PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS … · 2011 . PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS...
Transcript of PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS … · 2011 . PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS...
PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR
KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERBURUAN DAN PERDAGANGAN BEBERAPA JENIS KELELAWAR DI DALAM DAN SEKITAR
KAWASAN HUTAN BATANG TORU, SUMATERA UTARA
RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN. E34050078. Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Dibimbing oleh HARYANTO R. PUTRO dan ANI MARDIASTUTI.
Sebahagian besar masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) memiliki matapencaharian yang bertumpu pada sektor pertanian. Durian dan petai banyak dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari. Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah kelelawar (Chiroptera: Megachiroptera). Tidak hanya itu, kelelawar juga berperan penting dalam menjaga ekosistem di KHBT, karena membantu penyerbukan dan penyebaran biji beberapa jenis tumbuhan di sana. Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT didominasi oleh suku Batak, dan sangat gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Perburuan yang tidak lestari dikhawatirkan akan menekan populasi kelelawar. Untuk itu perlu dilakukan survei perburuan dan perdagangan kelelawar. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.
Lokasi penelitian berada di Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatra Utara. Penelitian dilaksanakan bulan November 2009-Juni 2010. Alat yang digunakan adalah peta kawasan, buku panduan lapang “Kelelawar di Indonesia” (Suyanto 2001), GPS, kamera digital, camera trap, binokuler, senter, alkohol 90%, dan panduan wawancara. Objek yang di teliti adalah jenis kelelawar yang diburu, pemburu, pengumpul dan pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak, pengkonsumsi, serta petani durian. Pengumpulan data dilakukan dengan studi literatur, wawancara, observasi lapangan dan pemasangan camera trap. Data dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelelawar yang diburu adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak. Jenis kalong kapauk lebih banyak diburu daripada lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dengan tujuan komersial ini dilakukan dengan menggunakan jaring, namun ada juga sebahagian kecil yang menggunakan senapan angin dan rawe. Perburuan kalong kapauk berlangsung musiman (musim bunga durian), sedangkan perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak.
Perdagangan kelelawar terjadi secara lokal. Harga seekor kalong kapauk dari pedagang kepada pembeli sekitar Rp 15.000-40.000, sedangkan lalai kembang dan kusing dayak dijual seharga Rp 1.000 per ekor. Bentuk pemanfaatan kelelawar adalah sebagai sumber protein, menu makanan ekstrem, dijadikan serbuk obat asma, dan sebagai tambul. Diperlukan suatu upaya konservasi untuk menyelamatkan populasi kelelawar yang diperkirakan terus menurun ini, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai fungsi penting kelelawar, pendidikan konservasi dibangku sekolah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyuluhan pertanian, dan perbaikan habitat kelelawar.
Kata kunci: perburuan, perdagangan, Pteropodidae, Hutan Batang Toru
SUMMARY
RONALD ANDREAS PAJA SIAGIAN. E34050078. The Hunt and Trade of Some Species of Bats inside and surround Forest Area of Batang Toru, North Sumatra. Under supervision of HARYANTO R. PUTRO and ANI MARDIASTUTI
Most of local people surround Batang Toru Forest Area work at agriculture sectors. Durian and petai are mostly cultivated due to those commodities have high economic value. The main wild animals that help pollination of durian and petai is bat (Chiroptera: Megachiroptera). Not only help durian and petai pollination, but bats also help other plants pollination and spread some seeds. Therefore bats also have function as forest ecosystem keeper. The local people inside and surrounding Batang Toru forest is dominated by Batak ethnic. They are found of consuming bats meat (Pteropodidae). Unsustainable bat hunting is worrying since it can decrease bats population. The aims of study is to get information concerning the hunt and trade of some species of bats inside and surrounding Batang Toru Forest Area from conservation perspective.
The locations of study were at Batang Toru Forest Area, surrounding Batang Toru Forest Area. The study was conducted during November 2009 - June 2010. The tools that were used consisted of map of area, guidance book “Kelelawar di Indonesia”, GPS, digital camera, 2 unit of trap camera, binocular, flash light, watch, alcohol 90% and guidance questioner. The objects of this study were kalong kapauk, lalai kembang and kusing dayak, bats hunters, bats collectors, bats sellers, bats buyers, food shop owners, toddy shop owners, bats consumers and durian farmers. The data was collected through literature study, interview, field observation and video from trap camera. The data then was analyzed descriptively.
The bats trades happen locally. The price of one kalong kapauk can reach Rp 15.000,00 – Rp 40.000,00, while one lalai kembang or kusing dayak is only paid Rp 1.000,00. The utilizations of bats are usually for protein source, extreme menu, medicine and Snacks. Concerning the important aim of bats in the ecosystem, it needs conservation effort to conserve bat population that is getting decrease. The conservation effort can be giving socialization to local people regarding important aim of bats to the ecosystem, delivering conservation education to pupils in the schools, increasing local people welfare by giving agricultural illumination and repairing the habitat of bats.
Key words: hunt, trade, Pteropodidae, Batang Toru Forest
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perburuan dan
Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan
Batang Toru, Sumatera Utara adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan
bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Ronald Andreas Paja Siagian
NRP E34050078
Judul Skripsi : Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam
dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara
Nama : Ronald Andreas Paja Siagian
NIM : E34050078
Menyetujui:
Komisi Pembimbing
Mengetahui:
Ketua Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal:
Pembimbing I,
Ir. Haryanto R. Putro, MS NIP. 19600928 198503 1 004
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc NIP. 19590925 198303 2 002
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan pada bulan November 2009-Juni
2010 adalah Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di Dalam dan
Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di
bawah bimbingan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Ibu Prof. Dr. Ir. Ani
Mardiastuti, M.Sc.
Maraknya perburuan kelelawar yang terjadi di dalam dan di sekitar
Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) menimbulkan kekhawatiran bagi
sebahagian pihak yang peduli terhadap masalah lingkungan. Penulis melakukan
penelitian ini untuk melihat kondisi perburuan dan perdagangan kelelawar yang
terjadi sejauh ini. Sumber dana dalam pelaksanaan penelitian ini diperoleh dari
Lembaga Swadaya Masyarakat Yayasan Ekosistem Lestari (LSM YEL).
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan karya
ilmiah ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan saran dan kritik yang membangun selama proses penyelesaian karya
ilmiah ini. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2011
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari bahwa penelitian ini terlaksana berkat dukungan
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga besar penulis khususnya Bapa dan Mama atas kasih sayang,
nasehat, kesabaran, dan dukungan doa.
2. Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc atas semua
masukan berharga serta motivasi dan nasihat-nasihatnya kepada penulis.
3. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen
Manajemen Hutan.
4. Ir. Jajang Suryana, M.Sc sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan.
5. Ir. Oemijati Rachmatisjah, MS sebagai dosen penguji dari Departemen
Silvikultur.
6. Yayasan Ekosistem Lestari, Gabriella Fredriksson, Graham User, dan Helga
Peters atas kesempatan, masukan-masukan, bantuan selama di lapangan, dan
bantuan dana penelitian yang telah diberikan.
7. Seluruh staf YEL Batang Toru (Pinda Sianturi, S.Hut, M Faesal Rakhman
Khakim, S.Hut, Sri Mahaini, Jumiatik, Subroto, Waldi Sipahutar, Rijal
Simangunsong, Pak Buyung, Con, dan Kalam) atas bantuannya di lapangan.
8. Lina Kristina Dewi, S.Hut dan Insan Kurnia, S.Hut atas masukan dan
bantuannya.
9. Keluarga besar KSHE 42 atas semua perjuangan dan kebersamaannya.
10. Keluarga besar Himakova khususnya Kelompok Pemerhati Gua (G-12) atas
semua perjuangan dan kebersamaannya.
11. Keluarga besar KSHE atas bantuannya kepada penulis selama menimba ilmu
di IPB.
12. Keluarga besar UKM PMK IPB khususnya Komisi Pelayanan Siswa atas
pengalaman dan persahabatan yang dirasakan penulis.
13. Penghuni kost Sakura (David Siagian, A.Md, Dian Firdaus, S.Hut, Dion,
Christian, dan Boyce).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pabatu, Sumatera Utara pada
tanggal 12 Juli 1987 sebagai anak keempat dari empat
bersaudara pasangan Arnold Siagian dan Tianur Saragih.
Pendidikan formal penulis dimulai di SDN IV Ajamu (1993-
1999), kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Yapendak
Ajamu (1999-2002). Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU
RK Bintang Timur Rantauprapat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk
IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru IPB. Penulis memilih
Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas
Kehutanan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai anggota Himakova Kelompok Pemerhati Gua (G-
12) tahun 2006-2008, koordinator bidang pelayanan Komisi Pelayanan Siswa Unit
Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB tahun 2007-2008, dan
wakil koordinator II bidang eksternal Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan
Mahasiswa Kristen IPB tahun 2008-2009. Kegiatan lapang yang pernah diikuti
adalah Eksplorasi Fauna dan Flora Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam
Gunung Simpang Bandung (2008).
Kegiatan akademik lapang yang pernah diikuti antara lain Praktek
Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cilacap dan BKPH Gunung Slamet Barat
Baturaden Jawa Tengah (2007), Praktek Pengelolaan Konservasi Eksitu di Kebun
Tanaman Obat Karya Sari Leuwiliang Bogor dan Taman Margasatwa Ragunan
Jakarta Selatan. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi
(PKLP) di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur (2009).
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul Perburuan dan Perdagangan Beberapa Jenis Kelelawar di
Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara dibimbing oleh
Ir. Haryanto R. Putro, MS dan Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... iv I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ........................................................................ 2 1.3 Kerangka Pemikiran ....................................................................... 3 1.4 Maksud dan Tujuan ......................................................................... 3 1.5 Manfaat ............................................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5 2.1 Bio-Ekologi Kelelawar ................................................................... 5
2.1.1 Kalong Kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758) ....... 6 2.1.2 Lalai Kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) .......... 11 2.1.3 Kusing Dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890) ..... 12
2.2 Fungsi di Alam ............................................................................... 13 2.3 Alat dan Cara Perburuan ................................................................. 14 2.4 Perdagangan .................................................................................... 16 2.5 Upaya Konservasi ........................................................................... 18
III. METODE PENELITIAN ......................................................................... 19 3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 19 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................... 19 3.3 Jenis Data yang Dikumpulkan ........................................................ 19 3.4 Metode Pengumpulan Data ............................................................ 20
3.4.1 Pengamatan (Observasi) ..................................................... 20 3.4.2 Wawancara (Interviu) ......................................................... 21 3.4.3 Camera Trap ........................................................................ 21 3.4.4 Jenis Kelelawar yang Diburu dan Diperdagangkan ............ 22 3.4.5 Perburuan Kelelawar .......................................................... 23 3.4.6 Perdagangan Kelelawar ....................................................... 23 3.4.7 Karakteristik Responden ..................................................... 23 3.4.8 Kondisi Habitat ................................................................... 24 3.4.9 Kebun Durian ...................................................................... 24
3.5 Analisis Data ................................................................................... 24 IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ........................................... 25
4.1 Letak dan Luas ................................................................................ 25 4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara .................................................. 25 4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah ............................................... 26 4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan ............................................... 27
4.2 Topografi dan Geologi .................................................................... 28 4.3 Iklim ................................................................................................ 29 4.4 Potensi Fauna dan Flora ................................................................. 29 4.5 Kondisi Masyarakat ........................................................................ 30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 31 5.1 Pengenalan Kalong Kapauk, Lalai Kembang dan Kusing
Dayak .............................................................................................. 31
5.2 Perburuan Kalong Kapauk .............................................................. 32 5.2.1 Alat dan Cara Perburuan ..................................................... 32
5.2.1.1 Jaring (Jala) ........................................................... 33 5.2.1.2 Senapan Angin ...................................................... 35 5.2.1.3 Rawe (Mata Kail Pancing) .................................... 35
5.2.2 Daerah dan Lokasi Perburuan ............................................. 36 5.2.3 Waktu Perburuan ................................................................ 38 5.2.4 Frekuensi Perburuan ........................................................... 39 5.2.5 Estimasi Jumlah Tangkapan ............................................... 39
5.3 Perdagangan Kalong Kapauk ......................................................... 40 5.3.1 Rantai Perdagangan ............................................................ 40 5.3.2 Lokasi Penjualan ................................................................. 42
5.4 Karakteristik Responden Pemanfaat Kalong Kapauk ..................... 43 5.4.1 Pemburu .............................................................................. 46 5.4.2 Pengumpul dan Pedagang ................................................... 48 5.4.3 Pembeli ............................................................................... 48 5.4.4 Pemilik Rumah Makan dan Warung Tuak yang
Menjual Kalong Kapauk Siap Saji ...................................... 50 5.4.5 Pengkonsumsi Kalong Kapauk Siap Saji ........................... 52
5.5 Perburuan Lalai Kembang dan Kusing Dayak ............................... 53 5.5.1 Alat dan Cara Perburuan ..................................................... 53 5.5.2 Daerah dan Lokasi Perburuan ............................................. 54 5.5.3 Waktu Perburuan ................................................................. 55 5.5.4 Frekuensi Perburuan ........................................................... 56 5.5.5 Sex ratio Hasil Buruan ........................................................ 58 5.5.6 Estimasi Jumlah Tangkapan ............................................... 58
5.6 Perdagangan Lalai Kembang dan Kusing Dayak ........................... 58 5.7 Karakteristik Pemanfaat Lalai Kembang dan Kusing Dayak .......... 59
5.7.1 Pemburu .............................................................................. 60 5.7.2 Pembeli ............................................................................... 62
5.8 Kondisi Habitat ............................................................................... 62 5.9 Kebun Durian ................................................................................. 63 5.10 Pembahasan Umum ........................................................................ 65
5.10.1 Kalong Kapauk ................................................................... 65 5.10.2 Lalai Kembang dan Kusing Dayak ..................................... 70 5.10.3 Implikasi Terhadap Pengelolaan ......................................... 71
5.10.3.1 Kelestarian Kalong Kapauk, Lalai Kembang, dan Kusing Dayak ................................................ 71
5.10.3.2 Sifat Migrasi Kalong Kapauk ............................... 72 5.10.3.3 Kondisi Habitat ..................................................... 72 5.10.3.4 Upaya Pemerintah ................................................. 73
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 76 6.1 Kesimpulan ..................................................................................... 76 6.2 Saran ............................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 78 LAMPIRAN .................................................................................................... 81
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan
sekitar KHBT ........................................................................................... 43
2. Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam
dan sekitar KHBT .................................................................................... 44
3. Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten
Tapanuli Tengah ...................................................................................... 49
4. Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong
kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil
survei ........................................................................................................ 50
5. Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua
Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ..................................... 56
6. Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing
dayak di Kecamatan Tukka ...................................................................... 60
7. Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang
dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ...................................... 61
8. Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok
dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap ...................................... 61
9. Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten
Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun 2006-
2008 .......................................................................................................... 64
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan
kelelawar di dalam dan sekitar KHBT ...................................................... 3
2. Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000) ............... 7
3. Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001) ................. 15
4. Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006) .................... 17
5. Camera trap tipe Sony P41 ...................................................................... 19
6. Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL) .................. 25
7. Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c) ................. 32
8. Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring ................... 35
9. Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe .................... 36
10. Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan
kalong kapauk .......................................................................................... 37
11. Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a)
dan salah satu lokasi penjaringan kalong kapauk (b) ............................... 38
12. Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara
pemburu (n = 69) ..................................................................................... 39
13. Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di
Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah
diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c) ............ 41
14. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT ........ 41
15. Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk
(b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa
Tukka (c) .................................................................................................. 42
16. Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan
sepeda motor ............................................................................................ 42
17. Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masing-
masing kategori ........................................................................................ 43
18. Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong
kapauk (n = 69) ........................................................................................ 47
19. Alat perburuan lalai kembang dan kusing dayak ..................................... 53
iii
20. Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan
memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b) .......... 54
21. Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat,
Kabupaten Tapanuli Utara ....................................................................... 54
22. Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari masing-
masing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ............... 56
23. Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang
dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap ............................................... 57
24. Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1) .............. 58
25. Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan:
membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil
setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f) ............................. 59
26. Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu
gilingan (c) ............................................................................................... 63
27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara
petani durian (n = 59) ............................................................................... 63
28. Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara
petani durian (n=59) ................................................................................. 65
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan
sekitar KHBT ............................................................................................ 82
2. Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing
dayak di dalam dan sekitar KHBT ........................................................... 85
3. Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong
kapauk, di dalam dan sekitar KHBT ........................................................ 86
4. Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk
konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT ....................................... 87
5. Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak
yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar
KHBT ....................................................................................................... 88
6. Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan
warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam
dan sekitar KHBT .................................................................................... 89
7. Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan
sekitar KHBT ........................................................................................... 90
8. Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Sumber : Suyanto (2001)) ...... 91
9. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dan di Panti ........ 92
10. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan camera trap .... 94
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT) terletak di Kabupaten Tapanuli
Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi
Sumatra Utara. Kawasan HBT berstatus hutan produksi seluas 93.628 ha
(68,7%), hutan lindung (register) atau suaka alam seluas 25.315 ha (18,6%) dan
area peruntukan lain seluas 17.341 ha (12,7%) (Indra & Fredriksson 2007).
Sebahagian besar masyarakatnya memiliki matapencaharian yang bertumpu pada
sektor pertanian. Durian dan petai merupakan jenis tanaman yang banyak
dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi dan sangat digemari oleh
masyarakat.
Satwa utama yang membantu penyerbukan durian dan petai adalah
kelelawar. Selain durian dan petai, di dalam dan sekitar KHBT terdapat sekitar
184 jenis tanaman lain yang penyerbukannya juga dibantu oleh kelelawar, seperti:
nangka, mangga, pisang, jambu serta beragam jenis tanaman penting lainnya yang
menghasilkan kayu dan non kayu (Indra & Fredriksson 2007). Kelelawar juga
berperan sebagai pemencar biji-bijian yang efektif, karena dapat menyebarkan biji
dengan jarak lebih luas. Kelelawar jenis kalong kapauk (Pteropus vampyrus
Linnaeus, 1758) di Malaysia memiliki daya tempuh 60 km dalam semalam (Burns
2009), sedangkan kelelawar jenis lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson,
1871) memiliki daerah jelajah mencapai radius 40 km dalam semalam (Suyanto
2001).
Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan habitat dan perburuan
secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003; Mulyana 2009).
Perburuan kalong kapauk sering terjadi karena satwa tersebut dianggap merugikan
(memakan buah-buahan di kebun) dan kurangnya informasi bagi masyarakat
(Kencana 2002). Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), perburuan satwaliar
pada awalnya hanya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan
protein. Pemanenan kemudian berubah menjadi aktivitas jual beli untuk
mendapatkan uang tunai dari pihak lain (Soehartono & Mardiastuti 2003).
Masyarakat di dalam dan disekitar KHBT didominasi oleh suku Batak
yang gemar mengkonsumsi daging kelelawar (Pteropodidae). Jenis kelelawar
2
yang diburu dan diperdagangkan adalah kalong kapauk, lalai kembang dan kusing
dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Ketiga jenis kelelawar ini berasal
dari genus yang berbeda-beda dan termasuk dalam kelas Mamalia, subordo
Megachiroptera, dan famili Pteropodidae. Kalong kapauk termasuk dalam genus
Pteropus (Andersen 1912; Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam
Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001), lalai kembang termasuk dalam subfamili
Macroglossinae dan genus Eonycteris (Suyanto 2001), sedangkan kusing dayak
termasuk dalam genus Dyacopterus (Suyanto 2001).
Masyarakat di dalam dan sekitar KHBT sudah lama mengenal ketiga jenis
kelelawar ini. Kalong kapauk lebih dikenal dengan sebutan haluang, sedangkan
lalai kembang dan kusing dayak dikenal dengan sebutan lopong. Lopong
merupakan sebutan lokal untuk semua jenis kelelawar yang tinggal di dalam gua.
Jenis lopong yang diburu adalah lalai kembang dan kusing dayak, karena
memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Penulis tidak melakukan identifikasi
terhadap jenis kelelawar lain yang tidak diburu oleh masyarakat.
Perburuan dan pedagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing
dayak yang berlangsung secara terus menerus dikhawatirkan dapat menyebabkan
penurunan populasi dari ketiga jenis kelelawar tersebut. Penurunan populasi
kelelawar ini dapat mengakibatkan produktivitas buah durian, petai dan jenis
tanaman budidaya lainnya menurun, serta terganggunya ekosistem di KHBT.
Penelitian mengenai perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang
dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu untuk dilakukan.
1.2 Perumusan masalah
Penelitian ini diarahkan untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan sebagai berikut: (1) jenis kelelawar yang diburu; (2) alat dan cara
perburuan; (3) daerah-daerah (desa/dusun) dan lokasi perburuan; (4) waktu
perburuan; (5) frekuensi peburuan; (6) sex ratio hasil buruan; (7) estimasi jumlah
hasil tangkapan; (8) rantai perdagangan kelelawar; (9) bentuk pemanfaatannya;
(10) letak lokasi penjualan; (11) karakteristik pemanfaat kelelawar; (12) kondisi
habitat kelelawar; dan (13) hasil panen durian dari tahun ke tahun. Data dan
informasi yang menjawab permasalahan di atas diperlukan dalam upaya
3
konservasi terhadap jenis kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak
khususnya di dalam dan sekitar KHBT.
1.3 Kerangka pemikiran
Kelelawar memiliki peranan penting dalam membantu proses penyerbukan
dan pemencaran biji tumbuhan. Perburuan secara tidak lestari dikhawatirkan dapat
menekan populasinya di alam, karena perkembangbiakannya yang berlangsung
lambat. Perburuan dan perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing
dayak di dalam dan sekitar KHBT perlu segera disurvei untuk melihat kondisi
yang sebenarnya, sehingga dapat dilakukan upaya yang tepat untuk mendukung
pelestarian dari ketiga jenis kelelawar ini. Kerangka penelitian perburuan dan
perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian perburuan dan perdagangan kelelawar
di dalam dan sekitar KHBT.
1.4 Maksud dan tujuan
Maksud dan tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah untuk memperoleh
informasi mengenai perburuan dan perdagangan beberapa jenis kelelawar yang
terjadi di dalam dan sekitar KHBT, dalam upaya konservasi kelelawar.
Upaya-upaya konservasi
Survei pasar tradisional
Persepsi para pihak
Populasi berkurang
1. Produktivitas kebun buah berkurang
2. Ekosistem di KHBT terganggu
Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT
Diburu secara tradisional
Konsumsi sendiri Diperdagangkan secara komersial
Survei lokasi perburuan
4
1.5 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam:
1. Menyediakan informasi mengenai sistem perburuan beberapa jenis kelelawar
di dalam dan sekitar KHBT.
2. Menyediakan informasi mengenai kajian perdagangan dan pemanfaatan
beberapa jenis kelelawar di dalam dan sekitar KHBT.
3. Memberikan usulan-usulan tentang upaya yang perlu dilakukan agar kelelawar
yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT tetap lestari.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bio-ekologi kelelawar
Kelelawar termasuk Ordo (bangsa) Chiroptera dan memiliki 2 subordo
(anak bangsa), yaitu Megachiroptera dan Microchiroptera. Megachiroptera
umumnya berukuran besar, telinga tidak memiliki tragus/antitragus, jari sayap
kedua umumnya bercakar dan terdiri dari dua tulang jari, serta pemakan buah dan
nektar (Standbury 1970; Yalden & Morris 1975; Feldhamer 1999; Kunz & Jones
2000; Suyanto 2001). Microchiroptera pada umumnya berukuran kecil, telinga
memiliki tragus/antitragus, jari sayap kedua tidak bercakar, tidak memiliki tulang
jari, dan pemakan serangga (Standbury 1970; Feldhamer 1999; Kunz & Jones
2000; Suyanto 2001), serta pemakan ikan dan darah (Feldhamer 1999). Perbedaan
lainnya adalah dari cara melihat, ukuran dan bentuk sayap, orientasi mencari
pakan (Feldhamer 1999) dan tingkat ketajaman indra penciumannya (Standbury
1970). Megachiroptera memiliki mata yang lebih besar, penciuman yang baik, dan
memiliki lidah yang panjang (Standbury 1970).
Di dunia ada 18 suku, sekitar 192 marga, dan 977 jenis kelelawar (Nowak
1999, diacu dalam Suyanto 2001). Meskipun memiliki jumlah jenis yang banyak
(terbesar kedua setelah Rodentia dalam kelas Mamalia), namun umumnya anggota
individu masing-masing jenis tidak banyak (Suyanto 2001). Di Indonesia ada 205
atau 21% jenis kelelawar di dunia yang sudah diketahui, sembilan suku dari jenis-
jenis ini termasuk dalam 52 marga (Suyanto 2001). Kesembilan suku tersebut
terdiri dari Subordo Megachiroptera (Pteropodidae) dan Subordo Microchiroptera
(Megadermatidae, Nycteridae, Vespertilionidae, Rhinolophidae, Hipposideridae,
Emballonuridae, Rhinopomatidae dan Molossidae) (Suyanto 2001).
Selain memiliki tingkat adaptasi yang baik kelelawar juga memiliki daerah
penyebaran yang bersifat kosmopolit, karena ditemukan hampir diseluruh wilayah
di muka bumi kecuali di daerah kutub dan pulau-pulau terisolasi (Stadbury 1970;
Vaughan 1986). Menurut Suyanto (2001), kelelawar dapat tinggal di kolong atap-
atap rumah, terowongan-terowongan, di bawah jembatan, rerimbunan dedaunan,
gulungan daun pisang/palem, celah bambu, lubang-lubang batang pohon dan
pohon-pohon besar. Musuh alami kelelawar adalah ular sanca, ular hijau, elang
kelelawar, kucing dan burung hantu (Suyanto 2001).
6
2.1.1 Kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus, 1758)
Kalong kapauk termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili
Pteropodidae dan Genus Pteropus, serta memiliki 58 jenis (Andersen 1912;
Yalden & Morris 1975; Koopman 1993, diacu dalam Kunz & Jones 2000;
Suyanto 2001). Menurut Andersen (1912), kalong kapauk mempunyai beberapa
sub spesies yaitu P. v. malaccensis di Sumatera, Malaysia, Burma, Muangthai dan
Vietnam; P. v. vampyrus di Jawa; P. v. pluton di Bali dan Lombok; P. v. edulis di
Timor dan Pulau Sawu; P. v. natunae di Pulau Natuna (Bunguran, Pulo Panjang)
dan Kalimantan; P. v. lanensis di Filipina.
Nama ”pteropus” berasal dari bahasa Yunani ”pteron” yang berarti sayap,
sedangkan ”vampyrus” berasal dari bahasa Perancis dan Jerman ”vampir” yang
berarti penghisap darah, sebutan untuk kelelawar penghisap darah (Suyanto 1979).
Sebutan ”vampir” bertentangan dengan sifat binatang yang bersangkutan, karena
makanannya berupa buah-buahan dan sama sekali tidak menghisap darah
(Suyanto 1979). Kalong kapauk memiliki nama lain: keluang, paniki, kabog, giant
flying fox, island flying fox, Malayan flying fox, Malayan large flying fox,
Malaysian flying fox, common flying fox, Sunda Island flying fox, large fruit bat,
Malacca fruit bat, dan red-necked fruit bat (Kunz & Jones 2000).
Ciri-ciri umum yang dimiliki kalong kapauk menurut Suyanto (1979)
adalah panjang badan dan kepala dapat mencapai 40 cm, kepala mirip anjing,
berwarna kuning kemerah-merahan sampai coklat kehitam-hitaman (warna ini
hanya sampai kebahu, sedangkan sisanya kehitam-hitaman), betis dan sayap tidak
berambut , panjang telinga 4-5 cm dengan ujung meruncing, membran antar paha
tidak tumbuh di tengah, rigi platum (tonjolan kulit pada langit-langit) 5+5+3 atau
5+51/2 atau 6+3, betis bagian atas tidak berbulu, basal ledge belakang pada
graham tidak tumbuh, dan lengan bawah panjangnya mencapai 18-22 cm. Kalong
kapauk tidak memiliki ekor (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000).
Kalong kapauk juga dapat dibedakan dengan jenis lainnya melalui warna
bulu (Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Warna dan bentuk
bulu kalong kapauk bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin (Goodwin
1979, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Kalong kapauk remaja biasanya
berwarna abu-abu sampai cokelat/ pirang (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz &
7
Jones 2000). Bulu jantan terlihat sedikit lebih kaku dan lebih tebal dibandingkan
betina (Taylor 1934, diacu dalam Kunz & Jones 2000). Jantan juga mempunyai
kelenjar neck-tufts yang kaku di leher (Andersen 1912).
Menurut Ingle dan Heaney (1992) diacu dalam Kunz dan Jones (2000),
kalong kapauk memiliki berat badan kira-kira mencapai 645–1,092 gram.
Menurut Suyanto (1979), berat kalong kapauk dewasa sekitar 600 - 1.400 gram.
Menurut Yalden dan Morris (1975), berat kalong kapauk dapat mencapai 1.200
gram, yang sama dengan berat seekor kelinci. Panjang rentang sayap 1,320–1,500
m (Yalden & Morris 1975; Ingle & Heaney 1992, diacu dalam Kunz & Jones
2000; Suyanto 2001).
Menurut Andersen (1912), kalong kapauk terdapat hampir diseluruh
wilayah Wallace Indo-Malayan (Gambar 2). Kalong kapauk terdapat mulai dari
selatan Burma dan Thailand bagian timur sampai ke Filipina dan ke Selatan
Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Timor (Andersen 1912). Di Semenanjung
Malaysia dan Kalimantan, kalong kapauk umumnya berada di wilayah pantai,
tetapi juga terdapat pada ketinggian sampai 1,370 m dpl (Medway 1969, diacu
dalam Kunz & Jones 2000). Menurut Liat (1966), di Malaysia kalong kapauk
dapat ditemukan di hutan-hutan dataran rendah yang hinggap bergantungan di
pohon-pohon besar dengan ketinggian antara 100-150 kaki dari permukaan tanah.
Gambar 2 Penyebaran geografi kalong kapauk (Sumber: Kunz & Jones 2000).
8
Menurut Lekagul dan McNeely (1975), penyebaran kalong kapauk hampir
meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara, yaitu dapat dijumpai di dataran rendah
sampai dataran tinggi dengan ketinggian kurang lebih 1.300 m dpl. Sarang kalong
kapauk juga dapat ditemukan di hutan-hutan mangrove, dimana jenis ini
berkelompok dalam jumlah yang lebih kecil dengan jumlah antara 20-150 ekor
setiap kelompoknya (Liat 1966). Kalong kapauk dalam koloni yang besar,
mungkin dapat berkisar ratusan sampai ribuan individu (Liat 1966).
Menurut Dharmawan (1987), kalong kapauk yang ada di Pulau Rambut
Kepulauan Seribu hanya menggunakan dua tipe hutan, yaitu: hutan payau
(mangrove) dan tipe hutan sekunder dataran rendah. Pada hutan payau, jenis
pohon tempat istirahat adalah bakau merah (Rhizopora mucronata), sedangkan
pada hutan sekunder dataran rendah, jenis pohon yang digunakan adalah pohon
kepuh (Sterculia foetida), kedoya (Amoora aphanamixis), dan kesambi
(Schleichera oleosa) (Dharmawan 1987). Pohon-pohon yang disenangi adalah
pohon tertinggi, mudah dijangkau, bercabang banyak, dan kuat, serta cabangnya
menyebar luas (Dharmawan 1987).
Menurut Pieters (1953) diacu dalam Suyanto (1979), kalong kapauk di
alam memakan buah semacam beringin (Ficus) dan kersen (Muntingia calabura).
Kalong kapauk juga makan bunga dan daun muda untuk mendapatkan serbuk sari
dan air, terutama pada musim kering. Bunga randu (Ceiba pentandra), durian
(Durio zibethinus) dan kelapa (Cocos nucifera) sangat disukai kalong kapauk.
Menurut Yalden dan Morris (1975), makanan kalong kapauk adalah buah, nektar,
dan serbuk sari. Selain kalong kapauk, Chiroptera pemakan buah, nektar, dan
serbuk sari lainnya adalah Phyllostomidae yang berasal dari Subordo
Microchiroptera (Yalden & Morris 1975).
Tipe pohon-pohon yang disenangi kalong kapauk untuk tempat bersarang
mempengaruhi penyebarannya. Pteropus spp. lebih menyenangi pohon-pohon
yang tinggi dengan cabang-cabangnya yang menyebar luas (Liat 1966). Kalong
kapauk sering bersarang pada satu pohon tertentu atau satu kelompok pohon, dan
dari tahun ketahun kalong kapauk tersebut enggan (malas) meninggalkan tempat
yang telah disenanginya itu (Liat 1966). Perilaku umum dari kalong kapauk ini
menunjukkan bahwa penyebaran lokalnya sangat berkaitan dengan penyebaran
9
tanaman atau ketersediaan makanannya (Payne et al. 1985, diacu dalam Kunz &
Jones 2000; Liat 1966). Kalong kapauk melimpah pada bulan April-Juni dan
Desember-Januari setiap tahunnya, karena pada waktu-waktu tersebut adalah
musim buah-buahan (Liat 1966).
Di Semenanjung Malaysia, puncak kebuntingan kalong kapauk terjadi
pada bulan November sampai Januari (Medway 1969, diacu dalam Kunz & Jones
2000), tetapi dapat juga pada waktu yang berbeda (Heideman & Heaney 1992,
diacu dalam Kunz & Jones 2000). Di Thailand, induk kalong kapauk melahirkan
anak secara bersamaan pada bulan Maret atau April (Heideman & Heaney 1992,
diacu dalam Kunz & Jones 2000; Lekagul & McNeely 1977). Kalong kapauk
berkembangbiak dengan melahirkan anak dengan masa buntingnya sekitar 6 bulan
dan jumlah anak seekor pada setiap kelahiran (Lecagul & McNeely 1977; Suyanto
1979). Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk dipengauhi oleh musim
buah, yaitu bersamaan dengan musim buah-buahan, tetapi dapat juga berbeda-
beda berdasarkan letak wilayahnya (Lecagul & McNeely 1977).
Menurut Yalden dan Morris (1975), faktor lingkungan yang
mempengaruhi musim kawin (breeding) pada hewan mamalia pada umumnya
adalah perubahan cahaya (bertambah atau berkurangnya sepanjang hari), curah
hujan dan temperatur (suhu). Setiap kalong kapauk yang berada di daerah
beriklim sedang adalah jenis monoestrous, yaitu hanya memiliki satu masa
bereproduksi dalam setahun dan menghasilkan seekor anak setiap kelahirannya.
Di daerah tropis, cahaya dan temperatur relatif stabil dan beberapa jenis
kalong kapauk di daerah ini seharusnya akan berbiak setiap bulannya, tetapi
ternyata kalong kapauk hanya menghasilkan anak seekor setiap tahunnya (Yalden
& Morris 1975). Beberapa jenis kelelawar di daerah tropis memiliki musim kawin
yang dibatasi oleh siklus tahunan melalui pergantian hujan, sehingga anak kalong
kapauk akan dilahirkan dengan mengikuti musim berbunga atau musim buah
(Yalden & Morris 1975).
Menurut Yalden dan Morris (1975), sebelum melahirkan induk-induk
kalong kapauk mengalami pemisahan sex terlebih dahulu. Induk-induk yang
bunting tersebut kadang-kadang ditemani oleh beberapa ekor betina yang masih
muda dan membentuk suatu kelompok asuh (nursing colonies). Diduga
10
pemisahan induk-induk bunting dengan pejantan untuk mengurangi adanya
kekacauan dan persaingan makanan (Yalden & Morris 1975).
Janin kalong kapauk sangat besar, terkadang mencapai sepertiga berat
induknya (Yalden & Morris 1975). Bayi yang baru lahir menempel pada induknya
dan untuk beberapa hari pertama turut dibawa terbang dalam pencarian makanan.
Setelah itu ditinggalkan di pohon tempat istirahat setiap kali induknya mencari
makan (Yalden & Morris 1975). Kalong kapauk umumnya sudah dapat terbang
sendiri pada usia sekitar 2 - 3 bulan (Yalden & Morris 1975). Karena jumlah bayi
yang berasal dari satu induk sangat kecil, populasi kalong kapauk memiliki
tingkat pertumbuhan yang lambat. Mungkin ini diimbangi dengan masa hidupnya
yang lama (Yalden & Morris 1975).
Perilaku satwa merupakan suatu reaksi (ekspresi) satwa terhadap faktor-
faktor yang mempengaruhi baik itu faktor internal yang berasal dari dalam tubuh
satwa dan dipengaruhi oleh sifat genetik, maupun faktor eksternal yaitu
rangsangan dari lingkungan (Suratmo 1979). Perilaku merupakan gerak-gerik
satwaliar untuk memenuhi rangsangan dalam tubuhnya dengan memanfaatkan
rangsangan dari lingkungannya. Fungsi perilaku adalah untuk menyesuaikan diri
terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam
(Alikodra 2002).
Kalong kapauk merupakan satwa yang aktif pada malam hari yang selalu
berkoloni dalam kelompok kecil sampai besar dan beristirahat pada siang hari
dengan cara menggantung ke bawah dan kuku kaki mencengkram cabang (ranting
pohon), sehingga pohon-pohon yang dihuninya terlihat seperti dipenuhi oleh
daun-daun kering yang berwarna coklat (Suyanto 2001). Sebagian kecil tinggal di
gua, umumnya tinggal di tajuk pepohonan di antara dedaunan yang rimbun
(Suyanto 2001). Koloni kalong kapauk diatur berdasarkan kelompok belum
dewasa dan dewasa belum berkembang biak. Pada sekeliling kelompok kalong
kapauk, jantan bertindak sebagai penjaga, yang akan memberikan alarm yang
keras jika terdapat gangguan (Yalden & Morris 1975).
Disebutkan juga oleh Yalden dan Morris (1975) bahwa suatu koordinasi
dan prilaku kelompok yang lebih tinggi terjadi pada kalong kapauk yang hidup
pada kelompok yang sangat besar, dan mencari makan pada tempat yang relatif
11
terlokalisasi dimana terdapat buah-buahan. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh
kelelawar pemakan serangga untuk mencari makan secara bersama-sama dan
berdekatan, karena makanannya sangat mobil dan tersebar (Yalden & Morris
1975).
2.1.2 Lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871)
Lalai kembang termasuk dalam Subordo Megachiroptera, famili
Pteropodidae, Subfamili Macroglossinae, dan Genus Eonycteris (Corbet & Hill
1992, diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001).
Menurut Andersen (1912), Genus Eonycteris terdiri dari 3 jenis, yaitu E. spelaea
(Dobson, 1871), E. major (Andersen, 1910), dan E. rosenbergii (Jentink, 1889).
Di Indonesia genus Eonycteris hanya terdapat 2 jenis saja, yaitu: E. major
(Andersen, 1910), yang penyebarannya di Kalimantan dan E. spelaea (Dobson,
1871) yang memiliki daerah penyebaran di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa
Tenggara, dan Sulawesi (Suyanto 2001). Lalai kembang memiliki nama Inggris
Dawn bat, Common dawn bat, Common nectar bat, Lesser dawn bat (IUCN
2008).
Lalai kembang memiliki penyebaran di India, Myanmar, Thailand,
Indocina, Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa
Tenggara, dan Sulawesi) (Corbet & Hill 1992, diacu dalam Maharadatunkamsi et
al. 2003; Suyanto 2001). Selain itu, di Indonesia lalai kembang juga dapat
ditemukan di Bali, Lombok, Sumba, Muna, Sanana, Halmahera, Batjan dan
Tidore (IUCN 2008). Habitat lalai kembang adalah di berbagai tipe hutan, mulai
dari hutan primer sampai lahan pertanian campuran (IUCN 2008). Sedangkan,
menurut Suyanto (2001) Eonycteris tinggal di gua-gua atau ceruk-ceruk batuan
pada mintakat peralihan atau gelap total.
Ciri-ciri yang dimiliki lalai kembang adalah: jari kedua tanpa cakar,
moncong panjang, lidah panjang, bulu pendek halus seperti beludru, ada sepasang
kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal, lengan bawah sayap 60-85 mm,
betis 25-40 mm, kaki belakang dengan cakar 17-21 mm, dan ukuran telinga 16-22
mm (Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Suyanto 2001). Menurut Suyanto
(2001), yang membedakan E. spelaea dengan E. major adalah ukuran lengan
bawah sayap dan warna tubuh, dimana E. spelaea memiliki ukuran lengan bawah
12
sayap 60-81 mm dan berwarna lebih terang, sedangkan E. major memiliki ukuran
lengan bawah sayap 72-85 mm dan berwarna lebih gelap.
Lalai kembang merupakan kelelawar berukuran sedang (kira-kira 53–84 g)
yang bertengger di dalam gua dalam koloni besar dan berpergian dengan jarak
yang jauh untuk mencari makanan berupa nektar dan serbuk sari (Corbet & Hill
1992 diacu dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Hill & Smith 1984 diacu
dalam Maharadatunkamsi & Kitchener 1997; Kitchener et al. 1990 diacu dalam
Maharadatunkamsi et al. 2003). Banyak jenis tanaman yang bergantung pada
kelelawar ini untuk penyerbukan dan penyebaran biji, tetapi jumlah populasinya
mengalami penurunan karena pengrusakan habitat, gangguan pada gua, dan
perburuan (Maharadatunkamsi et al. 2003).
Tercatat lebih dari 4.000 individu lalai kembang ditemukan di gua-gua
Batu di Malaysia (Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Di Pulau
Palawan ditemukan dua populasi, satu melebihi 2.000 individu dan lain yang
mungkin melebihi 50.000 individu (Esselstyn et al. 2004 diacu dalam IUCN
2008). Sepanjang tahun, seekor lalai kembang betina hanya melahirkan satu anak
(Bates dan Harrison 1997 diacu dalam IUCN 2008). Sedangkan menurut Suyanto
(2001), secara umum suku Pteropodidae memiliki masa bunting 3-6 bulan, dengan
melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran. Menurut Heideman & Utzurrum
(2003), di Filipina lalai kembang memiliki pola musim kawin yang sama dengan
Rousetus amplexicaudatus dan Macroglossus minimus, dengan 2 musim kelahiran
setiap tahun, yaitu pada pertengahan bulan Maret atau April dan Agustus atau
September.
2.1.3 Kusing dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890)
Kusing dayak termasuk dalam subordo Megachiroptera, famili
Pteropodidae, dan genus Dyacopterus (Suyanto 2001). Kusing dayak memiliki
nama Inggris Dayak fruit bat dan Dyak fruit bat (IUCN 2008). Menurut Suyanto
(2001), genus Dyacopterus hanya memiliki satu jenis anggota, yaitu kusing dayak
D. spadiceus (Thomas, 1890). Kusing dayak dapat ditemukan di Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan Thailand (IUCN 2008). Menurut Suyanto (2001)
persebaran kusing dayak adalah di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.
13
Menurut Suyanto (2001), ciri-ciri kusing dayak adalah: bentuk geraham
atas (P3, P4) dan geraham bawah (P3, P4, dan M1) menyerupai segiempat
berukuran besar, P3 berukuran 2,87-3,01 x 2,36-2,60 mm, P4 berukuran 2,52-2,90
x 2,32-2,61 mm, P3 berukuran 3,38-3,60 x 2,21-2,31 mm, dan P4 berukuran 3,06-
3,17 x 2,35-2,67 mm. Rumus gigi I1I2CP3P4M1/I1I2CP1P3P4M1M2 dengan M1 jauh
lebih kecil daripada P4, (dibandingkan dengan Cynopterus yang hampir sama
besarnya), crista sagittalis tumbuh baik, ada celah antara gigi seri nomor 2 dengan
taring atas (Suyanto 2001). Selanjutnya, Suyanto (2001) menyatakan lengan
bawah sayap berukuran 76-92 mm, betis 27 mm, telinga 17-21 mm, warna wajah
kehitaman, bahu kekuningan, coklat pada daerah punggung dan sisi samping
badan, serta keputih-putihan pada dada dan perut.
2.2 Fungsi di alam
Fungsi kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak di alam sangat
besar. Dilihat dari segi ekologi, kalong kapauk dapat memencarkan biji pohon-
pohon yang menghasilkan buah ke tempat-tempat yang lebih luas dibandingkan
dengan yang dapat dilakukan oleh binatang-binatang lainnya (Suyanto 1979).
Peran ini akan sangat penting dalam hal pemulihan hutan di lokasi-lokasi yang
rusak akibat aktivitas penebangan hutan ataupun akibat bencana alam (Suyanto
1979). Kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak juga berperan dalam
penyerbukan pohon-pohon di hutan, termasuk pohon-pohon dengan nilai
komersial tinggi seperti durian, randu, dan jenis-jenis lainnya di hutan mangrove
(Suyanto 1979).
Fungsi kalelawar secara umum, selain fungsi yang telah disebutkan diatas
adalah sebagai pengendali hama serangga, penghasil pupuk guano (lalai kembang
E. spelaea Dobson, 1871) dan tambang fosfat di gua-gua, sebagai obyek wisata,
bahan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan yang tidak kalah
pentingnya daging dan hati kalong kapauk ternyata merupakan penawar asma
yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto 1979).
Menurut Suyanto (1979) dibeberapa tempat di Indonesia daging kalong
kapauk dianggap lezat, tetapi kebanyakan orang enggan memakannya karena
baunya yang tidak sedap. Disamping dagingnya, tulang lengan bawah kalong
kapauk dibeberapa tempat digunakan sebagai pipa rokok. Menurut Walker et al.
14
(1968) diacu dalam Suyanto (1979) oleh penduduk tertentu lemaknya digunakan
untuk menyuburkan rambut kepala dan menyembuhkan penyakit encok. Ada pula
yang mengatakan hati kalong kapauk dicampur hati codot (Macroglossus
minimus) dan cleret gombel (Draco volans), setelah dimasak dapat
menyembuhkan penyakit asma yang berat (Suyanto 1979).
2.3 Alat dan cara perburuan
Peraturan yang mengatur perburuan satwaliar terdapat pada bab 4 pasal 17
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 8 tahun 1999, tentang
pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwaliar. Perburuan jenis satwaliar dalam
peraturan tersebut dilakukan untuk keperluan olah raga buru (sport hunting),
perolehan trofi (hunting trophy), dan perburuan tradisional oleh masyarakat
setempat. Penangkapan kelelawar dapat dilakukan untuk tujuan penelitian,
khususnya bagi jenis-jenis yang belum diketahui identitasnya (Suyanto 2001).
Alat penangkapan kalelawar meliputi jaring kabut (mistnet), jaring harpa
dan jaring serangga (jaring bertangkai) (Suyanto 2001). Di Indonesia alat yang
biasa dipakai untuk menangkap kalelawar adalah jaring kabut (Gambar 3a) dan
jaring serangga (Gambar 3b) (Suyanto 2001). Jaring kabut yang dipakai untuk
menangkap kalelawar adalah jaring yang memiliki mesh (lebar mata jaring) 30-32
mm, dan ketebalan benang jaring 80 Denier (1 Denier = berat 9000 m benang
nilon dalam gram), serta benang nilon yang terdiri dari untaian rangkap (Suyanto
2001). Di dalam gua yang berlangit-langit rendah jaring bertangkai biasanya
sangat efektif untuk menangkap kelelawar. Sedangkan, untuk gua yang berlangit-
langit tinggi dapat menggunakan jaring kabut dengan mengikatkannya pada kedua
tiang, lalu menggerakkan kedua tiang kearah kelelawar (Suyanto 2001).
Suyanto (2001) melanjutkan bahwa tempat paling baik untuk memasang
jaring adalah di tempat kelelawar tidur atau sedang mencari makan, seperti di
sekitar pohon yang sedang berbuah (jambu, beringin dan lain-lain), pohon randu
atau pisang yang sedang berbunga dan di sekitar tempat koloni laron atau semut
terbang. Jaring dapat dipasang menyusuri tepi hutan, atau punggung bukit,
menyilang lorong-lorong atau jalan setapak yang dilalui kelelawar (Suyanto
2001). Jaring harus dipasang di tempat yang agak terbuka karena ditempat yang
15
tumbuhannya lebat biasanya tidak dilalui kelelawar karena kelelawar tidak bisa
menggunakan sayapnya dengan bebas untuk terbang (Suyanto 2001).
Gambar 3 Jaring kabut (a) dan jaring serangga (b) (Sumber: Suyanto 2001).
Selain alat-alat yang telah disebutkan diatas, cara lain yang biasa
digunakan pemburu kalong kapauk adalah dengan menggunakan senapan angin,
jala ikan (jaring), dan layangan. Penangkapan dengan senapan angin dan jala ikan
pernah dilakukan di Kebun Raya Bogor, ketika populasi kalong kapauk
dinyatakan mengalami peningkatan yang begitu cepat dan dinyatakan dapat
mengakibatkan kematian pohon koleksi (Susetyo 2007). Penangkapan dengan jala
ikan yang dimaksudkan adalah menangkap dengan menggunakan jaring semacam
net untuk permainan bola voli. Jaring dipasang dengan tali kemudian dinaikkan
hingga membentang di lintasan udara yang biasa dilalui kalong kapauk. Dalam
sehari, sejak matahari terbenam hingga subuh, rata-rata tertangkap 30-40 ekor
(Susetyo 2007). Cara penangkapan dengan jaring ini juga yang dilakukan
penangkap kalong kapauk di kawasan Bukit Tangkiling di Palangkaraya dan di
hutan Timpah, arah ke Buntok Kabupaten Barito Selatan (Zainuddin 2009).
Penangkapan kalong kapauk dengan layangan pernah dilakukan oleh
warga Sirenjang Jambi, yang mana di daerah ini kalong kapauk dianggap sebagai
hama pertanian (Pakde 2009). Pada tali layangan dipasang mata kail (pancing)
yang cukup banyak dengan tujuan kalong kapauk akan tersangkut di mata kail
tersebut ketika layangan diterbangkan (Pakde 2009). Biasanya layangan
diterbangkan sampai ketinggian 100 m dan dilakukan dari pukul 17.00−18.30
WIB, yaitu ketika kalong kapauk baru mulai keluar dari sarang untuk mencari
makan sampai hari mulai gelap. Dalam sehari mereka dapat menangkap 8 ekor
kalong kapauk (Pakde 2009).
16
2.4 Perdagangan
Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1999 tentang pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwaliar, pada bab 5 pasal 18 menjelaskan bahwa:
(1) Tumbuhan dan satwaliar yang dapat diperdagangkan adalah jenis satwaliar
yang tidak dilindungi.
(2) Tumbuhan dan satwa liar untuk keperluan perdagangan diperoleh dari:
hasil penangkaran, pengambilan atau penangkapan dari alam.
Pada awalnya pemanenan hidupan liar hanya ditujukan untuk kebutuhan
masyarakat sehari-hari, misalnya untuk memenuhi kebutuhan protein (Soehartono
& Mardiastuti 2003). Selanjutnya kegiatan pemanenan ini kemudian berubah
menjadi aktivitas jual beli untuk mendapatkan uang tunai dengan pihak lain
(Soehartono & Mardiastuti 2003). Pada skala nasional, perdagangan hidupan liar
dapat menyumbangkan devisa bagi negara, meskipun jika dibandingkan dengan
sumberdaya lainnya, seperti minyak, gas dan kayu, nilai hidupan liar memang
tergolong sangat kecil (Soehartono & Mardiastuti 2003).
Kalong kapauk terdaftar dalam Convention on International Trade in
Endangered Species of Fauna and Flora (CITES), yaitu pada Appendix II. Jenis
ini akan menjadi terancam punah jika perdagangannya tidak diatur (Brautigan
1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003).
Kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak belum masuk kedalam daftar
CITES.
Pelaku perdagangan sumberdaya alam (Gambar 4) pada umumnya
mencakup pengumpul dan penjual sumberdaya alam atau collector, pembeli
sekaligus penjual atau trader, pembeli sekaligus penjual sekala besar atau large-
scale trader, serta pembeli dan pengguna atau consumer (MWBP 2006). Di
Kalimantan Tengah, penangkap kalong kapauk dari hutan membawa hasil
buruannya ke kota-kota besar seperti ke Palangkaraya, dan menjualnya dengan
harga partai (Zainuddin 2009). Kemudian kalong kapauk tersebut dibeli pedagang
pengecer kemudian dijual di beberapa tempat, bukan hanya di pinggir jalan tetapi
juga di beberapa lokasi pasar yang ramai pengunjungnya (Zainuddin 2009).
17
Gambar 4 Rantai perdagangan sumberdaya alam (Sumber: MWBP 2006).
Menurut Suyanto (2001), di Indonesia semua jenis kalelawar belum
dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan di negara-negara maju dimana
kelelawar hanya boleh ditangkap oleh peneliti saja. Isu yang beredar di
masyarakat daging dan hati kalong kapauk dipercaya menjadi penyembuh
penyakit asma yang baik, walaupun belum bisa dibuktikan secara ilmiah (Suyanto
1979). Selain untuk tujuan penyembuhan penyakit, kalong kapauk juga diperjual
belikan di pasar untuk dikonsumsi dagingnya (Suyanto 1979). Seperti halnya yang
terjadi di Palangkaraya, daging kalong kapauk disukai bukan hanya karena enak
rasanya, tetapi ternyata daging ini juga berkhasiat obat, seperti obat asma, obat
pedarahan, atau sangat baik bagi ibu yang baru melahirkan (Zainuddin 2009).
Masakan kalong kapauk dapat disop, dibuat makanan kare, dibuat gorengan, atau
dibakar begitu saja (Zainuddin 2009).
Harga kalong kapauk berbeda-beda berdasarkan tempat dan waktunya.
Pada waktu musim buah populasi kalong kapauk akan meningkat dan harga
kalong kapauk akan menurun (Khairulid 2005). Di Medan, kalong kapauk
dihargai mulai dari 40 ribu hingga 70 ribu rupiah per ekornya, bergantung hasil
tawar-menawar (Khairulid 2005). Di Sirenjang Jambi, kalong kapauk dijual
kepada orang Cina seharga 15 ribu rupiah (Pakde 2009). Sedangkan di
Palangkaraya, Misdan yang biasa menjual 115 ekor per harinya biasa menjual
seekor kalong kapauk dengan harga 30 ribu rupiah (Zainuddin 2009).
Desa • Collector • Trader • Consumer
Lokasi Penangkapan • Collector • Trader
Pasar luar • Large-scale Trader • Consumer
Pasar kota lokal • Trader • Large-scale Trader • Consumer
18
2.5 Upaya konservasi
Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar
sebagai hampir terancam (Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun secara
signifikan akibat pemanenan secara berlebihan untuk dimakan, dan karena terus-
menerus mengalami degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008). Berbeda
dengan lalai kembang yang berstatus risiko rendah (Least Concern; LC), karena
lalai kembang memiliki disribusi yang luas, diduga populasinya besar di sejumlah
kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit banyak perubahan habitat, dan
karena tidak mungkin mengalami penurunan populasi yang begitu cepat (IUCN
2008). Sedangkan, kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam (Near
Threatened; NT) karena hilangnya habitat secara luas, sehingga membuat spesies
dekat dengan kualifikasi untuk Rentan di bawah kriteria A (IUCN 2008).
Ancaman terbesar bagi kelelawar adalah kehilangan atau rusaknya habitat,
dan perburuan secara berlebihan (Suyanto 1979; Maharadatunkamsi et al. 2003;
Mulyana 2009). Banyak jenis kelelawar yang mencari makan di hutan hujan tropis
dan menyesuaikan hidupnya dengan kondisi sekitarnya. Ketika hutan tersebut
dikonversi maka akan ada banyak kelelawar yang tidak mampu bertahan hidup
bahkan akan mati (Suyanto 2001). Di Semenanjung Malaysia, Sumatera,
Thailand, Vietnam dan pulau sekitarnya, populasi kalong kapauk terancam punah
akibat penurunan jumlah hutan mangrove, perdagangan, dan pembukaan lahan
hutan menjadi perkebunan karet (Heideman & Heaney 1992, diacu dalam Kunz &
Jones 2000). Metode perlindungan yang baik adalah dengan melindungi
kelompok-kelompok kalong kapauk di pulau-pulau kecil.
Menurut Kepala Balai Zoologi LIPI, Ahmad Johan Arif diacu dalam
Mulyana (2009), populasi jumlah kalong kapauk di KRB mulai berkurang akibat
pengaruh pembangunan Kota Bogor. Penangkapan kelelawar untuk dimakan
secara berlebihan juga dapat mengancam populasinya, karena
perkembangbiakannya yang berlangsung sangat lambat (Suyanto 2001). Selain
itu, kebakaran hutan juga dapat mengancam kehidupan satwaliar di dalamnya.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 15 November 2009 - 15 Juni 2010.
Lokasi penelitian berada di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan Batang Toru
(KHBT), yaitu: di Kabupaten Tapanuli Utara, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli
Tengah, Kota Padang Sidempuan, dan Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi
Sumatera Utara. Lokasi penelitian perburuan lalai kembang dan kusing dayak
berada di Gua Liang, yaitu di salah satu gua yang ada di dalam KHBT blok Barat.
3.2 Alat dan bahan
Alat yang digunakan adalah: peta kawasan, Global positioning System
(GPS), kamera digital, 2 unit camera trap tipe Sony P41 (Gambar 5), binokuler,
alat penerangan (senter), pengukur waktu, alkohol 90%, dan panduan wawancara.
Bahan yang digunakan sebagai objek penelitian ini adalah: kalong kapauk, lalai
kembang, kusing dayak, dan sebahagian kecil dari masyarakat di dalam dan di
sekitar KHBT yang terlibat dalam kegiatan perburuan dan perdagangan ketiga
jenis kelelawar tersebut, serta petani durian.
Gambar 5 Camera trap tipe Sony P41
3.3 Jenis data yang dikumpulkan
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang
dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian (Gulo 2002). Jenis-jenis data
yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut:
1. Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan.
2. Data perburuan, yaitu: alat dan cara perburuan, daerah dan lokasi perburuan,
waktu perburuan, frekuensi perburuan, sex ratio hasil buruan, dan estimasi
jumlah tangkapan.
20
3. Data perdagangan, yaitu: rantai perdagangan kelelawar dan lokasi penjualan.
4. Karakteristik responden pemanfaat kelelawar (pemburu, pengumpul dan
pedagang, pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan
kalong kapauk siap saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji).
5. Data kondisi habitat, yaitu: pembukaan KHBT beberapa tahun terakhir,
perubahan luas area kebun durian, posisi koordinat mulut gua, tinggi dan lebar
mulut gua, jarak dengan pemukiman penduduk, bukti-bukti aktivitas
perburuan, dan dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas perburuan tersebut.
6. Data kebun durian, yaitu: karakteristik petani durian, waktu musim berbunga
durian, hasil panen buah durian beberapa tahun terakhir, penyebab penurunan
panen buah (bila panen menurun), dan pengaruh keberadaan kelelawar bagi
kebun durian.
Selain data diatas, data penunjang penelitian yang diperlukan adalah
kondisi umum lokasi penelitian (letak dan luas, topografi dan geologi, iklim, dan
potensi flora maupun fauna), kondisi masyarakat di lokasi penelitian, dan peta
lokasi penelitian.
3.4 Metode pengumpulan data
Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan metode Triangulasi, yaitu
menggunakan beberapa metode pengumpulan data dan analisis data sekaligus
dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan informan sebagai alat uji
keabsahan dan analisis hasil penelitian (Bungin 2003). Beberapa tahap yang
dilakukan yaitu: (1) melakukan studi literatur dan konsultasi dengan ahli, (2)
melakukan pengumpulan data di lapangan dengan pengamatan (observasi),
wawancara dan pemasangan camera trap, (3) melakukan pengolahan dan analisis
data untuk mendapatkan hasil mengenai gambaran perburuan dan perdagangan
kelelawar. Pendokumentasian dilakukan dalam setiap kegiatan pengumpulan data
di lapangan.
3.4.1 Pengamatan (observasi)
Pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat
informasi sebagaimana yang ia saksikan selama penelitian (Gulo 2002). Dalam
penelitian ini pengamatan lapang dilakukan dengan partisipasi penuh, yaitu
peneliti menyamakan diri dengan orang yang diteliti. Artinya, peneliti ikut serta
21
dalam aktivitas orang yang diteliti tanpa membatasi diri hanya sebagai pengamat
saja (Gulo 2002). Pengamatan dilakukan di lokasi perburuan kalong kapauk yang
termasuk dalam lokasi penelitian, dan di Gua Liang (habitat kelelawar) yang
mejadi lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak.
3.4.2 Wawancara (interviu)
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan
responden (Gulo 2002). Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya-jawab
dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupakan
pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal (Gulo 2002). Dalam
wawancara telah disiapkan daftar pertanyaan (instrumen) dalam bentuk panduan
wawancara. Secara prosedur wawancara ini termasuk kedalam bentuk wawancara
terpimpin, yang menggunakan panduan pokok-pokok masalah yang diteliti (Gulo
2002). Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa lokal (Batak Toba),
dan diusahakan tidak membuat responden tersinggung atau takut.
Pemilihan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu
pemilihan sampel secara sengaja yang melibatkan informan kunci (Bungin 2003).
Penggunaan teknik purposive sampling disesuaikan dengan tujuan penelitian,
kemampuan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, dengan asumsi yang
telah dipilih untuk dijadikan sampel dianggap dapat mewakili dari sampel yang
diharapkan. Total responden berjumlah 247 orang, yang terdiri dari: 69 responden
pemburu kalong kapauk; 6 responden pemburu lalai kembang dan kusing dayak; 4
responden pengumpul kalong kapauk; 2 responden pedagang kalong kapauk; 20
responden pembeli kalong kapauk; 25 responden pembeli lalai kembang dan
kusing dayak; 25 responden pemilik rumah makan dan warung tuak yang
menyediakan kalong kapauk siap saji; 37 responden pengkonsumsi kalong kapauk
siap saji; dan 59 responden petani durian.
3.4.3 Camera trap
Pemasangan camera trap dilakukan selama 12 bulan dan hanya ditujukan
untuk pemburu lalai kembang dan kusing dayak. Camera trap dipasang dalam 2
periode. Pemasangan pertama dilakukan oleh LSM YEL selama 7 bulan, yaitu
bulan Desember 2008 - Juni 2009. Pemasangan camera trap yang kedua
dilakukan pada saat penelitian sedang berlangsung, selama kurang dari 5 bulan
22
(24 Desember 2009 - 4 Mei 2010). Foto hasil camera trap diambil setiap 1-2
bulan sekali.
Lokasi pemasangan camera trap berada di 2 jalur yang biasa dilalui
pemburu lalai kembang dan kusing dayak (berasal dari 4 dusun). Kedua jalur ini
memiliki jarak yang tidak terlalu jauh dari lokasi perburuan dan masih merupakan
daerah penelitian LSM YEL, sehingga pemasangan camera trap relatif aman dari
gangguan manusia. Pemasangan camera trap di sekitar gua (lokasi perburuan)
tidak dilakukan karena menghindari rasa curiga dari pemburu dan pertimbangan
keamanan.
Jumlah pemburu dalam satu kelompok diketahui dengan menghitung
jumlah orang (datang pada waktu yang bersamaan) pada foto hasil camera trap.
Jumlah seluruh kunjungan pemburu ke Gua Liang dan jumlah seluruh kelompok
diperoleh dengan menjumlahkan seluruh pemburu dan seluruh kelompok yang
ada. Untuk mengetahui jumlah orang yang melakukan perburuan dan asal dari
pemburu tersebut maka dilakukan identifikasi wajah (pemburu) pada foto hasil
camera trap. Identifikasi wajah dibantu oleh salah seorang masyarakat lokal.
Setelah mengidentifikasi wajah pemburu, kelas umur pemburu dan banyaknya
perburuan yang dilakukan oleh masing-masing pemburu juga dapat diketahui.
Lamanya waktu perburuan (berapa malam) diketahui dengan melihat jam
kedangan dan kepulangan pemburu pada foto hasil camera trap.
3.4.4 Jenis kelelawar yang diburu dan diperdagangkan
Pengambilan sampel kelelawar yang diburu dan diperdagangkan dilakukan
setelah beberapa kali melakukan pengamatan lapang. Sampel kalong kapauk
diperoleh dengan membeli seekor kalong kapauk yang sedang diperjual-belikan,
sedangkan sampel lalai kembang dan kusing dayak diperoleh dengan membeli
hasil buruan langsung di lokasi perburuan. Sampel diambil sebanyak 5 ekor,
yaitu: 1 ekor kalong kapauk; 2 ekor lalai kembang (jantan dan betina); dan 2 ekor
kusing dayak (jantan dan betina). Sampel diawetkan dengan cara direndam dalam
larutan alkohol 90%. Sampel kemudian diidentifikasi dengan menggunakan buku
kunci identifikasi “Kelelawar di Indonesia” seri panduan lapang (Suyanto 2001).
23
3.4.5 Perburuan kelelawar
Pada perburuan kalong kapauk, data mengenai alat dan cara perburuan,
daerah dan lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, serta estimasi
jumlah tangkapan dikumpulkan melalui wawancara dengan pemburu kalong
kapauk (Lampiran 1). Di beberapa desa/dusun, pengumpulan data ini juga
dilakukan dengan pengamatan lapang. Pengamatan lapang dilakukan dengan
menyewa seorang masyarakat lokal (pemburu) untuk menunjukkan lokasi-lokasi
perburuan kalong kapauk.
Pada perburuan lalai kembang dan kusing dayak, data mengenai alat dan
cara perburuan, lokasi perburuan, waktu perburuan, frekuensi perburuan, estimasi
jumlah tangkapan, serta data sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil
buruan dikumpulkan melalui pengamatan lapang dan melalui wawancara dengan
pemburu lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 2). Selain itu juga dilakukan
pemasangan camera trap di 2 jalur menuju lokasi perburuan.
3.4.6 Perdagangan kelelawar
Data rantai perdagangan kalong kapauk dan lokasi penjualan penjualan
diperoleh dengan mewawancarai pengumpul dan pedagang kalong kapauk
(Lampiran 3), sedangkan pada perdagangan lalai kembang dan kusing dayak
dilakukan wawancara pada pemburu. Pada perdagangan kalong kapauk, survei
pasar juga dilakukan di pasar-pasar tradisional yang biasanya melakukan jual-beli
kalong kapauk. Penulis mencatat setiap lokasi penjualan kalong kapauk, sumber
kalong kapauk, harga yang ditawarkan, serta melakukan investigasi lebih lanjut
untuk mengetahui jaringan perdagangan kalong kapauk di dalam dan di sekitar
KHBT. Untuk mengetahui apakah kalong kapauk selalu habis terjual ada kalanya
penulis mengikuti pedagang/pengecer saat berangkat dari rumah pengumpul.
3.4.7 Karakteristik responden
Karakteristik pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, serta jumlah
dan lokasi perdagangan kalong kapauk, diperoleh dari hasil wawancara kepada
pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk (Lampiran 3). Data pembeli kalong
kapauk, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk
siap saji, dan pengkonsumsinya masing-masing diperoleh dengan mewawancarai
pembeli kalong kapauk (Lampiran 4), pemilik rumah makan dan warung tuak
24
yang menyediakan kalong kapauk siap saji (Lampiran 5), dan pengkonsumsinya
(Lampiran 6). Data pembeli lalai kembang dan kusing dayak diperoleh melalui
wawancara kepada pembeli lalai kembang dan kusing dayak (Lampiran 7).
3.4.8 Kondisi habitat
Data kondisi habitat kelelawar diperoleh berdasarkan hasil pengamatan
lapang. Wawancara kepada pemburu juga dilakukan untuk menggali lebih banyak
lagi informasi mengenai kondisi habitat.
3.4.9 Kebun durian
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, perburuan dan perdagangan
kelelawar dapat mengakibatkan penurunan produktivitas kebun durian milik
masyarakat. Untuk membuktikan dampak penurunan tersebut, maka dilakukan
wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan di sekitar KHBT
(Lampiran 8).
3.5 Analisis data
Seluruh data yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang, wawancara,
dan pemasangan camera trap dianalisis secara deskriptif.
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak dan luas
Kawasan HBT (Gambar 6) yang terdiri dari blok barat dan blok timur
(Sarulla), secara geografis terletak antara 98o 53’ - 99o 26’ Bujur Timur dan 02o
03’ - 01o 27’ Lintang Utara (Indra & Fredriksson 2007). Hutan alami (primer) di
HBT yang tersisa saat ini diperhitungkan seluas 136.284 ha dan berada di Blok
Barat seluas 81.344 ha dan di Blok Timur seluas 54.940 ha (Indra & Fredriksson
2007). Kawasan HBT secara administratif berada di 3 kabupaten yaitu Tapanuli
Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara.
Gambar 6 Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara (Sumber: YEL).
4.1.1 Kabupaten Tapanuli Utara
Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas wilayah sekitar 3.800,31 km2,
yang terdiri dari luas daratan 3.793,71 km2 dan luas perairan Danau Toba 6,60
km2 (BPS 2009). Kabupaten Tapanuli Utara terdiri dari 15 kecamatan, yaitu:
Parmonangan (14 desa/kelurahan), Adian Koting (14 desa/kelurahan), Sipoholon
(14 desa/kelurahan), Tarutung (31 desa/kelurahan), Siatas Barita (12
desa/kelurahan), Pahae Julu (19 desa/kelurahan), Pahae Jae (13 desa/kelurahan),
Purbatua (11 desa/kelurahan), Simangumban (8 desa/kelurahan), Pangaribuan (22
desa/kelurahan), Garoga (12 desa/kelurahan), Sipahutar (23 desa/kelurahan),
Siborong-borong (21 desa/kelurahan), Pagaran (14 desa/kelurahan), dan Muara
(15 desa/kelurahan) (BPS 2009).
Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 300-1500 m dpl ini, secara
astronomis berada pada posisi 1o20’ – 2o41’ Lintang Utara dan 98o05’-99o16’
26
Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten Tapanuli
Utara berbatasan langsung dengan kabupaten Toba Samosir, sebelah Timur
berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu, sebelah Selatan berbatasan dengan
Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang
Hasudutan dan Tapanuli Tengah (BPS 2009). Curah hujan di tahun 2008 tercatat
2.922 mm dan lama hari hujan 209 hari, atau curah hujan bulanan sebanyak
243,50 mm dan lama hari hujan 17,42 hari (BPS 2009). Curah hujan tertinggi
terjadi pada bulan Juli, yaitu 619 mm dengan 15 hari hujan. Curah hujan terendah
terjadi pada bulan Februari, yaitu 175 mm dan lama hari hujan 12 hari (BPS
2009).
Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Utara adalah
seluas 89.236 ha atau 65,5 % dari luas hutan. Air dari HBT di Tapanuli Utara
mengairi persawahan luas di lembah Sarulla dan hulunya dari DAS
Sipansihaporas dan Aek Raisan berada di Tapanuli Utara. Pegunungan yang
paling tinggi di Batang Toru berada di Tapanuli Utara, yaitu di Dolok Saut dengan
ketinggian 1.802 m dpl (Indra & Fredriksson 2007).
4.1.2 Kabupaten Tapanuli Tengah
Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki luas wilayah sekitar 2.194,98 km2,
sebahagian besar berada di daratan Pulau Sumatera dan sebahagian kecil berada di
pulau-pulau kecil di sekitar wilayah kabupaten ini (BPS 2009). Kabupaten
Tapanuli Tengah terdiri dari 20 kecamatan, yaitu: Pinangsori (7 desa/kelurahan),
Badiri (9 desa/kelurahan), Sibabangun (7 desa/kelurahan), Lumut (6
desa/kelurahan), Sukabangun (6 desa/kelurahan), Pandan (9 desa/kelurahan),
Sarudik (5 desa/kelurahan), Tukka (8 desa/kelurahan), Tapian Nauli (9
desa/kelurahan), Sitahuis (6 desa/kelurahan), Kolang (12 desa/kelurahan), Sorkam
(14 desa/kelurahan), Sorkam Barat (11 desa/kelurahan), Pasaribu Tobing (8
desa/kelurahan), Barus (13 desa/kelurahan), Sosor Gadong (9 desa/kelurahan),
Andam Dewi (14 desa/kelurahan), Barus Utara (6 desa/kelurahan), Manduamas (9
desa/kelurahan), dan Sirandorung (8 desa/kelurahan) (BPS 2009).
Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 0-1.266 m dpl ini, secara
astronomis berada pada posisi 1o11’00” – 2o22’00” Lintang Utara dan 98o07’-
98o12’ Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah Utara Kabupaten
27
Tapanuli Tengah berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah
Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan
Samudera Indonesia (BPS 2009). Suhu udara rata-rata tahun 2008 di Kabupaten
Tapanuli Tengah 25,98oC, dengan suhu maksimum mencapai 31,50oC dan suhu
minimum mencapai 21,51oC. Musim kemarau terjadi pada bulan Juni-September,
dan musim penghujan terjadi pada bulan November-Maret (BPS 2009).
Kawasan HBT yang termasuk kedalam daerah Tapanuli Tengah adalah
seluas 15.492 ha atau 11,4% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007).
Kawasan HBT di Tapanuli Tengah merupakan daerah tangkapan air bagi PLTA
Sipansihaporas yang sudah beroperasi sejak tahun 2002 dengan kapasitas 50 MW
(Indra & Fredriksson 2007). Areal sekitar Sipansihaporas merupakan hutan di
tebing kapur yang sangat indah dengan banyak air terjun (Indra & Fredriksson
2007). Kawasan Bukit Anugerah sedang dibangun di tepi HBT yang akan
dijadikan sebagai kawasan ekowisata Tapanuli Tengah (Indra & Fredriksson
2007).
4.1.3 Kabupaten Tapanuli Selatan
Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki luas wilayah 4.367,05 km2 (BPS
2009). Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 12 kecamatan, yaitu: Batang
Angkola (58 desa/kelurahan), Sayurmatinggi (55 desa/kelurahan), Angkola Timur
(39 desa/kelurahan), Angkola Selatan (18 desa/kelurahan), Angkola Barat (24
desa/kelurahan), Batang Toru (29 desa/kelurahan), Marancar (32 desa/kelurahan),
Sipirok (100 desa/kelurahan), Arse (31 desa/kelurahan), Saipar Dolok Hole (68
desa/kelurahan), Aek Bilah (42 desa/kelurahan), dan Muara Batang Toru (7
desa/kelurahan) (BPS 2009).
Kabupaten yang berada pada ketinggian antara 0-1.925,3 m dpl ini, secara
astronomis berada pada garis 0o58’35” – 2o07’33” Lintang Utara dan 98o05’-
99o16’ Bujur Timur (BPS 2009). Secara geografis, sebelah utara Kabupaten
Tapanuli Utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan
Kabupaten Tapanuli Utara, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Padang
Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara, sebelah Selatan berbatasan dengan
Kabupaten Mandailing Natal, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten
28
Mandailing Natal dan juga Samudera Indonesia (BPS 2009). Curah hujan rata-rata
di tahun 2008 tercatat 295,83 mm, dengan lama hari hujan rata-rata 16 hari. Curah
hujan tertinggi terjadi pada bulan Maret, yaitu 650 mm dengan 23 hari hujan.
Curah hujan terendah terjadi pada bulan Mei, yaitu 106 mm dan lama hari hujan 9
hari (BPS 2009).
Kawasan HBT yang termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan
adalah seluas 31.556 ha atau 23,1% dari luas hutan (Indra & Fredriksson 2007).
Air dari sungai Batang Toru menjadi penting buat perkebunan luas yang berada di
daerah hilir (Indra & Fredriksson 2007). Di Kabupaten Tapanuli Selatan sedang
dilakukan eksplorasi oleh tambang emas di Kecamatan Batang Toru (Indra &
Fredriksson 2007).
4.2 Topografi dan geologi
Keadaan topografi di KHBT bergelombang dan sangat curam (Indra &
Fredriksson 2007). Berdasarkan peta kontur sebagian besar kelerengan berkisar
lebih dari 40 %, lebih curam lagi di Blok Timur Sarulla (Indra & Fredriksson
2007). Jenis tanah di KHBT adalah tanah ultisolik, alluviocolluvial dan
inseptisolik (Indra & Fredriksson 2007). Kawasan HBT menjadi areal yang
penting untuk mencegah terjadinya banjir, erosi dan longsor di daerah Tapanuli
yang rentan terhadap datangnya bencana alam, termasuk gempa (Indra &
Fredriksson 2007). Kawasan HBT merupakan hutan pegunungan dataran rendah,
hutan gambut pada ketinggian 900-1.000 m dpl, hutan batu kapur, hutan berlumut,
hutan rawa diketinggian 800 m dpl dan dataran tinggi dengan ketinggian sekitar
400-1.803 m dpl (Indra & Fredriksson 2007). Titik terendahnya berada di Sungai
Sipansihaporas (dekat Kota Sibolga) dan titik tertingginya berada pada Dolok
Lubuk Raya di bagian selatan kawasan (Indra & Fredriksson 2007).
Indra dan Fredriksson (2007) melanjutkan bahwa KHBT memiliki daerah
tangkapan air untuk 10 sub-DAS (daerah aliran sungai). Kawasan DAS ini masih
memiliki tutupan hutan yang utuh dibagian hulunya dan mempunyai fungsi
penting sebagai penyangga kehidupan dan pengatur tata air maupun sebagai
pencegah bencana. Sepuluh sub-DAS ini adalah Sipansihaporas, Aek Raisan,
Batang Toru Ulu, Sarulla Timur, Aek Situmandi, Batang Toru Ilir (Barat dan
Selatan), Aek Garoga, Aek Tapus, Sungai Pandan dan Aek Namapar/Aek Puli
29
(Batang Toru Timur). PLTA Sipansihaporas adalah salah satu pembangkit listrik
yang memanfaatkan DAS Sipansihaporas (Indra & Fredriksson 2007).
4.3 Iklim
Curah hujan di KHBT cukup tinggi yaitu antara 4.500 sampai 5.000 mm
per tahun. Suhu pada malam hari dapat turun sampai 14ºC. Sedangkan curah
hujan rata-rata tahunan dari tahun 2007-2008 menurut PT. Agincourt Oxiana
adalah sebesar 4.190,65 mm per tahun. Sementara curah hujan rata-rata
bulanannya adalah sebesar 349,22 mm per bulan (Indra & Fredriksson 2007).
Berdasarkan pengukuran pada bulan November-Desember 2009, temperatur rata-
rata pada pagi hari 21,96ºC dan temperatur rata-rata pada sore hari 20,29ºC.
4.4 Potensi fauna dan flora
Kawasan HBT memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selain
ditemukan berbagai jenis kelelawar, saat ini KHBT adalah habitat terakhir untuk
populasi orangutan Pongo abelii yang jauh terpisah dari orangutan lain di
Sumatera Utara dan Aceh (Indra & Fredriksson 2007). Populasi orangutan
diperkirakan sekitar 600 ekor di blok Batang Toru Barat dan sekitar 300-400 ekor
di blok Batang Toru Timur, berkisar 10-15% dari seluruh populasi orangutan
Sumatera yang saat ini diperkirakan hanya tinggal 6.600 ekor yang tersisa di dunia
ini (Indra & Fredriksson 2007).
Selain orangutan ada beragam satwa langka lainnya seperti tapir (Tapirus
indicus), kijang (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa) harimau Sumatera
(Panthera tigris Sumaterae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu
(Helarctos malayanus) dan kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis).
Ditemukan 265 jenis burung yang 59 jenis diantaranya termasuk langka atau khas
Sumatera (Indra & Fredriksson 2007).
Kawasan HBT banyak ditumbuhi oleh jenis-jenis tumbuhan, seperti pohon
cemara gunung(Casuarina sp.), sampinur tali (Dacrydium spp.), mayang
(Palaquium spp.). Jenis-jenis pohon dominan yang dijumpai berasal dari famili
Theaceae, Sapotaceae dan Lauraceae. Banyak juga ditemukan jenis-jenis epifit,
lumut dan jenis tanaman yang punya simbiosis (seperti kantong semar, Nephentes
spp.). Jenis bunga yang ditemukan adalah bermacam-macam agrek dan bunga
bangkai (Rafflesia gadutensis) (Indra & Fredriksson 2007).
30
4.5 Kondisi masyarakat
Masyarakat di dalam dan di sekitar KHBT sebagian besar berasal dari
suku Batak. Masyarakat tersebut pada umumnya sudah lama bermukim (Indra &
Fredriksson 2007). Di sisi Barat-Selatan banyak ditemui hutan yang baru dibuka
dalam beberapa tahun terakhir, oleh warga Nias yang datang dari Pulau Nias
(Indra & Fredriksson 2007). Sistem mata pencaharian masyarakat di dalam dan
disekitar KHBT adalah bertani. Jenis tanaman yang banyak ditanam adalah padi
sawah, karet, coklat, durian, petai, aren, dan kemenyan (Indra & Fredriksson
2007). Jenis tanaman buah-buahan seperti durian, biasanya ditanam bersamaan
dengan tanaman karet.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengenalan kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak
Bagi masyarakat Indonesia, kalong kapauk (Pteropus vampyrus Linnaeus,
1758) umumnya lebih sering dikenal dengan sebutan “kalong” saja. Padahal
menurut Suyanto (2001), di Indonesia ada 20 jenis anggota marga Pteropus yang
dalam bahasa lokal juga memiliki nama depan kalong (Lampiran 8). Seluruh jenis
anggota Pteropus ini dibedakan berdasarkan ada/tidak adanya tonjolan belakang
(basal ledge posterior) pada graham depan, ada/tidaknya bulu pada betis, ukuran
lengan bawah sayap, ukuran panjang telinga dan warna tubuh (Suyanto 2001).
Di dalam dan sekitar KHBT kalong kapauk atau yang lebih dikenal dengan
sebutan haluang ini dapat dilihat pada sore hari (ketika sedang terbang dari tempat
tinggal menuju sumber pakan), dan malam hari saat mencari makan di sekitar
tumbuhan yang sedang berbunga atau berbuah (seperti: durian, petai, langsat,
mangga, rambutan dan pisang). Pada kondisi yang sama ada kalanya kita tidak
dapat melihat kalong kapauk, karena sedang bermigrasi ke daerah lain.
Kalong kapauk merupakan salah satu jenis kelelawar berukuran besar
(berat berkisar 600-1.200 g). Bila kedua sayap direntangkan, rentangan sayap
kalong kapauk dapat mencapai 1-1,5 m. Dada, perut, dan punggung kalong
kapauk berwarna hitam, bahu berwarna coklat kekuningan, kepala mirip anjing,
ujung telinga meruncing, bagian di atas betis tidak berbulu dan tidak berekor
(Gambar 7a). Kalong kapauk yang sedang terbang secara sepintas terlihat seperti
burung, namun akan berbeda bila dilihat dengan lebih teliti. Sayap kalong kapauk
terbentuk dari kulit tipis yang membentang di antara jari-jari yang memanjang,
sedangkan sayap pada burung memiliki bulu-bulu.
Kelelawar lainnya yang diburu dan diperdagangkan di dalam dan sekitar
KHBT adalah lalai kembang (Eonycteris spelaea Dobson, 1871) dan kusing
dayak (Dyacopterus spadiceus Thomas, 1890). Lalai kembang merupakan jenis
kelelawar berukuran sedang (sekitar 50 g), memiliki warna sedikit lebih terang,
tidak ada cakar pada jari kedua sayap, moncong dan lidah panjang, bulu pendek
dan halus, serta ada sepasang kelenjar dekat anus yang berbentuk seperti ginjal
(Gambar 7b). Kelelawar jenis kusing dayak ditandai dengan wajah berwarna
kehitaman, bahu kekuningan, punggung coklat, dada dan perut keputih-putihan,
32
dan memiliki bentuk hidung yang khas (Gambar 7c). Pada saat pengamatan
dilapangan, ukuran tubuh (berat) kusing dayak hampir sama dengan lalai
kembang.
Gambar 7 Kalong kapauk (a), lalai kembang (b), dan kusing dayak (c).
Saat terbang lalai kembang dan kusing dayak tidak mudah dikenali, atau
hampir sama dengan jenis kelelawar lainnya. Pengenalan jenis dapat dilakukan
setelah melakukan penangkapan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, lalai
kembang dan kusing dayak keluar dalam waktu yang bersamaan (pukul 18.50
WIB), sedangkan kelelawar lain yang berukuran lebih kecil keluar lebih awal
(pukul 18.30 WIB). Penulis tidak melakukan identifikasi terhadap kelelawar yang
berukuran lebih kecil tersebut karena jenis ini tidak diburu.
5.2 Perburuan kalong kapauk
5.2.1 Alat dan cara perburuan
Alat yang digunakan untuk berburu kalong kapauk di dalam dan sekitar
KHBT adalah: jaring (jala), senapan angin, dan rawe (mata kail pancing).
Berdasarkan hasil wawancara dengan 69 responden pemburu kalong kapauk, 61
responden (88,41%) menggunakan jaring, 7 responden (10,14%) menggunakan
senapan angin, dan 1 responden (1,45%) menggunakan rawe. Hasil tangkapan
paling banyak adalah dengan menggunakan jaring. Penelitian ini lebih banyak
mengamati perburuan dengan menggunakan jaring, karena jaring merupakan alat
perburuan yang paling banyak digunakan, hasil tangkapan dalam jumlah besar,
dan lokasi perburuannya dapat diamati.
(a)
(b) (c)
33
5.2.1.1 Jaring (jala)
Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring sudah lama
diketahui dan terjadi secara turun-temurun. Salah satu responden sudah
menggunakan alat ini sejak tahun 1980. Pada waktu itu jaring dibuat dengan
menggunakan tali/benang pancing, berbeda dengan sekarang yang menggunakan
benang nilon. Jaring yang digunakan saat ini merupakan hasil perbaikan dari
jaring-jaring yang sebelumnya.
Cara perburuan kalong kapauk menggunakan jaring adalah dengan
membentangkan jaring di tempat yang sudah disiapkan, kemudian menunggu
sampai kalong kapauk menabrak jaring. Bila kalong kapauk sudah menyentuh
jaring, maka jaring segera diturunkan agar kalong kapauk tidak dapat meloloskan
diri. Di beberapa lokasi, perburuan kalong kapauk dilakukan dengan
menggunakan suara pancingan (kalong kapauk yang disiksa agar mengeluarkan
suara), untuk menarik perhatian kalong kapauk lain. Pemasangan jaring yang baik
adalah apabila posisi jaring tegak lurus dengan arah datangnya kalong kapauk
(jaring tidak mudah terlihat).
Bagian-bagian alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring
(Gambar 8), beserta kegunaannya:
a. Pohon tiang: pohon tinggi (20-40 m) dan kokoh yang digunakan sebagai
tiang/penahan. Pohon tiang dipilih setelah menemukan lokasi perburuan
kalong kapauk yang baik. Bagian-bagian pohon yang mengarah ke jaring
dipangkas, karena dapat mengganggu proses naik turunnya jaring.
b. Paduk: dua buah batang bambu yang masing-masing pangkalnya diikatkan
pada pohon tiang. Pengadaan dan ukuran paduk dibuat berdasarkan kondisi
kedua pohon tiang. Ada kalanya paduk tidak diperlukan, karena kedua pohon
tiang sudah cukup tinggi atau memiliki tinggi yang sama. Kegunaannya
adalah: agar sisi kiri dan kanan jaring memiliki ketinggian yang sama;
memberikan jarak antara jaring dengan dedaunan/ranting pohon, sehingga
jaring tidak tersangkut; serta lebih kokoh (awet) bila dibandingkan dengan
mengikatkan tali samping langsung ke batang/ranting pohon.
c. Hili-hilian: katrol dari bambu yang diikatkan di ujung paduk. Katrol
berfungsi untuk menjaga tali samping agar berjalan/berputar dengan baik.
34
d. Tali samping: tali nilon berukuran kecil (tidak mudah terlihat oleh kalong
kapauk), kuat, dan kedua ujungnya diikat/disatukan. Tali samping berputar
pada katrol dan berfungsi sebagai tempat diikatkannya jaring, sehingga jaring
dapat dinaikkan dan diturunkan. Jaring biasanya dilepas dan dibawa pulang
oleh pemburu bila sudah selesai berburu kalong kapauk.
e. Jaring (rambang): benang nilon nomor 2 atau 3 yang dirangkai sedemikian
rupa menyerupai net pada permainan bola voli. Mata jaring berukuran 11 ×
11 cm2 sampai 13 × 13 cm2. Jaring dapat dibuat sendiri, tetapi juga dapat
diperoleh dengan memesan kepada orang yang ahli membuat jaring. Jaring
dapat dibeli dengan harga Rp 500.000-600.000. Tingginya harga jaring
dipengaruhi oleh harga bahan baku dan lamanya waktu pembuatan yang
dibutuhkan (8 bulan). Lamanya waktu pembuatan jaring disebabkan oleh
pembuatan jaring hanya dilakukan pada waktu-waktu santai saja, sedangkan
apabila dikerjakan dengan rutin dapat diselesaikan dalam 2 bulan. Ukuran
panjang dan lebar jaring berbeda-beda berdasarkan kondisi di lokasi
penjaringan dan selera pemburu. Jaring pada umumnya dibuat memanjang ke
bawah, dengan lebar 10 m dan panjang 15 m. Bila disimpan dengan baik,
jaring dapat dipergunakan lebih dari 10 tahun. Apabila ada bagian jaring yang
rusak, maka bagian tersebut langsung diperbaiki dengan cara menyambung
bagian yang terputus atau rusak.
f. Sasa nihe: tali nilon yang dirangkai (berbentuk kotak-kotak) secara horizontal
dan berada 1-2 meter diatas tanah. Fungsinya adalah untuk menahan jaring
agar tidak menyentuh tanah, atau tersangkut pada rerumputan maupun
tanaman lainnya yang ada di lantai lokasi penjaringan. Sasa nihe berperan
dalam menjaga keawetan jaring dan memudahkan pemburu selama perburuan
berlangsung.
g. Basa-basa: kayu dengan panjang 30-40 cm dan berdiameter 3-4 cm, yang
berfungsi sebagai pememukul kepala kalong kapauk sampai kalong kapauk
mati. Basa-basa hanya dipakai di Desa Sipange, karena di desa ini kalong
kapauk yang di dapat langsung dibunuh. Dalam bahasa lokal, basa-basa sama
artinya dengan berkat.
35
h. Peralatan lain-lain. Peralatan pendukung lainnya yang dibutuhkan pada saat
melakukan perburuan kalong kapauk adalah: pondok tempat istirahat, senter,
anti nyamuk bakar, dan keranjang bambu (tempat penyimpanan kalong
kapauk yang ditangkap dalam keadaan hidup).
Gambar 8 Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring. Keterangan : a = pohon tiang; b = paduk; c = hili-hilian; d = tali samping; e = jaring; f = sasa
nihe.
5.2.1.2 Senapan angin
Senapan angin biasa digunakan oleh pemburu yang tidak memiliki jaring,
atau pemburu yang ingin menangkap kalong kapauk dalam jumlah kecil untuk
dikonsumsi sendiri. Perburuan dengan senapan angin dilakukan di sekitar pohon
durian yang sedang berbunga. Kelemahan alat ini adalah hasil tangkapan sedikit,
karena tidak jarang kalong kapauk yang sudah tertembak namun tidak mati. Selain
itu gerombolan kalong kapauk juga akan segera pergi jika mendengar suara
letusan senapan angin. Jumlah seluruh pemburu kalong kapauk yang
menggunakan senapan angin sulit diketahui, karena kelompok pemburu ini tidak
rutin melakukan perburuan dan tidak ada tanda-tandanya di lapangan.
5.2.1.3 Rawe (mata kail pancing)
Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe hanya ditemukan di
Desa Aek Horsik Kabupaten Tapanuli Tengah. Rawe merupakan alternatif lain
bagi pemburu yang tidak memiliki biaya yang cukup untuk membeli jaring. Selain
lebih murah harganya, perburuan dengan menggunakan rawe tergolong mudah
a
b c
f
e
d
36
dilakukan. Pemburu hanya perlu memasang rawe pada sore hari, kemudian
sesekali diperiksa pada malam atau pagi hari. Rawe biasanya dipasang di sekitar
pohon durian yang sedang berbunga (sumber pakan), dengan tujuan kalong
kapauk yang sedang terbang dapat tersangkut sayapnya pada mata kail pancing.
Bahan yang diperlukan adalah mata kail pancing berukuran besar dan
benang/tali pancing. Mata kail pancing diikatkan di masing-masing benang
pancing (vertikal) dengan jarak yang tidak terlalu rapat. Seluruh benang pancing
tersebut kemudian diikatkan ke benang pancing yang panjang (horizontal) yang
kedua sisi kanan dan kirinya akan dililitkan ke batang pohon (tiang), sehingga
mata kail pancing dalam kondisi menggantung (Gambar 9). Sama halnya dengan
perburuan menggunakan senapan angin, alat perburuan ini juga tidak mudah
teramati di lapangan.
Gambar 9 Alat perburuan kalong kapauk dengan menggunakan rawe.
5.2.2 Daerah dan lokasi perburuan
Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terjadi di 42
desa/dusun (Lampiran 9). Dalam satu malam, sebanyak 367 kelompok pemburu
kalong kapauk berburu dengan menggunakan jaring, 7 pemburu menggunakan
senapan, dan 1 pemburu menggunakan rawe. Perburuan paling banyak terjadi di
Kabupaten Tapanuli Tengah, yaitu di 24 desa/dusun (265 kelompok pemburu
menggunakan jaring dan seorang pemburu menggunakan rawe). Jumlah kedua
terbesar berada di Kabupaten Tapanuli Selatan, yaitu di 10 desa/dusun (51
kelompok pemburu menggunakan jaring dan 7 pemburu menggunakan senapan).
Perburuan kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Utara terjadi di 8 desa/dusun (51
kelompok pemburu menggunakan jaring).
37
Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring dilakukan di atas
sebidang tanah yang secara sengaja dipersiapkan untuk perburuan kalong kapauk.
Berdasarkan kepemilikannya, lahan yang dijadikan lokasi penjaringan dibedakan
atas perkebunan milik sendiri/keluarga, perkebunan milik orang lain, kawasan
hutan, dan lahan orang lain yang sengaja disewa untuk perburuan kalong kapauk
(Gambar 10). Pembuatan lokasi penjaringan di area perkebunan orang lain
memerlukan persetujuan dan kesepakatan mengenai sistem pembagian hasil,
sedangkan lahan yang disewa untuk dijadikan lokasi penjaringan kalong kapauk
adalah sebidang tanah yang sengaja disewa (berkisar Rp 300.000-400.000 dalam
satu musim) karena dipandang sangat strategis untuk berburu kalong kapauk.
Gambar 10 Persentase kepemilikan lahan yang dijadikan lokasi penjaringan
kalong kapauk.
Jarak dari rumah masing-masing pemburu ke lokasi perburuan kalong
kapauk berbeda-beda. Perburuan dengan menggunakan senapan dan rawe
dilakukan di lokasi yang lebih dekat dengan rumah pemburu, sedangkan
perburuan dengan menggunakan jaring dilakukan di tempat yang jaraknya lebih
jauh. Jarak rumah responden ke lokasi penjaringan kurang dari 500 m sebanyak 7
responden (10,14%), 500-1000 m sebanyak 21 responden (30,43%), 1000-3000 m
sebanyak 24 responden (34,78%), 3000-5000 m sebanyak 11 responden (15,94%),
dan lebih dari 5000 m sebanyak 6 responden (8,70%).
Lokasi penjaringan kalong kapauk ditentukan berdasaran pengalaman
pemburu yang sering melihat keberadaan kalong kapauk di sekitar lokasi tersebut.
Menurut hasil wawancara, 41 responden (59,42%) memiliki lokasi penjaringan di
punggung bukit (Gambar 11), 20 responden (28,99%) memiliki lokasi penjaringan
di sekitar tumbuhan pakan, dan 8 responden (11,59%) memiliki lokasi
penjaringan di kedua tempat tersebut. Lokasi penjaringan yang berada di
38
punggung bukit umumnya lebih tinggi (± 25-40 m) daripada lokasi penjaringan di
sekitar tumbuhan pakan (± 15-20 m). Sumber pakan kalong kapauk berdasarkan
hasil wawancara pemburu adalah bunga durian, buah-buahan seperti langsat,
mangga, rambutan, dan buah beringin (Ficus).
Gambar 11 Beberapa lokasi penjaringan kalong kapauk di punggung bukit (a) dan
salah satu lokasi penjaringan (b).
Jumlah lokasi penjaringan yang dimiliki masing-masing responden
pemburu kalong kapauk berkisar 1-4 lokasi. Sebanyak 45 responden (65,22%)
memiliki 1 lokasi, 18 responden (26,09%) memiliki 2 lokasi, 4 responden (5,80%)
memiliki 3 lokasi, dan 2 responden (2,90%) memiliki 4 lokasi penjaringan. Lokasi
penjaringan yang dimiliki masing-masing pemburu dijaga oleh anggota keluarga
atau dikerjakan oleh pemburu lain dengan sistem bagi hasil.
5.2.3 Waktu perburuan
Perburuan kalong kapauk dilakukan pada malam sampai pagi hari, yaitu
pada saat kalong kapauk mencari makan sampai kembali lagi ke pohon sarang.
Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan senapan angin berlangsung lebih
singkat (pukul 19.00-23.00 WIB), sedangkan perburuan dengan menggunakan
jaring dan rawe berlangsung sejak pukul 19.00-05.00 WIB. Jika lokasi
penjaringan cukup jauh, maka pemburu sudah mulai berangkat dari rumah
masing-masing pukul 15.00 WIB.
Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT dilakukan secara
musiman. Perburuan kalong kapauk diluar musim kalong kapauk hanya terjadi di
Desa Sipange, Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Musim kalong
(a) (b)
39
kapauk bersamaan dengan musim berbunga durian dan musim panen buah-
buahan. Puncak musim kalong kapauk terjadi saat musim berbunga durian (secara
serentak dan banyak), yang umumnya berlangsung selama 3 minggu. Perburuan
kalong kapauk pada musim panen buah-buahan dapat berlangsung 3-4 bulan,
namun jumlah tangkapan sedikit. Berdasarkan hasil wawancara, 24,64%
responden berpendapat bahwa puncak musim berbunga durian terjadi dari bulan
Juli-Agustus (Gambar 12).
Gambar 12 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara
pemburu (n = 69).
5.2.4 Frekuensi perburuan
Perburuan diluar musim kalong kapauk berlangsung pada waktu-waktu
tertentu saja (2-3 kali dalam seminggu), sedangkan perburuan selama musim
kalong kapauk berlangsung setiap malam. Bila musim kalong kapauk tiba,
pemburu lebih memilih berburu kalong kapauk daripada mengerjakan pekerjaan
sehari-hari. Pada perburuan diluar musim kalong kapauk, beberapa hal yang
menjadi pertimbangan bagi pemburu kalong kapauk untuk pergi berburu adalah:
sedang tidak hujan, tidak terang bulan, dan angin tidak terlalu kencang. Frekuensi
perburuan kalong kapauk juga meningkat pada hari-hari libur sekolah, karena
tidak jarang orang tua akan mengikut sertakan anaknya yang masih duduk di
bangku sekolah untuk berburu.
5.2.5 Estimasi jumlah tangkapan
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah hasil tangkapan baik pada saat
musim maupun tidak musim kalong kapauk adalah: posisi lokasi penjaringan,
tidak terang bulan, tidak hujan, angin tidak terlalu kencang, dan kemampuan yang
dimiliki pemburu. Hasil tangkapan yang diperoleh pemburu di masing-masing
40
daerah dan lokasi perburuan berbeda-beda. Ketika musim kalong kapauk, pada
kondisi yang kurang baik dalam satu malam jumlah tangkapan berkisar 2-10 ekor,
sedangkan pada kondisi yang baik dapat mencapai 100 ekor per lokasi
penjaringan. Kisaran jumlah seluruh tangkapan kalong kapauk di dalam dan di
sekitar KHBT (375 lokasi penjaringan musiman) dalam satu malam adalah 9.041
ekor. Jika musim kalong kapauk berlangsung 3 minggu (21 malam) dalam
setahun, maka kisaran jumlah tangkapan kalong kapauk di dalam dan sekitar
KHBT dalam setahun adalah 189.861 ekor.
5.3 Perdagangan kalong kapauk
5.3.1 Rantai perdagangan
Perburuan kalong kapauk yang dilakukan oleh pemburu bertujuan untuk
dijual dalam keadaan hidup (per ekor) dan sebahagian kecil untuk dikonsumsi
sendiri (sebagai sumber protein dan dipercaya berkhasiat obat). Berdasarkan hasil
wawancara: 48 responden (69,57%) mengkonsumsi sebahagian kecil hasil
tangkapan dan menjual yang lainnya kepada pengumpul; 13 responden (18,84%)
menjual seluruh hasil tangkapan kepada pengumpul; 5 responden (7,25%)
menjual kalong kapauk ke rumah makan dan warung tuak; dan 3 responden
(4,35%) mengkonsumsi sendiri hasil tangkapannya. Kalong kapauk yang mati
akibat perburuan lebih sering dikonsumsi sendiri atau dijual ke rumah makan dan
warung tuak dengan harga rendah.
Kalong kapauk yang diperdagangkan di dalam dan sekitar KHBT
merupakan hasil tangkapan pemburu yang berasal dari sekitar KHBT itu sendiri
(lokal) dan dari Panti, Provinsi Sumatera Barat (luar daerah). Pada saat penelitian
berlangsung, kalong kapauk yang diperdagangkan berasal dari Panti. Pemburu
kalong kapauk di Panti menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul di Panti
(Gambar 13 a). Pengumpul tersebut kemudian mengirimkan kalong kapauk
dengan menggunakan keranjang (Gambar 13 b) dan dibawa oleh truk pengangkut
ikan atau bus angkutan umum. Pengiriman dilakukan pada malam hari sekitar
pukul 23.00 WIB, agar kalong kapauk tidak kepanasan/mati. Penanganan kalong
kapauk setelah sampai di tangan pengumpul yang ada di dalam dan sekitar KHBT
adalah dengan mengikat mulut dan sayap kalong kapauk, kemudian
dikelompokkan berdasarkan ukurannya (Gambar 13 c).
41
Gambar 13 Pemburu di Panti menjual hasil tangkapan kepada pengumpul di
Panti (a), keranjang pengiriman (b), serta kalong kapauk yang sudah diikat mulut dan sayapnya lalu dikelompokan sesuai ukuran (c).
Harga seekor kalong kapauk dari pemburu kepada pengumpul sama,
sedangkan harga dari pengumpul dan pedagang kepada pemilik rumah
makan/warung tuak dan pembeli disesuaikan dengan ukuran kalong kapauk.
Seekor kalong kapauk berukuran besar (0,8-1 kg) diberi harga Rp 25.000-40.000,
sedangkan kalong kapauk berukuran kecil (0,5-0,7 kg) memiliki harga Rp 15.000-
25.000. Harga kalong kapauk juga dipengaruhi oleh ketersediaan kalong kapauk
pada saat itu. Semakin sedikit jumlah kalong kapauk (langka), maka akan semakin
tinggi pula harganya. Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan sekitar
KHBT dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Rantai perdagangan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT.
Bentuk pemanfaatan kalong kapauk antara lain sebagai lauk makan sehari-
hari, menu makanan ekstrem di rumah makan kalong kapauk siap saji (Gambar
15), serbuk obat (penyakit asma), dan teman minum tuak (tambul). Masyarakat
(a) (b) (c)
Pemburu di KHBT
Rumah Makan & Warung Tuak
Pengkonsumsi Siap Saji
Pengumpul & Pedagang di Panti
Kalong Kapauk Di Alam
Pengumpul & Pedagang di KHBT
Rp 30.000-80.000
Rp 10.000-15.000Rp 15.000-40.000
Rp 15.000-40.000 Rp 10.000-15.000
Rp 10.000-20.000
Rp 9.000-16.000
Rp 14.000-20.000
Pembeli Rumah Tangga
Pemburu di Panti
42
dari suku Tionghoa dan suku Batak sangat menyukai daging kalong kapauk,
karena rasa daging yang keras, manis, tidak membosankan, dan bagian dalam
kalong kapauk (hati, empedu, dan usus) dipercaya dapat menyembuhkan penyakit
asma.
Gambar 15 Kalong kapauk setelah dibakar (a), masakan daging kalong kapauk
(b), dan salah satu rumah makan kalong kapauk siap saji di Desa Tukka (c).
5.3.2 Lokasi penjualan
Perdagangan kalong kapauk dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
berjualan keliling dan berjualan menetap di suatu lokasi. Perdagangan kalong
kapauk dengan cara berjualan keliling dilakukan dengan mendatangi pembeli
(menggunakan sepeda motor) di daerah-daerah yang masyarakatnya memiliki
minat yang tinggi untuk mengkonsumsi kalong kapauk (Gambar 16). Pedagang
keliling ini juga mengantarkan kalong kapauk ke rumah makan dan warung tuak
yang menjual kalong kapauk siap saji. Lokasi rumah makan dan warung tuak akan
dijelaskan pada sub-bab karakteristik responden pemilik rumah makan dan
warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji.
Gambar 16 Penjualan kalong kapauk dengan cara berkeliling menggunakan
sepeda motor.
Perdagangan kalong kapauk dengan berjualan menetap di suatu lokasi
dilakukan oleh pemburu kalong kapauk dan oleh pengumpul sekaligus pedagang
kalong kapauk. Pemburu yang juga berperan sebagai pedagang kalong kapauk
(a) (b) (c)
43
(hasil tangkapan sendiri) dan pengumpul ini berjualan di pasar-pasar tradisional,
yang berlangsung satu kali dalam seminggu. Berdasarkan hasil wawancara,
terdapat 5 pasar tradisional yang biasanya menjadi lokasi perdagangan kalong
kapauk (Tabel 1).
