PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

18
PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI PERAN GENDER DEVI SETIAWATI UNIVERSITAS GUNADARMA [email protected] ABSTRAK Sex dan gender kerap diidentifikasi sebagai hal yang sama. Kerancuan ini berpengaruh besar dalam kehidupan manusia. Secara biologis, manusia dibedakan menjadi dua sex, yaitu laki-laki dan perempuan. Sementara gender adalah aspek non-fisiologis dari sex yang memiliki harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas. Salah satu bidang yang terimbas oleh kerancuan sex dan gender adalah bidang kerja. Stereotipe yang ada di masyarakat ikut mengimbas dunia kerja. Pada dasarnya, dunia kerja lebih dipengaruhi oleh peran gender, bukan peran jenis kelamin. Sementara bidang kerja terbagi menjadi bidang kerja tradisional (didominasi nilai femininitas) dan non-tradisional (didominasi nilai maskulinitas. Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa komitmen karyawan terhadap pekerjaan akan rendah jika kriteria pekerjaan tidak sesuai dengan karakteristik orientasi peran gender. Penelitian ini dilakukan terhadap 91 karyawan yang bekerja pada bidang manajemen. Selanjutnya diperoleh data bahwa terdapat 28 orang subjek yang termasuk kategori orientasi peran gender feminin dan 24 orang subjek memiliki orientasi peran gender maskulin, sedangkan sisanya, yaitu 39 orang subjek tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner untuk selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Untuk skala komitmen kerja (OCS), reliabilitasnya sebesar 0.8369 dari 46 item yang diujicobakan, terdapat 35 item yang valid. Adapun reliabilitas untuk skala orientasi peran gender (PAQ) terbagi atas 3 sub-skala yakni sub-skala femininitas sebesar 0.7274, sub-skala maskulinitas sebesar 0.7412 dan sub-skala maskulinitas - femininitas sebesar 0.2188. dari ketiga sub-skala tersebut, terdapat 24 item yang diujicobakan, namun hanya 14 item yang valid. Pada penelitian ini, sub-skala maskulinitas-femininitas tidak diikutsertakan dalam analisis data karena reliabilitasnya terlalu kecil. Berdasarkan hasil penelitian, maka diketahui bahwa mean empirik kelompok maskulin sebesar 177.08 dan mean empirik kelompok feminin sebesar 164.82, dimana mean hipotetik sebesar 140 dengan standar deviasi yaitu 35. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa kelompok subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender maskulin memiliki komitmen kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok subjek yang memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin. Kemudian, berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan Uji Mann- Whitney, diperoleh nilai Z = -1.800 dan nilai asymp. sig. (2 tailed) adalah sebesar 0.072. Selanjutnya dikarenakan penelitian ini sudah mengarah pada satu titik, maka disarankan untuk menghitung one- tailed probability dengan cara membagi dua skor probabilitas two-tailed. Dengan demikian, maka skor probabilitas one-tailed pada penelitian ini adalah sebesar 0.036 (p < 0.05).

Transcript of PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Page 1: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

PERBEDAAN KOMITMEN KERJA

BERDASARKAN ORIENTASI PERAN GENDER

DEVI SETIAWATI

UNIVERSITAS GUNADARMA

[email protected]

ABSTRAK

Sex dan gender kerap diidentifikasi sebagai hal yang sama. Kerancuan ini berpengaruh besar

dalam kehidupan manusia. Secara biologis, manusia dibedakan menjadi dua sex, yaitu laki-laki dan

perempuan. Sementara gender adalah aspek non-fisiologis dari sex yang memiliki harapan budaya

terhadap femininitas dan maskulinitas. Salah satu bidang yang terimbas oleh kerancuan sex dan

gender adalah bidang kerja. Stereotipe yang ada di masyarakat ikut mengimbas dunia kerja. Pada

dasarnya, dunia kerja lebih dipengaruhi oleh peran gender, bukan peran jenis kelamin. Sementara

bidang kerja terbagi menjadi bidang kerja tradisional (didominasi nilai femininitas) dan non-tradisional

(didominasi nilai maskulinitas. Hal yang menarik dari permasalahan ini adalah bahwa komitmen

karyawan terhadap pekerjaan akan rendah jika kriteria pekerjaan tidak sesuai dengan karakteristik

orientasi peran gender.

Penelitian ini dilakukan terhadap 91 karyawan yang bekerja pada bidang manajemen.

Selanjutnya diperoleh data bahwa terdapat 28 orang subjek yang termasuk kategori orientasi peran

gender feminin dan 24 orang subjek memiliki orientasi peran gender maskulin, sedangkan sisanya,

yaitu 39 orang subjek tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut. Pengumpulan data dilakukan

dengan menggunakan kuesioner untuk selanjutnya dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Untuk skala

komitmen kerja (OCS), reliabilitasnya sebesar 0.8369 dari 46 item yang diujicobakan, terdapat 35

item yang valid. Adapun reliabilitas untuk skala orientasi peran gender (PAQ) terbagi atas 3 sub-skala

yakni sub-skala femininitas sebesar 0.7274, sub-skala maskulinitas sebesar 0.7412 dan sub-skala

maskulinitas - femininitas sebesar 0.2188. dari ketiga sub-skala tersebut, terdapat 24 item yang

diujicobakan, namun hanya 14 item yang valid. Pada penelitian ini, sub-skala maskulinitas-femininitas

tidak diikutsertakan dalam analisis data karena reliabilitasnya terlalu kecil.

Berdasarkan hasil penelitian, maka diketahui bahwa mean empirik kelompok maskulin sebesar

177.08 dan mean empirik kelompok feminin sebesar 164.82, dimana mean hipotetik sebesar 140

dengan standar deviasi yaitu 35. Dengan demikian, diperoleh hasil bahwa kelompok subjek dengan

kecenderungan orientasi peran gender maskulin memiliki komitmen kerja yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan kelompok subjek yang memiliki kecenderungan orientasi peran gender

feminin. Kemudian, berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan dengan menggunakan Uji Mann-

Whitney, diperoleh nilai Z = -1.800 dan nilai asymp. sig. (2 tailed) adalah sebesar 0.072. Selanjutnya

dikarenakan penelitian ini sudah mengarah pada satu titik, maka disarankan untuk menghitung one-

tailed probability dengan cara membagi dua skor probabilitas two-tailed. Dengan demikian, maka skor

probabilitas one-tailed pada penelitian ini adalah sebesar 0.036 (p < 0.05).

Page 2: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan

komitmen kerja secara signifikan antara subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender

feminin dan maskulin pada karyawan yang bekerja di bidang non-tradisional.

Simpulan hasil deskriptif subjek menunjukkan bahwa Komitmen kerja afektif tergolong tinggi pada

kelompok subjek berjenis kelamin laki-laki, berusia antara 26-35 tahun dengan jumlah tanggungan

sebanyak tiga orang. Komitmen kerja kontinuans tertinggi terdapat pada subjek dengan tingkat

pendidikan S2 dengan masa bekerja antara 2-10 tahun. Sementara komitmen kerja afektif tertinggi

adalah pada Technical Service Department. Merujuk pada data deskriptif yang telah dikumpulkan, hal

ini dapat terjadi karena para karyawan merasakan adanya kesesuaian antara latar belakang

pendidikan (dalam hal ini jurusan teknik) dengan kriteria pekerjaan yang saat ini dilaksanakan.

Kata Kunci : Komitmen Kerja, Orientasi Peran Gender

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gejala globalisasi dapat dirasakan di berbagai segi kehidupan. Salah satu gejala globalisasi

yang dapat dilihat di Indonesia adalah semakin banyaknya perusahaan-perusahaan multinasional

yang masuk dan ikut berperan dalam kancah perekonomian, mulai dari raksasa eksplorasi dan

produksi hasil bumi hingga usaha skala kecil menengah setaraf multi level marketing kosmetik

atau peralatan rumah tangga. Hal ini tentu saja menimbulkan persaingan dengan perusahaan

skala nasional yang telah ada terlebih dahulu. Demikian juga halnya dengan para karyawan. Era

globalisasi juga meningkatkan persaingan di kalangan karyawan lokal maupun asing di tingkatan

yang sama. Di sisi lain, globalisasi juga membawa dampak positif, yaitu terbukanya kesempatan

untuk bekerja di perusahaan berskala internasional. Dengan semakin terbukanya peluang kerja

tentu akan mempengaruhi komitmen kerja karyawan.

Menurut Morrow (dalam Chang, 1999), komitmen profesi merupakan sikap seseorang

terhadap karirnya. Karyawan dengan komitmen karir yang tinggi diindikasikan memiliki kebutuhan

dan harapan yang tinggi terhadap organisasi tempatnya bekerja, serta lebih termotivasi saat

harapannya terpenuhi. Hal senada juga diungkapkan oleh Blau (dalam Meyer, Allen & Smith,

1993) yang mendefinisikan komitmen karir sebagai sikap seseorang terhadap keahliannya,

termasuk profesinya.

Pendapat yang lebih rinci kemudian dinyatakan oleh Meyer, Allen & Smith (1993) dengan

membagi komitmen kerja menjadi tiga komponen, yaitu affective commitment (komitmen afektif),

continuance commitment (komitmen kontinuans), dan normative commitment (komitmen

normatif). Motivasi karyawan dengan komitmen afektif yang kuat cenderung bertahan pada

pekerjaannya karena keinginannya sendiri, sementara karyawan dengan komitmen kontinuans

yang tinggi bertahan pada pekerjaannya atas dasar kebutuhan, sedangkan pada karyawan

dengan komitmen normatif yang kuat bertahan pada pekerjaannya karena merasakan adanya

keharusan atau kewajiban. Ketiga komponen komitmen ini hadir dalam diri setiap karyawan,

Page 3: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

namun dalam kadar yang berbeda-beda sehingga akan menghasilkan perilaku yang berbeda

pula sebagai latar belakang dalam mempertahankan pekerjaannya.

Kecenderungan lain yang semakin lazim dilakukan oleh perusahaan-perusahaan

multinasional dalam era globalisasi ini adalah tidak lagi berpatokan pada jenis kelamin ketika

akan merekrut karyawan-karyawannya. Hal ini merupakan salah satu dampak dari semakin

digembar-gemborkannya issue tentang kesetaraan gender serta penghargaan yang setara antara

laki-laki dan perempuan.

Menurut Betz & Fitzgerald (1987) salah satu aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh gender

ini adalah keterlibatan seseorang dalam suatu jenis pekerjaan. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa

kini laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam memasuki dunia kerja di

berbagai bidang, baik tradisional maupun non-tradisional. Bidang kerja tradisional dideskripsikan

sebagai suatu bidang kerja yang didominasi oleh perempuan, sementara bidang kerja non-

tradisional lebih didominasi oleh laki-laki

Van Dusen & Sheldon (dalam Basow, 1980) menyebutkan bahwa bidang kerja tradisional

tidak memerlukan komitmen jangka panjang, memiliki jam kerja yang relatif fleksibel, jenis

pekerjaannya tersedia di mana-mana, majikan tidak perlu berinvestasi sepenuhnya di bidang

pelatihan kerja, serta merupakan perpanjangan dari fungsi perempuan secara alamiah, yaitu

merawat dan melayani orang lain serta melakukan pekerjaan rumah tangga. Salah satu contoh

dari bidang pekerjaan tradisional adalah perawat. Sementara itu bidang kerja non-tradisional

cenderung memerlukan komitmen jangka panjang, jam kerjanya sudah ditentukan, serta

diperlukan pengetahuan tertentu yang dapat digunakan dalam menjalankan tugasnya. Salah satu

contohnya adalah pekerjaan pada bidang manajemen.

Parsons & Bales (dalam Megawangi, 1999 dan dalam Spence & Buckner, 1995) juga

menambahkan bahwa peran yang dijalankan oleh laki-laki adalah peran instrumental yang

bertujuan untuk mencapai kepentingan kelompoknya, misalnya mencari nafkah, sedangkan peran

perempuan dalam kelompoknya adalah peran emosional atau ekspresif yang bertujuan menjaga

keselarasan dan kerja sama dalam kelompoknya, misalnya peran sebagai pemberi cinta,

perhatian dan kasih sayang. Selanjutnya peran-peran ini akan disebut sebagai peran gender

yaitu sekumpulan harapan akan kelaziman terhadap kegiatan-kegiatan yang pantas dilakukan

oleh laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bidang kerja tradisional

(misalnya perawat) merupakan bidang kerja yang membutuhkan kualitas peran gender

feminin/emosional/ekspresif yang lebih dominan, sedangkan bidang kerja non-tradisional

(misalnya bidang kerja manajemen) merupakan bidang kerja yang membutuhkan kualitas peran

gender maskulin/instrumental yang lebih dominan. Meski demikian, menurut Spence & Buckner

(1995), setiap bidang pekerjaan memerlukan kedua kualitas peran gender tersebut secara

bersamaan, namun dalam komposisi dan intensitas yang berbeda-beda. Hal ini juga

menunjukkan bahwa pembagian bidang kerja sangat dipengaruhi oleh kualitas peran gender dan

bukan perbedaan jenis kelamin.

Page 4: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Menurut Irving, Coleman & Cooper (1997), karyawan akan merasa tertekan jika orientasi

peran gendernya tidak sesuai dengan karakteristik pada bidang pekerjaannya. Perasaan tertekan

ini pada gilirannya akan membuat karyawan merasa kurang terikat secara afektif terhadap

pekerjaannya.

Dari uraian di atas, maka permasalahan yang ingin dikaji secara lebih lanjut dalam penelitian

ini adalah apakah ada perbedaan komitmen kerja berdasarkan orientasi peran gender pada

karyawan yang bekerja di bidang kerja non-tradisional ?

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menguji perbedaan komitmen

terhadap pekerjaan berdasarkan orientasi peran gender pada karyawan yang bekerja di bidang

kerja non-tradisional.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai komitmen karyawan

terhadap pekerjaan berdasarkan orientasi peran gender dari karyawan itu sendiri dan

diharapkan dapat memberikan gambaran dan penjelasan kepada organisasi serta semua

pihak yang terlibat di dalamnya mengenai komitmen karyawan terhadap pekerjaan dan dapat

mengambil langkah-langkah yang sesuai sehingga dapat meningkatkan komitmen karyawan

terhadap pekerjaannya.

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya di

bidang Psikologi Industri dan Organisasi serta dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam

melakukan penelitian secara lebih lanjut, terutama dengan cara mengkaji variabel-variabel

lain yang berkaitan dengan komitmen terhadap pekerjaan dan orientasi peran gender.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Komitmen Kerja

1. Pengertian Komitmen Kerja

Menurut Spector (2000), terdapat banyak definisi yang berbeda mengenai komitmen,

namun seluruhnya melibatkan keterikatan individu terhadap pekerjaannya. Komitmen kerja

merupakan sebuah variabel yang mencerminkan derajat hubungan yang dianggap dimiliki

oleh individu terhadap pekerjaan tertentu dalam organisasi. Jadi, komitmen kerja dapat

didefinisikan sebagai derajat hubungan individu dalam memandang dirinya sendiri dengan

pekerjaannya dalam organisasi tertentu (Jewell & Siegall, 1998). Greenberg & Baron (1993)

mengemukakan bahwa komitmen kerja merefleksikan tingkat identifikasi dan keterlibatan

individu dalam pekerjaannya dan ketidaksediaannya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut.

Secara garis besar, Meyer, Allen & Smith (1993) melakukan pendekatan kepada ketiga

komponen komitmen ini berangkat dari sudut pandang bahwa komitmen merupakan sebuah

Page 5: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

keadaan psikologis yang mengkarakteristikkan hubungan karyawan dengan organisasi, dan

memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan keanggotaan

dalam organisasi.

Lee, dkk (2000) mendefinisikan komitmen kerja sebagai hubungan psikologis antara

seseorang dengan pekerjaannya yang didasarkan pada reaksi afektif terhadap pekerjaan

tersebut. Selanjutnya juga dikatakan bahwa seseorang yang memiliki komitmen kerja yang

tinggi akan lebih kuat mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaan tersebut dan mengalami

lebih banyak perasaan positif mengenai pekerjaannya. Hubungan emosional yang dirasakan

seseorang terhadap pekerjaannya tersebut memiliki dampak terhadap berbagai perilaku kerja

yang ditampilkan dan yang lebih penting berdampak terhadap keinginan karyawan untuk

mempertahankan pekerjaan tersebut.

Dari uraian beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa komitmen kerja

merupakan keterikatan individu terhadap pekerjaan yang merefleksikan tingkat keterlibatan

individu terhadap pekerjaan serta keinginan individu untuk tetap menjadi bagian dari

pekerjaan tersebut.

2. Komponen Komitmen Kerja

Mowday, Steers dan Porter (dalam Spector, 2000) mengemukakan bahwa komitmen

organisasi terdiri dari tiga komponen, yaitu penerimaan dan keyakinan yang kuat terhadap

nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi, kesediaan individu untuk berusaha dengan sungguh-

sungguh demi kepentingan organisasi serta keinginan yang kuat untuk mempertahankan

keanggotaannya di dalam organisasi tersebut.

Meyer, Allen & Smith (1993) melakukan pengembangan dan generalisasi dari model tiga

komponen komitmen organisasi ke dalam konsep komitmen kerja. Meyer & Allen (1991)

menyatakan bahwa mereka lebih memilih menyebut ketiga komitmen tersebut dengan

menggunakan istilah tiga komponen, bukan tipe, karena menurut mereka, hubungan seorang

karyawan dengan pekerjaannya memiliki derajat yang berbeda-beda dari ketiga komponen

komitmen tersebut.

Misalnya, karyawan yang menerima gaji yang diterima lebih kecil dari harapannya

memutuskan untuk tetap mempertahankan pekerjaannya, karena merasa memiliki hubungan

emosional yang kuat dengan pekerjaannya serta adanya perasaan kepatuhan untuk tetap

mempertahankan pekerjaan tersebut. Karyawan lain mungkin mempertahankan

pekerjaannya karena merasa meninggalkan pekerjaan tersebut merupakan hal yang sulit

dilakukan jika dilihat dari sudut pandang ekonominya. Ia membutuhkan pekerjaan tersebut

dan sulit untuk mendapatkan alternatif pekerjaan lain, meskipun merasa tidak memiliki ikatan

emosional yang kuat dengan pekerjaannya. Ini berarti komitmen kerja berkembang sebagai

hasil pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula.

Berdasarkan contoh di atas, maka Meyer & Allen (1991) menyatakan bahwa jika ingin

mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai hubungan karyawan dengan pekerjaannya,

maka pengukuran komitmen kerja seharusnya merefleksikan ketiga bentuk komitmen

tersebut secara bersama-sama daripada mencoba untuk melihatnya secara terpisah.

Page 6: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Model tiga komponen komitmen kerja yang dikembangkan oleh Meyer, Allen & Smith

(dalam Spector, 2000) terdiri dari komitmen kerja afektif, komitmen kerja kontinuans, dan

komitmen kerja normatif. Adapun definisi dari setiap komponen komitmen kerja adalah

sebagai berikut :

a. Komitmen kerja afektif (affective occupational commitment), yaitu komitmen sebagai

keterikatan afektif/psikologis karyawan terhadap pekerjaannya. Komitmen ini

menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka

menginginkannya.

b. Komitmen kerja kontinuans (continuance occupational commitment), mengarah pada

perhitungan untung-rugi dalam diri karyawan sehubungan dengan keinginannya untuk

tetap mempertahankan atau meninggalkan pekerjaannya. Artinya, komitmen kerja di sini

dianggap sebagai persepsi harga yang harus dibayar jika karyawan meninggalkan

pekerjaannya. Komitmen ini menyebabkan karyawan bertahan pada suatu pekerjaan

karena mereka membutuhkannya.

c. Komitmen kerja normatif (normative occupational commitment), yaitu komitmen sebagai

kewajiban untuk bertahan dalam pekerjaan. Komitmen ini menyebabkan karyawan

bertahan pada suatu pekerjaan karena mereka merasa wajib untuk melakukannya serta

didasari pada adanya keyakinan tentang apa yang benar dan berkaitan dengan masalah

moral.

3. Faktor-faktor Anteseden dari Komponen Komitmen Kerja

Menurut Meyer, Allen & Smith (1993) tiap komponen komitmen memiliki anteseden

tersendiri. Komitmen afektif dapat ditumbuhkan oleh karakteristik personal-struktural yang

berkaitan dengan tugas dan pengalaman kerja (Mowday, dalam Meyer, Allen & Smith, 1993).

Jika pengalaman kerja dalam organisasi sesuai harapan dan memenuhi kebutuhan dasar

karyawan, maka ia akan cenderung untuk membangun keterikatan afektif yang lebih kuat

terhadap pekerjaannya (Meyer & Allen, dalam Meyer, Allen & Smith (1993).

Komitmen kontinuans diduga tersusun saat karyawan menyadari bahwa mereka telah

memiliki akumulasi investasi dalam perusahaan yang akan hilang jika mereka meninggalkan

organisasi tersebut. Komitmen kontinuans dapat terbentuk saat karyawan menyadari

kurangnya atau terbatasnya ketersediaan kesempatan kerja yang ada di organisasi maupun

di pasaran kerja (dalam Irving, Coleman & Cooper, 1997). Adapun bentuk investasi dalam

organisasi atau pekerjaan tidak terbatas pada investasi dana semata, namun dapat pula

berupa lamanya waktu pendidikan/pelatihan yang telah ditempuh, lamanya waktu kerja, dan

status kepegawaian (Meyer, Allen & Smith, 1993).

Komitmen normatif, selain merupakan hasil dari pengalaman kerja yang menyenangkan,

juga merupakan hasil sosialisasi pengalaman-pengalaman yang menekankan pada

kepantasan untuk mempertahankan kesetiaan karyawan pada pihak atau organisasi yang

mempekerjakannya (Meyer, Allen & Smith, 1993). Selanjutnya Scholl (dalam Meyer, Allen &

Smith, 1993) menyatakan bahwa komitmen normatif dapat pula terbentuk melalui penerimaan

keuntungan-keuntungan, seperti pembayaran subsidi biaya pendidikan/pelatihan, yang

Page 7: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

menciptakan sebuah rasa kewajiban untuk membalas dalam diri karyawan. Dengan kata lain

karyawan merasa bahwa organisasi telah menanamkan investasi didalam dirinya.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Kerja

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi.

Dalam Schultz & Schultz (1990) dikemukakan bahwa faktor personal dan faktor organisasi

dapat meningkatkan komitmen terhadap pekerjaan.

Greenberg & Baron (1993) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi

komitmen karyawan terhadap pekerjaan, yaitu karakteristik pekerjaan, kesempatan akan

adanya pekerjaan lain, karakteristik individu serta perlakuan organisasi terhadap karyawan

baru

B. Orientasi Peran Gender

1. Pengertian Gender

Dalam penelitian ini istilah “gender” akan dipakai untuk memberikan batasan yang jelas

dan terpisahkan dari “sex”. Menurut Lips (dalam Stevenson, 1994) “sex” merupakan istilah

bagi kondisi biologis seseorang, yaitu jantan dan betina, atau male dan female. Money

(dalam Stevenson, 1994) menyebutkan bahwa fenomena biologis ini terkait erat dengan

susunan kromosom, gen dan pengaruh hormon dalam tubuh manusia tersebut. Sedangkan

menurut Deaux (dalam Stevenson, 1994) istilah “gender” mengacu pada kondisi psikologis

atau kategori sosial yang diasosiasikan dengan keadaan biologis seseorang. Hal senada juga

disampaikan oleh Lips (dalam Stevenson, 1994) yang menyatakan bahwa gender adalah

aspek non-fisiologis dari sex, harapan budaya terhadap femininitas dan maskulinitas.

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan di atas, tampak jelas bahwa gender memang

terkait dengan sex, namun gender tidak sama dengan sex. Jika sex berada dalam batasan

fisiologis, maka gender berada dalam batasan psikologis. Selain dipengaruhi oleh faktor

fisiologis dari sex, gender juga dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial-budaya yang berlaku di

masyarakat dimana individu hidup. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gender

merupakan persepsi seseorang tentang maskulinitas dan femininitas di dalam dirinya terkait

dengan stereotip maskulin dan feminin yang diharapkan oleh masyarakat.

2. Femininitas dan Maskulinitas

Menurut Constantinople (dalam Spence & Buckner, 1995) femininitas dan maskulinitas

berada pada dua kutub yang berlawanan. Pemikiran ini kemudian melahirkan sejumlah

pertanyaan akan validitas konsep, karena dirasakan banyak sifat yang berada dalam domain

feminin dan domain maskulin tidak berhubungan satu dengan yang lainnya (sifat feminin

bukan merupakan lawan dari sifat maskulin, dan sebaliknya). Spence dan Buckner (1995)

menegaskan bahwa sifat-sifat yang telah disebutkan tadi tidak berkorelasi sama sekali,

sehingga sifat-sifat dalam domain feminin dan domain maskulin pun tidak perlu memiliki

korelasi yang kuat satu dengan yang lainnya.

Sebagai jawaban atas kritik terhadap pendapat Constantinople, lahirlah dua alat ukur,

yaitu Bem Sex Role Inventory (BSRI) dan Personal Attributes Questionnaire (PAQ) (Irving,

Page 8: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Coleman & Cooper, 1997). Pada kedua alat ukur ini terdapat dua kelompok sifat-sifat yang

diharapkan pada manusia. Satu kelompok berisi karakteristik instrumental, yang kerap

diasosiasikan dengan karakteristik laki-laki, dan disebut skala maskulinitas (M). Kelompok

lainnya berisi karakteristik ekspresif, yang kerap diasosiasikan dengan karakteristik

perempuan, dan disebut skalam femininitas (F). Basow (1980) menjabarkan beberapa

karakteristik kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin dalam Tabel 1. di

bawah ini :

Tabel 1.

Karakteristik Kecenderungan Orientasi Peran Gender

Feminin dan Maskulin (Menurut Basow, 1980)

Feminin Maskulin

1. Tidak terlalu agresif

2. Tidak terlalu mandiri

3. Sangat emosional

4. Tidak menyembunyikan perasaan

5. Sangat subjektif

6. Sangat mudah terpengaruh

7. Sangat penurut

8. Sangat tidak suka matematika dan

sains

9. Sangat pasif

10. Tidak suka persaingan

11. Sangat tidak logis

12. Senang berada di rumah

13. Kurang memiliki skill berbisnis

14. Mudah sakit hati

15. Tidak suka petualangan

16. Sulit membuat keputusan

17. Mudah menangis

18. Hampir tidak pernah bertindak

sebagai pemimpin

19. Tidak terlalu percaya diri

20. Tidak suka bertindak agresif

21. Tidak terlalu ambisius

22. Sangat tergantung

23. Tidak berbicara secara terbuka

tentang seks kepada laki-laki

24. Tidak menggunakan kata-kata kasar

25. Sangat lembut

1. Sangat agresif

2. Sangat mandiri

3. Tidak terlalu emosional

4. Hampir selalu menyembunyikan

perasaan

5. Sangat objektif

6. Tidak mudah terpengaruh

7. Sangat dominan

8. Menyukai matematika dan sains

9. Sangat aktif

10. Sangat suka bersaing

11. Sangat logis

12. Senang berada di luar rumah

13. Sangat berbakat dalam berbisnis

14. Tidak mudah sakit hati

15. Sangat menyukai petualangan

16. Mudah membuat keputusan

17. Tidak pernah menangis

18. Selalu bertindak sebagai pemimpin

19. Sangat percaya diri

20. Terkadang bertindak agresif

21. Sangat ambisius

22. Tidak terlalu tergantung

23. Berbicara secara terbuka tentang seks

kepada laki-laki

24. Terkadang menggunakan kata-kata

kasar

25. Sangat kasar

Page 9: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

26. Sangat memahami perasaan orang

lain

27. Sangat religius

28. Sangat mamperhatikan penampilan

dirinya

29. Sangat pendiam

30. Sangat membutuhkan rasa aman

31. Menyukai karya seni dan karya

sastra

32. Mudah mengungkapkan perasaan

secara lembut

26. Tidak terlalu memahami perasaan

orang lain

27. Tidak terlalu religius

28. Tidak terlalu mamperhatikan

penampilan dirinya

29. Sangat ceria

30. Tidak terlalu membutuhkan rasa aman

31. Tidak menyukai karya seni dan karya

sastra

32. Tidak mudah mengungkapkan

perasaan dengan lembut

3. Peran Gender

Dalam setiap budaya, gender seringkali diasosiasikan dengan hal-hal penting lain,

termasuk peran, tingkah laku, kesenangan dan atribut-atribut lain yang diasumsikan sebagai

khas pria atau wanita (Baron dan Byrne, 1974). Dengan demikian, peran gender mengarah

pada peran sebagai laki-laki atau perempuan, dalam arti melekatnya atribusi sosial karena

jenis kelamin seseorang. Jadi, peran gender merupakan peran yang diharapkan untuk

ditampilkan seseorang sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu laki-laki atau perempuan,

dalam suatu budaya tertentu (Strong & De Vault, 1989).

Menurut Spence & Buckner (1995), peran gender (gender role) merupakan sekumpulan

syarat yang mengacu pada harapan-harapan normatif tentang posisi-posisi yang harus

ditempati oleh laki-laki dan perempuan yang dipegang oleh para anggota budaya atau sub-

budaya tertentu. Kita dapat menemukan stereotip yang serupa dalam masyarakat, bahwa

laki-laki harus memiliki sifat maskulin dan berperan sebagai pemimpin, sementara

perempuan diharapkan memiliki sifat maskulin dan berperan sebagai pendukung laki-laki.

Menurut Tang & Tang (2001), penyimpangan dari peran gender akan menimbulkan

konsekuensi negatif secara sosial dan psikologis.

Parsons & Bales (dalam Spence dan Buckner, 1995 & Megawangi, 1999) mendefinisikan

bahwa secara umum manusia memiliki dua jenis peran yang saling mengisi, yang dinamakan

peran instrumental dan peran ekspresif, terlepas dari apapun jenis kelamin manusia tersebut.

Peran instrumental merupakan perilaku yang berorientasi pada pencapaian tujuan yang

ditujukan langsung untuk memenuhi tujuan kelompok. Peran ekspresif merupakan perilaku

yang bertujuan untuk menjaga keselarasan dan kerja sama kelompok.

Dari berbagai definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah

sekumpulan pola-pola tingkah laku atau sikap-sikap yang dituntut oleh lingkungan dan

budaya tempat individu itu berada untuk ditampilkan secara berbeda oleh pria dan wanita

sesuai jenis kelaminnya.

Page 10: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

4. Orientasi Peran Gender

Orientasi peran gender oleh Tang & Tang (2001) didefinisikan sebagai kepemilikan

seseorang atas sifat-sifat kepribadian stereotip maskulin dan feminin yang diharapkan

masyarakat. Kemudian Spence & Buckner (1991) memberikan definisi orientasi peran gender

yang tidak jauh berbeda dengan definisi sebelumnya, yaitu sejumlah karakteristik yang

berkaitan dengan harapan normatif yang harus dimiliki oleh pria dan wanita sebagai anggota

budaya atau subbudaya tertentu.

Definisi lain dikemukakan oleh Spence & Helmreich (dalam Robinson, 1995) bahwa

orientasi peran gender adalah karakteristik yang nampaknya memiliki harapan sosial yang

berbeda pada tiap-tiap jenis kelamin Sementara menurut Raguz (1991) adalah persepsi

seseorang tentang maskulinitas dan femininitas dalam dirinya.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa masyarakat telah menetapkan

sekelompok harapan tertentu terhadap kaum laki-laki, yang tentu saja berbeda dengan

harapan terhadap kaum perempuan.

5. Karakteristik Orientasi Peran Gender

Stets & Burke (1991) menjelaskan beberapa karakteristik maskulin dan feminin

berdasarkan alat ukur Bem Sex Role Inventory (BSRI). Spence & Helmreich (dalam

Robinson, 1991) menyatakan bahwa karakteristik instrumentality sering dikaitkan dengan

maskulin, sedangkan karakteristik expresiveness sering dikaitkan dengan feminin. Lebih

lanjut lagi dijelaskan karakteristik maskulin antara lain mandiri, mudah membuat keputusan

dan tidak mudah menyerah, sedangkan karakteristik feminin antara lain adalah emosional,

suka menolong orang lain serta memahami perasan orang lain. Akan tetapi, karakteristik

maskulin dimiliki oleh pria dan wanita, tapi diyakini bahwa lebih dominan pada laki-laki.

Demikian juga sebaliknya, karakteristik feminin dimiliki oleh pria dan wanita, tapi diyakini

bahwa pada wanita lebih dominan.

6. Implikasi Gender dalam Dunia Kerja

Salah satu bidang yang terkena imbas kerancuan “sex” dan “gender” adalah bidang

kerja. Vianello (1990) menggambarkan bagaimana stereotip yang ada dalam masyarakat ikut

mengimbas dunia kerja. Menurut Novarra (dalam Vianello, 1990), jika seorang perempuan

harus bekerja, maka apa yang dikerjakannya di luar rumah tak jauh dari perannya dalam

rumah tangga. Bahkan di awal era kesetaraan gender, masih ada pendapat bahwa tabu

hukumnya bagi kaum perempuan untuk bergerak di bidang politik atau bidang publik, jika

perannya tidak sebangun dengan perannya dalam rumah tangga. Misalnya adalah bidang

kerja yang terkait dengan pengasuhan anak, pengurusan rumah tangga, pembuatan pakaian,

perawatan orang sakit dan cacat, dan pendidikan. Perbedaannya terletak pada lokasi kerja,

yaitu di luar rumah, dan dengan bekerja di luar rumah perempuan pekerja mendapat imbalan

atas jasanya. Pendapat kontroversial Novarra ini perlahan-lahan mulai singgah dengan

adanya fakta semakin banyak perempuan yang membebaskan diri dari peran tradisionalnya

dan lebih terlibat pada kehidupan publik, bahkan berada di tampuk kepemimpinan.

Kecenderungan ini sangat terasa di negara-negara dengan haluan politik sosialis. Selain itu,

Page 11: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

kini semakin banyak pula institusi-institusi profesional yang menangani “pekerjaan-pekerjaan

perempuan” tersebut dengan sejumlah karyawan laki-laki terlibat atau bahkan berperan

penting di dalamnya (Vianello, 1990).

Hal ini menunjukkan bahwa kini dunia kerja lebih menitikberatkan faktor kemampuan

individu dan mulai meninggalkan pendapat konvensional tentang pembagian kerja menurut

jenis kelamin. Mungkin jika kita ingin menganalisa lebih jauh lagi, secara tersirat, masyarakat

mulai mengakui kepemilikan kualitas feminin dan maskulin dalam diri tiap manusia walaupun

masih ada keterikatan dengan stereotip tentang laki-laki dan perempuan secara umum.

C. Bidang Kerja Tradisional dan Non-Tradisional

Secara umum, bidang kerja dibagi menjadi dua, yaitu bidang kerja tradisional dan non-

tradisional. Awalnya pembagian bidang kerja seperti ini dilakukan berdasarkan pada pemisahan

tugas menurut perbedaan jenis kelamin. Bidang kerja tradisional didominasi oleh perempuan,

sementara bidang kerja non-tradisional didominasi oleh laki-laki (Betz & Fitzgerald, 1987). Hal ini

dilakukan karena adanya perbedaan kekuatan fisik antara laki-laki dan perempuan (Basow,

1980). Pekerjaan yang memerlukan kekuatan fisik tinggi diserahkan kepada laki-laki dan

digolongkan sebagai pekerjaan non-tradisional.

1. Pengertian Bidang Kerja Tradisional dan Non-Tradisional

Bidang kerja tradisional dideskripsikan sebagai bidang kerja yang didominasi oleh

perempuan (Betz & Fritzgerald, 1987). Menurut Parsons & Bales (dalam Megawangi, 1999

dan dalam Spence & Buckner, 1995) peran yang dijalankan perempuan adalah peran

emosional atau ekspresif yang bertujuan menjaga keselarasan dan kerja sama dalam

kelompok, misalnya adalah peran sebagai pemberi cinta, perhatian dan kasih sayang. Jadi,

dapat disimpulkan bahwa bidang kerja tradisional merupakan bidang kerja yang

membutuhkan kualitas feminin/emosional/ekspresif yang lebih dominan.

Menurut Betz dan Fitzgerald (1987), bidang kerja non-tradisional didefinisikan sebagai

bidang kerja yang didominasi oleh laki-laki. Sementara menurut Parsons & Bales (dalam

Megawangi, 1999 dan dalam Spence & Buckner, 1995), peran yang dijalankan laki-laki

adalah peran instrumental yang bertujuan mencapai kepentingan kelompoknya, misalnya

peran sebagai pencari nafkah. Maka dapat disimpulkan bahwa bidang kerja non-tradisional

merupakan bidang kerja yang membutuhkan kualitas maskulin/instrumental yang lebih

dominan. Namun menurut Spence & Buckner (1995), pekerjaan apapun membutuhkan

kualitas feminin dan maskulin secara bersamaan, dalam komposisi dan intensitas yang

berbeda-beda.

2. Kriteria Bidang Kerja Tradisional dan Non-Tradisional

Kriteria bidang kerja tradisional datang dari Van Dusen dan Sheldon (dalam Basow,

1980). Menurut Van Dusen dan Sheldon bidang kerja tradisional adalah bidang kerja yang

tidak memerlukan komitmen jangka panjang, memiliki jam kerja yang fleksibel, pekerjaan

tersebut tersedia dimana-mana, majikan tidak sepenuhnya perlu berinvestasi di bidang

pelatihan kerja, merupakan “perpanjangan” dari fungsi perempuan secara alamiah, yaitu

Page 12: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

merawat dan melayani orang lain, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan seterusnya.

Menurut Basow (1980), perawat merupakan salah satu contoh bidang kerja tradisional.

Selain itu, Van Dusen dan Sheldon (dalam Basow, 1980) juga menyebutkan beberapa kriteria bidang

kerja non-tradisional, yaitu memerlukan komitmen jangka panjang, jam kerja sudah ditentukan,

diperlukan pengetahuan tertentu yang dapat digunakan untuk menjalankan tugas, sarat akan

kompetisi, memiliki tujuan yang harus dicapai dalam jangka waktu tertentu, dan sebagainya. Contoh

bidang kerja non-tradisional adalah bidang kerja manajemen dimana diperlukan pengetahuan dan

skill tertentu untuk dapat menjalankan pekerjaan dengan baik, memiliki tujuan yang harus dicapai

agar dapat mengembangkan usaha, dan seterusnya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan data yang didapat dari subjek penelitian yang bekerja di level

manajemen pada bidang kerja maintenance mesin pesawat di PT. Aero Nasional Indonesia yang

berlokasi di Curug-Tangerang. Subjek penelitian merupakan karyawan pada level manajemen yang

diambil dari 7 departemen atau bagian yang ada di PT. ANI, tidak termasuk karyawan bagian

operasional. Dengan demikian teknik sampling yang digunakan adalah stratified sampling.

Pembatasan pada responden penelitian dilakukan pada masa kerja, dengan batas minimal

bekerja selama dua tahun, tingkat pendidikan minimal D3, umur responden maksimal usia 55 tahun

(usia pensiun) dan batas usia minimal secara otomatis mengikuti usia di batas minimal masa bekerja,

yaitu 25 tahun.

Teknik pengumpulan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala orientasi peran

gender dan skala komitmen kerja. Skala orientasi peran gender yang digunakan dalam rangka

pengumpulan data pada penelitian ini adalah mengadaptasi dari Personal Attributes Questionnaire

(PAQ) yang dikembangkan oleh Spence & Helmreich pada tahun 1974, sedangkan skala komitmen

mengadaptasi dari Occupational Commitment Scale (OCS) yang dikembangkan oleh Meyer & Allen

pada tahun 1990.

Uji validitas dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik Korelasi Product

Moment Pearson, yaitu dengan mengkorelasikan skor tiap-tiap item dengan skor total dalam skala,

sedangkan reliabilitas instrumen dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan teknik Alpha

Cronbach. Sementara itu, uji statistik yang digunakan adalah statistik non parametrik dengan

menggunakan Mann-Whitney Test. Analisis validitas dan reliabilitas serta analisis statistik dilakukan

dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS Ver. 11.5 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Berdasarkan pengujian validitas yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil validitas untuk sub-

skala Femininitas bergerak dari 0.3255 – 0.6176, untuk sub-skala Maskulinitas bergerak dari 0.2550 –

0.5243. Dari 24 item yang diujikan, item yang valid sebanyak 14, sedangkan item yang gugur atau

tidak valid sebanyak 10 item. Untuk validitas pada Skala Komitmen Kerja (OCS) bergerak dari 0.2158

– 0.6130. Setelah diujicobakan maka dapat diketahui bahwa item yang valid adalah sebanyak 35

Page 13: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

item, sedangkan yang gugur adalah sebanyak 11 item. adapun item-item yang gugur pada sub-skala

komitmen afektif sebanyak 2 item, pada sub-skala komitmen kontinuans sebanyak 6 item dan pada

sub-skala normatif sebanyak 3 item.

Reliabilitas untuk sub-skala femininitas sebesar 0.7274, untuk sub-skala maskulinitas sebesar

0.7412, sedangkan untuk Skala Komitmen Kerja (OCS) diketahui memiliki reliabilitas sebesar 0.8369.

Selanjutnya, dari 91 orang subjek, diperoleh data bahwa terdapat 28 orang subjek yang termasuk

kategori orientasi peran gender feminin dan 24 orang subjek memiliki orientasi peran gender

maskulin, sedangkan sisanya, yaitu 39 orang subjek tidak termasuk dalam dua kelompok tersebut.

Dikarenakan jumlah subjek pada kelompok orientasi peran gender feminin dan maskulin, masing-

masing, kurang dari 30 orang, maka analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam

penelitian ini adalah statistik non parametrik. Adapun teknik analisisnya adalah uji data dua sampel

tidak berhubungan (independent) yaitu Uji Mann-Whitney. Dari hasil analisis data, didapat nilai Z = -

1.800 dan nilai asymp. sig. (2 tailed) adalah sebesar 0.072.

Menurut Field (2000), pada penelitian yang sudah menuju pada satu arah, maka untuk lebih

membuktikan hipotesis penelitian yang telah dibuat, disarankan untuk menghitung one-tailed

probability dengan cara membagi dua skor probabilitas two-tailed. Dengan demikian, maka skor

probabilitas one-tailed pada penelitian ini adalah sebesar 0.036 (p < 0.05), yaitu dari 0.072 dibagi 2.

Maka berdasarkan nilai tersebut, diketahui bahwa terdapat perbedaan komitmen kerja secara

signifikan antara subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin pada

karyawan yang bekerja di bidang non-tradisional.

Selanjutnya berdasarkan data dari perhitungan descriptive statistics diketahui bahwa nilai mean

komitmen pada kelompok feminin adalah 164.82, sedangkan nilai mean untuk kelompok maskulin

adalah 177.08. dengan demikian, berarti komitmen karyawan yang memiliki orientasi peran gender

maskulin lebih tinggi jika dibandingkan dengan komitmen karyawan yang memiliki orientasi peran

gender feminin. Dengan demikian, hipotesis, terdapat perbedaan komitmen kerja karyawan

berdasarkan orientasi peran gender, dimana pada karyawan dengan orientasi peran gender maskulin

memiliki komitmen yang lebih tinggi daripada karyawan dengan orientasi peran gender feminin,

diterima.

Pembahasan

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan terdapat perbedaan komitmen kerja pada karyawan yang

memiliki orientasi peran gender feminin dan maskulin. Secara terinci, perbandingan mean empirik dan

mean hipotetik komitmen kerja karyawan berdasarkan orientasi peran gender dapat dilihat pada

Tabel 1. dibawah ini.

Page 14: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Tabel 1.

Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Komitmen Kerja Berdasarkan Orientasi Peran

Gender

Orientasi

Peran Gender Mean Empirik Mean Hipotetik Standar Deviasi

Feminin 164.82 140 35

Maskulin 177.08 140 35

Berdasarkan tabel di atas serta hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan dengan

kecenderungan orientasi peran gender maskulin memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap

pekerjaannya (dalam hal ini jenis pekerjaan non-tradisional) jika dibandingkan dengan karyawan yang

memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin. Bidang pekerjaan non-tradisional yang

memiliki dominasi karakteristik maskulin sangat mungkin menjadi penghalang bagi karyawan yang

memiliki kecenderungan orientasi peran gender feminin untuk berkomitmen lebih besar terhadap

pekerjaannya, karena ketidaksesuaian antara karakteristik pekerjaan dengan kecenderungan

orientasi peran gender yang ada di dalam dirinya. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Irving, Coleman & Cooper (1997), bahwa karyawan akan merasa tertekan jika orientasi peran

gendernya tidak sesuai dengan karakteristik pada bidang pekerjaannya. Perasaan tertekan ini pada

gilirannya akan membuat karyawan merasa kurang terikat secara afektif terhadap pekerjaannya.

Menurut pemaparan di atas, maka diketahui bahwa secara umum, komitmen afektif relatif lebih

tinggi dibandingkan dengan komitmen lainnya, baik pada kelompok subjek dengan kecenderungan

orientasi peran gender feminin dan maskulin. Berdasarkan data deskriptif yang telah dikumpulkan,

hal ini mungkin saja terjadi karena karyawan merasa lingkungan kerjanya menyenangkan, pekerjaan

tidak monoton, para karyawan mendapat banyak pengalaman baru, rekan kerja kompak dan atasan

juga perhatian terhadap bawahannya. Selain itu, banyak karyawan yang menyatakan bahwa bidang

pekerjaan saat ini sangat sesuai dengan keinginan, latar belakang pendidikan, bahkan sekaligus

dapat sebagai sarana untuk menyalurkan hobi. Hal ini membuat seluruh karyawan dapat bekerja

dengan iklim kekeluargaan yang cukup kental.

Kondisi kerja yang demikian ternyata tanpa disadari membuat karyawan merasa nyaman untuk

bekerja di perusahaan tersebut, sehingga para karyawan enggan untuk mencari pekerjaan baru.

Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Mowday (dalam Meyer, Allen & Smith, 1993) yang

menyatakan bahwa komitmen afektif dapat ditumbuhkan oleh karakteristik personal-struktural yang

berkaitan dengan tugas dan pengalaman kerja. Kenyataan yang dirasakan karyawan tersebut juga

sesuai dengan hasil penelitian dari Meyer & Allen (dalam Meyer, Allen & Smith, 1993) bahwa

hubungan yang paling kuat dan konsisten dihasilkan dari pengalaman kerja. Jika pengalaman kerja

dalam organisasi sesuai harapan dan memenuhi kebutuhan dasar karyawan, maka ia akan

cenderung untuk membangun keterikatan afektif yang lebih kuat terhadap pekerjaannya.

Dari perhitungan komitmen kerja berdasarkan usia, diketahui bahwa komitmen kerja tertinggi

(dalam hal ini komitmen kerja afektif) adalah pada kelompok subjek dengan usia antara 26-35 tahun.

Hal ini wajar karena kelompok usia tersebut merupakan usia produktif. Menurut Hall (dalam

Page 15: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Robinson, 2003), rentang usia tersebut termasuk pada tahap perkembangan, dimana karyawan akan

mengerahkan segala kemampuannya dengan optimal untuk bekerja.

Jika hasil penelitian dipilah menurut jenis kelamin, maka komitmen kerja tertinggi adalah pada

subjek dengan jenis kelamin laki-laki. Dapat terjadi demikian karena bidang kerja ini juga cenderung

menuntut kemampuan fisik yang cukup berat dan hal itu sangat dimungkinkan dimiliki oleh karyawan

laki-laki.

Selanjutnya, jika hasil penelitian dipilah berdasarkan status perkawinan, maka komitmen tertinggi

ada pada kelompok subjek penelitian dengan status kawin, karena karyawan pada status kawin telah

memiliki keluarga. Hal ini membuat karyawan memiliki tanggung jawab untuk membiayai kehidupan

keluarganya.

Berdasarkan jumlah tanggungan, maka diketahui bahwa komitmen kerja tertinggi adalah pada

kelompok subjek dengan jumlah tanggungan sebanyak tiga orang. Hal ini otomatis membuat

karyawan bekerja sebaik mungkin agar dapat menopang kehidupan keluarga yang membutuhkan

biaya relatif besar.

Jika ditinjau dari tingkat pendidikan, komitmen kerja kontinuans tertinggi terdapat pada subjek

dengan tingkat pendidikan S2. Hal ini dapat terjadi karena pada subjek dengan tingkat pendidikan S2

mendapat gaji yang lebih besar jika dibandingkan dengan karyawan pada tingkat pendidikan yang

lebih rendah. Dengan penghasilan yang relatif besar, terutama jika dapat mencukupi berbagai

kebutuhan, maka karyawan cenderung enggan untuk mencari pekerjaan baru karena hal yang sama

belum tentu bisa didapatkan di perusahaan lain.

Jika hasil penelitian ini dikelompokkan berdasarkan masa bekerja, maka dapat diketahui bahwa

komitmen tertinggi adalah pada kelompok subjek penelitian yang memiliki masa bekerja antara 2-10

tahun. Menurut Morrow & McElroy (1987), masa bekerja memang memegang peranan penting dalam

mempengaruhi komitmen karyawan terhadap pekerjaannya. Pada rentang tersebut, karyawan berada

pada tahap lanjutan, dimana karyawan cenderung untuk berusaha semampunya untuk

mempertahankan posisi serta segala hal yang telah dimilikinya di dalam perusahaan. Selain itu rasa

memiliki serta rasa kekeluargaan yang telah terbentuk sebelumnya juga akan mempengaruhi para

karyawan untuk tetap berkomitmen terhadap pekerjaannya itu.

Berdasarkan hasil perhitungan komitmen kerja berdasarkan departemen, maka diketahui bahwa

komitmen kerja (afektif) tertinggi adalah pada Technical Service Department. Merujuk pada data

deskriptif yang telah dikumpulkan, hal ini dapat terjadi karena para karyawan merasakan adanya

kesesuaian antara latar belakang pendidikan (dalam hal ini jurusan teknik) dengan kriteria pekerjaan

yang saat ini dilaksanakan.

PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan

bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam hal komitmen kerja antara karyawan yang memiliki

kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin pada karyawan yang bekerja di bidang

kerja non-tradisional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan dengan kecenderungan

Page 16: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

orientasi peran gender maskulin memiliki tingkat komitmen yang lebih tinggi terhadap pekerjaannya

(dalam hal ini jenis pekerjaan non-tradisional) jika dibandingkan dengan karyawan yang memiliki

kecenderungan orientasi peran gender feminin, yang berada pada taraf sedang.

Secara umum, komitmen afektif relatif lebih tinggi dibandingkan dengan komitmen lainnya, baik

pada kelompok subjek dengan kecenderungan orientasi peran gender feminin dan maskulin. Hal ini

mungkin saja terjadi karena karyawan merasa lingkungan kerjanya menyenangkan sehingga

membuat seluruh karyawan dapat bekerja dengan iklim kekeluargaan yang cukup kental. Komitmen

kerja afektif tergolong tinggi pada kelompok subjek dengan usia antara 26-35 tahun karena rentang

usia tersebut termasuk pada tahap perkembangan, dimana karyawan akan mengerahkan segala

kemampuannya dengan optimal untuk bekerja.

Komitmen kerja tertinggi adalah pada subjek dengan jenis kelamin laki-laki karena bidang kerja

ini juga cenderung menuntut kemampuan fisik yang cukup berat dan hal itu sangat dimungkinkan

dimiliki oleh karyawan laki-laki. Komitmen tertinggi juga ada pada kelompok subjek penelitian dengan

status kawin dan memiliki tanggungan sebanyak 3 orang, karena karyawan pada status kawin telah

memiliki keluarga. Hal ini membuat karyawan memiliki tanggung jawab untuk membiayai kehidupan

keluarganya. Selanjutnya, komitmen kerja kontinuans tertinggi terdapat pada subjek dengan tingkat

pendidikan S2 karena adanya gaji yang lebih besar jika dibandingkan dengan karyawan pada tingkat

pendidikan yang lebih rendah. Komitmen tertinggi juga terdapat pada kelompok subjek penelitian

yang memiliki masa bekerja antara 2-10 tahun, dimana karyawan berada pada tahap lanjutan serta

cenderung untuk berusaha semampunya untuk mempertahankan posisi dan segala hal yang telah

dimilikinya di dalam perusahaan. Komitmen kerja afektif tertinggi adalah pada Technical Service

Department. Hal ini dapat terjadi karena para karyawan merasakan adanya kesesuaian antara latar

belakang pendidikan (dalam hal ini jurusan teknik) dengan kriteria pekerjaan yang saat ini

dilaksanakan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian serta dengan memperhatikan penjabaran di bagian-bagian

sebelumnya, maka dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Kepada perusahaan yang bersangkutan, disarankan untuk tetap mempertahankan iklim kerja

yang selama ini telah terjalin dengan baik agar karyawan tetap bersemangat dalam menjalankan

aktivitas di perusahaan. Saran lainnya kepada perusahaan adalah agar lebih memperhatikan

kebutuhan karyawannya dalam hal perluasan pengetahuan melalui seminar/training/pendidikan

guna peningkatan skill karyawan dan untuk memperkuat komitmen normatif karyawan terhadap

pekerjaan, khususnya dan perusahaan pada umumnya.

2. Kepada peneliti selanjutnya, disarankan untuk mengadakan replikasi penelitian serupa, pada

bidang kerja lain (bidang kerja tradisional) maupun pada pekerjaan lain di bidang kerja non-

tradisional. Dengan keragaman ini diharapkan hasil yang didapat pun dapat digeneralisasikan

dalam lingkup yang lebih luas lagi.

Page 17: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

DAFTAR PUSTAKA

Anastasi, A. & Urbina, S. 2003. Tes Psikologi (Psychological Testing 7e-Jilid 1). Alih Bahasa:

Robertus Hariono S. Imam. Jakarta: PT Indeks, Gramedia Grup.

Azwar, S. 2005. Tes Prestasi (Fungsi dan Pengembangan Pengukuran Prestasi Belajar – Edisi II).

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baron, P. A & Byrne, C. 1974. Sexuality and the Dual-Earner Couple: Multiple Roles and Sexual

Functioning. Journal of Family Psychology, Vol. 12, No. 3, 354-368.

Basow, S. A. 1980. Sex-Role Stereotypes . Traditions and Alternatives. Monterey, California :

Brooks/Cole Publishing Company.

Betz, N. E. & Fitzgerald, L. F. 1987. The Career Psychology of Women. London : Academic Press.

Coleman, G. L. & Cooper, P. 1997. Psikologi Untuk Kelompok Profesional (Psikologi Untuk Manajer).

Jakarta: Arcan.

Field, A. 2000. Discovering Statistics Using SPSS for Windows : Advanced Techniques for the

Beginner. London : Sage Publications, Ltd.

Greenberg, J & Baron, R. A. 1993. Behavior in Organizations (Fourth Edition). Singapore.: Allyn and

Bacon.

Irving, P. G., Coleman, D. F., & Cooper, C. L. 1997. Further Assesments of a Three-Component

Model of Occupational Commitment : Generalizability and Differences across Occupations.

Journal of Applied Psychology, Vol. 82, No. 3, 444-452.

Jewell, L.N. & Siegall, M. 1998. Psikologi Industri/Organisasi Modern:Psikologi Terapan Untuk

Memecahkan Berbagai Masalah di Tempat Kerja, Perusahaan, Industri dan Organisasi (Edisi

Kedua). Jakarta: Arcan.

Kalbfleisch, P. J. & Cody, M. J. 1995. Gender, Power and Communication in Human Relationships.

New Jersey: Lawrence Erlbaum Associate Inc. Publishing.

Lee, S., Craswell, J. P., & Allen, N. J. 2000. Foundations of Behavioral Research (Fourth Edition).

Orlando, Florida: Hartcourt Brace College Publishers.

Matlin, M.W. 1999. Psychology (Third Edition). Florida : Hartcourt Brace College Publishers.

Megawangi, R. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung :

Penerbit Mizan.

Meyer, J. P., Allen, N. J., & Smith, C. A. 1993. Commitment to Organizations and Occupations:

Extension and Test of a Three-Component Conceptualization. Journal of Applied Psychology,

Vol. 78, No. 4, 538-551.

Raguz, M. 1991. Masculinity and Femininity. An Empirical Definition. Nijmegen: Drukkerij Quickprint

BV.

Robinson, J. P., Shaver, R. R., & Wrightman, L. S. 1991. Measures of Personality and Social

Psychological Attitudes. California : Academic Press, Inc.

Robinson, J. P. 1995. Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Schultz, D. P. & Schultz, S. E. 1990. Psychology and Industry Today (An Introduction to Industrial and

Organizational Psychology-Fifth Edition). New York: Maxwell Mc Millan.

Page 18: PERBEDAAN KOMITMEN KERJA BERDASARKAN ORIENTASI ...

Spector, P. E. 2000. Industrial and Organizational Psychology : Research and Practice (Second

Edition). New York: John Wiley & Sons, Inc.

Spence, J. T., & Helmreich, R. L. 1974. The Personal Attributes Questionnaire.

http://www.atkinson.yorku.ca/~psyctest/paq.pdf.

Stets, H. L., & Burke, G. 1991. Sex and Gender in Society (Second Edition). New Jersey: Prentice

Hall.

Stevenson, M. R. 1994. Gender Roles Through the Life Span. A Multidisciplinary Perspective.

Muncie, Indiana: Ball State University.

Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Suryabrata, S. 2003. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta: Andi Offset.

Tang, T. N. & Tang, C. S. 2001. Gender Role Internalization, Multiple Roles and Chinese Women’s

Mental Health. Psychology of Women Quarterly, Vol. 25, 181-196. USA: Blackwell

Publishers.

http://csubak.edu/~lhecht/Classes/BEHS501/Articles/GenderRoleInternalization.pdf.

Vianello, M. 1990. Gender Inequality. A Comparative Study of Discrimination and Participation.

London: Sage Publications Ltd.