PERBANDINGAN SALIVARY FLOW RATE LAKI-LAKI...
Transcript of PERBANDINGAN SALIVARY FLOW RATE LAKI-LAKI...
PERBANDINGAN SALIVARY FLOW RATE LAKI-LAKI PEROKOK PADA BERBAGAI TINGKAT
KEPARAHAN MEROKOK BERDASARKAN INDEKS BRINKMAN
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Arwinda Tanti Mendriyani NIM: 1113103000033
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1437 H/2016 M
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 September 2016
Arwinda Tanti Mendriyani
Materai
Rp. 6000,-
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERBANDINGAN SALIVARY FLOW RATE LAKI-LAKI PEROKOK PADA BERBAGAI TINGKAT KEPARAHAN MEROKOK
BERDASARKAN INDEKS BRINKMAN
Laporan penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran (S. Ked)
Oleh Arwinda Tanti Mendriyani
NIM: 1113103000033
Pembimbing I
drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D NIP. 19780402 200901 2 003
Pembimbing II
dr. Fikri Mirza Putranto, Sp. THT-KL
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/ 2016 M
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul PERBANDINGAN SALIVARY FLOW RATE LAKI-LAKI PEROKOK PADA BERBAGAI TINGKAT KEPARAHAN MEROKOK BERDASARKAN INDEKS BRINKMANyang diajukan oleh Arwinda Tanti Mendriyani (NIM: 1113103000033), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan pada 30 September 2016. Laporan Penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S. Ked) pada Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter.
Ciputat, 30 September 2016
DEWAN PENGUJI Ketua Sidang
dr. Fikri Mirza Putranto, Sp. THT-KL
Pembimbing I
drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D NIP. 19780402 200901 2 003
Pembimbing II
dr. Fikri Mirza Putranto, Sp. THT-KL
Penguji I
dr. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF, PFK
Penguji II
dr. Rahmatina, Sp.KK NIP.19790526 200501 2 001
PIMPINAN FAKULTAS Dekan FKIK
Prof.Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes NIP. 19650808 198803 1002
Kaprodi PSKPD
dr. Achmad Zaki, M. Epid, Sp.OT NIP. 19780507 200501 1 005
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
puji dan syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga Laporan Penelitian ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan kehidupan.
Penulis menyadari Laporan penelitian ini tidak dapat tersusun sedemikian
rupa tanpa adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid selaku Ketua Program Studi Kedokteran dan
Profesi Dokter yang telah membimbing saya selama menjalani pendidikan di
Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. dr. Flori Ratna Sari, Ph.D selaku Penanggung Jawab Riset Program Studi
Kedokteran dan Profesi Dokter angkatan 2013 yang selalu mengingatkan
penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini.
4. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku Pembimbing I yang telah
meluangkan waktu, pikiran, dan tenaganya untuk membimbing penulis baik
dalam pengambilan data, penyusunan laporan, hingga laporan ini dapat
terselesaikan.
5. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL selaku Pembimbing II yang terus
memberikan bimbingan, arahan, dan saran-saran yang sangat membangun
dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan penelitian.
6. Ibu Zeti Harriyati, M. Biomed dan Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku PJ
Laboratorium Biologi dan Biokimia yang telah memberikan izin penggunaan
laboratorium, serta Mbak Lilis dan Mbak Suryani selaku Laboran yang turut
membantu dalam pengambilan data penelitian.
v
7. Keluarga yang tercinta, Sunardi,S.H, Ririn Meiriati, S.Pi, M.H, Ir. Rustamadji
serta kakak kandung penulis Ardini Windy Noviyanti S.Kom yang
memberikan dukungan terus menerus, semangat yang tak pernah hangus, dan
lantunan do’a yang tak pernah putus untuk penulis dalam menyelesaikan
penelitian ini.
8. Aprilia Larasati, Ichtiarsyah Suminar, Zata Yuda Amaniko, dan Arian Aditya
Adi Nugroho, teman-teman seperjuangan dalam penelitian ini yang terus
berjalan bersama, menghabiskan waktu, tenaga, pikiran dan semangat bersama
dalam menyelesaikan penelitian ini.
9. Tim Riset PSKPD angkatan 2012 M.Reza Syahli, S.Ked, Abqariyatuzzahra,
S.Ked, Faruq Yufarriqu Mufaza, S.Ked, Sari Dewi Apriani, S.Ked dan Nabila
Syifa, S.Ked yang membimbing penulis dalam melaksanakan dan
menyelesaikan penelitian ini.
10. Tiara Bayyina, Isna Akmalia, Hazrina Julia, Ahmad Fahmi Z dan teman-
teman PSKPD 2013 yang terus mengingatkan, menemani dan memberikan
semangatnya kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.
11. Seluruh responden penelitian yang telah bersedia menjadi sampel penelitian
sehingga penulis bisa mendapatkan ilmu yang baru dari hasil penelitian ini.
12. Seluruh pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik
langsung maupun tak langsung yang tentunya tidak dapat disebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak dalam mewujudkan laporan penelitian yang jauh lebih baik. Hasil
laporan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak.
Semoga penelitian yang telah dilakukan ini mendapat barokah dan Ridlo dari
Allah SWT, Aamiin.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ciputat, 30 September 2016
Penulis
vi
ABSTRAK Arwinda Tanti Mendriyani. Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter. Perbandingan Salivary Flow Rate Laki-Laki Perokok Pada Berbagai Tingkat Keparahan Merokok berdasarkan Indeks Brinkman Tujuan: Untuk membandingkan tingkat keparahan merokok terhadap laju aliran saliva pada perokok ringan-sedang dan perokok berat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian potong lintang yang diikuti oleh 78 laki-laki perokok, terdiri dari 58 perokok ringan sedang dan 20 perokok berat. Seluruh subjek penelitian mengisi kuisioner mengenai riwayat merokok, dan menjalani pemeriksaan fisik gigi mulut oleh dokter gigi serta dilakukan pengambilan saliva tidak terstimulasi. Pengukuran laju aliran saliva menggunakan metode passive drool. Hasil: Laju aliran saliva tidak berbeda bermakna dibandingkan antara perokok ringan -sedang dan perokok berat (p=0.922), dengan perbandingan nilai median perokok ringan-sedang (0.24 ml/menit) dan perokok berat (0.26 ml/menit). Simpulan: Tingkat keparahan merokok tidak berpengaruh secara statistik terhadap laju aliran saliva (p>0.05). Kata Kunci: Rokok, laju aliran saliva, kesehatan mulut
ABSTRACT Arwinda Tanti Mendriyani. School of Medicine. Comparison of Male Smokers’ Salivary Flow Rate in Degrees of Smoking Severity based on Brinkman Index Objective: To compare smoking severity againts salivary flow rate low-mid level mid smokers and high level smokers. Methods: This study used cross sectional method and comprised 78 men which consist of 58 low level-mid smokers and 20 high level smokers. All participants filled out questionnaire of smoking history and completed physical examination of mouth and teeth by the dentist and performed unstimulated saliva collection. The salivary flow rate was measured using passive drool method. Result: Salivary flow rate was not significantly different between low-mid level smokers and high level smokers (p=0.922). The median value of low-mid level smokers (0.24 ml/min) and the high level smokers (0.26 ml/min). Conclusion: Degrees of smoking severity statistically does not affect salivary flow rate (p>0.05). Key: Smoking, salivary flow rate, oral health
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL .............................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA......................................... ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... v ABSTRAK ....................................................................................................... vii DAFTAR ISI ................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xiii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1.Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2.Rumusan Masalah ......................................................................................... 3 1.3.Hipotesis ....................................................................................................... 3 1.4.Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3
1.4.1.Tujuan Umum ..................................................................................... 3 1.4.2.Tujuan Khusus .................................................................................... 3
1.5.Manfaat Penelitian ........................................................................................ 3 1.5.1.Bagi Peneliti ........................................................................................ 3 1.5.2.Bagi Masyarakat ................................................................................. 4 1.5.3.Bagi Civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5 2.1.Saliva ............................................................................................................. 5 2.1.1.Kelenjar Saliva ..................................................................................... 6
2.1.1.1.Kelenjar Saliva Mayor ............................................................. 6 2.1.1.2.Kelenjar Saliva Minor ............................................................. 7
2.1.2.Komposisi Saliva ................................................................................ 7 2.1.3.Fungsi Saliva untuk Kebersihan Mulut ............................................... 8 2.1.4.Fungsi Saliva ....................................................................................... 9
2.1.4.1.Indera Perasa ............................................................................ 9 2.1.4.2.Proteksi dan Lubrikasi ............................................................. 9 2.1.4.3.Dilution and Cleaning ............................................................. 9 2.1.4.4.Buffering System .................................................................... 10
2.1.5.Pengaturan Sekresi Saliva oleh Saraf................................................. 11 2.1.5.1.Anatomi Nervus Facialis ....................................................... 14 2.1.5.2.Anatomi Nervus Glossopharyngeus ...................................... 15 2.1.5.3 Transmiter Otonom dan Reseptor .......................................... 16
2.1.6.Suplai Darah ....................................................................................... 16 2.1.7.Mekanisme Pembentukan Saliva ....................................................... 17 2.1.8.Faktor yang mempengaruhi Salivary Flow ...................................... 18
2.1.8.1.Usia ....................................................................................... 18 2.1.8.2.Individual Hydration ............................................................. 18
viii
2.1.8.3.Postur Tubuh ......................................................................... 19 2.1.8.4.Pencahayaan .......................................................................... 19 2.1.8.5.Irama Sirkadian ..................................................................... 19 2.1.8.6.Obat ....................................................................................... 20 2.1.8.7.Stimulasi Fikiran dan Visual ................................................. 20 2.1.8.8.Stimulasi Mekanik atau Kimia ............................................. 20 2.1.8.9.Perbedaan Sekresi Saliva pada Kelenjar Saliva .................... 20 2.1.8.10.Diabetes Mellitus ................................................................ 20 2.1.8.11.Jenis Kelamin ...................................................................... 21
2.1.9.Salivary Flow Rate ............................................................................ 21 2.1.10.Metode Pengambilan Saliva ........................................................... 21 2.2.Rokok .......................................................................................................... 23 2.2.1.Pengertian dan Kandungan Rokok .................................................. 23 2.2.2.Jenis Rokok ..................................................................................... 25 2.2.3.Klasifikasi Perokok ......................................................................... 25 2.2.4.Tahapan Perokok ............................................................................ 25 2.3.Pengaruh Merokok terhadap Sekresi Saliva ............................................... 26 2.4.Efek rokok terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut ......................................... 28 2.6.Kerangka Teori ........................................................................................... 29 2.7.Kerangka Konsep ........................................................................................ 30 2.8.Definisi Operasional ................................................................................... 31 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 33 3.1.Desain Penelitian ........................................................................................ 33 3.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................... 33 3.3.Populasi dan Sampel ................................................................................... 33
3.3.1.Populasi Penelitian ............................................................................ 33 3.3.2.Sampel dan Cara Pemilihan .............................................................. 33 3.3.3.Jumlah Sampel .................................................................................. 33 3.3.4.Kriteria Subjek Penelitian ................................................................. 35 3.3.4.1.Kriteria Inklusi Umum ................................................................... 35 3.3.4.2.Kriteria Eksklusi Umum ................................................................ 35
3.4.Alat dan Bahan Penelitian ........................................................................... 35 3.5.Cara kerja Penelitian ................................................................................... 36 3.6.Identifikasi Variabel .................................................................................... 38 3.7.Managemen dan Analisis Data ................................................................... 38 3.8.Alur Penelitian ............................................................................................ 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 40 4.1.Karakteristik Subjek Penelitian ................................................................... 40 4.2.Salivary Flow Rate ...................................................................................... 41 4.3.Aspek Keislaman ........................................................................................ 43 4.3.Keterbatasan Penelitian ............................................................................... 44
ix
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 45 5.1.Kesimpulan ................................................................................................. 45 5.2.Saran ........................................................................................................... 45 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 46 LAMPIRAN ..................................................................................................... 50
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1.Jaringan Kelenjar Saliva ................................................................. 5 Gambar 2.2.Anatomi Kelenjar Saliva Mayor ..................................................... 6 Gambar 2.3.Kurva Stephan ................................................................................. 9 Gambar 2.4.Penghantaran impuls refleks sekresi saliva ................................... 11 Gambar 2.5.Regulasi parasimpatis sekresi saliva ............................................. 12 Gambar 2.6.Nervus facialis dan hubungan sentralnya ...................................... 14 Gambar 2.7.Nervus glossopharyngeus dan hubungan sentralnya..................... 15 Gambar 2.8.Sel asinar : transmitter, reseptor dan intracellular pathway......... 16 Gambar 2.9.Sekresi air dan protein pada sel asinar kelenjar saliva...................18 Gambar 2.10.RitmeSirkadian pada saliva unstimulated....................................19 Gambar 3.1.Alat dan bahan penelitian...............................................................35 Gambar 3.2.Pengisian informed consent dan kuisioner.....................................35 Gambar 3.3.Pemeriksaan gigi dan mulut...........................................................36 Gambar 3.4.Pengambilan sampel saliva............................................................36 Gambar 4.2 Salivary Flow Rate.........................................................................40
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1.Kandungan saliva stimulated dan unstimulated................................8 Tabel 4.1.Karakteristik subjek penelitian........................................................39 Tabel 4.2.Salivary Flow Rate Perokok............................................................41
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar informed consent dan kuisioner responden .................................... 49 2. Riwayat penulis ............................................................................................. 60
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak Abad XVII kebiasaan merokok mulai memasuki negara-negara
Islam. Kebiasaan merokok yang awalnya digunakan sebagai ritual seperti ibadah
berubah menjadi sebuah bentuk yang berbeda. Merokok saat ini sudah menjadi
hal yang amat berat untuk ditinggalkan bagi masyarakat, sehingga merokok
menjadi salah satu perhatian terbesar yang dihadapi oleh dunia kesehatan.
Menurut dr. Mangku Sitepoe, merokok adalah membakar tembakau kemudian
dihisap, baik menggunakan rokok maupun pipa. 1,2
Menurut data World Health Organization (WHO), pada tahun 2013
prevalensi perokok pria 67%, jauh lebih besar daripada perokok wanita yaitu
2,7%. Di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013
menyatakan bahwa perilaku merokok penduduk usia ≥ 15 tahun cenderung
meningkat dari 34,3% pada tahun 2007 menjadi 36,3% pada tahun 2013.
Sedangkan untuk konsumsi jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap dalam
satu hari penduduk umur ≥ 10 tahun di Indonesia adalah 12,3 batang (setara satu
bungkus). Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap bervariasi, mulai terendah
10 batang di Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung (18,3 batang).
Sedangkan pada survey Global Adults Tobacco Survey (GATS) 2011 lebih
menggambarkan lebih besarnya masalah rokok pada orang dewasa (15 tahun ke
atas), dapat ditemukan pula 80,4% dari populasi yang merokok saat ini hanya
menghisap rokok jenis kretek. 3-6
Komponen rokok yang terdiri kurang lebih 4000 bahan kimia seperti
nikotin, tar, karbon monoksida, hidrogen sianida, amoniak, benzopiren, fenol,
dan kadmium. Sehingga dapat dinilai perilaku merokok dari berbagai sudut
pandang sangat merugikan baik diri sendiri maupun orang-orang disekelilingnya.
Rokok dan asapnya mempunyai dampak yang buruk pada berbagai fungsi tubuh
manusia, mulai dari otak, gangguan paru, dan jantung. 2,3
1
2
Saliva adalah sekresi eksokrin yang terdiri dari sekitar 99% air, yang
mengandung berbagai elektrolit antara lain natrium, kalium, kalsium, klorida,
magnesium, bikarbonat, fosfat, dan protein. Saliva memiliki beberapa fungsi,
yang pertama yaitu sebagai pelumas untuk membantu proses mengunyah,
berbicara, menelan, dan melindungi dari dehidrasi dan melapisi jaringan mulut
dikarenakan mengandung protein dengan karbohidrat tinggi. Yang kedua untuk
mengatur adhesi mikroorganisme pada permukaan jaringan mulut sehingga
kolonisasi bakteri dan jamur dapat terkontrol. Yang ketiga untuk melindungi
jaringan mulut dari serangan proteolitik oleh mikroorganisme.7-9
Beberapa penelitian dilakukan mengenai pengaruh rokok terhadap
salivary flow rate. Maryam Rad tahun 2010 menyatakan bahwa merokok dalam
jangka panjang secara signifikan akan menurunkan salivary flow rate. Saliva
merupakan cairan biologis pertama yang terkena paparan asap rokok, yang berisi
berbagai komposisi racun yang dapat merubah struktural dan fungsional di
saliva.
Penelitian Rad et.al tahun 2010 juga memberikan hasil signifikan adanya
penurunan salivary flow rate pada perokok dalam kurun waktu yang lama
dibandingkan dengan non-perokok. Berbeda dengan beberapa penelitian
menyebutkan bahwa merokok tidak mempengaruhi salivary flow rate seperti
laporan dari Munasib et.al., Pangestu et.al., Khan et.al., dan Hidayani et.al pada
penelitiannya, sehingga masih terdapat kontroversi mengenai pengaruh rokok
terhadap salivary flow rate.3,10-15
Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya
peran rokok terhadap salivary flow rate pada berbagai tingkat keparahan
merokok. Pengklasifikasian tingkat keparahan merokok menggunakan
perhitungan indeks Brinkman yang menghitung lama merokok (dalam tahun)
dikalikan dengan jumlah rokok yang dihisap tiap harinya.4,16
3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan SFR laki-laki perokok pada berbagai tingkat
keparahan merokok berdasarkan indeks Brinkman?
1.3 Hipotesis
SFR laki-laki perokok berbanding terbalik dengan tingkat keparahan
merokok.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Membandingkan SFR laki-laki perokok pada berbagai tingkat keparahan
berdasarkan indeks Brinkman.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran tingkat keparahan merokok laki-laki perokok
berdasarkan indeks Brinkman.
2. Mengetahui gambaran SFR laki-laki perokok dengan berbagai tingkat
keparahan merokok.
3. Membandingkan SFR laki-laki perokok pada berbagai tingkat
keparahan merokok berdasarkan indeks Brinkman.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat untuk :
1.5.1 Bagi peneliti
-Merupakan syarat kelulusan preklinik Program Studi Kedokteran dan
Profesi Dokter
-Menambah pengetahuan mengenai SFR pada laki-laki perokok.
-Menambah pengetahuan mengenai kadar SFR pada laki-laki perokok
berdasarkan indeks Brinkman
4
- Memperkuat penelitian sebelumnya dengan tema yang sama.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan mengenai dampak merokok terhadap SFR pada
laki-laki perokok.
1.5.3 Bagi Civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai pembelajaran dan referensi bagi peneliti yang akan melakukan
penelitian yang berkaitan dengan SFR dan indeks Brinkman.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Saliva
Saliva adalah hasil dari sekresi kelenjar campuran yang terus-menerus
melumasi gigi dan mukosa mulut. Hal ini didasari dengan adanya tiga pasangan
kelenjar saliva utama dan kelenjar saliva minor. Saliva merupakan sekresi
eksokrin yang terdiri dari 99% air, yang mengandung berbagai elektrolit (natrium,
kalium, kalsium, klorida, magnesium, bikarbonat, fosfat), protein,
immunoglobulin, dan faktor antimikroba lainnya, mukosa glikoprotein, jejak
albumin dan beberapa polipeptida dan oligopeptida. Zat-zat tersebut secara
keseluruhan akan berinteraksi dan berperan untuk berbagai fungsi dari saliva
seperti menjaga kondisi kesehatan mulut. Saliva mengandung sekresi serosa yang
mengandung enzim α-amilase untuk memecah karbohidrat dan mukus yang
mengandung musin untuk lubrikasi dan perlindungan pada permukaan rongga
mulut. Pada seluruh jaringan kelenjar saliva terdapat 3 jenis duktus. Pertama
saliva melewati intercalated duct yang memiliki epitel sel kuboid dan lumen yang
sempit, selanjutnya saliva melalui striated duct yang dilapisi oleh sel kolumnar
dan banyak mitokondria, dan pada akhirnya saliva memasuki excretory duct yang
dilapisi epitel skuamosa bertingkat. 7-9
Gambar 2.1 Jaringan Kelejar Saliva
Sumber : E-Book Saliva and Oral Health.2012
5
6
2.1.1 Kelenjar Saliva
Terdapat tiga kelenjar utama saliva yaitu kelenjar submandibularis,
kelenjar sublingualis, dan kelenjar parotid.
