Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia...

206
PERLINDUNGAN TANAMAN dengan INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI

Transcript of Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia...

Page 1: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

PERLINDUNGAN TANAMAN

dengan INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI

Page 2: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

UU No 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta Fungsi dan sifat hak cipta Pasal 4 Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. Pembatasan Pelindungan Pasal 26 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 tidak berlaku terhadap: i. penggunaan kutipan singkat Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait untuk pelaporan

peristiwa aktual yang ditujukan hanya untuk keperluan penyediaan informasi aktual; ii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk kepentingan penelitian

ilmu pengetahuan; iii. Penggandaan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait hanya untuk keperluan pengajaran,

kecuali pertunjukan dan Fonogram yang telah dilakukan Pengumuman sebagai bahan ajar; dan

iv. penggunaan untuk kepentingan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang memungkinkan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dapat digunakan tanpa izin Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram, atau Lembaga Penyiaran.

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 3: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

PERLINDUNGAN TANAMAN

dengan INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI

Dr. Wuye Ria Andayanie

Dr. Wahidin Nuriana

Netty Ermawati, Ph.D.

Page 4: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

PERLINDUNGAN TANAMAN DENGAN INSEKTISIDA DAN ANTIVIRAL NABATI

Wuye Ria Andayanie

Wahidin Nuriana Netty Ermawati

Desain Cover :

Nama

Sumber : Link

Tata Letak :

Haris Ari Susanto

Proofreader : Haris Ari Susanto

Ukuran :

xvi, 190 hlm, Uk: 15.5x23 cm

ISBN : No ISBN

Cetakan Pertama :

Bulan 2019

Hak Cipta 2019, Pada Penulis

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Copyright © 2019 by Deepublish Publisher All Right Reserved

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit.

PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)

Anggota IKAPI (076/DIY/2012)

Jl.Rajawali, G. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581

Telp/Faks: (0274) 4533427 Website: www.deepublish.co.id www.penerbitdeepublish.com E-mail: [email protected]

Page 5: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

v

PRAKATA

Perubahan iklim akan menimbulkan dampak pergeseran pola

distribusi spatial dan pola distribusi geografis inang karena adanya

zona agroklimat. Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan

akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

kemarau semakin memberikan kondisi yang kondusif untuk

perkembangan dan penyebaran hama dan virus pada tanaman.

Perlindungan tanaman telah diketahui sampai sekarang sinonim

dengan penggunaan pestisida kimia. Hal ini tidak sepenuhnya

benar, karena sekarang konsep ini sudah berubah secara cepat

untuk mendukung komoditas pertanian yang berkelanjutan dan

ramah lingkungan.

Perlindungan tanaman dengan insektisida dan antiviral

nabati memegang peranan lebih besar untuk pengelolaan jasad

pengganggu. Hal ini perlu dieksploitasi lebih luas saat ini karena

kenyataan pada praktek tidak sebanding dengan penggunaan

pestisida kimia. Perlindungan tanaman dengan insektisida dan

antiviral nabati merupakan buku ajar yang diperlukan dalam mata

kuliah wajib Dasar-dasar Perlindungan Tanaman dan Pengelolaan

Jasad Pengganggu serta Lingkungan Hidup pada Fakultas

Pertanian. Buku ini ditulis berdasarkan penelitian, publikasi,

pengalaman penulis, kajian pustaka selama mengampu Dasar-

dasar Perlindungan Tanaman dan Pengelolaan Jasad Pengganggu

serta Lingkungan Hidup.

Buku ini mencakupi cukup banyak materi dengan tujuan

memberi wawasan yang memadai untuk perlindungan tanaman

terhadap hama dan virus. Buku ini ditulis dengan konsep lebih

dari sekedar buku pengantar, namun penulis telah mencoba

membatasi materi pada tataran yang dapat diikuti oleh mahasiswa

Page 6: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

vi

S-1 sekaligus menyediakan landasan yang cukup bagi mahasiswa

pascasarjana, peneliti serta umum untuk memperluas wawasan

terhadap fenomena alam yang terjadi saat ini. Saran maupun kritik

terhadap buku ini sangat diharapkan sebagai bagian proses

penyempurnaan, untuk itu penyusun mengucapkan banyak

terimakasih.

Penyusun berharap buku ini dapat memberikan manfaat bagi

para mahasiswa Fakultas Pertanian khususnya dan peneliti serta

masyarakat yang berkecimpung di bidang perlindungan tanaman

dan lingkungan hidup pada umumnya sebagai bagian proses

pendidikan dan pencerahan bangsa.

Madiun 14 April 2019

Penulis

Page 7: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

vii

DAFTAR ISI

PRAKATA ............................................................................................. v

DAFTAR ISI ........................................................................................ vii

DAFTAR GAMBAR .............................................................................. x

DAFTAR TABEL ................................................................................ xiv

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................... 1

A. Dasar Pikiran ................................................................ 1

B. Tujuan dan Arti Perlindungan Tanaman ................... 1

C. Aspek Sosial, Ekonomi dan Ekologi ........................... 4

D. Dinamika Perkembangan Hama dan Penyakit

Tanaman ....................................................................... 6

E. Permasalahan dan Tantangan Perlindungan

Tanaman ....................................................................... 8

F. Kecenderungan Langkah-langkah

Perlindungan Tanaman ............................................. 10

G. Rangkuman................................................................. 12

H. Daftar Pustaka ............................................................ 13

I. Pelatihan ..................................................................... 15

BAB II. SERANGGA SEBAGAI HAMA TANAMAN .............. 16

A. Dasar Pikiran .............................................................. 16

B. Perkembangbiakan Serangga .................................... 16

C. Metamorfosa Serangga .............................................. 21

D. Serangga Hama sebagai Populasi ............................. 27

E. Faktor Penyebab Terjadinya Hama .......................... 34

F. Cara-cara Kerusakan oleh Serangga Hama .............. 41

G. Serangga-serangga Perusak Tanaman ...................... 42

H. Rangkuman................................................................. 51

Page 8: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

viii

I. Daftar Pustaka ............................................................ 53

J. Pelatihan ...................................................................... 54

BAB III. SERANGGA SEBAGAI VEKTOR VIRUS

TUMBUHAN ..................................................................... 56

A. Dasar Pikiran .............................................................. 56

B. Penularan dan Penyebaran Virus Tumbuhan

Melalui Vektor ............................................................ 56

C. Hubungan Antara Serangga Vektor dan Virus

Tumbuhan ................................................................... 60

D. Rangkuman ................................................................. 70

E. Daftar Pustaka ............................................................ 72

F. Pelatihan ...................................................................... 73

BAB IV. VIRUS SEBAGAI PENYEBAB PENYAKIT

TANAMAN ....................................................................... 74

A. Dasar Pikiran .............................................................. 74

B. Komposisi Asam Nukleat dan Protein

Penyusun Virus Tumbuhan ....................................... 74

C. Morfologi dan Struktur Virus .................................... 82

D. Infeksi Virus dan Sintesa Virus ................................. 88

E. Replikasi Asam Nukleat Virus .................................. 93

F. Mekanisme Penterjemahan RNA Virus .................. 101

G. Penggabungan Asam Nukleat dan Protein

Menjadi Virion .......................................................... 101

H. Gejala yang Disebabkan Virus Tumbuhan ............. 102

I. Fisiologis Tumbuhan yang Terserang Virus .......... 113

J. Pengimbasan Penyakit Virus Tumbuhan ............... 117

K. Rangkuman ............................................................... 120

L. Daftar Pustaka .......................................................... 121

M. Pelatihan .................................................................... 123

Page 9: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

ix

BAB V. INSEKTISIDA NABATI ................................................ 125

A. Dasar Pikiran ............................................................ 125

B. Sejarah dan Perkembangn Insektisida Nabati ....... 126

C. Potensi Tumbuhan sebagai Sumber

Insektisida Nabati .................................................... 127

D. Mekanisme Insektisida Nabati dalam

Melindungi Tanaman .............................................. 136

E. Keunggulan dan Kelemahan Insektisida

Nabati ........................................................................ 152

F. Kendala dan Strategi Pengembangan

Insektisida Nabati .................................................... 154

G. Rangkuman............................................................... 155

H. Daftar Pustaka .......................................................... 157

I. Pelatihan ................................................................... 159

BAB VI. ANTIVIRAL NABATI ................................................... 160

A. Dasar Pikiran ............................................................ 160

B. Penggunaan Ekstrak Tanaman sebagai

Antiviral .................................................................... 160

C. Mekanisme Pertahanan Secara Alami

terhadap Virus dengan Ekstrak Tanaman.............. 164

D. Aktivitas Antiviral ................................................... 169

E. Rangkuman............................................................... 176

F. Daftar Pustaka .......................................................... 177

G. Pelatihan ................................................................... 178

BAB VII. PENUTUP ........................................................................ 179

GLOSARIUM .................................................................................... 180

INDEKS ............................................................................................. 186

Page 10: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Faktor dalam untuk berkembangbiak

serangga .......................................................................... 17

Gambar 2. Metamorfosa Ametabola (tidak ada

metamorfosa jelas) ......................................................... 24

Gambar 3. Metamorfosa sederhana (metamorfosa

Hemimetabola) ............................................................... 24

Gambar 4. Metamorfosa sempurna (metamorfosa

Holometabola) ................................................................ 26

Gambar 5. Metamorfosa bertingkat (Paurometabola) ................... 27

Gambar 6. Skematis dari kepadatan populasi hama ..................... 27

Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi kepadatan

populasi serangga hama dan dampaknya

pada tanaman serta manusia ........................................ 29

Gambar 8. Grafik ambang ekonomis untuk pengambilan

keputusan pengendalian hama sesuai dengan

konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT) ................. 33

Gambar 9 Serangga vektor virus paling dominan. A:

kutu daun (Myzuz persicae); B. wereng

(Circulifer tenellus); C. Trips (Frankliniella

occidentalis); D. Trips (Frankliniella fusca); E.

kutu putih (Bemisia tabaci) ............................................. 57

Gambar 10. Penularan virus oleh serangga dari sumber

infeksi (kolom pertama) pada tumbuhan yang

kemudian dijajagi atau dimakan oleh

serangga (Bos, 1990). ...................................................... 60

Gambar 11. Bagian mulut dan cara makan aphid. A:

diagram aphid yang sedang makan; B: kepala

aphid yang dipencet dan alat mulutnya; C.

Page 11: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

xi

diagram bagian mulut pada irisan melintang

(Bos, 1990)....................................................................... 67

Gambar 12. Struktur asam ribonukleat (Ribonucleic acid =

RNA) dan komponen-komponen (atas) serta

pasangan basa (bawah) (Bos, 1983). ............................. 77

Gambar 13. Transkripsi RNA kurir (mRNA) dan DNA

dalam inti serta terjemahan ke dalam protein

pada ribosom dan sitoplasma (Bos, 1983). ................... 79

Gambar 14. Bentuk dan ukuran dengan lipoprotein

sebagai amplop pada virus tumbuhan

(Matthews, 1992). ........................................................... 83

Gambar 15. Struktur helix dari subunit yang berhubungan

dengan partikel RNA Tobacco mosaic virus

(kiri) dan isometrik partikel Turnip yellow

mosaic virus (kanan) (Bos, 1983). ................................... 85

Gambar 16. Partikel virus berbentuk tongkat kaku (rigid

rod) pada Tobacco mosaic virus (TMV) (atas);

berbentuk tongkat lentur (Flexious Rod) pada

Soybean mosaic virus (SMV) dan Cowpea mild

mottle virus (CPMMV) (bawah) (Bos, 1983).................. 86

Gambar 17. Partikel virus berbentuk ikosahedral dari Bean

golden mosaic virus (Matthews, 1992). ........................... 87

Gambar 18. Struktur Rhabdovirus berbentuk basili

dengan mikrograf elektron (Bos, 1983) ........................ 88

Gambar 19. Mekanisme multiplikasi virus RNA Tobacco

mosaic virus (Paolella, 1997 dalam Yuwono,

2005) ................................................................................ 96

Gambar 20. Organisasi genom dari Cauliflower mosaic

virus (CAMV) (Bos, l983) .............................................. 99

Gambar 21. Gejala mosaik pada daun (A) dan biji (B)

kedelai serta bercak lokal pada daun

Page 12: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

xii

Chenopodium amaranticolor (C) yang terinfeksi

Soybean mosaic virus (Andayanie et al., 2014) .............. 105

Gambar 22. Gejala bantut pada tanaman kedelai terinfeksi

Soybean stunt virus ........................................................ 109

Gambar 23. Gejala bercak lokal pada tanaman

Chenopodium amaranticolor. A: tanaman C.

amaranticolor sehat; B: yang terinfeksi

Soybean mosaic virus .................................................. 110

Gambar 24. Diagram hubungan virus-inang dan keadaan

eksternal (Boss, 1983) ................................................... 118

Gambar 25. Struktur senyawa phytol ............................................. 142

Gambar 26. Struktur molekul asam anakardat, kardanol,

kardol dan 2-metil-kardol ........................................... 145

Gambar 27. Persentase peletakan telur kutu kebul pada 72

jam setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu

mete ............................................................................... 150

Gambar 28. Hinggapan kutu kebul (A. dugesii) pada

pengujian antifeedant .................................................... 151

Gambar 29. Persentase hinggapan kutu kebul (B. tabaci)

setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete ............ 152

Gambar 30. Pola pita protein pada inducer terpilih

berdasarkan hasil elektroforesis

menggunakan gel poliakrilamid (SDS- PAGE

10%). (Inducer protein banding pattern was

chosen based on results using polyacrylamide gel

electrophoresis (SDS-PAGE 10%) (Gunaeni et

al., 2018). (1)Tanaman cabai + pagoda (2)

tanaman cabai + pagoda + virus kuning

keriting (3) tanaman cabai + tapak dara (4)

tanaman cabai + tapak dara + virus kuning

keriting (5) tanaman cabai + nimba (6)

tanaman cabai + nimba + virus kuning

Page 13: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

xiii

keriting (7) tanaman cabai + beluntas + virus

kuning keriting (8) tanaman cabai + beluntas

(9) tanaman cabai sehat, dan (10) tanaman

cabai terinfeksi virus kuning keriting ........................ 167

Gambar 31. Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai

merah yng diinduksi oleh ekstrak tanaman

(Gunaeni et al., 2015) .................................................... 168

Page 14: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Proyeksi produksi pangan dunia tahun 2050 ..................... 4

Tabel 2. Spesies dari ordo Orthoptera sebagai serangga

perusak tanaman ................................................................. 48

Tabel 3. Spesies dari ordo Hemiptera sebagai serangga

perusak tanaman ................................................................. 48

Tabel 4. Spesies dari ordo Homoptera sebagai serangga

perusak tanaman ................................................................. 49

Tabel 5. Spesies dari ordo Lepidoptera sebagai serangga

perusak tanaman ................................................................. 50

Tabel 6. Spesies dari ordo Diptera sebagai serangga

perusak tanaman ................................................................. 51

Tabel 7. Serangga sebagai vektor virus tumbuhan......................... 59

Tabel 8. Tipe hubungan serangga vektor dan virus

tumbuhan ............................................................................ 61

Tabel 9. Virus tumbuhan yang ditularkan secara

nirpersisten .......................................................................... 62

Tabel 10. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara

persisten ............................................................................... 64

Tabel 11. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara semi

persisten ............................................................................... 65

Tabel 12. Sifat penularan pada setiap tipe hubungan antara

virus dan vektor .................................................................. 66

Tabel 13. Jenis dan fungsi gen pada kelompok Potyvirus ............... 97

Tabel 14. Ekspresi dn fungsi hayati protein CaMV ........................ 100

Tabel 15. Daftar tanaman untuk insektisida nabati ........................ 134

Tabel 16. Waktu penjuluran proboscis selama berada pada

sumber ekstrak .................................................................. 140

Tabel 17. Jumlah individu predator dan parasitoid telur

wereng kapas yang tertarik pada minyak atsiri

Page 15: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

xv

dari daun kapas, batang dan daun jagung, dan

daun teh hitam. dalam uji dengan pilihan di

laboratorium menggunakan tabung X ............................ 141

Tabel 18. Hasil uji aktivitas antifeedant dari ekstrak kental

n-heksana .......................................................................... 143

Tabel 19. Famili, senyawa aktif dari spesies tumbuhan

yang mempunyai sifat menghambat aktivitas

makan, serta organisme sasaran yang

menunjukkan efek penghambatan makan ..................... 144

Tabel 20. Total kandungan phenolic, flavonoid and tannin

dari ekstrak kulit biji jambu mete .................................... 145

Tabel 21. Senyawa bioaktif dari ekstrak kulit biji jambu

mete ................................................................................... 146

Tabel 22. Persentase peletakan telur kutu kebul ............................ 147

Tabel 23. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji

jambu mete terhadap kejadian penyakit pada

tanaman kedelai ................................................................ 171

Tabel 24. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji

jambu mete terhadap intensitas penyakit pada

tanaman kedelai ................................................................ 172

Tabel 25. Potensi ekstrak kulit biji jambu mete sebagai

penginduksi terhadap infeksi CPMMV .......................... 173

Page 16: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

xvi

Page 17: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

1

BAB I.

PENDAHULUAN

A. DASAR PIKIRAN

Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan perubahan iklim

gobal serta pola tanam pada musim kemarau merupakan salah satu faktor

penghambat produksi komoditas pertanian. Di lain pihak, kebijakan

kedaulatan pangan, pangan diproduksi secara agroekologi, multikultur dan

sistim pertanian berkelanjutan, sehingga keberlanjutan dan faktor

lingkungan menjadi hal utama. Fluktuasi suhu dan kelembapan udara yang

semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan

hama dan virus tanaman, sehingga menyulitkan dalam pengelolaannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, pengelolaan hama dan virus dengan pestisida

kimia sering tidak dapat dihindarkan, bahkan menjadi pilihan utama.

Pada pembahasan ini akan dijelaskan tujuan dan arti perlindungan

tanaman dan dinamika perkembangan hama dan penyakit tanaman serta

kecenderungan langkah-langkah perlindungan tanaman. Setelah selesai

membaca dan memahami pembahasan ini diharapkan para pembaca atau

mahasiswa dapat mengerti peran penting perlindungan tanaman, hambatan

dalam peningkatan produksi, serta menyebutkan komponen pengelolaan

hama dan penyakit tanaman yang ramah lingkungan.

B. TUJUAN DAN ARTI PERLINDUNGAN TANAMAN

Kegiatan perlindungan tanaman mempunyai tujuan untuk

melindungi, mencegah, atau menghindari agar tanaman kita agar tidak

menderita suatu gangguan, kerusakan, kematian, kemerosotan hasilnya

atau memperkecil kerugian yang ditimbulkannya. Perlindungan tanaman

meliputi segala kegiatan perlindungan terhadap kerusakan pertanaman

mulai dari tanam sampai diterima konsumen. Usaha perlindungan tanaman

dapat dilakukan sebelum, pada saat dan sesudah terjadi serangan jazad

pengganggu. Perlindungan tanaman mempunyai hubungan erat dengan

masalah ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Usaha perlindungan

Page 18: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

2

tanaman harus menguntungkan. Apabila suatu usaha perlindungan

tanaman tidak akan dapat menguntungkan, misalnya apabila tingkat

serangan jasad pengganggu telah melampaui batas toleransi, maka lebih

baik tidak dilakukan usaha perlindungan tanaman. Oleh karena itu,

perlindungan tanaman harus memiliki prinsip untuk memperkecil kerugian

dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mencegah

atau mengurangi sekecil mungkin kerugian, atau bahkan sama sekali

meniadakan kerugian tersebut.

Kegiatan perlindungan tanaman perlu dilakukan secara teratur agar

produksi pangan tidak terganggu. Hal ini karena pola curah hujan sering

mengalami perubahan dan makin meningkatnya intensitas kejadian iklim

ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan naiknya

permukaan air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Las, 2007).

Perubahan iklim mempunyai dampak terhadap pola curah hujan dan

temperatur ekstrim, salinisasi lahan pertanian dengan irigasi, dan

kebutuhan keseluruhan untuk mempertahankan atau meningkatkan

produktivitas komoditas pertanian terutama di lahan sub-optimal. El Nino

dan La Nina merupakan gejala yang menunjukkan perubahan iklim. El

Nino adalah peristiwa memanasnya temperatur air permukaan laut dan

menyebabkan terjadinya musim kemarau yang panjang. La Nina

merupakan kebalikan dari El Nino. La Nina adalah kondisi cuaca yang

normal kembali setelah terjadinya gejala El Nino. La Nina mengakibatkan

angin dengan banyak uap air, sehingga sering terjadi hujan lebat dan

kemungkinan terjadinya banjir sangat besar (Budianto, 2001). El Nino

menyebabkan peningkatan patogen dari kelompok virus dan vektor virus

serta hama pada tanaman. Hal ini karena musim kemarau yang panjang

dan temperatur tinggi. La Nina menyebabkan peningkatan patogen dari

kelompok jamur dan bakteri. Hal ini karena kelembaban yang tinggi

dengan angin yang membawa uap air.

Menurut Las & Irsal (2007 dalam Irianto 2008) peningkatan

temperatur di atmosfir akan meningkatkan transpirasi dan konsumsi air,

percepatan pemasakan biji, penurunan mutu hasil serta berkembangnya

beberapa organisme pengganggu tanaman. Perubahan iklim mempunyai

dampak terhadap degradasi lahan pertanian dan penurunan produktivitas

lahan akibat salinitas. Cekaman kekeringan pada tanaman akan meningkat

Page 19: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

3

dengan adanya perubahan iklim global. Cekaman kekeringan

menyebabkan meningkatnya polong hampa akibat terhambatnya proses

fisiologi dan metabolisme unsur hara, berkurangnya hasil fotosintesis dan

transportasi fotosintat. Hal ini menyebabkan tanaman mudah terinfeksi

oleh penyakit. Kondisi ini diantisipasi dengan penemuan varietas-varietas

unggul untuk lahan kering dan beriklim kering serta salinitas tinggi (Hipi

et al., 2014; Ardiansyah et al., 2014). Cekaman kekeringan 50% terhadap

ketersediaan air akan menurunkan hasil biji, misalnya kedelai varietas

Cikuray, Panderman, Burangrang, Tidar, dan Wilis berturut turut 62,6%,

52,8%, 41,7%, 64.0% dan 47,6% (Suhartina, 2007). Selain itu upaya

pernah dilakukan untuk mengatasi ledakan kutu kebul sebagai vektor virus

tanaman kedelai dengan sprinkler dan musuh alami. Meskipun upaya ini

semakin sulit dilakukan, jika kondisi ekstrim terus berkelanjutan

(Balitkabi, 2014).

Penyakit virus kedelai merupakan contoh yang fenomenal. Lima

tahun lalu, Cowpea Mild Mottle Virus (CPMMV) bukan merupakan

penyakit yang penting (Andayanie et al., 2011). Data Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian juga menunjukkan

hal yang serupa. Hebatnya lagi penyakit tersebut juga ditemukan di dataran

tinggi. Epidemi penyakit virus kedelai salah satunya ditentukan oleh

dinamika populasi serangga vektor, yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci).

Temperatur yang tinggi dan kemarau yang panjang mendukung

perkembangan kutu kebul. Hingga saat ini belum ada penelitian mendalam

tentang faktor penyebab ledakan penyakit ini di Indonesia. Meskipun

varietas-varietas kedelai telah banyak yang dilepas ke petani.

Daya produksi suatu pertanaman terletak antara dua batas teoritik

yaitu: daya produksi yang primitif dan daya produksi maksimum, diantara

keduanya terletak daya produksi ekonomi. Selama periode 2009−2050,

produktivitas pertanian di negara berkembang diperkirakan menurun

sekitar 9−21%, sedangkan di negara maju dampaknya bervariasi antara

penurunan 6−8%, tergantung dampak yang saling menutupi dari tambahan

karbon di udara akibat pemanasan global terhadap fotosintesis. Meskipun

demikian, produksi pangan dunia akan mengalami peningkatan sekitar

34,5%, jika dilihat dari perkembangan teknologi pada proses produksi dan

Page 20: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

4

pasca panen, sehingga tahun 2050 diperkirakan produksi bahan pangan di

dunia meningkat 51,5% (Tabel 1).

Tabel 1. Proyeksi produksi pangan dunia tahun 2050

C. ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN EKOLOGI

Anggapan bahwa perlindungan tanaman identik dengan penggunaan

pestisida saja dapat dihilangkan. Perlindungan tanaman berdasarkan

pertimbangan kepada segi ekonomi, ekologi dan sosiologi diharapkan

dapat dipahami oleh masyarakat petani. Sistim pengendalian berbeda

dengan pemberantasan, yaitu bahwa pengendalian mengandung maksud

menekan populasi atau intensitas serangan sampai batas yang tidak

merugikan secara ekonomis. Dalam sistim pengendalian ini pertimbangan

ekonomis dan ekologis serta sosiologis nampak jelas.

Aspek sosial, perlindungan tanaman diharapkan dapat meningkatkan

pendapatan per kapita masyarakat petani atau produsen pertanian. Teknik-

teknik pelaksanaan perlindungan tanaman sebagai pengetahuan baru

diharapkan masyarakat mudah mendapatkan. Semua fasilitas penggunaan

metode pengendalian dan tersedianya sarana-sarana pengendalian di

daerah yang berdekatan dengan petani, merupakan pertimbangan

sosiologis dalam sistem pengendalian. Sistem pengendalian ini diharapkan

metode yang dipergunakan dapat diterima atau dikerjakan oleh petani

(farmer acceptance). Oleh karena itu semua metode pengendalian harus

cukup sederhana, mudah dilakukan, murah, aman, dan menggunakan

fasilitas-fasilitas yang tersedia.

Pertimbangan ekonomis dalam sistim pengendalian yaitu adanya

usaha menekan populasi atau intensitas serangan jasad pengganggu sampai

Page 21: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

5

batas tertentu yang tidak menimbulkan kerugian ekonomis. Ini berarti

bahwa biaya pengendalian yang dikeluarkan relatif murah, karena tidak

menekan populasi atau intensitas serangan serendah-rendahnya. Menurut

teori pengendalian penekanan populasi atau mengurangi intensitas

serangan serendah-rendahnya, apalagi sampai nol adalah tidak ekonomis.

Penekanan populasi atau mengurangi intensitas serangan cukup hanya

sampai batas toleransi atau batas yang tidak merugikan secara ekonomis

saja.

Perlindungan tanaman dengan pertimbangan ekologi berusaha untuk

menjaga kelestarian lingkungan. Prinsip pengendalian yang dianut

bukanlah semata-mata pemberantasan atau pembasmian. Teknik-teknik

pengendalian dalam perlindungan tanaman merupakan usaha menekan

populasi dan mengurangi intensitas serangan jasad penganggu saja, tetapi

sekaligus memperhatikan dampaknya terhadap kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu bentuk perlindungan tanaman berupa usaha pengedalian

dan bukan pemberantasan.

Dalam sistim pengendalian konsep monitoring terhadap populasi

atau tingkat serangan selalu dilakukan. Monitoring ini akan dapat

memberikan informasi status dari hama atau penyakit, apakah

membutuhkan tindakan pengendalian atau tidak. Menjaga atau memelihara

tingkat populasi atau tingkat serangan selalu di bawah batas”ambang

ekonomi” dengan melakukan tindakan-tindakan pengendalian selain

penggunaan pestisida atau bercocok tanam yang baik, menanam varietas

tahan dan lain-lain, merupakan usaha yang sering dilakukan dalam sistem

pengendalian.

Di daerah tropika belum ada data yang lengkap tentang kerugian

pertanaman karena jasad pengganggu. Di negara Asia yang menghasilkan

bahan pangan lebih banyak daripada Eropa dan Amerika. Hal ini karena

sebagian besar negara Asia mempunyai iklim tropis negara Asia, sehingga

dapat ditanami sepanjang tahun. Namun demikian hama dan penyakit

selalu dijumpai sepanjang tahun, jika terjadi epidemi atau eksplosi

pengganggu akan mudah terjadi kelaparan.

Page 22: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

6

D. DINAMIKA PERKEMBANGAN HAMA DAN

PENYAKIT TANAMAN

Perkembangan hama dan penyakit tanaman sangat dipengaruhi oleh

dinamika faktor iklim. Perubahan iklim mempunyai implikasi terhadap

munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari penyakit dan vektor yang

mempengaruhi tanaman kedelai dan berdampak menimbulkan risiko baru

terhadap ketahanan pangan. Oleh karena itu, saat musim hujan petani

disibukkan oleh penyakit dari kelompok jamur dan bakteri. Sedangkan

pada musim kemarau disibukkan oleh penyakit virus dan vektornya serta

hama tanaman.

Pengaruh tidak langsung melalui kelembaban dan embun yang

dihasilkan dari bantuan angin, karena angin akan berpengaruh terhadap

tingkat kelembaban di suatu daerah. Pengaruh langsung, angin berperan

sebagai penyebar hama dan spora serta pelukaan pada bagian tanaman,

sehingga memudahkan masuknya penyakit. Angin dapat membawa hama

dan spora dari penyakit tanaman tidak terhitung banyaknya dengan

menempuh jarak yang jauh. Bahkan angin yang sangat lemahpun dapat

menyebarkan serangga aphid dan mengangkut spora sebagai sumber

inokulum ke sekitarnya.

Penyakit virus kedelai merupakan contoh yang fenomenal. Lima

tahun lalu, Cowpea Mild Mottle Virus (CPMMV) bukan merupakan

penyakit yang penting (Andayanie et al., 2011). Data Direktorat

Perlindungan Tanaman Pangan Departemen Pertanian juga menunjukkan

hal yang serupa. Hebatnya lagi penyakit tersebut juga ditemukan di dataran

tinggi. Epidemi penyakit virus kedelai salah satunya ditentukan oleh

dinamika populasi serangga vektor, yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci).

Temperatur yang tinggi dan kemarau yang panjang mendukung

perkembangan kutu kebul. Hingga saat ini belum ada penelitian mendalam

tentang faktor penyebab ledakan penyakit ini di Indonesia. Meskipun

varietas-varietas kedelai telah banyak yang dilepas ke petani.

Semangun (2004), terjadinya suatu penyakit tanaman akan

dipengaruhi oleh tiga faktor penting yaitu tanaman inang yang rentan

(susceptible host), patogen yang virulen serta kondisi lingkungan yang

sesuai. Apabila ketiga faktor tersebut tercapai maka penyakit tanaman

akan muncul. Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan

Page 23: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

7

penyakit di antaranya temperatur rendah yang dapat meningkatkan

intensitas penyakit, kelembaban dan curah hujan yang tinggi cenderung

meningkatkan intensitas serangan penyakit. Hal ini mengindikasikan

bahwa faktor lingkungan merupakan faktor penting dalam mendukung

terjadinya penyakit tanaman. Pengaruh perubahan iklim akan sangat

spesifik untuk masing masing penyakit.

Ekspresi gejala beberapa penyakit karena virus tergantung dari

temperatur. Dinamika lingkungan biotik juga dipengaruhi oleh faktor-

faktor iklim. Oleh sebab itu, subsektor tanaman pangan seperti kedelai

merupakan salah satu yang menerima dampaknya. Perubahan iklim global

yang sulit diprediksi, keberadaan musuh alami dan cara pengelolaan

penyakit mempunyai pengaruh terhadap keberadaan dan dinamika

penyakit (Garrett, 2006). Beberapa faktor menunjukkan

ketidakseimbangan kondisi antara penyakit dan tanaman inang serta

musuh alami sebagai berikut:

1. Tanaman akan mengalami tekanan/stress karena perubahan iklim

dan lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit.

2. Serangga mikroba termofilik (menyukai kondisi panas) lebih

diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas/kemarau dan

meningkatnya temperatur.

3. Hama yang bukan penyebab utama gangguan (minor) pada

pertanaman berubah menjadi hama yang utama

4. Akibat peningkatan temperatur, distribusi geografis serangga vektor

penyakit virus pada tanaman kedelai menjadi meluas sehingga

memperluas insidensi penyakit.

5. Kekeringan yang terjadi pada musim kemarau dapat meningkatkan

serangan hama dan jamur penyebab penyakit yang sangat tergantung

tekanan/stress yang dialami inangnya.

6. Peningkatan konsentrasi CO2 di udara mengakibatkan meningkatnya

fekunditas dan agresiveness patogen.

Pemantauan terhadap dinamika perkembangan jasad pengganggu

merupakan upaya yang perlu direalisasi sebagai upaya antisipasi

perubahan iklim global. Peningkatan pemahaman agroekosistim untuk

pengelolaan penyakit pada tanaman perlu dilakukan oleh petani, sehingga

lebih jeli mengamati dan menyikapi perubahan yag terjadi pada hama dan

Page 24: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

8

penyakit tanaman. Oleh karena itu pendekatan sistem pengendalian hama

dan penyakit tanaman dengan bahan nabati dapat digunakan sebagai

alternatif pemakaian pestisida kimia Langkah ini sebagai upaya

mengoptimalkan sumberdaya hayati yang berlimpah di Indonesia,

sehingga perlu kerjasama antara petani, peneliti, pemerintah dan perguruan

tinggi.

E. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN

PERLINDUNGAN TANAMAN

Permasalahan perlindungan tanaman menjadi penting juga karena

begitu banyaknya jenis organisme dapat berstatus sebagai Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT). Dalam hal ini digunakan istilah 'dapat

berstatus', bukan 'tergolong' sebagai OPT, karena OPT merupakan sebutan

yang diperoleh oleh suatu organisme hanya jika organisme tersebut

merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tanaman.

Kemampuan untuk menjadi OPT merupakan kombinasi antara sifat-sifat

yang diwariskan (genetik) dan sifat-sifat yang berkembang karena faktor

lingkungan.

Permasalahan ini menjadi lebih berat bagi Indonesia, bukan hanya

karena laju peningkatan jumlah penduduk yang tinggi, melainkan juga

karena kebijakan pembangunan pertanian yang belum disertai dengan

strategi perlindungan tanaman yang jelas sebagaimana yang telah dimiliki

oleh negara-negara maju. Selain itu, perubahan iklim global (global

climate change) semakin menjadikan permasalahan jasad pengganggu

semakin pelik ke depan. Consentrasi CO2 atmosfer meningkat dari periode

pra-industri sebesar 280 ppm menjadi 379 ppm pada 2005. Selama 8000

tahun sebelum industrialisasi, meningkat hanya sebesar 20 ppm, tetapi

sejak 1759 konsentrasi CO2 meningkat menjadi hampir 100 ppm. Laju

peningkatan tahunan konsentrasi CO2 hasil pengukuran selama 1960-2005

yang besarnya 1,4 ppm/tahun meningkat menjadi 1,9 ppm/tahun selama

1995-2005. Peningkatan konsentrasi CO2 tersebut juga disertai dengan

peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca lainnya seperti CH4, SO2,

N2O, dan CFC. Peningkatan CO2 dan gas-gas rumah kaca ini merupakan

penyebab meningkatnya radiative forcing menjadi 1.66 ± 0.17 W/m2 yang

berakibat pada terjadinya peningkatan suhu global yang kemudian diirngi

Page 25: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

9

pula dengan perubahan pola presipitasi global. Peningkatan konsentrasi

CO2, temperatur udara, dan pola presipitasi tersebut tentu saja akan

mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dinamika populasi, dan

bahkan pemencaran OPT. Peningkatan CO2 diperkirakan akan

berpengaruh terhadap gulma daripada golongan OPT lainnya karena

gulma, khususnya gulma yang mempunyai jalur fotosintetik C3, mampu

lebih memanfaatkan CO2 daripada tanaman. Sementara itu, peningkatan

temperatur akan mendorong jenis-jenis gulma penting di kawasan tropika

dataran rendah menjangkau kawasan sub-tropika dan kawasan tropika

dataran tinggi. Hal ini menyebabkan petani Australia bagian Selatan dan di

kawasan tropika dataran tinggi, misalnya, harus menghadapi jenis-jenis

gulma baru yang belum pernah dikenal sebelumnya. Hal yang sama

diperkirakan juga akan terjadi pada binatang hama maupun patogen,

sebagaimana misalnya pemencaran kutu loncat jeruk asia (Diaphorina

citri) yang akan diprediksi akan mencapai Australia bagian Selatan.

Sementara itu, pengaruh perubahan pola presipitasi terhadap Organisme

Pengganggu Tanaman (OPT) diperkirakan akan sangat berkaitan dengan

perubahan pola budidaya tanaman yang dilakukan sebagai tanggapan

terhadap perubahan pola presipitasi yang terjadi di suatu kawasan.

Proses pemencaran OPT yang sebelumnya terjadi lambat

diperkirakan akan meningkat bukan hanya karena perubahan iklim

melainkan juga oleh globalisasi. Globalisasi dicirikan antara lain oleh

meningkatnya arus orang dan barang dalam waktu sangat cepat melintasi

jarak yang sebelumnya memerlukan waktu lama untuk melintasinya.

Peningkatan arus orang dan barang tersebut akan disertai pula dengan

meningkatnya peluang disertai OPT, terutama dari negara-negara maju

yang mendominasi ekspor.

Pola tanam dari beberapa tanaman secara terus menerus akan

meningkatkan masalah terhadap OPT. Padi mendominasi di kawasan Asia

dan 75 % tumbuh dalam kondisi tadah hujan. Selain itu kisaran antara

kondisi pola tanam dan sistim usaha tani pada hamparan yang luas dengan

kultivar yang secara genetik homogen juga dikembangkan sejak lama.

Kondisi ini lebih besar keanekaragaman untuk terjadinya resistensi

alamiah terhadap jasad pengganggu, tetapi kultivar baru yang homogen

Page 26: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

10

tersebut diperkenalkan secara cepat, sehingga gangguan jasad pengganggu

juga sangat kompleks.

F. KECENDERUNGAN LANGKAH-LANGKAH

PERLINDUNGAN TANAMAN

Tanaman di wilayah tropika seperti Indonesia tidak dapat dipisahkan

dengan hama. Pola tanam, beberapa tanaman ditanam secara terus menerus

karena iklim yang mendukung. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya

hama, penyakit, dan gulma. Sistim bertani ini menyebabkan terjadinya

tekanan ekologi, sehingga timbul jasad pengganggu baru. Selain itu

munculnya kultivar baru yang homogen yang secara cepat dan luas akan

menyebabkan jasad pengganggu sangat kompleks. Oleh karena itu

pengeterapan teknologi modern di bidang pertanian akan menyebabkan

perubahan kehidupan hama dan penyakit tumbuhan.

Perubahan lingkungan maupun pergeseran pola bertanam dan lain

sebagainya dari suatu daerah pada suatu saat mengakibatkan pergeseran

status hama dan penyakit tumbuhan. Guna mengurangi kerusakan tanaman

sebelum panen (pra-harvest) maupun sesudah panen (post harvest), maka

hama dan penyakit perlu dikendalikan dengan baik. Upaya monitoring

terhadap jasad pengganggu jarang dilakukan oleh petani. Petani lebih

banyak menggunakan insektisida dalam pemberantasan hama, sehingga

perlindungan tanaman mempunyai sinonim dengan penggunaan pestisida

kimia.

Pestisida adalah substansi kimia yang digunakan untuk membunuh

atau mengendalikan berbagai hama dalam arti luas (jasad pengganggu) dan

cida: membunuh. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7

tahun l973, difinisi pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta

jasad renik dan virus yang digunakan untuk mencegah hama dan penyakit

yang merusak tanaman atau hasil pertanian serta rerumputan. Meskipun

demikian, penggunaan pestisida kimia mempunyai kelemahan, khususnya

dampak bahan kimia untuk ekosistim dan produk pertanian. Penggunaan

pestisida kimia juga menyebabkan munculnya OPT dan strain baru yang

lebih ganas dari penyakit serta biotip baru dari hama. Hal tersebut

mengakibatkan faktor penghambat populasi hama secara hayati tidak dapat

bekerja secara maksimal dan populasi hama mengalami peningkatan.

Page 27: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

11

Selain itu praktek penggunaan bahan kimia yang berlebihan juga

mempengaruhi kandungan bahan organik tanah, sehingga kekeringan

sedikit saja telah membuat lengas tanah terkuras habis dan berdampak

terhadap luas tanam dan produktivitas tanaman. Oleh karena itu pestisida

kimia dapat digunakan hanya sebagai usaha suplemen.

Langkah simultan harus dilakukan untuk mencapai kedaulatan

pangan, antara lain petani perlu perlindungan atas berbagai kemungkinan

kerugian, seperti kekeringan dan ledakan jasad pengganggu karena

perubahan iklim global. Penggunaan bahan nabati sebagai pengganti bahan

kimia perlu dieksploitasi lebih luas untuk perlindungan tanaman. Banyak

jasad pengganggu dapat dikendalikan dengan ekstrak dari bahan nabati.

Kecenderungan menggunakan bahan nabati secara konsisten bertambah

dan terbukti dalam program penelitian lembaga nasional maupun

internasional. Selain itu beberapa kemungkinan langkah penting untuk

menghindari masalah jasad pengganggu kaitannya dengan varietas unggul

berangka hasil tinggi adalah:

a. Pengembangan tanaman melalui pemuliaan ketahanan dan rekayasa

genetika;

b. Aplikasi konsep multigalur;

c. Menghindarkan introduksi terhadap lingkungan yang baru, tanpa

pengujian adaptif;

d. Modifikasi cara-cara berproduksi;

e. Rotasi tanaman, tanaman campuran dan higiene;

f. Pemupukan yang seimbang dan pengelolaan air;

g. Stabilisasi angka hasil;

h. Integrasi sistim pengelolaan jasad pengganggu dengan

pengembangan varietas unggul berangka hasil tinggi;

i. Surveilan untuk hama dan penyakit;

j. Pengendalian hayati;

k. Integrasi penelitian, penyuluhan, dan latihan:

l. Kebijakan nasional tetang varietas unggul berangka hasil tinggi.

Penggunaan varietas tahan dalam rangka usaha pengendalian hama

dan penyakit, merupakan pencegahan secara dini atau seawal mungkin

sebelum terjadi serangan. Pada daerah-daerah banyak serangan hama atau

penyakit tertentu, penggunaan varietas tahan perlu dianjurkan. Namun

Page 28: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

12

demikian, gen yang resisten dan memiliki ekonomi tinggi memerlukan

waktu lama untuk memindahkan. Tidak semua tanaman di dalam satu

spesies akan sama mudahnya diserang oleh patogen tertentu, dan

kerentanan atau ketahanan yang dimiliki tanaman bisa diturunkan.

Kenyataan ini merupakan dasar untuk perkembangan ketahanan, dan untuk

penggunaan varietas tahan. Dalam hubungannya dengan upaya melindungi

tanaman dari serangan OPT, ketentuan di atas tentunya sangat menentukan

pemilihan jenis dan teknologi perlindungan tanaman yang merupakan

sebagian dari proses produksi pertanian.

Konsep perlindungan tanaman secara terpadu, yang memadukan

berbagai komponen pengendalian dan menempatkan penggunaan pestisida

sebagai upaya terakhir harus diterapkan dengan ketat. Riset-riset untuk

menemukan berbagai teknologi pengendalian yang dapat dipadukan satu

sama lain, contohnya penggunaan agensia hayati yang antagonis terhadap

OPT, pemanfaatan pestisida botani, sistem monitoring OPT, penggunaan

mulsa, bahan hijauan, dan lain-lain perlu terus digalakkan. Hal ini karena

di negara berkembang, kebutuhan insektisida kimia untuk tanaman lebih

besar daripada kelas lain, seperti pestisida, fungisida dan herbisida.

Kemudahan cara aplikasi dan keberhasilan secara cepat insektisida kimia

lebih menjamin keberhasilan dibandingkan dengan cara lain. Praktik

penggunaan insektisida dari ekstrak bahan nabati dan kaitannya dengan

varietas unggul berangka hasil tinggi tidak mempunyai kemampuan

sebanding dengan insektisida kimia. Meskipun banyak bukti dengan

pengendalian non kimiawi dapat memainkan peranan yang lebih besar

untuk pengendalian jasad pengganggu.

G. RANGKUMAN

Perlindungan tanaman mempunyai peranan yang sangat penting dan

tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan produksi tanaman atau

produksi pertanian. Dengan demikian, perlindungan tanaman mempunyai

peran untuk menjamin kepastian hasil dan memperkecil resiko berproduksi

suatu tanaman, karena walaupun langkah-langkah lainnya dari budidaya

suatu tanaman sudah dilakukan, seperti penggunaan varietas unggul, cara

penanaman, pemupukan, pengairan, penyiangan, pemanenan dan pasca

Page 29: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

13

panen telah dilaksanakan dengan baik, tetapi pengendalian OPT diabaikan,

maka apa yang diberikan tidak berarti atau hilang.

Perubahan iklim merupakan suatu keniscayaan dan dipercepat oleh

berbagai aktivitas manusia yang berdampak cukup luas terhadap faktor

kehidupan, termasuk pertanian. Fluktuasi temperatur dan kelembapan

udara yang semakin meningkat mampu menstimulasi pertumbuhan dan

perkembangan organisme pengganggu tanaman. Petani mempunyai

kecenderungan terhadap penggunaan pestisida kimiawi untuk mengatasi

tanaman yang terserang hama dan penyakit. Penggunaan bahan kimia

termasuk pestisida akan meningkatkan jumlah emisi gas rumah kaca.

Apabila pemanasan global tidak terkendali, maka ke depan resiko

terjadinya kekeringan dan serangan hama dan penyakit dapat berakibat

buruk di bidang pertanian, termasuk usaha tani semakin besar.

Strategi pengendalian hama dan penyakit diperlukan untuk jangka

pendek dan menengah serta jangka panjang. Selain itu antisipasi

perubahan iklim global perlu diarahkan untuk penggunaan varietas tahan

dan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu pada tanaman dengan

memanfaatkan insektisida dan antiviral sebagai alternatif pemakaian

pestisida kimia. Dampak perubahan iklim terhadap hama dan penyakit

tanaman diharapkan petani sebagai pelaku usaha dalam bidang pertanian

untuk mewaspadai sebelum terjadi serangan jasad pengganggu tersebut

terutama pada musim kemarau, sehingga ada tindakan pencegahan untuk

mengurangi peningkatan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman

dengan tindakan pengendalian yang ramah lingkungan.

H. DAFTAR PUSTAKA

Andayani W.R., Y.B. Sumardiyono, S. Hartono & P. Yudono. 2011.

Incidence of soybean mosaic disease in East Java Province. J.

Agrivita 33 (1): 15−21.

Andayanie W.R. 2016. Pengembangan Produksi Kedelai Sebagai Upaya

Kemandirian Pangan di Indonesia. Penerbit Mitra Wacana Media.

Jakarta,hlm 18.

Ardiansyah M., L. Mawarni & N. Rahmawati. 2014. Respon pertumbuhan

dan produksi kedelai hasil seleksi terhadap pemberian asam

Page 30: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

14

askorbat dan inokulasi fungi mikoriza arbuskular di tanah salin. J.

online Agroteknologi 2(3): 948-954.

Badan Litbang Pertanian. 2015. Panduan inventori Gas Rumah Kaca dan

mitigasi perubahan iklim sektor pertanian.

www.litbangpertanian.go.id. Diakses 11 September 2015.

Balitkabi. 2014. Kutu kebul Bemisia tabaci: Aleyrodidae hama penting

pada tanaman kedelai. Kumpulan informasi teknologi pertanian.

Boer. 2002. Analisis Resiko Iklim Untuk Produksi Pertanian. Jurusan

Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.

Budianto AI. 2001. Pengaruh Perubahan Iklim Global Terhadap Negara

Kepulauan Indonesia, dalam Rajagukguk, E dan Ridwan K,

Jakarta.

Garrett K.A. 2006. Climate Change Effects on Plant Disease: Genomes to

Ecosystems. Annu. Rev. Phytopathol. 44:489–509.

Hipi A., N. Herawati, Y. Sulistyawati & Sudarto. 2014. Karakter

agronomis tujuh varietas unggul kedelai di lahan kering beriklim

kering. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Tanaman

Aneka Kacang dan Umbi tahun 2014. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang. Kementerian

Pertanian. Hal: 149−160.

Intergovernmental Panel on Climate Change,1995. Climate Change 1994.

IPCC. Cambridge University Press. London.

Irianto S.G. 2008. Perubahan iklim dan ketahanan pangan: Dampak dan

strategi antisipasi. Makalah Seminar Nasional di Fak. Pertanian

Universitas Brawijaya: Pemanasan global strategi mitigasi dan

adaptasi perubahan iklim di Indonesia. 31 Januari 2008. 14 hlm. .

Kementerian Pertanian. 2013. Konsep strategi induk pembangunan

pertanian 2013−2015. Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. Solusi

Pembangunan Pertanian Masa Depan (B. Pasaribu et al. Perumus).

Biro Perencanaan Kementerian Pertanian. 184 hlm.

Kumpulaninfopertanian.blogspot.co.id/2014/10/kutu-kebul-bemisia-tabaci-

aleyrodidae.html.

Las & Irsal. 2007. Strategi dan Inovasi Antisipasi Perubahan Iklim. Balai

Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Jakarta.

Page 31: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

15

Mudiarso D. 2003. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi

Perubahan Iklim. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm 11.

Setyanto P. 2004. Methane Emission and it‟s mitigation in rice field under

different management practices in Central Java. Thesis. Program

Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Suhartina, Purwantoro, N. Nugrahaeni & A. Taufiq. 2014. Dering 1:

varietas unggul baru kedelai toleran kekeringan dengan potensi

hasil tinggi. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian

Tanaman Aneka Kacang dan Umbi tahun 2014. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang.

Kementerian Pertanian. Hal: 28−36.

I. PELATIHAN

1. Jelaskan mengapa perubahan iklim mempengaruhi kerentanan

sektor pertanian.

2. Jelaskan alasan mengapa penggunaan pestisida dan pupuk dari

bahan kimia mempengaruhi kerentanan tanaman terhadap hama dan

penyakit.

3. Jelaskan aspek sosial, ekonomi dan ekologi yang mempengaruhi

untuk perlindungan tanaman.

4. Jelaskan mengapa perubahan iklim mempunyai implikasi terhadap

munculnya ras, strain, biotipe, genome baru dari penyakit

5. Jelaskan perlunya pemantauan terhadap dinamika perkembangan

penyakit digunakan sebagai antisipasi perubahan iklim global.

6. Sebutkan paling sedikit 5 langkah penting untuk menghindari

masalah jasad pengganggu kaitannya dengan varietas unggul

berangka hasil tinggi.

7. Jelaskan permasalahan dan tantangan perlindungan tanaman dewasa

ini.

8. Jelaskan langkah-langkah perlindungan tanaman yang saat ini

dilakukan oleh petani.

Page 32: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

16

BAB II.

SERANGGA SEBAGAI HAMA TANAMAN

A. DASAR PIKIRAN

Indonesia mempunyai keanekaragaman serangga yang berlimpah.

Keanekaragaman ini disebabkan tanaman selalu ada sepanjang tahun.

Namun tidak semua serangga mempunyai manfaat pada tanaman dan

kepentingan manusia secara ekonomi. Oleh karenanya, hama didifinisikan

sebagai organisme yang tidak diharapkan pada petanaman pertanian. dan

merusak tanaman, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi karena

menurunnya produksi tanaman secara kualitas dan kuantitas serta tidak

diinginkan dalam kegiatan sehari-hari manusia. Definisi tersebut

mengandung pengertian, jika binatang merusak tanaman, tetapi tidak

menimbulkan kerugian ekonomi, tidak dapat dikatakan sebagai hama.

Pada pembahasan ini akan dikaji perkembangan serangga hama

tanaman sebagai populasi dan faktor penyebab terjadinya serangga hama

serta cara-cara kerusakan yang dilakukan serangga hama. Setelah

membaca dan memahami bagian ini, diharapkan pembaca atau mahasiswa

dapat mengerti faktor yang berpengaruh terhadap kepadatan populasi

serangga hama dan dampaknya pada tanaman serta manusia.

B. PERKEMBANGBIAKAN SERANGGA

Semua serangga berkembangbiak dari telur. Serangga muda menetas

dari telur yang telah diletakkan (ovi-position). Serangga-serangga ini

dinamakan serangga ovipar. Beberapa telur dari serangga sudah

berkembang di dalam tubuh betina dan menghasilkan serangga-serangga

muda yang hidup. Serangga-serangga tersebut dinamakan serangga

vivipar. Faktor dalam yang mempengaruhi kemampuan untuk berkembang

biak serangga disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.

Page 33: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

17

Gambar 1. Faktor dalam untuk berkembangbiak serangga

Faktor luar atau lingkungan mempengaruhi tempat hidup serangga

sering menjadi pembatas peningkatan populasi. Faktor luar ini terdiri atas:

a) Faktor abiotik (fisik) antara lain, temperatur, kelembaban, cahaya,

curah hujan dan angin.

b) Faktor biotik antara lain: Kompetitor dan musuh alami serta agen

hayati.

c) Faktor makanan: kuantitas dan kualitas.

Perkembangbiakan serangga digolongkan menjadi beberapa stadia

sebagai berikut:

1. Telur serangga

Telur serangga dilindungi oleh kulit (chorion). Chorion ini

mempunyai tebal yng bervariasi dan warnanya serta dihasilkan oleh sel-

selepitelim follikel dari ovariol yang terdiri atas lipoprotein atau tidak

mengandung kitin. Chorion ini mempunyai satu lubang kecil (micropyle)

untuk masuknya sperma ke dalam sel telur. Tiap telur mempunyai satu inti,

yang terletak dalam protoplasma telur. Protoplasma mengandung masa

kuning telur. Protoplasma dilapisi oleh membrane vitellin. Sperma ini

dapat membuahi sel telur. Kebanyakan telur serangga sangat kecil dan

agak sukar dilihat, kecuali jika diletakkan dalam jumlah besar. Telur

serangga paling besar mempunyai ukuran 1 cm panjangnya dengan

diameter 3 mm. Forister et al. (2006) menyatakan bahwa kematangan telur

dari ordo Lepidoptera berbeda-beda karena strukturnya yang berbeda.

Telur kadang-kadang memiliki lapisan interior yang tipis dan ada yang

tebal sehingga tidak semua telur dari ordo Lepidoptera dapat bertahan

hidup pada lingkungan tertentu dalam siklus hidupnya, contoh telur

Nyctemera coleta berwarna putih kekuningan dengan ukuran 0,181-0,336

Page 34: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

18

mm. Rata-rata telur N. coleta berumur 3-4 hari, tetapi dapat mencapai

umur 7 hari, untuk kemudian menetas menjadi larva instar pertama.

Serangga menghasilkan jumlah telur yang bervariasi, seperti halnya

bentuk dan ukuran telur. Satu serangga betina dapat meletakkan satu telur

saja, seperti aphis betina dan dapat meletakkan satu juta telur pada kondisi

ekstrim, seperti spesies Isoptera (rayap). Umumnya rata-rata jumlah telur

kurang lebih seratus butir. Semua telur dapat diletakkan dalam waktu yang

sama, seperti pada ngengat (Lepidoptera), atau telur diletakkan hanya

beberapa butir sehari selama beberapa hari, seperti pada kutu pengisap

darah. Lalat rumah (Musca domestica) telur-telur dihasilkan 2−7

kelompok, yang masing-masing terdiri atas 125 telur dengan jarak waktu

2-5 hari. Oviposisi atau peletakkan telur memiliki kejadian dengan

beberapa cara, misalnya satu telur dilindungi oleh penutup telur atau

kapsul atau tertutup oleh bermacam-macam jenis bahan atau terletak di

dalam tanah atau di dalam jaringan tanaman. Serangga-serangga pemakan

tanaman pada umumnya meletakkan telur-telur di dalam atau pada

tanaman tersebut yang menjadi makanan serangga muda. Serangga-

serangga ini disebut parasit dan meletakkan telur-telur di dalam telur,

dalam larva, kepompong atau serangga dewasa dari serangga-serangga

yang lain.

2. Embriologi

Inti sel telur (2n) setelah pembuahan akan membelah beberapa kali

dan inti-inti saling bergabung (daughter nuclei) disebarkan pada

protoplasma. Inti-inti tersebut bergerak menuju kea rah tepi sitoplasma dan

membentuk suatu lapisan (blastoderm). Lapisan sel ini menghasilkan

embrio. Embrio ini digolongkan ke dalam tiga tingkat, yaitu: a) tingkat

protopod; b) tingkat oligopod; c) tingkat polypod.

3. Larva

Bentuk larva dapat sangat berbeda dengan bentuk dewasanya,

misalnya ulat dan kupu-kupu yang sangat berbeda bentuknya. Larva

umumnya memiliki organ khusus yang tak terdapat pada bentuk dewasa

dan juga tidak memiliki organ tertentu yang dimiliki pada bentuk dewasa.

Suatu tahapan hidup disebut larva apabila dalam bentuk itu memiliki

aktivitas yang tinggi (khususnya dalam bergerak dan mencari makanan).

Page 35: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

19

Tidak semua serangga memiliki bentuk yang disebut larva, karena hanya

mereka yang menempuh jalur metamorfosis penuh (holometabola) yang

memiliki bentuk larva. Serangga yang hanya menjalani metamorfosis tidak

penuh (hemimetabola) bentuk mudanya disebut nimfa (nympha).

Larva dari serangga digolongkan ke dalam larva serangga

Holometabola atau Endopterygota dan larva serangga Hemimetabola atau

Exopterygota. Serangga-serangga yang termasuk kelompok Holometabola

disebut juga metamorfosa sempurna dan mempunyai bermacam-macam

larva sebagai akibat dari embriogenesa. Larva atau serangga muda

mempunyai bentuk yang berbeda dengan serangga dewasa. Larva serangga

Hemimetabola mempunyai perbedaan dengan serangga pada sayap dan

genitalia dan dalam keadaan tidak sempurna. Rudimen sayapnya tidak

ditemukan pada larva pertama, tetapi pada instar kedua dan selanjutnya

sudah ada sayapnya kecil yang menjadi lebih besar setiap kali berganti

kulit. Fase ini kadang-kadang disebut nimfa, tetapi sekarang lebih banyak

disebut larva saja. Perkembangan larva Hemimetabola ini biasanya terjadi

secara bertahap. Larva serangga Hemimetabola mempunyai tipe

metamorfosa langsung atau metamorfosa tidak sempurna atau

metamorfosa hemimetabol. Instar pupa tidak dijumpai, kecuali pada

superfamily Coccoidea (Homoptera) dan ordo Thysanoptera.

Larva pada tanaman sering merugikan secara ekonomi karena daya

makannya yang tinggi. Berbagai macam ulat merupakan hama penting

pada tanaman pertanian. Sejumlah larva lalat memakan atau menggerek

daun, buah, serta titik tumbuh batang sehingga menurunkan hasil dan

kualitas produk. Uret adalah hama yang sulit diatasi karena memakan akar

tumbuhan dari bawah permukaan tanah dan memiliki kemampuan jelajah

yang tinggi.

Serangan larva Nyctemera sp. dan Paliga sp. dari ordo Lepidotera.

Kedua larva tersebut menyerang daun sambung nyawa sehingga

pertumbuhannya terhambat. Serangga dari ordo Lepidoptera umumnya

bersifat polifag, tetapi pada stadium larva yang bersifat herbivora,

merupakan hama karena merusak daun di berbagai pertanaman termasuk

tanaman obat (Greeney et al., 2010; Balfas dan Willis, 2009).

Keberhasilan kolonisasi dari ordo Lepidoptera tergantung pada habitat

yang sesuai, dalam hal ini ketersediaan sumber pakan pada stadium larva

Page 36: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

20

(Vane-Wright dan de Jong, 2003). Kedua ulat tersebut menyerang tanaman

sambung nyawa sepanjang tahun baik pada musim kemarau maupun

musim hujan, dengan intensitas serangan tertinggi terjadi pada akhir

musim kemarau hingga awal musim penghujan. Larva kedua serangga ini

menyerang tanaman sejak di pembibitan hingga pada tanaman dewasa.

Kedua larva tersebut memiliki siklus hidup yang berbeda, meskipun

memiliki stadium yang sama. Siklus hidup larva N. coleta lebih panjang

dibandingkan dengan larva P. auratalis dengan rata-rata 24 hari,

sedangkan P. auratalis memiliki stadium pupa terlama yaitu rata-rata 13,1

hari. Stadium larva N. coleta dan P. auratalis merupakan stadium yang

mengakibatkan intensitas kerusakan tertinggi pada tanaman sambung

nyawa.

4. Pupa atau kepompong

Semua serangga Holometabola atau Endopterygota pupa merupakan

instar serangga, diantara instar-instar larva dan imago yang relatif inaktif.

Nama pupa ini dipakai untuk instar dalam siklus hidup serangga

exopterygota yang holometabol, seperti Thysanoptera dan jenis janta pada

Coccoidea (Homoptera). Selama stadium pupa, serangga tidak makan dan

tidak bergerak. Pupa serangga akan mengeluarkan cairan pencernaan untuk

menghancurkan tubuh larva dan menyisakan sebagian sel saja. Sebagian

sel itu kemudian akan tumbuh menjadi dewasa menggunakan nutrisi dari

hancuran tubuh larva. Proses kematian sel disebut histolisis, dan

pertumbuhan sel lagi disebut histogenesis.

Tipe pupa digolongkan sebagai berikut:

a) Pupa dectius atau pupa bebas mempunyai madibel yang relatif kuat

dan dapat bergerak. Mandibel ini membuat serangga lepas dari

kokon atau sel pupa. Tipe pupa ini primitif dan selalu exarat, yaitu

alat mulut, sayap, kaki dan antenna pupa ini lepas dari tubuh, dan

bisa dipakai untuk bergerak, misalnya Edopterygota dan

Lepidoptera yang primitif.

b) Pupa tak dectius (adectious pupae) mempunyai mandible-mandibel

tidak dapat digunakan untuk melepaskan diri dari kokon atau sel

pupa (mandible-mandibel tidak digerakkan).Pupa ini digolongkan

menjadi dua tipe yaitu pupa tak dectius exarat (bebas) dan pupa tak

dectius obtect (tidak bebas).

Page 37: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

21

Pupa yang obtect mempunyai alat-alat tambahan yang lekat pada

tubuh dengan cairan yang terjadi pada pergantian kulit larva yang terakhir.

Tipe pupa coarctat merupakan tipe tak dectius, tetapi terbungkus oleh

puparium. Puparium merupakan kulit lama yang keras pada instar larva

terakhir. Kulit tersebut menjadi keras dan lepas sama sekali dengan rongga

di dalamnya. Puparium mempunyai bentuk silindris dan tidak ada tanda-

tanda menunjukkan perkembangan hidup serangga yang ada di dalamnya.

Puparium ini mempunyai fungsi sama dengan kokon dan sel pupa

serangga yang lain, contohnya dari golongan Diptera atau lalat.

Pupa P. auratalis inaktif selama 2 minggu kemudian berubah

menjadi imago. Pada stadium ini meskipun pupa tidak aktif memakan daun

tetapi banyak daun yang rusak akibat saliva yang dikeluarkan pada saat

larva beralih memasuki stadium pupa untuk merekatkan sisi-sisi

permukaan daun. Pada stadium ini ditemukan banyak semut, karena cairan

saliva yang mengeras ditumbuhi banyak embun madu, tetapi pupa tetap

aman dari predator semut di dalam kepompongnya (Rismayani &

Rohimatun, 2017).

5. Kokon

Kokon akan melindungi pupa. Kokon dibuat oleh instar larva

terakhir dan mempunyai lapisan khusus yang terbentuk benang sutera atau

bahan-bahan lain yang dilekatkan dengan benang-benang dari bahan

tersebut. Kokon dan sel pupa terdapat pada pupa Lepidoptera, misalnya

Bombyx mori dan beberapa spesies Coleoptera. Penetasan dari kokon atau

sel dapat terjadi dengan beberapa cara antara lain: a) serangga membuat

lubang dalam kokon dengan mandible-mandibel (pupa dectius) atau

dengan duri-duri pada bagian pupa tersebut (pupa tak dectius); b)

serangga-serangga mempunyai pemotong kokon, khususnya terdapat pada

kepala; c) serangga dewasa mempunyai gelembung kepala yang dapat

dikembangkan ke luar dengan bantuan cairan tubuh (darah). Gelembung

ini disebut ptilinum atau cephalic sac yang menekan puparium.

C. METAMORFOSA SERANGGA

Perubahan-perubahan selama serangga-serangga berkembang dari

telur sampai dewasa disebut metamorfosa. Pada serangga primitif dibagi

dalam tiga tingkatan, yaitu: telur, muda dan dewasa. Serangga

Page 38: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

22

Exopterygota (sayap luar tubuh larva) pada kelompok Exopterygota

jugamempunyai tiga tingkatan yaitu: telur, larva (nimfa) dan dewasa.

Serangga Endopterygota (sayap dalam tubuh larva) mempunyai empat

tingkatan, yaitu: telur, larva, pupa dan dewasa. Perubahan-perubahan ini

diikuti oleh pertumbuhan tubuh dan pergantian kulit (ecdysis). Proses

pergantian kulit ini disebabkan karena pembentukan integument atau kulit

baru di bawah integument yang tua. Pembentukan integument baru ini,

integument tua menjadi pecah-pecah dan mengelupas. Sisa-sisa

integument mengelupas (exuviae). Perkembanga tubuhnya dimungkinkan

sebelum terjadi integument baru yang terbentuk menjadi keras dan tidak

elastis. Interval waktu ecdysis disebut stadium, dan umur serta bentuk

serangga selama satu stadium disebut instar.

Hormon mempunyai peranan dalam metamorphosis, meliputi proses

pengelupasan kulit larva, dan pembentukan pupa pada serangga

holometabola, dan pengelupasan kulit nimfa pada serangga hemimetabola

(Saunders, 1980). Hormon yang berperan dalam metamorfosis terdiri dari

atas tiga macam yaitu, hormon otak, hormon molting (ekdison), dan

hormon juvenil (Spratt, 1971). Hormon otak disebut juga ecdysiotropin,

disimpan didalam corpora cardiace, sedangkan hormon molting (Ekdison)

dihasilkan oleh kelenjar protoraks, yaitu suatu segmen pada tubuh

serangga yang mempunyai pasangan kaki terdepan dari ketiga pasangan

kaki terdepan serangga, oleh karena itu maka hormon ini juga dinamakan

hormon protoracic gland atau disingkat menjadi PGH, hormon juvenil

(JH) dihasilkan oleh corpora allata, yaitu sepasang kelenjar endokrin yang

terletak di dekat otak (Spratt, 1971, Saunders, 1980, Balinsky, 1981).

Secara berkala sel-sel neurosekretori didalam otak menggunakan

suatu hormon otak (Ecdysiotropin), hormon ini merangsang kelenjar

protoraks untuk menghasilkan ecdyson. Selanjutnya ecdyson ini

merangsang pertumbuhan dan menyebabkan epidermis menggetahkan

suatu kutikula baru yang menyebabkan dimulainya proses pengelupasan

kulit (molting). Jika otak dari larva tersebut dibedah secara mikro, maka

ecdyson tidak akan dihasilkan lagi dan sementara itu pertumbuhan dan

proses pengelupasan kulit terhenti. Selain oleh pengaruh ecdyson, maka

proses pengelupasan kulit dan pertumbuhan juga dipengaruhi oleh hormon

juvenil, selama terdapat hormon juvenil rangkaian pengelupasan kulit yang

Page 39: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

23

terjadi dibawah pengaruh ecdyson itu hanyalah akan menghasilkan bentuk

stadium tidak dewasa saja. Jika konsentrasi hormon juvenil relatif lebih

tinggi daripada ecdyson maka akan merangsang perkembangan larva, dan

mencegah proses pembentukan pupa, namun mencegah proses

pembentukan larva. Jika suatu serangga mengelupas kulitnya tanpa adanya

hormon juvenil maka hewan tersebut akan berdiferensiasi menjadi bentuk

dewasa. Ecdyson secara kontinu dihasilkan sampai pengelupasan kulit

menjadi dewasa, ecdyson berperan merangsang sintesa Ribo nucleic acid

(RNA) dan protein yang diperlukan pada proses pembentukan kepingan

kepingan imaginal. Pada serangga dewasa tidak terdapat ecdyson untuk

pengelupasan kulit, karena kelenjar-kelenjar protoraknya sudah mengalami

degenerasi setelah metamorfosis, namun corpora allata akan

menggetahkan hormon juvenil kembali setelah pengelupasan kulit

pendewasaan. Hormon juvenil ini akan mempengaruhi metabolisme

protein dan lemak,serta membentuk protein-protein vitelogenik

(Saunders,1980).

Berdasarkan metamorfosa pada serangga mempunyai empat

kemungkinan:

1. Metamorfosa ametabola (tidak ada metamorfosa jelas)

Golongan serangga ini sejak menetas (instar pertama) bentuknya

telah menyerupai serangga dewasa (tidak bermetamorfosis), hanya

ukurannya saja yang bertambah besar. Serangga muda dan serangga

dewasa hidup dalam habitat dengan jenis makanan yang sama. Contoh

serangga yang tidak metamorfosis, antara lain ordo Thysanura (kutu buku

atau rengget atau ngenget) Metamorfosa ini dijumpai pada kelompok

Apterygota dan sering disebut serangga primitif. Serangga ini tidak

mempunyai sayap, misalnya Lepisma saccharina (ordo Thysanura).

Serangga muda makan, bertambah besar ukurannya melalui beberapa kali

pergantian kulit (sampai 60 kali), dan akhirnya mencapai stadium

reproduktif (dewasa) yang tidak mempunyai sayap, tanpa mengalami

perubahan bentuk. Stadium-stadium hidupnya terdiri atas: telur, muda,

dewasa (imago) (Gambar 2).

Page 40: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

24

Gambar 2. Metamorfosa Ametabola (tidak ada metamorfosa jelas)

2. Metamorfosa hemimetabola

Metamorfosa hemimetabola sering disebut metamorfosa sederhana.

Metamorfosa ini dijumpai pada kelompok Exopterygota, suatu subdivisi

dari Pterygota (serangga bersayap). Nimfa serangga golongan ini

mengalami beberapa modifikasi, seperti adanya insang trachea, tungkai

untuk merangkak dan menggali, tubuh harus dapat berenang, alat mulut

harus dapat mengambil makanan di dalam air, dan lain-lain. Habitat nimfa

berbeda dengan habitat imago. Nimfa tergolong serangga akuatik (hidup di

dalam air), sedangkan imagonya adalah serangga aerial. Contoh serangga

golongan hemimetabola adalah ordo Odonata (capung, belalang). Stadium

hidupnya terdiri atas: telur, larva (nimfa) dan imago (Gambar 3).

Gambar 3. Metamorfosa sederhana (metamorfosa Hemimetabola)

Page 41: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

25

Sifat-sifat dari metamorfosa yaitu: a) setelah nimfa keluar dari telur,

nimfa itu telah mempunyai bentuk yang hampir sama dengan yang dewasa

pada garis besarnya, dan hidup serta makan seperti serangga dewasa, tetapi

nimfa berbeda dengan serangga dewasa (imago); b) nimfa makan, berganti

kulit dan melengkapi sayapnya secara bertingkat dan bakal-bakal sayap

dapat dilihat dari luar. Tiap tahapan diantara pergantian kulit disebut

instar. Banyaknya instar dipengaruhi oleh spesiesnya, bisa terdapat 8-17

instar. Nimfa bisa memerlukan waktu dari mulai 4 minggu sampai dengan

beberapa tahun untuk terus berkembang sampai cukup besar untuk berubah

menjadi dewasa. Serangga dewasa fase ditandai telah berkembangnya

semua organ tubuh dengan baik, termasuk alat perkembangbiakan serta

sayapnya. Metamorfosa ini tidak mempunyai stadium pupa.

3. Metamorfosa holometabola

Metamorfosa holometabola ini sering disebut metamorfosa

sempurna. Serangga muda yang mengalami perkembangan holometabola

disebut "larva". Bentuk larva amat berbeda dengan imago. Jenis makanan,

perilaku, dan habitatnya pun biasanya berbeda dengan imago. Sebelum

menjadi imago, larva akan berkepompong terlebih dahulu. Perubahan

bentuk luar dan dalam terjadi dalam tingkat pupa (kepompong) (chrysalis).

Sayap berkembang secara internal menjadi fase dewasa atau fase

perkembangbiakan. Beberapa contoh serangga yang mengalami

perkembangan holometabola, antara lain ordo Lepidoptera, Coleoptera,

Diptera, dan Hymenoptera.

Sifat-sifat dari metamorfosa yaitu: a) kebanyakan serangga tersebut

pada stadium muda (larva) mempunyai kebiasaan hidup berbeda dari

stadium dewasa, misal larva-larva nyamuk hidup di air, tetapi imagonya di

udara; atau larva makan jaringan daun tanaman, tetapi imago mengisap

nektar bunga; b) larva tumbuh dan ganti kulit beberapa kali sampai

perkembangan larva sempurna (instar larva terakhir). Setelah itu larva

ganti kulit dan mempunyai bentuk pupa. Instar pupa ini hampir tidak

bergerak sama sekali. Selama stadium pupa perubahan bentuk menjadi

dewasa terjadi di dalam kulit pupa. Ganti kulit akhir, kulit pupa

ditinggalkan dan bentuk sempurna tercapai dengan mengembangkan sayap

sampai ukuran yang semestinya melalui pengerasan kutikula serta

Page 42: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

26

perkembangan warna menurut pola yang semestinya. Stadium hidupnya

terdiri atas: telur, larva, pupa, imago (Gambar 4).

Gambar 4. Metamorfosa sempurna (metamorfosa Holometabola)

4. Metamorfosa bertingkat (Paurometabola)

Serangga yang tergolong paurometabola mengalami perubahan

secara bertahap. Setiap pergantian kulit (ecdysis), ukuran tubuhnya

bertambah besar. Bakal sayap tumbuh secara bertahap, makin lama makin

besar, dan akhirnya menyerupai sayap serangga dewasa. Serangga muda

disebut "nimfa" (nymph), dan serangga dewasa disebut "imago". Baik

nimfa maupun imago hidup dalam habitat yang sama, dengan jenis

makanan yang sama pula. Contoh serangga yang mengalami metamorfosis

bertingkat, antara lain ordo Orthoptera (belalang, anjing tanah, jangkrik,

kecoak, dan lain-lain), ordo Thyasanoptera (thrips), ordo Homoptera (kutu

daun, wereng, dan lain-lain), dan ordo Hemiptera (kepik, walang sangit,

dan lain-lain). Stadium hidupnya terdiri atas: telur, nimpha, imago

(Gambar 5).

Page 43: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

27

Gambar 5. Metamorfosa bertingkat (Paurometabola)

D. SERANGGA HAMA SEBAGAI POPULASI

Populasi didefinisikan sebagai sekumpulan individu dengan ciri-ciri

yang sama (spesies) yang hidup di tempat dan waktu yang sama dan waktu

yang sama serta memiliki kemampuan bereproduksi diantara sesamanya.

Kepadatan populasi secara skematis disajikan pada Gambar 6. di bawah

ini.

Gambar 6. Skematis dari kepadatan populasi hama

Suatu spesies serangga tidak pernah mempunyai wujud hama, akan

tetapi populasi tertentu suatu spesies serangga dapat mempunyai status

Page 44: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

28

hama. Kebanyakan spesies serangga yang hidup pada tanaman akan

mengalami perkembangan populasi serta merugikan tanaman, sehingga

menjadi hama. Populasi hama di alam mempunyai sifat dinamis atau selalu

berubah-ubah. Hal ini karena dipengaruhi oleh kelahiran, kematian,

imigrasi, emigrasi. Menurut Triharso (l994), suatu populasi mempunyai

sejumlah ciri yang tidak dipunyai oleh individu, misalnya:

Serangga akan mengalami sinkronisasi agar tidak terjadi tumpang

tindih antar generasi. Kejadian tumpang tindih menyebabkan

perkembangan umur menjadi heterogen. Populasi jasad pengganggu yang

kontinyu tanpa sinkronisasi, laju pertumbuhan populasi tidak dapat

dihambat. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan populasi antara lain:

1) faktor fisik, seperti cuaca dingin, panas dan hujan dapat berpengaruh

sangat kuat terhadap kecepatan pertumbuhan populasi dan kematian; 2)

faktor biologi, misalnya migrasi, musuh alami (parasit, predator), penyakit.

Populasi kadang-kadang dibedakan menjadi bagian populasi,

misalnya pada serangga: populasi telur, larva, pupa, kepompong dan

imago. Bagian populasi dari jenis yang sama dapat menjadi bermacam-

macam sebagai reaksi dari faktor luar yang sama. Suatu populasi serangga

dapat kehilangan individu oleh karena tertiup angin, tercuci oleh hujan,

atau karena mati sendiri. Serangga sering mengalami tarikan oleh angin

(drift) pada populasi yang sangat padat sehingga migrasi, misalnya

belalang (Locusta migratoria). Individu yang hilang tertiup angin, tercuci

hujan kadang-kadang dapat berinisiatif membuat populasi baru.

Populasi hama akan menimbulkan luka (injury) dan kerusakan

(damage) secara fisiologis pada tanaman. Penyimpangan fisiologis pada

tanaman akan menyebabkan pertumbuhan tidak normal dan kehilangan

hasil (kuantitas dan kualitas).

Page 45: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

29

Beberapa hal yang menentukan status dari hama ialah:

a. Binatang perusak tanaman tersebut dapat menurunkan produksi

tanaman secara kualitas maupun kuantitas.

b. Binatang perusak tanaman tersebut bersaing terhadap kepentingan

manusia.

c. Binatang perusak tanaman tersebut menjadi masalah dalam usaha

pertanian.

Bebarapa faktor mempengaruhi kepadatan populasi serangga hama

dan dampaknya pada tanaman serta manusia, seperti tersaji pada Gambar

7.

Gambar 7. Faktor yang mempengaruhi kepadatan populasi serangga hama dan

dampaknya pada tanaman serta manusia

Pada lingkungan (habitat) yang normal spesies-spesies tersebut tidak

pernah berada di dalam jumlah yang berlimpah, akan tetapi populasinya

tetap berada pada tingkatan yang rendah. Hal ini karena dipertahankan

oleh parasit dan predator. Serangga dapat berkembang dan membentuk

populasi yang sangat tinggi antara lain disebabkan oleh:

a. Kebanyakan binatang-binatang fitofag adalah oligofag, khususnya

serangga. Serangga-serangga hidup dari satu atau beberapa family

tanaman. Oleh karena itu penanaman monokultur akan memberikan

situasi makanan yang ideal untuk binatang-binatang tersebut.

Page 46: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

30

b. Pada satu pertanaman serangga fitofag bertemu dengan serangga

fitofag lain dengan pilihan makan yang sama, sehingga fauna pada

pertanaman yang baik menjadi rusak.

c. Serangga mempunyai reproduction potential (jumlah betina yang

dihasilkan oleh satu betina) yang tinggi dan sering tidak

dipertimbangkan saat melakukan pengendalian hama. Potensial ini

mempunyai kisaran antara 50−100 atau lebih serangga. Selain itu

pemberantasan dengan bahan kimiawi merusak musuh alami dan

pemberian zat nitrogen yang tinggi memperhebat pembiakan

serangga-serangga yang makan krop.

Peningkatan suatu populasi serangga hama dengan metode “

sampling” dapat diketahui fluktuasi jumlah dari generasi ke generasi

berkisar pada tingkat kepadatan tertentu (density level). Oleh karena itu

perlu memahami konsep Aras Ekonomi, Aras luka ekonomi dan ambang

ekonomi untuk tindakan pengendalian yang ramah lingkungan, sehingga

populasi hama fluktuasinya tidak bertambah tinggi dan secara ekonomi

menguntungkan.

1. Kerusakan Ekonomi

Luka (injury) dan kerusakan (damage) perlu diketahui untuk

memahami konsep Aras Ekonomi. Luka (Injury): adalah setiap bentuk

penyimpangan fisiologi tanaman sebagai akibat adanya aktifitas hama

untuk hidup, berada dan makan pada tanaman tersebut. Luka tanaman

dapat mengakibatkan kerusakan. Luka karena penyebab mekanik tidak

termasuk penyakit, akan tetapi merupakan kerusakan (injury), karena

sifatnya tidak berkesinambungan (discontinue), misalnya daun yang

dimakan serangga atau dimakan ternak. Kerusakan adalah setiap

pengurangan kuantitas atau kualitas hasil yang diharapkan sebagai akibat

gangguan. Kerusakan lebih terpusat pada tanaman dan respon tanaman

terhadap pelukaan oleh hama. Umumnya pengurangan kuantitas disertai

pengurangan kualitas.

Penilaian ekonomi untuk pengurangan kuantitas dan kualitas

tergantung pada situasi pertanaman dan pasar. Ditinjau dari segi ekonomi,

kerusakan tanaman adalah ketidak mampuan tanaman untuk memberikan

hasil yang cukup kualitas maupun kuantitasnya, misalnya:

Page 47: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

31

1. Bunga tulip terinfeksi virus mosaik menyebabkan terbentuknya

berbagai warna yang indah dengan belang-belang pada kelopak

bunga. Meskipun mengalami proses fisiologi yang tidak normal,

tetapi harganya lebih mahal dari bunga yang normal. Fenomena

infeksi tersebut digemari manusia dan dikomersilkan

2. Kelapa kopyor (Cocos nucifera L var. Kopyor) harganya lebih

mahal dibandingkan dengan yang normal

Bunga tulip yang belang dan kelapa kopyor tersebut ditinjau dari

segi biologi adalah terganggu, karena mengalami proses fisiologi yang

tidak normal, akan tetap ditinjau dari segi penanamannya (ekonomi)

dianggap tidak terganggu karena memberikan keuntungan yang lebih

besar.

Konsep Aras Ekonomi didasarkan pada pengamatan OPT dengan

melihat jenis OPT, stadia OPT, tingkat kepadatannya, tingkat serangannya

dan fase pertumbuhan tanaman. Berdasarkan pengamatan ini dapat dilihat

besarnya tingkat kerusakan yang akan terjadi sehingga dapat diputuskan

tindakan pengendalian yang akan dilakukan. Oleh karena kerusakan atau

kerugian yang terjadi pada tanaman akibat serangan hama sangat

ditentukan oleh populasi hama yang menyerang, sehingga kerusakan

merupakan fungsi dari populasi. Penggunaan pestisida kimia organik

sintetik hanya dapat dibenarkan apabila populasi OPT sudah di atas

Ambang Ekonomi.

Stern et.al. (1959) cit. Untung (2010) menyatakan Kerusakan

Ekonomi adalah tingkatan kerusakan tanaman akibat serangan hama yang

membenarkan adanya pengeluaran biaya untuk tindakan pengendalian

secara buatan dengan pestisida. Tindakan pengendalian dapat dibenarkan

apabila jumlah biaya pengendalian lebih rendah dari pada besarnya nilai

kehilangan potensial yang diderita tanaman karena adanya populasi hama.

2. Aras Luka Ekonomi (ALE)

Aras Luka Ekonomi (ALE) adalah keadaan dimana kepadatan

populasi terendah yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi. Menurut

Mumford dan Norton (1982) cit. Untung (2003) bahwa dasar konsep Aras

Ekonomi adalah konsep Titik Impas (Break Even Concept) dalam

pengendalian hama. Pada titik impas ini terjadi kerusakan ekonomi yaitu

Page 48: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

32

pada ALE, sehingga apabila dilakukan pengendalian hama di atas titik

impas masih akan menguntungkan. Sebaliknya apabila dilakukan di bawah

titik impas maka hanya akan merugikan petani karena besarnya nilai

kehilangan hasil yang diselamatkan lebih rendah daripada biaya

pengendalian yang dikeluarkan.

3. Ambang Ekonomi (AE)

Konsep Ambang Ekonomi muncul dan berkembang karena pada

waktu itu masyarakat (petani) mempunyai kecenderungan untuk

menggunakan insektisida secara berlebihan tanpa menggunakan dasar

yang rasional. Insektisida digunakan secara terjadwal menurut umur

tanaman secara ekonomi dengan alasan preventif tetapi tidak efisien dan

mengandung risiko besar bagi kualitas lingkungan, oleh karena itu perlu

ditetapkan landasan ekonomi dan ekologi yang dapat digunakan untuk

memutuskan kapan dan di mana pestisida harus digunakan. Ambang

Ekonomi (AE) merupakan istilah yang sudah dikenal dan digunakan untuk

pengambilan keputusan pengendalian hama sesuai dengan konsep

Pengelolaan Hama Terpadu (PHT).

Menurut Stern dkk. (1959) cit. Untung (2010) AE merupakan

kepadatan populasi hama yang memerlukan tindakan pengendalian untuk

mencegah terjadinya peningkatan populasi berikutnya yang dapat

mencapai Aras Luka Ekonomi (ALE). Konsep AE lebih menekankan

aspek pengambilan keputusan kapan dan di mana petani harus

menggunakan pestisida agar tindakan tersebut efektif menurunkan

populasi hama dan mencegah kerugian lebih lanjut serta meningkatkan

keuntungan usaha tani. ALE lebih menekankan aspek perhitungan

ekonomi, biaya, manfaat, untung rugi dari tindakan pengendalian hama

dengan menggunakan pestisida. Jadi jelas bahwa AE merupakan Aras

Keputusan Tindakan Pengendalian. Ambang Ekonomi secara konsepsi

letaknya harus di bawah garis Aras Luka Ekonomi (ALE), hal ini karena

apabila populasi hama telah mencapai garis AE kemungkinan populasi

akan meningkat terus sehingga dapat melewati garis AE. Oleh karena itu

agar populasi hama tidak mencapai ALE harus diadakan tindakan

pengendalian pada aras populasi di garis AE. Grafik Ambang Ekonomis

disajikan pada Gambar 8 di bawah ini.

Page 49: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

33

Gambar 8. Grafik ambang ekonomis untuk pengambilan keputusan pengendalian

hama sesuai dengan konsep Pengelolaan Hama Terpadu (PHT)

Penentuan AE dan ALE adalah AE harus di bawah ALE, hal ini

dimaksudkan agar petani masih mempunyai waktu untuk menanggapi

perubahan yang terjadi di lapangan. Misalnya apabila dari perhitungan

diketahui ALE dari larva penggerek batang padi adalah 5 larva/rumpun

maka dapat kita tentukan nilai AE adalah 4 larva/rumpun tanaman.

Penentuan Ambang Ekonomi suatu OPT didasarkan pada : jenis

OPT, yaitu apabila OPT tersebut merupakan OPT utama maka nilai AE

cukup tinggi, misalnya hama Wereng (Nephotettix virescens) nilai

Ambang Ekonominya adalah 5 nimfa pertunas pada saat tidak ada

serangan penyakit Tungro, jika ada serangan Tungro maka1nimfa

pertunas; jenis tanaman yaitu menyangkut nilai ekonomi tanaman, apakah

dipanen daunnya, bunganya, buahnya, akarnya atau keseluruhan tanaman.

Ambang Ekonomi untuk setiap OPT berbeda karena setiap OPT secara

biologi dan ekologi tidak sama. Ada OPT menyerang tanaman pada fase

pembibitan, fase pertumbuhan vegetatif dan fase generatif pada saat

pengisian bulir dan polong. Ada pula OPT yang menyerang sepanjang

umur hidup tanaman. Jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani dapat

mempengaruhi nilai Ambang Ekonomi dari OPT, artinya tanaman yang

memiliki nilai ekonomi tinggi akan memiliki nilai ambang ekonomi yang

tinggi pula.

Page 50: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

34

4. Monitoring Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)

Monitoring OPT adalah suatu kegiatan mengamati dan mengawasi

perkembangan setiap OPT dan komponen-komponen penyusun

agroekosistem. Monitoring OPT mempunyai manfaat yaitu:

a. Menilai situasi hama dan menentukan macam aktivitas dari hama.

b. Mengambil keputusan untuk upaya pengendalian dengan penentuan

nilai Ambang Ekonomi dari OPT, sehingga sedikit saja terjadi

kenaikan populasi suatu OPT akan cepat diantisipasi dengan

melakukan pengendalian yang dianggap cocok untuk kondisi

demikian.

c. Memprediksi masalah hama sebelum terjadi

d. Meningkatnya kesadaran aktivitas hama, termasuk perubahan dalam

populasinya

e. Up-to-date informasi mengenai kesehatan tanaman

f. Data dapat digunakan untuk membandingkan wabah hama dan

penyakit dari musim ke musim

g. Mendeteksi dini masalah hama, menghasilkan ketersediaan lebih

opsi manajemen

Monitoring perlu dilakukan pada daerah-daerah yang berpotensi

meledaknya suatu populasi hama, terutama untuk hama-hama utama dan

hama potensial yang mudah meledak poplasinya apabila kondisi

mendukung. Monitoring dapat dilakukan secara terjadwal yang dilakukan

sejak tanam sampai menjelang panen. Monitoring ditujukan untuk

mengawasi dinamika populasi hama, sehingga apabila terjadi kenaikan

populasi hama mendekati Aras Ambang Ekonomi petani sudah bisa

menentukan keputusan pengendalian yang akan dilakukan.

E. FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA HAMA

Faktor-faktor penyebab terjadinya hama pada tanaman sebagai berikut

1. Faktor manusia

Manusia merupakan faktor penyebab terjadinya hama karena:

a. Manusia menyebarluaskan tanaman ke seluruh dunia (introduksi

tanaman baru). Populasi hama sifatnya dinamis. Jumlah tersebut

bisa naik, bisa turun, atau tetap seimbang, tergantung keadaan

lingkungannya. Bila suatu tanaman dipindahan ke daerah lain yang

Page 51: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

35

berbeda iklim dengan kondisi lingkungan cocok, populasi hama

berembang pesat. Pada suhu optimum, kemampuan hama untuk

berkembang biak sangat besar dan kematian amat sedikit,

menyebabkan terjadi peledakan hama.

b. Manusia menanam tanaman secara monokultur dan tanaman itu

genetis homogen. Berkurangnya keragaman genetik pada tanaman

tertentu menyebabkan cara tanam yang cenderung sama setiap

waktu (monokultur). Dengan cara tanam tersebut berakibat tanaman

menjadi rentan terhadap serangan hama dan terjadilah peledakan

populasi hama apabila tidak dikendalikan dengan benar.

c. Manusia melakukan penanaman terus-menerus tanpa diikuti dengan

penerapan pola tanam di suatu lahan produksi, sehingga

mengakibatkan peledakan populasi hama terutama karena makanan

untuk hama tersedia sepanjang waktu. Terlebih jika tanaman

tersebut tidak diselingi oleh tanaman lain yang resisten terhadap

serangan hama, maka perkembangbiakan hama menjadi pesat.

d. Manusia tidak memperhatikan masa tanam untuk melakukan usaha

tani tertentu, karena apabila menanam tanpa diatur masa tanam

ataupun jangka waktunya, menyebabkan terjadinya gangguan akibat

serangan hama. Penanaman yang terlalu cepat atau terlambat

umumnya akan menimbulkan masalah serangan hama tertentu,

namun sebaliknya keterlambatan penanaman dapat menghindari

serangan hama tertentu. Jadi dalam hal fenologi umur tanaman

dengan serangan hama perlu dipelajari secara kasus per kasus.

Serangan hama yang lebih banyak terjadi sewaktu musim kemarau

terjadi pada tanaman kubis. Penanaman padi, masa tanam pertama

mempunyai kecenderungan bagus, baik hasil maupun tanaman,

sebab pada masa tanam pertama, tanah yang kering pada musim

kemarau dan membuat virus penyakit dan hama tanaman padi mati.

Sedangkan untuk masa tanam kedua, tanaman padi tidak sebagus

masa tanam pertama karena kondisi tanah maupun cara pemupukan

membuat virus penyakit kembali berkembang.

e. Manusia membuka lahan di daerah yang mempunyai organisme

yang berpotensi sebagai hama.

Page 52: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

36

2. Perubahan lingkungan

Struktur dan kelembaban tanah berpengaruh besar terhadap

kehidupan hama, begitu pula unsur hara. Apabila dalam suatu tanah

berstruktur gembur dengan kandungan bahan organik tinggi, kelembaban

cukup, serta tersedianya unsur hara yang juga diperlukan bagi hama

(khususnya hama yang seluruh atau sebagian hidupnya di dalam tanah)

maka mendukung perkembangbiakan hama dengan pesat dan terjadilah

peledakan populasi hama. Selain itu serangga tergolong hewan yang

berdarah dingin (poikilotermal) temperatur badannya naik turun mengikuti

temperatur lingkungannya. Kisaran temperatur untuk kehidupan serangga

berkisar 15−45°C, contoh Myzus sp 15,4−33,7°C temperatur optimum 28,4

°C. Serangga dapat dibedakan 5 daerah (zone)

1) Daerah temperatur maksimum; daerah temperatur dimana serangga

tidak lagi dapat bertahan/menyesuaikan diri akibatnya serangga

mati: (≥45°C).

2) Daerah temperatur tinggi inaktif (zone estivasi) yaitu daerah

temperatur dimana serangga masih bertahan tetapi tidak lagi aktif

/bergerak dan tidak mati karena fisiologis organ-organ di dalam

tubuhnya masih bekerja. gejala yang demikian disebut estivasi atau

diapause yang berarti tidur atau istirahat: (38−45°C), jika temperatur

menurun sampai titik tertentu maka serangga itu akan aktif kembali

dan selanjutnya hidup secara normal.

3) Daerah temperatur optimum/efektif yaitu daerah suhu dimana

serangga hidup secara normal serta segala aktivitas berlangsung

secara optimal (26−33°C).

4) Daerah temperatur rendah inaktif (zone hibernasi) yaitu daerah

temperatur dimana serangga masih dapat bertahan hidup tetapi tidak

lagi aktif maupun bergerak dan tidak mati karena organ didalam

tubuh masih bekerja. Gejalanya disebut hibernasi, jika temperatur

meningkat sampai titik tertentu maka serangga aktif kembali dan

hidup secara normal: (15−26 °C).

5) Daerah temperatur minimum yaitu daerah temperatur dimana

serangga tidak dapat bertahan maupun menyesuaikan diri sehingga

mati karena kedinginan (4 °C). Serangga yang memiliki kisaran

Page 53: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

37

temperatur luas di golongkan serangga eurythermal dan yang

memiliki kisaran temperatur sempit di sebut steno thermal.

Kelembaban udara, cahaya, curah hujan, angin juga mempengaruhi

kehidupan serangga. Begitu juga dengan kelembaban, bila kelembaban

sesuai dengan kebutuhan hidup hama, hama tersebut cenderung tahan

terhadap suhu-suhu ekstrem dan menyebabkan perkembangan telur

menjadi lebih cepat. Kelembaban udara juga mempengaruhi: 1)

pertumbuhan dan perkembangan serangga (optimum 80−90%); 2)

perkembangbiakan (reproduksi) serangga; 3) aktivitas serangga. Cahaya

mempengaruhi terhadap aktivitas serangga karena beberapa serangga

tertarik pada gelombang cahaya tertentu, misalnya lipas. Curah hujan

mempengaruhi: 1) perilaku serangga karena ada serangga berdiapause

pada musim kerig; 2) terpaan air hujan dapat menghanyutkan serangga

kecil, contoh kutu daun; 3) hujan lebat dapat menyebabkan tanah

terendam, sehingga serangga-serangga tanah mati. Angin akan

mempengaruhi terhadap pemencaran serangga-serangga kecil, misalnya

kutu daun dan wereng.

Pada ekosistim alami, serangga hama memperoleh makanan terbatas

dan musuh alami berperan aktif, sehingga populasi menjadi rendah.

Tanaman monokultur menyebabkan serangga populasinya bertambah

cepat tanpa dapat diimbangi oleh musuh alami, contoh kumbang kentang

Colorado (Leptinotarsa deceilineata Say.) yang hidup diberbagai tanaman

famili Solanaceae liar di hutan- hutan, populasi masih rendah. Ketika

hutan dibuka dan diubah menjadi kebun kentang maka populasinya

meningkat dengan cepat dan menjadi hama kentang yang sangat

merugikan.

3. Perpindahan tempat

Angin mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hama terutama

dalam proses penyebaran hama tanaman, contohnya kutu daun (Aphid).

Aktivitas perpindahan (migrasi) hama yang terjadi dapat secara aktif

dengan tenaga sendiri, ataupun pasif dengan bantuan angin, terbawa

barang yang dikirim antar negara, terbawa kendaraan dan lain sebagainya.

Setelah sampai di tempat yang baru hama-hama tersebut membentuk

asosiasi yang baru dengan inangnya. Bila inangnya tidak memiliki daya

Page 54: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

38

tahan alamiah dan tidak terdapat musuh alami yang efektif, maka populasi

hama tadi dapat berkembang sehingga menjadi wabah, contohnya hama

kutu loncat lamtoro (Heteropsylla cubana) pertama kali ditemukan di

daerah Bogor sekitar bulan Maret 1986, hanya dalam beberapa bulan saja

dilaporkan sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan

berkembang menjadi wabah yang mematikan sampai ratusan ribu pohon

lamtoro.

Kutu loncat di Indonesia tumbuh cepat sekali sehingga ratusan

hektar tanaman lamtoro diserang karena:

a. Serangga hama dapat berpindah tempat secara aktif maupun pasif.

b. Perpindahan tempat secara aktif pada imago dengan cara terbang

atau berjalan.

c. Secara pasif dilakukan oleh faktor lain seperti; tertiup angin atau

terbawa pada tanaman yang dipindahkan oleh manusia.

d. Di tempat yang baru populasi serangga ini bertambah dengan cepat

bila faktor lingkungan mendukungnya.

4. Aplikasi insektisida kimia secara tidak bijaksana

Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana menyebabkan

permasalahan hama semakin kompleks, banyak musuh alami yang mati

sehingga populasi serangga bertambah tinggi. Pengendalian terhadap hama

seringkali menggunakan pemakaian pestisida dengan dosis yang tidak

tepat. Kelebihan atau kekurangan dosis dapat berakibat merugikan

manusia. Bila terjadi kelebihan dosis, hama atau penyakit memang akan

musnah, tetapi tanaman juga akan musnah. Sedangkan bila kekurangan

dosis, akan menyebabkan hama atau penyakit bertambah kebal dan dan

keturunannya pun akan bertambah kebal pula (resurgensi), sehingga

terjadilah peledakan populasi hama dan munculnya hama sekunder apabila

penanganannya tidak tepat.

Dari banyaknya populasi hama yang ada, biasanya terdapat individu

yang memiliki sifat genetik tahan terhadap jenis pestisida tertentu.

Individu-individu yang tahan terhadap pestisida tersebut akan

berkembangbiak menjadi populasi hama. Hal ini sering dikenal dengan

istilah resistensi, yaitu kondisi dimana terdapat populasi hama yang tidak

dapat dikendalikan oleh pestisida yang di awal seharusnya berfungsi untuk

membunuh populasi hama tersebut. Selain itu pestisida juga dapat

Page 55: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

39

merubah fisiologi tanaman misalnya ada jenis pestisida yang merangsang

pertumbuhan kuncup dan bunga dan menyebabkan berkembabiaknya hama

tanaman tertentu.

Di Indonesia, terdapat beberapa jenis hama yang bersifat resisten

terhadap pestisida, seperti hama kubis Plutella xylostella, hama

kubis Crocidolomia pavonana, hama penggerek umbi

kentang Phthorimaea operculella, dan ulat grayak Spodoptera litura.

Beberapa hama tanaman padi juga ada yang resisten terhadap jenis

pestisida tertentu, seperti wereng coklat (Nilaparvata lugens), hama

walang sangit(Nephotettix inticeps) dan ulat penggerek batang (Chilo

suppressalis). Bahkan, ketiga jenis hama tersebut mengalami peningkatan

ketahanan terhadap pestisida. Petani terdorong untuk semakin sering

melakukan penyemprotan pestisida, bahkan menambah dosisnya. Padahal,

penggunaan pestisida yang berlebihan ini dapat kembali meningkatkan

peningkatan populasi hama. Dalam hal ini, cara kerja pestisida hampir

sama dengan cara kerja antibiotik.

Pada tahap awal, penggunaan pestisida kimia memang cukup

berhasil untuk menekan populasi hama. Namun, dalam periode tertentu,

hama dapat meningkat karena pestisida juga mengakibatkan matinya

musuh alami hama. Kondisi pestisida sebagai racun yang berspektrum luas

dan membunuh musuh alami hama, seperti polinator, burung, ikan, dan

musuh alami lainnya dikenal dengan resurgensi. Selain karena matinya

musuh alami hama, resurgensi hama juga dapat disebabkan oleh jenis-jenis

pestisida tertentu yang justru memacu peningkatan telur serangga hama.

