PERBANDINGAN AKURASI PENGGUNAAN DATA PARSIAL … · Garut 25% St. Croix 25% Moulton Charolais),...
Transcript of PERBANDINGAN AKURASI PENGGUNAAN DATA PARSIAL … · Garut 25% St. Croix 25% Moulton Charolais),...
137
PERBANDINGAN AKURASI
PENGGUNAAN DATA PARSIAL DAN DATA UTUH
PADA PENGAMATAN TINGKAH LAKU DOMBA
(Comparison of Accuracy Using Parsial Data and Whole Data
in Sheep Behaviour Observation)
ABSTRAK
Penggunaan rekaman video memiliki beberapa kelebihan untuk pengamatan
tingkah laku, namun demikian teknik ini mempunyai kekurangan pada aspek waktu
analisa yang lama. Sehubungan dengan hal itu, diperlukan penelitian tentang durasi
data parsial tingkah laku domba yang dapat dipercaya untuk dapat menggambarkan data
utuh. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan metode pengamatan tingkah laku
domba yang mudah, lebih singkat serta akurat dalam menggambarkan tingkah laku
domba dari data utuh. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan
untuk mempersingkat waktu analisa data rekaman video dengan menggunakan durasi
data parsial yang dapat dipercaya untuk menggambarkan data tingkah laku utuh pada
domba. Sebanyak 34 ekor domba dewasa jantan dan betina dari 5 bangsa domba yang
terdiri dari domba Barbados Black Belly Cross (BC), Komposit Garut (KG), Lokal
Garut (LG), Komposit Sumatera (KS) dan St. Croix Cross (SC) digunakan dalam
penelitian ini. Sepuluh sifat tingkah laku diamati selama 8 jam dari data rekaman video
tingkah laku domba sepanjang hari. Data parsial 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 jam dari 8 jam
pengamatan tersebut digunakan sebagai prediksi data tingkah laku 8 jam. Data parsial
terlebih dahulu dikonversi melalui pengkalian dengan faktor tertentu sesuai lama
pengamatan data parsial. Uji t berpasangan dilakukan untuk membandingkan rataan
setiap data parsial dengan data utuh 8 jam dengan PROC TTEST dan untuk melihat
keeratan korelasi antara data parsial dengan data utuh dilakukan analisa korelasi dengan
PROC CORR dari program SAS ver. 9.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
umumnya ada kecenderungan semakin lama data parsial yang digunakan maka semakin
banyak tingkah laku domba yang dapat diprediksi secara akurat. Penggunaan data
parsial 6 jam paling baik untuk memprediksi data utuh seluruh jenis tingkah laku domba
yang diamati dalam penelitian ini. Tingkah laku makan (INGEST) dan
berkelahi/agresif (AGON) memerlukan data parsial yang terlama dibandingkan tingkah
laku domba yang lain yaitu minimal menggunakan data parsial 6 jam. Sementara itu,
data parsial yang paling singkat (data parsial 1 jam) hanya dapat memprediksi secara
akurat durasi tingkah laku domba minum (DRINK).
Kata kunci : data parsial, data utuh, prediksi, tingkah laku, durasi, domba
ABSTRACT
Besides some advantages for behavioral observations studies, the use of video
recording needs a long period of observation time. Therefore, the research of partial
data duration of behavior sheep that acceptable to describe the behavior of sheep is
needed. The purpose of this study was to get a method of behavior observation of sheep
that was easy, quick and more accurate in describing the sheep behaviors of the whole
data. The results of this research can be used as a reference to reduce time analysis of
138
video recording data using acceptable partial data to describe sheep behavior of the
whole data. A total of 34 head adult male and female sheep of five breed used in this
study, i.e. Barbados Black Belly Cross (BC), Composite Garut (KG), Local Garut (LG),
Composite Sumatra (KS) and St. Cross Croix (SC). Ten nature of behavior observed
for 8 hours of sheep behavior data video recording all day. Partial data 1, 2, 3, 4, 5, 6,
and 7 hours of 8 hours observation were used as a prediction of 8 hours sheep behavior.
Partial data converted by multiplying by a certain factor according to duration of partial
data. Paired t test was performed to compare the average of each partial data to the 8
hours whole data using PROC TTEST. Analyze the correlation between partial data
was performed using the PROC CORR of SAS Ver. 9.0. The results show that
generally there was a tendency that the longer of the partial data was used then the more
accurate the sheep behavior predicted. The use of 6 hours partial data was the best
partial data to predict all of sheep behavior accurately. Eating (INGEST) and fighting /
aggressive (AGON) behavior require the longest partial data than the other sheep
behavior, that require at least 6 hours partial data recording. Meanwhile, the shortest
partial data (1 hour partial data) could only accurately predict the behavior duration of
sheep drinking (DRINK).
Keywords: partial data, whole data, prediction, behavior, duration, sheep
139
PENDAHULUAN
Seperti ilmu-ilmu lainnya, metodologi yang ketat dalam desain dan pelaksanaan
penelitian juga dipatuhi dalam penelitian tingkah laku hewan. Gambaran sangat baik
tentang bagaimana membuat desain dan melakukan penelitian tingkah laku pada hewan
telah dijelaskan secara lengkap oleh Lehner (1987). Disamping itu, khusus untuk
penelitian tingkah laku dengan perlakuan (treatment) pada hewan percobaan maka
pertimbangan kesejahteraan hewan/ternak (animal welfare) dari hewan percobaan juga
harus dilakukan (National Institute of Mental Health 2002).
Salah satu bagian penting dari sekian rangkaian dalam membuat desain penelitian
adalah dalam hal pengumpulan data. Pengumpulan data dimulai dengan pilihan metode
sampling yang sesuai dan peralatan untuk memastikan validitas, akurasi dan kehandalan
dari data yang dikumpulkan (Lehner 1987). Altmann (1974) telah menjelaskan dan
menggambarkan secara lengkap tujuh teknik untuk melakukan sampling dalam
penelitian tingkah laku hewan beserta rekomendasi penggunaannya. Sementara itu,
peralatan dalam pengumpulan data tingkah laku sangat terkait erat dengan metode
sampling yang digunakan yang tergantung kepada jenis tingkah laku yang diamati.
Pada umumnya, pengumpulan data tingkah laku dapat dilakukan dalam dua cara
yaitu pengumpulan data dengan pengamatan langsung (live observation) atau merekam
tingkah laku hewan percobaan dengan menggunakan bantuan peralatan elektronik
(recording). McGlone (1986) mengemukakan lebih banyak paper yang dipublikasikan
menggunakan pengamatan langsung tingkah laku dibandingkan dengan cara merekam,
namun demikian trend ini sedang berubah berbalik lebih cenderung dengan cara
merekam.
McGlone (1986) mengemukakan kelebihan dan kekurangan dalam penelitian
tingkah laku yang menggunakan pengamatan secara langsung. Pengamatan langsung
dengan menggunakan pensil dan kertas hanya dapat mencatat frekuensi dari tingkah
laku. Durasi tingkah laku sulit dilakukan kecuali dengan menggunakan alat bantu
penghitung waktu seperti stopwatch, dan sebagainya. Umumnya pengamatan langsung
lebih unggul dalam mengamati kualitas dari tingkah laku seperti mimic (perubahan raut
muka) hewan hidup. Kelemahan lain dalam pengamatan langsung adalah sulit untuk
mencatat tingkah laku dimana pergerakan hewan sangat cepat serta jika beberapa
kejadian terobservasi pada saat yang sama.
140
Pengamatan tingkah laku sepanjang hari mengharuskan kehadiran pengamat
untuk mencatat dan berkonsentrasi dalam waktu yang panjang dan hal tersebut
menyulitkan sekaligus dapat mengurangi keakuratan data yang dikumpulkan.
Umumnya peneliti melakukan pengamatan berselang dalam upaya mengurangi waktu
pengamatan, seperti yang dilakukan oleh Tiesnamurti et al. (2000, 2006) yang
melakukan penelitian tingkah laku menyusu anak domba dengan cara 15 menit
pengamatan dan 15 menit istirahat dalam waktu 24 jam. Beberapa peneliti melakukan
pengamatan tingkah laku pada sapi dengan interval yang lebih lama yaitu 1 jam (Ray
dan Roubicek 1971; Gonyou dan Stricklin 1984), walaupun demikian untuk tingkah
laku yang berdurasi tidak terlalu lama, pengamatan dilakukan dari awal hingga akhir
tingkah laku, seperti tingkah laku induk domba saat beranak (Sutama dan Inounu 1993;
Sutama dan Budiarsana 1995; Tiesnamurti dan Subandriyo 2005; Inounu et al. 2006).
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan peralatan perekam elektronik,
penelitian tingkah laku hewan juga memanfaatkan kelebihan penggunaan peralatan
elektronik dalam penelitian tingkah laku dibandingkan penelitian tingkah laku secara
langsung. Peralatan elektronik seperti video dapat merekam seluruh tingkah laku hewan
dalam durasi yang lama sesuai kapasitas memori alat yang dimiliki. Hasil rekaman
dapat diputar ulang setiap kali diinginkan untuk dilakukan analisa terhadap suatu sifat
tingkah laku yang diamati. Pada analisa yang lebih mendalam dan teliti, pergerakan
cepat hewan dapat diamati lebih lambat dengan menu slow motion ataupun sebaliknya.
Jika pengamatan dilakukan terhadap beberapa individu, tingkah laku yang dilakukan
pada saat yang bersamaan juga masih dapat dianalisa dengan memutar ulang data
rekaman tersebut.
Disamping beberapa kelebihan seperti tersebut di atas, rekaman video juga
mempunyai kekurangan yaitu analisa data rekaman video tingkah laku memerlukan
waktu yang lama karena dalam memutar film video juga diperlukan putar diperlambat
(slow motion) dan putar ulang (play back). Sehubungan dengan uraian di atas, perlu
dilakukan penelitian mengenai persentase durasi data parsial tingkah laku domba yang
dapat dipercaya untuk menggambarkan data utuh dari data tingkah laku yang
dikumpulkan dengan alat perekam video. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan
metode pengamatan tingkah laku domba yang mudah, lebih singkat serta akurat dan
dapat mewakili gambaran tingkah laku domba secara keseluruhan. Manfaat dari
141
penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan untuk mempersingkat waktu analisa
data rekaman video dengan menggunakan durasi data parsial yang dapat dipercaya
untuk menggambarkan data tingkah laku utuh pada domba.
142
MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di dua Kandang Percobaan Domba Balai Penelitian Ternak
yaitu di Kandang Percobaan Jl. Raya Pajajaran, Bogor dan Kandang Percobaan Domba
Cilebut, selama 5 bulan sejak bulan Oktober 2010 hingga Pebruari 2011.
Materi Penelitian
Materi penelitian yang digunakan adalah domba dewasa jantan dan betina dari
lima bangsa domba yaitu Domba Barbados Black Belly Cross (BC) (komposisi genetik
50% Lokal Sumatera 50% Barbados Black Belly), Komposit Garut (KG) (50% Lokal
Garut 25% St. Croix 25% Moulton Charolais), Lokal Garut (LG), Komposit Sumatera
(KS) (50% Lokal Sumatera 25% St. Croix 25% Barbados Black Belly), St. Croix Cross
(SC) (50% Lokal Sumatera 50% St. Croix). Jumlah sampel yang digunakan dari
seluruh bangsa domba adalah sebanyak 34 ekor, yang terdiri dari 5 ekor domba BC, 6
ekor domba KG, 10 ekor domba LG, 7 ekor domba KS dan 6 ekor domba SC.
Metode Penelitian
Dua pen kandang yang bersebelahan dengan ukuran sama yaitu 11 m2 diisi
masing-masing 5 ekor domba betina atau jantan dari bangsa yang sama. Pengamatan
tingkah laku domba dilakukan dengan menggunakan seperangkat peralatan CCTV
(Close Circuit Televisi). Segala aktivitas tingkah laku domba selama 24 jam terekam
oleh 2 kamera yang dipasang di masing-masing pen kandang. Keempat kamera tersebut
terhubung dengan kabel ke peralatan 4CH STANDALONE DVR (Digital Video
Recorder) sebagai alat perekam dan televisi sebagai alat monitor yang diletakkan di
ruangan khusus pengamatan. Berhubung kapasitas harddisk DVR hanya mampu
menyimpan data rekaman selama ±100 jam (400 GB) maka secara reguler data rekaman
dibackup dengan bantuan flash disk berkapasitas 16 GB. Kemampuan DVR hanya
memungkinkan untuk melakukan backup data rekaman sekitar 1 GB setiap kali backup
sehingga file data rekaman 24 jam harus dipecah-pecah. File berekstension .VVF hasil
backup di flashdisk kemudian disimpan di eksternal harddisk berkapasitas antara 1-
1.5TB.
143
Sifat tingkah laku domba yang diamati seperti yang dikemukakan oleh Hafez et
al. (1969) dan Ewing et al. (1999), dengan sedikit modifikasi meliputi 10 tingkah laku
yaitu :
1. Makan (ingestif) : lama tingkah laku domba yang memakan konsentrat,
rumput atau mineral blok (menit).
2. Bermain (playing) : lama tingkah laku domba yang berlari dan meloncat
senang, biasanya diikuti domba yang lain dalam kelompok tersebut (menit).
3. Berkelahi/agresif (agonistic) : lama tingkah laku domba yang aktif menyerang
(menanduk domba lain) atau melawan dengan menanduk juga (bertubrukan
kepala dengan kepala) serta tingkah laku yang menggesekkan atau
menandukkan tanduk ke dinding atau tiang kandang (menit).
4. Membuang kotoran (eliminatif) : lama tingkah laku domba membuang feses
(defekasi) atau urine (urinasi) (menit).
5. Merawat diri (care giving) : lama tingkah laku domba merawat diri bagian
tubuh yang gatal diantaranya dengan cara menggigit bagian tubuh sendiri
seperti bagian kaki depan atau belakang, badan bagian samping, paha dan
sebagainya, atau menggarukan kaki belakang ke bagian tubuh seperti leher,
kepala, kaki depan, dan sebagainya, atau menggesek-gesekkan pantat, badan
bagian samping dan pundak ke dinding kandang (menit).
6. Melangkah/berjalan (locomotion) : lama tingkah laku domba melangkah atau
berjalan (menit).
7. Berdiri (standing) : lama tingkah laku domba berdiri (tidak melangkah),
biasanya diiringi dengan aktivitas regurgitasi, remastikasi dan redeglutasi atau
melihat/mengamati sesuatu (menit).
8. Istirahat tidur (sleeping) : lama tingkah laku domba berbaring dengan posisi
kepala rebah atau bersandar dan mata tertutup (menit).
9. Istirahat berbaring (resting) : lama tingkah laku domba berbaring dengan
posisi kepala tegak dan mata terbuka, biasanya diringi dengan aktivitas
regurgitasi, remastikasi dan redeglutasi (menit).
10. Minum (drinking) : lama tingkah laku domba meminum air di tempat/bak air
minum (menit).
144
File data rekaman dibuka dengan software VVF Player dan kemudian hasil
rekaman diterjemahkan dalam bentuk data kuantitatif berupa durasi (menit) suatu sifat
tingkah laku dilakukan. Terbatasnya waktu yang tersedia untuk menterjemahkan
seluruh data rekaman menyebabkan data rekaman tingkah laku hanya dapat diamati
selama durasi 8 jam sebagai data utuh, yang dipilih pada waktu-waktu yang dianggap
dapat mewakili aktivitas domba dari data rekaman 24 jam. Periode waktu pengamatan
8 jam yang diambil dari data rekaman tingkah laku sepanjang hari seperti terlihat pada
Tabel 35.
Tabel 35. Periode pengamatan tingkah laku data utuh (8 jam) yang digunakan dari data
rekaman tingkah laku sepanjang hari (24 jam)
Data rekaman tingkah laku Periode pengamatan Periode waktu pengamatan
24 jam I 07.00 – 08.00 WIB
II 10.00 – 11.00 WIB
III 13.00 – 14.00 WIB
IV 16.00 – 17.00 WIB
V 19.00 – 20.00 WIB
VI 22.00 – 23.00 WIB
VII 01.00 – 02.00 WIB
VIII 04.00 – 05.00 WIB
Jumlah waktu pengamatan 8 jam
145
Tabel 36. Durasi dan periode waktu pengamatan dari metode pengamatan dengan data parsial dan data utuh (pengamatan 8 jam)
Metode pengamatan
Periode waktu pengamatan Total
durasi 07.00-
07.30
07.30-
08.00
10.00-
10.30
10.30-
11.00
13.00-
13.30
13.30-
14.00
16.00-
16.30
16.30-
17.00
19.00-
19.30
19.30-
20.00
22.00-
22.30
22.30-
23.00
01.00-
01.30
01.30-
02.00
04.00-
04.30
04.30-
05.00
Data utuh Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:30:00 8:00:00 10:30:00 11:00:00 13:30:00 14:00:00 16:30:00 17:00:00 19:30:00 20:00:00 22:30:00 23:00:00 1:30:00 2:00:00 4:30:00 5:00:00
Durasi 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 0:30:00 8:00:00
Data 1 jam Mulai 7:00:00
10:00:00
13:00:00
16:00:00
19:00:00
22:00:00
1:00:00
4:00:00
Sampai 7:07:30
10:07:30
13:07:30
16:07:30
19:07:30
22:07:30
1:07:30
4:07:30
Durasi 0:07:30
0:07:30
0:07:30
0:07:30
0:07:30
0:07:30
0:07:30
0:07:30
1:00:00
Data 2 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:07:30 7:37:30 10:07:30 10:37:30 13:07:30 13:37:30 16:07:30 16:37:30 19:07:30 19:37:30 22:07:30 22:37:30 1:07:30 1:37:30 4:07:30 4:37:30
Durasi 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 0:07:30 2:00:00
Data 3 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:10:00 7:42:30 10:10:00 10:42:30 13:10:00 13:42:30 16:10:00 16:42:30 19:10:00 19:42:30 22:10:00 22:42:30 1:10:00 1:42:30 4:10:00 4:42:30
Durasi 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 0:10:00 0:12:30 3:00:00
Data 4 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:10:00 7:50:00 10:10:00 10:50:00 13:10:00 13:50:00 16:10:00 16:50:00 19:10:00 19:50:00 22:10:00 22:50:00 1:10:00 1:50:00 4:10:00 4:50:00
Durasi 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 0:10:00 0:20:00 4:00:00
Data 5 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:20:00 7:47:30 10:20:00 10:47:30 13:20:00 13:47:30 16:20:00 16:47:30 19:20:00 19:47:30 22:20:00 22:47:30 1:20:00 1:47:30 4:20:00 4:47:30
Durasi 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 0:20:00 0:17:30 5:00:00
Data 6 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:20:00 7:55:00 10:20:00 10:55:00 13:20:00 13:55:00 16:20:00 16:55:00 19:20:00 19:55:00 22:20:00 22:55:00 1:20:00 1:55:00 4:20:00 4:55:00
Durasi 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 0:20:00 0:25:00 6:00:00
145
146
Tabel 36 (Lanjutan). Durasi dan periode waktu pengamatan dari metode pengamatan dengan data parsial dan data utuh (pengamatan 8
jam)
Metode pengamatan
Periode waktu pengamatan Total
durasi 07.00-
07.30
07.30-
08.00
10.00-
10.30
10.30-
11.00
13.00-
13.30
13.30-
14.00
16.00-
16.30
16.30-
17.00
19.00-
19.30
19.30-
20.00
22.00-
22.30
22.30-
23.00
01.00-
01.30
01.30-
02.00
04.00-
04.30
04.30-
05.00
Data 7 jam Mulai 7:00:00 7:30:00 10:00:00 10:30:00 13:00:00 13:30:00 16:00:00 16:30:00 19:00:00 19:30:00 22:00:00 22:30:00 1:00:00 1:30:00 4:00:00 4:30:00
Sampai 7:25:00 7:57:30 10:25:00 10:57:30 13:25:00 13:57:30 16:25:00 16:57:30 19:25:00 19:57:30 22:25:00 22:57:30 1:25:00 1:57:30 4:25:00 4:57:30
Durasi 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 0:25:00 0:27:30 7:00:00
146
147
Analisa Data
Analisa data dilakukan dengan membandingkan setiap tingkah laku dari data
parsial dengan data utuh 8 jam pengamatan. Data parsial adalah data pengamatan
tingkah laku yang diamati pada periode waktu tertentu sepanjang waktu pengamatan
data utuh 8 jam yang mempertimbangkan keterwakilan untuk data utuh. Durasi
pengamatan tingkah laku dan periode waktu pengamatan sesuai metode pengamatan
seperti ditampilkan pada Tabel 36.
Durasi pengamatan untuk data parsial ditetapkan meningkat yang terdiri dari
durasi 1 jam (DP1), 2 jam (DP2), 3 jam (DP3), 4 jam (DP4), 5 jam (DP5), 6 jam (DP6)
dan 7 jam (DP7) dari data utuh. Durasi setiap sifat tingkah laku data parsial kemudian
dikalikan dengan faktor konversi sesuai dengan durasi pengamatan data parsial tersebut
ke durasi pengamatan 8 jam untuk mendapatkan data durasi prediksi. Faktor konversi
perkalian adalah dikalikan dengan 8 (x 8) untuk data parsial 1 jam (DP1), x 4 untuk
DP2, x 2.667 untuk DP3, x 2 untuk DP4, x 1.6 untuk DP5, x 1.333 untuk DP6 dan x
1.143 untuk DP7.
Data durasi setiap tingkah laku dari data parsial yang sudah dikonversi ke 8 jam
dibandingkan dengan data utuh (8 jam) dengan Uji t berpasangan menggunakan PROC
TTEST dan juga dianalisa korelasinya dengan PROC CORR dari software SAS ver. 9.0
(SAS 2002).
148
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data tingkah laku dengan bantuan alat rekam (seperti CCTV) relatif
mudah akan tetapi dalam penelitian ini ada dua kegiatan setelah perekaman data yang
memerlukan waktu yang lama. Kegiatan pertama yang memerlukan waktu lama adalah
dalam proses backup data dari harddisk DVR ke harddisk eksternal, dengan pilihan tipe
alat yang lain atau perkembangan kemajuan peralatan DVR kendala ini akan dapat
diatasi. Kegiatan kedua yang memerlukan waktu lama adalah pengolahan atau analisa
data rekaman video tingkah laku sehingga perlu dicari cara untuk mempersingkat waktu
analisa rekaman video. Pengambilan contoh dalam periode waktu tertentu dari
keseluruhan data rekam tanpa melakukan analisa untuk seluruh data rekaman
merupakan suatu alternatif yang dapat dipilih.
Tabel 37 menunjukkan durasi dari setiap tingkah laku domba yang diamati dalam
penelitian ini untuk data utuh (8 jam pengamatan) dan data parsial dengan periode
waktu pengamatan tertentu yang sudah dikonversi ke pengamatan 8 jam dengan cara
dikalikan dengan suatu faktor pengali untuk setiap tingkah laku domba yang diamati.
Tingkah laku dengan aktifitas yang lama untuk domba dewasa adalah istirahat berbaring
(REST), berdiri (STAND) dan makan (INGEST), berturut-turut menghabiskan waktu
sekitar 38 %, 29% dan 21% dari keseluruhan waktu yang dimiliki domba. Sementara
itu, durasi tingkah laku yang sangat singkat dilakukan adalah bermain (PLAY),
berkelahi/agresif (AGON) dan minum (DRINK), masing-masing dari ketiga tingkah
laku tersebut dilakukan domba dewasa tidak lebih dari 1 menit dari 8 jam pengamatan.
Penggunaan data parsial 1 jam untuk memprediksi tingkah laku data utuh (8 jam
pengamatan) dapat dilakukan untuk 8 sifat tingkah laku karena tidak nyata berbeda
dengan data utuh kecuali untuk tingkah laku ELIM dan LOCO yang mendapatkan hasil
under estimate, berbeda nyata dengan data utuh (P<0.05). Penggunaan data parsial 3
jam tidak dapat diterima untuk memprediksi durasi tingkah laku INGEST dan STAND
data utuh karena menghasilkan prediksi durasi tingkah laku INGEST yang under
estimate (P<0.05) dan prediksi tingkah laku STAND yang sebaliknya over estimate
(P<0.05). Hasil yang lebih baik didapat jika menggunakan data parsial 2, 4 dan 5 jam
untuk memprediksi tingkah laku data utuh yaitu hanya durasi tingkah laku INGEST
yang tidak dapat diterima karena berbeda nyata dengan data utuh (P<0.05).
149
Tabel 37. Rataan durasi setiap tingkah laku untuk data utuh (8 jam) dan data parsial yang telah dikonversi ke durasi 8 jam
Tingkah laku Metode pengamatan
DU DP1 DP2 DP3 DP4 DP5 DP6 DP7
INGEST 98.70 ± 32.58 100.48(ns) ± 45.98 86.00(*) ± 33.54 87.21(*) ± 29.69 93.84(*) ± 30.52 94.93(*) ± 30.55 98.37(ns) ± 32.20 99.41(ns) ± 32.94
PLAY 0.012 ± 0.038 0.00(ns) ± 0.00 0.022(ns) ± 0.073 0.014(ns) ± 0.048 0.024(ns) ± 0.076 0.019(ns) ± 0.061 0.016(ns) ± 0.051 0.014(ns) ± 0.043
AGON 0.45 ± 0.57 0.20(ns) ± 0.62 0.48(ns) ± 1.00 0.45(ns) ± 0.84 0.44(ns) ± 0.67 0.40(ns) ± 0.59 0.39(ns) ± 0.56 0.41(ns) ± 0.57
ELIM 3.34 ± 1.99 1.94(*) ± 1.99 3.11(ns) ± 2.00 3.20(ns) ± 1.88 3.39(ns) ± 2.44 3.31(ns) ± 2.29 3.29(ns) ± 2.23 3.31(ns) ± 2.09
CARE 5.46 ± 4.15 4.66(ns) ± 6.16 5.58(ns) ± 4.99 5.74(ns) ± 5.10 5.30(ns) ± 4.51 5.40(ns) ± 4.26 5.28(ns) ± 4.01 5.23(ns) ± 3.90
LOCO 24.51 ± 24.99 21.17(*) ± 22.90 24.70(ns) ± 24.55 25.92(ns) ± 25.29 25.18(ns) ± 25.70 24.02(ns) ± 23.34 24.06(ns) ± 24.40 23.99(*) ± 24.30
STAND 139.16 ± 52.04 133.61(ns) ± 68.82 143.48(ns) ± 56.09 144.58(*) ± 52.97 140.71(ns) ± 56.64 141.27(ns) ± 52.47 139.11(ns) ± 53.77 138.37(ns) ± 52.94
SLEEP 26.14 ± 20.03 32.66(ns) ± 32.90 26.81(ns) ± 24.36 25.92(ns) ± 23.04 25.44(ns) ± 22.70 26.93(ns) ± 21.33 26.51(ns) ± 20.91 26.76(ns) ± 20.29
REST 181.69 ± 50.32 183.92(ns) ± 62.47 188.95(ns) ± 53.51 186.32(ns) ± 53.87 185.18(ns) ± 57.56 183.25(ns) ± 52.17 182.43(ns) ± 52.40 181.99(ns) ± 50.92
DRINK 0.55 ± 1.02 1.36(ns) ± 4.01 0.88(ns) ± 2.01 0.64(ns) ± 1.33 0.51(ns) ± 1.04 0.49(ns) ± 0.95 0.56(ns) ± 1.23 0.54(ns) ± 1.08
Keterangan :
Tanda (*) di belakang nilai rataan durasi setiap tingkah laku menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh
Tanda (ns) di belakang nilai rataan durasi setiap tingkah laku menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh
DU = Data utuh (pengamatan 8 jam), DP1 = Data parsial pengamatan 1 jam, DP2 = Data parsial pengamatan 2 jam, DP3 = Data parsial pengamatan 3 jam, DP4 = Data parsial pengamatan 4 jam, DP5 = Data parsial pengamatan 5 jam, DP6 = Data parsial pengamatan 6 jam, DP7 = Data parsial pengamatan 7 jam
INGEST = Makan (ingestif), PLAY = Bermain (playing), AGON = Berkelahi/agresif (agonistic), ELIM = Buang kotoran (eliminatif), CARE = Merawat diri (care giving), LOCO =
Melangkah/berjalan (locomotion), STAND = Berdiri (standing), SLEEP = Istirahat tidur (sleeping), REST = Istirahat berbaring (resting), DRINK = Minum (drinking)
149
150
Hasil prediksi durasi tingkah laku data utuh yang terbaik adalah dengan
menggunakan data parsial 6 jam dimana durasi seluruh tingkah laku data prediksi tidak
berbeda nyata dengan data utuh (P>0.05). Walaupun demikian, durasi tingkah laku
LOCO tidak dapat diprediksi dengan data parsial 7 jam karena akan mendapatkan hasil
yang under estimate.
Tabel 38 menunjukkan nilai koefisien korelasi antara data parsial dengan data
utuh 8 jam pengamatan untuk setiap tingkah laku. Berdasarkan nilai koefisien korelasi
tersebut, walaupun data parsial 1 jam dapat memprediksi 8 sifat tingkah laku yang
diamati kecuali ELIM dan LOCO namun sifat tingkah laku yang terbaik dapat
diprediksi dengan data parsial 1 jam hanya durasi DRINK karena mempunyai nilai
korelasi yang kuat yaitu 0.91, sedangkan sifat tingkah laku yang lain mempunyai
korelasi yang rendah. Arnold-Meeks dan McGlone (1986) menyarankan hanya tingkah
laku dengan nilai korelasi yang lebih dari 0.90 (r>0.90) yang dapat diterima untuk jenis
pengujian ini.
Tabel 38. Koefisien korelasi antara data utuh (8 jam) dan data parsial yang telah
dikonversi untuk setiap tingkah laku
Tingkah laku Koefisien korelasi
DU-DP1 DU-DP2 DU-DP3 DU-DP4 DU-DP5 DU-DP6 DU-DP7
INGEST 0.52154(*) 0.84464(*) 0.88742(*) 0.92577(*) 0.94682(*) 0.98505(*) 0.99676(*)
PLAY ne 0.56478(*) 0.56634(*) 0.9995(*) 0.99997(*) 0.99988(*) 0.99931(*)
AGON 0.11946(ns) 0.69806(*) 0.7485(*) 0.85703(*) 0.8727(*) 0.95008(*) 0.98543(*)
ELIM 0.3013(ns) 0.60342(*) 0.82903(*) 0.91383(*) 0.89242(*) 0.94263(*) 0.97408(*)
CARE 0.49095(*) 0.68004(*) 0.79108(*) 0.83954(*) 0.91138(*) 0.9607(*) 0.97578(*)
LOCO 0.94686(*) 0.98108(*) 0.98408(*) 0.99427(*) 0.99684(*) 0.99853(*) 0.99944(*)
STAND 0.80627(*) 0.93729(*) 0.96657(*) 0.95865(*) 0.98107(*) 0.99389(*) 0.99804(*)
SLEEP 0.73546(*) 0.84094(*) 0.89043(*) 0.91764(*) 0.9315(*) 0.97041(*) 0.99147(*)
REST 0.57447(*) 0.90952(*) 0.94354(*) 0.94929(*) 0.96746(*) 0.98493(*) 0.99528(*)
DRINK 0.9091(*) 0.90224(*) 0.89678(*) 0.93437(*) 0.93312(*) 0.97038(*) 0.97587(*)
Keterangan :
Tanda (*) di belakang nilai koefisien korelasi setiap tingkah laku menunjukkan korelasi yang nyata (P<0.05) antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh. Tanda (ns) di belakang nilai koefisien korelasi setiap tingkah laku menunjukkan korelasi yang tidak nyata (P>0.05)
antara metode pengamatan data parsial tersebut dengan data utuh. ne = tidak terestimasi karena semua ulangan untuk data parsial adalah 0. DU = Data utuh (pengamatan 8 jam), DP1 = Data parsial pengamatan 1 jam, DP2 = Data parsial pengamatan 2 jam, DP3 = Data parsial pengamatan 3 jam, DP4 = Data parsial pengamatan 4 jam, DP5 = Data parsial pengamatan 5 jam, DP6 = Data parsial pengamatan 6 jam, DP7 = Data parsial pengamatan 7 jam. INGEST = Makan (ingestif), PLAY = Bermain (playing), AGON = Berkelahi/agresif (agonistic), ELIM = Buang kotoran (eliminatif), CARE = Merawat diri (care giving), LOCO = Melangkah/berjalan (locomotion), STAND = Berdiri (standing), SLEEP = Istirahat tidur (sleeping), REST = Istirahat berbaring (resting), DRINK = Minum
(drinking).
151
Demikian pula penggunaan data parsial 2 jam, dengan memperhatikan nilai
koefisien korelasi maka hanya 4 tingkah laku yang dapat memprediksi data utuh yaitu
LOCO (r=0.98), STAND (r=0.94), REST (r=0.91) dan DRINK (r=0.90). Sementara itu,
untuk data parsial 3 jam, durasi sifat tingkah laku yang dapat diprediksi adalah LOCO
(r=0.98), REST (r=0.94) dan DRINK (r=0.90). Pada data parsial 4 jam, tingkah laku
AGON dan CARE tidak dapat diterima, sedangkan untuk data parsial 5 jam adalah
AGON dan ELIM, disamping tingkah laku INGEST yang berbeda nyata dengan data
utuh. Seluruh tingkah laku untuk data parsial 6 jam lebih akurat digunakan untuk
memprediksi data utuh karena tidak berbeda nyata dan mempunyai korelasi yang kuat
dengan data utuh. Sementara itu, untuk data parsial 7 jam, kecuali tingkah laku LOCO
yang berbeda nyata dengan data utuh, seluruh tingkah laku tidak berbeda nyata dan
mempunyai korelasi yang kuat dengan data utuh.
Penggunaan data parsial untuk beberapa tingkah laku yang tidak akurat untuk
memprediksi data utuh telah dilaporkan oleh Arnold-Meeks dan McGlone (1986) yang
melakukan penelitian pada babi. Penggunaan data parsial 5 menit dan 20 menit pada
penelitiannya terhadap 3 tingkah laku babi yaitu menyerang, makan dan minum tidak
akurat untuk memprediksi tingkah laku tersebut untuk data utuh 60 menit. Mitlohner et
al. (2001) melakukan penelitian pada sapi dengan interval pengamatan yang teratur dan
durasi pengamatan yang meningkat bertambah lama. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa teknik sampling dengan interval tidak lebih dari 15 menit adalah akurat untuk
tingkah laku berdurasi lama (seperti berbaring, berdiri dan makan), meskipun demikian
tingkah laku berdurasi pendek (seperti berjalan dan minum) mempunyai korelasi yang
rendah dengan data utuh. Teknik sampling dengan interval 30 atau 60 menit hanya
cocok untuk mengukur tingkah laku berbaring pada sapi penggemukan.
152
SIMPULAN
Pada umumnya terdapat kecenderungan semakin lama data parsial yang
digunakan maka semakin banyak tingkah laku domba yang dapat diprediksi secara
akurat.
Penggunaan data parsial 6 jam paling baik untuk memprediksi data utuh seluruh
jenis tingkah laku domba yang diamati dalam penelitian ini, yang ditandai dari tidak
berbeda nyata dan berkorelasi sangat kuat dengan tingkah laku dari data utuh 8 jam.
Tingkah laku makan (INGEST) dan berkelahi/agresif (AGON) memerlukan data
parsial yang terlama dibandingkan tingkah laku domba yang lain yaitu minimal
menggunakan data parsial 6 jam. Sementara itu, data parsial yang paling singkat (data
parsial 1 jam) hanya dapat memprediksi secara akurat durasi tingkah laku domba
minum (DRINK).
153
DAFTAR PUSTAKA
Altmann J. 1974. Observational study of behavior: Sampling methods. Behaviour 49
: 227-267.
Arnold-Meeks C, McGlone JJ. 1986. Validating techniques to sample behavior of
confined, young pigs. Appl Anim Behav Sci 16 : 149-155.
Ewing SA, Lay Jr. DC, Borell EV. 1999. Farm Animal Well-Being : Stress Physiology,
Animal Behavior, and Environtmental Design. New Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Gonyou HW, Stricklin WR. 1984. Diurnal behavior patterns of feedlot bulls during
winter and spring in Northern latitudes. J Anim Sci 58 : 1075 – 1083.
Hafez ESE et al. 1969. The Behaviour of Sheep and Goats. London : Tindal & Casell.
Inounu I, Kurniawan W, Noor RR. 2006. Tingkah laku beranak domba Garut dan
persilangannya dengan St. Croix dan Moulton Charollais. JITV 11 : 39-51.
Lehner PN. 1987. Design and execution of animal behavior research : an overview. J
Anim Sci 65:1213-1219.
McGlone JJ. 1986. Agonistic behavior in food animals : Review of research and
techniques. J Anim Sci 62:1130-1139.
Mitlohner FM, Morrow-Tesch JL, Wilson SC, Dailey JW, McGlone JJ. 2001.
Behavioral sampling techniques for feedlot cattle. J Anim Sci 79 : 1189 – 1193.
National Institute of Mental Health. 2002. Methods and Welfare Considerations in
Behavioral Research with Animals: Report of a National Institutes of Health
Workshop. Morrison AR; Evans HL; Ator NA; Nakamura RK (eds). NIH
Publication No. 02-5083. Washington, DC: U.S. Government Printing Office.
Ray DE, Roubicek CB. 1971. Behavior of feedlot cattle during two seasons. J Anim
Sci 33 : 72 – 76.
SAS. 2002. SAS/STAT User’s Guide Release 9.0 Edition. North Carolina : SAS
Institute Inc., Cary.
Sutama IK, Budiarsana IGM. 1995. Tingkah laku domba Ekor Gemuk sekitar waktu
beranak. Ilmu Pet 8 : 15 – 18.
Sutama IK, Inounu I. 1993. Tingkah laku beranak pada domba Jawa dengan galur
prolifikasi yang berbeda. Ilmu Pet 6 : 11 – 14.
Tiesnamurti B, Handiwirawan E, Inounu I. 2006. Tingkah laku menyusu anak domba
Garut dan persilangan dengan St. Croix dan Moulton Charollais. Di dalam :
Mathius IW, Sendow I, Nurhayati, Murdiati TB, Thalib A, Beriajaya, Suparyanto
A, Prasetyo LH, Darmono, Wina E, editor. Prosiding Seminar Nasional
154
Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 5-6 September 2006. Bogor : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 392 – 398.
Tiesnamurti B, Herwidi IB, Inounu I. 2000. Karakteristik tingkah laku menyusu anak
domba Garut. Di dalam : Haryanto B, Darminto, Hastiono H, Sutama IK,
Partoutomo S, Subandriyo, Sinurat AP, Darmono, Supar, Butarbutar OS, editor.
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner; Bogor, 18-19 September
2000. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 149 – 155.
Tiesnamurti B, Subandriyo. 2005. Tingkah laku beranak domba Merino dan Sumatera
yang dikandangkan. Di dalam : Mathius IW, Bahri S, Tarmudji, Prasetyo LH,
Triwulanningsih E, Tiesnamurti B, Sendow I, Suhardono, editor. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner; Bogor, 12-13 September
2005. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. hlm 505 – 511.
PEMBAHASAN UMUM
Berdasarkan studi terdahulu, telah diketahui bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh
satu set gen-gen yang unik yang dimiliki seekor hewan (Craig 1981). Tingkah laku
sebagaimana semua sifat fenotipe hewan yang lain dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan serta interaksi antara genetik dan lingkungan. Faktor genetik dan
lingkungan tersebut beraksi dalam keselarasan untuk membentuk pola dan karakteristik
tingkah laku (Ewing et al. 1999). Sifat tingkah laku diketahui ada yang dikendalikan
oleh gen tunggal, namun demikian banyak sifat-sifat tingkah laku yang dipengaruhi
oleh sejumlah besar gen (McFarland 1999). Dengan demikian maka genotipe setiap
hewan dapat diduga dengan mempelajari fenotipe tingkah laku hewan tersebut
sebagaimana menduga genotipe hewan seperti misalnya menduga nilai pemuliaan
dengan mempelajari fenotipe sifat kuantitatif seperti bobot badan, pertambahan bobot
badan, dan sebagainya.
Fakta tersebut tersebut menunjukkan bahwa fenotipe tingkah laku berpotensi
dapat dipelajari dan dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi pada domba.
Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui dua cara penting yaitu melalui
persilangan dan seleksi. Kedua cara tersebut dipelajari kaitannya dengan fenotipe
tingkah laku pada penelitian ini. Penelitian tingkah laku pertama mempelajari peluang
tingkah laku dalam pembedaan bangsa ternak domba, dimana informasi ini penting
sebagai salah satu pertimbangan dalam pelaksanaan program persilangan. Penelitian
tingkah laku kedua dan ketiga mempelajari peluang fenotipe tingkah laku sebagai
indikator seleksi secara tidak langsung dan seleksi secara langsung dengan melihat
hubungannya dengan penanda genetik DNA single nucleotide polymorphism.
Pembedaan dan pendugaan jarak genetik antar bangsa domba dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Pembedaan dan pendugaan jarak genetik melalui analisa alel
protein dan DNA tidak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga dapat menduga jarak
genetik antar bangsa domba yang dipelihara dalam manajemen atau lokasi dengan
lingkungan yang sangat berbeda. Fenotipe ukuran bagian-bagian tubuh dipengaruhi
oleh manajemen pemeliharaan, pemanfaatan fenotipe ukuran bagian-bagian tubuh untuk
pembedaan dan pendugaan jarak genetik bangsa domba akan akurat sejauh manajemen
dan lingkungan pemeliharaan dari bangsa-bangsa domba yang dibandingkan relatif
sama. Kelebihan penggunaan ukuran bagian tubuh relatif lebih mudah dan tidak
156
memerlukan biaya yang besar dibandingkan dengan menggunakan data protein ataupun
DNA. Bangsa-bangsa domba yang akan diduga jarak genetiknya dipelihara dalam
manajemen dan lingkungan yang sama yaitu kandang percobaan Balai Penelitian
Ternak, beberapa bangsa mempunyai hubungan genetik dengan bangsa yang lain karena
program persilangan yang dilakukan. Pada kondisi demikian maka hasil pembedaan
dan pendugaan jarak genetik dengan menggunakan ukuran tubuh akan akurat dan dalam
penelitian ini dilakukan sebagai pembanding untuk pendugaan dengan menggunakan
karakteristik suara dan fenotipe tingkah laku.
Berdasarkan ukuran tubuh, domba St. Croix Cross, Barbados Black Belly Cross,
Lokal Garut dan Komposit Garut merupakan bangsa domba yang berbeda kelompok,
sedangkan domba St. Croix Cross satu kelompok dengan domba Komposit Sumatera.
Walaupun dalam plotting bangsa domba St. Croix cross satu kelompok dengan domba
Komposit Sumatera namun nilai jarak genetik kedua bangsa tersebut nyata berbeda.
Berdasarkan data ukuran tubuh terlihat bahwa kelima bangsa yang diamati masing-
masing merupakan bangsa domba yang berbeda. Perhitungan jarak genetik berdasarkan
ukuran bagian tubuh domba terdapat dua kelompok domba yaitu kelompok pertama
yang terdiri dari bangsa domba St. Croix Cross, Komposit Sumatera dan Barbados
Black Belly Cross dan kelompok kedua yang terdiri dari bangsa Lokal Garut dan
Komposit Garut. Hasil yang diperoleh di atas sesuai dengan silsilah program penelitian
pemuliaan (persilangan) yang dilakukan dalam pembentukan domba komposit.
Pembedaan dan pendugaan jarak genetik berdasarkan karakteristik suara
memperlihatkan hasil yang sedikit berbeda dibandingkan dengan menggunakan ukuran
bagian tubuh. Status seluruh bangsa yang diteliti sama dengan hasil berdasarkan ukuran
bagian tubuh, perbedaan terletak pada status untuk bangsa domba Komposit Garut.
Berdasarkan plotting kanonikal karakteristik suara, domba Lokal Garut, Komposit
Sumatera dan Barbados Black Belly Cross merupakan bangsa domba yang berbeda
kelompok, sedangkan domba St. Croix Cross, Komposit Garut dan Komposit Sumatera
adalah bangsa domba yang merupakan satu kelompok. Demikian pula dendogram yang
dibuat berdasarkan karakteristik suara menempatkan bangsa domba Komposit Garut
pada kelompok yang kurang akurat. Hal tersebut menunjukkan bahwa karakteristik
suara berpeluang besar untuk dapat digunakan sebagai pembeda dan penduga jarak
genetik antar bangsa domba sepanjang faktor lingkungan yang mempengaruhi dapat
157
diidentifikasi dan dieliminasi dalam pelaksanaan pengumpulan datanya. Metode ini
dapat diterapkan untuk domba yang dipelihara sehari-hari dengan cara digembalakan di
padang rumput dan tidak perlu harus ditangkap terlebih dahulu.
Pembedaan dan pendugaan jarak genetik berdasarkan fenotipe tingkah laku
memberikan hasil yang sangat berbeda dibandingkan berdasarkan ukuran-ukuran tubuh
dan karakteristik suara. Diduga banyak faktor lingkungan yang sangat berpengaruh
terhadap fenotipe tingkah laku sehingga memberikan hasil yang sangat berbeda. Masih
diperlukan serangkaian penelitian pendahuluan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap tingkah laku dan mengeliminasinya sehingga
metode ini dapat digunakan sebagai pembeda bangsa dan penduga jarak genetik pada
domba.
Alderson (1999) dan Salako (2006) telah melaporkan penggunaan indeks ukuran
tubuh masing-masing pada sapi dan domba untuk menilai tipe dan fungsi dari suatu
bangsa ternak. Penerapan metode tersebut dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
bangsa domba Komposit Garut mempunyai tipe dan fungsi sebagai bangsa domba tipe
daging. Penerapan metode tersebut pada spesies ternak ruminansia yang lain seperti
kerbau dan kambing untuk menilai tipe dan fungsi bangsa ternak tersebut berpeluang
besar untuk dilakukan.
Ciri-ciri fenotipe kualitatif pada bangsa ternak sangat penting sebagai identitas
bangsa tersebut. Keseragaman yang tinggi dari sifat kualitatif maupun kuantitatif (sifat
produksi) di dalam bangsa sebagai spesifikasi suatu bangsa ternak sangat dikehendaki.
Bangsa domba St. Croix cross dan Barbados Black Belly cross dari ciri-ciri kualitatif
terlihat relatif lebih seragam dibandingkan ketiga bangsa yang lain. Seleksi untuk
meningkatkan keseragaman ciri-ciri kualitatif untuk setiap bangsa lebih mudah
dilakukan karena warna tubuh dan belang tubuh hanya dikendalikan oleh satu atau
beberapa gen. Fenotipe sifat kualitatif dapat diarahkan ke sifat kualitatif yang umum
terdapat pada bangsa tersebut. Sifat-sifat kualitatif yang tercantum pada Tabel 12
merupakan ciri-ciri umum setiap bangsa sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam melakukan seleksi untuk meningkatkan keseragaman setiap
bangsa.
Usahaternak domba di Indonesia sebagian besar merupakan peternakan rakyat
dengan skala usaha kecil dan sistem pemeliharaannya masih bersifat tradisional. Peternak
158
domba hanya memelihara beberapa ekor domba dan tidak mempunyai kebiasaan
membuat catatan (recording) produksi dalam usahaternak domba yang dilakukannya.
Upaya perbaikan produktivitas domba yang dimiliki peternak melalui seleksi akan
mengalami kendala karena kondisi tersebut. Seleksi secara tidak langsung sifat
produksi domba melalui pengamatan tingkah laku tertentu yang berkorelasi kuat
merupakan alternatif cara seleksi yang mudah dan dapat dilakukan oleh peternak kecil.
Seleksi untuk domba dalam masa pertumbuhan dapat dilakukan dengan memilih
domba muda bertemperamen lebih jinak atau tidak takut kepada orang, karena domba
bertemperamen demikian mempunyai pertambahan bobot badan lebih tinggi
dibandingkan domba bertemperamen sebaliknya. Sebagai indikator seleksi dapat
digunakan durasi yang singkat domba menghampiri dan mencium bagian tubuh
orang/pengamat. Domba yang jinak tidak banyak membuang energi untuk menghindar
dan stress karena adanya orang atau petugas kandang tetapi lebih banyak mengkonversi
energi dari asupan pakan untuk menambah bobot badannya. Domba yang terlalu
khawatir ketika dipisahkan dengan kelompoknya; yang dalam pengamatan ditunjukkan
dengan tingkah laku frekuensi menyeberang daerah uji A dan B dan frekuensi
melangkah lebih tinggi mempunyai pertambahan bobot badan yang lebih rendah.
Kedua tingkah laku tersebut berkorelasi erat negatif (P<0.05) dengan pertambahan
bobot badan harian.
Produktivitas induk juga dapat diseleksi secara tidak langsung dengan melihat
tingkah lakunya dan hal ini dapat dikerjakan oleh peternak kecil. Induk domba dengan
tingkah laku bersuara lebih banyak ketika dipisahkan dengan anaknya mempunyai total
bobot sapih dan kemampuan hidup anak lebih tinggi dibandingkan induk dengan
tingkah laku bersuara lebih sedikit. Induk bersuara lebih banyak kemungkinan
mempunyai perhatian atau kepedulian lebih besar kepada anaknya dibandingkan induk
domba bertingkah laku sebaliknya. Sifat perhatian dan kepedulian induk domba
terhadap anaknya terutama akan sangat penting dalam manajemen yang ekstensif
dimana campur tangan manusia dalam memperhatikan ternak yang dipeliharanya sangat
kurang. Seleksi secara tidak langsung ini sangat sesuai dengan kondisi peternak kecil
domba di Indonesia yang pada umumnya perhatian peternak terhadap domba yang
dipelihara sangat rendah.
159
Sifat agresif pada manusia dan tikus telah dilaporkan terkait dengan mutasi titik
dan delesi yang terjadi pada ekson 8 dari gen MAOA (Brunner et al. 1993; Cases et al.
1995). Mutasi pada gen MAOA menyebabkan tubuh kekurangan produksi enzim Mono
Amine Oxidase A yang sangat penting dalam mendegradasi serotonin, norepinephrine
(noradrenaline), epinephrine (adrenaline) dan dopamine serta beberapa amina
eksogenous (Andrés et al. 2004). MAOA adalah enzim mitokondria yang dikode oleh
gen inti yang berlokasi pada lengan panjang dari kromosom X (Xp 11.4-p11.3) (Levy et
al. 1989; Grimsby et al. 1991), oleh sebab itu pengamatan dan ekspresi sifat agresif
lebih mudah diamati pada individu jantan. Dalam jumlah kecil terdapat domba jantan
yang sering bertingkah laku agresif. Domba jantan ini menyerang atau menyeruduk
petugas kandang yang sedang beraktivitas di kandang seperti membersihkan kandang,
menimbang bobot badan, menggunting kuku, mencukur wol atau memberi pakan dan
minum ternak. Serangan terhadap petugas dapat berakibat fatal karena itu petugas
kandang umumnya memberlakukan manajemen khusus bagi domba-domba jantan yang
terindikasi agresif, seperti misalnya dengan mengikat domba agresif selama petugas
kandang beraktivitas. Frekuensi domba jantan agresif di dalam kelompok domba Garut
tangkas diduga cukup tinggi, namun aspek tesebut tidak termasuk bagian yang diamati
dalam penelitian ini. Domba Garut tangkas diseleksi secara ketat oleh peternak dan
digunakan dalam budaya adu tangkas domba.
Hasil sekuen ekson 8 gen MAOA domba yang terindikasi agresif tidak ditemukan
adanya mutasi. Runutan DNA domba ekson 8 gen MAOA sepanjang 151 pb dari
kelompok domba bertemperamen agresif dan tidak agresif adalah identik. Tingkah laku
agresif dan sembilan tingkah laku lain yang diamati melalui CCTV juga tidak dapat
membedakan kelompok domba agresif dan tidak agresif. Pernah melakukan serangan
atau menyeruduk petugas kandang atau memberikan respon menyerang ketika tangan
dipukulkan ke kepala domba adalah aspek tingkah laku yang membedakan kelompok
domba agresif. Meskipun tidak terjadi mutasi di ekson 8 gen MAOA, diduga mutasi
terjadi di situs lain sepanjang bentangan DNA gen MAOA yang tetap berakibat sama
yaitu menyebabkan produksi enzim Mono Amine Oksidase A lebih rendah
dibandingkan normal sehingga tidak mampu mengontrol konsentrasi serotonin tetap
dalam keadaan normal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok domba jantan
agresif mempunyai kandungan serotonin lebih tinggi dibandingkan kelompok domba
160
jantan normal. Individu yang tidak mempunyai atau rendah aktivitas MAOA lebih
rentan terhadap perilaku agresif (Maxson 2009).
Penelitian ini tidak menemukan penanda SNP pada ekson 8 gen MAOA sehingga
masih diperlukan penelitian lanjutan untuk memperoleh penanda genetik untuk sifat
agresif pada domba. Aplikasi seleksi domba agresif untuk domba Garut tangkas masih
memerlukan penelitian lebih jauh sepanjang bentangan DNA gen MAOA dan
penggunaan sampel domba Garut tangkas yang lebih banyak. Apabila penanda genetik
untuk sifat agresif pada domba Garut tangkas dapat ditemukan maka seleksi dapat
dilakukan sedini mungkin ketika domba berumur lebih muda sehingga lebih efisien.
Satu hal yang dapat digunakan dalam seleksi domba agresif dari hasil penelitian
ini adalah kandungan serotonin darah yang tinggi pada domba jantan bertemperamen
agresif, akan tetapi efektifitas penggunaannya pada domba berumur muda masih perlu
dipelajari, mengingat ada kemungkinan kandungan serotonin darah berkembang seiring
bertambahnya umur.
Pada penelitian ini domba bertemperamen agresif adalah domba yang agresif
menyerang atau menyeruduk manusia. Penelitian tidak melakukan pengujian domba
jantan yang agresif menyerang manusia, juga sangat agresif terhadap domba jantan yang
lain. Domba jantan persilangan yang agresif (dalam jumlah kecil sampel, <10%) dan
memiliki kandungan serotonin darah lebih tinggi, tidak menunjukkan tingkah laku
agresif terhadap domba jantan yang lain melalui pengamatan CCTV. Namun diduga
domba jantan agresif persilangan ini bertemu dengan domba jantan lain yang sudah
saling kenal dan sistem sosial yang stabil telah terbentuk sehingga tingkah laku agresif
tersebut tidak muncul. Penelitian pada domba Garut tangkas juga tidak memungkinkan
untuk menguji domba jantan yang agresif terhadap manusia, juga agresif terhadap
domba jantan yang lain.
Kecenderungan pengamatan tingkah laku saat ini berubah dan beralih dari cara
pengamatan langsung (live observation) ke metode dengan cara merekam tingkah laku
hewan percobaan dengan menggunakan bantuan peralatan elektronik (recording) karena
beberapa kelebihan yang dimiliki metode ini (McGlone 1986). Namun demikian
analisa data rekaman video tingkah laku (kuantifikasi tingkah laku) memerlukan waktu
yang lama sehingga menjadi tidak praktis, oleh karena itu sampling pengamatan yang
mewakili dapat menggambarkan tingkah laku secara keseluruhan sangat diperlukan.
161
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan semakin lama
durasi data parsial yang digunakan maka semakin banyak tingkah laku domba yang
dapat diprediksi secara akurat. Penggunaan data parsial 6 jam adalah paling baik untuk
memprediksi data pengamatan delapan jam untuk sepuluh jenis tingkah laku domba
yang diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, gambaran
keseluruhan tingkah laku domba dapat diketahui cukup dengan pengamatan selama 75
persen dari durasi data utuh atau diperlukan sampling pengamatan selama 18 jam untuk
data 24 jam. Setiap tingkah laku memerlukan durasi sampling pengamatan yang
berbeda, bervariasi dari 12.5 persen (misalnya tingkah laku minum) hingga 75 persen
(seperti tingkah laku makan dan berkelahi/agresif).