Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Suplemen …
Transcript of Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Suplemen …
Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Suplemen Makanan Tanpa Izin Badan POM Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen
Adithya Wirawan Putra dan Heri Tjandrasari
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Kekhususan Tentang Kegiatan Ekonomi
Abstrak
Penggunaan suplemen makanan saat ini telah menjadi suatu gaya hidup di kalangan masyarakat modern. Tujuan dari penggunaan tersebut dapat beragam, seperti untuk memenuhi nutrisi yang dibutuhkan tubuh ataupun digunakan sebagai suplemen binaraga. Namun timbul suatu masalah yakni beredarnya suplemen makanan yang tidak memiliki izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM). Skripsi ini akan membahas mengenai pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh pelaku usaha yang melakukan peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta peraturan perundang-undang lain yang terkait. Lalu akan dibahas sanksi-sanksi apa saja yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran serta upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan yang diedarkan oleh pelaku usaha. Kata kunci: Badan POM; Perlindungan Konsumen; Suplemen Makanan.
Consumer Protection Against Circulation of Dietary Supplements Without Permission
of Food and Drug Supervisory Agency In Terms of Consumer Protection Law
Abstract The use of dietary supplements has now become a way of life in modern society. The purpose of such use can be varied, such as to meet the nutritional needs of the body or used as bodybuilding supplements. But a problem arises that the circulation of dietary supplements that do not have permission from the Food and Drug Supervisory Agency. This thesis will discuss any offense committed by business actors perform without a permit circulation of food supplements based Act No. 8 of 1999 on Consumer Protection Act and other legislation related. Then will discuss any sanctions that may be imposed against businesses that commit violations and remedy what can be done by consumers who suffered losses as a result of taking dietary supplements distributed by businesses. Key Words: Consumer Protection; Dietary Supplements; Food and Drugs Supervisory Agency. Pendahuluan
Pola makan yang seimbang adalah pola makan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Contoh mudahnya ialah mengkonsumsi makanan 4 sehat 5
sempurna. Di dalam makanan 4 sehat 5 sempurna terdapat berbagai nutrisi yang dibutuhkan
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
dalam tubuh, yang bermanfaat untuk pemenuhan gizi seseorang agar tidak terjadi dengan apa
yang dinamakan gizi buruk. Nutrisi yang terkandung di dalamnya ialah seperti karbohidrat
pada nasi, protein pada daging merah dan/atau umbi-umbian, kalsium pada susu, serta vitamin
pada buah dan/atau sayuran.
Selain dari makanan, pemenuhan nutrisi bagi seseorang dapat diperoleh dengan
mengkonsumsi suplemen makanan atau dalam Bahasa inggris disebut food suplement.
Namun suplemen makanan tidaklah dapat dijadikan sebagai pengganti makanan, karena
suplemen hanya bermanfaat untuk memenuhi nutrisi yang dirasa kurang bagi tubuh akibat
pola makan yang kurang baik. Suplemen makanan memiliki berbagai bentuk dan jenis.
Pada dasarnya suplemen makanan merupakan produk yang dikonsumsi sebagai pembantu
dalam pemenuhan nutrisi yang dirasa kurang pada diri seseorang, namun lambat laun
pemanfaatan dari suplemen makanan menjadi berkembang. Perkembangannya terlihat dari
banyaknya jenis suplemen makanan yang telah beredar saat ini. Salah satunya ialah jenis
suplemen makanan yang bermanfaat untuk pembentukan tubuh seseorang atau binaraga.
Karena dengan adanya asupan nutrisi tambahan yang dihasilkan oleh suplemen makanan,
maka akan mempermudah pengembangan otot-otot pada tubuhnya yang dibutuhkan untuk
pekerjaannya sebagai atlet binaragawan, selain nutrisi yang diperoleh dari real food.
Tingginya permintaan akan suplemen makanan telah menjadi kesempatan bagi pelaku usaha
untuk melakukan kegiatan usahanya, yaitu menjual suplemen makanan ke masyarakat.
Peredaran suplemen makanan dapat ditemukan pada toko-toko di pusat perbelanjaan maupun
dijual secara online di situs-situs maupun forum jual beli online. Produk suplemen makanan
yang beredar di pasaran rata-rata merupakan produk impor. Sehingga untuk dapat diedarkan
di Indonesia harus memperoleh izin khusus dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan
POM) karena badan tersebut yang mengatur mengenai izin peredaran dari suplemen makanan.
