PERMASALAHAN DAN TATANGAN PROGRAM PENINGKATAN …

11
2021 PUSAT KAJIAN AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA BADAN KEAHLIAN DEWAN DPR RI PERMASALAHAN DAN TATANGAN PROGRAM PENINGKATAN KONTRIBUSI ENERGI BARU DAN TERBARUKAN DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL Oleh: Vita Puji Lestari

Transcript of PERMASALAHAN DAN TATANGAN PROGRAM PENINGKATAN …

2021

PUSAT KAJIAN AKUNTABILITAS KEUANGAN NEGARA

BADAN KEAHLIAN DEWAN DPR RI

PERMASALAHAN DAN TATANGAN PROGRAM

PENINGKATAN KONTRIBUSI ENERGI BARU

DAN TERBARUKAN DALAM BAURAN

ENERGI NASIONAL

Oleh: Vita Puji Lestari

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 1

Permasalahan dan Tantangan Program Peningkatan Kontribusi

Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional oleh Vita Puji Lestari (Analis APBN Puskaji AKN)

PENDAHULUAN

Peningkatan laju konsumsi energi sejalan

dengan laju pertumbuhan penduduk dan

pertumbuhan perekonomian di suatu

negara. Di Indonesia, konsumsi energi

masih didominasi oleh energi fosil

(minyak bumi, gas bumi, dan batubara)

sedangkan energi baru dan terbarukan

(EBT) masih bersifat alternatif.

Ketergantungan terhadap energi fosil

menimbulkan sekurang-kurangnya tiga

ancaman serius yaitu: 1) Menipisnya

cadangan minyak bumi yang ada (asumsi

tanpa temuan sumur minyak baru); 2)

Kenaikan/ketidakstabilan harga akibat

laju permintaan yang lebih besar dari

produksi minyak; dan 3) Polusi gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil (Lubis, 2007).

Penggunaan bahan bakar minyak bumi dan batu bara masih mendominasi bauran energi primer nasional.

Minyak mentah sendiri merupakan jenis energi yang dominan diimpor dengan pertumbuhan rata-rata

4.3% per tahun seiring berjalannya program RDMP (Refinery Development Master Plan) dan GRR (Grass Root

Refinery). Impor BBM juga masih

diperlukan dan bertumbuh sekitar

4,2% per tahun disebabkan hasil

produksi kilang minyak dalam negeri

masih belum mampu mencukupi

kebutuhan BBM khususnya bensin

(BPPT, 2020). Sedangkan untuk gas,

walaupun saat ini Indonesia masih

menjadi negara pengekspor gas,

namun impor gas dalam bentuk

LNG dan LPG juga semakin

meningkat seiring dengan

peningkatan kebutuhan rumah

tangga dan komersial serta

menurunnya cadangan dan produksi

gas bumi.

Karakteristik energi fosil yang tidak dapat diperbarui (unrenewable) dan mengalami deplesi, serta tingginya

ketergantungan terhadap bahan bakar fosil mengakibatkan kerentanan ketahanan energi nasional sejalan

dengan semakin tingginya ketimpangan (gap) antara supply dan demand energi. Selain itu, demi mendukung

komitmen Indonesia dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagaimana tercantum dalam

Paris Agreement, Pemerintah Indonesia aktif mengembangkan kebijakan seputar EBT untuk menciptakan

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

30,00%

35,00%

40,00%

45,00%

50,00%

2015 2016 2017 2018 2019

Minyak Bumi 46,48% 40,36% 42,09% 38,81% 33,58%

Batu Bara 27,98% 30,68% 30,33% 32,97% 37,15%

Gas Bumi 21,14% 22,35% 21,34% 19,67% 20,13%

EBT 4,40% 6,61% 6,24% 8,55% 9,15%

Grafik 1. Bauran Energi Primer Nasional Tahun 2015 s.d. Tahun 2019 (%)

Sumber: Kementerian ESDM dalam Buku Bauran Energi Naional DEN Tahun 2020 (diolah)

Grafik 2. Proyeksi Rasio Impor Energi dari Tahun 2018 s.d. 2050

Sumber: Outlook Energi Indonesia 2020 oleh BPPT, 2020

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 2

pembangunan berkelanjutan.

Kemudian melalui PP No. 79 Tahun

2014 tentang Kebijakan Energi

Nasional (KEN), Pemerintah

menetapkan target kontribusi EBT

dalam Bauran Energi Primer

Nasional yang ditetapkan minimal

sebesar 23% pada tahun 2025 dan

31% pada tahun 2050. Kemudian di

dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional

(RPJMN) 2015-2019, salah satu

yang menjadi prioritas dalam sasaran

pembangunan sektor unggulan

adalah kedaulatan energi yang

diantaranya diarahkan pada Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam

Bauran Energi Nasional (BEN). Di sisi lain, potensi sumber daya energi khususnya Energi Baru dan

Terbarukan masih cukup besar sehingga peluang pengembangannya masih terbuka lebar.

