Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar...

12
1 Permusuhan Iran-Israel 2005-2009 Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara dan Pengaruhnya terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah Esai Kelompok Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika Dita Amelia 0806393044 Studi Arab FIB UI Carolina D. Rainintha Siahaan 0706165551 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Tangguh 0706291426 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI Pada periode 2005-2009, Ahmadinejad mengemban masa baktinya yang pertama sebagai Presiden Iran melalui proses pemilu Juni 2009 lalu, sementara Israel sempat dipimpin oleh tiga perdana menteri, yakni Ariel Sharon, Ehud Olmert, dan Benjamin Netanyahu. Dalam esai ini, tim penulis akan membahas bagaimana sejarah bilateral, leadership, opini publik, dan kebijakan luar negeri Iran dan Israel periode 2005- 2009 memengaruhi politik dan hubungan antara kedua negara tersebut serta kawasan Timur Tengah. Dinamika Hubungan Iran-Israel Hingga saat ini kedua negara tidak membuka hubungan diplomatik satu sama lain. Iran tidak mengakui eksistensi Israel sebagai negara, hal ini juga ditekankan oleh propaganda pemerintah yang kerap merujuk Israel sebagai rezim zionis. Sesungguhnya, Iran pernah memberikan pengakuan atas keberadaan Israel pada 1948, namun hal ini dianulir pada 1951 oleh Pemerintah Muhammad Mussadeq sesaat setelah kemenangannya dalam pemilu sebagai perdana menteri. Iran dan Israel tidak pernah saling membuka hubungan diplomasi khususnya semenjak lengsernya pemerintahan Syiah pada 1979. Hubungan Israel dan Iran telah bertransformasi dari aliansi politik yang erat khususnya di bawah Dinasti Pahlevi menjadi ketegangan dan permusuhan seiring dengan naiknya kekuasaan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Relasi kian memburuk ketika Ayatollah Khomeini memutuskan untuk bergabung pada kelompok Arab yang mendeklarasikan dirinya sebagai anti-Israel. Padahal, sebelumnya Iran merupakan mitra dagang dan penghasil cadangan minyak bagi Israel pada 1953-1979, ketika dinasti Pahlevi sedang berkuasa. Untuk mengadakan hubungan timbal balik yang mutual, Israel pernah melakukan ekspor perangkat perang dan militer serta memberikan asistensi kepada angkatan bersenjata Iran. Badan intelijen kedua negara juga pernah bekerja sama dalam mengadakan pelatihan dan bersama-sama mengembangkan Project Flower dalam pengembangan misil bersama. Bahkan, Iran pernah penjadi supplier minyak bagi Israel pasca Israel dikucilkan negara tetangganya karena Six Day War. Sejak memburuknya relasi Israel dan Iran, Israel selalu merujuk kepada pengaruh Amerika Serikat di kawasan untuk membantu mempertahankan eksistensinya dan membela diri dari negara tetangga di kawasan. Sampai pada 1980, tercatat bahwa estimasi diaspora

description

Pada periode 2005-2009, Ahmadinejad mengemban masa baktinya yang pertama sebagai Presiden Iran melalui proses pemilu Juni 2009 lalu, sementara Israel sempat dipimpin oleh tiga perdana menteri, yakni Ariel Sharon, Ehud Olmert, dan Benjamin Netanyahu. Dalam esai ini, tim penulis akan membahas bagaimana sejarah bilateral, leadership, opini publik, dan kebijakan luar negeri Iran dan Israel periode 2005-2009 memengaruhi politik dan hubungan antara kedua negara tersebut serta kawasan Timur Tengah.

Transcript of Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar...

Page 1: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

1

Permusuhan Iran-Israel 2005-2009

Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, dan Kebijakan Luar Negeri Kedua

Negara dan Pengaruhnya terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

Esai Kelompok Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah dan Afrika

Dita Amelia 0806393044 Studi Arab FIB UI

Carolina D. Rainintha Siahaan 0706165551 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

Tangguh 0706291426 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UI

Pada periode 2005-2009, Ahmadinejad mengemban masa baktinya yang pertama sebagai Presiden

Iran melalui proses pemilu Juni 2009 lalu, sementara Israel sempat dipimpin oleh tiga perdana menteri,

yakni Ariel Sharon, Ehud Olmert, dan Benjamin Netanyahu. Dalam esai ini, tim penulis akan membahas

bagaimana sejarah bilateral, leadership, opini publik, dan kebijakan luar negeri Iran dan Israel periode 2005-

2009 memengaruhi politik dan hubungan antara kedua negara tersebut serta kawasan Timur Tengah.

Dinamika Hubungan Iran-Israel

Hingga saat ini kedua negara tidak membuka hubungan diplomatik satu sama lain. Iran tidak

mengakui eksistensi Israel sebagai negara, hal ini juga ditekankan oleh propaganda pemerintah yang kerap

merujuk Israel sebagai rezim zionis. Sesungguhnya, Iran pernah memberikan pengakuan atas keberadaan

Israel pada 1948, namun hal ini dianulir pada 1951 oleh Pemerintah Muhammad Mussadeq sesaat setelah

kemenangannya dalam pemilu sebagai perdana menteri. Iran dan Israel tidak pernah saling membuka

hubungan diplomasi khususnya semenjak lengsernya pemerintahan Syiah pada 1979. Hubungan Israel

dan Iran telah bertransformasi dari aliansi politik yang erat khususnya di bawah Dinasti Pahlevi menjadi

ketegangan dan permusuhan seiring dengan naiknya kekuasaan Ayatollah Ruhollah Khomeini. Relasi kian

memburuk ketika Ayatollah Khomeini memutuskan untuk bergabung pada kelompok Arab yang

mendeklarasikan dirinya sebagai anti-Israel. Padahal, sebelumnya Iran merupakan mitra dagang dan

penghasil cadangan minyak bagi Israel pada 1953-1979, ketika dinasti Pahlevi sedang berkuasa. Untuk

mengadakan hubungan timbal balik yang mutual, Israel pernah melakukan ekspor perangkat perang dan

militer serta memberikan asistensi kepada angkatan bersenjata Iran. Badan intelijen kedua negara juga

pernah bekerja sama dalam mengadakan pelatihan dan bersama-sama mengembangkan Project Flower

dalam pengembangan misil bersama. Bahkan, Iran pernah penjadi supplier minyak bagi Israel pasca Israel

dikucilkan negara tetangganya karena Six Day War. Sejak memburuknya relasi Israel dan Iran, Israel selalu

merujuk kepada pengaruh Amerika Serikat di kawasan untuk membantu mempertahankan eksistensinya

dan membela diri dari negara tetangga di kawasan. Sampai pada 1980, tercatat bahwa estimasi diaspora

Page 2: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

2

Yahudi di Iran mencapai angka 300.000 jiwa. Bisa dikatakan bahwa Iran memiliki komunitas Yahudi

terbanyak di kawasan Timur Tengah. Jadi, terbukti bahwa friksi yang kemudian berkembang sebenarnya

adalah fenomena baru atas keadaan damai dan bersahabat di antara dua negara.

Hubungan Iran-AS: Pendorong Hubungan Iran-Israel sebelum Revolusi

Selain itu, hubungan Iran dengan Israel pra-Revolusi Islam Iran 1979 juga didukung oleh kedekatan

Iran dengan AS. Pada 1953, dinas intelijen AS dan Inggris mengatur sebuah kudeta di mana para perwira

militer Iran menurunkan Perdana Menteri Mussadeq, yang berniat menasionalisasi industri minyak.1 Di

sini, CIA membantu mengembalikan kekuasaan Shah Iran Muhammad Reza Pahlevi.2 Selama

pemerintahan Presiden Lyndon B. Johnson, hubungan baik dengan Iran adalah prioritas utama bagi

pembuat kebijakan AS, yang sepakat atas pentingnya Iran secara strategis dan memperhatikan ancaman

potensial terhadap stabilitas jangka panjang rezim Pahlevi. Foreign Relations, 1964-1968, volume XXII, Iran,

yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri AS, membuktikan kebijakan dukungan Johnson terhadap

Shah dan perhatian terhadap keamanan internal Iran dengan mendorong program reformasi politik, sosial,

dan ekonomi Shah yang disebut “Revolusi Putih”. Hubungan personal Johnson dengan Shah juga dekat;

kedua pemimpin saling berkorespondensi, dan Shah bertemu dengan Johnson tiga kali selama masa

kepresidenannya.3 Dari 1969 hingga 1972, AS pun menjalin hubungan kukuh dan setia dengan Iran, karena

AS memandang Irak sebagai musuh berbahaya potensial, dan Iran adalah rival Irak. Presiden Richard

Nixon juga menganggap Iran di bawah Pahlevi sebagai pilar stabilitas keamanan AS di Timur Tengah.

Satu-satunya perdebatan antara Iran-AS adalah hasrat Shah akan persenjataan teknologi tinggi yang mahal

namun tidak penting, sementara AS khawatir bahwa penambahan kekuatan persenjataan akan

membahayakan stabilitas internal Iran dengan mengalihkan dana untuk usaha-usaha sosial dan

merumitkan hubungan regional.4

Hubungan Opini Publik dengan Kebijakan Luar Negeri

Hubungan opini publik dengan kebijakan luar negeri diwarnai debat antara pendekatan liberal-

demokratis dan pendekatan realis. Tradisi liberal-demokratis memandang bahwa kebijakan luar negeri

negara-negara demokratis lebih damai (daripada kebijakan negara-negara nondemokratis) salah satunya

karena akuntabilitas terhadap publik membuat publik memiliki peran konstruktif dalam membatasi para

pembuat kebijakan; sementara tradisi realis memandang bahwa opini publik adalah rintangan terhadap

diplomasi yang bijaksana dan koheren, karena “syarat-syarat rasional kebijakan luar negeri yang baik pada

1 BBC NEWS | Middle East | Timeline: US-Iran ties, diakses dari

http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/3362443.stm 14 Oktober 2009 9:43 2 Ups and Downs of US-Iran Relations – IslamOnline.net – Politics in Depth, diakses dari

http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?c=Article_C&cid=1180421223793&pagename=Zone-English-

Muslim_Affairs%2FMAELayout 14 Oktober 2009 9:46 3 Summary: Foreign Relations of the United States 1964-1968, Volume XXII, Iran, diakses dari

http://www.parstimes.com/history/relations_64-68.html 14 Oktober 2009 10:06 4 Summary: Foreign Relations, 1969-1972, Volume E-4, Iran and Iraq, diakses dari

http://www.state.gov/r/pa/ho/frus/nixon/e4/72108.htm 14 Oktober 2009 10:26

Page 3: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

3

permulaannya tak dapat memperhitungkan dukungan opini publik yang memiliki preferensi yang lebih

emosional daripada rasional” (Hans J. Morgenthau, 1978:558).5 Rudi Guraziu (2008) mengungkapkan

bahwa menurut kaum Liberal Wilsonian, opini publik memengaruhi pembuatan kebijakan publik dengan

mencegah para pembuat keputusan mengambil tindakan-tindakan berisiko karena khawatir bahwa

pemerintahan tersebut akan kehilangan dukungan publik, sehingga meyakinkan mereka untuk memilih

kebijakan yang lebih disukai publik. Pengaruh opini publik terhadap kebijakan luar negeri, menurut Foyle,

“ditentukan oleh interaksi antara kepercayaan pembuat kebijakan tentang peran opini publik yang tepat

dalam perumusan kebijakan luar negeri dan konteks keputusan di mana kebijakan luar negeri harus

dibuat”. Menanggapi debat antara realis dan liberalis, yang menunjukkan pentingnya opini publik dalam

pembuatan kebijakan luar negeri, Guraziu membuktikan bahwa pengaruh opini publik pada urusan-

urusan luar negeri berubah-ubah dari kasus ke kasus. Guraziu menunjukkan keterbatasan opini publik

dalam memengaruhi kebijakan luar negeri, menggunakan referensi dan contoh seperti walaupun polling

menunjukkan opini publik di Inggris mengkritik kebijakan di Irak, Tony Blair tetap melakukan perang di

Irak; juga seperti walaupun publik Amerika tidak menyetujui kebijakan Bush di Irak, Bush tetap

melakukan perang di Irak; serta seperti walaupun polling menunjukkan bahwa mayoritas populasi Uni

Eropa menentang masuknya Turki ke Uni Eropa, para pemimpin Austria, Prancis, dan Yunani tetap

membuka pembicaraan aksesi Uni Eropa-Turki.6

Pandangan publik Iran

Menurut Terror Free Tomorrow, survei opini publik nasional terhadap Iran pada 20077 menemukan

bahwa terdapat ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan, keadaan ekonomi Iran, dan isolasi dari

Barat di seluruh Iran. 61% menentang sistem pemerintahan Iran sekarang, di mana Pemimpin Tertinggi tak

dapat dipilih atau diganti berdasarkan suara langsung rakyat. Sebaliknya, 79% mendukung sistem

demokratis, di mana Pemimpin Tertinggi, bersama seluruh pemimpin, dapat dipilih dan diganti

berdasarkan suara rakyat yang bebas dan langsung. Senjata nuklir menjadi prioritas terakhir bagi rakyat

Iran: hanya 29% memandang pengembangan senjata nuklir sebagai prioritas penting, bahkan 80%

mendukung inspeksi penuh dan jaminan bahwa Iran takkan mengembangkan senjata nuklir sebagai ganti

perdagangan dan bantuan dari negara-negara lain. Mayoritas rakyat Iran mendukung Iran untuk

mengakui Palestina dan Israel sebagai negara-negara yang merdeka, menghentikan dukungan Iran

5 Ole R. Holsti, ―Public Opinion and Foreign Policy: Challenges to the Almond—Lippman Consensus‖,

dalam Robert J. Lieber (ed.), Eagle Rules? Foreign Policy and American Primacy in the Twenty-First Century (Prentice Hall, 2002), 361- 6 Rudi Guraziu, ―To what extent is foreign policy making affected by public opinion in a liberal democracy?‖

diakses dari http://www.atlantic-

community.org/app/webroot/files/articlepdf/To%20what%20extent%20is%20foreign%20policy%20making%2

0affected%20by%20public%20opinion.pdf 6 Oktober 2009 21:45 7 Terror Free Tomorrow, ―Polling Iranian Public Opinion: An Unprecedented Nationwide Survey of Iran‖,

http://www.terrorfreetomorrow.org/upimagestft/TFT%20Iran%20Survey%20Report.pdf diakses pada 3

Oktober 2009 04:00

Page 4: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

4

terhadap kelompok-kelompok bersenjata di dalam Irak, serta transparansi penuh Iran terhadap Amerika

Serikat untuk meyakinkan bahwa tidak ada usaha Iran mengembangkan senjata nuklir.

Survei tersebut juga menemukan hal-hal penting lain:

Hampir dua pertiga rakyat Iran mendukung bantuan finansial kepada kelompok oposisi Palestina

seperti Hamas dan Islamic Jihad, sebagaimana Hizbullah Lebanon dan milisi Syiah Irak; namun

hanya sepertiga yang menganggap bahwa hal pemerintah Iran menyediakan dukungan finansial

kepada kelompok-kelompok tersebut adalah penting;

Hampir dua pertiga mendukung Hamas dan Hizbullah, namun 55% mendukung pengakuan

Palestina dan Israel masing-masing sebagai negara terpisah dan merdeka sebagai bagian dari

pembinaan hubungan normal dengan Amerika Serikat;

78% mendukung kuat pengembangan energi nuklir, namun hanya 33% mendukung kuat senjata

nuklir;

56% menyatakan bahwa Presiden Ahmadinejad gagal menjaga janji kampanyenya untuk

“menyampaikan uang minyak kepada rakyat sendiri”;

Pandangan publik Israel

Hubungan Iran dan Israel pasca Revolusi Iran, seperti dijabarkan, bersifat konfliktual. Pandangan ini

ternyata juga terinternalisasi oleh penduduk Israel sendiri.Pada intinya, rakyat setuju bahwa eksistensi

Israel merupakan kepentingan absolut. Mereka juga memberikan dukungan penuh terhadap Pemerintah

untuk mengambil langkah koersif dalam menindak musuh terhadap eksistensi Israel. Penulis akan

meminjam sebuah laporan berjudul "The People Speak : Israeli Public Opinion on National Security", yang

mengambil sampel 100 orang responden asal Isrrael dan dengan menggunakan skala 1-10, dan studi

dilakukan pada periode 2005-2007. Proyek nuklir Iran dipersepsikan sebagai ancaman paling tinggi saat itu

bagi publik Israel. Di tahun 2006, khususnya pasca beredar kabar pengayaan uranium Iran. Publik Israel

memiliki rasa paranoia yang cukup tinggi, kendati proyek pengayaan uranium disbuetkan hanya untuk

mendukung proyek nuklir untuk tujuan damai. Tingkat ancaman Iran bagi Israel berkisar 6,1. Persetujuan

rakyat atas penggunaan ancaman senjata dan kekerasan oleh Israel terhadap musuh yang memiliki senjata

kimia dan biologis adalah 5,9. Kedua rating tersebut membuktikan bahwa rakyat memang menyetujui

bahwa Iran adalah musuh terhadap eksistensi Israel. 49% responden menyetujui serangan unilateral Israel

kepada Iran untuk melucuti fasilitas nuklirnya. Sementara 37% responden internasional menyetujui

keterlibatan AS untuk juga menyerang Iran, karena Iran dianggap mengancam keamanan internasional.8

Kebijakan Luar Negeri Iran 2005-2009

8 Yehuda Ben Meir dan Dafra Shaked,The People Speak:Israeli Public Opinion On National Security.Memorandum no.90, Mei.2007. Institute of National Security

Page 5: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

5

Kebijakan luar negeri adalah rangkaian tindakan, atau susunan tindakan, yang diadopsi dalam

hubungan dengan situasi atau entitas di luar aktor;9 dapat pula diambil oleh berbagai bagian pemerintah

suatu negara dalam hubungan dengan berbagai badan lain yang bertindak serupa pada tingkat

internasional, yang seharusnya ditujukan untuk memajukan kepentingan nasional;10 dapat pula dengan

maksud memajukan tujuan berkelanjutan individu yang diwakilkan olehnya;11 dengan tujuan dapat

berupa tujuan jangka panjang maupun sasaran jangka pendek.12

Setelah terpilih pada Juni 2005, Mahmoud Ahmadinejad, yang menyadari kekuatan retorika

antiimperialis dan anti-Israel sebagai alat kebijakan luar negeri dan domestik, mengakhiri retorika

konsiliatoris pendahulunya, Akbar Hashemi Rafsanjani and Muhammad Khatami, dan kembali kepada

retorika konfrontasi revolusioner. Ia memulai kembali kebijakan pengayaan uranium nuklir Iran pada

Agustus 2005 dan menggunakan kesempatan menginternasionalisasi konflik nuklir tersebut dengan

menyerang Israel dan mempertanyakan Holocaust; retorika yang cocok dengan konsep keamanan nasional

yang dimajukan unsur-unsur garis keras, yang kembali menonjol setelah peristiwa 11 September dan

setelah Amerika Serikat memasukkan Iran dalam “Axis of Evil”. Tujuan mereka adalah mengatasi isolasi

strategis Iran di Timur Tengah sebagai negara Syiah non-Arab dengan memperpanjang perimeter

keamanan Iran hingga wilayah Lebanon dan Palestina. Selain itu, dengan mereposisi Iran Syiah sebagai

kekuatan pan-Islam yang berjuang demi Palestina (Sunni), Iran mencoba mengurangi perpecahan

etnosektarian yang disebabkan perang sipil Irak.13

Iran mengumumkan bahwa program nuklirnya bertujuan damai dan Iran akan memenuhi inspeksi

IAEA. Iran menolak proposal EU3 (para menteri luar negeri Prancis, Jerman, dan Inggris) yang

menawarkan konsesi ekonomi apabila Iran menghentikan pengayaan uranium. Iran juga tidak memenuhi

Resolusi 1737 Dewan Keamanan PBB yang menjatuhkan sanksi secara khusus pada program nuklir Iran,

serta menyatakan telah memulai pengayaan “skala industri” (menggunakan ribuan mesin pemusing untuk

pengayaan uranium, memungkinkan Iran memproduksi material yang cukup untuk senjata nuklir), yang

diperkirakan IAEA melibatkan 4.000 rod bahan bakar. Iran tetap anggota NPT (anggota NPT berhak

mengembangkan program nuklir untuk tujuan damai, termasuk pengayaan), sehingga Iran berulang kali

menekankan bahwa mereka hanya melakukan hak mereka. Namun, menurut Nihat Ali Özcan and Özgür

Özdamar, kekhawatiran Amerika Serikat, Uni Eropa, dan aktor-aktor regional bukan tidak berdasar,

karena IAEA mengonfirmasi bahwa Iran merahasiakan program pengayaannya selama 18 tahun hingga

9 P.A. Reynolds, An introduction to international relations (London: Longman Group Limited, 1971), 13-14 10 Ibid., 36 11 Ibid., 48 12 Ibid., 51 13 Bidjan Nashat, Iran’s Tactical Foreign Policy Rhetoric, http://www.atlantic-

community.org/app/webroot/files/articlepdf/Nashat%20-

%20Iran%5C%27s%20Tactical%20Foreign%20Policy%20Rhetoric.pdf diakses pada 3 Oktober 2009 02:36

Page 6: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

6

terungkap pada 2002. Walaupun Iran telah menyangkal dugaan bahwa programnya bertujuan

memproduksi senjata nuklir, hal itu tidak meyakinkan beberapa pihak lain, terutama Amerika Serikat.14

Ahmadinejad terus-menerus menggunakan retorika anti-Israel, seperti ketika ia mengelaborasi

gagasannya merelokasi Israel ke Eropa pada Desember 2007. Iran memiliki tujuan utama sebagai

“pelindung Islam” untuk menyebarkan filosofi Muslim fundamentalisnya ke seluruh dunia.15

Ahmadinejad menggunakan diplomasi publik dan retorika antiimperialis yang efektif untuk

meningkatkan jangkauan internasional Iran, dengan pesan tentang kecukupan kemajuan teknologi sendiri

dan keadilan dalam hubungan internasional serta target utama anggota Gerakan Non-Blok (GNB).16

Berbagai retorika ini (anti-Israel, pan-Islam, dan antiimperialis) menjadi alat kebijakan luar negeri Iran

pascarevolusi. Pemerintahan Ahmadinejad memperkenalkan kembali retorika Ayatollah Khomeini dan

memperkuatnya sebagai cara taktis mengatasi isolasi Iran di wilayah tersebut dan menginternasionalisasi

pendiriannya tentang program nuklirnya. Penolakan Ahmadinejad terhadap Holocaust dan usahanya

menghubungkan konflik Israel-Palestina dengan program nuklir Iran telah meningkatkan jangkauan pan-