Akibat dari berkembangnya peredaran suplemen makanan dimasyarakat menjadi pemicu
masalah yang ada, yaitu beredarnya suplemen makanan tanpa izin dari Badan POM. Harga
yang lebih murah dan barang yang dijual adalah suplemen makanan merek terkenal
merupakan dua faktor yang menjadi sebab konsumen lebih memilih membeli produk tanpa
izin tersebut. Keamanan serta informasi yang jelas akan produk yang dijual tersebut dinomor
duakan oleh konsumen. Dengan adanya informasi yang tercantum dalam label yang
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
menggunakan Bahasa asing, konsumen beranggapan bahwa produk yang dijual pelaku usaha
merupakan suplemen makanan aman dan asli yang diimpor langsung oleh Negara yang
menjual. Padahal belum tentu produk yang dijual tersebut merupakan produk asli. Dugaan-
dugaan bersifat curiga tersebutlah yang akan muncul ketika berhadapan dengan produk yang
tidak memiliki izin resmi.
Akibat dari adanya peredaran suplemen makanan untuk binaraga yang ilegal, akan berdampak
buruk bagi konsumen, khususnya bagi konsumen yang awam mengenai produk-produk
suplemen makanan. Risiko yang mengancam bagi konsumen ialah bahaya dari segi kesehatan
pasca mengkonsumsi suplemen tersebut. Suplemen makanan ilegal yang beredar tersebut
belum dapat dikatakan aman untuk dikonsumsi, karena produk tersebut tidaklah mendapat
izin dari Badan POM sebagai badan yang melakukan pengawasan terhadap peredaran obat
dan makanan di Negara ini. Sehingga konsumen tidak memiliki jaminan aman atau tidaknya
dalam mengkonsumsi produk tersebut.
Melihat praktik bisnis “nakal” yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menjual barang yang
ilegal tanpa izin dari negara, dapat dikatakan terdapat keterpurukan situasi yang berat sebelah
antara pihak pelaku usaha dan pihak konsumen. Konsumen menjadi pihak yang tersudut dan
dirugikan tanpa ada perlindungan hukum yang dapat menjadi tameng bagi dirinya. Praktek
monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan “posisi” konsumen
dalam tingkat yang terendah dalam menghadapi pelaku usaha.1 Oleh karena itu dibutuhkanlah
peraturan yang mengatur secara khusus sebagai payung hukum yang menyadarkan serta
melindungi hak dan kewajiban baik konsumen maupun pelaku usaha sehingga terciptanya
kesetaraan kedudukan antara keduanya dan menciptakan hubungan yang baik dalam segi
berbisnis.
Pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan
mengundangkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut UUPK). Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini diharapkan
dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya yang dimiliki terhadap pelaku usaha, dimana dikatakan pada
1 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000), hal. 1.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
konsiderans UUPK, bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu
meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi dirinya, serta menumbuhkankembangkan sikap pelaku usaha yang
bertanggung jawab.2
Namun demikian, undang-undang tersebut masih belum dapat menjamin dan melindungi hak-
hak konsumen secara nyata dan penuh dimana konsumen masih sering menjadi sasaran atau
objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-
banyaknya.3 Hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan konsumen dan rendahnya
kesadaran akan hak dan kewajibannya.4
Belum terjaminnya hak-hak konsumen secara penuh serta pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha tercermin pada fenomena yang terjadi dalam peredaran suplemen
makanan ilegal yang telah disinggung sebelumnya. Terlihat bahwa UUPK masih dapat
dikelabui dan dilanggar oleh pelaku usaha yang melakukan praktik kecurangan dalam
melakukan penjualan suplemen makanan pembentuk tubuh yang dijual secara ilegal dan tanpa
adanya izin edar dari Badan POM.
Atas dasar latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis melakukan penelitian untuk
dapat menjelaskan permasalahan yang terjadi dan berusaha mengembangkan solusi dari
permasalahan yang tersebut melalui skripsi ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka pokok permasalahan yang
akan dibahas dan dikaji dalam penelitian ini oleh penulis adalah:
1. Pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelaku usaha atas peredaran suplemen makanan
tanpa izin Badan POM?
2. Sanksi apa yang dapat diberikan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
tersebut?
2Ibid., hal. 2. 3 Az. Nasution (a), Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan
Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 83. 4 N.H.T Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta:
Panta Rei, 2005), hal. 14.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
3. Upaya apakah yang dapat ditempuh oleh konsumen ketika mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi suplemen makanan tersebut?
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini memiliki beberapa
tujuan yang ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk mengetahui pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelaku usaha atas peredaran
suplemen makanan ilegal tanpa izin Badan POM.
2. Untuk mengetahui sanksi-sanksi apa yang dapat diterapkan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran tersebut.
3. Untuk mengetahui tindakan serta upaya apa yang dapat dilakukan oleh konsumen
sebagai korban atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut.
