Pernikahan Dini v2

14
http://perbandinganmazhab.blogspot.co.id/2009/10/pernikahan- usia-dini-dalam-persperktif.html Oleh: Andika Supriatna Sp NIM: 102043124907 A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan. 1. Pengertian Perkawinan Pengertian nikah menurut istilah syara' banyak diberikan oleh para fuqaha dengan ungkapan kalimat yang berbeda-beda, namun mengandung maksud yang sama. Salah satu diantaranya adalah ulama yang bernama Abdurrahman al-Jaziri, beliau mendefinisikan nikah sebagai berikut : “Nikah adalah suatu akad yangg memberikan hak bersetubuh dengan menggunakan perkataan nikah atau tazwij atau arti dari keduanya." Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah "perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang pria dengan seorang wanita"[1] . Sedangkan Imam Syafi'i memberikan definisi nikah ialah "akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita."[2] Dengan melihat berbagai pengertian diatas nikah mempunyai arti akad atau perjanjian, karena itu ada pendapat yang mengatakan nikah adalah "suatu perjanjian yang suci antara seorang laki- laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. "[3] Manusia adalah makhluk sosial dan sifatnya selalu ingin bergaul, hidup bersama dan saling membutuhkan “pada dasarnya manusia tidak sanggup hidup seorang diri”.[4] Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politikon (makhluk bermasyarakat).[5]

description

dfdfdfdfdf

Transcript of Pernikahan Dini v2

Page 1: Pernikahan Dini v2

http://perbandinganmazhab.blogspot.co.id/2009/10/pernikahan-usia-dini-dalam-persperktif.html

Oleh:

Andika Supriatna SpNIM: 102043124907

A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perkawinan.1. Pengertian Perkawinan

Pengertian nikah menurut istilah syara' banyak diberikan oleh para fuqaha dengan

ungkapan kalimat yang berbeda-beda, namun mengandung maksud yang sama. Salah satu

diantaranya adalah ulama yang bernama Abdurrahman al-Jaziri, beliau mendefinisikan nikah

sebagai berikut : “Nikah adalah suatu akad yangg memberikan hak bersetubuh dengan

menggunakan perkataan nikah atau tazwij atau arti dari keduanya."

Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah "perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang pria dengan seorang wanita"[1]. Sedangkan Imam Syafi'i

memberikan definisi nikah ialah "akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual

antara pria dengan wanita."[2]

Dengan melihat berbagai pengertian diatas nikah mempunyai arti akad atau

perjanjian, karena itu ada pendapat yang mengatakan nikah adalah "suatu perjanjian yang

suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga

bahagia."[3]

Manusia adalah makhluk sosial dan sifatnya selalu ingin bergaul, hidup bersama dan

saling membutuhkan “pada dasarnya manusia tidak sanggup hidup seorang diri”.[4]

Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politikon (makhluk bermasyarakat).[5]

Manusia diciptakan dengan fitrahnya yaitu mempunyai hajat hidup untuk

menyalurkan libido seksualnya kepada lawan jenis. Hal ini merupakan kebutuhan biologis

yang tidak dapat dipungkiri. Tuhan telah menciptakan manusia mempunyai perasaan cinta

kepada lawan jenisnya

Muhammad al-Bahi mengemukakan bahwa cinta birahi merupakan faktor yang

terpenting unntuk mendorong seseorang berhubungan kepada lawan jenisnya.[6]

Adapun cara penyaluran nafsu birahi yang paling baik ditempuh oleh manusia sebagai

makhluk yang mempunyai martabat tinggi ialah melalui perkawinan. Ini berarti bahwa untuk

mengolah dan memakmurkan bumi ini memerlukan adanya manusia yang banyak dan

Page 2: Pernikahan Dini v2

bersinambung generasi sampai akhir zaman. Dengan demikian, pengembangan keturunan

manusia sangat diperlukan adanya. Disinilah pentingnya perkawinan, karena “adanya

manusia tergantung adanya perkawinan”[7]

Menurut Sayuti Thalib pengertian perkawinan ialah “Perjanjian suci membentuk

keluarga antara seorang pria dengan seorang seorang wanita”.[8]

Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata kehidupan

manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan antara dua

insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi satu

keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat.

Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat.

Dengan melihat tujuan dari suatu perkawinan, maka di Indonesia dibentuklah suatu

Undang-undang perkawinan yang bertujuan untuk menciptakan suatu rumah tangga yang

sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga tercipta pula lingkungan masyarakat yang tidak

semena-mena dan menyalahgunakan status pasangan dari suami isteri.

