Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat...

32
REVIEW TENTANG ILLEGAL LOGGING SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN DAN IMPLEMENTASI KEGIATAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI (REDD+) DI INDONESIA Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan, Indonesia Kerjasama Dengan: International Tropical Timber Organization (ITTO) Bogor, 2011 TIM BADAN LITBANG KEHUTANAN DAN TAMAN NASIONAL MERUBETIRI

Transcript of Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat...

Page 1: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

REVIEW TENTANG ILLEGAL LOGGING SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN DAN

IMPLEMENTASI KEGIATAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI (REDD+) DI INDONESIA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan KebijakanBadan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,

Kementerian Kehutanan, IndonesiaKerjasama Dengan:

International Tropical Timber Organization (ITTO)Bogor, 2011

TIM BADAN LITBANG KEHUTANAN DANTAMAN NASIONAL MERUBETIRI

Page 2: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

i

REVIEW TENTANG ILLEGAL LOGGING SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN DAN IMPLEMENTASI

KEGIATAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI (REDD) DI INDONESIA

Oleh.

Tim Badan Litbang Kehutanan dan Taman Nasional Meru Betiri

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Kementerian Kehutanan, Indonesia Kerjasama Dengan

International Tropical Timber Organization (ITTO) Bogor, 2011

Page 3: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

ii

REVIEW TENTANG ILLEGAL LOGGING SEBAGAI ANCAMAN TERHADAP SUMBERDAYA HUTAN DAN IMPLEMENTASI KEGIATAN PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI (REDD+) DI INDONESIA

ISBN: 978-602-99985-5-9

Laporan Teknis No 11, November 2011.

Oleh : Tim Badan Litbang Kehutanan dan Taman Nasional Meru Betiri Review ini merupakan bagian dari kegiatan 1.3.3. Program ITTO PD 519/08 Rev.1 (F): Tropical Forest Conservation For Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation And Enhancing Carbon Stocks In Meru Betiri National Park, Indonesia.

Kerjasama Antara:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan (Center for Climate Change and Policy Research and Development) Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor Jawa Barat Indonesia Tel: +62-251-8633944 Fax: +62-251-8634924 Email: [email protected] Website: http://ceserf-itto.puslitsosekhut.web.id

LATIN –Tthe Indonesian Tropical Institute Jl. Sutera No. 1 Situgede Bogor Jawa Barat Indonesia Tel: +62-251-8425522/8425523 Fax: +62-251-8626593 Email: [email protected] and [email protected] Website: www.latin.or.id

Taman Nasional Meru Betiri, Kementerian Kehutanan Jalan Siriwijaya 53, Jember, Jawa Timur, Indonesia Tel: +62-331-335535 Fax: +62-331-335535 Email: [email protected] Website: www.merubetiri.com

Copyright © 2011.

Diterbitkan Oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610 Tel/Fax: +62-251-8633944 Email: [email protected] Web site: http://ceserf-itto.puslitsosekhut.web.id

Page 4: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

iii

DAFTAR ISI DAFTAR ISI .................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv RINGKASAN .................................................................................................. v I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 II. POTENSI SUMBER DAYA HUTAN, MANFAATNYA DAN PERANANNYA DALAM PERUBAHAN IKLIM........................................ 2 2.1. Luas dan Tipe Hutan ...................................................................... 2 2.2. Ekosisitem Hutan dan Manfaatnya ............................................... 3 2.2. Peran Hutan dalam Perubahan Iklim ............................................. 5 III. MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DAN REDD .. 8 3.1. Kegiatan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan ................... 8 3.2. REDD Sebagai Kegiatan Mitigasi GRK ......................................... 11 IV. ILLEGAL LOGGING .............................................................................. 11 4.1. Definisi dan Latar Belakang Terjadinya Illegal Logging .................. 12 4.2. Faktor Pendukung Dan Pelaku Terjadinya Penebangan Liar ........ 13 4.3. Pola dan Dampak Illegal Logging .................................................. 15 4.5. Illegal Logging di Jawa ................................................................... 17 4.6. Pengendalian Illegal Logging ......................................................... 19 4.7. Upaya Pengendalian Illegal Logging di TN Meru Betiri .................. 23 VII. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 25 Daftar Pustaka ............................................................................................... 26

Page 5: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

iv

DAFTAR TABEL Tabel 1. Luas hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya (Sumber :

Departemen Kehutanan, 2009)..............................................

3 Tabel 2. Biomasa pada beberapa kategori lahan (ton/ha)................... 7

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Deforestasi di Indonesia (Sumber : Kementerian

Kehutanan, 2010) ................................................................

7 Gambar 2. Kayu dari hasil penebangan liar yang ditangkap oleh

kepolisian dan BKSDA Riau .................................................

17

Page 6: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

v

RINGKASAN

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 134 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia. Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Hutan juga berperan penting dalam perubahan iklim, baik sebagai penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source of emission). Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan serapan. REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) adalah mekanisme yang sedang dibangun oleh masyarakat internasional guna mencegah terjadinya kerusakan hutan berupa deforestasi atau degradasi yang berkontribusi nyata terhadap peningkatan GRK di dunia. Minat akan mekanisme ini ditunjukkan dengan banyaknya kegiatan percontohan (DA REDD) di Indonesia selama masa persiapan (readiness phase) sampai tahun 2012. Salah satu DA REDD+ yang dilaksanakan adalah di TNMB yang mewakili kawasan konservasi. Praktek penebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi masalah penebangan liar yaitu melalui upaya preventif, dengan pendekatan peningkatan kesadaran serta kesejahteraan masyarakat, upaya perbaikan sistem pengelolaan kehutanan,dan perangkat perundang-undangan. Selain itu perlu adanya sistem deteksi dalam pengendalian ilegal loging serta yang terpenting adalah upaya penegakan hukum.

Kata Kunci: Illegal logging, kegiatan percontohan REDD+, mitigasi perubahan iklim

Page 7: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

1

1. PENDAHULUAN Hutan Indonesia merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati di dunia, dan Indonesia merupakan urutan ketiga dari tujuh negara yang disebut Megadiversity Country. Hutan Indonesia merupakan rumah bagi ribuan jenis flora dan fauna yang banyak diantaranya adalah endemik di Indonesia.

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 133,7 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia (Departemen Kehutanan, 2009). Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan dimasa yang akan datang.

Hutan juga berperan penting dalam perubahan iklim. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source of emission). Deforestasi dan degradasi meningkatkan emisi, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan serapan.

Tekanan terhadap sumberdaya hutan cenderung semakin meningkat. Deforestasi dan degradasi hutan merupakan penyebab utama kerusakan sumber daya hutan di Indonesia. Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan; illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global; Adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; Adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL).

Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya, hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.

REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) adalah mekanisme yang sedang dibangun oleh masyarakat internasional guna mencegah terjadinya kerusakan hutan berupa deforestasi atau degradasi yang berkontribusi nyata terhadap peningkatan GRK di dunia. Mekanisme REDD sejalan dengan prinsip pengelolaan hutan lestari sehingga Indonesia sangat berperan dan berkepentingan dalam mewujudkan pelaksanaan mekanisme ini. Mekanisme ini bersifat sukarela (voluntary) dan memungkinkan dimasa yang

Page 8: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

2

akan datang adanya reward atau insentif bagi negara yang mempertahankan kelestarian hutannya. Minat akan mekanisme ini ditunjukkan dengan banyaknya kegiatan percontohan (DA REDD) di Indonesia selama masa persiapan (readiness phase) sampai tahun 2012. Meskipun demikian, mekanisme ini mendapat ancaman potensial dari masih besarnya deforestasi serta degradasi.

Secara umum kesadaran untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas serta kuantitas hutan terus meningkat. Hal ini tercermin dalam program prioritas Kementerian Kehutanan untuk tahun 2009-2014 (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.70/Menhut-II/2009) yaitu:

1. Pemantapan Kawasan Hutan. 2. Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung Daerah Aliran Sungai

(DAS). 3. Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. 4. Konservasi Keanekaragaman Hayati. 5. Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. 6. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. 7. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan. 8. Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Kajian ini membahas permasalahan ilegal loging sebagai ancaman terhadap kelestarian hutan dan juga ancaman terhadap keberhasilan program mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan yang memasukkan kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) sebagai kegiatan penting dalam skema penurunan emisi.

