Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

13
KLIPING SEJARAH PERJUANGAN MASA ANGKATAN ’08, ’28, ‘45 LAPORAN LAPORAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI KEWAJIBAN SISWA KELAS IX SETELAH MENGUKUTI ULANGAN TENGAH SEMESTER 1 OLEH : ALFIAN NO ABSEN : 03 KELAS : IX B UPTD SMP NEGERI 2 PARE TAHUN 2013/2014

Transcript of Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Page 1: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

KLIPING SEJARAH PERJUANGAN

MASA ANGKATAN ’08, ’28, ‘45

LAPORAN

LAPORAN DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI KEWAJIBAN

SISWA KELAS IX SETELAH MENGUKUTI ULANGAN

TENGAH SEMESTER 1

OLEH : ALFIAN

NO ABSEN : 03

KELAS : IX B

UPTD SMP NEGERI 2 PARE

TAHUN 2013/2014

Page 2: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Angkatan 1908

Budi Utomo

Budi Utomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo dan

mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20

Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial,

ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal

gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesiawalaupun pada saat itu organisasi

ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya

Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908 , pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang

belajar STOVIA , Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan

bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi

Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas

mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping

harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa

"kaum tua" yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para

pemuda sendiri akan menjadi penggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali

pergantian pemimpin organisasi. Seperti Raden

Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar, dan

Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saatkepemimpinan Pangeran Noto

Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa

Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata.

Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa

diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang

sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat

politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api

udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama

di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh

cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya,

dan Ponorogo. Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo

(mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak

dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari

kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang memilih

untuk menyingkir. Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya

DR. SUTOMO

Page 3: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo

dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak

berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang

bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh

penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya

gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak

terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat

Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum

berpengalaman. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut,

makna nasionalisme makin dimengerti oleh

kalangan luas. Ada beberapa kasus yang

memperkuat makna tersebut. Ketika

Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan

ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan

menggunakan uang orang Indonesia sebagai

bantuan kepada pemerintah yang dipungut

melalui penjabat pangreh praja pribumi,

misalnya, rakyat menjadi sangat marah.

Kemarahan itu mendorong Soewardi

Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki

Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah

artikel "Seandainya Saya Seorang Belanda”, yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang

sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama

dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker danTjipto Mangoenkoesoemo ke penjara

oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik

di dalam pergerakan orang-orang pribumi.

Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan

kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi

dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan

kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni

bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun

Jawa, Sulawesi maupun Maluku.

Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi

Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa

dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal

pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa

menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera

tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme

"Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.

ORGANISASI BUDI UTOMO

Page 4: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Angkatan 1908

Perhimpunan Indonesia

Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia adalah organisasi pelajar dan mahasiswa

Hindia di Negeri Belanda yang berdiri pada tahun 1908. Indische Vereeniging berdiri atas

prakarsa Soetan Kasajangan Soripada dan R.M. Noto Soeroto yang tujuan utamanya ialah

mengadakan pesta dansa-dansa dan pidato-pidato. Sejak Tjipto Mangoenkoesoemo dan

Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) masuk, pada 1913, mulailah mereka

memikirkan mengenai masa depan Indonesia. Mereka mulai menyadari betapa pentingnya

organisasi tersebut bagi bangsa Indonesia. Semenjak itulah vereeninging ini memasuki

kancah politik. Waktu itu pula vereeniging menerbitkan sebuah buletin yang diberi

nama Hindia Poetera, namun isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan bernada

politik. Semula, gagasan nama Indonesisch (Indonesia) diperkenalkan sebagai

pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van

Vollenhoven (1917). Sejalan dengan

itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang

Indonesia). Pada September 1922, saat pergantian

ketua antara Dr. Soetomo dan Herman

Kartawisastra organisasi ini berubah nama

menjadi Indonesische Vereeniging. Saat itu istilah

"Indonesier" dan kata sifat "Indonesich" sudah tenar

digunakan oleh para pemrakarsa Politik Etis. Para anggota Indonesische juga memutuskan

untuk menerbitkan kembali majalah Hindia Poetra denganMohammad Hatta sebagai

pengasuhnya. Majalah ini terbit dwibulanan, dengan 16 halaman dan biaya langganan

seharga 2,5 gulden setahun. Penerbitan kembali Hindia Poetra ini menjadi sarana untuk

menyebarkan ide-ide antikolonial. Dalam 2 edisi pertama, Hatta menyumbangkan tulisan

kritik mengenai praktik sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang merugikan petani.

Saat Iwa Koesoemasoemantri menjadi ketua pada 1923, Indonesische mulai menyebarkan

ide non-kooperasi yang mempunyai arti berjuang demi kemerdekaan tanpa bekerjasama

dengan Belanda. Tahun 1924, saat M. Nazir Datuk Pamoentjak menjadi ketua, nama

majalah Hindia Poetra berubah menjadi Indonesia Merdeka. Tahun 1925 saat Soekiman

Wirjosandjojo nama organisasi ini resmi berubah menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Hatta

menjadi Voorzitter (Ketua) PI terlama yaitu sejak awal tahun 1926 hingga 1930, sebelumnya

setiap ketua hanya menjabat selama setahun. Perhimpunan Indonesia kemudian

menggalakkan secara terencana propaganda tentang Perhimpunan Indonesia ke luar negeri

Belanda. Tokoh-tokoh lain yang menjadi anggota organisasi ini antara lain: Achmad

Soebardjo, Soekiman Wirjosandjojo, Arnold Mononutu, '''Soedibjo Wirjowerdojo''', Prof

Mr Sunario Sastrowardoyo,Sastromoeljono, Abdul Madjid, Sutan Sjahrir, Sutomo, Ali

Sastroamidjojo, dll

PERHIMPUNAN INDONESIA

Page 5: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Angkatan 1928

Kongres Pemuda 1

Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.

Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang

disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres

(sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter

formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk

keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik

kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah

tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh

Yamin.

Isi

Pertama Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoewa Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Panitia Kongres

Dalam upaya mempersatu wadah organisasi pemuda dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Oleh sebab itu, tanggal 20 Februari 1927 telah diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai hasil yang final.

Kemudian pada 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini dihadiri semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan Kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia dengan setiap jabatan dibagi kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:

Ketua: Sugondo Djojopuspito (PPPI)

Page 6: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Wakil Ketua: R.M. Joko Marsaid (Jong Java) Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond) Bendahara: Amir Sjarifudin (Jong Bataks Bond) Pembantu I: Johan Mohammad Cai (Jong Islamieten Bond) Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III: R.C.I. Sendoek (Jong Celebes) Pembantu IV: Johannes Leimena (Jong Ambon) Pembantu V: Mohammad Rochjani Su'ud (Pemoeda Kaoem Betawi)

Kongres Pemuda Indonesia Kedua

Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Peserta

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John

Page 7: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Ini dia barisan pemuda-pemudi Indonesia pencetus Sumpah Pemuda.

Siap-siap Rapat Pertama Rapat Pertama diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond. Gedung ini tempatnya di daerah Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Hari itu hari Sabtu tanggal 27 Oktober 1928. Soegondo memulai rapat dengan memberi kata sambutan. Ia berharap kongres tersebut bisa memperkuat semangat persatuan dalam diri para pemuda. Acara dilanjutkan dengan penjelasan Moehammad Jamin tentang arti persatuan. Ia juga menjelaskan apa hubungannya antara persatuan dengan pemuda-pemudi Indonesia. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu: sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat Kedua di Gedung Bioskop! Hari Minggu, 28 Oktober 1928, diadakan rapat kedua. Tempatnya di Gedung Oost-Java Bioscoop. Dalam rapat kedua ini, mereka membahas masalah pendidikan. Pembicaranya Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro. Mereka berdua berpendapat kalau anak harus mendapat pendidikan kebangsaan. Anak juga harus memiliki keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Akhirnya, Rapat Terakhir Rapat ketiga diadakan di Gedung Indonesisch Huis Kramat. Sebetulnya rapat ketiga ini diadakan pada hari yang sama. Hanya saja di gedung yang berbeda. Pada rapat ketiga ini Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan (masih ingat kan? Kepanduan itu sama dengan Gerakan Pramuka ). Pembicara kedua, Ramelan, mengatakan juga bahwa gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Page 8: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Angkatan 1945

Peristiwa Rengasdengklok

Peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa dimulai dari "penculikan" yang dilakukan oleh sejumlah pemuda : Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh terhadap Soekarno dan Hatta. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00. WIB, Soekarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Karawang, untuk kemudian didesak agar mempercepat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia,sampai dengan terjadinya kesepakatan antara golongan tua yang diwakili Soekarno dan Hatta serta Mr.Achmad Subardjo dengan golongan muda tentang kapan proklamasi akan dilaksanakan.

Menghadapi desakan tersebut, Soekarno dan Hatta tetap tidak berubah pendirian. Sementara itu di Jakarta, Chairul dan kawan-kawan telah menyusun rencana untuk merebut kekuasaan. Tetapi apa yang telah direncanakan tidak berhasil dijalankan karena tidak semua anggota PETA mendukung rencana tersebut.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia rencananya akan dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta pada hari Jumat, 17 Agustus 1945di lapangan IKADA(yang sekarang telah menjadi lapangan Monas) atau di rumah Bung Karno di Jl.Pegangsaan Timur 56. Dipilih rumah Bung Karno karena di lapangan IKADA sudah tersebar bahwa ada sebuah acara yang akan diselenggarakan, sehingga tentara-tentara jepang sudah berjaga-jaga, untuk menghindari kericuhan, antara penonton-penonton saat terjadi pembacaan teks proklamasi, dipilihlah rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur No.56. Teks Proklamasi disusun di Rengasdengklok, di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong. Bendera Merah Putih sudah dikibarkan para pejuang di Rengasdengklok pada Kamis tanggal 16 Agustus, sebagai persiapan untuk proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Karena tidak mendapat berita dari Jakarta, maka Jusuf Kunto dikirim untuk berunding dengan pemuda-pemuda yang ada di Jakarta. Namun sesampainya di Jakarta, Kunto hanya menemuiWikana dan Mr. Achmad Soebardjo, kemudian Kunto dan Achmad Soebardjo ke Rangasdengklok untuk menjemput Soekarno, Hatta, Fatmawati dan Guntur. Achmad Soebardjo mengundang Bung Karno dan Hatta berangkat ke Jakarta untuk membacakan proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur 56. Pada tanggal 16 tengah malam rombongan tersebut sampai di Jakarta.

Keesokan harinya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945 pernyataan proklamasi dikumandangkan dengan teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diketik oleh Sayuti Melik menggunakan mesin ketik yang "dipinjam" (tepatnya sebetulnya diambil) dari kantor Kepala Perwakilan Angkatan Laut Jerman, Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

IR SOEKARNO DAN KAWAN-KAWAN DI

RENGAS DENGKLOK

Page 9: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Latar belakang

Pada waktu itu Soekarno dan Moh. Hatta, tokoh-tokoh menginginkan agar proklamasi dilakukan melalui PPKI, sementara golongan pemuda menginginkan agar proklamasi dilakukan secepatnya tanpa melalui PPKI yang dianggap sebagai badan buatan Jepang. Selain itu, hal tersebut dilakukan agar Soekarno dan Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Para golongan pemuda khawatir apabila kemerdekaan yang sebenarnya merupakan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia, menjadi seolah-olah merupakan pemberian dari Jepang.

Sebelumnya golongan pemuda telah mengadakan suatu perundingan di salah satu lembaga bakteriologi di Pegangsaan Timur Jakarta, pada tanggal 15 Agustus. Dalam pertemuan ini diputuskan agar pelaksanaan kemerdekaan dilepaskan segala ikatan dan hubungan dengan janji kemerdekaan dari Jepang. Hasil keputusan disampaikan kepada Ir. Soekarno pada malam harinya tetapi ditolak oleh Soekarno karena merasa bertanggung jawab sebagai ketua PPKI.

Page 10: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Angkatan 1948

Peristiwa Proklamasi

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang

oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh

dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,

atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang,

untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada

tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasakisehingga

menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun

dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan

ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur lautSaigon, Vietnam untuk

bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang

kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu

di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat

radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap

memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan

sebagai hadiah Jepang.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam,

mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera

memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat

dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[2] Meskipun demikian Jepang

menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari

Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan

karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang

setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam

kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir

tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah

menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan

darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.

Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan

kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi

kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang (sic).

Page 11: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut

Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan

kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh

mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal

bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan

kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak

menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun

dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat

PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan

atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh

konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda

Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda

menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.

Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari

Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia

Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di

kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

persiapan Proklamasi Kemerdekaan.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh

Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI

pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.

Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok.

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di

ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks

proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks

proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik,

Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu

adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi

Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman

Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar

Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan

proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera

Merah Putih, yang telah dijahit oleh Ibu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan

oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Page 12: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan

pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu

ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas

tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah

Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya.

Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[5]. Sampai saat ini,

bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang

dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat

mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan

Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[6]

Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil

keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar

negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian

terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI)

dengan kedaulatan di tangan rakyat yang

dilakukan sepenuhnya oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan

dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas

usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan

dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden

Republik Indonesia yang pertama. Presiden

dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah

Komite Nasional.

Naskah Proklamasi Klad

Teks naskah Proklamasi Klad adalah asli merupakan tulisan tangan sendiri oleh Ir.

Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil gubahan (karangan) oleh Drs.

Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, yang isinya adalah

sebagai berikut :

Proklamasi

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, 17 - 8 - '05

Page 13: Perjuangan Angkatan 08, 28, 45

Wakil2 bangsa Indonesia.

Teks Naskah "Proklamasi Otentik" yang ditempatkan di Monumen Nasional (Monas).

Teks naskah Proklamasi yang telah mengalami perubahan, yang dikenal dengan sebutan

naskah "Proklamasi Otentik", adalah merupakan hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti

Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan Proklamasi), yang isinya

adalah sebagai berikut :

P R O K L A M A S I

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan

dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05

Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta.

(Keterangan: Tahun pada kedua teks naskah Proklamasi di atas (baik pada teks

naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskahProklamasi Otentik) tertulis angka "tahun

05" yang merupakan kependekan dari angka "tahun 2605", karena tahun penanggalan yang

dipergunakan pada zaman pemerintah pendudukan militer Jepang saat itu adalah sesuai

dengan tahun penanggalan yang berlaku di Jepang, yang kala itu adalah "tahun 2605".)