PERANG PUPUTAN

18
BAB I PENDAHULUAN PERANG PUPUTAN Perang Bali tahun 1846-1849 Jika Anda berkunjung ke Bali biasanya akan menuju kota Denpasar yang terletak di wilayah Badung. Selain Badung pada abad 19 yang lalu terdapat beberapa kerajaan lain seperti Buleleng, Klungkung dan seterusnya seperti yang dapat Anda lihat pada peta di bawah ini. Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali. Apakah faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849? Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian

description

SEJARAH

Transcript of PERANG PUPUTAN

Page 1: PERANG PUPUTAN

BAB IPENDAHULUAN

PERANG PUPUTAN

Perang Bali tahun 1846-1849

Jika Anda berkunjung ke Bali biasanya akan menuju kota Denpasar yang terletak di wilayah Badung. Selain Badung pada abad 19 yang lalu terdapat beberapa kerajaan lain seperti Buleleng, Klungkung dan seterusnya seperti yang dapat Anda lihat pada peta di bawah ini.

Pada abad 19 sesuai dengan cita-citanya mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda), Pemerintah Hindia Belanda berusaha membulatkan seluruh jajahannya atas Indonesia termasuk Bali. Upaya Belanda itu dilakukan antara lain melalui perjanjian tahun 1841 dengan kerajaan Klungkang, Badung dan Buleleng. Salah satu isinya bebunyi: Raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaankerajaan di Bali berada di bawah pengaruh Belanda. Perjanjian ini merupakan bukti keinginan Belanda untuk menguasai Bali.

Apakah faktor yang menyebabkan timbulnya perang Bali antara tahun 1846- 1849? Masalah utama adalah adanya hak tawan karang yang dimiliki raja-raja Bali. Hak ini dilimpahkan kepada kepala desa untuk menawan perahu dan isinya yang terdampar di perairan wilayah kerajaan tersebut. Antara Belanda dengan pihak kerajaan Buleleng yaitu Raja I Gusti Ngurah Made Karang Asem besarta Patih I Gusti Ketut Jelantik telah ada perjanjian pada tahun 1843 isinya pihak kerajaan akan membantu Belanda jika kapalnya terdampar di wilayah Buleleng namun perjanjian itu tidak dapat berjalan dengan semestinya.

Pada tahun 1844 terjadi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur). Belanda menuntut agar kerajaan Buleleng melepaskan hak tawan karangnya sesuai perjanjian tahun 1843 itu namun ditolak. Kejadian tersebut dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang Buleleng.

1

Page 2: PERANG PUPUTAN

Bagaimana jalannya perang Bali? Pantai Buleleng diblokade dan istana raja ditembaki dengan meriam dari pantai. Satu persatu daerah diduduki dan istana dikepung oleh Belanda. Raja Buleleng berpura-pura menyerah kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Patih I Gusti Ketut Jelantik.

Perang Buleleng disebut juga pertempuran Jagaraga karena pusat pertahanannya adalah benteng di desa Jagaraga. Perang ini disebut pula Perang Puputan mengapa?Karena perang dijiwai oleh semangat puputan yaitu perang habis-habisan. Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:- Nyawa seorang ksatri berada diujung senjata kematian di medan pertempuran

merupakan kehormatan.- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak

dikenal istilah menyerah kepada musuh.- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk

surga.

Benteng Jagaraga berada di atas bukit, berbentuk “Supit Urang” yang dikelilingi dengan parit dan ranjau untuk menghambat gerak musuh. Selain laskar Buleleng maka raja-raja Karangasam, Mengwi, Gianyar dan Klungkung juga mengirim bala bantuan sehingga jumlah seluruhnya mencapai 15000 orang. Semangat para prajurit ditopang oleh isteri Jelantik bernama Jero Jempiring yang menggerakkan dan memimpin kaum wanita untuk menyediakan makanan bagi para prajurit yang bertugas digaris depan.

Pada tanggal 7 Maret 1848 kapal perang Belanda yang didatangkan dari Batavia dengan 2265 serdadu mendarat di Sangsit. Parukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jendral Van der Wijck menyerang Sangsit lalu menyerbu benteng Jagaraga. Serangan Belanda dapat digagalkan.

Setelah gagal, bagaimana upaya Belanda untuk menundukkan Bali? Pada tanggal 1849 Belanda mendatangkan pasukan yang lebih banyak berjumlah 15000 orang lebih terdiri dari pasukan infanteri, kavaleri, artileri dan Zeni dipimpin oleh Jendral Mayor A.V Michiels dan Van Swieten. Benteng Jagaraga dihujani meriam dengan gencar. Tak ada seorangpun laskar Buleleng yang mundur, mereka semuanya gugur pada tangal 19 April 1849 termasuk isteri Patih Jelantik yang bernama Jero Jempiring. Dengan jatuhnya benteng Jagaraga maka Belanda dapat menguasai Bali utara. Selain puputan Buleleng, perlawanan rakyat Bali juga terjadi melalui puputan Badung, Klungkung dan daerah lain walaupun akhirnya pada tahun 1909 seluruh Bali jatuh ke tangan Belanda.

2

Page 3: PERANG PUPUTAN

BAB II

ISI

Kisah Asmara Dibalik Perang Puputan Badung 1906 (2)Beritabali.com, Badung,

Perang Puputan Badung 20 September 1906, dikenal sebagai salah satu peristiwa heroik di Bali, yang menceritakan keberanian rakyat Kerajaan Badung dalam menghadapi penjajah. Dibalik cerita perang dengan peristiwa puputan (perang sampai titik darah penghabisan) melawan penjajah Belanda, terdapat kisah asmara segitiga yang melibatkan

seorang putri raja dan 2 pangeran di lingkungan Puri Pemecutan dan Puri Denpasar waktu itu. Tulisan kisah nyata ini merupakan hasil karya seniman yang juga keluarga Puri Pemecutan, Ngurah Gede Pemecutan.

Bagian Kedua

A.A. Ayu Oka memelihara kedua hubungan ini. Ia menghadapi kedua pemuda tersebut dengan sangat bijak, sehingga tidak terlihat adanya perubahan sikap dan baktinya terhadap orang tuanya, Baginda Raja.

Terjadi persaingan antara remaja putra Denpasar dengan teruna Pemecutan, masing-masing menghimpun dukungan dan kekuatan di masyarakat pendukungnya, untuk memperebutkan seorang putri jelita dan mempertahankan kedudukan sebagai calon Raja Badung, yang telah ditugaskan menjalankan pemerintahan sehari-hari.

Dengan semakin memuncaknya persaingan antara dua remaja ini, dalam menyusun kekuatan masing-masing, maka terjadilah, kilas balik masalah, yang harus dihadapi bersama-sama, sebagai Kerajaan yang berdaulat, dan disegani seluruh Bali.

Kerajaan Badung sejak tahun 1813 diperintah bersama-sama oleh tiga pusat pemerintahan yaitu pucuk pimpinan Puri Pemecutan, Puri Denpasar, Puri Kesiman, yang ketiganya sangat kompak dan benar-benar bersatu, sebagai satu saudara dalam Pemerintahan Kerajaan Badung.

Pada tanggal 27 Mei 1904 timbul masalah dengan terdampar dan kandasnya Kapal Sri Kumala di Pantai Sanur, dan Pemerintahan Belanda menuntut ganti rugi,atas kerugian kapal itu sebanyak 3000 ringit agar dibayar oleh Raja Badung.

Laporan pertama diterima oleh I Gusti Ngurah Gede Kesiman, karena beliaulah Maha Patih dan Pemerintahan Badung yang banyak berhubungan dengan dunia luar. Berita ini kemudian dilaporkan kepada I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar sebagai pemegang pemerintahan harian, dan dilanjutkan kepada I Gusti Ngurah Agung Pemecutan sebagai Raja Lingsir, penglingsir karena sudah lingsir (sepuh) dan sudah sakit-sakitan.

3

Page 4: PERANG PUPUTAN

Terjadi pertemuan di Puri Agung Pemecutan antara ketiga penguasa yang mengambil keputusan bulat, tidak mau membayar ganti rugi tersebut, dan siap menanggung segala resiko serta akibatnya. Dengan pertimbangan harga diri, kebenaran dan kejujuran serta kedaulatan Kerajaan Badung.

Dengan keputusan beliau bertiga, seperti sudah mendapat firasat perang, Raja lingsir Pemecutan sempat mengingatkan kepada ajaran-ajaran kepahlawanan dan berpegang teguh kepada motto : “Teguh Gumelenging wara satrya” (Teguh dalam pemutusan fikiran kepada dharma suci sebagai ksatrya). Beliau sempat menyitir beberapa ayat-ayat suci dari Buku Baghawad Gita sebagai berikut :

a. Dengan mempersamakan suka dan duka, untung dan rugi menang dan kalah, siapkanlah dirimu untuk menghadapi perang itu, engkaulah terhindar dari dosa (perasaan bersalah).( B.G.II-38 )

b. Ahirnya bila engkau tidak berperang, sebagai mana kewajiban dan kehormatan, maka penderitaanlah yang engkau peroleh. ( B.G.II-33 )

c. Dengan kematian itu engkau memperoleh surga, atau kalau menang, engkau menikmati kebahagiaan dunia oleh karena itu bangkitlah Arjuna bulatkan tekad untuk berperang.( B.G.37 )

Marilah kita bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan datang. Demikianlah kebulatan tekad beliau bertiga akan menghadapi Belanda dan mempertahankan kedaulatan Kerajaan Badung.

Demikianlah ultimatum Belanda pada tanggal 13 September 1906 ditolak dan pecahlah perang. Perang Puputan Badung tidak mungkin akan terjadi tanpa persetujuan keputusan bersama dan tanpa tekad dari ketiga Raja yaitu Raja Pemecutan, Raja Denpasar, Raja Kesiman.

Pelangi cinta ketiga remaja, yang sedang diliput kabut asmara, menemui titik baliknya. Semua kekuatan yang disusun dan dibangun masin-masing untuk bersaing dalam cinta, akhirnya tumpah dan lembur menjadi satu aliran, dengan semangat menggelora menghadapi perlawanan dari luar, yakni penjajah Belanda.

Diceritakan perang Puputan Badung 20 September 1906, sejak fajar pagi menyingsing di kaki langit Pantai Sanur, desa-desa Kesiman, Denpasar, Pemecutan sudah dihujani peluru-peluru meriam Belanda, yang menghancurkan dan membakar semua yang dikenai. Desa-desa, Puri-puri membara dan menyala-nyala, kabut asap memenuhi udara, suara meriam meggelegar, bumi sepertinya mau kiamat.

Penyerangan Belanda sudah dimulai dengan menyerang Puri Kesiman pada tanggal 19 September 1906. Perlawanan rakyat Badung di Kesiman menunjukkan keberanian luar biasa dan Pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari prajurit-prajurit Bali hanya senjata keris dan tombak.

4

Page 5: PERANG PUPUTAN

Puri Kesiman dapat diduduki dalam keadaan kosong karena Raja I Gusti Ngurah Gede Kesiman sudah meninggal tanggal 18 September 1906 karena terbunuh oleh seorang penghianat, yang tidak setuju dengan kebijaksanaan beliau berperang melawan Belanda.

Setelah mendengar Puri Kesiman telah diduduki, maka Raja Denpasar I Gusti Ngrah Made Agung bersabda kepada semua kerabat yang berkumpul, bahwa besok tanggal 20 September 1906 akan berperang habis-habisan melawan Belanda, dan beliau tidak memaksa kepada semua kerabat dan rakyat untuk turut serta. Akan tetapi semua yang mendengar dengan serentak menyatakan akan turut serta membela Raja dan mempertahankan kedaulatan kerajaan Badung.

Pada tanggal 20 September 1906, dari Kesiman Belanda mulai menyerang Puri Denpasar dari arah utara. Pasukan Badung langsung dibawah Pimpinan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung, beserta pesemeton, tokoh-tokoh semua Puri-puri di Denpasar, Puri Belaluan, Puri Dangin, Puri Jero Kuta, Puri Anyar, Puri Jambe, Puri Oka, dan lain-lain, para pendeta dan rakyat, semua kerabat puri lainnya. Para Wanita dan anak-anak yang digendong, dengan bersenjata keris dan tombak mereka menyongsong musuh di daerah Taensiat.

Pertempuran sengit dan korban berjatuhan di kedua belah pihak. Raja terus-menerus memberi komando dan membakar semangat pasukannya, mengamuk bagai singa kelaparan, namun akhirnya beliaupun tidak dapat menghindar dan wafat setelah terkena tembakan berkali-kali. Rakyat dan kerabat puri lainnya terus mengadakan perlawanan.

Belanda melakukan penembakan dengan membabi buta ke arah pasukan Badung, para wanita dan anak-anak yang hanya bersenjata keris dan tombak, menimbulkan korban yang sangat memilukan dan menyedihkan. Karena persenjataan yang tidak seimbang amat banyak yang gugur sebagai pahlawan perang.

Denpasar diduduki oleh Belanda pada pukul 11.30. Dengan wafatnya I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, belum berarti bahwa negara Badung sudah jatuh dan kalah menjadi kekuasaan Belanda.

Pertempuran yang sebenarnya barulah dimulai, dan perlawanan yang terjadi baru merupakan awal dari perang Puputan Badung. Kerajaan Badung masih tetap merdeka dan berdaulat di bawah kekuasaan Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan.

Pasukan Belanda pun menyadari dan mengakui keadaan ini, sehingga berpendapat bahwa untuk menguasai Kerajaan Badung mereka harus melanjutkan pertempuran menyerang Raja dan menduduki Puri Pemecutan.

Siang hari pada hari itu juga, penyerbuan tentara Belanda dilanjutkan ke Pemecutan. Setibanya di desa Suci ( 500 m dari Puri ), mereka bersiap- siap dan mulai menembakkan meriam dan bedil dengan suara yang menggetarkan, dengan harapan, supaya pejuang-pejuang Pemecutan mau menyerah.

5

Page 6: PERANG PUPUTAN

Namun sebaliknyan mereka makin timbul keberanian, bagaikan lembu keratin menyerbu dan menyerang pasukan Belanda. Dengan sorak dan jeritan histeris, bagaikan laron yang merubung api lampu, mereka gugur satu persatu sebagai pahlawan perang.

Setelah Raja Pemecutan mendengar bahwa Kesiman dan Denpasar kalah diduduki, serta pasukan Belanda sudah dekat di sebelah timur Puri, Beliau lalu memanggil Putrinya Anak Agung Ayu Oka dan bersabda :

“Wahai anakku, buah hatiku, satu-satunya yang sangat ku sayangi dan kukasihi, kini tiba saatnya yang terakhir ayah dapat melihat anakku, menatap wajahmu. Sudahlah wajar bila diandaikan bunga, setelah mekar, maka layu akan mengikutinya dan akhirnya jatuh berguguran. Anakku, kamu akan ku tinggalkan mati, membela kebenaran, membela Negara.”

Mendengar kata-kata ayahanda demikian, sang putri Puri Pemecutan tak kuasa berkata, tak dapat bicara, air mata mengalir karena kesedihan. Sambil menangis putri berkata:

“Ampun Ayahanda, janganlah berkata demikian, jangn merasa kecewa, karena kita semua yang hidup ini telah ditentukan, lahir, muda terakhir dengan ketuaan akan tiba, dan akhirnya kematian juga yang akan menyudahi, Ananda memohon kehadapan ayahanda Raja, hendak dipertahankan turut berpuputan. Di sini dilahirkan, di sini hamba mendapat kebahagiaan, di sini pulalah harus mati bersama Ayahanda.

Raja Pemecutan kembali bersabda: “ Aduhai, anakku mudah-mudahan di kemudian hari, kita dapat menjelma kembali bersama-sama, menikmati kebahagiaan, suka dan duka di dunia ini.

"Marilah kita bersiap siap ke Medan Peperangan”.

Semua yang mendengar pembicaraan itu bangkit serentak, dengan kemauan sendiri, hendak ikut ngiring ( turut serta ) berdasarkan kesucian hati, berpuputan bersama.

Seluruh keluarga Puri keluar ke medan pertempuran, termasuk para wanita dan anak-anak, serta bayi-bayi juga digendong oleh para ibu, pengasuhnya, sedangkan Raja yang sudah tua dan sakit-sakitan, ditandu saat memimpin peperangan.

Seluruhan Laskar Pemecutan dipimpin oleh empat putra perkasa dari puri kanginan Pemecutan bersama Raja I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Putu berjuang bagaikan sedang mabuk, menyerang ke sana kemari, menantang musuh, menyeberangi kali Badung, menuju daerah Suci sebelah timur Pemecutan. Beliau juga sempat memerintahkan I Meruh Dari Desa Campuan Peguyangan dan I Pateh dari Banjar Busungyeh, untuk membakar ( bumi hangus ) Puri, apabila beliau-beliau Raja sudah meninggal, sehingga tidak dapat diduduki dan ditempati oleh serdadu Belanda.

6

Page 7: PERANG PUPUTAN

Diperintahkan juga kepada rakyatnya yang lain, agar membunuh ( ngeludin ) mereka yang mengerang kesakitan, jika terkena peluru Belanda, agar dia dapat meninggal dengan tenang.

Demikianlah Ngurah Made dengan membabi buta, menyerang pasukan Belanda, hanya dengan sebilah keris, dengan keberanian luar biasa dan akhirnya gugur oleh berondongan senjata api musuh.

Diceritakan pula pahlawan Gusti Ngurah Rai yang bagaikan singa kelaparan, berlari dan menerkam serta menghujamkan keris ke dada musuh, bergulat dan di keroyok serta ditembaki oleh tentara Belanda. Tak terhitung rakyat yang telah gugur, demikian pula di pihak Belanda.

I Gusti Ngurah Ketut Bima, menghadang dan menyongsong musuh, dengan menyisir tembok rumah-rumah penduduk, di sebelah utara jalan, ke arah timur, menyeberangi sungai Badung dan kemudian siap di atas tembok rumah I Gambang ( di sebelah utara Pura Suci ), menanti pasukan berkuda dari perwira-perwira Belanda yang melintas.

Begitu mendekat, dengan sigap Ngurah Bima meloncati tembok, melompati kuda, sambil langsung mencekik dan menikam musuh di atas kuda, namun beliau tertembak oleh pasukan musuh yang lain, sehingga gugur bersama Letnan Pieters yang dibunuhnya. Beberapa perwira Belanda juga sempat di bunuh pada waktu itu.

Sementara itu, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, meskipun sudah tua dan sakit, dengan semangat penuh memberi komanda kepada rakyat pengiringnya. Dengan sorak sorai, jeritan histeris, mereka maju tak gentar, menantang musuh dengan hanya bersenjata keris dan tombak, dengan semangat dan keberanian luar biasa.

Kaum wanita, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak serta bayi-bayipun turut digendong oleh para ibu, ataupun pengasuhnya, turut ke medan peperangan mengikuti Raja berpuputan. Seluruh kerabat Puri, para istri-istri Raja anak-anak maupun bayi dibawa serta.

Demikian mereka berduyun-duyun sambil bersorak menyongsong musuh, bagaikan lebah merubung nyala lampu, kemudian terbakar satu-persatu.

Demikianlah mereka gugur berserakan ditembus peluru Belanda. Rajapun tidak dapat menghindar, tertembak jatuh, setelah pengusung tandunya meninggal terkena peluru.

Raja dengan tenaga yang tersisa, sambil tertatih-tatih masih sempat mengadakan perlawanan dan akhirnya terjatuh dan wafat.

Setelah wafatnya Raja, para pengiringnya semakin berani menantang musuh, agar dibunuh oleh Belanda, atau mereka saling menikam diri sendiri, atau orang-orang di dekatnya, sanak saudara, anak-anak atau istri, agar tidak ada seorangpun yang tertinggal dijadikan tahanan budak Belanda, mereka semuanya ikut 'ngiring' (ikut) berpuputan. 7

Page 8: PERANG PUPUTAN

Jeritan mereka yang kesakitan kena peluru, minta tolong supaya dibunuh, sangat memilukan hati Anak Agung Ayu Oka juga turut serta ke medan pertempuran, mengikuti ayahanda, dan seluruhnya keluarga Puri beserta kekasihnya I Gusti Nguah Ketut Bima yang memimpin Laskar Pemecutan.

Demikian sengit dan hebatnya pertempuran di daerah Suci dan Pemecutan, suara meriam tiada hentinya. Puri terbakar peluru, dengan api yang berkobar-kobar dan asap memenuhi angkasa. Suara kentongan “ Kerik Tingkih “(kentongan puri masih ada di jalan Thamrin Denpasar ) bulus bertalu-talu,tiada henti-hentinya disertai suara dan gonggongan anjing yang meraung-raung sepanjang hari, benar-benar sangat mengerikan.

Dalam kondisi seperti ini, Anak Angung Ayu Oka menyadari, bahwa Ayahandanya telah gugur, kekasih beliau Raja Denpasar sudah pulang mendahului, kini Ngurah Bima pun sebagai Pahlawan perang. Semua kerabat puri sudah meninggal, tidak adalagi yang ditunggu, kemudian dengan perasaan pilu dan sedih, menagis, pasrah lascarya, menyusul beliau-beliau itu dengan 'mesatnya' bunuh diri dengan sebilah keris, sebagai bakti kepada ayahanda,hormat kepada Raja, setia kepada kedua kekasih yang dicinta, setia kepada Negara dan rakyat, pantang menyerah kepada Belanda.

Putri Puri pemecutan gugur di atas tumpukan jenazah ayahanda dan rakyat lainya.

Kabut cinta, pelangi asmara, berakhir dengan diselimuti awan perang, ditutupi asap mesiu, dan diiringi dentuman suara meriam yang menggelegar.

Kisah asmara remaja ini, bersudahan saat rahina sandikala atau senja hari, ketika sang surya mulai terbenam. Memang tragis dan memilukan.

Demikian dua orang pemuda, ksatrya utama, dan seorang putri yang setia, bersama-sama gugur dalam peperangan, sebagai pahlawan, kusuma bangsa, melawan penjajah, dengan mengobankan cintanya masing-masing demi mempertahankan harga diri, kebenaran dan kedelautan Negara dan bangsa.

Dengan wafatnya Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, berahirlah peperangan dengan arti kata “puput” berarti selesai dan “puputan” bermakna habis-habisan sehingga boleh diartikan bahwa “Perang Puputan Badung” itu berakhir di Desa Pemecutan.

Dengan kekalahan itu barulah Belanda dapat dikatakan menguasai seluruh Kerajaan Badung.

Suara Meriam mulai meredam dan berakhir, berakhirlah pula perang Puputan Badung, pada saat hari sandikala tanggal 20 September 1906.

Demikianlah sandikalaning jagat Badung, bandana pralaya, hancur dan kalahnya Kerajaan Badung.

8

Page 9: PERANG PUPUTAN

Sementara itu desa-desa dan Puri-puri masih terbakar, api masih berkobar, asap memenuhi angkasa, langit dan awan berwarna merah merata, menandakan sang surya telah sudah turun ke barat, matahari mulai terbenam.

Sebagai kilas tambahan informasi diceritakan oleh Jero Tunjung atau Jero Wayan (kepada penulis) sebagai seorang janda almarhum Gusti Ngurah Rai, yang turut serta ke medan perang menggendong anak bayinya pada saat itu.

Karena kasihan kepada si kecil, bersembunyi di pangkal akar-akar pohon beringin besar, di luar puri. Setelah peperangan berakhir, anaknya dilarikan ke desa asalnya, di desa Munggu, dan untuk beberapa lama dipelihara disana.

Anak I Gusti Ngurah Rai yang lain, dari lain Ibu, digendong oleh pengasuhnya, turut mengikuti Raja, ke medan laga dan pengasuhnya tertembak dan meninggal, dan si kecil jatuh di tumpumukan jenazah lainya.

Setelah perang berakhir, seorang Brahmana dari Gria Bindu Denpasar Ida Putu Grodog mencari-cari jenazah yang dikenali, tiba-tiba melihat dan mendengar bayi menangis tersedu-sedu diantara mayat keluarga puri yang bergelimpangan lalu memungutnya, diselamatkan dibawa ke Gria Bindu dan beberapa lama dipelihara disana.

Kedua bayi laki-laki tersebut adalah Anak dari I Gusti Ngurah Rai, dari dua istri umur 4 dan 2 tahun. Sedangkan I Gusti Ngurah Made meninggalkan seorang Putri terselamatkan berumur sekitar 3 tahun. Ketiga anak kecil ini setelah situasi aman sempat dipelihara di Munggu, Gria Bindu, Jero Gerenceng dan Jero Batan Moening.

Setelah anak-anak ini menjelang dewasa, di bangunkan Puri Kangin Pemecutan yang sebelumnya hancur total dalam perang Puputan Badung.

Setelah anak-anak ini dewasa ketiganya diangkat sebagai kepala keluarga besar Pemecutan. Yang paling kecil (beribu dari Jero Gerenceng), setelah upacara “Mebiseka Ratu” diberi Gelar Ida Cokorda Pemecutan X.

Yang beribu dari Munggu (Jero Tunjung) diberi Gelar Anak Agung Gede Lanang Pemecutan, sedangkan Putri dikawinkan dengan Cokorda Pemecutan X tetapi tidak berputra, beliaulah berdua melanjutkan keturunan dinasti Puri Pemecutan sekarang.

Puri Kanginan setelah ditempati oleh anak-anak bertiga, disebut dengan nama Jero Gede Pemecutan, dan setelah beliau dinobatkan dengan upacara “Mabiseka Ratu” dengan Gelar Cokorda Ngurah Gede Pemecutan, maka Jero Gede Pemecutan Kembali disebut “ Puri Agung Pemecutan “.

Semua serdadu dan perwira-perwira Belanda yang meninggal dalam Perang Puputan Badung dikuburkan di kuburan Belanda di jalan Diponogoro Denpasar, kemudian dipindah di Desa Mumbul, Nusa Dua, termasuk kuburan Pieter yang dibunuh oleh I Gusti Ngurah Ketut Bima.

9

Page 10: PERANG PUPUTAN

Perang Puputan Badung tanggal 20 September 1906 adalah wujud nyata dari pada kekompakan rakyat Badung di bawah pimpinan tiga orang rajanya yang juga kompak bersatu dalam menghadapi pasukan Belanda dari bumi Badung.

Ketiga Raja itu yaitu Raja Pemecutan I Gusti Ngurah Agung Pemecutan (nama beliau yang lain I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, Kiyayi Anglurah Pemecutan IX). Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung dan Raja Kesiman I Gusti Ngurah Gede Kesiman.

Beliau juga mendapat sebutan Gusti Gede Ngurah Pemecutan, Gusti Gede Ngurah Denpasar dan Gusti Gede Ngurah Kesiman, juga dengan gelar Cokorda Pemecutan, Cokorda Denpasar dan setelah beliau meninggal, keduanya disebut dengan Cokorda Mantuk Ring Rana (meninggal dalam peperangan).Perang Puputan yang terkenal di Bali, antara lain dilakukan oleh Kerajaan Buleleng melawan kolonial Belanda setelah Raja Buleleng memberlakukan sistem tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang berlabuh di dermaga Buleleng) kepada belanda, dan Perang Puputan yang dipimpin oleh seorang serdadu Belanda kelahiran Bali bernama I Gusti Ngurah Rai untuk melawan kolonial Belanda (Puputan Margarana).

Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan nama Den Bukit.

I Gusti Anglurah Panji Sakti

I Gusti Anglurah Panji Sakti, yang sewaktu kecil bernama I Gusti Gde Pasekan adalah putra I Gusti Ngurah Jelantik dari seorang selir bernama Si Luh Pasek Gobleg berasal dari Desa Panji wilayah Den Bukit. I Gusti Panji memiliki kekuatan supra natural dari lahir. I Gusti Ngurah Jelantik merasa khawatir kalau I Gusti Ngurah Panji kelak akan menyisihkan putra mahkota. Dengan cara halus I Gusti Ngurah Panji yang masih berusia 12 tahun disingkirkan ke Den Bukit, ke desa asal ibunya, Desa Panji.

I Gusti Ngurah Panji menguasai wilayah Den Bukit dan menjadikannya Kerajaan Buleleng, yang kekuasaannya pernah meluas sampai ke ujung timur pulau Jawa (Blambangan). Setelah I Gusti Ngurah Panji Sakti wafat pada tahun 1704, Kerajaan Buleleng mulai goyah karena putra-putranya punya pikiran yang saling berbeda.

Sejarah

Kerajaan Buleleng tahun 1732 dikuasai Kerajaan Mengwi namun kembali merdeka pada tahun 1752. Selanjutnya jatuh ke dalam kekuasaan raja Karangasem 1780. Raja Karangasem, I Gusti Gde Karang membangun istana dengan nama Puri Singaraja. Raja berikutnya adalah putranya bernama I Gusti Paang Canang yang berkuasa sampai 1821.

10

Page 11: PERANG PUPUTAN

Perlawanan terhadap Belanda

Pada tahun 1846 Buleleng diserang pasukan Belanda, tetapi mendapat perlawanan sengit pihak rakyat Buleleng yang dipimpin oleh Patih / Panglima Perang I Gusti Ketut Jelantik. Pada tahun 1848 Buleleng kembali mendapat serangan pasukan angkatan laut Belanda di Benteng Jagaraga. Pada serangan ketiga, tahun 1849 Belanda dapat menghancurkan benteng Jagaraga dan akhirnya Buleleng dapat dikalahkan Belanda. Sejak itu Buleleng dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Bagi masyarakat Bali di Badung, puputan berarti juga sikap mendalam yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur, yaitu ksatria sejati, rela berkorban demi kedaulatan dan keutuhan negeri (Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara) membela kebenaran dan keadilan (Nindihin Kepatutan) serta berperang sampai tetes darah terakhir.

Oleh karena itu ”Puputan” yang menjadi tekad bersama raja-raja, para bangsawan dan seluruh rakyat di Badung sama sekali bukanlah refleksi keputusasaan, justru perang Puputan Badung 20 September 1906 merupakan fakta sejarah tak terbantahkan tentang jiwa kepahlawanan dan kemanunggalan raja dan rakyat Badung. Berdasarkan bukti-bukti historis yang ada, jelas bahwa raja-raja dan rakyatnya betul-betul tulus iklas dan berani (lascarya) melakukan perang ”Puputan” sebagai bentuk keputusan bersama untuk mempertahankan kedaulatannya dari Belanda.

Latar Belakang Monumen Perjuangan Rakyat Bali

Museum Perjuangan Rakyat Bali tercetus Pada Tahun 1980. Berawal dari ide Dr. Ida Bagus Mantra yang saat itu adalah Gubernur Bali. Ia mencetuskan ide awalnya tentang museum dan monumen untuk perjuangan rakyat Bali. Lalu pada tahun 1981, diadakan sayembara desain monumen, yang dimenangkan oleh Ida Bagus Yadnya, yang adalah seorang mahasiswa jurusan arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Lalu pada tahun 1988 dilakukan peletakan batu pertama dan selama kurang lebih 13 tahun pembangunan monumen selesai. Tahun 2001, bangunan fisik monumen selesai. Setahun kemudian, pengisian diorama dan penataan lingkungan monumen dilakukan. Pada bulan September 2002, SK Gubernur Bali tentang penunjukan Kepala UPTD Monumen dilaksanakan.

11

Page 12: PERANG PUPUTAN

Dan akhirnya, pada tanggal 1 Agustus 2004, Pelayanan kepada masyarakat dibuka secara umum, setelah sebelumnya pada bulan Juni 2003 peresmian Monumen dilakukan oleh Presiden RI pada saat itu Ibu Megawati Soekarnoputri.

Monumen yang terletak di kawasan Lapangan Renon ini memang sangat menarik perhatian bagi semua orang karena tempatnya yang terawat dengan baik dan bersih dan lengkap dengan menara yang menjulang ke angkasa yang mempunyai arsitektur khas Bali yang indah. Lokasi monumen ini juga sangat strategis karena terletak di depan Kantor Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali yang juga di depan Gedung DPRD Provinsi Bali tepatnya di Lapangan Renon Nitimandala. Tempat ini merupakan tempat pertempuran jaman kemerdekaan antara rakyat Bali melawan pasukan penjajah. Perang ini terkenal dengan sebutan "Perang Puputan" yang berarti perang habis-habisan. Monumen ini didirikan untuk memberi penghormatan pada para pahlawan serta merupakan lambang penghormatan atas perjuangan rakyat Bali.

12