Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein...
Transcript of Perkembangan Masalah Gizi Kurang Kaitannya dengan ... · PDF filekekurangan energi dan protein...
4
TINJAUAN PUSTAKA
Arah Pembangunan di Bidang Pangan dan Gizi
Kesejahteraan suatu bangsa tergantung pada kemampuan dan kualitas
sumber daya manusianya. Kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara
dapat diketahui dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Komponen IPM yang
dijadikan ukuran kualitas SDM suatu bangsa terdiri atas tingkat ekonomi,
pendidikan, dan kesehatan. Posisi IPM Indonesia berada pada urutan ke 108 dari
177 negara (Dewan Ketahanan Pangan 2007). Jika dilihat dari tingkat
kemiskinan, sekitar 40 juta jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan.
Kemiskinan akan berdampak pada penurunan kemampuan rumah tangga
dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal
tersebut akan berakibat pada kekurangan gizi diindikasikan dari status gizi anak
balita dan wanita hamil. Pada akhirnya berdampak pada lahirnya generasi muda
yang tidak berkualitas. Dalam jangka pendek, Indonesia akan mengalami
kesulitan dalam mencapai pembangunan nasional yang optimal.
Pangan merupakan modal dasar pembangunan, berperan sebagai
sumber zat gizi yang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Dalam
Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 1999-2004, pembangunan
pangan dan gizi tercantum dalam bidang ekonomi serta sosial budaya. Investasi
pembangunan tidak hanya terbatas pada sarana fisik, tetapi mencakup
kebutuhan pokok, kesehatan dan kesejahteraan sosial (Karsin 2004).
Salah satu tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sehat dan mandiri. Strategi pencapaian tujuan
tersebut adalah melalui Indonesia Sehat 2010 dengan difokuskan pada
terbentuknya manusia yang berkualitas. Indikator manusia yang berkualitas
tersebut adalah:
a. manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dari umur harapan hidup)
b. dapat menikmati hidup sehat (terukur dari angka kesakitandan kurang gizi),
c. mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur
dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan)
d. hidup dengan sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang
cukup memadai atau bebas kemiskinan)
Sejalan dengan itu, tujuan dan arah pembangunan pangan dan gizi
adalah perbaikan konsumsi pangan menuju pola pangan harapan Indonesia dan
status gizi untuk meningkatkan kualitas SDM. Adapun startegi pencapaiannya
5
adalah melalui peningkatan produksi dan ketersediaan pangan, pengawasan
disteribusi pangan serta partisipasi masyarakat (Karsin 2004).
Dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2006-2010
terdapat strategi untuk mengatasi masalah gizi, baik itu strategi jangka pendek
maupun jangka panjang. Strategi jangka pendek terdiri atas kebijakan yang
mendorong ketersediaan pelayanan, kebijakan yang meningkatkan akses
masyarakat terhadap layanan, dan kebijakan yang mendorong perubahan ke
arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui pendidikan gizi dan
kesehatan.
Kebijakan yang mendorong ketersediaan pelayanan, diantaranya
pelayanan gizi dan kesehatan yang berbasis masyarakat (contoh posyandu),
pemberian suplemen zat gizi mikro, pemberian bantuan pangan kepada anak
kurang gizi dari keluarga miskin, fortifikasi bahan dan biofortifikasi. Kebijakan
yang meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan, meliputi bantuan
langsung tunai (BLT) bersyarat bagi keluarga miskin, pemberian kredit mikro
untuk pengusaha kecil dan menengah, pemberian makanan, khususnya pada
waktu darurat, pemberian suplemen zat gizi mikro, khususnya zat besi, vitamin A
dan zat yodium, bantuan pangan langsung kepada keluarga miskin, dan
pemberian kartu miskin untuk keperluan berobat. Kebijakan yang mendorong
perubahan ke arah perilaku hidup sehat dan sadar gizi dilakukan melalui
pendidikan gizi dan kesehatan. Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan anggota keluarga khususnya kaum perempuan tentang gizi
seimbang, memantau berat badan bayi dan anak sampai usia 2 tahun,
pengasuhan bayi dan anak yang benar, air bersih dan kebersian diri serta
lingkungan, dan pola hidup sehat lainnya seperti berolah raga, tidak merokok,
makan sayur dan buah setiap hari.
Strategi jangka panjang terdiri atas kebijakan yang mendorong
penyediaan pelayanan, kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan
atau kebutuhan pangan dan gizi, dan kebijakan yang mendorong perubahan
perilaku hidup sehat dan gizi yang baik bagi anggota keluarga. Kebijakan yang
mendorong penyediaan pelayanan meliputi, pelayanan kesehatan dasar,
penyediaan air bersih dan sanitasi, pengaturan pemasaran susu formula,
kebijakan pertanian pangan untuk menjamin ketahanan pangan, kebijakan
pembangunan industri pangan, memperbanyak fasilitas olah raga bagi
masyarakat. Kebijakan yang mendorong terpenuhinya permintaan atau
6
kebutuhan pangan dan gizi, seperti pembangunan ekonomi yang meningkatkan
pendapatan rakyat miskin, pembangunan ekonomi dan sosial yang melibatkan
dan memberdayakan masyarakat miskin, pembangunan yang menciptakan
lapangan kerja, kebijakan fiskal, dan harga pangan yang meningkatkan daya beli
masyarakat miskin, dan pengaturan pemasaran pangan yang sehat dan aman.
Kebijakan yang mendorong perubahan perilaku yang mendorong hidup sehat
dan gizi baik bagi anggota keluarga, seperti meningkatkan kesetaraan gender,
mengurangi beban kerja wanita terutama pada waktu hamil, dan meningkatkan
pendidikan wanita baik pendidikan sekolah maupun diluar sekolah.
