PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK GUNA ...repository.ub.ac.id/5445/1/Maulfi Fahrul Vannany.pdfdalam...
Transcript of PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK GUNA ...repository.ub.ac.id/5445/1/Maulfi Fahrul Vannany.pdfdalam...
i
PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK GUNA
BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN
(studi kasus Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
Nomor 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang
Kabupaten Jombang)
TESIS
Untuk memenuhi sebagian persyaratan memperoleh gelar
Magister Kenotariatan (M.Kn)
Disusun Oleh :
Maulfi Fahrul Vannany
NIM :156010200111065
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم Maha Suci dan Maha Benar Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan segala firman dan
ayatNya. Dengan Rahmat, Hidayah serta Syafaat Nya kita semua dianugrahi hidup dan
kehidupan. Sholawat salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Berkat Rahmat Allah SWT serta bimbingan dari semua pihak yang mulia, baik yang
secara langsung maupun tidak langsung telah membantu terselesainya penulisan Tesis yang
berjudul : PERLINDUNGAN HUKUM PEMEGANG HAK GUNA BANGUNA DIATAS HAK
PENGELOLAAN (studi kasus Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Nomor 1 Desa
Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang). Penulisan Tesis ini dimaksudkan sebagai
syarat dalam rangka memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
Allah Berfirman : “Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang
mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang ber akallah yang
dapat menerima pelajaran”. (QS Az Zumar: 9).
Perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimaksih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada orang-orang yang telah mengucurkan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis
sehingga penulis dapat mendapat secercah pengetahuan khususnya dalam bidang kenotariatan.
Terimakasih serta penghargaan yang tinggi kepada :
Yth. Bapak Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, M.S. Selaku rektor Universitas Brawijaya
Malang
Yth. Bapak Dr. Rachmad Safa’at, S.H,M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
Yth. Bapak Dr. Imam Koeswahyono, S.H, M.H. Selaku Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
v
Yth. Bapak Dr. Bambang Winarno, S.H, S.U. Selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan motivasi kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
Yth. Ibu Diah Aju Wisnuwardhani, S.H, M.Hum. Selaku dosen pembimbing pendamping
yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan motivasi kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini serta menjadi seorang notaris yang baik
dan benar.
Yth. Bapak Dr. Tunggul Anshari SN S.H, M.Hum serta Bapak Hariyanto Susilo S.H,
M.Kn. Selaku dosen penguji saat ujian seminar proposal dan ujian tesis, yang telah banyak
memberikan kritik, saran dan masukan sehingga tesis ini layak untuk ditulis dan diuji.
Yth, Bapak Ibu dosen pengajar magister kenotariatan sejak semester pertama sampai
dengan semester ketiga, terimakasih atas curahan ilmu dan pengalaman yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga amal baik Bapak Ibu pengajar yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu diberkahi Allah SWT
Sembah sungkem, hormat dan terimaksih yang tak terhingga penulis kepada kedua orang
tua, ayahanda H. Malik Suhartono dan doa untuk ibunda tercinta Chotijah (Almh), kepada
kedua mertua, H. Fatoni dan Hj. Titik Listianawati, semoga Allah meRahmati mereka
semua.
Untuk istriku tercinta Merta Nooralisa dan kedua anakku, Aisyah Anindya Al Mahyara
dan Tsamara Nadzila Yasmin, kesemuanya adalah penyemangat hidup dan penyembuh
lara, maafkan Abi yang sering mengesampingkan waktu bersama kalian untuk mengejar
cita-cita ini. Semoga keikhlasan kalian mendapat Barokah dari Allah SWT.
Saudara-saudaraku semua, Adek Kiki, adek Nova, Adek Dian, Adek Sylvi, adek Alan
serta saudara ipar semua, Mas Yudi, Mbak ika, adek Silvi, semoga kita semua menjadi
saudara yang guyub rukun dan menjadi orang yang maslahat dunia akhirat.
Teman-teman satu angkatan Mkn 2015 kelas D yang telah memberikan rasa kebersamaan
dalam menggapai setapak demi setapak proses belajar selama perkuliahan dan khususnya
teman-teman rombongan Jombang, Adit, Septa, Romadhon, Yanuar, Agung mujahidin,
Neni, Mbak Erna, Mbak Hartatik, konco rea reo ngukur dalan Jombang-Malang demi cita-
cita. Tak lupa kepada Bapak Dr. Supriyadi, S.H, M.Hum, M.Kn, yang telah memberikan
arahan dan motivasi dalam penyusunan tesis serta menampung penulis di rumah beliau
vi
selama 1 tahun masa perkuliahan, semoga amal kebaikan bapak diterima Allah dan diberi
kelimpahan Rahmat dari Allah SWT.
Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam ruang yang terbatas ini,
terimaksih atas bantuan, dukungan dan doa untuk terselesainya Tesis ini, mohon maaf atas
salah dan khilaf. Semoga Allah SWT memberikan keberkahan atas bantuan dan dukungan
sebagai amal ibadah yang diterima Allah SWT.
Malang, Agustus 2017
Penulis
Maulfi Fahrul Vannany
vii
RINGKASAN
Maulfi Fahrul Vannany, S.H, S.P, 156010200111065, Program Studi Magister Kenotariatan,
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Agustus 2017. PERLINDUNGAN HUKUM
PEMEGANG HAK GUNA BANGUNAN DIATAS HAK PENGELOLAAN
(studi kasus Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Nomor 1 Desa Jombang
Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang), Dr. Bambang Winarno, S.H, S.U., Dr. Diah Aju
Wisnuwardani, S.H, M.Hum
Kewenangan yang dimiliki oleh Pemegang Hak Pengelolaan diantaranya adalah
berwenang mempergunakan tanahnya untuk kepentingan pelaksanaan tugas atau usahanya.
Pun berwenang menyerahkan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan kepada pihak ketiga dan
atau bekerja sama dengan pihak ketiga. Penyerahan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan
kepada pihak ketiga dalam bentuk perjanjian penggunaan tanah yang melahirkan Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai. Kewenangan yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan
bersifat publik (Publiekrechtelijke) karena hanya bersifat mengatur serta mengelola dari tanah
Negara yang kewenangannya sebagian dilimpahkan ke pemegang hak pengelolaan.
Pemerintah Kabupaten Jombang, sebagai pemegang Hak Pengelolaan Nomor 1 Desa
Jombang, melakukan kerjasama dengan pihak ketiga. Perjanjian sebagai alas hukum terbitnya
Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas Hak Pengelolaan Nomor 1 desa Jombang tidak
memberikan ruang kepastian perpanjangan status Hak Guna Bangunan yang berdiri diatasnya
saat jangka waktu Hak Guna Bangunannya telah berakhir, walapun semua syarat untuk dapat
dilakukan perpanjangan sesuai pasal 26 Peraturam Pemerintah No. 40 tahun 1996 terpenuhi.
Sehingga perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan yang telah berakhir tidak
ada.
Rumusan masalah yang diangkat berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan
diatas adalah bagaimanakah kewenangan serta kebijakan pemegang Hak Pengelolaan No. 1
Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang (Pemerintah Daerah Jombang)
untuk memperpanjang Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas Hak Pengelolaan No.
1/Jombang, serta perlindungan Hukum pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang yang telah
melewati masa berakhir haknya.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan serta
kebijakan pemegang Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten
Jombang (Pemerintah Kabupaten Jombang) untuk memperpanjang Hak Guna Bangunan yang
berdiri diatas Hak Pengelolaan No. 1/Jombang, serta perlindungan Hukum pemegang Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang
Kabupaten Jombang yang telah melewati masa berakhir haknya.
Metode penelitian yang digunakan untuk meneliti permasalahan adalah metode
penelitian hukum empiris. Dengan pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang berusaha
menghubungkan antara norma hukum yang berlaku dengan kenyataan yang ada di
masyarakat. Pada penelitian ini yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian dilanjutkan
dengan meneliti data primer di lapangan. Data hukum primer didapat dari wawancara dan
observasi kepada pihak yang terkait. Dan data hukum sekunder merupakan kajian pustaka
baik dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal atau makalah yang terkait dengan
pokok bahasan.
Teori yang dipakai adalah teori Kewenangan dari Philipus M. Hadjon mengenai
upaya untuk menelusuri sumber kewenangan yang dimiliki oleh pemegang Hak Pengelolaan
serta sejauh mana kewenangan itu bersesuaian dengan maksud dan tujuan dari pemberi
kewenangan. Teori kepastian hukum dari Gustav Radbruch akan digunakan untuk
viii
memberikan pandangan tentang kepastian dari pelaksanaan peraturan yang mengatur
hubungan hukum antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Pengelolaan,
baik sebagai pranata untuk mengatur perilaku subyek hukum serta menjamin keselamatan dan
kepentingan dari individu didalam masyarakat. Teori system hukum yang dikemukakan oleh
Lawrence M. Friedmen akan dipakai untuk menganalisis kebijakan Pemerintah Kabupaten
Jombang, dalam hal efektifitasnya. Teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh
Satjipto rahardjo, akan digunakan untuk memberikan penjelasan perlindungan hukum bagi
masyarakat pemegang Hak Guna Bangunan (sebagai pihak pemohon perpanjangan HGB)
diatas Hak Pengelolaan (sebagai pihak yang menyetujui atas perpanjangan HGB)
Hasil penelitian serta pembahasan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah
Kabupaten Jombang sebagai pemegang Hak Pengelolaan No.1/Jombang adalah bersifat
publik (Publiekrechtelijk), perjanjian antara Pemerintah Jombang dengan pihak ketiga tidak
mencantumkam klausula perpanjangan hak saat jangka waktu Hak Guna Bangunan berakhir
sehingga tidak ada kepastian hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan, serta tidak ada
perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan yang telah berakhir jangka waktu
haknya.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah timbulnya Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan No.1/Jombang berdasarkan alas hak berupa Perjanjian antara Pemerintah
Kabupaten Jombang dengan pihak ketiga. Pemerintah kabupaten Jombang mendapatkan hak
sebagai pemegang Hak Pengelolaan berdasarkan permohonan, sehingga kewenangannya
bersifat public (sebagai gempilan dari Hak Menguasai Negara). Perjanjian yang dibuat tidak
mencantumkan klausul perpanjangan hak apabila jangka waktu Hak Guna Bangunan telah
berakhir, sehingga tidak ada kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak
Guna Bangunan. Sebagai saran agar konflik yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten
Jombang dengan pemegang Hak Guna Bangunan mereda, masing-masing pihak
memanfaatkan ruang musyawarah mufakat sebagai cara untuk menyamakan persepsi dan
kepentingan, agar terwujud jalan keluar saling menguntungan.
Kata kunci : Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan, Perlindungan hukum
ix
SUMMARY
Maulfi Fahrul Vannany, S.H, S.P, 156010200111065, The Study Program of Notary Magister , The
Faculty of Law, Brawijaya University ,in Malang, in August 2017.
THE LEGAL PROTECTION FOR THE HOLDER OF RIGHT TO USE BUILDING ABOVE
THE RIGHT OF MANAGEMENT (The Case Study for The Holders of Right To Use Building
Above The Right Of Management Number 1 The Village of Jombang , The sub district of
Jombang In the district of Jombang), Dr. Bambang Winarno, S.H, S.U., Dr. Diah Aju
Wisnuwardani, S.H, M.Hum
The authority which was possessed by the holder of Management Right
was authorizing to use the land for the purpose of performing its duties or business. It was also
incumbent upon the Submission of land management rights to third parties and / or cooperating
with third parties. The Submission of Management Land Right Part to a third party in the form
of land use agreement that was creating the Right to Use Building or Use Rights. Authority that
was possessed by Management Right Holders was public (Publiekrechtelijke) because
it was only regulating and managing from state land whose authority was partially delegated to
the holder of management rights.
The district Government of Jombang, as the holder of Management Right No. 1 The
village of Jombang, cooperated with third parties. The agreement was as the legal basis of the
issuance of rights to use Building which stands on the Management Right Number 1 of
Jombang did not give a certainty for the extension of the rights to use Building status stood on it
when the term of the Building Utilization Right has expired, although all the conditions for
extension was made in accordance with Article 26 of the Government Regulation No. 40 of 1996
was fulfilled. So that the legal protection for the holders of Right to use Building that has ended
was not available.
The raised issue formulation based on the background that was described above
was how the authority and policy of Management Rights holder No. 1 The Village of Jombang
,The Sub district of Jombang , The District of Jombang (The Local Government of Jombang) to
extend The rights to use building that stands above the rights of management No. 1 / Jombang,
as well as the Law protection for the holder of right to use building above the Rights of
Management No. 1 The Village of Jombang , The Sub district of Jombang , The District of
Jombang which has passed the end of rights
This research aimed to know and analyze the authority and the policy r of Management
Right holder No. 1 The Village of Jombang , The sub district of Jombang In the district of
Jombang ( The local Government of Jombang) to extend the right s to use Building which stands
above the Right of Management No. 1 / Jombang, as well as the Legal protection of Right to
use Building Holders on the Right to Management No. 1 The Village of Jombang , The sub
district of Jombang In the district of Jombang , which has passed its rights.
The research method which was used to examine the problem was empirical law research
method. With the empirical juridical approach, it was research that tried to relate to between
applicable law norms with the reality which exists in the community . In this research , the thing
that was researched was secondary data which was then followed by the examining of primary
data in the field . Primary law Data was obtained from interviews and observations to the parties .
And secondary law data was library research either from legislation and the books, journals
or papers that were related to the subject of discussion.
x
The theory used Authority of Philip M. Hadjon about Efforts to trace the source of
authority that was possessed by the holders of authority as well as how far the
authority corresponds to purpose and interest of Authorizer. The theory of legal certainty from
Gustav Rad bruchakan emphasized on being used to give the perception of law certainty from
implementation of rule which regulates law between the holder of rights to use building and the
holder of Management Rights, both as an institution to regulate law subject’s behavior as well as
ensure the safety and the interests of individuals in the community. The theory of law system
which was proposed by Lawrence M. Fried was used to analyze the policy of Jombang
District Government, in terms of its effectiveness. The theory of law protection which was
proposed by Satjiptorahardjo would be used to give the clarification of law protection for the
community of holders for the rights to use building (As the party of Applicant for the
extension of rights to use building / HGB) above the rights of management ( as the
party that approved the extension of HGB).
The result of research and discussion that the authority which was possessed by The
district government of Jombang as the holder of Management Right ,No.1 / Jombang was public
(Publiekrechtelijk), the agreement between Government of Jombang with third party did not
mention the clause of extension of rights when the period of Right to use Building was over.
So that there was not legal certainty for the holder of rights to use Building and there was
not legal protection for the holders of Rights to use Building which has expired their rights.
This research concluded that the emergence of the right to
use Building above the Rights of Management No.1 / Jombang based on the rights base in the
form of Agreement between District Government of Jombang with third party. The district
government of got the rights as the holder of the Management Right based on the request, so that
its authority was public (as an appeal from the State Controlling Rights). The agreement which
was made did not include a rights extension clause if the term of the Building Rights has expired,
so that there was not legal certainty and legal protection for the holders of the Rights to use
Building . As a suggestion in order that that the conflict between the District Government of
Jombang and the holder of the Right to use Building will subside, each party utilizes the
consensus deliberation room as a way to equate perception and interests, in order to manifest the
way of mutual luck.
Keywords: The right of Management, The Right to use Building, Legal protection
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................................... ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ iv
RINGKASAN ............................................................................................................................ vii
SUMMARY ................................................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................9
1.3 Tujuan Penelitian .....................................................................................................10
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................................11
1.5 Orisinalitas Penelitian ..............................................................................................11
1.6 Kerangka Penelitian ................................................................................................15
1.6.1 Kerangka Konseptual .....................................................................................15
1.6.2 Kerangka Teoritik ...........................................................................................18
1.6.2.1 Teori Kewenangan .............................................................................18
1.6.2.2 Teori Kepastian hukum ......................................................................22
1.6.2.3 Teori Sistem Hukum ..........................................................................24
1.6.2.3 Teori Perlindungan Hukum ................................................................25
1.7 Metode Penelitian ....................................................................................................30
1.7.1 Jenis Penelitian ...............................................................................................30
1.7.2 Pendekatan Masalah .......................................................................................31
xii
1.7.3 Jenis dan Sumber Data Hukum ......................................................................32
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data hukum .................................................................32
1.7.5 Teknik Analisis Data Hukum .........................................................................34
1.8 Sistematika penulisan ..............................................................................................35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................................36
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Tanah dan Hak Menguasai Negara atas Tanah ..........36
2.1.1 Pengertian Tanah dan Hak Penguasaan atas Tanah .......................................36
2.1.2 Pengertian dan Landasan Yuridis Hak Menguasai Negara Atas Tanah ........37
2.1.3 Wewenang Negara Menguasai Tanah ............................................................39
2.1.4 Pengaturan Hak Atas Tanah dalam UUPA ....................................................40
2.2 Tinjauan Umum dan kedudukan Hak Pengelolaan dalam aspek hukum Pertanahan
di Indonesia .............................................................................................................41
2.2.1 Tinjauan umum Hak Pengelolaan ( Pengertian dan Makna) ..........................41
2.2.2 Landasan Yuridis Hak Pengelolaan ...............................................................42
2.2.3 Subyek Hak Pengelolaan ................................................................................43
2.2.4 Obyek Hak Pengelolaan .................................................................................44
2.2.5 Wewenang Hak Pengelolaan ..........................................................................44
2.2.6 Hubungan hukum Hak Menguasai Negara dengan Hak Pengelolaan ............45
2.2.7 Penggunaan Tanah Hak Pengelolaan dan penyerahannya kepada pihak ketiga
.................................................................................................................................47
2.2.7.1 Penyerahan penggunaan sebagian tanah Hak Pengelolaan dan
Pemberian Hak Atas Tanah diatas sebagian tanah Hak Pengelolaan .47
2.2.7.2 Status Hukum Bangunan yang Berada diatas tanah Hak Pengelolaan
(Asas pemisahan vertical dan horizontal) ..........................................48
2.2.7.3 Hubungan Hukum Antara Pemegang Hak Pengelolaan dengan Pihak
Ketiga .................................................................................................50
xiii
2.2.7.4 Pendaftaran Hak Atas tanah diatas Hak Pengelolaan .........................51
2.3 Tinjauan Umum Hak Guna Bangunan ....................................................................53
2.3.1 Pengertian Hak Guna Bangunan ....................................................................53
2.3.2 Subyek Hak Guna Bangunan .........................................................................55
2.3.3 Obyek Hak Guna Bangunan ...........................................................................55
2.3.4 Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan ....................................55
2.3.5 Peralihan Hak Guna Bangunan ......................................................................56
2.4 Penguasaan dan Pengelolaan Tanah Aset Daerah ..................................................57
2.4.1 Tanah Negara (pengertian dan ruang lingkup) ...............................................57
2.4.2 Tanah Aset Daerah .........................................................................................59
2.4.3 Penguasaan dan Pengelolaan Tanah Aset Daerah ..........................................60
2.4.3.1 Landasan Yuridis Penguasaan dan Pengelolaan Tanah Aset Daerah .60
2.4.3.2 Pengelolaan Tanah Aset Daerah .........................................................63
2.4.3.3 Perbuatan Hukum Daerah atas Tanah Aset Daerah ...........................65
2.5 Perlindungan hukum pemegang Hak Atas Tanah diatas Hak Pengelolaan .............66
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................................68
3.1 Kewenangan Pemegang Hak Pengelolaan No. 1/Jombang atas Hak Guna Bangunan
yang berdiri diatasnya ............................................................................................68
3.1.1 Sumber kewenangan Pemerintah Kabupaten Jombang sebagai pemegang Hak
Pengelolaan No 1/Jombang...........................................................................68
3.1.2 Kewenangan Pemegang Hak Pengelolaan No. 1/ Jombang untuk
memperpanjang atau memperbaharui Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan ...................................................................................................71
3.1.3 Kewenangan Pemegang Hak Pengelolaan No. 1/ Jombang sebagai pengelola
barang milik Negara/daerah ..........................................................................72
xiv
3.2 Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang atas tanah Hak Pengelolaan No. 1/ Desa
Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang ..............................................76
3.2.1 Penyerahan penggunaan tanah Hak Pengelolaan no. 1/Jombang ...................76
3.2.2 Perjanjian kerjasama antara Pemerintah daerah Jombang dengan PT. Afdol
Cipta Mandiri sebagai dasar hukum terbitnya Hak Guna Bangunan atas nama
PT. Afdol Cipta Mandiri ................................................................................77
3.2.3 Hubungan hukum antara PT. Afdol Cipta Mandiri sebagai pemegang Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No.1/Jombang dengan Masyarakat
umum (konsumen PT. Afdol Cipta Mandiri) .................................................83
3.3 Kewenangan Pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
no.1/Jombang untuk memperpanjang atau memperbaharui Hak Guna Bangunan
diatas Hak Pengelolaan ..........................................................................................99
3.4 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No.
1/Jombang yang telah berakhir jangka waktu hak nya ..........................................102
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................................108
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................108
4.2 Saran ......................................................................................................................112
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................114
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kaya dengan kekayaan
alamnya yang melimpah ruah termasuk di dalam dan segala isinya, meliputi bumi,
air dan ruang angkasa, sebagai anugrah Tuhan yang berfungsi yang sangat penting
bagi pembangunan masyarakat yang makmur dan adil sebagai yang kita cita-
citakan.1 Bagian dari hukum agraria, tanah salah satu lapisan dari bumi, yang
disebut permukaan bumi. Tanah itu adalah sesuatu yang berharga karena tanah
adalah harta yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia untuk melangsungkan
kehidupan dan tempat tinggal. Tanah itu harus diatur sedemikian rupa oleh negara
dalam segala aspeknya dan tanah yang perlu diatur dalam pengertian yuridis
disebut hak.
Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang menegaskan bahwa bumi, air
dan semua kekayaan alam yang ada padanya dikuasai oleh negara untuk
dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian di atur lebih
lanjut pada Undang-Undang Nomor 5 yang dikeluarkan pada Tahun 1960 yang
mengatur tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (untuk berikutnya
1 Penjelasan Umum Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA).
2
disingkat dengan sebutan UUPA) yang merupakan aturan khusus di bidang
pertanahan.2
Peraturan yang termaktub pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945
dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Pokok Agraria tepatnya di Pasal 2
yang pada intinya menyatakan bahwa bumi, air dan semua kekayaan alam yang
ada padanya dikuasai oleh negara untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Makna dikuasai oleh negara adalah bahwa negara sebagai
organisasi tertinggi mempunyai otoritas mengelola untuk kemakmuran rakyatnya.
Tanah sebagai bagian dari bumi yang dinyatakan menurut Pasal 4 ayat (1)
UUPA yaitu atas pondasi hak menguasai oleh negara seperti yang dimaksud pada
Pasal 2 UUPA.
Pada permukaan bumi yang disebut tanah, terdapat hak untuk menguasai
yang diberikan oleh negara baik kepada pribadi atau perseorangan maupun badan
hukum, yang dikenal dengan sebutan Hak Milik ataupun Hak Guna Bangunan,
maupun Hak Pengelolaan.3
Tanah merupakan salah satu harta kekayaan yang sangat penting bagi
keberlangsungan hidup manusia. Aktifitas manusia di atas tanah dalam
kesehariannya dapat memanfaatkann tanah dengan cara mengelola ataupun
bertani yang hasilnya bisa untuk menghidupi anak cucu manusia. Bahkan untuk
negara sebagai pilar penting dan modal utama dalam mewujudkan pembangunan.
Sebagian Hak-Hak Atas Tanah yang dijelaskan menurut UUPA tersebut,
seperti contohnya, Hak Guna Bangunan, yang diatur melalui Pasal 35 sampai
2 Mhd Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung:
Mandar Maju, 2010), hlm.l 1. 3 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 9.
3
dengan Pasal 40 UUPA, yang pada intinya menyatakan bahwa HGB adalah hak
yang dimiliki oleh perseorangan maupun oleh badan hukum untuk mendirikan
atau membuat bangunan di atas tanah, akan tetapi tanah itu bukanlah hak yang
dimilikinya sendiri dengan tenggang waktu tertentu yaitu paling lama 30 tahun,
yang dapat diperpanjang kembali paling lama 20 tahun. HGB ini bisa dialihkan
dan beralih kepada orang lain dan dapat dijadikan jaminan utang-piutang yang di
atasnya dibebani hak tanggung.
Sejalan dengan Peraturan pada UUPA di atas, hal yang termaktub dalam
pasal 25 pada ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 yang berkenaan
dengan pengaturan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah (untuk berikutnya disingkat dengan sebutan PP 40/1996), menjelaskan
bahwa setelah tenggang waktu Hak Guna Bangunan berikut perpanjangannya
yang disusun di pasal 25 ayat (1) PP 40/1996 berakhir, bagi pemegang hak
tersebut dapat mengajukan HGB baru di atas tanah yang sama.
Penjelasan di pasal 27 ayat (1) PP 40/1996 tertulis bahwasanya pengajuan
perpanjangan tenggang waktu Hak Guna Bangunan bisa diajukan paling lambat
dua tahun sebelum selesainya tenggang waktu Hak Guna Bangunan yang
dimaksud. Dan penjelasan di Pasal 41 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 tahun 1999 mengatur tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
(berikutnya disingkat PMA/KBPN 9/1999), dijelaskan bahwasanya permohonan
perpanjangan tenggang waktu Hak Guna Bangunan dimohonkan oleh pemegang
4
hak dalam kurun waktu waktu 2 (dua) tahun, sebelum selesainya tenggang waktu
hak tersebut.
Mengenai Hak Pengelolaan, Hak Pengelolaan tidak disebutkan dan
dijelaskan secara eksplisit, tidak disebutkan dalam konsideran, diktum, batang
tubuh/pasal ataupun penjelasan UUPA. UUPA sekedar menyebutkan perihal
pengelolaan didalam Penjelasan Umum Angka II Nomor 2.4
Hak Pengelolaan baru ada pada tahun 1965 sebagai salah satu jenis hak
penguasaan tanah melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965 menata
perihal Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan
Kebijaksanaan (berikutnya disngkat PMA 9/1965). Pasal 2 PMA 9/1965 yang
pada intinya menjelaskan bahwasanya hak penguasaan terhadap tanah-tanah
negara dapat dikonversi, hak penguasaannya ke departemen-departemen,
direktorat-direktorat, dan daerah-daerah Swatantra, yang dipergunakan untuk
kepentingan lembaga/instansi dan bisa juga diberian kepada pihak ketiga untuk
penguasaan hak atas tanah dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.
Berangkat dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar Hak
Pengelolaan sebagai salah satu jenis hak penguasaan atas tanah adalah PMA
9/1965 bukan UUPA, karena hak pengelolaan baru ada setelah terbitnya PMA
9/1965. Hak Pengelolaan lahir dari konversi hak penguasaan atas tanah negara.
Hak pengelolaan bisa dikuasai oleh departemen-departemen, direktorat-direktorat,
dan daerah-daerah swatantra. PMA 9/1965 sebagai dasar yang menjadi rujukan
mengenai Pak Pengelolaan, mempunyai kekuatan yang mengikat baik bagi
4 Baca lebih lanjut Penjelasan Umum Angka II Nomor 2 UUPA
5
pemegang Hak Pengelolaan maupun pihak lain yang menggunakan bagian-bagian
tanah Hak Pengelolaan.5
Asas hak menguasai oleh Negara dan penolakan atas Asas memiliki oleh
Negara, telah lahir masalah hukum tentang Milik Negara dan Milik Daerah atas
Tanah, seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara (berikutnya disingkat UU 1/2001) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 menata perihal Pengelolaan Barang milik
Negara/Daerah (berikutnya disingkat PP 27/2014). Dengan dikeluarkannya PP
27/2014 adalah untuk mengubah PP 6/2006. Istilah Aset Negara/Daerah pun lahir
yang seakan identik dengan istilah Milik Negara/Daerah.
Menurut Ramli Zein, berpedoman kepada aturan yakni pada Pasal 2
UUPA, yang menegaskan bahwa hak pengelolaan juga memiliki objek seperti
juga hak milik serta hak atas tanah yang lain adalah tanah yang dalam penguasaan
negara. Untuk itu negara wajib untuk mensejahterakan rakyatnya.6 Wewenang
yang diberikan oleh Negara kepada pemegang Hak Pengelolan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, adalah bersumber dari Hak Menguasai
Negara dengan tujuan untuk keseluruhannya adalah mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dengan cara menjamin kepastian hukum dan keadilan kepada
rakyat dalam kaitan hak atas tanah.
Salah satu fakta empiris pemberian Hak Guna Bangunan yang berdiri di
atas Hak Pengelolaan salah satunya terjadi di kabupaten Jombang. Dimana,
5 Urip Santoso, “Pengaturan Hak Pengelolaan”, Jurnal Media Hukum, Vol. 15 No. 1, Juni
2008, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, hlm. 144. 6 Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995),
hlm.63
6
terdapat 130 ruko pada lahan seluas 21.032 M2 atas tanah Negara (pemegang Hak
Pengelolaan adalah Pemerintah kabupaten Jombang) di Pasar Citra Niaga/Pasar
Legi Jombang, yang mulai terbit sertipikat Hak Guna Bangunannya sejak tanggal
30 oktober 1999 sampai dengan berakhirnya hak pada tanggal 22 September
2013.
Status Hak Guna Bangunan atas 130 ruko tersebut yang telah melewati
batas waktu perpanjangannya (tanggal 22 september 2013), telah meresahkan
pemegang Hak Guna Bangunan yang keseluruhannya adalah para pedagang yang
berskala usaha mikro, kecil dan menengah. Keresahan para pedagang sangat
beralasan karena dari pihak Pemerintahan Daerah (baik eksekutif dan legislatif),
sebagai pemangku pemerintahan kabupaten Jombang tidak ada kemajuan dalam
pembahasan permasalahan perpanjangan Hak Guna Bangunan tersebut. Walaupun
secara kewenangan, pihak eksekutif yang seharusnya berperan aktif dalam
menyelesaikan permasalahan ini.
Pasar Citra Niaga (pasar legi) Jombang merupakan jantung perekonomian
di kabupaten Jombang. Dengan status perpanjangan hak guna bangunan yang
belum jelas ini, para pemegang HGB merasa dirugikan karena ditempat tersebut
mereka mencari nafkah sehari-hari sehingga jika sewaktu-waktu disuruh pindah
oleh pemegang HPL mereka berpotensi kehilangan mata pencaharian. Selain hal
tersebut, mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan dan perbankan untuk
mendapatkan kredit yang akan difungsikan sebagai tambahan modal berwirausaha
dengan jaminan berupa Sertipikat Hak Guna Bangunan yang mereka tempati.
7
Sesuai dengan Pasal 26 PP 40/1996, bahwa alasan pemegang Hak
Pengelolaan, dapat memperpanjang atau memperbaharui jika syarat-syarat yang
termaktub pada Pasal 26 ayat (1) dan (2) dalam PP 40/1996 terpenuhi. Adapun
syarat-syarat yang termaktub dalam pasal 26 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40
tahun 1996 adalah sebagai dasar hukum untuk memperpanjang atau
memperbaharui hak pengelolaan.
Dalam pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala Badan
Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 1999 disebutkan bahwa :
“Dalam hal tanah yang harus dimohonkan merupakan tanah Hak
Pengelolaan, pemohon harus memperoleh penunjukan berupa perjanjian
penggunaan tanah dari pemegang Hak Pengelolaan”.
Menurut Irawan Soerojo, membaca isi ketentuan tersebut, maka dapat
ditafsirkan adanya dua hal mengenai perjanjian, yaitu :
1. Perjanjian yang dibuat dalam rangka penyerahan penggunaan bagian
tanah Hak Pengelolaan berfungsi sebagai surat penunjukan
penggunaan Hak Pengelolaan
2. Perjanjian yang berfungsi sebagai bentuk kesepakatan antara
pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga guna mengelola
bagian tanah Hak Pengelolaan oleh Pihak Ketiga.7
Perjanjian penggunaan tanah memiliki arti yang penting bagi pemegang
Hak Pengelolaan dan Pemohon (pihak ketiga) sebab perjanjian tersebut
merupakan dasar timbulnya hubungan hukum antara pemegang HPL dan pihak
7 Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan ; Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL), eksistensi
pengaturan dan praktik, (Yogyakarta, Laksbang Mediatama, 2014) hal. 45
8
ketiga sebagai pedoman bagi pemegang HPL dalam rangka penyerahan
penggunaan bagian tanah kepada pihak ketiga.
Pasal 27 ayat (1) PP 40/1996, merupakan bagian dari kewajiban pemegang
Hak Guna Bangunan untuk meminta pengajuan memperpanjang atau
memperbaharui jangka waktu Hak Guna Bangunan. Perpanjangan/pembaharuan
itu diajukan paling lama 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu atau
perpanjanganya. Di lain pihak, pengaturan kewajiban bagi pemegang Hak
Pengelolaan untuk menjalankan perpanjangan atau pembaharuan sesuai dengan
syarat yang terdapat pada Pasal 26 ayat (1) PP 40/1996 serta tertib administrasi
yang didasarkan pada pasal 27 ayat (1) dalam PP 40/1996 belum sepenuhnya
dijalankan oleh pemegang Hak Pengelolaan.
Dalam hal ini, ada ketidakpastian hukum bagi pemegang Hak Guna
Bangunan walaupun semua syarat untuk dapat diperpanjang atau diperbaharuinya
status hak atas tanah yang diatur pada Pasal 26 ayat (1) PP 40/1996 terpenuhi,
karena dasar atau landasan hukum terjadinya hubungan hukum antara pemegang
HPL dan pihak ketiga adalah tercapainya kesepakatan yang diwujudkan dalam
suatu Perjanjian Penggunaan Tanah, tentunya asas yang digunakan adalah asas
dalam Perjanjian, salah satunya adalah asas Kebebasan Berkontrak, yang
mengandung unsur Proporsionalitas sehingga terwujud perjanjian yang menjamin
pertukaran kepentingan (Hak dan Kewajiban) atau dengan kata lain perjanjian
yang seimbang, agar terwujud kondisi yang adil dan menguntungkan kedua
pihak.
9
Yang menjadi catatan penting, pemegang HPL secara tidak sadar telah
masuk ke wilayah hukum Privat dalam melakukan perjanjian, padahal
kewenangan sebagai pemegang HPL adalah kewenangan dari Hak Menguasai
Negara dimana kewenangan ini adalah masuk wilayah kewenangan hukum
publik. Sistem hukum di Indonesia terhadap obyek berupa tanah telah
menempatkan kedudukan Negara dan Pemerintah Daerah sebagai subyek hukum
Publik, dan hubungan hukum antara Negara atau pemerintah dengan tanah adalah
bersifat hubungan Hak Publik semata.8
Dengan penjabaran diatas, menarik untuk diangkat sebagai bahasan dalam
penulisan tesis ini dengan tema sentral perlindungan hukum bagi pemegang HGB
yang disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum atas perpanjangan status
Hak Guna Bangunan, menarik untuk diteliti lebih lanjut yang peneliti tuangkan
dalam penulisan tesis ini dengan judul yaitu Perlindungan Hukum pemegang
Hak Guna Bangunan Diatas Hak Pengelolaan (studi kasus Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang
Kabupaten Jombang).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan diulas dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kewenangan Pemegang Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang
Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang (Pemerintah Daerah Jombang) untuk
8 Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah; menemukan Keadilan, Kemanfaatan dan
kepastian atas eksistensi Tanah Aset Daerah, (Jakarta, PT. Prestasi Pustakaraya, 2010) hal. 132
10
memperpanjang atau memperbaharui Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas
Hak Pengelolaan No. 1 tersebut ?
2. Bagaimana kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang atas tanah Hak
Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang ?
3. Bagaimana Perlindungan Hukum pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang
yang telah melewati masa berakhir haknya ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan pemegang Hak Pengelolaan
No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang (Pemerintah
Daerah Jombang) untuk memperpanjang atau memperbaharui Hak Guna
Bangunan yang berdiri diatas Hak Pengelolaan No. 1/Jombang.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan Pemerintah Kabupaten
Jombang atas tanah Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan
Jombang Kabupaten Jombang.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Perlindungan Hukum pemegang Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan
Jombang Kabupaten Jombang yang telah melewati masa berakhir haknya
11
1.4 Manfaat Penelitian
Secara teoritis, diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam
dunia ilmu hukum khususnya di bidang hukum agraria dalam hal ini adalah
mengenai perlindungan hukum pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan dalam kaitannya tentang kewenangan pemegang Hak Pengelolaan
terhadap Hak Guna Bangunan serta jalan keluar atas permasalahan yang timbul
dari perpanjangan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan.
Secara praktis, diharapkan dapat digunakan oleh pembuat kebijakan baik
kebijakan yang bersifat formulatif, maupun yang bersifat aplikatif serta
masyarakat umum khususnya pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan No. 1/Jombang dalam menciptakan penyelesaian mengenai
perpanjangan hak guna bangunan diatas hak pengelolaan.
1.5 Orisinalitas Penelitian
Ulasan tentang perpanjangan Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas Hak
Pengelolaan bukanlah hal yang baru, akan tetapi perpanjangan Hak Guna
Bangunan yang berdiri diatas Hak Pengelolaan dianalisis dengan perspektif
kewenangan dari pemegang Hak Pengelolaan untuk
memperpanjang/memperbaharui jangka waktu Hak Guna Bangunan dan
perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan yang disebabkan
karena tidak adanya kepastian hukum atas perpanjangan status Hak Guna
Bangunan, mencirikan keaslian penelitian ini. Berikut beberapa penelitian
terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini:
12
Tabel 1
Orisinalitas Penelitian
No
. Nama Judul
Obyek
Permasalahan Hasil Pembahasan
1 Suwito
Tesis
Fakultas
Hukum
Universitas
Diponegoro
Semarang
2007
KAJIAN HUKUM
PERPANJANGAN
HAK GUNA
BANGUNAN
YANG DIBEBANI
HAK
TANGGUNGAN
DI KANTOR
PERTANAHAN
KABUPATEN
KENDAL
1. Apabila
perpanjangan hak
atas Hak Guna
Bangunan telah
selesai dan sedang
dibebani Hak
Tanggungan,
bagaimanakah
kekuatan hukum
Surat Kuasa
Membebankan Hak
Tanggungan
(SKMHT) nya?
2. Apabila
perpanjangan hak
atas Hak Guna
Bangunan telah
selesai dan sedang
dibebani Hak
Tanggungan,
Siapakah yang
wajib memohon
pengajuan
perpanjangan Hak
Guna
Bangunannya?
1. Terhadap pengajuan
perpanjangan atau
pembaharuan atas Hak Guna
Bangunan yang selesai masa
berlakunya dan sedang
dibebani Hak Tanggungan,
jalan keluarnya adalah dengan
cara membuat Surat Kuasa
Membebankan Hak
Tanggungan (SKMHT) lagi,
dilukakan untuk melindungi
pihak kreditor sebagai
pemegang atas Hak
Tanggungan dimana obyeknya
tanah berstatus HGB yang
selesai sebelum kreditnya jatuh
tempo.
2. Dalam penerapannya, pihak
yang mengajukan permohonan
perpanjangan atau
pembaharuan atas Hak Guna
Bangunan yang masih
dibebani Hak Tanggungan
ialah pihak pemegang Hak
Atas Tanah atau pemberi Hak
Tanggungan, meskipun
permohonan yang dimaksud
bisa diajukan oleh pemegang
Hak Tanggunan (kreditor),
bahkan telah disepakati saat
pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT),
yaitu adanya janji untuk
menyelamatkan obyek atas
Hak Tanggungan dari
hapusnya suatu hak yang
disebabkan dilanggarnya suatu
ketentuan perundang-
undangan.
2 Rangga Dwi
Prasetya
PERLINDUNGAN
HUKUM BAGI
1. Bisakah perjanjinan
kredit
1. Hak Guna Bangunan yang
berdiri di atas Tanah Hak
13
Fakultas
Hukum
Universitas
Narotama
Surabaya
2008
KREDITUR ATAS
JAMINAN
SERTIFIKAT
HAK GUNA
BANGUNAN
YANG BERDIRI
DI ATAS
HAK
PENGELOLAAN
menggunakan
obyek jaminan
yang berupa Hak
Guna Bangunan
yang berdiri di atas
hak Pengelolaan?
2. Bentuk
perlindungan
hukum seperti
apakah bagi
kreditur atas
jaminan Hak Guna
Bangunan diatas
Hak Pengelolaan
jika debitur
wanprestasi?
Pengelolaan bisa dibebani Hak
Tanggungan. Hak Tanggungan
hanya bisa dibebankan untuk
Hak Guna Bangunan di atas
Tanah Hak Pengelolaan yang
berasal dari tanah yang
dikuasai Negara. Pembebanan
hak tanggungan ini harus
memperolah persetujuan dari
pemegang hak pengelolaan
terlebih dahulu.
2. Perlindungan hukum bagi
kreditur apabila yang
dijaminkan adalah obyek yang
berupa Hak Guna Bangunan
yang berdiri di atas Tanah Hak
Pengelolaan, timbul karena
kewajiban untuk mendapatkan
Izin tertulis terlebih dulu dari
Pemegang Hak Pengelolaan.
Dengan izin tertulis itu,
pemegang hak pengelolaan
secara tak langsung telah
memepersembahkan suatu
perlindungan hukum untuk
kreditur. Apabila debitur
wanprestasi dengan
berdasarkan suatu izin tertulis
dari pemegang hak
pengelolaan yang pada awal
pernah disampaikan waktu
debitur hendak menjaminkan
Hak Guna Bangunan yang
berdiri di atas Tanah Hak
Pengelolaan, kiranya terhadap
bangunan yang dimaksud bisa
dilakukan eksekusi.
3 Urip Santoso
Fakultas
Hukum
Universitas
Airlangga
Surabaya
PENGGUNAAN
TANAH HAK
PENGELOLAAN
OLEH PIHAK
KETIGA
1. Bagaimanakah
sistematika
Penyerahan atas
Tanah Hak
Pengelolaan yang
memunculkan Hak
Guna Bangunan
serta Hak Pakai?
2. Bagaimana
1. Pemegang HPL memiliki
wewenang yaitu
merencanakan suatu
peruntukan dan penggunaan
atas tanah, memanfaatkannya
bagi kepentingan pelaksanaan
tugasnya serta menyerahkan
bagian-bagian tanah HPL
untuk pihak ketiga dan atau
14
2013 sistematika
Penyerahan atas
Tanah Hak
Pengelolaan yang
memunculkan Hak
Milik?
bekerja sama dengan pihak
ketiga. Wewenang untuk
menyerahkan bagian-bagian
tanah HPL bagi pihak ketiga
dan atau bekerja sama dengan
pihak ketiga syaratnya harus
terpenuhi dulu yaitu tanah
HPL telah bersertipikat yang
diterbitkan Kantor Per-
tanahan Kabupaten/Kota.
Penyerahan bagian-bagian
tanah hak pengelolaan kepada
pihak ketiga yang
memunculkan hak guna
bangunan atau hak pakai
diwujudkan dalam Perjanjian
Penggunaan Tanah atau
Perjanjian BOT.
2. Penyerahan bagian-bagian
tanah HPL kepada pihak
ketiga yang memunculkan
suatu hak milik dilaksanakan
dengan cara pelepasan tanah
HPL oleh pemegang haknya.
Hak guna bangunan atau hak
pakai atas tanah HPL tidak
akan pernah memutus
hubungan hukum bagi pihak
pemegang HPL dengan
tanahnya. Sedangkan Hak
milik atas tanah HPL, tentunya
memutus hubungan hukum
antara pemegang HPL dengan
tanahnya.
4 Harry Nugroho
Fakultas
Hukum
Universitas
Diponegoro
Semarang
2012
PERLINDUNGAN
HUKUM
PEMEGANG
HAK GUNA
BANGUNAN
DI ATAS HAK
PENGELOLAAN
(Studi Kasus Hak
Guna Bangunan di
atas Hak
Pengelolaan
Nomor :
1, Bagaimanakah
perjanjian/kontrak
antara Pemegang
HPL No.1 Desa
Bandarejo
(Pemerintah
Kabupaten
Semarang) dengan
pemegang Hak Guna
Bangunan sebagai
landasan pemberian
Hak Guna Bangunan
1.Perjanjian yang dibuat antara
Pemegang HPL dengan
pemegang HGB, tidak
menyebutkan adanya klausul
perpanjangan atau pembaharuan
hak jika telah berakhir masa
berlakunya HGB.
2. Kewenangan pemegang Hak
Guna Bangunan atas tanah Hak
Guna Bangunan di atas Hak
Pengelolaan Nomor : 1/Bandarjo
untuk memperpanjang atau
15
1/Bandarjo,
Kecamatan
Ungaran Barat,
Kabupaten
Semarang)
?
2, Bagaimanakah
kewenangan
pemegang Hak Guna
Bangunan untuk
memperpanjang atau
memperbarui Hak
Guna Bangunan yang
berdiri di atas Hak
Pengelolaan Nomor :
1/Bandarjo?
3. Bagaimanakah
perlindungan hukum
Pemegang Hak Guna
Bangunan yang telah
berakhir periodenya
tetapi
masihmenempati
tanah dan bangunan?
memperbaharui haknya adalah
tidak ada. Maka konseksuensi
yang didapat pihak ketiga adalah
Hak Guna Bangunannya hapus
dan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 30 huruf d dan e PP
Nomor 40 Tahun 1996
pemegang Hak Guna Bangunan
wajib menyerahkan kembali
tanah yang diberikan dengan
Hak Guna Bangunan kepada
pemegang Hak Pengelolaan
sesudah Hak Guna Bangunan itu
hapus serta menyerahkan
sertipikat Hak Guna Bangunan
yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan
3. Perjanjian Kerjasama tidak
memberi ruang kepada pihak
ketiga untuk memperpanjang
atau memperbaharui haknya.
1.6 Kerangka Penelitian
1.6.1 Kerangka konseptual
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa semua
sumber daya alam yang dimiliki bangsa Indonesia dikuasai oleh Negara dan
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Undang undang nomor 5 tahun 1960, sebagai turunan peraturan dari UUD
1945 yang mengatur tentang Agraria. Bahwa Negara adalah lembaga yang
menguasai tanah bukan pemilik atas tanah. Arti menguasai adalah Negara sebagai
lembaga yang mengatur dan mengurus segala hal yang berkaitan dengan tanah.
Boedi Harsono menjelaskan bahwa pengertian dikuasai menurut Pasal 2 ayat (1)
tersebut adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara untuk
16
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa dan
juga menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 9
Dari pasal 2 ayat (4) UUPA, ada pelimpahan wewenang pelaksanaan dari Hak
Menguasai dari Negara kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat
selama tidak bertentangan dengan peraturan dan kepentingan nasional.
Hak penguasaan atas tanah Negara diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 (selanjutnya disingkat PP 8/1953). Didalam PP
8/1953, belum diatur secara tekstual tentang Hak Pengelolaan, hanya sebatas
penguasaan tanah Negara oleh instansi pemerintah.
Sebagai tindak lanjut penegasan hak penguasan atas tanah negara seperti
yang diatur pada PP 8/1953, maka dikeluarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor
9 tahun 1965 (berikutnya disingkat PMA 9/1965), maka secara tekstual tertulis
adanya Hak pengelolaan sebagai konversi dari hak penguasaan atas tanah Negara.
Didalam PMA 9/1965 ini, Hak Pengelolaan diakui secara penuh secara yuridis.
Untuk mengatur lebih detail mengenai Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
baik tata cara Pemberian dan Pembatalannya, maka dikeluarkan Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 tahun 1999 (berikutnya
disingkat PMA/KBPN 9/1999). Pada peraturan ini belum diatur secara teknis
9 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2003), Hlm 271
17
apabila diatas tanah Hak pengelolaan berdiri hak atas tanah yang lain, baik Hak
Guna Bangunan ataupun Hak Pakai.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 yang
mengatur secara teknis tentang Hak Guna Bangunan termasuk apabila berdiri
diatas tanah Hak Pengelolaan. Khususnya pada pasal 26 dan 27 PP 40/1996,
pemohon HGB mempunyai kewajiban untuk memenuhi syarat agar permohonan
untuk perpanjangan dan pembaharuannya dapat diajukan kepada pemegang Hak
Pengelolaan 2 tahun sebelum masa berakhirnya HGB berakhir.
Dalam penjabaran selanjutnya, status tanah Hak Pengelolaan
dikategorikan sebagai barang milik Negara atau daerah. Hal ini dapat dilihat dari
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 6
tahun 2006 lalu diubah dengan PP 27/2014. Didalam peraturan tersebut
dijabarkan macam-macam pemanfaatan barang milik negara/milik daerah berupa
tanah dan bangunan dilakukan melalui sewa, kerja sama pemanfaatan, pinjam
pakai, bangun guna serah dan bangun serah guna. Yang paling memungkinkan,
bentuk pemanfaatan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan kepada
pihak ketiga hanya bisa dilakukan melalui perjanjian bangun guna serah dan
bangun serah guna. Dan setelah jangka waktu perpanjangan atau pembaharuannya
berakhir, pihak ketiga menyerahkan kembali tanah dan bangunan berikut
fasilitasnya kepada pemerintah daerah sebagai pemegang Hak Pengelolaan.
Pengaturan tentang barang milik Negara/Daerah, diatur lebih lanjut dengan
dkeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014. Peraturan ini
18
mengubah peraturan yang mengatur tentang barang milik daerah/Negara terdahulu
yaitu Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2006
1.6.2 Kerangka Teoritik
1.6.2.1 Teori Kewenangan
Pada umumnya ada tiga sumber bagi badan atau (PTUN) Pejabat Tata
Usaha Negara dalam memperoleh kewenangan, yakni Atribusi, Delegasi, dan
Mandat.10
Philipus M. Hadjon menyataan bahwa:11
“kewenangan atribusi dalam hal dan pengakuan hak-hak atas suatu
kewenangan yang baru. Dalam delegasi ada pengalihtanganan dari suatu
kewenangan yang ada. Untuk atribusi dan delegasi, kewenangan untuk
membuat keputusan harus didasarkan pada suatu undang-undang formal.
Dalam hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk membuat
keputusan untuk atas nama pengusaha, hal ini disebut mandat, hanya
menyangkut janji kerja intern antara penguasa dan pegawainya”.
Lebih lanjut Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa:12
“ Dalam hal delegasi, pejabat yang memperoleh delegasi bertanggung jawab
sendiri atas keputusan yang dibuatnya, sedangkan untuk mandat, keputusan
dibuat penerima mandat adalah atas nama dan tanggung jawab pemberi
mandat.”
Dari uraian di atas jelaslah bahwa wewenang atribusi merupakan
wewenang yang melekat pada jabatan, dengan perkataan lain wewenang dibentuk
bersama jabatan tersebut. Oleh karena itu setiap wewenang yang timbul dari
atribusi akan melahirkan wewenang yang sifatnya asli. Sumber wewenang yang
asli utama adalah dari pembuat Undang-Undang Dasar, yang untuk pertama kali
10
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administration Law), (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993), hlm. 137 11
Ibid, hlm. 91 12
Philipus M. Hadjon, Menuju Kodifikasi Hukum Administrasi (Bunga Rampai),
(Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1994), hlm. 4
19
ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI), kemudian
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pelaksana kedaulatan Rakyat
(dulu) dan presiden (sebagai kepala Negara dan pemerintahan) dengan persetujuan
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membuat Undang-Undang.
Untuk delegasi dan mandat terdapat perbedaan prinsipil, perbedaan
tersebut menurut Philipus M. Hadjon digambarkan dalam tabel berikut:13
Tabel 2: Perbedaan Mandat dan Delegasi
Mandat Delegasi
Prosedur pemberian
wewenang
Atasan kepada bawahan,
hal biasa kecuali dilarang
oleh undang-undang
Dari organ pemerintah
kepada organ lain dengan
peraturan perundang-
undangan.