Komitmen DPR RI dalam rangka mendorong pemanfaatan EBT demi mewujudkan kedaulatan energi

nasional dan pemanfaatan besarnya potensi EBT untuk memajukan kesejahteraan umum, ditunjukkan

dengan masuknya RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang merupakan usulan

Komisi VII DPR RI ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Ke depan,

diharapkan regulasi tersebut dapat menjawab berbagai permasalahan dan tantangan pengembangan EBT

yang ada serta mengakselerasi pengembangan dan investasi EBT secara masif dan berskala besar.

PERMASALAHAN PADA PROGRAM PENINGKATAN KONTRIBUSI ENERGI BARU

DAN TERBARUKAN DALAM BAURAN ENERGI NASIONAL

BPK RI telah melaksanakan beberapa kali pemeriksaan atas kontribusi Energi Baru dan Terbarukan

dalam Bauran Energi Nasional antara lain pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2015 s.d. 2017

(Semester I) dan pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2017 s.d. 2019. Hasil pemeriksaan BPK RI

terhadap efektivitas program peningkatan kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi

Nasional menunjukkan masih adanya sejumlah permasalahan dan tantangan baik dari aspek kebijakan dan

regulasi guna mendukung pengembangan EBT, aspek penyediaan data yang akurat, aspek finansial untuk

pengembangan EBT bagi investor swasta, maupun aspek penyediaan teknologi dan infrastruktur untuk

mendukung investasi swasta di sektor EBT. Permasalahan-permasalahan tersebut secara lebih rinci

diuraikan sebagai berikut.

1. Permasalahan Kebijakan dan Regulasi

Dalam rangka meningkatkan kontribusi EBT dalam Bauran Energi Nasional (BEN), Pemerintah

telah menunjukkan beberapa capaian positif terkait aspek regulasi diantaranya terdapat 15 dari 34

Pemerintah Provinsi yang telah menetapkan Perda RUED sebagaimana diamanatkan dalam

Kebijakan Energi Nasional (per Desember 2019), dan Setjen DEN juga telah melakukan evaluasi

atas kesesuaian antara program dan kegiatan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan

Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Perubahan paradigma dalam arah kebijakan energi khususnya terkait EBT menuntut adanya regulasi

yang komprehensif dan selaras dengan keseluruhan sektor baik pada level pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan koordinasi kebijakan lintas sektoral

Gambar 1. Target Bauran Energi Primer Nasional Berdasarkan KEN Tahun 2014

25%

24%

20%

31%

Batubara

Gas Bumi

Minyak Bumi

EBT

2050 1000 MTOE

TARGET RUEN 2050

30%

22%

25%

23%2025

400 MTOE

TARGET RUEN 2025

KONDISI SAAT INI

26%

23%

46%

5%

2015 166 MTOE

Sumber: Buku Bauran Energi Nasional DEN Tahun 2020

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 3

yang baik. Pada pelaksanaan proses penyusunan target agregat RUEN yang disusun dari target

RUED, ditemukan adanya perbedaan proyeksi angka bauran antara RUED Provinsi dengan Tim

RUED Setjen DEN yang disebabkan adanya perbedaan kondisi perekonomian pada saat

penyusunan RUEN dan RUED sehingga mempengaruhi asumsi-asumsi yang digunakan (BPK RI,

2020).

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN sendiri, telah mengamanatkan agar

RUEN dijadikan sebagai pedoman penyusunan Rencana Strategis K/L. Namun, masih ditemukan

permasalahan adanya kegiatan pada matriks RUEN yang belum bisa dilaksanakan disebabkan belum

terakomodirnya kegiatan tersebut dalam Renstra/RKP terkait maupun masih membutuhkan

dukungan dari K/L lain (BPK RI, 2020).

Gambar 2. Matriks Program Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada Masing-masing

Koordinator Kegiatan

Sumber: Buku Bauran Energi Naional DEN Tahun 2020

Dari segi investasi EBT, disharmonisasi regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM sendiri

maupun disharmonisasi regulasi yang bersifat lintas sektoral merupakan salah satu faktor

penghambat upaya peningkatan investasi di bidang Energi Baru dan Terbarukan. Salah satunya

regulasi terkait mekanisme penetapan harga jual energi terbarukan. Di dalam PP No. 79 Tahun 2014

tentang Kebijakan Energi Nasional disebutkan bahwa guna mewujudkan pasar tenaga listrik maka

pemerintah menetapkan mekanisme feed-in tariff dalam penetapan harga jual energi terbarukan.

