Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

8
PERKEMBANGAN HUKUM DAN KEBIJAKAN POLITIK PADA MASA ORDE BARU Pada awal perjalanannya, pemerintah Orde Baru menunjukkan langgam libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai menampilkan konfigurasi politik yang otoriter birokratis yang diperlukan untuk mengamankan jalannya pembangunan. Dan karenanya produk hukum pun menjadi konservatif/ortodoks. 1 Pada masa Orde Baru, kebijakan dasar yang diambil adalah kebijakan untuk melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen, dan kemudian segera melaksanakan pembangunan. Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi dikumandangkan secara khusus sebagai bagian dari strategi nasional. 2 Pemerintah orde baru lebih 1 Moh.Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014,hlm.195. 2 Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika sosial-politik dalam perkembangan hukum di Indonesia,

description

HUKUM

Transcript of Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

Page 1: Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

PERKEMBANGAN HUKUM DAN KEBIJAKAN POLITIK

PADA MASA ORDE BARU

Pada awal perjalanannya, pemerintah Orde Baru menunjukkan langgam

libertarian yang sebenarnya adalah langgam transisi sambil mencari format baru

bagi konfigurasi politik. Program pembangunan yang menitikberatkan pada

bidang ekonomi harus diamankan dengan “stabilitas nasional” yang dianggap

sebagai prasyarat yang realisasinya ternyata menuntut langgam otoritarian. Sejak

penemuan format baru politik Indonesia pada tahun 1969/1971, Indonesia mulai

menampilkan konfigurasi politik yang otoriter birokratis yang diperlukan untuk

mengamankan jalannya pembangunan. Dan karenanya produk hukum pun

menjadi konservatif/ortodoks.1

Pada masa Orde Baru, kebijakan dasar yang diambil adalah kebijakan

untuk melaksanakan UUD secara murni dan konsekuen, dan kemudian segera

melaksanakan pembangunan. Anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi

dikumandangkan secara khusus sebagai bagian dari strategi nasional.2 Pemerintah

orde baru lebih bertekad untuk lebih mementingkan pembangunan ekonomi

bangsa daripada mementingkan usaha merebut peran politik yang progesif dan

revolusioner dalam percaturan politik antar bangsa. Indikator keberhasilan

perjuangan bangsa dialihkan ke keberhasilan pembangunan ekonomi.3

Supersemar menjadi alat legitimasi yang sangat efektif bagi Angkatan

Darat untuk melangkah lebih jauh dalam panggung politik. Presiden Soekarno

sendiri praktis kehilangan kekuasaannya setelah mengeluarkan Supersemar,

kendati secara resmi masih menjabat presiden dalam status “presiden

konstitusional”. Secara khusus dalam Sidang Umum telah dikeluarkan ketetapan

1 Moh.Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2014,hlm.195.2 Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika sosial-politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa;VVI-Leiden;KITLV-Jakarta;Epistema Institute,2014,hlm 205.3 Ibid.,hlm.206

Page 2: Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

MPRS no IX/MPRS/1966 yang menguatkan Supersemar sebagai landasan

berpijak bagi beroperasinya pemerintahan Orde Baru.4

Pada tahun 1967, tak lama setelah lahirnya Supersemar, perusahaan-

perusahaan asing yang diambil alih semasa pemerintahan presiden Soekarno

dikembalikan ke pemiliknya. Undang-undang Penanaman Modal Asing dibuat

untuk menarik investasi dari luar.5

Rencana Pembangunan Lima Tahun I (1969) mengakui peran hukum (rule

of law) yang penting untuk pelaksanaan pembangunan nasional yang mencakup

tiga unsur kebijakan yaitu hak-hak asasi manusia diakui dan dilindungi, peradilan

harus bebas dan tidak memihak, dan bahwa asas legalitas akan dipegang teguh,

baik dalam hal memberlakukan hukum formil maupun materiil. Memperkuat ide

rule of law yang hendak menjamin kebebasan hakim dan aparat kehakiman dibuat

Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1970.6

Dalam fungsinya sebagai tool of social engineering, bukan sekali dua kali

hukum undang-undang produk badan legislatif (yang telah dikontrol oleh badan

eksekutif) akan juga difungsikan sekaligus untuk merasionalisasi kebijakan-

kebijakan eksekutif.7 Mochtar Kusumaatmadja mengetengahkan konsep Roscoe

Pound tentang perlunya memfungsikan law as a tool of social engineering. Ia

berargumentasi bahwa pendayagunaan hukum sebagai sarana untuk merekayasa

masyarakat menurut skenario kebijakan pemerintah (dalam hal ini eksekutif)

amatlah terasa diperlukan oleh Negara-negara yang sedang berkembang.8 Saran-

saran Mochtar harus diakui sangat penting dan berpengaruh dalam menetapkan

arah perkembangan hukum nasional pada era Orde Baru (Wignjosoebroto:1978)9

Madhab Mochtar tidak selalu diikuti dan disokong oleh kalangan ahli

hukum lain khususnya yang duduk dalam pemerintahan. Di kalangan ahli hukum

praktik yang selama ini mempelajari hukum menurut tradisi hukum Eropa

(khususnya Belanda), berbeda dengan Mochtar yang sempat mengikuti 4 Moh.Mahfud MD. Op.Cit.hlm 1975 Soetandyo Wignjosoebroto. Op.Cit.hlm 2066 Ibid.,hlm 2087 Ibid.,hlm.2108 Ibid.,hlm 2119 Ibid.,hlm 212

