Permenkes_Antibiotik

64
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2406/MENKES/PER/XII/201 1 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan seringkali tidak tepat sehingga dapat menimbulkan pengobatan kurang efektif, peningkatan risiko terhadap keamanan pasien, meluasnya resistensi dan tingginya biaya pengobatan; b. bahwa untuk meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik dalam pelayanan kesehatan perlu disusun pedoman umum penggunaan antibiotik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik; Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran

Transcript of Permenkes_Antibiotik

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 2406/MENKES/PER/XII/201 1

TENTANG

PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang a. bahwa penggunaan antibiotik dalam pelayanan

kesehatan seringkali tidak tepat sehingga dapat

menimbulkan pengobatan kurang efektif,

peningkatan risiko terhadap keamanan pasien,

meluasnya resistensi dan tingginya biaya

pengobatan;

b. bahwa untuk meningkatkan ketepatan penggunaan

antibiotik dalam pelayanan kesehatan perlu

disusun pedoman umum penggunaan antibiotik;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu

menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang

Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik;

Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang

Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5072);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998

tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat

Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran

- 2 -

Negara Republik Indonesia Nomor 3781);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5044);

6. K e p u t u s a n M e n t e r i K e s e h a t a n N o m o r

189/ Menkes/ SK/ III/2006 tentang Kebijakan Obat

Nasional;

7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

HK.02.02/Menkes/ 068/I/2010 tentang Kewajiban

Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan

Kesehatan Pemerintah;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG

PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK.

Pasal 1

Pengaturan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik bertujuan untuk

memberikan acuan bagi tenaga kesehatan menggunakan antibiotik dalam

pemberian pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dalam

penggunaan antibiotik, serta pemerintah dalam kebijakan penggunaan

antibiotik.

Pasal 2

Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik sebagaimana tercantum dalam

Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan

Menteri ini.

Pasal 3

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini

dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan

kabupaten/kota, dan organisasi profesi sesuai dengan tugas dan fungsi

masing-masing.

- 3 -

Pasal 4

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundanganPeraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita NegaraRepublik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 1 Desember 2011

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR

LAMPIRAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN

NOMOR 2406/MENKES/PER/XII/2011

TENTANG

PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN

ANTIBIOTIK

PEDOMAN UMUM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu

obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba

antara lain antibakteri/antibiotik, antijamur, antivirus, antiprotozoa.

Antibiotik merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi

yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar

40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk

penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada

penelitian kualitas penggunaan antibiotik di berbagai bagian rumah

sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada

indikasi (Hadi, 2009).

Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan

berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan

terutama resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada

morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap

ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di

tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan

masyarakat, khususnya Streptococcus pneumoniae (SP), Staphylococcus

aureus, dan Escherichia coli.

Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh

dunia, yaitu Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA),

Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci,

Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum Beta-

Lactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan

Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco et al. 2000;

Stevenson et al. 2005). Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat

penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan

standar (standard precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan

kesehatan.

Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study)

terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten

terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin (34%),

kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781

pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli

resisten terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%),

kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan

gentamisin (18%).

Untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik secara bijak (prudent use

of antibiotics), perlu disusun Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.

Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik ini diharapkan dapat digunakan

sebagai acuan nasional dalam menyusun kebijakan antibiotik dan

pedoman antibiotik bagi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan

lainnya, baik milik pemerintah maupun swasta.

B. Tujuan

Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik menjadi panduan dalam

pengambilan keputusan penggunaan antibiotik.

C. Daftar Istilah dan Singkatan

1. ADRs = Adverse Drug Reactions

2. AIDS = Acquired Immune Deficiency Syndrome

3. ARV = Anti Retro Viral

4. ASA = American Society of Anesthesiologists

5. ATC = Anatomical Therapeutic Chemical

6. CAP = Community-Acquired Pneumonia

7. Clcr = Creatinine clearance

8. CMV = Cytomegalovirus

9. CVP = Central Venous Pressure

10. DDD = Defined Daily Doses

11. ESO = Efek Samping Obat

12. G6PD = Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase

13. ILO = Infeksi Luka Operasi

14. KHM = Kadar Hambat Minimal

15. LCS = Liquor Cerebrospinalis/Likuor Serebrospinalis

16. MESO = Monitoring Efek Samping Obat

17. MIC = Minimal Inhibitory Concentration

18. ODHA = Orang Dengan HIV-AIDS

19. PPP = Profilaksis Pasca Pajanan

20. PPRA = Program Pengendalian Resistensi Antibiotik

21. RAST = Radio Allergosorbent Test

22. RCT = Randomized Controlled Trial

23. RPA = Rekam Pemberian Antibiotik

24. SLE = Systemic Lupus Erythematosus

25. SOP = Standar Operasional Prosedur

26. TDM = Therapeutic Drug Monitoring

27. TEN = Toxic Epidermal Necrolysis

28. UDD = Unit Dose Dispensing

D. Derajat Bukti Ilmiah dan Rekomendasi

LEVEL EVIDENCES

1++ Meta analisis, sistematik review dari beberapa RCT yang

mempunyai kualitas tinggi dan mempunyai risiko bias yang

rendah

1+ Meta analisis, sistematik review dari beberapa RCT yang

terdokumentasi baik dan mempunyai risiko bias yang rendah

1 - Meta analisis, sistematik review dari beberapa RCT yang

mempunyai risiko bias yang tinggi

2++ Sistematik review dari case control atau cohort study yang

mempunyai kualitas tinggi

Atau berasal dari case control atau cohort study yang

mempunyai risiko confounding dan bias yang rendah, dan

mempunyai probabilitas tinggi adanya hubungan kausal

2+ Case control atau cohort study yang terbaik dengan risiko

confounding dan bias yang rendah, dan mempunyai

probabilitas tinggi adanya hubungan kausal

2 - Case control atau cohort study yang terbaik dengan risiko

confounding dan bias yang tinggi, dan mempunyai risiko yang

tinggi bahwa hubungan yang ditunjukkan tidak kausatif

3 Non-analytic study seperti case reports dan case series

4 Pendapat expert

Rekomendasi

A Bukti ilmiah berasal dari paling tidak satu meta analisis,

sistematik review atau RCT yang mempunyai level 1++

dan dapat secara langsung diaplikasikan ke populasi

target, atau

Bukti ilmiah berasal dari beberapa penelitian dengan level

1+ dan menunjukkan adanya konsistensi hasil, serta

dapat secara langsung diaplikasikan ke populasi target.

B Bukti ilmiah berasal dari beberapa penelitian dengan level

2++ dan menunjukkan adanya konsistensi hasil, serta

dapat secara langsung diaplikasikan ke populasi target,

atau

Ekstrapolasi bukti ilmiah dari penelitian level 1++ atau 1+.

C Bukti ilmiah berasal dari beberapa penelitian dengan level

2+ dan menunjukkan adanya konsistensi hasil, serta

dapat secara langsung diaplikasikan ke populasi target,

atau

Ekstrapolasi bukti ilmiah dari penelitian level 2++.

D Bukti ilmiah berasal dari level 3 atau 4, atau

Ekstrapolasi bukti ilmiah dari penelitian level 2+.

BAB II

PRINSIP PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

A. Faktor-Faktor yang Harus Dipertimbangkan pada Penggunaan Antibiotik

1. Resistensi Mikroorganisme Terhadap Antibiotik

a. Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan

melemahkan daya kerja antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan

beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):

1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.

2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.

3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel

bakteri.

4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat

perubahan sifat dinding sel bakteri.

5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera

dikeluarkan dari dalam sel melalui mekanisme transport aktif

ke luar sel.

b. Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat

Minimal) atau Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar

terendah antibiotik (µg/mL) yang mampu menghambat tumbuh

dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM

menggambarkan tahap awal menuju resisten.

c. Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam,

pertama dikenal pada Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang

ditemukan pada Staphylococcus aureus dari pasien yang

mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa juga ditemukan

pada pasien terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi

ampisilin (Acar and Goldstein, 1998). Resistensi terhadap

golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau

mutasi gen penyandi protein (Penicillin Binding Protein, PBP).

Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan menghambat

sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.

d. Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa

terjadi dengan 2 cara, yaitu:

1) Mekanisme Selection Pressure. Jika bakteri resisten tersebut

berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit (untuk bakteri

yang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut

dipenuhi oleh bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh

bakteri yang resisten maka upaya penanganan infeksi dengan

antibiotik semakin sulit.

2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui

plasmid. Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok

maupun dari satu orang ke orang lain.

e. Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:

1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan

antibiotik secara bijak (prudent use of antibiotics).

2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat

diatasi dengan meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-

prinsip kewaspadaan standar (universal precaution).

2. Faktor Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Pemahaman mengenai sifat farmakokinetik dan farmakodinamik

antibiotik sangat diperlukan untuk menetapkan jenis dan dosis

antibiotik secara tepat. Agar dapat menunjukkan aktivitasnya sebagai

bakterisida ataupun bakteriostatik, antibiotik harus memiliki

beberapa sifat berikut ini:

a. Aktivitas mikrobiologi. Antibiotik harus terikat pada tempat ikatan

spesifiknya (misalnya ribosom atau ikatan penisilin pada protein).

b. Kadar antibiotik pada tempat infeksi harus cukup tinggi. Semakin

tinggi kadar antibiotik semakin banyak tempat ikatannya pada sel

bakteri.

c. Antibiotik harus tetap berada pada tempat ikatannya untuk waktu

yang cukup memadai agar diperoleh efek yang adekuat.

d. Kadar hambat minimal. Kadar ini menggambarkan jumlah

minimal obat yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan

bakteri.

Secara umum terdapat dua kelompok antibiotik berdasarkan sifat

farmakokinetikanya, yaitu;

a. Time dependent killing. Lamanya antibiotik berada dalam darah

dalam kadar di atas KHM sangat penting untuk memperkirakan

outcome klinik ataupun kesembuhan. Pada kelompok ini kadar

antibiotik dalam darah di atas KHM paling tidak selama 50%

interval dosis. Contoh antibiotik yang tergolong time dependent

killing antara lain penisilin, sefalosporin, dan makrolida).

b. Concentration dependent. Semakin tinggi kadar antibiotika dalam

darah melampaui KHM maka semakin tinggi pula daya bunuhnya

terhadap bakteri. Untuk kelompok ini diperlukan rasio

kadar/KHM sekitar 10. Ini mengandung arti bahwa rejimen dosis

yang dipilih haruslah memiliki kadar dalam serum atau jaringan

10 kali lebih tinggi dari KHM. Jika gagal mencapai kadar ini di

tempat infeksi atau jaringan akan mengakibatkan kegagalan

terapi. Situasi inilah yang selanjutnya menjadi salah satu

penyebab timbulnya resistensi.

3. Faktor Interaksi dan Efek Samping Obat

Pemberian antibiotik secara bersamaan dengan antibiotik lain, obat

lain atau makanan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan.

Efek dari interaksi yang dapat terjadi cukup beragam mulai dari yang

ringan seperti penurunan absorpsi obat atau penundaan absorpsi

hingga meningkatkan efek toksik obat lainnya. Sebagai contoh

pemberian siprofloksasin bersama dengan teofilin dapat

meningkatkan kadar teofilin dan dapat berisiko terjadinya henti

jantung atau kerusakan otak permanen. Demikian juga pemberian

doksisiklin bersama dengan digoksin akan meningkatkan efek toksik

dari digoksin yang bisa fatal bagi pasien. Data interaksi obat-

antibiotik sebagaimana diuraikan di bawah ini.

DATA INTERAKSI OBAT-ANTIBIOTIK

a. SefalosporinObat Interaksi

Antasida Absorpsi sefaklor dan sefpodoksim dikurangi oleh

antasida

Antibakteri Kemungkinan adanya peningkatan risiko nefrotoksisitas

bila sefalosporin diberikan bersama aminoglikosida

Antikoagulan Sefalosporin mungkin meningkatkan efek antikoagulan

kumarin

Probenesid Ekskresi sefalosporin dikurangi oleh probenesid

(peningkatan kadar plasma)

Obat ulkus

peptik

Absorpsi sefpodoksim dikurangi oleh antagonis histamin

H2

Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin tifoid oral

b. Penisilin

Obat Interaksi

Allopurinol Peningkatan risiko rash bila amoksisilin atau ampisilin

diberikan bersama allopurinol

Antibakteri Absorpsi fenoksimetilpenisilin dikurangi oleh neomisin;

efek penisilin mungkin diantagonis oleh tetrasiklin

Antikoagulan Pengalaman yang sering ditemui di klinik adalah bahwa

INR bisa diubah oleh pemberian rejimen penisilin

spektrum luas seperti ampisilin, walaupun studi tidak

berhasil menunjukkan interaksi dengan kumarin atau

fenindion

Sitotoksik Penisilin mengurangi ekskresi metotreksat (peningkatan

risiko toksisitas)

Relaksan otot Piperasilin meningkatkan efek relaksan otot non-

depolarisasi dan suksametonium

Probenesid Ekskresi penisilin dikurangi oleh probenesid

(peningkatan kadar plasma)

Obat Interaksi

Sulfinpirazon Ekskresi penisilin dikurangi oleh sulfinpirazon

Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin tifoid oral

c. Aminoglikosida

Obat Interaksi

Agalsidase alfa dan

beta

Gentamisin mungkin menghambat efek agalsidase

alfa dan beta (produsen agalsidase alfa dan beta

menganjurkan untuk menghindari pemberian secara

bersamaan)

Analgetik Kadar plasma amikasin dan gentamisin pada

neonatus mungin ditingkatkan oleh indometasin

Antibakteri Neomisin mengurangi absorpsi fenoksimetilpenisilin;

peningkatan risiko nefrotoksisitas bila

aminoglikosida diberikan bersama kolistin atau

polimiksin; peningkatan risiko nefrotoksisitas dan

ototoksisistas bila aminoglikosida diberikan bersama

kapreomisin atau vankomisin; kemungkinan

peningkatan risiko nefrotoksisitas bila

aminoglikosida diberikan bersama sefalosporin

Antikoagulan Pengalaman di klinik menunjukkan bahwa INR

mungkin berubah bila neomisin (diberikan untuk

kerja lokal di usus) diberikan bersama kumarin atau

fenindion

Antidiabetika Neomisin mungkin meningkatkan efek hipoglikemik

akarbosa, juga keparahan efek gastrointestinalnya

akan meningkat

Antijamur Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila

aminoglikosida diberikan bersama amfoterisin

Bifosfonat Peningkatan risiko hipokalsemia bila aminoglikosida

Obat Interaksi

diberikan bersama bifosfonat

Glikosida jantung Neomisin mengurangi absorpsi digoksin; gentamisin

mungkin meningkatkan kadar digoksin plasma

Siklosporin Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila

aminoglikosida diberikan bersama siklosporin

Sitotoksik Neomisin mungkin mengurangi absorpsi

metotreksat; neomisin menurunkan bioavailabilitas

sorafenib; peningkatan risiko nefrotoksisitas dan

mungkin juga ototoksisitas bila aminoglikosida

diberikan bersama senyama platinum

Diuretika Peningkatan risiko ototoksisitas bila aminoglikosida

diberikan bersama loop diuretic

Relaksan otot Aminoglikosida meningkatkan efek relaksan otot

non-depolarisasi dan suksametonium

Parasimpatomimetika Aminoglikosida mengantagonis egek neostigmin dan

piridostigmin

Takrolimus Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila

aminoglikosida diberikan bersama takrolimus

Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin oral tifoid

d. Kuinolon

Obat Interaksi

Analgetik Kemungkinan peningkatan risiko konvulsi bila

kuinolon diberikan bersama NSAID, produsen

siprofloksasin memberi anjuran untuk menghindari

premedikasi dengan analgetika opioid (penurunan

kadar siprofloksasin plasma) bila siprofloksasin

digunakan untuk profilaksis bedah

Obat Interaksi

Antasid Absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin,

norfloksasin, dan ofloksasin dikurangi oleh antasida

Antiaritmia Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila levofloksasin

atau moksifloksasin diberikan bersama amiodaron –

hindari pemberian secara bersamaan; peningkatan

risiko aritmia ventrikel bila moksifloksasin diberikan

bersama disopiramid – hindari pemberian secara

bersamaan

Antibakteri Peningkatan risiko artimia ventrikel bila

moksifloksasin diberikan bersama eritromisin

parenteral – hindari pemberian secara bersamaan; efek

asam nalidiksat mungkin diantagonis oleh

nitrofurantoin

Antikoagulan Siprofloksasin, asam nalidiksat, norfloksasin, dan

ofloksasin meningkatkan efek antikoagulan kumarin;

levofloksasin mungkin meningkatkan efek

antikoagulan kumarin dan fenindion

Antidepresan Siprofloksasin menghambat metabolisme duloksetin –

hindari penggunaan secara bersamaan; produsen

agomelatin menganjurkan agar menghindari

pemberian siprofloksasin; peningkatan risiko aritmia

ventrikel bila moksifloksasin diberikan bersama

antidepresan trisiklik – hindari pemberian secara

bersamaan

Antidiabetik Norfloksasin mungkin meningkatkan efek glibenklamid

Antiepilepsi Siprofloksasin meningkatkan atau menurunan kadar

fenitoin plasma

Antihistamin Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila oksifloksasin

diberikan bersama mizolastin – hindari penggunaan

secara bersamaan

Obat Interaksi

Antimalaria Produsen artemeter/lumefantrin menganjurkan agar

menghindari kuinolon; peningkatan risiko aritmia

ventrikel bila oksifloksasin diberikan bersama

klorokuin dan hidroksiklorokuin, meflokuin, atau

kuinin – hindari penggunaan secara bersama-sama

Antipsikosis Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila

moksifloksasin diberikan bersama benperidol –

produsen benperidol menganjurkan agar menghindari

penggunaan secara bersamaan; peningkatan risiko

aritmia ventrikle bila moksifloksasin diberikan

bersama droperidol, haloperidol, fenotiazin, pimozid,

atau zuklopentiksol – hindari penggunaan secara

bersamaan; siprofloksasin meningkatkan kadar

klozapin plasma; siprofloksasin mungkin

meningkatkan kadar olanzapin plasma

Atomoksetin Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila

moksifloksasin diberikan bersama atomoksetin

Beta-bloker Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila

moksifloksasin diberikan bersama sotalol – hindari

pemberian secara bersamaan

Garam kalsium Absorpsi siprofloksasin dikurangi oleh garam kalsium

Siklosporin Peningkatan risiko nefrotoksisitas bila kuinolon

diberikan bersama siklosporin

Klopidogrel Siprofloksasin mungkin menurunkan efek

antitrombotik klopidogrel

Sitotoksik Asam nalidiksat meningkatkan risiko toksisitas

melfalan; siprofloksasin mungkin menurunkan

ekskresi metotreksat (peningkatan risiko toksisitas);

siprofloksasin meningkatkan kadar erlotinib plasma;

peningkatan risiko aritmia ventrikel bila levofloksasin

atau moksifloksasin diberikan bersama arsenik

Obat Interaksi

trioksida

Produk susu Absorpsi siprofloksasin dan norfloksasin dikurangi

oleh produk susu

Dopaminergik Siprofloksasin meningkatkan kadar rasagilin plasma;

siprofloksasin menghambat metabolisme ropinirol

(peningkatan kadar plasma).

Agonis 5HT1: kuinolon mungkin menghambat

metabolisme zolmitriptan (menurunkan dosis

zolmitriptan)

Besi Absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin,

norfloksasin, dan ofloksasin dikurangi oleh zat besi

oral

Lanthanum Absorpsi kuinolon dikurangi oleh lanthanum

(diberikan minimal 2 jam sebelum atau 4 jam sesudah

lanthanum)

Relaksan otot Norfloksasin mungkin meningkatkan kadar tizanidin

plasma (peningkatan risiko toksisitas); siprofloksasin

meningkatkan kadar tizanidin plasma (peningkatan

risiko toksisitas) – hindari penggunaan secara

bersama-sama

Mikofenolat Mungkin menurunkan bioavailabilitas mikofenolat

Pentamidin

isetionat

Peningkatan risiko aritmia ventrikel bila

moksifloksasin diberikan bersama pentamidin isetionat

– hindari penggunaan secara bersamaan

Probenesid Ekskresi siprofloksasin, asam nalidiksat, dan

norfloksasin diturunkan oleh probenesid (peningkatan

kadar plasma)

Sevelamer Bioavailabilitas siprofloksasin dikurangi oleh sevelamer

Strontium Absorpsi kuinolon dikurangi oleh strontium ranelat

Obat Interaksi

ranelat (produsen strontium ranelat menganjurkan untuk

menghindari penggunaan secara bersamaan)

Teofilin Kemungkinan peningkatan risiko konvulsi bila

kuinolon diberikan bersama teofilin; siprofloksasin dan

norfloksasin meningkatkan kadar teofilin plasma

Obat ulkus

peptik

Absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin,

norfloksasin, dan ofloksasin dikurangi oleh sukralfat

Vaksin Antibakteri menginaktivasi vaksin tifoid oral

Zinc Absorpsi siprofloksasin, levofloksasin, moksifloksasin,

norfloksasin, dan ofloksasin dikurangi oleh zinc

4. Faktor Biaya

Antibiotik yang tersedia di Indonesia bisa dalam bentuk obat generik, obat

merek dagang, obat originator atau obat yang masih dalam lindungan hak

paten (obat paten). Harga antibiotik pun sangat beragam. Harga antibiotik

dengan kandungan yang sama bisa berbeda hingga 100 kali lebih mahal

dibanding generiknya. Apalagi untuk sediaan parenteral yang bisa 1000

kali lebih mahal dari sediaan oral dengan kandungan yang sama.

Peresepan antibiotik yang mahal, dengan harga di luar batas kemampuan

keuangan pasien akan berdampak pada tidak terbelinya antibiotik oleh

pasien, sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan terapi. Setepat apa

pun antibiotik yang diresepkan apabila jauh dari tingkat kemampuan

keuangan pasien tentu tidak akan bermanfaat.

B. Prinsip Penggunaan Antibiotik Bijak (Prudent)

1. Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan

spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat,

interval dan lama pemberian yang tepat.

2. Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan

pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan

antibiotik lini pertama.

3. Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan

pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara

terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan

antibiotik tertentu (reserved antibiotics).

4. Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan

diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil

pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang

lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan

oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).

5. Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:

a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola

kepekaan kuman terhadap antibiotik.

b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab

infeksi.

c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.

d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi

dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.

e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan

aman.

6. Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan

beberapa langkah sebagai berikut:

a. Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan

antibiotik secara bijak.

- 16 -

b. Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan

penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobiologi

atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi.

c. Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidang

infeksi.

d. Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (team

work).

e. Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik

secara bijak yang bersifat multi disiplin.

f. Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan

berkesinambungan.

g. Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara

lebih rinci di tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan

kesehatan lainnya dan masyarakat.

C. Prinsip Penggunaan Antibiotik untuk Terapi Empiris dan Definitif

1. Antibiotik Terapi Empiris

a. Penggunaan antibiotik untuk terapi empiris adalah penggunaan

antibiotik pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis bakteri

penyebabnya.

b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi empiris adalah eradikasi

atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi

penyebab infeksi, sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.

c. Indikasi: ditemukan sindrom klinis yang mengarah pada keterlibatan

bakteri tertentu yang paling sering menjadi penyebab infeksi.

1) Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik data epidemiologi dan

pola resistensi bakteri yang tersedia di komunitas atau di rumah

sakit setempat.

2) Kondisi klinis pasien.

3) Ketersediaan antibiotik.

4) Kemampuan antibiotik untuk menembus ke dalam jaringan/organ

yang terinfeksi.

5) Untuk infeksi berat yang diduga disebabkan oleh polimikroba

dapat digunakan antibiotik kombinasi.

d. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama

untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral (Cunha, BA.,

2010).

e. Lama pemberian: antibiotik empiris diberikan untuk jangka waktu 48-

72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data

- 17 -

mikrobiologis dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya

(IFIC., 2010; Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).

f. Evaluasi penggunaan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti pada

tabel berikut (Cunha, BA., 2010; IFIC., 2010):

Tabel 1. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Empiris

Hasil Kultur Klinis Sensitivitas Tindak Lanjut

+ Membaik SesuaiLakukan sesuai prinsip “De-

Eskalasi”

+ Membaik Tidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi

+Tetap /

MemburukSesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi

+Tetap /

MemburukTidak Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi

- Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi

-Tetap /

Memburuk0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi

2. Antibiotik untuk Terapi Definitif

a. Penggunaan antibiotik untuk terapi definitif adalah penggunaan

antibiotik pada kasus infeksi yang sudah diketahui jenis bakteri

penyebab dan pola resistensinya (Lloyd W., 2010).

b. Tujuan pemberian antibiotik untuk terapi definitif adalah eradikasi

atau penghambatan pertumbuhan bakteri yang menjadi penyebab

infeksi, berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi.

c. Indikasi: sesuai dengan hasil mikrobiologi yang menjadi penyebab

infeksi.

d. Dasar pemilihan jenis dan dosis antibiotik:

1) Efikasi klinik dan keamanan berdasarkan hasil uji klinik.

2) Sensitivitas.

3) Biaya.

4) Kondisi klinis pasien.

5) Diutamakan antibiotik lini pertama/spektrum sempit.

6) Ketersediaan antibiotik (sesuai formularium rumah sakit).

7) Sesuai dengan Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) setempat yang

terkini.

8) Paling kecil memunculkan risiko terjadi bakteri resisten.

e. Rute pemberian: antibiotik oral seharusnya menjadi pilihan pertama

untuk terapi infeksi. Pada infeksi sedang sampai berat dapat

dipertimbangkan menggunakan antibiotik parenteral (Cunha, BA.,

- 18 -

2010). Jika kondisi pasien memungkinkan, pemberian antibiotik

parenteral harus segera diganti dengan antibiotik per oral.

f. Lama pemberian antibiotik definitif berdasarkan pada efikasi klinis

untuk eradikasi bakteri sesuai diagnosis awal yang telah dikonfirmasi.

Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berdasarkan data mikrobiologis

dan kondisi klinis pasien serta data penunjang lainnya (IFIC., 2010;

Tim PPRA Kemenkes RI., 2010).

D. Prinsip Penggunaan Antibiotik Profilaksis Bedah

Pemberian antibiotik sebelum, saat dan hingga 24 jam pasca operasi pada

kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-tanda infeksi dengan tujuan

untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Diharapkan pada saat operasi

antibiotik di jaringan target operasi sudah mencapai kadar optimal yang

efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Avenia, 2009). Prinsip

penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga

mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan

selama operasi berlangsung. Rekomendasi antibiotik yang digunakan pada

profilaksis bedah sebagaimana diuraikan di bawah ini.

