PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

31
TUGAS ARTIKEL ILMU BUDAYA DASAR PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA Oleh: ALIFUDDIN WACHID 09650153 E JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULATAS SAINS DAN TEKNOLOGI

Transcript of PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Page 1: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

TUGAS ARTIKEL

ILMU BUDAYA DASAR

PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Oleh:

ALIFUDDIN WACHID

09650153

E

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA

FAKULATAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

2009

Page 2: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Sebelum mengulas tentang perkembangan budaya Jawa saat ini kita perlu

mengetahui pengertian dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan berasal dari bahasa

Sanskerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau

akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan dengan budi dan akal.

Kebudayaan didefinisikan sebagai sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau

gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari,

kebudayaan itu bersifat abstrak1.

Di masa sekarang perkembangan budaya daerah di Indonesia cenderung

stagnan atau malah bisa terpuruk dikarenakan serbuan budaya-budaya dari luar negeri

terutama kebudayaan barat yang terdukung oleh perkembangan teknologi yang

sekarang ini banyak dikuasai oleh orang-orang dari Eropa dan Amerika. Mereka

menampilkan beragam kebudayaan barat yang sebagian besar sesungguhnya

bertentangan dengan ajaran agama Islam yang banyak dianut oleh masyarakat

Indonesia.

Budaya Jawa berkembang seiring dengan penyebaran penduduk suku Jawa ke

berbagai wilayah di dunia sejak masa penjajahan Belanda hingga masa sekarang.

Seperti yang sudah kita ketahui penduduk suku Jawa telah menyebar hingga ke benua

Amerika yaitu di negara Suriname ketika masa penjajahan Belanda untuk

dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan milik Belanda.

Kebudayaan Jawa terbentuk sejak jaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha

berkuasa di pulau jawa sehingga sebagian besar hasil-hasil kebudayaan Jawa

dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu-Budha. Hal ini terbukti ketika diadakan suatu

acara yang terkadang menggunakan sesajen dari buah-buahan seperti yang dilakukan

umat Hindu di Bali. Hal-hal seperti ini bisa menimbulkan syirik yaitu menyekutukan

Allah sebagai satu-satunya Tuhan di alam semesta. Di beberapa daerah hal ini malah

dijadikan suatu kegiatan rutin yang dilakukan setiap tahun, misalkan setelah panen

raya mereka melakukan “sedekah bumi” dan melarung sebagian hasil bumi mereka ke

sungai atau ke laut dengan harapan musim panen yang akan datang mereka

mendapatkan hasil panen yang melimpah. Kegiatan ini juga dijadikan sebagai penarik

1 Herimanto;Winarno, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Cet. II; Jakarta Timur: Bumi Aksara, 2009), h.25

Page 3: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

wisatawan untuk sekedar melihat prosesi “sedekah bumi” seperti yang terlihat di

dalam foto di bawah ini.

Kegiatan-kegiatan tradisi yang masih tercampur dengan budaya Hindu-Budha

ini sulit dihilangkan karena tersebar ke pelosok-pelosok daerah di mana suku Jawa

tersebut tinggal. Bahkan di kalangan kraton Solo dan Jogjakarta pun saat mengadakan

acara-acara tradisi kraton sering terlihat menggunakan hal-hal berbau klenik yang

menggunakan sesajen ataupun kemenyan.

Dalam perayaan hari-hari besar Islam pun kedua kraton ini mengadakan acara

yang disebut dengan “grebegan” yaitu upacara adat berupa sedekah yang dilakukan

pihak kraton kepada masyarakat berupa gunungan2. Ritual Grebeg ini hanya diadakan

setahun tiga kali. Pertama, saat Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai akhir dari

pesta rakyat, Sekaten, disebut Grebeg Mulud. Kedua, saat memasuki bulan Syawal,

sebagai ungkapan terimakasih karena telah berhasil menjalankan ibadah puasa,

disebut Grebeg Pasa atau Grebeg Syawal. Dan ketiga, pada tanggal 10 Dzulhijjah atau

10 Besar, yang dikenal sebagai Idul Adha, disebut Grebeg Besar3.

Menilik sejarah, kata “grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh,

ribut, dan ramai. Tentu saja ini menggambarkan suasana grebeg yang memang ramai

dan riuh. Gunungan pun memiliki makna filosofi tertentu. Gunungan yang berisi hasil

bumi (sayur dan buah) dan jajanan (rengginang) ini merupakan simbol dari

kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat2.

