PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Penetapan Di Pengadilan...
Transcript of PERKAWINAN BEDA AGAMA (Studi Penetapan Di Pengadilan...
PERKAWINAN BEDA AGAMA
(Studi Penetapan Di Pengadilan Negeri Salatiga Nomor:
36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah
Oleh
NGATIMIN
NIM 21107016
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL AS SYAKHSYIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014
PERKAWINAN BEDA AGAMA
(Studi Penetapan Di Pengadilan Negeri Salatiga Nomor:
36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Syariah
Oleh
NGATIMIN
NIM 21107016
JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI AHWAL AS SYAKHSYIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama : Ngatimin
Nim : 21107016
Jurusan : Syariah
Program Studi : Ahwal As Syakhsiyah
Judul : Perkawinan Beda Agama (Studi Penetapan di
Pengadilan Negeri Salatiga Nomor: 36 /Pen.Pdt.
P/2011/PN.Sal.)
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga, 21 Agustus 2013
Pembimbing
Mahfudz, M.Ag
NIP. 196102101987031006
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Ngatimin
NIM : 21107016
Jurusan : Syariah
Program Studi : Ahwal As Syakhsyiah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiblakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 21 Agustus 2013
Yang menyatakan
Ngatimin
MOTO DAN PERSEMBAHAN
MOTO
kamu mungkin bisa MEMENANGKAN sesuatu, tapi kamu bisa
KEHILANGAN yang lain.
Hal penting yang harus selalu kamu perhatikan..!!!
PERSEMBAHAN
Kepada Allah SWT,
Ibu yang ku sayangi, banggakan dan inspirasiku,
Bapak yang aku sayangi, Saudara-saudaraku yang selalu sabar dalam menghadapi
kenakalanku, Nenekku terima kasih atas do’anya,Para Dosenku,
Sahabatku Ari,S.Hi. Saiful. Fared. Bang Lukman, S.Pdi. Bang
To’eng.Dwi,S.Pdi. Intan,S.Pdi. Arina, Dewik,S.Pdi. yang banyak memberi
warna dalam sejarah penulis selama menjalani studi, PERTAMAX pokonyalah.
Temen kelasku yang buayakkk sekitar 14 orang yang majemuk tapi tetap
kompak, HMJ Syariah,
Teman organisasi IMM Kota Salatiga yang PERTAMAX juga pokoknya,
Pengasuh dan anak-anak panti Abu hurairah, kauman, salatiga,
Dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu disini.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: PERKAWINAN
BEDA AGAMA (Studi Penetapan di Pengadilan Negeri Salatiga Nomor: 36
/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.)
Penulisan ini merupakan syarat yang harus ditempuh dalam menyelesaikan
jenjang pendidikan strata satu (S-1) Fakultas Syariah Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan
berhasil tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan yang diberikan oleh banyak
pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih kepada:
1. Bapak Mahfudz, M.Ag selaku dosen pembimbing, atas waktu, bimbngan,
serta saran-saran dalam penyusunan skripsi.
2. Bapak Ilyya Muhsin, S.Hi, M.Si selaku ketua prodi Ahwal As-Syakhsiyyah
3. Bapak Lukman Bachmid, SH selaku Ketua Pengadilan Negeri Salatiga
4. Hakim dan Pegawai Pengadilan Negeri Salatiga
5. Dan para piahak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu disini, penulis
ucapkan terima kasih
Penulis menyadari bahwa sekripsi ini masih jauh dari kesempurnaa, oleh
karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
ABSTRAK
Ngatimin.2013. Perkawinan Beda Agama (Studi Penetapan Di Pengadilan Negeri
Salatiga Nomor : 36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.). Skripsi. Jurusan Syariah.
Program Studi Ahwal As Syakhsiah. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga. Pembimbing: Mahfudz, M.Ag.
Kata Kunci: Perkawinan Beda Agama, dan Penetapan.
Penelitian penetapan ini memaparkan atau menggambarkan tentang dasar
dan pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan pelaksanaan
perkawinan beda agama dalam perkara Nomor:36 /Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.
Berdasarkan pasal 1 undng-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
memberikan pengertian tetntang perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tentang
Perkawinan.
Penelitian ini digunakan untuk meperoleh gambaran tentang pertimbangan
Hakim dalam mengabulkan permohonan pelaksanaan Perkawinan Beda Agama
yang dilakukan oleh masyarakat sehingga nantinya diharapkan dapat mengetahui
cara pandang hakim pengadilan dan pihak yang melakukan perkawinan dalam
menyikapi permasalahan permohonan Perkawinan Beda Agama.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memperoleh jawaban atas
permasalahan yang ada, bahwa perkawinan beda gama sama sekali tidak diatur
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Penetapan Hakim Pengadilan Negeri
Salatiga Nomor: 36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal dalam mengbulkan perkawinan antara
pemohon X dan Y serta didukung dengan adanya yurisprudensi Mahkamah
Agung RI Nomor: 1400K /Pdt / 1986, dalam mengisi kekosongan hukum karena
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak secara
tegas mengatur tentang perkawinan beda agama memberikan solusi hukum bagi
perkawinan beda agama adalah bahwa perkawinan beda gama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instasi yang
berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon suami istri tidak
beragama islam.
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i
LOGO ............................................................................................................... ii
JUDUL ............................................................................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iv
PENGESAHAN KELULUSAN.......................................................... ............ v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN............................... ........................ vi
MOTO DAN PERSEMBAHAN...................................................... ............... vii
KATA PENGANTAR. .................................................................................... viii
ABSTRAK................ ....................................................................................... ix
DAFTAR ISI.... ................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. LatarBelakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 6
E. Penegasan Istilah ........................................................................
.............................................................................................. 8
F. Tinjauan Pustaka ........................................................................……
8
G. Metode Penelitian ......................................................................
............................................................................................. 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................... . 15
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................ 17
A. Pengertian Perkawinan ................................................................ 17
B. Perkawinan Beda Agama Menurut Agama di Indonesia ............ 25
C. Perkawinan Beda Agama Dalam Hukum di Indonesia .............. 30
BAB III HASIL PENEITIAN ......................................................................... 37
A. Gambaran Umum Pengadilan Negeri Salatiga........................ ... 37
B. Prosedur Pengajuan Perkawinan Beda Agama Di Pengadilan
Negeri Salatiga ........................................................................... 46
BAB IV PEMBAHASAN .............................................................................. 62
A. Dasar Dan Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan
PermohonanPelaksanaan Perkawinan Beda Agama.............. ..... 62
B. Tinjauan Hukim Positif Pasal 2(1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 terhadap Pertinbangan Hakim dalam Mengabulkan
Permohonan perkara nomor: 36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal........... . 68
BAB V PENUTUP........................................................................................ ... 77
A. Kesimpulan ................................................................................. 77
B. Saran ............................................................................................ 77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan perintah agama kepada yang mampu
melaksanakannya,karena pernikahan dapat mengurangi maksiat
penglihatan, memelihara diri dari perbuatan zina dan pernikahan
merupakan wadah penyalur hubungan biologis manusia yang wajar.
Islam menganjurkan umatnya untuk melaksanakanpernikahan yang
bertujuan untuk membentuk keluarga bahagia, sejahtera dan kekal. Islam
sangat menyadari, bahwa dengan pernikahan manusia dapat meperoleh
ketentraman, kedamaian hidup serta kasih sayang yang mutlak yang
diperlukandalam kehidupan pribadi dan keluarga sebagaimana firman
Allah
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir
(Q.S.Aruum.21)
Oleh karena itu, dengan adanya pernikahan diharapkan terciptanya
rumah tangga bahagia, penuh cinta kasih, tolernsi, tenggang rasa, tentram
damai dan tenang untuk selama-lamanya. Ini menunjukan bahwa
kelanggengan kehidupan pernikahan merupakan suatu tujuan yang
dingikan oleh islam, pernikahan hendaknya dibina untuk selama-lamanya.
Agar suami istri dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung
menikmati naungan kasih sayang, sehingga anak dapat terpelihara
pertumbuhannya dengan baik.
Pengertian perkawinan menurut undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Tujuan pernikahan dalam islam bukan semata-semata untuk
kesenangan lahiriyah, melainkan juga untuk membentuk suatu lembaga
yang dengannya kaum pria dan wanita dapat memelihara diri dari
kesesatan dan tidakan tidak senonoh, melahirkan dan merawat anak untuk
melanjutkan keturunan manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang
wajar dan diperlukan untuk menciptakan kenyaman dan kebahagian.
Dari sisi sosiologis, sebagaimana menjadi kenyatan dalam
masyarakat indonesia, pernihakan juga dapat lihat sebagai fenomena
penyatuan dua kelompok keluarga besar. Bahwa pernikahan menjadi
sarana terbentuknya satu keluarga besar yang asalnya terdiri dari dua
kelompok yang tidak saling mengenal, yakni yang satu dari keluarga
suami dan yang satunya dari keluarga istri. Kedua keluarga yang tadinya
berdiri sendiri dan tidak saling mengenal ini kemudian menjadi satu
kesatuan yang utuh. Karena itu, dari sudut pandang sosiologis, pernikahan
yang semula perpaduan dua insan, daat pula menjadi sarana pemersatu dua
keluarga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyatu.
Fenomena yang terjadi dimasyarakat saat ini sangatlah beragam
diantara yaitu perkawinan beda agama yang saat ini kembali marak, hal ini
tidak saja dilakukan kalangan artis atau tokoh cendikiawan muslim
(Nurcholis Madjid) yang menikahkan putrinya dengan seorang yahudi.
Akan tetapi ini sudah meluas dalam masyarakat pada umumnya.
Fenomana semacam ini juga terjadi pada sebagian masyarakat di
salatiga. Hal ini terjadi karena beberapa persoalan yang ada dalam
masyarakat khususnya salatiga, diantara masyarakat tidak tahu hukum,
baik hukum islam maupun hukum positif. Sehingga hal ini menjadi angin
segar bagi pasangan yang selama ini terganjal dengan persoalan hukum
agama dan hukum positif dalam hubungan mereka.
Pada sisi lain, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan
dengan Intruksi Persiden Nomor 1 Tahun 1991, melarang seorang muslum
melakukan pernikahan beda agama. Larangan untuk pria muslim diatur
dalam pasal 40 huruf c KHI yang lengkap sebagai berikut:
dilarang melangsungkan perkawinan atara seorang pria dengan
seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan
dengan pria lain
b. Seorang wanita yang masih dalam masa iddah dengan pria lain
c. Seorang wanita yang tidak beragama islam
Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita mslimah
diatur dalam pasal 44 KHI: “seorang wanita dilarang melangsungka
perkawinan denga seorang pria yang tidak er agama islam.” Secara
normatif laranga bagi wanita muslimah ini tidak menjadi persoalan,
karena sejalan dengan ketentuan dalam Al-Qur’an yang disepakati
kalangan fuqoha.
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(Q.S.Al-
Baqarah.221)
Dalam pasal 4 KHI juga melarang perkawinan beda
agama.Menurut pasal tersebut perkawinan adaah sah, apabila dilakukan
menurut hukum islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Di dalam melaksanakan pernikahan beda agama ini para pasangan
harus mendapat izin dari pengadilan negeri karena pernikahan yang akan
mereka lakukan akan diproses didinas catatan sipil bukan di kantor urusan
agama.
Kedua calon tak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk dapat
dinikahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun jika pegawai
tersebut menolak, maka calon mempelai berhak meminta penetapan
kepada pengadilan dalam wilayah hukum pegawai pencatat perkawinan itu
berkedudukan dengan menyertakan surat keterangan penolakan tersebut.
Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan memutuskan dalam sidang cepat.
Fenomena perkawinan beda agama sangat menarik untuk dikaji,
karena dari segi perkawinannya saja tidak diperbolehkan di dalam islam.
Hal ini menjadi motifasi dan inspirasi yang kuat untuk penulis teliti yang
kemudian diberi judul: PERKAWINAN BEDAAGAMA (Studi
Penetapandi Pengadilan Negeri Salatiga Nomor: 36
/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.) yang selanjutnya akan ditulis dalam bentuk
skripsi.
B. Rumusan Masalah
Penulis mengambil rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagi berikut:
1. Apa yang menjadi pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam
mengabulkan permohonan pelaksanaan perkawinan beda agama
dalam perkara Nomor: 36 /Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.?
2. Bagaimana tinjauan hukum positif pasal 2(1) undang-undang
nomor 1 Tahun 1974 terhadap pertimbangan hakim dalam
mengabulkan permohanan pelaksanaan perkawinan beda agama
Nomor: 36 /Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memberi penjelasan tentang apa yang menjadi
pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam memberikan putusan
perkawinan beda agama di pengadilan negeri salatiga
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan pasal 2(1) undang-undang
nomor 1 Tahun 1974 terhadap pertimbanan hakim dalam
mengabulkan permohanan pelaksanaan perkawinan beda agama
Nomor: 36 /Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal
D. Manfaat Peneitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan
ilmu hukum perdata peda khususnya yang berkaitan dengan dasar
dan pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan
pelaksanaan perkawinan beda agama.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis, sebagai sarana pembelajaran serta menamba
wawasan didalam aplikasi ilmu yang diperoleh selama
menyelesaikan studi.
b. Bagi masyarakat, bagi masyarakat pada umumnya dan
pasangan beda agama yang ingin melangsungkan
perkawinan pada khususnya, yaitu sebagai bahan informasi
dan diharapkan dapat memberikan manfaat dan penjelasan
serta pengetahuan bagi masyarakat umumnya mengenai
pertimbangan hakim pengadilan negeri salatiga dalam
mengabulkan permohonan pelaksanaan perkawinan beda
agama.
c. Bagi Pengadilan Negeri, sebagai bahan pertimbangan bagi
pengadilan negeri mengingat terdapat banyak pasangan
beda agama mengalami kesulitan untuk melansungkan
perkawinan.
d. Bagi kampus, sebagai literatur yang bisa memberikan
gambaran dan penjelasan kepada civitas akademik dan
mahasiswa khususnya tentang dasar dan pertimbangan
dalam penetapan pengadilan untuk menyelesaikan perkara
perkawinan beda agama.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya salah penafsiran yang
berbeda dengan maksud utama penulis dalam memahami judul yang
penulis ajukan, maka perlu adanya penjelasan beberapa kata pokok yang
menjadi inti dalam penelitian.
Adapun yang perlu dijelaskan sebagai berikut:
1 Penetapan adalahsuatupenetapantertulis yang
dikeluarkanolehbadanataupejabattatausaha Negara yang
berisitindakanhukumtatausahanegara yang
berdasarkanperaturanperundang-undangan yang berlaku, yang
bersifatkonkrit, individual, dan final yang menimbulkanakibat
hokum bagiseseorangdanbadanhukumperdata.(pasal 1 angka 3 UU
No.5 Tahun 1986)
2 Studi adalah penelitian ilmiah, kajian pendekatan untuk meneliti
gejala sosial dengan menganalisa suatu kasus mendalam dan utuh
(fajri dkk,:859).
3 Pengadilan Negeri salatiga adalah salah satu lembaga kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan di tingkat I kota Salatiga.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan
oleh peneliti sebelunya,diantara peneliti-peneliti tersebut adalah penelitian
yang dilakukan oleh Azza Faiq Hamam yang berjudul Fasilitasi
Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap
Percik Salatiga). Penelitian tersebut menjelaskan tentang mekanismen
perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh lembaga percik salatiga dan
alasan mengapa lembanga tersebut memfasilitasi perkawinan beda agama
dalam hal ini lembaga percik juag menjadi mediator yang menhubungkan
dengan tokoh agama, lembaga dan instansi terkait (Hamam,2013).
Skripsi Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama
Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda
agama. Menurut fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi
memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang
dianut oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai umat islam
hanyalah “baju” dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang
terkandung di dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan oleh
karena itu setiap agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan
nikah beda agama (fuadi,2006).
Skripsi Auwenda Fuazi yang berjudul Perkawinan Campuran
Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam
Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok
pemikiran Imam Syafi’i tentang perkainan campuran. Pertama,
perkawinan antara perempuan muslim dan laki-laki bukan muslim adalah
haram hukumnya. Kedua, laki-laki muslim daiharamkan mengawini
perempuan bukan muslim (Fuazi,2004).
Adapun penelitian selanjutnya adalah skripsi Sri Nikmah yang
berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan
Perundang-undangan di Indonesia. Penelitian tersebut menjelaskan
mengenai kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di
Kelurahan Bugel Salatiga.
Adapun penelitian ini adalah tetang Penetapan Hakim dalam
Mengabulkan Perkawinan beda agama kepada para pasangan yang ingin
melakukan perkawinan beda agama.
G. Metode penelitian
Dalam suatu penelitian diperlukan suatu data yang dapat
menunjang penyelesaian penelitian itu sendiri, sehingga dapat
memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan, oleh karena itu diperlukan suatu metode tertentu.
Metode adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi, oleh karena itu suatu penelitian bertujuan untuk memngungkap
kebenaran secara sistematis, metodologis, konsisiten dengan mengadakan
analisis dan konstruksi ( Soejono Soekanto dan Sri mamudji,:1990).
Maka metode penelitian adalah cara yang teratur dan berfikir
secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan
untuk menemukan, mengembangkan dan guna menguji kebenaran maupun
ketidakbenaran dari suatu penetahuan, gejala atau hipoteses. Adapun
metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Peneltian ini mendasarkan pada penelitian hukum normatif
(yuridis normatif). Penelitian hukum normatif (yuridis normatif)
ialah metode penelitian hukum yang dilakuan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder. Dalam penelitian ini yang akan
dicari terkait dengan masalah perkawinan beda agama.
b. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah peneitian kualitatif yang secara
umum bersifat diskriptif ini dimaksudkan untuk mendapatkan
gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data secermat
mungkin tentang objek yang diteliti. Dalam hal ini untuk
menggambarka semua hal yang berkaitan tentang perkawinan
beda agama di Pengadilan Negeri Salatiga
2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Salatiga JL.
Veteran No.4 Salatiga peneliti memilih lokasi tersebut karena
Pengadilan Negeri Salatiga masih menerima, memproses dan
menetapkan permohonan izin perkawinan beda agama.
3 Sumber Data
Secara umum, maka di dalam penelitian biasanya dibedakan antara
data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan
pustaka. Yang diperoleh dari masyarakat dinamakan data primer,
sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya
dinamakan data sekunder (Soekanto,1986 : 51).
Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder.
a. Data primer
Adalah sejumlah keteranagn atau fakta yang diperoleh secara
langsung dengan melakukan wawancara pada ketua Pengadilan
Negeri Salatiga, hakim, panitera, dan penetapan pelaksanaan
perkawinan beda agama.
b. Data sekunder
Adalah sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara
tidak langsung, tetapi melalui penelitian kepustakaan.
1) Bahan hukum primer
Yaitu norma atau kaidah dasar, peraturan perundang-
undangan. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum primer
adalah:
a) Undang-undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974
b) Peraturan Pemerintah nomor 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan undang-undang nomor 1 Tahun 1974
c) Undang-undang nomor 23 Tahun 2006 tentang
Atministrasi kependudukan
2) Bahan hukum sekunder
Yaitu hasil karya dari kalangan hukum,hasil-hasil
penelitian, artikel, koran, dan internet serta bahan lain yang
berkaitan dengan pokok bahasan.
3) Bahan hukum tersier atau penunjang
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedia,
indeks kumulatif dan sebagainya ( soekanto,2001 : 52).
4 Prosedur pengumpulan data
Pengumpulan data dalam suatu peneitianmerupakan hal yang
sangat pentinag dalam penulisan. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Data primer
Untuk mendapatkan data primer dilakukan wawancara
kepada hakim Pengadilan Negeri Salatiga. Wawancara yang
dilakukan secara terpimpin, terarah dan mendalam sesuai dengan
hal-hal tersebut terkait dengan hukum pemutusan perkara
penetapan permohonan pelaksanaan perkawinan beda agama di
Pengadilan Negeri Salatiga.
b.Data Sekunder
Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan penelitian
atau kepustakaan atau library research guna memperoleh bahan-
bahan hukum.
c. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan
pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki (Al-Uhtar,
2000:79). Kegiatan ini diartikan sebagai pengamatan dan
pencatatan terhadap informasi yang didapat selama melakukan
penelitian. Observasi penelitian ini dilakukan dikantor pengadilan
negeri salatiga baik diluar maupun didalam proses persidangan.
a. Dokumentasi
Dakumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal yang
variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Al-Uhtar,
2000:236). Dokumentasi adalah data yang berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, agend dan sebagainya. Dokumentasi
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah salinan penetapan
permohonan pelaksanaan perkawinan beda agama.
5 Analisis Data
Yang dimaksud analisis data yaitu suatu cara yang dipakai untuk
menganalisi, mepelajari serta mengelola kelompok data tertentu,
hingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkret tentang
permasalahan yang diteliti dan dibahas. Dalam penelitian ini penyusun
menggunakan analisis data deduktif yaitu cara memberi alasan dengan
berfikir dan bertolak dari pernyataan yang bersifat umum kemudian
ditarik pada persoalan yang berkaitan dengan penelitian. Metode ini
digunakan dalam rangka mengetahui bagaimana penetapan kaidah-
kaidah normatif dan yuridis dalam perkara permohonan perkawinan
beda agama.
H. Sistematika penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang
lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah
sistematika penulisan skripsi. Skripsi ini secara garis besar terdiri dari
tigabagian: bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir.
Pada bagian awal skripsi berisi tentang: sampul, lembar berlogo,
judul, persetujuan pembimbing, pengesahan kelulusan, pernyataan
keaslian tulisan, moto dan persembahan, kata pengatar, abstrak, daftar isi,
daftar gambar dan daftar lampiran.
Bagian inti skripsi ini menguraikan lima bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, Pada bab ini berisi uraian latar belakang
masalah, rumusan maslah, manfaat penelitian, penegasan istilah, tinjauan
pustaka, metode penelitian, serta sitematika penulisan pada sekripsi.
Bab II Kajian Pustaka Bab ini berisitentang kajian umum
perkawinan yang terdiri dari pengertian perkawinan yang dilihat dari segi
perundang-undangan maupun agama yang diakui di indonesia, perkawinan
beda agama ditinjau dari sudut pandang agama yang diakui di indonesia,
perkawinan beda agama ditinjau dari perundangan yangberlaku di
Indonesia yaituUndang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Bab III Hasil Penelitian. Pada bab ini menjelaskan tentang
gambaran umum pengadilan negeri salatiga yang meliputi sejarang
pengadilan negeri, kewenangan pengadilan negeri salatiga dalam
menangani perkawinan beda agama ( kewenangan absolut dan
kewenangan relatif), struktur organisasi pengadilan negeri salatiga,
administrasi perkara pengadilan negeri salatiga prosedur dan proses
penanganan perkawinan beda agama di pengadilan negeri salatiga dan
hasil putusan sidang permohonan perkawinan beda agama di pengadilan
negeri salatiga.
Bab IV analisis data yang membahas mengenai dasar dan
pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonanpelaksanaan
perkawinan beda agama dalam penetapan hakim pengadilan negeri
Nomor:36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal. serta mendekripsikan pasal 2 (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terhadap pertimbangan hakim
dalam perkara Nomor:36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal. dalam mengabulkan
permohonan izin perkawinan beda agama.
Bab V penutup, Bab ini berisikan kesimpulan dari keseluruhan
pembahasan yang telah dipaparkan dan dilengkapi dengan saran-saran
yang dapat dikontribusikan penulis dalam menyikapi permasalahan yang
ada.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Umum Tentang Perkawinan
1. Pengertian perkawinan
Berdasarkan ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 bahwa pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan menurut Kompilasi Hukun Islam dalam Pasal
2 adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan adalah suatu pernikahan yang
merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah
dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.
Perkawinan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku
pada semua maklukNya, baik kepada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT
sebgai jalan bagi makluk-Nya untuk berkembang biak, dan
melestarikan hidupnya (Tihami dan Sohari.2009:6)
Perkawinan menurut fikih adalah penikahan. Secara bahasa
pernikahan ialah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna
nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqda al-tazwij yang artinya akad
(Tihami dan Sohari.2009:7). Makna nikah adalah akad atau ikatan,
karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan kabul. Selain
itu nikah juga dapat diartikan sebagai bersetubuh (Assegaf, 2005:131).
Firman Allah
Artinya: Dan segala sesuatu kami jadikan berjodoh-jodohan,
agar kamu sekalia mau berfikir(Q.S Adz-Dzaariyaat)
Definisi atau pengertian perkawinan dalam pasal 1 undang-
undang perkawinan dapat dimengerti bahwa dengan melakukan
perkawinan pada masing-masing pihak telak terkandung maksud
untuk hidup bersama secara abadi, dengan memenuhi hak-hak dan
kewajiban yang ditetapkan oleh negara, untuk mencapai keluarga
bahagia (Rusli dan R. Tama:2000:11)
Ikatan perkawinana hanya boleh terjadi antara seorang pria
dengan seorang wanita sehinggatidak dimungkinkan terjadinya
hubungan perkawinan antara pasangan yang sama jenis kelaminnya.
Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita bisa dipandang
sebagai suami istri manakala ikatan mereka tersebut didasarkan pada
perkawnan yang sah.sebuah perkawinan dapat dikatakan sah
dipenuhinya syarat-syarat tertentu sesuai dengan apa yang telah
ditentukan oleh undang-undang.
2. Konsep perkawinan menurut Agama
a. Meninggikan Harkat dan Martabat Manusia.
Lihatlah bagaimana kehidupan manusia yang secara bebas
mengumbar nafsu biologisnya tanpa melalui bingkai halal sebuah
pernikahan, maka martabat dan harga diri mereka sama liarnya
dengan nafsu yang tidak bisa mereka jinakkan. Menikah
menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang
menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara
jelas akan berbeda dengan binatang apabila ia mampu menjaga
hawa nafsunya melalui pernikahan.
b. Memuliakan Kaum Wanita.
Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada
kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah
dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah
dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan
sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya.
c. Cara Untuk Melanjutkan Keturunan
Salah satu tujuan menikah adalah meneruskan keturunan.
Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan
yang shaleh pula. Dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta
sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi
terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai
cikal bakal kebangkitan Islam di masa mendatang.
d. Wujud Kecintaan Allah SWT.
Inilah bukti kecintaan Allah terhadap mahkluk-Nya. Dia
memberikan cara kepada mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi
kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di dalam wujud
kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan
hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah
menjadikan mahkluk-Nya berpasang-pasangan dan ditumbuhkan
padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang.
3. Konsep Perkawinan Menurut Hukum
a. "Perkawinan adalah ikatan bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa".
b. Untuk laki-laki minimal sudah berusia 19 tahun, dan untuk
perempuan harus sudah berusia minimal 16 tahun
c. Jika menikah dibawah usia 21 tahun harus disertai dengan ijin
kedua atau salah satu orangtua atau yang ditunjuk sebagai wali.
4. Tujuan Perkawinan
Tujuan dari perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 Pasal 1 disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal
perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas,
tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu
ketenangan (sakinah) dalam hubungan rumahtangga dengan dasar
agama.
Perkawinan adalah merupakan tujuan syariat yang dibawa oleh
Rasulullah Saw, yaitu penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan
duniawi dan ukhrowi (Tihami & sohari sahrani. 2010:15)
Dalam kaitan tersebut Allah berfirman dalam surat Ar-Ruum
ayat 21:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir
Sedangkan tujuan perkawinan menurut Hukum masing-masing
Agama adalah: (Hadikusuma, 2007).
a. Menurut Hukum Agama Islam adalah untuk menegakkan agama
Allah, mendapatkan keturunan yang sah dalam masyarakat,
mencegah maksiat dan untuk membina keluarga (rumah tangga)
yang teratur dan damai dengan mentaati perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
b. Menurut Agama Kristen Protestan adalah untuk membentuk suatu
persekutuan hidup yang berkah antara pria dan wanita
berdasarkan cinta kasih.
c. Hukum Agama Kristen Katolik adalah untuk melahirkan anak dan
mendidik anak serta saling tolong-menolong antara suami-isteri
dan obat nafsu.
d. Menurut agama hindu adalah untuk mendapat keturunan dan
untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang
putra (anak pria)
e. Menurut agama budha adalah untuk membentuk suatu keluarga
(rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Shang Yang Adi
Bhuda atau Tuhan Yang Maha Esa, para Bhuda dan Bodhisatwa-
Mahatsatwa.
5. Sahnya Perkawinan
Menurut pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan No 1
Tahun 1974 “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Penjelasan pasal 2 ayat (1) itu menjelaskan bahwa dengan perumusan
pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agamanya dan kecercayaannya itu sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945. Yang dimaksud bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan
lain dalam Undang-Undang ini.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
No 1 Tahun 1974 kita melihat bahwa Undang-Undang Perkawinan ini
menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan
kepercayaan masing-masing pemeluknya, ini berarti syarat-syarat
perkawinan itu sendiri mestinya juga harus didasarkan kepada syarat-
syarat perkawinan sebagai yang diatur menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu.
6. Syarat-syarat perkawinan
Dalam Undang-Undang perkawinan No.1 Tahun 1974 syarat
perkawinan dijelaskan pasal 6 yang berbunyi sebgaia berikut:
1) Perkawian harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai
2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum
berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya. Maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cuup
memperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mempu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
Adapun dalam Islam syarat lain yang harus ada dalam
pernikahan adalah rukun nikah yaitu:
1. Mempelai laki-laki
2. Mempelai perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Ijab kabul
Abdul Hamid Hakim mendifinisikan rukun sebagai sesuatu
yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh mukadalam wudhu’ dan takbiratul ihram untuk
shalat, atau adanya calon pengantin laki-laki dn perempuan dalam
perkawinan (Ghazaly,2006:46).
7. Pencatatan perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
terdapat pada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi : Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Sedangkan bagi yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu,
pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).
Pasal 2 ayat 2 PP 9/1975 : Pencatatan perkawinan dari mereka
yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana
dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan.
Pasal 2 ayat 3 PP 9/1975 : dengan tidak mengurangi ketentuan-
ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan perkawinana
berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku. tatacara pencatatan
perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Admisduk
(1)Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada
Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan
serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai
pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melansungkan perkawinan dengancara
menempel surat pengumuman disuatu tempat ayang sudah ditentukan
dan mudah dibaca oleh umum.
Apabila dilihat dari sudut keperdataan saja, pendaftaran dan
pencatatan perkawinan, perkawinan tersebut sah apabila telah
didaftarkan dan dicatatkan pada Kantor Urusan Agama atau Kantor
Catatan Sipil, sebaliknya bagi perkawinan yang belum didaftarkan
dan dicatatkan maka masih dianggap belum sah menurut ketentuan
hukum, sekalipun menurut ketentuan agama telah memenuhi
prosedur dan tata cara agama.
B. Perkawina Beda Agama MenurutAgamaDi Indonesia
1. Menurut agama islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, melarang seorang muslim
melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria muslim
diatur di dalam pasal 40 huruf c KHI yang lengkapnya sebagai
berikut:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. Karena wanita yang bersangkutan basih terikat satu
perkawinan dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam mas iddah dengan
pria lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam”.
Larangan untuk wanita muslimah diatur dalam pasal 44 KHI
yaitu: “seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Adapun larang menikah untuk laki-laki muslim dengan wanita
non-muslim dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah.221
Artinya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Kemudian larangan menikah wanita muslimah dengan laki-
laki non-muslim dijelaskan dalam surat Al-Mumtahanah:10
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar
yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara
kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tentang hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
عنْ أبِيْ هُزَيْزَةَ رَضِيَ الُله عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلّى الُله عَلَيْهِ وَسَلّمْ قَالَ:
لدِّيْنِا تُنْكَحُ المَزْ أةُ لِأَ رْبَعٍ: لمِالِهَا, وَلِحَسَبِهَا, وَلِجَمَالِهَا, وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَزْ بِذَاتِ
تَزِبَتْ يَدَاكْ
Artinya: Dari Abu Hurairah rhadiyallahu anhu dari Nabi Muhammad
SAW, beliau berkata:Wanita dinikahi karena empat hal, karena
hartanya, nasabnya, kecantikannya, & karena agamanya & pilihlah
karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." (HR. Bukhari dari
shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu)
Dari hadis diatas menjelaskan bahwa agama merupakan faktor
utama yang harus dipertimbangkan dalam memilih pasangan hidup
atau perkawinan
Dalam Penetapan fatwa MUI tentang perkawinan beda gama
Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 juga menyatakan perkawinan
beda Agama adalah kharam dan tidak sah
2. Menurut agama kristen dan katolik
Perkawinan menurut agama kristen dan katolik adalah secara
doktriner, dan untuk ini diambil dari 2 (dua) bahan, yaitu kitab
perjanjian lama dan kitab perjanjian baru.
Dalam perjanjian lama perkawinan diartikan sebagai gambaran
dan tiruan dari bimbingan Tuhan. Suami istri dibangkit menampakkan
menghadiahkan cinta kasih Tuhan dalam hudup cinta mereka.
Dalam perjanjian baru perkawinan seorang kristen diartikan
sebagai suatu ikatan cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan,
melahirkan dan mewujudkan hubungan cinta kristus dengan
gerejanya.
Menurut agama katolik, bahwa perkawinan adalah suatu
Sakramen, yang merupakan persetujuan antara sesorang laki-laki
dengan seorang wanita untuk saling mengikatkan diri sampai salah
seorang dari mereka meninggal dunia dan hanya pada seorang itu saja,
untuk memperoleh keturunan(R. Tama dan Rusli.1984:25).
Menurut agama kristen (bukan katolik) pernikahan itu adalah
atas perintah Allah yang menjadikan langi dan bumi dan yang telah
menjadikan manusia laki-laki dan perempuan. Dalm hal ini
umpamanya diterangkan dalam kitab kejadian 218 dan juga ayat 21
samapai 24 yang menyatakan: tiada sebaik manusia itu seorang-
orangnya bahwa aku hendak membuat akan pria seorang penolong
yang sejodoh dengan dia.
Yesus sendiri yang menyatakan dirinya mempelai jemaatnya
yang menghadiri telah menjunjung tinggi pernikahan dan teah
menunjukkan dengan karunianya bahwa senantiasa dia akan
menolong orang yang menikah dan jugapun manakala mereka tiada
didalam nikah, bahwa Allah memberikan kepada manusia suatu tugas
yang harus diterima dengan perasaan tanggungjawab yaitu
membentuk keluarga.(Arson sosroatmodjo dan A.wasit
Aulawi,1975:31)
3. Menurut Agama Hindu
Dalam agama Hindu, perkawinan bersifat religious dan
obligatoir karena diakaitkan dengan kewajiban seseorang untuk
mempunyai keturunan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan
menurunkan seorang putra. Perkawinan menurut Hindu hakikatnya
adalah sacral dan hanya sah dilakukan menurut agamatersebut. Hal ini
berarti agam Hindu melarang umatnya melakukan perkawinan antar
agama.
4. Menurut agama budha
Penjelasan mengenai perkawinan menurut budha diambil dari
kita “Tripittaka” buku ini yang mengupas perkawinan secara tegas,
dan isi pokokdari buku ini adalah disekitar masalah “ etika dan
filsafat”. Budhisme di Indonesia adalah sangat fleksible karena selalu
mengadaptir adat-adat yang hidup dalam masyarakat(Arson
sosroatmodjo dan A.wasit Aulawi,1975:30).
Jika terjadi perkawinan beda agama yang salah satunya
penganut agama Budha, maka yang terpenting adalah adanya
kesepakatan dan persetujuan dari masing-masing keluarga karena
biksu hanya memberkati dan yang meresmikan perkawinan tersebut
adalah keluarga masing-masing yang diwakilkan kepada seorang
dharmaduta (orang yang diangkat oleh biksu untuk meresmikan
perkawinan)
C. Perkawianan Beda Agama dalam Hukum di Indonesia
1. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di
Indonesia pernah ada suatu peraturan hukum antar golongan yang
mengatur masalah perkawinan campuran. Peraturan yang dimaksud
adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken
(GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana
dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158 (Asmin.1986:68).
Pada Pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang
di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”.
Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk
perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok
yang berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan
campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR;
kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap
bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak
termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian
“setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya
perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan
perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.
Hal itu penting bagi kita, karena dari uraian di atas dapat
dikatakan bahwa sebelum berlakunya UU No.1/1974 telah ada suatu
ketentuan perundang-undangan yang dapat memecahkan persoalan
yang timbul dari adanya perkawinanantar agama. Peraturan
perundang-undangan itu ialah peraturan tentang perkawinan campuran
(GHR) sebagai dimaksud di atas. Dengan begitu pasangan yang akan
melangsungkan perkawinan antar agama boeh merasa terlindung dan
terjamin kepastia hukum daripada perkawinan mereka dalam arti
bahwa, walaupun menurut hukum agama mereka masing-masing
dianggap tidak sah, setidaknya diakui adanya oleh hukum Negara.
Keadaan mana sangat berpengaruh terhadap ketentraman jiwa kedua
pihak.
2. Setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Berbeda dengan hukum perkawinan sebelumnya yang
menganut konsepsi hukum perkawinan perdata, Undang-Undang
Tahun 1974 justru memberikan peranan yang sangat menentukan sah
atau tidaknya suatu perkawinan kepada hukum agama dan
kepercayaan masing-masing calon mempelai.
Pasal 2 ayat (1) menentukan: ”perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Ketentuan yang sudah jelas ini lebih diperjelas
lagi oleh ketentuan di dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang
Nomor 1 Tahun 1974 : ”dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini,
tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kecercayaannya. Dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah
memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan
(bagi umat Islam) dan pendeta atau pastur (bagi Umat Kristen) telah
melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan
tersebut adalah sah terutama di mata agamanya dan kepercayaannya.
Perkawinan beda agama, tidak diatur secara tegas dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya
masalah perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 maka tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya
pelaksanaan perkawinan beda agama.
Sebagai pedoman untuk mengetahui kejelasan permasalahan
perkawinan beda agama seperti tersebut diatas, dengan melihat pasal-
pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu Pasal 2 ayat
(1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya, hal
ini mengisyaratkan bahwa undang-undang menyerahkan kepada
masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat
pelaksanaan perkawinan tersebut (disamping cara-cara dan syarat-
syarat yang telah ditetapkan oleh negara), jadi suatu perkawinan
dilarang atau tidak, atau apakah calon mempelai telah memenuhi
syarat-syarat atau belum, disamping tergantung kepada ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
3. Putusn Mahkamah Agaung Reg.No.1400K/Pdt/1986
Dari putusan Mahkamah Agung tentang perkawinan beda
agama sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan
pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak
secara tegas dinyatakan dalam UU No. 1/1974.Putusan Mahkamah
Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai
yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan
beda agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu
dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam proses
perkawinan beda agama maka permohonan untuk melangsungkan
perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor Catatan Sipil.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam UU No.
1/1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama,
Mahkamah Agung dalam yurisprudensinya tanggal 20Januari 1989
Nomor: 1400 K/Pdt/1986, memberikan solusi hukum bagi perkawinan
antar agama adalah bahwa perkawinan beda agama dapat diterima
permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi
yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua calon
suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima permohonan
perkawinan.
BAB III
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Tentang Pengadilan Negeri Salatiga
1. Sejarah Pengadilan Negeri Salatiga
Pengadilan Negeri salatiga dibentuk pada abad ke-19 yaitu
pada tahun 1896 berupa landraad untuk keperluan warga negara asing
dan belanda. Pemerintah daerah pada masa itu berupa kabupaten
semarang dan kawedanan salatiga yang berpusat disalatiga berbentuk
Gamanto yang pada perubahanya setelah kemerdekaan menjadi Kota
Praja dan gini berbentuk Kota Madya.
Pada waktu berbentuk landraad, hakim-hakim disalatiga terdiri
atas tokoh ahli hukum pada jaman itu yaitu:
a. Mr. Whirmink g. Mr. Rykee
b. Mr. Camalis h. Mr. Cayauk
c. Mr. Peter i. Mr.Dr. Gondo Koesoemo
d. Mr.Terhaar j. Mr. Shoot
e. Mr. Lekkerkarkar k. Mr. Wiednar
f. Mr. Sebealer l. Mr.R. Soeprapto
Pada waktu pendudukan jepang (Tihoo-Ho-in):
a. Mr.Lio Oen Hok
b. P. Salamoon
Pada zaman renovasi kemerdekaan ketua pengadilan negeri
salatiga adalah:
a. Mr. Trank
b. Mr. Kresno
Setelah indonesa merdeka, yang pernah menjabat ketua
pengadilan negeri saltiga adalah:
a. Mr. Soebiyono j. Agus Air Guliga, SH
b. Mr. Weoryanto k. Sarwono Soekardi, SH
c. Soehono Soedjo, SH I. Sabirin Janah, SH
d. Soenarso, SH m. Suhartatik, SH
e. Ahmadi, SH n. Tewer Nusa Steven, SH
f. Imam Soetikno, SH o. Winaryo, SH. MH
g. H.Mohammad Hatta, SH p. Djautan Purba, SH
h. Soetopo, SH q. Antonius Widijantono, SH
i. Erwin Tumpak Pasaribu, SH.MH
Dalam perkembangannya, wilayah daerah pemerintah
mengalami perubahan, demikian juga daerah hukum pengadilan
negeri salatiga. Untuk mengatur wilayah kabupaten semarang yang
begitu luas, pada tahun 1963 pengadilan negeri salatiga terpecah
menjadi;
a. Pengadilan negeri salataiga dengan wilayah hukum kabupaten
semarang bagian selatan dan kotamadya salatiga.
b. Pengadilan negeri ambarawa dengan wilayah hukum kabupaten
semarang bagian utara.
Setelah pengadilan negeri kecamatan ungaran diresmikan,
wilayah pengadilan negeri salatiga yang tadinya meliputi kabupaten
semarang bagian selatan, maka wilayah hukum pengadilan negeri
salatiga tinggal 1(satu) kecamatan terdiri dari 9(sembilan) kelurahan.
Dalam perkembanganya saat ini, wilayah hukum pengadilan
negeri salatiga yang sekarang berkantor di JL.Veteran No.4 Salatiga
meliputi 4 (empat) kecamatan yaitu Kecamatan Sidomukti,
Kecamatan Tingkir, Kecamatan Argomulyo dan Kecamatan Sidorejo
yang semua terdiri dari 20 (dua puluh dua) kelurahan.
2. Kewenangan Pengadilan Negeri Salatiga
a. Kewenangan Relatif
Pengertian kewenangan relatif adalah suatu wewenang
untuk mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara
pengadilan yang sama, dengan kata lain, pengadilan negeri yang
dimana berwenang untuk mengadili suatu perkara diwilayah
hukum pengadilan tersebut.
Pengadilan negeri salatiga berwenang menangani
persoalan-persoalan hukum umum yang terjadi diwilayahnya.
Wilayah yang menjadi kewenangan penagdilan negeri salatiga
meliputi 4 (empat) kecamatan yang terdiri dari 20 (dua puluh)
kelurahan yaitu:
No Kecamatan Kelurahan
1. Argomolyo Noborejo
Cebongan
Randuacer
Tegalrejo
Kupulrejo
2. Tingkir Tingkir Tengah
Tingkir Lor
Kalibening
Sidorejo Kidul
Kotowinangun
Gendongan
3. Sidomukti Kecandran
Dukuh
Mangunsari
Kalicacing
4. Sidorejo Pulutan
Blotongan
Sidorejo Lor
Bugel
Kauman Kidul
b. Kewenangan Mutlak
Pengadilan Negeri Salatiga berwenang mutlak menangani
perkara perdata dan pidana yang antara lain berupa:
1) Gugatan
Berkaitan dengan masalah-masalah perkawinan non-
islam
Kewarisan non-islam
Hibah non-islam
Sengketa dalam perjanjian
2) Permohonan
Seperti contoh: perubahan nama, tempat lahir,
pengangkatan anak bagi warga non-muslim, permohonan
izin pelaksanaan nikah beda agama dan lain-lain.
3) Somasi
Menerima upaya hukum verset dan PK
3. Struktur Organisasi Pengadilan Negeri Salatiga
a. Struktur Pengadilan Negeri Salatiga
b. Daftar Hakim Pengadilan Negeri Salatiga Tahun 2013
No Nama Jabatan
1. Lukman Bachmid, SH Ketua
2. Fx. Hanung duwi wibowo, SH, MH Wakil
ketua
Wakil ketua
Penitera/ sekretaris
Kelompok Fungsional 1. Panitera Pengganti 2. Jurusita
Wakil sekretaris Wakil penitera
Sub Kepaniteraan
perdata
Panitera Muda
Urusan Umum
Sub Kepaniteraan
Pidana
Panitera Muda
Sub Panitera Hukum
Urusan Keuangan
Panitera Muda
Urusan Kepegawaian
3. Adhi Satrija Nugroho, SH Hakim
4. Prasetio. N, SH, M.Kn Hakim
5. Wuryanti, SH Hakim
6. R. Roro Andy Nurvita, SH Hakim
7. Novita Arie DR.SH, SP,Not Hakim
8. Imam Santosa, SH.,MH Hakim
9. Sri Indah Rahmawati, SH Hakim
10. Prasetio Utomo, SH Hakim
c. Pejabat Struktural Pengadilan Negeri Salatiga
No Nama Jabatan
1. Tris Hariyadi, SH Panitera/Skretaris
2. Susi Handayani, W, SH Wakil Skretaris
3. Endang Wurdiati Pan. Mud. Hukum
4. Ahmad Raffiek Arief, SH Pan. Mud. Pidana
5. S.ER. Riyadi, SH Pan. Mud. Perdata
6. Catur Priyo Kucoro Ka.Ur.
Kepegawaian
7. Ivan Rexy Alfian Tulandi Ka. Ur.Umum
8. Ari Saputro, S.Kom Ka. Ur. Keuangan
4. Administrasi Berperkara di Pengadilan Negeri Salatiga
a. Surat gugatan yang masuk kepanitera diterima panetera muda
perdata (Meja I)
b. Surat gugatan diperiksa kelengkapannya (subjek-subjek yang
berperkara)
c. Penggugat meperhitungkan perskot/panjar biaya perkara sesuai
penetapan pengadilan negeri
d. Penggugat membayar biaya melalui Bank BRI
e. Setelah mendapat kwitansi Bank, dengan kepengadilan negeri lagi
untuk menerakan nomor perkara di Meja II
f. Setelah ditanda tangani panitera muda perdata, penggugat
mendapat 1 (satu) kopian berkas
g. Berkas perkara dimasukkan dalam sebuah map khusus untuk
disampaikan kepada wakil panitera oleh panitera muda perdata
h. Wakil panitera selanjutnya menyampaikan kepada ketua
pengadilan negeri melalui panitera/sekretaris
i. Panitera/sekretaris melakkan regestrasi perkara melalui
Sub.Kepaniteraan perdata
j. Panitera/sekretaris menyerahkan kepada ketua pengadilan negeri
k. Ketua pengadilan negeri mepelajari berkas perkara, kemudian
menetapkan majelis hakim
l. Berkas dikembalikan kepanitera/sekretaris
m. Panitera/sekretaris memberikan kemajelis hakim yang ditunjuk
untuk menyidang perkara tersebut sekaligus menunjuk panitera
pengganti
n. Majelis hakim menentukan hari sidang dan menugaskan jurusita
untuk memanggil para pihak yang berperkara sekurang-kurangnya
3 hari patut/disesuaikan dengan keadaan.
5. Prosedur Pengajuan
a. Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditanda
tangani oleh pemohon atau kuasanya (advokad) yang sah
ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri Salatiga
b. Dalam hal pemohon tidak dapat baca dan tulis dapat mengajukan
permohonannya secara lisan dahadapan Ketua Pengadilan Negeri,
selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menyuruh mencatat
permohonan tersebut (biasanya panitera muda perdata).
c. Permohonan disampaikan kepada ketua pengadilan, kemudian
didaftarkan dalam buku regestri dan diberi nomor unit setelah
pemohon membayar perskot biaya perkara yang besarnya sudah
ditentukan oleh pengadilan.
d. Pengadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan
permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan.
B. Prosedur Pengajuan Perkawinan Beda Agama Di Pengadilan Negeri
Salatiga
1. Syarat-Syarat Pengajuan Perkawinan Beda Agama
a. Pemohon langsung mendaftarkan surat permohonan untuk
menikah bea agama kepada panitera pengadilan dan membayar
biaya perkara
b. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) para pemohon
c. Surat izin untuk menikah dari masing-masing orang tua pemohon
d. Surat keterangan untuk menikah dari Kantor catatan sipil peri hal
perkawinan beda agama
e. Kartu Keluarga para pemohon
f. Akta kelahiran para pemohon
g. Saksi minimal 2 orang dari para pemohon
2. Proses Pengajuan Permohonan Perkawinan Beda Agama
Pemohon mengajukan surat permohonan ijin pelaksanaan
perkawinan beda agama kepada ketua Penagdilan Negeri Salatiga,
kemudian surat permohonan diberi register oleh panitera, setelah itu
ditetapkan hari dan tanggal sidang. Jurusita memanggil pemohon dan
pada hari serta tanggal sidang dilaksanakan, setelah pemohon dan
saksi hadir sidang dibuka oleh hakim. Kemudian memeriksa segala
bukti dan saksi sekiranya pengajuan pemohon beralasan maka hakim
akan mengabulkan permohonan pemohon dan sidang ditutup.
3. Hasil Penetapan Nomor: 36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.
Hasil penetapan hakim pengadilan negeri salatiga dalam
perkara perkawinan beda agama nomor:36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal
adalah sebagai berikut:
Pengadilan Negeri Salatiga yang memeriksa dan mengadili
perkara permohonan pada pengadilan tingkat pertama, telah
menjatuhkan penetapan sebagai berikut dalam perkara permohonan
yang diajukan oleh:
a. Nama : Tuan X
Tempat/Tg. Lahir Umur :Kualasimpang / 10 Agustus 1980
(31 Tahun)
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Kristen
Alamat :Graha Asri Nanggulan No. 48 Rt.05
Rw.02 Kel. Sidorejo Kidul
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga
b. Nama : Nyonya Y
Tempat/Tg.lahir umur : Salatiga / 9 April 1983 (28 Tahun)
Pekerjaan : Dosen
Agama : Islam
Alamat :Jl. Seruni No. 674 Rt / Rw :
006/003, Kel. Sidorejo Lor Kec.
Sidorejo Kota Salatiga
Selanjutnya keduanya disebut
sebagai: PARA PEMOHON
Pengadilan negeri tersebut telah membaca surat permhonan
para pemohon dan surat-surat perkara bersangkutan,....
Telah mendengar keterangan para pemohon dimuka
persidangan,...
Telah mendengar keterangan saksi-saksi dan meperhatikan
surat-surat bukti yang diajukan dimuka persidangan
TENTANG DUDUK PERKARANYA
.....Menimbang, bahwa para pemohon dalam surat permohonannya
tertanggal 25 oktober 2011 yang telah terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 25 oktober 2011 dibawah
nomor:36/Pdt.P/2011/PN.Sal, telah mengemukakan hal-hal sebagai
berikut:
1. Bahwa pemohon layaknya isan beragama dalam tahap-tahap
kehidupan telah memulai proses alamiah dan perkembangan fisik
dan psikis yang normal dan telah berpacaran lebih kurang
9(sembilan) tahun sehingga terjadilah hubungan batin antara
pemohon, yangselanjutnya akan melanjutkannya pada jenjang
perkawinan
2. Bahwa pemohon (Zenferry Herico Tambunan) beragama Kristen
dan pemohon (Eryka Pandu Ekaliadewi) beragama Islam erdapat
perbedaan keyakinan (agama) namun demikian tidak menjadi
kendala bagi hubungan pemohon, terbukti bahwa kedua orang tua
pemohon memberi ijin serta restu bagi pemohon
3. Bahwa untuk dapat melaksanakan perkawinan yang berbeda
agama, pemohon memerlukan penetapan dari Pengadilan Negeri
sebagaimana surat penolakan yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga tanggal: 30
September 2011 Nomor:474.2/491/2011
4. Bahwa Pengadilan Negeri Salatiga berwenang mengeluarkan
penetapan tersebut
5. Bahwa sekarang ini pemohon sangat membutuhkan adanya
Penetapan dar Pengadilan Negeri Salatiga tentang ijin melakukan
perkawinan secara beda agama
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas pemohon mohon
kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Salatiga berkenan memeriksa
permohonan ini dan memberi putusan sebagai berikut:
1. Mengbulkan permohonan pemohon
2. Menetapkan para pemohon : Zenferry Herico Tambunan dan Erika
Pandu Ekaliadewi diberi ijin untuk melaksanakan perkawinan
dengan beda agama
3. Memerintahkan kepada Kepala Kantor Catatan Sipil Kota Salatiga,
agar mencatat / meresmikan pelaksanaan perkawinan tersebut
dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan dan menerbitkan
akta perkawinannya
4. Membebankan biaya yang timbul dalam permohonan ini kepada
pemohon
.....Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, para
pemohon datang menghadap sendiri dipersidangan
......Menimbang, bahwa atas pertanyaan hakim kepada pemohon
tentang bunyi surat permohonan yang telah dibacakan, para pemohon
menyatakan tetap pada permohonannya
......Menimbang, bahwa untuk menguatkan permohonan tersebut,
pemohon telah mengajukan bukti surat asli yaitu berupa:
1. Asli surat dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Salatiga Nomor:474.2/491/2011 perihal perkawinan beda agama
yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil Kota Salatiga
tertanggal 30 september 2011, yang selanjutnya diberi tanda P.1
2. Surat pernyataan ijin dari orang tua Eryka Pandu Ekaliadewi
untuk menikah secara beda agama, tertanggal 27 Oktober 2011,
yang selanjutnya diberi tanda P.2
3. Surat pernyataan ijin dari orang tua Zenferry Herico Tambunan
untuk menikah secara beda agama, tertanggal 27 Oktober 2011,
yang selanjutnya diberi tanda P.3
...... Menimbang, bahwa disamping bukti surat asli tersebut diatas,
pemohon mengajukan pula bukti-bukti surat berupa fotokopy sebagai
berikut:
1. Fotokopy kartu penduduk (KTP) Nomor: 120723100800016 atas
nama Zenferry Herico Tambunan yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga
tertanggal 19 Agustus 2011 selanjutnya diberi tanda P.4
2. Fotokopy kartu penduduk (KTP) Nomor:3373014904830002 atas
nama Eryka Pandu Ekaliadewi yang dikeluarkan oleh Camat
Sidorejo Kota Salatiga tanggal 07 juli 2009 selanjutnya diberi
tanda P.5
3. Fotocopy kartu keluarga Nomor: 3373021008110004 atas nama
kepala keluarga Zenferry Herico Tambunan yang dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Salatiga
tanggal 19 Agustus 2011 selanjutnya diberi tanda P.6
4. Fotocopy kartu keluarga Nomor: 3373010102080305 atas nama
kepala keluarga Sugeng Budiyanto, S.IP, MM yang dikeluarkan
oleh Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Salatiga tertanggal 07 Juli 2010 selanjutnya diberi tanda P.7
5. Fotocopy Kutipan Akta Kelahiran No. Dua ratus delapan puluh
sembilan atas nama Zenferry Herico Tambunan yang dikeluarkan
oleh Kepala Kantor Catatan Sipil Kab. Aceh Timur tanggal 05
Agustus 1988 selanjutnya diberi tandaP.8