Page 3: Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

pendidikan hukum (internasional) di Amerika Serikat, mengembangkan hukum

nasional Indonesia dari modal dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang

berdasarkan Grundnorm Pancasila adalah upaya yang harus dipandang paling

logis.10

Hukum di Indonesia dalam perkembangannya pada masa Orde Baru

benar-benar sempurna menjadi government social control dan berfungsi sebagai

tool of social engineering. Hukum perundang-undangan menjadi kekuatan kontrol

di tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis), walau tidak

selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral, dan wawasan kearifan

yudisial yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya hidup di dalam

kesadaran hukum masyarakat awam.11

Pada masa Orde Baru merebaklah konflik agraria yang bersifat vertikal.

Yaitu, negara di satu pihak yang seringkali bergandengan dengan pemilik modal

berhadapan dengan masyarakat adat & petani pada pihak lain. Konflik-konflik

tersebut tentu saja diwarnai pula oleh benturan dua sistem hukum. Yaitu hukum

negara dalam bentuk perundang-undangan di satu pihak, berhadapan dengan

hukum adat (hukum rakyat) yang tidak tertulis di pihak lain.12

Di satu pihak, aparatur negara merasa berhak untuk menguasai tanah dan

hutan serta memberikan hak kepada pihak lain untuk mengelola hutan serta

mengusir masyarakat adat yang bermukim disitu, karena begitulah kata undang-

undang kehutanan. Sementara di pihak lain, masyarakat adat merasa berhak untuk

menguasai tanah dan hutan karena secara defacto mereka sudah menguasainya

jauh sebelum adanya Negara Republik Indonesia.13

Peran hukum adat dalam percaturan pembangunan hukum nasional kian

terdesak, dan maknanya pun secara riil tak tercatat terlalu besar, kecuali klaim-

klaimnya akan kebenaran moralnya; sedangkan manakala soal operasionalisasi

dan pengefektifan sudah mulai dibicarakan, paham hukum sebagai perekayasa di

10 Ibid.,hlm 21611 Ibid.,hlm 22412 Hedar Laujeng, Hukum Kolonial di Negara Merdeka. Diakses dari www.huma.or.id pada tanggal 2 November 201513 Ibid.

Page 4: Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

tangan pemerintah itulah yang nyata-nyata kalau lebih mampu berbicara dan

bangkit untuk berperan secara efektif.14

Pada masa Orde Baru, hukum kita dalam arti undang-undang bersifat

elitis, bersumber dari lembaga eksekutif yang secara politik dipaksakan agar

menjadi hukum. Pada waktu itu, peran DPR maupun parpol hampir tidak ada di

dalam proses pembuatan hukum. Artinya, lebih bersifat formalistis. Hukum selalu

disiapkan di istana kepresidenan, kemudian dibahas segi bahasa dan tata tulisnya

oleh DPR, tanpa ada perubahan yang substantif. Selain bersifat elitis, pada masa

lalu juga tercatat bahwa hukum kita bersifat positivistik-instrumentalistik.

Artinya, hanya menjadi alat pembenar atas kehendak penguasa, baik yang

terlanjur maupun yang akan dilakukan. Dengan watak seperti ini, seringkali

hukum atau undang-undang menjadi alat untuk membenarkan kebijakan yang

sebenarnya salah atau tidak baik.15

Produk hukum dalam arti undang-undang harus diterima sebagai

kebenaran yang final sehingga tidak ada satu lembaga pun yang bisa melakukan

pengujian, apalagi untuk membatalkannya. Undang-undang yang dibuat oleh

pemerintah dan DPR(legislatif) tidak bisa diganggu gugat meskipun di dalamnya

terdapatkesalahan. Gugatan atas undng-undang waktu itu hanya bisa dilakukan

melalui satu jalur, yaitu legislative review. Dengan kata lain, sebuah undang-

undang hanya bisa dibatalkan oleh pembuatnya sendiri. Meskipun sebuah undang-

undang sudah jelas-jelas salah, kalau DPR dan pemerintah sebagai lembaga

legislatif tidak mau mengubahnya maka undang-undang itu tidak bisa berubah.16

14 Soetandyo Wignjosoebroto. Op.Cit. hlm 22215 Mahfud MD. Capaian dan Proyeksi Kondisi Hukum Indonesia. Jurnal Hukum NO. 3 VOL. 16 JULI 2009: 291 – 310. Diakses dari law.uii.ac.id pada tanggal 2 November 201516 Ibid.

Page 5: Perkembangan Hukum Dan Kebijakan Politik Masa Orde Baru

Daftar Pustaka

Buku

Moh.Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,

2014.

Soetandyo Wignjosoebroto. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika

sosial-politik dalam perkembangan hukum di Indonesia, Jakarta:

HuMa;VVI-Leiden;KITLV-Jakarta;Epistema Institute,2014,hlm 205.

Jurnal

Hedar Laujeng, Hukum Kolonial di Negara Merdeka. Diakses dari

www.huma.or.id pada tanggal 2 November 2015

Mahfud MD. Capaian dan Proyeksi Kondisi Hukum Indonesia. Jurnal Hukum

NO. 3 VOL. 16 JULI 2009: 291 – 310. Diakses dari law.uii.ac.id pada

tanggal 2 November 2015