Pada upacara grebeg ini, gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler

(pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan. Gunungan ini dibawa

2 http://jengjeng.matriphe.com/grebeg-maulud-puncak-acara-sekaten.html3 http://wismabahasa.wordpress.com/2007/10/03/tradisi-grebeg-syawal/

Page 4: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan

berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah

lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker.

Gunungan diberangkatkan dari Kori Kamandungan dengan diiringi tembakan salvo

dan dikawal sepuluh bregada prajurit kraton sekitar pukul 10 siang. Dari

Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di alun-

alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol.

Saat berangkat dari kraton, barisan terdepan adalah prajurit Wirabraja yang sering

disebut dengan prajurit lombok abang karena pakaiannya yang khas berwarna merah-

merah dan bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok. Sebagai catatan, prajurit

Wirabraja memang mempunyai tugas sebagai “cucuking laku”, alias pasukan garda

terdepan di setiap upacara kraton. Kemudian ketika acara serah terima gunungan di

halaman Masjid Gedhe, prajurit yang mengawal adalah prajurit Bugis yang

berseragam hitam-hitam dengan topinya yang khas serta prajurit Surakarsa yang

berpakaian putih-putih4.

Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk kemudian

didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan. Namun belum selesai doa

diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh

penjuru Jogja. Yang memprihatinkan, banyak sekali nenek-nenek yang ikut berebut

gunungan. Memang ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barangsiapa yang

4 http://jengjeng.matriphe.com/grebeg-maulud-puncak-acara-sekaten.html

Page 5: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah. Filosofi

berebut atau “ngrayah” ini menggambarkan bahwa untuk mencapai suatu tujuan,

manusia harus “ngrayah” atau berusaha untuk mengambilnya5.

Kegiatan ini juga sering ditayangkan oleh beberapa stasiun tv nasional.

Reporter mereka mewawancarai beberapa orang yang ikut berebut untuk

mendapatkan bagian dari gunungan tersebur. Alasan mereka umumnya sama yaitu

ingin mendapatkan berkah dari bagian dari gunungan yang mereka dapatkan. Entah

itu rejeki, jodoh, umur panjang, ataupun yang lainnya. Kemudian saat ditanya akan

diapakan bagian yang mereka dapat itu mereka mengatakan bahwa bagian yang

mereka dapat itu akan disimpan di rumah agar mendatangkan keamanan dan

ketentraman di rumahnya atau dijadikan penglaris di tempat ia berdagang.

Memang, tradisi ini tidak lepas dari masuknya pengaruh Islam di tanah Jawa.

Dan hanya di ritual Grebeg inilah rakyat bisa menyaksikan kesepuluh prajurit keraton

dari dekat, terutama saat mereka mengawal Gunungan. Memang hasil bumi dan

jajanan itu dapat dengan mudah ditemui di pasar-pasar, namun segala hal yang berbau

Keraton bagi rakyat Jogja yang masih teguh memegang tradisi adalah sesuatu yang

keramat dan membawa rejeki. Istilahya adalah “Ngalap Berkah”. Terlepas dari aspek

“Ngalap Berkah”, tradisi rutin ini adalah sebuah daya tarik pariwisata bagi kota

Jogjakarta. Tentu saja selain menggaet banyak wisatawan lokal maupun mancanegara,

5 http://jengjeng.matriphe.com/grebeg-maulud-puncak-acara-sekaten.html

Page 6: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

tradisi budaya ini menunjukkan bahwa Kasultanan Ngayogyakarta bagi rakyat

Jogjakarta tidak hanya sebagai pemerintah tetapi juga sebuah ikon pengabdian rakyat

kepada kepada pemimpinnya yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X.6

Kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan

tersebut membawa berkah bagi dirinya telah menjurus ke arah syirik/menyekutukan

Allah swt. padahal tradisi ini didasari untuk memperingati hari-hari besar Islam.

Seharusnya sudah sejak dari dulu pihak kraton yang mengadakan acara ini telah

mewaspadai terjadinya penyelewengan maksud dari penyelenggaraan tradisi ini.

Sebaiknya tradisi ini dimulai dengan adanya ceramah keagamaan terlebih dahulu dan

mengingatkan bahwa yang maha memberi berkah adalah Allah swt. dan mempercayai

sesuatu selain Allah dapat memberikan keberkahan merupakan salah satu perbuatan

syirik/menyekutukan Allah yang merupakan salah satu dosa yang paling besar.

Selain tradisi grebegan suku Jawa juga memiliki banyak hasil-hasil

kebudayaan yang lain, berikut akan saya ulas beberapa kebudayaan dari suku Jawa.

1. Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa

terutama di beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota

Cilegon dan kabupaten Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara

terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu, kota Cirebon dan

kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia7.

Bahasa Jawa menyebar seiring tersebarnya penduduk suku Jawa ke berbagai

daerah baik itu di Indonesia maupun ke mancanegara seperti di Malaysia, Suriname,

dan Belanda. Bahkan di Malaysia terdapat kawasan pemukiman Jawa yang dikenal

dengan nama kampung Jawa atau padang Jawa.

Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang

didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung

(61,9%), Sumatra Utara (32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus

masyarakat Jawa di Sumatra Utara, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak

yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah

Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa

6 http://wismabahasa.wordpress.com/2007/10/03/tradisi-grebeg-syawal/7 http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa

Page 7: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui

program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda8.

Di dalam Bahasa Jawa terdapat banyak perbedaan dalam pengucapan

bahasanya atau sering disebut perbedaan dialek. Perbedaan ini diklasifikasikan

menjadi dua yaitu :

1. Dialek menurut daerah

2. Dialek menurut status sosial

Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan

Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia.

Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat.

Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk

klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat

E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the

Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff8.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :

1. Dialek Banten

2. Dialek Cirebon

3. Dialek Tegal

4. Dialek Banyumasan

5. Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :

1. Dialek Pekalongan

2. Dialek Kedu

3. Dialek Bagelen

4. Dialek Semarang

5. Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)

6. Dialek Blora

7. Dialek Surakarta

8 http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa

Page 8: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

8. Dialek Yogyakarta

Kedua dialek diatas yaitu Dialek Surakarta dan Dialek Yogyakarta dianggap

sebagai bahasa baku dari berbagai macam dialek bahasa Jawa.

9. Dialek Madiun

Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek

Surakarta dan Yogyakarta.

Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :

1. Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)

2. Dialek Surabaya

3. Dialek Malang

4. Dialek Jombang

5. Dialek Tengger

6. Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.

Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :

1. Ngoko lugu

Dialek Ngoko lugu ini merupakan dialek yang paling sering digunakan karena

yang paling sering digunakan karena lebih mudah dipelajari dan digunakan daripada

dialek sosial lainnya. Dialek ini digunakan ketika berbicara dengan sesama teman,

kepada orang yang lebih muda umurnya, ataupun kepada seseorang yang lebih rendah

kedudukannya.

2. Ngoko andhap

3. Madhya

4. Madhyantara

5. Krama

6. Krama Inggil

Page 9: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Dialek ini biasanya digunakan ketika berbicara dengan orang tua, kepada

orang yang status sosialnya lebih tinggi, atau kepada seseorang yang kita hormati.

7. Bagongan

8. Kedhaton

Kedua dialek terakhir digunakan di kalangan keluarga Keraton dan sulit dipahami

oleh orang Jawa kebanyakan.

Dengan memakai kata-kata yang berbeda, dalam sebuah kalimat yang secara

tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap

lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan. Namun harus diakui bahwa

tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya. Biasanya mereka hanya

mengenal ngoko dan sejenis madya9.

Perkembangan bahasa Jawa kini cenderung turun dikarenakan semakin

berkembangnya penggunaan bahasa Indonesia. Hal ini bisa kita temukan di daerah

perkotaan yang biasanya banyak yang berasal dari suku Jawa kita jarang mendengar

pembicaraan yang menggunakan bahasa Jawa padahal daerah tersebut berada di pulau

Jawa. Namun jika kita berada di daerah pedesaan yang sebagian besar dihuni oleh

suku Jawa kita akan mudah menemukan orang yang menggunakan bahasa Jawa.

2. Aksara Jawa

Aksara Jawa adalah jenis tulisan yang digunakan oleh masyarakat suku Jawa.

Aksara Jawa merupakan pengembangan dari huruf Pallawa yang berasal dari

kebudayaan Hindu-Budha India. Masing-masing huruf ini mempunyai makna

tersendiri, berikut makna-makna dari masing-masing aksara Jawa :

Ha Hana hurip wening suci - adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci

Na Nur candra, gaib candra, warsitaning candara - pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Illahi

Ca Cipta wening, cipta mandulu, cipta dadi - arah dan tujuan pada Yang Maha Tunggal

Ra Rasaingsun handulusih - rasa cinta sejati muncul dari cinta kasih nurani

9 http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa

Page 10: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Ka Karsaningsun memayuhayuning bawana - hasrat diarahkan untuk kesajeteraan alam

Da Dumadining dzat kang tanpa winangenan - menerima hidup apa adanya

Ta Tatas, tutus, titis, titi lan wibawa - mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup

Sa Sifat ingsun handulu sifatullah - membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan

Wa Wujud hana tan kena kinira - ilmu manusia hanya terbatas namun implikasinya bisa tanpa batas

La Lir handaya paseban jati - mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi

Pa Papan kang tanpa kiblat - Hakekat Allah yang ada disegala arah

Dha Dhuwur wekasane endek wiwitane - Untuk bisa diatas tentu dimulai dari dasar

Ja Jumbuhing kawula lan Gusti - Selalu berusaha menyatu memahami kehendak-Nya

Ya Yakin marang samubarang tumindak kang dumadi - yakin atas titah/kodrat Illahi

Nya Nyata tanpa mata, ngerti tanpa diuruki - memahami kodrat kehidupan

Ma Madep mantep manembah mring Ilahi - yakin/mantap dalam menyembah Ilahi

Ga Guru sejati sing muruki - belajar pada guru nurani

Ba Bayu sejati kang andalani - menyelaraskan diri pada gerak alam

Tha Tukul saka niat - sesuatu harus dimulai dan tumbuh dari niatan

Nga Ngracut busananing manungso - melepaskan egoisme pribadi manusia.

Aksara Jawa memiliki 20 huruf dasar, 20 huruf pasangan yang berfungsi

menutup bunyi vokal, 8 huruf "utama" (aksara murda, ada yang tidak berpasangan), 8

pasangan huruf utama, lima aksara swara (huruf vokal depan), lima aksara rekan dan

lima pasangannya, beberapa sandhangan sebagai pengatur vokal, beberapa huruf

khusus, beberapa tanda baca, dan beberapa tanda pengatur tata penulisan (pada).

Page 11: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Huruf dasar (aksara nglegena)

Pada aksara Jawa hanacaraka baku terdapat 20 huruf dasar (aksara nglegena),

yang biasa diurutkan menjadi suatu "cerita pendek". Berikut ini adalah aksara

nglegena:

Huruf pasangan (Aksara pasangan)

Pasangan dipakai untuk menekan vokal konsonan di depannya. Sebagai

contoh, untuk menuliskan mangan sega akan diperlukan pasangan untuk "se" agar "n"

pada mangan tidak bersuara. Tanpa pasangan "s" tulisan akan terbaca manganasega.

Tatacara penulisan Jawa Hanacaraka tidak mengenal spasi, sehingga

penggunaan pasangan dapat memperjelas makna kata.

Page 12: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Huruf utama (aksara murda)

Pada aksara hanacaraka memiliki bentuk murda (mirip dengan huruf kapital)

yang seringkali digunakan untuk menuliskan kata-kata yang menunjukkan :

Nama Gelar

Nama Diri

Nama Geografi

Nama Lembaga Pemerintah

Dan Nama Lembaga Berbadan Hukum.