Rekomendasi Antibiotik Pada Profilaksis Bedah

Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi

Intracranial

Craniotomy A Recommended

Cerebrospinal fluid (CSF)shunt A Recommended

Spinal surgery A Recommended

Ophtalmic

Operasi katarak A Highly recommended

Glaukoma atau corneal grafts B Recommended

Operasi lakrimal C Recommended

Penetrating eye injury B Recommended

Facial

Open reduction dan internal fixation

compound mandibular fractures

A Recommended

A Lama pemberian antibiotik tidak

boleh dari 24 jam

Intraoral bone grafting Procedures B Recommended

- 19 -Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi

Orthognathic surgery A Recommended

A Lama pemberian antibiotik tidak

boleh dari 24 jam

B Antibiotik spektrum luas yang tepat

untuk oral flora dapat diberikan

Facial surgery (clean) Not recommended

Facial plastic surgery (with implant) Should be considered

Ear, nose and throat

Ear surgery (clean/clean-contaminated) A Not recommended

Routine nose, sinus and endoscopic sinus

surgery

A Not recommended

Complex septorhinoplasty

(including grafts)

A Lama pemberian antibiotik tidak

boleh dari 24 jam

Tonsillectomy A Not recommended

Adenoidectomy (by curettage) A Not recommended

Grommet insertion B recommended

Head and neck

Head and neck surgery (clean, benign) D Not recommended

Head and neck surgery (clean, malignant;

neck dissection)

C should be considered

Head and neck surgery

(contaminated/cleancontaminated)

A recommended

C Lama pemberian antibiotik tidak

boleh dari 24 jam

D Pastikan broad spectrum antimicrobial

meliputi aerobic dan anaerobic

organisms

Thorax

Breast cancer surgery A should be considered

Breast reshaping procedures C should be considered

Breast surgery with implant (reconstructive or

aesthetic)

C recommended

Cardiac pacemaker insertion A recommended

Open heart surgery C recommended

C Lama pemberian antibiotik tidak

boleh dari 24 jam

Pulmonary resection A recommended

- 20 -Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi

Upper Gastrointestinal

Oesophageal surgery D recommended

Stomach and duodenal surgery A recommended

Gastric bypass surgery D recommended

Small intestine surgery D recommended

Hepatobiliary

Bile duct surgery A recommended

Pancreatic surgery B recommended

Liver surgery B recommended

Gall bladder surgery (open) A recommended

Gall bladder surgery (laparoscopic) A Not recommended

Lower Gastrointestinal

Appendicectomy A Highly recommended

Colorectal surgery A Highly recommended

Abdomen

Hernia repair-groin (inguinal/femoral with or

without mesh)

A Not recommended

Hernia repair-groin (laparoscopic with or

without mesh)

B Not recommended

Hernia repair (incisional with or without mesh) C Not recommended

Open/laparoscopic surgery with mesh (eg

gastric band or rectoplexy)

B Not recommended

Diagnostic endoscopic procedures D Not recommended

Therapeutic endoscopic procedures

(endoscopic retrograde cholangio

pancreatography and percutaneous

endoscopic gastrostomy)

D should be considered in high risk

patient

Spleen

Splenectomy - Not recommended

should be considered in high risk

patient

Gynecological

Abdominal hysterectomy A recommended

Vaginal hysterectomy A recommended

Caesarean section A Highly recommended

- 21 -Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi

Assisted delivery A Not recommended

Perineal tear D Recommended for third/fourth degree

perineal tear

Abdomen Gynecological

Manual removal of the placenta D should be considered

D recommended pada pasien terbukti

chlamydia atau infeksi gonorrhoea

Induced abortion A Highly recommended

Evacuation of incomplete miscarriage A Not recommended

Intrauterine contraceptive device (IUCD)

insertion

A Not recommended

Urogenital

Transrectal prostate biopsy A recommended

Shock wave lithotripsy A recommended

Percutaneous nephrolithotomy B recommended untuk pasien dengan

batu ≥ 20 mm atau dengan

pelvicalyceal dilation

Endoscopic ureteric stone

fragmentation/removal

B recommended

Transurethral resection of the prostate A Highly recommended

Abdomen Urogenital

Transurethral resection of

bladder tumours

D Not recommended

Radical cystectomy - recommended

Limb

Arthroplasty B Highly recommended

B Antibiotic-loaded cement is

recommended in addition to

intravenous antibiotics

B Lama pemberian antibiotik tidak

boleh dari 24 jam

Open fracture A Highly recommended

Open surgery for closed

fracture

A Highly recommended

Hip fracture A Highly recommended

Orthopaedic surgery (without implant) D Not recommended

Lower limb amputation A recommended

Vascular surgery (abdominal and lower limb A recommended

- 22 -Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi

arterial reconstruction)

Soft tissue surgery of the hand - should be considered

Non-operative intervention

Intravascular catheter insertion:

o non-tunnelled central venous

catheter (CVC)

o tunnelled CVC

D

A

Not recommended

Not recommended

General

Clean-contaminated procedures –where no

specific evidence is available

D

recommended

Insertion of a prosthetic device or implant –

where no specific evidence is available

D

recommended

Head and Neck

Craniotomy B recommended

CSF shunt A recommended

Spinal surgery B recommended

Tonsillectomy - Not recommended

Cleft lip and palate - Recommended untuk major cleft

palate repairs

Adenoidectomy (by curettage) A Not recommended

Grommet insertion B recommended

Thorax

Open heart surgery D recommended

Closed cardiac procedures (clean) - Not recommended

Interventional cardiac catheter device

placement

- Highly recommended

Gastrointestinal

Appendicectomy A Highly recommended

Colorectal surgery B Highly recommended

Insertion of percutaneous endoscopic

gastrostomy (PEG)

B recommended

Splenectomy - Not recommended

- 23 -Prosedur Bedah Rekomendasi Indikasi Antibiotik Profilaksi

Urogenital

Circumcision (routine elective) - Not recommended

Hypospadias repair B should be considered sampai kateter

dilepas

Hydrocoeles/hernia repair C Not recommended

Shock wave lithotripsy B recommended

Percutaneous nephrolithotomy C recommended

Endoscopic ureteric stone

fragmentation/removal

C recommended

Cystoscopy - Not recommended

- Hanya jika ada risiko tinggi UTI

Nephrectomy - Not recommended

Pyeloplasty - recommended

Surgery for vesicoureteric reflux (endoscopic or

open)

- recommended

Non-operative interventions

Intravascular catheter insertion:

o non-tunnelled central venous

catheter (CVC)

o tunnelled CVC

D

D

Not recommended

Not recommended

General

Clean-contaminated procedures –where no

specific evidence is available

D recommended

Insertion of a prosthetic device or implant –

where no specific evidence is available

D recommended

1. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kasus pembedahan:

a. Penurunan dan pencegahan kejadian Infeksi Luka Operasi (ILO).

b. Penurunan morbiditas dan mortalitas pasca operasi.

c. Penghambatan muncul flora normal resisten.

d. Meminimalkan biaya pelayanan kesehatan.

2. Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas operasi, yaitu

operasi bersih dan bersih kontaminasi.

3. Dasar pemilihan jenis antibiotik untuk tujuan profilaksis:

a. Sesuai dengan sensitivitas dan pola bakteri patogen terbanyak pada

kasus bersangkutan.

b. Spektrum sempit untuk mengurangi risiko resistensi bakteri.

- 24 -

c. Toksisitas rendah.

d. Tidak menimbulkan reaksi merugikan terhadap pemberian obat

anestesi.

e. Bersifat bakterisidal.

f. Harga terjangkau.

Gunakan sefalosporin generasi I – II untuk profilaksis bedah.

Pada kasus tertentu yang dicurigai melibatkan bakteri anaerob dapat

ditambahkan metronidazol.

Tidak dianjurkan menggunakan sefalosporin generasi III dan IV,

golongan karbapenem, dan golongan kuinolon untuk profilaksis

bedah.

4. Rute pemberian

a. Antibiotik profilaksis diberikan secara intravena.

b. Untuk menghindari risiko yang tidak diharapkan dianjurkan

pemberian antibiotik intravena drip.

5. Waktu pemberian

Antibiotik profilaksis diberikan ≤ 30 menit sebelum insisi kulit. Idealnya

diberikan pada saat induksi anestesi.

6. Dosis pemberian

Untuk menjamin kadar puncak yang tinggi serta dapat berdifusi dalam

jaringan dengan baik, maka diperlukan antibiotik dengan dosis yang

cukup tinggi. Pada jaringan target operasi kadar antibiotik harus

mencapai kadar hambat minimal hingga 2 kali lipat kadar terapi.

7. Lama pemberian

Durasi pemberian adalah dosis tunggal.

Dosis ulangan dapat diberikan atas indikasi perdarahan lebih dari 1500 ml

atau operasi berlangsung lebih dari 3 jam.

(SIGN, 2008).

8. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya ILO, antara

lain:

a. Kategori/kelas operasi (Mayhall Classification) (SIGN, 2008)

Tabel 2. Kelas Operasi dan Penggunaan Antibiotik

Kelas

OperasiDefinisi Penggunaan Antibiotik

- 25 -

Kelas

OperasiDefinisi Penggunaan Antibiotik

Operasi

Bersih

Operasi yang dilakukan pada

daerah dengan kondisi pra bedah

tanpa infeksi, tanpa membuka

traktus (respiratorius, gastro

intestinal, urinarius, bilier),

operasi terencana, atau

penutupan kulit primer dengan

atau tanpa digunakan drain

tertutup.

Kelas operasi bersih

terencana umumnya tidak

memerlukan antibiotik

profilaksis kecuali pada

beberapa jenis operasi,

misalnya mata, jantung,

dan sendi.

Operasi

Bersih –

Kontaminasi

Operasi yang dilakukan pada

traktus (digestivus, bilier,

urinarius, respiratorius,

reproduksi kecuali ovarium) atau

operasi tanpa disertai

kontaminasi yang nyata.

Pemberian antibiotika

profilaksis pada kelas

operasi bersih kontaminasi

perlu dipertimbangkan

manfaat dan risikonya

karena bukti ilmiah

mengenai efektivitas

antibiotik profilaksis belum

ditemukan.

Operasi

Kontaminasi

Operasi yang membuka saluran

cerna, saluran empedu, saluran

kemih, saluran napas sampai

orofaring, saluran reproduksi

kecuali ovarium atau operasi yang

tanpa pencemaran nyata (Gross

Spillage).

Kelas operasi kontaminasi

memerlukan antibiotik

terapi (bukan profilaksis).

Operasi

Kotor

Adalah operasi pada perforasi

saluran cerna, saluran urogenital

atau saluran napas yang

terinfeksi ataupun operasi yang

melibatkan daerah yang purulen

(inflamasi bakterial). Dapat pula

operasi pada luka terbuka lebih

dari 4 jam setelah kejadian atau

terdapat jaringan nonvital yang

luas atau nyata kotor.

Kelas operasi kotor

memerlukan antibiotik

terapi.

Tabel 3. Persentase Kemungkinan ILO Berdasarkan Kelas Operasi

dan Indeks Risiko

- 26 -

Kelas Operasi Indeks Risiko

0 1 2

Bersih 1,0 % 2,3 % 5,4 %

Bersih –

Kontaminasi

2,1 % 4,0 % 9,5 %

Kontaminasi/Kotor 3,4 % 6,8 % 13,2 %

(Sign, 2008; Avenia, 2009)

b. Skor ASA (American Society of Anesthesiologists)

Tabel 4. Pembagian Status Fisik Pasien Berdasarkan Skor ASA

Skor ASA Status Fisik

1 Normal dan sehat

2 Kelainan sistemik ringan

3 Kelainan sistemik berat, aktivitas terbatas

4 Kelainan sistemik berat yang sedang menjalani

pengobatan untuk life support

5 Keadaan sangat kritis, tidak memiliki harapan hidup,

diperkirakan hanya bisa bertahan sekitar 24 jam dengan

atau tanpa operasi

c. Lama rawat inap sebelum operasi

Lama rawat inap 3 hari atau lebih sebelum operasi akan

meningkatkan kejadian ILO.

d. Ko-morbiditas (DM, hipertensi, hipertiroid, gagal ginjal, lupus, dll)

e. Indeks Risiko

Dua ko-morbiditas (skor ASA>2) dan lama operasi dapat

diperhitungkan sebagai indeks risiko.

Tabel 5. Indeks Risiko

Indeks risiko Definisi

0 Tidak ditemukan faktor risiko

1 Ditemukan 1 faktor risiko

2 Ditemukan 2 faktor risiko

f. Pemasangan implan

Pemasangan implan pada setiap tindakan bedah dapat

meningkatkan kejadian ILO.

E. Penggunaan Antibiotik Kombinasi

- 27 -

1. Antibiotik kombinasi adalah pemberian antibiotik lebih dari satu jenis

untuk mengatasi infeksi.

2. Tujuan pemberian antibiotik kombinasi adalah:

a. Meningkatkan aktivitas antibiotik pada infeksi spesifik (efek sinergis).

b. Memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten.

3. Indikasi penggunaan antibotik kombinasi (Brunton et. Al, 2008; Archer,

GL., 2008):

a. Infeksi disebabkan oleh lebih dari satu bakteri (polibakteri).

b. Abses intraabdominal, hepatik, otak dan saluran genital (infeksi

campuran aerob dan anaerob).

c. Terapi empiris pada infeksi berat.

4. Hal-hal yang perlu perhatian (Brunton et. Al,; Cunha, BA., 2010):

a. Kombinasi antibiotik yang bekerja pada target yang berbeda dapat

meningkatkan atau mengganggu keseluruhan aktivitas antibiotik.

b. Suatu kombinasi antibiotik dapat memiliki toksisitas yang bersifat

aditif atau superaditif.

Contoh: Vankomisin secara tunggal memiliki efek nefrotoksik minimal,

tetapi pemberian bersama aminoglikosida dapat meningkatkan

toksisitasnya.

c. Diperlukan pengetahuan jenis infeksi, data mikrobiologi dan antibiotik

untuk mendapatkan kombinasi rasional dengan hasil efektif.

d. Hindari penggunaan kombinasi antibiotik untuk terapi empiris jangka

lama.

e. Pertimbangkan peningkatan biaya pengobatan pasien.

F. Pertimbangan Farmakokinetik Dan Farmakodinamik Antibiotik

Farmakokinetik (pharmacokinetic, PK) membahas tentang perjalanan kadar

antibiotik di dalam tubuh, sedangkan farmakodinamik (pharmacodynamic,

PD) membahas tentang hubungan antara kadar-kadar itu dan efek

antibiotiknya. Dosis antibiotik dulunya hanya ditentukan oleh parameter PK

saja. Namun, ternyata PD juga memainkan peran yang sama, atau bahkan

lebih penting. Pada abad resistensi antibiotika yang terus meningkat ini, PD

bahkan menjadi lebih penting lagi, karena parameter-parameter ini bisa

digunakan untuk mendesain rejimen dosis yang melawan atau mencegah

resistensi. Jadi walaupun efikasi klinis dan keamanan masih menjadi

standar emas untuk membandingkan antibiotik, ukuran farmakokinetik dan

farmakodinamik telah semakin sering digunakan. Beberapa ukuran PK dan

PD lebih prediktif terhadap efikasi klinis.

Ukuran utama aktivitas antibiotik adalah Kadar Hambat Minimum (KHM).

KHM adalah kadar terendah antibiotik yang secara sempurna menghambat

pertumbuhan suatu mikroorganisme secara in vitro. Walaupun KHM adalah

- 28 -

indikator yang baik untuk potensi suatu antibiotik, KHM tidak menunjukkan

apa-apa tentang perjalanan waktu aktivitas antibiotik.

Parameter-parameter farmakokinetik menghitung perjalanan kadar serum

antibiotika. Terdapat 3 parameter farmakokinetik yang paling penting untuk

mengevaluasi efikasi antibiotik, yaitu kadar puncak serum (Cmax), kadar

minimum (Cmin), dan area under curve (AUC) pada kurva kadar serum vs

waktu. Walaupun parameter-parameter ini mengkuantifikasi perjalanan

kadar serum, parameter-parameter teresebut tidak mendeskripsikan

aktivitas bakterisid suatu antibiotik.

Aktivitas antibiotik dapat dikuantifikasi dengan mengintegrasikan parameter-

parameter PK/PD dengan KHM. Parameter tersebut yaitu: rasio kadar

puncak/KHM, waktu>KHM, dan rasio AUC-24 jam/KHM.

Gambar 1. Parameter Farmakokinetik/Farmakodinamik

Tiga sifat farmakodinamik antibiotik yang paling baik untuk menjelaskan

aktivitas bakterisidal adalah time-dependence, concentration-dependence, dan

efek persisten. Kecepatan bakterisidal ditentukan oleh panjang waktu yang

diperlukan untuk membunuh bakteri (time-dependence), atau efek

meningkatkan kadar obat (concentration-dependence). Efek persisten

mencakup Post-Antibiotic Effect (PAE). PAE adalah supresi pertumbuhan

bakteri secara persisten sesudah paparan antibiotik.

Tabel 6. Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan parameter PK/PD

Pola Aktivitas Antibiotik Tujuan Terapi Parameter

PK/PD

Tipe I

Bakterisidal

concentration-

dependence dan

Aminoglikosid

Fluorokuinolon

Ketolid

Memaksimalkan

kadar

- rasio AUC-24

jam/KHM

- rasio kadar

- 29 -

Pola Aktivitas Antibiotik Tujuan Terapi Parameter

PK/PD

Efek persisten yang lama puncak/KHM

Tipe II

Bakterisidal time-

dependence

dan

Efek persisten minimal

Karbapenem

Sefalosporin

Eritromisin

Linezolid

Penicillin

Memaksimalkan

durasi paparan

waktu>KHM

Tipe III

Bakterisidal time-

dependence

dan

Efek persisten sedang

sampai lama

Azitromisin

Klindamisin

Oksazolidinon

Tetrasiklin

Vankomisin

Memaksimalkan

jumlah obat

yang masuk

sirkulasi

sistemik

rasio AUC-24

jam/KHM

Untuk antibiotik Tipe I, rejimen dosis yang ideal adalah memaksimalkan

kadar, karena semakin tinggi kadar, semakin ekstensif dan cepat tingkat

bakterisidalnya. Karena itu, rasio AUC 24 jam/KHM, dan rasio kadar

puncak/KHM merupakan prediktor efikasi antibiotik yang penting. Untuk

aminoglikosid, efek optimal dicapai bila rasio kadar puncak/KHM minimal 8-

10 untuk mencegah resistensi. Untuk fluorokuinolon vs bakteri Gram-

negatif, rasio AUC 24 jam/KHM optimal adalah sekitar 125. Bila

fluorokuinolon vs Gram-positif, 40 nampaknya cukup optimal. Namun, rasio

AUC 24 jam/KHM untuk fluorokuinolon sangat bervariasi.

Antibiotik Tipe II menunjukkan sifat yang sama sekali berlawanan. Rejimen

dosis ideal untuk antibiotik ini diperoleh dengan memaksimalkan durasi

paparan. Parameter yang paling berkorelasi dengan efikasi adalah apabila

waktu (t) di atas KHM. Untuk beta-laktam dan eritromisin, efek bakterisidal

maksimum diperoleh bila waktu di atas KHM minimal 70% dari interval

dosis.

Antibiotik Tipe III memiliki sifat campuran, yaitu tergantung-waktu dan efek

persisten yang sedang. Rejimen dosis ideal untuk antibiotik ini diperoleh

dengan memaksimalkan jumlah obat yang masuk dalam sirkulasi sistemik.

Efikasi obat ditentukan oleh rasio AUC 24 jam/KHM. Untuk vankomisin,

diperlukan rasio AUC 24 jam/KHM minimal 125.

- 30 -

Gambar 2. Pola Aktivitas Antibiotik berdasarkan Profil PK/PD

BAB III

PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK

- 31 -

Infeksi bakteri terjadi bila bakteri mampu melewati barrier mukosa atau kulit

dan menembus jaringan tubuh. Pada umumnya, tubuh berhasil mengeliminasi

bakteri tersebut dengan respon imun yang dimiliki, tetapi bila bakteri

berkembang biak lebih cepat daripada aktivitas respon imun tersebut maka

akan terjadi penyakit infeksi yang disertai dengan tanda-tanda inflamasi. Terapi

yang tepat harus mampu mencegah berkembangbiaknya bakteri lebih lanjut

tanpa membahayakan host. Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk

mengatasi infeksi bakteri. Antibiotik bisa bersifat bakterisid (membunuh bakteri)

atau bakteriostatik (mencegah berkembangbiaknya bakteri). Pada kondisi

immunocompromised (misalnya pada pasien neutropenia) atau infeksi di lokasi

yang terlindung (misalnya pada cairan cerebrospinal), maka antibiotik bakterisid

harus digunakan.

Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:

1. menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri, seperti beta-laktam

(penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor beta-laktamase),

basitrasin, dan vankomisin.

2. memodifikasi atau menghambat sintesis protein, misalnya aminoglikosid,

kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),

klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

3. menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat, misalnya

trimetoprim dan sulfonamid.

4. mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat, misalnya kuinolon,

nitrofurantoin.

Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme kerja:

1. Obat yang Menghambat Sintesis atau Merusak Dinding Sel Bakteri

a. Antibiotik Beta-Laktam

Antibiotik beta-laktam terdiri dari berbagai golongan obat yang

mempunyai struktur cincin beta-laktam, yaitu penisilin, sefalosporin,

monobaktam, karbapenem, dan inhibitor beta-laktamase. Obat-obat

antibiotik beta-laktam umumnya bersifat bakterisid, dan sebagian besar

efektif terhadap organisme Gram -positif dan negatif. Antibiotik beta-

laktam mengganggu sintesis dinding sel bakteri, dengan menghambat

langkah terakhir dalam sintesis peptidoglikan, yaitu heteropolimer yang

memberikan stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri.

1) Penisilin

Golongan penisilin diklasifikasikan berdasarkan spektrum aktivitas

antibiotiknya.

Tabel 7. Antibiotik Golongan Penisilin

Golongan Contoh Aktivitas

- 32 -

Penisilin G dan

penisilin V

Penisilin G

dan penisilin

V

Sangat aktif terhadap kokus Gram-

positif, tetapi cepat dihidrolisis oleh

penisilinase atau beta-laktamase,

sehingga tidak efektif terhadap S.

aureus.

Penisilin yang

resisten terhadap

beta-laktamase/

penisilinase

metisilin,

nafsilin,

oksasilin,

kloksasilin,

dan

dikloksasilin

Merupakan obat pilihan utama untuk

terapi S. aureus yang memproduksi

penisilinase.

Aktivitas antibiotik kurang poten

terhadap mikroorganisme yang sensitif

terhadap penisilin G.

Aminopenisilin ampisilin,

amoksisilin

Selain mempunyai aktivitas terhadap

bakteri Gram-positif, juga mencakup

mikroorganisme Gram-negatif, seperti

Haemophilus influenzae, Escherichia coli,

dan Proteus mirabilis. Obat-obat ini

sering diberikan bersama inhibitor beta-

laktamase (asam klavulanat, sulbaktam,

tazobaktam) untuk mencegah hidrolisis

oleh beta-laktamase yang semakin

banyak ditemukan pada bakteri Gram-

negatif ini.

Karboksipenisilin karbenisilin,

tikarsilin

Antibiotik untuk Pseudomonas,

Enterobacter, dan Proteus. Aktivitas

antibiotik lebih rendah dibanding

ampisilin terhadap kokus Gram- positif,

dan kurang aktif dibanding piperasilin

dalam melawan Pseudomonas. Golongan

ini dirusak oleh beta-laktamase.

Ureidopenislin mezlosilin,

azlosilin,

dan

piperasilin

Aktivitas antibiotik terhadap

Pseudomonas, Klebsiella, dan Gram-

negatif lainnya. Golongan ini dirusak

oleh beta-laktamase.

Tabel 8.

Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa Penisilin

ObatCara

Pemberian

Waktu

Paruh (jam)

Ekskresi

Ginjal (%)

Penyesuaian

Dosis Pada

Gagal Ginjal

Penisilin alami

Penisilin G IM, IV 0,5 79-85 Ya

- 33 -

Penisilin V Oral 0,5 20-40 Ya

Penisilin Anti-stafilokokus (resisten penisilinase)

Nafisilin IM, IV 0,8-1,2 31-38 Tidak

Oksasilin IM, IV 0,4-0,7 39-66 Tidak

Kloksasilin Oral 0,5-0,6 49-70 Tidak

Dikloksasilin Oral 0,6-0,8 35-90 Tidak

Aminopenisilin

Ampisilin Oral, IM, IV 1,1-1,5 40-92 Ya

Amoksisilin Oral 1,4-2,0 86 Ya

Penisilin Anti-pseudomonas

Karbenisilin Oral 0,8-1,2 85 Ya

Mezlosilin IM, IV 0,9-1,7 61-69 Ya

Piperasilin IM, IV 0,8-1,1 74-89 Ya

Tikarsilin IM, IV 1,0-1,4 95 Ya

IM = intramuskuler; IV = intravena.

2) Sefalosporin

Sefalosporin menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan

mekanisme serupa dengan penisilin. Sefalosporin diklasifikasikan

berdasarkan generasinya.

Tabel 9. Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin

Generasi Contoh Aktivitas

I Sefaleksin,

sefalotin,

sefazolin,

sefradin,

sefadroksil

Antibiotik yang efektif terhadap Gram-

positif dan memiliki aktivitas sedang

terhadap Gram-negatif.

II Sefaklor,

sefamandol,

sefuroksim,

sefoksitin,

sefotetan,

sefmetazol,

sefprozil.

Aktivitas antibiotik Gram-negatif yang

lebih tinggi daripada generasi-I.

III Sefotaksim,

seftriakson,

seftazidim,

sefiksim,

sefoperazon,

Aktivitas kurang aktif terhadap kokus

Gram-postif dibanding generasi-I, tapi

lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae,

termasuk strain yang memproduksi

beta-laktamase. Seftazidim dan

- 34 -

Generasi Contoh Aktivitas

seftizoksim,

sefpodoksim,

moksalaktam.

sefoperazon juga aktif terhadap P.

aeruginosa, tapi kurang aktif dibanding

generasi-III lainnya terhadap kokus

Gram-positif.

IV Sefepim,

sefpirom

Aktivitas lebih luas dibanding generasi-

III dan tahan terhadap beta-laktamase.

Tabel 10. Parameter-parameter Farmakokinetik untuk Beberapa

Sefalosporin

ObatCara

Pemberian

Waktu

Paruh

(jam)

Ekskresi

Ginjal (%)

Penyesuaian

Dosis pada

Gagal Ginjal

Generasi-I

Sefadroksil Oral 1,2-2,5 70-90 Ya

Sefazolin i.m., i.v. 1,5-2,5 70-95 Ya

Sefaleksin Oral 1,0 95 Ya

Sefapirin i.m., i.v. 0,6 50-70 Ya

Sefradin Oral 0,7 75-100 Ya

Generasi-II

Sefaklor Oral 0,6-0,9 60-85 Ya

Sefamandol i.m., i.v. 0,5-1,2 100 Ya

Sefmetazol i.v. 1,2-1,5 85 Ya

Sefonisid i.m., i.v. 3,5-4,5 95-99 Ya

Sefotetan i.m., i.v. 2,8-4,6 60-91 Ya

Sefoksitin i.m., i.v. 0,7-1,0 85 Ya

Sefprozil Oral 1,2-1,4 64 Ya

Sefuroksim i.m., i.v. 1,1-1,3 95 Ya

Sefuroksim

aksetil

Oral 1,1-1,3 52 Ya

Generasi-III

Sefdinir Oral 1,7 18 Ya

Sefepim i.m., i.v. 2,0 70-99 Ya

Sefiksim Oral 2,3-3,7 50 Ya

Sefoperazon i.m., i.v. 2,0 20-30 Tidak

Sefotaksim i.m., i.v. 1,0 40-60 Ya

Sefpodoksim

proksetil

Oral 1,9-3,7 40 Ya

Seftazidim i.m., i.v. 1,9 80-90 Ya

Seftibuten Oral 1,5-2,8 57-75 Ya

Seftizoksim i.m., i.v. 1,4-1,8 57-100 Ya

- 35 -

ObatCara

Pemberian

Waktu

Paruh

(jam)

Ekskresi

Ginjal (%)

Penyesuaian

Dosis pada

Gagal Ginjal

Seftriakson i.m., i.v. 5,8-8,7 33-67 Tidak

Karbapenem

Imipenem-

silastatin

i.m., i.v. 1,0 50-70 Ya

Meropenem i.v. 1,0 79 Ya

Monobaktam

Aztreonam i.m., i.v. 2,0 75 Ya

Generasi- IV

Seftazidim

i.m., i.v. 1,9 NA NA

Sefepim i.m. 2,0 NA NA

i.m. = intramuskuler; i.v. = intravena.