Strategi-strategi di atas tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah,
melainkan melibatkan banyak pelaku, yaitu pemerintah, masyarakat dan sektor
swasta. Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta
menunjukkan adanya proses pembangunan yang berkelanjutan dalam
memanfaatkan sember daya yang ada sehingga dapat terwujud tujuan
pembangunan nasional yaitu ketahanan pangan sampai tingkat rumah tangga.
Masalah Kurang Energi Protein (KEP) Anak Balita
Pengertian KEP
Selama empat dekade terakhir, terjadi transisi penggunaan istilah KEP
pada anak balita di Indonesia. Pada masa Repelita I (1970) sampai akhir
Repelita V (1993) istilah yang sering digunakan untuk masalah kekurangan gizi
makro pada anak balita adalah KKP atau Kurang Kalori dan Protein. Istilah
tersebut berubah pada masa Repelita VI (1994-1998) menjadi KEP atau Kurang
Energi Protein dan kembali berubah menjadi gizi kurang (baku WHO NCHS)
pada masa Propenas (1999-2004) hingga saat ini. Adanya perubahan istilah KEP
menjadi gizi kurang disebabkan oleh beberapa hal seperti, adanya perbedaan
pengertian dan istilah yang digunakan pada tiap periode pembangunan serta
adanya perbedaan dalam pengukuran antropometri untuk mengklasifikasikan
status gizi balita.
Kurang Energi Protein (KEP) didefinisikan sebagai masalah gizi kurang
akibat konsumsi pangan yang tidak cukup menjadi energi dan protein serta
karena gangguan kesehatan (Soekirman 2000). Menurut Almatsier (2001), KEP
merupakan suatu kondisi dimana tubuh mengalami sindroma gabungan antara
kekurangan energi dan protein secara bersamaan. Sedangkan Gizi kurang
adalah masalah gizi yang dilihat berdasarkan berat badan dan umur, tinggi
badan dan umur, dan juga berat badan dan tinggi badan pada balita (Atmarita
7
dan Tatang S. Fallah 2004). Selain perbedaan tersebut, istilah KEP dan gizi
kurang juga dibedakan karena metode pengukuran dalam mengklasifikasikan
status gizi balita juga berbeda. Pada pengklasifikasian masalah KEP, metode
pengukuran yang digunakan adalah persentase terhadap nilai median,
sedangkan untuk klasifikasi masalah gizi kurang digunakan metode pengukuran
terhadap skor simpangan baku/standar deviasi.
Klasifikasi KEP
Manifestasi KEP dapat ditentukan dengan mengukur status gizi balita.
Status gizi balita mencerminkan status gizi masyarakat, oleh karena itu untuk
menilainya dapat menggunakan pendekatan penilaian status gizi golongan anak
balita. Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi pangan,
antropometri, biokimia, dan klinis (Riyadi 2001). Penilaian status gizi antropometri
merupakan penilaian yang umum digunakan.
Ada dua jenis baku acuan dalam mengklasifikasikan status gizi, yaitu
baku lokal dan internasional. Terdapat beberapa baku acuan internasional, yaitu
Havard (Boston), WHO-NCHS, Tanner dan Kanada. Havard dan WHO-NCHS
adalah yang paling umum digunakan di seluruh negara. Data baku rujukan WHO-
NCHS disajikan dalam dua versi yaitu persentil dan Z-score.
Sejak tahun 80-an Indonesia menggunakan dua baku acuan
internasional, yaitu Havard dan WHO-NCHS. Semiloka Antropometri Ciloto
(1991) menyarankan pengajuan penggunaan secara seragam baku rujukan
WHO-NCHS sebagai pembanding dalam penilaian status gizi dan pertumbuhan
baik perorangan maupun masyarakat.
Pada penentuan prevalensi KEP diperlukan klasifikasi menurut derajat
beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut:
1. Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS
Tabel 1 Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NCHS
Klasifikasi KEP BB/U BB/TB
Ringan 70-80% 80-90% Sedang 60-70% 70-80% Berat <60% <70%
2. Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI
Klasifikasi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan
umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:
8
Tabel 2 Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI
BB/TB TB/U (berat menurut tinggi) (tinggi menurut umur)
Mild 80-90% 90-94% Moderate 70-79% 85-89% Severe <70% <85%
3. Klasifikasi Menurut Gomez (1956)
Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan
berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.
Tabel 3 Klasifikasi KEP menurut Gomez
Derajat KEP Berat badan % dari baku
0 (normal) 90% 1 (ringan) 89-75% 2 (sedang) 74-60% 3 (berat) <60%
4. Klasifikasi Menurut McLaren (1967)
McLaren mengklasifikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya.
Gejala klinis disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati
diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein
serum.
Tabel 4 Klasifikasi KEP menurut McLaren
Gejala klinis/laboratoris Angka
Edema 3 Dermatosis 2 Edema disertai dermatosis 6 Perubahan pada rambut 1 Hepatomegali 1 Albumin serum atau protein total serum/g %
<1.00 <3.25 7 1.00-1.49 3.25-3.99 6 1.50-1.99 4.00-4.74 5 2.00-2.49 4.75-5.49 4 2.50-2.99 5.50-6.24 3 3.00-3.49 6.25-6.99 2 3.50-3.99 7.00-7.74 1
>4.00 >7.75 0
Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan
tiap penderita:
0-3 angka : marasmus
4-8 angka : marasmic-kwashiorkor
9-15 angka : kwashiorkor
9
Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalaahan jika dibandingkan
dengan cara Welcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter
dengan bantuan laboratorium.
5. Klasifikasi Menurut Welcome Trust Party (1970)
Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara ini
diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat
pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnosa yang salah. Seperti pada
penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang
lain) yang sudah dirawat satu minggu, edema pada tubuh pasien tidak terlihat
lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang seperti itu
akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.
Tabel 5 Klasifikasi KEP menurut Trust Party
Berat badan % dari baku Edema
Tidak ada Ada
>60% Gizi kurang Kwashiorkor <60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor
6. Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)
Waterflow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan
menahun. Waterflow berpendapat bahwa defisit berat menurut tinggi
mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting
(kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat
kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan
akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.
