“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …
Transcript of “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN …
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS
PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”
SKRIPSI
Disusun oleh :
FRENGKI PERIAN 017201605008
FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
CIKARANG JANUARI, 2020
i
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT
OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”
SKRIPSI Diajukan sebagai tugas akhir
dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana Hukum
FRENGKI PERIAN 017201605008
FAKULTAS HUKUM HUMANIORA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
CIKARANG JANUARI, 2020
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunianya kepada penulis. Akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG
DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404
K/PDT.SUS-PHI/2014)” skripsi ini merupakan persyaratan untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Universitas President. Penulis banyak
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah rela menjadi
narasumber, penulis skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya kerja sama semua
pihak yang turut membantu dalam proses menyelesaikan skripsi ini, untuk itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih untuk :
1. Bapak Prof.Dr.Jony Oktavian Haryanto, S.E., M.M., M.A. selaku Rektor
Universitas President yang telah menyediakan segala sarana dan prasarana
sebagai penunjang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Endi Haryono, M.Si selaku Dekan Fakultas Humaniora Program
Studi Ilmu Hukum Universitas President beserta jajaranya yang telah
mempermudah proses penyelesaian skripsi ini.
3. Ibu Dr. Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.H., M.A., M.Kn selaku Ketua
program studi Universitas Presiden yang telah memberikan masukan, kritik
dan saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu Maria Francisca M, S.H., S.E., M.Kn. selaku Pembimbing I atas
kesediaanya meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, masukan
dan motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh dosen dan karyawan yang berada dalam akademik lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Presiden atas ilmu dan nasehat yang beliau
berikan selama penulis duduk dibangku kuliah.
6. Kepada Orang Tua tercinta terima kasih telah menjadi orang tua terhebat
yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa dan dukungan demi
kelancaran. Serta istriku terima kasih untuk segalanya semoga kelak penulis
dapat membahagiakan dan membanggakan kalian.
vi
vii
ABSTRACT
Name : Frengki Perian Title : "LAW PROTECTION OF WORKERS IN VIOLATION OF WORK AGREEMENTS MADE BY WORKERS (CASE STUDY OF DECISION NUMBER 404 K / PDT.SUS-PHI / 2014)" A work agreement is an agreement between the worker/worker and the employer/company or the employer which contains the rights and obligations requirements of both parties to make the employment relationship. Today many companies use labor through a Special Time Work Agreement (PKWT) to reduce labor costs to increase profits. Disputes often occur between the two parties that cannot be avoided or so that in practice there are often certain work agreements that are not in accordance with the provisions of Law Number 13 of 2003 concerning Manpower which in the end is very detrimental to the workforce. In this case, the Plaintiff Yuan Agusta worked from November 1, 2001 to May 31, 2013 (around 11 years) with the status of a Contract or a Specific Time Work Agreement (PKWT). During his work, he has replaced parts 11 times, each year a new contract is made. The purpose of this study is to analyze how the legal protection of workers for violations of article 59 of the Labor Law by employers. To analyze how the legal consequences for employers who break work relations after violating article 59 of the Manpower Act. The research method used by the authors in this study is a normative legal research method, making library materials as the main focus. The results showed that the implementation of the work agreement between certain time workers and the company was not in accordance with article 59 of the Manpower Act concerning the assignment of work because certain working hours were given permanent work. Legal protection already exists, but employers often take actions that violate article 59, the reason being that both parties need each other so that the article is ignored. According to the author there needs to be a union in each company to protect their rights. Furthermore, in article 59, the words "no new contract must be made in the company after the contract period ends" should be added so that the employer does not play an employment contract. Keywords: Labor Law, Labor Agreement, Termination of Employment.
viii
ABSTRAK
Nama : Frengki Perian Judul : “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)” Perjanjian kerja merupakan suatu perjanjian antara buruh/pekerja dengan pengusaha/perusahaan atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat hak dan kewajiban kedua belah pihak untuk melakukan hubungan kerja. Dewasa ini banyak perusahaan yang memakai tenaga kerja melalui Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk menekan biaya tenaga kerja agar dapat meningkatkan keuntungan. Sering terjadi perselisihan antara kedua belah pihak yang tidak bisa dihindari atau Sehingga dalam pelaksanaanya banyak dijumpai perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak sesuai dengan ketentuan Udang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang pada akhirnya sangat merugikan tenaga kerja. Pada kasus ini Penggugat Yuan Agusta bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah berganti bagian sebanyak 11 kali, setiap tahun dibuatkan kontrak baru. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menganalisa Bagaimana perlindungan hukum pekerja atas dilanggarnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja. Untuk menganalisa bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Metode penelitian yang diguanakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama.Hasil penelitian menunjukan bahwa, pelaksanaan perjanjian kerja antara tenaga kerja waktu tertentu dengan perusahaan tidak sesuai dengan pasal 59 UU Ketenagakerjaan tentang penugasan pekerjaan karena tenaga kerja waktu tertentu diberi pekerjaan yang bersifat tetap. Perlindungan hukumnya sudah ada, tapi seringkali pengusaha berbuat tindakan yang melanggar pasal 59 ini, penyebabnya karena kedua belah pihak saling membutuhkan sehingga pasal tersebut diabaikan. Menurut penulis perlu adanya serikat buruh di setiap perusahaan untuk melindungi hak-haknya. Selanjutnya didalam pasal 59 perlu adanya tambahan kata “tidak boleh dilakukan kontrak baru lagi di perusahaan tersebut setelah masa kontrak berakhir” agar pengusaha tidak memainkan kontrak kerja.
Kata Kunci : Hukum Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL
JUDUL HALAMAN i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI iii
DEKLARASI SKRIPSI iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 1
1.2 Identifikasi Masalah 8
1.3 Tujuan Penelitian 8
1.4 Kegunaan Penelitian 8
1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 9
1.6 Metode Penelitian 11
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA
2.1. Perlindungan Hukum 14
2.2. Perjanjian 15
2.2.1. Pengertian Perjanjian 15
2.2.2. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian 17
2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian 19
2.2.4 Hak dan Kewajiban Para Pihak 21
2.2.5. Subjek Perjanjian 22
2.2.6. Obyek Perjanjian 22
2.2.7. Macam-Macam Perjanjian 23
2.2.8. Berakhirnya Perjanjian 23
2.2.9. Wanprestasi 25
2.3. Perjanjian Kerja 26
2.3.1. Pengertian Perjanjian Kerja 26
x
2.3.2. Perjanjian Kerja dari Segi Undang-Undang
Ketenagakerjaan 27
2.3.3. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 30
2.3.4. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 33
2.3.5. Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu 34
BAB III PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MELALUI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(PPHI)
3.1. Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 36
3.2. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 37
3.3. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Perusahaan 39
3.4. Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Akibat
Pemutusan Hubungan Kerja 41
3.5. Perhitungan Uang Pesangon Apabila Terjadi PHK 42
3.6. Perhitungan Uang Penghargaan Apabila Terjadi PHK 43
3.7. Uang Penggantian Hak yang seharusnya diterima pekerja
Apabila Terjadi PHK 43
3.8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 44
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS
PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG
KETENAGAKERJAAN OLEH PEMBERI KERJA DAN
KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP PEMBERI KERJA YANG
MELAKUKAN PHK SETELAH ADANYA PELANGGARAN
PASAL 59 UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
4.1. Perlindungan hukum Pekerja atas pelanggaran pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan 46
4.2. Konsekuensi hukum terhadap pemberi keja yang melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran
pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan 57
xi
5.2. Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 60
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ketentuan Hukum Perburuhan timbul dari suatu perjanjian, yaitu dari
pemberi kerja (pengusaha) dan pekerja/buruh dan pasti ada perselisihan antara
kedua belah pihak ini yang tidak bisa untuk di hindari atau sulit di cegah,1 begitu
banyak perselisihan perbedaan kepentingan antara pekerja/buruh dengan
pengusaha yang berujung pada pengadilan karena ketidakpuasan salah satu pihak.
Perselisihan yang terjadi dilingkungan perusahaan dikenal dengan istilah
perselisihan perburuhan atau perselisihan hubungan industrial. Secara historis,
perselisihan perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan
majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak
adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau
keadaan perburuhan.2 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(selanjutnya disebut UU PPHI), bahwa perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan hak, perselisihan
kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PPHI diatur bahwa jenis perselisihan hubungan
industrial meliputi empat (4) macam, yaitu:
a. Perselisihan hak
b. Perselisihan kepentingan
c. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan
d. Perselisihan pemutusan hubungan kerja
1 Payaman J Simanjuntak, Manajemen Hubungan Industrial. Edisi ke-3, (Jakarta: Jala Permata
Aksara, 2009) hal 151. 2 Pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 1957.
2
Berdasarkan UU PPHI untuk penyelesaian perselisihan dapat melalui
pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
mengedepankan musyawarah untuk mufakat (win-win solution) agar dengan
demikian, proses produksi barang dan jasa tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Penyelesaian melalui pengadilan dilakukan melalui Pengadilan Hubungan
Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial adalah Pengadilan Khusus yang
dibentuk dilingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial menurut UU PPHI, selain
dapat ditempuh melalui jalur pengadilan, dapat juga melalui jalur di luar pengadilan
yaitu melalui perundingan bipartite, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Penyelesaian
melalui perundingan bipartit, adalah perundingan antara pekerja/buruh atau Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial. Hal ini berbeda dengan Lembaga Kerjasama Bipartit
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan), bahwa Lembaga
Kerjasama Bipartit merupakan sebuah forum komunikasi dan konsultasi mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan industrial di satu perusahaan yang
anggotanya terdiri dari pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang sudah
tercatat pada institusi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakarjaan atau
unsur pekerja atau buruh.
Pada pasal 1601 butir a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUH Perdata) menjelaskan bahwa, “Perjanjian kerja adalah suatu
perjanjian pihak pertama mengikatkan dirinya untuk patuh di bawah perintah pihak
kedua untuk waktu tertentu dengan melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Pengertian lain di jelaskan pada pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa, “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang di lakukan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau si pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja, hak, dan kewajiban antara kedua belah pihak.”3
Perjanjian kerja merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan antara
pekerja/buruh dan pengusaha sebelum melakukan kesepakatan pekerjaan dimulai.
3 Pasal 1 ayat (14) Undang-undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
3
Setelah terjadinya kesepakatan kerja, maka berlakulah asas Pacta Sunt Servanda
pada pasal 1338 KUH Perdata yaitu masing-masing pihak harus menjalankan hak
dan kewajibanya sesuai apa yang ada di perjanjian kerja, namun, dalam
pelaksanaanya sering kali tidak sesuai dengan yang diharapkan karena antara
pengusaha dan pekerja mempunyai kepentingan yang berbeda. Di sudut pandang
pengusaha, pengusaha ingin meraih keuntungan yang selalu meningkat, salah satu
nya dengan menekan biaya produksi yang di dalamnya adalah upah pekerja. Di
sudut pandang pekerja, pekerja menginginkan kesejahteraan untuk menghidupi
keluarganya. Suatu Hubungan Industrial jika ingin dikatakan berhasil maka harus
ada keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak yaitu pekerja dan
pengusaha, 4 namun memang pada kenyataanya pengusaha ingin memperoleh
keuntungan dengan sebanyak-banyaknya tetapi pengusaha tidak mempedulikan
kesejahteraan pekerja, dimana pekerja harus mendapatkan hak-haknya untuk
mengidupi keluarganya, dengan hal ini maka akan mempunyai potensi perselisian
hubungan industrial.
Ada dua sistem perjanjian kerja di Indonesia, yaitu perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT), atau biasa dikenal dengan pekerja kontrak, dan perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT), atau biasa disebut pekerja tetap. UU
Ketenagakerjaan mengatur tentang pekerja/buruh dan pengusaha/pemberi kerja.
Perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Ketenagakerjaan,
disebutkan dalam Pasal tersebut bahwa perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan
atas :
a. Jangka Waktu; atau
b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.5
Dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor:
KEP.100/MEN/IV/2004 disebutkan pada Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa
“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
4 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi (Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
hlm.63. 5 Pasal 56 ayat (2) Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
4
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu”.6 Jadi dapat
disimpulkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu merupakan Perjanjian kerja
untuk jenis pekerjaan tertentu, bukan jenis pekerjaan yang terus menerus dan jangka
waktunya juga ditentukan. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat dibuat dalam
pekerjaan yang bersifat tetep yaitu pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak
terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses
produksi dalam suatu perusahaan atau pekerjaan yang bukan jenis pekerjaan
musiman. Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dibuat untuk jenis pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu :
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama, dan paling lama tiga tahun;
c. Pekerjaan yang bersifat musiman, atau
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan.7
Perjanjian kerja waktu tertentu dimasyarakat lebih dikenal dengan
perjanjian kerja kontrak, atau perjanjian kerja tidak tetap. Status tenaga kerjanya
yaitu tenaga kerja kontrak/tenaga kerja tidak tetap. Dalam Pasal 59 UU
Ketenagakerjaan mengatur tentang perjanjian kerja dimana semua jenis perjanjian
kerja sudah diatur agar pemberi kerja/pengusaha tidak melakukan tindakan yang
tidak diinginkan pekerja/buruh. Pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk jenis pekerjaan
tertentu yang pekerjaan tersebut diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang
tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun. Namun dapat dilihat dilapangan
bahwa banyak perusahaan yang menerapkan sistem kerja kontrak namun jangka
waktu kontraknya melebihi dari batas maksimal yaitu tiga tahun. Dari kasus Bapak
Yuan Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan
tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau
6 Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI
Nomor :KEP.100/MEN/IV/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
7 Hardijan Rusli, 2004, Hukum Ketenagakerjaan, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 66.
5
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kemudian jenis pekerjaanya bukan
pekerjaan yang sekali selesai atau musiman, namun jenis pekerjaan yang terus
menerus, ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Jenis
pekerjaan yang terus menerus ini semestinya bukan termasuk dalam perjanjian
kerja waktu tertentu, namun masuk dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak
tertentu.
Di Indonesia para pengusaha lebih memilih untuk menerapkan sistem
perjanjian kerja untuk waktu tertentu bagi para pekerjanya. Perjanjian kerja waktu
tertentu bagi perusahaan/pengusaha dianggap lebih menguntungkan dibandingkan
menerapkan sistem perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Namun disisi lain para
pekerja/buruh tidak sedikit yang dirugikan dengan sistem perjanjian kerja untuk
waktu tertentu ini. Di duga banyak perusahaan yang mengambil keuntungan dari
sistem kerja ini tanpa memperhatikan para buruh/pekerjanya. Bahkan perusahaan-
perusahaan ada yang menyimpang dari aturan-aturan dalam UU Ketenagakerjaan.
Di dunia ketenagakerjaan, perselisihan yang paling sering kita dengar
adalah perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja dapat
terjadi karena salah satu pihak baik pihak pengusaha maupun pekerja.8 Luasnya
permasalahan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja maka tidak heran jika
perlindungan tentang Pemutusan Hubungan Kerja paling banyak di peraturan
ketenagakerjaan. Hal ini sangat wajar karena permasalahan tersebut menyangkut
kelangsungan hidup bagi para pekerja/buruh.
Pada saat perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, banyak pengusaha yang
memilih untuk tidak membayar hak-hak para pekerjanya selama proses Pemutusan
Hubungan Kerja. Karena saat pengusaha mengeluarkan surat Pemutusan Hubungan
Kerja, tidak ada lagi tanggung jawab yang harus pengusaha berikan kepada pekerja.
Pengusaha menjadikan alasan tersebut untuk tidak membayar hak-hak pekerja
terutama upah atau melakukan tindakan skorsing.9
Upah merupakan sebuah bentuk penghasilan, yang diterima buruh/pekerja
berupa uang ataupun barang yang mempunyai jangka waktu tertentu dalam
8 Libertus Jehani, Hak-hak Pekerja Bila di PHK, (Tangerang: Visi Media, 2007), hlm 13. 9 “Upah Pekerja Selama Proses PHK Seringkali Tak Dibayar”, www.hukumonline.com, 5
September 2019, hlm 1.
6
kegiatan ekonomi. Istilah skorsing digunakan oleh pengusaha untuk merumahkan
si buruh selama proses Pemutusan Hubungan Kerja, Upah skorsing merupakan
upah yang harus di bayar oleh pengusaha kepada pekerja selama belum ada
keputusan Pengadilan Hubungan Industrial mengenai waktu Pemutusan Hubungan
Kerja tersebut, dalam kenyataan dikenal dengan sebutan upah proses.
Upah proses diatur dalam Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang
pada intinya Pengusaha maupun pekerja harus tetap menjalakan hak dan
kewajibanya selagi belum ada keputusan dari Pengadilan Hubungan Industrial.
Disamping itu di perkuat dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
37/PUU-IX/2011 tanggal 19 September 2011 tentang permohonan Pengujian UU
Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 yang menyatakan bahwa upah proses
seharusnya diberikan sampai para pihak mendapatkan keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap.10
Permasalahan perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja selalu menarik
untuk dikaji lebih karena menyangkut kelangsungan hidup pekerja dan pengusaha,
dan peristiwa ini tentunya hal yang tidak diinginkan oleh setiap pekerja/buruh,
terlebih lagi bagi pekerja/buruh karena hal tersebut akan menimbulkan dampak
economis-financial, psycologis bagi pekerja/buruh beserta keluarganya. 11
Pemutusan Hubungan Kerja bagi pekerja bisa menjadi awal dari berakhirnya
mempunyai pekerjaaan, berakhirnya menafkahi keluarganya sehari-hari,
menyekolahkan anak-anak, dan sebagainya.12
Aturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja sudah diatur oleh UU
Ketenagakerjaan, tetapi dalam pelaksanaan dilapangan masih menimbulkan
perselisihan diantaranya pekerja yang menganggap dirinya tidak pantas di putus
kerjanya, Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan pengusaha tidak sesuai
dengan prosedur, pengusaha yang tidak membayar upah pesangon dan upah
penggantian hak.
10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 37/PUU-IX/2011. 11 F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila (Jakarta : Bina Aksara, 1985), hlm 88. 12 Iman soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta : Djambatan, 1974), hlm
143.
7
Perselisihan pengusaha dan buruh ini tidak saja di selesaikan secara internal
dapat juga berlanjut di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk mendapatkan
hasil putusan pengadilan. Salah satu masalah Pemutusan Hubungan Kerja dan
masuk ke ranah PHI dapat dilihat dari kasus antara General Manager (GM) Hotel
Sahid Jaya Solo dengan saudara Yuan Agusta sebagai pekerja di hotel tersebut.
Pada Putusan Pengadilan dalam tingkat kasasi Nomor 404 K/Pdt.Sus-
PHI/2014, perkara yang diajukan oleh penggugat yakni saudara Yuan Agusta
terhadap General Manager (GM) Hotel Sahid Jaya Solo yakni saudara Martono
Saputro, Yuan Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai
dengan tanggal 31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status
Kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah
berganti bagian sebanyak 11 kali, setiap tahun sekali perjanjian kontrak PKWT
selalu dibuat, dan setiap kali masa kontrak berakhir Penggugat diminta untuk
membuat surat lamaran kerja baru secara lisan oleh Tergugat serta kemudian baru
dibuat surat perjanjian kerja baru. Hal ini bertentangan dengan pasal 59 UU
Ketenagakerjaan, ini menunjukan bahwa pihak Tergugat telah memainkan Pasal 59
Ayat (4) UU Ketenagakerjaan dan Tergugat menggunakan tafsirnya sendiri untuk
mengimplementasikan pasal 59 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan, dan yang dilakukan
Tergugat jelas merupakan suatu bentuk perbudakan manusia dan perbutan tersebut
sama halnya dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Selain PKWT yang diberikan kepada Yuan Agusta sebagai penggugat, tidak
hanya melebihi dari yang dipersyaratkan yaitu pada pasal 59 ayat (4) PKWT yang
didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama dua tahun
dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun,
setiap bagian yang selalu ditempatkan oleh Tergugat kepada Penggugat selama 11
tahun Penggugat bekerja adalah pada pekerjaan yang bersifat tetap, bukan
pekerjaan yang bersifat musiman. Sehingga, berdasarkan Pasal 59 ayat (7) Undang-
Undang Ketenagakerjaan, PKWT yang dibuat dengan tidak memenuhi Pasal 59
ayat (1), (2), (4), (5) dan (6), pada pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor 100/Men/VI/2004
Tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu menyatakan
“PKWT hanya dibuat untuk paling lama tiga tahun dan jika melebihi waktu tersebut
8
maka demi hukum PKWT tersebut menjadi PKWTT (karyawan tetap). Sebagai
konsekuensi hukum dari batalnya PKWT Penggugat, maka sejak pertama kali
Penggugat bekerja pada Tergugat yaitu pada tanggal 1 November 2001 Penggugat
bekerja pada bagian Restaurant Bar Cashier Hotel Sahid Jaya Surakarta adalah
berstatus pegawai tetap.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti dalam
bentuk penulisan karya ilmiah yang berjudul : “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEKERJA DALAM PELANGGARAN PERJANJIAN KERJA
YANG DIBUAT OLEH PEMBERI KERJA (STUDI KASUS PUTUSAN
NOMOR 404 K/PDT.SUS-PHI/2014)”
1.2 Identifikasi Masalah
Adapun permasalahan yang penulis angkat adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hukum pekerja atas pelanggaran pasal 59 UU
Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja?
2. Bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU
Ketenagakerjaan?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Sesuai dengan rumusan permasalahan, tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah :
a. Untuk menganalisa bagaimana perlindungan hukum pekerja atas
dilanggarnya pasal 59 UU Ketenagakerjaan oleh pemberi kerja.
b. Untuk menganalisa bagaimana konsekuensi hukum terhadap pemberi
kerja yang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja setelah adanya
pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
1.4 Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, diatas manfaat yang didapat adalah manfaat
secara teoritis dan secara praktis yaitu adalah sebagai berikut:
9
a. Kegunaan teoritis, harapan dari penulis dapat memberi masukan bagi
pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Perjanjian
Ketenagakerjaan pada khususnya serta menambah referensi kepada
pengusa dan serikat pekerja yang mewakili tenaga kerja atau buruh
dalam suatu pembentukan Perjanjian Kerja Bersama.
b. Kegunaan praktis, harapan dari penulis dapat memberi pengetahuan
dan wawasan bagi para pihak terkait dengan permasalahan yang diteliti
dalam hal Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Pelanggaran
Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Para pihak disini adalah Pengusaha,
Tenaga kerja, Organisasi Serikat Pekerja dan Pemerintah.
1.5 Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual
Kerangka teori merupakan keberadaan hukum sebagai aturan sangat
dibutuhkan dalam setiap kehidupan sosial masyarakat karena hukum dapat
mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang harmonis. Dalam
penelitian ini digunakan teori-teori dan pandangan-pandangan para pakar yang
berpengaruh sebagai landasan kerangka pemikiran penelitian. Pandangan teori
tersebut dikombinasikan dengan peraturan perundang-undangan dan di compare
dengan kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 404 K/Pdt.Sus-PHI/2014
Tentang Pemutusan Hubungan Kerja yang di Analisa bahwa Tergugat telah
memainkan pasal 59 ayat (4) UU ketenagakerjaan.
Dalam penelitian hukum normatif untuk menyusun kerangka konsepsional
yang didasarkan atau diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu.
Kerangka konsepsional merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan
pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan
konstruksi data.
1. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.13
13 Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
10
2. Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-
badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.14
3. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.15
4. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang selanjutnya disebut PKWT) adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.16
5. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (selanjutnya disebut PKWTT) adalah
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap.17
6. Hak adalah perilaku seorang individu yang berhubungan dengan perilaku yang
diwajibkan atas individu lain.18
7. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan alam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang
ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau
peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan
keluarganya atas suatu pekerja dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.19
8. Upah proses adalah upah yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja akibat
dari pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan pembayaran dilakukan
setelah adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
9. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau
pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.20
14 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 15 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 16 Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 17 Pasal 1 Ayat 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Kep.100/Men/VI/2004 tentang Ketentuan pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. 18 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm145. 19 Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 20 Pasal 1 Angka 14 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
11
10. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
buruh/pekerja dengan pengusaha.21
11. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha
dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu
perusahaan.22
12. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.23
13. Perundingan bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.24
14. Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di
lingkungan pengadilan negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan
memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.25
1.6 Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan, 26 Karena menjadikan bahan kepustakaan sebagai
tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis melakukan
21 Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. 22 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 23 Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 24 Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 25 Pasal 1 Angka 17 Undang-Undang No.02 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial. 26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.
Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 23.
12
penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak dari bidang-bidang
tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu
terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-
undangan tertentu.27
2. Sumber data
Sesuai dengan metode pendekatan yang akan digunakan dalam
penelitian ini, maka data yang dipakai adalah data sekunder. Data sekunder
adalah data-data yang sudah tercatat dalam buku atau pun suatu
laporan. 28 Dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder dapat
digolongkan ke dalam:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan ilmu hukum yang
berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sebelum dan sesudah amandemen.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor Kep.150/Men/2000 tentang
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan
Uang Pesangon,Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti
Kerugian di Perusahaan;
3) putusan MK Nomor 37/PUU-IX/2011 tentang permohonan
Pengujian UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945.
4) UU Ketenagakerjaan.
5) Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (KEPMENAKERTRANS) Nomor Kep.
100/Men/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah
diteliti pada bahan-bahan hukum primer :
27 ibid. hlm 15. 28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2007, hlm 51.
13
1) Pendapat-pendapat yang relevan dengan penelitian serta data
tertulis yang terkait dengan penelitian.
2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen
dan data-data dari internet yang berkaitan dengan penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan dan bersifat mendukung terhadap bahan-bahan hukum
Primer dan Sekunder, Seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku
pegangan, almanak dan sebagainya. 29 Dalam penelitian saya ini
menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
serangkaian aktivitas pengumpulan data-data yang dapat membantu
terselenggaranya penelitian, terutama dengan melakukan studi kepustakaan.
Dalam hal ini penulis melakukan penelitian terhadap bahan-bahan hukum
primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Dari studi kepustakaan ini akan
didapat manfaat berupa ditemukannya konsep-konsep dan teori-teori yang
bersifat umum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
4. Analisa Data
Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis
kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,
yaitu mengumpulkan semua data yang diperlukan yang diperoleh dari bahan
hukum primer dan sekunder. 30 Selanjutnya, penulis menarik suatu
kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Dimana dalam
mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-faktor yang
nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang juga
merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.31
29 Ibid. hlm 104. 30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI- Press, Jakarta, 2007, hlm. 25. 31 Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru, 2005, hlm. 20.
14
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA
BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA
2.1. Perlindungan Hukum
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945), tujuan hukum adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.32
Sutjipto Rahardjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah
adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan
suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan
tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada
masyarakat. Oleh karana itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut
harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.33
Dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,
landasannya adalah Pancasila sebagai ideolagi dan falsafah negara. Konsepsi
perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep
Rechtstaat dan Rule of the law. Dengan menggunakan konsep barat sebagai
kerangka berpikir dengan Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia
adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia
yang bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.34
32 Pembukaan UUD 1945 33 Sutjipto Rahardjo, Permasalahan Hukum di Indonesia, Alumni, 1983, Bandung, hlm.121. 34 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, 1987, Surabaya,
hlm. 38.
15
Perlindungan terhadap pekerja/buruh merupakan upaya perlindungan
terhadap hak-haknya sebagai pekerja. Karena jika tidak adanya perlindungan
hukum maka pengusaha/pemberi kerja akan sewenang-wenang memperlakukan
kaum buruh/kaum bawah. Perlindungan terhadap pekerja/buruh tertuang pada UU
Ketenagakerjaan dan UU PPHI, dari sinilah para kaum buruh mempunyai dasar
untuk melindungi hak-hak mereka agar tidak ditindas oleh kaum atas.
2.2. Tinjauan Umum
2.2.1. Pengertian Perjanjian
Batasan mengenai perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata yaitu,
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.”
Menurut prof. Subekti, S.H suatu perjanjian adalah “Suatu peristiwa di
mana seseorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan suatu hal”. Dari sini timbulah suatu hubungan antara
ke dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Dalam bentuknya, Perjanjian
tersebut berupa serangkaian kata-kata yang mengandung janji-janji atau
kesanggupan yang di ucapkan atau di tulis.35
Menururt Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Van
Dunne menolak teori kehendak yang sudah ketinggalan zaman, ia menyatakan
bahwa kesepakatan adalah merupakan perbuatan hukum.36
Beberapa para sarjana berpendapat bahwa rumusan pasal 1313 KUH
Perdata memiliki beberapa kelemahan yang harus dikoreksi. Abdulkadir
Muhammad berpendapat tentang kelemahan tersebut, antara lain :37
1) Hanya menyangkut sepihak saja.
Dari kata tersebut dapat diketahui bahwa perumusan “satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan diri”
hal ini bersifat hanya datang dari satu orang saja, tidak dari kedua belah
35 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, 2005. hlm 1. 36 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 160. 37 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm.
224-228.
16
pihak. Seharusnya bisa dirumuskan saling “mengikatkan diri”, jadi ada
consensus antara para pihak.
2) Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa consensus.
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas tanpa kuasa, suatu tindakan melawan hukum yang tidak
mengandung suatu konsensus, harusnya dipakai sebuah istilah
“persetujaan”.
