PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ASAM FOLAT …digilib.unila.ac.id/25290/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ASAM FOLAT …digilib.unila.ac.id/25290/3/SKRIPSI TANPA BAB...
i
PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ASAM FOLAT SELAMA
KEHAMILAN TERHADAP KEJADIAN NEURAL TUBE DEFECTS (NTD)
PADA FETUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE
DAWLEY
(Skripsi)
Oleh
ANALIA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
ii
PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ASAM FOLAT SELAMA
KEHAMILAN TERHADAP KEJADIAN NEURAL TUBE DEFECTS (NTD)
PADA FETUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE
DAWLEY
Oleh
ANALIA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2017
iii
ABSTRACT
THE EFFECTS OF FOLIC ACID GIVEN DURING PREGNANCY DUE
TO THE INCIDENCES OF NEURAL TUBE DEFECTS (NTD) ON FETAL
RATS (Rattus norvegicus) STRAINS SPRAGUE DAWLEY
By
ANALIA
Background: Neural Tube Defects (NTD) are malformations of the central nervous
system which are caused by failure of neural tube closure during embryogenesis. Folic
acid supplementation is needed to prevent babies born with neural tube defects. This
study aims to determine the effect of folic acid on the various administration periods
against NTD incidence of fetal rats (Rattus norvegicus) strains Sprague dawley.
Methods: This study used 30 white female rats (Rattus norvegicus) strains Sprague
dawley with 200-250 grams body weight which are divided into five groups: negative
control (NC) were not given folic acid during pregnancy, positive control (PC) were
given folic acid during pregnancy, treatment group 1 (P1) were given folic acid in first
trimester, treatment group 2 (P2) were given folic acid in second trimester, and treatment
group 3 (P3) were given folic acid in third trimester.
Results: In NC groups obtained three fetal rats with NTD; all fetal in PC group were
normal; all fetal in P1 group were normal; all fetal in P2 groups were normal; all fetal in
P3 were normal. Data were analyzed using Kruskal-Wallis non parametric test and
obtained significant value of p=0,080.
Conclusion: There are no difference in the effects of folic acid on various administration
periods against NTD incidence of fetal rats (Rattus norvegicus) strains Sprague dawley.
Key words: Folic acid, Neural Tube Defect, Pregnancy, Rat
iv
ABSTRAK
PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ASAM FOLAT SELAMA
KEHAMILAN TERHADAP KEJADIAN NEURAL TUBE DEFECTS (NTD)
PADA FETUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE
DAWLEY
Oleh
ANALIA
Latar Belakang: Neural Tube Defects (NTD) atau cacat tabung saraf merupakan
malformasi pada sistem saraf pusat yang diakibatkan kegagalan penutupan tabung saraf
selama embriogenesis. Suplementasi asam folat diperlukan untuk mencegah bayi lahir
dengan NTD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek asam folat pada berbagai
periode pemberian terhadap kejadian NTD pada fetus tikus putih (Rattus norvegicus)
galur Sprague dawley.
Metode: Penelitian ini menggunakan 30 ekor tikus putih betina galur Sprague dawley
dengan berat badan 200-250 gram yang dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu kontrol
negatif (KN) yang tidak diberikan asam folat selama kehamilan, kontrol positif (KP) yang
diberikan asam folat selama kehamilan, perlakuan 1 (P1) yang diberikan asam folat pada
trimester satu, perlakuan 2 (P2) yang diberikan asam folat pada trimester dua, dan
perlakuan 3 (P3) yang diberikan asam folat pada trimester tiga.
Hasil Penelitian: Pada kelompok KN didapatkan tiga ekor fetus dengan NTD; pada KP
semua fetus normal; pada P1 semua fetus normal; pada P2 semua fetus normal; pada P3
semua fetus normal. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Kruskal-
Wallis dan didapatkan nilai signifikansi p=0,080.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan efek asam folat pada berbagai periode pemberian
terhadap kejadian NTD pada fetus tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley
Kata kunci: Asam folat, kehamilan, neural tube defects, tikus putih
v
vi
vii
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 9 September 1995, merupakan anak
keempat dari lima bersaudara, dari Ayahanda Zein dan Ibunda Tjandrawati.
Pendidikan Taman Kanak-kanak diselesaikan di TK Muslimat III Rawalumbu
Bekasi Timur pada tahun 2001, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri
Bojong Rawalumbu IX pada tahun 2007, Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMP Negeri 16 Bekasi pada tahun 2010, dan Sekolah Menengah
Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 5 Bekasi pada tahun 2013.
Tahun 2013, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif pada organisasi PMPATD Pakis
Rescue Team sebagai anggota dan bendahara divisi Pengabdian Masyarakat pada
tahun 2015-2016.
ix
Persembahan
Ku persembahkan karya ini untuk
papa, mama, ketiga kakakku dan
adikku tercinta
“Sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan.
Maka apabila engkau telah
selesai (dari sesuatu
urusan), tetaplah bekerja
keras (untuk urusan lain),
dan hanya kepada
Tuhanmulah engkau
berharap”
(Q.S. Asy-Syarh [94]:6-8)
x
SANWACANA
Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini berjudul “PERBANDINGAN EFEK PEMBERIAN ASAM FOLAT
SELAMA KEHAMILAN TERHADAP KEJADIAN NEURAL TUBE DEFECTS
(NTD) PADA FETUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE
DAWLEY” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di
Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas
Lampung;
2. Dr. Dr. Muhartono, M.Kes, Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung;
xi
3. dr. Rodiani, M.Sc, Sp.OG selaku Pembimbing Satu yang telah bersedia
meluangkan waktu, memberikan bimbingan, kritik, saran dan nasihat yang
bermanfaat dalam penelitian skripsi ini;
4. dr. Dwi Indria Anggraini, M.Sc, Sp.KK selaku Pembimbing Kedua yang
telah bersedia meluangkan waktu, memberikan masukan, kritik, saran dan
nasihat bermanfaat dalam penyelesaian skripsi ini;
5. dr. Ratna Dewi Puspita Sari, Sp.OG selaku Pembahas skripsi yang
bersedia meluangkan waktu dan kesediannya untuk memberikan kritik,
saran dan nasihat yang bermanfaat dalam proses penyelesaian skripsi ini;
6. Dr. Dyah Wulan S. R. W., SKM., M.Kes selaku Pembimbing Akademik
saya atas waktu dan bimbingannya.
7. Ayahanda tercinta, Bapak Zein, terima kasih atas doa, kasih sayang,
nasihat serta bimbingan yang telah diberikan untukku, serta selalu
mengingatkan untuk selalu mengingat Allah SWT. Semoga Allah SWT
selalu melindungi dan menyayangi;
8. Ibunda, Ibu Tjandrawati, terima kasih atas doa, kasih sayang, nasihat dan
bimbingan yang telah diberikan untukku, serta selalu mengingatkan untuk
selalu mengingat Allah SWT. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan
menyayangi;
9. Saudara kandung saya, Adni Oktaviana, Anita Wulandari, Indra Surya,
Egha Wahyu Ramdhan, yang selalu memberikan dukungan, semangat dan
kasih sayangnya;
xii
10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada
penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai
cita-cita;
11. Seluruh Staf Tata Usaha, Administrasi, Akademik, pegawai dan karyawan
FK Unila;
12. Tim Penelitian saya (Annisa Rusfiana dan Ridho Pambudi) atas
kerjasamanya dalam melakukan penelitian ini;
13. Teman-teman sejawat angkatan 2013 (CERE13ELLUM) yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Akan tetapi, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna
bagi kita semua. Aamiin
Bandar Lampung, Januari 2017
Penulis
Analia
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 4 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 5 2.1. Kehamilan ................................................................................................................. 5 2.2. Embriologi Manusia .................................................................................................. 5 2.3. Proses Neurulasi ........................................................................................................ 7 2.4. Asam Folat ................................................................................................................ 8
2.4.1 Definisi .............................................................................................................. 8 2.4.2 Sumber Folat ..................................................................................................... 8 2.4.3 Metabolisme Asam Folat .................................................................................. 9
2.5. Neural Tube Defects (NTD) .................................................................................... 10 2.5.1. Definisi Neural Tube Defects (NTD) .............................................................. 10 2.5.2. Faktor Resiko Neural Tube Defects (NTD) .................................................... 11 2.5.3. Patogenesis Neural Tube Defects (NTD) ........................................................ 11 2.5.4. Klasifikasi dan Manifestasi Neural Tube Defects (NTD) ............................... 13 2.5.5. Diagnosis Neural Tube Defects (NTD) ........................................................... 16 2.5.6. Penatalaksanaan Neural Tube Defects (NTD) ................................................ 18
2.6. Tikus Putih (Rattus norvegicus) .............................................................................. 18 2.6.1. Taksonomi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ................................................... 18 2.6.2. Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ......................................................... 18 2.6.3. Kehamilan Tikus Putih (Rattus norvegicus) ................................................... 19 2.6.4. Embriologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ................................................... 21
2.7. Hubungan Asam Folat dengan NTD ....................................................................... 23 2.8. Gambaran NTD pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) .......................................... 25 2.9. Kerangka Teori ....................................................................................................... 27
ii
2.10. Kerangka Konsep ................................................................................................ 28 2.11. Hipotesis ............................................................................................................. 28
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................................... 29 3.1 Desain Penelitian .................................................................................................... 29 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................................. 29 3.3 Populasi dan Sampel ............................................................................................... 30
3.3.1. Populasi Penelitian .......................................................................................... 30 3.3.2. Kriteria Inklusi ................................................................................................ 30 3.3.3. Kriteria Ekslusi ............................................................................................... 30 3.3.4. Kriteria Drop Out ............................................................................................ 30 3.3.5. Besar Sampel Penelitian .................................................................................. 30 3.3.6. Teknik Sampling ............................................................................................. 32 3.3.7. Kelompok Perlakuan ....................................................................................... 32
3.4 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................................... 32 3.4.1. Alat Penelitian ................................................................................................. 32 3.4.2. Alat untuk Nekropsi ........................................................................................ 33 3.4.3. Bahan Penelitian ............................................................................................. 33
3.5 Prosedur Penelitian ................................................................................................. 34 3.5.1. Ethical Clearance ........................................................................................... 34 3.5.2. Pengadaan Hewan Coba .................................................................................. 34 3.5.3. Prosedur Aklimatisasi dan Pemeliharaan Tikus .............................................. 34 3.5.4. Prosedur Perkawinan Tikus ............................................................................ 35 3.5.5. Prosedur Penetapan Dosis Asam Folat pada Hewan Coba ............................. 35 3.5.6. Prosedur Perlakuan ......................................................................................... 37 3.5.7. Terminasi Kehamilan dengan Nekropsi .......................................................... 37 3.5.8. Observasi Kelainan ......................................................................................... 38
3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ........................................ 38 3.6.1. Identifikasi Variabel ........................................................................................ 38 3.6.2. Definisi Operasional Variabel ......................................................................... 39
3.7 Pengolahan dan Analisis Data................................................................................. 39 3.7.1. Pengolahan Data ............................................................................................. 39 3.7.2. Analisis Data ................................................................................................... 40
3.8 Diagram Alur Penelitian ......................................................................................... 41
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................... 42 4.1. Hasil Penelitian ............................................................................................................ 42 4.2. Pembahasan.................................................................................................................. 44
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................ 49 5.1. Simpulan ...................................................................................................................... 49 5.2. Saran ............................................................................................................................ 49
iii
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 50
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kandungan Folat pada Beberapa Bahan Makanan……………..……...……. 9
2. Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)……...….....……………………… 19
3. Embriologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)…………….....………………. 21
4. Definisi Operasional Variabel……...…………………………..…………... 39
5. Rerata Jumlah Fetus Tikus Putih (Rattus norvegicus) ................................... 43
6. Rerata Jumlah Kejadian NTD Fetus Tikus Putih (Rattus norvegicus) .......... 44
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin….………………….……….....…… 6
2. Gambaran Mikroskopis Tabung Saraf Embrio............................................... 17
3. Gambaran Mikroskopis Spinal Cord Embrio................................................. 17
4. Apusan Vagina Tikus Setelah Kopulasi......................................................... 20
5. Gambaran Anensefalus pada Tikus................................................................ 25
6. Gambaran Spina Bifida Tikus ....................................................................... 25
7. Gambaran Tikus Normal dan Neural Tube Defects pada Tikus.................... 26
8. Kerangka Teori............................................................................................... 27
9. Kerangka Konsep........................................................................................... 28
10. Diagram Alur Penelitian................................................................................. 41
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malformasi kongenital atau yang biasa disebut sebagai cacat lahir atau cacat
bawaan dapat menyebabkan hilangnya seluruh atau sebagian dari struktur
normal tubuh. Umumnya timbul mulai dari minggu ketiga hingga kedelapan
kehamilan. Satu dari 40 atau sekitar 2,5% dari total bayi yang baru lahir
mengalami malformasi. Malformasi kongenital merupakan penyebab utama
kematian bayi yaitu sekitar 21% dari semua kematian bayi (Sadler, 2000).
Penyebab malfomasi pada umumnya bersifat multifaktorial (Imbard et al,
2013; Wang et al, 2013).
Salah satu faktor yang dapat menyebabkan malformasi yaitu defisiensi asam
folat selama kehamilan. Beberapa malformasi kongenital, seperti NTD, cacat
jantung, langit-langit atau bibir sumbing bahkan Down Syndrome
diperkirakan terkait dengan defisiensi dan gangguan metabolik asam folat.
Neural Tube Defects (NTD) merupakan malformasi yang sering muncul
akibat defisiensi folat, dan merupakan malformasi kedua tersering setelah
cacat jantung (Cunningham et al, 2014). Malformasi ini meliputi spina
bifida, anensefalus dan ensefalokel (Cochard, 2012; Padmanabhan, 2006).
2
Secara global, diperkirakan sekitar 300.000 bayi dilahirkan dengan NTD
setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 88.000 kematian dan 8,6 juta
disability adjusted live years (DALY). Surveillans jangka panjang di negara-
negara yang telah berhasil menerapkan fortifikasi, seperti Amerika Serikat,
Kanada, Kosta Rika, Afrika Selatan, Chili, dan Cina menunjukan bahwa
suplementasi folat dapat mengurangi prevalensi NTD menjadi lima sampai
enam per 10.000 kehamilan (Zaganjor et al, 2016).
Hal tersebut membuat asam folat menjadi mikronutrien yang sangat penting
untuk ibu hamil. Asam folat merupakan nutrisi esensial yang tidak bisa
disintesis oleh tubuh manusia, sehingga membutuhkan asupan dari makanan,
fortifikasi dan suplementasi. Folat banyak terdapat di berbagai sumber
makanan, namun karena bersifat termolabil dan larut air membuatnya mudah
rusak oleh pemanasan. Folat dibutuhkan untuk replikasi DNA dan sebagai
substrat dalam berbagai reaksi enzimatis termasuk sintesis asam amino dan
metabolisme vitamin. Peningkatan kebutuhan asam folat selama kehamilan
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus (Greenberg et al,
2011; Tangkilisan & Rumbajan, 2002).
Suplementasi umumnya berupa pil besi (200 mg sulfas ferosus dan 0,25 mg
asam folat) diperlukan agar tercukupinya kebutuhan asam folat. Persentase
ibu hamil yang minum pil besi di Provinsi Lampung hanya sekitar 79,43%
pada tahun 2007, sebesar 85,61% pada tahun 2008, dan tahun 2009 sebesar
76,22% (Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, 2013). Secara nasional cakupan
3
ibu hamil mendapat tablet besi tahun 2014 yaitu 85,1%, angka tersebut belum
mencapai target program tahun 2014 sebesar 95%. Cakupan pemberian 90
tablet besi pada ibu hamil di Provinsi Lampung sebesar 83,5% (Kementerian
Kesehatan RI, 2015).
Pada awal kehamilan, terdapat kesepakatan universal tentang rekomendasi
asam folat. Setelah kehamilan minggu ke-12 tidak ada rekomendasi resmi
untuk suplementasi asam folat. Dengan demikian, rekomendasi ini
difokuskan untuk mencegah NTD pada awal kehamilan, tetapi manfaat
suplementasi pada kehamilan lanjut masih belum diketahui dengan baik. Pada
penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa suplementasi lanjutan setelah
trimester pertama kehamilan dapat mencegah penurunan konsentrasi folat
serum dan peningkatan konsentrasi homosistein plasma, yang telah dikaitkan
dengan peningkatan resiko NTD, yang umumnya terjadi pada tahap akhir
kehamilan (Mcnulty et al,2013). Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melihat pengaruh asam folat pada berbagai periode pemberian terhadap
kejadian NTD yang akan dilakukan pada hewan percobaan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian
yang bertujuan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan
apakah terdapat perbedaan efek asam folat pada berbagai periode pemberian
terhadap kejadian NTD pada fetus tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Sprague dawley.
4
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efek asam folat pada berbagai
periode pemberian terhadap kejadian NTD pada fetus tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague dawley.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah
pengetahuan dan wawasan tentang peranan asam folat dalam kehamilan,
serta sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
2. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan
informasi tentang suplementasi asam folat dapat menurunkan resiko
kejadian NTD serta memberikan pemikiran positif mengenai pentingnya
suplementasi asam folat pada masa kehamilan.
3. Bagi institusi pendidikan, sebagai wujud realisasi Tridarma Perguruan
Tinggi dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga yang
menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi
masyarakat.
4. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan referensi untuk penelitian yang
terkait.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kehamilan
Kehamilan merupakan proses gamet jantan dan betina menyatu. Proses ini
terjadi di tuba uterina regio ampula yang merupakan bagian terlebar dari tuba
uterina (Sadler, 2012). Selama kehamilan berlangsung, terjadi berbagai proses
yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor tersebut tidak hanya
dapat membahayakan keselamatan ibu tetapi juga fetus yang dikandungnya,
terutama pada tahap organogenesis karena pada tahap itu sel-sel fetus sedang
aktif berproliferasi (Almahdy & Rosa, 2014).
2.2. Embriologi Manusia
Pertumbuhan dan perkembangan janin terbagi menjadi tiga periode, yaitu
implantasi, periode embrionik dan periode fetal (Gambar 1). Selama dua
minggu pertama pascaovulasi, fase perkembangan meliputi fertilisasi,
pembentukan blastokista dan implantasi blastokista. Segera setelah implantasi
maka vilus korionik dibentuk, yang selanjutnya disebut sebagai embrio.
Periode embrionik atau organogenesis dimulai pada minggu ketiga sampai
kedelapan. Pada periode organogenesis ini terjadi perkembangan masing-
6
masing lapisan germinal, ektoderm, mesoderm dan endoderm untuk menjadi
jaringan dan organ tertentu. Akhir periode embrionik dan permulaan periode
janin dimulai pada minggu kesembilan. Perkembangan selama periode janin
terdiri atas pertumbuhan dan pematangan struktur-struktur yang telah
terbentuk.
Gambar 1. Pertumbuhan dan Perkembangan Janin (Paul, 2014)
7
2.3. Proses Neurulasi
Neurulasi adalah proses pembentukan tabung saraf yang merupakan
prekursor dari otak dan sumsum tulang belakang selama periode
embriogenesis. Proses ini terjadi melalui dua tahap yang berbeda, yaitu
(Alfarra et al, 2011; Sarici et al, 2013; Wu et al, 2011):
1. Neurulasi primer (minggu ketiga-keempat) yang mengarah pada
pembentukan otak dan sebagian besar sumsum tulang belakang sampai
tingkat sakral bagian atas.
2. Neurulasi sekunder (minggu kelima-keenam) yang mengarah pada
pembentukan bagian terendah dari sumsum tulang belakang termasuk
sebagian besar sakral dan semua daerah koksigeal.
Pada awal proses neurulasi, sel-sel lempeng saraf di induksi sehingga
lempeng saraf akan memanjang dan berbentuk mirip “sandal” dan berangsur-
angsur meluas menuju ke garis primitif (Padmanabhan, 2006; Sadler, 2012).
Pada akhir minggu ketiga, tepi-tepi lateral lempeng saraf menjadi lebih
terangkat naik membentuk suatu lipatan saraf, sementara pada bagian
tengahnya yang cekung berbentuk alur, disebut alur saraf. Penyatuan lipat
saraf ini dimulai pada daerah bakal leher dan berjalan ke arah kepala dan
kaudal, sehingga terbentuklah tuba neuralis. Sampai penyatuan ini selesai,
ujung kaudal dan kepala tuba neuralis masih berhubungan dengan rongga
amnion melalui neuroporus kranial dan kaudal. Penutupan neuroporus kranial
terjadi kira-kira pada hari ke-25 (somit tingkat 18), sedangkan neuroporus
posterior menutup pada hari ke-27 (somit tingkat 25) (Sadler, 2012).
8
2.4. Asam Folat
2.4.1 Definisi
Folat adalah vitamin B9 yang bersifat larut air. Tubuh manusia tidak dapat
mensintesis struktur folat. Folat didapatkan secara alami dalam makanan
tertentu sebagai poliglutamat (Tennant, 2014). Asam folat hanya sedikit
yang ditemukan dalam makanan. Asam folat adalah asam monoglutamat,
suatu vitamin yang teroksidasi. Senyawa ini merupakan bentuk yang
paling aktif dari vitamin (Tangkilisan & Rumbajan, 2002). Perbedaan
keduanya menjadi penting karena terdapat perbedaan bioavailabilitas
antara asam folat dan folat. Hanya sekitar setengah dari folat yang
diperoleh dari makanan yang tersedia untuk pembentukan asam folat.
Dalam tubuh manusia, penyerapan asam folat lebih efisien dibandingkan
folat (Pitkin, 2007).
2.4.2 Sumber Folat
Folat terdapat pada berbagai tumbuh-tumbuhan dan hewan, terutama
sebagai poliglutamat dalam bentuk metil atau formil tereduksi. Kandungan
asam folat pada beberapa makanan tertentu dapat dilihat pada Tabel 1.
Sifatnya yang termolabil dan larut dalam air membuat folat mudah rusak
karena proses memasak (Ganesh et al, 2014). Proses memasak dapat
merusak 50-90% folat yang terkandung didalamnya. Menurut rekomendasi
AKG 2013, asam folat dibutuhkan sekitar 400 µg untuk wanita tidak
hamil, tambahan 200µg selama kehamilan serta tambahan 100µg untuk
wanita menyusui. Hasil uji acak membuktikan pengurangan NTD sebesar
9
60-100% pada wanita hamil yang mengkonsumsi 0,4-0,8 mg selama
beberapa bulan sebelum konsepsi dan selama kehamilan (Fathonah, 2016).
Tabel 1. Kandungan Folat pada Beberapa Bahan Makanan (Gardiner et al, 2008;
Mahan & Escott-Stump, 2000; Roth, 2011)
Bahan Makanan Kandungan Folat (µg)
Hati dan daging sapi, 3.5 oz 220
Kacang tunggak, 1 cup 210
Yeast, ¼ oz 164
Kacang-kacangan, ½ cup 144
Bayam, ½ cup 131
Gandum, ¼ cup 81
Brokoli, 1 cup 78
Sawi, 1 cup 76
Jus jeruk, 1 cup 75
Kol, 1 cup 30
Telur/kuning telur, 1 telur 25
Pisang, 1 buah 22
Almond, 1 oz 18
Susu, 1 cup 15
Roti gandum, 1 slice 14
2.4.3 Metabolisme Asam Folat
Folat dari makanan dalam bentuk poliglutamat akan diabsoprsi oleh
enterosit di sepanjang usus halus, terutama di duodenum dan jejunum
proksimal, dengan 50-80% nya akan dibawa ke hati dan sumsum tulang.
Pada mukosa usus halus, poliglutamat akan dihidrolisis menjadi
monoglutamat oleh enzim pteroil poliglutamathidrolase (Tangkilisan &
Rumbajan, 2002). Kemudian monoglutamat akan mengalami
reduksi/metilasi sempurna menjadi 5 metil tetrahidrofolat (5-metil THF),
yang sebagian besar akan dibawa ke sirkulasi portal. Dalam plasma, 5
metil THF akan terikat dengan albumin, α2 makroglobulin, transferrin dan
folate-binding protein. Folat yang dibawa ke hati ini memiliki peran
penting dalam homeostasis folat (Alfarra et al, 2011).
10
Di dalam sel, 5 metil THF berperan sebagai donor metil dan sumber
tertrahidrofolat. Gugus metil ini dibutuhkan untuk konversi homosistein
menjadi metionin (siklus remetilasi homosistein) (Meethal et al, 2013;
Nakouzi & Nadeau, 2014; Beaudin & Stover, 2009). 5-metil THF yang
melepaskan gugus metilnya ini akan menjadi tetrahidofolat (THF) dengan
bantuan enzim metil transferase. THF bertindak sebagai akseptor satu unit
karbon, memproduksi berbagai folat lainnya yang pada akhirnya akan
berperan sebagai koenzim spesifik dalam reaksi intraseluler (Imbard et al,
2012; Imbard et al, 2013; Kim et al, 2012; Martiniova et al, 2015; Wang
et al, 2015).
2.5. Neural Tube Defects (NTD)
2.5.1. Definisi Neural Tube Defects (NTD)
Neural Tubes Defect (NTD) atau cacat tabung saraf adalah malformasi
pada sistem saraf pusat yang diakibatkan kegagalan penutupan tabung
saraf selama embriogenesis. Malformasi ini mempengaruhi 0,5-2 per 1000
kehamilan di seluruh dunia. Tabung saraf yang akan berkembang menjadi
otak dan sumsum tulang belakang jika mengalami kegagalan dalam
penutupan akan menyebabkan neuro degenerasi in utero dan kehilangan
fungsi neurologisnya setingkat dari lokasi lesinya. Anak-anak dengan
cacat lahir yang berat berpotensi 15 kali lipat mengalami kematian selama
tahun pertama kehidupan. Neural Tube Defects yang mempengaruhi otak
(anensefalus dan craniochischisis) lebih beresiko menyebabkan kematian
11
perinatal, sedangkan spina bifida lebih kompatibel dengan kelangsungan
hidup selama postnatal, tetapi cenderung menyebabkan cacat yang serius.
Kerusakan saraf di bawah lesi menyebabkan kurangnya sensasi,
ketidakmampuan untuk berjalan dan inkontinensia. Kondisi ini juga sering
terkait dengan hidrosefalus, deformitas tulang belakang dan gangguan
pada sistem genitourinaria maupun pencernaan (Au et al, 2010; Copp &
Greene, 2014).
2.5.2. Faktor Resiko Neural Tube Defects (NTD)
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya NTD yaitu infeksi
(toksoplasmosis, rickettsia); toksin; multiparitas; usia ibu (Satyanegara,
2010); kelainan metabolik seperti gangguan keseimbangan hormon,
diabetes, defisiensi mineral dan vitamin (terutama folat) (Boyles et al,
2006); obat-obatan (golongan aminopterin, analgesik, klomifen, anti
kejang, sulfonamid, asam valproat) (Meethal et al, 2013); kelainan genetik
(Zhang et al, 2013); riwayat kehamilan sebelumnya dengan defek tabung
saraf (Arth et al, 2015); status gizi ibu overweight/obes (Leddy et al, 2008;
Rasmussen et al, 2008; Stothard et al, 2009); demam tinggi pada awal
kehamilan (hipertermia) (Copp & Greene, 2014; Sudiwala et al, 2016)
2.5.3. Patogenesis Neural Tube Defects (NTD)
Terhentinya proses penutupan tabung saraf embrio merupakan salah satu
mekanisme terjadinya NTD maka disebut juga dengan istilah disrafia
(teori developmental arrest). Ada teori lain yang menjelaskan bahwa NTD
12
disebabkan oleh peningkatan tekanan intraventrikular karena produksi
cairan serebrospinal yang berlebihan yang mungkin menimbulkan celah
atau defek pada tabung saraf (teori hidrodinamik). Sebagian besar NTD
sering dilaporkan akibat dari kegagalan utama dari penutupan tabung saraf
embrio, namun ada beberapa bukti klinis dan eksperimental yang kuat
dalam mendukung kemungkinan tabung saraf yang telah tertutup dapat
membuka kembali (teori neuroskisis). Pada teori herniasi sekunder juga
menjelaskan NTD terbentuk pada stadium perkembangan bayi yang sudah
lanjut (Satyanegara, 2010).
Pada studi eksperimental menjelaskan bahwa cacat pasca penutupan relatif
terjadi dalam onset yang lambat dan mungkin terjadi selama jangka waktu
selama perkembangan. Sebagian besar sumber menggambarkan NTD
sebagai kelainan perkembangan tunggal dan mekanisme patogenetiknya
merupakan akibat langsung dari penutupan kegagalan tabung saraf.
Namun harus diketahui bahwa NTD sebagai bagian dari kesalahan
perkembangan yang mempengaruhi tidak hanya tabung saraf tetapi juga
meninges, struktur kerangka aksial dan beberapa organ non-neural.
Mielomeningokel hampir selalu dikaitkan dengan malformasi Chiari II.
Dalam sebuah studi yang membandingkan frekuensi dan pola NTD
terisolasi dengan yang terkait dengan kelainan lainnya, mencatat bahwa
adanya pengelompokan yang signifikan dari cacat perkembangan yang
terkait dengan jumlah kraniokiskisis dan upper thoracic spina bifida, lebih
jarang dengan anensefalus dan lumbosakral spina bifida dan tidak pernah
13
dengan sakral spina bifida. Pola definitif ini mungkin menyiratkan adanya
hubungan antara mekanisme NTD dengan anomali perkembangan yang
terkait. Mereka berpostulat bahwa kelainan tambahan timbul sebagai
akibat induksi mekanik oleh gangguan spesifik dari tabung saraf dan
jaringan sekitarnya (Padmanabhan, 2006).
2.5.4. Klasifikasi dan Manifestasi Neural Tube Defects (NTD)
Neural Tube Defects dapat diklasifikasikan menjadi open NTD yang
berarti jaringan sarafnya terekspos/tidak tertutup jaringan lain dan closed
NTD yang berarti jaringan saraf tertutup oleh jaringan lain (Imbard et al,
2013). Sumber lain (Nielsen et al, 2006; Sjamsuhidajat & Jong, 2010)
menggolongkan NTD menjadi dua golongan yaitu:
1. Disrafia kranial
Disrafia kranial dapat berupa anensefalus yaitu kegagalan penutupan
neuroporus kranial, serta dapat berupa ensefalokel, yaitu defek pada
tulang tengkorak dengan herniasi meninges dan otak. Anensefalus
akan memberikan manifestasi yaitu tidak didapatkan otak dan
kranium. Meningoensefalokel banyak ditemukan di negara Asia
Tenggara, seperti Indonesia. Angka kejadian diperkirakan satu per
5000 kelahiran bayi hidup (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Manifestasi meningoensefalokel memberi gambaran berupa benjolan
yang makin besar sejak lahir dan umumnya berada di garis tengah.
Kulit penutup tipis, licin dan tegang, tetapi dapat juga normal atau
14
tebal dan tidak rata. Bila isi defek lebih banyak cairan maka akan
teraba padat dan berdungkul. Pada defek yang besar sering terlihat
pulsasi. Benjolan dapat kempis bila ditekan, tetapi bila menangis atau
mengejan, benjolan akan meregang. Benjolan kistik yang berdinding
tipis memberi tanda transluminasi positif. Jarak antar orbita akan
melebar jika meningoensefalokel di daerah naso(fronto)etmoidal,
keadaan ini disebut hipertelorisme. Pada ensefalokel sering
menimbulkan retardasi mental. Kelainan penyerta yang sering timbul
adalah hidrosefalus, sehingga harus selalu dipikirkan karena akan
menentukan terapi dan prognosis (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
2. Disrafia spinal
Disrafia spinal atau yang biasa disebut spina bifida, adalah terbelahnya
arkus vertebra dengan/tanpa keterlibatan jaringan saraf dibawahnya.
Angka kejadian di negara Asia, termasuk Indonesia sekitar 0,1-0,3 per
1000 bayi lahir hidup. Spina bifida dapat diklasifikasikan menjadi lima
yaitu (Ginsberg, 2007; L & K, 2014):
a. Spina bifida okulta
Spina bifida okulta merupakan suatu cacat pada lengkung vertebra
yang dibungkus oleh kulit dan biasanya tidak mengenai jaringan
saraf yang ada di bawahnya. Cacat ini umumnya terjadi di daerah
lumbosakral (L4-S1), dengan ciri khas plak rambut yang menutupi
daerah yang cacat. Hal ini disebabkan karena tidak menyatunya
15
lengkung-lengkung vertebra (defek terjadi hanya pada kolumna
vertebralis) dan terjadi pada sekitar 10% kelahiran.
b. Spina bifida kistika
Spina bifida kistika adalah suatu defek neural tube berat dengan
penonjolan jaringan saraf dan atau meninges melewati sebuah
cacat lengkung vertebra dan kulit sehingga membentuk sebuah
kantong mirip kista. Umumnya terletak di regio lumbosakral.
Kelainan ini dapat mengakibatkan gangguan neurologis, tetapi
biasanya tidak disertai dengan retardasi mental.
c. Spina bifida dengan meningokel
Meningokel merupakan bentuk spina bifida dengan kantong yang
berisi cairan yang terlihat dari luar (daerah belakang), tetapi
kantong tersebut tidak berisi spinal kord atau saraf.
d. Spina bifida dengan meningomielokel
Meningomielokel merupakan bentuk spina bifida yang ditandai
dengan jaringan saraf yang ikut di dalam kantong tersebut dan
dapat disertai defek kulit atau permukaan yang hanya dilapisi
selaput tipis. Kelainan ini sering disertai skoliosis, hidrosefalus dan
mungkin deformitas pelvis atau ekstremitas bawah. Gangguan
neurologis tergantung pada lokasi defek, dapat berupa paraplegia,
paraparesis, monoparesis, inkontinensia urin, gangguan sensorik
16
serta refleks. Kelainan yang menonjol adalah gangguan pada
sfingter yang dapat dilihat dari mekonium yang keluar terus-
menerus, atau urin yang keluar sedikit-sedikit namun terus-
menerus.
e. Spina bifida dengan mielokisis atau rakiskisis
Merupakan bentuk spina bifida berat yang ditandai dengan lipatan-
lipatan saraf gagal naik di sepanjang daerah torakal bawah dan
lumbosakral dan tetap sebagai masa jaringan saraf yang pipih.
2.5.5. Diagnosis Neural Tube Defects (NTD)
Neural Tube Defects secara klinis tampak sebagai benjolan di daerah
kepala ataupun daerah tulang belakang dan telah ada sejak lahir.
Pemeriksaan penunjang alfa feto protein (AFP) pada cairan amnion atau
pada darah ibu dapat dilakukan khususnya pada minggu ke-15 sampai
minggu ke-20. Kadar AFP serum normal pada ibu hamil adalah <500
ng/ml dan mencapai puncaknya pada usia gestasi 12-15 minggu.
Pemeriksaan penunjang sederhana seperti transluminasi dengan
penyorotan lampu pada benjolan maka akan tampak bayang-bayang isi
sefalokel. Pemeriksaan foto polos kepala ditujukan untuk mencari defek
pada tengkorak serta mendeteksi keadaan patologis penyerta. Alternatif
pemeriksaan lainnya yaitu dengan CT scan dan USG (Satyanegara, 2010).
17
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi NTD
selama kehamilan yaitu biopsi histopatologi. Selama neurulasi normal,
invaginasi lempeng saraf di sepanjang garis tengah untuk membentuk alur
saraf dan lipatan saraf terbentuk pada kedua sisi alur saraf. Sel-sel
neuroepitel mengalami proliferasi cepat dan elevasi, sehingga tepi lateral
lipatan saraf menekuk ke dalam untuk bertemu. Pada embrio dengan open
neural tube (eksensefalus), lipatan saraf gagal terangkat, dan sel terus
berproliferasi di sepanjang tepi tabung saraf terbuka mengakibatkan eversi
dari lipatan saraf, seperti yang terlihat pada Gambar 2. Pada embrio
dengan spina bifida yang diamati adalah kegagalan dalam pembentukan
lamina tulang belakang (yang membentuk dinding dorsal tulang belakang)
seperti yang terlihat pada Gambar 3 (Pickett et al, 2008; Waes et al, 2005).
Gambar 2. Gambaran Mikroskopis Tabung Saraf Embrio (Waes et al, 2005)
(2E) Tabung saraf yang menutup sempurna; (2F) tabung saraf yang terbuka
Gambar 3. Gambaran Mikroskopis Spinal Cord Embrio (Pickett et al, 2008)
(3A, D) Terdapat lamina spinal yang ditunjuk dengan tanda panah; (3 B, C, E, F)
tidak terdapat lamina spinal
18
2.5.6. Penatalaksanaan Neural Tube Defects (NTD)
Tindakan operasi dapat dilakukan sedini mungkin bila penderita layak
menjalaninya. Pada penderita dengan tanda-tanda infeksi (terutama pada
open NTD) maka perlu dilakukan perawatan lokal dan pemberian
antibiotik dosis tinggi (Satyanegara, 2010).
2.6. Tikus Putih (Rattus norvegicus)
2.6.1. Taksonomi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Klas : Mammalia
Subklas : Theria
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Superfamili : Muroidea
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : norvegicus (Baker et al, 2013)
2.6.2. Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Berikut ini merupakan data biologi tikus putih yang dapat dilihat pada
Tabel 2.
19
Tabel 2. Biologis tikus putih (Rattus norvegicus) (Sharp & Villano, 2012)
Parameter Nilai
Masa hidup 2,5-3,5 th
Berat Badan (BB)
BB dewasa (jantan) 450-520 g
BB dewasa (betina) 250-300 g
Suhu tubuh 35,9-37,5ºC
Luas permukaan tubuh (cm2) 10,5
Asupan makan (g/ 100 g BB/ hari) 5-6
Asupan minum (ml/ 100 g BB/ hari) 10-12
Volume urin (ml/ 100 g BB/ hari) 5,5
Total cairan tubuh (ml)* /250 g BB 167
Cairan ekstraseluler (ml)* /250 g BB 92,8
Cairan intraseluler (ml)* /250 g BB 74,2
Perkembangan & peristiwa penting
Turunnya testis 15-50 hari
Pubertas (jantan) 39-47 hari
Pubertas (betina) 34-38 hari
Kedewasaan social 160-180 hari
Menopause 450-540 hari
Reproduksi
Siklus estrus 4-6 hari
Kehamilan 21-22 hari
Keturunan 6-14 keturunan
Maksimum menghasilkan susu 12-14 ari pasca melahirkan
2.6.3. Kehamilan Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Estrus atau birahi adalah suatu periode secara psikologis maupun fisiologis
yang berarti bersedia menerima pejantan untuk kopulasi. Periode atau
masa dari permulaan periode birahi ke periode birahi berikutnya disebut
dengan siklus estrus yang berlangsung selama enam hari. Siklus estrus
dibedakan menjadi lima fase yaitu proestrus, estrus, metestrus I, metestrus
II dan diestrus. Setiap fase ini dapat diketahui dengan pemeriksaan apus
vagina (Akbar, 2010).