Islami Iran ke berbagai negara Arab dan menjadikan mereka defensif. Pada tingkat internasional,

kepemimpinan Iran berhasil menginternasionalisasi program nuklirnya dengan menghubungkannya

dengan konflik Utara-Selatan dan menekankan tema-tema keadilan internasiona, kedaulatan negara, dan

kecukupan teknologi sendiri.17

Kebijakan Luar Negeri Israel 2005-2009

Politik luar negeri Israel tehradap Iran bersifat konfrontasi, namun penulis lebih suka

menyebutkannya sebagai belligerent karena konfrontasi ini berlangsung resiprokal. Sebenarnya, puncak

eskalasi dapat dilihat terutama ketika Iran berada di bawah pemerintahan Ahmadinejad. Terdapat dua isu

penting yang menyebabkan Ariel Sharon dan Ehud Olmert melancarkan politik konfrontasi kepada Iran:

1) Pada masa pemerintahan Mahmoud Ahmadinejad, isu proyek pengayaan uranium yang berpotensi

pada pengembangan senjata nuklir sangat merebak di kawasan dan dunia internasional. Sebagai salah satu

nuclear weapon states, ditambah memanasnya hubungan Iran-Israel saat itu, Israel mulai merasa khawatir

terhadap proyek pengayaan uranium Israel yang kemungkinan berdampak pada pengembangan proyek

senjata nuklir. Iran juga terbukti memiliki rudal Shahab-3 dengan jangkauan rudal sejauh 200.000

kilometer, sementara jarak Israel dan Iran hanyalah 2.000 kilometer—sebuah jarak yang relatif kecil dalam

jangkauan teknologi nuklir mutakhir.18 Kebijakan luar negeri Israel terhadap Iran sangat vokal, keras dan

belligerent. Israel vokal terhadap proyek nuklir terutama bagaimana dia melihat banyak terdapat proxy Iran

14 Nihat Ali Özcan and Özgür Özdamar, ―Iran’s Nuclear Program and the Future of U.S.-Iranian Relations‖,

diakses dari http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/122263547/PDFSTART 3 Oktober 2009

03:03 15 DLA Piper, Iran: Foreign Policy Challenges and Choices (DLA Piper US LLP dan GlobalOptions, 2006),

21 16 Ibid. 17 Bidjan Nashat, op. cit. 18 The Geopolitcal Intelligence http://www.stratfor.com

Page 7: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

7

seperti Hizbullah dan Hamas, yang notabene adalah musuh abadi dari Israel. Sebuah jurnal intelijen

bernama Geopolitical Intelligence Report edisi September 2009 melaporkan bahwa kecurigaan Israel terhadap

nuklir Iran semakin bertambah, terutama sejak Benjamin Netanyahu mengadakan kunjungan rahasia ke

Moskow untuk bertemu dengan ahli radioaktif dan nuklir Rusia yang direkrut dalam proyek nuklir Iran,

yang disinyalir sesungguhnya adalah proyek pengembangan senjata nuklir. 2) Friksi kedua negara

memburuk ketika pada 8 Desember 2005 dalam sebuah konferensi negara-negara Muslim di Mekkah,

Mahmoud Ahmadinejad menyampaikan pidato dengan satu kalimat paling kontroversial, “Some European

countries insist on saying that during World War II, Hitler burned millions of Jews and put them in concentration

camps. Any historian, commentator or scientist who doubts that is taken to prison or gets condemned.”19. Kalimat

ini merujuk pada penolakan atau keraguan Ahmadinejad atas sejarah Holocaust Nazi terhadap kaum

Yahudi Eropa. Di saat yang sama Ahmadinejad juga mengimbuhkan sugesti bahwa, demi terwujudnya

negara Palestina.

Pernyataan ini jelas menimbulkan respon negatif dan amarah dari pemerintahan Israel dan reaksi

dunia bergejolak.20 New York Times Juni 2008 mengungkapkan bahwa Israel melalui Menteri Luar Negeri

Silvan Shalom juga berusaha menginternasionalisasikan friksi antara Iran dan Israel. Israel dan politik

lobinya pada Amerika Serikat secara implisit telah meminta Amerika Serikat untuk menyerang kompleks

nuklir Iran di Natanz, meskipun akhirnya pemerintah Bush menolak permintaan tersebut. Israel juga

menghadap DK PBB dan permintaan agar Iran dikeluarkan dari keanggotaan PBB dan membalas Iran juga

bisa dihapus dari peta dunia, karena pernyataan tersebut dianggap sebagai propaganda menghasut yang

mampu mengancam keamanan nasional dan bahkan hakikat eksistensi Israel sebagai negara. Sejak PBB

didirikan pada 1945, tidak pernah ada rekam sejarah yang mengungkapkan seorang pemimpin negara

mengusulkan agar satu negara dihapuskan dari muka bumi. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB kala

itu, Kofi Annan, hanya merespon dengan mengutuk pidato Ahmadinejad dan berargumen bahwa

tindakan tersebut bisa dikategorikan sampai skala pencemaran nama baik negara dan bentuk rasisme

terhadap etnis tertentu.

Leadership dan Linkage Politics

Selayaknya pertanyaan semacam ini muncul: Mengapa Iran di bawah Mahmoud Ahmadinejad sangat

vokal terhadap penentangan eksistensi Israel? Secara teori, K.J Holsti (1992) berpendapat bahwa faktor-

faktor mikro, seperti opini publik dan leadership, serta faktor makro, seperti sistem dunia internasional,

merupakan faktor kunci dalam menganalisis tingkah laku negara. Sesuai dengan kasus yang berkembang

di bawah tema esai, maka fator kepemimpinanlah yang akan lebih dieksplorasi penulis dalam analisis

19 "Iranian President at Teheran Conference: 'Very Soon, This Stain of Disgrace [Israel] Will Be Purged from the Center of the Islamic World - and This is Attainable,'" Middle East Media Research Institute

(MEMRI) Special Dispatch Series, No. 1013, 28 September 2009. 20 Manfred Gerstenfeld. Ahmadinejad Calls for Israel's Elimination and Declares War on the West: A Case Study of Incitement to Genocide, diakses dari http://www.jcpa.org/jl/vp536.htm pada Selasa 06 Oktober

2009, pukul 10.26 WIB

Page 8: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

8

berikut. Faktor kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad di Iran merupakan salah satu faktor kunci dalam

menganalisa tingkah laku negara dalam suatu periode tertentu. Negara tidak membuat kebijakan,

meskipun penggunaan bahasa kita sering mengimplikasikan hal demikian. Negara hanyalah personifikasi

dari seseorang atau sekelompok manusia dalam negara yang menciptakan kebijakan. Pemimpin

pemerintahan, baik itu perdana menteri atau presiden atau entitas ekuivalen seperti menteri luar negeri,

yang berada dalam jajaran elit eksekutif politik memiliki otoritas dalam membuat kebijakan. Maka, tidak

jarang kebijakan luar negeri dalam suatu masa pemerintahan merupakan produk agregasi dari karakter

seorang pemimpin negara.21 Ini terbukti sebagaimana kita sangat sering mengasosiasikan nama seorang

pemimpin dengan kebijakannya, misalnya kebijakan Bush di Timur Tengah atau kebijakan ekonomi fiskal

Ahmadinejad dalam menangkal efek samping krisis finansial global. Bahkan, kebijakan luar negeri dalam

suatu negara bisa menjadi 180 derajat berbeda, di bawah dua kepemimpinan yang berbeda. Gaya

kepemimpinan Ahmadinejad, misalnya, berbeda dengan tipe pemerintahan Mehdi Bazargan (Presiden

Irak 1979-1981) Bazargan sangat pro-AS dan terkesan takluk kepada kebijakan AS terhadap Iran saat

Perang Dingin, sedangkan Ahmadinejad dengan terbuka dan berani mengkritik AS secara terang-terangan

karena perubahan minor dalam agregasi kebijakan luar negeri.

Publik bukanlah satu-satunya entitas yang memiliki persepsi bahwa pemimpin negara adalah tokoh

sentral dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Teori individual model of policy menungkapkan bahwa para

pembuat kebijakan mempersepsikan dirinya sebagai agen pengubah dunia dan history maker. Bahkan,

pemimpin sendiri sering merasakan pentingnya dirinya (self-importance) ketika berhadapan dengan

pemimpin negara lain.22 Hal ini senada dengan Hans J. Morgenthau yang menyatakan bahwa pemimpin

negara biasanya memilih kebijakan yang bisa mereka gunakan untuk mendapatkan kepentingan nasional.

Kepentingan nasional bisa bermanifestasi dalam isu keamanan, prestise, ekonomi dan sektor lain. Ariel

Sharon, Perdana Menteri Israel 2001-2006, lebih mengadopsi gaya memimpin ala Machiavelli, di mana

pemimpin dibenarkan untuk menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kepentingan negaranya.23

Bagi Sharon, mempertahankan eksistensi Israel harus dilakukan dalam berbagai cara, termasuk menyerang

fasilitas nuklir Iran dan penolakan atas dialog damai dengan Iran—terbukti ini hanyalah retorika gertak

sambal. Sedangkan, Benjamin Netanyahu pernah mengemukakan dalam kampanye politiknya pada 2006

bahwa, apabila ia terpilih lagi dan Iran belum juga melucuti persenjataan nuklirnya, ia tidak akan segan-

segan menyerang fasilitas nuklir Iran. Sementara, Knesset—parlemen Israel—melihat isu nuklir Iran belum

bisa dibuktikan keberadaannya dan fakta bahwa para pemimpin Israel mengumandangkan isu nuklir ke

permukaan hanyalah politisasi isu untuk membentuk opini publik guna memberikan dukungan terhadap

diri mereka sebelum pemilu saja.24

21 K.J Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, (New York: Prentice Hall,1992) hal. 67-68. 22 Amos Yoder, International Politics & Policymakers’ Ideas: Revised Edition (USA:King’s Court

Communications, Inc,1988), 27-28 23 Ibid 24 Steven A. Cook, Why Israel Won't Attack Iran, diakses dari

Page 9: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

9

Faktor-faktor yang menyebabkan seorang pemimpin mengartikulasikan kebijakan tertentu pada

periode tertentu adalah faktor politik dan psikologis; hakikatnya sangat bergantung pada kondisi

(circumstantial), kepercayaan dan ideologi pemimpin, serta preferensi politik pribadi. Kondisi ini juga

didukung oleh faktor sistemik, yakni bagaimana tekanan global membatasi apa yang bisa dilakukan oleh

pemimpin dalam sistem internasional yang anarki atau interdependensi sangat jelas, bahwa pemimpin

dihadapkan pada alternatif pilihan yang terbatas.

Hal ini sesuai dengan bagaimana substansi kebijakan luar negeri Iran terhadap Israel, yang dibuat dan

dilaksanakan di bawah Mahmoud Ahmadinejad. Bila kita mengambil referensi latar belakang dan

pandangan politiknya, kita akan menemukan sosok Ahmadinejad berasal dari keluarga sederhana, di

mana orang tuanya sangat menganut prinsip antikemapanan. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh

konservatif yang sangat selektif terhadap arus modernisasi dan kerap mengkritisi bagaimana sistem

kapitalisme dan globalisasi telah menghancurkan rakyat miskin. Keterlibatannya dalam Perang Irak dan

Iran pada 1986 mengubah pandangan Ahmadinejad muda terhadap dunia, sehingga membuatnya

menganut paham antikemapanan dari keluarganya dan menentang arus modernisasi Barat. Ahmadinejad

juga disebut sebagai penganut ajaran Islam yang taat, sehingga tidak jarang bahwa kebijakannya yang

cenderung memihak Palestina dalam isu Israel-Palestina sering dikaitkan dengan ideologinya yang

menentang gerakan Zionis dan sebagai indikasi solidaritas terhadap kaum Muslim termarjinalisasi dan

negara-negara anggota Liga Arab.

Diskresi pilihan terhadap kebijakan luar negeri Iran dan Israel pada 2005-2009 turut memainkan peran

untuk memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemimpin negara. Fenomena ini bisa dianalisis

menggunakan teori linkage politics (keterkaitan politik). Teori ini dipopulerkan oleh ilmuwan politik James

Rossenau dan digunakan untuk melihat bagaimana sistem politik nasional dan internasional mengalami

penetrasi ke dalam sistem politik domestik. Sesuai dengan ini, penulis melihat bahwa terdapat kesesuaian

antara keadaan politik regional dan global dalam mempengaruhi politik domestik Iran, sehingga

menyebabkan terjadinya politik internasional yang belligerent terhadap Israel.

Pengaruh politik Iran-Israel terhadap kawasan Timur Tengah

Pascapidato Ahmadinejad mengenai penyangkalan tentang holocaust dan penghapusan Israel dari peta

dunia, salah satu bentuk dinamika yang muncul di kawasan Timur Tengah adalah reaksi publik baik dari

media dan para petinggi-petinggi negara Arab di Timur Tengah maupun internasional. Reaksi publik ini

terbagi menjadi reaksi positif dan reaksi negatif. Penulis mendapatkan bahwa pascapidato kontroversial

dan inspeksi terhadap nuklir Iran, kepentingan negara-negara di Timur Tengahpun terbagi menjadi dua.

Meskipun respon negatif dan pengutukan banyak dilayangkan kepada Iran, namun tidak sedikit juga

pihak yang kedapatan mendukung Iran. Seorang anggota parlemen di Pakistan bernama Farid Ahmad

Pracha menyatakan dukungan penuhnya terhadap opini Presiden Iran tersebut. Negara-negara seperti

http://www.foreignpolicy.com/story/cms.php?story_id=4983.hmtl 3 Oktober 2009 11:20

Page 10: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

10

Suriah, Jordania, dan Lebanon mendukung penuh aksi dari politik luar negeri Ahmadinejad yang

konfrontatif.25 Sementara, negara-negara Arab yang lain, terutama bila dilihat dari kepentingan ekonomi

dan penguasaan terhadap sumber-sumber minyak di kawasan Teluk, memilih untuk tidak mendukung

kebijakan luar negeri Iran yang dianggap kurang menghormati etika berdiplomasi di arena internasional.

Negara-negara Arab kaya seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melihat bahwa friksi di antara Iran dan

Israel bisa mengancam kepentingan ekonominya di kawasan. Sesungguhnya, politik belligerent Iran

terhadap Israel tidak rasional, karena sebelumnya, opini publik yang mendukung pembebasan Palestina

sudah berhasil menjaring perhatian dan simpati negara-negara Liga Arab. Namun, akhirnya dukungan

terdistorsi menjadi kubu pro-Iran dan kontra-Iran. Bahkan salah satu rekan ideologisnya, Hugo Chaves—

presiden Venezuela yang menolak pengajuan proposal mengenai penghentian pengembangan nuklir Iran

di dewan IAEA, tidak menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Ahmadinejad ke Israel. Banyak

negara-negara Eropa seperti Swedia dan Perancis melakukan walk-out ketika Ahmadinejad terbukti hendak

mengulangi hal yang sama dalam Sidang Majelis Umum PBB 24 September 2009 silam, di mana pidato

kenegaraannya di hadapan segenap anggota PBB kembali menyinggung terhadap penghancuran Israel.26

Penulis ingin menunjukkan bahwa pidato dan pernyataan Ahmadinejad mengenai Israel terbukti mampu

membahayakan stabilitas internasional dan terhadap kebebasan berpendapat.

Iran tidak mendapatkan tanggapan yang positif dari negara-negara Timur Tengah mengenai

keberadaan proyek pengayaan uraniumnya, kecuali dari sekutu abadinya di kawasan yakni Suriah. Publik

khawatir bahwa satelit Iran di kawasan seperti Hizbullah dan Hamas bisa beroperasi di bawah payung

nuklir Iran, sehingga tidak ada lagi leverage bagi dunia internasional dan kawasan untuk mengadakan

perjanjian damai. Hal ini ditambah profil negara Iran yang rawan, teokratik, dan semi-otoriter. Maka,

pengembangan proyek nuklir untuk tujuan damai seperti yang diklaim pemerintah Iran selama ini bisa

saja berkembang menjadi sebuah bentuk senjata mematikan.

Terhadap kasus anti-Zionis dan pengembangan fasilitas nuklir Iran, ternyata Israel memiliki alternatif

untuk meluncurkan serangan unilateral terhadap fasilitas nuklir Iran, dan gertakan Israel ini diharapkan

bisa memadamkan ambisi nuklir Tehran. Iran terus melakukan perlawanan terhadap ancaman serangan

dari negara-negara yang menginginkan Iran menghentikan program nuklirnya. Para pejabat militer Iran

mengeluarkan peringatan keras bahwa negara mereka akan mengambil langkah tegas jika serangan itu

benar-benar terjadi. Iran juga dipastikan bisa menyerang pangkalan militer AS di kawasan teluk dengan

misilnya. Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Bersenjata Republik Islam Iran, Mayor Jenderal Hassan

Firouzabadi, menyatakan akan menutup Selat Hormuz jika kepentingan-kepentingan negara Iran di

tempatkan pada posisi yang membahayakan. "Selat Hormuz adalah jalur perairan yang strategis, oleh

25 Sami Moubayed, Syria’s One True Friend-Iran, diakses dari

http://www.haaretz.com/hasen/spages/952358.html 07 Oktober 2009 07:30 26 Roni Sofer, "Hostile Speech Proves Danger", diakses dari Ynet News

http://www.ynetnews.com/articles/0,7340,L-3781206,00.html pada 24 September 2009 06;10

Page 11: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

11

sebab itu sangat penting bagi kami untuk tetap membuka perairan itu. Tapi akan kami perjelas, kami tidak

akan membiarkan siapa pun melewati perairan itu, jika kepentingan regional negara Iran ditempatkan

pada posisi bahaya," tandas Mayjen Firouzabadi. Ia juga mengecam AS yang selalu tunduk pada perintah

Israel. "Militer AS milik pemerintah AS. Orang-orang yang gemar berperang seperti Bush dan Zionis

seharusnya tidak dibiarkan memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari militer AS, " tukas Mayjen

Firouzabadi. Apabila konflik terjadi dan merebak, Teluk Hormuz sebagai arena konflik yang merupakan

jalur ramai jalannya kapal tanker pembawa minyak akan terganggu.27 Teluk Hormuz menyimpan 40% dari

cadangan minyak dan gas alam dunia. Negara yang paling akan terganggu kepentingannya bila konflik

merebak adalah Oman, Uni Emirat Arab, dan negara anggota GCC seperti Arab Saudi, Kuwait, dan

Bahrain. Sementara itu, pengembangan proyek nuklir dan pengayaan uranium telah menciptakan hawa

perlombaan persenjataan di kawasan timur Tengah. Arab Saudi yang takut kepentingannya di Teluk

Hormuz terancam karena politik Iran dan Israel yang belligerent dilaporkan baru saja membeli sistem

persenjataan seperti misil pertahanan—US Theater High Altitude Air Defense System. Oman juga baru saja

mengimpor dua pesawat F-35 Stealth Fighter dan dua kapal induk.28

Kesimpulan

Terdapat tiga faktor penting yang mempengaruhi hubungan konfrontatif Iran dan Israel khususnya

pada masa Pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Ketiga faktor ini adalah sejarah hubungan

kedua negara, leadership dalam negeri, dan opini publik kedua negara. Leadership merupakan faktor penting

pembuat kebijakan luar negeri Iran dan Israel terhadap negara masing-masing. Penulis menyimpulkan

bahwa profil kepemimpinan Ahmadinejad, Sharon, Olmert, dan Netanyahu merupakan amunisi kebijakan

yang dijalankan, ditambah dengan faktor historis yang berperan dalam memperburuk hubungan satu

sama lain. Kepemimpinan Mahmoud Ahmadinejad yang sederhana, antikemapanan, dan konservatif

menjadikan kebijakan luar negeri Iran sangat menentang Barat. Ahmadinejad yang juga seorang penganut

ajaran Islam yang taat pun cenderung memihak Palestina dalam isu Israel-Palestina, menambah

permusuhannya terhadap Israel. Retorika Ahmadinejad yang konfrontatif dan revolusioner pun

memberinya insentif dalam program nuklir Iran, juga karena hal tersebut cocok unsur-unsur garis keras

dalam pemerintahan Iran, yang kembali menonjol setelah peristiwa 11 September dan setelah AS

memasukkan Iran dalam “Axis of Evil”.Israel sesuai dengan teori politik internasional, memberikan

respond an melakukan kebijakan yang resiprokal terhadap Iran.

Peran opini publik terhadap kebijakan luar negeri di Iran dapat dipahami dari pendekatan realis,

karena walaupun senjata nuklir tidak menjadi prioritas bagi publik Iran, Iran tetap melakukan pengayaan

uranium: suatu usaha yang terus memupuk kekhawatiran AS. Walaupun mayoritas rakyat Iran

mendukung transparansi penuh Iran terhadap AS untuk meyakinkan bahwa tidak ada usaha Iran

27 Rongxing Guo, Territorial Disputes and Resource Management (USA: Macmillan’s,2001), 137 28 Efraim Imbar, ―Frost&Sullivan Report : Iran Threat Continues Driving Middle East Defense Spending‖ diakses dari http://meria.idc.ac.il/journal/2001/issue2/jv5n2a5.html 7 Oktober 2009 06:05

Page 12: Permusuhan Iran-Israel 2005-2009; Faktor Sejarah, Leadership, Opini Publik, Dan Kebijakan Luar Negeri Kedua Negara Dan Pengaruhnya Terhadap Dinamika Kawasan Timur Tengah

12

mengembangkan senjata nuklir, Presiden Ahmadinejad terus melakukan langkah-langkah sebaliknya:

menolak proposal EU3, tidak memenuhi Resolusi 1737 Dewan Keamanan PBB, bahkan menyatakan telah

memulai pengayaan “skala industri”. Dapat dilihat bahwa rasionalitas kebijakan luar negeri Iran periode

ini tidak memperhitungkan dukungan opini publik, sebagaimana diusulkan tradisi realis. Oleh karena itu,

opini publik Iran tidak begitu memengaruhi politik dan hubungan antara Iran-Israel.

Kebijakan luar negeri Iran pun penuh dengan retorika anti-Israel, pan-Islam, dan antiimperialis.

Program nuklir Iran pun menjadi suatu ancaman bagi Israel, karena jangkauan rudal Iran mencapai

wilayah Israel. Berbagai hal ini menyebabkan politik dan hubungan Iran dengan Israel menjadi sangat

bermusuhan (belligerent). Sementara, dalam kasus Israel, kami melihat bahwa dampak pelaksanaan

kebijakan luar negeri Iran dan Israel tidak hanya memberikan pengaruh antara dua negara melainkan juga

kepada kawasan Timur Tengah. Kasus pidato Ahmadinejad yang provokatif dan proyek nuklir Iran dan

kerjasama rahasia Iran dalam mengembangkan misil Suriah membuat terbelahnya respon negara anggota

Liga Arab menjadi dua, pendukung Iran dan pendukung Israel, hanya untuk kasus pidato kontroversial

Ahmadinejad yang dianggap melanggar kebebasan berekspresi.