Masalah Gizi Kurang Dan Gizi Lebih Di Indonesia Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat
-
Upload
mimi-reredoo -
Category
Documents
-
view
365 -
download
6
Transcript of Masalah Gizi Kurang Dan Gizi Lebih Di Indonesia Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat
Masalah gizi kurang dan gizi lebih di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penyakit
infeksi seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare, dan campak masih merupakan 10 penyakit
utama dan masih menjadi penyebab utama kematian. Tingginya angka kesakitan dan kematian Ibu dan
Anak Balita di Indonesia sangat berkaitan dengan buruknya status gizi. Namun di sisi lain masalah
kesehatan
masyarakat utama justru dipicu dengan adanya kelebihan gizi; meledaknya kejadian obesitas di beberapa
daerah di Indonesia akan mendatangkan masalah baru yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi serius
bagi pembangunan bangsa Indonesia khususnya di bidang kesehatan. Masih tingginya prevalensi kurang
gizi di beberapa daerah dan meningkatnya prevalensi obesitas menjadi beban masalah gizi ganda di
Indonesia. Kedua masalah gizi ini perlu ditangani dengan cepat untuk mencegah penyebarluasan masalah
ini kelak di masyarakat melalui identifikasi faktor-faktor penyebab dan akibat yang muncul oleh kelebihan
dan kekurangan gizi pada kelompok rawan gizi seperti ibu hamil, bayi, balita, anak sekolah, remaja puteri,
dan lansia.
Pengertian Surveilens
Menurut WHO, Surveilans adalah kegiatan pengamatan berkelanjutan melalui proses pengumpulan,
pengolahan, analisis dan interpretasi serta penyebarluasan informasi kepada unit yang membutuhkan untuk
tindakan.Surveilens merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit dan
masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang memperbesar risiko terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit serta masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara
efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi
kepada penyelenggara program kesehatan.
Surveilens adalah kegiatan perhatian yang terus menerus pada distribusi dan kecenderungan penyakit
melalui sistematika pengumpulan data, konsolidasi, dan evaluasi laporan morbiditas serta mortalitas juga
data lain yang sesuai, kemudian disebarkan kepada mereka yang ingin tahu (a) Pengumpulan data yang
sistematik, (b) Konsolidasi dan evaluasi data, (c) Diseminasi awal pada mereka yg butuh informasi,
terutama mereka yang berposisi pengambil keputusan. (Langmuir, 1963).
Surveilens berfungsi sebagai otak dan sistem saraf untuk program pencegahan dan pemberantasan
penyakit. (D.A. Henderson, 1976). Surveilens Gizi adalah mengamati keadaan gizi secara terus -menerus
untuk pengambilan keputusan bagi upaya peningkatan dan pencegahan memburuknya keadaan gizi
masyarakat (Morley, 1976; Foege,1976, Aranda Pastor 1983, Mason, 1984). Definisi lain surveilens gizi
ialah pengamatan yang rutin dan sistematis terhadap masalah gizi serta faktor risiko yang
menyebabkannya, agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses
analisis informasi dari kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data serta distribusi
informasi.
Tujuan dari surveilans adalah mendapatkan informasi tentang masalah kesehatan meliputi gambaran
masalah kesehatan menurut waktu, tempat dan orang, diketahuinya determinan, faktor risiko dan penyebab
langsung terjadinya masalah kesehatan tersebut.
Berdasarkan SK Menkes no 1116/Menkes/SK/VIII/200, surveillens epidemiologi adalah pengamatan terus
menerus dan dilaksanakan secara sistematis terhadap penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor
yang mempengaruhinya agar dapat dilakukan tindakan perbaikan atau penelitian melalui kegiatan
pengumpulan, pengolahan, dan analisis/ interpretasi data, diseminasi informasi dan komunikasi ke berbagai
pihak terkait. (www.surveilans.org)
Ruang lingkup surveilans epidemiologi ada 5, yaitu: Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular,
Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Kesehatan Lingkungan dan
Perilaku, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra.
Surveilans gizi termasuk dalam ruang lingkup Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan.
Surveilans gizi adalah mengamati keadaan gizi secara terus menerus untuk pengambilan keputusan bagi
upaya peningkatan dan pencegahan memburuknya keadaan gizi masyarakat (Morley, 1976; Foege , 1976,
Aranda Pastor 1983, Mason, 1984). Surveilan gizi juga dapat berarti perlu pengumpulan data secara teratur,
baik yang dilakukan secara khusus maupun dari data yang sudah ada atau keduanya (Lwanga , 1983).
Berikut ini adalah indikataor surveilans gizi pada pada masalah gangguan pertumbuhan dan KEP pada
Balita. (www.gizi.net)
1. Masalah Gangguan Pertumbuhan Balita
Definisi : Gangguan pertumbuhan: bila BGM atau tiga kali penimbangan bulanan
tidak naik berat badan (BB)
Kegunaan:
A. Screening individu balita untuk rujukan/perawatan/treatmen
a). Indikator : Pertumbuhan berat badan (SKDN)
b). Cut-off : 1. BGM (BB/U < -3SD)
2. 3T (3 kali penimbangan tidak naik BB)
c). Sumber data : Posyandu (Penimbangan bulanan)
d). Frekuensi : Sekali sebulan
e). Tujuan : Screening balita yang memerlukan tindakan rujukan atau
intervensi khusus (pengobatan dan atau PMT pemulihan)
f). Pengguna : Puskesmas
B. Gambaran keadaan pertumbuhan balita tingkat kecamatan
a). Indikator : 1. % N/(D-O-B) dengan kondisi (D/S >= 80%). Bila D/S belum
>=80% upayakan untuk ditingkatkan.
2. % BGM/D
b). Trigger level : 1. % N/(D-O-B) < 60% 2. % BGM > 1%
c). Sumber data : Puskesmas (Kompilasi laporan SKDN dari Puskesmas-2
yang ada di wilayah kecamatan bersangkutan)
d). Frekuensi : Sekali sebulan
e). Tujuan : Evaluasi keadaaan pertumbuhan balita untuk tindakan preventif
terhadap memburuknya keadaan gizi
f). Pengguna : Kecamatan
C. Gambaran keadaan pertumbuhan balita antar kecamatan dalam kabupaten
a). Indikator : 1. % N/(D-O-B) dengan kondisi (D/S >= 80%). Bila D/S belum
>=80% upayakan untuk ditingkatkan.
2. % BGM/D
b). Trigger level : 1. % N/(D-O-B) < 60%, dan 2. % BGM > 1%
c). Sumber data : Kecamatan (Kompilasi laporan SKDN dari Kecamatan-2
yang ada di wilayah kabupaten bersangkutan)
d). Frekuensi : Sekali sebulan
e). Tujuan : Evaluasi keadaaan pertumbuhan balita untuk tindakan preventif
terhadap memburuknya keadaan gizi
f). Pengguna : Kabupaten --- dan --- propinsi
2. Masalah KEP Balita Definisi: Gizi kurang bila BB/U < -2 SD dan Gizi buruk bila BB/U < -3 SD
Kegunaan:
A. Screening individu balita untuk rujukan/perawatan/treatment
a). Indikator : BB/U
b). Cut-off : BB/U <-2 SD (gizi kurang) dan BB/U < -3 SD
(gizi buruk), kwasiorkor dan marasmus
c). Sumber data : Puskesmas (Pelacakan gizi buruk, kunjungan pasien, dan
opsional kegiatan bulan penimbangan)
d). Frekuensi : Setiap ditemukan kasus (setiap saat)
e). Tujuan : Rujukan atau memberikan treatment khusus bagi
penderita sesuai dengan “grade” kurang gizinya.