Mekanisme tersebut dirancang untuk percepatan investasi teknologi Energi Terbarukan karena

memberikan kepastian harga bagi pengembang EBT. Namun, pada Permen ESDM Nomor 50

Tahun 2017 yang telah diubah terakhir pada Permen ESDM No. 4 Tahun 2020 tentang Pemanfaatan

Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, terdapat perubahan terkait mekanisme

pembelian tenaga listrik oleh PT PLN dimana harga beli listrik dari Independent Power Producer (IPP)

merujuk kepada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan listrik setempat/lokal. Kebijakan

harga tersebut mempertimbangkan efisiensi harga sekaligus menurunkan BPP tenaga listrik PT PLN.

Disharmonisasi kedua peraturan tersebut dapat menghambat investasi (BPK RI, 2020). Meski

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 4

demikian, melalui Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang tengah

disusun, Pemerintah tengah menyiapkan skema penggantian biaya bagi badan usaha. Dalam hal harga

listrik yang bersumber dari energi terbarukan lebih tinggi dari BPP pembangkit listrik perusahaan

listrik milik negara, pemerintah pusat berkewajiban memberikan pengembalian selisih harga energi

terbarukan dengan biaya pokok penyediaan pembangkit listrik setempat kepada perusahaan listrik

milik negara dan/atau badan usaha terkait. Selain itu, Pemerintah juga sedang menyusun regulasi

yang lebih detail terkait harga EBT.

2. Permasalahan Data

Data potensi EBT merupakan instrumen penting yang digunakan oleh investor di bidang EBT

sebagai data awal dalam pengambilan keputusan berinvestasi. Hampir semua investor menggunakan

data potensi yang dihasilkan oleh Kementerian ESDM sebagai sumber rujukan. Namun, masih

terdapat sejumlah permasalahan pada data potensi yang dimiliki oleh Pemerintah diantaranya data

potensi EBT belum sepenuhnya mutakhir (BPK RI, 2020). Sebagai contoh, perbandingan data

terkait potensi EBT yang dituangkan dalam tiga regulasi (RUEN, RUKN, dan RUPTL)

menunjukkan nilai yang berbeda sebagaimana ditunjukkan oleh tabel berikut.

Tabel 1. Perbandingan Data Potensi EBT pada RUEN, RKUN, dan RUPTL

No Jenis Energi Potensi (MW)

RUEN RUKN RUPTL

1. Panas Bumi 29.544 29.545 29.544

2. Air 75.091 96.079 75.091

3. Minihidro & Mikrohidro 19.385 19.385 19.385

4. Bio Energi 32.658 32.654 32.654

5. Surya 207.898 207.898 207.898

6. Angin 60.647 60.647 60.647

7. Laut 17.989 17.989 17.989

Jumlah 443.212 464.197 443.208

Sumber: LHP BPK RI, 2020

Untuk potensi energi panas bumi, data potensi yang tercatat pada RUEN, RUKN dan RUPTL

merupakan data Badan Geologi tahun 2015 dan baru dimutakhirkan pada tahun 2018. Sementara

data potensi EBT selain panas bumi belum dimutakhirkan. Data potensi EBT yang tidak mutakhir

dan akurat menjadi hambatan bagi investor untuk membuat keputusan berinvestasi karena

menyebabkan peningkatan biaya yang signifikan untuk penelitian dan pengukuran potensi, serta

kesulitan mendapatkan pendanaan karena ketidakakuratan data yang dapat mengakibatkan kalkulasi

proyek tidak valid (BPK RI, 2020).

Atas data potensi EBT yang tersedia pun berpotensi tidak dapat direalisasi seluruhnya disebabkan

adanya sejumlah limitasi, misalnya terbentur ketentuan peraturan perundang-undangan yang

membatasi eksploitasi di kawasan hutan terutama untuk komoditas energi panas bumi. Berbagai

limitasi atas eksploitasi tersebut menyebabkan adanya distorsi data Potensi EBT. Selain itu, belum

adanya pengaturan terkait pemanfaatan arus informasi dari stakeholder lain (misalnya akademisi,

pelaku usaha, dll) terkait EBT, dan belum adanya mekanisme pengintegrasian data tersebut.

3. Permasalahan Insentif dan Pendanaan

Investasi swasta merupakan salah satu faktor penting untuk mendorong pencapaian target kontribusi

EBT dalam Bauran Energi Nasional. Dengan kebutuhan investasi yang besar untuk mencapai target

tersebut, jika hanya bergantung pada pendaanaan Pemerintah, setidaknya terdapat gap kebutuhan

investasi sebesar 98% per tahun untuk mengembangkan sistem energi di Indonesia (CPI, 2020).

