Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan...

6
Pasar yang berkembang pesat untuk biofuel dan minyak nabati, terutama di China, India, Eropa Timur, dan Timur Tengah serta Amerika dan di negara-negara produsen telah menarik investasi besar di Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin. Investasi skala besar tersebut mengakibatkan semakin meningkatnya kontestasi lahan untuk pengembangan perkebunan sawit. Akibatnya, seringkali para petani tergerak untuk melawan niat dan kepentingan korporasi dan institusi pemerintah. Fakta menunjukkan terjadi proses transformasi penggunaan lahan dan kawasan ini secara bertahap yang terintegrasi ke dalam pasar global. Policy brief ini mencoba menjelaskan bagaimana beragam aktor dan institusi pemerintahan, memfasilitasi upaya-upaya penyelesaian kompleksitas tenurial di tingkat kebijakan dan lapangan. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2017) tercatat ada 2,5 juta ha perkebunan sawit di kawasan hutan. Dari jumlah itu 1,7 juta ha diindikasi perkebunan rakyat dan 800,000 ha perusahaan. Sementara Direktorat Jenderal Planologi mengindikasikan perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 2,319, 148 ha. Membiarkan permasalahan ini berlarut-larut, tanpa ada keberanian mengambil pilihan kebijakan, tentunya bisa berdampak luar biasa, bagi pemerintah, swasta maupun masyarakat lokal. Untuk menyelesaikan persoalan tenurial sawit tentunya tidak sederhana mengingat kompleksitas permasalahan yang ada. Tanpa penyelesaian yang komprehensif maka kekawatiran akan adanya''transfer of hate'' yang memantik konflik sosial seperti yang terjadi secara periodik di Kalimantan Barat, bisa terulang kembali. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya hegemoni kontrol atas sumber daya hutan dan perkebunan oleh korporasi. Saat ini diperlukan beberapa solusi alternatif terobosan agar persoalan sawit yang berada di kawasan hutan tidak berlarut-larut. Mengharapkan solusi permanen barangkali sesuatu yang utopis, namun terobosan-terobosan baru tetap diperlukan. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim Lukas Rumboko Wibowo, Ismatul Hakim, Heru Komarudin dan Dewi Ratna Kurniasari 1 Policy Brief Volume 12 No. 03 Tahun 2018 Penyelesaian Tenurial Penyelesaian Tenurial Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan Ringkasan Eksekutif (Executive Summary) ISSN: 2085-787X

Transcript of Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan...

Pasar yang berkembang pesat untuk biofuel dan minyak nabati, terutama di China, India, Eropa Timur, dan Timur Tengah serta Amerika dan di negara-negara produsen telah menarik investasi besar di Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin. Investasi skala besar tersebut mengakibatkan semakin meningkatnya kontestasi lahan untuk pengembangan perkebunan sawit. Akibatnya, seringkali para petani tergerak untuk melawan niat dan kepentingan korporasi dan institusi pemerintah. Fakta menunjukkan terjadi proses transformasi penggunaan lahan dan kawasan ini secara bertahap yang terintegrasi ke dalam pasar global. Policy brief ini mencoba menjelaskan bagaimana beragam aktor dan institusi pemerintahan, memfasilitasi upaya-upaya penyelesaian kompleksitas tenurial di tingkat kebijakan dan lapangan.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan (2017) tercatat ada 2,5 juta ha perkebunan sawit di kawasan hutan. Dari jumlah itu 1,7 juta ha diindikasi perkebunan rakyat dan 800,000 ha perusahaan. Sementara Direktorat Jenderal Planologi mengindikasikan perkebunan sawit di kawasan hutan seluas 2,319, 148 ha. Membiarkan permasalahan ini berlarut-larut, tanpa ada keberanian mengambil pilihan kebijakan, tentunya bisa berdampak luar biasa, bagi pemerintah, swasta maupun masyarakat lokal. Untuk menyelesaikan persoalan tenurial sawit tentunya tidak sederhana mengingat kompleksitas permasalahan yang ada. Tanpa penyelesaian yang komprehensif maka kekawatiran akan adanya''transfer of hate'' yang memantik konflik sosial seperti yang terjadi secara periodik di Kalimantan Barat, bisa terulang kembali. Salah satu penyebabnya adalah terjadinya hegemoni kontrol atas sumber daya hutan dan perkebunan oleh korporasi.