3) Pengertian perjanjian terlalu luas.
Pengertian perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas karena mencakup
juga perjanjian perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan
hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur
dengan kreditur mengenai harta kekayaan saja. Perjanjian yang diatur oleh
Buku III KUH Perdata adalah perjanjian yang bersifat kebendaan saja,
bukan perjanjian yang bersifat personal.
4) Tanpa menyebut tujuan
Dalam rumusan isi pasal tersebut tidak di jelaskan tujuan diadakanya
perjanjian sehingga pihak yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk
apa.38
Berdasarkan kelemahan tersebut, Abdulkadir Muhammad menyatakan
pengertian perjanjian adalah persetujuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
untuk saling mengikatkan diri pada suatu hal mengenai harta kekayaan. Dengan
pengertian diatas, dapat dipahami ada tiga hal penting, yaitu kedua belah pihak,
sikat saling mengikatkan diri atau kata sepakat dan pelaksanaan perbuatan yang
berhubungan dengan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu perjanjian yang
dilakukan secara tertulis dan perjanjian tidak tertulis atau lisan. Kedua bentuk
perjanjian tersebut sama-sama mempunyai kedudukan untuk dapat dilakasanakan
oleh kedua pihak. Perbedaanya jika perjanjian secara tertulis dapat dijadikan alat
bukti saat di pengadilan dan juga memiliki kekuatan hukum yang mengikat kedua
38 ibid
17
belah pihak. Sebaliknya perjanjian tidak tertulis tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat saat ada perselisihan karena susah dalam pembuktianya.39
2.2.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian yang sah adalah perjanjian
yang memenuhi syarat-syarat berdasarkan apa yang ditetapkan undang-undang,
dengan itulah ia akan diakui oleh hukum.40 Dalam hukum Eropa Kontinental,
karena Indonesia menganut hukum Eropa syarat sahnya perjanjian diatur dalam
pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kedua belah pihak atau para pihak tersebut yang mengadakan perjanjian
haruslah bersepakat atas hal-hal yang diperjanjikan. Syarat ini sering
disebut dengan Kesepakatan (toesteming). Kesepakatan merupakan
persetujuan yang di kehendaki oleh para pihak mengenai pokok-pokok yang
diperjanjikan. Pokok perjanjian itu berupa objek perjanjian dan syarat-
syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dan dikehendaki
juga oleh pihak lain. Dengan demikian kesepakatan sudah mantap karena
kedua belah pihak sama-sama menyetujuinya, dan tidak lagi dalam
perundingan.41
2) Cakap untuk membuat suatu perikatan
Membuat suatu perjanjian adalah perbuatan yang menimbulkan suatu
hubungan hukum dan yang melakukan suatu hubungan hukum adalah
mereka yang bisa dikategorikan sebagai pendukung hak dan kewajiban,
pihak yang melakukan suatu pendukung hak dan kewajiban adalah orang
atau badan hukum. Pasal 1330 KUH Perdata menjelaskan batasan orang-
orang yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau
membuat perjanjian adalah :
a) anak di bawah umur;
b) mereka yang dibawah pengampuan;
39 R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cet. 1, Bandung : Pustaka Setia, 2013. hlm 84. 40 Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 88. 41 Ibid, hlm 89.
18
c) orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan undang-undang,
dan pada umumnya pada siapa udang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.
d) Mereka ini apabila melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh
wali yang mereka tunjuk, dan bagi seorang istri harus ijin kepada
suaminya.42
3) Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu artinya sesuatu yang ada di dalam perjanjian tersebut
harus telah ditentutukan dan disepakati. Sesuai yang di jelaskan pada pasal
1333 KUH Perdata bahwa barang yang menjadi objek sebuah pejanjian
harus di tentukan jenisnya. Menurut Prof. Subekti, SH, suatu perjanjian
harus mengenai hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban para pihak jika timbul perselisihan. 43 Suatu hal tertentu
merupakan pokok perjanjian yang membuat prestasi tersebut harus tertentu
atau sekurang-kurangnya bisa di tentukan.
4) Suatu sebab yang halal
Suatu Sebab yang halal artinya suatu yang tidak melangggar hukum tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Kata “sebab” adalah terjemahan bahasa latin yaitu “causa”. Sebab inilah
yang membuat orang melakukan sebuah perjanjian. Menurut pasal 1320
KUH Perdata, yang dimaksud dengan “causa” bukanlah sebab dalam arti
yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam
arti “isi perjanjian itu sendiri”, yang menggambarkan tujuan yang akan
dicapai oleh para pihak.44
Dua syarat yang disebutkan nomor pertama dan kedua yaitu dinamakan
syarat subyektif karena kedua syarat tersebut mengenai suatu subyek yang
disyaratkan dalam hal ini yaitu mereka yang mengikatkan diri dan cakap untuk
membuat perikatan. Dalam hal syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi,
perjanjianya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat meminta agar
42 Ibid, hlm 92. 43 Subekti, Op cit, hlm 19. 44 Abdulkadir Muhammad, Op cit, hlm 94.
19
perjanjian itu dibatalkan. Sedangkan dua syarat lagi yang disebutkan terakhir yaitu
dinamakan syarat obyektif karena mengenai suatu perjanjian sendiri atau obyek dari
perjanjian yang di perjanjikan tersebut. Dalam syarat obyektif, jika syarat itu tidak
terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum.45
Semua perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di
undang-unang diakui oleh hukum, akan tetapi jika salah satu unsur tersebut tidak
terpenuhi atau cacat dalam perjanjian, dan perjanjian dianggap batal, baik dalam
bentuk dapat dibatalkan (terdapat pelanggaran syarat subyektif), maupun batal demi
hukum ( dalam hal tidak terpenuhi syarat obyektif). Dengan demikian perikatan
yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya.
2.2.3. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Di dalam isi pasal 1338 KUH Perdata terdapat istilah “semua” yang
menjelaskan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah secara umum, baik perjanjian
bernama maupun tidak bernama. Dalam pasal itu terkandung asas kebebasan
berkontrak yang secara pelaksanaanya dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa.
Jika isi perjanjian tidak sesuai apa yang dimaksud para pihak, para pihak
tersebut harus mengesampingkan atau berpaling pada pasal 1338 KUHPerdata dan
pasal 1339 KUHPerdata agar perjanjian yang patut dan pantas harus sesuai dengan
asas kepatutan yang membawa pada keadilan.
Ada tiga asas penting yang sering terdengar didalam hukum perikatan,
yaitu:46
a. Asas Konsensualisme
Asas ini menyimpulkan bahwa sebuah perjanjian dikatakan selesai
apabila antara para pihak dikatakan sepakat atau persesuaian kehendak
dari para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata menyimpulkan “lahirnya perjanjian adalah pada saat
tercapainya kesepakatan dan saat itulah hak dan kewajiban para pihak;
b. Asas Pacta Sunt Sarvanda
Asas ini menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sudah dibuat oleh
para pihak sudah mengikat dan tidak dapat di Tarik kembali oleh salah
45 Subekti, Op cit, hlm 20. 46 Salim HS, Op cit, hlm. 157.
20
satu pihak. Ini bisa dikatakan UU berlaku bagi para pihak yang
mengadakan perjanjian. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian.
Dalam pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi “Perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”.
c. Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut asas ini, Para pihak bebas membuat perjanjian yang
dikehendakinya, mengadakan perjanjian dengan siapa saja,
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratanya, dan
menentukan perjanjian yang akan dibuat yaitu dengan bentuk perjnjian
tertulis atau dengan lisan.
Dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di selenggarakan oleh sebuah
Badan Pembinaan Hukum Nasional disingkat (BPHN), Department Kehakiman RI
pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah merumuskan delapan asas hukum
perikatan nasional.47 Adapun kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
a) Asas Kepercayaan
Jadi setiap orang yang mengadakan perjanjian sudah jadi kewajibanya
untuk memenuhi setiap prestasi yang diadakan mereka yang mengadakan
perjanjian pada kemudian hari.
b) Asas Persamaan Hukum
Subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak,
dan kewajiban yang sama dimata hukum. Mereka tidak boleh
dibedabedakan antara satu sama yang lainya walaupun subjek hukum itu
berbeda warna kulit, agama dan ras.
c) Asas Keseimbangan
Asas ini sangat menjunjung tinggi dan menghendaki kedua belah pihak
untuk mentaati perjanjian. Kreditur mempunyai kewenangan untuk
memenuhi prestasi. Bahkan kreditur mempunyai power untuk menuntut
prestasi dan jika diperlukan kreditur bisa menuntut pelunasan orestasi
47 Tim Naskah Akademik BPHN, “NAskah Akademik Lokakarya Hukum Perikatan,” Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1985.
21
melalui kekayaan debitur. Akan tetapi, debitur melakukan kewajibanya
dalam perjanjian itu dengan itikad baik.
d) Asas Kepastian Hukum
Perjanjian akan menjadi simbol hukum yang mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini bisa dilihat dari kekuatan mengikarnta suatu perjanjian, yaitu
sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
e) Asas Moralitas
Asas ini didasarkan pada kesukarelaan seseorang yang tidak dapat menuntut
hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Salah satu factor
yang membuat dia terketuk hatinya untuk melakukan hal tersebut adalah
pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.
f) Asas Kepatutan
Berkaitan dengan ketentuan yang membicarakan isi perjanjian dan
diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjianya.
g) Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian, suatu perjanjian tidak
hanya mengikat pada sesuatu yang secara tegas tertulis diatur, tetapi juga
hal-hal yang menurut kebiasaan izim diikuti.
h) Asas Perlindungan
Asas ini mengandung pengertian bahwa antara pekerja dan majikan harus
sama-sama dilindungi oleh hukum. Namun, yang lebih mendapatkan
perlindungan itu pekerja karena posisi pekerja lebih lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar dalam pembuatan suatu
kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dapat dipahami untuk
membuat suatu perjanjian harus diperhatikan point diatas agar tujuan akhir dari
suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sesuai dengan keinginan masing-
masing pihak.
2.2.4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak
Perjanjian yang menyangkut dengan melakukan jasa diatur pada pasal 1601
KUH Perdata yang berbunyi :
“Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang
mana diatur oleh ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang
22
diperjanjikan, jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka itu adalah dua macam
perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan
suatu pekerjaan dengan pihak lain untuk mendapatkan upah.”
Dari penjelasan isi pasal tersebut, perjanjian melakukan jasa diatur oleh
ketentuan-ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang telah
diperjanjikan oleh para pihak. Jika para pihak tidak membuat perjanjian, maka
pelaksanaan perjanjian itu dilakukan menurut kebiasaan.
Berdasarakan pasal tersebut jelas bahwa hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian tidak diatur dalam KUH Perdata, melainkan dalam ketentuan-
ketentuan khusus untuk itu jika ada peraturan khusus yang mengaturnya. Bila tidak
ada yang mengaturnya, maka hak dan kewajiban para pihak ditentukan sendiri oleh
para pihak syarat perjanjian yang dibuat. Jika dalam syarat perjanjian tidak
dicantumkan maka hal tersebut ditentukan menurut kebiasaan. Tentunya hal ini
berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
2.2.5. Subyek Perjanjian
Subyek perjanjian adalah kreditur yang berhak atas prestasi dan pihak
debitur yang harus memenuhi prestasi.48 Suatu Perjanjian di dalamnya terdiri dari
dua pihak atau lebih. Para pihak dalam perjanjian antara lain yaitu manusia
(Naturlijk person) dan Badan Hukum (Recht person).
2.2.6. Obyek Perjanjian
Obyek perjanjian adalah prestasi, debitur yang berkewajiban atas suatu
orestasi dan kreditur berhak atas suatu prestasi. 49 Pasal 1234 KUH Perdata
menjelaskan suatu prestasi dapat berbentuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu,
atau tidak sama sekali berbuat sesuatu. Untuk sahnya perikatan diperlukan syarat-
syarat terntentu.50
a. Obyek harus tertentu
b. Obyek harus diperbolehkan
c. Obyeknya dapat dinilai dengan uang
d. Obyeknya harus mungkin
48 M. Yahya Harahap, segi-segi hukum perjanjian, Alumni, Bandung 1986, hlm 10. 49 Purwahid patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung: 1994, hlm 13. 50 ibid, hlm 4.
23
2.2.7. Macam-Macam Perjanjian
Ada beberapa macam-macam perjanjian antara lain;51
a. Perjanjian jual beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang,
sedangkan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
Perjanjian ini terjadi jika para pihak menyetujui tentang barang dan
harganya.
b. Perjanjian sewa menyewa
Perjanjian sewa menyewa adalah dengan mana pihak yang satu
menyanggupi akan menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama jangka
waktu yang diperjanjikan, sedangkan pihak lainya menyanggupi untuk
membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian barang itu. Tujuan
dari perjanjian ini adalah untuk pemakaian saja bukan untuk dijadikan hak
milik atas benda itu.
c. Pemberian atau hibah
Pemberian adalah suatu perjanjian (obligator), dengan mana pihak yang
satu menyanggupi dengan cuma-cuma (Om Niet) dengan secara mutlak
(onherroepelijk) dengan memberikan suatu benda pada pihak lainya untuk
mereka miliki. Perjanjian tersebut tidak bisa dicabut oleh salah satu pihak.
d. Perjanjian Perdamaian
Perjanjian perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah
pihak membuat suatu perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara, dalam
perjanjianya masing-masing pihak melepaskan tuntutanya. perjanjian ini
dibuat dengan cara tertulis dan tidak boleh secara lisan.
2.2.8. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian atau Hapusnya perjanjian tertuang dalam pasal 1381
KUH Perdata, yang menyatakan sebuah perikatan akan hapus karena :
a. Pembayaran;
Pengertian pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang yang
diberikan oleh debitor kepada kreditor. Sedangkan pengertian pembayaran
51 R Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa 1985, hlm 13.
24
dalam arti yuridis pembayaran tidak hanya dalam bentuk uang atau barang,
tapi bisa juga dilakukan dalam bentuk jasa.52
b. Pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
Yang dimaksud adalah si berutang melakukan pembayaran secara tunai
kepada si berpiutang, karena si berpiutang menolak untuk menerima
pembayaran secara tunai, maka kemudian si berutang menitipkanya kepada
pengadilan.53
c. Pembaharuan utang (novasi);
Novasi lahir karena adanya persetujuan. Para pihak membuat persetujuan
dengan jalan menghapuskan perjanjian lama, pada saat bersamaan para
pihak juga akan mengganti perjanjian lama dengan perjanjian baru. Pada
hakekatnya, perjanjian lama akan sama atau serupa dengan perjanjian
baru.54
d. Perjumpaan utang atau kompensasi;
Ini adalah salah satu cara penghapusan utang dengan cara memperjumpakan
atau memperhitungkan utang piutang dengan cara timbal balik antara
kreditur dan debitur.55
e. Percampuran utang;
Percampuran utang terjadi karena kedudukan debitur dan kreditur bersatu
pada diri seorang itu.56
f. Pembebasan utangnya;
Hal seperti ini apabila kreditur melakukan pembebasan kewajiban kepada
debitur untuk memenuhi pelaksanaan perjanjian.57
g. Musnahnya barang yang terutang;
Bisa diartikan sebagai hancurnya, tidak dapat diperdagangkan, atau barang
terutang itu hilang, sehingga tidak diketahui lagi barang tersebut masih ada
52 Salim Hs.Op.Cit, hlm 188. 53 Ibid hlm 192. 54 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 142. 55 Subekti, Op.Cit, hlm 72. 56 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm 157. 57 Ibid, hlm 159.
25
atau tidak ada. Tetapi syaratnya, barang yang hilang atau rusak itu bukan
kesalahan debitur, dan sebelum dinyatakan lalai oleh kreditur.58
h. Kebatalan atau pembatalan;
Penyebab timbulnya pemabatalan perikatan adalah adanya perjanjian yang
dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah pengampuan,
tidak mengindahkan isi perjanjian yang disyaratkan dalam undang-undang.
i. Berlakunya syarat batal;
Syarat batal menurut pasal 1265 KUH Perdata adalah syarat yang apabila
terpenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu
dalam keadaan semula, seolah-olah tidak ada suatu perjanjian.
j. Lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri;
Berdasarkan isi pasal 1946 KUH Perdata yang mengatur tentang Daluwarsa,
yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah untuk memperoleh
sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan sudah lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-
undang.
2.2.9. Wanprestasi
Wanprestasi adalah seseorang yang tidak memenuhi prestasi atau lalai, tidak
memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan. Untuk kelalaian ini, maka pihak yang
lalai harus memberikan ganti rugi, biaya dan bunga.59 Menurut M. Yahya Harahap,
SH “wanprestasi adalah Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya
atau dilakukan tidak menurut selayaknya”60. Wanprestasi (kelalaian atau kealpaan)
seorang debitur dapat berupa empat macam ;61
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukanya;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai yang diperjanjikan;
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Akibat adanya wanprestasi adalah :62
58 Salim Hs, Op.Cit, hlm 198. 59 J.C.T Simorangkir, Rudy T.erwin.prasetyo. kamus hukum, Aksara Baru, Jakarta : 1987 hlm 186. 60 M. Yahya Harahap, Op.Cit hlm 6. 61 Subekti, Op.Cit hlm 45. 62 Salim HS Op.Cit, hlm 181.
26
a. Tetap ada perikatan. Kreditur masih dapat menuntut kepada debitur atas
keterlambatan prestasi yang dilakukan debitur.
b. Debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur (Pasal 1243
KUHPerdata)
c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur jika halangan itu timbul setelah
debitur wanprestai, kecuali bila kreditur melakukan kesengajaan atau
kesalahan besar.
d. Jika perjanjian lahir dari perjanjian timbal balik, maka kreditur dapat
membebaskan diri dari kewajibanya dengan memberikan kontra prestasi,
dengan cara menggunakan pasal 1266 KUHPerdata yaitu syarat batal
dianggap selalu dicantumkan didalam persetujuan timbal balik, manakala
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibanya.
2.3 Perjanjian kerja
2.3.1 Pengertian Perjanjian Kerja
Menurut Pasal 1601a KUH Perdata Perjanjian Perburuhan adalah
perjanjian dengan mana pihak yang satu, si buruh mengikatkan dirinya untuk
dibawah perintah pihak yang lain si majikan, untuk suatu waktu tertentu melakukan
pekerjaan dengan menerima upah.
Pada pasal 1603 e ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa : “Hubungan
kerja berakhir demi hukum jika lewatnya waktu yang ditetapkan dalam perjanjian
itu atau dalam ketentuan perundang-undangan atau jika semuanya itu menurut
kebiasaan. ”Pada UU Ketenagakerjaan mendefinisikan tentang perjanjian kerja
yakni: “Bahwa Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja dan
pengusaha/pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak.”Lahirnya undang-undang ini adalah bertujuan untuk memberi perlindungan
kepada pekerja untuk menuju kesejahteraan dan meningkatkan kesejahteraan
pekerja serta keluarga.
Sementara itu, soebekti memberikan pengertian perjanjian kerja yaitu : 63
63 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi Ke-VIII, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2008), hlm 12.
27
“Perjanjian antara seorang “pekerja” dengan seorang “majikan”, suatu
perjanjian ditandai dengan adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan
atau adanya suatu “hubungan diperatas” dalam bahasa Belanda
“Dienstverhouding” yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang
satu (majikan) berhak memberiakan perintah-perintah yang harus ditaati
pihak lain.”
Selanjutnya Aloysius Uwiyono berpendapat mengenai perjanjian kerja ialah :64
“Perjanjian yang dibuat antara buruh (pekerja) dengan pengusaha, dimana
pekerja mengikatkan diri untuk melakukan pekerjaan karena pengusaha,
selain itu pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja
dengan imbalan menerima upah.”
Istilah-istilah mengenai pengertian perjanjian kerja menurut para pakar
diatas menyatakan bahwa perjanjian ini memang membahas tentang kerja, yakni
dengan adanya suatu perjanjian kerja akan timbul adanya salah satu pihak yang
akan melakukan pekerjaan.65 Perjanjian ini juga menunjukan bahwa posisi yang
satu (Buruh/pekerja) adalah tidak sama atau tidak seimbang yaitu berada dibawah,
apabila dibandingkan dengan posisi dari pihak pengusaha. Dengan demikian dalam
pelaksanaan hubungan kerja maka posisi hukum antara kedua belah pihak jelas
tidak dalam posisi yang sama dan seimbang. Pengusaha pihak yang lebih tinggi
secara sosial ekonomi mempunyai kehendak untuk melakukan perintah kepada
pihak yang sosial ekonomi nya lebih rendah yaitu pekerja untuk melakukan suatu
pekerjaan. Adanya wewenang perintah yang membedakan secara pejanjian kerja
dan pekerjaan lainya.66
2.3.2 Perjanjian Kerja dari segi Undang-Undang Ketenagakerjaan
Pada Pasal 1 ayat (14) UU Ketenagakerjaan memberikan pengertian
perjanjian kerja yang menyebutkan bahwa :
64 ibid, hlm 13. 65 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta :Djambatan, Edisi Revisi2003), hlm
70. 66 Kosidin, Koko. Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, (Bandung:
Mandar Maju, 1999) hlm 7.
28
“Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dilakukan antara pekerja/buruh
dengan pengusaha atau pemberi kerja yang berisi ketentuan-ketentuan dan syarat-
syarat kerja, serta hak dan kewajiban para pihak”.
Selain itu Imam Soepomo memberikan pengertian mengenai perjanjian
kereja yang menerangkan :67
“Suatu perjanjian dimana pihak kesatu buruh, Mengikatkan diri untuk
melakukan pekerjaan dengan menerima upah pada pihak pengusaha atau majikan,
dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan menerima
upah”.
Perjanjian Kerja menurut Undang-undang Ketenagakerjaan menjelaskan
kepada hak yang lebih umum. Dikatakan lebih umum karena menjelaskan pada
hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban para pihak. Syarat kerja berkaitan dengan pengakuan terhadap
serikat pekerja, sedangkan hak dan kewajiban para pihak salah satunya adalah upah
disamping hak dan kewajiban lain yang akan dibicarakan secara tersendiri.68
Pengertian tersebut jelas bahwa setelah adanya perjanjian kerja maka
timbulah hubungan kerja, Hubungan kerja adalah sebuah hubungan hukum yang
lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha.
Subjek hukum dlam perjanjian kerja pada hakekatnya adalah subjek hukum dalam
hubungan kerja sedangkan yang menjadi objek dalam perjanjian kerja adalah
Tenaga para pekerja itu sendiri. Dengan mengeluarkan tenaga itulah pekerja
mendapatkan suatu hak nya yaitu upah.69 Berdasarkan pengertian perjanjian kerja
diatas, ada beberapa unsur perjanjian kerja yang dapat diambil menurut Undang-
undang Ketenagakerjaan yakni :
a. Adanya Unsur Work atau Pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek
perjanjian), dan pekerjaan itu haruslah pekerja itu sendiri yang mengerjakanya,
hanya dengan seijin majikan dapat menyuruh orang lain. Secara umum, pekerjaan
adalah suatu kewajiban atau perbuatan yang harus dilakukan pekerja untuk
67 Lalu Husni, Op.Cit Hlm 40. 68 Zaeni Asyahadie, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjan Bidang Hubungan Kerja Edisi
Revisi,(Jakarta:Raja Grafindo,2007), hlm 55. 69 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Sinar Grafika,2009) hlm 38-40.
29
kepentingan pengusaha dan harus sesuai denga nisi perjanjian kerja.70 Pekerja
yang mengadakan perjanjian kerja itu pokoknya wajib untuk melaksanakan
pekerjaannya sendiri. Sebab apabila para pihak bebas melaksanakan pekerjaannya
dan menyuruh orang lain untuk melakukanya, maka hal tersebut bukan termasuk
sebagai pelaksanaan dari perjanjian kerja.
b. Adanya unsur perintah
Manifestasi dari sebuah pekerjan yang diberikan kepada pekerja oleh
pengusaha adalah pekerja tersebut harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh
pengusaha sesuai dengan kesepakatan perjanjian kerja. Dalam hubungan kerja
pengusaha kedudukanya adalah si pemberi kerja, sehingga ia berhak dan
berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan
pekerjaan. Kedudukan pekerja adalah sebagai pihak yang menerima perintah
untuk melakukan sebuah pekerjaan. Hubungan antara pekerja dan majikan
bersifat Subordinasi (hubungan yang bersifat vertical, yaitu atas dan bawah).
Berdasarkan hal ini, bahwa si pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya berada
pada wibawa orang lain, bahwa si majikan yang kedudukanya sangat kuat.71
c. Adanya upah
Upah merupakan salah satu hal terpenting dalam hubungan kerja (perjanjian
kerja), bahkan bisa dikatakan bahwa orang mencari pekerjaan kepada pengusaha
untuk mendapatkan upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka tentu hal
tersebut bukan merupakan suatu hubungan kerja. Adanya suatu upah tersebut
adalah imbalan dari pengusaha kepada pekerja karena melakukan pekerjaan.
Pengertian upah menurut ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-undang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
“Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang
sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang
melakukan pekerjaan sesuai isi perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan
perundang-undangan termasuk termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya
atas suatu pekerjaan atas jasa yang telah dilakukan”.
70 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006) hal 36. 71 Ibid, hlm 37.
30
d. Waktu tertentu
Waktu tertentu atau Zekeretijde sebagai unsur yang harus ada dalam isi
perjanjian kerja adalah bahwa suatu hubungan kerja antara pekerja dan majikan
bukan berlangsung secara terus menerusa atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu
yang dikaitkan dengan lamanya hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha.
Waktu tertentu tersebut harus ditetapkan melalui perjanjian kerja, mungkin juga
didasarkan melalui peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.72
2.3.3 Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU
Ketenagakerjaan dibedakan menjadi dua yaitu perjanjian kerja dibuat untuk waktu
tertentu dan waktu tidak tertentu. Perjanjian untuk waktu tertentu sebagaimana
dijelaskan dalam ayat (1) yaitu didasarkan atas jangka waktu atau telah selesainya
suatu pekerjaan tertentu. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu atau yang disebut PKWT
harus dibuat secara tertulis dan harus menggunakan Bahasa Indonesia serta huruf
latin. Jika perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dibuat secara tertulis maka itu
sudah bertentangan dan dianggap sebagai Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak
Tertentu yang selanjutnya disebut PKWTT. 73 Jika perjanjian tersebut dibuat
dengan dua cara yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing, maka yang berlaku
adalah yang memakai Bahasa Indonesia. Hal seperti ini wajar karena Bahasa
Indonesia merupakan Bahasa uang dipakai pada saat menjalani proses persidangan
di Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga semua dokumen pendukung pada
saat beracara dipersidangan ialah memakai bahasa Indonesia. PKWT setelah
ditanda tangani para pihak haruslah dicatatkan pada instansi yang bertanggung
jawab pada bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat paling lambat 7 hari
sejak penandatanganan.74
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu juga diatur dalam Pasal 1 angka (1)
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.100/MEN/VI/2004, yang dimaksud
perjanjian kerja untuk waktu tertentu adalah: Perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau
72 Ibid, hlm 40. 73 Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm 69. 74 Ibid, hlm 50.
31
untuk pekerja tertentu. Dengan demikian yang dinamakan sifat perjanjian kerja
untuk waktu tertentu adalah sebagai berikut :
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang bersifat sementara
Pola hubungan kerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu dapat dilaksanakan
pada pekerja tertentu untuk menyelesaikan kontrak kerja paling lama tiga tahun.
2. Diperkiran penyelesaian perjanjian tidak terlalu lama dan paling lama tiga
tahun.
Pola hubungan kerja dengan pejanjian kerja waktu tertentu diterapkan pada
pekerja yang diperkirakan mempunyai masa kerja tidak terlalu lama dan paling
lama tiga tahun. Jika pekerja tertentu yang diperjanjikan berakhir maka PKWT
tersebut berakhir demi hukum.
3. Bersifat musiman
Pekerja yang bersifat musiman adalah pekerja yang pelaksanaan pekerjaanya
mempunyai ketergantungan pada musim atau cuaca. PKWT yang diberikan
kepada pekerja yang musiman hanya dapat diberikan satu jenis pekerjaan
waktu tertentu.
4. Berhubungan dengan produk baru atau kegiatan baru, yang masih dalam masa
percobaan dan penjajakan.
Hubungan kerja dengan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat dipakai
untuk melakukan pekerjaan yang ada kaitanya dengan produk baru, kegiatan
baru atau suatu produk-produk tambahan yang masih dalam masa percobaan
atau penjajakan. Untuk itu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh
dilakukan dalam jangka waktu paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang
satu kali paling lama satu tahun dan tidak ada lagi perubahan.
Maksud perjanjian ini ialah perjanjian antara “buruh” dengan seorang
“majikan”, yang menunjukan tanda atau ciri-ciri : adanya suatu pembayaran upah
atau gaji tertentu yang disepakati dan adanya suatu “hubungan diperatas” atau
“dienstverhouding” yaitu suatu hubungan yang berdasarkan yang mana pihak yang
satu (majikan) berhak memerintahkan apa yang ia bilang dan harus ditaati oleh yang
lain. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetbok van Koophandel)
didalam Bab IV dari Buku II (pasal 395 dan selanjutnta) yang memberikan suatu
penjelasan tersendiri mengenai “perjanjian kerja laut”, sebagai perantara dari B.W
32
yang menyatakan banyak sekali ketentuan-ketentuan yang menyatakan tentang
perjanjian perburuhan, selain itu banyak sekali ketentuan khusus tentang buruh
yang bekerja dilaut.
Imam Soepomo menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Hukum
Perburuhan dalam bidang hubungan kerja, yaitu bagi penyelenggara perjanjian
kerja seperti halnya dengan semua macam perjanjian dengan syarat-syarat tertentu
mengenai orang tersebut, mengenai isi perjanjianya, bahkan terkadang mengenai
bentuknya seperti apa. Sedang perjanjian kerja adalah sebuah perjanjian dimana
pihak kesatu , mengikatkan dirinya untuk bekerja dengan menerima upah kepada
pihak lain, dan simajikan yang mengikatkan dirinya untuk mempekerjakan dengan
membayar upah.75
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu
dapat dilaksanakan paling lama dua tahun dan hanya boleh di perpanjang atau di
perbaharui satu kali dengan jangka waktu paling lama satu tahun. Perjanjian kerja
waktu tertentu dapat diperpanjang dan diperbaharui, dan perjanjian kerja waktu
tertentu hanya dapat dilaksanakan untuk pekerjaan tertentu. Munculnya suatu
Peraturan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.100/MEN/VI/2004 dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya pengusaha yang
memainkan buruh/pekerja dengan sistem kontrak yang berkelanjutan hingga
pekerja tersebut bekerja terus menerus dalam jangka waktu yang lama tetapi dengan
status kontrak, sebagai akibat pengusaha tidak mau disulitkan dengan sistem
pemutusan hubungan kerja. Akibatnya mau tidak mau pengusaha akan membuat
perjanjian kerja waktu tertentu dengan buruh/pekerja untuk menghindari berbagai
resiko dan agar tidak menyimpang dengan peraturan perundang-undangan. Adapun
pengertian pengusaha menurut UU Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan
usahanya berbentuk perusahaan milik sendiri;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan yang bukan miliknya;
75 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan dalam bidang hubungan kerja,(Jakarta : Djambatan, 1987)
hlm 51.
33
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana huruf a dan b yang berkedudukan diwilayah
Indonesia.
Sedangkan pengertian perusahaan menurut UU Ketenagakerjaan adalah :
a. Setiap usaha yang berbentuk badan hukum ataupun tidak berbadan hukum, milik
orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik
swasta ataupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan
membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan pekerja/buruh dengan membyar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.
2.3.4 Syarat Sahnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Setiap perjanjian kerja dapat dubuat secara lisan maupun tertulis. Pada
pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menjelaskan perjanjian kerja dibuat
secara tertulis, dan harus dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku, syarat-syarat nya antara lain :
1) Kedua belah pihak harus sepakat;
2) Kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak menggangu ketertiban umum, kesusilaan,
dan peraturan perunang-undangan yang berlaku.
Perjanjian kerja yang tanpa adanya kesepakatan oleh salah satu pihak tidak
mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka perjanjian kerja
tersebut dapat dibatalkan. Sebaliknya, jika dibuat tanpa adanya pekerjaan yang
diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan tersebut dapat menggangu
ketertiban umum, kesusilaan, dan bertentangan dengan undang-undang maka
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Syarat-syarat tersebut sebenarnya adalah isi dari perjanjian kerja, karena
dari syarat inilah dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan
perjanjian. Syarat-syarat yang dimuat atau terkandung dalam isi perjanjian kerja
untuk waktu tertentu isinya tidak boleh leboh rendah dari syarat-syarat kerja yang
termuat dalam peraturan perusahaan. Apabila dalam perjanjian kerja untuk waktu
34
tertentu isinya lebih rendah dari peraturan perusahaan, maka yang berlaku adalah
isi dalam peraturan perusahaan tersebut.
Perjanjian Kerja Bersama mempunyai kedudukan yang kebih tinggi
dibanding dengan peraturan perusahaan. Oleh sebab itu Perjanjian Kerja Bersama
tidk boleh bertentangan dengan Undang-undang, demikian juga Perjanjian Kerja
Bersama tidak boleh diganti dengan peraturan perusahaan.
UU Ketenagakerjaan, mengatur syarat-syarat ketentuan perjanjian kerja
untuk waktu tertentu sebagai berikut:
a. Dibuat secara tertulis
Pada pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dibuat
secara tertulis, dan harus menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin. Oleh
karena itu jika dibuat secara lisan, atau bukan dalam Bahasa Indonesia dan huruf
latin, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum. Konsekuensinya pekerja
tersebut harus dianggap sebagai pekerja tetap.
b. Tidak boleh ada masa percobaan
Pada pasal 58 ayat (1) menjelaskan bahwa dalam perjanjian kerja waktu tertentu
tidak boleh mempersyaratkan masa percobaan kerja, jika itu terjadi maka
perjanjian kerja waktu tertentu batal demi hukum.
2.3.5 Berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yaitu berakhirnya hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, dengan berakhirnya hubungan kerja
ini berakhir pula hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Artinya pekerja
sudah tidak mandapakan haknya lagi dan tidak memberikan kewajibanya lagi
kepada pengusaha, begitupun juga pengusaha tidak lagi memberikan perintah serta
membayar upah kepada pekerja atas pekerjaan yang biasa diberikan dalam
lingkungan badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, milik
swasta atau milik negara, serta usaha-usaha lainya.76 Berakhirnya Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu menurut pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, perjanjian itu
berakhir apabila:
a. Pekerja meninggal dunia;
76 Soedarjadi, Hak dan Kewajiban Pekerja-pengusaha, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009) hlm
83.
35
b. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c. Adanya putusan pengadilan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap, atau
d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan diperjanjian
kerja atau di perjanjian kerja Bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
36
BAB III
PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA MELALUI
PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
(PPHI)
3.1 Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut ketentuan pasal 1 ayat
(25) UU Ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa pemutusan hubungan kerja adalah
berakhirnya suatu hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha karena
sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dengan pengusaha.
Berdasarkan penjelasan isi UU Ketenagakerjaan tersebut, maka dapat
diambil intisarinya bahwa PHK merupakan opsi terakhir dalam menyelamatkan
sebuat perusahaan yang sedang mengalami masalah. UU Ketenagakerjaan juga
mengatur bahwa perusahaan tidak boleh seenaknya memPHK karyawanya, semua
harus menggunakan aturan yang berlaku sesuai hukum di Indonesia, terkecuali
karyawan/pekerja yang bersangkutan telah terbukti melakukan kesalahan atau
pelanggaran berat dan telah dinyatakan oleh pengadilan bahwa sipekerja telah
melakukan kesalahan berat yang mana putusan pengadilan yang dimaksud
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pemutusan hubungan kerja memang banyak terjadi karena adanya
perselisihan kepentingan, entah itu merugikan buruh atau merugikan pengusaha,
kedua belah pihak ini jika mengalami perbedaan kepentingan akan menghadapi
perselisihan yang berujung ke pengadilan. Terlebih lagi pekerja yang dipandang
dari sudut ekonomis yang mempunyai kedudukan yang lebih lemah jika
dibandingkan dengan pihak pengusaha yang mempunyai power di sudut ekonomis.
Karena pemutusan hubungan kerja akan berpengaruh bagi pihak buruh dari sisi
pskologis, ekonomis, dan finansial sebab:
a. dengan adanya pemutusan hubungan kerja, buruh akan kehilangan mata
pencaharian.
37
b. banyak mengeluarkan biaya untuk mencari pekerjaan yang baru sebagai
penggantinya.
c. kehilangan biaya hidup untuk menghidupi anak dan keluarganya, selama
masa belum bekerja.77
Berakhirnya pemutusan hubungan kerja khususnya bagi buruh dan
keluarganya, Imam Soepomo berpendapat bahwa pemutusan hubungan kerja bagi
buruh merupakan permulaan dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya
mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya tidak lagi mengidupi
kebutuhuan sehari-hari keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan
menyekolahkan anak-anaknya.78
3.2 Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dalam sebuah literatur hukum ketenagakerjaan, secara teoritis dikenal
adanya 4 (empat) jenis pemutusan hubungan kerja (PHK), yaitu :79
1. PHK demi hukum
Pada pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-undang tentang Ketenagakerjaan
mangatur putus demi hukum. Hubungan kerja yang putus demi hukum berarti putus
dengan sendirinya tanpa diperlukan adanya tindakan oleh salah satu pihak. Selain
itu, menurut pasal 1603 e KUH Perdata juga menetapkan bahwa :
“Hubungan kerja berakhir apabila waktu kerja demi hukum, jika habis
waktunya yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan dalam peraturan
undang-undang atau semua itu tidak ada dalam kebiasaan.”
Pemutusan hubungan kerja demi hukum terjadi karena alasan batas waktu
yang telah disepakati telah berakhir, pekerja dalam masa percobaan, pekerja yang
mengajukan menugndurkan diri, pekerja mencapai pensiun dan meninggal dunia.80
77 Manulang, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, (Rineka Cipta :Jakarta, 1988)
hlm, 97. 78 Imam Soepomo, Op.Cit, hlm 124. 79 Soedarjadi, Op.Cit, hlm 84. 80 Asri Wijayanti, Op.Cit, hlm 91.
38
2. PHK oleh pekerja/buruh
Berakhirnya hubungan kerja yang diakibatkan oleh pekerja dapat terjadi
apabila pekerja mengundurkan diri atau membuat kesalahan dalam pekerjaan yang
menyebebkan terjadi kesalahan berat atau telah terdapat alasan yang mendesak.
Alasan-alasan mendesak dalam pasal 1603 n adalah keadaan yang sedemikian rupa
sehingga mengakibatkan bahwa pekerja tidak pantas lagi untuk meneruskan
hubungan kerja.81 Alasan-alasan mendesak dapat dianggap ada antara lain, tidak
membayar upah tepat waktu, buruh sakit dan tidak mampu melanjutkan pekerjaan,
jaminan sosial tidak diberikan, pengancaman tindak kekerasan kepada buruh.
3. PHK oleh majikan/pengusaha
Berakhirnya hubungan kerja yang dilakukan pengusaha adalah yang paling
sering terjadi karena kesalahan pihak pekerja ataupun kondisi perusahaan yang
diharuskan pekerja di putus hubungan kerja karena adanya masalah yang dihadapi
pengusaha dalam hal:82
a. Menghadapi kesalahan pekerja yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
b. Menghadapi perusahaan yang semakin menurun perkembanganya.
Lebih tepat lagi mengenai pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
menurut pasal 158 ayat (1) yaitu, Melakukan penggelapan barang perusahaan,
memberikan keterangan palsu yang merugikan perusahaan, mabuk dan minuman
keras di area perusahaan, judi di area perusahaan, melakukan perbuatan asusila di
lingkungan perusahaan.
4. PHK oleh pengadilan
Yang terakhir berakhirnya hubungan kerja karena putusan pengadilan. Hal
ini diatur dalam pasal 61 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan yaitu berakhirnya hubungan
kerja karena adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Putusan pengadilan adalah penetapan yang pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap yang diputuskan oleh pengadilan negeri atas permintaan dari yang
bersangkutan yaitu pihak pengusaha dan pekerja dengan alasan kepentingan
masing-masing pihak. Cara yang terakhir ini adalah akibat dari adanya sengketa
81 Ibid, hlm, 92. 82 Idid, hlm, 94.
39
antara pengusaha dengan pekerja yang berlanjut sampai ke pengadilan, dan
datangnya perkara banyak dari kalangan pekerja.83
3.3. Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Oleh Perusahaan
Pemberhentian karyawan atau Pemutusan Hubungan Kerja hendaknya
berdasarkan ketentuan Perundang-undangan yang ada agar tidak menimbulkan
permasalahan, dan dilaksanakan dengan cara sebaik-baiknya, sebagaimana saat
karyawan tersebut diterima saat pertama bekerja. Dengan demikian, hubungan
perusahaan dengan mantan karyawan akan tetap terjalin dengan baik. Akan tetapi
sering terjadi pemberhentian dengan cara pemecatan karyawan, karena konflik
yang tidak dapat diambil dengan jalan tengah lagi, yang seharusnya Pemutusan
Hubungan Kerja harus berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan karena
setiap karyawan harus mendapatkan perlindungan hukum.
Dikemukakan terdapat delapan alasan dalam pemutusan hubungan kerja
yaitu, karena undang-undang, pensiun, kehendak perusahaan, kehendak karyawan,
PKWT berakhir, kesehatan karyawan, meninggal dunia, dan perusahaan likuidasi.84
Perusahaan bisa kapan saja berkeinginan untuk memberhentikan karyawannya dari
perusahaan, baik secara terhormat ataupun dipecat. Permohonan izin untuk
Pemutusan Hubungan Kerja dapat diberlakukan dalam hal buruh melakukan
pelanggaran atau kesalahan besar, antara lain:
a. Memberikan keterangan palsu pada saat perjanjian kerja.
b. Melakukan tindak kejahatan dilingkungan perusahaan.
c. penganiayaan, terhadap pengusaha, keluarga pengusaha dan rekan kerja.
Pemberhentian karyawan berdasarkan keinginan perusahaan dapat terjadi
apabila karyawan tersebut sudah lanjut usia dan tidak menguntungkankan lagi
untuk perusahaan. karyawan tersebut sudah lanjut usia, dan tidak cakap lagi untuk
melakukan pekerjaan atau melakukan tindakan yang merugikan perusahaan seperti
menggelapkan uang perusahaan. keinginan perusahaan untuk memutus karyawan
tersebut disebabkan :
1. Karyawan sudah tidak mampu lagi mengerjakan pekerjaanya.
83 Ibid, hlm, 167. 84 Imam soepomo, Op.Cit, hlm 174.
40
2. Perilaku karyawan kurang baik dan tidak disiplin.
3. Melanggar peraturan dan tata tertib perusahaan.
4. Tidak dapat bekerja sama team work.
5. melakukan tindakan amoral dilingkungan perusahaan.
Ada beberapa cara yang dilakukan dalam proses memberhentikan karyawan
yaitu :
a. Adanya musyawarah antara karyawan dengan perusahaan.
b. Bila dengan musyawarah menemui jalan buntuk maka jalan terakhir adalah
melalui pengadilan atau instansi yang berwenang menyelesaikan masalah ini.
c. Bagi karyawan yang melakukan pelanggaran berat dapat diserahkan kepada
kepolisian tanpa menunggu informasi dari dinas terkait atau yang berwenang.
d. Bagi karyawan yang akan pensiun, dapat diselesaikan sesuai dengan
peraturan. Demikian pula untuk karyawan yang melakukan pengunduran diri
akan diatur dengan peraturan perusahaan atau peraturan perundang-undangan.
Beberapa factor penyebab Pemutusan Hubungan Kerja secara Yuridis dalam
UU Ketenagakerjaan, yang mana Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan
perusahaan disebabkan :
1. Perusahaan mengalami penurunan profit sehingga perlu rasionalisasi atau
pengurangan jumlah karyawan. Dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja dengan
alasan rasionalisasi atau dalam kesalahan ringan pekerja/buruh dalam UU
Ketenagakerjaan, pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa
pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah agar mengupayakan agar tidak
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam hal upaya tersebut telah dilakukan,
tetapi Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
Pemutusan Hubungan Kerja wajib dirundingkan oleh perusahaan dengan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2. Pekerja/buruh telah melakukan kesalahan, baik kesalahan melanggar peraturan
perusahaan ataupun melanggar ketentuan dari Perjanjian Bersama (PKB),
maupun kesalahan pidana. Pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerja
karena melakukan kesalahan berat hanya dapat memperoleh uang penggantian
hak. Pemerintah telah mempertegas dengan factor banyak terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja dengan harapan banyak agar pengusaha tidak
41
melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap pekerja/buruh dengan
semena-mena dan melanggar hak buruh. Ada poin UU ketenagakerjaan
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 153 ayat (1) poin ke (3) UU
Ketenagakerjaan adanya larangan pemberlakuan Pemutusan Hubungan Kerja
yaitu pekerja/buruh yang bersangkutan menjalankan ibadah yang
diperintahkan oleh agamanya. Disini terlihat kepedulian pemerintah dalam
memperjuangkan hak pekerja atau buruh untuk melaksanakan ibadah.
3.4. Tanggung Jawab Perusahaan Terhadap Tenaga Kerja Akibat Pemutusan
Hubungan Kerja
Terjadinya tindakan pemutusan hubungan kerja yang alami pekerja maka
mulailah masa sulit bagi pekerja untuk kelanjutan masa depan keluarganya. Maka
dari itu untuk membantu dan menngurangi beban bagi karyawan yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja, undang-undang mengharuskan atau mewajibkan
pengusaha untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan dan uang
penggantian hak.
Alasan dilakukanya Pemutusan Hubungan Kerja berperan besar untuk
menentukan apakah pekerja tersebut berhak atau tidaknya uang pesangon, uang
penghargaan dan uang penggantian hak. Peraturan yang mengatur mengenai uang
pesangon, uang penggantian hak, dan uang penghargaan diatur dalam pasal 156,
pasal 160 sampai pasal 169 UU Ketenagakerjaan. Menurut UU Ketenagakerjaan,
pihak perusahaan dapat bertanggung jawab dalam berbagai kondisi seperti dibawah
ini:
1. Mengundurkan diri secara baik-baik dan atas kemauan sendiri.
2. Pengunduran diri secara tertulis karena berakhirnya hubungan kerja.
3. Pengunduran diri karena mencapai usia pensiun.
4. Pekerja melakukan kesalahan berat.
5. Pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib.
6. Perusahaan pailit atau mengalami kerugian.
7. Pekerja mangkir terus menerus dari pekerjaanya.
8. Pekerja meninggal dunia.
9. Pekerja melakukan pelanggaran.
42
10. Pemutusan Hubungan Kerja karena alasan efisiensi.
Prints Darwan menjelaskan bahwa dengan adanya hubungan kerja, maka
pihak pekerja berhak atas upah sebagai imbalan atas pekerjaanya, sedangkan pihak
majikan/pengusaha berhak atas jasa/barang yang dari pekerjaaan yang dilakukan si
pekerja tersebut sesuai denga nisi perjanjian kerja yang disepakati kedua belah
pihak. Pemutusan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha tidak boleh
dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan harus sesuai dengan prosedur dan
hal-hal tertentu yang harus dipenuhi kedua belah pihak supaya Pemutusan
Hubungan Kerja yang terjadi tidak mencederai kedua belah pihak.85
Dengan diberhentikanya karyawan tentunya sangat berpengaruh terhadap
perusahaan terutama masalah dana. Karena pemberhentian karyawan
membutuhkan dana yang cukup besar untuk membayar uang pesangon,
penggantian hak dan membayar uang pension. Begitu juga saat merekrut karyawan
baru, perusahaam pun mengeluarkan dana untuk kompensasi dan pengembangan
karyawan baru. Dengan adanya pemberhentian tersebut tentunya juga sangat
berpengaruh bagi karyawan itu sendiri. Dengan diberhentikanya karyawan tersebut
tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan keluarganya secara maksimal. Atas dasar
tersebut, manajer sumber daya manusia harus sudah dapat memperhitungkan
berapa jumlah uang yang harus diterima oleh karyawan yang diberhentikan, agar
karyawan tersebut bisa memenuhi kebutuhanya samapai pada titik dianggap
cukup.86
3.5. Perhitungan Uang Pesangon Apabila Terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
Uang Pesangon adalah uang yang diberikan kepada buruh saat waktu
terjadinya pemutusan hubungan kerja oleh pihak majikan/perusahaan berdasarkn
atas lamanya si pekerja itu didalam perusahaan tersebut dan besar imbalan per jam.
Perhitungan uang pesangon yang ditetapkan berdasarkan pasal 156 ayat 2 UU
Ketenagakerjaan adalah :
a. masa kerja kurang dari 1 tahun = 1 bulan upah
b. masa kerja 1 tahun lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah
85 Prints Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesai, PT Citra Aditya. Bandung:2000. hlm 132. 86 Imam Soepomo, Op,Cit. hlm 137.
43
c. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah
d. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah
e. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah
f. masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah
g. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah
h. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 bulan =8 bulan upah
i. masa kerja 8 tahun atau lebih = 9 bulan upah
3.6. Perhitungan Uang Penghargaan apabila terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
Perhitungan uang penghargaan juga diatur dalam pasala 156 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan sebagai berikut :
a. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 2 bulan upah
b. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun = 3 bulan upah
c. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun = 4 bulan upah
d. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun = 5 bulan upah
e. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun = 6 bulan upah
f. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun = 7 bulan upah
g. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun = 8 bulan upah
h. masa kerja 24 tahun atau lebih = 10 bulan upah.
3.7. Uang Penggantian Hak Yang Seharusnya Diterima Pekerja Apabila Terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja
Uang penggantian hak yang seharusya diterima berdasarkan isi pasal 156
ayat (4) UU Ketenagakerjaan :
a. Cuti tahunan yang belum pernah di pakai dan belum gugur ;
b. Biaya ongkos pulang atau transpot pekerja dan keluarganya ke tempat
dimana pekerja diterima bekerja ;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15%
dari uang masa kerja bagiyang memenuhi syarat ;
d. Hal-hal lain yang diperjanjikan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau perjanjian kerja Bersama.
44
Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang saharusnya diterima
yang tertunda, terdiri atas upah pokok, segala macam bentuk tunjangan yang
bersifat tetap yang diberikan pada pekerja serta keluarganya.
3.8. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004.
Sejalan dengan era demokratisasi, pemerintah telah mengundangkan UU
PPHI. Lingkup perselisihan yang terjadi tidak akan terlalu kompleks, yakni berkisar
mengenai keanggotaan, keabsahan atau kewenangan dari serikat pekerja/serikat
buruh tersebut dalam membuat perjanjian kerja bersama dengan pihak pengusaha.
Sama halnya dengan perselisihan kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja ini
di tingkat pertama dan terakhir ditangani oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada
Peradilan Umum. Hal ini dimaksudkan untuk tercapainya peradilan yang cepat,
murah dan biaya ringan (justice delayed, justice denied).87
Menurut UU PPHI pada prinsipnya penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dapat ditempuh melalui dua alternatif, yaitu:
a. Menyerahkan perselisihan itu secara sukarela pada seorang juru atau dewan
pemisah. Penyelesaian seperti ini disebut juga dengan penyelesaian sukarela
(voluntary arbitration), yaitu dapat melalui mediasi, konsiliasi, dan
arbitrase.
b. Menyerahkan perselisihan itu kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian ini lazim disebut penyelesaian wajib (compulsory arbitration).
Pada dasarnya setiap perselisihan hubungan industrial wajib diselesaikan
secara bipartit sebelum mencapai pada tingkat Pengadilan Hubungan Industrial.
Para pihak dalam bipartit ini terdiri dari wakil pengusaha dan wakil pekerja dan
atau serikat pekerja. Bila dalam hal perusahaan belum terbentuk serikat pekerja,
wakil pekerja di bipartit dipilih mewakili unit-unit kerja dan atau kelompok
87 Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 11.
45
profesional. Bila terdapat lebih dari satu serikat pekerja, wakil mereka di bipartit
ditetapkan secara proporsional.
Kesepakatan atau kompromi yang dicapai di bipartit dirumuskan dalam
bentuk persetujuan bersama dan ditandatangani oleh para pihak yang berselisih.
Bila satu pihak tidak melaksanakan persetujuan bersama tersebut, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan permohonan penetapan eksekusi kepada Pengadilan
Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri setempat walaupun tidak diatur secara
khusus dalam undang-undang, serikat-serikat pekerja di perusahaan dapat
membentuk forum komunikasi antar serikat pekerja. Penyelesaian perselisihan
antar serikat pekerja dianjurkan dilakukan secara bipartit dalam forum ini bila
mereka enggan menyelesaikan di bipartit yang telah ada.
Apabila secara bipartit gagal, maka para pihak atau salah satu pihak dapat
menempuh alternatif penyelesaian secara tripartit melalui penyelesaian sukarela
(voluntary arbitration) yang terdiri dari mediasi, konsiliasi dan arbitrase.
Apabila penyelesaian secara bipartit maupun secara tripartit (sukarela) juga
gagal, maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui
Pengadilan Hubungan Industrial sebagai badan atau wadah yang memberikan
keadilan, sedangkan peradilan menunjukkan pada proses memberikan keadilan
dalam rangka menegakkan hukum. Dalam rangka memberikan keadilan dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial, maka Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 mengatur bentuk penyelesaian perselisihan dalam hubungan industrial
yang dapat ditempuh melalui jalur Pengadilan Hubungan Industrial.
46
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS
PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
OLEH PEMBERI KERJA DAN KONSEKUENSI HUKUM TERHADAP
PEMBERI KERJA YANG MELAKUKAN PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA SETELAH ADANYA PELANGGARAN PASAL 59 UNDANG-
UNDANG KETENAGAKERJAAN
4.1. Perlindungan hukum pekerja atas pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan
oleh pemberi kerja.
Menurut Pasal 56 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan telah membagi perjanjian
kerja menjadi dua macam, yaitu : a) perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Perjanjan kerja waktu tertentu
sering disebut dengan perjanjian kontrak atau perjanjian tidak tetap, maka dari itu
status dari pekerja dalam perjanjian ini adalah pekerja tidak tetap atau pekerja
kontrak.
Pengaturan yang menjelaskan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu
terdapat dalam UU Ketenagakerjaan khususnya pada pasal 56 sampai pasal 59 dan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
KEP.100/MEN/VI/2004. Dalam perjanjian kerja waktu tertentu telah tertulis bahwa
ada suatu jangka waktu yang ditetapkan untuk berapa lamanya hubungan kerja
antara buruh/pekerja dengan pengusaha. Untuk syarat kerja yang diperjanjikan
dalam perjanjian kerja waktu tertentu tidak boleh lebih rendah dari pada ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Perjanjian kerja waktu tertentu, hanya memiliki jangka waktu maksimal tiga
tahun dan tidak boleh diperpanjang lagi. Apabila suatu pekerjaan dilakukan lebih
dari batas maksimal tiga tahun maka secara otomatis yang terjadi adalah pekerja
tersebut menjadia karyawan tetap dan perjanjian kerjanya berubah menjadi
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
Ruang lingkup PKWT menurut Kepmen 100/2004 meliputi :
47
1. PKWT untuk pekerjaan yang hanya sekali selesai atau sementara sifatnya yang
mempunyai penyelesaian paling lama tiga tahun.
a. PKWT untuk yang penyelesaianya hanya sekali atau sementara sifatnya
adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
b. PKWT sebagaimana yang dimaksud pada butir a dubuat untuk paling lama
tiga thaun.
c. Dalam hal pada pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT
sebagaimana dimaksud pada butir a dapat diselesaikan lebih cepat dari yang
diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya
pekerjaan.
d. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus
dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
e. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan namun dalam
kondisi belum terselesaikanya pekerjaan tersebut, maka dapat dilakukan
pembaharuan PKWT.
f. Pembaharun yang dimaksud dalam butir e dilakukan setelah melebihi masa
tenggang 30 hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
g. Selama tenggang waktu 30 hari sebagaimana butur f tidak ada hubungan
kerja antara buruh/pekerja dan pengusaha.
2. PKWT untuk pekerjaan yang bersifat musiman.
a. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang dilaksanakan
tergantung pada musim atau cuaca.
b. PKWT yang dimaksud dalam butur a hanya dapat dilakukan untuk satu jenis
pekerjaan di musim tertentu.
c. Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau
memenuhi target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan
musiman.
d. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana yang di dalam butir a
hanya diberlakukan untuk buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan
tambahan.
48
3. PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru.
a. PKWT dapat dilakukan dengan buruh/pekerja untuk dapat melakukan
pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
b. PKWT sebagaiman yang dimakasud dalam butir a hanya dapat dilakukan
paling lama dua tahun dan dapat diperpanjang sekali paling lama satu
tahun.
c. PKWT sebagaimana yang disebutkan dalam butir a tidak dapat dilakukan
pemabaharuan.
d. PKWT yang disebutkan dalam butir a dan butir b hanya boleh
diberlakukan bagi buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan diluar
kegiatan yang biasa dilakukan di perusahaan.
Secara umum perlindungan terhadap pekerja telah diatur dalam UU
Ketenagakerjaan. Namun yang terjadi belakangan ini dalam masyarakat banyak
terjadi keresahan terutama tentang buruh/pekerja yang melakukan pekerjaan
dengan system kontrak. Keresahan ini timbul karena dalam kenyataanya banyak
terjadi perbedaan yang mencolok yang diterima oleh pekerja dengan system
kontrak jika dibandingkan dengan pekerja tetap. Banyak pekerja yang sudah
bertahun-tahun tetapi tidak diangkat menjadi karyawan tetap. Dengan demikian
mereka hanya menerima upah dan tidak mendapatkan bonus dan tunjangan lainya.
