Pernikahan Dini v2
-
Upload
gias-nawari -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
description
Transcript of Pernikahan Dini v2
http://perbandinganmazhab.blogspot.co.id/2009/10/pernikahan-usia-dini-dalam-persperktif.html
Oleh:
Andika Supriatna SpNIM: 102043124907
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan.1. Pengertian Perkawinan
Pengertian nikah menurut istilah syara' banyak diberikan oleh para fuqaha dengan
ungkapan kalimat yang berbeda-beda, namun mengandung maksud yang sama. Salah satu
diantaranya adalah ulama yang bernama Abdurrahman al-Jaziri, beliau mendefinisikan nikah
sebagai berikut : “Nikah adalah suatu akad yangg memberikan hak bersetubuh dengan
menggunakan perkataan nikah atau tazwij atau arti dari keduanya."
Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah "perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang pria dengan seorang wanita"[1]. Sedangkan Imam Syafi'i
memberikan definisi nikah ialah "akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual
antara pria dengan wanita."[2]
Dengan melihat berbagai pengertian diatas nikah mempunyai arti akad atau
perjanjian, karena itu ada pendapat yang mengatakan nikah adalah "suatu perjanjian yang
suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga
bahagia."[3]
Manusia adalah makhluk sosial dan sifatnya selalu ingin bergaul, hidup bersama dan
saling membutuhkan “pada dasarnya manusia tidak sanggup hidup seorang diri”.[4]
Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politikon (makhluk bermasyarakat).[5]
Manusia diciptakan dengan fitrahnya yaitu mempunyai hajat hidup untuk
menyalurkan libido seksualnya kepada lawan jenis. Hal ini merupakan kebutuhan biologis
yang tidak dapat dipungkiri. Tuhan telah menciptakan manusia mempunyai perasaan cinta
kepada lawan jenisnya
Muhammad al-Bahi mengemukakan bahwa cinta birahi merupakan faktor yang
terpenting unntuk mendorong seseorang berhubungan kepada lawan jenisnya.[6]
Adapun cara penyaluran nafsu birahi yang paling baik ditempuh oleh manusia sebagai
makhluk yang mempunyai martabat tinggi ialah melalui perkawinan. Ini berarti bahwa untuk
mengolah dan memakmurkan bumi ini memerlukan adanya manusia yang banyak dan
bersinambung generasi sampai akhir zaman. Dengan demikian, pengembangan keturunan
manusia sangat diperlukan adanya. Disinilah pentingnya perkawinan, karena “adanya
manusia tergantung adanya perkawinan”[7]
Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah “Perjanjian suci membentuk
keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita”.[8]
Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan
manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua
insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu
keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Dengan melihat tujuan dari suatu perkawinan, maka di Indonesia dibentuklah suatu
Undang-undang perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan suatu rumah tangga yang
sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga tercipta pula lingkungan masyarakat yang tidak
semena-mena dan menyalahgunakan status pasangan dari suami isteri.
Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa sah atau tidaknya
suatu perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya. Pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan dan
persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama. Maka dengan sendirinya perkawinan
yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum agama adalah tidak sah.
Karena perkawinan merupakan perbuatan / peristiwa hukum yang secara otomatis
melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum, maka pada pasal
Sejalan dengan prinsip “Menolak kemadharatan lebih didahulukan daripada
memperoleh kemaslahatan” dan juga “suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan
terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”
2. Dasar Hukum Perkawinan
Sebagai dasar hukum perkawinan yang utama adalah al-Qur'an. Banyak ayat-ayat al-
Qur'an yang berbicara tentang masalah perkawinan, salah satunya terdapat pada surat an-
Nisa' ayat 3:
...... فا نكحوا ما طاب لكم من النساء مثني وثالثي ورباعArtinya: "…Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…" (Q.s al-
Nisa': 3).
Ayat lain yang memerintahkan untuk melaksanakan perkawinan yaitu sebagaimana
yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 32:
"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan…”
Dengan dua ayat tersebut, maka jelaslah bahwa ada dasar hukum mengenai perkawinan
dalam Islam. Masih banyak lagi ayat-ayat yang mengindikasikan tentang perkawinan seperti
terdapat dalam surat an-Nahl ayat 72, surat ar-Rum ayat 21, surat an-Nur 32, surat an-Nisa'
34 dan lain-lain.
Dengan demikian al-Qur'an pun sangat memperhatikan masalah perkawinan, hal ini
bisa terlihat dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur'an tentang perkawinan. Disamping al-Qur'an,
sunnah Rasul pun memberikan penjelasan tentang perkawinan baik mengenai hal-hal yang
tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disinggung dalam al-Qur'an secara
garis besar, sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
"Dari Abdullah bin Mas'ud "Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada kami, "Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nafkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan farj. Barang siapa yangg tidak mampu, maka berpuasalah, karena berpuasa merupakan benteng baginya"
Hadits tersebut merupakan perintah untuk melakukan perkawinan sekaligus
memperkuat al-Qur'an dalam hal perintah untuk menikah. Namun disamping memperkuat al-
Qur'an, Hadits ini juga memberikan penjelasan bahwa yang diperintahkan itu adalah orang
yang sudah mampu untuk kawin dan bagi orang yang belum mampu memberikan nafkah, ada
solusi alternatif yaitu dengan jalan berpuasa. Banyak lagi hadits dan ayat al-Qur'an yang tidak penulis sebutkan satu persatu.
Meskipun banyak dari nash al-Qur'an dan Hadits yang merujuk pada dalil tentang
perkawinan, selain dalil nash sebagai dasar hukum perkawinan masih diperlukan lagi ijtihad
para fuqaha terhadap beberapa masalah yang perlu pemecahan untuk memperoleh ketentuan
hukum, misalnya:
"Bagi orang yang sudah ingin kawin dan takut akan berbuat zina kalau tidak kawin,
maka wajib ia mendahulukan kawin daripada menunaikan ibadah haji. Tetapi kalau ia tidak
takut akan melakuakan zina, maka ia wajib mendahulukan haji daripada kawin. Juga dalam
wajib kifayah yang lain, seperti menuntut ilmu dan jihad, wajib ditunaikan lebih dahulu
daripada kawin. Sekiranya tidak ada kekhawatiran akan terjatuh dalam lembah perzinaan".[9]
Masih banyak lagi masalah-masalah yang tidak disinggung dalam al-Qur'an dan
Hadits sehingga memerlukan ijtihad para fuqaha, karena hal yang demikian inilah maka
dasar-dasar hukum perkawinan menurut Islan itu meliputi al-Qur'an, Hadits dan ijtihad para
fuqaha.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan suci yang sarat nilai dan bertujuan mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, suatu
perkawinan perlu diatur dengan rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu, agar tujuan
disyari'atkannya perkawinan tercapai. Berikut ini disebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat
perkawinan menurut ketentuan fiqh sebagaimana dikemukakan Khalil Rahman:[10]
a. Calon suami, syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami adalah:
1. bukan mahram baik karena hubungan darah, karena .hubungan sepersususan atau karena
hubungan semenda.
2. tidak beristeri lebih dari empat orang.
3. dengan kemauan sendiri.
4. tertentu orangnya.
5. seorang laki-laki (bukan wadam/banci).
6. mengetahui calon isterinya.
7. tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.
8. seorang muslim.
b. Calon isteri, syarat yang harus dipenuhi adalah:
1. bukan mahram baik disebabkan karena hubungan darah, karena hubungan sepersusuan atau
karena hubungan semenda
2. bukan isteri orang
3. tidak dalam masa tunggu
4. tidak dipaksa
5. seorang muslimah atau ahli kitab
6. tertentu orangnya
7. tidak sedang ihram atau umrah
8. tidak bersaudara, baik karena hubungan darah, karena sepersusuan maupun semenda, apabila
wanita yang dikawini itu dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat.[11]
c. Adanya mahar,
d. Adanya wali
Sedangkan syarat-syarat wali:
1. laki-laki
2. dewasa
3. mempunyai hak perwalian
4. tidak terdapat halangan perwalian
e. Saksi nikah,
Syarat-syarat saksi:
1. minimal 2 orang laki-laki.
2. hadir dalam ijab-qabul
3. dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. dewasa
f. Ucapan sighat (akad perkawinan), syarat-syaratnya:
1. adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata-kata nikah atau tazwij
4. antara ijab dan qabul bersinambungan
5. antara ijab dan qabul jelas maksudnya
6. orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah
7. majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal 4 orang: calon pria atau wakilnya, wali dari mempelai
wanita atau wakilnya dan dua orang saksi
Rukun dan syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi
maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.
B. Pernikahan Dini Menurut Islam
Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata
kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan
antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi
satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat.
Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu,yakni
sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang
yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada
usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi
bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum
usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama,
jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah
agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam
bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang
mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak
mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat
tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke
permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para
sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.
Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan
sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan
biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang
belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah
ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi
pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah
menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman
ini merupakan hasil interpretasi dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah
mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula
pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.
Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi
konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari
sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di
bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus
hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat
ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)
orang yang setara/kafaah”.[12]
Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang
mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu
berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[13]
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini
pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-
norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap
kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral
bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini
merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada
terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.
C. Pernikahan Usia Dini menurut Undang-Undang Berdasarkan pasal 45 KUHP, dan berdasarka Undang-Undang Peradilan Anak.
“Jika seorang yang di bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurnya belum cukup 16 tahun, hakim boleh
memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya diserahkan pemerintah dengan tidak dikenakan
sesuatu hukuman ”Berdasarkan pasal 45 KUHP di atas, pengertian anak adalah seorang yang di bawah umur
adalah yang berusia belum 16 tahun.
Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-
undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika
pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai
umur 16 (enam belas tahun) tahun.[14]
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya
melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak
benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi
ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan
dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil,
gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai
aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya
mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.
D. Kesimpulan
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada
masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi
semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum opusnya ini harus
senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap selalu relevan dan
mampu merespon dinamika perkembangan zaman.
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama
sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah
dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan,
ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.
Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam
dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka
kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-
relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika
dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur
kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda
pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang
lebih utama.
Daftar Pustaka1. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V.
2. M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan
Perkawinan Islam, (Jakarta : Hill.Co., 1984)
3. Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988).
4. Gerungan, Psychologi Social, (Jakarta:PT. Erasco, 1978)5. Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia,
(Jakarta: Gunung Agung, 1972).6. Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir (Jakarta: Dar
al-Qoumiyah, t.t)
7. Ali Ahmad al_jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu (Mesir; Jami’atu al-Ilmiyati, 1961).
8. Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, 1986).9. Abi Abdillah Muhammad bin Abi Hasan Isma'il bin Ibrahim bin Bardizbah, Matan
Bukhari, (Singapura: Sulaiman Mar'i, t.t), Jilid. III.
10. Al-Kahlani, Subulu as-Salami, (Mesir: Mustafa al- Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1960),
Juz III.
11. Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1981), Jilid ke-6, Cet.
II.
12. Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang: IAIN
Wali Songo, tt),
13. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981),
Cet. I, 14. Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.
15. Undang-Undang Perkawinan, di www.depag.go.id
[1] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V, h. 73
[2] M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, (Jakarta : Hill.Co., 1984), h. 2
[3] Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 219[4] Gerungan, Psychologi Social, (Jakarta:PT. Erasco, 1978), hal. 29[5] Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1972), hal. 1[6] Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir (Jakarta: Dar al-Qoumiyah, t.t) hal. 8
[7] Ali Ahmad al_jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu (Mesir; Jami’atu al-Ilmiyati, 1961), hal. 5[8] Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, 1986), hal.73[9] Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1981), Jilid ke-6, Cet. II, hlm.22
[10] Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang: IAIN Wali Songo, tt), h. 31-32
[11] 12 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), Cet. I, h. 23-24.[12] Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.h.210
[13] Ibid, h.510[14] Undang-Undang Perkawinan, di www.depag.go.id