Delegasi tidak diberikan
kepada bawahan
Tanggung Jawab Tetap pada pemberi
Mandat
Tanggung jawab
dialihkan
Wewenang pemberi
Mandat
Setiap saat dapat
menggunakan sendiri
wewenan tersebut
Pemberi delegasi tidak
dapat menggunakan
sendiri wewenang
tersebut, kecuali ada
pencabutan.
Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu
wewenang personal dan wewenang ofisial. Wewenang personal adalah wewenang
yang bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau normal, dan
kesanggupan untuk memimpin. Wewenang ofisial adalah wewenang resmi yang
di terima dari wewenang yang berada di atasnya.
Menurut Philipus M. Hadjon ada tiga sumber bagi badan ataupun pejabat
tata usaha Negara (TUN) dalam memperoleh kewenangan yaitu atribusi, delegasi
13
Philipus M. Hadjon, Op Cit, hlm. 52
20
dan mandat.14
Kewenangan atribusi terjadi dalam hal adanya pengakuan hak atas
suatu kewenangan yang baru. Berbeda halnya dengan kewenangan delegasi,
dimana terdapat pengalihtanganan dari suatu kewenangan yang ada. Adapun
syarat kewenangan atribusi dan delegasi harus didasarkan pada suatu undang-
undang formal.
Dalam hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk
membuat keputusan atas nama penguasa, hai ini disebut mandat, dimana tidak ada
pengakuan kewenangan, hanya menyangkut janji kerja interen antara penguasa
dan pegawainya. Sedangkan dalam hal delegasi pejabat yang memperoleh
delegasi bertanggung jawab sendiri atas keputusan yang dibuatnya, sedangkan
untuk mandat, keputusan yang dibuat penerima mandat adalah atas nama dan
tanggung jawab pemberi mandat.
Merujuk penjelasan pada paragraph di atas, sudah jelas bahwasanya
wewenang atribusi merupakan wewenang yang melekat pada jabatan, dengan
perkataan lain wewenang dibentuk bersama dengan jabatan tersebut. Oleh karena
itu setiap wewenang yang timbul dari atribusi akan melahirkan wewenang yang
sifatnya asli. Sumber wewenang asli yang utama adalah dari pembuat Undang-
undang Dasar yang untuk pertama kali ditetapkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
pelaksana kedaulatan rakyat dan Presiden tentunya dengan persetujuan dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam membuat Undang-undang.15
14
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada Press,
1993, hlm. 137 15
Philipus M. Hadjon, Menuju Kodefikasi Hukum Administrasi, Bunga Rampai hukum,
Fakultas Hukum Udayana, Denpasar, 1994, hlm. 4
21
Philipus M. Hadjon, berpendapat bahwa kewenangan pemerintah dapat
berupa kekuasaan berdasarkan keyakinannya sendiri atau kekuasaan diskresi16
yaitu: kewenangan untuk memutus berdasarkan kemampuannya sendiri dalam
memakni norma dan dalam waktu yang mendesak namun tetap tunduk pada
hukum.17
Diskresi ini merupakan bentuk penyimpangan dari asas rechmategheid
van bestur.
Menurut Van Wijk/Konijnenbelt yang dikutip oleh Philipus M. Hadjon
menyatakan bahwa atribusi adalah kewenangan yang diberikan oleh aturan atau
memperoleh wewenang pemerintahan dan membuat keputusan (besluit) yang
bersumber kepada undang -undang dalam arti materil. Pembentukan wewenang
pemerintah didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan yang
berlaku. Di dalam Artikel 103 AWB (Algemene Wet Bestuursrecht), mengatur
pengertian dari delegasi.
Mandat merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan. Akan
tetapi yang bertanggng jawab adalah tetap si pemberi mandat.
Inti dari kajian teori kewenangan berkaitan dengan sumber kewenangan
yang dimiliki pemerintah dalam melakukan perbuatan hukum baik hukum publik
atapun hukum privat.
Teori kewenangan dari philipus M hadjon, yang digunakan sebagai
landasan teori dalam kaitannya dengan pembahasan penulisan ini merupakan
upaya untuk menelusuri sumber kewenangan yang dimiliki oleh pemegang Hak
16
Diskresi atau discreation adalah kewenangan berupa kebebasan bertindak pejabat
Negara, atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, demi pelayanan public yang
bertanggungjawab. B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006,
hlm. 56 17
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 137.
22
Pengelolaan serta sejauh mana kewenangan itu bersesuaian dengan maksud dan
tujuan dari pemberi kewenangan.
1.6.2.2 Teori Kepastian Hukum
Kehadiran hukum modern membuka pintu bagi masuknya masalah yang
tidak ada sebelumnya yang dikenal dengan kepastian hukum. Nilai keadilan dan
kemanfaatan telah ada sebelum era hukum modern. Kedua nilai itu telah ada sejak
ribuan tahun yang lalu. Kepastian hukum merupakan wujud nilai hukum yang
baru, dengan dicirikan hukum itu dituliskan, dipositipkan dan menjadi hukum
publik. Kepastian hukum menyangkut masalah “Law being written down”, bukan
tentang keadilan dan kemanfaatan. Adapun kepastian hukum tidak terkait
hubungannya dengan “die sicherkeit durch das Recht”, seperti memastikan
bahwa pencurian, pembunuhan, menurut hukum merupakan kejahatan. Dan
seperti yang disampaikan oleh Gustav Radbruch, berbicara tentang kepastian
hukum adalah lebih tepat memposisikan kepastian dari adanya peraturan itu
sendiri atau kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).18
Gustav Radbruch, filsuf hukum asal Jerman, memberikan kontribusi yang
yang besar terhadap topik tentang kepastian hukum. Dia berbicara tentang cita
hukum (idees des Recht), yang mana cita hukum inilah yang akan membimbing
manusia dalam kehidupannya berhukum. Dia mengajarkan tiga ide hukum juga
18
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal Theory) dan teori keadilan (jurisprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang Pemahan Awal, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2009), hlm 297.
23
mengidentikkan dengan tujuan hukum, yaitu keadilan (geregchtigkeit),
kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechssicherkeit).19
Fuller mengajukan delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan
apabila tidak dipenuhi maka gagallah hukum disebut sebagai hukum. Delapan
asas itu antara lain;20
1. Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan
putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu.
2. Peraturan tersebut diumunkan kepada publik
3. Tidak berlaku surut karena akan merusak integritas system
4. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum
5. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan
6. Tidak boleh menuntut suati tindakan yang melebihi apa yang bisa
dilakukan
7. Tidak boleh sering diubah-ubah
8. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari
Baik Radbruch dan Fuller menyimpulkan masalah kepastian pelaksanaan
dari kepastian hukum. Bahwa kepastian hukum tidak saja berupa pasal-pasal
dalam undang-undang akan tetapi adanya konsistensi dalam putusan hakim yang
satu dengan yang lainnya untuk kasus serupa. Oleh Roscoe Pound dikatakan
adanya kepastian hukum memungkinkan adanya predictability 21
Dalam kaitannya dengan tema sentral penulisan tentang perlindungan
hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan, teori
kepastian hukum dari Gustav Radbruch akan digunakan untuk memberikan
pandangan tentang kepastian dari pelaksanaan peraturan yang mengatur hubungan
hukum antara pemegang Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Pengelolaan,
19
Ibid, hlm. 288 20
Ibid, hlm. 136 21
Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prenandamedia Group, 2008), hlm.
137
24
baik sebagai pranata untuk mengatur perilaku subyek hukum serta menjamin
keselamatan dan kepentingan dari individu didalam masyarakat.
1.6.2.3 Teori Sistem Hukum
Teori system hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedmen akan
dipakai untuk menganalisis kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang atas tanah
Hak Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang,
dalam hal efektifitasnya. Efektifitas dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai keberhasilan dari suatu usaha, tindakan. Dalam kaitan dengan
hukum, efektifitas hukum merupakan keberhasilan dari pelaksanaan suatu produk
hukum yang diimplementasikan dalam pelaksanaan hukum yang tepat sasaran
sesuai yang dicita-citakan.
Dalam bukunya yang berjudul The Legal System : A Social Science
Perspective, Friedmen menyampaikan 3 hal yang disebutnya sebagai komponen
dalam system hukum yaitu Struktur Hukum (legal structure), Substansi Hukum
(Legal Substance) dan Budaya Hukum (Legal Culture).22
Komponen struktur dari suatu sistem hukum meliputi pelbagai institusi
(lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam
fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum. Yang dimaksud dengan
lembaga pendukung system hukum meliputi badan eksekutif, legislatif serta
yudikatif dan lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum disisni
22
Lawrence M.Friedman, The Legal Sistem : A.Social Science Perspektive, (New York:
Russel Sage Foundation, 1969), hlm. 16.
25
diantaranya adalah institusi kepolisian, kejaksaan, serta peradilan dengan berbagai
perlengkapannya.
Adapun Substansi Hukum meliputi aturan- aturan hukum, norma-norma
dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk
yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup
keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun.
Budaya hukum meliputi berbagai perilaku, kebiasaan serta pandangan dari
masyarakat terkait hasil pemikiran dan harapan dari sitem hukum yang berlaku.23
Tanpa budaya hukum, system itu tidak akan berfungsi. Jadi dapat disimpulkan,
bahwa budaya hukum seperti halnya suatu ekosistem dari suatu makhluk hidup.
Masing-masing makhluk hidup mempunyai ekosistem yang berbeda-beda sesuai
dengan kodratnya. Pun hal itu berlaku di Indonesia, yang mempunyai budaya
hukum yang berbeda dengan bangsa lain yang merujuk pada nilai-nilai bangsa
serta agama yang dianut masyarakat Indonesia.
1.6.2.4 Teori Perlindungan Hukum
Secara tak langsung, fungsi hukum adalah alat atau cara agar tercipta suatu
masyarakat yang adil serta makmur dengan jalan terciptanya suatu jaminan
perlindungan hukum bagi setiap lapisan masyarakat.
Hukum memegang perananan yang penting, serta posisinya lebih tinggi
diatas kekuasaan yang dimiliki negara dan kekuasan politik. Maka dari itu muncul
istilah “pemerintahan dibawah hukum” (government under the law) yang dalam
23
ibid
26
sistem negara-negara common law disebut pemerintahan berdasarkan hukum,
negara eropa kontinental (rechtstaat).24
Pembatasan kekuasaan negara terhadap seseorang, negara tidak maha
kuasa, negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang dan semua tindakan yang
dilakukan oleh negara kepada warganya tidak absolut atau dibatasi oleh hukum
inilah yang oleh para ahli hukum Inggris disebut dengan Rule of law menurut Paul
Scolten dinamakan unsur negara hukum yang pertama25
dan dapat pula dikatakan
bahwa rakyat mempunyai hak terhadap penguasa sehingga ada lapangan pribadi
(individuele sfeer) dari setiap orang tidak dapat dicampuri oleh negara.
Pelanggaran terhadap hak–hak tersebut hanya dapat dilakukan apabila
diperbolehkan dan berdasarkan peraturan hukum, inilah yang disebut dengan azas
legaliteit dari negara hukum, yaitu setiap tindakan negara harus berdasarkan
hukum merupakan unsur kedua dari negara hukum.26
Hak-hak individu terhadap negara ialah Hak-Hak Asasi (HAM). Dengan
diterimanya secara Internasional Universal Declaration on Human Right, maka
perlindungan HAM merupakan unsur terpenting dalam negara hukum.
Pembatasan kekuasaan negara dan perlindungan hak pribadi merupakan sesuatu
yang logis. Logemann menyatakan bahwa orang-orang yang telah
menggabungkan diri dalam suatu negara (organisasi) adalah untuk mencapai
24
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), (Bandung: Refika Aditama,
2009), hlm. 2. 25
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 1973), hlm.
8. 26
Ibid, hlm. 9.
27
tujuan. Tetapi dalam penggabungan ini orang tidak menyerahkan seluruh
kepribadiannya tetapi tetap memegang sifat-sifat kepribadiannya.27
Perlindungan Hak Asasi Manusia tidak akan terjamin jika Hak Asasi
Manusia tersebut hanya diakui tanpa ada sarana untuk melindunginya. Sebagai
cara untuk melindungi Hak Asasi Manusia tersebut maka sangat perlu adanya
pemisahan kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu dengan Trias
Politica.28
Pemisahan kekuasaan badan perundang-undangan, kekuasaan
penyelenggara negara dan kekuasaan mengadili. Adanya badan peradilan yang
bebas dari segala pengaruh dari luar, baik dari badan penyelenggara maupun dari
badan perwakilan rakyat harus menjamin bahwa setiap pihak bertindak dalam
batas-batas yang diberikan padanya merupakan unsur keempat dari negara hukum.
Masalah negara hukum pada hakekatnya tidak lain dari persoalan tentang
kekuasaan29
dan munculnya suatu konsep Negara hukum atau rule of law,
ditujukan sebagai upaya memberikan batasan kekuasaan bagi penguasa supaya
tidak menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menindas rakyatnya
(abuse of power atau abus de droit).30
Didalam negara hukum, semua orang tanpa
terkecuali harus tunduk pada hukum yang adil. Tidak ada seorang pun termasuk
penguasa negara baik unsur eksekutif/legislatif dan yudikatif, yang kebal hukum.
Perlindungan terhadap harkat, martabat dan hak-hak rakyat menjadi esensi dari
suatu negara hukum. Pandangan tersebut didasari atas kenyataan alamiah makhluk
hidup (termasuk manusia), dengan kecenderungan pihak mayoritas (yang kuat)
27
Ibid. 28
Ibid, hlm. 10. 29
Ibid, hlm. 28. 30
Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 2.
28
melanggar/mengebiri hak pihak minoritas yang lemah).31
Kehidupan manusia
harus teratur dan oleh karena itu agar timbul keteraturan hidup manusia itu perlu
ditata dengan hukum. Sesuai hukum alam, bahwaanya alam berjalan dengan tertib
serta teratur, dan manusia sebagai bagian dari alam jagad raya tentunya harus
hidup dan berjalan dengan tertib dan teratur pula. Konsekwensinya hukum harus
diatur oleh hukum, yang dalam hal ini hukum buatan manusia selaras dengan
hukum alam atau hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk mereka yang
beragama.
Prinsip-prinsip negara hukum secara formal oleh Julius Stahl yang
mengajukan negara hukum yang substantif, dan Dicey yang mengetengahkan
konsep negara Rule of Law sangat berpengaruh terhadap perkembangan
penafsiran kontemporer, konsep negara hukum sudah mencakup persyaratan
pertumbuhan ekonomi yang bagus, pemerataan pendapatan, sistem politik dan
pemerintahan yang modern. Karena itu konsep negara hukum (rule of law)
mempunyai dasar-dasar kebijakan antara lain: (a) negara memiliki hukum yang
adil; (b) berlakunya prinsip distribusi kekuasaan; (c) semua orang, termasuk
penguasa harus tunduk pada hukum; (d) semua orang mendapat perlakuan yang
sama dalam hukum; (e) perlindungan hukum bagi terwujudnya hak-hak rakyat.32
Menurut Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra berpendapat bahwa hukum itu
berfungsi untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif
dan fleksibel, melainkan bersifat prediktif dan antisipatif 33
31
Ibid, hlm. 3. 32
Ibid, hlm. 6. 33
LIli Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung; Remaja
Rudaskarya, 1993), hlm. 118.
29
Menurut philipus M. Hadjon, pengertian perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia dibedakan dua macam yakni : perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif. Pada perlindungan hukum preventif diberikan
kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum
suatu putusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Perlindungan hukum
yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan
perlindungan hukum represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. 34
Dan Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa perlindungan hukum
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan dan
tujuannya agar masyarakat dapat menikmati hak-haknya yang diberikan hukum. 35
Beranjak dari teori yang dikemukakan oleh Satjipto rahardjo, akan
digunakan untuk memberikan penjelasan perlindungan hukum bagi masyarakat
pemegang Hak Guna Bangunan (sebagai pihak pemohon perpanjangan HGB)
diatas Hak Pengelolaan (sebagai pihak yang menyetujui atas perpanjangan HGB),
di dalam kasus ini semua syarat agar terlaksana perpanjangan HGB sesuai pasal
26 PP 40/1996 terpenuhi, akan tetapi pihak pemegang Hak Pengelolaan belum
merekomendasi pengajuan perpanjangan sehingga masyarakat umum (pemegang
HGB yang telah lewat batas waktu perpanjangan hak nya) dirugikan. Penelitian
akan diperdalam dengan kegiatan wawancara dengan pihak yang terkait,
khususnya dengan masyarakat pemegang sertipikat Hak Guna Bangunan, untuk
mengetahui duduk permasalahan secara obyektif, lalu dikaitkan dengan peraturan
34
Philipus, H. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT BIna Ilmu,
1987), hlm. 1-5 35
Satjipto rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 53
30
perundangan yang berlaku dan diakhir penulisan akan ditarik kesimpulan serta
saran untuk mencapai solusi yang membawa kemaslahatan bagi kedua pihak.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Berpijak pada masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
perlindungan hukum bagi pemegang hak guna bangunan yang berdiri diatas hak
pengelolaan nomor 1 desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang,
maka penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Berdasarkan buku
pedoman penyusunan proposal penelitian dan disertasi Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, penelitian hukum empiris harus disertai data awal bahwa
memang ada kesenjangan antara sesuatu menurut hukum ( das sein) dan sesuatu
yang terjadi di masyarakat (das solen) atau jika ada kendala penemuan hukum,
pelaksanaan hukum dan penegakan hukum.
Didalam penelitian hukum empiris ini, dari data awal yang penulis
kumpulkan, mengindikasikan adanya kesenjangan antara sesuatu menurut hukum
(das sein) dan sesuatu yang terjadi di masyarakat (das solen) dalam kasus
perpanjangan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Nomor 1/Jombang,
yang saat ini dimanfaatkan sebagai pasar Citra Niaga.
Deskripsi atas obyek masalah yang akan diteliti diawali dari penelusuran
kronologis terbitnya Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Nomor
1/Jombang, yang saat ini dimanfaatkan sebagai pasar Citra Niaga. Setelah
mendapat kejelasan mengenai asal usulnya, dikembangkan pembahasannya
mengenai kewenangan dari pemegang Hak Pengelolaan nomor 1/Jombang. Lalu
31
dianalisis mengenai kepastian hukum dan perlindungan hukum pemegang Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Nomor 1/Jombang, yang saat ini
dimanfaatkan sebagai pasar Citra Niaga yang telah berakhir masa haknya dan
samapai dengan saat ini masih ditempati dan dimanfaatkan oleh pemegang Hak
Guna Bangunan
1.7.2 Pendekatan Penelitian
Pendekatan masalah dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu
penelitian yang berusaha menghubungkan antara norma hukum yang berlaku
dengan kenyataan yang ada di masyarakat serta penelitian berupa studi empiris
berusaha menemukan teori mengenai proses terjadinya dan proses bekerjanya
hukum.36
Pendekatan yuridis pada penelitian ini adalah ditinjau dari
norma/peraturan hukum yang merupakan data sekunder yang terkait dengan
penelitian yang dilakukan. Norma/peraturan hukum yang berkaitan didalam
penelitian ini merupakan norma/peraturan hukum yang berkaitan dengan hak atas
tanah khususnya hak guna bangunan, hak pengelolaan serta pengelolaan
barang/aset daerah. Dan pendekatan empiris dipakai dalam menganalisis hukum
tidak hanya sebagai kumpulan perangkat aturan perundang-undangan yang
bersifat normatif, tapi hukum dilihat sebagai perilaku masyarakat yang
menggejala dan mempola dalam kehidupan masyarakat, selalu berinteraksi dan
berhubungan dengan aspek kemasyarakatan serta politik, ekonomi, sosial, dan
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : Rajawali Press, 1985), hlm 1
32
budaya. Berbagai temuan dilapangan yang bersifat individual dan dijadikan bahan
utama dalam mengungkapkan permasalahan yang diteliti dengan berpegang pada
ketentuan yang normatif. 37
Pada penelitian ini yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian
dilanjutkan dengan mengadakan penelitian terhadap data primer di lapangan.
1.7.3 Jenis dan Sumber Data Hukum
Di dalam penelitian hukum empiris, data hukum primer didapat dari
wawancara dan observasi kepada pihak yang terkait langsung dengan obyek
penelitian.
Data hukum sekunder merupakan kajian pustaka baik dari buku, jurnal
atapun makalah serta perundang-undangan yang terkait dengan pokok bahasan.
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data Hukum
Teknik pengumpulan data merupakan suatu cara mendapatkan data yang
kita perlukan untuk menunjang pengerjaan karya ilmiah. Data yang digunakan
oleh penulis meliputi Data Primer dan Data Sekunder.
Adapun data primer tersebut merupakan hasil observasi dan wawancara
dengan pihak yang terkait baik dari unsur masyarakat (pihak pemegang Hak Guna
Bangunan), ketua Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kabupaten Jombang,
pejabat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Jombang khususnya yang membidangi
bagian Hak atas Tanah dan Pendaftaran Tanah dan pejabat dari Kantor Pemerintah
37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1994), hlm 9.
33
Daerah Kabupaten Jombang (pihak pemegang Hak Pengelolaan) khususnya yang
membidangi pengelolaan asset daerah. Adapun teknik wawancara yang dilakukan
adalah dengan menyiapkan draft pertanyaan yang terkait dengan pokok bahasan
dan improvisasi pertanyaan agar wawancara tidak terkesan kaku dan
menginterogasi (disesuaikan dengan kondisi dan situasi).
Sedangkan data sekunder didapat dari kajian terhadap peraturan
perundang-undangan serta kajian pustaka berupa buku, jurnal ataupun makalah
yang terkait dengan pokok bahasan yang diangkat. Data sekunder dipakai untuk
mendapatkan landasan teoritis yang ditulis para ahli/pihak yang kompeten
didalam buku, jurnal ataupun makalah. Serta dokumen resmi berupa peraturan
perundang-undangan sebagai pijakan norma yang berlaku.
Data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan tersebut
antara lain, yaitu:
1. UU No. 5 tahun 1960 mengatur tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA).
2. Peraturan Menteri Agraria (PMA) Nomor 9 Tahun tahun 1965 mengatur
Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan
Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya (PMA 9/1965).
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1977 mengatur Tentang
Tata Cara Permohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-
Bagian Tanah Hak Pengelolaan Serta Pendaftarannya (Permendagri
1/1977).
34
4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 mengatur Tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40/1996).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 mengatur Tentang
Pendaftaran Tanah (PP 24/1997).
6. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9
tahun 1999 mengatur Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak
Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (PMA/KBPN 9/1999).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 mengatur tentang Pengelolaan
Barang milik Negara/Daerah (PP 27/2014).
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan metode
“analisis kualitatif yuridis” dengan berpijak pada kerja suatu “penalaran yuridis”.
Penalaran yuridis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dilakukan
pengelompokan terhadap peraturan perundangan, lalu dikaitkan dan dibandingkan
satu sama lain. Tentunya dengan memperhatikan fakta empiris yang terjadi
dilapangan.
Selanjutnya akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode
deduktif, yaitu dari hal yang dipaparkan secara umum ke hal khusus untuk
memperoleh jawaban dari permasalahan yang diteliti yakni perlindungan hukum
pemegang hak guna bangunan diatas hak pengelolaan nomor 1 desa Jombang
kecamatan jombang kabupaten jombang.
35
1.8 Sistematika Penulisan
Bab I (satu) tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian,
kerangka penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II (dua) tentang kajian pustaka yang terdiri dari Tinjauan Umum
Mengenai Tanah dan Hak Menguasai Negara atas Tanah, Tinjauan Umum dan
kedudukan Hak Pengelolaan dalam Sistem Pertanahan di Indonesia, Tinjauan
Umum Hak Guna Bangunan, dan Penguasaan dan Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah oleh Pemerintah Daerah.
Bab III (tiga) tentang hasil penelitian dan pembahasan yang terdiri dari
penelitian tentang kronologis terbitnya Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang yang
sekarang ini dimiliki oleh masyarakat, kewenangan dan kebijakan Pemegang Hak
Pengelolaan No. 1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang
(Pemerintah Kabupaten Jombang) untuk memperpanjang atau memperbaharui
Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas Hak Pengelolaan No. 1 tersebut, serta
perlindungan hukum pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No.
1 Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang yang telah melewati
masa berakhir haknya. Penelitian dan pembahasan mengaitkan kondisi/fakta di
lapangan sebagai hasil dari wawancara dan observasi data dihubungkan dengan
norma yang berlaku.
Bab IV (empat) penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
36
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Mengenai Tanah dan Hak Menguasai Negara atas
Tanah.
2.1.1 Pengertian Tanah dan Hak Penguasaan atas Tanah
Tanah dijabarkan didalam penjelasan umum UUPA II angka 1
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (3) dan pasal 4 ayat (1), sebagai
permukaan bumi. Berbeda dengan istilah “Bumi”, yang dijabarkan lebih luas,
meliputi permukaan bumi, tubuh bumi dibawahnya dan yang berada dibawah air.
Boedi Harsono berpendapat bahwa sebutan “tanah” dipakai dalam
pengertian yuridis adalah permukaan bumi (Pasal 4 ayat (1)), sedangkan hak atas
tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.38
Dalam kaitan dengan pengertian penguasaan, Satjipto Rahardjo
menyatakan;
“Penguasaan merupakan hubungan keterkaitan yang jelas antara
orang dengan suatu barang yang ada dalam kekuasaannya. Pada waktu itu
orang tidak membutuhkan pengukuhan yang lain melainkan bahwasanya
barang itu ada ditangannya. Pertanyaan yang mengarah pengukuhan adanya
legatimasi hukum tak dibutuhkan. Walaupun berdasarkan realitasnya, bahwa
suatu barang itu berada dalam kekuasaaan seseorang kiranya perlu
dipersoalkan batiniah orang yang menguasainya terhadap barang yang
dikuasainya itu, yaitu kepada orang tersebut apakah memang ada tujuan
untuk menguasai dan memanfaatknnya. Unsur-unsur yang tersebut masing-
masing dinamakan corpus possesionis dan animus posidendi. Penguasaan
38
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia-sejarah pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, isi dan Penjelasannya, (Jakarta, Djambatan, 2005), hlm. 18.