2. POTENSI SUMBER DAYA HUTAN, MANFAATNYA DAN PERANANNYA DALAM PERUBAHAN IKLIM

2.1. Luas dan Tipe Hutan

Indonesia adalah negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil and Zaire, yaitu seluas 133,7 juta hektar, yang meliputi 10% dari total hutan tropis di dunia. Hutan mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta penyeimbang iklim global. Dalam tataran global, keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Columbia sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Di Indonesia luas hutan meliputi 60 % dari luas seluruh wilayah Indonesia. Hutan di Indonesia memiliki peranan yang penting, tidak hanya sebagai sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki mega diversity dan memiliki lahan gambut yang sangat luas. Luas hutan menurut fungsinya dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 9: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

3

Berdasarkan Undang Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dengan pengertian sebagai berikut:

Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Hutan Konservasi terdiri dari; Kawasan suaka alam berupa cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM), kawasan pelestarian alam berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA); serta Taman Buru.

Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungsn sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah

Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK).

Tabel 1 Luas hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya (Sumber : Departemen Kehutanan, 2009)

No Fungsi Hutan Luas (Ha)

1 Kawasan suaka alam + Kawasan Pelestarian Alam

19.908.235

2 Hutan Lindung 31 604 032

3 Hutan Produksi Terbatas 22 502 724

4 Hutan Produksi Tetap 36 649 918

5 Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi

22 795 961

Jumlah 133.694.685

2.2. Ekosisitem Hutan dan Manfaatnya

Ekosistem hutan merupakan pengertian yang luas yang mempunyai hubungan ketergantungan dan hubungan sebab akibat di dalam hutan. Hutan merupakan tempat berkembangnya berbagai flora dan fauna yang mulai dari yang berbentuk mikro sampai binatang besar seperti gajah. Interaksi dari komponen-komponen yang terdapat dalam ekosistem hutan terus berjalan.

Berdasarkan ekosistemnya hutan di Indonesia dibagi dalam kategori sebagai berikut :

Hutan hujan dataran rendah : Jenis hutan ini banyak ditemukan di bagian barat Indonesia, Sumaterav dan Kalimantan yang dicirikan dengan curah hujan tinggi, pada dataran rendah. Jenis tanah podsolik, latosol dan aluvial.

Page 10: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

4

Jenis pohonnya antara lain : Shorea spp, Eusideroxylon zwagery, Pometia pinnata, Intsia bijuga, Agathis spp., Pterocarpus indicus, Octomeles sumatrana, Diospyros celebica, dan jenis lainnya.

Hutan rawa: Dijumpai di dekat muara sungai, sering tergenang air dan kaya bahan organik. Jenis tanah Gley humus, dan aluvial. Jenis penting: Alstonia pneumatopora, Campnosperma macrohylla, Dyera lowii, Palaquium leiocarpum, Shorea balangeran, dan Lophopetalum multinervium.

Hutan rawa gambut: Jenis tanah tanah gambut yang kaya bahan organik ketebalan 1 – 20 m. Tanah tergenang air gambut berwarna coklat kekuningan. Jenis tanah organosol, dengan jenis pohon penting yaitu ramin (Gonystylus bancanus).

Hutan mangrove atau bakau: Ditemukan pada tanah aluvial berpasir di tepi pantai dan dipengaruhi oleh air laut/payau. Jenis yang penting antara lain Avicenia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp. Ceriops tagal dan Xylocarpus granatum.

Hutan hujan dataran tinggi : Hutan yang berada pada ketinggian 500 – 1000 m di atas permukan laut. Jenis tanah latosol, podsolik atau litosol dan iklim basah. Jenis penting diantaranya Quercus spp., Agathis damara, Altingia exelsa dan jenis lain.

Keberadaan hutan mempunyai hubungan erat dengan peningkatan kesuburan tanah, berkurangnya banjir, ketersediaan air dan udara bersih. Hara diperoleh dengan pencucian daun oleh air hujan, serasah yang terdekomposisi serta bagian tanaman (batang, cabang, ranting, buah, dan bunga) yang jatuh dan melapuk. Tanaman hutan juga berperan dalam peningkatan infiltrasi air hujan kedalam tanah sehingga pada waktu hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau air masih tersedia sebagai mata air.

Hutan juga berperan sebagai pengemisi dan juga penyerap karbon yang erat hubungannya dengan perubahan iklim global. Emisi di bidang kehutanan termasuk lahan gambut per tahun diperkirakan mencapai 1,24 Gt CO2e, sedangkan kemampuan menyerap karbon dari atmosfir diperkirakan hanya mencapai 0,707 Gt CO2e pada tahun 2020. Pengelolaan hutan yang berkelanjutan sesuai dengan fungsinya, perubahan hutan menjadi areal non hutan, pengelolaan hutan yang berada di lahan gambut dan pencegahan kebakaran hutan, berkontribusi dalam penurunan emisi GRK.

Hutan juga merupakan areal penghasil kebutuhan manusia baik berupa pangan, papan dan sandang. Hutan diketahui mempunyai fungsi untuk mengurangi peristiwa banjir dan kekeringan. Hutan juga berperan menahan angin sehingga evaporasi dari permukaan tanah tidak terlalu besar dan evapotranspirasi dari tanaman yang ada di dalam hutan tidak terlalu tinggi. Didaerah sub tropis keberadaan hutan dapat meningkatkan jumlah curah hujan, karena angin yang datang ke daerah hutan ditahan dan angin naik ke atas dan terjadi kondensasi dan selanjutnya terjadi butir-buti curah hujan.

Page 11: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

5

Kualitas air yang berasal dari kawasan hutan umumnya masih baik karena air hujan yang diinfiltrasikan seperti terjadi penyaringan oleh akar tanaman dan tanah hutan. Hasil penelitian Hardiwinanto (2007), DAS yang penutupan hutannya lebih luas memperlihatkan beberapa parameter sifat fisik maupun kimia lebih baik dibanding dengan DAS yang penutupan hutannya lebih kecil. Juga diperoleh informasi bahwa aliran permukaan pada semak belukar, alang-alang, ladang tanaman semusim dan hutan lembab tropis yang belum ditebang, yang semuanya mempunyai kelerengan 30% dan tanahnya Ultisol/Podzolik di Kalimantan Timur, aliran permukaannya berturut-turut 0,5%, 1,6%, 4,0% dan 11,1% dari total curah hujannya. Fluktuasi aliran air terendah terjadi di DAS yang ditutupi hutan lindung dan diikuti Pengusahaan Hutan Produksi, Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, dan kombinasi peruntukan seperti HPH, HTI, Perkebunan, Pertambangan dan lain-lain.

Dari peran hutan dalam meningkatkan kesuburan tanah, mengatur ketersediaan air dan menyerap karbon, maka keberadaan hutan sangat berhubungan dengan keberhasilan usaha pertanian dalam arti luas dan kesejahteraan umat manusia.

2.3. Peran Hutan dalam Perubahan Iklim

Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Saat ini, perubahan iklim telah menimbulkan bencana baru bagi manusia. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan muka laut serta banjir dan longsor. Berbagai studi menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling menderita karena tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun dampak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (Stern, 2007).

Perubahan iklim ini terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6 di atmosfer. Peningkatan emisi diakibatkan oleh proses pembangunan dan industri berbahan bakar migas yang semakin meningkat dan kegiatan penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry). Hasil studi oleh Stern (2007) untuk tingkat dunia, menunjukkan sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi yaitu pembangkit listrik 24 %, industri 14 %, transportasi 14 %, konstruksi 8 % dan sumber energi lain 5 %. Emisi dari sektor non energi yaitu perubahan lahan termasuk kehutanan 18 %, pertanian 14 % dan limbah 3 %. Di Indonesia, sektor kehutanan mengemisi gas rumah kaca yang cukup besar, sekitar 48 % emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor LULUCF (KLH, 2009).

Indonesia menandatangani United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tanggal 5 Juni 1992, dan mengeluarkan Undang-Undang No. 6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Sebagai negara berkembang yang tidak termasuk

Page 12: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

6

dalam negara Anex I UNFCCC, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan mandat Konvensi berdasarkan prinsip “common but differentiated responsibilities”. Indonesia sangat mendukung tujuan dari UNFCCC yaitu mencegah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer agar tidak membahayakan kehidupan manusia di bumi. Indonesia juga telah menyatakan untuk menurunkan emisinya sebesar 26% tahun 2020.

Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan

kegiatan pertanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink.

2.3.1. Sebagai Sumber Emisi Gas Rumah Kaca

Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan. Deforestasi di negera berkembang khususnya di negara tropik tercatat berkontribusi terhadap sekitar 18 % emisi karbon global. Dari hasil review oleh Stern (2007), emisi dari deforestasi dapat mencapai 40 Gt CO2 antara 2008-2012. Hal ini akan meningkatkan kadar CO2 di atmosfer sebanyak 2 ppm jika upaya-upaya mitigasi tidak dilakukan dengan baik.

Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Hasil inventarisasi GRK yang dilaporkan dalam SNC (KLH, 2009) menunjukkan emisi yang besar dari sektor kehutanan yaitu 48% dari total emisi belum termasuk emisi dari kebakaran pada lahan gambut.

Departemen Kehutanan melaporkan selama tahun 1990-2006 rata-rata deforestasi setiap tahun di indonesia adalah 1,09 juta ha.

Page 13: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

7

Gambar 1. Deforestasi di Indonesia (Sumber : Kementerian Kehutanan, 2010)

2.3.2. Peranan Hutan sebagai Penyerap Karbon (Carbon Sink)

Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan besarnya emisi GRK dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu peningkatan serapan karbon melalui berbagai kegiatan penanaman, mempertahankan stok karbon yang ada di hutan (konservasi), dan substitusi penggunaan bahan bakar fosil dengan biomas. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan serapan dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan tanaman. Kegiatan ini misalnya pembangunan hutan tanaman, hutan rakyat, agroforestry dan kegiatan penanaman lainnya.

Hutan di Indonesia yang berada pada kawasan seluas lebih dari 134 juta ha merupakan cadangan karbon yang sangat besar. Sebagai gambaran, biomasa beberapa jenis pemanfaatan lahan terlihat pada Tabel.

Tabel 2. Biomasa pada beberapa kategori lahan (ton/ha)

No Kelas penutupan lahan / lokasi Stok karbon (ton C/ha)

Sumber

1 Hutan lahan kering primer

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Sarpatim, Sampit, Tengah

230,10 - 264,70

Dharmawan dan Siregar (2009)

Hutan Lindung Sungai Wain, Kalimantan Timur

211,86 Noor‟an (2007)

2 Hutan lahan kering sekunder

Hutan Pendidikan Bukit Soeharto, Kalimantan Timur

7,5 – 55,3 Hiratsuka et al. (2006)

Page 14: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

8

Gunung Gede Pangrango Seksi Wilayah Nagrak, Sukabumi, Jawa Barat

113,20 Dharmawan dan Siregar (2009)

Cagar Biosfer, Pulau Siberut 48,77 Bismark, dkk (2008)

3 Hutan rawa primer

Sumatera 179 Dephut (2008)

Kalimantan Tengah 196 Dephut (2008)

Kalimantan Tengah 111 Istomo et al (2006) dalam Bappenas (2010)

3. MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN DAN REDD

3.1. Kegiatan Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan

Pada prinsipnya kegiatan sektor kehutanan yang terkait dengan mitigasi perubahan iklim adalah kegiatan yang mengarah kepada pengelolaan hutan yang lestari (PHL, Sustainable Forest Management). Fungsi hutan dalam konteks perubahan iklim yang dapat berfungsi sebagai sumber emisi atau serapan gas rumah kaca, dalam PHL adalah berupa deforestasi atau degradasi yang mengakibatkan menurunnya jumlah areal dan kualitas hutan. Sedangkan fungsi hutan sebagai sink atau serapan karbon, dalam PHL adalah kegiatan untuk mempertahankan/meningkatkan jumlah dan kualitas hutan.

Kegiatan mitigasi perubahan iklim dapat dibedakan kedalam tiga kategori utama yaitu peningkatan serapan karbon (upaya penanaman), konservasi karbon hutan (mempertahankan cadangan karbon yang ada pada hutan dari kehilangan akibat deforestasi, degradasi dan akibat praktek manajemen lainnya) dan memanfaatkan biomas sebagai pengganti bahan bakar fosil secara langsung melalui produksi energi biomas atau secara`tidak langsung melalui substitusi bahan yang industrinya menggunakan bahan bakar fosil.

Kegiatan peningkatan jumlah stok karbon umumnya dilakukan melalui pembuatan tanaman. Mekanisme pembangunan bersih yang dihasilkan dari pertemuan Kyoto (Kyoto Protokol) memungkinkan negara berkembang ikut serta dalam mekanisme ini, melalui pengembangan proyek AR CDM (Afforestation Reforestation Clean Developmetn Mechanism).

Berbagai kegiatan kehutanan yang telah dilaksanakan selama ini yang dapat dianggap sebagai kegiatan mitigasi adalah pembangunan HTI, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, reboisasi (penghutanan kembali kawasan hutan yang telah rusak), dan penghijauan (penanaman tanaman tahunan di lahan milik). Selain itu secara nasional kegiatan telah dilaksanakan kegiatan yang menyangkut penanaman pohon. Instruksi Presiden tentang Reboisasi dan Penghijauan dilaksanakan selama Orde Baru dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) sejak tahun 2003. Kegiatan lain

Page 15: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

9

diantaranya adalah ”Penanaman satu juta pohon”, gerakan ”Penanaman 80 juta pohon” sebelum diselenggarakannya CoP 13 Desember 2007 kegiatan One Man One Tree (OMOT) dengan target 230 juta pohon, dan saat ini penanaman semilyar pohon.

Kegiatan mitigasi yang penting adalah upaya konservasi karbon hutan, yang pada prinsipnya adalah mencegah dan mengendalikan agar cadangan karbon yang tersimpan dalam hutan tidak terlepas ke atmosfer. Kegiatannya dapat berupa; mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi (REDD), menetapkan kawasan konservasi dan lindung, praktek teknik silvikultur hutan yang lebih baik dan kegiatan lainnya.

Sampai dengan tahun 1996 jumlah kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi mencapai 9.67 juta ha, dan 6.65 juta ha ditetapkan sebagai Taman Nasional dan Taman Hutan Raya. Pada tahun 2009, luas kawasan konservasi di Indonesia seluas 22,811,070 ha (Dephut, 2009). Penetapan kawasan lindung dan kawasan konservasi tidak secara langsung menghasilkan keuntungan berupa kayu, akan tetapi hal ini akan mengkonservasi karbon di hutan, mempertahankan biodiversity dan bermanfaat dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir.

Perbaikan praktek pengelolaan hutan diantaranya dilakukan melalui kegiatan teknik silvikultur dan pemanenan hutan yang lebih baik (reduce impact logging). Reduced-impact logging (RIL) adalah teknologi pemanenan yang berupaya untuk mengurangi kerusakan hutan akibat pohon yang ditebang serta kerusakan tanah. Kerusakan dapat dikurangi melalui pengaturan arah tebang yang lebih baik dan jalan saran yang terencana dengan baik. Selain itu upaya pengayaan juga dilakukan pada areal yang rusak agar kondisi hutan dapat pulih seperti semula.

Saat ini juga sedang dikembangkan sistem silvikultur intensif yang didasarkan kepada tiga unsur utama yakni jenis yang sesuai / kualitas bibit yang dipakai (pemuliaan jenis), manipulasi lingkungan dari areal yang akan ditanam dan pengendalian hama terpadu. Dengan mempraktekkan usaha tersebut maka Soekotjo (2007) dapat membuktikan bahwa riap tanaman akan meningkat. Tanaman Shorea leprosula dengan diameter 50 cm pada umur 30 tahun dan jumlah pohon 160 pohon per ha dapat menghasilkan 400 m3/ha. Untuk areal 1000 ha dengan beda riap 1% saja dapat mendatangkan hasil Rp 3 milyar per tahun.