6. Fotocopy surat keterangan untuk menikah atas nama Eryka Pandu
Ekaliadewi yangdikeluarkan oleh Pegawai Luar Biasa Catatan
Sipil Kotamadya Salatiga tanggal 06 Mei 1993, selanjutnya diberi
tanda P.9
7. Fotocopy surat keterangan untuk nikah No.472.2/66/IX/2011 atas
nama Zenferry Herico Tambunan yang dikeluarkan oleh Lurah
Sidorejo Kidul Kec. Tingkir Kota Salatiga tanggal 19 September
2011, selanjutnya diberi tanda P.10
8. Surat keterangan untu Nikah No.472.2/7/IX/2011 atas nama
Eryka Pandu Ekaliadewi yang dikeluarkan oleh Lurah Sidorejo
Lor Kec. Sidorejo Kota Salatiga tanggal 17 September 2011,
selanjutnya diberi tanda P.11
Surat-surat terbukti tersebut di atas bukti P.1 dan bukti P3 asli,
sedang surat-surat P.4 s/d P.11 fotocopy telah disesuaikan dengan
aslinya dan telah dibumbui materai secukupnya maka bukti P.1 s/d
P.11 dapat diterima sebagai alat bukti yang sah
......Menimbang, bahwa selain bukti-bukti surat tersebut diatas, para
pemohon (Zenferry Herico Tambunan dan Eryka Pandu Ekaliadewi)
dipersidangan juga mengajukan 4(empat) orang saksi yang
keterangannya didengar dibawah sumpah/ janji yaitu:
1. Retyma BR Purba (ayah kandung Zenferry Herico Tambunan)
2. Ramli Tambunan (ibu kandung Zenferry Herico Tambunan)
3. Sugeng Budiyanto, S.Ip.MM (ayah kandung Eryka Pandu
Ekaliadewi)
4. Asri Murwani (ibu kandung Eryka Pandu Ekaliadewi)
......Menimbang, bahwa saksi 1. Retyma BR Purba (ayah kandung
Zenferry Herico Tambunan) dan saksi 2. Ramli Tambunan (ibu
kandung Zenferry Herico Tambunan) mereka pada pokoknya
menerangkan masing-masing sebagai berikut:
Bahwa saksi kenanl dengan para pemohon (Zenferry Herico
Tambunan dan Eryka Pandu Ekaliadewi) karena saksi adalah
ayah dan ibu kandung Zenferry Tambunan
Bahwa Zenferry Herico Tambunan masih bujang atau lajang dan
belum pernah menikah
Bahwa Zenferry Herico Tambunan dan keluarga adalah pemeluk
agama kristen dan Eryka Pandu Ekaliadewi dan keluarga
besarnya adalah pemuluk agama islam
Bahwa antara Zenferry Herico Tambunan dan Eryka Pandu
Ekaliadewi telah terjadi hubungan cinta kasih sekitar 9(sembilan)
tahun
Bahwa Zenferry Herico Tambunan telah bekerja sebagai
karyawan swasta sedangkan Eryka Pandu Ekaliadewi masih
bersetatus mahasiswi
Bahwa para pemohon tersebut berencana secepatnya untuk
menikah
Bahwa saksi sebagai ayah dan ibu kandung dari Zenferry Herico
Tambunan tidak keberatan anaknya menikah di Kantor Catatan
Sipil Kota Salatiga secara beda gama
Bahwa masing-masing keluarga para pemohon juga tidak
mempermasalahkan tetang perkawiana beda agama tersebut
......Menimbang,bahwa saksi 3. Sugeng Budiyanto, S.Ip.MM (ayah
kandung Eryka Pandu Ekaliadewi) dan saksi 4. Asri Murwani (ibu
kandung Eryka Pandu Ekaliadewi) mereka pada pokoknya
menerangkan masing-masing sebagai berikut:
Bahwa saksi kenal dengan para pemohon karena saksi adalah
ayah dan ibu kandung dari pemohon (Eryka Pandu Ekaliadewi)
Bahwa keluarga Eryka Pandu Ekaliadewi adalah pemeluk agama
islam
Bahwa Eryka Pandu Ekaliadewi masih bujang atau lajang dan
belum pernah menikah
Bahwa Eryka Pandu Ekaliadewi dan keluarga adalah pemeluk
agama islam dan Zenferry Herico Tambunan dan keluarga
besarnya adalah pemeluk agama kristen
Bahwa antara Zenferry Herico Tambunan dan Eryka Pandu
Ekaliadewi telah terjadi hubungan cinta kasih sekitar 9(sembilan)
tahun
Bahwa para pemohon tersebut berencana secepatnya untuk
menikah
Bahwa saksi sebagai ayah dan ibu kandung dari Eryka Pandu
Ekaliadewi tidak keberatan anaknya menikah di Kantor Catatan
Sipil Kota Salatiga secara beda gama
Bahwa masing-masing keluarga para pemohon juga tidak
mempermasalahkan tetang perkawiana beda agama tersebut
......Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti surat dan keterangan
saksi-saksi, maka didapatlah fakta-fakta hukum sebagai berikut:
Bahwa Zenferry Herico Tambunan berumur kurang lebih 31
tahun dan Eryka Pandu Ekaliadewi berumur kurang lebih 30
tahun dimana Zenferry Herico Tambunan beragama kristen dan
Eryka Pandu Ekaliadewi beragama islam
Bahwa para pemohon tersebut telah terjalin cinta kasih yang
cukup lama yaitu kurang lebih 9(sembilan) tahun dan berencana
untuk segera menikah
Bahwa hubungan para pemohon tersebut sudah sepengetahuan
keluarga masing-masing sehingga keluarga menyetujui apabila
keduanya menikah walupun berbeda agama
Bahwa kedua orang tua para pemohon juga tidak keberatan
mereka kawin di Kantor Catatan Sipil secara beda agama
.......Menimbang, bahwa guna melangsungkan penikahan para
pemohon tersebut diperlukan Penetapan dari Pengadilan Negeri yang
memberi ijin kepada mereka untuk menikah
.......Menimbang, bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan tidak memuat satu ketentuan apapun yang
menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan istri
merupakan larangan terhadap perkawinan, yang mana selaras dengan
pasal 27 ayat(1) Undang Undang Dasar 1945 dengan amandemennya,
yang menegaskan bahwa semua warga Negara bersama
kedudukannya didalam hukum dimana tercakup pula mengenai
kesamaan Hak Asasi setiap warga negera untuk melakukan
perkawinan, sekalipun berbeda gama
.......Menimbang, bahwa kemudian jiwa dari pasal 29 UUD 1945
dengan amandemennya juga menjamin bagi setiap warga Negara
untuk memeluk agamanya masing-masing
.......Menimbang, bahwa sedangkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinn adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
mmbentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
.......Menimbang, bahwa dengan demikian menjadi jelas bagi kita
bahwa urusan melakukan perkawinan dan memeluk agama adalah
merupakan Hak Asasi setiap warga negara yang dijamin oleh Negara,
sementara dilain sisi perkawinan ini juga merupakan ikatan lahir
batin seorang pri dan wanita untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
........Menimbang, bahwa ikatan lahir batin sebagaimana dimaksud
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tiu
sudah pasti sulit dicapai atau diwujudkan bilamana kedua calon
mempelai tidak memiliki perasaan cinta kasih satu sama lain
.......Menimbang, bahwa dari bukti-bukti surat dan keterangan saksi-
saksi diketahui kedua orang pemohon tersebut sudah lama menjalin
hubungan kasih yaitu sekitar 9(sembilan) tahun dan sampai sekarang
saling mencintai serta berencana untuk segera melangsungkan
perkawinan, yang mana rencana tersebut sudah didukung pula oleh
keluarga masing-masing
.......Menimbang, bahwa sementara itu Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan ternyata tidak mengatur mengenai
perkawinan antara calon suami istri yang berlainan agama padahal
disisi lain perbedaan agama dari calon suami istri tidaklah merupakan
larangan perkawinan bagi mereka
.......Menimbang, bahwa selanjutnya sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 ada peraturan tentang perkawinan
campuran yaitu REGELING op de GEMENGDE
HUWELIJKEN,S.1898 Nomor: 158 yang disingkatdengan G.H.R
namun ketentuan tersebut pada dewasa ini sudah tidak dapat dipakai
karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang amat lebar
antara Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 dengan ordonansi
tersebut, dimana dalam G.H.R perkawinan hanya dipandang dalam
hubungan perdata saja, sedangkan Undang-Undang Nomor: 1 Tahun
1974 perkawinan adalah sah apabila dilaksanankan menurut hukum
agama dan kepercayaannya. Demikian pula persoalan perkawinan
yang diatur oleh Undang-Undang Hukum Perdta (BW) dan ordonansi
perkawinan Indonesia Kristen (Stb.1933 Nomor:74) juga mengatur
tentang hubungan keperdataan saja
......Menimbang, bahwa dengan demikian erjadi kekosongan hukum
tentang perkawinan beda agama, padahal kenyataan dan kebutuhan
sosial memerlukannya untuk segera terpecahkan sehngga masalahnya
tidak berlarut-larut yangpada gilirannya akan dapat menimbulkan
dampak Negatif dari segi kehidupan bermasyarakat, diantaranya
berupa penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama dan atau
hukum positif, oleh karenanya selaras dengan putusan Mahkamah
Agung RI Nomor:1400 K/Pdt / 1986, pengadilan negeri berpendapat
untuk permasalahan perkawinan beda agama haruslah dapat
ditemukan dan ditentukan hukumnya dengan mengingat perkawinan
itu adalah hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh negara,
apabila terbukti para pemohon sudah saling mencintai serta juga
didukung oleh keluarga masing-masing, sehingga berpeluang besar
untuk dapat membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Ynag Maha Esa, sebagaimana tujuan
perkawinan itu sendiri
......Menimbang, bahwa kemudian adanya bukti surat P.1 yaitu surat
keteranganKantor Catatan Sipil Kota Salatiga, haruslah didafsirkan
para pemohon berkehendakan unuk melangsungkan perkawinan tidak
secara islam dan harus pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan
permohonan ini para pemohon sudah tidak menghiraukan lagi status
hukum agamanya khususnya hukum perkawinan islam, sehingga
pasal 8 hurf F Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tidak lagi
merupakan halangan bagi mereka untuk melangsungkan perkawinan
dan dalam keadaan demikian, sudah seharusnya Kantor Catatan Sipil
Kota Salatiga sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk itu
agar melangsungkan perkawinan antara Zenferry Herico Tambunan
yang beragama kristen dan Eryka Pandu Ekaliadewi yang beragama
islam dimana mereka telah pula memenuhi syarat-syarat perkawinan
menurut Undang-Undang
......Menimbang, bahwa kemudian bukti surat P.2ternyata
kesemuanya juga mendukung permohonan dari para pemohon
tersebut
.......Menimbang, bahwa berdasrkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut diatas, pengadilan berpendapat bahwa permohonan para
pemohon tersebut sudah selayaknya dikabulkan
.......Menimbang, bahwa mengenai biaya perkara ini akan dibebankan
kepada para pemohon yang jumlahnya sebagaimana tercantum dalam
amar penetapan ini
.......Mengingat pasal 1, pasal 2 dan pasal 6 Undang-Undang Nomor:
1 Tahun 1974 dan pasal 10 Perturan Pemerintah Nomor: 9 tahun
1975 serta pasal-pasal yang lain dari peraturan Perundang-Undangan
yang bersangkutan dengan perkara ini:
MENETAPKAN
1. Mengabulkan permohonan para pemohon tersebut
2. Memberi ijin kepada para pemohon: Zenferry Herico Tambunan
dan Eryka Pandu Ekaliadewi untuk melaksanakan perkawinan
dengan beda agama
3. Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kota Salatiga agar supaya melangsungkan perkawinan
antara pemohon: Zenferry Herico Tambunan dan Eryka Pandu
Ekaliadewi setelah terpenuhi syarat-syarat perkawinan menurut
Undang-Undang dan kemudian mencatat perkawinan tersebut
dalm perkawinan tahun berjalan
4. Membebankan kepada para pemohon membayar biaya perkara
yang ditetapkan sebesar Rp 161.000,- (seratus enam puluh satu
ribu)
Demikianlah diputus pada hari Senin tanggal 07 Nopember
2011 oleh FX. Hanung Dwi Wibowo, SH.MH Hakim Pengadilan
Negeri Salatiga sebagai hakim yang memeriksa dan memutus perkara
ini, Penetapan mana pada hari itu juga diucapkan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum dengan dibantu oleh Winarto, SH. Panitera
Pengganti Pengadilan Negeri Salatiga dan dihadiri oleh para
pemohon tersebut.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Dasar Dan Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan Permohonan
Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama
1. Kasus Posisi
Pengadilan Negeri Salatiga yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara perdata tingkat telah menjatuhkan penetapan sebagi
berikut dalam perkara permohonan yang diajukan oleh:
c. Nama :Tuan X
Tempat/Tg. Lahir Umur :Kualasimpang / 10 Agustus 1980
(31 Tahun)
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Kristen
Alamat :Graha Asri Nanggulan No. 48 Rt.05
Rw.02 Kel. Sidorejo Kidul
Kecamatan Tingkir Kota Salatiga
d. Nama : Nyonya Y
Tempat/Tg.lahir umur : Salatiga / 9 April 1983 (28 Tahun)
Pekerjaan : Dosen
Agama : Islam
Alamat :Jl. Seruni No. 674 Rt / Rw :
006/003, Kel. Sidorejo Lor Kec.
Sidorejo Kota Salatiga
Selanjutnya keduanya disebut
sebagai: PEMOHON
Pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 25 Oktober
2011 pemohon mengajukan surat permohonanya ijin kawin kepada
Pengadilan Negeri Salatiga dan isi permohonannya adalah sebagai
berikut:
a. Bahwa pemohon layaknya isan beragama dalam tahap-tahap
kehidupan telah memulai proses alamiah dan perkembangan
fisik dan psikis yang normal dan telah berpacaran lebih kurang
9(sembilan) tahun sehingga terjadilah hubungan batin antara
pemohon, yangselanjutnya akan melanjutkannya pada jenjang
perkawinan
b. Bahwa pemohon (Tuan X) beragama Kristen dan pemohon
(Nyonya Y) beragama Islam erdapat perbedaan keyakinan
(agama) namun demikian tidak menjadi kendala bagi
hubungan pemohon, terbukti bahwa kedua orang tua pemohon
memberi ijin serta restu bagi pemohon
c. Bahwa untuk dapat melaksanakan perkawinan yang berbeda
agama, pemohon memerlukan penetapan dari Pengadilan
Negeri sebagaimana surat penolakan yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Salatiga tanggal: 30 September 2011 Nomor:474.2/491/2011
d. Bahwa Pengadilan Negeri Salatiga berwenang mengeluarkan
penetapan tersebut
e. Bahwa sekarang ini pemohon sangat membutuhkan adanya
Penetapan dar Pengadilan Negeri Salatiga tentang ijin
melakukan perkawinan secara beda agama
Berdasarkan alasan-alasan tersebut diatas pemohon mohon
kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Salatiga berkenan memeriksa
permohonan ini dan memberi putusan sebagai berikut:
a. Mengbulkan permohonan pemohon
b. Menetapkan para pemohon :Tuan X dan Nyonya Y diberi ijin
untuk melaksanakan perkawinan dengan beda agama
c. Memerintahkan kepada Kepala Kantor Catatan Sipil Kota
Salatiga, agar mencatat / meresmikan pelaksanaan perkawinan
tersebut dalam daftar perkawinan yang sedang berjalan dan
menerbitkan akta perkawinannya
d. Membebankan biaya yang timbul dalam permohonan ini
kepada pemohon
2. Dasar Hakim Dalam Perkara Nomor : 36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.
Dalam memutus sebuah perkara, hakim harus memiliki dasar
yang kuat agar keputusannya dapat dipertanggungjawabkan. Hakim
wajib mencantumkan dasar pertimbangan yang cukup dan matang
dalam setiap keputusan. Demikian secara singkat makna kewajiban
tersebut, yakni putusan harus jelas dan cukup motivasi
pertimbangannya. Dalam pengertian luas, bukan hanya sekedar
meliputi motivasi pertimbangan tentang alasan-alasan dan dasar-dasar
hukum serta pasal-pasal perataran yang bersangkutan, tapi juaga
meliputi sistematika, argumantasi dan kesimpulan yang terang.
Dasar yang digunakan hakim dalam mengabulkan permohonan
izin pelaksanaan perkawinan beda agama antara lain:
a. Negara tidak dapat melarang dan menghalangi seseorang untuk
melaksanakan perkawinan
b. Bahwa guna melangsungkan pernikahan para pemohon tersebut
diperlukan Penetapan dari Pengadilan Negeri yang memberikan
ijin kepada mereka untuk menikah
c. Surat asli dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota
Salatiga Nomor: 474.2 / 491/ 2011
d. Bahwa Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang
menyebutkan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan
calon istri merupakan larangan terhadap perkawinan, yang mana
selaras dengan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
dengan amandemennya, yang menegaskan bahwa semua warga
Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dimana
tercakup pula mengenai kesamaan Hak Asasi setiap warga negera
untuk melakukan perkawinan, sekalipun berbeda agama.
e. Bahwa jiwa dari pasal 29 UUD 1945 dengan amandemennya juga
menjamin bagi setiap warga negara untuk memeluk agamanya
masing-masing
f. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1400 K/ Pdt/ 1986
g. Bahwa sedangkan pasal 1 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
3. Pertimbangan Hakim Dalam PerkaraNomor :
36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.
Adapun yang menjadi pertimbangan hakim adalah:
a. Bahwa pemohon sebagai layaknya insan beragama dalam tahap-
tahap kehidupan telah melalui proses alamiah dan perkembangan
fisik yang normal dan telah saling berpacaran lebih kurang
9(sembilan) tahun sehingga terjadilah hubungan batin antara
pemohon, yang selanjutnya akan melanjutkannya pada jenjang
perkawinan.
b. Bahwa ikatan lahir batin sebagaimana dimaksud oleh Undang-
Undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang perkawinan itu sudah pasti
sulit dicapai atau diwujudkan bilamana kedua calon mempelai
tidak memiliki perasaan cinta kasih satu sama lain
c. Bahwa dari bukti-bukti dan keterangan saksi diketahui kedua
orang pemohon tersebut sudah lama menjalin hubungan kasih
yaitu sekitar 9(sembilan) tahun dan sampai sekarang saling
mencinta serta berencana untuk segera melangsungkan
perkawinan yang mana rencana tersebut sudah didukung pula
oleh keluarga masing-masing
d. Bahwa pemohon (Tuan X) beragama kristen dan pemohon
(Nyonya Y) beragama islam terdapat perbedaan keyakinan
(agama) namun demikian tidak menjadi kendala bagi
hubungan pemohon, terbukti bahwa keduan orang tua
pemohonmemberikan ijin serta restu bagi pemohon
e. Bahwa kedua orang tua para pemohon juga tidak keberatan
mereka kawin di Kantor Catatan Sipil secara beda agama.
f. Suratbukti yang diajukan para pemohon berupa fotocopy Kartu
Tanda Penduduk (KTP) para pemohon, fotocopy Kartu
Keluarga atas namaTuan X, fotocopy Kartu Keluarga atas
nama Sugeng Budiyanto, S.IP, MM, fotocopy Kutipan Akta
Kelahiran atan nama Tuan X, fotocopy Surat Keterangan untuk
Nikah atas nama Nyonya Y, fotocopy Surat Keterangan untuk
Nikah atas nama Tuan X
g. Bahwa selain bukti surat-surat tersebut para pemohon juga
mengajukan 4(empat) orang saksi yaitu Retyma BR Purba
(ayah kandung Tuan X), Ramli Tambunan (ibu kandung Tuan
X), Sugeng Budiyanto, S.IP.MM (ayah kandung Nyonya Y),
dan Asri Murwati (ibu kandung Nyonya Y).
B. Tinjauan Hukum Positif Pasal 2(1) Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan
Permohonan Perkara Nomor : 36/Pen.Pdt.P/2011/PN.Sal.
Ketentuan hukum positif di Indonesia tidak secara tegas melarang
tentang perkawinan beda agama. Namun perkawinan diatur dalam hukum
positif di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun
1074 tentang perkawinan.
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ada
beberapa peraturan, diantaranya adalah:
1. Buku I Kitab Undang Undang Hukum Perdata
2. Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Undang Undang Nomor: 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
4. PP No.9/1975 tentang peraturan pelaksanaan UU No. 1/1974
5. Intruksi Persiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
Dalam Kompilasi Hukum Islam mengkatagorikan perkawinan beda
agama dalam bab larangan perkawinan. Pada pasal 40 poin c dinyatakan
bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44
dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melansungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam telah dinyatakan dengan jelas
bahwa perkawinan beda agama jelas tidak dapat dilaksanakan selain kedua
calon suami istri beragama Islam. Sehingga tidak ada peluang bagi orang-
orang yang memeluk agama islam untuk melaksanakan perkawinan antar
agama. Kenyataan yang terjadi dalam sistem hukum diindonesia,
perkawinan beda agama dapat terjadi. Hal ini disebabkan peraturan
perundang-undangan tentang perkawinan memberi peluang hal tersebut
terjadi. Karena dalam peraturan tersebut dapat memberikan beberapa
penafsiran bila terjadi perkawinan beda agama.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 pasal 66,
maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan sejauh ini telah
diatur dalam Undang-Undang tersebut, dinyatakan tidak berlaku lagi yaitu
perkawinan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW,
ordonansi perkawinan Indonesia kristen dan peraturan perkawinan
campuran. Namun beberapa ketentuan tersebut masih berlaku sepanjang
tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974.
Mengenai perkawinan beda agama yang dilakukan oleh pasangan
calon suami istri dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun
1974 tentang perkawinan pada pasal 2 ayat (1), bahwa perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Pada pasal 10 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975
dinyatakan bahwa, perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai
pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Dalam perkawinan beda agama menurut undang-undang
perkawinan ada tiga penafsiran yang bereda. Pertama, yang berpendapat
bahwa perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap Undang-
Undang Nomor:1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 hurf f. Pendapat
kedua, bahwa perkawinan beda agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran, dengan
argumentasi pada pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitik
beratkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, yang berarti pasal ini mengatur perkawinan antara dua orang
yang berkelainan kewarganegaraan juga mengatur dua orang yang berbeda
agama. Pendapat ketiga, bahwa perkawinan beda agama sama sekali tidak
diatur dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974, oleh karena itu
berdasarkan pada pasal 66 Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 maka
persoalan perkawinan beda agama dapat merujuk pada peraturan
perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-undang
perkawinan (Asmin.1986).
Merujuk pada Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pada pasal 57
yang menyatakan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
indonesia. Berdasarkan pada pasal 47 Undang-Undang No.1 Tahun 1974,
maka perkawinan beda agama di indonesia bukanlah merupakan
perkawinan campuran. Sehingga semestinya pengajuan permohnan
perkawinan beda agama baik di Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan
Sipil dapat ditolak.
Ketidakjelasan dan ketidaktegasan Undang-undang perkawinan
tentang perkawinan antar agama dalam pasal 2 adalah pernyataan
“menurut hukum agama dan kepercayaannya” artinya jika
perkawinankedua calon suami istri adaalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi
jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya
perbedaan kedua hukum agama tau kepercayaan itu harus dipenuhi semua,
berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon dan satu
kali menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon yang lainnya.
Dalam peraktek perkawinan beda agama dapat dilaksanakan
dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan
si suami atau si calon istri. Artinya salah satu calon mengikuti atau
menundukkan diri kepada salah satu hukum agama atau kepercayaan
pasangan yang lain.
Dalam mengisi kekosongan hukum karena dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan antar
agama. Mahkamah Agung sudah pernah memberikan putusan tentang
perkawinan antar agama pada tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400
K/Pdt/1986.
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung adalah dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tidak memuat suatu ketentuan tentang
perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri merupakan larangan
perkawinan. Dan hal ini sejalan dengan UUD 1945 pasal 27 yang
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin
dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan selama oleh
undang-undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama merupakan
larangan untuk perkawinan, maka asas itu adalah sejalan dengan jiwa pasal
29 UUD 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap
warga negara untuk memeluk agama masing-masing.
Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan dalam GHR dan HOCI tidak dapat dipakai
karena terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah yang sangat lebar
antara Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan kedua ordonansi
tersebut. Sehingga dalam perkawinan beda agama terjadi kekosongan
hukum.
Di samping kekosongan hukum juga dalam kenyataan hidup di
Indonesia yang masyarakatnya bersifat pluralistik, sehingga tidak sedikit
terjadi perkawinan antar agama. Maka Mahkamah Agung berpendapat
bahwa tidak dapat dibenarkan terjadinya kekosongan hukum tersebut,
sehingga perkawinan antar agama jika dibiarkan dan tidak diberikan solusi
secara hukum, akan menimbulkan dampak negatif dari segi kehidupan
bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan
nilai-nilai sosial maupun agama serta hukum positif, maka Mahkamah
Agung harus dapat menentukan status hukumnya.
Mahkamah Agung dalam memberikan solusi hukum bagi
perkawinan antar agama adalah bahwa perkawinan antar agama dapat
diterima permohonannya di Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya
instansi yang berwenang untuk melangsungkan permohonan yang kedua
calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib menerima
permohonan perkawinan antar agama.
Dari putusan Mahkamah Agung tentang perkawinan antar agama
sangat kontroversi, namun putusan tersebut merupakan pemecahan hukum
untuk mengisi kekosongan hukum karena tidak secara tegas dinyatakan
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat
dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara
perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai
salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam proses perkawinan beda agama maka permohonan untuk
melangsungkan perkawinan antar agama dapat diajukan kepada Kantor
Catatan Sipil. Dan bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah
satu pasangan tersebut berkehendak untuk melangsungkan perkawinan
tidak secara Islam. Dan dengan demikian pula ditafsirkan bahwa dengan
mengajukan permohonan tersebut pemohon sudah tidak lagi menghiraukan
status agamanya. Sehingga pasal 8 point f Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tidak lagi merupakan halangan untuk dilangsungkan perkawinan,
dengan anggapan bahwa kedua calon suami isteri tidak lagi beragama
Islam. Dengan demikian Kantor Catatan Sipil berkewajiban untuk
menerima permohonan tersebut bukan karena kedua calon pasangan dalam
kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama, tetapi dalam status hukum
agama atau kepercayaan salah satu calon pasangannya.
Bentuk lain untuk melakukan perkawinan beda agama dapat
dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda
agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada pasal 56 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat
dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antar
pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu berlangsung.
Setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, paling tidak
dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di
kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. Artinya perkawinan
antar agama yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang berbeda
agama tersebut adalah sah karena dapat diberikan akta perkawinan.
Mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terdapat ketentuan
dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan. Dalam Pasal 35 Undang-Undang No 23 Tahun 2006
beserta penjelasan disebutkan bahwa untuk perkawinan yang dilakukan
antar umat beda agama ditetapkan oleh Pengadilan. Pengaturan ini
diharapkan dapat mengakhiri ketidakjelasan yang terjadi selama ini terkait
dapat atau tidaknya perkawinan beda agama yang dilakukan di Indonesia
diakui oleh negara. Selama ini bagi pasangan-pasangan beda agama yang
ingin melangsungkan perkawinan, umumnya dilakukan dengan cara
menikah di luar negeri atau jika menikah di Indonesia umumnya mereka
mengganti agamanya sementara atau secara permanen agar perkawinan
mereka dapat dilaksanakan.
Seperti telah dikemukakan diatas, sebelum adanya Undang-undang
Perkawinan, untuk hal-hal yang terkait dengan perkawinan campuran,
pengaturannya dapat ditemui dalam HOCI (Huwelijks Ordonnantie
Christen Indonesiers, S. 1933 No.74). Pasal 75 HOCI membolehkan
perkawinan antara seorang wanita beragama Kristen dengan seorang pria
beragama bukan Kristen.
GHR juga mengatur mengenai Perkawinan Campuran (Regeling op
de gemengde Huwelijken, S. 1898 No.158).35 Namun demikian, HOCI
telah dicabut oleh Undang-undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan melalui Pasal 106. Sehingga ketentuan
tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pertimbangan hakim juga dikarenakan dalam hukum positif di
Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan diatur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975 dimana dalam pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo
pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 ditegaskan bila
suatu agama sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan ketentuan yang berlaku bagi
perkawinan antara 2 orang yang sama agamanya. Sehingga terhadap
perkawinan antara 2 orang yang berbeda agama tidaklah dapat diterapkan
berdasarkan ketentuan tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat penulis simpulkan beberapa
poin tentang pernikahan beda agama dan penetapan Pengadilan Negeri
Salatiga tentang perkawinan beda agama sebagai berikut:
1. Dasar dan pertimbangan yang digunakan hakim Pengadilan Negeri
Salatiga dalam mengabulkan permohonan pelaksanaan perkawinan
beda agama adalah didasarkan pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
dengan amandemennya, Pasal 29 UUD 1945 dengan amandemennya,
kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 1400 K/Pdt/1986
dan surat permohonan Zenferry Herico Tambunan tanggal 27 oktober
2011 Nomor: 36/Pdt.P/2011/PN.Sal.
2. Penetapan Pengadilan Negeri Salatiga Nomor : 36/Pdt.P/2011/PN.Sal.
merupakan tindakan pengingkaran dan bertentangan dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga bertentangan
dengan peraturan-peraturan penunjang lainnya seperti Kompilasi
Hukum Islam dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.
B. Saran
1. Penulis berharap bahwa pemerintah bertindak tegas terhadap
penetapan lembaga peradilan yang bertentangan dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku, agar tidak dijadikan sebagai
yurisprodensi terhadap masalah yang akan ada dimasa selanjutnya.
2. Penulis berharap bagi pemerintah hendaknya tidak mebiarkan
pengingkaran terhadap undang-undang ini terus terjadi, agar tidak ada
kesan bahwa apa yang dilakukan oleh lembaga peradilan dalam
mengabulkan perkawinan beda agama itu merupakan tindakan yang
benar.
3. Perkawinan beda Agama yang banyak terjadi saat ini, banyak
berdampak negatif pada pihak istri maupun suami yang semula
muslim menjadi murtad. Sedangkan dampak negatif yang terjadi pada
anak-anaknya adalah rawan menjadi kafir karena mengikuti orang
tuanya yang non-Muslim dan masih banyak lagi dampak negative
yang lain tentunya.
DAFTAR PUSTAKA
Adimiwarta.1996. pengantar studi hukum perdata.jakarta:Rajagrafindo Persada.
Arso Sosroatmodjo & A.Wasit Aulawi. 1975. hukum perkawina di
indonesia.jakarta:Bulan Bintang.
Asmin. 1986. Status Perkawinan Antar Agama. Jakarta: Pt. Dian Rakyat.
Departemen Agama RI. 1976. Al-Qur’an dan Terjemahan: PT Bumi Restu
Hadikusuma, Helman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: CV Mandar Maju.
Moleong.1989. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Remaja Kurawa.
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji,1990, penelitian hukum normatif suatu
tinjauan singkat, cetakan III, Jakarta: Rajawali Press.
Soekanto, soejono. 1986. pengatar penelitian hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
R. Tama dan Rusli. 1984.Perkawinan Antar Agama Dan Masalahannya.
Bandung:
Shantika Dharma.
Trisnaningsih, Mudiarti. 2007 Relevansi Kepastian Hukum Dalam Perkawinan
Beda Agama Indonesia. Bandung: CV. Utomo.
Tihami & sohari sahrani. 2010 Fikih Munakahat: fikih nikah lengkap. Jakarta:
Rajawali Press
Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam
Putusn Mahkamah Agaung Reg.No.1400K/Pdt/1986
http://kuamustikajaya.blogspot.com/2012/08/fatwa-mui-tentang-nikah-beda-
agama.html
http://itsstrawberryblog.blogspot.com/2011/10/dalil-dalil-haramnya-nikah-beda-
agama.html
LAMPIRAN-LAMPIRAN