PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA ...
Transcript of PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS ANTARA ...
PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS
ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN
FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1%
PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI
Oleh:
Fany Gunawan
NPM 131221160501
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2021
PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS
ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN
FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1%
PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI
Oleh:
Fany Gunawan
NPM 131221160501
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2021
PERBANDINGAN EFEK SIKLOPLEGIK DAN MIDRIASIS
ANTARA KOMBINASI SIKLOPENTOLAT 1% DAN
FENILEFRIN 2,5% DENGAN DAN TANPA TROPIKAMID 1%
PADA ANAK DENGAN KELAINAN REFRAKSI
Oleh:
Fany Gunawan
NPM 131221160501
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
pada tanggal seperti tertera di bawah ini
Bandung, 31 Maret 2021
Dr. dr. Irawati Irfani, SpM(K), MKes. Dr. dr. Karmelita Satari, SpM(K)
Pembimbing I Pembimbing II
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister, dan/atau doktor), baik dari
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri
tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan oleh Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan nama pengarang dan tercantum dalam daftar
pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya ini, serta sanki lainnya sesuai norma yang
berlaku di perguruan tinggi.
Bandung, Maret 2021
Yang membuat pernyataan,
Fany Gunawan, dr.
131221160501
iv
ABSTRAK
Latar Belakang: Pemeriksaan refraksi sikloplegik pada anak merupakan hal
penting. Sikloplegia yang tidak adekuat memberikan hasil yang tidak akurat
sehingga tatalaksana menjadi kurang tepat. Belum ada agen sikloplegik tunggal
yang ideal sehingga digunakan regimen kombinasi. Kombinasi siklopentolat,
tropikamid, dan fenilefrin serta kombinasi siklopentolat dan fenilefrin merupakan
regimen yang paling banyak digunakan.
Tujuan: Untuk membandingkan efek sikloplegik dan midriasis antara pemberian
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan dan tanpa tropikamid 1%
pada anak dengan kelainan refraksi.
Metode: Penelitian ini merupakan single-blind randomized clinical trial dengan
desain paralel. Anak berusia 6 – 18 tahun dengan kelainan refraksi derajat ringan
hingga sedang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok A memperoleh siklopentolat
1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% (SFT) pada kedua mata, sedangkan
kelompok B memperoleh siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% (SF). Kekuatan
refraksi dan diameter pupil diukur menggunakan autorefraktometer dan IOL
Master®700 saat sebelum pemberian obat, menit ke-20, 30, 45, dan 60 setelah
penetesan obat.
Hasil: Sebanyak 54 subjek (108 mata) terlibat dengan median usia 13 tahun (rerata
12,85±2,84 tahun). Kelainan refraksi terbanyak yaitu astigmatisme miopia
kompositus (50,9%) dan miopia simpleks (32,4%). Regimen SFT memberikan
perubahan kekuatan refraksi dan diameter pupil lebih besar dibanding SF, namun
perbedaannya tidak signifikan (p=0,271; p=0,088). Waktu puncak sikloplegik tidak
berbeda secara bermakna (p=1,000), yaitu tercapai dalam 45 menit setelah
penetesan. Regimen SFT secara signifikan memberikan waktu puncak midriasis
lebih cepat (p=0,031), yaitu dalam 30 menit, sedangkan regimen SF dalam 45
menit.
Kesimpulan: Kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan atau tanpa
tropikamid 1% keduanya memiliki efek sikloplegik yang sama, tetapi penambahan
tropikamid memberikan efek midriasis yang muncul lebih cepat.
Kata Kunci: sikloplegik, midriasis, siklopentolat, tropikamid, fenielfrin, refraksi
v
ABSTRACT
Introduction: Cycloplegic refraction is an essential component of pediatric eye
examination. Inadequate cycloplegia gives inaccurate results lead to inappropriate
therapeutic approaches. There is no ideal single cycloplegic agent, so a
combination regimen is used. The combination of cyclopentolate, tropicamide, and
phenylephrine as well as the combination of cyclopentolate and phenylephrine is
most widely used.
Objective: To compare the effects of cycloplegic and mydriasis between the
combination of 1% cyclopentolate and 2.5% phenylephrine with and without 1%
tropicamide in children with refractive errors.
Methods: This study is a single-blind randomized clinical trial with parallel design.
Children aged 6-18 years with mild to moderate refractive errors were divided into
2 groups. Group A received 1% cyclopentolate, 1% tropicamide, and 2.5%
phenylephrine (SFT) in both eyes, meanwhile group B received 1% cyclopentolate
and 2.5% phenylephrine (SF). Refractive power and pupil diameter were measured
using an autorefractometer and IOL Master®700 before, 20, 30, 45, and 60 minutes
after drug instillation.
Results: A total of 54 subjects (108 eyes) were involved with a median age of 13
years (mean 12.85 ± 2.84 years). Most refractive disorders were compound myopic
astigmatism (50.9%) and simple myopia (32.4%). The SFT regimen yielded slightly
larger results in mean differences of refractive power and pupil diameter rather
than SF, but the difference was not significant (p=0.271; p=0.088). The cycloplegic
peak time did not differ significantly (p=1.000), and reached within 45 minutes
after instillation. SFT gave a significantly faster mydriasis peak time (p=0.031),
reached within 30 minutes, while SF within 45 minutes.
Conclusion: The combination of 1% cyclopentolate and 2.5% phenylephrine with
or without 1% tropicamide both have the same cycloplegic effect, meanwhile
addition of tropicamide provides a more rapid mydriasis effect.
Keywords: cycloplegic, mydriasis, cyclopentolate, tropicamide, pheynylephrine,
refraction
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun
untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter spesialis pada
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 (PPDS-1) Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran dan Pusat Mata Nasional (PMN) Rumah Sakit
Mata Cicendo, Bandung.
Penulis menyampaikan rasa hormat kepada Prof. Dr. Rina Indiastuti, S.E,
M.SIE selaku Rektor Universitas Padjadjaran; Dr. Yudi Mulyana Hidayat, dr.
SpOG(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran sekaligus Ketua Program Studi (KPS)
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; serta Prof.
Dr.med. Tri Hanggono Achmad, dr. dan Dr. Med. Setiawan, dr., AIFM selaku
Rektor dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran periode 2015-2019
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program
Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Irayanti, dr., SpM(K), MMRS
selaku Direktur Utama PMN Rumah Sakit Mata Cicendo; Dr. Antonia Kartika, dr.,
SpM(K), M.Kes selaku Direktur Medik dan Keperawatan; dan bagian Pendidikan
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan ilmu,
mengasah kemampuan, serta menggunakan sarana dan prasarana di bidang Ilmu
Kesehatan Mata di PMN Rumah Sakit Mata Cicendo.
vii
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Arief S.
Kartasasmita, dr., SpM(K), MKes, PhD selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; Dr. Elsa Gustianty, dr.
SpM(K), MKes selaku Plt Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran; Dr. Budiman, dr., SpM(K), MKes selalu
Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Mata terdahulu; Dr. Irawati Irfani, dr.,
SpM(K), M.Kes selaku Kepala Program Studi Ilmu Kesehatan Mata terdahulu; Dr.
Bambang Setiohadji, dr., SpM(K), MH.Kes; Dr. Feti Karfiati Memed, dr., SpM(K),
M.Kes; Susi Heryati, dr., SpM(K); Susanti Natalya Sirait, dr. SpM(K), MKes; Dr.
Antonia Kartika, dr., SpM(K), M.Kes, Ine Renata Musa, dr., SpM(K); Maula
Rifada, dr., SpM(K), M.Kes; Rova Virgana, dr., SpM(K); Angga Fajriansyah, dr.,
SpM(K); Sesy Caesarya, dr. SpM; Arief A. Mustaram, dr., SpM, Patriotika
Muslima, dr. SpM; Elfa Ali Idrus, dr., SpM, beserta seluruh jajaran staf pengajar
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran untuk seluruh
ilmu dan dukungan yang telah diberikan, serta telah menjadi teladan bagi penulis
selama menempuh pendidikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang luar biasa penulis sampaikan
kepada Dr. Irawati Irfani, dr., SpM(K), M.Kes selaku Pembimbing I dan Dr.
Karmelita Satari, dr., SpM(K), selaku Pembimbing II yang dengan sabar dan
berbaik hati membimbing, memberikan masukan serta arahan selama penelitian
berlangsung sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar hingga tahap akhir
penyelesaian tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr.
Andika Prahasta Gandasubrata, dr., SpM(K), M.Kes, selaku Ketua Sidang; Dr.
viii
Angga Kartiwa, dr., SpM(K), M.Kes, Primawita O. Amiruddin, dr., SpM(K),
M.Kes; Mayang Rini, dr., SpM(K), M.Sc, dan Maula Rifada, dr., SpM(K), M.Kes
yang telah banyak memberikan masukan dan gagasan sehingga pada akhirnya tesis
ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih tak lupa pula diucapkan
kepada Heri Hernowo B., Amd.RO, Orthoptist; Rifky, RO; Wulan Eka R, Amd.RO;
R. Hilman Nugraha, Amd.Kep; Ati Aryati, S.Kep, Ners; dan seluruh staf pegawai
Unit Pediatrik Oftalmologi dan Diagnostik PMN Rumah Sakit Mata Cicendo, serta
Ibu Nurvita Trianasari yang telah membantu dalam pengumpulan dan pengolahan
data penelitian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Sri Ambarwati, Ibu
Mumbaryatun, Bapak Ajat Sudrajat, dan Bapak Ludfiansyah selaku staf sekretariat
Pendidikan dan pustakawan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran yang telah banyak membantu penulis selama menempuh pendidikan.
Terima kasih juga disampaikan kepada seluruh karyawan PMN Rumah Sakit Mata
Cicendo atas segala bantuan dan kerjasama yang telah terjalin selama penulis
menempuh pendidikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh rekan residen Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran atas
kebersamaannya selama menempuh pendidikan, terutama kepada angkatan Maret
2017: Tri Wahyu, dr.; Anisa Feby Arifani, dr.; Ivone Caroline, dr.; dan Wioma
Surya Darma, dr., yang telah menjadi keluarga dan teman seperjuangan di saat
susah dan senang.
ix
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ratika, dr., SpM; Niluh Putu Ayu
Dewi W., dr., SpM; Degiana Syabdini Edwiza, dr., SpM; Maya Primagustya
Achmad, dr., SpM; Fatrin Patrycia Salim, dr., SpM; Mia Rachmawati Novitasari,
dr., SpM; Madona Debora, dr.; Azalia Latuasan, dr.; Nikho Melga Shalim, dr.;
David Agung Hutabarat, dr.; dan Marsita Lita, dr. atas kebersamaan, canda dan
tawa, serta semangat yang telah dibagi bersama penulis selama masa pendidikan.
Rasa hormat, syukur, dan kasih sayang tak terhingga ditujukan kepada keluarga
penulis: suami tercinta, Herman, dr., SpM; putra tersayang, Albert Pradipta
Chandra; ayahanda Chandra Gunawan, B.Sc; ibunda Tjatjan Suharti; kakak Liany
Gunawan, S.AB; dan Ferry Dermawan Sutanto, S.Kom; serta keponakan tercinta
Celine Mikhaela Liebe Sutanto, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
serta semangat hingga saat ini.
Terima kasih juga penulis ucapkan kepada guru-guru terdahulu yang telah
menjadi teladan dan memberikan inspirasi kepada penulis untuk melanjutkan
pendidikan di PPDS-1 Ilmu Kesehatan Mata: Dr. Edia Asmara Soelendro, dr.,
SpM(K), M.Kes; Helen Anastasia Manoe, dr., SpM, M.Kes; dan Abraham
Adiwidjaja Sutjiono, dr., SpM.
Terakhir, sebelum menutup kata pengantar ini, terima kasih kepada sahabat
penulis: Florence Fedora, dr.; Melisa Felisia Intan, dr.; Yenny Saputra, dr.; Stefany
Yoanna, dr.; Amelia Hartono, dr.; dan Pamela Yapadi, dr.; Direktur RS Fatima,
Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, Margaretha Indah W., dr., MPH beserta
jajarannya; dan seluruh biarawati Kongregasi Suster Ordo Santo Augustinus (OSA)
atas doa, semangat, dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
x
Akhir kata, semoga Tuhan yang Maha Esa melimpahkan seluruh berkat dan
karunia atas semua yang telah diberikan oleh seluruh pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
Bandung, Maret 2021
Penulis,
Fany Gunawan
xi
DAFTAR ISI
JUDUL .................................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
ABSTRACT ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL............................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 7
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................................. 7
1.4.1. Kegunaan Ilmiah ............................................................................. 7
1.4.2. Kegunaan Praktis ............................................................................ 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS 9
2.1. Kajian Pustaka .......................................................................................... 9
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Iris dan Badan Siliaris ................................ 9
2.1.1.1. Iris ...................................................................................... 9
2.1.1.2. Badan Siliaris ................................................................... 11
2.1.1.3. Sistem Saraf Otonom pada Iris dan Badan Siliaris.......... 13
2.1.1.4. Akomodasi ....................................................................... 16
2.1.2. Pemeriksaan Refraksi Sikloplegik pada Anak .............................. 19
2.1.3. Agen Sikloplegik (Antikolinergik) ............................................... 19
xii
2.1.3.1. Siklopentolat .................................................................... 21
2.1.3.2. Tropikamid ...................................................................... 23
2.1.4. Agen Simpatomimetik .................................................................. 24
2.1.4.1. Fenilefrin ......................................................................... 25
2.2. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 26
2.3. Premis dan Hipotesis............................................................................... 30
2.3.1. Premis ............................................................................................ 30
2.3.2. Hipotesis Penelitian ....................................................................... 31
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN .......................................... 33
3.1. Subjek dan Sampel Penelitian................................................................ 33
3.1.1. Subjek Penelitian ........................................................................... 33
3.1.2. Sampel Penelitian .......................................................................... 33
3.1.2.1. Cara Pemilihan Sampel ................................................... 33
3.1.2.2. Kriteria Inklusi ................................................................. 33
3.1.2.3. Kriteria Eksklusi .............................................................. 34
3.1.2.4. Kriteria Drop Out ............................................................ 35
3.1.2.5. Penentuan Ukuran Sampel............................................... 35
3.2. Metode Penelitian .................................................................................... 37
3.2.1. Rancangan Penelitian .................................................................... 37
3.2.2. Identifikasi Variabel ...................................................................... 37
3.2.2.1. Variabel Bebas dan Tergantung ...................................... 37
3.2.2.2. Definisi Operasional ........................................................ 38
3.2.3. Randomisasi .................................................................................. 39
3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data ................................... 40
3.2.4.1. Cara Kerja ........................................................................ 40
3.2.4.2. Alat Penelitian ................................................................. 42
3.2.4.3. Prosedur Pemeriksaan Autorefraktometri ....................... 43
3.2.4.4. Prosedur Pemeriksaan IOLMaster® 700 ......................... 43
3.2.5. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 44
3.2.6. Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 44
xiii
3.3. Implikasi/Aspek Penelitian ..................................................................... 46
3.4. Alur Penelitian ......................................................................................... 48
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 49
4.1. Hasil .......................................................................................................... 49
4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ..................................................... 49
4.1.2. Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil Setelah Penetesan
Obat ............................................................................................... 52
4.1.3. Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter
Pupil ............................................................................................. 53
4.1.4. Perbandingan Waktu Puncak Sikloplegik dan Waktu Puncak
Midriasis ........................................................................................ 56
4.1.5. Perbandingan Efek Sikloplegik dan Midriasis pada Usia 6 – 12
tahun dan 13 – 18 tahun ................................................................ 59
4.2. Uji Hipotesis ............................................................................................. 61
4.2.1. Hipotesis 1 ..................................................................................... 61
4.2.2. Hipotesis 2 ..................................................................................... 62
4.2.3. Hipotesis 3 ..................................................................................... 62
4.2.4. Hipotesis 4 ..................................................................................... 63
4.3. Pembahasan ............................................................................................. 64
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 72
5.1. Simpulan .................................................................................................. 72
5.2. Saran......................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 74
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 78
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Efek sikloplegik dan midriasis dari agen sikloplegik (antikolinergik) .... 21
Tabel 3.1. Definisi operasional ............................................................................ 38
Tabel 4.1. Gambaran karakteristik subjek penelitian ........................................... 50
Tabel 4.2. Perbandingan karakteristik subjek penelitian antara kelompok SFT
dan SF.................................................................................................. 51
Tabel 4.3. Kekuatan refraksi dan ukuran diameter pupil setelah penetesan obat
antara kelompok SFT dan SF .............................................................. 53
Tabel 4.4. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran
diameter pupil antara kelompok SFT dan SF ...................................... 55
Tabel 4.5. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis
antara kelompok SFT dan SF .............................................................. 57
Tabel 4.6. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran
diameter pupil antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun
dan 13 – 18 tahun ................................................................................ 60
Tabel 4.7. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis
antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun .. 61
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Iris ................................................................................................. ..9
Gambar 2.2. Skema kerja otot iris ..................................................................... 10
Gambar 2.3. Badan siliaris ................................................................................. 11
