Perlunya mengembangkan eRekap dan menghindari EVMrumahpemilu.com/public/doc/2015_05_27_05_55_42_IFES...

download Perlunya mengembangkan eRekap dan menghindari EVMrumahpemilu.com/public/doc/2015_05_27_05_55_42_IFES Indonesia... · melalui crowdsourcing; ... Makalah ini mendapatkan kontribusi

If you can't read please download the document

Transcript of Perlunya mengembangkan eRekap dan menghindari EVMrumahpemilu.com/public/doc/2015_05_27_05_55_42_IFES...

  • Page i

    IFES Indonesia

    Perlunya mengembangkan eRekap dan menghindari mesin

    pemungutan suara elektronik

    IFES Indonesia, Mei 2015

    Menuju Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2015 di Indonesia

  • Page iii

    IFES Indonesia

    Table of ContentsRingkasan Eksekutif 1

    Pengantar 3

    Pemilu 2014 di Indonesia 4

    Kekuatan yang Ada 4

    Inovasi yang Berhasil 4

    Perbaikan Utama 6

    Persoalan Kelembagaan 6

    Rekomendasi untuk Solusi Teknologi Pemilu 7

    Mesin Pemungutan Suara 7

    Upaya EVM di Indonesia 7

    Permasalahan EVM dan Pengalaman Internasional 9

    Sistem Manajemen Hasil (eRekap) 18

    Rekomendasi untuk KPU 21

    Menciptakan Dewan Penasihat Nasional untuk Teknologi Informasi Pemilu 21

    Kajian Kelayakan Penggunaan Mesin Pemungutan Suara di Indonesia 21

    Membangun sistem manajemen hasil pemilu secara menyeluruh 22

    Membantu KPU mengembangkan strategi TI yang komprehensif 22

    Melanjutkan Pengembangan Memanfaatkan Platform SIDALIH 23

    Annex 1) Sumber Daya EVM 24

    Annex 2) Sumber Daya Studi Kelayakan 25

    Annex 3) Daftar Akronim 26

  • Page 1

    IFES Indonesia

    Ringkasan Eksekutif

    Tahun 2014, KPU memperkenalkan sejumlah inovasi teknologi informasi (TI) untuk meningkatkan kualitas pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. KPU menetapkan standar-standar layanan baru pada sejumlah bidang, termasuk:

    SIDALIH, basis data daftar pemilih nasional pertama di Indonesia dan terbesar di dunia dengan hampir 190 juta pemilih, yang menghasilkan daftar pemilih KPU yang paling akurat dan tidak kontroversial sampai saat ini;

    Application Programming Interface (API) KPU, yang memungkinkan KPU untuk menyajikan data kepemiluan dalam format open data sehingga meningkatkan tingkat transparansi dan memungkinkan masyarakat maupun mitra KPU untuk mengembangkan layanan kepemiluan yang bermanfaat bagi mereka berdasarkan data tersebut;

    Arsip online yang berisikan hasil pemindaian formulir model C1 dari seluruh TPS, yang memungkinkan masyarakat umum untuk turut serta melakukan penghitungan hasil pemilu secara swadaya melalui crowdsourcing;

    Infrastruktur TI yang menghubungkan 531 kantor KPU dan memungkinkan KPU menjalankan SIDALIH dan inisiatif pemindaian (scan) hasil pemilu.

    Sayangnya, pemilu 2014 juga menyoroti beberapa bidang di mana KPU belum berhasil mencapai standar internasional penyelenggaraan pemilu, khususnya:

    KPU tidak sanggup mengumumkan hasil pemilu dengan cepat;

    Tingginya jumlah suara tidak sah;

    Kurangnya tenaga ahli TI di KPU untuk mengembangkan dan memelihara sistem TI mereka sendiri;

    KPU tidak memiliki strategi TI kelembagaan yang mampu memberikan solusi atas kebutuhan organisasi.

    Akhir-akhir ini, perdebatan mengenai penyelenggaraan pemilu salah satunya terfokus pada peran teknologi yang dapat digunakan pada pemilu Indonesia yang akan datang, dengan penekanan khusus pada pengenalan mesin pemungutan suara (elektronic voting machine atau EVM). IFES beranggapan bahwa pengenalan EVM di Indonesia adalah

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 2

    suatu kesalahan dan perubahan yang dilakukan sebagai imbas penerapan EVM akan melemahkan kinerja pemilu itu sendiri. Ketika mempertimbangkan penggunaan EVM dalam konteks Indonesia serta best practice internasional, kami menemukan bahwa:

    Kegiatan pemungutan dan penghitungan suara di Indonesia telah menjadi standar internasional dalam hal transparansi dan merupakan kepemillikan lokal yang justru akan dilemahkan dengan keberadaan EVM. Pada hari pemungutan suara, di hampir setengah juta TPS di seluruh negeri, KPU menyelenggarakan pemungutan suara dan menyediakan layanannya yang bagi para penduduk dianggap sebagai sebuah perayaan, bukan kewajiban sesuatu yang didambakan oleh banyak negara.

    Secara global, EVM mulai kehilangan kredibilitas. Hanya sedikit negara yang menggunakan EVM secara eksklusif, kebanyakan sistem EVM tidak mendapatkan kepercayaan publik, EVM tidak memberikan penghematan biaya seperti yang dijanjikannya, dan EVM kurang transparan. Hal-hal tersebut telah mondorong banyak negara melarang penggunaannya.

    Singkat kata, IFES sangat menganjurkan agar EVM tidak diperkenalkan di Indonesia.

    Sebaliknya, untuk membuat kemajuan yang berarti, dengan memanfaatkan keberhasilan TI pemilu 2014, KPU sebaiknya memimpin diskusi pemilu yang lebih luas daripada hanya sebatas EVM. Secara khusus, KPU harus:

    Membangun sistem manajemen hasil pemilu elektronik (disebut juga eRekapitulasi atau eRekap) yang memungkinkan KPU untuk menetapkan hasil pemilu secara cepat dan kredibel.

    Mendapatkan pedoman dan kepiawaian melalui kerja sama dengan pihak-pihak yang menyuarakan e-government di Indonesia untuk mengatasi keterbatasan kapasitas TI dalam KPU.

    Mengembangkan strategi TI kelembagaan yang menangani semua aspek penyelenggaraan pemilu.

    Membangun solusi TI yang memanfaatkan infrastruktur TI terkini dan memperkenalkan alat bantu baru yang mampu mengefektifkan layanan kepemiluan (pendaftaran pemilih, hasil pemilu, pendidikan pemilih, pendaftaran partai politik dan kadidat, keuangan partai politik, dan lain-lain) dan tugas-tugas organisasi (keuangan, logistik, pengadaan, SDM, analisa data, dan lain-lain).

    KPU harus memulai usaha ini dengan meniru kesuksesan yang diperoleh saat melakukan reformasi pendaftaran pemilih. Pada pemilu 2014, untuk pertama kalinya daftar pemilih tidak dipermasalahkan. Melalui kegiatan Prakarsa Pendaftaran Pemilih KPU, telah dibentuk sebuah komite pengarah yang dipimpin KPU dan beranggotakan perwakilan dari KPU pusat dan KPU daerah, perwakilan institusi pemerintahan dari Kemendagri dan BPPT, dan para pemimpin masyarakat sipil dan akademisi, untuk membantu mensukseskan penyusunan daftar pemilih.

    Keberadaan proses konsultatif dan inklusif serupa yang mendukung terbentuknya dewan penasihat nasional terkait teknologi kepemiluan yang dipimpin oleh KPU akan sangat bermanfaat bagi KPU dan proses kepemiluan. Proses konsultatif ini akan memungkinkan kepemimpinan KPU untuk memperkuat hubungannya dengan mitra dari lembaga pemerintahan yang lain dan juga figur-figur utama dalam

  • Page 3

    IFES Indonesia

    reformasi pemilu. Dewan penasihat ini juga akan menyediakan jalur bagi KPU untuk mendapatkan pedoman strategi TI berkelanjutan yang dibutuhkan oleh KPU. Usaha ini bertujuan untuk memberikan dukungan yang luas terhadap reformasi teknologi kepemiluan yang spesifik dan tepat. Langkah-langkah pertama yang akan dilakukan oleh dewan penasihat adalah:

    Melaksanakan kajian kelayakan EVM yang berfokus pada pertanyaan Apakah Indonesia membutuhkan EVM? dan bukan pada pertanyaan Apakah Indonesia siap untuk EVM?

    Mendukung KPU dalam mengembangkan sistem manajemen hasil pemilu.

    Membantu KPU mengembangkan strategi TI yang komprehensif dan memastikan seluruh solusi teknologi pemilu yang ada sudah sesuai, terintegrasi, dan dijalankan menggunakan infrastruktur yang sama.

    PengantarIFES adalah organisasi internasional nirlaba non-partisan. Sebagai pemimpin global yang mempromosikan demokrasi, IFES memajukan tata kelola pemerintahan yang baik dan hak-hak demokrasi dengan menyediakan bantuan teknis bagi penyelenggara pemilu; memberdayakan pihak yang kurang terwakili untuk berpartisipasi dalam proses politik; dan menerapkan riset lapangan untuk meningkatkan kualitas siklus pemilu. Sejak 1987, IFES telah bekerja di lebih dari 135 negara, mulai dari negara dengan tingkat demokrasi yang masih berkembang hingga negara yang demokrasinya sudah matang.

    Sejak 1998, IFES telah menyediakan dukungan bagi organisasi-organisasi masyarakat sipil dan lembaga-lembaga demokrasi Indonesia. Sepanjang program IFES di Indonesia, IFES telah melaksanakan aktivitas-aktivitas untuk mendukung partisipasi aktif masyarakat Indonesia dalam memperkuat hak-hak politik dan pemilu warga negara, memperkuat penyelenggaraan pemilu, meningkatkan kesadaran publik akan prosedur pemilu, dan memajukan hak politik dan pemilu perempuan dan penyandang disabilitias.

    Makalah ini mendapatkan kontribusi besar dari Ronan McDermott dan Michael Burke, Pakar Senior Teknologi Pemilu Internasional. Kedua pakar tersebut telah mengunjungi Indonesia, di mana mereka belajar dari dan bekerja sama dengan sejumlah pemangku kepentingan pemilu Indonesia, termasuk KPU, BAWASLU, Kemendagri, BPPT, universitas-universitas, dan organisasi-organisasi masyarakat sipil. Secara khusus, makalah ini membahas tentang:

    Pelajaran dari pemilu 2014 di Indonesia sehubungan penggunaan teknologi.

