Perbankan

5

Click here to load reader

Transcript of Perbankan

Page 1: Perbankan

Guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini perlu dilakukan secara berkesinambungan. Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional diarahkan secara lebih sungguh-sungguh dan konkrit untuk mewujudkan perekonomian yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan yang merata, mandiri, andal, berkeadilan dan mampu bersaing dikancah perekonomian internasional.

Dalam menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi diperlukan dana dalam jumlah yang cukup besar. Dalam hubungan ini, perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan memiliki peranan strategis sebagai lembaga intermediasi yang mempertemukan masyarakat penyimpan dana dan pengguna dana. Fungsi intermediasi tersebut dilakukan dengan cara menyalurkan dana dalam bentuk Kredit kepada dunia usaha sebagai sumber utama pembiayaan bagi pembangunan ekonomi nasional.

Peraturan perkreditan yang berlaku selama ini berpedoman pada berbagai ketentuan seperti Buku Ketiga Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-undang Pelepas Uang (Geldschieterordonantie, Staatsblad 1938 Nomor 532), Undang-undang Riba (Wacker Ordonantie, Staatsblad 1938 Nomor 524), Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berikut peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lainnya yang pada umumnya menimbulkan terjadinya penerapan yang tidak konsisten dan pada gilirannya kurang memberikan kepastian hukum bagi para pihak.

Mengingat pentingnya peranan Kredit perbankan dan perlunya unifikasi ketentuanketentuan mengenai perkreditan maka perlu disusun suatu undang-undang yang menjamin kepastian hukum bagi semua pihak, Unifikasi ini penting, karena masalah Perkreditan Perbankan ada hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Unifikasi Perkreditan Perbankan diperlukan untuk mewujudkan sarana hukum yang dapat memberikan keseimbangan tanggung jawab, hak dan kewajiban antara Kreditur dan Debitur, persamaan perlakuan (equal treatment) dan transparansi.

Dalam Undang-Undang ini Kredit diartikan sebagai uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu yang disediakan oleh kreditur kepada debitur berdasarkan Perjanjian Kredit. Adapun pengertian tagihan adalah hak tagih yang timbul antara lain dari penerbitan Letter of Credit (L/C), Standby L/C, bank garansi, pembelian surat berharga nasabah yang disertai dengan Note Purchase Agreement (NPA), dan pengambilalihan anjak piutang. Khusus mengenai tagihan Kartu Kredit baru dapat digolongkan sebagai Kredit apabila pemegang Kartu Kredit tidak menyelesaikan kewajibannya hingga jatuh tempo seperti yang dipersyaratkan.

Page 2: Perbankan

Pembentukan undang-undang tentang Perkreditan Perbankan merupakan langkah yang tepat, guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengantisipasi perkembangan perekonomian dan sistem keuangan yang semakin terbuka dan kompleks.

Adanya pembentukan Undang-undang tentang Perkreditan Perbankan ini juga bertujuan untuk membantu kelangsungan usaha kelompok usaha kecil, yang selama ini selalu terabaikan dalam melangsungkan kegiatan usahanya.

Dalam rangka menjamin kepastian hukum sebagaimana tersebut di atas, Undang-undangtentang Perkreditan Perbankan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:1. Memuat ketentuan antara lain:

a. perjanjian bersifat konsensual dan riil, berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam sebgaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya bersifat riil;

b. perjanjian Kredit dibuat dalam bentuk standar dengan tetap memperhatikan keseimbangan hak dan kewajiban antara Kreditur dan Debitur; dan

c. penerapan sanksi pidana di bidang perkreditan perbankan.2. Mengandung prinsip-prinsip antara lain:

a. transparansi yang diwujudkan dengan menerapkan unsur keterbukaan dalam memperoleh kejelasan mengenai bentuk dan isi Perjanjian Kredit.

b. prinsip kehati-hatian dalam pemberian Kredit yaitu dengan menerapkan azas perkreditan yang sehat antara lain dengan tercermin dari pemberian Kredit berdasarkan keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, sehingga unsur Jaminan Kredit merupakan faktor yang penting yang wajib diperhatikan oleh Kreditur.Disamping ketentuan dalam undang-undang ini diatur pula mengenai

Jaminan Kredit yang meliputi jaminan materiil dan jaminan immateriil. Jaminan Kredit mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengertian agunan yang selama ini berlaku dalam praktek perbankan.

Perbedaan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh Kredit, khususnya bagi pengusaha kecil yang relatif tidak selalu memiliki agunan tambahan.

Selama ini permasalahan yang selalu terjadi dalam dunia perkreditan khususnya yang menyebabkan tidak dapat dikembalikannya Kredit oleh Debitur selain diakibatkan karena hal-hal yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara Debitur dan Kreditur dalam suatu perjanjian Kredit, juga disebabkan adanya penyalahgunaan Kredit oleh Debitur.

Penyalahgunaan Kredit dalam praktek perbankan hingga saat ini belum dapat dijangkau dengan penerapan sanksi pidana, sementara itu perbuatan dimaksud tidak saja akan menimbulkan Kredit bermasalah tetapi pada gilirannya justru akan menimbulkan kesulitan yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian nasional. Dengan demikian sangat tepat apabila dalam undang-undang ini diatur mengenai pengenaan sanksi pidana terhadap para pihak yang telah menyalahgunakan Kredit.

Page 3: Perbankan

Pada sisi lain tantangan globalisasi akan ikut melanda daerah terlepas apa daerah siap atau tidak. Kemampuan yang terbatas dari pemerintah daerah mengisyaratkan perlunya keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan masyarakat. Untuk itu perilaku pemerintah daerah harus bergeser dari nuansa birokratis ke nuansa enterpreneurship. Persoalannya adalah sejauhmana pemerintah daerah mampu mengantisipasi tantangan tersebut dalam kondisi ketergantungan yang tinggi sebagai warisan dari sistem Pemerintahan Daerah yang diwariskan oleh Orde Baru.

Salah satu dampak utama dalam era globalisasi adalah adanya persaingan yang sangat ketat dalam upaya memunculkan keunggulan komparatif dan kompetitif dalam semua aspek kehidupan. Ketidak mampuan untuk menyikapi arus globalisasi tersebut secara efektip akan menyebabkan terjadinya turbulensi dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu penyebab jatuhnya pemerintahan Suharto adalah ketidak mampuan untuk mengantisipasi dampak globalisasi yang kemudian menyebabkan terjadinya krisis moneter dan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan krisis politik dan menimbulkan tuntutan reformasi di segala bidang, termasuk pada pengaturan Pemerintahan Daerah. Tekanan persaingan yang ditimbulkan globalisasi tersebut mengisyaratkan perlunya peningkatan kinerja dari setiap unit organisasi baik organisasi publik maupun privat.

Globalisasi juga mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terutama di perkotaan. Pengaruh perubahan teknologi komunikasi dan informasi yang begitu cepat telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat cepat terhadap pola kebutuhan masyarakat. Berubahnya pola kebutuhan masyarakat akan mempengaruhi juga pola penyediaan pelayanan masyarakat yang harus disiapkan oleh Pemda. Jelas perubahan tersebut akan berdampak pada pembiayaannya yang akan semakin membengkak. Untuk itu dituntut bagi Pemda untuk melakukan diversifikasi revenue centre-nya dalam batas-batas koridor peraturan perundangan yang berlaku.