Huruf Vokal Mandiri (aksara swara)

Aksara Swara sebagaimana aksara Murda memiliki fungsi dan kegunaan

tertentu. Aksara Swara dalam penulisan Hanacaraka digunakan untuk menuliskan

aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing, untuk

mempertegas pelafalannya.

Sandhangan Aksara Jawa

Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan

Jawa. Di dalam tulisan jawa, aksara yang tidak mendapat sandangan diucapkan

sebagai gabungan anatara konsonan dan vokal a. Vokal a di dalam bahasa Jawa

mempunya dua macam varian, yakni / / dan /a/.

Page 13: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Vokal a dilafalkan seperti o pada kata bom, pokok, tolong, tokoh doi dalam

bahasa Indonesia

Vokal a dilafalkan /a/, seperti a pada kata pas, ada, siapa, semua di dalam

bahasa Indonesia

Sandangan di dalam aksara jawa dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni

sebagai berikut :

1. Sandangan Bunyi Vokal (Sandhangan Swara)

2. Sandangan Konsonan Penutup Suku Kata (Sandhangan Panyigeging Wanda)

3. Sandangan Gugus Konsonan

Tanda-tanda Baca (pratandha)

Page 14: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Dalam Aksara Jawa terdapat pula tanda-tanda baca yang digunakan dalam

penulisan kalimat, paragraf dan lainnya. Berikut tanda baca dalam aksara Jawa:

Angka Jawa

Angka Jawa dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Angka jawa

adalah sebagai berikut :

Angka dipakai untuk menyatakan angka dipakai untuk menyatakan (i) Ukuran

panjang, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.

Page 15: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Penulisan angka untuk kasus ini dilakukan dengan mengapitkan tanda pada

pangkat di awal dan di akhir penulisan angka.

Untuk menuliskan satuan dari suatu bilangan, maka satuan itu bisa dituliskan

dalam bentuk kata lengkapnya. sebagai contoh kilogram, meter, kilometer, dan

sebagainya.

Penggunaan (pengejaan) hanacaraka dilokakaryakan pertama kali pada tahun

1926 untuk menyeragamkan tata cara penulisan menggunakan aksara ini, sejalan

dengan makin meningkatnya volume cetakan menggunakan aksara ini, meskipun pada

saat yang sama penggunaan huruf arab pegon dan huruf latin bagi teks-teks berbahasa

Jawa juga meningkat frekuensinya. Pertemuan pertama ini menghasilkan Wewaton

Sriwedari (Ketetapan Sriwedari), yang memberi landasan dasar bagi pengejaan

tulisan. Nama Sriwedari digunakan karena lokakarya itu berlangsung di Sriwedari,

Surakarta. Salah satu perubahan yang penting adalah pengurangan penggunaan taling-

tarung bagi bunyi /o/. Alih-alih menuliskan "Ronggawarsita" (bentuk ini banyak

dipakai pada naskah-naskah abad ke-19), dengan ejaan baru penulisan menjadi

"Ranggawarsita", mengurangi penggunaan taling-tarung.

Modifikasi ejaan baru dilakukan lagi tujuh puluh tahun kemudian, seiring

dengan keprihatinan para ahli mengenai turunnya minat generasi baru dalam

mempelajari tulisan hanacaraka. Kemudian dikeluarkanlah Surat Keputusan Bersama

(SKB) tiga gubernur (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur) pada tahun

1996 yang berusaha menyelaraskan tata cara penulisan yang diajarkan di sekolah-

sekolah di ketiga provinsi tersebut.

Tonggak perubahan lainnya adalah aturan yang dikeluarkan pada Kongres

Basa Jawa III, 15-21 Juli 2001 di Yogyakarta. Perubahan yang dihasilkan kongres ini

adalah beberapa penyederhanaan penulisan bentuk-bentuk gabungan (kata dasar +

imbuhan).

Penggunaan aksara Hanacaraka

Aksara Jawa masih diajarkan di sekolah-sekolah di wilayah berbahasa Jawa

sampai sekarang (Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta), sebagai

bagian dari muatan lokal dari kelas 3 hingga kelas 5 SD. Walaupun demikian,

penggunaannya dalam surat-surat resmi/penting, surat kabar, televisi, media luar

Page 16: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

ruang, dan sebagainya sangatlah terbatas dan terdesak oleh penggunaan alfabet Latin

yang lebih mudah diakses. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom

menggunakan aksara Jawa.

Penguasaan aksara ini dianggap penting untuk mempelajari naskah-naskah

lama, tetapi tidak terlihat usaha untuk menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari.

Usaha-usaha revivalisasi bersifat simbolik dan tidak fungsional, seperti pada

penulisan nama jalan atau kampung. Salah satu penghambatnya adalah tidak adanya

usaha ke arah pengembangan ortografi/tipografi aksara ini.

Integrasi Hanacaraka ke dalam sistem informasi komputer

Usaha-usaha untuk mengintegrasikan aksara ini ke sistem informasi elektronik

telah dilakukan sejak 1983 oleh peneliti dari Universitas Leiden (dipimpin Willem

van der Molen). Integrasi ini diperlukan agar setiap anggota aksara Jawa memiliki

kode yang khas yang diakui di seluruh dunia.

Jeroen Hellingman mengajukan proposal untuk mendaftarkan aksara ini ke

Unicode pada pertengahan tahun 1993 dan Maret 1998. Selanjutnya, Jason Glavy

membuat "font" aksara Jawa yang diedarkan secara bebas sejak 2002 dan mengajukan

proposal pula ke Unicode. Di Indonesia Ermawan Pratomo membuat hanacaraka font

pada tahun 2001, Teguh Budi Sayoga pada tahun 2004 telah pula membuat suatu font

aksara Jawa untuk Windows (disebut "Hanacaraka") berdasarkan ANSI. Matthew

Arciniega membuat screen font untuk Mac pada tahun 1992 dan ia namakan

"Surakarta". Yang terbaru adalah yang digarap oleh Bayu Kusuma Purwanto (2006),

yang dapat diekspor ke dalam html.

Baru sejak awal 2005 dilakukan usaha bertahap yang nyata untuk

mengintegrasikan aksara Jawa ke dalam Unicode setelah Michael Everson membuat

suatu code table sementara untuk didaftarkan. Kelambatan ini terjadi karena

kurangnya dukungan dari masyarakat pengguna aksara ini. Baru semenjak masa ini

mulai terhimpun dukungan dari masyarakat pengguna. Aksara Jawa Hanacaraka saat

ini telah dirilis dalam Unicode versi 5.2 (tergabung dalam Amandemen 6) yang keluar

pada tanggal 1 Oktober 2009. Alokasi Memori Aksara Jawa (Javanese) pada Unicode

5.2.0 adalah di alamat A980 sampai dengan A9DF.

3. Batik

Page 17: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Kata "batik" berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: "amba", yang

bermakna "menulis" dan "titik" yang bermakna "titik". Batik adalah salah satu cara

pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama

adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah

pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai

wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan

teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan.

Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif

dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan

Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and

Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009.

Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi

bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Perempuan-perempuan

Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata

pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif

perempuan sampai ditemukannya "Batik Cap" yang memungkinkan masuknya laki-

laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik

pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak "Mega

Mendung", dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi

kaum lelaki.

Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun,

sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu.

Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini,

Page 18: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan

Surakarta.

Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing.

Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak

hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai

pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah.

Warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh Tionghoa, yang juga

mempopulerkan corak phoenix.

Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya

adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga

benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga

warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru. Batik tradisonal tetap

mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena

biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing10.

Kini batik berkembang dengan pesat, batik yang dulunya hanya digunakan

ketika menghadiri acara-acara resmi kini telah mulai digunakan sebagai pakaian

sehari-hari. Desain batik juga berkembang pesat dengan semakin bertambahnya

jumlah desainer/perancang baju yang menerjunkan diri untuk mengembangkan batik

dan memperkenalkannya ke negara-negara lain.

4. Wayang

Wayang ada yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang

dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka

yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa

wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang

biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia, yang terutama berkembang di

Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga menjadi narator dialog

tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh musik gamelan yang dimainkan

sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang

memainkan wayang kulit di balik kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih,

sementara di belakangnya disorotkan lampu listrik atau lampu minyak (blencong),

sehingga para penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan

10 http://id.wikipedia.org/wiki/Batik

Page 19: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang (lakon), penonton

harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang bayangannya tampil di

layar.

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan

Ramayana, tetapi tak dibatasi hanya dengan pakem (standard) tersebut, ki dalang bisa

juga memainkan lakon carangan (gubahan). Beberapa cerita diambil dari cerita Panji.

Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7

November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita

narasi dan warisan yang indah dan berharga (Masterpiece of Oral and Intangible

Heritage of Humanity)11.

Generasi sekarang pada umumnya kurang menyukai pertunjukan wayang, hal

ini mungkin disebabkan karena jarang adanya pementasan, dan kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang wayang. Mereka lebih menyukai film atau sinetron

yang ditayangkan setiap hari di televisi.

5. Gamelan Jawa

Gamelan Jawa merupakan Budaya Hindu yang digubah oleh Sunan Bonang,

guna mendorong kecintaan pada kehidupan Transedental (Alam Malakut) ”Tombo

Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Sampai saat ini tembang tersebut masih

dinyanyikan dengan nilai ajaran Islam, juga pada pentas-pentas seperti wayang atau

acara-acara kraton.

11 http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_kulit

Page 20: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

Kini gamelan semakin dikenal oleh masyarakat mancanegara dengan

diperkenalkannya ke negara-negara lain lewat promosi pariwisata yang sering

dilakukan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Bahkan banyak orang luar

yang ingin mempelajari cara bermain gamelan. Namun sayangnya, kita sebagai

bangsa pemilik budaya tersebut malah sering tidak mengerti tentang budaya milik

sendiri.

6. Keris

Keris adalah senjata tikam suku jawa yang menjadi salah satu ciri khas

Indonesia. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah

digunakan sejak abad ke-9. Kuat kemungkinannya bahwa keris telah digunakan

sebelum masa tersebut. Menteri Kebudyaan Indonesia, Jero Wacik telah membawa

keris ke UNESCO dan meminta jaminan bahwa ini adalah warisan budaya Indonesia.

Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Pada masa

sekarang, keris umum dikenal di daerah Indonesia (terutama di daerah Jawa, Madura,

Bali/Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan, serta sebagian Sulawesi), Malaysia,

Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di daerah Mindanao). Di Mindanao, bentuk

Page 21: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

senjata yang juga disebut keris tidak banyak memiliki kemiripan meskipun juga

merupakan senjata tikam.

Keris memiliki berbagai macam bentuk, misalnya ada yang bilahnya berkelok-

kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa

menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteri yang berbeda. Selain

digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan

supranatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional,

seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.

Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah

Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa

damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatra,

Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.

Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bilahnya. Bilah keris

tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai

logam yang berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memiliki kekhasan

berupa pamor pada bilahnya12.

Di masa kini keris hanya dijadikan sebagai hiasan penghias rumah saja. Akan

tetapi penggemar keris tetap banyak dijumpai karena mereka menganggap keris

adalah barang yang sangat berharga.

Masih banyak lagi hasil-hasil budaya dari suku Jawa yang belum tersebutkan.

Bisa kita lihat dengan banyaknya hasil-hasil budaya dari suku Jawa menunjukkan

bahwa budaya Jawa adalah budaya yang kaya akan budaya. Akan tetapi kita harus

selalu berusaha melestarikan budaya-budaya daerah agar budaya daerah kita tidak

punah ditelan kemajuan jaman dan bisa dinikmati oleh generasi-generasi penerus kita

di masa mendatang.

12 http://id.wikipedia.org/wiki/Keris

Page 22: PERKEMBANGAN BUDAYA JAWA

DAFTAR PUSTAKA

http://jengjeng.matriphe.com/grebeg-maulud-puncak-acara-sekaten.html

http://wismabahasa.wordpress.com/2007/10/03/tradisi-grebeg-syawal/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa

http://id.wikibooks.org/wiki/pengantar_aksara_jawa

http://id.wikipedia.org/wiki/hanacaraka

http://id.wikipedia.org/wiki/Batik

http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang_kulit

http://id.wikipedia.org/wiki/Keris