Menurut Climate Policy Initiative (CPI, 2020) terdapat beberapa hambatan yang menyebabkan kurang

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 5

menariknya minat investor swasta di bidang EBT yaitu: 1) Kendala regulasi yang menghambat proyek

baru; 2) Proyek energi terbarukan yang cenderung berskala kecil dan terdesentralisasi menjadi kurang

menarik bagi investor swasta; 3) Kurangnya akses terhadap pendanaan yang inovatif, dan 4)

Kurangnya instrumen finansial untuk pendanaan proyek maupun memitigasi risiko finansial yang

ada. Untuk itu, Pemerintah telah berupaya untuk memberikan insentif baik fiskal maupun non fiskal

kepada pengembang untuk meningkatkan investasi di bidang EBT. Beberapa skema insentif di

bidang EBT yaitu: 1) Fasilitas PPh berupa tax allowance, tax holiday, dan pengecualian PPh Pasal 22

Impor; 2) Fasilitas impor berupa pembebasan PPN Impor dan Bea Masuk; dan 3) Fasilitas

pengurangan PBB khusus untuk sektor panas bumi (BKF Kemenkeu, 2018). Pada implementasinya,

pemberian skema insentif tersebut masih menemui sejumlah permasalahan.

➢ Pertama, skema insentif fiskal pengurangan pungutan pemerintah baik berupa tax allowance

(keringanan pajak), tax holiday (pengurangan pajak sebesar 100% dalam jangka waktu tertentu),

dan fasilitas impor belum dimanfaatkan secara optimal oleh pengembang EBT. Pada pemberian

insentif tax allowance, diketahui bahwa banyak perusahaan pengembang EBT yang tidak

mengajukan tax allowance karena perusahaan keberatan diperiksa pembukuannya untuk

memastikan terpenuhi/tidaknya kewajiban perpajakan perusahaan sedangkan insentif tax allowance

sendiri mensyaratkan pemohon untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan terbebas dari masalah

perpajakan (BPK RI, 2020). Pada pemberian insentif tax holiday, perusahaan menerima

pengurangan pungutan PPh Badan sebesar 100% dalam jangka waktu 5 s.d. 20 tahun. Namun

untuk jangka waktu pemberian insentif tax holiday tersebut, dinilai sejumlah perusahaan masih

kurang efektif (BPK RI, 2020). Hal tersebut dikarenakan pada saat lima tahun pertama,

perusahaan masih belum mendapat laba atas proyek pembangunan pembangkit listrik yang

bersumber dari EBT sehingga tanpa insentif tax holiday pun, perusahaan tidak wajib membayar

PPh Badan (nihil).

➢ Kedua, skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dianggap tidak kompatibel untuk

pengembangan pembangkit listrik EBT dikarenakan skema tersebut tidak cocok untuk proyek

infrastruktur EBT berskala kecil (BPK RI, 2020). Jumlah minimal nilai investasi yang berhak

menggunakan skema KPBU berupa Availability Payment/AP dan Viability Gap Fund(VGF) adalah

Rp100 miliar. Selain itu, dalam skema KPBU diketahui penentuan pihak swasta/Badan Usaha

yang akan bekerja sama dengan Pemerintah dilakukan berdasarkan mekanisme seleksi kompetitif

sedangkan dalam Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang terakhir diubah dengan dalam

Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2020, pembelian tenaga listrik oleh PT PLN dilakukan melalui

mekanisme pemilihan langsung bersyarat.

➢ Ketiga, penjualan listrik berdasarkan BPP pembangkitan setempat kurang menarik bagi investor.

BPP yang semakin tinggi diharapkan dapat menarik pengembang EBT untuk berinvestasi di

Indonesia, terutama di wilayah timur yang memiliki BPP Pembangkitan relatif lebih tinggi

dibandingkan wilayah barat. Namun, kebutuhan listrik di daerah timur juga lebih rendah

dibanding kebutuhan listrik di daerah barat sehingga harga jual yang tinggi tersebut tidak optimal

menarik minat investor dikarenakan pertimbangan kebutuhan listrik di suatu daerah juga

merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan kelayakan investasi selain harga jual (BPK

RI, 2020). Grafik berikut menggambarkan besaran BPP Pembangkitan rata-rata per wilayah

Tahun 2018 dibandingkan dengan jumlah penjualan tenaga listrik Tahun 2018 berdasarkan

RUPTL PLN 2019-2028.

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 6

Grafik 3. Perbandingan BPP Pembangkitan dengan Penjualan Tenaga Listrik Per Wilayah

Tahun 2018

Sumber: Lampiran Kepmen ESDM No. 55 Tahun 2019 dan RUPTL PLN 2019-2028 (diolah)

BKF Kementerian Keuangan dalam kajiannya (2018) menyebutkan bahwa permasalahan umum

dalam penetapan harga EBT di Indonesia adalah kegagalan pasar. Kegagalan pasar mengakibatkan

harga energi lebih tinggi dari harga sebenarnya sehingga Pemerintah perlu mengucurkan subsidi

energi untuk menutupi gap tersebut.