Tinjauan Teoritis
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen.5
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyrakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluara, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan6
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.7
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.8
5. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.9
5 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999, LN No. 42 Tahun 1999,
TLN. No. 3821, Pasal. 1 angka 1. 6Ibid., Pasal. 1 angka 2. 7Ibid., Pasal. 1 angka 3. 8Ibid., Pasal. 1 angka 4. 9Ibid.,Pasal. 1 angka 7.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
6. Badan Penyesaian Sengketa konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.10
7. Suplemen Makanan/suplemen kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk
melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa
vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan
tumbuhan) yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah
terkonsentrasi.11
8. Izin edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran obat dan makanan yang diberikan oleh
Kepala Badan untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.12
9. Kepala badan adalah kepala badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan obat
dan makanan.13
Metode Penelitian Metode penelitian yang akan dilakukan pada penulisan ini ialah yuridis normatif, yaitu
penelitian hukum terhadap peredaran suplemen makanan ilegal tanpa izin Badan POM
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu cara pengumpulan data yang bersumber
pada bahan-bahan pustaka.14 Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder.
Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.15 Sebagai suatu penelitian
hukum, data sekunder yang dipergunakan yaitu:
a. Bahan hukum primer, yang berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang
mengikat serta berkaitan dengan studi ini.
10Ibid.,Pasal. 1 angka 11. 11Badan Pengawas Obat dan Makanan (a), Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, KEPKA KBADAN POM HK.00.05.23.3644 Tahun
2004, Pasal 1 angka 1 12 Badan Pengawas Obat dan Makanan (b), Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia,, PERKA BADAN POM No.
27 Tahun 2013, Pasal 1 angka 11. 13Ibid., Pasal 1 angka 13. 14 Sri Mamudji. et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal 30. 15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2007),
hal. 12.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
b. Bahan hukum sekunder, yang berupa literatur-literatur tertulis yang berkaitan dengan
pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku-buku, makalah-makalah, laporan
penelitian, artikel surat kabar dan lain sebagainya.
c. Bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penjelasan mengenai bahan hukum
tersier maupun sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.16
Dilihat dari sifatnya, penelitian yang dilakukan ialah penelitian deskriptif, yaitu penelitian
yang menjelaskan mengenai permasalahan yang terjadi yang dihadapi oleh konsumen
terhadap maraknya peredaran suplemen makanan ilegal tanpa izin Badan POM. Metode
penelitian yang digunakan dalam mengolah dan menganalisis data adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan penelitian yang berisfat
deskriptif-analitis. Untuk melengkapi studi dokumen, penulis melakukan wawancara kepada
Narasumber yaitu Kepala Biro Hukum dan Humas Badan POM, Bapak Budi Djanu Purwanto.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dari penulisan ini menunjukkan bahwa tindakan peredaran suplemen
makanan tanpa izin dari Badan POM ke masyarakat yang dilakukan oleh pelaku usaha telah
melanggar beberapa ketentuan. Ketentuan yang dimaksud ialah pasal-pasal yang tercantum
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Pangan, serta Keputusan
Kepala Badan POM tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Pelanggaran
yang telah dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana.
Konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan yang
diedarkan oleh pelaku usaha dapat meminta ganti rugi kepada pelaku usaha, jika tidak
dilaksanakan maka konsumen dapat mengajukan gugatan.
Pembahasan Hukum perlindungan konsumen memiliki payung hukum di Indonesia yang mengatur
mengenai perlindungan konsumen, yaitu sejak dikeluarkan dan diundangkannya Undang-
undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999. Dalam Pasal 1
angka 1 UUPK disebutkan pengertian dari perlindungan konsumen itu sendiri, yaitu “segala
upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
16 Sri Mamudji, op. cit., hal. 28.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
konsumen.”17 Kepastian hukum yang dimaksud dalam pengertian ini meliputi segala upaya
untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang/jasa
kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh
prilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.18
Mengenai defisini dari hukum perlindungan konsumen, Az. Nasution memiliki pengertian
sendiri dalam hal tersebut. Beliau berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen
merupakan bagian dari hukum konsumen, yang memuat asas-asas yang bersifat mengatur dan
melindungi konsumen. Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang/jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.19
Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan produk
(barang/jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.20
Dalam Pasal 2 UUPK disebutkan 5 (lima) asas dari perlindungan konsumen, yaitu
perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keamanan, keselamatan konsumen, serta
kepastian hukum. Mengenai tujuan dari hukum perlindungan konsumen itu sendiri dapat kita
lihat pada Pasal 3 UUPK, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hal-haknya sebagai konsumen;
17 Indonesia, Pasal 1 angka 1. 18 Az. Nasution (c) , “Aspek Hukum Perlindungan Konsumen”, Jurnal Teropong, Edisi Mei 2003,
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, hal. 6-7, seperti dikutip Kurniawan, Permasalahan dan Kendala
Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Jurnal Dinamika
Hukum Januari 2012, hal. 162. 19 Az. Nasution (b), Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media, 2006),
hal. 37. 20 Ibid.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselmatan
konsumen.
Subjek dalam Hukum Perlindungan Konsumen ialah Konsumen dan Pelaku usaha. sebagai
subjek, masing-masing dari konsumen maupun pelaku usaha memiliki hak serta kewajiban.
Berdasarkan UUPK, definisi dari konsumen sendiri disebutkan pada Pasal 1 angka 2, yang
berbunyi:
“konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.”21 Hak konsumen disebutkan pada Pasal 4 UUPK dan
kewajibannya diatur pada Pasal 5 UUPK. Istilah pelaku usaha merupakan pengertian yuridis
dari istilah produsen.22 Dalam Pasal 1 angka 3 UUPK diartikan pelaku usaha ialah:
“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”23 Pelaku usaha
memiliki hak-hak yang disebutkan pada Pasal 6 UUPK, serta kewajiban yang diembannya
yang disebutkan pada Pasal 7 UUPK. Pelaku usaha sebagai pihak yang menjual barang
dan/atau jasa kepada konsumen tunduk pada ketentuan UUPK. Dalam UUPK terdapat
pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yang disebutkan pada Pasal
8 hingga Pasal 17 UUPK.
Barang dan/atau Jasa merupakan objek yang terlibat di dalam hubungan antara konsumen dan
pelaku usaha. Tanpa adanya objek tersebut, tidak akan terjadi hubungan antara kedua pihak
tersebut. Barang dalam UUPK diartikan pada Pasal 1 angka 4, yang berbunyi “setiap benda
baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat
21 Indonesia, Pasal 1 angka 2. 22 N. H. T. Siahaan, op. cit., hal. 26. 23 Indonesia, op. cit., Pasal 1 angka 3.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”.24 Dari isi Pasal tersebut terlihat bahwa
pengertian barang menurut UUPK memiliki definisi yang cukup luas, sehingga berbagai jenis
atau bentuk barang dapat dikatakan objek dari hukum perlindungan konsumen sesuai Pasal 1
angka 4 UUPK. Mengenai Jasa, didefinisikan pada Pasal 1 angka 5 UUPK, yaitu “Jasa adalah
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen”.25
Tidak terciptanya hubungan baik antara konsumen dengan pelaku usaha akan menimbulkan
suatu sengketa. Yang dimaksud dengan sengketa konsumen, yaitu sengketa antara konsumen
dengan pelaku usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa
konsumen tertentu.26 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan apakah suatu
sengketa termasuk dalam sengketa konsumen dalam UUPK, antara lain sebagai berikut:
1. Pihak konsumen yang bersengketa harus merupakan konsumen seperti yang
dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 UUPK;
2. Produk yang disengketakan haruslah merupakan produk konsumen.27
Pengaturan mengenai penyesesaian sengketa diatur secara khusus di UUPK dimulai dari Pasal
45 sampai dengan Pasal 48. Mengenai subjek yang dapat mengajukan gugatan atas suatu
pelanggaran pelaku usaha dijelaskan pada Pasal 46 UUPK, yaitu:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat; dan
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait.28
Penyelesaian sengketa konsumen dapat diselesaikan melalui dua cara penyelesaian, yaitu
penyelesaian sengketa secara damai atau penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang
24 Indonesia, op. cit., Pasal 1 angka 4 25 Ibid., Pasal 1 angka 5. 26 Az. Nasution (b), op. cit., hal. 221. 27 Dony Lanazura, “Lika-Liku Perjalanan UUPK”, dalam Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku
Usaha, (Jakarta: YLKI dan USAID, 2001), hal. 84. 28 Indonesia, op. cit., Pasal 46.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
berwenang.29 Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang dapat dibagi lagi
kedalam dua macam bentuk penyelesaian sengketa. Pilihan mekanisme dan lembaga
penyelesaian sengeketa tersebut ditetapkan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.30 Berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 48 UUPK, tata cara penyelesaian sengketa
dapat ditempuh dengan:
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu dengan menyelesaian di Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen setempat;
2. Penyelesaian sengketa di pengadilan, yaitu dengan mengajukan gugatan pada
pengadilan negri di wilayah hukum konsumen.
