PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN SOLUSI...
Transcript of PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN SOLUSI...
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN SOLUSI
HUKUMNYA DI INDONESIA DAN MALAYSIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MIFTAHUL ROHMAH
107043202326
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
2
3
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Syariah (S,Sy) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 25 Syawal 1432 H
26 September 2011 M
MIFTAHUL ROHMAH
v
ABSTRAK
MIFTAHUL ROHMAH, NIM 107043202326. Perkawinan di Bawah Tangan dan
Solusi Hukumnya di Indonesia dan Malaysia. Program Studi Perbandingan Madzhab
dan Hukum (PMH), Konsentrasi Perbandingan Hukum (PH), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1432 H / 2011 M. Di
bimbing oleh Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (197412132003121002)
beserta Ibu Hotnida Nasution, M.Ag. MA (197106301997032002).
Isi: xiii + 84 halaman + 8 lampiran, 28 literatur (1974-2010).
Penelitian ini untuk menganalisis hukum perkawinan di bawah tangan di
Indonesia dan Malaysia, yang bertujuan untuk mengetahui Konsekuensi dan Solusi
perkawinan di bawah tangan di Indonesia dan Malaysia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun sumber data yang
didapat melalui data primer dan data skunder dengan pengumpulan data melalui studi
pustaka (Librari reasearch), sedangkan analisis data dilakukan analisis kualitatif.
Analisis kualitatif adalah upaya yang dilakukan secara bersamaan dengan
pengumpulan data, memilah-memilihnya menjadi satuan yang dapat dikelola,
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari
serta memutuskan apa yang dapat dibaca dan diinterprestasikan atau mudah dipahami
dan diinformasikan kepada orang lain. Dengan teknik ini penulis berusaha untuk
mengkualifikasikan data-data yang telah diperoleh dan disusun kemudian dideskripsikan.
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa konsekuensi pernikahan di bawah
tangan di Indonesia dan Malaysia adalah tidak dicatat oleh petugas pencata
perkawinan dan tidak memiliki akta nikah. Solusinya adalah mengajukan
permohonan isbat nikah ke pengadilan. Pengadilan Agama untuk Indonesia,
Mahkamah Syariah untuk Malaysia .
vi
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas diucapkan melainkan puji syukur kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya yang senantiasa berlimpah
kepada penulis, sehingga penulis diberikan kemampuan, kekuatan serta ketabahan
hati dalam menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu persyaratan untuk
menyelasaikan masa kuliah di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat serta salam tidak lupa penulis curahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW, suri tauladan kita dalam setiap aktivitas kehidupan.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca umumnya, penulis juga mengharapkan segala bentuk masukan berupa
kritik dan saran yang bersifat membangun dalam menyempurnakan skripsi ini,
mengingat kemampuan penulis yang masih terbatas dan terdapat banyak kekurangan–
kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara moril maupun materil, oleh
karena itu dari lubuk hati yang paling dalam penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak H. Muhammad Taufiki M.Ag, selaku ketua Prodi Perbandingan Madzhab
dan Hukum beserta bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, sekretaris Prodi
Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, dan Ibu Hotnida Nasution, MA, selaku
dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan-arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah ikhlas mendidik dan berbagi Ilmu dengan penulis
selama perkuliahan.
6. Segenap para pemimpin beserta Staf perpustakaan utama dan perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitasnya.
7. Bapak Abdul Aziz Bin Josoh yang telah membantu memberikan Informasi yang
dibutuhkan penulis tentang malaysia
8. Kepada kedua orang tua yang penulis sangat hormati dan cintai, penulis
persembahkan skripsi ini kepada Ayahanda H. Sabli Halimi, S.Ag, dan Ibunda
Hj. Arifah Suma, yang telah membimbing dan mendidik. Atas dukungan moril,
materil, kesabaran, perhatian, keikhlasan serta kasih dan sayang yang tiada habis-
habisnya diiringi untaian do’a yang tiada henti-hentinya siang dan malam kepada
viii
Allah SWT. Semoga Allah membalas kebaikan beliau, Amin. Ananda sadar
bahwa semua yang telah kalian berikan tidak akan dapat tergantikan oleh apapun.
9. Kakak-kakaku tersayang Muhimatun Nubuah, S.Pdi, M.Si, Ahmad Saikhu, SE,
Radiatul Hasanah dan Pamanku Ahmad Sujai Suma, S.Ag yang telah memberikan
dukungan semangat dan sekaligus menjadi motivator penulis dalam proses
penulisan skripsi ini serta adik-adiku Mawadata warohmaniah, Juhratul Uyun Dan
Muhammad Irfan Al-Farizi dan seluruh keluarga besar yang tidak bisa disebutkan
namanya satu persatu. Terimakasih untuk semua perhatian dan kasih sayangnya.
10. Untuk teman terdekatku Gilang Andi Barata, Siti Muthia yang dengan ikhlas
selalu ada dan memberikan motivasi dan dukungannya, thank’s “cha endut” serta
Ade Yani Suryani, Fitriah, Nurlelah, yang selalu ada buat ku berbagi keluh kesah
dan sahabat kosanku Desi Norma Yunita, Nurlaelatul Afifah, Siti Muthia Andini,
Mariam Martiningsih dan Ainun. yang selalu bersama satu atap susah senang
bersanma di Al-Barkah 1 falmboyan 3 atas.
11. Teman-teman seperjuanganku jurusan PH (Perbandingan Hukum) angkatan 2007,
Hilman, Mucibi, Risnu, Farid, Novel, Fakih, Mujib, Vitoy, Helmi, Fikri, Dede,
Salim, Miranda, Lulu, Musrifah, Ratri, Viah yang banyak memberikan sumbang
saran, semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Tidak mengurangi rasa terima
kasih kepada teman-teman kks 09, 2010 desa Cibodas Rumpin Bogor.
12. Terima kasih juga kepada bang Juri yang telah membantu penulis dalam
memperbaiki dan mengedit data penulis skripsi ini.
ix
Demikian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak-pihak
yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga
selesainya skripsi ini, semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal baik dan
memperoleh balasan pahala yang berlimpah ganda dari Allah SWT, (Amin) maka
akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan
bagi pembaca pada umumnya.
Jakarta, 25 Syawal 1432 H
26 September 2011 M
MIFTAHUL ROHMAH
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7
D. Riview Studi Terdahulu ................................................................ 8
E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan...................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 11
BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN BAWAH
TANGAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan ................................... 14
B. Hukum Positif Perkawinan di Indonesia ...................................... 30
C. Pencatatan Perkawinan ................................................................. 32
D. Konsekuensi hukum ...................................................................... 35
xi
BAB III MASALAH HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DI
MALAYSIA
A. Hukum Positif Perkawinan di Malaysia ....................................... 37
B. Pencatatan Perkawinan ................................................................. 45
C. Konsekuensi Hukum .................................................................... 47
BAB IV PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT ENAKMEN
UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM DAN UNDANG-
UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974
A. Persamaan Hukum Perkawinan Indonesia dengan Malaysia ....... 51
B. Perbedaan Solusi Hukum Perkawinan di Bawah Tangan di
Indonesia dan Malaysia ................................................................ 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 69
B. Saran ............................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 72
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nikah dapat dikatakan sebagai perbuatan hukum dan mempunyai kekuatan
hukum positif, jika nikah tersebut dilakukan menurut ketentuan hukum yang
berlaku secara positif seperti yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 dan PP
No.9 Tahun 1975 serta UU Islam 1974. Sebagai suatu perbuatan hukum
perkawinan mempunyai akibat hukum baik bagi suami istri maupun anak yang
lahir dalam perkawinan atau akibat dari perkawinan tersebut. Seperti penyelesaian
harta bersama, pengasuhan anak, memikul biaya pendidikan anak bila bapak yang
seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhi, penentuan kewajiban memberi
biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, sah atau tidak seorang anak,
pencabutan kekuasaan orang tua, asal usul anak, termasuk mengenai kewarisan.
Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1 Selain itu juga perkawinan merupakan
salah satu kebutuhan rohani dan jasmani yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa
1 Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.40, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009),
h.537.
2
dua manusia dengan jenis yang berlainan di sunatkan untuk menikah sesuai
dengan ketentuan Allah SWT yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan
keturunan dan tujuan-tujuan lainya2
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surah Al-Dzariyat: 49
5149
Artinya: ”Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah” (Q.S. Al-Dzariyat/51: 49)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa perkawinan itu merupakan
sunatullah yang berlaku baik pada manusia maupun makhluk lainnya. Dengan
demikian Allah menciptakan mahkluk-Nya bukan tanpa tujuan, tetapi di dalamnya
terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-hamba-Nya di dunia
ini menjadi tentram sebagaimana dalam Firman Allah Qs.Al-Rum:21
3021
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-nya ialah dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya dan di jadikan-nya diantaramu rasa kasih
dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Q.S. Al-Rum/30: 21)
Allah sengaja menumbuhkan rasa kasih dan sayang ke dalam hati masing-
masing pasangan, supaya di antar keduanya saling melengkapi satu dengan yang
2 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006 ), h.43.
3
lain. Agar terciptanya kehidupan yang tentram dalam membina suatu rumah
tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Serta memberikan keturunan yang
baik dan sehat secara jasmani dan rohani.3 Dari pengertian ini bahwa Islam
mengatur manusia hidup berpasang-pasangan yaitu melalui jenjang perkawinan
yang ketentuannya dirumuskan dalam aturan-aturan dalam hukum perkawinan.
Di samping itu juga pemerintah membuat Undang-Undang perkawinan
yang mengatur sekaligus menjadi petunjuk bagi umat Islam demi kemaslahatan,
kepentingan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat yaitu Undang-
undang No.1 Tahun 1974 di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di
Malaysia. Yang bertujuan mengatur tentang perkawinan yang sempurna, bahagia,
kekal dan tercipta rasa kasih sayang.
Dalam Undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan
(2), bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu. Serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.4 Sedangkan dalam Undang-Undang
keluarga Islam Tahun 1984 mengharuskan adanya pendaftaran perkawinan atau
pencatatan perkawinan5.
Dari penjelasan Undang-Undang diatas telah tegas menyebutkan bahwa
perkawinan sekarang akan dianggap sah oleh hukum apabila perkawinannya itu
3 Amir Taat Nasution, Pekawinan dalam Islam, Cet.3, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994),
h.1. 4 Republik Indonesia Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Cet.1,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.1. 5 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Cet.1, ( Jakarta: INIS, 2002), h.150.
4
dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan tidak ada perkawinan yang diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan UUD 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan
kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan dalam Undang-Undang ini.
Kemudian dalam pasal 2 ayat (2) menegaskan tiap-tiap perkawinan dicatat. 6
Tetapi pada kenyataannya dalam masyarakat kita sering terjadi
perkawinan di bawah tangan. Perkawinan yang sah secara hukum Agama (apabila
rukun dan syaratnya terpenuhi), namun tidak mempunyai kekuatan hukum (tidak
sah dimata hukum negara). Perkawinan dengan cara inilah yang mempunyai
akibat hukum dan mendapat pengakuan dan perlindungan hukum yang dibuktikan
dengan akta nikah.
Akta nikah merupakan bukti otentik suatu perkawinan, ia memiliki
manfaat dan maslahat yang sangat besar bagi diri dan keluarganya (istri dan anak-
anaknya) untuk menolak kemungkinan dikemudian hari adanya pengingkaran atas
perkawinannya atau suami istri melakukan tindakan yang menyimpang, misalnya
suami tidak memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya.
Dengan adanya bukti otentik (akta nikah), maka perkawinan yang
dilangsungkan oleh seseorang akan mempunyai kekuatan yuridis. Sebagaimana
6 Tentang pencatatan ini terdapat dua pendapat, menurut pendapat pertama pencatatan nikah
oleh PPN tidak merupakan syarat sahnya nikah, tetapi hanya kewajiban Administrasi saja. Pendapat
kedua pencatatan nikah oleh PPN merupakan syarat sahnya nikah, lihat Masjfuk Zuhdi, NIkah Siri,
Nikah di Bawah Tangan, Serta Status Anak menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Mimbar
Hukum, No.28 Tahun VIII, 1996, h.11-12
5
disebutkan pada pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan hanya
dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.7
Dengan demikian pencatatan perkawinan adalah merupakan kewajiban bagi
mereka yang akan melangsungkan perkawinannya.
Dalam Perkawinan di bawah tangan, petugas pencatat perkawinan tidak
akan mencatat perkawinanya tersebut, karena dianggap menyimpang dari
Undang-Undang perkawinan. Disamping itu juga kedua pasangan itu tidak akan
mendapatkan surat nikah dan anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut sulit
untuk mendapatkan akta kelahiran.
Melihat pentingnya pencatatan perkawinan, maka sudah seharusnya
masyarakat menyadari dan melaksanakan aturan pencatatan perkawinan. Seperti
yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974.8 Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau
bagi suami istri yang karena suatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan
akta nikah maka memohon isbat nikah ke Pengadilan Agama.
Oleh karena itu adanya keharusan pencatatan perkawinan bagi mereka
yang ingin melangsungkannya, karena mempunyai nilai yuridis yang sangat
urgen, sebagai bukti otentik bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan dan
7 Abdurohman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.2, ( Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), h.8. 8 Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.40, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009),
h.538.
6
membina rumah tangga. Selain itu juga sebagai alat untuk mendapatkan hak-hak
masing-masing pihak sebagai suami istri.
Dengan demikian perkawinan di bawah tangan semestinya dihindari,
sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Akan tetapi pada kenyataannya
masyarakat masih banyak yang belum sadar akan kepentingan hukum yang
berlaku, khususnya mengenai perkawinan. Sehingga masih banyak masyarakat
yang melakukan perkawinan di bawah tangan dan terjadinya penyimpangan-
penyimpangan terhadap hukum itu sendiri.9
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam tentang “PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN DAN SOLUSI
HUKUMNYA DI INDONESIA DAN MALAYSIA”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak meluas perlu di batasi
masalah yang akan diteliti. Sehingga pembatasan permasalahan yang akan di
bahas tidak keluar dari sasaran yang hendak dicapai.
Dalam penulisan skripsi ini hanya meneliti tentang apa konsekuensi
hukum perkawinan di bawah tangan di Indonesia dan Malaysia serta
bagaimana solusinya.
9 Mr. Matimam Prodjohamidjoyo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.1, (Jakarta: PT Abadi,
2002), h.9.
7
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan pembatasan masalah
diatas maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa konsekuensi hukum perkawinan di bawah tangan di Indonesia dan
Malaysia ?
b. Bagaimana solusi hukum perkawinan di bawah tangan di Indonesia dan
Malaysia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis diantaranya:
a. Untuk mengetahui apa konsekuensi hukum perkawinan di bawah tangan
di Indonesia dan Malaysia
b. Untuk mengetahui bagaimana solusi hukum perkawinan di bawah tangan
di Indonesia dan Malaysia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam melaksanakan penelitian ini adalah:
a. Penulis
Bertambahnya wawasan dan pengetahuan dalam bidang hukum,
khususnya tentang perkawinan di bawah tangan menurut hukum di
Indonesia dan Malaysia
8
b. Fakultas
Memberikan sumbangan pemikiran dan menambah literatur
perpustakaan mengenai perkawinan di bawah tangan menurut hukum di
Indonesia dan Malaysia.
c. Jurusan
Penelitian ini juga dapat memberi sumbangan karya ilmiah dan juga
sumbangan pemikiran bagi khazanah Ilmu pengetahuan dan literasi pada
Fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan objek yang sama, maka diperlukan
kajian terdahulu. Berdasarkan pengamatan dan pengkajian yang telah dilakukan
terhadap beberapa sumber kepustakaan terkait dengan permasalahan yang dibahas
dalam penulisan skripsi ini, maka penulis lebih memfokuskan masalah
perkawinan di bawah tangan di Indonesia dan malaysia mengenai konsekuensi
hukum dan solusinya menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 di Indonesia
dan Enakmen Undang-Undang keluarga Islam di Malaysia. Sedangkan skripsi
yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas yaitu:
Pada tahun 2007, telah ditulis skripsi atas nama Subhan Zamzami
(103044128049) konsentrasi peradilan Agama dengan judul ”Perkawinan di
Bawah Tangan Prespektif Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) dan Dampak Sosial Terhadap Perkawinan di
9
Indonesia” yang membahas tentang pernikahan di bawah tangan menurut
kompilasi hukum Islam saja serta dampak sosisal terhadap perkawinan di
Indonesia.
Pada tahun 2008, telah ditulis skripsi atas nama Sahfudin (204044103058)
konsentrasi peradilan Agama dengan judul ”Pengaruh dan Implikasi
Perkawinan di Bawah Tangan di Kelurahan Cipondoh Tanggerang” Dalam
skripsi ini hanya membahas tentang banyak akibat dan pengaruhnya terhadap istri
dan anak dari hasil pernikahan di bawah tangan.
E. Metode Penelitian
Untuk mengkaji permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode sebagai berikuti:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah
metode penelitian hukum normatif,10
yaitu penelitian yang memuat deskripsi
tentang masalah yang diteliti berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis.
Sedangkan penelitian ini bersifat kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur yang ada relevansinya
dengan judul skripsi ini.
10
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Cet. 1, ( Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.10
10
2. Sumber Data
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis
sumber data, sumber data primer dan sumber data sekunder yaitu:
a. Sumber Data Primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang
diperlukan dalam hai ini, yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan
Undang-Undang Keluarga Islam tentang perkawinan.
b. Sumber Data Sekunder, yaitu data pendukung dan pelengkap data
penelitian yang diperoleh dari buku-buku. Melalui kajian pustaka,
majalah, makalah, serta surat kabar yang mengandung informasi yang
berkaitan dengan masalah skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi
pustaka (librari research,).11
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji
buku-buku atau sumber-sumber yang diperlukan dalam hal ini adalah Undang-
undang No.1 Tahun 1974 sebagai rujukan utama dan buku yang berjudul
Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia serta literatur-
literatur yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
11
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, h.12
11
5. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis kualitatif.12
Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan secara
bersamaan dengan pengumpulan data, memilah-memilihnya menjadi satuan
yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari serta memutuskan apa yang dapat dibaca dan
diinterprestasikan atau mudah dipahami dan diinformasikan kepada orang lain.
Dengan teknik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan data-data yang telah
diperoleh dan disusun kemudian dideskripsikan.
6. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku
pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakart, UIN Jakarta Pres, 2007 yang merupakan
sandaran dari penulisan karya ilmiah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada umumnya, khususnya Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.13
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang jelas mengenai
materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini maka penulis menjelaskan
12
Lexy. J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Cet. 1, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2004), h.248 13
Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, Cet.1, (Jakarta: UIN Jakarta
Pres, 2007), h. 36
12
dalam sistematika penulisan secara garis besar. Skripsi ini terdiri dari lima bab
yang di bagi dalam sud bab dan setiap sub bab mempunyai pembatasan masing-
masing yang akan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu
sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan hal-hal yang terkait dengan
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian
dan sistematika penulisan
BAB II: TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DI
BAWAH TANGAN
Dalam bab ini, penulis menguraikan dan menjelaskan tentang,
pengertian perkawinan di bawah tangan, hukum positif perkawinan
di Indonesia, pencatatan perkawinan dan konsekuensi hukum
BAB III: MASALAH HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN
MALAYSIA.
Pada bab ketiga ini penulis menguraikan gambaran umum seputar
tentang, hukum positif perkawinan di Malaysia, pencatatan
perkawinan dan konsekuensi hukum.
BAB IV: PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN MENURUT UNDANG-
UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN 1974 DAN
ENAKMEN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM
13
Bab ini berisi persamaan hukum perkawinan Indonesia dengan
Malaysia, perbedaan solusi hukum perkawinan di bawah tangan di
Indonesia dan Malaysia.
BAB V: PENUTUP
Bab penutup ini berisikan pembahasan akhir dari seluruh rangkaian
pembahasan dalam penulisan skripsi yang berisikan kesimpulan dan
saran seputar persoalan yang diangkat dari awal sampai akhir
pembahasan.
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH
TANGAN DI INDONESIA
A. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan
1. Pengertian Perkawinan
Menurut bahasa, perkawinan mampunyai arti mengumpulkan,
menggabungkan, menjodohkan atau bersenggama (wath’i).1 Ada pula yang
mengartikan kata Nikah atau Zawaj yang berasal dari bahasa arab berarti
“berkumpul dan menindih” atau ungkapan lain bermakna “akad atau
bersetubuh” yang secara syara’ berarti aqad perkawinan.2 Sedangkan dalam
bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa
artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.3
Menurut istilah hukum Islam terdapat beberapa definisi diantaranya
adalah:
4
1 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Perkawinan dan Keluarga, Cet.2, (Jakarta:
elSAS, 2008), h.3 2 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan Antar Madzhab,
Cet.1, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.1. 3 Dip Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet.3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.456.
4 Abd Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet.1, (Bogor: Prenada Media, 2003), h.7.
15
“Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”
Abu Yahya Zakaria Al-Anshary mendefinisikan:
ا5
“Nikah menurut istilah Syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan kata-kata yang
semakna dengannya”.
Pengertian-pengertian diatas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu
segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan
wanita yang semula dilarang menjadi membolehkan. Padahal setiap perbuatan
hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah
yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya
sehari-hari, seperti terjadi perceraian, kurang adanya keseimbangan antara
suami istri. Sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan bukan saja dari
segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat
hukumnya.6
Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal (1) dan (2) bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
5 Ibid
6 Ibid, h.9.
16
wanita sebagai suami istri, dengan tujuan mambentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.7
Di samping definisi yang dijelaskan oleh Undang-Undang No.1 Tahun
1974 di atas, kompilasi hukum Islam di Indonesia juga memberikan definisi
dan tujuan lain yang dicantumkan dalam pasal 2 dan 3 yang tidak bertentangan
dengan Undang-undang perkawinan. Namun bersifat menambah penjelasan
dengan rumusan sebagai berikut:’ Perkawinan menurut hukum Islam adalah
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati printah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2), selanjutnya tujuan
perkawinan menurut kompilasi hukum Islam pasal 3 adalah mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.8
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa suatu akad dalam
perkawinan adalah untuk menjalankan perintah Allah juga merupakan salah
satu ibadah yang sangat dianjurkan bahkan cenderung diperintahkan.
2. Dasar Hukum Perkawinan
Tentang hukum melakukan perkawinan Ulama fiqih (fuqaha) berbeda
pendapat dalam menentukan kedudukan hukumnya. Secara umum ada
pendapat tentang hukum nikah yakni Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat
bahwa nikah itu hukumnya sunah, golongan Zhahiriah berpendapat bahwa
nikah itu wajib, para ulama Malikiahyah Mutaakhirin berpendapat bahwa
7 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet.1, (Jakarta: PT Pranada Paramita,
2010), h.537. 8Abdurohman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet.2, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1995), h.7.
17
nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunah untuk sebagian orang lainnya dan
mubah untuk sebagian orang lainnya.9
Perbedaan pendapat ini, menurut Ibnu Rusyid disebabkan adanya
perbedaan apakah bentuk kalimat perintah dalam ayat dan hadis-hadis yang
berkenaan dengan masalah ini harus diartikan wajib, sunah ataukah mungkin
mubah sebagaimana tertera dalam surat An-Nisa:3
(3: 4/النساء)
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim, bilamana kamu mengawininya, Maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,
Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
(Q.S. An-Nisa/4: 3)
Dari penjelasan diatas, bahwa pernikahan itu diwajibkan bagi meraka
yang sudah mampu untuk menikah, serta dibolehkan memiliki dua orang istri
apabila mereka berlaku adail. Akan tetapi, diharamkan bagi mereka untuk
menikahi yang ketiga apabila dia hanya mampu untuk memenuhi hak dua istri
saja.
9 Ahmad Sudirman Abas, Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan Antar Madzhab,
Cet.1, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h.7.
18
Di Indonesia pada umumnya masyarakat memandang bahwa hukum
asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat
Ulama Syafi’iyah, terlepas dari pendapat Imam-imam mazhab berdasarkan
nash-nash baik Al-Qur’an maupun As-Sunah, Islam sangat menganjurkan
kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun
demikian dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan
melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum
wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah.10
1. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mampu menikah, serta ingin menjaga
jiwa dan pandangan dari perbuatan haram.
2. Sunah, yaitu bagi orang-orang yang sudah mampu untuk menikah, tetapi
ia masih sanggup untuk menahan dirinya dari perbuatan haram. Dalam hal
seperti ini maka nikah lebih baik dari pada hidup sendiri karena hidup
sendiri tidak diajarkan oleh Islam.
3. Haram, yaitu bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak mampu untuk
melaksanakan hidup berumah tangga dan melaksanakan kewajiban lahir
dan batin. Seperti memeberi nafkah, pakaian, tempat tinggal serta
mencampuri istri.
4. Mubah, yaitu bagi orang yang tidak berhalangan untuk nikah dan dorongan
untuk nikah belum membahayakan dirinya.
10
Abd Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet.1, (Bogor: Predana Media, 2003), h.7.
19
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar perkawinan
menurut hukum Islam pada dasarnya bisa menjadi wajib, haram, sunah dan
mubah tergantung dengan keadaan maslahat atau mafsadatnya11
.
3. Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum itu. Rukun dan
syarat juga mengandung arti yang sama dan harus ada kedua-duanya dalam
suatu perbuatan hukum tesebut, serta tidak boleh ditinggalkan salah satu dari
keduanya.12
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan
itu. Seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbirothul ihram untuk shalat
atau adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan dalam
perkawinan.
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah) tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu. Seperti menutup aurat untuk shalat atau calon pengantin laki-
laki dan perempuan harus beragama Islam. Sedangkan sah yaitu suatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
11
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet.1, (Jakarta: PT Raja Grofindo
Persada, 2009), h.11. 12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Kencana,
2007), h.59.
20
a. Rukun Perkawinan
Rukun perkawinan adalah hakikat dari perkawinan itu sendiri, tanpa
adanya salah satu rukun. Maka perkawinan tidak bisa di laksanakan karena
rukun nikah merupakan bagian dari hakikat perkawinan dan wajib di
penuhi pada saat berlangsungnya perkawinan,13
rukun perkawinan itu
terdiri atas:
1). Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2). Adanya wali nikah.
3). Adanya dua orang saksi yang adil.
4). Sighat akad nikah yaitu ijab dan qobul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-
laki.14
b. Syarat Sahnya Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu ibadah dan memiliki syarat-
syarat sebagaimana ibadah lainnya. Syarat-syarat yang dimaksud tersirat
dalam Undang-Undang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Syarat-
syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila
13
Nur Yasin, Hukum Perkawinan Islam Sarak, Cet.1, (Malang: UIN Malang Press, 2008),
h.57. 14
Ali Hasan, Pedonan Hidup Rumah Tangga dalam Islam, Cet.1, (Jakarta: Siraja, 2003),
h.56.
21
syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan
adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.15
Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan yaitu:
1). Syarat-syarat calon mempelai pria adalah
a). Beragama Islam
b). Laki-laki
c). Baligh
d). Berakal
e). Jelas orangnya
f). Dapat memberikan persetujuan
g). Tidak terdapat halangan perkawinan
2). Syarat-syarat calon mempelai wanita adalah:
a). Beragama Islam
b). Perempuan
c). Jelas orangnya
d). Dapat dimintai persetujuan
e). Tidak terdapat halangan perkawinan16
Dari ketentuan di atas mengenai Syarat-syarat perkawinan juga
diatur mengenai ketentuan batas umur calon mempelai. Baik dari calon
mempelai laki-laki maupun calon mempelai perempuan.
15
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h.12. 16
Ali Hasan, Pedonan Hidup Rumah Tangga dalam Islam, h.56.
22
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (Sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun. Ketentuan batas umur seperti yang tercantum dalam
pasal 15 ayat (1) Kompilasi hukum Islam di dasarkan kepada pertimbangan
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Hal ini sejalan
dengan penekanan Undang-Undang perkawinan, bahwa calon suami dan
istri harus sudah matang jiwa dan raga agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik.17
4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Tujuan perkawinana menurut hukum Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera
dan bahagia, harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin. Serta
terpenuhi semua keperluan hidupnya, sehingga timbullah kebahagiaan yakni
kasih sayang antara anggota keluarga.18
Tujuan perkawinan menurut perintah Allah ialah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat. Serta terbentuknya rumah tangga yang
17
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
h.13. 18
Abd Rahman Ghazali, Fiqh sMunakahat, h.22.
23
damai dan teratur.19
Dan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 3
menjelaskan tujuan perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.20
Sedangkan menurut Imam Al-
Ghazali maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan Agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan
yang halal.
5. Membangun rumah tangga yang tentram dan damai berdasarkan cinta dan
kasih sayang.
Adapun hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan adalah
menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diijinkan Syara’ dan
menjaga kehormatan diri dari terjatuhnya pada kerusakan seksual. Islam
mengajarkan dan menganjurkan untuk menikah karena pernikahan akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat
manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah:
19
Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, Cet.1, (Jakarta: Hillco, 1985), h.26. 20
Kompilasi Hukum Islam, Cet.2, (Bandung: Fokus Media, 2007), h.7
24
1. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan
dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi
tenang.
2. Nikah jalan terbaik untuk memperbanyak keturunan, melestrarikan hidup
manusia, serta memelihara keturunan yang oleh Islam sangat diperhatikan
sekali.
3. Naluri kebapaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-perasaan
ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4. Perkawinan dapat membuahkan di antaranya, tali kekeluargaan
memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat
hubungan masyarakat yang memang oleh Islam direstui ditopang dan
ditunjang karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling
menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.21
5. Pengertian Perkawinan di Bawah Tangan
Menurut bahasa perkawinan di bawah tangan berarti perkawinan yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau perkawinan yang dirahasiakan.
Sedangkan menurut hukum, perkawinan di bawah tangan adalah perkawinan
yang bisa dinyatakan sah secara agama (apabila Syarat dan rukunya terpenuhi)
namun tidak berkekuatan hukum.
21
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, h.20.
25
Dalam pernikahan dibawah tangan, petugas pencatat nikah (KUA)
tidak akan mencatat perkawinannya tersebut karena dianggap menyimpang
dari Undang-Undang yang berlaku. 22
Akibatnya, pasangan yang menikah
tidak akan mendapatkan surat nikah. Kalaupun mendapatkan surat nikah ada
dua kemungkinan.
1. Surat nikah aspal ( asli tapi palsu).
2. Petugas KUA-nya berkolusi.
Sedangkan sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah perkawinan
di bawah tangan dan semacamnya. Namun, secara sosiologis istilah ini
diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan tidak memenuhi
ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Khususnya tentang pencatatan
perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pasal 2 ayat (2) yang menegaskan bahwa perkawinan harus
dicatat sesuai ketentuan perundang-undang yang berlaku.23
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan di bawah
tangan adalah perkawinan yang sudah memenuhi syarat dan rukun dalam
hukum Islam. Tetapi tidak mengikuti hukum Negara yang mengharuskan
untuk dicatat.
22
Lembaga Bantuan Hukum APIK, Dampak Pernikahan Bawah Tangan Bagi Perempuan
Artikel diakses pada kamis, 14 Juli 2011 dari:hpp://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh/20tangan.htm 23
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.1, (Jakarta: PT Pradnya Paramita,
2009), h. 538.
26
1. Faktor Terjadinya Pernikahan di Bawah Tangan
Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi terjadinya
pernikahan bawah tangan di antaranya yaitu:
a. Tidak adanya kemampuan melaksanakan perkawinana secara Syariat,
karena tidak bisa menyediakan tempat tinggal, disebabkan
penganguran dan tidak adanya kesempatan kerja yang layak.
b. Ikut-ikutan kelompok masyarakat yang menyimpang yang dikuasai
oleh mass media yang rusak melalui alat teknologi yang canggih dan
merebaknya pemikiran yang menyimpang, seperti yang disebarkan
oleh telenofela, film-film dan buku-buku.24
c. Lemahnya benteng agama dan akidah serta kurangnya pembinaan
keluarga untuk mengarahkan kepada akhlak yang mulia.25
d. Pemahaman yang salah terhadap kebebasan pribadi di kalangan
remaja, mereka mengartikan kebebasan adalah” tidak boleh ada yang
mengarahkan mereka “ meskipun untuk mengarahkan perilaku mereka
atau pengontrolan, sementara dikalangan perempuan berpendapat
bahwa mereka mempunyai hak yang sama dalam berbuat seperti laki-
laki dalam alam kebebasan ini tanpa ada batas-batas dan nilai.
e. Tersedianya alat dan obat anti hamil tanpa adanya ketentuan-ketentuan
yang jelas bagi siapa dan kapan boleh didapatkan, hingga
24
Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, Cet.1, (Jakarta: CV Cendikia Sentra
Muslim, 2002), h.55. 25
Ibid
27
penyimpangan moral menjadi suatu perbuatan yang tidak ditakuti
karena resikonya bisa dihindari.
f. Dikarenakan ikatannya dengan beberapa keluarga dan beberapa istri
serta anak-anaknya, dan ia takut jika ketahuan akan menghancurkan
bangunan rumah tangganya,
g. Terjadinya hubungan gelap yang mengakibatkan kehamilan
h. Serta kurangnya ekonomi yang menjadi alasan mereka melakukan
pernikahan di bawah tangan.
Dilihat dari berbagai penyebab di atas hal yang perlu dianalisa
kembali adalah sesungguhnya perkawinan dengan cara ini tidak
memenuhi anjuran-anjuran yang diarahkan oleh Islam yang semestinya
dilakukan26
2. Status Hukum Pernikahan di Bawah Tangan
Menurut hukum syariat bahwa sebuah perkawinan dipandang sah
jika telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan yang meliputi calon
mempelai pria, calon mempelai wanita, wali mempelai wanita, dua orang
saksi dan ijab qabul. Sedangkan menurut Undang-Undang perkawinan
selain memenuhi aturan syariat pernikahan harus dicatat oleh petugas
pencatat perkawinan. Jika perkawinan sudah memenuhi kedua aturan
tersebut maka perkawinan itu disebut legal wedding jika tidak tercatat
maka disebut illegal wedding.
26
Muhammad Fu’ad Syakir, Perkawinan Terlarang, h.56.
28
Secara dogmatis, tidak ada nash dalam Al-Qur’an ataupun sunnah
yang mengatur pencatatan untuk perkawinan, tetapi Al-Qur’an
memberikan perhatian besar kepada pencatatan setiap transaksi utang dan
jual beli. Semestinya jika dalam urusan muamalah seperti utang saja
pencatatan diperintahkan, apalagi dalam perkawinan yang akan
melahirkan hukum lain seperti hak pengasuhan anak, hak waris dan hak-
hak lainnya.
Oleh karena itu, memenuhi aturan Agama dan aturan negara
amatlah penting karena kita selain sebagai agamawan juga sebagai warga
negara, sehingga perjalanan rumah tangga tidak hanya bersentuhan
dengan aturan agama tetapi juga aturan negara. Dengan demikian jika
kelangsungan hidup rumah tangga tidak lepas dari aturan negara dan
mematuhinya maka dari itu mematuhi aturan tersebut wajib hukumnya.27
3. Dampak Pernikahan di Bawah Tangan dalam Masyarakat
Ada banyak dampak yang terjadi dalam Pernikahan di bawah
tangan yaitu:
a. Terhadap Istri
Perkawinan di bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri
yaitu:
1). Isteri tidak dianggap sebagai isteri sah.
27
http://bimasIslam.kemenag.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=313&c
atid=49%3Aartikel&Itemid=79, diakses pada hari jum’at, 22 Juli 2011
29
2). Isteri tidak memiliki kekuatan hukum jika terjadi perselisihan serta
pembagian harta waris jika suami meninggal dunia.
3). Isteri tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perceraian,
karena secara hukum pernikahan itu dianggap tidak pernah terjadi.
b. Terhadap Anak
Sementara status terhadap anak dari perkawinan di bawah
tangan memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di
mata hukum. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak
sah.
Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai
hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam) di dalam akta kelahirannyapun status anak dianggap sebagai
anak luar nikah. Sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang
melahirkan, tentunya hal semacam ini adalah dampak yang sangat
merugikan anak dan ibunya.
Ketidak jelasan status si anak di muka hukum mengakibatkan
hubungan antara ayah dan anak tidak kuat. Sehingga bisa saja suatu
waktu si ayah menyangkal bahwa anak tersebut adalah bukan anak
kandungnya. Sehingga anak tidak berhak atas biaya kehidupan,
pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
30
B. Hukum Positif Perkawinan di Indonesia
Hukum yang berlaku saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang No.1
Tahun 1974 dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Undang-Undang tersebut
merupakan hukum perkawinan bagi bangsa Indonesia yang sudah dirintis
penyusunannya sejak tahun 1950.
Dalam UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa28
. Kemudia tiap-tiap perkawinan dicata menurut PP
No.9 Tahun 1975, yang menerangkan pencatatan bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai
pencatat. Sebagaimana dimaksud dalam UU No.32 Tahun 1945 tentang pencatatn
nikah, talak dan rujuk.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 berlaku secara efektif hubungannya
dengan PP No.9 Tahun 1975, PP No.10 Tahun 1983, KHI pasal 7 ayat (1) s/d (3),
tentang perkawinan. Disamping itu ada Undang-Undang lain yang sangat erat
kaitannya dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yaitu Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.29
28
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet.40, (Jakarta: Pradnya Paramita,
2009), h.538. 29
Ibid, h.23.
31
Sejarah Terbentuknya Undang-undang Perkawinan
Pada tanggal 16 Agustus 1973, pemerintah Indonesia mengajukan RUU
Perkawinan untuk dijadikan dasar hukum dalam mengatur tata cara perkawinan
seluruh penduduk Indonesia. Namun sebulan sebelum diajukannya RUU timbulah
reaksi keras dari kalangan umat Islam yang menilai bahwa RUU tersebut sangat
bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan ada anggapan yang lebih keras,
yang menyatakan bahwa RUU tersebut adalah upaya untuk mengkristenkan
Indonesia.
Menurut Kamal Hasan, setidaknya ada 11 pasal yang dipandang
bertentangan dengan ajaran Islam (fikih munakhat), yaitu pasal 2 ayat 1, pasal 3
ayat 2, pasal 7 ayat 1, Pasal 8 ayat c, Pasal 10 ayat 2, Pasal 11 ayat 2, Pasal 12,
Pasal 13 ayat 1 dan 2, Pasal 37, Pasal 46 ayat c dan d, Pasal 62 ayat 2 dab 9.
Melalui lobbying-lobbying antara tokoh-tokoh Islam dengan pemerintah,
akhirnya RUU tersebut diterima oleh kalangan Islam dengan mencoret pasal-pasal
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Agar pembahasanya berjalan lancar maka
dicapai kesepakatan antar Fraksi PPP dan Fraksi ABRI yang isinya :
1. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau di ubah.
2. Sebagai konsekuensi dari pada poin 1, maka alat-alat pelaksanaannya tidak
akan dikurangi atau di ubah. tegasnya UU No.22 Tahun 1946 dan UU No.14
Tahun 1970.
3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin
disesuaikan dengan Undang-Undang ini,dihilangkan (didrop).
32
4. Pasal 2 ayat (1) dari RUU ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut :
a. Ayat (1), perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan keprcayaan itu.
b. Ayat (2), tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
5. Mengenai perceraian dan poligami diusahakan ketentuan-ketentuan guna
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.30
Akhirnya pasal-pasal yang menimbulkan keberatan dikalangan Islam
dihapuskan. Setelah melakukan rapat yang berulang-ulang, akhirnya pada tanggal
22 Desember 1973 melalui Fraksi-fraksi DPR, RUU tersebut disetujui untuk
disahkan. Pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang perkawinan menjadi UU
No.1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang perkawinan oleh DPR yang
selanjutnya belaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
C. Pencatatan Perkawinan
Pasal 2 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
dalam bab 2 pasal 2 s/d 9 PP Nomor 9 Tahun 1975 juga menjelaskan tentang
pencatatan perkawinan. Pasal 2 PP No.9 Tahun 1975 sebagai berikut:
30
http://el-ghozali-hasan.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-undang-undang.html,
diakses pada hari kamis, 15 September 2011
33
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan
nikah, talak dan rujuk.
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata
cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3
sampai pasal 9 peraturan pemerintahan ini.
Dalam pasal-pasal diatas, disebutkan bahwa pencatatan perkawinan bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (kantor urusan agama kecamatan). Sedangkan pencatat
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan dilakukan oleh pegawai
pencatat di kantor catatan sipil.31
Undang-Undang No.I Tahun 1974 bukan pertama yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan bagi muslim Indonesia, sebelumnya sudah ada Undang-
Undang No.22 Tahun 1946 yang mengatur tentang pencatatan nikah, talak, dan
31
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di
Indonesia, Cet.1, (Serang: Saudara Serang, 1995), h.30.
34
rujuk semula Undang-Undang ini hanya berlaku untuk daerah jawa dan Madura
tetapi dengan lahirnya Undang-Undang No.32 Tahun 1954 yang disahkan tanggal
26 oktober 1954. Undang- Undang No.22 Tahun 1946 berlaku di seluruh
Indonesia. Bahkan konon sebelum Undang-Undang No.22 Tahun 1946 sudah ada
peraturan yang mengatur hal yang sama.
Tentang pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang No.22 Tahun
1946 disebutkan:
1. Perkawinan diawasi oleh pegawai pencatat nikah
2. Bagi pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari pegawai
pencatat nikah dikenakan hukuman karena merupakan suatu pelanggaran,
lebih tegas tentang pencatatan dan tujuan pencatatan perkawinan di temukan
pada penjelasannya bahwa dicatatkannya perkawinan agar dapat mendapat
kepastian hukum dan ketertiban.32
Dalam kompilasi hukum Islam di Indonesia disebutkan, bahwa tujuan
pencatatan perkawinan yang dilakukan di hadapan pengawasan pegawai pencatat
nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban perkawinan. Sedangkan perkawinan
yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyain ketentuan
hukum. Karena ketentuan hukum perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta
nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. 33
32
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,Cet.1, (Jakarta: INIS, 2002),
h.146. 33
Ibid, h.149.
35
D. Konsekuensi Hukum
Konsekuensi orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan, Baik di
Indonesia maupun di Malaysia adalah tidak dicatat oleh petugas pencatat
perkawinan (Petugas KUA) karena dianggap sudah menyimpang dari Undang-
Undang perkawinan yang berlaku. Disamping itu juga si anak tidak akan
mendapatkan akte kelahiran yang menjadi bukti otentik untuk mendapatkan nafka,
biaya pendidikan dan harta waris.
Undang-Undang No.22 tahun 1946 jo. Undang-Undang No.32 tahun 1945
(penjelasan pasal 1) maupun dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 (pasal 2)
mengharuskan pencatatan pada tiap-tiap perkawinan.34
Kemudian dalam PP No. 9
tahun 1975 yang merupakan peraturan tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1
Tahun 1974 disebut bahwa perkawinan bagi penganut Islam dilakukan oleh
pegawai pencatat dengan tata cara pencatatan yang dimulai dengan:
1. Pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan.
2. Pelaksanaan akad nikah dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi
3. Penandatanganan akta perkawinan oleh kedua saksi, pegawai pencatat dan wali
dengan penandatanganan tersebut proses perkawinan telah selesai, bagi orang
yang tidak memberitahu kepada pegawai pencatat tentang kehendak melaksanaan
perkawinan atau melaksanakan perkawinan tidak dihadapan pegawai pencatat,
34
Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h.55.
36
termasuk perbuatan melanggar hukum yang dapat dihukum dengan hukuman
denda setinggi-tingginya Rp. 7.500 ( Tujuh ribu lima ratus rupiah)35
Pasal 45 peraturan pelaksanaan memuat ancaman pidana bagi mempelai
dan pegawai pencatat yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan tentang
pencatatan. Mempelai diancam dengan pidana denda setingi-tingginya Rp. 7.500
apabila ia:
1. Tidak melakukan pemberitahuan untuk kawin
2. Perkawinan tidak dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat.
Pegawai pencatat diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setingi-tingginya Rp. 7.500 apabila ia:
1. Tidak melakukan penelitian
2. Tidak memberitahukan adanya halangan perkawinan
3. Tidak menyelenggarakan pengumuman
4. Tidak menandatangani pengumuman atau
5. Melaksanakan perkawinan sebelum hari kesepuluh dari pengumuman
6. Tidak menyiapkan dan menandatangani akta perkawinan,
7. Tidak menyimpan helai pertama, tidak memberikan helai kedua kepada
panitra pengadilan dan kutipan akta perkawinan kepada suami istri.
Adapun yang mengadili perkara pelanggaran ini yang menjatuhkan
pidananya adalah peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Bukan peradilan
dalam lingkungan Peradilan Agama, walaupun yang melakukan pelanggaran itu
beragama Islam.36
35
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h. 149 36
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976), h.21.
37
BAB III
MASALAH HUKUM PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
DI MALAYSIA
A. Hukum Positif Perkawinan di Malaysia
Sebelum lahirnya Undang-Undang khusus yang mengatur tentang
perkawinan dan masalah-masalah perkawinan disetiap negara Malaysia telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Agama Islam.1 Hukum yang mengatur tentang
perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan dicantumkan dalam
satu bab dari Undang-Undang tersebut. Seperti Undang-Undang Islam, salah satu
bagiannya adalah tentang perkawinan dan hal-hal yang muncul akibat
perkawinan.
Undang-Undang yang di maksud adalah sebagai berikut:
1. Enakmen (undang-undang) yang ditetapkan dalam hukum Syarak 1952, atau
Undang-Undang hukum Islam No.3 Tahun 1952.
2. Undang-Undang Islam Terengganu No.4 Tahun 1955.
3. Undang-Undang Agama Pahang 1956 atau dalam Undang-Undang Agama
Islam No.5 Tahun 1956.
4. Undang-Undang Islam, Negara Sembilan No.15 Tahun 1960.
5. Undang-Undang Islam, Kedah 1978.
1 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Cet.1, ( Jakarta: INIS, 2002), h.84.
38
6. Undang-Undang ditetapkan dalam Undang-Undang Islam, Parlis No.3 Tahun
1964.
7. Undang-Undang Islam, Perak No.11 Tahun 1965.
8. Undang-Undang Islam, Sabah 1977 atau dalam Undang-Undang Islam No.15
Tahun 1977.
9. Ordinan Majlis Islam Serawak 1977.
10. Undang-Undang Agama Islam Johor No.14 Tahun 1978.
11. Enakmen (undang-undang) Majlis Agama Islam dan adat istiadat melayu
Kelantan No.1 dan 2 Tahun 1966
Sebelumnya, wilayah persekutuan menggunakan penetapan hukum Syarak
Selangor 1952, kemudian diperbaharui dengan pembaharuan lain menjadi
Undang-Undang hukum Syarak 1974.2 Tujuan dari pembaharuan Undang-Undang
diatas adalah untuk menyatukan dan menggabungkan Undang-Undang yang ada
sebelumnya.
Selangor adalah negara yang pertama melakukan usaha pembaharuan
Undang-Undang dan melahirkan Undang-Undang 1952. Secara umum, Undang-
Undang ini yang mengatur tentang kekuasaan dan fungsi Majlis Agama Islam,
pelantikan mufti dan fatwa, pendirian Mahkamah Syariah, pelantikan kadi dan
penetapan wilayah kekuasaan Mahkamah Syariah serta mengenai Undang-
Undang keluarga. Disamping itu juga diatur tentang masjid, mualaf, keuangan dan
urusan umum.
2 Ibid, h.84.
39
Sejak tanggal 1 Maret 1982. Akta memperbaharui Undang-Undang
(perkawinan dan perceraian) 1976 (AMU) telah diperlakukan di seluruh Malaysia.
Oleh sebab itu, Undang-Undang yang berlaku sekarang merupakan pembaharuan
dan penggabungan dari Undang-Undang yang ada sebelumnya.
Adapun pasal yang mengatur tentang hukum keluarga adalah Undang-
Undang Hukum Keluarga, dalam Undang-Undang hukum keluarga, masing-
masing berbeda antra satu negara dangan negara lainnya. Dalam Undang-Undang
hukum Syarak Selangor 1952. Misalnya masalah suami istri yang memuat
mengenai perkawinan, pendaftaran perkawinan, perceraian, pemeliharaan anak
dan nafkah, terdapat 25 pasal, Dalam enakmen (undang-undang) kelantan 1966
memuat 30 pasal, sedangkan Undang-Undang Johor 1978 memuat 26 pasal dan
negara Sembilan 1960 memuat 23 pasal.3
Beberapa tahun kemudian masing-masing negara melakukan pembaharuan
Undang-Undang. Misalnya, Undang-Undang Negara Kelantan diperbaharui
menjadi Undang-Undang penetapan Mahkamah Syariah Tahun 1989. Undang-
Undang Pahang menjadi Undang-Undang Agama Islam dan adat Resam Melayu
Pahang tahun 1982. Serta Undang-Undang Selangor manjadi Undang-Undang
Selangor tahun 1989.
Pada periode sekarang, pada umumnya negara-negara yang ada di
Malaysia memiliki Undang-Undang keluarga Islam yang relatif sama yaitu
sebagai berikut:
3 Ibid, h.85.
40
1. Undang-Undang keluarga Islam malaka 1983.
2. Kalantan 1983.
3. Negeri Sembilan 1983.
4. Wilayah persekutuan 1984.
5. Perak 1984 ( No.1)
6. Kedah 1979 ( No.1 1984)
7. Pulau Pinang 1985.
8. Terengganu 1985.
9. Pahang 1987 ( No.3)
10. Selangor 1989 ( No.2)
11. Johor 1990.
12. Serawak 1991
13. Perlis 1992
14. Sabah 19924
Dengan demikian, Undang-Undang Keluarga Islam Kelantan dan Negara
Sembilan Sarak adalah tiga negara pertama yang melakukan pembaharuan
Undang-Undang keluarga di Malaysia. Sementara negara terakhir yang
menegaskan Undang-Undang keluarga adalah Sabah dengan Undang-Undang
No.15 Tahun 1992.5
4 Abdul Rohman, Pemikiran Islam di Malaysia Sejarah dan Aliran, Cet.1, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), h.334. 5 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h.86.
41
Sedangkan Undang-Undang Islam yang ada di Malaysia akan di
kelompokan menjadi dua kelompok besar, pertama Undang-Undang yang
mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negara Sembilan, Pulau Pinang,
Pahang, Perlis, Tereganu, Sarawak dan Sabah. Kedua Kelantan, Johor, Malaka
dan Kedah. Meskipun banyak persamaannya dengan Undang-Undang
persekutuan, tetapi ada perbedaan yang cukup mencolok, yakni dari 134 pasal
yang ada hanya 49 pasal yang berbeda.
Usaha penyeragaman Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia pernah
dilakukan oleh Tengku Zaid, sedangkan tugas komite ini adalah membuat draf
Undang-Undang Keluarga Islam, setelah mendapat persetujuan dari Majlis
Hakim, draf ini disebarkan ke negara-negara untuk dipakai sebagai Undang-
Undang keluarga. Tetapi, tidak semua negara menerima isi keseluruhan Undang-
Undang ini. Seperti Kelantan, yang melakukan penatapan terhadap draf lain.
Akibatnya Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia tidak
seragam sampai sekarang.
Menurut catatan Ahilemah Joned,6 berdasarkan pendahuluan dalam
Undang-Undang perkawinan di Malaysia, masing-masing negara sebagian
mempunyai tujuan sendiri dalam pembentukan Undang-Undang perkawinannya,
seperti Perak, Selangor, Negara Sembilan dan Akta Wilayah. Pembuatan Undang-
Undang perkawinan di daerah ini bertujuan untuk mengubah beberapa hal di
6 Ibid, h.87 (Ahilemah Joned, “Keupayaan dan Hak Wanita Islam untuk Berkawin,Indah
Khabar Dari pada Rupa,”, dalam Fakulti Undang-undang Universitas Malaya (Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, 1988)
42
bidang perkawinan, perceraian, nafkah, hadanah dan perkara-perkara lainnya,
supaya menjadi lebih mengikat dan membuat suatu peraturan yang komprehensif
agar Undang-Undang tersebut di patuhi dan di ikuti oleh setiap masyarakat yang
ada di Malaysia.
Undang-Undang Kelantan selain untuk menyatuka juga untuk
memperbaharui Undang-Undang yang ada sebelumnya. Joned menyimpulkan
bahwa tujuan pembentukan perundang-undangan di bidang perkawinan Malaysia
adalah untuk meningkatkan status wanita atau mengubah peraturan hukum
syariah mengenai keluarga. Dari penjelasan diatas tampak bahwa usaha
pembaharuan hukum perkawinan Malaysia secara umum awalnya dilakukan
untuk kepentingan penjajah (Inggris) dengan berupa aturan administrasi
(pencatatan), kemudian meluas ke Mentri Hukum Keluarga di masa pasca
kemerdekaan yang sama dengan Indonesia, usaha pembaharuan hukum keluarga
Malaysia dilakukan secara bertahap yang awalnya hanya memperbaharui masalah
pencatatan perkawinan dan perceraian, kemudian menjadi salah satu sub bab dari
aturan umum di bidang Agama Islam.
Kemudian berkembang perbaharuan Undang-Undang hukum keluarga
secara keseluruhan di masa pasca kemerdekaan dan menjadi Undang-Undang
tersendiri. Masalah warisan masuk kedalam hukum keluarga, tetapi dalam
perakteknya di masa penjajahan mentri tersebut seolah berada di luar hukum
keuarga muslim. Penyebabnya adalah karena masalah warisan tersebut
43
berhubungan dengan uang. Hal ini yang menjadi urutan utama dalam usaha
pembaharuan hukum keluarga tersebut.7
1. Pengertian Perkawinan di Malaysia
Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Brunei Darussalam)
digunakan istilah kawin, kawin ialah perikatan yang sah antara laki-laki
dengan perempuan menjadi suami istri, atau nikah.8
Akta Undang-Undang Keluarga Islam (wilayah persekutuan) 1984.9
Menegaskan bahwa suatu perkawinan adalah tidak sah melainkan jika cukup
semua syarat yang perlu, secara syar’i. Sebagai tambahan beberapa
persyaratan administrasi telah diadakan di bawah Undang-Undang ini. Pada
masa sekarang suatu perkawinan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
ini akan tetapi sah menurut syar’i, harus didaftarkan kepada hukuman yang
dikenakan. Karena termasuk perkawinan di bawah umur. (ayat 8) 10
dan
poligami (ayat 23)11
Akta ini juga menjelaskan bagi yang hendak melaksanakan
perkawinan harus berdasarkan persetujuan wali pihak perempuan, selain itu
7 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangan
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h.88. 8 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Cet.1, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004), h.43. 9 Najibah Mohd Zin, Undang-undang keluarga Islam, (Siri Perkembangan Undang-undang di
Malaysia), Cet.1, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007), h.xxiii 10
Ibid, h.9, (Ayat 8-Apabila pemohon berada di bawah umur batas minimum, yaitu kurang
dari 18 tahun bagi laki-laki dan kurang 16 tahun bagi perempuan). 11
Ibid, h.11 ( Ayat 23-Jika laki-laki yang beristri dan berkeinginan ingin menikah dengan
Perempuan lain, maka harus terlebih dahulu mendapat izin dari mahkamah syariah)
44
juga persetujuan perempuan. Ini menurut madzhab Syafi’i yang berdasarkan
kepada Al-Qur’an dan Al-Hadis seperti:
12
Artinya: “Perkawinan seorang perempuan tanpa izin walinya, adalah batal.
Akan tetapi, jika sudah digauli maka wajib diberikan mahar. Jika
terjadi perselisihan maka sultan yang menjadi wali bagi seorang
yang tidak mempunyai wali.
2. Syarat-syarat Perkawinan di Malaysia
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak
tertentu sebelum di langsungkannya perkawinan, syarat-syarat yang dimaksud
adalah:
a. Batas umur calon mempelai.
b. Persetujuan kedua belah pihak
c. Larangan perkawinan karena hubungan keluarga
d. Mengikuti tata cara perkawinan yang ditentukan.13
12
Al-Sunan Abu Daud dan Ibnu Majjah, Shahih Muslim, (Beorut: Darul Fakir, t.th), h. 477 13
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Cet.1,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), h.38.
45
3. Orang-orang yang Boleh Mengadakan Perkawinan
Undang-Undang Keluarga Islam menetapkan bahwa pendaftaran adalah
orang yang memainkan peranan utama dalam suatu majlis akad nikah. Ayat 714
menyatakan:
a. Hendaklah diakadnikahkan menurut hukum Syara yaitu :
1) Wali di hadapan pendaftar
2) Wakil wali di hadapan dan dengan kebenaran pendaftar atau
3) Pendaftar sebagai wakil wali
b. Jika suatu perkawinan itu melibatkan seorang perempuan yang tidak
memepunyai wali dari nasab, mengikuti hukum syarak, perkawinan itu
hendaklah diakadnikahkan hanya wali hakim.15
B. Pencatatan Perkawinan
Perkawinan bagi setiap orang yang tinggal di Malaysia dan bagi setiap
orang yang tinggal di luar negeri, warganegara atau berdomisili di Malaysia
selepas tanggal yang ditetapkan hendaklah didaftarkan menurut akta itu (Ayat
27)16
. Hukum perkawinan (Hukum keluarga) Malaysia juga mengharuskan adanya
pendaftaran/pencatatan perkawinan, proses pencatatan secara prinsip dilakukan
14
Najibah Mohd Zin, Undang-undang keluarga Islam,(Siri Perkembangan Undang-undang di
Malaysia), h.8 (Ayat 7-Pernikahan itu boleh diterima terus oleh pengatin laki-laki dalam majlis aqad
ataupun diwakilkan kepada seseorang untuk menerima pernikahan tersebut baginya). 15
Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, Cet.1, (Kuala Lumpur Malaysia: Institut
Kefahaman Islam Malaysia, 1997), h.344. 16
Ibid, h.420.
46
setelah akad nikah, Hanya saja dalam rincian oprasionalnya proses pencatatan ada
tiga jenis yaitu:
1. Untuk orang yang tinggal di negara masing-masing, pada dasarnya pencatatan
dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali kelantan yang
menetapkan 7 (tujuh) hari setelah akad nikah dan catatan tersebut disaksikan
oleh wali, dua orang saksi dan pendaftar.
2. Orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan di kedutaan Malaysia yang
ada di luar negeri, proses pencatatannya secara prinsip sama dengan proses
orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya. Perbedaannya,
hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendaftar asli yang di angkat
di Malaysia (di negara masing-masing) tetapi pendaftar yang diangkat di
kedutaan atau konsul Malaysia di negara yang bersangkutan.
3. Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak
di kedutaan /konsul Malaysia yang ada di negara yang bersangkutan. Maka,
pihak yang melakukan perkawinan hasus mendaftarkan ke kedutaan atau
konsul setempat sebelum masa enam bulan setelah akad nikah. Sedangkan
apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam
bulan, maka boleh mendaftarkan perkawinannya di Malaysia.17
Dengan
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
17
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h.151
47
1. Mengemukakan kepada pendaftar pernyataan perkawinan atau keterangan
lisan atau dokumen yang dapat meyakinkan pendaftar, bahwa perkawinan
itu telah berlaku.
2. Menyerahkan Syarat-syarat yang diperlukan untuk pendaftaran
perkawinan itu dengan sepatutnya dan
3. Memohon dalam formulir yang ditetapkan supaya pendaftar perkawinan
itu dilaksanakan dan menandatangani pernyataan di dalamnya itu.18
Pendaftaran tersebut di atas boleh dilakukan tanpa kehadiran salah
seorang yang melakukan perkawinan, jika pendaftar dapat memberikan alasan
bahwa ada sebab-sebab yang membuat ia tidak hadir, dan pendaftar harus
mencatatkan sebab-sebab ketidak hadirannya itu untuk disimpen suami istri
masing-masing satu helai.19
C. Konsekuensi Hukumnya
Dalam ayat 38 ditentukan, bahwa seseorang yang sengaja membuat suatu
keterangan palsu atau memberikan keterangan palsu yang dikehendaki di bawah
akta ini dengan tujuan untuk memperoleh keterangan perkawinan adalah bersalah
atas suatu kesalahan yang bisa dikenakan penjara. Selama waktu tidak lebih dari
tiga tahun atau denda tidak lebih dari tiga ribu ringgit atau kedua-duanya
sekaligus.
18
Ibid, h.152. 19
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, h. 69.
48
Tentang hal pemberitahuan yang tidak dibenarkan dan kesalahan dalam
pemberitahuan atau berbuat sesuatu yang berupa pemberitahuan suatu
perkawinan, sedangkan ia tidak dibenarkan berbuat demikian, maka ia bersalah
atas suatu kesalahan, dan apabila diadili dikenakan penjara selama waktu tidak
lebih dari sepuluh tahun, dan denda tidak lebih dari lima belas ribu ringgit “kata-
kata”, dan dalam ketentuan ini bermakna bahwa kedua macam hukuman itu dapat
sekaligus dikenakan, atau sekiranya kata yang dipergunakan. Sebagaimana yang
terdapat dalam ayat 38 tersebut di atas. Maka hukuman itu dapat dipilih antara
hukuman penjara, denda atau kedua-duanya jika disebutkan secara tegas.
Hukuman yang dapat dikenakan untuk suatu kesalahan seperti yang
tercatat di atas merupakan suatu hukum yang berat, sehingga harus diancam
hukuman sampai maksimum sepuluh tahun dan denda lima belas ribu ringgit.
Sedangkan untuk kesalahan yang berikut, sebagaimana diutarakan oleh ayat 41
adalah ancaman hukumannya jauh lebih ringan, karena kesalahan yang
berlawanan dengan akta pemberitahuan (melaksanakan) suatu perkawinan seperti:
1. Tanpa menerima izin untuk perkawinan itu atau suatu pernyataan yang tidak
memerlukan perizinan.
2. Pelaksanaan perkawinan sekurang-kurangnya dua orang saksi yang dapat
dipercaya untuk mengupacarakan (melaksanakan) suatu perkawinan itu.
3. Setelah berakhirnya waktu enam bulan dari tanggal pemberitahuan
(pelaksanan) perkawinan yang diberikan di bawah ayat 14.
49
Semua berasal dari kesalahan dan apabila diadili dikenakan penjara selama
waktu tidak lebih dari tiga tahun dan denda tidak lebih dari lima ribu ringgit (ayat
kecil (1) ayat 41). Adapun pendaftaran yang diketahuinya dan berlawanan dengan
akta mengeluarkan izin untuk perkawinan yaitu:
1. Tanpa pemberitahuan perkawinan sebagaimana yang dikehendaki oleh
ayat15.20
2. Apabila suatu kaveat telah diserahkan di bawah ayat 19 tanpa mematuhi ayat
20 atau
3. Berlawanan dengan ayat 1621
Semua bersalah atas suatu kesalahan dan apabila diadili boleh dikenakan
penjara tidak lebih dari tiga tahun dan denda tidak lebih dari lima ribu ringgit (Rp:
14.200.000), (ayat kecil (2) ayat 41)
Selanjutnya bagi orang-orang yang melakukan perkawinan, tanpa
meberitahukan perkawinanya sebagaiman yang tercantum dalam ayat 15, maka
akan dikenakan penjara tidak lebih dari tiga tahun lamanya dan denda tidak lebih
dari lima ribu ringgit (Rp:14.200.000), (ayat kecil (3) ayat 41), perkawinan
terhadap suatu kesalahan seperti yang diuraikan di atas hanya dapat dilakukan
dengan kebenaran tertulis dari pendakwan hakim.22
20
Ibid, h.70 (Ayat 15 –Tuntutan karena melanggar janji untuk berkawin atau pertunangan) 21
Ibid, (Ayat 16-Setiap perkawinan yang akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat
kebenaran mendaftar NCR bagi Qariah Masjid tempat pihak perempuan tinggal) 22
Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, h.71.
50
Secara eksplisit tidak ada aturan bagaimana proses untuk orang yang
melakukan perkawinan antar negara di Malaysia, karena itu penafsiran yang lebih
mendekati kebenaran adalah mempunyai proses yang sama dengan perkawinan di
negara masing-masing. Bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia
dan tidak sesuai dengan aturan yang ada, adalah perbuatan melanggar hukum dan
dapat di hukum dengan hukuman denda maksimal seribu ringgit atau penjara
maksimal enam bulan atau kedua-duanya.23
Kecuali kelantan dan perak yang menentukan boleh mengajukan
permohonan pendaftaran kepada hakim kalau belum di daftarkan sesuai dengan
waktu yang ditentukan. Dari teks-teks perundang-undangan Malaysia dapat
dipahami bahwa fungsi pencatatan hanya urusan atau syarat administrasi, tidak
ada hubungannya dengan syarat sah atau tidaknya suatu pernikahan (akad nikah).
23
Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi Terhadap Perundang-undangn
Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, h.152.
51
BAB IV
PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN
MENURUT ENAKMEN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974
Di dalam Undang-Undang di Indonesia dan Malaysia terdapat persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan mengenai hukum perkawinan yang berlaku:
A. Persamaan Hukum Perkawinan di Indonesia dengan Malaysia
Dalam hal hukum perkawinan dan tata cara perkawinan di Indonesia dan
Malaysia mempunyai beberapa kesamaan, yaitu:1
1. Adanya Undang-Undang khusus yang mengatur masalah perkawinan.
2. Kedua negara ini mengharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan
perkawinan. Bagi setiap orang yang hendak melangsungkan perkawinan.
3. Adanya syarat-syarat untuk sah atau tidaknya suatu perkawin. Misalnya
adanya calon suami istri, adanya batas umur tertentu yang memberi kelayakan
seseorang untuk kawin, harus adanya persetujuan kedua belah pihak, tidak
terdapatnya hubungan darah dekat atau hubungan kekeluargaan karena adanya
perkawinan, harus adanya wali dan dua orang saksi serta mengikuti tata cara
perkawinan yang ditentukan hukum yang berlaku.
1 http://jilbabkujiwaku.blogspot.com/2011/02/perbandingan-hukum-perkawinan-di.html di
Akses pahari selasa tanggal 27 september 2011
52
4. Adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban suami istri, contohnya masalah
pemberian nafkah, tinggal bersama, saling menghormati.
5. Adanya saksi dan wali hakim apabila wali dari pihak-pihak keluarga tidak bisa
mewakilkan.
6. Adanya ancaman hukuman di dalam Undang-Undang perkawinan, baik yang
ditujukan kepada pegawai yang melaksanakan perkawinan maupun kepada
para pihak-pihak pelanggar yang melakukannya.
7. Sama-sama mempunyai pengadilan khusus untuk mengatur masalah
perkawinan. Serta bisa mengajukan permohonan isbat nikah ke pengadilan
(Pengadilan Agama untuk orang Indonesia dan Mahkamah Syariah untuk
orang Malaysia) bagi mereka yang perkawinannya belum terctat atau tidak
memiliki akta nikah.
B. Perbadaan Solusi Hukum Perkawinan di Bawah Tangan di Indonesia dan
Malaysia.
Hukum perkawinan di Indonesia dan Malaysia mempunyai persamaan dan
perbedaan mengenai perkawinan di bawah tangan. Yakni Sama-sama bisa
mengisbatnikahkan perkawinannya kepengadilan (Pengadilan Agama untuk
Indonesia dan Mahkamah Syari’ah untuk Malaysia). Akan tetapi ada sedikit
perbedaan,2 yaitu perkawinan yang sudah diisbatnikahkan tetap akan di kenakan
hukuman bagi pelaku pernikahan tersebut, dua ribu ringgit sampai dengan lima
2 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Cet.1,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991), h.71
53
ribu ringgit (Rp:5.700.000/14.200.000) untuk orang Malaysia, sedangkan di
Indonesia hanya diwajibkan membayar biaya perkara, karena perkawinan di
bawah tangan termasuk pelanggaran administrasi.
Konsekuensi orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan, Baik di
Indonesia maupun di Malaysia adalah tidak dicatat oleh petugas pencatat
perkawinan, karena dianggap sudah menyimpang dari Undang-Undang
perkawinan yang berlaku. Disamping itu juga si anak tidak akan mendapatkan
akte kelahiran yang menjadi bukti otentik untuk mendapatkan nafka, biaya
pendidikan dan harta waris.3
Solusi dari perkawinan di bawah tangan adalah mengajukan permohonan
isbat nikah atau pengesahan pernikahan, isbat nikah tersebut diajukan ke
Pengadilan Agama Kabupaten atau Kota setempat. Dengan adanya isbat nikah
maka status perkawinan menjadi jelas, baik dimata Agama maupun di mata
hukum.
Dasar hukum bahwa permohonan isbat nikah menjadi kewenangan
Peradilan Agama diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan
dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) butir 22 UU No 7 Tahun 1989. Kemudian
untuk alasan-alasan pengajuan isbat nikah secara limitatif diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 yang menyebutkan: Pasal (2),
3 Arso Sosroatmojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
h.55.
54
"dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan
isbat nikahnya ke Pengadilan agama"
Pasal (3), Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama
terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:4
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. Artinya bila
seseorang telah menikah menurut tata cara Agama (yang dikenal dengan nikah
dibawah tangan dan tidak mencatatkan perkawinannya di Pegawai
Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama atau Kantor Catalan Sipil) kemudian ia
bermaksud melakukan perceraian, ia dapat mengajukan permohonan isbat
nikah.
b. Hilangnya akta nikah bila pernikahan telah dicatatkan dan mendapatkan akta
nikah (buku nikah) tetapi kemudian buki tersebut hilang, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan permohonan isbat nikah. Permohonan dapat
diajukan ke Pengadilan dengan membawa bukti lapor kehilangan akta nikah
dari petugas yang berwenang (polisi).
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan
Syarat perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 14 adalah adanya
calon isteri, calon suami, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan kabul. Bila ada
keraguan dari salah satu syarat tersebut, misalnya tentang wali nikah, maka
isbat nikah dapat dilakukan.
4 Kompilasi Hukum Islam, Cet.2, ( Bandung: Fokusmedia, 2007), h.8
55
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU N0. 1 Tahun 1974
Maksudnya, dengan bukti bahwa perkawinan dilaksanakan sebelum
berlakunya Undang-Undang No.I Tahun 1974 dan tidak memiliki akta
nikah, maka untuk kelengkapan administrasi, ia dapat mengajukan
permohonan isbat nikah.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974. Artinya permohonan isbat nikah
hanya dapat dilakukan apabila perkawinan tersebut tidak mempunyai
halangan (dilarang oleh hukum). Misalnya adanya hubungan darah, hubungan
kekerabatan, hubungan sepersusuan, masa iddah atau bekas isteri yang sudah
diceraikan tiga kali berturut-turut.
Sekalipun dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989 hanya
menyebutkan sebelumnya artinya isbat nikah hanya dapat dilakukan pada
perkawinan yang dilakukan sebelum munculnya UU No.1 Tahun 1974. Akan
tetapi Pasai 7 KHI tidak menegaskan pembatasan seperti itu, sehingga Yurisprudensi
membenarkan sebelum maupun sesudah UU No.1 Tahun 1974. Pokoknya dalam hal
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat pegawai pencatat
nikah dapat diajukan isbat nikahnya ke pengadilan.
Perkawinan di bawah tangan dapat di isbat nikah sesuai pasal 7 ayat (2)
dan (3) Kompilasi Hukum Islam seperti contoh yang diuraikan di bawah ini:
56
1. Contoh Kasus di Indonesia
a. Nomor Perkara 2724/Pdt.G/2007/PA.Jt.5
Hal: Cerai Gugat
Kepada Yth
Bapak Ketua Pengadilan Agama
Jember
Assalamu’alaikum wr.wb
Yang bertanda tangan di bawah ini Rani binti Wawan (bukan
identitas sebenarnya), umur 37 tahun, agama Islam, pekerjaan Tani,
tempat tinggal di Dusun Kepel Desa Ampel Kecamatan Wuluhan
Kabupaten Jember.
Mengajukan gugatan cerai terhadap suami tergugat nama:
Rony bin Susilo (bukan identitas sebenarnya), umur 41 tahun, agama
Islam, pekerjaan Tani, tempat tinggal di Dusun Sulakdoro Desa Lojejer
Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember.
Selanjutnya disebut sebagai Tergugat:
Tentang permasalahannya
Isbat nikah
1. Bahwa Penggugat dan Tergugat telah menikah pada tahun 1986 di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kecamatan Wuluhan Kabupaten
5http://www.patanahgrogot.net/utama/index.php?option=com_content&view=article&id=91:k
umulasi-permohonan-itsbat-nikah-dengan-asal-usul-anak&catid=5:artikel-hukum&Itemid=10 (diakses
pada tanggal 21 September 2011
57
Jember dengan syarat hukum yang cukup menurut agama Islam yaitu
dengan wali saidi, dengan di saksikan oleh dua orang saksi yang
masing-masing bernama Garmon dan Trimo ijab kobul antar mempelai
laki-laki dengan wali dari perempuan dan dengan mas kawin berupa
uang 200.000 tunai.
2. Bahwa Penggugat dan Tergugat tidak ada halangan hukum yang
melarang untuk melangsungkan pernikahan, baik menurut Agama
maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
selama berumah tangga Penggugat tidak permah kawin lagi dengan
laki-laki lain;
3. Bahwa akan tetapi hingga sekarang Penggugat dan Tergugat belum
memperoleh Akta Nikah sebagaimana mestinya dan setelah
Penggugat mengurus pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
Wuluhan di rumah Penggugat, ternyata pernikahan Penggugat dan
Tergugat tersebut tidak tercatat dalam Buku Register Nikah di Kantor
Urusan Agama tersebut, sedangkan Penggugat kini berkepentingan
untuk menyelesaikan perceraian dengan Tergugat;
4. Bahwa setelah pernikahan antara Penggugat dan Tergugat telah hidup
rukun sebagai suami istri dan terakhir bertempat tinggal di rumah
orang tua Tergugat, namun belum dikaruniai keturunan;
5. Bahwa pada mulanya rumah tangga antara Penggugat dan Tergugat
berjalan dengan baik, akan tetapi sejak 7 tahun yang lalu, rumah
58
tangga Penggugat dan Tergugat mulai goyah. Sering kali terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan karena masalah
ekonomi dimana Tergugat kurang mencukupi kebutuhan keluarga
karena Tergugat malas bekerja;
6. Bahwa perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat
tersebut makin lama makin memuncak, akhirnya Penggugat pergi
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seijin Tergugat, dan
sekarang berada di rumah orang tuanya. Sejak itu antara Penggugat
dan Tergugat telah hidup berpisah kurang lebih 4 tahun dan selama
hidup berpisah tersebut, antara Penggugat dan Tergugat telah tidak ada
hubungan lagi layaknya suami istri;
7. Bahwa atas dasar alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas,
Penggugat mohon kepada Pengadilan Agama Jember agar berkenan
memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Primair:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat yang
dilaksanakan di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Wuluhan
Kabupaten Jember pada tahun 1986;
3. Menjatuhkan talak satu ba’in dari Tergugat terhadap Penggugat;
4. Membebankan biaya perkara ini menurut ketentuan hukum yang
berlaku;
59
Subsidair:
1. Bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan Penggugat telah hadir
dipersidangan, sedangkan Tergugat tidak hadir dan tidak menyuruh
orang lain sebagai kuasanya untuk hadir, meskipun berdasarkan surat
panggilan dari Pengadilan Agama Jember tanggal 19 November 2007
No. 2724/Pdt.G/2007/PA.Jr yang dibacakan dipersidangan ternyata
telah dipanggil dengan patut, sedangkan tidak tertera bahwa tidak
hadirnya itu disebabkan sesuatu halangan yang sah;
2. Bahwa selanjutnya dimulailah pemeriksaan perkara ini dengan
dibacakannya gugatan Penggugat tersebut di atas dan atas pertanyaan
Majelis, Penggugat menyatakan tetap pada gugatannya;
3. Bahwa di muka persidangan, Penggugat juga mengajukan saksi-saksi
sebagai berikut:
1. GARMON, umur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan Tani,
bertempat tinggal di Desa Ampel Kecamatan Wuluhan Kabupaten
Jember;
2. TRIMO, umur 46 tahun, agama Islam, pekerjaan Tani, bertempat
tinggal di Desa Lojejer Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember;
Saksi-saksi tersebut dalam kesempatan yang berbeda di bawah
sumpah masing-masing telah memberikan keterangan di muka
persidangan satu sama lain berkesesuaian;
60
1. Bahwa terhadap alat bukti dan keterangan saksi-saksi Penggugat
menyatakan tidak keberatan dan menerimanya;
2. Bahwa untuk singkatnya uraian putusan ini maka semua berita acara
persidangan ini harus dianggap bagian yang tak terpisahkan dari
putusan a quo.
Sedangkan yang menjadi pertimbangan tentang hukumnya adalah
sebagai berikut:
1. Bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat sebagaimana terurai di
atas;
2. Bahwa Majelis Hakim telah memberikan upaya perdamaian dengan
memberikan saran dan nasehat-nasehat kepada Penggugat akan tetapi
tidak berhasil;
3. Bahwa gugatan Penggugat telah memenuhi syarat-syarat formal
perkara sehingga Majelis Hakim perlu memberikan pertimbangan
lebih lanjut;
4. Bahwa Tergugat yang telah dipanggil secara patut telah tidak hadir
dan tidak menyuruh orang untuk atas namanya menghadap sidang,
sedang Tergugat ternyata, tidak hadirnya itu disebabkan oleh alasan
yang sah dan gugatan Penggugat tidak melawan hukum, maka
berdasarkan Pasal 125 ayat (1) HIR Tergugat harus dinyatakan tidak
hadir;
61
5. Bahwa dalil-dalil gugatan Penggugat telah didukung oleh alat-alat
bukti tertulis maupun saksi-saksi yang oleh Majelis Hakim telah
diperiksa dan dapat diterima sebagai alat bukti yang sah;
6. Bahwa berdasarkan bukti-bukti dimana antara satu dengan yang lain
saling berkaitan, Majelis Hakim dapat menemukan fakta-fakta hukum
di persidangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami isteri yang sah dan
telah hidup rukun namun belum dikaruniai seorang anak;
2. bahwa semula rumah tangga Penggugat dan Tergugat rukun
dengan mengambil tempat kediaman bersama terakhir di rumah
orang tua Tergugat, akan tetapi sejak 4 tahun yang lalu antara
Penggugat dan Tergugat telah hidup berpisah, Penggugat pergi
meninggalkan Tergugat, keduanya sudah tidak ada ikatan lahir
batin sebagai suami isteri dan tidak pernah saling berkunjung;
3. bahwa perpisahan tersebut bermula dari terjadinya perselisihan dan
pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat yang disebabkan
karena masalah ekonomi dimana Tergugat kurang mencukupi
kebutuhan keluarga karena Tergugat malas bekerja;
4. bahwa di luar persidangan, para saksi telah memberikan usaha
perdamaian kepada Penggugat dan Tergugat akan tetapi tidak
berhasil dan keduanya sudah sulit untuk dirukunkan lagi;
62
5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum sebagaimana tersebut di
atas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa rumah tangga
Penggugat dan Tergugat sudah pecah sedemikian rupa, tidak ada
keharmonisan dan amat sulit dipertahankan untuk mencapai tujuan
perkawinan sebagaimana diatur oleh Pasal 1 Undang-Undang No.
1 Tahun 1974 jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sakinah, mawaddah, wa rahmah
disebabkan karena masalah ekonomi dimana Tergugat kurang
mencukupi kebutuhan keluarga karena Tergugat malas bekerja. Itu
mafsadahnya akan lebih besar daripada maslahahnya apabila
perkawinan Penggugat dan Tergugat dibiarkan berlanjut sehingga
Majelis Hakim berketetapan mengabulkan permohonan Penggugat
karena telah memenuhi unsur-unsur alasan perceraian sebagaimana
diatur dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974
jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo
Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam;
6. Bahwa untuk memenuhi maksud Pasal 84 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-
Undang No.3 Tahun 2006, maka Majelis Hakim memandang perlu
untuk menambah amar, yaitu. Memerintahkan kepada Panitera
Pengadilan Agama Jember untuk mengirimkan satu helai salinan
63
putusan ini yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa
bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya
meliputi tempat tinggal Penggugat dan Tergugat, serta kepada
Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan guna
didaftar dan dicatat dalam daftar yang disediakan untuk itu;
7. Bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun
1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun
2006, maka biaya perkara dibebankan kepada Penggugat.
Setelah melakukan proses peradilan dan mengambil kesimpulan
berdasarkan fakta-fakta yang ada, keterangan dari pihak yang berperkara
dan juga keterangan dari para saksi di persidangan, maka Pengadilan
Agama Jember memutuskan dan mengadili perkara tersebut dengan
putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat;
2. Menyatakan sah perkawinan antara Penggugat (Rani binti Wawan,
bukan identitas sebenarnya) dengan Tergugat (Rony bin Susilo, bukan
identitas sebenarnya) yang dilaksanakan di wilayah Kantor Urusan
Agama pada Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember tahun 1986 ;
3. Menceraikan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat dengan
menjatuhkan talak satu ba’in shughraa Tergugat (Rony bin Susilo,
bukan identitas sebenarnya) terhadap Penggugat (Rani binti Wawan,
bukan identitas sebenarnya);
64
4. Membebankan biaya perkara kepada Penggugat;
b. Nomor register 10/Pdt.P/1994/PA
Pemohon bernama Ny. Tri Astuti binti Suranto,6 melawan
termohon bernama Irianto Tohir bin H. Muhammad Tohir. Pemohon
melalui kuasa hukumnya telah mengajukan permohonan Isbat nikah
dengan suratnya tertanggal 19 Oktober 1994 yang kemudian telah
didaftarkan di kepanitraan pengadilan Agama kelas 1 A tanjung karang
pada tanggal 20 Oktober 1994 di bawah No. register 10/Pdt.P/1994/PA
yang pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Bahwa pada hari sabtu tanggal 09 Agustus 1986 antara pemohon dan
termohon pernah melakukan atau melangsungkan akad nikah di rumah
kediaman pemohon di jalan Imam Bonjol Gang nangka No. 27 gedung
air kecamatan tanjung karang barat Bandar lampung, dilangsungkan di
hadapan pejabat pembantu pencatat nikah kelurahan gedung air yang
pada waktu itu di jabat oleh H.M Syarif dengan maskawin 1 ( satu)
buah Al-Qur’an secara tunai dengan wali ayah kandung pemohon yang
mewakilkan kepada pejabat pembantu pencatat nikah untuk
menikahkan dan sudah akad nikah termohon mengucapkan taklik talak
di hadapan saksi-saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
6 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam kontemporer, Cet.1, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), h.30
65
b. Bahwa selama perkawinan antara pemohon dan termohon tidak pernah
terjadi perceraian, sedangkan penyebab tidak dikeluarkannya surat
nikah adalah tidak dilengkapinya salah satu syarat administrasinya
berupa surat keterangan dari tempat tinggal termohon.
c. Bahwa oleh karena pemohon akan melakukan perceraian maka
sebagai salah satu syarat pemohon mohon agar perkawinan pemohon
dan termohon diisbatkan terlebih dahulu.
d. Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas pemohon berharap
kepada pengadilan Agama Cp. Majlis Hakim yang memeriksa
permohonan ini memberikan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan pemohon.
2. Menetapkan dan menyatakan sahnya pernikahan antara pemohon
dengan termohon yang dilaksanakan pada hari sabtu tanggal 09
Agustus 1986 di jalan Imam Bonjol kelurahan gedung air tanjung
karang barat dengan maskawin ( mahar) satu buah kitab suci Al-
Qur’an secara tunai.
3. Ongkos perkara menurut hukum.
Perkara ini telah diputuskan di pengadilan Agama tanjung karang
dalam putusannya Nomor 10 /Pdt.P/1994/PA-Tnk dengan memutuskan:7
1. Mengabulkan permohonan pemohon seluruhnya.
7 Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam kontemporer, h.30
66
2. Menyatakan sah nya nikah termohon Tri Astuti binti Suranto dengan
Irianto Tohir bin H. Muhammad Tohir yang dilaksanakan pada tanggal
09 Agustus 1986.
3. Membebankan kepada pemohon untuk membayar perkara ini yang
sampai sekarang diperkirakan sebesar Rp:85.000 ( Delapan puluh lima
ribu rupiah).
2. Contoh Kasus di Malaysia
a. Abdullah bin Karmil dan Siti Salamah binti Zaid
Abdullah bin Karmil seorang warga Negara Malaysia atau
berdomisili di Malaysia tetapi saat ini bertempat tinggal di Indonesia dan
dia menikah di Indonesia dengan Siti Salamah binti Zaid pada tanggal 12
maret tahun 1985 di bali, setelah mereka melangsungkan pernikahan dan
mempunyai dua orang anak Abdullah bin Karmil kembali ke Malaysia
untuk mendaftarkan pernikahannya ke Mahkamah Syariah untuk
mendapatkan surat izin nikah (isbat nikah), maka Mahkamah Syariah
memangil wali yang menjadi wali saat pernikahan itu berlangsung (wali
nikah) serta mengecek dimana mereka melakukan pernikahan, apabila
mereka terbukti telah melangsungkan pernikahan tanpa adanya pendaftaran
sebelumnya, maka keduanya akan dikenakan denda dua ribu ringgit sampai
dengan lima ribu ringgit (Rp: 5.700.000/14.200.000). Akan tetapi
perkawinannya bisa disahkan menurut hukum yang berlaku.
67
Jadi dapat disimpulkan, bahwa perkawinan di bawah tangan di
Indonesia dan Malaysia dapat di sahkan perkawinannya melalui
permohonan isbat nikah. Hanya saja di Malaysia dikenakan ancaman
hukum apabila benar terjadi pernikahan yang tidak di daftarkan (tercatat)
Mahkamah Syariah. Sedangkan di Indonesia hanya dikenakan biaya
perkara saja.
b. Re Wan Abdul Aziz bin Embong
(Mahkamah Tinggi Syariah, Terengganu (Haji Ismail bin Yahya, Hakim)9
November, 19948
(Permohonan No. MTS Tr. 04-019 (2) 14/94)
Perkawinan-sama ada perkawinan di thailand sah-kuasa wali am di
thailand Undang-Undang keluarga Islam, Terengganu, 1985, S 10
Dalam perkara ini pemohon Wan Abdul Aziz bin Embong telah
membuat permohonan untuk menentukan sahnya perkawinan antara
pemohon dengan Zakiah bte binti Abdul Hamid yang telah di adakan di
selatan thailan. menurukut keterangan yang diberikan bahwa perkawinan
itu telah diadakan di Thailand. Pemohon menyatakan bahwa akad nikah
diadakan di patani naib kadi dengan menggunakan wali dari hakim.
Diputuskan perkawinan yang diadakan itu adalah tidak sah menurut hukum
Syarak dan Undang-Undang.
8 Jurnal Hukum, Cet.1, (Kuala Lumpur: Bahagia Hal Ehwal Islam, 1995), h.45
68
Permohonan ini adalah pormohonan untuk menentukan sahnya
perkawina antara pemohon Wan Abdul Aziz bin Embong, K/P 4034854
dengan Zakiah bte binti Adul Hamid K/P 7474815 yang telah diadakan di
selatan thailand dengan menggunakan wali hakim yaitu H. Shihabiddin bin
Walong. Naib Qodi syar’i wilayah patani dan jawatan Islam Majlis Agama
Islam Changwad, patani, Thailand yang telah di adakan pada tanggal 26
Jumadil awal 1414 (Takwim Thailand) bersama dengan 10 November 1993
Seksyen 10. Undang-Undang pentadbiran keluarga Islam 1985 terengganu
menetapkan bahwa suatu perkawinan adalah tidak sah melainkan jika
cukup semua syarat-syarat yang diperlukan, secara syar’i yang
menjadikannya sah.9
9 Jurnal Hukum, ( Kuala Lumpur: Bahagsssian Hal Ehwal Islam, 1995), h.45
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan dan dijelaskan pada
bab-bab sebelumnya maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Konsekuensi hukum perkawinan di bawah tangan baik di Indonesia maupun
di Malaysia adalah tidak dicatat oleh petugas pencatat perkawinan (Petugas
KUA) karena dianggap sudah menyimpang dari Undang-undang perkawinan
yang berlaku. Serta si anak tidak akan mendapatkan akte kelahiran yang
menjadi bukti otentik untuk mendapatkan nafka, biaya pendidikan dan harta
waris. Demikian juga orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan
akan dikenakan denda, karena perkawinan di bawah tangan termasuk
pelanggaran administrasi.
Pelanggaran administrasi dalam perkawinan yang tidak dicatat di pegawai
pencatat nikah menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 pasal 45 peraturan
pelaksanan adalah memuat ancaman pidana bagi mempelai dan pegawai
pencatat yang melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan tentang
pencatatan. Mempelai diancam dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp:
7.500 apabila ia:
70
a. Tidak melakukan pemberitahuan untuk kawin
b. Perkawinan tidak dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat.
Pegawai pencatat diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan atau denda setingi-tingginya Rp. 7.500 apabila ia:
a. Tidak melakukan penelitian
b. Tidak memberitahukan adanya halangan perkawinan
c. Tidak menyelenggarakan pengumuman
d. Tidak menandatangani pengumuman atau
e. Melaksanakan perkawinan sebelum hari kesepuluh dari pengumuman
f. Tidak menyiapkan dan menandatangani akta perkawinan,
g. Tidak menyimpan helai pertama, tidak memberikan helai kedua kepada
panitra pengadilan dan kutipan akta perkawinan kepada suami istri.
Sedangkan dalam Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia dalam
ayat 38, antara lain ditentukan bahwa seseorang yang sengaja membuat suatu
keterangan palsu atau yang dikehendaki di bawah akta ini dengan tujuan
untuk memperoleh keterangan perkawinan adalah bersalah atas suatu
kesalahan yang dikenakan penjara selama waktu tidak lebih dari tiga tahun
atau denda tidak lebih dari tiga ribu ringgit atau kedua-duanya sekaligus.
2. Maka dari itu salah satu solusi perkawinan di bawah tangan di Indonesia dan
Malaysia adalah mengajukan permohonan isbat nikah atau pengasahan
perkawinan. Isbat nikah tersebut di ajukan ke pengadilan Agama Kabupaten
atau Kota setempat. Pengadilan Agama untuk orang Indonesia, Mahkamah
71
Syariah untuk orang Malaysia. Dengan isbat nikah maka status perkawinan
menjadi jelas, baik dimata Agama maupun dimata Hukum.
B. Saran
Walaupun perkawinan sudah diatur dalam Undang-Undang
perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Undang-Undang Keluarga Islam, tetapi
masih banyak terjadi perkawinan di bawah tangan. Maka dari itu kepada
pemerintah untuk mempermudah masalah administrasi dalam melaksanakan
perkawinan terutama dari segi birokrasi biayanya serta harus adanya ancaman
hukuman yang lebih ketat lagi mengenai pencatatan perkawinan, supaya
meraka jera untuk melakukan perkawinan di bawah tangan karena perkawinan
di bawah tangan sangat merugikan bagi semua pihak ( istri dan anak)
71
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya
Ali Zainudin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Abas Ahmad Sudirman, Problematika Pernikahan dan Solusinya Pacar Beda Agama
dan Konsepsi Pacaran dalam Islam dan Pernikahan Syaqidah Versus Beda
Aqidah, Jakarta: PT Prima Heza Lestari, 2006
Abas Ahmad Sudirman, Pengantar Pernikahan Analisis Perbandingan antar
Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006
Abdurohman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo,
1995
Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman penulisan Skripsi, Jakarta: UIN Jakarta Pres,
2007
Ghazali Abd Rahmani, Fiqh Munakahat, Bogor: Predana Media, 2003
Hasan M.Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja, 2003
Jurnal Hukum, Kuala Lumpur: Bahagian Hal Ehwal Islam, 1995
Lembaga Bantuan Hukum APIK, Dampak Pernikahan Bawah Tangan Bagi
Perempuan,Artikel diakses pada kamis, 14 Juli 2011 dari:hpp://www.lbh-
apik.or.id/fact51-bwh/20tangan.htm
Lexy J Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,
2003
Nasution Khoiruddin, Status Wanita di Asia Tenggara Studi Terhadap Perundang-
undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia,
Jakarta: INIS, 2002
Pentadbiran Undang-undang Islam di Malaysia, Kuala Lumpur Malaysia: Institut
Kefahaman Islam Malaysia, 1997
Ramulyo Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Hillco, 1985
72
Rasjidi Lili, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991
Ramulyo Idris, Hukum Perkawinana,Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Sosroatmojo Arso, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,1975
Suma Muhammad Amin , Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007
Syakir Muhammad Fu’ad, Perkawinan Terlarang, Jakarta: CV Cendikia Sentra
Muslim, 2002
Saleh Wantjik , Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1976
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2010
Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan
di Indonesia, Serang: Saudara Serang, 1995
Saleh Watntjik, Himpunan Peraturan dan Undang-Undang Tentang Perkawinan,
Jakarta: PT ichtiar Baru, 1974
Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT Raja Grofindo
Persada, 2009
Terjemahan Al-Lu’lu Wal Maijan Koleksi Hadis yang di Sepakati oleh Al- Buchory,
Semarang: Al-Ridha, 1993
Republik Indonesia Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Yasin Nur, Hukum Perkawinan Islam Sarak, Malang: UIN Malang Press, 2008
I(EDUl},AN BI'SAR J\IAL^\,SII\(EMlJ,\SSY OF II/rLAYSl.t)J-L.1I. R RASUNA SAID KAi. X/6 NO. I.]KUNINCAN, JAKARTA SELAI,AN I2950REPUBLIK INDONESIA
J.l :(62-2t) 52249a7 (t{unring)Faks : (62.2t) 522495t
(62-21) s224914e-mail : [email protected].
Ruj. Tuan :Ruj. l(ami : SR tC33JOB2/,Tarikh : zo Mei zoo;'2
Jtc' 22 Pel
Assa;amuaraikurn wrh. wbh.
Yth. Bapak/y..Bh g. Tuan
PERMOHON.,IN MEI.AAIGSUNGKAN PERNIKAHAN DI INDONES'ADengan sega,a horrnatnya saya diarah merujuk kepada perkar.t di atas.2. Sukacifa dimaktr
.i:i9rr;;o#i;jifrj"#',fr ff .,iffi:sjinll"#f,u,'^o!,lf nn.rvo
l?U&?il?#ffI";;?'-1'."-" terah da;;; ;?!I1,'.". I es a r M a laysia di Ja kd narnro o rv iinrl il ; :{r;ll;.1;, -T;il rXHozD
e rn i k a h de n sa n *X,iii ]-^ o o ^
i:-1.t""#*T:;i'; lt:iutaan Besar Maravsia tiada ap+epa haransan u n iukmengii<utisegala peraturelangiungkan pernikihanny" o". -!."r,tl'r't'#'o",iu,,ug"r" p"rni-k"ni"""'r " " yan g berlaku di keaua<ua t"g"rr l;.t"' r"T lil l*rr*s"!.rur,!lir#;i;;ili,,i":'' di rabatan Asama.rsram n"t";i;;;;;.'iloiuvr,o.t. 6apaK/Tuan diucapkan terima_
Sekian, rd/assalam.
-BERKHIDMAT UNTUK NEGARA -
saya yang -ur,f,f.
d;lqa;, asouraLhAtaseAgama
BtItJ JUSOH J
Kedutaan Besa{ Maraysia, Jakarta
t.K
T'j:t:r \,r:r.- ao.. ,.--x.c- io*,,=sol;; ;:;:;il";.i;:.:"'" "
l'ang Terhcrm.-lt Muliar B;r:r. n. ".* ._Kedufae"t gesa, n^^1,5,1 r' '\ sutd ue1.Jr'
?-"s.h.i, f],:rga.ai-r ;ryifi'-ieri'f' liiraia i-umFur
.dn;iir, r\ 1,1.1r i .. "..t.l:F . i.;11,.ln f=*r,a;".-,t,_.'l;.Ii ' ;-ea'rii. I'i 4.it.i._!.:ri:,.
.... I i. !.-.t t i & ;- t - r.]' !:1:1.3 i3;-" ff ;tt ii i,ir,.r :
,, i;
: ::+riila*f+{rri;: ! :t..
StrNARAI StrN{AIi DOI(UMtrN BAGI PI'R]\{OHONANI]I'R NII(AIIlB IiRPOLIC;AMI D I IN D O NI'SIA
I'II]IIIIA'I'IAN : SJI'I\{tJA I'I'I\{OIION i'iiIit,U I'IAI)]ii R]I]ITSAMA CAt'O\StJAi\41llS'l'ltll{l
D4!r!{.1!GA MALAYSIA
l'crlia r-a
l)i Luar NcgcriIslar-n Ncgcri Di Malai'sia
Surat Asal Dan Fotoltopi I Salinan (Warea Malaysia)
Jabatrrn
i\,{alaysiaBagi \\/arga
Srrrat iicbcnaran Bet-Jrt-,liganri Dar ipada N{ahl<amah 51'ariair
Surat Asai Dan Irotokopi I Saliiran (Perrloitonair Berpolrganli
ir,.1a,:rf,Sia "
|*"tIr
Fotokopi I Salinaii Pas
I(ad llcngcnrlan AsalFotokopi i Salinan Kad Penqer raiar r
I]AGI \\'AiicA INDONESIA
I(artu Tanda Pcnduduii (K"'I'.P)Kartti AsaiDan 1 FotokoPi
Pasport Asli fiika ada)1 Irotokopi Pasport
Sebarang kenius;,ki[orr atou pcrloft]1aafi !unrt/puan bo[eh nrcnghu{tungi Bohagian Agann, Kcdutartrt Besnr
Malay5is r{i No. (Tel) 006-221-5224947 ert: 3210 (Faks) 006-221-522495i -:
:: .J . I ,..y::.*_"..,.:.. j....r.. * ) I i:j_.j,::,r, ", .. ,. _
''-'
i; -l- . =lgf-t-',fqi: -t*,Si lo:R*i+t$tS*$,i.ie,-{}#-€S}"t {{ii€*$sll..*E€;{#q,. . ' i jfu:i.
lJ.".i :. :'"i:' :i :.;lY-(ji; j_-a1;->!R'\ a !.:N .' i:\ . j t:,i"+?.r 4:s.. 3\a{-r " .
ANAKKE: []KEDUI)UKAN VVAI.I
SENAIIAI WALI
Dattrk
lo
Bal;a Sautiala l-cla ki 5cl'crl;rl r llall:l_S('l,al1- ____,____Anak Lelaki Daripada Bapa Saudara Lelaki sebelah
jABATAN AGA\1A jOIIOI(
Slin-Al{r\l SH\'{n I( \\/ALi
NAMA. I'l:NlOllON:
NO, I(AIJ PINGUNAT,^N
l)AItll'r\l)A: l: --l(l(.)ltANCl Al )lK-llH(AI)ll(-l r.l,t.AKl l-l t'r'rtr.t',tt,unn ;ItJ
Ilapa Scibu
Tandakan lik" f- I atlur tl;i:r tanrla!inrr f-l JiLa riatla
!{ali bagi Pernikahan Penrolron Ialalr
Disemak OIeh :_.__-_ _ ._ 'l aril:li :,
'i andatanpan :
Drsal:kan Olelr :
( AS-STIEIKII llJ. AIllr,lAl) llr\NllI'cgawai'fadbir Agaur a,
l-)acrah N'lrrrr.
tllN ilj.NAINr )
6. I Anak Saudara Lclall_!!rU,.,llllllara 1-clati Sel'a1,a
UqL\yrl,_1_1!\]!l!{)\\ I'l:}ll\.,.\ )_l r lIjt kt't|i'lr]_lllt_l-\lit\\ \(; \]r \
\{,/,/. .\11..1 /,. 1.\//A t\ .r1:J/{ r lit tit _lJthtt Jj tlll(,lt\ t(;.tr/ll)lhl:.tlli l/,14 l.\ t)l ti.ttrt(;/l\ l(,ttJ.t.l. t\i t/1,.\.t;tt.t.tilt)il,t.\/.t.vtr.tt
N,\11..\ l'1..\ll.\.t,.\:\l ..\tlt)t t \/.1.2 lll\ O\I.\tr
NO.,l't:l.l:.f O\ (lt t,)Itt ]t.\tt' i,l.t\B\t.
'r t'.tt.\\ t,t.\(;(;t;\ \ \\
.1.\.1il Kt I .\)ilil I_ tlt,li t
't \ltlNltl,l.)lt'l_.r-\(, \\ tJt trt
,1.\t\ i,t.t{.\t...\'1 .\\ \ \"(r l)il,t\.; \\l
: {,U I ll{)()',rfi\l l,}:
: t;\-[ ( lrll l_\\'l.il.r.lt 1...\\'l t I t.\'\
: 6.,t:1..\1jilil\/rl:\l\t
: ll) lt l \l l'r"'r ' lrp'lnrli
.tE\ts llt rtilj i
r;t rtriltrJttir'rlirrrr,;-r \tr ri,i.ti. irr i
l ) l \ l 1 1. 1 i : l t - rtrrna,c\ w\sl\,'h { rl \ha.t^i "rn
-
KU.\N'fl1'l \ \\t; l)il,tN.,.\1iI
l!lt1
I
I
l
liht .\,\t) \ t .\\(; \\ t,tirlt\,t \\!: *:&P t)il I'Lt St,.\\.()L11 ,41)r,\r(rrrr{:6107to3 .rAr{rKil n/ii,: q'Nt
. A_muL lzp dtfi .rusosATAAE AOAidi
K! D tT,rrAr\ BESA_R I\,1.\LAYS t. \JAKARTA
1A I'lii-n NCCIAN :--,
I(AD f'liNCLrNALr\N
I Al; r[l'AN .'r(,r\N'lA J( ]I i()lt
liOItr\NG'l Nl L]IILiAI,
I.Ll !.trs(,r\(iAl
l'
1
I
III
)I
--lII
I
I
I
l
i
1
I
[]acaarr Al. J;alii ralr
D;tcaal Doa Qirrru\
M urllkrlt_a t
I r 'lr;r r ,i ir
fargtrnl;j;, r.'al' ljuaIrtt/' Isl,'r r
utusan'l r:rnu1.u;rl ] --
I LLll.Ll5 l- I (;'\(;\i
,inkn,, i I rli ternl'a1 1'artg l-r'tL.tta;ttr
lal:an Sustrlart [jika g;r1;al] :
,.1-t",.t,j''i;;;;;.g:,' -
rrlr.i J tll,l
KIrMEN'rt]RIA]\ A(iAM,\LJNI VF],RSI-I'AS trSLANiT NE(;trRI (LIIN)SYitltllf llll),'\ Yr|l'l ll,l,,\ll .1,\KAR'l',\
I.AKU I,'I"{S SI'AITIAII DAN [I UKUM
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412 Indonesia1"elp. (62-21 't 7 47 11537 ,7 401925Website : wrwv.uinjkt.ac.id E-mail
Fax (62.21) 7491821. syar_hr.,kLtin,@yahoo. r
t lrn\tll r
Nottttri; I llr.0l/l,1/l'l'.()1.lti r ..r1 /2{)l I
Larnp : -Ha I : lVlohon Kcsediaan Menjadi
Pernbimbing Skripsi
l!lrma1'l l,vll"e :iu ltasPr ogr ant StLid I
I(.onsentfas i
.1 Lrrlrri Skrip:,i
,lirl.;,irrtu, .1 JttlL Xlll lV2 Sya'ban 1432 I I
Miftrlhul R,:hmah1070r.,32023'26S1'ariah dan l-lLrkurn
Perbandingar Maz,hab dan HukurnPerband inga ;t l-lukun',lJttkurl 1ttr,tr:tnrinrut di bayult !{tneun dt in,.lones.ict tlunnttt l or.s irt
Yantr, terhorrnat,Flhrni Muhammad Ahrnadi. i'llsiIlotnida Nasution, MADosen Fakultas Syariah dan HukurntJIN Sy,arif H ida;,atu llah
.4 :; s al o nt t t' al o i k t n t tl/r. ll;b
l)inrpinan Fakultas Syariah L-ian Fiukurn UIN Syarif Hidat,ritullali Jakartanrernohon ke;ediaan Saudara untuk menjadi pembirnoing skripsi rnahasisu,a:
Der r i penyerrr l.runlaan skli psi, pelrr b inrbing d i benarkan :
l. l4e;rgernbanskan dan menye rpurnakan outline;',2. PcnLrlisan agal'rncrujLii. kr:pada buk.r "pedornan penuiisarr Skripsi
F'akultas Srariah dan Hukurri UIN Si,arif'Hidayatuliah Jakarta".
Atas kesedia:Ln Satidara karri ucapkan terjma kasih.
tlt a.s.; r t I r.; t r t t'' o I ct i k t t t i r lll'. ilt lt
a.n. llekan,',,-Kerua ljrograrn Siucij l,wlri.
(
\< /,\ /.6.\. ///),\4tf l,l. r .t // t/ \* j A,;-/
l)r. H. i\l'ul:anrrrraA T*tnti. li.A&-/lilrll %:il I ia lsqs[. *0i--;::5
:i.rir Li:r:r iirri.,i.;ii: i-i il'i l;!i:i.rag;:l i,ap,;1.;:i;;;8l ll"e ln ahas i sir,;r a ii i
rrlk Lr l tas S;,.,a ri :Lh d l l l-j i.r k l i r r-. 1
irtLr,li F l4I I Fai.riilias !"1',nri;lii riaii l li.rkri;i,:
7
1 KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (LTIN)SYARIF I{IDAYATULLAH JAI(ARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMJln. lr. H- Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 1rs41r2lndonesra
Tetp. (62-21 ) 7 47 11 537, 7 401925Website : \ffi.uinjkt.ac.id E-mail
Fax. (62-21) 7491821: syar hukuir]@Vahoo-com
Notttot'I .r rrr p ir.r nli,ri
oi / F-+/ KM.00.02l
Kcpircle'r Ytl-r.Kccl u ti,r.r rr Be'sar Mala i,s iaDi
Ia li.r rti-r
,r1 s1;rr i r r t t t I t' r t I rt i kt t t t t |4i r.1, \.4)
Pirrtpirrarr Fakultas SvariahIakarta nlclrcrarlgkarl bahr,r,.r :
J .r k:r l t.'r Agr,rsiu:. lill 1
clarr Hukur-n UIN Sr'arif Hic.lavatullal-r
N ;r ltt. r
Nonror Prlkok-l-er-r'rpa'r i/ 1 ai'rggal Laltir'Senrcstci'
I t t t t tr.1I 1,/ Kr rttst't'ttt'.tsi.,\ I .r nr.r ti-clp
N4 i tta h u I Iloh n-i.r l-i
1070J32023t('>Serang, 21 Maret 1989VIII ( Delapar-r)PNll-J,/ PI II -ink Cilr-r rah Scr"ar rrgl []arrtclr021 c)1922326
.rcl.ll.'rh belrar rtlahasis\^/a Fakrrltas Sr,'arial'i tian I'li-rkur-r'r UIN Sr':rrifI liclavatullah Jakarta. Sehubungan clengar-r hal tersebut rii atas, rltrlr, rni..:r.rr',r.t 13apal</lLru rla;',.1 I ntcrrgiz,irrl<;rn \'<tltg bcr-s.rrrgkr_rt;rn untui<ir tt'l.l k tr l<.r rr obst'r'r'a si sl< r'i ps i tl en g.r i.r jrr ti r-r I :
"Htrl;utrt Iterku.zoitttttt di llrttt,rtlt Tartgttrr di ltrdottcsia darr Malnrlsia"Urrtuk rnc-lengkapi bal-ran/eiata )'anil ber-kaita^ clengar.r
pc'lrttlisar-r/ptlltlbahasatr tttrras llata I<ulial'r tcrsc-btrt, clirtr1rfi6r1 l<irairyai1.r;r.1 11,"lLru/5"r',.1nrir/i c{a;rat mcmbantu/mencrir-r-ra vang Lrr:r-s.rrriil<utirnurrtlrl< ()bscrvasi.
At:rs kesccl ia.rn l3aprak/ lbu/sar-rtlara/i, l<:rn'ri r-rcapkan banr';rktcrima kasil'r.
.ti:-11,"1i1'1 'rIIrttititttt I i'l'i i.7,
I c'rtrL,rrs.rrr .
I 'r ll l),,1.,r r I .rl.-Lii{.rr 5r.ii'i.rlr tl.rrr I lLrl.rrnr I.ilN f .rl..rr.L.r) \,, .,.
u L)el<:'rr
mad Mrrl(ri Aii) N{.A031219E50i l0t)3
KEMENTERIAN AGAMA{JNTVERSTTAS ISLAM NEGERT (frrN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIATI DAN IIUKUN{Jln. lr. H Ciputat Jakarta 15412 lndonesia
Telp. (62-21)747 11537,7401925 Fax. (62-21) Z4g1A21Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : syai [email protected]
Juanda No. 95
Nolttot'l.arrrpir'.1;1Hal
Un 0l /f1/KN4.O0.02/ /201t
Pcrrnohonurrr Da t;r / OL-,st:i-r,.rsi
It'lnlrursan: a)
1.Yth. Dekar-r I--akultas sl'ariah c{ar-r HLll<Lr.'r UIN }arl<ari;il.Arsil-'r.
f .r I<a rt.r, ,.\r-lusttrs 2() I I
N t'p.t 1l .1 \'1 ; '
.
lic,trr.r l.-r'rrrl-.rg.r IJ.rtrfu.-rtr I I r_tLurrrI )i
[.r l<..t r t.r
,4 sst r I n t r t r r' rt I rt i l, t r t r r l\/t..1\1).
. I'ilrrPitratr l:al.i,r ltr.ts Sr,'a|i.rlr.1.ilr llr-rl.r-irrr LI IN S,,ar-il Ilitl.rr.rtLill;rlrl.rk.tlt.r tr'lL.nr'r',)t'r,ji\.tn l'.rlir.,.r
N.rln.r : N{ift.rlrLrj liohr.n.tl.r\J i)nr(rr J'pk6i. :l(17()llr(rrfr(-rI t'ln;r;-tt/ I arrtgal l-alrir : Sttr..rrr11, r i Mirr.t,t I r.)g9Scrnc'stcr' :V'lll(l)t,l.rl-irrr)Jr-rrr-rsan/Konsentr;rsi : pNl li7'i,l I
Al.rtlat I_irrk Cilr-i rah Scrarrrr llarnten'ft Ip', : 021 9-1cl2r3?(->
'lei'rlalr irc.ilat' Ilrtrir.tsi-sr'r'.t I:.tkuilt.rs Sr'.rr-i.rlr t1.rrr I Ir-r l..rr nr UIN Sr ar.iiI liclaYirtr-rll"rl.r Iakart;r. St'l.rr-rL',tttrrl.'rn .1eirg.rn lrrl terscLrrrt cli at.rs, rrrt,lrprikiran_r'a- Bapak/lbr,r cl:rp-i:-rt r-ncr-riIi_z_inkar-r vcrlrg Lrersangl<r-rtan rintr-rl.r-rteiakukarr observasi skr.ip'rsi clcr-r g.-irr jurclul:
"lltt/\tttlt I)arltttrFittttrr tli IJnit,ttlt I tlt,;tttr di Irttlottt'sitt tlotr ,\.lttlnt1sirr.,,Ur-rlur li Illtllellgk"tpi lr.rirarrT'clata .\'ang berkaitap elcpg.ri-.r
ptlrrLllis.rr/p-rg111[;16.1i.1 ]t lLt !l.ts itt.tt.t kulirl.r t.'t.seLr't, r,l itrr.5.rr l<ir-it.r.:rBaP'-rk/lbtr/Sar-rcit-rrar/i rlapirt rrrcn-rLr.rr-rtrr/rlcr-rc:r-irrra y.rrr,j l.cr-s.r,',g1.'.,t",,trrrtuk ()Lnt'rr, asi.
''\l.rs l<csctliairtr l3tr;-;.1 I<llLrrrl'5.rr-rtl;rr'.r/i, l<ar-rri Lr(:arpki-s-l L',arrr..rlitt'i'rrrr.r k.t-ilr.
V\t rr s stt I r t r t t t r' n ltt i kL r t t t W r.l,\,b.
M A. t't
A.rr DEI(AI'e rrr I i rt tr-i