Dari 188 juta ha luas daratan Indonesia, sekitar 21 juta ha diantaranya adalah lahan gambut dengan kedalaman yang bervariasi. Lahan gambut mempunyai cadangan karbon yang tinggi. Gambut dengan kedalaman satu meter mempunyai kandungan karbon sekitar 600 ton C/ha (Page et al, 2002), sedangkan biomas hutan gambut hanya mengandung sekitar 200 ton C/ha. Sebagai pembanding, tanah mineral hanya mengandung 20-80 ton C/ha dan hutan primer diatasnya mengandung sekitar 300 t C/ha (Agus, 2007).

Page 16: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

10

Mengingat kandungan karbon yang sangat tinggi di hutan gambut, perlu penanganan lahan gambut yang lebih hati-hati. Mitigasi pada lahan gambut dilaksanakan dengan upaya konservasi lahan gambut, dan untuk itu pemerintah telah mengeluarkan aturan yaitu Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang larangan pengembangan di lahan gambut yang lebih tebal dari 3 m. Upaya konservasi di lahan gambut dilakukan dengan menghindari deforestasi hutan gambut dan memperbaiki sistem pengelolaan lahan. Kegiatan mitigasi sektor kehutanan juga dapat dihasilkan dari kontribusi substitusi Bahan Bakar Fosil dengan Biomas/Bioenergi. Hutan dapat menghasilkan energi yang berperan penting sebagai pengganti penggunaaan bahan bakar fosil. Kayu bakar sebagai sumber energi terbarukan memiliki peran yang penting bagi masyarakat pedesaan di Indonesia dalam menunjang kesinambungan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kayu bakar digunakan untuk memasak dan pemanasan (pendiangan). Kayu bakar bagi masyarakat di pedesaan belum akan tergantikan secara total oleh jenis energi lain seperti minyak tanah dan gas karena kemampuan daya beli masyarakat yang masih rendah dan sulitnya memperoleh pekerjaan dan tambahan pendapat alternatif lain di luar usahatani (Dwiprabowo, et al, 2010)

Meskipun bahan bakar biomas juga mengemisi karbon, tetapi hal ini dianggap sebagai karbon netral karena emisi yang dihasilkan akan dikompensasikan dengan absorbsi dalam jumlah yang sama melalui pertumbuhan kembali bahan bakar biomas. Sehingga konsumsi energi yang berpindah dari bahan bakar fosil ke bahan bakar biomas akan menghasilkan penurunan emisi bersih.

Untuk pengembangan substitusi bahan bakar fosil dengan biomas atau bioenergi, sektor kehutanan mendukung dengan pencadangan kawasan hutan yang dapat dikonversi. Hutan konversi ini dapat digunakan untuk kepentingan non kehutanan seperti pertanian, transmigrasi, perkebunan dan keperluan lainnya. Total areal yang dicadangkan adalah 18,3 juta ha. Dari luasan tersebut, 6,815 juta ha dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bioenergi (Baplan, 2007).

Sejalan dengan program Pemerintah yang mendorong substitusi bahan bakar fosil, belakangan ini berkembang upaya mengembangkan bahan bakar nabati sebagai pengganti bahan bakar fosil. Jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan untuk memrpoduksi bioethanol dan biogas adalah kelapa sawit, jarak pagar, tebu dan singkong serta yang saat ini sedang banyak dikembangkan nyamplung.

Secara umum, pengembangan biomas dan bioenergi memiliki beberapa keuntungan yaitu: memiliki potensi mitigasi gas rumah kaca, mengurangi polusi akibat penggunaan bahan bakar fosil, meningkatkan program rehabilitasi lahan dan reboisasi. Akan tetapi pengembangan program ini juga berpotensi negatif, yaitu : berkurangnya biodiversity, terjadi deforestasi, kebakaran hutan, kelangkaan air, dan polusi dari pertanian (penggunaan pupuk). Selain itu, dalam pengembangan biodiesel dari jarak pagar terdapat permasalahan diantaranya adalah ketiadaan bibit unggul dan bibit terserang hama, proses

Page 17: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

11

teknologi, sistem tata niaga, harga yang terlalu murah, dan tidak adanya standar harga biji dan produk minyak dari jarak pagar, belum adanya rantai pemasaran, serta masalah ketidakmampuan petani jarak untuk memiliki mesin pengolah, sehingga perlu diupayakan ditawarkan kredit lunak untuk memiliki mesin tersebut

3.2. REDD Sebagai Kegiatan Mitigasi GRK

REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) adalah mekanisme yang sedang dibangun oleh masyarakat internasional guna mencegah terjadinya kerusakan hutan berupa deforestasi atau degradasi yang berkontribusi nyata terhadap peningkatan GRK di dunia. Deforestasi di negara berkembang meskipun latar belakangnya beragam, namun secara umum adalah alasan ekonomi, antara lain kebutuhan pembangunan sejalan dengan bertambahnya populasi tidak terkecuali Indonesia. Dengan laju deforestasi tahunan yang mencapai rata-rata 1.1 juta ha, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengurangi laju deforestasi dan mendapatkan kompensasi.

Upaya pengurangan emisi dari deforestasi memerlukan pendekatan kebijakan internasional yang tidak akan mengancam pembangunan ekonomi negara yang bersangkutan dan kehidupan masyarakat lokalnya. Dengan demikian negara berkembang akan terdorong melaksanakan upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan apabila insentif yang diberikan setidaknya setara dengan opportunity costs dari pemanfaatan lahan/hutan tersebut.

Sampai saat ini mekanisme REDD masih dibahas ditingkat internasional, meskipun demikian, kegiatan REDD di Indonesia telah berkembang melalui pelaksanaan berbagai kegiatan percontohan (Demonstration Activities). Taman Nasional Meru Betiri merupakan salah satu kegiatan DA REDD+ yang dilaksanakan di kawasan konservasi dan mendapat pembiayaan dari ITTO.

4. ILLEGAL LOGGING

Deforestasi dan degradasi merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan. Sampai saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Laju deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia mencapai 1,1 juta hektar per tahun untuk periode 1997-2006 (Kementerian Kehutanan, 2010) .

Penyebab utama deforestasi adalah adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; Selain itu terjadi penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam

Page 18: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

12

pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari. Sedangkan degradasi atau penurunan kualitas hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan; illegal loging dan perdagangan ilegal yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya.

Dari berbagai penyebab deforestasi dan degradasi, pokok bahasan dalam review ini adalah praktek penebangan liar atau illegal logging yang dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD karena terjadi degradasi atau penurunan kualitas hutan.

4.1. Definisi dan Latar Belakang Terjadinya Illegal Logging

Menurut konsep manajemen hutan sebetulnya penebangan adalah salah satu rantai kegiatan yaitu memanen proses biologis dan ekosistem yang telah terakumulasi selama daur hidupnya. Penebangan sangat diharapkan atau jadi tujuan, tetapi harus dicapai dengan rencana dan dampak negatif seminimal mungkin (reduced impact logging). Penebangan dapat dilakukan oleh siapa saja asal mengikuti kriteria pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), tetapi kegiatan penebangan liar (illegal logging) bukan dalam

kerangka konsep manajemen hutan yang lestari.

Penebangan liar dapat didefinisikan sebagai tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan seperti menebang kayu di wilayah yang dilindungi, areal konservasi dan taman nasional, serta menebang kayu tanpa ijin di hutan-hutan produksi. Mengangkut dan memperdagangkan kayu illegal dan produk kayu illegal juga dianggap sebagai kejahatan kehutanan. Dengan kata lain, batasan/pengertian illegal logging adalah meliputi serangkaian pelanggaran

peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan.

Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak. Pelanggaran-pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi di dalam kawasan ini, tidak didemarkasi di lapangan dengan melibatkan masyarakat setempat.

Page 19: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

13

4.2. Faktor Pendukung Dan Pelaku Terjadinya Penebangan Liar

4.2.1. Faktor Pendukung

Lemahnya Supremasi Hukum

Penebangan liar merupakan tindakan yang melanggar hukum. Meskipun demikian pada kenyataannya penerapan hukum tidak berjalan dengan baik, bahkan pada banyak kasus, aparat penegak hukum bekerjasama atau saling mendukung dengan para pelaku penebangan liar. Ketidak-efektifan penegakan hukum ini disebabkan juga oleh kurangnya pengawasan yang memadai terhadap kegiatan penebangan, terbatasnya hukuman dan tuntutan dalam banyak kasus, dan kekurangan pendataan atau bukti seperti: tata batas dan lokasi rinci kejahatan. Hal ini menjadikan para penebang liar semakin berani melakukan dan memperluas kegiatan mereka.

