PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENANGGUNG PAJAK …
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENANGGUNG PAJAK …
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
1
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENANGGUNG PAJAK DALAM
PELAKSANAAN PENYANDERAAN (GIJZELING)
Muh.Amin Saleh
Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dampak perlindungan
hukum terhadap penanggung pajak dalam penyanderaan pada wajib pajak.Selama ini prosesnya
sedikit meresahkan masyarakat karena dianggap melanggar hak asasi manusia serta
menimbulkan kerugian pada negara pada proses pelaksanaanya..Desain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif eksploratif untuk menggambarkan bagaimana dampak dari
penerapan peraturan tersebut pada wajib pajak.Data pada penelitian ini adalah data sekunder
yang diambil dari literatur-literatur dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.Hasil dari penelitian ini adalah penerapan penyanderaan terhadap wajib
pajak kurang efektif jika diberlakukan sama untuk penunggak pajak besar maupun kecil
Kata Kunci: Perlindungan Hukum,Penyanderaan Wajib Pajak ©2019 Universitas Mpu Tantular
_______________________________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pajak menjadi kewajiban warga negara Indonesia, sehingga penagihannya dilakukan
secara paksa. Sebagaimana menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KUP) bahwa,pajak adalah kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang- undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penyanderaan
adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di
tempat tertentu.i.Penanggung pajak yang tidak membayar lunas utang pajaknya yang meliputi
sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan dan ditambah biaya penagihan pajak
walaupun telah diberikan surat taguran dan bahkan telah dilakukan penagihan seketika dan
sekaligus dapat dilakukan penagihan secara paksa. Landasan hukumnya didasarkan atas perintah
undang-undang pajak, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP). Unsur paksaan yang dimaksud adalah paksaan yang
tercantum dalam surat paksa maupun paksaan pada saat pelaksanaan tindakan yang terkait
dengan surat paksa dan dilaksanakan oleh juru sita pajak pusat atau daerah dengan berpatokan
pada UU PPSP.Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang diberikan tugas oleh undang-undang untuk
mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pajak (pajak pusat) dapat melakukan penagihan
pajak dengan berbagai cara. Salah satunya adalah melakukan penyitaan, akan tetapi kadangkala
penyitaan tidak dapat dilakukan karena wajib pajak/penanggung pajak tidak memiliki harta yang
bernilai untuk membayar kewajiban pajaknya. Disisi lain kalaupun penanggung pajak memiliki
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
2
harta yang cukup untuk melunasi utang pajaknya ternyata sudah beralih kepemilikannya kepada
pihak lain sebelum penyitaan dilakukan. Dan apabila juru sita DJP tetap melakukan penyitaan akan
mendapat perlawanan dari pemilik harta yang telah menguasai harta tersebut.Hukum pajak tidak
hanya mengenal adanya hukuman badan terhadap penanggung pajak yang terbukti melakukan
tindak pidana pajak, tetapi dikenal pula penahanan atas diri penanggung pajak sebagai konsekuensi
dari tindakan pelaksanaan surat paksa. Penahanan atas diri penanggung pajak disebut sebagai
“penyanderaan/paksa badan”. Penyanderaan/paksa badan dalam Pasal 1 ayat (21) UU KUP adalah
pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat
tertentu.Penyanderaan (gijzeling) merupakan salah satu alat paksa yang digunakan oleh DJP untuk
memaksa penanggung pajak melunasi pajak terutang yang harus dibayarkan kepada negara. Adapun
beberapa alat paksa lainnya adalah surat paksa, sita, lelang dan pencegahan. Diantara alat paksa
tersebut, gijzeling adalah menjadi upaya terakhir bila penanggung pajak tetap tidak kooperatif
setelah dilakukan upaya-upaya paksa lainnya. Dengan dilakukannya gijzeling akan memberikan
tekanan psikologis kepada penanggung pajak yang disandera agar melunasi utang pajaknya.