Kelenjar parotid berada pada inferior dan anterior telinga, posterior ramus
mandibula. Pada setiap sekresi saliva ke rongga mulut melalui kelenjar parotid
melalui duktus parotid yang menembus m. buccinator untuk membuka dibagian
dalam pipi di seberang gigi molar 2 atas. Kelenjar submandibularis terletak pada
dasar mulut tertutup di bawah angulus mandibula. Duktus submandibularis
berjalan dibawah lapisan mukosa di sisi garis tengah dasar mulut dan membuka
pada rongga mulut tepat lateral dari frenulum lingual. Kelenjar sublingual berada
dibawah mukosa dasar mulut, inferior lingual dan superior dari kelenjar
submandibularis. 7-9,17
Gambar 2.2 Anatomi Kelenjar Salivar Mayor
Sumber : Gerard J. Tortora, Bryan Derrickson. 2011
2.1.1.1 Kelenjar Saliva Mayor
Kelenjar parotid merupakan kelenjar saliva terbesar yang tertutup oleh
lapisan dan kapsul parotid. Kelenjar ini berdinding tebal berkaitan dengan serat
parasimpatis nervus glossopharyngeus (N. IX). Kelenjar parotid yang mensekresi
saliva yang (serous) cair yang mengandung sali-amilase bervariasi. Kelenjar
submandibula yang berada pada bagian superfisial antara mandibula dan
7
mylohyoid mengandung sel-sel yang sama dengan yang ditemukan di kelenjar
parotid, ditambah beberapa sel mukus, mereka mengeluarkan cairan yang
mengandung amilase dan mukus. Kelenjar sublingual adalah kelenjar terkecil dari
kelenjar saliva utama, mengandung sebagian besar sel mukosa, sehingga mereka
mengeluarkan cairan lebih tebal yang memberikan kontribusi hanya sejumlah
kecil amilase saliva. Kelenjar saliva yang utama adalah kelenjar parotid yang
hampir seluruhnya mensekresikan serous, lalu kelenjar submandibularis dan
kelenjar sublingualis yang menskeresikan serous dan mukus. 7-9,17
2.1.1.2 Kelenjar Saliva Minor
Kelenjar saliva minor terdiri dari buccal, labial, palatal, palatoglossal, dan
kelenjar lingual. Kelenjar saliva buccal dan labial mensekresikan serous dan
mukus, kelenjar saliva palatal dan palatoglossal mensekresikan mukus, sedangkan
kelenjar lingual mensekresikan mukus kecuali kelenjar serosa Von Ebner yang
diterletak di sekitar papila sirkumvalata. Kelenjar saliva minor merupakat unit
sekretori kecil yang terdapat di dalam mukosa mulut yang terbuka baik secara
langsung di mulut atau tidak langsung melalui banyak saluran pendek. Kelenjar
saliva minor hanya dikelilingi oleh jaringan ikat. Kelenjar saliva minor hanya
mensekresikan sebagian kecil sekitar 10% dari keseluruhan jumlah saliva
sekretori. 7-9,17
2.1.2 Komposisi Saliva
Pembentukan formasi dari saliva berawal pada bagian ujung akhir (asinus)
dimana sel serosa mensekresikan seromukus berair dan sel mukosa menghasilkan
musin kental. 99% kandungan saliva terdiri dari air dan 1% zat terlarut. Di antara
zat terlarut adalah ion, termasuk natrium, kalium, klorida, bikarbonate, fosfat,
kalsium, dan magnesium. Juga hadir beberapa gas terlarut dan berbagai zat
organik, termasuk urea dan asam urat, lendir, immunoglobulin A, lisozim enzim
bacteriolytic, dan amilase saliva, enzim pencernaan yang bekerja pada pati.
Kelenjar saliva juga membantu menghilangkan sisa-sisa molekul dari tubuh, yaitu
adanya keberadaan urea dan asam urat dalam saliva. Immunoglobulin A (IgA)
mencegah perlekatan mikroba sehingga mikroba tidak dapat menembus epitel,
8
dan lisozim enzim membunuh bakteri. Namun, zat ini tidak terdapat dalam jumlah
yang cukup besar untuk menghilangkan semua bakteri mulut. 7,8,18
Tabel 2.1. Kandungan saliva stimulated dan unstimulated
Sumber: Edgar M, 2004
2.1.3 Fungsi Saliva untuk Kebersihan Mulut
Rongga mulut banyak berisi bakteri patogen yang dapat merusak jaringan
dan menimbulkan karies gigi. Sedangkan saliva membantu menghambat
pertumbuhan bakteri patogen dengan faktor-faktor yang dikandungnya. Salah
satunya ialah ion tiosianat dan beberapa enzim proteolitik terutama lisozim, yang
memiliki beberapa fungsi, yaitu menyerang bakteri dan membantu ion tiosianat
memasuki bakteri, sehingga ion ini dapat berubah menjadi bakterisid, dan
mencerna partikel-partikel makanan sehingga membantu menghilangkan
pendukung metabolisme bakteri lebih lanjut. Selain itu, terdapat pula antibodi
dalam saliva yang menghancurkan bakteri rongga mulut.
9
2.1.4 Fungsi Saliva
2.1.4.1 Indera Pengecap
Protein saliva berperan untuk pertumbuhan dan maturasi gustatory buds.
Air dalam saliva merupakan media untuk melarutkan makanan sehingga dapat
dirasakan oleh reseptor gustatory yang selanjutnya akan dimulai proses
pencernaan. 7
2.1.4.2 Proteksi dan Lubrikasi
Saliva membentuk lapisan seromukus sebagai lubrikasi dan melindungi
jaringan mulut dari agen patogen. Saliva mengandung musin (protein dengan
kandungan karbohidrat tinggi) berfungsi dalam lubrikan, perlindungan terhadap
dehidrasi, pencegahan terhadap serangan proteolitik mikroorganisme dan
memodulasi secara efektif mikroorganisme pada permukaan jaringan mulut, yang
berelasi positif dengan kolonisasi bakteri dan jamur. Pengaruh dari lubrikan yaitu
memperlancar proses mengunyah, berbicara, dan menelan. 7
2.1.4.3 Dilution and Cleaning
Saliva berfungsi sebagai dilusi karena konsentrasi saliva bekerja secara
mekanik sebagai pembersih terhadap zat-zat sisa (residu) yang terdapat dalam
mulut seperti bakteri patogen, dan debris makanan. Salivary flow cenderung
mengurangi kelebihan karbohidrat, seperti contohnya pada penderita diabetes
terdapat korelasi antara konsentrasi glukosa di darah dan saliva. Mekanisme ini
membatasi ketersediaan gula yang mendukung pembentukan biofilm
mikroorganisme. Semakin besar nilai salivary flow maka semakin besar pula
kapasitas dilution dan cleaning. 7
10
2.1.4.4 Buffering System
Saliva berkerja sebagai sistem penyangga untuk melindungi mulut dengan
mekanisme sebagai berikut :
1. Mencegah kolonisasi mikroorganisme patogen dengan meminimalisasi kondisi
lingkungan yang mendukung populasi mereka.
2. Menetralkan dan membersihkan zat asam yang di produksi oleh mikroorganisme
acidogenic sehingga mencegah terjadinya demineralisasi enamel gigi.
Buffering system ini berperan pada ketebalan biofilm. Residu negatif pada
protein saliva berkerja sebagai penyangga. Seperti pada sialin yaitu peptida saliva
yang berperan penting dalam meningkatkan pH biofilm setelah paparan hasil
fermentasi karbohidrat. 7
Gambar 2.3 Kurva Stephan
Sumber : E-Book Saliva and Oral Health
Seperti pada Gambar 2.3 yang menunjukkan perubahan pH setelah
dilakukan pembilasan dengan sukrosa. Dalam beberapa menit pH berubah
menjadi kurang dari 5.0. Sedangkan demineralisasi enamel gigi terjadi pada pH
kurang dari 5.5. pH ini tetap berada dalam fase kritis selama 15-20 menit. Dan
baru kembali normal dalam menit ke 40. Tingkat pemulihan ini ditentukan oleh
buffering system, salivary flow, akses dari saliva dan komponen urea saliva.
Buffering sytem meningkat dengan meningkatnya salivary flow sebagai
peningkatan dari ion bikarbonat. Setelah pH pulih kembali maka akan terjadi
remineralisasi. 7
11
Urea merupakan produk dari asam amino dan katabolisme protein pada
saliva yang dapat menyebabkan peningkatan pH biofilm dengan melepaskan
amonia dan karbon dioksida ketika dihidrolisis oleh urease bakteri. Amonia,
merupakan produk urea dan metabolisme asam amino yang bersifat berbahaya
(sitotoksik) untuk jaringan gingival sehingga dapat mendukung terjadinya
gingivitis. Terdapat dua sistem penyangga pada saliva yaitu carbonic acid-
bicarbonate system dan phospate buffer system. Carbonic acid-bicarbonate
system adalah penyangga paling penting pada saliva yang terstimulasi, dan
phospate buffer system berperan pada saliva tidak terstimulasi. 7
2.1.5 Pengaturan Sekresi Saliva oleh Saraf
Gambar 2.4 Penghantaran impuls refleks sekresi saliva Sumber: Smith, 2004
Kelenjar saliva dikontrol melalui saraf otonom parasimpatik dan simpatik
yang berkerja tidak antagonistik. Baik simpatis maupun parasimpatis juga
meningkatkan sekresi liur tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanismenya
berbeda. Pada stimulasi parasimpatis, sekresi saliva lebih tinggi dan bersifat
serous. Stimulasi simpatis lebih mendominasi saat kondisi stres yang
menghasilkan sekresi saliva yang bersifat mukus.8
12
Gambar 2.5 Regulasi parasimpatis sekresi saliva Sumber: Guyton and Hall, 2010
Gambar 2.5 menunjukkan jalur saraf parasimpatis untuk mengatur
pengeluaran saliva, menunjukkan bahwa kelenjar saliva terutama dikontrol oleh
sinyal saraf parasimpatis sepanjang jalan dari nukleus salivatorius superior dan
inferior pada batang otak.
Nukleus salivatorius terletak kira-kita antara pertemuan medula dari brain
steam dan akan tereksitasi oleh rangsangan taktil (reseptor tekan), pengecapan
(chemoreceptor) pada lidah dan daerah-daerah rongga mulut dan faring lainnya.
Beberapa rangsangan pengecapan, terutama disebabkan oleh asam membuat
sekresi saliva dalam jumlah sangat banyak, sering kali 8-10 kali kecepatan sekresi
basal. Rangsangan taktil tertentu, seperti adanya benda halus dalam rongga mulut
(misalnya sebuah batu krikil), menyebabkan salivasi yang nyata, sedangkan
benda yang kasar kurang menyebabkan salivasi dan kadang bahkan menghambat
saliva. Nukleus salivatorius selanjutnya mengirimkan impuls melalui saraf
otonom menuju kelenjar saliva.8
Saliva juga dapat dirangsang atau dihambat oleh sinyal-sinyal saraf yang
tiba pada nukleus salivatorius dari pusat-pusat sistem saraf pusat yang lebih
tinggi. Sebagai contoh, bila seseorang mencium atau makan makanan yang
disukainya, pengeluaran saliva lebih banyak daripada bila ia mencium atau
memakan makanan yang tidak disukainya. Daerah nafsu makan pada otak, yang
13
mengatur sebagian efek ini, terletak di dekat pusat parasimpatis hipotalamus
anterior, dan berfungsi terutama sebagai respon terhadap sinyal dari daerah
pengecapan dan penciuman dari korteks serebral atau amigdala.8
Hanya dengan melihat, berfikir atau mendengar hal yang berhubungan
makanan dapat menginisiasi refleks saliva. Hal ini disebabkan oleh adanya
pengalaman atau pengetahuan sebelumnya mengenai rasa pada suatu makanan.
Saliva juga dapat terjadi sebagai respons terhadap refleks yang berasal dari
lambung dan usus halus bagian atas, khususnya saat menelan makanan yang
sangat mengiritasi atau bila seseorang mual karena adanya beberapa kelainan
gastointestinal. Saliva ketika ditelan akan membantu menghilangkan faktor iritan
pada traktus gastrointestinal dengan cara mengencerkan atau menetralkan zat
iritan.8
Perangsangan simpatis juga dapat meningkatkan saliva dalam jumlah
sedikit, lebih sedikit dari perangsangan parasimpatis. Saraf-saraf simpatis berasal
dari ganglia servikalis superior dan berjalan sepanjang permukaan dinding
pembuluh darah ke kelenjar-kelenjar saliva.8
Faktor sekunder yang juga memengaruhi sekresi saliva adalah suplai darah
ke kelenjar karena sekresi selalu membutuhkan nutrisi yang adekuat dari darah.
Sinyal-sinyal parasimpatis yang sangat merangsang salivasi, dalam derajat sedang
juga melebarkan pembuluh-pembuluh darah. Selain itu, salivasi sendiri secara
langsung melebarkan pembuluh-pembuluh darah, sehingga menyediakan
peningkatan nutrisi kelenjar saliva seperti yang juga dibutuhkan sel penyekresi.
Sebagian dari tambahan efek vasodilator ini disebabkan oleh kalikrein yang
disekresi oleh sel-sel saliva yang aktif, yang kemudian bekerja sebagai suatu
enzim untuk memisahkan satu protein darah, yaitu alfa2-globulin, untuk
membentuk bradikinin, suatu vasodilator yang kuat.8
Rata-rata saliva disekresi 1-2 liter dalam sehari, dengan salivary flow rate
0.5 ml/menit dalam keadaan basal dan 5ml/menit dalam sekresi maksimal.8
14
2.1.5.1 Anatomi Nervus Facialis (N.VII)
Gambar 2.6 Nervus facialis dan hubungan sentralnya Sumber: Snell, 2011
Nuclei Parasimpatis
Nuclei ini terletak posterolateral terhadap nukleus motorik utama. Inti-inti
adalah nucleus salivatorius superior dan nucleus lacrimalis. Nucleus salivatorius
superior menerima serabut-serabut aferen dari hypothalamus melalui jaras otonom
desendes. Informasi mengenai pengecap dari rongga mulut juga diterima melalui
nucleus tractus solitarii.19
Nuclei Sensorik
Struktur ini merupakan bagian atas nucleus tractus solitarii dan terletak
dekat dengan nukleus motorik. Sensasi pengecap berjalan melalui akson-akson
perifer sel saraf yang terletak di ganglion geniculatum pada nervus cranialis
ketujuh.19
Distribusi Nervus Facialis
Nukleus salivatorius superior mempersarafi galandula submandibularis
dan sublingualis, serta glandula nasales dan palatine. Nukleus sensorik menerima
serabut-serabut pengecap dari dua-pertiga anterior lidah, dasar mulut, dan
palatum.19
15
2.1.5.2 Nervus Glossopharyngeus (Nervus Cranialis IX)
Gambar 2.7 Nervus glossopharyngeus dan hubungan sentralnya Sumber: Snell, 2011
Nukleus Parasimpatis
Nukleus ini disebut juga nukleus salivatorius inferior (Gambar 2.7).
Nukleus ini menerima serabut-serabut aferen dari hypothalamus melalui jaras
otonom desendens. Struktur ini diduga juga menerima informasi dari sistem
olfaktorik melalui formatio reticularis. Informasi yang berhubungan dengan
pengecap juga diterima dari nukleus tractur solitarii dari rongga mulut.19
Serabut-serabut aferen preganglionik parasimpatis mencapai ganglion
oticum melalui ramus tympanicus nervi glossopharyngeai, plexus tympanicus, dan
nervus petrosus minor. Serabut-serabut pascaganglionik berjalan menuju glandula
parotidea.19
Nukleus Sensorik
Bagian ini merupakan bagian dari nucleus tractus solitarii. Sensasi
pengecap berjalan melalui akson perifer sel-sel saraf yang terletak di dalam
ganglion nervi glossopharyngei. Processus centralis sel-sel ini bersinaps dengan
sel-sel saraf di dalam nukleus. Serabut-serabut eferen menyilang bidang median
dan naik menuju kelompok nuclei ventrales thalami sisi kontralateral, dan juga ke
16
beberapa nucleus hypothalami. Dari thalamus, akson sel-sel thalamus berjalan
melalui capsula interna dan corona radiata, serta berakhir dibagian bawah gyrus
postcentralis. Informasi aferen mengenai sensasi umum masuk ke batang otak
melalui ganglion superior nervi glossopharyngei, tetapi berakhir di dalam nukleus
spinalis nervi.19
2.1.5.3 Transmiter Otonom dan Reseptor
Gambar 2.8. Sel asinar : transmitter, reseptor dan intracellular pathway Sumber: Ekstrom J, 2012
Serat preganglion simpatis dan parasimpatis mengeluarkan
neurotransmitter yang sama, asetilkolin (Ach), tetapi ujung pascagangilon kedua
sistem saraf ini mengeluarkan neurotransmitter yang berbeda.17 Asetilkolin adalah
transmitter postganglion parasimpatis dan noradrenalin adalah transmitter
postganglion simpatis. Noradrenalin bekerja pada a1-adrenoceptors dan b1-
adrenoceptors, asetilkolin bekerja pada reseptor muscarinic M1 dan M3.
Persarafan parasimpatis dari kelenjar saliva terdapat transmitter lainnya selain
kolinergik yaitu peptidergic (vasoctive intestinal peptide, calcitonin gene-related
peptide, substasi P, neurokinin A, neuropeptide Y) dan nitrergic (NO). 20
17
2.1.6 Suplai darah
Kelenjar parotid disuplai darah oleh arteri temporal superfisial dan arteri
carotis eksterna. Sedangkan kelenjar submandibular disuplai darah dari cabang
arteri fasial dan beberapa cabang arteri lingual. Dan kelenjar sublingual disuplai
dari cabang sublingual arteri lingual dan cabang submetal dari arteri fasial. 9
2.1.7 Mekanisme Pembentukan Saliva
Semua aspek penting dari saliva diatur oleh saraf dan dimediasi melalui
G-protein reseptor. Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar campuran
khusus yang mengandung duktus asinus dan duktus salivarius yang berperan
dalam proses sekresi saliva.
Pada proses salivasi, sekresi primer yang mengalir melalui duktus akan
terjadi dua proses transport aktif utama bertujuan untuk memodifikasi ion pada
cairan saliva. Pelepasan neurotransmiter oleh saraf simpatis atau parasimpatis
memicu pelepasan adenosine cyclic monophosphate (CAMP) dan meningkatkan
mobilisasi Ca ke dalam sel. Di dalam sel asinar proses sekresi saliva terjadi
melalui pembukaan kanal ion dan transport pada bagian apikal membran sel
asinar yang menuju ke arah lumen dan basolateral membran ke arah intersisial.
Peningkatan Ca dalam sel membuka kanal K+ dan Cl-, dan pertama, ion –ion
natrium secara aktif direabsorpsi dari seluruh duktus salivarius dan akan terjadi
pertukaran ion-ion kalium secara aktif. Oleh sebab itu, konsentrasi ion natrium
saliva berkurang, sedangkan konsentrasi ion kalium berbanding terbalik sehingga
konsentrasinya meningkat. Namun reabsorpsi ion natrium terjadi melebihi sekresi
ion kalium, yang menyebabkan timbulnya kenegatifan listrik ± 70 milivolt di
dalam duktus salivarius. Dalam keadaan seperti ini maka ion klorida juga akan
direabsorpsi secara pasif. Sehingga konsentrasi ion klorida pada cairan saliva
sangat rendah, sama dengan penurunan konsentrasi ion natrium. Kedua, epitel
duktus akan mensekresikan ion-ion bikarbonat ke lumen dikarenakan sebagian
sedikit oleh pertukaran pasif ion bikarbonat dengan ion klorida.8,17,20-22
Sehingga setelah kedua tahapan ini berlangsung dapat ditemukan
konsentrasi masing-masing ion dalam keadaan istirahat, yaitu ion natrium dan
18
klorida dalam saliva sekitar 15 mEq/L, sekitar sepertujuh sampai sepersepuluh
konsentrasinya dalam plasma. Sebaliknya, konsentrasi ion kalium sekitar 30
mEq/L, tujuh kali lebih besar dari konsentrasinya dalam plasma. Dan konsentrasi
ion bikarbonat adalah 60-70 mEq/L, sekitar dua-tiga kali lebih besar dari
konsentrasinya dalam plasma. Sedangkan saat sekresi saliva maksimal,
konsentrasi ion pada saliva sangat berubah karena kecepatan pembentukan sekresi
primer oleh sel asini dapat meningkat 20 kali lipat yang mempengaruhi proses
penyesuaian (reconditioning) duktus menurun dan menghasilkan konsentrasi
natrium klorida ± berkisar setengah sampai dua pertiga konsentrasi dalam
plasma, dan konsentrasi kalium meningkat hanya empat kali konsentrasi dalam
plasma. 17
Gambar 2.9. Sekresi air dan protein pada sel asinar kelenjar saliva
Sumber: Ekstrom J, 2012
2.1.8 Faktor yang mempengaruhi SF dan komposisi
2.1.8.1 Usia
Secara histologis, parenkim dari kelenjar saliva pada usia lanjut secara
bertahap digantikan oleh adiposa dan jaringan fibrovaskular. Sel asinar juga
menurun bersamaan dengan meningkatnya usia. Kelenjar submandibular lebih
sensitif terhadap perubahan metabolik atau fisiologis sehingga perubahan aliran
saliva unstimulated sebagian besar dikarenakan sekresi dari kelenjar
submandibular.7
19
2.1.8.2 Individual Hydration
Ketika kadar air dalam tubuh berkurang 8% maka salivary flow akan
menurun. Dan jika dalam tubuh terjadi kelebihan air (hiperhidrasi) maka salivary
flow akan meningkat. Selama dehidrasi kelenjar saliva tidak mensekresi saliva
karena terjadi proses penghematan cairan. 7
2.1.8.3 Posisi Tubuh
Posisi tubuh dalam keadaan berdiri merupakan posisi dengan kecepatan
aliran saliva tertinggi bila dibandingkan dengan posisi duduk dan berbaring. Pada
posisi berdiri, salivary flow rate mencapai 100%, pada posisi duduk 69% dan
pada posisi berbaring 25%. 7
2.1.8.4 Pencahayaan
Pada seseorang yang menutup mata atau dalam suasana gelap terjadi
penurunan salivary flow sebesar 30%-40%. Namun, berbeda dengan orang buta.
Orang buta sudah terjadi proses adaptasi dengan kurangnya cahaya yang masuk
melalui mata sehingga nilai salivary flow tidak terjadi penurunan. 7
2.1.8.5 Irama Sirkadian
Salivary flow meningkat puncaknya pada akhir sore hari dan turun
mencapai hampir nol pada malam hari. Dimusim panas, kelenjar parotid
mensekresikan lebih sedikit volume saliva, sementara di musim dingin terdapat
peningkatan salivary flow. 7
Gambar 2.10 Ritme Sirkadian pada Saliva Tidak Terstimulasi
Sumber :E-Book Saliva and Oral Health
20
2.1.8.6 Obat
Faktor-faktor yang mengaktivasi saraf simpatis ataupun parasimpatis
seperti aktifitas, suhu, dan obat-obatan yang bekerja pada reseptor adrenergik
ataupun kolinergik mempengaruhi produksi saliva.7 Sedangkan alkohol dapat
menurunkan salivary flow rate 23
2.1.8.7 Stimulasi fikiran dan visual
Beberapa peneliti mengungkapkan terjadi peningkatan sedikit salivary
flow dengan pengaruh fikiran atau visual yang berkaitan dengan makanan. 7
2.1.8.8 Stimulasi Mekanik atau kimia
Peningkatan salivary flow dapat disebabkan karena adanya tindakan
seperti mengunyah dan kesan pengecapan. Substansi kimia yang dapat
menimbulkan persepsi pengecapan seperti asam sitrun, atau zat yang
menimbulkan rasa asam yang tajam bila diaplikasikan di pangkal lidah. Stimulus
kimiawi bersifat asam merupakan stimulus yang paling kuat dalam meningkatkan
sekresi saliva. 7
2.1.8.9 Perbedaan Sekresi saliva pada kelenjar saliva
Presentasi sekresi saliva pada kondisi tidak terstimulasi
• 20% oleh kelenjar parotid
• 65%-70% oleh kelenjar submandibular
• 7%-8% oleh kelenjar sublingual
• < 10% oleh kelenjar saliva minor
Pada kondisi saliva terstimulasi atau saat sekresi maksimal, maka kelenjar
parotid akan mensekresi 50% dari jumlah total sekresi saliva keseluruhan.
2.1.8.10 Diabetes Mellitus
Penyakit kronis seperti diabetes mellitus yaitu subjek yang memiliki kadar
gula yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan diuresis, sehingga akan
21
berpengaruh pada produksi saliva. Oleh karena itu, sering kali pasien diabetes
mellitus mengalami keluhan mulut kering. 7
2.1.8.11 Jenis Kelamin
Ukuran kelenjar saliva pada wanita lebih kecil daripada laki-laki dan pola
hormonal wanita mengakibatkan pengurangan dari sekresi saliva. 7
2.1.9 Salivary Flow Rate
Rata-rata produksi saliva dalam satu hari orang yang sehat berkisar 1-2 L.
Pada orang dewasa normal sekresi saliva terstimulasi berkisar 1-3 mL/menit,
rentang rendah 0.7-1.0 mL/menit, sedangkan hiposaliva ditandai dengan salivary
flow kurang dari 0.7 ml/menit. Sedangkan sekresi saliva tidak terstimulasi
normalnya berkisar 0.25-0.35 mL/menit. Rentang rendah berkisar 0.1-0.25
mL/menit, sedangkan hiposaliva ditandai dengan salivary flow kurang dari 0.1
ml/menit.7,8,14
2.1.10 Metode Pengambilan Saliva
Pengukuran sekresi saliva dapat dilakukan dengan beberapa cara, di
antaranya dengan menggunakan sekresi saliva tanpa distimulasi, dengan stimulasi,
dan dengan pengumpulan saliva khususnya kelenjar parotis dengan atau tanpa
stimulasi. Teknik pengumpulan saliva tanpa distimulasi bertujuan untuk menilai
status kelenjar saliva dan komponen yang terkandung di dalamnya, sedangkan
saliva yang distimulasi digunakan untuk menilai fungsi cadangan kelenjar saliva.
Pengumpulan saliva harus dilakukan pada waktu yang terstandarisasi, berdasarkan
siklus diurnal.
Subjek dikondisikan untuk tidak makan termasuk permen karet, minuman
(kecuali air), merokok satu jam sebelum pengambilan saliva. Subjek diminta
untuk membilas mulutnya beberapa kali dengan air putih dan berdiam diri selama
5 menit. Subjek diberitahu untuk tidak melakukan banyak gerakan terutama
gerakan mulut seperti berbicara. Pada penelitian ini pengambilan saliva dimulai
dengan posisi tenang dan dianjurkan posisi kepala condong ke depan. Dan
meminta subjek untuk mengumpulan saliva pada wadah tiap 1 menit sekali
22
selama 5 menit dengan kondisi tanpa distimulasi. Setelah itu dicatat hasil volume
saliva yang terkumpul dan dibagi dengan satuan mL/menit. Lalu hasil SFR
dikategorikan berupa hiposaliva, normosaliva, hipersaliva. 24
Terdapat empat jenis cara pengumpulan sampel saliva yang biasa
digunakan dalam penelitian yaitu spitting, passive drool, arbsorbent, dan suction.,
diantaranya adalah:
Passive Drool
Subjek diminta untuk mengeluarkan saliva secara pasif dengan
mencondongkan kepala ke depan dan membuka mulut ke wadah penampung
tanpa adanya rangsangan mekanoreseptor selama beberapa menit.24,25
Metode Spitting
Subjek mengumpulkan air saliva di rongga mulut dalam keadaan mulut
tertutup dan dikeluarkan ke wadah penampung setiap satu menit selama lima
sampai lima belas menit. Pengumpulan saliva dalam rongga mulut dapat
mempengaruhi aliran saliva, sehingga mempengaruhi penilaian salivary flow
rate.24,25
Metode Suction
Metode pengumpulan saliva dengan dihisap menggunakan satu alat
aspirasi, yang terdiri dari cathether aspirasi, atrap dan penghisap tekanan rendah
dengan terus menerus selama 5 menit. Contohnya pada Saliva Bio Oral Swab
(SOS). 24,25
Metode Arbsorbent
Saliva dikumpulkan dengan cara meletakkan penyerap seperti swab,
cotton, atau sponge dalam mulut selama satu sampai lima menit. Dalam metode
ini, dapat memicu aliran saliva sehingga untuk pengukuran salivary flow rate
metode ini tidak akurat, sehingga dalam pelaksanaannya penyerap diletakkan
hanya dalam waktu dua menit dalam mulut untuk menghindari adanya perubahan
konsentrasi komponen akibat aliran saliva yang terlalu tinggi.25
23
2.2 Rokok
2.2.1 Pengertian dan Kandungan Rokok
Rokok merupakan campuran dari berbagai bahan kimia. Dan akan
menghasilkan 4000 bahan kimia setelah dilakukan pembakaran. Selain itu, akan
terjadi pengendapan didalam tubuh akibat pembakaran yang tidak sempurna.
Rokok terdiri dari dua komponen, yaitu komponen gas sebesar 92% dan
komponen padat atau partikel sebesar 8%. Berikut adalah komponen-komponen
yang terkandung dalam rokok.26
1. Nikotin
Nikotin merupakan zat kimia utama dalam rokok yang dapat menyebabkan
ketergantungan rokok. Setelah menghisap rokok, kadar nikotin dalam darah
meningkat dalam waktu 11-15 detik. Bolus nikotin selanjutnya akan menstimulasi
reseptor asetilkolin untuk mengaktifkan suatu sistem yang disebut brain-reward
system, dengan cara peningkatan pelepasan dopamin. Aktivasi brain-reward
system menimbulkan perasaan senang. Peningkatan kadar nikotin diiringi
penurunan kadar nikotin secara bertahap, sampai pada suatu titik withdrawal yang
hanya bisa dihilangkan dengan menghisap rokok selanjutnya. Keadaan ini
menjadi hubungan temporal antara menghisap rokok dan input sensorik dengan
stimulasi berulang dan hilangnya gejala withdrawal.28-31
2. Tar
Setiap rokok yang sudah dibakar akan menghasilkan bahan partikulat, salah
satunya adalah tar. Setiap partikel tar merupakan komposisi bahan kimia organik
dan anorganik. Salah satu zat karsinogen yang terdapat pada tar adalah
benzopyrene (senyawa polyclyclic aromatic hydrocarbon). Tar akan menganggu
fungsi perlindungan dan pembersihan paru dengan mekanisme penutupan cilia
pada trakea.
3. Karbon monoksida
Karbon mokosida saat terhirup akan terikan pada hemoglobin dalam darah yang
disebut karboksilhemoglobin. Daya ikatnya 200 kali lebih kuat dibanding oksigen
sehingga pasokan oksigen ke tubuh akan berkurang.
24
4. Ammonia
Ammonia digunakan pada rokok untuk mempercepat masuknya nikotin dalam
aliran darah. Karena ada beberapa jenis tembakau yang secara alami mengandung
ammonia. Selain itu, ammonia juga merupakan hasil sampingan dari asap
rokok.28-31
5. Formid acid
Merupakan asam kuat yang dapat membuat kulit melepuh.
6. Hydrogen cyanide
Hydrogen cyanida (sianida) merupakan gas tidak berwarna yang dapat
menghalangi pernapasan. Sianida ini merupukan racun berbahaya yang biasa
digunakan untuk hukuman mati, proses-proses penempaan besi, pencelupan,
pembuatan bahan peledak, pengukiran, dan pembuatan plastik akrilik resin.
7. Metanol
Cairan yang mudah menguap dapat menyebabkan kebutaan dan kematian.
Merupakan salah satu bahan bakar roket.
8. Hydrogen sulfide
Gas beracun yang menghambat oksidasi enzim.
9. Aseton
Aseton merupakan cairan yang digunakan untuk penghapus cat.
10. Naftalen
Terpapar naftalen dengan jumlah besar dapat menyebabkan kerusakan dan
kehancuran sel darah merah.
11. Vinyl chloride
Vinyl chloride merupakan bahan dasar pembuatan plastik PVC.
12. Radioaktif
Unsur radioaktif merupakan zat yang dapat memicu terjadinya kanker.
13. Nitrous oxide
14. Formalin
15. Pyridine
16. Logam berat
25
2.2.2 Jenis Rokok
Rokok pada masyarakat umum dibagi menjadi dua jenis, yaitu rokok putih
(filter) dimana ada bagian pangkal rokok terdapat gabus dan rokok kretek (non
filter) tidak menggunakan gabus.32,33 Berdasarkan tes berbasis mesin (Machine-
Based Test), kretek menimbulkan paparan nikotin, karbon monoksida, dan tar
terhadap tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan rokok putih (white
cigarettes) atau rokok non kretek lainnya. Asap yang diinhalasi dari rokok kretek
bisa mengandung tiga bahan kimiawi tambahan yang bersifat toksik: eugenol,
anethole, dan coumarin.34
2.2.3 Klasifikasi Perokok
Klasifikasi perokok dibagi berdasarkan riwayat merokok :4
Perokok Aktif
Perokok Pasif
Bebas Perokok
Selain itu, perokok juga dapat dikategorikan sesuai dengan riwayat lama
nya merokok dan jumlah rata-rata batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya.
Pengelompokan perokok indeks Brinkman dilakukan dengan cara mengkalikan
jumlah rata-rata batang rokok yang dikonsumsi setiap harinya dengan riwayat
lamanya merokok dalam tahun, sehingga dapat dikategorikan menjadi berikut:4
• Perokok ringan memiliki indeks Brinkman 0-199
• Perokok sedang memiliki indeks Brinkman 200-600
• Perokok berat memiliki indeks Brinkman lebih dari 600
2.2.4 Tahapan perokok
1. Tahap Preparatory, seseorang memiliki gambaran menyenangkan mengenai
rokok dari berbagai media sehingga timbul minat untuk merokok.
2. Tahap Initiation, merupakan tahap perintisan yaitu menentukan apakah
dilanjutkan atau tidak terhadap perilaku merokok.
26
3. Tahap becoming a smoker, Apabila seseorang sudang mengkonsumsi rokok 4
batang sehari maka mempunyai kencenderungan menjadi perokok.
4. Tahap maintenance of smoking, merokok dilakukan bertujuan untuk memperoleh
efek fisiologis yang menyenangkan.35
2.3 Pengaruh Merokok terhadap Sekresi Saliva
Rokok mengandung berbagai bahan kimia, salah satunya adalah nikotin,
yaitu amina alkaloid tersier yang memberikan efek kemoatraktan langsung serta
efek spesies oksigen reaktif yang terdapat didalam asap rokok. Hal ini
mengaktifkan transkripsi nuclear factor kB (NF-kB), yang mengaktifkan gen
untuk factor necrosis tumor (TNF) dan interleukin-8 (IL-8). Hal ini kemudian
menarik dan mengaktifkan neutrofil. Neutrofil yang berkumpul mengalami
pengaktifan dan pembebesan granulanya, yang kaya akan beragam protease sel
(elastase neutrofil, proteinase3 dan katepsin G) sehingga terjadi kerusakan
jaringan. Termasuk kerusakan pada taste receptors yang berpengaruh pada
penurunan sensitivitas. Potensial reseptor beraksi saat sebagian besar zat yang
terangsang oleh vili pengecap dengan pengikatan zat kimia kecap pada reseptor
protein yang dekat atau menonjol melalui membran vilus. Hal ini akan membuka
kanal ion, sehingga ion natrium yang bermuatan positif masuk dan
mendepolarisasi kenegatifan normal di dalam sel. Sehingga pada kondisi
penurunan sensitivitas taste receptors menyebabkan penurunan impuls yang
dihantarkan oleh nervus ke nucleus salivatory di medulla oblongata.20,36
Kandungan nikotin pada rokok dapat pula mengaktifkan neuron postganglion
serat saraf simpatik sama halnya seperti asetilkolin (Ach) pada reseptor kolinergik
nikotinik.8,17 Pengikatan asetilkolin (Ach) ke reseptor ini dapat menyebabkan
pembukaan saluran kation di sel pascaganglion yang mengakibatkan mengalirnya
Na+ dan K+. Karena gradien elektrokimia untuk Na+ lebih besar daripada K+ maka
lebih banyak Na yang masuk ke dalam sel daripada K+ yang keluar, menyebabkan
depolarisasi yang memicu pembentukan potensial aksi di sel pascaganglion
dengan menimbulkan pelepasan noreprinefrin (NE) kepada reseptor alfa atau beta
adrenergik pada sel target yang kemudian menyebabkan efek tertentu pada sel
tersebut.17,37
27
Gambar 2.5 Reseptor Nikotinik pada Inervasi Saraf Simpatis
Sumber : Gerard J. Tortora, Bryan Derrickson. 2011
Pada sel asinar kelenjar saliva terdapat reseptor adrenergik, penempelan
norepinefrin (NE) pada reseptor adrenergik di permukaan sel asinar di kelenjar
saliva menyebabkan peningkatan salivary flow rate dengan sifat sekresi yang
lebih kental dan lebih mukus.37
Salivary flow rate yang menurun berelasi positif dengan buffering system.
Peningkatan dua faktor tersebut berpengaruh dalam proses pembersihan bakteri
ataupun antigen yang ada dalam rongga mulut.
Ghulam Jillani Khan et al. (2010) menyatakan bagian rongga mulut
dan taste receptor terkena paparan asap rokok terus-menerus dalam jangka waktu
yang lama dapat mengakibatkan penurunan sensitivitas dan perubahan taste
receptor dari indra perasa dan semakin lama akan menyebabkan supresi pada
refleks saliva.10
Sebuah teori menyatakan bahwa radikal bebas yang terdapat pada rokok yaitu
radikal hidroksil (OH) dapat mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi
molekul pada saliva. Hidroksil (OH) dapat merusak tiga jenis senyawa yang
penting yang berfungsi dalam pertahanan integritas sel. Salah satu senyawa yang
rusak yaitu asam amino penyusun protein. Asam amino yang paling rawan yaitu
sistein. Sistein mengandung gugus sulfhidril (-SH) yang sangat peka terhadap
serangan radikal hidroksil. Pembentukan ikatan disulfide (S-S) menimbulkan
ikatan intra atau antar molekul sehingga protein (saliva) kehilangan fungsi
biologisnya, sehingga enzim tersebut dapat kehilangan sifat katalitiknya.38
28
Terdapat teori lain yang menyatakan yaitu pada perokok akibat karbon
monoksida yang berasal dari rokok menyebabkan suplai oksigen pada tubuh
berkurang termasuk suplai darah pada kelenjar saliva.38
2.4 Efek Rokok terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
Perokok akan mengalami banyak masalah kesehatan pada gigi dan mulut.
Akibat dari merokok akan terjadi karies beserta skor Delayed, Missing and Filled
Teeth (DMF) yang lebih tinggi, perbedaan pada buffering system, penurunan
fungsi saliva dalam proteksi gigi, sehingga akan muncul resiko kehilangan gigi 3x
lebih besar pada perokok dibanding dengan non-perokok. Jaringan lunak pada
rongga mulut yang juga terkena paparan utama komponen toksik akan terjadi
iritasi yang dapat menimbulkan infeksi mukosa, dry socket, memperlama
penyembuhan luka, menurunkan kemampuan fagositosis, menekan proliferasi
osteoblas, dan menurunkan asupan aliran darah ke gingiva. Perubahan
vaskularisasi dan sekresi kelenjar saliva juga dapat terjadi akibat perubahan panas
dari efek merokok. Perilaku merokok juga menimbullkan rangsangan pada papilla
filiformis untuk menjadi lebih panjang (hipertropi).39
29
2.6 Kerangka Teori
30
2.7 Kerangka Konsep
31
2.8 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Pengukur Alat
Ukur
Cara Ukur Skala
Pengukur
an
1 Salivary
flow rate
Parameter yang
menggambarkan
normal, tinggi,
rendah, atau
sangat
rendahnya aliran
saliva yang
dinyatakan
dalam satuan
ml/menit
Peneliti Tabung
ukur
Melakukan
pengukuran
dengan
skala
volume
dalam lama
waktu
pengumpula
n saliva
dengan
satuan
(ml/menit)
Numerik
2 Status
merokok
Dikatakan
perokok jika
saat
pengambilan
sampel telah
menjadi perokok
aktif dan masuk
kriteria inklusi
dan disebut non-
perokok jika
saat
pengambilan
sampel tidak
merokok dan
masuk kriteria
inklusi
Peneliti Form
identitas
dan
riwayat
merokok
Melakukan
wawancara
dan
pengisian
form data
subjek
penelitian
dilanjutkan
pengklasifik
asian
tingkat
keparahan
merokok
menggunak
an indeks
Brinkman
Kategorik
32
3 Indeks
Brinkman
Perkalian lama
paparan rokok
dengan jumlah
batang rokok
yang
dikonsumsi per
harinya
Peneliti Form
identitas
dan
riwayat
Melakukan
wawancara
dan
pengisian
Numerik
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik bivariat tidak berpasangan cross sectional
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Pisangan, Cirendeu, dan Rengas selama bulan Februari 2015- Juli 2016, dan pengukuran SFR dilakukan langsung pada lokasi pengambilan sampel pada pukul 09.00-11.00.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi target : Laki-laki perokok
Populasi terjangkau : Laki-laki perokok yang bertempat tinggal atau bekerja di Kelurahan Pisangan, Cirendeu, dan Rengas selama bulan Februari 2015- Juli 2016
3.3.2 Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Penelitian ini menggunakan sampel data primer saliva laki-laki perokok. Sampel dipilih berdasarkan non-probability sampling yaitu consecutive sampling.
3.3.3 Jumlah Sampel
Jumlah sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel penelitian analitik tidak berpasangan dengan variabel numerik yakni sebagai berikut:
Keterangan:
Zα = kesalahan tipe I sebesar 10% = 1.282
Zβ = kesalahan tipe II sebesar 20% = 0.842
33
34
(X1 – X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 0.05
S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:
Sg = standar deviasi gabungan
S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
Maka akan didapatkan perkiraan besar sampel berdasarkan penelitian
Munasib tahun 2015 adalah sebagai berikut:26
(Sg)2= [(0.221)2 x (42-1) + (0.136)2 x (13-1)]
42+13-2
= [(0.048) x (41) + (0.018) x (12)]
53
= [1.968 + 0.18] = 0.040
53
(Sg) = = 0.200
Kemudian dimasukkan ke dalam rumus jumlah sampel:
N = 2{(1.282 - 0.842) 0.200}2
{0.05}2 N = 61
Maka pada penelitian ini dibutuhkan sampel 61 orang untuk kelompok
perokok ringan-sedang, 61 orang untuk perokok berat.
35
3.3.4 Kriteria Subjek Penelitian
3.3.4.1 Kriteria Inklusi Umum
1) Laki-laki
2) Usia 20- 55 Tahun
3) Dapat membuka mulut
4) Bersedia menyetujui lembar informed consent
5) Tidak memiliki riwayat penyakit sistemik yang berhubungan
dengan kelenjar saliva
6) Perokok aktif saat survey
7) Merokok dengan jumlah minimal 1 batang setiap hari
3.3.4.2 Kriteria eksklusi umum
1) Sedang berpuasa saat pengambilan saliva
2) Tidak dapat partisipasi karena keadaan psikologis yang buruk
(gaduh, gelisah, agitasi, nutrisi buruk)
3) Memiliki kelainan sistemik yang mempengaruhi sekresi saliva
(seperti Diabetes Melitus)
4) Mengkonsumsi alkohol dan NAPZA
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah saliva
perokok. Sedangkan alat penelitian yang digunakan antara lain, tabung ukur
penampung, jam tangan, corong 40 mm, tissu, perlengkapan alat tulis, alat
pemeriksa gigi dan mulut.
36
Gambar 3.1. Alat dan bahan penelitian
3.5 Cara Kerja Penelitian 1. Menentukan sampel penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi.
2. Memperoleh informed consent dari subjek penelitian, pengisian data
diri, riwayat merokok dan memberikan penjelasan mengenai prosedur
pengumpulan saliva yang akan dilakukan kepada subjek penelitian.
Gambar 3.2. Pengisian Informed consent dan kuisioner
3. Melakukan pemeriksaan gigi dan mulut subjek penelitian oleh dokter
gigi untuk mengetahui status GI (Gingival Index), DI (Debri Index), CI
(Calculus Index), dan OHIS (Oral Higiene Index Score)
37
Gambar 3.3. Pemeriksaan Gigi dan Mulut
4. Subjek penelitian diinstruksikan untuk tidak makan dan minum 1 jam
sebelum pengambilan saliva
5. Pengambilan sampel saliva tidak terstimulasi menggunakan metode
passive drool dilakukan selama 5 menit dengan meminta subjek
penelitian duduk dan membuang saliva pada wadah penampung
melalui corong di setiap menitnya.
Gambar 3.4. Pengambilan Sampel Saliva
6. Pengukuran saliva dilihat dari saliva yang dikeluarkan oleh subjek
penelitian selama 5 menit. Selanjutnya volume saliva yang dibuang
dicatat.
38
3.6 Indentifikasi Variabel
• Variabel bebas atau independen pada penelitian ini adalah SFR
• Variabel terikat atau dependen pada penelitian ini adalah perokok
pada berbagai tingkat keparahan merokok
• Variabel perancu pada penelitian ini antara lain usia dan
konsumsi obat anti kolinergik dan obat anti adrenergik
3.7 Managemen dan Analisis Data
Data dari kuisioner yang telah diisi subjek penelitian dan data hasil
pengukuran salivary flow rate dimasukkan ke dalam komputer dan dianalisis
menggunakan software SPSS. Dari kedua data tersebut dianalisa secara
deskriptif untuk mengetahui rata-rata atau median, standar deviasi atau
median, dan frekuensi. Normalitas distribusi data diuji dengan uji
Kolomogorov-Smirnov untuk kelompok yang lebih dari 50 orang dan
Shapiro-Wilk untuk kelompok yang kurang dari 50 orang.
Uji hipotesis untuk melihat perbandingan penurunan salivary flow rate
pada perokok dengan berbagai tingkat keparahan merokok diuji dengan
menggunakan uji T-Test apabila distribusi normal dan dengan uji Mann-
Whitney apabila uji tidak normal. Jika didapatkan nilai p<0.05 maka hasilnya
adalah terdapat perbedaan yang bermakna salivary flow rate perokok pada
berbagai tingkat keparahan merokok.
39
3.8 Alur Penelitian
Pembuatan proposal
Pengisian kuisioner
Pengelolaan data
Catat hasil pengambilan sampel saliva dalam satuan (mL/menit)
Dilakukan pengambilan saliva dalam waktu 5 menit dalam satuan (ml/5menit)
Pengambilan sampel saliva (dalam kondisi unstimulated)
Informed consent kepada subjek
Pemilihan subjek penelitian
Mengklasifikasi tingkat keparahan perokok
Ethical Clearance dari Komisi Etik
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian
4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 78 subjek penelitian, 58 dari 78 subjek
merupakan perokok ringan sedang dan 20 subjek merupakan perokok berat
dengan karakteristik jumlah rokok perhari dan lama merokok sesuai pada tabel 4.1
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik Perokok Ringan Sedang (100%)
n=58 Perokok Berat (100%)
n=20
Jumlah Rokok Perhari <11 Batang 11-20 Batang >20 Batang Median (Min-Maks)
17 (29,3%) 28 (65.5%)
3 (5.2%)
0 (0%) 5 (25%)
15 (75%)
12 (2-24) 24 (15-40)
Lama Merokok <6 Tahun 6-10 Tahun >10 Tahun
5 (8,6%) 11 (19%)
42(72,4%)
0 (0%) 0 (0%)
20
Rerata ± SD 18.24 ± 9.5 31.5 ± 7.18
Subjek penelitian perokok ringan-sedang paling tinggi mengkonsumsi 11-20
batang rokok sehari dan pada perokok berat paling tinggi mengkonsumsi >20
batang rokok perhari. Sedangkan dilihat dari lama merokok pada subjek penelitian
perokok ringan-sedang rata-rata telah mengkonsumsi rokok selama 18 tahun dan
pada perokok berat rata-rata telah mengkonsumsi rokok selama 31 tahun.
40
41
4.1.2. Salivary Flow Rate
Berikut ini hasil pengukuran SFR tanpa terstimulasi pada subjek penelitian
berdasarkan tingkat keparahan Gambar 4.1.
Gambar 4.2 Salivary Flow Rate Perokok
Salivary flow rate pada perokok ringan-sedang memiliki nilai median 0.24
ml/menit dengan nilai minimum 0.01 ml/menit dan maximum 1.10 ml/menit.
Kelompok perokok berat memiliki nilai median salivary flow rate 0.26 ml/menit
dengan nilai minimum 0.02 ml/menit dan maksimum 0.52 ml/menit.
Perbandingan salivary flow rate perokok ringan sedang dan perokok berat tidak
berbeda bermakna (p=0.922;Mann-Whitney).
42
Tabel 4.2. Salivary Flow Rate Perokok
Status Merokok Salivary Flow Rate p value
Ringan-Sedang 0.24 (0.01-1.10)*
0.922**
Berat 0.26 (0.02-0.50)* *Median (Minimum-maximum) ** Mann-Whitney
Hasil Pengukuran SFR pada subjek perokok berat didapatkan lebih tinggi
jika dibandingkan dengan subjek perokok ringan-sedang. Hasil yang tidak
bermakna pada penelitian ini dapat disebabkan oleh jumlah sampel yang tidak
memenuhi terutama kelompok perokok berat sehingga mengakibatkan penurunan
validitas. Namun berdasarkan nilai normal SFR yaitu 0.25-0.35 ml/menit, pada
perokok ringan-sedang membuktikan bahwa terdapat penurunan salivary flow rate
dari nilai normal. Paparan rokok pada rongga mulut dapat mengenai saliva
sebagai cairan yang diproduksi untuk melindungi mukosa mulut. Bouquot &
Schroeder telah melaporkan bahwa merokok dapat menyebabkan peningkatan
jangka pendek sekresi saliva, namun efek jangka panjang dari penggunaan
tembakau tidak jelas. Nikotin dalam rokok dapat bekerja pada reseptor kolinergik
tertentu di otak dan organ lain yang dapat menyebabkan aktivasi saraf yang
mengarah pada perubahan sekresi saliva.40 Selain itu, pengunaan rokok
memberikan efek kemoaktraktan langsung yang berpengaruh pada penurunan
mengurangi sensitivitas taste receptor sehingga berespon pada penekanan sekresi
saliva. Pengaruh rokok terhadap penurunan salivary flow rate masih
kontroversial, karena beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa efek dari
rokok tidak mempengaruhi saliva pada salivary flow rate. Khan et.al
mengobservasi adanya beberapa individu yang terbentuk toleransi terhadap efek
saliva dalam penggunaan rokok jangka panjang.10
Penelitian ini memang menunjukkan bahwa rokok tidak mempengaruhi
produksi saliva pada kuantitasnya, namun terdapat kemungkinan bahwa rokok
dapat mempengaruhi kualitas saliva misalnya pH. 41
43
4.3 Aspek Keislaman
Efek rokok yang dapat menimbulkan berbagai penyakit-penyakit dalam
tubuh dengan kandungan 4000 bahan-bahan kimia yang berbahaya di dalamnya
mengharuskan kita memahami bahaya konsumsi rokok bagi diri kita. Pedoman
agama islam Al-Qur’an dan hadits juga memaparkan dengan cukup jelas
mengenai larangan untuk mendatangkan kemudharatan pada diri sendiri maupun
orang lain, sebagaimana Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-baqarah ayat
195:42
“Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri pada kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”(Q.S. Al-baqarah:
195)
Nabi bersabda dalam suatu hadits:
ر ال ��
ار وال ��
“Tidak ada kemudharatan terhadap diri sendiri dan tidak juga kepada orang
lain” (HR. Ibnu Majah no 2341)
Ayat dan hadist tersebut menerangkan larangan merokok yang dapat
merugikan tidak hanya pada diri sendiri namun juga pada orang lain. Oleh karena
itu, manusia sebagai makhluk sempurna yang diberi akal oleh Allah SWT,
memiliki kewajiban untuk berfikir dalam bertindak, memilah kegiatan yang baik
maupun buruk. Sehingga setelah mengetahui buruknya konsumsi rokok sudah
seharusnya bagi perokok memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekat
saat ini untuk mulai mengurangi konsumsi rokok secara perlahan.42
44
4.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain jumlah sampel yang sedikit
karena keterbatasan waktu, dan populasi sampel. Jumlah sampel yang diperlukan
pada penelitian ini berjumlah 61 subjek perokok namun hanya dapat dilakukan 20
perokok berat dan 58 perokok ringan sedang. Diharapkan dengan jumlah sampel
yang lebih banyak dapat menghasilkan data yang lebih bermakna. Ketelitian yang
kurang dalam pengukuran salivary flow rate sebagai keterbatasan peneliti dalam
alat dan bahan penelitian berupa perhitungan jumlah saliva menggunakan tabung
ukur ketelitian 0.5 ml yang seharusnya menggunakan tabung ukur dengan
ketelitian 0.05ml.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat keparahan merokok tidak
berpengaruh secara statistik terhadap salivary flow rate (p>0.05).
5.2. Saran
a. Pengukuran salivary flow rate sebaiknya menggunakan tabung pengukur
yang memiliki ketelitian kurang dari 0.05 ml
b. Pada penelitian ini konsumsi rokok tidak mempengaruhi kualitas jumlah
produksi saliva, namun perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat
efek rokok pada komponen-komponen kuantitas yang terkandung di dalam
saliva misalnya pH41
45
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Dwiyastuti N. Perbedaan pH Saliva antara Perokok dan Bukan Perokok
pada Mahasiswa Teknik Mesin UMS. Surakarta: FK UMS; 2012
2. Imarina F. Studi Kualitatif Literatur. Jakarta: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia; 2008
3. Asri GP. Persepsi dan Sikap Perokok terhadap Inovasi Kemasan Warna
dan Gambar Peringan Kesehatan : Studi Eksplorasi Desain Kemasan.
UAJY; 2012
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia [Internet].
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia; 2003 [Cited 9 September
2015]. Available from: http://klikpdpi.com/konsensus/konsensus-
ppok/ppok.pdf
5. World Health Organization: WHO Report On The Global Tobacco
Epidemic; 2013 [cited 30 Juli 2016] Available from:
www.who.int/iris/bitstream/10665/85380/1/9789241505871_eng.pdf
6. World Health Organization: Global Adult Tobacco Survey: Indonesia
Report; 2011 [cited 30 Juli 2016]. Available from:
www.who.int/tobacco/surveillance/survey/gats/indonesia_report.pdf
7. Almeida PDV, Gregio AMT, Machado MAN, Lima AAS, Azevedo LR.
Saliva Composition and Functions: A Comprehensive Review. Journal of
Contemporary Dental Practice; 2008
8. Guyton & Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008
9. O’Mullaneetal. Saliva and Oral Health. 4rd edition. London: British Dental
Association; 2004
10. Khan GJ, Javed M, Ishaq M. Effect of Smoking on Salivary Flow Rate.
Gomal Journal of Medical Science; 2010
11. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI;
2013
47
12. Rad M, Kakoie S, Brojeni FN, Pourdamghan N. Effect of Long-term
Smoking on Whole-mouth Salivary Flow Rate and Oral Health. Journal of
Dental Research, Dental Clinics, Dental Prospects; 2010
13. Kanwar A, Sah K, Grover N, Chandra S, Singh RR. Long-term Effect of
Tobacco on Resting Whole Mouth Salivary Flow Rate and pH: An
Institutional based Comparative Study. European Journal of General
Densitry 2013; 2(3): 296-299
14. Hidayani TA, Hidajani J. Efek Merokok terhadap Status pH dan Volume
Saliva pada Laki-Laki Dewasa dan Usia Lanjut. Dentika Dental Journal
2011; 16(1): 70-73
15. Pangestu A. Deteksi Salivary Flow Rate pada Pria Perokok dan Non-
Perokok. FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; 2014
16. Zulkeflie NASB. Pengaruh Tekanan Darah pada Perokok di Kalangan
Mahasiswa Lelaki angkatan 2007 FK USU. USU Institutional Repository;
2011
17. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC;
2012
18. Klimek J. Saliva and Oral Health. Lecture Handout for Undergraduate
Students of Dentistry. Germany; 2004
19. Snell RS. Neuroanatomi klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2011
20. Ekstrom J, Khosravani N, Castagnola M, Messana I. Saliva and Control
It’s Secretion. In: Reiser MF, Hricak H, Knauth M, Ekberg O. Dysphagia
Diagnosis and Treatment Medical Radiology Diagnostic Imaging. New
York: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2012: 19-47
21. Rhoades RA. Gastrointestinal Physiology: Neurogastroenterology and
Motility. In: Rhoades RA, Bell DR, editors. Medical Physiology:
Principles for Clinical Medicine Ed 4th. Philadelphia: Lippincott William
and Wilkins; 2013: 471-491
22. Costanzo LS. Fisiologi Gastrointestinal. In: Costanzo LS, Hartono A,
editor. Essential Fisiologi Kedokteran Ed 5. Jakarta: Binarupa Aksara;
2012: 309-340
48
23. Kaurow C, Wowor VNS, Pangemanan DHC. Gambaran Status Karies
Peminum Alkohol di Desa Paku Weru Dua. Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi; 2015
24. Navazesh M, Kumar SK. Measuring salivary flow : Challenges and
opportunities. Journal of The American Dental Association; 2008
25. Vissink A, Wolff A, Veerman ECI. Saliva Collectors. In: Wong DT.
Salivary Diagnostics. USA: Wiley-Blackwell; 2008: 37-59
26. Munasib A. Peran Rokok terhadap Laju aliran saliva Pada Laki-laki
Perokok dan Non-Perokok. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; 2015
27. Gondodiputro, S. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Tembakau.
Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran
Unversitas Padjadjaran; 2007
28. Potts LA, Garwood CL. Varenicline: The newest agent for smoking
cessation. Am J Health-Syst pharm; 2007: 64:1381-4.
29. Petters MD. Morgan LC. The pharmacorherapy of smoking cessation.
Medical Journal of Australia; 2002: 176: 468-90.
30. Foulds J. The neurobiological basis for partial agonist treatment of
nicotine dependence: varenicline. Int J Clin pract 2006; 60(s):571-6.
31. Benowitz NL. Pharmacology of nicotine: Addiction and thera_ peutics.
Annu Rev Pharmacol Toxicol; 1996: 36: 597-613.
32. Sitepoe, M. Kekhususan Rokok Indonesia. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia; 2000
33. Leffondre K, Abrahamowicz M, Siemiatycki J, Rachet B.Modeling
Smoking History: A Comparison of Different Approaches. Am J
Epidemiol 2002; 156(9): 813-823.
34. Kreteks in Indonesia; 2009 [cited 05 Oktober 2016] Available from:
http://global.tobaccofreekids.org/files/pdfs/en/IW_facts_products_Kreteks.
35. Komari D, Helmi, Arvin F. Faktor-faktor penyebab perilaku merokok pada
remaja. Universitas Gadjah Mada Online Journals; 2010
49
36. Kumar V, Cotran RS, Robbins L. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013
37. Saladin [E-book]. Anatomy and Physiology – The Unity of Form and
Function 3rd Ed. McGraw-Hill; 2003
38. Revianti, S. Pengaruh Radikal Bebas Pada Rokok Terhadap Timbulnya
Kelainan Di Rongga Mulut. Dental Jurnal Kedokteran Gigi FKG-UHT
2007; 1(2): 85-89
39. Kusuma ARP. Pengaruh Rokok Terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut.
Majalah Ilmiah Sultan Agung; 2011
40. Bouquot DJ, Schroeder K. Oral effect of tobacco abuse. J Am Dent Inst
Contin Educ; 1992
41. Singh M, Ingle AN, Kaur N, Yadav P, Ingle E. Effect of long-term
smoking on salivary flow rate and salivary pH. Journal of Indian
Associatin of Public Health Dentistry; 2015
42. Himpunan Fatwa Haram Merokok. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-
obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia Provinsi Bali. [cited 05
Oktober 2016] Available from: http://www.halalmuibali.or.id/wp-
content/uploads/2010/07/HIMPUNAN-FATWA-HARAM
MEROKOK.pdf
43. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. US;
John Wiley & Sons; 2011
44. Palomares et al. Unstimulated salivary flow rate, pH and buffer capacity of
saliva in healthy volunteers. Revista Espanola De Enfermedades
Digestivas; 2004
45. Smith PM. Mechanisms of Salivary Secretion. In: Edgar M, Dawes C,
O’Mullane D. Saliva and Oral Health 3rd Ed. London: British Dental
Journal; 2004
50
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Informed Consent dan Kuesioner Responden
51
(Lanjutan)
52
(Lanjutan)
53
(Lanjutan)
54
(Lanjutan)
55
(Lanjutan)
56
(Lanjutan)
57
(Lanjutan)
58
(Lanjutan)
59
(Lanjutan)
60
(Lanjutan)
61
Lampiran 2
Riwayat Penulis
Identitas :
Nama : Arwinda Tanti Mendriyani
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir: Surabaya, 12 Agustus 1995
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Gebang Raya AB-11 Sidoarjo,Jawa Timur
E-mail : [email protected]
Riwayat Pendidikan :
• 2001 – 2007 : SD Hang Tuah 10 Juanda, Sidoarjo
• 2007 – 2010 : SMP Muhammadiyah 1 Sidoarjo
• 2010 – 2013 : SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo
• 2013 – sekarang : Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta