“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

74
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)” SKRIPSI Disusun oleh : FRENGKI PERIAN 017201605008 FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM CIKARANG JANUARI, 2020

Transcript of “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

Page 1: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS

PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”

SKRIPSI

Disusun oleh :

FRENGKI PERIAN 017201605008

FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

CIKARANG JANUARI, 2020

Page 2: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

i

“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT

OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”

SKRIPSI Diajukan sebagai tugas akhir

dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana Hukum

FRENGKI PERIAN 017201605008

FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

CIKARANG JANUARI, 2020

Page 3: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

ii

Page 4: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

iii

Page 5: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

iv

Page 6: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat serta karunianya kepada penulis. Akhirnya penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG

DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404

K/PDT.SUS-PHI/2014)” skripsi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Universitas President. Penulis banyak

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah rela menjadi

narasumber, penulis skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerja sama semua

pihak yang turut membantu dalam proses menyelesaikan skripsi ini, untuk itu

penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih untuk :

1. Bapak Prof.Dr.Jony Oktavian Haryanto, S.E., M.M., M.A. selaku Rektor

Universitas President yang telah menyediakan segala sarana dan prasarana

sebagai penunjang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Endi Haryono, M.Si selaku Dekan Fakultas Humaniora Program

Studi Ilmu Hukum Universitas President beserta jajaranya yang telah

mempermudah proses penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Dr. Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.H., M.A., M.Kn selaku Ketua

program studi Universitas Presiden yang telah memberikan masukan, kritik

dan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Maria Francisca M, S.H., S.E., M.Kn. selaku Pembimbing I atas

kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan

dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan karyawan yang berada dalam akademik lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Presiden atas ilmu dan nasehat yang beliau

berikan selama penulis duduk dibangku kuliah.

6. Kepada Orang Tua tercinta terima kasih telah menjadi orang tua terhebat

yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa dan dukungan demi

kelancaran. Serta istriku terima kasih untuk segalanya semoga kelak penulis

dapat membahagiakan dan membanggakan kalian.

Page 7: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

vi

Page 8: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

vii

ABSTRACT

Name : Frengki Perian Title : "LAW PROTECTION OF WORKERS IN VIOLATION OF WORK AGREEMENTS MADE BY WORKERS (CASE STUDY OF DECISION NUMBER 404 K / PDT.SUS-PHI / 2014)" A work agreement is an agreement between the worker/worker and the employer/company or the employer which contains the rights and obligations requirements of both parties to make the employment relationship. Today many companies use labor through a Special Time Work Agreement (PKWT) to reduce labor costs to increase profits. Disputes often occur between the two parties that cannot be avoided or so that in practice there are often certain work agreements that are not in accordance with the provisions of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower which in the end is very detrimental to the workforce. In this case, the Plaintiff Yuan Agusta worked from November 1, 2001 to May 31, 2013 (around 11 years) with the status of a Contract or a Specific Time Work Agreement (PKWT). During his work, he has replaced parts 11 times, each year a new contract is made. The purpose of this study is to analyze how the legal protection of workers for violations of article 59 of the Labor Law by employers. To analyze how the legal consequences for employers who break work relations after violating article 59 of the Manpower Act. The research method used by the authors in this study is a normative legal research method, making library materials as the main focus. The results showed that the implementation of the work agreement between certain time workers and the company was not in accordance with article 59 of the Manpower Act concerning the assignment of work because certain working hours were given permanent work. Legal protection already exists, but employers often take actions that violate article 59, the reason being that both parties need each other so that the article is ignored. According to the author there needs to be a union in each company to protect their rights. Furthermore, in article 59, the words "no new contract must be made in the company after the contract period ends" should be added so that the employer does not play an employment contract. Keywords: Labor Law, Labor Agreement, Termination of Employment.

Page 9: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

viii

ABSTRAK

Nama : Frengki Perian Judul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)” Perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian antara buruh/pekerja dengan pengusaha/perusahaan atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk melakukan hubungan kerja. Dewasa ini banyak perusahaan yang memakai tenaga kerja melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk menekan biaya tenaga kerja agar dapat meningkatkan keuntungan. Sering terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yang tidak bisa dihindari atau Sehingga dalam pelaksanaanya banyak dijumpai perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan Udang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang pada akhirnya sangat merugikan tenaga kerja. Pada kasus ini Penggugat Yuan Agusta bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah berganti bagian sebanyak 11 kali, setiap tahun dibuatkan kontrak baru. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menganalisa Bagaimana perlindungan hukum pekerja atas dilanggarnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja. Untuk menganalisa bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Metode penelitian yang diguanakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama.Hasil penelitian menunjukan bahwa, pelaksanaan perjanjian kerja antara tenaga kerja waktu tertentu dengan perusahaan tidak sesuai dengan pasal 59 UU Ketenagakerjaan tentang penugasan pekerjaan karena tenaga kerja waktu tertentu diberi pekerjaan yang bersifat tetap. Perlindungan hukumnya sudah ada, tapi seringkali pengusaha berbuat tindakan yang melanggar pasal 59 ini, penyebabnya karena kedua belah pihak saling membutuhkan sehingga pasal tersebut diabaikan. Menurut penulis perlu adanya serikat buruh di setiap perusahaan untuk melindungi hak-haknya. Selanjutnya didalam pasal 59 perlu adanya tambahan kata “tidak boleh dilakukan kontrak baru lagi di perusahaan tersebut setelah masa kontrak berakhir” agar pengusaha tidak memainkan kontrak kerja.

Kata Kunci : Hukum Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja.

Page 10: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL

JUDUL HALAMAN i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ii

HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI iii

DEKLARASI SKRIPSI iv

KATA PENGANTAR v

ABSTRAK vii

DAFTAR ISI ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 8

1.3 Tujuan Penelitian 8

1.4 Kegunaan Penelitian 8

1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 9

1.6 Metode Penelitian 11

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA

BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA

2.1. Perlindungan Hukum 14

2.2. Perjanjian 15

2.2.1. Pengertian Perjanjian 15

2.2.2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 17

2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian 19

2.2.4 Hak dan Kewajiban Para Pihak 21

2.2.5. Subjek Perjanjian 22

2.2.6. Obyek Perjanjian 22

2.2.7. Macam-Macam Perjanjian 23

2.2.8. Berakhirnya Perjanjian 23

2.2.9. Wanprestasi 25

2.3. Perjanjian Kerja 26

2.3.1. Pengertian Perjanjian Kerja 26

Page 11: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

x

2.3.2. Perjanjian Kerja dari Segi Undang-Undang

Ketenagakerjaan 27

2.3.3. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 30

2.3.4. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 33

2.3.5. Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 34

BAB III PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MELALUI

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

(PPHI)

3.1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 36

3.2. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 37

3.3. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan 39

3.4. Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Akibat

Pemutusan Hubungan Kerja 41

3.5. Perhitungan Uang Pesangon Apabila Terjadi PHK 42

3.6. Perhitungan Uang Penghargaan Apabila Terjadi PHK 43

3.7. Uang Penggantian Hak yang seharusnya diterima pekerja

Apabila Terjadi PHK 43

3.8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2004 44

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS

PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG

KETENAGAKERJAAN OLEH PEMBERI KERJA DAN

KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP PEMBERI KERJA YANG

MELAKUKAN PHK SETELAH ADANYA PELANGGARAN

PASAL 59 UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN

4.1. Perlindungan hukum Pekerja atas pelanggaran pasal 59 Undang-

Undang Ketenagakerjaan 46

4.2. Konsekuensi hukum terhadap pemberi keja yang melakukan

Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran

pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 57

Page 12: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

xi

5.2. Saran 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN

Page 13: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ketentuan Hukum Perburuhan timbul dari suatu perjanjian, yaitu dari

pemberi kerja (pengusaha) dan pekerja/buruh dan pasti ada perselisihan antara

kedua belah pihak ini yang tidak bisa untuk di hindari atau sulit di cegah,1 begitu

banyak perselisihan perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan

pengusaha yang berujung pada pengadilan karena ketidakpuasan salah satu pihak.

Perselisihan yang terjadi dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah

perselisihan perburuhan atau perselisihan hubungan industrial. Secara historis,

perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan

majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak

adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau

keadaan perburuhan.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

(selanjutnya disebut UU PPHI), bahwa perbedaan pendapat yang mengakibatkan

pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan

kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.

Berdasarkan Pasal 2 UU PPHI diatur bahwa jenis perselisihan hubungan

industrial meliputi empat (4) macam, yaitu:

a. Perselisihan hak

b. Perselisihan kepentingan

c. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu

perusahaan

d. Perselisihan pemutusan hubungan kerja

1 Payaman J Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial. Edisi ke-3, (Jakarta: Jala Permata

Aksara, 2009) hal 151. 2 Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.

Page 14: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

2

Berdasarkan UU PPHI untuk penyelesaian perselisihan dapat melalui

pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial

mengedepankan musyawarah untuk mufakat (win-win solution) agar dengan

demikian, proses produksi barang dan jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Penyelesaian melalui pengadilan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan

Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan Khusus yang

dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili

dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU PPHI, selain

dapat ditempuh melalui jalur pengadilan, dapat juga melalui jalur di luar pengadilan

yaitu melalui perundingan bipartite, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Penyelesaian

melalui perundingan bipartit, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau Serikat

Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial. Hal ini berbeda dengan Lembaga Kerjasama Bipartit

sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), bahwa Lembaga

Kerjasama Bipartit merupakan sebuah forum komunikasi dan konsultasi mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang

anggotanya terdiri dari pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang sudah

tercatat pada institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakarjaan atau

unsur pekerja atau buruh.

Pada pasal 1601 butir a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

disebut KUH Perdata) menjelaskan bahwa, “Perjanjian kerja adalah suatu

perjanjian pihak pertama mengikatkan dirinya untuk patuh di bawah perintah pihak

kedua untuk waktu tertentu dengan melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”

Pengertian lain di jelaskan pada pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan

menyebutkan bahwa, “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang di lakukan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha atau si pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

kerja, hak, dan kewajiban antara kedua belah pihak.”3

Perjanjian kerja merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan antara

pekerja/buruh dan pengusaha sebelum melakukan kesepakatan pekerjaan dimulai.

3 Pasal 1 ayat (14) Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Page 15: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

3

Setelah terjadinya kesepakatan kerja, maka berlakulah asas Pacta Sunt Servanda

pada pasal 1338 KUH Perdata yaitu masing-masing pihak harus menjalankan hak

dan kewajibanya sesuai apa yang ada di perjanjian kerja, namun, dalam

pelaksanaanya sering kali tidak sesuai dengan yang diharapkan karena antara

pengusaha dan pekerja mempunyai kepentingan yang berbeda. Di sudut pandang

pengusaha, pengusaha ingin meraih keuntungan yang selalu meningkat, salah satu

nya dengan menekan biaya produksi yang di dalamnya adalah upah pekerja. Di

sudut pandang pekerja, pekerja menginginkan kesejahteraan untuk menghidupi

keluarganya. Suatu Hubungan Industrial jika ingin dikatakan berhasil maka harus

ada keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak yaitu pekerja dan

pengusaha, 4 namun memang pada kenyataanya pengusaha ingin memperoleh

keuntungan dengan sebanyak-banyaknya tetapi pengusaha tidak mempedulikan

kesejahteraan pekerja, dimana pekerja harus mendapatkan hak-haknya untuk

mengidupi keluarganya, dengan hal ini maka akan mempunyai potensi perselisian

hubungan industrial.

Ada dua sistem perjanjian kerja di Indonesia, yaitu perjanjian kerja waktu

tertentu (PKWT), atau biasa dikenal dengan pekerja kontrak, dan perjanjian kerja

waktu tidak tertentu (PKWTT), atau biasa disebut pekerja tetap. UU

Ketenagakerjaan mengatur tentang pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja.

Perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan,

disebutkan dalam Pasal tersebut bahwa perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan

atas :

a. Jangka Waktu; atau

b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.5

Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor:

KEP.100/MEN/IV/2004 disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa

“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan

4 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),

hlm.63. 5 Pasal 56 ayat (2) Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 16: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

4

hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu”.6 Jadi dapat

disimpulkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu merupakan Perjanjian kerja

untuk jenis pekerjaan tertentu, bukan jenis pekerjaan yang terus menerus dan jangka

waktunya juga ditentukan. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat dibuat dalam

pekerjaan yang bersifat tetep yaitu pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak

terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses

produksi dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan jenis pekerjaan

musiman. Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dibuat untuk jenis pekerjaan

tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam

waktu tertentu, yaitu :

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama, dan paling lama tiga tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman, atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, produk

tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.7

Perjanjian kerja waktu tertentu dimasyarakat lebih dikenal dengan

perjanjian kerja kontrak, atau perjanjian kerja tidak tetap. Status tenaga kerjanya

yaitu tenaga kerja kontrak/tenaga kerja tidak tetap. Dalam Pasal 59 UU

Ketenagakerjaan mengatur tentang perjanjian kerja dimana semua jenis perjanjian

kerja sudah diatur agar pemberi kerja/pengusaha tidak melakukan tindakan yang

tidak diinginkan pekerja/buruh. Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan

bahwa perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk jenis pekerjaan

tertentu yang pekerjaan tersebut diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang

tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun. Namun dapat dilihat dilapangan

bahwa banyak perusahaan yang menerapkan sistem kerja kontrak namun jangka

waktu kontraknya melebihi dari batas maksimal yaitu tiga tahun. Dari kasus Bapak

Yuan Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan

tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau

6 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI

Nomor :KEP.100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

7 Hardijan Rusli, 2004, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 66.

Page 17: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

5

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kemudian jenis pekerjaanya bukan

pekerjaan yang sekali selesai atau musiman, namun jenis pekerjaan yang terus

menerus, ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Jenis

pekerjaan yang terus menerus ini semestinya bukan termasuk dalam perjanjian

kerja waktu tertentu, namun masuk dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak

tertentu.

Di Indonesia para pengusaha lebih memilih untuk menerapkan sistem

perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi para pekerjanya. Perjanjian kerja waktu

tertentu bagi perusahaan/pengusaha dianggap lebih menguntungkan dibandingkan

menerapkan sistem perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Namun disisi lain para

pekerja/buruh tidak sedikit yang dirugikan dengan sistem perjanjian kerja untuk

waktu tertentu ini. Di duga banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari

sistem kerja ini tanpa memperhatikan para buruh/pekerjanya. Bahkan perusahaan-

perusahaan ada yang menyimpang dari aturan-aturan dalam UU Ketenagakerjaan.

Di dunia ketenagakerjaan, perselisihan yang paling sering kita dengar

adalah perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja dapat

terjadi karena salah satu pihak baik pihak pengusaha maupun pekerja.8 Luasnya

permasalahan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja maka tidak heran jika

perlindungan tentang Pemutusan Hubungan Kerja paling banyak di peraturan

ketenagakerjaan. Hal ini sangat wajar karena permasalahan tersebut menyangkut

kelangsungan hidup bagi para pekerja/buruh.

Pada saat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, banyak pengusaha yang

memilih untuk tidak membayar hak-hak para pekerjanya selama proses Pemutusan

Hubungan Kerja. Karena saat pengusaha mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan

Kerja, tidak ada lagi tanggung jawab yang harus pengusaha berikan kepada pekerja.

Pengusaha menjadikan alasan tersebut untuk tidak membayar hak-hak pekerja

terutama upah atau melakukan tindakan skorsing.9

Upah merupakan sebuah bentuk penghasilan, yang diterima buruh/pekerja

berupa uang ataupun barang yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam

8 Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Bila di PHK, (Tangerang: Visi Media, 2007), hlm 13. 9 “Upah Pekerja Selama Proses PHK Seringkali Tak Dibayar”, www.hukumonline.com, 5

September 2019, hlm 1.

Page 18: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

6

kegiatan ekonomi. Istilah skorsing digunakan oleh pengusaha untuk merumahkan

si buruh selama proses Pemutusan Hubungan Kerja, Upah skorsing merupakan

upah yang harus di bayar oleh pengusaha kepada pekerja selama belum ada

keputusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai waktu Pemutusan Hubungan

Kerja tersebut, dalam kenyataan dikenal dengan sebutan upah proses.

Upah proses diatur dalam Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang

pada intinya Pengusaha maupun pekerja harus tetap menjalakan hak dan

kewajibanya selagi belum ada keputusan dari Pengadilan Hubungan Industrial.

Disamping itu di perkuat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor

37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang permohonan Pengujian UU

Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa upah proses

seharusnya diberikan sampai para pihak mendapatkan keputusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap.10

Permasalahan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja selalu menarik

untuk dikaji lebih karena menyangkut kelangsungan hidup pekerja dan pengusaha,

dan peristiwa ini tentunya hal yang tidak diinginkan oleh setiap pekerja/buruh,

terlebih lagi bagi pekerja/buruh karena hal tersebut akan menimbulkan dampak

economis-financial, psycologis bagi pekerja/buruh beserta keluarganya. 11

Pemutusan Hubungan Kerja bagi pekerja bisa menjadi awal dari berakhirnya

mempunyai pekerjaaan, berakhirnya menafkahi keluarganya sehari-hari,

menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya.12

Aturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja sudah diatur oleh UU

Ketenagakerjaan, tetapi dalam pelaksanaan dilapangan masih menimbulkan

perselisihan diantaranya pekerja yang menganggap dirinya tidak pantas di putus

kerjanya, Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan pengusaha tidak sesuai

dengan prosedur, pengusaha yang tidak membayar upah pesangon dan upah

penggantian hak.

10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 37/PUU-IX/2011. 11 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm 88. 12 Iman soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta : Djambatan, 1974), hlm

143.

Page 19: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

7

Perselisihan pengusaha dan buruh ini tidak saja di selesaikan secara internal

dapat juga berlanjut di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk mendapatkan

hasil putusan pengadilan. Salah satu masalah Pemutusan Hubungan Kerja dan

masuk ke ranah PHI dapat dilihat dari kasus antara General Manager (GM) Hotel

Sahid Jaya Solo dengan saudara Yuan Agusta sebagai pekerja di hotel tersebut.

Pada Putusan Pengadilan dalam tingkat kasasi Nomor 404 K/Pdt.Sus-

PHI/2014, perkara yang diajukan oleh penggugat yakni saudara Yuan Agusta

terhadap General Manager (GM) Hotel Sahid Jaya Solo yakni saudara Martono

Saputro, Yuan Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai

dengan tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status

Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah

berganti bagian sebanyak 11 kali, setiap tahun sekali perjanjian kontrak PKWT

selalu dibuat, dan setiap kali masa kontrak berakhir Penggugat diminta untuk

membuat surat lamaran kerja baru secara lisan oleh Tergugat serta kemudian baru

dibuat surat perjanjian kerja baru. Hal ini bertentangan dengan pasal 59 UU

Ketenagakerjaan, ini menunjukan bahwa pihak Tergugat telah memainkan Pasal 59

Ayat (4) UU Ketenagakerjaan dan Tergugat menggunakan tafsirnya sendiri untuk

mengimplementasikan pasal 59 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan, dan yang dilakukan

Tergugat jelas merupakan suatu bentuk perbudakan manusia dan perbutan tersebut

sama halnya dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Selain PKWT yang diberikan kepada Yuan Agusta sebagai penggugat, tidak

hanya melebihi dari yang dipersyaratkan yaitu pada pasal 59 ayat (4) PKWT yang

didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun

dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun,

setiap bagian yang selalu ditempatkan oleh Tergugat kepada Penggugat selama 11

tahun Penggugat bekerja adalah pada pekerjaan yang bersifat tetap, bukan

pekerjaan yang bersifat musiman. Sehingga, berdasarkan Pasal 59 ayat (7) Undang-

Undang Ketenagakerjaan, PKWT yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 59

ayat (1), (2), (4), (5) dan (6), pada pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor 100/Men/VI/2004

Tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan

“PKWT hanya dibuat untuk paling lama tiga tahun dan jika melebihi waktu tersebut

Page 20: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

8

maka demi hukum PKWT tersebut menjadi PKWTT (karyawan tetap). Sebagai

konsekuensi hukum dari batalnya PKWT Penggugat, maka sejak pertama kali

Penggugat bekerja pada Tergugat yaitu pada tanggal 1 November 2001 Penggugat

bekerja pada bagian Restaurant Bar Cashier Hotel Sahid Jaya Surakarta adalah

berstatus pegawai tetap.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dalam

bentuk penulisan karya ilmiah yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP PEKERJA DALAM PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA

YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN

NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”

1.2 Identifikasi Masalah

Adapun permasalahan yang penulis angkat adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perlindungan hukum pekerja atas pelanggaran pasal 59 UU

Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja?

2. Bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan

Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU

Ketenagakerjaan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan yang hendak dicapai dalam

penelitian ini adalah :

a. Untuk menganalisa bagaimana perlindungan hukum pekerja atas

dilanggarnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja.

b. Untuk menganalisa bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi

kerja yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya

pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, diatas manfaat yang didapat adalah manfaat

secara teoritis dan secara praktis yaitu adalah sebagai berikut:

Page 21: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

9

a. Kegunaan teoritis, harapan dari penulis dapat memberi masukan bagi

pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perjanjian

Ketenagakerjaan pada khususnya serta menambah referensi kepada

pengusa dan serikat pekerja yang mewakili tenaga kerja atau buruh

dalam suatu pembentukan Perjanjian Kerja Bersama.

b. Kegunaan praktis, harapan dari penulis dapat memberi pengetahuan

dan wawasan bagi para pihak terkait dengan permasalahan yang diteliti

dalam hal Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pelanggaran

Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Para pihak disini adalah Pengusaha,

Tenaga kerja, Organisasi Serikat Pekerja dan Pemerintah.

1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual

Kerangka teori merupakan keberadaan hukum sebagai aturan sangat

dibutuhkan dalam setiap kehidupan sosial masyarakat karena hukum dapat

mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Dalam

penelitian ini digunakan teori-teori dan pandangan-pandangan para pakar yang

berpengaruh sebagai landasan kerangka pemikiran penelitian. Pandangan teori

tersebut dikombinasikan dengan peraturan perundang-undangan dan di compare

dengan kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 404 K/Pdt.Sus-PHI/2014

Tentang Pemutusan Hubungan Kerja yang di Analisa bahwa Tergugat telah

memainkan pasal 59 ayat (4) UU ketenagakerjaan.

Dalam penelitian hukum normatif untuk menyusun kerangka konsepsional

yang didasarkan atau diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu.

Kerangka konsepsional merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan

pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan

konstruksi data.

1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain.13

13 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Page 22: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

10

2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-

badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain.14

3. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.15

4. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang selanjutnya disebut PKWT) adalah

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan

hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.16

5. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) adalah

perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan

hubungan kerja yang bersifat tetap.17

6. Hak adalah perilaku seorang individu yang berhubungan dengan perilaku yang

diwajibkan atas individu lain.18

7. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan alam bentuk uang

sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau

peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan

keluarganya atas suatu pekerja dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.19

8. Upah proses adalah upah yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja akibat

dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan pembayaran dilakukan

setelah adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

9. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau

pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.20

14 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 15 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 16 Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor

Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 17 Pasal 1 Ayat 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor

Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 18 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm145. 19 Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 20 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Page 23: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

11

10. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena

suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

buruh/pekerja dengan pengusaha.21

11. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang

mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha

dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya

perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu

perusahaan.22

12. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena

tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang

dilakukan oleh salah satu pihak.23

13. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat

pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan

hubungan industrial.24

14. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di

lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan

memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.25

1.6 Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum kepustakaan, 26 Karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai

tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis melakukan

21 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 22 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial. 23 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial. 24 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial. 25 Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial. 26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.

Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 23.

Page 24: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

12

penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak dari bidang-bidang

tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu

terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-

undangan tertentu.27

2. Sumber data

Sesuai dengan metode pendekatan yang akan digunakan dalam

penelitian ini, maka data yang dipakai adalah data sekunder. Data sekunder

adalah data-data yang sudah tercatat dalam buku atau pun suatu

laporan. 28 Dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat

digolongkan ke dalam:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan ilmu hukum yang

berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, sebelum dan sesudah amandemen.

2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi

Republik Indonesia Nomor Kep.150/Men/2000 tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan

Uang Pesangon,Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti

Kerugian di Perusahaan;

3) putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011 tentang permohonan

Pengujian UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.

4) UU Ketenagakerjaan.

5) Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor Kep.

100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah

diteliti pada bahan-bahan hukum primer :

27 ibid. hlm 15. 28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm 51.

Page 25: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

13

1) Pendapat-pendapat yang relevan dengan penelitian serta data

tertulis yang terkait dengan penelitian.

2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen

dan data-data dari internet yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

penjelasan dan bersifat mendukung terhadap bahan-bahan hukum

Primer dan Sekunder, Seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku

pegangan, almanak dan sebagainya. 29 Dalam penelitian saya ini

menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui

serangkaian aktivitas pengumpulan data-data yang dapat membantu

terselenggaranya penelitian, terutama dengan melakukan studi kepustakaan.

Dalam hal ini penulis melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum

primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Dari studi kepustakaan ini akan

didapat manfaat berupa ditemukannya konsep-konsep dan teori-teori yang

bersifat umum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

4. Analisa Data

Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis

kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,

yaitu mengumpulkan semua data yang diperlukan yang diperoleh dari bahan

hukum primer dan sekunder. 30 Selanjutnya, penulis menarik suatu

kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang

bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Dimana dalam

mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-faktor yang

nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang juga

merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.31

29 Ibid. hlm 104. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, 2007, hlm. 25. 31 Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru, 2005, hlm. 20.

Page 26: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

14

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA

BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA

2.1. Perlindungan Hukum

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya

disebut UUD 1945), tujuan hukum adalah untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.32

Sutjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah

adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan

suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut.

Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan

tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada

masyarakat. Oleh karana itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut

harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.33

Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,

landasannya adalah Pancasila sebagai ideolagi dan falsafah negara. Konsepsi

perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep

Rechtstaat dan Rule of the law. Dengan menggunakan konsep barat sebagai

kerangka berpikir dengan Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia

adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia

yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak

pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan

perlindungan terhadap terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada

pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.34

32 Pembukaan UUD 1945 33 Sutjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, 1983, Bandung, hlm.121. 34 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, 1987, Surabaya,

hlm. 38.

Page 27: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

15

Perlindungan terhadap pekerja/buruh merupakan upaya perlindungan

terhadap hak-haknya sebagai pekerja. Karena jika tidak adanya perlindungan

hukum maka pengusaha/pemberi kerja akan sewenang-wenang memperlakukan

kaum buruh/kaum bawah. Perlindungan terhadap pekerja/buruh tertuang pada UU

Ketenagakerjaan dan UU PPHI, dari sinilah para kaum buruh mempunyai dasar

untuk melindungi hak-hak mereka agar tidak ditindas oleh kaum atas.

2.2. Tinjauan Umum

2.2.1. Pengertian Perjanjian

Batasan mengenai perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yaitu,

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan

dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Menurut prof. Subekti, S.H suatu perjanjian adalah “Suatu peristiwa di

mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Dari sini timbulah suatu hubungan antara

ke dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, Perjanjian

tersebut berupa serangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau

kesanggupan yang di ucapkan atau di tulis.35

Menururt Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Van

Dunne menolak teori kehendak yang sudah ketinggalan zaman, ia menyatakan

bahwa kesepakatan adalah merupakan perbuatan hukum.36

Beberapa para sarjana berpendapat bahwa rumusan pasal 1313 KUH

Perdata memiliki beberapa kelemahan yang harus dikoreksi. Abdulkadir

Muhammad berpendapat tentang kelemahan tersebut, antara lain :37

1) Hanya menyangkut sepihak saja.

Dari kata tersebut dapat diketahui bahwa perumusan “satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri”

hal ini bersifat hanya datang dari satu orang saja, tidak dari kedua belah

35 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, 2005. hlm 1. 36 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 160. 37 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.

224-228.

Page 28: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

16

pihak. Seharusnya bisa dirumuskan saling “mengikatkan diri”, jadi ada

consensus antara para pihak.

2) Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus.

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan

tugas tanpa kuasa, suatu tindakan melawan hukum yang tidak

mengandung suatu konsensus, harusnya dipakai sebuah istilah

“persetujaan”.

3) Pengertian perjanjian terlalu luas.

Pengertian perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas karena mencakup

juga perjanjian perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan

hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur

dengan kreditur mengenai harta kekayaan saja. Perjanjian yang diatur oleh

Buku III KUH Perdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan saja,

bukan perjanjian yang bersifat personal.

4) Tanpa menyebut tujuan

Dalam rumusan isi pasal tersebut tidak di jelaskan tujuan diadakanya

perjanjian sehingga pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk

apa.38

Berdasarkan kelemahan tersebut, Abdulkadir Muhammad menyatakan

pengertian perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih

untuk saling mengikatkan diri pada suatu hal mengenai harta kekayaan. Dengan

pengertian diatas, dapat dipahami ada tiga hal penting, yaitu kedua belah pihak,

sikat saling mengikatkan diri atau kata sepakat dan pelaksanaan perbuatan yang

berhubungan dengan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu perjanjian yang

dilakukan secara tertulis dan perjanjian tidak tertulis atau lisan. Kedua bentuk

perjanjian tersebut sama-sama mempunyai kedudukan untuk dapat dilakasanakan

oleh kedua pihak. Perbedaanya jika perjanjian secara tertulis dapat dijadikan alat

bukti saat di pengadilan dan juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat kedua

38 ibid

Page 29: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

17

belah pihak. Sebaliknya perjanjian tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat saat ada perselisihan karena susah dalam pembuktianya.39

2.2.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah perjanjian

yang memenuhi syarat-syarat berdasarkan apa yang ditetapkan undang-undang,

dengan itulah ia akan diakui oleh hukum.40 Dalam hukum Eropa Kontinental,

karena Indonesia menganut hukum Eropa syarat sahnya perjanjian diatur dalam

pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kedua belah pihak atau para pihak tersebut yang mengadakan perjanjian

haruslah bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan. Syarat ini sering

disebut dengan Kesepakatan (toesteming). Kesepakatan merupakan

persetujuan yang di kehendaki oleh para pihak mengenai pokok-pokok yang

diperjanjikan. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-

syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dan dikehendaki

juga oleh pihak lain. Dengan demikian kesepakatan sudah mantap karena

kedua belah pihak sama-sama menyetujuinya, dan tidak lagi dalam

perundingan.41

2) Cakap untuk membuat suatu perikatan

Membuat suatu perjanjian adalah perbuatan yang menimbulkan suatu

hubungan hukum dan yang melakukan suatu hubungan hukum adalah

mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban,

pihak yang melakukan suatu pendukung hak dan kewajiban adalah orang

atau badan hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menjelaskan batasan orang-

orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau

membuat perjanjian adalah :

a) anak di bawah umur;

b) mereka yang dibawah pengampuan;

39 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. 1, Bandung : Pustaka Setia, 2013. hlm 84. 40 Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 88. 41 Ibid, hlm 89.

Page 30: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

18

c) orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan undang-undang,

dan pada umumnya pada siapa udang-undang telah melarang membuat

perjanjian tertentu.

d) Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh

wali yang mereka tunjuk, dan bagi seorang istri harus ijin kepada

suaminya.42

3) Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu artinya sesuatu yang ada di dalam perjanjian tersebut

harus telah ditentutukan dan disepakati. Sesuai yang di jelaskan pada pasal

1333 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi objek sebuah pejanjian

harus di tentukan jenisnya. Menurut Prof. Subekti, SH, suatu perjanjian

harus mengenai hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan

kewajiban para pihak jika timbul perselisihan. 43 Suatu hal tertentu

merupakan pokok perjanjian yang membuat prestasi tersebut harus tertentu

atau sekurang-kurangnya bisa di tentukan.

4) Suatu sebab yang halal

Suatu Sebab yang halal artinya suatu yang tidak melangggar hukum tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Kata “sebab” adalah terjemahan bahasa latin yaitu “causa”. Sebab inilah

yang membuat orang melakukan sebuah perjanjian. Menurut pasal 1320

KUH Perdata, yang dimaksud dengan “causa” bukanlah sebab dalam arti

yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam

arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan

dicapai oleh para pihak.44

Dua syarat yang disebutkan nomor pertama dan kedua yaitu dinamakan

syarat subyektif karena kedua syarat tersebut mengenai suatu subyek yang

disyaratkan dalam hal ini yaitu mereka yang mengikatkan diri dan cakap untuk

membuat perikatan. Dalam hal syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi,

perjanjianya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat meminta agar

42 Ibid, hlm 92. 43 Subekti, Op cit, hlm 19. 44 Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 94.

Page 31: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

19

perjanjian itu dibatalkan. Sedangkan dua syarat lagi yang disebutkan terakhir yaitu

dinamakan syarat obyektif karena mengenai suatu perjanjian sendiri atau obyek dari

perjanjian yang di perjanjikan tersebut. Dalam syarat obyektif, jika syarat itu tidak

terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.45

Semua perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di

undang-unang diakui oleh hukum, akan tetapi jika salah satu unsur tersebut tidak

terpenuhi atau cacat dalam perjanjian, dan perjanjian dianggap batal, baik dalam

bentuk dapat dibatalkan (terdapat pelanggaran syarat subyektif), maupun batal demi

hukum ( dalam hal tidak terpenuhi syarat obyektif). Dengan demikian perikatan

yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya.

2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Di dalam isi pasal 1338 KUH Perdata terdapat istilah “semua” yang

menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah secara umum, baik perjanjian

bernama maupun tidak bernama. Dalam pasal itu terkandung asas kebebasan

berkontrak yang secara pelaksanaanya dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa.

Jika isi perjanjian tidak sesuai apa yang dimaksud para pihak, para pihak

tersebut harus mengesampingkan atau berpaling pada pasal 1338 KUHPerdata dan

pasal 1339 KUHPerdata agar perjanjian yang patut dan pantas harus sesuai dengan

asas kepatutan yang membawa pada keadilan.

Ada tiga asas penting yang sering terdengar didalam hukum perikatan,

yaitu:46

a. Asas Konsensualisme

Asas ini menyimpulkan bahwa sebuah perjanjian dikatakan selesai

apabila antara para pihak dikatakan sepakat atau persesuaian kehendak

dari para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam pasal 1320 ayat (1)

KUH Perdata menyimpulkan “lahirnya perjanjian adalah pada saat

tercapainya kesepakatan dan saat itulah hak dan kewajiban para pihak;

b. Asas Pacta Sunt Sarvanda

Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sudah dibuat oleh

para pihak sudah mengikat dan tidak dapat di Tarik kembali oleh salah

45 Subekti, Op cit, hlm 20. 46 Salim HS, Op cit, hlm. 157.

Page 32: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

20

satu pihak. Ini bisa dikatakan UU berlaku bagi para pihak yang

mengadakan perjanjian. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.

Dalam pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Menurut asas ini, Para pihak bebas membuat perjanjian yang

dikehendakinya, mengadakan perjanjian dengan siapa saja,

menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratanya, dan

menentukan perjanjian yang akan dibuat yaitu dengan bentuk perjnjian

tertulis atau dengan lisan.

Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di selenggarakan oleh sebuah

Badan Pembinaan Hukum Nasional disingkat (BPHN), Department Kehakiman RI

pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah merumuskan delapan asas hukum

perikatan nasional.47 Adapun kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :

a) Asas Kepercayaan

Jadi setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah jadi kewajibanya

untuk memenuhi setiap prestasi yang diadakan mereka yang mengadakan

perjanjian pada kemudian hari.

b) Asas Persamaan Hukum

Subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak,

dan kewajiban yang sama dimata hukum. Mereka tidak boleh

dibedabedakan antara satu sama yang lainya walaupun subjek hukum itu

berbeda warna kulit, agama dan ras.

c) Asas Keseimbangan

Asas ini sangat menjunjung tinggi dan menghendaki kedua belah pihak

untuk mentaati perjanjian. Kreditur mempunyai kewenangan untuk

memenuhi prestasi. Bahkan kreditur mempunyai power untuk menuntut

prestasi dan jika diperlukan kreditur bisa menuntut pelunasan orestasi

47 Tim Naskah Akademik BPHN, “NAskah Akademik Lokakarya Hukum Perikatan,” Jakarta:

Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985.

Page 33: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

21

melalui kekayaan debitur. Akan tetapi, debitur melakukan kewajibanya

dalam perjanjian itu dengan itikad baik.

d) Asas Kepastian Hukum

Perjanjian akan menjadi simbol hukum yang mengandung kepastian hukum.

Kepastian ini bisa dilihat dari kekuatan mengikarnta suatu perjanjian, yaitu

sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

e) Asas Moralitas

Asas ini didasarkan pada kesukarelaan seseorang yang tidak dapat menuntut

hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Salah satu factor

yang membuat dia terketuk hatinya untuk melakukan hal tersebut adalah

pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

f) Asas Kepatutan

Berkaitan dengan ketentuan yang membicarakan isi perjanjian dan

diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjianya.

g) Asas Kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak

hanya mengikat pada sesuatu yang secara tegas tertulis diatur, tetapi juga

hal-hal yang menurut kebiasaan izim diikuti.

h) Asas Perlindungan

Asas ini mengandung pengertian bahwa antara pekerja dan majikan harus

sama-sama dilindungi oleh hukum. Namun, yang lebih mendapatkan

perlindungan itu pekerja karena posisi pekerja lebih lemah.

Asas-asas inilah yang menjadi dasar dalam pembuatan suatu

kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dapat dipahami untuk

membuat suatu perjanjian harus diperhatikan point diatas agar tujuan akhir dari

suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sesuai dengan keinginan masing-

masing pihak.

2.2.4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak

Perjanjian yang menyangkut dengan melakukan jasa diatur pada pasal 1601

KUH Perdata yang berbunyi :

“Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang

mana diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang

Page 34: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

22

diperjanjikan, jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka itu adalah dua macam

perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan

suatu pekerjaan dengan pihak lain untuk mendapatkan upah.”

Dari penjelasan isi pasal tersebut, perjanjian melakukan jasa diatur oleh

ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang telah

diperjanjikan oleh para pihak. Jika para pihak tidak membuat perjanjian, maka

pelaksanaan perjanjian itu dilakukan menurut kebiasaan.

Berdasarakan pasal tersebut jelas bahwa hak dan kewajiban para pihak

dalam perjanjian tidak diatur dalam KUH Perdata, melainkan dalam ketentuan-

ketentuan khusus untuk itu jika ada peraturan khusus yang mengaturnya. Bila tidak

ada yang mengaturnya, maka hak dan kewajiban para pihak ditentukan sendiri oleh

para pihak syarat perjanjian yang dibuat. Jika dalam syarat perjanjian tidak

dicantumkan maka hal tersebut ditentukan menurut kebiasaan. Tentunya hal ini

berdasarkan asas kebebasan berkontrak.

2.2.5. Subyek Perjanjian

Subyek perjanjian adalah kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak

debitur yang harus memenuhi prestasi.48 Suatu Perjanjian di dalamnya terdiri dari

dua pihak atau lebih. Para pihak dalam perjanjian antara lain yaitu manusia

(Naturlijk person) dan Badan Hukum (Recht person).

2.2.6. Obyek Perjanjian

Obyek perjanjian adalah prestasi, debitur yang berkewajiban atas suatu

orestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. 49 Pasal 1234 KUH Perdata

menjelaskan suatu prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,

atau tidak sama sekali berbuat sesuatu. Untuk sahnya perikatan diperlukan syarat-

syarat terntentu.50

a. Obyek harus tertentu

b. Obyek harus diperbolehkan

c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang

d. Obyeknya harus mungkin

48 M. Yahya Harahap, segi-segi hukum perjanjian, Alumni, Bandung 1986, hlm 10. 49 Purwahid patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung: 1994, hlm 13. 50 ibid, hlm 4.

Page 35: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

23

2.2.7. Macam-Macam Perjanjian

Ada beberapa macam-macam perjanjian antara lain;51

a. Perjanjian jual beli

Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu

mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,

sedangkan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.

Perjanjian ini terjadi jika para pihak menyetujui tentang barang dan

harganya.

b. Perjanjian sewa menyewa

Perjanjian sewa menyewa adalah dengan mana pihak yang satu

menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka

waktu yang diperjanjikan, sedangkan pihak lainya menyanggupi untuk

membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian barang itu. Tujuan

dari perjanjian ini adalah untuk pemakaian saja bukan untuk dijadikan hak

milik atas benda itu.

c. Pemberian atau hibah

Pemberian adalah suatu perjanjian (obligator), dengan mana pihak yang

satu menyanggupi dengan cuma-cuma (Om Niet) dengan secara mutlak

(onherroepelijk) dengan memberikan suatu benda pada pihak lainya untuk

mereka miliki. Perjanjian tersebut tidak bisa dicabut oleh salah satu pihak.

d. Perjanjian Perdamaian

Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah

pihak membuat suatu perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam

perjanjianya masing-masing pihak melepaskan tuntutanya. perjanjian ini

dibuat dengan cara tertulis dan tidak boleh secara lisan.

2.2.8. Berakhirnya Perjanjian

Berakhirnya perjanjian atau Hapusnya perjanjian tertuang dalam pasal 1381

KUH Perdata, yang menyatakan sebuah perikatan akan hapus karena :

a. Pembayaran;

Pengertian pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang yang

diberikan oleh debitor kepada kreditor. Sedangkan pengertian pembayaran

51 R Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa 1985, hlm 13.

Page 36: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

24

dalam arti yuridis pembayaran tidak hanya dalam bentuk uang atau barang,

tapi bisa juga dilakukan dalam bentuk jasa.52

b. Pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;

Yang dimaksud adalah si berutang melakukan pembayaran secara tunai

kepada si berpiutang, karena si berpiutang menolak untuk menerima

pembayaran secara tunai, maka kemudian si berutang menitipkanya kepada

pengadilan.53

c. Pembaharuan utang (novasi);

Novasi lahir karena adanya persetujuan. Para pihak membuat persetujuan

dengan jalan menghapuskan perjanjian lama, pada saat bersamaan para

pihak juga akan mengganti perjanjian lama dengan perjanjian baru. Pada

hakekatnya, perjanjian lama akan sama atau serupa dengan perjanjian

baru.54

d. Perjumpaan utang atau kompensasi;

Ini adalah salah satu cara penghapusan utang dengan cara memperjumpakan

atau memperhitungkan utang piutang dengan cara timbal balik antara

kreditur dan debitur.55

e. Percampuran utang;

Percampuran utang terjadi karena kedudukan debitur dan kreditur bersatu

pada diri seorang itu.56

f. Pembebasan utangnya;

Hal seperti ini apabila kreditur melakukan pembebasan kewajiban kepada

debitur untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian.57

g. Musnahnya barang yang terutang;

Bisa diartikan sebagai hancurnya, tidak dapat diperdagangkan, atau barang

terutang itu hilang, sehingga tidak diketahui lagi barang tersebut masih ada

52 Salim Hs.Op.Cit, hlm 188. 53 Ibid hlm 192. 54 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 142. 55 Subekti, Op.Cit, hlm 72. 56 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 157. 57 Ibid, hlm 159.

Page 37: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

25

atau tidak ada. Tetapi syaratnya, barang yang hilang atau rusak itu bukan

kesalahan debitur, dan sebelum dinyatakan lalai oleh kreditur.58

h. Kebatalan atau pembatalan;

Penyebab timbulnya pemabatalan perikatan adalah adanya perjanjian yang

dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah pengampuan,

tidak mengindahkan isi perjanjian yang disyaratkan dalam undang-undang.

i. Berlakunya syarat batal;

Syarat batal menurut pasal 1265 KUH Perdata adalah syarat yang apabila

terpenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu

dalam keadaan semula, seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.

j. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri;

Berdasarkan isi pasal 1946 KUH Perdata yang mengatur tentang Daluwarsa,

yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah untuk memperoleh

sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan sudah lewatnya

suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-

undang.

2.2.9. Wanprestasi

Wanprestasi adalah seseorang yang tidak memenuhi prestasi atau lalai, tidak

memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang

lalai harus memberikan ganti rugi, biaya dan bunga.59 Menurut M. Yahya Harahap,

SH “wanprestasi adalah Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya

atau dilakukan tidak menurut selayaknya”60. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)

seorang debitur dapat berupa empat macam ;61

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukanya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai yang diperjanjikan;

c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Akibat adanya wanprestasi adalah :62

58 Salim Hs, Op.Cit, hlm 198. 59 J.C.T Simorangkir, Rudy T.erwin.prasetyo. kamus hukum, Aksara Baru, Jakarta : 1987 hlm 186. 60 M. Yahya Harahap, Op.Cit hlm 6. 61 Subekti, Op.Cit hlm 45. 62 Salim HS Op.Cit, hlm 181.

Page 38: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

26

a. Tetap ada perikatan. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur atas

keterlambatan prestasi yang dilakukan debitur.

b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243

KUHPerdata)

c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah

debitur wanprestai, kecuali bila kreditur melakukan kesengajaan atau

kesalahan besar.

d. Jika perjanjian lahir dari perjanjian timbal balik, maka kreditur dapat

membebaskan diri dari kewajibanya dengan memberikan kontra prestasi,

dengan cara menggunakan pasal 1266 KUHPerdata yaitu syarat batal

dianggap selalu dicantumkan didalam persetujuan timbal balik, manakala

salah satu pihak tidak memenuhi kewajibanya.

2.3 Perjanjian kerja

2.3.1 Pengertian Perjanjian Kerja

Menurut Pasal 1601a KUH Perdata Perjanjian Perburuhan adalah

perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk

dibawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu melakukan

pekerjaan dengan menerima upah.

Pada pasal 1603 e ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa : “Hubungan

kerja berakhir demi hukum jika lewatnya waktu yang ditetapkan dalam perjanjian

itu atau dalam ketentuan perundang-undangan atau jika semuanya itu menurut

kebiasaan. ”Pada UU Ketenagakerjaan mendefinisikan tentang perjanjian kerja

yakni: “Bahwa Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja dan

pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para

pihak.”Lahirnya undang-undang ini adalah bertujuan untuk memberi perlindungan

kepada pekerja untuk menuju kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan

pekerja serta keluarga.

Sementara itu, soebekti memberikan pengertian perjanjian kerja yaitu : 63

63 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi Ke-VIII, (Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 12.

Page 39: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

27

“Perjanjian antara seorang “pekerja” dengan seorang “majikan”, suatu

perjanjian ditandai dengan adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan

atau adanya suatu “hubungan diperatas” dalam bahasa Belanda

“Dienstverhouding” yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang

satu (majikan) berhak memberiakan perintah-perintah yang harus ditaati

pihak lain.”

Selanjutnya Aloysius Uwiyono berpendapat mengenai perjanjian kerja ialah :64

“Perjanjian yang dibuat antara buruh (pekerja) dengan pengusaha, dimana

pekerja mengikatkan diri untuk melakukan pekerjaan karena pengusaha,

selain itu pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja

dengan imbalan menerima upah.”

Istilah-istilah mengenai pengertian perjanjian kerja menurut para pakar

diatas menyatakan bahwa perjanjian ini memang membahas tentang kerja, yakni

dengan adanya suatu perjanjian kerja akan timbul adanya salah satu pihak yang

akan melakukan pekerjaan.65 Perjanjian ini juga menunjukan bahwa posisi yang

satu (Buruh/pekerja) adalah tidak sama atau tidak seimbang yaitu berada dibawah,

apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak pengusaha. Dengan demikian dalam

pelaksanaan hubungan kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas

tidak dalam posisi yang sama dan seimbang. Pengusaha pihak yang lebih tinggi

secara sosial ekonomi mempunyai kehendak untuk melakukan perintah kepada

pihak yang sosial ekonomi nya lebih rendah yaitu pekerja untuk melakukan suatu

pekerjaan. Adanya wewenang perintah yang membedakan secara pejanjian kerja

dan pekerjaan lainya.66

2.3.2 Perjanjian Kerja dari segi Undang-Undang Ketenagakerjaan

Pada Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan memberikan pengertian

perjanjian kerja yang menyebutkan bahwa :

64 ibid, hlm 13. 65 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta :Djambatan, Edisi Revisi2003), hlm

70. 66 Kosidin, Koko. Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung:

Mandar Maju, 1999) hlm 7.

Page 40: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

28

“Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dilakukan antara pekerja/buruh

dengan pengusaha atau pemberi kerja yang berisi ketentuan-ketentuan dan syarat-

syarat kerja, serta hak dan kewajiban para pihak”.

Selain itu Imam Soepomo memberikan pengertian mengenai perjanjian

kereja yang menerangkan :67

“Suatu perjanjian dimana pihak kesatu buruh, Mengikatkan diri untuk

melakukan pekerjaan dengan menerima upah pada pihak pengusaha atau majikan,

dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan menerima

upah”.

Perjanjian Kerja menurut Undang-undang Ketenagakerjaan menjelaskan

kepada hak yang lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menjelaskan pada

hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak

dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap

serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah

disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri.68

Pengertian tersebut jelas bahwa setelah adanya perjanjian kerja maka

timbulah hubungan kerja, Hubungan kerja adalah sebuah hubungan hukum yang

lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha.

Subjek hukum dlam perjanjian kerja pada hakekatnya adalah subjek hukum dalam

hubungan kerja sedangkan yang menjadi objek dalam perjanjian kerja adalah

Tenaga para pekerja itu sendiri. Dengan mengeluarkan tenaga itulah pekerja

mendapatkan suatu hak nya yaitu upah.69 Berdasarkan pengertian perjanjian kerja

diatas, ada beberapa unsur perjanjian kerja yang dapat diambil menurut Undang-

undang Ketenagakerjaan yakni :

a. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek

perjanjian), dan pekerjaan itu haruslah pekerja itu sendiri yang mengerjakanya,

hanya dengan seijin majikan dapat menyuruh orang lain. Secara umum, pekerjaan

adalah suatu kewajiban atau perbuatan yang harus dilakukan pekerja untuk

67 Lalu Husni, Op.Cit Hlm 40. 68 Zaeni Asyahadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjan Bidang Hubungan Kerja Edisi

Revisi,(Jakarta:Raja Grafindo,2007), hlm 55. 69 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar Grafika,2009) hlm 38-40.

Page 41: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

29

kepentingan pengusaha dan harus sesuai denga nisi perjanjian kerja.70 Pekerja

yang mengadakan perjanjian kerja itu pokoknya wajib untuk melaksanakan

pekerjaannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas melaksanakan pekerjaannya

dan menyuruh orang lain untuk melakukanya, maka hal tersebut bukan termasuk

sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.

b. Adanya unsur perintah

Manifestasi dari sebuah pekerjan yang diberikan kepada pekerja oleh

pengusaha adalah pekerja tersebut harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh

pengusaha sesuai dengan kesepakatan perjanjian kerja. Dalam hubungan kerja

pengusaha kedudukanya adalah si pemberi kerja, sehingga ia berhak dan

berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan

pekerjaan. Kedudukan pekerja adalah sebagai pihak yang menerima perintah

untuk melakukan sebuah pekerjaan. Hubungan antara pekerja dan majikan

bersifat Subordinasi (hubungan yang bersifat vertical, yaitu atas dan bawah).

Berdasarkan hal ini, bahwa si pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada

pada wibawa orang lain, bahwa si majikan yang kedudukanya sangat kuat.71

c. Adanya upah

Upah merupakan salah satu hal terpenting dalam hubungan kerja (perjanjian

kerja), bahkan bisa dikatakan bahwa orang mencari pekerjaan kepada pengusaha

untuk mendapatkan upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka tentu hal

tersebut bukan merupakan suatu hubungan kerja. Adanya suatu upah tersebut

adalah imbalan dari pengusaha kepada pekerja karena melakukan pekerjaan.

Pengertian upah menurut ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-undang

Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:

“Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang

sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang

melakukan pekerjaan sesuai isi perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan

perundang-undangan termasuk termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya

atas suatu pekerjaan atas jasa yang telah dilakukan”.

70 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006) hal 36. 71 Ibid, hlm 37.

Page 42: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

30

d. Waktu tertentu

Waktu tertentu atau Zekeretijde sebagai unsur yang harus ada dalam isi

perjanjian kerja adalah bahwa suatu hubungan kerja antara pekerja dan majikan

bukan berlangsung secara terus menerusa atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu

yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha.

Waktu tertentu tersebut harus ditetapkan melalui perjanjian kerja, mungkin juga

didasarkan melalui peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.72

2.3.3 Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU

Ketenagakerjaan dibedakan menjadi dua yaitu perjanjian kerja dibuat untuk waktu

tertentu dan waktu tidak tertentu. Perjanjian untuk waktu tertentu sebagaimana

dijelaskan dalam ayat (1) yaitu didasarkan atas jangka waktu atau telah selesainya

suatu pekerjaan tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau yang disebut PKWT

harus dibuat secara tertulis dan harus menggunakan Bahasa Indonesia serta huruf

latin. Jika perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dibuat secara tertulis maka itu

sudah bertentangan dan dianggap sebagai Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak

Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT. 73 Jika perjanjian tersebut dibuat

dengan dua cara yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing, maka yang berlaku

adalah yang memakai Bahasa Indonesia. Hal seperti ini wajar karena Bahasa

Indonesia merupakan Bahasa uang dipakai pada saat menjalani proses persidangan

di Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga semua dokumen pendukung pada

saat beracara dipersidangan ialah memakai bahasa Indonesia. PKWT setelah

ditanda tangani para pihak haruslah dicatatkan pada instansi yang bertanggung

jawab pada bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat paling lambat 7 hari

sejak penandatanganan.74

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu juga diatur dalam Pasal 1 angka (1)

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/MEN/VI/2004, yang dimaksud

perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah: Perjanjian kerja antara pekerja/buruh

dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau

72 Ibid, hlm 40. 73 Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm 69. 74 Ibid, hlm 50.

Page 43: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

31

untuk pekerja tertentu. Dengan demikian yang dinamakan sifat perjanjian kerja

untuk waktu tertentu adalah sebagai berikut :

1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang bersifat sementara

Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilaksanakan

pada pekerja tertentu untuk menyelesaikan kontrak kerja paling lama tiga tahun.

2. Diperkiran penyelesaian perjanjian tidak terlalu lama dan paling lama tiga

tahun.

Pola hubungan kerja dengan pejanjian kerja waktu tertentu diterapkan pada

pekerja yang diperkirakan mempunyai masa kerja tidak terlalu lama dan paling

lama tiga tahun. Jika pekerja tertentu yang diperjanjikan berakhir maka PKWT

tersebut berakhir demi hukum.

3. Bersifat musiman

Pekerja yang bersifat musiman adalah pekerja yang pelaksanaan pekerjaanya

mempunyai ketergantungan pada musim atau cuaca. PKWT yang diberikan

kepada pekerja yang musiman hanya dapat diberikan satu jenis pekerjaan

waktu tertentu.

4. Berhubungan dengan produk baru atau kegiatan baru, yang masih dalam masa

percobaan dan penjajakan.

Hubungan kerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat dipakai

untuk melakukan pekerjaan yang ada kaitanya dengan produk baru, kegiatan

baru atau suatu produk-produk tambahan yang masih dalam masa percobaan

atau penjajakan. Untuk itu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh

dilakukan dalam jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang

satu kali paling lama satu tahun dan tidak ada lagi perubahan.

Maksud perjanjian ini ialah perjanjian antara “buruh” dengan seorang

“majikan”, yang menunjukan tanda atau ciri-ciri : adanya suatu pembayaran upah

atau gaji tertentu yang disepakati dan adanya suatu “hubungan diperatas” atau

“dienstverhouding” yaitu suatu hubungan yang berdasarkan yang mana pihak yang

satu (majikan) berhak memerintahkan apa yang ia bilang dan harus ditaati oleh yang

lain. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetbok van Koophandel)

didalam Bab IV dari Buku II (pasal 395 dan selanjutnta) yang memberikan suatu

penjelasan tersendiri mengenai “perjanjian kerja laut”, sebagai perantara dari B.W

Page 44: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

32

yang menyatakan banyak sekali ketentuan-ketentuan yang menyatakan tentang

perjanjian perburuhan, selain itu banyak sekali ketentuan khusus tentang buruh

yang bekerja dilaut.

Imam Soepomo menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Hukum

Perburuhan dalam bidang hubungan kerja, yaitu bagi penyelenggara perjanjian

kerja seperti halnya dengan semua macam perjanjian dengan syarat-syarat tertentu

mengenai orang tersebut, mengenai isi perjanjianya, bahkan terkadang mengenai

bentuknya seperti apa. Sedang perjanjian kerja adalah sebuah perjanjian dimana

pihak kesatu , mengikatkan dirinya untuk bekerja dengan menerima upah kepada

pihak lain, dan simajikan yang mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan dengan

membayar upah.75

Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu

dapat dilaksanakan paling lama dua tahun dan hanya boleh di perpanjang atau di

perbaharui satu kali dengan jangka waktu paling lama satu tahun. Perjanjian kerja

waktu tertentu dapat diperpanjang dan diperbaharui, dan perjanjian kerja waktu

tertentu hanya dapat dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu. Munculnya suatu

Peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.100/MEN/VI/2004 dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya pengusaha yang

memainkan buruh/pekerja dengan sistem kontrak yang berkelanjutan hingga

pekerja tersebut bekerja terus menerus dalam jangka waktu yang lama tetapi dengan

status kontrak, sebagai akibat pengusaha tidak mau disulitkan dengan sistem

pemutusan hubungan kerja. Akibatnya mau tidak mau pengusaha akan membuat

perjanjian kerja waktu tertentu dengan buruh/pekerja untuk menghindari berbagai

resiko dan agar tidak menyimpang dengan peraturan perundang-undangan. Adapun

pengertian pengusaha menurut UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut :

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

usahanya berbentuk perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri

menjalankan perusahaan yang bukan miliknya;

75 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan dalam bidang hubungan kerja,(Jakarta : Djambatan, 1987)

hlm 51.

Page 45: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

33

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia

mewakili perusahaan sebagaimana huruf a dan b yang berkedudukan diwilayah

Indonesia.

Sedangkan pengertian perusahaan menurut UU Ketenagakerjaan adalah :

a. Setiap usaha yang berbentuk badan hukum ataupun tidak berbadan hukum, milik

orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik

swasta ataupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan

membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan

mempekerjakan pekerja/buruh dengan membyar upah atau imbalan dalam

bentuk lain.

2.3.4 Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Setiap perjanjian kerja dapat dubuat secara lisan maupun tertulis. Pada

pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menjelaskan perjanjian kerja dibuat

secara tertulis, dan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku, syarat-syarat nya antara lain :

1) Kedua belah pihak harus sepakat;

2) Kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak menggangu ketertiban umum, kesusilaan,

dan peraturan perunang-undangan yang berlaku.

Perjanjian kerja yang tanpa adanya kesepakatan oleh salah satu pihak tidak

mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian kerja

tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika dibuat tanpa adanya pekerjaan yang

diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut dapat menggangu

ketertiban umum, kesusilaan, dan bertentangan dengan undang-undang maka

perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat-syarat tersebut sebenarnya adalah isi dari perjanjian kerja, karena

dari syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan

perjanjian. Syarat-syarat yang dimuat atau terkandung dalam isi perjanjian kerja

untuk waktu tertentu isinya tidak boleh leboh rendah dari syarat-syarat kerja yang

termuat dalam peraturan perusahaan. Apabila dalam perjanjian kerja untuk waktu

Page 46: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

34

tertentu isinya lebih rendah dari peraturan perusahaan, maka yang berlaku adalah

isi dalam peraturan perusahaan tersebut.

Perjanjian Kerja Bersama mempunyai kedudukan yang kebih tinggi

dibanding dengan peraturan perusahaan. Oleh sebab itu Perjanjian Kerja Bersama

tidk boleh bertentangan dengan Undang-undang, demikian juga Perjanjian Kerja

Bersama tidak boleh diganti dengan peraturan perusahaan.

UU Ketenagakerjaan, mengatur syarat-syarat ketentuan perjanjian kerja

untuk waktu tertentu sebagai berikut:

a. Dibuat secara tertulis

Pada pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dibuat

secara tertulis, dan harus menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin. Oleh

karena itu jika dibuat secara lisan, atau bukan dalam Bahasa Indonesia dan huruf

latin, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum. Konsekuensinya pekerja

tersebut harus dianggap sebagai pekerja tetap.

b. Tidak boleh ada masa percobaan

Pada pasal 58 ayat (1) menjelaskan bahwa dalam perjanjian kerja waktu tertentu

tidak boleh mempersyaratkan masa percobaan kerja, jika itu terjadi maka

perjanjian kerja waktu tertentu batal demi hukum.

2.3.5 Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yaitu berakhirnya hubungan

kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, dengan berakhirnya hubungan kerja

ini berakhir pula hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Artinya pekerja

sudah tidak mandapakan haknya lagi dan tidak memberikan kewajibanya lagi

kepada pengusaha, begitupun juga pengusaha tidak lagi memberikan perintah serta

membayar upah kepada pekerja atas pekerjaan yang biasa diberikan dalam

lingkungan badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, milik

swasta atau milik negara, serta usaha-usaha lainya.76 Berakhirnya Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu menurut pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perjanjian itu

berakhir apabila:

a. Pekerja meninggal dunia;

76 Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-pengusaha, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009) hlm

83.

Page 47: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

35

b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap, atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan diperjanjian

kerja atau di perjanjian kerja Bersama yang dapat menyebabkan

berakhirnya hubungan kerja.

Page 48: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

36

BAB III

PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MELALUI

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

(PPHI)

3.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut ketentuan pasal 1 ayat

(25) UU Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah

berakhirnya suatu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha karena

sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dengan pengusaha.

Berdasarkan penjelasan isi UU Ketenagakerjaan tersebut, maka dapat

diambil intisarinya bahwa PHK merupakan opsi terakhir dalam menyelamatkan

sebuat perusahaan yang sedang mengalami masalah. UU Ketenagakerjaan juga

mengatur bahwa perusahaan tidak boleh seenaknya memPHK karyawanya, semua

harus menggunakan aturan yang berlaku sesuai hukum di Indonesia, terkecuali

karyawan/pekerja yang bersangkutan telah terbukti melakukan kesalahan atau

pelanggaran berat dan telah dinyatakan oleh pengadilan bahwa sipekerja telah

melakukan kesalahan berat yang mana putusan pengadilan yang dimaksud

mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pemutusan hubungan kerja memang banyak terjadi karena adanya

perselisihan kepentingan, entah itu merugikan buruh atau merugikan pengusaha,

kedua belah pihak ini jika mengalami perbedaan kepentingan akan menghadapi

perselisihan yang berujung ke pengadilan. Terlebih lagi pekerja yang dipandang

dari sudut ekonomis yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah jika

dibandingkan dengan pihak pengusaha yang mempunyai power di sudut ekonomis.

Karena pemutusan hubungan kerja akan berpengaruh bagi pihak buruh dari sisi

pskologis, ekonomis, dan finansial sebab:

a. dengan adanya pemutusan hubungan kerja, buruh akan kehilangan mata

pencaharian.

Page 49: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

37

b. banyak mengeluarkan biaya untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai

penggantinya.

c. kehilangan biaya hidup untuk menghidupi anak dan keluarganya, selama

masa belum bekerja.77

Berakhirnya pemutusan hubungan kerja khususnya bagi buruh dan

keluarganya, Imam Soepomo berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja bagi

buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya

mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya tidak lagi mengidupi

kebutuhuan sehari-hari keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan

menyekolahkan anak-anaknya.78

3.2 Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Dalam sebuah literatur hukum ketenagakerjaan, secara teoritis dikenal

adanya 4 (empat) jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu :79

1. PHK demi hukum

Pada pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-undang tentang Ketenagakerjaan

mangatur putus demi hukum. Hubungan kerja yang putus demi hukum berarti putus

dengan sendirinya tanpa diperlukan adanya tindakan oleh salah satu pihak. Selain

itu, menurut pasal 1603 e KUH Perdata juga menetapkan bahwa :

“Hubungan kerja berakhir apabila waktu kerja demi hukum, jika habis

waktunya yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan

undang-undang atau semua itu tidak ada dalam kebiasaan.”

Pemutusan hubungan kerja demi hukum terjadi karena alasan batas waktu

yang telah disepakati telah berakhir, pekerja dalam masa percobaan, pekerja yang

mengajukan menugndurkan diri, pekerja mencapai pensiun dan meninggal dunia.80

77 Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Rineka Cipta :Jakarta, 1988)

hlm, 97. 78 Imam Soepomo, Op.Cit, hlm 124. 79 Soedarjadi, Op.Cit, hlm 84. 80 Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm 91.

Page 50: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

38

2. PHK oleh pekerja/buruh

Berakhirnya hubungan kerja yang diakibatkan oleh pekerja dapat terjadi

apabila pekerja mengundurkan diri atau membuat kesalahan dalam pekerjaan yang

menyebebkan terjadi kesalahan berat atau telah terdapat alasan yang mendesak.

Alasan-alasan mendesak dalam pasal 1603 n adalah keadaan yang sedemikian rupa

sehingga mengakibatkan bahwa pekerja tidak pantas lagi untuk meneruskan

hubungan kerja.81 Alasan-alasan mendesak dapat dianggap ada antara lain, tidak

membayar upah tepat waktu, buruh sakit dan tidak mampu melanjutkan pekerjaan,

jaminan sosial tidak diberikan, pengancaman tindak kekerasan kepada buruh.

3. PHK oleh majikan/pengusaha

Berakhirnya hubungan kerja yang dilakukan pengusaha adalah yang paling

sering terjadi karena kesalahan pihak pekerja ataupun kondisi perusahaan yang

diharuskan pekerja di putus hubungan kerja karena adanya masalah yang dihadapi

pengusaha dalam hal:82

a. Menghadapi kesalahan pekerja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;

b. Menghadapi perusahaan yang semakin menurun perkembanganya.

Lebih tepat lagi mengenai pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha

menurut pasal 158 ayat (1) yaitu, Melakukan penggelapan barang perusahaan,

memberikan keterangan palsu yang merugikan perusahaan, mabuk dan minuman

keras di area perusahaan, judi di area perusahaan, melakukan perbuatan asusila di

lingkungan perusahaan.

4. PHK oleh pengadilan

Yang terakhir berakhirnya hubungan kerja karena putusan pengadilan. Hal

ini diatur dalam pasal 61 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan yaitu berakhirnya hubungan

kerja karena adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Putusan pengadilan adalah penetapan yang pengadilan yang berkekuatan

hukum tetap yang diputuskan oleh pengadilan negeri atas permintaan dari yang

bersangkutan yaitu pihak pengusaha dan pekerja dengan alasan kepentingan

masing-masing pihak. Cara yang terakhir ini adalah akibat dari adanya sengketa

81 Ibid, hlm, 92. 82 Idid, hlm, 94.

Page 51: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

39

antara pengusaha dengan pekerja yang berlanjut sampai ke pengadilan, dan

datangnya perkara banyak dari kalangan pekerja.83

3.3. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Oleh Perusahaan

Pemberhentian karyawan atau Pemutusan Hubungan Kerja hendaknya

berdasarkan ketentuan Perundang-undangan yang ada agar tidak menimbulkan

permasalahan, dan dilaksanakan dengan cara sebaik-baiknya, sebagaimana saat

karyawan tersebut diterima saat pertama bekerja. Dengan demikian, hubungan

perusahaan dengan mantan karyawan akan tetap terjalin dengan baik. Akan tetapi

sering terjadi pemberhentian dengan cara pemecatan karyawan, karena konflik

yang tidak dapat diambil dengan jalan tengah lagi, yang seharusnya Pemutusan

Hubungan Kerja harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan karena

setiap karyawan harus mendapatkan perlindungan hukum.

Dikemukakan terdapat delapan alasan dalam pemutusan hubungan kerja

yaitu, karena undang-undang, pensiun, kehendak perusahaan, kehendak karyawan,

PKWT berakhir, kesehatan karyawan, meninggal dunia, dan perusahaan likuidasi.84

Perusahaan bisa kapan saja berkeinginan untuk memberhentikan karyawannya dari

perusahaan, baik secara terhormat ataupun dipecat. Permohonan izin untuk

Pemutusan Hubungan Kerja dapat diberlakukan dalam hal buruh melakukan

pelanggaran atau kesalahan besar, antara lain:

a. Memberikan keterangan palsu pada saat perjanjian kerja.

b. Melakukan tindak kejahatan dilingkungan perusahaan.

c. penganiayaan, terhadap pengusaha, keluarga pengusaha dan rekan kerja.

Pemberhentian karyawan berdasarkan keinginan perusahaan dapat terjadi

apabila karyawan tersebut sudah lanjut usia dan tidak menguntungkankan lagi

untuk perusahaan. karyawan tersebut sudah lanjut usia, dan tidak cakap lagi untuk

melakukan pekerjaan atau melakukan tindakan yang merugikan perusahaan seperti

menggelapkan uang perusahaan. keinginan perusahaan untuk memutus karyawan

tersebut disebabkan :

1. Karyawan sudah tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaanya.

83 Ibid, hlm, 167. 84 Imam soepomo, Op.Cit, hlm 174.

Page 52: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

40

2. Perilaku karyawan kurang baik dan tidak disiplin.

3. Melanggar peraturan dan tata tertib perusahaan.

4. Tidak dapat bekerja sama team work.

5. melakukan tindakan amoral dilingkungan perusahaan.

Ada beberapa cara yang dilakukan dalam proses memberhentikan karyawan

yaitu :

a. Adanya musyawarah antara karyawan dengan perusahaan.

b. Bila dengan musyawarah menemui jalan buntuk maka jalan terakhir adalah

melalui pengadilan atau instansi yang berwenang menyelesaikan masalah ini.

c. Bagi karyawan yang melakukan pelanggaran berat dapat diserahkan kepada

kepolisian tanpa menunggu informasi dari dinas terkait atau yang berwenang.

d. Bagi karyawan yang akan pensiun, dapat diselesaikan sesuai dengan

peraturan. Demikian pula untuk karyawan yang melakukan pengunduran diri

akan diatur dengan peraturan perusahaan atau peraturan perundang-undangan.

Beberapa factor penyebab Pemutusan Hubungan Kerja secara Yuridis dalam

UU Ketenagakerjaan, yang mana Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan

perusahaan disebabkan :

1. Perusahaan mengalami penurunan profit sehingga perlu rasionalisasi atau

pengurangan jumlah karyawan. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dengan

alasan rasionalisasi atau dalam kesalahan ringan pekerja/buruh dalam UU

Ketenagakerjaan, pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa

pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah agar mengupayakan agar tidak

terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam hal upaya tersebut telah dilakukan,

tetapi Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maka maksud

Pemutusan Hubungan Kerja wajib dirundingkan oleh perusahaan dengan

Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

2. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan melanggar peraturan

perusahaan ataupun melanggar ketentuan dari Perjanjian Bersama (PKB),

maupun kesalahan pidana. Pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerja

karena melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang penggantian

hak. Pemerintah telah mempertegas dengan factor banyak terjadinya

Pemutusan Hubungan Kerja dengan harapan banyak agar pengusaha tidak

Page 53: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

41

melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/buruh dengan

semena-mena dan melanggar hak buruh. Ada poin UU ketenagakerjaan

sebagaimana yang tercantum dalam pasal 153 ayat (1) poin ke (3) UU

Ketenagakerjaan adanya larangan pemberlakuan Pemutusan Hubungan Kerja

yaitu pekerja/buruh yang bersangkutan menjalankan ibadah yang

diperintahkan oleh agamanya. Disini terlihat kepedulian pemerintah dalam

memperjuangkan hak pekerja atau buruh untuk melaksanakan ibadah.

3.4. Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Akibat Pemutusan

Hubungan Kerja

Terjadinya tindakan pemutusan hubungan kerja yang alami pekerja maka

mulailah masa sulit bagi pekerja untuk kelanjutan masa depan keluarganya. Maka

dari itu untuk membantu dan menngurangi beban bagi karyawan yang terkena

Pemutusan Hubungan Kerja, undang-undang mengharuskan atau mewajibkan

pengusaha untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan dan uang

penggantian hak.

Alasan dilakukanya Pemutusan Hubungan Kerja berperan besar untuk

menentukan apakah pekerja tersebut berhak atau tidaknya uang pesangon, uang

penghargaan dan uang penggantian hak. Peraturan yang mengatur mengenai uang

pesangon, uang penggantian hak, dan uang penghargaan diatur dalam pasal 156,

pasal 160 sampai pasal 169 UU Ketenagakerjaan. Menurut UU Ketenagakerjaan,

pihak perusahaan dapat bertanggung jawab dalam berbagai kondisi seperti dibawah

ini:

1. Mengundurkan diri secara baik-baik dan atas kemauan sendiri.

2. Pengunduran diri secara tertulis karena berakhirnya hubungan kerja.

3. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.

4. Pekerja melakukan kesalahan berat.

5. Pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib.

6. Perusahaan pailit atau mengalami kerugian.

7. Pekerja mangkir terus menerus dari pekerjaanya.

8. Pekerja meninggal dunia.

9. Pekerja melakukan pelanggaran.

Page 54: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

42

10. Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan efisiensi.

Prints Darwan menjelaskan bahwa dengan adanya hubungan kerja, maka

pihak pekerja berhak atas upah sebagai imbalan atas pekerjaanya, sedangkan pihak

majikan/pengusaha berhak atas jasa/barang yang dari pekerjaaan yang dilakukan si

pekerja tersebut sesuai denga nisi perjanjian kerja yang disepakati kedua belah

pihak. Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak boleh

dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan harus sesuai dengan prosedur dan

hal-hal tertentu yang harus dipenuhi kedua belah pihak supaya Pemutusan

Hubungan Kerja yang terjadi tidak mencederai kedua belah pihak.85

Dengan diberhentikanya karyawan tentunya sangat berpengaruh terhadap

perusahaan terutama masalah dana. Karena pemberhentian karyawan

membutuhkan dana yang cukup besar untuk membayar uang pesangon,

penggantian hak dan membayar uang pension. Begitu juga saat merekrut karyawan

baru, perusahaam pun mengeluarkan dana untuk kompensasi dan pengembangan

karyawan baru. Dengan adanya pemberhentian tersebut tentunya juga sangat

berpengaruh bagi karyawan itu sendiri. Dengan diberhentikanya karyawan tersebut

tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan keluarganya secara maksimal. Atas dasar

tersebut, manajer sumber daya manusia harus sudah dapat memperhitungkan

berapa jumlah uang yang harus diterima oleh karyawan yang diberhentikan, agar

karyawan tersebut bisa memenuhi kebutuhanya samapai pada titik dianggap

cukup.86

3.5. Perhitungan Uang Pesangon Apabila Terjadi Pemutusan Hubungan Kerja

Uang Pesangon adalah uang yang diberikan kepada buruh saat waktu

terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh pihak majikan/perusahaan berdasarkn

atas lamanya si pekerja itu didalam perusahaan tersebut dan besar imbalan per jam.

Perhitungan uang pesangon yang ditetapkan berdasarkan pasal 156 ayat 2 UU

Ketenagakerjaan adalah :

a. masa kerja kurang dari 1 tahun = 1 bulan upah

b. masa kerja 1 tahun lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah

85 Prints Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesai, PT Citra Aditya. Bandung:2000. hlm 132. 86 Imam Soepomo, Op,Cit. hlm 137.

Page 55: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

43

c. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah

d. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah

e. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah

f. masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah

g. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah

h. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 bulan =8 bulan upah

i. masa kerja 8 tahun atau lebih = 9 bulan upah

3.6. Perhitungan Uang Penghargaan apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja

Perhitungan uang penghargaan juga diatur dalam pasala 156 ayat (3) UU

Ketenagakerjaan sebagai berikut :

a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 2 bulan upah

b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun = 3 bulan upah

c. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun = 4 bulan upah

d. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun = 5 bulan upah

e. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun = 6 bulan upah

f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun = 7 bulan upah

g. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun = 8 bulan upah

h. masa kerja 24 tahun atau lebih = 10 bulan upah.

3.7. Uang Penggantian Hak Yang Seharusnya Diterima Pekerja Apabila Terjadi

Pemutusan Hubungan Kerja

Uang penggantian hak yang seharusya diterima berdasarkan isi pasal 156

ayat (4) UU Ketenagakerjaan :

a. Cuti tahunan yang belum pernah di pakai dan belum gugur ;

b. Biaya ongkos pulang atau transpot pekerja dan keluarganya ke tempat

dimana pekerja diterima bekerja ;

c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%

dari uang masa kerja bagiyang memenuhi syarat ;

d. Hal-hal lain yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja, peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja Bersama.

Page 56: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

44

Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon,

uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang saharusnya diterima

yang tertunda, terdiri atas upah pokok, segala macam bentuk tunjangan yang

bersifat tetap yang diberikan pada pekerja serta keluarganya.

3.8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004.

Sejalan dengan era demokratisasi, pemerintah telah mengundangkan UU

PPHI. Lingkup perselisihan yang terjadi tidak akan terlalu kompleks, yakni berkisar

mengenai keanggotaan, keabsahan atau kewenangan dari serikat pekerja/serikat

buruh tersebut dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan pihak pengusaha.

Sama halnya dengan perselisihan kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja ini

di tingkat pertama dan terakhir ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada

Peradilan Umum. Hal ini dimaksudkan untuk tercapainya peradilan yang cepat,

murah dan biaya ringan (justice delayed, justice denied).87

Menurut UU PPHI pada prinsipnya penyelesaian perselisihan hubungan

industrial dapat ditempuh melalui dua alternatif, yaitu:

a. Menyerahkan perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan

pemisah. Penyelesaian seperti ini disebut juga dengan penyelesaian sukarela

(voluntary arbitration), yaitu dapat melalui mediasi, konsiliasi, dan

arbitrase.

b. Menyerahkan perselisihan itu kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian ini lazim disebut penyelesaian wajib (compulsory arbitration).

Pada dasarnya setiap perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan

secara bipartit sebelum mencapai pada tingkat Pengadilan Hubungan Industrial.

Para pihak dalam bipartit ini terdiri dari wakil pengusaha dan wakil pekerja dan

atau serikat pekerja. Bila dalam hal perusahaan belum terbentuk serikat pekerja,

wakil pekerja di bipartit dipilih mewakili unit-unit kerja dan atau kelompok

87 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2001, hlm. 11.

Page 57: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

45

profesional. Bila terdapat lebih dari satu serikat pekerja, wakil mereka di bipartit

ditetapkan secara proporsional.

Kesepakatan atau kompromi yang dicapai di bipartit dirumuskan dalam

bentuk persetujuan bersama dan ditandatangani oleh para pihak yang berselisih.

Bila satu pihak tidak melaksanakan persetujuan bersama tersebut, pihak yang

dirugikan dapat mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan

Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri setempat walaupun tidak diatur secara

khusus dalam undang-undang, serikat-serikat pekerja di perusahaan dapat

membentuk forum komunikasi antar serikat pekerja. Penyelesaian perselisihan

antar serikat pekerja dianjurkan dilakukan secara bipartit dalam forum ini bila

mereka enggan menyelesaikan di bipartit yang telah ada.

Apabila secara bipartit gagal, maka para pihak atau salah satu pihak dapat

menempuh alternatif penyelesaian secara tripartit melalui penyelesaian sukarela

(voluntary arbitration) yang terdiri dari mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

Apabila penyelesaian secara bipartit maupun secara tripartit (sukarela) juga

gagal, maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui

Pengadilan Hubungan Industrial sebagai badan atau wadah yang memberikan

keadilan, sedangkan peradilan menunjukkan pada proses memberikan keadilan

dalam rangka menegakkan hukum. Dalam rangka memberikan keadilan dalam

penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2004 mengatur bentuk penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial

yang dapat ditempuh melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial.

Page 58: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

46

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS

PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN

OLEH PEMBERI KERJA DAN KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP

PEMBERI KERJA YANG MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN

KERJA SETELAH ADANYA PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-

UNDANG KETENAGAKERJAAN

4.1. Perlindungan hukum pekerja atas pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan

oleh pemberi kerja.

Menurut Pasal 56 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah membagi perjanjian

kerja menjadi dua macam, yaitu : a) perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan

perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Perjanjan kerja waktu tertentu

sering disebut dengan perjanjian kontrak atau perjanjian tidak tetap, maka dari itu

status dari pekerja dalam perjanjian ini adalah pekerja tidak tetap atau pekerja

kontrak.

Pengaturan yang menjelaskan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu

terdapat dalam UU Ketenagakerjaan khususnya pada pasal 56 sampai pasal 59 dan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.100/MEN/VI/2004. Dalam perjanjian kerja waktu tertentu telah tertulis bahwa

ada suatu jangka waktu yang ditetapkan untuk berapa lamanya hubungan kerja

antara buruh/pekerja dengan pengusaha. Untuk syarat kerja yang diperjanjikan

dalam perjanjian kerja waktu tertentu tidak boleh lebih rendah dari pada ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

Perjanjian kerja waktu tertentu, hanya memiliki jangka waktu maksimal tiga

tahun dan tidak boleh diperpanjang lagi. Apabila suatu pekerjaan dilakukan lebih

dari batas maksimal tiga tahun maka secara otomatis yang terjadi adalah pekerja

tersebut menjadia karyawan tetap dan perjanjian kerjanya berubah menjadi

Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).

Ruang lingkup PKWT menurut Kepmen 100/2004 meliputi :

Page 59: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

47

1. PKWT untuk pekerjaan yang hanya sekali selesai atau sementara sifatnya yang

mempunyai penyelesaian paling lama tiga tahun.

a. PKWT untuk yang penyelesaianya hanya sekali atau sementara sifatnya

adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.

b. PKWT sebagaimana yang dimaksud pada butir a dubuat untuk paling lama

tiga thaun.

c. Dalam hal pada pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT

sebagaimana dimaksud pada butir a dapat diselesaikan lebih cepat dari yang

diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya

pekerjaan.

d. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus

dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.

e. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan namun dalam

kondisi belum terselesaikanya pekerjaan tersebut, maka dapat dilakukan

pembaharuan PKWT.

f. Pembaharun yang dimaksud dalam butir e dilakukan setelah melebihi masa

tenggang 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.

g. Selama tenggang waktu 30 hari sebagaimana butur f tidak ada hubungan

kerja antara buruh/pekerja dan pengusaha.

2. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman.

a. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang dilaksanakan

tergantung pada musim atau cuaca.

b. PKWT yang dimaksud dalam butur a hanya dapat dilakukan untuk satu jenis

pekerjaan di musim tertentu.

c. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau

memenuhi target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan

musiman.

d. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana yang di dalam butir a

hanya diberlakukan untuk buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan

tambahan.

Page 60: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

48

3. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru.

a. PKWT dapat dilakukan dengan buruh/pekerja untuk dapat melakukan

pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau

produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

b. PKWT sebagaiman yang dimakasud dalam butir a hanya dapat dilakukan

paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang sekali paling lama satu

tahun.

c. PKWT sebagaimana yang disebutkan dalam butir a tidak dapat dilakukan

pemabaharuan.

d. PKWT yang disebutkan dalam butir a dan butir b hanya boleh

diberlakukan bagi buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan diluar

kegiatan yang biasa dilakukan di perusahaan.

Secara umum perlindungan terhadap pekerja telah diatur dalam UU

Ketenagakerjaan. Namun yang terjadi belakangan ini dalam masyarakat banyak

terjadi keresahan terutama tentang buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan

dengan system kontrak. Keresahan ini timbul karena dalam kenyataanya banyak

terjadi perbedaan yang mencolok yang diterima oleh pekerja dengan system

kontrak jika dibandingkan dengan pekerja tetap. Banyak pekerja yang sudah

bertahun-tahun tetapi tidak diangkat menjadi karyawan tetap. Dengan demikian

mereka hanya menerima upah dan tidak mendapatkan bonus dan tunjangan lainya.