f). Pengguna : Puskesmas
B. Memberikan gambaran perkembangan keadaan gizi balita di kecamatan-2 dalam kabupaten
a). Indikator : Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
b). Trigger level : 1. Prevalensi gizi kurang > 20%, atau
2. Prevalensi gizi buruk > 1%
c). Sumber data : Pemantauan Status Gizi (PSG)
d). Frekuensi : Sekali setahun
e). Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi balita untuk
perencanaan program dan perumusan kebijakan
g). Pengguna : Kabupaten, Propinsi --- dan --- Pusat
C. Memberikan gambaran perkembangan keadaan gizi balita tingkat Propinsi dan
nasional
a). Indikator : Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
b). Trigger level : 1. Prevalensi gizi kurang > 20%, atau
2. Prevalensi gizi buruk > 1%
c). Sumber data : BPS (Susenas)
d). Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
e). Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi balita untuk
perencanaan program dan perumusan kebijakan
di tingkat nasional
f). Pengguna : Pusat
Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak dengan indeks antropometri berat badan
terhadap tinggi badan (BB/TB) < - 2 SD atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor.
Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Anak balita yang sehat
atau kurang gizi secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan menurut
umur atau berat badan menurut tinggi, apabila jauh dibawah standar disebut gizi buruk. Bila gizi buruk
disertai dengan tanda-tanda klinis seperti : anak sangat kurus, wajah seperti orang tua, perut cekung, kulit
keriput disebut marasmus, dan bila ada bengkak seluruh tubuh terutama pada kaki, wajah membulat dan
sembab, rambut tipis, kemerahan, mudah dicabut, otot mengecil disebut kwashiorkor.
1. Besar situasi masalah penyakit dan gizi menurut daerah dan waktu
Berdasarkan data Susenas, prevalensi gizi buruk dan kurang pada balita telah berhasil diturunkan dari
33,57% pada tahun 1992 menjadi 24,66% pada tahun 2000. Namun terdapat kecenderungan peningkatan
kembali pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu jika melihat pertumbuhan dan jumlah penduduk dan
proporsi balita dari tahun ke tahun, sebenarnya jumlah balita penderita gizi buruk dan kurang cenderung
meningkat.
2. Alasan melaksanakan surveilens
Untuk menanggulangi terjadinya KLB atau kasus gizi terutama gizi buruk, maka perlu diupayakan suatu
sistem kewaspadaan terhadap ancaman terjadinya gizi buruk tersebut. Maka melalui kegiatan surveilens
dan informasinya diharapkan tercapainya peningkatan sikap tanggap kesiapsiagaan, dilakukannya upaya
pencegahan dan tindakan penanggulangan kejadian luar biasa yang cepat dan tepat. Upaya perbaikan
gizi dengan ruang lingkup nasional dimulai pada tahun 1980. Diawali dengan berbagai survei dasar,
disusun strategi dan kebijakan yang pada umumnya melibatkan berbagai sektor terkait. Keberhasilan
program perbaikan gizi dinilai berdasarkan laporan rutin dan juga survei berkala melalui survei khusus
maupun diintegrasikan pada survei nasional seperti Susenas, Survei Kesehatan Rumah Tangga dan lain-
lain.
Status gizi anak balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan antara berat badan
menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar) yang telah ditetapkan. Apabila
berat badan menurut umur sesuai dengan standar, anak disebut gizi baik. Kalau sedikit di bawah standar
disebut gizi kurang. Apabila jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk. Namun penghitungan berat badan
menurut panjang badan lebih memberi arti klinis. Pengertian gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat
berat pada anak dengan indeks antropometri berat badan terhadap tinggi badan (BB / TB) < - 3 SD atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus dan kwashiorkor.
Pada fase lanjut (gizi buruk) akan rentan terhadap infeksi, terjadi pengurusan otot, pembengkakan hati,
dan berbagai gangguan yang lain seperti misalnya peradangan kulit, infeksi, kelainan organ dan fungsinya
(akibat atrophy / pengecilan organ tersebut). Bila gizi buruk disertai dengan tanda-tanda klinis seperti :
wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut marasmus, dan bila ada
bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut kwashiorkor.
Malnutrisi adalah keadaan gangguan gizi yang disebabkan oleh kurangnya asupaN makanan dalam
waktu yang lama. Malnutrisi merupakan masalah utama kesehatan di dunia. Malnutrisi berkaitan dengan
kemiskinan, berat badan lahir rendah, gagal tumbuh sehingga kurangnya daya tahan tubuh yang dapat
menimbulkan penyakit infeksi (Kanarek, Robin B, 1991)
Penyebab
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar penyebab anak
kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang atau anak sering sakit / terkena infeksi.
1. Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
a. Tidak tersedianya makanan secara adekuat.
Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Kemiskinan merupakan
penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi
anak yang kekurangan gizi.
b. Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang.
Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi
terhadap status gizi bayi. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena
ketidaktahuan.
c. Pola makan yang salah.
Suatu studi "positive deviance" mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa
miskin hanya sebagian kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi
ini diketahui pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya
sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat
posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan
perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi buruk ternyata
diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang
meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat
menyebabkan anak menderita gizi buruk.
Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan
air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu ( misalnya tidak
memberikan anak anak daging, telur, santan dll) , hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat
asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.
2. Sering sakit (frequent infection)
Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya
saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan meyebabkan kurang gizi dan kondisi
malnutrisi sendiri akan memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan sehingga memudahkan
terjadinya infeksi
A. Klasifikasi
Gizi buruk dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Marasmus
Tanda-tanda :
Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
Wajah seperti orang tua
Cengeng, rewel
Perut cekung
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
Sering diC. INDIKATOR PSG (PEMANTAUAN STATUS GIZI) DAN PKG (PEMANTAUAN
KONSUMSI GIZI)
BAYI DENGAN BERAT LAHIR RENDAH
Definisi : berat badan lahir rendah adalah berat badan bayi lahir hidup di bawah 2500
gram yang ditimbang pada saat lahir.
Kegunaan:
a. Untuk screening (penapisan) individu
- Indicator : berat badan lahir (BBL)
- Cut-off : BBL < 2500 gr
- Sumber data : bidan desa atau dukun terlatih (laporan kohort bayi)
- Frekuensi : setiap ada bayi lahir
- Tujuan : penapisan bayi untuk diberi perawatan
- Pengguna : Puskesmas
b. Untuk gambaran perkembangann keadaan gizi dan kesehatan ibu dan anak tingkat kecamatan
- Indikator : prevalensi bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari jumlah bayi lahir hidup
- Trigger level : prevalensi BBLR > 15%
- Sumber data : Puskesmas
( kompilasi laporan kohort bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari puskesmas –puskesmas di kecamatan
yang bersangkutan)
- Frekuensi : sekali setahun (dihitung pada tengah tahun)
- Tujuan : evaluasi perkembangan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak
- Pengguna : kecamatan
c. Untuk gambaran perkembangan keadaan gizi dan kesehatan ibu dan anak antar kecamatan dalam
kabupaten
- Indikator : prevalensi bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari jumlah bayi lahir hidup
- Trigger level : prevalensi BBLR > 15%
- Sumber data : kecamatan (kompilasi laporan kohort bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari kecamatan-kecamatan di
kabupaten bersangkutan)
- Frekuensi : sekali setahun (dihitung pada tengah tahun)
- Tujuan : evaluasi perkembangan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak
- Pengguna : kabupaten dan propinsi
d. Untuk gambaran perkembangan keadaan gizi dan kesehatan ibu dan anak tingkat nasional
- Indikator : prevalensi BBLR dalam periode tertentu
- Trigger level : prevalensi BBLR > 15%
- Sumber data : Tim Surkesnas (Badan Litbangkes + BPS)
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : evaluasi perkembangan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak secara nasional
- Pengguna : primer/pusat
1. MASALAH GANGGUAN PERTUMBUHAN BALITA
Definisi : gangguan pertumbuhan bila BGM atau tiga kali penimbangan bulanan tidak naik berat badan
Kegunaan :
a. Screening individu balitan untuk rujukan/perawatan/treatmen
- Indikator : pertumbuhan berat badan (SKDN)
- Cut-off : 1. BGM (BB/U < -3SD)
2. 3T (3 kali penimbangan tidak naik BB)
- Sumber data : Posyandu (penimbangan bulanan)
- Frekuensi : sekali setahun
- Tujuan : Sreening balita yang memerlukan tindakan rujukan atau intervensi khusus (pengobatan dan atau PMT
pemulihan)
- Pengguna : Puskesmas
b. Gambaran keadaan pertumbuhan balita tingkat kecamatan
Indikator : 1. %N/(D-O-B) dengan kondisi (D?S > = 80%). Bila D/S belum >= 80% upayakan untuk ditingkatkan
2. % BGM/D
- Trigger level : 1. % N/(D-O-B) < 60%
2. %BGM>1%
- Sumber data : Puskesmas (kompilasi laporan SKDN dari Puskesmas yang ada di wilayah kecamatan yang bersangkutan)
- Frekuensi : sekali sebulan
- Tujuan : evaluasi keadaan pertumbuhan balita untuk tindakan preventif terhadap memburuknya keadaan gizi
- Pengguna : kecamatan
c. Gambaran keadaan pertumbuhan balita antar kecamatan dalam kabupaten
- Indikator : 1. % N/(D-O-B) dengan kondisi (D/S >=80%). Bila
D/S belum >=80% upayakan untuk ditingkatkan
2. % BGM/D
- Trigger level : 1. %N/(D-O-B)<60%
2. %BGM>1%
- Sumber data : kecamatan (kompilasi laporan SKDN dari kecamatan
yang ada di wilayah kabupaten tersebut)
- Frekuensi : sekali sebulan
- Tujuan : evaluasi keadaan pertumbuhan balita untuk tindakan
Preventif terhadap memburuknya keadaan gizi
- Pengguna : kabupaten dan propinsi
2. MASALAH KEP BALITA
Definisi : Gizi kurang bila BB/U<-2 SD dan Gizi buruk bila BB/U<-3 SD.
Kegunaan :
a. Screening individu balita untuk rujukan/perawatan/treatment
- Indikator : BB/U
- Cut-off : BB/U<-2 SD (gizi kurang) dan BB/U
- Sumber data : Puskesmas (Pelacakan gizi buruk, kunjungan pasien dan opsional kegiatan bulan penimbangan )
- Frekuensi : setiap ditemukan kasus (setiap saat)
- Tujuan : Rujukan atau memberika treatment khusus bagi penderita sesuai dengan “grade” kurang gizinya.
- Pengguna : Puskesmas
b. Memberikan gambaran perkembangan keadaan gizi balita di kecamatan2 dalam kabupaten
- Indikator : Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
- Trigger level : 1. Prevalensi gizi kurang >20%, atau
2. Prevalensi gizi buruk >1%
- Sumber data : Pemantauan Status Gizi (PSG)
- Frekuensi : Sekali setahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi balita untuk
perencanaan program dan pengambilan kebijakan
- Pengguna : Kabupaten, Propinsi dan Pusat
c. Memberikan gambaran perkembangan keadaan gizi balita tingkat Propinsi dan Nasional
- Indikator : Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
- Trigger level : 1. Prevalensi gizi kurang >20%, atau
2. Prevalensi gizi buruk >1%
- Sumber data : Surkesnas
- Frekuensi : Sekali dsalam tiga tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi balita untuk perencanaan program dan perumusan kebijakan di
tingkat Nasional
- Pengguna : Pusat
4. MASALAH GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK USIA MASUK SEKOLAH
Definisi: Gangguan pertumbuhan anak usia masuk sekolah adalah pencapaian tinggi
badan anak baru masuk sekolah (TBABS)
Kegunaan : a). Refleksi keadaan gizi masyarakat
b). Gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat
c). Gambaran efektivitas upaya perbaikan gizi masa balita
- Indikato : Prevalensi pendek (TB/U<-2 SD
- Trigger level : Prevalensi pendek >20%
- Sumber data : Pemantauan TBABS-DepKes Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 5 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi masyarakat, keadaan social ekonomi masyarakat dan efektivitas
upaya perbaikan keadaan gizi masa balita.
- Pengguna : Kabupaten, Propinsi dan Pusat.
5. MASALAH KEK DAN RESIKO KEK WANITA USIA SUBUR (WUS) USIA 15- 45 TAHUN DAN
IBU HAMIL
Definisi : 1. KEK ibu hamil : LILA<23,5 cm
2. KEK WUS : IMT< 18,5
3. Resiko KEK WUS : LILA<23,5 cm
Kegunaan :
a. Screening ibu hamil yang memiliki resiko BBLR untuk diberikan treatment (penyuluhan)
- Indikator : Lingkar lengan atas
- Cut-off : LILA < 23,5 cm
- Sumber data : Kohort ibu hamil- Bidan Desa- Puskesmas
- Frekuensi : Setiap ditemukan ibu hamil (setiap saat)
- Tujuan : Screening ibu hamil KEK untuk diberikan penyuluhan
dan intervensi (PMT ibu hamil)
- Pengguna : Puskesmas
b. Memberikan gambaran perkembangan status gizi WUS.
- Indikator : 1. KEK : Indeks massa tubuh (IMT)
2. Resiko KEK : Lingkar lengan atas (LILA)
- Cut-off : 1. KEK : IMT<18,5
2. Resiko KEK : LILA<23,5 cm
- Sumber data : Survei cepat dan surkesnas (KEK WUS) dan Susenas
(Resiko KEK)
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi kelompok wanita usia
Subur (WUS)
- Pengguna : Resiko KEK : Propinsi dan Pusat
KEK WUS : Pusat
6. MASALAH GAKY (GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM)
Definisi GAKY : Defisiensi yodium
Kegunaan : Memberikan gambaran besar dan sebaran masalah GAKY
- Indikator : 1. Prevalensi GAKY (Total Goiter Rate = TGR) anak
sekolah)
2. Eksresi Yodium Urine (EYU) pada anak sekolah
- Trigger level : 1. TGR>5%
2. EYU 100 mcg/dl>50%
3. Konsumsi garam beryodium (>=30ppm)<80% rumah tangga
- Sumber data : 1. TGR dann EYU : Survei nasional pemetaan
2.Konsumsi garam beryodium : Susenas dan monitoring garam beryodium oleh Kabupaten
- Frekuensi : TGR dan EYU : Sekali 5 tahun
Konsumsi garam beryodium : Sekali 3 tahun (Susenas) dan
sekali setahun (monitoring
oleh kabupaten)
- Tujuan : Memberikan gambaran tentang masalah GAKY untuk manajemen program perbaikan GAKY (distribusi
kapsul dan garam beryodium).
- Pengguna : Kabupaten-Propinsi-Pusat
7. MASALAH KVA (KURANG VITAMIN A)
Definisi : Defisiensi vitamin A
Kegunaan :
a. Screening kasus Xerophtamia untuk perawatan
- Indikator : kasus Xerophtalmia
- Trigger level : Setiap ada kasus
- Sumber data : Laporan kasus Puskesmas dan RS setempat
- Frekuensi : Setiap ada kasus (setiap saat)
-. Tujuan : Tindakan cepat penanganan masalah Xerophtalmia
- Pengguna : Kabupaten- Propinsi- Pusat
b. Untuk memberikan gambaran perkembangan masalah KVA
- Indikator : Prevalensi XiB dan Prev.Serum Retinol <20 mcg/dl
- Trigger level: 1. Prev X1B>0,5%
2. Prev. Serum retinol (<20mcg/dl)>0,5%
- Sumber data : Survei Vitamin A (SUVITA) – DepKes Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 10 tahun
- Pengguna : Propinsi dan Pusat
8. MASALAH KONSUMSI GIZI
Definisi : Masalah defisiensi Intake Makro dan Mikro nutrient di masyarakat.
Kegunaan : Memberikan gambaran perkembangan konsumsi makro dan mikronutrien
serta pola konsumsi masyarakat.
- Indikator : Prevalensi deficit energi dan protein serta zat gizi mikro (Vit.A, zat
Besi, Calsium dan Vitamin B1)
- Trigger level: 1. Prev. rumah tangga dengan konsumsi energi (<70%RDA) > 30%
2. Prev.rumah tangga dengan konsumsi protein (<70%RDA) > 30%
3. Lainnya dengan melihat besaran dan perkembangan dari waktu ke
waktu
- Sumber data : Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) Depkes Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan masalah dan untuk analisa factor-faktor
yang berkaitan, dan juga memberikan masukan bagi instansi yang
berhubungan dengan ketersediaan pangan.
- Pengguna : Kabupaten- Propinsi- Pusat
9. MASALAH ANEMIA GIZI
Definisi : Defisiensi zat besi yang diindikasikan dengan kadar Hb darah < 11mg%
(wanita hamil), atau <12mg pada wanita tidak hamil
Kegunaan : Memberikan gambaran perkembangan masalah anemia dan besarannya
- Indikator : 1). Prevalensi anemia pada bayi
2). Prevalensi anemia balita
3). Prevalensi anemia pada ibu hamil/ibu nifas
4). Prevalensi anemia pada WUS
5). Prevalensi anemia pada lansia
6). Prevalensi anemia pada Nakerwan
- Trigger level: Belum ada ketentuan
- Sumber data : Badan Litbang Kes (+BPS), Surkesnas
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan masalah anemia gizi untuk perencanaan program,
perumusan kebijakan penanganannya
- Pengguna: Pusat
10. GIZI DARURAT
Definisi: Keadaan darurat yang dimaksud adalah situasi yang terjadi akibat konflik politik, bencana alam atau
konflik lainnya yang mengakibatkan banyak penduduk keluar dari daerah tempat tinggalnya dan tinggal
pada lokasi baru (tempat pengungsian)
Kegunaan : Memberikan masukan dalam kaitannya dengan penanganan pangan dan gizi dalam keadaan darurat.
- Indikator: Prevalensi wasting (BB/TB)
- Trigger level: Prevalensi BB/TB (<-2SD)>15%, atau antara 10-15% dengan angka kematian kasar 1/10.000, atau angka
kematian gizi buruk>1%
- Sumber data : Survei cepat dan monitoring keadaan gizi di lokasi darurat oleh propinsi ddan pusat (international agency)
-. Frekuensi : 1. Survei cepat, sekali saat terjadi pengungsian
2. Monitoring, tergantung kebutuhan (sekali dalam 3 bulan atau
sekali dalam 6 bulan)
- Tujuan : Manajemen penanganan masalah gizi pada situasi darurat
- Pengguna : Kabupaten-Propinsi- Pusat International Agency-LSM
11. MASALAH GIZI LEBIH ORANG DEWASA
Definisi : gizi lebih adalah mulai dari overweight sampai dengan obese
Kegunaan : Memberikan gambaran kecenderungan masalah gizi lebih terutama di daerah perkotaan.
- Indikator : Prevalensi IMT>25
- Trigger level : Prevalensi IMT (IMT>25)>10%
- Sumber data : Survei cepat IMT Depkes dan Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Manajemen penanganan masalah gizi lebih pada orang
dewasa
- Pengguna : Propinsi- Pusat
12. MASALAH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI
Definisi : 1. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 4 bulan.
2. MP-ASI adalah makanan tambahan dalam bentuk lunak maupun bentuk makanan dewasa selain ASI
sampai anak usia 24 bulan.
Kegunaan :
a. Memberikan gambaran tentang perkembangan praktek pemberian ASI eksklusif
- Indikator.: Proporsi ibu memiliki bayi usia 4 bulan yang hanya memberikan ASI (ASI Eksklusif)
- Trigger level : Proporsi ASI Eksklusif tidak menurun
- Sumber data : Badan Litbangkes (+BPS)--Surkesnas
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan: Manajemen penyuluhan dalam rangka peningkatan praktek pemberian ASI Eksklusif
- Pengguna : Propinsi- Pusat
b. Penyuluhan individu ibu yang memiliki anak usia 4 bulan ke bawah agar memberikan ASI Eksklusif
- Indikator; Ibu yang memiliki anak usia 4 bulan ke bawah
- Trigger level : Tidak memberikan ASI Eksklusif
- Sumber data : Kohort bayi- Bidan Desa/Kader Posyandu
- Frekuensi : Setiap ada ibu yang memiliki bayi 4 bulan ke bawah
- Tujuan : Tindakan penyuluhan agar memberikan ASI Eksklusif
- Pengguna : Puskesmas
RANGKUMAN
Indikator merupakan suatu alat yang dipaki untuk mengamati dan mendapatkan informasi. Nilai suatu
indikator harus seimbang dengan pertimbangan praktis tertentu, yaitu :
a. mudahnya pengukuran
b. kecepatan dan frekuensi tersedianya data
c. biaya
- Jenis-jenis indikator dalam surveilans gizi :
a. indikator SKPG
b. indikator SIDI
c. indikator PSG dan PKG
sertai diare kronik atau konstipasi serta penyakit kronik
Tekanan darah, detak jantung dan pernapasan berkurang
2. Kwashiorkor
Tanda-tanda :
Edema umumnya di seluruh tubuh terutama pada kaki (dorsum pedis)
Wajah membulat dan sembab
Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk, anak berbaring
terus menerus
Cengeng, rewel kadang apatis
Anak sering menolak segala jenis makanan
Pembesaran hati
Sering disertai infeksi, anemia dan diare
Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut
Gangguan kulit berupa bercak merah dan meluas dan berubah menjadi hitam dan terkelupas
(Crazy Pavement Dermatosis)
Pandangan mata anak tampak sayu
3. Marasmus Kwashiorkor
Tanda-tanda :
merupakan gabungan tanda-tanda dari marasmus dan kwashiorkor
B. Cara diagnosa
Status gizi dapat ditentukan dengan empat cara yaitu: antropometri, klinis, riwayat gizi dan biokimia.
Status gizi (gizi lebih, baik, kurang atau buruk) dapat diketahui dengan membandingkan indeks BB/U,
TB/U dan BB/TB dengan baku antropometri yang digunakan di Indonesia yaitu baku WHO-NCHS.
Penentuan status gizi buruk dapat dilakukan dengan cara melakukan penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan balita seperti yang tersebut diatas, jika setelah diplot pada KMS ternyata BB anak
berada di bawah garis merah (BGM), maka lihat kembali apakah BB/U atau BB/TB < - 3 SD, jika ya maka
dapat dikategorikan sebagai balita gizi buruk.
Diagnosis kurang gizi selain ditegakkan melalui pemeriksaan antropometri (penghitungan berat badan
menurut umur /panjang badan) dapat juga melalui temuan klinis yang dijumpai. Keadaan klinis gizi buruk
dapat dibagi menjadi kondisi marasmus, kwasiorkor dan bentuk campuran (marasmik kwasiorkor). Apabila
ditemukan balita dengan wajah sangat kurus, muka seperti orang tua, perut cekung, kulit keriput disebut
marasmus, dan bila ada bengkak terutama pada kaki, wajah membulat dan sembab disebut kwashiorkor.
Marasmus kwashiorkor merupakan gabungan tanda-tanda dari marasmus dan kwashiorkor. Pada balita gizi
buruk harus dicari juga apakah ada penyakit penyerta lainnya yang dapat memperburuk kondisi status
gizinya.
C. Prevalensi
Keadaan status gizi balita mengalami perbaikan yaitu dengan menurunnya prevalensi gizi kurang dari 31.6
% pada tahun 1995 menjadi 26.1 % pada tahun 2001, demikian pula prevalensi gizi buruk mengalami
penurunan dari 11.6 % pada tahun 1995 menjadi menjadi 6.3% pada tahun 2001. Selanjutnya terjadi
peningkatan secara perlahan prevalensi gizi kurang menjadi 27.5% pada tahun 2003, demikian pula
prevalensi gizi buruk meningkat menjadi 8.3 % pada tahun yang sama. Pada tahun 2004, terjadi sedikit
penurunan prevalensi gizi kurang menjadi 25.4% dan gizi buruk menjadi 7.2 %.
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada Tahun 2004 diperkirakan sekitar 5 juta balita menderita gizi
kurang (berat badan menurut umur), 1,4 juta di antaranya menderita gizi buruk. Dari balita yang menderita
gizi buruk tersebut ada 140.000 menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor,
dan marasmus-kwashiorkor, yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di Puskesmas dan
Rumah Sakit. Berdasarkan hasil surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dari bulan Januari sampai dengan
bulan Desember 2005, total kasus gizi buruk sebanyak 76.178 balita. Kasus gizi buruk yang dilaporkan
menurun setiap bulan. Semua anak gizi buruk mendapatkan penanganan berupa: perawatan di Puskesmas
dan di Rumah Sakit serta dilakukan tindak lanjut paska perawatan berupa rawat jalan, dan melalui
posyandu untuk dipantau kenaikan berat badan dan mendapatkan makanan tambahan.
Pada bulan Mei 2005, kasus gizi buruk dilaporkan dari propinsi NTB dan NTT dengan jumlah kasus
sebanyak 9.592 kasus. Pada bulan Juni jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan meningkat 49.754, hal ini
disebabkan jumlah propinsi yang melapor meningkat menjadi 26 propinsi. Di samping itu peningkatan
jumlah kasus yang besar karena adanya kegiatan pencarian kasus baru secara aktif melalui operasi timbang
dengan target semua balita ditimbang dan diukur status gizinya.
Pada bulan Juli 2005 jumlah propinsi yang melapor meningkat menjadi 28 propinsi dengan total kasus
yang dilaporkan sebanyak 1.445 anak. Pada bulan Agustus tahun 2005, propinsi yang melapor menjadi 29
propinsi dengan jumlah baru yang dilaporkan sebanyak 10.355 anak, penjaringan kasus pada bulan ini
dilakukan bersamaan dengan kampanye pemberian kapsul Vitamin A. Bulan September dan Oktober 2005
jumlah kasus yang dilaporkan menurun menjadi 471 anak dan 440 anak. Pada bulan November 2005 kasus
yang dilaporkan sebanyak 164 kasus. Pada bulan Desember 2005 dilaporkan sebesar 3.957 anak (Grafik 2).
Jumlah kasus gizi buruk yang meninggal dunia dilaporkan dari bulan Januari 2005 sampai Desember
2005 adalah 293 balita (Grafik 3). Kasus gizi buruk yang meninggal tersebut pada umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti ISPA, diare, TB, campak dan malaria. Jumlah kasus gizi buruk yang
meninggal tertinggi terjadi pada bulan Juni sebanyak 107 kasus, selanjutnya pada bulan-bulan berikutnya
kasus gizi buruk yang meninggal cenderung menurun. Namun demikian pada bulan Desember 2005 kasus
gizi buruk yang dilaporkan meninggal dunia sebanyak 56 kasus yang merupakan laporan dari 9 propinsi
yaitu dari Jatim 14 kasus, Sulsel 13 kasus, Gorontalo 13 kasus,NTB 2 kasus, NTT 6 kasus, Lampung 4
kasus, Sulteng 2 kasus, serta Maluku dan Malut masing-masing 1 kasus.
Faktor Risiko / Gizi yang mempengaruhi
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung,
pertama: anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama, dan kedua: anak menderita
penyakit infeksi. anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh secara optimal karena
adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk
yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai dan sanitasi/kesehatan
lingkungan kurang baik serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat
dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga.
INDIKATOR SURVEILANS GIZI
Indikator merupakan suatu alat yang dipakai untuk mengamati dan mendapatkan informasi. Indikator
dirancang dari serangkaian pengukuran.
I. SIFAT-SIFAT UMUM INDIKATOR
Prinsip indikator berdasar pengukuran, tetapi mempunyai arti yang lebih daripada hanya hasil pengukuran.
Suatu indicator mungkin tersusun dari hasil pengukuran-pengukuran di antara suatu kelompok masyarakat
atau suatu daerah.
a. Titik Putus dan Titik Aksi
Nilai yang menjadi batas keadaan yang masih diterima atau batas normal, disebut titik putus bagi
perorangan atau satuan data. Salah satu keuntungan dari penggunaan titik putus adalah usaha system
pengamatan gizi dapat memusatkan diri pada sumber pengukuran deretan variable yang jatuh bebas.
Pengamatan bagian populasi yang terdapat dibawah titik putus, yang menjadi syarat dimulainya suatu
tindakan dapat disebut titik aksi.
b. Sifat-sifat Indikator Sehubungan dengan Pengukuran dan Arti Pentingnya Kecenderungan
yang Terlihat
Indikator harus bersifat peka terhadap perubahan-perubahan dalam status gizi masyarakat pada waktu
sekarang ataupun waktu yang akan datang.
Perkataan kunci yang penting dan menentukan disini adalah kritis, yang berarti bahwa suatu perubahan
dalam status gizi yang cukup besar sehingga memerlukan tindakan penanggulangan, haruslah jelas
tercermin dalam perubahan dan pada indicator. Titik aksi yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk saat
memulai tindakan penanggulangan, dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi dan hal ini akan
berpengaruh pada pemilihan dan penentuan indicator dan titik aksinya. Suatu perubahan dalam indicator
atau dalam gambaran kecenderungannya, akan merupakan tanda yang dapat dipercaya untuk memulai
tindakan penanggulangan, hanyalah bila perubahan atau kecenderungan itu terletak di luar daerah nilai-
nilai normal atau di luar variasi yang biasa terdapat. Tingkat ketepatan interpretasi dari perubahan itu
tergantung pula pada teknik standar bagi pengukuran sampel dalam jangka waktu tertentu.
Sifat spesifik suatu indikator, akan berbeda nilainya bagi sistem surveilans gizi dalam situasi yang berbeda.
Sebagai contoh, bila defisiensi zat besi di suatu daerah merupakan sebab utama timbulnya anemia, maka
perubahan dalam prevalensi kadar hemoglobin rendah akan merupakan indicator baik bagi status gizi zat
besi. Namun hal ini tidaklah benar untuk daerah yang mempunyai penyakit malaria sebagai sebab utama
timbulnya anemia tersebut. Demikian pula indicator bagi situasi bahan pangan di pasar perkotaan mungkin
akan mempunyai manfaat kecil saja untuk memahami situasi di daerah pedesaan yang terpencil, yang
secara praktis menghasilkan sendiri bahan pangan yang dikonsumsinya.
c . Sifat-sifat indikator sehubungan dengan sampel
Struktur dan sifat-sifat sampel mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku indikator dan terhadap
interpretasinya. Idealnya suatu sampel sebaiknya dipilih mewakili populasi yang sedang dilakukan usaha
system pengamatan gizi terhadapnya, serta dibagi dalam kelompok-kelompok yang bersifat relative
homogen. Bila hal ini tercapai, maka indicator akan bersifat mempunyai sesivitas dan spesifitas optimum,
maka dapat diambil berbagai interpretasi dengan tingkat ketepatan tertentu dan diketahui bahwa mewakili
populasi induknya dengan cukup.
Dalam pelaksanaannya, keadaan yang ideal ini mungkin sulit dicapai, disebabkan keterbatasan biaya atau
sukarnya mencapai kelompok-kelompok masyarakat tertentu, atau dapat pula karena sumber-sumber data
yang tersedia tidak mampu meliputi seluruh populasi yang dituju, sehingga hasilnya tidaklah mewakili
secara representatif, misalnya catatan suatu Klinik Kesehatan Ibu dan Anak, mungkin masih dapat
dipergunakan bahkan mungkin sangat berarti tetapi sebaiknya tidak dipakai untuk ekstrapolasi kesimpulan
secara umum.
d. Sifat-sifat Operasional
Nilai suatu indikator atau gambaran haruslah seimbang dengan pertimbangan praktis tertentu, yaitu :
- Mudahnya pengukuran
Data yang dicapai dengan mudah dengan peralatan minimum dan sedikit memerlukan pengolahan jelas,
mempunyai kelebihan keuntungan terhadap yang memerlukan metode yang berliku-liku. Namun ada
beberapa keterangan akan lebih mudah didapat dengan pertolongan teknologi canggih, misalnya : dengan
teknik fotogrametik udara.
- Kecepatan dan frekuensi tersedianya data.
Bila data dihasilkan secara berkesinambungan, maka indikatornya mempunyai kelebihan dalam hal waktu.
Hal ini sangat penting bagi penemuan dini perubahan-perubahan yang mungkin terjadi. Nilai indicator
dapat pula ditingkatkan dengan semakin besarnya frekuensi pengumpulan data, tetapi sebaliknya hal ini
haruslah dipertimbangkan dengan tambahan biaya. Pengukuran yang dilakukan berkesinambungan tidaklah
sinonim dengan tersedianya data untuk dipergunakan secara terus menerus. Sebagai contoh, data dari suatu
sampel yang representative yang mungkin dikumpulkan secara berkesinambungan, tetapi hanyalah akan
mempunyai arti bila seluruh sampelnya telah terkumpul. Maka tidaklah ada gunanya untuk mengusahakan
tersedianya data lebih cepat ataupun lebih sering, jika tidak dapat cepat masuk atau siap pakai.
- Biaya
Biaya untuk usaha mendapatkan data merupakan kendala menyeluruh yang harus dipertimbangkan dalam
menilai suatu indicator. Biaya mempunyai hubungan dengan semua pertimbangan pelaksanaan dan
dipengaruhi oleh sifat-sifat yang telah dikemukakan terlebih dahulu. Karena itu, diperlukan pengambilan
keputusan besar dalam segi pelaksanaan dan mempertimbangkan sumber-sumber data yang tersedia, dalam
rangka keseimbangan anatara nilai data dan biaya untuk mencapainya.
II. JENIS-JENIS INDIKATOR SURVEILANS GIZI
A. Indikator SKPG (Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi)
Indikator yang digunakan dalam SKPG harus dapat menggambarkan perubahan situasi pangan dan gizi.
Indikator dimaksud meliputi situasi produksi pangan dan faktor-faktor utama yang mepengaruhinya,
distribusi dan konsumsi pangan serta status gizi.
Indikator SKPG dapat dikelompokkan menurut sifat penerapannya yaitu :
1. Indikator yang bersifat universal (berlaku umum) seperti jumlah keluarga miskin, status gizi dan harga
pangan pokok
2. Indikator yang bersifat spesifik lokal seperti meningkatnya penjualan aset rumah tangga,
meningkatkan jumlah pengangguran, meningkatkan kriminalitas dan lain sebagainya. Indikator spesifik
lokal dapat dikembangkan oleh Tim Pangan dan Gizi (TPG) di masing-masing daerah
Sesuai dengan fungsi dan kegunaannya, indikator SKPG dikategorikan dalam 3 kelompok utama, yaitu:
1. Indikator untuk pemetaan situasi pangan dan gizi kecamatan, yaitu prevalensi KEP, luas kerusakan dan
jumlah keluarga miskin
2. Indikator untuk peramalan produksi dan distribusi pangan, yaitu luas tanam, luas kerusakan, luas
panen, harga panen, harga pangan pokok dan status gizi masyarakat
3. Indikator untuk pengamatan kejadian rawan pangan dan gizi, yaitu kejadian lokal (indikator lokal)
yang dapat dipakai untuk mengamati ada tidaknya kejadian rawan pangan dan gizi
B. INDIKATOR SIDI ( SISTEM ISYARAT DINI DAN INTERVENSI)
Penentuan indikator SIDI berkaitan dengan permasalahan pangan dan gizi, tipe informasi yang kemudian
dapat menghasilkan indikator, dapat dikelompokkan berdasarkan urutan penyebabnya sebagai berikut :
Tingkat A : - ekologi : meteorologi, tanah air, vegetasi, animalitas, demografi
antrografi
- infrastruktur (prasarana : perhubungan, badan-badan
pelayanan masyarakat
Tingkat B : produksi dan sunberdaya : tanaman pangan, peternakan, perikanan, ekspor dan impor pangan,
cadangan pangan, bahan bakar (energi)
Tingkat C : pendapatan dan konsumsi : pasar, lapangan kerja, pendapatan, konsumsi pangan termasuk
kuantitas dan kualitasnya
Tingkat D : status kesehatan: status gizi, pola penyakit
Indikator dini (early indicators) adalah petunjuk untuk mulai bersiap-siap melakukan mobilisasi, yang
termasuk di dalammya indikator tingkat A. Indikator kini ( concurrent indikator) yaitu memberi petunjuk
mulai perlunya dilakukan tindakan segera, yang termasuk didalamya indikator tingkat B. Indikator
terlambat (late indicators) merupakan hasil intervensi sebelumnya, adalah indikator tingkat C dan tingkat
D. Tabel berikut menyajikan contoh keterkaitan antara indikator dengan intervensi dalam SIDI.
C. INDIKATOR PSG (PEMANTAUAN STATUS GIZI) DAN PKG (PEMANTAUAN KONSUMSI
GIZI)
BAYI DENGAN BERAT LAHIR RENDAH
Definisi : berat badan lahir rendah adalah berat badan bayi lahir hidup di bawah 2500
gram yang ditimbang pada saat lahir.
Kegunaan:
a. Untuk screening (penapisan) individu
- Indicator : berat badan lahir (BBL)
- Cut-off : BBL < 2500 gr
- Sumber data : bidan desa atau dukun terlatih (laporan kohort bayi)
- Frekuensi : setiap ada bayi lahir
- Tujuan : penapisan bayi untuk diberi perawatan
- Pengguna : Puskesmas
b. Untuk gambaran perkembangann keadaan gizi dan kesehatan ibu dan anak tingkat kecamatan
- indikator : prevalensi bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari jumlah bayi lahir hidup
- Trigger level : prevalensi BBLR > 15%
- Sumber data : Puskesmas
( kompilasi laporan kohort bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari puskesmas –puskesmas di kecamatan
yang bersangkutan)
- Frekuensi : sekali setahun (dihitung pada tengah tahun)
- T tujuan : evaluasi perkembangan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak
c. Untuk gambaran perkembangan keadaan gizi dan kesehatan ibu dan anak antar kecamatan dalam
kabupaten
- Indikator : prevalensi bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari jumlah bayi lahir hidup
- Trigger level : prevalensi BBLR > 15%
- Sumber data : kecamatan (kompilasi laporan kohort bayi BBLR dalam periode 1 tahun dari kecamatan-kecamatan di
kabupaten bersangkutan)
- Frekuensi : sekali setahun (dihitung pada tengah tahun)
- Tujuan : evaluasi perkembangan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak
- Pengguna : kabupaten dan propinsi
d. Untuk gambaran perkembangan keadaan gizi dan kesehatan ibu dan anak tingkat nasional
- Indikator : prevalensi BBLR dalam periode tertentu
- Trigger level : prevalensi BBLR > 15%
- Sumber data : Tim Surkesnas (Badan Litbangkes + BPS)
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : evaluasi perkembangan keadaan gizi dan kesehatan masyarakat, terutama ibu dan anak secara nasional
- Pengguna : primer/pusat
1. MASALAH GANGGUAN PERTUMBUHAN BALITA
Definisi : gangguan pertumbuhan bila BGM atau tiga kali penimbangan bulanan tidak naik berat badan
Kegunaan :
a. Screening individu balitan untuk rujukan/perawatan/treatmen
- Indikator : pertumbuhan berat badan (SKDN)
- Cut-off : 1. BGM (BB/U < -3SD)
2. 3T (3 kali penimbangan tidak naik BB)
- Sumber data : Posyandu (penimbangan bulanan)
- Frekuensi : sekali setahun
- Tujuan : Sreening balita yang memerlukan tindakan rujukan atau intervensi khusus (pengobatan dan atau PMT
pemulihan)
- Pengguna : Puskesmas
b. Gambaran keadaan pertumbuhan balita tingkat kecamatan
Indikator : 1. %N/(D-O-B) dengan kondisi (D?S > = 80%). Bila D/S belum >= 80% upayakan untuk ditingkatkan
2. % BGM/D
- Trigger level : 1. % N/(D-O-B) < 60%
2. %BGM>1%
- Sumber data: Puskesmas (kompilasi laporan SKDN dari Puskesmas yang ada di wilayah kecamatan yang
bersangkutan)
- Frekuensi : sekali sebulan
- Tujuan : evaluasi keadaan pertumbuhan balita untuk tindakan preventif terhadap memburuknya keadaan gizi
- Pengguna : kecamatan
c. Gambaran keadaan pertumbuhan balita antar kecamatan dalam kabupaten
- Indikator : 1. % N/(D-O-B) dengan kondisi (D/S >=80%). Bila
D/S belum >=80% upayakan untuk ditingkatkan
2. % BGM/D
- Trigger level : 1. %N/(D-O-B)<60%
2. %BGM>1%
- Sumber data : kecamatan (kompilasi laporan SKDN dari kecamatan
yang ada di wilayah kabupaten tersebut)
- Frekuensi : sekali sebulan
- Tujuan : evaluasi keadaan pertumbuhan balita untuk tindakan
Preventif terhadap memburuknya keadaan gizi
- Pengguna : kabupaten dan propinsi
2. MASALAH KEP BALITA
Definisi : Gizi kurang bila BB/U<-2 SD dan Gizi buruk bila BB/U<-3 SD.
Kegunaan :
a. Screening individu balita untuk rujukan/perawatan/treatment
- Indikator : BB/U
- Cut-off : BB/U<-2 SD (gizi kurang) dan BB/U
- Sumber data : Puskesmas (Pelacakan gizi buruk, kunjungan pasien dan opsional kegiatan bulan penimbangan )
- Frekuensi : setiap ditemukan kasus (setiap saat)
- Tujuan : Rujukan atau memberika treatment khusus bagi penderita sesuai dengan “grade” kurang gizinya.
- Pengguna : Puskesmas
b. Memberikan gambaran perkembangan keadaan gizi balita di kecamatan2 dalam kabupaten
- Indikator : Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
- Trigger level : 1. Prevalensi gizi kurang >20%, atau
2. Prevalensi gizi buruk >1%
- Sumber data : Pemantauan Status Gizi (PSG)
- Frekuensi : Sekali setahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi balita untuk
perencanaan program dan pengambilan kebijakan
- Pengguna : Kabupaten, Propinsi dan Pusat
c. Memberikan gambaran perkembangan keadaan gizi balita tingkat Propinsi dan Nasional
- Indikator : Prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
- Trigger level : 1. Prevalensi gizi kurang >20%, atau
2. Prevalensi gizi buruk >1%
- Sumber data : Surkesnas
- Frekuensi : Sekali dsalam tiga tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi balita untuk perencanaan program dan perumusan kebijakan di
tingkat Nasional
- Pengguna : Pusat
4. MASALAH GANGGUAN PERTUMBUHAN ANAK USIA MASUK SEKOLAH
Definisi: Gangguan pertumbuhan anak usia masuk sekolah adalah pencapaian tinggi
badan anak baru masuk sekolah (TBABS)
Kegunaan : a). Refleksi keadaan gizi masyarakat
b). Gambaran keadaan sosial ekonomi masyarakat
c). Gambaran efektivitas upaya perbaikan gizi masa balita
- Indikato : Prevalensi pendek (TB/U<-2 SD
- Trigger level : Prevalensi pendek >20%
- Sumber data : Pemantauan TBABS-DepKes Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 5 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi masyarakat, keadaan social ekonomi masyarakat dan efektivitas
upaya perbaikan keadaan gizi masa balita.
- Pengguna : Kabupaten, Propinsi dan Pusat.
5. MASALAH KEK DAN RESIKO KEK WANITA USIA SUBUR (WUS) USIA 15- 45 TAHUN DAN
IBU HAMIL
Definisi : 1. KEK ibu hamil : LILA<23,5 cm
2. KEK WUS : IMT< 18,5
3. Resiko KEK WUS : LILA<23,5 cm
Kegunaan :
a. Screening ibu hamil yang memiliki resiko BBLR untuk diberikan treatment (penyuluhan)
- Indikator : Lingkar lengan atas
- Cut-off : LILA < 23,5 cm
- Sumber data : Kohort ibu hamil- Bidan Desa- Puskesmas
- Frekuensi : Setiap ditemukan ibu hamil (setiap saat)
- Tujuan : Screening ibu hamil KEK untuk diberikan penyuluhan
dan intervensi (PMT ibu hamil)
- Pengguna : Puskesmas
b. Memberikan gambaran perkembangan status gizi WUS.
- Indikator : 1. KEK : Indeks massa tubuh (IMT)
2. Resiko KEK : Lingkar lengan atas (LILA)
- Cut-off : 1. KEK : IMT<18,5
2. Resiko KEK : LILA<23,5 cm
- Sumber data : Survei cepat dan surkesnas (KEK WUS) dan Susenas
(Resiko KEK)
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan keadaan gizi kelompok wanita usia
Subur (WUS)
- Pengguna : Resiko KEK : Propinsi dan Pusat
KEK WUS : Pusat
6. MASALAH GAKY (GANGGUAN AKIBAT KEKURANGAN YODIUM)
Definisi GAKY : Defisiensi yodium
Kegunaan : Memberikan gambaran besar dan sebaran masalah GAKY
- Indikator : 1. Prevalensi GAKY (Total Goiter Rate = TGR) anak
sekolah)
2. Eksresi Yodium Urine (EYU) pada anak sekolah
- Trigger level : 1. TGR>5%
2. EYU 100 mcg/dl>50%
3. Konsumsi garam beryodium (>=30ppm)<80% rumah tangga
- Sumber data : 1. TGR dann EYU : Survei nasional pemetaan
2.Konsumsi garam beryodium : Susenas dan monitoring garam beryodium oleh Kabupaten
- Frekuensi : TGR dan EYU : Sekali 5 tahun
Konsumsi garam beryodium : Sekali 3 tahun (Susenas) dan
sekali setahun (monitoring
oleh kabupaten)
- Tujuan : Memberikan gambaran tentang masalah GAKY untuk manajemen program perbaikan GAKY (distribusi
kapsul dan garam beryodium).
- Pengguna : Kabupaten-Propinsi-Pusat
7. MASALAH KVA (KURANG VITAMIN A)
Definisi : Defisiensi vitamin A
Kegunaan :
a. Screening kasus Xerophtamia untuk perawatan
- Indikator : kasus Xerophtalmia
- Trigger level : Setiap ada kasus
- Sumber data : Laporan kasus Puskesmas dan RS setempat
- Frekuensi : Setiap ada kasus (setiap saat)
-. Tujuan : Tindakan cepat penanganan masalah Xerophtalmia
- Pengguna : Kabupaten- Propinsi- Pusat
b. Untuk memberikan gambaran perkembangan masalah KVA
- Indikator : Prevalensi XiB dan Prev.Serum Retinol <20 mcg/dl
- Trigger level: 1. Prev X1B>0,5%
2. Prev. Serum retinol (<20mcg/dl)>0,5%
- Sumber data : Survei Vitamin A (SUVITA) – DepKes Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 10 tahun
- Pengguna : Propinsi dan Pusat
8. MASALAH KONSUMSI GIZI
Definisi : Masalah defisiensi Intake Makro dan Mikro nutrient di masyarakat.
Kegunaan : Memberikan gambaran perkembangan konsumsi makro dan mikronutrien
serta pola konsumsi masyarakat.
- Indikator : Prevalensi deficit energi dan protein serta zat gizi mikro (Vit.A, zat
Besi, Calsium dan Vitamin B1)
- Trigger level: 1. Prev. rumah tangga dengan konsumsi energi (<70%RDA) > 30%
2. Prev.rumah tangga dengan konsumsi protein (<70%RDA) > 30%
3. Lainnya dengan melihat besaran dan perkembangan dari waktu ke
waktu
- Sumber data : Pemantauan Konsumsi Gizi (PKG) Depkes Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan masalah dan untuk analisa factor-faktor
yang berkaitan, dan juga memberikan masukan bagi instansi yang
berhubungan dengan ketersediaan pangan.
- Pengguna : Kabupaten- Propinsi- Pusat
9. MASALAH ANEMIA GIZI
Definisi : Defisiensi zat besi yang diindikasikan dengan kadar Hb darah < 11mg%
(wanita hamil), atau <12mg pada wanita tidak hamil
Kegunaan : Memberikan gambaran perkembangan masalah anemia dan besarannya
- Indikator : 1). Prevalensi anemia pada bayi
2). Prevalensi anemia balita
3). Prevalensi anemia pada ibu hamil/ibu nifas
4). Prevalensi anemia pada WUS
5). Prevalensi anemia pada lansia
6). Prevalensi anemia pada Nakerwan
- Trigger level: Belum ada ketentuan
- Sumber data : Badan Litbang Kes (+BPS), Surkesnas
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Evaluasi perkembangan masalah anemia gizi untuk perencanaan program,
perumusan kebijakan penanganannya
- Pengguna: Pusat
10. GIZI DARURAT
Definisi: Keadaan darurat yang dimaksud adalah situasi yang terjadi akibat konflik politik, bencana alam atau
konflik lainnya yang mengakibatkan banyak penduduk keluar dari daerah tempat tinggalnya dan tinggal
pada lokasi baru (tempat pengungsian)
Kegunaan : Memberikan masukan dalam kaitannya dengan penanganan pangan dan gizi dalam keadaan darurat.
- Indikator: Prevalensi wasting (BB/TB)
- Trigger level: Prevalensi BB/TB (<-2SD)>15%, atau antara 10-15% dengan angka kematian kasar 1/10.000, atau angka
kematian gizi buruk>1%
- Sumber data : Survei cepat dan monitoring keadaan gizi di lokasi darurat oleh propinsi ddan pusat (international agency)
-. Frekuensi : 1. Survei cepat, sekali saat terjadi pengungsian
2. Monitoring, tergantung kebutuhan (sekali dalam 3 bulan atau
sekali dalam 6 bulan)
- Tujuan : Manajemen penanganan masalah gizi pada situasi darurat
- Pengguna : Kabupaten-Propinsi- Pusat International Agency-LSM
11. MASALAH GIZI LEBIH ORANG DEWASA
Definisi : gizi lebih adalah mulai dari overweight sampai dengan obese
Kegunaan : Memberikan gambaran kecenderungan masalah gizi lebih terutama di daerah perkotaan.
- Indikator : Prevalensi IMT>25
- Trigger level : Prevalensi IMT (IMT>25)>10%
- Sumber data : Survei cepat IMT Depkes dan Kesos
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Manajemen penanganan masalah gizi lebih pada orang
dewasa
- Pengguna : Propinsi- Pusat
12. MASALAH PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN MP-ASI
Definisi : 1. ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi sampai usia 4 bulan.
2. MP-ASI adalah makanan tambahan dalam bentuk lunak maupun bentuk makanan dewasa selain ASI
sampai anak usia 24 bulan.
Kegunaan :
a. Memberikan gambaran tentang perkembangan praktek pemberian ASI eksklusif
- Indikator : Proporsi ibu memiliki bayi usia 4 bulan yang hanya memberikan ASI (ASI Eksklusif)
- Trigger level : Proporsi ASI Eksklusif tidak menurun
- Sumber data : Badan Litbangkes (+BPS)--Surkesnas
- Frekuensi : Sekali dalam 3 tahun
- Tujuan : Manajemen penyuluhan dalam rangka peningkatan praktek pemberian ASI Eksklusif
- Pengguna : Propinsi- Pusat
b. Penyuluhan individu ibu yang memiliki anak usia 4 bulan ke bawah agar memberikan ASI Eksklusif
- Indikator : Ibu yang memiliki anak usia 4 bulan ke bawah
- Trigger level : Tidak memberikan ASI Eksklusif
- Sumber data : Kohort bayi- Bidan Desa/Kader Posyandu
- Frekuensi : Setiap ada ibu yang memiliki bayi 4 bulan ke bawah
- Tujuan : Tindakan penyuluhan agar memberikan ASI Eksklusif
- Pengguna : Puskesmas
RANGKUMAN
- Indikator merupakan suatu alat yang dipaki untuk mengamati dan mendapatkan informasi. Nilai suatu
indikator harus seimbang dengan pertimbangan praktis tertentu, yaitu :
a. mudahnya pengukuran
b. kecepatan dan frekuensi tersedianya data
c. biaya
- Jenis-jenis indikator dalam surveilans gizi :
a. indikator SKPG
b. indikator SIDI
c. indikator PSG dan PKG