37
secara nyata atau disebut penguasaan fisik tersebut berikutnya ditentukan
dengan ada atau tidaknya pengukuhan hukum guns mendapatkan
perlindungan. Hukumlah yang menjadi tolak ukur sah atau tidak sah atas
penguasaan secara nyata suatu barang oleh seseorang.”39
Dalam UUPA, diatur serta ditetapkan hierarki hak-hak penguasaan atas
tanah dalam Hukum Tanah Nasional yaitu Hak Bangsa Indonesia (pasal 1
UUPA) yang beraspek perdata dan publik, Hak Menguasai dari Negara (pasal 2
UUPA) beraspek publik, Hak Ulayat Masyarakat adat (pasal 3 UUPA)
beraspek perdata dan publik serta Hak-Hak Perorangan/individual baik hak-hak
atas tanah (pasal 16 dan 53 UUPA), wakaf (pasal 49) dan Hak Jaminan atas Tanah
(pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA).40
Didalam pasal 2 UUPA, Negara mempunyai hak untuk menguasai tanah
sebagai bagian dari anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan kekayaan milik bangsa
Indonesia, yang dikenal dengan Hak Menguasai Negara.
2.1.2 Pengertian dan landasan yuridis Hak Menguasai Negara Atas Tanah
Landasan hukum Hak Menguasai Negara termaktub dalam ketentuan pasal
2 UUPA. Didalam penjelasan umum UUPA (II angka 2), dijelaskan bahwasanya
kata “Dikuasai” dalam pasal 2 ayat 1 UUPA, bukanlah berarti “Dimiliki”, akan
tetapi memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari
Bangsa Indonesia yang tertinggi, untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaannya,
39
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung ; PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 62. 40
Boedi Harsono (2005), op.cit, hlm. 24.
38
2. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian
dari) bumi, air dan ruang angkasa itu,
3. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.41
Menurut Mahfud MD, pilihan asas Hak Menguasai oleh Negara atas tanah
sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (3) UUD 1945 dan bukan Hak Milik Negara
sebagaimana zaman Hindia belanda, menurut Iman Sutiknyo, walaupun tidak
disebutkan secara eksplisit tujuannya adalah untuk keuntungan kolonialisme
Belanda, sebab klaim atas tanah tak bertuan (tidak dapat dibuktikan sebagai hak
eigendom oleh rakyat) oleh pemerintahan jajahan hanya untuk memberikan
keuntungan bagi kolonialisme Belanda. Sedangkan pada asas Hak Menguasai oleh
Negara tersurat tujuan secara jelas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.42
Tafsiran yang lain dapat dilihat dalam pertimbangan hukum yang
diberikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara nomor 001-021-
022/PUU-I/2003,43
bahwasanya pengertian “Dikuasai oleh Negara” dalam pasal
33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada
konsepsi hukum perdata,. Konsepsi penguasaan oleh Negara merupakan konsepsi
hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam
UUD 1945, baik di bidang politik maupun ekonomi.
41
Boedi Harsono (2008), op.chit, hlm. 31 42
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta, Pustaka LP3S, 1998), hlm.
184 43
Supriyadi, op.chit, hlm. 102
39
Selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut diatas, maka
kewenangan public (publiekrechtelijke) tersebut mengandung unsur-unsur :
mengadakan kebijakan (beleidsdaad), dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelensdaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan
(toezichthodensdaad).44
2.1.3 Wewenang Negara Menguasai Tanah
Landasan yuridis yang berkaitan dengan wewenang Negara menguasai
tanah secara eksplisit tercantum pada Pasal 2 ayat (2) UUPA. Kewenangan
tersebut secara jelas megatur untuk; mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak
yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu, serta
menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Dengan konsep wewenang Hak Menguasai Negara tersebut, bukan berarti
rakyat/masyarakat kedudukannya berada dibawah Negara. Dalam prinsip “Negara
menguasai” maka dalam hubungan antara Negara dan masyarakat/rakyat dan
masyarakat/rakyat tidak dapat disubordinasikan kedudukannya dibawah Negara,
karena Negara justru menerima kuasa dari masyarakat/rakyat untuk mengatur
tentang peruntukan, persediaan dan penggunaan tanah serta hubungan hukum
yang bersangkutan dengan tanah.45
44
Ibid, hlm. 103 45
Irawan Soerodjo, op.chit, hlm. 8
40
2.1.4 Pengaturan Hak Atas Tanah dalam UUPA
Secara hierarki, ditinjau dari UUPA, hak penguasaan atas tanah terbagi
menjadi 4 bagian. Yang pertama adalah Hak Bangsa Indonesia (diatur dalam
pasal 1 UUPA). Yang kedua adalah Hak Menguasai dari Negara (pasal 2
UUPA). Yang ketiga adalah Hak Ulayat Masyarakat hukum adat sepanjang
menurut kenyataan masih ada (diatur dalam pasal 3 UUPA). Yang keempat
adalah Hak-Hak Individu yang terbagi atas Hak-Hak atas Tanah (pasal 16
dan pasal 53 UUPA), Wakaf (pasal 49 UUPA) dan Hak-Hak Jaminan atas
Tanah (pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA).
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UUPA, hak atas tanah adalah hak yang berisi
wewenang untuk menggunakan tanah tersebut sesuai dengan kepentingannya
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku. Batasan
penggunaan tanah hanya meliputi permukaan bumi dan sebagian ruang bawah
tanah sepanjang berkaitan langsung dengan penggunaan permukaan bumi (tanah)
tersebut. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam penjelasan Pasal 8 UUPA,
bahwa wewenang menggunakan tanah terbatas pada penggunaan permukaan bumi
saja dan tidak termasuk wewenang mengambil kekayaan alam yang terkandung
didalamnya.46
Secara garis besar, hak atas tanah dibagi dalam 3 kelompok, yaitu :
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap dan selama UUPA masih berlaku,
meliputi; Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai,
46
Ibid, hlm. 55.
41
Hak Sewa Tanah Bangunan, Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut
Hasil Hutan (Pasal 16 ayat 1 UUPA).
2. Hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak atas tanah yang dalam
waktu singkat akan dihapuskan, meliputi; Hak Gadai, Hak Usaha Bagi
Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian (Pasal 53 ayat 1
UUPA).
3. Hak-hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang yaitu
hak atas tanah baru yang dikemudian hari akan ada berdasarkan
peraturan perundangan yang berlaku.47
Dari uraian macam-macam hak atas tanah diatas, Hak Pengelolaan tidak
termasuk dalam jenis hak atas tanah yang bersifat individu atau perseorangan
yang secara hierarki berada dibawah Hak Menguasai negara, karena Hak
Pengelolaan merupakan pendelegasian sebagian wewenang dari Hak Menguasai
Negara yang mempunyai prinsip tidak dapat dialihkan atau dipindah tangankan
kepada pihak manapun.
2.2 Tinjauan Umum dan kedudukan Hak Pengelolaan dalam aspek hukum
Pertanahan di Indonesia.
2.2.1 Tinjauan umum Hak Pengelolaan ( Pengertian dan Makna).
Beberapa ahli hukum, memberikan penjabaran mengenai Hak
Pengelolaan. Menurut Boedi Harsono, Hak Pengelolaan merupakan gempilan dari
47
Ibid, hlm. 56
42
Hak Mengausai dari Negara.48
Menurut Maria S.W Sumardjono, Hak
Pengelolaan adalah Hak Menguasai Negara yang kewenangan pelaksanannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya.49
sedangkan AP Parlindungan
berpendapat bahwa Hak Pengelolaan merupakan Hak atas tanah di luar UUPA.50
Pengertian Hak Pengelolaan, secara tertulis baru muncul pada pasal 6
PMA 9/1965, yang dideskripsikan sebagai hak menguasai Negara yang
kewenangan pelaksanannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya,
antara lain berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan
tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah
tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga.
2.2.2 Landasan Yuridis Hak Pengelolaan
Dalam penjelasan umum II angka 2 UUPA, penyebutan “Hak
Pengelolaan” belum muncul secara tersurat. Yang ada adalah “Pengelolaan”
sebagai bagian dari rangkaian kalimat utuh yang berbunyi bahwa Negara sebagai
pemegang hak penguasaan atas tanah, dapat memberikan pengelolaan kepada
departeman, jawatan dan daerah swatantra untuk dipergunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing.walaupun secara tersurat belum munculistlah hak
pengelolaan, akan tetapi jika dikaitkan dengan PP nomor 8 tahun 1953 yang
mengatur tentang penguasaan tanah-tanah Negara, membuka kemungkinan
48
Boedi Harsono, 1994, op.chit, hlm. 277. 49
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
(Jakarta, Penerbit buku kompas, 2008), hlm. 213. 50
A.P Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem Undang-Undang Pokok Agraria,
(Bandung, Mandar Madju, 1994) hlm. 1.
43
Negara memberikan bagian-bagiah tanah dengan hak penguasan baik kepada
departemen, jawatan ataupun daerah swatantra.
Sejak diundangkannya PP 9/1965, maka penyebutan Hak Pengelolaan
secara tekstual sudah muncul. Dalam deskripsi lebih detailnya disebutkan, apabila
hak penguasaan yang diberikan kepada departeman, jawatan dan daerah swatantra
digunakan untuk keperluan sendiri maka dikonversi menjadi Hak Pakai. Dan
apabila hak penguasaan yang diberikan kepada departeman, jawatan dan daerah
swatantra selain digunakan untuk keperluan sendiri juga dimaksudkan untuk
diberikan kepada pihak ketiga maka dikonversi menjadi Hak Pengelolaan. Dari
penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa secara yuridis lahirnya Hak
Pengelolaan adalah berdasarkan PP 9/1965. Dalam perkembangan waktu
kedepannya, eksistensi Hak Pengelolan semakin didukung dengan diterbitkannya
Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 tahun 1966, Undang-Undang nomor 16 tahun
1985 dan seterusnya terkait peraturan dalam bidang pertanahan.
2.2.3 Subyek Hak Pengelolaan
Subyek hukum menurut peter Mahmud adalah pendukung hak dan
kewajiban. Dan subyek hukum atau person merupakan bentukan hukum artinya
keberadaannya karena diciptakan oleh hukum.51
Sedangkan menurut Chidir Ali,
subyek hukum pada awal mulanya hanyalah manusia. Namun dalam
perkembangannya muncul badan hukum yang dalam kenyatannya ada dan diakui
oleh masyarakat. Badan hukum diciptakan oleh hukum, dan mempunyai
51
Peter Mahmud Marzuki, (2009), op.chit, hlm. 241.
44
kedudukan yang sama dengan manusia serta memepunyai kewenangan yang
bersumber pada das hukum pembentukannya.52
Secara gamblang, subyek hukum Hak Pengelolaan disebutkan pada pasal
67 PMA/KBPN 9/1999 yaitu instansi pemerintah termasuk pemerintah daerah
baik tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Badan Usaha Milik Negara, Badan
Usaha Milik Daerah, PT Persero, badan otorita dan badan-badan hukum
pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.
2.2.4 Obyek Hak Pengelolaan
Secara implisit, munculnya Hak Pengelolaan diatur dalam Penjelasan
umum II angka 2 UUPA, dimana hak pengelolaan berasal dari hak penguasaan
(beheer) yang didalam pasal 2 UUPA disebut sebagai hak mengusai Negara. Dari
pasal 2 UUPA inilah dapat ditarik kesimpulan bahwasanya obyek hak pengelolaan
adalah tanah Negara. Adapun pengertian tanah Negara menurut PP 24/1997,
adalah tanah yang tidak dipunyai oleh/dengan sesuatu hak atas tanah.
2.2.5 Wewenang Hak Pengelolaan
Wewenang hak pengelolaan didapat dari delegasi (pelimpahan) dari Hak
Menguasai Negara (pasal 2 UUPA). Kewenangan tersebut akan secara mutlak
berlaku apabila Hak Pengelolaan telah didaftrakan kepada Kepala Kantor
Pertanahan setempat (sesuai PMA 1/1966) dan sesuai prosedur (sesuai PP
24/1997).
52
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, hlm. 7 lihat juga L.J van Apeldoorn,
Pengantar ilmu hukum, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1981), hlm 81.
45
Didalam pasal 6 ayat (1) PMA 9/1965, terperinci 4 wewenang hak
pengelolaan yaitu merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut,
menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian atas tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak Pakai
berjangka waktu 6 tahun serta menerima uang pemasukan/ganti rugi/uang wajib
tahunan. Dan pada pasal 1 ayat (1) PMDN 1/1977, terperinci 3 wewenang dari
hak pengelolaan yaitu merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
usahanya serta menyerahkan bagian-bagian atas tanah tersebut kepada pihak
ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak
tersebut, yang meliputi peruntukan, penggunaan, jangka waktu, dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan
oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan yang berlaku.
2.2.6 Hubungan hukum Hak Menguasai Negara dengan Hak Pengelolaan
Deskripsi dari Hak pengelolaan adalah Hak Menguasai Negara yang
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pihak ketiga. Dari penjabaran
tersebut tercermin bahwasanya ruang lingkup dari hak mengusai Negara lebih
luas. Didalam pasal 2 ayat (1) dan (2) menyebutkan obyek penguasaan Negara
yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa. Sedangkan obyek Hak pengelolaan
adalah tanah negara yang merupakan bagian dari bumi.
Adapun kewenangan yang dipunyai pemegang hak atas tanah menurut
Sudikno Mertokusumo meliputi wewenang umum dan wewenang khusus.
46
Wewenang umum adalah wewenang untuk menggunakan tanah termasuk tubuh
bumi, air dan ruang angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan yang lebih tinggi. Dan
wewenang khusus adalah wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai jenis
hak atas tanahnya.53
Dalam rangkaian kalimat yang menjabarkan deskripsi tentang hak
pengelolaan, pernyataan yang dituliskan oleh Irawan soerojo menarik untuk
direnungkan bahwasanya kata “sebagian” mempunyai makna ;
1. Wewenang hak menguasai dari Negara yang terdapat dalam pasal 2
ayat 2 UUPA tidak dapat diserahkan atau dilepaskan seluruhnya
kepada pihak lain manapaun. Dengan diberikannya sebagian
wewenang kepada pihak lain dengan hak pengelolaan, maka tanah
tersebut tetap dalam penguasaan Negara. Apabila wewenang hak
menguasai dari Negara tersebut diserahkan atau dilepaskan kepada
pihak lain dengan hak pengelolaan, maka hal demikian jelas
bertentangan dengan prinsip dasar UUPA dimana Negara sebagai
organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat bertindak selaku pemegang
kekuasaan tertinggi atas tanah.
2. Bahwa pelaksanaan sebagian kewenangan oleh pemegang hak
pengalolaan bukan berarti menghilangkan kewenangan hak
mengusai dari Negara yang dimilik oleh pemerintah, sehingga
kewenangan pemegan hak pengelolaan merupakan sub ordinasi dari
hak menguasai Negara yang dilakukan oleh pemerintah dan
karenanya pemegang hak pengelolaan tetap tunduk kepada segala
peraturan yang dikeluarkan oleh Negara melalui pemerintah.54
Dengan uraian tersebut, telah jelas kiranya ruang lingkup kewenangan hak
pengelolaan hanya terbatas pada peruntukan serta penggunaan tanah saja, tidak
termasuk air dan ruang angkasa.
53
Sudikno Mertokosumo, Hukum dan Politik Agraria, (Jakarta, Universitas Terbuka-
karunika, 1988), hlm. 4-5. 54
Irawan soerodjo, op.chit, hlm. 15-17.
47
2.2.7 Penggunaan Tanah Hak Pengelolaan dan penyerahannya kepada
pihak ketiga.
2.2.7.1 Penyerahan penggunaan sebagian tanah Hak Pengelolaan dan
Pemberian Hak Atas Tanah diatas sebagian tanah Hak Pengelolaan
Dengan wewenang yang dimiliki oleh pemegang hak pengelolaan untuk
menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga (baik
masyarakat umum atau badan hukum), pemegang hak pengalolaan berhak untuk
menetukan pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga, baik berupa hak guna
bangunan (pasal 21 PP 40/1996) atau hak pakai (pasal 41 PP 40/1996).
Dalam pasal 4 PMA/KBPN 9/1999, disyaratkan bahwa sebelum
diserahkan kepada pihak ketiga oleh pemegang hak pengelolaan, harus didahului
dengan dibuat Perjanjian Penggunaan Tanah. Jika dilihat dari isi pasal 4
PMA/KBPN 9/1999 tersebut maka perjanjian yang dibuat adalah dalam rangka
penyerahan penggunaan bagian tanah yang berfungsi sebagai surat penunjukan
serta berfungsi sebagai bentuk kesepakatan guna mengelola bagian tanah oleh
pihak ketiga.
Setelah terpenuhinya Perjanjian Penggunaan Tanah antara pihak
pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak ketiga, maka dapat diteruskan proses
pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang yaitu berdasarkan
PMA/KBPN 3/1999 yang sebagian telah diubah dengan Peraturan Kepala BPN no
48
1 tahun 2011, bahwa pejabat yang berwenang adalah kepala kantor pertanahan
kabupaten/kota.
2.2.7.2 Status Hukum Bangunan yang Berada diatas tanah Hak Pengelolaan
(Asas pemisahan vertical dan horizontal)
Pendirian bangunan fisik baik baik berupa rumah tinggal, toko, rumah
toko (ruko), rukan (rumah kantor) oleh pemegang hak atas tanah (baik berupa hak
guna bangunan atau hak pakai) harus tetap mengacu peruntukannya pada surat
keputusan dari pemerintah yang digunakan sebagai landasan yuridis terbitnya Hak
Pengelolaan. Sehingga ada kecocokan peruntukan antara yang tertulis dengan
fisik di lapangan.
Permasalahan yang muncul lebih sering saat masa berakhir hak atas HGB
atau Hak pakai berakhir. Dimana pemegang hak pengelolaan tidak memberikan
kepastian perpanjangan status haknya. Padahal bangunan tersebut mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi. Para pemegang hak guna bangunan atau hak pakai
tidak jarang yang tidak menyadari bahwa bangunan yang mereka milki berdiri
diatas hak pengelolaan, yang artinya kewenangan untuk memperpanjang atau
memperbaharui status haknya menjadi domain dari pemegang hak pengelolaan.
Sengketa antara pemegang hak pengelolaan dengan pemegang hak guna bangunan
atau hak pakai, dipicu karena ketidaktahuan pemegang ha katas tanah perihal
status tanahnya itu sendiri. Hal ini terjadi karena minimnya pengetahuan
masyarakat umum perihal hukum pertanahan serta terjadinya peralihan hak atas
tanah dilakukan secara bawah tangan. Hal ini tidak menjadi mutlak kesalahan
49
pemegang hak pengelolaan karena didalam pasal 36 ayat (2) juncto pasal 56 ayat
(2) PP 40/1996 juncto pasal 10 Permendagri1/1977, disebutkan bahwa apabila hak
atas tanah (HGB atau Hak Pakai) yang diberikan kepada pihak ketiga hapus atau
telah berkahir masa haknya, maka tanah tersebut kembali dalam penguasaan
pemegang hak pengelolaan. Walaupun begitu, pemegang hak pengelolaan juga
tidak dapat semena-mena terhadap pemegang hak guna bangunan dengan tidak
dapat memperpanjang atau memperbaharui haknya karena kewenangan pemegang
hak pengelolaan merupakan pelimpahan dari hak menguasai Negara (kewenangan
public) yang ujung-ujungnya demi kemakmuran rakyat.
Di dalam hukum pertanahan, terdapat 2 asas pemisahan yaitu asas
pemisahan vertical dan asas pemisahan horizontal. asas pemisahan vertical, pada
mulanya (sebelum UUPA berlaku) diberlakukan untuk tanah yang dikuasai
dengan Hak Barat dan asas ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Tepatnya, asas ini diatur pada pasal 571 ayat (1) KUHper yang berbunyi
“Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya kepemilikan atas segala
apa yang ada diatasnya dan didalam tanah”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa
ke epemilkan bangunan atau benda yang ada diatas atau tertanam didalamnya
menjadi pemilik tanah (perlekatan/accessie). Jadi jika terjadi peralihan hak atas
tanah, maka terjadi juga peralihan kepemilikan atas benda yang ada diatas atau
didalamnya.
Asas berikutnya adalah asas pemisahan horizontal. Asas ini mengacu pada
hukum adat, yang berprinsip bahwa benda-benda yang ada diatas dan didalam
(baik bangunan ataupun tanaman) bukan merupakan bagian dari tanah. Sehingga
50
pemilik tanah belum tentu pemilik bangunan dan atau pemilik tanaman. Hal ini
berakibat pada perbuatan hukum atas peralihan hak nya, dimana jika terjadi
peralihan hak terhadap tanah belum tentu meliputi bangunan dan atau
tanamannya.
2.2.7.3 Hubungan Hukum Antara Pemegang Hak Pengelolaan dengan Pihak
Ketiga
Perbedaan antara perbuatan hukum publik dan perbuatan privat dapat
ditinjau dari kedudukan para pihak, yaitu kedudukan pemerintah sebagai salah
saatu pihak dan orang-perorang di pihak yang lain. Apabila kedudukan
pemerintah lebih tinggi dari orang per orang, maka perbuatannya disebut
perbuatan hukum publik. Namun apabila kedudukan pemerintah setara dengan
orang-perorang, maka perbuatannya disebut perbuatan hukum privat.55
Menurut Ridwan HR, untuk mengetahui kapan pemerintah bertindak
sebagai wakil dari jabatan dan kapan bertindak mewakili badan hukum, dapat
dilihat dari penjabarannya sebagai berikut “Didalam suatu pemerintahan
kabupaten, terdiri dari lembaga-lembaga/organ seperti DPRD, pemerintah harian
dan bupati/walikota. Pada pelbagai hal, bupati/walikota mempunyai kewenangan
untuk bertindak sebagai wakil dari kabupaten/kotamadya. Dalam kebijakan yang
bersifat administratif atau peradilan administrasi, gugatan ditujukan terhadap
organ yang membuat keputusan tersebut. Dan dalam kebijakan yang bersifat
55
Supriyadi, 2010, op.chit, hlm.134
51
keperdataan, badan hukumlah yang menjadi pihak (bupati bertindak untuk
mewakili badan hukum kabupaten).56
Untuk membuktikan bahwa kewenangan yang dimiliki pemegang hak
pengelolaan adalah kewenangan dalam hukum public, kiranya dapat ditelusuri
dari sejarah dan proses terwujudnya Hak Pengelolaan. Penelusuran ini dapat
dimulai dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, pasal 2 ayat (2) UUPA serta PMA
9/1965 dan PMDN 1/1977. Delegasi wewenang dari Negara (berupa Hak
Menguasai Negara) kepada pemegang Hak Pengelolaan adalah gempilan bukan
pelepasan hak laiknya Hak Milik, karena secara jelas telah disebutkan dalam
pengertian tentang Hak Pengelolaan yaitu gempilan hak menguasai Negara yang
sebagian kewenangannya diberikan kepada pemegangnya.
Menurut pendapat supriyadi, dijelaskan pula tentang ciri dari suatu
perbuatan hukum yang mempunyai sifat sepihak bisa diamati dari posisi
pemerintah daerah yang lebih tinggi daripada orang per orang, berupa
kewenangan untuk menentukan serta menetapkan isi/subtansi dari perbuatan
hukum publik tersebut tanpa terlebih dahulu atau tanpa memerlukan persetujuan
dari pihak lainnya.57
2.2.7.4 Pendaftaran Hak Pengelolaan
Pihak ketiga, sebagai pihak yang memohon hak atas tanah diatas Hak
Pengelolaan, wajib memenuhi syarat sebagai subyek Hak pengelolaan. Apabila
yang dimohon hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan, pemohon harus Warga
56
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta, PT. Raja grafindo persada, 2006),
hlm. 93 57
Supriyadi, op.chit, hlm. 136
52
Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia
serta berkedudukan didalam wilayah Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 36
UUPA juncto pasal 19 PP 40/1996. Dan apabila yang dimohon hak atas tanah
berupa Hak Pakai, pemohon harus Warga Negara Indonesia atau badan hukum
yang didirikan menurut hukum Indonesia serta berkedudukan didalam wilayah
Indonesia dan orang per orang berkewarganegaraan asing atau badan hukum asing
yang memiliki perwakilan di Indonesia (pasal 2 Peraturan Pemerintah nomor 41
tahun 1996 yang mengatur perihal Pemilikan Rumah Tinggal atau hunian oleh
orang asing yang berkedudukan di Indonesia)
Apabila pemohon sudah memenuhi syarat sebagai subyek hukum hak
pengelolaan maka langkah selanjutnya mengacu pada PMA 9/1999 yang
mengatur perihal prosedur atau tata cara pemberian hak atas tanah diatas tanah
hak pengelolaan.
Langkah pertama yaitu pemohon/pihak ketiga wajib mendapat persetujuan
dari pihak pemegang hak pengelolaan, dalam bentuk pembuatan surat perjanjian
penggunaan tanah antara pemegang hak pengelolaan dengan pemohon (pihak
ketiga). Adapun untuk bentuk serta nama perjanjiannya, belum ada
ketentuan/peraturan perundangan yang mengaturnya, tetapi isi perjanjian harus
mengacu pada pasal 3 ayat (2) Permendagri 1/1977. Dilaksanakan pula perjanjian
Bangun Guna Serah (BOT/build operate and transfer) sesuai ketentuan Peraturan
Pemerintah register nomor 6 tahun 2006 yang mengatur perihal Pengelolaan
Barang Milik Daerah serta Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
nomor 248/KMK.04/1995. Berdasarkan perjanjian BOT, maka pemohon/pihak
53
ketiga secara sah diberi hak untuk menggunakan tanah, mendirikan bangunan
diatas tanah tersebut serta mengelolanya dan menyerahkan kembali tanah beserta
bangunan kepada pemegang hak pengelolaan apabila jangka waktu berlakunya
sudah habis.