Tabel 1 Lokasi pasar tradisional yang menjual kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT
No Kabupaten Kecamatan Desa Lokasi 1 Tapanuli Utara Pahae Jae Sarulla Pasar Sarulla 2 Tapanuli Utara Pahae Julu Onan Hasang Pasar Onan Hasang 3 Tapanuli Tengah Sibabangun Simanosor Onan Huta Padang 4 Tapanuli Selatan Batang Toru Batang Toru Pasar Batang Toru 5 Tapanuli Selatan Batang Toru Huta Raja Pasar Huta Raja
5.4 Karakteristik responden pemanfaat kalong kapauk
Responden terdiri dari pemburu kalong kapauk, pengumpul dan pedagang,
pembeli, pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk siap
saji, dan pengkonsumsi kalong kapauk siap saji. Persentase responden
berdasarkan masing-masing kategori dapat dilihat pada Gambar 17, sedangkan
karakteristik umum seluruh responden pemanfaat kalong kapauk dapat dilihat
pada Tabel 2.
Gambar 17 Persentase responden pemanfaat kalong kapauk berdasarkan masing-
masing kategori.
Tabel 2 Karakteristik umum responden pemanfaat kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT
Uraian Pemburu Pengumpul & pedagang*
Pembeli Pemilik RM Pengkonsumsi siap saji
Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Usia (tahun) 10−15 3 4,35 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 2,70 4 2,55 16−25 4 5,80 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 4 2,55 26−35 26 37,68 1 16,67 2 10,00 3 13,04 8 21,62 40 25,48 36−45 23 33,33 3 50,00 6 30,00 10 34,78 12 32,43 54 34,39 46−55 12 17,39 2 33,33 8 40,00 11 47,83 10 27,03 43 27,39 56−65 1 1,45 0 0,00 4 20,00 1 4,35 6 16,22 12 7,64 Jenis Kelamin Pria 69 100,00 6 100,00 4 85,00 11 47,83 32 86,49 122 77,71 Wanita 0 0,00 0 0,00 16 15,00 14 52,17 5 13,51 35 22,29 Asal Suku Batak Toba 52 75,36 6 100,00 18 90,00 22 86,96 14 37,84 112 71,34 Angkola 6 8,70 0 0,00 2 10,00 2 8,70 4 10,81 14 8,92 Nias 11 15,94 0 0,00 0 0,00 1 4,35 2 5,41 14 8,92 Tionghoa 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 16 43,24 16 10,19 Karo 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 2,70 1 0,64 Agama Islam 1 1,45 0 0,00 0 0,00 0 0,00 6 16,22 7 4,46 Kristen 68 98,55 6 100,00 20 100,00 25 100,00 17 45,95 136 86,62 Budha 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 14 37,84 14 8,92 Pendidikan SD 32 46,38 0 0,00 8 40,00 10 34,78 4 10,81 54 34,39 SMP 23 33,33 0 0,00 7 35,00 7 30,43 13 35,14 50 31,85 SMA 14 20,29 6 100,00 5 25,00 8 34,78 20 54,05 53 33,76
Tabel 2 Lanjutan ...
Uraian Pemburu
Pengumpul & pedagang
Pembeli Pemilik RM Pengkonsumsi siap saji
Total
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah % Matapencaharian Utama Buruh upahan 16 23,19 0 0,00 3 15,00 0 0,00 0 0,00 19 12,10 Kebun keluarga 35 50,72 4 66,67 12 60,00 0 0,00 9 24,32 60 38,22 Pedagang kios/keliling 2 2,90 2 33,33 4 20,00 0 0,00 0 0,00 8 5,10 Pemilik toko 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 12 32,43 12 7,64 Pegawai swasta 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 6 16,22 6 3,82 PNS 0 0,00 0 0,00 1 5,00 0 0,00 8 21,62 9 5,73 Pemburu 8 11,59 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 8 5,10 Warung makan/minum 0 0,00 0 0,00 0 0,00 7 28,00 0 0,00 7 4,46 Warung tuak 5 7,25 0 0,00 0 0,00 18 72,00 0 0,00 23 14,65 Pelajar 3 4,35 0 0,00 0 0,00 0 0,00 2 5,41 5 3,18 Keterangan : * = 2 orang pengumpul berasal dari Panti; RM = Rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji.
46
5.4.1 Pemburu
Usia pemburu sangat dipengaruhi oleh waktu perburuan. Pada hari libur
sekolah dapat dijumpai pemburu berusia belasan tahun, sedangkan pada hari-hari
biasa pemburu adalah orang dewasa yang terdiri dari umur 26-55 tahun. Bila
dilihat dari latar belakang pendidikannya sebahagian besar pemburu (46,38%)
hanya pernah duduk di bangku SD. Pemburu yang berlatar belakang pendidikan
setingkat SMA adalah pemburu-pemburu dengan usia lebih muda. Rendahnya
pendidikan pemburu juga menjadi penyebab terjadinya perburuan kalong kapauk.
Pemburu kalong kapauk yang berhasil diwawancarai sebahagian besar
berasal dari Suku Batak Toba (75,36%) dan Suku Nias (15,94%). Hal ini terjadi
karena pemburu dari Suku Batak lebih terbuka dan besedia dalam memberi
informasi. Bila ditelusuri lebih dalam lagi ternyata jumlah pemburu yang berasal
dari kedua suku ini hampir sama besar. Pemburu kalong kapauk yang berada di
pinggiran hutan atau kebun umumnya berasal dari Suku Batak, sedangkan
pemburu yang berada di dalam hutan atau kebun umumnya dari Suku Nias.
Seluruh pemburu adalah pria dan umumnya beragama Kristen.
Aktivitas perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT sudah
berlangsung lebih dari 10 tahun. Sebanyak 22 responden (31,88%) berburu kalong
kapauk lebih dari 10 tahun, 34 responden (49,28%) berburu 5−9 tahun, 11
responden (15,94%) berburu 1−4 tahun, dan 2 responden (2,90%) berburu kalong
kapauk kurang dari 1 tahun. Perburuan kalong kapauk dijadikan pekerjaan
tambahan, karena umumnya pemburu memiliki pekerjaan tetap (Tabel 2)
Responden mengetahui cara perburuan dari orang tua (66,67%) dan dari teman
atau lingkungannya (33,33%). Awalnya pengetahuan tentang cara perburuan
kalong kapauk ini menyebar dari satu daerah ke daerah lain, karena pemburu juga
melakukan perburuan ke daerah-daerah baru yang belum melakukan perburuan.
Berdasarkan hasil wawancara, alasan responden berburu kalong kapauk
adalah sebagai matapencaharian tambahan (62,32%), sebagai hiburan (17,39%),
menganggap kalong kapauk sebagai hama (13,04%), dan karena adanya pesanan
(7,25%). Umumnya pemburu menganggap profesi ini sebagai pekerjaan
tambahan, karena meskipun mendapatkan uang yang lebih besar, perburuan hanya
dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja (musiman). Perburuan kalong
47
kapauk karena adanya pesanan terjadi di Desa Sipange, karena di tempat ini
perburuan dilakukan tanpa musim.
Jumlah efektif pemburu dalam 1 lokasi penjaringan sebanyak 2-3 orang.
Berdasakan hasil wawancara, 48 responden (69,57%) menjawab 2-3 orang dalam
setiap lokasi; 15 responden (21,74%) menjawab 3−5 orang; dan 6 responden
(8,70%) menjawab lebih dari 5 pemburu dalam 1 lokasi penjaringan. Sistem
pembagian hasil perburuan dilakukan dengan membagi rata uang hasil penjualan
kalong kapauk. Bentuk pembagian hasil antara pemilik jaring: pemburu (1):
pemburu (2) adalah 1:1:1. Apabila jaring yang dipergunakan adalah milik
pemburu 1, maka perbandingannya menjadi 2:1.
Anggota dalam setiap kelompok pemburu adalah teman atau anggota
keluarga yang dianggap cocok untuk dijadikan teman dalam berburu kalong
kapauk. Sebanyak 21 responden (30,43%) menjawab anggota tim masih
merupakan keluarga dekat dan 48 responden lainnya (60,57%) menyatakan
anggota tim merupakan teman dekat. Responden yang menjawab orang-orang
dalam satu lokasi penjaringan biasanya tetap sebanyak 46 orang (66,67%),
sedangkan yang menjawab tidak tetap sebanyak 23 orang (33,33%).
Perburuan kalong kapauk yang terjadi belum memperhatikan kelestarian
dari kalong kapauk tersebut. Tidak ditemukan adanya upaya-upaya perlindungan
kalong kapauk. Hal tersebut juga didukung oleh hasil wawancara dengan pemburu
kalong kapauk yang 100% mengatakan bahwa jumlah hasil tangkapan pemburu
semakin berkurang. Menurut responden pemburu, berkurangnya hasil tangkapan
disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah pemburu di dalam dan sekitar
KHBT. Persepsi responden mengenai upaya perlindungan kalong kapauk dapat
dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Persentase persepsi pemburu mengenai upaya perlindungan kalong
kapauk (n = 69).
48
5.4.2 Pengumpul dan pedagang
Pada saat penelitian berlangsung, jumlah pengumpul yang diketahui dan
diwawancarai sebanyak 4 orang, sedangkan jumlah pedagang hanya 2 orang. Dari
jumlah tersebut 2 orang pengumpul berada di Panti (sebagai pemasok), 2
pengumpul lainnya berada di Desa Gunung Marijo Kecamatan Pinangsori
Kabupaten Tapanuli Tengah, sedangkan 2 orang pedagang kalong kapauk adalah
orang yang bekerja pada pengumpul tersebut. Pengiriman kalong kapauk lintas
provinsi ini dimulai pada tahun 2009. Jumlah pengumpul dan pedagang kalong
kapauk di dalam dan sekitar KHBT akan bertambah bila musim perburuan kalong
kapauk tiba.
Seseorang dapat menjadi pengumpul kalong kapauk jika memiliki modal
(uang) yang cukup. Besarnya modal awal yang dikeluarkan akan terbayar oleh
besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Sebelum menjadi pengumpul dan
pedagang, 5 responden (83,33%) pernah menjadi pemburu kalong kapauk.
Sebanyak 2 responden (33,33%) menjalani profesi ini selama 1 tahun, 2
responden (33,33%) selama 2-4 tahun, dan 2 responden (33,33%) lain selama 5-
10 tahun. Pengumpul dan pedagang menganggap profesi ini sebagai pekerjaan
tambahan, karena hanya dapat dilakukan pada musim kalong kapauk saja dan
masing-masing responden memiliki matapencaharian utama yaitu berkebun
(66,67%) dan pedagang kios (33,33%).
Pedagang kalong kapauk keliling akan berjualan kalong kapauk jika
jumlahnya mencukupi (lebih dari 60 ekor). Apabila jumlah kalong kapauk sedikit,
kalong kapauk akan disimpan untuk dijual keesokan harinya. Jumlah kalong
kapauk yang diperdagangkan setiap hari berbeda-beda, dengan rata-rata 70-90
ekor per hari. Pedagang memiliki pelanggan tetap, baik itu pembeli rumah tangga
maupun pemilik rumah makan/warung tuak. Menurut pengumpul dan pedagang,
jumlah pembeli setiap tahun selalu tinggi karena peminat daging kalong kapauk
banyak. Kalong kapauk yang dibawa oleh pedagang selalu habis terjual.
5.4.3 Pembeli
Responden membeli kalong kapauk untuk keperluan konsumsi keluarga.
Responden yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah (Tabel 3) ini
diwawancarai ketika sedang membeli kalong kapauk dari pedagang keliling.
49
Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (5%) sudah menjadi pembeli kalong
kapauk selama 1-4 tahun, 4 responden (20%) menjadi pembeli 5-10 tahun, 8
responden (40%) menjadi pembeli 10-20 tahun, 5 responden (25%) menjadi
pembeli 20-30 tahun, dan 2 responden (10%) menjadi pembeli selama 30-40
tahun.
Tabel 3 Asal responden yang menjadi pembeli kalong kapauk di Kabupaten Tapanuli Tengah
Asal pembeli (Desa/Dusun)
Kecamatan Persen (%)
Jumlah (Orang)
Pinangsori Pinangsori 5,00 1 Tukka Tukka 10,00 2 Sipange Tukka 20,00 4 Huta Nabolon Tukka 10,00 2 Sigiring-giring Tukka 10,00 2 S Kalangan II /Haramonting Tukka 25,00 5 Bonan dolok Sitahuis 20,00 4 Total 100,00 20
Sebanyak 10 responden (50%) membeli kalong kapauk sebagai teman
makan nasi (lauk), 7 responden (35%) membeli kalong kapauk untuk dimakan
begitu saja, serta 3 responden (15%) lainnya membeli kalong kapauk karena
khasiatnya. Menurut responden, daging kalong kapauk memiliki beberapa
keunggulan yang membuatnya berbeda dengan daging hewan lainnya, yaitu:
sebagai obat asma dan penambah stamina tubuh (5 responden, 25%); sebagai obat
asma dan rasanya tidak membosankan (3 responden, 15%); sebagai obat asma dan
tidak menaikkan tensi darah (4 responden, 20%); serta memiliki rasa daging yang
enak, keras, dan tidak membosankan (8 responden, 40%).
Masing-masing responden membeli kalong kapauk 1-6 kali dalam satu
bulan, dengan 1-2 ekor kalong kapauk dalam setiap pembelian. Sebanyak 3
respoden (15%) membeli 1 kali dalam sebulan, 5 responden (25%) 1-2 kali dalam
sebulan, 8 responden (40%) 2-4 kali dalam sebulan, dan 4 responden (20%) 5-6
kali dalam sebulan. Responden umumnya membeli kalong kapauk berdasarkan
kondisi keuangan masing-masing. Seluruh responden mengaku tidak mampu
membeli kalong kapauk siap saji di rumah makan, karena harganya mahal.
Menurut 14 responden (70%) harga kalong kapauk yang ditawarkan pedagang
50
tidak tergolong mahal, sedangkan 6 responden (30%) lainnya mengatakan harga
kalong kapauk tergolong mahal.
5.4.4 Pemilik rumah makan dan warung tuak yang menjual kalong kapauk
siap saji
Pada saat penelitian sedang berlangsung, ditemukan 7 rumah makan dan 4
warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Menurut hasil survei, jumlah
rumah makan dan warung tuak di dalam dan sekitar KHBT yang biasanya
menyediakan kalong kapauk siap saji adalah 124 tempat (Tabel 4). Jumlah ini
dapat bertambah jika musim perburuan kalong kapauk tiba, karena banyak rumah
makan dan warung tuak lain yang juga menyediakan kalong kapauk siap saji pada
waktu-waktu tersebut. Pemilik warung tuak sering menggunakan daging kalong
kapauk sebagai menu pemancing agar pembeli minum tuak di warungnya. Rumah
makan kalong kapauk siap saji paling populer berada di Desa Tukka dan Huta
Nabolon. Di lokasi tersebut, ada 3 rumah makan kalong kapauk siap saji yang
keberadaannya sudah terkenal sampai ke luar daerah.
Tabel 4 Lokasi dan jumlah rumah makan/warung tuak yang menjual kalong kapauk siap saji di dalam dan sekitar KHBT, berdasarkan hasil survei
Kabupaten/Kota Kecamatan/kota Desa Persen (%) Jumlah Tapanuli Utara Adian Koting Banuaji II 0,81 1
Pahae Jae Pasar Sarulla 0,81 1 Tapanuli Tengah Pinangsori Gunung Marijo 3,23 4
Badiri Huta Balang 1,61 2 Pandan Kalangan 0,81 1
Aek Horsik 0,81 1 Sarudik Sibuluan Nalambok 3,23 4
Tukka Sipange 0,81 1 Huta Nabolon 2,42 3 Bona Lumban 0,81 1 Tukka 2,42 3
Tapanuli Selatan Batang Toru Batang Toru (pasar) 0,81 1 Tano Tombangan Aek Hahombu 72,58 90a)
Padang Sidempuan (PSP)
PSP Manegen 0,81 1 PSP Selatan Aek Horsik 7,26 9 a)
Sidakkal/Gg Gosen 0,81 1 Total 100,00 124
Keterangan : a) = Berdasarkan hasil wawancara
Dari seluruh rumah makan dan warung tuak yang ada, pemilik rumah
makan dan warung tuak yang diwawancarai sebanyak 25 orang. Berdasarkan hasil
wawancara, 1 responden (4%) sudah berjualan sekitar 40 tahun, 3 responden
51
(12%) berjualan 20-39 tahun, 5 responden (20%) berjualan 10-20 tahun, 7
responden (28%) berjualan 5-9 tahun, 5 responden (20%) berjualan 1-4 tahun, dan
4 responden (16%) baru memulai usaha kurang dari 1 tahun. Jika pasokan kalong
kapauk lancar, sebanyak 3 responden (12%) berjualan 2 hari dalam seminggu, 9
responden (36%) berjualan 3-5 hari dalam seminggu, dan 13 responden (52%)
berjualan 6-7 hari dalam seminggu. Waktu penjualan ini sewaktu-waktu dapat
berubah, tergantung minat pengkonsumsi di rumah makan atau warung tuak
tersebut.
Masing-masing rumah makan dan warung tuak dapat menghabiskan 2-10
ekor kalong kapauk dalam sehari. Jumlah kalong kapauk untuk diolah di warung
tuak lebih sedikit dibandingkan dengan di rumah makan. Sebanyak 13 responden
(52%) memerlukan 2-4 ekor kalong kapauk per hari, 9 responden (36%)
memerlukan 5-7 ekor per hari, dan 3 responden (12%) memerlukan 8-10 ekor per
hari. Jumlah kalong kapauk yang diolah pada hari Sabtu dan Minggu lebih banyak
dari hari lainnya, karena pada waktu seperti ini pembeli lebih ramai.
Kalong kapauk diperoleh dari pemburu dan pedagang kalong kapauk.
Sebanyak 5 responden (20%) membeli kalong kapauk langsung kepada pemburu,
8 responden (32%) membeli dari pedagang, 1 responden (4%) memperoleh kalong
kapauk dari hasil tangkapan sendiri, dan 11 responden (44%) membeli kalong
kapauk dari pemburu atau pedagang (dengan pertimbangan harga beli yang
termurah). Masing-masing pemilik warung tuak dan rumah makan sudah memiliki
pemasok kalong kapauk yang tetap, baik itu langsung kepada pemburu kalong
kapauk maupun dengan berlangganan kepada pedagang kalong kapauk.
Kalong kapauk siap saji disajikan dalam bentuk potongan daging dan
cincang (per piring). Sebanyak 17 responden (68%) menyajikan dalam bentuk
potongan daging, sedangkan 8 responden (32%) lainnya menyajikan dalam bentuk
cincang. Seekor kalong kapauk berukuran besar (0,8-1 kg) dibagi menjadi 6-8
potong atau 4-5 piring daging cincang, sedangkan yang berukuran lebih kecil
(kurang dari 0,8 kg) hanya dapat menghasilkan 4-6 potong atau 3 piring cincang
saja. Harga daging kalong kapauk siap saji di masing-masing daerah bervariasi,
yaitu mulai dari Rp 5.000 - 10.000 per potong atau Rp 5.000 - 8.000 per piring
(cincang). Harga ini dipengaruhi oleh perekonomian pengkonsumsi di daerah
52
tersebut. Harga kalong kapauk siap saji di Kecamatan Tukka lebih tinggi (Rp
10.000 per potong), karena pengkonsumsinya berasal dari perekonomian
menengah ke atas (dari Kota Sibolga).
5.4.5 Pengkonsumsi kalong kapauk siap saji
Responden adalah pengkonsumsi kalong kapauk siap saji di 6 rumah
makan dan 2 warung tuak. Responden berjumlah 37 orang dan masing-masing
diwawancarai ketika sedang mengkonsumsi kalong kapauk siap saji. Sebanyak 2
responden (5,41%) mengkonsumsi kalong kapauk kurang dari 1 tahun, 10
responden (27,03%) mengkonsumsi 1-4 tahun, 13 responden (35,24%)
mengkonsumsi 5-9 tahun, 8 responden (21,62%) mengkonsumsi 10-20 tahun, 3
responden (8,11%) mengkonsumsi 20-39 tahun, dan 1 responden (2,7%) sudah
mengkonsumsi kalong kapauk lebih dari 40 tahun.
Responden yang mengkonsumsi kalong kapauk siap saji untuk obat dari
penyakit yang dideritanya sebanyak 11 responden (29,73%), sedangkan 26
responden (70,27%) lainnya mengkonsumsi kalong kapauk karena merasa senang
atau sudah ketagihan. Persepsi masing-masing responden terhadap keunggulan
dari daging kalong kapauk adalah: sebagai obat asma, dapat menyembuhkan
badan yang pegal-pegal, dan penambah stamina tubuh (15 responden, 40,54%);
obat asma dan tidak menimbulkan rasa bosan (5 responden, 13,51%); sebagai obat
asma dan tidak menaikkan tensi darah (7 responden, 18,92%); rasa yang enak,
daging keras, dan tidak membosankan (10 responden, 27,03%).
Sebanyak 16 responden (43,24%) mengkonsumsi kalong kapauk siap saji
1 kali dalam seminggu, 10 responden (27,03%) mengkonsumsi sebanyak 1-2 kali
dalam seminggu, 5 responden (13,51%) mengkonsumsi dalam waktu 2 minggu
sekali, 4 responden (10,81%) mengkonsumsi 2-3 kali dalam seminggu, dan 2
responden (5,41%) mengkonsumsi kalong kapauk 1 kali sebulan. Masing-masing
responden biasanya datang seorang diri (5,41%), bersama keluarga (13,51%),
bersama teman satu pekerjaan (37,84%), atau bersama teman sepermainan
(43,24%). Responden sebahagian besar berasal dari kota dan memiliki
perekonomian yang cukup baik.
Sebanyak 25 responden (67,57%) mengatakan harga kalong kapauk siap
saji tidak tergolong mahal (karena termasuk langka dan tidak selalu dapat
53
dikonsumsi jika sewaktu-waktu menginginkannya), sedangkan menurut 12
responden (32,43%) lainnya harga tersebut tergolong mahal. Jumlah biaya yang
dikeluarkan masing-masing responden setiap kali mengkonsumsi daging kalong
kapauk tergolong tinggi. Sebanyak 11 responden (29,73%) mengeluarkan biaya
sebesar Rp 15.000-30.000, 8 responden (21,62%) mengeluarkan biaya paling
sedikit Rp 50.000, 7 responden (18,92%) mengeluarkan biaya Rp 30.000-50.000,
6 responden (16,22%) mengeluarkan biaya Rp 100.000-200.000, dan 5 responden
(13,51%) mengeluarkan biaya Rp 10.000-20.000.
5.5 Perburuan lalai kembang dan kusing dayak
5.5.1 Alat dan cara perburuan
Alat yang digunakan pemburu lalai kembang dan kusing dayak adalah
jaring dan dua batang bambu (5-6 m). Selain buat sendiri, jaring juga dapat dibeli
dengan harga Rp 300.000. Jaring diikatkan pada dua buah batang bambu yang
pangkalnya disatukan/diikat, sehingga bila kedua batang bambu ditegakkan akan
berbentuk huruf V (Gambar 19). Jaring dan bambu tidak diikat secara permanen,
sehingga jaring dapat dilepas bila telah selesai berburu. Cara perburuannya adalah
dengan mengayunkan batang bambu kearah datangnya lalai kembang dan kusing
dayak. Kedua batang bambu kemudian disatukan, sehingga lalai kembang dan
kusing dayak tidak dapat melepaskan diri. Lalai kembang dan kusing dayak
diambil dengan menekan bagian kepalanya sampai mati.
Gambar 19 Alat perburuan lalai kembang dan kusing dayak.
Karena mulut gua tinggi dan lebar, maka perburuan dilakukan di atas
patca (Gambar 20). Patca membuat posisi pemburu menjadi lebih tinggi dan lebih
mudah untuk menjangkau lalai kembang dan kusing dayak. Patca dibuat dengan
memanfaatkan pepohonan di sekitar mulut gua, tetapi juga dapat dibuat dengan
menggunakan tiang-tiang kayu yang disusun sedemikian rupa. Bila menggunakan
54
pepohonan, pohon yang dijadikan patca adalah yang kokoh, tinggi, dan berada di
sekitar jalur keluar masuknya lalai kembang dan kusing dayak. Perburuan dapat
dilakukan dengan posisi duduk atau berdiri di patca.
Gambar 20 Tempat perburuan lalai kembang dan kusing dayak (patca) dengan
memanfaatkan pohon hidup (a) dan menggunakan tiang kayu (b).
5.5.2 Daerah dan lokasi perburuan
Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi di salah satu gua yang
ada di dalam KHBT blok barat. Posisi koordinat gua berada di 1o41’00” -
0o68’00” Lintang Utara dan 99o00’-06o26’ Bujur Timur. Secara administratif gua
tersebut termasuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Utara. Oleh masyarakat
setempat gua ini dikenal dengan nama Gua Liang (Gambar 21 a). Di sekitar Gua
Liang terdapat sebuah gua lainnya yang disebut-sebut sebagai Gua Anak Liang
(Gambar 21 b). Dalam bahasa lokal (Batak Toba), ”liang” sama artinya dengan
gua.
Gambar 21 Gua Liang (a) dan Gua Anak Liang (b) di dalam KHBT blok Barat,
Kabupaten Tapanuli Utara.
Perburuan dilakukan di beberapa lokasi di sekitar mulut gua. Ada 14 lokasi
yang sering dijadikan tempat beburu lalai kembang dan kusing dayak, yaitu 8
lokasi berada di depan mulut gua dan 6 lokasi berada di atas mulut gua. Perburuan
awalnya terjadi di Gua Anak Liang, karena lalai kembang dan kusing dayak
(a) (b)
(a) (b)
55
paling banyak ditemukan di gua tersebut. Seiring berjalannya waktu, lalai
kembang dan kusing dayak di Gua Anak Liang mulai habis dan perburuan
berpindah ke Gua Liang. Menurut pemburu, lalai kembang dan kusing dayak di
Gua Anak Liang habis karena diburu dan sebahagian berpindah ke Gua Liang.
Gua Liang berada jauh dari tempat tinggal pemburu dan hanya dapat
ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak Gua Liang dari Dusun Haramonting sejauh
12,39 km dan memerlukan waktu sekitar 6 jam, dari Dusun Badiri Pardomuan
sekitar 5 jam, dari Tapian Nauli sekitar 7 jam, dan dari Lubuk Pariasan sekitar 8
jam bila berjalan kaki dengan cepat. Kondisi ini mengakibatkan pemburu harus
menyediakan waktu paling sedikit 2 hari 1 malam, agar dapat berburu lalai
kembang dan kusing dayak di Gua Liang.
5.5.3 Waktu perburuan
Perburuan lalai kembang dan kusing dayak dilakukan tanpa mengenal
musim. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, perburuan berlangsung 2 kali
dalam 1 malam. Perburuan pertama berlangsung pada saat lalai kembang dan
kusing dayak keluar dari mulut gua untuk mencari makan, yaitu dari pukul 18.50-
20.00 WIB. Perburuan pada waktu seperti ini dilakukan di depan mulut gua, baik
di sisi kiri maupun sisi kanan gua. Perburuan kedua berlangsung ketika lalai
kembang dan kusing dayak kembali ke dalam gua (pukul 23.00-06.00 WIB) dan
perburuan dilakukan di atas mulut gua.
Berdasarkan hasil wawancara kepada 6 responden pemburu lalai kembang
dan kusing dayak, 3 responden (50%) melakukan perburuan hanya dalam 1
malam, 2 responden (33,33%) 1-2 malam, dan 1 responden (16,67%) melakukan
perburuan dalam 2 malam. Menurut responden, lamanya waktu perburuan
dipengaruhi oleh jumlah hasil tangkapan dan ketersediaan waktu yang dimiliki
pemburu tersebut. Berdasarkan hasil pemasangan camera trap selama 12 bulan,
lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dapat
dilihat pada Tabel 5.
56
Tabel 5 Lamanya waktu perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap
Lama Perburuan
(malam)
Haramonting & H. Raja (kelompok)
Tapian Nauli
(kelompok)
Lubuk Pariasan
(kelompok)
Badiri Pardomuan (kelompok)
Jumlah
(kelompok)
Persen
(%) 1 21 9 6 2 38 84,44 2 4 - 2 - 6 13,33 3 1 - - - 1 2,22
5.5.4 Frekuensi perburuan
Menurut hasil wawancara, perburuan lalai kembang dan kusing dayak
sering dilakukan saat terang bulan. Meskipun demikian perburuan tidak
berlangsung setiap terang bulan, karena lokasi perburuan jauh dari permukiman
pemburu. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya perburuan lalai kembang dan
kusing dayak adalah: (1) terlalu sering hujan, sehingga tidak bisa menyadap getah
karet; (2) harga jual getah karet rendah; dan (3) hari libur. Berdasarkan hasil
camera trap yang terpasang selama 12 bulan, setiap pemburu dari masing-masing
desa/dusun melakukan perburuan sebanyak 1-21 kali (Gambar 22). Pemburu yang
berburu hanya 1 kali diduga ikut-ikutan atau hanya ingin berpetualang saja.
Gambar 22 Jumlah perburuan yang dilakukan setiap pemburu dari masing-
masing desa/dusun dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap.
Berdasarkan hasil camera trap, 50 orang pemburu melakukan perburuan
lalai kembang dan kusing dayak sebanyak 110 kali dalam 53 malam, baik itu
berkelompok maupun individu (Gambar 23). Data frekuensi perburuan pada bulan
Desember 2008 - Juni 2009 diperoleh dari data yang dikumpulkan oleh YEL,
sedangkan data pada bulan Desember 2009 sampai awal Mei 2010 diambil selama
penelitian berlangsung.
Gambar 23 Frekuensi perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan camera trap. Keterangan : Pada bulan Januari 2009 tidak terjadi perburuan.
Pada bulan Juli - November 2009 tidak tersedia data karena tidak dilakukan pemasangangan camera trap. Pemasangan camera trap pada bulan Desember 2009 dimulai dari tanggal 24. Pemasangan camera trap pada bulan Mei 2010 sampai tanggal 4.
58
5.5.5 Sex ratio hasil buruan
Penghitungan jantan dan betina pada lalai kembang dan kusing dayak hasil
buruan hanya dilakukan pada satu kali kejadian saja (Gambar 24). Hal ini terjadi
karena jadwal perburuan yang sulit diketahui dan pemburu juga merasa kurang
nyaman (tidak suka) jika aktivitas perburuan mereka terlalu diperhatikan.
Gambar 24 Sex ratio lalai kembang dan kusing dayak hasil buruan (n = 1).
5.5.6 Estimasi jumlah tangkapan
Hasil tangkapan pemburu akan lebih banyak jika pemburu memiliki
kemampuan/pengalaman yang cukup, perburuan dilakukan saat terang bulan, dan
sedang tidak hujan. Menurut responden (pemburu), jumlah hasil tangkapan
pemburu yang sering berburu lalai kembang dan kusing dayak lebih banyak
dibanding dengan pemburu yang hanya sesekali berburu lalai kembang dan kusing
dayak. Oleh karena itu, pemburu yang melakukan 1 kali perburuan diperkirakan
mendapat 60 ekor, pemburu yang melakukan 2-3 kali perburuan diperkirakan
mendapat 120 ekor, pemburu yang melakukan 4-5 kali perburuan diperkirakan
mendapat 200 ekor, dan pemburu yang melakukan perburuan lebih dari 5 kali
diperkirakan mendapat 250 ekor dalam 1 malam. Jumlah tangkapan pemburu lalai
kembang dan kusing dayak selama dilakukan pemasangan camera trap (12 bulan)
diperkirakan sekitar 19.720 ekor (Lampiran 10).
5.6 Perdagangan lalai kembang dan kusing dayak
Perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang betujuan untuk
dijual dan sebahagian kecil dikonsumsi sendiri. Perdagangannya bersifat lokal,
karena hasil buruan hanya dijual kepada penduduk desa/dusun yang berada di
sekitar tempat tinggal pemburu tersebut. Sebelum dipasarkan lalai kembang dan
59
kusing dayak terlebih dahulu dibuang sayapnya, ditusuk dengan kayu, dibakar
sampai bagian bulu hilang, dan direbus (Gambar 25). Apabila perburuan
berlangsung lebih dari 1 malam, maka lalai kembang dan kusing dayak diawetkan
dengan cara pengasapan.
Gambar 25 Penanganan lalai kembang dan kusing dayak sebelum dipasarkan:
membuang sayap (a), ditusuk dengan kayu (b), dibakar (c), hasil setelah dibakar (d), perebusan (e), dan pengasapan (f).
Harga seekor lalai kembang dan kusing dayak dari pemburu kepada
pembeli sebesar Rp 1000. Pemburu dapat membeli dengan harga lebih murah bila
membeli dalam jumlah yang banyak, seperti dengan membayar Rp 20.000
pembeli mendapat 25 ekor lalai kembang dan kusing dayak. Pembeli dapat
membeli lalai kembang dan kusing dayak langsung ke rumah pemburu, atau
dengan memesan kepada pemburu kemudian pemburu yang akan menghantarkan.
5.7 Karakteristik pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak
Responden terdiri dari pemburu (6 orang) dan pembeli (25 orang) lalai
kembang dan kusing dayak. Pemburu dan pembeli yang berhasil diwawancarai
dikelompokkan menjadi 4 kelompok dusun, yaitu: Haramonting dan Huta Raja,
Tapian Nauli, Lubuk Pariasan, dan Badiri Pardomuan. Dusun Haramonting, Huta
Raja, dan Badiri pardomuan termasuk dalam Desa S Kalangan II Kecamatan
Tukka, sedangkan Dusun Tapian Nauli dan Lubuk Pariasan termasuk dalam Desa
Tapian Saur Manggita Kecamatan Tukka. Masyarakat dari Dusun Haramonting,
Huta Raja, dan Tapian Nauli didominasi oleh suku Batak, sedangkan masyarakat
dari desa Lubuk Pariasan dan Badiri Pardomuan didominasi oleh suku Nias.
(a) (b) (c)
(d) (e) (f)
60
Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik umum responden pemanfaat lalai kembang dan kusing dayak di Kecamatan Tukka
Uraian Haramonting & Huta Raja
Tapian Nauli
Lubuk Pariasan
Badri Pardomuan
Pemburu Pembeli Pembeli Pembeli Pembeli (orang) (orang) (orang) (orang) (orang) Umur (tahun) 16-25 2 2 - - -26-35 2 2 2 - -36-45 2 4 2 2 246-55 - 5 1 1 -≥ 56 - 2 - - -Pendidikan SD 2 8 5 3 2SMP 1 2 - - -SMA 3 5 - - -Asal suku Batak Toba 4 11 5 - -Batak Angkola 1 3 - - -Nias 1 1 - 3 2Agama Islam 1 2 - - -Kristen 5 13 5 3 2Jenis kelamin Laki-laki 6 7 1 - 1Perempuan - 8 4 3 1Matapencaharian Petani karet 4 13 5 3 2Pemilik warung kopi 1 2 - - -Pegawai swasta 1 - - - -Jumlah responden 6 15 5 3 2% 19,35 48,39 16,13 9,68 6,45 5.7.1 Pemburu
Kelompok masyarakat yang pertama melakukan perburuan lalai kembang
dan kusing dayak adalah masyarakat dari dusun Haramonting dan Huta Raja.
Menurut salah satu responden, pada tahun 1922 mereka sudah melakukan
perburuan lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang. Seiring berjalannya
waktu masyarakat dari Dusun Tapian Nauli, Lubuk Pariasan, dan Badiri
Pardomuan juga melakukan perburuan lalai kembang dan kusing dayak.
Berdasarkan identifikasi wajah pada foto hasil camera trap, pemburu lalai
kembang dan kusing dayak berusia sekitar 10-60 tahun. Kelas umur pemburu
bervariasi dan didominasi oleh kelas umur 46-55 tahun (13 orang; 26%),
61
sedangkan menurut data responden, pemburu berusia 16-45 tahun. Kelas umur
pemburu lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan hasil camera trap,
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Kelas umur pemburu lalai kembang dan kusing dayak di Gua Liang dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap
Usia (tahun)
Haramonting & Ht Raja
(orang)
Tapian Nauli
(orang)
Lubuk Pariasan (orang)
Badiri Pardomuan
(orang)
Jumlah (orang)
Persen (%)
10-15 - - 1 - 1 2,00 16-25 7 - 5 - 12 24,00 26-35 3 4 4 1 12 24,00 36-45 3 4 4 - 11 22,00 46-55 6 5 - 2 13 26,00 ≥ 56 1 - - - 1 2,00 Total 20 13 14 3 50 100,00
Jumlah kelompok pemburu yang berburu di Gua Liang berdasarkan hasil
camera trap selama 12 bulan adalah 45 kelompok. Kelompok pemburu berkisar 1-
6 orang, tetapi yang paling sering dijumpai adalah 2 orang pemburu dalam satu
kelompok, yaitu sebanyak 13 kali (Tabel 8). Bentuk pembagian hasil perburuan
adalah dengan membagi rata uang hasil penjualan lalai kembang dan kusing
dayak.
Tabel 8 Jumlah pemburu lalai kembang dan kusing dayak per kelompok dalam 12 bulan, berdasarkan hasil camera trap
Pemburu (orang per kelompok)
Haramonting & Ht Raja
(kali)
Tapian Nauli (kali)
Lubuk Pariasan
(kali)
Badiri Pardomuan
(kali)
Jumlah (kali)
Persen (%)
1 12 - - - 12 26,67 2 9 1 2 1 13 28,89 3 3 4 3 1 11 24,44 4 2 3 2 - 7 15,56 5 - - 1 - 1 2,22 6 - 1 - - 1 2,22
Berdasarkan hasil wawancara, 1 responden (16,67%) berburu lalai
kembang dan kusing dayak untuk matapencaharian sampingan, 2 responden
(33,33%) untuk hiburan/petualangan, dan 3 responden lainnya (50%) berburu lalai
kembang dan kusing dayak untuk matapencaharian sampingan sekaligus sebagai
hiburan. Bagi masyarakat Haramonting dan Huta Raja khususnya kaum muda,
pergi ke Gua Liang untuk berburu lalai kembang dan kusing dayak merupakan
suatu hal yang sangat menarik dan membanggakan.
62
Kegiatan lain yang biasa dilakukan pemburu di sekitar lokasi perburuan
adalah memasak makanan, makan, beristirahat, dan memancing ikan. Apabila
perburuan lalai kembang dan kusing dayak berlangsung lebih dari 1 malam,
aktivitas pemburu pada siang sampai sore harinya adalah memancing ikan. Dalam
perjalanan pergi maupun pulang, pemburu juga sering kali melakukan aktivitas
memancing ikan di sungai-sungai kecil yang ada di hutan. Ikan hasil pancingan
juga dapat dijual, sebagai tambahan pendapatan dari berburu lalai kembang dan
kusing dayak.
5.7.2 Pembeli
Pembeli berasal dari daerah yang sama dengan pemburu. Lalai kembang
dan kusing dayak diminati oleh segala usia, tetapi kurang diminati oleh yang
beragama Islam. Pembeli sudah biasa mengkonsumsi lalai kembang dan kusing
dayak untuk dimakan dagingnya (tradisi). Menurut responden, daging lalai
kembang dan kusing dayak cukup diminati, karena memiliki beberapa keunggulan
yang membuatnya berbeda dengan daging jenis hewan lainnya, yaitu: sebagai obat
sesak napas (5 responden, 20%); sebagai obat sesak napas dan rasanya tidak
membosankan (6 responden, 24%); dan memiliki rasa yang enak dan harganya
murah (14 responden, 56%).
5.8 Kondisi habitat
Kondisi habitat sangat mempengaruhi kelangsungan hidup satwaliar.
Menurut Indra & Fredriksson (2007), kerusakan KHBT dalam kurun waktu 6
tahun (2001-2007) adalah sekitar 2.000 ha. Kerusakan hutan terjadi di blok Barat,
terutama di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan (Indra &
Fredriksson 2007).
Pada saat pengambilan data di lapangan, penulis tidak menemukan tempat
tinggal, tempat persinggahan, maupun bekas tempat tinggal kalong kapauk.
Menurut informasi yang diperoleh dari pemburu, bila musim kalong kapauk tiba,
kalong kapauk berasal dari dalam KHBT yang letaknya jauh dari permukiman
penduduk. Perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT tidak pernah
dilakukan di sekitar tempat tinggal kalong kapauk.
Dalam pengambilan data di lapangan, penulis tidak mensurvei seluruh gua
yang ada di dalam KHBT. Penulis hanya mengunjungi Gua Liang, yang menjadi
63
habitat sekaligus sebagai lokasi perburuan lalai kembang dan kusing dayak. Di
sekitar mulut Gua Liang banyak ditemukan sampah-sampah bungkus makanan,
botol bekas air mineral, botol minuman beralkohol, bungkus rokok, pakaian
pemburu, garam dapur, peralatan makan, dan sisa-sisa pembakaran. Selain itu
juga dapat dilihat sebuah batu gilingan dan tanaman asam dengan tinggi sekitar 6
meter (Gambar 26). Mulut Gua Liang yang memiliki lebar 26,42 meter dan tinggi
sekitar 16 meter ini menghadap ke arah Barat.
Gambar 26 Sampah yang ditinggalkan pemburu (a), tempat masak (b), dan batu
gilingan (c).
5.9 Kebun durian
Jumlah pohon durian yang dimiliki masing-masing responden adalah: 1-5
batang (26 responden; 44,07%), 5-10 batang (23 responden; 38,98%), dan 10-20
batang (10 responden; 16,95%). Sebanyak 18 responden (30,51%) sudah
mengalami masa panen durian selama 1-5 tahun, 21 responden (35,59%)
mengalami masa panen 5-10 tahun, 12 responden (20,34%) mengalami masa
panen 10-20 tahun, dan 8 responden (13,56%) mengalami masa panen 20-30
tahun. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani durian, musim berbunga
durian di dalam dan di sekitar KHBT dapat dilihat pada Gambar 27.
Gambar 27 Persentase musim berbunga durian berdasarkan hasil wawancara
petani durian (n = 59)
(a) (b) (c)
%
64
Durian merupakan salah satu jenis tanaman buah musiman yang memiliki
nilai komesial tinggi, dan banyak dibudidayakan oleh masyarakat di dalam dan
sekitar KHBT. Durian ditanam di antara tanaman karet, di area perkebunan karet
milik masyarakat. Luas panen, produksi, dan rata-rata produksi durian di 3
kabupaten yang berada di dalam dan sekitar KHBT pada tahun 2006-2008,
berdasarkan data BPS (2009) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Luas tanaman, produksi, dan rata-rata produksi durian di Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, tahun 2006-2008
Kabupaten Tahun Luas Tanaman (Ha)
Produksi (Ton)
Rata-rata Produksi (Kw/Ha)
Tapanuli Utara 2008 700,88 6619,72 94,452007 694,95 6565,84 94,482006 684,74 6467,37 94,45
Tapanuli Tengah 2008 1902 26127 137,37
2007 - - -2006 - - -
Tapanuli Selatan 2008 595 4045 67,98 2007 666 4528 67,99 2006 - - -Keterangan: - = tidak tersedia data.
Berdasarkan Tabel 9, luas tanaman dan produksi durian di Kabupaten
Tapanuli Utara terus meningkat, sedangkan di Kabupaten Tapanuli Selatan
mengalami penurunan. Berdasarkan hasil wawancara kepada petani durian di 3
kabupaten tersebut, 31 responden (52,54%), mengatakan produksi durian selalu
sama setiap tahunnya dan 28 responden (47,46%) mengatakan produksi durian
semakin berkurang. Bila dibandingkan dengan produksi durian pada 10 tahun
yang lalu, maka 44 responden (74,58%) mengatakan produksi durian jauh sekali
berkurang jumlahnya, 14 responden (23,73%) mengatakan tetap, dan hanya 1
responden (1,69%) yang mengatakan produksi durian bertambah.
Berdasarkan hasil wawancara, berkurangnya produksi durian disebabkan
oleh beberapa faktor (Gambar 28). Menurut pengetahuan sebahagian besar
responden (38,98%), penurunan produksi durian disebabkan oleh bencana alam
(gempa bumi) yang akhir-akhir ini sering terjadi, sehingga mengakibatkan bunga
durian terjatuh. Selain itu, menurut responden penurunan produksi durian juga
65
disebabkan oleh semakin langkanya kalong kapauk yang membantu proses
penyerbukan durian.
Gambar 28 Penyebab berkurangnya produksi durian berdasarkan wawancara
petani durian (n=59).
5.10 Pembahasan umum
5.10.1 Kalong kapauk
Meskipun memerlukan biaya awal yang besar (Rp 500.000-600.000) untuk
membeli jaring (jala), pemburu lebih memilih menggunakan alat ini karena hasil
tangkapan lebih banyak dan kalong kapauk didapat dalam keadaan hidup. Selain
itu jaring juga dapat bertahan dalam waktu yang lama (lebih dari 10 tahun),
sehingga dapat dipergunakan secara turun temurun. Perburuan kalong kapauk
dengan menggunakan jaring sudah umum terjadi dan juga dapat dijumpai di
Sulawesi, Malaysia (Serawak), Thailand, dan Vietnam (Mickleburgh et al. 2009).
Hasil penelitian Mickleburgh et al. (2009) menyatakan, selain menggunakan
jaring, perburuan kalong kapauk juga dilakukan dengan menggunakan layangan
yang diberi mata kail pancing pada tali/benangnya, ketapel, panah, tongkat
pemukul, tiang bambu yang diikatkan pengait pada bagian ujung, dan perekat
yang ditempelkan di cabang pohon.
Perburuan kalong kapauk dengan menggunakan jaring dilakukan di sekitar
tumbuhan pakan dan di punggung bukit, yaitu dengan memasang jaring di lorong-
lorong yang sengaja dibuat (dengan menumbang sejumlah pohon) untuk dilalui
kalong kapauk. Perburuan di sekitar tumbuhan pakan dilakukan karena di tempat
tersebut banyak dijumpai kalong kapauk yang posisi terbangnya lebih rendah,
sedangkan perburuan di punggung bukit dilakukan dengan tujuan menjerat kalong
kapauk yang melintas di bukit tersebut. Menurut pengalaman peburu, untuk
66
melintasi daerah perbukitan (ketika dalam kondisi sedang mencari makan) kalong
kapauk cenderung lebih memilih jalur yang lebih rendah dan terbuka (lorong-
lorong). Hal ini sesuai dengan pernyataan Suyanto (2001), dimana kelelawar lebih
menyukai daerah yang terbuka untuk dilalui, karena dapat menggunakan sayapnya
(terbang) dengan bebas.
Kalong kapauk dikenal sangat menyukai bunga durian. Di dalam dan
sekitar KHBT banyak dijumpai tumbuhan durian, bahkan pada tahun 2008
luasnya mencapai sekitar 3.197,88 ha (BPS 2009). Tumbuhan durian tersebut
tersebar di kebun karet milik masyarakat dan di kawasan hutan. Dengan demikian
lokasi perburuan kalong kapauk oleh masyarakat di dalam dan sekitar KHBT
dilakukan di kebun karet dan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat tanaman
durian.
Musim perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT bersamaan
dengan musim bunga durian yang terjadi secara menyeluruh (serentak), karena
penyebaran kalong kapauk umumnya mengikuti ketersediaan sumber pakannya
(Liat 1966; Payne et al. 1985 diacu dalam Kunz & Jones 2000). Hasil wawancara
kepada pemburu dan petani durian menunjukkan bahwa musim bunga durian
sekarang ini cukup bervariasi dan sulit diprediksi, namun sebahagian besar
responden mengatakan musim bunga durian terjadi pada bulan Juli-Agustus.
Perburuan kelelawar pada musim bunga durian juga terjadi di Kalimantan Tengah,
yaitu sekitar bulan November-Desember (Struebig et al. 2007).
Meskipun berlangsung musiman, perburuan kalong kapauk di dalam dan
sekitar KHBT belum dapat dikatakan lestari, karena umumnya masa kelahiran
bayi kalong kapauk terjadi pada saat sumber pakannya melimpah (Lecagul &
McNeely 1977; Fujita 1988; Azlan at al. 2001; Struebig et al. 2007). Perburuan
kalong kapauk yang terjadi bersamaan dengan masa perkembang biakannya dapat
mengakibatkan penurunan populasi, karena kurangnya kesempatan untuk
berkembang biak. Selain itu perburuan kalong kapauk yang terjadi musiman ini
juga dilakukan setiap malam, sehingga semakin mempercepat laju penurunan
populasi kalong kapauk.
Perburuan kalong kapauk pada malam hari dilakukan dengan alasan
aktivitas kalong kapauk yang tinggi pada malam hari, sehingga memudahkan
67
untuk menemukan dan memburu hewan tersebut. Perburuan pada siang hari juga
dapat dilakukan di sekitar pohon sarang. Namun itu tidak terjadi karena pemburu
tidak mengetahui lokasi pohon sarang tersebut. Kalong kapauk umumnya tinggal
di tajuk pohon yang tinggi, memiliki cabang-cabang yang banyak dan menyebar
luas, serta aman dari gangguan manusia (Liat 1966; Dharmawan 1987; Suyanto
2001).
Jumlah orang yang ikut serta dalam perburuan kalong kapauk
mempengaruhi hasil tangkapan. Jumlah pemburu dalam satu lokasi penjaringan
idealnya adalah 3 orang, dimana 2 orang bertugas menaikkan dan menurunkan
jaring, sedangkan seorang lagi berperan dalam mengambil kalong kapauk yang
terperangkap di jaring. Jumlah pemburu yang terlalu banyak (5−7 orang)
menimbulkan suasana yang ramai, sehingga hasil tangkapan berkurang. Begitu
pula dengan pemburu yang hanya satu orang saja dalam satu lokasi penjaringan,
akan kesulitan (lama) dalam menaikkan dan menurunkan jaring.
Berdasarkan hasil penelitian ini, jumlah kalong kapauk yang diburu di
dalam dan sekitar KHBT dalam semalam sebanyak 9.041 ekor, dan dalam setahun
jumlahnya sekitar 189.861 ekor (Lampiran 9). Jumlah ini tergolong sangat besar,
dan metode wawancara saja sepertinya belum cukup. Perlu dilakukan survei
lapangan lanjutan yang waktu pelaksanaannya dilakukan saat musim perburuan
kalong kapauk tiba. Namun dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa perburuan
kalong kapauk terjadi di 42 desa/dusun, dengan jumlah kelompok pemburu
sebanyak 375 kelompok. Jumlah pteropus vampyrus natunae (subspecies dari
kalong kapauk) yang diburu di salah satu lokasi perburuan di sekitar hutan
Palangkaraya pada tahun 2003 selama 30 hari adalah sebanyak 4.500 ekor
(Struebig et al. 2007).
Wawancara terhadap responden yang berprofesi sebagai pemburu
menunjukan bahwa masyarakat di dalam dan sekitar KHBT melakukan perburuan
kalong kapauk untuk matapencaharian tambahan (62,32%), sebagai hiburan
(17,39%), menganggap kalong kapauk sebagai hama (13,04%), dan karena adanya
pesanan pembeli (7,25%). Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, ada 4 alasan
utama yang menjadi pemicu terjadinya perburuan kalong kapauk di dalam dan
sekitar KHBT. Pertama, pada waktu-waktu tertentu jumlah kalong kapauk di
68
dalam dan sekitar KHBT melimpah jumlahnya dan mudah untuk diburu. Kedua,
permintaan akan daging kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT tinggi, karena
rasa daging yang banyak disukai dan dipercaya berkhasiat obat. Ketiga, belum
adanya aturan yang melarang perburuan kalong kapauk. Keempat, kalong kapauk
dianggap sebagai hama pertanian (Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001).
Perburuan kalong kapauk termasuk mudah untuk dilakukan karena
aktivitas perburuannya dapat dilakukan di kebun sendiri ( 38 responden; 55,07%).
dan dilakukan bersama anggota keluarga (21 responden; 30,43%), sehingga
pendapatan yang diterima dari penjualan hasil buruan lebih banyak. Selain itu
keberadaan kalong kapauk juga dapat diprediksi, karena kehadirannya bersamaan
dengan musim bunga atau buah (Mickleburgh et al. 2009).
Tingginya permintaan konsumen akan daging kalong kapauk menciptakan
sebuah peluang usaha bagi masyarakat di dalam dan sekitar KHBT untuk
memburu dan memperdagangkan kalong kapauk. Begitu pula yang terjadi di
beberapa daerah di Kalimantan Tengah, kalong kapauk banyak diburu karena
daging dan hati kalong kapauk dipercaya dapat mengobati penyakit asma
(Struebig et al. 2007). Dari hasil penelitian sebanyak 26 responden (70,27%)
merasa ketagihan dan mengkonsumsi daging kalong kapauk secara teratur. Sama
halnya dengan hasil wawancara pedagang kalong kapauk yang seluruhnya
mengatakan bahwa kalong kapauk selalu habis terjual.
Tingginya permintaan akan daging kalong kapauk juga membuat pemburu
rela pergi berburu kalong kapauk ke daerah lain. Perburuan kalong kapauk di
Panti awalnya dilakukan oleh pemburu yang berasal dari Tano Tombangan,
Kabupaten Tapanuli Selatan. Alat dan teknik berburunya sama, hanya saja waktu
perburuannya yang berbeda. Perburuan kalong kapauk di Panti berlangsung dari
pukul 03.00-06.00 WIB, yaitu ketika kalong kapauk akan kembali ke pohon
sarang. Jumlah kelompok pemburu di Panti dalam satu malam sebanyak 15
kelompok. Jumlah kalong kapauk yang ditangkap dalam satu malam sekitar 225
ekor.
Perburuan kalong kapauk juga kerap terjadi karena belum adanya
peraturan (nasional) yang melindungi kalong kapauk. Hal serupa juga terjadi di
Malaysia (Azlan at al. 2001; Burns 2009). Tidak ada perlindungan kalong kapauk
69
secara adat, bahkan perburuan sudah menjadi tradisi yang dilakukan secara turun
temurun.
Kalong kapauk juga dianggap sebagai hama pertanian karena kalong
kapauk mencari makan di kebun dan kurangnya informasi mengenai fungsi kalong
kapauk (Suyanto 2001; Kencana 2002). Jumlah pemburu yang berburu kalong
kapauk karena menganggapnya sebagai hama ada 9 responden (13,04%). Hal ini
bertentangan dengan fungsi kelelawar yang sebenarnya berperan sebagai
penyerbuk dan pemencar biji dari tanaman penting dan memiliki nilai ekonomis
tinggi (Fujita & Tuttle 1991; Kunz & Jones 2000; Suyanto 2001).
Perburuan kalong kapauk lebih diutamakan untuk tujuan kemersial dan
sebahagian kecil untuk konsumsi. Perdagangan kalong kapauk yang ditangkap di
dalam dan sekitar KHBT bersifat lokal, sedangkan di Panti tidak. Hasil buruan
umumnya dijual kepada pengumpul. Kalong kapauk kemudian dijual ke daerah-
daerah yang sebahagian besar masyarakatnya beragama Kristen, karena di daerah
ini peminat daging kalong kapauk banyak. Kalong kapauk hasil buruan di Panti
dikirim/dijual ke Tapanuli Tengah (Gunung Marijo Kecamatan Pinangsori) dan
Tapanuli Utara (Pasar Sarulla Kecamatan Pahae Jae dan Onan hasang Kecamatan
Pahae Julu), karena di Panti peminat/pengkonsumsi kalong kapauk sedikit.
Pemburu lebih memilih menjual hasil tangkapannya kepada pengumpul
karena harga yang ditawarkan pengumpul relatif stabil dan seluruh hasil
tangkapan pemburu dapat ditampung oleh pengumpul. Harga kalong kapauk dari
pengumpul atau pedagang/pengecer kepada pembeli kalong kapauk lebih tinggi
dibanding dengan harga kalong kapauk dari pemburu kepada pengumpul.
Kenaikan harga tersebut dipengaruhi oleh risiko dan biaya lebih yang dikeluarkan
oleh pengumpul dan pedagang/pengecer. Tidak jarang beberapa ekor kalong
kapauk mati dalam pengiriman. Selain itu, pengumpul dan pedagang/pengecer
juga harus mengeluarkan biaya untuk transportasi/pengangkutan.
Pembeli kalong kapauk dari kalangan rumah tangga lebih banyak
jumlahnya bila dibanding dengan pembeli dari pemilik rumah makan dan warung
tuak yang menjual kalong kapauk siap saji. Hal ini disebabkan oleh pembeli pada
umumnya tidak sanggup membeli kalong kapauk yang sudah diolah (masak) di
rumah makan atau warung tuak. Harga seekor kalong kapauk yang masih hidup
70
berkisar Rp 15.000-40.000, sedangkan harga kalong kapauk siap saji berkisar Rp
5.000-10.000 per piring.
5.10.2 Lalai kembang dan kusing dayak
Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi di salah satu gua yang
ada di dalam KHBT blok Barat. Oleh masyarakat gua tersebut diberi nama Gua
Liang. Perburuan dilakukan oleh 45 kelompok pemburu, yang terdiri dari 48
orang. Apabila dilihat dari kelompoknya, 26 kelompok pemburu (57,78%) berasal
dari Haramonting dan Huta Raja, 9 kelompok (20%) berasal dari Tapian Nauli, 8
kelompok (17,78%) berasal dari Lubuk Pariasan, dan 2 kelompok (4,44%) berasal
dari Badiri Pardomuan. Sedangkan bila dilihat dari orang yang melakukan
perburuan lalai kembang dan kusing dayak, 18 pemburu (37,50%) berasal dari
Haramonting dan Huta Raja, 13 pemburu (27,08%) dari Tapian Nauli, 14
pemburu (29,17%) dari Lubuk Pariasan, dan 3 pemburu (6,25%) dari Badiri
Pardomuan. Pemburu berasal dari kalangan perekonomian menengah ke bawah,
yang pada umumnya bekerja sebagai petani tanaman perkebunan (karet dan aren).
Seluruh pemburu adalah pria, dan berusia sekitar 16-55 tahun.
Lalai kembang dan kusing dayak merupakan sebahagian dari jenis
kelelawar yang hidup di Gua Liang, yang dapat dikonsumsi karena memiliki
bobot tubuh lebih besar dari jenis kelelawar lainnya. Di dalam dan sekitar KHBT,
kedua jenis kelelawar ini terdapat dalam jumlah yang besar dan memiliki
distribusi yang luas. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak saat ini hanya
terjadi di Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Namun, perburuan
dikhawatirkan akan menyebar ke daerah lain, karena KHBT memiliki beberapa
lokasi gua yang di dalamnya juga terdapat lalai kembang dan kusing dayak.
Tingginya minat masyarakat untuk mengkonsumsi lalai kembang dan
kusing dayak menciptakan peluang usaha bagi pemburu untuk terus memburu dan
memperdagangkannya. Lalai kembang dilaporkan dimakan secara teratur dan
populasinya menjadi terancam di Filipina, Thailand, dan Vietnam (Mickleburgh at
al. 2009). Menurut hasil penelitian Bates (2003) diacu dalam Mickleburgh at al.
(2009), kelelawar kecil juga dimakan karena daging dan tulangnya dapat
dikonsumsi. Sedangkan Heinrichs (2004) diacu dalam Mickleburgh at al. (2009),
71
menyatakan di beberapa lokasi kelelawar kecil diburu karena sudah tidak ada
kelelawar berukuran besar lagi.
Perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak dilakukan setiap malam.
Dalam waktu 12 bulan, perburuan berlangsung sebanyak 53 malam. Itu artinya
perburuan terjadi setiap 5-6 hari sekali. Waktu perburuan yang demikian
dipengaruhi oleh lokasi gua yang jaraknya cukup jauh dari pemukiman pemburu.
Namun, meskipun perburuan lalai kembang dan kusing dayak tidak berlangsung
setiap malam, perburuan juga tidak memiliki musim atau atau batas waktu.
Perburuan dilakukan sewaktu-waktu, bila pemburu ingin berburu lalai kembang
dan kusing dayak.
5.10.3 Implikasi terhadap pengelolaan
5.10.3.1 Kelestarian kalong kapauk, lalai kembang, dan kusing dayak,
sebagai dampak perburuan
Populasi kelelawar khususnya jenis kalong kapauk di dalam dan sekitar
KHBT dalam 10 terakhir ini diperkirakan mengalami penurunan yang signifikan,
akibat perburuan secara berlebihan. Ada 2 alasan yang dapat menyebabkan
terjadinya penurunan populasi ini. Alasan pertama, reproduksi kelelawar
tergolong lambat. Masa bunting kelelawar umumnya sekitar 3-6 bulan dan
melahirkan seekor anak dalam setiap kelahiran (Yalden & Morris 1975; Lecagul
& McNeely 1977; Suyanto 1979; Mickleburgh et al. 2009). Kejadian seperti ini
sering terjadi di banyak tempat dan telah mengakibatkan penurunan populasi
kelelawar (Mickleburgh at al. 2009). Kedua, perburuan kalong kapauk dilakukan
saat musim bereproduksi. Umumnya masa kelahiran bayi kalong kapauk
dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakannya (Lecagul & McNeely 1977;
Fujita 1988; Azlan at al. 2001; Struebig et al. 2007).
Berdasarkan hasil penelitian, kelelawar jenis kalong kapauk lebih sering
diburu dibanding dengan kelelawar jenis lalai kembang dan kusing dayak, bahkan
hampir di setiap tempat yang dapat dijumpai kalong kapauk. Kondisi ini wajar
karena kalong kapauk memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Menurut
penelitian Mickleburgh et al. (2009), target utama perburuan kelelawar untuk
dikonsumsi adalah genus pteropus. Berdasarkan hasil wawancara, jumlah kalong
kapauk yang diburu di dalam dan sekitar KHBT dalam satu malam berkisar 9.041
72
ekor, dan mencapai 189.861 ekor per tahun. Jumlah ini jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan perburuan kalong kapauk di Malaysia, yang dalam setahun
mencapai 22.000 ekor (Burns 2009). Jumlah lalai kembang dan kusing dayak
yang diburu dalam 12 bulan (penuh) pada tahun 2008-2010 sekitar 19.720 ekor.
Penelitian ini tidak dapat menyimpulkan bahwa populasi kalong kapauk,
lalai kembang, dan kusing dayak yang ada di dalam dan sekitar KHBT mengalami
penurunan, karena tidak ada data mengenai jumlah populasi setiap tahun dari
ketiga kelelawar tersebut. Tetapi dengan berkurangnya hasil tangkapan pemburu,
maka itu sudah menjadi indikasi bahwa populasi kalong kapauk, lalai kembang,
dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT telah mengalami penurunan.
5.10.3.2 Sifat migrasi kalong kapauk
Keberadaan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terjadi secara
musiman. Hal ini terjadi karena penyebaran kalong kapauk sangat berkaitan
dengan penyebaran tanaman pakannya, yaitu bunga dan buah (Payne et al. 1985
diacu dalam Kunz & Jones 2000; Liat 1966). Hasil penelitian Burns (2009)
menyatakan kalong kapauk dapat terbang sejauh 60 km dalam semalam. Ini
menunjukan bahwa kalong kapauk mampu melakukan perpindahan dengan jarak
yang sangat jauh. Hasil penelitian Epstein et al. (2009) yang menggunakan
telemetry juga mengatakan bahwa kalong kapauk melakukan pergerakan yang
sangat luas, bahkan lintas internasional, yaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand.
Di Indonesia sendiri, kalong kapauk dapat dijumpai di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan Nusa Tenggara (Suyanto 2001).
5.10.3.3 Kondisi habitat
Selain karena faktor perburuan, penurunan populasi kelelawar juga dapat
disebabkan oleh berkurangnya sumber pakan (Suyanto 2001; Racey & Entwistle
2002 diacu dalam Fukuda et al. 2009). Berdasarkan informasi dari masyarakat,
selain untuk bahan bangunan, penebangan durian karena kurang produktif juga
sering terjadi beberapa tahun terakhir. Di beberapa tempat, kalong kapauk sudah
tidak lagi terlihat karena sudah tidak ada durian. Menurut Struebig et al. (2007),
hal itu disebabkan satwa tersebut bermigrasi ke daerah lain karena telah
kehilangan pakannya.
73
Kelestarian kelelawar sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas
lingkungan atau habitatnya. Sebaliknya, bila populasi kelelawar berkurang atau
hilang maka dapat menyebabkan kuantitas dan kualitas lingkungan tersebut
menurun. Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa kelelawar sangat
berperan sebagai penyerbuk dan penyebar biji tumbuhan yang secara ekonomi
penting (Fujita & Tuttle 1991; Fukuda et al. 2009). Bahkan menurut Indra dan
Fredriksson (2007), di dalam dan sekitar KHBT terdapat 186 jenis tumbuhan yang
penyerbukan atau penyebaran bijinya di bantu oleh kelelawar. Dapat dibayangkan
bila perburuan kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT terus terjadi, maka akan
ada banyak kerugian yang dirasakan.
5.10.3.4 Upaya-upaya pemerintah
Berbeda dengan di Thailand, di Indonesia kalong kapauk tidak termasuk
dalam jenis satwaliar yang dilindungi (Burns 2009). Berdasarkan CITES, kalong
kapauk terdaftar pada Apendix II, yang artinya merupakan jenis yang pada saat ini
tidak termasuk kedalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan
untuk terancam punah bila perdagangannya tidak diatur (Brautigan 1992 diacu
dalam Kunz & Jones 2000; Soehartono & Mardiastuti 2003). Berdasarkan Red
List IUCN (2008) versi 3.1, kalong kapauk terdaftar sebagai Hampir Terancam
(Near Threatened; NT), karena jenis ini menurun signifikan akibat pemanenan
secara berlebihan untuk dikonsumsi, dan karena terus-menerus mengalami
degradasi habitat di hutan primer (IUCN 2008).
Lalai kembang dan kusing dayak tidak termasuk dalam daftar CITES.
Berdasarkan Red List IUCN (2008) versi 3.1, lalai kembang berstatus risiko
rendah (Least Concern; LC), karena memiliki disribusi yang luas, diduga
populasinya besar di sejumlah kawasan lindung, dapat mentoleransi sedikit
banyak perubahan habitat, dan tidak mungkin mengalami penurunan populasi
yang begitu cepat (IUCN 2008). Kusing dayak terdaftar sebagai hampir terancam
(Near Threatened; NT), karena hutan tempat tinggal spesies ini mungkin
mengalami penurunan yang signifikan akibat kehilangan habitat (IUCN 2008).
Perburuan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan
sekitar KHBT secara ekonomi dapat meningkatkan perekonomian masyarakat
tertentu (pemburu, pengumpul dan pedagang, serta pemilik rumah makan atau
74
warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji), bahkan menjadi
matapencaharian utama ketika musim kalong kapauk tiba. Namun perlu
dipertimbangkan bahwa perburuan kalong kapauk secara tidak lestari juga dapat
mengakibatkan kerugian yang lebih besar baik dari segi ekologis maupun
ekonomi (Struebig et al. 2007).
Upaya-upaya yang mungkin untuk dilakukan agar kalong kapauk, lalai
kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT tetap lestari adalah:
1. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan
Penyuluhan dilakukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai fungsi ekologi kelelawar. Meskipun belum termasuk dalam kategori
dilindungi, intensitas perburuan kelelawar sebaiknya dikurangi demi
keseimbangan ekosistem. Perburuan sebaiknya tidak dilakukan setiap malam
dan perlu dilakukan pengaturan sistem berburu secara bergantian. Apabila
populasi kalong kapauk di alam tetap lestari, tentunya merupakan keuntungan
bagi masyarakat yang berburu kalong kapauk, karena pemburu akan tetap
memperoleh hasil tangkapan yang cukup. Penyuluhan juga diperlukan untuk
meluruskan pandangan sebahagian masyarakat (petani buah), yang masih
mengganggap kalong kapauk sebagai hama pertanian.
2. Pendidikan konservasi di bangku sekolah. Pendidikan konservasi di bangku
sekolah perlu dilakukan untuk mendidik anak muda sedini mungkin, agar peka
terhadap kelestarian lingkungan khususnya terhadap kelestarian kelelawar.
Program pendidikan yang menekankan peran kelelawar dalam memberikan
jasa ekosistem kini sudah banyak dilaksanakan (Mickleburgh et al. 2009).
3. Peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Mengingat sistem
matapencaharian sebahagian besar masyarakat di sekitar KHBT adalah bertani,
maka perlu dilakukan penyuluhan pertanian oleh pemerintah daerah. Bila
masyarakat sejahtera, maka masyarakat tidak akan terlalu bergantung pada
perburuan kelelawar. Pemerintah juga dapat membantu dalam pengadaan bibit
tanaman buah yang unggul seperti jenis durian, petai, cokelat, rambutan, dan
langsat.
4. Kerjasama berbagai pihak, bahkan kerja sama internasional (Einstein 2009).
Mengingat bahwa perburuan kalong kapauk berlangsung di banyak tempat
75
bahkan di banyak negara, serta tingginya mobilitas kelelawar, sebaiknya
pemerintah daerah dari ketiga kabupaten yang ada di dalam dan sekitar KHBT
ikut serta mendorong pelestarian kelelawar, khususnya jenis kalong kapauk.
5. Pengelolaan habitat dengan membuat habitat baru di pulau-pulau kecil namun
tidak terisolir (Heideman & Henny 1992 diacu dalam Kunz & Jones 2000).
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Perburuan kelelawar di dalam dan di sekitar KHBT umumnya dilakukan
dengan menggunakan jaring, karena hasil tangkapan lebih banyak, tangkapan
khususnya jenis kalong kapauk didapat dalam keadaan hidup, dan jaring
dapat digunakan secara turun temurun. Alat perburuan lainnya adalah
senapan angin dan rawe.
2. Perburuan kalong kapauk terjadi di 42 desa/dusun, dan paling banyak berada
di Kabupaten Tapanuli Tengah, sedangkan perburuan lalai kembang dan
kusing dayak hanya terjadi di salah satu habitat. Kalong kapauk lebih disukai
daripada lalai kembang dan kusing dayak, sehingga perburuannya terjadi di
banyak tempat.
3. Kecuali di Desa Sipange, perburuan kalong kapauk berlangsung musiman dan
dilakukan di sekitar tumbuhan pakan (durian yang sedang berbunga) dan di
punggung bukit. Perburuan lalai kembang dan kusing dayak terjadi langsung
di gua (habitat) dan terjadi setiap 5-6 hari sekali.
4. Jumlah kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT yang diburu dalam
setahun sekitar 189.861 ekor kalong kapauk, sedangkan lalai kembang dan
kusing dayak sekitar 19.720 ekor.
5. Perburuan kelelawar telah mengakibatkan terjadinya penurunan populasi
yang signifikan karena terjadi bersamaan dengan musim reproduksi dan
perburuan berlangsung di setiap daerah yang dapat ditemukan kalong kapauk.
Hasil tangkapan pemburu juga semakin berkurang.
6. Rantai perdagangan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak di dalam
dan di sekitar KHBT bersifat lokal. Pemanfaatan kalong kapauk, lalai
kembang dan kusing dayak adalah untuk dikonsumsi dagingnya sebagai
sumber protein hewani, menu makanan ekstrim, dipercaya berkhasiat obat
(asma), dan dijadikan tambul.
7. Diperkirakan dalam satu malam sebanyak 375 kelompok pemburu pergi
berburu kalong kapauk ketika musim kalong kapauk tiba.
77
8. Pemanenan kalong kapauk, lalai kembang dan kusing dayak sebaiknya
dilakukan secara lestari, karena dapat membantu perekonomian masyarakat
setempat.
6.2 Saran
Beberapa saran yang dapat dipertimbangkan sebagai tindak lanjut dari
penelitian ini adalah:
1. Dilakukannya survei lapangan saat musim perburuan kalong berlangsung,
agar menghasilkan data yang lebih akurat.
2. Perlu dilakukan kajian mengenai populasi dan ekologi dari ketiga jenis
kelelawar yang diburu di dalam dan di sekitar KHBT, sehingga bila
diperlukan penentuan kuota tangkapan dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan satwaliar jilid I. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Andersen K. 1912. Catalogue of the chiroptera in the collection of the british museum. London: United Kingdom.
Azlan MJ, Zubaid A, Kunz TH. 2001. Distribution, relative abundance and conservation status of the large flying fox: Pteropus vampyrus, in Peninsular Malaysia: a preliminary assessment. Acta Chiropterologica, vol. 3, 149-162.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2009. Tapanuli Selatan dalam angka. Sipirok: BPS Kabupaten Tapanuli Selatan.
2009. Tapanuli Tengah dalam angka. Pandan: BPS Kabupaten Tapanuli Tengah.
2009. Tapanuli Utara dalam angka. Tarutung: BPS Kabupaten Tapanuli Utara.
Bungin B. 2003. Analisis data penelitian kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Burns J. 2009. 'Extinction threat' to flying fox. http://news.bbc.co.uk/2/hi/science/ nature/8221132.stm [21 Juni 2010].
Dharmawan U. 1987. Studi prilaku persaingan burung-burung air dan Kalong (Pteropus vampyrus) di Cagar Alam Pulau Rambut [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Epstein JH, Olival KJ, Pulliam JRC,Smith C, Westrum J, Hughes T, Dobson AP, Zubaid A, Rahman SA, Basir MM, Field HE, Daszak P. 2009. Pteropus vampyrus. A hunted migratory species with a multinational home-range and a need for regional managemen. Journal of Applied Ecology. doi: 10.1111/j.1365-2664.2009.01 699.x
Fukuda D, Tisen OB, Momose K, Sakai S. 2009. Bat diversity in the vegetation mosaic around a lowland dipterocarp forest of Borneo. The Raffles Bulletin of Zoology. 57(1): 213-221
Feldhamer GA, CD Lee, HV Stephe, FM Joseph. 1999. Mammalogy: adaptation, diversity, and ecology. New York: McGraw Hill.
Fujita MS and Tuttle MD. 1991. Flying foxes (Chiroptera: Pteropodidae): threatened animals of key ecological and economic importance. Conserve. Biol. 5, 455-463.
Gauthreaux SA. 1980. Animal migration, orientation, and navigation. New York: Academic Press.
79
Gulo W. 2002. Metodologi penelitian. Jakarta: PT Grasindo.
Indra M, Fredriksson G. 2007. Hutan Batang Toru harta karun Tapanuli. Tapanuli: Yayasan Ekosistem Lestari.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2008. The IUCN red list of Dyacopterus spadiceus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/ 6931/0 [26 November 2010].
2008. The IUCN red list of Eonycteris spelaea. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/7787/ 0/ summary [26 November 2010].
2008. The IUCN red list of Pteropus vampyrus. http://www.iucnredlist.org/apps/redlist/details/ 18766/0/ summary [26 November 2010].
Kencana BE. 2002. Rencana Aksi Konsevasi Kalelawar Indonesia. WARTA IWF/Vol. 6 No. 1 Januari 2002/ISSN 1411 -8076/D. Jakarta: Yayasan Pembinaan Suaka Margasatwa Indonesia (The Indonesian Wildlife Fund, IWF).
Khairulid. 2005. Kalong sebagai obat penyakit asma. http://khairulid.blogspot. com/2005_02_01_archive.html [2 Oktober 2009].
Kunz TH, Jones DP. 2000. Mammalian Species Pteropus vampyrus. No. 642, Pp. 1–6, 3 Figs. The American Society Of Mammalogists. http://www.science. smith.edu/departments/Biology/VHAYSSEN/msi/pdf/642_Pteropus_vampyrus.pdf [7 Oktober 2009].
Lekagul B, JA McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Bangkok: Sahakarnbhat. 758 p.
Liat LB. 1966. Abundance and distribution of Malaysian Bats in different ecologycal habitats. Kuala Lumpur: Federation Museums Journal XI. Institute for Medical Research.
Maharadatunkamsi, Kitchener DJ. 1997. Morphological variation in Eonycteris spelaea (Chiroptera: Pteropodidae) from the greater and Lesse Sundas Island, Indonesia and description of a new subspecies. Treubia Vol 31: 133-165.
Maharadatunkamsi, Hisheh S, Kitchener DJ, Schmitt LH. 2003. Relationships between morphology, genetics and geography in the cave fruit bat Eonycteris spelaea (Dobson, 1871) from Indonesia. Biological Journal of the Linnean Society. 79, 511-522.
Mickleburgh S, Kerry W, Paul R. 2009. Bats as bushmeat: a global review. Review. Fauna & Flora International, Oryx, 43(2), 217-234.
Mulyana A. 2009. Kalong Kebun Raya Bogor berkurang. Jurnal Bogor.
80
http://www.jurnalbogor.com/?p=46162 [7 Oktober 2009].
[MWBP] Mekong Wetlands Biodiversity Conservation and Sustainable Use Programme. 2006. Trade in natural resources in Attapeu Province, Lao PDR: an assessment of the wildlife trade.
Pakde. 2009. Menyulap kalong menjadi uang saku. http://inspirasipakde.com/ 2009/03/21/menyulap-kalong-menjadi-uang-saku/ [7 September 2009].
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Jakarta: JICA.
Standbury P. 1970. Looking at Mammals. Sydney: Angus and Robertson.
Struebig MJ, Harrison ME, Cheyne SM, Limin SH. 2007. Intensive hunting of large flying foxes Pteropus vampyrus natunae in Central Kalimantan, Indonesian Borneo. Oryx Vol 41 390-393.
Suratmo FG. 1979. Prinsip dasar tingkah laku satwaliar. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Susetyo SB. 2007. Burung blekok dan kalong ‘over’ populasi di Kebun Raya Bogor. http://www.kapanlagi.com/h/0000172115_print.html [7 September 2009].
Suyanto A. 1979. Mengenal kalong (Pteropus vampyrus L) dan peranannya. Buletin Kebun Raya 4(1): 1-5.
. 2001. Panduan lapang kelelawar di Indonesia. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.
Vaughan TA. 1986. Mammalogy. Ed ke-3. Flagstaff, Arizona: Nothern Arizona University. hlm 96-137.
Yalden DW, Morris PA. 1975. The Lives of Bats. New York: The New York Times Book.
Zainuddin H. 2009. Makanan dari daging kalong disukai suku Dayak. http://www.news.id.finroll.com/news/14-berita-terkini/105129-makanan-dari-daging-kalong--disukai-suku-dayak.pdf [3 November 2009].
82
Lampiran 1 Panduan wawancara kepada pemburu kalong kapauk di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Pendidikan : (SD/ SMP/ SMA/ PT*) Jenis kelamin : L / P Pekerjaan : _______________ Asal suku : _______________ Asal desa : _______________ Agama : _______________
B. KARAKTERISTIK PEMBURU 1. Sudah berapa tahun mulai berburu kalong?
[ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] ≥ 10 tahun 2. Dari mana pengetahuan tentang perburuan kalong tersebut Bapak ketahui?
[ ] Dari orang tua (tradisi) [ ] Dari teman [ ] Tahu sendiri [ ] Lainnya: _______________
3. Mengapa berburu kalong? [ ] Menambah pendapatan sehari-hari [ ] Adanya pesanan [ ] Lainnya: _______________
4. Kalong hasil tangkapan akan diapakan? [ ] Dijual ke pengumpul [ ] Konsumsi sendiri [ ] Dijual ke rumah makan dan warung tuak [ ] Lainnya: _______________
5. Berapakah jumlah orang yang ikut serta dalam 1 lokasi perburuan? [ ] 2-3 orang [ ] 3-5 orang [ ] > 5 orang
6. Bagaimana sistem pembagian hasilnya? _______________
7. Apakah orang-orang tersebut biasanya memiliki hubungan kekeluargaan? [ ] Ya [ ] Tidak [ ] Sebagai _______________
8. Apakah orang-orang dalam satu tim tersebut tetap? [ ] Ya [ ] Tidak
C. PERBURUAN 9. Apa saja alat yang dapat digunakan untuk berburu kalong?
[ ] Jaring [ ] Senapan [ ] Panah [ ] Ketapel [ ] Lainnya: _______________
10. Bapak berburu kalong di lahan siapa? [ ] Kebun sendiri [ ] Kebun orang lain [ ] Hutan [ ] Lainnya: _______________
11. Dimana Bapak memasang jaring? [ ] Di jalur terbang kalong (bukit) [ ] Di tempat kalong mencari makan [ ] Lainnya: _______________
12. Berapa jauh (km) jarak dan waktu yang diperlukan dari rumah ke lokasi perburuan? _______________
13. Berapa jumlah lokasi perburuan kalong yang Bapak miliki? [ ] 1 [ ] 2 [ ] 3 [ ] > 3 [ ] Lainnya: _______________
14. Apakah Bapak rutin (setiap hari) berburu kalong? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
15. Adakah musim perburuan kalong? [ ] Ya [ ] Tidak
83
16. Kalau musiman, pada saat kapan Bapak berburu kalong? (Bulan apa dan musim bunga/buah jenis tanaman apa?) _______________
17. Pukul berapa Bapak berburu kalong? _______________ 18. Kalau sedang tidak musim kalong, dalam seminggu bisa berapa kali berburu kalong?
[ ] 1-2 kali [ ] 2-3 kali [ ] > 3 kali 19. Apa saja faktor yang mempengaruhinya?
_______________ 20. Kalau sedang musim kalong, dalam seminggu bisa berapa kali berburu kalong?
[ ] 1-3 kali [ ] 4-6 kali [ ] 7 kali 21. Jumlah kalong yang didapat (per malam) ketika tidak sedang musim perburuan
kalong? _______________ 22. Jumlah kalong yang didapat (per malam) ketika dalam kondisi sedang musim
perburuan kalong? _______________
23. Apakah jumlah hasil tangkapan kalong yang didapat dalam satu kali (malam) perburuan itu tetap? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
24. Apakah jumlah hasil buruan kalong dari tahun ketahun selalu sama? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah Alasannya : _______________
D. PERDAGANGAN 25. Apakah kalong ditangkap dalam keadaan hidup?
[ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
26. Bila kalong hasil buruan dijual, kepada siapakah kalong tersebut dijual? [ ] Pengumpul [ ] RM / warung tuak [ ] Tetangga [ ] Lainnya: _______________ Alasannya : _______________
27. Apakah ukuran kalong mempengaruhi besar harganya? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
28. Berapa harga jual satu ekor kalong? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________
E. PERSEPSI MASYARAKAT DAN UPAYA PERLINDUNGAN 29. Jika mendapat kalong yang sedang bunting, apakah juga akan mengambil kalong
tersebut? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
30. Jika mendapat anakan kalong, apakah juga akan mengambil anakan kalong tersebut? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
31. Apakah ada aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan adat untuk melindungi kalong? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________
32. Apakah ada pembinaan dari pemerintah untuk melindungi kalong? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _____________
33. Apakah layak untuk mengambil kalong dari alam dengan adanya sistem kuota/pembatasan jumlah dan musim? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
34. Apa saja fungsi kalong yang Bapak ketahui? [ ] Membantu penyerbukan tumbuhan [ ] Penyebar biji tumbuh-tumbuhan
84
[ ] Lainnya: _______________ 35. Apa saja dampak buruk dari keberadaan kalong?
[ ] Hama buah langsat [ ] Hama buah rambutan [ ] Menularkan penyakit [ ] Lainnya: _______________
Keterangan: Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
85
Lampiran 2 Panduan wawancara kepada pemburu lalai kembang dan kusing dayak di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Pendidikan : (SD/ SMP/ SMA/ PT*) Jenis kelamin : L / P Pekerjaan : _______________ Asal suku : _______________ Asal desa : _______________ Agama : _______________
B. KARAKTERISTIK PEMBURU 1. Sudah berapa tahun mulai berburu lopong?
[ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] ≥ 10 tahun 2. Dari mana pengetahuan tentang perburuan lopong tersebut Bapak ketahui?
[ ] Dari orang tua (tradisi) [ ] Dari teman [ ] Tahu sendiri [ ] Lainnya: _______________
3. Mengapa berburu lopong? [ ] Menambah pendapatan sehari-hari [ ] Adanya pesanan [ ] Lainnya: _______________
C. PERBURUAN 4. Apakah Bapak rutin (setiap hari) berburu lopong?
[ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
5. Adakah musim perburuan lopong? [ ] Ya [ ] Tidak
6. Pada saat kapan Bapak berburu lopong? _______________
7. Jika melakukan perburuan, berapa lama (malam) Bapak berburu? [ ] 1malam [ ] 2 malam [ ] Lainnya: _______________
8. Hal apa saja yang mempengaruhi Bapak, sehingga Bapak pergi berburu lopong? _______________
9. Hal apa saja yang dapat membuat hasil tangkapan menjadi lebih banyak? _______________ _______________
10. Jumlah lopong yang didapat (per malam) ketika dalam kondisi yang baik (menguntungkan)?
[ ] 40-60 ekor [ ] 60-80 ekor [ ] 80-100 ekor [ ] > 100 ekor [ ] Lainnya: _______________
11. Jumlah lopong yang didapat (per malam) ketika dalam kondisi yang tidak baik? [ ] 40-60 ekor [ ] 60-80 ekor [ ] 80-100 ekor [ ] > 100 ekor
[ ] Lainnya: _______________ 12. Apakah jumlah hasil tangkapan lopong yang didapat dalam satu kali (malam)
perburuan itu tetap? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
13. Apakah jumlah hasil buruan lopong dari tahun ketahun selalu sama? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah
Alasannya : _______________
Keterangan: Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45 tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
86
Lampiran 3 Panduan wawancara dengan pengumpul sekaligus pedagang kalong kapauk, di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Pendidikan : (SD/ SMP/ SMA/ PT*) Jenis kelamin : L / P Pekerjaan : _______________ Asal suku : _______________ Asal desa : _______________ Agama : _______________
B. DATA PERDAGANGAN 1. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu menjadi pengumpul/berjualan kalong?
[ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-10 tahun 2. Dari daerah mana kalong diperoleh? _______________ 3. Berapa ekor jumlah kalong yang diperdagangkan per harinya?
[ ] 60-70 ekor [ ] 71-100 ekor [ ] 101-150 ekor [ ] > 150 ekor [ ] Lainnya: _______________
4. Apakah dagangan Bapak/Ibu selalu habis? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
5. Apakah menjual kalong dalam keadaan hidup? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
6. Apakah terjadi penurunan harga bila kalong mati? [ ] Ya [ ] Tidak 7. Apakah ukuran kalong mempengaruhi besar harganya? [ ] Ya [ ] Tidak
Alasannya : _______________ 8. Berapa harga beli seekor kalong dari pemasok?
[ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 9. Berapa harga jual kalong per ekor?
[ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 10. Apakah terjadi penurunan harga bila jumlah kalong meningkat?
[ ] Ya [ ] Tidak 11. Bagai mana sistem penjualan kalong Bapak/Ibu?
[ ] Menetap di suatu tempat. (pasar/ pekan/ tepi jalan, lainnya: ____________*) [ ] Mendatangi/mencari pembeli dengan sepeda motor [ ] Menghantar sesuai dengan pesanan pembeli (pemesanan melalui sms) [ ] Lainnya: _______________
Keterangan: Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45
tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
87
Lampiran 4 Panduan wawancara kepada pembeli kalong kapauk (untuk konsumsi sendiri), di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Pendidikan : (SD/ SMP/ SMA/ PT*) Jenis kelamin : L / P Pekerjaan : _______________ Asal suku : _______________ Asal desa : _______________ Agama : _______________
B. DATA PEMBELIAN KALONG KAPAUK 1. Dari Siapa Bapak/Ibu membeli kalong?
[ ] Pemburu [ ] Pengumpul [ ] Lainnya: _______________ 2. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong?
[ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-39 tahun [ ] ≥ 40 tahun
3. Untuk apa Bapak/Ibu membeli kalong? _______________ 4. Apa saja khasiat kalong yang Bapak/Ibu rasakan? _______________ 5. Berapa harga seekor kalong dari pemasok?
[ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________ 6. Apakah harga kalong saat ini tergolong mahal?
[ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
7. Adakah waktu-waktu tertentu harga kalong menjadi mahal? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________
8. Adakah waktu-waktu tertentu harga kalong menjadi murah? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________
9. Berapa jumlah kalong yang Bapak/Ibu beli untuk setiap satu kali pembelian? [ ] 1 ekor [ ] 2 ekor [ ] 3 ekor [ ] 4 ekor [ ] ≥ 5 ekor
10. Dalam seminggu, berapa kali Bapak/Ibu membeli kalong? [ ] 1 kali [ ] 2 kali [ ] 3 kali [ ] > 3 kali
11. Dalam sebulan, berapa kali Bapak/Ibu membeli kalong? _______________ Keterangan: Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45
tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
88
Lampiran 5 Panduan wawancara kepada pemilik rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Pendidikan : (SD/ SMP/ SMA/ PT*) Jenis kelamin : L / P Pekerjaan : _______________ Asal suku : _______________ Asal desa : _______________ Agama : _______________
B. DATA PENJUALAN KALONG KAPAUK SIAP SAJI 1. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu berjualan kalong siap saji?
[ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-39 tahun [ ] ≥ 40 tahun
2. Dalam seminggu, bisa berapa kali berjualan? [ ] 1-2 kali [ ] 3-5 kali [ ] 6-7 kali
3. Selain kalong, apa saja jenis hewan lainnya yang menjadi menu makanan di warung Bapak/Ibu? _______________
4. Untuk menunjang usaha Bapak/Ibu, berapa ekor jumlah kalong yang dibutuhkan setiap harinya? [ ] 2-4 ekor [ ] 5-7 ekor [ ] 8-10 ekor [ ] 10-20 ekor Alasannya : _______________
5. Apa upaya yang Bapak/Ibu lakukan agar mendapatkan kalong sesuai dengan jumlah yang diperlukan? _______________
6. Dari siapa kalong diperoleh? [ ] Pemburu [ ] Pengumpul [ ] Tangkapan sendiri [ ] Lainnya: _______________
7. Berat rata-rata kalong yang dibeli dari pemasok? [ ] 0,5-0,7 kg [ ] 0,8-1 kg [ ] 1,1-1,5 kg [ ] > 1,5 kg [ ] Lainnya: _______________
6. Berapa harga seekor kalong dari pemasok? [ ] Ukuran kecil : Rp _______________ [ ] Ukuran besar : Rp _______________
7. Bagai mana sistem penjualan/penyajian kalong siap saji Bapak/Ibu? [ ] Per potong [ ] Per ekor [ ] Per Piring (Cincang)
8. Berapa harga kalong siap saji per unit? _______________ 9. Jika per potong, maka 1 ekor kalong dapat dibagi menjadi berapa potong (bagian)?
_______________ 10. Jika per piring (cincang), maka 1 ekor kalong dapat dibagi menjadi berapa piring?
_______________ 11. Apa saja jenis masakan kalong Bapak/Ibu?
[ ] Gulai rendang [ ] Goreng [ ] Sop [ ] Panggang [ ] Lainnya: _______________
12. Bagai mana jumlah pembeli kalong dari tahun-ketahun? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah Alasannya : _______________
13. Apakah ada hari-hari tertentu pembeli paling ramai? Sebutkan! [ ] Ya [ ] Tidak _______________
Keterangan: Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45
tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
89
Lampiran 6 Panduan wawancara kepada pengkonsumsi di rumah makan dan warung tuak yang menyediakan kalong kapauk siap saji, di dalam dan sekitar KHBT
A. DATA RESPONDEN Usia : (A/ B/ C/ D/ E/ F*) Pendidikan : (SD/ SMP/ SMA/ PT*) Jenis kelamin : L / P Pekerjaan : _______________ Asal suku : _______________ Asal desa : _______________ Agama : _______________
B. DATA PENKONSUMSIAN KALONG KAPAUK SIAP SAJI 1. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong siap saji?
[ ] < 1 tahun [ ] 1-4 tahun [ ] 5-9 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-39 tahun [ ] ≥ 40 tahun
2. Mengapa Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] Obat [ ] Kesenagan/ ketagihan [ ] Lainnya: _______________
3. Apa saja khasiat kalong yang Bapak/Ibu rasakan? _______________
4. Apakah harga kalong siap saji saat ini tergolong mahal? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
5. Berapa biaya yang Bapak/Ibu keluarkan untuk satu kali (setiap kali) mengkonsumsi kalong? _______________
6. Dalam seminggu, berapa kali Bapak/Ibu mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] 1 kali [ ] 2 kali [ ] 3 kali [ ] > 3 kali
7. Apakah jenis masakan kalong yang paling Bapak/Ibu sukai? [ ] Gulai rendang [ ] Goreng [ ] Sop [ ] Panggang [ ] Lainnya: _______________ Alasannya : _______________
8. Bila akan mengkonsumsi kalong siap saji, bersama siapakah Bapak/Ibu pergi mengkonsumsi? [ ] Teman [ ] Keluarga [ ] Lainnya: _______________ Alasannya : _______________
9. Berapa jumlah orang yang pergi bersama Bapak/Ibu bila akan mengkonsumsi kalong siap saji? [ ] 1 orang [ ] 2 orang [ ] 3 orang [ ] 4 orang [ ] 5 orang [ ] > 5 orang
Keterangan: Usia A: 5-15 tahun, usia B: 16-25 tahun, usia C: 26-35, usia D: 36-45
tahun, usia E: 46-55 tahun, usia F: ≥ 56 tahun
90
Lampiran 7 Panduan wawancara kepada petani durian yang ada di dalam dan sekitar KHBT
1. Berapa jumlah pohon durian yang Bapak/Ibu miliki? _______________ 2. Sudah berapa tahun Bapak/Ibu mengalami panen Durian?
[ ] 1-5 tahun [ ] 5-10 tahun [ ] 10-20 tahun [ ] 20-30 tahun 3. Pada saat bulan berapakah durian mulai berbunga? _______________ 4. Apakah hasil panen buah durian Bapak/Ibu selalu sama setiap tahunnya?
[ ] Ya [ ] Berkurang [ ] Bertambah 5. Bagai mana hasil panen buah durian Bapak/Ibu bila dibandingkan dengan 10 tahun
yang lalu? [ ] Tetap [ ] Berkurang [ ] Bertambah 6. Hal apa saja yang dapat mengakibatkan panen buah durian Bapak/Ibu berkurang?
_______________ 7. Apakah panen buah durian sangat membantu perekonomian Bapak/Ibu?
[ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
8. Apakah Bapak/Ibu mengenal kalong? [ ] Ya [ ] Tidak
9. Apa saja fungsi kalong yang Bapak/Ibu ketahui? [ ] Membantu penyerbukan tumbuhan [ ] Penyebar biji tumbuh-tumbuhan [ ] Lainnya: _______________
10. Apakah Bapak/Ibu setuju bila kalong tetap diburu? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
11. Apakah saat ini di kebun Bapak/Ibu semakin sulit untuk melihat kalong? [ ] Ya [ ] Tidak Alasannya : _______________
12. Apa saja dampak buruk dari keberadaan kalong? [ ] Hama buah langsat [ ] Hama buah rambutan [ ] Menularkan penyakit [ ] Lainnya: _______________
Lampiran 8 Persebaran jenis-jenis anggota marga Pteropus (Suyanto 2001) Nama ilmiah Nama daerah Persebaran P. alecto Temminck, 1837 Kalong hitam P. Bawean (Jawa), Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua Barat, Papua Nugini, dan
Australia P. argentatus Gray, 1844 Kalong ambon Maluku dan Ambon P. caniceps Gray, 1871 Kalong morotai Sulawesi, Maluku, dan Maluku Utara P. chrysoproctus Temminck, 1837 Kalong maluku Maluku P. conspicillatus Gould, 1850 Kalong kacamata Maluku, Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia P. griseus E. Geoffroy, 1810 Kalong kelabu Asia Tenggara benua, Fillipina dan sulawesi, Nusa Tenggara, P. Timor, Maluku P. hypomelanus Temminck, 1853 Kalong kecil Asia Tenggara benua, Pulau-pulau kecil sekitar Jawa, Sumatera, Kalimantan, Nusa
Tenggara, Papua Barat dan Papua Nugini sampai Solomon P. lombocensis Dobson, 1878 Kalong lombok Nusa Tenggara dan Maluku P. macrotis Peters, 1867 Kalong nissi P. Aru, Salawati, Wokam, Papua Barat, dan Papua Nugini P. melanopogon Peters, 1878 Kalong awab P. Aru dan Maluku P. melanotus Blyth, 1863 Kalong enggano Kep. Enggano, Kep. Andaman, dan Asia Tenggara benua P. neohibernicus Blyth, 1876 Kalong bismark Papua Barat dan Papua Nugini P. ocularis Peters, 1867 Kalong seram P. Buru, P. Seram, dan Maluku P. personatus Temminck, 1825 Kalong manu Maluku P. pohlei Kalong manguai P. Yapen dan P. Biak (Papua Barat) P. pumilus Miller, 1910 Kalong talaud Filipina, P. Talaud, dan Sulawesi P. scapulatus Peters, 1862 Kalong merah Papua Barat, Papua Nugini, dan Australia P. speciosus Andersen, 1908 Kalong laut Kep. Talaud dan Filipina P. temmincki Peters, 1867 Kalong temmincki Timor (keberadaannya diragukan oleh Goodwin 1979), Maluku, dan Papua Nugini P. vampyrus Linnaeus, 1758 Kalong kapauk Tenasserim, Thailand, Indocina, Malaysia dan Filipina, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa
Tenggara
Lampiran 9 Lokasi perburuan, alat perburuan, jumlah kelompok pemburu, rata-rata tangkapan, dan total tangkapan kalong kapauk di dalam dan di sekitar KHBT dan di Panti
Kabupaten Kecamatan Desa/Dusun Alat Perburuan
Jumlah Pemburu (kelompok/malam)
Rata-rata Tangkapan (ekor/lokasi/malam)
Total Tangkapan (ekor/lokasi
/malam) A B C Tetap Musiman Tetap MusimanTapanuli Utara
Simangumban Dolok Sanggul/ Lumban Garaga √ - 10 - 20 200 Lobu Sihim √ - 12 - 20 240
Purbatua Bonani Dolok/ Lobuharambir √ - 6 - 30 180 Pahae Julu Simardangiang √ - 4 - 10 40
Simardangiang/ Sibio-bio √ - 5 - 10 50 Simardangiang/ Lumban Goting √ - 3 - 10 30 Simardangiang/ Pasir Nauli √ - 8 - 10 80 Simataniari √ - 3 - 15 45
Tapanuli Tengah
Sitahuis Bonan Dolok √ - 5 - 5 25 Tukka Sipange √ 27 23 3 30 690
Sigiring-giring √ - 8 - 30 240 S Kalangan II/ Huta Raja √ - 8 - 30 240 S Kalangan II/ Haramonting √ - 20 - 30 600 Tap Saur Manggita/ Tapian Nauli √ - 8 - 30 240 Tap Saur Manggita/ Lobu Pariasan √ - 10 - 30 300
Badiri Pagaran Honas √ - 8 - 10 80 Lubuk Ampolu √ - 7 - 10 70 Aek Horsik √ - 1 - 3 3
Pinangsori Gunung Marijo √ - 35 - 30 1050 Gunung Marijo/Aek Tolang √ - 8 - 30 240 Toga Basir √ - 8 - 20 160
Lumut Simarlailan √ - 1 - 30 30 Sihiong √ - 6 - 30 180 Aek Gambir √ - 8 - 30 240 Masundung √ - 8 - 30 240
Lampiran 9 Lanjutan ... Kabupaten Kecamatan Desa/Dusun Alat
Perburuan Jumlah Pemburu
(kelompok/malam) Rata-rata Tangkapan (ekor/lokasi/malam)
Total Tangkapan (ekor/lokasi
/malam) A B C Tetap Musiman Tetap Musiman Sialogo √ - 8 - 30 240
Sibabangun Mombang Boru/ Sihobuk √ - 5 - 15 75 Anggoli √ - 6 - 20 120 Simanosor √ - 13 - 20 260 Muara Sibuntuon √ - 20 - 15 300 Sibio-bio √ - 30 - 20 600 Huta Gur-gur √ - 12 - 20 240
Tapanuli Selatan
Batang Toru Marancar/ Hau Natas √ - 2 - 5 10 Sipirok Luat Lombang/ Hutaimbaru √ - 1 - 40 40 Tano Tombangan Panabaring √ - 13 - 25 325
Huta Raja √ 3 13 3 25 325 Huta Tonga √ - 13 - 25 325
Sayur Matinggi Ranto Natas √ - 3 - 10 30 Batang Angkola Huta Padang √ - 1 - 10 10
Sigulang Losung √ - 1 - 8 8 Siais Simarpinggan √ - 5 - 80 400 Angkola Selatan Simaronop √ - 6 - 40 240
Total 30 375 3 22 9.041 Keterangan: Alat perburuan A=menggunakan jaring, B=menggunakan senapan angin, C=menggunakan rawe.
Lampiran 10 Aktivitas perburuan lalai kembang dan kusing dayak berdasarkan hasil camera trap Tanggal Jam
Datang (WIB)
Jam Pulang (WIB)
Lama Perburuan
(malam)
Jumlah Pemburu (orang)
Usia (tahun)
Daerah Asal Jumlah Tangkapan
(ekor/malam)
Total Tangkapan
(ekor) 19-Des-08 13.26 09.12 3 4 2B,C,E Haramonting & H. Raja 330 99022-Des-08 14.23 08.02 2 3 C,D,A Lubuk Pariasan 380 76029-Des-08 13.43 10.05 2 4 2D,2C Lubuk Pariasan 440 88004-Feb-09 13.34 11.19 1 2 2D Haramonting & H. Raja 370 37007-Feb-09 14.59 09.37 1 3 C,D,E Tapian Nauli 370 37010-Feb-09 11.42 09.46 1 4 3B,D Haramonting & H. Raja 430 43005-Mar-09 17.05 15.27 1 3 2E,C Badiri 240 24009-Mar-09 14.39 11.02 1 2 C,D Lubuk Pariasan 320 32013-Mar-09 14.27 08.51 2 2 C,B Haramonting & H. Raja 240 48016-Mar-09 12.37 08.51 1 2 E,D Badiri & Haramonting 370 37016-Mar-09 15.08 09.27 1 3 2E,C Tapian Nauli 490 49019-Mar-09 13.18 09.33 2 3 2C,B Haramonting & H. Raja 240 48011-Apr-09 14.11 08.57 1 4 E,2D,C Tapian Nauli 500 50017-Apr-09 14.21 09.41 1 6 4E,2C Tapian Nauli 860 86001-Mei-09 13.58 08.56 1 4 3B,C Lubuk Pariasan 620 62009-Mei-09 14.18 09.03 1 4 E,3D Tapian Nauli 770 77012-Mei-09 15.03 08.28 1 2 D,B Haramonting & H. Raja 310 31016-Mei-09 14.42 08.41 1 5 B,2C,2D Lubuk Pariasan 630 63029-Mei-09 13.41 08.22 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25030-Mei-09 13.41 07.36 1 2 E,D Tapian Nauli 450 45008-Jun-09 12.35 10.14 1 3 D,2B Lubuk Pariasan 460 46020-Jun-09 13.13 08.13 1 2 B,C Lubuk Pariasan 450 45026-Des-09 14.25 09.47 1 2 2D Haramonting & H. Raja 250 25002-Jan-10 15.41 09.41 1 2 E,D Haramonting & H. Raja 310 31003-Jan-10 - 08.24 1 4 2D,C,B Tapian Nauli 710 710
Lampiran 10 Lanjutan ... Tanggal Jam
Datang (WIB)
Jam Pulang (WIB)
Lama Perburuan
(malam)
Jumlah Pemburu (orang)
Usia (tahun)
Daerah Asal (Dusun)
Jumlah Tangkapan
(ekor/malam)
Total Tangkapan
(ekor) 05-Jan-10 12.54 11.03 1 2 D,C Haramonting & H. Raja 370 37011-Jan-10 13.16 08.27 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25016-Jan-10 13.10 08.19 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25023-Jan-10 16.05 10.44 1 2 D,B Haramonting & H. Raja 370 37029-Jan-10 14.17 07.47 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25001-Feb-10 14.13 10.17 2 2 E,F Haramonting & H. Raja 180 36012-Feb-10 13.13 08.08 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25026-Feb-10 12.24 09.42 1 3 E,D,C Haramonting & H. Raja 490 49005-Mar-10 12.44 08.27 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25012-Mar-10 11.54 09.34 2 2 D,C Haramonting & H. Raja 370 74021-Mar-10 - 08.35 1 3 E,D,C Tapian Nauli 570 57023-Mar-10 14.01 08.24 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25030-Mar-10 13.03 07.51 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25006-Apr-10 11.55 07.36 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25011-Apr-10 - 07.40 1 3 2E,D Tapian Nauli 570 57013-Apr-10 12.01 07.45 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25017-Apr-10 12.51 10.50 1 3 2B,C Lubuk Pariasan 510 51020-Apr-10 12.36 08.40 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25027-Apr-10 14.26 08.02 1 1 D Haramonting & H. Raja 250 25001-Mei-10 11.51 08.54 1 3 E,D,B Haramonting & H. Raja 240 240
Total 53 110 19.720Keterangan: Usia A = 5-15 tahun; B = 16-25 tahun; C = 26-35 tahun; D = 36-45 tahun; E = 46-55 tahun.