Perimbangan Keuangan kelompok 4

33
Pengelolaan Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Oleh : Amiruddin Maula (3) Dzimar Rusydi Bathni (11) Martina Dwi Pramesthi (19) Okky Verizky Nobelta (27) Rizki Nadia (32) Kelompok 4 Kelas 3L Spesialisasi Akuntansi Sekolah Tinggi Akuntansi Negara 2012

Transcript of Perimbangan Keuangan kelompok 4

Page 1: Perimbangan Keuangan kelompok 4

Pengelolaan Dana Perimbangan dan

Dana Otonomi Khusus dan

Penyesuaian

Oleh :

Amiruddin Maula (3)

Dzimar Rusydi Bathni (11)

Martina Dwi Pramesthi (19)

Okky Verizky Nobelta (27)

Rizki Nadia (32)

Kelompok 4

Kelas 3L

Spesialisasi Akuntansi

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

2012

Page 2: Perimbangan Keuangan kelompok 4

1

Pengelolaan Dana Perimbangan dan Dana Otsus

dan Penyesuaian

DANA PERIMBANGAN

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan

Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil

proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan

penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan

kebutuhan daerah. Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah merupakan subsistem

keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan

daerah.

Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan

Desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil (DAU), dana alokasi

umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap

tahun anggaran dalam APBN (UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 10)

Tujuan dari dana perimbangan

1) Terciptanya pemerintahan dengan otonomi yang kuat dan sanggup berjalan dengan

kemampuan administrasi sendiri.

2) Tercapainya pelayanan masyarakat yang semakin baik.

3) Kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.

4) Pemerintah daerah mendapatkan jatah dari hasil kerjanya.

5) Tercapainya suatu sistim kerja yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.

6) Terdorongnya otonomi daerah dengan keterlibatan operasianal oleh pemerintah

pusat

Secara umum, pengelompokkan dana perimbangan dan transfer ke daerah dapat

digambarkan seperti bagan berikut ini.

Page 3: Perimbangan Keuangan kelompok 4

2

A. DANA ALOKASI UMUM (DAU)

DAU merupakan salah satu transfer dana Pemerintah yang bersumber dari APBN,

yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat “Black

Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan

kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka

pelaksanaan otonomi daerah

DASAR HUKUM

1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah; dan

2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

Page 4: Perimbangan Keuangan kelompok 4

3

3. Perpres No. 53 Tahun 2009 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi,

Kabupaten, dan Kota

ALOKASI DAU

1. Dialokasi untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota

2. Besaran DAU ditetapkan sekurang – kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri

(PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN

3. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan

sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota

TUJUAN DAN FUNGSI DAU

Ada beberapa alasan perlunya dilakukan pemberian Dana Alokasi Umum dari pemerintah

pusat ke daerah, yaitu:

1. Untuk mengatasi permasalahan ketimpangan fiskal vertical. Hal ini disebabkan

sebagian besar sumber-sumber penerimaan utama di negara bersangkutan. Jadi

pemerintah daerah hanya menguasai sebahagian kecil sumber-sumber penerimaan

negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak yang bersifat lokal dan

mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan relatif kurang

signifikan.

2. Untuk menanggulangi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Hal ini disebabkan

karena kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi,

tergantung kepada kondisi daerah dan sangat bergantung pada sumber daya alam

yang dimiliki daerah tersebut.

3. Untuk menjaga standar pelayanan minimum di setiap daerah tersebut.

4. Untuk stabilitas ekonomi. Dana Alokasi Umum dapat dikurangi di saat

perekonomian daerah sedang maju pesat, dan dapat ditingkatkan ketika

perekonomian sedang lesu.

Sedang tujuan umum dari Dana Alokasi Umum adalah untuk:

1. Meniadakan atau meminimumkan Ketimpangan fiskal vertical

2. Meniadakan atau meminimumkanketimpangan fiskal horizontal

3. Menginternalisasikan/memperhitungkan sebahagian atau seluruh limpahan

manfaat/biaya kepada daerah yang menerima limpahan manfaat tersebut.

Page 5: Perimbangan Keuangan kelompok 4

4

TAHAPAN PENGHITUNGAN DAU

1. Tahapan Akademis

Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh

Tim Independen dari berbagai universitas

2. Tahapan Administrasi

Dalam tahapan ini Depkeu c.q. DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait

untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU

3. Tahapan Teknis

Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan

dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI

4. Tahapan Politis

Merupakan tahap akhir, pembahasan, penghitungan dan alokasi DAU antara

Pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk

konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU

FORMULASI DAU

1. Formula DAU

Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiscal (fiscal gap) yaitu selisih antara

kebutuhan fiscal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiscal (fiscal capacity)

daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.