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang tempat dan tata
cara penyanderaan, rehabilitasi nama baik penanggung pajak dan pemberian ganti rugi Dalam
rangka penagihan pajak dengan surat paksa disebutkan bahwa gijzeling hanya dapat dilakukan
terhadap penanggung pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat waktu 14 hari terhitung
sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada penanggung pajak. Gijzeling dilakukan terhadap
penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan badan
dalam bidang hukum pajak yang telah diatur dalam pasal 33 ayat (1) UU PPSP jo pasal 2 dan pasal
3 Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 bertentangan dengan hak asasi manusia dan tidak
tepat dalam perspektif teori pemidanaan. Dengan demikian penyanderaan dalam hukum pajak
diperlukan peninjauan dari perspektif teori pemindaan dan kelayakannya dari segi budaya hukum,
dengan maksud dan tujuannya dalam penegakan hukum pajak. Dari sisi lain penerapan
penyanderaan badan terhadap penanggung pajak cenderung tidak secara signifikan memberikan
dampak positif pada penerimaan negara dari sektor pajak.Konsep penyanderaan yang dianggap
cenderung bertentangan dengan teori pemidanaan, budaya hukum dan hak asasi manusia
disebabkan penyanderaan dilakukan tanpa melalui proses peradilan sebagaimana konsep negara
hukum. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah menyatakan dirinya sebagai Negara berdasarkan pada hukum (rechtstaats). Konsep
negara hukum tersebut didasarkan pada tujuan bernegara yang merupakan kepentingan utama
daripada tatanan suatu negara. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum. Hal ini berarti sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik
Indonesia harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan
prinsip tersebut segala bentuk keputusan dan tindakan aparatur penyelenggara pemerintahan harus
berdasarkan hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan aparatur
penyelenggara pemerintahan.Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat) tindakan hukum
penyanderaan mensyaratkan beberapa kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya negara harus dapat
melindungi hak-hak dan kebebasan asasi manusia sebagai warga negaranya dan menghindari
tindakan kesewenang-wenangan aparatur pemerintah. Oleh sebab itu asas pengakuan dan
perlindungan hak asasi manusia merupakan asas pokok dan prinsip utama dari negara hukum yang
mewujudkan rule of law. Namun penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang
tempat dan tata cara penyanderaan, rehabilitasi nama baik penanggung pajak dan pemberian ganti
rugi dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa sebagai pelaksanaan Pasal 36 UU PPSP
mengabaikan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.Dalam perspektif pemidanaan,
penyanderaan sabagai sanksi yang menahan badan harus didasarkan pada alasan pelanggaran
hukum dalam undang-undang berdasarkan putusan pengadilan. Dengan demikian penyanderaan
atas dasar keputusan administrasi bukanlah suatu tindakan yang sesuai dengan prinsip negara
hukum serta mengabaikan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence).Penyanderaan
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
3
yang diatur dalam ketentuan pajak seringkali disamakan dengan perampasan kemerdekaan yang
diatur dalam hukum pidana sehingga wajib pajak atau penanggung pajak beranggapan bahwa
lembaga penyanderaan tidak boleh dilakukan kepadanya mengingat penanggung pajak tidak
melakukan perbuatan pidana. Hal ini dapat dipahami bahwa dalam penyanderaan yang dilakukan
terhadap penanggung pajak sebenarnya ia tidak melakukan tindakan pidana sehingga ia tidak boleh
dirampas kemerdekaannya. Tetapi, lembaga penyanderaan tetap diberlakukan mengingat
penanggung pajak tersebut melakukan pelanggaran hukum pajak, yaitu tidak membayar pajak yang
terutang tepat waktu dan tidak mengindahkan tindakan penagihan pajak yang telah dilakukan oleh
jurusita pajak.Ketentuan tentang penyanderaan sudah lama diatur dalam undang-undang perpajakan
tetapi baru dilaksanakan pada tahun 2003 setelah ditetapkannya surat keputusan bersama antara
Menteri Keuangan dan Menteri Perundang-undangan dan Hukum. Dengan terbitnya Skep Bersama
Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan HAM No. M-02.UM.09.01 Tahun 2003 dan No.
294/KMK/.03/2003 tentang tata cara penitipan penanggung pajak yang disandera di rumah tahanan
negara dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa, semakin memperkuat dasar pelaksanaan
penyanderaan terhadap penanggung pajak. Penyanderaan merupakan usaha DJP dalam
melaksanakan law enforcement dan sebagai shock therapy bagi penanggung pajak yang mempunyai
utang pajak. Upaya penyanderaan tidak semata-mata untuk memberikan hukuman bagi penanggung
pajak namun untuk mendorong kepatuhan penanggung pajak untuk membayar utang pajak.