    Analisis EVM, kompleksitasnya, pengalaman di Indonesia, dan pelajaran dari negara-negara lain yang sesuai dengan konteks Indonesia.

    Diskusi singkat sistem manajemen hasil (eRekap) dan alasan pentingnya eRekap di Indonesia dan pemilu modern secara umum.

    Rekomendasi bagi KPU untuk membantu Indonesia memanfaatkan kesuksesan tahun 2014.

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 4

    Pemilu 2014 di IndonesiaPada tahun 2014, KPU berhasil menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang dianggap kredibel. Kunci kesuksesan terletak pada kemampuan KPU untuk mengembangkan proses pemilu yang kuat yang telah ada, dan memperbaiki aspek-aspek penyelenggaraan pemilu yang masih kurang baik. Banyak perbaikan yang dilakukan oleh KPU merupakan hasil inovasi teknis yang dikembangkan untuk mengingkatkan kinerja pemilu. Penilaian singkat dari pemilu 2014 di Indonesia ini membahas kekuatan pemilu yang telah ada dan dimanfaatkan oleh KPU, inovasi sukses yang diperkenalkan oleh KPU, perkembangan penting yang layak menjadi catatan, dan masalah kelembagaan yang harus selesaikan oleh KPU agar aspek TI kepemiluan dapat terus berkembang.

    Kekuatan yang AdaPemungutan dan Penghitungan Suara: Pemilu dilakukan di lebih dari 500.000 lokasi pada hari pemungutan suara tanpa disertai banyaknya laporan terkait antrian yang panjang, gangguan-gangguan, ataupun kebingungan dalam pelaksanaannya sebuah kinerja pemilu yang, jika melihat skala operasi raksasa yang serentak ini, telah melampaui kegiatan penyelenggaraan pemilu di manapun. Seperti pemilu-pemilu sebelumnya, pemungutan suara dimulai pukul tujuh pagi dan ditutup pukul satu siang, sehingga penghitungan suara dapat dilakukan pada siang hari dan disaksikan oleh masyarakat umum. Suara dihitung dan dicatat di formulir hasil (C1) dan ditandatangani oleh pejabat dan perwakilan partai/calon yang hadir. Prosedur pemungutan dan penghitungan suara ini sekarang merupakan bagian dari struktur pemilu Indonesia, dan telah memberikan keuntungan tersendiri melihat tidak meratanya kegiatan pelatihan jutaan petugas pemilu.

    Semua pemangku kepentingan pemilu dan rakyat Indonesia mengakui tingginya kualitas pelayanan yang diberikan oleh KPU bagi masyarakat pada hari pemungutan suara. Meskipun konsistensi pelaksanaan prosedur pemilu masih dapat ditingkatkan, transparansi yang melekat pada proses pemungutan dan penghitungan suara telah menghasilkan suasana kooperatif di tiap TPS yang menunjang terbentuknya dasar penerimaan umum terhadap hasil pemilu.

    Inovasi yang BerhasilPendaftaran Pemilih: Sejak Agustus 2011, KPU telah menggunakan Prakarsa Pendaftaran Pemilih untuk merancang, mengembangkan, menguji, dan menerapkan metodologi pendaftaran pemilih baru yang meliputi pembaruan atas undang-undang, peraturan, prosedur, dan operasi, termasuk juga basis data SIDALIH, yaitu sistem manajemen informasi yang menghubungkan lebih dari 500 kantor KPU di seluruh Indonesia dan menangani lebih dari 190 juta pemilih, yang menjadikan SIDALIH sebagai basis data pemilih nasional terbesar di dunia. Sistem pendaftaran pemilih terintegrasi SIDALIH telah memberikan manfaat dalam meningkatkan tingkat kepercayaan umum dan pemangku kepentingan akan daftar pemilih ini adalah untuk pertama kalinya daftar pemilih, secara umum, tidak kontroversial.

  • Page 5

    IFES Indonesia

    Open Data dan Application Programming Interface (API) KPU: Beberapa sistem aplikasi KPU dibangun berdasarkan arsitektur data terbuka (open data) di mana informasi di dalamnya dirancang agar bisa dibagikan kepada mitra KPU maupun masyarakat luas. API KPU memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi dengan data yang disediakan KPU dan mengembangkan aplikasi yang melakukan proses analisa terhadap data tersebut, memperluas jangkauan layanan, atau menggabungkan data tersebut dengan data lainnya untuk peningkatan layanan publik. Data SIDALIH merupakan sumber statistik yang sangat besar, dan mungkin merupakan catatan populasi orang dewasa Indonesia yang paling mutakhir. Arsitektur terbuka sistem arsip hasil pemilu juga telah memungkinkan Kawal Pemilu mencapai kesuksesan mereka. Pada pemilu mendatang dimana KPU melakukan pencatatan hasil pemilu secara elektronik API KPU akan semakin bermanfaat untuk menganalisa tren riwayat hasil pemilu.

    Berikut adalah daftar open data yang telah dirilis KPU ke publik selama Pemilu 2014:

    1. Open Data Pemilih: http://data.kpu.go.id

    2. Open Data Daerah Pemilihan (Dapil): http://dapil.kpu.go.id

    3. Open Data Calon: http://caleg.kpu.go.id

    4. Open Data TPS: http://tps.kpu.go.id

    5. Open Data Partai Politik: http://partai.kpu.go.id

    6. Open Data Formulir Model C1: http://pemilu2014.kpu.go.id

    Fasilitas open data ini harus tetap disediakan pada pemilu-pemilu selanjutnya, dan jika memungkinkan, harus lebih diperluas meliputi aspek-aspek yang lain. Selain itu, kualitas data yang disajikan juga harus lebih lanjut diperbaiki.

    Hasil Pemindaian: Pada pemilu presiden dan wakil presiden 2014, dengan dukungan teknis dari tim TI Universitas Indonesia, KPU telah memperkenalkan sistem pemindaian formulir hasil (C1) dan mengunggah hasilnya secara online. Lebih dari 500.000 formulir C1 satu dari tiap TPS dipindai dan diunggah ke website KPU oleh lebih dari 500 kantor KPU daerah yang ada diseluruh Indonesia, tanpa jeda. Partai politik, media, akademisi, dan pemerhati pemilu menggunakan arsip publik ini untuk memeriksa dan memverifikasi hasilnya. Mayoritas pemangku kepentingan pemilu setuju bahwa kemampuan KPU untuk mengunggah formulir C1 ini secara signifikan mampu menghambat manipulasi hasil akhir pemilu.

    Akan tetapi, yang terjadi berikutnya sungguhlah menakjubkan. Di tengah ramainya pembicaraan tentang jual-beli suara dan intimidasi, sebuah inovasi dari masyarakat1 (Kawal Pemilu), memanfaatkan ketersediaan formulir C1 secara online untuk melakukan operasi entri data secara crowdsource yang secara independen memverifikasi hasil pemilu di tiap TPS dan melakukan tabulasi hasil pemilu secara lengkap dalam hitungan hari. Kombinasi antara semakin transparannya hasil pemilu dari KPU dengan kecerdasan Kawal Pemilu adalah faktor yang penting dalam penerimaan hasil resmi pemilu.

    1 Lihat http://kawalpemilu.org/#0 untuk hasil usaha ini.

    http://data.kpu.go.idhttp://dapil.kpu.go.idhttp://caleg.kpu.go.idhttp://tps.kpu.go.idhttp://partai.kpu.go.idhttp://pemilu2014.kpu.go.id

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 6

    Perbaikan UtamaHasil Pemilu Secara Cepat: KPU tidak memiliki sistem TI yang mendukung KPU untuk menghitung dan mengumumkan hasil pemilu dalam kurun waktu kurang dari 30 hari. UU yang berlaku saat ini, mewajibkan KPU untuk melakukan perhitungan hasil pemilu secara manual di setiap tingkatan administrasi: TPS, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Selain itu, tidak seperti penghitungan suara di TPS yang dilakukan di depan masyarakat dan diterima secara publik, proses rekapitulasi sering dilakukan di dalam ruangan tertutup dan sangat rentan akan suap atau paksaan. Di Indonesia, jual-beli suara oleh partai-partai besar yang dilakukan pada tahapan-tahapan ini sudah terdokumentasi dengan baik.

    Persoalan KelembagaanTidak efektifnya dukungan TI: Tidak akan ada cerita keberhasilan TI KPU di pemilu 2014 jika KPU tidak memperoleh dukungan teknis dari luar. KPU mempekerjakan divisi TI yang cukup besar, tetapi mereka tidak mampu mengembangkan sistem TI yang dapat diandalkan dalam penyelenggaraan pemilu. Selain itu, staf TI yang saat ini dipekerjakan oleh KPU adalah PNS dengan pemahaman yang terbatas tentang praktik terbaik dalam industri TI dan tidak memiliki pengalaman membangun sistem manajemen informasi tingkat korporasi. Meskipun pimpinan KPU telah menyatakan kesiapannya untuk melanjutkan pengembangan dari kesuksesan tahun 2014, laju lembaga ini dibatasi oleh kendala kurangnya tenaga ahli TI yang dapat memastikan pengambilan keputusan yang tepat.

    Kurangnya Strategi TI: Saat ini, KPU mengembangkan dan meluncurkan solusi TI mereka secara ad-hoc tanpa mempertimbangkan bagaimana tingkat kesesuaian setiap potongan sistem tersebut dalam alur kerja organisasi KPU. Hal ini berimbas pada timbulnya sekat-sekat antar departemen, peningkatan birokrasi, kebingungan pemangku kepentingan, kerumitan layanan pendukung, dan peningkatan biaya pengeluaran. KPU harus menyusun strategi TI yang mampu memastikan layanan dan sumber daya TI berjalan selaras untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemilu, meningkatkan kinerja lembaga maupun layanan publik. Strategi TI harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar bagi organisasi termasuk prinsip, asitektur, infrastruktur, layanan baru, dan investasi seperti: solusi TI yang layak; tren teknologi yang relevan; jenis arsitektur dan infrastruktur sistem yang akan memaksimalkan tingkat integrasi dan kegunaan; kerja sama teknis yang mungkinkan; dan lain-lain. Laporan semacam ini perlu disalurkan ke dalam rencana umum yang akan ditetapkan oleh KPU dengan dibantu oleh tenaga ahli bidang TI yang terpercaya.

