Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia
-
Upload
mandiri4ever -
Category
Documents
-
view
948 -
download
4
Transcript of Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha Di Indonesia
BAB II
ISI
2.1 Perkembangan Candi Borobudur
2.1.1 Sejarah Singkat Candi Borobudur
Sampai saat ini, secara pasti belum diketahui kapan candi Borobudur
didirikan, demikian juga pendirinya. Menurut Prof. Dr. Soekmono dalam bukunya
“Candi Borobudur a Monument of Mainkind (UNESCO, 1976)”, menyebutkan
bahwa tulisan singkat yang dipahatkan di atas piguran-piguran relief kaki candi
(Karmawibangga) mewujudkan suatu garis huruf yang bisa diketemukan pada
berbagai prasasti dari akhir abad VIII sampai awal abad IX. Dimana pada abad itu
di Jawa Tengah berkuasa raja-raja dari Wangsa Dinasti Syailendra yang menganut
agama Budha Mahayana.
Sebuah prasasti yang berasal dari abad IX yang diteliti oleh Prof. Dr. J.G.
Caspris, mengungkapkan silsilah tiga Wangsa Syailendra yang berturut-turut
memegang pemerintahan yaitu raja Indra, putranya Samaratungga, kemudian putri
Samaratungga Pramoda Wardani. Pada waktu raja Samaratungga berkuasa
mulailah dibangun candi yang bernama Bhumu Sam Bhara Budhara, yang dapat
ditapsirkan sebagai bukti peningkatan kebajikan, setelah melampaui sepuluh
tingkat Bodhisatwa. Kerena penyesuaian pada Bahasa Jawa, akhirnya Bhara
Budhara diganti menjadi Borobudur.
Dari tokoh Jacques Dumarcay seorang arsitek Perancis memperkirakan
bahwa candi Borobudur berdiri pada zaman keemasan Dinasti Syailendra yaitu
5
6
pada tahun 750-850 M. Keberhasilan yang luar biasa disamping pendirian candi
Borobudur, juga berhasil menjalankan kekaisaran Khmer di Kamboja yang pada
saat itu merupakan kerajaan yang besar. Setelah menjalankan kerajaan Khmer,
putra mahkota dibawa ke Indonesia dan setelah cukup dewasa dikembalikan ke
Kamboja, dan kemudian menjadi raja bergelar Jayawarman II pada tahun 802 M.
Para pedagang Arab berpendapat bahwa keberhasilan itu luar biasa mengingat ibu
kota kekaisaran Khmer berada di daratan yang jauh dari garis pantai, sehingga
untuk menaklukannya harus melalui sungai dan danau Tonle Sap sepanjang 500
km (A Guide to, Angkar, Down F. Rooney, 1994:25).
Lebih lanjut Dumarcay merincikan bahwa candi Borobudur dibangun
dalam 4 tahap dengan perkiraan sebagai berikut:
1) tahap I sekitar tahun 775;
2) tahap II sekitar tahun 790 (bersamaan dengan Kalasaan II, Lumbung I,
Sojiwan I);
3) tahap III sekitar tahun 810 (bersamaan dengan Kalasan III, Sewa III,
Lumbung III, Sojiwan II);
4) tahap IV sekitar tahun 835 (bersamaan dengan Gedong Songo grup I, Sambi
Sari, Badut I, Kuning, Banon, Sari dan Plaosan).
Setelah selesai dibangun, selama seratus lima puluh tahun, Borobudur
merupakan pusat ziarah megah bagi penganut Budha. Tetapi dengan runtuhnya
Kerajaan Mataram sekitar tahun 930 M, pusat kekuasaan dan kebudayaan pindah
ke Jawa Timur dan Borobudur pun hilang terlupakan.
7
Karena gempa dan letusan Gunung Merapi, candi itu melesat
mempercepat keruntuhannya. Sedangkan semak belukar trofis tumbuh menutupi
Borobudur dan pada abad-abad selanjutnya lenyap ditelan sejarah.
2.1.2 Relief Candi Borobudur
Candi Borobudur tidak saja menunjukan kemegahan arsitekturnya tetapi
juga mempunyai relief (pahatan atau ukiran) yang sangat menarik. Relief cerita
yang dipahatkan pada candi itu sangat lengkap dan panjang yang tidak pernah
ditemui di tempat lain di dunia bahkan di India sekalipun.
Bidang relief seluruhnya ada 1460 panel yang jika diukur memanjang
mencapai 2.500 m. Sedangkan jenis reliefnya ada 2 macam, yaitu:
1) relief cerita, yang menggambarkan cerita dari suatu teks dan naskah;
2) relief hiasan, yang hanya merupakan hiasan pengisi bidang.
Agar bisa menyimak cerita dalam relief secara berurutan dianjurkan
memasuki candi melalui pintu sebelah timur dan pada tiap lingkaran berputar ke
kiri dan meninggalkan candi di sebelah kanan.
Relief cerita pada candi Borobudur menggambarkan beberapa cerita,
yaitu:
1) Karmawibangga, terdiri dari 160 panel, dipahatkan pada kaki tertutup;
2) Lalitawistara, terdiri dari 120 panel, dipahatkan pada dinding lorong I bagian
atas;
3) Jataka dan Awadana, terdiri dari 720 panel, dipahatkan pada lorong I bagian
bawah, balustrade lorong I atas dan bawah, dan balustrade II;
8
4) Gandawyuda, terdiri dari 460 panel, dipahatkan pada dinding lorong II dan III,
balustrade III dan IV serta Bhadraceri dinding lorong IV.
2.1.3 Stupa Candi Borobudur
Stupa adalah salah satu bangunan yang ada di candi Borobudur, stupa
memiliki nilai yang sangat tinggi, di dalam stupa terdapat patung-patung budha
yang memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Stupa candi Borobudur dibagi
menjadi 3 macam, yaitu.
1) Stupa Induk
Stupa induk berukuran lebih besar dari stupa-stupa yang lain dan terletak
di puncak sebagai mahkota dari seluruh monumen bangunan candi Borobudur.
Stupa induk ini mempunyai garis tengah 9,90 m dan tinggi stupa sampai bagian
bawah pinakel 7 meter. Di atas puncak dahulunya diberi payung (charta)
bertingkat tiga (sekarang tidak terdapat lagi). Stupa induk ini tertutup rapat,
sehingga orang tidak bisa melihat bagian dalamnya. Di dalamnya terdapat
ruangan yang sekarang tidak berisi.
2) Stupa Berlubang
Stupa berlubang atau terawang adalah stupa yang terdapat pada teras
bundar I, II, dan III dimana didalamnya terdapat 72 buah yang terinci menjadi:
1) teras bundar pertama terdapat : 32 stupa berlubang;
2) teras bundar kedua terdapat : 24 stupa berlubang;
3) teras bundar ketiga terdapat : 16 stupa berlubang;
jumlahnya : 72 stupa berlubang.
9
3) Stupa Kecil
Stupa kecil bentuknya hampir sama dengan stupa lainnya, hanya saja
perbedaan yang menonjol adalah dalam ukurannya yang lebih kecil dari stupa
yang lainnya. Stupa ini seolah menjadi hiasan dari seluruh bangunan candi.
Keberadaan stupa ini menempati puncak dari relung-relung pada langkan II
sampai langkan V, sedangkan pada langkan I sebagian berupa keben dan sebagian
berupa stupa kecil, jumlah stupa kecil ada 1472 buah stupa.
2.1.4 Patung Budha Candi Borobudur
Candi Borobudur tidak hanya diperindah dengan relief cerita dan relief
hias saja, tetapi juga dengan patung-patung yang sangat tinggi nilainya. Namun
tidak semua patung dalam keadaan utuh, banyak patung yang tanpa kepala atau
tangan (300 buah) dan 43 hilang. Hal ini disebabkan oleh bencana alam dan
tangan jahil atau pencurian sebelum candi Borobudur diadakan renovasi (sebelum
tahun 1973).
Patung-patung tersebut menggambarkan Dhyani Budha yang terdapat pada
bagian Rupadhatu dan Arupadhatu. Patung Budha di candi Borobudur berjumlah
504 yang ditempatkan di relung-relung yang tersusun berjajar pada sisi pagar
langkan dan pada teras bundar (Arupadhatu).
Patung Budha pada tingkat rupadhatu di tempatkan dalam relief yang
tersusun berjajar pada sisi luar pagar langkan. Sedangkan patung-patung di tingkat
arupadhatu di tempatkan dalam stupa-stupa berlubang di tiga susunan lingkaran
pusat. Susunan patung selengkapnya adalah.
10
1) Tingkat Rupadhatu
(1) langkan pertama : 104 patung Budha
(2) langkan kedua : 10 patung Budha
(3) langkan ketiga : 88 patung Budha
(4) langkan keempat : 72 patung Budha
(5) langkan kelima : 64 patung Budha
jumlah seluruhnya : 432 patung Budha
2) Tingkat Arupadhatu
(1) teras bundar pertama : 32 patung Budha
(2) teras bundar kedua : 24 patung Budha
(3) teras bundar ketiga : 16 patung Budha
jumlah seluruhnya : 72 patung Budha
Apabila kita melihat sekilas patung Budha itu nampak serupa semuanya,
tetapi sesungguhnya ada juga perbedaan-perbedaannya. Perbedaan yang sangat
jelas adalah sikap tangan atau yang disebut Mudra yang merupakan khas untuk
setiap patung.
Sikap kedua belah tangan Budha atau Mudra dalam Bahasa Sanksekerta,
memiliki arti perlambangan yang khas. Ada enam jenis yang bermakna sedalam-
dalamnya. Namun demikian karena macam mudra yang dimiliki oleh patung-
patung yang menghadap semua arah bagian rupadhatu (lingkaran V) maupun di
bagian arupadhatu pada umumnya menggambarkan maksud yang sama. Maka
jumlah mudra yang pokok ada lima.
11
2.1.5 Perkembangan Candi Borobudur
Kawasan Borobudur berkembang dengan bertitik tolak pada keberadaan
candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-8 M, hingga ditemukannya
kembali, ditetapkan sebagai Pusaka Budaya Dunia oleh UNESCO pada tahun
1991, dan mewujud sebagai tujuan wisata hingga kini.
Penelitian perubahan struktur ruang di kawasan pusaka budaya Borobudur
oleh Winarni (2006) menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pasca
pemugaran selama dekade 1970-an cenderung intensif. Ada banyak pusat
pertumbuhan baru yang membentuk pusat pariwisata, pemerintahan, dan
perdagangan.
Kenyataan ini berbeda dengan pusat pertumbuhan awal di Borobudur yang
mengikuti keberadaan sungai dan sumber air. Pengelolaan kawasan tersebut
hingga kini masih mengikuti prinsip yang diatur dalam masterplan JICA (1979)
dan diperkuat oleh Keppres No. 1/1992 yang membagi kewenangan pengelolaan
sesuai dengan zonanya.
Situs candi Borobudur (Zona I) dikelola oleh Balai Konservasi candi
Borobudur di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kompleks
Taman Wisata candi Borobudur (Zona II) dikelola oleh PT Taman Wisata candi
Borobudur yang berada di bawah naungan Kementerian Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Wilayah di luar kedua zona itu dikelola oleh pemerintah daerah.
Jadi, praktis, Pemerintah Desa Borobudur memiliki satu “kantong” di dalam
wilayah administratifnya yang tidak boleh dicampuri.
12
Selain telah menggusur beberapa dusun dan membelah desa menjadi dua
bagian, keberadaan Taman Wisata candi Borobudur dan beragam kegiatannya
telah memberikan dampak yang intensif terhadap wilayah dan masyarakat Desa
Borobudur.
Dalam perkembangannya, keadaan pengelolaan kawasan pusaka
Borobudur pun telah disadari harus diperbarui agar sesuai dengan yang ada saat
ini. Sejak tahun 2008, langkah-langkah menyusun masterplan kawasan pusaka
Borobudur telah digiatkan dan dalam berbagai kesempatan melibatkan pula wakil
masyarakat setempat. Dengan sebuah tujuan menjadikan kawasan ini sebagai
Kawasan Strategis Nasional, masyarakat pedesaan di Borobudur merasa harus
lebih tahu apa yang mereka punya dan apa yang ingin mereka kembangkan di
wilayahnya.
2.2 Kepercayaan Hindu Budha di Indonesia
2.2.1 Masuknya Agama Hindu ke Indonesia
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini
dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada
abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah Yupa peninggalan kerajaan
Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan
mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa "Yupa
itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan Yadnya oleh Mulawarman".
Keterangan yang lain menyebutkan bahwa Raja Mulawarman melakukan Yadnya
13
pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan
Vaprakeswara.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang
besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi
kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan
kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu
wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang
di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni
prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan
Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prasasti-prasasti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa
"Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah
raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki
Dewa Wisnu".
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di
Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa
Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja
Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai
manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang
pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung
Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe
lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut
14
Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar,
diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
2.2.2 Masuknya Agama Budha ke Indonesia
Awal abad Masehi, jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat tetapi
beralih ke jalur laut, sehingga secara tidak langsung perdagangan antara Cina dan
India melewati selat Malaka. Untuk itu Indonesia ikut berperan aktif dalam
perdagangan tersebut.
Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara
Indonesia dengan India, dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi
salah satu penyebab masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia.
Mengenai siapa yang membawa atau menyebarkan agama Budha ke
Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti, walaupun demikian para ahli
memberikan pendapat tentang proses masuknya agama Budha ke Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan oleh FD. K. Bosh hal ini menekankan peranan bangsa
Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Budha di Indonesia. Menurutnya
penyebaran budaya India di Indonesia dilakukan oleh para cendikiawan atau
golongan terdidik terutama oleh golongan pendeta Budha atau para biksu, yang
menyebarkan agama Budha ke Asia termasuk Indonesia melalui jalur dagang,
sehingga di Indonesia terbentuk masyarakat Sangha, dan selanjutnya orang-orang
Indonesia yang sudah menjadi biksu, berusaha belajar agama Budha di India.
Setelah kembali dari India mereka membawa kitab suci, bahasa sansekerta,
kemampuan menulis serta kesan-kesan mengenai kebudayaan India. Dengan
demikian peran aktif penyebaran budaya India, tidak hanya orang India tetapi juga
15
orang-orang Indonesia yaitu para biksu Indonesia tersebut. Hal ini dibuktikan
melalui karya seni Indonesia yang sudah mendapat pengaruh India masih
menunjukan ciri-ciri Indonesia.
Jadi hubungan dagang telah menyebabkan terjadinya proses masuknya
Agama Budha ke Indonesia. Hal tersebut menunjukan bahwa masuknya Agama
Budha merupakan satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap didukung oleh
proses perdagangan.
Untuk agama Budha diduga adanya misi penyiar agama Budha yang
disebut dengan Dharmaduta, dan diperkirakan abad 2 Masehi agama Budha
masuk ke Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya penemuan arca Budha
yang terbuat dari perunggu diberbagai daerah di Indonesia antara lain Sempaga
(Sulsel), Jember (Jatim), Bukit Siguntang (Sumsel). Dilihat ciri-cirinya, arca
tersebut berasal dari langgam Amarawati (India Selatan) dari abad 2 - 5 Masehi.
Dan di samping itu juga ditemukan arca perunggu berlanggam Gandhara (India
Utara) di Kota Bangun, Kutai (Kaltim).
2.2.3 Akulturasi Kebudayaan Hindu Budha di Masyarakat Indonesia
Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-
kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan
mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian
menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu
kelompok atau kedua-duanya.
Adanya kontak dagang antara Indonesia dengan India, maka
mengakibatkan adanya kontak budaya atau akulturasi yang menghasilkan bentuk-
16
bentuk kebudayaan baru tetapi tidak melenyapkan kepribadian kebudayaan
sendiri. Harus Anda pahami masuknya pengaruh Hindu dan Budha merupakan
satu proses tersendiri yang terpisah namun tetap didukung oleh proses
perdagangan.
Salah satu wujud akulturasi kebudayaan Hindu Budha di Indonesia yaitu
dari bidang kesenian meliputi seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan. Dalam
seni rupa contoh wujud akulturasinya dapat dilihat dari relief dinding candi
(gambar timbul), gambar timbul pada candi tersebut banyak menggambarkan
suatu kisah/cerita yang berhubungan dengan ajaran agama Hindu ataupun Budha.
Relief dari candi Borobudur yang menggambarkan Budha sedang digoda
oleh Mara yang menari-nari diiringi gendang. Relief ini mengisahkan riwayat
hidup Sang Budha seperti yang terdapat dalam kitab Lalitawistara. Demikian pula
halnya dengan candi-candi Hindu. Relief-reliefnya yang juga mengambil kisah
yang terdapat dalam kepercayaan Hindu seperti kisah Ramayana yang
digambarkan melalui relief candi Prambanan ataupun candi Panataran.
Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia
juga mengambil kisah asli cerita tersebut, tetapi suasana kehidupan yang
digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam
ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian terbukti bahwa Indonesia tidak
menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan
keadaan dan suasana di Indonesia.
Untuk wujud akulturasi dalam seni sastra dapat dibuktikan dengan adanya
suatu cerita/kisah yang berkembang di Indonesia yang bersumber dari kitab
17
Ramayana yang ditulis oleh Walmiki dan kitab Mahabarata yang ditulis oleh
Wiyasa. Kedua kitab tersebut merupakan kitab kepercayaan umat Hindu. Tetapi
setelah berkembang di Indonesia tidak sama proses seperti aslinya dari India
karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa
Jawa kuno. Dan,tokoh-tokoh cerita dalam kisah tersebut ditambah dengan
hadirnya tokoh punokawan seperti Semar, Bagong, Petruk dan Gareng. Bahkan
dalam kisah Bharatayuda yang disadur dari kitab Mahabarata tidak menceritakan
perang antar Pendawa dan Kurawa, melainkan menceritakan kemenangan
Jayabaya dari Kediri melawan Jenggala.
Di samping itu juga, kisah Ramayana maupun Mahabarata diambil sebagai
suatu cerita dalam seni pertunjukan di Indonesia yaitu salah satunya pertunjukan
Wayang. Seni pertunjukan Wayang merupakan salah satu kebudayaan asli
Indonesia sejak zaman prasejarah dan pertunjukan Wayang tersebut sangat
digemari terutama oleh masyarakat Jawa. Wujud akulturasi dalam pertunjukan
Wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon cerita dari kisah Ramayana
maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis
dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Perubahan tersebut antara
lain terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh cerita misalnya dalam kisah
Mahabarata keberadaan tokoh Dorna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang
maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di
Indonesia Dorna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.
18
2.3 Perkembangan Candi Borobudur Terhadap Kepercayaan Hindu Budha
di Indonesia
Bangunan candi Borobudur tercerminkan sebagai wujud percampuran
antara Budaya asli bangsa Indonesia dengan Budaya Hindu Budha. Candi
Borobudur merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya bangsa Indonesia
dengan Hindu Budha. Candi Borobudur merupakan hasil bangunan zaman
megalitikum yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh
Hindu Budha.
Akibat diterimanya agama Hindu Budha oleh penduduk kepulauan
Indonesia terutama Jawa, maka banyak aspek kebudayaan yang dihubungkan
dengan kedua agama itu menjadi turut berkembang pula. Hal yang dapat diamati
secara nyata terjadi dalam bidang seni arca dan seni bangun (arsitektur).
Relief yang dipahatkan pada candi Borobudur bukan hanya
menggambarkan riwayat sang budha tetapi juga terdapat relief yang
menggambarkan lingkungan alam Indonesia. Terdapat pula relief yang
menggambarkan bentuk perahu bercadik yang menggambarkan kegiatan nenek
moyang bangsa Indonesia pada masa itu.
Bentuk kesenian lain yang turut terpacu sehubungan dengan pesatnya
kehidupan agama Hindu Budha dalam masyarakat adalah seni budaya Hindu
Budha. Banyak karya sastra dan susastra yang diubah dalam masa Hindu Budha
selalu dilandasi dengan kebudayaan Hindu atau Budha. Juga diuraikan perihal
ajaran agama yang dianyam dengan cerita-cerita yang melibatkan para kesatria
dan kerajaan-kerajaan atau kehidupan pertapaan.
19
Pada candi Borobudur disertai pula berbagai macam benda yang ikut
dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi Borobudur juga berfungsi
sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa.
2.3.1 Candi Borobudur Sebagai Pusat Perayaan Hari Keagamaan
Setiap tahun pada bulan purnama penuh pada bulan Mei atau bulan Juni
pada tahun kabisat, umat Budha di Indonesia memperingati hari raya Waisak di
candi Borobudur. Hari raya Waisak diperingati sebagai hari kelahiran, kematian
dan saat ketika Sidharta Gautama memperoleh kebijaksanaan tertinggi dengan
menjadi Budha Shakyamuni. Ketiga peristiwa ini disebut sebagai Trisuci Waisak.
Upacara Waisak dipusatkan pada tiga buah candi Budha dengan berjalan dari
candi Mendut ke candi Pawon dan berakhir di candi Borobudur.
Perayaan hari raya Waisak di candi Borobudur tidak hanya dilakukan oleh
umat Budha yang ada di Indonesia saja, wisatawan asing pun sering
melaksanakan hari raya tersebut di candi Borobudur. Selain dari perayaan hari
raya Waisak, candi Borobudur juga sering digunakan sebagai tempat
dilaksanakannya hari raya keagamaan lainnya. Dengan demikian candi Borobudur
memiliki perkembangan dalam bidang budaya terutama dalam bidang keagamaan
atau kepercayaan.
2.3.2 Candi Borobudur Sebagai Tempat Wisata Ziarah
Disamping sebagai pusat wisata budaya seperti selama ini kita kenal, candi
Borobudur juga sangat potensial sebagai pusat wisata ziarah. Wisata ziarah
merupakan salah satu preferensi calon konsumen (wisatawan) terhadap atribut
20
keagamaan Budha dari keberadaan candi Borobudur. Terjadi proses nilai tambah
dari wisata ziarah dibandingkan dengan sebelumnya.
Enam dari sepuluh negara anggota ASEAN adalah negara yang
penduduknya banyak beragama Budha, yaitu Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja,
Myanmar, Singapura. Umat Budha di negara-negara tersebut merupakan calon
wisatawan mancanegara yang potensial ke Indonesia, terutama ke candi
Borobudur.
Terlebih lagi umat Budha di negara-negara Asia lainnya yaitu RRC,
Korea, Taiwan, Jepang, Hongkong, Sri Langka, Nepal, dan lain lain. Serta perlu
dipertimbangkan pula Umat Budha di Amerika, Eropah, Australia dan seterusnya,
merupakan potensi wisata ziarah bagi candi agung Borobudur.
Wisata ziarah Budha sudah lazim dilakukan di candi Borobudur. Hal ini dapat
menjadi bukti bahwa candi Borobudur merupakan wisata ziarah andalan bagi
umat Budha.
2.3.3 Candi Borobudur sebagai Warisan Luhur Bangsa Indonesia
Candi Borobudur adalah sebuah candi raksasa yang megah dan kokoh.
Candi Borobudur merupakan peninggalan dari kebudayaan Budha yang pernah
ada di Indonesia. Menurut hasil penyelidikan seorang antropolog-etnolog Austria,
Robert von Heine Geldern, nenek moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata
budaya pada zaman Neolithic dan Megalithic yang berasal dari Vietnam Selatan
dan Kamboja. Pada zaman Megalithic itu nenek moyang bangsa Indonesia
membuat makam leluhurnya sekaligus tempat pemujaan berupa bangunan
21
piramida bersusun, semakin ke atas semakin kecil seperti bangunan candi
Borobudur.
Bentuk bangunan candi Borobudur merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Penyebaran kebudayaan di
candi Borobudur menghasilkan Akulturasi, Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi
adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa
menghilangkan unsur kebudayaan asli. Asimilasi adalah bercampurnya dua
kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis adalah
bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah
kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
Nilai kebudayaan yang terkandung di candi Borobudur mengingatkan kita
kepada nenek moyang kita yang kaya akan kebudayaan. Salah satu bentuk dari
buah karya nenek moyang kita yaitu candi Borobudur, sehingga kita harus
mengakui bahwa candi Borobudur merupakan warisan luhur bangsa kita
Indonesia.