Kebijakan penyanderaan bagi penanggung pajak yang tidak koperatif mendapat tanggapan yang
berbeda dari beberapa kalangan.Pelayanan Pajak Pratama (KPP) Pratama Jayapura terhadap
penanggung pajak yang mempunyai saldo utang pajak sebesar Rp 41,2 milyar dari PT. TS yang
terdaftar di KPP Pratama Jayapura, dititipkan di lapas Abepura Jayapura untuk jangka waktu 6
(enam) bulan. Penyanderaan dilakukan berdasarkan surat izin penyanderaan dari Menteri Keuangan
Nomor: SR-911/MK.03/2016 tanggal 27 Desember 2016.ii
LANDASAN TEORI
1. Pengertian Pajak
Ada berbagai defenisi mengenai pajak yang diungkapkan oleh para ahli dan walaupun
dilihat dari sudut pandang yang berbeda namun defenisi pajak yang diungkapkan terdapat berbagai
kesamaan. Menurut Rochmat Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa imbal yang langsung dapat
ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari pengertian tersebut bahwa
pemungutan pajak dapat dipaksakan oleh negara, artinya apabila utang pajak tidak dibayar utang
tersebut dapat ditagih secara paksa walaupun kewajiban membayar pajak oleh wajib pajak tidak
disertai jasa timbal balik tertentu.iii.Adapun pengertian lain menurut Prof. Dr. P.J.A. Andriani, pajak
adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya
menurut peraturan peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.iv.Menurut undang-undang Nomor 6
tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan undang-undang nomor 16 Tahun 2009
tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), pasal 1 angka
(1):“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Pajak memiliki
fungsi budgetair dan fungsi regulerent. Fungsi budgetair adalah pajak mempunyai fungsi anggaran
sebagai sumber pendapatan negara, dengan kata lain fungsi budgetair adalah sarana untuk menarik
dana dari masyarakat. Sedangkan fungsi regulerent adalah sebagai alat pendorong atau penghambat
untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan negara. Dengan fungsi regulerent pemerintah bisa
mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak.Dalam Pasal 1 angka 2 UU KUP
disebutkan bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang meliputi pembayar pajak,
pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
4
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengertian badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, organisasi masa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.v.Dalam UU KUP diatur pula penanggung pajak sesuai pasal 1 angka 28 yaitu
orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pasal 32 ayat (1) UU KUP mengatur bahwa dalam menjalankan
hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib pajak
diwakili dalam hal,badan oleh pengurus;vi,Badan yang dinyatakan pailit oleh kurator,badan dalam
pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan,badan dalam
likuidasi oleh likuidator,suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya,Anak yang belum dewasa atau
orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.Wakil sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas
pembayaran pajak terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak (DJP) bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani
tanggung jawab atas pajak terutang tersebut.vii
2. Hukum Pajak Ditinjau dari Hukum Administrasi
Hukum pajak termasuk bagian dari hukum administrasi sekaligus juga bagian dari hukum
publik karena mengatur hubungan hukum antara penguasa dengan wajib pajak berkaitan dengan
kepentingan publik. Sementara itu hukum pajak dimasukkan sebagai bagian dari hukum
administrasi karena berkaitan dengan hubungan hukum antara pemerintah dengan rakyat yang
diperintah.
3. Hukum Pajak Ditinjau dari Hukum Perdata
Hukum pajak merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur tentang perpajakan. Dilihat
dari sifatnya yang imperatif yaitu memaksa, maka hukum pajak merupakan bagian dari hukum
publik. Akan tetapi hukum pajak di dalam pengaturannya juga menggunakan istilah-istilah yang ada
di dalam hukum perdata. Hukum perdata merupakan hubungan hukum yang terjadi antara sesama
anggota masyarakat, sedangkan hukum pajak merupakan hukum publik yang mengatur hubungan
hukum antara pemerintah dalam hal ini DJP dengan masyarakat (wajib pajak).Beberapa objek
pemungutan pajak didasarkan dengan perbuatan perdata seperti perjanjian-perjanjian, warisan,
kekayaaan dan lain-lain.
4. Hukum Pajak Ditinjau Dari Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan masyarakat
dengan negara berkaitan dengan tindak pidana. Ketentuan pidana dalam hukum pajak diatur dalam
UU KUP yaitu pasal 38, 39, 40 dan 41. Ketentuan pasal 103 KUHP berlaku asas Lex Specialis
Derogat Lex Generalis yang berarti peraturan khusus mengensampingkan peraturan umum,
maksudnya adalah jika terdapat ketentuan yang belum ada atau tidak diatur dalam peraturan khusus
maka ketentuan yang berlaku adalah yang terdapat didalam peraturan umum.
5. Pengertian Utang Pajak
Dari sisi hukum pajak merupakan sebuah perikatan, meskipun berbeda dengan perikatan
perdata pada umumnya. Dalam perikatan perdata, timbulnya perikatan dapat terjadi karena perjanjian dan karena undang-undang. Perikatan dalam hukum perdata merupakan perikatan
sempurna. Keberadaan hak selalu disertai dengan adanya kewajiban dan begitu sebaliknya.viii
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
5
. Menurut ajaran materil, wajib pajak mempunyai kewajiban membayar pajak yang terutang begitu
peraturan perundang-undangan diundangkan dengan tidak menggantungkan pada surat
ketetapan,ajaran formil wajib pajak mempunyai kewajiban perpajakan setelah mendapatkan tagihan dari DJP yang berupa surat tagihan pajak (STP), surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB), surat
ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT), surat keputusan keberatan, surat keputusan
pembetulan, putusan banding yang mengakibatkan pajak yang harus dibayar bertambah.ix
6. Pengertian Penagihan Pajak
Penagihan adalah perbuatan yang dilakukan oleh DJP karena wajib pajak tidak mematuhi
ketentuan undang-undang perpajakan khususnya mengenai pembayaran pajak.x.Pengertian penagihan pajak sesuai dengan pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah
disita.Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya proses
penagihan pajak melibatkan beberpa unsur-unsur yang mempunyai arti yang cukup penting, diantaranya yaitu,utang pajak, yaitu pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi
berupa bunga , denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.xi,serangkaian tindakan dilakukan sesuai jadwal waktu yang benar, yaitu penerbitan surat teguran, pemberitahuan
surat paksa, pelaksanaan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan (SPMP), sampai dengan pelaksanaan lelang,aparat Direktorat Jendral Pajak, yaitu juru sita pajak yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan penagihan pajak,penanggung pajak yang mempunyai kewajiban melunasi utang pajak,undang-undang perpajakan yang berlaku yaitu UU KUP dan UU PPSP serta
peraturan pelaksanaan yang mengaturnya.Urutan tindakan penagihan yang diatur dalam UU KUP Bab IV tentang penagihan pajak adalah sebagai berikut :
a. Fiskus menerbitkan surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran
yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau Surat Tagihan Pajak (STP) atau Surat
Keputusan Pembetulan atau Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
b. Apabila utang pajak tidak dilunasi setelah ditegur, penagihan akan dilanjutkan dengan
penerbitan surat paksa setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak surat teguran.
Apabila utang pajak tetap tidak dilunasi, tindakan penagihan dilanjutkan dengan penyitaan
dalam waktu 2x24 jam. Apabila utang pajak tetap tidak dilunasi, dilaksanakan pengumuman
lelang dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tanggal penyitaan. Apabila setelah lewat 14
(empat belas) hari utang pajak tidak dilunasi juga, dilakukan penjualan barang sitaan secara
lelang melalui Kantor Lelang Negara (KLN).
Berikut ini alur dan jadwal pelaksanaan penagihan pajak berdasarkan peraturan perundang-
undangan
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
6
Sumber: https://www.pajak.go.id
Gambar 2.1 Alur dan Jadwal Penagihan Pajak
Tujuan penagihan pajak adalah agar penanggung pajak melunasi utang pajaknya, dengan
demikian jika utang pajak telah lunasi maka serangkaian tindakan tersebut tidak dilanjutkan. Fungsi penagihan pajak adalah sebagai tindakan penegakan hukum kepada penaggung pajak untuk
mematuhi peraturan perundang-undangan dan sebagai tindakan pengamanan penerimaan pajak.xii
7. Pengertian Gijzeling dan Gijzeling Dalam Hukum Pajak
Menurut undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan undang-
undang nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa pasal 1 angka 21, yang
dimaksud dengan penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung
pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.Rumusan pengertian mengenai penyanderaan
diperlukan untuk mencegah adanya salah penafsiran dalam melaksanakan ketentuan perundangan
yang berlaku.Penyanderaan hanya dapat dilakukan apabila penanggung pajak memenuhi syarat
kuantitatif dan syarat kualitatif untuk dilakukannya penyanderaan sesuai dengan ketentuan undang-
undang penagihan pajak denga surat paksa.
8. Konsep Penyanderaan Badan
Gijzeling pertama kali diterapkan dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 209 sampai
dengan Pasal 224 HIR serta Pasal 209 sampai dengan Pasal 224 RBg, yang menyatakan seseorang
dapat ditahan sampai membayar utangnya. Akan tetapi karena waktu itu dianggap melanggar hak
asasi manusia ketentuan dalam HIR dan RBg pernah dihentikan penggunaannya dengan terbitnya
SEMA Nomor 2 Tahun 1964 dan diperkuat dengan SEMA Nomor 4 Tahun 1975 dengan
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
7
pertimbangan yang sama. Gijzeling yang diatur dalam HIR maupun RBg ditujukan kepada debitur
yang tidak memiliki barang atau barang-barang miliknya tidak cukup untuk melunasi utang-
utangnya. Namun dalam rangka penegakan hukum bagi debitur yang tidak memiliki itikad baik
dibuat pengecualian dan penyanderaan dihidupkan kembali tetapi hanya untuk jenis piutang negara
dan sampai sekarang dipergunakan oleh pemerintah sebagai penagihan piutang pajak kepada wajib
pajak dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2000 tertanggal 30 Juni 2000
tentang Lembaga Paksa Badan. Menurut PERMA tersebut gijzeling diartikan sebagai paksa badan
dan hanya diberlakukan bagi debitur yang mampu namun beritikad tidak baik untuk melunasi
utangnya. Beberapa peraturan perundang-undangan sebagai landasan gijzeling adalah keuangan
mengerluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK.011/2000 tentang Paksa Badan,
dan Pasal 93 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, serta UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan.Gijzeling adalah pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan
menempatkannya di tempat tertentu. Adapun yang dimaksud dengan tempat tertentu adalah sebagai
berikut,tertutup dan terasing dari masyarakat,mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem
pengamanan dan pengawasan memadai.
9. Konsep Negara Hukum
Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep dan teori kedaulatan
hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara
harus tunduk dan patuh serta menjung tinggi hukum tanpa terkecuali.xiii.Menurut Krabexiv, negara
sebagai pencipta dan penegak hukum di dalam segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini hukum membawahi negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber
dari kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak berkaitan dengan
seseorang.Konsep negara hukum menurut Aristotelesxv adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan menurutnya merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga bagi suatu negara. Bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.Menurut Utrechtxvi, prinsip-prinsip
negara hukum berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat dan negara. Utrecht membedakan dua macam negara hukum, yaitu negara hukum dalam arti formil atau negara hukum
klasik dan negara hukum dalam arti materiil atau negara hukum yang bersifat modern.Perbedaan
kedua model negara hukum tersebut terletak pada tugas negara. Dalam artian formil tugas negara adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketertiban atau lebih
dikenal sebagai negara penjaga malam (nachtwackerstaats). Sementara dalam artian materiil tugas negara tidak hanya sebatas menjaga ketertiban saja, melainkan juga kehadiran negara adalah untuk
mecapai kesejahteraan rakyat untuk mecapai keadilan (welfarestate). Fungsi negara dalam arti materil menjadikan yang utama bagi sebuah negara adalah bertindak sebagai pelayan bagi
masyarakat,dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut.xvii.Berdasar pada
penjabaran negara hukum materiil atau negara kesejahteraan diatas, sesuai dengan tujuan negara, maka pemerintahan diarahkan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, melalui penyelenggaraan
kepentingan umum.Dalam rangka mewujudkan tujuan negara tersebut, pemerintah dituntut untuk
melakukan berbagai macam fungsi dan tugas, yang pada umumnya terdiri dari tugas mengatur dan tugas mengurus, yang muaranya adalah perwujudan kesejahteraan seluruh masyarakat.Menurut
Maria Faridaxviii, prinsip negara hukum Indonesia adalah negara hukum pengurus (verzonginstaat).
10. Penegakan Hukum
Masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikutxix;.faktor hukum,faktor penegak hukum,faktor sarana atau fasilitas,faktor masyarakat
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
8
11. Perlindungan Hukum
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap
hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. xx.Hukum dapat
difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.xxi.Menurut pendapat
Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
terjadinya sengketa, termasuk penangananya di lembaga peradilan.xxii.Sesuai dengan uraian di atas
dapat dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Selain
itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui
makna Undang- Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan
yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri.xxiii.Penafsiran sebagai salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding), berangkat dari pemikiran, bahwa pekerjaan
kehakiman memiliki karakter logikal. Interpretasi atau penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan
yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk
mengetahui makna undang-undang.xxiv.Perlindungan hukum dalam konteks hukum administrasi
negara merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat pencegahan maupun dalam bentuk yang bersifat pemaksaan, baik yang secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.Perlindungan hukum bagi rakyat meliputi dua hal, yakni:
a. Perlindungan hukum pencegahan, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat
diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif,
a. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana lebih ditujukan
dalam penyelesian sengketa.xxv
Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan implementasi atas
prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada
Pancasila dan prinsip negara hukum.Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat
perlindungan dari hukum maka setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari hukum. Hukum
berfungsi untuk melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan
menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa.
11. Pengertian Penyanderaan
Berdasarkan Pasal 1 Angka 21 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (selanjutnya disebut UU PPSP), yang dimaksud dengan penyanderaan adalah
pengekangan sementara waktu kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat
tertentu. Pasal ini memuat rumusan mengenai pengertian istilah yang bersifat teknis dan baku yang
digunakan dalam pelaksanaan penyanderaan
12. Syarat Penyanderaan
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
9
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang
pajak sekurang-kurangnya Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya
dalam melunasi utang pajakxxvi.Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak. Agar
penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni
harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik penanggung pajak dalam melunasi utang pajak serta telah dilaksanakan
penagihan pajak dengan surat paksa.
13. Pelaksanaan dan Larangan Penyanderaan
Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyanderaan yang
diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan untuk penagihan
pajak pusat atau dari Gubernur untuk penagihan pajak daerahxxvii. Namun, apabila pejabat tersebut berhalangan dan pengganti pejabat tersebut belum ditunjuk, atasan pejabat dapat mengajukan
permohonan izin penyanderaan. .
14. Tempat dan Jangka Waktu Penyanderaan
Penanggung pajak yang disandera ditempatkan di tempat tertentu sebagai tempat
penyanderaan dengan syarat-syarat antara lain,tertutup dan terasing dari masyarakat,mempunyai
fasilitas terbatas,mempunyai system pengamanan dan pengawasan yang memadai.Sebelum tempat
penyanderaan sebagaimana dimaksud di atas dibentuk, penanggung pajak yang disandera dititipkan
di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain.Sebagai pelaksanaan ketentuan di atas,
Menteri Keuangan telah mengeluarkan keputusan bersama dengan Menteri Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia pada tahun 2003 dengan Keputusan Bersama Nomor M-03.JM.09201 Tahun 2003
dan Nomor 394/KMK.03/2003 tanggal 23 Juni 2003 tentang Tata cara Penitipan Penanggung Pajak
yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
15. Hak Penanggung Pajak Selama Penyanderaan
Selama dalam penyanderaan penanggung pajak berhak untuk,melakukan ibadah di tempat
penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing,memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,mendapat makanan yang layak
termasuk menerima kiriman dari keluarga,menyampaikan keluhan tentang perlakukan
petugas,memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya penanggung pajak yang
disandera dan menerima kunjungan dari keluarga dan sahabat,dokter pribadi atas biaya sendiri dan
rohaniawan.
16. Pelepasan Sandera
Penanggung pajak yang disandera akan dilepas apabila telah memenuhi persyaratan yang
ditentukan. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikutxxviii,utang pajak dan biaya penagihan pajak
telah dibayar lunas,jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah penyanderaan telah dipenuhi,berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,berdasarkan
pertimbangan tertentu dari menteri keuangan atau gubernur
17. Gugatan Penanggung Pajak
Penanggung pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan
penyanderaan hanya kepada pengadilan negerixxix.Adanya hak untuk mengajukan gugatan ini adalah
untuk memberikan keadilan bagi penanggung pajak apabila terjadi kesalahan dalam pelaksanaan penyanderaan yang tentunya merugikan penanggung pajak yang bersangkutan.
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
10
18. Rehabilitasi dan Ganti Rugi
Penanggung pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi
apabila gugatan penanggung pajak dikabulkan oleh Pengadilan Negeri dan putusan pengadilan telah
mempunyai kekuatan hukum tetapxxx. Permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi dari penanggung pajak yang disandera diajukan kepada pejabat yang menerbitkan surat perintah
penyanderaan. Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh pejabat dalam bentuk satu kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional dengan ukuran yang memadai yang
dilakukan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan rehabilitasi nama baik penanggung
pajak.Besarnya ganti rugi yang diberikan pejabat kepada wajib pajak atau penanggung pajak adalah sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa penyanderaan yang telah
dijalaninyaxxxi.
19. Tindakan Terhadap Penanggung Pajak Yang Melarikan Diri
Penanggung pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan disandera kembali
berdasarkan surat perintah penyanderaan dahulu diterbitkan terhadapnya. Oleh karena itu, apabila
penanggung pajak yang disandera melarikan diri, kepala rumah tahanan negara harus
melaporkannya kepada pejabat yang berwenang agar dilakukan tindakan pencarian dan
penangkapan, bersama dengan aparat kepolisian terhadap penanggung pajak tersebut.
METODE PENELITIAN
1. Metode Penelitian
Model dan desain penelitian ini menggunakan desain kajian pustaka dengan mengambil data
dari literatur-literatur yang terkait dengan penelitian untuk mendukung dalam analisa dan
pembahasan kemudian menggambarkan secara sistimatis
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan mengunjungi literatur-literatur maupun produk undang-undang
yang berlaku di Indonesia
3. Jenis Data
a. Bahan hukum primer yang dimaksud adalah bahan yang memiliki kekuatan mengikat bagi
masyarakat yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan-bahan sebagai petunjuk yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan studi
kepustakaan atau literatur-literatur, baik berupa buku-buku, artikel, makalah, jurnal, dan
beberapa sumber lainnya yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana.
b. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang diperoleh untuk membantu melengkapi
penjelasan-penjelasan dari bahan primer dan bahan sekunder atau disebut juga sebagai bahan
hukum penunjang dalam penelitian seperti bahan yang diperoleh dari kamus, ensiklopedia,
majalah, ataupun media internet.
4. Indentifikasi Masalah
a. Bagaimana pelaksanaan gijzeling berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap penanggung pajak dalam pelaksanaan gijzeling
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
11
Penanggung Pajak
Perlindungan Hukum
Pelaksanaan Gijzeling
Kerangka BerpikirVariabel Independent Variabel Dependent
Variabel Moderator
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
ANALISA DAN PEMBAHASAN
1. Penyanderaan Merupakan Upaya Penegakan Hukum
Pemungutan pajak di Indonesia didasarkan pada aturan hukum, sehingga memiliki kekuatan
hukum, baik terhadap negara maupun wajib pajak untuk melaksanakan kewenangan maupun hak
dan kewajiban yang diberikan oleh undang-undang kepada masing-masing pihak.Untuk itu agar
dapat efektif diberlakukan, maka hukum memiliki suatu ciri, yaitu harus dapat dipaksakan. Aturan
yang telah ditentukan dalam suatu ketentuan hukum menimbulkan hak dan kewajiban terhadap
fiskus harus dapat dipaksakan.Sebagaimana telah dijelaskan di atas, dalam hukum pajak ada
beberapa alat paksa yang dapat digunakan oleh jurusita pajak untuk memaksa wajib pajak atau
penanggung pajak melunasi pajak yang terutang, yaitu,surat paksa, sita, lelang, dan penyanderaan.
Alat paksa ini dapat digunakan oleh jurusita pajak untuk memaksa penanggung pajak melunasi
utang pajaknya.Prakteknya, tidak semua alat paksa ini harus digunakan oleh jurusita pajak. Hal ini
mengingat pelaksanaan penagihan pajak dengan alat paksa memberi konsekuensi tersendiri dalam
hal pelaksanaan dan biaya yang timbul.Terhadap penanggung pajak yang telah disampaikan surat
teguran dan melunasi utang pajaknya,tidak perlu dilaksanakan alat paksa di atas,tetapi terhadap
penanggung pajak yang memiliki utang pajak yang besar dan tidak mematuhi pelunasan utang pajak
dalam jangka waktu yang ditentukan perlu dilakukan alat paksa agar penanggung pajak segera
melunasi utang pajaknya.
2. Penyanderaan Bukan Merupakan Upaya Terakhir Penagihan Pajak
Penagihan pajak dalam sistem self assessment dilaksanakan sedini mungkin sejak timbulnya
utang.Penagihan pajak persuasif sudah dimulai sejak tahap akhir pemeriksaan, pada saat closing
conference melalui pembayaran sesuai dengan pembahasan akhir.
3. Penyanderaan Ditinjau Dari Ketentuan Hukum Pidana dan Hukum Perdata
Penyanderaan diatur dalam ketentuan pajak, diberlakukan mengingat penanggung pajak
melakukan pelanggaran hukum pajak, yaitu tidak membayar pajak yang terutang tepat waktu
.Perampasan kemerdekaan ini dilakukan berkaitan dengan tindakan yang dilakukan oleh orang
tersebut yang diduga telah melanggar hukum yang berlaku.Penyanderaan dilakukan dengan cara
mengurung orang yang berutang dalam penjara sampai ia bersedia membayar
4. Analisis Lembaga Sandera Pajak Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Pemerintah Indonesia, paska orde baru kelihatan cukup serius mempromosikan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal ini terlihat dari perundang-undangan mulai dari
Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, maupun perundang-undangan yang ada di
bawahnya yang mengakomodasi beberapa pasal dari Piagam Hak Asasi Manusia (HAM)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Pasal 3 Piagam HAM PBB,Pasal 9 Piagam HAM PBB,Pasal 11
Undang-undang
No.19 Tahun 1997
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
12
Kovenan International tentang hak-hak sipil dan politik serta dari pranata nasional Pasal 28 I UUD
1945.Pasal tersebut senada dengan bunyi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 HAM,
yang mengatur tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak ini yang disebut
dengan non derogable rights.Pasal-pasal tentang non derogable rights itu memungkinkan adanya
pembatasan. Di Indonesia antara lain pembatasannya dalam Ketetapan MPR No.XVII /MPR/1998
tentang HAM yang substansinya :
5. Analisis Atas Surat Perintah Penyanderaan Yang Memiliki Kedudukan Hukum Yang Sama
Dengan Putusan Pengadilan
Pejabat berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita pajak, menerbitkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat pencabutan sita, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Ppnanggung pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan
peraturan daerah.xxxii.Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah
disitaxxxiii.Kegiatan penagihan pajak dilakukan oleh Jurusita Pajak di Kantor Pelayanan Pajak
tempat Wajib Pajak terdaftar.xxxiv:
6. Perlindungan Hukum Terhadap Penanggung Pajak Dalam Pelaksanaan Penyanderaan
Indonesia sebagai negara hukum modern yang menganut konsepsi negara kesejahteraan
mempunyai tujuan agar tercapai kesejahteraan masyarakat dengan jaminan perlindungan hukum
dari penyelenggara pemerintahan. Pada konsepsi welfare state, pemerintah diberi kewajiban untuk
mewujudkan kesejahteraan umum, untuk itu kepada pemerintah diberikan kewenangan untuk ikut
campur tangan dalam segala lapangan kehidupan masyarakat.Sistem perpajakan yang dianut oleh
Indonesia dan telah diundangkan adalah self asessment system, artinya suatu sistem pemungutan
pajak yang memberi kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan
dan membayar sendiri pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dengan demikian penentuan besarnya pajak yang terutang berada pada wajib pajak
sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Penerapan gijzeling terhadap penanggung pajak yang memiliki itikad tidak baik untuk
melunasi utang pajak adalah kurang efektif meningkatkan kepatuhan wajib pajak atau penanggung
pajak untuk melunasi utang pajaknya.Perlu dilakukan upaya lain seperti penyitaan harta kekayaan
wajib pajak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Saran
Direktorat Jenderal Pajak perlu lebih mengintensifkan memberikan sosialisasi dan penyuluhan
kepada masyarakat wajib pajak tentang peraturan perpajakan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Kesadaran yang tinggi untuk
membayar pajak dari masyarakat akan lebih menjamin penerimaan negara dari sektor pajak
daripada mengutamakan penegakan hukum melalui pelaksanakan gijzeling.
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
13
Daftar Pustaka
1. Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan (Bandung:PT.Eresco,1998) hlm. 22
1 http://www.beritamoneter.com/kanwil-pajak-papua-maluku-sandera-wajib-pajak-rp-41-miliar/
1 Ida Zuraida dan L. Y Hari Sih Advianto, Penagihan Pajak: Pajak Pusat dan Pajak Daerah,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2011) hlm. 6 1 R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: PT Refika Aditma, 2008)
hlm. 2 1 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah dibuah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 1 Dalam Pasal 32 ayat (4) UU KUP ditegaskan bahwa pengurus adalah orang yang nyata-nyata
mempunyai wewenang ikut menentukan kebijakan dan/atau mengambil keputusan dalam
menjalankan perusahaan. 1 Ida Zuraida, Op Cit hlm. 8 1 Rohmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak (Bandung:PT. Eresco, 1992) hlm. 6 1 Panca Kurniawan dan Bagus Pamungkas, Penagihan Pajak di Indonesia (Malang:Bayumedia
Publising, 2006) hlm. 2 1 Rohmat Soemitro, Op. Cit hlm. 7 1 Pasal 1 angka 8, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000. 1 Ida Zuraida dan L.Y. Hari Sih Advianto, Op. Cit. hlm. 38
1 B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia “Menuju Konsolidasi Sistem
Demokrasi” (Jakarta:Universitas Atma Jaya, 2009) hlm. 17 1 Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Dasar-Dasarnya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983) hlm.
181 1 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PS
HTN FH UI dan Sinar Bakti, 1998) hlm. 153 1 Uthrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Jakarta: Ichtiar, 1962) hlm. 9 1 B. Hestu Cipto Handoyo, Op. Cit, hlm 20 1 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan (Dasar-dasar dan Pembentukannya),
(Jakarta: Kanisius, 1998) hlm. 1
1 Soejono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:PT.Raja
Grafindo Persada, 1993) hlm 4-5. 1 Ibid, hlm. 54. 1 Ibid, hlm. 55. 1 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Surabaya:PT. Bina
Ilmu, 1987) hlm. 29
Ibid. hlm. 40 1 Ibid. hlm. 41 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, Pasal 33 ayat (1)
1 Ibid, Pasal 33 ayat (2).
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
14
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
15
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
16
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
17
Sol Justisio : Jurnal Penelitian Hukum Volume 1,Nomor 1,April 2019 Hal 1-13
[email protected] ISSN 2684-8791 (Online)
18
.