PERPUSTAKAAN KPK · menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, ... mendirikan sekolah...

2
PERPUSTAKAAN KPK Oase Keadilan di Tengah Kegersangan Hukum S iapa tak kenal Artidjo Alkostar? Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung ini dikenal memiliki ketegasan luar biasa. Sebut saja, Angelina Sondakh, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, yang mengajukan kasasi atas putusan pengadilan. Bukannya mendapat keringanan, politikus muda ini malah diganjar dengan hukuman lebih berat. Dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara. Tak banyak orang tahu bagaimana Artidjo Alkostar menjadi sosok seperti sekarang ini. Ia adalah hasil pergulatan batin atas kondisi riil yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Negara ini memang berdasar hukum, tetapi budaya hukum belum betul-betul diterapkan. Hukum seringkali ’dipermainkan’ oleh orang berduit. Sedangkan rakyat kecil selalu kalah terlilit dalam permainan hukum. Artidjo menghabiskan masa kecilnya di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, yang dikenal sebagai penghasil tebu sejak zaman kolonial. Namun, tak semua penduduk di sana bertanam tebu. Lebih banyak yang menggantungkan hidup dengan menggarap sawah. Termasuk Pak Dulah, ayah Artidjo. Sebagai anak petani, kewajiban Artidjo selepas sekolah, ngangon kambing seperti teman-teman sebaya di kampung halamannya. Kendati begitu, pemikiran Artidjo terlihat menonjol dibanding teman-temannya. Ia melihat binatang berkaki empat itu selayaknya manusia. Memiliki luapan emosi yang tercermin dari tingkah polahnya. Sehingga harus dirawat sebaik-baiknya. Bahkan ia sempat bercita-cita menjadi joki sapi profesional karena saking cintanya pada hewan itu. Sampai-sampai ia mengikuti perlombaan karapan sapi di daerahnya. Tapi hasilnya di luar harapan. Ia kalah. Kekalahan tersebut membuatnya menemukan ketertarikan pada bidang pertanian. Ia bergabung dalam ekstrakulikuler pertanian ketika SMA, dan memutuskan untuk menjadi insinyur pertanian. Tekad dibuladkan. Upaya dirapatkan untuk mengejar impian. Beruntung ada kakak kelas Artidjo yang bersedia menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, UGM. Berkas lamaran kuliah disiapkan kemudian dikirimkan ke kakak kelasnya yang sudah berdomisili di Yogyakarta. Lama menanti akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Tetapi hasilnya di luar dugaan. Ia mesti mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang insinyur pertanian. Bukan tidak diterima di fakultas pilihan lantaran nilai tak mencukupi. Tetapi, ternyata berkas lamarannya telat sampai di Yogyakarta. Sehingga pendaftaran mahasiswa baru keburu ditutup. Dalam rasa kecewa mendalam, Artidjo menerima tawaran seorang kawan untuk berkuliah di Jurusan Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII). Awalnya kuliah itu hanya diniatkan Artidjo untuk menunggu seleksi penerimaan mahasiswa baru di UGM tahun depan. Maka, ia tak serius menekuni kuliah di UII. Bahkan di semester pertama, ia sangat kepayahan dengan tuntutan menghafal pasal-pasal hukum. Keadaan berubah di semester kedua. Ia meyakini bila bidang hukum adalah panggilan jiwanya. Tak ayal, ia mulai telaten menguasai konsep dan pasal-pasal hukum. Dia belajar berbagai kegiatan dewan mahasiswa (dema) ia lakoni dengan sungguh-sungguh. Ia menilai bila pengajaran hukum di UII tak sesuai dengan kenyataan. Beda teori, beda praktik di lapangan. Hukum belum menjawab rasa keadilan yang semestinya dinikmati oleh rakyat kecil. Pemahaman ini mendorongnya menggelar protes ke universitas agar melakukan perubahan kurikulum. Ternyata jawaban yang diberikan kampus berbeda. Melalui pesan yang diberikan seorang profesor di almamaternya, Artidjo justru ditantang untuk menjadi tenaga pengajar di kampusnya. Waktu berjalan hingga Artidjo resmi menyandang gelar dosen di Fakultas Hukum UII. Mapan secara pekerjaan tak membuatnya berhenti memperjuangkan keadilan bagi wong cilik. Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, ia terjun mengadvokasi rakyat kecil, kaum pinggiran, korban PHK, serta orang-orang miskin yang tersangkut perkara hukum. Tak semua kasus yang ia tangani berakhir dalam kemenangan karena komitmennya untuk tetap bersih. Namun dari semua capaian itu, adalah upaya advokasi para petani tebu dan petani garam di Madura yang membuatnya diangkat sebagai Direktur LBH Yogyakarta pada pertengahan tahun 1983. Berdomisili di Yogyakarta, ia dihadapkan pada fenomena pembunuhan puluhan preman di luar proses pengadilan yang jelas. Suatu tim yang tergabung dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) melakukan aksinya di malam hari. Hampir setiap pagi masyarakat Yogyakarta menemukan mayat tanpa identitas di pinggir kali, pinggir jalan, dan di tempat-tempat umum. Rata-rata mayat yang ditemukan itu tertembak di bagian kepala atau mati terjerat. Karena tidak diketahui persis siapa pelaku pembunuhan itu, masyarakat sering menyebutnya ‘petrus’ atau penembak misterius. Kebanyakan masyarakat Yogyakarta merasa senang karena para penjahat tumbang. Tetapi dari kaca mata Artidjo, hukuman jalanan ini jauh dari rasa keadilan. Kepastian hukum pun juga semakin kabur. Para bromocorah -sebutan bagi preman yang menjadi target operasi- memang bersalah, namun seharusnya mereka diadili sesuai hukum yang berlaku. Bukan diburu dan dibantai secara tak manusiawi. Atas upayanya memperjuangkan nasib preman tersebut, ia pun sering mendapat intimidasi yang membahayakan jiwa. Tetapi ancaman ini membuatnya tak gentar. Pada tahun 1989, Artidjo berkesempatan mengikuti pelatihan lawyer mengenai hak azasi manusia selama enam bulan di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Selepas pendidikan itu, ia sempat bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun. Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman itu, ia mendirikan firma hukumnya Artidjo Alkostar and Associates. Dengan kantor hukum ini, fokusnya tak bergeser. Ia ingin memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil dan korban penindasan hak azasi manusia. Insiden berdarah Santa Cruz menjadi pembuktian komitmen Artidjo untuk berdiri di depan menjunjung rasa kemanusian. Kebijakan rezim yang tengah berkuasa kala itu, ia lawan dengan segala risiko. Tragedi ini bermula dari kematian seorang pemuda bernama Sebastiano Gomez Rangel yang diyakini ditembak oleh milisi prointegrasi. Serombongan pemuda Timor menghadiri pemakamannya sebagai bentuk solidaritas. Untuk mencegah kerusuhan, sejumlah aparat keamanan disiagakan di belakang barisan ribuan pemuda tersebut. Namun yang terjadi lebih jauh dari itu. Tak hanya tembakan peringatan, rentetan peluru dimuntahkan, membuat bagian belakang barisan bertumbangan. Komitmen tak terhingga Artidjo dalam menegakkan keadilan hukum berujung pada tawaran menjadi Hakim Agung di MA. Tak tanggung-tanggung, Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, menghubunginya langsung untuk mengikuti seleksi calon hakim jalur nonkarir. Dibutuhkan waktu lama bagi Artidjo untuk menerima tawaran itu. Termasuk harus berkonsultasi dengan para kyai di Pulau Madura. Akhirnya ia mengikuti saran para kyai untuk mengambil kesempatan itu. Setelah mengikuti fit and proper test di hadapan anggota DPR, ia lolos dengan meyakinkan. Pada 2 September 2000, ia dilantik sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung oleh Presiden Abdurrahman Wakhid. Peresensi: Anjas Prasetyo BUKU PILIHAN ¢ 3 Sisi Susi ¢ Athirah ¢ Critical Eleven ¢ Gusti Noeroel: Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan) ¢ Jodoh ¢ Mellow Yellow Drama ¢ Rantau 1 Muara ¢ Tri Rismaharini “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.– R.A. Karni – E-NEWSLETTER EDISI 04 VOL.IV | APRIL 2018 Penulis: Haidar Musyafa Penerbit: Imania