Rumus formula DAU

Dimana:

AD = Gaji PNS Daerah

CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal

2. Variabel DAU

a. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk

pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas

wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi

(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.

DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)

Page 6: Perimbangan Keuangan kelompok 4

5

b. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang merupakan sumber

pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana

Bagi Hasil (DBH)

3. Metode Penghitungan

a. Alokasi Dasar (AD)

Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil

Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan

yang melekat

sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.

b. Celah Fiskal (CF)

Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan

mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi dengan total

CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatu daerah dihitung

berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai berikut:

i. Kebutuhan Fiskal (KbF)

Dimana:

TBR = Total Belanja Rata-rata APBD

IP = Indeks Jumlah Penduduk

IW = Indeks Luas Wilayah

IPM = Indeks Pembangunan Manusia

IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi

IPDRB/kap = Indek Produk Domestik

Regional Bruto per kapita

α = Bobot Indeks

ii. Kapasitas Fiskal (KpF)

Dimana:

KbF= TBR (1IP + 2IW + 3IKK + 4IPM + 5 IPDRB)

KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA

Page 7: Perimbangan Keuangan kelompok 4

6

PAD = Pendapatan Asli Daerah

DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak

DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam

Penentuan Bobot Dana Alokasi Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota

1. Dana Alokasi Umum Provinsi

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian

bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.

Page 8: Perimbangan Keuangan kelompok 4

7

DAU DPropi = Bobot DPropi x DAU Prop

Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi

yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.

2. Dana Alokasi Umum Kabupaten/kota

DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan

perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh

daerah kabupaten/kota.

DAU DKab/Kotai = Bobot DKab/Kotai x DAU Kab/Kota

Bobot daerah kab/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kab/kota

yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kab/kota

Kebutuhan fiskal dihitung berdasarkan perkalian antara Total Belanja Rata-rata

dengan penjumlahan dari pembobotan indeks jumlah penduduk, indeks luas

wilayah, indeks kemahalan konstruksi, invers indeks pembangunan manusia, dan

invers Produk Domestik Regional Bruto per kapita

Indeks jumlah penduduk dihitung dengan rumus:

Indeks luas wilayah dihitung dengan rumus:

Bobot DKab/Kota i

= Celah Fiskal DKab/Kota

i

Total Celah Fiskal Seluruh Daerah Kab/Kota

Total Belanja Rata-

rata X

α1 indeks jumlah penduduk+ α

2 indeks luas

wilayah + α3 indeks kemahalan konstruksi

+ α4 indeks pembangunan manusia + α

5

indeks PDRB per kapita

KbF =

Page 9: Perimbangan Keuangan kelompok 4

8

Indeks kemahalan konstruksi dihitung dengan rumus:

Indeks pembangunan manusia dihitung dengan rumus:

Indeks PDRB per kapita dihitung dengan rumus:

Total Belanja Daerah Rata-Rata

Dalam penghitungan Total Belanja Daerah Rata-rata tidak dimasukkan data

belanja daerah yang jauh di atas dan/atau di bawah rata-rata (outlier), agar lebih

mencerminkan tingkat kewajaran total belanja rata-rata daerah.

Page 10: Perimbangan Keuangan kelompok 4

9

B. DANA ALOKASI KHUSUS

DASAR HUKUM

Beberapa produk hukum yang mendasari Dana Alokasi Hukum (DAK) antara lain sebagai

berikut

a. UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintah Daerah

b. PP Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

c. PMK DAK 2012: Nomor 209/PMK.07/2011 tentang Penetapan Alokasi dan

Pedoman Umum DAK

d. PMK Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban

Anggaran Transfer ke Daerah

e. PMT tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK

f. PMDN tentang Pengelolaan Keuangan DAK di Daerah

DEFINISI

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN

yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai

kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Tujuan dibentuknya DAK adalah untuk membantu daerah tertentu untuk mendanai

kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, dan untuk mendorong

percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. (UU no 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan

Daerah).

Lebih lanjut mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK) diatur juga dalam pasal 51 dan

52 PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang

bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan

khusus yang merupakan bagian dari progam yang menjadi prioritas nasional yang menjadi

urusan daerah.

Page 11: Perimbangan Keuangan kelompok 4

10

Pokok-pokok penting pengertian DAK

- Daerah tertentu sebagaimana dimaksud adalah daerah yang dapat memperoleh

alokasi DAK berdasarkan criteria umum, criteria khusus dan criteria teknis.