Pada fase estrus, kopulasi tikus terjadi umumnya pada malam hari, betina
akan mulai birahi pada pukul 16.00 sampai pukul 22.00 pada hari ketika
20
oles vagina menunjukkan stadium proestrus. Pada tikus terjadinya
kopulasi ditandai dengan adanya sumbat vagina yang merupakan air mani
yang menggumpal (vagina plug) pada liang vagina yang dapat diamati
selama 16-48 jam. Ketika terjadi kopulasi maka sperma akan bergerak
menuju ampula dengan lama perjalanan ± 15 menit. Fertilisasi pada tikus
akan terjadi 7-10 jam sesudah kopulasi. Setelah itu embrio akan mencapai
stadium blastula dalam waktu 3-4,5 hari (Akbar, 2010).
Implantasi dimulai dengan menempelnya trofoblas yang menutupi “inner
cell mass” pada dinding uterus. Pada mencit dan tikus implantasi terjadi
pada hari kebuntingan keempat sampai keenam. Implantasi pada tikus
termasuk implantasi eksentrik yaitu blastosis bersarang pada kripta atau
lipatan selaput lendir rahim. Pada manusia yang terjadi adalah implantasi
profundal atau insterstisial, yaitu adanya blastosis yang menembus lapisan
epitel selaput lendir rahim, sehingga embrio berkembang dalam
endometrium. Lama kebuntingan pada tikus adalah sekitar 21-23 hari
(Akbar, 2010).
Gambar 4. Apusan Vagina Tikus Setelah Kopulasi (Anggadiredja et al, 2006)
21
2.6.4. Embriologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Proses pertumbuhan dan perkembangan fetus tikus dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Embriologi Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Witschi & Dittmer, 1962)
Standar
Tahapan
(Witschi)
Usia (hari) Ukuran
(mm) Identifikasi Tahapan
Pembelahan dan blastula
1 1 0,07 1 sel (dalam saluran telur)
2 2 0,08 x
0,06 2 sel (dalam saluran telur)
3 3 0,08 x
0,05 4 sel (dalam saluran telur)
4 3,5 8-12 sel (dalam saluran telur)
5 3,25 0,08 x
0,04 Morula (dalam rahim)
6 4 0,08 x
0,03 Blastokista awal (dalam rahim)
7 5 0,12 x
0,05 Blastokista bebas (dalam rahim)
Gastrula
8 6 0,28 x
0,07
Implantasi blastokista dengan sel trofoblas
dan masa sel dalam, hasil dari endoderm
(hipoblas)
9 6,75 Diplotrophoblas, massa sel dalam ditutup
dengan endoderm
10 7,25 0,3 x 0,1 Menuju implantasi lengkap, mudigah
berdiferensiasi ke dalam dan ke luar embrio
11 7,75 0,5 x 0,1
Implantasi komplit, terbentuk kista amnion
primer, terbentuk kerucut ectoplacental
Garis Primitif
12 8,5 1,04 x
0,26
Adanya hubungan antara rongga amnion
dan ektokorionik, hilangnya lipatan
amnion, muncul garis primitive, awal
pembentukan 3 lapisan mudigah, lempeng
jantung dan pericardium
Neurulasi
13 9 1,0
Presomite neurula, fusi lipatan dan tangkai
korio-amnion, terbentuk lempeng saraf dan
tunas tangkai allantois,
14 9,5 1,5
Somites 1-4 (oksipital), lapisan mudigah
dengan 3 rongga (kista ektokorionik,
excocoelom, dan rongga amnion), kista
ektokorionik hancur, tangkai allantois
menuju ke excocoelom
15 10 2 Somites 5-12 (servikal), terbentuk lengkung
visceral ke-1, kista ektokoroinik menyatu
22
dengan ektoplasenta dan dengan tangkai
allantois, regresi perifer (distal) kuning
telur dan diplotrophoblast, muncul
membrane Reichert, gonia dalam endoderm
16 10,5 2,4
Somites 13-20 (upper thoracic), terbentuk
lengkungan visceral ke-2, terbentuk cakram
dan kantung plasenta kuning, terbentuk
lipatan apendikularis
17 11 3,3
Somites 21-25 (lower thoracic), tangkai
kuning telur menutup pada tingkat somite
15, gonia utama dalam mesenterium, garis
primitive menghilang, kuncup ekor terlihat,
kuncup lengan dan kaki tampak
Kuncup Ekor Embrio
18 11,5 3,8
Somites 26-28 (upper lumbar), terbentuk
lengkung visceral ke-3, kuncup lengan
terlihat
19 11,75 3,2
Somites 29-31 (lower lumbar), muncul
lengkung visceral ke-1 sampai ke-4, adanya
lipatan servikal, lipatan apendikularis
20 11,875 5 Somites 32-33 (upper sacral)
21 12 5,1 Somites 34-35 (lower sacral), terbentuk
sinus servikal dalam
22 12,125 5,2 Somites 36 (1
st kaudal), terbentuknya
lubang hidung
23 12,25 5,6 Somites 37-38 (kaudal), awal herniasi
umbilical
24 12,375 6 Somites 39-40 (kaudal)
Embrio Lengkap
25 12,5 6,2
Somites 41-42 (kaudal), penyebaran
oksipital somites, lengkungan visceral ke-4
jelas, sinus servikal dalam jelas, tunas
lengan pada tingkat somite 8-14 sama
panjang dengan tunas kaki di tingkat somite
28-31 namun lebih kecil, wajah kiri berada
pada kantung kuning sedangkan sisi kanan
berbalik kea rah plasenta, ekor dan tangkai
allantois terangkat kea rah plasenta
Metamorfosis Embrio
26 12,75 7
Somites 43-45 (kaudal), terbentuk maksila,
mandibular dan prosesus frontonasal, sinus
servikalis menutup, muncul berkas susu,
diferensiasi lempeng tangan, vaskularisasi
kuncup lengan, saraf brakialis mulai masuk,
awal herniasi umbilical
27 13,13 8
Somites 46-48 (kaudal), proses terbentuk
wajah dan cleft lebih jelas, hidung-
moncong makin tampak, sinus servikalis
menutup, kelenjar susu primordial, lempeng
tangan dan kaki membulat, hernia umbilical
lebih besar
28 13,5 8,5 Somites 49-51 (kaudal), visceral cleft ke-1
23
berubah menjadi saluran telinga eksternal,
kondensasi precartilaginous di lempeng
tangan
29 14 9,5 Somites 52-55 (kaudal), hillocks aurikularis
pada lengkung visceral ke-1 dan ke-2
30 14,5 10,5
Somites 56-60 (kaudal), badan sudah tidak
bergulung, prekartilago mandibular
terbentuk, saluran telinga eksternal hampir
terbuka, kanal pleuroperitoneal menjadi
sangat sempit
31 15 12
Somites 61-63 (kaudal), cleft wajah
tertutup, kanal pleuroperitoneal tertutup,
diafragma lengkap
32 15,5 14,2 Somites 64 (kaudal), pinna berbalik ke
depan, ukuran maksimal hernia umbilical
33 16 15,5
Somites 65 (biasanya ini adalah somite
kaudal terakhir), moncong turun ke arah
dada, tahap akhir metamorphosis
Janin
34 17-18 16-20
Tahap janin ke-1, pertumbuhan cepat
kelopak mata (mata tertutup sepenuhnya
sampai akhir hari ke-18), langit-langit
tertutup sempurna, pinna melapisi saluran
telinga,
35 antenatal 19-22 20-40
Tahap janin ke-2, kelopak mata tertutup,
membrane janin dan plasenta mencapai
puncak pertumbuhan , ekor tumbuh hingga
10 mm
35 postnatal 1-16
postpartum 4-10
Kelahiran terjadi (tikus dalam 22 hari),
setelah lahir janin bernapas dan menyusui
pada ibunya selama 16 hari pertama,
kelopak mata tetap tertutup dan saluran
telinga eksternal tertutup dengan sekat
periderm
36
postnatal
17+
postpartum 100+
Sekat periderm telinga dan kelopak mata
lenyap, makan aktif dimulai dalam waktu
berikutnya 3 hari dan menyapihnya setelah
1 minggu (total usia penyapihan 45-48 hari
untuk tikus dan mencit)
2.7. Hubungan Asam Folat dengan NTD
Asam folat merupakan nutrisi penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
janin selama kehamilan. Folat berfungsi dalam pembelahan sel dan sintesis
asam deoksiribonukleat (DNA) dengan mentransfer format untuk sintesis
purin dan formaldehid untuk sintesis timidilat, juga untuk remetilasi
24
homosistein menjadi metionin (Mahan & Escott-Stump, 2000; Martiniova et
al, 2015). Penelitian menggunakan tikus mutan (Pax3) yang menunjukan
adanya kelainan pada biosintesis de novo purin dan timidilat (dTMP)
memperlihatkan bahwa NTD dapat diselamatkan dengan diet asam folat. Hal
ini menunjukan bahwa asam folat dapat mencegah NTD dengan
menyelamatkan biosintesis de novo purin dan timidilat (dTMP) pada tikus
mutan tersebut (Martiniova et al, 2015).
Mekanisme perlindungan maupun hubungan antara status folat ibu dengan
kerentanan NTD telah didefinisikan dengan baik. Salah satu kemungkinannya
adalah bahwa asam folat bertindak untuk mengatasi ketidakcukupan status
folat ibu dan defek metabolisme folat yang disebabkan mutasi genetik pada
ibu atau janin (Dunlevy et al, 2007). Pencegahan NTD dengan suplementasi
folat sudah dikonfirmasi dengan uji klinis acak pada tahun 1991. Efek dari
fortifikasi asam folat pada tepung roti telah jelas menggambarkan efek
pencegahan ini, serta menunjukan bahwa tidak semua kasus NTD dapat
dicegah dengan folat atau folate-nonpreventable NTD (Eichholzer et al,
2006). Selain itu, Frank menjelaskan bahwa kekurangan asam folat bukanlah
satu faktor utama penyebab NTD, melainkan adanya predisposisi genetik
yang ikut berperan (Burren et al, 2008).
Asam folat eksogen mampu menstimulasi respon seluler, memungkinkan
embrio berkembang untuk mengatasi efek samping dari gangguan genetik
dan/atau lingkungan yang jika tidak diatasi akan menyebabkan NTD. Sebuah
25
prinsip penting bahwa folat dapat memberikan efek pencegahan pada kondisi
etiologi beragam, seperti kelainan yang disebabkan oleh berbagai anomali
genetik yang terkait dengan proses penutupan neural yang mengakibatkan
NTD (Copp & Greene, 2014).
2.8. Gambaran NTD pada Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Gambar 5. Gambaran Anensefalus pada Tikus (Copp, 2005)
Gambar 6. (4A) Gambaran tikus normal; (4B) Gambaran spina bifida pada tikus
(Ma et al,2012)
26
Gambar 7. Gambaran Tikus Normal dan NTD pada Tikus
(5A) Gambaran normal tikus dengan ekor lurus/straight tail (ST); (5B) gambaran
curly tail (CT); (5C) gambaran spina bifida (SB), eksensefalus (EX) dan curly tail
(CT) (Copp & Greene, 2014)
27
2.9. Kerangka Teori
NTD
Riwayat NTD
pada kehamilan
sebelumnya
Hipertermia ibu
selama kehamilan
Infeksi
(toksoplasmosis,
rickettsia)
Diabetes pada ibu
Multiparitas
Toksin
Defisiensi folat
Obat (golongan
aminopterin,
analgesik,
klomifen, anti
kejang,
sulfonamid, asam
valproat)
Overweight/obesit
as pada ibu
Kelainan genetik
Pemberian asam folat
- Mengatasi ketidakcukupan status
folat ibu
- Mengatasi defek metabolisme folat
yang disebabkan mutasi genetik
pada ibu atau janin
- Penting dalam pembelahan sel dan
sintesis asam deoksiribonukleat
(DNA) remetilasi homosistein
menjadi metionin
- Mencegah NTD dengan
menyelamatkan biosintesis de novo
purin dan timidilat (dTMP)
Gambar 8. Kerangka Teori
(Martiniova et al, 2015; Dunlevy et al, 2007; Boyles et al, 2006; Meethal et al, 2013; Arth et al,
2015; Leddy et al, 2008; Copp & greene, 2014)
28
2.10. Kerangka Konsep
Gambar 9. Kerangka Konsep
2.11. Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat perbedaan efek asam folat pada
berbagai periode pemberian terhadap kejadian NTD pada fetus tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague dawley.
Pemberian asam folat Kejadian NTD pada fetus
tikus putih galur Sprague
dawley
Variabel Bebas Variabel Terikat
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan pendekatan
post test only control group design. Pengambilan data hanya dilakukan pada
akhir penelitian setelah perlakuan. Rancangan penelitian ini memungkinkan
peneliti dapat mengetahui efek perlakuan pada kelompok eksperimen dengan
cara membandingkannya dengan kelompok kontrol. Subjek pada penelitian
ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina hamil galur Sprague dawley
berumur 10-16 minggu yang dipilih secara acak (random) dan kemudian
dikelompokkan menjadi lima kelompok.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yang terhitung mulai bulan
Agustus-Oktober 2016 dan dilakukan di beberapa tempat, antara lain:
1. Animal House Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk proses
pemeliharaan dan perlakuan.
2. Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
untuk proses nekropsi dan observasi hasil penelitian.
30
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina hamil
galur Sprague dawley berumur 10-16 minggu dengan berat sekitar 200-
250 gram yang diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner (BALITVET)
Palembang.
3.3.2. Kriteria Inklusi
1. Sehat (gerak aktif, rambut tidak kusam dan rontok)
2. Jenis kelamin betina
3. Berat badan 200-250 gram
4. Berusia sekitar 10-16 minggu (dewasa siap kawin)
3.3.3. Kriteria Ekslusi
1. Tikus yang sakit atau mati sebelum mendapat perlakuan.
3.3.4. Kriteria Drop Out
1. Sakit (rambut tampak kusam, rontok atau botak, aktivitas kurang atau
tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut ,
anus dan genital) selama masa perlakuan.
2. Mati selama masa perlakuan.
3.3.5. Besar Sampel Penelitian
Sampel penelitian dihitung sesuai dengan rumusan Frederer penentuan
sampel untuk uji eksperimental.
31
Rumus Frederer (Arkeman, 2006):
(n-1)(t-1) ≥ 15
Keterangan:
t = jumlah kelompok perlakuan
n = jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok
Penelitian ini dibagi menjadi lima kelompok percobaan sehingga
perhitungan sampel menjadi:
(n-1)(t-1) ≥ 15
(n-1)(5-1) ≥ 15
4n-4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75 (dibulatkan menjadi 5)
Jadi, sampel yang digunakan untuk setiap kelompok percobaan sebanyak
lima ekor dan jumlah kelompok yang digunakan adalah lima kelompok
sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi
yang ada. Untuk mengantisipasi adanya drop out maka dilakukan koreksi
dengan menambahkan 10% dari jumlah anggota tiap kelompok.
Drop Out = 10% x 5
= 0,5 per kelompok perlakuan
Jadi, sampel yang dibutuhkan untuk drop out sebanyak satu ekor tikus per
kelompok perlakuan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan 30 ekor
tikus putih (Rattus norvegicus) betina hamil yang dibagi menjadi lima
kelompok.
32
3.3.6. Teknik Sampling
Pada penelitian ini menggunakan sampel 30 ekor tikus putih (Rattus
norvegicus) betina hamil yang dikelompokkan dengan teknik simple
random sampling.
3.3.7. Kelompok Perlakuan
Dalam penelitian ini digunakan 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus)
betina hamil yang dibagi menjadi lima kelompok, yaitu:
1. Kelompok kontrol negatif (KN): tikus yang tidak diberikan asam folat
selama kehamilan
2. Kelompok kontrol positif (KP): tikus yang diberikan asam folat
selama kehamilan
3. Kelompok perlakuan satu (P1): tikus yang diberikan asam folat hanya
pada trimester satu
4. Kelompok perlakuan dua (P2): tikus yang diberikan asam folat hanya
pada trimester dua
5. Kelompok perlakuan tiga (P3): tikus yang diberikan asam folat hanya
pada trimester tiga
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1. Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Kandang tikus beserta tempat makan dan minum tikus
2. Mortar dan gelas ukur
33
3. Sonde lambung untuk mencekoki asam folat
4. Handschoen, kapas dan alkohol
3.4.2. Alat untuk Nekropsi
1. Fume hood
Fume hood digunakan untuk melindungi operator dari bahan
pengawet atau material yang bisa terisap dari hewan coba (bulu dan
debu).
2. Dissecting board (papan bedah)
3. Bank pins (jarum)
Jarum digunakan untuk membuat posisi hewan coba stabil atau tidak
berpindah posisi sehingga operator menjadi mudah.
4. Forceps dan gunting
Forceps digunakan untuk memegang organ dalam untuk memeriksa
dan gunting digunakan untuk membuat insisi atau sayatan pada otot.
5. Baju kerja laboratorium
6. Handscoen
3.4.3. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Asam folat dengan dosis 0,015 mg.
2. Pakan hewan berupa pelet dan minum.
3. Etanol 70% dan aquadest untuk membasahi bulu sebelum
pembedahan agar bulu tidak rontok
34
4. Larutan garam NaCl untuk mencuci atau menghilangkan darah dan
debris jaringan.
3.5 Prosedur Penelitian
3.5.1. Ethical Clearance
Skripsi ini telah mendapatkan persetujuan etik dari Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung dengan nomor 128/UN26.8/DL/2017 untuk
melakukan penelitian menggunakan 30 ekor tikus putih (Rattus
norvegicus) betina hamil galur Sprague dawley.
3.5.2. Pengadaan Hewan Coba
Pada penelitian ini, hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) betina
sebanyak 30 ekor dan jantan sebanyak 10 ekor dengan galur Sprague
dawley yang diperoleh dari Balai Penelitian Veteriner (BALITVET)
Palembang.
3.5.3. Prosedur Aklimatisasi dan Pemeliharaan Tikus
Sebelum diberikan perlakuan, hewan coba diaklimatisasi selama 7 hari
untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Tikus dipelihara di
kandang yang tertutup kawat dengan beralaskan sekam. Selama masa
adaptasi, ataupun masa perlakuan, tikus diberi makan pelet dan minuman
air secara ad libitum. Kandang dijaga suhu, kelembaban dan
pencahayaannya. Berat badan tikus diukur setiap hari untuk mengetahui
kondisi kesehatannya.
35
3.5.4. Prosedur Perkawinan Tikus
Tikus betina dikawinkan dengan tikus jantan dengan sistem pasangan
poligami (tiga ekor betina dengan satu ekor jantan). Perkawinan dapat
diketahui dengan adanya sumbat vagina, yang merupakan air mani yang
menggumpal berwarna kekuningan. Adanya sumbat vagina ini ditetapkan
sebagai hari kehamilan nol.
3.5.5. Prosedur Penetapan Dosis Asam Folat pada Hewan Coba
Asam folat yang digunakan pada penelitian ini dalam sediaan tablet. Dosis
yang diberikan pada hewan coba didapatkan dari konversi BSA (Body
Surface Area). Dosis asam folat pada wanita hamil (600µg) akan
dikonversi menjadi dosis hewan coba dengan perhitungan seperti di bawah
ini:
(
)
HED (Human Equivalent Dose) merupakan dosis pada manusia dengan
satuan mg/kg. Dosis asam folat dikonversi dalam bentuk mg/kgBB. Berat
badan yang digunakan sebagai pembagi merupakan berat badan rata-rata
manusia yang digunakan dalam konversi HED, yaitu 60 kg. HED
didapatkan dari dosis asam folat dibagi dengan berat badan rata-rata
sehinga didapatkan nilai HED asam folat sebesar 0,01 mg/kgBB.
36
Km atau faktor konstanta dalam rumus konversi merupakan hasil berat
badan (kg) dibagi dengan BSA dalam satuan m2. Setiap makhluk hidup
memiliki faktor konstanta (Km) yang berbeda. Nilai konstanta (Km)
manusia dewasa normal sebesar 37 dan hewan coba tikus sebesar 6
(Reagan-Shaw et al, 2008). Dengan perhitungan diatas didapatkan dosis
hewan coba tikus sebagai berikut:
(
)
Dari perhitungan di atas didapatkan dosis 0,062 mg/kgBB untuk setiap kali
pemberian. Asumsi berat badan tikus rata-rata adalah 250 mg, maka dosis
asam folat untuk setiap kali pemberian menjadi 0,015 mg. Sediaan tablet
asam folat yang ada di pasaran yaitu 0,4 mg; 1 mg; dan 5 mg. Pada
penelitian ini digunakan tablet asam folat sediaan 0,4 mg, serta
pengenceran dengan aquadest sebanyak 25,8 ml yang didapatkan dari
perhitungan sebagai berikut (Melmambessy et al, 2015):
C1 x V1 = C2 x V2
0,4mg x 1ml = 0,015 mg x V2
V2 = 25,8 ml
Keterangan:
V1= volume larutan yang diencerkan
V2= volume larutan pengenceran
C1= konsentrasi larutan yang diencerkan
37
C2= konsentrasi larutan pengenceran
Dari perhitungan di atas, maka setiap tikus akan diberikan asam folat
sebanyak 1 ml yang mengandung 0,015 mg. Larutan tersebut didapat dari
pengenceran tablet asam folat 0,4 mg dengan 25,8 ml aquadest.
3.5.6. Prosedur Perlakuan
Tikus betina yang telah hamil dikelompokan ke dalam lima kelompok.
Kelompok kontrol negatif (KN) hanya diberi minum dan makan pelet
setiap hari. Kelompok kontrol positif (KP) diberi minum, makan pelet, dan
asam folat setiap hari (trimester 1-3). Kelompok perlakuan satu (P1) diberi
minum dan makan pelet setiap hari serta diberi asam folat hanya pada
trimester satu (hari ke-1 sampai ke-7). Kelompok perlakuan dua (P2)
diberi minum dan makan pelet setiap hari serta diberi asam folat hanya
pada trimester dua (hari ke-8 sampai ke-14). Kelompok perlakuan tiga
(P3) diberi minum dan makan pelet setiap hari serta diberi asam folat
hanya pada trimester tiga (hari ke-15 sampai ke-21).
3.5.7. Terminasi Kehamilan dengan Nekropsi
1. Terminasi dilakukan sebelum tikus melahirkan untuk mencegah
kanibalisme, terlebih dahulu dianestesi kemudian di euthanasia
dengan metode cervical dislocation.
2. Hewan diletakkan pada papan bedah dengan posisi rebah dorsal (perut
menghadap ke atas) dan posisi kepala hewan menjauhi operator.
38
3. Permukaan tubuh hewan dibasahi dengan air atau etanol supaya bulu-
bulu hewan tidak rontok dan mengotori organ dan fetus yang akan
diambil.
4. Dengan menggunakan forceps angkat kulit abdomen dan buat irisan
sepanjang ventral midline dengan gunting (sampai dagu bawah).
Irisan hanya pada daerah subkutan.
5. Setelah terlihat otot di bawah kulit (berupa lapisan tipis otot), dibuat
irisan pada otot abdomen, singkirkan otot ke samping dengan cara
memotong dengan gunting sehingga organ dalam rongga abdomen
dapat diamati.
6. Tentukan letak uterus dengan fetus yang ada di dalamnya, tarik sedikit
kearah luar, kemudian keluarkan fetus dari uterus tikus.
3.5.8. Observasi Kelainan
1. Bersihkan fetus dari lendir-lendir sisa selaput dan darah yang ada
dengan larutan garam NaCl.
2. Amati morfologi tikus, terutama pada bagian otak dan sumsum tulang
belakangnya untuk mengetahui ada tidaknya NTD baik itu spina
bifida, anensefalus ataupun ensefalokel.
3. Hitung kejadian NTD yang ada, dan bandingkan tiap kelompoknya.
3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
3.6.1. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas
39
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian asam folat.
2. Variabel Terikat
Variable terikat pada penelitian ini adalah kejadian NTD pada fetus
tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley.
3.6.2. Definisi Operasional Variabel
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak
menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional pada Tabel 4.
Tabel 4. Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Cara
Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Pemberian
asam folat
Asam folat dengan dosis 0,015 mg
diberikan dengan waktu yang berbeda
tiap kelompok. Waktu pemberian yang
dipakai yaitu:
1. trimester 1(hari ke-1 sampai ke-7)
2. trimester 2 (hari ke-8 sampai ke-14)
3. trimester 3 (hari ke-15 sampai ke-21)
4. trimester 1-3 (hari ke-1 sampai ke-21)
Kategorik
ordinal
Kejadian
Neural
Tube
Defects
(NTD)
Neural Tube Defects (NTD) merupakan
malformasi kongenital yang dapat terjadi
akibat defisiensi folat selama masa
kehamilan. Kejadian NTD dinilai dari ada
atau tidaknya spina bifida, anensefalus
dan ensefalokel.
Kejadian
NTD
Numerik
3.7 Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1. Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam
bentuk tabel-tabel, kemudian proses pengolahan data menggunakan
program SPSS yang terdiri dari beberapa langkah:
1. Koding yaitu menerjemahkan data yang dikumpulkan selama
penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk dianalisis.
40
2. Entry data yaitu memasukkan data penelitian ke dalam program
komputer.
3. Verifikasi yaitu memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap
data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.
4. Output yaitu hasil yang telah dianalisis oleh komputer.
3.7.2. Analisis Data
Analisis statistik pada penelitian ini menggunakan program analisis data
SPSS. Untuk menilai normalitas dan homogenitas data digunakan uji
Shapiro-Wilk karena jumlah sampel <50. Apabila memenuhi syarat, maka
analisis data untuk mengetahui perbedaan efek pemberian asam folat akan
menggunakan uji parametrik One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan
analisis post-hoc Bonferroni untuk menilai kebermaknaan antar kelompok.
Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, maka digunakan analisis non
parametrik Kruskal-Wallis.
41
3.8 Diagram Alur Penelitian
Timbang berat badan calon induk
Campurkan tikus jantan dan betina dewasa (4-6 hari)
Tikus betina dewasa hamil
Adaptasi selama 1 minggu
KN KP P1 P2 P3
Pemberian
larutan
asam folat
sebanyak 1
ml pada
trimester
1-3
Pemberian
larutan
asam folat
sebanyak 1
ml pada
trimester 1
Pemberian
larutan
asam folat
sebanyak 1
ml pada
trimester 2
Pemberian
larutan
asam folat
sebanyak 1
ml pada
trimester 3
Terminasi pada umur kehamilan 21
Nekropsi
Fetus-fetus dikeluarkan dari uterus dan dibersihkan
Observasi kelainan morfologi (neural tube defects)
Interpretasi hasil
21
hari
Gambar 10. Diagram Alur Penelitian
49
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Tidak terdapat perbedaan efek asam folat pada berbagai periode pemberian
terhadap kejadian NTD pada fetus tikus putih (Rattus norvegicus) galur
Sprague Dawley
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada objek penelitian dengan kelainan
genetik (mutan) yang diketahui atau dengan pemberian trigger yang dapat
menyebabkan NTD agar lebih dapat menilai peranan asam folat.
50
DAFTAR PUSTAKA
Abeywardana S & Sullivan E A. 2008. Neural tube defects in Australia. An
epidemiological report. Cat. No. PER 45. Sydney: AIHW National Perinatal
Statistics Unit
Akbar B. 2010. Tumbuhan dengan kandungan senyawa aktif yang berpotensi
sebagai bahan antifertilitas.Edisi ke-1. Jakarta: Adabia Press. hlm 10-23.
Alfarra HY, Alfarra SR & Sadiq MF. 2011. Neural tube defects between folate
metabolism and genetics. Indian Journal of Human Genetics, 17(3):126–131.
Almahdy A & Rosa M. 2014. Uji efek teratogen anti nyamuk bakar yang
mengandung transfluthrin terhadap fetus mencit putih.Scientia. 4(2):46–50.
Anggadiredja K., Sukandar EY & Santosa, S. 2006. Studi efek teratogenik ekstrak
buah mengkudu (Morinda citrifolia) pada tikus wistar putih.JKM. 5(2): 72–
80.
Arkeman H. 2006. Efek vitamin C dan E terhadap sel goblet saluran nafas pada
tikus akibat pajanan asap rokok.Universa Medicina. 25(2):61–66.
Arth A, Tinker S, Moore C, Canfield M., Agopian A& Reefhuis J. 2015.
Supplement use and other characteristics among pregnant women with a
previous pregnancy affected by neural tube defect-united states1997-2009.
Center for Disease Control and Prevention.64(1):6–9.
Au KS, Ashley-Koch A & Northrup H. 2010. Epidemiologic and genetic aspects
of spina bifida and other neural tube defects. Dev Disabil Res Rev.16(1):6–5.
Baker HJ, Lindsey JR & Wesibroth SH. 2013. The laboratory rat: biology and
diseases. New York: Elsevier. hlm 38.
51
Beaudin AE & Stover PJ. 2009. Insights into metabolic mechanism underlying
folate-responsive neural tube defect: a mini review. Birth Defect
Res.85(4):274–284.
Boyles AL, Billups AV, DeakKL, Siegel DG, Mehltretter L, Slifer SH, Bassuk
AG, Kessler JA, Reed MC, Nijhout HF, George TM, Enterline DS, Gilbert
JR, Speer MC. 2006. Neural tube defects and folate pathway genes: Family-
based association tests of gene-gene and gene-environment interactions.
Environmental Health Perspectives. 114(10):1547–1552.
Burren K, Savery D, Massa V, Kok R, Scott J& Blom H. 2008. Gene-
environment interactions in the of neural tube defect: folate deficiency
increases susceptibility conferred by loss of pax function. Human Molecular
Genetics.17(23):3675–3685.
Byrne J. 2011. Periconceptional folic acid prevents miscarriage in irish families
with neural tube defects. Ir J Med Sci. 180:59
Cochard LR. 2012. Netter’s Atlas of Human Embryology. Edisi ke-1. USA:
Elsevier Health Sciences. hlm 51-56.
Copp AJ. 2005. Neurulation in the cranial region-normal and abnormal. J
Anat.270:623-635
Copp AJ & Greene NDE. 2014. Genetics and development of neural tube defects.
J Pathol. 220(2):217-230.
Cunningham FG, Levano KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ & Spong CY. 2014.
Obstetri Williams. Edisi ke-23. Jakarta: EGC. hlm 302-303.
Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2013. Profil kesehatan provinsi lampung
tahun 2012. Bandar Lampung: Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Dunlevy LPE, Chitty LS, Burren KA, Doudney K, Stojilkovic-Mikic T, Stanier P,
Scott R, Copp AJ & Greene NDE. 2007. Abnormal folate metabolism in
foetuses affected by neural tube defects. Brain.130(4):1043–1049.
Eichholzer M, Tonz O & Zimmermann R. 2006. Folic acid: a public-health
challenge. Lancet.367(9519)1352–1361.
52
Fathonah S. 2016. Gizi &kesehatan untuk ibu hamil. Jakarta: Erlangga Medical
Series. hlm 67.
Ganesh D, Sagayaraj BM., Barua RK, Sharma N & Ranga U. 2014. Arnold chiari
malformation with spina bifida: A lost opportunity of folic acid
supplementation. Journal of Clinical and Diagnostic Research.8(12):OD01-3.
Gardiner PM, NelsonI, Shellas CS, Dunlop AL, Long R, Andrist S& Jack BW.
2008. The clinical content of preconception care: nutrition and dietary
supplements. American Journal of Obstetric & Ginecology.199(6):S345–
S356.
Ginsberg L. 2007. Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga. hlm 161-163.
Greenberg JA, Bell SJ, Guan Y & Yu YH. 2011. Folic Acid supplementation and
pregnancy: more than just neural tube defect prevention. Reviews in
Obstetrics & Gynecology.4(2):52–9.
Imbard A, Benoist J& Blom HJ. 2013. Neural tube defects, folic acid and
methylation.Int J Environ Res Public Health. 10:4352–4389.
Imbard A, Smulders YM., Barto R, Smith DE, Kok RM, Jakobs C& Blom HJ.
2012. Plasma choline and betaine correlate with serum folate, plasm s-
adenosyl-methionine and s-adenosyl-homocysteine in healthy volunteers.
Clinical Chemistry and Laboratory Medicine.51(3):683–692.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Profil kesehatan indonesia 2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kim MW, Hong S, Choi JS, HanJ, Oh M, Kim HJ & Koren G. 2012.
Homocysteine , folate and pregnancy outcomes. Journal of Obstetrics and
Gynecology.32(6):520–4.
L T, & K K. 2014. Sinopsis organ system neurologi. Tangerang Selatan: Karisma
Publishing Group. hlm 18.
Leddy MA, Power ML & Schulkin J. 2008. The impact of maternal obesity on
maternal and fetal health. Reviews in Obstetrics & Gynecology.1(4):170–8.
53
Leung KY, De Castro SCP, Savery D, Copp AJ& Greene NDE. 2013. Nucleotide
precursors prevent folic acid-resistant neural tube defects in the mouse.
Brain.136(9):2836–2841.
Ma Y, Bao Y, Li C, Jiao F, Xin H, Yuan Z. 2012. Correlation between spina
bifida manifesta in fetal rats and c-jun N-terminal kinase signaling. Neural
Regen Res. 7(32):2485-2491
Mahan LK & Escott-Stump S. 2000. Krause's food, nutrition&diet Therapy. Edisi
ke-10. United States: Elsevier. hlm 92-95.
Martiniova L, Field MS, Finkelstein JL, Perry CA& Stover PJ. 2015. Maternal
dietary uridine causes, and deoxyuridine prevents, neural tube closure defects
in a mouse model of folate-responsive neural tube defects. American Journal
of Clinical Nutrition.101(4):860–9.
McNulty B, McNulty H, Marshall B, Ward M, Molloy AM, Scott JM, Dornan J.
Pentieva K. 2013. Impact of continuing folic acid after the first trimester of
pregnancy: findings of a randomized trial of folic acid supplementation in the
second and third trimesters. Am J Clin Nutr. 98(1):92-8.
Meethal SV, Hogan KJ, Mayanil CS & Iskandar BJ. 2013. Folate and epigenetic
mechanisms in neural tube development and defects. Child Nerv
Syst.29:1427–1433.
Melmambessy EE, Tendean L & Rumbajan JM. 2015. Pengaruh pemberian cap
tikus terhadap kualitas spermatozoa wistar jantan (Rattus norvegicus). Jurnal
E-Biomedik (eBm).3(1):322–7.
Nakouzi GA & NadeauJH. 2014. Does dietary folic acid supplementation in
mouse NTD models affect neural tube development or gamete preference at
fertilization.BMC Genetics.15(91):1-9.
Nielsen L, Maroun L, Broholm H, Laursen H& Graem N. 2006. Neural tube
defects and associated anomalies in a fetal and perinatal autopsy series.
APMIS.114(4):239–46.
Padmanabhan R. 2006. Etiology, pathogenesis and prevention of neural tube
defects. Japanese Teratology Society. 46:55–67.
Paul, W. 2014. Advanced Human Anatomy. Tersedia dari
54
http://homepage.smc.edu/wissmann_paul/anatomy2textbook/
Pickett EA, Olsen GS, Tallquist MD. 2008. Disruption of PDGFRα-initiated PI3K
activation and migration of somite derivatives leads to spina bifida.
Development. 135:589-98
Pitkin RM. 2007. Folate and neural tube defects. The American Journal of
Clinical Nutrition.85(1):285S–288S.
Rasmussen S, Chu S, Kim S, Schmid C & Lau J. 2008. Maternal obesity and risk
of neural tube defects: a metaanalysis. Am J Obstet Gynecol.198(6):611–9.
Reagan-Shaw S, Nihal M& Ahmad N. 2008. Dose translation from animal to
human studies revisited. The FASEB Journal.22(3):659–661.
Roth RA. 2011.Nutrition & diet therapy. Edisi ke-10. United States: Delmar
Cengage Learning. hlm 141.
Sadler TW. 2000. Embriologi kedokteran langman. Jakarta: EGC. hlm 122.
Sadler TW. 2012. Langman's medical embryology. Edisi ke-12. Jakarta: EGC.
hlm 63-70.
Sarici D, Akin MA & Kurtoglu S. 2013. Iodine deficiency : a probable cause of
neural tube defect. Childs Nerv Syst.29:1027–1030.
Satyanegara. 2010. Ilmu bedah saraf. Edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama. hlm 334-339.
Sharp P& Villano JS. 2012.The laboratory rat. Edisi ke-2. London: CRC Press.
hlm 7.
Sidharta VM & Gunardi S. 2011. Anensefali fetus pada ibu dengan dugaan
defisiensi asam folat. Journal of Medicine. 2(10):111-6
Silvia GA. 2011. Pengaruh pemberian suspensi sari akar manis terhadap
perkembangan janin pada mencit bunting. [skripsi]. Jakarta:Universitas
Indonesia
Sjamsuhidajat R & Jong W de. 2010. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta:
55
EGC. hlm 937-939.
Stothard K, Tennant P, Bell R & Rankin J. 2009. Maternal overweight and obesity
and the risk congenital anomalies: a systemic review and meta-analysis.
JAMA.301(6):636–50.
Sudiwala S, De Castro SCP, Leung KY, Brosnan JT, Brosnan ME, Mills K, Copp
AJ &Greene NDE. 2016. Formate supplementation enhances folate-
dependent nucleotide biosynthesis and prevents spina bifida in a mouse
model of folic acid-resistant neural tube defects. Biochimie. 8–15.
Tangkilisan HA & Rumbajan, D. 2002. Defisiensi asam folat. Sari
Pediatri.4(1):21–25.
Tennant GA. 2014. Nutrition and pregnancy: folate and folic acid.International
Journal of Childbirth Education. 29(3):25–29.
Waes J, Starr L, Maddox J, Riley RT. 2005. Maternal fumonisin exposure and risk
for neural tube defect: mechanisms in an in vivo mouse model. Birth Defects
Res A Clin Teratol. 73(7):487-97
Wang M, Wang Z, Gao L, Gong R, Sun X& Zhao Z. 2013. Maternal body mass
index and the association between folic acid supplements and neural tube
defects. ACTA PEDIATRICA.102:908–913.
Wang X, Guan Z, Chen Y, Dong Y, Niu Y & Wang J. 2015. Genomic dna
hypomethylation is associated with neural tube defects induced by
methotrexate inhibition of folate metabolism. PLOS ONE.10(3):1–12.
Witschi, A., & Dittmer. 1962. Growth. Washington: FASEB. hlm 306.
Wu G, Huang X, Hua Y& Mu D. 2011. Roles of planar cell polarity pathways in
the development of neutral tube defects. Journal of Biomedical
Science.18(66):1–11.
Zaganjor I, Sekkarie A, Tsang BL & Williams J. 2016. Describing the prevalence
of neural tube defects worldwide : a systematic literature review. PLOS
ONE.11(4):1–31.
Zhang T, Lou J, Zhong R, Wu J, Zou L, Sun Y, Lu X, Liu L &Miao X. 2013.
56
Genetic variants in the folate pathway and the risk of neural tube defects : a
meta-analysis of the published literature. PLOS ONE.8(4):1–11.