Tabel 6 Klasifikasi KEP menurut Waterflow
Derajat Gangguan Stunting (BB/U) Wasting (BB/TB)
0 > 95% >90% 1 95-90% 90-80% 2 89-85% 80-70% 3 <85 <70%
7. Klasifikasi Menurut Jellife
Jellife mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)
menurut umur (U) sebagai berikut:
Tabel 7 Klasifikasi KEP menurut Jellife
Kategori BB/U (% baku)
KEP I 90-80 KEP II 80-70 KEP III 70-60 KEP IV <60
10
Menurut Depkes (1997), terdapat beberapa istilah yang digunakan di
lapangan dalam mengklasifikasikan KEP, seperti KEP nyata dan KEP total. KEP
total adalah menghitung strata KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat (BB/U <
80% baku median WHO-NCHS). Sedangkan KEP nyata adalah menghitung
strata KEP sedang dan KEP berat dan pada KMS berada di bawah garis merah
(tidak ada pemisah antara KEP sedang dan KEP berat pada KMS).
Adanya transisi perubahan istilah KEP, maka sejak awal periode
Propenas (1999) semua data berat badan dan tinggi badan setiap balita sejak
tahun 1989 dikonversikan ke dalam bentuk nilai tertandar (Z-score) dengan
menggunakan baku antropometri. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-
masing indeks maka status gizi balita dapat diklasifikasikan sebagai berikut.
Tabel 8 Klasifikasi status gizi balita berdasarkan nilai Z-score
Indeks Nilai Z-score Kategori
BB/U Z-score <-3.0 Gizi buruk -3.0<-Z-score<2.0 Gizi kurang -2.0≤ Z-score ≤2.0 Gizi baik Z-score >2.0 Gizi lebih TB/U Z-score <-3.0 Sangat pendek -3.0≤ Z-score <-2.0 Pendek Z-score ≥-2.0 Normal BB/TB Z-score <-3.0 Sangat kurus -3.0≤ Z-score <-2.0 Kurus -2.0 ≤ Z-score ≤2.0 Normal Z-score >2.0 Sangat kurus IMT/U Z-score ≥ 3.0 severe obese 2.0 ≤ Z-score ≤ 3.0 obese 1.0 ≤ Z-score < 2.0 Overweight -2.0 < Z-score < 1.0 Normal -2.0 ≤ Z-score < -3.0 Thinness Z-score ≤ -3.0 severe thinness Sumber: Riskesdas 2007
Indikator BB/U memberikan gambaran tentang status gizi yang sifatnya
umum, tidak spesifik. Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk atau gizi buruk dan
gizi kurang mengindikasikan ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak
memberikan indikasi apakah masalah balita tersebut bersifat kronis atau akut.
Indikator TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis
sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan,
perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari
sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.
Indikator BB/TB dan IMT/U memberikan indikasi masalah gizi yang
sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak
11
lama (singkat), misalnya terjadi wabah penyakit dan kekurangan makan
(kelaparan) yang mengakibatkan anak menjadi kurus (Depkes 2010a).
Perhitungan angka prevalensi dilakukan sebagai berikut:
Penyebab KEP
Menurut UNICEF (1998) dalam Soekirman (2000), penyebab timbulnya
KEP pada anak balita terdiri dari beberapa tahapan, yaitu penyebab langsung,
penyebab tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. UNICEF (United
Nations Children’s Found) menyatakan bahwa ada dua penyebab langsung
terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat
terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kedua penyakit tersebut saling
berpengaruh. Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan
sumber energi dan protein yang tidak memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi
yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi seimbang, dan aman. Faktor
penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan
tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Untuk
itu, cakupan universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi
kejadian kesakitan yang perlu ditunjang dengan tersediaanya air minum bersih
dan higienis sanitasi yang merupakan salah satu faktor penyebab tidak langsung
(Bappenas 2010a).
Menurut Soekirman (2000), penyebab langsung diatas muncul akibat
faktor tidak langsung, yaitu tidak cukup tersedianya pangan dalam keluarga,
pola pengasuhan anak yang kurang memadai, keadaan sanitasi yang buruk,
tidak tersedianya air bersih, dan pelayanan kesehatan dasar yang tidak
memadai. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan
Faktor penyebab tidak langsung, selain sanitasi dan penyediaan air
bersih, yaitu kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban,
tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang
baik, ruangan dalam terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih.
Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan. Selanjutnya, pola
12
asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan
masyarakat turut menjadi penyebab tidak langsung KEP. Pola asuh, sanitasi
lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, akses
informasi dan tingkat pendapatan keluarga
Ketidakstabilan ekonomi, politik, dan sosial dapat disebabkan oleh
rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat, yang tercermin dari rendahnya
konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengatasi
masalah gizi masyarakat seperti KEP merupakan salah satu tumpuan penting
dalam pembangunan ekonomi, politik dan kesejahteraan sosial yang
berkelanjutan (Bappenas 2010a).
Permasalahan KEP di Indonesia
Pada saat ini, sebagian besar atau 50% penduduk Indonesia dapat
dikatakan tidak sakit tetapi juga tidak sehat, umumnya disebut kekurangan gizi.
Kejadian kekurangan gizi sering luput dari penglihatan atau pengamatan biasa,
akan tetapi secara perlahan berdampak pada tingginya angka kematian ibu,
angka kematian bayi, angka kematian balita, serta rendahnya umur harapan
hidup (Atmarita & Fallah 2004).
Adalah suatu hal yang sangat memprihatinkan ketika "bencana"
kelaparan dan gizi buruk terus mewarnai berita-berita di media massa sepanjang
tahun 2005. Belum reda dengan pemberitaan mengenai kasus gizi buruk di
berbagai daerah yang dimulai awal tahun 2005, menjelang akhir tahun 2005 lagi-
lagi masyarakat dikejutkan oleh munculnya pemberitaan mengenai kelaparan di
Yahukimo, sebuah kabupaten pemekaran di Propinsi Papua yang
mengakibatkan tak kurang dari 50 orang meninggal akibat kurang pangan
(Martianto & Soekirman 2006 ).
Gencarnya pemberitaan mengenai masalah kelaparan dan gizi buruk
sangat memprihatinkan mengingat masalah kurang pangan dan gizi buruk ini
bukan masalah baru, bisa terdeleksi secara dini dan dilakukan upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangannya. Kejadian serupa, khususnya untuk gizi
buruk, juga "baru" saja terjadi pada saat krisis ekonomi tahun 1998-2000 lalu.
Padahal pada saat itu media massa juga sangat gencar memberitakan masalah
gizi buruk ini. Dalam hal ini nampaknya kita telah menjadi bangsa yang cepat
"lupa" tentang permasalahan yang dihadapi sehingga menjadi tidak waspada
bahwa masalah gizi buruk ini bisa mencuat lagi ke permukaan kapan saja.
Soekirman (2005), menyebutkan bahwa merebaknya masalah gizi buruk
13
ini adalah karena kita semua tidak waspada. Ketidakwaspadaan ini disebabkan
instrumen-instrumen yang selama ini dikembangkan unluk mencegah dan
menanggulangi masalah pangan dan gizi cenderung tidak dimanfaatkan, bahkan
ditinggalkan. Selama ini di Indonesia telah dikembangkan suatu sistem isyarat
dini (early warning system) untuk mengantisipasi terjadinya masalah pangan dan
gizi yang disebut dengan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). SKPG
yang dikembangkan mencakup SKPG untuk mengantisipasi terjadinya
kerawanan pangan/ kelaparan dan SKPG untuk mengantisipasi masalah gizi
buruk yang implementasinya dilakukan melalui pemantauan berat badan anak
balita di Posyandu. Karena masalah gizi buruk yang merebak akhir-akhir ini
tidaklah "instan” atau terjadi begitu saja, melainkan merupakan suatu proses
yang cukup panjang sejak terjadinya eksposure (intake makanan yang rendah
dan infeksi penyakit hingga manifestasinya dalam bentuk marasmus,
kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor), maka masalah ini seharusnya bisa
dicegah bila sistem kewaspadaan tersebut berjalan dengan baik (Martianto
2006).
Kajian gizi kurang lainnya adalah beberapa studi yang melakukan
pengukuran berat badan dan tinggi badan (BB/TB). Pada umumnya, pengukuran
BB/TB menunjukkan keadaan gizi kurang yang lebih jelas dan sensitif
dibandingkan penilaian prevalensi berdasarkan berat badan dan umur. Seperti
terlihat pada Tabel 9, prevalensi gizi kurang menurut BB/TB (kurus/wasting <-2
SD) setelah tahun 1992 berkisar antara 10-16%. Menurut WHO, jika prevalensi
wasting diatas 10%, menunjukkan negara tersebut mempunyai masalah gizi
yang sangat serius dan berhubungan erat dengan angka kematian balita
(Atmarita dan Fallah 2004).
Tabel 9 Prevalensi kurus pada balita (BB/TB < -2 SD) 1990-2001
IBT, 90 Suvita, 92 SKIA, 95 SKRT, 95 Ev. JPS, 99 SKRT, 01
Total 9.7 8.6 13.4 11.6 13.7 15.8 Laki-laki 10.8 9.5 13.9 13.3 16.9 Perempuan 8.7 7.6 12.7 10.0 14.5 Kota 13.5 14.0 15.2 Desa 13.3 13.7 16.2 IBT = Survei Indonesia Bagian Timur, Suvita – Survei Nasional Vitamin A; SKIA = Survei Kesehatan Ibu dan Anak; Ev. JPS = Evaluasi Jaring Pengaman Sosial; SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga; Sumber: Atmarita & Fallah dalam WKNPG VIII (2004).
Hasil RISKESDAS 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi buruk dan
gizi kurang secara nasional sebesar 18.4%. Angka prevalensi gizi buruk pada
14
balita di Indonesia yang umumnya tinggi ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu
tingginya prevalensi gizi kurang, pola pengasuhan anak yang buruk, balita tidak
cukup mendapatkan makanan yang bergizi seimbang, serta pelayanan
kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan masyarakat.
Upaya Penanggulangan KEP
Menurut Soekirman (2000), upaya pencegahan dan penanggulangan
KEP tidak cukup dari aspek pangan atau makanannya saja misalnya dengan
meningkatkan produksi dan persediaan pangan, tetapi juga dengan mengkaji
tingkat ekonomi dan pendidikan keluarga untuk mengatasi masalah kurang gizi
yang terjadi. Pada umumnya, KEP pada orang dewasa lebih banyak
menceminkan kemiskinan. Pada anak-anak, selain ekonomi terdapat faktor lain
yang menyebabkan timbulnya KEP. Berbagai upaya lain di luar ekonomi harus
berjalan bersama-sama saling melengkapi (komplementer) dengan upaya
perbaikan ekonomi khususnya pengentasan kemiskinan. Upaya lain yang
dimaksud adalah upaya yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh
sasaran yaitu masyarakat beresiko tinggi menderita KEP (terutama anak balita).
Sedangkan upaya perbaikan ekonomi merupakan upaya tidak langsung karena
hasilnya tidak hanya dirasakan oleh kelompok sasaran, tetapi juga oleh
masyarakat umum.
Upaya yang langsung ke sasaran berupa pelayanan dasar gizi,
kesehatan, dan pendidikan. Upaya tidak langsung meliputi: (a) jaminan
ketahanan pangan (food security) sehingga setiap keluarga dan penduduk miskin
dapat dipenuhi hak asasinya yaitu hak untuk memperoleh makanan yang cukup,
(b) memperluas kesempatan kerja untuk meningkatkan daya beli, dan (c)
membangun dan mengembangkan industri kecil dan menengah untuk
memberikan kesempatan kepada penduduk miskin meningkatkan pendapatan
melalui produksi barang dan jasa. Disamping upaya langsung dan tidak
langsung, terdapat upaya lain untuk memantau status gizi masyarakat di tingkat
keluarga dan perorangan dari waktu ke waktu. Upaya pemantauan ini merupakan
salah satu program gizi yang dilakukan di banyak negara termasuk di Indonesia
dan disebut sebagai program kewaspadaan pangan dan gizi atau food and
nutritional survelance.
Menurut Arisman (2004), penanggulangan KEP harus dilakukan pada
taraf makro dan taraf mikro. Penanggulangan taraf makro meliputi perbaikan
ekonomi negara, peningkatan pendidikan umum, dan pendidikan gizi, penerapan
15
serta penyuluhan gizi, peningkatan produksi bahan makanan dan peningkatan
upaya-upaya pasca panen untuk menghindarkan penghamburan bahan
makanan (waste) dan peningkatan hygiene lingkungan maupun perorangan.
Selain itu, Keluarga Berencana (KB) juga merupakan faktor yang berpengaruh
signifikan terhadap prevalensi KEP dalam masyarakat. Penanggulangan pada
taraf makro ini merupakan upaya yang harus dilakukan secara serempak oleh
berbagai instansi yang memerlukan koordinasi. Penanggulangan dalam lingkup
mikro bberhubungan dengan kondisi keluarga dan para anggota keluarga.
Faktor-faktor penyebab KEP disini adalah kurangnya konsumsi, daya beli
keluarga yang rendah, infeksi cacing, pendidikan umum, dan pengetahuan gizi
yang rendah, dan terlalu banyak anak dalam keluarga. Faktor-faktor kelompok
mikro ini harus ditinjau satu per satu dan dicari alternatif perbaikan atau
pemecahannya.
Faktor yang Berpengaruh Pada KEP
Kerangka konsep UNICEF memperlihatkan faktor yang erat kaitannya
dengan perubahan status kesehatan dan gizi buruk. Mulai dari krisis sosial
ekonomi dan politik, kemiskinan, pendidikan, pola asuh, kesehatan lingkungan,
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan penyakit infeksi/non-infeksi.
Ditinjau dari sudut pandang nasional, studi mengenai masalah kurang gizi
memerlukan analisis sosial ekonomi yang luas dan bukan pendekatan secara
diagnostis dan pengobatan perseorangan. Keadaan sosial ekonomi berkaitan
dengan akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar terdiri atas pangan,
pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Akses pangan terdiri atas 3 (tiga) aspek
yaitu aspek fisik, sosial, dan ekonomi. Aspek ekonomi dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi yang dinilai dari PDB atau dari tingkat kemiskinan. Aspek
sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikan. Ketiga aspek tersebut tidak hanya
berpengaruh terhadap akses masyarakat terhadap pangan tetapi berpengaruh
pula terhadap kebutuhan dasar yang lainnya, termasuk kesehatan. Berikut
diuraikan akses pangan dilihat dari dimensi sosial dan ekonomi.
Tingkat Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah mendasar yang menjadi perhatian
semua negara. Pada kerangka UNICEF (1990), kemiskinan dianggap sebagai
akar penyebab terjadinya masalah gizi buruk. Hal ini menunjukkan bahwa
apabila jumlah penduduk miskin dalam suatu wilayah meningkat maka peluang
16
terjadinya kasus gizi buruk akan semakin tinggi. Untuk itu, kemiskinan
merupakan sebuah indikator untuk kemajuan suatu bangsa.
BPS mengukur kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Pendekatan tersebut
memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi
pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memilki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan
terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis
kemiskinan non makanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal
per kapita per hari yang diwakili oleh 52 jenis komoditi. Garis makanan non
makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan
dan kesehatan yang diwakili oleh 51 jenis komoditi untuk perkotaan dan 47 jenis
untuk pedesaan.
World Bank menggunakan garis kemiskinan absolut yang sama untuk
membandingkan angka kemiskinan antar negara. Hai ini bermanfaat dalam
menentukan arah penyaluran sumber daya finansial dan menganailisi kemajuan
dalam memberantas kemiskinan. Ukuran yang digunakan Bank Dunia ada dua,
yaitu pendapatan US$ 1 per kapita per hari dan pendapatan US$ 2 per kapita per
hari.
Selain menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach), BPS juga membedakan penduduk miskin menurut sifatnya yaitu
kemiskinan sementara (transient poverty) dan kemiskinan kronis (chronic
poverty). Penduduk yang termasuk dalam kemiskinan sementara adalah mereka
yang pengeluaran konsumsinya sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Pada
umumnya, penduduk miskin sementara (transient poor) disebabkan oleh
memburuknya keadaan perekonomian sehingga pendapatan orang tersebut tidak
dapat memenuhi kebutuhan minimum. Sedangkan penduduk miskin kronis
adalah mereka yang pengeluaran konsumsinya berada jauh di bawah garis
kemiskinan. Mereka pada umumnya tidak mempunyai akses yang cukup
terhadap sumber daya ekonomi (BPS 2008a).
Penduduk miskin dalam penelitian ini diartikan sebagai penduduk yang
memiliki nilai konsumsi di bawah garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan
dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk dapat memenuhi konsumsi
17
sebesar 2.100 kalori serta memenuhi kebutuhan pokok lainnya. Tingkat
kemiskinan adalah persentase penduduk miskin dihitung atas dasar jumlah
penduduk miskin di suatu wilayah dibagi dengan jumlah total penduduk wilayah
tersebut, dinyatakan dalam persen.
Masalah gizi berkaitan dengan masalah kemiskinan merupakan
“lingkaran setan” yang menjadi penghambat bagi pembangunan negara.
Situasinya dapat digambarkan seperti berikut. Kemiskinan menyebabkan
makanan tidak seimbang sehingga menjadi kurang gizi yang pada akhirnya akan
sakit. Keadaan tersebut menyebabkan pertumbuhan badan terhambat dan
proses belajar menjadi lambat yang mengakibatkan individu dewasa menjadi
kecil dan produktivitasnya rendah. Rendahnya produktivitas berdampak pada
kemampuan bekerja yang rendah sehingga akan menimbulkan pengangguran.
Pada akhirnya kondisi tersebut menyebabkan kemiskinan kembali, dan akan
seperti itu seterusnya (Suhardjo 1989b).
Bappenas (2007) menyebutkan bahwa dari berbagai faktor penyebab
masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal
balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang
kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi
memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan
melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya
produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung
menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat
pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga
karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.
Produk Domestik Bruto (PDB)
Menurut pengertian ekonomi, produk domestik bruto (PDB) atau Gross
Domestic Product (GDP) adalah nilai semua barang dan jasa yang diproduksi
oleh suatu negara pada periode tertentu. PDB merupakan salah satu metode
untuk menghitung pendapatan nasional. PDB berbeda dari produk nasional bruto
karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di
negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu
negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai
faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal
usul faktor produksi yang digunakan.
18
Menurut McEachern (2000), GDP artinya mengukur nilai pasar dari
barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sumber daya yang berada dalam
suatu negara selama jangka waktu tertentu, biasanya satu tahun. GDP juga
dapat digunakan untuk mempelajari perekonomian dari waktu ke waktu atau
untuk membandingkan beberapa perekonomian pada suatu saat.
Gross Domestic Product hanya mencakup barang dan jasa akhir, yaitu
barang dan jasa yang dijual kepada pengguna yang terakhir. Untuk barang dan
jasa yang dibeli untuk diproses lagi dan dijual lagi (Barang dan jasa intermediate)
tidak dimasukkan dalam GDP untuk menghindari masalah double counting atau
penghitungan ganda, yaitu menghitung suatu produk lebih dari satu kali.
Tipe-tipe GDP
Ada dua tipe GDP, yaitu :
1) GDP dengan harga berlaku atau GDP nominal, yaitu nilai barang dan jasa
yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang
berlaku pada tahun tersebut.
2) GDP dengan harga tetap atau GDP riil, yaitu nilai barang dan jasa yang
dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku
pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang
dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka GDP
merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan
harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka
besarnya GDP akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut
menunjukkan jumlah produksi (GDP riil). Mungkin kenaikan GDP hanya
disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau
merosot.
Indikator Pendidikan (BPS 2009)
Indikator pendidikan yang digunakan oleh BPS bersumber dari data hasil
Susenas Kor tahun 1994 - 2010. Susenas merupakan survei tahunan yang
dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan dengan cakupan
relatif luas. Indikator pendidikan tersebut yaitu, partisipasi pendidikan formal,
partisipasi pendidikan formal dan nonformal, pendidikan yang ditamatkan
penduduk 15 tahun ke atas, rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun
ke atas penduduk 15 tahun ke atas, partisipasi pra sekolah (sedang), partisipasi
pra sekolah (pernah dan sedang), dan buta huruf (BPS 2009).
19
Rata-rata Rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas
Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas. Rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk
15 tahun ke atas penduduk 15 tahun ke atas merupakan salah satu indikator
penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004). Oleh karena itu penelitian ini
menggunakan rata-rata rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas
penduduk 15 tahun ke atas sebagai indikator pendidikan yang dianggap
berpengaruh terhadap masalah gizi KEP.
Salah satu faktor penentu dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah
pendidikan. Pengetahuan dan pendidikan formal sangat penting dalam
menentukan status kesehatan, fertilitas, dan status gizi keluarga. Berg (1986)
menambahkan, tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi
kualitas dan kuantitas makan, karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi
diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih
baik.
Almarita & Fallah (2004) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan sangat
berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat
pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat
untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan
gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat
pendidikan, khususnya pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan.
Terdapat hubungan positif antara pendidikan dengan pengetahuan gizi,
kesehatan dan pengasuhan anak. Atmarita dan Fallah (2004) mengemukakan
bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku
hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau masyarakat untuk mengimplementasi pengetahuannya dalam perilaku dan
gaya hidup sehari-hari khususnya dalam hal kesehatan dan gizi.
Kesehatan Lingkungan
Depkes (2010b) mengelompokkan data kesehatan lingkungan meliputi
data kebutuhan air keperluan rumah tangga, sanitasi dan kesehatan perumahan.
Data keperluan air rumah tangga meliputi jenis sumber utama air yang digunakan
untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk minum dan memasak, jumlah
pemakaian air per orang per hari, jenis sumber air minum, jarak dan waktu
tempuh ke sumber air minum dari sumbernya, cara pengolahan air minum dalam
20
rumah tangga, cara penyimpanan air minum serta akses terhadap sumber air
minum.
Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sumber Air Minum
yang Terlindungi dan Berkelanjutan. Berdasarkan berbagai survei mengenai
kesehatan lingkungan seperti dalam SKRT, SUPAS, Susenas, dan Riskesdas,
air dikelompokkan menjadi air bersih, air minum bersih, dan air minum yang
terlindung dan berkelanjutan. Terdapat dua definisi air bersih menurut Susenas
dalam Statistik Kesejahteraan Rakyat, yaitu (1) Air bersih terdiri dari air pipa,
pompa, air kemasan, air dari sumur terlindung, air dari mata air terlindung, dan
air hujan dengan jarak ke tempat penampungan akhir tinja ≥ 10 m; (2) Air bersih
terdiri dari air kemasan, air isi ulang, leding, dan sumur bor/pompa, sumur
terlindung serta mata air terlindung dengan jarak ke tempat penampungan akhir
tinja ≥ 10 m (BPS 2009). Sedangkan Depkes (2008b) mendefinisikan air bersih
berasal dari sumber terlindung dan sarana sumber air yang digunakan improved
serta berada dalam radius 1 km dari rumah.
Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS
mengkategorikan sumber air minum yang digunakan oleh rumah tangga menjadi
dua kelompok besar, yaitu sumber air minum terlindung dan tidak terlindung.
Sumber air minum terlindung terdiri dari air kemasan, ledeng, pompa air, mata air
terlindung, sumur terlindung, dan air hujan. Sedangkan sumber air minum tak
terlindung terdiri dari sumur tak terlindung, mata air tak terlindung, air sungai dan
lainnya (Depkes 2008b).
Air minum bersih menurut Susenas dalam Indikator Kesejahteraan
Rakyat didefinisikan menjadi 3 (tiga), yaitu (1) Air minum bersih bersumber dari
sumur/mata air yang jaraknya ke tempat pembuangan limbah > 10 m; (2) Air
minum bersih bersumber dari pompa, sumur/mata air yang jaraknya ke tempat
pembuangan limbah > 10 m; (3) Air minum bersih bersumber dari leding,
kemasan, dan pompa, sumur/mata air terlindung yang jaraknya ke tempat
pembuangan limbah > 10 m (BPS 2008b).
Sedangkan untuk air minum yang terlindung dan berkelanjutan memiliki
dua definisi, yaitu menurut SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) dan
SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) serta menurut Susenas. SKRT 1980,
SUPAS 1985 dan SKRT 1986 mendefinisikan air minum yang terlindung dan
berkelanjutan sebagai air yang diperoleh dari sumber ledeng, pompa air, mata
air, dan air hujan (Depkes 1988).
21
Proporsi Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Sanitasi
yang Layak. Tingginya masalah gizi dan penyakit terkait gizi saat ini berkaitan
dengan faktor perilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu indikator PHBS yang
memiliki keterkaitan dengan masalah gizi adalah akses terhadap sanitasi layak
(Bappenas 2010b).
Pembuangan tinja (tempat buang air besar/BAB) dalam nomenklatur
MDGs meliputi jenis pemakaian/penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset
yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs
2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas
tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis „latrine‟
dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana
pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan JMP
WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu „improved‟,
„shared‟, „unimproved‟ dan „open defecation‟. Dikategorikan sebagai „improved‟
bila penggunaan sarana pembuangan kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan
tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik atau SPAL (Depkes 2010a).
Selain itu terdapat beberapa definisi sanitasi layak. Menurut SKRT 1980
dan SKRT 1986, sanitasi layak adalah bila penggunaan sarana BAB berupa
jamban (Depkes 1988). Sedangkan Susenas mendefinisikan sanitasi layak
menjadi 2, yaitu (1) penggunaan sarana BAB berupa septik tank dan lubang
pembuangan tinja; (2) Sanitasi dasar yang layak didefinisikan sebagai sarana
yang aman, higienis, dan nyaman yang dapat menjauhkan pengguna dan
lingkungan di sekitarnya dari kontak dengan kotoran manusia, meliputi kloset
dengan leher angsa yang terhubung dengan system pipa saluran atau tangki
septik, termasuk jamban cemplung (pit latrine) terlindung dengan segel slab dan
ventilasi serta toilet kompos (Bappenas 2009a).
Pelayanan Kesehatan Dasar
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat.
Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat,
diharapkan sebagian besar masalah kesehatan masyarakat dapat diatasi.
Berbagai pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh fasilitas pelayanan
kesehatan yaitu, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan keluarga
berencana, dan pelayanan imunisasi (Depkes 2008a).
22
Cakupan Imunisasi Lengkap. Cakupan imunisasi lengkap adalah
besarnya persentase balita yang mendapatkan imunisasi lengkap yaitu BCG 1
kali, polio 3 kali, DPT 3 kali, campak 1 kali dan hepatitis 3 kali. Imunisasi
merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah kematian pada
bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang wajib diberikan pada
bayi adalah imunisasi polio, BCG, DPT, dan campak. BCG seringkali digunakan
sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk tuberkulosis
yang parah selama satu tahun pertama hidupnya, dan juga digunakan sebagai
salah satu indikator akses ke pelayanan kesehatan (Depkes 2008a).
Selain BCG, vaksin lain yang wajib diberikan pada bayi adalah polio.
Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit polio. Tidak
seperti imunisasi BCG atau campak yang membutuhkan 1 dosis, imunisasi polio
membutuhkan 3 dosis. Maka untuk mengukur keberhasilan upaya kesehatan
yang dilakukan adalah polio3, yaitu ketika bayi telah mendapatkan imunisasi
polio sebanyak 3 dosis (3 kali) (Depkes 2008a).
Diantara penyakit pada anak-anak yang dapat dicegah dengan vaksin,
campak adalah penyebab utama kematian anak. Oleh karena itu pencegahan
campak merupakan faktor penting dalam mengurangi angka kematian balita. Dari
dua tujuan yang disepakati dalam pertemuan dunia tentang anak, salah satunya
adalah mempertahankan cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Di seluruh
negara ASEAN dan SEARO, imunisasi campak diberikan rata-rata umur 9-12
bulan dan merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara
imunisasi wajib lainnya (BCG, DPT, Polio, Hepatitis, dan Campak). Dengan
demikian diasumsikan bayi yang mendapat imunisasi campak telah
mendapatkan imunisasi lengkap.
Sumber Daya Kesehatan. Gambaran mengenai situasi sumber daya
kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan
pembiayaan kesehatan. Sarana kesehatan meliputi puskesmas, rumah sakit
(rumah sakit umum dan rumah sakit khusus), sarana Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM), sarana produksi dan distribusi farmasi dan
alat kesehatan, dan institusi tenaga kesehatan.
Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan
sumber daya yang ada, termasuk yang ada di masyarakat. Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di antaranya adalah Posyandu (Pos
23
Pelayanan Terpadu), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Toga (Tanaman Obat
Keluarga), POD (Pos Obat Desa), dan sebagainya.
Posyandu merupakan salah satu UKBM yang paling terkenal di
masyarakat. Posyandu menyelenggarakan minimal 5 program prioritas, yaitu
kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi, dan
penanggulangan diare. Untuk memantau perkembangannya, Posyandu
dikelompokkan ke dalam 4 (empat) strata, yaitu Posyandu Pratama, Posyandu
Madya, Posyandu Purnama, dan Posyandu Mandiri. Jumlah posyandu
merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk melihat keadaan sarana
pelayanan kesehatan sarana Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat
(UKBM) pada tiap tahun di Indonesia (Depkes 2008a).
Anggaran Perbaikan Gizi
Pembiayaan kesehatan di Indonesia terdiri atas pembiayaan kesehatan
oleh pemerintah dan pembiayaan kesehatan oleh masyarakat yaitu mengenai
pengeluaran rumah tangga untuk kesehatan dan jaminan pemeliharaan
kesehatan. Pembiayaan kesehatan oleh pemerintah dituangkan dalam Anggaran
Departemen Kesehatan Republik indonesia (Depkes 2008a).
Anggaran Departemen Kesehatan tiap tahun digunakan untuk berbagai
program kesehatan dan salah satu diantaranya dialokasikan pada program
perbaikan gizi. Program perbaikan gizi yang dilakukan yaitu Usaha Perbaikan
Gizi Keluarga, Pencegahan Gondok Endemik, Pencegahan Defisiensi Vitamin A,
Pencegahan dan Penanggulangan AGB, serta peningkatan kemampuan tenaga
gizi, pengadaan prasana, sarana pengendalian dan penilaian (Bappenas 1983).
Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen
kesehatan. Persentase anggaran perbaikan gizi terhadap anggaran departemen
kesehatan adalah banyaknya jumlah anggaran perbaikan gizi tiap tahun dibagi
dengan jumlah total anggaran departemen kesehatan tiap tahun dikalikan
dengan 100 persen. Adapun rumus yang digunakan yaitu :
24
Kebijakan Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi
Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten
dalam mencapai suatu tujuan. Kebijakan setiap instansi pemerintah bervariasi
menurut substansi permasalahan, tujuan kelompok sasaran, dan lingkup
permasalahan (Wahab 2004).
Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ketahanan pangan
adalah masalah eksternal dan internal. Permasalahan eksternal berkaitan
dengan upaya pemantapan ketahanan pangan yang dihadapkan pada
keterbukaan ekonomi dan perdagangan global. Pada tataran internal,
pemantapan ketahanan pangan menghadapi masalah yang terkait dengan masih
banyaknya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan kronis dan
transien. Kerawanan pangan ini berdampak langsung pada rendahnya status
gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia masyarakat, yang berkorelasi positif
dengan kemiskinan.
Konferensi Dewan Ketahanan Pangan sebagai lembaga koordinatif telah
merumuskan tujuh fokus masalah strategis menyangkut ketahanan pangan
nasional. Pertama, ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju
konsumsi akibat masih tingginya laju pertambahan penduduk. Kedua, lambatnya
penganekaragaman pangan menuju gizi seimbang. Ketiga, masalah keamanan
pangan. Keempat, kerawanan pangan dan gizi buruk masalah ini sangat
berkaitan erat dengan kemiskinan. Kelima, masalah alih fungsi lahan pertanian
dan konservasi lahan dan air. Keenam, pengembangan infrastruktur pedesaan.
Ketujuh, belum berkembangnya kelembagaan ketahanan pangan baik struktural
maupun kelembagaan ketahanan pangan masyarakat (Dewan Ketahanan
Pangan 2004).
Menurut Nainggolan (2008), untuk mengatasi berbagai masalah
ketahanan pangan sangat diperlukan kebijakan dan langkah operasional terpadu
lintas sektoral dan bahkan dengan menyertakan seluruh komponen masyarakat
guna mengatasi rawan pangan, gizi buruk, dan kemiskinan. Instansi terkait
haruslah secara sadar mengarahkan kebijakan maupun program kegiatan pada
sistem ketahanan pangan yang handal
Pada sisi ketersediaan, kebijakan ketahanan pangan diarahkan untuk: a)
meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya alam dan air; b)
menjamin kelangsungan produksi pangan utamanya dari produksi dalam negeri;
25
c) mengembangkan kemampuan pengelolaan cadangan pangan pemerintah dan
masyarakat; d) meningkatkan kapasitas produksi nasional dengan menetapkan
lahan abadi untuk produksi pangan. Pada aspek distribusi, kebijakan ketahanan
pangan diarahkan untuk; a) mengembangkan sarana dan prasarana distribusi
pangan untuk meningkatkan efisiensi perdagangan, termasuk disalamnya
mengurangi kerusakan bahan pangan dan kerugian akibat distribusi yang tidak
efisien; b) mengurangi atau menghilangkan peraturan daerah yang mengambat
distribusi pangan antar daerah; c) mengembangkan kelembagaan pengelolaan
dan pemasaran di pedesaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
distribusi pangan serta mendorong peningkatan nilai tambah. Pada aspek
konsumsi, kebijakan ketahan pangan diarahkan untuk: a) menjamin pemenuhan
pangan bagi setiap rumah tangga dalam jumlah dan mutu yang memadai aman
dikonsumsi dan bergizi seimbang; b) mendorong dan mengembangkan
membangun serta memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pemenuhan
pangan sebagai implementasi pemenuhan hak atas pangan; c) mengembangkan
jaringan antar lembaga masyarakat untuk pemenuhan hak atas pangan; d)
meningkatkan efisiensi dan efektivitas intervensi bantuan pangan/pangan
bersubsidi kepada golongan masyarakat tertentu (golongan miskin, ibu hamil,
balita gizi buruk dan sebagainya) (Dewan Ketahanan Pangan 2006).