- Membantu dalam arti “bukan penyediaan dana yang utama” dan/atau “bukan

menggantikan yang semua sudah ada” Demikian juga hanya “diberikan kepada

daerah/bidang yang menurut kebijakannya harus dibantu”

- Kegiatan Khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan kegiatan

pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana

dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarkat dengan umur ekonomis yang panjang,

termasuk pengadaan sarana fisik penunjang

- Kewenangan daerah, berartii bukan kewenangan pusat atau Kementerian/lembaga

- Program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana dimaksud dimuat dalam

Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. RKP yang telah disetuji

DPR, selanjutnya dimuat dalam Nota Keuangan dan RAPBN

MEKANISME PENGALOKASIAN DAK

A. Penetapan Program dan Kegiatan DAK

DAK dialokasikan dalam APBN sesuai dengan program yang menjadi prioritas

nasional yang dimuat dalam RKP tahun anggaran yang bersangkutan. Menteri

Teknis terlebih dahulu mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari

DAK dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri,

Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,

sesuai dengan RKP. Kemudian Menteri Teknis menyampaikan ketetapan

tentang kegiatan khusus tersebut kepada Menteri Keuangan.

B. Penghitungan Alokasi DAK

Setelah menerima usulan kegiatan khusus dari Menteri Teknis terkait, Menteri

Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK (Pasal 53 PP 55 tahun 2005).

Penghitungan Alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapan yaitu: (Pasal 54 PP

55 tahun 2005)

Page 12: Perimbangan Keuangan kelompok 4

11

o Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK

o Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah

Kriteria Pengalokasian DAK menurut Pasal 40 UU 33 tahun 2004, yaitu

o Kriteria Umum (KU), dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan

daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurang

belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD)

KU = (PAD+DAU+DBH-DBH DR) – Belanja Gaji PNSD.

Daerah dengan KU dibawah rata-rata KU secara Nasional adalah daerah

yang prioritas mendapatkan DAK.

o Kriteria Khusus (KK), berupa

Peraturan perundang-undangan mengatur penyelenggaraan

otonomi khusus (Papua&Papua Barat), dan seluruh daerah

tertinggal diprioritaskan mendapat alokasi DAK

Karakteristik daerah meliputi:

Daerah tertinggal

Daerah perbatasan dengan Negara lain

Daerah rawan bencana

Daerah pesisir dan/atau kepulauan

Daerah ketahanan pangan

Daerah pariwisata

o Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang

dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian

teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. (Pasal 57 PP 55/2005)

Kemudian besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan

perhitungan indeks berdasarkan criteria umum, criteria khusus dan criteria

teknis.

Page 13: Perimbangan Keuangan kelompok 4

12

Kriteria Umum Kemampuan

Keuangan Daerah Indeks Fiskal Netto (IFN)

Kriteria Khusus Peraturan yg berlaku

& karakteristik kewilayahan

Indeks Kewilayahan (IKW)

Indeks Fiskal,

Wilayah dan

Teknis (IFWT)

Kriteria Teknis Ditetapkan oleh menteri teknis

terkait

Indeks Tenkis Per Bidang (IT)

Page 14: Perimbangan Keuangan kelompok 4

13

Fungsi Kriteria/Indeks Teknis

1. Penentuan Daerah Penerima

a. Jika suatu daerah tidak layak dari sisi criteria umum maupun criteria khusus

(IFN>1; IFWT<1), dimungkinkan mendapatkan alokasi DAK di bidang

tertentu jika criteria teknis di bidang tersebut signifikan

b. Sebaliknya jika suatu daerah layak dari sisi criteria umum maupun criteria

khusus, namun daerah itu tidak mempunyai kebutuhan teknis di suatu

bidang (IT=0) maka daerah tersebut tidak akan mendapatkan alokasi DAK

bidang tersebut

2. Penentuan Besaran Alokasi

Diantara tiga indeks yang ada, Indeks Teknis mempunyai bobot yang terbesar di

dalam penentuan besaran alokasi DAK untuk masing-masing daerah.

C. Penetapan Alokasi dan Penggunaan DAK

Penetapan alokasi dan penggunaan DAK berpedoman pada Pedoman Umum dan

Alokasi DAK per daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Tersebut, Menteri Teknis menyusun

Petunjuk Teknis Penggunaan DAK.

D. Penganggaran DAK

Menurut PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan Pasal 60 menyebutkan

bahwa Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK

di dalam APBD. Penggunaan DAK dilakukan sesuai dengan Petunjuk Tenkis

Penggunaan DAK, dan DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi

kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, dan perjalanan dinas. Daerah

penerima DAK dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan

merencanakan dan menganggarkan kembali kegiatan DAK dalam APBD Perubahan

tahun berjalan apabila akumulasi nilai kontrak pada suatu bidang DAK lebih kecil

dari pagu bidang DAK tersebut. Optimalisasi penggunaan DAK sebagaimana

Page 15: Perimbangan Keuangan kelompok 4

14

dimaksud dilakukan untuk kegiatan-kegiatan pada bidang DAK yang sama sesuai

dengan petunjuk teknis yang ditetapkan.