Jika dilihat dalam ketentuan yang terdapat pada UU Ketenagakerjaan,
pelaksanaan pekerjaan dengan sistem kontrak bukanlah hal yang dilarang, karena
pada kenyataanya ada dua bentuk pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu yang
di paraktekan, yaitu ada PKWT yang dilakukan antara pekerja dan perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja dimana pada PKWT yang dilakukan antara
buruh/pekerja dengan perusahaan penyedia tenaga kerja ini lebih dikenal istilah
outsourching. Disamping itu, terdapat PKWT yang dilakukan oleh buruh/pekerja
dengan perusahaan secara langsung, tanpa melalui perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja, pada PKWT yang dilakukan antara pekerja dengan perusahaan pemberi kerja,
pekerja menjadi karyawan dalam suatu perusahan yang mempekerjakan mereka,
hanya saja mereka dipekerjakan dalam jangka waktu tertentu.
49
Sebenarnya jika dilihat dalam UU Ketenagakerjaan sudah ada perlindungan
yang diberikan terhadap buruh/pekerja, termasuk mereka yang bekerja sebagai
sistem kontrak atau PKWT. Hanya saja penerapan dalam kenyataan di lapangan
tidak semua yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang ada, terutama yang terkait dengan ketenagakerjaan. Perlindungan
tenaga kerja sebagaimana yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan ini
bertujuan untuk menjamin berlangsungnya hubungan kerja yang harmonis antara
pengusaha dan pekerja/buruh tanpa disertai adanya tekanan-tekanan dari pihak
pengusaha yang mempunyai power kepada pihak pekerja/buruh yang lemah. maka
dari itu pengusaha yang secara sosial-ekonomi memiliki kedudukan yang lebih kuat
wajib membantu melaksanakan ketentuan perlindungan susuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dalam pelaksanaanya, pengusaha yang memakai buruh/pekerja
dengan sistem PKWT tetapi tidak mamatuhi ketentuan yang diatur pada pasal 59
ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut, terdapat sanksi yang akan diterima oleh
pengusaha yang juga merupakan salah satu bentuk perlindungan yang diberikan
oleh UU Ketenagakerjaan, yaitu sebagaimana diatur dalam pasal 59 ayat (7) UU
Ketenagakerjaan yang berbunyi : “perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2). ayat (4), ayat
(5) dan ayat(6), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”.
Suatu perjanjian kerja dapat diadakan untuk waktu tertentu (PKWT) dan
untuk waktu tidak tertentu (PKWTT). Masalah perpanjangan tidak menjadi
persoalan pada PKWTT dikarenakan perjanjian kerja akan terus berlanjut hingga
masa kontrak berakhir. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur tentang perpanjangan
PKWTT, karena PKWTT tidak mungkin ada perpanjangan karena buruh/pekerja
sudah menjadi karyawan tetap, lain halnya untuk PKWT.
Suatu PKWT dapat dilaksanakan paling lama dua tahun dan dapat
diperpanjang satu kali yaitu paling lama satu tahun.88 PKWT berakhir jika memang
waktunya sudah habis. Perjanjian kerja yang sudah habis waktunya dapat
diperpanjang. Jika dalam perusahaan ingin melakukan perpanjang pada
karyawannya yaitu tujuh hari sebelum masa kontrak habis harus sudah diberitakan
88 Pasal 59 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
50
kepada buruh/pekerja tersebut secara tertulis. Bagi buruh/pekerja yang terikat
PKWTT lebih menguntungkan dari pada dibandingkan terikat PKWT dilihat dari
berakhirnya perjanjian kerja, karena PKWTT tidak ada jangka waktu untuk
berakhirnya suatu perjanjian kerja terkecuali melakukan suatu pelanggaran berat
dan pensiun yang menyebabkan buruh/karyawan tersebut di PHK. Jadi PKWT
paling lama hanya berlangsung tiga tahun, sedangkan PKWTT bisa lebih lama lagi
dari PKWT. Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menjelaskan berkahirnya suatu
perjanjian apabila : (a) pekerja meninggal dunia, (b) telah berkhirnya jangka waktu
perjanjian-kerja, (c) adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, (d) adanya suatu keadaan dan kejadian tertentu yang
dicantumkan di perjanjian-kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama yang menyebabkan berkahirnya hubungan kerja.
Jika suatu perpanjangan diperjanjikan diketahui kedua belah pihak, hal ini
tidak akan timbul suatu masalah. Lain halnya jika perpanjangan dilakukan secara
diam-diam. Dengan demikian, hubungan kerja dinilai dapat diadakan lagi untuk
waktu paling lama satu tahun dengan syarat yang sama. Menurut pasal 59 ayat (5)
UU ketenagakerjaan dijelaskan bahwa “ pengusaha yang bermaksud
memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama tujuh hari
sebelum berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu sudah memberitahukan
maksudnya secara tertulis kepada buruh/pekerja yang bersangkutan”. Penulis
mengartikan bahwa roh dari pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan tersebut dapat
dimaknai bahwa perjanian-kerja yang lama masih berlaku terus, jika dalam suatu
perpanjangan dilakukan menurut aturan. Konsekwensi yang paling penting adalah
bahwa yang diperjanjikan dalam perjanjian yang disyaratkan harus tertulis tidak
perlu di tetapkan kembali, tetapi dengan syarat harus secara tertulis memberitahu
maksud untuk memperpanjang hubungan-kerja kepada buruh/pekerja dengan
jangka waktu paling lama tujuh hari sebelum berakhirnya perjanjian kerja. Jika
syarat ini tidak terpenuhi, utamanya harus memberitahu secara tertulis, maka
PKWT beralih menjadi PKWTT. Alasanya, pemberitahuan secara tertulis itu
diartikan sama saja membuat perjanjian kerja secara tertulis. Menurut pasal 57 ayat
51
(2) UU ketenagakerjaan dinyatakan bahwa perjanjian-kerja yang tidak dibuat
secara tertulis maka berubah menjadi PKWTT.
UU Ketenagakerjaan hanya mengatur masalah pemberitahuan
perpanjangan perjanjian kerja, tetapi tidak mengatur tentang masalah
pemberitahuan pemutusan hubungan kerja demi hukum. Mengenai putusnya
hubungan kerja demi hukum dalam hal waktunya telah habis, penulis condong
untuk mensyaratkan bahwa dengan lewatnya waktu yang ditentukan itu, bahwa
habislah juga pekerjaan yang dilakukan oleh buruh/pekerja tersebut dan pengusaha
tidak ada lagi mempekerjaakan lagi di bagian lain di perusahaannya. Jika Pekerjaan
itu masih harus diteruskan, seharusnya buruh/pekerja masih harus melanjutkan
pekerjaanya. Kecuali pekerjaan yang diposisikan buruh/pekerja sudah tidak ada dan
pengusaha tidak bisa menempatkan di bagian lain, artinya sudah tidak ada lagi
pekerjaan untuk buruh/pekerja, maka hubungan-kerja putus. Dengan demikian,
pengusaha berkewajiban untuk memberitahukan kepada buruh/pekerja bahwa akan
diadakan pemutusan hubungan kerja. Hal seperti ini dimaksudkan untuk menjaga
buruh/pekerja untuk melakukan persiapan untuk mencari pekerjaan baru dan
mempersiapkan mental mengahapi pemutusan kerjanya. Pemberitahuan ini bukan
merupakan syarat putus tidaknya hubungan kerja tersebut, melainkan untuk
membantu buruh/pekerja.
Bagaimana jika ada suatu perusahaan yang ingin memperpanjang kontrak
kepada pekerjanya, sementara pekerjanya tidak mau dan pekerjaan belum selesai.
Persoalan seperti ini dapat dijawab dengan ditanyakan terlebih dulu tentang status
buruh/pekerja. Jika pekerja tersebut adalah pekerja yang terikat PKWT maka perlu
di ketahui apakah Perjanjian-kerja dalam PKWT termasuk (a) PKWT yang
didasarkan atas selesainya pekerjaan tersebut, atau (b) PKWT yang bersifat
musiman, atau (c) PKWT untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk
baru. 89 Jika PKWT yang dibuat sesuai selesainya pekerjaan tertentu, maka
perjanjian-kerja tidak boleh dihentikan oleh siapapun sebelum pekerjaan yang
disepakati itu selesai. Namun, jika pekerjaan tersebut dapat diselesaikan lebih cepat
dari yang diperjanjikan, maka PKWT putus demi hukum. Dan begitu juga jika
pekerjaan tidak dapat diselesaikan karena kondisi tertentu, sedangkan waktu yang
89 KEPMENAKERTRANS Nomor KEP.100/MEN/IV/2004.
52
diperjanjikan sudah jatuh tempo maka dapat dilakukan pembaharuan dan PKWT
dapat diperpanjang oleh perusahaan. Oleh kerena itu, jika buruh/pekerja terebut
menolak untuk diperpanjang perjanjian kerjanya dapat dianggap mengundurkan
diri dan dapat dikenakan memberi ganti rugi ke perusahaan. Selanjutnya, jika
perjanjian-kerja ditentukan berdasarkan musim, tidak dapat dilakukan
pembaharuan. jadi, PKWT seperti ini sangat ditentukan oleh musim. Demikian juga
PKWT yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan juga tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Pengusaha yang nakal selalu ingin mengikat pekerjanya dengan PKWT saja.
Oleh karena perjanjian yang kedua kali tidak diijinkan oleh UU Ketenagakerjaan,
maka PKWT yang lebih dari tiga tahun ingin diperpanjang dengan cara tidak
menyebut perpanjangan PKWT tetapi mereka menyebut dengan pembaharuan
PKWT.
UU Ketenagakerjaan mengantisipasi pengusaha nakal yang memainkan
PKWT tersebut dengan menetapkan bahwa suatu pembaharuan PKWT hanya dapat
diadakan setelah melebihi tenggang waktu 30 hari itu, tidak ada hubungan kerja
antara buruh/pekerja dengan pengusaha. Para pihak dapat mengatur lain dari
ketentuan diatas yang dituangkan dalam perjanjian.90
Van Der Griten berpendapat mengenai pembaharuan seperti yang dikutip
imam soepomo. Van Der Griten berpendapat bahwa tidak satu pihak pun
berwenang merubah secara sepihak mengadakan perubahan dalam suatu perjanjian
kerja. Dalam tindakan sepihak ini adalah wewenang pihak lainya untuk memutus
hubungan kerjanya dengan pernyataan pengakhiran. Imam Soepomo berpendapat,
bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan azas hendak melindungi buruh.
Buruh yang merasa dirugikan itu harus menuntut dimuka pengadilan agar
perubahan tersebut dibatalkan. Tiap perjanjian yang dirubah tanpa kesepakatan
kedua belah pihak, pihak lainya dapat menuntut supaya ditiadakan yang salahnya,
dan harus dibetulkan. Pembetulan itu dapat berupa pembatalan dari tindakan yang
salah atau pembayaran ganti rugi. Lebih-lebih dalam hukum perburuhan, dimana
terdapat asas melindungi buruh. Memberi alternative supaya buruh memutusakan
90 Mohd. Syaufii Syamsudin, Norma Perlindungan dalam Hubungan Industrial. Jakarta : Sarana
Bhakti Persada, 2004. hlm 202.
53
hubungan kerja dan membiarkan tindakan yang salah itu tetap berlangsung dan
tunduk pada tindakan yang salah itu.91
Hakim telah menolak permohonan kasasi dari Pemohon kasasi yaitu Yuan
Agusta, pertimbangan hakim bahwa putusan Judex Facti tidak sesuai dengan fakta
hukum yang muncul di persidangan. Berdasarkan fakta hukum penggugat telah
melakukan kesalahan dan telah mendapatkan Surat Peringatan dari Tergugat. Untuk
memberikan putusan yang berkeadilan dalam perkara a quo, dan oleh karena
pemutusan hubungan kerja haruslah mempunyai landasan atau pijakan hukum,
maka setelah melihat fakta-fakta dan bukti-bukti dipersidangan, serta seluruh
pertimbangan yang telah dipertimbangkan di atas, Majelis berpendapat bahwa
pemutusan hubungan kerja dalam perkara a quo adalah pemutusan hubungan kerja
karena kesalahan sebagaimana diatur dalam Pasal 161 Undang-Undang Nomor 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Penulis berpendapat bahwa pengaturan tentang akibat perpanjangan dan
pembaharuan PKWT yang tidak memenuhi syarat yang diatur dalam pasal 59 UU
Ketenagakerjaan lebih menguntungkan buruh/pekerja dari pada pendapat para ahli
yaitu Van Der Gruten dan Imam Soepomo. Sebab, buruh/pekerja yang berurusan
untuk menuntut haknya dipengadilan rupa-rupanya seperti menegakan benang
basah alias mustahil mendapatkan perhatian. Lain halnya jika sebagai akibat
persyaratan yang tidak terpenuhi dalam perpanjangan perjanjian kerja atau
pembaharuan perjanjian kerja, demi hukum PKWT menjadi PKWTT. Bagi
buruh/pekerja yang penting bukan mendapat ganti rugi yang hanya dinikmati sesaat,
tetapi msih tetap bekerja di perusahaan itu. karena dengan masih tetap bekerja
merupakan sinyal bahwa buruh/pekerja dapat menghidupi dirinya dan keluarganya
dalam jangka waktu kedepan.
Bagaimana jika perjanjian kerja diadakan perpanjangan bersamaan dengan
pembaharuan dan diadakan terus menerus berulang kali. Dalam contoh kasus,
misalnya si B adalah buruh/pekerja yang terikat dalam PKWT selama dua tahun.
91 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja. Djakarta: Direktorat Peralatan MABAK, 1968. hlm 82.
54
Lalu PKWT si B diperpanjang lagi satu tahun. Dan setelah perpanjang PKWT
selesai, si B diberhentikan. Kemudian si B dipekerjakan kembali dengan memakai
istilah telah diperbaharui dengan system PKWT selama satu tahun. Hal tersebut
terjadi berulang kali sehingga si B tidak pernah menjadi buruh/pekerja dengan
status tetap atau PKWTT. Sama dengan kasus yang penulis ambil diatas yaitu Yuan
Agusta (penggugat) bekerja sejak tanggal 1 November 2001 sampai dengan tanggal
31 Mei 2013 (Selama kurang Lebih 11 Tahun) dengan status Kontrak atau
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Selama bekerja ia telah berganti bagian
sebanyak 11 kali, setiap tahun sekali perjanjian kontrak PKWT selalu dibuat, dan
setiap kali masa kontrak berakhir Penggugat diminta untuk membuat surat lamaran
kerja baru secara lisan oleh Tergugat serta kemudian baru dibuat surat perjanjian
kerja baru.