Akibat Sistem HPH

Indonesia mengeluarkan izin HPH pertama kali pada akhir tahun 1960-an berdasarkan ketentuan UU 5/1967, ketika Instansi Kehutanan menjadi bagian dari Departemen Pertanian. Pada saat itu, sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk mengelola kawasan hutan yang sangat luas sangat kurang, dan negara perlu memobilisasi modal untuk melaksanakan program-program pembangunan. Jumlah HPH tercatat 584 yang meliputi areal sekitar 68 juta ha pada awal tahun 1990-an. Setelah reformasi banyak HPH yang dicabut ijinnya dan tidak lagi ada yang mengelola. Sampai saat ini jumlah HPH telah jauh berkurang, tercatat HPH aktif sejumlah 308 HPH (Departemen Kehutanan, 2009). Kawasan HPH yang telah dicabut ijinnya dan ditinggalkan pengelolanya menjadi seperti areal tak bertuan yang rawan terhadap penjarahan.

Permintaan log yang tidak dapat dipenuhi.

Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk kepentingan industri dan kebutuhan domestik, telah mendorong terjadinya penebangan kayu secara liar. Kapasitas produksi industri perkayuan melebihi kemampuan hutan untuk menghasilkan bahan baku secara lestari, baik dari HPH maupun HTI, yang kemudian merangsang terjadinya penebangan liar. Secara nasional, kebutuhan bahan baku kayu bulat pada saat ini (kapasitas terpasang industri) setiap tahunnya mencapai 63 juta m3. Sedangkan produksi kayu bulat dari hutan produksi adalah sekitar 31,9 juta m3/tahun (Departemen Kehutanan, 2009), sehingga terdapat kesenjangan sekitar 30 juta m3 per tahun. Disamping itu, pertumbuhan industri pengolahan kayu di luar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Korea, dan RRC yang juga membutuhkan bahan baku kayu bulat dan kayu gergajian dari Indonesia, menambah kesenjangan yang memacu kegiatan penebangan liar dan mengakibatkan terjadinya penyelundupan kayu dalam jumlah besar.

Sejak ketentuan resmi bahwa pasokan kayu hanya untuk memenuhi kebutuhan unit-unit yang berorientasi ekspor, kebutuhan domestik sebagian besar dipenuhi

Page 20: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

14

dari hasil penebangan liar. Kehadiran sawmill liar yang menjamur di kawasan hutan makin memperburuk keadaan. Selain itu, kurang memadainya rencana pembangunan dan lemahnya struktur industri pengolahan kayu serta kurangnya pengawasan menjadi penyebab ketidak-seimbangan pasokan/permintaan (supply/demand) yang serius.

Keuntungan besar yang diperoleh dari kegiatan penebangan liar.

Penebangan liar tidak membayar iuran/pungutan, dan tidak perlu mengeluarkan biaya untuk perencanaan dan pembangunan infrastruktur, oleh karena itu biaya produksi kayu ilegal jauh lebih murah dari kayu legal. Dengan demikian kegiatan penebangan liar cenderung memberikan keuntungan yang besar, baik bagi penjual maupun pembeli.

Keinginan investor untuk meperoleh keuntungan besar dalam waktu singkat telah mendorong untuk melakukan kegiatan ilegal, dan proses tersebut dapat menyeret berbagai unsur pada instansi pemerintah yang terkait, pengusaha dan penduduk setempat.

Adanya jaringan perdagangan kayu ilegal

Jaringan perdagangan kayu ilegal yang ada juga telah mendorong pengusaha untuk melakukan perdagangan kayu ilegal yang menguntungkan. Environmental Investigation Agency dan Telapak, (2005), telah melakukan investigasi yang rinci tentang pasar luar negeri dan rute perdagangan kayu liar dari Indonesia. Kayu-kayu gelondongan dari Papua dan Kalimantan Barat umumnya diselundupkan ke RRC, Malaysia, India, dan Korea. Kayu-kayu ini dengan memakai ponton atau kapal dibawa dari Papua atau Kalimantan Barat menuju beberapa pelabuhan transit. Pelabuhan transit yang tergolong besar dan sibuk dengan kegiatan kayu selundupan dari Indonesia, antara lain Pelabuhan Labuan, yang terletak di pulau Labuan salah satu pulau kecil di Malaysia berbatasan dengan Teluk Brunei yang merupakan pelabuhan strategis yang langsung menghadap Laut Cina Selatan, serta Pelabuhan Mati, yang terletak di Teluk Mavo, di Davao, Filipina Selatan.

Kemiskinan dan pengangguran.

Sekitar 60 juta orang Indonesia menggantungkan hidupnya pada kawasan hutan. Kebanyakan mereka termasuk ke dalam golongan pra-sejahtera. Kemiskinan ini dimanfaatkan investor dengan memprovokasi mereka untuk melakukan penebangan liar. Kurangnya alternatif mata pencaharian serta terbatasnya tingka pendidikan dan keterampilan menjadikan sebagian masyarakat menggantungkan hidupnya pada kegiatan penebangan liar. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para pemodal yang tidak bertanggung jawab, untuk mengeruk keuntungan cepat dengan menggerakkan masyarakat untuk melakukan penebangan liar. Hal ini diperburuk dengan datangnya era reformasi dan demokratisasi, yang disalah tafsirkan sebagai kebebasan yang mendorong terjadinya anarki melalui pergerakan massa.

Page 21: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

15

Lemahnya Koordinasi

Kelemahan koordinasi antara lain terjadi dalam hal pemberian ijin industri pengolahan kayu antara instansi perindutrian dan instansi kehutanan serta dalam hal pemberian ijin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan antara instansi pertambangan dan instansi kehutanan. Koordinasi juga dirasakan kurang dalam hal penegakan hukum antara instansi terkait, seperti kehutanan, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Banyak kasus-kasus penebangan liar yang diputuskan bebas di pengadilan.

4.2.2. Pelaku Penebangan Liar

Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan illegal logging. Pelaku utama yang terlibat dalam penebangan liar adalah :

Sebagian pemilik pabrik pengolahan kayu (industri perkayuan), skala besar, sedang dan kecil : sebagai pembeli kayu curian (penadah), termasuk sawmill ilegal yang marak terdapat di sekitar lokasi hutan.

Pemegang HPH yang mengambil kayu diluar ketentuan jatah tebang dari blok tebangan yang sudah direncanakan dan disetujui Departemen Kehutanan melalui mekanisme Rencana Karya Perusahaan (RKPH), Rencana Karya Lima Tahunan (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT).

Pengusaha yang hanya mencari keuntungan cepat, dimana aspek legal tidak menjadi perhatian. Pengusaha ini, baik domestik maupun mancanegara, berkolusi dalam perdagangan dan ekspor kayu ilegal lintas batas.

Unsur-unsur dari instansi penegak hukum yang tidak jujur, yang mendukung dan melindungi mereka yang terlibat dalam penebangan liar.

Cukong yaitu pemilik modal yang membiayai kegiatan penebangan liar dan yang memperoleh keuntungan besar dari hasil penebangan liar.

Sebagian masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan maupun yang didatangkan, sebagai pelaku penebangan liar (penebang, penyarad, pengangkut kayu curian)

Pengusaha asing : penyelundupan kayu hasil curian ke Malaysia, Cina, dll.

Pelaku lain yang mendukung terjadinya penebangan liar termasuk: masyarakat miskin dan pengangguran yang mencari penghasilan, kelompok masyarakat yang dirugikan dan tertinggal, masyarakat yang kecewa dan tidak memiliki pekerjaan, tokoh masyarakat, buruh angkut, dan distributor kayu ilegal.