Pada prinsipnya hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha merupakan hubungan
hukum keperdataan, yang berarti setiap perselisihan yang mengenai pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha atas pelaksanaan UUPK yang menerbitkan kerugian bagi
konsumen harus diselesaikan secara perdata.31 Namun di sisi lain UUPK mencantumkan
mengenai aturan pidana terhadap pelanggaran UUPK. Sehingga penyelesaiannya dapat
dilakukan berdasarkan aturan pidana yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Hal ini
dipertegas dengan rumusan Pasal 45 ayat (3) yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa
di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.32
Pengaturan mengenai sanksi terhadap pelanggaran Undang-undang Perlindungan Konsumen
telah disebutkan di dalam Undang-undang itu sendiri, yaitu disebutkan dalam ketentuan Pasal
60 sampai dengan Pasal 63 UUPK. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
1. Sanksi administratif;
2. Sanksi pidana pokok;
3. Sanksi pidana tambahan.33
29 Az. Nasution (e), Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di
Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), hal. 232. 30 Yusuf Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen: Mengungkap Pelbagai Persoalan
Mendasar BPSK, (Jakarta: Piramedia, 2004), hal. 47. 31 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 82. 32 Ibid. 33 Ibid., hal. 83.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
Di Indonesia, pengertian mengenai suplemen makanan didefinisikan salah satunya oleh
Badan POM sebagai badan yang mengatur mengenai peredaran suplemen makanan di
Indonesia, yang mana pengertian dari suplemen makanan ialah produk yang dimaksudkan
untuk melengkapi kebutuhan zat gizi makanan, mengandung satu atau lebih bahan berupa
vitamin, mineral, asam amino atau bahan lain (berasal dari tumbuhan atau bukan tumbuhan)
yang mempunyai nilai gizi dan atau efek fisiologis dalam jumlah terkonsentrasi.34
Penggunaan suplemen makanan dalam lingkup masyarakat telah menjadi hal umum. Sebagai
objek yang termasuk ke dalam Obat dan Makanan menurut Badan POM, perlu ada peraturan-
peraturan yang mengatur serta berkaitan mengenai suplemen makanan itu sendiri. Peraturan-
peraturan tersebut antara lain, yakni:
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan;
3. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan
Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia;
4. Peraturan Kepala Badan POM Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan
Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional, Bahan Suplemen Kesehatan, dan Bahan Pangan
ke dalam Wilayah Indonesia;
5. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.41.1381 Tahun 2005 tentang Tata
Laksana Pendaftaran Suplemen Makanan;
6. Peraturan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.1.23.06.10.5166 tentang
Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas
Kadaluarsa pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan
Pangan;
7. Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang
Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan;
8. Keputusan Kepala Badan POM Nomor HK.00.05.52.4040 Tahun 2006 tentang
Kategori Pangan.
Badan POM merupakan badan yang ditunjuk oleh negara untuk melakukan pengawasan
terhadap peredaran obat dan makanan. Sebagai bentuk dari pengawasan yang dilakukan
olehnya, produk-produk yang termasuk kedalam kategori yang diatur oleh Badan POM harus
memperoleh izin edar sebelum dapat diedarkan. Begitu juga dengan suplemen makanan, hal
34Badan Pengawas Obat dan Makanan (a), op. cit.,Pasal 1 angka 1.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
tersebut dikarenakan suplemen makanan merupakan bagian dari pangan olahan yang perlu
mendapat izin edar dari Badan POM.
Secara menyeluruh, terdapat dua jenis pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM terhadap
produk-produk yang termasuk ke dalam pengaturannya. Pengawasan yang dilakukan oleh
Badan POM ialah Pre-Market Evaluation dan Post-Market Control.
-‐ Pre-Market Evaluation
Pengawasan ini merupakan pengawasan yang dilakukan oleh Badan POM sebelum
produk yang akan dijual oleh pelaku usaha ke pasaran diedarkan. Tahap pertama
yang dilakukan dalam melakukan pengawasan Pre-Market Evaluation ialah
membuat standar dan persyaratan. Kedua hal ini yang akan menghasilkan suatu
peraturan. Kemudian ada yang disebut sertifikasi, yang dilakukan oleh pabrik
terkait dengan GMP (Good Manufactoring Practice). Jika telah memenuhi apa
yang diatur dalam GMP, maka akan diberikan sertifikat. Lalu dari produknya, ada
yang disebut evaluasi. Yaitu jika produk yang akan diedarkan telah memenuhi
standar dan persyaratan serta sesuai dengan GMP, maka produk tersebut akan
memperoleh NIE (Nomor Izin Edar).
-‐ Post-Market Control
Jenis kedua ini merupakan pengawasan yang dilakukan terhadap produk yang
telah dilakukan peredaran ke pasaran. Yaitu terhadap produk-produk yang telah
memperoleh izin edar dari Badan POM. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan
POM ini ialah suatu pemeriksaan yang dilakukan ke 3 (tiga) hal, yaitu
pemeriksaan terhadap:
1. Pabrik;
2. Penyalur dan/atau Importir;
3. Sarana pelayanan, yaitu seperti supermarket, toko, dan sebagainya.
Pemeriksaan tersebut rutin dilakukan Badan POM setiap hari. Dari hasil
pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Badan POM, dilakukanlah sampling atau
pengambilan contoh. Pengambilan tersebut dilakukan dengan cara dibeli oleh
Badan POM dengan berita acara. Setelah sample tersebut diperoleh, dilakukanlah
pengujian terhadap sample tersebut di laboratorium. Dari pengujian yang
dilakukan pada sample, akan diperoleh dua hasil yaitu produk yang diedarkan
telah memenuhi ketentuan atau tidak memenuhi ketentuan. Yang dimaksud dengan
memenuhi ketentuan ialah produk tersebut telah memenuhi apa yang dilakukan
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
pada tahap evaluasi sebelumnya, sehingga yang sebaiknya dilakukan ialah
peningkatan kualitas. Lalu ada yang disebut dengan tidak memenuhi ketentuan.
Jika hal ini terjadi, maka dapat diberikan sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.35
Fenomena peredaran suplemen makanan tanpa izin Badan POM telah menjadi suatu masalah
bagi konsumen suplemen makanan. Tindakan tersebut telah melanggar ketentuan perundang-
undangan. Berdasarkan UUPK, pertama pelaku usaha telah melanggar Pasal 4 huruf c, yaitu
disini hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur telah terlanggar dikarenakan
produk yang dijual oleh pelaku usaha masih menggunakan bahasa asing sehingga informasi
mengenai kondisi dan jaminan barang tidaklah dapat diperoleh dengan baik oleh konsumen.
Pasal 7 huruf a telah terlanggar oleh pelaku usaha dikarenakan kegiatan peredaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha, kegiatan usaha yang dilakukannya tidaklah berdasarkan itikad
baik. Hal ini ditunjukan dari produk yang diedarkan oleh pelaku usaha bukanlah merupakan
produk yang memiliki izin dari Badan POM, yang memberikan izin edar. Maka mengenai
keamanan serta mutu dari produk tersebut tidaklah dapat terjamin. Pasal 7 huruf d telah
terlanggar, yaitu barang yang dijual oleh pelaku usaha tidaklah didaftakan ke Badan POM
sehingga pelaku usaha tidak dapat menjamin apakah barang yang dijualnya tersebut telah
berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang diatur oleh Badan POM. Lalu pada Pasal 8
ayat (1) huruf j, pelaku usaha telah melanggar pasal ini dikarenakan barang yang dijualnya
tidaklah diketahui apakah telah memenuhi atau sesuai dengan standar yang dikeluarkan oleh
Badan POM. Pasal 8 ayat (1) huruf j juga telah terlanggar oleh pelaku usaha, yaitu pelaku
usaha tidaklah mencantumkan informasi serta petunjuk penggunaan berbahasa indonesia pada
barang yang dijualnya.
Berdasarkan Undang-undang Pangan, pelaku usaha telah melanggar Pasal 37 ayat (1), yaitu
barang yang dijual oleh pelaku usaha tidaklah memenuhi keamanan, mutu, gizi, yang telah
dipersyaratkan Badan POM. Lalu Pasal 91 ayat (1) telah terlanggar, yaitu pelaku usaha dalam
melakukan kegiatan usahanya tidaklah memiliki izin edar dari Badan POM. Berdasarkan
KEPKA tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, pelaku usaha telah
melanggar Pasal 3 yaitu pelaku usaha tidaklah memiliki izin edar dari Kepala Badan POM
35 Hasil Wawancara dengan Budi Djanu Purwaanto, S.H, M.H., Kepala Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat, Badan Pengawas Obat dan Makanan, op. cit.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
dalam melakukan kegiatan usahanya mengedarkan suplemen makanan. Pelanggaran
berikutnya ialah Pasal 15 jo. Pasal 13, yaitu pelaku usaha tidaklah mencantumkan informasi
nama dan alamat importir serta nomor izin edar dalam kemasan suplemen makanan yang
dijual olehnya.
Sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pelaku usaha disebutkan pada UUPK.
Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK dijelaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab
untuk memberikan penggantian kerugian, dan pada ayat (2) disebutkan bahwa penggantian
tersebut berupa penggantian uang atau barang yang sejenis nilainya atau perawatan kesehatan
dan/atau santunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Maka pelaku usaha bertanggung
jawab atas apa yang akan menimpa konsumen yang mengkonsumsi produk suplemen
makanan yang diedarkannya. Jika ketentuan tersebut dilanggar, maka terdapat sanksi
administratif yang dikenakan terhadap dirinya. Sanksi tersebut disebutkan pada Pasal 60 ayat
(1) UUPK, yang mana pihak yang berhak memberikan sanksi administratif tersebut ialah
BPSK. Oleh karena itu perlu ada gugatan sebelumnya dari pihak konsumen. Besaran sanksi
administratif yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha tersebut ialah maksimal sebesar Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sesuai dengan ketentuan pada Pasal 60 ayat (2) UUPK.
Pengaturan mengenai sanksi administratif berikutnya disebutkan pula dalam KEPKA No.
3644 tahun 2004 tentang Pengawasan Suplemen Makanan. Sebelumnya telah disebutkan
mengenai pelanggaran apa saja yang dilakukan berdasarkan keputusan ini dan terdapat sanksi-
sanksi administratif jka pelanggaran tersebut dilakukan. Lalu sebagai bentuk pengawasan
suplemen makanan, pemberian sanksi administratif merupakan salah satu kegiatan yang
dilakukan, hal ini disebutkan pada Pasal 2 ayat (1) huruf f KEPKA No. 3644 tahun 2004
tentang Pengawasan Suplemen Makanan. Sanksi administratif yang dapat diberikan terhadap
pelanggaran atas ketentuan yang terdapat pada keputusan ini disebutkan pada Pasal 25 ayat
(1), yakni:
a. Peringatan tertulis;
b. Penarikan iklan;
c. Penarikan suplemen makanan dari peredaran;
d. Penghentian sementara kegiatan produksi, impor, dan distribusi;
e. Pencabutan izin edar.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
Selain dapat dikenakan sanksi administratif terhadap tindakan yang dilakukan oleh pelaku
usaha atas peredaran suplemen makanan tanpa izin edar Badan POM, pelaku usaha juga dapat
dijerat dengan sanksi pidana yang dicantumkan pada beberapa peraturan perundang-
undangan yang terkait mengenai hal ini.
UUPK sebagai peraturan perundangan-undangan yang dilanggar atas tindakan peredaran
suplemen makanan yang dilakukan oleh pelaku usaha memiliki Pasal-Pasal yang mengatur
mengenai sanksi pidana. Sanksi pidana diberikan terhadap pelaku usaha yang telah melanggar
Pasal-Pasal yang disebutkan pada Pasal 62 ayat (1) dan (2) UUPK, begitu juga terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
Sebelumnya telah disebutkan Pasal-Pasal yang telah dilanggar oleh pelaku usaha atas
tindakannya yang telah melakukan peredaran suplemen tanpa izin edar dari Badan POM,
yang mana salah satunya ialah Pasal 8 UUPK. Sehingga dikarenakan Pasal 8 UUPK
merupakan salah satu Pasal yang disebutkan dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK sebagai salah satu
Pasal yang terlanggar, maka pelaku usaha dapatlah dikenakan sanksi pidana atas
perbuatannya tersebut. Sanksi pidana yang dapat dikenakan sesuai dengan Pasal 62 ayat (1)
UUPK ialah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Disebutkan pada Pasal 63 UUPK, bahwa selain sanksi
yang dimaksud pada Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan.
Peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai ketentuan pidana terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha ialah undang-undang
tentang Pangan. Tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha ialah ia dengan sengaja tidak
memiliki izin edar terhadap pangan olahan yang diimpor untuk diperdagangkan dalam
kemasan eceran. Hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 91 ayat (1) UU tentang
Pangan, oleh karena itu sesuai dengan Pasal 142 UU Pangan pelaku usaha dapatlah dikenakan
sanksi pidana. Sanksi pidana tersebut ialah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
denda paling banyak sebesar Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Sebagai masalah dalam tahap purna transaksi, kerugian yang diperoleh konsumen akibat
mengkonsumsi produk yang diedarkan oleh pelaku usaha haruslah dapat dipertanggung
jawabkan olehnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPK yang mengatur bahwa
pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
diperdagangkan. Pertanggung jawaban yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha ialah seperti
yang dijelaskan pada ketentuan di Pasal 19 ayat (2) UUPK, yaitu ganti rugi berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka dapat terlihat bahwa peredaran suplemen
makanan tanpa izin Badan POM yang terjadi merupakan tanggung jawab pelaku usaha yang
melakukan peredaran tersebut secara langsung. Lalu jika terjadi kerugian akibat
mengkonsumsi produk suplemen tersebut, konsumen dapat meminta pertanggung jawaban
kepada pelaku usaha yang mengedarkan.
Namun jika terjadi suatu penolakan atau pelepasan tanggung jawab oleh pelaku usaha dalam
memenuhi tanggung jawabnya untuk melakukan ganti kerugian terhadap konsumen yang
telah dirugikan akibat mengkonsumsi barang yang dijual olehnya, maka akan timbul dengan
apa yang dinamakan sengketa. Jika terjadi hal yang demikian, sebagai bentuk upaya
menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pelaku usaha dan konsumen yang telah merasa
dirugikan, konsumen dapat mengajukan gugatan. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam
Pasal 23 UUPK, yaitu konsumen dapat mengajukan gugatan ke BPSK ataupun badan
peradilan umum di tempat kedudukan konsumen jikalau pelaku usaha tidaklah memenuhi
tanggung jawab ganti kerugian yang disebutkan pada Pasal 19 ayat (2) UUPK.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, bahwa pelaku usaha dalam melakukan peredaran suplemen makanan tanpa izin
Badan POM telah melanggar beberapa ketentuan hukum, yaitu berdasarkan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdiri dari Pasal 4 huruf c, Pasal 7 huruf
a dan d, serta Pasal 8 ayat (1) huruf a dan j. Berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2012
tentang Pangan terdiri dari Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 91 ayat (1). Berdasarkan Keputusan
Kepala Badan POM No. HK.00.05.23.3644 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok
Pengawasan Suplemen Makanan yaitu Pasal 3, Pasal 15 jo. Pasal 13, dan Pasal 16 ayat (1).
Kedua, bahwa atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha dapat
dikenakan sanksi atas perbuatannya tersebut. Sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
usaha yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana. Berdasarkan UUPK, ketentuan sanksi
administratif disebutkan pada pasal 60 ayat (1) UUPK dan jumlahnya disebutkan pada Pasal
60 ayat (2) UUPK. Sanksi administratif menurut KEPKA No. 3644 tahun 2004 tentang
Pengawasan Suplemen Makanan ialah disebutkan pada Pasal 25 ayat (1). Mengenai sanksi
pidana, disebutkan dalam pasal 62 ayat (1) UUPK. Selain itu, terdapat hukuman tambahan
yang disebutkan pada Pasal 63 UUPK. Dalam UU Pangan, pengaturan sanksi pidana
disebutkan pada Pasal 142 UU Pangan.
Ketiga, bahwa jika konsumen mengalami kerugian akibat mengkonsumsi suplemen makanan
yang diedarkan oleh pelaku usaha, berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UUPK, pelaku usaha
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerugian yang dialami konsumen akibat
mengkonsumsi barang yang diperdagangkan olehnya. Konsumen sebagai pengguna yang
dirugikan dapat menuntut ganti rugi terhadap pelaku usaha yang mengedarkan suplemen
makanan. Namun jika ternyata pelaku usaha tidak melaksanakan tanggung jawabnya tersebut,
upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen untuk memperoleh kembali haknya ialah dengan
mengajukan gugatan ke BPSK ataupun badan peradilan umum di tempat kedudukan
konsumen, sesuai Pasal 23 UUPK
Saran
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti memiliki saran yang disampaikan untuk
melengkapi hasil penelitian. Pelaku usaha sebagai pihak yang melakukan penjualan dan/atau
penawaran suatu barang dan/atau jasa sebaiknya lebih memperhatikan lagi aturan-aturan
hukum yang berlaku yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Hal ini bertujuan agar dimasa
yang akan datang tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha
dalam menjalankan suatu kegiatan usaha. Masyarakat sebagai konsumen sebaiknya lebih
kritis dalam melihat peredaran suplemen makanan tanpa izin edar. Alangkah baiknya jika
konsumen tidaklah mudah tergiur dengan produk suplemen makanan dengan harga yang
murah, namun perlu melihat apakah produk tersebut telah memiliki izin atau tidak.
Pemerintah sebaiknya lebih menggalakan pengenalan UUPK kepada masyarakat, agar
masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha mengetahui apa saja hak serta kewajiban
yang dimilikinya, yang dikemudian hari dapat menciptakan hubungan baik antara pelaku
usaha dengan konsumen.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014
Daftar Referensi
Books:
Lanazura, Dony. “Lika-Liku Perjalanan UUPK”, dalam Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha. Jakarta:
YLKI dan USAID. 2001.
Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2005.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media. 2006.
___________. Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum pada Perlindungan Konsumen
Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995.
___________. Penulisan Karya Ilmiah tentang Perlindungan Konsumen dan Peradilan di Indonesia. Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional. 1995.
Siahaan, N.H.T. Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei.
2005.
Shofie, Yusuf. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut UUPK: Teori dan Penegakan Hukum. Jakarta: Citra
Aditya Bakti. 2003.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 2007.
Regulations:
Badan Pengawas Obat dan Makanan. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. KEPKA KBPOM HK.00.05.23.3644 Tahun 2004.
___________. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke dalam Wilayah Indonesia. PERKA BPOM No. 27 Tahun 2013.
Indonesia. Undang-undang Perlindungan Konsumen. UU No. 8 Tahun 1999. LN No. 42 Tahun 1999. TLN. No. 3821.
Perlindungan konsumen …, Adithya Wirawan Putra, FH UI, 2014