Terdapat tiga faktor yang

diindentifikasi menjadi penyebab

kegagalan pasar yaitu: 1) Negara

Kepulauan; 2) Ketimpangan

distribusi penduduk dan pendapatan

antar wilayah; dan 3) Konsumsi

energi yang tidak merata. Wilayah

Indonesia yang berbentuk negara

kepulauan mengakibatkan sebaran

penduduk tidak merata dan

cenderung terkonsentrasi pada

wilayah dengan aktivitas ekonomi yang padat. Konsentrasi penduduk yang padat tersebut, juga

sejalan dengan tingginya konsumsi energi di wilayah terkait yang mengakibatkan konsumsi energi

per wilayah menjadi tidak merata dan cenderung lebih tinggi di Indonesia wilayah barat

dibandingkan Indonesia wilayah timur.

➢ Keempat, mekanisme yang memberikan kepastian harga bagi investor belum optimal. Kepastian

harga merupakan faktor penting bagi investor dalam melakukan pertimbangan investasi EBT.

Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 mengatur bahwa harga jual ditentukan berdasarkan BPP

Pembangkitan setempat dan terdapat pasal yang membuka peluang untuk negosiasi harga antara

PT PLN dengan IPP. Negosiasi harga tersebut kurang menarik bagi investor karena tidak dapat

memberikan kepastian harga. Pengaturan mengenai harga jual pembangkit EBT juga tidak diubah

dalam Permen ESDM No. 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM No. 50

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

180.000

200.000

Sumatera Jawa, Bali, &Nusa Tenggara

Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua

BP

P P

em

ban

gkit

an (

Rp

/kW

h)

Pe

nju

alan

Te

nag

a Li

stri

k (T

Wh

)

BPP Pembangkitn Per Wilayah Penjualan Tenaga Listrik (TWh)

Kegagalan

Pasar

Ketimpangan distribusi

penduduk dan pendapatan

antar wilayah

Negara

Kepulauan

Konsumsi

energi tidak

merata

Gambar 3. Masalah dalam Penetapan Harga Energi Baru dan Terbarukan di Indonesia

Sumber: BKF Kemenkeu, 2018

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 7

Tahun 2017.

Secara umum, berdasarkan kajian yang dilakukan oleh BKF Kemenkeu tahun 2018 menunjukkan

jika dampak yang dihasilkan atas pemberian suatu insentif akan sangat bergantung pada jenis

investasi EBT yang dipilih karena masing-masing jenis EBT memiliki struktur biaya investasi yang

berbeda. Selain itu, pengembang lebih menginginkan insentif fiskal yang memiliki potensi untuk

menurunkan biaya investasi kemudian setelah itu yang berkaitan dengan fasilitas impor. Meski

demikian, pengembang secara umum masih mengalami kesulitan dalam proses pengajuan insentif.

Instrumen pendanaan merupakan salah satu pendorong percepatan peningkatan investasi EBT yang

dapat digunakan oleh pengembang EBT maupun Pemerintah untuk meningkatkan kapasitas

pengembang dalam melakukan studi kelayakan, meningkatkan kemampuan keuangan pengembang,

mensubsidi harga jual listrik, mendukung peningkatan program konservasi energi, dan mendukung

penelitian dan pengembangan EBT (BPK RI, 2020). Lebih lanjut, Kamar Dagang dan Industri

Indonesia (KADIN) menyampaikan pentingnya mendorong semua stakeholder termasuk OJK dan

lembaga pembiayaan untuk ikut berperan aktif dalam menyelesaikan roadmap sustainable finance beserta

penerapannya1. Selain itu, dalam mendorong iklim investasi dan pembiayaan pengembangan EBT,

KADIN juga menyampaikan pentingnya mendorong iklim investasi yang kondusif,

mempertimbangkan kondisi Indonesia yang berupa negara kepulauan, memprioritaskan

pembangunan proyek EBT skala kecil khususnya di wilayah 3T, mengusulkan dibentuknya Badan

Pengelola Energi Terbarukan, dan menetapkan harga energi terbarukan secara baku dan

memperhatikan nilai keekonomiannya.

Pemerintah sendiri telah menyediakan beberapa instrumen pendanaan untuk mendukung

peningkatan investasi di bidang EBT antara lain Pembiayaan Infrastruktur Non Anggaran (PINA)

dan pembiayaan melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Selain itu, Pemerintah juga sedang

mengembangkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) yang berfungsi mengelola

dana yang dipungut dari dana reboisasi untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup salah

satunya dengan pengembangan energi bersih yang menjadi bagian dari window Adaptasi Perubahan

Iklim. Meski demikian, dalam implementasinya masih ditemukan sejumlah kendala.

➢ Pertama, kualitas proposal proyek pengembangan EBT yang belum memadai mengakibatkan

pembiayaan belum mengalir optimal. Pembiayaan melalui PT SMI memiliki persyaratan yang

lebih sulit khususnya bagi para pengembang baru yang dianggap memiliki risiko tinggi (BPK RI,

2020). Selain itu, proyek pengembangan EBT menggunakan skema project finance, sehingga kualitas

proyek merupakan jaminan utama bagi pemberi dana sedangkan pengembang baru rata-rata

belum memiliki portofolio yang dapat meyakinkan pemberi dana untuk memberikan pembiayaan.

Untuk itu, Pemerintah melalui Kementerian ESDM perlu mendorong peningkatan kualitas

perencanaan dan pelaksanaan proyek antara lain dengan memberikan bimbingan teknis kepada

pengembang EBT, terutama pengembang baru. Senada dengan hal tersebut, hasil RDPU antara

Komisi VII DPR RI dengan Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan

(ADPMET), juga menyoroti pentingnya peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan

pelatihan pekerja lokal sebagai bagian dari pelaksana pengembangan EBT di lapangan. ADPMET

juga mengharapkan agar proyek energi terbarukan masuk dalam proyek strategis nasional.

➢ Kedua, selain kualitas proyek yang masih perlu ditingkatkan, skema Build, Own, Operate, and Transfer

(BOOT) sebagaimana dipersyaratkan dalam Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 juga

mengakibatkan proyek pengembangan EBT kesulitan memperoleh pinjaman dari bank (BPK RI,

1 Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi VII DPR RI dengan Ketua Umum KADIN, Sekretariat TLFF dan Dirut PT

Sarana Multi Infrastruktur terkait investasi dan pembiayaan proyek EBT pada Senin, 21 September 2020.

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 8

2020). Dengan adanya BOOT, pihak pengembang harus mengalihkan aset yang dimiliki termasuk

tanah kepada PT PLN pada akhir periode kontrak. Pihak bank selaku pemberi dana tidak memiliki

jaminan bahwa pengembang EBT dapat mengembalikan pinjamannya karena umumnya tanah

yang dimiliki pengembang digunakan sebagai agunan dalam melakukan pinjaman. Namun melalui

Permen ESDM No. 4 Tahun 2020, kebijakan skema BOOT tersebut telah dihapus dan diganti

menjadi skema Build, Own, and Operate (BOO) sehingga diharapkan bisa meningkatkan minat

investor untuk berinvestasi.

➢ Ketiga, belum adanya sumber dana khusus energi terbarukan untuk melakukan intervensi finansial.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pada tahun 2018 pernah mengeluarkan

kajian mengenai skema Dana Energi Terbarukan (DET) dimana dana tersebut dapat bersumber

dari Pemerintah, lembaga donor, maupun lembaga keuangan internasional dengan implementasi

yang dapat disinergikan dengan mekanisme PT SMI atau BPDLH. Institute For Essential Services

Reform (IESR, 2018) telah mengkaji mengenai dukungan pendanan non konvensional dalam

bentuk Indonesia Clean Energy Fund (ICEF), sebuah dana khusus untuk mendorong pengembangan

energi terbarukan di Indonesia. Menurut IESR, alasan Indonesia membutuhkan dana tersebut

yaitu: 1) Kondisi pasar energi terbarukan yang masih kecil dengan tingkat risiko tinggi, kerangka

regulasi belum stabil berakibat pada rendahnya minat lembaga keuangan konvensional untuk

melakukan pembiayaan proyek; 2) Secara politis terdapat kebutuhan untuk menurunkan harga

listrik dalam jangka panjang dari pemanfaatan pembangkit energi terbarukan dimana ICEF dapat

digunakan sebagai sumber pendanaan dalam pemberian insentif fiskal maupun finansial; 3)

Sejumlah potensi energi terbarukan berada di Indonesia Timur dimana permintaan relatif rendah

dan kapasitas pembangkit yang kecil sehingga minat lembaga keuangan untuk memberikan

pendanaan masih rendah; dan sebagainya. Hal ini kemudian telah diakomodasi pada BAB X RUU

EBT tentang Dana Energi Baru dan Terbarukan yang diharapkan dapat menjawab berbagai

masalah pendanaan. Lebih lanjut, diperlukan persiapan untuk mensinergikan fungsi DET dengan

jenis pendanaan lainnya, serta upaya untuk mengawal penyusunan pengaturan teknis yang

dibutuhkan terkait pengelolaan dana tersebut.

4. Permasalahan terkait Penelitian dan Pengembangan

Permasalahan ketidakstabilan arus listrik yang dihasilkan (intermiten) terutama pada PLTS dan PLTB

seringkali menjadi kendala pada pembangkit EBT. Arus listrik pada pembangkit tersebut sangat

bergantung pada cuaca sehingga diperlukan adanya teknologi dan infrastruktur yang memadai guna

mendukung pengembangan EBT (BPK RI, 2020). Namun, penggunaan teknologi intermiten

tersebut cukup mahal, sehingga harus dapat diantisipasi oleh semua pihak.

Selain kesiapan sistem dan jaringan PLN, serta biaya intermiten, permasalahan terkait supply dan

demand juga menjadi pertimbangan investor dalam mengembangkan pembangkit EBT intermiten,

seperti PLTS dan PLTB (BPK RI, 2020). Beberapa sistem kelistrikan PLN sulit menerima EBT

karena saat ini sistem kelistrikan di PLN oversupply sehingga PLN harus menghadapi konsekuensi

potensi denda Take or Pay dari pembangkit IPP sebelumnya. Selain itu, pembangkit listrik EBT yang

bersifat intermiten (PLTB dan PLTS) juga mempengaruhi kemampuan jaringan PLN sehingga

diperlukan tambahan biaya yang cukup signifikan agar pembangkit tersebut dapat masuk ke jaringan

PLN. Lebih lanjut, monitoring dan evaluasi terkait implementasi tekonologi dan infrastruktur

pendukung Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) EBT belum memadai dan masih berdasarkan

permintaan.

Selain permasalahan teknologi dan infrastruktur, komitmen pemerintah pada kegiatan riset

(penelitian) dan pengembangan di bidang EBT juga belum optimal (BPK RI, 2020). Salah satu

bentuk komitmen tersebut adalah melalui dukungan pendanaan, namun anggaran dan realisasi

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 9

program dan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang EBT pada satker terkait cenderung

mengalami penurunan setiap tahunnya. Sedangkan untuk penelitian yang menghasilkan prototype

teknologi pendukung EBT hanya diuji coba di beberapa pembangkit tertentu berkapasitas kecil.

Belum ada upaya yang masif dan komprehensif untuk dapat membawa inovasi tersebut ke industri

dan pasar dalam negeri dikarenakan proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Selain berbagai permasalahan yang telah diuraikan di atas, DPR RI melalui Komisi VII juga aktif

melakukan pembahasan baik dengan Kementerian/Lembaga maupun Asosiasi terkait. Dalam RDPU

antara Komisi VII DPR RI dengan Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET),

disepakati untuk mewujudkan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi bagi daerah penghasil

Migas dan Energi Terbarukan antara lain dengan memberikan kesempatan kepada Pemda melalui BUMD

untuk mengelola ladang-ladang migas marginal dan sumber energi terbarukan, pemberian insentif bagi

daerah penghasil energi terbarukan, subsidi Pemerintah terhadap harga jual EBT, dan pemberian

Participating Interest (PI) minimal 10% kepada daerah penghasil migas dan energi terbarukan. Dalam rangka

mewujudkan keadilan pengembangan energi antarwilayah, ASEAN Centre for Energy dalam RDPU dengan

Komisi VII DPR RI menyampaikan pentingnya menggunakan pendekatan yang memperhatikan

kombinasi energi sesuai dengan wilayah dan karakteristiknya serta aspek affordability security.

KESIMPULAN DAN SARAN PERBAIKAN

Energi baru dan terbarukan merupakan elemen penting dalam menopang ketahanan energi guna

mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Indonesia sendiri masih sangat bergantung pada

energi fosil dimana hal tersebut menimbulkan sekurangnya tiga ancaman serius yaitu: 1) Menipisnya

cadangan minyak bumi yang ada (asumsi tanpa temuan sumur minyak baru); 2) Kenaikan/ketidakstabilan

harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak; dan 3) Polusi gas rumah kaca akibat

pembakaran bahan bakar fosil (Lubis, 2007). Oleh karena itu, transisi energi dan efisiensi energi perlu

segera dilaksanakan.

Untuk meningkatkan kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional, masih

ditemukan sejumlah permasalahan dan tantangan baik dari aspek kebijakan dan regulasi guna mendukung

pengembangan EBT, aspek penyediaan data yang akurat, aspek finansial untuk pengembangan EBT bagi

investor swasta, dan aspek penyediaan teknologi dan infrastruktur untuk mendukung investasi swasta di

sektor EBT.

• Aspek kebijakan dan regulasi, koordinasi kebijakan lintas sektoral belum secara optimal

mendukung pencapaian target kontribusi Energi Baru dan Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional

diantaranya terkait penetapan harga jual energi terbarukan, masalah perizinan, dan pembagian

kewenangan antara pusat dan daerah;

• Aspek akurasi data EBT, data potensi EBT yang umumnya menjadi sumber rujukan investor belum

sepenuhnya mutakhir dan akurat sehingga belum optimal mendukung upaya peningkatan investasi

swasta di bidang EBT;

• Aspek insentif dan pendanaan, skema insentif yang ada belum efektif dalam meningkatkan

investasi di bidang EBT, dan instrumen pendanaan yang ada saat ini belum cukup efektif mengatasi

kesulitan investor dalam memperoleh akses pendanaan guna mengembangkan EBT;

• Aspek penelitian dan pengembangan, komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan

anggaran maupun non anggaran terhadap peningkatan riset dan pengembangan investasi di bidang

EBT masih perlu ditingkatkan.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, maka terdapat beberapa saran perbaikan sebagai

berikut:

• Perlu adanya koordinasi secara proaktif dan intensif baik secara lintas sektoral dengan

Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara | 10

Kementerian/Lembaga, dan adanya pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah terkait

penyiapan payung hukum dan kerangka kebijakan yang kuat bagi pengembangan Energi Baru dan

Terbarukan dengan tetap memperhatikan keadilan pengembangan energi antar wilayah;

• Mengkaji dan mengkoordinasikan pemutakhiran data potensi EBT oleh stakeholder terkait untuk

menghasilkan data yang akurat dan andal, serta menyajikan data potensi awal beserta limitasinya secara

komprehensif kepada investor melalui suatu platform online;

• Pemerintah perlu mengembangkan skema insentif baru yang mendorong peningkatan investasi dan

pengembangan infrastruktur EBT misalnya pemberian subsidi bunga, pembebasan PPN jasa

konstruksi, kemudahan perizinan, dan sebagainya;

• Memperkuat pengawasan dan monev berbagai program pengembangan EBT yang diperjelas melalui

peraturan implementasi agar pelaksanaannya dapat berjalan efektif dan hasil monev tersebut dapat

digunakan sebagai saran perbaikan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Badan Kebijakan Fiskal. 2018. Kajian Analisis Dampak Insentif Fiskal terhadap Investasi dan Harga Jual Listrik dari Energi Terbarukan. Jakarta: Kementerian Keuangan RI

Badan Pemeriksa Keuangan. 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Energi Baru Terbarukan dalam Rasio Elektrifikasi dan Bauran Energi Nasional pada Dirjen EBT dan Konservasi Energi, Dirjen Ketenagalisrikan, dan Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM serta Instansi terkait lainnya tahun 2015, 2016, dan 2017 (Semester I). Jakarta: BPK RI.

___________. 2020. Laporan Hasil Pemeriksaan Kinerja atas Efektivitas Program Peningkatan Kontribusi Energi Baru Terbarukan dalam Bauran Energi Nasional Tahun 2017 s.d. Tahun 2019. Jakarta: BPK RI.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2020. Outlook Energi Indonesia 2020: Edisi Khusus Dampak Pandemi COVID-19 terhadap Sektor Energi di Indonesia. Jakarta: BPPT.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Jakarta: Bappenas.

Climate Policy Institute, 2020. Enhancing Decentralized Renewable Energy Investment to Achieve Indonesia’s Nationally Determined Contribution. Climate Policy Institute Indonesia: Jakarta.

Dewan Energi Nasional. 2020. Bauran Energi Nasional. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional

Indonesian Center for Environmental Law. 2021. Dua Isu Krusial Dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan. Jakarta: ICEL.

Institute For Essential Services Reform. 2018. Indonesia Memerlukan Pendanaan Khusus Untuk Energi Terbarukan: Pembelajaran dari Jerman, Cina, dan India. Jakarta: Indonesia Clean Energy Forum.

Kementerian ESDM. 2017. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Berita Negara Republik Indonesia Tahu 2017 Nomor 1107. Jakarta: Kemenkumham RI.

___________. 2020. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 4 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Permen ESDM No. 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Berita Negara Republik Indonesia Tahu 2020 Nomor 171. Jakarta: Kemenkumham RI.

Lubis, Abubakar. 2007. Energi Terbarukan Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Teknik Lingkungan Vol. 8 No.2 Hal 155-162. Jakarta: Mei 2007.

Pusat Perancangan undang-Undang. 2018. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Energi Baru dan Terbarukan. Jakarta: Badan Keahlian DPR RI.

Republik Indonesia. 2014. Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 300, Jakarta: Kemenkumham RI.

___________. 2017. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 43, Jakarta: Kemenkumham RI.