Penilaian orang lain terutama teman-teman sekongregasinya seolah-olah

menjadi penentu dalam hidupnya sehingga relasinya dengan lawan jenis

diliputi oleh perasaan cemas.

Relasi para religius yang tidak sehat dengan lawan jenis lainnya

terungkap dalam sikap terlalu melekat dan berani dalam menjalin relasi

dengan lawan jenis (Suparno, 2007: 11). Mereka menganggap bahwa relasi

mereka itu adalah segala-galanya sehingga relasi yang mereka bangun

cenderung mengarah ke relasi yang eksklusif (Podimattam, 1985: 76 dan

Suparno, 2003: 3). Relasi yang mereka bangun itu untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan psikologis tertentu, antara lain: kebutuhan akan

kehangatan, diterima, diperhatikan, keakraban, kasih sayang dan

kenikmatan seksual (Prasetya, 1992: 197). Apabila mereka mengalami

berbagai emosi dan gejolak seksual, hal itu menuntut untuk dipenuhi.

Orientasi relasi mereka dengan lawan jenis untuk memuaskan dirinya

sendiri. Dalam relasi mereka itu ada sikap mendewakan seksualitasnya

sehingga mereka tidak bisa menghayati seksualitasnya secara benar.

Mereka cenderung lupa bahwa dirinya adalah seorang religius yang berkaul

(Suparno, 2007: 12).

Menurut Suparno, para religius terlalu melekat dan berani dalam

berelasi dengan lawan jenis disebabkan oleh dua (2) hal (2007: 73-76),

yaitu:

a. Orang mempunyai motivasi panggilan yang tidak murni dan kurang

tekun dalam memurnikannya. Motivasi panggilan selalu berubah-ubah

dari waktu ke waktu. Berbagai pengalaman hidup yang dialami sangat

33

mempengaruhi motivasi panggilannya itu, begitu halnya

pengalamannya dalam berelasi dengan lawan jenis. Pengalaman mereka

dalam berelasi itu bisa merubah motivasi panggilannya sehingga

mereka menjadi tidak bertanggungjawab dan mengingkari komitmen

hidup panggilannya.

b. Orang mempunyai anggapan yang keliru tentang jatuh cinta. Mereka

menganggap bahwa apabila mereka mengalami jatuh cinta maka

mereka harus keluar dari hidup membiara dan menikah. Pengalaman

jatuh cinta menjadi segala-galanya maka pengalaman itu harus

dilanjutkan dalam perkawinan. Pengalaman jatuh cinta sangat

mengganggu mereka, antara lain: merasa gelisah dan bingung, menjadi

sangat tergantung, selalu ingin bersama, tidak dapat dipisahkan lagi,

selalu melamun dan memikirkan serta mempunyai anggapan bahwa

tidak dapat hidup lagi tanpa orang yang dicintainya itu. Oleh karena itu,

apabila mengalami jatuh cinta maka mereka dengan cepat mengambil

keputusan untuk keluar dari hidup membiara dan mengekalkan

hubungan mereka itu dalam bentuk ikatan perkawinan.

Orang-orang yang demikian menunjukkan bahwa mereka belum

memiliki kedewasaan afektif, kedewasaan seksual dan komitmen

panggilannya masih lemah. Mereka belum bahagia dengan dirinya sendiri

dan belum mantap dengan pilihan hidup panggilannya. Motivasi hidup

panggilan mereka juga belum kuat karena masih dikuasai oleh pergumulan

dengan dirinya sendiri sehingga mereka mengalami kesulitan dalam

34

berelasi dengan lawan jenis. Oleh karena itu, relasinya dengan lawan jenis

menjadi tidak sehat.

Relasi yang tidak sehat dengan lawan jenis seperti itu dapat

menghambat perkembangan kepribadian dan panggilan hidup para suster

PBHK. Mereka akan terhambat dalam melaksanakan setiap karya kerasulan

kongregasi yang dipercayakan kepada mereka masing-masing. Kongregasi

PBHK tidak mengharapkan relasi yang tidak sehat dengan lawan jenis

melainkan mengharapkan relasi yang sehat demi mewujudkan visi dan misi

kongregasi. Masa pembinaan yang efektif untuk mengembangkan relasi

yang sehat itu adalah pada masa pembinaan yuniorat sebab pada masa ini

para suster yunior PBHK sedang dalam tahap belajar berkarya di bidang-

bidang karya kerasulan kongregasi dan terbuka untuk berelasi dengan

siapapun juga, termasuk dengan lawan jenis.

E. Masa Yuniorat Kongregasi PBHK

1. Para Suster Yunior dan Masa Yuniorat PBHK

Para suster yunior PBHK adalah para suster yang telah mengikrarkan

kaul sementara dalam kongregasi PBHK yaitu kaul kemurnian, kemiskinan

dan ketaatan. Inti kaul kemurnian adalah menyerahkan seluruh pribadinya

kepada Allah dan membaktikan daya untuk mencintai kepada Allah. Inti

kaul kemiskinan adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah dan

membaktikan keinginan untuk memiliki kepada Allah. Inti kaul ketaatan

adalah mencari, menemukan dan melaksanakan kehendak Allah serta

membaktikan kebebasan untuk mengatur diri sendiri kepada Allah

35

(Konstitusi kongregasi PBHK Bab II nomor 14, Bab III nomor 23, Bab IV

nomor 33 dan Bab V nomor 46-48). Kaul-kaul yang telah mereka ikrarkan

itu merupakan perjanjian kasih mereka dengan Yesus Kristus yang telah

memanggil mereka masing-masing dalam kongregasi PBHK.

Masa pembinaan kaul sementara disebut masa yuniorat. Dalam

direktorium PBHK Bab VIII nomor 12 dikatakan bahwa masa yuniorat

merupakan waktu persiapan serius menuju kaul kekal (1981: 25). Dalam

program pembinaan yuniorat juga dijelaskan bahwa masa yuniorat

merupakan kelanjutan dari pendalaman semangat hidup kongregasi sampai

para suster yunior sungguh-sungguh mencintai kongregasi secara mendalam

(2003: 2-3 dan 1996: 5). Lama masa yuniorat PBHK seperti yang termuat di

konstitusi Bab VIII nomor 97.3: “Masa kaul sementara tidak kurang dari

tiga tahun dan tidak lebih dari enam tahun. Jika dipandang perlu, masa

yuniorat bisa diperpanjang tetapi tidak melebihi sembilan tahun” (1983:

37).

Selama menjalani masa yuniorat, para suster yunior PBHK belajar

terus-menerus menghayati ketiga kaul yang telah mereka ikrarkan itu.

Tulisan ini sangat erat kaitannya dengan penghayatan kaul kemurnian.

Relasi dengan lawan jenis merupakan salah satu sarana penting bagi mereka

untuk semakin memperkuat komitmen mereka dalam menghayati kaul

kemurniannya (Purwawidyana, 2002: 1 dan Hurlock, 1996: 250). Relasi

yang sehat dengan lawan jenis membantu mereka untuk semakin

memperjelas pilihan hidup mereka sebagai biarawati dengan segala

36

konsekuensinya (Ridick, 1987: 99). Melalui relasi itu, totalitas persembahan

diri mereka hanya kepada Allah semakin diperdalam (Darminta, 2004: 47).

Sebagai orang yang berusia masih muda, relasi dengan lawan jenis

merupakan salah satu pergumulan bagi para suster yunior PBHK dalam

upaya menghayati hidup panggilannya. Mereka pada umumnya berusia

antara 21 sampai dengan 35 tahun maka mereka termasuk orang dewasa

pada masa dewasa muda (Hurlock, 1996: 146). Pada usia itu, sebagian

orang muda emosinya masih labil, begitu halnya bagi para suster yunior

PBHK (Hurlock, 1996: 249). Apabila mereka jatuh cinta atau dijatuhi cinta,

mereka masih mudah cemas dan bingung. Berbagai emosi yang dialaminya

cukup menguasai dirinya. Mereka sedang dalam tahap perkembangan

seperti itu tetapi mereka sudah diberi kepercayaan untuk belajar

bertanggungjawab melalui menjalankan tugas di bidang-bidang karya

kerasulan kongregasi baik di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, pastoral

maupun kuliah di perguruan tinggi. Dalam menjalankan tugas tersebut,

mereka dituntut mampu berelasi yang sehat dengan orang lain sebab dalam

setiap bidang karya kerasulan kongregasi mereka terbuka untuk

bekerjasama dengan siapa saja, termasuk dengan lawan jenis. Oleh karena

itu, betapa pentingnya pengembangan relasi yang sehat dengan lawan jenis

sebagai salah satu fokus pembinaan pada masa yuniorat karena relasi itu

dapat mendewasakan kepribadian dan menguatkan hidup panggilan mereka.

Dengan demikian, para suster yunior PBHK semakin siap dan mantap untuk

mengikrarkan kaul kekal.

37

2. Pembinaan Masa Yuniorat PBHK

Pembinaan masa yuniorat PBHK seperti termuat dalam Pedoman dan

Program Pembinaan Yuniorat kongregasi PBHK Provinsi Indonesia ada

berbagai bidang yaitu bidang kepribadian, kharisma dan spiritualitas

kongregasi, hidup rohani, hidup berkomunitas, hidup berkaul dan karya

kerasulan kongregasi (1996: 10 dan 2003: 2-3). Fokus tulisan ini adalah

tentang relasi dengan lawan jenis yang berkaitan dengan bidang pembinaan

karya kerasulan sebab dalam menjalankan tugas di setiap bidang karya

kerasulan kongregasi para suster yunior PBHK terbuka untuk berelasi

dengan lawan jenis.

Pada tahun 2007, para suster yunior PBHK yang berada di Provinsi

Indonesia berjumlah dua puluh enam (26) orang. Tugas-tugas mereka

sebagai berikut: delapan (8) orang bertugas di bidang pendidikan, satu (1)

orang bertugas di bidang kesehatan, dua (2) orang bertugas di bidang sosial,

empat (4) orang bertugas di bidang pastoral, empat (4) orang sedang kuliah

dan tujuh (7) orang sedang dalam pembinaan khusus setelah profesi

sementara. Tugas kuliah yang dipercayakan kepada mereka untuk

memperdalam keahlian mereka supaya semakin profesional dalam

mengembangkan bidang-bidang karya kerasulan kongregasi yang

dipercayakan kepada mereka masing-masing di kemudian hari. Mereka

yang sedang kuliah terbuka untuk berelasi dengan para dosen dan para

mahasiswa. Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut, para suster yunior

PBHK terbuka untuk berelasi dengan lawan jenis. Mereka tidak bisa

menghindari relasi itu.

38

Arah pembinaan pada masa yuniorat PBHK supaya para suster yunior

semakin mencintai hidup panggilan mereka sebagai religus PBHK.

Berbagai pengalaman hidup yang mereka alami semakin memampukan

mereka untuk setia dalam menapaki hidup panggilan mereka. Pengalaman

suka dan duka yang mereka alami semakin memurnikan motivasi hidup

panggilan mereka supaya mereka semakin mampu melibatkan diri secara

penuh dalam mewujudkan misi kongregasi PBHK. Setiap tugas yang

dipercayakan kepada mereka masing-masing sebagai sarana bagi mereka

untuk membina dan mengembangkan diri supaya mereka semakin dewasa

dalam menghayati hidup panggilannya. Dalam melaksanakan tugas itu,

mereka terbuka untuk bekerjasama dengan siapa saja, begitu halnya dengan

lawan jenis. Mereka diharapkan mampu bekerjasama dan berelasi yang

sehat dengan lawan jenis yang menjadi mitra kerjanya: para imam, para

religius lain dan para awam. Relasi yang sehat dengan lawan jenis dapat

mendukung mereka dalam menjalankan karya kerasulan yang dipercayakan

kepada mereka masing-masing. Relasi itu juga dapat mendewasakan

kepribadian dan panggilan mereka sebagai seorang religius PBHK. Dengan

demikian, mereka semakin siap dan mantap untuk mengikrarkan kaul kekal

dalam kongregasi PBHK.

Realita dalam kongregasi PBHK, ada sebagian para suster yunior

PBHK tampak takut, malu dan ragu-ragu dalam berelasi dengan lawan

jenis, sedangkan dalam melaksanakan setiap tugas yang dipercayakan

kepada mereka masing-masing mereka terbuka untuk berelasi dengan lawan

jenis. Berdasarkan fenomena itu, penulis ingin mengetahui persepsi para

39

suster yunior PBHK tentang relasinya dengan lawan jenis dan menggali

makna yang bisa ditemukan dalam relasinya itu. Setelah mengetahui

persepsi mereka dan menggali makna itu, semoga penulis semakin

berempati, bisa sebagai teman bagi mereka dan turut ambil bagian

membantu mereka meningkatkan persepsi yang positif supaya mereka

semakin mampu menjalin relasi yang sehat dengan lawan jenis.

F. Persepsi tentang Relasi dengan Lawan Jenis

1. Pengertian Persepsi

Secara etimologis, kata persepsi atau dalam bahasa Inggris perception

berasal dari bahasa Latin perceptio dari kata percipere yang artinya

menerima atau mengambil (Sobur, 2003: 445). Menurut Kamus Psikologi,

persepsi adalah:

“Proses di mana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya; pengetahuan-pengetahuan lingkungan yang diperoleh melalui interpretasi data indera” (Kartini dkk, 2003: 343).

Leavitt mengartikan persepsi dalam arti sempit sebagai penglihatan yang

berarti cara seseorang melihat sesuatu dan dalam arti luas sebagai

pengertian yang berarti cara seseorang mengartikan sesuatu (Sobur, 2003:

445). Ahli lain menjelaskan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang

obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan

menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 1985: 64).

Persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus

yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti. Persepsi

40

merupakan respon integrated dalam diri individu sehingga semua hal yang

ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi (Walgito, 2004: 88).

Pareek mempertegas bahwa persepsi adalah proses menerima, menyeleksi,

mengorganisasikan, mengartikan dan memberikan reaksi kepada

rangsangan pancaindera atau data (Sobur, 2003: 446).

Persepsi para suster yunior PBHK tentang relasinya dengan lawan

jenis berarti pendapat/pandangan/pengertian mereka tentang relasinya itu.

Mereka menangkap pengalaman mereka dalam berelasi itu melalui lima

indera yang dimiliki, menyadari pengalamannya itu dan

menginterpretasikannya sehingga mampu menemukan maknanya. Setiap

suster yunior PBHK bisa menafsirkan setiap pengalaman yang mereka

alami masing-masing dalam berelasi itu (Irwanto, 2002: 71). Persepsi para

suster yunior PBHK bersifat individual karena perasaan, kemampuan

berfikir dan pengalaman-pengalaman yang mereka alami dalam berelasi itu

berbeda-beda (Walgito, 2004: 89).

2. Faktor-faktor yang Berperan dalam Persepsi

Menurut Walgito (2004: 89-90) dan Irwanto (2003, 96-97), faktor-

faktor yang berperan dalam persepsi sebagai berikut:

a. Objek yang Dipersepsi

Objek merupakan stimulus yang mengenai alat indera atau

reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi

dan dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan. Objek

persepsi bisa berujud manusia dan non manusia. Objek para suster

41

yunior PBHK dalam berelasi dengan lawan jenis adalah teman lawan

jenisnya sebagai pribadi, pengalaman-pengalaman yang mereka alami

terdahulu dan sekarang serta pengalaman orang lain dalam berelasi

dengan lawan jenis.

b. Alat Indera, Syaraf-syaraf dan Pusat Susunan Syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima

stimulus. Syaraf sensoris merupakan alat untuk meneruskan stimulus

yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak sebagai pusat

kesadaran. Syaraf motoris merupakan alat untuk mengadakan respon.

Secara fisiologis, para suster yunior PBHK mempersepsikan

pengalaman mereka dalam berelasi itu dengan alat-alat tersebut.

c. Perhatian

Perhatian merupakan langkah pertama sebagai persiapan untuk

mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi

dari seluruh aktivitas individu terhadap objek tertentu. Para suster

yunior PBHK dapat menyadari atau mempersepsikan relasi mereka

apabila orang yang bersangkutan mempunyai perhatian terhadap relasi

itu. Perhatian itu juga dipengaruhi oleh minat orang yang bersangkutan

terhadap relasi itu.

d. Nilai-nilai Kehidupan yang Dimiliki

Nilai-nilai kehidupan yang dianut para suster yunior PBHK

mempengaruhi persepsinya tentang relasinya dengan lawan jenis. Nilai

kehidupan berarti hal-hal yang dianggap penting, bermanfaat dan ingin

diperjuangkan oleh orang yang bersangkutan. Nilai-nilai itu antara lain:

42

cinta kasih, kerjasama, keramahan, persaudaraan, kejujuran dan

pelayanan. Relasi mereka itu didorong oleh nilai-nilai kehidupan yang

ingin diperjuangkannya.

e. Pengalaman Sebelumnya

Pengalaman-pengalaman para suster yunior PBHK sebelumnya

dalam berelasi dengan lawan jenis sangat mempengaruhi persepsinya

tentang relasi itu. Selain itu, pengalaman dikasihi orang tua dalam

keluarganya juga mempengaruhi persepsi mereka dalam berelasi.

Pengalaman-pengalaman itu bisa pengalaman yang menyenangkan

maupun pengalaman yang tidak menyenangkan.