Dalam hal terdapat sisa DAK pada kas daerah saat tahun anggaran berakhir,

daerah dapat menggunakan sisa DAK tersebut untuk mendanai kegiatan DAK pada

bidang yang sama tahun anggaran berikutnya sesuai dengan petunjuk teknis tahun

anggaran sebelumnya dan/atau tahun anggaran berjalan. Sisa DAK sebagaimana

dimaksud tidak dapat digunakan sebagai dana pendamping DAK. Pemerintah

daerah menyampaikan laporan penggunaan Sisa DAK sebagaimana dimaksud pada

kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Perimbangan

setelah kegiatan yang didanai dari sisa DAK selesai. (Pasal 29 PMK 06/2012)

POLA PENYALURAN DAK SESUAI PMK 06/PMK.07/2012

Penyaluran paling cepat Februari, setelah (1) Perda APBD, (2) Laporan DAK tahun sebelumnya, (3) Laporan Realisasi DAK tahap 3 (4) Rekap SP2D, (5) Surat Pernyataan Dana Pendamping diterima DJPK

Prinsip penyaluran adalah untuk pengisian Kas Daerah

Disalurkan secara bertahap

Tahap 1 : 30%

Tahap 2: 45% setelah sisa dana tahap 1 < 10%

Tahap 3 : 25% setelah sisa di kas Daerah < 10%

Data Penyerapan DAK dibuktikan dengan Laporan Penyerapan yang diterima Depkeu

Penyaluran paling akhir selambat-lambatnya 7 hari kerja sebelum akhir desember, dan tidak dapat dilakukan sekaligus di akhir tahun.

Page 16: Perimbangan Keuangan kelompok 4

15

Page 17: Perimbangan Keuangan kelompok 4

16

C. DANA BAGI HASIL (DBH)

DEFINISI

Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan

angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam

(SDA).

DASAR HUKUM

1. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;

2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat

dan Pemerintahan Daerah;

3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;

4. UUNo. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

5. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; dan

6. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

PRINSIP-PRINSIP DANA BAGI HASIL

1. Pengalokasian DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil).

2. Penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan.

DANA BAGI HASIL PAJAK

Page 18: Perimbangan Keuangan kelompok 4

17

No Jenis Penerimaan

Pajak

UU No 33 tahun 2004

Pusat Provinsi Kab/Kot

a

Biaya

Pemungut

1 Pajak Bumi dan

Bangunan 10% 16,2% 64,8% 9%

2 Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan

Bangunan

20% 16% 64%

3 PPh Psl 25 dan 29

WPOP DN dan PPh

21

80% 8% 12%

Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri

Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53/2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah; bahwa sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan dialihkan menjadi

pajak daerah paling lambat tahun 2014; bahwa dengan dialihkannya Pajak Bumi dan

Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka tidak terdapat

alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan;

DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM

Page 19: Perimbangan Keuangan kelompok 4

18

No Jenis Penerimaan

UU No 33 tahun 2004 UU

O

tsus

Pap

ua

dan

UU

PA

Pusat

Pro

v

Kab

/Kot

a Kab

/Kot

a Lain

nya

1 Kehutanan

a. IIUPH 20% 16% 64% 80%

b. PSDH 20% 16% 32% 32% 80%

c. Dana Reboisasi 60% 40% 40%

2 Pertambangan Umum

a. Landrent 20% 16% 64% 80%

b. Royalti 20% 16% 32% 32% 80%

3 Perikanan 20% 80% 80%

4 Minyak Bumi 84,5% 3,1% 6,2% 6,2% 70%

5 Gas Bumi 69,5% 6,1% 12,2% 12,2% 70%

6 Panas Bumi 20 16 32 32 80%

JENIS PENERIMAAN DBH SDA

1. Kehutanan, berasal dari:

a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH);

b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); dan

c. Dana Reboisasi.

2. Pertambangan Umum, berasal dari:

a. Iuran Tetap (Landrent); dan

b. Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (royalty).

3. Perikanan, berasal dari:

a. Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan

b. Pungutan Hasil Perikanan.

4. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, berasal dari:

Page 20: Perimbangan Keuangan kelompok 4

19

a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi dalam bentuk dana bagi hasil

dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% setelah dikurangi komponen pajak

dan pungutan lainnya serta bagian Pemerintah Pusat sebesar 84,5%; dan

b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas bumi dalam bentuk dana bagi hasil

dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 30,5% setelah dikurangi komponen pajak

dan pungutan lainnya serta bagian pemerintah Pusat sebesar 69,5%.

5. Pertambangan Panas Bumi, berasal dari:

a. Setoran Bagian Pemerintah; atau

b. Iuran Tetap dan Iuran Produksi.