Jika dilihat dalam ketentuan yang terdapat pada UU Ketenagakerjaan,

pelaksanaan pekerjaan dengan sistem kontrak bukanlah hal yang dilarang, karena

pada kenyataanya ada dua bentuk pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu yang

di paraktekan, yaitu ada PKWT yang dilakukan antara pekerja dan perusahaan

penyedia jasa tenaga kerja dimana pada PKWT yang dilakukan antara

buruh/pekerja dengan perusahaan penyedia tenaga kerja ini lebih dikenal istilah

outsourching. Disamping itu, terdapat PKWT yang dilakukan oleh buruh/pekerja

dengan perusahaan secara langsung, tanpa melalui perusahaan penyedia jasa tenaga

kerja, pada PKWT yang dilakukan antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja,

pekerja menjadi karyawan dalam suatu perusahan yang mempekerjakan mereka,

hanya saja mereka dipekerjakan dalam jangka waktu tertentu.

Page 61: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

49

Sebenarnya jika dilihat dalam UU Ketenagakerjaan sudah ada perlindungan

yang diberikan terhadap buruh/pekerja, termasuk mereka yang bekerja sebagai

sistem kontrak atau PKWT. Hanya saja penerapan dalam kenyataan di lapangan

tidak semua yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang ada, terutama yang terkait dengan ketenagakerjaan. Perlindungan

tenaga kerja sebagaimana yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan ini

bertujuan untuk menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara

pengusaha dan pekerja/buruh tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak

pengusaha yang mempunyai power kepada pihak pekerja/buruh yang lemah. maka

dari itu pengusaha yang secara sosial-ekonomi memiliki kedudukan yang lebih kuat

wajib membantu melaksanakan ketentuan perlindungan susuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Apabila dalam pelaksanaanya, pengusaha yang memakai buruh/pekerja

dengan sistem PKWT tetapi tidak mamatuhi ketentuan yang diatur pada pasal 59

ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut, terdapat sanksi yang akan diterima oleh

pengusaha yang juga merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan

oleh UU Ketenagakerjaan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (7) UU

Ketenagakerjaan yang berbunyi : “perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2). ayat (4), ayat

(5) dan ayat(6), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.

Suatu perjanjian kerja dapat diadakan untuk waktu tertentu (PKWT) dan

untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Masalah perpanjangan tidak menjadi

persoalan pada PKWTT dikarenakan perjanjian kerja akan terus berlanjut hingga

masa kontrak berakhir. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang perpanjangan

PKWTT, karena PKWTT tidak mungkin ada perpanjangan karena buruh/pekerja

sudah menjadi karyawan tetap, lain halnya untuk PKWT.

Suatu PKWT dapat dilaksanakan paling lama dua tahun dan dapat

diperpanjang satu kali yaitu paling lama satu tahun.88 PKWT berakhir jika memang

waktunya sudah habis. Perjanjian kerja yang sudah habis waktunya dapat

diperpanjang. Jika dalam perusahaan ingin melakukan perpanjang pada

karyawannya yaitu tujuh hari sebelum masa kontrak habis harus sudah diberitakan

88 Pasal 59 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Page 62: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

50

kepada buruh/pekerja tersebut secara tertulis. Bagi buruh/pekerja yang terikat

PKWTT lebih menguntungkan dari pada dibandingkan terikat PKWT dilihat dari

berakhirnya perjanjian kerja, karena PKWTT tidak ada jangka waktu untuk

berakhirnya suatu perjanjian kerja terkecuali melakukan suatu pelanggaran berat

dan pensiun yang menyebabkan buruh/karyawan tersebut di PHK. Jadi PKWT

paling lama hanya berlangsung tiga tahun, sedangkan PKWTT bisa lebih lama lagi

dari PKWT. Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menjelaskan berkahirnya suatu

perjanjian apabila : (a) pekerja meninggal dunia, (b) telah berkhirnya jangka waktu

perjanjian-kerja, (c) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap, (d) adanya suatu keadaan dan kejadian tertentu yang

dicantumkan di perjanjian-kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama yang menyebabkan berkahirnya hubungan kerja.

Jika suatu perpanjangan diperjanjikan diketahui kedua belah pihak, hal ini

tidak akan timbul suatu masalah. Lain halnya jika perpanjangan dilakukan secara

diam-diam. Dengan demikian, hubungan kerja dinilai dapat diadakan lagi untuk

waktu paling lama satu tahun dengan syarat yang sama. Menurut pasal 59 ayat (5)

UU ketenagakerjaan dijelaskan bahwa “ pengusaha yang bermaksud

memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari

sebelum berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu sudah memberitahukan

maksudnya secara tertulis kepada buruh/pekerja yang bersangkutan”. Penulis

mengartikan bahwa roh dari pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan tersebut dapat

dimaknai bahwa perjanian-kerja yang lama masih berlaku terus, jika dalam suatu

perpanjangan dilakukan menurut aturan. Konsekwensi yang paling penting adalah

bahwa yang diperjanjikan dalam perjanjian yang disyaratkan harus tertulis tidak

perlu di tetapkan kembali, tetapi dengan syarat harus secara tertulis memberitahu

maksud untuk memperpanjang hubungan-kerja kepada buruh/pekerja dengan

jangka waktu paling lama tujuh hari sebelum berakhirnya perjanjian kerja. Jika

syarat ini tidak terpenuhi, utamanya harus memberitahu secara tertulis, maka

PKWT beralih menjadi PKWTT. Alasanya, pemberitahuan secara tertulis itu

diartikan sama saja membuat perjanjian kerja secara tertulis. Menurut pasal 57 ayat

Page 63: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

51

(2) UU ketenagakerjaan dinyatakan bahwa perjanjian-kerja yang tidak dibuat

secara tertulis maka berubah menjadi PKWTT.

UU Ketenagakerjaan hanya mengatur masalah pemberitahuan

perpanjangan perjanjian kerja, tetapi tidak mengatur tentang masalah

pemberitahuan pemutusan hubungan kerja demi hukum. Mengenai putusnya

hubungan kerja demi hukum dalam hal waktunya telah habis, penulis condong

untuk mensyaratkan bahwa dengan lewatnya waktu yang ditentukan itu, bahwa

habislah juga pekerjaan yang dilakukan oleh buruh/pekerja tersebut dan pengusaha

tidak ada lagi mempekerjaakan lagi di bagian lain di perusahaannya. Jika Pekerjaan

itu masih harus diteruskan, seharusnya buruh/pekerja masih harus melanjutkan

pekerjaanya. Kecuali pekerjaan yang diposisikan buruh/pekerja sudah tidak ada dan

pengusaha tidak bisa menempatkan di bagian lain, artinya sudah tidak ada lagi

pekerjaan untuk buruh/pekerja, maka hubungan-kerja putus. Dengan demikian,

pengusaha berkewajiban untuk memberitahukan kepada buruh/pekerja bahwa akan

diadakan pemutusan hubungan kerja. Hal seperti ini dimaksudkan untuk menjaga

buruh/pekerja untuk melakukan persiapan untuk mencari pekerjaan baru dan

mempersiapkan mental mengahapi pemutusan kerjanya. Pemberitahuan ini bukan

merupakan syarat putus tidaknya hubungan kerja tersebut, melainkan untuk

membantu buruh/pekerja.

Bagaimana jika ada suatu perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak

kepada pekerjanya, sementara pekerjanya tidak mau dan pekerjaan belum selesai.

Persoalan seperti ini dapat dijawab dengan ditanyakan terlebih dulu tentang status

buruh/pekerja. Jika pekerja tersebut adalah pekerja yang terikat PKWT maka perlu

di ketahui apakah Perjanjian-kerja dalam PKWT termasuk (a) PKWT yang

didasarkan atas selesainya pekerjaan tersebut, atau (b) PKWT yang bersifat

musiman, atau (c) PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk

baru. 89 Jika PKWT yang dibuat sesuai selesainya pekerjaan tertentu, maka

perjanjian-kerja tidak boleh dihentikan oleh siapapun sebelum pekerjaan yang

disepakati itu selesai. Namun, jika pekerjaan tersebut dapat diselesaikan lebih cepat

dari yang diperjanjikan, maka PKWT putus demi hukum. Dan begitu juga jika

pekerjaan tidak dapat diselesaikan karena kondisi tertentu, sedangkan waktu yang

89 KEPMENAKERTRANS Nomor KEP.100/MEN/IV/2004.

Page 64: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

52

diperjanjikan sudah jatuh tempo maka dapat dilakukan pembaharuan dan PKWT

dapat diperpanjang oleh perusahaan. Oleh kerena itu, jika buruh/pekerja terebut

menolak untuk diperpanjang perjanjian kerjanya dapat dianggap mengundurkan

diri dan dapat dikenakan memberi ganti rugi ke perusahaan. Selanjutnya, jika

perjanjian-kerja ditentukan berdasarkan musim, tidak dapat dilakukan

pembaharuan. jadi, PKWT seperti ini sangat ditentukan oleh musim. Demikian juga

PKWT yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk

tambahan yang masih dalam percobaan juga tidak dapat dilakukan pembaharuan.

Pengusaha yang nakal selalu ingin mengikat pekerjanya dengan PKWT saja.

Oleh karena perjanjian yang kedua kali tidak diijinkan oleh UU Ketenagakerjaan,

maka PKWT yang lebih dari tiga tahun ingin diperpanjang dengan cara tidak

menyebut perpanjangan PKWT tetapi mereka menyebut dengan pembaharuan

PKWT.

UU Ketenagakerjaan mengantisipasi pengusaha nakal yang memainkan

PKWT tersebut dengan menetapkan bahwa suatu pembaharuan PKWT hanya dapat

diadakan setelah melebihi tenggang waktu 30 hari itu, tidak ada hubungan kerja

antara buruh/pekerja dengan pengusaha. Para pihak dapat mengatur lain dari

ketentuan diatas yang dituangkan dalam perjanjian.90

Van Der Griten berpendapat mengenai pembaharuan seperti yang dikutip

imam soepomo. Van Der Griten berpendapat bahwa tidak satu pihak pun

berwenang merubah secara sepihak mengadakan perubahan dalam suatu perjanjian

kerja. Dalam tindakan sepihak ini adalah wewenang pihak lainya untuk memutus

hubungan kerjanya dengan pernyataan pengakhiran. Imam Soepomo berpendapat,

bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan azas hendak melindungi buruh.

Buruh yang merasa dirugikan itu harus menuntut dimuka pengadilan agar

perubahan tersebut dibatalkan. Tiap perjanjian yang dirubah tanpa kesepakatan

kedua belah pihak, pihak lainya dapat menuntut supaya ditiadakan yang salahnya,

dan harus dibetulkan. Pembetulan itu dapat berupa pembatalan dari tindakan yang

salah atau pembayaran ganti rugi. Lebih-lebih dalam hukum perburuhan, dimana

terdapat asas melindungi buruh. Memberi alternative supaya buruh memutusakan

90 Mohd. Syaufii Syamsudin, Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial. Jakarta : Sarana

Bhakti Persada, 2004. hlm 202.

Page 65: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

53

hubungan kerja dan membiarkan tindakan yang salah itu tetap berlangsung dan

tunduk pada tindakan yang salah itu.91

Hakim telah menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi yaitu Yuan

Agusta, pertimbangan hakim bahwa putusan Judex Facti tidak sesuai dengan fakta

hukum yang muncul di persidangan. Berdasarkan fakta hukum penggugat telah

melakukan kesalahan dan telah mendapatkan Surat Peringatan dari Tergugat. Untuk

memberikan putusan yang berkeadilan dalam perkara a quo, dan oleh karena

pemutusan hubungan kerja haruslah mempunyai landasan atau pijakan hukum,

maka setelah melihat fakta-fakta dan bukti-bukti dipersidangan, serta seluruh

pertimbangan yang telah dipertimbangkan di atas, Majelis berpendapat bahwa

pemutusan hubungan kerja dalam perkara a quo adalah pemutusan hubungan kerja

karena kesalahan sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13

tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Penulis berpendapat bahwa pengaturan tentang akibat perpanjangan dan

pembaharuan PKWT yang tidak memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 59 UU

Ketenagakerjaan lebih menguntungkan buruh/pekerja dari pada pendapat para ahli

yaitu Van Der Gruten dan Imam Soepomo. Sebab, buruh/pekerja yang berurusan

untuk menuntut haknya dipengadilan rupa-rupanya seperti menegakan benang

basah alias mustahil mendapatkan perhatian. Lain halnya jika sebagai akibat

persyaratan yang tidak terpenuhi dalam perpanjangan perjanjian kerja atau

pembaharuan perjanjian kerja, demi hukum PKWT menjadi PKWTT. Bagi

buruh/pekerja yang penting bukan mendapat ganti rugi yang hanya dinikmati sesaat,

tetapi msih tetap bekerja di perusahaan itu. karena dengan masih tetap bekerja

merupakan sinyal bahwa buruh/pekerja dapat menghidupi dirinya dan keluarganya

dalam jangka waktu kedepan.

Bagaimana jika perjanjian kerja diadakan perpanjangan bersamaan dengan

pembaharuan dan diadakan terus menerus berulang kali. Dalam contoh kasus,

misalnya si B adalah buruh/pekerja yang terikat dalam PKWT selama dua tahun.

91 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja. Djakarta: Direktorat Peralatan MABAK, 1968. hlm 82.

Page 66: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

54

Lalu PKWT si B diperpanjang lagi satu tahun. Dan setelah perpanjang PKWT

selesai, si B diberhentikan. Kemudian si B dipekerjakan kembali dengan memakai

istilah telah diperbaharui dengan system PKWT selama satu tahun. Hal tersebut

terjadi berulang kali sehingga si B tidak pernah menjadi buruh/pekerja dengan

status tetap atau PKWTT. Sama dengan kasus yang penulis ambil diatas yaitu Yuan

Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan tanggal

31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah berganti bagian

sebanyak 11 kali, setiap tahun sekali perjanjian kontrak PKWT selalu dibuat, dan

setiap kali masa kontrak berakhir Penggugat diminta untuk membuat surat lamaran

kerja baru secara lisan oleh Tergugat serta kemudian baru dibuat surat perjanjian

kerja baru.

Jika terjadi perpanjangan bersamaan pembaharuan dan terjadi berulang kali,

maka jawabanya ada di pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Pasal ini sudah jelas

mengatur bahwa PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui. Berdasarkan pasal

tersebut sangat jelas bahwa yang dimaksud pasal tersebut adalah kata atau bukan

kata dan. Dengan demikian bagi PKWT yang masa kontraknya habis, perusahaan

dapat memilih untuk memperpanjang atau memperbaharui perjanjian kerja tersebut.

Dalam hal ini, berdasarkan bunyi pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut

tidak dapat menerapkan perpanjangan sekaligus pembaharuan perjanjian kerja.

Pelanggaran ketentuan ini berakibat PKWT berubah menjadi PKWTT.

4.2. Konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan Pemutusan

Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan.

Jangka waktu tertentu untuk PKWT tersebut diatur dalam pasal 59 ayat (4)

UU Ketenagakerjaan yang menjelaskan untuk paling lama dua tahun dan boleh di

perpanjang hanya satu kali untuk paling lama satu tahun. Mengenai perjanjian

tertentu pengusaha hanya boleh mempekerjakan karyawan kontrak berdasarkan

pada empat jenis dan sifat pekerjaan saja, hal seperti ini seharusnya pengusaha sadar

bahwa hukum itu melindungi para buruh/pekerja untuk dihargai dan diberi

kelayakan sebagai seorang pekerja untuk menghidupi dan mensejahterakan

Page 67: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

55

keluarganya, pengusaha selayaknya harus mempunyai rasa manusiawi agar saling

menghormati sesama manusia.

Pada penelitian in, karyawan kontrak yang kontrak kerjanya tidak sesuai

dengan UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu

tertentu (PKWT) dapat dibuat paling lama dua tahun dan dapat diperbaharui untuk

paling lama satu tahun. Namun, yang terjadi dilapangan perjanjian kerja waktu

tertentu itu diawali dengan masa training (percobaan) selama tiga bulan atau

mungkin bisa kurang dari itu. Setelah itu baru dilakukan kontrak pertama selama

enam bulan atau satu tahun yang diperpanjang selama tiga tahun. Berdasarkan

Undang-undang Ketenagakerjaan untuk PKWT yang dibuat seperti ini jelas

melanggar hukum.

Pertama mengenai masa training yang tidak dikenal didalam UU

Ketenagakerjaan. Kedua mengenai masa percobaan karena masa percobaan hanya

untuk dilakukan untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Dalam pasal

58 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perjanjian kerja waktu

tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan kerja dan jika terjadi

maka batal demi hukum. Ketiga yaitu mengenai PKWT yang berulang lebih dari

satu kali dan atau PKWT yang sudah melebihi jangka waktu yang sudah ditentukan

yaitu hanya untuk tiga tahun, maka untuk perjanjian kerja waktu tertentu yang

melebihi tiga tahun dan atau PKWT yang diperpanjang lebih dari satu kali secara

hukum karyawan yang bersangkutan otomatis menjadi PKWTT atau karyawan

tetap, akan tetapi praktek dilapangan tidak seperti itu.

Sangat kurangnya pemahaman masyarakat khususnya karyawan disebuah

perusahaan swasta terhadap aturan ketenagakerjaan sangat memungkinkan

terjadinya penyimpangan ketidakadilan dan pelanggaran hukum yang dilegalkan

dan membutuhkan waktu yang sangat Panjang atau mungkin bisa berlangsung

permanen, padahal jika ditinjau dari undang-undang ketenagakerjaan sanksi yang

diberikan bagi perusahaan dan perorangan yang melanggar undang-undang tersebut

sangatlah berat.

Jadi perlindungan untuk pekerja memang ada di UU ketenagakerjaan

sebagai dasar hukum untuk mengadukan kepada pihak yang bertanggung jawab

atas permasalahan perburuhan. Karena pada kasus seperti ini harusnya

Page 68: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

56

pekerja/buruh harus bisa memahami dan tidak berdiam diri jika sebuah perusahaan

bertindak sewenang-wenang kepada pekerja/buruh. Perlunya pengetahuan dan

keberanian untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang bisa menolong

para kaum buruh agar bisa di proses pada pihak yang berwajib.

Page 69: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

57

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Pertimbangan hakim menolak pemohon kasasi yakni Penggugat terhadap

putusan ini melihat kepada bukti-bukti secara fakta di persidangan, bahwa

Penggugat di putus kontraknya karena memang kesalahan penggugat sendiri karena

performa kerjanya dianggap menurun, dan telah melakukan kesalahan sehingga

Penggugat dikenakan Surat Peringatan oleh Tergugat. Bahwa menurut penulis

majelis hakim tidak memperhatikan alasan kenapa Tergugat telah di PHK,

sedangkan jelas disitu Penggugat sudah jelas telah bekerja selama 11 tahun dan

tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap atau PKWTT. Bahwa sudah jelas di

pasal 59 UU Ketenagakerjaan sudah mengatur tentang Perjanjian kerja waktu

tertentu, dan majelis hakim tidak menimbang kesalahan Tergugat di posisi itu.

Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam kasus ini pada

pelaksanaanya belum berjalan sebagaimana yang diatur dalam UU

Ketenagakerjaan karena tenaga kerja waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan

utama yang sifatnya terus menerus dimana pekerjaan seperti itu dilakukan oleh

karyawan tetap. Tidak adanya perlindungan mengenai jangka waktu dalam

perjanjian kerja sebagai mana ditaur dalam pasal 59 ayat (2) dan ayat (4) UU

Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk

pekerjaan yang bersifat tetap serta jangka waktu tiga tahun dengan setiap satu tahun

sekali dilakukan perpanjangan kontrak. Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan juga

menafsirkan yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap pasal 59 ayat (2) dan

ayat (4) UU Ketenagakerjaan ini akan berakibat PKWT tersebut demi hukum

berubah menjadi PKWTT. Dalam praktek perjanjian kerja ini yang dilakukan

Martono Saputro selaku General Manager terjadi selama 11 tahun dengan

memberikan kontrak kerja paling lama tahun, dan diperpanjang dua sampai paling

banyak tiga kali, kemudian mengganti bagian pekerjaan dan mengadakan kontrak

baru lagi sampai seterusnya tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Jika

terjadi kasus seperti ini, perlindungan hukumnya sudah ada, dan sangat jelas bahwa

Page 70: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

58

dalam pasal tersebut sudah mengatur bagaimana PKWT diperlakukan, tapi

menurut penulis antara kedua belah pihak ada unsur saling membutuhkan, satu sisi

pengusaha membutuhkan karyawan tapi tidak mau menjadikan karyawan tetap,

disisi lain karyawan membutuhkan pekerjaan tersebut untuk menghidupi

keluarganya meskipun terus menerus menjadi karyawan kontrak tanpa menjadi

karyawan tetap atau PKWTT. Selanjutnya penulis berpendapat bahwa didalam

sebuah perusahaan harus ada serikat buruh atau serikat pekerja untuk melindungi

hak-hak pekerjanya, untuk mengawasi pengusaha yang melakukan tindakan yang

merugikan pekerjanya. jadi organisasi serikat pekerja sangatlah penting di bentuk

dalam suatu perusahaan, apalagi ada kasus karyawan yang di kontrak terus menerus

tanpa diangkat menjadi karyawan tetap, kasus seperti ini sangat mungkin akan

dibawa atau diselesaikan melalui pengadilan atau diluar pengadilan jika terdapat

organisasi serikat pekerjanya. Menurut penulis perlu juga memberi sanksi lebih

tegas pada pihak pengusaha di UU PPHI agar tidak tidak melakukan tindakan

sewenang-wenang kepada pekerja/buruh.

Yang menjadi permasalahan adalah setiap tahunya pekerja hotel sahid haya

solo di buatkan perjanjian baru dan diputus kontrak sementara untuk mngakali pasal

59 UU Ketenagakerjaan ini. Dilihat dari pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan

juga menjelaskan bahwa adanya masa pembaharuan yang jangka tenggang waktu

nya 30 hari dan hanya boleh dilakukan maksimal dua tahun. Disini sudah jelas

bahwa masa pembaharuan mempunyai tenggang waktu bukan langsung

dipekerjakan setelah masa kontrak habis, lagi-lagi perlindungan hukumnya jelas

sudah ada, menurut penulis harus ditambahkan kata “tidak boleh dilakukan kontrak

baru lagi di perusahaan tersebut setelah masa kontrak berakhir” pada pasal 59 UU

Ketenagakerjaan ini. Di lihat dari sudut pandang pekerja, sistem kontrak seperti ini

menjadi momok yang menakutkan dan sangat merugikan mereka, mempunyai rasa

takut akan kehilangan pekerjaan, tingkat kesejahteraan yang sangat kurang dan

perlindungan syarat kerja yang jauh dari seharusnya diberikan yang dapat

merugikan pekerja. semua hal seperti ini tidak sesuai dengan peraturan UU

ketenagakerjaan. Perusahaan seharusnya memberikan perlindungan kepada

pekerjanya dengan memenuhi syarat-syarat sesusai dengan peraturan yang berlaku,

perlu adanya pengawasan, sebaiknya setiap pegawai pengawas yang berwenang di

Page 71: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

59

bidang ini melakukan penindakan langsung terhadap pelanggaran yang terjadi.

Penulis memberi masukan seharusnya dari sisi pengusaha mengikuti ketentuan

secara normatif terkait pemberian pesangon sesuai Pasal 156 ayat (1) sampai (5)

UU Ketenagakerjaan.

5.2. Saran

Bagi pekerja harusnya lebih bisa memberanikan diri melaporkan hal-hal

yang merugikan dirinya sendiri pada pihak yang bisa membantu pekerja untuk

melindungi hak-haknya bukan malah membiarkan pengusaha bertindak sesuka hati,

karena PKWT terus-menerus adalah perbudakan di jaman modern yang bisa

membuat buruh terjajah. Harus adanya organisasi Serikat buruh/Serikat pekerja

untuk melindungi hak-hak setiap buruh dan kesejahteraan buruh tetap utuh seperti

sila ke-5 yaitu Kedilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bahwa rakyat

indonsesia membutuhkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Di perlukan adanya

peratuaran yang lebih tegas lagi kepada pengusaha jika melanggar peraturan terkait

memperlakukan pekerja yang tidak semestinya. Serta pemberi kerja wajib untuk

bisa memahami tentang perjanjian kerja sehingga tidak akan terjadi pelanggaran

seperti itu.

Page 72: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

60

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, K. (2014). Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti.

Asyhadie, Z. (2008). Hukum Kerja . Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bambang, R. j. (2013 Cet 1). Hukum Ketenagakerjaan. Bandung: Pustaka Setia.

BPHN, T. N. (1985). Naskah Akademik Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta:

Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Darwan, P. (2000). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra

Aditya.

Djamali, A. (2014). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Djumialdji, F. (2006). Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika .

Fahrojih, i. (2004). Hukum Perburuhan. Malang: Setara Press.

Harahap, M. Y. (1986). Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.

HS, S. (2002). Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika.

Husni, L. (2008 Edisi ke VIII). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Jehani, L. (2007). Hak-hak Karyawan Kontrak. Jakarta: Forum Sahabat.

Jehani, L. (2007). Hak-hak Pekerja Bila di PHK. Tangerang: Visi Media.

Jehani, L. (2007). Hak-hak Pekerja Bila di PHK. Tangerang: Visi Media.

Jehani, L. (n.d.). Hak-hak Karyawan Kontrak.

Jehani, L. (n.d.). Hak-hak Karyawan Kontrak. Tangerang: visi media.

Kasim, U. (2004). Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja. Informasi

hukum Vol.2.

Kelsen, H. (2007). Teori Hukum Murni. Bandung: Nusamedia.

KEPMEN No.100/MEN/VI/2004. (n.d.).

Kitab Undang Undang Hukum Perdata. (Cetakan ke II tahun 2014). Pustaka

Buana.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Cetakan 11 tahun 2014). Pustaka Buana.

Kosidin, k. (1999). Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, peraturan

perusahaan. Bandung: Mandar Maju.

Mamudji, S. S. (2007). Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan singkat.

jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Page 73: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

61

Manulang. (1988). Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta:

Rineka Cipta.

Miru, A. (2011). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT. Raja

Grafindo persada.

Muhammad, A. (1993). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muhammad, A. (2004). Hukum dan Penelitian hukum. Bandung: Citra Aditya

Bakti.

Muhammad, N. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Patrik, P. (1994). Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju.

Rasyad, A. (2005). Persiapan Bagi Peneliti. Pekanbaru : UNRI Press.

Ridwan, H. (1948). Hukum Peburuhan Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

sapoetra, K. (1992). Hukum Perburuhan di indonesia Berlandaskan Pancasila.

jakarta: Sinar Grafika.

Simanjuntak, P. J. (Edisi ke-3 2009). Manajemen hubungan Industrial. Jakarta:

Jala Permata Aksara.

Simorangkir, J. (1987). Kamus Hukum . Jakarta : Aksara jawa.

Soedarjadi. (2009). Hak dan Kewajiban Pekerja-pengusaha. Yoyakarta: Pustaka

Yustisia.

Soejono, F. D. (1985). Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan

Pancasila. Jakarta : Bina Aksara.

Soekanto, S. (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Soepomo, I. (1968). Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja.

Jakarta : Direktorat Peralatan MABAK.

Soepomo, I. (1974). Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. jakarta:

Djambatan.

Soepomo, I. (1983). Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja.

Bandung: Djambatan.

Subekti. (1985). Aneka Perjanjian. Bandung : Penerbit alumni.

Subekti. (2005). Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa.

Subekti, R. (1985). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Syafiuddin, M. (2012). Hukum kontrak. bandung: CV. Mandar Maju .

Page 74: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …

62

Syafiuddin, M. (2012). Hukum kontrak memahami kontrak dalam persprktif

filsafat, teori, dogmatis, dan praktik hukum. bandung: mandar maju.

Syaifuddin, M. (n.d.). Hukum kontrak.

Syamsudin, M. S. (2004). Norma perlindungan dalam Hubungan Industrial.

jakarta: Sarana Bhakti Persada.

Upah Pekerja Selama Proses PHK Seringkali Tak Dibayar. (2019, September 5).

Retrieved from www.hukumonline.com.

Wijayanti, A. (2009). Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar

Grafika.

Yustisia, T. v. (2016 Cetakan kedua). Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Jakarta selatan: Visimedia.

Zaenal, A. (2012). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Rajawali Press.