Hal ini telah dibuktikan oleh International Rice Research Institute (IRRI)

terhadap hama wereng coklat (Nilaparvata lugens).

5. Status hama

Pada suatu ekosistem pertanian ada serangga yang setiap tahun

merusak tanaman sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar, ada

serangga yang populasinya tidak begitu tinggi tetapi merugikan tanaman

pula bahkan ada serangga yang populasinya sangat rendah dan kerusakan

yang diderita tanaman kurang diperhitungkan. Status hama

dikategorikan sebagai: a) Major pest / Main pest / Key pest; b) Secondery

pest / Potensial pest; c) Migratory pest.

Page 56: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

40

Hama utama (major pest) selalu ada, sehingga perlu dikendalikan

secara teratur. Biasanya ada satu atau dua species serangga hama utama di

suatu daerah. Hama utama untuk tiap daerah dapat sama atau berbeda

dengan daerah lain pada tanaman yang sama. Sebagai contoh hama utama

pada tanaman padi dapat berupa wereng coklat, penggerek batang, ganjur

karena serangga hama tersebut dapat menimbukan kerugian yang cukup

besar sehingga diperlukan strategi pengendaliannya.Hama ini populasinya

paling tinggi bila dibandingkan dengan hama sewaktu-waktu atau

potensial (secondary pest). Hama sewaktu-waktu dan potensial merupakan

golongan yang sedikit banyak populasinya dikendalikan oleh faktor-faktor

lingkungan. Hama sekunder menyebabkan kerusakan tanaman sangat

kecil/kurang berarti tetapi sewaktu-waktu populasinya dapat meningkat

dan akan menimbulkan kerusakan ekonomi pada tanaman. Sebagai contoh

serangga hama belalang yang memakan daun padi biasanya terjadi pada

tanaman, padi, setempat-setempat. Hama migratory bukan berasal dari

agroekosistem setempat tetapi datang dari luar secara periodik yang

mungkin menimbulkan kerusakan ekonomi. Sebagai contoh belalang

kembara atau Locusta migratoria yang datang secara periodik dan

memakan berbagai tanaman sepanjang wilayah yang dilalui dengan

populasi yang sangat tinggi.

Pengelolaan hama perlu dikendalikan jangan sampai statusnya

meningkat menjadi hama utama. Namun demikian dengan penggunaan

pestisida, petani mungkin merasakan populasi hama semakin berkurang.

Namun di balik itu, ada hal lain yang menjadi masalah. yakni munculnya

hama baru yang sebelumnya tidak menjadi masalah setelah populasi hama

lama terkendali. Jenis hama tertentu dapat dikendalikan oleh musuh alami.

Penerapan pestisida pada tanaman pertanian, musuh alami hama justru

mematikan, sehingga muncul hama-hama baru yang tidak terkendali,

contohnya, hama wereng cokelat. Wereng cokelat sendiri baru ditemukan

pada tahun 1970-an, dimana terdapat pemakaian insektisida berjadwal,

penanaman tanaman terus-menerus, adanya tanaman sukulen karena

tingginya dosis pupuk N, dan matinya musuh alami wereng tersebut.

Page 57: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

41

F. CARA-CARA KERUSAKAN OLEH SERANGGA HAMA

Perilaku serangga yang berperan sebagai hama tanaman tidak

terlepas dari kerusakan yang ditimbulkannya pada tanaman itu sendiri.

Kerusakan yang ditimbulkan tersebut berkaitan erat dengan bentuk alat

mulut yang dimilikinya. Jenis atau bentuk alat mulut serangga akan

menentukan jenis makanan dan macam kerusakan yang ditimbulkannya.

Serangga-serangga hama mengganggu dan merusak tanaman yang

hidup dan tanaman yang bermanfaat, dengan:

a) Memakan daun-daun, tunas-tunas, batang-batang, akar-akar, kulit

kayu dan buah tanaman.

b) Mengisap cairan dari daun, batag, akar dan buah.

c) Menggerek atau melubangi kulit kayu, batang atau cabang-cabang,

menggerek dalam buah-buah, biji-bijian atau jaringn daun diantar

kedua permukaan daun (leaf miners).

d) Menyebabkan bengkak pada tanaman (gall insects).

e) Menyerang akar dan bagian-bagian tanaman dalam tanah dengan

cara-cara yang tersebut di atas (serangga tanah, misalnya uret, kutu

akar, tenggerek).

f) Meletakkan telur di dalam tanaman (belalang daun, Tettigonidae;

Diptera).

g) Mengambil bagian-bagian tanaman untuk membuat sarang dan

tempat berlindung (ulat-ulat, Lepidoptera).

h) Membawa serangga-serangga lain ke tanaman dan membiarkan

serangga itu menetap pada tanaman tersebut (semut membawa kutu

daun).

i) Menyebarkan organisme penyebab penyakit (jamur bakteri,

protozoa dan virus).

Serangga-serangga hama dapat merusak dan menurunkan nilai

bahan simpanan dengan cara:

a) Merusak bahan simpanan sebagai makanannya.

b) Menyebabkan kontaminasi bahan tersebut dengan sekresi,

mengeluarkan kotoran telur dan serangga-serangga yang mati.

c) Menambah tenaga kerja dan ongkos sortasi, membungkus dan

pengawet makanan.

Page 58: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

42

G. SERANGGA-SERANGGA PERUSAK TANAMAN

Perilaku serangga sebagai hama sangat berkaitan dengan kerusakan

yang diakibatkan oleh serangga tersebut. Pada dasarnya jenis kerusakan

pada tanaman oleh serangga hama sangat erat kaitannya dengan tipe alat

mulut dari serangga hama itu.

1. Serangga-serangga memakan bagian-bagian luar tanaman

antara lain:

a. Kerusakan disebabkan serangga-serangga penggigit dan

pengunyah.

Alat mulut seperti ini digunakan untuk memotong atau

menggigit dan mengunyah makanan padat, dicirikan dengan adanya

mandibula yang kuat. Bagian mulut serangga menunjukkan

kemampuan adaptasi dengan cara mengambil makanan. Suatu cara

primitif dan penting pada serangga-serangga untuk mendapatkan

makanan dengan menggigit dan mengunyah bagian luar tanaman.

Serangga-serangga ini dinamakan serangga pengunyah (chewing

insect), sebagai contoh ulat-ulat dari Lepidoptera, belalang,

kumbang dan larvanya. Semua serangga dengan sayap depan atau

elytra pada tingkat yang belum dewasa mempunyai alat mulut tipe

ini. Secara struktural alat makan jenis ini terdiri dari:

a) Labrum, berfungsi untuk memasukkan makanan ke dalam

rongga mulut.

b) Epifaring, berfungsi sebagai pengecap.

c) Mandibel, berfungsi untuk mengunyah, memotong, atau

melunakkan makanan.

d) Maksila, merupakan alat bantu untuk mengambil makanan.

Maxila memiliki empat cabang, yaitu kardo, palpus, laksinia,

dan galea.

e) Hipofaring, serupa dengan lidah dan tumbuh dari dasar rongga

mulut.

f) Labium, sebagai bibir bawah bersama bibir atas berfungsi

untuk menutup atau membuka mulut. Labium terbagi menjadi

tiga bagian, yaitu mentum, submentum, dan ligula. Ligula

terdiri dari sepasang glosa dan sepasang paraglosa.

Page 59: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

43

Identifikasi berdasarkan gejala serangannya yakni dengan

memperhatikan tipe alat mulut menggigit dan mengunyah maka

akan ditemukan bagian tanaman yang hilang, apakah dimakan,

digerek atau digorok. Alat mulut ini dikontrol dengan pemberian

racun, sehingga dapat menggugurkan daun tanaman, membuat

lubang kedalaman pada makanannya, contohnya ordo Coleoptera,

Orthoptera, Isoptera, dan Lepidoptera.

b. Kerusakan disebabkan serangga-serangga penusuk dan

pengisap

Serangga-serangga penusuk dan pengisap mempunyai dua

mandibular dan dua maksila memanjang, seperti rambut yang

berakhir pada ujung untuk mengisap. Bagian-bagian ini disebut

stilet. Stilet ini digunakan untuk menusuk dan membuat luka serta

paruhnya (proboscis) berfungsi sebagai sarung pengaman untuk

membuat siku ke atas, apabila stilet masuk lebih dalam.

Scotinophara (Heteroptera) mempunyai alat mulut menusuk

mengisap. Alat mulut yang paling menonjol adalah labium, yang

berfungsi menjadi selongsong stilet. Stilet mempunyai jumlah empat

dan sangat runcing yang berfungsi sebagai alat penusuk dan

mengisap cairan tanaman. Keempat stilet berasal dari sepasang

maksila dan mandibel ini merupakan suatu perubahan bentuk dari

alat mulut serangga pengunyah. Serangga hama dengan tipe alat

mulutnya menusuk dan mengisap gejala serangan yang ditimbulkan

yaitu pada bagian tanaman akan ditemukan bekas tusukan stilet

yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna atau perubahan

bentuk pada bagian tanaman yang diserangnya. Stilet tidak

meninggalkan lubang yang tampak, akan tetapi pengisapan cairan

mengakibatkan bintik-bintik kecil berwarna perak karena thrips,

Thysanoptera; berwarna coklat atau merah (kepinding /bugs); daun

menjadi keriting (kutudaun, kepinding); deformasi buah; daun layu

dan menjadi coklat dan mematikan seluruh tanaman (kutu daun,

serangga kepik, kepinding). Serangga-serangga tersebut dijumpai

dari ordo Hemiptera dan Thysanoptera (thrips). Serangga ordo

Hemiptera mengisap cairan floem keluar dari pembuluh tapis (sieve

tube). Serangga mengeluarkan ludah dan mencampurnya dengan

Page 60: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

44

cairan tanaman sebelum diisapnya. Eksresi ini mengeluarkan banyak

gula, sehingga menarik semut-semut.

Alat mulut penusuk dan pengisap dijumpai pada serangga

seperti aphid, wereng, kutu perisai, kutu daun. Serangga ini

menusuk sel-sel epidermis dan mengisap cairan sel di dalamnya.

Cairan pada jaringan ayak juga dihisapnya, meskipun serangganya

masih tetap berada di luar tanaman.

Luka pada tanaman disebabkan oleh serangga penusuk dan

pengisap antara lain perubahan warna, atau perubahan bentuk pada

bagian tanaman yang diserang, seperti penggulung daun, menjadi

lemah dan mengeringnya ranting-rating. Daun sering ditutupi

dengan ekskresi (honey dew) dan jamur hitam tumbuh di atasnya,

sehingga menghalangi fotosintesa normal daun tersebut.

c. Kerusakan disebabkan serangga-serangga pemarut dan

pengisap

Tipe alat mulut ini diwakili oleh tipe alat mulut lebah madu

Apis cerana (Hymenoptera, Apidae) merupakan tipe kombinasi

yang struktur labrum dan mandibelnya serupa dengan tipe alat mulut

menggigit mengunyah, tapi maksila dan labiumnya memanjang dan

menyatu. Glosa merupakan bagian dari labium yang berbentuk

memanjang sedangkan ujungnya menyerupai lidah yang berbulu

disebut flabelum yang dapat bergerak menyusup dan menarik untuk

mencapai cairan nektar yang ada di dalam bunga. Hama ini meraut

jaringan hingga keluar cairan, cairan ini kemudian dihisap paruh

konikal. Jaringan yang terserang cenderung berwarna putih atau

belang yang kemudian tampak mengerut.

Serangga-serangga tungau (thrips) dan kutu kebul memiliki alat

mulut pemarut dan pengisap dengan paruh konikal pendek dan tiga

stilet yang bergerak masuk dan keluar untuk memarut jaringan,

sehingga keluar cairan. Cairan ini diisap melalui paruh konikal.

Jaringan yang terserang oleh hama ini cenderung berwarna putih

atau belang dan tampak mengarat. Oleh karena itu thrips dapat

dikendalikan melalui racun yang ditempatkan pada permukan

tanaman dan akan ditelan bersama cairan atau juga melalui racun

kontak.

Page 61: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

45

2. Kerusakan tanaman oleh serangga-serangga pemakan bagian

dalam tanaman

Kebanyakan serangga-serangga sangat merugikan, jika makan

bagian dalam jaringan pada sebagian fase atau seluruh fase pengrusakan.

Serangga-serangga tersebut berhasil masuk ke dalam tanaman dan

meletakkan telur-telurnya ke dalam jaringan tanaman, atau dengan

memakan bagian tanaman yang dipakai sebagai jalan setelah penetasan

telur. Lubang-lubang yang dimasuki serangga tersebut selalu kecil.

Lubang-lubang yang besar sering dilihat pada buah, batang, biji atau

cabang, ranting tanaman dan menunjukkan serangga telah keluar dan

bukan merupakan tempat serangga tersebut masuk. Serangga-serangga

pemakan bagian di dalam tanaman digolongkan: 1) penggerek pada kayu,

batang dan kayu teras; 2) ulat-ulat pada buah dan biji-bijian; 3) penggerek

daun (leaf miners); 4) serangga pembentuk gal.

Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan

tanaman dan kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan

dengan menghitung atau mengukur luka atau gejala yang ditinggalkan atau

diakibatkan oleh hama antara lain seperti:

1) Keseluruhan tanaman. Penghitungan jumlah atau % tanaman

mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan hama tertentu.

2) Daun. Kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya

diukur dengan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun.

Metode pendugaan kerusakan oleh hama dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1) Batang dengan penghitungan: jumlah atau persen puru, sundep,

beluk; jumlah lubang keluar; panjang lubang gerekan; luka potongan

batang oleh ulat.

2) Buah dan benih dengan penghitungan: jumlah lubang atau luka di

buah; jumlah atau persen buah rusak, seperti terserang Penggerek

Buah Kakao (PBK) dan Penggerek Buah Kopi (PBKo).

3) Akar dengan penghitungan: panjang, berat kering atau volume

perakaran yang terserang hama; luas kerusakan umbi seperti pada

tanaman kentang.

Page 62: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

46

Pengendalian serangga-serangga tersebut sangat sulit dilakukan,

karena kebanyakan insektisida tidak dapat mencapai serangga tersebut,

segera setelah serangga tersebut masuk ke dalam jaringan tanaman.

Meskipun kebanyakan pada sebagian siklus hidup serangga ini mempunyai

fase hidup di luar jaringan tanaman. Cepat atau lambat serangga tersebut

akan berkembang untuk hidup bebas, terutama serangga-serangga yang

telah dewasa.

3. Ordo serangga penting sebagai hama tanaman

1) Identifikasi serangga belum dewasa

a. Serangga mempunyai bantalan sayap tetapi tidak berfungsi dan

mata majemuk kadang-kadang berwarna sangat cerah.

Serangga mempunyai bentuk dan kelengkapn serupa dengan

dewsa. Kaki biasanya besar, dua kuku pada tarsus. Alat

mulutnya seperti induknya mengunyah atau menusuk da

mengisap, contohnya nimfa dan naiad.

b. Serangga tidak mempunyai sayap atau bantalan sayap dan tidak

ada mata majemuk, tubuhnya lunak, kulit tipis, kadang-kadang

berambut, abdomen tiga atau empat kali lebih panjang dari

kepala dan toraks. Alat mulut mempunyai tipe mengunyah dan

kebiasaannya selalu berbeda dengan yang dewasa, contohnya

larva.

c. Serangga mempunyai kaki dan bantalan sayap terbungkus

dalam membrane ekstra dan tidak pernah dipergunakan untuk

bergerak. Serangga tidak aktif, kecuali untuk membelit

abdomen dalam beberapa bentuk apabila diganggu. Bentuk dan

perlengkapan seperti serangga dewasa. Serangga sering

terbungkus dalam cocon, puparium atau tanah, contohnya pupa.

2) Identifikasi larva yang penting untuk pertanian

a. Serangga mempunyai kaki torasik, tetapi tanpa kaki pelengkap

(proleg) abdomen yang terdiri atas:

a) Kepala menyolok, kadang tertekan, mulut terarah ke muka

tau ke bawah, tidak ada daerah adfrontal., contoh larva

Coleoptera (kumbang).

Page 63: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

47

b) Kepala biasanya globular, mempunyai daerah adfrontal,

mulut terarah ke bawah, alat pemintal dekat ujung labium,

contoh Lepidoptera (ngengat, kupu-kupu).

b. Serangga mempunyai kaki torasik dan kaki pelengkap abdomen

yang terdiri atas:

a) Beberapa pasang kaki pelengkap dengan sabit yang halus,

lebih dari satu pasang mata sederhana atau tidak ada pada

setiap sisi kepala, contohnya larva Lepidoptera.

b) Kaki pelengkap biasanya enam atau delapan pasang, tidak

mempunyai sabit yang halus, satu pasang mata sederhana

atau tidak ada pada tiap sisi kepala. Lrva Hymenoptera

(lalat gergaji).

c. Serangga tidak mempunyai kaki torasik dan kaki pelengkap

serta kepala menonjol yang terdiri atas:

a) Serangga mempunyai labium dengan proyeksi alat

pemintal median, contoh larva Lepidoptera

b) Serangga mempunyai tubuh pendek, biasanya berbentuk

U, ada sepasang spirakel pada setiap segmen abdominal

utama, contoh larva Coleoptera (Curculios).

d. Serangga tidak mempunyai kaki torasik, kepala tidak meonjol

yang terdiri atas:

a) Serangga mempunyai abdomen dengan beberapa pasang

spirakel, tidak ada antenna. Tubuh agak meruncing pada

kedua ujungnya. Uret kuning atau putih, lunak terdapat

lilin, contoh larva Hymenoptera (lebah, semut).

b) Serangga mempunyai abdomen dengan satu pasang

spirakel terletak pada ujung yang tumpul. Ujung kepala

meruncing. Alat mulut terdiri atas sepasang sabit, contoh

larva Diptera (lalat).

Beberapa contoh spesies dan ordo serangga perusak tanaman

disajikan pada Tabel berikut ini.

Page 64: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

48

Tabel 2. Spesies dari ordo Orthoptera sebagai serangga perusak tanaman

Tabel 3. Spesies dari ordo Hemiptera sebagai serangga perusak tanaman

Page 65: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

49

Tabel 4. Spesies dari ordo Homoptera sebagai serangga perusak tanaman

Page 66: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

50

Tabel 5. Spesies dari ordo Lepidoptera sebagai serangga perusak tanaman

Page 67: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

51

Tabel 6. Spesies dari ordo Diptera sebagai serangga perusak tanaman

H. RANGKUMAN

Perkembangan suatu individu serangga dimulai dari telur dan

menunjukkan perbedaan bentuk sampai menjadi individu dewasa.

Serangga tidak hanya dipelajari dari penampilannya saja, tetapi juga dari

perkembangbiakan hingga menjadi populasi serangga yang merusak

tanaman, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi karena menurunnya

produksi tanaman secara kualitas dan kuantitas. Oleh karenanya serangga

ini disebut serangga hama. Selain itu titik kelemahan dan kekuatannya

dalam siklus hidupnya perlu diketahui, karena serangga mempunyai

berbagai kemampuan adaptasi dengan lingkungan . Serangga hama dapat

menyerang secara internal dengan jalan mengisap dan secara eksternal

dengan jalan menggigit dan mengunyah.

Perkembangan serangga primitif dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu:

telur, muda dan dewasa. Serangga Exopterygota (sayap luar tubuh larva)

pada kelompok Exopterygota mempunyai tiga tingkatan yaitu: telur, larva

(nimfa) dan dewasa. Serangga Endopterygota (sayap dalam tubuh larva)

mempunyai empat tingkatan, yaitu: telur, larva, pupa dan dewasa.

Perubahan-perubahan ini diikuti oleh pertumbuhan tubuh dan pergantian

kulit (ecdysis). Proses pergantian kulit ini disebabkan karena pembentukan

integument atau kulit baru di bawah integument yang tua. Pembentukan

integument baru ini, integument tua menjadi pecah-pecah dan mengelupas.

Page 68: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

52

Sisa-sisa integument mengelupas (exuviae). Perkembangan tubuhnya

dimungkinkan sebelum terjadi integument baru yang terbentuk menjadi

keras dan tidak elastis. Interval waktu ecdysis (stadium), dan umur serta

bentuk serangga selama satu stadium disebut instar. Serangga-serangga

akan mengalami perubahan (metamorfosa) untuk berkembang dari telur

sampai dewasa. Berdasarkan metamorfosa pada serangga mempunyai

kemungkinan:1) ametabol (tidak ada metamorfosa jelas); 2) hemimetabola

(metamorfosa sederhana); 3) holometabol (metamorfosa sempurna); 4)

hipermetamorfosa.

Manusia merupakan faktor penyebab terjadinya hama karena:1)

manusia menyebarluaskan tanaman ke seluruh dunia (introduksi tanaman

baru); 2) manusia menanam tanaman secara monokultur, seringkali

tanaman-tanaman itu genetis homogeni; 3) membuka lahan di daerah yang

mempunyai organisme yang berpotensi sebagai hama. Pada ekosistim

alami, serangga hama memperoleh makanan terbatas dan musuh alami

berperan aktif, sehingga populasi menjadi rendah. Faktor manusia

mempunyai peranan, sehingga musuh alami tidak aktif. Oleh karena itu,

konsep Aras Ekonomi, Aras luka ekonomi dan ambang ekonomi perlu

dipahami untuk tindakan pengendalian yang ramah lingkungan, sehingga

populasi hama fluktuasinya tidak bertambah tinggi dan secara ekonomi

menguntungkan. Suatu spesies serangga tidak pernah mempunyai wujud

hama, akan tetapi populasi tertentu suatu spesies serangga dapat

mempunyai status hama. Faktor-faktor-faktor penyebab terjadinya hama

pada tanaman perlu diketahui, sehingga status dari hama tidak meningkat

menjadi hama utama.

Serangga-serangga hama mengganggu dan merusak tanaman yang

hidup dan tanaman yang bermanfaat karena dapat menyerang secara

internal dengan jalan mengisap dan secara eksternal dengan jalan

menggigit dan mengunyah. Identifikasi berdasarkan gejala serangannya

yakni dengan memperhatikan tipe alat mulut menggigit dan mengunyah

maka akan ditemukan bagian tanaman yang hilang, apakah dimakan,

digerek atau atau digorok, sedangkan kalau tipe alat mulutnya menusuk

dan mengisap maka pada bagian tanaman akan ditemukan bekas tusukan

stilet yang akan menyebabkan terjadinya perubahan warna atau perubahan

bentuk pada bagian tanaman yang diserangnya.Selain itu cara serangga

Page 69: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

53

makan dan apa yang dimakan dapat menentukan tipe perlakuan

pengendalian yag efektif terhadap serangga tersebut. Pengelolaan hama

perlu dikendalikan jangan sampai statusnya meningkat menjadi hama

utama. Namun demikian dengan penggunaan pestisida, petani mungkin

merasakan populasi hama semakin berkurang. Namun di balik itu, ada hal

lain yang menjadi masalah. yakni munculnya hama baru yang sebelumnya

tidak menjadi masalah setelah populasi hama lama terkendali. Jenis hama

tertentu dapat dikendalikan oleh musuh alami. Penerapan pestisida pada

tanaman pertanian, musuh alami hama justru mematikan, sehingga muncul

hama-hama baru yang tidak terkendali.

I. DAFTAR PUSTAKA

Balfas R. & M. Willis. (2009) Pengaruh Ekstrak Tanaman Obat terhadap

Mortalitas dan Kelangsungan Hidup Spodoptera litura F.

(Lepidoptera, Noctuidae). Bul Littro. 20 (2), 148– 156.

Balinsky B.I. 1981. An introduction to Embryology. 5th ed sunders college

publishing. Philadelphia.

David B.V., Ananthakrishnan T.N. 2006. General and Applied

Entomology. India New Delhi: Mc Graw- Hill.

Forister M.L., J.A. Fordyce, C.C. Nice, Z. Gompert & A.M. Shapiro. 2006.

Egg Morphology Varies among Populations and Habitats along A

Suture Zone in the Lycaeides idas-melissa Species Complex.

Annals of the Entomological Society of America. 99 (5), 933–937.

Greeney H.F., T.R. Walla & R.L. Lynch. 2010. Architectural Changes in

Larval Leaf Shelters of Noctuana haematospila (Lepidoptera:

Hesperiidae) between Host Plant Species with Different Leaf

Thicknesses. Zoologia. 27 (1), 65– 69.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. PT Rineka Cipta, Jakarta.

Kalshoven L.G.E. & P.A. van der Laan.1981. Pests of Crops in Indonesia.

Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hoeve

Kurnia S. F. 2012. Analisis pengaruh faktor iklim terhadap tingkat

serangga hama wereng coklat (Studi Kasus: Kabupaten

Karawang). Skripsi, Bogor, Departemen Geofisika dan

Meteorologi, FMIP Institut Pertanian Bogor.

Page 70: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

54

Mc Maugh T. 2007. Pedoman surveilensi organisme pengganggu

tumbuhan di Asia dan Pasifik. Alih bahasa oleh Andi Trisyono.

ACIAR Monograph No. 119a, 192p.

Program Nasional PHT. 1991. Kunci Determinasi Serangga, Yogyakarta.

Penerbit KANISIUS.

Rismayani & Rohimatun. 2017. Siklus hidup larva Nyctemera coleta dan

Paliga auratalis sebagai hama pada tanaman daun sambung nyawa

(Gynura procumbens). Bul. Littro, 28(1): 89−96.

Saunders J.W.Jr .1980. Developmental Biology. Patterns Problems

Principles. Macmillan Publishing Co. Inc, New York.

Sembel D. T. 2012. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman, Yogyakarta,

Penerbit ANDI.

Spratt N.T.Jr.1971. Developmental Biology. Wadsworth Publishing

Company, Inc. Belmont.

Triharso. 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada

University Press.

Untung K. 2010. Diktat Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman. Jurusan Hama

dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian UGM: Yogyakarta.

Vane W.R.I. & R. de Jong R. 2003. The Butterflies of Sulawesi. Annotated

Checklist for a Critical Island Fauna. Invertebrate Systematics. 18

(3), Leiden, Zoo.Verh.

Wirakusumah S. 2003. Dasar-dasar Ekologi bagi Populasi dan

Komunitas. Jakarta:UI-Press.

J. PELATIHAN

1. Jelaskan mengapa faktor luar atau lingkungan mempengaruhi

tempat hidup serangga dan sering menjadi pembatas peningkatan

populasi

2. Jelaskan mengapa larva serangga hama merugikan secara ekonomi.

Sebutkan contohnya.

3. Sebutkan paling sedikit 2 macam hormon dalam metamorfosa dan

jelaskan peranan dalam metamorfosa.

4. Jelaskan dengan grafik ambang ekonomis untuk pengambilan

keputusan pengendalian hama sesuai dengan konsep Pengelolaan

Hama Terpadu (PHT).

Page 71: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

55

5. Mengapa monitoring terhadap hama perlu dilakukan, terutama di

daerah-daerah yang berpotensi meledaknya populasi hama.

6. Jelaskan mengapa terjadi peledakan populasi hama di suatu daerah.

7. Mengapa penerapan pestisida pada tanaman pertanian justru

mematikan musuh alami hama, sehingga muncul hama-hama baru

yang tidak terkendali.

8. Jelaskan mengapa pengelolaan hama perlu dikendalikan jangan

sampai statusnya meningkat menjadi hama utama.

9. Secara umum, dijumpai faktor yang berpengaruh terhadap

meningkatnya populasi serangga sebagai hama. Sebutkan dan

jelaskan pengaruh tersebut !.

10. Pada dasarnya jenis kerusakan pada tanaman oleh serangga hama

sangat erat kaitannya dengan tipe alat mulut dari serangga hama itu.

Sebutkan dan jelaskan kerusakan pada tanaman dan tipe alat mulut

dari serangga yang menyebabkan kerusakan tersebut.

Page 72: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

56

BAB III.

SERANGGA SEBAGAI VEKTOR VIRUS

TUMBUHAN

A. DASAR PIKIRAN

Serangga merupakan vektor paling penting menularkan virus

tumbuhan. Ordo Homoptera menempati 70% dari jumlah vektor. Serangga

membantu pemencaran dan perkembangan virus tumbuhan. Interaksi

biologi virus tumbuhan dan serangga mempunyai peranan dalam strategi

pengelolaan kesehatan tanaman. Selain itu luka karena serangga

merupakan jalan masuk untuk jamur, dan bakteri penyebab penyakit

masuk ke jaringan tanaman.

Pada bagian ini akan dibahas penularan dan penyebaran virus

tumbuhan melalui serangga serta hubungan antar serangga vektor dan

virus tumbuhan. Setelah membaca dan memahami Bab III, diharapkan

pembaca atau mahasiswa dapat:(1) mengerti cara penularan dan

penyebaran virus tumbuhan melalui vektor; 2) peranan serangga

membantu pemencaran dan perkembangan virus tumbuhan; 3) mengenal

interaksi biologi virus tumbuhan dan serangga sebagai vektor.

B. PENULARAN DAN PENYEBARAN VIRUS

TUMBUHAN MELALUI VEKTOR

Vektor merupakan penyebar virus tumbuhan yang penting di

lapangan. Sebagian besar virus tumbuhan menyebar dari tanaman satu ke

tanaman lain melalui vektor. Penularan dan penyebaran virus tumbuhan

yang paling penting dilakukan oleh serangga. Serangga merupakan vektor

virus tumbuhan yang paling dominan dari ordo Homoptera. Serangga kutu

daun, wereng, trips dan kutu daun paling dominan menularkan virus

tumbuhan (Black et al., 1991). Beberapa serangga vektor paling dominan

menyerang tumbuhan tersaji pada Gambar 9.

Page 73: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

57

Gambar 9 Serangga vektor virus paling dominan. A: kutu daun (Myzuz

persicae); B. wereng (Circulifer tenellus); C. Trips (Frankliniella

occidentalis); D. Trips (Frankliniella fusca); E. kutu putih (Bemisia tabaci)

Filum Arthropoda dan filum nematoda ditemukan sebagai vektor

virus tumbuhan, masing-masing 94% dan 6%. Serangga menempati 99%

dari Filum Arthropoda. Ordo Homoptera dari Famili Aphididae (kutu

daun) mempunyai peranan paling penting. Leafhopper (wereng) dari famili

(Cicadelidae atau Jassidae, Delphacidae dan Membracidae), kutu putih

(Aleyrodidae), mealybugs (Pseudococcidae), ordo Acarina dari famili

Eriophydae, kelas Arachnida juga mempunyai peranan penting sebagai

vektor virus tumbuhan. Spesies-spesies dari ordo Hemiptera, trips

(Thysanoptera) dan kumbang (Coleoptera) serta Orthoptera juga

mempunyai fungsi sebagai vektor virus tumbuhan, tetapi tidak terlalu

penting. Beberapa serangga mempunyai peranan sebagai vektor virus

tumbuhan terdiri atas:

a) Ordo Homoptera, misal: wereng coklat (Nilaparvata, anggota

Familia Delphacidae) vektor penyakit virus pada tanaman padi; kutu

kebul (Bemisia, anggota Familia Aleyrodidae) vektor penyakit virus

pada tanaman tembakau, tomat, terung, cabai, kacang-kacangan, dll;

green planthopper (Siphanta acuta, anggota Familia Flatidae);

Paracoccus burnerae (Planococcidae) vektor penyakit virus pada

tanaman pisang (Muturi et al. 2013); wereng hijau (Nephotettix,

anggota Familia Cicadellidae) vektor penyakit tungro pada tanaman

padi; Aphid beberapa anggota dari Familia Aphidoidae merupakan

vektor tidak kurang dari 250 virus penyakit berbagai tanaman

pangan seperti virus mosaik, ring spot, virus penyebab tanaman

kerdil.

Page 74: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

58

b) Ordo Diptera, misal beberapa penggerek daun dari Familia

Agromyzidae yang merupakan vektor virus mosaik pada berbagai

tanaman buah dan sayur.

c) Ordo Hemiptera, misal walang sangit (Leptocorisa oratoria,

anggota Familia Alydidae); True bugs anggota Familia Piesmatidae

vektor virus yang menyebabkan daun keriting.

d) Ordo Thysanoptera, misal trip (beberapa anggota dari

Familia Thripidae) merupakan vektor virus penyebab penyakit pada

berbagai tanaman pangan.

e) Ordo Hymenoptera, misal semut (beberapa anggota Familia

Formicidae) yang berasosiasi dengan hama Homoptera. Beberapa

Homoptera seperti mealy bugs dan aphid dipindahkan oleh semut

dari satu tanaman ke tanaman yang lain serta memperoleh

keuntungan dari “madu” yang disekresikan oleh Homoptera,

sedangkan Homoptera mendapatkan perlindungan dan terbantu

dalam penyebarannya.

f) Ordo Coleoptera, virus yang terbawa kecil peluangnya untuk

menetap dan penularannya jarang. Namun demikian Turnip Yellow

Mosaic Virus (Tymovirus), Cowpea Mosaic Virus (Comovirus)

ditularkan oleh ordo Coleoptera, meski belum jelas penularannya.

Leafhopper sampai saat ini diketahui ada 150 spesies sebagai vektor

virus tumbuhan dan 90 % hanya menularkan satu macam virus, sedangkan

sisanya dapat menularkan 2−4 virus tumbuhan. Saat ini diketahui ada 75

macam virus tumbuhan disebarkan oleh leafhopper, lebih dari 40

diantaranya dapat disebarkan oleh hanya satu vektor masing-masing,

beberapa dapat disebarkan oleh 2 sampai 4 vektor. Virus ini menyebabkan

gangguan pada phloem. Virus ini tidak disebarkan melalui sap, kecuali

Potato Yellow Dwarf Virus. California Aster Yellow Virus dapat

disebarkan oleh 22 vektor dan virus penyebab Piece‟s disease pada anggur

disebarkan oleh 25 vektor. Kebanyakan vektor leafhopper membutuhkan

feeding periode satu sampai beberapa hari sebelum dapat menularkan virus

dan biasanya vektor tersebut mengandung virus seumur hidupnya.

Biasanya dibutuhkan waktu inkubasi satu sampai dua minggu sebelum

leafhopper tersebut dapat menularkan virus. Semua virus mempunyai sifat

sirkulatif (circulative). Virus sirkulatif masuk dalam tubuh vektor, menuju

Page 75: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

59

ke usus dan haemolimfe kemudian menetap serta dikeluarkan lagi melalui

kelenjar saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya. Beberapa

diantaranya, virus mempunyai sifat memperbanyak diri di dalam tubuh

vektor (virus propagatif) dan vektor tidak kehilangan daya infeksinya

setelah menginokulasi tanaman sehat atau ketika terjadi ganti kulit, bahkan

ada virus yang dapat ditularkan ke generasi berikutnya (transovarial

passage). Strain satu virus mungkin mempunyai jenis vektor yang berbeda,

misalnya Barley Yellow Dwarf Virus ditularkan oleh aphis. Virus

tumbuhan hanya dapat disebarkan oleh satu jenis serangga, walaupun

seekor serangga dapat mengandung lebih dari satu virus pada waktu yang

sama (Tabel 7).

Tabel 7. Serangga sebagai vektor virus tumbuhan

Virus mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat apabila berada

dalam serangga yang sama dan menimbulkan proteksi silang satu sama

lain. Seekor serangga dapat menyebarkan satu atau lebih stilet borne virus

dan satu atau lebih virus sirkulatif secara bersama-sama atau sendiri.

Beberapa virus hanya dapat ditularkan bila virus tersebut berada bersama-

sama dengan suatu virus lain. Umumnya virus tumbuhan hanya sedikit

berpengaruh terhadap kesehatan dan reproduksi pada vektornya dan vektor

tersebut jarang sekali sampai menjadi sakit, kecuali Peach Wester X

Page 76: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

60

disease dapat menyebabkan penyakit pada vektornya Callodonus

montanus yang akhirnya vektor tersebut mati.

C. HUBUNGAN ANTARA SERANGGA VEKTOR DAN

VIRUS TUMBUHAN

Hubungan antara vektor dan virus tumbuhan didasarkan pada retensi

virus dan keberadaan virus dalam vektor atau memperbanyak diri dalam

tubuh vektor. Ternyata terdapat hubungan-hubungan yang berbeda antara

virus dan vektornya, khususnya mengenai lamanya vektor tetap infektif

setelah meninggalkan tumbuhan sakit. Cara-cara penularan virus oleh

serangga dan perbedaan hubungan biologi antara virus dan vektor

disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Penularan virus oleh serangga dari sumber infeksi (kolom pertama)

pada tumbuhan yang kemudian dijajagi atau dimakan oleh serangga

(Bos, 1990).

Probabilitas terjadinya inokulasi atau insidensi tanaman sakit virus

tular serangga akan meningkat sesuai dengan jumlah inokulum awal dan

tingkat populasi serangga. Interaksi antara virus, vektor dan tanaman akan

Page 77: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

61

berpengaruh terhadap pemencaran dan suksesi virus. Interaksi tersebut

dapat berupa kompetisi biologi langsung antar inang, antar vektor, virus di

dalam tanaman maupun tubuh serangga vektor yang akan berakibat pada

perubahan laju penularan, perilaku dan dinamika populasi. Berdasarkan

keberadaan virus dalam tubuh vektor dikelompokkan menjadi tular stilet

(stiletborne) dan sirkulatif. Tipe hubungan serangga vektor dan virus

disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Tipe hubungan serangga vektor dan virus tumbuhan

1. Retensi virus dalam vektor

Sifat retensi virus atau lama virus tumbuhan bertahan di dalam

tubuh vektor dikelompokkan menjadi tiga yaitu nirpersisten, semipersisten,

dan persisten.

1) Penularan nirpersisten

Serangga vektor lebih banyak menularkan virus secara

nirpersisten bila dibandingkan dengan virus yang ditularkan secara

semipersisten dan persisten. Aphid sering menularkan virus dari dan

ke dalam parenkim inang. Gen yang terdapat pada genom tumbuhan

mengendalikan penularan virus tumbuhan oleh aphid secara

genetika. Ekspresi gen menghasilkan protein 50 kDA dan berfungsi

sebagai helper untuk penularan virus tumbuhan oleh aphid. Selain

itu, asam amino (asam aspartate-alanin-glisin) pada kapsid potyvirus

mempunyai fungsi sebagai signal penularan virus tumbuhan oleh

aphid. Virus belang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Vektor hanya menularkan virus terbatas pada stilet atau saluran

cerna depan (forgut borne) vektor. Pada umumnya, virus dapat

ditularkan secara mekanis. Derajad interaksi biologi antara virus

Page 78: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

62

dengan vektornya lemah, sehingga vektor menjadi inaktif sesudah

pengambilan virus. Satu jenis virus dapat ditularkan oleh berbagai

spesies serangga atau sebaliknya. Oleh karena itu virus nirpersisten

mempunyai kekhususan vektor yang rendah atau dapat ditularkan

oleh beberapa spesies vektor dalam family yang sama. Cucumber

mosaic virus disebarkan oleh banyak jenis aphid, sedang jenis

tunggal seperti Myzuz persicae dan Aphis gossypii dapat

menyebarkan beberapa jenis virus. Namun demikian jenis Aphid

yang berbeda dapat berbeda besar dalam efisiensi penularannya.

Sampai saat ini, telah diketahui 250 jenis virus yang dapat

ditularkan secara nirpersisten melalui vektor kutu daun. Virus dalam

genus Potyvirus, Carlavirus, Caulimovirus, Cucumovirus dan

Fabavirus ditularkan oleh kutu daun. Virus tersebut mempunyai

bentuk tongkat dan isohedron; virus DNA dan RNA; genom

monopartite, dipartite, tripartide. Beberapa contoh virus

nirpersisten disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Virus tumbuhan yang ditularkan secara nirpersisten

Virus yang ditularkan secara nirpersisten mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut:

a) Proses penularannya memerlukan waktu akuisisi dan waktu

inokulasi yang pendek (beberapa detik hingga beberapa menit)

dan tidak memerlukan periode laten dalam vektor. Oleh karena

itu, periode makan untuk menularkan data dilakukan segera

setelah periode makan akuisisi.

b) Vektor akan kehilangan kemampuan menularkan virus dalam

waktu singkat (4 jam). Meskipun demikian, kendati sangat

jarang, daya tular dapat bertahan sampai 40 jam, apabila vektor

Page 79: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

63

tidak dapat mencapai tanaman sesudah memperoleh virus. Oleh

karena itu pelaparan sebelum akuisisi virus akan meningkatkan

efisiensi penularan oleh vektor.

c) Cara penularan sering disebut sebagai proses mekanik

kontaminasi stilet dan virus disebut “terbawa stilet”. Daya tular

dari vektor hilang pada saat pergantian kulit, jika serangga

melepaskan eksoskeletonnya termasuk bagian mulut. Penularan

biasanya mempunyai kekhususan yang rendah dan sering

dilakukan oleh Aphids secara tidak teratur merupakan pemakan

dan pengkoloni pertanaman, karena hanya dilakukan

penjajagan pada tanaman yang enak.

2) Penularan persisten

Penularan persisten mempunyai hubungan spesifik yang erat

antara virus dan vektor. Virus tertentu dipancarkan oleh jenis vektor

tunggal atau biotipe, dan individu dapat berbeda efisiensinya

sebagai vektor contohnya kutu kebul (Bemisia tabaci). Virus diisap

oleh vektor dan masuk ke dalam saluran cerna, kemudian dalam

usus tengah (midgut) menembus sel epitelium beredar dalam

haemolymph dan akhirnya sampai pada kelenjar saliva. Virus

dengan vektornya mempunyai spesifitas kuat dan memerlukan

waktu inokulasi serta inokulasi virus yang panjang. Hal ini

menunjukkan hubungan biologi yang akrab antara virus dan vektor.

Virus ini ditularkan melalui stilet, kemudian masuk ke dalam alat

pencernaan serangga vektor dan ke dalam darah, kelenjar ludah, ke

ludah, dan melalui stilet masuk ke dalam tanaman sehat. Oleh

karena itu, penularan ini mempunyai kaitan dengan pengambilan

virus melalui saluran pencernaan, penembusan dinding usus,

sirkulasi dalam cairan tubuh (haemolymph), dan kontaminasi

melalui ludah. Serangga pembawa virus tetap infektif (inokulatif)

pada pengisapan berikutnya sesudah mengalami periode laten.

Daya tular tidak menyebabkan hilang pada pergantian kulit

serangga dan virus dalam haemolymph terdeteksi. Pengambilan

virus ini dilakukan setelah waktu pengisapan lama (penetrasi)

selama ± 15 menit untuk mencapai floem (buluh tapis). Umumnya

virus dijumpai terbatas pada floem atau berasosiasi erat dengan

Page 80: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

64

floem tumbuhan terinfeksi da inokulasi virus ini tidak dapat

ditularkan secara mekanis. Daya tular vektor akan menyebabkan

virus bertahan selama virus infektif dalam vektor, meskipun ini

tergantung pada jumlah virus yang ditelan oleh vektor, sebagai

contoh Beet curly top virus yang ditularkan oleh Circuliver tenellus.

Persistensi akan mempunyai ketahanan sampai mati, jika virus

memperbnyak diri dalam tubuh vektor, seperti kombinasi virus dan

wereng, misalnya Rice dwarf virus dalam Nephotettix cincticeps dan

Clover wound tumor virus dalam Agallia constricta.

Penularan virus dibedakan dalam bentuk sirkulatif dan

propagative. Virus sirkulatif masuk dalam tubuh vektor, menuju ke

usus dan haemolimfe kemudian menetap sampai dapat dikeluarkan

lagi melalui kelenjar saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya,

sedangkan virus propagatif memperbanyak diri dalam tubuh vektor

Mikoplasma memperbanyak diri dalam tubuh wereng dan bersifat

persisten. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara persisten tersaji

pada Tabel 10.

Tabel 10. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara persisten

Virus yang ditularkan secara persisten mempunyai sifat

transtadial. Virus tersebut di dalam tubuh serangga vektor dapat

mengadakan replikasi dan berasosiasi dengan floem, sehingga

kisaran inangnya spesifik. Selain itu, pemindahan transovarial

beberapa virus tumbuhan melalui telur serangga ditemukan pada

wereng, seperti Rice dwarf virus dan Wheat striate mosaic virus.

Virus ini mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam populasi

tanpa dapat mencapai inang tumbuhan yang rentan. Beberapa

serangga vektor akan menderita penyakit, seperti virus serangga.

Page 81: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

65

Penularan persisten mempunyai kemampuan satu individu vektor

dapat untuk menginfeksi sejumlah besar tumbuhan dan bertindak

sebagai penyemprot virus yang terbang dan bukan dengan menusuk

melalui stilet, sehingga tidak bisa ditularkan melalui sap.

3) Penularan secara semi persisten

Proses penularan semi persisten merupkan bentuk penularan

antara penularan persisten dan nirpersisten. Virus yang ditularkan

secara semi persisten mempunyai ketahanan yang lebih lama di

dalam tubuh vektor. Masa retensinya lebih lama dibandingkan

dengan virus yang ditularkan secara nirpersisten (12 hingga 24 jam)

dan tidak mempunyai periode laten, contohnya proses penularan

Beet yellow virus, Clover yellow virus, Strawberry mottle virus, Vein

banding virus. Berdasarkan ketidakmampun virus tumbuhan

melakukan sirkulasi dalam vektor, penularan virus secara semi

persisten sama dengan nirpersisten. Namun, berdasarkan kemam-

puan penularan yang relatif lama (3−4 hari), virus semi persisten

lebih menyerupai virus persisten. Beberapa virus tumbuhan yang

ditularkan secara semi persisten tersaji pada Tabel 11.

Tabel 11. Virus-virus tumbuhan ditularkan secara semi persisten

Kebanyakan virus dapat ditularkan secara mekanik, meskipun

sering mengalami kesukaran. Pengambilan virus dilakukan oleh

serangga melalui floem dengan waktu penetrasi yang panjang, dan

tidak ada periode laten dan virus dapat bertahan selama beberapa

hari. Daya tular virus akan menghilang saat pergantian kulit dari

serangga. Hal ini dikaitkan dengan pengambilan virus bersama

makanan dan adsorbsi ke dalam lapisan tenggorok (pharynx),

selanjutnya pengelakan perlahan-lahan dari lapisan tenggorok atau

bagian usus depan, dan akan lepas saat pergantian kulit. Oleh karena

itu virus semi persisten memperlihatkan kekhususan vektor yang

Page 82: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

66

lebih tinggi dibandingkan dengan virus nirpersisten. Perbedaan sifat

penularan nirpersisten dan semipersisten disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Sifat penularan pada setiap tipe hubungan antara virus dan vektor

Inokulasi pada tumbuhan dilakukan melalui penyemburan atau

eksresi pada permukaan makan berturut-turut. Proses adsorbsi ditunjukkan

melalui ketergantungan penularan virus atau strain yang tidak ditularkan

dengan hadirnya strain-strain lain atau virus yang tidak sekerabat yang

dapat ditularkan. Infeksi campuran dari Barley yellow virus akan dibalut

oleh protein lain strain (heterologous encapsidation= penyalutan

heterolog). Salut protein mempunyai tanggung jawb untuk sifat spesifik

vektor. Mekanisme berbeda akan melibatkan virus pembantu yang tidak

sekerabat untuk keperluan penularan, misal Carrot red leaf virus yang

persisten oleh Cavariella aegopodii.

2. Keberadaan virus dalam vektor

Keberadaan virus dalam vektor dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1) nirsirkulaatif terdiri atas: nirpersisten dan semipersisten; 2) sirkulatif

(persisten) terdiri atas: sirkulatif dan sirkulatif propagatif.

Page 83: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

67

1) Hubungan nirsirkulatif

Keberadaan virus dalam tubuh vektor mempunyai hubungan

nirsirkulatif, jika virus hanya terdapat pada alat mulut vektor atau

tular stilet (stilet borne). Kebanyakan serangga penular virus

tumbuhan mempunyai alat mulut penusuk dan pengisap, contohnya

aphid. Serangga ini mempunyai paruh atau rostrum yang

karakteristik dan merupakan modifikasi bibir bawah atau labium

dengan alur dorsal yang didalamnya terdapat stilet sebagai alat

penusuk. Stilet merupakan perpanjangan rahang atas (maxillary) dan

rahang bawah (mandibular) mempunyai bentuk langsing tetapi

kaku. Stilet membentuk berkas yang pasangan luarnya stilet rahang

bawah dan pasangan dalamnya stilet rahang atas. Stilet rahang atas

ditahan oleh alur dan gigi serta mengandung saluran untuk makanan

dan ludah. Penetrasi stilet dilakukan dengan menjulurkan stilet

rahang bawah dan rahang atas secara bergiliran serta dibantu oleh

sekresi ludah dari ujung stilet yang menggumpal dalam jaringan

tumbuhan untuk membentuk sarung disekitar stilet. Bagian mulut

dan cara makan aphid disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Bagian mulut dan cara makan aphid. A: diagram aphid yang sedang makan; B: kepala aphid yang dipencet dan alat mulutnya; C.

diagram bagian mulut pada irisan melintang (Bos, 1990)

Page 84: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

68

Penjajagan pengambilan sampel cairan sel tanaman dilakukan

antara sel epidermal atau asal masuk saja ke dalam epidermis.

Pengambilan makanan yang sesungguhnya dilakukan dari jaringan

floem. Seekor aphids memerlukan beberapa menit dan kadang-

kadang beberapa jam untuk mengadakan penetrasi antara sel-sel

tanaman dan bukan menembus untuk akhirnya mencapai floem.

Seekor aphid memerlukan beberapa menit dan kadang-kadang

beberapa jam untuk mengadakan penetrasi ke dalam sel tanaman

dan bukan menembus sel-sel untuk akhirnya mencapai floem.

Serangga wereng lebih kuat melakukan hal tersebut dalam beberapa

menit. Cairan di dalam floem mengalir di bawah tekanan, sehingga

mudah masuk ke dalam saluran makanan serangga.

Thysanoptera mempunyai cara yang lebih sederhana untuk

makan. Serangga ini membuat luka terbuka pada sel-sel epidermis

untuk mengerat dan mengisap makanan. Tungau Eriophyd sering

dijumpai bersembunyi di antara rambut-rambut daun dan dalam

kuncup. Kebanyakan mempunyai gerakan bersifat pasif, misalnya

dibantu oleh angin. Tungau mempunyai stilet yang kecil untuk

menusuk sel-sel epidermis dan mempunyai dua bantalan pada ujung

rostrum yang membantu membawa ludah sampai stilet dan

mengisap cairan tumbuhan.

2) Hubungan sirkulatif

Virus yang ditularkan secara persisten atau virus sirkulatif

mempunyai sifat sebagai berikut:

a. Virus mempunyai waktu makan akuisisi yang relatif lebih lama.

Walaupun beberapa kutu daun dapat menularkan virus persisten

setelah makan akuisisi selama 20 menit. Penular makin efektif

setelah diberi periode makan akuisisi selama 6−24 jam.

b. Vektor setelah mendapatkan virus, vektor dapat menularkan

virus sedikitnyaa satu minggu, bahkan dapat menularkan virus

selama hidup vektor.

c. Vektor dapat menularkan virus setelah berganti kulit

(transtadial) dan melalui anaknya (transovarial).

Virus sirkulatif dikelompokan dalam dua kategori yaitu:

Page 85: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

69

(1) Propagatif, jika di dalam tubuh vektor virus dapat

memperbanyak diri.

(2) Non propagatif, jika di dalam tubuh vektor virus tidak dapat

memperbanyak diri.

Virus persisten, seperti kutu kebul (Bemisia tabaci Gennital)

akan mengisap tanaman kedelai dan masuk ke dalam saluran cerna

serta dalam usus tengah (midgut) menembus sel epitelium.

Selanjutnya virus beredar dalam hemolimph dan kontaminasi ludah,

akhirnya sampai pada kelenjar saliva. Hal ini menyebabkan

serangga pembawa virus ini tetap infektif atau inokulatif pada

pengisapan berikutnya sesudah mengalami periode laten. Daya tular

tidak hilang pada pergantian kulit serangga dan adanya virus dalam

haemolymph dapat dideteksi. Daya tular vektor bertahan selama

virus infektif tetap tersedia dalam vektor dan sangat bergantung

pada jumlah virus yang ditelan. Spesifitas antara virus dengan

vektornya kuat. Perlu waktu akuisisi dan inokulasi virus yang

panjang. Vektor makin efektif setelah diberi periode makan akuisisi

selama 6−24 jam. Setelah mendapatkan virus, vektor dapat

menularkan virus dalam kurun waktu satu minggu, bahkan dapat

menularkan virus selama hidup vektor. Menurut Sumardiyono

(2002) waktu akuisisi yang panjang ini dibedakan antara lain:

1) Virus melakukan replikasi dalam tubuh vektor.

2) Virus tidak melakukan replikasi, tetapi beredar lebih dahulu

dalam tubuh vektor,

Umumnya virus terbatas pada floem atau berasosiasi erat

dengan floem tumbuhan yang terinfeksi, dan inokulasi virus

demikian secara mekanik atau melalui cairan tidak mungkin

dilakukan. Penularan persisten, satu individu dapat menginfeksi

sejumlah besar tumbuhan, sehingga bertindak sebagai penyemprot

virus yang terbang dan bukan sebagai penyuntik dengan jarum,

seperti penularan non persisten.

Pada epidemi penyakit virus pada tanaman kedelai yang

ditularkan oleh serangga merupakan model matematika

konvensional. Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian

Page 86: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

70

dalam mengkaji epidemiologi penyakit virus dilakukan melalui

penularannya Jeger et al., cit Jeger & Spence, 2001). Analisis

keefektifan roguing tanaman sakit dan penurunan populasi vektor

menunjukkan bahwa roguing hanya efektif untuk pengelolaan

penyakit yang disebabkan oleh virus yang ditularkan secara nir

persisten, jika kepadatan populasi vektor relatif rendah.

Pengembangan permodelan di atas mempertimbangkan migrasi

serangga dan memberikan petunjuk bahwa laju pertambahan

tanaman sakit sebagai fungsi dari kepadatan serangga inokulatif,

jumlah tanaman yang dikunjungi vektor per satuan waktu dan

probabilitas terjadinya penularan oleh serangga migran.

Perkembangan penyakit berdasarkan mekanisme penularan virus.

Kerapatan populasi serangga vektor yang rendah dan tidak ada

vektor migran akan menyebabkan insiden penyakit tertinggi pada

virus semi persisten dan persisten atau sirkulatif. Insidensi penyakit

tertular virus kelompok propagatif dan sirkulatif sangat dipengaruhi

oleh vektor longevity, lamanya akuisisi dan inokulasi virus oleh

vektor. Mobilitas vektor tidak mempengaruhi kelompok propagatif

(Madden et al., 2000).

D. RANGKUMAN

Vektor merupakan penyebar virus tumbuhan yang penting di

lapangan. Sebagian besar virus tumbuhan menyebar dari tanaman satu ke

tanaman lain melalui vektor. Vektor mengisap isi sel tumbuhan sakit

bersama dengan virusnya dan menginokulasikan ke tumbuhan sehat yang

diisapnya kemudian. Serangga merupakan vektor virus tumbuhan yang

paling dominan dari ordo Homoptera. Serangga kutu daun, wereng, trips

dan kutu daun paling dominan menularkan virus tumbuhan. Virus

tumbuhan hanya dapat disebarkan oleh satu jenis serangga, walaupun

seekor serangga dapat mengandung lebih dari satu virus pada waktu yang

sama. Virus mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat apabila berada

dalam serangga yang sama dan menimbulkan proteksi silang satu sama

lain. Namun demikian, seekor serangga dapat menyebarkan satu atau lebih

stilet borne virus dan satu atau lebih virus sirkulatif secara bersama-sama

atau sendiri. Keberadaan virus dalam tubuh vektor mempunyai hubungan

Page 87: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

71

nirsirkulatif, jika virus hanya terdapat pada alat mulut vektor atau tular

stilet (stilet borne). Hubungan antara vektor dan virus tumbuhan

didasarkan pada retensi virus dan keberadaan virus dalam vektor atau

memperbanyak diri dalam tubuh vektor. Probabilitas terjadinya inokulasi

atau insiden penyakit oleh virus tular serangga akan meningkat sesuai

dengan jumlah inokulum awal dan tingkat populasi serangga. Interaksi

antara virus, vektor dan tanaman akan berpengaruh terhadap pemencaran

dan suksesi virus. Interaksi tersebut dapat berupa kompetisi biologi

langsung antar inang, antar vektor, virus di dalam tanaman maupun tubuh

serangga vektor yang akan berakibat pada perubahan laju penularan,

perilaku dan dinamika populasi. Penularan persisten mempunyai hubungan

spesifik yang erat antara virus dan vektor. Virus tertentu dipancarkan oleh

jenis vektor tunggal atau biotipe, dan individu dapat berbeda efisiensinya

sebagai vektor contohnya kutu kebul (Bemisia tabaci). Penularan persisten

mempunyai hubungan spesifik yang erat antara virus dan vektor. Virus

diisap oleh vektor dan masuk ke dalam saluran cerna, kemudian dalam

usus tengah (midgut) menembus sel epitelium beredar dalam haemolymph

dan akhirnya sampai pada kelenjar saliva. Selanjutnya virus beredar dalam

hemolimph dan kontaminasi ludah, akhirnya sampai pada kelenjar saliva.

Hal ini menyebabkan serangga pembawa virus ini tetap infektif atau

inokulatif pada pengisapan berikutnya sesudah mengalami periode laten.

Daya tular tidak hilang pada pergantian kulit serangga dan adanya virus

dalam haemolymph dapat dideteksi. Daya tular vektor bertahan selama

virus infektif tetap tersedia dalam vektor dan sangat bergantung pada

jumlah virus yang ditelan. Virus dengan vektornya mempunyai spesifitas

kuat dan memerlukan waktu inokulasi serta inokulasi virus yang panjang.

Serangga vektor lebih banyak menularkan virus secara nirpersisten bila

dibandingkan dengan virus yang ditularkan secara semipersisten dan

persisten.

Kebanyakan serangga penular virus tumbuhan mempunyai alat

mulut penusuk dan pengisap, contohnya aphid. Vektor hanya menularkan

virus terbatas pada stilet atau saluran cerna depan (forgut borne) vektor.

Pada umumnya, virus dapat ditularkan secara mekanis. Derajad interaksi

biologi antara virus dengan vektornya lemah, sehingga vektor menjadi

inaktif sesudah pengambilan virus. Sampai saat ini, telah diketahui 250

Page 88: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

72

jenis virus yang dapat ditularkan secara nirpersisten melalui vektor kutu

daun. Virus dalam genus Potyvirus, Carlavirus, Caulimovirus,

Cucumovirus dan Fabavirus ditularkan oleh kutu daun. Pada epidemi

penyakit virus pada tanaman kedelai yang ditularkan oleh serangga

merupakan model matematika konvensional. Salah satu faktor yang perlu

mendapat perhatian dalam mengkaji epidemiologi penyakit virus

dilakukan melalui penularannya. Analisis keefektifan roguing tanaman

sakit dan penurunan populasi vektor menunjukkan bahwa roguing hanya

efektif untuk pengelolaan penyakit yang disebabkan oleh virus yang

ditularkan secara non persisten, jika kepadatan populasi vektor relatif

rendah.

E. DAFTAR PUSTAKA

Basu A.N & B.K. Giri. 1992. The Essential of Viruses, Vectors, Plant

Diseases. Wiley Eastern Limited Bombay. 242 p.

Black L.L., S.K. Green, G.L. Hartman & J.M. Poulos. 1991. Pepper

Diseases: A field Guide. Asian Vegetables Research and

Development Center.98 p.

Bos L. 1990. Pengantar Virology Tumbuhan. Gadjah Mada University

Press. Hal. 40−49.

Gibbs A. & B. Harrison. 1980. Plant Virology: The principles. Edward

Arnold, London

Harris F.K. & K. Maramorosch. 1980. Vektor of Plant

Pathogen. Academic press.

Harrison B.D. 1983. Epidemiology of Plant Virus Disease. Black Well

Scientific Publication. Oxford.

Hidayat P., Hendrival & Nurmansyah. 2011. Keanekaragaman dan

kelimpahan musuh alami Bemisia tabaci (Gennadius) (hemiptera:

Aleyrodidae pada tanaman cabai merah di Kecamatan Pakem,

Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. J. Entomol.

Indon 8(2): 96−109.

Madden L.V., M.J. Jeger & F. Van den Bosh. 2000.A theoretical

assessment of the effects of vector-virus transmission mechanism

on plant virus disease epidemics. Phytopathology 90: 576−594.

Page 89: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

73

Mc Cornack B.P., D.W. Ragsdale & R.C. Venette. 2004. Demography of

soybean Aphis (Homoptera: Aphididae) at summer temperatures.

J. Economic Entomology 97: 854−865.

Muturi S.M., F.N. Wachira, L.S. Karanja, M.C. Wambulwa & E.

Macharia, 2013. Paracoccus burnerae (Homoptera;

Planococcidae) as a vector of banana streak virus. Journal of

Experimental Biology, 1, p.5.

Saleh N. 2007. Sistim produksi kacang-kacangan untuk menghasilkan

benih bebas virus. Jurnal Iptek Tanaman Pangan 2(1): 56−78.

Spence, N.j. 2001. Virus-Vector in Plant Virus Disease Transmission and

Epidemiology. In Jeger M.J. & N.J. Spence. 2001. Biotic

interaction in plant pathogen interation.CABI Publishing.: 15−26.

F. PELATIHAN

1. Jelaskan cara-cara penularan virus oleh serangga dan perbedaan

hubungan biologi antara virus dan vektor.

2. Sebutkan dan jelaskan pengelompokan virus berdasarkan

keberadaan virus dalam tubuh vektor

3. Sebutkan pengelompokan penularan virus berdasarkan sifat retensi

virus atau lama virus tumbuhan bertahan di dalam tubuh vektor.

4. Berdasarkan keberadaan virus dalam vektor dikelompokkan menjadi

dua. Jelaskan pengelompokan tersebut.

5. Jelaskan perbedaan antara virus sirkulatif dan virus propagatif.

6. Jelaskan tipe mulut dari aphid dan bagaimana cara penetrasi ke

tanaman.

7. Apa yang anda ketahui tentang virus sirkulatif dan bagaimana sifat-

sifatnya serta kategori pengelompokannya.

Page 90: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

74

BAB IV.

VIRUS SEBAGAI PENYEBAB PENYAKIT

TANAMAN

A. DASAR PIKIRAN

Virus sebagai salah satu penyebab penyakit tanaman dapat

mengacaukan sel inang. Jika sel yang ditulari rentan, maka virus akan

menetap atau infeksi dan mengikuti metabolisme inang serta

memperbanyak diri, sehingga mengakibatkan terjadinya penyakit.

Pengetahuan tentang komposisi asam nukleat dan protein penyusun serta

replikasi virus tumbuhan diperlukan untuk memahami berbagai aspek

tentang virus tumbuhan, seperti virus menginfeksi tanaman sehingga

menjadi sakit, hubungan satu virus dengan virus yang lain, dampak infeksi

virus pada pertumbuhan tanaman inang serta pengaruh lingkungan

terhadap timbulnya penyakit.

Setelah mempelajari Bab IV ini, mahasiswa diharapkan mampu

memahami: (1) komposisi dan morfologi serta struktur virus tumbuhan, (2)

replikasi virus tumbuhan, (3) gejala yang disebabkan oleh virus tumbuhan,

(4) fisiologi tumbuhan yang terserang oleh virus, (5) pengimbasan

penyakit virus tumbuhan.

B. KOMPOSISI ASAM NUKLEAT DAN PROTEIN

PENYUSUN VIRUS TUMBUHAN

Virus tumbuhan mempunyai wujud sub-mikroskopis dan hanya

mampu hidup serta berkembang di dalam organisme hidup lainnya,

sehingga sering menyebabkan penyakit pada tanaman. Virus tidak mampu

memperbanyak diri di luar suatu sistim selular karena tidak mempunyai

enzim untuk sitesis partikel virus baru. Partikel virus sering disebut virion

yang terdiri atas: single strand RNA (SS RNA) atau double strand RNA

(ds RNA) atau single strand DNA (ss DNA) atau double strand DNA (ds

DNA). Asam nukleat ini dibungkus oleh selubung protein atau capsid.

Page 91: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

75

Protein sebagai mantel pelindung selama masa istirahat virus dapat

memainkan peranan penting dalam pengenalan selama berlangsungnya

infeksi. Beberapa jenis virus juga diselubungi oleh molekul gabungan

antara lemak dan protein atau lipoprotein sebagai mantel (envelop). Protein

dan asam nukleat virus terdiri atas asam amino dan nukleotida yang sama

dengan asam nukleat dan protein inang. Virus dapat dianggap sebagai

paket kecil informasi asing yang pesannya terbaca oleh inang yang rentan.

Gabungan antara asam nukleat dan protein sering disebut virion atau

nukleokapsid. Rasio bobot molekul antara asam nukleat dan kapsid sangat

khas untuk setiap spesies virus. Virus yang berbentuk simetri kubik

(isocahedron) mempunyai kandungan asam nukleat berkisar antara 15 % −

45 %. Namun virus berbentuk tongkat mempunyai kandungan asam

nukleat lebih kecil, yaitu berkisar sekitar 5 % dari bobot molekul virion.

Virus yang berbentuk basilus atau bermantel mempunyai kandungan

lemak sekitar 1 % dari bobot molekul virion.

Virion mempunyai kemampuan untuk menularkan asam nukleat dari

satu inang ke inang lain, memanfatkan enzim inang untuk memperbanyak

diri di dalam sel inang tersebut dengan pengambil alihan metabolisme sel

inang atau mengintegrasikan genomnya pada genom inang. Virus

mendekati parasit yang sempurna karena sepenuhnya bergantung pada

inangnya. Oleh karenanya virus akan mengalihkan sifat-sifat sel inang

sesuai dengan kepentingannya. Sifat virus tumbuhan sangat berbeda

dengan sifat patogen tumbuhan lain, seperti jamur dan bakteri. Hal ini

karena virus mempunyai perbedaan pada ukuran, bentuk, susunan kimia,

struktur fisik, cara-cara menginfeksi, cara memperbanyak diri, translokasi

di dalam tubuh tumbuhan inang dan cara penyebaran serta gejala pada

tumbuhan. Ukuran dan beningnya virion menyebabkan virus sulit dilihat

dengan mikroskop biasa. Namun beberapa virus dapat membuat kristal

atau struktur yang besar (inclusion bodies) dalam sel tumbuhan inang,

sehingga dapat dilihat dengn mikroskop biasa, misalnya inclusion bodies

Tobacco mosaic virus (TMV) dalam sel-sel bulu daun tembakau dan Bean

yellow mosaic virus (BYMV) dalam sel epidermis tanaman Vicia faba L.

Satu Kristal virus mempunyai banyak virion, sedangkan virion hanya

dapat dilihat dengan mikroskop electron. Hanya sedikit gejala tumbuhan

dipastikan karena virus, misalnya gejala oak leaf (menyerupai daun oak),

Page 92: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

76

bercak-bercak klorotik dan nekrotik. Sedangkan gejaalaa lain sulit

dibedakan karena menyerupai gejala defisiensi unsur hara, mutasi,

pengaruh racun (toksin) dan sekresi serangga.

1. Susunan dan struktur asam nukleat virus

Asam nukleat (RNA dan DNA) sebagai genom virus mempunyai

peranan dalam perkembangan organisme, termasuk virus. Genom virus

terdiri atas susunan gen yang menyandi protein dan diperlukan untuk

replikasi dan menginfeksi sel inang. Genom virus memuat informasi

genetika untuk sintesis protein selubung virus. Kebanyakan virus, genom

totalnya dijumpai dalam satu molekul asam nukleat. Virus tumbuhan

mempunyai asam nukleat yang terdiri atas RNA, meskipun virus yang

menyerang alga (blue dan green alga) terdiri atas DNA. Asam nukleat

adalah rantai panjang dari polimer yang terdiri atas ratusan atau ribuan unit

nukleotida. Setiap nukleotida terdiri dari sebuah cincin yang disebut basa

dan basa ini terdiri dari gula yang mengandung 5 atom C (pada RNA

terdiri dari Ribose pada DNA terdiri dari Deoxiribosa) yang merupakan

rantai ester dengan asam phosphat. Gula dari suatu nukleotida berikatan

secara sambung menyambung dengan phosphate pada nukleotida lain,

sehingga secara sambung menyambung membentuk rantai RNA atau

DNA. RNA virus satu dari 4 basa dapat terikat pada setiap ribosom. Basa-

basa ini adalah Adenin (A), Guanin (G), Sitosin (S) dan Urasil (U). Adenin

dan Guanin adalah basa purin, sedangkan Sitosin dan Urasil adalah basa

Pirimidin. Pada DNA atom oksigen pada gugus hidroksil dari gula tidak

ada dan basa Urasil digantikan dengan basa Timin, 5 metil atau basa lain.

Struktur asam ribonukleat dan komponen serta pasangan basa disajikan

pada Gambar 12.

Page 93: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

77

Gambar 12. Struktur asam ribonukleat (Ribonucleic acid = RNA) dan komponen-

komponen (atas) serta pasangan basa (bawah) (Bos, 1983).

Asam nukleat mungkin mempunyai untai tunggal (single strand),

seperti pada kebanyakan virus yang mengandung RNA (ssRNA) dan

beberapa virus DNA (ssDNA: Geminivirus), atau beruntai ganda (double

strand) seperti dalam beberapa virus RNA (dsRNA; Reovirus) dan

beberapa virus DNA (dsDNA: Caulimovirus). Asam nukleat untai tunggal

berbeda dengan untai ganda dalam kerapatan optik pada 260 nm. Asam

nukleat dengan pasangan basa lebih sedikit akan mengabsorbsi radiasi

ultra violet daripada kedua untai yang tidak berpasangan dan pasangan

basa paling stabil pada suhu rendah.

Urut-urutan dan frekuensi dari basa pada rantai RNA mempunyai

perbedaan dari suatu RNA dengan RNA yang lainnya, tetapi pada suatu

RNA tertentu sama terus. RNA TMV mempunyai 1900 molekul Adenin,

1680 Guanin, 1180 Sitosin, 1740 Urasil dan secara keseluruhan

Page 94: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

78

membentuk 6500 nukleotida. Urut-urutan dari basa masih belum diketahui,

tetapi menurut penemuan terakhir bahwa susunan dari basa tersebut seperti

pada sel dalam bentuk single strand RNA. Oleh karena itu genom virus

mempunyai peranan sebagai agensia penyebab penyakit dan penentu sifat

virulen dan avirulen virus, contohnya pada TMV hibrida. Turnip yellow

mosaic virus (TYMV) selalu memproduksi selubung protein yang kosong

disamping partikel virus yang normal. Hal ini menunjukkan bahwa asam

nukleat tidak menunjukkan pengaturan dari susunan protein, tetapi hanya

menentukan bentuk dan sub unit protein. Sub unit ini menentukan bentuk

dan ukuran dari selubung protein. Asam nukleat pada virus memainkan

peranan untuk menentukan kestabilan dari selubung protein dan

panjangnya.

Pada DNA kromosom maupun virus yang tersusun secara double

strand frekuensi dan urut-urutan ke empat basa dari satu strand

menentukan urut-urutan dan susunan basa pada strand pasangannya. Hal

ini karena pada saat replikasi setiap molekul Adenin hanya dapat

bergabung dengan molekul Timin yang sesuai, dan setiap molekul Guanin

hanya dapat bergabung dengan molekul Sitosin yang sesuai atau

sebaliknya, sehingga pada DNA jumlah molekul Adenin dan Timin selalu

sama, demikian juga jumlah Guanin dan Sitosin, sehingga ikatan ganda

DNA lebih stabil dan molekul DNA tersusun dalam bentuk helix. Kedua

rantai yang komplementer Purin melekat pada Pirimidin dalam kombinasi

Guanin (G) – Sitosin (S) dan Adenin (A) −Timin (T), sehingga rasio Purin

dan Pirimidin selalu 1 (Gambar 13 bawah). Kedua untai bersama-sama

membentuk untai ganda (double helix) (Watson dan Cricks, 1953), lilitan

tangga dengan pasangan basa sebagai anak tangga.

Pembelahan inti mendahului pembelahan sel dan membentuk dua

untai ganda DNA yang identik dengan aslinya (replikasi). Kedua untai

yang asli secara bertahap memisah. Tiap untai mempunyai fungsi sebagai

pola cetak dan terus menerus memperpanjang untai baru tersebut untuk

memasukkan Deoksi ribonukleotida sebagai komplemen ke dalam pola

cetak. Proses ini dibantu oleh enzim (polimerase).

Penampilan fungsi seluler, termasuk pengaturan metabolisme

merupakan proses DNA diaktifkan dan dipasangkan dengan

Ribonukleotida untuk menjadi RNA, sehingga informasi genetik dikopi

Page 95: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

79

(transcription) menjadi molekul RNA (Gambar 13 atas). Informasi genetik

ini berfungsi sebagai RNA kurir (m RNA) untuk meninggalkan inti.

Pembacaan (translation) pesan disandikan dalam mRNA (Gambar 13

atas).

Gambar 13. Transkripsi RNA kurir (mRNA) dan DNA dalam inti serta terjemahan

ke dalam protein pada ribosom dan sitoplasma (Bos, 1983).

Molekul RNA transport (tRNA) dari kelas molekul RNA yang lebih

rendah dari 80 nukleotida membantu untuk menyusun asam-asam amino

ke dalam posisi yang tepat sesuai dengan rangkaian basa atau nukleotida di

dalam molekul mRNA. Tiga nukleotida (triplet) setiap molekul tRNA

menentukan asam amino untuk melekat. Hasil asam amino memuat

molekul tRNA dan ditarik oleh molekul mRNA pada ribosom dalam

urutan komplementer terhadap nukleotida mRNA dan bergerak sepanjang

Page 96: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

80

rantai mRNA, ribosom menyusun asam amino menjadi nukleotida serta

membebaskan molekul tRNA. Mekanisme produksi protein, misalnya

sebagai mantel protein TMV merupakan proses yang universal. Setiap gen

menyandikan satu mRNA, sehingga menjadi protein. Protein membentuk

kelompok bangunan untuk mengkatalis satu tipe reaksi kimia.

Urutan nukleotida ditranskripsikan dari DNA inti dan diterjemahkan

ke dalam urutan asam amino protein pada ribosom. Asam amino

mempunyai lebih dari satu triplet dan bertindak sebagai tanda untuk

memulai dan menghentikan penterjemahan (translation), sehingga DNA

inti mengandung informasi genetik tersandikan yang terangkai sebagai

garis lurus untuk mengatur kimiawi sel. Sel-sel pada waktu tertentu hanya

melakukan sebagian fungsi untuk direkam ke dalam gen struktural mereka.

Ekspresi genetik diferensial ini diatur oleh gen operator dan regulator,

sehingga sangat bergantung pada keadaan sel internal dan lingkungannya.

Genom total membentuk suatu sistem yang hanya bersifat aktif.

Penguraian sandi genetik dan pengungkapan peran asam nukleat telah

menunjukkan mekanisme fenomena yang rumit dari fungsi-fungsi vital.

Penguraian sandi informasi genetik dalam urutan nukleotida DNA inti

dapat disamakan dengan informasi dalam sandi Morse. Sistem genetik

menggunakan empat sandi yaitu A, G, C dan T atau U dan dapat

menyatakan apa yang diperlukn untuk komunikasi biologi.

2. Susunan dan struktur protein virus

Protein merupakan komponen dominan dari virion yang terdiri atas

24 asam amino dan mempunyai kombinasi susunan yang berbeda beda

untuk membentuk protein virus. Selain itu mempunyai fungsi untuk

melindungi genom virus dari keruskan akibat enzim nuclease dalam

sitoplasma inang. Protein virus disusun oleh 20 jenis asam amino yaitu:

alanin (ala, A); leucine (leu, L); isoleucine (Ile, I); valine (Val, V); proline

(Pro, P); phenilalanin (Phe, P); tryptopan (Trp, W); metionin (Met, M);

glycin (Gly,G); threoni (Thr, T); tyrosin (Tyr, Y); cystein (Cys, C);

asparagin (Asn, N); glutamin (Glu, Q); asam aspartate(Asp, D); asam

glutamat (Glu, E); lysin (Lys, K); histidin (His, H); serin (ser, S); dan

arginin (Arg, R). Asam amino berikatan satu dengan lainnya membentuk

molekul polipeptida. Kandungan dan urut-urutan asam amino selalu sama

Page 97: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

81

pada protein dari satu virus, tetapi berbeda pada jenis virus yang berbeda,

strain yang lain bahkan juga untuk virus yang lain dari jenis yang sama.

Kandungan dan urut-urutan asam amino dari beberapa virus sudah

diketahui. TMV terdiri dari 158 residu asam amino yang terdapat pada

urut-urutan yang tetap dimulai dengan N acetylcerine dan diakhiri dengan

Thionine. Berat molekul dari 158 asam amino pada setiap unit protein

TMV berjumlah 17.531. Oleh karena setiap partikel virus TMV

mempunyai berat molekul 39 juta, dimana 95 % atau 37 juta merupakan

protein, maka dengan mudah dapat dihitung setiap partikel virus

mempunyai 2100 sub unit protein.

Susunan rantai peptida membentuk sub unit protein sampai sekarang

belum diketahui, walaupun ada yang pernah membuktikan bahwa

susunannya berupa konvigurasi helix yang terpuntir. Tobacco mosaic virus

menunjukkan subunit protein seperti elipsoida yang panjangnya 70 A°

dandiameter 20−25 A°. Setiap unit mempunyai bentuk V dengan radius 40

A° untuk tempat lewat rantai RNA virus. Subunit protein tersusun dalam

sebuah helix dengan pitch berukuran 23 A° yang mengandung 161/3 sub

unit tiap belokan (43 sub unit tiap belokan). Lubang tengah dari partikel

virus mempunyai diameter 40 A° sedangkan diameter maksimum dari

partikel virus adalah 180 A°. Setiap partikel TMV terdiri dari 130 belokan

helix dari sub unit protein. Virus tumbuhan berbentuk ikosahedral, contoh

virus partikel terdiri dari kelipatan 60 dari sub unit yang asimetri dn diatur

dalam 5 atau 6 kelompok. Sub unit protein tersebut tersusun dalam 20 atau

kelipatan 20 dari sisi dan berbentuk seperti kulit keras. Asam nukleat

menyusun kulit ini, tetapi belum diketahui susunan yang tepat dari asam

nukleat tersebut.

Sebagian besar protein virus tumbuhan dengan genom ss RNA

mempunyai satu jenis subunit protein, kecuali virus Cucumovirus yang

mengandung lebih dari satu macam protein. Reovirus dan virus bermantel

lipoprotein mempunyai beberapa jenis protein penyusun protein selubung.

Beberapa asam amino selalu dijumpai pada setiap protein virus.

Sedangkan beberapa asam amino sering hanya terdapat pada beberapa

virus saja. Urut-urutan dari asam amino dijumpai pada suatu protein virus

dan diatur oleh materi genetik virus yang berupa DNA atau RNA.

Komponen protein dapat dicirikan menurut ukuran, dalam arti berat

Page 98: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

82

partikel dan berat molekul (masa polar), misalnya melalui ultra

sentrifugasi atau elektroforesis gel poliakrilamida. Komponen protein dari

virus tumbuhan tidak terdiri dari rantai peptide tunggal melainkan terdiri

dari sub unit-unit yang mempunyai berat molekul antara 17.000−60.000.

Protein salut virus tumbuhan mengandung kurang dari 150 sampai

600 gugus asam amino dan berat molekulnya berkisar 17.000 sampai

180.000. Kebanyakan virus tumbuhan hanya mempunyai satu tipe protein,

sedang yang lain dua, seperti Cowpea mosaic virus atau tujuh, seperti

Wound tumor virus, Rhabdovirus dan Tomato spotted wilt virus biasaya

mempunyai satu atau lebih protein terglikosilasi protein. Protein ini

mempunyai rantai cabang polisakarida.

Sifat-sifat kimia fisika protein dan asam nukleat yang berbeda antara

virus atau strain virus menyebabkan metode pemurnian virus sangat

bervariasi untuk masing-masing virus, bahkan untuk strain-strain virus

yang sama. Virus ini mempunyai Optical density dari protein antara 250–

280 nm, dan asam nukleat antara 230–260 nm. Kurve absorbsi ultra violet

untuk virus murni maksimum pada 260 nm dan minimum 247 nm. Rasio A

280/260 dan A max /A min masing-masing 0,734 (0,691–0,780) dan 1,175

(1,071–1,199), bahu absorbansi spektrum Triptophan pada 291 nm

(Andayanie, 2009).

Komposisi kimia dari Soybean mosaic virus (SMV) terdiri atas

94,7% protein dan 5,3% asam nukleat. Genom Ribonucleic Acid (RNA)

terdiri dari 9588 nukleotida, dengan poly (A) pada ujung 3 dan struktur

penutup (genome-linked protein /VPg) pada ujung 5. Genom berukuran 10

kb, monopartide linear, ss RNA (+). Kandungan coat protein/CP (selubung

protein) dari virus ini sekitar 2000 subunit dari polipeptida tunggal. Berat

molekul mencapai 29,5 kDa dan mengandung 265 asam amino. Single

stranded / ss (untai tunggal) RNA mempunyai panjang antara 8,2–9,7 kb

(Lim et al., 2003; Agrios, 2005; Choi et al., 2006).

C. MORFOLOGI DAN STRUKTUR VIRUS

Struktur virus akan menampakkan secara terinci dengan mikroskop

elektron resolusi tinggi dan pengecatan negatif. Virus tumbuhan

mempunyai bermacam bentuk dan ukuran dengan lipoprotein envelopes

seperti tersaji pada Gambar 14.

Page 99: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

83

Gambar 14. Bentuk dan ukuran dengan lipoprotein sebagai amplop pada virus

tumbuhan (Matthews, 1992).

Virus mengalami perubahan bentuk ketika berada dalam sel

tanaman inang sesuai dengan tahap replikasi virus. Semua virus berbentuk

memanjang seperti benang yang panjang, kurus dan fleksibel. Lebar

Page 100: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

84

mempunyai ukuran 10−13 mµ dan panjang 480–1250 mµ. Kebanyakan

dari elongate virus mempunyai perbedaan panjang pada masing-masing

individu. Ukuran tersebut digunakan untuk menunjukkan ukuran terbanyak

dan kadang-kadang juga menunjukkan rata-rata dari masing-masing

individu. Kebanyakan dan mungkin semua virus mempunyai bentuk

sperikel, sebenarnya berbentuk polyhedral dengan diameter 17 mµ pada

satelit virus dan 60 mµ pada Wound tumor virus.

Suspensi virus berbagi banyak dapat diperiksa untuk partikel

berbeda panjang, seperti Tobacco rattle virus, Alfafa mosaic virus atau

untuk diameter pada Tobacco streak virus. Partikel memanjang terdapat

lobang aksial dan substruktur terpilin pada Tobacco mosaic virus dan

Tobacco rattle virus ditemukan struktur seperti kubus dengan garis

besarnya tidak teratur (Tobacco streak virus), bulat (Cauliflower mosaic

virus) atau icosahedral (Turnip yellow mosaic virus). Pengamatan langsung

telah menguatkan bukti sebelumnya tentang struktur partikel berdasarkan

difraksi sinar-X virus bentuk kristal dengan perlakuan logam berat. Kajian

ini telah digunakan untuk mengukur rincian struktural dari virus.

Tobacco mosaic virus (kelompok Tobamovirus) telah diketahui

dengan baik struktur virus diantara yang paling sederhana. Seluruh partikel

virus TMV mempunyai panjang sekitar 300 nm dan lebar 18 nm serta

berat partikel seluruhnya 39,4 x 106. Virus ini mempunyai 2.130 subunit

protein yang identik dengan susunan terpilin, masing-masing dengan berat

molekul 17.500 dan terdiri dari 158 asam amino. Puncak pilinan

mempunyai ukuran 2,3 nm dan struktur partikel berulang untuk setiap tiga

putaran pilinan. Sub unit mengelilingi lubang pusat dengan diameter 4 nm.

Untaian asam nukleat mempunyai berat molekul 2 x 106 dan mengandung

sekitar 6400 nukleotida dan mengikuti puncak pilinan serta terbenam di

antara sub unit protein 4 nm dari sumbu partikel. Untaian asam nukleat

dari TMV disajikan pada Gambar 15 (kiri). Sedangkan Turnip yellow

mosaic virus (kelompok Tymovirus) mempunyai partikel isometrik (bulat

semu) tersaji pada Gambar 16 (kanan).

Turnip yellow mosaic virus mempunyai diameter 28 nm dan

ikosahedral, yang berarti mempunyai 20 muka segitiga ekilateral. Sub unit

ke 180 mempunyai 20 muka segitiga ekilateral dan mengandung 189

gugus asam amino dalam urutan serta mengelompok di sekitar pusat inti

Page 101: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

85

dalam 20 heksamer dalam pusat setiap muka dan 12 pentamer pada setiap

ujung dari 6 ganda lima sumbu asimetri. Kelompok ke 32 dilihat dengan

mikroskop elektron seperti tonjolan-tonjolan. Rantai RNA mempunyai

ukuran sama dengan TMV dengan berat molekul 2 x 106. Partikel yang

kosong mudah dipenetrasi oleh zat warna negatif dan bersifat tidak

infeksius. RNA subgenomik dalam jumlah kecil ditemukan dalam partikel

virus.

Gambar 15. Struktur helix dari subunit yang berhubungan dengan partikel RNA

Tobacco mosaic virus (kiri) dan isometrik partikel Turnip yellow

mosaic virus (kanan) (Bos, 1983).

Virus dengan genom berbagi, molekul asam nukleat yang berbeda

mengandung partikel yang sama (Reovirus), masing-masing dengan

mantel protein yang identik (Cucumovirus) atau berbeda (Tobravirus) atau

terdapat dalam kombinasi tertentu dalam partikel yang identik, tetapi

berbeda kerapatannya (Bromovirus). Reovirus mempunyai mantel protein

yang terdiri atas lima sampai tujuh protein dalam dua lapis dalam marga

Fiji virus. Partikel mengandung 10 (Maize rough dwarf virus) molekul ds

RNA dengan berat molekul 20 x 106. Jumlah berat yang besar ini

diperlukan untuk menyandikan pembuatan protein mantel dengan berat

molekul 58.000 sampai 160.000.

Page 102: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

86

1. Virus tak-isometri berbentuk tongkat (rod-shaped)

Kajian difraksi sinar X menujukkan TMV berbentuk tongkat dan

susunan protein yang berulang. Kajian selanjutnya TMV dibangun oleh

sub unit protein yang tersusun secara melingkar. Virus yang berbentuk

tongkat mempunyai sub unit protein melingkar (helical array) yang terikat

pada genom virus. Genom tersebut diselubungi sub unit protein yang

tersusun secar heliks dari luar dan dan dalam (axial hole). TMV

mempunyai diameter 9 nm dan panjang 300 nm. Genom ssRNA TMV

terdiri atas 6395 nukleotida; protein selubung TMV (coat protein) terdiri

atas 2.130 sub unit protein dan setiap sub unit protein terdiri atas 158 asam

amino. TMV mempunyai struktur yang sangat stabil dan dapat bertahan

pada suhu kamar selama 50 tahun. Kestabilan TMV merupakan hasil

interaksi yang sangat kuat atara sub unit protein dan genom ssRNA

Virus tumbuhan yang berbentuk tongkat mempunyai dua bentuk

yaitu tongkat kaku (rigid rod), seperti virus dengan genus Tobamovirus

(Gambar 16 atas) dan tongkat lentur (flexious rod) seperti genus

Potexvirus dan Potyvirus (Gambar 16 bawah).

Gambar 16. Partikel virus berbentuk tongkat kaku (rigid rod) pada Tobacco

mosaic virus (TMV) (atas); berbentuk tongkat lentur (flexious rod)

pada Soybean mosaic virus (SMV) dan Cowpea mild mottle virus (CPMMV) (bawah) (Bos, 1983).

Page 103: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

87

2. Virus isometri berbentuk ikosahedral

Gemini virus mempunyai partikel yang terdiri atas pasangan

ikosahedral, contohnya Maize streak virus, Bean golden mosaic virus dan

Beet curly top virus. Partikel Chlorosis striate mosaic virus mempunyai

110 sub unit protein dengan berat molekul 28.000 dan disusun dalam 22

unit morfologi. Kedua ikosahedral menyambung dan satu unit morfologi

pada masing-masing tidak ada. Partikel mengandung satu molekul ss DNA

dengan berat 7,1 x 105. Partikel virus berbentuk ikosahedral dari Bean

golden mosaic virus dengan mikrograf elektron disajikan pada Gambar 17.

Gambar 17. Partikel virus berbentuk ikosahedral dari Bean golden mosaic virus

(Matthews, 1992).

Virus ini mempunyai sub unit protein dan tersusun membentuk

simetri kubik serta jumlah sub unit protein merupakan kelipatan 12. Tiga

tipe simetri kubik yang diajukan oleh Watson and Crick (1956) terdiri atas:

tetrahedral (2:3); oktahedral (4:3:2), dan ikosahedral (5:3:2). Ikosahedral

mempunyai sumbu simetri lipat-5, lipat-3, dan lipat-2. Tiga tipe virus

simetri kubik menunjukkan 12, 24 atau 60 subunit protein pada permukaan

virion. Ikosahedral dengan 20 muka yang sama. Setiap muka mempunyai

unit segitiga dan mempunyai posisi yang sama. Setiap ikosahedral

memberikan 60 struktur subunit yang identik dan merupakan subunit

terbesar serta disusun dengan posisi yang sama pada permukaan isometrik.

Beberapa virus mempunyai struktur demikian, namun virus mempunyai

protein yang lebih banyak, sehingga masing-masing sub unit tidak berada

pada lingkungan yang sama.

Page 104: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

88

3. Virus berbentuk basili

Partikel besar Rhabdovirus mempunyai bentuk basili dengan

panjang 160-380 nm dan diameter 95 nm, misalnya Potato spindle tuber

viroid. Virus ini sering menampakkan lebih pendek dan berbentuk pelor.

RNA dan mempunyai struktur terpilin pada bagian dalam yang terdiri atas

nukleotid (N-protein). Selubung terdiri atas lapisan lipida dan dua sampai

tiga protein lain. Satu atau dua membentuk matrik (M, atau M1 dan M2)

dan satu (G) adalah glikoprotein, yang membentuk paku menonjol dengan

panjang 5 sampai 12 nm. Struktur Rhabdovirus berbentuk basili dengan

mikrograf elektron disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Struktur Rhabdovirus berbentuk basili dengan mikrograf elektron

(Bos, 1983)

D. INFEKSI VIRUS DAN SINTESA VIRUS

Infeksi virus pada tumbuhan inang mempunyai ketergantungan

dengan sintesa virus karena infeksi virus tidak akan terjadi bila virus tidak

dapat melakukan multiplikasi dalam inang. Virus tanaman memasuki sel

tanaman melalui luka mekanis atau oleh vektor atau masuk ke dalam

embrio dari biji yang terinfeksi. Setelah virus mengalami kontak dengan

sitoplasma dari sel tumbuhan yang peka maka virus tersebut menjadi

seperti melekat pada sel.

Page 105: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

89

1. Lepasnya mantel protein

Genom virus menyusul masuknya virus ke dalam sel inang. Virus

masuk dan lepasnya mantel memerlukan tenggang waktu antara.Tahap ini

terjadi setelah proses penetrasi di mana kapsid virus baik seluruhnya

maupun sebagian dipindahkan ke dalam sitoplasma sel inang. Genom virus

terekspos dalam bentuk kompleks nukleoprotein. Tahap ini berlangsung

cukup sederhana dan terjadi selama fusi pada membran virus dengan

membran plasma untuk virus lainnya, sehingga merupakan proses

multistep yang melibatkan jalur endositosis dan membran nukleus.

Asam nukleat yang terbungkus oleh protein harus melepaskan diri

dari selubung protein untuk menimbulkan infeksi. Pelepasan protein

(uncoating) ini memerlukan waktu selama kurang lebih satu jam setelah

inokulasi. Virus-virus isometric Turnif yellow mosaic virus (TYMV) dan

Barley mosaic virus (BYMV) memerlukan waktu sepuluh menit pertama

sesudah inokulasi, sehingg mekanisme uncoating virus sangat beragam.

Protein akan melepaskan diri secara bertahap karena aktivitas enzim sel

tumbuhan dan virus sendiri tidak mempunyai ensim. Selubung protein

yang sudah terurai akan tertinggal di dalam dan terpakai untuk proses

sintesa dari sel.

Setelah asam nukleat (RNA) terlepas dari selubung protein, maka

RNA dalam sel merangsang pembentukan ensim-ensim RNA polimerase,

RNA sintesa atau RNA replikasi. Ensim ini dengan adanya RNA virus

mempunyai fungsi sebagai model dan menghasilkan RNA tambahan

(baru) dengan adanya nukleotida. RNA yang baru terbentuk nampaknya

bukan RNA virus, tetapi merupakan komplemen strain yaitu cermin atau

template dari RNA virus terbentuk dengan cara melekat pada RNA virus

asli, sehingga keduanya terbentuk RNA double strain. Kedua bagian

double strain ini segera memisah kembali dan RNA baru ini kemudian

menjadi pola untuk sintesa RNA. Bila asam nukleat dari virus tersebut

merupakan DNA double strain, maka pembentukan komplemen strain

tidak diperlukan lagi.

Asam nukleat virus yang terbentuk akan merangsang sel inang

untuk menghasilkan molekul protein sub unit protein yang akhirnya untuk

menyusun selubung protein pada virus. Sebagian dari strain RNA virus

diperlukan untuk pembentukan protein virus. Oleh karena setiap asam

Page 106: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

90

amino pada sub unit protein dikode oleh 3 nukleotida dari RNA virus,

seperti pada Tobacco mosaic virus dengan RNA terdiri atas 6400

nukleotida dan protein 159 asam amino, maka hanya dibutuhkan 474

nukleotida untuk mengkode pembentukan asam amino dari sub unit

protein.

2. Sintesa protein

Sintesa protein pada sel yang sehat tergantung pada asam amino dan

bantuan dari ribosom. Messenger RNA dan transfer RNA. Setiap transfer

RNA mempunyai fungsi khusus untuk asam amino yang dibawa ke

messenger RNA. Messenger RNA pada nukleus menentukan jenis protein

untuk mengkode urut-urutan dari asam amino yang akan diatur. Ribosom

bergerak sepanjang messenger RNA untuk menghasilkan energi dan

mengikat asam amino untuk membentuk protein. Sebagian RNA virus

mempunyai peran sebagai messenger RNA dan memakai asam amino

ribosom dan transfer RNA dari inang untuk menghasilkan messenger RNA

sendiri. Sedangkan protein yang dihasilkan untuk selubung protein virus.

Selama sintesa virus, sebagian dari asam nukleat membentuk protein

lain. Beberapa protein ini diantaranya berupa ensim yang sudah ada dalam

sel inang maupun ensim baru untuk mempengaruhi reaksi kimia pada sel

inang, sehingga mengganggu fungsi fisiologis sel. Bila asam nukleat dan

sub unit protein virus telah dihasilkan maka asam nukleat akan tersusun

dalam sub unit protein disekitarnya dan keduanya bersatu untuk

membentuk partikel virus yang komplit (virion). Virion akan bergabung

membentuk struktur yang amorf atau inclusion bodies cristal atau larut

dalam sitoplasma atau nukleolus. Walaupun kebanyakan virus sendiri

kelihatannya terutama berada pada sitoplasma atau retikulum endoplasma.

Beberapa juga ditemukan pada nukleus, nukleolus atau kloroplas, dalam

bentuk inclusion bodies atau virion yang larut. Hal ini menunjukkan bahwa

virus atau RNA bergerak dari satu bagian sel ke bagian lain.

Supaya dapat terjadi infeksi oleh virus tumbuhan, maka virus harus

bergerak dari satu sel ke sel lainnya dan harus memperbanyak diri di

dalam sebagian besar atau semua yang dilaluinya. Pergerakan dari sel ke

sel mengikuti lubang-lubang plasmodesmta sebagai penghubung sel-sel

dan tempat retikulum endoplasma. Virus nampaknya tidak bergerak

Page 107: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

91

melalui sel-sel parenkim, kecuali bila virus tersebut menginfeksi sel dan

bermultiplikasi di dalamnya, sehingga menyebabkan serangan dari sel satu

ke sel lain secara berantai.

3. Penyebaran dari sel ke sel

Laju peyebaran dari sel ke sel dipengaruhi oleh jenis dan umur

tumbuhan yang terinfeksi. Kecepatannya lebih tinggi dijumpai pada sel-sel

muda daripada sel-sel yang tua. Temperatur tinggi akan mempengaruhi

pergerakan virus lebih cepat dibandingkan pada temperatur rendah. Hal ini

disebabkan oleh bertambahnya aliran protoplasma dan makin cepatnya

aktifitas sel pada temperatur tinggi. Meskipun ada beberapa virus

menampakkan pergerakan terutama melalui sel-sel parenkim, tetapi

sebagian dari virus ditransportasikan secara cepat dalam jarak jauh melalui

phloem, sedikit sekali yang melalui xilem. Setelah virus masuk ke phloem,

maka virus akan bergerak dengan cepat ke arah titik tumbuh (apical

meristem) atau menuju ke tempat penimbunan bahan makanan seperti

umbi atau rhizome, contoh virus kentang diinokulasikan ke dalam daun

bagian bawah dari tanaman muda, maka virus tersebut bergerak dengan

cepat ke arah batang. Namun jika virus diinokulasikan ke tumbuhan dan

telah membentuk umbi maka 30 hari pertama virus tersebut cenderung

bergerak ke arah umbi. Hal ini menunjukkan bahwa virus pada phloem

bergerak dengan arah dan kecepatan yang sama dengan kecepatan

pergerakan hasil fotosintesa dan material di dalam phloem. Beberapa virus

dijumpai pergerakannya melalui batang dan akar yang berlawanan dengan

pergerakan transportasi makanan. Virus setelah berada di dalam phloem

akan menyebar secara sistematis ke seluruh bagian tumbuhan dan masuk

kembali ke dalam sel parenkim yang bersebelahan dengan phloem melalui

plasmodesmata.

Alfafa dwarf virus dan Phony peach virus hanya menyebar melalui

xilem. Southern bean mosaic virus juga menyebar melalui xilem, tetapi

dapat juga menyebar melalui parenkim dan phloem. Pergerakan virus dari

sel ke sel ke arah pembulum xilem yang mati membuktikan virus bergerak

melalui membran plasma karena di antara kedua macam virus tidak

terdapat plasmodesmata. Virus bergerak di dalam phloem dan xylem

Page 108: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

92

diduga dalam bentuk virion, kecuali virus polyhedral dengan diameter

yang sangat besar.

Penyebaran virus di dalam tumbuhan dipengaruhi oleh jenis virus,

tumbuhan dan interaksi antara keduanya. Gejala local lesion menunjukkan

penyebaran virus tersebut terbatas pada daerah-daerah yang mengalami

nekrose, walaupun pada beberapa kasus local lesion dapat menjadi besar

dan akhirnya bergejala sistemik. Infeksi sistemik pada beberapa virus

ditranslokasikan melalui phloem/xilem penyebarannya terbatas pada sel-

sel parenkim di dekatnya, misalnya Potato leaf roll virus, Aster yellow

virus. Virus mosaik umumnya tidak terbatas pada jaringan, walaupun

terdapat bermacam-macam lokalisasi. Sel tumbuhan yang terserang virus

mosaik mengandung sekitar 100.000−10.000.000 partikel virus per sel.

Penyebaran secara sistematis dari beberapa virus dapat berlangsung secara

menyeluruh dan menyerang semua sel hidup.

Beberapa virus menyerang terbatas pada suatu tempat, sedangkan di

daerah lain di dekatnya bebas virus. Virus dapat menyerang jaringan apikal

meristem dan ada pula yang tidak menyerang titik pertumbuhan. Lebih

dari 100 virus menyerang tanaman inang secara sistematis dan kurang dari

100 virus diketahui dapat disebarkan melalui biji dan kurang dari 10 virus

yang disebarkan oleh biji ini dapat menginfeksi 50 persen benih tumbuhan

yang terserang. Kebanyakan virus tidak menyerang embrio yang sedang

berkembang. Hal ini karena tidak dijumpai plasmodesmata sebagai

penghubung embrio dan jaringan sekitarnya. Oleh karena itu virus tidak

dapat bertahan ke dalam megaspore mother cell atau embryo sacs. Selain

itu, virus mengalami inaktifasi selama pemasakan dan penyimpanan benih.

Penyebaran virus melalui benih dapat dijumpai jika virus pada ovole atau

pollen atau keduanya.

Struktur fisik dan kimiawi digunakan sebagai dasar untuk

memahami rangkaian kejadian setelah virus memasuki sel inang

tumbuhan. Genom virus harus dilepas sebelum melakukan replikasi.

Pembuatan mantel protein akhir untuk asam nukleat yang baru terbentuk

dalam protein virus yang disandikan dan menghasilkan partikel virus yang

resisten untuk menjamin penyebaran dan daya tahannya.

Page 109: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

93

E. REPLIKASI ASAM NUKLEAT VIRUS

Replikasi virus merupakan proses genetika molekul yang

berhubungan dengan replikasi asam nukleat (RNA atau DNA), transkripsi

dan translasi RNA dalam sel inang. Proses replikasi virus tanaman

meliputi:

1) Pelekatan virus. Pelekatan virus (adsorpsi) merupakan proses

interaksi awal antara partikel virus dengan molekul reseptor pada

permukaan sel inang.

2) Penetrasi. Penetrasi terjadi pada waktu yang sangat singkat setelah

pelekatan virus pada reseptor di membran sel.

3) Pelepasan mantel. Kapsid virus seluruhnya atau sebagian

dipindahkan ke dalam sitoplasma sel inang. Tahap ini genom virus

terekspos dalam bentuk kompleks nucleoprotein.

4) Replikasi genom dan ekspresi gen. Proses ekspresi gen akan

menentukan semua proses infeksi virus (akut, kronis, persisten, atau

laten).

5) Perakitan. Perakitan merupakan proses pengumpulan komponen

virion di dalam sel. Selama proses ini, terjadi pembentukan struktur

partikel virus. Proses ini tergantung kepada proses replikasi di dalam

sel dan tempat di mana virus melepaskan diri dari sel.

6) Pematangan. Pematangan merupakan tahap dari siklus hidup virus

dan bersifat infeksius. Pada tahap ini terjadi perubahan struktur

dalam partikel virus yang kemungkinan dihasilkan oleh pemecahan

spesifik protein kapsid untuk menghasilkan produk yang matang.

Protease virus dan enzim seluler lainnya biasanya terlibat dalam

proses ini.

Jumlah sel inang yang mengandung enzim untuk mereplikasi atau

memperbaiki RNA hanya sedikit. Dengan demikian, gen-gen virus RNA

memiliki laju mutasi yang jauh lebih tinggi (misalnya 10-3

sampai 10-4

)

daripada virus DNA. Gen-gen virus RNA itu harus mengkodekan enzim-

enzim tersebut atau membawa serta enzim-enzim tersebut saat mengifeksi

sebuah sel inang. Asam nukleat murni Lettuce necrotic yellow virus dan

Rhabdovirus serta Wound tumor virus mengandung ssRNA, dan Reovirus

lain mengandung dsRNA tidak infeksius. Virus-virus ini membawa

traskripsi virus spesifik yang berasosiasi dengan nukleokapsid untuk

Page 110: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

94

menghasilkan mRNA komplementer dan mensandikan protein virus

termasuk replikasi untuk genom serta menggunakan untai virus ssRNA

atau mRNA virus sebagai pola cetak untuk melengkapi genom ds RNA.

1. Replikasi virus yang mempunyai genom ssRNA

Virus RNA dengan genom beruntai tunggal yang berfungsi sebagai

mRNA disebut memiliki genom untai positif atau plus (+), yang

setidaknya mengkodekan protein-protein selubung dan enzim replikasi.

Virus RNA dengan genom untai negatif atau minus (−) memiliki DNA

yang komplementer terhadap untai genomik atau mRNA, dan karenanya

tidak dapat ditranslasikan. Virus-virus semacam ini harus mengkodekan

RNA polymerase yang bergantung pada RNA dan bisa mensintesis untai

RNA (+) dari cetakan RNA (−). Enzim tersebut harus dikemas ke dalam

virion bersama-sama genom RNA viral. Bagi semua virus-virus RNA,

kecuali Retrovirus, RNA beruntai ganda beruntai ganda selalu merupakan

perantara dalam repliksi RNA virus, bahkan jika virion infeksi hanya

mengandung RNA beruntai tunggal (ssRNA). RNA beruntai ganda

direplikasi dalam cara yang serupa dengan DNA; yaitu masing-masing

untai RNA berperan sebagai cetakan untuk membuat untai RNA

komplementer. Enzim viral yang mereplikasi RNA viral dengan cara ini

merupakan suatu RNA polymerase yang bergantung pada RNA, disebut

RNA replikase. Beberapa replikasi virus yang mempunyai genom +ssRNA

yaitu:

a. Replikasi Tobamovirus

Tobamovirus merupakan kelompok virus yang memiliki

kisaran inang luas, seperti Tobacco mosaic virus pada tanaman

tembakau, Odontoglossum ring spot virus pada tanaman anggrek,

Cucumber green mottle mosaic virus pada daun mentimun.

Replikasi asam nukleat yang paling sederhana dijumpai pada TMV

dengan satu rantai +ssRNA. Tipe +ssRNA merupakan tipe genom

yang langsung dapat berfungsi sebagai mRNA dan dalam sel

tanaman inang akan ditranslasi menjadi protein struktur dan fungsi

diperlukan dalam replikasi patogenisitas virus tumbuhan. Virus yang

mempunyai genom +ssRNA merupakan kelompok virus terbesar

Page 111: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

95

yang menjadi patogen tumbuhan, yaitu 29 dari 35 kelompok virus

yang sudah diketahui.

Untai + menunjukkan informasi dapat langsung diterjemahkan

pada ribosom ke dalam polymerase RNA virus spesifik untuk

replikasi RNA virus. Enzim ini terikat pada induk untai mensintesis

keturunan untai yang pada gilirannya bertindak sebagai pola cetak

untuk sintesis untai+ selanjutnya. Untai ini bertindak sebagai mRNA

memproduksi mantel protein, dan untai +disatukan ke dalam virion

yang lengkap. Proses replikasi asanm nukleat dapat terjadi dalam

inti atau dalam sitoplasma bergantung pada virusnya.

Replikasi RNA TMV memerlukan cetakan dan suatu enzim

RNA polimerase yang dikendalikan oleh RNA (RNA-directed RNA

Polymerase), atau yang sering dikenal sebagai replikase. Sintesis

RNA virus selalu berorientasi 5‟→ 3‟, seperti halnya sintesis DNA,

dan dimulai dari ujung 3‟ molekul cetakan. Berbeda halnya dengan

sistem replikasi DNA, sistem replikasi RNA TMV tidak mempunyai

mekanisme reparasi sehingga virus TMV mempunyai laju mutasi

yang tinggi (Yuwono, 2005). Replikasi RNA TMV dimulai dengan

proses infeksi sel inang (daun tembakau) oleh virus TMV. RNA

virus yang masuk ke dalam sel inang selanjutnya ditranslasi

sehingga menghasilkan beberapa kopi enzim replikase dan protein

selubung. Replikase kemudian melakukan sintesis untaian

komplementer (untaian negatif (−) dengan menggunakan untaian

RNA induk (untaian +) sebagai cetakan. Sintesis untaian baru

(untaian −) dilakukan pada ujung 3‟ molekul cetakan sehingga arah

sintesis adalah dari ujung 5‟→ 3‟. Berbeda dari sistem replikasi

DNA, dalam proses replikasi RNA tidak terbentuk molekul dupleks

RNA. Untaian (−) baru yang terbentuk kemudian digunakan oleh

replikase sebagai cetakan untuk proses sintesis untaian (+). Sintesis

ini juga dimulai pada ujung 3‟ untaian (−) sehingga arah sintesis

untaian (+) juga dari 5‟→ 3‟. Untaian (+) yang terbentuk tersebut

mempunyai urutan nukleotida yang idebtik dengan urutan

nukleotida RNA virus yang pertama kali menginfeksi sel inang.

Selanjutnya, protein selubung yang disentesis pada saat terjadi

translasi RNA virus, akan mengenali bagian untaian RNA (+)

Page 112: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

96

tertentu. Protein selubung membentuk struktur yang disebut sebagai

piringan protein. Pada waktu ujung 3‟ RNA diperpanjang, piringan

protein ditambahkan pada bagian RNA yang melipat. Dengan

semakin banyak piringan protein ditambahkan, maka ujung 5‟ RNA

akan ditarik kearah protein selubung. Dengan mekanisme demikian

maka akan terbentuk partikel virus yang berupa susunan heliks

protein yang mengelilingi genom RNA (Yuwono, 2005). Secara

skematis, mekanisme replikasi RNA TMV dapat dilihat Gambar 19.

Gambar 19. Mekanisme multiplikasi virus RNA Tobacco mosaic virus (Paolella,

1997 dalam Yuwono, 2005)

b. Replikasi Potyvirus

Berdasarkan klasifikasi virus, Potyvirus digolongkan dalam

famili Potyviridae dan merupakan kelompok virus yang penting

secara ekonomi karena juga mempunyai inang yang luas, seperti

Bean yellow mosaic virus pada tanaman kacang panjang, Soybean

mosaic virus dan Cowpea mild mottle virus pada tanaman kedelai.

Water mellon mosaic virus pada tanaman melon, Turnip yellow

mosaic virus pada tanaman sawi hijau dan kubis.

Page 113: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

97

Ekspresi genom virus dilakukan melalui translasi poliprotein

dari genom virus tersebut. Poliprotein ini mengalami pemotongan di

dalam sitoplasma menjadi protein fungsi dan struktur sesuai dengan

gen yang disandikan. Pemotongan poliprotein dilakukan dengan

protease yang terjadi selama dan sesudah translasi. Protease juga

disandikan oleh gen yang terdapat dalam genom potyvirus.

Umumnya menyandikan empat sampai tujuh protein Jenis dan

fungsi gen pada kelompok Potyvirus disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Jenis dan fungsi gen pada kelompok Potyvirus

Secara umum, replikasi virus yang mempunyai genom RNA

beruntai tunggal (+ssRNA) terjadi melalui beberapa tahap, yaitu:

1) Virion masuk ke dalam sitoplasma tanaman inang.

2) Komponen virus akan terpisah antara kapsid dan genom.

3) RNA bergabung dengan ribosom tanaman inang dan sintesis

polimerase untuk replikasi RNA.

4) Sintesis untai negatif RNA.

5) Sintesis untai positif RNA dan mRNA protein selubung

menggunakan untai negatif RNA.

6) Sintesis subunit protein selubung dalam jumlah besar.

7) Virion terbentuk melalui penggabungan antara untai positif

RNA dengan protein selubung.

8) Virion menyebar ke sel sekeliling melalui plasmodesmata.

Page 114: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

98

c. Replikasi Cucumovirus

Berdasarkan klasifikasi Cucumovirus digolongkan dalam famili

Bromoviridae, seperti Cucumber mosaic virus pada tanaman

ketimun dan lada. Bentuk partikel isometrik memiliki genom 3 utas

RNA positif sense, yang terbagi ke dalam dua kelompok

berdasarkan serologi dan kesamaaan nukleotidanya (subgrup I dan

II). Partikel CMV ini mempunyai diameter 25 nm (Singh dan Rao,

1988; Haresh et al., 2006).

Genom Cucumovirus mempunyai tipe molekul asam nukleat

+ssRNA yang terdiri atas RNA-1, RNA-2 dan RNA-3 masing-

masing terdiri atas 3.357 nt, 3.050 nt dan 2.216 nt. Genom ini

mengkodekan lima jenis protein, protein 1a dan 2a disandikan oleh

RNA-1 dan RNA-2. Protein ini mempunyai fungsi untuk replikasi

virus. Protein 3a dan protein selubung disandikan oleh RNA-3 dan

subgenom RNA-4 yang merupakan bagian dari RNA-3. Protein ini

mempunyai fungsi untuk perpindahan virus antar sel. Protein

selubung mempunyai peran sebagai pembungkus genom atau

kapsid. Protein 2b disandikan oleh subgenom RNA-4A yang

merupakan bagian dari RNA-2 pada bagian ujung 3ʹ. Protein 2 b

mempunyai peran dalam perpindahan jarak jauh dalam jaringan

tanaman inang.

Tahapan replikasi Cucumovirus hampir sama untuk virus yang

bergenom +ssRNA yaitu:

1) Virion masuk ke dalam sel tanaman inang dan melepaskan

genom +ssRNA.

2) Kompleks replikasi virus terbentuk.

3) Translasi RNA-1 dan RNA-2 pada ribosom tanaman inang

untuk mensistesis protein yang terlibat dalam replikasi virus,

yaitu protein 1a dan 2a yang diekskresikan pada awal terjadinya

infeksi virus. Tahap ini dikenal sebagai replikase.

4) Cetakan RNA, yaitu ssRNA dari +ssRNA untuk setiap jenis

RNA (RNA-1, RNA-2, RNA-3) terbentuk.

5) ssRNA terbentuk dan selanjutnya dijadikan sebagai cetakan

dalam sintesis genom +ssRNA Cucumovirus.

Page 115: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

99

6) Sintesis protein selubung (CP) virus. Sintesis CP terjadi pada

akhir proses infeksi virus. Pengaturan sintesis protein pada

ekspresi gen virus terjadi pada level mRNA dari protein

selubung (RNA-4).

7) Pembungkus genom, yaitu penggabungan antara subunit

protein dan RNA virus; 8) perpindahan virus dibantu oleh

protein 3a yang disandikan oleh RNA-3 dan berperan dalam

perpindahan virus dari sel ke sel.

2. Replikasi virus yang mempunyai genom ds DNA

Berdasarkan klasifikasi genus Caulimovirus digolongkan dalam

famili Caulimoviridae, seperti Cauliflower mosaic virus(CaMV) pada

tanaman Brasika. Salah satu kelompok virus tumbuhan yang mempunyai

genom untai ganda DNA (dsDNA) yang berbentuk lingkaran dan

mempunyai satu celap (gap) pada salah satu untai (strand) DNA serta dua

celah pada untai komplemen DNA, seperti Cauliflower mosaic virus. Virus

ini mengandung ds DNA yang infektif. Virus DNA sering menggunakan

polymerase inang untuk replikasinya. Celah 1 mempunyai satu untai yang

terputus (α strand) untuk transkripsi. Pada α strand tidak dijumpai satu atau

dua nukleotida dibandingkan dengan untai komplemennya. Dua untai yang

terputus pada komplemen α strand mempunyai runutan nukleotida yang

lengkap. Organisasi genom CaMV disajikan pada Gambar 20.

Gambar 20. Organisasi genom dari Cauliflower mosaic virus (CAMV) (Bos,

l983)

Page 116: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

100

Virus DNA sering menggunakan polimerase inang untuk

replikasinya. Virus dengan genom terbagi diperlukan untuk infeksi.

Namun demikian, partikel Tobacco rattle virus menyebabkan infeksi tidak

stabil, karena tidak terbentuk protein mantel. Hal ini tidak dialami pada

Alfafa mosaic virus dan Tobacco streak virus serta Ilarvirus. Virus ini

mempunyai tiga segmen genom. Ketiga segmen yang besar hanya infektif

bila terkait dengan segmen keempat dan terkecil atau beberapa unit protein

mantelnya mengaktivasi genom.

Transkripsi dan genom CaMV menghasilkan 8 jenis mRNA dan

masing-masing menyandikan protein yang berperan dalam patogenesis dan

replikasi CaMV. Ekspresi dan fungsi hayati protein CaMV disajikan pada

Tabel 14.

Tabel 14. Ekspresi dn fungsi hayati protein CaMV

Replikasi CaMV mempunyai dua fase, yaitu fase 1, dsDNA genom

CaMV memasuki inti, daerah tumpang tindih (overlapping) nukleotida

pada celah hilang dan fase 2, dsDNA menjadi tertutup membentuk

minikromosom. Minikromosom yang terbentuk akan digunakan oleh

enzim (RNA polymerase II) untuk sintesis RNA 19 S dan 35 S. Tahap

replikasi CaMV mempunyai beberapa tahap yaitu:

1) Virion masuk ke sitoplasma dan terjadi pelepasan sub unit protein

selubung protein selubung protein virus (uncoating).

2) Genom dsDNA masuk ke inti membentuk minikromosom.

3) DNA ditranskripsikan di dalam inti sel untuk menghasilkan RNA.

4) RNA dari dalam inti ditransfer ke sitoplasma untuk translasi protein

untuk replikasi dan pathogenesis tanaman.

5) RNA 35 S hasil transkripsi ditransfer ke sitoplasma sebagai tempat

untuk membentuk genom virus baru melalui transkripsi balik.

Page 117: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

101

F. MEKANISME PENTERJEMAHAN RNA VIRUS

Mekanisme penterjemahan RNA virus diatur oleh asam nukleat.

Virus ssRNA seperti TMV untai + dapat langsung bertindak sebagai RNA.

Virus dengan untai RNA (Rhabdovirus), lebih dulu mRNA khusus harus

ditranskripsikan. Hal ini berlaku ds RNA, seperti Reovirus, dimana setiap

10 sampai 12 segmen genomnya dapat menghasilkan mRNA sendiri.

Meskipun produksi mantel protein mempunyai fungsi utama yang

disandikan dalam asam nukleat virus, namun hal ini memerlukan sebagian

kecil dari seluruh informasi genetik. Rata-rata mantel protein dengan 200

asam amino memerlukan asam nukleat dengan berat molekul 200.000

dalton (1.000 per triplet nukleotida untuk setiap asam amino) dan hanya

seper sepuluh rata-rata genom RNA dengan berat molekuk 2 x 106. Wound

tumor virus mempunyai tujuh protein mantel untuk disandikan dengan

genom (8 x 106). Semua virus harus disandikan untuk replikasi spesifik.

Protein tambahan virus spesifik non struktural semakin banyak ditemukan

dalam tumbuhan yang terinfeksi virus, misalnya struktur cakra potyvirus.

Struktur ini diduga mempunyai peran fungsional. Protein asing bagi inang

disandikan virus.

G. PENGGABUNGAN ASAM NUKLEAT DAN PROTEIN

MENJADI VIRION

Penggabungan asam nukleat dan protein menjadi virion terjadi

dalam sitoplasma atau dalam inti dan sering dalam masa padat elektron

yang baru terbentuk (viroplasma) atau dalam badan-badan kandungan

yang amorf tampak terlihat dengan mikroskop elektron. Penyusunan sering

dianggap sebagai proses spontan yang terjadi, dimana asam nukleat virus

dan protein spesifik bertemu. Namun, Turnip yellow mosaic virus memiliki

proses yang tidak spontan.

Virus dengan partikel besar yang terbungkus protein, seperti

Rhabdovirus memperoleh selubung dari interaksi dengan membran selular.

Nukleokapsid dari virus ini meninggalkan inti sebelum berakumulasi

dalam ruang perinuklear. Walaupun virus lain memperoleh selubung

dalam sitoplasma, misalnya retikulum endoplasmik. Virion yang masak

tidak mempunyai peran dalam sel tempat virion dihasilkan. Virion

mewakili bentuk virus yang statik dan bertindak sebagai spora virus serta

Page 118: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

102

menjamin virus bertahan selama kondisi tidak menguntungkan, misalnya

selama pemindahan dalam sistem vascular tumbuhan atau dari tumbuhan

ke tumbuhan.

Virion yang lengkap diantara sel-sel dalam plasmodesma sering

dijumpai, akan tetapi infeksi dari sel-sel tidak harus dilakukan oleh partikel

yang utuh. Hal ini mengingat virus kekurangan protein dan viroid dapat

menyebar dalam seluruh tubuh tumbuhan. Penyeba seluruh tubuh

tumbuhan. Penyebaran setempat beberapa virus dalam tumbuhan

ditemukan mencapai kecepatan kira-kira 4−80 µm/jam. Gerakan jarak jauh

dalam tumbuhan diperkirakan kebanyakan terdapat di dalam floem dan

terjadi secara pasif bersama-sama dengan karbohidrat ke bagian tumbuhan

yang memerlukan energy, seperti akar dan organ yng sedang berkembang.

Potato virus X dan TMV kecepatannya kira-kira 0,1− 18 cm/jam

akan tetapi Beet curly top virus diangkut dengan kecepatan 35 sampai 152

cm/jam. Infeksi sistemik ditandai dengan becak-becak klorotik atau

nekrotik yang mirip dengan infeksi setempat. Produksi eksplosif

nucleoprotein virus yang bersaing dengan metabolisme normal

menyediakan komponen penghasil energi.

H. GEJALA YANG DISEBABKAN VIRUS TUMBUHAN

Tanaman yang terinfeksi virus dapat menimbulkan berbagai macam

gejala pada sebagian atau seluruh bagian dari tumbuhan. Gejala penyakit

virus disebabkan dampak infeksi virus yang nampak secara visual atau

kasat mata pada tanaman terinfeksi virus. Gejala ini dapat dilihat secara

umum atau khusus dari tanaman yang terinfeksi virus. Gejala yang paling

umum menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dari tanaman, misalnya

pengkerdilan (stunting) dan penurunan hasil serta memperpendek umur

tumbuhan. Gejala ini dapat menghasilkan keparahan ringan atau tanaman

nampak sehat, sehingga sukar dilihat secara kasat mata, virus semacam ini

disebut laten virus dan inangnya disebut symptomless carriers. Meskipun

demikian, infeksi virus pada tanaman inang tidak hanya menimbulkan satu

tipe penyakit saja karena sering menimbulkan lebih dari satu tipe, seperti

tanaman yang menunjukkan gejala kerdil bersamaan dengan gejala

nekrosis.

Page 119: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

103

Gejala virus dipengaruhi oleh kerentanan varietas, strain virus, saat

terjadinya infeksi dan keadaan lingkungan tumbuh. Semakin muda

tanaman mulai terinfeksi, maka tanaman akan semakin rentan dan gejala

yang dihasilkan semakin parah. Tanaman terinfeksi virus tidak selalu

menampakkan gejala, sehingga gejala penyakit tidak diekspresikan pada

kondisi lingkungan tertentu. Virus kerdil kedelai mudah menyebar dengan

jangkauan yang luas karena tanaman inangnya banyak. Tanaman yang

dapat menjadi inang antara famili Polygonaceae, Chenopodiaceae,

Pedaliaceae, Leguminosae, Solanaceae, dan Compositae yang terdiri atas

Glycine max, Vigna sesquipedalis, vigna sinensis, Nicotiana tabacum,

Phaseolus vulgaris, P. radiates, Pisum sativum, Fagopyrum esculentum,

Chenopodiaceae amaranticolor, Gomphrena globosa, Sesamum indicum,

Zinnia elegans, Vicia faba dan Lathyrus odoratus (Rochan et al., l992).

Infeksi virus dimulai dari tempat masuknya virus, terutama melalui

serangga dengan alat mulutnya penusuk dan pengisap. Virus akan

memencar ke sel-sel sekelilingnya melalui plasmodesmata. Bila mencapai

jaringan pengangkutan, virus bersama asimilat masuk ke dalam pembuluh

ayak atau phloem dan menyebar secara pasif ke bagian tumbuhan melalui

asimilat, seperti akar, bagian tumbuhan yang muda dan sedang

berkembang serta buah. Selanjutnya virus kembali memasuki jaringan

prenkim dan bergerak perlahan-lahan dari sel ke sel, sehingga memencar

melaui seluruh system inang dan infeksi menjadi sistemik.

Secara ekonomi, kemunduran pertumbuhan merupakan gejala yang

lazim, sehingga dari segi ekonomi sangat penting. Kemunduran

pertumbuhan selalu menyebabkan tanaman lebih cenderung terpengaruh

oleh patogen lain dan sindrom komplek. Kematian jaringan diikuti dengan

pembusukan, meskipun pembusukan lebih sering disebabkan oleh bakteri.

Virus sebagai salah satu patogen penyebab pengurangan angka hasil atau

bahkan kehilangan total nilai pertanaman (kegagalan tanaman). Pada

beberapa infeksi laten, penurunan angka hasil dapat mencapai 15%.

Seringkali infeksi gagal menghasilkan gejala yang jelas, meskipun terjadi

perbanyakan virus dan pemencaran internal yang intensif. Tumbuhan ini

terinfeksi, akan tetapi tidak mengalami sakit, sehingga disebut tidak peka

(insensitive) atau toleran, infeksinya laten, tidak nyata atau tanpa gejala.

Banyak virus tidak membangkitkan reaksi dalam inang utamanya dan

Page 120: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

104

dicirikan sebagai virus laten. Infeksi laten juga lazim terjadi pada

tumbuhan liar. Tumbuhan yang tidak menunjukkan gejala sebagai

pembawa virus yang tidak dicurigai, sehingga merupakan sumber infeksi

atau kontaminasi yang berbahaya.

Tumbuhan dapat mengalami sangat peka atau hipersensitif terhadap

infeksi. Setelah virus masuk, menetap, berkembangbiak dan berpindah dari

sel ke sel, sehingga sel yang terinfeksi cepat mati. Penurunan daya hidup

(vitalitas) merupakan fenomena yang terkait dan mungkin menjadi sebab

bertambahnya kerentanan dan kepekaan terhadap patogen sekunder atau

terhadap kondisi lingkungan yang merugikan, seperti kekeringan dalam

musim panas. Perubahan metabolisme sel menyebabkan pertumbuhan

tanaman yang berbeda dari tanaman yang sehat. Replikasi virus tergantung

dengan metabolisme tanaman, jika metabolisme turun, maka replikasi akan

ikut berkurang, sedangkan apabila metabolisme dalam performa yang baik,

maka virus akan bereplikasi dengan cepat. Hal ini terjadi karena sifat virus

yang parasit obligat, dimana virus membutuhkan inang tetap hidup selama

terjadi infeksi. Perubahan pada tanaman terinfeksi dapat dilihat secara

eksternal atau makroskopi pada daun dan organ tanaman yang lain,

sehingga disebut gejala luar atau gejala eksternal. Sedangkan gejala yang

hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron disebut gejala internal.

Beberapa kasus dari tanaman yang terinfeksi virus tidak menunjukkan

gejala pada kondisi lingkungan tertentu. Bila kondisi linkungan berubah

dapat menimbulkan gejala terselubung (masked symptom).

1. Gejala eksternal penyakit virus

Gejala eksternal penyakit virus mudah dikenali secara kasat mata,

tanpa harus dapat dilihat dengan mikroskop. Gejala eksternal disebabkan

oleh infeksi primer pada sel yang diinokulasi dan oleh infeksi sekunder

akibat penyebaran virus dari situs infeksi primer ke bagian lain dari

tanaman inang. Tumbuhan setelah mengalami inokulasi virus bergejala

parah, sehingga menyebabkan menyebabkan kematian, jika tumbuhan

dapat bertahan gejala akan menjadi makin ringan pada bagian tanaman

yang baru tumbuh dan menyebabkan sembuhnya tumbuhan tersebut.

Sebaliknya, gejala yang awalnya ringan makin lama dapat juga mengalami

semakin berat. Gejala eksternal penyakit terdiri atas gejala sistemik dan

gejala lokal.

Page 121: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

105

1) Gejala sistemik

Gejala yang paling nyata dari tumbuhan terserang virus di

lapangan menampakkan pada seluruh bagian tumbuhan atau infeksi

sistemik. Gejala sistemik dikelompokkan menjadi gejala eksternal

yang kasat mata dan gejala internal. Gejala sistemik yang umum

dapat dilihat, seperti mosaik, yellow dan ring spot.

a) Gejala mosaik

Gejala mosaik dicirikan dengan daerah yang berwarna

hijau muda, kuning atau putih berselang seling dengan hijau

normal dari daun atau buah atau adanya daerah-daerah yang

berwarna putih yang berselang seling. Berdasarkan intensitas

atau pola perubahan warna, maka gejala mosaik bisa dikatakan

sebagai berikut: mottling streak, ring pattern, lime pattern, vein

clearing, vein banding, chlorotic spotting. Salah satu gejala

mosaik pada daun dan biji kedelai karena Soybean mosaik virus

(SMV) disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Gejala mosaik pada daun (A) dan biji (B) kedelai serta bercak lokal

pada daun Chenopodium amaranticolor (C) yang terinfeksi Soybean

mosaic virus (Andayanie et al., 2014)

Infeksi SMV menyebabkan gejala pada tanaman, seperti

daun permukaannya tidak rata, mengecil dengan gambaran

mosaik, menggulung ke dalam, dan tepi daun mengalami

klorosis, kadang-kadang disertai tanaman menjadi kerdil. Biji

mottle dapat dihasilkan oleh biji sehat dan infeksi virus lain

(Andayanie et al., 2011). Tanaman sehat dapat menghasilkan

biji dengan intensitas mottle yang lebih tinggi pada suhu 20oC

dibandingkan suhu 30oC. Suhu rendah akan mempengaruhi

Page 122: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

106

ekspresi gen di hilum (Arif dan Hasan, 2000; Colyer, 2003).

Gejala biji mottle yang diakibatkan oleh infeksi SMV yaitu

warna coklat atau hitam yang berpusat di hilum biji, dan

berbentuk radial. Biji mottle disebabkan oleh akumulasi ferritin

dan anthocyanins atau leucoanthocyanins di dalam pigmen

yang berwarna coklat atau hitam. Meskipun biji terinfeksi SMV

tidak semua memperlihatkan gejala mottle, tetapi ini tergantung

dari kultivar kedelai karena ada tanaman terinfeksi tidak

menunjukkan bercak pada biji. Gejala pada biji disebabkan oleh

proses fotosintesis dan fiksasi nitrogen di dalam jaringan

tanaman terganggu. Tanaman sakit membentuk polong kecil,

rata, kurang berbulu dan lebih melengkung. Akar tanaman sakit

membentuk akar lebih sedikit dan lebih kecil. Kandungan

leghaemoglobin yang dikandung rendah, sehingga fiksasi

nitrogen berkurang. Tanaman yang terinfeksi oleh Bean peanut

mottle virus (BPMV) dan SMV secara bersamaan akan

menghasilkan gejala mottle dengan persentase yang lebih tinggi

dibandingkan infeksi oleh tunggal oleh SMV. Diantara lima

loci genetic yang independent (I, R, W, O dan T) yaitu gen

tunggal dominan (Im) mempunyai kemampuan untuk

mengontrol warna dan penyebaran pigmen yang menghasilkan

gejala mottle. Tanaman yang dipelihara pada suhu 20oC akan

menghasilkan biji dengan intensitas mottle yang lebih tinggi

dibandingkan tanaman yang dipelihara pada suhu 30oC, tetapi

suhu tidak mempengaruhi tingkat penularan SMV (Hobbs et

al., 2003).

Keanekaragaman gejala penyakit mosaik kedelai telah

muncul sejak pengamatan pada tanaman berumur 14–28 hst

dan semakin banyak keanekaragaman gejala terjadi pada

tanaman berumur 28–42 hst. Kesamaan terjadi pada tanaman

berumur 14–28 hst di semua lokasi dengan gejala daun

mengecil (Dm). Sedangkan pada tanaman berumur 28–42 hst

dengan gejala mosaik (M). Gejala pada umur 14–28 hst dan

28–42 hst di atas diikuti permukaan daun tidak rata atau

berkerut (Tr). Secara umum virus yang sama dapat

Page 123: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

107

menghasilkan gejala yang berbeda atau gejala yang sama dapat

disebabkan oleh virus yang berbeda, sehingga tidak semua

gejala mosaik disebabkan oleh SMV. Keanekaragaman gejala

di lapangan disebabkan oleh: (1) umur tanaman saat terjadinya

infeksi, jika tanaman yang terinfeksi saat awal akan

menyebabkan ruas batang menjadi lebih pendek dan ukuran

daun menjadi lebih kecil serta lebih banyak variasi gejala yang

dihasilkan di daun; (2) virus terbawa benih dan sumber

inokulum lain yang menghasilkan gejala mosaik di lapangan

sangat beragam.

Bentuk gejala mosaik pada tanaman terinfeksi virus

mempunyai keragaman karena tergantung pada jenis

tanamannya. Tanaman monokotil ditandai dengan warna hijau

dan terang dengan membentuk strip sebagai akibat terjadi

klorosis, seperti pada daun jagung terinfeksi oleh Maize stripe

virus. Gejala klorosis diakibatkan terjadinya pengurangan

klorofil dan tidak normalnya bentuk kloroplas serta kerusakan

histologi sel daun, seperti kerusakan sel palisade dan vakuola

sel. Gejala mosaik akibat klorosis dimulai dari sepanjang tulang

daun ke seluruh bagian daun. Pada tanaman dikotil, gejala

mosaik berbentuk garis yang tidak beraturan, berwarna hijau

tua dan kuning, seperti tembakau yang terinfeksi TMV. Gejala

mosaik diawali oleh pemucatan sepanjang tulang daun (vein

clearing) atau akumulasi warna hijau sepanjang tulang daun

(vein clearing) dan dapat dijumpai pada cabang dan buah.

b) Bercak bercincin (ringspot)

Gejala bercak bercincin merupakan gejala khas pada

beberapa virus tumbuhan. Gejala pada bagian tanaman yang

terinfeksi dilingkari garis berbentuk cincin klorosis serta

nekrose dengan lingkaran terpusat dari sel yang terinfeksi.

Gejala bercak bercincin kadang dijumpai pada batang dan

cabang dengan warna cokelat dari ruas dan berkembang ke

daerah antar ruas. Pada banyak tumbuhan gejala bercak

bercincin ini kadang-kadang dapat menghilang, kemudian pada

kondisi lingkungan menguntungkan gejala muncul lagi.

Page 124: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

108

Tanaman mempunyai kecenderungan berwarna tetap hijau

setelah tanaman yang tidak terinfeksi menua. Kebayakan virus

penyebab bercak bercincin tidak bisa ditularkan oleh aphid dan

leaf hopper, tetapi beberapa diantaraya dapat ditularkan oleh

nematoda.

c) Malabentuk daun

Perkembangan pertumbuhan yang tidak seimbang

menyebabkan terjadinya malabentuk di daun. Daun akan

mengalami kriting dan distorsi serta penggulungan akibat

perubahan sitologi sel tanaman dan berkurangnya jumlah

klorofil total daun serta penumpukan karbohidrat pada daun,

sehingga sintesis protein tanaman berkurang. Jaringan atau

organ baru mengalami pertumbuhan kecil-kecil pada daun

terutama pda tulang daun. Mala bentuk sering dijumpai pada

tanaman kedelai yang terinfeksi oleh Soybean mosaic virus dan

Cowpea mild mottle virus.

d) Bantut (stunting)

Gejala bantut menyebabkan ukuran tanaman yang

terinfeksi lebih kecil dibandingkan dengan tanaman normal.

Gejala bantut sering diikuti oleh gejala sistemik yang lain.

Gejala ini dapat dilihat pada bagian tanaman, seperti daun dan

bunga, sehingga mengakibatkan berkurangnya ukuran tanaman

tersebut. Salah satu gejala bantut sering dijumpai pada tanaman

kedelai yang terinfeksi oleh Soybean stunt virus (SSV)

(Gambar 22).

Page 125: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

109

Gambar 22. Gejala bantut pada tanaman kedelai terinfeksi Soybean stunt virus

Virus ini juga dikenal sebagai Cucumber mosaic

cucumovirus, Soybean stunt strain (CMV-SS) dan merupakan

kelompok Cucumovirus. Gejala yang ditimbulkan akibat

adanya serangan virus ini adalah mosaik pada daun dan

tanaman tidak dapat tumbuh normal (katai). Soybean stunt virus

mempunyai hubungan dengan Cucumber mosaic virus strain Y

(CMV strain Y), karena mempunyai persamaan bentuk partikel

dan reaksi serologis (Roechan, 1992).

Penyakit bantut virus menunjukkan gejala mosaik

sistemik. Gejala berkembang pada daun yang baru tumbuh

7−10 hari setelah inokulasi. Tanaman yang terserang menjadi

kerdil, daun tanaman berkeriput dengan gejala mosaik. Pucuk

tanaman melengkung dan terjadi pemucatan tulang daun yang

sedang tumbuh. Kemudian pada daun timbul belang yang

lemah disertai dengan pengerutan dan pengurangan ukuran

daun. Pada beberapa varietas gejala klorotik kadang

menghilang dan tanaman nampak pendek dan gemuk. Ukuran

biji yang terserang SSV menjadi lebih kecil, belang coklat. Ciri

yang lebih spesifik ditunjukkan oleh warna coklat melingkari

punggung biji sampai ke hilum biji. Gejala pada biji kurang

menampakkan gambaran yang jelas pada kedelai hitam dan

coklat.

Page 126: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

110

2) Gejala lokal

Gejala lokal biasanya disertai dengan perubahan warna dari

kuning ke coklat kemudian disertai dengan penghitaman serta

terbatas pada situs infeksi primer. Gejala ini sering dicirikan oleh

luka setempat atau bercak lokal pada daun-daun tumbuhan uji yang

diinokulasi. Bercak lokal mempunyai ukuran beragam dan dapat

berup klorosis karena hilangnya atau berkurangnya klorofil atau

kematian jaringan sel inang. Virus dengan gejala nekrosis kadang

tidak dapat menyebar ke organ tanaman lain dan gejala bercak lokal

merupakan satu-satunya yang dapat dilihat. Selain itu, inokulasi

virus pada tanaman inang tidak terbatas dijumpai pada situs infeksi

primer, tetapi menyebar ke bagian lain dan menyebabkan infeksi

sekunder atau infeksi sistemik. Sel yang mengalami nekrosis hanya

pada situs infeksi primer atau reaksi hipersensitif sebagai reaksi

ketahanan tanaman terhadap infeksi virus. Gejala bercak lokal

disebabkan oleh kerusakan klorofil dan kloroplas akan

menimbulkan klorosis. Gejala bercak lokal pada tanaman

Chenopodium amaranticolor yang terinfeksi Soybean mosaic virus

disajikan pada Gambar 23.

Gambar 23. Gejala bercak lokal pada tanaman Chenopodium amaranticolor. A:

tanaman C. amaranticolor sehat; B: yang terinfeksi Soybean mosaic

virus

Page 127: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

111

Gejala nekrosis disebabkan phloem dalam berkas pembuluh

pengangkutan terjadi degenerasi (nekrosis phloem), kadang-kadang

berkembang menjadi coreng nekrotik pada tangkai daun dan batang

pada pucuk batang atau kuncup pada tangkai daun. Pucuk batang

atau kuncup mengadakan reaksi yang cepat dengan nekrosis

(nekrosis pucuk, nekrosis kuncup). Nekrosis demikian dapat terus

berlangsung dan seluruh tumbuhan akan mati dengan cepat

Beberapa gejala lain yang tidak banyak ditemukan antara lain

stunt (corn stunt), dwarf (barley yellow dwarf), penggulungan daun

(potato leaf roll), rosset (peach rosete), whitches broom (lilac

witches broom), phloem nekroses (elm phloem necrosis), enation

(pea enation mosaic), tumors (wound tumor), rubbery wood (apple

rubbery wood), pitting of stem (apple stem pitting), pitting of fruit

(pear stony pit) dan flatening dan distorsi batang (apple flat limb).

Gejala dapat juga diikuti dengan gejala lain pada bagian lain dari

tumbuhan yang sama. Selain gejala-gejala tersebut di atas dapat juga

munculnya gejala mikroskopis, misalnya kelainan histologis dan

systologis, misalnya timbulnya pembesaran jaringan atau sel, terjadi

perubahan warna, kerusakan atau nekrose sel. Kloroplas dapat

menjadi lebih kecil atau lebih sedikit pada tumbuhan yang terserang

penyakit mosaik atau yellow serta ditemukan inclusion bodies di

antara sel-sel tumbuhan.

2. Gejala internal penyakit virus

Perubahan histologi pada bagian tanaman yang terinfeksi virus

khususnya daun, daun lembaga dan cabang tanaman dapat dibagi menjadi

tiga kelompok, yaitu nekrosis atau kematian sel, hiperplasia atau

pertumbuhan sel yang berlebihan serta hipoplasia atau penurunan

pertumbuhan sel. Hipoplasia merupakan gejala yang muncul bersamaan

dengan gejala mosaik, penurunan jumlah klorofil, tidak berkembangnya

sel mesofil dan tidak terdapat rongga antar sel, seperti bagian daun yang

menguning pada gejala mosaik.

Badan-badan dalam sel (inclusion bodies) pada tanaman terinfeksi

virus sering mengandung partikel virus dengan susunan berbentuk kristal

atau protein yang diimbas virus atau mengandung partikel virus dengan

Page 128: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

112

konsentrasi yang tinggi (viroplasma). Badan inklusi mempunyai bentuk

kristal tidak berbentuk atau badan X (X bodies). Struktur yang berbentuk

cakra (pinwheels) dijumpai di dalam sitoplasma. Struktur berbentuk cakra

hanya ditemukan pada infeksi virus dari genus Potyvirus. Struktur cakra

tidak mengandung virus, sehingga tidak menyebabkan infeksi pada

tanaman. Agregat berbentuk amorf, granular atau bentuk kristal dapat

mudah dideteksi dengan mikroskop cahaya dalam lapisan epidermis.

Badan inklusi dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok

sebagai berikut:

1) Kelompok 1

Inklusi berbentuk kristal tidak berbentuk, contoh amorf pada Rumex

acetosa yang terserang virus WTV (Wound tumor virus).

2) Kelompok 2

Kristal terdapat di dalam sitoplasma, jarang atau tidak pernah

terdapat inti, contoh tembakau yang terinfeksi TMV dan Vicia faba

yang terserang CVMV (Clover vein mosaic virus).

3) Kelompok 3

Kristal terdapat di inti dan sitoplasma, contoh pada Solanaceae yang

terserang Tobacco etch virus (TEV).

4) Kelompok 4

Wujud lain yang tidak biasa terdapat atau hanya dideskripsikan

sebagaian (struktur berbentuk cakra), contoh kacang tanah yang

terinfeksi Peanut stript virus (PStV).

Inklusi berbentuk kristal disebabkan TMV diekstrak utuh dan

diamati dengan mikroskop elektron, sehingga terlihat kristal tersebut

terdiri atas virion partikel virus. Pembentukan inklusi berbentuk kristal

biasanya dijumpai pada serangan virus yang berbentuk tongkat. Virus yang

berbentuk polyhedron jarang menyebabkan terbentuknya badan inklusi

berbentuk kristal. Meskipun mikro kristal pernah ditemukan dalam sel

Datura stramonium yang terinfeksi oleh Tomato bushy stunt virus

(TBSV). Badan inklusi dalam inti sel jarang ditemukan, namun infeksi

TEV pada tanaman tembakau dan BYMV (Bean yellow mosaic virus) pada

Vicia vaba atau Phaseolus vulgaris dapat menimbulkan badan inklusi

tersebut. Badan inklusi ini sering dijumpai berkelompok dalam inti atau

Page 129: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

113

terdapat sebagai badan inklusi tunggal dalam inti. Badan inklusi ini tidak

mengandung virus.

I. FISIOLOGIS TUMBUHAN YANG TERSERANG VIRUS

Infeksi virus akan mengurangi pertumbuhan vegetatif dan generatif

tanaman inang. Penghambatan pertumbuhan tanaman dapat disebabkan

oleh mekanisme fisiologi, antara lain:

1) Perubahan aktivitas hormon pertumbuhan tanaman.

2) Berkurangnya hasil fotosintesis dari tanaman.

3) Berkurangnya kemampuan tanaman untuk mengambil nutrisi.

Virus juga menyebabkan penurunan jumlah senyawa pengatur

pertumbuhan atau hormon dengan memperbanyak senyawa penghambat

pertumbuhan. Banyak gejala penyakit virus mengatur level endogen atau

metabolism pertumbuhan tanaman. Perubahan level hormon endogen

mengikuti infeksi virus, sehingga mengakibatkan terjadi degradasi atau

translokasi dan sintesis serta gugur daun. Infeksi virus menunjukkan

penambahan aktifitas peroksidase. Hal ini mengakibatkan terjadinya

keparahan gejala pada tanaman (Tomia, 2011).

Infeksi virus dalam sel tanaman akan mempengaruhi sintesis protein

dan asam nukleat pada tanaman. Selain itu mempengaruhi jumlah dan

bentuk sel serta organel, seperti mitokondria dan kloroplas. Oleh karena

itu, infeksi virus akan mempengaruhi metabolisme sel dan terjadinya

perubahan biokimiawi dan fisiologis dari tanaman. Gangguan metabolik

dan lain-lain dalam sel terinfeksi sering meluas ke sel-sel di dekatnya.

Infeksi pada tumbuhan yang rentan akan menyebabkan rentetan peristiwa

dan kelihatan apabila tumbuhan itu peka. Selain itu virus tumbuhan tidak

mempunyai enzim, toksin atau senyawa lain yang biasa terdapat pada

patogen. Namun demikian virus dapat menyebabkan kerusakan pada

tumbuhan. Pengaruh infeksi virus terhadap tanaman inang dapat

mempengaruhi berkurangnya laju fotosintesis tanaman inang dengan cara

mengurangi jumlah klorofil per daun atau efisiensi klorofil atau luas daun

setiap tumbuhan. Virus juga menyebabkan penurunan jumlah senyawa

pengatur pertumbuhan atau hormon dengan memperbanyak senyawa

penghambat pertumbuhan. Selain itu infeksi virus dapat mempengaruhi

peningkatan akumulasi senyawa lain, seperti fenolik , sehingga secara

Page 130: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

114

langsung atau tidak langsung infeksi virus akan menyebabkan akumulasi

abnormal dari hasil metabolism, meskipun pada tingkatan tertentu masih

dapat ditoleransi oleh tumbuhan dan tidak sampai menyebabkan gejala.

1. Asam nukleat

Asam nukleat (RNA dan DNA) disintesis dalam inti sel,

mitokondria serta kloroplas dan mempunyai fungsi sebagai penyusun gen

untuk menyandikan protein. RNA virus merupakan faktor penyebab

terjadinya penyakit, tetapi jumlah RNA atau virion dalam jumlah besar

sekalipun belum tentu menyebabkan timbulnya gejala penyakit. RNA

ribosome (rRNA) pada tanaman terinfeksi virus mempunyai konsentrasi

beragam. Hal ini sangat dipengaruhi oleh strain virus, tanaman inang dan

lamanya tanaman terinfeksi virus. Hasil pengamatan pada tanaman

tembakau menunjukkan infeksi virus akan menurunkan sintesis rRNA

pada kloroplas, tetapi tidak mempengaruhi sintesis rRNA pada inti.

Pengaruh infeksi TMV terhadap sintesis rRNA dipengaruhi oleh umur

daun. Infeksi pada daun yang muda akan menghambat sintesis rRNA,

sedangkan pada daun yang telah tumbuh sempurna, infeksi TMV tidak

menghambat sintesis rRNA, tetapi menghambat penumpukan rRNA

kloroplas. Sintesis DNA dalam inti tidak dipengaruhi oleh ada atau

tidaknya infeksi virus, tetapi sintesis DNA dalam mitokondria dan

kloroplas dipengaruhi oleh infeksi virus. Sintesis DNA dalam kloroplas

akan menurun pada tanaman terinfeksi. Hal ini sejalan dengan

berkurangnya pembentukan kloroplas. Beberapa tumbuhan mengandung

jumlah virus lebih banyak, namun penampakan gejala lebih lemah

dibanding tumbuhan lain dengan kandungan virus lebih sedikit, bahkan

tumbuhan tersebut menjadi symtomless carier. Hal ini menujukkan bahwa

penyakit virus pada tumbuhan tidak tergantung kepada metabolisme dari

tumbuhan untuk sintesa virus, tetapi lebih tergantung kepada penyebab

yang tidak langsung dilakukan oleh virus terhadap tanaman inang.

2. Protein

Penyakit pada tumbuhan terutama disebabkan oleh protein-protein

baru disintesa dengan perantaraan virus yang merupakan senyawa aktif

(enzim, toksin). Senyawa ini dapat mengganggu metabolisme dari inang.

Page 131: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

115

Pemakaian komponen metabolit tanaman untuk sintesis protein virus akan

mengakibatkan tanaman kahat metabolit yang secara langsung terjadi

penurunan sintesis protein tanaman. Gangguan terhadap metabolisme

dilakukan oleh senyawa aktif tersebut dengan cara:

a) Merusak permeabilitas membrane.

b) Aktivasi enzim tumbuhan, sehingga terjadi hasil akhir yang bersifat

pasif.

c) Pembelokan siklus metabolisme, sehingga siklus tersebutmengikuti

jalur yang berbeda dan akumulasi dari senyawa-senyawa hasil

metabolisme.

1) Kandungan nitrogen

Jumlah senyawa nitrogen yang bukan bagian virus tumbuhan

yang terserang akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan pada

beberapa tumbuhan yang terserang oleh virus sekitar 33−65% dari

total nitrogen pada tumbuhan tersebut merupakan bagian nitrogen

yang berhubungan dengan virus. Bila tumbuhan tersebut diberi

pupuk nitrogen yang tinggi, maka jumlah total nitrogen pada

tumbuhan yang terserang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah

nitrogen pada tumbuhan sehat yang dipupuk dengan jumlah

pemupukan yang sama, terutama setelah fase sintesa virus yang

cepat.

Kandungan nitrogen pada tanaman tembakau terinfeksi TMV

memperlihatkan 30% protein dalam tanaman terinfeksi berada

dalam bentuk protein virus. Kandungan nitrogen meningkat hingga

60% pada tanaman yang diberi pupuk fosfat, tetapi kahat nitrogen.

Oleh karena itu tanaman terinfeksi mengandung senyawa nitrogen

lebih rendah dibandingkan dalam tanaman sehat. Hal ini disebabkan

nitrogen lebih banyak digunakan untuk membentuk virus (Matthew,

1992). Pengaruh virus terhadap senyawa, seperti nitrogen dan

hormon serta fenol dianggap merupakan penyebab timbulnya gejala

karena nitrogen dan hormon pertumbuhan selalu berperan dalam

pertumbuhan dan differensiasi tumbuhan. Sedangkan senyawa fenol

yang sudah teroksidasi mempunyai sifat racun, sehingga dapat

menimbulkan gejala nekrose.

Page 132: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

116

2) Poliribosom

Saat sintesis protein, ribosom mengelompok menjadi

poliribosom (polisom). Sebagian besar protein dibuat oleh ribosom

bebas akan berfungsi di dalam sitosol. Sedang ribosom terikat

umumnya membuat protein yang dimasukkan ke dalam membran,

untuk pembungkusan dalam organel tertentu seperti lisosom atau

dikirim ke luar sel. Oleh karna itu, poliribosom merupakan

kumpulan ribosom yang tidak terikat pada reticulum endoplasma.

Sintesis protein dan poliribosom mempunyai peran lebih banyak

dalam sintesis virus dibandingkan sintesis protein tanaman.

Kandungan poliribosom tanaman akan menurun sat aktivitas sintesis

virus yang tinggi saat sebelum gejala penyakit nampak.

3. Karbohidrat

Infeksi virus akan mempengaruhi fiksasi CO2 (fotosintesis) dan laju

penumpukan karbohidrat. Tanaman kentang yang terinfeksi Potato leaf

roll virus (PLRV) akan mengalami penumpukan karbohidrat pada daun

sebanyak 2−3 kali bila dibandingkan dengan tanaman normal, tetapi

mengalami penumpukan karbohidrat di dalam umbi. Hal ini karena

nekrosis dalam jaringan pembuluh ayak. Penumpukan karbohidrat dimulai

saat pembuluh ayak belum mengalami nekrosis. Perubahan permeabilitas

selaput sel dan aktivitas ensim akibat infeksi virus menyebabkan hambatan

pemindahan fotosintat dari daun ke bagian tanaman yang lain.

4. Fotosintesis tanaman

Gejala mosaik atau menguning (yellowing) pada tanaman terinfeksi

virus disebabkan karena menurunnya efisiensi kloroplas. Pada daun

terinfeksi virus akan menyebabkan perubahan bentuk dan ukuran

(malformasi), penggumpalan kloroplas serta penumpukan pati. Infeksi

virus mengakibatkan penurunan proses biokimia kloroplas dan penurunan

pigmen fotosintesis, seperti karoten dan xantofil. Infeksi virus juga

menurunkan kndungan klorofil total daun. Selama replikasi virus, CO2

pada fotosintesis tanaman normal akan menjadi karbohidrat. Namun pada

tanaman terinfeksi virus cenderung mengalami perubahan menjadi asam

organik, seperti asam amino. Infeksi virus menyebabkan jumlah dan

Page 133: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

117

aktivitas virus akan menurunkan laju fiksasi CO2 mencapai 50%

(Goodman et al., 1986).

J. PENGIMBASAN PENYAKIT VIRUS TUMBUHAN

Virus tumbuhan tidak dapat melakukan penetrasi langsung ke dalam

tumbuhan untuk memulai infeksi, sehingga memerlukan bantuan agar

virus masuk ke dalam sitoplasma karena virus harus berada dalam sel

untuk melakukan replikasi. Oleh karena itu, virus harus dibantu oleh

serangga vektor atau melalui luka yang terjadi secara mekanis.

1. Mekanisme virus menyebabkan penyakit

Replikasi virus melibatkan organisasi sel dan metabolit inang untuk

memperbanyak virus dalam sel inang. Tiga cara virus dapat mengimbas

penyakit pada tanaman inang:

1) Penggunaan metabolisme tanaman untuk sintesis virus.

2) Penumpukan virion atau bagian dari virus.

3) Dampak dari polipeptida tak struktur khas yang disandikan oleh gen

virus.

Gejala penyakit pada tanaman inang dapat diimbas akibat

penggunaan hasil metabolisme tanaman untuk sintesis virus, sehingga

tumbuhan akan mengalami kahat metabolit, seperti asam amino, energi

(ATP), nukleotida, dan enzim. Selain itu gejala dapat diakibatkan akibat

penumpukan virion, seperti subunit selubung protein, genom virus serta

dampak dari polipeptida nonstruktur yang disandikan oleh gen virus.

2. Faktor penyebab penyakit virus

Penyakit virus dipengaruhi oleh faktor tanaman inang, virus dan

lingkungan, sehingga sering disebut segitiga penyakit. Kebanyakan jenis

tumbuhan dapat diinfeksi oleh virus dengan kisaran yang sangat luas dan

banyak diantaranya mempunyai strain yang sangat berbeda pengaruhnya

terhadap tumbuhan. Sebaliknya, beberapa virus dapat menginfeksi banyak

jenis tumbuhan dan reaksinya bergantung pada jenis tumbuhan, kultivar

dan genotip. Setiap tumbuhan dapat mengadakan reaksi yang berbeda

beda, sehingga memungkinkan untuk melakukan seleksi alami dan buatan

untuk ketahanan dan toleransi. Sebaliknya, virus juga dapat mengadakan

adaptasi dan menghasilkan genotip baru yang akan mengatasi resistensi.

Page 134: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

118

Hal ini akan menyebabkan hubungan genetik yang dinamik antara virus

dan inang. Kepatogenan virus bergantung pada keagresifan atau

keinfektifan atau kesiagaan untuk menginfeksi dan menyerbu inang serta

memperbanyak diri di dalamnya. Predisposisi inang atau kepekaan atau

mudah sakit dipengaruhi oleh kerentananan atau kesiapan untuk menerima

virus dan membantu perbanyakan serta penyebaran internal serta kepekaan

terhadap reaksi virus. Tumbuhan dapat sangat rentan, akan tetapi tidak

peka seperti halnya pada macam-macam infeksi laten. Derajad infeksi atau

derajad menyerang bergantungpada sikap agresif virus dan kerentanan

inang, sedang beratnya gejala bergantung pada virulensi virus dan

kepekaan inang. Diagram hubungan virus-inang dan keadaan eksternal

disajikan pada Gambar 24.

Gambar 24. Diagram hubungan virus-inang dan keadaan eksternal (Boss, 1983)

Page 135: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

119

Faktor lingkungan mempengaruhi intensitas serangan oleh virus

terutama suhu, kelembaban udara dan sinar matahari melalui pengaruhnya

pada tanaman dan aktivitas vektor. Sinar dan suhu sering menentukan

terhadap sifat dan beratnya gejala. Gejala pada keadaan tertentu kadang

menampakan samar (tersamar= masked). Peningkatan suhu udara juga

merangsang terjadinya ledakan dan keperidian vektor, seperti Aphis

glycines dan Aphis cracivora. Intensitas serangan virus dipengaruhi oleh

populasi serangga vektor dan kondisi lingkungan. Umumnya intensitas

serangan virus lebih tinggi pada pertanaman saat musim kemarau ke II

bulan Juni-Juli-Agustus-September dibandingkan musim kemarau ke I

bulan Maret-April-Mei-Juni atau pada musim hujan. Hal ini berkaitan

dengan jumlah vektor pada musim kemarau dan tersedianya jumlah

inokulum lebih banyak pada musim kemarau ke II. Semakin tinggi suhu,

semakin singkat siklus hidup vektor, seperti B. tabaci, ini berarti populasi

serangga tersebut akan cepat meningkat, sehingga mempercepat terjadinya

epidemik penyakit virus belang samar kedelai (Wiyono, 2007). Angin

kencang juga memudahkan dan mempercepat serangga vektor untuk

pindah ke tanaman lain, sehingga mempercepat penyebaran penyakit virus.

Hal ini dibuktikan pada pertanaman kedelai di berbagai propinsi seperti

Lampung, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat serta Nusa Tenggara

barat telah terserang oleh penyakit bantut kedelai.

Menurut Petzoldt dan Seaman (2010), setiap peningkatan suhu

sebesar 2oC akan mengakibatkan peningkatan satu hingga lima siklus

hidup serangga per musim. Meskipun, vektor akan mengalami

penghambatan pertumbuhan ketika terjadi suhu yang esktrim panas atau

esktrim dingin. Selain itu serangga Aphis di negara tropis melakukan

perkembangbiakan secara parthenogenesis atau tidak dengan kawin,

sehingga kelimpahan populasi dengan peningkatan suhu akibat perubahan

iklim semakin cepat. Pengaruh pemanasan global sangat berperan terhadap

timbulnya epidemi, khususnya penyakit yang disebabkan oleh virus yang

penyebarannya melalui serangga vektor, yaitu dengan adanya peningkatan

populasi serangga vektor Aphis glycines dan kutu kebul. Selain itu suhu

tinggi akan memicu aktivitas terbang serangga vektor.

Aphis craccivora, Aphis spiraecola dan Myzus persicae sebagai

vektor memerlukan kurang dari 1 menit untuk inokulasi Peanut stunt virus

Page 136: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

120

ke tanaman kacang tanah. Hal ini karena virus tidak mempunyai periode

laten, sehingga tidak ditularkan ke keturunan afid tersebut. Oleh karena itu,

bibit dari benih terinfeksi dapat menyebarkan penyakit virus tersebut.

Meskipun penularan melalui benih pada laju yang sangat rendah. Jika virus

disebarkan melalui biji yang terinfeksi, maka virus masuk ke dalam ovule

atau berasal dari pollen yang telah diserbuki.

K. RANGKUMAN

Virus tidak mampu memperbanyak diri di luar suatu sistim selular

karena tidak mempunyai enzim untuk sitesis partikel virus baru. Sintesis

DNA di dalam inti sel tanaman tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya

infeksi virus, tetapi sintesis DNA dalam mitokondria dan kloroplas

dipengaruhi oleh infeksi virus. Partikel virus terdiri atas: single strand

RNA (SS RNA) atau double strand RNA (ds RNA) atau single strand

DNA (ss DNA) atau double strand DNA (ds DNA). Asam nukleat ini

dibungkus oleh selubung protein atau capsid. Protein sebagai mantel

pelindung selama masa istirahat virus dapat memainkan peranan penting

dalam pengenalan selama berlangsungnya infeksi.

Virus mengalami perubahan bentuk ketika berada dalam sel

tanaman inang sesuai dengan tahap replikasi virus. Bentuk virus tumbuhan

digolongkan : 1) virus tak-isometri berbentuk tongkat (rod-shaped; 2) virus

isometri berbentuk icosahedral; 3) virus berbentuk basili. Infeksi virus

pada tumbuhan inang mempunyai ketergantungan dengan sintesa virus

karena infeksi virus tidak akan terjadi bila virus tidak dapat melakukan

multiplikasi dalam inang. Pergerakan virus dari sel ke sel mengikuti

lubang-lubang plasmodesmta sebagai penghubung sel-sel dan tempat

retikulum endoplasma. Virus tidak bergerak melalui sel-sel parenkim,

kecuali bila virus tersebut menginfeksi sel dan bermultiplikasi di

dalamnya, sehingga menyebabkan serangan dari sel satu ke sel lain secara

berantai. Replikasi virus merupakan proses genetika molekul yang

berhubungan dengan replikasi asam nukleat (RNA atau DNA), transkripsi

dan translasi RNA dalam sel inang. Mekanisme penterjemahan RNA virus

diatur oleh asam nukleat.Virus ssRNA seperti TMV untai + dapat langsung

bertindak sebagai RNA. Virus dengan untai RNA (Rhabdovirus), lebih

dulu mRNA khusus harus ditranskripsikan. Hal ini berlaku ds RNA,

Page 137: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

121

seperti Reovirus, dimana setiap 10 sampai 12 segmen genomnya dapat

menghasilkan mRNA sendiri. Penggabungan asam nukleat dan protein

menjadi virion terjadi dalam sitoplasma atau dalam inti dan sering dalam

masa padat elektron yang baru terbentuk (viroplasma) atau dalam badan-

badan kandungan yang tidak berbentuk (amorf) tampak terlihat dengan

mikroskop elektron.

Tanaman yang terinfeksi virus dapat menimbulkan berbagai macam

gejala pada sebagian atau seluruh bagian dari tumbuhan. Gejala penyakit

virus disebabkan dampak infeksi virus yang nampak secara visual atau

kasat mata pada tanaman terinfeksi virus. Infeksi virus akan mengurangi

pertumbuhan vegetative dan generatif tanaman inang. Penghambatan

pertumbuhan tanaman dapat disebabkan oleh mekanisme fisiologi, antara

lain: 1) perubahan aktivitas hormon pertumbuhan tanaman; 2)

berkurangnya hasil fotosintesis dari tanaman; 3) berkurangnya kemampuan

tanaman untuk mengambil nutrisi. Penurunan fotosintesis pada tanaman

terinfeksi virus merupakan akibat dari menurunnya efisiensi kloroplas,

sehingga pada daun yang terinfeksi virus akan terjadi malformasi atau

perubahan bentuk.

Infeksi virus mengakibatkan terjadinya degenerasi proses biokimia

kloroplas, serta penurunan pigmen fotosintesis lainnya, seperti karotien

dan xantofil. Infeksi virus juga akan menurunkan kandungan klorofil total

daun. Virus tumbuhan tidak dapat melakukan penetrasi langsung ke dalam

tumbuhan untuk memulai infeksi, sehingga memerlukan bantuan agar

virus masuk ke dalam sitoplasma karena virus harus berada dalam sel

untuk melakukan replikasi. Oleh karena itu, virus harus dibantu oleh

serangga vektor atau melalui luka yang terjadi secara mekanis.

L. DAFTAR PUSTAKA

Agrios G.N. 2005. Plant Pathology. Department of Plant Pathology

University of Florida. Fifth Edition. Elsevier Academic Press. 731-

737 p.

Akin, M.H.2006. Virologi Tumbuhan. Penerbit Kanisius.187 hal.

Andayanie W.R. & P.G. Adinurani. 2014. Seleksi galur dari populasi F4

kedelai yang tahan terhadap penyakit mosaic (Soybean mosaic

Page 138: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

122

virus) dan berdaya hasil tinggi. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan

Tropika 14(2): 152−159.

Andayanie W.R. 2009. Kajian molekular Soybean mosaic virus (SMV)

isolat Jawa Timur. Hibah penelitian untuk mahasiswa program

Doktor. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta. Laporan Akhir dipublikasikan.

Andayanie W.R., Sumardiyono, Y.B., Hartono, S. & P. Yudono. 2011.

Incidence of soybean mosaic disease in East Java Province. J.

Agrivita Science. 33 (1): 15−22.

Arif M. & S. Hassan. 2000. Occurrence and distribution of Soybean

Mosaic Potyvirus in soybean crop of North West Frontier

Province, Pakistan and Characterization of Prevalent Isolates.

Pakistan Journal of Biological Science 3 (12): 2126-2130 p.

Bos L. 1983. Pengantar Virologi Tumbuhan. Terjemahan Triharso, 1990.

Gadjah Mada Press. Yogyakarta, 389 pp.

Colyer, P.D. 2003. Soybean Disease Atlas. Second Edition. Editor

Lousiana State University. Agricultural Center Lousiana.

Copyright 2003−2010. (http://cipm.ncsu.edu/ent/ssdw/soyatlas.

htm). Accessed 4 Februari 2010.

Goodman R.N, Z. Kiraly & K.R. Wood. 1986. The Biochemistry and

Physiology of Plant Disease. University of Missouri Press.

Columbia.

Haresh, P.S., R. Madhubala, A.I. Bhat. 2006. Characterization of

Cucumber mosaic virus infecting Indian long pepper (Piper

longum L.) and betel vine (Piper betle L.) in India. Indian Journal

of Biotecnology. 5 : 89 – 93.

Hobbs, H.A., G.L. Hartman, Y. Wang, C.B. Hill, R.L. Bernard, Pedersen

& W.L. Domier. 2003. Occurrence of seed coat motling in

soybean plants inoculated with Bean pod mottle virus and Soybean

mosaic virus. The American Phytopathological Society. J. of Plant

Disease 87: 1333−1335 p.

Inchima S.U., A.L. Haenni, F. Bernadi. 2001. Potyvirus protein: A Wealth

of fungtions. Virus Research, 74: 157−175.

Kim & C.W. Choi. 2006. Molecular characterization of Soybean mosaic

virus NIa protein and its processing event in bacterial expression.

Page 139: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

123

American Journal of Biochemistry and Biotechnology. 2 (4):

148−153.

Lim, W.S., Y.H. Kim & K.H. Kim. 2003. Complete genome sequence of

the genomic RNA of Soybean mosaic virus Strain G7H and G5. J.

of Plant Pathol. 19: 171−176.

Matthews, 1992. Fundamental of Plant of Virology. In: The Plant Health

Instructor. DOI: 10.1094/PHI-1-2001-0129-01.

Petzoldt, C. & A. Seaman. 2010. Climate change effets on insect and

pathogens. Climate change and agriculture: Promoting practical

and profitable Responses. Diunduh dari http://www.cornel.edu.

Tanggal 01/12/2014.

Revers F., O.L. Gall, T. Candresse & A.J. Maule. 1999. New advances in

understanding the molecular biology of plant/Potyvirus interaction

(current review).MPMI, 12(5): 367−376.

Shaw, J.G.., A.G. Hunt, T.P. Pirone and R.E. Rhoads. L990. Organization

and Expression of Potyvirus Genes. In Pirone, T.P. and J.G. Shaw

(eds.). Viral genes and Plant Pathogenesis. Springer-Verlag. New

York. 215 p.

Tomia A. 2011. Pengaruh auksin terhadap induksi virus pada gugur daun

tanaman cabai. J. Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan

UMMU-Ternate), 4 (1): 65-68.

Yuwono, T. 2015. Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada Press.

Yogyakarta. Hal. 26.

M. PELATIHAN

1. Jelaskan fungsi komponen yang paling dominan dari virion dan

sebutkan pula penyusunnya.

2. Jelaskan fungsi biologi dari makromolekul penyusun virus

tumbuhan.

3. Jelaskan beberapa tipe genom virus tumbuhn.

4. Jelaskan replikasi potyvirus yang mempunyai genom +ss RNA.

5. Jelaskan replikasi Cauliflower mosaic virus yang mempunyai

genom dsDNA.

Page 140: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

124

6. Jelaskan faktor yang mempengaruhi gejala eksternal akibat

penyebaran virus dari situs infeksi primer ke bagian lain dari

tanaman inang.

7. Jelaskan pengaruh infeksi virus terhadap tanaman inang.

8. Apa dampak terjadi penurunan fotosintesis pada tanaman terinfeksi

virus.

9. Jelaskan cara perpindahan virus dalam tanaman inang.

10. Jelaskan tiga cara virus dapat mengimbas penyakit pada tanaman

inang.

Page 141: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

125

BAB V.

INSEKTISIDA NABATI

A. DASAR PIKIRAN

Penggunaan insektisida sintetis secara terus menerus akan

menyebabkan munculnya biotipe baru dan pencemaran lingkungan. Oleh

karena itu diperlukan pengembangan cara pengendalian kimiawi untuk

menggunakan insektisida yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya

yaitu menggunakan ekstrak tumbuhan sebagai sarana pengendalian. Bahan

organik asal tumbuhan di Indonesia mempunyai keragaman flora yang

sangat besar. Lebih dari 400 ribu jenis tumbuhan telah teridentifikasi

bahan kimianya dan 10 ribu di antaranya mengandung metabolit sekunder

yang potensial sebagai bahan baku insektisida nabati. Hasil-hasil penelitian

menunjukkan senyawa metabolit sekunder dari beberapa tumbuhan dapat

mengendalikan populasi serangga hama. Penggunaan insektisida nabati

dalam kegiatan perlindungan tanaman perlu selalu dipromosikan dan

dimasyarakatkan. Salah satu upaya pemasyarakatan tersebut adalah dengan

penyebarluasan informasi jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai

pestisida nabati, yang dapat dimanfaatkan dalam pengendalian hama.

Pada pembahasan ini akan dikaji potensi tumbuhan sebagai sumber

insektisida nabati, mekanisme insektisida nabati melindungi tanaman,

kendala dan strategi pengembangan insektisida nabati, teknik produksi

insektisida nabati formula cair organik. Aplikasi insektisida nabati dan

penyimpanan insektisida nabati. Setelah membaca dan memahami bagian

ini, diharapkan pembaca atau mahasiswa dapat mengerti tentang: 1)

perkembangan insektisida nabati dan bahan metabolit sekunder yang

potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku insektisida nabati; 2)

Prospek penggunaan insektisida nabati; 3) mekanisme kerja dari

insektisida nabati; 4) faktor penghambat untuk pengembangan insektisida

nabati; 5) kelebihan dan kelemahan insektisida nabati.

Page 142: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

126

B. SEJARAH DAN PERKEMBANGN INSEKTISIDA

NABATI

Berdasarkan catatan sejarah, insektisida nabati sebenarnya sudah

lama digunakan, misalnya penggunaan air perasan daun tembakau dan

pyrethrum sudah dipraktekan oleh petani di Perancis pada tahun 1690-an.

Perasan daun tembakau digunakan untuk mengendalikan hama kepik pada

buah persik. Tepung bunga Piretrum (Tanacetum cinerariaefolium)

digunakan sebagai insektisida yang bersifat racun saraf pada berbagai jenis

serangga dan aman untuk binatang menyusui di daerah Kaukasus-Iran

pada tahun 1800 (Chan Bacab & Pena Rodriguez 2001; Biebel et al.

2003). Abad ke 19, piretrum dari bunga krisan dan rotenon dari akar

sayuran mulai dikembangkan sebagai insektisida nabati untuk

mengendalikan kutu. Nenek moyang kita juga telah mengembangkan

insektisida nabati yang ada di lingkungan pemukimannya untuk

melindungi tanaman dari serangan pengganggunya secara alamiah. Mereka

memakai insektisida nabati atas dasar kebutuhan praktis dan disiapkan

secara tradisional.Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi

yang tidak ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang kita bermula dari

kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa), tumbuhan

bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan

berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak

disukai hewan/serangga, seperti awar- awar, rawe, senthe), atau tumbuhan

lain berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji

sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak, dll).

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, sejauh ini tidak

diketahui sejarah penemuan insektisida nabati dari ekstrak daun pepaya

terutama dari dimensi waktu. Namun, terdapat satu rujukan yang

menyebutkan bahwa awal mula pemanfaatan insektisida daun papaya

dimulai melalui sebuah penelitian dan pengamatan aplikasi insektisida

tersebut pada pertanaman bayam, dan dari hasil pengamatan terssbut

diketahui bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari aplikasi pestisida

ekstrak daun pepaya terhadap serangan ulat pada pertanaman bayam. Akar

tuba (Derris elliptica) telah digunakan untuk mengendalikan hama pala di

Malaysia sejak tahun 1848. Oleh karena itu sediaan insektisida dari bunga

piretrum, daun tembakau, dan akar tuba sering digunakan dalam

Page 143: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

127

pengendalian hama sebelum tahun 1950-an. Namun, dalam kurun waktu

selanjutnya, penggunaan insektisida nabati mulai ditinggalkan setelah

ditemukannya DDT (Dichloro Diphenyl Trichloroetane) sebagai hasil

samping pengolahan minyak bumi oleh Paul Herman Muller pada tahun

1940-an yang sangat efektif sebagai insektisida dan digunakan secara

meluas setelah berakhirnya perang dunia ke dua, selanjutnya

bermunculnya produk-produk insektisida kimia sintetis. Hingga tahun

1950an, insektisida berbahan dasar arsenik masih dominan. Pengendalian

dengan insektisida botani hampir dilupakan ketika produksi insektisida

kimia sudah mencapai ribuan merk dagang diseluruh dunia, sampai

terjadinya sindroma pestisida dan malapetaka akibat penggunaan

insektisida kimia yang tidak bijaksana di berbagai negara. Kepedulian

terhadap ekotoksikologi mulai muncul ketika terjadi kasus keracunan akut

di akhir abad ke 19 melalui tulisan Rachel Carson, Silen Spring yang

menggambarkan dampak pada lingkungan yang tidak menyenangkan

akibat bahan kimia. Organoklorin menjadi dominan, namun segera

digantikan oleh organofosfat dan karbamat pada tahun 1975 di negara

maju. Senyawa piretrum menjadi insektisida dominan. Herbisida

berkembang dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1960an dengan

triazin dan senyawa berbasis nitrogen lainnya, asam karboksilat, dan

glifosat.

Pengendalian dengan insektisida nabati mulai mendapat perhatian

lagi setelah konsep pertama tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

dimunculkan. Hal ini didukung oleh informasi dampak negatif akibat

penggunaan insektisida kimia dalam sebuah buku yang amat terkenal

berjudul “Silent Spring” karangan Rachel Carson. Selain itu Dr Robert van

den Bosh tahun 1978 menulis buku tentang “ The Pesticide Conspiracy”,

maka perhatian khalayak tertuju pada pertanian organik, salah satunya

dengan penggunaan alternatif untuk pengelolaan jasad pengganggu dengan

insektisida nabati.

C. POTENSI TUMBUHAN SEBAGAI SUMBER

INSEKTISIDA NABATI

Indonesia mempunyai keragaman flora yang sangat besar.

Walaupun hanya sekitar 10 ribu jenis metabolit sekunder yang telah

Page 144: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

128

teridentifikasi, jumlah bahan kimia pada tumbuhan yang potensial sebagai

pestisida nabati diperkirakan mencapai 400 ribu jenis (Aranillewa et al.

2006). Diperkirakan ada sekitar 1.800 jenis tanaman yang mengandung

pestisida nabati yang dapat digunakan untuk pengendalian hama. Di

Indonesia, jenis tumbuhan penghasil insektisida nabati tersebar dalam 235

famili dengan 2.400 jenis tanaman. Oleh karena itu, pemanfaatan

insektisida nabati lebih prospektif untuk dikembangkan karena bahan

bakunya tersedia dan pembuatannya mudah sehingga akan cepat diadopsi

petani.

Hal pertama yang perlu diketahui untuk menilai prospek insektisida

nabati adalah potensi insektisida pada kemampuannya untuk mematikan

hama sasaran, tetapi bisa juga tingkat bioaktivitas lainnya, misalnya

pengaruh penolakan (repellency). Pelaku usahatani atau agribisnis

biasanya mencari bahan insektisida yang dapat mematikan hama sasaran

dengan cepat. Namun, pengendalian lalat buah mengandung bahan yang

bersifat sebagai repellent juga sangat bermanfaat. Bahan insektisida alami

baru harus mempunyai efektifitas pada dosis rendah atau memiliki

bioaktivitas tinggi agar mampu bersaing dengan produk insektisida sintetis

yang sudah ada di pasaran. Untuk bisa mendapatkan bahan seperti itu

diperlukan pendekatan penelitian yang tepat. Pencarian bahan insektisida

nabati dapat dilakukan melalui salah satu atau beberapa pendekatan

berikut:

a. Pengujian sejumlah besar tumbuhan atau organisme lain yang

dipilih secara acak

Sifat insektisida tanaman Ryania speciosa (Flacourtiaceae)

diungkapkan melalui pengujian yang melibatkan sekitar 2500 jenis

tumbuhan. Sediaan insektisida dari batang R. speciosa dengan bahan

aktif rianodin pernah digunakan di Amerika Serikat untuk

mengendalikan penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis.

b. Penapisan senyawa aktif dalam tumbuhan atau organisme lain

berdasarkan penggunaannya dalam pengendalian hama secara

tradisional

Azadirachtin diisolasi dari tanaman mimba yang daun dan buahnya

telah lama digunakan untuk pengendalian hama di lapang maupun di

penyimpanan di anak benua Indo-Pakistan.

Page 145: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

129

c. Pengujian sifat insektisida bahan tumbuhan atau organisme lain

berdasarkan penggunaannya dalam pengobatan tradisional atau

pengetahuan tentang aktivitas biologi lainnya

Senyawa penghambat ekdisis plumbagin diisolasi dari tumbuhan

yang biasa digunakan dalam pengobatan tradisional di Afrika.

Isolasi senyawa nereistoksin dari cacing laut L. heteropoda di

Jepang diilhami oleh temuan adanya ikan-ikan yang mati keracunan

setelah memakan cacing tersebut.

d. Pengujian sifat insektisida berbagai jenis tumbuhan atau organisme

lain yang sekerabat (pencarian senyawa golongan tertentu dari

berbagai jenis tumbuhan atau organisme lain yang sekerabat)

Isolasi berbagai jenis senyawa limonoid yang bersifat insektisida

dari tanaman Meliaceae dipicu oleh keampuhan azadirakhtin dari

biji mimba. Isolasi senyawa asimisin dari tanaman Asimina triloba

(Annonaceae) telah mendorong pengujian sifat insektisida tanaman

Annonaceae lainnya. Isolasi rokaglamida (golongan benzofuran)

yang bersifat insektisida dari tanaman Aglaia odorata telah

mengilhami isolasi senyawa rokaglamida dan derivatnya dari

beberapa spesies Aglaia lainnya. Penemuan spinosin dari Sa.

spinosa (Actinomycetes) diilhami oleh penemuan avermektin dari

Actinomycetes lainnya, yaitu S. avermitilis.

e. Pengujian sifat insektisida tumbuhan atau organisme lain

berdasarkan pengamatan ekologi

Isolasi senyawa ajugarin yang bersifat menghambat makan dan

perkembangan serangga dari tumbuhan Ajuga remota (Labiatae)

diilhami oleh kenyataan bahwa tumbuhan tersebut di Afrika tidak

diserang oleh ulat grayak Spodoptera exempta, sedangkan tumbuhan

lain di sekitarnya digunduli oleh ulat tersebut.

Pendekatan digunakan, bila ekstrak disiapkan dengan pelarut

organik, konsentrasi yang digunakan pada pengujian awal hendaknya tidak

melebihi 0,5%. Ekstrak yang tidak aktif pada konsentrasi tersebut mungkin

disebabkan karena senyawa yang terkandung di dalamnya kurang aktif

atau senyawa tersebut sebenarnya cukup aktif tetapi kandungannya rendah.

Alasan kedua, senyawa aktifnya mungkin bisa digunakan sebagai model

untuk pengembangan insektisida baru, namun kemungkinan tidak berbeda

Page 146: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

130

dengan insektisida sintetik yang lain. Ekstrak yang tidak aktif pada

konsentrasi 0,5% sebaiknya tidak diteliti lebih lanjut, karena kurang layak

secara ekonomi maupun ekologi (misal, fitotoksik dan beracun terhadap

musuh alami, terutama parasitoid telur). Jika pengujian dilakukan dengan

menggunakan senyawa murni, konsentrasi yang diuji hendaknya tidak

melebihi 5 ppm. Senyawa yang kurang aktif pada konsentrasi tersebut

(LC95 > 5 ppm) tidak akan mampu bersaing dengan produk yang sudah ada

di pasaran. Azadirakhtin dari biji mimba dan rokaglamida dari beberapa

spesies Aglaia aktif terhadap beberapa spesies serangga pada konsentrasi

di bawah 5 ppm. Ekstrak aseton dari biji Aglaia harmsiana, Dysoxylum

mollissimum dan Trichilia trijuga pada konsentrasi 0,25% dapat

mematikan larva Crocidolomia binotalis (ulat krop kubis) berturut-turut

100%, 94,7%, dan 86,6%, sedangkan pada perlakuan dengan ekstrak

etanol (fase etil asetat) kulit batang A. angustifolia, kematian larva 100%

dapat dicapai dengan konsentrasi perlakuan serendah 135 ppm. Fakta

menunjukkan bahwa peluang untuk menemukan sumber baru insektisida

nabati yang potensial masih terbuka lebar mengingat baru sekitar 10 – 15%

sumberdaya nabati di tanah air yang telah dieksplorasi sifat insektisidanya.

Bahan tanaman lain yang telah diketahui bersifat insektisida dan

telah diverifikasi potensial antara lain biji mimba, biji Aglaia elliptica dan

A. odoratissima, ranting A. odorata, biji Annona glabra (buah nona

sabrang) dan Annona squamosa (srikaya). Ekstrak bahan-bahan tanaman

tersebut dapat mematikan larva C. binotalis sampai 100% pada konsentrasi

antara 0,1 – 0,5%. Sementara itu, bahan-bahan tanaman lain yang sering

dilaporkan bersifat insektisida, tetapi setelah diverifikasi menggunakan

standar di atas ternyata kurang menjanjikan, antara lain biji sirsak (An.

muricata), biji buah nona (An. reticulata), Aphanamixis grandifolia,

Khaya spp., dan mahoni (Swietenia spp.). Bila suatu ekstrak tanaman akan

digunakan secara langsung, pengujian spesifik lokasi dengan

menggunakan standar yang mencerminkan kelayakan penggunaan di

lapang perlu dilakukan. Aktivitas ekstrak kasar bahan tanaman dari spesies

yang sama dapat beragam karena adanya keragaman genetik, perbedaan

lingkungan tumbuh dan cara perawatan tanaman.

Setelah potensi insektisida suatu bahan tanaman diketahui, hal

berikutnya yang perlu diketahui adalah keamanannya bagi organisme

Page 147: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

131

bukan sasaran dan lingkungan. Senyawa insektisida alami mudah terurai di

alam sehingga tidak akan mencemari lingkungan (fisik), namun bahan

tersebut mungkin memiliki dampak negatif bagi organisme bukan sasaran.

Pengujian awal bahan insektisida alami biasanya dilakukan di

laboratorium. Karena itu, aspek keamanan pertama yang harus diuji adalah

fitotoksisitasnya bila bahan tersebut akan digunakan dalam pengendalian

hama pertanian. Sebagai contoh, ekstrak beberapa spesies Zingiberaceae

aktif terhadap serangga tertentu, tetapi ternyata juga fitotoksik, sehingga

penelitian tidak ditindaklanjuti.

Ekstrak kasar cenderung fitotoksik pada konsentrasi > 0,5 %, karena

ekstrak kasar biasanya juga mengandung komponen nonpolar (berwujud

minyak atau cairan pekat) yang dapat merusak lapisan lilin kutikula daun.

Sementara dalam keadaan murni, banyak senyawa aktif yang berbentuk

padatan dan tidak fitotoksik pada konsentrasi yang aktif terhadap hama

sasaran. Sebagai contoh, ekstrak biji mimba dan kulit biji jambu mete yang

mengandung minyak seringkali fitotoksik, terutama pada bagian pucuk

tanaman, tetapi senyawa aktif utamanya (azadirakhtin pada biji mimba dan

asam anakardat pada kulit biji jambu mete tidak fitotoksik pada

konsentrasi bahan aktif yang setara. Insektisida alami yang aktif terhadap

hama sasaran dan aman bagi tanaman budidaya, selanjutnya perlu diuji

keamanannya terhadap berbagai hewan bukan sasaran, seperti tikus,

kelinci, burung, dan ikan, dalam pengujian toksikologi yang telah

distandarisasi. Contoh senyawa insektisida alami yang memiliki aktivitas

tinggi dan khas terhadap serangga tetapi tidak lulus pengujian toksikologi

adalah precocene. Senyawa ini diisolasi dari tanaman Ageratum

haustonianum (Asteraceae) dan bekerja sebagai anti juvenile hormone

sehingga mengakibatkan metamorfosis yang tidak normal. Sayangnya,

senyawa tersebut dapat merusak hati dan ginjal pada mamalia, sehingga

pengembangannya sebagai insektisida dihentikan.

Kriteria berikutnya yang perlu dinilai adalah ketersediaan bahan

mentah. Di Indonesia, tumbuhan sumber insektisida jarang terdapat

melimpah di alam. Karena itu, tumbuhan sumber harus mudah

dibudidayakan dan dapat beradaptasi pada rentang kondisi tanah,

ketinggian dan iklim yang luas. Dengan demikian, lokasi areal penananam

mudah ditentukan. Tanaman mimba tidak menghasilkan buah dengan baik

Page 148: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

132

bila ditanam di daerah Jawa Barat yang bercurah hujan tinggi, sedangkan

di Jawa Timur yang beriklim lebih kering produksi buahnya cukup baik.

Salah satu tanaman sumber insektisida yang dapat tumbuh pada kisaran

kondisi lingkungan yang luas adalah Aglaia odorata (culan).

Produksi insektisida alami secara komersial dan senyawa aktif harus

mudah diekstraksi dan diformulasikan, serta kandungan bahan aktifnya

mudah dianalisis untuk menunjang standarisasi. Pengembangan insektisida

alami lebih lanjut dapat dilakukan dengan menyintesis senyawa aktifnya

menggunakan prosedur yang ekonomis atau mengembangkan analognya.

Namun, formulasi insektisida alami dengan bahan aktif tunggal dalam hal

tertentu akan mengakibatkan dampak negatif seperti yang dapat

ditimbulkan oleh insektisida sintetik, misalnya resistensi hama terhadap

insektisida. Dampak negatif akan lebih besar bila yang digunakan adalah

analog sintetiknya, yang biasanya lebih beracun terhadap musuh alami

hama dibandingkan senyawa alamiahnya.

Hasil-hasil penelitian menunjukkan senyawa metabolit sekunder

dapat mengendalikan populasi serangga hama. Sifat dan mekanisme kerja

bahan nabati tersebut dalam melindungi tanaman dapat sebagai

antifitopatogenik (antibiotik pertanian), fitotoksik atau mengatur

pertumbuhan tanaman (fitotoksin, hormon, dan sejenisnya), dan bahan

aktif terhadap serangga (hormon serangga, feromon, antifidan, repelen,

atraktan, dan insektisida). Beberapa jenis insektisida nabati cukup efektif

terhadap beberapa jenis hama, baik hama di lapangan, rumah tangga

(nyamuk dan lalat) maupun di gudang. Jenis insektisida nabati efektif

mengendalikan hama gudang di antaranya biji bengkuang, akar tuba, abu

serai dapur, kayu manis dan brotowali. Tidak hanya terbatas terhadap

hama serangga, insektisida nabati juga efektif terhadap hama keong mas,

sebagai rodentisida. Meskipun secara keseluruhan insektisida nabati tidak

dapat mempunyai peran sebagai pengganti insektisida sintetik, namun

setidaknya insektisida nabati dapat mengurangi frekuensi penggunaan

insektisida sintetik, apabila kedua insektisida tersebut dipadukan. Oleh

karena itu perlu dicari jenis tumbuhan yang bersifat meracun bagi hama

serangga agar dapat dibuat sebagai bahan utama insektisida nabati, karena

beberapa laporan hasil penelitian menyatakan bahwa penggunaan bahan

tersebut aman terhadap lingkungan. Penggunaan insektisida nabati dapat

Page 149: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

133

mengurangi pencemaran lingkungan, juga lebih murah dibandingkan

dengan pestisida kimia.

Jenis-jenis tumbuhan yang berpotensi dikembangkan sebagai

pestisida nabati merupakan hasil dari penggalian di beberapa daerah di

Indonesia. Tabel 15 menunjukkan beberapa jenis tumbuhan hasil

eksplorasi yang mudah diperoleh dan dimanfaatkan oleh masyarakat

sebagai insektisida nabati.

Page 150: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

134

Tabel 15. Daftar tanaman untuk insektisida nabati

Page 151: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

135

Page 152: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

136

D. MEKANISME INSEKTISIDA NABATI DALAM

MELINDUNGI TANAMAN

Interaksi antara serangga dengan tumbuhan menyebabkan adanya

usaha mempertahankan diri sehingga tumbuhan mampu memproduksi

metabolit sekunder untuk melawan serangga hama. Kandungan zat bioaktif

pada tanaman menyebabkan aktivitas larva terhambat, ditandai gerakan

larva lamban, tidak memberikan respon gerak, nafsu makan kurang dan

akhirnya mati. Pada dasarnya, bahan alami dari tumbuhan mengandung

senyawa bioaktif, yaitu bahan alami dengan kandungan senyawa bersifat

anti-fitopatogenik (antibiotik pertanian), bersifat fitotoksik atau mengatur

pertumbuhan tanaman (fitotoksin, hormon tanaman dan sejenisnya), dan

bahan alami dengan kandungan senyawa yang bersifat aktif terhadap

serangga (hormon serangga, feromon, antifeedant, repelen, atraktan, dan

insektisida). Residu dari insektisida nabati lebih cepat hilang di alam

dibandingkan degan insektisida sintetis, sehingga aman dikonsumsi

manusia.

Pestisida nabati menjadi alternatif pengendalian hama yang aman

dibanding pestisida sintetis. Penggunaan pestisida nabati memberikan

keuntungan ganda, selain menghasilkan produk yang aman, lingkungan

juga tidak tercemar. Insektisida nabati sebagai kelompok repelen, yaitu

menolak kehadiran serangga misalnya karena bau yang menyengat,

kelompok antifidan yang dapat mencegah serangga memakan tanaman

yang telah disemprot, menghambat reproduksi serangga betina, sebagai

racun syaraf dan dapat mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh

serangga, kelompok atraktan, yakni insektisida nabati yang dapat memikat

kehadiran serangga sehingga dapat dijadikan sebagai senyawa perangkap

serangga. Secara umum, mekanisme kerja insektisida nabati dalam

melindungi tanaman dari OPT yaitu secara langsung menghambat proses

reproduksi serangga hama khususnya serangga betina, mengurangi nafsu

makan, menyebabkan serangga menolak makanan, merusak perkembangan

telur, larva dan pupa sehingga perkembangbiakan serangga hama

terganggu, serta menghambat pergantian kulit. Cara kerja pengendaliannya

bisa melalui perpaduan beberapa cara ataupun cara tunggal.

Penggunaan insektisida nabati dapat dipadukan dengan musuh alami

bila bahan insektisida nabati tersebut tidak beracun untuk musuh alami.

Page 153: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

137

Berdasarkan cara kerjanya (sifatnya), insektisida nabati digolongkan

sebagai kelompok repelen, yaitu menolak kehadiran serangga misalnya

karena bau yang menyengat, kelompok antifeedan dapat mencegah

serangga memakan tanaman yang telah disemprot, menghambat

reproduksi serangga betina, sebagai racun syaraf dan dapat mengacaukan

sistem hormon di dalam tubuh serangga, kelompok atraktan, yakni

pestisida nabati yang dapat memikat kehadiran serangga sehingga dapat

dijadikan sebagai senyawa perangkap serangga, serta kelompok insektisida

nabati yang menurunkan preferensi serangga untuk mengakses sumber

makanan. Informasi mengenai tanaman yang berpotensi sebagai bahan

penghasil insektisida nabati dan pemanfaatannya dapat membantu

masyarakat untuk memanfaatkan tanaman tersebut dalam pengendalian

PHT.

Salah satu senyawa aktif telah banyak diteliti, antara lain bahwa

pyrethrin dari kulit batang kepayang bekerja sangat cepat mengganggu

jaringan saraf serangga sehingga dapat langsung membuat pingsan

serangga, tetapi aman terhadap manusia dan hewan, namun jika tercium

(inhalasi) oleh mamalia maka akan lebih meracun, karena proses inhalasi

menyediakan lebih banyak jalur bagi pyrethrin mencapai aliran darah yang

menuju otak. Hasil penelitian lainnya menyatakan bahwa pyrethrin tidak

bekerja secara sistemik namun merupakan racun kontak yang bekerja cepat

mempengaruhi sistem syaraf serangga sehingga menimbulkan gejala

kelumpuhan dan kematian. Senyawa bioaktif Pyrethrin pada tumbuhan

kepayang merupakan racun kontak yang tidak meninggalkan residu,

sehingga pestisida ini sering disebut sebagai pestisida yang aman bagi

lingkungan. Pyrethrin cepat terurai oleh sinar matahari dan kelembaban

udara, penguraian yang lebih cepat terjadi pada kondisi asam dan basa.

Oleh sebab itu bahan yang mengandung pyrethrin tidak boleh dicampur

dengan kapur.

Daya racun pyrethrin meningkat sejalan dengan semakin

menurunnya temperatur. Zat ini menyerang simpul-simpul elektrokimia

syaraf yang merupakan suatu jaringan penghubung antara organ tubuh

(jaringan axon) seperti otot yang menerima rangsangan dari luar maupun

dari dalam. Pyrethrin pada mulanya mempengaruhi sel syaraf dan akhirnya

menggangu fungsi otot sehingga otot menjadi kejang-kejang, akhirnya

Page 154: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

138

terjadi gejala paralisis yang diikuti dengan kematian. Namun demikian,

pengaruh pyrethrin bersifat reversibel, yaitu serangga dapat pulih kembali

apabila jumlah piretrin yang meracuni masih di bawah ambang toleransi

serangga. Pyrethrin merupakan zat yang cepat terdegredasi di alam,

khususnya apabila terkena sinar matahari sehingga zat ini tidak persisten

baik di lingkungan maupun pada bahan makanan. Sifat khas ini mungkin

akan menghambat terjadinya kasus resurgensi dan resistensi serangga

terhadap piretrin, serta mencegah terjadinya polusi terhadap lingkungan.

1. Penarik atau Perangkap Makan Serangga Hama

Senyawa kimia pada tumbuhan mempunyai peran penting untuk

serangga dalam pemilihan inang, karena serangga dapat mengenali atau

merasakan adanya senyawa kimia dalam makanannya pada konsentrasi

rendah, dan dikenal sebagai senyawa penarik (atraktan). Perangkap yang

mengandung lebih dari satu jenis atraktan (minyak daun wangi dan

minyak sereh) menarik lebih banyak lalat buah dibandingkan dengan

perangkap yang hanya mengandung salah satu jenis atraktan tersebut.

Namun demikian, minyak daun wangi mulai mengalami penurun daya

tarik terhadap lalat buah pada minggu kedua. Oleh karena itu, beberapa

cara untuk meningkatkan efektivitas atraktran sebagai salah satu teknik

pengendalian yaitu:

1. Penggunaan senyawa aktif murni dari daun yang mengandung

204lter eugenol. Saat ini 204lter eugenol sudah tersedia di pasaran

dengan nama “Petrogenol”. di lapangan menunjukkan bahwa

204lter eugenol mampu menangkap 20-1000 lalat buah setiap

minggunya untuk setiap perangkap dan mampu menurunkan tingkat

kerusakan hingga 40%. Eugenol adalah anggota dari

phenylpropanoids, banyak diekstrak dari beberapa minyak atsiri,

terutama dari cengkeh, pala, kayu manis, kemangi, dan daun salam.

2. Penggunaan beberapa jenis ekstrak tanaman yang mengandung

senyawa atraktan yang bersifat sinergis.

3. Penggunaan model perangkap berwarna kuning dan ditambah

atraktan sebagai bahan metabolit dikeluarkan oleh ekstrak tanaman

untuk menarik kehadiran parasitoid maupun predator pada suatu

pertanaman.

Page 155: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

139

Penggunaan atraktan untuk menekan populasi lalat buah selain

terbukti efektif, juga tidak mengakibatkan dampak yang buruk bagi

lingkungan sehingga dapat dipadukan teknik pengendalian lalat buah

lainnya dalam kerangka pengendalian hama terpadu.

Kelompok senyawa yang berhubungan dengan interaksi antara

tanaman dengan serangga mendapat banyak perhatian pada beberapa tahun

terakhir ini adalah senyawa dari hijau daun (green-leaves volatile) yang

terdiri atas: C6 alkohol, aldehid dan ester yang merupakan derivat dari

lypoxygenase pathway (LOX) (Bruinsma et al., 2010). Senyawa ini

diemisikan oleh tanaman segera setelah tanaman dimakan oleh herbivor

dan dikenal sebagai herbivore-induced-plant volatiles (HIPVs) (Unsicker,

et al., 2009).

Ekstrak daun wangi (Melaleuca bracteata L.) dan daun selasih

(Ocimum sp) dapat digunakan sebagai atraktan untuk memerangkap lalat

buah. Meskipun demikian ekstrak daun wangi menunjukkan efektivitas

yang lebih tinggi sebagai atraktan. Ekstrak daun wangi dan daun selasih

dapat menangkap lalat buah masing-masing rata-rata 2,8 dan 1,3

ekor/perangkap/minggu (Shahabuddin, 2011).

Upaya pengendalian lalat buah (Bactrocera cucurbitae) juga

dilakukan dengan atraktan dari senyawa 2-pentadekanon, heneikosan,

heksadekanoat, 3-oxo-alpha-ionol dari ekstrak buah peria. Lalat buah

melakukan aktivitas seperti gelisah dan menggetarkan sayap. Hal ini

diduga lalat buah melakukan aktivitas setelah alat indera olfaktorinya

tertarik pada aroma dari bahan atraktan. Jika lalat buah (Toxotrypana

curvicauda) menjulurkan proboscis secara berulang terhadap permukaan

buah pada masa proviposisi dan buah peria sebagai atraktan oviposisi.

Perilaku lalat buah seperti mencari makanan, meletakkan telur dan

melakukan hubungan seksual akan dirangsang oleh senyawa kairomon.

Kairomon merupakan salah satu atraktan yang berasal dari buah peria dan

dapat mempengaruhi alat sensor dari serangga (Dumalang dan Lengkong,

2011). Waktu penjuluran proboscis selama berada pada sumber ekstrak

disajikan pada Table 16.

Page 156: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

140

Tabel 16. Waktu penjuluran proboscis selama berada pada sumber ekstrak

Penggunaan atraktan untuk meningkatkan populasi predator dan

parasitoid pada pertanaman kapas akan meningkatkan peran musuh alami

sebagai faktor mortalitas biotik yang efektif. Ekstrak tanaman, terutama

yang berupa minyak atsiri, telah banyak digunakan sebagai atraktan musuh

alami, tetapi belum banyak yang menggunakannya sebagai atrak-tan

musuh alami wereng kapas. Metil eugenol merupakan komponen utama

dari minyak atsiri dari tanaman pohon wangi (Melaleuca brachteata F.

Muell). Methyl eugenol dilaporkan mempunyai aktivititas sebagai

antimikrobia (Runyoro et al., 2010). Minyak atsiri dari ekstrak daun kapas

dapat dimanfaatkan sebagai atraktan parasitoid telur wereng kapas

(Amrasca biguttulla) dari genus Anagrus. Selain itu, minyak atsiri dengan

kandungan senyawa metil eugenol juga ditemukan pada daun kemangi.

Ekstrak daun kemangi dengan konsentrasi 50 % dapat meningkatkan kerja

insektisida nabati karena dapat menarik datangnya lalat buah serta

mempengaruhi mortalitas. Rata-rata minyak atsiri dapat memerangkap

lalat buah paling banyak 26,83 ekor serangga dengan masa aktif atraktan

4,66 hari (Pasaribu et al., 2007).

Predator menunjukkan respon ketertarikan yang tidak konsisten

terhadap minyak atsiri dari ekstrak tanaman yang diuji pada uji tanpa

pilihan dan uji dengan pilihan di laboratorium. Predator dan parasitoid

telur wereng kapas yang tertarik pada minyak atsiri disajikan pada Tabel

17.

Page 157: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

141

Tabel 17. Jumlah individu predator dan parasitoid telur wereng kapas yang

tertarik pada minyak atsiri dari daun kapas, batang dan daun jagung,

dan daun teh hitam. dalam uji dengan pilihan di laboratorium

menggunakan tabung X

Peningkatan populasi parasitoid meningkat dengan penambahan

atraktan dari ekstrak daun kapas yang terserang Anagarus biguttulla dan

daun teh hitam mencapai 176% dibandingkan kontrol.

2. Aktivitas Penghambatan atau Penolakan Makan (Antifeedant)

Senyawa hasil metabolit sekunder tumbuhan yang bersifat

antifeedant adalah senyawa yang mengakibatkan penghentian aktivitas

makan serangga secara sementara atau permanen, sehingga tanaman

pangan atau tanaman komoditi dapat terlindungi. Senyawa antifeedant

sangat spesifik terhadap serangga sasaran, karena tidak mengganggu

serangga lain, sehingga tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup

organisme lain. Kriteria penentu aktivitas antifeedant adalah jumlah

hinggapan kutu kebul dewasa pada tanaman. Pengendalian serangga hama

menggunakan senyawa-senyawa yang bersifat menghambat aktivitas

makan memberikan beberapa kelebihan seperti tidak menimbulkan

resistensi, selektivitas yang tinggi, mudah terdegradasi dan relatif tidak

beracun terhadap manusia.

Secara umum, hama tanaman tidak dapat dihilangkan secara total,

tetapi perlu dilakukan upaya-upaya untuk menurunkan populasi hama

tersebut. Aplikasi senyawa-senyawa yang bersifat sebagai penghambat

aktivitas makan serangga dapat memberikan konstribusi dalam kegiatan

Page 158: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

142

pengendalian serangga hama. Penggunaan secara praktis senyawa-

senyawa penghambat aktivitas makan serangga dapat dilakukan pada

beberapa tahap dalam budidaya tanaman seperti pembibitan, pertumbuhan

dan prapanen. Antifeedant bekerja dengan cara merangsang syaraf penolak

makan yang spesifik berupa reseptor kimia (chemoreceptor) yang terdapat

pada bagian mulut (mouthpart). Reseptor kimia tersebut bekerja bersama

reseptor kimia lainnya, dan menyebabkan gangguan persepsi rangsangan

untuk makan. Daun pangi (Pangium edule) telah diketahui memiliki

banyak manfaat, salah satunya diduga memiliki aktivitas antifeedant.

Tumbuhan pangi (Pangium sp) merupakan salah satu tumbuhan

yang mengandung beberapa senyawa kimia yaitu alkaloid, flavonoid,

saponin, tannin dan terpenoid. Penggunaan n-heksana pada proses

ekstraksi daun pangi akan diperoleh senyawa antifeedant. Senyawa phytol

diduga memiliki aktivitas antifeedant karena merupakan senyawa

penyusun yang dominan dalam daun pangi. Tumbuhan Callicarpa

Japonica memiliki aktivitas antifeedant yang dipengaruhi oleh senyawa

phytol. Struktur senyawa phytol ditunjukkan pada Gambar 25.

Gambar 25. Struktur senyawa phytol

Suatu bahan dapat dikatakan aktif antifeedant jika memiliki aktivitas

antifeedant di atas 25%, sehingga ektrak kental n- heksana dapat dikatakan

aktif antifeedant. Ekstrak n- heksana daun pangi memiliki nilai aktivitas

antifeedant sebesar 47,23%, 66,83% dan 67,72% berturut-turut pada

konsentrasi 0,1%(b/v), 5%(b/v) dan 10%(b/v). Hasil uji aktivitas

antifeedant dari ekstrak n-heksana daun pangi disajikan pada Tabel 18.

Page 159: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

143

Tabel 18. Hasil uji aktivitas antifeedant dari ekstrak kental n-heksana

Ekstrak daun bandotan (Ageratum conyzoides L.) memiliki efek

antifeedant yang tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh senyawa metabolit

sekunder yang terkandung dalam A. conyzoides. Tanaman tersebut

memiliki kandungan senyawa alkaloid, flavanoid dan tannin yang tinggi

dan terkonsentrasi pada daun. Ekstrak ini memiliki rasa pahit dan sifat

antifeedant pada hama gudang Tribolium castaneum dan Sitophilus oryzae

sebesar 98 %. Senyawa metabolit sekunder di dalam ekstrak tanaman tsb

menyebabkan larva berkurang aktivitas makan, gangguan pertumbuhan

dan pergantian kulit, gangguan reproduksi serta gangguan sel serangga.

Cara kerja senyawa ini adalah mengganggu kerja sistem endokrin serta

mengganggu hormon tubuh serangga.

Berbagai senyawa kimia dari kelompok sesquiterpen, alkaloid,

flavonoid, terpenoid yang menunjukkan aktivitas penghambatan makan

pada berbagai spesies serangga telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi

(Tabel 19).

Page 160: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

144

Tabel 19. Famili, senyawa aktif dari spesies tumbuhan yang mempunyai sifat

menghambat aktivitas makan, serta organisme sasaran yang

menunjukkan efek penghambatan makan

Berdasarkan pendekatan database NIST02.L yang telah terintegrasi

pada alat GC- MS, senyawa phytol diduga memiliki aktivitas antifeedant

karena merupakan senyawa penyusun yang dominan dalam daun pangi.

Senyawa yang mengakibatkan penolakan aktivitas makan disebut feeding

deterrent. Aktivitas antifeedant ekstrak daun pangi terjadi karena adanya

kandungan senyawa penghambat makan yang menutup atau mengacau

sinyal-sinyal rangsangan makan yang terdapat pada makanan.

Ekstrak A. conyzoides dapat bekerja sebagai racun kontak dan racun

perut, sehingga terjadi kematian lebih awal serta mampu menghambat fase

pupa Spodoptera litura sebesar 68% (Amelot et al., 2003; Aldywaridha,

2010). Selain itu ekstrak ini memilik efek feeding deterrent dan ovicidal

yang kuat terhadap Spilarctia oblique pada dosis 10 mg/ml (Moreira,

2007).

Senyawa bioaktif hasil dari proses ekstraksi kulit biji jambu mete

juga menghasilkan senyawa antifeedant untuk kutu kebul (Bemisia tabaci

Genn.). Penggunaan n-heksana pada proses ekstraksi kulit biji jambu mete

akan diperoleh senyawa antifeedant. Ekstrak pekat ini mengandung

Page 161: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

145

beberapa senyawa kimia antara lain phenolic, flavonoid, tannin dan

terpenoid (Andayanie et al., 2019). Rata-rata kandungan senyawa tersebut

disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. Total kandungan phenolic, flavonoid and tannin dari ekstrak kulit biji

jambu mete

Ekstrak ini juga mengandung senyawa bioaktif yang terdiri atas:

asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-metil-kardol. Gambar 26

memperlihatkan struktur molekul asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-

metil-kardol.

Gambar 26. Struktur molekul asam anakardat, kardanol, kardol dan 2-metil-

kardol

Senyawa bioaktif tersebut terisolasi dengan berat molekul 378 m/z

(M+) dan fragmentasi yang keluar 324, 301, 278, 252, 233, 211, 188, 125,

149, 112, 81 dan 41. Hasil identifikasi senyawa tersebut menunjukkan

struktur kimia senyawa fenolik terikat pada asam anakardat yaitu 15-

karbon (C15). Kandungan kimia tersebut menunjukkan asam anakardat

Page 162: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

146

konsentrasi 76,93% dan 21,22% senyawa lain yang terdiri atas: Kardol

(12,75%), Kardanol (4,66%), 2-metil-Kardol (3,81%). Senyawa tersebut

merupakan senyawa fenol alam dengan ciri cincin aromatik yang berikatan

dengan gugus OH.

Asam anakardat mempunyai peranan penting untuk aktivitas

antifeedant pada B. tabaci. Senyawa antifeedant menghalangi langsung

kerja sel-sel sensorik untuk efek penolak dan menyebabkan serangga mati

kelaparan atau dehidrasi (Andayanie et al., 2019). Senyawa bioaktif dari

ekstrak kulit biji jambu mete disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Senyawa bioaktif dari ekstrak kulit biji jambu mete

Ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 0,75% dan

insektisida dengan senyawa aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50%

menyebabkan mortalitas yang tidak berbeda nyata antara perlakuan (p

<0,05) pada 24 jam setelah aplikasi. Ekstrak kulit biji jambu mete pada

konsentrasi 0,75% menunjukkan mortalitas B. tabaci yang lebih tinggi

secara signifikan daripada insektisida dengan senyawa aktif imidacloprid

pada konsentrasi 0,50% setelah aplikasi 48 dan 72 jam. Namun, aktivitas

ekstrak tidak berbeda dari ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi

1,50% dan 3,00% setelah 24 dan 48 jam aplikasi, masing-masing.

Kematian tertinggi diperoleh pada konsentrasi 6,00%. Selain itu, ada

perbedaan yang signifikan antara perlakuan (p <0,05) pada 72 jam setelah

aplikasi.

3. Aktifitas Penghambat Peletakan Telur (Anti-oviposisi)

Anti-oviposisi merupakan aktivitas dimana senyawa metabolit

sekunder berupa flavonoid yang terkandung dalam tanaman bersifat

menolak atau menutupi sinyal penarik yang terdapat dalam tanaman inang.

Ekstrak tanaman dapat mempengaruhi perilaku hama kutu kebul (Bemisia

Page 163: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

147

tabaci Gen.) untuk menghambat peletakan telur (anti-oviposisi), seperti

pada ekstrak daun tithonia (T. diversifolia). Ekstrak kasar daun Tithonia

dan ekstrak etanol tanaman Tithonia merupakan racun kontak bagi Atta

cephalotes (Hymenoptera: Myrmicinae) (Castano-Quintana et al. 2013).

Peletakan telur mempunyai tujuan untuk mendapatkan makanan dan

tempat berlindung dengan adanya pengaruh kandungan senyawa sekunder

tanaman tersebut. Aktivitas anti-oviposisi kutu kebul memiliki korelasi

dengan aktivitas penolak makan terhadap tanaman inang dan rangsangan

makanan yang dihasilkan oleh tanaman inang. Peletakan telur (oviposisi)

kutu kebul pada daun tanaman Iler yang diaplikasi konsentrasi ekstrak

tanaman Tithonia lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan ekstrak

Tithonia.

Persentase oviposisi kutu kebul tertinggi terdapat pada konsentrasi 1

mg/l sebesar 31,67% dan terendah pada konsentrasi 0,5 mg L-1

sebesar

16,67%. Perbedaan besar persentase oviposisi menunjukkan bahwa selain

aktivitas antifeedant, ekstrak tanaman Tithonia juga memiliki aktivitas

anti-oviposisi (penghambat peletakan telur). Persentase peletakan telur

kutu kebul karena aplikasi ekstrak daun tithonia di tanaman iler disajikan

pada Tabel 22.

Tabel 22. Persentase peletakan telur kutu kebul

Jumlah telur kutu kebul pada aplikasi ekstrak Tithonia tidak semata-

mata dipengaruhi oleh penurunan peletakan telur, tetapi juga dipengaruhi

oleh kematian imago kutu kebul akibat aplikasi ekstrak tersebut. Ekstrak

Tithonia tidak membunuh kutu kebul secara langsung, tetapi mengganggu

hama tersebut pada proses metamorfosa dan penurun nafsu makan

sehingga lama-kelamaan serangga akan mati. Ekstrak tanaman Tithonia

Page 164: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

148

dengan konsentrasi tertinggi (4 mgL-1

) masih aman untuk digunakan

sebagai insektisida nabati karena tidak bersifat fitotoksik terhadap tanaman

yang diaplikasi. Tanaman titonia memiliki kandungan senyawa bioaktif

berupa sesquiterpene lactone. Senyawa tersebut mampu membuka lapisan

lipid bilayer pada kutikula yang menyebabkan terjadinya peningkatan

cairan membran dan terganggunya permeabilitas sel otot serangga,

sehingga mengakibatkan semakin lemahnya gerakan serangga sampai

terjadinya kematian. Sesquiterpene lactone bersifat toksik dan masuk ke

dalam tubuh serangga melalui kutikula (racun kontak) dan saluran

pernafasan. Penetrasi senyawa bioaktif yang masuk melalui kutikula

kemudian bergerak menembus jaringan yang lebih dalam dan

menyebabkan gangguan metabolisme dan terjadinya hambatan kerja dalam

sistem syaraf pada serangga. Selain itu daun tithonia memiliki kandungan

senyawa flavonoid, alkaloid, dan tanin yang dapat membunuh dan juga

mencegah datangnya kutu putih pada tanaman.

Ekstrak kulit biji Anacardium occidentale toksik terhadap

Nilaparvata lugens dan Nephotettix virescens serta dapat menurunkan

produksi telur imago betina kedua jenis wereng tersebut. Secara umum

imago betina Crocidolomia pavonana lebih banyak meletakkan telur pada

kurungan dibandingkan pada tanaman yang diberi perlakuan

penyemprotan ekstrak. Jumlah telur yang diletakkan pada tanaman kontrol

juga lebih banyak dibanding jumlah telur pada tanaman perlakuan. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak kulit biji A. occidentale dapat

menghambat aktivitas oviposisi imago betina C. pavonana. Jumlah telur

yang diletakkan imago C. pavonana pada kurungan di sekitar tanaman

yang diberi perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,29% ≈ LC₅₀

meningkat pada 4-5 hari setelah aplikasi (HSA)), begitu juga dengan

tanaman yang diberi perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,54% ≈ LC₉₀.

Pada tanaman yang diberi perlakuan ekstrak dengan konsentrasi 0,75% ≈

LC99, tidak ditemukan sejumlah telur pada 1-8 hsa. Hal ini berbeda

dengan kontrol, imago C. pavonana dapat meletakkan telur pada tanaman

brokoli dari 4-8 HSA. Fakta tersebut berbeda dengan jumlah telur yang

dapat diletakan oleh imago betina C. pavonana di alam, bahwa imago

betina mampu menghasilkan telur sebanyak 180-320 butir selama

hidupnya. Terhambatnya aktivitas oviposisi imago C. pavonana pada

Page 165: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

149

tanaman brokoli yang diberi perlakuan ekstrak A. occidentale, diduga

karena adanya senyawa penolak aktivitas peletakan telur (anti-oviposisi)

dari ekstrak kulit biji A. occidentale. Preferensi oviposisi C. pavonana

berkorelasi dengan intensitas dari rangsang khusus dari bagian tanaman

(Pelealu, 2004). Penyemprotan ekstrak A. occidentale pada tanaman

brokoli dapat menggagalkan fungsi rangsang khusus, sehingga proses

peletakan telur menjadi terhambat.

Terhambatnya aktivitas oviposisi imago C. pavonana pada tanaman

brokoli yang diberi perlakuan ekstrak A. occidentale, diduga karena

adanya senyawa penolak aktivitas peletakan telur (anti-oviposisi) dari

ekstrak kulit biji A. occidentale. Preferensi oviposisi C. pavonana

berkorelasi dengan intensitas dari rangsang khusus dari bagian tanaman.

Penyemprotan ekstrak A. occidentale yang melapisi tanaman brokoli bisa

menggagalkan fungsi rangsang khusus, sehingga proses peletakan telur

menjadi terhambat. Pada pengamatan hari ke-8 setelah aplikasi,

menunjukan gejala fitotoksik pada tanaman brokoli, gejala awal yang

ditimbulkan akibat pengaruh ekstrak A. occidentale yaitu terdapat bercak-

bercak nekrosis pada permukaan atas hingga bawah daun pada hari ke-3

setelah aplikasi. Gejala pada daun berlanjut membentuk bercak,

mengeriting, layu, dan pada akhir pengamatan daun tua maupun pucuk

mengering dan mati.

Ekstrak kulit biji jambu mete juga toksik terhadap kutu kebul

(Bemisia tabaci Genn.) dan larva Helicoverpa armigera. Ekstrak ini dapat

menurunkan produksi telur dari imago betina dari kutu kebul. Konsentrasi

kulit biji jambu mete (0,75%, 1,50%, 3,00% dan 6,00%) menunjukkan

persentase aktivitas oviposisi yang jauh lebih rendah daripada insektisida

dengan bahan aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50% dan kontrol

dengan air setelah 72 jam aplikasi. Namun, pada konsentrasi 6%

menyebabkan gejala fitotoksisitas pada daun kedelai. Persentase oviposisi

terendah pada ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 6,00%,

terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) dengan ekstrak kulit biji

jambu mete pada konsentrasi 0,75%, 1,50%, 3,00% (Gambar 27).

Page 166: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

150

Gambar 27. Persentase peletakan telur kutu kebul pada 72 jam setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete

Persentase penghambatan peletakan telur kutu kebul juga

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain persentase kematian imago

betina dan hinggapan dari kutu kebul.

4. Aktifitas Penghambat Hinggapan pada Tanaman

Beberapa ekstrak tanaman dapat digunakan untuk menghambat

hinggapan serangga hama pada tanaman, misalnya ekstrak daun Tithonia

dan kulit biji jambu mete untuk menghambat hinggapan kutu kebul

(Aleurodicus dugesii) dan kulit biji jambu mete untuk menghambat

hinggapan kutu kebul (B. tabaci Genn.) masing-masing pada tanaman iler

(Coleus artopurpureus) dan kedelai (Glycine max). Aktivitas antifeedant

menentukan terhadap jumlah hinggapan kutu kebul dewasa pada bagian

tanaman yang telah diaplikasi sesuai perlakuan. Oleh karena itu metabolit

sekunder yang terdapat dalam ekstrak daun Tithonia dan kulit biji jambu

mete mempunyai peran sebagai aktifitas penghambat hinggapan pada kutu

kebul.

Jumlah hinggapan kutu kebul pada tanaman iler akibat perlakuan

ekstrak daun Tithonia tidak menunjukkan adanya perbedaan pada hari

pertama dan kedua, tetapi pada hari ketiga perlakuan dengan konsentrasi 0

mg L-1

(kontrol) lebih tinggi daripada perlakuan dengan konsentrasi 0,5, 2,

dan 4 mg L-1

(Gambar 28).

Page 167: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

151

Gambar 28. Hinggapan kutu kebul (A. dugesii) pada pengujian antifeedant

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hinggapan kutu kebul

(A. dugesii) pada daun yang diaplikasi berbagai konsentrasi ekstrak

Tithonia lebih rendah dibanding daun yang tidak diberi insektisida nabati

(kontrol). Perilaku tersebut menunjukkan bahwa kutu kebul menghindari

daun yang telah diaplikasi ekstrak Tithonia.

Pada pegamatan hari ke-1, populasi kutu kebul yang hinggap lebih

sedikit dibandingkan tanaman iler dengan perlakuan dengan ekstrak

Tithonia, sehingga telur yang ada pada daun juga sedikit. Semakin

bertambah umur tanaman iler, semakin tinggi populasi imago sehingga

populasi telurpun semakin tinggi. Setiap hari terdapat telur yang diletakkan

oleh imago, selama itu juga terdapat telur yang menetas sehingga populasi

imago semakin banyak. Imago kutu kebul lebih menyukai daun muda pada

kedelai. Imago berada di bawah daun baik untuk mengisap cairan daun

ataupun meletakkan telur. Telur kutu kebul berbentuk oval, biasanya

tersebar di seluruh permukaan daun. Imago betina kutu kebul mampu

bertelur hingga mencapai 300 butir dalam setiap perkembangan hidupnya.

Ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 0,75% mampu

menghambat hinggapan B. tabaci. Ekstrak tersebut juga menunjukkan

hasil yang sama dengan konsentrasi (1,50%, 3,00%, 6,00%) dan

menyebabkan hinggapan B. tabaci dewasa secara signifikan lebih sedikit

daripada insektisida dengan senyawa aktif imidacloprid pada konsentrasi

0,50% setelah 72 jam aplikasi. Persentase hinggapan kutu kebul (B. tabaci)

setelah aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete disajikan pada Gambar 29.

Page 168: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

152

Gambar 29. Persentase hinggapan kutu kebul (B. tabaci) setelah aplikasi ekstrak

kulit biji jambu mete

Akumulasi metabolit sekunder dari ekstrak kulit biji jambu mete

pada permukaan daun kedelai menghambat hinggapan B. Tabaci. Jaringan

daun mengandung senyawa polifenol yaitu flavonoid dan tannin

(menyebabkan antifeedant). Imago serangga tersebut dapat melakukan

kontak dengan zat pencegah makan pada tanaman, sehingga menghambat

hinggapan.

E. KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN INSEKTISIDA

NABATI

Banyak senyawa insektisida asal tumbuhan yang ditemukan sejak

akhir tahun 1960-an memiliki cara kerja yang spesifik. Misal, azadirakhtin

dan senyawa lain dari tanaman Meliaceae yang menghambat aktivitas

makan dan perkembangan serangga tetapi relatif aman terhadap vertebrata.

Sediaan insektisida mimba juga telah diketahui relatif aman terhadap lebah

dan beberapa musuh alami hama. Banyak senyawa insektisida botani baru

yang lebih bersifat sebagai racun perut sehingga peluang bahan tersebut

membunuh musuh alami atau serangga berguna lain secara kontak cukup

kecil. Bila suatu insektisida botani tidak dapat menekan populasi hama

Page 169: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

153

sasaran sampai tingkat yang tidak merugikan, dengan cukup amannya

bahan insektisida tersebut terhadap musuh alami, populasi hama residu

diharapkan dapat ditekan lebih lanjut oleh musuh alami tadi.

Dalam suatu ekstrak tumbuhan, selain beberapa senyawa aktif

utama biasanya juga terdapat banyak senyawa lain yang kurang aktif,

namun keberadaannya dapat meningkatkan aktivitas ekstrak secara

keseluruhan (sinergi). Serangga tidak mudah menjadi resisten terhadap

ekstrak tumbuhan dengan beberapa bahan aktif, karena kemampuan

serangga untuk membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa

yang berbeda sekaligus lebih kecil daripada terhadap senyawa insektisida

tunggal. Selain itu, banyak senyawa tumbuhan yang memiliki cara kerja

yang berbeda dengan insektisida sintetik yang umum digunakan saat ini,

sehingga ke-mungkinan terjadinya resistensi silang cukup kecil.

Insektisida nabati merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk

yang berasal dari tumbuhan yang bisa digunakan untuk mengendalikan

organisme pengganggu. Insektisida nabati ini bisa berfungsi sebagai

penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh, dan bentuk lainnya.

Secara umum, insektisida nabati diartikan sebagai suatu insektisida yang

bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan

kemampuan dan pengetahuan terbatas. Jika dirasa hama sudah mulai

resisten terhadap berbagai macam pestisida yang diberikan, langkah

selanjutnya yang perlu dilakukan adalah dengan penyemprotan dengan

pestisida nabati karena mempunyai sifat yang langsung terhadap nafsu

makan dan mempu mengusir hama yang resisten walau penyemprotan

tidak akan membunuh hama.

Walaupun secara keseluruhan insektisida nabati tidak dapat berperan

sebagai pengganti insektisida sintetik, namun setidaknya insektisida nabati

dapat mengurangi frekuensi penggunaan insektisida sintetik, apabila kedua

insektisida tersebut dipadukan. Oleh karena itu perlu dicari jenis tumbuhan

yang bersifat meracuni bagi hama serangga agar dapat dibuat sebagai

bahan utama insektisida nabati, karena beberapa laporan hasil penelitian

menyatakan bahwa penggunaan bahan tersebut aman terhadap lingkungan.

Berbeda jauh dibandingkan insektisida kimiawi yang lebih banyak

merugikan petani, insektisida nabati alami sekarang lebih banyak disukai

para petani. Dampak insektisida nabati umumnya lebih besar dibandingkan

Page 170: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

154

dengan dampak negatifnya. Hal ini karena pestisida dari nabati ini mudah

sekali untuk terurai, baik terkena panas matahari, dianginkan maupun

terkena air hujan. Hal ini menyebabkan racun akan cepat hilang. Namun

demikian penggunaan atau penyemprotan insektisida nabati harus lebih

sering dilakukan, alasan utamanya karena insektisida nabati mudah sekali

untuk terurai, namun walaupun sering digunakan atau diaplikasikan

terhadap tanaman tidak akan terjadi efek samping diantaranya tertinggal

sisa racun atau residu terhadap tanaman. Oleh karena itu insektisida nabati

mempunyai beberapa keunggulan yaitu: 1) teknologi pembuatannya

mudah dan murah sehingga dapat dibuat dalam skala rumah tangga, 2)

tidak menimbulkan efek negatif bagi lingkungan maupun makhluk hidup

sehingga relatif aman untuk digunakan, 3) tidak berisiko menimbulkan

keracunan pada tanaman sehingga tanaman lebih sehat dan aman dari

cemaran zat kimia berbahaya, 4) tidak menimbulkan resistensi (kekebalan)

pada hama sehingga aman bagi keseimbangan ekosistem, dan 5) hasil

pertanian lebih sehat dan bebas dari residu pestisida kimiawi.

Selain keuntungan ditunjukkan oleh insektisida nabati. Insektisida

nabati juga mempunyai kelemahan. Beberapa kelemahan pestisida nabati

adalah: 1) daya kerjanya lambat, tidak dapat dilihat dalam jangka waktu

cepat, 2) pada umumnya tidak mematikan langsung hama sasaran, tetapi

hanya bersifat mengusir dan menyebabkan hama menjadi tidak berminat

mendekati tanaman budidaya, 3) mudah rusak dan tidak tahan terhadap

sinar matahari, 4) daya simpan relatif pendek sehingga harus segera

digunakan setelah diproduksi dan ini menjadi hambatan dalam

memproduksi pestisida nabati secara komersial, 5) perlu penyemprotan

berulang-ulang sehingga dari sisi ekonomi tidak efektif dan efisien.

F. KENDALA DAN STRATEGI PENGEMBANGAN

INSEKTISIDA NABATI

Walaupun insektisida nabati dianggap ramah lingkungan dan

biayanya relatif murah, terdapat beberapa faktor penghambat dalam

pengembangannya. Faktor penghambat tersebut adalah: 1) kegiatan

penelitian insektisida nabati belum terpadu (penelitian terputus-putus

sehingga informasi yang dihasilkan belum dapat dijadikan dasar bagi

pengembangan selanjutnya), 2) mahalnya biaya untuk mengembangkan

Page 171: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

155

insektisida nabati (meliputi pemilihan jasad sasaran, pemilihan jenis bahan

aktif, penyediaan bahan baku, ekstraksi, pemurnian, pembuatan formulasi,

paten, registrasi, pabrikasi dan pemasaran), 3) kebiasaan petani dalam

menggunakan insektisida sintetis (banyak petani beranggapan penggunaan

pestisida sintetis dapat menjamin keselamatan hasil tanamannya sehingga

tetap diaplikasikan meskipun tanaman tidak diserang hama), 4) rendahnya

penguasaan teknologi pembuatan insektisida nabati (mulai penyediaan

bahan baku sampai produksi dan tanaman penghasil pestisida nabati belum

dibudidayakan petani), dan 5) insektisida sintetis mendominasi pasar

karena mudah dipakai dan mudah didapat serta hasilnya segera terlihat.

Strategi pengembangan pestisida nabati dapat dilakukan dengan: 1)

penyiapan bahan baku pestisida nabati sehingga tidak bergantung pada

alam, tetapi harus sudah mulai dibudidayakan dan dimasyarakatkan agar

petani mau menanam bahan baku pestisida, 2) teknik pengolahan yang

mudah dan murah agar pestisida nabati dapat disediakan sendiri oleh

petani, 3) peningkatan pemahaman masyarakat terhadap pestisida nabati

agar tidak bergantung pada pestisida sintetis, 4) distribusi dan pemasaran

pestisida nabati ke daerah sehingga petani mudah memperolehnya pada

saat memerlukannya, 5) penelitian dan pengembangan untuk mengatasi

kelemahan pestisida nabati selain memperoleh temuan baru, dan 6)

pengembangan indikator keberlanjutan, antara lain dapat dilihat dari: a)

keuntungan petani, b) penurunan pasokan pestisida kimia sintetis, c)

rendahnya residu pestisida kimia pada tanaman, tanah, dan air, serta d)

penerimaan masyarakat terhadap pestisida nabati.

G. RANGKUMAN

Penggunaan insektisida sintetis secara terus menerus akan

menyebabkan munculnya biotipe baru dan pencemaran lingkungan. Oleh

karena itu diperlukan pengembangan cara pengendalian kimiawi untuk

menggunakan insektisida yang lebih ramah lingkungan. Bahan insektisida

nabati harus mempunyai efektifitas pada dosis rendah atau memiliki

bioaktivitas tinggi agar mampu bersaing dengan produk insektisida sintetis

yang sudah ada di pasaran. Produksi insektisida nabati secara komersial

dan senyawa aktif harus mudah diekstraksi dan diformulasikan, serta

kandungan bahan aktifnya mudah dianalisis untuk menunjang standarisasi.

Page 172: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

156

Berdasarkan cara kerjanya (sifatnya), pestisida nabati digolongkan

sebagai kelompok repelen, yaitu menolak kehadiran serangga misalnya

karena bau yang menyengat, kelompok antifeedant dapat mencegah

serangga memakan tanaman yang telah disemprot, menghambat

reproduksi serangga betina, sebagai racun syaraf dan dapat mengacaukan

sistem hormon di dalam tubuh serangga, kelompok atraktan, yakni

pestisida nabati yang dapat memikat kehadiran serangga sehingga dapat

dijadikan sebagai senyawa perangkap serangga dan juga untuk

mengendalikan pertumbuhan jamur/bakteri, serta kelompok insektisida

nabati yang menurunkan preferensi serangga dalam mengakses sumber

makanan.

Residu dari insektisida nabati lebih cepat hilang di alam

dibandingkan dengan insektisida sintetis, sehingga aman dikonsumsi

manusia. Pestisida nabati menjadi alternatif pengendalian hama yang aman

dibanding pestisida sintetis. Penggunaan pestisida nabati memberikan

keuntungan ganda, selain menghasilkan produk yang aman, lingkungan

juga tidak tercemar. Penggunaan insektisida nabati dapat dipadukan

dengan musuh alami bila bahan insektisida nabati tersebut tidak beracun

bagi musuh alami. Ekstrak kulit biji jambu mete juga toksik terhadap kutu

kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan larva Helicoverpa armigera.

Konsentrasi kulit biji jambu mete (0,75%−6,00%) menunjukkan persentase

aktivitas oviposisi yang jauh lebih rendah daripada insektisida dengan

bahan aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50%. Namun, pada

konsentrasi 6% menyebabkan gejala fitotoksisitas pada daun kedelai.

Ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 0,75% mampu menghambat

hinggapan B. tabaci. Ekstrak tersebut juga menunjukkan hasil yang sama

dengan konsentrasi (1,50%, 3,00%, 6,00%) dan menyebabkan hinggapan

B. tabaci dewasa secara signifikan lebih sedikit daripada insektisida

dengan senyawa aktif imidacloprid pada konsentrasi 0,50% setelah 72 jam

aplikasi.

Insektisida nabati mempunyai keunggulan dan kelemahan. Hal ini

karena pestisida dari nabati ini mudah sekali untuk terurai, baik terkena

panas matahari, dianginkan maupun terkena air hujan. Hal ini

menyebabkan racun akan cepat hilang. Namun demikian penggunaan atau

penyemprotan insektisida nabati harus lebih sering dilakukan, alasan

Page 173: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

157

utamanya karena insektisida nabati mudah sekali untuk terurai, namun

walaupun sering digunakan atau diaplikasikan terhadap tanaman tidak

akan terjadi efek samping diantaranya tertinggal sisa racun atau residu

terhadap tanaman. Walaupun insektisida nabati dianggap ramah

lingkungan dan biayanya relatif murah, terdapat beberapa faktor

penghambat dalam pengembangannya. Oleh karena itu perlu strategi untuk

pengembangan insektisida nabati.

H. DAFTAR PUSTAKA

Amelot M.E.A, M. Avendaño, L. Aubert & J. L. Avila. 2003. Repellency

and feeding deterrence activity of Ageratum Conyzoides against

the stored grain pests Tribolium Castaneum and Sitophilus Oryzae.

Active plant parts and composition. Scientific Journal CIENCIA

11(1), 61-76.

Aranillewa S.T., T. Ekrakene & J.O. Akinneye. 2006. Laboratory

evaluation of four medicinal plants as protectants againts the

maize weevil, Sitophilus zeamais (Motsch). Afr. J. Biotechnol.

5(21): 2032-2036. http://www.academic journals.org/AJB.

Biebel R., E. Rametzhofer, H. Klapal, D. Polheim & H. Viernstein. 2003.

Action of pyrethrum-based formulations against grain weevils.

Int’l. J. Pharmaceutics 256(12): 175-181.

Bruinsma M., S. van Broekhoven, E.H. Poelman, M.A. Posthumus, M.J.

Muller, J.J.A. van Loon & M. Dicke. 2010. Inhibition of

lipoxygenase af-fects induction of both direct and indirect plant

defences against herbivorous insects. Oeco-logia 162(2):393-404.

Castano Q.K., M. Lerma & C. Echeverri. 2013. Toxicity of foliage

extracts Tithonia diversivolia (Asteraceae) on Atta cepalotes

(Hymenoptera: Myrmicinae) workers. Indus Crop Prod., 44: 391-

395.

Chan-Bacab M.J. & L.M. Pena-Rodriguez. 2001. Plant natural products

with leishmanicidal activity. Nat. Products Rep. 18: 674-688.

Dubey, N.K., B. Srivastava and A. Kumar. 2008. Current status of plant

products as botanical pesticides in storage pest management. J.

Biopesticides,1(2): 182-186.

Page 174: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

158

Dumalang S. & M.Lengkong. 2011. Perilaku kawin, uji respond an

identifikasi spesies lalat buah pada belimbing, ketapang dan peria.

Eugenia, 17(3): 192-202.

FAO. 1988. Traditional Food Plants: A Resource Book for Promoting the

Exploitation Consumption of Food Plant in Arid, Semi-arid and

Sub-humid Lands of Eastern Africa. Rome: FAO Food and

nutrition paper 42.

Kardinan A. 2011. Penggunaan pestisida nabati sebagai kearifan lokal

dalam pengendalian hama tanaman menuju sistem pertanian

organik. Pengembangan Inovasi Pertanian, 4(4): 262-278.

Mahardika I.B.P., N.M. Puspawati & I. A. G. Widihati. 2014. Identifikasi

senyawa aktif antifeedant dari ekstrak daun pangi (Pangium Sp)

dan uji aktivitasnya terhadap ulat kubis (Plutella Xylostella).

Jurnal Kimia, 8(2): 213-219.

Moreira M. D., M. C. Picanço, L. C. D. A. Barbosa, R. N. C. Guedes, M.

R. Campos, G. A. Silva & J. C. Martins. 2007. Plant compounds

insecticide activity against Coleoptera pests of stored products.

Pest agropec.bras., Brasília 42(7): 909−915.

Nurindah D.A., Sunarto, Sujak, N. Asbani & A.M. Amir. 2011.

Pemanfaatan Ekstrak Tanaman untuk Atraktan Predator dan

Parasitoid Wereng Kapas. Buletin Tanaman Tembakau, Serat &

Minyak Industri, 4(1): 21-31.

Pasaribu B.M., R. Astuti, Azwana, Maimunah & H. Zahara. 2007.

Pengaruh Metil Eugenol dari Bahan Tanaman Selasih Terhadap

Perkembangan Populasi Serangga Pada Tanaman Cabe Merah

Organik. Makalah Pada Temu Teknis Pejabat Fungsional

Departemen Pertanian. Bogor, 21-22 Agustus 2007.

Runyoro D., O. Ngassapa, K. Vagionas, N.A. Grai-kou & I.K. Chinou.

2010. Chemical composition and antimicrobial activity of the

essential oils of four Ocimum species growing in Tanzania. Food

Chemistry, 119: 311-316.

Shahabuddin. 2011. Efektivitas ekstrak daun selasih (Ocimum Sp.) DAN

DAUN WANGI (Melaleuca bracteata L.) sebagai atraktan lalat

buah pada tanaman cabai. J. Agroland, 18 (3) : 201- 206.

Page 175: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

159

Susanti D., R.Widyastuti

& A. Sulistyo. 2015. Aktivitas antifeedant dan

antioviposisi ekstrak daun tithonia terhadap kutu kebul. Agrosains,

17(2): 33-38.

Unsicker S.B., G. Kunert & J. Gershenzon. 2009. Protective perfumes: the

role of vegetative vo-latiles in plant defense against herbivores.

Current Opinion in Plant Biology, 12(4):479-485.

I. PELATIHAN

1. Jelaskan tanaman yang menjadi awal sejarah dari insektisida nabati

dan mengapa orang meninggalkan insektisida nabati, meskipun

insektisida nabati mempunyai prospek yang sangat cerah.

2. Sebutkan beberapa pendekatan untuk pencarian insektisida nabati.

3. Ap perbedaannya penggunaan ekstrak kasar dan murni dari bahn

tanaman untuk segi fitotoksisitas pada tanaman.

4. Jelaskan mekanisme insektisida nabati untuk melindungi tanaman

dari serangan hama.

5. Sebutkan dan jelaskan penggolongan insektisida berdasarkan cara

kerjanya. Berikan pula contoh.

6. Sebutkan beberapa cara untuk meningkatkan efektivitas atraktran

sebagai salah satu teknik pengendalian.

7. Apa manfaat penggunaan senyawa penghambat dari ekstrak

tanaman. Sebutkan senyawa tersebut.

8. Bagaimana melakukan pencarian bahan insektisida nabati.

9. Sebutkan keunggulan dan kelemahan insektisida nabati.

10. Sebutkan kendala dan strategi untuk pengembangan insektisida

nabati.

Page 176: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

160

BAB VI.

ANTIVIRAL NABATI

A. DASAR PIKIRAN

Usaha pengendalian virus pada tanaman telah banyak dilakukan

dengan pengendalian populasi vektornya dengan insektisida, dan

penggunaan penghalang fisik, serta varietas resisten tetapi keberhasilan

ketiga cara ini belum konsisten. Sejauh ini tanaman resisten terhadap virus

tidak mencukupi untuk pertanaman di lapangan. Bahkan beberapa tanaman

tidak memiliki sumber gen tahan untuk virus-virus tertentu. Meskipun

demikian, ekstrak nabati dapat mengaktifkan ketahanan tanaman untuk

mengendalikan serangan virus sebagai salah satu cara pengendalian virus

secara nabati dan mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian

dengan penggunaan pestisida.

Setelah mempelajari Bab VI ini, mahasiswa diharapkan mampu

memahami: (1) Penggunaan ekstrak tanaman sebagai antiviral; 2)

mekanisme Systemic Acquired Resistance (SAR) dalam pertahanan

tanaman; 3) hubungan reaksi hypersensitif dengan tanaman yang terinfeksi

virus; 4) peranan asam salisilat sebagai penghambat pergerakan sistemik

virus; 5) induksi ketahanan dengan ekstrak tanaman.

B. PENGGUNAAN EKSTRAK TANAMAN SEBAGAI

ANTIVIRAL

Tanaman akan mempertahankan diri terhadap serangan patogen.

Pertahanan tanaman dapat dilakukan secara fisik dan kimia. Ketahanan

tanaman terinduksi adalah fenomena dimana terjadi peningkatan ketahanan

tanaman terhadap infeksi oleh patogen setelah terjadi rangsangan.

Ketahanan ini merupakan perlindungan tanaman bukan untuk

mengeliminasi patogen tetapi lebih pada aktivitas dari mekanisme

pertahanan tanaman. Ketahanan terinduksi dikategorikan sebagai

perlindungan secara biologi pada tanaman dimana tanaman adalah target

metode ini bukan patogennya. Induksi resistensi atau imunisasi atau

Page 177: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

161

resistensi buatan adalah suatu proses stimulasi resistensi tanaman inang

tanpa introduksi gen-gen baru. Induksi resistensi menyebabkan kondisi

fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan atau

menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang.

Pengendalian virus tanaman sukar dilakukan karena virus mudah

tersebar melalui vektor dan mempunyai kisaran inang yang luas serta

belum ada virusida. Penyakit virus pada tanaman sering dilakukan dengan

pestisida untuk menekan populasi vektor virus, sanitasi, penggunaan

vaksin CARNA 5, dan penggunaan varietas tahan. Penggunaan pestisida

mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, manusia, dan sumber

daya hayati serta tidak efektif. Pengendalian virus tanaman yang relatif

mudah adalah menggunakan varietas tahan. Beberapa tantangan dalam

mendapatkan varietas tahan adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk

mendapatkan satu varietas tanaman yang tahan, dan tidak efektifnya sifat

ketahanan terhadap satu patogen dikarenakan timbulnya ras-ras baru yang

lebih virulen. Dalam mendapatkan varietas yang tahan, para pemulia

tanaman lebih banyak mengoptimalkan gen-gen ketahanan. Sedangkan

gen-gen pertahahan yang dimiliki oleh tanaman yang tahan maupun rentan

belum dimanfaatkan.

Upaya pengendalian dengan pengaktifan gen pertahanan dari

tanaman merupakan salah satu cara pengendalian virus secara hayati dan

mempunyai kelebihan dibandingkan pengendalian dengan menggunakan

pestisida. Aktifitas gen pertahanan dapat dipicu dengan menggunakan agen

penginduksi. Ketahanan penyakit terimbas merupakan proses ketahanan

aktif yang tergantung pada penghalang fisik atau kimia tanaman inang dan

diaktifkan oleh agensia biotik atau abiotik (agensia pengimbas) untuk

dapat melindungi tanaman terhadap patogen. Ketahanan terimbas

merupakan daya peningkatan pertahanan yang dikembangkan tanaman

karena adanya rangsangan yang sesuai. Ketahanan sistemik dari suatu

tanaman dapat diaktifkan dengan menginduksi gen-gen ketahanan yang

terdapat di dalam tanaman. Pemanfaatan substansi antivirus dari ekstrak

tanaman dilaporkan mampu untuk mengendalikan beberapa virus karena

mengandung Ribosome inactivating proteins (RIPs) dan juga merupakan

salah satu agen yang dapat menginduksi ketahanan sistemik suatu

tanaman.

Page 178: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

162

Pada umumnya, ketahanan terimbas adalah ketahanan sistemik. Hal

ini terjadi karena daya pertahanan ditingkatkan tidak hanya pada bagian

tanaman yang terinfeksi, tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang

tidak terinfeksi. Oleh karena bersifat sistemik, ketahanan terimbas

umumnya dirujuk sebagai SAR (Systemic Acquired Resistence). Akan

tetapi, ketahanan terimbas tidak selalu ditampakkan secara sistemik, dapat

juga ditampakkan secara setempat (Locally Acquired Systemic = LAR),

meskipun keaktifannya sama terhadap beragam tipe patogen tanaman.

Beberapa ciri SAR antara lain, SAR diperoleh setelah inokulasi

dengan necrotizing patogen, Hipersensitive Reaction, atau aplikasi dari

beberapa bahan kimia untuk menghadapi serangan pathogen,

membutuhkan asam salisilat sebagai molekul sinyal pada tanaman dan

disertai dengan induksi pathogenesis related protein. Semua tanaman

mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan serangan patogen. Hal

ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis dan kimia yang dapat

mencegah infeksi. Selain itu, ketahanan tanaman terbentuk karena

mekanisme agensia pengendali hayati yang mampu menurunkan jumlah

sisi infeksi dan membatasi pertumbuhan patogen selama tahap infeksinya.

Mekanisme tersebut gagal ketika tanaman diinfeksi oleh patogen virulen

karena patogen mencegah adanya reaksi ketahanan atau menghindari

pengaruh pengaktifan ketahanan. Apabila mekanisme ketahanan dapat

dipacu lebih dulu sebelum adanya infeksi patogen tanaman, maka penyakit

dapat dikurangi. SAR membutuhkan asam salisilat sebagai molekul

singnal dalam tubuh tumbuhan. Induce systemic Resistence (ISR)

melibatkan ekspresi gen terpisah dari PR protein sedangkan SAR

melibatkan induksi dari gen pathogenesis related protein (PR protein)

yaitu suatu protein yang mampu menghambat perkembangan penyakit

tanaman. SAR tergantung pada tanaman dan elisitor patogen, ketahanan

akan muncul pada periode tertentu dengan mengkorespondensikan waktu

yang dibutuhkan untuk akumulasi PR-protein (dan transkripsi) dan

produksi asam salisilat pada tanaman inang. SAR membutuhkan akumulasi

asam salisilat atau PR-protein dalam sistem regulasi.

Terdapat sedikitnya dua komponen utama yang berperan dalam

mekanisme SAR, yaitu gen penanda molekuler SAR dan asam salisilat

(salicylic acid). Telah diketahui bahwa penanda tersebut kemudian disebut

Page 179: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

163

sebagai gen SAR. Hasil analisa terhadap protein yang kemudian disebut

sebagai protein SAR diklasifikasikan sebagai PR protein Gen yang

mengekpresikan SAR dihubungkan secara kolektif dengan gen SAR dan

termasuk beta 1,3 glukanase, PR-1 protein, kitinase dan osmotin-like

protein.SAR juga dikarekterisasi oleh hubungan akumulasi kordinasi

mRNA yang mengkode satu set gen SAR. Ekpresi dari gen ini terdiri dari

14 family gen yang berhubungan dengan banyak gen yang mengkode PR

protein yang juga termasuk kriteria yang dapat dihubungkan SAR dengan

berbagai respon ketahanan.

Keberadaan peningkatan salicylic acid yang berhasil dideteksi pada

bagian daun sistemik dan floem tanaman menunjukan bahwa komponen

kimia tersebut berperan sebagai system signal SAR. Salicylic acid adalah

komponen yang dibutuhkan dalam jalur signal transduksi untuk induksi

SAR, suatu bentuk peningkatan ketahanan tanaman melawan patogen

berspektrum luas. Penggerak untuk sintesis SA dan induksi SAR adalah

pengenalan dari invasi mikroorganisme oleh gen penghasil resistensi.

Seringkali pengenalan ini disertai oleh respon hipersensitif, suatu bentuk

kematian sel inang secara cepat pada bagian sekitar titik masuk patogen.

Penggunaan ekstrak tumbuhan merupakan salah satu upaya yang

perlu dikaji untuk mendapatkan salah satu cara yang dapat mengendalikan

virus. Mekanisme pertahanan secara alami, Systemic activated resistance

(SAR) atau ketahanan sistemik terinduksi (KST) pada tanaman membantu

untuk melindungi tanaman tersebut dari serangan penyakit. Usaha untuk

menjadikan tanaman memperoleh KST disebut sebagai imunisasi tanaman.

Ketahanan sistemik terinduksi dapat dipicu oleh agen biologis seperti

mikroorganisme nonpatogenik, bahan organik tertentu, atau dengan bahan

kimia. Ketahanan sistemik terinduksi (KST) adalah fenomena yang paling

sering dipelajari karena merupakan bentuk perlindungan jangka panjang.

Masa kini banyak beredar secara komersial bioactivator untuk

mendayagunakan SAR menjadi sistem perlindungan tanaman, salah satu

bahan kimia yang dapat mengaktifkan gen pertahanan tanaman (plant

activator) adalah Benzotiadiazol. Bioactivator ini tidak secara langsung

dapat mengatasi serangan patogen dan tidak bersifat sebagai fungisida atau

insektisida. Namun dapat merangsang terbentuknya pertahanan tanaman

secara sistemik yang memungkinkan tanaman tidak terinfeksi patogen.

Page 180: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

164

Plant activator benzotiadiazol 1% yang dicampur dengan mancozeb 48%

dengan konsentrasi 2,5 dan 5 g/l dapat menekan penyakit antraknos pada

cabai sebesar 90-96%. Plant activator yang diproduksi CIBA tahun 1991

dengan nama dagang Acibenzolar-s Methyl telah dibuktikan ampuh dalam

mengendalikan berbagai penyakit penting pada tanaman cabai, tomat, dan

kentang.

C. MEKANISME PERTAHANAN SECARA ALAMI

TERHADAP VIRUS DENGAN EKSTRAK TANAMAN

Perlakuan ekstrak bunga pukul empat mampu menekan Bean

common mosaic virus (BCMV). Hal ini kemungkinan karena senyawa

aktif bunga pukul empat (Mirabilis jalapa) yang disebut sebagai protein

antivirus dan dikenal sebagai Ribosome inactivating protein (RIPs). RIPs

juga terdapat pada ekstrak akar dan daun M. jalapa dan disebut sebagai

Mirabilis antiviral protein (MAP). MAP dapat mencapai daerah aktif

ribosom terlebih dahulu sehingga dapat mencegah infeksi virus pada tahap

awal sebelum virus mengalami deenkapsidasi.

Gen pengendali pertahanan tubuh tanaman merupakan gen yang

terdapat pada tanaman baik yang mempunyai sifat resisten atau rentan.

Gen ini mengatur sintesis senyawa-senyawa yang disintesis tanaman

sebagai respons terhadap rangsangan (elicitor) atau pemicu (inducer) oleh

patogen atau faktor-faktor lain. Ketahanan sistemik terinduksi dapat juga

dipicu/dirangsang oleh ekstrak tumbuhan. Kemampuan ekstrak daun

menekan virus menunjukkan bahwa tanaman ini mengandung inhibitor

virus dan memiliki aktivitas antiviral atau virus inhibitor. Virus inhibitor

mengandung zat untuk mencegah infeksi virus yang terdapat pada sap

bahan tanaman tertentu. Beberapa bahan ekstrak tanaman mampu

menginduksi respons pertahanan tanaman yang sistemik terhadap virus.

Beberapa tanaman seperti bunga pukul empat (M. jalapa Linn.), bayam

duri (Amaranthus spinosus Linnaeus.), pagoda (Clerodendrum japonicum

Lhunb.), beluntas (Pluchea indica (L). Less.), iler/jawer kotok (Coleus

scutellarioides, Linn, Benth.), kenikir (Tagetes erecta L.), nimba

(Azadirachta indica A. Juss.), sirsak (Annona muricata, Linn.), dan tapak

dara (Catharantus roseus L.), kulit biji jambu mete (Anacardium

occidentale L.) berpotensi menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang

Page 181: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

165

merupakan analog dengan asam salisilat yang bersifat sebagai antioksidatif

seperti senyawa alkaloid, flavonoid, fenol, steroid, dan terpenoid

(Vardhana 2011, Andayanie et al., 2019). Senyawa turunan asam salisilat

yang terkandung dalam ekstrak daun pagoda diduga dapat berperan dalam

menginduksi teraktifkannya systemic acquired resistance melalui jalur

asam salisilat-phenyl propanoid (Vogt, 2010). Asam salisilat merupakan

komponen kunci dari jalur sinyal transduksi yang mengaktivasi gen

ketahanan terhadap berbagai macam jamur, bakteri dan virus secara

sistemik. Peranan asam salisilat adalah sebagai penghambat pergerakan

sistemik virus secara tidak langsung melalui pembuluh tanaman inang,

sehingga sifatnya menunda gejala penyakit. Senyawa ini diduga dapat

menurunkan intensitas warna gejala bercak kuning dan malformasi serta

meningkatkan jumlah lesio lokal pada tanaman inang. Genom tanaman

mempunyai reseptor dan mengenali virus yang masuk ke dalam sel

tanaman, sehingga menyebabkan respon ketahanan terhadap tanaman.

Ketahanan sistemik yang diperoleh tersebut memberikan sinyal

pertahanan pada tempat patogen berada. Sinyal ini mempunyai sifat

sistemik dan bergerak dalam floem. Pada tempat terjadinya infeksi, asam

salisilat dan PR-Protein (pathogenesis related protein) terakumulasi sangat

banyak. Peningkatan akumulasi asam salisilat merupakan bentuk reaksi

cepat dari tanaman untuk melawan infeksi virus, yaitu dengan

memobilisasi metabolit sekunder. Hal ini ditunjukkan dengan kadar asam

salisilat pada daun tembakau yang sebelumnya diinokulasi CMV

meningkat sebanyak 70 kali dibandingkan sebelum diinokulasi CMV.

Asam salisilat (SA) mempunyai peran sebagai molecule system

signal dan menginduksi pembentukan pathogenesis related (PR) protein

serta meningkatkan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen (Chen et

al. 2010). Oleh karena itu asam salisilat sebagai penghambat pergerakan

sistemik virus secara tidak langsung melalui pembuluh tanaman inang

sehingga sifatnya hanya menunda gejala penyakit dan merupakan reseptor

yang akan terbentuknya PR protein. Kondisi ini dan tidak aktifnya gen

pertahanan apabila tidak ada rangsangan patogen (infeksi) maka

manipulasi buatan terhadap sistem pertahanan tersebut diharapkan untuk

menginduksi timbulnya pertahanan tanaman. Gen pertahanan mengatur

sintesis senyawa-senyawa metabolit sekunder, yang hanya efektif jika ada

Page 182: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

166

serangan patogen. Gen-gen pertahanan sering terlambat berfungsi atau

produk yang disintesisnya tidak mencapai jumlah yang cukup untuk

melawan patogen. Gen-gen pertahanan memerlukan waktu yang cukup

supaya efektif untuk mengekspresikan diri. Gen pertahanan untuk menjadi

aktif perlu adanya faktor penginduksi.

Menurut Gautam & Stein (2011), asam salisilat merupakan

komponen kunci dari jalur sinyal transduksi untuk mengaktivasi gen

ketahanan terhadap berbagai macam jamur, bakteri dan virus secara

sistemik. Ketahanan sistemik yang diperoleh tersebut memberikan sinyal

pertahanan pada tempat patogen berada. Sinyal ini bersifat sistemik dan

bergerak dalam floem. Pada tempat terjadinya infeksi, asam salisilat dan

PR-Protein (pathogenesis related protein) terakumulasi sangat banyak.

Oleh karena itu, secara tidak langsung mempunyai sifat menunda gejala

penyakit melalui pembuluh tanaman inang. Elbeshehy (2017) juga

melaporkan aktivitas antiviral langsung berinteraksi dengan partikel virus

pada awal infeksi dan memblok asam nukleat untuk menghentikan

replikasi virus. Oleh karena itu asam salisilat merupakan senyawa penting

bagi tanaman berperan dalam proses pertahanan terhadap patogen.

Tanaman cabai yang diberi perlakuan ekstrak tanaman dan di

diinfeksi virus kuning keriting mempunyai pita protein yang lebih tebal

dibandingkan dengan yang hanya diberi ekstrak saja. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh adanya respons tanaman terhadap ekstrak tanaman dan

virus kuning keriting. Pada tanaman cabai sehat tidak tampak adanya pita

protein, sedangkan pada tanaman yang terinfeksi virus kuning keriting

yang diakibatkan oleh virus gemini (kontrol positif) pita protein tanaman

terinfeksi lebih tipis dibandingkan tanaman cabai diberi perlakuan ekstrak.

Ekspresi pita menjadi lebih tipis diduga terjadi karena adanya penurunan

akibat aktivitas gen-gen pengkode protein tertentu pada tanaman yang

terinfeksi virus kuning keriting. Ketebalan pita protein menunjukkan

konsentrasi protein tersebut, protein dengan intensitas yang lebih tebal

memiliki konsentrasi yang lebih tinggi. PR-Protein berpengaruh pada

pencegahan, multiplikasi, penyebaran, dan lokalisasi virus pada jaringan

yang diinduksi. Hasil analisis SDS-PAGE terlihat ada perbedaan pola pita

protein antara tanaman yang diberi perlakuan ekstrak dan diinfeksi virus

kuning keriting (Gambar 29).

Page 183: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

167

Gambar 30. Pola pita protein pada inducer terpilih berdasarkan hasil

elektroforesis menggunakan gel poliakrilamid (SDS- PAGE 10%).

(Inducer protein banding pattern was chosen based on results using

polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE 10%) (Gunaeni et

al., 2018). (1)Tanaman cabai + pagoda (2) tanaman cabai + pagoda

+ virus kuning keriting (3) tanaman cabai + tapak dara (4) tanaman

cabai + tapak dara + virus kuning keriting (5) tanaman cabai +

nimba (6) tanaman cabai + nimba + virus kuning keriting (7) tanaman cabai + beluntas + virus kuning keriting (8) tanaman cabai

+ beluntas (9) tanaman cabai sehat, dan (10) tanaman cabai

terinfeksi virus kuning keriting

Hasil analisis kandungan protein pada tanaman cabai terlihat ekstrak

daun pagoda dan tapak dara memberikan hasil yang terbaik dalam

menginduksi ketahanan tanaman cabai terhadap virus kuning keriting.

Mekanisme penginduksi ketahanan tanaman oleh ekstrak tanaman

terhadap virus adalah disebabkan oleh protein berukuran 34 kDa dalam

ekstrak daun C. japonicum (pagoda) dapat berfungsi sebagai agen

penghambat virus, penghambat replikasi, dan sebagai protein penghambat

virus. Pada C. roseus (tapak dara) mempunyai senyawa aktif bersifat

antimikrobial dengan kandungan gula terlarut serta protein yang dominan

dalam peningkatan produksi tanaman.

Analisis kandungan asam salisilat dilakukan pada ekstrak pagoda

dan tapak dara dengan menggunakan alat HPLC diperoleh waktu retensi

yang hampir sama antara sampel cabai merah yang diinduksi ekstrak

tanaman yaitu 10,85 menit dengan standar asam salisilat yaitu 10,57 menit.

Sampel tanaman cabai yang diuji tersebut mengandung asam salisilat.

Analisis kualitatif diperoleh dengan menghitung perbandingan luas puncak

standar asam salisilat. Hasil analisis kandungan asam salisilat sampel

Page 184: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

168

tanaman cabai merah yang diberi perlakuan induksi ekstrak tanaman

memperlihatkan perbedaan dengan tanaman cabai tanpa induksi (kontrol).

Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai dapat dilihat pada (Gambar

30).

Gambar 31. Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah yng diinduksi

oleh ekstrak tanaman (Gunaeni et al., 2015)

Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah yang diinduksi

dengan ekstrak tanaman mencapai 2,49–3,79 µg/g atau 53,99–134,38%

ternyata sudah mampu mengaktifkan ketahanan tanaman cabai merah

terhadap virus kuning keriting. Kandungan asam salisilat pada tanaman

cabai merah yang diinduksi ekstrak tanaman diduga berasal dari senyawa -

senyawa yang terkandung dalam ekstrak tanaman yang dapat

meningkatkan kandungan asam salisilat dalam tanaman cabai. Untuk

tanaman sehat yang tidak diinduksi (kontrol sehat) terlihat kandungan

asam salisilat lebih rendah (1,51 µg/g) dibandingkan tanaman yang

terinfeksi virus kuning keriting (1,62 µg/g).

Penyebaran virus terhambat jika menginduksi Hipersensitive

reaction (HR) efek yang tergantung pada satu atau lebih mekanisme yang

diatur oleh asam salisilat. Pembatasan virus tidak hanya disebabkan oleh

terperangkapnya sel-sel mati atau sekarat. Sebagai contoh, partikel viable

dari Tobacco mosaic virus (TMV) tetap ada dalam sel yang masih hidup di

pinggiran lesio HR selama hampir 2 minggu setelah induksi nekrosis.

Tanaman tembakau memiliki gen resistensi N untuk mengekspresikan

protein fluorescent hijau (GFP). Pengamatan mikroskopi dari fluoresensi

Page 185: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

169

lesio HR yang diinduksi oleh TMV mengungkapkan bahwa ekspresi GFP

(dan karena itu ekspresi gen virus) terjadi dalam sel hidup yang berdekatan

dengan tepi lesi. Bukti tambahan menunjukkan bahwa kematian sel dalam

HR tidak dapat menjelaskan lokalisasi virus berasal dari studi induksi HR

oleh Cucumber mosaic virus (CMV) dan Cauliflower mosaic virus

(CaMV). Ini menunjukkan bahwa urutan gen virus yang bertanggung

jawab untuk induksi kematian sel berbeda untuk mengkondisikan

resistensi terhadap penyebaran virus.

Asam salisilat menginduksi penghambatan replikasi virus mosaik

Alfalfa (AlMV) dalam protoplas kacang tunggak. Beberapa penelitian

menemukan bahwa akumulasi dari TMV RNA, protein mantel dan viral

RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) aktivitasnya dihambat oleh asam

salisilat dalam daun yang diinokulasi dari tembakau tipe-nn geno (yaitu

yang rentan TMV). Ditemukan juga bahwa akumulasi RNA virus Potato

virus X (PVX) dihambat di lokasi inokulasi pada tanaman tembakau yang

diperlakukan asam salisilat, sehingga menghambat replikasi virus.

Penghambatan replikasi virus bukan satu-satunya efek antivirus yang

disebabkan oleh asam salisilat. Pengamatan situs infeksi TMV. Protein

fluorescent hijau dan studi replikasi TMV di protoplas menunjukkan

bahwa resistensi yang diinduksi asam salisilat terhadap TMV dihasilkan

dari penghambatan baik replikasi virus dan pergerakan virus melalui

plasmodesmata yang menghubungkan sel yang berdekatan. Penghambatan

replikasi terjadi pada sel mesofil, sementara pembatasan pergerakan sel ke

sel terjadi pada lapisan sel epidermis. Hal ini mengindikasikan tanaman

yang terinfeksi virus ternyata kandungan asam salisilatnya meningkat.

Peningkatan akumulasi asam salisilat merupakan bentuk reaksi cepat dari

tanaman untuk melawan infeksi virus, yaitu dengan memobilisasi

metabolit sekunder. Oleh karena itu peran asam salisilat sebagai

penghambat pergerakan sistemik virus secara tidak langsung melalui

pembuluh tanaman inang sehingga sifatnya hanya menunda gejala

penyakit.

D. AKTIVITAS ANTIVIRAL

Ketahanan sistemik tanaman dapat diaktifkan dengan pemanfaatan

agens penginduksi untuk menginduksi gen-gen ketahanan yang terdapat di

Page 186: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

170

dalam tanaman. Senyawa aktif berupa protein di dalam ekstrak tanaman

sebagai agen penginduksi dapat menyebabkan tanaman lain menjadi imun

terhadap virus. Aktivitas antivirus dari ekstrak tumbuhan dan bahan kimia

sintetis mengandung senyawa inhibitor yang berinteraksi dengan partikel

virus pada tahap awal infeksi dan memblokir pembebasan asam

nukleatnya, sehingga terjadi penghentian penggandaan virus. Aktivitas

antivirus dari produk termasuk ekstrak tumbuhan dan bahan kimia sintetis

terhubung ke komponennya yang dapat bertindak langsung melalui

interaksi dengan partikel virus pada tahap awal infeksi dan memblokir

pembebasan asam nukleatnya yang akhirnya dapat menyebabkan

penghentian penggandaan virus.

Senyawa dari ekstrak penginduksi dapat bertindak secara tidak

langsung sebagai pemicu menginduksi agen resistensi sistemik pada

tanaman terhadap virus. Ekstrak penginduksi seperti: bunga pukul empat

(M. jalapa Linn.), bayam duri (Amaranthus spinosus Linnaeus.), pagoda

(C. japonicum Lhunb.), beluntas (Pluchea indica (L). Less.), iler/jawer

kotok (Coleus scutellarioides, Linn, Benth.), kenikir ( Tagetes erecta L.),

nimba (Azadirachta indica A. Juss.), sirsak (Annona muricata, Linn.), dan

tapak dara (C. roseus L.), kulit biji jambu mete (Anacardium occidentale

L.) efektif mengurangi konsentrasi virus pada tanaman indikator dan

tanaman inang serta keterbelakangan perkembangan gejala virus.

Perlakuan aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete dengan berbagai

konsentrasi memberikan kemampuan yang berbeda untuk menginduksi

ketahanan pada tanaman kedelai terhadap CPMMV. Pengamatan terhadap

kejadian penyakit dan intensitas penyakit dilakukan sejak awal gejala

bercak kuning jelas secara visual nampak pada tanaman uji saat 21 HSI.

Gejala menampakkan bercak kuning samar, kemudian berkembang

menjadi bergejala bercak kuning jelas dan agak mosaik tergantung aplikasi

ekstrak kulit biji jambu mete sebagai penginduksi terhadap infeksi

CPMMV. Perlakuan ekstrak kulit biji jambu mete dengan konsentrasi

(0,75 %; 1,50 %) pada pra-inokulasi CPMMV dan konsentrasi (0,75 %;

1,50 %; 3,00 %) pasca inokulasi CPMMV menampakkan gejala bercak

kuning jelas dan tidak berkeriput pada daun saat 21 HSI. Gejala ini

nampak lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pada kontrol positif.

Perlakuan kontrol positif menunjukkan gejala bercak kuning sangat jelas

Page 187: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

171

dan agak mosaik, kemudian berkembang menjadi mosaik sangat parah

sampai akhir pengamatan, sehingga sebagian tanaman mati. Kemampuan

ekstrak menekan virus menunjukkan bahwa ekstrak kulit biji jambu mete

mengandung inhibitor virus dan memiliki aktivitas antiviral. Pengaruh

aplikasi induksi ekstrak kulit biji jambu mete terhadap kejadian penyakit

(KP) pada tanaman kedelai disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji jambu mete terhadap

kejadian penyakit pada tanaman kedelai

Inokulasi ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 6,00% di

dalam sap CPMMV ke tanaman kedelai tidak menunjukkan perkembangan

kejadian penyakit dan intensitas penyakit saat 21 HSI. Persentase kejadian

penyakit sejak 28 HSI pada perlakuan ekstrak kulit biji jambu mete pada

konsentrasi (3,00%; 6,00%) dengan pra-inokulasi CPMMV dan perlakuan

pencampuran ekstrak kulit biji jambu mete pada masing-masing

konsentrasi 3,00% dan 6,00% dengan sap CPMMV tidak mengalami

peningkatan dan gejala nampak konsisten sesuai dengan bertambahnya

umur tanaman sampai 49 HSI. Selain itu, persentase intensitas penyakit

sejak 28 HSI tidak menunjukkan peningkatan pada perlakuan di dalam

Page 188: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

172

campuran ekstrak kulit biji jambu mete pada masing-masing konsentrasi

(3,00 %; 6,00 %) di dalam sap CPMMV.

Tabel 24. Pengaruh aplikasi induksi ekstrak kulit biji jambu mete terhadap

intensitas penyakit pada tanaman kedelai

Induksi ketahanan dengan ekstrak kulit biji jambu mete tidak

membuat tanaman tidak terserang sama sekali, tetapi untuk meningkatkan

ketahanan dari tanaman terhadap CPMMV dengan menghambat

perkembangan penyakit. Hal ini diduga karena bekerjanya gen pertahanan

secara sistemik, sehingga menghambat perkembangan intensitas serangan

pada tanaman kedelai. Gen-gen pertahanan tanaman memerlukan induser

dan waktu yang cukup supaya efektif untuk mengekspresikan diri.

Intensitas serangan akan menunjukkan semakin rendah dengan semakin

rendahnya skor keparahan penyakit. Aktivitas antiviral dari ekstrak kulit

biji jambu mete diduga berperan untuk mengaktifkan ketahanan sistemik

terinduksi (KST) terhadap CPMMV. Menurut Andayanie et al (2011) dan

Gunaeni et al. (2015), kejadian penyakit dan intensitas penyakit mosaik

kedelai mempunyai hubungan dengan waktu infeksi, umur tanaman saat

terinfeksi dan lingkungan serta induksi ketahanan dengan berbagai

perlakuan eksternal.

Page 189: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

173

Ekstrak kulit biji jambu mete mengandung asam anakardat (6-

pentadecylsalicylic acid) sebesar 76,93% sebagai senyawa bioaktif yang

merupakan turunan dari asam salisilat (Andayanie et al., 2019). Ekstrak

daun pagoda juga mempunyai senyawa turunan asam salisilat dan berperan

untuk Systemic Acquired Resistance (SAR) melalui jalur asam salisilat-

phenil propanoid. Kandungan asam salisilat pada tanaman cabai merah

yang diberi inducer tanaman pagoda dan tapak dara lebih tinggi

dibandingkan tanaman yang terinfeksi oleh virus keriting. Asam salisilat

memicu terbentuknya Pathogenesis Related protein (PR protein) dan

mencegah multiplikasi, penyebaran serta lokalisasi virus (Vogt, 2010;

Kristyaningrum et al., 2015; Gunaeni et al., 2015). Saat ini belum ada

laporan ekstrak kulit biji jambu mete mampu mengaktifkan gen-gen

pengendali pertahanan pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi

patogen. Namun demikian beberapa aplikasi ekstrak kulit biji jambu mete

sebagai inducer mempunyai potensi sebagai penginduksi ketahanan

terhadap CPMMV pada tanaman kedelai. Hal ini ditunjukkan dari potensi

ekstrak kulit biji jambu mete dan aplikasinya sebagai penginduksi terhadap

infeksi CPMMV mempunyai nilai Area under diseases progress curve

(AUDPC) yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif atau

tanaman hanya diinokulasi CPMMV tanpa perlakuan ekstrak. Semakin

tinggi nilai AUDPC semakin rendah persentase penghambatannya secara

lokal dan sistemik (Tabel 25).

Tabel 25. Potensi ekstrak kulit biji jambu mete sebagai penginduksi terhadap

infeksi CPMMV

Page 190: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

174

Penghambatan secara lokal pada tanaman indikator (Chenopodium

amaranticolor) dan sistemik pada tanaman inang dari ekstrak kulit biji

jambu mete mempunyai nilai rata-rata, masing-masing 74,83% dan

56,35%. Perlakuan ekstrak pra- inokulasi CPMMV pada konsentrasi

(3,00%; 6,00%) dan pasca inokulasi CPMMV pada konsentrasi 6,00%

serta pencampuran dengan sap CPMMV pada konsentrasi (1,50%; 3,00%;

6,00%) mempunyai persentase penghambatan lokal dan sistemik di atas

rata-rata. Hal ini menunjukkan perlakuan tersebut mampu menginduksi

ketahanan terhadap CPMMV pada tanaman kedelai. Selain itu perlakuan

pencampuran ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 6,00% di

dalam sap CPMMV mempunyai nilai AUDPC terendah (5,25) dan

persentase penghambatan lokal dan sistemik tertinggi masing-masing

sebesar 97,85% dan 85,21%. Nilai AUDPC ini diikuti oleh perlakuan

ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi 1,50% di dalan sap

CPMMV dan ekstrak kulit biji jambu mete pada konsentrasi (6,00% dan

3,00%) dengan pra inokulasi CPMMV masing-masing sebesar 32,29;

39,82; 50,44. Ekstrak kulit biji jambu mete dengan konsentrasi 3,00% akan

mempunyai aktivitas daya hambat, jika diberikan sebelum terjadi infeksi

virus dan tidak menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman kedelai di

lapangan. Daya hambat terhadap infeksi CPMMV lebih tinggi pada

konsentrasi yang lebih pekat, tetapi ekstrak kulit biji jambu mete dengan

konsentrasi 6,00% menyebabkan fitotoksisitas pada tanaman kedelai.

Substansi aktivitas antiviral dari ekstrak tanaman banyak diakui

sebagai protein dasar. Protein-protein tersebut secara tidak langsung

mempunyai hubungan dengan pencegahan infeksi virus, melainkan

memicu sistim metabolisme tanaman untuk mensintesis protein baru dan

digunakan untuk menghambat virus. Selain itu ribosom inang digunakan

dalam fungsi uncoat dan sintesis replikase pada tahap awal infeksi virus

menjadi tidak aktif oleh protein tanaman. Inaktivasi ribosom inang oleh

protein akan menyebabkan aktivitas antiviral, sehingga aktivasi ribosom

harus berlagsung sebelum terjadi replikasi virus. Jika virus telah

melakukan replikasi maka aktivitas antiviral tidak mempunyai efektivitas

untuk menghambat virus. Protein dasar dari daun Clerodendrum

aculeatum dalam reaksi ketahanan membuktikan stimulasi suatu protein 34

± 1kDa yang secara alami terdapat dalam jumlah yang sangat rendah,

Page 191: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

175

namun jika protein yang sangat rendah ini terakumulasi di dalam sel inang

akan menyebabkan sel inang terlindung dari infeksi virus. Perlakuan

dengan ekstrak C. aculeatum dapat mengimbans aktivitas antiviral

sistemik pada tanaman yang rentan diperlukan waktu 5−30 menit

tergantung dari inangnya. Penghambatan sistemik dari antiviral alami

mempunyai dua mekanisme, yaitu: 1) substansi penghambat

ditranslokasikan ke seluruh organ tanaman; 2) mekanisme penghambat

mengimbas ketahanan tanaman atau organ tanaman tempat situs infeksi

terjadi.

Kandungan protein meningkat pada tanaman yang terinfeksi virus

karena peningkatan aktivitas RNA synthesizer atau RNA polimerase.

Senyawa bioaktif sebagai protein antivirus ini dikenal sebagai Ribosome

inactivating protein (RIPs) dan juga menyebabkan kandungan protein

yang tinggi pada tanaman dibandingkan dengan tanaman yang terinfeksi

virus. Senyawa ini merupakan salah satu agen yang dapat menginduksi

ketahanan sistemik suatu tanaman. RIPs juga terdapat pada ekstrak akar

dan daun M. jalapa dan disebut sebagai Mirabilis antiviral protein (MAP).

Mirabilis Antiviral Protein (MAP) pada bunga pukul empat dan Celosia

cristata protein (CCP) pada jengger ayam diduga bersifat antivirus. MAP

dan CCP dapat mencapai daerah aktif ribosom terlebih dahulu sehingga

dapat mencegah infeksi virus pada tahap awal sebelum virus mengalami

deenkapsidasi (Vivanco et al. 1999).

Mekanisme penekanan virus tumbuhan oleh ekstrak tanaman

disebabkan oleh induksi ketahanan dan kandungan protein antivirus serta

kandungan senyawa bioaktif dalam tanaman seperti flavonoid, terpenoid,

coumarin, tanin, quercetin, saponin dan fenol. Menurut Jassim & Naji

(2003), senyawa flavonoid dan caumarin bekerja menghalangi sintesis

RNA, senyawa terpenoid dan saponin menghambat sintesis DNA, senyawa

tannin dan fenol menghambat replikasi RNA dan DNA virus, sedangkan

quercetin mampu menghambat enzim transkriptase dan polimerase.

Akumulasi senyawa fenolik dan turunannya dapat dianggap sebagai

mekanisme pertahanan atau sebagai reaksi hipersensitif untuk memperoleh

respon resistensi sistemik yang terkait dengan perubahan dalam reaksi

metabolisme sel. Flavonoid mengganggu interaksi protein selubung dan

Page 192: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

176

reseptor inang yang penting dalam replikasi Potato virus X dan Tomato

bushy stunt virus.

E. RANGKUMAN

Pengendalian virus tanaman sulit dilakukan karena virus mudah

tersebar melalui vektor dan mempunyai kisaran inang yang luas serta

belum ada virusida. Usaha pengendalian virus pada tanaman dilakukan

dengan insektisida untuk menekan populasi vektornya dengan insektisida,

dan penggunaan penghalang fisik, serta varietas resisten tetapi

keberhasilan ketiga cara ini belum konsisten. Upaya pengendalian dengan

pengaktifan gen pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara

pengendalian virus secara hayati dan mempunyai kelebihan dibandingkan

pengendalian dengan menggunakan pestisida. Upaya pengendalian dengan

pengaktifan gen pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara

pengendalian virus secara hayati dan mempunyai kelebihan dibandingkan

pengendalian dengan penggunaan pestisida. Aktifitas gen pertahanan dapat

dipicu dengan menggunakan agen penginduksi dari ekstrak bahan

tanaman.

Semua tanaman mempunyai mekanisme pertahanan aktif melawan

serangan patogen. Hal ini karena tanaman mempunyai pertahanan mekanis

dan kimia yang dapat mencegah infeksi. Selain itu, ketahanan tanaman

terbentuk karena mekanisme agens induksi mampu menurunkan jumlah

sisi infeksi dan membatasi pertumbuhan patogen selama tahap infeksinya.

Pemanfaatan substansi antivirus dari ekstrak tanaman untuk dilaporkan

mampu mengendalikan beberapa virus karena mengandung Ribosome

inactivating proteins (RIPs) dan juga merupakan salah satu agen yang

dapat menginduksi ketahanan sistemik suatu tanaman. Gen pengendali

pertahanan tubuh tanaman merupakan gen yang terdapat pada tanaman

baik yang mempunyai sifat resisten atau rentan. Gen ini mengatur sintesis

senyawa-senyawa yang disintesis tanaman sebagai respons terhadap

rangsangan (elicitor) atau pemicu (inducer) oleh patogen atau faktor-faktor

lain. Ketahanan sistemik terinduksi dapat juga dipicu/dirangsang oleh

ekstrak tumbuhan. Kemampuan ekstrak daun menekan virus menunjukkan

bahwa tanaman ini mengandung inhibitor virus dan memiliki aktivitas

antiviral atau virus inhibitor.

Page 193: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

177

Asam salisilat merupakan komponen kunci dari jalur sinyal

transduksi yang mengaktivasi gen ketahanan terhadap berbagai macam

jamur, bakteri dan virus secara sistemik. Peranan asam salisilat adalah

sebagai penghambat pergerakan sistemik virus secara tidak langsung

melalui pembuluh tanaman inang, sehingga sifatnya menunda gejala

penyakit. Senyawa ini diduga dapat menurunkan intensitas warna gejala

bercak kuning dan malformasi serta meningkatkan jumlah lesio lokal pada

tanaman inang. Genom tanaman mempunyai reseptor dan mengenali virus

yang masuk ke dalam sel tanaman, sehingga menyebabkan respon

ketahanan terhadap tanaman.

F. DAFTAR PUSTAKA

Andayanie W.R., W. Nuriana & N. Ermawati. 2019. Phytochemicals,

bioactive compounds and antifeedant activity of cashew nut

(Anacardiaceae) shell extract against Bemisia tabaci (Hemiptera:

Aleyrodidae). Acta Agriculturae Slovenica. Accepted.

Andayanie W.R., Y.B. Sumardiyono, S. Hartono & P. Yudono. 2011.

Incidence of soybean mosaic disease in East Java Province. J.

Agrivita 33(1): 15−22.

Chen H., Z. Zhang, K. Teng, J. Lai, Y. Zhang, Y. Huang, Y. Li, L. Liang,

Y. Wang & C. Chu. 2010. „Up-regulation of LSBI/GDU3, Effects

gemini virus infection by activating the salicylic acid pathway‟,

Plant Journal 62: 12−13.

Gautam P. & J. Stein. 2011, „Induction of systemic acquired resistance to

Puccinia sorghi in corn‟, International Journal of Plant Pathology

2(1): 43−50.

Gunaeni N., A.W. Wulandari & A. Hudaya. 2015. Pengaruh bahan ekstrak

tanaman terhadap Pathogenesis Related Protein dan asam salisilat

dalam menginduksi resistensi tanaman cabai merah terhadap virus

keriting. J. Hort. 25 (2): 160−170.

Jassim S.A.A. & M.A. Naji. 2003. Novel antiviral agents: a medicinal

plant perspective. J. Appl. Microbiol. 95(3): 412–427.

Kristyaningrum V.T., M. Martosudiro & Hadiastono. 2015. Ekstrak bayam

duri (Amaranthus spinosus L.) sebagai penginduksi ketahanan

Page 194: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

178

tanaman cabai besar (Capsicum annum L.) terhadap infeksi

Cucumber Mosaic Virus (CMV). J. HPT Tropika 3(1); 61−66.

Vardhana H. S. 2011. In vitro antibacterial activity of Amaranthus

spinosus root extracts. International Research J. Pharmacophore

2(5):266−70.

Voght T. 2010. Phenylpropanoid biosynthesis (Review article). Molecular

Plant 3(1): 2−20.

G. PELATIHAN

1. Apa yang anda ketahui tentang ketahanan terimbas dan bagaimana

hubungannya dengan kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus,

berikan contohnya.

2. Jelaskan ciri dari Systemic Acquired Resistence (SAR) dan

perbedaannya dengan Locally Acquired Systemic = LAR.

3. Apa yang anda ketahui tentang bioactivator dan perbedaannya

dengan insektisida dan fungisida. Berikan contohnya.

4. Bagaimana mekanisme pertahanan secara alami terhadap virus

dengan ekstrak tanaman.

5. Jelaskan hubungan reaksi hypersensitif dengan tanaman yang

terinfeksi virus.

6. Apa peranan asam salisilat sebagai penghambat pergerakan sistemik

virus.

7. Induksi ketahanan dengan ekstrak kulit biji jambu mete tidak

membuat tanaman tidak terserang sama sekali, tetapi untuk

meningkatkan ketahanan dari tanaman terhadap Cowpea mild mottle

virus (CPMMV) dengan menghambat perkembangan penyakit.

8. Jelaskan aktivitas antivirus dari ekstrak kulit biji jambu mete.

Page 195: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

179

BAB VII.

PENUTUP

Penggunaan bahan nabati secara konvensional umumnya berupa

formula padat untuk pengendalian hama dan sedikit laporan digunakan

untuk pengendalian virus tanaman. Meskipun demikian, pemanfaatan

bahan nabati semakin diperlukan dan menunjukkan kemempanannya untuk

mengatasi hama dan virus tanaman. Bahan nabati tidak terbatas

penggunaannya, tidak terbatas produksinya, dan tidak terbatas aplikasinya.

Semua dapat diterapkan, semakin banyaknya hama dan virus pada

beragam tanaman, dan semakin ketatnya persaingan memasuki pasar

bebas, khususnya masyarakat ekonomi sean (MEA), semakin pentingnya

menjaga mutu atau kualitas produk pertanian, agar dapat bersaing di pasar

bebas.

Belajar dari banyaknya produk pertanian yang ditolak di pasar bebas

karena adanya residu pestisida atau bahan kimia (toksin), maka sudah

saatnya beralih kepada pemanfaatan bahan nabati untuk pengendalian

hama tanaman. Selain itu, upaya pengendalian dengan pengaktifan gen

pertahanan dari tanaman merupakan salah satu cara pengendalian virus

dengan pemanfaatan senyawa bioaktif dari ekstrak tanaman mempunyai

kelebihan dibandingkan pengendalian dengan penggunaan pestisida.

Aktifitas gen pertahanan dapat dipicu dengan menggunakan agen

penginduksi dari ekstrak bahan tanaman.

Semoga pengetahuan tentang hama dan virus tanaman serta senyawa

bioaktif dari bahan nabati dapat digunakan sebagai cara atau teknik

pengendalian hama dan virus tanaman yang aman, murah dan mudah.

Page 196: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

180

GLOSARIUM

A

Ambang ekonomi- Kerapatan patogen atau intensitas penyakit yang bila

dilampaui nilai kerugian tanaman (tanpa usaha pengelolaan) akan

melebihi biaya pelaksanaan pengelolaan; economic threshold.

Asam amino- Bahan penyusun protein. Dikenal 20 asam amino yang

umum dan terangkai dengan urutan tertentu yang menentukan sifat

protein; Amino acid.

Asam nukleat- Senyawa bersifat asam yang mengandung pentosa, fosfor

dan basa pirimidin dan purin. Asam nukleat menentukan sifat

genetic organisme; nucleic acid.

Azadirachtin- Senyawa kimia yang termasuk ke dalam kelompok

limonoid, merupakan metabolit sekunder yang dijumpai dalam biji

mimba.

B

Biotipe- Isolat yang berbeda dalam sifat –sifat biokimianya, misal pada

bakteri Pseudomonas solanacearum

Bercak- Gejala penyakit berupa bagian yang terbatas yang warnanya

berbeda dengan sekitarnya. Ada yang memakai istilah becak atau

noda.

C

CARNA 5 - RNA yang bukan bagian dari genom CMV dan membutuhkan

CMV sebagi helper untuk replikasi contagium vivum fluidum:

cairan kotor yang membawa penyakit.

D

DDT- Dichloro Diphenyl Trichloroetane

E

ELISA- Enzyme liked immunosorbent assay; suatu uji menggunakan

antibody dan perubahan warnauntuk mengidentifikasi

Page 197: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

181

El-nino- Fenomena dari perubahan iklim global akibat meningkatnya suhu

pada permukaan air laut di Pasifik Timur.

F

Fitofag- Serangga yang memakan tanaman.

Fitotoksisitas- Sifat meracun tumbuhan yang dimiliki oleh bahan bioaktif

untuk mengendalikan jasad pengganggu.

Fungisida- Bahan kimia yang digunakan untuk membunuh jamur,

G

Gejala- Kenampakan pada tumbuhan inang sebagai reaksi terhadap

serangan jasad pengganggu.

Gejala lokal- Gejaala yng terbatas pada bagian tumbuhan yang terinfeksi.

Gejala sistemik- Gejala yang merata pada seluruh tubuh tumbuhan.

Gen- Satuan pembawa sifat baka yang terdapat dalam sel. Antara lain

tanaman mempunyai gen yang menentukan ketahanan terhadap

penyakit tertentu.

Genom- Molekul asam nukleat dari suatu virus yang dapat berupa asam

nukleat tunggal (monopartite), dua (bipartite), tiga (tripartite) atau

lebih (multipartite)

H

Hama- Binatang yang merusak dan menimbulkan masalah pada tanaman

serta merugikan secara ekonomi.

Herbisida- Bahan kimia yang digunakan untuk membunuh gulma atau

rumput-rumputan.

I

Imago- Stadium serangga dewasa

Infeksi laten- Infeksi yang patogennya tidak berkembang terus, patogen

dorman untuk sementara waktu, dan baru berkembang setelah

tumbuhan menurun ketahanannya.

Page 198: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

182

M

Metabolit sekunder- Senyawa organik yang tidak secara langsung terlibat

di dalam pertumbuhan, perkembangan, atau reproduksi normal

suatu organisme.

Metamorfosis- Perubahan/perkembangan biologi yang terjadi pada diri

makhluk hidup berawal dari telur hingga menjadi dewasa secara

sempurna.

Mosaik- Gejala penyakit, umumnya pada daun, yang terjadi karena

terganggunya pembentukan klorofil di tempat-tempat tertentu dan

menyebabkan terjadinya belang hijau tua dan hijau muda dengan

pola mosaik serta bentuk daun sedikit berubah.

N

Nekrosis- Kematian jaringan setempat, berbatas jelas, berwarna gelap.

K

Ketahanan terimbas- Ketahanan tanaman yang diperoleh dari inokulasi

jamur, bakteri, virus, ekstrak tanaman.

Klorosis- Gejala penyakit yang terjadi karena kurang berkembangnya

klorofil pada bagian tanaman tertentu (biasanya daun). Bagian

yang biasanya berwarna hijau tua menjadi hijau muda, kuning

bahkan putih.

Kokon- Lapisan khusus yang melindungi pupa.

L

La-nina- Pola iklim yang ditandai oleh menurunnya temperatur (lebih

dingin) pada permukaan air laut di sepanjang khatulistiwa (daerah

ekuatorial) Samudera Pasifik.

Larva- Stadium hidup binatang tertentu antara embrio dan binatang

dewasa.

LD50- Lethal Dose 50% atau dosis mematikan tengahan, merupakan

jumlah suatu senyawa yang dicerna yang membunuh 50% sampel

uji; dinyatakan dalam mg/kg atau milligram senyawa per kilogram

berat badan; nama umum: toksin, dosis mematikan.

Page 199: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

183

LC95- Lethal Concentration 95% atau konsentrasi yang mematikan 95%

serangga yang diberi perlakuan.

P

Parasit- Jasad hidup pada atau di dalam jasad hidup lainnya dan

memperoleh makanan dari jasad hidup tersebut.

Parasitoid- Suatu organisme yang menghabiskan bagian nyata sejarah

hidupnya melekat pada atau di dalam organisme inang tunggal

dalam hubungannya dengan parasite, akan tetapi, tidak seperti

parasite sejati, parasitoidakhirnya mensterilkan atau membunuh

dan kadang-kadang memkan inangnya.

Patogen- Penyebab penyakit.

Patogenisitas- Kemampuan mikroorganisme untuk menyebabkan

penyakit.

Pemberantasan- Mematikan seluruh organisme pengganggu tanaman

(OPT) yang ada baik yang sedang tumbuh maupun alat

reproduksinya, sehingga populasi OPT sedapat mungkin ditekan

sampai nol.

Pengendalian atau pengelolaan- Melindungi tanaman dengan mengelola

OPT yang menganggu tanaman, maupun tanaman itu sendiri,

sedemikian rupa sehingga kerusakan yang ditimbulkan oleh OPT

tidak sampai menimbulkan kerusakan ekonomis atau merugikan.

Penyakit- Penyimpangan perkembangan tumbuhan yang mempengaruhi

fisiologi dan mengurangi nilai ekonomi dan estetikanya.

Periode laten- Waktu setelah makan akuisisi sampai vektor dapat

menularkan virus.

Perlindungan tanaman- Segala upaya untuk mencegah kerugian pada

budidaya tanaman yang diakibatkan oleh jasad pengganggu.

Pestisida- bahan kimia yang digunakan untuk membunuh jasad

pengganggu.

Polifag- Patogen atau hama yang dapat menyerang bermacam-macam

tumbuhan; mempunyai banyak tumbuhan inang.

ppm- Part per million, satu bagian perjuta.

Predator- Jasad hidup yang memangsa jasad hidup lainnya.

Page 200: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

184

Proteksi silang- Hambatan superinfeksi suatu strain virus akibat imbas

ketahanan dari infeksi virus sebelumnya.

Pupa atau kepompong- Salah satu stadium kehidupan serangga tidak

makan dan tidak bergerak.

O

Oligofag- Hama yang memakan dua jenis tanaman.

Oviposisi- Peletakkan telur serangga.

R

Rentan- Tidak mempunyai kemampuan untuk menaahan pengaruh

patogen tertentu, atau faktor yang merusak; susceptible.

Resisten- Tanaman yang dapat menekan atau menghambat perkembangan

penyakit virus.

Resurgensi- Peristiwa peningkatan populasi hama sasaran lebih tinggi

daripada tingkat populasi sebelumnya sehingga jauh melampaui

ambang ekonomi setelah diberikan pestisida tertentu.

Roguing- Proses pemeriksaan kondisi tanaman di lapangan dan

pembuangan tanaman yang tidak dikehendaki, misalnya karena

terserang penyakit dan hama.

S

Strain- Keturunan dari sat isolasi tunggal dalam biakan (kultur) murni;

satu isolat. Juga sekelompok isolat yang mirip satu sama lain; satu

ras untuk virus tanaman; sekelompok isolat virus yang mempunyai

persamaan dalam kebanyakan antigennya.

V

Vein banding- Klorosis yang terjadi pada daging daun (jaringan di antaara

tulang-tulang daun). Jaringan di sekitar tulang daun (vein) tampak

seperti jalur-jalur (bands) berwarna hijau tua.

Vektor - Agensia, pada umumnya serangga yang menularkan virus.

Virion- Zarah virus komplit yang mengandung asam nukleat dan protein

selubung.

Page 201: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

185

Virus- Suatu parasit obligat yang terdiri dari asam nukleat (nucleic acid)

dan protein.

Virus sirkulatif propagatif- Virus persisten dan dalam tubuh vektor virus

dapat memperbanyak diri.

Page 202: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

186

INDEKS

A

Ageratum haustonianum · 131

Aglaia elliptica · 130

Aglaia harmsiana · 130

Aglaia odorata · 129, 132

Alfafa dwarf virus · 91

Alfafa mosaic virus · 84, 100

Amaranthus spinosus Linnaeus ·

164, 170

Ambang ekonomi · 180

An. muricata · 130

Anacardium occidentale · 148, 164,

170

Anagarus biguttulla · 141

Annona glabra · 130

Annona squamosa · 130

Antifeedant · 141, 142

Antiviral · 175

Aphanamixis grandifolia · 130

Aphis cracivora · 119

Aphis glycines · 119

Aphis spiraecola · 119

Aras Ekonomi · 30, 31, 52

Aras luka ekonomi · 30, 52

Area under diseases progress curve

· 173

Asam anakardat · 146

Asam nukleat virus · 89

Asam salisilat · 165, 169, 173, 177

Aster yellow virus · 92

Atraktan · 132, 136, 137, 138, 139,

140, 141, 156, 158

Azadirachta indica A. Juss · 164,

170

B

Bactrocera cucurbitae · 139

Barley mosaic virus (BYMV) · 89

Bean common mosaic virus

(BCMV) · 164

Bean golden mosaic virus · 87

Bean peanut mottle virus · 106

Bean yellow mosaic virus (BYMV)

· 75

Beet curly top virus · 64, 87, 102

Beet yellow virus · 65

Bromoviridae · 98

Bromovirus · 85

C

California Aster Yellow Virus · 58

Callicarpa Japonica · 142

Callodonus montanus · 60

Carlavirus · 62, 72

Carrot red leaf virus · 66

Catharantus roseus L. · 164

Cauliflower mosaic virus · 84, 99,

123, 169

Caulimoviridae · 99

Page 203: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

187

Caulimovirus · 62, 72, 77, 99

Cavariella aegopodii · 66

Celosia cristata protein (CCP) ·

175

Chenopodiaceae · 103

Chenopodiaceae amaranticolor ·

103

Chlorosis striate mosaic virus · 87

Chlorotic Spotting · 105

Circuliver tenellus · 64

Clerodendrum aculeatum · 174

Clerodendrum japonicum Lhunb ·

164

Clover vein mosaic virus · 112

Clover wound tumor virus · 64

Clover yellow virus · 65

Coleus scutellarioides, Linn, Benth

· 164, 170

Compositae · 103

Cowpea Mild Mottle Virus

(CPMMV) · 3, 6

Cowpea Mosaic Virus · 58

Crocidolomia binotalis · 130

Crocidolomia pavonana · 39, 148

Cucumber green mottle mosaic

virus · 94

Cucumber mosaic virus · 62, 98,

109, 122, 169

Cucumber mosaic virus (CMV) ·

169

Cucumber mosaic virus strain Y ·

109

Cucumovirus · 62, 72, 81, 85, 98,

109

D

Datura stramonium · 112

DNA · 62, 74, 76, 77, 78, 79, 80,

81, 87, 89, 93, 94, 95, 99, 100,

114, 120, 175

Dysoxylum mollissimum · 130

E

Elicitor · 164, 176

Embrio · 18

Eugenol · 138, 158

F

Fabavirus · 62, 72

Fagopyrum esculentum · 103

Feeding Deterrent · 144

Fiji virus · 85

Fitotoksik · 130, 131, 132, 136,

148, 149

Fitotoksisitas · 181

Flexious Rod · 86

G

Genom · 76, 80, 82, 86, 89, 92, 98,

100, 165, 177, 181

Glycine max · 103, 150

Gomphrena globosa · 103

H

Helicoverpa armigera · 149, 156

Page 204: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

188

Hipersensitive Reaction · 162

I

Ikosahedral · xi, 81, 84, 87

Ilarvirus · 100

Imago · 151, 152, 181

Inclusion Bodies · 75, 90, 111

Induce systemic Resistence (ISR) ·

162

Inducer · 167

Inhibitor · 164, 170, 171, 176

Insiden Penyakit · 70, 71

Intensitas serangan · 119, 172

J

Jasad Pengganggu · 2, 4, 5, 7, 8, 9,

10, 11, 12, 13, 15, 28, 127, 181,

183

Juvenile Hormone · 131

K

Kardanol · 146

Kardol · 146

ketahanan sistemik terinduksi

(KST) · 163, 172

Khaya spp · 130

Kokon · 21, 182

kulit biji jambu mete · xii, xv, 131,

144, 145, 146, 149, 150, 151,

152, 156, 164, 170, 171, 172,

173, 174, 178

Kutu Kebul (Bemisia tabaci) · 3, 6,

63, 71

L

Larva · 18, 19, 20, 182

Lathyrus odoratus · 103

Leguminosae · 103

Lettuce necrotic yellow virus · 93

Locally Acquired Systemic LAR ·

162, 178

M

Maize rough dwarf virus · 85

Melaleuca bracteata L · 139, 158

Mirabilis antiviral protein (MAP) ·

164, 175

Mirabilis jalapa · 164

Mottling Streak · 105

Myzus persicae · 119

N

Nephotettix cincticeps · 64

Nicotiana tabacum · 103

Nilaparvata lugens · 39, 148

Nimfa · 24, 25

Nir-Persisten · xiv, 61, 62, 65, 66,

71, 72

Nir-Sirkulaatif · 66

Nukleotida · 75, 76, 78, 79, 80, 82,

84, 86, 89, 90, 95, 99, 100, 101,

117

Page 205: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

189

O

Ocimum sp · 139, 158

Odontoglossum ring spot virus · 94

Oktahedral · 87

Organisme Pengganggu Tanaman

(OPT) · 8, 9, 34

Ovicidal · 144

Oviposisi · 18, 184

P

P. radiates · 103

Pangium edule · 142

Pathogenesis Related Protein ·

162, 165, 166

Peach Wester X disease · 60

Peanut stript virus · 112

Pedaliaceae · 103

Pemberantasan · 183

Pengendalian · 11, 32, 38, 46, 127,

141, 161, 176, 183

Persisten · xiv, 61, 63, 64, 65, 66,

68, 69, 70, 71, 72, 93, 138, 185

Phaseolus vulgaris · 103, 112

Phony peach virus · 91

Pisum sativum · 103

Pluchea indica (L). Less · 164, 170

Polygonaceae · 103

Potato leaf roll virus · 92, 116

Potato spindle tuber viroid · 88

Potato virus X · 102, 169, 176

Potato Yellow Dwarf Virus · 58

Potexvirus · 86

Potyvirus · 62, 72, 86, 96, 97, 112,

122, 123

Protein Fluorescent Hijau (GFP) ·

168

Protein virus · 80

Pupa · 20, 21, 184

Pyrethrin · 137, 138

R

Reovirus · 77, 81, 85, 93, 101, 121

Repelen · 132, 136, 137, 156

Replikasi virus · 93, 94, 99, 104,

117, 120

Resurgensi · 184

Rhabdovirus · 82, 88, 93, 101, 120

Ribosome inactivating proteins

(RIPs) · 161, 176

Rice dwarf virus · 64

Rigid Rod · xi, 86

Ring Pattern · 105

RNA · 23, 62, 74, 76, 77, 78, 79,

81, 82, 85, 88, 89, 90, 93, 94,

95, 96, 97, 98, 99, 100, 101,

114, 120, 123, 169, 175, 180

Roguing · 184

S

Semi Persisten · xiv, 65, 70

Sesamum indicum · 103

Sirkulatif · 58, 59, 61, 64, 66, 68,

70, 73, 185

Solanaceae · 37, 103, 112

Southern bean mosaic virus · 91

Page 206: Perlindungan Tanamanunmermadiun.ac.id/repository_jurnal_penelitian/Wuye Riya...Kondisi di Indonesia yang beriklim tropis dan akibat perubahan iklim global serta pola tanam pada musim

190

Soybean mosaic virus · 82, 86, 96,

105, 108, 110, 122, 123

Soybean stunt strain · 109

Soybean stunt virus · 108, 109

Strawberry mottle virus · 65

Swietenia spp · 130

Systemic Acquired Resistance

(SAR) · 160, 173

T

Tagetes erecta L. · 164, 170

Tanacetum cinerariaefolium · 126

Tetrahedral · 87

Tithonia · 147, 150, 151, 157

Tobacco etch virus · 112

Tobacco mosaic virus (TMV) · 75,

86, 168

Tobacco rattle virus · 84, 100

Tobacco streak virus · 84, 100

Tobamovirus · 84, 86, 94

Tobravirus · 85

Tomato bushy stunt virus · 112, 176

Tomato spotted wilt virus · 82

Toxotrypana curvicauda · 139

Trichilia trijuga · 130

Turnip yellow mosaic virus · 78,

84, 85, 96, 101

V

Vein banding virus · 65

Vein Clearing · 105, 107

Vektor · 56, 61, 62, 68, 69, 70, 71,

72, 184

Vicia faba L. · 75

Vigna sesquipedalis · 103

Virus · 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65,

68, 69, 70, 72, 73, 74, 75, 76,

81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,

89, 90, 91, 92, 93, 94, 99, 100,

101, 103, 109, 110, 112, 113,

117, 120, 121, 122, 164, 178,

185

W

Water mellon mosaic virus · 96

Wheat striate mosaic virus · 64

Wound tumor virus · 82, 84, 93,

101, 112

Z

Zingiberaceae · 131

Zinnia elegans · 103