perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce
-
Upload
r4z3rwheel -
Category
Documents
-
view
15.969 -
download
1
Transcript of perlindungan konsumen dalam transaksi e-commerce
BAB I
PENDAHULUAN
1. PERMASALAHAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara penjual
dan pembeli di suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika terjadi
pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki.
Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang terjadi sebagai
akibat munculnya problem kelangkaan barang. Perdagangan juga merupakan
kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan
distribusi barang. Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab
kegiatan ini sudah ada sejak zaman prasejarah.
Menurut sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika
serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di University of California di Los
Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah dan Institut
Penelitian Stanford.1 Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan Amerika
Serikat dengan nama Advanches Researches Project Agence (ARPA), ARPA atau
1 Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h.267.
1
ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi internet.2 Lalu
sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National Scince
Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer seluruh dunia.
Internet, termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang sampai tahun 1994,
pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World Wide Web (WWW).
Seterusnya internet mengalami perkembangan dan penggunaannya meluas ke
kegiatan bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh dunia.
Perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang
teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan bisnis,
industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana kegiatan-
kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini bergeser menjadi
kegiatan di dunia maya (Cyber world) yang tidak memerlukan kegiatan fisik.
Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication
network) dengan semakin populernya internet, seakan telah membuat dunia semakin
menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas negara berikut
kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga perkembangan teknologi dan
informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli barang pun yang pada awalnya
bersifat konvensional perlahan-lahan beralih menjadi transaksi jual beli barang secara
elaktronik yang menggunakan media internet yang dikenal dengan e-commerce atau
kontrak dagang elektronik.2 Ibid.
2
E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik barang
dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam kegiatan
bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan e-commerce terletak pada efisiensi
dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak akan lepas
dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia virtual/dunia maya yang
memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana aplikasi teknologi
komputer yang berlangsung secara online pada saat sipengguna internet menekan
atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam konteks ini pula maka
aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce adalah berinteraksi dengan
aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak yang melakukan transaksi
melalui sistem e-commerce.3
E-commerce telah banyak digunakan khususnya di Indonesia seiring dengan
meningkatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut data Departemen
Telekomunikasi, jumlah pengguna internet pada bulan februari 2008 mencapai 25
juta pengguna dan diprediksi akan mencapai 40 juta pengguna pada akhir tahun
2008. Sebelum keluarnya Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan e-
commerce diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-
undang nomor 12 tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang nomor 14 tahun
3 Michael S.H. Neng, Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective, http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/, bahan diakses tanggal 3 Februari 2008.
3
2001 tentang Paten, Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, Undang-
undang Telekomunikasi nomor 36 tahun 1999, Undang-undang nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, dan lain-lain. Kekosongan hukum yang mengatur
tentang E-commerce menimbulkan masalah-masalah seperti :
1. otentikasi subyek hukum yang membuat transaksi melalui internet;2. saat perjanjian berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;3. obyek transaksi yang diperjualbelikan;4. mekanisme peralihan hak;5. hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam
transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti perbankan, internet service provider (ISP),dan lain-lain;
6. legalitas dokumen catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti;
7. mekanisme penyelesaian sengketa;8. pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam penyelesaian
sengketa.9. masalah perlindungan konsumen, HAKI dan lain-lain.4
Dengan munculnya undang-undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dua hal penting yakni, pertama
pengakuan transaksi elektronik dan dokumen elektronik dalam kerangka hukum
perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum transaksi elektronik
dapat terjamin, dan yang kedua diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk
kualifikasi pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi)
disertai dengan sanksi pidananya. Dengan adanya pengakuan terhadap transaksi
elektronik dan dokumen elektronik maka setidaknya kegiatan e-commerce
mempunyai basis legalnya.
4 Esther Dwi Magfirah, Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce, http:// www.solusihukum.com/artikel/artikel31.php, bahan diakses tanggal 1 maret 2008.
4
Walaupun beberapa permasalahan yang ada sudah dapat diselesaikan dengan
munculnya UU ITE ini, namun mengenai masalah perlindungan konsumen dalam e-
commerce masih perlu untuk dikaji lebih dalam, apakah UU ITE sudah mampu
memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. Hak konsumen yang diabaikan
oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan
perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk
barang/pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen, baik melalui promosi,
iklan, maupun penawaran secara langsung. Jika tidak berhati-hati dalam memilih
produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi obyek
eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari,
konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
E-commerce memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena
konsumen tidak perlu keluar rumah untuk berbelanja disamping itu pilihan
barang/jasapun beragam dengan harga yang relatif lebih murah. Hal ini menjadi
tantangan yang positif dan sekaligus negatif. Dikatakan positif karena kondisi
tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih secara bebas
barang/jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki kebebasan untuk menentukan
jenis dan kualitas barang/jasa sesuai dengan kebutuhannya. Dikatakan negatif karena
kondisi tersebut menyebabkan posisi konsumen menjadi lebih lemah daripada posisi
pelaku usaha.5
5 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta, 2008, h..3.
5
Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), faktor utama yang menjadi penyebab eksploitasi
terhadap konsumen sering terjadi karena masih rendahnya kesadaran konsumen akan
haknya. Tentunya, hal ini terkait erat dengan rendahnya pendidikan konsumen. Oleh
karena itu keberadaan UUPK adalah sebagai landasan hukum yang kuat bagi upaya
pemberdayaan konsumen.
Jika dilihat lebih lanjut, konsumen ternyata tidak hanya dihadapkan pada
persoalan lemahnya kesadaran dan ketidakmengertian (pendidikan) mereka terhadap
hak-haknya sebagai konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen
tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi.
Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar)
yang berimbang dengan pihak pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian
baku yang siap untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku
yang tidak informatif dan tidak bisa ditawar-tawar lagi.6
Berdasarkan kondisi diatas, upaya pemberdayaan konsumen menjadi sangat
penting. Untuk mewujudkan pemberdayaan konsumen akan sangat sulit jika
mengharapakan kesadaran dari pelaku usaha terlebih dahulu. Karena prinsip yang
dianut oleh pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan perekonomiannya adalah
prinsip ekonomi, yaitu mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin dengan
6 Ibid, h. 29.6
modal seminimal mungkin. Artinya, dengan pemikiran umum seperti ini, sangat
mungkin konsumen akan dirugikan baik secara langsung maupun tidak langsung.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai
berikut :
I. Apakah konsumen sudah mendapatkan perlindungan hukum dalam
transaksi jual beli barang bergerak melalui e-commerce berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada ?
II. Upaya Hukum apa yang dapat di lakukan bagi konsumen yang dirugikan
terkait dengan transaksi jual beli barang bergerak melalui e-commerce ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Mengingat luasnya permasalahan dan ketentuan hukum dalam bisnis dan
perdagangan di Indonesia sehingga merupakan hal yang tidak mungkin untuk
dibahas dalam satu tulisan terlebih dalam bentuk penulisan skripsi. Maka dalam
penulisan ini ruang lingkup masalah hanya dibatasi pada pembahasan perlindungan
hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce dengan memperhatikan literatur
dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan diatas.
Pembahasan hanya terbatas pada perlindungan hukum bagi konsumen dalam
transaksi e-commerce menurut UUPK dan UU ITE, dan juga akan dibahas mengenai
7
upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen dalam hal konsumen dirugikan
dalam e-commerce.
2. Kerangka Teori
Perjanjian Menurut Pasal 1313 KUHPerdata adalah :
”Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih”
Pengertian perjanjian diatas belumlah lengkap dan terlalu luas, belum lengkap
karena perumusan diatas hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan
terlalu luas karena cakupan rumasan diatas bisa saja keluar dari maksud perjanjian
dalam KUHPerdata yakni pada lapangan hukum kekayaan. Sehingga pasal 1313
KUHPerdata tidak dapat diajukan acuan dalam memperoleh pengertian perjanjian.7
Menurut Abdulkadir Muhammad SH, perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu
hal mengenai harta kekayaan.8 Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat
sebagaimana yang disebut dalam pasal 1320 KUHPerdata yakni:
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ;
7 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit. h. 65.
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.225.
8
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;3. Suatu hal tertentu;4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh
hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak-pihak
mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, walaupun tidak mematuhi
syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila suatu saat ada pihak yang
tidak mengakui adanya perjanjian tersebut sehingga menimbulkan sengketa, maka
hakim akan menyatakan perjanjian itu batal. Syarat pertama dan kedua yakni
kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subyektif karena menyangkut subyek
pelaku sedangkan syarat kedua merupakan syarat obyektif karena menyangkut obyek
dari perjanjian.
Benda dapat dibedakan menjadi dua, yakni benda bergerak dan benda tak
bergerak, arti penting pembedaan ini terletak pada penguasaan, pengalihan, daluarsa
dan pembebanan.9 Penguasaan pada benda bergerak berlaku asas yang terkandung
dalam Pasal 1977 KUHPerdata yakni siapa yang meguasai benda bergerak adalah
pemiliknya sedangkan pada benda tidak bergerak asas ini tidak berlaku, pengalihan
pada bergerak cukup dilakukan dengan penyerahan nyata karena beziter benda
bergerak adalah pemilik dari benda tersebut sedangkan pengalihan benda tidak
bergerak dilakukan dengan balik nama, benda bergerak tidak mengenal daluarsa
sedangkan benda tidak bergerak mengenal daluarsa. Dalam transaksi e-commerce,
9 Ibid, h. 75.9
benda yang lazim di perjualbelikan adalah benda bergerak karena lebih mudah untuk
dialihkan dari tangan penjual kepada pembeli.
E-commerce atau perdagangan elektronik atau e-dagang adalah penyebaran,
pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti
internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. Sedangkan Julian Ding
memberikan definisi sebagai berikut : 10
“Electronic Commerc, or E-Commerce as it is also known is a commercial transactions between a vendor and phurchaser or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or digital medium)when the physical presence of the parties is not required. And the medium exits in a public network or system as opposed to a private network (Closed System). The public network or system must be considered an open system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media electronic (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional
E-commerce dapat dibagi menjadi 2 model yakni :11
i. B2B (bussines to bussines)
10 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit. h. 283.11 Henry Prayitno, E-commerce Dalam perspektif Hukum, http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx? tabID=61&src=k&id=123490, bahan diakses tanggal 10 November 2008.
10
Yakni perdagangan yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana barang
yang diperdagangkan biasanya akan dijual kembali, contoh ; perusahaan
A membeli barang dari perusahaan B.
ii. B2C (bussiness to consumer)
Yakni perdagangan yang melibatkan dua atau lebih pihak, dimana pihak
yang satu adalah produsen atau penjual akhir dan di lain pihak adalah
konsumen. Model inilah yang paling banyak berkembang dimasyarakat.
Dalam kegiatan perniagaan model B2C, transaksi memiliki peran yang sangat
penting. Pada umumnya, makna transaksi sering direduksi sebagai perjanjian jual
beli antar para pihak yang bersepakat untuk itu. Padahal dalam perspektif yuridis,
terminologi transaksi tersebut pada dasarnya merupakan keberadaan suatu perikatan
ataupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna yuridis dari
transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari hubungan hukum
yang disepakati oleh para pihak bukan perbuatan hukum formilnya. Oleh karena itu,
keberadaan ketentuan-ketentuan hukum mengenai perikatan tetap berlaku, walaupun
transaksi terjadi secara elektronik. 12
Pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 undang-undang nomor 8 tahun
1999 tentang perlindungan konsumen adalah :
12 Soemadiningrat Otje Salman, Prinsip-prinsip Cyber Law Dalam Hukum Positif di Indonesia, http://hk.unikom.ac.id/download/PRINSIP-PRINSIP%20CYBER%20LAW%20DALAM%20.doc, bahan diakses tanggal 5 Desember 2008.