Berdasarkan perjanjian BOT yang telah dibuat tersebut, pihak ketiga selain
berhak menggunakan tanah, juga berhak mengajukan permohonan pemberian hak
atas tanah kepada Kepala kantor pertanahan kabupaten/kota baik berupa Hak
Guna Bangunan ataupun Hak Pakai .
Pemohon harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah (SKPH yang dikeluarkan Kepala kantor
BPN kabupaten/kota). Setelah terpenuhi semua persyaratan sebagaimana yang
ditetapkan dalam SKPH, maka SKPH tersebut bisa didaftarkan dengan dilampiri
bukti pembayaran atas kewajiban yang berupa BPHTB yang sudah dilunasi.
Setelah dokumen administrasi telah diperiksa dan dinyatakan lengkap,
dengan kewenangannya, Kepala kantor BPN Kabupaten/kota menerbitkan
sertipikat hak atas tanah sesuai yang diajukan oleh pemohon (berupa Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai).
2.3 Tinjauan Umum Hak Guna Bangunan
2.3.1 Pengertian Hak Guna Bangunan
Pengertian tentang Hak Guna Bagunan dapat kita jumpai pada pasal 35
UUPA. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Hak Guna Bangunan merupakan
54
Hak untuk mendirikan serta memepunyai bangunan atas tanah yang bukan
miliknya sendiri. Rentang waktu pemberian HGB paling lama 30 tahun, dapat
diperpanjang jangka waktunya paling lama 20 tahun atas permintaan dari
pemegang HGB serta mengingat kepentingan dan keadaan bangunannya. Serta
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Sesudah habis masa perpanjangan
20 tahun, pemegang Hak Guna Bangunan bisa mengajukan pembaharuan hak nya
dengan jangka waktu paling lama 30 tahun lagi.
Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal, Khusus untuk penanaman modal, Hak Guna Bangunan bisa
diberikan langsung selama 80 tahun dengan cara diberikan dan langsung
diperpanjang di awal selama 50 tahun serta diperbaharui selama 30 tahun.
Berdasarkan definisi dari Hak Guna Bangunan, terdapat kalimat “atas
tanah yang bukan miliknya sendiri” menunjukkan bahwasanya Hak Guna
Bangunan bisa berdiri diatas tanah Negara (pasal 22 ayat (1) UUPA), berdiri
diatas tanah Hak Pengelolaan (pasal 22 ayat (2) UUPA) maupun berdiri diatas hak
atas tanah perorangan/Hak Milik (pasal 24 ayat (1) UUPA).
Mengacu pada Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 6 tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah
untuk Rumah Tinggal, untuk tanah dengan status Hak Guna Bangunan maupun
Hak Pakai serta dimanfaatkan sebagai rumah tinggal bisa diajukan permohonan
status hak nya menjadi Hak Milik. Dan apabila dimanfaatkan sebagai tempat
usaha, baik berupa ruko atau kantor, status hak nya tidak boleh berubah menjadi
Hak Milik dan tetap berupa Hak Guna Bangunan
55
2.3.2 Subyek Hak Guna Bangunan
Didalam Pasal 36 ayat (1) diatur menganai subyek pemegang Hak Guna
Bangunan, yaitu : Warga Negara Indonesia serta Badan Hukum yang didirikan
menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (berdasarkan
Kepeutusan Presiden Nomor 23 tahun 1980). Badan hukum yang dimaksud
berupa Perseroan Terbatas biasa, Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing
(PT PMA), yayasan, koperasi, badan hukum pendidikan, dan perkumpulan
berbadan hukum.
2.3.3 Obyek Hak Guna Bangunan
Menurut Soedjono Dirdjosiswono, obyek hukum dideskripsikan sebagai
segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum serta
dapat dikuasai oleh subyek hukum.58
Sesuai yang tertulis didalam Pasal 21
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, jenis hak atas tanah yang dapat
diberikan diatasnya dengan Hak Guna Bangunan adalah: Tanah Negara, Tanah
Hak Pengelolaan serta Tanah Hak Milik.
2.3.4 Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Guna Bangunan
Pemegang hak guna bangunan berhak menguasai serta menggunakan
tanah yang diberikan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan (pasal 32 PP 40/1996) dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat
58
Soedjono Dirdjosiswono, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta, Rajawali Pers, 2007), hlm.
122.
56
diperpanjang selama 20 tahun serta dapat diperbaharui (pasal 25 PP 40/1996).
Adapun hak berikutnya adalah atas hak guna bangunan tersebut dapat beralih serta
dialihkan (pasal 34 ayat (1) PP 40/1996), dan dapat dijadikan jaminan hutang
dengan dibebani Hak Tanggungan (pasal 33 ayat (1) PP 40/1996).
Selain memiliki Hak, pemegang Hak Guna Bangunan tentunya
mempunyai yang harus dipenuhi. Penjabaran tentang kewajiban bagi pemegang
HGB diatur dalam Pasal 30 PP 40/1996 antara lain; membayar uang pemasukan
yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian
haknya; menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;
memelihara dengan baik tanah dan bangunan di atasnya serta menjaga kelestarian
lingkungan hidup; menyerahkan kembali tanah kepada pemegang Hak
Pengelolaan setelah Hak Guna Bangunan tersebut hapus dan menyerahkan
sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor
Pertanahan.
2.3.5 Peralihan Hak Guna Bangunan
Peralihan hak guna bangunan diatur di dalam Pasal 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dinyatakan bahwa : 1) Hak Guna Bangunan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. 2) Pengertian beralih dan dialihkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dapat disebabkan karena : a.
Jual beli; b. Tukar menukar; c. Penyertaan dalam modal; d. Hibah; e. Pewarisan.
3) Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
57
didaftarkan pada kantor pertanahan. 4) Peralihan Hak Guna Bangunan karena jual
beli kecuali jual beli melalui lelang, tukar menukar. Penyertaan dalam modal dan
hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
5) Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara
Lelang. 6) Peralihan Hak Guna Bangunan karena pewarisan harus dibuktikan
surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang
berwenang. 7) Peralihan Hak Guna Bangunan atas Hak Pengelolaan harus dengan
persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. 8) Peralihan Hak Guna
Bangunan atas Tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis dari pemegang
Hak Milik yang bersangkutan.
Dari uraian diatas, terdapat syarat wajib agar HGB dapat beralih serta
dialihkan yakni didahului dengan adanya perjanjian, berlaku untuk HGB diatas
tanah Hak Pengelolaan ataupun Hak Milik. Perjanjian ini merupakan landasan
hukum dalam melangkah menuju tahap selanjutnya dalam kegiatan peralihan
HGB.
2.4 Penguasaan dan Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah oleh
Pemerintah Daerah.
2.4.1 Tanah Negara (pengertian dan ruang lingkup)
Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan tonggak menyatunya suku,
budaya serta kekayaan Sumber Daya Alam (khususnya tanah) yang dimiliki
masing-masing bagian bangsa dalam satu keluarga besar organisasi yaitu Negara
58
Republik Indonesia. Secara hakikat, tanah negara merupakan hak dari bangsa
Indonesia jauh sebelum penjajah datang ke bumi nusantara walaupun secara
yuridis, tanah negara yang dimiliki oleh bangsa Indonesia baru mendapatkan
legitimasi sejak kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 agustus 1945.
Untuk mengetahui pengertian dan istilah Tanah Negara dapat dilihat dalam
ketentuan dalam pasal 1 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953
(berikutnya disebut PP 8/1953) yaitu tanah yang dikuasai penuh oleh Negara.
Dan didalam PP 24/1997 juga disebutkan bahwasanya pengertian tanah
Negara merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dan tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah.
Walaupun istilah tanah Negara tidak tertulis secara tekstual didalam UUD
1945, apabila meninjau pengertian tanah yang dijabarkan sebagai permukaan
bumi, maka penjabaran dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bumi, air,
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, sangat sesuai bahwasanya tanah
Negara merupakan bagian dari bumi yang dikuasai oleh Negara. Begitupun juga
dalam UUPA (yang dibentuk berdasarkan UUD 1945), tidak ditemukan secara
tertulis pengertian dari tanah Negara. Hanya saja, didalam pasal 2 UUPA secara
nyata termaktub kalimat “dikuasai oleh Negara” pada ayat (1) dan kalimat “Hak
Menguasai Negara” pada ayat (2).
59
2.4.2 Tanah Aset Daerah
Untuk menjabarkan mengenai tanah aset daerah, kiranya penting untuk
menjabarkan tiap-tiap kata yang menyusunnya. Tanah asset daerah terangkai dari
kata “tanah, asset dan daerah”. Pengertian “tanah”, ditinjau dari aspek hukum
tanah, merupakan permukaan bumi. Hal ini dengan jelas disebutkan dalam pasal 4
ayat (1) UUPA.
Adapun pengertian daerah, dapat ditinjau didalam pasal 1 angka 6
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut supriyadi, yang
menjadi subyek hukum bukanlah Daerah, akan tetapi Pemerintah Daerah dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara bersama-sama.59
Sedangkan pengertian kata asset, dapat ditelisik dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang dideskripsikan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai
tukar, atau modal/kekayaan. Untuk lebih detail, pengertian asset bisa dilihat di
dalam kamus ekonomi, bahwa asset dideskripsikan sebagai aktiva yaitu segala
sesuatu yang bernilai komersial yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau
individu. Bisa dibagi dalam aktiva lancar, investasi, aktiva tetap dan aktiva tidak
berwujud (seperti hak cipta).60
Dan “Asset” menurut ketentuan yang berada
didalam lampiran II Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 (nomor 1
59
Supriyadi, op.chit, hlm. 118 60
Sumadji P, dkk, Kamus Ekonomi, (tanpa kota, Wipress, 2006), hlm. 63
60
Penyajian Laporan Keuangan, definisi paragraph 8) tentang Standar Akutansi
Pemerintahan, dijelaskan bahwasanya ”Asset ialah sumber daya ekonomi yang
dikuasai dan/dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan
dari mana manfaat ekonomi dan atau social di masa depan diharapkan dapat
diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam
satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk
penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara
karena alasan sejarah dan budaya”.
Dengan penjabaran lebih lanjut, yang termaktub dalam berbagai
penjelasan II Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standar
Akutansi Pemerintahan, tanah dikategorikan sebagai asset daerah wajib memenuhi
syarat :
1. Diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional
pemerintah dan dalam kondisi siap pakai. Dalam hal ini misalnya
tanah dimatangkan sampai tanah tersebut siap pakai.
2. Adanya bukti penguasaan secara hukum, misalnya sertifikat Hak Pakai
atau Hak Pengelolaan atas nama daerah.
3. Adanya bukti pembayaran dan penguasaan sertifikat tanah atas nama
pemilik sebelumnya.
2.4.3 Penguasaan dan Pengelolaan Tanah Aset Daerah
2.4.3.1 Landasan Yuridis Penguasaan dan Pengelolaan Tanah Aset Daerah
Pembahasan mengenai hukum penguasaan dan pengelolaan tanah asset
daerah tak terlepas dari peraturan hukum apakah yang dikeluarkan pemerintahan
Indonesia pasca kemerdekaan yang mengatur tentang penguasaan tanah Negara.
61
Diawali dengan mengemukaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1953 tentang
Penguasaan Tanah-Tanah Negara (berikutnya disingkat PP 8/1953), karena
seluruh tanah asset daerah berasal dari Tanah Negara, baik berupa Tanah Negara
bebas maupun tanah Negara bekas hak milik.61
Peraturan ini lahir sebelum UUPA
dikeluarkan dan sampai saat ini masih berlaku sebagai dasar hukum dalam praktik
administrasi pertanahan.
Substansi pengaturan dalam PP 8/1953 menurut supriyadi, memuat
beberapa hal yaitu :
1. Tanah-tanah Negara yang telah diserahkan kepada suatu kementerian,
jawatan, atau daerah swatantra sebelum berlakunya PP 8/1953, maka
penguasannya berada pada Kementrian, jawatan atau daerah swatantra
tersebut.
2. Tanah-tanah Negara yang sebelum berlakunya PP 8/1953, tidak diserahkan
kepada kementerian, jawatan dan daerah swatantra, maka penguasaannya
berada pada menteri dalam negeri.
3. Menteri dalam negeri berhak :
a. Menyerahkan tanah-tanah Negara dalam penguasaannya kepada
penguasaan kementerian, jawatan atau daerah swatantra.
b. Mengawasi agar tanah-tanah Negara sebagimana sub a tersebut diatas
dipergunakan sesuai dengan peruntukannya oleh kementrian, jawatan atau
daerah swatantra dan mencabutnya kembali apabila ternyata penguasaan
tanah-tanah Negara kepada kementrian, jawatan atau daerah swatantra
tersebut dinilai (i) keliru atau tidak tepat lagi; (ii) luas tanah sangat melebihi
keperluannya; (iii) tanah tidak dipelihara atau tidak dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Dengan terbentuknya Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 26 tahun 1988, tugas dan fungsi Menteri Dalam Negeri terkait
kewenangan pengawasan tanah Negara sesuai PP 8/1953, beralih ke Badan
Pertanahan Nasional. Badan Pertanahan Nasional saat ini diatur kembali berdasar
61
Supriyadi, op.chit, hlm. 163
62
Peraturan Presiden nomor 10 tahun 2007, mencabut Keppres Nomor 26 tahun
1998.
Didalam pasal 58 UUPA dinyatakan bahwasanya PP 8/1953 masih
berlaku. UUPA menjadi tonggak sejarah bangsa dalam hal pengaturan tentang
agraria khususnya tanah asset daerah, hal ini dapat dibaca didalam pasal 14 ayat 2
UUPA.
Selanjutnya pengaturan penguasan tanah Negara oleh instansi Pemerintah
Daerah atau Daerah setelah berlakunya PP 8/1953 selanjutnya baru dapat menjadi
asset apabila dikuasai oleh instansi Pemerintah atau Daerah berdasarkan Surat
Keputusan Pemberian Hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional
berdasarkan PMA/KBPN 9 tahun 1999. Berikutnya dijelaskan oleh supriyadi,
yang dimaksud Surat Keputusan Pemberian Hak adalah keputusan tentang
pemberian Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atas nama instansi Pemerintah atau
daerah atas tanah-tanah yang berasal dari tanah Negara. Apabila tanah-tanah yang
di klaim belum mempunyai Surat Keputusan Pemberian Hak atas nama
pemerintah pemerintah atau daerah, maka tanah-tanah tersebut belum dan bukan
menjadi asset instansi pemerintah atau daerah.62
Definisi asset mengalami perubahan menjadi “Barang” dalam peraturan
perundangan yang mengatur tentang asset daerah yang berupa „Tanah”. Secara
tekstual, istilah “Barang” muncul pada PP 24/2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah. Selanjutnya muncul didalam PP 6/2006, lalu Peraturan Pemerintah
Nomor : 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor: 6
62
Ibid, hlm.258-259.
63
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Dan yang
terakhir diatur didalam Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (berikutnya disingkat PP 27/2014).
2.4.3.2 Pengelolaan Tanah Aset Daerah
Pasal 3 ayat (2) PP 27/2014, menjabarkan ruang lingkup pengelolaan
barang milik daerah meliputi Perencanaan Kebutuhan dan penganggaran;
pengadaan; Penggunaan; Pemanfaatan; pengamanan dan pemeliharaan; Penilaian;
Pemindahtangan; Pemusnahan; Penghapusan; Penatausahaan; dan pembinaan,
pengawasan dan pengendalian. Mengenai penggunaan tanah asset daerah diatur
dalam pasal 22 sampai pasal 24 PP 27/2104. Pengelola barang milik daerah adalah
bupati/walikota sesuai pasal 5 PP 27/2014 dan pengguna barang milik daerah
adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai pasal 8 PP 27/2014. Tanah
Aset Daerah ditetapkan penggunaannya untuk menyelenggarakan tugas pokok dan
fungsi dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat dioperasikan oleh pihak
lain dalam rangka mendukung pelayanan umum.
Mengenai pemanfaatan tanah asset daerah diatur dalam BAB VI Pasal 27
PP 27/2014. Bentuk Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa: Sewa;
Pinjam Pakai; Kerja Sama Pemanfaatan; Bangun Guna Serah atau Bangun Serah
Guna; atau Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur.
Pengertian sewa adalah pemanfaatan tanah asset daerah oleh pihak lain
dalam jangka waktu tertentu dengan menerima imbalan uang tunai (diatur pada
64
pasal 28-29 PP 27/2014).63
Adapun pengertian pinjam pakai adalah penyerahan
penggunaan tanah asset daerah antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka
waktu tersebut berakhir diserahkan kembali kepada pengelola (diatur pada pasal
30 PP 27/2014).64
Sedangkan pengertian kerjasama pemanfaatan tanah asset
daerah adalah pendayagunaan tanah asset daerah oleh pihak lain dalam jangka
waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan daerah bukan
pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya (diatur pada pasal 31-33
PP 27/2014).65
Penjabaran Bangun Guna Serah adalah pemanfaatan tanah asset
daerah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka
waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah
beserta bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhir jangka
waktu. Dan pengertian Bangun Serah Guna adalah pemanfaatan tanah asset
daerah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati.66
63
Ibid, hlm. 315. 64
Ibid, hlm. 316 65
Ibid, hlm. 317 66
Ibid, hlm. 320
65
2.4.3.3 Perbuatan Hukum Daerah atas Tanah Aset Daerah
Menurut C.J.N. versteden dalam Ridwan H.R (2002), pemerintah atau
pemerintah daerah adalah subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.
Sebagai subyek hukum, pemerintah atau pemerintah daerah melakukan berbagai
tindakan nyata dan tindakan hukum. Tindakan nyata adalah tindakan-tindakan
yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum. Sedangkan tindakan hukum adalah tindaka-
tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu
atau tindakan yang dimaksudkan untuk menciptakan hak dan kewajiban.67
Perbuatan hukum pemerintah daerah terhadap tanah adalah masuk dalam
kewenangan hukum publik. Hal itu sudah sesuai sejarah yuridis penguasan
pemerintah daerah atas tanah. Perbedaan antara perbuatan hukum publik dan
perbuatan hukum privat bisa dilihat dari kedudukan para pihak. Apabila
kedudukan pemerintah lebih dari orang-perorang, maka perbuatannya disebut
perbuatan hukum publik. Lain halnya apabila kedudukan pemerintah
sejajar/setara, maka perbuatannya disebut perbuatan hukum privat. Setiap
tindakan hukum harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku sehingga akibat-akibat hukum yang lahir tidak batal atau dapat dibatalkan.
Dalam penulisan ini, karena fokus obyek hukumnya adalah tanah asset
daerah yang dikuasai dengan Hak Pengelolaan, sudah barang tentu pemerintah
daerah sebagai subyek hukum dari hak pengelolaan dalam melakukan perbuatan
67
Ridwan H.R, op.chit, hlm. 113.
66
hukum yang terkait asset berupa tanah masuk dalam ranah hukum publik (pasal
18 ayat (1) UUD 1945).
2.5 Perlindungan hukum pemegang Hak Atas Tanah (Hak Guna
Bangunan) diatas Hak Pengelolaan
Perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah berupa kepastian
hukum, disamping keadilan dan kemanfaatan, yang diwujudkan dalam pemberian
hak atas tanah oleh Negara (dalam hal ini pemegang hak pengelolaan sebagai
penerima kewenangan dari Hak menguasai Negara) kepada orang atau badan
hukum untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah bertujuan untuk
menciptakan hubungan nyata antara pengguna tanah dengan tanah. Sehingga
penguasaan tanah oleh orang atau badan hukum adalah penguasaan yang
legal/resmi serta berakibat timbulnya hak dan kewajiban bagi pemegangnya.
Pada tataran teknis, dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, Negara
membuat aturan yang berkaitan dengan tertib administrasi dalam bidang hukum
pertanahan sesuai dengan amanat pasal 19 ayat (1) UUPA. Tahap awalnya berupa
pendaftaran hak atas tanah, sesuai amanat pasal 19 ayat (2) UUPA, dan diatur
lebih detail pada PP 24/1997. Pendaftaran tanah tersebut selain untuk memberikan
kepastian hukum dan perindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah juga
memberikan informasi untuk pihak yang berkepentingan, terutama pemerintah.
Kegaiatan pendaftaran tanah menghasilkan data yuridis dan data fisik. Data
yuridis mencakup status hukum, status kepemilikan dan hak-hak yang
membebaninya. Data fisik meliputi keterangan letak, batas, luas, dan keadaan
67
diatas tanah tersebut. Baik data yuridis dan data fisik dibukukan dalam suatu tanda
bukti hak yang disebut sertipikat tanah. Secara khusus sertipikat ha katas tanah
mempunyai fungsi, pertama, sebagai alat pembuktian yang kuat bagi seseorang
atas tindakan penguasaan tanah haknya. Kedua, sertipikat hak atas tanah
memberikan kepercayaan bagi bank atau pihak ketiga selaku kreditor untuk
memberikan pinjaman uang yang dijamin dengan sertipikat hak atas tanah
tersebut.68
Perlindungan hukum bagi pemegang Hak Pengelolaan terletak pada
kewenangannya, yaitu sebagai fungsi kontrol terhadap peruntukan atas hak atas
tanah dan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab pemegang hak atas
tanah, khususnya Hak Guna Bangunan. Pemegang Hak Pengelolaan mempunyai
kewenangan untuk membatalkan hak atas tanah tersebut apabila tidak dipenuhinya
kewajiban seperti yang tercantum dalam perjanjian penggunaan tanah dan
berubahnya peruntukan yang tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Negara
kepada pemegang Hak Pengelolaan.
Baik pihak pemegang hak atas tanah (orang ataupun badan hukum) dan
pemegang Hak Pengelolaan mempunyai hak yang sama di depan hukum dengan
mengacu asas persamaan hukum dan perlindungan hukum yang seimbang, apabila
terjadi suatu sengketa terhadap hak atas tanah tersebut.
68
Urip santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta, Kencana Prenada
Media Grup, 2010), hlm. 42-43.
68
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Kewenangan Pemegang Hak Pengelolaan No. 1/Jombang atas Hak
Guna Bangunan yang berdiri diatasnya.
3.1.1 Sumber Kewenangan Pemerintah Kabupaten Jombang sebagai
pemegang Hak Pengelolaan No. 1/Jombang
Definisi dari Hak Pengelolaan adalah hak menguasai Negara yang
kewenangan pelaksanaanya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Penjabaran kewenangan dari Hak Pengelolaan adalah terkait dengan konsep Hak
Menguasai Negara (Pasal 2 ayat (2) UUPA). Frasa “sebagian” mengandung
makna bahwa pemegang Hak Pengelolaan tidak mempunyai kuasa mutlak/penuh
seperti halnya pemegang Hak Milik. Pemegang Hak Pengelolaan hanya
mempunyai sebagian dari kewenangan yang didelegasikan dari Negara dengan
Hak Menguasai Negara, sehingga tanah tersebut tetap dalam penguasan Negara.
Dengan demikian, pemegang Hak Pengelolaan harus tunduk dan patuh dengan
segala ketentuan yang dikeluarkan oleh Negara.
Bahwasanya Hak Pengelolaan adalah bagian dari hak menguasai Negara
yang sebagian kewenangnnya diserahkan kepada pihak ketiga adalah penjabaran
yang sesuai pasal 1 PMA 9/1965 dan dibatasi obyeknya dengan melihat pasal 2
PMA 9/1965, yaitu terbatas hanya untuk tanah Negara. Adapun pengertian tanah
69
Negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak atas tanah menurut pasal 1 angka (3) PP 24/1997.
Hak Pengelolaan dapat terjadi karena dua hal yaitu berdasarkan proses
konversi (yaitu perubahan status hak atas tanah sebagai akibat berlakunya
perundang-undangan dibidang agraria/pertanahan) dan berdasarkan penetapan
pemerintah (yaitu terjadinya hak pengelolaan karena adanya penetapan
pemerintah apabila ada instansi pemerintah yang menginginkan untuk
memperoleh hak pengelolaan dengan mengajukan permohonan kepada Negara
melalui pemerintah cq Badan Pertanahan Nasional/BPN).69
Hak Pengelolaan No.1/Jombang terbit berdasarkan Penetapan Pemerintah.
Pemerintah Kabupaten Jombang mengajukan kepada kepada Negara melalui
pemerintah (menteri) cq Badan Pertanahan Nasional/BPN untuk menguasai
sebidang tanah Negara yang mempunyai batas selatan : jalan Ahmad Yani (saat
ini berubah nama menjadi jalan Niaga), batas Utara : Tanah Hak Perorangan dan
Jalam Ampera, batas Timur : Tanah hak perorangan dan batas barat : sungai, yang
terlatak di Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten Jombang seluas 21.
032 M². surat permohonan penguasaan Hak Pengelolaan dari Bupati Jombang
kepada Kepala Badan pertanahan Nasional Kabupaten Jombang teregister nomor
03/01/1992 tanggal 12 Januari 1992. Menteri Dalam Negeri mengabulkan
permohonan dari Pemerintah kabupaten dan hal tersebut ditindak lanjuti oleh
Badan Pertanahan Nasional. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional atas
permohonan Hak Pengelolaan yang diajukan Pemerintah Kabupaten Jombang
69
Irawan Soerodjo, op.chit, hlm. 22&24
70
teregister nomor 03/1081/1992 tanggal 26 Maret 1992. Penguasaan tersebut
secara yuridis administratif dikuatkan dengan terbitnya Sertipikat Hak
Pengelolaan atas nama Pemerintah Kabupaten Jombang yang terbit pada tanggal
30 Juli 1992 dengan keterangan pada kolom surat keputusan kepala Badan
Pertanahan Nasional yang berbunyi “Lamanya hak berlaku selama tanah tersebut
dipergunakan untuk PASAR LEGI JOMBANG”. Keterangan ini menjadi batas
waktu bagi pemegang hak pengelolaan dalam hal ini Pemerintah Kabupaten
Jombang untuk mempergunakan tanah tersebut sesuai peruntukannya yaitu
sebagai Pasar, apabila berubah peruntukannya, Negara melalui pemerintah
(menteri) cq Badan Pertanahan Nasional/BPN dapat mencabut hak pengelolaan
tersebut.
Sejak diterbitkannya sertipikat Hak Pengelolaan No.1/Jombang atas nama
Pemerintah Kabupaten Jombang oleh BPN pada tanggal 30 Juli 1992, maka telah
sah sebagian kewenangan dari Negara didelegasikan ke Pemerintah Kabupaten
Jombang yaitu kewenangan yang termaktub dalam pasal 3 Permendagri 5/1974.
Pemberian Hak Pengelolaan kepada Pemerintah Kabupaten Jombang yang
diberikan pada tahun 1992, telah memenuhi prosedur pelaksanannya. Ketentuan
yang mengatur kewenangan dan prosedur tata cara pemberian Hak Pengelolaan
yang berlaku saat itu dapat ditinjau pada Permendagri Nomor 6 tahun 1972
tentang Pelimpahan Wewenang Hak Atas Tanah tepatnya pasal 12 yang berbunyi,
Hak Pengelolaan diberikan oleh Menteri Dalam Negeri yang bertindak sebagai
wakil Pemerintah.
71
3.1.2 Kewenangan pemegang Hak Pengelolaan No.1/Jombang
Wewenang Hak Pengelolaan yang didapat dari delegasi (pelimpahan) dari
Hak Menguasai Negara (pasal 2 UUPA), mempunyai beberapa kewenangan yang
akan secara mutlak berlaku apabila Hak Pengelolaan telah didaftarkan kepada
Kepala Kantor Pertanahan setempat (sesuai PMA 1/1966) dan sesuai prosedur
(sesuai PP 24/1997).
Didalam pasal 6 ayat 1 PMA 9/1965, terperinci 4 wewenang Hak
Pengelolaan yaitu merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut,
menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan
bagian-bagian atas tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak Pakai
berjangka waktu 6 tahun serta menerima uang pemasukan/ganti rugi/uang wajib
tahunan. Dan pada pasal 1 ayat 1 PMDN 1/1977, terperinci 3 wewenang dari hak
pengelolaan yaitu merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan, menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan
usahanya serta menyerahkan bagian-bagian atas tanah tersebut kepada pihak
ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak
tersebut, yang meliputi peruntukan, penggunaan, jangka waktu, dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan
oleh pejabat yang berwenang sesuai peraturan yang berlaku
Dengan terbitnya sertipikat Hak Pengelolaan nomor 1/Jombang, maka
pemerintah kabupaten Jombang secara legal yuridis telah resmi menerima
pelimpahan kewenangan dari hak menguasai Negara secara sempurna. Dengan
telah terbitnya sertipikat Hak Pengelolaan No. 1/Jombang, maka segala
72
kewenangan yang melekat dari Hak Menguasai Negara sebagian telah
dilimpahkan ke pemerintah kabupaten Jombang antara lain untuk merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah tersebut dan menyerahkan bagian-bagian atas
tanah tersebut kepada pihak ketiga (Pasal 1 ayat 1 PMDN 1/1977). Selain status
pelimpahan kewenangan yang telah sempurna, sertipikat Hak Pengelolaan
tersebut menjadi landasan hukum yang sah bagi pemegang Hak Pengelolaan
untuk menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga.
Penyerahan kepada pihak ketiga, harus sesuai dengan peruntukan atas
status Hak Pengelolaan yang diberikan oleh Negara, dalam hal ini peruntukan hak
pengelolaan nomor 1/jombang, harus diperuntukkan sebagai Pasar (peruntukan ini
secara tertulis ada pada sertipikat hak pengelolaan no.1/jombang kolom keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional). Juga harus sesuai dengan pengaturan Tata
Ruang yang ditetapkan oleh pemerintah pusat meliputi tata guna tanah, tata guna
air, dan tata guna lainnya (tata guna sumber daya alam lainnya). Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Jombang
(Pengaturan tentang delegasi penataan ruang diatur pada Pasal 7 ayat 2 Undang-
Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang).
3.1.3 Kewenangan Pemegang Hak Pengelolaan No. 1/ Jombang sebagai
pengelola barang milik Negara/daerah
Sebagai pemegang Hak Pengelolaaan No.1/ Jombang, pemerintah
kabupaten Jombang tentunya terikat dengan ketentuan sebagai pengelola barang
milik Negara atau Daerah. Yang dimaksud Barang dalam penulisan ini adalah
73
“Tanah”. Karena tidak adanya ketentuan yang mengatur secara spesifik perihal
asset Negara atau Daerah berupa tanah yang terpisah penyebutannya dengan kata
barang.
Ketentuan yang mengatur tentang Tanah sebagai asset daerah dijumpai
pada penjelasan dalam Lampiran II dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, bahwasanya Tanah diakui sebagai
asset daerah apabila;
1. Diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional
pemerintah dan dalam kondisi siap pakai. Dengan demikian, apabila
ada tanah yang diklaim sebagai asset daerah tetapi tidak dimaksudkan
untuk dipakai dalam kegiatan operasionalnya serta tidak mempunyai
nilai ekonomi bagi daerah maka yang demikian tidak atau belum
menajdi aset daerah.
2. Adanya bukti penguasaan secara hukum, misalnya sertipikat Hak Pakai
atau Hak Pengelolaan atas nama daerah.
3. Adanya bukti pembayaran dan penguasaan sertipikat tanah atas nama
pemilik sebelumnya. Artinya, atas tanah yang telah dibebaskan oleh
Pemerintah Daerah tetapi ganti rugi kepada pemelik lama belum lunas
(hak atas tanahnya belum beralih ke pemerintah daerah) maka yang
demikian, tanah tersebut belum dapat dinyatakan sebagai asset daerah.
Didalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara atau Daerah, selanjutnya disebut PP 27/2014 (sebagai
pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
74
Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah), pasal 1
PP 27/2014 dijabarkan definisi tentang Barang Milik Daerah yaitu semua barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Belanja dan Pendapatan
Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Berdasarkan pasal 2 ayat (1) PP 27/2014, yang dimaksud barang milik
Negara/Daerah meliputi:
a. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah; dan
b. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
Lalu didalam pasal 2 ayat (2) PP 27/2014, dijelaskan bahwa barang sebagaimana
dimaksud pada pasal 2 ayat (1) huruf b PP 27/2014 meliputi:
a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. Barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; atau
d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Pemerintah Kabupaten Jombang sebagai pemegang Hak Pengelolaan
No.1/Jombang dengan Bupati sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan barang
milik daerah, mempunyai kewenangan dalam hal merumuskan kebijakan yang
diambil terkait dengan pengelolaan atas tanah asset daearah tersebut. Sejak tahun
75
1993, bekerjasama dengan PT. Afdol Cipta Mandiri, Pemerintah Kabupaten
Jombang melakukan kerjasama pemanfaatan tanah Hak Pengelolaan tersebut
untuk dibangun 130 Ruko sebagai bagian dari pasar legi Jombang. Hal tersebut
tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan bahkan sangat baik dalam
upaya mempercepat perkembangan perekonomian di Jombang.
Secara terperinci, ruang lingkup Pengelolaan asset daerah diatur dalam
pasal 3 ayat 2 PP 27/2014, yang meliputi: Perencanaan kebutuhan dan
penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan; pengamanan dan
pemeliharaan; penilaian; pemindahtanganan; pemusnahan; penghapusan;
penatausahaan; dan pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Dengan kewenangan pengelolaan yang demikian lengkap, Pemerintah
Kabupaten Jombang tidak serta merta dapat bertindak seolah-olah sebagai Pemilik
atas Tanah Hak Pengelolaan No. 1/Jombang, tetapi tetap dalam pijakan
kewenangan hukum publik dalam menjalankan kewenangan seperti yang
disebutkan pada pasal 3 ayat 2 PP 27/2014. Hal ini perlu digaris bawahi agar
pemegang Hak Pengelolaan tetap dalam koridor pelaksana dari Hak Menguasai
Negara yang tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
76
3.2 Kebijakan Pemerintah Kabupaten Jombang atas tanah Hak
Pengelolaan No. 1/ Desa Jombang Kecamatan Jombang Kabupaten
Jombang.
3.2.1 Penyerahan penggunaan tanah Hak Pengelolaan No. 1/Jombang
Penyerahan penggunaan tanah hak pengelolaan No.1/Jombang kepada
pihak ketiga telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu PMA 9/11965 dan
PMDN 1/1977, yang mengatur peruntukan, penggunaan, jangka waktu serta
keuangannya. Dan subyek hukum dari Hak Pengelolaan no.1/Jombang kepada
pihak ketiga juga telah sesuai yaitu masyarakat umum dan badan hukum.
Penyerahan penggunaan sebagian tanah hak pengelolaan tersebut ditindak
lanjuti dengan pemberian Hak atas tanah kepada pihak ketiga (diatur pada pasal 2
PMDN 1/1977 juncto PP 40/1996), berupa Hak Guna Bangunan. Dalam hal ini
yang menjadi pihak ketiga adalah PT. Afdol Cipta Mandiri berkedudukan di Jalan
Jaksa Agung Suprapto no. 6 Jombang yang diwakili oleh direkturnya H.A Munfi
Basyuni dengan alamat Jalan Pisang Agung No. 32 Lumajang, mengajukan Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No. 1/Jombang.
Alur prosedur pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
sesuai PP 40/1996, PMNA/BPN 3/1999 dan PMNA/BPN 9/1999 adalah sebagai
berikut :
Perjanjian pemegang HPL dengan pihak ketiga → permohonan Hak kepada
Kepala Kantor Pertanahan → SK Pemberian HGB → Pembayaran biaya
77
panitia A, dan biaya pemasukan negara serta BPHTB → Permohonan
Sertipikat → Penerbitan sertipikat
3.2.2 Perjanjian kerjasama antara Pemerintah daerah Jombang dengan
PT. Afdol Cipta Mandiri sebagai dasar hukum terbitnya Hak Guna
Bangunan atas nama PT. Afdol Cipta Mandiri
Sebagai pihak ketiga yang ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten Jombang
untuk menggunakan sebagian tanah Hak Pengelolaan No. 1/jombang, baik sebagai
pihak ketiga yang ditunjuk untuk melakukan Pelaksanaan Kontrak Bagi Tempat
Usaha Pembangunan Pasar Legi Jombang serta pihak yang ditunjuk memiliki Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No.1/Jombang, maka aspek legalitas
sebagai dasar hukumnya harus terpenuhi agar tidak cacat yuridis. Dari observasi
terhadap data yang ada, baik pemerintah Kabupaten Jombang dan PT. Afdol Cipta
Mandiri telah menyerahkan persyaratan untuk permohonan Hak Guna Bangunan
atas nama PT. Afdol Cipta Mandiri kepada Menteri Dalam Negeri (Pemerintah)
cq Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Jombang untuk diterbitkan Surat
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah (SKPH). Data-data yang dimaksud adalah
:
1. Asli Surat permohonan Hak Guna Bangunan atas nama PT. Afdol Cipta
Mandiri tanggal 26 april 1995.
2. Foto Copy KTP an. Achmad Munif Basyuni selaku direktur Utama PT.
Afdol Cipta Mandiri.
3. Foto copy akte pendirian PT dan perubahannya
78
4. Foto copy NPWP (pribadi dan PT) dan SIUP
5. Foto copy surat Bupati Kepala Daerah tingkat II Jombang nomor
050/631/405.50/1991 tanggal 6 April 1991 tentang Rekomendasi
Kerjasama dalam rangka renovasi Pasar Legi Jombang.
6. Foto copy Surat Keputusan DPRD Kabupaten Jombang tanggal 9 Oktober
1992 nomor 171.2/0.7/405.20/1992 tentang Persetujuan Kerjasama
Pemerintah Kabupaten Jombang dengan PT. Afdol Cipta Mandiri
7. Foto copy Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur tanggal 15
Desember 1992 nomor 593/25490/044/1992 perihal Permohonan
Pengesahan kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan PT.
Afdol Cipta Mandiri dalam rangka renovasi Pasar Legi dengan pola
Kontrak Bagi Tempat usaha.
8. Foto copy Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 511.235-272
tanggal 11 Nopember 1993 tentang Pengesahan Keputusan Bupati Kepala
Daerah Jombang Nomor 409 tahun 1992 tentang Penunjukan PT. Afdol
Cipta Mandiri Jalan Jaksa Agung Suprapto Nomor 6 tentang Pelaksanaan
Kontra Bagi Tempat Usaha Pembangunan Pasar Legi Jombang.
9. Foto copy sertipikta Hak Pengelolaan nomor 1/Jombang atas nama
Pemerintah Kabupaten Daerah tingkat II Jombang.
10. Foto copy Perjanjian kerjasama antara Pemda kabupaten Jombang dengan
PT. Afdol Cipta Mandiri tanggal 24 Nopember 1992 tentang Kontrak Bagi
Tempat Usaha
79
11. Foto copy Perjanjian Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan nomor 593/172/405.18/1993 tanggal 14 agustus 1993.
Data-data tersebut diatas diterima oleh Kepala Badan Pertanahan Jombang
dan ditebitkan SKPH oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Jombang
tanggal 1 mei 1995 dengan nomor register 550.535.12-212. Pemberian SKPH
kepada pemohon, belum serta merta pemohon telah mendapatkan sesuatu hak atas
tanah akan tetapi SKPH tersebut adalah cikal bakal terbitnya HGB dengan syarat
berikutnya adalah membayar uang pemasukan kepada Negara melalui bendahara
Negara, membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta
mendaftarkan SKPH kepada kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selambat-
lambatnya 3 bulan sejak dilunasinya uang pemasukan. Tujuan dari pendaftaran
SKPH adalah untuk memperoleh Sertipikat sebagai Tanda Bukti Hak.
Selanjutnya oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Jombang akan
dilakukan proses penerbitan Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan nomor
1/Jombang atas nama PT. Afdol Cipta Mandiri.
Dengan telah diterbitkannya sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama PT
Afdol Cipta Mandiri oleh BPN Jombang, maka telah sah secara hukum PT. Afdol
Cipta Mandiri sebagai pemegang HGB diatas Hak Pengelolaan no. 1/Jombang,
yang mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan (PP 40/1996).
Ada 2 perjanjian yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten Jombang
selaku pemegang Hak Pengelolaan no. 1/Jombang dengan PT. Afdol Cipta
Mandiri yaitu;
80
1. Perjanjian kerjasama antara Pemda kabupaten Jombang dengan PT.
Afdol Cipta Mandiri tanggal 24 Nopember 1992 tentang Kontrak Bagi
Tempat Usaha
2. Perjanjian Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
nomor 593/172/405.18/1993 tanggal 14 agustus 1993
Didalam surat perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kabupaten
Jombang dengan PT. Afdol Cipta Mandiri diatas, ada beberapa hal yang perlu
digaris bawahi, antara lain :
1. Mengenai pemberian jangka waktu HGB
Bahwasanya didalam pasal 11 ayat 4 tertulis perjanjian pemberian Hak
Guna Usaha (penulis meyakini yang dimaksud Hak Guna Usaha adalah Hak Guna
Bangunan sesuai dengan tema perjanjian) diatas Hak Pengelolaan tanah Pasar
Legi ini, bersifat melengkapi perjanjian kerjasama tentang kontrak bagi tempat
usaha yang telah disetujui dan ditandatangani Pihak Pertama dan Pihak Kedua
pada tanggal 24 Nopember 1992. Didalam pasal 6 ayat (1) Perjanjian Pemberian
Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan nomor 593/172/405.18/1993 tanggal
14 agustus 1993, ditulis Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
kepada pihak kedua berlaku untuk waktu 20 (dua puluh) tahun terhitung
mulai tanggal terbitnya sertipikat Hak Guna Bangunan atas nama pihak
kedua dari instansi yang berwenang.70
70
Lampiran 1 ; Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II
Jombang dengan P.T. Afdol Cipta Mandiri tentang Pemberian Gak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan Tanah Pasar Legi Pemerintah Kabupaten Jombang Daerah Tingkat II Jombang
kepada Pihak Ketiga (P.T Afdol Cipta Mandiri)
81
Apabila dibandingkan klausula yang terdapat didalam pasal 6 ayat (1)
Perjanjian Pemberian Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan nomor
593/172/405.18/1993 tanggal 14 agustus 1993, yang disebutkan bahwa jangka
waktu pemanfaatan selama 20 tahun sejak tanggal terbitnya HGB atas nama PT.
Afdol Cipta Mandiri, dibandingkan dengan tanggal terbitnya SHGB pada tanggal
1-9-1994 (periode 1) dan 20-7-1995 (periode 2), efektif jangka waktu
pemanfaatan tidak tepat 20 tahun.71
Dan setelah proses pembangunan 130 Ruko
selesai, PT Afdol menjual kepada konsumen dan diterbitkan Sertipikat Hak Guna
Bangunan atas nama konsumen pada tanggal 30-10-1999 dengan masa berakhir
hak atas HGB tersebut adalah 22-09-2013. Praktis, konsumen mempunyai jangka
waktu pemanfaatan HGB kurang lebih 14 tahun 1 bulan.72
2. Mengenai peralihan hak oleh pemegang HGB kepada masyarakat
umum/badan hukum (konsumen).
Disepakati antara Pemerintah Kabupaten Jombang dan PT Afdol Cipta
Mandiri mengenai peralihan status Hak Guna Bangunan apabila akan dialihkan
oleh pemegang HGB kepada pihak lain yang termaktub alam pasal 8 ayat (2)
huruf b Perjanjian kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan PT.
Afdol Cipta Mandiri tanggal 24 Nopember 1992 tentang Kontrak Bagi Tempat
Usaha, berbunyi:
“Pihak kedua atas resiko dan pertimbangan sendiri berhak menjual
bangunan Ruko dan Tanah Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan tersebut
kepada pihak lain siapapun juga, dengan ketentuan pembelinya adalah subyek
71
Lampiran 2; Lihat Sertipikat Hak Pengelolaan No. 1/Jombang 72
Lampiran 3; Lihat Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 964 dan 1109 keduanya atas
nama wahyudi
82
yang berhak atas Hak Guna Bangunan dengan syarat-syarat dan harga yang
ditentukan oleh pihak kedua sendiri, dengan memberikan kesempatan kepada para
pedagang yang dahulu berdagang di Pasar Legi”
Klausula pada pasal ini, memberikan kewenangan kepada pemegang HGB
untuk melakukan peralihan hak guna bangunan secara mandiri dan tanpa
persetujuan pihak pemegang Hak Pengelolaan dalam hal syarat dan harga, baik
melalui Jual Beli, hibah, pewarisan ataupun tukar menukar (Pasal 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ) terhadap konsumen dari PT. Afdol Cipta
Mandiri, selama memenuhi syarat sebagai subyek hukum Hak Guna Bangunan.
Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari suatu bisnis yang dijalankan oleh PT.
Afdol Cipta Mandiri untuk memilih sendiri calon pembeli dari Ruko yang
dimilikinya dengan Hak Guna Bangunan, tentu saja dengan pertimbangan harga
jual tertinggi dan waktu yang singkat. Tetapi surat Persetujuan dari Pemerintah
Kabupaten Jombang selaku pemegang Hak Pengelolaan tetap harus dilampirkan
sebagai bagian taat asas dan tertib administrasi sesuai amanat Pasal 7 ayat 34 PP
40/1996. Pengawasan atas peralihan HGB mudah dilakukan oleh Pemkab
Jombang jika peralihan dilakukan dengan menggunakan akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), karena pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah akan melengkapi
berkas permohonan ke kantor BPN kabupaten dengan melampirkan surat
persetujuan dari pemegang HPL. Yang sulit adalah, jika pemegang HGB
melakukan peralihan hak secara bawah tangan, maka pengawasan dari pemegang
HPL sulit dilakukan karena tidak dilakukan permohonan peralihan HGB oleh
83
pemegang HGB yang terbaru yang tentu saja harus menggunakan akta PPAT dan
dilampiri dengan surat persetujuan dari Pemegang HPL.73
3.2.3 Hubungan hukum antara PT. Afdol Cipta Mandiri sebagai pemegang
Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan No.1/Jombang dengan
Masyarakat umum (konsumen PT. Afdol Cipta Mandiri)
Diatur didalam pasal 34 PP 40/1996, segala hal yang berkaitan dengan
peralihan Hak Guna Bangunan. Pada ayat (7), jelas tertulis bahwa peralihan Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Pengelolaan. Serta dalam ayat (4), disebutkan bahwa peralihan
Hak Guna Bangunan karena jual beli harus dilakukan dengan akta yang yang
dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
Peralihan HGB antara PT Afdol Cipta Mandiri dengan konsumen
(masyarakat Umum/badan hukum), dapat dipastikan ada persetujuan tertulis dari
pemegang Hak Pengelolaan Pemerintah Kabupaten Jombang), dan hal ini
terkonfirmasi antara keterangan dari pihak Pejabat DPPKAD dengan hasil
wawancara penulis dengan Bapak Agus Ribuanto selaku Kepala Seksi Hak atas
Tanah dan Pendaftaran Tanah (Kasi HTPT) kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Jombang, beliau menjelaskan bahwasanya setiap peralihan hak guna
bangunan dari PT. Afdol Cipta Mandiri ke konsumen, selalu melampirkan surat
persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Jombang selaku Pemegang Hak
73
Wawancara dengan Dian Retno Anggraeni selaku Kepala Bidang Aset Dinas
Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dan Budi setiawan selaku Kepala Sub Bidang
Pemanfaatan dan system Informasi Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
Pemerintah Kabupaten Jombang di kota Jombang kantor Dinas Pendapatan, Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Kabupaten Jombang tanggal 5 Juli 2017.
84
Pengelolaan No.1/Jombang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku
atas peralihan HGB diatas HPL serta ada lembaga yang berfungsi untuk
“mengawasi” atas dipenuhinya persetujuan tertulis dari Pemerintah Kabupaten
Jombang dalam hal ini adalah Petugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
wilayah kerja kabupaten Jombang dan BPN kabupaten Jombang karena setiap
peralihan hak atas tanah (dalam hal ini HGB) harus menggunakan akta yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang yaitu PPAT (sesuai dengan pedoman pada
ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997)74
dan saat proses ini, BPN Jombang akan
meminta data persetujuan tertulis dari Pemerintah Kabupaten Jombang kepada
pihak yang melakukan peralihan HGB.75
Perjanjian antara pemegang HPL No. 1/Jombang dengan pihak ketiga
merupakan embrio lahirnya hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan. Setelah
HGB ini terbit atas nama PT. Afdol Cipta Mandiri lalu dilakukan pemecahan
menjadi luasan yang kecil serta masing-masing pecahan HGB tersebut atas nama
PT Afdol Cipta Mandiri, dan selanjutnya dijual kepada konsumen. Konsumen
(sebagai pemegang HGB yang kedua) terikat dengan perjanjian penggunaan tanah
yang dibuat antara PT Afdol dengan Pemkab Jombang. Hal tersebut dapat ditinjau
dari isi surat dari Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
kepada Menteri Pertanian, tanggal 17-09-1998 Nomor 630.1-3433, yang sebagian
dikutip berbunyi :
74
Pasal 37 ayat 1 PP 24/1997 berbunyi “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku” 75
Wawancara dengan Agus Ribuanto di Kota Jombang kantor Badan Pertanahan
Jombang tanggal 29 Mei 2017.
85
“…..setiap pemegang Hak Guna Bangunan, baik pemegang Hak Guna
Bangunan pertama yang memperolehnya berdasarkan perjanjian pemberian
penggunaan tanah dari pemegang Hak Pengelolaan maupun yang kemudian
memperoleh Hak Guna Bangunan tersebut dari pemegang Hak Guna Bangunan
pertama, terikat oleh syarat penggunaan yang ditentukan dalam perjanjian
pemberian penggunaan tanah antara pemegang Hak Pengelolaan dengan
pemegang Hak Guna Bangunan pertama.”
Dari isi surat tersebut dapat disimpulkan bahwa jika terjadi peralihan atas
tanah Hak Pengelolaan, maka pihak yang menerima peralihan (baik karena jual
beli, hibah dan waris), wajib tunduk dan terikat dengan pada perjanjian yang telah
dibuat antara pihak pemegang Hak Pengelolaan dengan pihak yang pertama
mendapat persetujuan pemberian penggunaan bagian tanah Hak Pengelolaan.76
Masalah yang timbul di lapangan adalah saat HGB Ruko tersebut sudah
beralih dari PT. Afdol Cipta Mandiri ke atas nama konsumen (masyarakat
umum/badan hukum), dimana konsumen melakukan peralihan hak secara bawah
tangan terutama dalam hal jual beli. Dalam hal ini BPN Jombang tidak lagi dapat
melakukan pengawasan terkait dengan pelaksanaan ketentuan pasal 34 ayat (3)
dan ayat (7) PP 40/1996.77
Penulis juga melakukan wawancara dengan tokoh di lingkungan Pasar
Legi Jombang (pasar Citra Niaga Jombang) yaitu Haji Wahyudi selaku pemilik
Toko Mainan yang mempunyai 3 Ruko di Pasar Legi Jombang (pasar Citra Niaga
Jombang). Beliau memberikan contoh saat dirinya membeli 2 Ruko pada orang
yang berbeda. Pada tanggal 10-10-2000, beliau melakukan jual beli ruko dengan
76
Irawan soerodjo, op.chit, hlm 111 77
Pasal 34 ayat (3) PP 40/1996 berbunyi “ Peralihan Hak Guna Bangunan sebagaimana
ayat 2 (peralihan HGB melalui jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah dan
waris) harus didafttarkan pada kantor pertanahan”. Pasal 34 ayat 7 PP 40/1996 berbunyi “
Peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan hars mendapat persetujuan tertulis
dari pemegang Hak Pengelolaan”
86
Sertipikat HGB nomor 965 atas nama Mahmud Suratinoyo dengan akta PPAT
Bazron Humam, SH. Lalu pada tanggal 26-6-2006, beliau melakukan jual beli
ruko dengan Sertipikat HGB nomor 964 atas nama Zulhaimi dengan akta PPAT
Haji Mayuni Sofyan Hadi, SH. Kedua jual beli diatas selalu dilampiri dengan
surat persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Jombang, hal itu disampaikan oleh
masing-masing PPAT tempat dimana akta jual beli tersebut dibuat kepada beliau.
Beliau menggaris bawahi, bahwa ada sebagian besar proses jual beli Ruko
dilakukan tanpa melibatkan PPAT atau hanya bawah tangan. Para penjual dan
pembeli mempertimbangkan biaya yang akan muncul jika dilakukan dengan akta
PPAT termasuk pajak-pajak yang harus dibayar.
Para pihak yang terlibat jual beli bawah tangan tidak mengetahui dan
menyadari bahwa HGB atas ruko yang mereka perjual belikan berdiri diatas tanah
Hak Pengelolaan yang dikuasai Pemerintah Kabupaten Jombang, yang
mempunyai batas akhir jangka waktu sesuai yang tertulis di SHGB yaitu 22-09-
2013. Apabila jual beli bawah tangan itu dilakukan pada tahun 2010, maka
pembeli (pemilik SHGB terbaru) tetap harus memohon perpanjangan status HGB
kepada Pemerintah Kabupaten selaku Pemegang Hak Pengelolaan saat berakhir
hak nya pada 22-09-2013. Tentu saja pemerintah kabupaten Jombang akan
meminta akta autentik (akta PPAT) sebagai bukti telah terjadinya proses jual beli,
bukti pajak yang dibayar dan menarik bea perolehan atas peralihan HGB nya.78
Konflik yang terjadi antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan
masyarakat umum/badan hukum sebagai pemegang HGB muncul saat akan
78
Wawancara dengan Wahyudi di kota Jombang tanggal 30-05-2017.
87
berakhirnya jangka waktu HGB pada tanggal 22-09-2013. Menurut ketentuan
yang berlaku, Pasal 27 ayat (1) PP 40/1996, permohonan perpanjangan jangka
waktu HGB diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya
jangka waktu HGB. Sedangkan menurut Pasal 41 Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata
Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,
dinyatakan bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan
diajukan oleh pemegang hak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun, sebelum
berakhirnya jangka waktu hak tersebut
Dikutip dari pemberitaan media online yang diakses penulis pada tanggal
10 Juni 2017, sampai dengan H-2 sebelum berakhirnya jangka waktu HGB
berakhir, belum ada titik terang akan dilakukannya persetujuan perpanjangan atas
HGB tersebut oleh Pemerintah Kabupaten Jombang sebagai pemegang Hak
Pengelolaan.79
Dan akhirnya, seperti yang ditakutkan para pemohon HGB, sampai
batas akhir perpanjangan (tanggal 22-09-2013), belum ada persetujuan dari
Pemerintah Kabupaten Jombang atas permohonan HGB yang telah berakhir
jangka waktunya.
Hasil wawancara dengan Bapak Agus (pemilik toko jam Agus Seiko) pada
hari rabu tanggal 21 Juni 2017 jam 11 siang bertempat di kantor Bank Panin
Jombang, konflik ini berlarut-larut karena belum tercapainya titik temu
pembahasan kepentingan masing-masing pihak. Sebagian besar para pedagang
menginginkan perpanjangan jangka waktu HGB sama dengan yang diperoleh
79
http://www.lensaindonesia.com/2013/09/20/, gawat-nasib-pedagang-pasar-jombang-
tergantung-rapat-kerja-dewan.html, diakses tanggal 10 April 2017.
88
pada saat pertama kali yaitu 20 tahun dengan pertimbangan jika hanya per lima
tahun, tidak sebanding dengan investasi pembelian ruko yang telah mereka beli
dengan harga yang mahal yaitu berkisar 350 juta sampai dengan 500 juta (harga
sesuai letak ruko). Apalagi banyak pedagang yang membeli ruko bukan dari PT
Afdol secara langsung tapi dari pemegang HGB yang sebelumnya membeli dari
PT Afdol (selanjutnya disebut dengan sebutan pemegang SHGB terakhir). Para
pemegang SHGB terakhir merasa sudah berinvestasi ratusan juta dan jika hanya
diperpanjang per lima tahun, tidak adil bagi mereka. Apalagi bagi para pemegang
SHGB terakhir yang dulu membeli ruko secara bawah tangan dan mendekati
masa jangka waktu HGB berakhir dan mereka tidak paham akan hukum, seolah-
olah sertipikat HGB tidak ubahnya kumpulan kertas yang tidak ada gunanya.
Ditambah biaya pembayaran kewajiban perpanjangan atas ruko yang dibebankan
per lima tahun kepada mereka berkisar antara Rp. 35 juta sampai dengan Rp. 40
Juta (diatur dalam pasal 13 sampai dengan pasal 16 Peraturan Bupati Nomor 38
tahun 2014). Belum lagi restribusi kebersihan dan keamanan yang dibayarkan
secara bulanan, semakin membebani keuangan mereka. Dari alasan-alasan itulah,
para pedagang bersikeras bahwasanya perpanjangan per lima tahun tidak adil bagi
mereka dan mereka menginginkan jangka waktunya lebih dari itu.80
Dikutip dari website Pemerintah Kabupaten Jombang tanggal 10 Juni 2017
saat acara sosialisasi Peraturan Bupati No.38 tahun 2014 tentang Pemanfaatan
Tanah dan Bangunan Ruko Citra Niaga81
, ada beberapa alasan dari pemerintah
80
Wawancara dengan Agus di Jombang pada tanggal 21-06-2017. 81
Peraturan ini dikeluarkan oleh Bupati Jombang sebagai landasan hukum untuk
pelaksanaan pengaturan perpanjangan dan pembaharuan atas Hak Guna Bangunan yang berdiri
diatas Hak Pengelolaan nomor 1/Jombang. Dengan dikeluarkannya Perbup ini, semakin
89
kabupaten Jombang belum menyetujui permohonan perpanjangan Hak Guna
Bangunan tersebut sampai lewat batas waktu perpanjangan HGB berakhir. Yang
pertama, ada rencana dari Pemerintah Kabupaten Jombang untuk merubah status
atas tanah haknya, dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Yang kedua,
perpanjangan jangka waktu hanya disetujui maksimal 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang paling lama lima tahun dan yang ketiga, Pemkab Jombang menilai
asset Hak Pengelolaan No.1/Jombang tersebut tidak setimpal dengan pemasukan
bagi pendapatan daerah.82
Dari 3 alasan yang disampaikan oleh PemKab Jombang, penulis
mengkritisi alasan-alasan tersebut. Yang pertama, alasan bahwa atas HPL
No.1/Jombang akan di rubah statusnya menjadi Hak Pakai. Hak pakai dalam
UUPA diatur pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 dan pada peraturan
pelaksananya yaitu PP 40/1996 diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 58.
Definisi Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil
dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah hak milik. Urip Santoso
menjabarkan pengertian “menggunakan” dalam deskripsi tentang Hak Pakai
adalah bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan,
sedangkan pengertian ”memungut hasil” bahwa Hak Pakai selain digunakan untuk
mendirikan bangunan juga untuk kepentingan yang lain misalnya pertanian,
memperjelas tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masyarakat umum
pemegang HGB dan tidak taat serta tertib administrasi dari pemegang Hak Pengelolaan seperti
yang diamanatkan pada pasal 27 ayat 1 PP 40/1996 dan Pasal 41 PMNA/KBPN 9/1999. 82
http://jombangkab.go.id/index.php/web/entry/sosialisasikan-perbup-no-38-tahun
2014-tentang-pemanfaatan-tanah-dan-bangunan-ruko-citra-niaga.html, diakses tanggal 10
April 2017.
90
peternakan dan perkebunan.83
Selain untuk kepentingan pertanian, peternakan dan
perkebunan, Hak Pakai dapat digunakan untuk kepentingan industri. Praktik
penggunaan tanah Hak Pakai untuk kepentingan industrialisasi sudah sejak lama
dilakukan yakni sejak jaman pemerintahan Belanda.84
Apabila benar-benar terjadi
ada perubahan pemanfaatan dan penggunaan dari Hak Pengelolaan dengan berdiri
diatasnya berupa Hak Pakai lalu dimanfaatkan oleh pemegang Hak Pakai sebagai
industry, maka secara legalitas Hak Pengelolaan No.1/Jombang yang dimiliki oleh
Pemkab Jombang akan hapus dengan sendirinya dan dengan hapusnya Hak
Pengelolaan tersebut, secara yurudis juga menghapus Hak Pakai yang berdiri
diatasnya, karena telah jelas tertulis dalam sertipikat Hak Pengelolaan
No.1/Jombang, bahwasanya “Lamanya hak berlaku selama tanah tersebut
dipergunakan untuk pasar legi Jombang.”
Pun demikian subyek Hak Pakai seperti yang tertulis dalam pasal 39 PP
40/1996. Hak Pakai dapat diberikan kepada a. Warga Negara Indonesia, b. Badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d. Badan-badan keagamaan dan sosial; e. Orang asing yang berkedudukan di
Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g.
Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. Subyek Hak Pakai
lebih longgar dan lebih banyak (khususnya pada orang asing dan badan hukum
asing) dibandingkan dengan subyek dari Hak Guna Bangunan, sehingga membuka
peluang masuknya orang asing dan atau badan hukum asing memiliki hak atas
83
Urip santoso, 2012, Op.Chit, hlm.119. 84
Irawan Soerodjo, 2014, Op.Chit, hlm.78.
91
tanah yang berdiri diatas Hak Pengelolaan No.1/Jombang apabila dirubah
statusnya dari Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Dan hal ini apabila benar
terjadi, sangat terbuka lebar peluang monopoli penguasan ruko dengan dasar
kapitalisme (kekuatan modal) dan liberalisme ekonomi (semua kebijakan ekonomi
diatur oleh masyarakat atau pasar, pemerintah hanya tidak boleh ikut campu
hanya boleh mengawasi). Menurut pendapat penulis, sangat jauh dari hakikat
kewenangan hak pengelolaan yang merupakan pelimpahan sebagian kewenangan
dari hak menguasai Negara.
Alasan kedua, perpanjangan jangka waktu hanya disetujui maksimal 5
(lima) tahun dan dapat diperpanjang paling lama lima tahun. Secara normatif,
tidak ada yang dilanggar oleh PemKab Jombang apabila perpanjangan hanya
disetujui paling lama 5 tahun, karena dalam pasal 25 ayat (1) jelas tertulis bahwa
perpanjangan Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 20 tahun. Sehingga apabila hanya diperpanjang paling lama 5 tahun tidak
menyalahi ketentuan yang berlaku (lihat bagian kesatu pasal 7 Perbup Jombang
No. 38 tahun 2015). Akan tetapi perlu ditelaah lebih dalam mengapa hanya 5
tahun, bukan 3 tahun (lebih singkat) atau 10 tahun (lebih lama). Penulis mencoba
menggali latar belakang munculnya jangka waktu lima tahun dengan wawancara
kepada pihak DPPKAD, tetapi pejabat DPPKAD tidak tahu pasti latar
belakangnya karena hal tersebut bukan kewenangannya. Akan tetapi jika
dihubungkan dengan pernyataan dari pejabat PemKab Jombang saat sosialisasi
PerBup N0. 38 tahun 2015, hal tersebut murni faktor ekonomi, maksudnya adalah
nilai HGB Pasar Citra Niaga Jombang mengalami kenaikan nilai setiap tahun
92
sehingga sangat beralasan apabila dintinjau setiap lima tahun sekali melalui
prosedur permohonan perpanjangan atau pembaharuan hak kepada PemKab
Jombang sebagai pemegang Hak Pengelolaan.
Selain analisis tersebut, penulis mencoba menarik benang merah dengan
mengacu adanya irisan berakhirnya jangka waktu HGB (22-09-2013) dengan
hajatan Pemilihan Umum Kepala Daerah/Kabupaten Jombang yang diadakan
pada tanggal 5 Juni 2013. Pemilukada Jombang dilakukan untuk memilih bupati
dan wakil bupati yang akan habis masa jabatannya pada tanggal 24-09-2013.
Selisih rentang waktu yang berhimpitan antara habisnya masa HGB dengan
habisnya masa jabatan bupati, penulis menilai pemerintah kabupaten Jombang
tidak focus dan tidak berani mengambil keputusan mengenai perpanjangan HGB
pasar citra niaga ini. Hal tersebut bisa disebabkan karena adanya kekhawatiran
dari pemKab Jombang dengan adanya gejolak dari pedagang sebagai pemegang
HGB yang tidak menyetujui atas klausul-klausul yang diwajibkan oleh PemKab
Jombang baik tentang jangka waktu, status hak atas tanah baru ataupun pungutan
uang kewajiban yang harus disetor ke kas daerah atau bisa juga sengaja tidak
diputuskan perpanjangannya oleh bupati yang lama dengan mengharapkan
tanggung jawab ini akan dipangku oleh bupati terpilih sehingga resiko yang
harusnya dipikul bupati lama beralih ke bupati baru. Apapun analisisnya, yang
pasti, sampai dengan masa HGB berakhir belum ada keputusan apapun dari
PemKab Jombang perihal status HGB yang berdiri diatas HPL No. 1/Jombang
tersebut, tentunya pihak yang dirugikaan adalah keduanya, dimana pihak
pemegang HGB tidak mendapat kepastian dan perlindungan hukum dan PemKab
93
tidak mendapatkan pemasukan berupa uang kewajiban dari pemegang HGB,
tentunya yang dirugikan lebih besar adalah pemegang HGB (pedagang).
Alasan yang ketiga, Pemkab Jombang menilai asset Hak Pengelolaan
No.1/Jombang tersebut tidak setimpal dengan pemasukan bagi pendapatan daerah.
Apabila ditinjau dari alasan dari Negara (menteri dalam negeri) memberikan
status Hak Pengelolaan kepada PemKab Jombang adalah untuk digunakan sebagai
Pasar Legi Jombang, hal tersebut tentunya selaras dengan fungsi publik dari suatu
Pemerintah yaitu berdiri dalam koridor Hukum Publik yaitu mengatur dan
mengelola asset yang dimilikinya untuk kemakmuran rakyatnya. Jika ada
anggapan bahwa asset daerah harus dihitung secara linier seperti halnya bisnis,
maka pemerintah tak ubahnya seperti suatu perusahaan yang dalam menjalankan
visinya murni mengumpulkan laba. Yang didalam kenyataan hukum di Indonesia
hal tersebut tidak diperbolehkan. Karena hakikat sumber daya alam sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat, khusus dalam hal ini adalah masyarakat
Jombang yang berprofesi sebagai pedagang di pasar Citra Niaga Jombang.
Ketiga alasan dari PemKab Jombang lebih dominan faktor non yuridisnya.
Apabila dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang syarat dapat
diperpanjangnya HGB seperti termaktub dalam pasal 26 PP 40/1996, yaitu
tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan
pemberian hak tersebut, syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan
baik oleh pemegang hak, pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai
pemegang hak sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 19 PP 40/1996 serta tanah
tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan,
94
dan ditunjang dengan tidak adanya faktor diluar hukum yang mempengaruhi
secara dominan, maka tidak lah sulit untuk memperpanjang status HGB tersebut,
karena semua syarat diatas masih terpenuhi oleh pemegang HGB.
Pemerintah kabupaten Jombang mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 38
tahun 2015 yang mangatur tentang Pemanfaatan Tanah dan Bangunan Ruko Citra
Niaga Jombang. Jika dilihat dari berakhirnya HGB (22-09-2013), maka sudah
jelas, bahwa Perbup ini sudah lewat batas waktu pengaturan perpanjangan HGB
yang harusnya diterbitkan sebelum jangka waktu HGB habis (overtime). Jadi
selama kurun waktu 23-09-2013 sd 04-12-2014, tidak ada kepastian hukum dan
perlindungan hukum bagi pemegang HGB atas status tanah HGB nya.
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 Peraturan Bupati Jombang nomor
38 tahun 2014 tentang pemanfaatan ruko citra niaga, maka pemerintah kabupaten
Jombang juga mengeluarkan Keputusan Bupati Jombang nomor
188.4.45/115/414.10.10/2015 tahun 2015 yang mengatur tentang rekomendasi
persetujuan pemanfaatan tanah dan bangunan ruko citra niaga Jombang. Dalam
Keputusan Bupati ini, berisi penegasan tentang jangka waktu perpanjangan
selama 5 tahun juga menyebutkan nama-nama masyarakat/badan hukum yang
disetujui mendapatkan rekomendasi untuk memperoleh pemberian sertipikat HGB
diatas HPL N0.1/Jombang selama 5 tahun, dengan total penerima rekomendasi
sebanyak 64 orang. Padahal ada 130 bidang ruko yang berdiri diatas HPL no. 1/
Jombnag tersebut, sehingga dapat disimpulkan, ada sekitar 66 bidang ruko yang
tidak mempunyai status hak atas tanah berupa HGB. Konflik yang belum tuntas
jalan tengah dan solusinya.
95
Jika ditinjau dari substansi Perbub 38 tahun 2015 tersebut, tidak ada hal
yang menyalahi ketentuan. Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan
yang lebih tinggi dalam pengaturan perihal status HGB diatas HPL tersebut.
Tetapi dalam kenyataaannya, produk hukum ini (Perbup 38 tahun 2015)
menyisakan problematika bagi pemegang HGB, khususnya pemegang HGB yang
tidak tercantum dalam nama-nama yang direkomendasikan untuk mendapat
perpanjangan status HGB diatas HPL No.1/Jombang. Hal tersebut menjadi catatan
penting dan menyiratkan bahwa Perbub 38 tahun 2015 mengesampingkan ruang
musyawarah mufakat dalam menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat
pemegang HGB dan tentunya tidak mencerminkan rasa keadilan (karena sepihak).
Jika dianalisis dengan teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedmen, khususnya mengenai Budaya Hukum yang berkaitan dengan sikap
masyarakat ditempat hukum itu dijalankan, maka kesadaran masyarakat umum
(pemegang HGB) untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan tidak lah baik
(tidak patuh) sehingga dalam pelaksanaan Perbup 38 tahun 2015 tersebut
terhambat. Bahwa efektifitas hukum adalah bekerjanya tiga pilar seperti yang
dimaksudkan dalam system hukum yaitu struktur hukum, substansi huku serta
buadaya hukum tempat dimana hukum itu dibuat dan dilaksanakan. Dan
terhambatnya pelkasanakan produk hukum tersebut bukanlah mutlak kesalahan
pemegang HGB, akan tetapi ada tahapan yang dikesampingkan oleh Bupati dalam
pembuatan peraturan tersebut, yaitu ruang musyawarah mufakat untuk menyerap
aspirasi serta mencari solusi yang terbaik tidak dilakukan dengan baik. Hal
tersebut perlu digaris bawahi agar peraturan yang dikeluarkan tidak bercampur
96
aduk dengan kepentingan politik praktis karena menyangkut hajat hidup orang
banyak dan permasalahan perpanjangan HGB diatas HPL No.1/Jombang ini sudah
menjadi isu public yang rentan konflik dan kepentingan.
Pada sub bab ini, penulis menganalisis kebijakaan Pemerintah Kabupaten
Jombang atas tanah Hak Pengelolaan No. 1 Jombang yang dirunut dari perjanjian
antara Pemerintah Kabupaten Jombang dengan PT. Afdol Cipta Mandiri sehingga
terbit Hak Guna Bangunan atas nama PT Afdol Cipta Mandiri sampai dengan
beralihnya status Hak Guna Bangunan kepada masyarakat umum/badan hukum,
bahwa :
1. Tidak ada klausula dalam perjanjian antara PemKab Jombang dengan
PT Afdol yang memberikan kepastian perpanjangan jangka waktu
HGB apabila jangka waktu HGB telah berakhir
2. Tidak ada fungsi pengawasan atas status HGB oleh Pemkab Jombang
melalui dinas Pasarnya, hal ini dapat dilihat dari beralihnya staus HGB
dengan perjanjian jual beli secara bawah tangan antara pihak penjual
dan pembeli tanpa persetujuan dari Pemegang Hak Pengelolaan.
Dengan nilai ruko yang berkisar antara Rp. 350 juta sampai dengan
Rp. 500 Juta, sudah barang tentu, pemilik HGB terakhir meminta
adanya kepastian perpanjangan status HGB yang dibelinya meskipun
secara bawah tangan kepada PemKab Jombang sebagai pihak
pemegang Hak Pengelolaan.
3. Jika menilik pada Pasal 26 PP 40/1996, tentang syarat bagi pemohon
HGB untuk dapat diperpanjang atas suatu HGB, maka tidak ada satu
97
syarat pun yang tidak dipenuhi oleh para pemegang HGB diatas HPL
no. 1/Jombang. Bahwa tanahnya masih digunakan sebagai pasar, para
pemegang HGB juga memenuhi syarat sebagai subyek HGB serta
masih sesuainya antara peruntukan tanah HGB dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Pemkab Jombang yaitu atas tanah dalam wilayah
tersebut masih diperutukkan sebagai Pasar. Dengan demikian, tidak
ada alasan bagi PemKab Jombang tidak memberikan persetujuan
perpanjangan status HGB diatas HPL No.1/jombang tersebut. Hal ini
merupakan amanat dari Negara melalui perundang-undangan yang
mengatur tentang syarat dapat diperpanjangnya jangka waktu Hak
Guna Bangunan serta asal usul kewenangan Pemkab Jombang sebagai
pemegang Hak Pengelolaan adalah bagian dari Hak Mengusai Negara
yang berlaku Hukum Publik atas tanah hak tersebut.
4. Tidak ada pengaturan tentang batas maksimal kepemilikan jumlah
ruko yang diatur dalam perjanjian maupun peraturan yang dikeluarkan
oleh pemerintah kabupaten Jombang, sehingga memunculkan
kepemilikan ruko lebih dari 2. Hal ini jika tidak mendapatkan
pengaturan, akan memunculkan spekulan ruko bahkan monopoli atas
ruko, yang tidak sejalan dengan semangat dari Hak Menguasai Negara
yang kewenangannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL
untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
5. Dengan masih tersisa sebanyak 66 bidang ruko yang tidak termasuk
dalam daftar yang mendapat rekomendasi untuk memanfaatkan tanah
98
dan bangunan citra niaga berdasarkan Keputusan Bupati nomor
188.4.45/115/414.10.10/2015 tahun 2015, sesungguhnya konflik yang
terjadi belumlah tuntas jalan tengah dan solusinya. Sehingga atas status
64 bidang ruko tersebut menjadi tidak jelas dan merugikan kedua belah
pihak, baik Pemerintah Kabupaten Jombang (tidak mendapatkan uang
pemasukan dari perpanjangan HGB sehingga mengurangi pemasukan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) serta bagi
masyarakat (tidak adanya kepastian hukum berupa legalitas sertitipakt
HGB dan perlindungan hukum atas bangunan yang mereka tempati).
Dengan analisis tersebut, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada
kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan
untuk dapat memperpanjang status atas tanahnya yang berakhir jangka waktu
haknya. Sub bab pembahasan ini, oleh penulis dianalisis dengan menggunakan
teori Kepastian Hukum yang diungkapkan oleh Gustav Radbruch.
Dan seperti yang disampaikan oleh Gustav Radbruch dalam achmad ali,
kepastian hukum merupakan wujud nilai hukum yang baru, dengan dicirikan
hukum itu dituliskan, dipositipkan dan menjadi hukum publik. Kepastian hukum
menyangkut masalah “Law being written down”, bukan tentang keadilan dan
kemanfaatan. Adapun kepastian hukum tidak terkait hubungannya dengan “die
sicherkeit durch das Recht”, seperti memastikan bahwa pencurian, pembunuhan,
menurut hukum merupakan kejahatan. Berbicara tentang kepastian hukum adalah
99
lebih tepat memposisikan kepastian dari adanya peraturan itu sendiri atau
kepastian peraturan (sicherkeit des Rechts).85
3.3 Kewenangan Pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
No.1/Jombang untuk memperpanjang atau memperbaharui Hak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan
Seperti yang tertera dalam Perjanjian antara Pemerintah Kabupaten
Jombang dengan PT. Afdol Cipta Mandiri, dalam pasal 8 ayat (2) huruf b,
disebutkan bahwasanya pihak kedua (PT. Afdol Cipta Mandiri) atas resiko dan
pertimbangan sendiri berhak menjual bangunan Ruko dan tanah Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengelolaan kepada siapapun juga, dengan ketentuan
pembelinya adalah subyek yang berhak atas Hak Guna Bangunan dengan syarat-
syarat dan harga yang ditentukan oleh pihak kedua sendiri, dengan memberikan
kesempatan pertama kepada para pedagang yang dahulu berdagang di Pasar Legi.
Dalam pasal 10 ayat (2) juga dijelaskan bahwa Pihak Kedua berhak untuk
menjual bangunan Ruko dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) selama 20
tahun pada konsumen dan konsumen dapat mengajukan perpanjangan Hak
Guna Bangunan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Jika menilik pasal 10 ayat 2 diatas, secara normatif, kalimat tersebut
memberikan peluang yang terang benderang bahwa pemilik HGB diatas HPL
No.1/Jombang, dapat mengajukan perpanjangan haknya tetapi tidak ada kalimat
85
Achmad Ali, op.chit, hlm. 297
100
lanjutan yang memberikan kepastian perpanjangan HGB yang menjadi kewajiban
pemegang HPL. Hal tersebut tak ubahnya memberikan harapan tanpa kepastian.
Bagi pemegang HPL, apabila sudah ada permohonan pengajuan perpanjangan
HGB, tentunya mempunyai kewenangan untuk melakukan perpanjangan atau
menolak permohonan perpanjangannya. Ketentuan yang mengatur secara jelas
bagi pemegang Hak Pengelolaan dalam mengambil langkah kebijakannya yaitu
Pasal 22 ayat 2 PP 40/1996 yang berbunyi Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau Pejabat
yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Dalam pasal 26
PP 40/1996, dijelaskan bahwa syarat untuk dapat diperpanjang atau
diperbaharuinya HGB apabila ; tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai
keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; syarat-syarat pemberian hak
tersebut masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; pemegang hak masih
memenuhi syarat sebagai subyek HGB; dan tanah tersebut masih sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan.
Secara tersurat, pemegang HGB diberikan hak untuk mengajukan
permohonan perpanjangan hak nya, dan secara tersirat, pemegang HPL
mempunyai kewajiban untuk mengajukan usul perpanjangan HGB kepada
Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, apabila semua syarat yang digariskan pada
pasal 26 PP 40/1996 terpenuhi.
Ada kontradiksi antara pasal 22 PP 40/1996 dengan pasal 26 ayat (2) PP
40/1996. Jika pada pasal 22 PP 40/1996 pemegang HPL mengusulkan
perpanjangan HGB kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk, hal ini, menurut
101
penulis sesuai dengan jiwa dari Hak Menguasai Negara yang dikategorikan
pemegang HPL berpijak dalam ranah Hukum Publik. Akan tetapi dalam pasal 26
ayat (2) PP 40/1996, disebutkan bahwa HGB atas tanah HPL diperpanjang atau
diperbaharui atas permohonan pemegang HGB setelah mendapat persetujuan
dari pemegang Hak Pengelolaan. Dalam pasal ini, tidak ada batasan ketentuan
yang jelas bagi pemegang HPL atas permohonan pemegang HGB untuk
memperpanjang atau menolak permohonan perpanjangan sehingga kewenangan
pemegang HPL tak ubahnya seperti pemilik hak atas tanah, yang berlaku
kewenangan hukum privat. Pasal 26 ayat (1) PP 40/1996 hanya dijabarkan “atas
permohonan pemegang hak dapat diperpanjang atau diperbaharui...dst”,
yang menurut penulis frase ini adalah kewajiban pemegang HGB untuk dapat
secara utuh memenuhi syarat-syarat agar bisa mengajukan permohonan
perpanjangan atau pembaharuan haknya kepada Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk tetapi harus melalui persetujuan pemegang HPL.
Jika dalam perjanjian antara Pemegang HPL dan Pemegang HGB tidak
disebutkan tentang perpanjangan atau pembaharuan hak, maka pemegang HGB
tidak dapat memperpanjang atau memperbaharuinya. Konseksuensi bagi
pemegang HGB adalah Hak Guna Bangunannya hapus dan seperti yang diatur
dalam Pasal 30 huruf d dan e PP Nomor 40/1996 pemegang Hak Guna Bangunan
wajib menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan
kepada pemegang Hak Pengelolaan sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus serta
menyerahkan sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala
Kantor Pertanahan.
102
3.4 Perlindungan Hukum Pemegang Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan No. 1/Jombang yang telah berakhir jangka waktu hak
nya.
Teori perlindungan hukum yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo
menjelaskan bahwa perlindungan hukum memberikan pengayoman terhadap hak
asasi manusia yang dirugikan dan tujuannya agar masyarakat dapat menikmati
hak-haknya yang diberikan hukum. Perlindungan hukum sangat terkait dengan
kepastian hukum bagi pemegang HGB khususnya dalam hal adanya sertipikat
HGB. Bagaimana pemegang HGB mendapat perlindungan hukum jika mereka
tidak mempunyai legalitas atas bangunan yang mereka tempati dan manfaatkan ?
tentunya perlindungan hukum adalah tahapan berikutnya setelah terpenuhinya
kepastian hukum yang dimiliki oleh pemegang HGB yaitu dengan adanya
sertipikat HGB.
Perlindungan hukum yang dijabarkan dalam ketentuan yang berlaku
melalui Pasal 31 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
menyatakan;
“Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”
Jika ditelaah dengan seksama, bentuk perlindungan hukum bagi pemegang
Hak Guna Bangunan yang berdiri diatas Hak pengelolaan no.1/Jombang yang
dijamin oleh ketentuan perundang-undangan serta dalam perjanjian kerjasama
103
hanya sebatas rentang waktu Hak Guna Bangunan belum berakhir. Bahwa
perlindungan hukumnya berupa perlindungan untuk tidak dapat diganggu gugat
maupun dilakukan penuntutan oleh pihak lain yang merasa ikut memiliki hak atas
Hak Guna Bangunan tersebut. Terkecuali untuk mengalihkan dan membebani atas
Hak Guna Bangunan tersebut masih tetap ada pembatasan yaitu harus
mendapatkan persetujuan tertulis dari pihak pemegang Hak Pengelolaan.
Peraturan perundangan-undangang memberikan ruang bagi pemegang Hak
Pengelolaan dan Pemegang Hak Guna Bangunan untuk menghasilkan
kesepakatan atas perpanjangan atau pembahruan HGB. Secara jelas disebutkan
dalam Pasal 27 ayat (1) PP 40/1996, permohonan perpanjangan jangka waktu
HGB diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka
waktu HGB. Sedangkan menurut Pasal 41 Peraturan Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan,
dinyatakan bahwa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan
diajukan oleh pemegang hak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun, sebelum
berakhirnya jangka waktu hak tersebut. Dengan diberi ruang waktu 2 tahun
sebelum hak berakhir, ada harapan dari Negara agar dilakukan musyawarah
mufakat antara pemegang Hak Pengelolaan dan pemegang Hak Guna Bangunan
sesuai dengan jiwa Pancasila, agar terwujud jalan tengah dan solusi yang
menguntungkan kedua belah pihak.
Negara juga membatasi bagi pemegang Hak Guna Bangunan agar tidak
melakukan perpanjangan hak nya beberapa waktu setelah mendapatkan status Hak
104
Guna Bangunan. Sebagai contoh (jika tidak ada pengaturan tentang waktu
perpanjangan), pemegang Hak Guna Bangunan mendapatkan persetujuan untuk
mendapatkan hak selama 30 tahun (misalkan mendapatkan HGB pada tanggal 1-
1-2017). Lalu pada tanggal 1-3-2017, pemegang HGB mengajukan perpanjangan
untuk waktu 20 tahun. Jika tidak ada ketentuan yang mengatur tentang waktu
perpanjangan, maka bisa saja permohonan ini disetujui karena tidak ada ketentuan
yang mengaturnya. Sehingga pemegang HGB secara total langsung mendapatkan
jangka waktu hak selama 50 tahun. Hal ini tidak diinginkan oleh pembuat
kebijakan. Karena dapat menimbulkan “keserakahan” bagi pemegang HGB serta
pengawasan dari pemegang hak atas tanah yang diatasnya berdiri HGB (HGB
berdiri diatas tanah Hak Milik dan Tanah Negara) akan sulit apabila ada peralihan
HGB secara bawah tangan dan tentunya secara ekonomis kurang menguntungkan
bagi pemegang hak atas tanah.
Semangat dari ketentuan perundangan yang mengatur tentang waktu
perpanjangan HGB, untuk memberikan perlindungan hukum baik bagi pemegang
hak pengelolaan serta pemegang Hak Guna Bangunan khususnya.
Permasalahan perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan
muncul saat hak nya berakhir tetapi tidak ada kejelasan sikap dari pemegang Hak
Pengelolaan untuk memperpanjangnya. Ruang dengar pendapat dan musyawarah
mufakat dilakukan saat jangka waktu sudah mendekati berakhir dan setelah
jangka waktu HGB berakhir. Masyarakat umum saat membeli HGB dari PT.
Afdol, tidak mendapatkan penjelasan yang cukup mengenai status hukum HGB
nya. Bahwa masyarakat pemegang HGB tersebut juga terikat dengan perjanjian
105
yang dibuat antara Pemerintah Kabupaten jombang dan PT. Afdol, yang didalam
klasulnya tidak memberikan jaminan perpanjangan HGB dan jika telah berakhir
jangka waktu HGB nya, maka bangunan akan menjadi hak seutuhnya pemegang
Hak Pengelolaan.
Dengan kondisi ini, pihak yang paling dirugikan adalah pemegang Hak
Guna Bangunan, walaupun pihak pemegang Hak Pengelolaan juga dirugikan
dengan tidak adanya pemasukan ke APBD daerah. Bagi pemegang HGB, ruko
tersebut adalah sumber penghasilan dan tempat untuk bekerja. Mereka akan
mempertahankan sekuat tenaga agar tetap dapat berdagang di tempat tersebut.
Dengan status HGB yang sudah berakhir tanpa ada kejelasan perpanjangannya,
permasalahan semakin kompleks dengan kurang pahamnnya pemegang HGB
bahwa tanah hak nya berdiri diatas Hak Pengelolaan yang keputusan
perpanjangannya harus disetujui oleh PemKab Jombang sebagai pemegang Hak
Pengelolaan tentunya dengan syarat-syarat yang dipenuhi dan disepakati,
terjadinya peralihan HGB secara bawah tangan yang menyulitkan pendataan
pemegang HGB terbaru dan sosialisasi ketentuan hukum berupa hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum
bagi pemegang Hak Guna Bangunan hanyalah terwujud saat masih berlakunya
jangka waktu Hak Guna Bangunan, tetapi saat jangka waktu berakhir, tidak ada
perlindungan hukum bagi pemegang Hak Guna Bangunan. Kembali saya garis
bawahi, hakikat perlindungan hukum adalah dilindunginya hak asasi manusia agar
106
tidak dirugikan dan tujuannya agar masyarakat dapat menikmati hak-haknya yang
diberikan hukum.
Tabel 4
Tabulasi Hasil Penelitian dan Pembahasan
No Landasan
Teoritik
Analisis Hasil Analisis
1 Teori
Kewenangan
secara yuridis
adalah
kemampuan
bertindak yang
diberikan oleh
undang-undang
yang berlaku
untuk melakukan
hubungan-
hubungan hukum
PemKab Jombang mendapatkan
Hak Pengelolaan dari negara
berdasarkan Surat Keputusan
dari Menteri Dalam Negeri atas
permohonan hak pengelolaan
yang diajukan Pemerintah
Kabupaten Jombang teregister
nomor 03/1081/1992 tanggal 26
Maret 1992. Sertipikat Hak
Pengelolaan atas nama
Pemerintah Kabupaten Jombang
terbit pada tanggal 30 Juli 1992
dg ket.“Lamanya hak berlaku
selama tanah tersebut
dipergunakan untuk PASAR
LEGI JOMBANG”
1. Kewenangan yang dimilki oleh
pemegang HPL adalah kewenangan
yang berlaku dalam ranah hukum
publik (mengatur dan mengelola)
2. Kewenangannya adalah sebagai
bagian dari gempilan dari Hak
Menguasai negara.
2 Teori Kepastian
hukum dalam
undang-undang,
meliputi dua hal,
yakni : pertama,
kepastian
perumusan dan
kepastian dalam
melaksanakan
norma-norma dan
prinsip-prinsip
hukum Undang-
Undang tersebut.
Teori sistem
Hukum dari
Lawrence M.
Friedmen sebagai
tolak ukur
efektifitas Hukum
Perjanjian yang dibuat berfungsi
sebagai surat penunjukan dan
kesepakatan dalam mengelola
bagian tanah kepada pihak
ketiga.
Dalam perjanjian tidak ada
klausula yang menyebutkan
bahwa perpanjangan HGB akan
disetujui sebelum berakhirnya
HGB sepanjang syarat untuk
mengajukan permohonan sesusi
pasal 26 PP 40/1996 terpenuhi.
Kebijakan Pemkab Jombang
berupa Perbup 38 th 2015
1. Kepastian hukum bagi pemegang
HGB adalah saat terbitnya HGB
diatas HPL.
2. Sejak tanggal 22-09-2013 (saat
berakhirnya HGB), maka kepastian
hukum bagi pemegang HGB tidak
ada. Segala hak dan kewajiban bagi
pemegang HGB telah gugur secara
yuridis.
3. Kebijakan Pemkab Jombang
dengan dikeluarkannya Perbup 38
tahun 2015 tidak efektif: Masih ada
66 bidang ruko yang tdk
diperpanjang jangka waktunya.
Ruko tsb masih digunakan dan
dimanfaatkan oleh pemegang HGB.
Tidak ada tindakan dari pemegang
HPL bagi HGB yang tdk
diperpanjang shg menimbulkan
107
kecemburuan dari pemegang HGB
yang sdh diperpanjang
3 Teori
perlindungan
hukum
memberikan
pengayoman
terhadap hak
asasi manusia
yang dirugikan
dan tujuannya
agar masyarakat
dapat menikmati
hak-haknya yang
diberikan hukum
Bentuk perlindungan hukum
bagi pemegang Hak Guna
Bangunan yang berdiri diatas
Hak pengelolaan no.1/Jombang
yang dijamin oleh ketentuan
perundang-undangan serta dalam
perjanjian kerjasama hanya
sebatas rentang waktu Hak Guna
Bangunan belum berakhir
1. Perjanjian yang dibuat antara
Pemerintah Kabupaten jombang
dan PT. Afdol, yang didalam
klasulnya tidak memberikan
jaminan perpanjangan HGB.
2. Tidak ada perlindungan hukum
bagi pemegang Hak Guna
Bangunan diatas Hak Pengeloaan
No.1/Jombang saat jangka waktu
berakhir
108
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian seperti yang dijabarkan pada
bab-bab sebelumnya selaras dengan tujuan penelitian tesis ini maka dapat
disimpulkan beberapa hal berikut :
1. Tentang kewenangan pemegang hak pengelolaan nomor 1/Jombang
Hak pengelolaan adalah bagian dari hak menguasai Negara yang sebagian
kewenangnnya diserahkan kepada pihak ketiga. Frasa “sebagian” mengandung
makna bahwa pemegang Hak Pengelolaan tidak mempunyai Kuasa Mutlak/penuh
seperti halnya pemegang Hak Milik. Pemegang Hak Pengelolaan nomor
1/Jombang hanya mempunyai sebagian dari kewenangan yang didelegasikan dari
Negara dengan Hak Menguasai Negara, sehingga hak atas tanah tersebut tetap
dalam penguasan Negara. Sehingga kewenangan yang berlaku atas pemegang Hak
Pengelolaan nomor 1/Jombang adalah dalam ranah hukum publik yaitu tugas
kewenangan untuk mengatur dan mengelola tanah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat khususnya masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang
skala mikro, kecil dan menengah warga kabupaten Jombang. Termasuk
didalamnya kewenangan untuk memberikan persetujuan
perpanjangan/pembaharuan atas HGB yang berdiri diatas HPL nomor 1/Jombang
sesuai syarat yang termaktub dalam pasal 26 ayat 1 PP 40/1996.
109
2. Kebijakan Pemerintah kabupaten Jombang sebagai pemegang Hak
Pengelolaan nomor 1/Jombang
Sebagai pemegang Hak Pengelolaan nomor 1/Jombang yang diberikan
oleh Negara, pemerintah Kabupaten Jombang mengambil kebijakan bahwa atas
HPL tersebut diberikan hak atas tanah berupa HGB. PemKab Jombang menunjuk
dan membuat perjanjian atas pemanfaatan HPL no.1/Jombang dengan PT. Afdol
Cipta Mandiri. Didalam perjanjian tersebut tidak ada klausula yang memberikan
kepastian perpanjangan jangka waktu HGB apabila jangka waktu HGB telah
berakhir. Jika menilik pada Pasal 26 PP 40/1996, tentang syarat bagi pemohon
HGB untuk dapat diperpanjang atas suatu HGB, maka tidak ada satu syarat pun
yang tidak dipenuhi oleh para pemegang HGB diatas HPL No. 1/Jombang. Bahwa
tanahnya masih digunakan sebagai pasar, para pemegang HGB juga memenuhi
syarat sebagai subyek HGB serta masih sesuainya antara peruntukan tanah HGB
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Pemkab Jombang yaitu atas tanah dalam
wilayah tersebut masih diperuntukkan sebagai Pasar. Dengan demikian, tidak ada
alasan bagi PemKab Jombang tidak memberikan persetujuan perpanjangan status
HGB diatas HPL No.1/jombang tersebut. Hal ini merupakan amanat dari Negara
melalui perundang-undangan yang mengatur tentang syarat dapat diperpanjangnya
jangka waktu Hak Guna Bangunan serta asal usul kewenangan Pemkab Jombang
sebagai pemegang Hak Pengelolaan adalah bagian dari Hak Mengusai Negara
yang berlaku Hukum Publik atas tanah hak tersebut.
Selain hal tersebut diatas, tidak ada pula pengaturan tentang batas
maksimal kepemilikan jumlah ruko yang diatur dalam perjanjian maupun
110
peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Jombang, sehingga
memunculkan kepemilikan ruko lebih dari 2. Hal ini jika tidak mendapatkan
pengaturan, akan memunculkan spekulan ruko bahkan monopoli atas ruko, yang
tidak sejalan dengan semangat dari Hak Menguasai Negara yang kewenangannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL untuk mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
3. Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Guna Bangunan yang
telah berakhir jangka waktu hak nya.
Dalam pasal 10 ayat (2) Perjanjian kerja sama antara Pemkab Jombang
dengan PT. Afdol Cipta Mandiri, dijelaskan bahwa Pihak Kedua berhak untuk
menjual bangunan Ruko dengan status Hak Guna Bangunan (HGB) selama 20
tahun pada konsumen dan konsumen dapat mengajukan perpanjangan Hak
Guna Bangunan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Secara
normatif, kalimat tersebut memberikan peluang yang terang benderang bahwa
pemilik HGB diatas HPL No.1/Jombang, dapat mengajukan perpanjangan
haknya. Bagi pemegang HPL, apabila sudah ada permohonan pengajuan
perpanjangan HGB, tentunya mempunyai kewenangan untuk menyetujui
perpanjangan atau tidak menyetujui permohonan perpanjangannya. Ketentuan
yang mengatur secara jelas bagi pemegang Hak Pengelolaan dalam mengambil
langkah kebijakannya yaitu Pasal 22 ayat (2) PP 40/1996. Dalam pasal 26 PP
40/1996, dijelaskan bahwa syarat untuk dapat diperpanjang atau diperbaharuinya
HGB apabila ; tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai keadaan, sifat
111
dan tujuan pemberian hak tersebut; syarat-syarat pemberian hak tersebut masih
dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; pemegang hak masih memenuhi syarat
sebagai subyek HGB; dan tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah yang bersangkutan.
Tidak ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur perlindungan
hukum bagi pemegang HGB yang telah berakhir hak nya. Demikian pula dalam
klausula perjanjian antara PemKab Jombang dengan PT. Afdol Cipta Mandiri
yang juga mengikat bagi konsumennya juga tidak diatur secara eksplisit. Bagi
pemegang HGB yang berdiri diatas HPL, hal tersebut berrpotensi menimbulkan
konflik saat berakhirnya jangka waktu HGB. Konflik yang timbul akan merugikan
kedua belah pihak, baik bagi pemegang HPL ataupun pemegang HGB.
112
3.2 Saran
1. Bagi pemegang Hak Pengelolaan Nomor 1/Jombang (Pemerintah
Kabupaten Jombang
Dalam membuat perjanjian dengan pihak ketiga, kiranya menyadari
seutuhnya bahwa kewenangan yang dimilikinya adalah bersifat publik. Bertolak
dari kesadaran ini, beberapa hal yang perlu dicantumkan secara detail dalam
perjanjian adalah adanya kepastian perpanjangan selama tidak bertentangan
dengan syarat perpanjangan sesuai daengan pasal 26 ayat 1 PP 40/1996,
membatasi kepemilikan bidang ruko agar tidak memunculkan monopoli atas
bidang HGB tersebut serta mencantumkan klausula bahwa segala peralihan HGB
baik dengan akta PPAT atau bawah tangan harus mendapat ijin dari pemegang
HPL. Serta secara berkala dilakukan sosialisasi kepada konsumen (pedagang
pemegang HGB) tentang status hukum HGB diatas HPL.
2. Bagi pemegang HGB yang berdiri datas HPL No.1/Jombang.
Dalam setiap peralihan HGB Khususnya secara bawah tangan, harus
meminta ijin terlebih dahulu dari Pemkab Jombang sebagai pemegang HPL
No.1/Jombang. Hal ini dilakukan agar tertib administrasi serta bagi pemegang
HGB yang baru mengetahui status hukum atas HGB nya sehingga pemanfaatnnya
sesuai ketentuan dan saat perpanjangan mengetahui langkah-langkah yang
diambil.
113
Atas kondisi saat ini yang masih menyisakan beberapa pemegang HGB
yang belum melakukan perpanjangan hak, agar secara intensif berkoordinasi
dengan Pemkab Jombang dalam melakukan musyawarah untuk mencapai
mufakat.
114
DAFTAR PUSTAKA
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Bandung: Mandar
Maju, 1989
B.N. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan, 2003
__________, Hukum Agraria Indonesia-sejarah pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, isi dan Penjelasannya, Jakarta, Djambatan, 2005.
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni Bandung, hlm. 7 lihat juga L.J van
Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita,
1981.
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994
Irawan Soerodjo, Hukum Pertanahan ; Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL),
eksistensi pengaturan dan praktik, Yogyakarta, Laksbang
Mediatama, 2014.
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayu Media, 2010.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Jakarta: Prenada
Media Group, 2006
Lawrence M.Friedman, The Legal Sistem : A.Social Science Perspektive, (New
York: Russel Sage Foundation, 1969), hlm. 16
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung;
Remaja Rudaskarya, 1993.
Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial Dan
Budaya, Jakarta: Kompas, 2008.
Mhd Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung:
Mandar Maju, 2010.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta, Pustaka LP3S, 1998.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Bandung: Refika
Aditama, 2009
115
HM. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Kepemilikan Property Di Indonesia,
Bandung: Mandar Maju, 2012.
H. Ph. Visser’t Hooft, Filosofie Van de Rechtswetenchaf, diterjemahkan oleh
Bernard Arief Sidharta. Filsafat Ilmu Hukum, Bandung:
Laboratorium Hukum FH Universitas Katholik Parahyangan, 2001.
Oloan Sitorus dan H.M. Zaki Sierrad, Hukum Agraria di Indonesia, Yogyakarta:
Mitra Kebijakan Tanah, 2006.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2005.
__________, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prenandamedia Group, 2008.
Philipus, H. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1987.
__________, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Administration Law), Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1993.
__________, Menuju Kodifikasi Hukum Administrasi (Bunga Rampai),
Denpasar: Fakultas Hukum Universitas Udayana, 1994.
__________, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1993.
R. Atang Ranoemihardja, Perkembangan Hukum Agraria Di Indonesia, Aspek-
Aspek Dalam Pelaksanaan UUPA Dan Peraturan Perundangan
Lainnya Dibidang Agraria Di Indonesia, Bandung: Tarsito, 1982.
Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA, Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1995.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Jakarta, PT. Raja grafindo persada,
2006.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1994.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.
__________, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya,
Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.
116
Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni,
1973.
Sumadji P, dkk, Kamus Ekonomi, tanpa kota, Wipress, 2006.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah; menemukan Keadilan,
Kemanfaatan dan kepastian atas eksistensi Tanah Aset Daerah,
Jakarta, PT. Prestasi Pustakaraya, 2010.
Soedjono Dirdjosiswono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, 2007.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Press, 1985.
Sudikno Mertokosumo, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta, Universitas
Terbuka-karunika, 1988.
Sutandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Jakarta: ELSAM dan HUMA, 2002.
Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2012.
________, “Pengaturan Hak Pengelolaan”, Jurnal Media Hukum, Vol. 15 No. 1,
Juni 2008, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
________, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana
Prenada Media Grup, 2010.
117
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agaria (UUPA)
Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Peraturan Pemerintah no. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah no. 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pengelolaan atas Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang milik
Negara/Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara atau Daerah
Peraturan Menteri Dalam Negeri/PMDN no. 1 tahun 1977 tentang tata cara
permohonan dan penyelesain pemberian hak atas tanah hak pengelolaan
serta pendaftarannya.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972 tentang Pelimpahan
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria no. 9 tahun 1965 tentang Kebijaksanaan
Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan
tentang Kebijaksanaan Selanjutnya.
Peraturan menteri Negara Agraria/KBPN No. 3 tahun 1997 tentang ketentuan
pelaksanaan PP. No. 24 tahun 1997
Peraturan menteri Negara Agraria/KBPN No. 4 tahun 1998 juga Peraturan
Menteri Negara Agraria No. 6 tahun 1998 tentang pedoman penetapan
uang pemasukan dalm pemberian hak atas tanah Negara
Peraturan menteri Negara agrarian/KBPN no. 3 tahun 1999 tentang pelimpahan
kewenangan dan pembatalan kepatutan pemberian hak atas tanah
Negara.
Peraturan menteri Negara agrarian/KBPN no. 9 tahun 1999 tentang tata cara
pemberian dan pembatalan hak atas tanah Negara dan hak pengelolaan.
118
Peraturan Bupati No.38 tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah dan Bangunan
Ruko Citra Niaga tanggal 04 Desember 2014 tentang pemanfaatan Ruko
Citra Niaga.
Keputusan Bupati Jombang nomor 188.4.45/115/414.10.10/2015 tahun 2015
tentang rekomendasi persetujuan pemanfaatan tanah dan bangunan ruko
citra niaga Jombang
MEDIA ELEKTRONIK
http://www.lensaindonesia.com/2013/09/20/, tunggu-kajian-eksekutif-pedagang-
pasar-jombang-diminta-tenang.html, diakses tanggal 10 April 2017.
http://jombangkab.go.id/index.php/web/entry/sosialisasikan-perbup-no-38-tahun
2014-tentang-pemanfaatan-tanah-dan-bangunan-ruko-citra-
niaga.html, diakses tanggal 10 April 2017
LAMPIRAN
Lampiran 1; Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat
II Jombang dengan P.T. Afdol Cipta Mandiri tentang Pemberian Gak
Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan Tanah Pasar Legi Pemerintah
Kabupaten Jombang Daerah Tingkat II Jombang kepada Pihak Ketiga
(P.T Afdol Cipta Mandiri)
Lampiran 2; Lihat Sertipikat Hak Pengelolaan No. 1/Jombang
Lampiran 3; Lihat Sertipikat Hak Guna Bangunan No. 964 dan 1109 keduanya
atas nama wahyudi