3) Monobaktam (beta-laktam monosiklik)

Contoh: aztreonam.

Aktivitas: resisten terhadap beta-laktamase yang dibawa oleh bakteri

Gram- negatif. Aktif terutama terhadap bakteri Gram-negatif.

Aktivitasnya sangat baik terhadap Enterobacteriacease, P. aeruginosa,

H. influenzae dan gonokokus.

Pemberian: parenteral, terdistribusi baik ke seluruh tubuh, termasuk

cairan serebrospinal.

Waktu paruh: 1,7 jam.

Ekskresi: sebagian besar obat diekskresi utuh melalui urin.

4) Karbapenem

Karbapenem merupakan antibiotik lini ketiga yang mempunyai

aktivitas antibiotik yang lebih luas daripada sebagian besar beta-

laktam lainnya. Yang termasuk karbapenem adalah imipenem,

meropenem dan doripenem.

Spektrum aktivitas: Menghambat sebagian besar Gram-positif, Gram-

negatif, dan anaerob. Ketiganya sangat tahan terhadap beta-

laktamase.

Efek samping: paling sering adalah mual dan muntah, dan kejang

pada dosis tinggi yang diberi pada pasien dengan lesi SSP atau dengan

insufisiensi ginjal. Meropenem dan doripenem mempunyai efikasi

serupa imipenem, tetapi lebih jarang menyebabkan kejang.

5) Inhibitor beta-laktamase

- 36 -

Inhibitor beta-laktamase melindungi antibiotik beta-laktam dengan

cara menginaktivasi beta-laktamase. Yang termasuk ke dalam

golongan ini adalah asam klavulanat, sulbaktam, dan tazobaktam.

Asam klavulanat merupakan suicide inhibitor yang mengikat beta-

laktamase dari bakteri Gram-positif dan Gram-negatif secara

ireversibel. Obat ini dikombinasi dengan amoksisilin untuk pemberian

oral dan dengan tikarsilin untuk pemberian parenteral.

Sulbaktam dikombinasi dengan ampisilin untuk penggunaan

parenteral, dan kombinasi ini aktif terhadap kokus Gram-positif,

termasuk S. aureus penghasil beta-laktamase, aerob Gram-negatif

(tapi tidak terhadap Pseudomonas) dan bakteri anaerob. Sulbaktam

kurang poten dibanding klavulanat sebagai inhibitor beta-laktamase.

Tazobaktam dikombinasi dengan piperasilin untuk penggunaan

parenteral. Waktu paruhnya memanjang dengan kombinasi ini, dan

ekskresinya melalui ginjal.

b. Basitrasin

Basitrasin adalah kelompok yang terdiri dari antibiotik polipeptida, yang

utama adalah basitrasin A. Berbagai kokus dan basil Gram-positif,

Neisseria, H. influenzae, dan Treponema pallidum sensitif terhadap obat

ini. Basitrasin tersedia dalam bentuk salep mata dan kulit, serta bedak

untuk topikal. Basitrasin jarang menyebabkan hipersensitivitas. Pada

beberapa sediaan, sering dikombinasi dengan neomisin dan/atau

polimiksin. Basitrasin bersifat nefrotoksik bila memasuki sirkulasi

sistemik.

c. Vankomisin

Vankomisin merupakan antibiotik lini ketiga yang terutama aktif

terhadap bakteri Gram-positif. Vankomisin hanya diindikasikan untuk

infeksi yang disebabkan oleh S. aureus yang resisten terhadap metisilin

(MRSA). Semua basil Gram-negatif dan mikobakteria resisten terhadap

vankomisin. Vankomisin diberikan secara intravena, dengan waktu paruh

sekitar 6 jam. Efek sampingnya adalah reaksi hipersensitivitas, demam,

flushing dan hipotensi (pada infus cepat), serta gangguan pendengaran

dan nefrotoksisitas pada dosis tinggi.

2. Obat yang Memodifikasi atau Menghambat Sintesis Protein

Obat antibiotik yang termasuk golongan ini adalah aminoglikosid, tetrasiklin,

kloramfenikol, makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin),

klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin.

a. Aminoglikosid

- 37 -

Spektrum aktivitas: Obat golongan ini menghambat bakteri aerob Gram-

negatif.

Obat ini mempunyai indeks terapi sempit, dengan toksisitas serius pada

ginjal dan pendengaran, khususnya pada pasien anak dan usia lanjut.

Efek samping: Toksisitas ginjal, ototoksisitas (auditorik maupun

vestibular), blokade neuromuskular (lebih jarang).

Tabel 11. Karakteristik Aminoglikosid

ObatWaktu Paruh

(jam)

Kadar Terapeutik

Serum (µg/ml)

Kadar Toksik

Serum (µg/ml)

Streptomisin 2-3 25 50

Neomisin 3 5-10 10

Kanamisin 2,0-2,5 8-16 35

Gentamisin 1,2-5,0 4-10 12

Tobramisin 2,0-3,0 4-8 12

Amikasin 0,8-2,8 8-16 35

Netilmisin 2,0-2,5 0,5-10 16

Diadaptasi dengan izin dari buku Fakta dan Perbandingan Obat. St Louis

Lippincott, 1985:1372.

b. Tetrasiklin

Antibiotik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah tetrasiklin,

doksisiklin, oksitetrasiklin, minosiklin, dan klortetrasiklin. Antibiotik

golongan ini mempunyai spektrum luas dan dapat menghambat berbagai

bakteri Gram-positif, Gram-negatif, baik yang bersifat aerob maupun

anaerob, serta mikroorganisme lain seperti Ricketsia, Mikoplasma,

Klamidia, dan beberapa spesies mikobakteria.

Tabel 12. Beberapa Sifat Tetrasiklin dan Obat-obat Segolongan

ObatCara Pemberian

yang Disukai

Waktu

Paruh

Serum (jam)

Ikatan Protein

Serum (%)

Tetrasiklin HCl Oral, i.v. 8 25-60

Klortetrasiklin

HCl

Oral, i.v. 6 40-70

Oksitetrasiklin

HCl

Oral, i.v. 9 20-35

Demeklosiklin

HCl

Oral 12 40-90

Metasiklin HCl Oral 13 75-90

Doksisiklin Oral, i.v. 18 25-90

- 38 -

Minosiklin HCl Oral, i.v. 16 70-75

c. Kloramfenikol

Kloramfenikol adalah antibiotik berspektrum luas, menghambat bakteri

Gram-positif dan negatif aerob dan anaerob, Klamidia, Ricketsia, dan

Mikoplasma. Kloramfenikol mencegah sintesis protein dengan berikatan

pada subunit ribosom 50S.

Efek samping: supresi sumsum tulang, grey baby syndrome, neuritis

optik pada anak, pertumbuhan kandida di saluran cerna, dan timbulnya

ruam.

d. Makrolida (eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin)

Makrolida aktif terhadap bakteri Gram-positif, tetapi juga dapat

menghambat beberapa Enterococcus dan basil Gram-positif. Sebagian

besar Gram-negatif aerob resisten terhadap makrolida, namun azitromisin

dapat menghambat Salmonela. Azitromisin dan klaritromisin dapat

menghambat H. influenzae, tapi azitromisin mempunyai aktivitas

terbesar. Keduanya juga aktif terhadap H. pylori. Makrolida

mempengaruhi sintesis protein bakteri dengan cara berikatan dengan

subunit 50s ribosom bakteri, sehingga menghambat translokasi peptida.

1) Eritromisin dalam bentuk basa bebas dapat diinaktivasi oleh asam,

sehingga pada pemberian oral, obat ini dibuat dalam sediaan salut

enterik. Eritromisin dalam bentuk estolat tidak boleh diberikan pada

dewasa karena akan menimbulkan liver injury.

2) Azitromisin lebih stabil terhadap asam jika dibanding eritromisin.

Sekitar 37% dosis diabsorpsi, dan semakin menurun dengan adanya

makanan. Obat ini dapat meningkatkan kadar SGOT dan SGPT pada

hati.

3) Klaritromisin. Absorpsi per oral 55% dan meningkat jika diberikan

bersama makanan. Obat ini terdistribusi luas sampai ke paru, hati, sel

fagosit, dan jaringan lunak. Metabolit klaritromisin mempunyai

aktivitas antibakteri lebih besar daripada obat induk. Sekitar 30% obat

diekskresi melalui urin, dan sisanya melalui feses.

4) Roksitromisin

Roksitromisin mempunyai waktu paruh yang lebih panjang dan

aktivitas yang lebih tinggi melawan Haemophilus influenzae. Obat ini

diberikan dua kali sehari.

Roksitromisin adalah antibiotik makrolida semisintetik. Obat ini

memiliki komposisi, struktur kimia dan mekanisme kerja yang sangat

mirip dengan eritromisin, azitromisin atau klaritromisin. Roksitromisin

mempunyai spektrum antibiotik yang mirip eritromisin, namun lebih

efektif melawan bakteri gram negatif tertentu seperti Legionella

- 39 -

pneumophila. Antibiotik ini dapat digunakan untuk mengobati infeksi

saluran nafas, saluran urin dan jaringan lunak.

Roksitromisin hanya dimetabolisme sebagian, lebih dari separuh

senyawa induk diekskresi dalam bentuk utuh. Tiga metabolit telah

diidentifikasi di urin dan feses: metabolit utama adalah deskladinosa

roksitromisin, dengan N-mono dan N-di-demetil roksitromisin sebagai

metabolit minor. Roksitromisin dan ketiga metabolitnya terdapat di

urin dan feses dalam persentase yang hamper sama.

Efek samping yang paling sering terjadi adalah efek pada saluran

cerna: diare, mual, nyeri abdomen dan muntah. Efek samping yang

lebih jarang termasuk sakit kepala, ruam, nilai fungsi hati yang tidak

normal dan gangguan pada indra penciuman dan pengecap.

e. Klindamisin

Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan

sebagian besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri

Gram-negatif aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia.

Efek samping: diare dan enterokolitis pseudomembranosa.

f. Mupirosin

Mupirosin merupakan obat topikal yang menghambat bakteri Gram-

positif dan beberapa Gram-negatif.

Tersedia dalam bentuk krim atau salep 2% untuk penggunaan di kulit

(lesi kulit traumatik, impetigo yang terinfeksi sekunder oleh S. aureus

atau S. pyogenes) dan salep 2% untuk intranasal.

Efek samping: iritasi kulit dan mukosa serta sensitisasi.

g. Spektinomisin

Obat ini diberikan secara intramuskular.

Dapat digunakan sebagai obat alternatif untuk infeksi gonokokus bila

obat lini pertama tidak dapat digunakan. Obat ini tidak efektif untuk

infeksi Gonore faring.

Efek samping: nyeri lokal, urtikaria, demam, pusing, mual, dan insomnia.

3. Obat Antimetabolit yang Menghambat Enzim-Enzim Esensial dalam

Metabolisme Folat

a. Sulfonamid dan Trimetoprim

Sulfonamid bersifat bakteriostatik.

- 40 -

Trimetoprim dalam kombinasi dengan sulfametoksazol, mampu

menghambat sebagian besar patogen saluran kemih, kecuali P.

aeruginosa dan Neisseria sp.

Kombinasi ini menghambat S. aureus, Staphylococcus koagulase negatif,

Streptococcus hemoliticus, H . influenzae, Neisseria sp, bakteri Gram-

negatif aerob (E. coli dan Klebsiella sp), Enterobacter, Salmonella, Shigella,

Yersinia, P. carinii.

4. Obat yang Mempengaruhi Sintesis atau Metabolisme Asam Nukleat

a. Kuinolon

1) Asam nalidiksat

Asam nalidiksat menghambat sebagian besar Enterobacteriaceae.

2) Fluorokuinolon

Golongan fluorokuinolon meliputi norfloksasin, siprofloksasin,

ofloksasin, moksifloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan lain-lain.

Fluorokuinolon bisa digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh

Gonokokus, Shigella, E. coli, Salmonella, Haemophilus, Moraxella

catarrhalis serta Enterobacteriaceae dan P. aeruginosa.

d. Nitrofuran

Nitrofuran meliputi nitrofurantoin, furazolidin, dan nitrofurazon.

Absorpsi melalui saluran cerna 94% dan tidak berubah dengan adanya

makanan.

Nitrofuran bisa menghambat Gram-positif dan negatif, termasuk E. coli,

Staphylococcus sp, Klebsiella sp, Enterococcus sp, Neisseria sp, Salmonella

sp, Shigella sp, dan Proteus sp.

- 41 -

BAB IV

PENGGUNAAN ANTIBIOTIK

A. Hipersensitivitas Antibiotik

Hipersensitivitas antibiotik merupakan suatu keadaan yang mungkin

dijumpai pada penggunaan antibiotik, antara lain berupa pruritus-urtikaria

hingga reaksi anafilaksis. Profesi medik wajib mewaspadai kemungkinan

terjadi kerentanan terhadap antibiotik yang digunakan pada penderita.

Anafilaksis jarang terjadi tetapi bila terjadi dapat berakibat fatal. Dua pertiga

kematian akibat anafilaksis umumnya terjadi karena obstruksi saluran

napas.

Jenis hipersensitivitas akibat antibiotik:

a. Hipersensitivitas Tipe Cepat

Keadaan ini juga dikenal sebagai immediate hypersensitivity. Gambaran

klinik ditandai oleh sesak napas karena kejang di laring dan bronkus,

urtikaria, angioedema, hipotensi dan kehilangan kesadaran. Reaksi ini

dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan penisilin.

b. Hipersensitivitas Perantara Antibodi (Antibody Mediated Type II

Hypersensitivity)

Manifestasi klinis pada umumnya berupa kelainan darah seperti anemia

hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, granulositopenia. Tipe reaksi ini

juga dikenal sebagai reaksi sitotoksik. Sebagai contoh, kloramfenikol

dapat menyebabkan granulositopeni, obat beta-laktam dapat

menyebabkan anemia hemolitik autoimun, sedangkan penisilin

antipseudomonas dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan pada

agregasi trombosit.

c. Immune Hypersensivity -complex Mediated (Tipe III)

Manifestasi klinis dari hipersensitivitas tipe III ini dapat berupa eritema,

urtikaria dan angioedema. Dapat disertai demam, artralgia dan adenopati.

Gejala dapat timbul 1 - 3 minggu setelah pemberian obat pertama kali,

- 42 -

bila sudah pernah reaksi dapat timbul dalam 5 hari. Gangguan seperti

SLE, neuritis optik, glomerulonefritis, dan vaskulitis juga termasuk dalam

kelompok ini.

d. Delayed Type Hypersensitivity

Hipersensitivitas tipe ini terjadi pada pemakaian obat topikal jangka lama

seperti sulfa atau penisilin dan dikenal sebagai kontak dermatitis.

Reaksi paru seperti sesak, batuk dan efusi dapat disebabkan

nitrofurantoin. Hepatitis (karena isoniazid), nefritis interstisial (karena

antibiotik beta-laktam) dan ensefalopati (karena klaritromisin) yang

reversibel pernah dilaporkan.

Pencegahan Anafilaksis

a. Selalu sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat.

b. Diagnosa dapat diusahakan melalui wawancara untuk mengetahui

riwayat alergi obat sebelumnya dan uji kulit (khusus untuk penisilin). Uji

kulit tempel (patcht test) dapat menentukan reaksi tipe I dan obat yang

diberi topikal (tipe IV).

c. Radio Allergo Sorbent Test (RAST) adalah pemeriksaan yang dapat

menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen, juga tersedia

dalam bentuk panil. Disamping itu untuk reaksi tipe II dapat digunakan

test Coombs indirek dan untuk reaksi tipe III dapat diketahui dengan

adanya IgG atau IgM terhadap obat.

d. Penderita perlu menunggu 20 menit setelah mendapat terapi parenteral

antibiotik untuk mengantisipasi timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe 1.

Tatalaksana Anafilaksis

a. Gejala prodromal meliputi rasa lesu, lemah, kurang nyaman di dada dan

perut, gatal di hidung dan palatum. Hidung kemudian mulai tersumbat,

leher seperti tercekik, suara serak, sesak, mulai batuk, disfagia, muntah,

kolik, diare, urtikaria, edema bibir, lakrimasi, palpitasi, hipotensi, aritmia

dan renjatan.

b. Terapi untuk mengatasi anafilaksis adalah epinefrin, diberikan 0,01

ml/kgBB subkutan sampai maksimal 0,3 ml dan diulang setiap 15 menit

sampai 3-4 kali. Pada keadaan berat dapat diberikan secara

intramuskuler.

c. Di bekas suntikan penisilin dapat diberikan 0,1-0,3 ml epinefrin 1:1000

dan dipasang turniket dengan yang dilonggarkan setiap 10 menit untuk

menghambat penyebaran obat.

d. Sistem pernapasan harus diusahakan untuk mendapatkan oksigen yang

cukup. Trakeostomi dilakukan bila terjadi edema laring atau obstruksi

saluran napas atas yang berat.

- 43 -

e. Pada kondisi obstruksi total dapat dilakukan punksi membran

kortikotiroid dengan jarum berukuran besar mengingat hanya tersedia 3

menit untuk menyelamatkan penderita. Selanjutnya diberikan oksigen 4–

6 l/menit. Selain itu perlu diberikan salbutamol dalam nebulizer dan

aminofilin 5 mg/kgBB dalam 0,9% NaCl atau Dekstrosa 5% selama 15

menit.

f. Bila tekanan darah tidak kembali normal walaupun sudah diberikan

koloid 0,5-1 L dapat diberikan vasopressor yang diencerkan secara i.v.

dan segera diamankan dengan central verous pressure (CVP).

Kortikosteroid dan antihistamin dapat diberikan untuk mempersingkat

reaksi anafilaksis akut.

B. Antibiotik Profilaksis Untuk Berbagai Kondisi Medis

1. Pencegahan Demam Rematik Rekuren

a. Demam rematik adalah penyakit sistemik yang bisa terjadi sesudah

faringitis akibat Streptococcus beta-haemoliticus grup A.

b. Tujuan pemberian antibiotik profilaksis pada kondisi ini adalah untuk

mencegah terjadinya penyakit jantung rematik.

c. Panduan penggunaan antibiotik profilaksis untuk demam rematik

rekuren:

1) Individu yang berisiko mengalami peningkatan paparan terhadap

infeksi streptokokus adalah anak-anak dan remaja, orang tua yang

mempunyai anak-anak balita, guru, dokter, perawat dan personil

kesehatan yang kontak dengan anak, militer, dan orang-orang yang

hidup dalam situasi berdesakan (misalnya asrama kampus).

2) Individu yang pernah menderita serangan demam rematik sangat

berisiko tinggi untuk mengalami rekurensi sesudah faringitis

Streptococcus beta-hemoliticus grup A, dan memerlukan antibiotik

profilaksis kontinu untuk mencegah rekurensi ini (pencegahan

sekunder).

3) Profilaksis kontinu dianjurkan untuk pasien dengan riwayat pasti

demam rematik dan yang dengan bukti definitif penyakit jantung

rematik.

4) Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin begitu demam rematik

akut atau penyakit jantung rematik didiagnosis. Satu course

lengkap penisilin harus diberikan pada pasien dengan demam

rematik akut untuk mengeradikasi Streptococcus beta-haemoliticus

grup A residual, meskipun kultur usap tenggorok negatif.

5) Infeksi Streptococcus yang terjadi pada anggota keluarga pasien

dengan demam rematik saat ini atau mempunyai riwayat demam

rematik harus segera diterapi.

- 44 -

Tabel 13. Durasi Profilaksis Demam Rematik Sekunder

Kategori Durasi sesudah Serangan Terakhir Rating

Demam rematik dengan

karditis dan penyakit

jantung residual (penyakit

katup persisten*)

10 tahun atau sampai usia 40 tahun

(yang mana pun yang lebih panjang),

kadang-kadang profilaksis sepanjang

hidup

IC

Demam rematik dengan

karditis, tetapi tanpa

penyakit jantung residual

(tidak ada penyakit katup*)

10 tahun atau sampai usia 21 tahun

(yang mana pun yang lebih panjang)

IC

Demam rematik tanpa

karditis

5 tahun atau sampai usia 21 tahun

(yang mana pun yang lebih panjang)

IC

Keterangan: * = Ada bukti klinis dan echocardiography

Pilihan rejimen untuk pencegahan demam rematik rekuren:

a. Injeksi benzatin penisilin G intramuskular 1,2 juta unit setiap 4

minggu. Pada populasi dengan insiden demam rematik yang sangat

tinggi atau bila individu tetap mengalami demam rematik akut rekuren

walau sudah patuh pada rejimen 4 mingguan, bisa diberikan setiap 3

minggu.

b. Pada pasien dengan risiko rekurensi demam rematik lebih rendah,

bisa dipertimbangkan mengganti obat menjadi oral saat pasien

mencapai remaja akhir atau dewasa muda dan tetap bebas dari

demam rematik minimal 5 tahun. Obat yang dianjurkan adalah

penicillin V 2 x 250 mg/hari.

c. Untuk pasien yang alergi penisilin, dianjurkan pemberian sulfadiazin

atau sulfisoksazol 0,5 g/hari untuk pasien dengan BB ≤ 27 kg dan 1

g/hari untuk pasien dengan BB > 27 kg. Profilaksis dengan

sulfonamid dikontraindikasikan pada kehamilan akhir karena adanya

pasase transplasenta dan kompetisi dengan bilirubin pada lokasi

pengikatannya di albumin.

d. Untuk pasien yang alergi penisilin dan sulfisoksazol, dianjurkan

pemberian antibiotik makrolida (eritromisin, atau klaritromisin, atau

azitromisin). Obat-obat ini tidak boleh diberikan bersama inhibitor

sitokrom P450 3A seperti antijamur azol, inhibitor HIV protease, dan

beberapa antidepresi SSRI.

- 45 -

2. Pencegahan Endokarditis

a. Endokarditis adalah infeksi permukaan endokardium jantung, yang

bisa mengenai satu katup jantung atau lebih, endokardium otot, atau

defek septum.

b. Panduan untuk terapi profilaksis terhadap endokarditis:

1) Kondisi penyakit jantung yang berisiko tinggi untuk terjadi

endokarditis infeksiosa, dianjurkan diberikan profilaksis:

a) Katup jantung prostetik

b) Riwayat menderita endokarditis infeksiosa sebelumnya

c) Penyakit jantung kongenital

d) Penerima transplantasi jantung yang mengalami valvulopati

jantung

2) Untuk pasien dengan kondisi di depan, profilaksis dianjurkan

untuk semua prosedur gigi yang melibatkan manipulasi jaringan

gingiva atau daerah periapikal gigi atau perforasi mukosa mulut.

Prosedur berikut ini tidak memerlukan profilaksis: injeksi anestetik

rutin menembus jaringan yang tidak terinfeksi, foto rontgen gigi,

pemasangan piranti prostodontik atau ortodontik yang bisa dilepas,

penyesuaian piranti ortodontik, pemasangan bracket ortodontik,

pencabutan gigi primer, dan perdarahan karena trauma pada bibir

atau mukosa mulut.

3) Profilaksis antibiotik dianjurkan untuk prosedur pada saluran

napas atau kulit, struktur kulit, atau jaringan muskuloskeletal

yang terinfeksi, hanya bagi pasien dengan kondisi penyakit jantung

yang berisiko tinggi terjadi endokarditis infeksiosa

Rejimen yang dianjurkan:

1. Antibiotik untuk profilaksis harus diberikan dalam dosis tunggal

sebelum prosedur. Bila secara tidak sengaja dosis antibiotik tidak

diberikan sebelum prosedur, dosis bisa diberikan sampai 2 jam

sesudah prosedur.

2. Rejimen untuk prosedur gigi:

a. Untuk pemberian oral: amoksisilin; apabila tidak bisa

mengkonsumsi obat per oral: ampisilin atau sefazolin atau

seftriakson secara intramuskular atau intravena

b. Kalau alergi terhadap golongan penisilin, secara oral bisa diberikan

sefaleksin (atau sefalosporin oral generasi pertama atau kedua

lainnya), atau klindamisin, atau azitromisin, atau klaritromisin.

Bila tidak bisa mengkonsumsi obat oral, diberikan sefazolin atau

seftriakson atau klindamisin secara intramuskular atau intravena.

Sefalosporin tidak boleh digunakan pada individu dengan riwayat

- 46 -

anafilaksis, angioedema, atau urtikaria pada pemberian golongan

penicillin.

3. Profilaksis Pada Meningitis

a. Meningitis adalah sindrom yang ditandai oleh inflamasi meningen.

Tergantung pada durasinya, meningitis bisa terjadi secara akut dan

kronis.

b. Mikroba penyebab: Streptococcus pneumoniae, N. meningitidis, H.

influenzae, L. monocytogenes, S. agalactiae, basil Gram negatif,

Staphylococcus sp, virus, parasit dan jamur.

c. Tujuan kemoprofilaksis: mencegah meningitis akibat kontak dengan

pasein.

d. Profilaksis meningitis meningococcus dan H. influenzae harus

disarankan pada orang yang kontak erat dengan pasien, tanpa

memperhatikan status vaksinasi.

e. Profilaksis harus ditawarkan pada individu dengan kriteria berikut:

1) Kontak erat yang lama dengan individu meningitis (paling sedikit

selama 7 hari).

2) Kontak pada tempat penitipan anak.

3) Kontak erat sementara dengan pasien, terpapar sekret pasien

(misalnya melalui kontak mulut, intubasi endotrakhea atau

manajemen ETT) di sekitar waktu masuk rumah sakit.

Kontak erat dengan pasien infeksi meningokokkus harus mendapat salah

satu rejimen ini:

a. Rifampisin: dewasa 600 mg/12 jam selama 2 hari; anak 1-6 tahun: 10

mg/kgBB/12 jam selama 2 hari; anak 3-11 bulan 5 mg/kgBB/12 jam

selama 2 hari.

b. Siprofloksasin: dewasa 500 mg dosis tunggal.

c. Seftriakson: dewasa 250 mg intramuskuler dosis tunggal; anak < 15

tahun 125 mg intramuskuler dosis tunggal.

Bila antibiotik lain telah digunakan untuk terapi, pasien harus menerima

antibiotik profilaksis untuk eradikasi carrier nasofaring sebelum

dipulangkan dari rumah sakit.

4. Profilaksis Pada Korban Perkosaan

a. Trikomoniasis, bacterial vaginosis, gonore, dan infeksi Klamidia adalah

infeksi tersering pada wanita korban perkosaan.

b. Pada wanita yang aktif secara seksual, kejadian infeksi ini juga tinggi,

sehingga infeksi yang terjadi tidak selalu diakibatkan oleh perkosaan

- 47 -

tersebut. Pemeriksaan pasca perkosaan seyogyanya dilakukan untuk

mengidentifikasi penyebab infeksi lain (misal klamidia dan gonokokus)

karena berpotensi untuk terjadi infeksi asendens.

c. Terapi pencegahan rutin dianjurkan sesudah terjadi perkosaan karena

follow-up korban sulit.

d. Profilaksis yang dianjurkan sebagai terapi preventif adalah:

1) Vaksinasi hepatitis B post paparan, tanpa HBIg dapat melindungi

dari infeksi hepatitis B. Vaksinasi hepatitis B harus diberikan pada

korban saat pemeriksaan awal bila mereka belum pernah

divaksinasi. Dosis follow-up harus diberikan 1-2 dan 4-6 bulan

sesudah dosis pertama.

2) Terapi antibiotik empirik untuk Chlamydia sp, Gonorrhoea sp,

Trichomonas sp dan bacterial vaginosis. Antibiotik yang dianjurkan

adalah:

a) seftriakson 125 mg IM dosis tunggal PLUS metronidazol 2 g per

oral dosis tunggal PLUS azitromisin 1 g per oral dosis tunggal

ATAU

b) doksisiklin 100 mg 2 x/hari per oral selama 7 hari.

e. Apabila ada risiko terkena HIV, konsultasikan dengan spesialis terapi

HIV.

C. Pedoman Penggunaan Antibiotik Pada Kelompok Khusus

1. Penggunaan Antibiotik Pada Anak

Perhitungan dosis antibiotik berdasarkan per kilogram berat badan ideal

sesuai dengan usia dan petunjuk yang ada dalam formularium profesi.

Tabel 14. Daftar Antibiotik yang Tidak Boleh Diberikan pada anak

Nama Obat Kelompok Usia Alasan

Siprofloksasin Kurang dari 12 tahun Merusak tulang rawan

(cartillage disgenesis)

Norfloksasin Kurang dari 12 tahun Merusak tulang rawan

(cartillege disgenesis)

Tetrasiklin Kurang dari 4 tahun

atau pada dosis tinggi

diskolorisasi gigi,

gangguan pertumbuhan

tulang

Kotrimoksazol Kurang dari 2 bulan Tidak ada data efektivitas

dan keamanan

Kloramfenikol Neonatus Menyebabkan Grey baby

syndrome

Tiamfenikol Neonatus Menyebabkan Grey baby

syndrome

- 48 -

Nama Obat Kelompok Usia Alasan

Linkomisin

HCl

Neonatus Fatal toxic syndrome

Piperasilin-

Tazobaktam

Neonatus Tidak ada data efektifitas

dan keamanan

Azitromisin Neonatus Tidak ada data keamanan

Tigesiklin Anak kurang dari 18

tahun

Tidak ada data keamanan

Spiramisin Neonatus dan bayi Tidak ada data keamanan

2. Penggunaan Antibiotik Pada Wanita Hamil dan Menyusui

a. Indeks keamanan penggunaan obat pada wanita hamil merujuk pada

ketetapan US-FDA

1) Kategori A: Studi pada wanita menunjukkan tidak adanya risiko

terhadap janin di trimester pertama kehamilan.

2) Kategori B: Studi pada hewan percobaan sedang reproduksi tidak

menunjukkan adanya gangguan pada fetus dalam trimester

pertama tidak ada studi pada wanita hamil.

3) Kategori C: Studi pada hewan percobaan menunjukkan gangguan

teratogenik/embrio tetap pada wanita hamil tidak ada penelitian.

Hanya digunakan bila benefit-risk ratio menguntungkan.

4) Kategori D: Jelas ada gangguan pada janin manusia. Hanya dapat

digunakan pada keadaan untuk menyelamatkan nyawa penderita.

5) Kategori X: Studi pada hewan percobaan maupun manusia

menunjukkan adanya gangguan pada janin. Obat ini merupakan

kontra-indikasi untuk dipakai pada kehamilan.

Tabel 15. Daftar Antibiotik Menurut Kategori Keamanan Untuk Ibu Hamil (FDA-

USA)

KATEGORI

A B C D X

(Hanya

vitamin)

Amphoterisin

B

Azitromisin

Basitrasin

Kuinolon

Klaritromisin

Aminoglikosida

Doksisiklin

Minosiklin

Metronidazol

(trimester I)

Hindari penggunaan antibiotik pada trimester pertama kehamilan

kecuali dengan indikasi kuat

- 49 -

Astreonam

Beta laktam

Klindamisin

Karbapenem

Eritromisin

Fosfomisin

Metronidazol

Kotrimoksazol

Imipenem

Isoniazid

Linezolid

Paramomisin

Pirazinamid

Spiramisin

Sulfa

Rifampisin

Vankomisin

Tetrasiklin

Tigesiklin

Tabel 16. Daftar Antibiotik yang Perlu Dihindari Pada Wanita Menyusui

Nama Antibiotik Pengaruh terhadap ASI dan

bayi

Anjuran

Kloramfenikol Toksisitas sumsum tulang

pada bayi

Hentikan selama

menyusui

Klindamisin Pendarahan gastrointestinal Hentikan selama

menyusui

Kloksasilin Diare Awasi terjadinya diare

Metronidazol Data pre klinik

menunjukkan efek

karsinogenik

Hentikan selama

menyusui

Pentoksifilin Ekskresi dalam ASI Hindari selama

menyusui

Siprofloksasin Ekskresi dalam ASI Hindari selama

menyusui

Kotrimoksazol Hiperbilirubinemia atau

defisiensi G6PD

Hindari pada bayi sakit,

stres, prematur,

hiperbilirubinemia, dan

defisiensi G6PD

Tabel 17. Antibiotik yang Dikontraindikasikan terhadap Ibu Menyusui

Antibiotik Catatan

Kloramfenikol Berpotensi menyebabkan supresi sumsum tulang

idiosinkratik

- 50 -

Siprofloksasin,

norfloksasin

(kinolon)

Siprofloksasin tidak disetujui secara langsung untuk

anak-anak. Lesi kartilago dan artropati ditemukan

pada binatang yang belum dewasa.

Klofazimin Klofazimin diekskresi melalui air susu dan dapat

menyebabkan pigmentasi kulit pada bayi menyusui

Furazolidon Hindari pada bayi berumur < 1 bulan karena risiko

potensial anemia hemolitik

Metronidazol Risiko mutagenisitas dan karsinogenisitas. American

Academy of Pediatrics merekomendasikan untuk

menghentikan pemberian air susu ibu selama 12-24

jam selama periode eksresi obat

Vaksin Vaksin dapat diberikan pada ibu menyusui, termasuk

vaksin hidup seperti measles-mumps-rubella (MMR)

dan oral polio vaccine (OPV). Ada perpindahan vaksin

hidup pada bayi menyusui namun tidak ada catatan

efek samping

Vankomisin Vankomisin digunakan untuk mengobati MRSA. Efek

samping bisa cukup parah pada nilai darah, tes fungsi

hinjal dan hati harus dilakukan selama pemberian.

Saat ini informasi tentang efek samping masih jarang

sehingga dianjurkan menggunakan metode alternatif

pemberian asupan pada bayi

Nitrofurantoin Sejumlah kecil nitrofurantoin yang diekskresikan

melalui air susu dapat menyebabkan hemolisis

defisiensi G6PD pada bayi (defisiensi enzim yang

jarang). Obat ini juga dapat menyebabkan warna air

susu menjadi kuning.

3. Penggunaan Antibiotik pada Usia Lanjut

Hal yang harus diperhatikan pada pemberian antibiotik pada usia lanjut:

a. Pada penderita usia lanjut (>65 tahun) sudah dianggap mempunyai

mild renal impairement (gangguan fungsi ginjal ringan) sehingga

penggunaan antibiotik untuk dosis pemeliharaan perlu diturunkan

atau diperpanjang interval pemberiannya.

b. Komorbiditas pada usia lanjut yang sering menggunakan berbagai

jenis obat memerlukan pertimbangan terjadinya interaksi dengan

antibiotik.

c. Terapi antibiotik empiris pada pasien usia lanjut perlu segera

dikonfirmasi dengan pemeriksaan mikrobiologi dan penunjang yang

lain.

4. Penggunaan Antibiotik Pada Insufisiensi Ginjal

- 51 -

a. Pada gangguan fungsi ginjal dosis antibiotik disesuaikan dengan

bersihan kreatinin (creatinine clearance). Dosis obat penting untuk

obat dengan rasio toksik-terapetik yang sempit, atau yang sedang

menderita penyakit ginjal.

b. Pada umumnya dengan bersihan kreatinin 40-60ml/menit dosis

pemeliharaan diturunkan dengan 50%. Bila bersihan kreatinin 10-40

ml/menit selain turun 50% perlu juga memperpanjang jarak

pemberian dua kali lipat. Usahakan menghindari obat yang bersifat

nefrotoksis.

Tabel 18. Daftar Antibiotik dengan Eliminasi Utama Melalui

Ginjal dan memerlukan Penyesuaian Dosis

Sebagian besar b-laktam Nitrofurantoin

Aminoglikosida Fosfomisin

TMP – SMX Tetrasiklin

Monobaktam Daptomisin

Ciprofloksasin Karbapenem

Levofloksasin Polimiksin B

Gatifloksasin Colistin

Gemifloksasin Flusitosin

Vankomisin

5. Penggunaan Antibiotik Pada Insufisiensi Hati

Pada gangguan fungsi hati kesulitan yang dijumpai adalah bahwa tidak

tersedia pengukuran tepat untuk evaluasi fungsi hati. Dalam praktik

sehari-hari penilaian klinik akan menentukan. Gangguan hati yang

ringan atau sedang tidak perlu penyesuaian antibiotik. Yang berat

membutuhkan penyesuaian dan pada umumnya sebesar 50% dari dosis

biasa atau dipilih antibiotik dengan eliminasi nonhepatik dan tidak

hepatotoksik.

Tabel 19. Daftar Antibiotik dengan Eliminasi Utama Melalui

Hepatobilier yang memerlukan penyesuaian dosis

Kloramfenikol Nafsilin

Cefoperazon Linezolid

Doksisiklin Isoniazid/Etambutol/Rifampisin

Minosiklin Pirazinamid

Telitromisin Klindamisin

Moksifloksasin Metronidazol

Makrolida Tigesiklin

- 52 -

D. Upaya untuk Meningkatkan Mutu Penggunaan Antibiotik

1. Prinsip Penetapan Dosis, Interval, Rute, Waktu dan Lama Pemberian

(rejimen dosis) (Depkes, 2004; Tim PPRA Kemenkes RI, 2010; Dipiro,

2006; Thomas, 2006; Trissel, 2009; Lacy, 2010):

a. Dokter menulis di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar

tentang regimen dosis pemberian antibiotik, dan instruksi tersebut

juga ditulis di rekam pemberian antibiotik (RPA) (Formulir terlampir).

b. Dokter menulis resep antibiotik sesuai ketentuan yang berlaku, dan

farmasis/apoteker mengkaji kelengkapan resep serta dosis

rejimennya.

c. Apoteker mengkaji ulang kesesuaian instruksi pengobatan di RPA

dengan rekam medik dan menulis informasi yang perlu disampaikan

kepada dokter/perawat/tenaga medis lain terkait penggunaan

antibiotik tersebut dan memberi paraf pada RPA.

d. Apoteker menyiapkan antibiotik yang dibutuhkan secara unit dose

dispensing (UDD) ataupun secara aseptic dispensing (pencampuran

sediaan parenteral secara aseptis) jika SDM dan sarana tersedia. Obat

yang sudah disiapkan oleh Instalasi Farmasi diserahkan kepada

perawat ruangan.

e. Perawat yang memberikan antibiotik kepada pasien (sediaan

parenteral/nonparentral/oral) harus mencatat jam pemberian dan

memberi paraf pada RPA, sesuai jam pemberian antibiotik yang sudah

ditentukan/disepakati.

f. Antibiotik parenteral dapat diganti per oral, apabila setelah 24-48 jam

(NHS, 2009):

1) Kondisi klinis pasien membaik.

2) Tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, malabsorpsi,

gangguan menelan, diare berat).

3) Kesadaran baik.

4) Tidak demam (suhu > 36oC dan < 38oC), disertai tidak lebih dari

satu kriteria berikut:

a) Nadi > 90 kali/menit

b) Pernapasan > 20 kali/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

c) Tekanan darah tidak stabil

d) Leukosit < 4.000 sel/dl atau > 12.000 sel/dl (tidak ada

neutropeni).

2. Monitoring Efektivitas, Efek Samping dan Kadar Antibiotik Dalam Darah

a. Monitoring (Depkes, 2004; Lacy, 2010)

1) Dokter, apoteker dan spesialis mikrobiologi klinik melakukan

pemantauan terapi antibiotik setiap 48-72 jam, dengan

- 53 -

memperhatikan kondisi klinis pasien dan data penunjang yang

ada.

2) Apabila setelah pemberian antibiotik selama 72 jam tidak ada

perbaikan kondisi klinis pasien, maka perlu dilakukan evaluasi

ulang tentang diagnosis klinis pasien, dan dapat dilakukan diskusi

dengan Tim PPRA Rumah Sakit untuk mencarikan solusi masalah

tersebut.

b. Monitoring efek samping/Adverse Drug Reactions (ESO/ADRs)

(Aronson, 2005; Thomas, 2006; Lacy, 2010; Depkes, 2008)

1) Dokter, apoteker, perawat dan spesialis mikrobiologi klinik

melakukan pemantauan secara rutin kemungkinan terjadi

ESO/ADRs terkait antibiotik yang digunakan pasien.

2) Pemantauan ESO/ADRs dilakukan dengan mengkaji kondisi klinik

pasien, data laboratorium serta data penunjang lain.

3) Jika terjadi ESO/ADRs, sebaiknya segera dilaporkan ke Pusat

MESO Nasional, menggunakan form MESO.

4) Pelaporan ESO/ADRs dapat dilakukan oleh dokter, apoteker

maupun perawat, dan sebaiknya di bawah koordinasi Sub Komite

Farmasi dan Terapi yang ada di rumah sakit.

5) ESO/ADRs antibiotik yang perlu diwaspadai antara lain adalah

(Aronson, 2005; Koda Kimble, 2009; Pedoman MESO Nasional;

Lacy, 2010; WHO, 2004):

a) Efek samping/ADRs akibat penggunaan antibiotik yang perlu

diwaspadai seperti syok anafilaksis, Steven Johnson’s Syndrome

atau toxic epidermal necrolysis (TEN). Antibiotik yang perlu

diwaspadai penggunaannya terkait kemungkinan terjadinya

Steven Johnson’s Syndrome atau Toxic Epidermal Necrolysis

(TEN) adalah golongan sulfonamid (kotrimoksazol),

penisilin/ampisilin, sefalosporin, kuinolon, rifampisin,

tetrasiklin dan eritromisin.

b) Penggunaan kloramfenikol perlu diwaspadai terkait efek

samping yang mungkin terjadi pada sistem hematologi (serious

and fatal blood dyscrasias seperti anemia aplastik, anemia

hipoplastik, trombositopenia, dan granulositopenia).

c) Penggunaan antibiotik golongan aminoglikosida dapat

menyebabkan efek samping nefrotoksisitas dan ototoksisitas.

d) Penggunaan vankomisin perlu diwaspadai kemungkinan terjadi

efek samping Redman’s syndrome karena pemberian injeksi

yang terlalu cepat, sehingga harus diberikan secara drip

minimal selama 60 menit.

c. Monitoring kadar antibiotik dalam darah (TDM = Therapeutic drug

monitoring) (Depkes, 2004; Thomas, 2006; Lacy, 2010)

- 54 -

1) Pemantauan kadar antibiotik dalam darah perlu dilakukan untuk

antibiotik yang mempunyai rentang terapi sempit.

2) Tujuan pemantauan kadar antibiotik dalam darah adalah untuk

mencegah terjadinya toksisitas/ADRs yang tidak diinginkan dan

untuk mengetahui kecukupan kadar antibiotik untuk membunuh

bakteri.

3) Antibiotik yang perlu dilakukan TDM adalah golongan

aminoglikosida seperti gentamisin dan amikasin, serta vankomisin.

4) Apabila hasil pemeriksaan kadar obat dalam darah sudah ada,

maka Apoteker dapat memberikan rekomendasi/saran kepada

dokter apabila perlu dilakukan penyesuaian dosis.

3. Interaksi Antibiotik dengan Obat Lain (Dipiro, 2006; Depkes, 2004;

Depkes, 2008; Aronson, 2005; Karen, 2010; Lacy, 2010)

a. Apoteker mengkaji kemungkinan interaksi antibiotik dengan obat

lain/larutan infus/makanan-minuman. Pemberian antibiotik juga

dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan laboratorium.

b. Apoteker dapat memberikan rekomendasi kepada dokter/perawat/

pasien terkait dengan masalah interaksi yang ditemukan.

4. Pemberian Informasi dan Konseling

a. Pelayanan Informasi Obat (PIO) (Depkes, 2004; McEvoy, 2005;

Thomas, 2006; Trissel, 2009; Lacy, 2010)

1) Apoteker dapat memberikan informasi kepada dokter/perawat

tentang antibiotik parenteral/nonparenteral maupun topikal yang

digunakan pasien.

2) Informasi yang diberikan antara lain adalah tentang regimen dosis,

rekonstitusi, pengenceran/pencampuran antibiotik dengan larutan

infus. Pencampuran antibiotik dengan larutan infus memerlukan

pengetahuan tentang kompatibilitas dan stabilitas. Penyimpanan

obat sediaan asli/yang sudah direkonstitusi awal/dalam larutan

infus juga memerlukan kondisi tertentu.

3) Pemberian informasi oleh farmasis/apoteker dapat dilakukan

secara lisan maupun tertulis. Informasi tertulis tentang antibiotik

dibuat oleh Unit Pelayanan Informasi Obat (PIO) Instalasi Farmasi

Rumah Sakit.

b. Konseling (Depkes, 2006; McEvoy, 2005; Thomas, 2006; Lacy, 2010)

1) Konseling terutama ditujukan untuk meningkatkan kepatuhan

pasien menggunakan antibiotik sesuai instruksi dokter dan untuk

mencegah timbul resistensi bakteri serta meningkatkan

kewaspadaan pasien/keluarganya terhadap efek samping/ adverse

- 55 -

drug reactions (ADRs) yang mungkin terjadi, dalam rangka

menunjang pelaksanaan program patient safety di rumah sakit.

2) Konseling tentang penggunaan antibiotik dapat diberikan pada

pasien/keluarganya di rawat jalan maupun rawat inap.

3) Konseling pasien rawat jalan dilakukan secara aktif oleh apoteker

kepada semua pasien yang mendapat antibiotik oral maupun

topikal.

4) Konseling pasien rawat jalan sebaiknya dilakukan di ruang

konseling khusus obat yang ada di apotik, untuk menjamin privacy

pasien dan memudahkan farmasis/apoteker untuk menilai

kemampuan pasien/keluarganya menerima informasi yang telah

disampaikan.

5) Konseling pada pasien rawat inap dilakukan secara aktif oleh

farmasis/apoteker kepada pasien/keluarganya yang mendapat

antibiotik oral maupun topikal, dapat dilakukan pada saat pasien

masih dirawat (bed-side counseling) maupun pada saat pasien akan

pulang (discharge counseling).

6) Konseling sebaiknya dilakukan dengan metode show and tell, dapat

disertai dengan pemberian informasi tertulis berupa leaflet dan

lain-lain.

- 56 -

BAB V

PENILAIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI RUMAH SAKIT

B. Batasan

Penilaian kuantitas dan kualitas penggunaan antibiotik di rumah sakit,

dapat diukur secara retrospektif dan prospektif melalui data rekam medik

dan rekam pemberian antibiotik (RPA).

C. Tujuan

1. Mengetahui jumlah atau konsumsi penggunaan antibiotik di rumah sakit.

2. Mengetahui dan mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik di rumah

sakit

3. Sebagai dasar untuk melakukan surveilans penggunaan antibiotik di

rumah sakit secara sistematik dan terstandar.

D. Penilaian Kuantitas Penggunaan Antibiotik Di Rumah Sakit

1. Kuantitas penggunaan antibiotik adalah jumlah penggunaan antibiotik di

rumah sakit yang diukur secara retrospektif dan prospektif dan melalui

studi validasi.

2. Studi validasi adalah studi yang dilakukan secara prospektif untuk

mengetahui perbedaan antara jumlah antibiotik yang benar-benar

digunakan pasien dibandingkan dengan yang tertulis di rekam medik.

3. Parameter perhitungan konsumsi antibiotik:

a. Persentase pasien yang mendapat terapi antibiotik selama rawat inap

di rumah sakit.

b. Jumlah penggunaan antibiotik dinyatakan sebagai dosis harian

ditetapkan dengan Defined Daily Doses (DDD)/100 patient days.

4. DDD adalah asumsi dosis rata-rata per hari penggunaan antibiotik untuk

indikasi tertentu pada orang dewasa. Untuk memperoleh data baku dan

supaya dapat dibandingkan data di tempat lain maka WHO

merekomendasikan klasifikasi penggunaan antibiotik secara Anatomical

Therapeutic Chemical (ATC) Classification (Gould IM, 2005).

- 57 -

E. Penilaian Kualitas Penggunaan Antibiotik di Rumah Sakit

1. Kualitas penggunaan antibiotik dapat dinilai dengan melihat rekam

pemberian antibiotik dan rekam medik pasien.

2. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian diagnosis

(gejala klinis dan hasil laboratorium), indikasi, regimen dosis, keamanan

dan harga.

3. Alur penilaian menggunakan kategori/klasifikasi Gyssens.

4. Kategori hasil penilaian kualitatif penggunaan antibiotik sebagai berikut

(Gyssens IC, 2005):

Kategori 0 = Penggunaan antibiotik tepat/bijak

Kategori I = Penggunaan antibiotik tidak tepat waktu

Kategori IIA = Penggunaan antibiotik tidak tepat dosis

Kategori IIB = Penggunaan antibiotik tidak tepat interval pemberian

Kategori IIC = Penggunaan antibiotik tidak tepat cara/rute

pemberian

Kategori IIIA = Penggunaan antibiotik terlalu lama

Kategori IIIB = Penggunaan antibiotik terlalu singkat

Kategori IVA = Ada antibiotik lain yang lebih efektif

Kategori IVB = Ada antibiotik lain yang kurang toksik/lebih aman

Kategori IVC = Ada antibiotik lain yang lebih murah

Kategori IVD = Ada antibiotik lain yang spektrumnya lebih sempit

Kategori V = Tidak ada indikasi penggunaan antibiotik

Kategori VI = Data rekam medik tidak lengkap dan tidak dapat

dievaluasi

- 58 -

Gambar 3

Alur Penilaian Kualitatif Penggunaan Antibiotik (Gyssens Classification)

(Gyssens, 2005)

Dosis

tepatIIa

Tidak

Mulai

Data lengkap

AB diindikasikan

Alternatif lebih

efektif

VI Stop

Tidak

Tidak

V Stop

IVa

Ya

Ya

Tidak

Pemberian

terlalu lama

IIIa

Tidak

Ya

Ya

Alternatif lebih

tidak toksikIVb

Ya

Tidak

Alternatif lebih

murahIVc

Ya

Tidak

Spektrum

alternatif lebih

sempit

IVd

Ya

Tidak

Pemberian

terlalu singkat

IIIb

Tidak

Ya Ya

Interval

tepatIIb

Tidak

Ya

Rute

tepatIIc

Tidak

Waktu

tepatI

Tidak

Ya

Ya

Tidak termasuk I-IV

0

- 59 -

BAB VI

ANTIMICROBIAL STEWARDSHIP PROGRAM

PADA FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

Antimicrobial Stewardships Programs merupakan suatu program yang saling

melengkapi untuk mengubah atau mengarahkan penggunaan antimikroba di

fasilitas pelayanan kesehatan.

Pelaksanaan program dapat dikelompokkan menjadi dua strategi (Mc Dougal C,

2005):

a. Strategi utama

b. Strategi pendukung

Tujuan program untuk mengoptimalkan penggunaan antimikroba dalam rangka

pengendalian resistensi.

Secara garis besar dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 19. Strategi Utama Antimicrobial Stewardship

Strategi Cara

pelaksanaan

Pelaksana Keuntungan Kerugian

Auditing secara

prospektif

disertai dengan

umpan balik

dan intervensi

1. Audit

kuantitas dan

kualitas

penggunaan

antibiotik.

2. Monitoring

kuman kebal

antibiotik.

1. Dokter

(spesialis

infeksi)

2. Farmasi klinik

yang telah

dilatih tentang

penyakit

infeksi,

3. Mikrobiologi

klinik

1. Perbaikan

kualitas dan

kuantitas

penggunaan

antibiotik

2. Menghemat

biaya

pengobatan

-

Pembatasan

jenis antibiotik

pada

formularium,

diperlukan

pengesahan

untuk

mendapatkan

jenis-jenis

antibiotik

tertentu.

Membatasi

pemberian

antibiotik

(restriksi) dan

hanya diberikan

untuk indikasi

yang disetujui

bersama.

Komite Terapi

Antibiotik:

Personel yang

memberikan

persetujuan/

approval

(dokter,

spesialis infeksi,

farmasi klinik)

1. Dapat

mengkontrol

penggunaan

antibiotik

secara

langsung.

2. Dapat

dijadikan

pendidikan

individu.

1. Para

penulis

resep

antibiotik

merasa

dibatasi

kewenang-

annya.

2. Diperlukan

banyak

waktu

- 60 -

Strategi Cara

pelaksanaan

Pelaksana Keuntungan Kerugian

untuk para

konsultan

Tabel 20. Strategi Pendukung Antimicrobial Stewardship

Strategi Cara

pelaksanaan

Pelaksana Keuntungan Kerugian

Pelatihan dan

penerapan

Pedoman

Penggunaan

Antibiotik

dan Clinical

Pathways

1. Pembentukan

pedoman dan

clinical

pathways

penggunaan

antibiotik.

2. Pelatihan

klinisi secara

kelompok

klinisi atau

individual

oleh pelatih.

1. Komite terapi

antibiotik

membuat

pedoman dan

clinical

pathways

2. Pelatih (dokter,

farmasi).

1. Dapat

mengubah

pola perilaku

2. Menghindari

perasaan

kehilangan

kewenangan

menulis

antibiotik.

Pelatihan

pasif tidak

efektif.

Mengkaji dan

memberi

umpan balik

1. Antibiotik

yang menjadi

target

direview tiap

hari.

2. Umpan balik

ke penulis

resep untuk

memberikan

rekomendasi

alternatif

antibiotik

untuk terapi

yang lebih

tepat.

1. Komite

antibiotik dan

terapi membuat

pedoman.

2. Reviewer

personel

(clinical

pharmacist).

1. Menghindari

perasaan

kehilangan

kewenangan

menulis

antibiotik.

2. Kesempatan

untuk

memberi

penyuluhan

secara

individual.

Kepatuhan

terhadap

rekomendasi

secara

sukarela

kecil

Bantuan

teknologi

informasi

Penggunaan

teknologi

informasi untuk

menerapkan

1. Komite

antibiotik

membuat

aturan-aturan

1. Data penting

yang

diperlukan

dapat mudah

Investasi

yang cukup

mahal.

- 61 -

Strategi Cara

pelaksanaan

Pelaksana Keuntungan Kerugian

strategi yang

sudah

dilaksanakan.

yang di

masukkan ke

sistim

komputer

2. Personel yang

memberikan

persetujuan

penggunaan

antibiotik

(reviewer).

3. Programmer

computer.

diperoleh.

2. Dapat

membantu

strategi

lainnya.

Streamlining

atau

Terapi de-

eskalasi.

Setelah tersedia

hasil

pemeriksaan

mikrobiologi dan

test kepekaan

terapi empiris

antibiotik diubah

menjadi:

1. lebih sensitif

2. spektrum lebih

sempit,

3. lebih aman

4. lebih murah

Tersedia

laboratorium

mikrobiologi yang

memadai.

1. Biaya lebih

murah.

2. Mencegah

selection

pressure.

Tidak semua

fasilitas

kesehatan

tersedia

laboratorium

mikrobiologi.