Undang-undang perkawinan pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa sah atau tidaknya

suatu perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agamanya. Pihak-pihak yang

melangsungkan perkawinan harus tunduk dan telah memenuhi berbagai ketentuan dan

persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum agama. Maka dengan sendirinya perkawinan

yang dilaksanakan dengan tidak berdasarkan hukum agama adalah tidak sah.

Karena perkawinan merupakan perbuatan / peristiwa hukum yang secara otomatis

melahirkan akibat-akibat hukum serta diperlukan adanya kepastian hukum, maka pada pasal

Sejalan dengan prinsip “Menolak kemadharatan lebih didahulukan daripada

memperoleh kemaslahatan” dan juga “suatu tindakan (peraturan) pemerintah, berintikan

terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya”

2. Dasar Hukum Perkawinan

Sebagai dasar hukum perkawinan yang utama adalah al-Qur'an. Banyak ayat-ayat al-

Qur'an yang berbicara tentang masalah perkawinan, salah satunya terdapat pada surat an-

Nisa' ayat 3:

...... فا نكحوا ما طاب لكم من النساء مثني وثالثي ورباعArtinya: "…Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat…" (Q.s al-

Nisa': 3).

Page 3: Pernikahan Dini v2

Ayat lain yang memerintahkan untuk melaksanakan perkawinan yaitu sebagaimana

yang terdapat dalam surat an-Nur ayat 32:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak

(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan…”

Dengan dua ayat tersebut, maka jelaslah bahwa ada dasar hukum mengenai perkawinan

dalam Islam. Masih banyak lagi ayat-ayat yang mengindikasikan tentang perkawinan seperti

terdapat dalam surat an-Nahl ayat 72, surat ar-Rum ayat 21, surat an-Nur 32, surat an-Nisa'

34 dan lain-lain.

Dengan demikian al-Qur'an pun sangat memperhatikan masalah perkawinan, hal ini

bisa terlihat dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur'an tentang perkawinan. Disamping al-Qur'an,

sunnah Rasul pun memberikan penjelasan tentang perkawinan baik mengenai hal-hal yang

tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disinggung dalam al-Qur'an secara

garis besar, sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :

"Dari Abdullah bin Mas'ud "Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepada kami, "Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nafkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan farj. Barang siapa yangg tidak mampu, maka berpuasalah, karena berpuasa merupakan benteng baginya"

Hadits tersebut merupakan perintah untuk melakukan perkawinan sekaligus

memperkuat al-Qur'an dalam hal perintah untuk menikah. Namun disamping memperkuat al-

Qur'an, Hadits ini juga memberikan penjelasan bahwa yang diperintahkan itu adalah orang

yang sudah mampu untuk kawin dan bagi orang yang belum mampu memberikan nafkah, ada

solusi alternatif yaitu dengan jalan berpuasa. Banyak lagi hadits dan ayat al-Qur'an yang tidak penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun banyak dari nash al-Qur'an dan Hadits yang merujuk pada dalil tentang

perkawinan, selain dalil nash sebagai dasar hukum perkawinan masih diperlukan lagi ijtihad

para fuqaha terhadap beberapa masalah yang perlu pemecahan untuk memperoleh ketentuan

hukum, misalnya:

"Bagi orang yang sudah ingin kawin dan takut akan berbuat zina kalau tidak kawin,

maka wajib ia mendahulukan kawin daripada menunaikan ibadah haji. Tetapi kalau ia tidak

takut akan melakuakan zina, maka ia wajib mendahulukan haji daripada kawin. Juga dalam

Page 4: Pernikahan Dini v2

wajib kifayah yang lain, seperti menuntut ilmu dan jihad, wajib ditunaikan lebih dahulu

daripada kawin. Sekiranya tidak ada kekhawatiran akan terjatuh dalam lembah perzinaan".[9]

Masih banyak lagi masalah-masalah yang tidak disinggung dalam al-Qur'an dan

Hadits sehingga memerlukan ijtihad para fuqaha, karena hal yang demikian inilah maka

dasar-dasar hukum perkawinan menurut Islan itu meliputi al-Qur'an, Hadits dan ijtihad para

fuqaha.

3. Rukun dan Syarat Perkawinan

Perkawinan merupakan ikatan suci yang sarat nilai dan bertujuan mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Oleh karena itu, suatu

perkawinan perlu diatur dengan rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu, agar tujuan

disyari'atkannya perkawinan tercapai. Berikut ini disebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat

perkawinan menurut ketentuan fiqh sebagaimana dikemukakan Khalil Rahman:[10]

a. Calon suami, syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami adalah:

1. bukan mahram baik karena hubungan darah, karena .hubungan sepersususan atau karena

hubungan semenda.