3. Proses Pembentukan Persepsi

Menurut Pareek (Sobur, 2003: 451-464), proses pembentukan

persepsi diuraikan sebagai berikut:

a. Proses Menerima Rangsangan

Proses pertama dalam persepsi adalah menerima rangsangan atau

data dari berbagai sumber. Data diterima melalui pancaindera. Orang

bisa melihat, mendengar, mencium, merasakan dan menyentuh obyek

tertentu sehingga orang dapat memberi makna/arti dari obyek tersebut.

Para suster yunior PBHK melihat, mendengar dan mengalami relasi

dengan lawan jenis sehingga mereka bisa memberi makna dari

pengalamannya itu.

b. Proses Menyeleksi Rangsangan

43

Proses kedua adalah orang menyaring atau menyeleksi rangsangan

atau data yang telah diterimanya untuk diproses lebih lanjut. Ada dua

faktor yang menentukan seleksi rangsangan itu, yaitu faktor intern dan

ekstern. Faktor-faktor intern berarti dari dalam diri orang yang

bersangkutan, antara lain: kebutuhan psikologis, kepribadian dan

penerimaan diri seseorang. Faktor-faktor ekstern berarti dari obyek yang

dipersepsi, antara lain: intensitas, keakraban dan sesuatu yang baru.

c. Proses Mengorganisasikan

Proses ketiga adalah para suster yunior PBHK

mengorganisasikan/mengolah pengalaman-pengalaman mereka dalam

berelasi dengan lawan jenis yang telah diseleksi. Dalam proses ini,

mereka memilah-milah berbagai pengalamannya itu.

d. Proses Menafsirkan

Proses keempat adalah para suster yunior PBHK menafsirkan

pengalaman-pengalaman mereka dalam berelasi dengan lawan jenis

yang telah diorganisasikan sehingga terbentuk persepsi baik persepsi

yang positif maupun negatif. Persepsi berarti memberikan arti pada

berbagai informasi yang diterima secara positif maupun negatif.

e. Proses Mengecek

Proses keempat adalah para suster yunior PBHK mengecek hasil

penafsirannya, benar atau salah. Proses pengecekan ini bisa terjadi

begitu cepat sehingga orang yang bersangkutan tidak menyadarinya.

Pengecekan itu dilakukan dengan cara menanyakan kepada orang lain

dalam bentuk umpan balik mengenai persepsinya itu, benar atau salah.

44

f. Proses Mereaksi

Tahap terakhir dari proses persepsi adalah para suster yunior

PBHK bertindak berdasarkan persepsinya yang positif atau negatif.

Persepsi belum sempurna sebelum menimbulkan suatu tindakan.

Tindakan itu bisa tersembunyi atau bisa terbuka. Tindakan tersembunyi

berupa pembentukan pendapat atau kesan. Tindakan terbuka berupa

tindakan nyata berdasarkan persepsinya. Orang bisa bertindak

berdasarkan persepsinya yang positif maupun yang negatif. Apabila

para suster yunior PBHK mempunyai persepsi yang positif tentang

relasinya dengan lawan jenis maka relasi mereka menjadi sehat, tetapi

apabila persepsinya negatif maka relasinyapun menjadi tidak sehat.

3. Macam-macam Persepsi tentang Relasi dengan Lawan Jenis

a. Persepsi Positif

Persepsi positif tentang relasi dengan lawan jenis berarti

pandangan/pendapat/pengertian yang benar tentang relasi dengan lawan

jenis. Orang mempunyai persepsi yang positif tentang relasinya dengan

lawan jenis disebabkan oleh pengalaman-pengalaman sebelumnya yang

baik dalam berelasi dengan lawan jenis dan pengalaman dicintai oleh

orang tuanya (Suparno, 2007: 82). Pengalaman para religius dicintai

oleh ayahnya dapat membentuk persepsi yang positif tentang relasinya

dengan lawan jenis. Pengalaman positif yang pernah dialami

sebelumnya dalam berelasi dengan lawan jenis sangat menentukan

proses pembentukan persepsinya yang positif tentang relasi itu (Irwanto,

45

2003: 97). Pengalaman-pengalamannya itu mendorong mereka untuk

semakin memperluas relasinya yang sehat dengan lawan jenis selama

menjalani hidup panggilan mereka.

Relasi dengan lawan jenis merupakan salah satu pengalaman

berharga yang bisa mendewasakan kepribadian apabila mereka

mengolah pengalaman itu (Podimattam, 1997: 100 dan Darminta, 2004:

65). Relasi itu menjadi kesempatan untuk menghayati nilai-nilai hidup

yang sangat manusiawi, antara lain: saling bekerjasama, sharing

pengalaman panggilan, solidaritas dan persaudaraan (Sudiarja, 2003: 3).

Relasi itu dapat menguatkan hidup panggilan mereka terutama dalam

menghayati kaul kemurnian karena relasi itu merupakan salah satu

sarana yang membantu mereka untuk menghayati cinta yang mengalir

dari cinta Allah (Purwawidyana, 2002: 1). Podimattam menegaskan

bahwa seorang selibater akan semakin menjadi manusia yang utuh

apabila mereka semakin mampu menjalin relasi yang sehat dengan

lawan jenis (1997 :13). Mereka semakin mampu mengembangkan cinta

yang murni kepada sesama.

Orang-orang itu memandang bahwa relasi dengan lawan jenis

merupakan hal yang positif sehingga mereka mampu menghayati

seksualitas mereka secara benar (Suparno, 2007: 19). Mereka

memandang bahwa seksualitas merupakan bagian esensial dalam diri

mereka. Mereka mampu menerima seksualitasnya dan seksualitas lawan

jenisnya dengan gembira karena seksualitas itu merupakan bagian

46

dalam dirinya yang berharga (Podimattam, 1997: 110 dan Suparno,

2006: 38 dan 2007: 18).

Persepsi positif tentang relasi dengan lawan jenis seperti itu

menjadi salah satu harapan kongregasi PBHK sebab hal itu sesuai

dengan visi dan misi kongregasi PBHK. Apabila mereka mempunyai

persepsi yang positif tentang relasi dengan lawan jenis maka

relasinyapun akan menjadi sehat. Relasi itu dapat mengembangkan

kepribadian dan penghayatan hidup panggilan mereka sebagai seorang

religius PBHK. Oleh karena itu, para suster yunior PBHK diharapkan

dapat mengembangkan persepsi yang positif itu.

b. Persepsi Negatif

Persepsi negatif tentang relasi dengan lawan jenis berarti

pandangan/pendapat/pengertian yang tidak benar tentang relasi dengan

lawan jenis. Suparno mengatakan bahwa orang mempunyai persepsi

yang negatif tentang relasi dengan lawan jenis disebabkan oleh

pengalaman trauma sebelumnya dalam berelasi dengan lawan jenis dan

merasa kurang dicintai oleh orang tuanya (2007: 82). Pengalaman itu

mempengaruhi dirinya secara negatif setiap kali berelasi dengan lawan

jenis sehingga dalam berelasi mereka merasa tidak nyaman dan merasa

takut. Sejarah relasi dalam keluarga antara orang tua dan anak yang

kurang harmonis bisa membentuk persepsi anaknya tentang relasi

dengan lawan jenis menjadi negatif. Apabila para religius mengalami

kurang dicintai oleh ayahnya memungkinkan terbentuknya persepsi

47

yang negatif tentang relasi dengan lawan jenis apabila pengalaman itu

tidak diolah terus-menerus dalam perjalanan hidup panggilan mereka.

Pandangan yang keliru itu bisa berkembang setiap kali mereka berelasi

dengan lawan jenis.

Mereka memandang bahwa relasi dengan lawan jenis merupakan

penghambat dalam menjalani hidup panggilan mereka (Suparno, 2004:

37 dan Podimattam, 1985: 46). Relasi dengan lawan jenis hanya sebagai

penggoda saja maka relasi itu perlu dihindari supaya bisa selamat dalam

menjalani hidup panggilan mereka. Podimattam menegaskan: “It is

absolutely erroneous to think that choice of celibacy destroys

the celibate’s need for human love (Itu salah jika berpikir bahwa pilihan

hidup selibat menghancurkan kebutuhan selibater akan cinta

manusiawi)” (1997: 14). Orang-orang itu mempunyai pandangan yang

sempit tentang seksualitas dalam hidup kebiaraan mereka. Mereka

memandang bahwa seksualitas merupakan hal yang jelek, tabu dan

harus ditinggalkan karena hal itu hanya sebagai penghambat untuk

menjadi seorang religius yang baik. Mereka bersikap anti lawan jenis

dan memandang relasinya dengan lawan jenis sebagai hal yang

menghalangi penghayatan kaul kemurniannya (Suparno, 2006: 35-37).

Atau sebaliknya, orang memandang bahwa relasinya dengan lawan jenis

adalah segala-galanya sehingga mereka tenggelam dalam relasinya itu

tanpa memperhitungkan orang lain (Podimattam, 1985: 45). Mereka

memandang bahwa relasinya dengan lawan jenis untuk memenuhi

kebutuhan psikologisnya, antara lain: ingin dicintai dan kehangatan

48

(Prasetya,1996: 31). Suparno menjelaskan bahwa orang-orang itu

mempunyai keyakinan bila mereka mengalami jatuh cinta maka mereka

ingin meninggalkan hidup membiara dan menikah (Suparno, 2003: 3).

Orientasi relasinya hanya untuk kepuasan dirinya sendiri maka relasi

dengan lawan jenis menjadi tidak sehat (Prasetya,1992: 197).

Persepsi para religius yang negatif tentang relasinya dengan lawan

jenis seperti itu dapat berbahaya bagi mereka sebab dapat menghambat

perkembangan kepribadian dan hidup panggilan mereka masing-

masing. Bahayanya itu antara lain: menjadi tidak dewasa, motivasi

panggilannya menjadi tidak murni, tidak mampu mencintai orang lain

dengan tulus, tidak bebas dalam mewartakan cinta dalam pelayanan dan

tidak mampu mengalami kebahagiaan dalam perjalanan hidup panggilan

mereka (Suparno, 2007: 46-47).

Persepsi negatif tentang relasi dengan lawan jenis seperti itu

bukan menjadi harapan kongregasi PBHK sebab hal itu tidak sesuai

dengan visi dan misi kongregasi PBHK. Sejak awal sejarah, persepsi

kongregasi PBHK tentang relasi dengan orang lain adalah positif,

termasuk dengan lawan jenis.

49

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Moleong menjelaskan

bahwa penelitian kualitatif adalah:

“Penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah” (2006: 6).

Fenomena yang ditemukan adalah sebagian para suster yunior kongregasi

PBHK tampak takut, malu dan ragu-ragu dalam menjalin relasi dengan lawan

jenis, sedangkan dalam setiap bidang karya kerasulan kongregasi mereka

terbuka bekerjasama dengan lawan jenis. Berdasarkan fenomena tersebut,

peneliti memilih jenis penelitian kualitatif karena peneliti ingin mengetahui dan

memahami secara lebih mendalam tentang persepsi para suster yunior

kongregasi PBHK di Provinsi Indonesia tahun 2007-2008 tentang relasinya

dengan lawan jenis dan menggali makna yang bisa mereka temukan dalam

berelasi itu.

Salah satu macam manfaat penelitian kualitatif adalah untuk meneliti

sesuatu secara mendalam (Moleong, 2006: 7). Selanjutnya Moleong (2006: 8-

13) menjelaskan beberapa karakteristik penelitian kualitatif, antara lain:

1. Latar Alamiah

50

Latar alamiah maksudnya latar belakang penelitian bersifat alamiah atau

pada konteks dari suatu keutuhan karena kenyataan yang ada tidak bisa

dipahami bila dipisahkan dari konteksnya.

2. Manusia sebagai Alat (Instrumen)

Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain

merupakan alat pengumpul data utama karena hanya manusia yang dapat

menyesuaikan diri dengan kenyataan di lapangan. Selain itu, hanya manusia

yang dapat berhubungan dengan subjek penelitian atau objek lainnya dan

mampu memahami kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan.

3. Metode Kualitatif

Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif yaitu pengamatan,

wawancara dan penelaahan dokumen. Hal ini digunakan karena metode

kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda,

menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan subjek

penelitian, lebih dapat menyesuaikan diri dengan pola-pola nilai yang

diyakini subjek penelitian.

4. Analisis Data secara Induktif

Pertimbangan menggunakan analisis data secara induktif, antara lain: lebih

dapat menemukan kenyataan-kenyataan ganda dari data; membuat

hubungan peneliti dan subjek penelitian menjadi lebih eksplisit, dikenal dan

diandalkan; lebih dapat menguraikan latar secara penuh dan lebih dapat

menemukan pengaruh bersama yang mempertajam hubungan-hubungan.

5. Teori dari Dasar (grounded theory)

51

Penelitian kualitatif lebih menghendaki arah bimbingan penyusunan teori

substantif yang berasal dari data yang telah terkumpul/fakta.

6. Deskriptif

Deskriptif maksudnya data yang dikumpulkan berupa kata-kata dan bukan

angka-angka. Laporan penelitian berisi kutipan-kutipan data yang berasal

dari wawancara, catatan lapangan dan lain-lain untuk memberi gambaran

penyajian laporan tersebut.

7. Lebih Mementingkan Proses dari pada Hasil

Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses dari pada hasil disebabkan

oleh hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas

apabila diamati dalam proses.

8. Desain Bersifat Sementara

Penelitian kualitatif menyusun desain secara terus-menerus disesuaikan

dengan kenyataan di lapangan. Pertimbangannya, antara lain: tidak dapat

dibayangkan sebelumnya tentang kenyataan-kenyataan ganda di lapangan;

tidak dapat diramalkan sebelumnya hal-hal yang akan berubah karena hal

itu akan terjadi dalam interaksi antara peneliti dan kenyataan.

9. Hasil Penelitian Dirundingkan dan Disepakati Bersama

Penelitian kualitatif lebih menekankan agar pengertian dan hasil interpretasi

dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sebagai sumber

data, yaitu antara peneliti dan subyek penelitian.

52

B. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek dalam penelitian ini dengan cara pengambilan sampel

bertujuan (purposive sample) untuk menggali data yang diperlukan dalam

penelitian ini (Moleong, 2006: 224). Subjek yang dipilih dalam penelitian ini

adalah para suster yunior kongregasi PBHK berjumlah empat (4) orang. Alasan

peneliti memilih empat (4) orang tersebut sebagai subjek penelitian adalah

menurut peneliti dapat memberikan informasi yang diperlukan secara lengkap

untuk keperluan penelitian ini (Arikunto, 2002: 14). Mereka itu semuanya

bertempat tinggal di komunitas yang berada di Jawa.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan wawancara mendalam. Wawancara adalah percakapan dengan

maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara

yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawabannya

(Moleong, 2006: 186). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara

terstruktur karena peneliti menggunakan pedoman wawancara yang sama bagi

semua subjek (Moleong, 2006: 190-191). Peneliti ingin menanyakan secara

mendalam kepada setiap subjek yang memungkinkan mereka lebih terbuka

dalam mengungkapkan diri. Selain itu, peneliti juga mengobservasi perilaku

non verbal subjek penelitian selama wawancara untuk melengkapi data yang

diperlukan.

Selama wawancara, peneliti menggunakan tape-recorder sebagai alat

perekam data. Selanjutnya, peneliti akan menyalin hasil wawancara yang telah

53

direkam ke dalam catatan lapangan dalam bentuk transkrip verbatim untuk

mempermudah dalam proses analisis data. Instrumen yang digunakan adalah

pedoman wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan penuntun wawancara.

D. Tahap-tahap Penelitian

Tahap-tahap dalam penelitian ini terdiri dari dua (2) tahap, yaitu tahap pra

lapangan dan tahap pekerjaan lapangan (Moleong, 2006: 127-148).

1. Tahap Pra-Lapangan

Tahap pra-lapangan terdiri dari:

a. Menyusun rancangan penelitian, yaitu peneliti mengajukan proposal

penelitian.

b. Memilih lapangan penelitian

Peneliti memilih komunitas-komunitas yang berada di Jawa sebagai

lapangan penelitian karena tempatnya mudah terjangkau.

c. Mengurus perizinan

Peneliti meminta izin secara formal dan informal kepada suster

provinsial, suster superior daerah Jawa dan para suster pemimpin

komunitas tempat para subjek penelitian berkarya.

d. Memilih dan memanfaatkan informan

Informan adalah orang-orang yang dapat memberikan berbagai

informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Mereka itu adalah

suster yang pernah menjadi pendamping suster yunior dan sesama suster

yunior.

54

e. Menyiapkan perlengkapan penelitian, maksudnya peneliti menyiapkan

berbagai perlengkapan yang akan digunakan dalam penelitian, antara

lain: tape recorder dan kaset kosong untuk merekam data, alat tulis-

menulis dan rencana biaya penelitian.

2. Tahap Pekerjaan Lapangan

Tahap ini dilakukan pada saat peneliti melakukan pengumpulan data

penelitian. Peneliti mewawancarai empat (4) suster yunior PBHK yang

bertugas di Jawa. Penelitian dilaksanakan mulai hari Rabu tanggal 14

November 2007 sampai dengan Sabtu 17 November 2007.

E. Koding dan Analisis Data

1. Koding

Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan

mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat

memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari dalam penelitian.

Poerwandari (1998: 89-90) menjelaskan langkah-langkah koding sebagai

berikut:

a. Langkah Pertama

Peneliti menyusun transkrip verbatim (kata demi kata) atau catatan

lapangan.

b. Langkah Kedua

Peneliti secara urut dan kontinyu melakukan penomoran pada tiap

pertanyaan dan jawaban wawancara dalam transkrip verbatim atau

catatan lapangan.

55

c. Langkah Ketiga

Peneliti memberi nama untuk masing-maisng berkas dengan kode

tertentu. Kode yang dipilih adalah kode yang mudah diingat dan

dianggap paling tepat mewakili berkas tersebut.

2. Analisis Data

Miles dan Huberman menjelaskan bahwa dalam penelitian kualitatif

datanya berupa kata-kata (1992: 15). Data itu dikumpulkan melalui

wawancara mendalam dan setelah itu data tersebut dianalisis yang terdiri

dari tiga alur kegiatan yaitu:

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang

muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan penyajian sekumpulan informasi tersusun

yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Penyajian data ini berupa teks naratif dari hasil

wawancara.

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi Data yang Sudah Tersaji.

F. Pemeriksaan Keabsahan Data

Menurut Moleong (2006: 327-343), teknik pemeriksaan keabsahan data

dalam penelitian kualitatif terdiri dari berbagai teknik. Dalam penelitian ini,

peneliti akan menggunakan empat teknik yang diuraikan sebagai berikut:

56

1. Perpanjangan Keikutsertaan

Keikutsertaan peneliti dalam penelitian sangat menentukan dalam

pengumpulan data. Tujuannya adalah peneliti membangun hubungan yang

baik dengan subjek penelitian. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan

memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan.

2. Ketekunan/Keajegan Pengamatan

Keajekan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan

berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan. Ketekunan

pengamatan tujuannya adalah menemukan unsur-unsur dalam situasi yang

sangat relevan dengan persoalan yang sedang dicari dan kemudian

memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.

3. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain untuk mengecek data. Triangulasi yang peneliti gunakan

adalah teknik triangulasi penyidik dengan jalan memanfaatkan pengamat

lain. Pengamat lain di sini adalah suster provinsial dan dewannya.

4. Pengecekan Anggota

Pengecekan dengan anggota yang terlibat dalam proses pengumpulan data

sangat penting dalam pemeriksaan derajat kepercayaan. Jadi, setiap subjek

penelitian memberikan tanggapan dan mengoreksi data yang telah

diorganisasikan oleh peneliti. Peneliti memilih pengecekan secara informal

karena memiliki berbagai manfaat, antara lain:

a. Memberikan kesempatan bagi peneliti untuk mencatat persetujuan atau

keberatan subjek penelitian.

57

b. Menyediakan kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari hal-hal yang

dimaksudkan oleh subjek penelitian dengan jalan memberikan informasi

tertentu dan dapat memberikan data tambahan yang belum terungkap

pada saat pengumpulan data sebelumnya.

c. Memberikan kesempatan kepada subjek penelitian untuk segera

memperbaiki kesalahan dari data yang barangkali salah dan

mengadakan penilaian terhadap kecukupan data secara menyeluruh dan

mengeceknya yang sesuai dengan dirinya.

58

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada empat (4) subjek

penelitian, mereka mempunyai pandangan yang serupa tentang relasi dengan

lawan jenis bahwa relasi itu merupakan hal yang baik, perlu dan wajar demi

panggilan dan perutusan. Berikut ini akan diuraikan hasil penelitian dari setiap

subjek tentang pengalaman mereka dalam berelasi dengan lawan jenis.

1. Subjek 1

a. Sebelum Masuk Biara

Subjek 1 mengalami dicintai kedua orang tuanya dan dipercaya

untuk berelasi dengan siapa saja, termasuk dengan teman-teman lawan

jenis, yang penting tahu batas dan tidak melupakan sekolahnya.

b. Setelah Hidup Di Biara

1) Pribadi

Orientasi utama dalam berelasi untuk memurnikan motivasi,

setia dalam hidup panggilan dan perutusan. Dia tidak takut berelasi

dengan siapa saja asal panggilannya “tetep”. Pengalaman cinta

sebagai “anugerah” Tuhan. Kebutuhan tertentu dan kesepian yang

muncul diakrabi, diolah terus-menerus dan diterimanya, walaupun hal

itu menjadi “suatu pergulatan”. Sadar diri sebagai seorang religius

sangat penting baginya, maka relasinya tidak eksklusif, tetapi terbuka

bagi siapa saja. Dia membangun relasi dekat dengan Yesus dan Bunda

59

Maria sebab doa menjadi sumber kekuatannya. Dia semakin

dikuatkan untuk mempersembahkan diri seutuhnya hanya kepada

Tuhan. Prinsipnya dalam berelasi itu: sopan-santun, jujur, tahu diri,

tahu batas, hati-hati, tegas dan waspada. Dia mengungkapkan sebagai

berikut:

“…relasi dengan lawan jenis itu suatu hal yang manusiawi dan baik. Ketika relasi itu sungguh-sungguh dimaknai dengan baik, itu sangat menjadi kekuatan, menjadi pijakan untuk lebih kenal dengan diri, untuk lebih bisa mengembangkan diri. Ketika relasi itu tulus, dengan hati, relasi murni, ternyata itu lebih mengembangkan diri, mendewasakan diri, afeksi lebih terbantu, lalu juga religiusnya. Kalau memang dimaknai baik, saling mendukung, tahu komitmen masing-masing, itu akan sangat mendukung panggilan”.

2) Hidup Komunitas

Pengalaman berelasi dengan lawan jenis membantu dia untuk

semakin sabar, memahami dan menerima orang lain apa adanya.

Semangat saling berbagi, mendengarkan dengan hati dan merengkuh

sangat penting dikembangkan terus-menerus dalam hidup

berkomunitas. Dia mengungkapkan sebagai berikut:

“…yang saya refleksikan, tidak banyak menuntut kepada komunitas. Saya lebih mudah mengerti orang lain. Untuk saat-saat ini, saya lebih pahamlah. Bagaimanapun itu realitas saya. Untuk lebih sabar dengan diri saya, sabar dengan orang lain, mengerti orang lain…”.

3) Hidup Karya Kerasulan

Tanggungjawab terhadap perutusan sebagai prioritas utama

dalam berelasi. Dia membangun semangat persaudaraan,

kekeluargaan, gembira, siap sedia, mendengarkan orang lain,

welcome kepada siapa saja yang dijiwai oleh kharisma dan

spiritualitas kongregasi. Dia mengungkapkan sebagai berikut:

60

“…saya tetep punya prioritas bahwa perutusan menjadi prioritas yang utama, dan yang lain-lain itu sebagai sarana. Dan kenyataannya justru saya merasa dengan relasi itu saya semakin disemangati untuk bertanggungjawab terhadap perutusan, wawasan saya menjadi lebih luas dan belajar untuk hidup”.

2. Subjek 2

a. Sebelum Masuk Biara

Subjek 2 sungguh-sungguh mengalami dicintai kedua orang tua,

kakak-kakaknya, anggota keluarganya yang lain dan boleh berelasi

dengan siapa saja, termasuk dengan lawan jenis, yang penting tahu

batas dan berhasil sekolahnya.

b. Setelah Hidup Di Biara

1) Hidup Pribadi

Orientasi utama dalam berelasi adalah semakin menguatkan

komitmen panggilannya untuk setia “sampai akhir”. Pengalaman

cintanya membantu dia untuk “menjalani dan menemukan arti

hidup”. Perasaan tertentu dan kesepian yang muncul diolah terus

menerus, dimaknakan dan diterima. Sadar diri sebagai seorang

religius sangat penting baginya, maka relasinya tidak eksklusif.

Setiap pengalaman hidupnya dikomunikasikan kepada Tuhan dalam

doa sehingga dia mengalami ketenangan batin dan dikuatkan. Dia

semakin dikuatkan untuk “menyerahkan diri secara total hanya

kepada Tuhan”. Prinsipnya dalam berelasi itu: tegas, mencintai dan

dicintai bukan untuk memiliki, tahu resikonya dan wapada. Dia

mengungkapkan sebagai berikut:

61

“…relasi itu sesuatu yang baik, yang wajar saja. Dalam arti tahu batas dan tahu bahwa seorang suster. Kita bisa sama-sama saling mendukung, setia dalam panggilan ini. Okelah, kadang memang, tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan manusia kita ada, itu dibawa dalam doa”.

2) Hidup Komunitas

Pengalamannya dalam berelasi itu membantu dia untuk lebih

memahami dan berfikir positif kepada orang lain. Semangat saling

menghargai dan memahami antara yang satu dan yang lainnya

penting dikembangkan terus-menerus dalam hidup berkomunitas.

Dia mengungkapkan sebagai berikut:

“Aku menyadari bahwa setiap manusia pasti punya keterbatasan dan kelemahan dalam dirinya. Saya mencoba untuk bisa memahami orang lain dan berpikir positif tentang orang lain. Saya nggak bisa menuntut orang lain. Orang lain punya hak untuk menilai saya. Ya kita lebih memahami dan menghargai orang lain”.

3) Hidup Karya Kerasulan

Motivasi dalam berelasi semata-mata demi tanggungjawab dan

perkembangan perutusannya. Dia membangun semangat

mendengarkan dengan hati, mendoakan orang lain yang

membutuhkannya, menerima orang lain apa adanya dan berpikir

positif kepada orang lain yang dijiwai oleh kharisma dan

spiritualitas kongregasi. Dia mengungkapkan sebagai berikut:

“…tugas saya yang utama. Relasi itu memberi semangat untuk lebih bertanggungjawab terhadap tugas. Dalam berelasi itu, saya mencoba sabar, mendengarkan dengan hati dan mendoakan mereka. Melalui kerjasama, pandangan saya diperluas. Saya tetap sadar bahwa saya seorang suster”.

3. Subjek 3

62

a. Sebelum Masuk Biara

Subjek 3 mengalami dicintai ibunya dan Pak Liknya karena

bapaknya sudah meninggal ketika dia berusia kurang lebih tiga (3)

tahun serta dipercaya untuk berelasi dengan siapa saja, termasuk

dengan teman-teman lawan jenis di sekolah.

b. Setelah Hidup Di Biara

1) Hidup Pribadi

Orientasi utama dalam berelasi adalah semakin

mendukung dan memperkuat komitmen panggilannya untuk

“setia sampai mati”. Bila dalam berelasi itu mengalami “jatuh

cinta”, itu “hal yang wajar” dan perlu “disyukuri”. Kerinduan

tertentu dan kesepian yang muncul diolah terus-menerus,

diterima dan disyukuri. Kesadaran sebagai seorang religius

sangat penting baginya, maka relasinya tidak eksklusif. Dia

membangun relasi yang semakin dekat dengan Tuhan sebab

doalah yang menjadi kekuatannya yang utama. Pengalaman

mencintai dan dicintai semakin memperkuat penyerahan dirinya

secara total hanya kepada Tuhan. Prinsipnya dalam berelasi itu:

menjaga jarak, tahu “pager”/tahu batas, tahu menempatkan diri

dan bersikap hormat. Dia mengungkapkan sebagai berikut:

“Relasi dengan lawan jenis, sepanjang perjalanan memang penting, tinggal bagaimana kitanya aja. Saya bisa merasakan bahwa relasi itu mendukung, menguatkan panggilan saya. Saya semakin tahu apa yang saya buat, batasan-batasan mana yang memang tidak boleh. Yang terpenting kita tahu pager dengan ketiga kaul itu. Saya sadar sudah menyerahkan diri kepada Tuhan. Aku pengin terus dadi suster sih”.

63

2) Hidup Komunitas

Pengalamannya dalam berelasi itu membantu dia untuk

lebih memahami orang lain dan berbagi pengalaman. Semangat

saling menghormati dan menghargai penting dikembangkan

terus-menerus dalam hidup berkomunitas. Dia mengungkapkan

sebagai berikut:

“Saya terbuka kepada komunitas. Komunitas mendukung saya. Saya sendiri tidak mau menyalahgunakan kepercayaan komunitas. Dalam hidup berkomunitas, penting untuk saling menghormati dan menghargai.”

3) Karya Kerasulan

Prioritas utama dalam berelasi demi tanggungjawab dan

perkembangan “perutusannya”. Dia membangun semangat

mendengarkan, ramah, peduli kepada orang kecil, berbagi,

gembira dan kekeluargaan yang dijiwai oleh kharisma dan

spiritualitas kongregasi. Dia mengungkapkan sebagai berikut:

“ Relasi itu perlu. Kalau memang itu diperlukan dan menunjang tugas perutusan, yo itu memang harus dibuat, berelasi karena tugas perutusan. Lalu rambu-rambu. Pandangan saya, yo, bagus, baik, perlu. Saling membutuhkan. Kita sebagai religius yo kerjasama, komunikasi, relasi. Yang penting menjalin relasi secara dewasa dan bertanggungjawab. Itu wajar, yang penting berusaha jujur, tulus”.

4. Subjek 4

a. Sebelum Masuk Biara

Subjek 4 mengalami dicintai ibunya dan kakak-kakaknya serta

diberi kepercayaan boleh berelasi dengan siapa saja, termasuk

64

dengan lawan jenis, yang penting “tahu batas dan sadar sebagai anak

perempuan”.

b. Setelah Hidup Di Biara

1) Hidup Pribadi

Orientasi utama dalam berelasi adalah mendukung

panggilan dan “melayani semua orang”. Bila “mengalami jatuh

cinta, itu wajar”. Kerinduan tertentu dan kesepian yang muncul

diolah, diterima dan disyukuri. Sadar diri sebagai seorang

religius sangat penting baginya, maka relasinya terbuka bagi

siapa saja, tidak eksklusif. Dia membangun relasi yang semakin

dekat dengan Yesus dalam doa-doanya karena Dia menjadi

pusat hidupnya. Prinsipnya dalam berelasi itu: sadar diri, tegas,

dan tahu menempatkan diri. Dia mengungkapkan sebagai

berikut:

“Memang dekat dengan lawan jenis itu, siapa bilang tidak pernah dekat, ada pengalaman itu, dekat dengan mereka. Yang penting tegas, dewasa dan jaga jarak. Saya sadar sebagai religius, panggilan saya di sini”.

2) Hidup Komunitas

Pengalamannya dalam berelasi itu membantu dia untuk

belajar berbagi pengalaman kepada teman-teman sekomunitas.

Semangat saling mengerti dan berfikir positif penting

dikembangkan terus-menerus dalam hidup berkomunitas. Dia

mengungkapkan sebagai berikut:

65

“kebahagiaan yang saya alami tuh ada persaudaraan dalam komunitas. Kalau dalam komunitas ada persaudaraan saya rasanya senang sekali, saya merasa damai. Dalam hidup berkomunitas perlu mempunyai pandangan yang positif dan saling mendukung”.

3) Hidup Karya Kerasulan

Orientasi utama dalam berelasi itu demi pelayanan kepada

semua orang. Dia membangun semangat persaudaraan,

kerjasama dan melayani siapa saja yang membutuhkan yang

dijiwai oleh kharisma dan spiritualitas kongregasi.

Pandangannya tentang relasi itu diungkapkan sebagai berikut:

“…itu wajar, tidak bisa untuk menjauhkan diri dari lawan jenis. Secara manusiawi, di mana ada lawan jenis pasti di situ bergabung untuk kerjasama. Jadi tidak pernah untuk menjauhkan diri dari lawan jenis. Kalau kerjasama dengan lawan jenis itu nggak apa-apa”.

B. Pembahasan

Pembahasan ini untuk menjawab pertanyaan penulis dalam skripsi ini

yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Persepsi tentang Relasi dengan Lawan Jenis

Berdasarkan hasil penelitian kepada empat (4) subjek ditemukan

bahwa mereka mempunyai persepsi positif tentang relasi dengan lawan

jenis. Mereka memandang bahwa relasi itu merupakan hal yang baik, perlu

dan wajar demi panggilan dan perutusan. Pembentukan persepsi positif itu

ditentukan oleh: pengalaman dicintai orang tua, dicintai saudara-saudara

laki-lakinya, dipercaya boleh berelasi dengan teman-teman lawan jenis

sebelum masuk biara, dikuatkan hidup panggilannya dalam berelasi dengan

66

lawan jenis setelah hidup di biara dan nilai pesaudaraan yang

diperjuangkannya. Persepsi mereka yang positif itu bisa berubah maka

penting bagi mereka untuk terus-menerus mengolah pengalamannya dalam

berelasi itu dan sungguh-sungguh menghayati nilai-nilai hidup

panggilannya.