TAHAP PENETAPAN DBH SDA

1. Menteri teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA paling

lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, setelah berkonsultasi

dengan Menteri Dalam Negeri dan disampaikan kepada Menteri Keuangan.

2. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada

lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya

alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 hari setelah

diterimanya usulan pertimbangan dari Menteri Teknis.

3. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana disebutkan dalam butir 2 di atas menjadi

dasar penghitungan DBH SDA oleh Menteri Teknis.

4. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing

daerah paling lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan dari Menteri Teknis.

5. Perkiraan alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk masing-masing

daerah ditetapkan paling lambat 30 hari setelah menerima ketetapan dari Menteri Teknis

sebagaimana dimaksud pada butir 1, perkiraan bagian Pemerintah, dan perkiraan unsur-

unsur pengurang lainnya.

PENGHITUNGAN REALISASI PRODUKSI DBH SDA

1. Penghitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme

rekonsiliasi data antara Pemerintah dan daerah penghasil kecuali untuk DBH SDA

Perikanan.

Page 21: Perimbangan Keuangan kelompok 4

20

2. Penghitungan realisasi DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi didasarkan atas realisasi

lifting minyak bumi dan/atau gas bumi dari departemen teknis.

PEMANTAUAN DAN EVALUASI DBH SDA

1. Pemantauan dan evaluasi teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Dana

Reboisasi (DR) dilaksanakan oleh Menteri Teknis;

2. Pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran rehabilitasi hutan dan lahan yang

berasal dari DBH DR dan penggunaan anggaran pendidikan dasar (sebesar 0,5% dari

minyak bumi dan gas bumi) dilaksanakan oleh Menteri Keuangan;

3. Dalam hal terdapat indikasi adanya penyimpangan, Menteri Keuangan dapat meminta

aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan.

Page 22: Perimbangan Keuangan kelompok 4

21

D. OTONOMI KHUSUS (OTSUS)

Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah

‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut.

Kewenangan ini diberikan agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari

daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya.

Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa karena otonomi ini

diberikan kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok

gerakan kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya dari wilayah NKRI. Jadi secara tidak

langsung, pemerintah memberikan otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan damai

agar kelompok gerakan tersebut tidak terus bergejolak.

Butuh pertimbangan yang sangat matang untuk memberikan otonomi khusus

kepada daerah ‘tertentu’ ini. Karena suatu negara sangat bergantung pada pendapatan

daerah ‘tertentu’ yang akan diberikan otonomi khusus. Diperlukan beberapa kesepakatan

agar kedua belah pihak (negara yang memberikan otsus dan daerah yang menerima otsus)

akan sama-sama diuntungkan dengan adanya otonomi khusus ini karena setiap bangsa atau

negara memerlukan kemajuan yang relatif meningkat untuk melaksanakan proses

berkembangnya negara menuju kondisi yang lebih baik.

PERBEDAAN OTONOMI DAERAH DAN OTONOMI KHUSUS

Perbedaan Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus

No Segi Otonomi Daerah Otonomi Khusus

1. Berlakunya

otonomi

Kewenangan yang

berlaku untuk semua

daerah di suatu negara.

Kewenangan yang tidak semua daerah

memperolehnya, melainkan karena adanya

faktor-faktor tertentu yang menyebabkan

daerah ‘tertentu’ memperolehnya.

2. Dasar hukum UU Otonomi Daerah:

UU Nomor 32 Tahun

2004, di mana diatur apa

saja kewenangan, hak,

dan kewajiban daerah.

UU Otonomi Khusus yang sesuai dengan

daerah ‘tertentu’

Page 23: Perimbangan Keuangan kelompok 4

22

Beberapa daerah yang diberikan otonomi khusus

1. Papua dan Papua Barat

Otonomi Khusus Provinsi Papua diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 terdiri dari 79 pasal yang telah diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun

2008. Keputusan penyatuan Papua menjadi bagian dari NKRI merupakan salah satu

tujuan NKRI. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan masih menimbulkan masalah di Papua seperti

kesejahteraan rakyat yang timpang antara kaum pendatang dan pribumi,

kesenjangan ekonomi pusat dan daerah, eksploitasi sumber daya alam perusahaan

asing yang minim dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua, kesenjangan tingkat

pendidikan dan sumber daya manusia antara pendatang dan pribumi dan minimnya

infrastruktur dan konektivitas serta sering terjadinya konflik berdarah akibat kisruh

Papua.

Untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, pemerintah pada tahun 1999 dan

2000 menetapkan perlu memberikan status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian

Jaya, hal ini merupakan suatu langkah awal dalam rangka membangun kepercayaan

rakyat kepada pemerintah untuk melaksanakan upaya penyelesaian masalah-

masalah di provinsi Papua

Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil

pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai

berikut:

1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)

2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh

persen)

3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)

4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)

6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)

Page 24: Perimbangan Keuangan kelompok 4

23

7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun

terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh

persen)

8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung

dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).

Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak

bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya

15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi

2. Aceh

Setelah otonomi khusus diberikan kepada Aceh, nama daerah Aceh berubah

menjadi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Otonomi khusus memberikan

kebebasan Aceh dalam mengurus sistem pengadilan dan pendidikannya sendiri.

DEFINISI

Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai

pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Dana Otonomi Khusus

dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Dana Otonomi Khusus Papua

2. Dana Otonomi Khusus Papua Barat

3. Dana Otonomi Khusus Nanggtoe Aceh Darussalam

4. Dana Infrastruktur Papua

5. Dana Infrastruktur Papua Barat

Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat didasarkan

pada UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU

Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan

atas Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Page 25: Perimbangan Keuangan kelompok 4

24

Dalam APBN tahun 2002 sampai dengan tahun 2012 telah dialokasikan Dana Otonomi

Khusus yang besarannya setara dengan 2 persen dari DAU nasional untuk Provinsi Papua

dan Papua Barat dengan pembagian 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk

Provinsi Papua Barat. Penggunaan Dana Otonomi Khusus diutamakan untuk pendanaan di

bidang pendidikan dan kesehatan.

Dana Otonomi Khusus juga diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2006 tentang Pemerintahan Aceh yang besarannya setara dengan 2 persen dari DAU

nasional untuk 15 tahun pertama dan 1 persen dari DAU nasional untuk 5 tahun terakhir

dan penggunaannya diarahkan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan

infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan

pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua

dan Provinsi Papua Barat juga dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang

besarannya disepakati antara Pemerintah dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan

untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Berkaitan dengan hal tersebut, alokasi Dana

Otonomi Khusus dalam RAPBN 2013 direncanakan sebesar Rp13,2 triliun (0,1 persen dari

PDB). Pagu alokasi Dana Otonomi Khusus tersebut naik Rp1,3 triliun (10,8 persen) bila

dibandingkan dengan alokasi dalam APBNP 2012 sebesar Rp12,0 triliun. Alokasi Dana

Otonomi Khusus Rp13,2 triliun tersebut terdiri atas:

a. Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp6,1 triliun. Sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut

dibagikan kepada Provinsi Papua sebesar Rp4,3 triliun dan Provinsi Papua Barat

sebesar Rp1,8 triliun.

b. Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh sebesar Rp6,1 triliun.

c. Dana tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur Papua dan Papua Barat sebesar

Rp1,0 triliun. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, Dana

Tambahan Infrastruktur Papua dan Papua Barat tersebut dibagikan kepada Provinsi

Papua sebesar Rp571,4 miliar dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp428,6 miliar.

Selanjutnya, guna mendukung percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi

Papua Barat, Pemerintah membentuk unit yang mengkoordinasikan dan mengawasi

Page 26: Perimbangan Keuangan kelompok 4

25

penggunaan anggaran yang dialokasikan termasuk Dana Otonomi Khusus agar menjadi

lebih baik.

Perkembangan APBN, 2007-2013

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

(Triliun Rupiah)

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Real. Real. Real. Real. Real. APBNP Outlook RAPBN

9,3 13,7 21,3 28,0 64,1 70,4 70,4 83,6

Transfer ke Daerah, 2012-2013

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

(Miliar Rupiah)

2012

APBN-P

% thd

PDB

2013

RAPBN

% thd

PDB

Dana Otsus 10.952,6 0,1 12.246,4 0,1

a. Dana Otsus Papua dan Papua Barat

- Provinsi Papua

- Provinsi Papua Barat

5.476,3

3.833,4

1.642,9

0,1

0,0

0,0

6.123,2

4.286,3

1.837,0

0,1

0,0

0,0

b. Dana Otsus Aceh 5.476,3 0,1 6.123,2 0,1

RAPBN 2013 dan PRAKIRAAN MAJU 2014-2016

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

(Triliun Rupiah)

RAPBN 2013 Prakiraan Maju

2014 2015 2016

83,6 98,6 109,9 121,0

Page 27: Perimbangan Keuangan kelompok 4

26

E. DANA PENYESUAIAN

DEFINISI

Definsi

(PASAL 1 ANGKA 25 UU NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008)

dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam melaksanakan kebijakan

Pemerintah Pusat.

PASAL 1 ANGKA 27 UU NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009)

dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melak-sanakan

kebijakan pemerintah pusat dan membantu mendukung percepatan pembangunan di

daerah.

PASAL 1 ANGKA 28 UU NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011)

dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan

kebijakan tertentu Pemerintah dan DPR sesuai peraturan perundangan, yang terdiri

atas dana insentif daerah, Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil

Daerah (PNSD), dana-dana yang dialihkan dari Kementerian Pendidikan Nasional

ke Transfer ke Daerah, berupa Tunjangan Profesi Guru dan Bantuan Operasional

Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, serta Kurang Bayar Dana

Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi Papua Barat.

Dalam RAPBN 2013, alokasi Dana Penyesuaian terdiri atas Dana Tambahan Penghasilan

Guru PNSD, Dana Insentif Daerah, Tunjangan Profesi Guru PNSD, Bantuan

Operasional Sekolah (BOS), dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi

(P2D2).

Page 28: Perimbangan Keuangan kelompok 4

27

DANA TAMBAHAN PENGHASILAN GURU PEGAWAI NEGERI SIPIL

DAERAH (PNSD)

Dasar hukum: Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009.

Guru Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Guru adalah Pegawai Negeri Sipil

yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan Guru sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, yang mempunyai satuan administrasi pangkal pada Taman Kanak-

kanak/Taman Kanak-kanak Luar Biasa/Raudlatul Athfal/Bustanul Athfal, Sekolah Dasar/

Sekolah Dasar Luar Biasa/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/Sekolah

Menengah Pertama Luar Biasa/ Madrasah Tsanawiyah, dan Sekolah Menengah

Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa/Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah

Aliyah/Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat.

Tambahan penghasilan merupakan sejumlah uang yang diterimakan kepada Guru

yang belum menerima tunjangan profesi dan diberikan setiap bulan.

Besarnya tambahan penghasilan bagi Guru sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh

ribu rupiah) setiap bulan dan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009.

Pemberian tambahan penghasilan bagi Guru dihentikan apabila Guru yang

bersangkutan diangkat dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional lain atau sudah

menerima tunjangan profesi atau karena hal lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

DANA INSENTIF DAERAH (DID)

Dana Insentif Daerah (DID) ditujukan terutama dalam rangka pelaksanaan fungsi

kependidikan yang dialokasikan kepada daerah dengan mempertimbangkan kriteria

tertentu.

TUNJANGAN PROFESI GURU (TPG)

Tunjangan Profesi Guru diberikan kepada Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah

(PNSD) yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan

Page 29: Perimbangan Keuangan kelompok 4

28

ketentuan peraturan perundang-undangan, yang diberikan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok

PNS yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor

14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengatur bahwa guru dan dosen berkedudukan

sebagai tenaga profesional yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional.

Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru dan dosen berhak atas tunjangan profesi

yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

Tunjangan profesi tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat

pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang

diselenggarakan oleh masyarakat. Selain memperoleh tunjangan profesi, guru dan dosen

yang ditugaskan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah di daerah khusus berhak atas

tunjangan khusus. Tunjangan khusus merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru

atau dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagai kompensasi

atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru

dan Dosen juga mengatur mengenai pemberian tunjangan kehormatan bagi dosen yang

memiliki jabatan akademik profesor.

BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)

Dalam rangka melaksanakan program wajib belajar 9 (Sembilan) tahun

sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Pemerintah mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang

ditujukan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dasar

dimaksud. Pada tahun 2013, dana BOS akan tetap dialokasikan sebagai dana penyesuaian

mengingat penyelenggaraan pendidikan dasar merupakan urusan daerah sesuai Peraturan

Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Dana BOS

disalurkan dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah provinsi untuk

selanjutnya diteruskan ke sekolah dengan mekanisme hibah.

Page 30: Perimbangan Keuangan kelompok 4

29

BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan

pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar, dan dapat dimungkinkan untuk

mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan. Pemberian dana BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi

siswa tidak mampu dan meringankan beban biaya bagi siswa yang lain, sehingga

memperoleh layanan pendidikan yang lebih bermutu dalam rangka penuntasan Wajib

Belajar Sembilan Tahun. Dana BOS merupakan stimulus bagi daerah dan bukan pengganti

(substitusi) dari kewajiban daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan. Sehubungan

dengan itu, pemberian dana BOS akan diikuti dengan perkuatan monitoring dan evaluasi

untuk menghindari terjadinya penyimpangan sekaligus memastikan bahwa daerah tidak

mengurangi alokasi anggaran untuk penyelenggaraan BOS Daerah (BOSDA). BOS akan

dikelola oleh Tim Pusat, Tim Provinsi, dan Tim Kabupaten/Kota yang berkoordinasi

secara teratur untuk menjamin agar pelaksanaan BOS mulai dari perencanaan,

penganggaran, pengalokasian, penyaluran, pelaporan, monitoring dan evaluasi berjalan

lancar dan dapat meminimalkan permasalahan.