  • Page 7

    IFES Indonesia

    Rekomendasi untuk Solusi Teknologi Pemilu

    Mesin Pemungutan SuaraIndonesia tengah mempertimbangkan penggunaan EVM untuk pemilu yang akan datang. Dengan mempertimbangkan konteks Indonesia serta praktik terbaik internasional, IFES menganjurkan untuk tidak memperkenalkan EVM di Indonesia.Hal tersebut khususnya dikarenakan:

    Kegiatan pemungutan dan penghitungan suara di Indonesia telah menjadi standar internasional di bidang transparansi dan merupakan kepemillikan lokal yang justru akan dilemahkan dengan keberadaan EVM. Pada hari pemungutan suara, di hampir setengah juta TPS di seluruh negeri, KPU menyelenggarakan pemungutan suara dan menyediakan layanannya yang bagi para penduduk dianggap sebagai sebuah perayaan, bukan kewajiban sesuatu yang didambakan oleh banyak negara.

    Secara global, EVM mulai kehilangan kredibilitas. Hanya sedikit negara yang menggunakan EVM secara eksklusif, kebanyakan sistem EVM tidak mendapatkan kepercayaan publik, EVM tidak memberikan penghematan biaya seperti yang dijanjikannya, dan EVM kurang transparan. Hal-hal tersebut telah mendorong banyak negara melarang penggunaannya.

    Tinjauan ini akan melihat lebih dekat proses-proses yang telah terjadi di Indonesia terkait EVM beserta pertimbangan akan kerumitan dan biaya yang ditimbulkan dari penerapannya. Selain itu, akan dirangkum juga permasalahan yang ada pada EVM dan bahasan pertimbangan dari pengalaman penerapan EVM di negara-negara lain dan penerapannya dalam konteks Indonesia.

    Upaya EVM di IndonesiaDua lembaga telah memprakarsai sistem EVM tingkat awal di Indonesia: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT2) dan KPU Kabupaten Bogor. BPPT, yang selama bertahun-tahun telah memiliki program penelitian dan pengembangan di bidang EVM layar sentuh, telah

    2 http://www.bppt.go.id/

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 8

    melaksanakan uji coba skala kecil EVM pada pemilihan kepala desa di Musi Rawas, Sumatra Selatan dan Jembrana, Bali. Sedangkan KPU Bogor, bekerja sama dengan sebuah universitas lokal di Bogor, telah melaksanakan uji coba EVM dengan layar sentuh sederhana yang dikembangkan oleh seorang pelajar untuk mendomonstrasikan teknologi baru kepada para pemilih.

    Pada kedua kasus, EVM menampilkan layar pilih sederhana berisikan dua kandidat dan mencetak tanda terima pemberian suara yang selanjutnya digunakan oleh pemilih untuk mengkonfirmasi pilihannya sebelum kertas tersebut dimasukkan ke dalam kotak suara. Namun, akan lebih sulit untuk menerapkan EVM layar sentuh yang digunakan pada uji coba tersebut pada pemilu nasional. EVM akan membutuhkan tampilan surat suara dengan layar/halaman yang banyak dan dengan fitur scrolling untuk merefleksikan sistem kepemiluan proporsional dengan daftar terbuka yang rumit yang akan menjadikan prosesnya semakin sulit: menimbulkan kebingungan pemilih dan memperlama proses pemungutan suara. Meski demikian, BPPT telah mengusulkan agar rancangan EVM layar sentuh dengan jejak audit kertas terverifikasi oleh pemilih(voter verified paper audit trail atau VVPAT) miliknya digunakan sebagai standar nasional. Selain itu, kedua uji coba tidak melaksanakan audit paper trail sebuah aspek penting dalam sistem EVM yang diperlukan untuk memastikan sistem dapat diverifikasi dari satu ujung ke ujung yang lainnya (end to end).

    Usaha untuk menentukan perkiraan total biaya yang dibutuhkan penerapan EVM di Indonesia juga belum berhasil. Informasi mengenai besaran anggaran yang diperlukan sangat terbatas dan hanya terfokus pada biaya perangkat. Ada dua harga yang diajukan: 10 juta Rupiah dan 11 juta Rupiah. Dengan mengalikan harga perangkat EVM dengan jumlah total TPS yang ada, maka akan diperoleh perkiraan total biaya yang diperlukan untuk memperkenalkan teknologi tersebut. Selain itu, ada juga yang mengajukan angka sebesar 250 trilyun Rupiah untuk kesuluruhan biaya penerapan EVM. Angka-angka tersebut tidak masuk akal, karena penggunaan EVM berpotensi mengurangi jumlah TPS dari 500.000 ke 25.000 saja, jumlah yang sangat tidak cukup untuk melayani 190 juta pemilih di Indonesia. Usaha untuk menentukan biaya sesungguhnya untuk penerapan EVM masih perlu dilakukan.

    Melihat ukurannya, Indonesia merupakan pasar yang sangat besar bagi vendor-vendor EVM komersial. Pengalaman internasional telah mengirimkan pesan berharga bahwa pengaruh vendor dalam proses pengadaan dapat memutarbalikkan prioritas, meningkatkan pengharapan sampai kepada tingkatan yang tidak realistis, dan yang terparah, merusak proses yang mengarah pada pemilihan solusi yang tidak sesuai dan tidak berkelanjutan, ketergantungan pada vendor, dan konsekuensi yang sangat buruk bagi pelaksanaan pemilu.

    Kunci utama untuk menghindari pengadaan yang buruk adalah dengan melaksanakan kajian kelayakan yang terpusat pada penyelenggaraan pemilu dan membahas kebutuhan yang sebenarnya. Mempelajari secara seksama terhadap apa yang ada dan ditawarkan di pasaran adalah bagian penting dalam menentukan tingkat kelayakan, namun segala kontak dengan vendor EVM harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Ini dijelaskan secara terperinci dalam sebuah publikasi IFES3 yang mengingatkan bahwa Komite yang ditugasi untuk menentukan tingkat kelayakan harus ... memastikan bahwa mereka bersikap adil dan setara dengan semua vendor teknologi pemungutan dan penghitungan elektronik. Komite harus menghindari tuduhan favoritisme dan perilaku tak pantas dengan vendor.

    3 "IFES Voting and Counting Technologies: Guide to Feasibility Studies", Elections Technology Series, IFES, April 2011, tersedia di www.ifes.org

  • Page 9

    IFES Indonesia

    Indonesia berniat melakukan pengadaan EVM secara lokal rancangan, spesifikasi, sertifikasi, dan pembuatan alat-alat tersebut akan dilakukan oleh lembaga-lembaga Indonesia dan BUMN. Ada keuntungan ekonomi dan pengembangan kapasitas yang jelas dari bisnis tersebut, akan tetapi sangatlah penting agar semua kegiatan pengadaan dilakukan dengan proses yang inklusif, transparan, dan konsultatif.

    Perlu diingat pula bahwa anggaran pendidikan pemilih yang dibutuhkan untuk memberikan pemahaman mengenai penggunaan kertas suara yang baru kemungkinan akan lebih kecil dibandingkan dengan anggaran untuk mendidik pemilih mengenai tata cara penggunaan EVM. Kerumitan sistem pemilu Indonesia dan rencana penyelenggaraan lima pemilu secara serentak mengakibatkan sulitnya perancangan surat suara (dan tampilan layar antarmuka (interface) EVM) serta meningkatkan tantangan dalam pendidikan pemilih. Simulasi pemilu, yang melibatkan sukarelawan yang tak terlatih sebagai pemilih, mengikuti proses pemungutan suara yang aktual atau terencana, dan menggunakan spesimen dari materi yang sebenarnya adalah alat-alat utama KPU untuk menyempurnakan mekanisme pemungutan suara, penghitungan suara, dan eRekap.

    Permasalahan EVM dan Pengalaman Internasional

    Permasalahan EVMDua syarat dasar pemilu yang demokratis adalah kerahasiaan dalam pemberian suara dan integritas hasil pemilu. Pemilu yang baik memenuhi kedua syarat ini ketika prosedurnya:

    Memisahkan identifikasi pemilih dari surat suara agar tiap surat suara anonim; dan

    Memastikan bahwa surat suara diputuskan keabsahannya dan dihitung dalam proses yang transparan dan disaksikan oleh sejumlah pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa hasil akhir yang ditetapkan telah dihitung dengan penuh integritas.

    EVM mengarahkan kedua proses pemilu tersebut ke arah sebaliknya membahayakan aspek kerahasiaan dan menghilangkan transparansi. EVM dapat mengatasi kedua permasalahan ini dengan menyediakan jejak audit kertas terverifikasi oleh pemilih (voter verified paper audit trail atau VVPAT) dan menjalankan proses audit yang komprehensif. Akan tetapi, solusi tersebut akan menambahkan kerumitan pada proses pemungutan dan penghitungan suara, hingga pada akhirnya manfaat yang diberikan oleh EVM menjadi tidak sebanding dengan besarnya biaya yang dikeluarkan, kebingungan yang terjadi, dan resiko yang ditimbulkan. Berikut adalah beberapa contoh internasional yang menggambarkan masalah ini.

    AustraliaEVM tidak pernah digunakan di pemilu nasional Australia. Setelah uji coba di negara bagian Victoria (2006, 2010) dan Canberra (2012), sebuah komite parlemen dibentuk untuk melaksanakan kajian komprehensif akan sistem-sistem pemungutan suara elektronik. Laporan4 komite tersebut pada

    4 http://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Joint/Electoral_Matters/2013_General_Election/Second_Interim_Report

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 10

    tahun 2014 sangatlah jelas besarnya biaya yang dibutuhkan untuk memastikan pemungutan suara elektronik berlangsung secara aman dan transparan telah menutup kemungkinan penerapan lebih luas dari teknologi tersebut. Sebaliknya, Australia akan berfokus pada pemanfaatan teknologi tersebut untuk meningkatkan akses bagi orang-orang dengan disabilitas dan pemilih Australia yang tinggal di luar negri. Saat ini hanya pemilih tuna netra atau pemilih dengan gangguan penglihatan, yang diizinkan memilih lewat telepon, dapat menggunakan sistem pemungutan suara elektonik secara nasional.

    Pelajaran yang diambil: Teknologi pemilu yang tidak meningkatkan kualitas pemilu bukanlah kemajuan. Sering kali biaya menjadi hambatan untuk memastikan sistem EVM aman dan transparan.

    BrazilBrazil adalah satu dari dua negara besar yang berhasil memperkenalkan EVM secara nasional. Kesuksesan ini banyak bergantung pada dua faktor: pertama, tingkat kepercayaan yang tinggi pada badan penyelenggara pemilu (TSE), dan kedua, karena proses pengenalan EVM yang dilakukan secara bertahap.

    Brazil mulai mempertimbangkan EVM pada tahun 1985 sebagai salah satu usaha untuk melawan kecurangan dalam proses rekapitulasi suara. Pertimbangan lainnya adalah rumitnya sistem pemilu Brazil yang mengakibatkan banyaknya surat suara tidak sah. Brazil melaksanakan riset di berbagai lembaga dirgantara nasional untuk mengembangkan mesin yang dapat memecahkan masalah mereka. Para peneliti memecahkan masalah tersebut melalui cara berikut:

    Para peneliti memberikan prioritas pada pemecahan masalah kecurangan rekapitulasi dan mengembangkan sebuah sistem manajemen hasil (eRekap) yang diterapkan secara nasional di pemilu Brazil tahun 1994.

    Para peneliti lalu merancang sebuah EVM sederhana: tidak menggunakan layar sentuh, melainkan pemilih memilih dengan tombol numerik yang ditemukan pada pesawat telepon.

    EVM ini pertama kali diujicoba di beberapa negara bagian pada tahun 1989. Ujicoba berlanjut secara bertahap selama bertahun-tahun dan pada beberapa siklus pemilu, dan akhirnya EVM diterapkan secara nasional pada tahun 1995. Keseluruhan proses, mulai dari konsep, rancangan, dan penerapan membutuhkan waktu sepuluh tahun.

    Pada akhirnya, timbul kekhawatiran adanya kecurangan pemilu.5 EVM tidak menyediakan jejak audit, tidak ada jaminan bahwa total suara yang masuk sama dengan total suara yang keluar dari sistem. Di sisi lain, komisi pemilihan umum mengundang partai-partai politik untuk berpartisipasi dalam simulasi pemilu dengan menggunakan mesin EVM yang dipilih secara acak dan metode manual/ kertas yang dilakukan secara paralel.6 Setelah partai-partai puas, semua mesin disebarkan untuk digunakan pada hari pemilu. Pada tahun 2009, Brazil mengesahkan undang-undang yang mensyaratkan VVPAT. Akan tetapi pada tahun 2014 akibat besarnya biaya, kerumitan, dan tantangan operasional VVPAT, undang-undang tersebut dicabut.7

    5 Sumber termasuk dari situs web penyeenggara pemilu Brazil, http://english.tse.jus.br/electronic-voting/printed-vote. Lihat pula http://www.e-voting.cc/wp-content/uploads/downloads/2012/05/ModernDemocracy_mag_2011_01.pdf

    6 http://en.wikipedia.org/wiki/Elections_in_Brazil#The_Brazilian_voting_machines7 http://www.fraudeurnaseletronicas.com.br/2011/11/senado-revoga-obrigatoriedade-de-urna.html

  • Page 11

    IFES Indonesia

    Saat ini, Brazil menggunakan 406.000 EVM dengan kurang lebih 235 pemilih per mesin. Pada tahun 2011, Brazil mulai memperkenalkan identifikasi biometrik pemilih dalam proses pemilu dengan tanggapan yang beragam, karena teknologi biometrik ini mengancam kerahasiaan surat suara.

    Pelajaran yang diambil: Brazil relatif sukses dalam mengembangkan dan menggunakan solusi TI mereka secara bertahap. Sistem EVM yang kurang transparan semakin banyak menghadapi tantangan hukum. VVAPT dan proses audit yang komprehensif dan pendanaan yang mencukupi wajib dimiliki sistem EVM untuk menghasilkan hasil pemilu yang kredibel. Brazil sekarang menghadapi pilihan yang sulit: 1) menggunakan sistem yang ada dan menghadapi kredibilitasnya yang kian menurun, 2) mengeluarkan dana yang besar untuk memperbaiki masalah dan berusaha untuk tidak memperumit proses, atau 3) meninggalkan EVM dan menciptakan solusi baru.

    JermanHukum Jerman mengizinkan penghitungan suara secara elektronik (e-Count) sejak tahun 1956. Pada tahun 1975, juga telah dilakukan amandemen terhadap undang-undang pemilu yang mengizinkan pemungutan suara secara elektronik. Pada awalnya, perangkat yang digunakan untuk pemungutan suara adalah perangkat elektro-mekanik, namun pada tahun 1997 perangkat pemungutan suara yang sepenuhnya elektronik mulai digunakan di banyak daerah pemilihan dalam pemilu Eropa tahun 1999.8

    Pada awalnya, penggunaan EVM berlangsung lancar, tetapi sama seperti Brazil, kekhawatiran terhadap masalah kecurangan dan kurangnya transparansi sistem mulai muncul. Sebuah organisasi masyarakat (the Chaos Computer Club9) meneliti teknologi EVM untuk mencari kelemahannya dan berkampanye untuk melawan penggunaannya. Gugatan pun dilayangkan10 dan Mahkamah Konstitusi Jerman memutuskan bahwa undang-undang yang membolehkan EVM telah melanggar beberapa prinsip fundamental, khususnya kurangnya transparansi sistem, sistem tidak dapat diaudit, dan sistem terlalu rumit. Secara spesifik, berikut kutipan langsung dari putusannya:

    Pemilu adalah masalah semua orang dan kepentingan bersama semua warga negara. Maka dari itu, pemantauan prosedur pemilu haruslah pula menjadi masalah dan tugas warga negara. Tiap-tiap warga negara harus memiliki kehandalan untuk dapat memahami dan memverifikasi semua tahapan-tahapan penting pemilu tanpa pengetahuan teknis yang khusus. [paragraf 110]

    Sebuah prosedur pemilu dimana pemilih tidak mampu memahami bagaimana suaranya telah direkam secara tepat dan diikutsertakan dalam penghitungan hasil pemilu, dan bagaimana menentukan dan menghitung total suara yang masuk, mengesampingkan elemen utama prosedur pemilu dari pemantauan publik, dan dengan demikian tidak sesuai dengan ketentuan konstitusional. [paragraf 113]

    Peraturan Federal Mesin Pemungutan Suara melanggar prinsip publik pemilu dalam Pasal 38 bersama dengan Pasal 20.1 dan 20.2 dari Undang-Undang Dasar karena

    8 http://www.bundesverfassungsgericht.de/SharedDocs/Entscheidungen/EN/2009/03/cs20090303_2bvc000307en.html

    9 http://www.ccc.de/en/search?search_term=electronic+voting&x=0&y=010 Dapat dicatat bahwa dasar proses pengadilan di Jerman bukanlah kekurangan atau kelemahan EVM Nedap, tetapi dasar

    konstitusional pengginaan EVM. Ini berbeda dengan pengalaman Belanda yang dijelaskan lebih lanjut dalam laporan ini.

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 12

    penggunaan mesin pemungutan suara yang dikendalikan oleh komputer tidak menjamin pengawasan efektif tindak pemilu maupun verifikasi hasil pemilu. Masalah ini tidak dapat dipecahkan dengan cara penafsiran yang sesuai dengan konstitusi. [paragraf 147]

    Meski ada kepercayaan umum pada EVM di Jerman,11 EVM ditarik dan saat ini Jerman tidak menggunakan mesin pemungutan suara elektronik apapun.

    Pelajaran yang diambil: Sistem EVM yang kurang transparan semakin banyak menghadapi tantangan hukum. VVAPT dan proses audit yang komprehensif dan pendanaan yang mencukupi wajib dimiliki sistem EVM untuk menghasilkan hasil pemilu yang kredibel. Jerman memutuskan untuk meninggalkan EVM daripada memperumit proses pemilu mereka.

    IndiaIndia mulai mempertimbangkan penggunaan EVM pada tahun 1977. EVM yang diproduksi di tahun 1989 1990 diuji coba pada pertama kalinya saat pemilihan umum pada bulan November 1998. EVM ini dirancang oleh Komisi Pemilu India (Elections Commission of India atau ECI) dan dua lembaga sektor publik.

    Mesin EVM India menggunakan batere, bersifat portabel, dan terdiri dari dua unit unit kontrol dan unit surat suara yang dihubungkan oleh sebuah kabel sepanjang lima meter. Alih-alih memberikan kertas suara kepada pemilih, petugas pemilu yang bertanggung jawab akan unit kontrol akan menekan tombol surat suara untuk mengaktifkan surat suara. Ini memungkinkan pemilih untuk memberikan suaranya dengan menekan tombol biru pada calon dan simbol pilihan mereka yang ada unit surat suara. EVM India terbatas pada pemilu tunggal dengan maksimal hanya 64 calon,12 di mana pada skenario tersebut dibutuhkan empat unit surat suara, masing-masing dengan 16 tombol, beserta dengan unit kontrolnya. Jika ada lebih dari 64 calon, kertas surat suara harus digunakan. Pemilu diadakan secara bertahap tidak semua daerah melaksanakan pemilu di hari yang sama sehingga jumlah EVM yang diperlukan lebih sedikit. Meski demikian, skala sistem EVM India tetaplah sangat besar, dengan jumlah pemilih sampai 800 juta orang.

    India bergantung sepenuhnya pada pengawasan administratif dan fisik (ketimbang teknis) untuk melindungi integritas sistem EVM sederhana mereka. Uji integritas utama disebut Uji Level Satu (First Level Checks) ECI di mana produsen EVM mendemonstrasikan kepada partai-partai politik bahwa EVM bekerja seperti seharusnya melalui simulasi pemilu. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, pemangku kepentingan pemilu semakin tidak puas akan tingkat jaminan ini.

    Sebuah tim yang terdiri dari ahli komputer dan peneliti, termasuk Dr. J. Alex Halderman, Direktur Pusat Keamanan Komputer dan Masyarakat (Center for Computer Security and Society) berhasil mendapatkan sebuah perangkat EVM India dan menganalisis keamanannya. Makalah13 yang dihasilkannya dipresentasikan di konferensi ACM tentang Keamanan Komputer dan Komunikasi (Computer and

    11 http://wijvertrouwenstemcomputersniet.nl/images/a/a2/Bijlage_over_Nederland_bij_rapport_Ierse_commissie.pdf12 Modul surat suara memiliki enam belas tombol dan maksimum empat unit dapat dihubungkan ke satu unit kontrol.

    Lihat Q5 di situs web ECI: http://eci.nic.in/eci_main1/evm.aspx13 https://jhalderm.com/pub/papers/evm-ccs10.pdf dan video penjelasan di https://www.youtube.com/

    watch?v=JDaicPIgn9U

  • Page 13

    IFES Indonesia

    Communications Security atau CCS) dan memaparkan sejumlah kelemahan di sistem EVM tersebut. Akibatnya, salah satu penulis makalah tersebut yang merupakan warga negara India ditangkap.14 Setelah proses pengadilan, Mahkamah Agung India memutuskan pada bulan Oktober 2013 bahwa sistem EVM harus mengikutsertakan jejak kertas (paper trail). Secara spesifik:

    ... kami puas bahwa paper trail adalah syarat wajib dari pemilu yang bebas dan adil. Kepercayaan pemilih terhadap EVM hanya dapat terjadi dengan adanya paper trail[15].

    ECI telah menguji coba VVPAT sebelum keputusan pengadilan16 dan saat ini sedang mengusahakan pengadaaan 20.000 unit untuk digunakan pada Maret 2014.17 Penyebaran secara menyeluruh sistem EVM yang telah diperbarui membutuhkan waktu hingga 2019.18 Biaya VVPAT untuk tiap EVM diperkirakan sebesar Rs 13.000 (kurang lebih 200 dolar Amerika) yang, dengan jumlah EVM di India yang hampir mencapai 1,3 juta, maka total akan membutuhkan lebih dari seperempat trilyun dolar Amerika (untuk pemilu bertahap).19

    Pelajaran yang diambil: Sistem EVM yang kurang transparan semakin banyak menghadapi tantangan hukum. VVAPT dan proses audit yang komprehensif dan pendanaan yang mencukupi wajib dimiliki sistem EVM untuk menghasilkan hasil pemilu yang kredibel. India telah memutuskan untuk mengeluarkan ratusan juta dollar untuk memperbaiki sistem EVM mereka, mungkin sebagai tanda kebanggaan nasional sebagai penyedia TI global. EVM India baru-baru ini dijual ke Namibia untuk digunakan di pemilu nasional mereka. India tidak mengadakan pemilu serentak, sehingga mengurangi banyaknya jumlah EVM yang dibutuhkan. EVM India tidak dapat menampung semua calon atau mendukung pemilu serentak.

    IrlandiaPengenalan EVM di Irlandia sebagian besar didorong oleh kebanggaan nasional akan kecepatan proses penghitungan suara dan penghematan biaya yang ditawarkan EVM dan dijadikan sebagai justifikasi resmi.20 Selain itu, masalah sekunder termasuk transparansi, keberlanjutan, relevansi budaya, penerimaan masyarakat dan politik banyak disebut sebagai faktor lain untuk menggunakan EMV. Irlandia, sebagai pusat raksasa teknologi global seperti Microsoft, Google, dan Intel, merasa perlu memperkenalkan EVM untuk menegaskan citra pencapaian teknologi yang diperoleh negara tersebut.

    Pengenalan EVM dimulai dengan permintaan proposal pada tahun 1998, undang-undang yang mewajibkan uji coba pada tahun 1999, dan kerangka legislatif akhir yang memungkinkan penggunaan EVM tahun 2001. Hanya enam EVM digunakan untuk uji coba pada tahun 2001. Pada tahun 2002, uji coba dilaksanakan menggunakan 400 mesin pada sebuah referendum, tetapi pemberitaan yang mengungkap adanya masalah-masalah kecil ditekan oleh pemerintah. Usaha masyarakat sipil dan

    14 https://www.eff.org/deeplinks/2010/11/2010-pioneer-award-winner-hari-prasad-defends15 https://www.eff.org/deeplinks/2013/10/supreme-court-india-voter-verifiable-paper-audit-trails-must-be-used16 Misalnya, lihat peraturan ECI ini: http://eci.nic.in/eci_main1/current/VVPAT_Inst_24092014.pdf17 http://eci.nic.in/eci_main1/current/GE_2014_15032014_for_Publicaton.pdf18 http://en.wikipedia.org/wiki/Indian_voting_machines19 Sumber: Keputusan Mahkamah Agung India: http://supremecourtofindia.nic.in/outtoday/9093.pdf20 Studi kasus ini adalah rangkuman dari sebuah bab di http://www.ifes.org/Content/Publications/Books/2010/Direct-

    Democracy-Progress-and-Pitfalls-of-Election-Technology.aspx

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 14

    pemangku kepentingan lainnya untuk mendapatkan akses yang lebih luas ke dalam proses EVM pun ditolak.

    Awalnya, ada konsensus politik yang bulat untuk menggunakan EVM di Irlandia. Akan tetapi, setelah pemerintah menekan pemberitaan tentang penyelenggaraan uji coba, menepis kritik pada teknologi tersebut, dan menyerang anggota-anggota masyarakat sipil yang mengadvokasikan perbaikan terhadap EVM, konsensus politik itu pun runtuh.

    Pemerintah yang cemas akan reputasi internasional Irlandia menggunakan dukungan mayoritasnya untuk memaksakan voting dan dilanjutkan dengan pengadaan 6.000 EVM untuk pemilu Juni 2004. Keputusan ini menyatukan pihak-pihak yang menentang. Pemerintah yang merasa tertekan mendirikan sebuah Komisi Pemungutan Suara Elektronik (Commission on Electronic Voting atau CEV) independen pada Maret 2004. CEV memiliki mandat eksplisit untuk menentukan, dalam delapan minggu saja, apakah EVM dapat digunakan pada pemilu 2004. Ruang lingkup kerja CEV cukup luas, termasuk:

    Evaluasi ujicoba sebelumnya

    Kajian perangkat keras, perangkat lunak, keamanan, ujicoba

    Evaluasi EVM, perangkatnya, dan perangkat lunak

    Keandalan dan Akurasi

    Validitas Mesin Hitung

    Penilaian Resiko dan Kontrol

    Kajian Dokumentasi dan Prosedur

    Analisis Resiko

    Kerahasiaan surat suara

    Pengalaman Internasional

    Perbandingan kertas suara dan pemungutan suara elektronik

    Kelayakan Audit

    Pengajuan Publik

    Pengajuan Vendor

    Dalam laporan interimnya, CEV menemukan bahwa:

    ... CEV tidak dapat merekomendasikan dengan pasti penggunaan sistem tersebut dalam pemilu Irlandia bulan Juni 2004. Komisi ini menekankan bahwa kesimpulan ini tidak berdasar pada temuan bahwa sistem ini tidak akan bekerja, tetapi pada temuan bahwa hingga saat ini sistem tersebut belum dapat membuktikan kepada Komite akan berjalan dengan baik.

  • Page 15

    IFES Indonesia

    Itulah kerja komprehensif oleh CEV.21 Menindaklanjuti hal tersebut, pada tahun 2009 Irlandia sepenuhnya meninggalkan EVM. 6.000 mesin yang dibeli pada tahun 2004 tidak pernah digunakan dan lalu dibuang, dengan biaya tambahan. Seluruh proyek ini diperkirakan menghabiskan biaya 60 juta euro, dengan biaya lebih dari 20 euro per pemilih. Di puncak kekacauan EVM ini perdana menteri Irlandia berkata ... negara ini akan memasuki abad ke-21 sebagai bahan tertawaan karena pensil tua kita. Saat ini, Irlandia tetap menggunakan kertas suara dan pensil. Pemilu Irlandia dipercaya secara luas oleh publik.

    Pelajaran yang diambil: Yang dialami oleh Irlandia menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk mendengarkan semua pendapat dan agar proses komprehensif yang dilakukan oleh CEV Irlandia dapat ditiru oleh Indonesia dengan bekerja secara proaktif, yaitu sebelum ada keputusan untuk menerapkan EVM secara luas.

    BelandaBelanda mulai menggunakan EVM pada tahun 1966. Pada tahun 2006, 99% pemilih Belanda menggunakan EVM untuk memberikan suara mereka. Dua suplier lokal, Nedap dan Sdu menyediakan 90% mesin yang digunakan. Unit yang diproduksi Nedap menggunakan tombol-tombol untuk tiap pilihan sementara perangkat yang diproduksi oleh Sdu menggunakan layar sentuh.

    Tahun 2006, sebuah insiden berakhir pada keputusan naik banding, seorang kandidat yang juga bekerja sebagai pekerja pemilu yang bertanggung jawab dalam pengoperasian EVM (sebuah kombinasi yang tidak terpikirkan di kebanyakan yurisdiksi). Tidak adanya jejak kertas audit mengakibatkan penghitungan ulang tidak dapatnya dilakukan. Semua pemilih di TPS tersebut harus dipanggil untuk memilih kembali. Insiden ini memicu ketidakpercayaan akan EVM dan banyak kelompok yang mulai meneliti sistem tersebut lebih seksama. Salah kelompok tersebut, yang dengan gamblang menamakan diri mereka kami tidak percaya mesin pemungutan suara22 berhasil mendapatkan mesin EVM dan temuan mereka, disamping temuan-temuan yang lainnya, berujung pada proses pengadilan. Dalam rentang waktu yang sangat singkat, Oktober 2007, semua mesin EVM dicabut sertifikasinya. Sekarang, Belanda telah sepenuhnya kembali ke kertas surat suara.

    Laporan terbaru telah menginformasikan adanya persetujuan secara hati-hati terhadap solusi pemungutan suara elektronik baru dan mutakhir yang menitikberatkan pada penggunaan kertas surat suara, dengan penggunaan teknologi pada penghitungan dan rekapitulasi suara.23 Masih belum diketahui apakah ada niatan politik dan keinginan publik untuk memperkenalkan kembali pemungutan suara elektronik di Belanda.

    Pelajaran yang diambil: Sistem EVM yang kurang transparan semakin banyak menghadapi tantangan hukum. VVAPT dan proses audit yang komprehensif dan pendanaan yang mencukupi wajib dimiliki sistem EVM untuk menghasilkan hasil pemilu yang kredibel. Belanda memutuskan untuk meninggalkan EVM daripada memperumit proses pemilu mereka.

    21 Situs web CEV hanya tersedia di arsip. Salah satunya: http://web.archive.org/web/20061128150521/http://www.cev.ie/

    22 www.wijvertrouwenstemcomputersniet.nl untuk informasi lebih lanjut23 https://www.kiesraad.nl/sites/default/files/Conclusions-and-recommendations%20report%20Committee%20Van%20

    Beek.pdf

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 16

    FilipinaKecurangan pemilu di Filipina paling banyak terjadi selama proses rekapitulasi hasil pemilu. Di Filipina, kegiatan ini disebut canvassing, yaitu sistem bertangga tujuh tingkat untuk mengumpulkan dan merekapitulasi hasil di tiap level selama 30 hari. Selama proses ini, petugas pemilu seringkali memanipulasi hasil pemilu untuk imbalan uang, yang disebut juga dagdag-bawas atau penambahan-pengurangan, untuk menambah dan mengurangi pemilih dari total akumulasi. Untuk menangani kecurangan besar ini, Komisi Pemilu Filipina (COMELEC) memperkenalkan mesin PCOS (precinct count optimal scanning) untuk mengotomatiskan proses canvassing, mempercepat proses rekapitulasi, dan menyederhanakan penghitungan suara pada hari pemilu. Dengan mesin PCOS, COMELEC dapat mulai mengumumkan hasil pemilu dalam hitungan jam setelah pemungutan suara, sehingga menutup kesempatan dagdag-bawas.

    Filipina pertama kali mempertimbangkan PCOS pada tahun 1992. Pada tahun 1994, perubahan undang-undang dilakukan yang memungkinkan pelaksanaan riset dan uji coba, dengan ujicoba pertama dilaksanakan pada tahun 1996. Pada tahun 2001, sistem PCOS telah diterapkan sebagian dan pada tahun 2004 COMELEC mengadakan mesin PCOS untuk digunakan secara nasional. Pada tahun 2007, sebuah undang-undang baru mewajibkan pemilu yang sepenuhnya dilaksanakan secara otomatis (fully automated). Akan tetapi, Filipina baru menjadi negara pertama yang memperkenalkan sistem optical mark recognition (OMR) untuk penghitungan elektronik24 pada tahun 2010, sehingga total waktu proses mencapai 18 tahun.

    Motivasi untuk menghilangkan kecurangan sistemik pemilu mudah dimengerti, dan mesin PCOS memang memberikan keuntungan yang menarik pada proses pemilu. Akan tetapi, dengan mengotomastiskan proses penghitungan, mesin PCOS menyembunyikan proses penghitungan dan penilaian keabsanan surat suara, sehingga menghilangkan transparansi publik dan secara efektif menggeser kewewenangan pemilu kepada mesin yang disuplai dan didukung oleh vendor swasta Smartmatic. Hasil proses canvassing tidak diaudit dengan baik hanya 234 dari 78.000 TPS diaudit, di mana TPS-TPS yang terpilih telah terlebih dahulu diinformasikan dan pada akhirnya membuatnya tidak dapat dipercaya.

    Selain itu, pilihan untuk menggunakan mesin PCOS telah memberi dampak besar pada kepuasan publik akan daftar pemilih dan aktivitas di hari pemilu. Dengan kapasitas sebanyak 200 pemilih per TPS, jumlah mesin PCOS yang ada tidak mencukupi untuk disebarkan ke seluruh TPS. Maka dari itu, mesin PCOS menuntut pengelompokan TPS hingga 1000 pemilih per mesin untuk dapat melayani semua pemilih. Mengelompokkan TPS memiliki beberapa konsekuensi operasional yang tidak baik, termasuk:

    Pengelompokan memperlambat proses pemungutan suara, menimbulkan antrian, dan menyurutkan semangat pemilih untuk memanfaatkan waktu yang disediakan untuk memberikan suara mereka pada hari pemilu.

    Tidak ada pengelompokan daftar pemilih berdasarkan wilayah, yang ada adalah kumpulan daftar pemilih masing-masing TPS saja, sehingga membingungkan pemilih.

    24 Rangkuman ini berdasarkan pada dua sumber. Pertama, kerja sama IFES dan NDI "Implementing and Overseeing Electronic Voting and Counting Technologies" tersedia di www.evotingguide.com. Kedua, laporan akhir Carter Center mengenai pemilu Filipina tahun 2010, tersedia di http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/philippines-

    may%202010-elections-finalrpt.pdf

  • Page 17

    IFES Indonesia

    Pengelompokan mengakibatkan pemilih harus menemukan nama mereka di daftar pilih dua kali. Pertama, di luar TPS, pemilih diminta mencari nomor mereka. Kedua, di dalam TPS, pemilih dibantu petugas TPS mencari nomor mereka di salah satu daftar pemilih TPS. Proses bolak-balik antara daftar pemilih memperlambat aliran proses memilih.

    TPS tidak dirancang untuk menangani 1000 pemilih. Petugas pemilu bekerja ekstra keras, kelelahan, dan melakukan kesalahan.

    Antrian memberi tekanan pada petugas pemilu yang lelah untuk menciptakan solusi ad hoc yang melanggar prosedur dan dapat mendiskreditkan proses pemilu. Misalnya, seringkali kegagalan mesin PCOS atau proses yang lambat mengakibatkan petugas meletakkan surat suara yang telah ditandai di samping mesin PCOS menunggu untuk dimasukkan ke dalam mesin tersebut nantinya. Surat suara bertanda ini dapat dilihat oleh semua orang yang ada di kelompok TPS tersebut sehingga merusak kerahasiaan suara.

    Laporan Carter Center25 membahas ketergantungan penyelenggara pemilu pada vendor PCOS dan mencatat bahwa:

    ... penerapan teknologi otomatis menghasilkan solusi yang hemat biaya dan mengurangi jumlah daerah pemilihan di Filipina hampir sebanyak 75 persen dan mengelompokkan daerah pemilihan agar tiap daerah pemilihan melayani hingga 1.000 pemilih. TPS dapat mengikutkan hingga 40 kelompok daerah pemilihan, sehingga beberapa lokasi harus mengakomodasi hingga 40.000 pemilih pada hari pemilu. Akibatnya, pemilih menghadapi keramaian dan waktu antri yang lama.

    Pada akhirnya, perlu juga disampaikan bahwa terlepas dari keberadaan mesin PCOS, tidak adanya pengumuman sistematik akan hasil pemilu di TPS, telah menghilangkan kemungkinan verifikasi independen akan hasil pemilu.

    Pelajaran yang diambil: Solusi TI elektronik dapat menggangu pengalaman pemungutan suara. Sistem EVM yang kurang transparan semakin banyak menghadapi tantangan hukum. VVAPT dan proses audit yang komprehensif dan pendanaan yang mencukupi wajib dimiliki sistem EVM untuk menghasilkan hasil pemilu yang kredibel.

    VenezuelaLaporan Carter Center tahun 2012 menyatakan bahwa:26

    Sistem pemilihan Venezuela adalah salah satu sistem yang paling otomatis di dunia, mulai dari pendaftaran calon, identifikasi biometrik pemilih di meja pemilihan [TPS], memberikan suara melalui mesin layar sentuh, hingga transmisi elektronik dari hasil rekapitulasi terpusat yang semuanya digital. Sistem ini telah berlaku selama lima

    25 http://www.cartercenter.org/resources/pdfs/news/peace_publications/election_reports/philippines-may%202010-elections-finalrpt.pdf

    26 Misi studi Carter Center untuk Proses Pemilu Venezuela tahun 2012, Oktober 2012.Tersedia di www.cartercenter.org/news/pr/venezuela-111512.html.

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 18

    pemilu nasional, dengan satu modifikasi tahun ini pada lokasi identifikasi sidik jari. Dalam sistem ini, baik oposisi maupun pemerintah telah menang dan kalah dalam pemilu dan menerima hasilnya.

    Sejarah teknologi pemungutan dan penghitungan suara elektronik Venezuela berawal tahun 1998, ketika surat suara dan pemindai surat suara (e-Count) khusus digunakan dan menciptakan hasil sementara. Pemilu yang lebih baru telah dilakukan dengan menggunakan mesin pemingutan suara yang sepenuhnya elektronik, awalnya berdasarkan dari unit lotere dari produsen Olivetti, dengan model yang lebih baru diproduksi oleh penyuplai Smartmatic. Mesin ini berupa layar sentuh dengan VVPAT. Venezuela juga menggunakan sistem autentikasi biometrik pemilih untuk mengatur akses ke pemungutan suara.

    Tahun 2005, pemangku kepentingan diizinkan untuk menganalisis sistem EVM termasuk memeriksa struktur source code-nya. Analisis ini menemukan bahwa sistem tidak menjaga kerahasiaan surat suara: nama pemilih yang memasukkan suara tertentu dapat diketahui melalui konsolidasi log sistem autentikasi pemilih dengan log EVM. Pemangku kepentingan meminta agar source code sistem divalidasi dan disertfikasi perangkat lunak oleh pihak ketiga, namun ditolak. Akan tetapi, komisi pemilu melaksanakan 16 langkah audit prapemilu yang melibatkan para pemangku kepentingan.

    Pemilu dengan EVM di Venezuela memiliki antrian dan waktu tunggu yang panjang, karena baik pemilih maupun pekerja pemilu sama-sama berjuang untuk berurusan dengan teknologi yang tidak familiar. Masih banyak pemilih membutuhkan bantuan dalam menggunakan perangkat yang baru dan tetap ada kekhawatiran serius terkait kerahasiaan surat suara.

    Pelajaran yang diambil: Solusi TI elektronik dapat menggangu pengalaman pemungutan suara. Sistem EVM yang kurang transparan semakin banyak menghadapi tantangan hukum. VVAPT dan proses audit yang komprehensif dan pendanaan yang mencukupi wajib dimiliki sistem EVM untuk menghasilkan hasil pemilu yang kredibel.

    Sistem Manajemen Hasil (eRekap)

    eRekap di IndonesiaPada tahun 2004, 2009, dan 2014 KPU telah berusaha dan gagal untuk menghasilkan hasil pemilu yang cepat dan kredibel. Meski demikian, tahun 2014 menandai pertama kalinya KPU memiliki infrastruktur TI yang memungkinkan sistem manajemen hasil (eRekap). Melihat hasil usaha pemindaian hasil pemilu oleh KPU: meski diputuskan pada menit-menit terakhir, KPU berhasil memindai dan menunggah 98,53% formulir hasil C1 ke situs web KPU dalam satu minggu. Jelas bahwa KPU sudah semakin dekat dengan janji lamanya akan hasil yang cepat. Sekaranglah waktunya bagi KPU memenuhi janji tersebut. Agar berhasil, KPU harus belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan membangun sistem yang didasarkan pada standar internasional terkini dalam proses pemungutan dan penghitungan suara untuk mengembangkan sistem eRecap yang menyediakan transparansi secara penuh.

    Sebuah sistem eRekap haruslah transparan, tetapi juga harus akurat, berintegritas, dan bekerja dengan cepat. Beberapa praktik terbaik internasional berikut dapat diterapkan untuk menunjang kesuksesan sistem ini. Akurasi dapat dicapai melalui kombinasi antara rancangan formulir yang baik, rancangan

  • Page 19

    IFES Indonesia

    antarmuka pengguna yang baik, entri data buta-ganda (jika memungkinkan), kontrol kualitas yang ketat, dan pelatihan operator, pengguna, dan pengawas yang tepat waktu dan interaktif. Mekanisme dan teknik integritas meliputi kontrol akses pengguna yang baik, otentikasi, kriptografi (untuk mencegah manipulasi data hasil, bukan untuk menyembunyikannya), saluran transmisi ganda, pengawasan dari publik dan para pemangku kepentingan, serta pemicu dan kontrol audit. Kecepatan waktu dapat dicapai dengan pemindaian lebih awal formulir C1, entri data formulir C1 di awal (dan jika dimungkinkan secara otomatis), peningkatan infrastruktur untuk pemindaian formulir dan data, dan arsitektur store-and-forward (dimana data awal dikirimkan melalui koneksi yang lebih lambat, sedangkan gambar hasil pindaian dikirimkan kemudian ketika koneksi atau bandwith lebih baik).

    Sering kali ditemukan adanya kebingungan antara eCounting dan eRekap. Dalam eCounting, mesin digunakan di tiap TPS (atau terkadang, di lokasi pusat penghitungan suara) untuk memindai setiap kertas suara dan mengotomatiskan penghitungan. Hasil dari eCounting ini dapat dimasukkan ke dalam sistem eRekap, atau eRekap bisa juga merupakan bagian integral dari sistem ini. ECounting tidak secara luas digunakan namun dapat ditemukan di beberapa bagian Amerika Serikat, Federasi Rusia, Mongolia, dan terutama secara nasional di Filipina.

  • Page 21

    IFES Indonesia

    Rekomendasi untuk KPU

    Menciptakan Dewan Penasihat Nasional untuk Teknologi Informasi PemiluKepemimpinan KPU telah menunjukkan ide dan niatan untuk memajukan pemilu melalui pemanfaatan teknologi. Kemajuan mereka terhalang oleh kurangnya personel di dalam KPU yang memiliki keterampilan teknis TI dan pengalaman yang cukup untuk menerjemahkan tujuan baik menjadi solusi praktis. KPU perlu menjalin hubungan dengan tenaga ahli TI yang terpercaya untuk memastikan bahwa layanan TI mereka sejajar dengan strategi pemilu nasional dan praktik terbaik industri TI.

    KPU telah berhasil menggunakan Prakarsa Pendaftaran Pemilih sebagai mekanisme untuk menerima dukungan TI pemilu sedemikian rupa sehingga mampu mengurangi konflik kepentingan dan menjaga otoritas pemilu KPU. Belajar dari pengalaman tersebut, KPU sebaiknya membentuk Dewan Penasihat Nasional untuk Teknologi Informasi Pemilu yang dapat memberikan dukungan yang diperlukan KPU secara berkelanjutan. Dewan penasihat ini dapat menjadi sebuah forum terbuka bagi KPU untuk meminta dan menerima panduan pemanfaatan TI untuk pemilu diantaranya dalam hal strategi, tata kelola, sistem, pembangunan kapasitas, pengadaan, dan aspek lainnya yang akan membantu KPU memodernisasi kegiatan penyelenggaraan pemilu.

    Dewan penasihat ini dapat didirikan serupa dengan Panitia Prakarsa Pendaftaran Pemilu: dipimpin oleh seorang komisioner KPU dan beranggotakan perwakilan dari mitra teknis KPU di pemerintahan, masyarakat sipil, dan akademia. Keanggotaan dewan penasihat juga dapat ditawarkan ke sesama lembaga pemilu seperti Bawaslu, DKPP, dan Komisi II DPR. Dengan dukungan dari dewan penasihat ini, KPU dapat kemudian melanjutkan ke kegiatan berikut ini.

    Kajian Kelayakan Penggunaan Mesin Pemungutan Suara di IndonesiaKarena EVM adalah topik hangat dalam diskusi pemilu, KPU sebaiknya mengadakan kajian kelayakan penggunaan EVM di Indonesia. Kajian kelayakan ini merupakan langkah berikutnya dalam praktik terbaik kepemiluan dan teknologi informasi sebelum membuat suatu keputusan yang memiliki biaya dan resiko tinggi. Penting agar keputusan signifikan ini diambil oleh KPU dan dibuat melalui proses yang transparan melalui

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 22

    konsultasi menyeluruh dengan pemangku kepentingan utama dan mitra pemerintahan yang relevan. Kajian kelayakan haruslah komprehensif dan difasilitasi dengan baik agar memiliki kredibilitas.

    Kajian kelayakan mengenai penggunaan teknologi dalam pemilu dilengkapi dengan serangkaian praktik terbaik (best practice) mereka sendiri. KPU sebaiknya memanfaatkan pengalaman terdahulu yang dapat ditemukan dalam publikasi-publikasi yang tercantum dalam Annex 2. Beberapa rekomendasi yang relevan dalam konteks Indonesia adalah:

    Kajian kelayakan harus pertama-tama menanyakan: Apakah Indonesia membutuhkan EVM? dan bukan Apakah Indonesia siap untuk EVM? Ini adalah perbedaan yang penting, karena sangat penting bagi proses ini untuk menghindari hasil yang telah terlebih dahulu ditentukan. Kajian ini bukanlah mengenai kesiapan, namun kelayakan. Seperti disebutkan di makalah ini, IFES percaya bahwa penggunaan EVM di Indonesia, adalah tidak bijak, apapun rentang waktunya.

    Penting agar perdebatan tentang EVM tidak terjurumus kepada kesesatan keharusan teknologi, yang menganggap menambahkan teknologi ke dalam suatu proses berarti sudah membuat suatu kemajuan. Solusi teknologi seringkali memberikan peningkatan kualitas layanan tetapi dapat juga dengan mudah menggambarkan sebuah kemunduran, khususnya dalam pemilu, ketika transparansi terkadang lebih penting daripada efisiensi. Solusi TI pemilu hanya boleh diterapkan ketika ada keuntungan yang jelas. Misalnya, IFES baru-baru ini bertanya kepada sekelompok pemangku kepentingan pemilu, Jika KPU memiliki sistem eRekap yang baik, apakah kebutuhan akan EVM akan hilang? Semua menjawab ya, dengan penekanan pada fakta bahwa rekapitulasilah yang membutuhkan perhatian, bukan pemungutan suara.

    Kajian kelayakan harus mampu menghitung biaya keseluruhan EVM, bukan hanya harga per mesin tetapi juga biaya perawatan, penyimpanan, distribusi, pembuangan, dan semua komponen pelengkap yang menyertai penggunaan EVM di Indonesia.

    Membangun sistem manajemen hasil pemilu secara menyeluruhKPU sebaiknya memanfaatkan kesuksesan dari kegiatan pemindaian formulir C1 untuk beralih dari proses rekapitulasi manual dan mulai menerapkan sistem manajemen hasil yang lebih komprehensif dan cepat (eRekap) untuk pemilu berikutnya, dimulai dengan pilkada serentak yang akan datang.

    Membantu KPU mengembangkan strategi TI yang komprehensifPada tahun 2014, KPU mulai menganut strategi TI dengan open data yang menghasilkan pemilu yang paling transparan dan auditable sampai saat ini. Keberhasilan KPU ini sangat signifikan dan pembelajaran yang diperolehnya harus diterapkan ke seluruh organisasi. Agar tujuan tersebut tercapai secara efektif, KPU membutuhkan strategi TI yang komprehensif yang ditunjang oleh kepemimpinan sektor pemilu dan didukung oleh praktik terbaik dalam manajemen TI korporasi. Strategi TI yang kohesif

  • Page 23

    IFES Indonesia

    akan memungkinkan KPU memberikan layanan pemilu yang lebih kuat dan terkoneksi satu sama lain sebagai bagian dari platform TI digital yang melayani kebutuhan KPU dan publik. Layanan dan proses TI yang terintegrasi akan mendukung KPU dalam pembuatan standar operasi, memastikan ketaatan hukum, berbagi data antara departemen dan dengan pemangku kepentingan dengan kualitas kontrol yang sama, dan memberikan citra yang seragam ke khalayak umum. Dengan platform digital, KPU dapat mengembangkan serangkaian layanan TI terintegrasi yang menggunakan satu set standar TI yang sama, sebuah infrastruktur perangkat keras yang memiliki skalabilitas, dan pusat penyimpanan data yang menyediakan informasi bagi semua bagian dan proses penyelenggaraan pemilu yang dilakukan oleh KPU.

    Melanjutkan Pengembangan Memanfaatkan Platform SIDALIHBasis data pendaftaran pemilih SIDALIH adalah basis data penduduk paling lengkap dan mutakhir di Indonesia. Akan tetapi, informasi pemilih senantiasa berubah, sehingga daftar pemilih dengan cepat menjadi kadaluarsa. KPU sebaiknya mempertahankan dan meningkatkan kualitas daftar pemilih yang dibuat pada tahun 2014 dengan menyediakan sumber daya khusus untuk kegiatan analisa dan pemutakhiran daftar pemilih agar daftar pemilih tersebut dapat tetap akurat untuk digunakan pada pemilu-pemilu yang akan datang. Kerjasama KPU dengan Kemendagri dan program eKTP harus dilanjutkan untuk memastikan bahwa semua manfaat dari program tersebut dapat terealisasikan.

    Selain daftar pemilih, SIDALIH juga memiliki infrastruktur TIK yang dapat dimanfaatkan oleh KPU untuk menjalankan sistem informasi lainnya yang menangani kebutuhan pemilu atau organisasi di masa depan. Akhir kata, SIDALIH dibangun dengan prinsip data terbuka (open data) dan memiliki API yang memungkinkan KPU berbagi informasi dengan aman dengan mitra pemerintah.

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 24

    Annex 1) Sumber Daya EVM

    Publikasi IFESInternational Foundation for Electoral Systems memiliki berbagai publikasi relevan di: www.ifes.org/Publications.aspxwww.ifes.org/Publications.aspx

    Publikasi Bersama IFES/NDIElectronic Voting & Counting Technologies: A Guide to Conducting Feasibility Studies (A joint publication with IFES) tersedia di: www.evotingguide.com

    Council of EuropeRekomendasi Panitia Kementerian untuk negara-negara anggota mengenai standar legal, operasional, dan teknis terkait e-voting: https://wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=778189

    International IDEAMakalah briefing kebijakan mengenai penggunaan teknologi elektronik pemungutan dan penghitungan suarahttp://www.idea.int/publications/introducing-electronic-voting/

    Notulensi Electronic Voting Conference (2004, 2006, 2008, 2010, 2012, 2014)www.e-voting.cc/en/publications/proceedings/www.e-voting.cc/en/publications/proceedings/

    Indeks Kesiapan eVoting http://neu.e-voting.cc/wp-content/uploads/downloads/2012/03/20080729_Krimmer_Schuster_eVoting_Readiness_Scale_Studypaper_V1-1.pdf

    Topik ACE Project Results Management Systems:aceproject.org/ace-en/topics/vcaceproject.org/ace-en/topics/vc

    UNDP/European Commission - Joint Task Force on Electoral AssistanceBerbagai publikasi dan pengetahuan akan produk. Termasuk sebuah pelajaran eLearning (kurang lebih 6 jam) mengenai ICT dalam penyelenggaraan pemilu. Pada Februari 2015, EC-UNDP Joint Task Force menerbitkan sumber baru, terdiri dari panduan untuk mendukung penyelenggara pemilu untuk mengevaluasi pilihan, keuntungan, dan tantangan RMS dengan menyertakan pelajaran eLearning.http://www.ec-undp-electoralassistance.org

    Daftar Pustaka eVoting dari Centre for Democracy Studies, Aarau, Switzerland (ZDA) http://www.preferencematcher.com/edc/?page_id=338

    http://www.ifes.org/Publications.aspxwww.ifes.org/Publications.aspxhttp://www.ifes.org/Publications.aspxwww.ifes.org/Publications.aspxhttp://www.preferencematcher.com/edc/?page_id=338

  • Page 25

    IFES Indonesia

    Annex 2) Sumber Daya Studi Kelayakan

    1. Electronic Voting & Counting Technologies: A Guide to Conducting Feasibility Studies, publikasi bersama IFES and NDI dapat diakses di: www.evotingguide.com

    2. "Implementing and Overseeing Electronic Voting and Counting Technologies", publikasi bersama IFES dan NDI. Tersedia di www.evotingguide.com dan at www.ifes.org

    3. "Recommendation Rec(2004)11 of the Committee of Ministers to member states on legal, operational and technical standards for e-voting", Council of Europe, tersedia di wcd.coe.int/ViewDoc.jsp?id=778189

    4. "Introducing Electronic Voting: Essential Considerations" briefing kebijakan, International IDEA, www.idea.int/publications/introducing-electronic-voting

    5. Notulensi Electronic Voting conferences (2004-2014), tersedia di www.e-voting.cc

    http://www.e-voting.cc

  • The need to develop eRecap and avoid electronic voting machines

    Page 26

    Annex 3) Daftar Akronim

    API Application Programming InterfaceBAWASLU Badan Pengawasan Pemilu (Indonesia)BPPT Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Indonesia)Formulir C1 Hasil pemilu dari tiap TPS (Indonesia)CEV Commission on Electronic Voting (Irlandia)COMELEC Commission on Elections (Filipina)DKPP Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (Indonesia)DPR Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia)ECI Election Commission of IndiaeCount Penghitungan suara elektronikeKTP Kartu Tanda Pengenal (Indonesia)eRekap Rekapitulasi elektronikEVM Electronic Voting MachineKPU Komisi Pemilihan Umum (Indonesia)Kemendagri Kementerian Dalam Negeri (Indonesia)OMR Optical Mark RecognitionPCOS Precinct Count Optical ScanningSIDALIH Sistem Pendaftaran Pemilih (Indonesia)TSE Pengadilan Tinggi Pemilu (Brazil)VVPAT Voter Verified Paper Audit Trail

  • Page 27

    IFES Indonesia

    Ronan McDermott

    Ronan McDermott adalah pakar internasional dalam hal teknologi pemilu. Selama 15 tahun terakhir, dia telah bekerja secara ekstensif dengan badan penyelenggara pemilu di negara-negara berkembang atau negara-negara paska-konflik di Afrika, Amerika, Asia, Eropa dan Pasific. Dalam beberapa negara, ia telah mengembangkan dan menerapkan pendaftaran pemilih, manajemen hasil, dan sistem manajemen pekerja pemilu. Dalam beberapa negara lainnya, ia juga memberikan masukan kepada badan manajemen pemilu yang memungkinkan mereka untuk menentukan, mengembangkan, mengadakan, mendistribusikan, dan mengelola bermacam teknologi-termasuk biometri, untuk mendukung proses kepemiluan, khususnya untuk sistem pendaftaran pemilih dan sistem hasil pemilu. Dia juga terlibat secara langsung dalam pengadaan teknologi kepemiluan dan layanan pendukungnya dengan nilai ratusan juta dollar.. Ia bekerja dengan pengamat nasional dan internasional dalam rangka mengamati dan memahami lebih dalam tentang teknologi kepemiluan yang diperkenalkan oleh badan penyelenggara pemilu.

    Beberapa tahun terakhir, ia terlibat dalam serangkaian penelitian, analisa, riset, evaluasi, perencanaan proyek, kajian kebutuhan, dan pengembangan pengetahuan produk seputar penggunaan teknologi dalam pemilu, terutama untuk UNDP, IFES, Uni Eropa, dan Democracy Reporting International. Pekerjaan tersebut melibatkan studi kasus dan materi pembekalan terkait teknologi pemungutan suara elektronik, sistem hasil pemilu, dan penerapan teknologi dalam proses kepemiluan secara umum. Dalam studi kasus bersama IFES tentang pengalaman Irlandia dengan mesin pemungutan suara elektronik, ia menggambarkan chart penurunan konsensus politik dan menunjukan pentingnya konsultasi antar pemangku kebijakan dalam pengenalan teknologi kepemiluan baru, khususnya teknologi yang akan digunakan untuk pemungutan dan penghitungan suara. Ronan mengusulkan pembuatan dan menjadi penulis utama handbook bertema Informed Decisions for Sustainable Outcomes untuk lokakarya tematis Komite Uni Eropa UNDP tentang Teknologi Informasi dan Penyelenggaraan Pemilu yang diluncurkan pada Maret 2012. Ronan McDermott adalah warga negara Irlandia. Ia memiliki gelar Master dari University of Liverpool di Inggris dan saat ini bekerja di Swiss.

    Michael Burke

    Michael Burke adalah konsultan penyelenggaraan pemilu dengan empat belas tahun pengalaman bekerja dalam proyek bantuan teknis di negara-negara yang demokrasinya sedang berkembang. Keahliannya mencakup berbagai jenis tugas kepemiluan khususnya pada peningkatan kualitas pemilu melalui penggunaan teknologi yang efektif. Ia juga pemimpin tim dan manajer proyek yang berpengalaman dengan rekam jejak yang baik dalam merancang, mengatur, dan mengevaluasi program bantuan pemilu di lebih dari 15 negara.

    Baru-baru ini, Mike bekerja bersama KPU Indonesia untuk membuat daftar pemilih terbesar di dunia. Ia telah mengembangkan kajian dan strategi kapasitas TI untuk komisi pemilu di Myanmar dan evaluasi penggunaan teknologi yang efektif di pemilu Filipina. Tahun 2015, Mike akan bekerja bersama komisi pemilu Myanmar untuk membantu membuat daftar pemilih elektronik pertama mereka.

    Selain sebagai konsultan, Mike juta telah menjabat di sejumlah posisi dalam penyelenggaraan pemilu dan bekerja sebagai koordinator pelatihan bagi South Sudan Out of Country Voting Program, mambangun kantor hubungan eksternal bagi pemilu Afghanistan, mengepalai divisi operasi, pendaftaran pemilih, dan TI untuk pemilu Kosovo dan memimpin sebuah tim untuk melaksanakan pemilu demokratis di Uni Emirat Arab (untuk warga Iraq yang tinggal di sana). Mike memiliki gelar sarjana filosofi dari Purdue University dan gelar master dari HEC Paris.

    Ringkasan EksekutifPengantarPemilu 2014 di IndonesiaKekuatan yang AdaInovasi yang BerhasilPerbaikan UtamaPersoalan Kelembagaan

    Rekomendasi untuk Solusi Teknologi PemiluMesin Pemungutan SuaraUpaya EVM di IndonesiaPermasalahan EVM dan Pengalaman InternasionalSistem Manajemen Hasil (eRekap)

    Rekomendasi untuk KPUMenciptakan Dewan Penasihat Nasional untuk Teknologi Informasi PemiluKajian Kelayakan Penggunaan Mesin Pemungutan Suara di IndonesiaMembangun sistem manajemen hasil pemilu secara menyeluruhMembantu KPU mengembangkan strategi TI yang komprehensifMelanjutkan Pengembangan Memanfaatkan Platform SIDALIHAnnex 1) Sumber Daya EVMAnnex 2) Sumber Daya Studi KelayakanAnnex 3) Daftar Akronim