4.3. Pola dan Dampak Illegal Logging

4.3.1. Pola Illegal Logging

Aktivitas penebangan liar pada masa lalu sebagian besar dilakukan oleh sistem HPH, sedangkan setelah reformasi di berbagai daerah dilakukan secara terbuka. Masyarakat mencuri kayu secara berkelompok dengan menggunakan gergaji mesin (chain saw), menyarad dan menaruh kayu bulat di pinggir jalan angkutan HPH/HTI secara terang-terangan. Sebagian kayu bulat curian ada

Page 22: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

16

yang diolah langsung dekat lokasi hutan tempat pencurian kayu, banyak saw mill liar yang baru didirikan diberbagai lokasi di sekitar kawasan hutan. Sebagian kayu bulat dan kayu gergajian hasil curian diangkut di jalan umum secara terbuka dan dokumen angkutan kayu bulat maupun kayu olahan (kayu gergajian) dipalsukan bekerjasama dengan aparat kehutanan daerah/propinsi setempat.

4.3.2. Dampak Illegal Logging

Kegiatan illegal logging tanpa mengindahkan kaidah-kaidah manajemen hutan untuk menjamin kelestarian sumber daya hutan telah menyebabkan berbagai dampak negatif dalam berbagai aspek. Sumber daya hutan kian menjadi rusak akibat maraknya penebangan liar dalam jumlah yang sangat besar. Kerugian akibat penebangan liar memiliki dimensi yang luas tidak saja terhadap masalah ekonomi, tetapi juga terhadap masalah sosial, budaya, politik dan lingkungan.

Dari perspektif ekonomi kegiatan illegal logging telah mengurangi penerimaan devisa negara dan pendapatan negara. Permasalahan ekonomi yang muncul akibat penebangan liar bukan saja kerugian finansial akibat hilangnya pohon, tidak terpungutnya DR dan PSDH akan tetapi lebih berdampak pada ekonomi dalam arti luas, seperti hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan keragaman produk dimasa depan (opprotunity cost).

Illegal logging juga mengancam industri sektor kehutanan, karena ancaman kekurangan bahan baku dimasa yang akan datang. Dinyatakan oleh (Suripto, 2005) bahwa laporan dari Pengelolaaan Sumber Daya Alam (PSDA) Watch menemukan penebangan liar yang menyumbang 67 juta m

3 kayu tiap tahunnya.

Studi lain mengungkapkan bahwa illegal logging telah mengakibatkan kerugian material sebesar paling tidak Rp. 30 triliun per tahun. Bahkan penelitian Greenpeace seperti dikutip Radius dan Wadrianto (2011) melaporkan bahwa 88 persen kayu-kayu yang masuk ke industri perkayuan di Indonesia disinyalir ilegal.

Kerugian dari segi lingkungan yang paling utama adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon sehingga tidak terjaminnya keberadaan hutan yang berakibat pada rusaknya lingkungan, berubahnya iklim mikro, menurunnya produktivitas lahan, erosi dan banjir. Data Departemen Kehutanan (2009), menunjukkan luas lahan kritis mencapai 77,8 juta dengan luas lahan sangat kritis mencapai 47,6 juta ha. Kerusakan habitat dan terfragmentasinya hutan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies termasuk flora dan fauna langka. Seluruh biodiversity dan kekayaan alam (termasuk kayu) dapat punah, sehinggga generasi mendatang tidak bisa menyaksikan langsung kekayaan mega-biodiversity hutan tropika Indonesia.

Page 23: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

17

Gambar 2. Kayu dari hasil penebangan liar yang ditangkap oleh kepolisian

dan BKSDA Riau (Foto M. Bismark)

4.3.3. Dampak Illegal Logging Terhadap REDD

Keberhasilan mekanisme REDD sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dapat dilihat dari keberhasilan program ini dalam menurunkan emisi GRK. Emisi GRK dari sektor kehutanan terbesar disumbangkan oleh terjadinya deforestasi dan degradasi. Sehingga keberhasilan program REDD sangat bertumpu kepada keberhasilan dalam menurunkan deforestasi dan degradasi. Deforestasi terutama disebabkan oleh konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain. Sedangkan degradasi atau penurunan kualitas hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan, serta perdagangan dan penebangan ilegal.

Terjadinya illegal logging berarti terjadinya pengambilan kayu secara ilegal dari kawasan hutan. Dalam perhitungan emisi GRK, pengambilan kayu atau logging merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi besarnya emisi. Semakin besar kayu yang diambil akan semakin besar emisi yang dihasilkan, yang berarti akan mengurangi keberhasilan program REDD dalam menurunkan emisi.

4.4. Illegal Logging di Jawa

Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta orang atau sekitar 60% dari penduduk Indonesia, sehingga pulau ini merupakan salah satu wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Kepadatan penduduk Jawa adalah 887 jiwa/km2. Ada 6.381 desa di Jawa yang berbatasan dengan hutan atau berada di tengah hutan. Jumlah desa hutan ini mencapai 25% dari jumlah desa di Jawa.

Departemen Kehutanan (2009) melaporkan hutan rusak dan lahan kritis yang berada di Daerah Aliran Sungai kritis di Jawa seluas 3.2 juta ha. Sekitar 0,6 juta ha berada di kawasan hutan negara (22 % dari seluruh kawasan hutan negara), dan seluas 2,6 juta ha terjadi di luar kawasan hutan negara. Data ini

Page 24: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

18

menujukkan besarnya masalah lingkungan yang berkaitan dengan hutan seperti kejadian banjir, longsor, kerusakan habitat, kepunahan jenis dan lain-lain di Jawa.

Pengelolaan hutan di Jawa saat ini dilaksanakan pada PT. Perhutani untuk kawasan hutan produksi dan sebagian hutan lindung, pemerintah daerah (pemda) untuk kawasan lindung dan hutan hak (milik masyarakat), maupun Kementerian Kehutanan untuk kawasan konservasi

Konflik tenurial di Jawa, terutama pada desa-desa yang berada di kawasan hutan terutama disebabkan oleh banyaknya petani yang miskin tanah atau lazim disebut petani gurem yang menguasai tanah kurang dari 0,5 Ha. Jumlah petani gurem ini meningkat terus dari tahun ke tahun diakibatkan oleh pertambahan penduduk, sementara tingkat ketersediaan lahan untuk pertanian berbanding terbalik dengan laju pertambahan penduduk. Apalagi, khususnya di Jawa, laju konversi tanah-tanah pertanian kepada peruntukan lain lebih tinggi dari pulau-pulau lain. Penguasaan tanah juga lebih banyak terkonsentrasi pada kelompok-kelompok pengusaha perkebunan berupa BUMN ataupun BUMS melalui HGU, HGB, HGP dan lainnya. Permasalah tenurial sering terjadi dengan Perum Perhutani sebagai perusahaan pengusahaan hutan di Jawa dan Taman Nasional. Selain itu masalah atau konflik tenurial juga terjadi dengan perkebunan yang ada di Jawa.

Faktor utama penyebab konflik dan penjarahan adalah kesenjangan sosial yang berkembang menjadi kecemburuan sosial. Penjarahan terjadi karena hutan merupakan aset terbuka dengan nilai ekonomi yang tinggi, terutama hutan jati. Hal lain yang mempengaruhi masyarakat untuk melakukan jarah hutan adalah karena masyarakat belum merasakan secara langsung manfaat yang diberikan oleh hutan. Selain itu, konflik antara Perhutani dengan masyarakat juga disebabkan oleh ketatnya peraturan yang ada di Perhutani dan birokrasi yang panjang

Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pihak Perhutani melalui pendekatan sosial dan keamanan tampaknya belum mampu menyelesaikan permasalahan dengan masyarakat. Pendekatan ini belum sepenuhnya menyentuh akar masalah yang menyebabkan konflik, yaitu ruang kelola yang terlalu kecil untuk masyarakat, kebutuhan dasar masyarakat yang masih belum terpenuhi, dan kecemburuan sosial. Sejauh ini solusi yang dihasilkan untuk kasus-kasus kehutanan Jawa baru pada lingkup pemberian hak pengelolaan, belum sampai pada hak untuk mengontrol kawasan tersebut. Kewenangan untuk mengontrol pengelolaan hutan serta kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban atas baik dan buruknya pengelolaan pada kawasan-kawasan yang sebagian besar berbatas atau terletak pada ruang kelola desa-desa hutan di Jawa, tetap perada ditangan Perhutani.

Perolehan hak pengelolaan atas hutan produksi di Jawa dengan skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), tidak serta merta memberikan kepastian hak pemanfaatan kepada masyarakat desa. Selain kritik terhadap kecilnya persentase pembagian hasil, PHBM juga tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah penebangan liar.

Page 25: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

19

4.5. Pengendalian Illegal Logging

Ada beberapa alasan mengapa aktivitas penebangan liar sulit untuk dihentikan oleh pemerintah, yaitu :

Penebangan liar didukung oleh penyokong dana, atau cukong, yang beroperasi layaknya institusi kejahatan yang terorganisir (organized crimes). Para penegak hukum kehutanan mempunyai keterbatasan sumber daya dalam menghadapi cukong-cukong tersebut. Penegak hukum hanya memfokuskan pada penemuan bukti-bukti fisik dari adanya kayu ilegal, seperti kepemilikan, penyimpanan dan pengangkutan kayu dan produk hutan lainnya yang tanpa surat-surat dokumen yang sah. Oleh karena itu target mudah dalam usaha penegakan hukum kehutanan adalah di lapangan misalnya supir truk yang sedang mengangkut kayu ilegal, atau pekerja yang sedang melakukan penebangan liar. . Dengan tertangkapnya supir truk masih sulit dibuktikan keterlibatan penyokong dana dan aktor intelektual lainnya dari pembalakan liar.

Pembalakan liar dan praktek-praktek terkait lainnya semakin marak karena adanya korupsi. Penyokong dana yang mengoperasikan pembalakan liar dan aktivitas perdagangan kayu ilegal mengerti dengan siapa mereka harus membayar untuk melindungi bisnis kayu ilegal. Berbagai institusi atau oknum menjadi rawan terhadap korupsi dan suap terkait penerbangan liar. Meskipun demikian, sesungguhnya masih banyak petugas atau aparat yang bekerja baik dan bertanggung jawab dalam upaya pemberantasan pembalakan liar serta masalah yang terkait dengannya, walaupun mereka menghadapi resiko termasuk perlawanan dari yang diuntungkan oleh adanya pembalakan liar.

Penanggulangan illegal logging tetap harus diupayakan hingga kegiatan ini berhenti sebelum habisnya sumber daya hutan. Penanggulangan illegal logging ini dapat dilakukan melalui kombinasi dari upaya monitoring (deteksi), upaya pencegahan (preventif), dan upaya penanggulangan (represif).

1. Tindakan prefentif untuk mencegah terjadinya illegal logging

Peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat o Pemberian akses terhadap pemanfaatan sumber daya hutan agar

masyarakat dapat ikut menjaga hutan dan merasa memiliki, termasuk pendekatan kepada pemerintah daerah untuk lebih bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan.

o Pengembangan sosial ekonomi masyarakat seperti menciptakan pekerjaan dengan tingkat upah/pendapatan yang melebihi upah menebang kayu liar.

o Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat memberikan informasi yang menjadikan pelaku dapat ditangkap.

Page 26: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

20

Perbaikan manajemen kehutanan o Pembangunan kelembagaan (capacity building) yang menyangkut

perangkat lunak, perangkat keras dan SDM termasuk sistem reward dan punishment.

o Penegasan penataan batas kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan dengan lebih rasional.

o Mengembangkan sarana, prasarana dan kemampuan ujung tombak penegakan hukum di daerah perbatasan dan kawasan konservasi. Di seluruh Indonesia tersebar 14.000 orang jagawana yang merupakan personil pemerintah. Dengan dilengkapi senjata, pelatihan dan dukungan logistik, mereka dapat dijadikan kekuatan yang efektif untuk melindungi daerah-daerah rawan. Kekuatan ini dapat ditingkatkan di masing-masing lokasi melalui dukungan tim sukarelawan setempat dengan diberikan insentif yang memadai.

o Restrukturisasi pengelolaan hutan dan industri pengolahan kayu. Termasuk penyempumaan kelemahan sistem HPH.

o Mengaplikasikan sistem pengelolaan hutan yang lestari dengan memanfaatkan badan akreditasi nasional independen untuk pemberian ekolabel di Indonesia.

o Optimalisasi penggunaan sumberdaya hutan misalnya melalui divesifikasi non kayu, menuju perdagangan karbon dan ekoturisme

Perbaikan sistem perundangan dan pendidikan o Evaluasi dan review peraturan dan perundang-undangan. o Mengefektifkan instrument CITES sebagai konvensi yang mengatur

perdagangan internasional jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi. o Langkah tindakan yang bersifat edukatif ditempuh dengan

dimasukkannya pengetahuan dan pengertian tentang peranan dan fungsi hutan ke dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Langkah tindakan yang serupa juga dilakukan melalui penyuluhan dan ditujukan bagi masyarakaat luas dengan mengunakan media cetak maupun media elektronik.

o Membangun pusat informasi penebangan liar o Menerapkan moratorium konversi hutan alam menjadi bentuk

penggunaan lain, yang sering dijadikan alat untuk menutup-nutupi penebangan liar.

2. Deteksi terhadap adanya kegiatan penebangan liar

Deteksi sangat diperlukan untuk mengetahui secara dini adanya illegal logging. Deteksi dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan:

Deteksi makro, misalnya melalui potret udara untuk mengetahui adanya indikator penebangan liar seperti perambahan, jalur logging, base camp, sawmill dan lainnya.

Patroli rutin melalui jalur darat (ground checking)

Pemeriksaan tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar

Pemeriksaan di sepanjang jalur-jalur pengangkutan

Page 27: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

21

Inspeksi di lokasi penimbunan layu, log pond dan lokasi Industri

Melakukan lacak balak (timber tracking)

Menerima dan menindaklanjuti adanya informasi yang datang dari masyarakat

Pemeriksaan intensif dokumen (ijin, angkutan dan laporan) .

Mengefektifkan pengawasan, termasuk pemeriksaan melalui udara dan darat, penelusuran angkutan log;

3. Tindakan represif melalui penegakan hukum

Upaya memberantas kegiatan illegal logging telah dilakukan tetapi belum meperlihatkan hasil yang maksimal karena masih lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Terdapat beberapa kasus penebangan liar dan korupsi yang berhasil dibawa ke pengadilan, namun hampir semuanya mendapat hukuman ringan atau bahkan bebas sama sekali. Tindakan represif merupakan tindakan penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai ke pengadilan. Untuk itu harus ada kesamaan persepsi antara masing-masing unsur penegak hukum yaitu penyidik (Polri dan PPNS), jaksa penuntut dan hakim. Karena besarnya permasalahan illegal logging, tindakan represif harus mampu menimbulkan efek jera sehingga pemberian sanksi hukum harus tepat. Tindakan yang perlu dilakukan diantaranya :

Adanya komitmen politik untuk memberantas penebangan liar dimulai dari pimpinan tertinggi negara karena pemberantasan penebangan liar dan peredaran hasil hutan ilegal memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dengan penegakan supremasi hukum secara adil dan konsisten.

Shock terapy dengan penutupan sawmill ilegal, dan penggerebekan terorganisir ke tempat-tempat yang dicurigai. Adanya eksekusi, yaitu mereka yang terbukti terlibat harus dieksekusi melalui proses pengadilan untuk menghukum pelaku.

Meningkatkan hukuman (termasuk denda, kurungan, penyitaan harta benda, pembatalan ijin terhadap para pelaku kejahatan) dan meningkatkan kesadaran tentang akibat penebangan liar.

Perbaikan perangkat hukum dan memecahkan permasalahan tindak korupsi pada instansi penegak hukum.

Untuk mendukung penegakan hukum, sesungguhnya telah ada berbagai aturan, diantaranya:

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan.

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.

PP No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.

PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

Page 28: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

22

PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa

PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Inpres Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) dan peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional tanjung puting

Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.

Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

Inpres ini juga menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.

Page 29: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

23

Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.

Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang

Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang

4.6. Upaya Pengendalian Illegal Logging di TN Meru Betiri

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Prov. Jawa Timur yang telah ditetapkan sebagai proyek percontohan pengurangan emisi dari pencegahan deforestasi dan degradasi (REDD) yang dibiayai oleh ITTO. Sebagai satu kesatuan ekosistem hutan pegunungan dan kawasan pantai yang merupakan kawasan konservasi yang masih asli, keberadaan TNMB harus dapat dijaga untuk kepentingan lokal, nasional dan bahkan internasional. Pada kenyataannya, TNMB sering mengalami berbagai gangguan yang dapat mengancam kelestarian dan keanekaragaman hayati hutan yang pada akhirnya akan mengurangi kemampuan hutan dalam mempertahankan stok karbon dan berpengaruh terhadap perubahan iklim. Berbagai permasalahan yang sering terjadi adalah penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan, dan longsor yang terus mengancam kelestarian TNMB. Kekurang pedulian sebagian kecil masyarakat terhadap konservasi TNMB serta himpitan masalah ekonomi merupakan salah satu faktor kenapa kegiatan illegal logging masih sering terjadi. Penebangan liar (illegal logging) merupakan kegiatan penebangan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin. Praktek illegal logging yang tidak mengindahkan kelestarian menyebabkan kerusakan sumber daya hutan. Beberapa dampak ekologi dapat dikaitkan dengan praktek illegal logging ini termasuk degradasi, deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Upaya-upaya perlindungan hutan di TNMB dilakukan mengingat TNMB merupakan salah satu ekosistem Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah yang tersisa di Propinsi Jawa Timur. Upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk meningkatkan kinerja kelembagaan yang ada di masyarakat dalam mencegah dan mengurangi tekanan terhadap hutan. Berbagai upaya yang terus dilakukan dalam mengurangi pembalakan liar di TNMB adalah meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan TNMB. Pembentukan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dan pembentukan kelembagaan SPKP di masing-masing Seksi Pengelolaan Taman Nasional merupakan salah satu upaya meningkatkan peran serta masyarakat di dalam pengelolaan TNMB.

Page 30: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

24

Kegiatan Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan TNMB telah banyak dilakukan namun masih belum memberikan hasil yang optimal. Pada tahun 2007, di desa penyangga TNMB telah berdiri Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaaan (SPKP) di desa Wonoasri dan Sanenrejo yang kemudian dikembangkan di desa penyangga lainnya, desa Kandangan, desa Sarongan, desa Kebonrejo, desa Curahnongko dan desa Andongrejo pada tahun 2010. Namun pengurus klembagaan SPKP terbentur masalah anggaran dan sumber daya manusia (SDM) yang belum mumpuni. Ke depan diharapkan dengan semakin menguatnya kelembagaan SPKP akan menjadi wadah dalam merumuskan setiap kegiatan/program dan memecahkan permasalahan yang ada di desa penyangga TNMB sehingga ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan akan semakin berkurang dan dapat meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 134 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia. Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Hutan juga berperan penting dalam perubahan iklim sebagai penyerap/penyimpan karbon (sink) maupun pengemisi karbon (source of emission).

REDD adalah mekanisme yang sedang dibangun oleh masyarakat internasional guna mencegah terjadinya kerusakan hutan berupa deforestasi atau degradasi yang berkontribusi nyata terhadap peningkatan GRK di dunia. Dari berbagai penyebab deforestasi dan degradasi, praktek penebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD, karena berkurangnya stok karbon atau terjadi peningkatan emisi dari hutan yang ditebang dan dijarah.

Masalah penebangan liar di Indonesia merupakan masalah serius yang mengancam kelestarian hutan. Hal ini sudah menjadi permasalahan nasional sehingga komitmen dari pemerintah di tingkat nasional dan daerah harus ditingkatkan. Di Jawa, faktor utama yang sangat mempengaruhi kejadian illegal logging adalah konflik tenurial hutan, karena tingginya angka kemiskinan dan rendahnya kepemilikan lahan sehingga sebagian besar petani adalah petani gurem.

Secara ekonomi kegiatan ini sangat merugikan, dan kerugian lain yang besar juga terjadi karena rusaknya lingkungan dan moral masyarakat. Upaya penanggulangan penebangan liar memerlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah, penegakkan supremasi hukum, perbaikan sistem pengelolaan hutan dan kegiatan lain yang perlu diprogramkan untuk jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Page 31: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

25

Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengatasi masalah penebangan liar yaitu melalui upaya preventif, dengan pendekatan kesadaran dan kesejahteraan masyarakat, upaya perbaikan sistem pengelolaan kehutanan dan perangkat perundang-undangan. Selain itu perlu adanya sistem deteksi dalam pengendalian illegal logging serta yang terpenting adalah upaya penegakan hukum.

Terkait dengan masyarakat, diperlukan kejelasan dan penegasan atas status lahan hutan negara, adat maupun hak milik. Hal ini untuk kepastian dan kejelasan kepemilikan lahan. Pendekatan terhadap kesejahteraan masyarakat juga diperlukan agar tekanan masyarakat terhadap hutan berkurang.

Di TNMB, upaya-upaya perlindungan hutan dilakukan mengingat TNMB merupakan salah satu ekosistem Hutan Hujan Tropis Dataran Rendah yang tersisa di Propinsi Jawa Timur. Berbagai upaya yang terus dilakukan dalam mengurangi pembalakan liar di TNMB adalah meningkatkan peran serta dan keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan TNMB. Pembentukan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dan pembentukan kelembagaan SPKP di masing-masing Seksi Pengelolaan Taman Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon pada Lahan Gambut. Makalah pada Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta.

Baplan, 2007. Sustainable Forestry For Bioenergy Program. Paper. World Renewable Energy Regional Congress And Exhibition (WRERCE). November 5 – 7, Grand Hyat – Jakarta

Bappenas. 2010. Policy Scenario of Reducing Carbon Emissions from Indonesia Peatland. Bappenas. Jakarta.

Bismark, M., N.M. Heriyanto dan S. Iskandar. 2008. Biomasa dan Kandungan Karbon pada Hutan Produksi di Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam V (5): 397 – 407. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Departemen Kehutanan. 2009. Statistik Kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Departemen Kehutanant. 2008. IFCA Consolidation Report : Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia. Forestry Research and Development Agency. Jakarta.

Dharmawan, I. W. S. dan C. A. Siregar. 2009. Teknik evaluasi kandungan karbon hutan alam dipterocarpaceae. Pusat Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Manuskrip.

Page 32: Cover Illegal Logging 11 Illegal logging review.pdfpenebangan liar atau illegal logging dapat mengancam kelestarian hutan dan keberhasilan pelaksanaan mitigasi perubahan iklim melalui

26

Dwiprabowo, H, Hakim, I, Bangsawan, I dan Astana, S. 2010. Potensi Produksi Dan Konsumsi Kayu Bakar Sebagai Sumber Energi Terbarukan Di Pedesaan Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian.

EIA dan Telapak. 2005. The Last frontier : Illegal Logging in Papua and China‟s massive timber theft. Jakarta, Indonesia

Hardwinarto, S. 2007. Sumbangan Hutan Terhadap Hasil Air. Prosiding Workshop Peran Hutan dan Kehutanan dalam Meningkatkan Daya Dukung DAS. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor :pp 113-132.

Hiratsuka, M., T. Toma, R. Diana, D. Hardriyanto and Y. Morikawa. 2006. Biomass Recovery of Naturally Regenerated Vegetation after the 1998 Forest Fire in East Kalimantan, Indonesia. JARQ 40 (3), 277 – 282 (2006).

Inpres No. 4 Thn 2005 Ttg Illegal Logging Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia

Kementerian Kehutanan. 2010. Penentuan Tingkat Referensi Emisi Sektor Kehutanan. Lokakarya Direktorat PJLWA-TNC. Bogor.

KLH. 2009. Indonesia: Second National Communication under the United Nation Framework Convention on Climate Change. KLH, Jakarta.

Menteri Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.70/Menhut-II/2009 tentang program prioritas Kementerian Kehutanan untuk tahun 2009-2014.

Noor‟an, R. F. 2007. Potensi biomasa karbon di Hutan Lindung Sungai Wain, Kalimantan Timur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa. Samarinda.

Page SE, Siegert F, Rieley JO, B¨ohm HDV, Jaya A, Limin S (2002) The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420:61–65.

Radius, D.B dan Wadrianto, G.K. 2011. 88 Persen Penebangan di Indonesia, Liar.

Soekotjo, 2007. Pengalaman dari Uji jenis Dipterocarps Umur 4,5 tahun di PT Sari Bumi Kusuma, Kalteng. Dipresentasikan pada Seminar Dipterocarps di Samarinda pada tanggal 3-5 September 2007.

Stern, N. 2007. „The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge.