PERANAN POLRI DALAM PENANGANAN KERUSUHAN SENGKETA...
Transcript of PERANAN POLRI DALAM PENANGANAN KERUSUHAN SENGKETA...
PERANAN POLRI DALAM PENANGANAN KERUSUHAN
SENGKETA LAHAN TANAH REGISTER 45
(STUDI WILAYAH HUKUM PADA POLRES TULANG BAWANG)
ABSTRAK
Oleh:
HARISNO KAHFI
Sengketa lahan hutan negara Register 45 Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung,
sudah hampir setahun belum juga tuntas. Kinerja tim pemerintah pusat
menyelesaikan kasus ini terkesan lambat. Bentrok berdarah akibat sengketa lahan
kembali terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung. Dua kelompok warga di Desa
Tulung Gunung, Mesuji, terlibat bentrok dengan melibatkan senjata api, Selain itu,
Polda Lampung juga langsung giat melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat,
agama, serta pemda setempat agar persoalan rebutan lahan ini tak melebar.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil pokok
masalah, yaitu: Bagaimanakah peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat
dari sengketa lahan tanah register? Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam
menangani kerusuhan akibat dari sengketa lahan tanah register?
Penulis di dalam melakukan penelitian, menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan pendekatan yuridis empiris.
Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberikan
kesimpulan sebagai berikut: Kasus konflik agraria di Mesuji merupakan konflik
yang terjadi antara dua kelas yaitu kelas Pengusaha (kapitalis) dengan kelas petani
memperebutkan lahan/tanah di daerah Mesuji Lampung. Konflik ini juga tidak
terlepas dari kebijakan pertanahan yang dilakukan pemerintah di masa orde baru
yang cenderung bersifat kapitalistik. Terhadap pelaksanaan penindakan konflik
sengketa lahan register 45 yang mengarah atau terjadinya kerusuhan dan tindakan
anarkis, Polri tetap mengacu pada tataran tugas sebagaimana yang telah diuraikan di
atas tentunya dengan suatu strategi represif untuk preventif, yaitu melakukan
tindakan tegas berdasarkan aturan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak
asasi manusia dalam rangka mencegah meluasnya konflik. Faktor penghambat
dalam menangani sengketa lahan register 45 mesuji yaitu kebijakan pertanahan
yang bersifat kapitalistik, pluralisme hukum, tindakan represif dari aparat
keamanan, kurangnya pengaruh tokoh masyarakat, ketidakseimbangan perhatian
pemerintah daerah, ketidakjelasan status kepemilikan lahan dan HGU lahan
perusahaan, sikap arogansi dan egosentris kelompok, kurangnya kepedulian
perusahaan terhadap lingkungan.
Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya maka penulis dapat memberikan saran
sebagai berikut: 1. Hendaknya aparat penegak hukum lebih memperketat lagi
keamaan dan ketertipan dalam masyarakat. Agar kasus seperti sengketa lahan
register 45 tidak terjadi lagi. 2. Hendaknya aparat penegak hukum dan masyarakat
bersama-sama menjaga ketertiban lingkungan. Hendaknya pemerintah dan aparat
penegak hukum lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
POLICE ROLE IN THE HANDLING OF RIOTS
LAND LAND DISPUTE REGISTER 45
(STUDY JURISDICTIONS IN BONE POLRES ONION)
ABSTRACT
By:
HARISNO KAHFI
State forest land dispute Register 45 Mesuji district, Lampung province, nearly a
year has not been completed. Team performance of the central government to
resolve this case seems slow. Bloody clashes again occurred as a result of land
disputes in the district of Mesuji, Lampung. Two groups of residents in the village
of Tulung Mount, Mesuji, clashed with the involvement of a firearm, in addition,
Lampung Police also instantly keen to coordinate with community leaders,
religious, and local government to address the issue of land seizure is not widened.
Based on the background described above, it can be the subject matter, namely:
What is the role of the police in handling the unrest as a result of land disputes on
land registers? What are the factors inhibiting the Police in handling the unrest as a
result of land disputes on land registers?
Author in conducting research, using two approaches, namely empirical juridical
approach.
Based on the explanation of the previous chapters, the authors can provide the
following conclusion: The case of agrarian conflict in Mesuji is a conflict between
the two classes, namely class entrepreneur (capitalist) class of farmers for land /
land in Lampung Mesuji. This conflict can not be separated from the land policy of
the government in the new order which tend to be capitalistic. The implementation
of action conflict land disputes registers 45 that leads or unrest and anarchy, the
police still refers to the level of the duties as described above course with a
repressive strategy for preventive, ie act decisively based on the applicable law with
regard to human rights human beings in order to prevent the spread of conflict.
Inhibiting factors in dealing with land disputes registers 45 Mesuji namely land
policy that is capitalistic, legal pluralism, repressive actions of the security forces,
the lack of influence of public figures, the imbalance of attention of local
governments, unclear land tenure and concession area of the company, the
arrogance and self-centered groups, lack of corporate concern for the environment.
Based on the explanation of the previous chapters, the author can provide advice as
follows: 1. Should law enforcement officials be tightened again keamaan and order
in society. In order for such cases of land disputes registers 45 do not happen again.
2. Should law enforcement officials and community jointly maintain order
environment. Should the government and law enforcement officials pay more
attention to the welfare of society.
LATAR BELAKANG
Masalah agraria menjadi salah satu isu penting yang diperbincangkan saat ini.
Mengingat makin banyaknya kasus-kasus konflik yang menyangkut agraria, sebut
saja konflik Mesuji. kasus tersebut merupakan contoh sebagian kecil dari kasus
konflik yang menyangkut masalah agraria di daerah yang jarang kita ketahui.
Namun, konflik agraria sejatinya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak lama
bahkan semenjak masa kolonial, perebutan lahan telah terjadi antara petani dengan
pemerintah maupun petani dengan kelompok pengusaha. Sengketa lahan tersebut
sudah terjadi dalam proses yang cukup lama yang salah satu titik kejadian muncul
korban jiwa, korban luka, dan beberapa kerugian materil di tiga lokasi itu.
Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria tersebut tercantum pada pasal 3 menyebutkan “dengan
mengingat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih
tinggi”, dan pasal 5 yang berbunyi “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pengertian masyarakat adat dalam undang-undang diatas sesuai dengan hukum adat
yang berlaku didaerah masing-masing dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat adat Lampung khususnya masyarakat adat Tulang Bawang berada
dalam bentuk federasi lembaga adat yang disebu dengan Megoupak, terdiri dari 4
(empat) Klein besar yaitu marga tegamo’an, marga buai bolan, marga sway umpu,
dan marga aji. Marga memiliki pengertian :
1. Masyarakat adat yang terdiri dari beberapa kebuayan yang telah menyatakan
diri dalam kesatuan hukum adat tertentu.
2. Wilayah hukum adat yang telah dinyatakan berada dalam suatu wilayah
tertentu.
Berdasarkan pengertian huruf (1) Marga terdiri dari klein kebuain dan kebuaian
terbagi dari beberapa pepadun (Kepepaduan). Penyimbang dalam Kepaduan disebut
dengan Penyimbang Pepaduan sedangkan penyimbang dalam kebuayaan disebut
Penyimbang asal. Menurut pengertian huruf (2) marga memiliki wilayah adat yang
terbagi menjadi beberapa Kampung (Tiuh), umbul dan huma. Tentang penggunaan
tanah adat dan hasil hutan, hukum adat megoupak pada mulanya diatur atas
perizinan Kepala Marga dan hanya mengenal hak pakai, hak pakai mengambil hasil
hutannya saja (tidak memiliki) sedangkan hak penggunaan air dan rawa merupakan
hak bersama seluruh masyarakat adat megoupak. Dan hak kepemilikan harta benda
turun temurun dikenal dengan Jeneng (hibah).
Sengketa tanah di Tulang Bawang merupakan sengketa tanah yang paling tinggi.
Permasalahan ini muncul karena adanya pengakuan tanah ulayat dalam Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria dan
pemahaman tentang Hukum Adat yang berlaku di Kabupaten Tulang Bawang tidak
sesuai dengan kaedah hukum adat Megoupak. Maka didalam hukum adat Megou
Pak penggunaan bumi,air dan ruang angkasa meliputi :
1. Hak pakai
2. Hak mengambil hasil hutan
3. Jeneng (hak kepemilikan)
4. Hak penggunaan air dan yang ada di dalamnya merupakan hak masyarakat adat
Megou Pak tanpa batas klein.
Tradisi yang berlaku dalam masyarakat adat Megou Pak apabila berkenaan dengan
permasalahan adat maka segala sesuatu diputuskan berdasarkan Pepung Marga
yang dihadiri oleh perwakilan dari ke Empat Marga tersebut diatas yaitu ;
1. Segala sesuatu yang berkenaan dengan hubungan seseorang yang berada
dalam kepepaduannya dengan orang lain yang diluar kepepaduannya
berdasarkan Pepung adat. Contoh ; dalam perkawinan adat maka perwakilan
dari ke empat marga merupakan keharusan untuk mengetahui perkawiinan
tersebut.
2. Kemudian segala sesuatu yang berhubungan dengan satu kesatuan wilayah
Marga (Kampung, Umbul dan Huma) karena mnyangkut kepentingan orang
banyak juga diputuskan melalui Pepung Marga.
Permasalahan yang terjadi pada sengketa lahan tanah register di Tulang Bawang
yaitu dikarenakan:
1. Umbul bolak, maharou dan sebagainya hanya dibuktikan oleh keterangan
kepala kampung, sedangkan umbul maharou atau bolak merupakan bagian dari
kesatuan wilayah adat yang seharusnya di putuskan melalui pepung adat lebih
dahulu.
2. Salah pengertian tentang kewenangan penyimbang Pepadun terhadap
kepemilikan tanah marga. Karena kewenangan Penyimbang Pepadun hanya
memilki kewenangan dalam kepepadunnya saja. Sedangkan apabila
menyangkut orang banyak harus melalui keputusan Pepung Adat.
3. Adanya pemahaman yang salah tentang kepemilikan tanah marga yang
diartikan bahwa semua marga tertentu berhak terhadap tanah tersebut.
Misalnya tanah marga Tegamo’an yang memiliki kesatuan wilayah Kampung
atau Tiuh, umbul dan maharou serta bolak. Maka yang berhak atas tanah ulayat
tersebut adalah masyarakat Kampung (tiuh), umbul yang berada dalam wilayah
tanah itu (tidak semua marga Tegamo’an berhak atasnya). Namun
pembuktian dan penyelesaiianya berdasarkan keputusan Pepung Adat (Marga).
4. Tidak ada satupun lembaga adat yang kompeten untuk mengatur perselisihan
dan persengketaan yang terjadi. Adapun lembaga adat seperti Lembaga Adat
Megou Pak Tulang Bawang dapat menjadi motorisasi, namun perlu legalitas
semua pihak yang sah sebagai mitra kerja yang di butuhkan dan perlu sumber
daya manusia yang memenuhi standar kapabilitas, kredibelitas yang memadai.
Kepala Bagian Operasional Polres Tulangbawang Komisaris Deden Heksa Putra
meminta warga tidak main hakim. Serahkan masalahnya kepada aparat penegak
hukum. Kawasan Register 45 Sungai Buaya yang didiami ribuan perambah menjadi
ladang bisnis menggiurkan sekaligus rawan konflik. Sejumlah makelar tanah
bergentayangan menjual lahan milik negara itu. Harganya Rp 8 juta per hektare.
Semenjak usaha pengambilalihan kembali (reclaiming) lahan milik warga 7 desa di
Kecamatan Tulang Bawang yang dikuasai perusahaan untuk lahan perkebunan,
telah menimbulkan teror dan intimidasi terhadap warga. Berdasarkan uraian diatas
hal tersebut menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian dengan judul
“Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan Sengketa Lahan Tanah
Register 45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang Bawang)”.
PERMASALAH DAN RUANG LINGKUP
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil pokok
masalah, yaitu:
a. Bagaimanakah peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat dari sengketa
lahan tanah register?
b. Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam menangani kerusuhan akibat
dari sengketa lahan tanah register?
RUANG LINGKUP
Mengingat banyaknya perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
dan luasnya wilayah hukum Kepolisian Republik Indonesia, maka dalam rangka
efektifitas dan efisiensi penelitian, penulis perlu membatasi ruang lingkup penelitian
pada wilayah hukum Tulang Bawang. Dalam hal ruang lingkup substansi, dibatasi
pada Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan Sengketa Lahan Tanah Register
45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang Bawang).
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan perumusan masalah yang akan dibahas, maka tujuan penelitian
ditentukan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat dari
sengketa lahan tanah register.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat Polri dalam menangani kerusuhan
akibat dari sengketa lahan tanah register.
KEGUNAAN PENELITIAN
Sejalan dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan mengandung dua
kegunaan sebagai berikut:
a. Kegunaan yang bersifat teoritis, sebagai sumbangan pemikiran bagi penegak
hukum/penyidik Polri dalam menganalisa tentang upaya penegakan hukum
terhadap bentuk tindak pidana sengketa lahan tanah register.
b. Kegunaan yang bersifat praktis, sebagai bahan pertimbangan bagi penegak
hukum/penyidik polri dalam pertimbangan penyidik Polri dalam menangani
bentuk tindak pidana sengketa lahan tanah register.
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
KERANGKA TEORITIS
Menurut Soerjono Soekanto (2005:125) “Kerangka teoritis adalah konsep yang
merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada
dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial
yang dianggap relevan”.
Pada hakekatnya hukum itu mengandung ide atau konsep-konsep dan dengan
demikian boleh digolongkan pada sesuatu yang abstrak. Kelompok yang abstrak
ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.
Campur tangan hukum yang semakin luas dalam bidang kehidupan masyarakat,
menyebabkan masalah efektifitas penerapan hukum menjadi semakin penting
untuk dipertimbangkan. Itu artinya, hukum harus bisa menjadi institusi yang
bekerja secara efektif dalam masyarakat. Berkaitan dengan fungsi hukum,
enegaskan bagi manusia, hukum paling sedikit berfungsi untuk mencapai
ketertiban umum dan pada gilirannya menciptakan keadaan yang kondusif untuk
mencapai keadilan. Keberadaan hukum di berbagai bidang dalam masyarakat
diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana penyelesaian sengketa,
sarana kontrol sosial, sarana social engineering, maupun sebagai sarana
pendistribusian keadilan. Diantara berbagai fungsi hukum tersebut, fungsi hukum
sebagai sarana penyelesaian sengketa, yang dalam hal ini diwakili oleh pengadilan,
menempati peranan penting bagi perbaikan ekonomi atau mendukung
kemakmuran bangsa. Hukum pada hakekatnya baru timbul untuk dipermasalahkan
kalau terjadi pelanggaran kaidah hukum, konflik, kebatilan, atau “tidak hukum”
(unlaw, onrecht). Kalau segala sesuatu berlangsung dengasn tertib, lancar tanpa
terjadinya konflik atau pelanggaran hukum, tidak akan ada orang
mempermasalahkan hukum. (Yahya: 2006)
Proses penegakan hukum dalam rangka menjalankan proses peradilan,
berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sengketa pada dasarnya merupakan suatu pencerminan watak dan kemauan
diantara manusia yang tidak bisa seragam. Dalam masyarakat bila terjadi sengketa
pada umumnya diselesaikan melalui berbagai cara. Terdapat dua pendekatan
umum yang sering dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa. Pertama,
menggunakan paradigma penyelesaian litigasi, melalui proses gugatan di
Pengadilan yang untuk mendapatkan keadilan mempergunakan sistem perlawanan
(the adversary system) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu
keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Kedua, paradigma
penyelesaian sengketa non-litigasi yang dalam pencarian keadilan lebih
mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertahankan
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan
hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution. (Abdurrahman: 1995)
Berkaitan dengan figur hukum Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak
Pengelolaan (HPL) yang merupakan fokus bahasan, dalam transaksi sektor
ekonomi figur hukum tersebut telah lazim diterapkan dalam konstruksi hukum
yang bersifat kontraktual. Selama pelaksanaannya berjalan mulus dan tidak ada
perdebatan, maka tidak menjadi sengketa. Namun, tidak jarang juga hubungan antar
pihak bermuara dalam jalan buntu, sengketa para pihak dapat diselesaikan melalui
institusi yang relatif efisien untuk mengatasi perselisihan. Biasanya setelah cara-
cara non-litigasi tidak dapat menyelesaikan perselisihan para pihak, mereka
membawa permasalahan ke pengadilan untuk mendapatkan keadilan.
Penegakan hukum dan musyawarah mufakat merupakan solusi untuk penyelesaian
sengketa lahan. Ada tiga macam bentuk konflik lahan di Kampar yakni, konflik
masyarakat antarmasyarakat, masyarakat dengan perusahaan dan konflik
perusahaan dengan perusahaan. Faktor penyebab konflik di antaranya, faktor
ekonomi, tumpang tindih kepemilikan lahan, sumber daya alam (lahan) yang
terbatas sementara jumlah orang semakin bertambah. Kemudian perilaku oknum
yang tak bertanggung jawab, seperti mengeluarkan beberapa kali surat dengan
objek yang sama, kemudian tumpang tindih peraturan. "Solusi penyelesaian ada dua
yakni melalui penegakan hukum dan musyawarah mufakat. (Supriadi: 2007)
KONSEPTUAL
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep khusus yang merupakan kumpulan dan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan di teliti. Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-
istilah yang berhubungan dengan judul penelitian ini, maka di bawah ini akan
diuraikan konseptual sebagai berikut:
a. Peranan Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat. (Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002)
b. Kerusuhan adalah sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan
tindak kekerasan, biasanya sebagai tindak balas terhadap perlakuan yang
dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan)
c. Pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas
tanah, yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu
pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku. (Sumardjono: 2008)
d. Tanah Register adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. (PP RI No. 24 Tahun 1997)
SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memudahkan para pembaca memahami penelitian ini, maka penulisan
penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Pendahuluan merupakan bagian yang memuat latar belakang masalah,
kemudian permasalahan dan ruang lingkup, selanjutnya juga memuat tujuan
dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual sebagai acuan dalam
membahas penelitian serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka merupakan bagian yang menguraikan pengertian-pengertian
umum tentang pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini, yang terdiri dari
Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan Sengketa Lahan Tanah Register
45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang Bawang).
III. METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan bagian yang menguraikan tentang langkah yang
akan ditempuh dalam pendekatan masalah, sumber data, jenis data, cara
pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uraian da1an bagian ini terdiri dari tiga sub bagian, yaitu sub bagian yang
menguraikan tentang karakteristik responden, sub bagian yang menguraikan
tentang Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan Sengketa Lahan Tanah
Register 45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang Bawang).
V. PENUTUP
Merupakan bab penutup dari penulisan penelitian yang berisikan secara singkat
hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari penulisan
sehubungan dengan masalah yang dibahas serta memuat lampiran-lampiran
yang berhubungan dengan penulisan.
METODELOGI PENELITIAN
Penulis di dalam melakukan penelitian, menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara
menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut
asas-asas hukum, konsepsi-konsepsi, doktrin-doktrin hukum dan norma-norma
hukum yang berkaitan dengan Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan
Sengketa Lahan Tanah Register 45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang
Bawang). Adapun pendekatan yuridis empiris digunakan dalam penelitian lapangan
yang ditujukan pada penerapan hukum.
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Sengketa lahan hutan negara Register 45 Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung,
sudah hampir setahun belum juga tuntas. Kinerja tim pemerintah pusat
menyelesaikan kasus ini terkesan lambat. Bupati Mesuji. Kasus sengketa lahan di
Register 45 sudah menjadi garapan tim bentukan pemerintah pusat. Pemkab Mesuji
dan Pemprov Lampung hanya memfasilitasi. Bentrok berdarah akibat sengketa
lahan kembali terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung. Dua kelompok warga di
Desa Tulung Gunung, Mesuji, terlibat bentrok dengan melibatkan senjata api,
Selain itu, Polda Lampung juga langsung giat melakukan koordinasi dengan tokoh
masyarakat, agama, serta pemda setempat agar persoalan rebutan lahan ini tak
melebar. Pasalnya, warga Mesuji dinilai masih trauma dengan tregedi arena
rebutan lahan di sana menelan banyak korban jiwa.
Pengejaran pelaku lainnya terus dilakukan. Selain memeriksa saksi-saksi, intel juga
dikerahkan untuk mengawasi dan bantu membangun kamtibmas di sana. Di pihak
lain, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung mengatakan bahwa konflik
di Lampung, khususnya Mesuji belum mereda. Kekerasan di Mesuji masih sering
terjadi, bentrok itu kerap didalangi perusahaan besar pemilik lahan yang melakukan
penambangan ilegal di tahan hutan. Akibatnya, konflik antarwarga pun sering
pecah. Kerap terjadi konflik di kawasan hutan, antara lain, Register 45, Register 47,
Register 19, dan Register 21. Seperti diketahui, isu sengketa lahan di wilayah dekat
garis pantai di Lampung ini kerap ditanggapi sensitif. Masih segar dalam ingatan
momen dua tahun lalu ketika para petani bentrok dengan perusahaan pengelola
tanah atas kepemilikan lahan. Puluhan warga Mesuji tewas dan lainnya luka-luka
dalam bentrok berdarah.
Dalam laporan warga kepada polisi, Wan Mauli, adalah ketua Megou Pak
Tulangbawang, sebuah lembaga adat ternama di Kabupaten Tulangbawang.
Tersangka diduga telah menyalahgunakan wewenang dengan cara menjual lahan
hutan negara kepada warga pendatang dengan nilai Rp 145 juta lebih. Penahanan
Wan Mauli, menurut Sulistyaningsih, sudah sesuai prosedur dan bukti-bukti yang
kuat. Polisi mendapatkan bukti berupa lebaran surat tanda terima penjualan tanah
register 45 yang ditandatangani langsung oleh tersangka, serta lembaran surat
lainnya. Hutan negara Register 45 Mesuji, belakangan menjadi isu nasional setelah
adanya laporan sekelompok orang yang mengklaim dari lembaga adat Megou Pak
Tulangbawang ke DPR, akhir tahun lalu. Lembaga adat ini melaporkan telah terjadi
pembantaian warga Mesuji di Register 45, terkait sengketa lahan antara PT Silva
Inhutani dan warga setempat. Kasus ini akhirnya diserahkan ke Pemerintah Pusat
lewat lembaga Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) diketuai Denny Indrayana
(wakil Menkum HAM). Setelah selesai, kasus Register 45 Mesuji diserahkan
kembali kepada Pemerintah Provinsi Lampung. Saat kasus ini ditangani pusat dan
provinsi, jumlah pendatang di lahan hutan Register terus bertambah hingga ribuan
kepala keluarga, dari berbagai daerah di Lampung.
Upaya Polri dalam menanggulangi konflik sengketa lahan register 45, terlebih
dahulu perlu gambarkan secara umum tentang persepsi Polri pasca amandemen
UUD 1945 yaitu di mana Polri dalam merumuskan konsep maupun kebijakan dan
strategi keamanan negara tetap konsisten terhadap landasan konstitusional dengan
merujuk alinea keempat pembukaan UUD 1945 dan bab XII pasal 30 tentang
pertahanan dan keamanan negara yang pelaksanaan operasionalnya diatur secara
normatif dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 dengan berbagai
peraturan pelaksananya.
Dalam Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, tugas pokok Polri (Pasal
13) dirinci lebih lanjut dalam rumusan tugas-tugas (Pasal 14) yang mencakup tatran
tugas pre-emptif, preventif, represif non yustisial dan represif yustisial. Pada setiap
tataran tugas tersebut, senantiasa diperluakan koordinasi, kerja sama, bantuan, dan
partisipasi dari berbagai komponen bangsa, instansi dan masyarakat. Tanpa adanya
kerja sama dengan komponen lain terutama dengan TNI, pemerintah daerah dan
instansi lain serta masyarakat, maka upaya pemeliharaan keamanan dalam negeri
tidak akan terbebas dari ancaman keamanan. Mencermati sumber ancaman berupa
potensi gangguan yang mengendap di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
yang setiap saat dapat berkorelasi bahkan terpicu menjadi konflik, maka upaya polri
dalam penanggulangan konflik dengan langkah-langkah yang berupa upaya
pencegahan dan penindakan.
Upaya yang dapat dilakukan Polri untuk mencegah terjadinya konflik lahan register
45 adalah melalui implementasi tugas Polri yang bersifak pre-emptif dan preventif
sesuai dengan tugas, fungsi dan peran Polri yang lebih memprioritaskan dalam
meredam gejolak agar tidak meluas ke permasalahan lain yang mengakibatkan
konflik menjadi kompleks dan rumit, dengan tetap berperan secara fungsional dan
proporsional melalui upaya pencegahan.
Kedua kasus konflik agraria di Mesuji mempunyai pola yang sama, konflik terjadi
antara petani/warga sekitar, pengusaha, dan pemerintah. Dari berbagai sumber yang
penulis dapat dapat diketahui faktor penghambat dalam menangani sengketa lahan
register 45 mesuji yaitu:
1. Faktor Politik.
2. Pluralisme Hukum.
3. Tindakan Represif dari Aparat Keamanan.
4. Kurangnya pengaruh tokoh masyarakat.
5. Ketidakseimbangan perhatian pemerintah daerah.
6. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan dan HGU lahan perusahaan.
7. Sikap arogansi dan egosentris kelompok.
8. Kurangnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.
Dari faktor-faktor diatas, terlihat bahwa dalam hal ini konflik agraria di Mesuji
dapat dikatakan sebagai sebuah konflik politik. Hal ini dikarenakan yang
dipertentangkan adalah menyangkut isu-isu kelompok/publik. Hak tanah diklaim
oleh masing-masing pihak yaitu oleh pihak pengusaha dengan petani atas dasar
hukum yang mereka pegang masing-masing. Khususnya kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah dengan memberikan izin usaha dan HGU kepada
pengusaha. Dampaknya masyarakat tidak menerima dan akhirnya muncullah
konflik akibat perbedaan persepsi dalam peraturan yang dilakukan oleh Pemerintah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Kasus konflik agraria di Mesuji merupakan konflik yang terjadi antara dua
kelas yaitu kelas Pengusaha (kapitalis) dengan kelas petani memperebutkan
lahan/tanah di daerah Mesuji Lampung. Konflik ini juga tidak terlepas dari
kebijakan pertanahan yang dilakukan pemerintah di masa orde baru yang
cenderung bersifat kapitalistik. Terhadap pelaksanaan penindakan konflik
sengketa lahan register 45 yang mengarah atau terjadinya kerusuhan dan
tindakan anarkis, Polri tetap mengacu pada tataran tugas sebagaimana yang
telah diuraikan di atas tentunya dengan suatu strategi represif untuk preventif,
yaitu melakukan tindakan tegas berdasarkan aturan hukum yang berlaku
dengan memperhatikan hak asasi manusia dalam rangka mencegah meluasnya
konflik.
2. Faktor penghambat dalam menangani sengketa lahan register 45 mesuji yaitu
kebijakan pertanahan yang bersifat kapitalistik, pluralisme hukum, tindakan
represif dari aparat keamanan, kurangnya pengaruh tokoh masyarakat,
ketidakseimbangan perhatian pemerintah daerah, ketidakjelasan status
kepemilikan lahan dan HGU lahan perusahaan, sikap arogansi dan egosentris
kelompok, kurangnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan.
SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan di atas maka penulis dapat memerikan
saran sebagai berikut:
1. Hendaknya aparat penegak hukum lebih memperketat lagi keamaan dan
ketertipan dalam masyarakat. Agar kasus seperti sengketa lahan register 45
tidak terjadi lagi.
2. Hendaknya aparat penegak hukum dan masyarakat bersama-sama menjaga
ketertiban lingkungan. Hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum lebih
memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, Alumni: Bandung
Achmad Rubaie, 2006. Politik Hukum Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, Bayu Media Publishing: Malang
.
Ali Achmad Chomzah. 2002. Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara
Penjabat Pembuat Akta Tanah, Alumni : Bandung
Citra Umbara. 2008. Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung.
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, 2002. Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustka Utama, Jakarta
Harahap Yahya, 2006. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan Dan Penuntutan, Sinar Grafika: Jakarta.
Joni Emirzon, 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan
Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi Arbitrase, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Maria S.W Sumardjono, 2008. Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan
Alternatif Penyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan, Penerbit
Kompas Gramedia.
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto. 2002. Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia.
Kompas, Jakarta.
Santoso, Topo. 2012, Kriminologi. PT. Raja Grafindo, Jakarta.
Soerodjo. 2003. Proses Pendaftaran Tanah, Rineka Cipta: Jakarta
Supriadi. 2007. Hukum Agraria, Sinar Grafika: Jakarta
Undang-Undang :
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2010.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.