Transcript of PERPUSTAKAAN KPK · menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, ... mendirikan sekolah...

Page 1: PERPUSTAKAAN KPK · menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, ... mendirikan sekolah kebidanan di Bukittinggi. ... dan Agama Korupsi di Wilayah Lain K orupsi Khusus

PERPUSTAKAAN KPK

Oase Keadilan di Tengah Kegersangan Hukum

Siapa tak kenal Artidjo Alkostar? Ketua Muda Kamar Pidana

Mahkamah Agung ini dikenal memiliki ketegasan luar

biasa. Sebut saja, Angelina Sondakh, terpidana kasus

korupsi Wisma Atlet Hambalang, yang mengajukan kasasi atas

putusan pengadilan. Bukannya mendapat keringanan, politikus

muda ini malah diganjar dengan hukuman lebih berat. Dari 4,5

tahun menjadi 12 tahun penjara.

Tak banyak orang tahu bagaimana Artidjo Alkostar menjadi

sosok seperti sekarang ini. Ia adalah hasil pergulatan batin atas

kondisi riil yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita.

Negara ini memang berdasar hukum, tetapi budaya hukum belum

betul-betul diterapkan. Hukum seringkali ’dipermainkan’ oleh

orang berduit. Sedangkan rakyat kecil selalu kalah terlilit dalam

permainan hukum.

Artidjo menghabiskan masa kecilnya di Asembagus,

Situbondo, Jawa Timur, yang dikenal sebagai penghasil tebu

sejak zaman kolonial. Namun, tak semua penduduk di sana

bertanam tebu. Lebih banyak yang menggantungkan hidup

dengan menggarap sawah. Termasuk Pak Dulah, ayah Artidjo.

Sebagai anak petani, kewajiban Artidjo selepas sekolah, ngangon

kambing seperti teman-teman sebaya di kampung halamannya.

Kendati begitu, pemikiran Artidjo terlihat menonjol dibanding

teman-temannya. Ia melihat binatang berkaki empat itu

selayaknya manusia. Memiliki luapan emosi yang tercermin dari

tingkah polahnya. Sehingga harus dirawat sebaik-baiknya.

Bahkan ia sempat bercita-cita menjadi joki sapi profesional

karena saking cintanya pada hewan itu. Sampai-sampai ia

mengikuti perlombaan karapan sapi di daerahnya. Tapi hasilnya di

luar harapan. Ia kalah.

Kekalahan tersebut membuatnya menemukan ketertarikan

pada bidang pertanian. Ia bergabung dalam ekstrakulikuler

pertanian ketika SMA, dan memutuskan untuk menjadi insinyur

pertanian. Tekad dibuladkan. Upaya dirapatkan untuk mengejar

impian. Beruntung ada kakak kelas Artidjo yang bersedia

menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, UGM.

Berkas lamaran kuliah disiapkan kemudian dikirimkan ke

kakak kelasnya yang sudah berdomisili di Yogyakarta. Lama

menanti akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Tetapi

hasilnya di luar dugaan. Ia mesti mengubur dalam-dalam

impiannya menjadi seorang insinyur pertanian. Bukan tidak

diterima di fakultas pilihan lantaran nilai tak mencukupi. Tetapi,

ternyata berkas lamarannya telat sampai di Yogyakarta. Sehingga

pendaftaran mahasiswa baru keburu ditutup.

Dalam rasa kecewa mendalam, Artidjo menerima tawaran

seorang kawan untuk berkuliah di Jurusan Hukum, Universitas

Islam Indonesia (UII). Awalnya kuliah itu hanya diniatkan Artidjo

untuk menunggu seleksi penerimaan mahasiswa baru di UGM

tahun depan. Maka, ia tak serius menekuni kuliah di UII. Bahkan di

semester pertama, ia sangat kepayahan dengan tuntutan

menghafal pasal-pasal hukum. Keadaan berubah di semester

kedua. Ia meyakini bila bidang hukum adalah panggilan jiwanya.

Tak ayal, ia mulai telaten menguasai konsep dan pasal-pasal

hukum.

Dia belajar berbagai kegiatan dewan mahasiswa (dema) ia

lakoni dengan sungguh-sungguh. Ia menilai bila pengajaran

hukum di UII tak sesuai dengan kenyataan. Beda teori, beda

praktik di lapangan. Hukum belum menjawab rasa keadilan yang

semestinya dinikmati oleh rakyat kecil. Pemahaman ini

mendorongnya menggelar protes ke universitas agar melakukan

perubahan kurikulum. Ternyata jawaban yang diberikan kampus

berbeda. Melalui pesan yang diberikan seorang profesor di

almamaternya, Artidjo justru ditantang untuk menjadi tenaga

pengajar di kampusnya.

Waktu berjalan hingga Artidjo resmi menyandang gelar dosen

di Fakultas Hukum UII. Mapan secara pekerjaan tak membuatnya

berhenti memperjuangkan keadilan bagi wong cilik. Melalui

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, ia terjun

mengadvokasi rakyat kecil, kaum pinggiran, korban PHK, serta

orang-orang miskin yang tersangkut perkara hukum. Tak semua

kasus yang ia tangani berakhir dalam kemenangan karena

komitmennya untuk tetap bersih. Namun dari semua capaian itu,

adalah upaya advokasi para petani tebu dan petani garam di

M a d u r a y a n g

membuatnya diangkat

sebagai Direktur LBH

Y o g y a k a r t a p a d a

p e r t e n g a h a n t a h u n

1983.

B e r d o m i s i l i d i

Y o g y a k a r t a , i a

d i h a d a p k a n p a d a

fenomena pembunuhan

puluhan preman di luar

proses pengadilan yang

jelas. Suatu tim yang

t e r g a b u n g d a l a m

Operasi Pemberantasan

K e j a h a t a n ( O P K )

melakukan aksinya di

malam hari . Hampir

setiap pagi masyarakat

Yogyakarta menemukan

mayat tanpa identitas di

pinggir kali, pinggir jalan,

dan di tempat-tempat umum. Rata-rata mayat yang ditemukan itu

tertembak di bagian kepala atau mati terjerat. Karena tidak

diketahui persis siapa pelaku pembunuhan itu, masyarakat sering

menyebutnya ‘petrus’ atau penembak misterius.

Kebanyakan masyarakat Yogyakarta merasa senang karena

para penjahat tumbang. Tetapi dari kaca mata Artidjo, hukuman

jalanan ini jauh dari rasa keadilan. Kepastian hukum pun juga

semakin kabur. Para bromocorah -sebutan bagi preman yang

menjadi target operasi- memang bersalah, namun seharusnya

mereka diadili sesuai hukum yang berlaku. Bukan diburu dan

dibantai secara tak manusiawi. Atas upayanya memperjuangkan

nasib preman tersebut, ia pun sering mendapat intimidasi yang

membahayakan jiwa. Tetapi ancaman ini membuatnya tak gentar.

Pada tahun 1989, Artidjo berkesempatan mengikuti pelatihan

lawyer mengenai hak azasi manusia selama enam bulan di

Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Selepas

pendidikan itu, ia sempat bekerja di Human Right Watch divisi Asia

di New York selama dua tahun.

Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman itu, ia

mendirikan firma hukumnya Artidjo Alkostar and Associates.

Dengan kantor hukum ini, fokusnya tak bergeser. Ia ingin

memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil dan korban

penindasan hak azasi manusia.

Insiden berdarah Santa Cruz menjadi pembuktian komitmen

Artidjo untuk berdiri di depan menjunjung rasa kemanusian.

Kebijakan rezim yang tengah berkuasa kala itu, ia lawan dengan

segala risiko. Tragedi ini bermula dari kematian seorang pemuda

bernama Sebastiano Gomez Rangel yang diyakini ditembak oleh

milisi prointegrasi. Serombongan pemuda Timor menghadiri

pemakamannya sebagai bentuk solidaritas. Untuk mencegah

kerusuhan, sejumlah aparat keamanan disiagakan di belakang

barisan ribuan pemuda tersebut. Namun yang terjadi lebih jauh

dari itu. Tak hanya tembakan peringatan, rentetan peluru

dimuntahkan, membuat bagian belakang barisan bertumbangan.

Komitmen tak terhingga Artidjo dalam menegakkan keadilan

hukum berujung pada tawaran menjadi Hakim Agung di MA. Tak

tanggung-tanggung, Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu

menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia,

menghubunginya langsung untuk mengikuti seleksi calon hakim

jalur nonkarir.

Dibutuhkan waktu lama bagi Artidjo untuk menerima tawaran

itu. Termasuk harus berkonsultasi dengan para kyai di Pulau

Madura. Akhirnya ia mengikuti saran para kyai untuk mengambil

kesempatan itu. Setelah mengikuti fit and proper test di hadapan

anggota DPR, ia lolos dengan meyakinkan. Pada 2 September

2000, ia dilantik sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung oleh

Presiden Abdurrahman Wakhid.

Peresensi: Anjas Prasetyo

BUKU PILIHAN

¢ 3 Sisi Susi

¢ Athirah

¢ Critical Eleven

¢ Gusti Noeroel: Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan)

¢ Jodoh

¢ Mellow Yellow Drama

¢ Rantau 1 Muara

¢ Tri Rismaharini

“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu.

Tapi satu-satunya hal yang benar-benar

dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”

– R.A. Kar�ni –

E-NEWSLETTER EDISI 04 VOL.IV | APRIL 2018

Penulis: Haidar MusyafaPenerbit: Imania

Page 2: PERPUSTAKAAN KPK · menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, ... mendirikan sekolah kebidanan di Bukittinggi. ... dan Agama Korupsi di Wilayah Lain K orupsi Khusus

Gowes Literasi

Adalah Muhammad Maahir Abdulloh, lelaki

kelahiran 30 Mei 1995 yang bersepeda keliling

Indonesia melalui Ekspedisi Penjelajahan Nusantara

(EPN). Tentu saja ia melakukannya tidak sekadar

memuaskan hobinya semata, melainkan memiliki

misi khusus yang diembannya.

Maahir memulai ekspedisinya dari Jakarta pada

1 1 M a r e t l a l u . I a m e m i l i k i m i s i u n t u k

mengkampanyekan literasi dan mendorong

semangat membaca dengan cara membagikan

buku. Ia menyiapkan buku-buku dari Jakarta,

kemudian diberikan kepada taman baca di daerah

yang disinggahinya. Tentu saja, buku yang ia bawa

sangat terbatas jumlahnya dengan beberapa tas di

sepedanya. Buku-buku tersebut ia kumpulkan

bersama dengan teman-teman komunitasnya.

Rencananya, Maahir akan tinggal di 11 desa

yang berada di wilayah terpencil Indonesia. Tidak

hanya berbagi buku-buku, ia juga mendirikan

sekolah alam dan rumah baca bersama dengan

jaringan yang berada di sekitar desa tersebut, seperti

pramuka, PMI, relawan, mahasiswa, dan lain

sebagainya.

Ia menargetkan ekspedisi ini selesai dalam 700

hari atau sekitar dua tahun dengan estimasi jarak

yang ditempuh sekitar 100 km per hari. Total

perkiraan jarak yang akan ditempuhnya mencapai

15.000 km terbentang dari Aceh hingga Papua.

Pada 16 April lalu, ia telah memasuki hari ke-33

dan sudah berada di Banyuwangi, kabupaten

terujung Pulau Jawa. Di sini, Maahir mengunjungi

beberapa taman baca seperti Taman Baca Pos

Kamling di Perumahan Brawijaya Banyuwangi,

Kampung Baca Taman Rimba di Papring Kalipuro,

dan Taman Baca di tempat wisata Bangsring Under

Water Banyuwangi.

Menurutnya, dengan mengunjungi taman baca,

ia dapat berbagi pengalaman dan saling mendukung

dalam gerakan literasi di Indonesia. Baginya,

kegiatan literasi tidak hanya sekadar membaca dan

menulis tetapi juga bagaimana berperan aktif dan

berguna bagi lingkungan sekitar.

Sumber: detik.com

Inspirasi Literasi

Marie Thomas adalah dokter perempuan pertama di Indonesia. Ia berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.

Marie berkesempatan menempuh pendidikan dokter di STOVIA Batavia pada tahun 1912 dan menjadi satu-

satunya wanita di antara 180 mahasiswa kedokteran laki-laki. Setelah menyelesaikan pendidikannya di tahun

1922, Ia langsung bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan spesialisasinya di bidang ginekologi

dan kebidanan. Ia juga merupakan dokter yang pertama kali terlibat dalam kebijakan mengontrol kelahiran bayi

melalui metode Intrauterine Device (IUD). Setelah menikah, Marie mengikuti suaminya ke Padang dan

mendirikan sekolah kebidanan di Bukittinggi. Sekolah kebidanan ini merupakan yang pertama di Sumatera dan

kedua di Indonesia.

tahukah kamu?

Artikel Korupsi

Asset Recovery and Mutual Legal Assistance

Bribery

Fraud

Indeks

Persepsi

Korupsi

Pemberantasan

Korupsi

di Indonesia

Kasus Korupsi

Korupsi

dan Agama

Korupsi

di Wilayah

Lain

Korupsi Khusus

Money

LaunderingNovel

Korupsi Pendidikan Antikorupsi

Peradilan

Peraturan

Korupsi

Prosiding

Korupsi

Teori Korupsi

Whis

tleblo

win

g

Direktori Subjek Korupsi Perpustakaan KPK

Kunjungi dan manfaatkan koleksi Perpustakaan KPK

untuk mencari referensi dan rekreasi!

perpustakaan.kpk.go.id