Gambar 2.4. Lapisan otot siliaris ....................................................................... 12
Gambar 2.5. Sistem saraf otonom pada iris dan badan siliaris .......................... 14
Gambar 2.6. Neurotransmiter dalam pengaturan sistem saraf otonom .............. 15
Gambar 2.7. Mekanisme akomodasi .................................................................. 16
Gambar 2.8. Mekanisme kerja agen sikloplegik sebagai antagonis muskarinik.... 20
Gambar 2.9. Mekanisme kerja norepinefrin dan agen agonis adrenergik
langsung ........................................................................................ 25
Gambar 2.10. Diagram kerangka pemikiran ....................................................... 29
Gambar 3.1. Alur penelitian ............................................................................... 48
Gambar 4.1. Diagram persentase kumulatif waktu puncak sikloplegik antara
kelompok SFT dan SF ................................................................... 58
Gambar 4.2. Diagram persentase kumulatif waktu puncak midriasis antara
kelompok SFT dan SF ................................................................... 58
xvi
DAFTAR SINGKATAN
Δ : nilai selisih atau perbedaan
Ach : asetilkolin
AHC : astigmatisme hipermetropia kompositus
AHS : astigmatisme hipermetropia simpleks
AM : astigmatisme mikstus
AMC : astigmatisme miopia kompositus
AMS : astigmatisme miopia simpleks
Cyclo : siklopentolat
D : dioptri
Ep : epinefrin
HS : hipermetropia simpleks
mm : milimeter
MS : miopia simpleks
Ne : norepinefrin
NPA : near point of accommodation
OD : okulo dekstra
OS : okulo sinistra
Ph : fenilefrin
PMN : Pusat Mata Nasional
PO : Pediatrik Oftalmologi
RS : Rumah Sakit
xvii
RSMC : Rumah Sakit Mata Cicendo
SB : simpangan baku
SE : spherical equivalent
SF : kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%
SFT : kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5%
TF : kombinasi tropikamid 1% dan fenilefrin 2,5%
Trop : tropikamid
TS : kombinasi tropikamid 1% dan siklopentolat 1%
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan penyebab gangguan
penglihatan dan kebutaan kedua di dunia. Sebanyak 2,2 miliar penduduk dunia
diperkirakan memiliki gangguan penglihatan atau kebutaan dengan 123,7 juta di
antaranya disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi. Sebanyak 19 juta
anak secara global memiliki gangguan penglihatan dengan 12 juta di antaranya
disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak terkoreksi.1–3
Data kelainan refraksi anak berbasis populasi di Indonesia masih terbatas, tetapi
prevalensinya cukup tinggi. Studi yang dilakukan oleh Mahayana dkk. di
Yogyakarta dan Jawa Tengah menunjukkan prevalensi kelainan refraksi yang tidak
terkoreksi pada anak sekolah dasar di daerah urban dan suburban yaitu sebesar
10,1% dan 12,3%. Studi Halim dkk. menunjukkan prevalensi kelainan refraksi pada
anak usia 11 – 15 tahun di daerah suburban di Bandung sebesar 15,9% dengan kasus
yang tidak terkoreksi sebesar 12,1%. Studi lain dilakukan oleh Nikmah dkk. pada
kelompok umur yang sama di Bandung dan menunjukkan prevalensi kelainan
refraksi sebesar 18,39% dengan 56,3% di antaranya tidak terkoreksi. Kelainan
refraksi pada anak penting untuk ditangani karena dapat menyebabkan ambliopia,
gangguan penglihatan, dan kebutaan. Gangguan penglihatan dan kebutaan pada
anak memberikan dampak terhadap rendahnya performa akademis di sekolah,
gangguan perkembangan kecerdasan, dan hambatan kehidupan sosial anak yang
2
selanjutnya dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan dalam pekerjaan pada
saat dewasa sehingga meningkatkan tingkat kemiskinan masyarakat.2–6
Pemeriksaan dengan sikloplegik merupakan komponen penting dari
pemeriksaan refraksi pada anak, terutama pada anak usia kecil, hipermetropia
tinggi, atau disertai strabismus. Sikloplegia yang maksimal pada anak diperlukan
untuk mendapatkan pengukuran kelainan refraksi yang akurat karena tonus
akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa. Pemeriksaan refraksi
tanpa sikloplegik dapat memberikan kelebihan pengukuran pada miopia atau
kekurangan pengukuran pada hipermetropia.7–11
Agen sikloplegik menyebabkan berkurangnya akomodasi serta dilatasi pupil
(midriasis). Agen sikloplegik dikatakan ideal apabila memiliki onset kerja yang
cepat, waktu pemulihan yang cepat, memberikan efek sikloplegik yang adekuat,
dan tidak menimbulkan efek samping lokal atau sistemik. Belum ada agen
sikloplegik tunggal yang memenuhi semua kriteria tersebut. Atropin merupakan
standar baku emas untuk sikloplegik maksimal, namun efek buram yang panjang,
onset yang lambat, waktu pemulihan yang lama, dan efek samping yang cukup berat
membatasi penggunaan obat ini dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik. Dua agen
sikloplegik lainnya yang paling sering digunakan, yaitu siklopentolat dan
tropikamid.7,10,12–14
Siklopentolat telah dipergunakan sebagai obat pilihan utama untuk pemeriksaan
sikloplegik anak. Siklopentolat mampu memberikan efek sikloplegik yang hampir
setara dengan atropin, tetapi dengan onset yang lebih cepat, durasi lebih pendek,
dan efek samping sistemik lebih rendah. Namun, efikasi siklopentolat berkurang
3
pada subjek dengan iris gelap karena adanya ikatan yang signifikan dengan melanin
iris. Dosis yang dibutuhkan menjadi lebih banyak atau konsentrasi menjadi lebih
tinggi agar tercapai efek sikloplegik yang adekuat.7,10,12–18
Tropikamid memiliki efek sikloplegik yang tidak sekuat siklopentolat sehingga
kurang adekuat untuk pemeriksaan refraksi pada anak dengan hipermetropia bila
dipergunakan sebagai agen tunggal. Meskipun demikian, tropikamid memiliki
onset midriasis yang lebih cepat, sensasi perih yang lebih ringan, serta ikatan
substansinya yang lemah terhadap melanin iris. Studi yang dilakukan Chng
dkk.menunjukkan bahwa tropikamid 1% memiliki efek sikloplegik yang serupa
dengan siklopentolat 1% pada subjek dengan iris gelap dengan efek midriasis yang
lebih superior.10–12,16–19
Banyak klinisi telah beralih menggunakan regimen kombinasi untuk
memperoleh efek sikloplegik dan midriasis maksimal, tetapi hingga saat ini masih
belum ada konsensus tentang regimen obat yang optimal untuk anak. Agen
simpatomimetik, seperti fenilefrin, sering ditambahkan untuk meningkatkan efek
midriasisnya. Dilatasi pupil yang adekuat diperlukan untuk memudahkan evaluasi
dan tatalaksana penyakit segmen posterior, penegakan diagnosis ambliopia, serta
penilaian refleks retinoskop. Dilatasi pupil juga seringkali digunakan sebagai
parameter dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik. Kebanyakan optometris atau
oftalmologis menunggu sampai pupil berdilatasi penuh atau tidak responsif
terhadap cahaya untuk melakukan pemeriksaan refraksi sikloplegik. Beberapa agen
sikloplegik memiliki onset midriasis yang tidak sebanding dengan onset
sikloplegiknya sehingga menggunakan ukuran pupil sebagai parameter memulai
4
pemeriksaan sikloplegik merupakan hal yang kurang tepat. Kondisi tersebut dapat
mengakibatkan waktu tunggu yang lama jika efek sikloplegik maksimal telah
tercapai sebelum dilatasi pupil maksimal, atau kesalahan dalam pengukuran
refraksi bila efek sikloplegik belum adekuat saat pupil berdilatasi maksimal.7–
9,12,14,20
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membandingkan efek sikloplegik dan
midriasis dari agen sikloplegik beserta kombinasinya, tetapi hasil yang diperoleh
berbeda-beda. Studi Patel dkk. menunjukkan kombinasi tropikamid, siklopentolat,
dan fenilefrin serta kombinasi siklopentolat dan fenilerin merupakan regimen yang
paling sering digunakan di Amerika Serikat. Siklopentolat secara sinergis dapat
meningkatkan durasi sikloplegik apabila dikombinasi dengan tropikamid terutama
pada mata dengan iris gelap. Meskipun demikian, studi lain menyatakan
penambahan tropikamid dalam kombinasi siklopentolat dan fenilefrin
menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Tropikamid dianggap memiliki
mekanisme antikolinergik yang serupa dengan siklopentolat, yaitu bekerja pada
reseptor muskarinik yang sama, tetapi efikasinya lebih rendah sehingga apabila
tropikamid dihilangkan tidak akan mempengaruhi efek sikloplegik dan midriasis
yang dihasilkan.7,10,13–16,21,22
Penggunaan jenis obat mata yang banyak dengan konsentrasi yang tinggi dapat
meningkatkan risiko efek samping serta biaya operasional. Regimen agen
sikloplegik yang digunakan di Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional
Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung untuk anak berusia di atas 1 tahun adalah
kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 10%. Penggunaan
5
fenilefrin dengan konsentrasi lebih rendah, yaitu 2,5%, lebih direkomendasikan
bagi pasien anak-anak atau orang lanjut usia karena adanya efek samping sistemik,
seperti takikardi dan peningkatan tekanan darah.7,15,23–25
Belum ada standar operasional di Unit Pediatrik Oftalmologi tentang komposisi
regimen, pola penetesan, serta konsentrasi obat yang dianggap cukup ideal untuk
anak. Regimen obat saat ini diberikan secara bergantian tiap 10 – 15 menit hingga
4 – 5 kali pemberian dengan pola penetesan yang belum seragam. Penetesan
pertama dan ketiga menggunakan siklopentolat, sedangkan penetesan kedua,
keempat, dan kelima menggunakan tropikamid saja, fenilefrin saja, atau keduanya.
Banyaknya jumlah penetesan obat dapat memberikan pengalaman yang traumatis
bagi pasien akibat rasa perih dan terbakar yang ditimbulkan. Pasien anak menjadi
tidak nyaman dan kurang kooperatif untuk pemeriksaan selanjutnya sehingga waktu
pelayanan menjadi lebih lama. Pemeriksaan refraksi sikloplegik juga dilakukan
setelah menunggu pupil berdilatasi maksimal dan tidak berespon terhadap cahaya.
Hal tersebut turut memperpanjang waktu pelayanan pasien karena tidak diketahui
onset maksimal dari efek sikloplegik dan midriasis regimen obat.7,15,21,23
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek sikloplegik (perubahan
kekuatan refraksi dan waktu puncak sikloplegik) serta efek midriasis (perubahan
ukuran diameter pupil dan waktu puncak midriasis) antara pemberian kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%, dengan dan tanpa tropikamid 1% pada anak
dengan kelainan refraksi.
Berdasarkan uraian di atas, tema sentral penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pemeriksaan dengan sikloplegik merupakan komponen penting dari pemeriksaan
refraksi pada anak karena tonus akomodasi yang lebih tinggi dibandingkan dewasa.
6
Hingga saat ini belum ada agen sikloplegik tunggal yang ideal. Banyak klinisi beralih
menggunakan regimen kombinasi atau menambahkan agen simpatomimetik, seperti
fenilefrin, untuk memaksimalkan efeknya, tetapi belum ada konsensus regimen yang
optimal untuk anak. Penelitian mengenai agen sikloplegik dan kombinasinya telah
banyak dilakukan, tetapi memberikan hasil yang berbeda-beda. Siklopentolat secara
sinergis dapat meningkatkan efek sikloplegik apabila dikombinasi dengan tropikamid
terutama pada mata dengan iris gelap. Akan tetapi, studi lain menyebutkan
tropikamid bekerja pada reseptor muskarinik yang sama dengan siklopentolat dengan
efikasi yang lebih rendah sehingga tidak mempengaruhi efek apabila dihilangkan.
Sementara itu, penggunaan jenis obat mata yang banyak dapat meningkatkan risiko
efek samping dan biaya operasional serta rasa ketidaknyaman akibat rasa perih saat
penetesan. Dilatasi pupil diperlukan dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik untuk
evaluasi segmen posterior, diagnosis ambliopia, serta penilaian refleks retinoskop.
Dilatasi pupil juga sering dijadikan sebagai parameter untuk melakukan pemeriksaan
refraksi sikloplegik. Pemeriksaan refraksi baru dilakukan setelah pupil berdilatasi
penuh atau tidak berespon terhadap cahaya, padahal agen sikloplegik memiliki onset
midriasis yang tidak selalu sama dengan onset sikloplegiknya. Kondisi tersebut
mengakibatkan pemeriksaan refraksi sikloplegik menjadi tidak akurat dan kurang
efisien.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut.
1. Apakah terdapat perbedaan perubahan kekuatan refraksi antara pemberian
kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan
dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan
kelainan refraksi?
2. Apakah terdapat perbedaan perubahan ukuran diameter pupil antara pemberian
kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan
dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan
kelainan refraksi?
3. Apakah terdapat perbedaan waktu puncak sikloplegik antara pemberian
kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan
7
dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan
kelainan refraksi?
4. Apakah terdapat perbedaan waktu puncak midriasis antara pemberian
kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan
dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan
kelainan refraksi?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Membandingkan efek sikloplegik (perubahan kekuatan refraksi dan waktu
puncak sikloplegik) antara pemberian kombinasi siklopentolat 1% dan
fenilefrin 2,5% dengan atau tanpa tropikamid 1% pada anak dengan kelainan
refraksi.
2. Membandingkan efek midriasis (perubahan ukuran diameter pupil dan waktu
puncak midriasis) antara pemberian kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin
2,5% dengan atau tanpa tropikamid 1% pada anak dengan kelainan refraksi.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Ilmiah
Penelitian ini dapat menambah bukti ilmiah mengenai efek sikloplegik dan
midriasis dari kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan atau tanpa
tropikamid 1% pada anak dengan kelainan refraksi.
8
1.4.2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menghindari efek samping okular dan sistemik
akibat pemberian agen sikloplegik dengan jumlah dan konsentrasi yang berlebihan,
memperpendek waktu tunggu pemeriksaan, mengurangi biaya operasional yang
tidak diperlukan, serta mengurangi ketidaknyamanan pada pasien anak sehingga
dapat dijadikan rekomendasi dalam standar operasional pemberian regimen obat
sikloplegik untuk pemeriksaan refraksi pada anak.
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Anatomi dan Fisiologi Iris dan Badan Siliaris
2.1.1.1. Iris
Iris merupakan bagian paling anterior dari lapisan uvea dan berada di depan
lensa. Bagian tengah iris memiliki apertura yang disebut pupil dan berfungsi
sebagai diafragma dalam mengatur jumlah cahaya yang masuk ke dalam mata,
mengontrol aberasi optik, kedalaman fokus, serta berperan dalam aliran humor
akuos. Iris membagi ruang antara kornea dan lensa menjadi kamera okuli anterior
dan posterior.26,27
Gambar 2.1. Iris Dikutip dari: Skalicky26
Iris terdiri dari beberapa lapisan, yaitu lapisan permukaan anterior, stroma dan
otot siliaris, serta lapisan epitel iris. Lapisan permukaan anterior merupakan
10
kondensasi dari stroma iris yang mengandung fibroblas dan melanosit. Permukaan
anterior iris secara makroskopis tampak seperti beludru. Lapisan ini menentukan
warna dari iris seseorang, di mana pada iris terang, lapisan ini tipis dan mengandung
sedikit sel pigmen, sedangkan pada iris gelap, lapisan ini tebal dan banyak sel
berpigmen.26,27
Stroma iris merupakan komponen utama dari iris. Lapisan ini terdiri dari jaringan
longgar serabut kolagen dengan substansi dasar mukopolisakarida. Stroma iris
mengandung otot siliaris, pembuluh darah, saraf, sel berpigmen (melanosit dan
clump cell), dan sel tidak berpigmen (fibroblas, limfosit, makrofag, dan sel mast).27
Otot siliaris terletak pada stroma iris dan terdiri dari 2 jenis, yaitu otot sfingter
pupil dan otot dilator pupil. Kedua otot tersebut berfungsi untuk mengatur besar
diameter pupil. Otot sfingter pupil memiliki bentuk seperti cincin yang mengelilingi
tepi pupil dengan lebar 0,75 – 1 mm. Otot sfingter pupil diinervasi oleh sistem
parasimpatis dan kontraksinya menyebabkan konstriksi pupil (miosis). Otot dilator
pupil tersusun secara radial dan terletak memanjang dari akar iris hingga mendekati
sfingter pupil. Otot dilator pupil diatur oleh sistem simpatis dan kontraksinya
menyebabkan dilatasi pupil (midriasis).26,27
Gambar 2.2. Skema kerja otot iris Dikutip dari: Szczepanowska-Nowak dkk.28
11
Epitel iris terletak pada permukaan posterior iris dan terdiri dari 2 lapis sel
berpigmen, yaitu epitel anterior dan posterior. Epitel yang terletak lebih anterior
berlanjut menjadi epitel badan siliar berpigmen, sedangkan epitel posterior
berlanjut menjadi epitel badan siliar tidak berpigmen.26,27
2.1.1.2. Badan Siliaris
Badan siliaris merupakan lapisan uvea yang berfungsi dalam proses akomodasi
dan produksi humor akuos. Badan siliaris memiliki struktur berbentuk cincin
dengan lebar 5,9 mm pada sisi nasal dan 6,7 mm pada sisi temporal. Badan siliaris
memiliki bentuk triangular pada potongan sagital. Basisnya mengarah ke sisi
anterior dengan salah satu ujungnya berada pada taji sklera. Bagian tengah basis
badan siliaris berlekatan langsung dengan akar iris. Apeks badan siliaris berada
pada ora serrata.26,27
Gambar 2.3. Badan siliaris
(A) Penampang koronal (dilihat dari sisi posterior)
(B) Penampang melintang Dikutip dari: Netter29
12
Badan siliaris terbagi menjadi 2 bagian, yaitu pars plikata dan pars plana. Pars
plikata berada di anterior dan mengandung 70 – 80 prosesus siliaris yang
memanjang ke kamera okuli posterior, sedangkan pars plana berada di sisi posterior
dan berakhir pada ora serrata. Serat zonula lensa berasal dari badan siliaris, berjalan
melengkung, dan selanjutnya melekat pada kapsul lensa mulai sekitar 1 mm
posterior dari ekuator hingga 1,5 mm anterior dari ekuator lensa.26,27
Gambar 2.4. Lapisan otot siliaris Dikutip dari: Skalicky26
Badan siliaris terdiri dari otot siliaris, stroma siliaris, dan epitel siliaris. Otot
siliaris berperan dalam proses akomodasi. Otot siliaris terdiri dari 3 kelompok otot
polos, yaitu otot longitudinal atau meridional (otot Brücke), radial, dan sirkular
(otot Müller). Otot longitudinal berada paling luar dan berjalan paralel dengan
sklera. Otot tersebut berbentuk huruf V dengan basis berorigo pada taji sklera dan
berinsersi pada sepertiga anterior koroiddengan terminasi berbentuk stelat (“muscle
13
stars”). Otot radial berjalan oblik di antara otot longitudinal dan otot sikular. Otot
ini berorigo pada taji sklera, dan berinsersi pada jaringan penyokong sekitar
prosesus siliaris. Otot sirkular merupakan otot yang berada paling dalam dan
bekerja dengan mekanisme sfingter. Otot tersebut berjalan paralel dengan limbus
dan berada di dekat arkus arterial mayor iris. Otot siliaris diinervasi oleh sistem
saraf otonom. Aktivasi serabut saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot
siliaris sehingga terjadi akomodasi. Serabut simpatis juga berperan dalam
memodulasi amplitudo akomodasi dengan mengurangi tension otot siliaris.26,27
2.1.1.3. Sistem Saraf Otonom pada Iris dan Badan Siliaris
Otot iris dan otot siliaris diinervasi oleh sistem saraf otonom, yaitu sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Serabut saraf parasimpatis berasal dari nukleus Edinger-
Westhpal di otak tengah (midbrain). Jaras aferen pupil pada mulanya berjalan
bersama dengan jaras visual hingga kemudian berpisah pada sepertiga bagian
posterior traktus optikus. Serabut saraf tersebut selanjutnya berjalan dalam
kolikulus superior dan bersinapsis di nukleus olivarius pretektal. Serabut saraf
selanjutnya berjalan mencapai nukleus Edinger Westhpal, baik direk ipsilateral
maupun indirek kontralateral via komisura posterior. Serabut saraf parasimpatis
preganglion yang berasal dari nukleus ini kemudian berjalan bersama saraf
okulomotor dan bersinapsis di ganglion siliaris. Serabut saraf parasimpatis
postganglion selanjutnya berjalan mencapai otot sfingter pupil dan otot siliaris
melalui saraf siliaris brevis. Aktivasi serabut saraf parasimpatis menyebabkan
pelepasan neurotransmiter asetilkolin pada neuromuscular junction yang bila
14
berikatan dengan reseptor muskarinik menyebabkan kontraksi otot sehingga terjadi
akomodasi dan konstriksi pupil.26,27,30
Gambar 2.5. Sistem saraf otonom pada iris dan badan siliaris Dikutip dari: Netter31
Sistem saraf simpatis berada dalam kontrol hipotalamus. Serabut saraf simpatis
yang berasal dari hipotalamus berjalan turun dalam kolumna lateral medula spinalis
dan selanjutnya bersinapsis di pusat siliospinal Budge pada medula spinalis C8-T1.
Serabut saraf simpatis preganglion tersebut kemudian berjalan meninggalkan
medula spinalis dan bersinapsis di ganglion servikalis superior yang berlokasi pada
15
pleksus periarterial di dekat bifurkasio arteri karotis. Serabut saraf simpatis
postganglion kemudian berjalan via saraf siliaris longus untuk mencapai otot dilator
pupil serta otot siliaris. Sebagian serabut saraf simpatis postganglion bercabang,
berjalan melalui ganglion siliaris tanpa bersinapsis, kemudian bersama dengan saraf
siliaris brevis menginervasi koroid dan pembuluh darah.26,27,30
Aktivasi sistem simpatis menyebabkan pelepasan neurotransmiter noradrenalin
pada neuromuscular junction sehingga bila berikatan dengan reseptor adrenergik di
otot dilator pupil akan menyebabkan kontraksi otot dan dilatasi pupil, sedangkan
sistem simpatis pada otot siliaris berperan dalam memodulasi amplitudo akomodasi
dengan mengurangi tension otot siliaris. Efek simpatis pada otot siliaris relatif kecil
dan bekerja terutama saat aktivitas dekat berkepanjangan.26,27,30
Faktor yang mempengaruhi kemampuan dilatasi pupil adalah usia, warna iris,
kelainan okular dan sistemik, kelainan neurologis, kejernihan media optik, keadaan
psikologis, serta tingkat pencahayaan. Ukuran dilatasi pupil maksimal yang cukup
adekuat untuk pemeriksaan oftalmoskopi yaitu sebesar 6 – 7 mm.25–27,32
Gambar 2.6. Neurotransmiter dalam pengaturan sistem saraf otonom Dikutip dari: Remington27
16
2.1.1.4. Akomodasi
Akomodasi adalah kemampuan mata untuk meningkatkan kekuatan dioptri lensa
secara dinamis untuk mempertahankan bayangan tetap fokus di retina saat
perubahan dari penglihatan jauh ke dekat. Akomodasi disebabkan oleh kontraksi
otot siliaris dengan mekanisme kerja didasarkan pada teori Helmholtz. Kontraksi
otot longitudinal menyebabkan koroid terdorong ke depan, sementara kontraksi otot
sirkular menyebabkan badan siliaris berada lebih dekat ke lensa dan diameter cincin
badan siliaris mengecil. Hal tersebut menyebabkan relaksasi serat zonula lensa
sehingga tegangan kapsul lensa menjadi berkurang. Tegangan yang berkurang
disertai adanya elastisitas kapsul lensa memungkinkan bentuk lensa menjadi lebih
sferikal. Peningkatan radius kurvatura permukaan anterior dan posterior lensa
meningkatkan kekuatan dioptrinya. Apabila otot siliaris berelaksasi, serat zonula
lensa menjadi lebih tegang sehingga terbentuk gaya sentrifugal pada kapsul lensa
yang menyebabkan pendataran permukaan anterior dan posterior lensa.26,27,33
Gambar 2.7. Mekanisme akomodasi Dikutip dari: Ciuffreda33
17
Akomodasi bekerja bersama dengan konstriksi pupil dan konvergensi untuk
penglihatan dekat. Otot sfingter iris berkontraksi sehingga membatasi cahaya yang
masuk dan mengurangi aberasi sferis. Gerakan konvergensi kedua mata menjaga
agar bayangan yang diterima kedua mata tetap sama dan fokus pada retina saat
penglihatan binokular dekat.26,27,33
Kemampuan akomodasi anak mencapai taraf dewasa saat usia 3 – 4 bulan.
Kemampuan akomodasi terdiri dari 4 komponen, yaitu refleks akomodasi,
akomodasi vergensi, akomodasi proksimal, dan tonus akomodasi. Refleks
akomodasi merupakan penyesuaian otomatis dan involunter dari status refraksi
terhadap input bayangan yang buram agar bayangan tersebut dapat dipertahankan
kembali fokus di retina. Refleks ini dapat mengkompensasi kondisi buram yang
ringan, tetapi kondisi buram yang lebih berat membutuhkan usaha akomodasi
volunter. Refleks akomodasi merupakan komponen akomodasi yang paling
penting, baik saat penglihatan monokular ataupun binokular. Akomodasi vergensi
terbentuk ketika terjadi pergerakan konvergensi kedua mata saat penglihatan
binokular agar bayangan dari kedua mata sama dan fokus pada retina, sedangkan
akomodasi proksimal muncul ketika seseorang menyadari terdapat objek yang
mendekati mata. Mata juga memiliki akomodasi residual saat dalam kondisi
istirahat dan tanpa stimulus yaitu sebesar 0,5 – 1,5 dioptri (D) pada dewasa muda.
Akomodasi tersebut disebut sebagai tonus akomodasi yang merefleksikan status
basal inervasi neural dari otak tengah.26,33,34
Kemampuan akomodasi dipengaruhi oleh usia dan status kelainan refraksi.
Amplitudo akomodasi paling tinggi ditemukan pada anak dan berkurang seiring usia
18
hingga minimal pada usia sekitar 60 tahun. Pasien dengan miopia yang telah
dikoreksi memiliki amplitudo akomodasi yang tinggi, diikuti pasien emetropia, dan
paling rendah ditemukan pada pasien hipermetropia terkoreksi. Mata dengan miopia
juga memiliki accommodation lag yang lebih besar. Chen dkk. mengatakan anak
dengan miopia memiliki badan siliaris yang lebih tebal sehingga menyebabkan
inakurasi akomodasi. Aksial bola mata yang panjang juga menimbulkan penyebaran
tegangan saat badan siliar berkontraksi ke koroid sehingga munculnya efek
akomodasi terlambat. Selain itu, mata dengan hipermetropia memiliki near point of
accommodation (NPA) yang lebih rendah. Pasien dengan hipermetropia, terutama
usia muda, lebih sering menggunakan kemampuan akomodasinya secara terus-
menerus untuk penglihatan jauh dan dekat dibanding emetropia dan miopia.
Penggunaan akomodasi yang sering tersebut menyebabkan kemampuan akomodasi
menjadi lebih berkembang dan refleks akomodasi menjadi lebih kuat. Hal ini selaras
dengan latihan ortoptik untuk meningkatkan kemampuan akomodasi melalui
akomodasi berulang. Amplitudo akomodasi juga dipengaruhi oleh keadaan
ambliopia. Mata dengan ambliopia memiliki amplitudo akomodasi yang lebih rendah
dibanding mata nonambliopik.35–41
Akomodasi merupakan proses yang simetris dengan respon yang setara antara
kedua mata. Beberapa studi menyebutkan terdapat beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan proses tersebut menjadi asimetris, seperti anisometropia yang tidak
terkoreksi, ambliopia unilateral, konvergensi yang asimetrik, dan sklerosis lensa
yang tidak sama antara kedua mata. Studi Toor dkk. menyebutkan hanya sebesar
19% dari anak dengan ambliopia anisometropik hipermetropia yang memiliki
19
akomodasi yang simetris, sementara 81% sisanya memiliki akomodasi asimetris.
Berkurangnya kemampuan akomodasi pada mata dengan ambliopia anisometropik
tersebut disebabkan karena berkurangnya rangsang sensoris pada area retina sentral
akibat bayangan optik yang buram pada salah satu mata.42–45
2.1.2. Pemeriksaan Refraksi Sikloplegik pada Anak
Pemeriksaan dengan sikloplegik merupakan komponen penting dari
pemeriksaan refraksi pada anak, terutama pada anak usia lebih kecil, hipermetropia
tinggi, atau disertai strabismus. Sikloplegia yang maksimal pada anak diperlukan
untuk mendapatkan pengukuran kelainan refraksi yang akurat karena tonus
akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa. Pemeriksaan refraksi
tanpa sikloplegik dapat memberikan kelebihan pengukuran pada miopia atau
kekurangan pengukuran pada hipermetropia.7–10,12,14
2.1.3. Agen Sikloplegik (Antikolinergik)
Agen sikloplegik bekerja dengan cara mencegah ikatan asetilkolin dengan
reseptor muskarinik pada sistem saraf parasimpatis otot siliaris. Reseptor
muskarinik memiliki 5 subtipe, yaitu M1 – M5. Sebesar 60 – 75% reseptor
muskarinik pada sfingter iris dan badan siliaris adalah subtipe M3, dan 5 – 10%
adalah subtipe M2 dan M4. Sebesar 7% reseptor pada prosesus siliaris dan sfingter
iris adalah subtipe M1. Reseptor subtipe M5 hanya terdapat pada sfingter iris, yaitu
sebesar 5%.17,18,27
20
Blokade asetilkolin yang terjadi menyebabkan relaksasi otot siliaris dan
berkurangnya akomodasi. Hal tersebut juga menghambat sistem saraf parasimpatis
pada iris yang menyebabkan paralisis otot sfingter pupil sehingga terjadi dilatasi
pupil. Agen sikloplegik disebut juga sebagai antikolinergik, antimuskarinik, atau
antagonis kolinergik.7,17,18,27
Gambar 2.8. Mekanisme kerja agen sikloplegik sebagai antagonis muskarinik Dikutip dari: Remington27
Agen sikloplegik dikatakan ideal apabila memiliki onset kerja yang cepat, waktu
pemulihan yang cepat, memberikan efek sikloplegik yang adekuat, dan tidak
menimbulkan efek samping lokal atau sistemik. Agen sikloplegik topikal yang
tersedia, yaitu atropin sulfat, homatropin hidrobromid, skopolamin hidrobromid,
siklopentolat hidroklorid, dan tropikamid. Tabel 2.1. menunjukkan onset dan durasi
kerja efek sikloplegik dan midriasis dari kelima obat tersebut.7–12,17,20
Belum ada agen sikloplegik yang memenuhi keseluruhan kriteria agen
sikloplegik yang ideal. Atropin merupakan standar baku emas untuk sikloplegik
maksimal, namun efek buram yang panjang, onset yang lambat, waktu pemulihan
yang lama, dan efek samping yang cukup berat membatasi penggunaan obat ini.
Dua agen sikloplegik lainnya yang paling sering digunakan, yaitu siklopentolat dan
tropikamid.7,10,12,13
21
Tabel 2.1 Efek sikloplegik dan midriasis dari agen sikloplegik (antikolinergik)
Obat
Konsentrasi
Sediaana
(%)
Midriasis Paralisis Akomodasi
Maksimal
(menit)
Pemulihanb
(hari)
Maksimal
(menit)
Pemulihanc
(hari)
Atropin sulfat 1 30 – 40 7 – 10 60 – 180 7 – 12
Homatropin
hidrobromid
1d 40 – 60 1 – 3 30 – 60 1 – 6
Skopolamid
hidrobromid
0,5 20 – 30 3 – 7 30 – 60 3 – 7
Siklopentolat
hidroklorid
0,5 – 1,0 20 – 45 1 20 – 45 0,25 – 1,00
Tropikamid 0,5 – 1,0 20 – 35 0,25 20 – 45 0,25 aSatu kali penetesan dari 1 tetes sediaan bUkuran diameter pupil berada dalam 1 mm dari ukuran diameter pupil awal. cAmplitudo akomodasi berada dalam 2 D dari amplitudo akomodasi awal; kemampuan untuk membaca mungkin dilakukan pada hari ketiga setelah pemberian atropin dan skopolamin dan pada 6 jam setelah
penetesan homatropin. dMidriasis dan paralisis akomodasi sempurna membutuhkan penetesan konsentrasi 5%
Dikutip dari: Frazier dkk.17
2.1.3.1. Siklopentolat
Siklopentolat merupakan ester yang larut air dan tersedia dalam konsentrasi
larutan 0,5, 1, dan 2%. Siklopentolat telah dipergunakan sebagai obat pilihan utama
untuk pemeriksaan sikloplegik anak karena mampu memberikan efek sikloplegik
yang hampir setara dengan atropin tetapi dengan onset yang lebih cepat, durasi yang
lebih pendek, dan efek samping sistemik lebih rendah. Berbeda dengan atropin dan
homatropin, siklopentolat memiliki onset sikloplegik maksimal yang mendekati
onset midriasis maksimalnya sehingga pemeriksaan refraksi sikloplegik yang
adekuat dapat dilakukan ketika pupil berdilatasi sempurna. Efek midriasis muncul
dalam 20 – 30 menit, sedangkan efek sikloplegiknya muncul dalam 30 – 40 menit.
Pemulihan sempurna terjadi dalam 24 jam, tetapi sebagian besar pasien sudah
merasa pemulihan amplitudo akomodatif yang cukup untuk aktivitas dekat dalam 6
– 12 jam.7,10,12,13,17,18
Kekurangan siklopentolat yaitu penetrasi kornea yang kurang baik dan adanya
ikatan signifikan dengan melanin iris. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya
22
substansi aktif pada reseptor otot siliaris sehingga dosis yang diperlukan menjadi
lebih banyak atau konsentrasi yang lebih tinggi bagi subjek dengan iris gelap agar
tercapai efek sikloplegik dan midriasis yang adekuat. Pada orang dengan iris terang,
efek sikloplegia muncul dalam 10 menit setelah penetesan larutan 1%, tetapi pada
orang kulit hitam atau dengan iris gelap membutuhkan waktu 40 menit hingga efek
sikloplegia tersebut muncul. Efek sikloplegia dan midriasis bertahan lebih lama
pada orang kulit hitam dan iris gelap dibandingkan dengan iris terang. Penambahan
obat kombinasi, seperti fenilefrin atau tropikamid juga dapat dilakukan untuk
memperoleh pemeriksaan retinoskopi dan oftalmoskopi yang adekuat pada mata
dengan iris gelap.14–18
Efek samping okular siklopentolat yang paling sering adalah rasa perih dan
menyengat saat penetesan. Derajat iritasi tersebut tergantung pada konsentrasi yang
digunakan. Konsentrasi 0,5% memberikan rasa perih dan efek lakrimasi yang
paling minimal. Penggunaan berulang siklopentolat dengan konsentrasi tinggi
dapat menyebabkan keratitis pungtata superficial dengan hiperemis konjungtiva.
Siklopentolat juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular pada
pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer dan memicu serangan glaukoma akut
pada sudut tertutup.17,18,46
Siklopentolat juga memiliki efek samping sistemik, yaitu gangguan sistem saraf
pusat, seperti mengantuk, ataksia, disorientasi, bicara yang inkoheren, halusinasi
visual, gangguan emosional, dan kejang grand mal. Efek samping tersebut biasanya
terjadi pada anak dengan penggunaan konsentrasi 2%, atau penetesan multipel dari
konsentrasi 1% sehingga penggunaan dosis dan konsentrasi sekecil mungkin lebih
23
direkomendasikan. Efek samping perifer lain seperti kekeringan pada kulit dan
membran mukosa, demam, dan takikardi jarang ditemukan pada penggunaan
siklopentolat. Potensi absorpsi sistemik dapat direduksi dengan oklusi
nasolakrimal.15,17,18,46
2.1.3.2. Tropikamid
Tropikamid merupakan derivat sintetis dari asam tropik dan tersedia dalam 2
konsentrasi, yaitu 0,5% dan 1%. Tropikamid memiliki ikatan terhadap melanin iris
yang lemah. Penetrasinya melalui epitel kornea lebih baik dibanding atropin,
homatropin, dan siklopentolat sehingga memberikan onset efek midriasis yang
lebih cepat dengan durasi yang lebih singkat. Efek midriasis maksimal tropikamid
tercapai dalam 20 – 35 menit, sedangkan efek sikloplegiknya tercapai dalam 20 –
45 menit. Durasi kerja tropikamid relatif pendek, yaitu sekitar 6 jam. Efek midriasis
tropikamid tidak tergantung pada dosis. Hal ini berbeda dengan efek sikloplegiknya
yang tergantung pada dosis dan konsentrasi obat. Efek midriasis yang ditimbulkan
juga lebih besar dibandingkan dengan efek sikloplegianya sehingga tropikamid
konsentrasi lebih rendah dapat dipergunakan untuk memperoleh efek midriasis,
tetapi untuk mencapai efek sikloplegia diperlukan konsentrasi lebih tinggi.11,16–18
Tropikamid bukan merupakan pilihan utama pada pemeriksaan refraksi
sikloplegik. Efek sikloplegik tropikamid tidak sekuat siklopentolat sehingga kurang
adekuat untuk pemeriksaan refraksi pada anak bila dipergunakan sebagai agen
tunggal. Meskipun demikian, penggunaan tropikamid dengan konsentrasi 1% dapat
dipertimbangkan pada anak dengan hipermetropia ringan hingga sedang.11,18,47
24
Efek samping okular dari tropikamid adalah rasa perih pada penetesan yang lebih
ringan dibanding siklopentolat. Tropikamid juga dapat meningkatkan tekanan
intraokular pada pasien dengan sudut bilik mata depan yang dangkal sehingga
dikontraindikasikan bagi pasien glaukoma sudut tertutup. Tropikamid dapat
diabsorpsi ke sirkulasi sistemik tetapi memiliki afinitas yang rendah terhadap
reseptor muskarinik sistemik sehingga efek samping sistemik jarang ditemukan.17,18
2.1.4. Agen Simpatomimetik
Agen simpatomimetik menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis pada iris
sehingga terjadi kontraksi otot dilator pupil yang menimbulkan dilatasi pupil.
Sebagian besar reseptor adrenergik pada otot dilator pupil adalah reseptor α dan
sedikit reseptor β2. Agen simpatomimetik juga menyebabkan peningkatan lebar
fisura palpebra, diameter pembuluh vaskular serta aliran akuos, tetapi hanya
memberikan sedikit efek terhadap akomodasi. Agen simpatomimetik sering
dikombinasikan penggunaannya bersama dengan agen sikloplegik untuk
memaksimalkan dilatasi pupil. Dilatasi pupil yang adekuat membantu dalam
visualisasi refleks retinoskopi pada pemeriksaan refraksi sikloplegik.7–9,12,18,20
Agen simpatomimetik dapat terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu (1) agonis
adrenergik langsung, yang bekerja dengan berikatan secara langsung pada reseptor
adrenergik pada otot dilator pupil, contohnya yaitu epinefrin dan fenilefrin; serta
(2) agonis adrenergik tidak langsung, yang bekerja secara tidak langsung pada
sistem adrenergik, contohnya hidroksiamfetamin yang merangsang peningkatan
pelepasan norepinefrin atau kokain yang mencegah pengambilan kembali
25
norepinefrin sehingga kadar neurotransmiter meningkat pada neuromuscular
junction.27
Gambar 2.9. Mekanisme kerja norepinefrin dan agen agonis adrenergik langsung
(A) Neurotransmiter norepinefrin (Ne) berikatan pada reseptor
adrenergik di otot dilator pupil
(B) Epinefrin (Ep) dan fenilefrin (Ph) bekerja seperti norepinefrin yang
langsung berikatan dengan reseptor adrenergik Dikutip dari: Remington27
2.1.4.1. Fenilefrin
Fenilefrin merupakan amin simpatomimetik sintetis yang secara struktural
serupa dengan epinefrin. Fenilefrin bekerja terutama pada reseptor α1-adrenergik
dan tidak memiliki atau sedikit efek pada reseptor β-adrenergik. Sediaan fenilefrin
yang tersedia sebagai agen midriatikum yaitu konsentrasi 2,5% dan 10%. Sebagai
agen midriatikum, fenilefrin 10% belum terbukti memiliki efikasi yang lebih tinggi
dibanding 2,5%, tetapi konsentrasi yang lebih tinggi berhubungan dengan efek
samping yang lebih besar.18,48–50
Efek dilatasi maksimal dari fenilefrin tercapai dalam 45 – 60 menit dan hilang 6
– 7 jam kemudian. Waktu tersebut bervariasi, di mana penderita diabetes melitus
berdilatasi lebih lama dan tidak selebar pasien nondiabetes. Fenilefrin 10%
26
memiliki efikasi yang lebih tinggi dibanding 2,5% pada populasi diabetes. Orang
dengan iris gelap juga bertendensi lebih lambat untuk berdilatasi dengan durasi
kerja yang lebih panjang dibanding iris terang karena substansi aktif fenilefrin
berikatan dengan pigmen iris.18,48,51
Efek samping okular dari fenilefrin adalah rasa perih, lakrimasi, dan keratitis.
Penggunaan pada orang tua dapat menyebabkan pelepasan pigmen iris sehingga
tampak sebagai floaters akuos setelah 30 – 40 menit. Floaters ini biasanya akan
menghilang dalam 12 – 24 jam. Pengunaan jangka panjang menyebabkan efek
midriasis yang lambat dan kurang intensif. Fenilefrin juga memiliki efek samping
sistemik, yaitu hipertensi, nyeri kepala oksipital, takikardi, refleks bradikardia,
aritmia ventrikular, pecahnya aneurisma, dan perdarahan subarachnoid sehingga
penggunaannya harus diperhatikan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular,
hipertensi, diabetes melitus, aneurisma, dan arteriosklerosis. Fenilefrin dengan
konsentrasi 10% memiliki risiko lebih tinggi munculnya efek samping okular
maupun sistemik sehingga penggunaan dengan konsentrasi 2,5% lebih
direkomendasikan untuk anak dan orang lanjut usia.18,48
2.2. Kerangka Pemikiran
Mata memiliki tonus akomodasi saat dalam kondisi istirahat dan tanpa stimulus.
Tonus akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa sehingga diperlukan
pemeriksaan dengan sikloplegik yang adekuat untuk mendapatkan pengukuran
kelainan refraksi yang akurat. Akomodasi terjadi akibat aktivasi sistem saraf
parasimpatis melalui reseptor muskarinik pada otot siliaris. Aktivasi sistem saraf
27
parasimpatis juga menyebabkan kontraksi sfingter pupil sehingga terjadi konstriksi
pupil. Agen sikloplegik mencegah ikatan asetilkolin dengan reseptor muskarinik
sistem saraf parasimpatis pada otot siliaris dan otot iris sehingga terjadi dilatasi
pupil dan berkurangnya akomodasi.
Agen sikloplegik dikatakan ideal apabila memiliki onset kerja yang cepat, waktu
pemulihan yang cepat, memberikan efek sikloplegik yang adekuat, dan tidak
menimbulkan efek samping lokal atau sistemik. Belum ada agen sikloplegik
tunggal yang memenuhi kriteria ideal sehingga banyak klinisi telah beralih
menggunakan regimen kombinasi untuk memperoleh efek sikloplegik dan
midriasis maksimal. Siklopentolat telah dipergunakan sebagai obat pilihan utama
untuk pemeriksaan sikloplegik anak karena mampu memberikan efek sikloplegik
yang hampir setara dengan atropin, tetapi efikasinya berkurang pada mata dengan
iris gelap akibat ikatan substansinya dengan pigmen iris. Tropikamid memiliki efek
yang tidak sekuat siklopentolat sehingga kurang adekuat untuk pemeriksaan
refraksi pada anak bila dipergunakan sebagai agen tunggal, tetapi tropikamid
memiliki kemampuan penetrasi kornea yang lebih baik dan ikatan dengan pigmen
iris yang lebih kecil.
Hingga saat ini masih belum ada konsensus tentang regimen obat sikloplegik
yang optimal untuk anak. Agen simpatomimetik, seperti fenilefrin, sering
ditambahkan untuk meningkatkan efek midriasisnya. Regimen yang digunakan di
Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
Bandung untuk anak berusia di atas 1 tahun saat ini adalah kombinasi siklopentolat
1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 10%.
28
Penelitian mengenai agen sikloplegik dan kombinasinya telah banyak dilakukan,
tetapi memberikan hasil yang berbeda-beda. Siklopentolat secara sinergis dapat
meningkatkan efek sikloplegik apabila dikombinasi dengan tropikamid terutama
pada mata dengan iris gelap. Akan tetapi, studi lain menyebutkan tropikamid bekerja
pada reseptor muskarinik yang sama dengan siklopentolat dengan efikasi yang lebih
rendah sehingga tidak mempengaruhi efek apabila dihilangkan. Oleh karena itu,
penggunaan tropikamid yang dikombinasikan dengan siklopentolat dan fenilefrin
perlu dievaluasi efektivitasnya.
Kebanyakan optometris atau oftalmologis menunggu sampai pupil berdilatasi
penuh atau tidak responsif terhadap cahaya untuk melakukan pemeriksaan refraksi
sikloplegik. Hal tersebut dapat mengakibatkan waktu tunggu yang lama atau
kesalahan dalam pengukuran refraksi karena onset midriasis agen sikloplegik tidak
selalu sama dengan onset sikloplegiknya.
29
Gambar 2.10. Diagram kerangka pemikiran
Tonus akomodasi pada anak lebih tinggi
dibandingkan dewasa
Diperlukan pemeriksaan refraksi
sikloplegik yang adekuat pada anak.
Agen sikloplegik mencegah ikatan asetilkolin
dengan reseptor muskarinik pada otot siliaris
dan iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
berkurangnya akomodasi.
Siklopentolat secara sinergis
dapat meningkatkan efek
sikloplegik apabila
dikombinasi dengan
tropikamid terutama pada
mata dengan iris gelap.
Digunakan regimen kombinasi obat.
Agen sikloplegik memiliki onset
midriasis yang tidak selalu sama
dengan onset sikloplegiknya.
Penggunaan dilatasi pupil sebagai
parameter untuk memulai
pemeriksaan refraksi menyebabkan
waktu tunggu yang lama atau hasil
pengukuran yang tidak akurat.
Siklopentolat memberikan
efek sikloplegik yang hampir
setara dengan atropin, tetapi
efikasinya berkurang pada
mata dengan iris gelap akibat
ikatan substansinya dengan
pigmen iris.
Tropikamid memiliki efek
sikloplegik yang tidak sekuat
siklopentolat, tetapi memiliki
onset lebih cepat, durasi lebih
pendek, dan ikatan terhadap
pigmen iris yang lebih kecil.
Penelitian mengenai agen sikloplegik dan kombinasinya
memberikan hasil yang berbeda-beda.
Belum ada konsensus tentang regimen obat
yang optimal untuk anak.
Belum ada agen sikloplegik tunggal yang
memenuhi kriteria ideal.
Agen simpatomimetik seperti
fenilefrin sering ditambahkan
untuk memaksimalkan efek
midriasis regimen obat.
Dilatasi pupil yang adekuat
diperlukan dalam pemeriksaan
refraksi sikloplegik.
Waktu puncak sikloplegik dan
midriasis regimen obat perlu
diketahui.
Penggunaan tropikamid yang dikombinasikan dengan siklopentolat
dan fenilefrin perlu dievaluasi efektivitasnya.
Studi lain menyebutkan
tropikamid memiliki mekanisme
kerja serupa dengan
siklopentolat, yaitu bekerja pada
reseptor muskarinik dengan
efikasi lebih rendah sehingga
tidak berpengaruh terhadap hasil
apabila dihilangkan.
30
2.3. Premis dan Hipotesis
2.3.1. Premis
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka premis-premis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
Premis 1 : Sikloplegik yang adekuat merupakan komponen penting dalam
pemeriksaan refraksi yang akurat pada anak karena tonus akomodasi
pada anak lebih tinggi dibanding orang dewasa.7,8,12,14
Premis 2 : Akomodasi terjadi akibat aktivasi sistem saraf parasimpatis.
Neurotransmiter asetilkolin yang dilepaskan berikatan dengan reseptor
muskarinik pada otot siliaris dan otot iris sehingga terjadi kontraksi otot
siliaris dan otot sfingter pupil.26,27,30
Premis 3 : Agen sikloplegik mencegah ikatan asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga terjadi dilatasi pupil dan berkurangnya akomodasi.7,9,17,18,27
Premis 4 : Siklopentolat dan tropikamid merupakan dua agen sikloplegik yang
paling sering digunakan.7,10,12–14
Premis 5 : Siklopentolat memberikan efek sikloplegik yang hampir setara dengan
atropin, tetapi efikasinya berkurang pada mata dengan iris gelap akibat
ikatan substansinya dengan pigmen iris.7,12,15–17,52
Premis 6 : Tropikamid memiliki efek sikloplegik yang tidak sekuat siklopentolat
sehingga kurang adekuat untuk pemeriksaan refraksi pada anak, tetapi
memiliki onset yang lebih cepat, durasi lebih pendek, dan ikatan
terhadap pigmen iris yang lebih kecil.15–18,52
31
Premis 7 : Belum ada agen sikloplegik tunggal yang ideal sehingga digunakan
regimen kombinasi untuk memperoleh efek sikloplegik dan midriasis
yang adekuat. Agen simpatomimetik, seperti fenilefrin, sering
ditambahan untuk memaksimalkan efek midriasisnya.7,14,18,20,21
Premis 8 : Kombinasi tropikamid, siklopentolat, dan fenilefrin serta kombinasi
siklopentolat dan fenilerin merupakan regimen yang paling sering
digunakan.14,21
Premis 9 : Tropikamid memiliki mekanisme antikolinergik yang serupa dengan
siklopentolat, yaitu sama bekerja pada reseptor muskarinik.7,22,53
2.3.2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan premis-premis di atas, dapat dideduksi hipotesis sebagai berikut.
1. Perubahan kekuatan refraksi setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan
refraksi.
2. Perubahan ukuran diameter pupil setelah pemberian kombinasi siklopentolat
1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan
refraksi.
3. Waktu puncak sikloplegik antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.
32
4. Waktu puncak midriasis antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.
33
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1. Subjek dan Sampel Penelitian
3.1.1. Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek anak dengan kelainan refraksi berusia 6 – 18
tahun yang datang ke Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
Mata Cicendo Bandung serta bersedia mengikuti penelitian dengan mengisi lembar
persetujuan (informed consent) oleh orang tua.
Populasi target pada penelitian ini adalah anak dengan kelainan refraksi.
Populasi terjangkau adalah anak dengan kelainan refraksi yang datang ke Unit
Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung.
3.1.2. Sampel Penelitian
3.1.2.1. Cara Pemilihan Sampel
Sampel dipilih berdasarkan alokasi subjek sesuai urutan kedatangan pasien
(konsekutif) di Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
Cicendo Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria
eksklusi.
3.1.2.2. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi untuk masing-masing kelompok adalah sebagai berikut.
• Pasien usia 6 – 18 tahun
34
• Memiliki kelainan refraksi sebelum pemberian regimen sikloplegik berupa
miopia, hipermetropia, dan astigmatisme derajat ringan hingga sedang, yaitu
miopia <6,00 D, hipermetropia <3,00D, dan astigmatisme <3,00 D, baik yang
telah menerima maupun belum menerima terapi kacamata.33,54
3.1.2.3. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi untuk masing-masing kelompok adalah sebagai berikut.
• Gangguan penglihatan yang tidak berhubungan dengan kelainan refraksi, yaitu
kekeruhan kornea, uveitis, glaukoma, katarak, kelainan segmen posterior, dan
kelainan saraf optik serta jaras visual
• Riwayat operasi okular sebelumnya
• Abnormalitas pupil atau kelainan neurologis lain
• Riwayat penyakit kardiovaskular
• Sedang mendapat terapi medikamentosa sistemik maupun okular yang
mempengaruhi kerja pupil dan/atau akomodasi
• Anisometropia tinggi (perbedaan status refraksi antara kedua mata ≥2,00 D)33
• Strabismus
• Ambliopia
• Iris berwarna terang (iris berwarna hijau atau biru) dan albinisme
• Riwayat alergi dengan komponen obat penelitian
35
3.1.2.4. Kriteria Drop Out
Kriteria drop out adalah kriteria yang apabila ditemukan menyebabkan subjek
tidak dapat melanjutkan sebagai sampel dalam penelitian. Kriteria drop out adalah
sebagai berikut.
• Tidak kooperatif saat penetesan obat
• Tidak menyelesaikan pemeriksaan autorefraktometer dan pengukuran diameter
pupil secara lengkap
• Muncul reaksi efek samping obat setelah pemberian regimen
3.1.2.5. Penentuan Ukuran Sampel
Penentuan ukuran sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu
membandingkan perubahan kekuatan refraksi, perubahan ukuran diameter pupil,
serta waktu puncak sikloplegik dan midriasis antara pemberian kombinasi
siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% (SFT) dibandingkan dengan
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% (SF) pada anak dengan kelainan
refraksi. Penghitungan sampel menggunakan rumus analitik komparatif numerik
tidak berpasangan sebagai berikut.55,56
𝑛1 = 𝑛2 = 2 [(𝑍𝛼 + 𝑍𝛽)𝑆
𝑋1 − 𝑋2]
2
Keterangan:
n = jumlah sampel yang dibutuhkan untuk tiap kelompok dalam penelitian ini
Zα = derivat baku alfa untuk derajat kemaknaan 5%, yaitu 1,96
Zβ = derivat baku beta untuk dengan kekuatan uji 80%, yaitu 0,84
36
S = simpang baku gabungan dari penelitian sebelumnya oleh Sherman dkk.7
X1 – X2 = perbedaan rerata minimal yang dianggap bermakna, yaitu 0,6
(𝑆)2 = [𝑆1
2 × (𝑛1 − 1) + 𝑆22 × (𝑛2 − 1)]
𝑛1 + 𝑛2 − 2
Keterangan:
S = simpang baku gabungan dari penelitian sebelumnya oleh Sherman dkk.7
S1 = simpang baku kelompok 1, yaitu 1,15
n1 = besar sampel kelompok 1, yaitu 49
S2 = simpang baku kelompok 2, yaitu 0,94
n2 = besar sampel kelompok 2, yaitu 49
Dari data tersebut, didapatkan perhitungan sebagai berikut.
(𝑆)2 = [1,152 × (49 − 1) + 0,942 × (49 − 1)]
49 + 49 − 2= 1,10305
𝑛1 = 𝑛2 = 2 × 1,10305 × [(1,96 + 0,84)
0,6]
2
= 48,043956 ≈ 48
Berdasarkan perhitungan di atas, penelitian ini memerlukan sampel minimal 48
mata untuk setiap kelompok perlakuan. Jumlah drop out (f) yang diperhitungkan
adalah 10% sehingga koreksi besar sampel tiap kelompok yang dibutuhkan untuk
mengantisipasi drop out yaitu:
𝑛′ =𝑛
1 − 𝑓=
41
1 − 0,1= 53,333333 ≈ 53
Penelitian ini memerlukan total sampel keseluruhan minimal sebesar 106 mata.
37
3.2. Metode Penelitian
3.2.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan single-blind randomized clinical trial dengan desain
paralel untuk membandingkan efek sikloplegik (perubahan kekuatan refraksi dan
waktu puncak sikloplegik) serta efek midriasis (perubahan ukuran diameter pupil
dan waktu puncak midriasis) antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% (SFT) dibandingkan dengan kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% (SF) pada anak dengan kelainan refraksi.
Penentuan kelompok perlakuan subjek penelitian dilakukan dengan randomisasi
blok.
3.2.2. Identifikasi Variabel
3.2.2.1. Variabel Bebas dan Tergantung
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian kombinasi siklopentolat 1%
dan fenilefrin 2,5% dengan dan tanpa tropikamid 1%. Variabel tergantung pada
penelitian ini adalah efek sikloplegik (perubahan kekuatan refraksi dan waktu
puncak sikloplegik) dan efek midriasis (perubahan ukuran diameter pupil dan
waktu puncak midriasis) yang dihasilkan setelah penetesan obat.
38
3.2.2.2. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Tabel 3.1. Definisi operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil
Ukur Skala
Status
kelainan
refraksi
Keadaan mata anak dengan kelainan
miopia, hipermetropia, dan astigmatisme.
- - Kategorik
(Nominal)
Efek
sikloplegik
Pengaruh regimen obat terhadap
akomodasi mata. Penilaian berdasarkan
perubahan kekuatan refraksi dan waktu
puncak sikloplegik yang dihasilkan.
- - -
Efek
midriasis
Pengaruh regimen obat terhadap dilatasi
pupil. Penilaian berdasarkan perubahan
ukuran diameter pupil dan waktu puncak
midriasis yang dihasilkan.
- - -
Kekuatan
refraksi
Nilai kekuatan refraksi pada mata dengan
memperhitungkan kekuatan sferis untuk
miopia dan hipermetropia, serta SE untuk
astigmatisme.
- Autorefraktometer
TOPCON Auto
Keratorefracto-
meter KR-8800
D Numerik
(Rasio)
Perubahan
kekuatan
refraksi
Nilai perbedaan (selisih) kekuatan refraksi
mata antara sebelum dan setelah penetesan
obat. Perhitungan tersebut menggunakan
kekuatan sferis untuk miopia dan
hipermetropia, serta SE untuk
astigmatisme.
- Autorefraktometer
TOPCON Auto
Keratorefracto-
meter KR-8800
D Numerik
(Rasio)
Waktu
puncak
sikloplegik
Waktu yang dihitung sejak penetesan
pertama obat di mana didapatkan
kekuatan refraksi mata tercapai dan
terpelihara dalam batas ±0,25 D dari nilai
kekuatan refraksi terakhir; terbagi
menjadi 20, 30, 45, dan 60 menit.
- - Kategorik
(Ordinal)
Diameter
pupil
Ukuran diameter dari apertura pada
bagian tengah iris.
- IOLMaster® 700 mm Numerik
(Rasio)
Perubahan
ukuran
diameter
pupil
Nilai perbedaan (selisih) ukuran diameter
pupil antara sebelum dan setelah
penetesan obat.
- IOLMaster® 700 mm Numerik
(Rasio)
Waktu
puncak
midriasis
Waktu yang dihitung sejak penetesan
pertama obat di mana didapatkan ukuran
diameter pupil ≥7,0 mm; terbagi menjadi
20, 30, 45, dan 60 menit.
- - Kategorik
(Ordinal)
Kombinasi
obat tetes
Pemberian satu tetes obat diikuti oleh
satu tetes obat jenis lainnya dengan
masing-masing interval 5 menit.
- Kombinasi SFT: kombinasi obat
siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan
fenilefrin 2,5%
- Kombinasi SF: kombinasi obat
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%
- - Kategorik
(Nominal)
39
3.2.3. Randomisasi
Pembagian subjek dalam kelompok penelitian dilakukan dengan cara
randomisasi blok menggunakan 2 blok. Susunan blok dibuat oleh petugas yang
tidak ikut serta dalam penyusunan prosedur penelitian. Berikut ini adalah langkah-
langkah randomisasi blok.57
1. Subjek penelitian terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu kode A untuk kelompok
SFT dan kode B untuk kelompok SF.
2. Petugas mempersiapkan tabel sekuens sebagai berikut.
Nomor Sekuens
00 – 49 AB
50 – 99 BA
3. Petugas memilih rangkaian angka acak pertama dari tabel random dengan
menjatuhkan pena di atas tabel dengan mata tertutup.
4. Petugas mencatat 2 digit angka paling depan dari rangkaian angka terpilih.
Angka tersebut merupakan angka awal untuk menentukan sekuens.
5. Petugas mencatat 2 digit angka paling depan dari 26 rangkaian angka
berikutnya yang terdapat di bawah angka pertama. Bila belum cukup, petugas
mencatat angka dari kolom berikutnya dengan cara yang sama.
6. Petugas menyesuaikan 27 angka yang diperoleh dengan tabel sekuens sehingga
didapatkan susunan kode blok.
7. Petugas mempersiapkan 54 amplop dan menuliskan nomor urut 1 hingga 54.
Masing-masing kode huruf dimasukkan dalam amplop secara berurutan sesuai
dengan susunan yang diperoleh.
40
8. Amplop dilem dan dipastikan tidak tembus pandang.
9. Amplop diberikan pada subjek yang memenuhi kriteria kelayakan secara
berurutan sesuai dengan urutan kedatangan di Unit PO PMN RSMC.
3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.4.1. Cara Kerja
Rancangan penelitian diajukan ke Komite Etik Penelitian hingga mendapatkan
persetujuan (ethical clearance). Pasien saat pertama kali datang ke Unit Pediatrik
Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo (Unit PO PMN
RSMC) dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan tanpa dan dengan koreksi, serta
pemeriksaan autorefraktometri tanpa sikloplegik pada kedua mata sebanyak 3 kali
oleh refraksionis berpengalaman. Anamnesis lengkap dilakukan terhadap orang tua
pasien, meliputi riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik yang berkaitan,
riwayat bedah okular sebelumnya, riwayat penggunaan obat-obatan, dan riwayat
alergi. Pasien selanjutnya menjalani pemeriksaan oftalmologi berupa pemeriksaan
tekanan bola mata, kedudukan dan gerak bola mata, refleks pupil, lampu celah
biomikroskopi, dan pemeriksaan segmen posterior dengan funduskopi direk.
Diagnosis klinis dibuat oleh salah satu dari lima dokter subspesialis di Unit
Pediatrik Oftalmologi dan kemudian dilakukan identifikasi sesuai kriteria inklusi
dan kriteria eksklusi penelitian. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak
memiliki kriteria eksklusi dikonsulkan ke pembimbing untuk dapat diikutsertakan
dalam penelitian. Orang tua pasien diberi penjelasan secara lisan mengenai
kegunaan dan prosedur pemeriksaan serta kegunaan penelitian. Bila orang tua
41
setuju serta bersedia berpartisipasi dalam penelitian, maka diberikan lembar surat
persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani. Identitas pasien dicatat,
meliputi nama, usia, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan anak. Subjek yang telah
memenuhi kriteria kelayakan diberi amplop kode secara berurutan sesuai dengan
urutan kedatangan untuk mengetahui jenis regimen kombinasi obat yang akan
diberikan.
Pemeriksaan biometri dilakukan dengan menggunakan IOLMaster® 700 untuk
memperoleh ukuran diameter pupil sebelum penetesan obat. Subjek selanjutnya
diberikan 1 tetes anestesi topikal dengan tetrakain 0,5% pada kedua mata. Lima
menit kemudian dilakukan pemberian regimen kombinasi obat pada kedua mata
sesuai dengan kode perlakuan dalam amplop sebagai berikut.
1. Kombinasi SFT, terdiri dari 1 tetes siklopentolat 1%, diikuti 1 tetes fenilefrin
2,5%, dan diikuti 1 tetes tropikamid 1% yang diberikan secara individual
dengan masing-masing interval 5 menit.
2. Kombinasi SF, terdiri dari 1 tetes siklopentolat 1% dan diikuti 1 tetes fenilefrin
2,5% yang diberikan secara individual dengan interval 5 menit.
Pemberian regimen obat dilakukan oleh satu orang petugas tanpa diketahui jenisnya
oleh peneliti. Pungtum lakrimalis dioklusi setelah setiap penetesan obat dengan
memberikan penekanan pada kanthus medial selama 10 detik untuk meminimalisasi
absorpsi sistemik.
Pengukuran diameter pupil dengan IOLMaster® 700 serta pemeriksaan
autorefraktometri dilakukan pada menit ke-20, 30, 45, dan 60 setelah penetesan
pertama regimen obat kombinasi. Pengukuran diameter pupil dan pemeriksaan
42
autorefraktometri dilakukan oleh satu orang petugas. Data hasil pemeriksaan dicatat
dan dilakukan analisis data.
3.2.4.2. Alat Penelitian
1. Eye chart projector
2. Trial lens
3. Autorefraktometer TOPCON Auto Keratorefractometer KR-8800 (Topcon
Medical Systems, Inc., NJ, USA)
4. IOLMaster® 700 (Carl Zeiss Medical Technology, USA)
5. Tonometer nonkontak TOPCON CT80 (Topcon Medical Systems, Inc., NJ,
USA)
6. Lampu celah biomikroskopi
7. Direct ophthalmoscope
8. Penlight
9. Kapas dan kasa steril
10. Pengukur waktu
11. Tetes mata: Tetrakain 0,5% (Cendo Pantocain 0,5%), siklopentolat 1% (Cendo
Cyclon 1%), tropikamid 1% (Cendo Mydriatil 1%), dan fenilefrin 2,5% (Cendo
Efrisel 2,5%)
43
3.2.4.3. Prosedur Pemeriksaan Autorefraktometri
Prosedur pemeriksaan autorefraktometri adalah sebagai berikut.
1. Subjek diminta duduk tegak dan lurus menghadap alat autorefraktometer. Dagu
diletakan pada chin rest dan dahi menempel pada head rest.
2. Pemeriksa mengarahkan alat agar fokus pada titik di tengah pupil mata yang
tampak pada monitor alat. Alat akan secara otomatis mengukur status refraksi
subjek.
3. Prosedur yang sama dilakukan pada mata kontralateral.
4. Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali pada masing-masing mata.
3.2.4.4. Prosedur Pemeriksaan IOLMaster® 700
Prosedur pengambilan foto digital diameter pupil adalah sebagai berikut.
1. Subjek diminta duduk tegak dan lurus menghadap IOLMaster® 700. Dagu
diletakan pada chin rest dan dahi menempel pada head rest.
2. Subjek diminta untuk memfiksasikan penglihatan pada alat di depannya.
3. Pemeriksa mengarahkan alat agar didapatkan gambar mata yang fokus yang
tampak pada monitor alat. Alat akan secara otomatis mengukur biometri okular
termasuk ukuran diameter pupil saat tanda indikator pada monitor berwarna
hijau.
4. Prosedur yang sama dilakukan pada mata kontralateral.
5. Pengukuran dilakukan sebanyak 1 kali pada masing-masing mata.
6. Pengukuran diulang apabila sentrasi, scan placement pupil, dan fiksasi pada
hasil pemeriksaan kurang baik.
44
3.2.5. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Unit Pediatrik Oftalmologi dan Bagian Diagnostik Pusat
Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, Bandung, dari bulan November hingga
Desember 2020 setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran (nomor 985/UN6.KEP/EC/2020) dan Komite
Etik Penelitian PMN RS Mata Cicendo, Bandung
3.2.6. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang sudah terkumpul diolah secara komputerisasi untuk mengubah data
menjadi informasi. Langkah-langkah dalam pengolahan data dimulai dari:
1. Editing, yaitu memeriksa kebenaran data yang diperlukan.
2. Coding, yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka
atau bilangan.
3. Data entry, yaitu memasukkan data berupa hasil pemeriksaan dan pengukuran
yang telah di-coding dan kemudian dimasukkan ke dalam program komputer.
4. Cleaning, yaitu apabila semua data dari subjek penelitian telah selesai
dimasukkan, maka perlu diperiksa kembali untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan sebagainya, kemudian dilakukan
pengoreksian.
Analisis yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk mendeskripsikan variabel
bebas dan tergantung sehingga dapat membantu analisis selanjutnya secara lebih
mendalam. Selain itu, analisis secara deskriptif ini juga digunakan untuk
45
mengetahui karakteristik subjek penelitian yang menjadi sampel. Analisis data
untuk melihat gambaran proporsi masing-masing variabel yang akan disajikan
secara deskriptif dapat diuraikan menjadi analisis deskriptif dan uji hipotesis. Data
yang berskala numerik, seperti usia, kekuatan refraksi, diameter pupil, perubahan
kekuatan refraksi, serta perubahan ukuran diameter pupil antara sebelum dan
setelah penetesan regimen dipresentasikan dalam rerata, simpangan baku, median,
dan rentang. Data karakteristik berupa data kategorik, seperti jenis kelamin, status
kelainan refraksi, serta waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis
diberikan coding dan dipresentasikan sebagai distribusi frekuensi dan persentase.
Persentase kumulatif waktu puncak sikloplegik dan midriasis dipresentasikan
dalam bentuk diagram batang.
Analisis yang dilakukan disesuaikan dengan jenis masalah penelitian dan data
yang digunakan. Data yang akan dianalisis dilakukan uji normalitas terlebih dahulu
sebelum dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk apabila
jumlah data sebesar 50 buah atau kurang, dan uji Kolmogorov-Smirnov apabila
jumlah data lebih dari 50 buah. Uji normalitas dilakukan dengan tujuan untuk
menguji apakah data terdistribusi secara normal atau tidak.58
Analisis statistik selanjutnya disesuaikan dengan tujuan penelitian dan hipotesis.
Uji statistik bertujuan untuk membandingkan antara data numerik dengan data
kategorik yang tidak berpasangan, yaitu perubahan kekuatan refraksi dan
perubahan ukuran diameter pupil dari 2 kelompok perlakuan. Uji yang digunakan
adalah uji t tidak berpasangan apabila data terdistribusi normal dan uji Mann-
Whitney apabila data tidak terdistribusi normal. Uji statistik selanjutnya bertujuan
46
untuk membandingkan antara dua data kategorik yang tidak berpasangan, yaitu
waktu puncak sikloplegik dan midriasis dari 2 kelompok perlakuan. Uji yang
digunakan adalah uji Chi-square apabila data terdistribusi normal dan uji
Kolmogorov-Smirnov apabila data tidak terdistribusi normal.56,58
Kriteria kemaknaan yang digunakan adalah nilai p sebagai berikut.
• p<0,05 berarti hipotesis nol ditolak sehingga didapatkan interpretasi terdapat
perbedaan rerata yang bermakna antara kedua kelompok secara statistik.
• p≥0,05, berarti hipotesis nol diterima sehingga didapatkan interpretasi tidak
terdapat perbedaan rerata yang bermakna antara kedua kelompok secara
statistik.56,58
Data penelitian yang diperoleh dicatat menggunakan Microsoft® Excel 2010 dan
kemudian diolah melalui program Statistical Package for the Social Sciences
(SPSS) version 26.0 for Windows.
3.3. Implikasi/Aspek Penelitian
Penelitian ini berpedoman pada 3 prinsip dasar penelitian terhadap manusia dengan
memperhatikan hal-hal berikut:
A. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)
1. Pasien dan orang tuanya memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi
dengan peneliti mengenai hal yang berkaitan dengan penelitian secara jelas.
2. Keikutsertaan subjek dalam penelitian dilakukan secara sadar, sukarela, dan
tanpa paksaan dari pihak manapun. Pasien dan orang tua sewaktu-waktu
47
dapat mempergunakan haknya untuk menghentikan keikutsertaan dalam
penelitian.
B. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficienceand non-maleficience)
1. Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat dalam mencari
regimen kombinasi obat yang optimal untuk pemeriksaan refraksi
sikloplegik sehingga efek samping okular dan sistemik dapat dihindari.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi pasien dan
keluarga berupa prosedur koreksi penglihatan yang lebih nyaman dan
efektif, waktu tunggu yang lebih singkat, serta hasil koreksi tajam
penglihatan yang maksimal.
3. Oklusi pungtum lakrimalis dilakukan setiap setelah penetesan obat untuk
meminimalisasi efek samping yang muncul pada subjek penelitian akibat
absorpsi sistemik.
4. Penelitian ini menggunakan premedikasi berupa anestesi topikal untuk
mengurangi rasa perih saat pemberian regimen obat kombinasi sehingga
dapat meningkatkan kenyamanan pasien.
5. Subjek yang mengalami efek samping obat saat penelitian akan dicatat dan
selanjutnya ditatalaksana sesuai keluhan yang muncul di Unit PO RSMC
dengan bekerja sama dengan Bagian Ilmu Kesehatan Anak PMN RSMC.
C. Prinsip keadilan (justice)
Penelitian ini dilakukan pada penderita kelainan refraksi yang diberikan
perlakuan dengan menggunakan alat dan cara yang sama sesuai dengan
prosedur yang telah ditentukan bersama.
48
3.4. Alur Penelitian
Penelitian dilakukan dengan alur seperti tertera pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Alur penelitian
1. Anamnesis lengkap 2. Pemeriksaan visus dasar
3. Pemeriksaan autorefraktometri tanpa sikloplegik
4. Koreksi kelainan refraksi
5. Pemeriksaan tekanan bola mata 6. Pemeriksaan kedudukan dan gerak bola mata
7. Pemeriksaan refleks pupil
8. Pemeriksaan lampu celah biomikroskopi
9. Funduskopi direk
Penegakan diagnosis Identifikasi kriteria inklusi dan eksklusi
Informed consent tindakan dan penelitian pada orang tua
Pengukuran diameter pupil dengan IOLMaster®700
Anestesi topikal (1 tetes mata tetrakain 0,5%)
5 menit
Kode B:
Pemberian kombinasi SF
pada kedua mata
1 tetes siklopentolat 1%
5 menit
1 tetes fenilefrin 2,5%
Kode A:
Pemberian kombinasi SFT
pada kedua mata
1 tetes siklopentolat 1%
5 menit
1 tetes fenilefrin 2,5% 5 menit
1 tetes tropikamid 1%
Pemeriksaan autorefraktometri dan IOLMaster®700 pada kedua mata pada menit
ke-20, 30, 45, dan 60 setelah pemberian tetes pertama dari regimen kombinasi.
Pengolahan dan analisis data statistik
Hasil
Kesimpulan
Randomisasi blok
49
BAB IV
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai perbandingan efek sikloplegik dan midriasis antara
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% dengan dan tanpa tropikamid 1%
pada anak dengan kelainan refraksi dilakukan dalam pada bulan November hingga
Desember 2020. Sampel dipilih sesuai urutan kedatangan pasien (konsekutif) di
Unit Pediatrik Oftalmologi Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo
Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria
eksklusi. Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (nomor 985/UN6.KEP/EC/2020) dan
Komite Etik Penelitian PMN RS Mata Cicendo, Bandung.
4.1. Hasil
Hasil penelitian terdiri dari karakteristik subjek penelitian, perbandingan
perubahan kekuatan refraksi dan ukuran diameter pupil, perbandingan waktu
puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis, serta perbandingan keseluruhan
parameter pada kelompok usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun.
4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian
Jumlah subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk
dalam kriteria eksklusi pada periode November hingga Desember 2020 adalah
sebanyak 54 pasien (108 mata). Tidak ada subjek penelitian yang termasuk kriteria
50
drop out. Subjek penelitian terdiri dari 15 pasien laki-laki (27,8%) dan 39 pasien
perempuan (72,2%) dengan usia median 13 tahun dalam rentang 6 – 18 tahun (rata-
rata 12,85 ± 2,84 tahun). Status kelainan refraksi terbanyak yaitu astigmatisme
miopia kompositus (50,9%), diikuti miopia simpleks (32,4%), astigmatisme miopia
simpleks (7,4%), astigmatisme mikstus (3,7%), astigmatisme hipermetropia
simpleks (2,8%), hipermetropia simpleks (1,9%), dan astigmatisme hipermetropia
kompositus (0,9%). Rata-rata kekuatan refraksi dari keseluruhan subjek penelitian
yaitu -2,77 ± 2,092 D dengan ukuran diameter pupil 5,61 ± 0,70 mm. Karakteristik
keseluruhan subjek penelitian dapat dilihat dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Gambaran karakteristik subjek penelitian
Variabel (N = 108 mata)
Jenis kelamin
Laki-laki 30 (27,8%)
Perempuan 78 (72,2%)
Usia (tahun)
Rerata ± SB 12,85 ± 2,838
Median (rentang) 13 (6 – 18)
Kategori usia
6 – 12 tahun 40(37.0%)
13 – 18 tahun 68(63.0%)
Status kelainan refraksi
Miopia simpleks 35 (32,4%)
Hipermetropia simpleks 2 (1,9 %)
Astigmatisme miopia simpleks 8 (7,4%)
Astigmatisme miopia kompositus 55 (50,9%)
Astigmatisme hipermetropia
simpleks
3 (2,8%)
Astigmatisme hipermetropia
kompositus
1 (0,9%)
Astigmatisme mikstus 4 (3,7%)
Kekuatan refraksi (D)
Rerata ± SB -2,77 ± 2,092
Median (rentang) -2,50 (-7,00 – +0,50)
Ukuran diameter pupil (mm)
Rerata ± SB 5,61 ± 0,70
Median (rentang) 5,7 (3,3 – 6,9) Keterangan: SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter
51
Seluruh subjek kemudian dibagi ke dalam 2 kelompok perlakuan, yaitu
kelompok SFT dan SF, berdasarkan randomisasi blok. Karakteristik subjek pada
masing-masing kelompok dijabarkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Perbandingan karakteristik subjek penelitian antara kelompok SFT dan SF
Variabel
Kelompok Nilai p
SFT
(N=54)
SF
(N=54)
Jenis kelamin 0,667a
Laki-laki 14 (25,9%) 16 (29,6%)
Perempuan 40 (74,1%) 38 (70,4%)
Usia (tahun) 0,921b
Rerata ± SB 12,85 ± 2,929 12,85 ± 2,771
Median (rentang) 13 (7 – 17) 13 (6 – 18)
Kategori usia 1,000a
6 – 12 tahun 20 (37,0%) 20 (37,0%)
13 – 18 tahun 34 (63,0%) 34 (63,0%)
Status kelainan refraksi 1,000c
Miopia simpleks 19 (35,2%) 16 (29,6%)
Hipermetropia simpleks 0 (0,00%) 2 (3,7%)
Astigmatisme miopia simpleks 2 (3,7%) 6 (11,1%)
Astigmatisme miopia kompositus 28 (51,9%) 27 (50,0%)
Astigmatisme hipermetropia
simpleks
3 (5,6%) 0 (0,00%)
Astigmatisme hipermetropia
kompositus
1 (1,9%) 0 (0,00%)
Astigmatisme mikstus 1 (1,9%) 3 (5,6%)
Kekuatan refraksi (D) 0,220b
Rerata ± SB -2,98 ± 2,024 -2.56 ± 2,156
Median
Rentang
-2,88
-7,00 - +0.50
-2.38
-7,00 - +0,25
Ukuran diameter pupil (mm) 0,946d
Rerata ± SB 5,61 ± 0,673 5,60 ± 0,733
Median
Rentang
5,65
4,0 – 6,6
5,65
3,3 – 6,9
Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter aUji Chi-square bUji Mann-Whitney cUji Kolmogorov-Smirnov dUji t tidak berpasangan *Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.
Data kategorik berupa jenis kelamin dan status kelainan refraksi dianalisis
dengan menggunakan uji Chi-square dan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisis
menunjukkan tidak ditemukan adanya perbedaan jenis kelamin dan status kelainan
52
refraksi yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,667; p=1,000). Data numerik,
seperti usia, kekuatan refraksi, dan diameter pupil, dianalisis normalitasnya dengan
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Uji tersebut menunjukkan bahwa data usia
dan kekuatan refraksi tidak berdistribusi secara normal (p<0,05) sedangkan data
ukuran diameter pupil berdistribusi normal (p≥0,05) sehingga untuk
membandingkan nilai pada kedua kelompok digunakan uji Mann-Whitney untuk
usia dan kekuatan refraksi, serta uji t tidak berpasangan untuk data ukuran diameter
pupil. Hasil uji Mann-Whitney dan uji t tidak berpasangan menunjukkan tidak
terdapat perbedaan usia, kekekuatan refraksi, dan ukuran diameter pupil antara
kedua kelompok perlakuan (p=0,921; p=0,220; p=0,946). Berdasarkan hasil
analisis perbandingan karakteristik kedua kelompok di atas, maka dapat
disimpulkan kedua kelompok sama atau tidak terdapat perbedaan karakteristik saat
awal pemeriksaan. Hal ini menunjukkan kedua kelompok sama atau homogen.
4.1.2. Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil Setelah Penetesan Obat
Besaran kekuatan refraksi dinilai dengan memperhitungkan kekuatan sferis
untuk miopia dan hipermetropia, serta spherical equivalent (SE) untuk
astigmatisme, sedangkan ukuran diameter pupil diperoleh dengan menghitung
diameter apertura pada bagian tengah iris. Kedua parameter tersebut diukur pada
menit ke-20, 30, 45, dan 60 setelah penetesan pertama regimen obat kombinasi pada
masing-masing kelompok. Hasil pengukuran kekuatan refraksi dan diameter pupil
dapat dilihat pada Tabel 4.3.
53
Tabel 4.3. Kekuatan refraksi dan ukuran diameter pupil setelah penetesan obat antara
kelompok SFT dan SF
Variabel
Kelompok
SFT
(N=54)
SF
(N=54)
Kekuatan refraksi (D)
Menit ke-20
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
-2,62 ± 2,242
-2,38
-6,75 – +2.00
-2,31 ± 2,251
-2,13
-7,00 – +1,00
Menit ke-30
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
-2,55 ± 2,264
-2,38
-7,00 – +2,00
-2,29 ± 2,215
-2,13
-7,00 – +0,75
Menit ke-45
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
-2,52 ± 2,207
-2,38
-6,75 – +2,00
-2,21 ± 2,240
-2,00
-6,75 – +1,00
Menit ke-60
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
-2,48 ± 2,238
-2,25
-7,00 – +2,00
-2,19 ± 2,256
-2,00
-6,50 – +1,00
Diameter pupil (mm)
Menit ke-20
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
6,87 ± 0,768
6,95
4,9 – 8,0
6,61 ± 0,690
6,65
4,8 – 8,0
Menit ke-30
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
7,97 ± 0,547
8,15
6,6 – 8,7
7,24 ± 0,663
7,30
5,9 – 8,4
Menit ke-45
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
8,46 ± 0,536
8,60
7,0 – 9,3
7,98 ± 0,543
8,00
6,9 – 9,1
Menit ke-60
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
8,65 ± 0,533
8,75
7,1 – 9,6
8,37 ± 0,467
8,40
7,1 – 9,2 Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter.
4.1.3. Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil
Besaran perubahan kekuatan refraksi (Δkekuatan refraksi) merupakan nilai
selisih kekuatan refraksi mata antara sebelum dan setelah penetesan obat.
Perhitungan tersebut menggunakan kekuatan sferis untuk miopia dan
hipermetropia, serta spherical equivalent (SE) untuk astigmatisme. Besaran
54
perubahan ukuran diameter pupil (Δdiameter pupil) merupakan nilai selisih ukuran
diameter pupil antara sebelum dan setelah penetesan obat. Analisis dilakukan
terhadap Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil antara kedua kelompok dan
dijabarkan pada Tabel 4.4. Hasil positif pada Δkekuatan refraksi menunjukkan
berkurangnya akomodasi mata. Hasil positif pada Δdiameter pupil menunjukkan
bertambahnya dilatasi pupil.
Besaran Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil menunjukkan adanya
peningkatan pada masing-masing kelompok pada menit ke-20, 30, 45, dan 60
setelah penetesan obat. Hal tersebut menunjukkan akomodasi mata semakin
berkurang dan dilatasi pupil semakin bertambah seiring dengan berjalannya waktu
setelah penetesan obat. Nilai rerata Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil lebih
besar pada kelompok SFT dibanding SF, baik pada menit ke-20, 30, 45, dan 60. Uji
statistik dilakukan untuk menilai perbandingan Δkekuatan refraksi dan Δdiameter
pupil antara kedua kelompok.
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan data
Δkekuatan refraksi menit ke-20, 30, 45, dan 60, serta data Δdiameter pupil menit
ke-20 setelah penetesan obat tidak berdistribusi secara normal, sedangkan
Δdiameter pupil menit ke-30, 45, dan 60 berdistribusi normal. Uji statistik t tidak
berpasangan digunakan pada data dengan distribusi normal, sedangkan uji Mann-
Whitney digunakan pada data yang tidak berdistribusi normal. Hasil uji statistik
menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara
Δkekuatan refraksi pada menit ke-20, 30, 45, dan 60 serta Δdiameter pupil menit
55
ke-20 dan 60 setelah penetesan obat pada kelompok SFT dan SF (p≥0,05), tetapi
Δdiameter pupil berbeda signifikan pada menit ke-30 dan 45 (p<0,05).
Tabel 4.4. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran
diameter pupil antara kelompok SFT dan SF
Variabel
Kelompok Nilai p
SFT
(N=54)
SF
(N=54)
ΔKekuatan refraksi (D)a
Menit ke-20
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,36 ± 0,499
+0,25
-0.25 – +2.00
+0,25 ± 0,375
+0,25
-0,25 – +1,25
0,357c
Menit ke-30
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,43 ± 0,542
+0,25
-0,25 – +2,50
+0,27 ± 0,401
+0,25
-0,25 – +1,25
0,104c
Menit ke-45
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,46 ± 0,542
+0,25
0,00 – +2,25
+0,36 ± 0,428
+0,25
-0,25 – +1,50
0,382c
Menit ke-60
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,50 ± 0,551
+0,25
0,00 – +2,25
+0,37 ± 0,428
+0,25
0,00 – +1,50
0,271c
ΔDiameter pupil (mm)b
Menit ke-20
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
1,26 ± 0,721
1,26
0,0 – 3,0
1,01 ± 0,615
1,00
0,0 – 2,7
0,089 c
Menit ke-30
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
2,36 ± 0,805
2,35
0,9 – 4,1
1,64 ± 0,709
1,55
0,3 – 3,5
0,0001*d
Menit ke-45
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
2,85 ± 0,841
2,70
1,0 – 4,6
2,38 ± 0,761
2,35
0,8 – 4,5
0,003*d
Menit ke-60
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
3,04 ± 0,878
2,85
1,1 – 4,8
2,77 ± 0,734
2,80
1,0 – 4,6
0,088d
Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter aΔ = Nilai selisih spherical equivalent (SE) kekuatan refraksi antara sebelum dan setelah penetesan obat. bΔ = Nilai selisih ukuran diameter pupil antara sebelum dan setelah penetesan obat. cUji Mann-Whitney dUji t tidak berpasangan *Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.
56
4.1.4. Perbandingan Waktu Puncak Sikloplegik dan Waktu Puncak Midriasis
Waktu puncak sikloplegik adalah waktu yang dihitung sejak penetesan pertama
obat di mana didapatkan kekuatan refraksi mata tercapai dan terpelihara dalam
batas ±0,25 D dari nilai kekuatan refraksi terakhir, yaitu menit ke-60 setelah
penetesan. Waktu puncak midriasis adalah waktu yang dihitung sejak penetesan
pertama obat di mana didapatkan ukuran diameter pupil ≥7,0 mm. Data waktu
puncak siklopegik dan waktu puncak midriasis merupakan data kategorik dan
terbagi menjadi menit ke-20, 30, 45, dan 60. Tabel 4.5 menunjukkan perbandingan
waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis antara kelompok SFT dan
SF.
Waktu puncak sikloplegik pada 29 subjek (53,7%) kelompok SFT dan 32
subjek (59,3%) kelompok SF tidak dapat dikategorikan karena nilai perbedaan SE
antara sebelum dan menit ke-60 setelah penetesan hanya sebesar ±0,25D. Sebagian
besar dari subjek yang dapat dikategorikan, yaitu 35,2% pada kelompok SFT dan
25,9% pada kelompok SF mencapai waktu puncak sikloplegik pada menit ke-20
setelah penetesan pertama regimen obat. Sebanyak 2% dari kelompok SFT
mencapai waktu puncak sikloplegik dalam 30 menit, 2% dalam 45 menit, dan 2%
dalam 60 menit, sedangkan sebanyak 3% dari kelompok SF mencapai waktu
puncak sikloplegik dalam 30 menit, dan 5% dalam 45 menit. Uji statistik dilakukan
untuk membandingkan data kategorik waktu puncak sikloplegik antara kelompok
SFT dan SF dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisis
menunjukkan tidak terdapat perbedaan waktu puncak sikloplegik yang signifikan
secara statistik antara kelompok SFT dan SF (p=1,000).
57
Sebanyak 50,0% kelompok SFT mencapai waktu puncak midriasis dalam 20
menit, 45,6% dalam 30 menit, dan 3,7% dalam 45 menit, sedangkan pada kelompok
SF sebesar 33,3% mencapai waktu puncak midriasis dalam 20 menit, 35,2% dalam
30 menit, 27,8% dalam 45 menit, dan 3,7% dalam 60 menit. Uji statistik dilakukan
untuk membandingkan data kategorik waktu puncak midriasis antara kelompok
SFT dan SF dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil analisis
didapatkan terdapat perbedaan waktu puncak midriasis yang signifikan secara
statistik antara kelompok SFT dan SF (p=0,031).
Tabel 4.5. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis
antara kelompok SFT dan SF
Variabel
Kelompok
Nilai p SFT
(N=54)
SF
(N=54)
Waktu puncak sikloplegik 1,000b
Tidak dapat diidentifikasia 29 (53,7%) 32 (59,3%)
Menit ke-20 19 (35,2%) 14 (25,9%)
Menit ke-30 2 (3,7%) 3 (5,6%)
Menit ke-45 2 (3,7%) 5 (9,3%)
Menit ke-60 2 (3,7%) 0 (0,0%)
Waktu puncak midriasis 0,031b*
Menit ke-20 27 (50,0%) 18 (33,3%)
Menit ke-30 25 (46,3%) 19 (35,2%)
Menit ke-45 2 (3,7%) 15 (27,8%)
Menit ke-60 0 (0,0%) 2 (3,7%) Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% aNilai perbedaan SE antara sebelum dan menit ke-60 setelah penetesan adalah sebesar ±0,25 D sehingga kategori waktu puncak sikloplegik tidak dapat diidentifikasi. bUji Kolmogorov-Smirnov.
*Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.
Data waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis selanjutnya dihitung
dalam persentase kumulatif. Data waktu puncak sikloplegik yang tidak dapat
dikategorikan, yaitu sebanyak 29 mata dari kelompok SFT dan 32 mata dari
kelompok SF, tidak diikutsertakan dalam perhitungan. Persentase kumulatif
disajikan dalam diagram batang seperti tertera pada Gambar 4.1 dan 4.2. Sebanyak
58
92% dari kelompok SFT dan 100% kelompok SF mencapai waktu puncak
sikloplegik pada menit ke-45. Sebanyak 96% kelompok SFT mencapai waktu
puncak midriasis pada menit ke-30. Keseluruhan subjek pada kelompok SFT dan
SF mencapai waktu puncak midriasis pada menit ke-45. Tidak ditemukan adanya
efek samping obat yang muncul selama penelitian.
Gambar 4.1. Diagram persentase kumulatif waktu puncak sikloplegik antara
kelompok SFT dan SF
Gambar 4.2. Diagram persentase kumulatif waktu puncak midriasis antara
kelompok SFT dan SF
76%
84%
92%100%
64%
77%
100% 100%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
20 menit 30 menit 45 menit 60 menit
SFT SF
50%
96% 100% 100%
35%
71%
100% 100%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
20 menit 30 menit 45 menit 60 menit
SFT SF
59
4.1.5. Perbandingan Efek Sikloplegik dan Midriasis pada Usia 6 – 12 tahun
dan 13 – 18 tahun
Data penelitian selanjutnya diolah dengan membagi subjek penelitian
berdasarkan usia, yaitu 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun. Tabel 4.6 menunjukkan
perbandingan Δkekuatan refraksi dan Δdiameter pupil antara kelompok SFT dan
SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak
terdapat perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara Δkekuatan refraksi
pada menit ke-20, 30, 45, dan 60 serta Δdiameter pupil menit ke-60 antara
kelompok SFT dan SF pada kategori usia 6 – 12 tahun maupun 13 – 18 tahun
(p≥0,05). Hal tersebut berbeda dengan Δdiameter pupil menit ke-30 pada kategori
usia 6 – 12 tahun serta Δdiameter pupil menit ke-20, 30, dan 45 kategori usia 13 –
18 tahun yang berbeda yang signifikan antara kelompok SFT dan SF (p<0,05).
. Tabel 4.7 menunjukkan perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu
puncak midriasis antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18
tahun. Uji statistik dilakukan untuk membandingkan waktu puncak midriasis antara
kelompok SFT dan SF dan didapatkan tidak terdapat perbedaan rerata yang
signifikan secara statistik antara waktu puncak sikloplegik antara kelompok SFT
dan SF pada kedua kategori usia (p≥0,05). Waktu puncak midriasis juga tidak
berbeda signifikan secara statistik antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12
tahun, tetapi berbeda signifikan pada usia 13 – 18 tahun (p<0,05).
60
Tabel 4.6. Perbandingan perubahan kekuatan refraksi dan perubahan ukuran
diameter pupil antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan
13 – 18 tahun
Variabel
6 – 12 tahun 13 – 18 tahun
Kelompok
Nilai p
Kelompok
Nilai p SFT
(N=20)
SF
(N=20)
SFT
(N=34)
SF
(N=34)
ΔKekuatan refraksi (D)a
Menit ke-20
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,48 ± 0,658
+0,25
-0.25 – +2.00
+0,38 ± 0,441
+0,25
-0,25 – +1,25
0,989c
+0,29 ± 0,370
+0,25
-0.25 – +1,25
+0,19 ± 0,316
+0,25
-0,25 – +1,25
0,214c
Menit ke-30
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,55 ± 0,724
+0,25
-0,25 – +2,25
+0,35 ± 0,483
+0,25
-0,25 – +1,25
0,529 c
+0,36 ± 0,395
+0,25
-0,25 – +1,25
+0,23 ± 0,345
+0,25
-0,25 – +1,25
0,080c
Menit ke-45
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,63 ± 0,714
+0,25
0,00 – +2,25
+0,43 ± 0,494
+0,38
-0,25 – +1,25
0,461c
+0,36 ± 0,390
+0,25
0,00 – +1,50
+0,32 ± 0,386
+0,25
0,00 – +1,50
0,573c
Menit ke-60
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
+0,68 ± 0,726
+0,25
0,00 – +2,25
+0,49 ± 0,522
+0,38
0,00 – +1,50
0,461c
+0,40 ± 0,395
+0,25
0,00 – +1,50
+0,32 ± 0,355
+0,25
0,00 – +1,25
0,374c
ΔUkuran diameter pupil (mm)b
Menit ke-20
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
0,92 ± 0,600
0,90
0,0 – 2,4
0,89 ± 0,500
1,00
0,0 – 1,8
0,842d
1,46 ± 0,720
1,45
0,2 – 3,0
1,09 ± 0,668
1,10
0,0 – 2,7
0,031*d
Menit ke-30
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
2,23 ± 0,814
2,05
1,1 – 3,8
1,66 ± 0,621
1,45
0,6 – 2,8
0,017*d
2,43 ± 0,801
2,40
0,9 – 4,1
1,62 ± 0,764
1,60
0,3 – 3,5
0,0001*d
Menit ke-45
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
2,70 ± 0,858
2,45
1,4– 4,5
2,27 ± 0,638
2,30
1,3 – 3,8
0,157c
2,94 ± 0,830
2,95
1,0 – 4,6
2,44 ± 0,827
2,40
0,8 – 4,5
0,015*d
Menit ke-60
- Rerata ± SB
- Median
- Rentang
2,93 ± 0,913
2,65
1,7 – 4,8
2,67 ± 0,680
2,75
1,4 – 4,2
0,602c
3,10 ± 0,864
3,05
1,1 – 4,7
2,83 ± 0,767
2,80
1,0 – 4,6
0,177d
Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5%; SB: simpangan baku; D: dioptri; mm: milimeter aΔ = Nilai selisih spherical equivalent (SE) kekuatan refraksi antara sebelum dan setelah penetesan obat. bΔ = Nilai selisih ukuran diameter pupil antara sebelum dan setelah penetesan obat. cUji Mann-Whitney dUji t tidak berpasangan
*Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.
61
Tabel 4.7. Perbandingan waktu puncak sikloplegik dan waktu puncak midriasis
antara kelompok SFT dan SF pada usia 6 – 12 tahun dan 13 – 18 tahun
Variabel
6 – 12 tahun 13 – 18 tahun
Kelompok
Nilai p
Kelompok
Nilai p SFT
(N=20)
SF
(N=20)
SFT
(N=34)
SF
(N=34)
Waktu puncak sikloplegik 0,978c 0,856b
Tidak dapat
diidentifikasia
10(50,0%) 10(50,0%) 19(55,9%) 22(64,7%)
Menit ke-20 5(25,0%) 8(40,0%) 14(41,2%) 6(17,6%)
Menit ke-30 2(10,0%) 2(10,0%) 0(0,0%) 1(2,9%)
Menit ke-45 2(10,0%) 0(0,0%) 0(0,0%) 5(14,7%)
Menit ke-60 1(5,0%) 0(0,0%) 1(2,9%) 0(0,0%)
Waktu puncak midriasis 0,329c 0,019*c
Menit ke-20 8(40,0%) 6(30,0%) 19(55,9%) 12(35,3%)
Menit ke-30 12(60,0%) 8(40,0%) 13(38,2%) 11(32,4%)
Menit ke-45 0(0,0%) 4(20,0%) 2(5,9%) 11(32,4%)
Menit ke-60 0(0,0%) 2(10,0%) 0(0,0%) 0(0,0%) Keterangan: SFT: regimen kombinasi siklopentolat 1%, fenilefrin 2,5%, dan tropikamid 1%; SF: regimen
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% aNilai perbedaan SE antara sebelum dan menit ke-60 setelah penetesan adalah sebesar ±0,25 D sehingga kategori waktu puncak sikloplegik tidak dapat diidentifikasi. bUji Kolmogorov-Smirnov. cUji Chi-Square
*Nilai p<0,05 dianggap terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik.
4.2. Uji Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
4.2.1. Hipotesis 1
Perubahan kekuatan refraksi setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan
refraksi.
Hasil penelitian:
Uji hipotesis dengan uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara perubahan kekuatan refraksi
pada menit ke-60 setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%,
62
dan fenilefrin 2,5% dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan
fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi (p=0,271).
Kesimpulan:
Hipotesis dapat diterima.
4.2.2. Hipotesis 2
Perubahan ukuran diameter pupil setelah pemberian kombinasi siklopentolat
1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan
refraksi.
Hasil penelitian:
Uji hipotesis dengan uji t tidak berpasangan menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan rerata yang signifikan secara statistik antara perubahan ukuran diameter
pupil pada menit ke-60 setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid
1%, dan fenilefrin 2,5% dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan
fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi (p=0,088).
Kesimpulan:
Hipotesis dapat diterima.
4.2.3. Hipotesis 3
Waktu puncak sikloplegik antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.
63
Hasil penelitian:
Uji hipotesis dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara waktu puncak sikloplegik
setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5%
dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak
dengan kelainan refraksi (p=1,000).
Kesimpulan:
Hipotesis dapat diterima.
4.2.4. Hipotesis 4
Waktu puncak midriasis antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.
Hasil penelitian:
Uji hipotesis dengan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan secara statistik antara waktu puncak midriasis setelah
pemberian kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5%
dibandingkan dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak
dengan kelainan refraksi (p=0,031).
Kesimpulan:
Hipotesis ditolak.
64
4.3. Pembahasan
Penggunaan agen sikloplegik dalam pemeriksaan refraksi anak penting untuk
dilakukan karena tonus akomodasi pada anak lebih tinggi dibandingkan dewasa.
Hingga saat ini belum ada agen sikloplegik tunggal yang ideal sehingga sering
digunakan regimen kombinasi. Kombinasi siklopentolat, tropikamid, dan fenilefrin
(SFT) serta kombinasi siklopentolat dan fenilefrin (SF) merupakan regimen
kombinasi yang paling sering digunakan pada pemeriksaan refraksi anak.7,21,23
Penelitian ini membandingkan efek sikloplegik dari kedua regimen kombinasi
tersebut dan didapatkan tidak terdapat perbedaan perubahan kekuatan refraksi yang
signifikan antara keduanya. Analisis lanjutan dilakukan dengan membagi
berdasarkan kategori usia, yaitu 6 – 12 tahun dan 13 – 16 tahun dan didapatkan
hasil yang sama pada masing-masing kategori usia. Zetterström mengatakan
penggunaan dua obat parasimpatolitik dengan golongan yang sama secara
bersamaan tidak diperlukan karena menghambat kerja asetilkolin pada reseptor
yang sama. Tropikamid bekerja sebagai antimuskarinik reseptor M4, M1, dan M2,
sedangkan siklopentolat bekerja sebagai antimuskarinik reseptor M1. Jika
keduanya dikombinasikan, tropikamid dan siklopentolat akan secara kompetitif
menghambat aksi M1, tetapi tropikamid akan menambahkan efek dengan
menghambat M4 dan M2. Pada penelitian ini, regimen SFT memberikan rerata
perubahan kekuatan refraksi 0,13 D lebih besar dibanding SF, namun perbedaan
tersebut tidak signifikan secara statistik. Efek sikloplegik yang dimiliki tropikamid
tidak sekuat siklopentolat sehingga penambahannya dalam regimen kombinasi
tidak memberikan perubahan kekuatan refraksi yang bermakna.7,9,17,18,53
65
Hasil penelitian ini serupa dengan Sherman dkk. yang menunjukkan regimen
kombinasi SFT dan SF tidak memiliki perbedaan perubahan kekuatan refraksi yang
signifikan, baik pada iris gelap dan terang. Regimen SF pada iris terang
menghasilkan perubahan kekuatan refraksi lebih besar dibanding SFT, dan
sebaliknya pada iris gelap, regimen SFT memberikan perubahan kekuatan refraksi
yang lebih besar dibanding SF, namun perbedaan tersebut tidak signifikan. Yoo
dkk. juga mengevaluasi regimen racikan pabrik yang terdiri dari tropikamid 0,5%
dan fenilefrin 0,5% lalu dikombinasikan dengan siklopentolat 1% dibandingkan
dengan siklopentolat 1% saja. Studi tersebut menunjukkan kedua regimen tidak
memberikan perbedaan efek sikloplegik yang signifikan pada anak hipermetropia
berusia 6 – 14 tahun. Namun, pada anak usia 5 tahun ke bawah terutama dengan
hipermetropia tinggi atau esotropia akomodatif, regimen siklopentolat saja
memberikan efek sikloplegik yang lebih kuat dibandingkan kombinasi
siklopentolat dengan tropikamid dan fenilefrin.7,11
Hal ini berbeda dengan studi Ebri dkk. yang dilakukan pada anak berusia 4 –
15 tahun di Nigeria. Kombinasi siklopentolat 1% dan tropikamid 0,5% dikatakan
memberikan efek sikloplegik yang lebih kuat dibandingkan siklopentolat 1% saja.
Hasil studi tersebut berbeda dengan penelitian ini dan dapat disebabkan oleh
perbedaan karakteristik dari masing-masing sampel penelitian. Studi tersebut
melibatkan ras Afrika dengan pigmentasi yang lebih gelap. Pigmentasi iris
merupakan faktor yang mempengaruhi efek yang dihasilkan oleh agen sikloplegik.
Wakamatsu dkk menunjukkan pigmentasi kulit sebanding dengan melanin iris.
Melanosit pada iris gelap mengandung jumlah melanin yang lebih banyak. Semakin
66
banyak jumlah melanin iris, maka semakin banyak substansi obat yang berikatan
dengan pigmen iris sehingga substansi obat yang bebas berikatan dengan reseptor
di siliar akan semakin sedikit dan efek yang dihasilkan lebih rendah. Selain itu,
siklopentolat sendiri memiliki ikatan yang lebih kuat dengan pigmen melanin,
sedangkan tropikamid memiliki ikatan yang lemah, sehingga efektivitas
siklopentolat lebih rendah pada iris gelap, tetapi bertahan lebih lama dibanding
dengan iris terang.7,10,12–18,52
Penelitian ini juga membandingkan efek midriasis dari regimen kombinasi SFT
dan SF. Dilatasi pupil yang adekuat diperlukan untuk memudahkan penilaian
refleks retinoskop dan evaluasi segmen posterior dalam penegakan diagnosis
ambliopia. Dilatasi pupil seringkali digunakan sebagai parameter dalam
pemeriksaan refraksi sikloplegik. Kebanyakan optometris atau oftalmologis
menunggu sampai pupil berdilatasi penuh atau tidak responsif terhadap cahaya
untuk melakukan pemeriksaan refraksi sikloplegik.7–9,12,14,20
Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan rerata perubahan ukuran
diameter pupil yang signifikan antara regimen kombinasi SFT dan SF, walaupun
pada pertengahan penelitian, yaitu menit ke-30 dan 45 sempat berbeda. Regimen
SFT memberikan ukuran diameter pupil 0,72 mm lebih besar dibanding SF pada
menit ke-30, dan 0,47 mm lebih besar pada menit ke-45. Tropikamid memiliki
penetrasi melalui epitel kornea lebih baik dibanding siklopentolat sehingga pada
regimen SFT, tropikamid memberikan efek midriasis yang lebih cepat.17,18
67
Sherman dkk. menunjukkan regimen SFT memberikan ukuran pupil yang
berbeda signifikan dibandingkan SF pada subjek dengan iris gelap, yaitu 0,39 mm
lebih besar, tetapi studi tersebut melakukan pengukuran setelah penetesan obat
hanya sebanyak 1 kali, yaitu pada menit ke-30. Studi Ebri dkk menunjukkan
regimen siklopentolat ditambah tropikamid memberikan proporsi mata dengan
ukuran diameter pupil ≥6 mm lebih banyak dibanding siklopentolat saja pada 30
menit setelah penetesan obat di mana perbedaan tersebut signifikan secara statistik.
Kedua penelitian tersebut serupa dengan penelitian ini yang juga berbeda signifikan
pada menit ke-30. Analisis lanjutan dilakukan berdasarkan kategori usia dan
menunjukkan hasil yang sama, baik pada usia 6 – 12 tahun maupun 13 – 18
tahun.7,59
Beberapa agen sikloplegik memiliki onset sikloplegik yang tidak sebanding
dengan onset midriasisnya. Waktu untuk mencapai sikloplegik dan midriasis
maksimal juga berbeda sehingga menggunakan ukuran pupil sebagai parameter
memulai pemeriksaan sikloplegik merupakan hal yang kurang tepat. Kondisi
tersebut dapat mengakibatkan waktu tunggu yang lama jika efek sikloplegik
maksimal telah tercapai sebelum dilatasi pupil maksimal, atau kesalahan dalam
pengukuran refraksi bila efek sikloplegik belum adekuat saat pupil berdilatasi
maksimal.7–9,12,14,20
Penelitian ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan waktu puncak sikloplegik
yang signifikan antara kedua regimen. Analisis lanjutan berdasarkan kategori usia
memberikan hasil yang sama pada usia 6 – 12 tahun maupun 13 – 18 tahun.
Sebanyak 53,7% kelompok SFT dan 59,3% kelompok SF tidak dapat diidentifikasi
68
waktu puncak sikloplegiknya karena memiliki perubahan kekuatan refraksi antara
sebelum dan setelah penetesan hanya sebesar +/- 0,25D. Data waktu puncak
sikloplegik selanjutnya dihitung dalam persentase kumulatif dan dianalisis untuk
menentukan waktu puncak sikloplegiknya. Waktu puncak sikloplegik pada
sebagian besar kelompok SFT dan SF tercapai dalam 45 menit setelah penetesan.
Beberapa studi sebelumnya juga mengevaluasi waktu puncak sikloplegik dari
berbagai regimen agen sikloplegik. Lin dkk. mengevaluasi regimen 1 – 2 tetes
siklopentolat 1% dengan 2 tetes tropikamid 1% pada anak-anak Taiwan dengan
miopia dan didapatkan waktu puncak sikloplegik siklopentolat terjadi setelah 45
menit, sedangkan waktu puncak tropikamid tercapai setelah 30 menit. Kleinstein
dkk. memberikan kombinasi 1 tetes siklopentolat 1% ditambah 1 tetes tropikamid
1% pada anak Afrika-Amerika dan didapatkan waktu puncak sikloplegik tercapai
pada 30 menit setelah penetesan. Laojaroenwanit dkk. mengevaluasi waktu puncak
sikloplegik dari 3 tetes siklopentolat 1% pada anak-anak Thailand dan
menunjukkan waktu puncak sikloplegik tercapai setelah 30 menit penetesan obat
dan lebih lama pada subjek dengan miopia, yaitu setelah 50 menit. Studi tersebut
sebanding dengan hasil penelitian ini yang menunjukkan waktu puncak sikloplegik
pada regimen SFT dan ST adalah sebesar 45 menit dengan sebagian besar subjek
merupakan miopia. Terdapat 2 mata pada kelompok SF dengan hipermetropia
simpleks, 1 mata pada kelompok SFT dengan astigmatisme hipermetropia
simpleks, dan 3 mata pada kelompok SFT dengan astigmatisme hipermetropia
kompositus. Tiga mata dari kelompok SFT mencapai waktu puncak sikloplegik
pada menit ke-20, 1 mata dari kelompok SFT pada menit ke-30, sedangkan 2 mata
69
dengan hipermetropia ringan dari kelompok SF tidak dapat diidentifikasi waktu
puncak sikloplegiknya karena perubahan kekuatan refraksi yang kecil.8,52,60
Status kelainan refraksi mempengaruhi kemampuan akomodasi. Mata dengan
miopia memiliki accommodation lag yang lebih besar, sedangkan mata dengan
hipermetropia memiliki refleks akomodatif yang lebih kuat. Mata dengan
hipermetropia, terutama pada subjek usia muda, lebih sering menggunakan
kemampuan akomodasinya secara terus-menerus untuk penglihatan jauh dan dekat
dibanding emetropia dan miopia. Penggunaan akomodasi yang sering tersebut
menyebabkan kemampuan akomodasi menjadi lebih berkembang. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi waktu puncak sikloplegik pada anak dengan
kelainan refraksi yang lebih beragam, terutama dengan hipermetropia tinggi atau
strabismus akomodatif.38,39,41
Hasil yang berbeda ditemukan pada waktu puncak midriasis yang menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara kedua regimen. Efek
midriasis yang dihasilkan oleh regimen SFT terjadi lebih cepat dibandingkan SF. Hal
ini menyebabkan perbedaan perubahan ukuran diameter pupil yang signifikan antara
kedua regimen pada awal pengukuran, yaitu menit ke-30 dan 45. Ukuran 7,0 mm
dijadikan sebagai nilai batas dalam menentukan waktu puncak midriasis karena
merupakan diameter ideal untuk pemeriksaan funduskopik. Sebanyak 96% dari
kelompok SFT mencapai waktu puncak midriasis pada 30 menit setelah penetesan
obat, sedangkan hanya sebesar 71% dari kelompok SF yang mencapai waktu puncak
pada menit yang sama. Meskipun demikian, pada 45 menit setelah penetesan,
keseluruhan subjek pada kelompok SFT dan SF telah memiliki diameter pupil ≥7,0
70
mm. Anderson dkk. mengevaluasi efek midriasis antara kombinasi tropikamid 1%
dan fenilefrin 2,5% (TF) dibandingkan dengan kombinasi tropikamid 1% dan
siklopentolat 1% (TS) pada subjek usia 4 – 32 tahun dengan iris gelap. Studi tersebut
menunjukkan nilai median dari waktu untuk mencapai ukuran diameter pupil 7 mm
adalah 32 menit pada regimen TF dan 52 menit pada TS , namun kelompok usia lebih
muda menunjukan waktu yang lebih lama.7,25
Penggunaan berbagai macam kombinasi obat yang banyak dapat meningkatkan
risiko efek samping serta biaya operasional. Banyaknya jumlah penetesan obat juga
dapat memberikan pengalaman yang traumatis bagi pasien akibat rasa perih dan
terbakar yang ditimbulkan. Pasien anak menjadi tidak nyaman dan kurang
kooperatif untuk pemeriksaan selanjutnya sehingga waktu pelayanan menjadi lebih
lama. Regimen agen sikloplegik yang digunakan di Unit Pediatrik Oftalmologi
Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung untuk anak berusia di
atas 1 tahun adalah kombinasi siklopentolat 1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin
10%. Regimen obat tersebut saat ini diberikan secara bergantian tiap 10 – 15 menit
hingga 4 – 5 kali pemberian dengan pola penetesan yang belum seragam.
Pemeriksaan refraksi sikloplegik juga dilakukan setelah menunggu pupil berdilatasi
maksimal dan tidak berespon terhadap cahaya. Hal tersebut turut memperpanjang
waktu pelayanan pasien karena tidak diketahui onset maksimal dari efek sikloplegik
dan midriasis regimen obat.7,15,21,23
Berdasarkan hasil penelitian ini, tropikamid dapat dihilangkan dari regimen SFT
dalam pemeriksaan refraksi sikloplegik pada anak. Penambahan tropikamid dalam
regimen SFT tidak memberikan efek sikloplegik yang berbeda secara signifikan
71
meskipun efek midriasis yang dihasilkan muncul lebih cepat. Regimen kombinasi
obat yang melibatkan fenilefrin 2,5% juga telah adekuat dalam memberikan efek
midriasis yang maksimal sehingga penggunaan konsentrasi 10% dianggap tidak
diperlukan. Penggunaan fenilefrin dengan konsentrasi tinggi memiliki risiko
munculnya efek samping sistemik, seperti takikardi dan peningkatan tekanan darah,
terutama pada anak dan lansia. Penelitian ini tidak menunjukkan adanya efek
samping okular dan sistemik yang muncul setelah penetesan obat.24,61
Regimen SF yang terdiri dari 1 tetes siklopentolat 1% diikuti 1 tetes fenilefrin
2,5% dengan interval 5 menit cukup adekuat untuk pemeriksaan refraksi sikloplegik
pada anak. Pemeriksaan dapat dilakukan pada 45 menit setelah pemberian regimen
tetes pertama. Pasien anak dapat merasa lebih nyaman karena tidak dilakukan
penetesan obat berulang kali. Waktu pelayanan juga menjadi lebih efektif karena
telah diketahui lebih jelas mengenai waktu pemeriksaan refraksi setelah penetesan
obat. Meskipun demikian, terdapat keterbatasan dalam penelitian ini yaitu status
kelainan refraksi yang sebagian besar melibatkan mata dengan miopia sehingga
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitas regimen kombinasi pada
anak dengan status kelainan refraksi yang lebih beragam, terutama hipermetropia
tinggi dan strabismus akomodatif.
72
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
1. Perubahan kekuatan refraksi setelah pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan
refraksi.
2. Perubahan ukuran diameter pupil setelah pemberian kombinasi siklopentolat
1%, tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan setelah
kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan
refraksi.
3. Waktu puncak sikloplegik antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% sama bila dibandingkan dengan kombinasi
siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan kelainan refraksi.
4. Waktu puncak midriasis antara pemberian kombinasi siklopentolat 1%,
tropikamid 1%, dan fenilefrin 2,5% berbeda secara bermakna dibandingkan
dengan kombinasi siklopentolat 1% dan fenilefrin 2,5% pada anak dengan
kelainan refraksi.
73
5.2. Saran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan rekomendasi standar operasional mengenai
pola penetesan, regimen, dan konsentrasi agen sikloplegik untuk anak dengan
kelainan refraksi di Unit Pediatrik Oftalmologi PMN RS Mata Cicendo. Penelitian
serupa juga dapat direncanakan dengan melibatkan subjek dengan usia lebih muda
atau status kelainan refraksi yang lebih beragam, terutama dengan hipermetropia
tinggi dan strabismus akomodatif. Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk
menilai efektivitas regimen kombinasi obat apabila diracik sebagai satu sediaan.
74
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. World report on vision. Switzerland; 2019.
2. Dhanesha U, Polack S, Bastawrous A, Banks LM. Prevalence and causes of
visual impairment among schoolchildren in Mekelle, Ethiopia. Cogent Med.
2018;5:1554832.
3. Harrington SC, Stack J, Saunders K, O’Dwyer V. Refractive error and visual
impairment in Ireland schoolchildren. Br J Ophthalmol. 2019;103(8):1112–8.
4. Halim A, Suganda R, Sirait NS, Memed KF, Syumarti, Rini M, et al. Prevalence
and associated factors of uncorrected refractive errors among school children in
suburban areas in Bandung, Indonesia. Cogent Med. 2020;7(1):1737354.
5. Mahayana IT, Indrawati SG, Pawiroranu S. The prevalence of uncorrected
refractive error in urban, suburban, exurban and rural primary school children
in Indonesian population. Int J Ophthalmol. 2017;10(11):1771–6.
6. Nikmah ST, Rifada RM, Santoso PTR. Refractive errors in state junior high
school students in Bandung. Althea Med J. 2016;3(4):545–8.
7. Sherman AE, Shaw MM, Ralay-Ranaivo H, Rahmani B. Tropicamide has
limited clinical effect on cycloplegia and mydriasis when combined with
cyclopentolate and phenylephrine. J AAPOS. 2019;2.e1-30.e5.
8. Laojaroenwanit S, Layanun V, Praneeprachachon P, Pukrushpan P. Time of
maximum cycloplegia after instillation of cyclopentolate 1% in children with
brown irises. Clin Ophthalmol. 2016;10:897–902.
9. Kyei S, Nketsiah AA, Asiedu K, Awuah A, Owusu-Ansah A. Onset and
duration of cycloplegic action of 1% cyclopentolate – 1% tropicamide
combination. Afr Health Sci. 2017;17(3):923–32.
10. Yazdani N, Sadeghi R, Momeni-Moghaddam H, Zarifmahmoudi L, Ehsaei A.
Comparison of cyclopentolate versus tropicamide cycloplegia: A systematic
review and meta-analysis. J Optom. 2018;11:135–43.
11. Yoo SG, Cho MJ, Kim US, Baek S-H. Cycloplegic refraction in hyperopic
children: Effectiveness of a 0.5% tropicamide and 0.5% phenylephrine addition
to 1% cyclopentolate regimen. Korean J Ophthalmol. 2017;31(3):249.
12. Pi LH, Zhao JL, Liu Q, Chen L, Fang J, Ke N, et al. Comparison of cycloplegic
retinoscopy using cyclopentolate or tropicamide eye drops in an epidemiologic
study of pediatric refraction among 1907 school-aged children. Sci Res Essays.
2011;6(3):635–40.
13. Bagheri A, Givrad S, Yazdani S, Mohebbi MR. Optimal dosage of
cyclopentolate 1% for complete cycloplegia: A randomized clinical trial. Eur J
Ophthalmol. 2007;17(3):294–300.
14. American Academy of Ophthalmology. Pediatric Eye Evaluations Preferred
Practice Pattern®. Elsevier Inc.; 2017. p.185–227
75
15. Fan DSP, Rao SK, Ng JSK, Yu CBO, Lam DSC. Comparative study on the
safety and efficacy of different cycloplegic agents in children with darkly
pigmented irides. Clin Exp Ophthalmol. 2004;32:462–7.
16. Minderhout HM, Joosse M V, Grootendorst DC, Schalij-Delfos NE. A
randomized clinical trial using atropine, cyclopentolate, and tropicamide to
compare refractive outcome in hypermetropic children with a dark iris; skin
pigmentation and crying as significant factors for hypermetropic outcome.
Strabismus. 2019;27(3):127–38.
17. Frazier M, Jaanus SD. Cycloplegics. In: Bartlett JD, Jaanus SD, editors. Clinical
ocular pharmacology. 5th ed. Missouri, USA: Elsevier; 2008. p. 124–38.
18. Gupra SK. Mydriatics and cycloplegics. In: Gupra SK, Agarwal R, Srivastava
S, editors. Textbook on clinical ocular pharmacology and therapeutics. New
Delhi, India: Jaypee Brothers Medical Publishers; 2014. p. 87–95
19. Chng O, Jones N, Kian K, Ming K, Kee S. Is tropicamide a more effective
cycloplegic than cyclopentolate in children with dark irides? Aust Orthopt J.
2005;38:2–4.
20. Llewellyn S, Khandelwal P, Glaze S, Thomas P, Dahlmann-Noor A. Time to
drop the phenylephrine from the paediatric cycloplegia protocol: informing
practice through audit. Eye. 2019;33:337–8.
21. Patel AJ, Simon JW, Hodgetts DJ. Cycloplegic and mydriatic agents for routine
ophthalmologic examination: A survey of pediatric ophthalmologists. J
AAPOS. 2004;8:274–7.
22. Wren VQ, Krumholz DM, Portello JK, Rosenfield M, Rosenbaum JD. The
Effectiveness of cycloplegia and pupillary dilation with cyclopentolate,
tropicamide, and phenylephrine in a single combination solution. Optom Vis
Sci. 2000;77:129.
23. Sujuan JL, Handa S, Perera C, Chia A. The psychological impact of eyedrops
administration in children. J AAPOS. 2015;19:338–43.
24. Esteve-Taboada JJ, Del Águila-Carrasco AJ, Bernal-Molina P, Ferrer-Blasco T,
López-Gil N, Montés-Micó R. Effect of phenylephrine on the accommodative
system. J Ophthalmol. 2016;7968918.
25. Anderson HA, Bertrand KC, Manny RE, Hu YS, Fern KD. A Comparison of
two drug combinations for dilating dark irides. Optom Vis Sci. 2010;87(2):120–
4.
26. Skalicky SE. Ocular and visual physiology. Sydney, Australia: Springer; 2016.
p.58–60, 67–69, 85–96.
27. Remington LA. Clinical anatomy and physiology of the visual system. 3rd ed.
Vol. 53. Elsevier; 2012. p.1689–1699.
28. Szczepanowska-Nowak W, HachoŁ A, Kasprzak H. System for measurement
of the consensual pupil light reflex. Opt Appl. 2004;34(4):619–34.
29. Netter FH. Atlas of human anatomy. 6th ed. Philadelphia, USA: Saunders
Elsevier; 2014.
76
30. Hall CA, Chilcott RP. Eyeing up the future of the pupillary light reflex in
neurodiagnostics. Diagnostics. 2018;8(19).
31. Netter FH. Netter’s cranial nerve collection. Philadelphia, USA: Elsevier; 2016.
32. Park JH, Lee YC, Lee SY. The comparison of mydriatic effect between two
drugs of different mechanism. Korean J Ophthalmol. 2009;23(1):40–2.
33. Ciuffreda KJ. Accommodation, the pupil, and presbyopia. In: Benjamin WJ,
editor. Borish’s clinical refraction. 2nd ed. Missouri, USA: Elsevier; 2006. p.
93–144.
34. Rosenfield M. Development of accommodation in human infants. In: Duckman
RH, editor. Visual development, diagnosis, and treatment of the pediatric
patients. Philadelphia, USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 110–23.
35. Maheshwari R, Sukul RR, Gupta Y, Gupta M, Phougat A, Dey M, et al.
Accommodation: its relation to refractive errors, amblyopia and biometric
parameters. Nepal J Ophthalmol. 2011;3(2):146–50.
36. Od MBT, Shallo-hoffmann J. A Comparison of three clinical tests of
accommodation amplitude to Hofstetter’s Norms to guide diagnosis and
treatment. Optom Vis Dev. 2012;43(4):180–90.
37. American Academy of Ophthalmology. Clinical optics. San Fransisco, USA;
2019.
38. Hashemi H, Pakbin M, Ali B, Yekta A, Ostadimoghaddam H, Asharlous A, et
al. Near points of convergence and accommodation in a population of university
students in Iran. J Ophthalmic Vis Res. 2019;14(3):306–14.
39. Chen Y, Drobe B, Zhang C, Singh N, Spiegel DP, Chen H, et al.
Accommodation is unrelated to myopia progression in Chinese myopic
children. Sci Rep. 2020;10(1):1–8.
40. Schultz KE, Sinnott LT, Mutti DO, Bailey MD. Ciliary body thickness in
children. Optom Vis Sci. 2009;86(6):677–84.
41. Mutti DO, Jones LA, Moeschberger ML, Zadnik K. AC/A ratio, age, and
refractive error in children. Investig Ophthalmol Vis Sci. 2000;41(9):2469–78.
42. Toor S, Horwood A, Riddell P. The effect of asymmetrical accommodation on
anisometropic amblyopia treatment outcomes. J AAPOS. 2019;23(4):203.e1-
203.e5.
43. Toor S, Horwood AM, Riddell P. Asymmetrical accommodation in hyperopic
anisometropic amblyopia. Br J Ophthalmol. 2018;102(6):772–8.
44. Marran L, Schor CM. Binocular accommodation. In: Franzen O, Stark L,
Richter H, editors. Accommodation and vergence mechanisms in the visual
system. Springer; 2000. p. 245–56.
45. Manh V, Chen AM, Tarczy-Hornoch K, Cotter SA, Candy TR. Accommodative
performance of children with unilateral amblyopia. Investig Ophthalmol Vis
Sci. 2015;56:1193–207.
46. Minderhout HM, Joosse M V, Grootendorst DC, Schalij-Delfos NE. Adverse
reactions following routine anticholinergic eye drops in a paediatric population:
An observational cohort study. BMJ Open. 2015;5:e008798.
77
47. Bourne RRA, Flaxman SR, Braithwaite T, Cicinelli M V., Das A, Jonas JB, et
al. Magnitude, temporal trends, and projections of the global prevalence of
blindness and distance and near vision impairment: a systematic review and
meta-analysis. Lancet Glob Heal. 2017;5(9):e888–97.
48. Portello JK. Mydriatics and mydriolytics. In: Bartlett JD, Jaanus SD, editors.
Clinical ocular pharmacology. 5th ed. Missouri, USA: Elsevier; 2008. p. 112–
23.
49. Tanner V, Casswell AG. A comparative study of the efficacy of 2.5%
phenylephrine and 10% phenylephrine in pre-operative mydriasis for routine
cataract surgery. Eye. 1996 Jan;10(1):95–8.
50. Lim J, Chia A, Saffari SE, Handa S. Factors affecting pupil reactivity after
cycloplegia in Asian children. Asia-Pacific J Ophthalmol. 2019;8(4):304–7.
51. Suwan-Apichon O, Ratanapakorn T, Panjaphongse R, Sinawat S, Sanguansak
T, Yospaiboon Y. 2.5% and 10% phenylephrine for mydriasis in diabetic
patients with darkly pigmented irides. J Med Assoc Thail. 2010 Apr;93(4):467–
73.
52. Kleinstein RN, Mutti DO, Manny RE, Shin JA, Zadnik K. Cycloplegia in
African-American children. Vol. 76, Optometry and Vision Science. 1999. p.
102–7.
53. Zetterström C. A cross‐over study of the cycloplegic effects of a single topical
application of cyclopentolate‐phenylephrine and routine atropinisation for 3.5
days. Acta Ophthalmol. 1985;63(5):525–9.
54. Fredrick DR. Myopia. BMJ. 2002;324:1196–9.
55. Dahlan MS. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian
kedokteran dan kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika; 2010.
56. Madiyono B, Mz SM, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan
besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi
penelitian klinis. Edisi 3. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2008. h. 302–31.
57. Harun SR, Putra ST, Chair I, Sastroasmoro S. Uji klinis. Dalam: Sastroasmoro
S, Ismael S, editor. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi 3. Jakarta:
CV. Sagung Seto; 2008. h. 166–92.
58. Dahlan MS. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba
Medika; 2011.
59. Ebri A, Kuper H, Wedner S. Cost-effectiveness of cycloplegic agents: Results
of a randomized controlled trial in Nigerian children. Investig Ophthalmol Vis
Sci. 2007;48(3):1025–31.
60. Lin LLK, Shih YF, Hsiao CH, Su TC, Chen CJ, Hung PT. The cycloplegic
effects of cyclopentolate and tropicamide on myopic children. J Ocul Pharmacol
Ther. 1998;14(4):331–5.
78
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Persetujuan Etik ............................................................................79
Lampiran 2 Lembar Informasi dan Persetujuan (Informed Consent) ..............80
Lampiran 3 Data Hasil Penelitian .....................................................................84
Lampiran 4 Analisis Statistik............................................................................90
Lampiran 5 Daftar Riwayat Hidup ................................................................ 102
79
Lampiran 1
80
Lampiran 2
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
Lampiran 4
ANALISIS STATISTIK
Uji Homogenitas Karakteristik Subjek Penelitian
antara Kelompok SFT Dan SF
Jenis Kelamin
Usia
91
Kategori Usia
92
Status Kelainan Refraksi
Kekuatan Refraksi dan Diameter Pupil
93
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence
Interval of the Difference
Lower Upper
DiameterPupil Equal variances assumed
.156 .693 .068 106 .946 .0093 .1355 -.2593 .2778
Equal variances not assumed
.068 105.229 .946 .0093 .1355 -.2593 .2779
94
Tabel Kekuatan Refraksi dan Ukuran Diameter Pupil
pada Menit ke-20, 30, 45, dan 60
Kelompok SFT Statistics
Kekuatan
Refraksi
Menit 20
Kekuatan
Refraksi
Menit 30
Kekuatan
Refraksi
Menit 45
Kekuatan
Refraksi
Menit 60
Diameter
Pupil
Menit 20
Diameter
Pupil Menit
30
Diameter
Pupil
Menit 45
Diameter
Pupil
Menit 60
N Valid 54 54 54 54 54 54 54 54
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean -2.6204 -2.5463 -2.5185 -2.4769 6.869 7.967 8.461 8.650
Median -2.3750 -2.3750 -2.3750 -2.2500 6.950 8.150 8.600 8.750
Std. Deviation 2.24225 2.26388 2.20679 2.23779 .7684 .5474 .5360 .5333
Minimum -6.75 -7.00 -6.75 -7.00 4.9 6.6 7.0 7.1
Maximum 2.00 2.00 2.00 2.00 8.0 8.7 9.3 9.6
Kelompok SF Statistics
Kekuatan
Refraksi
Menit 20
Kekuatan
Refraksi
Menit 30
Kekuatan
Refraksi
Menit 45
Kekuatan
Refraksi
Menit 60
Diameter
Pupil
Menit 20
Diameter
Pupil Menit
30
Diameter
Pupil
Menit45
Diameter
Pupil
Menit60
N Valid 54 54 54 54 54 54 54 54
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean -2.3102 -2.2917 -2.2083 -2.1852 6.613 7.237 7.980 8.372
Median -2.1250 -2.1250 -2.0000 -2.0000 6.650 7.300 8.000 8.400
Std. Deviation 2.25180 2.21527 2.24015 2.25559 .6898 .6634 .5427 .4672
Minimum -7.00 -7.00 -6.75 -6.50 4.8 5.9 6.9 7.1
Maximum 1.00 .75 1.00 1.00 8.0 8.4 9.1 9.2
Tabel Analisis Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Perubahan
Ukuran Diameter Pupil antara Kelompok SFT Dan SF
Tests of Normality
Kelompok
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PerbedaanKekuatanRef
20
SFT .251 54 .000 .823 54 .000
SF .264 54 .000 .856 54 .000
PerbedaanKekuatanRef
30
SFT .260 54 .000 .852 54 .000
SF .227 54 .000 .879 54 .000
PerbedaanKekuatanRef
45
SFT .261 54 .000 .782 54 .000
SF .246 54 .000 .861 54 .000
PerbedaanKekuatanRef
60
SFT .222 54 .000 .816 54 .000
SF .212 54 .000 .820 54 .000
PerbedaanDiameterPupil
20
SFT .121 54 .048 .969 54 .166
SF .101 54 .200* .966 54 .133
PerbedaanDiameterPupil
30
SFT .088 54 .200* .979 54 .478
SF .096 54 .200* .976 54 .342
PerbedaanDiameterPupil
45
SFT .114 54 .078 .967 54 .135
SF .062 54 .200* .986 54 .786
PerbedaanDiameterPupil
60
SFT .113 54 .082 .961 54 .076
SF .070 54 .200* .992 54 .982
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
95
96
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Differe
nce
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
PerbedaanDiameter Pupil30
Equal variances assumed
.694 .407 4.937 106 .000 .7204 .1459 .4311 1.0097
Equal variances not assumed
4.937 104.338 .000 .7204 .1459 .4310 1.0097
PerbedaanDiameterPupil45
Equal variances assumed
1.078 .302 3.061 106 .003 .4722 .1543 .1664 .7781
Equal variances not assumed
3.061 104.953 .003 .4722 .1543 .1663 .7781
PerbedaanDiameter Pupil60
Equal variances assumed
2.896 .092 1.725 106 .088 .2685 .1557 -.0402 .5772
Equal variances not assumed
1.725 102.762 .088 .2685 .1557 -.0403 .5773
Tabel Analisis Perbandingan Waktu Puncak Sikloplegik
dan Waktu Puncak Midriasis antara Kelompok SFT dan SF
97
Tabel Analisis Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Perubahan
Ukuran Diameter Pupil antara Kelompok SFT dan SF
pada Usia 6 – 12 Tahun
98
Test Statisticsa
Perbedaan
Kekuatan
Ref 20
Perbedaan
Kekuatan
Ref 30
Perbedaan
Kekuatan
Ref 45
Perbedaan
Kekuatan
Ref 60
Perbedaan
Diameter
Pupil 45
Perbedaan
Diameter
Pupil 60
Mann-Whitney U 199.000 176.000 172.000 172.000 147.000 180.500
Wilcoxon W 409.000 386.000 382.000 382.000 357.000 390.500
Z -.028 -.658 -.770 -.775 -1.437 -.529
Asymp. Sig. (2-tailed) .978 .511 .441 .439 .151 .597
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .989b .529b .461b .461b .157b .602b
a. Grouping Variable: Kelompok
b. Not corrected for ties.
99
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
PerbedaanDiameter Pupil20
Equal variances assumed
.100 .753 .200 38 .842 .0350 .1748 -.3190 .3890
Equal variances not assumed
.200 36.813 .842 .0350 .1748 -.3193 .3893
PerbedaanDiameter Pupil30
Equal variances assumed
1.974 .168 2.488 38 .017 .5700 .2291 .1062 1.0338
Equal variances not assumed
2.488 35.540 .018 .5700 .2291 .1051 1.0349
100
Tabel Analisis Perbandingan Perubahan Kekuatan Refraksi dan Perubahan
Ukuran Diameter Pupil antara Kelompok SFT dan SF
pada Usia 13 – 18 Tahun
101
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference Lower Upper
PerbedaanDiameter Pupil20
Equal variances assumed
.110 .741 2.199 66 .031 .3706 .1685 .0341 .7071
Equal variances not assumed
2.199 65.634 .031 .3706 .1685 .0341 .7071
PerbedaanDiameter Pupil30
Equal variances assumed
.017 .895 4.261 66 .000 .8088 .1898 .4298 1.1878
Equal variances not assumed
4.261 65.853 .000 .8088 .1898 .4298 1.1879
PerbedaanDiameter Pupil45
Equal variances assumed
.006 .936 2.489 66 .015 .5000 .2009 .0989 .9011
Equal variances not assumed
2.489 65.999 .015 .5000 .2009 .0989 .9011
PerbedaanDiameter Pupil60
Equal variances assumed
.709 .403 1.366 66 .177 .2706 .1981 -.1249 .6661
Equal variances not assumed
1.366 65.080 .177 .2706 .1981 -.1250 .6662
102
Lampiran 5
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Fany Gunawan
Tempat/Tanggal Lahir : Sukabumi, 25 Juli 1990
Alamat : Kopo Permai 1 Blok O no. 19, Bandung 40227
The Gardens Blok A1 no 17, Cirebon
Nama Orang Tua : Chandra Gunawan, B.Sc
Tjatjan Suharti
Nama Suami : Herman, dr., SpM
Nama Anak : Albert Pradipta Chandra
Riwayat Pendidikan Formal
1. SD Mardi Yuana, Cibadak, Sukabumi (1995 – 2000)
2. SD Maria Bintang Laut, Bandung (2000 – 2001)
3. SMP Waringin, Bandung (2001 – 2004)
4. SMA Trinitas, Bandung (2004 – 2007)
5. Program Studi Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Maranatha, Bandung (2007 – 2011)
6. Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Maranatha, Bandung (2011 – 2012)
7. Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (2017 – 2021)
103
Riwayat Pekerjaan
1. Staf pengajar di Lembaga Bimbingan Belajar “Medicuss” Bandung (2013)
2. Dokter internship, RST Ciremai, Cirebon dan Puskesmas Kalijaga
(2013 – 2014)
3. Dokter umum, RS Kebonjati, Bandung (2014 – 2015)
4. Dokter umum, Klinik Pratama Luhur Medica Center, Bandung (2014 – 2015)
5. Dokter umum, PT. Delapan Empat Sakti, Ketapang, Bandung (2014)
6. Dokter umum, RS Immanuel, Bandung (2015)
7. Dokter umum, Klinik Mitra Medika, Dayeuhkolot, Bandung (2015)
8. Dokter PTT, RS Fatima, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat (2015 – 2017)
Pengalaman Organisasi
1. Bendahara II Asian Medical Students’ Association (AMSA) Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Maranatha (FK UKM) (2008 – 2009)
2. Anggota Divisi Konsumsi Musyawarah Nasional (Munas) XXIII AMSA,
Bandung (2008)
3. Sekretaris I AMSA FK UKM (2009 – 2010)
4. Perwakilan Universitas Kristen Maranatha dalam Munas AMSA XXIV di
Unika Atmajaya, Jakarta (2009)
5. Anggota Divisi Medis kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru UKM (2009)
6. Panitia simposium “Continuing Professional Development I” di Hotel Horison,
Bandung (2009)
7. Sekretaris I Komisi Pemilihan Umum (KPU) SEMA FK UKM (2010)
104
8. Anggota Divisi Acara Cicendo International Ophthalmology Meeting, Bandung
(2019)
Penelitian/Penulisan Karya Ilmiah
1. Efek Antidiare Infusa Kulit Buah Rambutan (Nephelium lappaceium L.) pada
Mencit Swiss Webster Jantan (2010)
2. Kesadaran, Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku tentang Glaukoma pada
Kelompok Usia di Atas 50 tahun di Kecamatan Tempuran, Kabupaten
Karawang, Provinsi Jawa Barat, Indonesia (2018)
3. Surgically Induced Necrotizing Scleritis setelah Eksisi Pterygium Metode Bare
Sclera, dimuat dalam Oftalmologica Indonesiana 2020 vol. 46 no. 2 (Agustus
2020)
4. Perbandingan Efek Sikloplegik dan Midriasis antara Kombinasi Siklopentolat
1% dan Fenilefrin 2,5% Dengan dan Tanpa Tropikamid 1% pada Anak dengan
Kelainan Refraksi (2021)
Presentasi Ilmiah
1. Surgically Induced Necrotizing Scleritis After Pterygium Excision with Bare
Sclera Technique
Presentasi poster pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERDAMI ke-44,
Makassar (2019)
105
2. Post-Traumatic Multiple Cranial Nerve Palsies Due to Cerebral Venous Sinus
Thrombosis
Presentasi poster pada Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) PERDAMI ke-44,
Makassar (2019)
3. Awareness and Knowledge About Glaucoma, Attitude and Behaviour to
Glaucoma Screening in Tempuran, Karawang District, West Java, Indonesia
Presentasi oral pada PERDAMI Virtual Scientific Meeting (PVSM) 2020
Seminar/Kongres/Pertemuan Ilmiah Nasional dan Internasional
2016 Peserta Kongres Nasional (KONAS) ke-14/Pertemuan Ilmiah Tahunan
(PIT) PERDAMI ke-41, Jakarta
2019 Panitia dan Peserta Cicendo International Ophthalmology Meeting (CIOM)
Peserta Kongres Nasional (KONAS) ke-15/Pertemuan Ilmiah Tahunan
(PIT) PERDAMI ke-44, Makassar
2020 Peserta PERDAMI Virtual Scientific Meeting (PVSM) 2020
Peserta Didactic Course INAVRS: Laser Treatment in Retinal Disease,
PVSM 2020
2020 Peserta Didactic Course INOIIS: Surgical Approach of Corneal Disease,
PVSM 2020
Peserta Didactic Course INASOPRS: Superior Blepharoplasty, PVSM
2020