2. tidak beristeri lebih dari empat orang.

3. dengan kemauan sendiri.

4. tertentu orangnya.

5. seorang laki-laki (bukan wadam/banci).

6. mengetahui calon isterinya.

7. tidak sedang mengerjakan haji atau umrah.

8. seorang muslim.

b. Calon isteri, syarat yang harus dipenuhi adalah:

1. bukan mahram baik disebabkan karena hubungan darah, karena hubungan sepersusuan atau

karena hubungan semenda

2. bukan isteri orang

3. tidak dalam masa tunggu

4. tidak dipaksa

5. seorang muslimah atau ahli kitab

6. tertentu orangnya

7. tidak sedang ihram atau umrah

8. tidak bersaudara, baik karena hubungan darah, karena sepersusuan maupun semenda, apabila

wanita yang dikawini itu dijadikan isteri kedua, ketiga atau keempat.[11]

Page 5: Pernikahan Dini v2

c. Adanya mahar,

d. Adanya wali

Sedangkan syarat-syarat wali:

1. laki-laki

2. dewasa

3. mempunyai hak perwalian

4. tidak terdapat halangan perwalian

e. Saksi nikah,

Syarat-syarat saksi:

1. minimal 2 orang laki-laki.

2. hadir dalam ijab-qabul

3. dapat mengerti maksud akad

4. Islam

5. dewasa

f. Ucapan sighat (akad perkawinan), syarat-syaratnya:

1. adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3. memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kata-kata nikah atau tazwij

4. antara ijab dan qabul bersinambungan

5. antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6. orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji/umrah

7. majlis ijab dan qabul harus dihadiri minimal 4 orang: calon pria atau wakilnya, wali dari mempelai

wanita atau wakilnya dan dua orang saksi

Rukun dan syarat perkawinan tersebut diatas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi

maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah.

B. Pernikahan Dini Menurut Islam

Perkawinan mempunyai arti dan kedudukan yang sangat penting dalam tata

kehidupan manusia. Sebab dengan perkawinan, dapat dibentuk ikatan hubungan pergaulan

antara dua insan yang berlainan jenis secara resmi dalam suatu ikatan suami-isteri menjadi

satu keluarga. Selanjutnya keluarga dapat terus berkembang menjadi kelompok masyarakat.

Tujuan yang ingin dicapai dari perkawinan ialah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat.

Page 6: Pernikahan Dini v2

Istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Dini dikaitkan dengan waktu,yakni

sangat di awal waktu tertentu. Lawannya adalah pernikahan kadaluwarsa. Bagi orang-orang

yang hidup pada awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada

usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah hal biasa, tidak istimewa. Tetapi

bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum

usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun pun dianggap tidak wajar, "terlalu dini" istilahnya.

Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan terhadap agama,

jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam ini, satu diantaranya adalah

agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh sebab itu, Syekh Ibrahim dalam

bukunya al Bajuri menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga, hubungan seks yang

mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan. Seandainya agama tidak

mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur keturunan) akan semakin kabur.

Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang sempat

tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali muncul ke

permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang terjadi antara para

sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut.

Menurut Ibnu Syubromah bahwa agama melarang pernikahan dini (pernikahan

sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan

biologis, dan melanggengkan keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang

belum baligh. Ia lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.

Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks. Memahami masalah

ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada. Sehingga dalam menyikapi

pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu berusia usia 6 tahun), Ibnu Syubromah

menganggap sebagai ketentuan khusus bagi Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya.

Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini. Pemahaman

ini merupakan hasil interpretasi dari Surat al Thalaq ayat 4. Disamping itu, sejarah telah

mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat muda. Begitu pula

pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan sahabat.

Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur sudah menjadi

konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu Syubromah dinilai lemah dari

sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di

bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh dan mudah terpatahkan.

Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik dalam kamus

hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat

Page 7: Pernikahan Dini v2

ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak bersuami ketika (diajak menikah)

orang yang setara/kafaah”.[12]

Hadis Nabi kedua berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang

mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu

berdosa dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.[13]

Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu, saat ini

pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak mengindahkan norma-

norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas, dimana akibat kebebasan itu kerap

kita jumpai tindakan-tindakan asusila di masyarakat. Fakta ini menunjukkan betapa moral

bangsa ini sudah sampai pada taraf yang memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini

merupakan upaya untuk meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada

terjerumus dalam pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk

bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’.

C. Pernikahan Usia Dini menurut Undang-Undang Berdasarkan pasal 45 KUHP, dan berdasarka Undang-Undang Peradilan Anak.

“Jika seorang yang di bawah umur dituntut karena melakukan tindak pidana ketika umurnya belum cukup 16 tahun, hakim boleh

memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, atau memerintahkannya supaya diserahkan pemerintah dengan tidak dikenakan

sesuatu hukuman ”Berdasarkan pasal 45 KUHP di atas, pengertian anak adalah seorang yang di bawah umur

adalah yang berusia belum 16 tahun.

Undang-undang negara kita telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam Undang-

undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika

pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai

umur 16 (enam belas tahun) tahun.[14]

Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya

melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak

benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.

Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi

ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan

dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil,

gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai

Page 8: Pernikahan Dini v2

aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya

mentolerir pernikahan diatas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita.

D. Kesimpulan

Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi manusia pada

masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan selalu membawa rahmat bagi

semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam Syatiby dalam magnum opusnya ini harus

senantiasa kita perhatikan. Hal ini bertujuan agar hukum Islam tetap selalu relevan dan

mampu merespon dinamika perkembangan zaman.

Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun hukum agama

sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang pernikahan usia dini adalah

dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula agama tidak membatasi usia pernikahan,

ternyata juga mempunyai nilai positif. Sebuah permasalahan yang cukup dilematis.

Menyikapi masalah tersebut, penulis teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam

dalam bukunya Qowa’id al Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka

kita dituntut untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.

Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat individual-

relatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi masing-masing. Jika

dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari kubangan dosa dan lumpur

kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik. Sebaliknya, jika dengan menunda

pernikahan sampai pada usia ”matang” mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang

lebih utama.

Daftar Pustaka1. Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V.

2. M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan

Perkawinan Islam, (Jakarta : Hill.Co., 1984)

3. Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang,

1988).

4. Gerungan, Psychologi Social, (Jakarta:PT. Erasco, 1978)5. Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia,

(Jakarta: Gunung Agung, 1972).6. Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir (Jakarta: Dar

al-Qoumiyah, t.t)

Page 9: Pernikahan Dini v2

7. Ali Ahmad al_jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu (Mesir; Jami’atu al-Ilmiyati, 1961).

8. Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, 1986).9. Abi Abdillah Muhammad bin Abi Hasan Isma'il bin Ibrahim bin Bardizbah, Matan

Bukhari, (Singapura: Sulaiman Mar'i, t.t), Jilid. III.

10. Al-Kahlani, Subulu as-Salami, (Mesir: Mustafa al- Babi al-Halabi wa Auladuhu, 1960),

Juz III.

11. Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1981), Jilid ke-6, Cet.

II.

12. Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang: IAIN

Wali Songo, tt),

13. Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-

undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981),

Cet. I, 14. Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.

15. Undang-Undang Perkawinan, di www.depag.go.id

[1] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), Cet. V, h. 73

[2] M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Peradilan Agama dan Perkawinan Islam, (Jakarta : Hill.Co., 1984), h. 2

[3] Anwar Haryono, Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 219[4] Gerungan, Psychologi Social, (Jakarta:PT. Erasco, 1978), hal. 29[5] Simorangkir dan Woeryono Sastropranoto, Pelajaran Hukum Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1972), hal. 1[6] Muhammad al-Bahi, Al-fikr al-Islamy wa al-Mujtami’ al-Ma’ashir (Jakarta: Dar al-Qoumiyah, t.t) hal. 8

[7] Ali Ahmad al_jurjani, Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu (Mesir; Jami’atu al-Ilmiyati, 1961), hal. 5[8] Sayuti Talib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta; UI Press, 1986), hal.73[9] Moh. Thalib, Fiqh Sunnah Terjemah, (Bandung : PT Al-Ma'arif, 1981), Jilid ke-6, Cet. II, hlm.22

[10] Kholil Rahman, Hukum Perkawinan Islam (Diktat tidak diterbitkan), (Semarang: IAIN Wali Songo, tt), h. 31-32

Page 10: Pernikahan Dini v2

[11] 12 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta : PT Hidakarya Agung, 1981), Cet. I, h. 23-24.[12] Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir, Darul Kutub Ilmiah, Beirut.h.210

[13] Ibid, h.510[14] Undang-Undang Perkawinan, di www.depag.go.id