Persepsi mereka yang positif itu sesuai dengan harapan kongregasi

PBHK. Relasi itu dijiwai oleh kharisma dan spiritualitas kongregasi demi

merealisasikan visi dan misi kongregasi, seperti yang telah diwariskan oleh

Pater pendiri dan Ibu rohani yang secara jelas termuat dalam konstitusi

(Konstitusi Bab I nomor 1-5). Keempat subjek penelitian memperhatikan

pedoman yang benar dalam berelasi itu sehingga relasinya menjadi sehat

(Podimattam, 1985: 29-84). Pedoman itupun sesuai dengan ciri khas cara

hidup kongregasi PBHK. Pedoman yang telah mereka perhatikan akan

diuraikan sebagai berikut:

a. Pribadi

Mereka memiliki kedewasaan afektif dan seksual yang cukup,

disiplin dalam hidup doa dan waspada akan resiko-resikonya. Relasi itu

sebagai salah satu sarana yang semakin memperkuat penyerahan diri

mereka secara total hanya kepada Tuhan. Apabila dalam relasi itu

mereka mengalami jatuh cinta, itu merupakan hal yang manusiawi,

wajar, sebagai anugerah Tuhan dan perlu disyukuri, tetapi cinta itu tidak

berpotensi ke arah hubungan biologis. Relasi cinta itu berhenti pada

tataran persahabatan sehingga tidak pernah ada ungkapan afeksi yang

erotis. Kesadaran diri sebagai seorang religius menjadi kunci yang

67

sangat penting bagi mereka, maka dalam berelasi itu mereka tetap

menjaga jarak dan tidak eksklusif. Relasi itu demi mewartakan kasih

Hati Kudus Yesus maka Dia yang menjadi pusatnya. Dalam berelasi itu

sungguh-sungguh penting memelihara hidup doa karena doa menjadi

sumber kekuatannya.

b. Hidup Komunitas

Mereka berusaha membangun persekutuan dengan saudara-

saudara sekomunitasnya. Hidup berkomunitas berarti hidup yang

dijiwai oleh semangat persaudaraan dan kekeluargaan yang sejati.

Semangat saling menghargai perlu dikembangkan terus menerus dalam

hidup berkomunitas dengan saling mencintai, berbagi dan

memperhatikan antara satu dengan yang lainnya. Berbagai perbedaan

yang ada semakin memperkaya setiap pribadi sehingga dapat tercipta

suasana yang hangat dan penuh kegembiraan dalam hidup

berkomunitas.

c. Hidup Karya Kerasulan

Relasi mereka terbuka bagi siapa saja dan demi kesejahteraan

orang-orang yang dilayaninya. Mereka terbuka bekerjasama dengan

siapa saja demi perkembangan perutusannya. Orientasi utama dalam

relasi itu adalah mewartakan cinta kasih Hati Kudus Yesus supaya Dia

dikasihi di mana-mana dan semakin banyak orang mengalami dicintai

Tuhan. Relasi itu sebagai salah satu sarana yang dapat mendukung

realisasi visi dan misi kongregasi yang dijiwai oleh kharisma dan

spiritualitas kongregasi.

68

2. Makna dalam Berelasi dengan Lawan Jenis

Berdasarkan hasil penelitian dari empat (4) subjek ini, makna yang

ditemukan dalam berelasi dengan lawan jenis sebagai berikut:

a. Pribadi

Mereka boleh berelasi dengan lawan jenis tetapi dalam berelasi itu

mereka tidak melupakan panggilannya. Relasi itu semakin memperkuat

penyerahan diri mereka secara total kepada Hati Kudus Yesus. Relasi

itu sebagai salah satu sarana yang semakin dapat menguatkan komitmen

mereka untuk setia dalam menjalani hidup panggilan sebagai religius.

b. Hidup Komunitas

Mereka boleh berelasi dengan lawan jenis tetapi komunitas tetap

menjadi prioritas utamanya. Relasi itu membantu mereka untuk semakin

membangun persaudaraan dan kekeluargaan yang sejati demi persatuan

dalam komunitas dengan mengembangkan sikap saling menghargai

antara satu dengan yang lainnya.

c. Hidup Karya Kerasulan

Mereka boleh berelasi dengan lawan jenis tetapi perutusannya tetap

menjadi prioritas utamanya. Relasi itu membantu mereka untuk semakin

memprioritaskan pewartaan cinta kasih Hati Kudus Yesus supaya Dia

dikasihi di mana-mana dan semakin banyak orang mengalami dicintai

Tuhan. Prioritas utamanya adalah merealisasikan visi dan misi

kongregasi yang dijiwai oleh kharisma dan spiritualitas kongregasi.

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan

bahwa para subjek penelitian mempunyai persepsi positif tentang relasinya

dengan lawan jenis. Mereka memandang bahwa relasi itu baik, perlu dan wajar

demi panggilan dan perutusan. Pembentukan persepsi positif itu ditentukan

oleh: pengalaman dicintai orang tua, dicintai saudara-saudara laki-lakinya,

dipercaya boleh berelasi dengan teman-teman lawan jenis sebelum masuk

biara, dikuatkan hidup panggilannya dalam berelasi dengan lawan jenis setelah

hidup di biara dan nilai pesaudaraan yang diperjuangkannya. Persepsi mereka

yang positif itu tetap bisa berubah maka sangat penting bagi mereka untuk

terus-menerus mengolah pengalamannya dalam berelasi itu dan sungguh-

sungguh menghayati nilai-nilai hidup panggilannya.

Persepsi mereka yang positif itu sesuai dengan harapan kongregasi

PBHK, maka persepsi seperti itu perlu dikembangkan terus-menerus oleh para

suster yunior PBHK demi merealisasikan visi dan misi kongregasi yang dijiwai

oleh kharisma dan spiritualitas kongregasi. Mereka memperhatikan pedoman

yang benar dalam berelasi sehingga relasinya menjadi sehat. Pedoman itu

sebagai berikut: memiliki kedewasaan afektif dan seksual yang cukup, disiplin

dalam hidup doa, waspada akan resiko-resikonya, membangun persekutuan

dengan saudara-saudaranya dalam hidup berkomunitas, membangun relasi yang

terbuka bagi siapa saja dan demi kesejahteraan orang-orang yang dilayani.

70

Makna yang ditemukan dalam berelasi dengan lawan jenis adalah relasi

itu semakin memperkuat penyerahan diri secara total kepada Hati Kudus Yesus,

mempersatukan dengan saudara-saudara sekomunitas, demi merealisasikan visi

dan misi kongregasi. Prioritas utamanya adalah mewartakan kasih Hati Kudus

Yesus dan membantu orang lain supaya mereka mengalami dikasihi Tuhan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran sebagai

berikut:

1. Bagi Tim Pembinaan kongregasi PBHK

a. Suster pendamping para postulan dan novis PBHK supaya

meningkatkan pendampingan pribadi secara intensif pengolahan

pengalaman sebelum masuk biara dalam berelasi dengan lawan jenis

dan penghayatan nilai-nilai panggilan setiap postulan dan novis.

b. Suster pendamping para suster yunior PBHK supaya meningkatkan

pendampingan pribadi secara intensif perjalanan panggilan setiap suster

yunior dan semakin berempati terhadap pergulatan mereka masing-

masing dalam berelasi dengan lawan jenis.

2. Bagi para suster yunior PBHK

Persepsi positif para suster yunior PBHK tentang relasinya dengan lawan

jenis bisa berubah maka mereka perlu meningkatkan pengolahan

pengalaman dalam berelasi dengan lawan jenis dan sungguh-sungguh

menghayati nilai-nilai hidup panggilannya.

3. Bagi Para Suster PBHK di Setiap Komunitas

71

Para suster PBHK di setiap komunitas supaya meningkatkan semangat

saling menghargai, memahami, mendengarkan dengan hati kepada suster-

suster muda dan memberi makna positif tentang relasi dengan lawan jenis

4. Bagi para pembaca

Peneliti menyadari bahwa dalam interpretasi data penelitian ini masih ada

kekurangan dan keterbatasannya, maka peneliti mengharapkan kritik dan

masukan.

72

DAFTAR PUSTAKA Agudo. P. 1988. Aku Memilih Engkau. Yogyakarta: Kanisius.

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Baron, A. 2003. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

Cuskelly, E.J. 1975. Jules Chevalier. Man With A Mission. Roma: Generalat. Darminta, J. 2004. Menghayati Kaul Kemurnian dalam Kemanusiaan. Yogyakarta:

Kanisius. Gerungan, W.A. 1988. Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco. Goble, G. F. 1987. Mazhab Ketiga – Psikologi Humanistik Abraham Maslow.

Yogyakarta: Kanisius.

Hardawiryana, R. 1995. Profil Suster Yunior Putri Bunda Hati Kudus dan Arah Bina Lanjut Para Suster Medior dan Senior Masa Kini. Yogyakarta. (Tidak diterbitkan).

Hadiwardoyo, P. Al. 2003. Perawan, Tapi Tidak Murni? Tantangan Keperawanan

Zaman Sekarang. Rohani, IV, 373-384.

Hardjana, A. M. 2003. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius.

Hurlock, E. B. 1996. Psikologi Perkembangan – Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga. Irwanto. 2002. Psikologi Umum. Jakarta: PT Prenhallindo.

Kartini, K. dkk. 2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.

Keulers, C. 1980. Jules Chevalier - Sebuah Riwayat Hidup. Jakarta. Diterjemahkan dari Buku Jules Chevalier. Een Levensbeeld oleh Para Suster PBHK.

Kwakman, H. 2007. Kepribadian Pater Jules Chevalier Sebuah Pandangan

Psikologis. Karangnyar. Makalah (Tidak Diterbitkan). Miles, B.M. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:

Universitas Indonesia. Moleong, L. J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

73

Podimattam, F. 1985. Persahabatan Orang Selibat - Makna Dan Tantangannya. Yogyakarta: Kanisius. Diterjemahkan dari Buku The Fullness of Life, Guidelines for Celibate Friendship. In Jeevadhara. Vol.X.No.60.Theology Centre. Kottayam.Kerala. India Nov-Dec.1980. PP. 409-468 oleh Sumantoro Siswoyo, Pr.

___________. 1997. Say Yes To Love. A New Dimension To Celibate Friendship. Delhi: Media House. ___________. 1999. Love Man-Women Relationship. Delhi: Media House. Poerwandari, K.E. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi.

Jakarta: LPSP3, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Prasetya, M.F. 1992. Psikologi Hidup Rohani 2. Yogyakarta: Kanisius.

___________. 1993. Psikologi Hidup Rohani 1. Yogyakarta: Kanisius.

___________. 1996. Aspek Formatif dan Asketik Hidup Berkaul. Yogyakarta. Makalah. (Tidak diterbitkan).

Purwawidyana, J.Chr. 2002. Jati Diri Laki-Laki dan Perempuan. Yogyakarta.

Makalah. (Tidak diterbitkan). Rakhmat, J. 1985. Psikologi Komunikasi. Bandung: Ramadja Karya CV. Ridick, J. 1987. Kaul – Harta Melimpah Dalam Bejana Tanah Liat. Yogyakarta: Kanisius. Sobur, A. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia. Sudiarja, A. 2003. Tantangan Kaul Kemurnian. Rohani, 50, 2-3. Sunarka, J. 2003. Kaul Kemurnian Di Zaman Maya. Menggapai Kematangan

Psiko- Seksual- Genital. Rohani, IV, 341-357. Suparno, P. 2003. Tantangan dan Trend Hidup Bakti di Jaman Modern. Yogyakarta. Makalah. (Tidak diterbitkan). ___________. 2003. Pastor, I Love You – Kaul Kemurnian dalam tantangan Zaman. Rohani, IV, 359-371. ___________. 2004. Aku Tidak Suka Jenis Lain, Aku Mau Selamat. Rohani, 51,

36-39. ___________. 2006. Spiritualitas dan Seksualitas dalam Hidup Membiara. Rohani,

53, 35-38.

74

___________. 2007. Seksualitas Kaum Berjubah. Yogyakarta: Kanisius. ___________. 2007. Saat Jubah Bikin Gerah–Keperawanan Kemiskinan Ketaatan.

Yogyakarta: Kanisius. Supratiknya. 1995. Komunikasi Antarpribadi-Tinjauan Psikologis. Yogyakarta:

Kanisius. Tim Penyusun. 1981. Direktorium Putri-Putri Bunda Hati Kudus (PBHK). Jakarta:

Provinsialat PBHK.

___________. 1983. Konstitusi Putri-Putri Bunda Hati Kudus (PBHK). Jakarta: Provinsialat PBHK.

___________. 1996. Program Pembinaan Yuniorat Putri Bunda Hati Kudus.

Indonesia. ___________. 1996. Konsep Pedoman Pembinaan Kongregasi Putri Bunda Hati

Kudus Provinsi Indonesia. Jakarta. ___________. 1998. Kapitel I Putri Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia. Jakarta:

Provinsialat PBHK. ___________. 2003. Program Pembinaan Yuniorat PBHK. Indinesia ___________. 2004. Statuta Provinsi PBHK Indonesia. Jakarta: Provinsialat

PBHK.

Tostain, J. 1997. Pater Jules Chevalier. Siapakah Dia?. Jakarta: Gapura.

Venard, M. 1978. Sejarah Propinsi Jawa. Purworejo. Diterjemahkan dari Buku The History of The Province of Java oleh Para Suster PBHK.

___________. 1983. Rancangan-Rancangan HatiNya. Jakarta: Laksmi.

Diterjemahkan dari Buku The Designs of His Heart oleh Sr.M.Silvestra PBHK.

Walgito, B. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI. Wijingaarden, V. 1998. Sejarah Kongregasi Putri Bunda Hati Kudus di Maluku

1920-1981. Jakarta: Propinsialat PBHK Indonesia. Diterjemahkan dari Buku Geschiedenis van de Dochters van Onze Lieve Vrouw van het Heilig Hart in de Molukken 1920-1981.Rome. Generalaat FDNSC.1997. Oleh Yong Ohoitimur MSC.

75

Lampiran

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM “PERSEPSI PARA SUSTER YUNIOR KONGREGASI PBHK

TENTANG RELASINYA DENGAN LAWAN JENIS”

1. Pengalaman Sebelum Masuk Biara a. Relasi dengan Orang Tua

1) Sebelum suster masuk biara, bagaimana relasi suster dengan orang tua suster?

2) Bagaimana pengalaman cinta dari orang tua suster yang suster alami? 3) Bagaimana sikap orang tua suster apabila suster menjalin relasi dengan

teman lawan jenis? Bagaimana tanggapan suster? b. Relasi dengan Teman Lawan Jenis

1) Sebelum suster masuk biara, bagaimana pengalaman suster dalam berelasi dengan lawan jenis?

2) Kesulitan apa yang suster alami dalam berelasi dengan teman lawan jenis? Bagaimana suster mengatasinya?

3) Makna apa yang bisa suster temukan dari pengalaman berelasi dengan lawan jenis itu?

2. Pengalaman Setelah Hidup Di Biara

a. Pribadi 1) Selama menjadi seorang suster PBHK, bagaimana pengalaman suster

dalam berelasi dengan lawan jenis? 2) Sebagai orang yang berkaul kemurnian, bagaimana penghayatan suster

dalam berelasi dengan lawan jenis? 3) Bagaimana suster menghayati seksualitas suster sebagai seorang

perempuan? 4) Kesulitan apa yang suster alami dalam menjalin relasi dengan lawan

jenis? Bagaimana mengatasinya? 5) Apabila suster mengalami kesepian, bagaimana suster menghadapinya? 6) Apa yang menjadi resikonya apabila suster menjalin relasi dengan

lawan jenis? Bagaimana suster menghadapinya? 7) Apa yang memotivasi suster dalam menjalin relasi dengan lawan jenis? 8) Bagaimana pengalaman suster dalam berelasi dengan lawan jenis

mempengaruhi hidup doa suster? Bagaimana suster membangun hidup doa suster?

9) Dalam berelasi dengan lawan jenis, bagaimana komitmen suster terhadap hidup panggilan suster sebagai seorang religius PBHK?

10) Secara pribadi, makna apa yang bisa suster temukan dalam berelasi dengan lawan jenis?

11) Bagaimana kebahagiaan yang suster alami dalam menjalani hidup panggilan suster sebagai seorang suster PBHK?

76

b. Hidup Komunitas 1) Dalam berelasi dengan lawan jenis, bagaimana keterbukaan suster

terhadap teman-teman sekomunitas/sekongregasi? 2) Bagaimana tanggapan teman-teman suster sekomunitas terhadap relasi

suster dengan lawan jenis? 3) Apabila dalam berelasi dengan lawan jenis suster dinilai (baik/jelek)

oleh teman-teman sekomunitas, bagaimana tanggapan suster? 4) Apa yang suster harapkan dari teman-teman suster sekomunitas

sehubungan dengan relasi dengan lawan jenis? 5) Dalam hidup bersama di komunitas, makna apa yang bisa suster

temukan dalam berelasi dengan lawan jenis?

c. Hidup Karya Kerasulan 1) Dalam menjalankan karya kerasulan kongregasi, suster bekerjasama

dengan siapa saja (lawan jenis) dan dalam kegiatan apa saja? 2) Bagaimana pengalaman suster dalam bekerjasama dengan mereka

(lawan jenis)? Kesulitan apa yang suster alami? Bagaimana suster mengatasinya?

3) Dalam menjalankan karya kerasulan kongregasi, apa yang memotivasi suster dalam menjalin relasi dengan lawan jenis?

4) Bagaimana suster menghayati semangat kongregasi dalam menjalankan karya kerasulan yang dipercayakan kepada suster, termasuk dalam berelasi dengan lawan jenis?

5) Bagaimana pengaruh relasi suster dengan lawan jenis terhadap tanggungjawab suster dalam menjalankan perutusan?

6) Dalam menjalankan perutusan, makna apa yang bisa suster temukan dalam berelasi dengan lawan jenis?