11
”setiap orang pemakai barang barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
Konsumen yang mendapat perlindungan menurut Undang-undang perlindungan
konsumen adalah konsumen akhir, yakni pemakai, pengguna, pemanfaat barang
dan/atau jasa yang digunakan untuk diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya, dan
tidak untuk diperdagangkan kembali. Maka pengertian konsumen dalam undang-
undang nomor 8 tahun 1999 yang dimaksud adalah konsumen akhir.
3. Tujuan Penulisan
Dalam suatu tulisan haruslah mempunyai tujuan yang hendak dicapai, terlebih
dalam bentuk skripsi. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah :
3.1. Tujuan umum.
1) Agar seluruh mahasiswa dapat menyatakan dan menuangkan pikirannya
dalam suatu karya ilmiah secara tertulis.
2) Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada
bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa.
3) Untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
4) Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa kedalam kehidupan
masyarakat.
5) Untuk pembulat studi mahasiswa di bidang ilmu hukum.
3.2. Tujuan khusus
12
Adapun tujuan khusus penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk mengetahui apakah konsumen sudah mendapatkan perlindungan
hukum yang memadai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
2) Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen
yang dirugikan dalam melakukan transaksi barang bergerak melalui e-
commerce
4. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini metode penulisan yang dipergunakan adalah sebagai
berikut :
4.1. Jenis Penelitian.
Dalam skripsi ini, penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
(normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu
permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut sebagai
penelitian doctrinal, karena obyek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-
undangan dan bahan pustaka.13
Penelitian normatif digunakan untuk menelaah ketentuan mengenai perlindungan
konsmen dan transaksi elektronik dalam UUPK serta UU ITE yang kemudian
13 Soejono dan H. Abdurahman, Metode penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2003, h. 56.
13
dijadikan sebagai landasan untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan
oleh konsumen jika dirugikan dalam transaksi e-commerce.
4.2. Jenis Pendekatan
Sehubungan dengan jenis penelitian yang digunakan, yaitu penelitian yuridis
normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan
(the statute approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (analytical and
conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti
ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen dalam
transaksi e-commerce, sedangkan pendekatan analisa konsep hukum digunakan
untuk meneliti mengenai konsep daripada perlindungan konsumen dalam transaksi e-
commerce.
4.3. Sumber Bahan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa suatu
penelitian hukum normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.14
I. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.15 Dalam
penulisan ini yang digunakan adalah KUH Perdata, UUPK, dan UU ITE.
14 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, h. 13.
15
Ibid, h. 31.
14
II. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, atau pendapat pakar hukum.16
III. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti
kamus (hukum), ensiklopedia.17 Bahan hukum tersier yang digunakan dalam
penulisan ini adalah kamus dan ensiklopedia.
4.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini
adalah studi kepustakaan.
Studi kepustakaan adalah merupakan penelaahan peraturan perundang-undangan yang terkait serta buku-buku atau literatur sebagai bahan bacaan. Menurut Soejono Soekanto studi kepustakaan ini menelaah bahan-bahan hukum yang pokok yaitu undang-undang dalam arti materiil dan formal, hukum kebiasaan dan hukum adat yang tercatat, yurisprudensi yang konstan, traktat dan doktrin. Juga bahan-bahan yang dinamakan dokumen seperti otobiografi yang konprohensif, surat-surat pribadi, buku harian dan memori, surat kabar dan majalah, dokumen-dokumen pemerintah dan cerita-cerita rakyat.18
Setelah dilakukan studi kepustakaan, kemudian dilanjutkan dengan kualifikasi fakta
dan kualifikasi hukum. Kualifikasi fakta dan kualifikasi hukum ini dilakukan dengan
16 Ibid, h. 32.
17 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, h. 246.
18 Soejono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Cet. I, IND-HILL-CO, Jakarta, 1990, h. 114.
15
cara mengutip kepustakaan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen dan e-
commerce.
4.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.
Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,
analisis, evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa
penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Kemudian dilanjutkan
dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.
Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian di interpretasikan dengan
metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan yakni
interpretasi gramatikal, interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang
selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan
permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara
sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan
bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas interpretasi dari
bahan-bahan hukum tersebut.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
DAN TRANSAKSI E-COMMERCE
1. Tinjauan Tentang Perlindungan Konsumen
17
1.1. Pengertian dan Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen
Istilah hukum perlindungan konsumen sudah sering terdengar dalam kehidupan
bermasyarakat. hukum perlindungan konsumen terdiri dari dua unsur yakni “hukum
dan “perlindungan konsumen”. Unsur yang pertama yakni “hukum” memiliki banyak
definisi, Berikut beberapa definisi dari para ahli hukum :
a. Menurut O. Notohamidjojo
Hukum adalah keseluruhan peraturan tertulis yang biasanya bersifat memaksa
untuk kelakuan manusia dalam masyarakat, negara serta antarnegara, yang
berorientasi pada dua asas, yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan
damai dalam masyarakat.19
b. Menurut Aristoteles
Hukum adalah suatu jenis ketertiban dan hukum yang baik adalah ketertiban yang
baik, akal yang tidak dipengaruhi oleh nafsu dan jalan tengah.20
c. Menurut Plato
Hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang
dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari
19 Dardji Darmodihardjo, “Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, h. 11.20 H. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, h. 18.
18
hukum semata-mata bertumpu dari kekuatan yang memerintah (governing
power).21
Unsur yang kedua yakni “perlindungan konsumen”. Menurut UU PK Pasal 1
angka 1 disebutkan bahwa “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan bagi
konsumen”. Ada beberapa sarjana yang berpendapat bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas. Az. Nasution
misalnya, berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari
hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan
juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.
Adapun Hukum Konsumen menurut Az. Nasution adalah keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat.22 Disamping itu Az. Nasution dalam bukunya yang lain
menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-
asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara
berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup.23 21
Ibid.22 Az. Nasution, “Hukum Perlindungan Konsumen” (Suatu Pengantar), Diadit Media, Jakarta, 2001, h. 22, selanjutnya disebut Az. Nasution 1.23
19
Az. Nasution mengakui asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik
tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional,
terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan
konsumen. Sedangkan batasan hukum perlindungan konsumen sebagai bagian
khusus dari hukum konsumen adalah “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antar penyedia dan
penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.” 24
Lebih lanjut mengenai definisinya itu, Nasution menjelaskan sebagai berikut :
“Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya saing, maupun tingkat pendidikan. Rasionya adalah sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang berkedudukan seimbang demikian, maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan hak-hak mereka yang sah. Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu tidak seimbang.”25
Az. Nasution, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, h. 64-65, selanjutnya disebut Az. Nasution 2.24
Ibid, h. 64.25 Ibid, h. 67.
20
Pada dasarnya baik hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen
membicarakan hal yang sama, yaitu kepentingan hukum (hak-hak) konsumen.
Bagaimana hak-hak konsumen itu diakui dan diatur di dalam hukum serta bagaimana
ditegakkan di dalam praktik hidup bermasyarakat, itulah yang menjadi materi
pembahasannya. Hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat
diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan
kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk
memenuhi kebutuhannya.26
Dengan demikian, apabila perlindungan konsumen diartikan sebagai segala
upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai
wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen adalah
hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan
hukum terhadap kepentingan konsumen.
Obyek daripada hukum perlindungan konsumen adalah konsumen, pengertian
konsumen menurut UUPK pasal 1 angka 2 adalah “setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”
(garis bawah dari penulis). Kalimat “tidak untuk diperdagangkan” mengandung
pengertian bahwa konsumen menggunakan sendiri barang tersebut, apabila nantinya
26
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen (perlindungan konsumen dan tanggung jawab produk), Panta Rei, Jakarta, 2005, h. 13.
21
ia menjual kembali barang tersebut maka ia bukan termasuk kategori konsumen
melainkan termasuk kategori pelaku usaha. Konsumen yang dimaksud dalam pasal 1
angka 2 UUPK adalah konsumen akhir, hal ini terlihat dalam penjelasan Pasal 1
angka 2 UUPK, yakni :
“Dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
Taufik H. Simatupang menyatakan bahwa :
“Dalam pengertian sempit konsumen dapat diartikan setiap orang (anyperson), pembeli (purchase), dan pengguna yang tidak berniat untuk menjual (not for sale). Sedangkan dalam pengertian luas konsumen dapat diartikan apa saja tanpa terkecuali, termasuk badan hukum yang bukan orang atau instansi, sepanjang hal tersebut menyangkut kepentingan-kepentingan individu (anything/without exeption primasy for personal). Meliputi pula sewa/kontrak dari suatu jasa yang diterima (lease) dan penyewa/pengontrak (receive).”27
Perkembangan Hukum Konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan
perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya
gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat. Hukum perlindungan konsumen
di Indonesia baru mulai terjadi pada dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan
berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan mei 1973
yang diketuai oleh Lasmidjah Hardi.28 Ketika itu, gagasan perlindungan konsumen
27 Taufik H. Simatupang, Aspek Hukum Periklanan dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, h. 47.28
22
disampaikan secara luas melalui berbagai kegiatan advokasi konsumen, seperti
pendidikan, penelitian, pengujian, pengaduan dan publikasi media konsumen. Ketika
YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih dibayang-bayangi
dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri. Namun, seiring perkembangan
waktu, gerakan perlindungan konsumen (seperti YLKI) dilakukan melalui koridor
hukum yang resmi, yaitu bagaimana memberikan bantuan kepada masyarakat atau
konsumen.29
YLKI merupakan salah satu lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat (LPKSM) yang bisa dikatakan sebagai pelopor gerakan perlindungan
konsumen pertama di tanah air. Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk
membantu konsumen agar hak-haknya bisa terlindungi. Disamping itu, tujuan YLKI
adalah untuk meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung
jawabnya sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya.30
Sebagai salah satu LPKSM, YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap
menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Upaya untuk mewujudkan sebuah
undang-undang tentang perlindungan konsumen dilakukan selama bertahun-tahun.
Pada masa Orde Baru, pemerintah dan DPR tidak memiliki keinginan yang besar
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Pt Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006, h. 49.
29 N.H.T. Siahaan, op.cit, h. 9.30
http://id.wikipedia.org/wiki/Yayasan_Lembaga_Konsumen_Indonesia, bahan diakses tanggal 10 juli 2008.
23
untuk mewujudkannya karena terbukti pengesahan rancangan undang-undang
tentang Perlindungan Konsumen selalu ditunda. Baru kemudian pada era reformasi,
keinginan terwujudnya undang-undang perlindungan konsumen bisa terpenuhi. Pada
masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya pada tanggal 20 april 1999, RUU
Perlindungan Konsumen secara resmi disahkan sebagai UU Perlindungan Konsumen
nomor 8 tahun 1999.
1.2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999 merupakan dasar
hukum utama bagi perlindungan konsumen di Indonesia. disamping UU
Perlindungan Konsumen, masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang juga
memberikan perlindungan keamanan, keselamatan atau kesehatan konsumen
yakni :31
i. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 202, 203, 204, 205, 205,
263, 364, 266, 382 bis, 383, 388 dsb. Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan
dari perbuatan-perbuatan :
a. memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum umum.
b. menjual, menawarkan, menerimakan atau membagikan barang yang dapat
membahayakan jiwa atau kesehatan orang.
c. memalsukan surat.31
Erman Rajagukguk et al, Hukum perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, h. 8.
24
d. melakukan perjanjian curang.
e. melakukan penipuan terhadap pembeli.
f. menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman dan obat-
obatan palsu.
ii. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1473-1512 dan pasal 1320-1338.
dimana pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan yang berkaitan dengan
perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkait
dalam perjanjian.
iii. Ordonasi bahan-bahan berbahaya tahun 1949
Ordonansi yang menentukan larangan untuk setiap pemasukan pembuatan,
pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan pemakaian
bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi racun terhadap kesehatan
manusia.
iv. Undang-undang tentang obat keras tahun 1949
Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh pmerintah
terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan bahan-bahan obat keras yang
akan diproduksi atau diedarkan.
v. Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan pemerintah terhadap
hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. undang-undang ini merupakan landasan
untuk mengatur hal-hal seperti pengawasan produksi obat, pendaftaran makanan,
25
minuman dan obat, penandaan, cara berproduksi yang baik dan lain sebagainya.
sebagai pengganti dari berbagai undang-undang yang mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan kesehatan manusia.
vi. Undang-undang No. 10 tahun 1961 tentang barang
undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan standar barang. salah satu pelaksanaan dari undang-undang ini adalah
terbitnya peraturan pemerintah tentang standar nasional Indonesia (SNI).
vii. Undang-undang No. 2 tahun 1981 tentang metrologi legal
undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengelola
standar-standar satuan, pelaksanaan tera dan tera ulang terhadap setiap alat ukur,
takar, timbangan dan perlengkapannya, termasuk kegiatan pengawasan,
penyidikan serta pengenaan sanksi terhadap pihak-pihak yang di dalam
melakukan setiap transaksi menggunakan satuan alat ukur yang tidak benar.
viii. Undang-undang No. 22 tahun 1954 tentang undian
undang-undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dan karena
bersifat umum, maka untuk melindungi kepentingan umum tersebut perlu adanya
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjaminnya setiap janji
pengelola kepada peserta undian.
ix. Peraturan Perundang-undangan yang maksudnya memberikan perlindungan dan
dalam bentuk keputusan atau peraturan menteri, dapat ditemui dalam bidang
kesehatan seperti produk dan pendaftaran makanan dan minuman, wajib daftar
26
makanan, makanan daluwarsa, bahan tambahan makanan, penandaan, label dsb.
di bidang industri, umumnya ketentuan yang berkaitan dengan standar barang dan
di bidang perdagangan yang berkaitan dengan pengukuran, periklanan dsb.
dibidang jasa dapat dijumpai dalam peraturan yang berkaitan dengan transportasi.
Dari berbagai contoh peraturan perundang-undangan yang dikemukakan diatas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen dapat dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu :
a. Perlindungan tersebut berlaku untuk semua pihak baik yang berposisi sebagai
konsumen maupun pengusaha sebagai pengelola produksi barang atau jasa atau
instansi apapun.
b. Perlindungan tersebut semata-mata dikaitkan dengan masalah kesehatan manusia
atau kenyamanan yang dibutuhkan oleh setiap manusia
1.3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, memberikan
definisi tentang Konsumen adalah seseorang atau sekelompok orang yang membeli
suatu produk untuk dipakai sendiri dan tidak untuk dijual kembali. Jika tujuan
pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau
distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya
konsumen adalah raja, oleh karena itu sebagai produsen yang memiliki prinsip
27
holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak
konsumen.32
Dari pengertian tersebut, maka luasnya pengertian konsumen dan perlindungan
konsumen (consumer protection) dapat pula dilihat dalam hubungannya dengan
perjanjian atau kontrak. Bahwa menurut doktrin perlindungan konsumen, suatu
kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak tidak mengikat secara utuh dan terbatas
diantara keduanya saja.33 Menurut Janus Sidabalok, sekurang-kurangnya ada empat
alasan pokok mengapa konsumen perlu dilindungi :
1) Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa
sebagaimana yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional
menurut Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
2) Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari
dampak negatif penggunaan barang dan jasa.
3) Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang
sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang
berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional.
32 http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumen, bahan diakses tanggal 10 juli 2008.
33 Taufik H. Simatupang, loc.cit.
28
4) Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan
yang bersumber dari masyarakat konsumen.34
Konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa dan selaku pemakai akhir dari
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha dan memiliki peranan
yang sangat dominan dalam menentukan pilihan barang dan jasa yang akan
digunakan sehingga pemberdayaan konsumen sangat penting untuk dilakukan agar
pengguna barang dan jasa memahami hak dan kewajibannya. Oleh sebab itu
konsumen memiliki hak, baik secara nasional maupun secara internasional. Hak
konsumen secara nasional terdapat dalam Pasal 4 UUPK, dimana disebutkan,
konsumen memiliki hak sebagai berikut :
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa, serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi, serta jaminan yang dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar, jujur, serta tidak
diskriminatif;8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
34 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h. 6.
29
Secara internasional, hak konsumen terdapat dalam PBB: Guidelines for
Consumer Protection of 1985, dimana dalam piagam ini menyebutkan “Konsumen
dimana pun mereka berada, dari segala bangsa, mempunyai hak2 dasar tertentu,
terlepas dari kaya, miskin, ataupun status sosialnya.” hak-hak dasar tersebut adalah :
1) Hak untuk mendapat informasi yang jelas, benar dan jujur.2) Hak untuk Keamanan dan Keselamatan 3) Hak untuk memilih 4) Hak untuk didengar.5) Hak untuk mendapatkan ganti rugi.
Selain memiliki hak, konsumen juga memiliki kewajiban, adapun yang
merupakan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK yakni :
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
1.4. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
a. Asas Perlindungan Konsumen
Berdasarkan undang-undang Perlindungan Konsumen pasal 2, terdapat
lima asas dalam perlindungan konsumen, yakni :
i. Asas Manfaat
30
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.
ii. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan
kewajibannya secara adil.
iii. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
material dan spiritual.
iv. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
v. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
31
b. Tujuan Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-undang Perlindungan konsumen pasal 3, disebutkan
bahwa tujuan perlindungan konsumen sebagai berikut :
i. Meningkatkan keasadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri.
ii. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang/jasa.
iii. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
iv. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi.
v. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
vi. Meningkatkan kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan
keselamatan konsumen.
Konsep dari adanya perlindungan terhadap konsumen ada 2 (dua) Yakni:
i. Menyeimbangkan posisi tawar (bargaining position) konsumen
terhadap pelaku usaha.
32
ii. mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung
jawab dalam menjalankan usaha/kegiatannya.
Kedua konsep yang disebutkan diatas adalah tujuan yang sebenarnya dari
perlindungan konsumen.
2. Tinjauan Tentang E-Commerce
2.1. Pengertian E-Commerce
Istilah Electronic Commerce belum memiliki istilah yang baku. Terdapat
beberapa istilah yang dikenal pada umumnya seperti E-Commerce, WEB Contract,
dan Kontrak Dagang Elektronik. Namun dalam tulisan ini, istilah yang digunakan
adalah e-commerce.
E-commerce merupakan bagian dari Electronic Bussines (bisnis yang dilakukan
melalui media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi tentang e-commerce
sebagai segala bentuk perniagaan / perdagangan barang atau jasa dengan
menggunakan media elektronik. Media elektronik disini tidak terbatas pada internet
saja, namun karena penggunaan internet dewasa ini amat populer maka fokus
pembahasan pada skripsi ini adalah e-commerce pada media internet.
Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi yang mengutip pendapat David Baum, 35
menyebutkan bahwa “e-commerce is a dynamic sets of technologies, application, and
35 Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, 2000, Jakarta, h. 2.
33
bussines procces that link enterprises, consumers and communities through
electronic transaction and the electronic exchange of goods, services and
information”. bahwa e-commerce adalah suatu set dinamis teknologi, aplikasi, dan
kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas melalui
transaksi elektronik dan perdagangan barang, servis dan informasi.
Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman
memberikan definisi sebagai berikut :36
“Electronic Commerc, or E-Commerce as it is also knomn is a commercial transactions between a vendor and phurchaser or parties in similar contractual relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or digital medium)when the physical presence of the parties is not required. And the medium exits in a public network or system as opposed to a private network (Closed System). The public network or system must be considered an open system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded regardless of national boundaries or local requirements”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :
Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan dengan media electronic (digital medium) di mana para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional
Wikipedia memberikan definisi E-commerce sebagai berikut :37
36 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, h. 283.
37 http://id.wikipedia.org/wiki/E-commerce, bahan diakses tanggal 10 juli 2008.
34
i. “e-commerce can be defined as commercial activities conducted through
an exchange of information generated, stored, or communicated by
electronical, optical or analogues means, including EDI, E-mail, and so
forth”
Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas komersial melalui
pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikomunikasikan
oleh alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail, dan lain-
lain.
ii. “e-commerce is performing business transaction with the aid of evolving
computing tools and paper-less communication links (electronic
messaging technologies).
Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
e-commerce adalah alat untuk mendukung kegiatan transaksi bisnis
dengan perkembangan komputansi dan tidak menggunakan kertas.
iii. “electronic Commerce may be defined as the entire set of process that
support commercial activities on a network and involve information
analysis”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :
35
e-commerce dapat didefinisikan sebagai suatu set dari keseluruhan proses
yang mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan mengembangkan
analisa informasi.
berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari E-commerce,
yakni:38
i. adanya kontrak dagang,
ii. kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik,
iii. Transaksi bersifat paper less,
iv. kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan,
v. kontrak itu terjadi dalam jaringan publik,
vi. sistem terbuka, yaitu dengan internet atau WWW (World Wide Web)
vii. kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.
viii. mempunyai nilai ekonomis.
E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan
media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak dalam
bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian, maka e-commerce
memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada umumnya seperti :39
a. Asas kebebasan berkontrak
38 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, h.284.39 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, h.282.
36
b. Asas konsensual
c. Asas itikad Baik
d. Asas keseimbangan
e. Asas kepatutan
f. Asas kebiasaan
g. Asas ganti rugi
h. Asas keadaan memaksa
i. Asas kepastian hukum, dll.
Karena berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka
ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni :
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ;2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;3. Suatu hal tertentu;4. Suatu sebab yang halal.
2.2. Mekanisme dan Karakteristik Transaksi E-Commerce
Transaksi e-commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan barang
atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa
melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada umumnya
berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang digunakan
37
dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik
(digital document).40
Kontrak online dalam e-commerce menurut Santiago Cavanillas dan A.
Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh Arsyad Sanusi memiliki banyak tipe dan
variasi berdasarkan sarana yang digunakan untuk membuat kontrak, yaitu:41
a) Kontrak melalui chatting dan video conference
Chatting dan video conference adalah alat komunikasi yang disediakan
oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara
langsung. Dengan chatting seseorang dapat berkomunikasi secara
langsung dengan orang lain seperti layaknya telepon, hanya saja
komunikasi lewat chatting ini adalah tulisan atau pernyataan yang terbaca
pada komputer masing-masing. Sesuai dengan namanya, video conference
adalah alat untuk berbicara dengan beberapa pihak dengan melihat
gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang dihubungi
dengan alat ini. Dengan demikian melakukan kontrak dengan
menggunakan jasa chatting dan video conference ini dapat dilakukan
secara langsung antara beberapa pihak dengan menggunakan sarana
komputer.
b) Kontrak melalui e-mail
40 Nofie Iman, Mengenal E-Commerce, www.hasan-uad.com/?q=system/files/mengenal-e-commerce.pdf, h. 5.41
Ibid. 38
E-mail adalah salah satu kontrak online yang sangat populer karena
pengguna e-mail saat ini amat banyak dan mendunia dengan biaya yang
sangat murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail
dapat dilakukan dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan
e-mail gratis atau dengan mendaftarkan diri sebagai subscriber pada
server atau ISP tertentu. Kontrak e-mail dapat berupa penawaran yang
dikirimkan kepada seseorang atau kepada banyak orang yang tergabung
dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan pemberitahuan
penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui e-mail. Di samping itu
kontrak e-mail dapat dilakukan dengan penawaran barangnya diberikan
melalui situs web yang memposting penawarannya, sedangkan
penerimaannya dilakukan melalui e-mail.
c) Kontrak melalui web
Kontrak melalui web terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi
produk atau jasa dalam suatu halaman web dan dalam halaman web
tersebut terdapat form pemesanan, sehingga e-customer dapat mengisi
formulir tersebut secara langsung apabila barang atau jasa yang
ditawarkan hendak dibeli oleh e-customer.
Secara umum mekanisme transaksi e-commerce dapat digambarkan sebagai
berikut: 42
42 Nofie Iman, op.cit, h. 8.
39
Issuing Customer Bank Aquiring Merchant Bank
Berdasarkan gambar di atas maka tahapan dalam transaksi elektronik melalui e-
commerce dapat diurutkan sebagai berikut :
a. E-customer dan e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang
disewa dari Internet Server Provider (ISP) oleh e-merchant.
b. Transaksi melalui e-commerce disertai term of use dan sales term condition
atau klausula standar, yang pada umumnya e-merchant telah meletakkan
klausula kesepakatan pada website-nya, sedangkan e-customer jika berminat
tinggal memilih tombol accept atau menerima.
c. Penerimaan e-customer melalui mekanisme “klik” tersebut sebagai perwujudan
dari kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.
d. Pada saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan
proses pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing
pihak yaitu acquiring merchant bank dan issuing customer bank. Prosedurnya
e-customer memerintahkan kepada issuing customer bank untuk dan atas nama
40
e-customer melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada
acquiring merchant bank yang ditujukan kepada e-merchant.
e. Setelah proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses pemenuhan
prestasi oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai dengan
kesepakatan mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.
Berbeda dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce memiliki
beberapa karakteristik yakni :43
a) Transaksi tanpa batas
Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi penghalang suatu
perusahaan atau individu yang ingin go-internasional. Sehingga hanya
perusahaan atau individu yang memiliki modal besar yang dapat memasarkan
produknya ke luar negeri. Dewasa ini dengan adanya internet, perusahaan
kecil atau menengah dapat memasarkan barangnya ke luar negeri dengan
hanya membuat website atau memajang iklan-iklannya di internet tanpa batas
waktu (24 jam), maka pelanggan dari seluruh dunia dapat mengaksesnya dan
melakukan transaksi secara online.
b) Transaksi bersifat anonim
Para penjual dan pembeli dalam transaksi e-commere tidak harus bertemu
muka secara langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan
nama pembeli, selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan 43 Nofie Iman, op.cit, h. 3.
41
yang ditentukan, biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu
kredit atau transfer via bank.
c) Produk yang diperdagangkan
Produk yang diperdagangkan melalui internet berupa produk digital mapun
non digital, barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.
2.3. Ruang Lingkup E-Commerce
Perkembangan dunia bisnis dewasa ini dalam perkembangan perdagangan tidak
lagi membutuhkan pertemuan secara langsung antara para pelaku bisnis. Kemajuan
teknologi memungkinkan para pelaku bisnis melakukan hubungan-hubungan bisnis
melalui internet baik itu kegiatan penawaran maupun pembelian. Ruang lingkup e-
commerce meliputi 3 sisi yakni :44
a) Business to Business (B2B)
Merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata lain
secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam kapasitas
atau volume produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam ruang lingkup ini
ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri. Karakteristik yang
umum dalam lingkup B2B adalah :
44 Abdul Halim Barkatullah, Bisnis E-Commerce (studi sistem keamanan dan hukum di Indonesia), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, h. 18.
42
i. Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah
saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang
berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi berlangsung diantara mereka
dan karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan atas
dasar kebutuhan dan kepercayaan;
ii. Pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala format data
yang telah telah disepakati. Jadi service yang digunakan antara kedua sistem
tersebut sama dan menggunakan standar yang sama pula;
iii. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka lainnya untuk
mengirimkan data;
b) Business to Consumer (B2C)
Business to Consumer dalam e-commerce merupakan suatu transaksi bisnis
secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk memenuhi
suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu contohnya “internet mall”. Konsumen
pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan pemakai, pengguna
dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
Permasalahan perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini, karena produk
yang diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam bentuk berwujud
maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap untuk dikonsumsi.
Perkembangan lingkup B2C ini membawa keuntungan tidak saja pada pelaku usaha
namun juga kepada pihak konsumen.
43
Karakteristik dari lingkup B2C ini adalah :
i. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula;
ii. Service yang diberikan bersifat umum sehingga mekanisme dapat digunakan
oleh banyak orang;
iii. Service yang diberikan adalah berdasarkan permintaan konsumen;
c) Consumer to Consumer (C2C)
Consumer to Consumer merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang
dilakukan antar konsumen untuk memnuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat
tertentu pula, lingkup C2C ini bersifat lebih mengkhusus karena transaksi dilakukan
oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet telah dijadikan
sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai harga,
kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk komunitas
pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen terhadap suatu
produk atau pelayanan, dengan cepat dapat tersebar kepada konsumen lain melalui
komunitas yang dibentuk, hal ini membawa dampak positip bagi konsumen karena
dapat menaikkan posisi tawar konsumen terhadap pelaku usaha. Sehingga pelaku
usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang lebih baik bagi konsumennya.
2.4. Dasar hukum E-Commerce di Indonesia
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11 tahun
2008 merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU ITE ini
44
disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat diundangkan (Pasal
54 ayat 1). Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-commerce adalah :
i. Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik
dalam kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga
kepastian hukum transaksi elektronik dapat terjamin.
ii. Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi
pelanggaran hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi)
disertai dengan sanksi pidananya.
iii. UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum,
baik yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia.
Sehingga jangkauan UU ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga
internasional.
Selain UU ITE, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang dapat
menunjang perlindungan konsumen dalam e-commerce, peraturan tersebut adalah:
i. Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
ii. Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang hak cipta,
iii. Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten,
iv. Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek,
v. Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,
45
vi. Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan jo. Undang-
undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang
nomor 7 tahun 1992.
BAB III
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL
BELI BARANG BERGERAK MELALUI E-COMMERCE
BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Konsumen dalam transaksi e-commerce memiliki resiko yang lebih besar
daripada penjual atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam
transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena
karakteristik dari transaksi e-commerce sendiri, yakni dalam transaksi e-commerce
tidak terjadi pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang
kemudian dapat menimbulkan berbagai permasalahan.
Perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce dapat ditemui
dalam UUPK dan UU ITE. UUPK merupakan dasar hukum bagi perlindungan
konsumen di Indonesia, sedangkan UU ITE merupakan dasar hukum bagi konsumen
yang melakukan transaksi e-commerce. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa
transaksi e-commerce menimbulkan berbagai permasalahan, maka dalam
46
pembahasan berikut akan dijabarkan berbagai permasalahan yang penting seputar
transaksi e-commerce dan pengaturan permasalahan tersebut menurut UUPK dan UU
ITE. Permasalahan tersebut sebagai berikut :
1. Privasi
Privasi adalah claim of individuals, groups, or institution to determine for
themselves when, how, and what extent information about them is communicated to
others.45 Permasalahan mengenai privasi di Indonesia belum terlalu dipermasalahkan
oleh masyarakat, namun lain halnya dengan negara lain dimana privasi dianggap
suatu hal yang amat penting sebagai bagian dari hak pribadi seseorang. Pengertian
privasi tidak sama dengan kerahasiaan (Confidentiality), privasi merupakan konsep
yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi hak untuk bebas dari
gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan sendiri, hak untuk
mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan dalam hal apa saja
informasi tersebut harus diperoleh dan digunakan.46
Pada umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu privasi mengenai pribadi
seseorang, privasi dari data seseorang dan privasi atas komunikasi seseorang.47
45 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 159.46
Ibid, h. 162.47
Ibid, h. 160.47
Permasalahan yang muncul dalam transaksi e-commerce adalah pelanggaran
terhadap privasi dari data tentang seseorang atau dengan kata lain disebut “data
pribadi”, pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-
informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau
atas pelanggan-pelanggan dari suatu perusahaan.
Pengumpulan data pribadi konsumen dalam transaksi e-commerce dilakukan
melalui media-media berikut :
a) Cookies
Cookies adalah suatu aplikasi kecil yang ditempatkan dalam hard drive
seseorang ketika mengunjungi suatu website/situs, cookies ini dapat mengumpulkan
informasi mengenai nomor kartu kredit, situs-situs yang dikunjungi, alamat e-mail,
minat maupun pola belanja. Informasi tersebut digunakan untuk melacak kunjungan-
kunjungan ke suatu situs serta untuk mengetahui apa yang disukai atau tidak disukai
oleh seorang pengunjung tentang situs tersebut. Apabila informasi-informasi yang
dikumpulkan oleh cookies digabungkan, maka akan dapat mengidentifikasi seorang
individu secara spesifik.
Dengan adanya cookies dalam hard drive konsumen, maka setiap kali konsumen
mengunjungi suatu situs maka konsumen hanya akan mendapati barang-barang
tertentu saja yang menurut cookies disukai oleh konsumen yang bersangkutan. Hal
ini dapat saja membuat konsumen lebih mudah dalam berbelanja melalui internet 48
namun konsumen tidak dapat mengetahui/memilih produk selain yang ditawarkan
oleh cookies karena cookies memblokir akses terhadap produk-produk lain selain
yang ditawarkan oleh cookies itu sendiri. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak konsumen terutama terhadap hak untuk memilih barang dan jasa sesuai
keinginan (UUPK Pasal 4 huruf b).
b) Pendaftaran online (Online Registration)
Kebanyakan situs-situs yang melakukan penjualan barang/jasa mengharuskan
pengunjung/konsumen melakukan registrasi terlebih dahulu sebelum dapat
melakukan transaksi jual beli atau memanfaatkan fitur lengkap dari suatu situs.48
Form registrasi dari suatu situs mewajibkan pengunjung untuk mengisi informasi-
informasi pribadi seperti nama, alamat e-mail, alamat dan kota tempat tinggal, user
name dan password, jenis kelamin, tanggal lahir, penghasilan, pekerjaan. Bahkan ada
beberapa situs yang mewajibkan konsumen untuk memasukkan nomor kartu
kreditnya. Jika hal-hal diatas tidak dilengkapi, maka konsekuensinya adalah
pengunjung/konsumen tidak dapat menikmati fitur lengkap dari suatu situs atau
konsumen tidak dapat melakukan transaksi jual beli. Permasalahannya adalah,
konsumen tidak mengetahui penggunaan dari data pribadinya, terlebih lagi terhadap
informasi-informasi sensitif seperti nama, alamat dan nomor kartu kredit yang
48 Contoh situs yang mengharuskan registrasi adalah bhineka.com, ebay.com, amazon.com.
49
apabila disalahgunakan dapat membahayakan dan merugikan pemilik informasi
tersebut.
UU ITE sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang, hal ini
diatur dalam pasal 26. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa “kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media
elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan
orang yang bersangkutan”. Cakupan dari pengertian data pribadi yang dianut oleh
Pasal 26 ayat 1 dapat ditemui dalam penjelasannya, yakni :
(1) Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.
(2) Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai.
(3) Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Pada umumnya setiap website e-commerce seperti e-bay dan amazon telah
memiliki kebijakan privasinya sendiri, dimana dalam kebijakan tersebut dicantumkan
mengenai penggunaan cookies, data pribadi apa saja yang dikumpulkan, jaminan
kerahasiaan data-data sensitif seperti nomor kartu kredit. Pencantuman kebijakan
privasi oleh website e-commerce adalah tindakan yang tepat, karena kebijakan
privasi ini dapat memberitahu calon konsumen maupun konsumen website e-
commerce yang bersangkutan mengenai penggunaan data pribadi mereka, namun
banyak juga website e-commerce yang tidak mencantumkan kebijakan privasinya
50
seperti rakitan.com, indo-lcd.com dan lain-lain. Sebaiknya UU ITE juga
mencantumkan kewajiban bagi website e-commerce yang mengumpulkan data
pribadi konsumen untuk mencatumkan kebijakan privasinya.
Perlindungan hukum terhadap data pribadi oleh Pasal 26 UU ITE sudah cukup
memadai, selain karena cakupan pengertian data pribadi yang dianut cukup luas, juga
memberikan hak mengajukan gugatan kepada orang yang dirugikan atas penggunaan
data pribadi orang yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).
2. Klausula Baku
Dalam dunia usaha, terdapat klausula baku / perjanjian baku yang menempatkan
posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, yang pada akhirnya
melahirkan suatu perjanjian yang merugikan salah satu pihak yang dalam hal ini
konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku tapi menggunakan
istilah klausula baku yang menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK dirumuskan sebagai
berikut :
“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan,
“UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/ atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/ atau klausul baku tersebut tidak
51
mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1), serta tidak “berbentuk” sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut”.49
Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya adalah
untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien apabila
setiap terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli mereka
membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Oleh karena itu dalam suatu kontrak
standard dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak jual
beli.
Dalam transaksi e-commerce, penggunaan klausula baku adalah hal yang
mutlak. Karena dalam transaksi e-commerce para pihak tidak berinteraksi secara
langsung melainkan berinteraksi menggunakan media elektronik, salah satunya
adalah internet. Saat konsumen hendak membeli suatu barang pada suatu website,
maka penjual/merchant akan menyodorkan suatu perjanjian (term and condition)
yang berisikan mengenai persyaratan-persyaratan seperti layaknya perjanjian jual
beli pada umumnya. Perjanjian (term and condition) inilah yang dapat dikategorikan
sebagai klausula baku, karena isi dari perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak
oleh penjual/merchant. Disini pihak konsumen tidak bisa memprotes isi daripada
perjanjian, karena dalam website yang menampilkan perjanjian tersebut tidak
mempunyai opsi (pilihan) untuk merubah perjanjian. Disini konsumen hanya
49 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, h. 57.
52
mempunyai dua pilihan yakni menerima atau membatalkan pesanan. Apabila dalam
dunia nyata persetujuan terhadap klausula baku tersebut dilakukan dengan perbuatan
penandatanganan, maka dalam transaksi e-commerce persetujuan dilakukan dengan
“mengklik” pilihan setuju/ok/yes. Perbuatan “mengklik” tersebut dapat diartikan
sebagai akseptasi atau sama dengan perbuatan penandatanganan.
Dalam UUPK penggunaan klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang, namun
yang perlu dikhawatirkan adalah pencantuman klausula eksonerasi (exemption
clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula yang
mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali tanggung
jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk
(penjual).50 UUPK sendiri memberikan persyaratan mengenai pencantuman klausula
baku yang diatur dalam pasal 18 UUPK, yakni sebagai berikut :
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen.c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
50 Shidarta, op.cit, h.147.
53
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi manfaat harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Walaupun UUPK secara jelas mengatur mengenai tata cara pembuatan klausula
baku, namun dalam praktek masih terjadi penyimpangan terlebih lagi dalam transaksi
e-commerce dimana segala kegiatan transaksi dilakukan dengan proses “klik” tanpa
adanya proses tawar-menawar. Klausula eksenorasi dalam transaksi e-commerce
banyak terdapat dalam hal :
a) Pilihan hukum (choice of law)
Klausula mengenai pilihan hukum pada umumnya terjadi pada
transaksi e-commerce yang bersifat lintas batas Negara. Pilihan hukum
menyangkut hukum negara mana yang akan digunakan bila terjadi
54
sengketa, dalam hal ini sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang
berkedudukan di luar negeri.
UUPK memiliki kelemahan, yakni tidak dapat menjangkau pelaku
usaha yang berkedudukan di luar negeri. Hal ini terlihat dalam rumusan
Pasal 1 butir 3 UUPK yang menyatakan :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Berdasarkan pengertian pelaku usaha di atas maka ruang lingkup dari
UUPK hanyalah pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum
Republik Indonesia. UU ITE sudah mengatur perihal mengenai pilihan
hukum yakni dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (2) dimana disebutkan
bahwa para pihak mempunyai kewenangan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya, namun UU
ITE tidak mengatur perihal mengenai klausula baku sebagaimana diatur
oleh UUPK, sehingga mau tidak mau konsumen tunduk pada ketentuan
yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.
Contoh penggunaan klausul baku tentang pilihan hukum terdapat
dalam EULA (End User License Agreement) yang dikeluarkan oleh
amazon.com yang berbunyi “bahwa segala transaksi yang terjadi dengan
55
amazon.com berlaku the laws of state of Washington.”51 Dengan demikian
konsumen yang berasal dari negara manapun yang melakukan transaksi
dengan amazon.com tunduk pada hukum negara bagian Washington. Hal
ini tentu memberatkan konsumen karena apabila ia dirugikan oleh pelaku
usaha, maka ia harus mengajukan gugatannya ke negara bagian
Washington dan hal ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit.
Seharusnya UU ITE sebagai dasar hukum transaksi e-commerce yang
telah menjangkau transaksi e-commerce internasional mencantumkan
mengenai perihal pilihan hukum ini, karena ketentuan pasal 18 ayat 2 UU
ITE ini tidak memberikan perlindungan kepada konsumen.
Walaupun Pasal 18 ayat 2 UU ITE mempunyai kelemahan
sebagaimana disebutkan diatas, namun terdapat ketentuan internasional
yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen
dalam transaksi e-commerce internasional. Ketentuan tersebut terdapat
dalam Konvensi Roma 1980 Pasal 5 ayat 2 yang menegaskan bahwa
“dalam kontrak bisnis-konsumen, pilihan hukum yang dibuat di dalam
kontrak tidak dapat menghilangkan hak-hak konsumen atas perlindungan
konsumen dari Negara tempat ia memiliki kediaman tetap”. Sejalan
dengan ketentuan yang terkandung dalam konvensi roma 1980 tersebut,
berlaku asas bahwa hukum yang dipilih para pihak dalam kontrak tidak
51 www.amazon.com, bahan diakses pada tanggal 4 desember 2008.
56
dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa (mandatory laws) dari
Negara yang meiliki closest connection dengan kontrak.52 Dengan adanya
ketentuan ini, walaupun pihak konsumen menggugat pelaku usaha di
Negara lain, konsumen tersebut tetap mendapatkan hak-haknya sebagai
konsumen sebagaimana diberikan oleh UUPK.
b) Pembagian resiko yang tidak berimbang
Pembagian resiko yang tidak berimbang banyak terjadi dalam
transaksi e-commerce, khususnya dalam transaksi pembayaran. Biasanya
konsumen harus terlebih dahulu membayar secara penuh (menggunakan
kartu kredit atau transfer antar bank) atas barang yang dibeli, barulah
pesanannya akan diproses oleh pelaku usaha atau penjual. Hal ini tentu
berisiko tinggi karena membuka peluang terlambatnya pengiriman barang
yang dipesan, isi dan mutu barang tidak sesuai dengan pesanan atau
bahkan barang sama sekali tidak sampai di tangan konsumen. Klausula
baku mengenai pembagian resiko ini banyak digunakan dengan alasan
melindungi pelaku usaha dari konsumen yang tidak bertanggung jawab,
namun di sisi lain klausula ini dapat merugikan kepentingan konsumen
karena jaminan bahwa pesanan akan diproses setelah pembayaran hanya
berasal dari pelaku usaha saja. Dalam Pasal 16 UUPK, terdapat
pengaturan mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi janji
52 Edmon Makarim, opcit, h. 379.
57
dalam hal menawarkan barang atau jasa melalui pesanan, dimana
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk:
i. Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian
sesuai dengan yang dijanjikan.
ii. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.
Dengan adanya Pasal 16 ini, maka pelaksanaan janji yang diberikan oleh
pelaku usaha dapat lebih terjamin. Selain jaminan yang diberikan oleh
Pasal 16, faktor kepercayaan juga berlaku disini karena kepercayaan
merupakan dasar dari e-commerce. Apabila konsumen disini sudah
percaya kepada penjual/merchantnya maka klausula ini tidak menjadi
masalah. Disini konsumen harus lebih berhati-hati dalam berbelanja
melalui internet dan harus memastikan validitas pelaku usaha. Validitas
erat kaitannya dengan keberadaan pelaku usaha usaha, atau dengan kata
lain validitas menunjukkan bahwa pelaku usaha senyatanya ada. Apabila
konsumen berbelanja pada website e-commerce yang sudah ternama
seperti amazon.com maka dapat dipastikan bahwa pelaku usaha tersebut
terjamin validitasnya, maka bagi konsumen yang hendak berbelanja
melalui internet sebaiknya berbelanja pada situs-situs yang ternama.
3. Otensitas Subyek Hukum
58
Otensitas sama artinya dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia artinya dapat dipercaya, asli atau sah.53 Masalah otensitas para subyek
hukum dalam transaksi e-commerce menjadi isu yang penting untuk dibahas karena
menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui e-commerce. Isu yang
menyangkut otensitas adalah :
3.1. Kecakapan para pihak
Dasar hukum bagi perjanjian di Indonesia diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam pasal 1320 ini terdapat 4 syarat untuk sahnya suatu perjanjian yakni :
1) Kesepakatan para pihak,2) Kecakapan,3) Suatu hal tertentu4) Suatu sebab yang halal
Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif karena menyangkut individu yang membuat
perjanjian, sedangkan syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif. Tidak terpenuhinya
salah satu syarat diatas dalam suatu perjanjian akan menimbulkan dampak hukum
yang berbeda tergantung syarat mana yang tidak dipenuhi. Apabila syarat 1 dan 2
tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan,
sedangkan apabila syarat 3 dan 4 yang tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah
perjanjian tersebut batal demi hukum.
53 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai pustaka, Jakarta, 1976, h. 65.
59
Pada asasnya semua orang cakap untuk membuat perikatan/perjanjian, kecuali
jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Menurut undang-undang, orang
yang tak cakap adalah mereka yang belum dewasa (genap berusia 21 tahun atau
mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah) dan mereka yang di
bawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan pemboros).54 Namun
dalam transaksi e-commerce sangat sulit untuk menentukan seseorang yang
melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan karena
proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara fisik melainkan melalui
suatu media elektronik yang rawan penipuan. Dalam transaksi e-commerce, sering
terjadi dimana konsumen yang belum dewasa melakukan pembelian dan pesanan
tersebut diproses oleh penjualnya walaupun penjual mengetahui bahwa konsumen
tersebut belum dewasa, ini terlihat dalam forum jual beli classyfield.chip.co.id
dimana 30 % dari pembeli dalam forum tersebut adalah anak-anak usia 15-20
tahun.55
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Informasi dan
Transaksi Elektronik (RPP ITE), hal ini telah mendapat pengaturan. Dalam Pasal 2
RPP ITE diatur mengenai syarat sahnya suatu transaksi elektronik, syarat tersebut
adalah :
54 Abdulkadir Muhammad, op.cit, h. 250.
55 http://forum.chip.co.id/chip-classifieds/118515-opini-pembeli-anda-adalah-anak.html#post2063158, bahan diakses tanggal 1 januari 2009.
60
i. Dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang berwenang
mewakilinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
ii. Obyek transaksi tidak boleh bertentangan dengan UU
iii. Dilakukan dengan kontrak elektronik
iv. Dilaksanakan dengan sistem elektronik yang disepakati.
Berdasarkan persyaratan diatas maka jelas bahwa apabila syarat kecakapan tidak
dipenuhi maka transaksi elektronik tersebut tidak sah/ tidak memiliki kekuatan
hukum sehingga berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata perjanjian tersebut dapat
dibatalkan. Kemudian dalam Pasal 3 RPP ITE disebutkan mengenai kewajiban
penyelenggara transaksi elektronik untuk melakukan langkah-langkah yang memadai
untuk menguji keaslian identitas dan kewenangan konsumen yang melakukan
transaksi elektronik dengan berbagai metode yang dimungkinkan.
Dengan adanya pengaturan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas bahwa
untuk melakukan transaksi elektronik harus memenuhi syarat kecakapan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
3.2 Validitas subyek hukum
Validitas dalam e-commerce adalah hal yang sangat penting, pengertian
validitas ini adalah sejauh mana kebenaran akan keberadaan suatu subyek hukum.56
56 http://violetatniyamani.blogspot.com/2007/09/teori-validitas.html, bahan diakses tanggal 15 desember 2008.
61
Konsep validitas dalam e-commerce menjadi penting karena dapat mencegah
terjadinya penipuan, untuk mengetahui kemana ganti rugi harus diajukan dan
menambah kepercayaan konsumen untuk berbelanja. Dalam e-commerce banyak
cara yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menunjukkan validitasnya misalnya :
i. dengan pencantuman alamat
Biasanya website e-commerce mencantumkan alamatnya di website
mereka dengan tujuan untuk memberitahu kepada calon konsumen mereka
bahwa mereka betul-betul ada, sehingga konsumen merasa aman untuk
berbelanja di website tersebut. Selain itu, dengan dicantumkannya alamat
penjual maka pembeli mengetahui kemana harus mengajukan ganti rugi
apabila terjadi kerusakan terhadap barang yang dibeli atau apabila barang
tidak sampai ke tangan konsumen.
ii. mencantumkan logo perusahaan
pencantuman logo perusahaan dalam suatu website, menandakan bahwa
website tersebut benar-benar ada, karena sudah diotorisasi oleh CA
(Certification Authority).
iii. feed back dari pelanggan.
Ini adalah salah satu bentuk validitas yang paling sederhana namun tingkat
validitasnya hampir sempurna. Feed back ini diberikan oleh pelanggan
yang merasa puas dengan pelayanan, kecepatan pengiriman barang yang 62
dipesan dan kualitas barang yang dibeli dari suatu website, feed back yang
menyatakan kepuasaan pelanggan terhadap suatu website dalam dunia
internet dikenal dengan istilah positive feed back. Semakin banyak
konsumen yang puas terhadap suatu website e-commerce, semakin tinggi
reputasi dan validitas website tersebut, sehingga calon pelanggan akan
semakin yakin akan pelayanan website tersebut. Sistem ini sangat bagus,
karena pelaku usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang sebaik-
baiknya. Dalam transaksi e-commerce, apabila suatu website menerima
feed back yang buruk/negative dari pelanggannya maka dapat dipastikan
bahwa website tersebut akan sepi oleh pembeli.
Validitas erat kaitannya dengan CA (Certification Authority), namun dalam UU
ITE tidak menggunakan istilah CA tapi menggunakan istilah “lembaga sertifikasi
keandalan”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 diartikan sebagai lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi oleh pemerintah
dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam
transaksi elektronik. Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi, pemeriksaan
dan pembuktian identitas pengguna dan pelanggan atau dengan kata lain CA bertugas
untuk memastikan dan menjamin kebenaran keberadaan pengguna dan pelanggan
sehingga terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan pengguna dan pelanggan
adalah para pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce.
63
Peranan CA untuk menjamin otentisitas para pihak yang terlibat dalam transaksi e-
commerce adalah untuk mencegah penipuan-penipuan yang sering terjadi dalam
transaksi e-commerce seperti ”phising”. Phising sering diartikan sebagai suatu cara
untuk memancing seseorang ke halaman tertentu. phising tidak jarang digunakan
oleh para pelaku kriminal untuk memancing seseorang agar mendatangi alamat web
melalui e-mail, salah satu tujuannya adalah untuk menjebol informasi yang sangat
pribadi dari sang penerima email, seperti password, nomor kartu kredit, dan lain-lain
dengan cara mengirimkan informasi yang seakan-akan dari penerima e-mail
mendapatkan pesan dari sebuah situs, lalu mengundangnya untuk mendatangi sebuah
situs palsu. Situs palsu dibuat sedemikian rupa yang penampilannya mirip dengan
situs aslinya, lalu ketika korban mengisikan password maka pada saat itulah penjahat
ini mengetahui password korban. Penggunaan situs palsu ini disebut juga dengan
istilah pharming.57 Bila suatu situs e-commerce menggunakan jasa CA, maka
otentisitas dari situs tersebut akan terjamin, sehingga konsumen dapat bertransaksi
dengan lebih aman.
Selain mengatur tentang CA, UU ITE secara implisit mengatur kejahatan
mengenai phising yakni tercantum dalam Pasal 35, dimana disebutkan bahwa “Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik tersebut 57 http://www.total.or.id/info.php?kk=phising, bahan diakses tanggal 15 desember 2008.
64
dianggap seolah-olah otentik”, dimana pelanggaran terhadap Pasal 35 ini dikenakan
pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak 12 miliar rupiah
(Pasal 51 ayat 1).
Namun UU ITE tidak mewajibkan suatu situs e-commerce untuk menggunakan
jasa CA, ini terlihat dalam Pasal 10 ayat 1 dimana disebutkan “Setiap pelaku usaha
yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi keandalan” (garis bawah dari penulis). Dari rumusan pasal tersebut dapat
ditafsirkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan untuk menggunakan jasa CA,
sehingga tidak semua situs e-commerce dijamin otentisitasnya oleh CA. Seharusnya
UU ITE mewajibkan sertifikasi setiap situs e-commerce untuk memberikan
perlindungan bagi konsumen dari penipuan.
4. Obyek transaksi e-commerce
Yang menjadi obyek transaksi e-commerce adalah barang atau jasa yang
diperjual belikan oleh pelaku usaha kepada setiap orang yang membeli barang dan
jasa melalui e-commerce. Namun tidak semua barang atau jasa dapat
diperjualbelikan dalam transaksi e-commerce. UU ITE dan UUPK tidak mengatur
mengenai syarat-syarat barang atau jasa yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan
dalam transaksi e-commerce, namun dengan melihat ketentuan Pasal 1320
65
KUHPerdata terdapat ketentuan yang mengatur mengenai barang-barang yang boleh
untuk diperdagangkan yakni :58
i. Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, baik yang ada
sekarang maupun yang akan ada.
ii. Tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.
Apabila kedua hal tersebut diatas dilanggar, maka perjanjian jual beli dalam transaksi
barang dinyatakan batal demi hukum.
UUPK tidak mengatur mengenai persyaratan tentang barang atau jasa yang boleh
diperdagangkan, melainkan hanya mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi
pelaku usaha dalam memasarkan barang atau jasa (BAB IV UUPK Pasal 8-17).
Namun dari ketentuan yang tercantum dalam bab IV tersebut, dapat dijadikan acuan
mengenai barang atau jasa yang boleh untuk diperdagangkan. Dalam Pasal 8 ayat 1,
disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk mengedarkan barang atau jasa yang :
I. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
II. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang diyatakan dalam label atau etiket barang.
III. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya.
IV. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
58 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, h. 169.
66
V. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
VI. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label , etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang/jasa tersebut.
VII. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.
VIII. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
IX. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.
X. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud. Dalam
ayat 3 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan persediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar. Selain Pasal 8, terdapat juga Pasal
lain yang dapat dijadikan acuan mengenai barang-barang yang diperbolehkan dalam
transaksi e-commerce yakni terdapat dalam :
i. Pasal 9 melarang melakukan manipulasi produk atau jasa.
ii. Pasal 10 melarang memberikan informasi yang tidak benar atau
menyesatkan.
67
iii. Pasal 11 mengatur mengenai barang-barang yang dijual secara lelang
atau obral.
iv. Pasal 13 dan 14 mengatur mengenai perihal pemberian hadiah
terhadap barang/jasa yang dibeli.
v. Pasal 16 mengatur tentang keharusan pelaku usaha untuk menepati
janji dalam hal pembelian barang dibeli melalui pesanan. Hal ini
banyak terjadi dalam transaksi e-commerce dimana pembeli membeli
barang dengan cara memesan.
vi. Pasal 17 mengatur secara khusus tentang periklanan
Walaupun UU ITE tidak mengatur mengenai kriteria barang yang boleh
diperdagangkan dalam transaksi e-commerce, namun UU ITE mewajibkan pelaku
usaha untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan
produk yang ditawarkan (Pasal 9) dan melarang penyebaran berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik
(Pasal 28 ayat 1).
5. Tanggung Jawab Para Pihak
Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun pihak-
pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan berhubungan
melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang terkait tersebut antara
lain :
68
1. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet
sebagai pelaku usaha.
2. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang
menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan
melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.
3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada
penjual atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan
secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab
mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat
dilakukan melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.
4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.59
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di atas,
masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant
merupakan pihak yang menawarkan produk melalui Internet, oleh karena itu penjual
bertanggung jawab memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang
ditawarkan kepada pembeli atau konsumen (UU ITE Pasal 9). Di samping itu,
penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang
maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, tidak rusak atau mengandung cacat tersembunyi,
59 Edmon Makarim, op.cit, h. 65.
69
sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan
(UUPK Pasal 8). Penjual juga bertanggung jawab atas pengiriman produk atau jasa
yang telah dibeli oleh seorang konsumen. Dengan demikian, transaksi jual beli
termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapa pun yang membelinya. Di sisi
lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan
pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya dan juga
berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang
beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli elektronik ini. Jadi,
pembeli berkewajiban untuk membayar sejumlah harga atas produk atau jasa yang
telah dipesannya pada penjual tersebut.
Seorang pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah
dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disampaikan antara
penjual dan pembeli tersebut, selain itu mengisi data identitas diri yang sebenar-
benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak
mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya itu. Pembeli
juga berhak mendapat perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang
ber’itikad tidak baik.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik, berkewajiban
dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari
pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja pembeli/konsumen yang
berkeinginan membeli produk dari penjual melalui Internet yang letaknya berada
70
saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus mengunakan fasilitas Bank untuk
melakukan pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual,
misalnya dengan proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual
(acount to acount).
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam
hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk menyediakan
layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual
beli secara elektronik melalui media Internet dengan penjualan yang menawarkan
produk lewat Internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerja sama antara
penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui Internet ini.
Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang
dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi berbasis
computer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa
tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara
elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga
terjadi pada pihak-pihak dibawah ini:
1. Business to business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan
dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan
bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah
saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan
untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.
71
2. Costumer to costumer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar
individu dengan individu yang akan saling menjual barang.
3. Custumer to business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar
individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya.
4. Costumer to goverment, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antar
individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran pajak.60
Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam satu transaksi jual beli
secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga dengan
sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara individu
dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara perdata telah
memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini
hubungan hukum jual beli.61
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda
dengan jual beli biasa, sebagai berikut:
1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website
pada Internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan strorefront yang
berisi catalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang
memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang
ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan jual beli melalui toko
60 Edmon Makarim, op.cit, h. 75.61 Edmon Makarim, loc.cit.
72
online ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana
saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Penawaran dalam sebuah website
biasanya menampikan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating
atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya,
spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang berhubungan.
Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang mengunakan
media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang
melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak
menggunakan media Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang
menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran.
Dengan demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi
apabila seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran
melalui internet tersebut
2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila
penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan
melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut
yang ditujukan untuk seluruh rakyat yang membuka website yang
berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau
pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang
ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku
usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara
73
elektronik khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan
memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha,
dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah
satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih
dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya,
selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.
3. Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung,
misalnya melalui fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada sistem
keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi
cara pembayaran adalah sebagai berikut:
a. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan
intitusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan
pengambilan atau deposit uangnya dari account masing-masing.
b. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan
langsung antar kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang
nasionalnya.
c. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan
proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek
masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain:
sistem pembayaran melalui kartu kredit online serta sistem
pembayaran check in line. Apabila kedudukan penjual dengan
74
pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash
account to account atau pengalihan dari rekening pembeli pada
rekening penjual. berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran
dapat dilakukan melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan
oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual
beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung,
karena adanya perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli,
dimungkinkan untuk dilakukan.
4. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran
atas barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal
ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya
barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada
pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar
penjual dan pembeli.62
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan di
atas yang telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan
secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara
lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet, sehingga orang yang saling
berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual
beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga
62 Edmon Makarim, Op.cit, h. 82.
75
meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual
maupun pembeli.
Pasal 15 UUITE menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi dan
transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi
sebagaimana mestinya. penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab atas
sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang
tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggaraan system
elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik secara minimum, yang harus
dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah:
a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;
b. Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan
akses dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut;
c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi,
atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan
dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
76
e. Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut secara
berkelanjutan;
Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa “setiap pelaku usaha yang
menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi
keandalan”. Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan mengenai
pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan pemerintah”.
Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan elektronik
maka dalam Pasal 12 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang yang terlibat
dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda
tangan elektronik yang digunakannya”. Dalam Pasal 12 ayat (2) UU ITE dijelaskan
bahwa “pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya meliputi ;
1. Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak ;
2. Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari
penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan tanda tangan
elektronik ;
77
3. Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang
dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik jika ;
a) Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan
elektronik telah di bobol; atau
b) Keadaan yang diketahui oleh penada tangan dapat menimbulkan resiko
yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembentukan tanda
tangan elektronik.
4. Dalam hal sertifikasi digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik,
penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi
yang terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.
Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas
segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap orang
bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang
dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik tersebut.
78
BAB IV
UPAYA HUKUM BAGI KONSUMEN YANG DIRUGIKAN
DALAM TRANSAKSI JUAL BELI BARANG
BERGERAK MELALUI E-COMMERCE
1. Bentuk Kerugian Konsumen dalam Transaksi E-Commerce
Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan kecepatan
dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong pesatnya
pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-commerce,
tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak konsumen. Kerugian
yang diderita konsumen dapat berupa :
1.1. Wanprestasi
Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang
dimaksud oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia. Karena merupakan
suatu perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu
kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian.
Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya
prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada
para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi
79
pihak konsumen. Bentuk-bentuk daripada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku
usaha ini antara lain :63
a) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan
Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk
menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacad-cacad
tersembunyi. Jika penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut,
penjual dapat dikatakan wanprestasi. Contohnya saja toko online
kakilima.com yang menawarkan cakes (kue ulang tahun). Kaki lima
menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli dalam waktu satu minggu
setelah pesanan diterima. Apabila pembeli memesan kue ulang tahun
tersebut tanggal 12 juli 2001, seharusnya cakes atau kue ulang tahun
tersebut sampai di tempat pembeli pada tanggal 19 juli 2001. Akan tetapi,
ternyata penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak
mengirimkan kue tersebut sehingga dengan demikian penjual telah
melakukan wanprestasi.64
Situs-situs e-commerce di Indonesia, jarang memberikan informasi
mengenai perhitungan durasi waktu pengiriman, hal ini berbeda dengan
63 M. Arsyad Sanusi, E-commerce : hukum dan solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta, 2007, h. 34.64
http://www.mediakonsumen.com/Artikel1732.html, diakses pada tanggal 10 Desember 2008.
80
Situs e-commerce besar seperti amazon.com dan playasia.com yang selalu
mencantumkan perkiraan durasi waktu pengiriman barang.
b) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang
dijanjikan
Contoh atau aplikasi dari wanprestasi ini adalah pembeli membeli
sebuah hardware komputer pada forum jual beli kaskus.us. menurut gambar
dan dekripsi barang yang terdapat di iklan tersebut menyatakan bahwa
perlengkapan dari hardware tersebut sangat lengkap walaupun hardware
tersebut adalah barang bekas. Perlengkapan yang ada menurut iklan tersebut
adalah hardware, Cd driver, buku manual operasi, kabel power dan sebuah
bonus cd game. Akan tetapi setelah sampai di tempat pembeli, bonus cd
game tidak disertakan sebagaimana yang tertera dalam iklan. Dengan
demikian, jelas sekali bahwa penjual telah melakukan wanprestasi karena
melaksanakan prestasinya dengan tidak sebagai mana mestinya.
c) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian
pada nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap
dapat dipergunakan, hal ini dapat dgolongkan sebagai prestasi yang
terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi,
digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.
81
d) Melakukan Sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi
konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh
penjual tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh konsumen
sendiri dan cookies yang berasal dari situs penjual. Penyebaran terhadap
informasi pribadi ini tentu akan akan merugikan konsumen, terlebih lagi
terhadap informasi sensitif seperti nomor kartu kredit.
1.2. Kerugian yang timbul akibat cyber crimes
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia cyber terdapat berbagai jenis
kejahatan yang dapat merugikan konsumen. Kegiatan transaksi e-commerce yang
semakin meningkat pesat menarik minat para penjahat cyber. Kejahatan dalam dunia
cyber sering disebut dengan cyber crimes. Jenis-jenis dari e-crime adalah sebagai
berikut :
i. Penipuan financial menggunakan media komputer atau media digital
ii. Sabotase terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang
lain, dan jaringan komunikasi data.
iii. Pencurian informasi pribadi seseorang maupun organisasi tertentu.
iv. Penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga
menyebabkan privasi terganggu atau gangguan pada fungsi komputer
yang digunakan (denial of service).
82
v. Para pengguna internal sebuah organisasi melakukan akses-akses ke
server tertentu atau ke internet yang tidak diijinkan oleh peraturan
organisasi.
vi. Menyebarkan virus, worm, backdoor, trojan pada perangkat
komputer sebuah organisasi yang mengakibatkan terbukanya akses-
akses bagi orang-orang yang tidak berhak.65
Kesemua jenis cyber crime tersebut menimbulkan kerugian yang amat besar bagi
korbannya, sebab data yang dicuri pada umumnya adalah data yang sensitif seperti
nomor kartu kredit, nama korban, username atau password dan lain-lain.
2. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh konsumen dalam hal terjadi
kerugian dalam transaksi jual beli barang bergerak melalui e-commerce
Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu
masalah hukum. Dalam E-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :
2.1. Upaya hukum preventif
Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan
guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang tidak diinginkan.
Dalam transaksi e-commerce, keadaan yang tidak diinginkan ini adalah terjadinya
kerugian, khususnya kerugian pada pihak konsumen. Upaya preventif perlu untuk
65 Abdul Wahid dan Mohhamad Labib, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Refika Aditama, Malang, 2005. h. 80.
83
diterapkan mengingat penyelesaian sengketa e-commerce relatif sulit, memerlukan
waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan tidak jarang memerlukan biaya yang
tinggi. Sebagai contoh dua orang Hongkong dan Austraia memerlukan waktu 5 bulan
untuk mendapatkan refund (pembayaran kembali) atas barang yang dibeli. Maka dari
itu, sengketa e-commerce sebisa mungkin harus dicegah. Dalam usaha-usaha untuk
mencegah terjadinya kerugian langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :
2.1.1. Pembinaan Konsumen
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK dimana disebutkan
bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku
usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”. Kemudian
dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
bertujuan untuk :
i. Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan konsumen.
ii. Berkembangnya lembaga konsumen swadaya masyarakat.iii. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak-
haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara sehat.
Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen harus
ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk mengatasi
84
cybercrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen tidak hanya
berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga melalui
kejahatan-kejahatan internet (cyber crimes). Hal-hal yang perlu diberikan dalam
edukasi terhadap konsumen adalah :
1. hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terkait. Baik konsumen, pelaku usaha, maupun bank (dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit)
2. Pentingnya menjaga keamanan password seperti misalnya :i. merahasiakan dan tidak memberitahukan
PIN/Password kepada siapapun termasuk kepada petugas penyelenggara
ii. Menggunakan Pin/Password yang tidak mudah ditebak
iii. melakukan perubahan PIN/Password secara berkalaiv. tidak mencatat PIN/Password dalam bentuk fisikv. Pin untuk satu produk hendaknya berbeda dengan
produk lainnya.3. Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime
Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri teknis
terkait (UUPK Pasal 29 ayat 2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah dalam
melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal, hal ini
dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang
dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen untuk menuntut pelaku
usaha.
2.1.2. Pengawasan dan perlindungan oleh pemerintah maupun badan yang terkait
Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan
tercantum dalam UU ITE Pasal 40 ayat 2 dan UUPK Pasal 30 ayat 1, dimana dalam
85
Pasal 40 ayat 2 UU ITE disebutkan bahwa “Pemerintah melindungi kepentingan
umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Perlindungan oleh pemerintah
terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa Instansi yang
memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan (back up) terhadap
data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan perlindungan data apabila
terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap data elektronik tersebut.
Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah terlaksana, hal ini terlihat dalam :
i. Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang memblokir konten-konten
internet yang mengandung unsur pornografi dan konten yang berbau
SARA (implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE).66
ii. Pengawasan terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis
dilakukan oleh Bank Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5
UU ITE).
Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa “Pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan
peraturan Perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,
66 Salah satu contoh implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE yang sudah dilakukan oleh pemerintah adalah pemblokiran website-website porno dan menghapus/memblokir website-website yang menampilkan/menyediakan film fitna, dimana film tersebut mengandung muatan SARA.
86
dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat”. Pelaksanaan terhadap
ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat misalnya
oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Hal ini disebabkan karena
rendahnya kinerja badan pemerintah yang bergerak dalam perlindungan konsumen,
mulai dari kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada konsumen.
2.2. Upaya hukum represif
Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini
digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.
Menurut UUPK salah satu hak konsumen adalah mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut (
UUPK Pasal 4 huruf e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah
memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan
(UUPK Pasal 7 butir f). Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bisa
menimbulkan suatu sengketa sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan
rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu
mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
87
Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat nasional.
Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat dilakukan
dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik e-commerce
yang bersifat borderless. Oleh karena itu, pembahasan dalam sub bab ini dibagi
menjadi dua yakni upaya hukum dalam hal transaksi terjadi secara internasional dan
transaksi yang terjadi dalam wilayah Indonesia.
2.2.1. Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional
Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-commerce
yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan mana yang
digunakan untuk menyelesaikan sengketa.67 Dalam UU ITE, pengaturan mengenai
transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat dalam Pasal 18. Menurut
pasal 18 ayat (2) UU ITE para pihak berwenang untuk menentukan hukum yang
berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka dalam hal ini para
pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apa bila terjadi sengketa di
kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan pilihan hukum, ada batasan-
batasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan yakni sebagai berikut :
1) Partijautonomie
Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi
67 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, Cyber Law : aspek hukum teknologi informasi, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal.167.
88
yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar Negara, seperti eropa, eropa timur, Negara-negara asia afrika, termasuk Indonesia.
2) BonafideMenurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.
3) Real ConnectionBeberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.
4) Larangan Penyelundupan HukumPihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.
5) Ketertiban UmumSuatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.68
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam melakukan
pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan
sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan
klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya maka berdasarkan
Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada
asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk
68 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, h.70-71.
89
menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional, teori
tersebut adalah :
1) Teori Lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu tempat (contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana-sarana lainnya.Alternatif yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan kedua, teori penerimaan. Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan penawaran dari pihak yang menerima tawaran.
2) Teori Lex loci solutionis, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani. Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) yang berada di Negara berbeda, dan dengan sistem hukum yang berbeda pula.
3) Teori the proper law of contract, hukum yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.
4) Teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex loci contractus atau lex loci solutionis, di samping itu juga dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.69
Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga dapat
secara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga penyelesaian
69 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III bagian 2 Buku ke-8), Alumni, Bandung, 1998,h. 8-16.
90
sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka
(Pasal 18 ayat 4).
Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce yang bersifat internasional,
sebaiknya menggunakan mekanisme ADR (Alternative Dispute Resolution).
Alasannya adalah bahwa dengan menggunakan ADR maka para pihak tidak perlu
dipusingkan dengan perbedaan sistem hukum, budaya dan bahasa.70 Dasar hukum
ADR di Indonesia adalah Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase). Sebagaimana diketahui bahwa
kegiatan e-commerce sepenuhnya bersifat online oleh karena itu sudah sewajarnya
apabila penyelesaian sengketanyapun dilakukan secara online, mengingat bahwa para
pihak berkedudukan dinegara yang berbeda yang tentunya bila penyelesaian sengketa
dilakukan dengan pertemuan secara fisik akan memakan waktu dan biaya yang
banyak. Di Amerika bermunculan situs-situs untuk menyelesaikan permasalahan e-
commerce secara online seperti Cybersettle.com, E-Resolutions.com, iCourthouse,
dan Online Mediators.71
Pelaksanaan penyelesaian sengketa e-commerce di Indonesia belum sepenuhnya
bersifat online, namun UU Arbitrase memberikan kemungkinan penyelesaian
sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, hal ini tercantum dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No.30 tahun 1999 yakni “Dalam hal disepakati
70 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, opcit, Hal. 177.
71 Edmon Makarim, op.cit, h. 180.91
penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka
pengiriman teleks, telegram, faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
kainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf
miring dari penulis). Dengan diperbolehkannya penggunaan e-mail untuk
menyelesaikan sengketa, maka para pihak dapat menyelesaiakan sengketanya secara
online tanpa harus bertemu satu sama lain.
2.2.2. Upaya hukum bagi transaksi e-commerce yang terjadi di Indonesia
2.2.2.1 Non Litigasi
Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan di selenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai
tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang
diderita oleh konsumen (Pasal 47 UUPK). Penyelesaian sengketa konsumen melalui
jalur non litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, dalam
Pasal 45 ayat 4 UUPK disebutkan bahwa “jika telah dipilih upaya penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat
ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh
para pihak yang bersengketa”. Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat
ditempuh melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan
Konsumen Disperindag, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan
92
pelaku usaha sendiri.72 Masing-masing badan ini memiliki pendekatan yang berbeda-
beda dalam menyelesaikan perkara yang ada.
YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh pemerintah
yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen (UUPK Pasal
44 ayat 1 dan 2). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk pengaduan terhadap
transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan dari empat saluran
yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke kantor YLKI, dan email.73
Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem full up atau secara tertulis.
Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen harus dalam bentuk tertulis
dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas konsumen yang bersangkutan.
Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran melalui ATM maka konsumen dapat
melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam aduannya. Kemudian YLKI akan
mempelajari berkas perkara tersebut, selanjutnya YLKI akan melayangkan surat
kepada pelaku usaha untuk dimintai keterangannya. Pihak YLKI kemudian
melakukan surat-menyurat apabila pihak konsumen tidak puas atas tanggapan dari
pelaku usaha, dan YLKI juga dapat mengundang kedua belah pihak yang bermasalah
untuk didengar pendapatnya. Disini YLKI bertindak sebagai mediator. Sistem kedua
yakni sistem non-full up, dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan
72 Edmon Makarim, op.cit, h. 404.
73 http://www.mediakonsumen.com/Kategori11.html, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.
93
saran-saran yang dapat dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu
kasusnya untuk ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem full up.
Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag,
upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI, yaitu melakukan
pengaduan disertai dengan bukti kejadian. Perbedaannya adalah pada saat
pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah yang ada.
Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak pelaku usaha
dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah digariskan oleh
Direktorat tersebut. Hal ini terkait dengan ancaman pencabutan izin usaha yang
dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk menindaklanjuti permasalahan
konsumen yang mengemuka. Mekanisme pengaduan melalui lembaga pemerintah ini
masih jarang dilakukan konsumen karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran
pengaduan yang tenyata disediakan oleh Disperindag.74
BPSK merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui
mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa konsumen melalui
badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-belit.75 Konsumen yang
bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini dan mengisi formulir
pengaduan, nantinya BPSK akan mengundang para pihak yang bersengketa untuk
74 Edmon Makarim, Op.cit, h. 405.
75 Happy Susanto, op.cit, h. 78.94
melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang untuk melakukan pemeriksaan
atas kebenaran laporan dan keterangan yang diadukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi konsumen
sebaiknya memilih menggunakan arbitrase, sebab hasil putusan arbitrase mengikat
para pihak dan mempunyai kekuatan hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka
waktu penyelesaian sengketa oleh BPSK adalah 21 hari sejak pengaduan diterima
(Pasal 55 UUPK) dan pelaku usaha dalam waktu paling lambat 7 hari sejak
menerima putusan dari BPSK wajib melaksanakan putusan tersebut.
Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat berasal
dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer service. Akan
tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak dapat
memuaskan konsumen.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang tersedia
telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya yang
dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan kesadaran bagi
konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya, dimana dalam praktek
konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran terhadap hak-haknya.
2.2.2.2 Litigasi
Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam Pasal 38
ayat 1 UU ITE dan Pasal 45 ayat 1 UUPK. Dalam Pasal 38 ayat 1 UU ITE
95
disebutkan bahwa “Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi
yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan berupa gugatan
perdata (Pasal 39 ayat 1). Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa
“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau
melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU ITE maka alat-alat bukti
yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :
i. Bukti transfer atau bukti pembayaran.ii. SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan
pembelian.iii. Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.
Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam sengketa
konsumen menurut pasal 46 UUPK adalah :
i. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnyaii. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
iii. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk kepentingan konsumen.
iv. Pemerintah atau instansi terkait
Yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengajukan gugatan ke pengadilan
dalam sengketa konsumen adalah :
96
a. Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan ke
pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian yang
diderita, hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal berikut : 76
i. Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur semata-mata dari nilai uang kerugiannya,
ii. Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi siapa saja, termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan
iii. Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan.
b. Bahwa pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha, hal ini karena UUPK menganut asas
pertanggungan jawab produk (product liability) sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 juncto Pasal 28 UUPK.77 Ini berbeda dengan teori beban
pembuktian pada acara biasa, dimana beban pembuktian merupakan
tanggung jawab penggugat (konsumen) untuk membuktikan adanya
unsur kesalahan. Dengan adanya prinsip product liability ini, maka
konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku usaha cukup
menunjukkan bahwa produk yang diterima dari pelaku usaha telah
mengalami kerusakan pada saat diserahkan oleh pelaku usaha dan
kerusakan tersebut menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si
konsumen.78
76 Janus Sidubalok, op.cit, h.148.
77 http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-dewi-5881-e-commerce&q=Usaha, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.78
97
Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan suatu
akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang diperbuatnya.
Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa kompensasi/ganti
rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal 19 ayat 2 UUPK
meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau jasa sejenis atau
yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Berdasakan uraian diatas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa konsumen
melalui jalur litigasi tidak serumit yang dibayangkan oleh konsumen pada umumnya.
Karena dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan, pihak yang
dibebani untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan merupakan beban
dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB V
PENUTUP
N.H.T Siahaan, op.cit, h, 17.98
1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan atas permasalahan diatas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. UUPK dan UU ITE telah mampu memberikan perlindungan hukum yang
memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang beregrak
melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam ketentuan-
ketentuan UUPK dan UU ITE dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur
mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu transaksi e-
commerce, penggunaan CA (Certification Authority), permasalahan klausula
baku dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa yang dapat dijadikan
acuan bagi obyek dalam transaksi e-commerce. Walaupun UUPK memiliki
kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di
Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh UU ITE dan berbagai
ketentuan internasional.
2. Upaya hukum yang dapat ditempuh bagi konsumen yang dirugikan dalam
transaksi e-commerce adalah sebagai berikut :
a. Upaya hukum preventif
99
Upaya hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu kerugian
yakni dengan cara pengawasan oleh pihak-pihak terkait baik itu pemerintah
maupun maupun masyarakat dan melakukan pembinaan konsumen.
b. Upaya hukum represif
Upaya hukum ini terdiri dari dua, yakni upaya hukum dalam hal transaksi e-
commerce bersifat internasional yang penyelesaiannya menggunakan
mekanisme ADR, dan upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce yang
terjadi di Indonesia yang dapat diselesaikan melalui dua jalur yakni jalur
non-litigasi melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat
Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha. Kemudian jalur kedua adalah melalui
jalur litigasi/ pengadilan.
2. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan agar perlindungan hukum bagi
konsumen dalam transaksi e-commerce dapat terjamin adalah sebagai berikut ;
1. Pemerintah perlu segera membuat peraturan pelaksana untuk melengkapi
ketentuan hukum dalam UU ITE, karena masih terdapat hal-hal yang tidak
diatur dalam UU ITE, sehingga perlu dimasukkan kedalam peraturan
pelaksana.
100
2. Perlu dilakukannya sosialisasi UU ITE agar masyarakat mengetahui bahwa
saat ini telah ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai penggunaan
informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik. Disamping itu
dengan adanya sosialisasi UU ITE diharapkan pelaku usaha, konsumen dan
pemerintah menyiapkan diri terhadap ketentuan hukum baru dalam UU ITE
sehingga pelaksanaan dari UU ITE ini dapat berjalan secara efisien.
101