DANA PROYEK PEMERINTAH DAERAH DAN DESENTRALISASI

(P2D2)

Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) merupakan bagian dari skema

pinjaman program Pemerintah yang bersumber dari Bank Dunia, dalam rangka

memperkuat transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan DAK, khususnya bidang

infrastruktur dengan melakukan perbaikan (reform) sistem monitoring dan evaluasi

pelaksanaan DAK. Tujuan utama P2D2 adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan

pelaporan pemerintah pusat dalam kegiatan DAK bidang infrastruktur di lingkungan daerah

percontohan. Tujuan utama tersebut akan dicapai dengan beberapa tujuan, antara lain

melalui:

a. Dukungan pembiayaan APBN (budget support);

b. Peningkatan monitoring, pelaporan, dan penguatan verifikasi output DAK di bidang

infrastruktur;

c. Mekanisme verifikasi DAK; dan

Page 31: Perimbangan Keuangan kelompok 4

30

d. Penguatan kelembagaan pelaksanaan DAK di daerah.

Pelaksanaan P2D2 diharapkan dapat memberikan dampak bagi daerah, yang antara lain

berupa:

a. Peningkatan akuntabilitas dan pelaporan DAK pada sektor infrastruktur;

b. Peningkatan pelaporan keuangan dan teknis serta verifikasi output; dan

c. Persentase output fisik dari infraktruktur yang diverifikasi meningkat.

Daerah percontohan pelaksanaan P2D2 tersebar di 5 provinsi dan mencakup 75 Pemerintah

Daerah, yakni:

1. Provinsi Jambi (1 provinsi, 6 kabupaten, 2 kota);

2. Provinsi Jawa Timur (1 provinsi, 28 kabupaten, 8 kota);

3. Provinsi Kalimantan Tengah (1 provinsi, 12 kabupaten, 1 kota);

4. Provinsi Sulawesi Barat (1 provinsi, 5 kabupaten);

5. Provinsi Maluku Utara (1 provinsi, 6 kabupaten, 2 kota).

Dalam masa persiapan P2D2 yang dimulai sejak tahun 2009, pihak Pemerintah dan Bank

Dunia telah membahas hal-hal yang terkait dengan pemilihan daerah percontohan yang

akan ikut serta dalam pelaksanaan P2D2. Sebagai langkah awal, telah disepakati untuk

memilih 5 (lima) provinsi dimaksud dengan mempertimbangkan:

(1) keberagaman secara geografis mewakili wilayah barat, tengah dan timur Indonesia;

(2) kinerja pelaporan DAK tahun-tahun sebelumnya;

(3) kemampuan menyerap alokasi DAK; dan

(4) tingkat keberhasilan dalam menghasilkan output yang didanai dari DAK. Selanjutnya,

untuk melakukan pemilihan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang akan ikut,

dilakukan seleksi dengan mempertimbangkan:

(1) daerah menerima DAK pada tahun pelaksanaan P2D2; serta

(2) daerah mengirimkan surat pernyataan minat ikut serta (commitment letter). Dalam

rangka mencapai tujuan pelaksanaan P2D2 di atas, program dilaksanakan dengan 3 (tiga)

komponen pendanaan, yaitu:

(1) DAK Reimbursement dan Insentif untuk Pemerintah Daerah yang didanai dari pinjaman

Bank Dunia;

Page 32: Perimbangan Keuangan kelompok 4

31

(2) Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pusat dan Daerah; dan

(3) verifikasi keluaran. Dua komponen terakhir didanai dengan rupiah murni. DAK

Reimbursement (penggantian DAK) merupakan skema penggantian kepada pemerintah

pusat atas penyaluran DAK untuk proyek infrastruktur di provinsi/ kabupaten/ kota sesuai

dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Pendekatan yang digunakan dalam pembiayaan

adalah Output-Based Disbursement (OBD). Dengan pendekatan ini, Bank Dunia

membayarkan bagian dari DAK untuk infrastruktur (jalan, irigasi, dan air minum)

berdasarkan laporan dan verifikasi output fisik daerah percontohan provinsi/kabupaten/kota

dalam bentuk pencairan pinjaman. Selain penggantian DAK kepada pemerintah pusat,

pemerintah daerah percontohan akan diberikan insentif/reward berupa dana sebesar 10

persen dari total nilai keluaran DAK bidang infrastruktur yang memenuhi standar kualitas

output yang ditentukan serta dalam kurun waktu yang tepat dan melakukan pelaporan DAK

kepada pemerintah pusat.

Page 33: Perimbangan Keuangan kelompok 4

32

DAFTAR PUSTAKA

http://www.djpk.depkeu.go.id/

Peraturan Menteri Keuangan DAK 2012: Nomor 209/PMK.07/2011 tentang Penetapan

Alokasi dan Pedoman Umum DAK

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan

Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Perpres No. 53 Tahun 2009 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi, Kabupaten, dan

Kota

UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;

UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintahan Daerah; dan

UUNo. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah