PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK ...
Click here to load reader
Transcript of PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK ...
PERBANYAKAN Beauveria bassiana PADA LIMBAH ORGANIK,
FORMULASI DAN UJI EFEKTIVITASNYA SEBAGAI BIOINSEKTISIDA
UNTUK PENGENDALIAN HAMA Spodoptera exigua HUBNER
(LEPIDOPTERA:NOCTUIDAE)
Rusdi Rusli dan Trizelia1)
1) Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unand, Kampus Limau Manis Padang 25163
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat Beauveria bassiana yang virulen terhadap larva Spodoptera exigua dan jenis substrat terbaik untuk perbanyakan massal B. bassiana. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Faperta Unand dari bulan Mei sampai dengan November 2008 B. bassiana diisolasi dari serangga dan tanah kemudian dibiakkan dalam medium SDAY. Penelitian ini menggunakan 11 isolat dan 4 taraf konsentrasi konidia (106-109 konidia/ml). Isolat yang virulen kemudian diperbanyak pada berbagai jenis substrat. Cendawan entomopatogen diinokulasikan langsung pada larva S. exigua instar III. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi 108 konidia/ml, isolat BbHhKA12memiliki virulensi yang tertinggi dengan mortalitas larva instar III 100.00% dan nilai LT50 1.85 hari. Mortalitas larva S. exigua instar III sangat dipengaruhi oleh jenis isolat dan konsentrasi konidia. Jenis media perbanyakan sangat berpengaruh nyata terhadap sporulasi B. bassiana. B. bassiana yang diperbanyak pada beras menghasilkan jumlah konidia tertinggi yaitu 7.10 x 109
konidia/g substrat dan berbeda nyata dengan B. bassiana yang diperbanyak pada substrat lain. B. bassiana yang diperbanyak pada kulit kentang menghasilkan jumlah konidia yang sedikit hanya 1.05 x 109 konidia/g substrat.
Kata kunci: Beauveria bassiana, virulen, isolat, Spodoptera exigua, sporulasi
PENDAHULUAN
Di Indonesia, Spodoptera exigua Hubner merupakan salah satu hama yang
paling merusak pada tanaman keluarga bawang-bawangan seperti bawang merah
dan bawang daun (Kalshoven 1981). Hama S. exigua dapat menyerang tanaman
bawang sejak awal pertumbuhan dan mengakibatkan kehilangan hasil yang tidak
sedikit. Larva menimbulkan kerusakan dengan cara memakan daun tanaman.
Menurut Sastrosiswojo (1994) kehilangan hasil akibat serangan larva S. exigua
dapat mencapai 57%. Pada serangan berat dapat menyebabkan kehilangan hasil
sampai 100%, karena daun yang ada habis dimakan oleh larva sehingga kegagalan
panen tidak bisa dihindari. Serangan berat ini biasanya terjadi pada musim
kemarau yang mengakibatkan produksi tanaman menurun (Shepard et al. 1997;
Utami 1997).
Sampai saat ini untuk mengendalikan hama S. exigua para petani masih
mengandalkan insektisida kimia karena mereka menganggap insektisida
merupakan jaminan untuk keberhasilan usaha taninya. Aplikasi penggunaan
insektisida kimia dilakukan dalam selang waktu 2-3 hari sekali dan bahan kimia
yang disemprotkan merupakan campuran dari berbagai jenis insektisida (Utami
1997). Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia sedang menuju era
pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan, sehingga penggunaan
insektisida kimia sintetis harus digunakan seminimal mungkin.
Salah satu cara pengendalian hama S. exigua yang ramah lingkungan
adalah dengan menggunakan musuh alami serangga hama baik berupa predator,
parasitoid maupun patogen. Salah satu jenis patogen serangga yang banyak
terdapat di alam dan dapat digunakan untuk pengendalian serangga hama secara
hayati adalah cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
(Deuteromycotina: Hyphomycetes).
B. bassiana merupakan salah satu spesies cendawan patogen pada
serangga yang telah memperoleh perhatian besar dan telah dimanfaatkan untuk
pengendalian serangga hama pada berbagai komoditas tanaman, karena cendawan
ini mempunyai daya bunuh yang tinggi terhadap berbagai jenis serangga hama,
mudah diperbanyak dan tidak bersifat toksik terhadap vertebrata (Wraight et al.
2000).
Berbagai informasi tentang penggunaan cendawan B. bassiana untuk
pengendalian hama telah banyak dilaporkan. Penggunaan B. bassiana dapat
menurunkan populasi larva Leptinotarsa decemlineata (Say) (Coleoptera:
Chrysomelidae) sampai 76.6% pada pertanaman kentang (Poprowski et al. 1997),
pada Bemisia argentifolii Bellows & Perring (Homoptera: Aleyrodidae)
mematikan nimfa rata-rata 77% (Wraight et al. 2000), dan pada Melanoplus
2
sanguinipes Fabricius (Orthoptera: Acrididae) menyebabkan mortalitas nimfa
sampai di atas 80% (Inglis et al. 1999). Di Indonesia B. bassiana telah
digunakan secara luas untuk pengendalian hama penggerek buah kopi,
Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae) yang telah digunakan di
hampir semua propinsi penghasil kopi (Haryono et al. 1993). Hasil penelitian
Trizelia (2005) menunjukkan bahwa B. bassiana dapat dimanfaatkan untuk
pengendalian hama kubis Crocidolomia pavonana (Lepidoptera: Pyralidae).
Hasil penelitian Yurham (2008) menunjukkan bahwa aplikasi cendawan B.
bassiana pada larva S. exigua instar III dengan konsentrasi 106 konidia/ml
menghasilkan mortalitas larva sebesar 35 % dan pada konsentrasi 109 konidia/ml
mortalitas larva mencapai 80%.
Salah satu keuntungan penggunaan cendawan B. bassiana sebagai
bioinsektisida adalah cendawan ini relatif mudah diperbanyak (diproduksi) pada
berbagai jenis media (substrat). Beberapa jenis media (substrat) yang telah
digunakan untuk perbanyakan konidia B. bassiana antara lain beras, jagung,
gandum, kedelai, dan kentang. Hasil penelitian Wahyunendo (2002)
menunjukkan bahwa pada media beras jumlah konidia B. bassiana yang
dihasilkan dapat mencapai 2.4 x 109 konidia/gr substrat setelah diinkubasikan
selama 28 hari.
Sampai saat ini media buatan (substrat) yang umum digunakan sekarang
ini untuk perbanyakan massal B. bassiana, adalah beras dan jagung. Kedua media
ini mampu menghasilkan konidia yang tinggi. Dengan meningkatnya harga beras
dan jagung dan dalam rangka pemanfaatan limbah organik, maka perlu dicari
media (substrat) alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan perbanyakan
cendawan dengan kemampuan sporulasi yang masih tinggi. Substrat alternatif
tersebut dapat dengan memanfaatkan limbah organik seperti kulit kentang, kulit
kopi, ampas tebu dan kulit ubi jalar. Indonesia yang merupakan negara agraris
mempunyai potensi menghasilkan limbah organik yang sangat besar seperti
limbah kelapa sawit, kopi, tebu,padi, jagung dan lain-lain. Namun usaha
pemanfaatannya masih belum dilakukan secara maksimal.
Penumpukan limbah organik dalam jumlah yang besar apabila tidak
ditangani akan merupakan sumber pencemaran lingkungan. Selama ini limbah
3
organik lebih banyak digunakan sebagai kompos untuk meningkatkan kesuburan
tanah, sedangkan pemanfaatannya sebagai substrat perbanyakan agens hayati B.
bassiana belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu informasi tentang
penggunaan limbah organik lain sebagai media perbanyakan agens hayati B.
bassiana sangat diperlukan dalam rangka pemanfaatan limbah organik sebagai
media perbanyakan bioinsektisida yang murah dan bisa dilakukan oleh petani.
Disamping bisa diperbanyak, konidia yang dihasilkan diharapkan juga bersifat
virulen terhadap serangga hama dan mampu disimpan lama.
Dalam jangka panjang, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan paket
teknologi baru berupa bioinsektisida yang berbahan aktif cendawan
entomopatogen B. bassiana isolat lokal. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan dan aplikasi isolat B.
bassiana yang tepat dan efektif untuk pengendalian hama S. exigua di lapangan.
METODE PENELITIAN
Koleksi dan Perbanyakan Isolat
Isolat B. bassiana yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi
Laboratorium Entomologi Jurusan HPT Faperta Unand, Laboratorium Patologi
Serangga Jurusan HPT IPB, dan koleksi langsung dari serangga yang terinfeksi
di lapangan dan dari tanah dari lokasi yang berbeda. Seluruh isolat ditumbuhkan
pada medium Sabouraud dextrose agar dengan yeast extract (SDAY) (dekstrosa
40 g, pepton 10 g, ekstrak khamir 2.5 g, agar 15 g, kloramfenikol 0.5 g dan
akuades 1 l)
Isolasi B. bassiana dari tanah dilakukan dengan mengambil tanah sekitar
perakaran tanaman. Pengambilan tanah dilakukan dengan cara penggalian tanah
pada kedalaman 10-15 cm dengan menggunakan sekop tangan kecil. Contoh
tanah dimasukkan kedalam kantong plastik dan dibawa ke laboratorium untuk
diproses. Sebelum prosesing, contoh tanah diayak terlebih dahulu dengan
menggunakan ayakan yang berukuran 0.4 mm.
Isolasi B. bassiana dari tanah dilakukan dengan menggunakan medium
selektif DOC2 (Bactopeptone 3 g, CuCl2 0.2 g, kristal violet 2 mg, agar 15 g, air
1000 ml) (Shimazu et al., 2002). Dari masing-masing sampel tanah tersebut
4
diambil sebanyak 10g, dilarutkan dalam 90 ml akuades steril yang telah diberi
0.05% Tween 80 dan divorteks selama 2 menit. Suspensi tanah diencerkan
sampai 3 kali dan 0.1 ml suspensi dimasukkan dalam cawan Petri yang telah berisi
medium DOC2 untuk isolasi B. bassiana. Cawan Petri diinkubasikan selama 8
hari dan koloni B. bassiana yang ada diisolasi kembali kembali dan dimurnikan
pada media SDAY.
Seluruh isolat B. bassiana hasil isolasi dari serangga yang terinfeksi dan dari
tanah (Tabel 1 ) ditumbuhkan pada medium Sabouraud dextrose agar dengan
yeast extract (SDAY).
Tabel 1. Isolat B. bassiana dan daerah asal
Isolat Sumber inang Lokasi BbTPL1 Tanah Cabai Padang Luar (Agam)BbLoBr1 Leptocorisa oratorius (F.) (Hemiptera:
Coreidae)Bogor
BbHhTK1 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)
Teluk Kecimbung (Sarolangun)
BbHhTK9 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)
Teluk Kecimbung (Sarolangun)
BbHhKA2 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)
Kayu Aro (Solok)
BbHhKA12 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)
Kayu Aro (Solok)
BbTKS Tanah Kakao SolokBbLoDk1 Leptocorisa oratorius (F.) (Hemiptera:
Coreidae)Duku
BbHhM2 Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae)
Matur (Agam)
BbTMB1 Tanah kopi Matur (Agam)BbTMA2 Tanah kopi Matur (Agam)
Identifikasi dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Kunci
identifikasi yang digunakan adalah kunci Barnett dan Hunter (1972) dan Poinar
dan Thomas (1984).
Penyediaan tanaman bawang daun
Tanaman bawang daun yang digunakan sebagai pakan larva S. exigua di
tanaman dalam polibeg. Bibit tanaman bawang daun diperoleh dari petani dan
ditanaman dalam polibeg yang telah berisi campuran tanah dan pupuk kandang.
5
Tanaman dipupuk dan pupuk NPK (200kg/ha Urea, 200 kg/ha TSP, 100 kg/ha
KCl) dan tanaman tidak disemprot dengan pestisida.
Perbanyakan larva S. exigua
Larva S. exigua dikumpulkan dari pertanaman bawang daun di lapangan dan
kemudian dipelihara dalam kotak plastik dan diberi makanan berupa daun bawang
yang masih segar. Makanan larva diganti setelah habis atau sudah tidak segar
lagi.
Larva-larva tersebut dipelihara sampai membentuk pupa dan imago.
Selanjutnya imago-imago yang diperoleh dimasukkan ke dalam kurungan
serangga yang telah berisi tanaman bawang daun sebagai tempat peletakkan telur.
Sebagai makanan imago digunakan madu dengan konsentrasi 10%. Kelompok
telur yang diletakkan dipindahkan ke kotak plastik lain dan dipelihara sampai
menetas.
Penyiapan Suspensi Konidia
Seluruh isolat diperbanyak pada media SDAY dalam cawan petri pada
suhu 25o C selama 15 hari. Konidia cendawan dipanen dengan cara
menambahkan 5 ml akuades steril dan 0.05% Tween 80 sebagai bahan perata ke
dalam cawan Petri dan konidia dilepas dari media dengan kuas halus. Suspensi
disaring dan konsentrasi konidia dihitung dengan menggunakan hemositometer.
Skrining isolat B. bassiana
Instar larva S. exigua yang diuji adalah larva instar III yang berumur satu
hari. Konsentrasi konidia dari masing-masing isolat yang digunakan adalah108
konidia/ml. Inokulasi cendawan dilaksanakan dengan cara menyemprotkan
suspensi konidia pada bagian dorsal tubuh larva dengan menggunakan
handsprayer. Kemudian larva diberi makan dengan daun kubis segar. Percobaan
diulang empat kali dan setiap satuan percobaan terdiri dari 10 ekor larva.
Mortalitas larva diamati setiap hari hingga tujuh hari setelah aplikasi cendawan.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dan data hasil
percobaan diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan pengujian nilai
tengah menggunakan uji DNMRT pada taraf nyata 5%.
6
Uji Pengaruh Berbagai Konsentrasi Konidia B. bassiana.
Uji dilakukan menggunakan larva S. exigua instar III. Konsentrasi konidia
dari isolat virulen yang digunakan adalah 109, 108, 107, 106 konidia/ml dan 0
(kontrol). Aplikasi konidia pada larva dilakukan dengan cara meneteskan suspensi
konidia pada bagian dorsal tubuh larva. Kemudian larva diberi makan dengan
daun bawang segar. Uji diulang empat kali dan setiap satuan percobaan terdiri
dari 10 ekor larva. Mortalitas larva diamati setiap hari hingga tujuh hari setelah
aplikasi B. bassiana.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 5 taraf
konsentrasi konidia. Data hasil percobaan diolah dengan sidik ragam dan
dilanjutkan dengan pengujian nilai tengah menggunakan uji Duncan (DNMRT)
pada taraf nyata 5%.
.
Perbanyakan massal B. bassiana
Substrat yang digunakan untuk perbanyakan massal cendawan
entomopatogen B. bassiana terpilih adalah substrat padat berupa beras, jagung,
dan limbah organik (kulit kentang, kulit ubi jalar, jerami dan ampas tebu).
Perbanyakan cendawan entomopatogen pada berbagai substrat dilakukan
dengan cara mengukus substrat selama 10 menit kemudian substrat yang sudah
lunak tersebut dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml sebanyak 50 g dan
disterilkan dengan autoklaf selama 30 menit. Ke dalam labu Erlenmeyer
diinokulasikan potongan koloni cendawan entomopatogen dengan diameter 0.8
mm dari biakan murni yang tumbuh dalam media SDAY dan diinkubasikan
selama 3 minggu. Untuk menghitung kepadatan konidia dari masing-masing
substrat dilakukan dengan cara mengambil 1 g dari masing-masing substrat dan
ditambah dengan 10 ml akuades steril dan Tween 80 (0.05%), kemudian divorteks
selama 10 menit agar konidia terlepas. Suspensi kemudian disaring dan
penghitungan jumlah konidia dilakukan dengan menggunakan hemositometer.
Percobaan disusun dalam rancangan acak lengkap (RAL). Data yang diperoleh
diolah dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji Duncan (DNMRT) pada
taraf nyata 5%. Hal-hal yang diamati pada percobaan ini adalah jumlah konidia
yang dihasilkan oleh masing-masing substrat.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Skrining isolat B. bassiana
Penelitian ini bertujuan untuk memilih isolat B. bassiana yang virulen
terhadap larva S. exigua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa isolat B. bassiana
yang berasal dari geografi dan sumber yang berbeda mempunyai virulensi yang
berbeda nyata terhadap larva S. exigua instar III. Isolat BbHhKA12, BbLoDk1,
BbLoBr1, BbTPL1merupakan isolat yang paling virulen dengan rata-rata
mortalitas larva S. exigua tertinggi yaitu 95.0 – 100.0% pada pengamatan hari
ketujuh setelah aplikasi konidia. Isolat BbTMA2merupakan isolat yang
mempunyai kategori virulensi sangat rendah dengan mortalitas 52.5% (Tabel 2).
Adanya perbedaan virulensi antar isolat merupakan hal yang sudah umum terjadi
pada cendawan entomopatogen.