Jika terjadi perpanjangan bersamaan pembaharuan dan terjadi berulang kali,
maka jawabanya ada di pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Pasal ini sudah jelas
mengatur bahwa PKWT dapat diperpanjang atau diperbaharui. Berdasarkan pasal
tersebut sangat jelas bahwa yang dimaksud pasal tersebut adalah kata atau bukan
kata dan. Dengan demikian bagi PKWT yang masa kontraknya habis, perusahaan
dapat memilih untuk memperpanjang atau memperbaharui perjanjian kerja tersebut.
Dalam hal ini, berdasarkan bunyi pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tersebut
tidak dapat menerapkan perpanjangan sekaligus pembaharuan perjanjian kerja.
Pelanggaran ketentuan ini berakibat PKWT berubah menjadi PKWTT.
4.2. Konsekuensi hukum terhadap pemberi kerja yang melakukan Pemutusan
Hubungan Kerja setelah adanya pelanggaran pasal 59 UU Ketenagakerjaan.
Jangka waktu tertentu untuk PKWT tersebut diatur dalam pasal 59 ayat (4)
UU Ketenagakerjaan yang menjelaskan untuk paling lama dua tahun dan boleh di
perpanjang hanya satu kali untuk paling lama satu tahun. Mengenai perjanjian
tertentu pengusaha hanya boleh mempekerjakan karyawan kontrak berdasarkan
pada empat jenis dan sifat pekerjaan saja, hal seperti ini seharusnya pengusaha sadar
bahwa hukum itu melindungi para buruh/pekerja untuk dihargai dan diberi
kelayakan sebagai seorang pekerja untuk menghidupi dan mensejahterakan
55
keluarganya, pengusaha selayaknya harus mempunyai rasa manusiawi agar saling
menghormati sesama manusia.
Pada penelitian in, karyawan kontrak yang kontrak kerjanya tidak sesuai
dengan UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) dapat dibuat paling lama dua tahun dan dapat diperbaharui untuk
paling lama satu tahun. Namun, yang terjadi dilapangan perjanjian kerja waktu
tertentu itu diawali dengan masa training (percobaan) selama tiga bulan atau
mungkin bisa kurang dari itu. Setelah itu baru dilakukan kontrak pertama selama
enam bulan atau satu tahun yang diperpanjang selama tiga tahun. Berdasarkan
Undang-undang Ketenagakerjaan untuk PKWT yang dibuat seperti ini jelas
melanggar hukum.
Pertama mengenai masa training yang tidak dikenal didalam UU
Ketenagakerjaan. Kedua mengenai masa percobaan karena masa percobaan hanya
untuk dilakukan untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Dalam pasal
58 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa perjanjian kerja waktu
tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan kerja dan jika terjadi
maka batal demi hukum. Ketiga yaitu mengenai PKWT yang berulang lebih dari
satu kali dan atau PKWT yang sudah melebihi jangka waktu yang sudah ditentukan
yaitu hanya untuk tiga tahun, maka untuk perjanjian kerja waktu tertentu yang
melebihi tiga tahun dan atau PKWT yang diperpanjang lebih dari satu kali secara
hukum karyawan yang bersangkutan otomatis menjadi PKWTT atau karyawan
tetap, akan tetapi praktek dilapangan tidak seperti itu.
Sangat kurangnya pemahaman masyarakat khususnya karyawan disebuah
perusahaan swasta terhadap aturan ketenagakerjaan sangat memungkinkan
terjadinya penyimpangan ketidakadilan dan pelanggaran hukum yang dilegalkan
dan membutuhkan waktu yang sangat Panjang atau mungkin bisa berlangsung
permanen, padahal jika ditinjau dari undang-undang ketenagakerjaan sanksi yang
diberikan bagi perusahaan dan perorangan yang melanggar undang-undang tersebut
sangatlah berat.
Jadi perlindungan untuk pekerja memang ada di UU ketenagakerjaan
sebagai dasar hukum untuk mengadukan kepada pihak yang bertanggung jawab
atas permasalahan perburuhan. Karena pada kasus seperti ini harusnya
56
pekerja/buruh harus bisa memahami dan tidak berdiam diri jika sebuah perusahaan
bertindak sewenang-wenang kepada pekerja/buruh. Perlunya pengetahuan dan
keberanian untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang bisa menolong
para kaum buruh agar bisa di proses pada pihak yang berwajib.
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pertimbangan hakim menolak pemohon kasasi yakni Penggugat terhadap
putusan ini melihat kepada bukti-bukti secara fakta di persidangan, bahwa
Penggugat di putus kontraknya karena memang kesalahan penggugat sendiri karena
performa kerjanya dianggap menurun, dan telah melakukan kesalahan sehingga
Penggugat dikenakan Surat Peringatan oleh Tergugat. Bahwa menurut penulis
majelis hakim tidak memperhatikan alasan kenapa Tergugat telah di PHK,
sedangkan jelas disitu Penggugat sudah jelas telah bekerja selama 11 tahun dan
tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap atau PKWTT. Bahwa sudah jelas di
pasal 59 UU Ketenagakerjaan sudah mengatur tentang Perjanjian kerja waktu
tertentu, dan majelis hakim tidak menimbang kesalahan Tergugat di posisi itu.
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dalam kasus ini pada
pelaksanaanya belum berjalan sebagaimana yang diatur dalam UU
Ketenagakerjaan karena tenaga kerja waktu tertentu melakukan suatu pekerjaan
utama yang sifatnya terus menerus dimana pekerjaan seperti itu dilakukan oleh
karyawan tetap. Tidak adanya perlindungan mengenai jangka waktu dalam
perjanjian kerja sebagai mana ditaur dalam pasal 59 ayat (2) dan ayat (4) UU
Ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa PKWT tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap serta jangka waktu tiga tahun dengan setiap satu tahun
sekali dilakukan perpanjangan kontrak. Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan juga
menafsirkan yang menyatakan bahwa pelanggaran terhadap pasal 59 ayat (2) dan
ayat (4) UU Ketenagakerjaan ini akan berakibat PKWT tersebut demi hukum
berubah menjadi PKWTT. Dalam praktek perjanjian kerja ini yang dilakukan
Martono Saputro selaku General Manager terjadi selama 11 tahun dengan
memberikan kontrak kerja paling lama tahun, dan diperpanjang dua sampai paling
banyak tiga kali, kemudian mengganti bagian pekerjaan dan mengadakan kontrak
baru lagi sampai seterusnya tidak pernah diangkat menjadi karyawan tetap. Jika
terjadi kasus seperti ini, perlindungan hukumnya sudah ada, dan sangat jelas bahwa
58
dalam pasal tersebut sudah mengatur bagaimana PKWT diperlakukan, tapi
menurut penulis antara kedua belah pihak ada unsur saling membutuhkan, satu sisi
pengusaha membutuhkan karyawan tapi tidak mau menjadikan karyawan tetap,
disisi lain karyawan membutuhkan pekerjaan tersebut untuk menghidupi
keluarganya meskipun terus menerus menjadi karyawan kontrak tanpa menjadi
karyawan tetap atau PKWTT. Selanjutnya penulis berpendapat bahwa didalam
sebuah perusahaan harus ada serikat buruh atau serikat pekerja untuk melindungi
hak-hak pekerjanya, untuk mengawasi pengusaha yang melakukan tindakan yang
merugikan pekerjanya. jadi organisasi serikat pekerja sangatlah penting di bentuk
dalam suatu perusahaan, apalagi ada kasus karyawan yang di kontrak terus menerus
tanpa diangkat menjadi karyawan tetap, kasus seperti ini sangat mungkin akan
dibawa atau diselesaikan melalui pengadilan atau diluar pengadilan jika terdapat
organisasi serikat pekerjanya. Menurut penulis perlu juga memberi sanksi lebih
tegas pada pihak pengusaha di UU PPHI agar tidak tidak melakukan tindakan
sewenang-wenang kepada pekerja/buruh.
Yang menjadi permasalahan adalah setiap tahunya pekerja hotel sahid haya
solo di buatkan perjanjian baru dan diputus kontrak sementara untuk mngakali pasal
59 UU Ketenagakerjaan ini. Dilihat dari pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan
juga menjelaskan bahwa adanya masa pembaharuan yang jangka tenggang waktu
nya 30 hari dan hanya boleh dilakukan maksimal dua tahun. Disini sudah jelas
bahwa masa pembaharuan mempunyai tenggang waktu bukan langsung
dipekerjakan setelah masa kontrak habis, lagi-lagi perlindungan hukumnya jelas
sudah ada, menurut penulis harus ditambahkan kata “tidak boleh dilakukan kontrak
baru lagi di perusahaan tersebut setelah masa kontrak berakhir” pada pasal 59 UU
Ketenagakerjaan ini. Di lihat dari sudut pandang pekerja, sistem kontrak seperti ini
menjadi momok yang menakutkan dan sangat merugikan mereka, mempunyai rasa
takut akan kehilangan pekerjaan, tingkat kesejahteraan yang sangat kurang dan
perlindungan syarat kerja yang jauh dari seharusnya diberikan yang dapat
merugikan pekerja. semua hal seperti ini tidak sesuai dengan peraturan UU
ketenagakerjaan. Perusahaan seharusnya memberikan perlindungan kepada
pekerjanya dengan memenuhi syarat-syarat sesusai dengan peraturan yang berlaku,
perlu adanya pengawasan, sebaiknya setiap pegawai pengawas yang berwenang di
59
bidang ini melakukan penindakan langsung terhadap pelanggaran yang terjadi.
Penulis memberi masukan seharusnya dari sisi pengusaha mengikuti ketentuan
secara normatif terkait pemberian pesangon sesuai Pasal 156 ayat (1) sampai (5)
UU Ketenagakerjaan.
5.2. Saran
Bagi pekerja harusnya lebih bisa memberanikan diri melaporkan hal-hal
yang merugikan dirinya sendiri pada pihak yang bisa membantu pekerja untuk
melindungi hak-haknya bukan malah membiarkan pengusaha bertindak sesuka hati,
karena PKWT terus-menerus adalah perbudakan di jaman modern yang bisa
membuat buruh terjajah. Harus adanya organisasi Serikat buruh/Serikat pekerja
untuk melindungi hak-hak setiap buruh dan kesejahteraan buruh tetap utuh seperti
sila ke-5 yaitu Kedilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, bahwa rakyat
indonsesia membutuhkan keadilan bagi seluruh rakyatnya. Di perlukan adanya
peratuaran yang lebih tegas lagi kepada pengusaha jika melanggar peraturan terkait
memperlakukan pekerja yang tidak semestinya. Serta pemberi kerja wajib untuk
bisa memahami tentang perjanjian kerja sehingga tidak akan terjadi pelanggaran
seperti itu.
60
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, K. (2014). Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti.
Asyhadie, Z. (2008). Hukum Kerja . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bambang, R. j. (2013 Cet 1). Hukum Ketenagakerjaan. Bandung: Pustaka Setia.
BPHN, T. N. (1985). Naskah Akademik Lokakarya Hukum Perikatan. Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Darwan, P. (2000). Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Bandung: PT. Citra
Aditya.
Djamali, A. (2014). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Djumialdji, F. (2006). Perjanjian Kerja. Jakarta: Sinar Grafika .
Fahrojih, i. (2004). Hukum Perburuhan. Malang: Setara Press.
Harahap, M. Y. (1986). Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
HS, S. (2002). Pengantar Hukum Perdata Tertulis. Jakarta: Sinar Grafika.
Husni, L. (2008 Edisi ke VIII). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jehani, L. (2007). Hak-hak Karyawan Kontrak. Jakarta: Forum Sahabat.
Jehani, L. (2007). Hak-hak Pekerja Bila di PHK. Tangerang: Visi Media.
Jehani, L. (2007). Hak-hak Pekerja Bila di PHK. Tangerang: Visi Media.
Jehani, L. (n.d.). Hak-hak Karyawan Kontrak.
Jehani, L. (n.d.). Hak-hak Karyawan Kontrak. Tangerang: visi media.
Kasim, U. (2004). Hubungan Kerja dan Pemutusan Hubungan Kerja. Informasi
hukum Vol.2.
Kelsen, H. (2007). Teori Hukum Murni. Bandung: Nusamedia.
KEPMEN No.100/MEN/VI/2004. (n.d.).
Kitab Undang Undang Hukum Perdata. (Cetakan ke II tahun 2014). Pustaka
Buana.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (Cetakan 11 tahun 2014). Pustaka Buana.
Kosidin, k. (1999). Perjanjian kerja, perjanjian perburuhan, peraturan
perusahaan. Bandung: Mandar Maju.
Mamudji, S. S. (2007). Penelitian Hukum Normatif, Suatu tinjauan singkat.
jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
61
Manulang. (1988). Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Miru, A. (2011). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: PT. Raja
Grafindo persada.
Muhammad, A. (1993). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Muhammad, A. (2004). Hukum dan Penelitian hukum. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Muhammad, N. (2003). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Patrik, P. (1994). Dasar-Dasar Hukum Perikatan. Bandung: Mandar Maju.
Rasyad, A. (2005). Persiapan Bagi Peneliti. Pekanbaru : UNRI Press.
Ridwan, H. (1948). Hukum Peburuhan Dalam Tanya Jawab. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
sapoetra, K. (1992). Hukum Perburuhan di indonesia Berlandaskan Pancasila.
jakarta: Sinar Grafika.
Simanjuntak, P. J. (Edisi ke-3 2009). Manajemen hubungan Industrial. Jakarta:
Jala Permata Aksara.
Simorangkir, J. (1987). Kamus Hukum . Jakarta : Aksara jawa.
Soedarjadi. (2009). Hak dan Kewajiban Pekerja-pengusaha. Yoyakarta: Pustaka
Yustisia.
Soejono, F. D. (1985). Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila. Jakarta : Bina Aksara.
Soekanto, S. (2007). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soepomo, I. (1968). Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja.
Jakarta : Direktorat Peralatan MABAK.
Soepomo, I. (1974). Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. jakarta:
Djambatan.
Soepomo, I. (1983). Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja.
Bandung: Djambatan.
Subekti. (1985). Aneka Perjanjian. Bandung : Penerbit alumni.
Subekti. (2005). Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa.
Subekti, R. (1985). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Syafiuddin, M. (2012). Hukum kontrak. bandung: CV. Mandar Maju .
62
Syafiuddin, M. (2012). Hukum kontrak memahami kontrak dalam persprktif
filsafat, teori, dogmatis, dan praktik hukum. bandung: mandar maju.
Syaifuddin, M. (n.d.). Hukum kontrak.
Syamsudin, M. S. (2004). Norma perlindungan dalam Hubungan Industrial.
jakarta: Sarana Bhakti Persada.
Upah Pekerja Selama Proses PHK Seringkali Tak Dibayar. (2019, September 5).
Retrieved from www.hukumonline.com.
Wijayanti, A. (2009). Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar
Grafika.
Yustisia, T. v. (2016 Cetakan kedua). Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Jakarta selatan: Visimedia.
Zaenal, A. (2012). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: Rajawali Press.