Saat ini diperlukan beberapa solusi alternatif terobosan agar persoalan sawit yang berada di kawasan hutan tidak berlarut-larut. Mengharapkan solusi permanen barangkali sesuatu yang utopis, namun terobosan-terobosan baru tetap diperlukan.

Badan Penelitian, Pengembangan dan InovasiKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial,Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Lukas Rumboko Wibowo, Ismatul Hakim, Heru Komarudin dan Dewi Ratna Kurniasari

1

PolicyBrief

Volume 12 No. 03 Tahun 2018

Penyelesaian Tenurial

Penyelesaian Tenurial Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan

Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan

RingkasanEksekutif

(ExecutiveSummary)

ISSN: 2085-787X

Masalah pokok yang berkenaan dengan tata kelola sawit, yaitu (1) Dualisme administrasi pertanahan yang mengakibatkan adanya ketidakpastian hukum (Safitri, 2014; Safitri, 2016); (2) Semakin melemahnya institusi-institusi sosial lokal, rapuhnya tindakan kolektif warga sementara di sisi lain pengaruh korporasi terhadap institusi formal semakin kuat, dan adanya dukungan elit lokal dan oknum birokrasi yang terkait (Semedi dan Bakker, 2014), sebagai dampak dari relasi patronage politik (Varkkey, 2013); (3) Tidak jelasnya tata batas kawasan hutan dan penunjukan

kawasan hutan yang tidak didukung oleh data yang akurat dan sosialisasi yang terbatas (Safitri, 2014); (4) Pemberian izin yang tidak terkoordinasi dan penafikan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal pengguna (Safitri et al., 2011); (5) Kegagalan pengaturan tata-ruang untuk memberikan ruang kelola yang adil (Zazali, 2011); (6) Lemahnya posisi hukum tanah-tanah komunal dalam kerangka kerja hukum nasional (Sakai, 2002) dan (7) Perilaku koruptif dari oknum eksekutif dan legislatif (KPA, 2013).

2 Policy Brief Volume 12 No. 03 Tahun 2018

Indonesia saat ini mendominasi industri kelapa sawit dunia dengan luas 14,03 juta hektar (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2018). Hal ini menunjukkan sedikit perbedaan dengan data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mencapai 15,6 juta hektar (KPK, 2016). Dari data kawasan hutan yang telah dilepaskan untuk perkebunan, tercatat ada lebih dari 5 juta hektar ( D i r e k t o r a t P e n g u k u h a n d a n Penatagunaan Kawasan Hutan, 2017). Pemerintah Indonesia berencana untuk

meningkatkan produksi minyak sawit mentah dua kali dari produksi saat ini menjadi 40 juta ton pada tahun 2020 (Antara, 19 November 2009; Kompas, 6 Agustus 2015) yang membutuhkan tambahan 6 juta hektar perkebunan kelapa sawit (Gingold, 2010). Dari rencana ini, bisa dipastikan, di masa mendatang kontestasi ruang spasial dan lahan untuk perkebunan sawit dari beragam aktor akan terus berlangsung dan semakin menajam dan rumit.

Perkebunan Sawit di kawasan hutan dan konflik tenurial

Gambar 2. Peta Investasi di Kalimantan Tengah (Walhi, 2017).

PernyataanMasalah

(Statement of the Issue/Problem)

Fakta/KondisiSaat Ini

(ExistingCondition)

3

Peta ini menggambarkan tentang kondisi investasi di Kalteng. Total luas a rea Ka l t eng 15 .356 .800 hek ta r sementara total investasi berbagai konsesi seluas 12.878.492 hektar atau 78% lahan Kalteng dikontrol korporasi yang terdiri dari sawit seluas 4.111.255 hektar (332 Uni t korporas i ) , tambang se luas 3.872.829 hektar (875 Unit), dan logging/kayu seluas 4.894.408 hektar (89 Unit).

Dari dua studi kasus ekspansi perkebunan sawit menunjukkan bahwa selain keuntungan finansial bagi negara, dampak negatifnya diantaranya adalah meletupnya konflik tidak saja antar masyarakat tetapi juga dengan korporasi. Di Kalteng, terdapat 300 lebih kasus agraria, yang akhirnya menempatkan provinsi ini sebagai provinsi dengan tingkat konflik tertinggi di Pulau Kalimantan. Sedangkan di Kalimantan Barat (2008-2011), Walhi Kalbar mencatat ada 280 konflik (Tempo 2013). Sementara di Kalbar tahun 2014, terjadi 101 konflik antara masyarakat dengan p e r u s a h a a n p e r k e b u n a n ( P o l d a Kalimantan Barat, 2014 dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat, 2015). BPN Kalbar (2017), sampai akhir tahun 2016 mencatat ada 104 kasus yang terkait usaha perkebunan. Data tersebut menunjukkan bahwa konflik cenderung meningkat dan kompleks.

Peta Konflik TenurialKarsa (2013) dalam Walhi (2017),

telah membagi beragam sengketa tersebut ke dalam tiga ranah, yaitu (1) Tata kuasa; (2) Tata guna; dan (3) Tata usaha. Sengketa yang terkait dengan tata kuasa antara lain pengambilan tanah masyarakat tanpa kesepakatan, masyarakat menuntut pengembalian tanah, HGU yang dinilai cacat hukum. Kemudian sengketa tata guna antara lain tumpang tindih antara perkebunan dan pertambangan, tumpang

tindih untuk lahan perkebunan komoditas karet. Sementara sengketa tata usaha misalnya penyerobotan lahan baik oleh masyaraka t maupun perusahaan , pengrusakan asset perusahaan, jual beli lahan.

Resolusi Konflik Di tingkat pusat ada beberapa

mekanisme seperti pelepasan kawasan hutan, pemberian tenggang atau daur, dan lain-lain. Sementara pemerintah daerah seperti Provinsi Kalteng juga telah membentuk tim terpadu dan tim audit perizinan. Sedangkan di tingkat lokal peran lembaga adat dan desa juga berjalan. Sedangkan di level korporasi sendiri ada skema penyelesaian konflik seperti kemitraan dan melalui mekanisme tanggungjawab sosial (corporate social responsibility/CSR). Upaya penyelesaian itu masih bersifat parsial. Sedangkan kebijakan penyelesaian dari negara, baik pusat dan daerah juga belum optimal.

Gambar 3. Penilaian responden terhadap kebijakan penyelesaian perkebunan sawit di kawasan hutan dari 3 periode yang berbeda (Wibowo et al., 2017)

Dari gambar tersebut terlihat bahwa ada kecenderungan semakin membaik pilihan kebijakan yang dilakukan pemerintah. Namun kebijakan tersebut masih jauh dari harapan publik (rata-rata nilainya hanya 6.2).

Penyelesaian Tenurial Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan

Saat ini diperlukan beberapa solusi alternatif terobosan agar persoalan sawit yang berada di kawasan hutan tidak berlarut-larut. Mengharapkan solusi permanen barangkali sesuatu yang utopis, namun terobosan-terobosan baru tetap diperlukan. Beberapa opsi upaya terobosan tersebut antara lain:· Penyusunan dan penguatan tata

ruang perdesaan berbasis ekologi Daerah Aliran Sungai. Tataruang perdesaan selain berbasis ekologis, juga berbasis jurisdiksi dalam satuan unit kecamatan yang terintegrasi. Se la in sebagai tandingan a tau alternative model penusunan tata ruang yang bersifat top-down, maka dengan adanya tata ruang desa yang kuat maka ini akan menjadi elemen potensial untuk mengurangi konflik ruang, terutama tata guna lahan.

· Per lu ada keb i jakan ba tas maksimal luas perkebunan sawit nasional, sehingga kebijakan ini bisa menjadi acuan untuk sector yang berwenang dalam pengembangan perkebunan sawit dan pemerintah pusat dan daerah. Selain itu kebijkan ini juga akan memberikan kepastian d a l a m p e n e g a k a n h u k u m d a n mendorong intensifikasi dan hilirisasi.

· Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), sebagai salah satu alternatif penye lesa ian . Teru tama un tuk smallholders, masalahnya ada lokasi-lokasi sawit di kawasan hutan tidak termasuk dalam alokasi yang telah ditetapkan dalam TORA.

· Sistem administrasi pertanahan tunggal, yang merupakan salah satu terobosan penting terkait dengan regulasi. Dengan sistem tunggal, melalui regis trasi tanah, maka setidaknya akan mengurangi konflik. Dasar dari s is tem administrasi pertanahan tunggal dilakukan melalui penggunaan kebijakan satu peta sehingga semua registrasi tanah dapat tercatat dalam satu peta.

· Langkah kebijakan lain yang bisa d i l a k u k a n a d a l a h m e l a k u k a n moratorium perizinan perkebunan sawit untuk korporasi, tidak saja di lahan gambut tetapi juga mineral untuk

menorong intensifikasi dan perbaikan tata kelola sawit yang baik, berkeadilan dan berkelanjutan.

· Legalisasi sawit di kawasan hutan secara terbatas. Legalisasi sawit secara terbatas maksudnya proses tersebut hanya berlaku di kawasan hutan produksi dan dalam satu daur atau lebih, tanpa merubah status kawasan hutan, melalui skema bagi hasil. Konstruksi hukum bisa diatur dalam peraturan menteri atau peraturan pemerintah. Kedua, legalisasi melalui mekanisme sewa pakai atau pun pinjam pakai. Untuk sewa pakai maka konstruksi hukumnya bisa melalui pembuatan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sedangkan pinjam pakai melalui perubahan Peraturan M e n t e r i L H K N o m o r P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan.

· Opsi terobosan lain adalah land amnesty. Land amnesty ini, selain akan memperkuat basis data tentang penguasan lahan di kawasan, juga akan membuat pengelolaan kebun sawit l e b i h m u d a h d i k o n t r o l d a n dikendalikan. Land amnesty dalam satu garis kontinum dimana di titik paling kiri diberlakukan tanpa syarat apapun, sementara di titik paling kanan diberlakukan dengan kondisional atau syarat paling berat. Misalnya untuk subyek petani kecil yang sekedar untuk subsistensi, bisa saja langsung diberikan tanpa melihat misalnya lini masanya (cut of date) atau prasyarat lainnya. Di sisi lain, opsi ini bisa juga diutamakan untuk petani swadaya dengan syarat dan aturan yang jelas dan mempertimbangkan lini masa. Misalnya dengan membatasi luasan 4-10 ha, jika luasnya lebih maka dapat d iber lakukan sewa paka i a tau semacamnya, sehingga dapat menjadi pemasukan bagi negara. Untuk masyarakat secara historis telah ada di kawasan hutan sebelum penunjukkan kawasan hutan dan masyarakat (petani lahan sempit) yang telah lebih 20 tahun menggantungkan hidupnya dari lahan kawasan bisa melalui skema reforma agraria. Sedangkan yang kurang dari

4 Policy Brief Volume 12 No. 03 Tahun 2018

Pilihan danRekomendasi

Kebijakan(Policy

Options and Recommendations)

Antara. 2009.Indonesia Fokus Produksi CPO 40Juta Ton. Antara 19 November 2009. Diunduh pada tanggal 2 Desember 2017 d a r i https://www.antaranews.com/berita/162503/indonesia-fokus-produksi-cpo-40-juta-ton

BPN. 2017. Badan Pertanahan Nasional Kalimantan Barat. Perkembangan HGU u n t u k P e r k e b u n a n S a w i t d a n Permasalahannya di Kalimantan Barat. Makalah dipresentasikan dalam FGD yang diselenggarakan oleh P3SEKPI dan CIFOR di Orchardz Hotel Pontianak, Kalimantan Barat pada 29 Agustus 2017

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2017. Dukungan pendanaan bagi peningkatan produktivitas kelapa sawit nasional serta peningkatan kesejahteraan petani sawit. Paper d i sampaikan d i acara FGD yang diselenggarakan oleh P3SEKPI dan CIFOR di Hotel Akmani Jakarta pada tanggal 29 Maret 2017.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2018. Prakondisi ISPO Pekebun. Paper disampaikan di acara Lokakarya Nasional Yayasan Keanekaragaman hayati Indonesia di Jakarta pada tanggal 19 Maret 2018.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. 2016. Penyelesaian (non litigasi) pelanggaran pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah. Makalah presentasi.

Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan. 2017. Kebijakan Penyelesaian Tenurial Sawit di Kawasan Hutan. Paper disampaikan di acara FGD yang diselenggarakan oleh P3SEKPI dan CIFOR di Hotel Akmani Jakarta pada tanggal 29 Maret 2017.

Gingold, B. 2010. Degraded land, sustainable palm oil, and Indonesia's future. World Resources Institute, Washington, D.C.,

U S A . [ o n l i n e ] U R L : http://www.wri.org/stories/2010/07/degraded-land-sustainable-palm-oil-and-indonesias-future

Kompas. 2015. Produksi CPO pada 2020 Capai 4 0 J u t a To n . K o m p a s 6 A g u s t u s 2015.Diunduh pada tanggal 4 Desember 2 0 1 7 d a r i http://ekonomi.kompas.com/read/2015/08/06/151118626/Produksi.CPO.Pada.2020.Capai.40.Juta.Ton

Kompas. 2017. Gubernur Kalteng Sebut 17 PMA Perkebunan di Wilayahnya Ilegal. Kompas 22/06/2017. Diunduh pada tanggal 5 D e s e m b e r 2 0 1 7 darihttp://regional.kompas.com/read/2017/06/22/07165051/gubernur.kalteng.sebut.17.pma.perkebunan.di.wilayahnya.ilegal

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat. 2015. Potret Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat: Merusak Bumi, Menuai Korupsi”. Makalah di sampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK–RI) Sebagai Bahan Koordinasi dan Supervisi Penertiban Usaha Perkebunan di Kalimantan Barat pada bulan September 2015. Draf Policy Brief.

KPK. 2016. Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit. Direktorat Penelitian dan Pengembangan Kedeputian B i d a n g P e n c e g a h a n K o m i s i Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia.

KPA. 2013.Laporan Akhir Tahun 2013 K o n s o r s i u m P e m b a r u a n Agraria:“Warisan Buruk Masalah Agraria di bawah Kekuasaan SBY”. Dirilis dalam Konferensi Pers “Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria” pada tanggal 19 Desember 2012 di Jakarta.

P e r a t u r a n M e n t e r i L H K N o m o r P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016

5

20 tahun melalui skema Perhutanan Sosial. Bagi yang tidak mengikuti maka dilakukan penegakan hukum. Selain itu juga dapat diatur dengan satu siklus tanam dan dapat diperpanjang. Sedangkan untuk korporasi, bisa saja tidak diperlakukan karena demi pertimbangan keadilan. Alternatif lain korporasi dapat diberikan land amnesty tetapi dengan persyaratan yang lebih ketat, seperti harus membayar pajak terutang (Misalnya PBB, PPH dan Ganti Rugi Tegakan dan i n s t r u m e n t u n t u k p e m u l i h a n lingkungan atau jasa lingkungan lain) Bagi korporasi yang mendapatkan land amnesty, kemudian dapat masuk ke

dalam skema sewa pakai atau pinjam pakai kawasan hutan seperti izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) atau pemberian satu daur untuk di kawasan konservasi atau hutan lindung dan daur yang lebih panjang untuk di hutan produksi.

· Perkebunan sawit yang secara hukum dianggap ilegal karena ada regulasi yang keliru, maka sebaiknya dikembalikan sebagai perkebunan sawit legal. Kebijakan legalisasi ini tidak memerlukan prasyarat, seperti perkebunan sawit ilegal yang lain, tetapi hanya peraturan khsusus yang diatur oleh Menteri.

Penyelesaian Tenurial Perkebunan Kelapa Sawit di Kawasan Hutan

DaftarPustaka

(References)

tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan

Sakai, M. 2002. Land Dispute Resolution in the P o l i t i c a l R e f o r m a t t h e t ime o f D e c e n t r a l i z a t i o n i n I n d o n e s i a . Antropologi Indonesia Special Volume, 2002

Safitri, M.A., Muhshi, M.A., Muhajir,M., Shohibuddin, M., Arizona, Y., Sirait,M., Nagara, G., Andiko, Moniaga, S., Berliani,H., Widawati, E., Mary,S.R., Galudra,G., Suwito, dan Santosa, A., Santoso, H. 2011. Menuju Kepastian dan keadilan Tenurial: Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentarinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakanenguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia. Edisi revisi Jakarta, 7 November 2011.

Safitri, M.A. 2014. Satu Administrasi Pertanahan Peluang dan kendala dalamPeraturan Bersama Menteri untuk penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Policy Brief . Vol 04/2014. Epistema Institute.

Safitri, M.A. 2016. Menuju Administrasi Pertanahan Tunggal: Apa yang semestinya diatur oleh RUU Pertanahan? Policy Brief Vol. 2 Tahun 2016. Epistema Institute.

Semedi, P., and Bakker, L. 2014. Between Land Grabbing and Farmers' Benefits: Land Transfers in West Kalimantan, Indonesia.

Tempo. 2013. Ada Ratusan Konflik Sawit di Kalimantan Barat. Tempo 21 November 2013. Diunduh pada tanggal 2 Desember 2 0 1 7 d a r i http://nasional.tempo.co/read/news/2013/11/21/058531439/ada-ratusan-konflik-s a w i t - d i - k a l i m a n t a n -barat#6lKRX6lhbyfWuAhp.99

Tempo 2016. 1,5Juta Hektar Lahan Sawit di Kalteng Diduga Ilegal. Tempo Jumat, 27

Mei 2016 di unduh tanggal 5 Desember 2 0 1 7 d a r i https://nasional.tempo.co/read/774457/15-juta-hektare-lahan-sawit-di-kalteng-diduga-ilegal

Varkkey, H. 2013. Patronage politics, plantation fi r e s a n d t r a n s b o u n d a r y h a z e . Environmental Hazards 12: 1-26 (Http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/17477891.2012.759524).

Wa l h i . 2 0 1 7 . K o n fl i k Te n u r i a l d a n Penyelesaiannya. Makalah di sampaikan dalam FGD diselenggarakan oleh P 3 S E K P I d a n C I F O R d i D i n a s Perkebunan Kalimantan Tengah pada tanggal 18 Juli 2017.

Warta Ekonomi. 2017. Lima Juta Lahan Sawit I l e g a l D P R R I R a n c a n g U U Perkelapasawitan. Wartaekonomi Rabu, 06 Desember 2017 di unduh tanggal 4 D e s e m b e r 2 0 1 7 d a r i https://www.wartaekonomi.co.id/read128637/5-juta-lahan-sawit-ilegal-dpr-ri-rancang-uu-perkelapasawitan.html

Wibowo, L.R., Hakim, I., Nurfatriani, N., Kurniasari, D.R., Ramawati, Subarudi, Caecilia, Pacheco, Komarudin, H. 2017. Oil palm expansion, capitalism and contestation. Paper disampaikan di International Conference on Green Political Dynamic (Ecological Wisdom, Democracy and Social Justice, Hotel Panghegar Bandung, West Java, 19 – 22 April 2017.

Zazali, A. 2011. Inisiatif penyelesaian konflik Sumber Daya Alam melalui Mediasi. Disampaikan Pada Kongres Kehutanan V, Forum DKN untuk Mediasi Resolusi Konflik, 21 November 2011

Lukas Rumboko W. ([email protected])Ismatul Hakim ([email protected])

Policy brief ini diterbitkan sebagai bagian dari penelitian kerja sama antara Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan dengan Center for International Forestry Research (CIFOR) melalui proyek Governing Oil Palm Landscapes for Sustainability (GOLS) dengan pendanaan dari USAID.

6 Policy Brief Volume 12 No. 03 Tahun 2018

Kontak (Contacts)

KerangkaPenelitian(Research

Framework)