Tabel 2. Mortalitas larva S. exigua instar III tujuh hari setelah aplikasi 11 isolat B. bassiana pada konsentrasi 108 konidia/ml.
Isolat Mortalitas (%) ± SDBbHhKA12 100.0 ± 0.00 aBbLoDk1 100.0 ± 0.00 aBbLoBr1 97.5 ± 5.00 aBbTPL1 95.0 ± 5.77 aBbTMB1 92.5 ± 15.00 abBbHhTK9 90.0± 8.16 abBbTKS 87.5 ± 5.00 abBbHhTK1 82.5 ± 9.57 abBbHhKA2 65.0 ± 5.77 cBbHhM2 57.5 ± 9.57 cdBbTMA2 52.5 ± 9.57 dKontrol 15.0 ± 5.77 e
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata menurut uji Duncan (DNMRT) pada taraf nyata 5%.
Dari Tabel 2 terlihat bahwa untuk mendapatkan isolat B. bassiana yang
virulen bisa didapatkan dari serangga yang bukan serangga inang uji dan dari
daerah lain. Hal ini menunjukkan bahwa isolat B. bassiana yang digunakan tidak
bersifat spesifik dan isolat yang virulen terhadap S. exigua bisa diperoleh dari
8
sumber lain. Hasil penelitian beberapa peneliti sebelumnya juga menunjukkan
bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana yang berasal dari serangga yang
sama dengan serangga uji tidak selalu mempunyai patogenisitas yang lebih tinggi
terhadap serangga uji, sehingga perlu dilakukan pengujian isolat yang lebih
banyak untuk mendapatkan isolat yang lebih virulen (Kreutz et al. 2004). Oleh
karena itu dalam program pengendalian hama secara hayati, pemilihan isolat yang
akan digunakan harus dilakukan secara hati-hati.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang kuat
antara virulensi dengan sumber isolat. Daoust dan Roberts (1982) juga
melaporkan bahwa tidak ada korelasi antara asal inang dan geografi dari isolat
dengan virulensi isolat M. anisopliae terhadap larva Culex pipiens pipiens Linn.
(Diptera: Culicidae). Selanjutnya Wang et al. (2004) juga melaporkan hal yang
sama dimana virulensi strain V. lecanii tidak berkaitan dengan asal isolat.
Adanya perbedaan virulensi dari 11 isolat B. bassiana yang diuji diduga
disebabkan karena adanya perbedaan karakter genetik dan fisiologi antar isolat.
Hasil penelitian Trizelia (2005) menunjukkan bahwa perbedaan virulensi antar
isolat B. bassiana terhadap larva C. pavonana disebabkan oleh adanya perbedaan
karakter fisiologi dan genetik dari isolat.
Perbedaan virulensi antar isolat B. bassiana terhadap larva S. exigua
diduga disebabkan oleh adanya perbedaan karakter fisiologi seperti daya
kecambah konidia. Pada umumnya isolat yang virulen mempunyai daya
kecambah konidia yang lebih tinggi. Daoust dan Roberts (1982) mengemukakan
bahwa adanya perbedaan virulensi antar isolat Metarhizium anisopliae
(Metschnikoff) Sorokin terhadap larva Culex pipiens pipiens Linn. (Diptera:
Culicidae) disebabkan oleh adanya perbedaan daya kecambah konidia dari
masing-masing isolat. Isolat yang virulen memiliki daya kecambah konidia yang
lebih tinggi daripada isolat yang avirulen. Selanjutnya Geden et al. (1995) juga
mengemukakan bahwa adanya perbedaan virulensi isolat B. bassiana terhadap
Musca domestica Linn. (Diptera: Muscidae) disebabkan oleh adanya perbedaan
kemampuan daya kecambah konidia dari masing-masing isolat dan daya
kecambah konidia merupakan salah satu faktor penentu virulensi.
9
Selain faktor daya kecambah konidia, kemampuan sporulasi juga dapat
digunakan sebagai indikator isolat. Isolat yang virulen memiliki kemampuan
sporulasi yang lebih baik dibandingkan dengan isolat yang avirulen. Hasil
penelitian yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti lain menunjukkan bahwa
isolat yang virulen mempunyai kemampuan sporulasi yang lebih tinggi daripada
isolat yang avirulen (Devi et al. 2003)
Perbedaan virulensi antar isolat juga dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan karakteristik pertumbuhan isolat. Isolat yang virulen memiliki
pertumbuhan yang lebih padat, lebih tebal dan menghasilkan konidia yang lebih
banyak sehingga lebih mudah dipanen dari permukaan media. Geden et al.
(1995) mengemukakan bahwa isolat B. bassiana yang virulen terhadap Musca
domestica memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, miselianya lebih padat dan
konidia yang dihasilkan lebih tinggi. Isolat yang avirulen tumbuh lebih lambat,
sering terkontaminasi oleh bakteri, pertumbuhan miselia lebih tipis dan jumlah
konidia yang dihasilkan lebih rendah. Junianto dan Sulystiowati (1994) juga
melaporkan bahwa isolat B. bassiana yang memiliki patogenisitas yang tinggi
terhadap imago Hypothenemus hampei (Ferr.) (Coleoptera: Scolytidae) memiliki
pertumbuhan yang terbaik.
Ukuran konidia juga berhubungan dengan virulensi cendawan
entomopatogen terhadap serangga. Hasil penelitian Altre dan Vanderberg
(2001b) menunjukkan bahwa virulensi berbagai isolat Paecilomyces
fumosoroseus (Wize) Brown and Smith terhadap larva Plutella xylostella L.
(Lepidoptera: Plutellidae) dipengaruhi oleh ukuran konidia. Isolat yang
mempunyai ukuran konidia lebih kecil, kurang virulen dibandingkan dengan
isolat yang ukuran konidianya yang lebih besar. Moslim et al. (1999) juga
mengemukakan bahwa spora M. anisopliae yang berukuran lebih panjang (12-14
m) lebih virulen terhadap larva Oryctes rhinoceros Linn. (Coleoptera:
Scarabaeidae) dibandingkan dengan spora yang berukuran lebih pendek (6-8 m).
Tanada dan Kaya (1993) mengemukakan bahwa adanya perbedaan
virulensi antar isolat disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan
menghasilkan enzim dan mikotoksin selama berjalannya proses infeksi pada
serangga seperti pada saat kontak dengan kutikula dan di dalam hemosoel. Isolat
10
yang virulen memiliki aktivitas enzim yang lebih tinggi dibandingkan dengan
isolat yang avirulen.
Berdasarkan nilai LT50 terlihat ada perbedaan antar isolat (Tabel 3) dan
perbedaan nilai LT50 berkaitan dengan virulensi isolat. Neves dan Alves (2004)
mengemukakan bahwa waktu kematian serangga dipengaruhi oleh dosis aplikasi
dan virulensi dari isolat. Nilai LT50 B. bassiana berkisar antara 1.85 hari – 7.28
hari. Isolat BbHhKA12memiliki nilai LT50 tersingkat dibandingkan dengan isolat
lain (1.85 hari) dan hal ini berarti bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mematikan
50% larva S. exigua instar III lebih singkat dibandingkan dengan isolat lain.
Tabel 3. Nilai LT50 berbagai isolat B. bassiana.
Isolat LT50 (SK 95%) (hari)BbHhKA12 1.85 (1.46-2.17)BbLoDk1 2.19 (1.73-2.51)BbLoBr1 2.57 (2.22-2.87)BbTPL1 4.28 (3.70-4.83)BbTMB1 3.59 (2.40-4.54)BbHhTK9 5.53 (5.10-5.88)BbTKS 4.59 (4.06-5.14)BbHhTK1 3.47 (2.94-4.00)BbHhKA2 6.66 (6.07-8.01)BbHhM2 6.25 (5.22-8.40)BbTMA2 7.28 (5.95-11.29)
Adanya perbedaan nilai LT50 antar isolat B. bassiana juga dilaporkan oleh
Junianto dan Sulistyowati (1994) yang mengemukakan isolat B. bassiana yang
virulen terhadap H. hampei (Bb-704) lebih cepat mematikan imago dengan nilai
LT50 yang lebih pendek yaitu 4.6 hari daripada isolat yang avirulen (Bb-706) yang
memiliki nilai LT50 7.1 hari. Beberapa peneliti lainnya juga melaporkan bahwa
isolat B. bassiana yang virulen mempunyai nilai LT50 yang lebih singkat
dibandingkan dengan isolat yang avirulen (Cottrell dan Shapiro-Ilan 2003;
Samuels dan Coracini 2004).
Mortalitas larva S. exigua instar III akibat infeksi B. bassiana untuk
sebagian besar isolat mulai terjadi pada hari kedua setelah perlakuan dan
11
peningkatan mortalitas larva terjadi setelah tiga hari Hal ini mengindikasikan
bahwa B. bassiana memiliki cara kerja yang lambat dalam mematikan larva.
Lebih lamanya waktu kematian serangga S. exigua instar III akibat infeksi
B. bassiana disebabkan oleh cendawan B. bassiana membutuhkan proses
beberapa tahap untuk sampai menginfeksi dan mematikan serangga, yaitu
penempelan konidia pada tubuh serangga, perkecambahan, penetrasi, invasi dan
kolonisasi dalam hemosul, jaringan dan organ. Waktu untuk masing-masing
tahap ini bervariasi tergantung pada jenis cendawan, inang dan lingkungan (Alves
1998. diacu dalam Neves dan Alves 2004). Selanjutnya Neves dan Alves (2004)
menambahkan bahwa waktu dari infeksi sampai kematian serangga dipengaruhi
oleh dosis aplikasi dan virulensi dari isolat.
Hasil penelitian Neves dan Alves (2004) menunjukkan bahwa penempelan
konidia B. bassiana pada kutikula Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera:
Termitidae) terjadi sampai 6 jam setelah aplikasi dan perkecambahan mulai terjadi
antara 6 – 12 jam setelah aplikasi. Penetrasi terjadi 12 – 24 jam setelah inokulasi
dan kematian serangga terjadi antara 48 – 72 jam setelah inokulasi. Hashim
(2000) melaporkan bahwa penempelan dan perkecambahan konidia B. bassiana
pada kutikula larva Crocidolomia binotalis Zell. mulai terjadi 4 – 6 jam setelah
aplikasi dan kematian larva terjadi antara 24 – 48 jam setelah inokulasi.
Larva S. exigua instar III yang mati akibat infeksi B. bassiana ditandai
dengan adanya miselia atau konidia yang berwarna putih pada permukaan tubuh
larva Satu hari setelah serangga mati, miselia yang berwarna putih mulai
menembus kutikula keluar dari tubuh serangga, kemudian berkembang terus dan
pada akhirnya menutupi seluruh tubuh larva.
Adanya variasi antara isolat B. bassiana dalam kecepatan mematikan
serangga juga dilaporkan oleh Kassa et al. (2002) yang mengemukakan bahwa
isolat B. bassiana yang berbeda mempunyai kecepatan mematikan yang berbeda
terhadap Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae). Untuk isolat
PPRC-HH, kematian awal mulai terjadi pada hari kedua dan pada hari keempat
kematian serangga uji telah mencapai 100% sehingga nilai MSTnya (Median
Survival Time) lebih pendek. Untuk isolat lain, mortalitas S. zeamais mulai
terjadi pada hari keempat.
12
Selain dari faktor isolat, adanya variasi waktu kematian serangga juga
tergantung pada jenis serangga. Pada imago H. hampei, kematian akibat infeksi
B. bassiana mulai terjadi pada hari keempat setelah aplikasi dan laju mortalitas
meningkat nyata pada hari ke-4 – 8 setelah inokulasi (Junianto dan Sulistyowati
1994), sedangkan pada imago Helopeltis antonii Sign. (Hemiptera: Miridae) yang
telah diaplikasi dengan B. bassiana pada konsentrasi 108, kematian mulai terjadi
pada hari ke-4 dan pada hari ke-5 seluruh imago telah mati (Sudarmadji dan
Gunawan 1994). Akan tetapi hasil penelitian Yoon et al. (1999) menunjukkan
bahwa kematian larva P. xylostella akibat infeksi B. bassiana sudah mulai terjadi
satu hari setelah aplikasi dan mortalitas meningkat nyata pada hari kedua dan
setelah tiga hari tidak terjadi peningkatan mortalitas yang nyata.
Uji Pengaruh Berbagai Konsentrasi Konidia B. bassiana.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi konidia B.bassiana
berpengaruh nyata terhadap mortalitas larva S. exigua instar III. Ada korelasi
yang kuat (R2 = 0.7913) antara tingkat kerapatan konidia dengan mortalitas
Mortalitas larva S. exigua meningkat dengan meningkatnya konsentrasi konidia
B.bassiana (Gambar 4). Pada konsentrasi 106 konidia/ml hanya menghasilkan
mortalitas larva sebesar 42.5%, dan mortalitas larva meningkat menjadi 100%
pada konsentrasi 108 dan 109 konidia/ml. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi
jumlah konidia, memberi peluang yang lebih baik bagi konidia untuk menempel,
berkecambah dan berpenetrasi ke dalam tubuh serangga sehingga hama sasaran
terinfeksi atau mati semakin besar. Roberts dan Yendol (1971) mengemukakan
bahwa salah satu faktor untuk bisa terjadinya infeksi cendawan entomopatogen
pada serangga adalah jumlah inokulum.
13
y = 9.1x + 9.4R2 = 0.7913
0102030405060708090
100
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kerapatan konidia (log)
Mor
talit
as (%
)
Gambar 1. Rata-rata mortalitas larva S. exigua instar III tujuh hari setelah aplikasi beberapa konsentrasi konidia B. bassiana
Yoon et al. (1999) mengemukakan bahwa peningkatan mortalitas larva P.
xylostella akibat infeksi B. bassiana dengan meningkatnya konsentrasi konidia
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah konidia yang menempel pada tubuh
larva dengan meningkatnya konsentrasi. Pada konsentrasi 107 konidia/ml. jumlah
konidia yang menempel pada tubuh larva sekitar 1813.89 konidia sedangkan pada
konsentrasi 108 konidia/ml jumlah konidia yang menempel pada tubuh larva
adalah 9861.11 konidia.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian beberapa peneliti
sebelumnya. Ada korelasi positif antara konsentrasi konidia B. bassiana dengan
mortalitas serangga uji. Korelasi positif ini mengindikasikan bahwa dengan
meningkatnya kerapatan konidia cendawan dapat meningkatkan dan mempercepat
terjadinya kematian larva. Makin tinggi konsentrasi konidia maka mortalitas
serangga juga semakin tinggi (Eken et al, 2006). Hasil penelitian Willoughby et
al. (1998) juga menunjukkan bahwa mortalitas larva Sitona lepidus Gyllenhall
(Coleoptera: Curculionidae) setelah aplikasi B. bassiana tergantung pada jenis
isolat, konsentrasi konidia dan metode aplikasi.
14
Perbanyakan massal B. bassiana pada berbagai substrat
Hasil analisis sidik ragam terhadap sporulasi atau jumlah konidia B.
bassiana pada masing-masing substrat menunjukkan bahwa jenis substrat
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah konidia B. bassiana yang dihasilkan
(F=79.01; db=6, 21; P<0.0001) (Tabel 4).
Tabel 4. Jumlah konidia B. bassiana yang dihasilkan pada beberapa jenis substrat
Substrat Jumlah konidia/g substrat (x109) SD
Beras 7.10 ± 0.86a
Ampas tebu + kulit kentang 2.89± 0.70b
Ubi jalar + ampas tebu 2.40 ± 0.43bc
Jerami + kulit kentang 2.12 ± 0.23cd
Jagung 1.52 ± 0.15de
Ubi jalar 1.21 ± 0.15e
Kulit kentang 1.05 ± 0.18e
KK=17.97
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa jenis media perbanyakan sangat
berpengaruh nyata terhadap sporulasi B. bassiana. B. bassiana yang diperbanyak
pada media beras menghasilkan jumlah konidia tertinggi yaitu 7.10 x 109
konidia/g substrat dan berbeda nyata dengan B. bassiana yang diperbanyak pada
substrat lain. B. bassiana yang diperbanyak pada kulit kentang menghasilkan
jumlah konidia yang sedikit hanya 1.05 x 109 konidia/g substrat. Hasil penelitian
Wahyunendo (2002) menunjukkan bahwa pada media beras jumlah konidia B.
bassiana yang dihasilkan dapat mencapai 2.4 x 109 konidia/gr substrat setelah
diinkubasikan selama 28 hari.
Substrat yang akan dipilih sebagai media perbanyakan cendawan
entomopatogen harus memiliki kemampuan menghasilkan konidia yang tinggi,
karena konidia sangat penting untuk infeksi dan pemencaran cendawan. Bidochka
et al. (2000) mengemukakan bahwa cendawan entomopatogen B. bassiana yang
15
ditumbuhkan pada medium kompleks seperti PDA akan mampu menghasilkan
konidia lebih dari 109 konidia/cawan Petri.
Adanya perbedaan sporulasi atau jumlah konidia yang dihasilkan oleh
masing-masing substrat terkait dengan banyak atau sedikitnya kandungan nutrisi
yang terdapat pada substrat. Beras memiliki kandungan nutrisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kulit kentang, ampas tebu, kulit ubi jalar atau jerami
sehingga mampu menginduksi terjadinya sporulasi. Rayati et al (2001)
mengemukakan bahwa perbedaan nutrisi pada substrat sangat mempengaruhi
jumlah konidia yang terbentuk.
Hasil penelitian peneliti lain juga menunjukkan bahwa jenis substrat yang
digunakan untuk perbanyakan B. bassiana sangat berpengaruh terhadap jumlah
konidia yang dihasilkan. Hasil penelitian Nuraida (2007) menunjukkan bahwa B.
bassiana yang diperbanyak pada substrat beras menghasilkan jumlah konidia
tertinggi (2.75 x 1010 konidia/g) dibandingkan dengan B. bassiana yang
diperbanyak pada substrat jagung (1.65 x 1010 konidia/g). Hasil penelitian Santa
et al (2005) juga menunjukkan bahwa pada substrat campuran kulit kentang dan
ampas tebu (50-50%) mampu menghasilkan konidia B. bassiana sebanyak 3.8 x
109 konidia/gr substrat, lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kulit
kentang saja atau campuran kulit kentang dengan kulit kopi. Menurut Santa et
al (2005) kulit kentang merupakan sumber karbon untuk fermentasi sedangkan
ampas tebu mengandung karbohidrat, protein, garam-garam mineral dan vitamin
yang dibutuhkan untuk perkembangan cendawan entomopatogen. Menurut
Tanada dan Kaya (1993) pembentukan konidia cendawan B. bassiana
membutuhkan sumber karbon seperti glukosa, khitin, glukosamin dan zat tepung
sedangkan sumber nitrogen diperlukan untuk perkembangan hifa.
Kemampuan cendawan B. bassiana untuk membentuk konidia mempunyai
arti yang penting karena konidia merupakan propagul cendawan entomopatogen
yang berperan utama untuk pemencaran dan infeksi (Wraight et al. 2001).
Apabila sporulasi sedikit, maka pemencaran B. bassiana akan terbatas dan
kemampuannya sebagai agens pengendali hayati juga akan berkurang (Junianto
dan Sukamto 1995). Menurut Jenkins et al. (1998) jumlah konidia yang
dihasilkan pergram substrat oleh cendawan entomopatogen merupakan informasi
16
yang utama yang sangat dibutuhkan untuk perbanyakan massal cendawan yang
akan diproduksi sebagai bioinsektisida.
KESIMPULAN
Patogenisitas atau virulensi isolat cendawan entomopatogen B. bassiana
terhadap larva S. exigua sangat bervariasi tergantung pada sumber isolat serta
konsentrasi konidia. Isolat BbHhKA12merupakan isolat yang paling virulen,
menghasilkan mortalitas larva 100% dengan nilai LT50 yang singkat hanya 1.85
hari dibandingkan dengan isolat lain. Secara umum untuk mendapatkan isolat B.
bassiana yang virulen bisa didapatkan dari serangga yang bukan serangga inang
uji dan dari daerah lain. Semakin tinggi konsentrasi konidia, semakin tinggi
mortalitas larva S. exigua. Oleh karena itu dalam pengendalian S. exigua dengan
B. bassiana kedua faktor ini (isolat dan konsentrasi konidia) harus
dipertimbangkan.
Jumlah konidia yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis substrat.
Beras merupakan substrat yang terbaik untuk perbanyakan massal B. bassiana.
Diantara berbagai jenis limbah organik yang digunakan, campuran ampas tebu
dan kulit kentang merupakan substrat yang terbaik untuk perbanyakan B.
bassiana dibandingkan dengan jenis limbah lain.
SARAN
Untuk pengembangan B. bassiana sebagai bioinsektisida perlu kajian
lebih lanjut tentang formulasi dan uji efektivitasnya pada pertanaman bawang di
lapangan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian
Nomor120/H.16/PL/HB.PSN/IV/2009 tanggal 16 April 2009 yang telah
membantu pendanaan penelitian ini sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan
lancar.
17
DAFTAR PUSTAKA
Altre JA, Vandenberg JD. 2001. Penetration of cuticle and proliferation in hemolymph by Paecilomyces fumosoroseus isolates that differ in virulence against Lepidopteran larvae. J Invertebr Pathol 78:81-86
Barnett HL, Hunter BB. 1972. Illustrated genera of imperfect fungi. Third Edition. Minneapolis: Burges Publishing Company.
Bidochka MJ, Kamp AM, de Croos JNA. 2000. Insect pathogenic fungi: from genes to populations. Di dalam: Kronstad JW, editor. Fungal Pathology. Netherlands; Kluwer Academic Publishers. Hlm 171-193.
Cottrell TE, Shapiro-Ilan DI. 2003. Susceptibility of a native and an exotic lady beetle (Coleoptera: Coccinellidae) to Beauveria bassiana. J Invertebr Pathol 84:137-144.
Daoust RA, Roberts DW. 1982. Virulence of natural and insect-passaged strains of Metarhizium anisopliae to mosquito larvae. J Invertebr Pathol 40:107-117.
Devi PSV, Prasad YG, Chowdary DA, Rao LM, Balakrishnan K. 2003. Identification of virulent isolates of the entomopathogenic fungus Nomuraea rileyi (F) Samson for management of Helicoverpa armigera and Spodoptera litura. Mycopathologia 156:365-373
Eken C, G Tozlu, E Dane, S Coruh, E Demirci. 2006. Pathogenicity of Beauveria bassiana (deuteromycotina:Hyphomycetes) to larvae of the small poplar longhorn beetle, Saperda populnea (Coleoptera:Cerambycidae). Mycopathologia 162: 69-71.
Geden CJ, Rutz DA, Steinkraus DC. 1995. Virulence of different isolates and formulations of Beauveria bassiana for house flies and the parasitoid Muscidifurax raptor. Biol Contr 5:615-621.
Haryono H, Nuraini S, Riyatno. 1993. Prospek penggunaan Beauveria bassiana untuk pengendalian hama tanaman perkebunan. Di dalam: Simposium Patologi Serangga I. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993. Yogyakarta; Persatuan Entomologi Indonesia. hlm. 75-81.
Inglis GD,Duke GM, Kawchuk LM, Goettel MS. 1999. Inluence of oscillating temperatures on the competitive infection and colonization of the migratory grasshopper by Beauveria bassiana and Metarrhizium flavoviridae. Biol Contr 14:111-120.
Jenkins NE, Heviefo G, Langewald J, Cherry AJ, Lomer CJ. 1998. Development of mass production technology for aerial conidia for use as mycopesticides. Biocontr News & Inform 19(1):21N-31N.
JuniantoYD, Sulistyowati E. 1994. Virulence of several Beauveria bassiana Bals. Vuill. isolates on coffee berry borer (Hypothenemus hampei Ferr.) under various relative humidities. Pelita Perkebunan 10(2):81-86.
JuniantoYD, Sukamto S. 1995. Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap perkecambahan, pertumbuhan dan sporulasi beberapa isolat B. bassiana. Pelita Perkebunan 11(2):64-75.
18
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der. penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Revisi dari : De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Kassa A, Zimmermann G, Stephan D, Vidal S. 2002. Susceptibility of Sitophilus zeamais (Motsch.) (Coleoptera: Curculionidae) and Prostephanus truncates (Horn) (Coleoptera: Bostrichidae) to entomopathogenic fungi from Ethiopia. Biocontr Sci & Technol 12:727-736.
Kreutz J, Vaupel O, Zimmerman G. 2004. Efficacy of Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. against the spruce bark beetle, Ips typographus L. in the laboratory under various conditions. JEN 128(6) doi:10.1111/j.1439-0418.2004.00813. 384-389.
Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae. Neotropical Entomology 33(1):051-056.
Poinar Jr GO dan Thomas GM. 1984. Laboratory Guide to Insect Pathogens and Parasites. New York: Plenum Press. 392 hlm.
Poprowski TJ, Caruthers RI, Speese J, Vacek DC, Wendel LE. 1997. Early-season applications of the fungus Beauveria bassiana and introduction of the Hemipteran predator Perillus bioculatus for control of colorado potato beetle. Biol Contr 10:48-57.
Roberts DW, Yendol WG. 1971. Use of fungi for microbial control of insects. Di dalam: Burges HD dan Hussey NW. Editor. Microbial Control of Insects and Mites. New York: Academic Press. hlm. 125-149.
Samuels RI, Coracini DLA. 2004. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates for the control of Blissus antillus (Hemiptera: Lygaeidae). Sci Agric (Piracicaba. Braz) 61(3):271-275.
Santa HSD, Santa ORD, Brand D, Vandenberghe LPS dan Soccol CR. 2005. Spore production of Beauveria bassiana from agro-industrial residues. Braz Arch Biol Technol 48:1-10
Sastrosiswojo S. 1994. Development and implementation of Integrated Pest management in Some Vegetable Crops. Lembang Horticultural Research Institute. 22 hlm.
Shepard M et al. 1997. Prospect for IPM in secondary food crops. Makalah disajikan pada Kongres V dan Simposium Entomologi, Perhimpunan Entomologi Indonesia, Bandung, 24-26 Juni 1997. Bandung. 31 hlm.
Shimazu M, Maehara N, Sato H. 2002. Density dynamics of the entomopathogenic fungus, Beauveria bassiana Vuillemin (Deuteromycotuna: Hyphomycetes) introduced into forest soil, and its influence on other soil microorganisms. Appl Entomol Zool 37(2):263-269.
Sudarmadji D, Gunawan S. 1994. Patogenisitas fungi entomopatogen Beauveria bassiana terhadap Helopeltis antonii. Menara Perkebunan 62(1):1-5.
Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. San Diego: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher.
19
Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes): Keragaman Genetik, Karakterisasi Fisiologi, dan Virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Utami KP. 1997. Virus SENPV atasi ulat grayak pada bawang merah. Trubus 337-TH XXVIII-Desember :74-76.
Wahyunendo YD. 2002. Sporulasi cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. pada berbagai media alami dan viabilitasnya di bawah pengaruh suhu dan sinar matahari. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Wang L, Huang J, You M, Liu B. 2004. Time-dose-mortality modeling and virulence indices for six strains of Verticillium lecanii against sweetpotato whitefly. Bemisia tabaci (Gennadius). JEN 128(7) doi:10.1111/j.1439-0418.2004.00879. 494-500.
Willoughby BE, Glare TR, Kettlewell FJ, Nelson TL. 1998. Beauveria bassiana as a potential biocontrol agent against the clover root weevil. Sitona lepidus. Di dalam: Proceeding 51 st New Zealand Plant Protection Conference New Zealand: hlm. 9-15.
Wraight SP et al. 2000. Evaluation of the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Paecilomyces fumosoroseus for microbial control of the silverleaf whitefly, Bemisia argentifolii. Biol Contr 17:203-21.
Wraight SP, Jackson MA, de Kock SL. 2001. Production, stabilization and formulation of fungal biocontrol agents. Di dalam: Butt TM, Jackson C dan Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents. United Kingdom: CABI Publishing. hlm. 253-287.
Yoon CS, Sung GH, Park HS, Lee SG, Lee JO. 1999. Potential of the entomopathogenic fungus. Beauveria bassiana strain CS-1 as a biological control agent of Plutella xylostella (Lep: Yponomeutidae). J Appl Ent 123:423-425.
20